about aboutusus B
ulletin Psikologi adalah media informasi dan pengetahuan mengenai psikologi dengan konsep bahasa yang lebih mudah dipahami dengan tujuan mengenalkan psikologi dan penerapannya kepada siswa SMA, mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya. Jika Anda ingin memberikan kritik dan saran, dapat langsung ditujukan pada : bupsi.untar@gmail.com bupsi.untar@yahoo.com E-Bupsi juga dapat di unduh @ bupsiuntar.blogspot.com Follow us @BUPSIUNTAR F : Bupsi Untar bupsiuntar.blogspot.com Bagi yang ingin memasang iklan di BUPSI Advertisement Mutiara - 0818868442 Ricki - 08192021163 Dilarang untuk mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi bulletin ini tanpa izin tertulis dari BUPSI. Isi dari informasi yang dimuat dalam bulletin ini telah diperiksa dengan seksama mengenai ketepatannya, apabila terdapat kesalahan dalam penyampaiannya, kami memohon maaf sebesar-besarnya.
editor’s letter Adviser Sandy Kartasasmita, M. Psi., Psychotherapist, CBA, CHA. Chief Editor Ricky Victor Vice Editor Lupita Sari Dewi Secretary and Treasurer Agustin Fransiska Reporter Teguh Lesmana Maria Clara Aris Nugraha Lucia Vega Matthew Mellion Adhina Kumala Melinda Editor Jessie Gani Elaine Novieany Veronica Clarissa Ayu Thania Dewi Novellita Senior Graphic Design Elvina Pekasa Andiani Caroline CH Head of Distribution and Public Relations Mutiara Sari Silviana Dewi Savitri Jeanne Khu Sanny
Jakarta, sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia dan di dunia sudah tidak asing lagi dengan gaya hidup yang serba modern dan high tech. Setiap sudut kota di penuhi dengan gedung-gedung tinggi yang menandakan bertapa majunya kehidupan di kota ini. Pertanyaan yang kemudia muncul adalah bagaimana dengan tingkat kriminalitas yang ada di Jakarta? Apakah menjadi salah satu kota terbesar di dunia menjamin bahwa Jakarta jauh dari tingkat kriminalitas? Hmm, sulit untuk menjawabnya. Namun di dalam BUPSI edisi kali ini, Kami telah membahas beberapa hal yang menyebabkan kriminalitas dapat terjadi. Tidak hanya kriminalitas yang menjadi topik pembahasan BUPSI edisi 19. Kami juga membahas mengenai mitos-mitos mengenail seksualitas yang terjadi pada wanita, juga ada hubungan antara kriminalitas dan seksulitas yang langsung dibahas oleh pakarnya lo. So, tanpa banyak basa basi lagi, silakan lanjutkan bacaan Kalian ke halaman berikutnya ya. Happy reading! Jangan lupa, berian kritik dan saran Anda ke email kami, bupsi.untar@gmail.com.
19 | Fakta Unik
10 Mitos tentang Seksualitas Wanita Pria dan wanita memiliki perbedaan besar dalam hal seks. Perbedaan ini yang kadang
tidak disikapi dengan bijak oleh kedua belah pihak sehingga kemudian menimbulkan jurang yang sangat lebar dalam hal seks. Masalah lainnya adalah mitos tentang seksualitas yang kadang tidak semuanya benar. Berikut ini ada 10 mitos seksual khususnya pada wanita yang paling sering dibahas:
1. Mitos: Gairah seks wanita lebih kecil dari pria Fakta: Tidak benar. Kalaupun iya, ini hanya terjadi pada wanita yang menderita disfungsi seksual Lelaki lebih ekspresif dan lebih reaktif dalam hal memperlihatkan gairah seksualnya, pria juga lebih mudah untuk mencapai klimaks. Tapi ini bukan berarti bahwa wanita mempunyai hasrat lebih kecil dari pria. Wanita mempunyai cara berbeda untuk mengekspresikannya atau cenderung tertutup. Selain itu wanita juga tidak hanya menyukai rangsangan dari pasangan tetapi juga rasa disayang dan dicintai untuk dapat menikmati seks. 2. Mitos: Seks tidak penting! Fakta: Meski bukan yang utama, seks masuk hitungan prioritas Sebenarnya wanita juga menyukai kehidupan seks yang sehat seperti yang dirasakan oleh pria, hanya saja mereka tidak menjadikannya prioritas dibanding bagian kehidupan yang lain. Mereka bisa melakukan banyak hal secara bersamaan dan menggabungkan semuanya secara bersama-sama.
02
Fakta Unik |
19
3. Mitos: Orgasme = G-spot Fakta: Orgasme tak selalu terjadi karena G-spot Memang benar, setiap wanita memiliki G-spot (Grafenberg Spot). Dan sudah banyak diketahui bahwa G-spot merupakan pusat rangsangan seksual pada vagina. Namun, tidak selalu G-spot itu bisa membuat wanita memperoleh orgasme. Masih banyak cara supaya bisa memperoleh kepuasan hubungan suami-istri. Misalnya, melalui foreplay yang intens, sentuhan, komunikasi selama hubungan intim, dan sebagainya.
4. Mitos: Wanita enggan membicarakan seks karena tabu Fakta: Sebagian besar wanita justru lebih sering membicarakan seks daripada pria Menurut penelitian, sebagian besar wanita terbukti lebih sering membincangkan seks di antara mereka ketimbang kaum pria. Topik-topik yang disukai wanita antara lain, soal penampilan lawan jenis, penyakit menular seksual, rangsangan seksual, dan kontrasepsi yang tepat. Topik lain yang juga menjadi minat wanita adalah soal pengalaman berkencan dan indahnya hubungan yang romantis.
5. Mitos: Wanita etnis tertentu seksnya hebat Fakta: Salah! Secara fisik, tidak ada perbedaan pada vagina karena berbeda etnis Banyak mitos seputar kehebatan seksual wanita dari etnis tertentu yang beredar luas di masyarakat, dan ini jelas tidak benar. Secara fisik, jelas tidak ada perbedaan pada vagina berdasarkan etnis. Kalaupun terjadi perbedaaan aktivitas seksual, bisa jadi itu dipengaruhi oleh nilai dan budaya etnis tersebut.
03
19 | Fakta Unik 6. Mitos: Berfantasi dengan pria lain saat berhubungan seksual, wanita tidak setia Fakta: Wanita tetap setia, membayangkan pria lain hanyalah untuk menaikkan gairah seksual saja Memang secara umum, wanita tidak biasa memiliki fantasi seks dengan pria lain. Namun, tidak semua wanita dapat menerima kondisi 100 persen pasangannya. Berfantasi dengan pria lain sebenarnya hanya untuk membuatnya lebih bergairah, sehingga ia tetap setia.
7. Mitos: Vagina kering lebih oke Fakta: Vagina kering membuat perempuan tidak nyaman melakukan hubungan intim Justru vagina yang kering selama hubungan intim bisa membuat wanita merasa sakit dan tidak nyaman. Secara alamiah, vagina akan mengeluarkan cairan. Cairan inilah yang menjadikan vagina basah selama proses hubungan seks. Vagina kering justru mengindikasikan bahwa wanita belum siap untuk melakukan hubungan intim. 8. Mitos: Orgasme lewat penetrasi penis Fakta: Perempuan lebih sering mendapat orgasme lewat alternatif lain Hasil penelitian menunjukkan, hanya sedikit persentase wanita yang sering mengalami orgasme melalui penetrasi penis ke vagina. Sisanya, wanita lebih sering memperoleh orgasme melalui hal-hal lain di luar penetrasi penis. Misalnya, sentuhan pada klitoris, foreplay yang intens, dan sebagainya.
04
Fakta Unik |
19
Ini mitos yang sangat sering kita dengar dan sama sekali tidak benar. Jika menyangkut dimensi, maka fakta yang muncul adalah penis yang besar lebih bisa memberi kepuasan ketimbang penis yang panjang. Fakta lain, banyak wanita yang memperoleh orgasme bukan hanya karena penetrasi penis.
10. Mitos: Nggak doyan film biru Fakta: Wanita bisa-bisa saja suka film biru Salah. Survei tahun 2006 yang dilakukan sebuah universitas terkemuka di AS menunjukkan bahwa aktivitas saraf-saraf otak pada pria dan wanita yang menonton film biru ternyata sama. Artinya, wanita pun menyukai film biru, sepanjang itu demi kepuasan hubungan intim dengan pasangan . @ClaraNovK
Referensi: http://female.kompas.com/read/2010/06/06/14453938/10.mitos.seks.wanita.
9. Mitos: Penis panjang menjadi jaminan Fakta: Ukuran tak selalu menjadi jaminan kepuasan
05
19 | Recommended Book
A Child Called “It” A Child Called ‘IT’ adalah sebuah buku karya Dave Pelzer yang merupakan buku pertama dari tiga seri buku, yang menceritakan perjuangan hidupnya sendiri yang mengalami child abuse saat masih kecil. Buku seri ini menceritakan kisah Dave yang sering dipukul dan dipermalukan oleh ibunya sendiri. Ibunya selalu membuat orang lain dan lingkungan tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah perbuatannya. Lingkungan sekitar dan orang lain justru beranggapan bahwa Dave adalah anak nakal yang sering melanggar perintah ibunya dan segala bekas luka yang ada dalam tubuh Dave adalah perbuatannya sendiri. Dave sering kali dijadikan pelampiasan kekesalan oleh ibunya. Menurut Dave, ibunya “sakit” karena sering melakukan kekerasan kepadanya.
Sebagai seorang anak kecil, Dave membutuhkan orangtuanya sebagai pelindung dan pembimbing hidup. Namun ibu Dave justru menggunakannya untuk melampiaskan kekesalan dan emosi. Dave selalu berpikir apabila dirinya mengikuti perintah ibunya yang tidak rasional maka dia tidak akan mendapat hukuman. Tetapi sang ibu hanya menginginkan kepuasan dari memukul dan menyiksa Dave, sehingga apapun yang ia perbuat pasti tetap mendapatkan hukuman. Buku ini sangat menarik dan membawa kita untuk mengerti pemikiran dari seorang anak kecil yang sering disiksa oleh ibunya sendiri dan mendorong kita untuk dapat lebih berempati kepada mereka.
06
Liputan |
19
Psyphoria Its Time for Party and Exist with Positive Way Acara Psyphoria kembali digelar. Psyphoria merupakan acara tahunan yang selalu diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) fakultas psikologi sebagai bagian dari program kerja BEM. Acara Psyphoria pada tahun ini mengangkat tema “May On May� dengan tokoh yang diangkat adalah Rollo May. Rangkaian acara Psyphoria sendiri sudah dimulai sejak tanggal 29 April hingga 3 Mei, termasuk di dalamnya adalah futsal competition, lomba dance cover, pameran fotografi dengan tema culture freedom, dan akhirnya ditutup dengan acara puncak Psyphoria itu sendiri. Pada tahun ini acara puncak Psyphoria digelar pada hari Jumat tanggal 03 Mei 2013 bertempat di Selasar gedung teknik-kedokteran kampus 1 Untar. Acara Psyphoria ini tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa psikologi saja namun juga diikuti oleh mahasiswa dari fakultas lain. Sewaktu pendaftaran terlihat antusiasme yang cukup tinggi dari penonton. Akhirnya, acara psyphoria dimulai pada pukul 17.00 WIB yang dibuka oleh dance cover. Lalu dilanjutkan dengan acara selanjutnya oleh Anxiety band.
07
19 | Liputan Setelah dibuka oleh dance cover dan Anxiety band, ketua pelaksana acara, Felix menyampaikan sepatah dua patah kata sambutan. Setelah kata sambutan dari ketua pelaksana, acara kembali dilanjutkan dari grup band angkatan 2011 yang bernama Lucky band. Setelah acara ini, pihak panitia memberikan break kepada temanteman yang ingin beribadah. Setelah 15 menit berlalu, angkatan 2010 ikut menyumbangkan sejumlah lagu yang bernama Aris & Friends. Ketika Aris & Friends bernyanyi, terlihat semua penonton ikut bernyanyi dan menikmati lagu-lagu yang dibawakan mereka. Setelah grup band ini, ada pertunjukkan dance cover dari angkatan 2011. Tak ketinggalan, angkatan 2012 pun ikut menyumbangkan drama, musik, dance, paduan suara, dan puisi. Penonton terlihat begitu menikmati acara-acara Psyphoria yang diselenggarakan oleh BEM Psikologi Untar. Hingga acara puncaknya yang diisi oleh Adera.
08
Liputan |
19
Selain dihadiri oleh banyak mahasiswa, acara Psyphoria ini juga sempat dihadiri oleh Widya Risnawati, M. Psi., selaku Kaprodi S1 fakultas Psikologi dan Bonar Hutapea, M. Si. , selaku staf pudek 1 bidang kemahasiswaan. Baik Pak Bonar maupun Bu Widya begitu menikmati acara Psyphoria dan tidak jarang mereka tertawa dan terhibur melihat rangkaian acara yang sudah digelar dalam acara puncak Psyphoria tahun ini. Tim BuPsi juga melakukan wawancara kepada ketua pelaksana acara Psyphoria. Menurutnya, acara Psyphoria merupakan acara tahunan dari psikologi Universitas Tarumanagara. Latar belakang acara ini berasal dari salah satu tokoh psikologi yang bernama Rollo May dengan teorinya existential positive. Maka, acara psyphoria ini bertujuan sebagai tempat untuk anak muda mengeluarkan ekspresi / perasaan dengan melakukan hal-hal yang positif. Kemudian, harapan dari Felix sebagai ketua pelaksana adalah agar teman-teman semuanya mampu mengungkapkan agresi-agresi mereka dengan cara yang positif. Jadi dapat disimpulkan dengan adanya acara Psyphoria kali ini para mahasiswa psikologi Untar telah berhasil untuk tetap eksis bersama dengan cara yang positif. Diharapkan dengan eksisnya para mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan yang selalu diadakan oleh BEM, kebersamaan para mahasiswa antar angkatan selalu terjaga dan semakin dekat layaknya keluarga. Sukses selalu untuk Psyphoria!
09
19 | Criminology & Sexuality
Bagaimana Cara Mengontrol Emosi Marah ? Emosi adalah perasaan atau pengaruh yang dapat meliputi physiological arousal, pengalaman sadar, dan ekspresi dari tingkah laku. Emosi dapat berupa ekspresi gembira, sedih, marah, dll. Dalam pembahasan kali ini, emosi yang akan dibahas adalah emosi marah. Setiap manusia pasti pernah melakukan hal ini. Marah merupakan emosi wajar yang pernah dirasakan semua orang. Namun, marah akan berubah menjadi tidak wajar jika tidak dapat dikontrol serta membawa dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya. Penyebab marah itu sendiri dapat dipicu faktor dari luar (external), seperti teman, adik, pasangan yang menyebalkan, terjebak macet, atau diperlakukan tidak adil. Sedangkan faktor dalam diri (internal) dapat berupa rasa kecewa yang dalam, masalah yang terus dipikirkan, atau teringat kejadian yang traumatis. Setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk mengekspresikan dan menangani kemarahan tersebut. Terdapat beberapa orang yang cenderung mengungkapkannya dengan bertingkah laku agresif, baik secara fisik maupun verbal. Orang-orang yang mudah marah ini dikatan memiliki tingkat toleransi terhadap frustasi yang rendah (low tolerance for frustration). Marah juga dapat membawa dampak negatif bagi aspek fisiologis dan psikologis. Pengaruh pada kesehatan fisik seperti: rentan mengalami serangan jantung, stroke, hipertensi, sakit kepala kronis, dan gangguan tidur. Sedangkan dalam aspek psikologis, antara lain rentan mengalami stress karena dipenuhi emosi negatif, sulit menjalin hubungan dengan orang lain karena kemampuan komunikasi buruk, serta pengembangan kepribadian yang penuh kemarahan (marah dengan diri sendiri dan orang lain, bersikap sinis dan kasar, senang mengritik, menyindir, dan merendahkan orang lain) karena tidak pernah mengungkapkan dan justru memendam rasa marah di dalam diri terlalu lama.
10
Criminology and Sexuality |
19
Menurut salah seorang praktisi psikologi, Ibu Cut N. Kemala BA(Hons), M.Psi., ada 5 strategi untuk mengatasi marah dengan sehat atau efektif sekaligus mencegah timbulnya marah yang “meledak-ledak�, antara lain: 1. Mengungkapkan secara asertif Menyampaikan kepada orang yang membuat kita marah bahwa kita tidak senang diperlakukan demikian dan berharap hal tersebut tidak diulangi. Pastikan kita tetap menghormati orang tersebut dengan berbicara sopan tanpa ada kata-kata yang menyinggung atau menyakiti. 2. Mengalihkan ke kegiatan yang positif Jika mengungkapkan secara asertif sulit dilakukan, maka emosi marah dapat diredam dengan mengalihkan diri melakukan kegiatan lain yang lebih positif sebelum mencoba asertif lagi. Misalnya, daripada marah-marah lebih baik berolahraga (jogging, sepeda, dll), menulis diari harian/jurnal harian/blog, melukis, bermain games, membaca buku, dan kegiatan menyenangkan lainnya. 3. Menenangkan diri Melakukan relaksasi, meditasi, dan kegiatan tenang lainnya juga bisa membantu meredam emosi negatif dan membuat kita mampu menjadi fokus pada hal-hal positif. Senam yoga dan relaksasi progresif adalah kegiatan-kegiatan yang dapat dipelajari melalui buku, internet, video, dan sebagainya. Langkah-langkah relaksasi yang sederhana adalah: - Tarik nafas dalam-dalam dari diafragma atau area perut (tarik nafas dari dada tidak membuat jadi rileks) lalu buang perlahan-lahan. - Katakan sesuatu yang positif kepada diri sendiri (positive self-talk), misalnya “relaks, semuanya akan baik-baik saja� atau “ini akan berlalu�. Ulangi terus dengan nada bicara yang menenangkan selagi menarik- buang nafas dalam-dalam. - Dapat dilakukan seraya membayangkan pemandangan yang tenang, misalnya pantai dengan suara ombak, berada di atas puncak gunung, berada di tengah hutan dengan suara burung, dan lain sebagainya. - Praktekkan setiap hari, bisa di pagi hari sebelum memulai kegiatan. Jika dilakukan secara rutin, maka lama-lama akan otomatis digunakan saat sedang marah.
11
19 | Criminology & Sexuality 4. Memperbaiki cara komunikasi saat marah Saat sedang marah, kita terpancing untuk berargumentasi, menimpali/ menanggapi, dan mengambil kesimpulan secara cepat tanpa pikir panjang. Sehingga seringkali kita mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal/logis, menyakiti dan merendahkan orang lain. Maka dari itu, hal pertama yang harus diperhatikan adalah: (1) jangan pernah mengatakan hal pertama yang terlintas dalam pikiran saat sedang marah karena biasanya yang terpikirkan saat marah hanya hal-hal negatif dan justru merusak jalannya komunikasi; (2) coba dengarkan dulu apa yang orang lain ingin katakan sampai selesai agar bisa memahami maksudnya dengan lebih baik; (3) ambil waktu sejenak untuk benar-benar memikirkan kata-kata yang ingin disampaikan sebelum mengucapkannya. 5. Meningkatkan kepekaan terhadap diri sendiri Saat sedang lelah, lapar, sakit, cemas dan takut kita akan lebih rentan untuk merasakan marah dibanding saat kita sedang merasa kenyang dan aman. Dengan lebih peka terhadap kondisi diri sendiri, kita akan lebih mampu mengelola emosi dan mencegah diri menjadi terpancing marah. Misalnya, kalau sedang lelah dan lapar, sebaiknya segera menyisihkan waktu untuk istirahat dan menghindari situasi-situasi yang bisa memicu konflik dan amarah.
12
Criminology and Sexuality |
19
Tindakan Kriminal: Bentuk Tindakan yang Menyimpang dari Masyarakat Kriminal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan suatu hal yang berkaitan dengan kejahatan, yang dapat dihukum sesuai undang-undang. Sudah jelas terlihat, tindakan kriminal merupakan suatu pelanggaran hukum yang menggangu kehidupan seseorang maupun banyak orang. Di dalam kehidupan sehari-hari, banyak kasus-kasus kriminal yang jelas menganggu kehidupan orang-orang seperti perampokkan, pembunuhan, dll. Perilaku menyimpang dianggap sebagai salah satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola perilaku umum. Dapat disebut pula sebagai struktur sosial yang terganggu fungsinya. Perilaku yang menyimpang tersebut akan terjadi apabila manusia mempunyai kecenderungan untuk lebih mementingkan suatu nilai sosial daripada norma-norma yang ada untuk mencapai cita-cita tersebut. Sehingga manusia akan berusaha untuk mencapai suatu cita-cita melalui jalan yang semudah-mudahnya tanpa ada keesadaraan akan tanggung jawab tertentu. Teori dari Albert Bandura juga menguatkan pendapat mengenai tindakan kriminal sebagai suatu tindakan yang menyimpang. Bandura menyatakan bahwa peran model dalam melakukan penyimpangan yang berada di rumah, media, dan subculture tertentu (gang) merupakan contoh baik untuk terbentuknya perilaku kriminal orang lain. Observasi, kemudian imitasi dan identifikasi merupakan cara yang biasa dilakukan hingga terbentuk perilaku menyimpang tersebut. Ada dua cara observasi yang dilakukan terhadap model yaitu
13
19 | Criminology & Sexuality secara langsung dan secara tidak langsung (melalui vicarious reinforcement). Tampaknya metode ini yang paling berbahaya dalam menimbulkan tindak kriminal. Sebab sebagian besar perilaku manusia dipelajari melalui observasi terhadap model mengenai perilaku tertentu. Jadi, harus kita telusuri dahulu hal-hal apa yang mendorong si pelaku berbuat demikian. Bisa saja pelaku melakukan hal tersebut karena ia tidak sadar bahwa tindakannya salah, atau ia bisa saja meniru sikap orang-orang disekelilingnya atau karena pengaruh dari media. Misalnya pelaku menodong orang-orang di halte, karena sebelumnya pelaku pernah melihat seorang preman menodong dan tidak kena tindak pidana. Menurut si pelaku bisa jadi ini bukanlah hal yang salah, karena ia meniru orang sekitarnya. .LVTK.
14
Criminology and Sexuality |
19
How Stalking Described in Psychology Point of View Mengikuti seseorang, menguntit atau lebih dikenal dengan stalking berkaitan dengan ancaman dan intimidasi. Stalking adalah kata yang digunakan dalam menunjuk pada suatu perhatian yang tidak diharapkan atau diinginkan dari orang lain/sekelompok orang. Dalam dunia psikologi sendiri kata stalking digunakan untuk mendefinisikan suatu bentuk perilaku yang cenderung bersifat gangguan. Hal ini juga digunakan pada bidang hukum dimana stalking didefinisikan sebagai salah satu bentuk tindakan kriminal. Awalnya istilah stalking digunakan dalam mengartikan tindakan mengganggu orang terkenal, misalnya selebritis. Dalam bidang psikologi dan psikiatri, stalking diartikan oleh Meloy (1998) dan juga Stieger, Burger dan Schild (2008), suatu perilaku dapat dikategorikan sebagai stalking jika korban melaporkan sekurang-kurangnya 2 bentuk perilaku yang bersifat mengganggu dimana waktu kejadiannya terjadi kurang dari 2 minggu dan selalu memberikan rasa takut pada korban. Motif dari perilaku stalking ini juga bermacam-macam. Obsesi dasar dari perilaku stalking yaitu untuk memenuhi keinginannya untuk memiliki kedekatan dengan korban, dimana pelaku akan melakukan observasi serta melakukan kontak dengan korbannya. Tidak jarang juga bahwa para stalker mengikuti korban sampai ke tempat mereka beraktifitas dan sampai ke tempat korban tinggal, juga mereka tertarik terhadap informasi-informasi yang bersifat personal dari korbannya seperti nomor telepon, alamat email, ukuran pakaian, nama lengkap dan lain-lain yang cenderung bersifat privasi. Stalker juga berusaha mencari informasi tentang jati diri korban melalui berbagai macam sumber seperti internet, arsip personal, atau sumber lain yang mengandung informasi tentang diri korban, bahkan ada yang sampai mendekati orang-orang terdekat dari korban untuk memperoleh informasi tersebut tanpa seijin korban.
15
19 | Criminology & Sexuality
Ciri dari seorang stalker cenderung memiliki kepercayaan yang salah didalam dirinya. Terkadang kepercayaan yang salah itu seperti korban stalking memiliki rasa cinta kepada stalker. Hal ini dapat muncul dari kecenderungan erotomania (suatu bentuk gangguan kepribadian dimana penderitanya yakin bahwa seseorang yang lebih tinggi status sosialnya mencintai dirinya) yang dimiliki pada seorang stalker. Selain itu, perilakunya juga didasari oleh keinginan stalker untuk menolong korbannya dari sesuatu, padahal jelas bahwa orang tersebut tidaklah memerlukan pertolongan. Stalking juga dapat dikemas dalam suatu tindakan yang bersifat legal seperti menelepon, mengirimkan hadiah atau mengirimkan surat dan email. Namun semua itu datang dari orang yang tidak diharapkan dan menimbulkan gangguan dan ketidaknyamanan, karena korban stalking tidak mengerti apa maksud dan tujuan dari stalker yang berperilaku berlebihan. Perilaku merugikan bagi korban stalking seperti fitnah dan mencemarkan nama baik korban seringkali ditemui. Hal ini merupakan suatu cara bagi stalker untuk dapat berperilaku kejam yang merupakan tujuan atau keinginannya stalker kepada korbannya, dilakukan tanpa empati, seperti merasakan apa kira-kira yang dirasakan orang lain dari apa yang telah ia lakukan terhadapnya, tidak ada rasa empati pada diri seorang stalker. Mereka cacat dalam hal tersebut, membuat mereka menjadi lebih sadis, yaitu pribadi yang tidak memiliki hati nurani dan memiliki tingkat narsis yang terlampau tinggi. Selain itu perilaku sadis yang mereka tunjukkan mendapat dorongan dari dalam pikiran mereka yang telah mengalami berbagai macam pemikiran, dan biasanya mereka mendapati kesimpulan bahwa diri korban memang pantas diperlakukan dengan cara yang demikian.
16
Criminology and Sexuality |
19
Stalker memandang para korbannya buruk dan lemah sehingga dari sinilah mereka merasa pantas untuk memperlakukan hal-hal jahat ini kepada korbannya atau bahkan berperilaku seperti ingin menolong mereka. Hal ini semakin mendorong pemahaman didalam pikiran mereka untuk dapat memperlakukan sang korban sesuai dengan imajinasi mereka, seperti untuk disakiti atau untuk ditolong. Jika mereka menyebar fitnah dan juga menyebarkan kejelekan sifat korban, hal tersebut akan dapat mengisolasi atau mengucilkan kehidupan korban, yang pada akhirnya akan menimbulkan perasaan akan kekuasaan bagi stalker dan dapat mengendalikan korban. Bisa juga, stalker ini berpikir bahwa korban memiliki suatu gangguan mental tertentu yang menyebabkan dirinya perlu ditolong atau mungkin perlu disakiti. Kepercayaan ini sangat absolut di dalam diri stalker yang mengakibatkan korban merasa sangat tertekan. Menipu dapat menjadi senjata bagi stalker, akan lebih berbahaya jika korban sampai termakan oleh tipuan mereka karena stalker menginginkan suatu hal yang cenderung tidak rasional bagi korbannya. Bahkan demi mendapat perhatian dari korbannya tidak jarang ada stalker yang sampai mengancam akan melakukan bunuh diri jika keinginannya tidak dipenuhi. Semua ditujukan agar korban mau membuka hubungan dengan dirinya maupun memenuhi keinginan stalker. Bentuk-bentuk ancaman dan kekerasan seperti perusakan barang-barang korban dapat ditemui dalam kasus-kasus perilaku stalking. Menakut-nakuti korban, bentuk kejahatan biasanya berlanjut kepada perilaku kekerasan seksual dan juga penyerangan secara fisik yang dari keduanya dapat menimbulkan luka fisik maupun trauma bagi korban. Referensi: http://en.wikipedia.org/wiki/Stalking#Psychological_effects_on_victims http://www.psikoterapis.com/?en_apa-itu-stalking-%2C90
17
19 | Criminology & Sexuality
i s a l i t u M n a embunuh d
M
Membunuh dan mutilasi merupakan tindak pelanggaran hukum yang sangat merugikan orang lain. Kasus mutilasi sering menjadi topik pembicaraan. Ada beberapa kasus mutilasi yang terjadi karena meniru pelaku mutilasi lainnya. Berikut adalah beberapa ulasan yang kami lakukan bersama dengan narasumber Naomi Soetikno, M.Pd, Psi (Staf Pengajar dan Psikolog Klinis Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara). 1. Apakah ada perbedaan motif antara pelaku yang membunuh dengan pelaku yang juga memutilasi korbannya? Pembunuhan secara umum dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan sebab-sebab yang sangat bervariasi, dapat karena rasa dendam yang sangat kuat, rasa sakit hati, rasa ingin tahu/eksperimen, dan permasalahan psikologis dari orang-orang tersebut seperti kurangnya kemampuan pengendalian rasio-emosi, kurangnya keterampilan sosial untuk mengungkapkan isi hati dan pikiran, juga ada yang dikarenakan kurangnya daya nalar untuk mencari cara yang lain untuk penyelesaian masalah, dan karena dorongan lingkungan/teman/massa. Kondisi psikologis dari si individu serta dari lingkungan sangat mendukung terjadinya kasus-kasus pembunuhan. Bentuk dari pembunuhan juga bermacam-macam, ada yang dengan letupan emosi tak terkendali sampai yang direncanakan sangat detail dari proses menangkap, membunuh, menghukum si korban, sampai pada proses menghilangkan jejak. Dari bentuk pembunuhan yang dilakukan itu dapat dikategorisasikan mengenai mana yang merupakan pembunuhan yang baru dilakukan 1 kali karena dorongan emosi yang tidak terkendali, pembunuhan secara brutal, pembunuhan berencana, dan juga pembunuhan dengan mutilasi. Pembunuhan dengan mutilasi adalah proses pembunuhan dengan melakukan pemotongan pada salah satu atau beberapa bagian tubuh korban. Cukup banyak pembunuhan dengan mutilasi pada kasus korban perkosaan yang mencoba mempertahankan diri dengan memotong bagian kemaluan (penis) dari si pelaku perkosaan. Keadaan demikian bila terjadi saat perkosaan berlangsung dan korban perkosaan mencoba mempertahankan diri sangat mungkin terjadi pembunuhan dengan mutilasi dan brutal (menusuk pada banyak area tanpa terencana) untuk
18
Criminology and Sexuality |
19
memastikan bahwa pelaku perkosaan memang benar-benar mati dan tidak menyerang si korban kembali. Bila pembunuhan dengan mutilasi dilakukan setelah kejadian berlangsung, beberapa hari/waktu maka mutilasi yang dilakukan akan lebih kejadian berlangsung, beberapa hari/waktu maka mutilasi yang dilakukan akan lebih rapi potongannya dan terencana pada bagian-bagian yang dipotong, yang dapat merupakan tanda area yang menyebabkan sakit hatinya si pelaku pembunuhan itu. Lain lagi dengan pembunuhan mutilasi pada kasus pembunuhan yang tidak terencana, umumnya dilakukan setelah korban mati dan pelaku mencoba mencari cara menghilangkan jejak agar jenazah korban mudah dibuang, umumnya luka potongannya juga kurang bagus. Namun ada juga kasus mutilasi yang memang direncanakan, dan hal itu akan tampak dari rapinya cara kerja termasuk dalam membuat potongan dan pembuangannya. Jadi dalam kasus seperti demikian jelas pelaku mutilasi melakukan dengan kendali rasio. 2. Apakah pelaku mutilasi cenderung memiliki gangguan mental atau hanya sekadar terjepit situasi? Mengenai kemungkinan adanya gangguan mental dari pelaku pembunuhan secara umum jelas ada seperti yang telah saya uraikan di atas dengan permasalahan psikologis dari si individu. Dan pada pembunuhan mutilasi yang terencana juga memiliki gangguan mental yang memiliki ke-khas-an yakni pada tumpulnya hati nurani dalam membuat pertimbangan rasio-emosi dan tentu dalam hal ini adalah empati terhadap keadaan korban mutilasi. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah kepentingan dirinya sendiri yang saat itu dipikirnya adalah yang paling tepat dan benar, maka pertimbangan moral dan norma juga sangat subyektif sifatnya. 3. Apakah perilaku mutilasi lebih cenderung untuk ditiru? Perilaku memutilasi korban dapat menjadi inspirasi bagi individu-individu yang memang memiliki potensi besar melakukan pembunuhan seperti yang sudah dijelaskan. Seperti bila ia melihat rekonstruksi kasus pembunuhan dari media televisi maka hal itu tentu dapat menjadi bahan inspirasi, atau juga dari buku-buku yang dibacanya.
19
19 | Criminology & Sexuality
Kejahatan Seksual Henny E. Wirawan
Kejahatan seksual, sesungguhnya mencakup ranah yang cukup luas, baik dari dalam rumah dan di dalam kehidupan berkeluarga, maupun di tempat umum atau di dalam kehidupan bermasyarakat. Seringkali orang berpendapat bahwa rumah adalah tempat yang aman, dan di dalam rumah kita akan mendapatkan perlindungan dari ancaman marabahaya, tetapi ternyata rumah pun rentan kejahatan seksual. Misalnya saja, incest atau hubungan sedarah atau dengan kerabat karena pertalian pernikahan (antara ayah dengan anak, baik kandung maupun tiri, kakak dengan adik, paman/bibi dengan keponakan, kakek dengan cucu), perkosaan dalam pernikahan, statutory rape yang terjadi karena pernikahan dengan seseorang yang belum cukup layak untuk menikah, jika ditinjau dari UU Pernikahan (perempuan di bawah 16 tahun atau laki-laki di bawah 18 tahun). Sedangkan di luar rumah, kejahatan seksual dapat terjadi pada siapa saja, dan pelakunya pun dapat berasal dari berbagai latar belakang demografis. Misalnya saja perkosaan, sangat mungkin dilakukan oleh orang yang dikenal (lazim disebut acquaintance rape) bahkan kekasih sendiri (dikenal dengan istilah date rape), atau orang yang tidak dikenal, baik secara individual maupun kelompok (gank rape). Kasus khusus yang lazim terjadi pada anak-anak adalah pedofilia, dengan pelaku berusia sedikitnya 16 tahun dan korban maksimal berusia 13 tahun; pelacuran anak (sebagai salah satu perwujudan dari perdagangan manusia atau human trafficking); serta pornografi anak (terutama di dunia maya). Pelecehan seksual sesungguhnya merupakan bagian dari kejahatan seksual itu sendiri,
20
Criminology and Sexuality |
19
tetapi seringkali tidak dilaporkan karena tidak adanya saksi dan dukungan bukti yang memadai. Pelecehan seksual dapat terjadi di kantor, di sekolah/kampus, di dalam kendaraan umum, atau di tempat-tempat publik lainnya; dapat dialami oleh anak-anak, remaja, dewasa, bahkan individu lanjut usia. Pelecehan seksual dapat terjadi pada perempuan, tetapi juga dapat terjadi pada laki-laki; pelakunya mungkin saja berbeda jenis kelamin, tetapi dapat juga yang berasal dari jenis kelamin yang sama. Kejahatan seksual, apapun bentuknya, siapapun pelakunya dan korbannya, di manapun dan kapanpun terjadinya, pastinya berdampak pada individu atau kelompok yang menjadi korban. Dampak yang terjadi dapat bersifat segera dan langsung, tetapi juga dapat terus berlangsung hingga masa yang akan datang dan lazim disebut sebagai dampak jangka panjang. Ada kalanya dampak kejahatan seksual tertunda atau tidak muncul segera setelah terjadinya peristiwa (delayed impacts), tetapi dampak kejahatan seksual juga dapat segera muncul dan mengganggu fungsi hidup individu yang mengalaminya. Ditinjau dari aspek fisik, kejahatan seksual berpotensi merusak bagian tubuh individu yang mengalaminya, terutama daerah sekitar genitalia, dan bagian-bagian tubuh lain yang menjadi sasaran serangan. Selain itu, senantiasa terbuka kemungkinan terjadinya kehamilan, bahkan kematian jika kejahatan seksual ini sedemikian brutal. Penularan atau transmisi infeksi seksual juga sangat mungkin terjadi, karena penyerang atau pelaku kekerasan seksual mungkin saja mengidap patogen tertentu di dalam tubuhnya, terutama jika mereka sering bergonta ganti pasangan seksual. Secara emosional, kejahatan seksual berdampak menghancurkan harga diri dan martabat korban. Makin brutal kejahatannya dan makin intens perilaku yang dialami oleh individu yang menjadi korban, makin berat perjuangan mereka untuk pulih kembali. Adakalanya mereka tidak pernah pulih secara psikologis, malahan menderita gangguan mental yang cukup parah. Penyangkalan, rasionalisasi, ketidakberdayaan, kemarahan, rasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri, kecemasan, rasa malu, ketakutan, depresi, suasana hati yang labil dan bergonta ganti, kesepian, mimpi buruk, mati rasa, kesulitan mempercayai diri sendiri atau orang lain, serta sulit berkonsentrasi merupakan beberapa contoh masalah psikologis yang mungkin terjadi. Sejumlah orang yang tidak pernah meminta bantuan penanganan psikologis
21
19 | Criminology & Sexuality sepertinya terlihat baik-baik saja dan mampu beradaptasi dengan kehidupan seharihari, tetapi pada kenyataannya belum tentu mereka mampu bertahan menghadapi tekanan mental dan emosional di dalam area-area yang sensitif bagi mereka. Mereka mungkin menghadapi kendala ketika berhubungan dengan lawan jenis, terutama ketika diharapkan untuk berkomitmen lebih jauh, misalnya berpacaran, bertunangan, atau dilamar untuk menikah.
Rasa takut yang terkubur sedemikian lama, berpotensi muncul kembali dan menghambat keberhasilan relasi di antara keduanya, sehingga mungkin saja ekspresi kecurigaan terhadap pasangan, ketakutan ditinggalkan, kekhawatiran mengalami kekerasan kembali terjadi sewaktu-waktu. Di dalam kehidupan seksual pun ada kemungkinan terjadi penolakan atau hilangnya gairah seksual, sehingga kehidupan pernikahan menjadi hambar. Namun ada juga korban yang malah terlibat dalam banyak relasi seksual yang tidak berkomitmen pasca menjadi korban kejahatan seksual. Setting tempat dan peristiwa yang mirip dengan kejadian kejahatan yang dialami dapat tiba-tiba mengganggu proses kehidupan individu yang bersangkutan. Misalnya ketika berada di suatu tempat yang sangat mirip dengan tempat terjadinya kekerasan atau kejahatan seksual, muncul kembali ingatan tentang peristiwa kejahatan seksual yang pernah dialami. Ketika bertemu dengan seseorang atau sekelompok orang dengan penampilan atau perawakan yang serupa dengan pelaku kejahatan, bayang-bayang peristiwa akan berkelebat di benak korban dan mungkin gejala fisik dan psikologis tertentu mereka rasakan seketika. Pertanyaannya sekarang, bagaimana menanggulangi kejahatan seksual? Upaya apa sajakah yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menangkal terjadinya kasus kejahatan seksual? Apakah cukup dengan berpakaian sebagai “perempuan baik-baik�, mengatur jam keluar dan masuk rumah, atau mengajak orang lain untuk bepergian bersama, sebagaimana juga yang disinyalir oleh sejumlah pejabat negara sebagai cara untuk menangkal kejahatan seksual? Jawabannya adalah, pastinya tidak cukup dan tidak akan bermanfaat. Ada masalah yang jauh lebih mendasar dan tidak mudah dipecahkan, sehingga membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak untuk menanggulanginya.
22
Criminology and Sexuality |
19
Pendidikan kesetaraan gender perlu diterapkan di tiap keluarga sejak dini, pendidikan seksual juga perlu diberikan sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Selanjutnya tiap individu perlu diajar untuk menghargai orang lain, dengan segala bentukan upayanya, juga dilatih berkomunikasi asertif dan bernegosiasi agar lebih mahir menyampaikan isi pemikiran dan perasaan yang sesungguhnya serta mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan ketika berhadapan dengan konflik. Tentu saja, sanksi yang berat perlu diberikan bagi para pelaku kejahatan seksual, disertai dengan evaluasi mengenai potensi berulangnya kejahatan serupa dan upaya kuratif terhadap perbuatannya. Sosialisasi tentang kejahatan seksual juga perlu terus menerus diselenggarakan, dengan memanfaatkan berbagai media, cetak maupun elektronik. Satu hal lagi yang pasti, korban kejahatan seksual perlu mendapatkan layanan dan bantuan nyata di dalam segala aspek, termasuk dari segi intervensi psikologis, agar dia tidak meratapi hidup dan masa depannya yang suram, tetapi dapat tetap tegak menatap dunia sebagai seorang penyintas, survivor, yang berhasil berhadapan dan melampaui penderitaannya. Masih banyak upaya lain yang dapat dikerjakan, yang tidak mungkin disebutkan satu per satu di dalam tulisan ini. Satu hal yang pasti, semua pihak harus terlibat, secara konsisten dan kontinu. Mari kita berjuang. Kejahatan seksual harus dihentikan, sekaranglah waktunya, dan kitalah orang yang perlu terlibat aktif di dalamnya. @HW-24042013
23
19 | Criminology & Sexuality
Characteristics of Organized & Disorganized Offender:
Psychopathic & Psychotic
There is a terminology that help to characterize the types of offenders for police and other law enforcement people. The terminology of organized/disorganized was an outgrowth of the FBI's study. This will helps profilers to classify offenders by virtue of the level of sophistication, planning, and competence evident in the crime scene (Turvey, 2012). According to Theozipha Nathasa P.C., M.Psi., Psi, (Lecturer and Practice at Department of Psychology UNTAR), “Psychopathic offenders tend to be an anti-social. They understand, knew, and realize the norms but they do not care. They will do whatever they wanted to do with better plan than people with psychotic disorder�. Differ with people with psychotic disorder, they had been little or no longer able to understand the norms. Therefore, psychotic offender is much more impulsive than psychopathic. Psychopathic offender does not have hallucination nor delusions so they fully aware of what they did and know the reason why they did it while psychotic offender felt guilty for what they did. Brent E. Turvey (2012) in his book, Criminal profiling: An introduction to behavioral evidence analysis, classified the characteristic psychopathic offender and psychotic offender.
24
Criminology and Sexuality |
19
Psychopathic (Organized) Crime Scene
Psychotic (Disorganized) Crime Scene
Characteristics
Characteristics
Offense planned
Offense spontaneous
Victim is a targeted stranger
Victim or location known
Personalizes victim
Depersonalizes victim
Controlled conversation
Minimal conversation
Crime scene reflects overall control
Crime scene random and sloppy
Demands submissive victim
Sudden violence to victim
Restraints used
Minimal restraints used
Aggressive acts before death
Sexual acts after death
Body hidden
Body left in plain view
Weapon/evidence absent
Weapon/evidence often present
Transports victim
Body left at death scene
Average to above average intelligence
Below average intelligence
Socially competent
Socially inadequate
Skilled work preferred
Unskilled work
Sexually competent
Sexually incompetent
High birth order
Low birth order
Father's work stable
Father's work unstable
Inconsistent childhood discipline
Harsh discipline as child
Controlled mood during the crime
Anxious mood during crime
Use of alcohol with crime
Minimal use of alcohol
Precipitating situational stress
Minimal situational stress
Living with partner
Living alone
Mobility, with car in good condition
Lives/works near the crime scene
Follows crime in news media
Minimal interest in the news media
May change jobs or leave town
Significant behavior change
25
19 | Criminology & Sexuality There are many characteristics that we must know before “labeling� someone with psychopathic or psychotic offender. Understand the characteristics offender and we can reveal the truth! (ANS) Reference: Turvey, E., B. (2012). Criminal profiling: An introduction to behavioral evidence analysis (4th ed.). New York, NY: Elsevier.
26
Criminology and Sexuality |
19
Close Relationships Between Straight Women & Gay Men Is it even possible for gay men and straight women to have close relationship? Well at least according to psychology study conducted by Eric Russel, psychology researcher at the University of Texas in Austin, yes it is possible and it is also can be said that gay men and straight women are the perfect friends with benefits—as long as the benefits have to do with trustworthy relationship advice. Russel said that he was interested in the evolutionary perspective as to why gay men and straight women form close relationships. Russell wondered if it had something to do with the exchange of mating advice since gay men and straight women aren’t romantic partners or mating competition and were “uniquely positioned to exchange trustworthy information.”
To test his hypothesis, Russell enlisted the help of 88 straight women and 58 gay men, all undergrads from the Texas Christian University, and conducted two experiments. In one, straight women were presented with a scenario involving a party, a friend who bags out at the last minute and a substitute “date” named Jordan. Researchers asked the women to look up a Facebook profile for Jordan -- who was presented as a straight woman, a straight man or a gay man – and then answer a series of questions. In the second study, gay men were presented with the exact same scenario except the Facebook profile depicted Jordan as a straight woman, a gay woman or a gay man. The questions – designed to determine the level of trust test subjects had for each gender/sexual preference – were crucial to the person’s “game.” Was Jordan to be trusted when it came to fashion advice? Would Jordan tell you if you had something stuck in your teeth before talking to a cute guy at the party?
27
19 | Criminology & Sexuality As it turned out, straight women did trust advice given by the gay Jordan more than the advice they got from a straight female or straight male Jordan. Gay men, in turn, trusted straight women’s relationship advice more than that proffered by gay women or other gay men. Russel said that, on average, gay men and straight women probably trust each other around 20 percent more than individuals. Russel says thay he wasn’t surprised by the findings, although he did find it interesting that gay men were just as trusting of straight women as straight women were of gay men.
Then how about relationship between lesbian women and straight men? Will they also develop same level of trust like between straight women and gay men? Unfortunately according to Russel, until now there is no research that studied straight men and lesbian women relationships, but he guarantees that if there is a study about that, the outcome might not be the same because there won’t be same mating advice effect going on. Russel explains that “Men aren’t driven solely by sex but they definitely have a higher drive to have sex than women do, on average. This could cause complications. A man might be sexually attracted to a lesbian and there could be ulterior motives.” Reasons why gay men and straight women are often close might be also because they have similar brains. MRI and PET scan studies are showing remarkable similarities between the brains of gay men and straight women, and between those of lesbians and straight men. For example, the brains of straight men and of lesbian women share certain common features: both are slightly asymmetric, with the right hemisphere larger than the left, say the Swedish researchers.
28
Criminology and Sexuality |
19
On the other hand, the brains of gay men and straight women are both symmetrical. Similar trends emerged when scientists tracked connectivity in the amygdala, the region of the brain involved in emotional learning and in activating the fight-or-flight response. They noted strong similarities between gay men and straight women, and lesbians and straight men. The findings are published in the current issue of the Proceedings of the National Academy of Sciences. So what do you think? Well, we hope you have new perspective about relationship between gay men and straight women. Any relationships should have benefits, if doesn’t, that relationship will not last long and that was also why straight women and gay men can develop close relationships because their relationships give benefits to each other. (TL) Reference: http://www.nbcnews.com/id/50981531/ns/healthmens_health/#.UVmONhxaWSo Gardner, A. (2008). Gay men, straight women have similar brains. Retrieved 2013, April 1, from http://articles.washingtonpost.com/2008-06 16/news/36899985_1_homosexual-women-men-and-straight-women-gay-men Mapes, D. (2013). Why straight women and gay men are often so close. Retrieved 2013, April 1, from http://www.nbcnews.com/id/50981531/ns/healthmens_health /#.UVmONhxaWSo
29
19 | Criminology & Sexuality
Male Rape Victims: “Yes People, They are Out There”
When we are talking about rape cases, the idea of women being the victims would pop straight up in our head. It is so common that we have actually put aside the fact that there is also a considerable amount of male victims in rape cases. According to Pennsylvania Coalition Against Rape in 2007, one out of every 33 men has been the victims of attempted or completed rape. Rapes on males are underreported by a very large margin as compared to sexual assaults on females. Deeply craved with the masculine, strong image in our society, one might wonder how is it possible that a male can even get raped? Shouldn’t he be able to protect himself? This is actually the reason why we strengthen the belief that men are immune from sexual assault and therefore we tend to ignore the fact of male rape. This is also why male survivors of rape and sexual assault are less likely to
30
report the crime. Male victims may feel ashamed because they were overpowered or dominated, and shame may contribute to feeling of isolation, as written on aftersilence.org on “Male Survivors”. In the end, they would hesitate to seek professional help and choose to stay quiet instead. Another major concern that the male rape victim has to face is the fear of his own sexuality being suspected. The difference between women and men after being raped is that men experience confusion of their own sexual identity, as Azis (2009) stated in “Gender disputes in Male Rape” on sexandgender.net. So here’s the idea: during the rape, the victim receives all sort of sexual stimulations from the perpetrator. Due to all the stimulations, the victim would become sexually aroused, had an
Criminology and Sexuality | erection, or ejaculated during the sexual assault. Although these are normal, involuntary physiological reactions, the male victim would assume that he shouldn’t have felt sexually aroused because it was done by a person of the same gender. He might, afterwards, perceive himself as a homosexual. For some male rape victims, they may believe the myth that they may have enjoyed being raped, adding more shame in themselves which in the end may discourage the victim to proceed with the report on the assault. Although there are a considerable amount of homosexual rapist, a study conducted by Hodge and Canter in 1998 addressed its finding that among the 50 male rape victims and perpetrators, 53% of them were heterosexual. Male rape has nothing to do with the sexual orientation of either the victim or the offender. The painful event does not necessarily turn a heterosexual victim into a homosexual.
19
Post-sexual assault treatments for men may initially result in feelings of discomfort and humiliation due to the procedures involved. Male survivors might need to undergo a rectal examination to check for injuries and evidence of the attackers. The genitals may also be examined, as well as the mouth and throat if oral penetration occurred. As addressed on aftersilence.org, no matter whether the victim is gay, bisexual, or heterosexual, sexual assault can be extremely traumatic and difficult to work through. Heterosexual males may begin to think that the sexual assault makes them gay or that they will eventually turn homosexual. While men may feel the need to withdraw from any and all sexual relationships for some time following the assault, they should be reassured that the assault does not change their personality or their sexual preference. Bisexual and gay victims are often targeted because of their sexual orientation. Due to its nature, this type of assault is considered a hate crime. While bisexual and gay men suffer through the same types of mental and physical trauma, they may also experience a few variations. For instance, gay male victims may blame their sexual orientation or themselves for the
Sexual assaults on men may involve touching, penetration, genital-to-genital contact, or even a physical attack that is sexualized in some form or another. These attacks may be performed by more than one perpetrator and can result in severe injuries and physical pain for the victim.
31
19 | Criminology & Sexuality assault. Furthermore, gay, bisexual and transgender assault victims commonly feel that they will receive disrespectful or hostile treatment from hospitals or other trauma treatment centers as a result of
their orientation or lifestyle choice. Any rape victim, regardless of gender and sexual orientation, should be reassured and reminded that the rape was in no way, shape or form their fault.
References: http://silentnomore.org/after-the-assault/information-for-men/male-victims/ http://www.aftersilence.org/male-survivors.php http://www.sexandgender.net/2009/12/10/gender-disputes-in-male-rape/ http://www.svfreenyc.org/survivors_factsheet_38.html
32
Criminology and Sexuality |
19
Mainstream Music: “One of the Factors Leading Youth to Have Early Sex” “Every morning when I’m getting ready to campus, I’d turn on the radio the moment I sit down in my car. I enjoy the feeling of turning up the volume to my favorite songs, just blasting them off the speakers to boost my mood before a hectic schedule starts. Although I enjoy the morning playlist, I can’t help but notice the lyrics of every song that is being aired every day. Yes, I appreciate how the mainstream music has really catchy tunes but I feel that the songs tend to contain raunchy and explicit lyrics.” It is a necessary activity in the morning that many students do before they came to the campus. Let’s talk about the heart of the article. Music is very much available at anytime, anywhere. You can basically listen to music in a lot of places, for example, when you go shopping there would be music being played in the stores, when you eat at the restaurant, in the car, on the streets, and even now most people own music players that can be conveniently carried just about anywhere. With the continuous exposure of music and considering how today’s songs are filled with such lyrics, at times we wonder how this could have an impact to our society especially to the younger generation. In this article, we would like to emphasize more on what songs with raunchy or sexually dirty lyrics could do to teenagers. Could the mainstream music have also contributed its fair share of join to the increasing number of adolescents’ sex? A study carried out in 2006 in the US found that teenagers who listen to songs with raunchy lyrics start having sex earlier than those who listen to other types of music. Whether it’s hip-hop, rap, pop or rock, much of popular music aimed at teenagers contains sexual overtones. Young people who listen to music with “sexually degrading” lyrics that describe women as sex objects and portray men as “sex-driven studs” were almost twice as likely to start being sexually active within the next two years than teens who listened to little or no sexually degrading music, according to a study by the Rand Corporation, a Pittsburgh-based think-tank. The study began in 2001 where the researchers carried out telephone interviews with 1,461 adolescents between the ages and 17, most of whom were virgins during that period of time. They were questioned about their sexual behavior and how often they listened to music. Follow up interviews were carried out in 2002 and 2005. Their listening habits and an analysis of the lyrics’ content were measured to determine the extent to which they were exposed to such music.
33
19 | Criminology & Sexuality
Lead author at the Rand Corporation, Steven Martino said that musicians who use this type of sexual imagery are communicating something very specific about what sexual roles are appropriate, and teen listeners may act on these messages. He argued young people may be less thoughtful about decisions they make in relation to sex which could impact on future relationships and that boys learn they should be relentless in pursuit of women and girls learn to view themselves as sex objects. It is too extreme to just pinpoint one thing as a New York-based researcher and author, Yvonne K Fulbright, points to other factors such as peer pressure, self-esteem and the child’s home environment. She also added that a healthy home atmosphere is one that allows a child to investigate what pop culture has to offer and at the same time also realize that even though the music is catchy, the lyric is inappropriate and should not be taken too seriously. David Walsh, a psychologist who heads the National Institute on Media and the Family, said the results make sense, and echo research on the influence of videos and other visual media. The brain’s impulse-control center undergoes “major construction” during the teen years at the same time that an interest in sex starts to blossom, he said. Add sexually arousing lyrics and it’s not that surprising that a kid with heavier diet of that would be at greater risk for sexual behavior, Walsh added. Well then, what can be done? In this case, parents should guide their teenagers by paying attention to their teenager’s purchasing, downloading, listening, and viewing patterns. They should help them identify music that may be destructive, gain insight of what is appropriate and what’s not. An open discussion without criticism may be helpful. Reference: http://www.nbcnews.com/id/14227775/ns/health-sexual_health/tdirty-song-lyrics-canprompt-early-teen-sex/#.UVXp9nwaySM http://www.aacap.org/cs/root/facts_for_families/the_influence_of_music_and_music_ videos http://www.guardian.co.uk/world/2006/aug/08/artsnews
34
What’s Happening |
19
How Crimes Happens According to Theory of Crimes Among the theories of crimes, three distinct approaches have been identified: environmental criminology, the rational-choice perspective, and the routine activity approach. These theories of crimes are sometimes called opportunity theories because they analyze various situations that provide opportunities for specific crimes to occur (Adler, Mueller, and Laufer, 1998). In Indonesia there are many crimes that happened to be because of there was opportunity for the crime itself to happen. In this occasion, we want to particularly talk about robberies that happened at convenience store at Jakarta. Polda Metro Jaya (The Jakarta Police) noted that there have been 32 cases of robberies that happen from January until June 2012. From that amount, robberies occurred most frequently in particular convenience-store “Alfamart� which operates 24 hours. Alfamart was as many as 17 times, Indomart 10 times, Circle K 4 times, and Alfamidi once. From 32 cases only 14 cases were uncovered, said Head of Public Relation Jakarta Police, Commissioner Rikwanto. He also said that in every action, the perpetrators always used firearms and sharp weapon to scare the victims. (Afriyanti, & Ruqoyah, 2012).
Environmental criminologists examine the location of a specific crime and the context in which it occurred in order to understand and explain crime patterns. They ask: Where and when did the crime occur? What are the physical and social characteristics of the crime site? What movements bring offender and target together at the crime site? Environmental criminologists want to know how physical location in time and space interacts with the offender, the target/victim and the law that makes the crime an illegal act. Contrary to the established criminological theories that explain criminal motivation, environmental criminology begins with the assumption that some people are criminally motivated (Adler et al., 1998). According to environmental criminology approach, robbers who target business establishments are interested in some of the same factors that concern burglars (who target other people house). Perpetrators carefully examine the location of the potential robbery, the potential gain, the capability of security personnel, the possibility of intervention by bystanders, and the presence of guards, cameras and alarms. Indeed, maybe the reason why Alfamart and other convenience-
35
19 | What’s Happening
36
store was often getting targeted because there was lack of security inside the store, aside from the perpetrators itself are motivated enough and well prepared to carry their plan. The rational-choice perspective developed by Ronald Clarke and Derek Cornish, draws from classical utilitarian notions of the calculations of pleasure and pain and from traditional economic choice theory. According to this perspective, a “likely” offender decides to commit
individuals who decide that the chances of getting caught are low and the possibilities for a relatively good payoff are high. So in cases of 32 robberies of the activities of people, such as going to several convenience-store that often happened (Afriyanti, & Ruqoyah, 2012), it appears that the chance for the perpetrators of getting caught in their action are low, because from 32 cases of robberies only 14 cases were uncovered by the polices.
a specific crime (the “choice” aspect) in order to satisfy his or her needs. This goal-oriented “purposive” behaviour is marked by a rough calculation of the risks, efforts, and rewards of committing that particular offense (the “rational” element). Rational choice implies a limited sense of rationality. The “rational” offender may have only limited knowledge of the costs and benefits of engaging in a specific crime, or may not be completely able to accurately process information (e.g., the offender is under influence of alcohol and drugs) (Adler et al., 1998). According to the rational-choice perspective, most crime is neither extraordinary nor the product of a deranged mind. Most crime is quite ordinary and committed by reasoning
Routine-activity approach which brought by Lawrence Cohen and Marcus Felson explain that a crime can occur only if there is someone who intends to commit a crime (likely offender), something or someone to be victimized (a suitable target), and no other person present to prevent or observe the crime (the absence of capable guardian). This approach does not explore the factors that influence the offender’s decision to commit a crime. Instead Cohen and Felson focus on the “routine” or daily activities of people, such as going to work, pursuing recreation, running errands, and the like. It is through routine activities that offenders come into contacts with suitable victims and targets (Adler et al., 1998).
What’s Happening | The logic of the routine-activity argument is straight forward: Routine patterns of activities that have been done affect the convergence in time and place of motivated offenders, suitable targets, and the absence of guardians. If one component is missing, crime is not likely to be committed. . And if all components are in place and one of them is strengthened, crime is likely to increase. In cases of robberies that happen at several convenience store (Afriyanti, & Ruqoyah, 2012), it appears that the perpetrators were intended to commit robbery because they are full armed with weapons and are well aware of the location surroundings (likely offender), in addition there was no police or security guard at the convenience store (absence of capable guardian), and there were only regular staff employees at the convenience store without any resources for self protection (suitable target). Now it appears that the case of robberies that happen at the convenience store happened because the three aspects of routineactivity approach were fulfilled.
19
In conclusion the crime happened because there was opportunity for it to emerge; if the opportunity is tightly shut out then maybe crime won’t happen at all. So do you a favour and try stopping crime in your own way, how? Maybe you can start this by obeying social norms in the society, like for example: to not smoke in non-smoking area or disposing trash in its place, simple enough don’t you think? Well this is true in some way...because crime itself is form of a violation of social norms in the society. (TL) Sumber: Adler, F., Mueller, G. O. W., & Laufer, W. S. (1998). Criminology the shorter version (3rd ed.). New York, NY: The McGrawHill Companies, Inc. Afrianti, D., & Ruqoyah, S. (2012). Jakarta pusat perampokan minimarket. Retrieved 2013, April 5 from http://m.news.viva.co.id/news/read/32 7099-jakarta-pusat-rawanperampokan-minimarket.
37
19 | Liputan
Write Now
And See What Is Your Personality With Graphology! Personality and character of a person are sometimes difficult to observe, because it is covered by a mask that requires a person to remain relaxed and calm on the outside. There is a way to know about someone's personality, called graphology. It is a study to read person's personality by reading their handwriting and signature. This method can be used to see someone’s psychological condition, like how is their relationship with other people, and hidden traits that can’t be seen on the surface, which also known as the unconsciousness. Bupsi once again held graphology workshop, because there were many people who are still interested to learn this method. This time Bupsi held two session of the workshop, so we can learn more. The first session was held on 27 April and the second session was held one week after the first session on, 4 May 2013. All the two session was accompanied by a trainer who is certified in graphology and handwritting analysis, namely Henny E. Wirawan, M. Hum, Psikolog, Psikoterapis, CGA, CGI, QIA, CRMP. The workshop itself, this time, just like the previous graphology workshop, which were still attended by alumnus’ and students majoring in Psychology Tarumanagara. Both session of the workshop was started at 09.00 AM. In the first session, the trainer explained the basic understanding of graphology and shared to the participants a little about her experience analyzing writings of others. Sometimes, people are misunderstood and
38
Liputan |
19
thought that graphology is the same as palmistry and some sort of prophecy, so it can read future. Trainer also explained the advantages of graphology than significant psychological test. In the second session, the trainer discussed more about the signatures and handwriting based on distance and shape of the writing. Not only that, the trainer gave the participant few example of worlds famous people signatures, and rough analysis about the personality of those famous people based on their signatures. The participants are very active and responsive to ask and communicate with the trainer. While exchanging information, the trainer also warned for the participant to not commit fraud, such as don't do friend's sign just because they aren’t coming to class to make the said friend attending class. Trainer said It's useless because the sign will be different (if the teacher is someone who can read signatures, such as Mam Henny herself ), and that certainly opened our eyes about graphology and indirect nature of how the real life of the person.
39
19 | Liputan
Because of this workshop, participants gain valuable experience and lessons for the future life. Trainer also warned, however, that our efforts to transform our writing are futile if there is no change in our personality, our handwriting will remain consistent as long as our personality doesn’t change. Isn’t it exciting? So to make ourself a better person, we can not simply change the outside appearance like our handwriting but we must also change what is important in the inside like our personality. (DS)
40