8 minute read

Tur Kota, Pertemuan, dan Hal-hal Menarik Lainnya

“Lainnya”

Foto oleh: Sita Magfira dan

Advertisement

TUR KOTA, PERTEMUAN, DAN HAL-HAL MENARIK LAINYA

(Catatan Perjalanan dari Yangon, Myanmar)

Oleh: Sita Magfira, (Peneliti dan Asisten Kurator

Biennale Jogja Equator #5)

Perjalanan saya ke Yangon cukup singkat. Hanya seminggu. Di waktu yang singkat itu, tidak mungkin saya lantas bisa memetakan Yangon dengan baik. Apa yang kemudian dapat saya bagikan hanyalah terkaan-terkaan atas Yangon. Sebuah usaha dari mengingat kembali dan menggabungkan antara apa yang alami dan saya pikirkan atasnya. Pagi pertama di Yangon saya lewati dengan berjalan kaki mengelilingi pusat kota bersama Yangon Heritage Trust (YHT). Lembaga independen ini fokus pada usaha menjaga kekhasan

bangunan-bangunan bersejarah di Yangon. Sejak sampai di Yangon sore hari sebelumnya, saya sudah menandai ada begitu banyak bangunan-bangunan lawas di kota itu.

"Umpama Jakarta, ini seperti melihat Kota Tua ada di sana-sini," batin saya. Yangon memang salah satu kota dengan komposisi arsitektur kolonial yang paling lengkap di dunia dan kaya akan sejarah. Lansekap urbannya tampak menakjubkan dan beragam. Kita, misalnya, bisa melihat bangunan-bangunan penting dari berbagai agama di kota itu: Shwedagon Pagoda, katedral Katolik Roma dan Anglikan, gereja Kristen Metodis, masjid-masjid Sunni dan Syiah, pura-pura Hindu, Parsi, dan Sikh, sinagoga Yahudi, dan gereja Kristen Armenia.

Mengutip pemandu tur dari YHT, "Ini menggambarkan bahwa Yangon adalah kota yang sangat kaya dalam hal sejarah, budaya, dan agama." Tapi kekayaan bangunan bersejarah di kota itu, sama seperti di banyak kota lainnya di dunia, berada dalam kondisi yang rentan. Berabad-abad diabaikan ditambah lagi dengan pembangunan kota yang makin cepat dan masif di Yangon, tidak sedikit bangunan berusia ratusan tahun dihancurkan. Mereka tergantikan dengan bangunan-bangunan baru; yang dirasa sesuai dengan kebutuhan pembangunan hari ini. YHT hadir dengan kesadaran perlunya ada perencanaan kota yang mengintegrasikan laku preservasi bangunan-bangunan bersejarah di dalamnya. Dalam tur kami, saya mendengar beberapa kisah tentang kerja-kerja mereka. Beberapa di antaranya adalah pembuatan papan informasi tentang bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Yangon dan kerja pendampingan yang mereka lakukan untuk pembuatan aturan tentang bangunan peninggalan sejarah. Aturan yang dibuat tahun 2013 ini adalah aturan pertama di Myanmar yang membahas soal bangunan peninggalan sejarah. Saya juga mendengar kisah-kisah keberhasilan mereka dalam upaya advokasi menolak penghancuran bangunan bersejarah di Yangon. Satu di antaranya adalah Gandhi Hall yang sempat hendak dihancurkan untuk pembangunan kondominium. Gandhi Hall punya nilai sejarah sebab bangunan ini dulunya merupakan kantor The Rangoon Times, kantor bagi Mahatma Gandhi Memorial Trust, dan tempat dikeluarkannya Gandhi Hall Declaration pada Juli 1990 yang menyatakan pentingnya praktik demokrasi di Myanmar. Pembangunan di Yangon juga tampaknya tidak melulu soal merubuhkan bangunanbangunan lawas. Lewat Htein Lin, salah seorang seniman yang saya temui di Yangon, misalnya, saya dengar cerita tentang sebuah pohon besar di tengah kota, berusia ratusan tahun, yang ditebang demi pembangunan. Imaji tentang pohon besar itu dihadirkan Htein Lin dalam karya Recently Departed (2018). Soal pembangunan, hal lain yang menarik dari Yangon buat saya adalah tempat tinggal yang dibangun ke atas. Saat berkunjung ke rumah Moe Satt, seorang seniman performans, saya mengajukan pertanyaan yang naif sekali. "Apakah rumah di Yangon sedari dulu memang vertikal?"

Foto oleh: Sita Magfira dan Moe Satt lalu bercerita tentang bagaimana ia tumbuh besar di Yangon dan melihat apa yang disebut sebagai rumah berubah menjadi petak-petak yang menumpuk ke atas. Perubahan yang tentunya berkaitan dengan perkembangan penduduk dan ketersediaan lahan. Di tahun 2012, Myanmar Times merilis berita tentang populasi Yangon yang diprediksi akan meningkat dua kali lipat di tahun 2017, kurangnya tempat tinggal, dan kebutuhan untuk membangun kompleks-kompleks perumahan vertikal lainnya.¹ Kebetulan empat seniman yang saya temui selama di Yangon selalu mengundang saya untuk berkunjung ke tempat tinggal mereka. Dari kunjungan ke rumah mereka saya belajar soal konsep tempat tinggal di Yangon. Htein Lin, yang usianya jauh lebih tua daripada tiga seniman lainnya dan termasuk seniman mapan, tinggal di kompleks yang disebut 'housing'. Sementara tiga orang lainnya merujuk tempat tinggal mereka sebagai 'flat'. Yang disebut sebagai 'housing' adalah kompleks dengan tidak terlalu banyak tempat tinggal tumpuk-menumpuk. Hanya ada empat tempat tinggal tumpuk-menumpuk dalam tiap bangunan di kompleks 'housing' Htein Lin. Di bawah masing-masing bangunan tersedia lahan parkir untuk mobil. Sementara tiga seniman lainnya (dua di antaranya kebetulan adalah suami istri) tinggal di satu bangunan tinggi yang disebut sebagai 'flat'. Ada banyak tempat tinggal yang tumpuk-menumpuk di dalamnya. Tempat tinggal Aung Ko dan Nge Lay, sepasang seniman, misalnya, berada di lantai delapan kompleks flat mereka. Meski begitu, baik tempat tinggal yang disebut housing dan flat sama-sama tampak tidak cukup besar sebagai studio

seniman-seniman yang saya temui itu. Apalagi, mengingat beberapa di antara mereka, khususnya Htein Lin, Nge Lay, dan Aung Ko, punya karya-karya instalasi berukuran masif. Htein Lin sendiri memiliki studio yang cukup besar di pinggiran Yangon; yang jaraknya sekitar 1 jam dari pusat kota dan bisa ditempuh menggunakan taksi dengan biaya sekitar Rp 300.000. Berbeda dengan Htein Lin, Nge Lay dan Aung Ko memilih untuk menggunakan rumah keluarga Aung Ko di desa yang berjarak 10 jam dari Yangon sebagai studio. Itu berarti mereka harus meninggalkan Yangon selama beberapa waktu untuk mengerjakan karya-karya instalasi mereka. Saat mengerjakan karya instalasi berukuran besar, mereka bisa memilih menetap di desa itu dalam hitungan bulan. Pilihan lainnya adalah menyewa tempat lain di pinggiran Yangon sebagai tempat berkarya. Ini tentu erat dengan mahalnya harga tempat tinggal di Yangon. Saya juga tidak bisa tidak tertarik melihat tidak adanya motor di jalanan kota Yangon. Di era ojek online seperti hari ini, rasanya jadi janggal dan berlebihan untuk bepergian sendiri di Yangon dengan harus menggunakan taksi. Tapi itu pilihan yang paling baik selain menggunakan bus atau berjalan khaki. Seorang kenalan asal Yangon mengatakan pemerintah Yangon melarang penggunaan motor dengan alasan keselamatan. "Supaya angka kecelakaan tidak besar. Juga bagus untuk lingkungan," katanya. Tapi dari Moe Satt, saya mendengar kisah bahwa larangan itu dibuat oleh rezim militer karena takut akan keamanan mereka. Berdasar cerita Moe Satt, seperti yang kemudian saya dengar juga dari seorang kawan berkebangsaan Amerika yang melakukan banyak penelitian di Yangon, larangan ini mulai dibuat setelah sekelompok anak muda bersepeda motor menyalip ke sebelah mobil seorang petinggi militer dan membuat gestur tangan yang sedang menembakkan pistol ke arah petinggi militer itu. Kejadian itu membuat petinggi militer sadar bahwa pengguna motor bisa membahayakan keamanan mereka. Larangan penggunaan motor di pusat kota Yangon diberlakukan tidak lama setelah itu. Saat berkunjung ke studio Htein Lin yang berada di pinggiran Yangon, saya baru bisa melihat satu dua orang mengendarai motor. Menurut salah satu berita yang dilansir The Frontier,² sejak 2003, motor sebenarnya tidak saja dilarang di pusat kota Yangon tapi juga di 33 kota kecil yang berada dalam administrasi komite pembangunan kota Yangon. Hanya saja dalam pelaksanaannya, pelarangan ini tidak seketat di pusat kota. Fleksibilitas ini kemudian bisa dihubungkan dengan ketersediaan transportasi umum dan keadaan ekonomi masyarakat. Selain bertemu seniman, saya juga berkesempatan berkunjung ke dua lembaga yang fokus pada gerakan sosial dan pendidikan. Masing-masing adalah The Third Story Project dan Mote Oo Education. The Third Story Project adalah kerja kolaboratif antara the Myanmar Storytellers and the Benevolent Youth Association dalam membuat buku cerita anak-anak yang kemudian disebarkan secara gratis ke anak-anak di berbagai penjuru Myanmar.

The Third Story Project menggandeng seniman-seniman Myanmar dalam proses pembuatan buku cerita, baik sebagai penulis pun ilustrator. The Third Story Project juga beberapa kali mengajak anak-anak untuk mengembangkan ide cerita buku-buku mereka. Tema-tema yang dihadirkan dalam buku-buku cerita itu banyak ragam dan menarik. Kita misalnya bisa menemukan nilai-nilai mendasar tentang perdamaian, toleransi, kesetaraan, keberagaman, lingkungan, demokrasi, dan hak-hak anak dalam buku-buku cerita yang dibuat mereka. Semuanya tentunya hadir dengan gaya tutur yang mudah dipahami anak-anak disertai dengan ilustrasi-ilustrasi penuh warna yang menyenangkan mata. Buku-buku cerita ini ditulis dalam Bahasa Burma dan cukup banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Menariknya, satu dua buku juga dibuat dengan gaya tutur visual saja, tanpa kata-kata. Sementara Mote Oo Education adalah organisasi yang fokus meningkatkan pemahaman tentang keadilan sosial lewat materimateri dan berbagai layanan pendidikan yang sesuai dengan konteks Myanmar. Mote Oo berangkat dari pandangan bahwa pendidikan di Myanmar perlu untuk mengikuti perkembangan pesat dunia di abad ke-21 ini. Contoh hasil kerja dari Mote Oo adalah buku-buku yang bisa digunakan sebagai bahan ajar di sekolahsekolah di Myanmar. Buku-buku ini misalnya membahas topik-topik seputar keberagaman dan toleransi, kesetaraan gender, sejarah Myanmar, demokrasi, partisipasi warga, dan sebagainya. Tersedia dalam Bahasa Burma dan Bahasa Inggris, buku-buku Mote Oo ada yang khusus untuk pelajar dan ada yang khusus untuk pengajar. Mereka bekerja sama dengan sekolah serta tenaga pengajar dalam menyebarkan buku-bukunya. Di bawah lisensi creative commons, buku-buku Mote Oo ini juga mudah diunduh oleh siapa saja. Hal lain yang juga dikerjakan oleh Mote Oo adalah pelatihan untuk pendidik. Inisiatif-inisiatif macam The Third Project dan Mote Oo tampak sangat beragam dan aktif di Myanmar. Menarik juga dicatat bahwa isu-isu macam keberagaman, toleransi, kesetaraan, dan demokrasi hadir dalam buku-buku yang dibuat keduanya. Baik melalui medium cerita anak-anak juga lewat buku-buku pelajaran yang umumnya digunakan dalam seting kegiatan belajar-mengajar formal. Ini tentu saja terkait erat dengan situasi sosial dan politik di Myanmar saat ini dan bisa dilihat sebagai ikhtiar untuk membuatnya lebih baik.

Hal menarik lainnya adalah bagaimana orang-orang di Yangon berpakaian dan bersolek. Mengingat Yangon adalah kota terbesar di Myanmar, menarik melihat banyak sekali orang yang memakai longyi - kain tradisional yang dipakai oleh perempuan dan laki-laki dalam keseharian. Atau bagaimana mereka (umumnya perempuan dan anak-anak) memakai thanaka (masker wajah tradisional) saat berkegiatan di luar rumah. Buat saya, thanaka tampak seperti bedak dingin, Tentu saja saya kemudian membandingkannya dengan bagaimana kita di Yogya yang hanya menggunakan kain tradisional di acaraacara tertentu. Rasanya juga sulit membayangkan kita mau keluar rumah - apalagi untuk bekerja dengan memakai bedak dingin di wajah. Bagi saya, ada kesahajaan sekaligus sikap apa adanya di dalam diri orang-orang Myanmar ini jika dilihat dari bagaimana mereka mematut diri. Yang tentu saja bisa juga dilihat sebagai sesuatu yang ada kaitannya dengan fakta bahwa Myanmar baru membuka diri terhadap dunia luar sekitar delapan tahun lalu. Saya penasaran, semisal saya punya kesempatan berkunjung lagi ke Yangon dalam katakanlah 10 tahun ke depan, apakah saya masih bisa melihat orang-orang memakai longyi dan thanaka di jalanjalan kota itu?

Foto oleh: M. Fasha Rouf

Keterangan: ¹ https://www.mmtimes.com/special-features/148-property-myanmar/2775-seeking solutions-for-housing-shortages-in-myanmar.html ² https://frontiermyanmar.net/en/yangons-two-wheeled-conundrum

This article is from: