BuPsi #22

Page 1

Februari-Maret 2014 • BuPsi 22

DO YOU BELIEVE IN LOVE AT FIRST SIGHT? Celebrity Worship Syndrome: Apakah Kamu Memiliki Gejalanya?

Liputan:

Psychology Goes to School! (PHOTOS)

Cinta atau Obsesi? ASK EXPERT:

Galau di Sos-Med Pacaran Online & LDR


About Us B

uletin Psikologi adalah media informasi dan pengetahuan mengenai psikologi dengan konsep bahasa yang lebih mudah dipahami dengan tujuan mengenalkan psikologi dan penerapannya kepada mahasiswa dan mahasiswi, serta masyarakat umum. Jika anda ingin memberikan kritik dan saran, dapat langsung ditujukan pada: bupsi.untar@gmail.com E-BuPsi dapat dibaca & diunduh di: bupsi-untar.blogspot.com Follow Us: Twitter: @bupsi_untar Facebook: Bupsi Untar (Buletin Psikologi Untar) Blog: bupsi-untar.blogspot.com Bagi yang ingin memasang iklan di BuPsi Advertisement, hubungi: Lucia Vega - 08978617637 Dilarang untuk mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buletin ini tanpa izin tertulis dari BUPSI. Isi dari informasi yang dimuat dalam buletin ini telah diperiksa dengan seksama mengenai ketepatannya. Apabila terdapat kesalahan dalam penyampaiannya, kami memohon maaf sebesar-besarnya.


Advisor Sandi Kartasasmita, M. Psi., Psi., Psikoterapis, CBA, CHA Editor-in-Chief Elvina Pekasa Vice Editor-in-Chief Jessie Gani Secretary & Treasury Elaine Novieanny Editor Staff Veronica Clarissa Cardia Ivana Cindy Clara Ellen Reporter Ayu Thannia Dewi Ahmad Wahyu R. Lawita Fransiska Sila Paramita Winda Andriani Graphic Designer Caroline Ahmad Chalifar H. Meylisa Permata S.

Editor’s Letter

Jumpa lagi, Bupsiers. Tak terasa ya, kita sudah memasuki bulan ketiga di tahun 2014, yaitu bulan Maret. Berdekatan dengan bulan Februari, biasanya bulan Maret masih memberikan suasana cinta dan kebahagiaan. Semua orang, terutama mahasiswa, tentu sudah familiar dengan kata “cinta”. Fenomena jatuh cinta, berpacaran, patah hati, dan move on pastinya sudah banyak dialami oleh mahasiswa. Tapi meskipun kata “cinta” sudah tak asing lagi bagi mahasiswa, berapa banyak diantara kita yang tau apa itu triangle love? Bagaimana sih tahapantahapan dalam sebuah hubungan? Apakah hubungan saya dengan pasangan itu benar-benar cinta, atau sebenarnya obsesi? Lalu, bagaimana dengan penyimpangan dalam cinta atau kekerasan dalam berpacaran? Nah, karena tema Bupsi 22 kali ini adalah “Love” maka Bupsi akan membahas semua pertanyaan di atas. Banyaknya mahasiswa yang mencintai artis-artis atau selebriti, juga membuat Bupsi tertarik untuk membahas tentang fan and fandom atau yang lebih sering dikenal dengan celebrity worship. Tak lupa, Bupsi juga selalu memberikan tips dalam berhubungan, wawancara dengan dosen, dan liputan acara. Nah, bikin penasaran kan? Kalau begitu, cukup sekian pembuka dari kami. Akhir kata, semoga Bupsi 22 kali ini membantu menambah wawasan kalian tentang cinta ya. Enjoy your reading. 

Circulation, Distribution, & Public Relation Lucia Vega Elizabeth Ayu F. Stefanie Christina Stevani

Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 03


The Psychology Behind Love

ARTICLES

{Cont

04 Apa sih yang...? 08 (B)-Love VS (D)-Love 10 Cupid: Legend of Love God 11 Is There Love at First Sight? 13 “Cinta” karena Obsesi atau..? 16 Stepping Stones to a Better Future: Relationship Stages We All Go Through 18 Ketika Cinta Berada dalam Ketidakpastian 21 Do’s & Don’ts in Relationship 23 Ask Expert 26 Celebrity Worship 29 The Other Side of Love 31 Kekerasan dalam Berpacaran, Salah Siapa? 33 Pandangan Laki-Laki & Perempuan Mengenai Cinta 35 Triangle Theory of Love: What Type of Love Do You Have? 04 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


tents}

The Psychology Behind Love

REGULARS

02 About Us 03 Editor’s Letter 04 Contents 37 Book & Movie 38 Liputan: PHOTOS - Psychology Goes to School 41 Psychopedia 42 Sumber

Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 05


The Psychology Behind Love

“Apa sih yang kalian lihat pertama kali dari lawan jenismu?” M

ating adalah salah satu insting manusia untuk bertahan hidup. Mencari pacar, menikah, kemudian memiliki keturunan adalah insting yang diberikan dari nenek moyang kita untuk melanjutkan spesies kita (manusia). Tapi untuk mating, kita harus mencari mate terlebih dahulu. Mencari rasa, yang kata orang, bikin kita ‘deg-deg ser’ and fall in love. Mencari seseorang yang membuat kita tidak hanya cinta, tapi juga nyaman, dan ingin untuk menjalani sulitnya kehidupan bersama. Karena dengan-nya, rasanya kita dapat melewati semua kesulitan tersebut! Untuk tahu he’s/she’s the one, kita pasti membutuhkan pondasi hubungan yang dibangun saat saling mengenal. Namun, untuk membuat seseorang ingin ‘mengenal lebih jauh’ orang tersebut, harus ada first impression yang baik! Meskipun tidak menentukan 100%, namun first impression penting dalam hal ini! Kesan pertama memberikan peluang kepada kita untuk melihat apakah kira-kira saya akan cocok dengannya? Kalau kesan pertamanya aja malesin, mana mau orang untuk meng-explore kita lebih lanjut. Lalu, apa sih yang mereka lihat pertama kali dari lawan jenisnya? Ini adalah jawaban mereka:

Mustika Widiati Cholik - English Departement, Tangerang. “Bisanya lihat kesibukannya dulu kayak kerjaanya apa terus kirakira sesuai gak sama yang aku mau, terus baru sifat orangnya itu deh. Cocok gak sama sifat-sifat kita juga. Itu yang paling penting sih, untuk urusan wajah baru deh nyusul dipertimbangkan hahaha”

Gisela Aliyansari - Psikologi, Jakarta. “Kalo gue, yang pertama kali dilihat sikapnya. Dia sopan apa gak. Hehehe”

06 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love

Andri - Psikologi, Jakarta. “Mukanya jutek apa nggak, kalo mukanya jutek mau nyapa aja uda males duluan”

Mega Dwi Lestari Indah - Hukum, Tangerang. “Fashionnya lah, mata pertama kan memandang physically.. Kalo mata bisa mandang sifat.. ya sifat pertama..”

Angela - Psikologi, Jakarta. “Muka, hahaha”

Aliefaini Pryanisa - FISIP, Tangerang. “Pertama, attitude. Bagaimana dia bersikap dan berbicara. Ibaratnya body language lah..” Kurnia Daniati Dwiputri - FKG, Tangerang. “Yang pertama kali gue liat dari cowok pasti penampilannya, karena itu yang pertama, paling cepet, dan paling gampang terindra mata. Kalo dipersempit, wajah kali ya? Kenapanya sih gak ada alasan khusus. Tapi kalo boleh dijabarin, begini.. kalo liat cowok mukanya enak diliat, gak mesti cakep, misalnya bersih, ngademin, atau ada aura-aura air wudhu (kayak cowokcowok musola gitu, hehehe) biasanya kesan gue tentang orang itu kesannya bakal bagus. Tapi kalo dari mukanya aja keliatan orangnya sengak, acuh sama orang-orang sekelilingnya, sorot matanya gak ramah, agak males juga untuk bisa kenal lebih jauh lagi.”

Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 07


The Psychology Behind Love

Kamu termasuk yang mana?

(B)EING-LOVE vs. (D)EFICIENCY-LOVE Pernahkah teman-teman mendengar istilah B-love dan D-love? Mungkin tidak banyak yang mengetahui kedua istilah ini. Bagaimana dengan istilah “cinta tanpa syarat”?

P

ernahkah teman-teman mendengar istilah B-love dan D-love? Mungkin tidak banyak yang mengetahui kedua istilah ini. Bagaimana dengan istilah “cinta tanpa syarat”? Ketika mendengar istilah ini, semua orang pasti membayangkan seorang pria atau wanita yang mencintai orang lain dengan sepenuh hati sekalipun orang itu tidak membalas cintanya. Sepertinya “cinta tanpa syarat” itu hanya dapat terjadi di film romantis atau drama, setuju? Meskipun begitu, cinta tanpa syarat mungkin merupakan salah satu contoh dari istilah B-love yang digunakan oleh Abraham Maslow. Mari kita bahas selanjutnya

08 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014

mengenai B-love dan D-love. M a s l o w menyebutkan lima tingkat kebutuhan manusia. Dalam hal ini, kebutuhan pertama harus terpenuhi sebelum m e m e n u h i kebutuhan selanjutnya. Kebutuhan paling dasar adalah physiological needs, dilanjutkan dengan safety needs, love and belongingness needs, esteem needs, dan yang terakhir adalah self-actualization. Berdasarkan tingkatan tersebut, B-love dan D-love terdapat pada tingkat ketiga, yaitu kebutuhan love and belongingness di mana semua orang ingin dihargai dan diterima oleh orang lain (Arip & Samad, 2008). Menurut Maslow (dalam Semiun, 2006),


The Psychology Behind Love

individu yang telah mencapai selfactualization dapat menciptakan hubungan yang lebih kuat dengan orang lain daripada orang yang memiliki kesehatan mental (jiwa) biasa. Mereka memiliki cinta yang lebih besar dan persahabatan yang lebih dalam, serta identiďŹ kasi yang lebih sempurna dengan individu lain. Walaupun lebih kuat, namun jumlahnya lebih sedikit daripada hubungan di antara orang yang tidak mengaktualisasi diri. Dapat dikatakan walaupun sedikit, tetapi sangat berkualitas. Cinta yang dirasakan oleh para pengaktualisasi diri terhadap orang lain adalah suatu cinta khusus yang disebut B-love (Being love). B-love ini berlawanan dengan D-love (DeďŹ ciency love). D-love didorong oleh kebutuhan-kebutuhan karena kekurangan, khususnya oleh mereka kehilangan cinta, seperti putus dengan sang pacar, mereka juga merasa mendapat kerugian. Individu dengan D-love lebih mementingkan diri sendiri daripada memberikan kasih sayang kepada orang lain. Lalu, bagaimana dengan B-love? Individu dengan B-love dapat digambarkan sebagai orang yang sehat. Individu ini sama sekali tidak mengharapkan cinta dan mungkin saja sudah terjadi dalam waktu yang lama. Menurut Maslow, orang yang sehat tidak memiliki suatu tingkat ketergantungan yang tinggi pada orang yang dicintai. Jadi, mereka

tidak mengalami ketakutan, iri hati, atau cemburu. Cinta para individu dengan B-love tidak egois. Mereka memerhatikan dan mencintai orang lain seperti memerhatikan dan mencintai diri mereka sendiri. Menurut Maslow, dalam B-love terdapat banyak lelucon, kegembiraan, gelak tawa, dan kebahagiaan. Individu dengan B-love lebih mengambil peran untuk memberikan kasih sayang kepada orang lain daripada menerima kasih sayang orang lain untuk memenuhi kepuasan sendiri. Sekarang sudah ada gambaran mengenai B-love dan D-love, bukan? Jadi, coba pikir lagi, kamu termasuk yang mana, sih?

Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 09


The Psychology Behind Love

D I P U C

e God

of Lov d n e g e L e h T

I

t feels like an incomplete puzzle when we talk about love without first knowing the legend of the love god, Cupid. Everyone must be at least familiar with the drawing of a chubby little child with curly hair, aiming a bow with a heart-shaped arrow. Cupid himself is the most famous symbol in term of Valentine’s Day. As a matter of fact, the arrow itself represents desire and love. It is written in history, Cupid once aimed his bow toward gods and men, framing them to fall in love with each other. In Greek mythology, Cupid is known as Eros, the son of Aphrodite, the goddess of beauty and love. In Romans mythology, he is known as Cupid, the son of Venus. Do you know why Cupid is pictured as a winged-boy aiming a bow? It turns out that the drawing itself has a meaning. Cupid has wings to symbolize the way lovers behave: flighty and likely to change their minds. Personified as a little boy, because love is often deemed foolish and irrational. The bow and arrow represent the way love hurts and inflicts pain. Cupid is also often painted blind because love drives people to do things recklessly as if they’re blind. As Shakespeare inscribed in one of his most famous plays, A Midsummer Night’s Dream, “Love looks not with eyes, but with the mind. And therefore is winged Cupid painted blind. Nor hath love’s mind of any judgement taste; wings and no eyes figure unheedy haste. And therefore is love said to be a child. Because in choice he is so oft beguiled.”

10 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love

Is There Love at First Sight? M

aybe some of you are familiar with William Shakespeare’s works. One of his most famous literatures is Romeo and Juliet. It is told that when the first time Romeo catches Juliet’s eyes in a party, they immediately fall in love for one another without caring whether they’re still strangers to begin with. The same thing happens in the story of Aladdin and Princess Jasmine as they fall in love with each other at the first sight in some commoners’ bazaar. Falling in love at the first sight might sound so unbelievably romantic in certain ways but it seems that the said notion only exists in fictional world. People nowadays use more ‘procedures’ and ‘logic’ when it comes to love: tangible evidences and actions. That’s why only a few persons still believe in love at the first sight, ones who keep waiting for that special someone to set their eyes upon and fall in love. The phrase ‘love at the first sight’ is actually a metaphor in western literature to describe one’s attraction towards another even they have never met before. Moreover the phenomenon ‘love at first sight’ can be referred to infatuation or passionate love. It is symbolized metaphorically in Greek mythology with ‘love arrow and love darts’ and ‘derived and arranged by Eros or Cupid’. Cited from Psychology Today, “Every couple who believe in love at first sight believes there is passion within their relationship to overcome the conflict.” In some research conducted by Dr. Namumann, evidently love at the first sight might exist for those who still believe in it. It is found that 55% for those who experienced love at first sight married the object of their affection and 75% who married from the result of love at first sight actually have good relationship. In fact love at the first sight can happen really fast, they only need 0,13 second of staring to develop romantic interest. Some more interesting studies states that surprisingly women are less romantic as it is men who experience love at the first sight more frequently. Chances are men respond more quickly and readily to any physical cues than women do. It’s also because women normally tend to trust more gradually than men do. Some information cited from Livescience found that women are biologically primed to sense which men are genetically compatible with them, thus more careful in consideration. The research also states that female can judge a potential mate upon Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 11


The Psychology Behind Love their first meeting and biologically react to boost the chances of producing successful offspring. So how does love at the first sight work? Biologically, the region called medial prefrontal cortex in your brain regulates romantic decision-making to new attractive face. The scientists then found a connection in one specific region of media prefrontal cortex, called paracingulate cortex. This region prosecutes ultimate decision on dating. Love at the first sight is the instant connection but it doesn’t guarantee the relationship based on it will last, because a relationship needs not only passion but also intimacy and commitment. Below are the signs when you experience the love at the first sight. Maybe you’re familiar with some of them... 1. When they share the same space for the first time, they feel tingling all over. They “feel love” in the presence of this new person in their lives, as if they have never felt it before. 2. Falling in love at the first sight is an “emotional” thing. These couples report having emotional connection and know each other better in three days than they have ever known someone else in a lifetime. 3. Falling in love at the first sight causes you to want to confess your love to the person you have just met. Wanting to express love in the beginning of a meeting is a sign that you are falling in love “at first sight.” 4. When you fall in love at the first sight, you are likely to have pre-occupied thoughts about the love within hours after meeting them. Being fixated on your new lover is a telltale sign that you fall in love “at the first sight”. 5. People who fall in love hastily tell us that they worry about their new lover within hours of meeting them for the first time. 6. They reported that their relationship seems almost too easy. There is none of the worries, uncertainties and fears associated with their last relationships. 7. When couples report falling in love “at the first sight” and this is where they can talk about respect, trust, and investment in the relationship mutually. In the relationship both should make commitment to work the relationship out. Love at the first sight might seem peachy and dandy, but the truest of love grows best on the basic of trust, good communication, intimacy, and commitment. The affection that develops from time to time might make one looks more attractive, so do consider giving someone a chance for second sight, or maybe even third.

12 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love

“Cinta” karena Obsesi atau Benar-Benar Cinta?

M

emiliki pasangan merupakan keinginan setiap orang. Orang yang sekalipun dipandang “lebih mencintai karirnya” juga memiliki keinginan untuk memiliki pasangan. Pertanyaannya, apakah mencari pasangan itu mudah? Mencari pasangan mungkin mudah bagi sebagian orang, tetapi apakah bisa dibilang mudah untuk membedakan antara cinta dan obsesi? Kalian pernah mendengar kata “kagum”, bukan? Kata tersebut pasti sangat tidak asing di telinga kalian. Kekaguman biasanya dapat berasal dari fisik maupun bakat. Kagum seringkali disamaartikan dengan cinta. Misalnya, jika ada yang m e n y a t a k a n cinta, biasanya pertanyaan awal yang dilontarkan untuk merespon adalah, “Kenapa lo bisa suka sama gue?” Sebagai jawaban, tidak jarang kalimat, “Karena lo itu cantik” atau “Karena lo itu smart, multitalented, blablabla” yang terlontar. Selain itu, ada pula orang yang menyatakan cinta mengaku jika ia tidak memiliki alasan mengapa menyukai seseorang. Hal tersebut mungkin dilakukan agar ia dapat dianggap serius untuk berpacaran. Pada kenyataannya, orang itu ingin berpacaran hanya karena melihat kelebihan yang terpancar dari luar. Dengan demikian, hal tersebut yang menyebabkan obsesi dalam berpacaran. Dalam dunia psikologi, terdapat istilah yang disebut obsessive-compulsive disorder. Obsessive-compulsive disorder adalah gangguan kepribadian dari individu yang tidak mampu mengontrol keinginan yang tidak rasional dan sangat tidak diharapkan oleh siapapun. Keinginan tersebut harus ia lakukan untuk menurunkan tingkat kecemasannya. Jadi, apa hubungannya dengan obsesi dalam berpacaran? Berikut ini adalah berbagai tindakan yang dapat dikategorikan sebagai “obsesi” dalam berpacaran: 1. Menyuruh pasangan untuk mengubah penampilannya. Setiap orang pasti memiliki style masing-masing, seperti jarang menggunakan rok dan make up, lebih menyukai rambut pendek, dan sebagainya. Orang yang hanya memiliki obsesi biasanya akan menyuruh pacarnya untuk mengubah penampilan aslinya. Contoh dari kasus tersebut, yaitu menyuruh untuk menggunakan rok dan make up, memanjangkan rambut, dan sebagainya. Hal ini biasanya dilakukan karena pasangan ingin meningkatkan self-esteem untuk dirinya sendiri.

Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 13


The Psychology Behind Love 2. Tidak ingin diabaikan oleh pacarnya. Ketika pasangan mengatakan bahwa ia ingin memperkenalkan Anda dengan kerabat dekatnya, seperti teman-teman atau bahkan keluarganya. Mungkin ia akan beralasan memiliki banyak urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Namun, cara ini dilakukan untuk menolak tawaran Anda secara halus. Kejadian ini tetap akan dilakukan terus menerus dengan alasan yang berbeda-beda. Alasannya sederhana, yaitu tidak mau dirinya diabaikan oleh Anda. 3. Overprotective Tindakan ini gawat karena dianggap wajar oleh seseorang yang sedang mengalaminya. Orang yang mendapat perlakuan overprotective akan mengalami gangguan psikologis. Mereka menjadi mudah marah. Kemarahan menjadi lebih parah jika dilontarkan kepada orang lain, bukan terhadap pasangan yang melakukan tindakan tersebut. Tindakan overprotective bisa ditunjukkan dengan menghubungi Anda setiap hari sampai Anda merasa terganggu, melarang Anda untuk melakukan aktivitas sehari-hari (biasanya menyangkut hobi), melarang Anda untuk menjalin pertemanan dengan lawan jenis meskipun sebagai teman kelompok atau rekan kerja, dan masih banyak tindakan overprotective yang ditunjukkan oleh pasangan Anda. Orang bertindak overprotective karena tidak ingin putus dari pacarnya sehingga memberikan perhatian yang sangat berlebihan. Obsesi ternyata dapat menimbulkan kekerasan dalam berpacaran. Misalnya, jika Anda tidak menuruti atau memenuhi keinginan sang pacar, maka akan muncul pertikaian yang membuat ia justru melakukan kekerasan dalam berpacaran. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa kagum sering disamaartikan dengan cinta, kagum juga dapat menuju kepada cinta yang sesungguhnya. Memang benar jika kecantikan atau ketampanan dapat menimbulkan rasa kagum. Namun, kecantikan dan ketampanan yang dimaksud berasal dari inner beauty seseorang. Selain itu, bakat yang dimiliki juga bisa menimbulkan rasa kagum. Misalnya, laki-laki kagum dengan perempuan yang pandai bernyanyi, menari, memasak, dan sebagainya. Sementara itu, perempuan akan mengagumi laki-laki yang pandai olahraga, bermain musik, bela diri, dan sebagainya. Sesungguhnya, ketertarikan akan muncul karena adanya kesamaan. Misanya adalah seorang laki-laki dan perempuan menjadi saling tertarik karena samasama menyukai bidang musik. Benar jika banyak orang yang mengatakan “cinta hadir karena terbiasaâ€?. Laki-laki dan perempuan yang awalnya tidak saling mengenal, kemudian berkenalan sampai akhirnya sering berinteraksi. Proses interaksi yang berlangsung terus menerus akan menjadi keakraban yang membuat satu sama lain memiliki keinginan untuk saling memiliki. Pasangan akan menilai 14 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love apakah proses interaksi yang berlangsung terus menerus menimbulkan kenyamanan atau tidak. Cinta yang sesungguhnya hadir karena kenyamanan. Namun, apakah cinta cukup hanya dengan kenyamanan? Mungkin bagi sebagian orang itu cukup, tetapi kita tetap perlu memahami apakah itu cinta yang sesungguhnya atau hanya sekedar obsesi. Ketika kenyamanan tersebut muncul, maka fisik atau penampilan bukanlah prioritas dalam mencari pasangan. Pada awalnya, mungkin setiap orang menentukan kriteria dalam mencari pasangan. Tanpa disangka, keakraban yang menimbulkan cinta membuat kita mengabaikan kriteria tersebut. Saat ini masih banyak pro dan kontra tentang “persahabatan jadi cinta”. Sebenarnya, itu semua kembali ke diri masing-masing yang lebih nyaman dijadikan pacar bahkan pasangan hidup atau hanya sebagai sahabat. Mungkin saja orang lain atau bahkan pasangan itu sendiri salah mengartikan bahwa hubungannya adalah persahabatan yang tidak bisa menjadi cinta. Namun, kita juga tidak bisa mengelak jika seseorang yang disebut sahabat ternyata merupakan jodoh kita. Hal yang paling penting, cinta itu saling menghargai. Apapun yang ingin kita lakukan pasti akan didukung oleh pacar. Kita juga pasti akan meluangkan waktu untuk sang pacar. Hal tersebut merupakan proses timbal balik jika saling menghargai satu sama lain. Dalam proses pacaran, berinteraksi dengan orang-orang terdekat dari sang pacar juga merupakan hal penting. Hal ini karena jika pasangan nanti menikah, maka yang menjalin hubungan tidak hanya pasangannya, melainkan juga keluarga dan kerabatnya. Selain itu, tidak akan ada kekerasan dalam cinta. Ketika masalah terjadi, komunikasi merupakan solusi utama dalam proses penyelesaiannya. Kita harus berpikir jernih untuk bisa membedakan antara cinta dan obsesi. Terkadang, semua itu menjadi diabaikan pada saat jatuh cinta. Kalau ada istilah “cinta itu buta”, itu bukan istilah yang salah. Anehnya, ketika salah satu pihak mendapat perlakuan buruk dari pasangannya, justru lebih memilih untuk mempertahankannya. Alasannya adalah karena masih cinta. Intinya, jangan sampai terjebak ke dalam “cinta” yang ternyata hanya sekedar obsesi. Ketika kita mendapatkan pasangan yang ternyata cintanya hanya sekedar obsesi, kita juga bisa memutuskan untuk tidak menyerah dalam mengubah obsesinya menjadi cinta yang sesungguhnya. Hal tersebut mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama, antara gagal atau berhasil. Jika berhasil, maka berhak untuk dilanjutkan. Jika gagal, sebaiknya memutuskan untuk mengakhiri lalu move on. Pada akhirnya, Anda pasti akan menemukan cinta yang sesungguhnya.

Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 15


The Psychology Behind Love

Stepping Stones to a Better Future:

Relationship Stages We All Go Through

I

t starts from meeting someone, dating, and having relationship with them for months or even years. As real as it can be, conflicts happen. Through it some couples might break up and some of them even get stronger in bonds than before. The latter then is deemed successful in their dating, they might get engaged and in the future they may tie commitment in marriage. Dr Elisabeth Martindale stated that there are five common stages of relationship; hanging out, dating, relationship stage, intimacy, and commitment...

In every relationship there are some various experiences. Some of them may break up in good ways and some in bad ways, or even some might last until now. But eventually every relationship does have similar pattern of stages.

16 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014

1. Hanging out. Hanging out often takes place in social settings like mall, party, class room, parks, and maybe in religious places like mosque or church. At these settings, people have opportunities to watch someone from some distance. One can observe the way others behave or interact within the surrounding and how they take care of themselves. At this stage, eyes meet and conversations happen, maybe they exchange contacts: numbers and social media accounts. At this point mutual interest might emerge, some potential couple move to the next stage but some unfortunate ones just cease because they realize the chemistry isn’t enough for them to keep going on. 2. Dating. The second stage in pre-relationship phase is dating. In this stage you should have already obtained and collected more personal information about your date partner. Start observing how they live, what they value, how they treat their family,


The Psychology Behind Love friends and others. Ideally you should listen to your heart, notice their reaction, concern, and expectation. You should be objective at this point whether you could work on a relationship with this kind of person. You may have a scenario in your mind about what kind of relationship in the future you want to but again don’t be hasty to decide. Chance is you might want to date several individuals before you get into a relationship so you know which type of a person suits you better. Experiences will help you a lot to go through a relationship. 3. Relationship stage. When you’ve decided to be in a relationship with someone, it means that you’ve committed into a more serious affiliation. Being in a relationship means you are willing to be seen in public as a couple and each of you must stop dating around. You shouldn’t be cheating on your partner either. If you have dated this person for awhile, there should be a trust built between the two of you. You should try to be open to each other through communication to make it work. Openness and trust make way for opportunity for you to go through deeper exploration as well as deeper examination of your own feeling in the relationship. At this stage, your expectation of yourself and your partner will begin to chance. Adjustments and agreements are necessary so both of you could learn to respect differences. A sense of relationship obligation takes precedents over your individual needs. You both will check on each other more regularly. The goal in this stage is to make sure the person you’re in a relationship with is the best person for you. The way they respond to when the relationship faces rocky conflicts and challenges could also be taken as clues to predict where your ‘ship’ is sailing. But you need to remember that there are

two possibilities when conflicts emerge. Breaking up this happens often for some couples, they can’t accept critics, argue with each other severely over small things, they feel insecure inside and each has big ego. They are never fully committed and finally they could only find disappointments instead. Going on stronger: they solve the conflicts together. Surviving through the rocky road, they instead bond even tighter. Couples who get through this inevitably make sacrifices and compromises. 4. Intimacy. At this stage you better know whether this person is truly the right one for you. Is your partner emotionally secured? Are they going in direction that fits well with your life’s intent? You have to tolerate their shortcomings and perfectly accept their imperfections as they do to you. Love and respect each other. This fourth stage is where hopes and dream for the future to be examined together. Maybe discussion on building life together or the possibility of getting marriage and creating family together. But unfortunately many people in this stage move onto intimacy stage without sufficiency of assessing their partner thoroughly which only leads to more conflicts in the future. 5. Commitment. The final stage in relationship is commitment. Now both individuals make the claim that relationship is to be reserved, prioritized, and treasured with the knowledge that your partner is as willing as you are to work the relationship out. The time it takes for someone to level up to this stage depends on variety of factors. A relationship can be tremendously fulfilling and joyous. The most you can do is to take risk and taking chances: open yourself fully to the possibility of deep and lasting love. Don’t lose faith. Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 17


The Psychology Behind Love

Ketika Cinta Berada dalam

Ketidakpastian..

J

atuh cinta berjuta rasanya‌ Begitulah bunyi dari penggalan lirik lagu yang dinyanyikan oleh salah satu grup vokal yang populer di Indonesia. Ketika jatuh cinta, seseorang dapat menjadi lebih positif, lebih bersemangat, lebih berprestasi, atau mungkin yang terjadi malah sebaliknya. Pahit-manisnya cinta sering mewarnai hari-hari dalam menjalani kehidupan. Tidak dapat dipungkiri, cinta memang seperti sebuah misteri yang tidak terduga kapan datang dan perginya. Namun, sebenarnya, apakah cinta itu? Dalam ilmu psikologi, cinta merupakan kombinasi emosi, kognisi, dan perilaku yang berperan penting dalam kelekatan suatu hubungan (Baron & Branscombe, 2012). Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat terlepas dari peranan manusia lainnya untuk mempertahankan kehidupan. Manusia cenderung memiliki kebutuhan untuk mencari dan mempertahankan hubungan interpersonal bersama dengan manusia lain, yang dikenal sebagai needs for afďŹ liation (Baron & Branscombe, 2012). Hubungan interpersonal yang dijalani (dalam hal ini berpacaran) dapat berakhir bahagia dalam suatu pernikahan. Namun, sayangnya, tidak semua hubungan berpacaran berakhir bahagia. Ketika menjalani hubungan bersama orang yang dicintai, sering terjadi hal-hal yang kurang menyenangkan, seperti terjebak di zona pertemanan, merasa diberi harapan palsu, patah hati, dan akhirnya harus berjuang untuk melanjutkan hidup kembali (move on) on). Melakukan pendekatan sebelum menyatakan cinta merupakan hal yang biasa dilakukan ketika seseorang ingin memiliki hubungan yang spesial dengan orang yang dicintai. Segala bentuk perhatian dan rasa peduli akan dicurahkan sepenuhnya kepada orang yang dicintai. Sesuai dengan pepatah yang menyatakan bahwa cinta datang karena terbiasa, maka tidak menutup kemungkinan seseorang dapat jatuh cinta kepada sahabatnya. Memberikan perhatian dan peduli kepada orang yang dicintai, memang bukanlah hal yang salah, namun, jika hal tersebut dilakukan secara berlebihan dapat membawa hubungan seseorang terjebak di zona pertemanan (friend zone). Friend 18 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love zone sering membuat seseorang merasa bingung dan serba salah. Di satu sisi, orang tersebut sangat ingin menyampaikan perasaan cintanya, namun di sisi lain seseorang tersebut takut pernyataan cintanya merusak persahabatan dan kenyamanan yang telah terjalin selama ini. Akhirnya, hubungan yang terjalin pun tidak jelas kemana arahnya. M e n u r u t Triangular Theory of Love yang dikemukakan oleh Sternberg (dikutip dalam Papalia & Feldman, 2012), cinta dibangun atas tiga elemen yaitu kelekatan (intimacy), gairah (passion), dan komitmen (commitment). Cinta yang baik adalah cinta yang memiliki ketiga komponen tersebut secara seimbang. Ketika dalam suatu hubungan hanya ada kelekatan (intimacy), cinta yang ada hanya-lah sebatas menyukai orang tersebut (liking). Dalam pola cinta liking, terdapat kedekatan, dukungan emosional, afeksi, keterikatan, dan kehangatan, namun tidak ada gairah dan komitmen dalam menjalani hubungan. Hal ini digambarkan pada hubungan yang terjebak dalam zona pertemanan. Menjalani hubungan yang terjebak friend zone dipenuhi dengan ketidakpastian dan pada akhirnya hanya akan membawa kekecewaan bagi kedua belah pihak. Selain terjebak di zona pertemanan, belakangan ini sedang populer istilah PHP (Pemberi Harapan Palsu). Dalam menjalani suatu hubungan, terkadang seseorang merasa mendapatkan respon positif yang diberikan oleh orang yang dicintai, misalnya diberi perhatian. PHP merupakan salah satu bentuk unrequited love, yang berarti cinta yang dirasakan oleh seseorang namun tidak terbalas oleh orang yang dicintai, singkatnya cinta bertepuk sebelah tangan (Baron & Branscombe, 2012). Setelah berhubungan sekian lama, namun orang yang dicintai belum menunjukkan tandatanda bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama dan akan menerima perasaan cinta yang diungkapkan. Sedih rasanya bila harus terombang-ambing dalam arus cinta yang tidak pasti. Namun, jangan salah beranggapan dulu dan langsung Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 19


The Psychology Behind Love menyatakan bahwa orang yang tidak membalas cinta sebagai si pemberi harapan palsu. Hal ini mungkin terjadi justru karena kesalahan persepsi dan atribusi orang yang mengaku sebagai “korban” PHP. Atribusi merupakan proses di mana seseorang mengidentifikasikan penyebab perilaku orang lain sehingga muncul pemahaman tentang sifat dan watak orang tersebut (Baron & Branscombe, 2012). Sedangkan persepsi merupakan interpretasi (memaknai) seseorang tehadap suatu hal (King, 2011). Nah, ketika menjalani suatu hubungan dalam waktu yang lama, kemudian orang yang dicintai memberikan perhatian, senyuman, atau hal-hal indah lainnya, ini dapat dipersepsikan dan diatribusikan bahwa orang tersebut juga mencintai kita dan ingin berpacaran. Faktanya, tidak semuanya seperti itu. Ada kalanya, seseorang membalas perhatian, senyuman, dan peduli kepada orang lain karena merupakan wujud penghargaannya terhadap orang lain. Oleh karena itu, jangan sampai yang mengaku “korban” PHP salah mempersepsikan dan mengatribusikan perilaku orang yang dicintai sebagai bentuk harapan bahwa cintanya akan terbalas. Baik “korban” maupun “pelaku” PHP memang tidak salah, karena “pelaku” melakukan apa yang menurutnya baik dan “korban” berhak memiliki persepsi dan atribusi. Maka, sebaiknya, bersikaplah sewajarnya dan jangan berlebihan walaupun mencintai dan dicintai merupakan salah satu kebutuhan manusia juga. Terjebak dalam zona pertemanan dan terombang-ambing oleh harapan yang tidak jelas memang tidak enak rasanya. Ketika terjebak dalam friend zone, seseorang boleh memilih antara tetap menderita dalam zona itu (Stay and Being Hurt) atau keluar dari zona tersebut (Exit). Untuk keluar dari zona penuh ketidakpastian ini memang sulit dilakukan. Diperlukan ketegasan diri dan keberanian untuk membicarakan dengan “pasangan” tentang kejelasan hubungan dan membuat batasanbatasan dalam menjalani hubungan. Pengalaman terjebak dalam friend zone dan di-PHP-in dapat menjadi pelajaran bagi seseorang untuk menjadi manusia yang lebih positif dan berprinsip. Sadari bahwa tidak ada hubungan yang dapat dipaksakan dan belajar untuk menerima kenyataan. Bila perlu menangis, menangislah dan benahi emosi masing-masing. Hidup memang penuh dengan pilihan, seseorang dapat memilih untuk tetap terpuruk atau memilih untuk MOVE ON  20 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


Do’s and Don’ts in Relationship

The Psychology Behind Love

M

aintaining a relationship in dating is not an easy thing to do. It requires some “abilities” to maintain a harmonious relationship resulting in a happy ending. Every couple would want the best in their relationship and also a romantic ending just like The Cinderella’s love story. However, the truth is, not every relationship ends in marriage. Many relationships break up and leave bitterness, even hatred. Then, how to maintain a relationship that ends with a happy ending ? What we need to do and avoid so that our relations longlast in happiness? Check this out!

DO NOT THESE: Always Criticize and Trying to Change. Criticizing is not entirely wrong, but if it’s done incessantly, it will only make a person feel unappreciated and has a low self-esteem. Moreover it’s wrong if the purpose of our criticism is to change our partner to become what we want. Nothing’s perfect in this world. So, if there is a bad habit that makes you feel not so comfortable, you should discuss it with your partner, not by criticizing. Instead of criticizing, we should better thank our partner for trying to accept us. Intimacy Showcased. The sweetness of love sometimes makes us forget when and where we are. Loving couple should not show off in front of their friends and public excessively. Flaunting off intimacy will only sicken your friends or the public who feel uncomfortable or even upset. Even when in love, we should never forget the ethics and norms.

Tell Couple’s Secret to Others. When dating, at least we know the good and bad of our partner. Perhaps, our partner reveals things that are personal to us in the hope we can be trusted to keep secrets. Thus, we shouldn’t spill the beans to others because it can humiliate our partner and diminish confidence in us.

Infidelity. Infidelity is an important thing to watch out for in a relationship because when it occurs, the relationship will never be as the same as before. Be a faithful partner in order to keep a harmonious relationship. Talking About Ex. Talking about your ex especially comparing him/her with your partner would be a great danger to your relationship. Your partner might think that you have not fully moved on yet and make him/her as an escape. Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 21


The Psychology Behind Love

DO THESE: Keep the Commitment. Most of couples who survive more than a decade, saying that commitment is the key to keep their relationship in harmonious and stronger. With commitment, there is an opportunity to maintain a relationship that is being undertaken. Conversely, without commitment, the relationship will easily expire.

Becoming a Friend for Your Partner. In undergoing a relationship does not mean you have to be serious with your partner all the time. Be a good friend to him/her. Listen to all their complaints, always be there for them as frequently as possible, teasing each other like friends, and don’t be annoyed easily. It will create a harmonious relationship and your partner will feel comfortable going out with you.

Be Open and Respecting Privacy. In the making of a harmonious relationship, you should let your partner know something that it is necessary to be informed. For example, tell them about where’d you go or introduce them to your best friends. Being open makes you hide nothing even if it has something to do with someone other than your partner and also does not make your partner worried about you. However, it does not mean we could tell everything to our partner. Preferably, some private thing such as passwords, ATM pin, and so on, remains a personal secret. As a couple, we should not meddle in the affairs of some private things.

Pay Attention and Care. Even if you give the slightest attention and care to your partner, it definitely will comfort your partner, especially when they need you. For example, when it’s your partner’s birthday, it’s not a difficult thing to make a little surprise to celebrate their birthday. The attention and care you give to your partner have to be done sincerely.

Be Yourself. No need to be someone else to make your partner feel happy. Being yourself is an important thing to do, because it shows that someone has to know yourself and be honest with it. In addition, by being yourself, your couple will know the true self of you and learn how to accept the good side and the bad side of you.

Quality Time. No matter how busy you and your partner are, take time to see each other at least once a week. The meeting is very important to make your relationships closer and stronger. Then, how to maintain a Long Distance Relationship (LDR)? At least communicate with each other every day and plan a meeting in every few months.

22 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love

Bagaimana Psikologi Memandang Orang yang Galau di Media Sosial?

Ask Expe

rt!

Narasumber : Ibu Henny E. Wirawan, M.Hum, Psikolog, Psikoterapis, CGA, CGI, QIA, CRMP

H

adirnya berbagai macam media sosial di era globalisasi ini meningkatkan kemungkinan bagi seorang individu terhubung dengan keluarga atau kerabatnya di berbagai belahan dunia. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Line, Instagram, dan sejenisnya dapat dijadikan sarana untuk berbagi informasi dengan teman-teman yang tempat tinggalnya saling berjauhan. Namun, seiring dengan berkembangnya media sosial, informasi yang dibagikan pun ikut berkembang, termasuk fenomena berbagi kegalauan di media sosial. Apa jadinya bila media sosial dijadikan sebagai sarana untuk menuangkan isi hati yang sedang galau melalui status yang dituliskan oleh penggunanya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kami meminta bantuan dari seorang Psikolog sekaligus psikoterapis dan dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Ibu Henny E. Wirawan, M.Hum, Psikolog, Psikoterapis, CGA, CGI, QIA, CRMP untuk menjelaskan tentang fenomena kegalauan ini. Berikut jawaban beliau: “Pertama, mengenai istilah galau dulu. Ini memang salah satu emosi manusia, tetapi kata galau sedang disalahgunakan oleh banyak orang. Sedih, marah, cemas, gelisah, kadangkadang disamaratakan menjadi satu kata, galau. Padahal galau itu sendiri merupakan perpaduan rasa bingung dan ragu, lazimnya orang yang sedang mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan. Ada kekacauan dalam proses berpikir, itu yang menyebabkan rasa galau di hati. Nah, mengingat makna kata galau yang sebenarnya, jadi yang dimaksudkan dengan galau di media sosial yang seperti apa ya? Apakah mau diasosiasikan dengan mereka yang menulis status yang tidak dipikirkan terlebih dulu dampaknya, yang kira-kira berisi keluh kesah atau makian atau yang seperti apa? Pastinya pemuatan status atau cerita di media sosial perlu dilakukan dengan pemikiran bijaksana dan bermakna positif untuk jangka panjang penulisnya. Perlu dipastikan bahwa hal-hal yang dituliskan memang berarti dan berguna, atau setidaknya menetralisir suasana. Hindari upaya memperkeruh konik karena komentar atau pendapat yang kurang mengenakkan, apalagi yang bernada memďŹ tnah orang atau lembaga lain. Jadi, diperlukan kedewasaan dan kematangan emosi dari si penulis media sosial. Kegalauan hati dan Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 23


The Psychology Behind Love pemikiran kiranya jangan dijadikan alasan untuk menuliskan kalimat atau topik yang akan disesali atau yang merugikan penulisnya. Jika yang diutamakan adalah ekspresi emosi sesaat yang dilakukan tanpa berpikir panjang, dapat dipastikan lebih banyak kerugian daripada keuntungan yang akan dialami penulisnya. Dia akan dikenal sebagai individu yang kasar, bicara ceplas-ceplos-ceplos dan menyakitkan, bahkan bisa saja diidentikkan sebagai si pemarah atau si tukang ďŹ tnah, intinya sebagai seseorang yang kurang dewasa, kurang bijak, dan kurang mampu berbagi kesejukan kepada sesama.â€?

Bagaimana Psikologi Memandang Pasangan yang Bertemu & Berpacaran Secara Online?

rt! e p x E k s A

(Long Distance Relationship atau LDR)

Narasumber : Ibu Henny E. Wirawan, M.Hum, Psikolog, Psikoterapis, CGA, CGI, QIA, CRMP

S

eiring dengan berkembangnya jaman dan kemajuan teknologi yang begitu pesat, berkomunikasi dengan orang lain kini dapat dilakukan melalui sarana media sosial. Saat ini, sudah banyak sekali tersedia berbaga macam aplikasi-aplikasi media sosial yang mampu membuat seseorang dapat saling bertatapan wajah tanpa harus berada di suatu tempat yang sama. Kemajuan teknologi yang pesat ini ternyata juga mampu menghubungkan pasangan-pasangan kekasih yang tinggal di tempat yang saling berjauhan untuk saling berkomunikasi secara online. Biasanya, hubungan jarak jauh ini lebih dikenal dengan sebutan Long Distance Relationship (LDR). Bagaimanakah pandangan dari segi pandang ilmu psikologi mengenai pasangan yang bertemu dan menjalani hubungan secara online? Untuk menjawab pertanyaan ini, kami meminta tolong seorang Psikolog sekaligus psikoterapis dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Ibu Henny E. Wirawan, M.Hum, Psikolog, Psikoterapis, CGA, CGI, QIA, CRMP, untuk menjelaskan. Berikut adalah jawaban beliau: 24 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love “Pertemuan dengan calon pasangan dapat melalui forum apa saja, tatap muka boleh, di dunia maya juga dimungkinkan. Namun kiranya sebelum memulai relasi yang lebih mendalam, keduanya mengupayakan pertemuan tatap muka dulu untuk berkenalan lebih mendalam, baru melanjutkan hubungan melalui dunia maya. Pertemuan di dunia maya sama sekali sarat dengan penipuan dan kepalsuan. Individu belum tentu benar-benar mengenal siapa yang sedang menjalin relasi dengannya. Ia juga sangat mungkin ditipu, bahkan diperas dalam hal keuangan atau dijebak dalam hal foto porno, karena merasa sudah mengenal dekat pasangannya. Itulah makanya saya tidak menyarankan mereka yang hanya bertemu lewat dunia maya untuk semata-mata berpacaran lewat dunia maya belaka. Bagaimanapun observasi langsung individu yang menjadi calon pasangan akan lebih cermat jika dilakukan secara live (langsung). Memang bisa saja berpacaran melalui Skype, tetapi tetap keduanya harus saling kenal dulu, karena kemungkinan jebakan selalu terbuka (termasuk dalam hal pemalsuan data nama, usia, status nikah, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll.). LDR adalah alternatif, bukan satu-satunya. LDR adalah langkah darurat (jika sukar bertemu karena jarak, mungkin karena bersekolah atau bekerja di kota atau negara berbeda) tetapi tidak baik untuk selamanya seperti itu. Perlu waktu untuk bertemu, bersentuhan (maksudnya dalam artian yang wajar dan sehat ya), dan yang lebih penting lagi saling mengenal secara mendalam satu sama lain. Bukankah keintiman dan kedekatan akan lebih menyegarkan dan menyehatkan hubungan, dan pastinya juga individu yang berhubungan, daripada yang terus menerus berjauhan (rentan perselingkuhan, pertengkaran, kecemburuan, dan kecurigaan, di samping rentan penipuan dan kejahatan lain seperti yang sudah saat tuliskan sebelumnya).�

Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 25


The Psychology Behind Love

CELEBRITY WORSHIP

Saat Kegiatan Normal Menjadi Abnormal...

Apakah Anda atau teman Anda memiliki idola? Pasti sangat menyenangkan saat membicarakan idola Anda. Bahkan sekalipun bukan idola, gosip mengenai selebriti selalu tampil dimanamana. Entah sekedar menjadi pembicaraan sambil lalu, atau benar-benar berniat bergosip. Ditambah dengan banyaknya acara televisi, tabloid, dan internet yang memberitakan khusus mengenai selebriti. Membaca atau bergosip mengenai selebriti adalah kegiatan yang sering dilakukan oleh mayoritas manusia di dunia. Lain halnya dengan individu yang memiliki seorang idola atau lebih, dan menganggap dirinya sebagai penggemar idola tersebut. Umumnya mereka akan mengikuti berita 26 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014

idola tertentu secara terus-menerus, sengaja menonton idola tersebut, hingga mengikuti kegiatan di komunitas penggemar idola tersebut. Umumnya seorang penggemar ingin mengetahui semua detil dalam kehidupan sang idola. Mulai dari tempat tanggal lahir, hingga apa yang belakangan ini dilakukan oleh idola. Fenomena yang akhir-akhir ini terlihat jelas mengenai penggemar dan idola adalah seperti penggemar K-Pop (artis Korea) dan Beliebers (sebutan bagi penggemar Justin Bieber). Para penggemar ini juga rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membeli album dan barang-barang yang behubungan dengan sang idola, juga mengikuti konser tur mereka. Seperti yang terlihat di televisi beberapa


The Psychology Behind Love waktu lalu ketika para idola datang, tidak sedikit penggemar yang menunggu dengan setia di airport, bahkan menangis karena mereka tidak dapat melihat artis tersebut dengan mata kepala mereka sendiri (tabloid bintang). Atau mengerumuni hotel tempat idola ini tinggal, mengikuti mereka kemana pun sang idola pergi (Everlasting Friend). Mengantri berjam-jam untuk menukarkan tiket, hingga tidur di luar tempat konser diadakan (kapanlagi.com)! Tentu saja tidak semua penggemar seperti itu, namun yang melakukan hal seperti itu juga tidaklah sedikit. Semakin tinggi keterlibatan Anda dengan idola tersebut, maka semakin

tinggi pula kemungkinan Anda mengalami celebrity worship. Semakin tinggi celebrity worship yang dialami, maka semakin tinggi pula bahaya yang mungkin muncul.

It’s just..

APA ITU CELEBRITY WORSHIP?

Too much?

Celebrity worship adalah sebuah konsep yang memiliki bentuk patologis dan nonpatologis. Celebrity worship termasuk ke dalam interaksi parasosial, yaitu hubungan yang terdiri atas satu individu mengenal individu lain namun tidak sebaliknya. Selebriti adalah individu terkenal, apakah ia adalah atlit, politikus, musisi, aktor, komedian, model, hingga tokoh ďŹ ksi. Selama terkenal, ia termasuk selebriti.

APAKAH CELEBRITY WORSH IP

AMAN?

Ya dan tidak. Ada bagian celebrity worship yang namun ada pula yang tidak. Celebrity worship memiliki tiga level yang dibedakan berdasarkan tingkat keterlibatan penggemar terhadap idolanya. Level pertama, seperti membaca, menonton, dan mengobrolkan idola adalah aktivitas sosial normal yang umum terjadi. Hal ini baik karena meningkatkan interaksi seseorang dengan lingkungan sekitarnya. Contoh interaksi tersebut dengan mengikuti acara komunitas, berdiskusi, bahkan dapat meningkatkan kemampuan dan menyalurkan hobi. Namun level kedua dan tiga tidak seaman tingkatan pertama. Celebrity worship tinggi dapat memunculkan perilaku berbahaya, seperti stalking, obsesi, dan adiksi pada idola.

Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 27


The Psychology Behind Love

CONTOH EKSTRIM

CELEBRITY WORSHIP Diberitakan seorang remaja perempuan mencoba bunuh diri setelah mendengar bahwa idolanya akan menikah (Haynes dan Rich dalam Maltby, et al., 2003). Ia dikabarkan berlari ke dalam bath tub berisi air hangat, lalu mengiris leher, tangan,

dan kakinya. Salah satu pikirannya saat itu adalah “She’s going to change him if he gets married.. I’m not going to live with that”. Dalam masa penyembuhan, ia mengatakan “I don’t care who he dates, sleeps with, marries.. I realized I wanted him to be happy, and that that would make me happy.. He’s the only person I connect with.” Dalam cerita tersebut, jelas sekali terlihat bahwa gadis tersebut mengalami fiksasi. Ia tidak dapat move on dari idolanya tersebut.

APAKAH ANDAMEMILIKI GEJALACELEBRITY WORSHIP SYNDROME?

Kuis singkat dari DailyMail di bawah ini membantu Anda melihat sampai sejauh mana Anda mengalami celebrity worship! Setuju dengan pernyataan di bawah ini, mungkin Anda memiliki Celebrity Worship Syndrome...

TINGKAT RENDAH (LEVEL 1)

TINGKAT SEDANG (LEVEL 2)

TINGKAT TINGGI (LEVEL 3)

1. Saya dan teman saya senang mendiskusikan apa yang idola saya lakukan. 2. Saya senang menonton idola saya. 3. Mempelajari sejarah kehidupan idola saya sangat menyenangkan.

1. Saya menganggap idola saya adalah belahan jiwa saya. 2. Saya memiliki ikatan spesial dengan idola saya. 3. Saya sering memikirkan idola saya, bahkan saat saya tidak ingin.

1. Jika saya memiliki uang yang banyak untuk digunakan sesuka saya, saya akan membeli barang pribadi idola saya yang sudah digunakan, seperti serbet. 2. Jika idola saya meminta saya untuk melakukan hal ilegal, saya mungkin akan melakukannya. 3. Saya akan sangat marah atau sedih jika idola saya menikah.

So, apakah Anda sudah mengetahui sampai sejauh mana Anda terlibat? Level berapakah celebrity worship Anda? Hati-hati, jangan sampai kegiatan bersenangsenang Anda menjadi berbahaya! 28 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love

THE OTHER SIDE OF

LOVE

Most people love to listen to the stories of romantic love. For instance, the love story of Cinderella and Prince Charming, Goo Joon Pyo and Geum Jan Di in the Korean drama Boys Before Flowers, even in the real world such as the love scoop of Prince William and his wife Kate Middleton. Sometimes we crave to have a beautiful love story like them too. But has it ever crossed your mind that not all love stories end up as beautifully as you think it should be? Here's some shades of gray of some love stories.

1.Woman The Berlin Wall

who married

Eija Riitta Berliner Mauer (54 years old) was obsessed with the structure of the Berlin Wall and decided to marry in 1979. Doctors claim Eija suffered sexual disorder called Objectum-Sexuality, that is feelings of love, attraction, and a special feeling that is felt toward certain objects. Actually, Eija’s obsessed with structure. So it’s not just the Berlin Wall that made her fall in love, but all things like television and other structures. Eija’s shocked when the Berlin Wall torn down in 1989. “Why do they displace my husband,” she lamented. But not long after that, Eija fell in love with her garden fence.

2.Living

with husband’s body for 10 years

Jean Stevens (91 years old) had been living with her husband’s corpse for a decade because she couldn’t accept his death. She put balm all over his body and kept it in their house. She took care of the corpse as well as she could until inevitably the police got suspicious. It turned out that Jean kept her husband’s body on a sofa in the garage and sprayed expensive cologne on it. “I can see and touch him.

But now some people got bad ideas, they’d said, ‘Why do you look for the dead?’ Oh Lord. I just feel differently about death,” said Jean Stevens.

Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 29


The Psychology Behind Love

3.Man

marry a pillow

character printed on the pillow was Fate Testarossa from the anime series Magical Girl Lyrical Nanoha. Eventually he married his pillow in 2008.

Lee Jin-Gyu married a pillow which he called dakimakura, which means “Dutch Wife”. Dakimakura, which usually has a picture of female anime characters on its sheet, commonly be embraced by Lee before bed. The anime

4.A Love

Additionally, Caligula found a for the horse, that is, Penelope. The story between wife horse could invite people to come to its a Roman Emperor and his horse house (barn) for it was quite a magnificent Caligula’s love to a horse named Incitatus palace and entertain them to eat at the was not in the form of sex. Caligula loved ‘royal’ barn. The guests were of course the horse and facilitated the horse with a served by human waiters and exposed to decent life, more than ordinary horses even entertainment events. persons in general. The barn for Incitatus was made of marble, smooth and clean. There was ivory manger to sleep on, which was wrapped in purple (the symbol of the empire). There were also jewel stones around its neck. The horse also had 18 waiters serving his interests. Even its food was fancy: oats mixed with gold flakes.

5.Because

arguing about the cat. The wife wanted the best possible care for the cat, Zakamensky, of cat, obtained from some district after the origia wife killed her husband nal owner died. However, her husband did A wife killed her husband because her hobby for cats was disheartened by the hus- not agree with her wish. On one occasion the cat appeared and angered her husband band threatening to dispatch the wife’s pet cat. Intelligence who tried to hit it with a broomstick. The services said the wife wanted to protect the cat from broomwoman and her stick and grabbed a knife on the table, in sum she ended up driving the knife thrice husband was drinking alcohol into her husband’s chest. together before

30 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love

M

Kekerasan dalam Berpacaran, Salah Siapa?

embahas tentang kekerasan dalam berpacaran, pasti banyak yang mengira bahwa pelaku utamanya adalah laki-laki, sedangkan korbannya perempuan. Apakah selalu begitu? Sebelum membahas lebih dalam, kalian perlu tahu dulu apa itu kekerasan. Kekerasan merupakan tindakan yang merugikan secara fisik, psikologis dan finansial. Ketiga hal ini yang akan dihubungkan dengan kekerasan dalam berpacaran. Nah, pembaca bisa tahu apakah laki-laki atau perempuan yang lebih banyak melakukan kekerasan dalam berpacaran. Kekerasan fisik berhubungan dengan penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan secara fisik. Menurut survey Komnas Perempuan tahun 2013, ada 1085 kasus mengenai kekerasan dalam berpacaran. Kekerasan fisik terjadi jika ada penyimpangan yang dilakukan pacarnya, misalnya selingkuh atau sedang “adu mulut”. Jika dialami laki-laki, kemungkinan awalnya mereka menyiksa dirinya terlebih dahulu, misalnya menonjok dinding atau cermin. Setelah itu, menyiksa pacarnya misalnya menampar. Kekerasan fisik juga bisa dilakukan untuk mendapat kepuasan batin yang merupakan kebutuhan. Ini biasanya dialami oleh orang-orang yang mengalami gangguan. Dalam kasus ini, sebenarnya tidak ada permasalahan yang terjadi. Kekerasan fisik dapat menyebabkan gangguan psikologis, apalagi sampai korban tidak bisa menceritakan apa yang dialaminya kepada orang lain. Ternyata overprotective juga merupakan tindakan kekerasan psikologis. Overprotective merupakan tindakan untuk mengontrol orang lain secara berlebihan. Biasanya, orang yang overprotective beralasan tidak mau kehilangan orang yang disayangi. Tanpa disadari, justru sangat mudah kehilangan pacarnya. Tindakan overprotective ini bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Misalnya, jika perempuan melarang pacarnya untuk berolahraga karena ingin ditemani ke mall untuk berbelanja. Atau laki-laki yang melarang pacarnya untuk rapat di sebuah organisasi karena memintanya untuk menemaninya di rumah. Matre, merupakan salah satu istilah yang pastinya sudah sangat akrab di telinga pembaca. Perlu diakui bahwa setiap orang memiliki kebutuhan finansial. Punya pacar kaya mungkin Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 31


The Psychology Behind Love merupakan harapan setiap orang. Tapi, apakah bangga jika sang pacar justru selalu bergantung pada orang tuanya secara ďŹ nansial? Siapapun tidak suka jika uangnya diminta dan dihabiskan begitu saja oleh orang lain meskipun pacar sendiri. Nah, Ini merupakan kekerasan ďŹ nansial. Banyak yang menganggap kasus ini banyak dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki. Tapi jangan salah, tidak menutup kemungkinan jika laki-laki juga melakukannya. Apalagi saat ini merupakan emansipasi wanita. Sudah banyak wanita yang memiliki penghasilan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Sebenarnya, apa yang menyebabkan kekerasan dalam berpacaran? Jadi, ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa 717 anak laki-laki yang mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya pada usia 10-12 tahun, akhirnya melakukan kekerasan dalam berpacaran. Bisa disimpulkan bahwa kekerasan diakibatkan perlakuan masa lalu yang diterima sang anak lalu dibawa ke alam bawah sadar (id). Akhirnya, dimunculkan beberapa waktu kemudian dan dilakukan kepada orang lain. Faktor lainnya, mungkin karena keinginan memperoleh kehidupan yang layak (dalam hal ini menyangkut kebutuhan ďŹ nansial). Dapat pula disebabkan pernah kehilangan orang yang disayangi sehingga tidak mau hal tersebut menimpanya lagi. Ada sebuah teori yang disebut frustration-aggression hypothesis. Teori tersebut menyebutkan bahwa agresi dan frustasi saling berhubungan. Dalam proses berpacaran, pasti akan ada masalah. Atau mungkin saja hanya salah satu pihak yang mendapat masalah. Pertanyaannya, apakah masalah tersebut memunculkan frustasi atau tidak. Kemudian, apakah orang yang frustasi akan bertindak agresi? Jumlah kasus perlakuan kasar dari orang tua terhadap laki-laki dan perempuan adalah sama rata. Ternyata, laki-laki dan perempuan juga cenderung sama seringnya untuk melakukan tindak kekerasan. Jadi intinya, kita tidak boleh mengatakan bahwa salah satu pihak (laki-laki atau perempuan) yang lebih sering melakukan tindakan kekerasan. Tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki maupun perempuan dapat melakukan tindakan kekerasan. Dalam berpacaran, jangan pernah ada yang namanya kekerasan. Kekerasan yang terjadi justru membuat kita akan kehilangan orang yang disayangi. Tanpa adanya kekerasan, rasa frustasi yang dialami justru menghilang. Kita harus mampu menjaga orang yang kita sayang dengan perhatian yang positif. Nah, hal penting lainnya adalah jika mendapat tindakan kekerasan dari orang yang disayang sekalipun, kita perlu bertindak tegas, misalnya dengan melaporkan ke pihak berwajib. Kasus kekerasan perlu diselesaikan agar tidak mengalami traumatis.

32 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love

Pandangan Laki-Laki & Perempuan Mengenai CINTA B

erapakah jumlah 1 + 1? Jawaban umum dan pasti adalah 2. Karena rumus matematika yang dipelajari semenjak dulu hingga kinij awabannya adalah 2. Bagaimana bila pertanyaan itu diajukan bukan dalam konteks matematika? 1 + 1 bisa saja menjadi 3, 4, 5 dan seterusnya… Bagaimana mungkin? Memang terlihat tidak mungkin bahwa 1 + 1 bukan 2 .Akan tetapi bila melihat dari sudut pandang hubungan antar manusia, jawabannya dapat saja 3,4,5 dan seterusnya. Satu laki-laki dan satu perempuan apabila digabungkan dapat menjadi 3, 4, 5 (punya anak 1 maka menjadi 3, anak 2 menjadi 4, anak 3 menjadi 5) dan seterusnya, kan ? Penggabungan laki-laki dan perempuan tersebut dapat terjadi karena CINTA. Ya, Cintalah yang membuat pasangan tersebut akhirnya menjalin hubungan dan akhirnya menikah. Sebelum sampai menikah, pasangan akan melakukan penjajagan yang dinamakan dengan pacaran. Pacaran merupakan satu keadaan saat seorang perempuan dan laki-laki menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Pacaran sering kali identik dengan kebersamaan atau seringnya sepasang kekasih menghabiskan waktu bersama. Hubungan pacaran ini juga meliputi beberapa aspek, baik fisik maupun psikologis. Karena meliputi beberapa aspek, maka seorang pakar mengungkapkan bahwa ada yang namanya segitiga cinta, bahasa ilmiahnya adalah “Triangular theory of Love”. Segitiga cinta ini dikemukakanoleh Sternberg. Menurut beliau, dalam hubungan cinta, terdapat tiga komponen yang mendasarinya. Pertama adalah commitment, kedua adalah passion dan ketiga adalah intimacy. Ketiga komponen tersebut adalah yang mendasari seseorang dalam menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain. Baik hubungan persahabatan hingga hubungan cinta. Pada hubungan cinta, ketiga komponen tersebut harus ada, sehingga dapat menjadi cinta sejati. Walaupun demikian, antara laki-laki dan perempuan tentunya ada perbedaan maupun persamaan dalam memandang cinta. Memang kedua jenis kelamin tersebut memiliki ketiga komponen tersebut. Baik laki-laki maupun perempuan pasti memiliki yang namanya commitment dalam hubungan cinta, ada juga passion hingga intimacy. Hanya, yang membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah cara pandangnya terhadap masing-masing komponen tersebut. Misalnya untuk komponen intimacy, dimana komponen ini adalah kedekatan emosional, Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 33


The Psychology Behind Love yang melibatkan tingkat kepercayaan yang tinggi antara dua individu. Bagi laki-laki, kepercayaan tinggi diberikan kepada orang yang dianggap dapat memberikan jawaban atas pertanyaan, dapat diajak berdiskusi dengan menggunakan akal sehat. Sedangkan bagi perempuan, masalah kepercayaan bukan karena sekedar dapat diajak berdiskusi atau tidak. Dapat bertukar pikiran atau tidak, akan tetapi lebih kepada bagaimana secara perasaan laki-laki tersebut dapat dipercaya atau tidak. Untuk komponen passion, dimana ini adalah perasaan romantis, ketertarikan secara fisik dan seksual.Bagi laki-laki, melihat lawan jenis awalnya tentu dari bentuk fisik. Laki-laki memang lebih visual daripada perempuan.Oleh karena itu hal-hal yang terlihat adalah sesuatu yang menjadi daya tarik bagi laki-laki Karena itu laki-laki suka melihat sesuatu yang “menarik” menurut mereka. Setelah masalah bentuk fisik, baru permasalahan seksual. Laki-laki akan lebih mudah untuk tertarik secara seksual dengan perempuan daripada sebaliknya. Bagi perempuan, ketertarikan seksual bukanlah hal yang utama. Bagi perempuan seks adalah akibat dari perasaan tenang, damai dan disayang yang didapatkan dari pasangannya. Sedangkan untuk komponen yang terakhir, yaitu commitment dimana komponen ini adalah salah satu bentuk kesadaran yang ada dalam rangka menjaga hubungan. Bagi lakilaki maupun perempuan, permasalahan kesadaran dalam menjaga hubungan yang sudah terbentuk tidak berbeda. Baik laki-laki ataupun perempuan memandang bahwa komitmen harus ada dalam satu hubungan timbal balik. Pemahaman akan perbedaan cara pandang baik laki-laki ataupun perempuan dalam memandang cinta tentunya diharapkan dapat membuat suatu hubungan cinta berjalan lebih baik dan lancar. Perbedaan sudut pandang tersebut apabila dapat disikapi lebih bijaksana, maka hubungan dapat menjadi lebih baik. Sekarang, tinggal diri sendiri yang harus menyadari perbedaan dari ketiga komponen cinta tersebut, sehingga hubungan yang saat ini terbina menjadi lebih kuat, lebih langgeng dan terdapat saling pengertian antar pasangan. Menyadari perbedaan bukan berarti untuk mengubah pasangan, akan tetapi untuk lebih saling memahami dan melengkapi satu sama lain.

34 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love

Triangle Theory of Love: What Type of Love Do You Have? L

ove is quite an abstract to be defined or described for it has many relative meanings. In this article we will try to define love in the perspective of interpersonal relationship. According to cognitive psychologist, Dr. Robert Stenberg who also wrote about intelligence, wisdom, creativity, and creative thinking, love can be divided into three main scales; intimacy, passion, and commitment. We might call this notion triangle theory of love. This theory stated that a relationship must be centered in two or three components so it can be long lasting and successful. This particularly makes sense, for example if you are not happy with only intimacy and passion in your relationship, but your significat other is, then most likely the problem is due to your commitment. You can be easily bored and maybe frustated because your relationship lacks of commitment. Let’s dig deeper into these three components: 1. Intimacy is feeling closeness, connected and bonding in a relationship, it is also a feeling of experienced happines with a patner, mutual understanding and intimate comunication with the loved one. Intimacy can grow and develop over time and also can be illustrated by concern for each other’s welfare, sharing their certain belongings and high regrad for one another. This element is depended on how invested a person is in the relationship. 2. Passion is the basic drive that leads to romance, physically as the profound desire to be with another which through a combination of emotion and behavior. Passion is based on sexual attraction. Passion usually is bigger at the beginning of relationship, then they stabilize as time passing by. Passion can be influenced from opinion, self-esteem and also can be influenced from the etchicity and culture. 3. Commitment is a decision to stay in a relationship with someone and also to maintain the love. Commitment aspect includes the exclusivity and fidelity. Commitment also has gradual period of time. Commitment entails present and future aspect. The couple should choose the person that they love in the present for making decision to having commitment to that person for the long term period. After explaining the main triangle love theory of Stenberg, those three components can be deduced into seven types of love; frienship/liking, infatuation, empty love, romantic love, compas Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 35


The Psychology Behind Love sionate love, fantasy love, fatuous love, and consumate love. We will identify more specifically about these seven types of love: 1. Liking/friendship. This type of love is more emphasized on intimacy with neither passion nor commitment. This type of love usually can be found in friendship but it doesn’t mean that romantic relationship can’t bloom. Some people might be friends with someone for a while before they begin to have romantic feeling toward that person. 2. Infatuation love is the type of love which develops in passion without intimacy and commitment. You can say infatuation love is most likely love at the first sight. You are physically attracted to that person and may feel sexual urges. But this kind of love, which is without intimacy and commitment, can easily fade and vanish. 3. Empty love is the type of love which involves commitment but with neither passion nor intimacy. Some of the people trapped in this kind of love, tend to be in one of once-thriving-passionate relationships that now slowly develop into empty love by the passing time. The example of empty love sometimes can be found in traditional families where the parents play matchmaker for their children to marry in an arranged marriage. 4. Romantic love is the relationship that emphasizes on intimacy and passion without having commitment. We can easily found this type of love in teenagers. Chances are they can love someone but are not willing to commit. This relationship which begins with romantic love can diminish into friendship once the passion is gone. 5. Compassionate love refers to intimacy and commitment but there isn’t passion in there. Compassionate love is common in long term relationships because the passion and excitement is gone. This compassionate love can be found in family or in friendship. You often feel compassionate love among your family members when you are intimate with your family. 6. Fatuous love refers to love which emphasizes on passion and commitment but there isn’t intimacy involved. This kind of love can be found in people who commit because they lust after their partner. They don’t have special bond with each other, they do not share their feelings. Fatuous love is more common when the passion is one of the biggest reasons that the two lovers commit to each other. 7. Consummate love is the last type of love which consists of three complete aspects: passion, intimacy and commitment. Consummate love is deemed as prefect type of love or the highest level of love. Stenberg stated that consummate love is really rare, consummate love is more easier to get but really hard to maintain. However consummate love isn’t a permanent state. All these seven types of love can be changed from time to time.

36 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love

Book: Men Are From Mars , Women Are From Venus Author : John Gray, Ph.D. Publisher : Gramedia Pustaka Utama Publication Date : May 2013 Pages : 252 In carrying out a relationship, men and women must be experience conflicts. However, is it true the statement that conflicts occur because men and women are from different planets? This book uniquely describes the origins of men and women are said to have originated from Mars and Venus. Initially, they were a happy relationship because they respect each other and accept their differences. Then, we are told that these creatures move to Earth and get amnesia. They forget that they are from a different planet so that there was a conflict between the two. Through this book, readers can find an explanation on how to overcome the differences in communication styles, emotional needs, and behaviors to improve greater understanding between each pair. This book is a best-selling book of all time which would also be sold in the overseas. Through the imagery of Dr. John Gray in explaining the origin of men and women, this book is a highly recommended for readers who wants to develop a deeper relationship with and satisfying. Happy reading 

Movie: If Only Director Script Writer Genre Released Date

: Gil Junger : Christina Welsh : Romance : 2004

The film which starring by a beautiful actress, named Jennifer Love Hewitt (Samantha) and Paul Nicholls (Ian) tells the story of two lovers who have to deal with the destiny and love. Samantha, a beautiful woman who is a student majoring in music love her boyfriend, Ian, very much. However, Ian was too busy with his work as a businessman and Sam missed him. A turnaround occurred destiny and make Ian realize what he already had. Romantic story packed with emotion and unique in every scene in this film and makes the audience can participate in the life figures dissolved. Through this film, viewers can also reap the value of that “Love someone who loves us as well as there will be tomorrow”. Love is immortality that can’t be questioned. Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 37


The Psychology Behind Love

PHOTOS Psychology Goes to School A

nggota Muda (AM), DPM dan BEM Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara dengan sukses mengadakan sebuah acara yang berjudul “PHOTOS”, Psychology Goes to School. Tema yang AM angkat dalam acara PHOTOS ini adalah “Make It Right”, yang bertujuan untuk meluruskan pandangan masyarakat, khususnya siswa sekolah, yang salah m e n g e n a i psikologi. P H O T O S diadakan pada tanggal 12 Februari 2014 di Sekolah Santo Andreas dan tanggal 13 Februari 2014 di Sekolah Damai. Di Sekolah Santo Andreas, peserta acara adalah siswa kelas 10 dan 11 SMA sedangkan di Sekolah Damai, pesertanya adalah siswa kelas 11 SMA. Undangan dari DPM dan BEM juga turut hadir dalam acara yang diadakan selama dua hari ini. Pembicara di kedua sekolah adalah Bapak Untung Subroto Dharmawan M. Psi. Beliau menyampaikan materi yang serupa untuk kedua sekolah, yang berjudul “Percaya Diri Saat Memilih Kuliah”. Setiap siswa yang mengikuti acara ini diberikan stiker kosong untuk menuliskan nama masing-masing, selembar kertas kosong, dan alat tulis. Acara dibuka oleh seorang MC yang bernama Mayline dan Eka, kemudian dilanjutkan dengan kata sambutan dari Ketua Pelaksana, Montena. Pembicara mulai mencairkan suasana dan membahas mengenai psikologi bersama siswa. Ketika mendengar kata psikologi, beberapa siswa menjawab bila mereka berpikir bahwa psikologi adalah mengenai membaca pikiran, meramal, 38 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love pembaca mimic wajah, sampai menjadi guru BK, dan lain sebagainya. Maka dari itu, AM berusaha meluruskan pandangan yang salah itu melalui materi yang dibawakan oleh Bapak Untung. Beliau menjelaskan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia. Beliau juga memberi penjelasan mengenai pengertian dari psikologi, jenjang pendidikan, mata kuliah, karir, hingga perbedaan antara profesi psikolog dan psikiater, kemudian membagi pengalamannya dalam menangani kasus psikologi. Siswa terlihat memperhatikan apa yang disampaikan oleh beliau. Setelah memberikan materi tersebut, pembicara memberikan materi lain mengenai kepercayaan diri. Beliau mengatakan bahwa percaya diri adalah sikap atau penilaian seseorang yang merasa dirinya mampu mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Siswa diberikan 15 pernyataan untuk diisi B jika sesuai atau S jika tidak sesuai. Jika jumlah B diatas 7, siswa dinyatakan percaya diri. Jika jumlah B sama dengan 7, siswa dinyatakan kadang percaya diri, kadang tidak. Jika jumlah B kurang dari 7, maka siswa dinyatakan kurang percaya diri. Siswa juga diberikan kuesioner berjudul “My B.E.S.T. ProďŹ leâ€? untuk mengetahui kepribadian diri masing-masing. Siswa terlihat antusias dan sesekali bertanya kepada pembicara mengenai pernyataan yang kurang mereka pahami. Beberapa siswa juga terlihat berpikir sungguhsungguh untuk menjawab kuesioner tersebut, meskipun ada pula siswa yang terlihat tertawa dan bertanya kepada teman disebelahnya mengenai kuesioner tersebut. Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 39


The Psychology Behind Love Berdasarkan pengisian kuesioner B.E.S.T., dapat diketahui beberapa hal, diantaranya pekerjaan yang cocok, kelemahan, sifat, ketakutan, kelebihan, dan lainnya. Saat disebutkan ciri kepribadian siswa, beberapa siswa yang merasa cocok dengan hasil tersebut tertawa dan mengatakan “ya� dengan sangat kencang. Para siswa tertarik sekali untuk mengetahui diri mereka masing-masing. Kemudian, yang tidak kalah menarik perhatian dan antusias mereka adalah ketika Bapak Untung meminta siswa untuk mengibaratkan diri sebagai sebuah buah. Pengibaratan buah ini agar siswa dapat berusaha untuk mengenali diri mereka sendiri. Ada siswa yang mengibaratkan diri mereka sebagai buah durian, anggur, pisang, apel, jambu air, dan buah lainnya dengan berbagai alasan. Pembicara juga menjelaskan mengenai arti buah yang sudah dipilih tadi. Tidak berhenti sampai disitu, siswa yang penasaran malah menanyakan semua buah yang ada kepada pembicara untuk dijelaskan artinya. Siswa terlihat senang dan puas dengan penjelasan yang diberikan Bapak Untung. Materi pun habis, dan MC kembali mengambil alih acara dengan memberikan pertanyaan kepada siswa mengenai materi yang baru disampaikan. Siswa yang aktif selama seminar itu juga diberikan berbagai bingkisan kecil. Acara di Sekolah St. Andreas dan sekolah Damai diakhiri dengan pemberian piagam dari AM F.Psi Untar kepada masing-masing perwakilan sekolah dan foto bersama pembicara, panitia, dan seluruh peserta seminar. Dengan berakhirnya acara PHOTOS, Psychology Goes to School pada 12 dan 13 Februari 2014 ini, diharapkan siswa semakin mengerti mengenai psikologi dan semakin tertarik untuk mendalami lebih jauh mengenai ilmu psikologi.

40 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014


The Psychology Behind Love Intimacy:

A person can build a healthy relationship with other; emotional element for closeness, warmth, and trust.

Isolation:

A person is so difficult to build a relationship with other.

Cohabitation:

A lifestyle in which an unmarried couple involve in a sexual activity and live together.

Psychopedia

Fictive Kin:

A friendship in which people behave like family members.

Sexual Orientation:

Focus on consistent sexuality, either heterosexual, homosexual (gay or bisexual (both of heterosexual and homosexual).

lesbian), and

Identification Display:

A person gives signal for someone special to make an intimate relationship.

Access Display:

A person who accepted a signal for someone special, will forward it to make sure if she/he wants to make a relationship too.

Passion:

A desire to be involved in a exual relationship.

Commitment:

A cognitive element in loving and keeping the relationship.

List of Phobia

Androphobia: Extreme fear of boy or man Athazagoraphobia: Extreme fear of being forgotten or ignored by someone Genophobia: Extreme fear of sex Malaxophobia: Extreme fear of love play including caressing, stroking (Sarmassophobia) Commitmentphobia: Extreme fear of commitment of love (Amoraphobia: A phobia of love) Februari-Maret 2014 • BuPsi 22 | 41


Sumber: Artikel:

Arip, M. A. S. M., & Samad, N. A. (2008). Fasilitator efektif dan dinamik. Kuala Lumpur, Malaysia: PTS Professional Publishing. Baron, R. A., & Branscombe, N. R. (2012). Social psychology (13th ed.). London, UK: Pearson Education, Inc. Giles, D. (2003). Media psychology. New Jersey, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Huraerah, A. (2012). Kekerasan terhadap anak. Bandung, Indonesia: Nuansa. John, D. D. & Daniel, J. M. (2011). Social psychology (7th ed.). Belmont, CA: Wadsworth Cengange Learning. King, L. A. (2011). The science of psychology (2nd ed.). New York, NY: Mc-Graw Hill. Maltby, J., Houran, J., & McCutcheon, L. E. (2003). A clinical interpretation of attituded and behaviors associated with celebrity worship. The Journal of Nervous and Mental Diseases, 191, 25-29. McCutcheon, L. E., Lange, R., & Houran. (2002). Conceptualization and measurement of celebrity worship. British Journal of Psychology, 93, 67-87. Papalia, E. D., & Feldman, R. D. (2012). Experience human development (12th ed.). New York, NY: McGraw Hill. Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 1: Pandangan umum mengenai penyesuaian diri dan kesehatan mental serta teori-teori yang terkait. Yogyakarta, Indonesia: Kanisius. http://agenlicengsuibatam.blogspot.com/ http://archive.tabloidbintang.com/

42 | BuPsi 22 • Februari-Maret 2014

http://cisdel.com/ http://en.wikipedia.org/wiki/cupid Http://homepages.rpi.edu/ http://id.shvoong.com/ http://indonesiaxpost.com/ http://inisajamostory.blogspot.com/ http://kapanlagi.com/ http://kurakuraq.blogspot.com/ http://lifestyle.kompasiana.com http://secangkirkatakita.wordpress.com/ http://vemale.com/ http://wolipop.detik.com/ http://www.anehdidunia.com/ http://www.dailymail.co.uk/ http://www.gramediapustakautama.com/ http://www.jurnalperempuan.org/ http://www.lensaindonesia.com/ http://www.merdeka.com/ http://www.polimoli.com/ http://www.psychologymania.com/ http://www.sisterhood.co.id/ http://www.tempo.co/ http://www.theholidayspot.com/ http://www.untukku.com/

Ilustrasi:

Dokumentasi BEM, Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara Dokumentasi Buletin Psikologi Universitas Tarumanagara http://freehdwall.info/ http://www.blogger.com/ http://www.deviantart.com/ http://www.ďŹ n6.com/ http://www.genovic.com/ http://www.iwallscreen.com/ http://www.tumblr.com/ http://www.wallike.com/ http://www.wallpaperpassion.com/ http://www.wallpaperpin.com/ http://www.wallpaperscraft.com/ http://www.wall-pix.net/ http://www.wallsbot.com/


Hadirilah Psychology’s Euphoria!


A kiss is a lovely trick designed by nature to stop speech when words become superfluous. -Ingrid Bergman


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.