3 minute read

Forum Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana

Pada awal tahun ini Biennale Jogja Equator #5 telah mengumumkan program residensi (Residensi Kelana) yang bekerja sama dengan Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat (Rimpang Nusantara). Residensi Kelana sendiri merupakan bentuk residensi yang tidak bermukim dan pada satu lokasi, tetapi seniman akan bergerak terus, menyisir wilayah di mana mereka ditempatkan. Para kurator Biennale Jogja Equator #5 telah memilih tiga seniman untuk terlibat dalam program Residensi Kelana; Ferial Afif, Nur 'Ipeh' Hanifah dan Suvi Wahyudianto. Rimpang Nusantara pun telah memilih untuk fase pertama ini sebanyak lima seniman, yaitu Rahmadiyah Tria Gayatri (Palu), Arif Setiawan (Pontianak), Syamsul Arifin (Madura), Cut Putri Ayasofya (Aceh), dan Tajriani (Sulawesi Barat). Pertemuan perdana diadakan selama satu minggu lamannya. Tujuan pertemuan ini adalah untuk mempersiapkan para seniman, baik Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana sebelum masingmasing pergi melakukan perjalanan. Membayangkan sebuah bentuk perjalanan, diharapkan para seniman yang terlibat dapat memposisikan diri mereka sebagai “etnografer”. Etnografer dalam hal ini tidak diartikan secara harafiah, bahwa mereka “diharuskan” menjadi etnografer. Namun, memposisikan diri sebagai etnografer dirasa penting jika para seniman akan bekerja dengan komunitas atau masyarakat setempat. Harapannya, dalam bentuk karya yang dihasilkan, tidak hanya merepresentasikan komunitas dan masyarakatnya saja tapi juga bisa mempresentasikan dirinya sendiri (seniman) serta hubungannya dengan komunitas atau masyarakat di mana ia bekerja.

Advertisement

Praktik lain yang coba diangkat melalui pertemuan pertama ini selain etnografi adalah bagaimana para seniman yang akan melakukan perjalanan memahami ragam praktik berkesian; seperti seni berbasis riset dan riset artistik. Kedua praktik ini juga cukup menjadi pokok pikiran sebagai acuan jalannya pertemuan pertama ini. Perbedaan diantara riset artistik dan seni berbasis riset yang paling mendasar adalah pada tujuan penggunaannya. Riset artistik ditujukan untuk meneliti diri sendiri (seniman) untuk merefleksikan pengalaman artistiknya, mengevaluasi, dan kemudian dapat mengembangkan praktiknya. Pada seni berbasis riset, digunakan untuk menelaah dan mengamati fenomena sosial dalam kehidupan sebuah komunitas untuk mendukung proses berkaryanya - juga si seniman memposisikan dirinya sebagai pengamat. Melalui kerangka pemikiran yang dibangun untuk pertemuan pertama ini, dibuatlah serangkaian acara berbentuk diskusi dan sedikit praktik di lapangan selama kurang lebih lima hari. Hari pertama, dimulai dengan kegiatan lokakarya bersama Etnoreflika untuk mempelajari mengenai praktik visual etnografi. Selama proses perjalanan nanti, para seniman tentu akan mendokumentasikan, baik itu suara, gambar, maupun video - sehingga lokakarya ini diadakan untuk mendukung proses tersebut. Hari itu pula, para seniman diminta untuk melakukan sedikit praktik di lapangan dengan melakukan wawancara di wilayah sekitar Cemeti.

Karena ini adalah pertemuan pertama seluruh seniman, di hari kedua, sebagai perkenalan, para seniman melakukan presentasi mengenai karya-karya mereka dan praktik kerja yang mereka lakukan selama ini. Hari ketiga, para seniman yang berasal dari luar Yogyakarta, mereka melakukan kunjungan ke beberapa studio seniman dan ruang seni untuk mendapatkan sedikit perkenalan mengenai praktik seni yang ada di Yogyakarta. Setelah itu, dilanjutkan dengan sesi presentasi oleh Yando Zakaria, yang membagikan pengalamannya bekerja dengan masyarakat adat, khususnya mengenai Undang-undang Masyarakat Adat. Sesi terakhir di hari ketiga ditutup oleh presentasi dari Nurlaela Lamasitudju dari Palu, yang menceritakan mengenai kerja dari SKP HAM (Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia). Nurlaela menggambarkan bagimana kerja SKP HAM, tidak hanya rekonsiliasi, tetapi kerja sama yang melibatkan pemerintah, dan membangun kesadaran individu dalam memposisikan diri saat bekerja bersama masyarakat atau komunitas tertentu. Kunjungan pun dilanjutkan pada hari keempat dengan tujuannya adalah Walhi Yogyakarta yang aktif mengadakan kegiatan untuk penyadaran dan penyelamatan lingkungan hidup. Hari keempat ini pun ditutup dengan melanjutkan mendengarkan dan berdiskusi melalui presentasi yang diberikan oleh Mella Jaarsma, Irfanuddin Ghozali, dan Verry Handayani, yang praktik berkeseniannya banyak menggunakan riset dan berbasis komunitas. Hari kelima, para seniman diajak untuk melihat isu terkini yang hangat mengenai wilayah Yogyakarta, yaitu isu pembangunan. Pembangunan masif yang terjadi di Yogyakarta dirasa penting untuk membangun kesadaran mengenai permasalahan yang terjadi di sekitar mereka. Maka dirancanglah kunjungan ke karst di Gunung Kidul, di mana pembangunan hotel dan resort marak terjadi. Tentunya pembangunan ini tidak ekologis karena merusak ekosistem karst yang juga merusak sumber air disana.

This article is from: