BERDIKARI

Page 1

ISSN: 9772442302141

THE EQUATOR Volume 6/ No. 2 April - Juni 2018 Terbitan triwulan | GRATIS Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta

BERDIKARI 9

7 7 2 4 4 2 3 0 21 4 1


PENGANTAR REDAKSI Salam hangat para pembaca yang budiman! Sudah menjadi harapan Bung Karno beserta para pejuang revolusi bahwa bangsa kita harus menjadi bangsa yang 'berdikari', berdiri di atas kaki sendiri. Tepat pada 17 Agustus 1965 ia menyampaikan pidatonya dengan judul Tjapailah Bintang-bintang di Langit (Tahun Berdikari). Sebuah pidato yang menyuarakan ajakan berjuang dalam kedaulatan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Tak hanya berhenti sebagai kisah sejarah bangsa Indonesia, harapan dan usaha kemandirian ini tetap relevan dan perlu untuk dipersoalkan di masa sekarang. Sebagai corong media Simposium Khatulistiwa, The Equator edisi ini mencoba mengangkat tema Berdikari dalam kaitannya dengan Nusantara dan Pasifik. Fenomena perpindahan manusia beserta nilai-nilai yang menyertainya, isu pariwisata, dan posisi kesenian di dalamnya menjadi komponen-komponen yang ditawarkan kepada publik. Ada lima tulisan yang dimuat di dalam edisi ini. Pertama adalah undangan kepada para cendekia untuk membagikan pandangannya perihal isu berdikari melalui esai yang akan dipresentasikan di Simposium Khatulistiwa 2018. Kedua, sosialisasi topik SK berdasarkan pembacaan tim riset atas beberapa pilihan bacaan. Ketiga, serangkaian diskusi tim SK sebagai bagian dari sosialisasi topik. Isu perpindahan manusia, kekerabatan, perempuan, pariwisata, dan kesenian diwacanakan melalui sosialisasi topik tersebut. Keempat, tulisan mengenai peluncuran senarai pameran tunggal sebagai salah satu wujud kerja sama SK dengan beberapa seniman. Dan kelima, penggalan teks pidato Bung Karno yang berjudul Tjapailah Bintang-bintang di Langit (Tahun Berdikari) sebagai spirit pengingat kita untuk terus merefleksikan posisi sebagai bangsa dan negara yang berdaulat. Dengan ini Tim Simposium Khatulistiwa 2018 mencoba menawarkan beberapa kemungkinan wacana untuk mengurai secara lebih dalam ragam kehendak atas kemandirian Nusantara, yang tidak akan pernah lepas dari dinamika Pasifik. Akhir kata, selamat membaca! Salam, Redaksi.

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org April - Juni 2018, 1000 exp Penanggung jawab: Enin Supriyanto Redaktur Pelaksana: Krisnawan Wisnu A. Kontributor: Tim Simposium Khatulistiwa Fotografi: Yudha Kesuma Putra “Fehung”, Ratna Mufida


DAFTAR ISI

Foto sampul: M. Irfan “Rekreasi itu Menyehatkan” Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala,

4|

Panggilan Terbuka Simposium Khatulistiwa 2018 BERDIRI DI ATAS KAKI SENDIRI? Seni bermasyarakat dalam mengarungi tantangan kehidupan hari ini

7|

Sepilih Bacaan Menuju Simposium Khatulistiwa 2018 (Anton R. Makoginta, Arham Rahman, Muhammad AB)

15|

Serangkaian Kelompok Diskusi Terarah Eksplorasi Penjelajahan Gagasan untuk Simposium Khatulistiwa 2018 (Krisnawan Wisnu Adi)

22|

Mengumumkan Senarai Pameran Tunggal 2018 (Enin Supriyanto, Grace Samboh, Ratna Mufida, Yustina Neni)

26|

Penggalan pidato Soekarno “CAPAILAH BINTANG-BINTANG DI LANGIT” (TAHUN BERDIKARI) 17 Agustus 1965

32|

PENGUMUMAN KELEMBAGAAN YBY (Yayasan Biennale Yogyakarta)

Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, FSR ISI, In-co pro, PKKH UGM, Tirana Art House & Kitchen

Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Yayasan Makasar Biennale

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

Yayasan Biennale Yogyakarta mengundang para akademisi muda dari berbagai latar belakang disiplin ilmu (sains, eknologi, ilmu ilmu sosial, kajian seni dan budaya, dll.) untuk mengajukan usulan naskah esai yang akan dipresentasikan di dalam salah satu forum Simposium Khatulistiwa 2018. SIMPOSIUM KHATULISTIWA 2018 17 – 18 November 2018

BERDIRI DI ATAS KAKI SENDIRI? Seni bermasyarakat dalam mengarungi tantangan kehidupan hari ini Kedigdayaan Samudra Pasifik sebenarnya tak terhindarkan. Bagaimanapun juga, pusar bumi berada di sana. Oleh karena itulah sampah-sampah yang telah kita buang ke laut berakhir di sana. Samudra Pasifik adalah laut terbesar dan terdalam di dunia. Luasnya sepertiga planet bumi dan daratan di kawasan ini hanyalah seluas 10%. Negara-negara di Samudra Pasifik kebanyakan adalah negara-pulau (seperti Fiji, Kiribati, Nauru, Marshall, Palau, Samoa, Solomon, Tonga, Tuvalu, Vanuatu) atau negara kepulauan (seperti Indonesia, Filipina, Selandia Baru, dan Jepang). Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan hanya 30% dari wilayahnya adalah daratan! Baik di nusantara maupun di Kawasan Pasifik, kehidupan manusia dikelilingi air. Laut adalah penghubung manusia di kawasan ini serta beragam kekayaan alam dan budayanya. Gunung berapi, baik yang tampak maupun yang berada di bawah laut, adalah agen perubahan di kawasan ini. Apakah kita telah mengenali kekayaan kita sendiri di kawasan ini? Apa yang telah kita perbuat atas kekayaan ini? Apakah kita mengeksploitasinya? Sudahkah kita menjadi berdaya bersama dengannya? Istilah BERDIKARI (berdiri di atas kaki sendiri) diciptakan Sukarno dalam konteks pembangunan ekonomi rakyat Indonesia. Sukarno ingin menjadikan 'kekuatan sendiri', baik sumber daya alam maupun manusia, sebagai landasan utama pembangunan ekonomi. Artinya, pemerintah dan rakyat mesti bersama-sama


5

memaksimalkan apa yang menjadi milik negara dengan beragam ketekunan, penemuan, dan kerja sama. Tujuannya adalah kesejahteraan masyarakat dan ketidak-tergantungan akan 'si asing'. Si asing ini tidak hanya merujuk pada manusianya, tetapi juga kepandaian, modal, serta kepentingannya. Apakah masyarakat telah berdaya? Telah mandiri? Apakah keberdayaan dan kemandirian berarti kita tidak butuh satu sama lain? Apakah kita telah menjadi setara? Bagaimanakah kesetaraan dimaknai dan dijalankan dalam kehidupan demokrasi hari ini? Kami menggunakan lagi istilah BERDIKARI untuk membongkar perihal kemandirian dan ketergantungan dalam kehidupan hari ini, beserta segala tantangannya. Kami percaya bahwa kehidupan bermasyarakat di sepanjang garis khatulistiwa, dengan ragam konteks sosial-politiknya, memiliki kehendak atas kemandirian. SK 2018 ingin mengungkap bagaimana ragam kehendak atas kemandirian ini dijalani, disiasati, dan terus dinegosiasikan seiring dengan tantangan kehidupan hari ini. Baik sehubungan dengan perekonomian global, perubahan iklim dan segala konsekuensinya terhadap sumber daya alam, perkembangan moda hubungan timbal-balik antar manusia, peranan teknologi dalam kehidupan pribadi dan publik, dlsb. Kami berharap bahwa kajian dan paparan dari kaum cendekia/akademisi dapat menjadi artikulasi bagi dinamika sosial dan keberadaan ruang-ruang hidup ini, sekaligus membuka peluang bagi kita semua untuk mewacanakannya secara terbuka dan kritis.

TOPIK UTAMA Budaya kelautan dan bahari Ekonomi kemasyarakatan Perkembangan wilayah (desa, kota, kawasan) Kepercayaan diri dan keberdayaan sosial Perpindahan manusia dan nilainilai yang dibawanya Tegangan, krisis, negosiasi, dan toleransi antar orang dan orang banyak Keberlangsungan sumber daya (manusia, alam, pengetahuan) Etika, estetika, dan politik KATA-KATA KUNCI MENUJU TEMA SK 2018 Budaya kelautan dan perairan di nusantara sehubungan dengan “Maritim-Depok”, Kebijakan Kelautan oleh Presiden Jokowi yang bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Apa visi dan strategi Indonesia dalam Kawasan Pasifik yang didominasi oleh laut? Pada 2017, salah satu penemuan ilmiah terbesar adalah sebuah benua baru di dasar Samudera Pasifik. Tepatnya di dasar lautan Selandia Baru sampai dengan Kaledonia Baru. Benua “baru” ini konon terkubur di bawah laut semenjak 75 juta tahun lalu. Luas area benua Zealandia ini 5 juta kilometer persegi, dan 94%-nya berada di bawah laut. Arah perjalanan yang akan ditempuh Biennale Jogja XV 2019 – Biennale Khatulistiwa #5 adalah Kawasan Pasifik. Untuk itu, SK 2018 akan mulai mengungkap ragam kearifan budaya di kawasan ini.


6

-

-

-

Implikasi kebijakan-kebijakan politik kerja sama antar negara terkini. Antara lain: BREXIT; Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) serta mitra dagangnya (Cina, India, Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea); pembangunan One Belt One Road yang mengikuti Jalur Sutra (Cina, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, Asia Barat, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa Timur); dan bergantinya suara perwakilan Kawasan Pasifik di PBB (dari Pasific Islands Forum (PIF) menjadi Pasific Small Islands Developing States (PSID) yang mengecualikan Australia dan Selandia Baru). Pergeseran etika bermasyarakat sehubungan dengan perkembangan teknologi media; kapitalisasi yang dilakukan oleh pemerintah; politisasi ras, etnik, agama, dan gender; dlsb. Keberpihakan demokrasi pada kemanusiaan seturut dengan senarai persoalan serba giris yang mengisi alaf baru ini. Parlemen dan pemilu, unsur demokrasi yang dipuja sebagai bentuk perwujudan kehendak rakyat, kini terbukti bisa terpiuh dan terseleweng arahnya, membokongi demokrasi itu sendiri. Lihat saja beragam kehebohan gara-gara Donald Trump menjadi Presiden di A.S.; Erdogan di Turki yang memanfaatkan kudeta dadakan sebagai alasan untuk memberantas lawan politiknya, baik yang benar-benar musuh ataupun yang dianggap pesaing; Duterte di Manila yang

membiarkan pembunuhan antar warga dengan alasan pemberantasan narkoba; kepemimpinan militer yang tak kunjung usai di Thailand; pemberantasan etnis Rohingya di Myanmar; pelarian etnis Hazara dari Afganistan; dlsb. SYARAT DAN CARA Minimal sedang menempuh pendidikan S2 atau sudah lulus, dari bidang sains, teknologi, ilmu-ilmu sosial, kajian seni dan budaya, dll. Unduh dan isi formulir Panggilan Terbuka SK 2016 kami dari www.equatorsymposium.org Kirimkan formulir yang telah diisi beserta usulan esai Anda (maks. 500 kata) dan (min. 2) esai Anda yang telah diterbitkan ke reach(at)equatorsymposium(dot) org Batas waktu penerimaan usulan esai adalah: 31 Juli 2018 Pengumuman pilihan panggilan terbuka adalah: 20 Agustus 2018

INFORMASI LE Simposium K BIH LANJUT hatulistiwa // Yayasan Biennale Yogy akarta Bienn ale c/o. Jl. Sriwed ani 1, Yogyak arta, Indonesia [telpon] +62 274 587712 [surel] reach@ equatorsympo sium.org [situs] www.e quatorsympo sium.org [kontak] Ratna Mufida +628 17277679


7

Sepilih Bacaan Menuju Simposium Khatulistiwa 2018 Oleh Arham Rahman, Anton Rais Makoginta, Grace Samboh, Muhammad AB (Tim Riset Simposium Khatulistiwa 2018)

Chandra Jayawardena Dok: culturematters. wordpress.com Greg Acciaioli Dok: conference.tasa.org Sampul buku The Postcolonial Museum-The Arts of Memory and the Pressures of History Dok: books.google.com

Chandra Jayawardena, 1977 “Women and Kinship in Aceh Besar, Northern Sumatra” Ethnology, Vol. 16, No. 1 (Jan., 1977), pp. 21-38 Pennsylvania, Amerika Serikat: University of Pittsburgh Dalam studi klasiknya tentang orang Aceh, seorang ahli Islam Belanda, Snouck Hurgronje (I906: I, 44), menduga bahwa sistem kekerabatan orang Aceh telah diturunkan dari sistem matrilineal. Dia tidak menekankan hal itu karena dia mengakui bahwa ada ciriciri kekerabatan Aceh yang tidak tetap dengan proposisi semacam itu, dan melanjutkan untuk mendiskusikan ciri-ciri patrilineal yang sebagian berasal dari Islam. Dugaan umumnya adalah prevalensi umum, bahkan universalitas dekat Aceh Besar dan Aceh Pidie, tempat tinggal informal dan kepemilikan sumber daya produktif utama oleh perempuan, dengan konsekuensi bahwa banyak lakilaki bekerja di sawah yang dimiliki oleh istri mereka. Snouck Hurgronje mengarahkan perhatian pada aspek-aspek ini karena ketidakcocokan sistem kekerabatan mereka dengan Islam tentang keturunan dan warisan. Snouk menarik perhatian pada tetangganya Aceh—martilineal Minangkabau. Pada saat yang sama ada kelaziman bahwa orang-orang Aceh mengklaim bahwa mereka adalah Muslim terbesar dan utama di kepulauan Sumatra,


8

bahwa mereka adalah patrilineal seperti orang-orang Arab. Beberapa penekanan keturunan patrilineal dan pewarisan secara resmi diakui dengan cara Islam dan pengadilan muslim. Preferensi untuk menikah dengan sepupu tidak dianggap sebagai kebiasaan; itu bukan adat. Sebaliknya, kadang-kadang dikatakan sebagai hal yang masuk akal untuk dilakukan. Beberapa orang mengatakan bahwa seseorang harus menikahi keluarga karena mereka dan cara hidup mereka diketahui; tetapi ada orang lain yang mengatakan bahwa itu bodoh untuk dilakukan karena perpecahan bisa terjadi jika pernikahannya putus. Alasan lain adalah menjaga properti di dalam keluarga. Baik sepupu ibu dan ayah adalah pasangan yang diizinkan, meskipun statistik menunjukkan bahwa pernikahan jauh lebih sering dengan sepupu matrilateral daripada dengan sepupu patrilateral. Alasan mengapa hubungan kekerabatan Aceh tanpa konflik adalah bahwa kegiatankegiatan yang biasanya digolongkan ke dalam kekerabatan didasarkan pada bidang kegiatan yang relatif otonom yang diberikan pada perempuan. Pola ini akan memusatkan perhatian pada perempuan. Dalam upacara pernikahan, laki-laki hanya diperlukan untuk memulai proses secara resmi. Kontraposisi antara laki-laki dan perempuan terkait dengan pembagian kerja. Namun pembagian itu tidak begitu tajam sehingga laki-laki boleh bekerja di sawah dan perempuan melakukan perdagangan dan merawat ternak. Pada saat ini, politik kekerabatan Aceh adalah pelestarian laki-laki, meskipun sistem ini memungkinkan masuknya

perempuan ke bidang ini. Pada zaman prakolonial, Aceh diperintah untuk waktu yang lama oleh sultan perempuan. Berbagai posisi penting dalam politik, seperti laksamana armada sultan (laksamana), dan kepala desa setempat (uleebalang), sering diduduki oleh perempuan. Selama perang dengan Belanda, seorang wanita, Tjut Nja 'Din, memimpin pasukan ke medan pertempuran. Dukungan dan kerja sama aktif perempuan sangat penting dalam pemberontakan Darul Islam di Aceh pada tahun 1953-6I. Peran wanita dalam kehidupan publik telah dirangkum secara ringkas oleh Snouck Hurgronje (I906: I, 37I). Peran perempuan yang lebih krusial mengendalikan sektor ekonomi. Prinsip penting dari "kekerabatan" di Aceh bukanlah bahwa itu "matrifocal," betapapun ikatan ibu-anak dapat menimbulkan kekuatan sendiri dalam semua sistem kekerabatan. Prinsip utamanya adalah benar-benar bukan "milik" kekerabatan sama sekali tetapi terletak di luarnya. Itu adalah keberadaan dan kekuatan kelompok perempuan yang dapat berfungsi secara independen dari peran yang dialokasikan mereka sebagai anak perempuan, saudara perempuan, istri, dan ibu. Status perempuan yang autonom, mengendalikan dan menghancurkan sumber daya mereka sendiri, adalah prinsip menggabungkan aspek-aspek sistem kekerabatan yang kita bedakan sebagai patrilineal, matrilineal, dan bilateral. Carol S. Ivory, 1999 “Art, Tourism, and Cultural Revival in the Marquesas Islands” Unpacking Culture: Art and


9

Commidity in Postcolonial Worlds (penyunting Ruth B. Philips & Christopher B. Steiner) California, Amerika Serikat: University of California Press Kepulauan Marquesas adalah bagian dari Wilayah administratif Perancis Polynesia di Samudera Pasifik. Kepulauan Marquesas dikenal sebagai wilayah pariwisata karena keindahan alamnya. Para warga Marquesas terkemuka karena keahlian mereka dalam membuat tato, dan kegemaran mereka membuat tato di tubuh. Selain itu mereka juga pengrajin ukiran yang unggul di media kayu, tulang, batu, dan gading. Karena letaknya yang berada di tengah Samudera Pasifik, ekspedisiekspedisi Eropa awal telah mengunjungi Marquesas, namun transaksi dan pertukaran barang pertama mulai dikenal ketika ekspedisi James Cook sempat mampir selama “empat hari” di wilayah ini pada sekitar tahun 1744. Mulai saat itu komoditi barang-barang ukiran dari Marquesas mulai dikenal luas. Dalam artikel ini diuraikan bagaimana artefak-artefak yang dikoleksi pada periode sampai dengan 1880 merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Marquesas, mempunyai nilai sakral dalam ritual, dan dibuat dengan bentuk yang sederhana. Penulis menggarisbawahi satudua temuan yang ukirannya menggambarkan motif yang berbeda dengan artefak-artefak lain, dan dengan gaya yang realistik, sehingga si penulis menyimpulkan bahwa sebelum periode 1880 para pengrajin Marquesas mulai mengenal produksi karyanya sebagai barang dagangan untuk turis-turis dari Eropa.

Mulai tahun 1880 beberapa perusahaan mulai membuka jalur pelayaran di Marquesas, jalur pelayaran ini menghubungkan Marquesas dengan Amerika dan juga dengan Eropa. Pada periode awal pembukaan jalur ini konsentrasinya lebih pada angkutan barang dagangan, dan belum banyak wisatawan. Pengaruh pembukaan jalur pelayaran ini adalah munculnya jenis produk-produk ukiran yang baru misalnya mangkuk bergaya Eropa dengan ukiran motif tato Marquesas di bagian luarnya, miniatur kano khas Marquesas. Produkproduk ini tidak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau ritual masyarakat, melainkan sengaja dibuat sebagai barang dagangan untuk orang luar. Uniknya ilmuwan-ilmuwan yang datang pada abad ke-20 memperkirakan bahwa mangkuk-mangkuk produksi Marquesas tersebut diperkirakan sebagai produk penting yang telah berabad-abad diproduksi oleh penduduk Marquesas. Pada kenyataannya tidak ada satu museum di Eropa yang menyimpan koleksi mangkok dengan motif ukiran yang sama sebelum tahun 1850. Catatan-catatan dan koleksi kelompok ilmuwan ini kemudian dibukukan dengan judul L'art des Iles œMarquisas diterbitkan pada tahun 1920an untuk para pembaca di Eropa. Menariknya pada tahun 1950-an buku ini sampai di Marquesas dan kemudian digunakan oleh para pengrajin sebagai panduan bentuk-bentuk ukiran dan motif untuk macam-macam benda yang mereka produksi. Para pengrajin akan dengan bangga menawarkan barangnya yang “persis seperti di buku.”


10

Perkembangan pariwisata di Tahiti, wilayah yang berdekatan dengan Marquesas, melaju berkat adanya bandara yang artinya ada penambahan jumlah wisatawan mulai tahun 1960-an. Pada 1990-an wilayah Marquesas semakin populer karena adanya kapal feri ukuran besar yang secara reguler mengantarkan para wisatawan ke beberapa titik di kepualauan Marquesas. Naiknya jumlah wisatawan ini menambah lagi variasi produk artefak yang dihasilkan para penduduk Marquesas untuk dijual pada wisatawan. Lebih jauh lagi karena keunggulan barang-barang produk Marquesas, para pengrajin di daerah lain kemudian mencoba mengikuti gaya Marquesas, sehingga gaya Marquesas menjadi ikon dari wilayah Pasifik. G. Acciaioli, 2000 “Kinship and debt: The social organization of Bugis migration and fish marketing at Lake Lindu, Central Sulawesi” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (Authority and enterprise among the peoples of. South Sulawesi) 156, No. 3, hal. 588-617 Leiden, Belanda: KITLV Tulisan G. Acciaioli ini menjelaskan tentang bagaimana orang Bugis dan kelompok etnik lain bermigrasi pada periode krusial pemberontakan Kahar (periode 1950-1970an). Danau Lindu menjadi titik tolak wilayah di mana organisasi sosial dari migrasi ini terkonstruk. Daerah Lindu adalah daerah lembah dan pegunungan yang memiliki sebuah danau yang kaya akan ikan sebagai sumber daya alam. Pada era penjajahan, pemerintah kolonial ingin orang lokal untuk memanfaatkan sumber

daya yang ada di danau tersebut secara modern. Namun orang lokal pada waktu itu menginginkan praktik secara agrikultural. Selanjutnya, pada era setelah kemerdekaan, ada empat massa yang bermigrasi pada kisaran 1960-an sampai 1970-an yang diulas dalam empat kontingen. Kontingen pertama. Bercerita tentang migrasi orang-orang Tanamea yang ditekan oleh tentara. Mereka kabur ke Danau Lindu dan disebut sebagai guerilla/ gerombolan. Mereka berasal dari Donggala yang dipimpin oleh Sayed Abdullah Al Habzi (habib). Orang-orang pelarian ini kemudian mengajak kerabatnya untuk membentuk koloni baru. Kekerabatan selanjutnya menjadi ikatan dalam persoalan pekerjaan. Penangkap ikan, usaha transportasi kuda, dan menjual ikan kering atau ikan asin (jenis pekerjaan yang didominasi oleh perempuan) menjadi pekerjaan yang mereka lakukan. Kontingen kedua. Migrasi orang Wajok ke timur Danau Tempe yang dipelopori oleh seorang dokter gigi keliling yang disebut sebagai Tukang Sattu. Ia menjadi pelopor klasik migrasi dan seorang tipikal Bugis passompeq (petualang, berinovasi, pemberani, dan mandiri). Dalam proses migrasi rantainya ia membuat beberapa kios di Palu. Jaringan kekerabatannya tetap berjalan dengan Lindu. Nilon dan kail menjadi komoditas yang ia perdagangkan. Tidak hanya nilon dan kail, ia melebarkan usaha dalam bentuk sawah padi. Di kontingen ini keluarga jadi konstelasi pekerja dalam bisnisnya dan posisi Tukang bisa dikatakan sebagai patron. Proses sosial ini akhirnya memunculkan kepemimpinan usaha yang tidak lagi di bawah bos tunggal. Penghitungan


11

komersial melalui hubungan kekerabatan pun mengatur arus migrasi. Kontingen ketiga. Kontingen ini menjelaskan perjalanan seorang Rasyid dari Sidenrengrapang. Ia adalah pendatang pertama yang menjadi pengikut keluarga di kontingen pertama. Setelah sukses bersama keluarga Abdullah, dia pergi ke Desa Tompi, Sulawesi Tengah. Di sini dia mulai membawa keluarganya untuk ekspansi masuk ke wilayah Lindu. Ia secara bertahap membuat bisnis ikan mujair. Bisnis yang ia bangun ini berbasis koalisi, salah satunya dengan pengusaha Sulaiman, orang Belawa, dekat dari desa Sidrap. Mereka memiliki asal usul yang hampir sama. Kontingen ini dibentuk dari konvergensi sejumlah keluarga dan individu yang melakukan perjalanan secara mandiri, tetapi kemudian menegaskan keterkaitan mereka. Kontingen keempat. Gerakan migrasi yang dipelopori oleh Andi Bahar Kertasola, seorang bangsawan yang bermigrasi ke Desa Pakuli, daerah Lembah Palu, Sulawesi Tengah. Karena ketidakcukupan ketersediaan sawah untuk komunitas saat itu, ia menunjuk cucunya, Andi Anwar, untuk memimpin migrasi keluarga ke Kanawu, Lindu. Di wilayah yang baru ini Andi Anwar menjadi bangsawan dengan banyak klien. Kliennya membantu usaha ikan mujair (bagang) yang terus berkembang. Tetapi kondisi berubah. Kebangsawanannya mulai tidak relevan ketika banyak kerabatnya kembali ke Palu. Karena kehilangan 'budak' ia mereformasi sistem usahanya. Selain ikan, mereka akhirnya eksplorasi rotan. Dalam kontingen ini pemerintah mulai meregulasi aktivitas penangkapan ikan.

Mihaela Brebenel, Christopher Collier and Joanna Figiel “The Artist as Interlocutor and the Labour of Memory” The Postcolonial Museum: The Arts of Memory and the Pressures of History (Iain Chambers, Alessandra de Angelis, Celeste Ianniciello, Mariangela Orabona, and Michael Quadraro) Napoli, Italia: Università degli Studi di Napoli 'L'Orientale' Penulisan dilakukan oleh tiga orang yang mengambil posisi sebagai praktisi kebudayaan, bukan peneliti (kebudayaan). Setiap penulis adalah anggota sebuah kelompok namun menghindari menulis mengenai pengalaman dalam kerja-kerja kelompok mereka. Penolakan ini disebabkan karena kerja-kerja kelompok mereka memang menghindari untuk direpresentasikan (atau dipertentangkan) oleh perseorangan anggota, apalagi untuk kepentingan menggagah-gagahkan (valorisation) sesuatu kerja bersama untuk kepentingan pribadi. Asumsi awal penulisan adalah mengejawantahkan artistik dari ingatan bersama (collective memories) mengharuskan pembangunan kualitas-subyek (subjectivities) dalam berbagai bentuk. Ingatan hanya bisa menjadi milik bersama apabila ada ruang kualitas-subyek yang dibagi. Seniman sebagai penanggap ingatan bersama, artinya ia terlibat dalam pengeja-wantahan dan pembuatan ingatan, sekaligus juga dalam pergumulan politiknya. Dalam ekonomi kapitalis, diriyang-berisi, diri-yang-terbuka adalah subyek (liberal) yang bersejajaran dengan dimulainya produksi kualitas-subyek yang berkelanjutan.


12

Menyatakan seniman sebagai penanggap perlu perhatian khusus pada pengejawantahan kualitas-subyek dan hasil dari kualitas-subyek yang dibuat. Mengikuti pembelaan Gyorgy Lukacs atas kebaruan 'realisme' (estetika Marxist): Seniman adalah penanggap untuk kualitassubyek bersama. Sastrawan realis membuat karya yang serta-merta mengejawantahkan keadaan obyektif masyarakat sekitar mereka. Seni yang berhasil adalah seni yang memiliki fungsi sosial: Melampaui fragmentasi, mencerminkan 'kesadaran diri' atas kejadian sejarah, dan bertahan sebagai ingatan bersama (Vera Maslow, Lukacs' Man-centred Aesthetics, 1967). Praktek yang sejalan dengan prinsip Lukacs namun memiliki pendekatan berbeda adalah gaya penulisan testimonio—dari era 1960an di Amerika Latin. Para penulis tergoda memosisikan testimonio sebagai apa yang disebut Lukacs sebagai 'prinsip-prinsip puitis yang obyektif'. Kesatuan antara subyektif dan obyektif berada di posisi yang mirip dengan kesadaran kelas. Dengan itu, para penulis mesti mengajukan dilema kritik dialektik dalam Lukacs: Hubungan kepenanggapan antara estetika dan keadaan sosial bergantung pada krisis kesejarahan, dan sama-sama berada dalam hubungan yang eksklusif namun saling menguntungkan yaitu yang mutlak dan yang nisbi. (Frederic Jameson, Third World Literature in the Era of Multinational Capitalism, 1986). Karena keterbukaannya, penulis testimonio justru dipandang sebagai perseorangan yang mewakili kelompok masyarakat di mana ia hidup. Sehubungan dengan yang nisbi dan yang khusus, apakah model ini bisa mewakili pembuatan kualitas-subyek bersama yang efektif?

Untuk menghadapi penggalan-penggalan, kita mesti bersaing dengan pendapat bahwa ingatan bersama (serta pengejawantahan artistiknya) bermasalah justru pada keterbukaan persatuan subyektivitas dan obyektivitas. Seturut Marx, objectification tidak serupa dengan pemisahan dan pengasingan kapitalisme: Subyek mesti perlu dan terus kehilangan dirinya dalam obyek untuk bisa menghadirkan bentuk baru; pembuatan kualitas-subyek (to subjectivate) (Guy Debord, The Society of the Spectacle, 2009). Berdasarkan aksi pertukaran, Debord membedakan antara yang kualitatif, obyektivikasi sementara atas kerja kuantitatif dan obyektivikasi kerja abstrak yang terpisah dan terpecah. Akibat penerjemahan ke dalam penggalanpenggalan komoditas-citra, yang dipertontonkan (spetacle) justru kehilangan kesementaraannya, sekaligus ingatan bersamanya. Seniman hanya menjadi buruh ahli yang melayani bagian-bagian tertentu. Dari pada meratapi 'budaya hilang ingatan' ini, kita bisa melihatnya sebagai perubahan moda pembuatan—sehubungan dengan hubungan komunikasi, baik yang formal (sebagai kontrol) dan yang nyata (mesin produksi & reproduksi nilai). Perhitungan Debord meliputi kinerja museum (atau bahkan galeri), sebagai penyimpan ingatan bersama, yang berubah dari kesejarahan yang elit dan diakronik menjadi ruang yang seimbang dan menakjubkan. Yang tadinya melakukan konservasi budaya elit, sekarang mengadakan pameran hiburan besar-besaran yang laris-manis. Pengalaman sementara ditemukan pada pengalaman awal atas sebuah teknologi tertentu. Tidak mungkin ada ingatan bersama, atau pengalaman sementara,


13

tanpa susunan-bersama antara manusia dan yang bersifat teknis (Bernard Stiegler, Technics and Time, 1998). Berangkat dari bagan Edmund Husserl (daya ingat primer dan sekunder), Stiegler beranggapan bahwa bagian tubuh buatan (prosthesis) adalah ingatan 'tertier'. Bagian tubuh buatan di sini maksudnya adalah benda teknologi yang disikapi sebagai perpanjangan tubuh yang menjadi awal mula kebudayaan baru sekaligus pengalaman sementara itu sendiri. Bagian tubuh buatan ini juga membuka kemungkinan pembuatan kualitas-subyek (sendiri maupun bersama). Ingatan tertier, dalam bentuk mnemotechnics, berlaku lintas-manusia dan melebihi subyek. Kembali pada penggalan ala Lukacs & Debord, ini berarti pemecahan subyek satu sama lainnya sekaligus dengan kondisi obyektif kehadiran mereka. Penggalan yang lebih mendasar dalam konteks ini adalah: Ingatan diwujudkan di luar (diri) melalui pembuatan tata bahasa (grammatisation) yang melainkan kualitas gerak-tubuh. Bahkan termasuk gerak-tubuh yang berulang (baik secara tulisan, lisan, dan terekam sekalipun). Pembuatan tata bahasa ini kemudian membuat perpecahan menjadi serta-merta dalam kebudayaan, ingatan, dan sang subyek. Ini bisa disejajarkan dengan kemungkinan 'seni swatantra' (autonomous) ala Adorno. Seni mencapai kemandiriannya, pun kehilangan nilai, dengan menjadi tidak sejalan dengan pembuatan teknologi masa kini—anakronistik. Mnemotechnics: Ketika avant garde gagal menghancurkan kebudayaan kapital, seturut Peter Burger, kapitalisme justru memulihkan kekuasaan lamanya. Seperti bagaimana moda pembuatan zaman sekarang, seni pun kembali pada perihal teknik. Teknik adalah

racun sekaligus obat—pharmakon, kata Stiegler (mengikuti Derrida). Ancaman sekaligus kesempatan pembuatan individu. Menurut Marx, hubungan antara kebudayaan dan teknik ada di antara superstruktural dan sarana produksi. Seturut Marx, Stiegler menempatkan subjektivitas diwujudkan dalam lingkungan sosial tekno-historikal. Subjektivitas inilah yang kemudian memantulkan dan menciptakan bentuk produksi. Stiegler menyebut lingkungan ini sebagai 'kecerdasan umum'. 'Kekuatan produktif dari kecerdasan masyarakat', kata Marx, meluas karena hubungan informasi dan komunikasi dalam karakter kapitalisme kekinian. Sistem teknologi komunikasi telah menciptakan kesempatan untuk pembuatan nilai di (setidaknya) dua tempat, di dalam maupun di luar tempat kerja. Spekulasi memperluas kemungkinan kesejajaran antara modal tetap dan lingkungan mnemotechnical akan sukses menggagahkan (menambah nilai) bagi ingatan! Ini akan memberikan kita kesempatan untuk memahami aksi mengingat, apalagi pengeja-wantahan artistik, sebagai pekerja yang hidup, sesuatu yang segera menunjuk pada politik ingatan. Tentu saja ini semua tidak diajukan untuk mengecualikan kerja-kerja artistik, tetapi lebih untuk mengatakan bahwa keadaan sosial telah membawa seniman pada tempat di mana ia dituntut menjadi penanggap untuk situasi sosial yang lebih luas lagi. Memahami proses mengingat secara artistik akan membuka mata kita lebih lebar lagi dari sekadar penggagahan ingatan bersama. Ia juga bersifat mengobati. Ia juga menawarkan tempat untuk perjuangan


14

politik. Apa artinya upaya menarik diri, atau meniru-kembali, kerja ini? Berkebalikan dengan Negri, pekerja yang sosial dan komunikatif tidak benar- benar bisa digeneralisasi. Mungkin ia bisa digunakan untuk menjelaskan posisi seniman, sekaligus memahami pesatnya perkembangan kelas pekerja 'genting' yang mirip dengan seniman—tipis sekali ruang pemilihannya antara mempekerjakan diri sendiri atau penggagahan (diri) yang sertamerta. Dalam mempertemukan yang sendiri (diri, individu) & yang bersama (masyarakat, kolektif), penanggap dari 'kaum genting' ini bisa menuju ke arah yang lebih sosial dengan: 1) mengakui (sekaligus mengungkap keadaan obyektif dari) situasi sejarah tertentu; dan 2) menata ulang subyektivitas yang genting itu (sekaligus subjektivitas bersama dalam kelompok tertentu).


15

Serangkaian Kelompok Diskusi Terarah Eksplorasi Penjelajahan Gagasan untuk Simposium Khatulistiwa 2018 Oleh Krisnawan Wisnu Adi

Tim Riset Simposium Khatulistiwa 2018 dalam FGD 1 Dok: Ratna Mufida

Sebagai upaya untuk menjelajahi kemungkinan gagasan SK 2018, tim riset telah melakukan sosialisasi topik bersama publik seni. Bersamaan dengan pameran sejumlah bacaan terpilih, tim riset SK mengadakan beberapa Kelompok Diskusi Terarah (FGD) untuk memperdalam arah eksplorasi topik SK mendatang. Dua arah eksplorasi topik telah dimuat di edisi sebelumnya, kali ini, kami menghadirkan tiga aras selanjutnya. FGD 1, 6 Mei 2018: Seputar Seni dan Pariwisata Sebagai komoditas utama yang menunjang perekonomian daerah, industri pariwisata tengah digenjot habis-habisan di Yogyakarta. Berbagai pembangunan gencar dilakukan untuk mendukung sektor industri ini, seperti perhotelan, bandara, atau infrastruktur penunjang lainnya. Industri pariwisata selama ini dikelola hanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi, dan acap kali abai pada kesehatan lingkungan atau kehidupan masyarakat setempat. Pariwisata pendorong perubahan besar-besaran pada sistem sosial masyarakatnya, semacam pembangunan infrastruktur penunjang


16

yang mendorong lahirnya gentrifikasi atau kerusakan lingkungan dalam skala besar akibat membanjirnya pengunjung.Untuk sektor pariwisata budaya, termasuk di dalamnya perhelatan-perhelatan seni, seringkali disederhanakan agar sesuai dengan prinsip-prinsip industri wisata. Sekaten, misalnya, telah dikemas sedemikian rupa sehingga fungsi kulturalnya dikikis. Atau perhelatanperhelatan seni, yang dikemas agar semakin ramah sebagai tempat berswafoto. Tentu saja masih banyak hal yang bisa kita urai, untuk melihat geliat industri wisata (dalam hal ini wisata kebudayaan) kita dewasa ini. Harapannya, melalui diskusi kelompok terbatas ini, permasalahanpermasalahan tersebut bisa kita urai dan baca secara lebih kritis. Untuk itu, kami mengundang tiga orang yang kiranya akan mengantar kita lebih jauh pada pembicaraan mengenai isu ini. Pertama, Lisistrata Lusandiana yang sekiranya akan mengantar kita untuk memahami persoalan wisata secara lebih general, terutama dalam kaitannya dengan kontradiksi dalam praktik wisata alternatif. Menurut Lisistrata, industri wisata perlu dilihat sebagai masalah. Ketika wisata diposisikan sebagai industri, berarti orientasinya adalah ekonomi, keuntungan. Di titik itulah ia bisa dilihat sebagai masalah. Hal ini sebenarnya sudah lumayan banyak disikapi oleh UNESCO pada 1980-an dan bahkan didanai oleh Bank Dunia, yang bicara soal bagaimana kita membuat wisata yang etis dan mengubah space menjadi place. Pariwisata merupakan bentuk neoliberalisasi perjalanan manusia. Dalam seni rupa, ini menjadi residensi-darma siswa. Sudah

semenjak 1960-an banyak respon yang menghasilkan bentuk wisata alternatif seperti ekoturisme. Ia mengalami bentuk canggih ketika menjadi sustainable tourism, seperti yang dipraktekkan Via- Via (naik sepeda atau kuda, jalan kaki). Secara sosial kultural bentuk semacam ini dipraktekkan untuk menghormati kebudayaan setempat. Bahkan, ada semacam kode etik untuk berpakaian bagi para turis. Usaha yang dilakukan oleh ViaVia itu menunjukkan bahwa mereka menginginkan bentuk wisata yang bertanggung jawab. Wisata alternatif semacam ini ada di tingkat institusi. Di tingkat individu, Lisistrata mengambil contoh backpacker, soal bagaimana mereka sebagai turis yang memiliki posisi ideologis. Mereka memiliki cara berbeda untuk menyikapi wisata dan beradaptasi dengan lingkungan. Mereka hadir sebagai wujud kritik atas wisata massal. Namun, ia kembali mempertanyakan apakah backpacker memang bisa disebut wisata alternatif? Para backpacker atau traveler mengusung sebuah jargon, “Aku adalah global citizen. Jogja ini ya juga rumahku.” Mereka menolak dianggap sebagai 'yang lain'. Situasi ini membawa Lisistrata pada rasa penasarannya; seperti apa imajinasi mereka atas Jogja, Asia, Asia-Pasifik. Melalui penelitian dengan subjek para backpacker, mahasiswa darmasiswa, dan seniman residensi ia menemukan bahwa menjadi global citizen tetap menjadi daya yang mendorong mereka. Asia-Pasifik dibayangkan sebagai kawasan yang damai sentosa. Keinginan untuk menjadi global citizen ini kemudian berbenturan dengan situasi Jogja yang tidak sepenuhnya sesuai


17

Pius Sigit Kuncoro dan Lisistrata Lusandiana, Tim Riset Simposium Khatulistiwa 2018 dalam FGD 1 Dok: Ratna Mufida

dengan imajinasi mereka. Kultur santai orang-orang Jogja lamalama mereka anggap sebagai hambatan. Pada titik tertentu mereka tidak bisa beradaptasi dengan kultur tersebut. Ada eskapisme yang muncul dalam keinginan menjadi global citizen. Tegangan antara dua hal itu yang ditekankan Lisistrata dalam membahas persoalan industri pariwisata. Eskapisme tak urung jua seperti romantisme mooi indie. Subjektivitas backpacker menjadi perlu untuk dipertanyakan ulang. Bisa juga kita mengatakan bahwa bentuk wisata ini bukan alternatif. Kedua, Pius Sigit Kuncoro, membagikan hasil amatannya mengenai fenomena yang berlangsung di berbagai perhelatan seni belakangan ini dan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan para penyelenggara pameran seni karena kecenderungan audiensnya. Sigit menjelaskan mengenai kecenderungan baru yang muncul di kalangan pembuat pameran. Dari pengalaman Biennale Jogja XIV lalu, ia melihat bahwa para audiens (mayoritas anak muda) telah hadir dan menjadi bagian dari karya yang kebanyakan instalatif. Ketika mereka berfoto, tampak bahwa pesan dari karya sampai pada level tertentu. Para pengunjung pameran ini seolah-olah hidup di panggung (nya sendiri, ) dan dalam ruang imajinasi sendiri. Dunia berarti ketika dia bisa melompati ruang, lompatanlompatan imajinasi. Kehadiran gadget dalam dunia seni, khususnya dari perilaku audiens, dilihat Sigit bukan lagi romantis, karena seni tidak lagi dinikmati dalam memori pribadi. Ia dibagikan dalam memori eksternal.


18

Terakhir, ketiga, Enin Supriyanto, memberi gagasan pembanding ketika persoalan industri wisata dihubungkan dengan gagasan pemerintah. Salah satunya adalah kehadiran BEKRAF disejajarkan dengan pariwisata. Muncul konstruk terminologis yang menghadirkan logika industri wisata vs objek wisata. Negara tidak punya logika subjek wisata. Wisata adalah industri (mesin) yang harus dikelola. Dalam seni rupa, ketika masuk era pasar global, ia juga mengatakan bahwa muncul beberapa terminologi neoliberal, seperti koleksi sebagai investasi dan kebudayaan adalah aset.

khususnya Papua. Melalui gerakan terbaru Pacific Development Islands' Forum dan perjuangan Fiji dari tahun 2000-an hingga sekarang. Kami tertarik pada bagaimana Pak Laksono menjalin penelitian dan minatnya yang lain untuk menjalani studinya dengan CAPS (Pusat Studi Asia Pasifik). Khususnya dalam topik adat, bagaimana kita menavigasi antara semua perbedaan (etnis) dan pada saat yang sama semua aset bersama (sebagai warga negara Indonesia)? Apa yang telah Pak Laksono temukan sejauh ini? Seberapa jauh temuan itu bisa membantu kita untuk memahami Kepulauan Pasifik?

“FGD 2, 11 Mei 2018: Menjelajahi kemungkinan perjumpaan antara para penghuni SK telah melakukan penelitian literatur tentang Indonesia sebagai negara kepulauan dan juga Pasifik. Di sisi Indonesia, kami memulai eksplorasi dari Sumatra (terutama Barat dan Utara) dan Sulawesi (terutama Selatan). Kami tidak mulai memahami budaya timur Indonesia seperti yang diajarkan melalui sekolah dasar dan dimanifestasikan di Taman Mini Indonesia Indah. Kami sangat curiga tentang bagaimana berita dan jurnal menggambarkan bagian dari Indonesia ini, karena media yang ada dalam akses langsung kami adalah Java-centric (berdasarkan lokasi dan juga berdasarkan pola pikir). Seperti pada bacaan seputar Pasifik, kami mulai membaca secara acak, tergantung pada minat langsung atau apa yang direkomendasikan teman. Pada tahap pembacaan kami menuju Pasifik, kami akhirnya memutuskan untuk fokus pada Oseania. Dari pembacaan tersebut, kami mendapatkan titik masuk untuk melihat ke wilayah timur Indonesia,

Realitas lain yang dipelajari dari rasa ingin tahu kami terhadap Pasifik adalah pengakuan dari masyarakat pribumi. Ini bukan kenyataan sehari-hari bagi kita ketika hidup sebagai penduduk asli dan sebagai orang asing (jika bukan orang lain) di tanah kita sekarang karena gerakangerakan dalam negara selama perjuangan kemerdekaan, gagasan Rejim Orde Baru tentang transmigrasi, dan urbanisasi sebagai penyebab alami dari dunia kapitalistik saat ini. Pergerakan orangorang ini membawa keterputusan yang melekat (misalnya dari mana saya berasal, apa etnis leluhur saya, yang merupakan budaya saya, dll). Namun etnis bukan merupakan topik yang disukai, terutama di ranah politik, karena etnisitas akan segera menyalakan api pada fakta bahwa negara itu adalah Jawa-sentris. Kami tertarik pada jenis perspektif pribumi yang ditawarkan Bridget melalui kerja individual dan kolektifnya. Bridget Reweti adalah seorang seniman dari Ngāti Ranginui dan Ngāi Te Rangi di Tauranga Moana, Aotearoa. Ia banyak melakukan praktik berbasis eksplorasi perspektif lanskap dan realitas pribumi kontemporer. Bridget adalah


19

bagian dari Mata Aho Collective, sebuah kolaborasi antara empat seniman wanita Māori yang menghasilkan karya tekstil skala besar, mengomentari kompleksitas kehidupan Māori. Dia juga anggota aktif Klub Kava, kelompok seniman, artis, aktivis, dan pendukung Māori dan Pasifik yang berbasis di Wellington. Dalam diskusi ini banyak sekali celah dan posisi yang dibicarakan untuk melihat Pasifik. Dari konsep, metodologi, hingga posisi kerja seniman coba dipertegas sebagai bagian besar dari klaim Equator. FGD 3, 16 Mei 2018: Kerabat-dalambisnis atau bisnis-berlandasankekerabatan? Nagari Atar berada pada posisi O,32.03,46 LS dan 100,44.53,25 BT. Jarak dari ibukota kabupaten, Batusangkar, sekitar 20 km. Iklim sedang dengan topografi berbukitbukit sehingga pertanian khususnya sawah menuntut irigasi tadah hujan. Hasil utama dari pertanian adalah perkebunan rakyat, kelapa, kopi, dan karet. Perkebunanperkebunan tersebut memang mengalami kesulitan untuk dikembangkan bagi kehidupan masyarakat. Keadaan semacam itu membuat mereka berpikir untuk berwirausaha di tempat lain. Maka pada tahun tujuh puluhan banyak generasi mudanya yang merantau ke Pulau Jawa dan beberapa provinsi lain di pulau sumatra dan mereka kebanyakannya adalah berdagang/berwira usaha penggandaan dokumen (photocopy) dan alat tulis kantor (ATK). Selain itu ada juga yang menjadi pegawai pemerintah atau swasta, namun lebih sedikit. Lebih kurang 30% masyarakat Nagari Atar memilih hidup di rantau ketimbang hidup di kampung, dan lebih dari 90% di antaranya

bergantung dari usaha photocopy yang sebagian besar tersebar di Sumatra dan Jawa. Usaha photocopy mereka kembangkan berdasarkan hubungan kekerabatan, dimulai dengan melatih yang muda (muda dalam artian merantau) sebagai karyawan, setelah dianggap mampu, maka mereka akan berusaha sendiri. Kekerabatan bagi mereka bukan hanya berdasarkan pertalian darah (saudara kandung), tetapi pada siapa yang mau bergabung, baik melalui hubungan perkawinan dan keakraban. Di perantauan mereka membentuk organisasi Ikatan Warga Atar (IWATAR), bukan membentuk sebuah perkampungan (walaupun mereka bisa). Ini tak ubahnya dengan perantau Minangkabau lainnya, mereka tidak akan membuat suatu perkampungan di 'kampung' orang lain, akan tetapi tinggal menyebar dan membuat suatu organisasi. Masyarakat Atar menyadari bahwa usaha photocopy telah merubah identitas Nagarinya. Perekonomian yang dulu bergantung pada pertanian yang terbatas dan menjadi pegawai, sehingga Nagari dibangun dengan usaha photocopy tersebut. Berdasarkan kesadaran ini mereka menyepakati untuk membuat tugu photocopy di Nagari Atar pada 2006. Tugu tersebut tentunya sebagai tanda perubahan pola pikir karena kondisi alam, juga sebagai pengingat bahwa kampung mereka sesungguhnya adalah di sana bukan di perantauan. Sekarang, tugu tersebut tetap berdiri dan selalu dijaga oleh masyarakat, dan juga sebagai tempat wisata bagi masyarakat 'luar' untuk berselfie ria, sesuai dengan kegandrungan masyarakat sekarang.


20

Tim Simposium Khatulistiwa bersama Pak Wardjiman dalam FGD 3. Dok: Ratna Mufida

Apa peran tugu photocopy itu terhadap masyarakat Nagari Atar yang tinggal di sana? Selain sebagai pengingat akan sumber penghasilan utama masyarakat, tugu itu sekaligus menyiratkan upaya masyarakat untuk membawa nilai-nilai yang didapat di perantauan ke kampungnya. Salah satu wujudnya adalah pembangunan rumah-rumah yang lebih megah dari sebelumnya. Apakah generasi selanjutnya akan memaknai perantauan dan usaha penggandaan dokumen sebagai sebentuk formula untuk kesuksesan ekonomi? Apakah dengan itu mereka tidak akan berupaya melakukan hal yang lain? Sejauh mana keterlibatan pemerintah untuk mengembangkan pertanian bagi masyarakat yang tinggal di sana? Apakah mereka juga terbuka untuk membagi ilmunya dengan masyarakat yang bukan dari Nagari Atar di perantauan, dalam hal ini adalah Yogyakarta? Barang tentu masih banyak yang bisa diurai, tentang persilangan nilai antara daerah asal dengan perantauan. Dalam diskusi kita kali ini, kita akan mendengarkan kisah seorang pengusaha penggandaan dokumen dari Nagari Atar yang merantau ke Yogyakarta sejak 1994, Wardjiman Chaniago. Ia juga terlibat langsung dalam pembuatan tugu photocopy tersebut. Wardjiman menceritakan bahwa ide membangun sebuah tugu photocoy itu didasarkan atas keinginan beliau untuk mempromosikan kampung Atar di daerahnya sendiri. Sebagai daerah yang warganya sukses di perantauan, Atar malah tidak dikenal oleh orang-orang di sekitaran kampung halaman. Awalnya muncul ide untuk membuat patung Bung Karno, tetapi akhirnya tugu photocopy yang dipilih karena lebih merepresentasikan perjuangan yang relevan dari warga Atar.


21

Mulanya tak sedikit juga warga Atar di sana yang kurang mendukung ide tersebut. Namun, Wardjiman bersama beberapa orang yang mendukung tidak mengurungkan niat. Sekitar 20072009 tugu tersebut akhirnya diresmikan juga oleh bupati. Tak berhenti di situ, beberapa TV swasta juga datang dan meliput Atar dan tugu photocopy-nya sebagai nagari dengan atribut profesi terunik. Sejak itu orang-orang jadi lebih banyak yang peduli. Pemerintah pun juga turut andil yang akhirnya berimplikasi pada pengelolaan danau kecil, jorong, telaga indah yang diperuntukkan sebagai pariwsiata. Keberadaan IWATAR (Ikatan Warga Atar) dan APFI (Asosiasi Pengusaha Fotocopy Indonesia) sebagai organisasi juga memperkuat status usaha para perantau Atar ini sebagai sesuatu yang serius. Mana yang lebih dahulu? Bisnis atau kekerabatan? Kiranya dua hal itu berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Jika dilihat dari konteks kampung Atar, dalam sejarahnya, kekerabatan tentu menjadi faktor utama dalam membentuk bisnis. Namun sedikit berbeda jika berangkat dari konteks di perantauan. Justru karena bisnis, di satu sisi, kekerabatan yang baru muncul. Banyak orang selain Atar, seperti keturunan Tionghoa, Sunda, Jawa yang bertemu membentuk tali kekerabatan. Yang jelas, perantauan masyarakat Nagari Atar menjadi sebuah modus perpindahan nilai dan kebiasaan yang melibatkan konstruk dimensi ekonomi suatu wilayah.


22

Mengumumkan Senarai Pameran Tunggal 2018 Oleh Enin Supriyanto, Grace Samboh, Ratna Mufida, Yustina Neni (Tim Riset Simposium Khatulistiwa 2018)

Potret Dodo Hartoko Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta

Jim Allen Abel Ode to My Mother, 2018 Dok: Yudha Kesuma Putra “Fehung”

Pelantar PAMERAN TUNGGAL ini adalah ruang kerja sama antara Simposium Khatulistiwa (2012-2022) dengan teman-teman seniman yang selama ini menginspirasi sekaligus mendukung paradigma berpikir, semangat kerja, serta kinerja SK. Pelantar ini berpihak pada perluasan serta pendalaman wacana kekaryaan seniman baik dari aspek berpikir, penciptaan, bentuk, pembacaan, maupun jejaring. Upaya kerja sama yang intensif dengan perorangan seniman ini juga dalam rangka mencari cara untuk mengartikulasikan apa yang bisa kita sebut sebagai penelitian artistik (penelitian untuk tujuan kerja artistik).


23

M. Irfan The Slaughter Series, 2018 Dok: Yudha Kesuma Putra “Fehung”

Keempat proyek teman-teman seniman dalam pameran ini telah melalui proses panjang dalam fase-fase pengamatan, kerja lapangan, eksperimentasi bentuk, dlsb. Para seniman ini telah menemukan metode penelitian artistik mereka masing-masing dalam setiap proyeknya. PAMERAN TUNGGAL mereka masingmasing akan juga mengelaborasinya dengan runut dan detil. Setiap pameran tunggal dalam pelantar ini akan dipamerkan di dua kota yaitu Jogja dan kota lainnya di kawasan Asia-Pasifik. Pelantar ini akan berjalan sampai dengan 2022 bersamaan dengan dihelatnya Konferensi Khatulistiwa. Bersamaan dengan keramaian Jogja Art Weeks, dengan bangga, kami meluncurkan pelantar PAMERAN TUNGGAL ini bersama keempat teman kami. Setiap karya yang hadir dalam pameran ini adalah titik berangkat eksplorasi mereka menuju ke PAMERAN TUNGGAL mereka masing-masing. Jim Allen Abel Pertemuan keluarga Jim Allen Abel dengan kematian dalam beberapa tahun terakhir entah bagaimana selalu dicatat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari sanalah asal


24

Julia Sarisetiastuti Indo-K Work (2017) Dok:Yudha Kesuma Putra “Fehung”

keluarganya, ritual kematian terdiri dari beberapa tahapan tindakan yang indah, mulai dari menyanyi, menari, hingga mengorbankan kerbau. Tindakan pencatatan dimulai sebagai cara mengatasi kesedihan dan perlahan berkembang menjadi cara mengingat sesuatu yang hilang. Baru-baru ini, selama kehilangan ibunya, alihalih membuat memoar, Jim menciptakan ritualnya sendiri yang bentuknya berasal dari larung (bahasa Jawa). Tindakan ini dapat dilihat sebagai gangguan atau bahkan penolakan keluhan serta mempertanyakan berbagai cara menangani rasa kehilangan dalam masyarakat yang berbeda. M. Irfan M. Irfan telah melakukan beberapa perjalanan darat di seluruh Sumatera selama beberapa tahun terakhir. Banyak yang dipelajari melalui perjalanan ini. Sepanjang jalan, ia menghadapi berbagai perubahan dalam cara orang berurusan dengan lahan, vegetasi dan perkebunan, serta sumber daya alam. Perubahan-perubahan ini tidak menguntungkan orang-orang dan juga tidak dilakukan dalam kerangka pikiran tentang planet sebagai tempat yang lebih baik untuk hidup. Jejak dari kekuatan saat ini dan masa lalu jelas


25

Yuli Prayitno UPSSS...HHH (2018) Dok:Yudha Kesuma Putra “Fehung”

tetapi tidak mudah dipahami; daftar ini dimulai dari pemerintah, efek kolonial, dan idealisasi struktur kekuasaan pra-kolonial dan bahkan pra-sejarah. Pertemuan personal ini menghubungkannya dengan berbagai disiplin ilmu dengan minat yang sama dan saat ini terurai dalam praktik seni untuk mencari bentuknya sendiri. Julia Sarisetiati Julia Sarisetiati telah bekerja dengan buruh migran Indonesia di Korea selama beberapa tahun. Di antara yang lain, dia telah memulai sebuah platform online untuk komunikasi antara pekerja dan keluarga mereka di rumah; dan memfasilitasi distribusi pengetahuan praktis antara para pekerja yang sudah ada di sana dan mereka yang akan datang ke Korea. Saat ini, ia sedang berusaha mendirikan koperasi bersama dengan beberapa komunitas mantan pekerja migran dari Korea. Ia mencari modelmodel kerja sama yang berkelanjutan, dan bersekutu dalam mengarahkan pra kebudayaan. Yuli Prayitno Yuli Prayitno memiliki minat yang sangat khusus terhadap objekobjek baik dalam pengertian arkeologis maupun antropologis. Selama hampir satu dekade, dia selalu terpukau dalam mengungkap asal-usul benda-benda, teknik-teknik yang digunakan dalam membuat benda-benda, dan bukti-bukti dari benda-benda ini. Upaya-upaya ini membawanya ke pengetahuan yang begitu luas dan kaya yang kemudian mendorong proses pembuatan seninya. Berasal dari periode Dinasti Qing akhir, piring ini adalah alat yang populer di antara rumah-rumah rakyat biasa. Yuli menyesuaikan desain, memecah piring, dan tiba untuk pertanyaan lebih lanjut tentang orisinalitas.


26

Penggalan pidato Soekarno

“CAPAILAH BINTANG-BINTANG DI LANGIT” (TAHUN BERDIKARI) 17 Agustus 1965

Naskah Pidato Tahun Berdikari Soekarno Dok: www.bukalapak.com

Saudara-saudara! Camkanlah! Hari ini genap 20 tahan Proklamasi Kemerdekaan! Hari ini tepat 20 tahun kita menjadi bangsa merdeka! Hari ini jangka 20 tahun sejak saya – Sukarno dan Hatta - atas nama Bangsa Indonesia memaklumkan Proklamasi suci 17 Agustus dengan mengucapkan satu pidato singkat yang kuakhiri dengan kata-kata: “Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah-air kita. Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia, - merdeka kekal dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!” […] Saudara-saudara setanah-air dan sebangsa. Kawan-kawanku secita-cita. Dari semuanya ini jelas, ya, dari pengalaman langsung kita selama 20 tahun ini jelas, bahwa Revolusi kita terus-menerus maju, terus-menerus meningkat. Majunya sudah barang tentu bukan maju dengan gampang, meningkatnya sudah barang tentu bukan meningkat tanpa korbanan. Segala kepahitan dan kesakitan yang ada di dunia ini sudah kita alami. Pukulan-pukulan, gempuran-gempuran, kesalahan-kesalahan, kekalahan-kekalahan, korbanan nyawa - semua sudah kita alami. Kita malahan mengucapkan syukur Alhamdulillah bahwa kita telah mengalami segalanya itu. Sebab jika tidak, sudah pasti kita ini akan menjadi bangsa yang biasa kusebut bangsa kintel atau bangsa-tuyul, bangsa yang barangkali suka hidup tetapi takut kepada kesukaran hidup, bangsa yang cuma mau enak saja, yang nerimo makan enak, sekalipun makanannya itu dicekoki oleh orang lain. Tidak! Syukur Alhamdulillah, kita ini bukan bangsa yang demikian itu! Kita bukan semacam rumput, - kita beringin! Kita bukan kambing - kita garuda, kita banteng! Berkat jerih-payah kita selama 20 tahun ini, berkat penderitaan yang saudara-saudara semua alami selama 20 tahun ini, maka kita sekarang bukan bangsa yang dalam tata-hidup internasional tidak-masuk-buku. Kita sekarang bangsa yang dihormati oleh kawan-kawan kita dan disegani oleh lawan-lawan kita. Kita sekarang bukan hanya bangsa yang diperhitungkan, tetapi sangat diperhitungkan. [...]


27

Hari ini kita berhimpun di depan Istana Merdeka di bawah Tugu Nasional yang megah dan di hadapan Patung Pahlawan Diponegoro yang gagah, disaksikan oleh matahari yang riang-gembira dan bermilyar-milyar mata sahabat-sahabat yang penuh simpati dari segala penjuru angin. Untuk apa? Untuk mengadakan perhitungan, afrekening dengan masasilam kita. Sebab, selalu satu bangsa itu berdiri di tengah-tengahnya masa-silam dan masa depan. Bilamana bangsa itu tidak tiap-tiap kali mengadakan perhitungan dengan masa-silamnya, bilamana bangsa itu tidak bertekad menumpas segala yang negatif dan mengembangkan segala yang positif dari masa-silamnya, maka bangsa itu tidak akan mungkin membina, membimbing, membangun masa depannya. Kita mengadakan pertanggunganjawab, kita mengadakan perhitungan, kataku, karena sesungguhnya sebagai satu nasion yang berjoang kita ini sudah mengalami kristalisasi. Seperti gadis penampi, sejarah telah memisah-misahkan, telah memilahmilahkan emas dari loyang, sari dari ampas. Pertanggunganjawab ini bahkan tidak hanya kupersembahkan kepada bangsaku yang menjadi junjunganku, tetapi juga kepada semua comrade-in-arms kita di luar negeri, kepada seluruh kekuatan Nefo di dunia, sebagai bahan konsultasi. Karena akhirnya, antara revolusi Indonesia dan revolusi-revolusi mereka juga harus diadakan suatu dialog, agar bersama-sama kita bisa menyempurnakan kita punya serangan-serangan, kita punya serbuanserbuan ke benteng-benteng nekolim. Siapa saja boleh memberikan evaluasi, boleh memberikan penilaian terhadap hasil-hasil revolusi Indonesia. Juga lawan-

lawan kita dan juga kalau penilaian mereka itu seburuk-buruknya, penilaian itu akan welkom bagi kita, karena ini akan merupakan bahan konfrontasi antara fikiran-fikiran lapuk dunia-lama dan fikiranfikiran segar dunia-baru. Berkali-kali kukatakan bahwa abad ke-XX ini abad berakhirnya imperialisme dunia. Sudah terlalu lama “pax imperialistica” menindasmenghisap-memperbudak kita, dan genta sejarah sudah berdenting bahwa saatnya penyusunan Pax Humanica telah tiba! Pax Humanica! Damai antara semua manusia! Selamat-tinggal “paximperialistica”. Selamat-tinggal buat selama-lamanya! Selamat-datang Pax Humanica, selamatdatang buat selama-lamanya pula. [...] Ya, hai imperialis, kami akan menang! Kesalahan kaum imperialis dan kaum reaksioner umumnya adalah, bahwa mereka meremehkan Rakyat yang gembel, meremehkan Rakyat jelata. Malahan ada di antara pemimpin-pemimpin Indonesia yang baru merasa kerasan kalau berada di tengah-tengahnya ndoro-den-ayu-ndoroden-ayu, dan raden-mas-raden-mas atau berada di antara direktur-direktur yang kapitalis-birokrat, atau di antara tuantanah-tuan-tanah atau lintah-darat-lintahdarat. Memang ada pemimpin revolusioner dan ada pemimpin reaksioner, ada pemimpin sejati dan ada pemimpin gadungan! Bukan salahnya Rakyat kalau kaum imperialis babak-belur menghadapi Rakyat, bukan salahnya Rakyat kalau kaum imperialis babak-bundas di Indonesia, di Vietnam, di Konggo, di Dominika, dan di mana-mana. Sebab mereka selalu mengukur Rakyat itu dengan ukuran kolonial, dengan ukuran poundsterling atau dollar. Mereka, seperti rentenir, menghitung-hitung di Asia Tenggara ada berapa juta Rakyat, di Timur Tengah ada berapa juta Rakyat, di Afrika


28

ada berapa juta Rakyat, di Amerika Latin ada berapa juta Rakyat, di Oseania ada berapa juta Rakyat. “Kasih mereka sekian juta dollar, habis perkara”. Mereka tidak tahu, bahwa kalau ada matauang yang paling merosot nilainya sekarang ini mata-uang itu adalah justru pound-sterling dan dollar! Barangkali ada yang tidak percaya akan apa yang aku katakan? Tengoklah di zaman “Plan Marshall” untuk 100 juta Rakyat Eropa Timur dikeluarkan 100 juta dollar untuk subversi. Tapi sekarang, untuk mensubversi 200 juta Rakyat Asia Tenggara dikeluarkan 1.000 juta dollar. Artinya, paling sedikit dollar itu sudah merosot 5 kali! Toh dollar itu tidak menghasilkan simpati dan persahabatan terhadap Amerika Serikat, sebaliknya, dollar itu seperti memancing antipati dan permusuhan dari Rakyat-rakyat Asia Tenggara. Ataukah barangkali orang Asia lebih mahal daripada orang Eropa? Selama kita teguh dalam menegakkan kemerdekaan nasional kita, dan selama di dunia ini ada yang bernama imperialisme, maka selama itu kita harus siap menghadapi subversi, intervensi dan agresi kaum imperialis. Sebab, tidak akan pernah kaum imperialis itu memperkenankan kemerdekaan tipe Sukarno, kemerdekaan tipe Sihanouk, kemerdekaan tipe Mao Tsetung, ataupun kemerdekaan tipe Boumedienne, tipe Hafez, tipe Nasser, tipe Toure, tipe Keita, tipe Nkrumah, tipe Nyerere. Mereka paling-paling memperkenankan, malahan merestui “kemerdekaan tipe Tjiang Kai-Sek, tipe Pak Jung Hi, tipe Ky, tipe Tsombe, tipe Tengku Abdulrakhman. Tetapi ada baiknya bahwa kaum imperialis menjagoi jagoan-jagoan seperti Tjiang Kai-Sek dan lain-lain itu, sebab anasir-anasir itu anasir-anasir yang

paling korup di dunia ini, sehingga bantuan dollar berapa saja banyaknya mereka sikat sendiri dan tidak ada atau sedikit sekali yang mereka pakai untuk melawan revolusi. Ya, Saudara-saudara, bonekaboneka imperialis pun menguntungkan kepada kita! [...] Revolusi kita sekarang sudah tidak dalam taraf percobaan, sudah tidak dalam taraf eksperimen. Kita tidak boleh main eksperimen atau main coba-coba lagi. [...] Revolusi adalah sekaligus ya ilmu ya seni! Bahkan untuk memenangkan revolusi itu sendiri, kita harus kreatif, kita harus pandai menentukan taktik-taktik perjoangan yang soepel, yang fleksible, yang bijaksana. Tetapi! Tidak boleh kita soepel atau bijaksana di dalam strategi! Tidak boleh kita menjadi oportunis! Revolusi terus meningkat. Maka dari itu revolusi itu juga mengajukan tuntutan-tuntutan yang meningkat. Itu lah yang saya namakan rising demands of the revolution. [...] Ya, Berdaulat dalam politik! Apa yang lebih luhur daripada ini, Saudara-saudara? Lebih setengah abad lamanya bangsa Indonesia berjoang, membanting-tulang dan mencucurkan peluh, untuk kedaulatan politik itu. Sekarang kedaulatan politik itu sudah di tangan kita. Kita tidak bisa didikte oleh siapapun lagi, kita tidak menggantungkan diri kepada siapa-siapa lagi, kita tidak mengemis-ngemis! Kedaulatan politik ini harus kita tunjang bersama-sama, harus kita tegakkan beramai-ramai. Nation-building dan character-building harus diteruskan sehebat-hebatnya, demi memperkuat kedaulatan poIitik itu. Kerukunan nasional sekarang ini- kerukunan antara berbagai agama dan berbagai suku bangsa, termasuk suku-suku keturunan asing -


29

kerukunan nasional yang bebas sama sekali dari diskriminasi atau rasialisme macam apapun, harus kita bina dengan kecintaan seperti kita membina kesehatan tubuh kita sendiri. Demi kedaulatan politik itu pula, maka perkembangan dalam pemerintahan dalam negeri, yaitu - seperti dikehendaki DPR-GR. -dicabutnya larangan berpartai bagi Kepala-kepala Daerah dan anggota-anggota BPH, dipisahkannya jabatan Kepala Daerah dari Ketua DPRD-GR dan Nasakomisasi pimpinan DPRD-GR, harus disusul dengan pembentukan Daswati III untuk seluruh Indonesia.

aku bersedia memperpanjangnya dengan 1 tahun lagi, aku sudah sangat sabar, sudah kutunjukkan kesabaran bapak, tapi aku ulangi lagi, kesabaranku ada batasnya, apalagi kesabaran Rakyat! Sudah cukup usahaku memberi kesempatan Dewandewan Perusahaan supaya berjalan, tapi di banyak tempat Dewan-dewan itu masih macet saja; aku sudah sangat sabar, sudah kutunjukkan kesabaran seorang bapak, tapi kesabaranku ada batasnya, apalagi kesabaran Rakyat! Hanya dengan mengatasi kemacetan-kemacetan inilah, kita bisa menerapkan azas Berdikari dalam ekonomi.

Berdikari dalam ekonomi! Apa yang lebih kokoh daripada ini, Saudara-saudara? Seperti kukatakan di depan MPRS tempo hari, kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah di tangan kita dan menggunakannya semaksimalmaksimalnya. Pepatah lama “ayam mati dalam lumbung” harus kita akhiri, sekali dan buat selama-lamanya. Kita memiliki segala syarat yang diperlukan untuk memecahkan masalah sandang-pangan kita. Barang siapa merintangi pemecahan masalah ini, dia harus dihadapkan ke depan mahkamah Rakyat dan sejarah. Alam kita kaya-raya, Rakyat kita rajin, tetapi selama ini hasil keringatnya dimakan oleh tuan-tuan-tanah, tengkulak-tengkulak, lintah-lintah darat, tukang-tukang ijon dan setan-setan desa lainnya. Sudah cukup usahaku memberi kesempatan kepada kaum yang ragu-ragu dalam revolusi, untuk merobah diri; aku sudah sangat sabar, sudah kutunjukkan kesabaran seorang bapak, tapi kesabaran ada batasnya, apalagi kesabaran Rakyat! Sudah cukup usahaku memberi kesempatan bagi pelaksanaan landreform; batas waktunya malahan sudah kutunda, dan kalau perlu

Berkepribadian dalam kebudayaan! Apa yang lebih indah daripada ini Saudarasaudara? Bukan saja bumi dan air dan udara kita kaya-raya, juga kebudayaan kita kaya-raya. Kesusastraan kita, seni-rupa kita, seni-tari kita, musik kita, semuanya kaya-raya. Juga untuk membangun kebudayaan baru Indonesia, kita memiliki segala syarat yang diperlukan. Kebudayaan baru itu harus berkepribadian nasional yang kuat dan harus tegas-tegas mengabdi kepada Rakyat. Dengan menapis yang lama, kita harus menciptakan yang baru. Sikap kita terhadap kebudayaan lama maupun kebudayaan asing adalah sikapnya revolusi nasional-demokratis pula: dari kebudayaan lama itu kita kikis feodalismenya, dari kebudayaan asing kita punahkan imperialismenya. Maka itu, tepat sekali film-film imperialis Inggeris dan AS diboikot, juga tepat sekali pemberantasan “musik” beatles, literatur picisan, dansadansi gila-gilaan, dan sebagainya. Pada panji kebudayaan nasional kita harus kita tuliskan dengan tinta-emas K-nya Usdek kita! Kebudayaan kita haruslah kebudayaan yang revolusioner, yang


30

seperti kukatakan di Sala tempo hari harus menjadi “duta masa dan duta massa”. Kita bukan hanya “trahing kusumo, rembesing madu”, tetapi kita juga “trahing buruh-tanilan-prajurit, rembesing revolusi”! [...] Hai Bangsaku, Bangsa Indonesia, Bangsaku yang gagah berani dalam perjoangan, pantang mundur dalam kesulitan, lemah-lembut dalam pergaulan! Apa yang engkau capai dalam 20 tahun ini merupakan suatu kebanggaan. Ini sebabnya, maka aku memberanikan diri untuk memberikan pertanggungjawaban pada semua kawan dan semua lawan—pada kawan untuk bahan konsultasi, bagi lawan sebagai alat konfrontasi. Dan pertanggungjawaban pada Engkau Bangsaku, Bangsa Indonesia, sebagai bukti bahwa Bung Karno tidak lain tidak bukan hanyalah Penyambung Lidah Bangsa Indonesia, Penyambung Semangat Bangsa Indonesia, Penyambung Kekuatan Bangsa Indonesia. Insya Allah saya akan meneruskan Pimpinan Revolusi Indonesia dengan karunia Tuhan, dengan Doa Restu Bangsa Indonesia. Sudah banyak yang kita capai dalam 20 tahun ini. Kita sudah melampaui tingkatan terpenting dalam Revolusi kita. Akan tetapi kita masih belum boleh beristirahat. Kita boleh merasa puas dengan apa yang sudah kita capai di masa yang lampau, akan tetapi tetap waspadalah buat masa depan; kita masih harus Maju Terus, Maju Terus, Maju Terus, untuk mencapai hasil dan kemenangan baru, kemenangan baru sebagai tambahan modal untuk memberikan pukulan baru pada rintangan dan musuh-musuh Revolusi. Kita merayakan 20 tahun Agustus agung ini, di waktu kita sudah mempunyai Panca Azimat. Panca Azimat adalah pengejawantahan daripada seluruh

jiwa nasional kita, konsepsi nasional kita, yang terbentuk di sepanjang sejarah 40 tahun lamanya. Azimat Nasakomlah yang lahir terlebih dulu, dalam tahun 1926, karena persatuan Nasakom itulah sesungguhnya senjata kita yang paling ampuh, dulu untuk merebut, sekarang untuk mengkonsolidir kemerdekaan nasional. Azimat kedua adalah azimat Pancasila, yang lahir pada bulan Juni 1945 di waktu Ibu Sejarah sudah mengandung tua, dan di waktu bayi kemerdekaan sudah hampir lahir. Ketika itu opgave terpokok adalah menemukan suatu dasar Negara, dan maka itulah Lahir Pancasila. Azimat ketiga adalah azimat Manipol/ Usdek, yang baru lahir setelah kita 14 tahun lamanya mengalami masa Republik merdeka, azimat yang berupa Program Umum Revolusi, yang inti-sarinya tidak boleh dimodulir atau diamendir. Azimat keempat adalah azimat Trisakti Tavip, yang baru lahir tahun yang lalu setelah kita mengalami bermacam-ragam pengalaman dengan kaum imperialis, dengan PBB, dan lain-lain. Azimat yang kelima adalah azimat Berdikari, yang terutama tahun ini kucanangkan dan sertamerta mendapat persetujuan dari MPRS, dari seluruh pers Manipolis, dari segenap Rakyat progresif. Berdikari bukan hanya azas untuk tahun ini—yang sebagian Rakyat sudah menamakannya “Tahun Berdikari” —tetapi azas untuk masa yang panjang, selama kita masih mengkonsolidir kemerdekaan nasional kita dan selama kita masih berhadap-hadapan dengan imperialisme. Mungkin seluruh dasawarsa atau seluruh dwi-dasawarsa yang ada di hadapan kita ini akan merupakan “Dasawarsa Berdikari”! Kita harus meneruskan, bahkan meningkatkan lebih lanjut ofensif Manipolis, ofensif


31 31

revolusioner kita. Berat dan banyak masih tugas-tugas yang ada di depan kita. Panjang dan berliku-liku masih jalan yang harus kita lalui. Tetapi ada yang meringankan kita, yaitu kenyataan bahwa kita ini memililki Panca Azimat itu! [...] Karena itu, majulah terus dengan Lima Azimat itu laksana api-abadi dalam kalbumu! Dengan Lima Azimat itu kita pasti menang. Kekalahan kita tidak mungkin lagi, sebagaimana juga kemenangan imperialisme tidak mungkin lagi! [...] Ever onward, never retreat! Sekali merdeka, tetap merdeka! Sekali Berdikari, tetap Berdikari! Insya Allah, kita pasti menang! Sebab Tuhan beserta kita!


32

PENGUMUMAN KELEMBAGAAN YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) sudah mengawal penyelenggaraan Biennale Jogja Ekuator XI (menggandeng India), Biennale Jogja Ekuator XII (menggandeng kawasan Arab), Biennale Jogja Ekuator XIII (menggandeng Nigeria), Biennale Jogja Ekuator XIV (menggandeng Brasilia) dan kegiatan pendukung lainnya: empat kali Simposium Ekuator setingkat kawasan. Agar terus terjadi kesinambungan generasi dan semangat baru, YBY secara bertahap melakukan regenerasi kepengurusan yayasan yang akan meliputi posisi dewan PEMBINA, dewan PENGAWAS, dan PENGURUS (Ketua, Sekretaris dan Bendahara). Mekanisme penambahan dan atau penggantian posisi kepengurusan berlaku pada hampir seluruh posisi strategis kelembagaan Yayasan Biennale Yogyakarta. Yayasan Biennale Yogyakarta mengumumkan UNDANGAN TERBUKA kepada siapapun yang berminat dan peduli menyumbangkan tenaga, pikiran, bakti dan dedikasi sesuai dengan posisi strategis kelembagaan yayasan yang dikehendaki, untuk mengambil peran-peran strategis agar Yayasan Biennale lebih kuat mengampu diteruskannya penyelenggaraan Biennale Ekuator dan Simposium Ekuator secara lebih baik.


33

Posisi Strategis Kelembagaan Yayasan Biennale dan Kuota yang dibutuhkan 1.

Dewan Pembina Yayasan Biennale Yogyakarta Masih diampu oleh: Suwarno Wisetrotomo, Eko Prawoto, Oei Hong Djien, Butet Kertaredjasa, Nindityo Adipurnomo Saat ini di dalam formasi Dewan Pembina Yayasan Biennale Yogyakarta dibutuhkan 3 orang atau lebih pengampu baru yang diharapkan mampu memberikan perspektif yang lebih segar, progresif, dan dedikatif di wilayah strategi pengelolaan sumber daya (moneter dan non moneter), pengembangan praktik dan gagasan pendidikan kritis bagi produksi pengetahuan, estetika, etika dan tata kelola pengembangan jaringan.

2.

Dewan Pengawas Yayasan Biennale Yogyakarta Masih diampu oleh: Ong Hary Wahyu, Anggi Minarni, Dyan Anggraeni Saat ini formasi Dewan Pengawas Yayasan Biennale Yogyakarta membutuhkan 2 atau lebih orang baru yang diharapkan mampu memberikan perspektif yang lebih segar dan kritis dalam menjaga dinamika internal organisatoris, memiliki pengetahuan dan dedikasi mengembangkan jaringan budaya ke seluruh lini kehidupan di tingkat kawasan ekuator.

3.

Dewan Pengurus Yayasan Biennale Yogyakarta Seluruh posisi kepengurusan saat ini masih kosong. Formasi Dewan Pengurus Yayasan Biennale Yogyakarta membutuhkan 3 orang pengampu lini kerja sebagai ketua, sekretaris dan bendahara. Diharapkan individu yang akan mengisi tiga posisi ini dapat menyumbangkan pendekatan yang lebih segar dan perspektif yang lebih kritis dalam mengembangkan gagasan organisatoris yang progresif, mampu menghubungkan berbagai komponen di dalam struktur kelembagaan Yayasan Biennale Yogyakarta dengan berbagai pihak baik lembaga mapupun individu yang berpotensi menjadi mitra dalam mewujudkan semangat dan gagasan besar Yayasan Biennale Yogyakarta.

Syarat dan Tata Cara 1)

Peminat secara individu bisa menyerahkan lamaran dengan keterangan motivasi terhadap posisi yang diminati secukupnya, sertakan CV yang dianggap relevan dan


34

2)

3)

4)

membantu kami memahami. Lamaran dikirim kepada: Pembina YBY d/a Yayasan Biennale Yogyakarta Kompleks Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sriwedani No.1 Yogyakarta 55122 Atau Email: the-equator@biennalejogja.org (subyek email: Lamaran Dewan YBY) Peminat secara individu maupun secara kelompok, bisa dicalonkan dan diusung pencalonannya, oleh atau diwakilkan oleh seseorang, namun sebaiknya tetap menyertakan surat keterangan berminat beserta CV yang relevan, dari masingmasing nama yang dicalonkan/ mencalonkan. Lamaran dibuka sejak pengumuman ini diluncurkan di media sosial (Email, Instagram, Facebook, dan Whatsapp) sampai dengan tanggal 31 Juli 2018. Selanjutnya forum rapat Dewan Pembina Yayasan (yang lama) akan menentukan nama-nama baru yang terpilih dan layak dalam memperkuat, dan melengkapi masing-masing posisi komponen Yayasan Biennale Yogyakarta.

Kami, Yayasan Biennale Yogyakarta menunggu respon siapapun, para pemangku kepentingan yang merasa terpanggil untuk pemajuan kebudayaan melalui Biennale Ekuator Jogjakarta, untuk Yogyakarta, dan untuk NKRI.


BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

YAYASAN

YOGYAKARTA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.