4 minute read

Bagiku Seniku Bagimu Senimu

Dokumentasi: Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat

(Catatan Perjalanan dari Pontianak, Kalimantan Barat) Oleh: Akiq AW (Kurator Biennale Jogja Equator #5)

Advertisement

Dalam beberapa minggu terakhir ini, saya berkesempatan bertukar pengalaman dengan teman-teman pelaku seni dari beberapa daerah, yang kemudian membuat saya berfikir kembali tentang halhal yang selama ini kita terima apa adanya. Mulai dari persoalan ruang ekspresi hingga problem keberlangsungan hidup, mulai dari persoalan seniman dan produksi hingga persoalan penonton dan apresiasi. Ada sebuah perasaan yang janggal ketika mendengarkan cerita-cerita itu; hal yang sama tapi sama sekali jauh berbeda ketika diperbincangkan di Jogja. Saya menjadi curiga apakah ini yang disebut dengan sindrom rumah cermin, kemanapun kita memandang maka yang ditemukan adalah diri sendiri? Saya merasa hal ini terjadi karena arogansi dan keblinger saya bahwa saya berasal dari pusat kesenian? Pusat kesenian yang saya maksud adalah Jogja itu sendiri. Apakah teman berbicara saya juga terkungkung dalam asumsi-asumsi pusatpinggiran yang selama ini dipercayai? Kira-kira beberapa hal berikut ini, yang coba saya jabarkan dalam tulisan ini mungkin bisa menggambarkan mengapa saya merasa seperti itu.

Hal pertama yang saya lihat adalah pada cara pandang; bagaimana kita melihat diri dan dunia dimana kita hidup sehari-hari. Ada perasaan bahwa kesenian dan profesi sebagai seniman menghendaki kita berada diatas kenyataan sosial, di satu sisi banyak seniman selalu membicarakan hal-hal adiluhung, yang awam dianggap tak sanggup memahaminya. Disisi lainnya bahwa seniman, dan untuk menjadi “seni”, harus membicarakan diri sendiri dan berlagak menjadi suara kebijaksanaan masyarakatnya. Dalam beberapa tingkat dan bentuk, pandangan ini hadir di semua tempat. Di pusat, dia muncul dalam bentuk gaya hidup hedonistik bersampul nilai-nilai progresif, di pinggiran dia berubah menjadi elitisme yang gagap melihat perubahan masyarakatnya. Di pusat, setiap hari karya seni diproduksi tanpa kenal nilai hidupnya, di pinggiran karya seni terhambat diproduksi karena tak kenal kepentingan masyarakatnya. Di Jogja, keberadaan dan kehadiran 'penonton' atau yang lebih luas disebut khalayak seni, dianggap menjadi tolak ukur yang valid atas sebuah perhelatan. Bahwa ketika pameran seni mengundang interaksi muda-mudi ber-selfie, itu sudah dianggap sebagai bentuk partisipasi masyarakat atas kegiatan seni. Bahwa ketika setiap minggu nyaris tak satu kalipun Jogja tanpa kegiatan seni, itu dianggap bahwa seni sudah mendapatkan relevansinya di masyarakat. Bisa dibilang bahwa karya seni adalah manifestasi dari cita-cita karir seniman yang jika digali lebih jauh akan sangat terasing dari nilai-nilai dan praktik hidup senimannya; tidak

Dokumentasi: Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat

Dokumentasi: Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat semuanya tapi banyak. Apakah mungkin, dalam membicarakan seni yang berlandaskan kebebasan-kemandirian, tapi disaat bersamaan patron-patron bermodal uang berkeliaran menata wacana menebar ketergantungan? Lihat saja saat ini, ketika arus modal beralih ke kiblat lain, pasar menjadi sepi, tak ada lagi suara lantang penentangan. Jogja hanya berisik oleh politik elektoral, hiruk pikuk rerasan primordial dan kumpul-kumpul membahas proposal. Seniman berkumpul tidak lagi membicarakan gagasan dan peristiwa sosial tapi lebih memilih membicarakan hobi dan berita-berita kriminal.

Di tempat lain, anak-anak muda bisa dengan santai memajang lukisannya di dinding kafe, tanpa beban ukuran dan material karya, sembari mengeluh kurangnya ruang pameran, kurangnya apresiasi pengunjung. Dalam kerangka kerja menuju Biennale Jogja Equator #5, saya melakukan perjalanan ke Potianak pertengahan bulan Maret lalu. Saya mengamati peran besar korporat khususnya industri rokok dalam mempengaruhi iklim berkesenian, dengan munculnya penghargaan, duta-duta kreatif dan juga pendanaan untuk acara seni lokal. Ada perusahaan rokok yang merangkul komunitas anak muda, menumbuhkan mental dan praktek yang saya sebut sebagai seni viral. Mereka membiakkan apa yang disebut dengan local hero atau influencer yaitu seniman atau penghibur lokal yang menghasilkan karya yang viral, yang memiliki tentu saja pengaruh berantai di dunia media sosial. Praktek kesenian sekarang sejajar sejalan dengan iklan, berebut perhatian menggunakan kontras dan banalitas, yang hanya seusia satu pencetan jari ke pencetan jari berikutnya di layar telepon pintar. Tapi tentu saja masih ada yang lain, yang memilih menjalani keseniannya dalam sunyi di tengah-tengah masyarakatnya. Saya

bertemu dengan seniman muda Dayak yang juga menjadi tatung, orang yang mendapatkan 'panggilan' untuk menjadi penerus para leluhur dalam praktek-praktek ritual di dunia sekarang. Dia memiliki tanggung jawab sosial-kultural dalam ritual dan sistem kemasyarakatan, dan secara bersamaan menjalankan profesi sebagai pengajar dan musisi, yang berkarya dan aktif dalam skena seni di kotanya. Ritual-ritual dia pahami sebagai upayanya menjaga keberagaman dan kerukunan masyarakatnya. Entah di pusat atau di pinggiran, wajah seni akan berwujud serupa dengan pelakunya, setabiat dengan ideologi manusia dan masyarakatnya. Ketika membicarakan seni di pinggiran, seringkali acuannya adalah konteks mapan seni liberal barat, ya seni yang sekarang kita sokong ini. Standar-standar yang seringkali diasumsikan, persis menjadi persoalan di sebagian besar wilayah. Ketika pelukis menaruh harga karya di balik caption, langsung dianggap tidak paham bagaimana estetika seni tinggi. Ketika pengunjung memegang karya di galeri, langsung tidak dianggap mengerti tentang kesenian. Pun dalam soal formal, ada standar bentuk dan isi yang kemudian di-justifikasi dengan sejarah seni. Ini adalah hantu bagi seniman-seniman otodidak yang mendapatkan bahan dan ukuran dari kondisi lokal dan pengetahuan dari praktek keseharian. Seni sebagai bagian dari superstruktur harusnya dibentuk oleh praktek-praktek produksi yang sangat lokal, yang unik dari konteks masyarakat satu dengan yang lainnya. Jika di Tegal minggu lalu ada yang mengeluh bahwa seniman memperlakukan karyanya sendiri dengan 'sembarangan', maka bukankah itu ukuran dari praktek produksi yang ada disana? Di kota-kota yang belum terkooptasi dengan pakem-pakem seni mapan, kesempatan memperbincangkan nilai-nilai dan aturan sangat terbuka. Tumbuh berkembang dengan masyarakat dan praktek produksi lokal mungkin menjadi salah satu cara menjawab keluhan-keluhan seniman atas kurangnya minat masyarakat dan infrastruktur seni lokal. Sebagai penganut taat sekte kesenian sudah seharusnya kita menyebarkan ajaran kesenian dan memperbanyak amal jariyah kesenian yang berguna untuk masyarakat di mana kita tinggal. Bukan malah asyik masyuk dengan diri dan agenda ekonomi personal saja.

This article is from: