ANGKAT SAUH, MENUJU PASIFIK

Page 1

ISSN: 9772442302134

THE EQUATOR Vol. 6/No. 1 Januari - Maret 2018 Terbitan triwulan | GRATIS Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta

ANGKAT SAUH, MENUJU PASIFIK


2

PENGANTAR REDAKSI Salam hangat untuk pembaca sekalian! Ingar-bingar sudah selesai. Akhir 2017 dan awal 2018 kami sedikit beristirahat setelah menyambut teman-teman di gelaran Biennale Jogja XIV Equator #4. 40.000 lebih pengunjung bertamu dan bertemu di banyak tempat, menyaksikan banyak karya dan pertunjukan, mengalami interupsi yang sedikit bikin kaget di ruang publik, dan beragam interaksi lainnya. Perjalanan satu tahun sepanjang 2017 memang sudah purna. Tapi, perjalanan mengelilingi khatulistiwa belum sampai di ujungnya. Ransel sudah harus kembali diangkat, meluncur menuju destinasi ujung serial Equator: Pasifik. Untuk menutup rangkaian aktivitas Biennale Jogja XIV Equator #4, edisi ini menghadirkan catatan penutup dari kurator Pius Sigit Kuncoro. Ia mendapati bahwa pengunjung adalah bagian yang punya porsi besar dalam hajatan pameran yang lalu. Mereka mengambil alih ruang pamer dan membahasakan pengalaman lewat beragam bentuk interaksi di media sosial. Dan, sebagai sumbu yang akan mulai disulut, kita akan mulai melirik Pasifik, tujuan kunjungan kelima dalam seri putar garis tengah dunia ini. Apa yang orang-orang bicarakan tentang Pasifik? Pembaca sekalian boleh mencuri dengar salah satu versi percakapan tentang Pasifik yang isunya sudah berumur tua (dan mungkin juga belum mati) dari sebuah fragmen naskah lakon gubahan Vilsoni Hereniko dan Teresia Teaiwa. Apakah itu juga isi kepala kita jika terdengar nama “Pasifik”? Perjalanan meniti khatulistiwa tahun ini akan diteruskan oleh Simposium Khatulistiwa (SK) yang sudah lekas bergegas. Sebagian dari tema yang akan diusung dalam SK dihadirkan untuk pembaca sekalian dalam edisi ini. Selamat membalik halaman satu per satu. Semoga bertemu sesuatu di perjalanan. Salam hangat, Redaksi

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org Januari - Maret 2018, 1000 exp Penanggung jawab: Enin Supriyanto Redaktur Pelaksana: Maria Puspitasari Kontributor: Vilsoni Hereniko, Teresia Teaiwa, Pius Sigit Kuncoro, Grace Samboh.


3

DAFTAR ISI 4|

Perawan Terakhir di Surga: Komedi Serius Vilsoni Hereniko dan Teresia Teaiwa Sumber: Mānoa, Vol. 5, No. 1, Writing from the Pacific Islands (Summer, 1993), hal. 193-203 Diterbitkan oleh: University of Hawai'i Press Diterjemahkan oleh Maria Puspitasari Munthe.

16| Sebuah Epilog Biennale Jogja XIV – Equator #4 – 2017 Perjumpaan Indonesia dan Brazil Berdasarkan wawancara dengan Pius Sigit Kuncoro yang dituliskan oleh Grace Samboh dan Maria Puspitasari Munthe.

25|

BACAAN (TERPILIH): Menuju Kepulauan Kedai Kebun Forum, 20 April – 14 Mei 2018

Fotografi: Arsip YBY, Yustina Neni, Julian “Togar” Abraham Foto sampul: Libstud Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil

Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja

Contemporary, PKKH UGM, Angkringan Mojok Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Rumata Artspace, Colliq Puji’e

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

Perawan Terakhir di Surga: Komedi Serius Vilsoni Hereniko dan Teresia Teaiwa Sumber: Mānoa, Vol. 5, No. 1, Writing from the Pacific Islands (Summer, 1993), hal. 193-203 Diterbitkan oleh: University of Hawai'i Press Diterjemahkan oleh Maria Puspitasari Munthe.

Perawan Terakhir di Surga: Komedi Serius Mitos tentang Surga adalah warisan yang mesti dihadapi bangsa Polinesia sejak gagasan Jean-Jacques Rousseau tentang "noble savage" mengemuka pada abad ke-18 di Eropa. Louis Antoine de Bougainville membaca karya Rosseau dan terpikat oleh gagasan tentang masyarakat sederhana yang amat berbahagia; ia berusaha memastikan keberadaan surga semacam itu dan berhasil menemukannya di Tahiti. Seorang gadis Tahiti yang tidak sengaja membiarkan kain cawatnya jatuh dan memperlihatkan sekujur tubuhnya kepada ratusan pelaut Prancis yang sudah enam bulan tak melihat wanita, menjadi figur serupa Venus yang menunjukkan kecantikannya pada gembala dari Phrygia. Pada saat itulah, deologi menjadi "fakta". Ide tentang kesederhanaan, ketelanjangan, cinta bebas, dan ritual primitif di Pasifik Selatan menarik perhatian bangsa Eropa yang datang ke sana untuk mencari tahu apakah tidak adanya hal-hal demikian di Eropa era industri menjadi tanda kehancuran mereka. Akan tetapi, pada masa pergantian menuju abad ke-18, pemikiran evangelis dan semangat misionaris memudarkan pamor mitos tersebut.Gagasan tentang Surga digantikan oleh konsep tentang manusia pagan yang tak beradab, yang perlu diarahkan kepada Terang(Tuhan). Banyak praktik khas Tahiti yang dianggap eksotik ditentang dan dilarang oleh para misionaris. Namun mitos itu muncul lagi. Beberapa penulis sentimental seperti John Byron, Pierre Loti, dan Herman Melville memberontak terhadap nilai-nilai puritan tentang status quo dan menyatakan bahwa Pasifik Selatan merupakan jawaban dari persoalan alienasi dan kehidupan mekanis Eropa. Khususnya, kisah petualangan Herman Melville di tengah anak-anak alam yang gembira di Typee dan Omoo (berdasarkan kisah hidupnya sebagai penangkap paus


5

yang terdampar di Tahiti dan Kepulauan Marquesas) yang menggambarkan imajinasi bangsa Eropa yang amat ingin melarikan diri ke Pasifik Selatan. Tahun 1981, Paul Gauguin (murid Rousseau) tiba di Tahiti dan mulai menuangkan mitos tersebut ke atas kanvas. Lukisannya menggolrifikasi seksualitas wanita Tahiti dan kesederhanaan hidup kepulauan itu; karya ini menginspirasi banyak orang lain untuk mengunjungi Tahiti dengan berharap bahwa mereka juga akan menemukan Taman Firdaus. Maka mitos itu terus hidup. Sejak tahun 1950 hingga kini, mitos tentang Surga telah menjadi komoditas ekonomi dan komersial yang terus dieksploitasi oleh industri pariwisata untuk mengundang pengunjung bukan hanya ke Tahiti, melainkan juga ke pulau-pulau lain di Polinesia. Perawan Terakhir di Surga merupakan sebuah naskah komedi serius yang menjelajahi mitos tentang Surga. Helmut ialah pria pecandu alkohol yang telah berulang kali kawin-cerai; ia datang ke Pasifik untuk mencari istri yang masih perawan. Ia "menemukan" Hina. Temanu, seorang feminis pemula yang pulang kampung ke kepulauannya untuk mencari asal-usulnya, mengetahui pernikahan sepupunya dengan Helmut dan melayangkan protes.Kerry, antropolog dari Australia, juga telah dipengaruhi oleh mitos itu. LayaknyaHelmut, ia sendiri punya alasan pribadi untuk melarikan diri dari masyarakat urban. Adegan III, yang dikutip di bawah ini, terjadi setelah adegan pernikahan di mana Helmut mabuk dan kehilangan kesabaran. Ia lekas membawa Hina pergi untuk membuat pernikahan mereka paripurna.

ADEGAN III, KAMAR TIDUR HELMUT, HOTEL MARAWA (Lampu sorot mengarah ke sebuah gambar di latar belakang yang telah digantikan dengan gambar seekor belut yang tampak akan melahap bulu babi. Lampu general menerangi sebuah ranjang yang ditempatkan secara diagonal di tengah panggung. Terdapat meja dan kursi di sebelah kanan panggung. Ada sebotol wiski, dua gelas, dan sebuah bingkisan di atas meja. Seprai kasur berwarna merah, begitu pula dengan taplak meja. Tiga buku ditumpuk rapi di atas ranjang. Helmut dan Hina masuk, masih mengenakan baju pernikahan mereka. Helmut membawakan koper Hina dengan tangan kanan, sementara Hina menenteng sebuah keranjang anyaman pandan di tangan kirinya. Tangan kiri Helmut merengkuh pinggang Hina. Helmut meletakkan koper itu dan mencoba menggendong Hina menuju pintu, namun ia sadar Hina terlalu berat dan akhirnya menurunkan wanita itu. Hina memandang Helmut dengan tatapan tidak sabar, lalu ia berjalan sendiri melewati pintu. Ia mengamati ruangan dan memutuskan untuk duduk di ranjang [duduk dengan gaya "wanita terhormat" ala Pasifik, kedua kakinya dilipat ke samping]. Ia mengambil buku di atas ranjang satu per satu dan melihat-lihat sampulnya. Helmut berjalan ke arah meja, mengambil botol wiski, dan menuangkan minum untuk dirinya sendiri. Hina mengamati lelaki itu dengan cermat. Helmut menyanyikan lagu kesukaannya dan menyisiri rambutnya dengan tangan.)


6

HELMUT

(Bernyanyi) "It's just a little brown gal in a little grass skirt..." (Menawari Hina segelas wiski. Hina menggeleng dan memegang erat keranjang anyaman pandannya, seakan-akan benda itu akan melindunginya. Ia mengamati Helmut) Kau adalah hal terindah yang pernah kusaksikan. Kau tahu itu? Jangan takut, aku akan berlaku amat lembut. Aku sudah berpengalaman dalam hal ini, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan. Kakimu akan kau jepitkan di sekeliling tubuhku, lalu kau mendesah lagi dan lagi...

HINA

Ini buku-buku apa?

HELMUT

Itu? (Menghampiri Hina dan mengambil buku-buku itu darinya) Ini adalah buku-buku kesukaanku. Kau mau membacanya?

HINA

Sekarang?

HELMUT

Tidak, nanti. Tulisan siapa yang mau kau baca? Somerset Maugham, Jack London, atau Margaret Mead?

HINA

Mereka kerabatmu?

HELMUT

(Terkekeh) Ya, mungkin. Tapi, kita tidak mau membicarakan mereka sekarang kan? (Meletakkan buku-buku di meja, kemudian membuka bingkisan dan mengambil sehelai pakaian tidur tipis warna merah dengan renda hitam di bagian tepinya) Ganti bajumu dengan ini; kau akan kelihatan sangat seksi. (Wanita itu tidak bergerak)

HINA

Kau tidak mau membacakan buku ini untukku? Kupikir palagi¹ biasanya membaca cerita sebelum tidur?

HELMUT

Dengar. Lupakan buku-buku itu. Suatu hari nanti kau akan bisa membaca dan memahaminya. Sekarang, aku mau kau ganti baju dengan ini. (Mengangkat baju tidur merah tadi) Kau mau aku yang membuka bajumu?

HINA

Di mana kau membelinya?

HELMUT

Aku membawakannya, dari Jerman.

HINA

Baru?

HELMUT

Iya.

HINA

Palingkan wajahmu biar aku bisa memakainya.

HELMUT

Jangan konyol, Hina. Kita sekarang suami-istri. Kita boleh melihat apa aja dan melakukan apa saja tanpa merasa malu. Bukan begitu adatku. Hah? Bukankah kalian penduduk asli melakukan seks bebas di

HINA HELMUT


7

bawah pohon kelapa? Begitu kata buku yang kubaca. Kalian tidak pernah capek; buat kalian seks macam minum wiski saja. Tidak akan pernah puas. HINA

Tapi kalau kami seperti itu, tidak akan ada lagi perawan yang tersisa.

HELMUT

Kecuali kau. Kau adalah perawan terakhir di Surga. Itulah mengapa kau amat didambakan. Sekarang pakailah hadiah ini, lalu duduk di pangkuanku.

HINA

Apakah kau mencintaiku?

HELMUT

Tentu saja aku mencintaimu.

HINA

Mengapa?

HELMUT

Karena kau murni, belum terjamah laki-laki lainnya. (Mengisi ulang gelasnya)

HINA

Mengapa kau minum terus?

HELMUT

Aku ingin melupakan ...

HINA

Melupakan?

HELMUT

Masa lalu. Dua istriku meninggal, yang seorang akibat kanker, seorang lainnya karena kecelakaan mobil. Istriku yang ketiga meninggalkanku untuk pria lain. (Minum) Jadi, ketika aku minum, dunia tampak begitu indah. Aku kembali jadi bagian dari alam, berkelana di Surga. Tapi waktu aku sadar, masa lalu kembali menghantui, dan membuatku tidak bisa tidur. Coba rasakan wiski ini, biar kamu tahu maksudku. Mau?

HINA

Tidak.

HELMUT

Kau mau minum yang lain?

HINA

Kau punya Coca-Cola?

HELMUT

Coca-Cola? Tidak ada, memangnya siapa yang mengira kau mau minum Coca-Cola di malam pengantin?

HINA

Aku cuma mau Coca-Cola.

HELMUT

Bagaimana denganku? Kau tak mau aku?

HINA

Entahlah, Tuan Helmut. Aku... aku mohon... Aku akan pakai benda merah ini, tapi kau harus menutup matamu.


8

HELMUT

(Melompat ke ranjang dan menutup matanya) Baiklah, aku hambamu. (Hina mencoba melepas baju pengantinnya, dengan susah payah. Helmut mengintip dan Hina memalingkan wajah dengan malu. Baju pengantin Hina akhirnya terlepas dan ia tinggal mengenakan lavalava²)

HINA

Buka matamu. Bagaimana menurutmu? (Helmut duduk dan menatap wanita itu dengan termangu) Apakah aku kelihatan menarik pakai lavalava?

HELMUT

Iya. Tentu saja. Tapi...

HINA

Tapi?

HELMUT

Aku tidak bisa terangsang karena lavalava! Itulah mengapa aku memberimu baju tidur merah itu. (Kehilangan kesabaran) Pakai! Sekarang!

HINA

Aku cuma bisa bergairah dengan pakai lavalava.

HELMUT

Kau tak perlu bergairah. Kau cuma harus berbaring di sana dan memejamkan matamu. Akulah yang harus bergairah. Tapi sebelumnya, foreplay. Kita harus berciuman dulu.(Helmut mencoba mencium Hina. Wanita itu mendorongnya menjauh dan berlari ke sisi ranjang yang lain. Secara refleks, Helmut merapikan rambutnya)

HINA

Kumohon, jangan menciumku. Aku tidak bisa berciuman.

HELMUT

Apa? Lalu apa yang biasanya kau lakukan?

HINA

Berciuman itu kotor. Tak senonoh.

HELMUT

Memangnya kenapa kalau tak senonoh? Aku mau bertindak tak senonoh malam ini. Memangnya kau tidak?

HINA

Tidak.

HELMUT

Tidak? Maka, ini masalah. Kenapa kau tidak memakai baju tidur itu?

HINA

Ini? Baju tid...

HELMUT

Iya! Pakai sekarang! Sebagai suamimu, aku memerintahkan agar kau memakainya!

HINA

Tolong... tidak usah berteriak. Aku akan memakainya. Tapi kau harus berpaling dulu.

HELMUT

Kenapa pula aku harus berpaling padahal aku mau melihat tubuhmu?


9

HINA

Aku malu. Itu adat kami.

HELMUT

Adatmu! Adat sialan itu! Sebelum para misionaris datang, kaliancuma mengenakan daun, seperti Adam dan Hawa di Taman Eden. Dan sekarang kau tidak mau melepas pakaianmu di depan suamimu sendiri. Kau bilang ini adat? Coba katakan, di adatmu, kalian melakukannya dengan berpakaian atau telanjang? Kemarin aku lihat beberapa orang Marawa melompat ke kolam renang dengan pakaian lengkap! Jadi begitu yang namanya adat! Semua orang di Marawa sudah terpengaruh misionaris, aku tak akan kaget kalau mereka juga malu mengangkat lavalava waktu buang hajat!

HINA

Tapi itu beda. Waktu kau buang hajat, tidak ada yang melihat.

HELMUT

Terima kasih, wahai misionaris. Semua orang di pulau ini sekarang bingung dengan adatnya sendiri. Tapi kupikir kau berbeda.

HINA

Tidak, aku sama dengan mereka, sama saja. Kumohon, berpalinglah dulu. (Helmut dengan enggan berpaling ketika Hina mengganti lavalava dengan baju tidur pemberian Helmut) Sekarang kau boleh lihat. Ya Tuhan. Kau memang impian. Persis seperti yang kubayangkan. Aku mencintaimu, Hina. (Helmut merengkuh wanita itu, mencoba menciumnya, namun Hina malah menjauh. Ia melompat ke ranjang dan membuka keranjang anyaman basketnya.)

HELMUT

HINA

(Dengan semangat) Aku baru ingat ibu memberiku sesuatu. (Ia mengeluarkan palusami³, membukanya, lalu menjejalkannya ke dalam mulut. Ia menjilati jari-jarinya. Merasa jijik, Helmut buru-buru menuangkan minuman lagi untuk dirinya) Palusami, ibuku memasukkannya ke keranjangku, kalau-kalau aku lapar. Waktu kau bilang soal berciuman, inilah yang kupikirkan! (Mengulurkan daging sapi kornet pada Helmut) Kau mau, Helmut? Enak... isinya daging sapi kornet. Apakah kau suka daging sapi kornet, Tuan Helmut? (Helmut memandang wanita itu dengan tatapan tak percaya. Seketika ia menerjang Hina, merebut daging itu dan membuangnya. Ia menindih Hina dan mencoba menciumnya. Mereka bergulat. Hina menjambak rambut Helmut, lalu rambut palsunya lepas. Hina memandangi benda yang ada di tangannya lalu menjerit. Ia mencoba membuang rambut palsu itu, tapi benda itu malah tersangkut di jari-jarinya. Hina berlari-lari sambil berteriak sementara Helmut mengejarnya sambil berusaha menutupi kepala botaknya dengan tangan. Ada suara pukulan kerasdi pintu, lalu muncullah Temanu dan Kerry. Kerry mengenakan gaun malam dan wajahnya tanpa riasan. Temanu mengenakan lavalava dan kaus)

TEMANU

Hina! Ada apa ini? (Helmut berlari ke sana kemari untuk merapikan semuanya. Hina duduk di ranjang sambil terisak)

HELMUT

Kalian mau apa? Bagaimana caranya kalian bisa masuk?


10

TEMANU

Lewat pintulah, bagaimana lagi?

HELMUT

Ya Tuhan!

TEMANU

(Kepada Hina) Kau baik-baik saja? (Hina mengangguk. Temanu melihat ke arah Helmut) Kau memaksanya, kan? (Kerry tetap berdiri mengawasi)

HELMUT

Dia istriku.

TEMANU

Bukan berarti kau berhak memerkosanya!

HELMUT

Memerkosa! Kau melebih-lebihkan. Kami cuma mau bercinta, dan karena ia baru akan pertama kali melakukannya, ia gugup. Mungkin aku terlalu bersemangat, tapi semua laki-laki juga akan berbuat begitu di situasi begini.

TEMANU

(Kepada Hina) Pakai bajumu! Kau tidur denganku di kamarku.

HELMUT

Tidak! Apa urusannya denganmu! Keluar dari kamarku!

TEMANU

Ini urusanku. Hina ialah sepupuku dan ini pulau kami. (Kepada Hina) Ayo, kita pergi. (Temanu mengangkat koper Hina)

HELMUT

Kau tidak bisa menerobos kemari seenaknya dan membawa pergi istriku! Dia tidur denganku! Aku sudah menikahinya. Paham?

TEMANU

Coba saja hentikan aku! (Kepada Hina) Ayo, Hina, kau ikut denganku.

HELMUT

Kami akan pergi dari sini besok.

TEMANU

Mungkin kau harus pergi sendiri. Kita lihat besok apakah Hina mau pergi bersamamu atau tidak. Selamat malam, tukang perkosa botak! (Hina melepas baju tidur merahnya dan melemparkannya ke atas ranjang. Temanu menuntun Hina keluar. Kerry sudah akan pergi saat Helmut memanggilnya)

HELMUT

Kerry, kumohon jangan pergi. Minumlah bersamaku. (Kerry ragu ragu, lalu memutuskan untuk tinggal sejanak. Ia duduk di kursi. Helmut melonjak-lonjak bersemangat ketika bicara) Beri tahu aku, kau kan antropolog... apakah kau mengerti orang-orang ini?

KERRY

Tidak, tapi aku sedang mencobanya. Meski begitu, aku tidak menikahi salah seorang warga di sini, jadi situasi kita berbeda.

HELMUT

Berbeda dalam hal apa?

KERRY

Aku hanya mempelajari mereka. Lalu menulis tentang mereka. Aku tidak berniat menikahi seorang pun di sini, jadi aku sama sekali


11

tidak perlu mencoba jadi seperti mereka. Aku sadar aku tampak seperti mengeksploitasi mereka, tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Aku punya ambisi dan cita-cita, aku harus memikirkan buku yang kutulis dan karierku pula. Dan orang-orang ini akan jadi terkenal setelah penelitianku diterbitkan! HELMUT

Dan bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah itu yang menurutmu penting?

KERRY

Tidak. Aku juga kesepian. Dan kadang-kadang bingung pula, tidak ada seorang pun yang menganggap pekerjaanku ini serius, tidak ada yang tahu orang tuaku terkenal, tidak ada yang mau berbicara padaku, bahkan sekalipun aku menawari mereka uang!

HELMUT

Bagaimana soal cinta?

KERRY

Cinta? Memangnya ada makhluk begituan? Satu-satunya yang bisa kuharapkan adalah bertemu dengan seseorang yang amat menarik, entah pria atau wanita, untuk jadi teman bersenang senang. Cinta? Tidak, Helmut, di mana pun aku mencari, tidak pernah ada cinta! Tapi aku sudah belajar caranya melindungi diriku, menghindar dari tali dan panah yang mengancam akan menyakitiku. (Berhenti sejenak, terlihat agak kecewa) Tapi kasusmu berbeda. Kau menikah dengan salah satu dari mereka, jadi kau tidak bisa memisahkan diri atau tidak terlibat.

HELMUT

Bagaimana dengan mereka? Apakah mereka mencoba memahami kita?

KERRY

Kaulah yang mencari wanita itu, bukan sebaliknya.

HELMUT

Jadi?

KERRY

Jadi mungkin kau yang harus ambil langkah lebih dulu. Untuk mengawalinya, mungkin kau bisa pertimbangkan untuk mempelajari bahasa mereka.

HELMUT

Di usia segini? Kenapa harus begitu? Hina berbicara bahasa Inggris dengan cukup baik.

KERRY

Orang bilang bahasa adalah kunci untuk memasuki sebuah kebudayaan. Itulah sebabnya, sebagai antropolog, tugas pertamaku adalah mempelajari bahasa.

HELMUT

Aku tidak punya waktu untuk belajar bahasa primitif yang cuma dipakai beberapa ribu orang!

KERRY

Maka jangan mengeluh kalau kau tak memahami mereka.

HELMUT

Aku cukup memahami Hina. Justru sepupunya itu yang tidak


12

kupahami. Menerobos sembarangan kemari dan bertingkah lagaknya penyelamat! KERRY

Boleh aku minum?

HELMUT

Tentu saja. (Helmut berjalan ke arah meja, menuangkan minuman dan memberikannya pada Kerry. Helmut lalu mencoba merapikan seprai ranjang dan melipat baju tidur tadi)

KERRY

Kulihat Hina tidak protes sama sekali. Sebaliknya, ia tampak terlalu gembira lepas dari cengkeramanmu. Mungkin kau belum memahaminya sebagaimana yang kau pikirkan. Kalau tidak, kau tak akan mendorongnya sampai ia menjerit begitu.

HELMUT

Aku tidak mau memperkosanya. Lagi pula, bagaimana bisa itu disebut pemerkosaan kalau ia adalah istriku yang sah, dan ini malam pertama kami! Kau percaya padaku?

KERRY

Entahlah.

HELMUT

Tapi itu kebenarannya.

KERRY

Kebenaran? Helmut, kau dan aku tahu bahwa kebenaran tidak selalu relevan. Sekarang, kupikir kau tidak peduli amat mana yang kebenaran dan mana yang bukan. Kau hanya menginginkan kepuasanmu sendiri, kau mau merasa muda lagi. Beri tahu aku, mengapa bagimu menikahi perawan adalah hal yang begitu penting?

HELMUT

(Terkejut dengan pertanyaan itu) Sejak kecil, aku selalu ingin memiliki sesuatu yang baru. Aku tidak pernah suka barang bekas, tua, atau usang. Kurasa keberadaanku di sini adalah bentuk dari keinginan jadi yang pertama. Dan sebagian diriku ingin mempercayai nilai-nilai tradisional. Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa masih ada wanita yang percaya pada kemurnian sebelum menikah. Kau tahu, aku sudah pernah menikah tiga kali sebelumnya. Tak seorang pun dari istriku yang masih perawan sebelum kami menikah.

KERRY

Sudah kuduga.

HELMUT

Aku petualang dalam bercinta bahkan sebelum usiaku enam belas tahun! Tapi tidak sekali pun aku mendapatkan perawan.

KERRY

Jadi itu sebabnya kau kini berada di Pasifik. Sepertinya jadi garis batasmu yang paling ujung.

HELMUT

Kau mengejekku?

KERRY

Tidak, aku mengerti. Aku sendiri berada di sini sesungguhnya


13

karena aku merasa canggung di kampung halaman sana. Aku mencoba mencari bagian diriku yang tidak masuk akal. Di sini, di tengah masyarakat yang mestinya "primitif" dan bebas dari jejak jejak peradaban, aku beharap bertemu dengan seseorang yang akan mengakui siapa diriku, keinginanku untuk tidak melakukan seks, fantasiku, dan keberadaanku. Tapi peradaban barat telah menyusup ke setiap penjuru dunia. Kita terlambat satu abad lamanya, Helmut! HELMUT

Kau mengerti aku.

KERRY

Kurasa demikian! Kau melarikan diri dari kenangan... kau minum supaya indramu tumpul, sehingga kau bisa hidup dalam fantasi yang kau percayai, sehingga kau tidak akan pernah bangun dari mimpi burukmu!

HELMUT

Iya.

KERRY

Mungkin masa lalu kita mirip. Orang tuaku bercerai waktu usiaku 10 tahun, dan aku dirawat oleh salah seorang pamanku yang tinggal di peternakan domba. Untuk mendapatkan perhatiannya, sejak kecil aku belajar bagaimana caranya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Dia pria yang kasar! Apakah istri-istrimu juga berlaku buruk padamu?

HELMUT

Buruk? Mereka bikin aku merasa tidak mampu, impoten! Kalau bersama mereka, aku merasa bukan laki-laki! Ini usahaku untuk menyelamatkan harga diri, untuk mengembalikan kehormatanku sebagai pria. Aku minum untuk menyembunyikan rasa sakit, membuat nuraniku kebas, melindungiku dari rasa bersalah! Apa menurutmu aku gila?

KERRY

Tidak. Kurasa kau hanya linglung, tapi orang lain juga banyak yang begitu. Lihatlah Temanu, mengelabui diri bahwa ia di sini sedang mencari asal-usulnya. Tapi ketika ia menemukannya,apakah ia akan menerimanya? Tentu saja tidak! Asal-usulnya terdengar besar dan luhur baginya karena ia tidak tinggal di sini. Setibanya di bandara dan melihat bangunan-bangunan bobrok, atap jerami, dan jamban cemplung, ia langsung belok mencari motel yang nyaman. Ia ingin lepas dari jerat kolonialisme, tapi ia tidak bisa melakukannya tanpa simbol-simbol hidup layak ala penjajah. Ia merasa tahu yang terbaik untuk sepupunya dan mungkin juga untuk semua orang di Marawa. Tapi ia tidak lebih tahu soal mereka dibanding kau maupun aku.

HELMUT

Dan soal aku? Coba bicara lebih jauh tentang aku.

KERRY

Kau tertarik pada Pasifik karena segala hal yang pernah kau baca soal cinta yang bebas dan kebebasan seksual. Benar kan? Iya, teruskan.

HELMUT


14

KERRY

Lalu mengapa kau berharap menemukan perawan di sini? Kau seorang cendekiawan psikologi, jadi itu mencurigakan.

HELMUT

Kau membuatku tampak sinting.

KERRY

Kita semua memang sinting. Kita semua sedang mencari surga yang tak pernah ada. Waktu aku datang, aku berharap tempat ini primitif, tempat terakhir di Pasifik yang akan dihajar westernisasi, namun apa yang kutemukan? Orang-orang pribumi pakai pakaian yang menutup hingga pergelangan kaki, feminis pemula dari ANU, dan tukang mabuk berambut palsu dari Stuttgart! (Kerry tergelak; Helmut menyadari gurauan itu dan ikut tertawa) Konyol, ya? Kita pikir surga adalah tempat, padahal itu. . . adalah situasi pikiran kita!

HELMUT

Aku takut menjadi tua, dan tidak mampu ereksi. Kerry, aku takut penisku lemah.

KERRY

Aku takut pada payudara yang kendur dan keriput di bawah mataku. Kau pikir kenapa aku menyumpali braku dengan kapas dan memoles wajahku dengan riasan! (Merekaberdua terkekeh. Helmut merangkul Kerry, namun ditolak dengan halus) Sudah larut, dan aku harus pulang. Terima kasih untuk minumannya.

HELMUT

Kumohon jangan pergi. Menginaplah di sini, bersamaku. Aku mohon...

KERRY

Kau mabuk, Helmut.

HELMUT

Aku tidak mabuk.

KERRY

Mabuk.

HELMUT

Kau bisa tidur di sebelahku. Aku janji tak akan menyentuhmu. Atau kau boleh tidur di ranjang, dan aku akan tidur di lantai.

KERRY

Tidurlah, Helmut. Kau sudah lelah seharian ini.

HELMUT

(Menggenggam tangan Kerry) Kumohon jangan pergi, aku ingin ditemani seseorang. Aku merasa sangat kesepian. (Mulai terisak) Tidak ada yang mencintaiku...

KERRY

Tidurlah, Helmut. Kita bertemu besok pagi.

HELMUT

Kau akan datang ke bandara?

KERRY

Kau tetap akan pergi besok?

HELMUT

Ya.

KERRY

Lalu Hina? Apakah ia akan pergi denganmu?


15

Dia istriku sekarang.

KERRY

Jelas. Baiklah, aku harus pulang. (Kerry melangkah ke arah pintu sementara Helmut mencoba peruntungannya sekali lagi)

HELMUT

Kerry...

KERRY

Ya?

HELMUT

Aku mencintaimu, Kerry.

KERRY

Kau bilang begitu hanya karena kau mabuk dan merasa kesepian. Besok pagi waktu kau sudah sadar, kau akan membenciku karena aku telah mendengar semua rahasiamu.

YURI FIRMEZA

HELMUT

HELMUT

Tidak akan. Meskipun pagi tiba, aku akan tetap mencintaimu. Kerry, tinggallah bersamaku malam ini. Masih ada rahasia lain yang ingin kuceritakan padamu. Aku mohon...

KERRY

(Tampak bimbang) Terima kasih atas tawarannya, Helmut, tapi aku belum seputus asa itu. Lagi pula, kurasa kau tidak akan bisa. . . ehm, lupakan. (Berhenti sejenak) Aku akan ke bandara besok. Selamat malam, Helmut! (Cepat-cepat keluar)

HELMUT

(Berbalik dan melihat baju tidur di atas ranjang. Ia memeluk baju tidur itu di dadanya lalu berbaring dan bergulung seperti janin. Sayup-sayup terdengar lagu kesukaannya) "It's just a little brown gal, in a little grass skirt, in a little grass shack. . ." (Blackout)

_______________________________ ¹ Orang asing ² Pakaian keseharian bangsa Polinesia, yang terdiri dari kain cawat atau rok dan dipakai baik oleh laki-laki maupun perempuan.

³ Daun ubi dan daging sapi kornet dimasak dengan santan


16

Sebuah Epilog Biennale Jogja XIV – Equator #4 – 2017 Perjumpaan Indonesia dan Brazil Berdasarkan wawancara dengan Pius Sigit Kuncoro yang dituliskan oleh Grace Samboh dan Maria Puspitasari Munthe.

Matinya Seekor Macan (Timoteus Anggawan Kusno) Dok: Arsip YBY

BJXIVtelah berakhir. Ruang utama pertemuan antara para perupa Indonesia dengan Brazil hadir dengan tajuk STAGE OF HOPELESSNESS. Dari 39 seniman peserta pameran utama ini, sebagian besar menghadirkan karya baru atau setidaknya mengolah ulang presentasi karya mereka seturut percakapanpercakapan yang berlangsung larut semasa persiapan pameran. Hal ini membedakan BJ XIV 2017 dari perhelatan biennale yang


17

DANIEL LIE

pada umumnya menghadirkan karya-karya lampau dengan pembacaan tematik. Saya justru membangun pamerannya dari pola pikir, cara kerja, dan praktik artistik para senimannya. Kemudian menata karyakarya tersebut berdasarkan perasaanperasaan yang mungkin muncul karena interaksi pengunjung dengan karya. Menggelar pameran seni akhir-akhir ini tidak lagi bisa meluputkan pengalaman terkait karakteristik pengunjung yang banyak dipengaruhi tumbuh pesatnya teknologi yang dengan mudah ada dalam genggaman tangan. Apa yang terjadi di ruang pamer Biennale Jogja XIV menunjukkan hal menarik. Begitu pengunjung mulai berdatangan, ruang pamer menjadi milik mereka. Para pengunjung ini mengambil alih apa yang tadinya dibayangkan sebagai ruang klinis tempat karya dihadirkan. Mereka bukan sekadar diam-diam menonton; mereka mengambil alih ruang pamer. Pengunjung bukan lagi sekadar statistik yang dinilai secara kuantitatif, tetapi telah menjadi subjek dalam ruang pamer. Mereka proaktif menyikapi ruang pamer dan segala isinya. Dulu, sebuah karya selesai ketika diberi bingkai, bidang, lalu ruang. Sekarang, tak bisa lagi kita tak mempertimbangkan para pengunjung dengan karakteristik seperti ini. Setelah teknologi kamera di ponsel pintar menjadi perpanjangan tubuh nyaris setiap orang, kini jadi lebih mudah untuk kita memeriksa apa yang mereka tangkap dalam ruang pamer. Mulai dari bagaimana mereka memotret (angle) sampai dengan apa yang ingin disampaikan (gestur tubuh, maupun caption). Ada beberapa contoh interaksi yang bisa saya bagikan. Pertama, dengan karya

Timoteus Anggawan Kusno¹. Senimannya sendiri menemukan foto kumpulan pengunjung bersamaan menonton karyanya: satu orang berada di bawah seakan diinjak, sementara yang lain berdiri bareng di sekitarnya. Dari foto itu, senimannya merasa pesan yang ia ingin bawa telah ditangkap oleh pengunjung. Ia bahkan membuat performance untuk merespons balik tanggapan itu. Contoh kedua, karya Farid Stevy Asta²; karya yang pertama kali dihadapi pengunjung saat memasuki ruang pamer. Tanpa bertanya-tanya soal gambar-gambar di tembok macam grafiti di jalanan itu, para pengunjung lekas berpose di depan coretan-coretan itu. Mereka bergantian saling memotret satu sama lain hingga akhirnya berfoto bersama di depan karya Farid. Sembari saling potret, mereka mulai membaca teks-teks yang ada di dinding. Dimulai dari teks berukuran besar, mungkin karena segera tampak dan jelas harus mereka pilih untuk jadi latar belakang potret. SKRIPSI TESIS 08990159150, TELAT HAID TELAT HAID, UMROH BARENG SELEB, SEX TOYS & OBAT PERANGSANG 08990159150. Teks-teks ini sebenarnya tidak asing dalam kehidupan kita, dengan mudah sehari-hari kita temukan di jalanan Kota Yogyakarta, dan rasanya juga di kota-kota lain di Indonesia. Beralih ke teks-teks yang berukuran lebih kecil, interaksi para pengunjung ditandai dengan kernyit dahi dan kikik geli. “Beda keyakinan. Akunya yakin, dianya enggak—Rafif Dwi PR.” “Gusti Alloh mboten Instagraman.”


18

“Dipaksa mesem pas foto—Ainur Richard” “Masih merah kurang sedetik udah diklakson—Afan WIC.” “Yang goblok situ, yang disalahin micin—Ibu Kens.” “Kuratore edan.” Satu dari rombongan pengunjung itu sempat berkomentar, “Eh, ini komennya si *** di Instagramnya si *** kan?” Salah satu dari mereka lekas mengarahkan ponsel, membuka aplikasi Instagram, memilih fitur Instastory, mengambil video teks tersebut, dan menyebutkan kedua akun temannya. Mereka tertawa sambil bertanya-tanya bagaimana komentar tersebut sampai ada di sana dan apakah kedua temannya itu tahu. “Ini karya siapa sih?” salah satu dari mereka bertanya. Tak sampai di sana, karya Farid bahkan sempat mendapat tudingan menyontek kutipan dari pihak lain.

"After All These Years" Parallel Event BJ XIV Ace House Collective Dok: Arsip YBY

Reaksi dan tanggapan para pengunjung ini terbilang di luar dugaan. Saya sendiri merasa kecolongan di bagian ini. Saya tidak tahu cara menghadapi pengunjung semacam ini. Pada praktiknya, ternyata interaksi yang lahir di sekitar mereka memungkinkan karya untuk jadi lebih berkembang. Lewat gestur ketika berinteraksi


19

Sangkakala dalam penutupan BJ XIV Dok: Arsip YBY

dengan karya, mereka tengah berkomentar tentang karya itu. Sewaktu merencanakan pameran, sama sekali tak terpikirkan bahwa pengunjung akan dengan “semena-mena” mengambil alih ruang tersebut. Suasana pameran menjadi lebih hidup. Dan mungkin bisa dibilang hanya karya Farid yang siap dengan keriuhan respons itu. Percobaan lain yang ternyata cukup menarik adalah tur tengah malam. Ternyata banyak peminatnya, ada 35 orang yang ikut serta dan mereka bertahan selama hampir tiga jam. Ruangan semuanya dibuat gelap, karya dinyalakan satu per satu. Narasi perjalanan mengelilingi ruang pamer larut malam ini sama saja sebenarnya dengan kunjungan di siang hari, namun ternyata latar waktu malam mendatangkan kesan yang lebih terasa. Selain itu, para pengunjung ini juga telah mempersiapkan diri. Mereka datang secara khusus, berkunjung ketika ruang pamer steril. Di tengah keramaian, sukar mungkin bagi penonton untuk mendekati karya secara intens dan bisa jadi sudah lupa karya apa saja yang dilewati. Sementara para peserta tur malam punya konsentrasi lebih, sebab mereka datang hanya untuk mengikuti tur ini.


20

Tur tengah malam itu juga mendatangkan pembacaan lain soal ragam situs di mana karya diperhadapkan dengan penontonnya. Karya Zico³, contohnya, lebih mengena ketika masih dibawa berjalan-jalan. Sebaliknya, ketika diposisikan dalam ruang pamer, banyak pengunjung menghindari masuk ke sana. “Nggak, aku nggak kuat masuk ruang itu,” salah seorang peserta tur tengah malam sempat bicara demikian. Ada kegagapan di ruang pamer. Karya Daniel Lie4 juga jadi salah satu ruang yang agak dihindari akibat bau yang menguar membuat para pengunjung tidak kuat bertahan. Tak hanya di ruang karya Zico, salah seorang pengunjung bahkan mengaku melihat sosok yang menari di sekitar karya Sangkakala 5. Setelah itu ia berlari menuju karya Zico untuk memastikan apakah sosok yang dilihatnya itu sama. Ternyata ada hal-hal lain yang muncul lewat prakondisi interaksi yang diatur sedikit berbeda.

Pembukaan Festival Equator BJ XIV 2017 Dok: Arsip YBY

Di luar interaksi langsung dengan karya dan segala bentuk respons pengunjung itu, saya sendiri memperhatikan bahwa bagi sebagian pengunjung, ruang pamer di Jogja National Museum menjelang penghujung tahun kemarin itu adalah pameran seni pertama yang mereka kunjungi. Kebanyakan datang dari luar Yogyakarta dan tinggal untuk kuliah. Sempat kami bertanya apakah mereka juga mengunjungi ArtJog. Ternyata mereka malah balik bertanya, “Apa itu ArtJog?” Respons ini cukup mengagetkan karena kami sendiri berpikir mereka adalah bagian dari pengunjung ArtJog. Kami jadi sadar, sebelumnya kami berasumsi bahwa ketertarikan para pengunjung ini bermula dari jenis pameran seni rupa yang cenderung berbasis objek yang ditata dengan pencahayaan terang-benderang.Sementara itu, sebagian kelompok pengunjung yang lain mendatangi pameran ini berulang kali, bahkan 4 hingga 6 kali. Tentu terlalu pagi buat kita menilai bahwa mereka datang


21

“sekadar” untuk berswafoto. Tidak, buat saya, pasti ada yang mendorong mereka, jadi kehendak mereka. Nah, apakah kehendaknya itu? Saya pikir jawaban inilah yang perlu kita ketahui ke depannya. Kehadiran para pengunjung, interaksi dengan pameran, dan cara mereka mengartikulasikan ulang kesan itu lewat media sosial adalah hal lain yang menarik perhatian saya. Ternyata ada perubahan formasi relasi orang melalui media sosial. Misalnya, ada banyak perhatian tercurah pada orang yang aktif membagikan sesuatu. Metode ini ternyata lebih masif dalam menyebarkan informasi tentang hal-hal baru. Pada kasus Biennale Jogja XIV, bisa jadi faktor inilah yang mendorong orang datang. Memang ada beberapa selebritas yang hadir, tapi pengunjung yang lain datang bukan karena alasan itu. Apa yang ditangkap oleh pengunjung adalah rupa. Sensasi atas rupa. Sesuatu yang berbentuk. Mereka menangkap bentuknya dan bukan sesuatu yang tidak tampak. Sebaliknya, ketika mereka mengartikulasikan ulang pengalaman itu, misalnya lewat berfoto, mereka malah menangkap apa yang tidak tampak. Tapi, memang “tangkapan” itu amat terbatas sebab tidak bisa kita konfirmasi. Pada akhirnya, penilaian suka dan tidak sukalah yang menetukan (misalnya lewat likes pada kiriman di media sosial). Kini, infrastruktur pikiran, informasi, relasi kita disusun oleh media sosial. Dan kita tak bisa menolak itu. Maka, kita harus bisa menerima mereka (pengunjung, red.) sebagai subjek, dan bukan lagi sekadar objek penikmat. Mereka bisa mengambil alih pameran. Jangan sampai kita gagap berhadapan dengan itu semua. Setelah diperlakukan demikian oleh para pengunjung, sebenarnya ada banyak senjata yang bisa dipakai para seniman untuk bereaksi balik. Kalau saja sejak awal dipersiapkan, mungkin akan jadi lebih menarik. Akan tetapi, satu hal perlu diingat, apa yang disuguhkan pameran ini, terlepas dari seberapa riuh ia bekerja dan dibicarakan di tataran daring, bukanlah sesuatu yang virtual. Ia tetap rupa pada intinya. _______________________________ ¹ Matinya Seekor Macan (The Death of a Tiger) ² Habis Gelap Terbitlah Curhat ³ Doa Ibu Sepanjang Zaman 4 Entre a benção e a maldição (Between a Bless and a Curse) 5 Show Must Go On


22

SAMPAI J BIENNALE JOGJ


23

Potret Dodo Hartoko Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta

JUMPA DI JA BERIKUTNYA


24

Artikulasi ulang pengalaman mengokupasi ruang pamer oleh para pengunjung Biennale Jogja XIV Equator #4 lewat caption kiriman di Instagram.

“Rampokan Macan/Rampok Macan/Rampog Macan adalah sebuah tradisi yang lekat deng an sisi kelam nasib pa ra Harimau Jawa di masa lalu yang harus meregang nyaw a di ujung tombak da lam pertunjukkan te rbuka yang digelar ka la perayaan hari ra ya “Bakda” di Tana h Jawa. Karya mas Tim oteus menjadi penging at bahwa ritual ke jam seperti Rampoka n Macan di masa lalu ternyata memilik i kesamaan deng an tindakan yang dil akukan oleh para oknu m masyarakat saat ini terhadap merek a yang berbeda dan terpinggirkan.” -@voselinda

“TATTO MERDEKA Tersandung Masa Puber Installation Mixed Media Variable Dimension 2017 *Use Your Flash* Di dalamnya akan sangat gelap. Tanpa cahaya kamu hanya akan mendengar gemericik air dan bunyi lonceng. Tanpa cahaya kamu hanya akan menebak-nebak coretan pada tubuh keempat dinding hitam itu. Kamu harus menggunakan cahaya untuk menelusuri tubuh anak kecil yang meringkuk di dalam perahu. Tubuh yang tergenang air dari pancuran bambu di hulu perahu. Pancuran itu menjungkat dan menjungkit menyentuh lonceng dan membuatnya berdentang. Dentang dan gemericik mengantarkanmu menelusuri dinding yang berkisah tentang tempat bermain anak-anak yang dijarah, mimpi-mimpi mereka yang dibunuh, dan kisah-kisah yang dilupakan.” -@aisaisyah97

“Spot bagus Angle bagus Pose bagus Tapi sayang tangan ngeblur” -- @aninditafh


25

“Lagi selo ngendaki pamerane @biennalejogja mergo kepangan wektu mbutgawe. ndelok karya orek-orekane mas @faridstevy ealahalah kok jebule ono kutipanku sing rodok ndangdut @berieroots_

“Mengingatkanku pada masa kecil yang sangat bebas berekspresi dengan otakku. menggambar sesukaku. mengolah bentuk sesuai dengan kehendakku tanpa memikirkan prinsip, unsur dan proporsi rupa yang tak jarang membatasiku berbuat semauku. “Matahari Kuning” Painting Artwork by Yunizar” -- @nana_mardina

“Ikut ikutan abstract” -- @hariyawanrizal

“Geser >>> Saya aja udah bolak balik ke @biennalejogja Masa kamu belum. Sampai tgl 10 Desember. Di JNM gas ya gas.” -- @davidrakva

“[Let's make some art!] Sengaja milih kaos ini ke pameran seni” -- @christoperpd

“Halah bu llshit!” -- @sidhik

harifi

IV” aleJogjaX di #Bienn i s la ta s in “menjadi ravala -- @dicak

ni, sehingga g penikmat se “jadilah seoran at hidup ih el m k iasa untu diri anda terb t-sudut yang anda dari sudu -sebuah seni.” ya nn menjadika a @d.ayuandin riyawanrizal stract” -- @ha “Ikut ikutan ab

-“Berasa jadi avatar gitu~.” @adininggaar


26

ANGKAT SAUH MENUJU PASIFIK Dok: Yustina Neni


27

BACAAN (TERPILIH): Menuju Kepulauan Kedai Kebun Forum, 20 April – 14 Mei 2018

Dok: Julian “Togar” Abraham

Tim riset Simposium Khatulistiwa mulai melakukan sosialisasi topiktopik yang akan diangkat dalam SK 2018 mendatang. Salah satu caranya adalah menyajikan sejumlah bacaan terpilih bersama dengan hasil pemetaan kata-kata kunci dalam melihat dua kawasan pada waktu yang bersamaan: Nusantara dan Pasifik. Artikel ini memuat dua (dari lima) arah eksplorasi topik SK 2018. Dalam ruang baca SK di KKF itu, ada lebih dari 60 naskah yang diulas oleh tim riset SK 2018 yang beranggotakan Anton Rais Makoginta, Arham Rachman, dan Muhammad AB. Membagikan bacaan-bacaan ini kepada publik seni adalah sebentuk upaya


28

untuk melibatkan lebih banyak orang lagi dalam proses penyelenggaraan SK dan juga Biennale Jogja yang selanjutnya menuju ke kawasan Pasifik.

yang masih di tanah air satu dekade setelah kemerdekaan; kebijakan ekonomi Suharto trickle down pada 1980-an; dan sekarang, dua dekade setelah Reformasi.

WAWASAN NUSANTARA: RUTE KEKERABATAN “There is no originary place, no roots, only routes.” Kalimat ini sebenarnya ditemukan dalam salah satu bacaan mengenai pendidikan di kawasan Pasifik. Namun, kalimat ini juga mewakili pandangan kami sejauh ini mengenai kekerabatan yang tidak hanya terbatas pada persaudaraan darah dan juga perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Bentuk hubungan antarmanusia menjadi titik awal kami memandang. Setidaknya, jenis-jenis hubungan yang kami amati ini tercipta karena perdagangan, pertukaran kebutuhan, pernikahan, maupun kesamaan selera atau cara bertahan hidup.

Kami ingin memaknai kekerabatan sebagai sesuatu yang lebih luas dari sekadar hubungan darah atau kekeluargaan secara langsung. Kami ingin menganggap jenis-jenis hubungan antarmanusia dan antarkelompok berdasarkan macam-macam asosiasi yang diciptakan mereka sendiri dengan beragam alasannya. Walaupun topik ini rentan terjebak pada persoalan sentimen etnik, tetapi kami ingin mengungkapnya dengan landasan berpikir bahwa kami adalah sesama manusia penghuni planet bumi yang hidup di Nusantara ini.

Melalui topik ini, kami ingin menengarai bagaimana hubungan antarmanusia ini dibangun, dijaga, sekaligus diwariskan di berbagai tempat di Nusantara. Hal ini berhubungan langsung (dan juga tidak) dengan soal-soal migrasi, transmigrasi, relokasi, hubungan antaretnik, kepemilikan tanah, hubungan kelompok (asosiasi, paguyuban, paseduluran, dsb.), beserta segala dinamikanya dari masa ke masa. Selain itu, secara khusus, kami ingin melihat bagaimana barang (baik dagangan maupun bukan) dan pengetahuan setempat dibawa serta disebarkan oleh para manusia yang berpindah(-pindah) ini. Perhatian kami berpusat pada beberapa rentang waktu dan konteks sosial politiknya, yaitu ragam pemahaman atas kemerdekaan dan reaksi manusia Indonesia terhadap para penjajah

WAWASAN PASIFIK: ANTARA MILITER DAN INDUSTRI PARIWISATA Imajinasi umum tentang gugusan Kepulauan Pasifik adalah hamparan pantai berpasir putih, nyiur melambai, serta para penduduk asli yang perkasa, dan cara hidup yang seiring dengan alam. Bayangan-bayangan ini kebanyakan merupakan reproduksi budaya populer seperti film, citraan lukisan atau fotografi, serta novel atau catatan perjalanan yang tersebar mula-mula di Eropa dan Amerika dan kemudian ke seluruh dunia. Citraancitraan tersebut berakar pada proses kolonisasi Kepulauan Pasifik oleh negaranegara Eropa dan Amerika. Di balik keindahan alam dan kemolekan tubuh Pasifik, ada soal lain dalam melihat Pasifik. Persoalan tersebut adalah budaya militer atau budaya perang. Sejak Perang Dunia II sampai dengan tahun 1990-an, beberapa wilayah Pasifik menjadi situs uji coba senjata nuklir oleh


29

negara seperti Prancis dan Amerika. Bersamaan dengan periode tersebut, pulau-pulau yang digunakan sebagai tempat uji coba senjata harus dikosongkan dan penduduknya dipindahkan secara paksa ke pulau lain. Teresa Teaiwa mengurai bahwa salah pulau Pasifik yang digunakan untuk uji coba senjata nuklir adalah Pulau Bikini Atoll (atau Pulau Bikini saja) pada tahun 1946. Pulau ini merupakan bagian dari Republik Kepulauan Marshall yang berasosiasi dengan Amerika Serikat. Pada tahun yang sama, desainer busana Prancis Louis Reard meluncurkan baju renang dua potong, yang kemudian disebut sebagai “bikini”. Bikini segera menjadi tren di Eropa. Teresa Teaiwa mengamati dua peristiwa sejarah yang terjadi di tahun yang sama, di Pasifik dan di Eropa; meski tidak secara langsung berkaitan, kedua peristiwa tersebut dibaca dengan kritis atas persepsi Dunia Barat kepada Pasifik. Pada lapis pertama pembacaan, wilayah Pasifik ditempatkan sebagai wilayah yang “primitif” dengan perempuan yang masih murni dan “terbuka”. Catatan-catatan mengenai kekagumana pada kemolekan tubuh perempuan Pasifik telah muncul dalam catatan

Dok: Julian “Togar” Abraham


30

perjalanan orang-orang Eropa di Pasifik sejak abad ke-17 dan 18. Misi Kristen telah memengaruhi dan mengubah cara penduduk Pasifik berbusana sejak abad ke-19 dan 20. Keterbukaan dan kemolekan tubuh Pasifik kemudian diambil sebagai industri budaya populer dalam kaitannya dengan pariwisata dengan memperkenalkan bikini, dengan citraan wanita-wanita kulit putih yang sedang berada di pantai di wilayah Pasifik bersanding dengan para penduduk Pasifik yang memakai pakaian lengkap. Citraancitraan yang serupa maupun dengan beragam varian lain terus-menerus diproduksi dan direproduksi baik untuk industri pariwisata maupun bermacam produk industri yang lain. Pada lapis pembacaan kedua, hampir tidak ada yang mengetahui bahwa Pulau Bikini adalah tempat uji coba nuklir Amerika yang pertama setelah bom nuklir Hiroshima dan Nagasaki. Di saat yang bersamaan dengan menjadi populernya bikini sebagai tren busana, penduduk Pulau Bikini “dipaksa” untuk kehilangan tempat tinggalnya. Selama beberapa puluh tahun wilayah ini menjadi situs uji coba nuklir oleh Amerika; lalu menyusul Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina yang juga melakukan uji coba nuklir di wilayah Pasifik lain dengan beragam metode. Para penduduk Pasifik tidak bisa menyatakan pendapatnya atau melawan uji coba tersebut, mereka hanya bisa menerima dan, jika harus, menyerahkan tempat tinggalnya untuk pindah ke pulau lain yang diizinkan. Hal ini tidak pernah muncul dalam narasi atau citraan budaya populer dalam menggambarkan Pasifik sebagai “surga”. Dalam narasi serta citraan budaya populer tersebut Pasifik digambarkan dengan keseragaman tanpa

memperhitungkan perbedaan wilayah satu dengan lainnya. Dari dua lapis pembacaan awal tersebut, masih harus dicari lagi bacaan-bacaan yang melengkapi keterkaitan antara merebaknya citraan Pasifik sebagai surga industri pariwisata dan pemanfaatan Pasifik sebagai tempat uji coba nuklir. Setidaknya ada beberapa pertanyaan lanjutan dari uraian di atas. Apakah sindrom “eksplorasi wisata” merupakan wabah yang terjadi pada negara bekas-bekas jajahan? Bagaimana operasi militer/tindakan militer/eksploitasi alam mendukung terbentuknya wilayah pariwisata eksotik yang nyaman dan aman bagi para pelancong? Ataukah sebaliknya, pariwisata dan citraan tubuh eksotik yang terbuka dan bahagia merupakan kelambu penutup bagi realitas eksploitasi/tindakan militer/operasi militer? Di manakah posisi para penduduk setempat di pusaran arus pariwisata? Kita juga dapat melangkah lebih jauh lagi untuk berbicara tentang keterkaitan antara meroketnya pariwisata dan ekonomi liberal dengan citraan tubuh perempuan berada di garis depan kampanye lokasi-lokasi wisata setelah Perang Dunia II, serta usaha menstabilkan gejolak politik atas isu-isu ketidakadilan sosial pada tataran yang lebih luas.


31

BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

YAYASAN

YOGYAKARTA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.