DEMOKRASI DI LINGKUNGAN KITA

Page 1

ISSN: 9772442302073

THE EQUATOR Volume 4 Nomor 3 Juli - September 2016 Terbitan triwulan | GRATIS

NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

YANG MUDA, YANG BERBAHAYA DEMOKRASI DI LINGKUNGAN KITA


2

PENGANTAR REDAKSI Salam hangat! Baru setelah 71 tahun merdeka, akhirnya, kita bisa melihat sebagian Koleksi Seni Rupa Istana Kepresidenan Republik Indonesia yang dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Agustus kemarin. Ironisnya, pada bulan perayaan kemerdekaan juga, azas 'praduga tak bersalah' masih gagal dipahami apalagi dijalani. Satu (dari tiga) buah lukisan Galam Zulkifli #The Indonesian Idea (Idea/.id) diturunkan oleh pihak pengelola bandara tanpa sepengetahuan sang seniman. Lukisan yang sudah dua hari terpasang di Terminal 3 Ultimate, Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta mendadak ramai dibicarakan di media sosial dalam-jejaring akibat satu cuitan: Di Terminal 3 Soekarno Hatta ada fotonya D. N. Aidit? Bukannya dijawab dengan penuh pengetahuan dan kebanggaan, PT Angkasa Pura II malah segera menutupi lukisan tersebut dengan kain putih. Tak sampai 48 jam, dari cuitan pertama itu tadi, lukisan itu diturunkan demi menghindari kericuhan pendapat. Apakah kita menerima kejadian ini begitu saja? Apakah ini kenyataan demokrasi kita? Bukankah dengan ini gagasan kemerdekaan, demokrasi, dan perdamaian dunia yang sudah dikumandangkan lebih dari setengah abad lalu kembali mentah? 61 tahun yang lalu—ketika negara ini baru berusia 10 tahun—bersama dengan Burma, Pakistan, Ceylon (sekarang Sri Lanka), dan India, Indonesia menyelenggarakan dan menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika. Sebanyak 30 negara (yang belum semuanya merdeka) menjadi bagian konferensi ini. Para pendiri negara-negara ini yakin bahwa kita bisa menghembuskan perdamaian di dunia. Mereka percaya bahwa kita setara dengan negara penjajah dan negara maju. Semangat mereka mengobarkan kepercayaan diri, “Bersama, kita bisa melakukan sesuatu!” Pertanyaannya sekarang: Apa yang sudah kita lakukan? Penyelenggaraan Simposium Khatulistiwa 2016 di penghujung Oktober esok sudah mengumumkan kisaran perhatiannya: “Visi Alternatif dari Dunia Ketiga”. Seturut itu, newsletter The Equator edisi ini mengundang sejumlah ahli dari beragam bidang untuk menuliskan selayang-pandang mereka mengenai dunia kita hari ini. Pemerhati gizi bayi dan anak Irma Hidayana menuliskan tentang pilihan menyusui bisa menjadi langkah yang lebih baik bagi ketahanan tubuh manusia sekaligus cara untuk menjaga lingkungan hidup yang lestari. Pengajar di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hariyadi mencatatkan hasil pengamatannya akan komunitas pebisnis kreatif yang mengeksplorasi kebudayaan bahasa setempat dan mengujinya dalam pasar anak muda. Kurator dan pengelola program Simposium Khatulistiwa Grace Samboh menelisik perihal pembatasan ekspresi karya seni rupa pascareformasi dan mempertanyakan lagi demokrasi kita. Anggota tim redaksi, Hamada Mahaswara, menerjemahkan naskah ekonom Marxist dari Mesir, Samir Amin, mengenai kemerdekaan negara-negara Selatan yang mesti diprakarsai dan bagaimana sejarah mereka harus dituliskan sendiri. Rubrik Simposium Khatulistiwa menyajikan sedikit demi sedikit bocoran menuju penyelenggaraannya pada Oktober mendatang di Kampus Sanata Dharma, Yogyakarta. Sementara rubrik Biennale Jogja menghadirkan Dodo Hartoko yang telah didapuk menjadi Direktur Biennale Jogja XIV Equator #4 2017. Berkaitan dengan gagasan penjelajahan khatulistiwa Yayasan Biennale Yogyakarta, peneliti KUNCI Cultural Studies Center Syafiatudina mengaji lagi eksperimentasi cita-cita mengitari dunia dengan semangatnya mencari teman yang sama-sama berpusat (dan memusatkan) ruang hidupnya sendiri. Kami berharap suguhan edisi ini memantik pikiran-pikiran Anda untuk terus memikirkan cara menyiasati lingkungan hidup kita menjadi lebih baik! Selamat membaca! Redaksi

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa.

Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang

berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Telp: +62 274 587712 E-mail:

the-equator@biennalejogja.org Julil - September 2016, 1000 exp Penanggung jawab: Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Redaktur Pelaksana: Grace Samboh, Hamada Mahaswara, Yustina Neni Kontributor: Grace Samboh, Hamada Mahaswara, Hariyadi, Irma Hidayana, Maria Puspitasari, Syafiatudina Fotografi: Dokumentasi penulis dan


3

DAFTAR ISI YANG MUDA YANG KREATIF: 4| PERKEMBANGAN DISAIN KAUS DI BANYUMAS Hariyadi (Pengajar dan peneliti di Departemen Sosiologi, Universitas Jenderal Soedirman)

SERBA-SERBI SIMPOSIUM KHATULISTIWA

SEBUAH BERINGIN BERNAMA SOEKARNO Diceritakan oleh Dr. G. Budi Subanar S. J. Dituliskan oleh Maria Puspitasari.

|26

10| EKOLOGI (DAN) MENYUSUI

Irma Hidayana (Pemerhati isu konflik kepentingan industri makanan bayi dan anak terhadap gizi bayi dan anak)

UNTUK KAPAL YANG MUNGKIN TIDAK AKAN BERLABUH LAMA Syafiatudina (Peneliti di KUNCI Cutural Studies, Yogyakarta)

|28

PERSAMAAN DEMI PERSAMAAN 15| MEMPERTANYAKAN DEMOKRASI DALAM ERA REFORMASI MELALUI KARYA SENI RUPA Grace Samboh (Pengelola Program Simposium Khatulistiwa dan kurator seni rupa)

NEGARA-NEGARA DI SELATAN MESTI MEMPRAKARSAI KEMERDEKAAN MERDEKA

|31

(Naskah asli diperoleh dari www.bandungspirit.org. Diterjemahkan dan ditulis ulang oleh Hamada Mahaswara

DODO HARTOKO 23| PROFIL: MELIHAT KERJA DAN KINERJA DODO HARTOKO

Direktur Biennale Jogja XIV Equator #4 - 2017 Wawancara oleh Hamada Mahaswara

internet Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27

Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM, Angkringan Mojok

Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Rumata Artspace, Colliq Puji’e

Halaman muka: Galam Zulkifli #The Indonesian Idea (Idea/.id) 2016

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

YANG MUDA YANG KREATIF: PERKEMBANGAN DISAIN KAUS DI BANYUMAS Hariyadi (Pengajar dan peneliti di Departemen Sosiologi, Universitas Jenderal Soedirman)

Salah seorang pelaku usaha desain kaus dan contoh kaus bersimbol Banyumas

Pengantar Perkembangan industri kreatif bukan hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga di kota-kota kecil yang sayangnya seringkali diabaikan. Menurut Waitt dan Gibson (2009) selama ini kajian akademis berasumsi bahwa kota-kota besar merupakan pusatnya kreativitas sehingga keberadaan para pekerja kreatif di kota-kota kecil seringkali terabaikan. Di Indonesia hal ini juga


5

terjadi. Wacana tentang industri kreatif hanya mengkaitkannya dengan kota-kota besar, seperti Denpasar, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Padahal di kota-kota kecil, termasuk Purwokerto, industri kreatif berkembang. Industri kreatif di Kabupaten Banyumas, khususnya di Purwokerto sebagai ibukota, meliputi bidangbidang seperti musik, film, fotografi, dan desain fashion. Dalam hubungan dengan industri kreatif tersebut, maka tulisan ini berfokus untuk melihat para pelaku industri kreatif di Purwokerto, terutama sekali desain kaus. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Shodiq, Restuadhi dan Hariyadi (2014) ada setidaknya 13 pelaku usah kreatif di bidang desain kaus di Kabupaten Banyumas. Pelakupelaku tersebut tersebar di beberapa kota di Kabupaten Banyumas, mulai dari Purwokerto, Sokaraja, Cilongok, sampai Ajibarang. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan industri kreatif bukan hanya ada di ibukota kabupaten saja, melainkan meluas sampai ke kota-kota di Kabupaten Banyumas yang lainnya. Para pelaku ini menekuni usaha desain kaus didasarkan atas dasar, paling tidak tiga alasan; 1. Kaus merupakan produk fashion yang hampir semua orang dapat memakainya, tidak tergantung umur, jenis kelamin; 2. Kaus dapat dipakai dalam situasi informal; 3. Harga kaus relatif terjangkau oleh daya beli sebagian besar masyarakat. Mayoritas pelaku industri kreatif di bidang fashion kaus adalah para pemuda, berumur rata-rata 20-40 tahun, berlatar pendidikan tinggi. Sebagian dari mereka setidaknya pernah mengenyam pendidikan di salahsatu perguruan tinggi yang ada di Purwokerto. Bahkan keberadaan perguruan-perguruan tinggi di kota ini adalah pemicu lahirnya industri kreatif. Hal ini dimulai dengan adanya kebutuhan untuk membuat kaus dengan tema

tertentu bagi kegiatan-kegiatan penerimaan mahasiswa baru yang dahulu dikenal dengan istilah Orientasi dan Pengenalan Kampus (Ospek). Setiap fakultas atau program studi di perguruan-perguruan tinggi membutuhkan kaus dengan warna dan tema tertentu sehingga munculah usaha-usaha desain dan produksi kaus. Lama-kelamaan para pelaku usaha dibidang ini merasa perlunya perluasan pangsa pasar agar tidak tergantung pada kebutuhan penerimaan mahasiswa baru dan dapat meningkatkan pendapatan mereka. Beberapa dari mereka mulai menghasilkan produk-produk dengan desain kreatif. Produkproduk yang dihasilkan oleh mereka adalah kaus, baju, striker, jaket, dan sweater. Penerimaan pasar yang baik menyebabkan semakin banyaknya pelaku usaha desain kaus yang kreatif yang menurut mereka sendiri semakin berkembang sejak tahun 2000an. Para pelaku yang baru muncul tahun-tahun tersebut sebagian merupakan mantan pegawai dari para pelaku usaha yang lama dimana mereka sudah belajar tentang berbagai aspek usaha tersebut, sehingga memberanikan diri untuk membuka usaha secara mandiri. Hampir sebagian besar desain kaus dibuat sendiri oleh mereka, meskipun ada juga yang berasal konsumen atau pesan kepada desainer mandiri (freelance). Dari sini dapat terlihat betapa prinsip kemandirian memang menjadi landasan pijak dari para pelaku industri kreatif ini. Sumber-sumber gagasan desain Para pelaku industri desain kaus ini mengambil gagasan desain mereka dari beberapa sumber. Sumber pertama adalah budaya populer kontemporer. Di sini mereka menyusun desain kaus mereka berdasarkan ikon-ikon budaya populer, baik itu dari ranah film maupun musik. Seperti yang terlihat diatas, gambar almarhum Bob Marley (yang seringkali diidentifikasi sebagai simbol kebebasan berekspresi) menjadi salah satu


6

Contoh desain kaus yang terinsipirasi ikon-ikon budaya populer

ikon yang paling banyak digunakan. Sumber lainnya adalah dari warisan budaya lokal yaitu Banyumas. Gambar diatas memperlihatkan Arif pemilik Dablongan Clothing, salah satu pelaku usaha desain kaus, yang memperlihatkan kaus bergambar Bawor, ikon utama budaya Banyumas. Bawor, yang dalam sub-sub budaya Jawa lainnya disebut sebagai Bagong, dianggap mewakili budaya Banyumas karena sifatnya yang cablaka (terusterang) yang sekaligus menunjukan sifat egalitarian dari sub budaya Banyumas, berbeda dengan sub budaya Yogya-Solo yang dianggap sangat hierarkhis. Di sini nampak bahwa kemudaan para pelaku desain tidak menghalangi apresiasi mereka terhadap keutamaan budaya lokal. Para pelaku desain kaus juga memperlihatkan kreativitas mereka dalam mencampurkan sumber-sumber inspirasi, yaitu budaya


7

populer dan budaya lokal. Bahkan mereka juga menambahkan unsur dari ranah budaya dan politik global. Apabila diperhatikan dalam gambar diatas, desain bertuliskan Clebek's Coffe (atas) dan Sega Endog Maregi (bawah) memperlihatkan bagaimana unsur-unsur gambar dari salahsatu ikon budaya populer yaitu Starbucks Coffee diolah sedemikian rupa sehingga menampilkan percampuran yang unik antara yang lokal dan yang global. Di desain lainnya yaitu United Ngapak terlihat jelas kemiripannya baik dari segi tulisan maupun gambar dari organisasi global yaitu United Nations. Dari sini terlihat betapa para pelaku industri kreatif di kota kecil seperti Purwokerto memiliki sensitivitas budaya dan media yang baik yang tidak kalah dari sejawat mereka di kota-kota besar. Satu hal yang membedakan antara usaha kreatif di bidang fashion di Purwokerto dengan usaha yang sejenis di tempat-tempat lainnya adalah bagaimana para agen kreatif di Purwokerto mengolah kata, idiom, dan ikon yang khas Banyumas yang dicampurkan dengan ikonografi global sehingga membentuk desain yang unik seperti yang terlihat pada contohcontoh diatas. Pemasaran dan kolaborasi Pemasaran produk-produk fashion tersebut dilakukan melalui media sosial, jaringan pertemanan, pameran, iklan di radio dan membuka outlet. Dalam menggerakan industri desain kaus, sebagian informan mengaku memiliki beberapa masalah. Masalah-masalah tersebut adalah terbatasnya sumberdaya manusia, modal, pemasaran, pengelolaan dan lokasi usaha. Masalah terbatasnya sumber daya manusia berkaitan dengan ketersediaan tenaga kerja. Beberapa pelaku menyebutkan sulitnya mencari tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan, misalnya menjahit atau sablon.

Seringkali karyawan yang sudah ada dan memiliki keahlian-keahlian tersebut keluar untuk mencoba berusaha sendiri. Banyak informan yang belum berhubungan dengan bank untuk mengajukan pinjaman (kredit) untuk mengembangkan usahanya dengan alasan takut tidak dapat mengembalikan pinjaman. Modal yang digunakan selama ini adalah berasal dari tabungan sendiri, uang muka dari pembeli, patungan dari para anggota atau pinjaman dari seorang teman. Masalah yang lain adalah masalah pengelolaan. Ada informan yang mengelola usahanya belum secara serius dan intens. Motif mencari keuntungan belum menjadi prioritas utama karena yang menjadi fokus adalah kebersamaan dan keterlibatan semua anggota dalam kegiatan. Adapun tempat usaha berkaitan dengan tempat produksi dan promosi. Tempat atau lokasi usaha yang selama ini digunakan masih dianggap kurang strategis, misalnya sulitnya akses menuju lokasi pariwisata. Teori tindakan kolektif dapat digunakan untuk menjelaskan tindakan para informan yang lebih mementingkan kolaborasi daripada 4 kompetisi. Menurut Melluci (1996:20), tindakan kolektif merupakan serangkaian praktik sosial yang melibatkan sejumlah individu dan kelompok dimana setiap orang yang terlibat menyadari penuh secara rasional tentang apa yang sedang mereka lakukan. Selain itu keterlibatan mereka juga tidak sebatas hubungan bisnis, melainkan juga merupakan hubungan sosial. Tidak jarang juga hubungan sosial ini sampai pada 5 pembentukan komunitas, yang betapapun cairnya, dapat mendorong persebaran informasi dan pengetahuan. Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan oleh Agarwal, Lim dan Wigand (2012), bahwa keberadaan komunitas juga dapat menjelaskan bagaimana berlangsungnya proses produksi industri kreatif subsektor fashion kaus serta


8

Contoh-contoh desain dari Ngapak Clothing, salah satu pelaku desain kaus

bagaimana terjadinya transfer atau penyebaran pengetahuan diantara para pelaku industri kreatif. Para pelaku industri kreatif subsektor fashion kaus di Banyumas seringkali melibatkan diri dalam berbagai kegiatan bersama dimana mereka menyadari penuh bahwa tindakan mereka tersebut membutuhkan komitmen kolektif. Salahsatu contoh kegiatan tersebut adalah ajang “Purwokerto Bersatu� yang merupakan suatu arena dimana para pegiat komunitas dan penggemar kesukaan tertentu (hobbyist) dapat berkumpul dan berjejaring. Bahkan di ajang ini kerap muncul ide-ide yang terkait 4 dengan penguatan identitas lokal yang kian tertantang oleh arus modernisasi (Inipurwokerto.id). Alasan utama keterlibatan mereka dalam kegiatan bersama bukan sekedar mempertahankan atau mempererat jaringan pertemanan diantara mereka yang memang beberapa diantaranya sudah saling mengenal sebelum terjun ke industri kreatif. Mereka memandang bahwa melakukan kegiatan bersama-sama akan menguntungkan masing-masing dari mereka 5 sendiri. Sebaliknya, keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan tersebut juga mendorong perluasan jejaring pertemanan diantara mereka.


9

Penutup Sesuai dengan paradigma 'industri kreatif sebagai pertumbuhan' seperti yang diteorisasikan oleh Potts dan Cunningham (2008: 237-238), industri kreatif memiliki peran yang sangat besar terhadap perekonomian. Meskipun demikian peran pemerintah tetap diperlukan sebagai penopang bagi dinamika inovasi yang melekat pada industri kreatif. Kajian yang dilakukan oleh Evans (2009: 1027) menunjukan pentingnya peranan sektor publik (pemerintah) dalam mendesain investasi dan kebijakan demi mendorong pertumbuhan industri kreatif. Sementara itu menurut sebagian besar pelaku, perhatian pemerintah, terutama Pemkab Banyumas, masih kurang. Bahkan, berdasarkan wawancara dengan beberapa pejabat Pemkab Banyumas, mereka belum memiliki gambaran tentang arah pengembangan industri kreatif di daerah ini. Namun bagi sebagian pelaku Pemkab sebenarnya telah memberikan berbagai dukungan terhadap mereka. Dukungandukungan tersebut misalnya, melibatkan dalam fasilitasi tempat penjualan produk di Prathista Hasta, pelatihan, dan penyelenggaraan lomba desain kaus. Perhatian Pemkab secara lebih intensif diyakini oleh para informan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan industri kreatif di Banyumas. Apabila perhatian khusus dapat dikombinasikan dengan dukungan akademis yang lebih kuat dari perguruan-perguruan tinggi yang ada di Purwokerto, harapan bahwa industri kreatif di Banyumas, khususnya Purwokerto, tidak akan tertinggal dari kota-kota besar di Indonesia. Salahsatu hal yang belum tetapi seharusnya dilakukan oleh komunitas akademis di Purwokerto ini adalah kajian atas sumbangsih industri kreatif ini terhadap penerimaan daerah, meskipun beberapa pelaku sudah mengklaim bahwa usaha mereka ini dapat menghasilkan

pemasukan belasan hingga puluhan juta rupiah per bulannya. Hal lain yang perlu dilakukan oleh komunitas akademis adalah mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pemetaan secara serius terhadap potensi industri kreatif karena sampai saat ini Pemkab Banyumas bahkan belum memiliki gambaran yang jelas tentang industri kreatif alih-alih membantu pengembangannya. Penulis merupakan pengajar dan peneliti di departemen Sosiologi, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. Dapat dihubungi melalui surel: mas_hariyadi@yahoo.com

DAFTAR PUSTAKA Agarwal, Nitin, Lyn, Merlyna dan Wigand, Rolf. 2012. Raising and Rising Voices in Social Media: A Novel Methodological Approach in Studying CyberCollective Movements. Business and Information Systems Engineering Evans, Graeme. 2009. Creative Cities, Creative Spaces and Urban Policy. Urban Studies, 46 (5 & 6): 10031040 Florida, Richard. 2002. The Rise of the Creative Class. Basic Book. New York Inipurwokerto.id. Purwokerto Bersatu IV! Kapan? http: http://inipurwokerto.id/purwokerto-bersatu-ivkapan/. Diakses pada 4 September 2016 Melluci, A, 1996. Challenging Code: Collective Action In The Information Age. Cambridge University Press. New York Potts, Jason dan Cunningham, Stuart, 2008. Four Models Of The Creative Industries, International Journal of Cultural Policy 14 (3): 233–247 Waitt, Gordon dan Gibson, Chris. 2009. Creative Small Cities: Rethinking the Creative Economy in Place. Urban Studies, 46 (5&6): 1223-1246


10

EKOLOGI (DAN) MENYUSUI Irma Hidayana (Pemerhati isu konflik kepentingan industri makanan bayi dan anak terhadap gizi bayi dan anak)

Pernahkah membayangkan orang-orang sekeliling kita secara rutin mengunjungi dokter atau rumah sakit akibat pneumonia, diabetes, atau obesitas? Atau ragam penyakit lain yang bisa memicu berbagai komplikasi kesehatan yang membahayakan nyawa seseorang? Penyakit-penyakit yang bisa merenggut nyawa tersebut berhubungan sangat erat dengan asupan gizi seimbang di awal pertumbuhan manusia. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara optimal adalah kunci utama untuk menekan sekecil-kecilnya kemungkinan buruk di atas. Sayangnya, tak banyak yang memahami bahwa mengganti ASI dengan susu formula atau minuman olahan pabrik lainnya justru memperbesar risiko terkena beragam gangguan kesehatan yang mengancam jiwa seseorang ketika ia beranjak dewasa. 'Modernisasi' dan penyederhanaan konsep gizi Rendahnya pemberian ASI di negara-negara yang kerap disebut negara dunia ketiga bisa dikaitkan dengan modernisasi yang sporadis dan parsial. Terutama di daerah-daerah urban dan suburban, cara hidup manusia mengacu pada gaya kebarat-baratan. Gaya ini tak terhindarkan sebab ia hadir dalam ruang formal dan informal. Secara formal, kurikulum dan infrastruktur pendidikan mengacu pada Barat. Secara informal, informasi yang silihberganti hadir ruang yang sangat personal seperti televisi, majalah, dan Internet pun mengacu pada gaya hidup Barat yang terkini. Oleh karena itu, kemajuan (kalau bukan masa

depan) yang dibayangkan adalah apapun yang bukan dari lingkungan hidup dan sekitarnya. Fakta bahwa penghasilan setiap keluarga bergantung pada lebih banyak anggota keluarga yang bekerja, membuat para ibu seringkali harus segera kembali bekerja. Dalam kebanyakan lingkungan kerja di negaranegara berkembang ini, hampir tidak ada peraturan—apalagi fasilitas—yang mendukung ibu menyusui. Sehingga, secara pragmatis, menyusui anak dengan susu formula adalah solusi. Belum lagi anggapananggapan bahwa menjadi ibu yang tinggal di rumah adalah kuno. Penelitian profesor di bidang kesehatan masyarakat, John Hopkins University (Amerika Serikat) Robert E. Black menemukan bahwa rendahnya pemberian ASI akibat asupan susu formula menyebabkan lebih dari 800.000 balita di dunia meninggal dunia per apa? Tahun? Atau?. Padahal antisipasinya sederhana: Inisiasi Menyusu Dini (IMD), pemberian ASI ekslusif dari bayi berumur 0-6 bulan, dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI rumahan berbahan alami sembari tetap memberikan ASI hingga dua tahun atau lebih. Ditambah dengan agresifnya promosi susu formula hingga makanan atau minuman kemasan lainnya rasanya tidak bisa dihindari. Termasuk produk asupan gizi bagi orang dewasa. Apa yang tidak menarik dari sebuah iklan makanan atau minuman instan yang dipenuhi dengan teks “mengandung vitamin


11

X,Y,Z yang berguna untuk a, b, c..� dengan harga yang terjangkau? Dengan menggandeng para ilmuwan, industri melakukan saintifikasi terhadap produk “pabrikannya�, antara lain yang sering kita lihat di berbagai iklan maupun kemasan makanan: label gizi yang dipenuhi dengan unsur zat gizi mikro. Beberapa pihak menyebut teknologi fortifikasi ini sebagai ekonomisasi gizi, atau ekonomisasi hidup. Padahal, apabila tak jarang ini justru menciptkan salah kaprah konsep gizi yang menunjang kesehatan dan keberlangsungan hidup seorang manusia. Tak jarang ekonomisasi gizi ini justru dibahasakan semata untuk strategi “menakut-nakuti� atua mengancam manusia dengan menggarisbawahi bahayanya kekurangan gizi bagi kesehatan. Solusi yang ditawarkan dalam dunia global dan kapital ini justru dengan menciptakan produk makanan yang difortifikasi beragam zat gizi buatan yang berujungnya pada pengkayaan ruang untuk produsen bahan pangan massal olahan pabrik. Pada awal 1990an, saintifikasi dan konsep fortifikasi gizi banyak dikenalkan dan diterapkan di negara-negara berkembang sebagai bagian dari solusi masalah gizi kurang, terutama bagi anak dan ibu hamil. Namun ini justru melemahkan upaya eksplorasi potensi gizi yang bersumber dari sumber pangan alami dengan memberikan tawaran ketergantungan kepada produk pabrikan. Padahal, lahan pertanian, perkebunan, dan kekayaan laut di sepanjang khatulistiwa ini belum kekurangan untuk mampu memproduksi tanaman dan buah-buahan yang memiliki semua unsur zat gizi yang diperlukan manusia untuk tumbuh. Justru, jika kita mulai bergantung pada produk makanan dan minuman fortifikasi, semakin hari semakin menurunlah kebutuhan mengonsumsi sayuran dan buah-buahan segar. Copyright Budi ND Dharmawan

Kiri: Tanaman obat di pekarangan rumah dapat dimanfaatkan sebagai pelengkap gizi. Masyarakat mengenalnya dengan istilah Toga (tanaman obat keluarga) atau Apotek Hidup. Kanan: Menantikan kedatangan pembeli. Menjamurnya supermarket dan waralaba di berbagai daerah turut memengaruhi perdagangan sayuran di pasar tradisional. Dokumentasi: Yoga L. G Yazid


12

Kiri: Indomaret di Desa Pejarakan, Buleleng, Bali, yang ditutup karena protes warga. Gerai minimarket berjejaring ini melanggar peraturan daerah yang mewajibkan bangunannya berjarak minimal 1 kilometer dari pasar. Kanan: Bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia, pada detik-detik pembacaan teks proklamasi dan pengerekan bendera merah putih ke udara, intervensi ini dilakukan sebagai respon terhadap dominasi industrialisasi susu formula yang telah mengubah total perilaku ibu-ibu menyusui masa kini. Rembesan air susu yang melimpah seperti halnya sumber daya alam Indonesia yang sama-sama berada dalam genggaman neo-kolonialisme. Para seniman ini meneriakkan bahwa, “Kami butuh kemerdekaan juga keberpihakan kebijakan. Kami percaya bahwa hal-hal terbaik dan tidak tergantikan dalam hidup ini adalah gratis! Mari rebut kembali makanan bayi yang semestinya, ASI!� (Tita Salina, Irwan Ahmett, dan Irma Hidayana, #ProklamASI (2016), peristiwa. Foto oleh Dimas Ario.

Selain itu, proses pembuatan pangan atau minuman yang difortifikasi tentu memerlukan pengolahan dari industri besar yang limbahnya berpotensi membahayakan lingkungan. Tidak hanya berhenti di sini. Produksi massal makanan-makanan seperti ini jelas tidak menghiraukan potensi pertanian, perkebunan, serta sumberdaya kalautan kita yang justru tanpa memerlukan proses pengolahan pabrik, hasilnya bisa dikonsumsi secara langsung dan mengandung gizi alami. Dengan mengonsumsi makanan dari hasil bumi, kelangsungan ekosistem akan terjaga. Beberapa tahun terakhir, industri transnasional yang memproduksi susu formula makin merajalela dalam memasarkan produknya hingga mengekang kemerdekaan berpikir serta kesadaran untuk mendukung pemberian ASI, yang semestinya menjadi pola makan bayi alami. Namun demikian, timpangnya relasi kekuasaan antara industri raksasa dan masyarakat di dunia ketiga menyebabkan kebanyakan dari kita tidak berdaya, dan semakin tenggelam dalam tipu daya strategi pemasaran produk makanan pabrikan ini. Globalisasi membawa industrialisasi terhadap hampir apapun, termasuk asupan bayi. Padahal, alam telah menyediakan asupan yang memenuhi kebutuhan gizi bayi tanpa harus repot ini-itu. Entah botol, sabun cuci, air panas, atau alat sterilisasi yang khusus didesain untuk mematikan kuman di botol susu. Semua perlengkapan ini jelas melibatkan banyak elemen yang tidak ramah lingkungan seperti plastik, timah, bensin serta beragam bahan kimia lainnya. Komposisi ASI pun berubah-ubah sesuai dengan perkembangan usia anak. Lebih penting lagi, jika dibandingkan dengan susu formula atau produk makanan bayi pabrikan lainnya, ASI tidak diproduksi melalui proses yang melibatkan unsur kimiawi artifisial apapun dari industri


13

yang berpotensi mencemari lingkungan. ASI diproduksi sesuai permintaan si anak, begitu habis diminum, secara otomatis payudara ibu akan segera memproduksinya kembali. Susu formula yang memerlukan perjalanan panjang dari sumber aslinya, yakni susu sapi, fortifikasi, ragam proses pembuatannya untuk menyerupai komposisi ASI, pengemasan, hingga pengirimannya ke gerai-gerai toko untuk bisa sampai ke tangan konsumen. Sebaliknya, ASI tidak memerlukan proses pengeringan, penambahan segala elemen gizi buatan, sterilisasi, atau pembuangan sekalipun. Untuk memberikan ASI pun tidak perlu dihangatkan, sebab ASI diproduksi sesuai dengan temperatur penyajian. Dengan demikian, pemberian ASI sangat ramah dengan lingkungan. Tidak ada penggunaan bahanbahan sintetik atau taburan vitamin mikro. ASI juga tidak tergantung pada musim. Menjaga kelangsungan hidup: Manusia dan alam Pada suatu pagi, pertengahan tahun lalu, di sebuah desa yang luas namun tak terlalu padat penduduknya, di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, saya bertemu dengan seorang pastor, Marius namanya. Penduduk di desa ini rata-rata hidup pas-pasan. Seperti biasa, para suami bekerja serabutan untuk menghidupi keluarga, mulai jadi kuli angkut air, nelayan, supir, dan pekerjaan sejenisnya. Hasil bumi desa ini tak seberapa, namun saat musim hujan, tanaman tumbuh cukup lebat. Sehingga bisa menghemat pengularan belanja sayur keluarga. Menjelang musim kering, hanya daun kelor yang bisa diandalkan untuk dipetik dan disantap. Pagi itu sang Pastor, dengan sepenuh hati menceritakan kepeduliannya terhadap kesehatan umatnya, terutama bagi ibu dan anak serta kepada bumi tempat mereka menggantungkan hidup.

Kiri: Salah satu karya dalam seri lukisan Maryanto (l. 1977, Jakarta) yang mempertanyakan lagi perihal pemberangusan lahan sawah untuk pembangunan pabrikpabrik milik negara pada awal 1980-an. (Maryanto, Repelita III 1979 (2013), cat akrilik di atas kanvas, 300 x 200 cm. Dokumentasi seniman. Kanan: Pada awal 1980-an, perupa Gendut Riyanto membuat sebuah karya yang ikut membantu petani mengamankan sawah mereka dari burung perusak tanaman. Pada masa itu, permasalahan agraria sedang tidak diperhatikan pemerintah karena kesibukan mereka akan pembangunan infrastruktur (terutama pabrik-pabrik) yang dianggap lebih bermanfaat untuk pendapatan negara. Dukungan terhadap teknologi pertanian terus menurun dari saat itu hingga sekarang. (Gendut Riyanto, Aku dan Sawah (1980), instalasi di lahan pertanian, ukuran beragam. Gambar diambil dari kliping Harian Kompas, 23 Desember 1980. Dokumentasi Dewan Kesenian Jakarta.


14

Di era di mana hampir semua makanan bisa ditemukan dalam versi pabrikannya ini, sang pastor sangat khawatir dengan budaya mengonsumsi makanan instan. Apalagi geraigerai minimarket waralaba jaringan nasional sudah menjangkau desa seterpencil ini. Hampir semua barang yang ditawarkan di rakrak minimarket adalah produk industri, dan mayoritas adalah makanan atau instan yang diproduksi komplit untuk manusia segala usia: mulai dari bayi yang baru lahir hingga kakeknenek usia lanjut. Kehadiran minimarket ini menjadi tantangan bagi warga setempat yang hanya memiliki kemampuan belanja cukup rendah tapi kadang harus dikalahkan dengan kebutuhan gaya hidup modern dengan berbelanja di gerai minimarket. Hasilnya, kehadiran minimarket di sini menjadikan warga mengeluarkan uang lebih untuk mendapatkan makanan instan yang unsur gizinya justru jauh jika dibandingkan dengan kebiasaan memakan ubi-ubian yang tinggal dicabut dari halaman. Sang Pastor menganggap, adalah bagian dari tanggungjawab gereja, dan juga dirinya sebagai pemimpin umat di desanya, untuk memastikan bahwa anak-anak mendapat asupan yang bergizi alami agar tumbuh sehat. Maka, senantiasa dia sisipkan pesan-pesan pemberian ASI kepada bayi dan kembali menumbuhkan budaya menanam untuk dikonsumsi keluarga di sela-sela kotbahnya. Saya terngiang ucapan beliau, “Tuhan menciptakan manusia dengan sempurna, termasuk dengan menyediakan makanan terbaik�. ASI adalah yang dimaksud Pastor Marius sebagai makan terbaik yang diciptakan bersamaan dengan kelahiran seorang anak. Selain itu, sang pastor yang juga banyak mempelajari gizi bayi, menganjurkan keluarga menjauhkan diri dari makanan pabrikan, dan

untuk memanfaatkan sayuran yang tumbuh di pekarangan rumah warga sebagai santapan keluarga, termasuk si kecil, sebagai makanan pendamping ASI ketika dia sudah menginjak usia 6 bulan. Dengan memberikan gizi optimal pada seorang anak, keseimbangan ekosistem ikut terjaga. Sang Pastor benar. Mari kita bayangkan, bagaimana jadinya bila kita yang hidup di pedesaan dan suburban tidak lagi menganggap penting mengonsumsi sayuran atau tumbuhan untuk memenuhi gizi keluarga? Besar kemungkinan apresiasi kita terhadap tumbuh-tumbuhan atau sayuran akan merosot drastis, karena kita tidak merasa penting untuk menikmati manfaatnya. Apabila demikian, akan menjadi sangat mungkin tanah kosong yang tadinya ditumbuhi tanaman liar kemudian dijual dengan harga yang dianggap tinggi, lalu didirikanlah bangunan kokoh di sana. Penjualan lahan atas nama pembangunan dan alih fungsi lahan sawah menjadi bangunan (pribadi maupun komersil) memang mengalami peningkatan drastis lima tahun belakangan ini. Hilanglah ruang-ruang untuk menanam ragam tumbuhan yang bisa menjadi bahan pangan lingkungan sekitar.


15

PERSAMAAN DEMI PERSAMAAN MEMPERTANYAKAN DEMOKRASI DALAM ERA REFORMASI MELALUI KARYA SENI RUPA Grace Samboh (Pengelola Program Simposium Khatulistiwa dan kurator seni rupa)

Zaman Sukarno disebut sebagai era demokrasi terpimpin oleh para ahli politik dan tata negara. Segala keputusan tergantung si Bung. Zaman Soeharto disebutnya sendiri sebagai Orde Baru. Psikologi kata 'baru' ini jelas untuk menunjuk yang sebelumnya sebagai sesuatu yang sudah lama—usang dan ketinggalan. Tak jarang, istilah Orde Baru hadir dengan diawali kata “rezim”—sebuah terma yang berarti sistem pengelola pemerintahan yang dijalankan oleh militer. Dalam tatanan negara demokrasi, militer jelas (bisa) punya peran. Namun, tentu saja kita tidak bisa membayangkan demokrasi dalam paham militerisme. Hari ini tak perlulah kita berpanjang-panjang membahas ironi ini, rezim Orde Baru sudah resmi berakhir. Penandanya adalah mundurnya Soeharto atas desakan masyarakat dari hampir seluruh negri dan sang wakil pun segera dilantik. Nusantara bersorak-sorai, “Reformasi! Reformasi! Reformasi!” Konon, katanya, masyarakat menegakkan demokrasinya sendiri.

sejumlah karakter yang menjadi kunci dalam praktik demokrasi yaitu kesetaraan dalam hukum, kebebasan berpolitik, dan dijunjung tingginya peraturan, hukum, serta perundangan. Kamus bahasa yang bisa dianggap sebagai sumber definisi yang paling netral karena tidak berhubungan secara langsung dengan konsep-konsep maupun wacana-wacana dalam bidang ilmu tertentu. de·mo·kra·si /démokrasi/ n Pol 1 (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; 2 gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.¹

Sekarang, hampir 20 tahun telah berlalu semenjak kata “reformasi” dikumandangkan dengan penuh kepuasan dan kebanggaan. Pertanyaannya hari ini ini adalah: Apa yang direformasi? Seturut logika kata tsb, kepada formasi yang manakah kita kembali? Apakah kepada demokrasi? Demokrasi yang mana?

Saya tidak sedang ingin menuduh bahasa sebagai akar permasalahan kita, walau kadang saya tergoda.² Penegasan dalam definisi “demokrasi” di atas ingin mempertanyakan kata “persamaan” dan asal kataya “sama”. Apakah benar persamaan yang kita cari dalam demokrasi kita hari ini? “Sama” berarti “tidak berbeda”. Apakah benar demokrasi kita hari ini menolak perbedaan? Menuju ke arah inikah reformasi kita? Perbedaan mana yang ditolak? Persamaan mana yang dituju?

Tidak pernah ada sebuah konsensus untuk definisi demokrasi. Yang ada hanyalah

Semakin ditanyakan, semakin putus asa mencari jawabannya. Setelah kejadian yang


16

disebut Reformasi, beberapa pasal hukum yang dianggap menghambat kebebasan berekspresi segera dibumi-hanguskan. Presiden RI Ke-3 BJ Habibie menghapus SIUPP tak sampai seminggu setelah ia menjabat. Tahun berikutnya, Presiden RI Ke-4 Abdurahman Wahid membubarkan Kementerian Penerangan beserta seluruh departemennya. Utopia kebebasan berekspresi pun menyebar ke seluruh penjuru negri walau mungkin tak sekhusyuk yang kita bayangkan. Kita patut curiga bahwa kebebasan berekspresi ini ditelan mentahmentah sebelum dimasak apalagi dikunyah sampai lumat. Sehingga tubuh kita belum sempat mengenali potensi efeknya. Dari bidang seni rupa saja, paling tidak ada beberapa hal yang menunjukkan ketidaksiapan tubuh manusia Indonesia atas kebebasan berekspresi dalam kerangka demokrasi yang pada hakikatnya menjunjung tinggi kesetaraan antar-manusia. Bukan saya ingin mempermasalahkan siapa yang salah dan yang siapa yang benar. Saya justru ingin mendedah dengan tegas siapa melakukan apa kepada siapa dan mengapa; supaya kita bisa bersama-sama merenungkan lagi apakah benar ini yang kita maksud dengan demokrasi kita hari ini. Apakah pengetahuan kita sama sebagai manusia Indonesia? Apakah kita setara? Penghujung tahun kedua setelah Reformasi Ketika ancaman anonim via telepon diterima oleh keluarga pemilik Galeri Kedai Kebun, Yogyakarta, mereka menyikapinya dengan mengumumkannya pada pihak seniman sekaligus penonton pameran dan mengajak semua pihak untuk menentukan langkah selanjutnya.Âł Langkah ini berujung pada sebuah kesepakatan (antara pengelola ruang, seniman, dan penonton) untuk bersama-sama menurunkan karya yang terpasang dalam pameran tunggal Pius Sigit Kuncoro “I feel fine, thank youâ€?. Pada malam pembukaan itu

juga, seluruh hadirin memasang kembali karya tsb dalam keadaan terbalik (gambar menghadap tembok). Keputusan ini diambil supaya pameran tidak perlu ditutup. Akses bagi penonton yang masih ingin melihat pun tetap ada. Dengan catatan, penonton harus membalik sendiri karya-karya tsb dalam ruang pamer. Dengan kata lain, penonton diberikan pengetahuan mengenai kondisi ruang pamer yang terancam sekaligus kesempatan untuk memilih karya yang ingin mereka lihat dengan segala konsekuensinya. Pada kejadian ini, publik seni rupa berkompromi dengan tuntutan pihak anonim yang menuduh perhelatan pameran ini mengandung pornografi. Berkompromi artinya menerima dan menghargai perbedaan pendapat orang lain walau implikasinya tidak serta-merta menguntungkan. Keputusan tetap melanjutkan pameran dengan kondisi tsb sekaligus menunjukkan bahwa pihak pengelola galeri siap akan konsekuensi terhadap pihak yang telah mengancam mereka apabila dibutuhkan. Mediasi tujuan penciptaan karya dan penyelenggaraan pameran adalah potensi konsekuensi baiknya. Buruknya, perusakan karya, dan bahkan ruang pameran, bisa saja terjadi. Demokrasi menuntut kesabaran. Kesetaraan pengetahuan jelas bukan sesuatu yang sertamerta terjadi. Tengah tahun keempat setelah Reformasi Sang pelaku ancaman yang tadinya anonim itu mulai tampak di kejadian selanjutnya. Kali ini, mereka adalah warga sekitar Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Mereka yang kerap dirujuk media massa sebagai 'warga Palmerah' ini melayangkan surat protes yang ditandatangani oleh lebih dari 30 orang kepada pihak BBJ. Warga Palmerah meminta pemberhentian pameran karena manusiamanusia keramik di pelataran galeri itu telanjang sementara anak-anak kecil sering bermain di sana. Pihak pengelola galeri beserta sang seniman memutuskan untuk


17

membalut karya tsb dengan kain hitam dengan tali tambang plastik merah sebagai pengikatnya untuk menghalau tuduhan—lagilagi—pornografi tsb. Pembajuan patung-patung keramik ini bukannya menyelesaikan persoalan, tetapi tuduhan warga beralih dari pornografi menjadi 'mirip korban Partai Komunis Indonesia (PKI)'. Kita bisa berdebat panjang tentang persepsi ini, namun, bagaimanapun juga, harus diakui kalau apapun yang berbau komunis(me) adalah momok bagi bangsa ini. Tanpa upaya mediasi apa-apa (baik dengan warga maupun dengan seniman atau kurator pameran), pihak BBJ kemudian memutuskan untuk menggudangkan karya tsb dengan alasan kepada pihak seniman dan kurator, “Menghindari kemungkinan perusakan karya.” Tanpa upaya mediasi, ditambah dengan alasan menghindari perusakan karya, pihak pengelola galeri telah membuat publik seni rupa berada di posisi yang eksklusif—kalau bukan elit. Pengetahuan mengenai karya tsb dibiarkan hanya menjadi milik segelintir orang yang segera menghilangkannya dari ranah publik.

Kliping harian Kompas, 2 Juli 2002, menampilkan foto karya They Give Evidence (1999) sebelum diprotes warga. Dokumentasi Galeri Nasional Indonesia


18

Tengah tahun keenam setelah Reformasi Kali berikut ini, bukan lagi protes atau ancaman yang terjadi. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) membakar karya Tisna Sanjaya dan rekan-rekannya! Perusakan benar-benar terjadi, bahkan pemusnahan. Pembakaran karya seni ini mereka lakukan dalam operasi rutin dalam rangka menjaga kebersihan Babakan Siliwangi. Sebagaimana bisa ditengarai dari beragam pemberitaan koran mengenai kejadian ini, Satpol PP menyama-ratakan karya seni tsb dengan sampah kardus, ranting, dlsb yang mereka bersihkan dengan cara dibakar. Tidak ada ruang negosiasi sama sekali dalam pembakaran karya Tisna dkk ini. Keputusan diambil sepihak dan semena-mena. Praduga tak bersalah yang dijunjung tinggi dalam penegakan hukum di negara demokrasi tidak berlaku. Tisna kemudian menuntut pihak Satpol PP atas perusakan karya seninya. Sebelum sampai ke sejumlah kesaksian warga yang melihat sekaligus merekam kejadian pembakaran karya tanpa ampun ini, Tisna kalah dalam persidangan. Pasalnya, saksi ahli yang dipanggil oleh Pengadilan Negri menyatakan bahwa benda yang disebut oleh Tisna sebagai karya seni itu tidak termasuk apa yang bisa dikategorikan sebagai “karya seni (rupa)�. Saksi ahli malah mengatakan dalam praktik artistik Tisna, ia cenderung kebarat-baratan dan menghiraukan tradisi Sunda (lokal). Akhir tahun ketujuh setelah Reformasi Menyahut kesempatan bebas berekspresi setelah usainya rezim Order Baru, bukan hanya seniman dan budayawan yang bersorak-sorai, tetapi juga beragam organisasi massa. Dalam waktu yang singkat, ormas atas nama kepentingan agama dan kesukuan berkembang pesat. Salah satu yang paling 4 'terkenal' adalah Front Pembela Islam (FPI). FPI menyatakan diri sebagai polisi moral

dalam nilai-nilai Islam yang mereka pegang. Walaupun penyederhanaan nilai (dan moral) Islam FPI kerap dianggap merusak reputasi liberalisme dan multikulturalisme Islam, mereka masih ada dan terus berkembang biak sampai hari ini. Aksi-aksi unjuk rasa FPI tak jarang melibatkan tindak kriminal (mulai dari berkendaraan motor tanpa helm sampai dengan pemukulan). Dalam kenyataan aksi FPI yang demikian, apa yang terjadi pada karya Pinkswing Park (2005) termasuk 'terhormat'. Karya itu tidak diserang atau dihancurkan, tetapi dituntut melalui jalur hukum oleh FPI. Tuntutan mereka adalah advokasi pornografi menggunakan aktor yang dalam industri pertelevisian pernah berperan sebagai kyai. Tentu saja aksi foto telanjang ini dianggap telah merusak nama baik Islam. Tuntutan ini dilayangkan kepada para seniman, penyelenggara pameran, dan juga model dalam karya tsb adalah pornografi. Surat tuntutan juga ditembuskan ke pihak penyelenggara pameran dengan cara diantar ke situs CP Biennale. Menghindari kemungkinan unjuk rasa (yang berpotensi kerusuhan) pihak penyelenggara pameran memutuskan untuk menutup akses penonton masuk ke ruangan karya tsb dan pameran tetap berlangsung sesuai jadwal. Keputusan sepihak dari penyelenggara pameran ini membuat salah satu seniman, Commonroom, mundur dari keterlibatannya dalam pameran. Dua seniman lain, Titarubi dan Heri Dono, menyikapi keputusan tsb dengan menutupi karya mereka menggunakan kain putih. Tengah tahun kedelapan setelah Reformasi Adalah sebuah bab dalam buku Tetralogi SBY (Gramedia, Jakarta, 2009) karya Wisnu Nugroho yang berjudul “Dilarang Telanjang di Istana�. Bab ini dilengkapi dengan foto-foto staf istana kepresidenan sedang memasangkan baju pada sebuah patung di Istana Bogor dalam rangka menyiapkan istana


19

untuk kedatangan Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Sejumlah koran dan media massa daring juga memberitakan hal ini. Salah satu media menyebutkan bahwa pada masa kepresidenan Abdurahman Wahid (Gusdur), hal ini juga pernah terjadi. Dalam linimassa Koleksi Kepresidenan 5, disebutkan bahwa, pada 1979, Presiden RI Ke-2 Soeharto memerintahkan staf istana kepresidenan untuk memindahkan seluruh lukisan telanjang ke dalam sebuah ruangan yang tidak terbuka untuk publik. Setelah perintah ini, patung Peminta Hujan (1938) masih terpasang di lorong jalan masuk utama Istana Bogor seperti bagaimana Sukarno menaruhnya. Dalam wawancara dengan Mikke Susanto 6, disebutkan bahwa tidak ada kebijakan tertulis maupun lisan dari presiden mengenai pembajuan patung telanjang ini. Dalam wawancara dengan mantan staf istana kepresidenan (yang meminta namanya tidak disebutkan), dikatakan bahwa tugas staf istana adalah memahami keinginan presiden dan ibu negara. Oleh karena itu, besar kemungkinan kalau pembajuan patung ini dilakukan atas inisiatif staf negara. Pun demikian, jelas bahwa Presiden RI Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono serta ibu negara Ani Yudhoyono tidak menanggapi kejadian pembajuan patung ini sehingga hal ini berulang dalam beberapa acara Istana Bogor sampai 2014. Tidak menanggapi aksi penyensoran karya seni Koleksi Kepresidenan ini bisa dianggap sebagai sikap menyetujui.

Agus Suwage & Davy Linggar, Pinkswing Park (2005). Modifikasi becak, cetak digital di atas kertas, dan batu. Ukuran beragam. Dokumentasi Agus Suwage


20

Dilarang Telanjang di Istana' demikian satu judul bab dalam Tetralogi SBY (Wisnu Nugroho). Diketahui bahwa patung yang dipajang Sukarno di Istana Bogor ini beberapa kali 'dipakaikan baju' pada masa kepresidenan SBY. Kolase foto temuan dari Internet

Tanpa alur pengambilan keputusan yang jelas, juga absennya penjelasan (baik lisan maupun tertulis) kepada publik yang diperkenankan masuk Istana Bogor pada waktu-waktu tertentu, aksi pembajuan patung ini menjadi momok bahwa aksi menjadi 'polisi moral' tidaklah bermasalah—kalau bukan didukung. Entah sadar atau tidak, kenyataan bahwa presiden dan ibu negara tidak menyikapi pembajuan ini adalah dukungan—kalau bukan legitimasi—bagi warga untuk menjadi polisi moral. Alih-alih bersikap memediasi perihal moralitas, Ani Yudhoyono malah memesan seorang perancang busana untuk membuatkan baju bermotif batik bagi patung ini.

6


21

Tak pernah ada pernyataan resmi dari pihak istana mengenai ini. Publik seni rupa juga tidak pernah membicarakan perusakan karya seni ini seperti laiknya kemarahan ormas Islam akan karya seni rupa yang menodai apa yang mereka percaya sebagai nilai-nilai Islam. Apakah publik seni rupa tak punya rasa kepemilikian akan ranahnya? Ataukah publik seni rupa sedemikian merasa terpisahnya dengan lapisan masyarakat lainnya sehingga tak merasa perlu mewacanakan permasalahan sebagai pelanggaran kebebasan eskpresi yang dijunjung tinggi oleh demokrasi kita? Apakah ini wajah demokrasi kita hari ini? Siapapun, mulai dari warga—baik perseorangan, kelompok rukun tetangga, maupun ormas—sampai dengan presiden, berhak membatasi ekspresi orang lain (melalui karya seni rupa) secara sepihak dan tanpa alasan? Apakah ini kesetaraan yang kita cita-citakan? Lebih dari 10 tahun setelah Reformasi sampai sekarang‌ Walikota Bekasi Mochtar Mohammad mengabulkan permintaan FPI, MUI, dan sejumlah ormas Islam di Bekasi untuk membongkar Tiga Mojang (2008). Selaku pembuat kebijakan, walikota mengirimkan surat permintaan pembongkaran karya pematung Nyoman Nuarta itu kepada Perumahan Harapan Indah. Selain desakan pembongkaran melalui surat resmi, massa sejumlah ormas ini juga berkumpul di sekitar patung dan melakukan perusakan terhadap fisik patung. Tak ada dari mereka yang ditangkap polisi untuk perusakan patung yang jelas-jelas merupakan hak milik Perumahan Harapan Indah ini. Kali ini, bukan hanya jalur hukum yang ditempuh para ormas untuk melawan karya seni rupa, melainkan juga kekerasan.

Kejadian selanjutnya malah lebih aneh lagi. Kepolisian Sektor Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, meminta penutupan pameran tunggal Petrus Agus Herjaka di Rumah Budaya Tembi. Pihak kepolisian yang seharusnya berposisi sebagai penegak hukum meminta penutupan pameran karena mereka khawatir sejumlah ormas akan datang dan melakukan unjuk rasa terhadap pameran ini. Dalam logika negara demokrasi yang punya aturan untuk penyampaian ekspresi masyarakat, hal ini sangat aneh. Sebab jika benar ormas tertentu akan melakukan unjuk rasa, sudah barang tentu mereka mesti melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian. Pihak kepolisian berhak mengatur waktu berjalannya unjuk rasa ini demi keamanan dan ketentraman masyarakat. Setelah negosiasi yang alot antara seniman, penyelenggara pameran, dan pihak kepolisian, akhirnya pembukaan pameran tetap berlangsung dengan syarat performance art yang sudah disiapkan seniman Miroto dibatalkan. Keesokan harinya, pihak penyelenggara pameran bersama seniman menurunkan karya-karya dari ruang pamer agar supaya urusan dengan pihak kepolisian tidak berlarut-larut. Ketika pihak media massa mengonfirmasi kepada kantor kepolisian, mereka menolak penjelasan pihak seniman dan Rumah Budaya Tembi mengenai apa yang terjadi di malam pembukaan. Dalih mereka bukan penutupan pameran, tetapi penundaan pameran sebab Rumah Budaya Tembi belum mengajukan surat izin pelaksanaan pameran tsb. Tidak pernah ada percakapan lebih lanjut yang meluruskan kejadian ini. Yang beredar hanya gunjingan mengenai kesalah-pahaman pihak kepolisian mengenai pameran yang bertajuk “Pameran Lukisan Jalan Salib 'Lurung Kamulyan'� sebagai ajakan terbuka untuk menjalankan ritual Kristen Jalan Salib dan


22

bahwa Rumah Budaya Tembi telah melakukan aktivitas tanpa izin pihak kepolisian. Yang terkini, sampai waktu saya menulis naskah ini, adalah kejadian yang menimpa karya Galam Zulkifli di Terminal 3 Ultimate, Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang. PT Angkasa Pura II selaku pengelola bandara tsb menurunkan karya tersebut tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak seniman maupun kurator karena beredar gunjingan di media sosial (Internet) mengenai potret tokoh Partai Komunis Indonesia DN Aidit dalam satu bagian dari seri lukisan Galam yang bertajuk The Indonesian Idea (Idea/.id). Lagi-lagi tidak ada pewacanaan lebih lanjut mengenai kejadian ini. Apakah kita akan selamanya mendiamkan pembatasan karya seni rupa yang dilakukan secara sepihak oleh beragam elemen masyarakat ini? Apakah kita diam karena kita tidak tahu siapa yang berhak dan berkewajiban apa? Apakah kita diam karena kita menghindari masalah? Apakah kita diam karena demokrasi bukan urusan kita bersama? Apakah kita diam karena kita sudah menjadi sama dengan mereka yang melakukan pembatasan-pembatasan tersebut?

Catatan 1

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005 (penegasan oleh penulis). misalnya, hari ini, ketika tak lagi asing masalah justru muncul dan berkembang karena absennya pemerintah, ingin

2 Sebab,

rasanya saya menggugat pilihan kata negara ini semenjak awal bagi para mereka yang kita percaya untuk mengatur negara untuk kita: Pemerintah. Dalam bahasa Inggris, katanya adalah “government” maka tugasnya adalah “to govern” (membuat kebijakan, mengambil langkah, dan mengurus). Kata “pemerintah” berarti tugasnya adalah memberi perintah. Ada hirarki yang tak terelakkan dari kata itu, tidak ada ruang negosiasi dalam aksi perintah, dan, bagi yang diperintah, yang hadir adalah hak sekaligus kewajiban menjalankan perintah. 3

Sebagian besar pemberitaan media massa yang menjadi landasan penulisan ini bisa diakses di arsip dalam-jejaring Galeri

Nasional Indonesia dan Indonesian Visual Art Archive. Sementara berita tambahan serta wawancara seniman dan penyelenggara pameran, sedang dikumpulkan untuk menjadi sebuah buku dan museum keliling bertajuk Museum Tanpa Tanda Jasa (yang akan dimulai dari ROH Projects, Jakarta, September 2016, lalu Galeri Gerilya, Bandung, dst). 4

Saya terpaksa menggunakan kata “terkenal” dalam tanda petik sebab bahasa Indonesia tidak punya padanan kata bahasa

Inggris 'notorious'—terkenal untuk kelakukan buruk—sebagai lawan kata “famous”. 5

Linimassa buatan kurator Koleksi Istana Kepresidenan ini dipamerkan dalam Pameran Koleksi Istana Kepresidenan “17:71:

Goresan Juang Kemerdekaan” di Galeri Nasional Indonesia, 2 – 30 Agustus 2016. 6

Wawancara dilakukan Hamada Mahaswara Adzani pada 6 Agustus 2016 untuk penerbitan newsletter The Equator ini.


23

MELIHAT KERJA DAN KINERJA DODO HARTOKO Direktur Biennale Jogja XIV Equator #4 - 2017

Potret Dodo Hartoko Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta

Dodo Hartoko baru saja terpilih sebagai Direktur Biennale Jogja XIV Equator #4 - 2017. Pria asal Batang, Jawa Tengah ini mengaku siap mengemban tanggung jawab dan bekerjasama dengan kurator Biennale Jogja XIV Equator #4 - 2017, Pius Sigit Kuncoro. Dodo dipilih berdasarkan diskusi bersama antara kurator dan Yayasan Biennale Yogyakarta. Bagi Dodo, keberadaan Biennale Jogja sangat krusial, “Suka tidak suka itu BJ menjadi peristiwa penting. Ada tegangan dan kontestasi politik, sehingga penting bagi saya untuk menjaga lingkaran pergaulan seni rupa ini agar BJ bisa menjadi peristiwa bersama,” katanya. Dalam proses kerja Biennale Jogja XIV, ia membayangkan akan bekerja dari “bawah ke atas”—apa yang ada, baik itu data, isu, atau masalah bisa dipetakan bersama. “Sekarang sih tidak atau belum ada grand desain untuk BJ. Oktober nanti kurator akan ke calon negara mitra, rencananya Brazil. Setelah itu baru kita bisa lihat potensi apa saja yang ada,” lanjutnya. Dapat dikatakan, Dodo merupakan aktivis senior di Yogyakarta. Awal kedatangannya di Yogyakarta--pada medio 90-an—Dodo banyak menghabiskan waktu untuk bergiat di lembaga


24

swadaya masyarakat yang menangani anak jalanan. Sembari kuliah di Universitas Atmajaya Yogyakarta, ia juga mengasah kemampuannya melukis potret. Setelah bergelut di LSM, ia berkecimpung di bidang film. Keterlibatannya lebih banyak di belakang layar, seperti menyelenggarakan pemutaran independen. “Saya membuat pemutaran filmfilm pendek yang bekerjasama dengan kampus-kampus, lembaga perwakilan kebudayaan dan ruang alternatif,” cerita Dodo. Menciptakan penonton baru menjadi tantangan tersendiri baginya. Demikian halnya dengan Biennale Jogja XIV, ia ingin memperluas publik seni rupa, sehingga semakin banyak kalangan yang bisa menikmati. Dodo menggagas sebuah penerbitan buku bernama “Buku Baik”—yang hingga kini telah menerbitkan lebih dari 40 judul buku. Diantaranya; Dadang Christanto: Di Ujung Kelopak Daunnya Tetap Ada Airmata (2005), Ugo Untoro: Cerpen Pendek Sekali (2006), Jumaldi Alfi: Alfi (2008), S. Teddy D: Sakit Kepala di Rumah Tua (2009), Trubus Sudarsono: Seni adalah Panjang, Hidup adalah Singkat (2013) bersama Sekolah mBrosot. Dodo juga terlibat dalam Forum Ceblang Ceblung—sebuah ruang pertukaran bagi 21 pekerja seni dari beragam latar

belakang dan praktik artistik yang didirikan sejak 2013 dan aktif menggelar diskusi atau presentasi karya. Belakangan, Dodo kembali melukis, dan aktif berpameran. Ia menyelenggarakan pameran tunggalnya “Kepala Kepala” di Sangkring Art Space, Yogyakarta (2012); terlibat dalam helatan 25 tahun Cemeti “Turning Targets #1 (2013); “Peristiwa Sebuah Kelas” bersama Forum Ceblang Ceblung di Sangkring Art Space (2013), “Memajang Boleh Saja Asal Ada Artinya” di SaRanG Building (2014), dan Biennale Jogja XIII “Hacking Conflict: Indonesia Meets Nigeria” (2015). Sejak 2012 hingga saat ini, Dodo terlibat dalam produksi The Equator Art Project sebagai desainer. Ragam bidang kerja pernah digelutinya; seniman, penata letak, promotor, ilustrator dll. Meskipun demikian, ia menolak untuk dilekatkan atau diidentikkan pada profesi tertentu. “Buat saya, tantangan itu menarik, dan keluar dari zona nyaman adalah hal yang selalu menantang,” tutup Dodo. Atas kiprahnya selama ini. Dodo mengaku tidak berniat mencari kredit atas hal apapun. Prinsipnya, semua pekerjaan harus diselesaikan dengan baik.


25

Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta

Dodo Hartoko, Direktur Biennale XIV - Equator #4 - 2017, memimpin rapat. Hadir: Pius Sigit Kuncoro (Kurator Biennale Jogja XIV), Yustina Neni (Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta), Monica (Sekretaris Yayasan Biennale Yogyakarta) dan Muhammad Abe (Periset Biennale Jogja XIV).


26

SEBUAH BERINGIN BERNAMA SOEKARNO Diceritakan oleh Dr. G. Budi Subanar S. J. Dituliskan oleh Maria Puspitasari.

Pohon Beringin yang ditanam Soekarno tahun 1961, Universitas Sanata Dharma Dokumentasi Budi N.D Dharmawan

Beringin Soekarno adalah nama sebatang pohon berusia cukup tua yang tumbuh di halaman dalam kompleks Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Nama presiden pertama Republik Indonesia disematkan pada nama pohon beringin ini karena memang ditanam langsung oleh Ir. Soekarno. Pada 1961, Presiden Soekarno dikabarkan melakukan kunjungan ke beberapa universitas di Indonesia. Universitas Sanata Dharma mendapat giliran, tepatnya pada 8 April 1961. Kala itu, perguruan tinggi ini masih bernama FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan) Sanata Dharma, dan dipimpin oleh rektor pertamanya, Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara S. J. Pada kunjungan tersebut, FKIP Sanata Dharma baru berusia lima tahun. Presiden datang sebagai bentuk responsnya atas permintaan Mgr. A. Soegijapranata S. J. untuk menyamakan status Universitas Katolik Indonesia (yang pada awalnya menaungi FKIP Sanata Dharma, meski demikian, secara de facto Sanata Dharma berdiri sendiri) dengan universitas negeri. Presiden Soekarno menyatakan akan meninjau terlebih dahulu kondisi perguruan tinggi yang bersangkutan. Maka, setelah tiba di FKIP


27

Sanata Dharma, ia mengabulkan permintaan itu. Dalam rangkaian acara kunjungan itu, juga dilakukan penandatanganan batu prasasti oleh Presiden Soekarno. Batu yang dijadikan prasasti itu diambil dari salah satu petilasan Pangeran Diponegoro di daerah Dekso, Kulon Progo. Sebagai ucapan terima kasih, Mgr. Soegijapranata SJ menyerahkan wayang Gatotakaca dan Setyaki kepada Presiden Soekarno. Di sekitar Beringin Soekarno dibangun sebuah taman yang rindang dan kerap dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kegiatan kolektif, baik oleh pihak internal Universitas Sanata Dharma maupun pihak lain yang bekerja sama dengan kampus ini. Tahun ini, Simposium Khatulistiwa akan menjadi salah satu kegiatan kolektif yang diselenggarakan di sekitar kompleks Beringin Soekarno.

Kliping kunjungan Soekarno ke FKIP Sanata Dharma, Yogyakarta 1961. Koleksi Universitas Sanata Dharma


28

UNTUK KAPAL YANG MUNGKIN TIDAK AKAN BERLABUH LAMA Syafiatudina (Peneliti di KUNCI Cutural Studies, Yogyakarta)

Biennale Jogja XIV akan berlangsung di tahun 2017. Saat tulisan ini dibuat, belum ada pernyataan resmi dari kurator terpilih Biennale Jogja XIV, Pius Sigit Kuncoro, mengenai pilihan negara rekan kerja. Biennale Jogja XIV merupakan Biennale Equator edisi keempat dan akan bekerjasama dengan satu negara di Amerika Selatan. Biennale Equator merupakan proyek dari Yayasan Biennale Yogyakarta hingga tahun 2022 di mana setiap edisi Biennale Jogja akan bekerja dengan rekanan dari wilayah di sekitar garis khatulistiwa atau tepatnya 23.27° lintang utara dan 23.27° lintang selatan. Di tahun 2011, langkah pertama Biennale Equator adalah kerjasama antara Biennale Jogja XI dengan India. Lalu bergerak ke arah barat, di tahun 2013, Biennale Jogja XII telah bekerja sama dengan negara di Jazirah Arab meliputi; Mesir, Yaman, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi. Terus bergerak ke arah barat di sepanjang garis khatulistiwa, di tahun 2015, Biennale Jogja XIII berjumpa dengan Nigeria. Selayaknya sebuah kapal, Biennale Jogja akan terus bergerak ke arah barat di sepanjang garis khatulistiwa, bertemu dengan orangorang yang tinggal di sana, bertukar pengalaman, dan membentuk pengetahuan bersama mengenai kondisi hidup kita di dunia ini. Kapal selalu meninggalkan pelabuhan diiringi harapan dan kecemasan. Begitu pula dengan kapal Biennale Jogja yang melakukan perjalanannya mengitari garis khatulistiwa

dengan berbagai keraguan. Dan salah satu pertanyaan yang paling sering diajukan, baik di antara tim penyelenggara maupun dari berbagai kelompok masyarakat adalah; Mengapa Biennale Jogja harus melakukan perjalanan mengitari garis khatulistiwa untuk merumuskan topik dan menemukan rekanan kerja? Saya bukan bagian dari tim inti Biennale Jogja yang merumuskan konsep Biennale Equator. Saya pernah menjadi peserta Parallel Events BJ XI, lalu menjadi tenaga lepas di beberapa proyek Biennale Jogja lainnya. Saat pertama kali mendengar konsep Biennale Equator di tahun 2011, saya pun memiliki keraguan dengan gagasan ini. Bagaimana menggunakan tumpuan geografis seperti garis khatulistiwa, dapat membantu kita membentuk pemahaman berbeda tentang dunia? Di beberapa forum diskusi ataupun presentasi baik dalam maupun luar negeri, saya berhadapan dengan komentar atau pertanyaan yang menghubungkan Biennale Equator dengan semangat anti imperialisme dan anti neokolonialisme di Gerakan Non Blok dan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Peristiwa bersejarah ini sempat disebut sebagai referensi penting di teks pengantar kuratorial Agung Hujatnikajennong, kurator BJ XII. Kaitan antara semangat KAA 1955 dan gagasan Biennale Equator merupakan topik


29

yang perlu dibahas secara lebih komprehensif sesuai dengan konteks gerakan sosial politik yang berkembang di dua periode waktu yang berbeda ini. Sedangkan dalam tulisan ini, saya ingin mengambil rute yang berbeda dengan mengembangkan refleksi atas pergerakan manusia dan gagasan yang diperantarai oleh Biennale Jogja melalui proyek Biennale Equator 2011-2022. Saya memulai tulisan ini dengan membayangkan Biennale Jogja sebagai institusi yang beroperasi layaknya sebuah kapal. Kapal tidak hanya berfungsi sekedar sebagai alat transportasi di laut. Sejarah telah mencatat bahwa perkembangan teknologi kapal turut mendorong proses penaklukan wilayah dan kolonialisme. Dalam konteks perdagangan internasional, kapal tidak hanya membawa benda-benda bernilai berupa berbagai hasil bumi, namun juga manusia sebagai komoditas. Teknologi kapal memfasilitasi pergerakan manusia dan material yang didorong oleh motif ekonomi, khususnya penguasaan sumber daya dan akumulasi kekayaan. Ketimpangan kekuasaan dalam pergerakan ini terus berlangsung hingga sekarang memengaruhi cara kita memahami dunia. Khususnya dalam pembentukan kategori geografis dan pemisahan wilayah. Istilah Utara dan Selatan adalah satu kategori geografis yang juga dibentuk berdasarkan perbandingan tingkat kesejahteraan ekonomi dan stabilitas politik. Wilayah Utara Global (Global North) terdiri dari negara-negara yang lebih kaya seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, sebagian kecil Asia, dan Australia serta Selandia Baru. Sedangkan wilayah Selatan Global (Global South) terdiri dari negara-negara berkembang atau miskin di Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, dan sebagian besar Asia, termasuk Indonesia. Pemisahan ini seakan-akan mengindikasikan bahwa kaya atau miskin adalah kondisi yang tercipta dengan

sendirinya. Padahal kondisi ini diciptakan oleh suatu sistem ekonomi global yang rumit sekaligus korup. Sistem ini yang menempatkan negara-negara kaya di Utara Global sebagai pemilik alat produksi dan negara miskin di Selatan Global sebagai penyedia tenaga manusia dan bahan bumi mentah. Dalam situasi ini, jaringan kerja antar Selatan Global menjadi semakin penting untuk membangun pemahaman atas kondisi hidup di masing-masing tempat, sistem yang mereproduksi kondisi ini, dan apa yang perlu dilakukan bersama-sama. Namun jaringan kerja ini pun perlu bekerja secara mandiri dan dalam hubungan yang setara, sehingga istilah yang diberikan seperti Selatan Global pun perlu dikaji ulang. Jaringan kerja antar wilayah di Selatan perlu menjadi kesempatan untuk mendefinisikan diri dan urgensi, bukannya melanggengkan identitas yang diberikan. Ini adalah kesempatan untuk menciptakan seperangkat kosakata baru berdasarkan pengalaman, praktik, dan realitas yang berdasar. Bagi banyak orang di wilayah Selatan, berpergian ke Utara adalah jalan untuk meraih pekerjaan yang lebih baik, pendidikan yang lebih layak maupun suaka politik. Tujuan yang hampir sama juga dimiliki seniman, kurator, penggiat seni dari negara-negara berkembang, seperti Indonesia, yang berpergian ke Eropa ataupun Amerika Utara dalam skema residensi. Dalam pandangan paling pragmatis, perjalanan ke Utara merupakan cara untuk mendapatkan akses pada infrastruktur seni yang lebih mapan sekaligus mengumpulkan uang yang dapat digunakan untuk hidup saat kembali ke negara masing-masing.


30

Berpergian sebagai seniman residensi ataupun berpartisipasi dalam perhelatan seni internasional adalah sebuah keistimewaan yang hanya bisa diraih oleh segelintir orang. Di sisi lain, seniman dan penggiat budaya yang berpergian, juga berfungsi sebagai agen penyebar pengetahuan ketika kembali ke daerah asalnya. Misalnya, jejaring ruang seni alternatif di Indonesia, tercipta seiring dengan mobilitas seniman dan penggiat budaya lainnya di dalam maupun luar negeri. Sayangnya mobilitas manusia dan gagasan ini masih didominasi oleh arus bolak balik antara Utara (pusat) dan Selatan (pinggiran). Menurut saya, di sinilah posisi penting Biennale Jogja dengan konsep Biennale Equator, sebagai institusi yang memfasilitasi pergerakan manusia, material dan gagasan. Setelah selama ini seni dari Indonesia menempati posisi pinggiran di dunia seni kontemporer internasional yang didominasi negara-negara Anglo-Saxon, melalui proyek Biennale Equator, Biennale Jogja bertemu dengan pinggiran-pinggiran lainnya. Keputusan untuk menggunakan garis khatulistiwa sebagai situs kerja Biennale Jogja berangkat dari kebutuhan untuk menemukan cara-cara lain dalam memahami dunia. Setiap edisi Biennale Jogja dalam proyek Biennale Equator, kurator dan direktur artistik berupaya untuk mengembangkan gagasan yang spesifik untuk konteks Indonesia dan negara rekanan kerja. Apa isu yang

kontekstual untuk Indonesia dan Nigeria, Indonesia dan wilayah Arab, dan India? Perjumpaan Indonesia dengan negara rekanan kerja selalu menjadi sorotan utama dalam tiap edisi Biennale Jogja. Namun, menurut saya, sebagai institusi yang sedang melakukan eksperimen kritis atas distribusi gagasan dan mobilitas manusia di masa sekarang, Biennale Jogja perlu mempertimbangkan urgensi isu yang diangkat dapat melampui batas negara atau bahkan wilayah Selatan. Bagaimana isu yang dikembangkan dari jaringan negara-negara di Selatan, bekerja sebagai kritik atas ketimpangan kekuasaan yang berlangsung secara global? Sebagai sebuah kapal yang terus berlayar untuk mendukung distribusi gagasan kritis dan mobilisasi aktor di belahan bumi Selatan, Biennale Jogja mungkin memang berbagi mimpi yang sama dengan Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung, yaitu solidaritas lintas negara yang melawan kolonialisme dan imperialisme. Namun penggalangan solidaritas ini perlu dimanfaatkan lebih jauh, khususnya melalui seni, sebagai alat untuk menciptakan imajinasi baru mengenai bagaimana bumi ini seharusnya dikelola bersama secara setara. Untuk tujuan besar ini, mungkin kapal Biennale Jogja tidak akan menemui pelabuhan terakhirnya.


31

NEGARA-NEGARA DI SELATAN MESTI MEMPRAKARSAI KEMERDEKAAN MERDEKA Samir Amin (ekonom Marxian Mesir)

Naskah asli The Countries of South Must Take Their Own Independent Initiatives, diterjemahkan dan dielaborasi dengan menambahkan konteks Indonesia oleh tim redaksi. Untuk kali kedua di dalam sejarah kontemporer, dimensi imperialis kapitalisme tengah ditantang.Kali pertama adalah seusai Perang Dunia II.Sejak 1947, Amerika Serikat, kekuatan imperialis yang mendominasi masa itu, mengumumkan pembagian dunia menjadi dua belahan, yaitu 'dunia bebas' dan 'totalitarianisme komunis'. Kenyataan Dunia Ketiga jelas-jelas diabaikan: menjadi bagian dari 'dunia bebas' dirasa sebagai keistimewaan, karena dunia itu 'nonkomunis'. 'Kebebasan' dianggap hanya berlaku bagi modal, tanpa memperhatikan sama-sekali kenyataan tekanan kolonial dan semikolonial. Pada tahun berikutnya, Jdanov, di dalam laporannya (sesungguhnya laporan Stalin) yang terkemuka, juga membagi dunia

60 tahun pasca Konferensi Asia Afrika tahun 1955, pemerintah kemudian melanjutkan kerjasama antar negara-negara selatan dengan membentuk NAASP (New Asian African Strategic Partnership). Sumber: Internet


32

menjadi dua, belahan sosialis (Uni Soviet dan Eropa Timur) dan kapitalis (sisanya). Laporan itu mengabaikan kontradiksi di dalam belahan kapitalis yang melawankan pusat-pusat imperialis dengan rakyat dan negeri-negeri pinggiran yang terlibat di dalam perjuangan demi kemerdekaan mereka. Doktrin Jdanov (Ketua Partai Demokrat Soviet) mengejar satu tujuan utama: untuk memaksakan hidup berdampingan secara damai, dan dengan demikian menenangkan nafsu agresif Amerika Serikat dan sekutu bawahannya, Eropa dan Jepang. Di dalam pertukaran, Uni Soviet akan mengalah, menjaga jarak dari campur tangan di dalam perkara kolonial yang dipandang kekuatankekuatan imperialis sebagai urusan internal mereka. Gerakan-gerakan pembebasan, termasuk revolusi Cina, tidak didukung dengan gairah apa pun pada waktu itu dan mereka terus bergerak sendiri. Namun demikian, kemenangan mereka (khususnya kemenangan Cina, tentunya) adalah membawa beberapa perubahan di dalam hubungan kuasa antarbangsa. Moskow tidak melihat ini hingga setelah Bandung, yang memampukan Cina, melalui dukungannya kepada negara-negara yang melawan imperialisme, untuk muncul dari keterasingannya dan menjadi pemeran penting di dalam urusan-urusan dunia. Pada satu sisi, tidaklah keliru menyebut perubahan utama di dalam sistem dunia adalah hasil dari 'Kebangkitan Selatan' yang pertama ini. Tanpa pengetahuan ini, penegasan yang muncul kemudian mengenai kekuatan-kekuatan baru yang 'muncul' tidaklah dapat dipahami. Sepengetahuan saya, tidak seorang pun pernah menuliskan sejarah perumusan teori alternatif, yang memberi kendali penuh kepada prakarsa-prakarsa kemerdekaan negara-negara Asia dan Afrika, yang nantinya mengkristal di Bandung pada 1955 dan

kemudian di dalam pendirian Gerakan NonBlok (sejak 1960 dibatasi sebagai Asia-Afrika, ditambah Kuba). Rinciannya terkubur di dalam arsip partai-partai komunis (di Cina, India, Indonesia, Mesir, Irak, Iran, dan barangkali beberapa yang lain). Namun demikian, saya dapat memberikan kesaksian pribadi tentang apa yang terjadi, karena telah cukup beruntung, sejak 1950, turut serta di dalam salah satu kelompok yang mencerminkan dan mengumpulkan komunis Mesir, Irak, dan Iran, serta beberapa lainnya. Informasi mengenai debat Cina, yang diilhami oleh Zhou Enlai tidak disampaikan kepada kami oleh Kamrad Wang (selaku tautan dengan jurnal RĂŠvolution, yang komite editorialnya termasuk saya sendiri) hingga lama kemudian, pada 1963. Kami mendengar gema-gema dari debat India dan perpecahan yang dipicunya, yang lantas dipastikan setelah itu oleh terbentuknya Partai Komunis India (Marxis). Kami mengetahui perdebatan di dalam partaipartai komunis Indonesia dan Filipina berkembang menurut garis yang sama. Sejarah semestinya ditulis agar dapat membantu orang memahami, bahwa Konferensi Bandung tidak bermula dari kepala para pimpinan nasionalis (Nehru dan Sukarno khususnya, Nasser tidak terlalu) sebagaimana disiratkan oleh para penulis masa kini. Konferensi Bandung adalah produk dari kritik sayap kiri radikal yang pada masa itu terbentuk di dalam partai-partai komunis. Kesimpulan umum kelompok-kelompok cerminan ini dapat dirangkum di dalam satu kalimat: pertarungan melawan imperialisme mengumpulkan, pada skala dunia, kekuatankekuatan sosial dan politik yang kemenangannya menentukan di dalam membuka kemajuan sosialis yang mungkin di dalam dunia masa kini. Kesimpulan ini, bagaimanapun, membiarkan satu pertanyaan penting tidak terjawab: siapa


33

yang akan 'mengarahkan' pertempuran-pertempuran anti-imperialis ini? Untuk menyederhanakan: kaum borjuasi (sebelumnya disebut 'kebangsaan'), yang seharusnya didukung para komunis, atau barisan klas-klas popular, diarahkan oleh para komunis dan bukan para borjuasi (yang anti-kebangsaan, nyatanya)? Jawaban bagi pertanyaan ini sering berubah dan kadang terkelirukan. Pada 1945, partai-partai komunis yang terkait menyejajarkan barisan, berdasarkan kesimpulan yang telah dirumuskan Stalin: para borjuasi di mana pun di dunia (di Eropa, bersekutu dengan Amerika Serikat, seperti negara-negara kolonial dan semi-kolonial—menurut bahasa waktu itu) telah “melemparkan bendera kebangsaan ke dalam tong sampah” (katakata Stalin) dan para komunis dengan demikian satu-satunya yang dapat membentuk barisan bersatu dari kekuatan-kekuatan yang menolak untuk tunduk pada petunjuk Amerika yang imperialis dan kapitalis. Kesimpulan yang sama dicapai oleh Mao pada 1942, namun hanya dikabarkan (kepada kami) ketika Demokrasi Barunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat pada 1952. Paparan ini menyatakan bahwa bagi kebanyakan orang di planet ini, jalan panjang menuju sosialisme hanya dapat dibuka dengan “revolusi kebangsaan, popular, demokratis, anti-feodal, dan anti-imperialis [bahasa waktu itu], yang dijalankan oleh para komunis.” Pesannya yang mendasar adalah, bahwa kemajuan-kemajuan sosialis lainnya tidaklah ada pada agenda mana pun, contohnya di pusat-pusat imperialis. Mereka tidak mungkin dapat terbentuk hingga setelah rakyat dari pinggiran menimbulkan kerusakan mendasar pada imperialisme. Usulan-usulan garis depan bagi prakarsa-prakarsa oleh 'negara-negara Asia dan Afrika' yang merdeka dan anti-imperialis, yang dirumuskan oleh kelompok cerminan komunis yang lain, tepat dan maju. Usulanusulan ini dapat ditemukan di dalam program Konferensi Bandung dan Gerakan Non-Blok, yang pernah saya sampaikan secara sistematis di dalam presentasi saya L'éveil du Sud (Kebangkitan Selatan). Usulan-

Kanan: Potongan kliping kemerdekaan Indonesia di sejumlah surat kabar yang dimuat dalam buku Lukisan Revolusi Rakyat Indonesia. Kiri: Poster propaganda Soekarno meminta masyarakat tetap tenang dan pro NKRI, disebarluaskan melalui surat kabar dalam situasi genting pasca penandatanganan Perjanjian Linggarjati. Sumber: Lukisan Revolusi Rakjat Indonesia, 1945.


34

usulan ini berfokus pada kebutuhan mendasar untuk menundukkan kembali kendali atas proses akumulasi (pembangunan yang swapusat dan tidak bergantung pada ekonomi dunia). Kebetulan beberapa usulan ini digunakan, meskipun dengan pelemahan yang cukup besar di dalam negara-negara tertentu, seperti sejak 1955 hingga 1960, oleh klas-klas yang berkuasa secara keseluruhan di kedua benua. Dan pada saat yang sama, perjuanganperjuangan revolusioner yang dilangsungkan oleh seluruh partai komunis Asia Tenggara dikalahkan (kecuali di Vietnam, tentu saja). Kesimpulannya sepertinya 'borjuasi kebangsaan' belum habis tenaganya untuk perjuangan anti-imperialis. Uni Soviet juga mendapat kesimpulan yang sama ketika memutuskan untuk mendukung barisan nonblok, sementara Triad yang imperialis mengumumkan perang terbuka melawannya. Para komunis di negara-negara tersebut waktu itu terbagi di antara dua kecenderungan ini dan menjadi terlibat di dalam persengketaan yang menyakitkan yang sering dikelirukan. Beberapa mengambil pelajaran, bahwa 'mendukung' kekuatankekuatan yang melawan imperialisme memang perlu, walaupun dukungan ini semestinya tetap 'kritis'. Moskow membuat mereka lebih yakin dengan mengemukakan ungkapan 'cara non-kapitalis'. Yang lain bertahan pada ungkapan dasar Maois, bahwa hanya barisan klas-klas popular yang merdeka dari borjuasi saja yang dapat memimpin suatu perjuangan agar berhasil melawan imperialisme. Konflik di antara partai komunis Cina dan Uni Soviet ini, yang tampak jelas sejak 1957 namun diumumkan resmi sejak 1960, tentu saja menegaskan kecenderungan kedua di tengah kaum komunis Asia dan Afrika.

Namun demikian, potensi gerakan Konferensi Bandung aus di dalam sekitar lima belas tahun, menekankan—jika seharusnya diperlukan—batasan program anti-imperialis dari 'borjuasi kebangsaan'. Dengan demikian, keadaan telah matang bagi serangan balik imperialis, 're-kompradorisasi' ekonomi Selatan, jika bukan—bagi yang paling rentan—rekolonisasi mereka. Biarpun begitu, seolah-olah memberikan kebohongan kepada pembalikan ini disebabkan oleh fakta untuk tesis soal ketidakmampuan definitif dan absolut borjuasi kebangsaan—Konferensi Bandung, menurut pandangan ini, telah menjadi sekadar 'episode perlintasan' di dalam konteks Perang Dingin—sejumlah negara Selatan tertentu telah mampu memaksakan diri mereka sendiri sebagai 'yang baru muncul' di dalam globalisasi baru yang didominasi imperialisme. Akan tetapi, 'yang baru muncul' bagaimana? Pasar-pasar yang baru muncul menerima perluasan modal dari oligopolioligopoli milik Triad imperialis? Atau negaranegara yang baru muncul yang mampu memaksakan revisi tulen syarat-syarat globalisasi dan mengurangi kekuatan yang dimiliki oligopoli, sementara melaksanakan kembali pengumpulan pembangunan kebangsaan mereka sendiri? Pertanyaan soal muatan sosial kekuatan-kekuatan yang ada di dalam negara-negara yang baru muncul (dan di dalam negara-negara lain di pinggiran) dan kemungkinan-kemungkinan bahwa hal ini membuka atau menutup sekali lagi menjadi agenda. Ini merupakan sebuah perdebatan yang tidak dapat dihindari: apa yang akan—atau mungkin dapat—menjadi dunia 'pasca-krisis'? Krisis kapitalisme imperialis belakangan dari oligopoli yang disamaratakan, difinansialkan, dan mengglobal ini nyata. Namun demikian, bahkan sebelum krisis itu berlanjut ke fase


35

baru yang dimulai dengan keruntuhan finansial pada 2008, rakyat telah mulai meninggalkan kelesuan mereka, yang berawal setelah gelombang pertama perjuangan mereka demi emansipasi para pekerja dan rakyat sendiri telah aus. Amerika Latin, yang tidak hadir pada masa Konferensi Bandung (terlepas dari upaya Kuba dengan Konferensi Tricontinental), saat ini sepertinya justru paling maju di dalam pergerakan ini. Tentu saja ada banyak segi baru yang penting di dalam keadaan sekarang, namun pertanyaan-pertanyaan yang sama yang diajukan pada 1950-an kini muncul lagi. Akankah Selatan (negara-negara yang baru muncul dan lainnya) mampu mengambil prakarsa strategis mandiri? Akankah kekuatan-kekuatan popular mampu memaksakan perubahan di dalam sistem kekuasaan yang akan menjadi satu-satunya jalan membuat kemajuan serius? Dapatkah jembatan-jembatan dibangun untuk mengaitkan imperialis dan perjuanganperjuangan popular di Selatan dengan kemajuan suatu nurani sosialis di Utara? Kesimpulan yang dicapai oleh kelompokkelompok cerminan pada 1950-an merumuskan tantangan di dalam hal yang pada dasarnya tetap sama saja sejak itu: rakyat dari pinggiran mesti mengambil alih bangunan kebangsaan (didukung oleh rancangan kewilayahan dan seluruh Selatan sebagai satu kesatuan), yang swapusat dan mandiri; mereka tidak dapat mengambil jalur ini kecuali perjuangan-perjuangan mereka dilakukan di dalam sudut pandang sosialis; dengan alasan ini mereka harus melepaskan khayalan mereka soal pilihan lain palsu soal 'mengejar ketertinggalan' di dalam sistem kapitalis yang mengglobal. Bandung mewujudkan pilihan mandiri ini, namun berada di dalam keterbatasan yang akan tampak nantinya, sebagaimana ditunjukkan sejarah.

Mungkinkah hasilnya akan menjadi lebih baik kini, saat 'Kebangkitan Selatan' yang kedua mulai tampak? Yang lebih penting, akankah mungkin kali ini membangun pertemuan di antara perjuangan-perjuangan di Utara dan di Selatan? Inilah yang kurang secara menyedihkan pada masa Konferensi Bandung. Rakyat dari pusat-pusat imperialis lantas berbaris di belakang para pimpinan imperialis mereka. Projek sosial-demokrat waktu itu mungkin akan menjadi sukar dibayangkan tanpa sewa imperialis yang menguntungkan masyarakat mewah di Utara. Konferensi Bandung dan Gerakan Non-Blok lantas dilihat sebagai sebuah episode di dalam Perang Dingin, mungkin bahkan direkayasa oleh Moskow. Di Utara, kurang ada pengertian mengenai kedalaman nyata gelombang pembebasan pertama dari negara-negara Asia dan Afrika ini yang, bagaimanapun, cukup meyakinkan bagi Moskow untuk memberikan dukungan.Tantangan untuk membangun suatu internasionalisme anti-imperialis para pekerja dan rakyat tetap perlu ditaklukkan. Mengambil konteks Indonesia Pasca 1955 Konferensi Asia-Afrika pertama, bagaimanapun, punya akibat sejarah yang lebih jauh jangkauannya bagi Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia yang netral tidak menyenangkan pemerintahan Eisenhower di Washington. Menteri Luar Negeri A.S. John Foster Dulles menganggap kenetralan di dalam Perang Dingin sebagai tidak bermoral. Yang lebih menggelisahkan adalah kebijakan Washington untuk memperasingkan Cina, namun lantas Perdana Menteri Zhou Enlai berhasil mengatasi kecurigaan dan kebermusuhan banyak negara-negara Asia yang terwakili pada Konferensi Bandung. Para sejarawan secara umum sepakat, bahwa Sukarno bukanlah seorang komunis, melainkan seorang nasionalis yang tegas menolak kolonialisme dan imperialisme.


36

Historical Walk session dalam Konferensi Asia Afrika 1955, sekaligus memperkenalkan kota Bandung. Terlihat Soekarno dan Roeslan Abdulgani mendampingi beberapa delegasi. Sumber: Internet

Namun demikian, kebijakan luar negeri Sukarno, di samping upayanya menyeimbangkan kekuatan dalam negeri dengan melindungi Partai Komunis Indonesia berhadap-hadapan dengan militer yang antikomunis, dipandang pemerintahan Eisenhower terlalu berbahaya untuk dibiarkan begitu saja. Kegiatan rahasia A.S. melawan Indonesia pada masa pemerintahan Eisenhower kini telah menjadi rahasia umum. Cukuplah untuk menyebut, bahwa sejak 1955, pemerintahan Eisenhower mulai turut campur tangan secara langsung di dalam politik Indonesia. Selama bertahun-tahun, orang Indonesia secara umum melihat pencapaian Konferensi Asia-Afrika pertama dengan penuh kebanggaan. Konferensi ini telah dianggap sebagai ungkapan terbaik prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Peran Indonesia sebagai corong mulut bagi negara-negara Asia dan Afrika pada kancah global dan sebagai anggota pendiri Gerakan Non-Blok telah menjadi bagian hakiki identitas kebangsaan Indonesia dan menyediakan kerangka kerja yang di dalamnya

kebijakan luar negeri Indonesia dapat dijalankan.Akan tetapi, sementara Indonesia terus merujuk semangat dan Dasasila Bandung di dalam kebijakan luar negerinya, usai turunnya Sukarno tidak lagi ada keinginan kuat untuk mengejar kerjasama Asia-Afrika yang lebih konkret. Alih-alih mencoba untuk muncul sebagai juru bicara bagi negara-negara berkembang di dalam upaya melawan kolonialisme dan imperialisme, kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Presiden Suharto utamanya bertujuan merayu modal antarbangsa dan bantuan asing untuk pembangunan ekonomi negara dan mendorong kestabilan kawasan agar pembangunan dalam negeri dapat terlaksana.Meskipun terus merujuk kesetiakawanan Asia-Afrika dan Gerakan NonBlok, kebijakan luar negeri Indonesia selama sebagian besar masa Orde Baru cenderung lebih pragmatis dan bertitik berat pada beberapa negara di kawasan Asia Pasifik dan negara-negara maju yang telah memainkan peran penting di dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kekritisan dalam negeri soal peran rendah Indonesia dan pertimbangan bahwa Indonesia


37

kehilangan kedudukan antarbangsa lantaran keabaiannya terhadap kaitan sejarahnya dengan kawasan Asia dan Afrika yang lebih besar turut mendorong keseriusan Indonesia untuk menjadi pemimpin Gerakan Non-Blok 1992–1994 tercapai.Namun demikian, pembangunan ekonominya yang berhasil dan berakhirnya Perang Dingin memungkinkan Indonesia sekali lagi mengambil peran memimpin Gerakan Non-Blok dengan cara menekankan persoalan-persoalan ekonomi dan teknis. Biarpun demikian, kebangkitan kebijakan luar negeri Indonesia menuju masa akhir Order Baru tidak berumur panjang lantaran bencana keuangan Asia. Di antara 1997 dan 2002, Indonesia menjadi lebih melihat ke dalam sebab mengurusi beragam krisis dalam negeri.Seiring dengan kembalinya kestabilan politik, Indonesia berhasil mengembalikan peran kebijakan luar negeri aktifnya, dengan memimpin ASEAN pada 2003 dan menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi mengenang hari jadi ke-50 Konferensi Bandung pada 2005. Penting juga untuk dicatat, perubahan politik di Indonesia, khususnya perubahan menuju demokrasi, telah dicerminkan di dalam sikap kebijakan luar negeri Indonesia.Di dalam pidatonya pada pembukaan Pertemuan Tingkat Tinggi Asia-Afrika di Jakarta pada 22 April 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpendapat, bahwa seruan pertempuran 1955 adalah 'kebebasan', sementara pada 2005 perjuangannya adalah 'kehormatan manusia' dan pencarian 'pemerintahan yang baik'. Dia menekankan, KAA seharusnya juga menjadi sebuah alat untuk mendorong masyarakat yang adil, demokratis, bertanggung jawab, dan selaras' dan juga 'mendorong dan melindungi hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan

mendasar'.Pada saat yang sama, Indonesia juga mulai melihat potensi ekonomi negaranegara Afrika yang terabaikan dan mencoba memperluas kerja sama melampaui kegiatankegiatan yang disokong pemerintah. Dibandingkan dengan pendahulunya, Presiden Joko 'Jokowi' Widodo mencoba untuk mendorong kebijakan luar negeri yang berbeda, yang menekankan manfaat kebendaan langsung untuk masyarakat umum. Para pengamat telah memandang pendirian ini sebagai Indonesia bersandar ke dalam dengan kepentingan-kepentingan kebangsaan yang dibatasi.Biarpun begitu, kala pertama diusulkan, agar hari jadi ke-60 Konferensi Bandung dirayakan kecil-kecilan dan dipusatkan pada pertemuan bisnis, yang akan menghasilkan manfaat ekonomi langsung, khususnya karena masa persiapan yang singkat, Presiden memilih perayaan penuh. Sementara penekanan lebih besar diberikan pada pengejawantahan ukuran-ukuran konkret untuk memperkuat kerjasama ekonomi dan pembangunan di antara negaranegara Asia dan Afrika, persoalan-persoalan terkait politik dan keamanan antarbangsa telah mau tidak mau, bangkit ke depan, mencerminkan perubahan-perubahan kewilayahan dan global masa kini. Sekali lagi, semangat Dasasila Bandung (sebagai produk KAA) sedang dipanggil untuk membantu komunitas antarbangsa berurusan dengan beragam tantangan dan konflik yang terus saja melanda banyak negara-negara di kedua benua ini, yang sebagian besar terjadi di dalam tembok. (Naskah asli diperoleh dari www.bandungspirit.org. Diterjemahkan dan ditulis ulang oleh Hamada Mahaswara)


38

SELAMAT!


BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolaholah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


YAYASAN

YOGYAKARTA

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.