10
BAGIKU SENIKU BAGIMU SENIMU (Catatan Perjalanan dari Pontianak, Kalimantan Barat) Oleh: Akiq AW (Kurator Biennale Jogja Equator #5)
Dokumentasi: Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat
Dalam beberapa minggu terakhir ini, saya berkesempatan bertukar pengalaman dengan teman-teman pelaku seni dari beberapa daerah, yang kemudian membuat saya berfikir kembali tentang halhal yang selama ini kita terima apa adanya. Mulai dari persoalan ruang ekspresi hingga problem keberlangsungan hidup, mulai dari persoalan seniman dan produksi hingga persoalan penonton dan apresiasi. Ada sebuah perasaan yang janggal ketika mendengarkan cerita-cerita itu; hal yang sama tapi sama sekali jauh berbeda ketika diperbincangkan di Jogja. Saya menjadi curiga apakah ini yang disebut dengan sindrom rumah cermin, kemanapun kita memandang maka yang ditemukan adalah diri sendiri? Saya merasa hal ini terjadi karena arogansi dan keblinger saya bahwa saya berasal dari pusat kesenian? Pusat kesenian yang saya maksud adalah Jogja itu sendiri. Apakah teman berbicara saya juga terkungkung dalam asumsi-asumsi pusatpinggiran yang selama ini dipercayai? Kira-kira beberapa hal berikut ini, yang coba saya jabarkan dalam tulisan ini mungkin bisa menggambarkan mengapa saya merasa seperti itu.