6 minute read
Membuka Dialog dan Merebut Ruang Strategis Wawancara bersama Fitri DK
Dokumentasi pribadi
MEMBUKA DIALOG DAN MEREBUT RUANG STRATEGIS
Advertisement
Wawancara bersama Fitri DK
Malaysia saat ini bisa dibilang sedang memasuki masa baru sejak Mahathir Mohamad menjabat sebagai perdana menteri di tahun 2018. Era baru bagi rakyat Malaysia ini disambut dengan baik, terlebih lagi dengan terbukanya ruang untuk berdiskusi dan berdialog terkait dengan persoalan dan isu-isu yang terjadi di masyarakat. Ketakutan untuk mengkritik pemerintah pun dirasa semakin menghilang, salah satunya dengan adanya acara Democracy in Action.
Democracy in action merupakan sebuah acara yang digagas oleh sebuah lembaga bernama FORSEA (Forces of Renewal for South East Asia). FORSEA sendiri berupaya untuk mengkampanyekan keadilan dan demokrasi di wilayah Asia Tenggara. Acara Democracy in Action pada tanggal 13-17 Februari merupakan sebuah acara pameran seni yang melibatkan dan mengundang para seniman yang bekerja pada isu gerakan sosial. Taring Padi sebagai salah satu kelompok seni yang aktif membicarakan mengenai isu-isu sosial dan politik dalam karya-karyanya, diundang untuk terlibat dalam kegiatan pameran di Democracy in Action. Fitri DK sebagai salah satu anggota Taring Padi,
berkesempatan untuk hadir dalam pameran Democracy in Action bersama dengan kelompok Dendang Kampungan. Kali ini, Nisa dari Biennale Jogja, berkesempatan untuk berbincang bersama Fitri DK mengenai pengalamannya terlibat dalam acara Democracy in Action bulan Februari lalu. Nisa : Awal keterlibatan dalam acara ini gimana Mbak? Fitri : Awalnya dihubungi oleh dari pihak Democracy in Action, langsung oleh kuratornya. Waktu itu yang menghubungi adalah Intan Rafiza. Diundang kesana sebagai Taring Padi dan Dendang Kampungan. Kalau Taring Padi itu diundang untuk terlibat dalam pameran Democracy in Action. Dan Dendang Kampungan itu untuk acara malam kebudayaan, seperti musik, dan namanya adalah Seiring Sejalan. Awalnya kami ditawari untuk ikut dalam beberapa acara, pameran, presentasi, bazar, dan musik. Cuma masalahnya, enggak semua anggota Dendang Kampungan itu di Taring Padi. Kalau mau mengundang Taring Padi, hanya ada empat anggota Dendang Kampungan yang terlibat. Pada akhirnya mereka mengundang Taring Padi dan Dendang Kampungan yang versi lengkap. Ternyata memang banyak yang datang rombongan, seperti Pangrok Sulap dari Sabah.
Nisa : Jadi untuk pamerannya Taring Padi menampilkan karya apa Mbak? Fitri : Untuk pamerannya Taring Padi, kami bawa karya yang seri menyikapi pemilu, itu karya yang paling baru. Juga kami menampilkan karya 'All Mining Is Dangerous'. Karya yang kedua merupakan karya kolaborasi Taring Padi bersama komunitas Just
Dokumentasi pribadi
Seed di Portland, Amerika. Isu yang coba diangkat adalah kami mengkritisi tambang di masing-masing negara. Tambang di Indonesia seperti apa dan tambang di Amerika bagaimana, lalu kami membuat dua panel. Yang satu dikerjakan Taring Padi dan satunya dikerjakan oleh Just Seed, tapi sebenarnya itu nyambung. Jadi kalau dijahit dijadikan satu itu enggak kelihatan dan memang itu satu kesatuan. Nisa : Kegiatan selain pameran, tadi Mbak Fitri sempat menyebutkan soal presentasi. Bentuk presentasinya seperti apa Mbak? Fitri : Jadi hari pertama tanggal 13 Februari itu kami presentasi bersama Shaq Koyok. Yang dibicarakan bukan hanya mengenai karya apa saja yang ditampilkan atau pernah dibuat, tapi lebih mengarah ke aski atau kegiatan apa saja yang pernah dilakukan di negara masing-masing. Dari pihak penyelenggara mempertemukan Taring Padi dan Shaq Koyok dalam satu sesi, karena dari kurator sendiri melihat Taring Padi dan apa yang dilakukan oleh Shaq Koyok. Misalnya, Shaq Koyok lebih ke karya-karya mengenai masyarakat adatnya dan Taring Padi condong ke isu sosial politik, yang mana sebenarnya sama. Nisa : Shaq Koyok sendiri praktiknya yang menarik apa Mbak, kalau boleh cerita sedikit. Fitri : Satu hari kita sempat ke Desa Temuan di Kuala Lumpur. Jadi dahulu orang asli sana, tinggal di Desa Temuan tapi sekarang mereka tergusur karena pertumbuhan kota. Akhirnya mereka sekarang dipindahkan. Desa Temuan ya, sebenarnya adalah desa adat. Sebenarnya enggak 5 sengaja makan ayam goreng dan ada tulisannya mengenai desa itu. Dan ternyata salah seorang teman mengenalkan dengan seniman darisana. Nama, senimannya si Shaq Koyok ini. Sejak desanya digusur, karya-karyanya semua tentang masyarakat adat. Dia sendiri kurang dapat ruang, saat pemerintahan Najib. Hampir semua seniman sebenarnya yang karyanya mengkritik pemerintah, sama pemerintahan Najib kan dihalang, salah satunya si Shaq ini. Dia justru dapat penghargaan dari pemerintah Australia kalau enggak salah dan sejak itu dia punya motivasi untuk semangat berkarya terus. Karyanya realis, ditempatkan di tikar, dan menggabungkan dengan kerajinan dari masyarakat adat, kemudian dia gambar. Nisa : Selain Shaq Koyok ketemu siapa lagi Mbak yang menarik ceritanya? Fitri : Ada Pangrok Sulap. Pangrok Sulap itu dari Sabah dan awal mulanya mereka memang tertarik dengan Taring Padi, terutama dari teknik cukil kayunya. Tentu dengan tema yang berbeda tapi masih terkait dengan isu sosial dan politik. Juga bagusnya, tema seperti ini mudah diterima masyarakat disana. Bagusnya mereka merekrut anggotanya dengan pembelajaran bukunya Taring Padi. Terakhir Rizo, salah satu pemimpin dari Pangrok Sulap memborong buku "Taring Padi Seni Membongkar Tirani" hampir 40 buku untuk dibagikan gratis ke anak-anak muda disana, terutama mereka yang masih bingung. Banyak yang jadinya tertarik dan ikut gabung bersama Pangrok Sulap. Fokusnya memang cukil kayu dan kemudian ditransfer ke silk screen untuk dibuat kaos. Ada cerita menarik lagi, selama ini orang yang tahu soal Kuala Lumpur hanya datang ke Menara Kembar, tapi aku pribadi enggak tega. Sempat foto tapi karena memang diajak dan kami tidak
bisa menolak. Dan setelah tahu kisahnya dari teman-teman Pangrok Sulap bahwa kekayaan alam Sabah dikeruk untuk pembangunan di Kuala Lumpur, salah satunya Menara Kembar itu, kami langsung tidak mau upload fotonya. Masyarakat sana, di Sabah, tidak bisa menikmati kekayaan alam mereka. Kekayaan Malaysia itu ya dari Sabah, bukan dari Kuala Lumpur. Nisa : Situasi kesenian disana saat ini gimana Mbak berarti? Banyak yang membicarakan isu sosial dan politik berarti? Fitri : Iya, jadi karyanya banyak yang bicara soal sosial dan politik secara terbuka. Mereka sendiri juga kaget sebenarnya, pameran berlangsung secara aman karena dahulu era Najib agak susah. Sekarang di era baru Mahathir mereka mau berusaha acara seperti ini dipertahankan. Mungkin karena masa transisi jadinya bisa aman, jadi mereka mau terus berusaha kalau acara seperti pameran harus terus ada, takutnya nanti ternyata kelamaan pemerintahan Mahathir melarang, kita juga enggak tahu, jadi mereka terus berupaya. Sebenarnya juga mungkin posisinya disana, yang menurutku "istimewa", mereka lama berada dalam situasi seperti di jaman Soeharto. Dan sekarang mereka berada di situasi baru, di mana mereka bisa berekspresi. Salah satu yang berkesan Pangrok Sulap itu, mereka kuat secara teks tapi juga memperhatikan segi artistiknya juga.
Dokumentasi pribadi
Nisa : Ada tanggapan yang berkesan dari pengunjung saat melihat karya yang ditampilkan enggak Mbak? Fitri : Disana pamerannya senimannya selalu ada terus di dekat karyanya dan orang beneran tanya. Disini juga ada sih, kayak waktu SURVIVE! pameran di Jogja Contemporary itu juga banyak yang nanya. Tapi kemarin hampir semua audiens yang datang mereka tanya, "kalau karya ini dipasang di jalanan, reaksi orang gimana?". Mereka tanya sampai penerapannya. Jadi dialog itu benar-benar terbangun antara audiens dengan mereka yang mengikuti pameran. Karena kalau di Malaysia menyikapi pemilu itu bisa dibilang agak mengerikan. Kalau ketahuan siapa yang bikin, bisa ditangkap. Untuk ngomong soal pemilu itu sensitif, disini juga, tapi pemlihan kata dan tema itu memang penting. Nisa : Apa ada poin lain yang kemudian jadi menginspirasi untuk bisa diterapkan disini enggak Mbak? Fitri : Secara audiens, acara ini cukup banyak. Karena acara ini ditempatkan ditengah-tengah pusat perbelanjaan. Jadi acaranya mengambil tempat di selasar di salah satu pusat perbelanjaan digunakan untuk bazar. Dekat sana juga ada ruang publik untuk nongkrong-nongkrong itu disewa sebagai panggung. Dekat panggung dibuat dua ruang, White Box dan Black Box. Black Box itu memang hitam semua untuk ruang pamer dan White Box itu untuk conference. Kami juga kemarin sempat tanya kenapa memilih di pusat perbelanjaan? Bagi mereka itu mencoba merebut ruang strategis untuk membicarakan isu yang berbebeda. Karena mereka datang kesana biasanya hanya untuk belanja dan nongkrong. Tapi usaha ini bagi mereka sebagai bentuk merebut ruang strategis untuk menciptakan dialog yang lain dengan audiens yang berbeda. Aku sendiri jadi mikir, sebenarnya ini ide yang bagus. Kadang kala kalau kita mau buat acara serupa, pasti dapat pandangan nyinyir, "wah, ngomongin kerakyatan kok di dalam mall. Ngomongin kerakyatan kok di dalam hotel", gitu ya. Tapi sebenarnya kalau audiens kita itu-itu aja, terus edukasinya dimana? Kalau mencari tempat yang berbeda dengan audiens yang beragam itu kan, pesannya malah jadi semakin luas ya tersebar sebenarnya kalau melihat kesana. Oke juga kan sebenarnya.