BENGK
1
BENGKEL KOLASE #5 berkolaborasi dengan Ichan ( ig: @rifkahzulkifli | e-mail: rifkahfitriah@gmail.com )
| Terbit semaunya | Gratis | Desember 2015 | [ mang.anugrah@hotmail.com ][ manganugrah.wordpress.com ][ ig: @anugrah____ ]
2
Mukadimmah Tak terduga. Zine ini sampai pada edisi ke lima. Ada suatu perbedaan besar dari edisiedisi sebelumnya. Seorang gadis cantik dari Makassar mengajakku untuk berkolaborasi dengannya. Tentu saja, ajakan itu adalah sebuah sanjungan bagiku. Tanpa harus berpikir keras, kuiyakan ajakannya, sebuah spontanitas yang memaksa kosmik-kosmik nasib berbenturan sehingga timbul sebuah hadiah yang tak terduga-duga – sebuah kolaborasi. Anggap saja edisi kali ini selayak buku Hanya Salju dan Pisau Batu yang ditulis karena hasil kolaborasi Pidi Baiq dan Happy Salma. Seperti tagline buku itu (ditulis oleh “Happy Salma yang manis dan Pidi Baiq yang mana”), edisi kali ini pun sepertinya begitu: Disusun oleh Ichan yang manis, dan Anugrah yang mana? Akan kusodorkan tulisan kawanku itu terlebih dahulu, dengan pertimbangan bahwa aku sudah bosan akan tulisan-tulisanku sendiri. Maka, suatu penyegaran harus dilakukan. Tulisannya dan kolasenya adalah selayak oase yang menyegarkan pada karya-karyaku yang kuanggap sebagai padang pasir nan panas durjana. Maka, yang akan ditemukan setelah beres membaca halaman ini adalah tulisan dan karya kolase kawanku itu. Setelahnya, ada cerpen (cerita pendek) “Bayangan Buih” yang merupakan terjemahan dari carpon (carita pondok) “Kalangkang Budah” karangan Godi Suwarna – seorang sastrawan sunda yang jenius. Lalu, ada tulisanku yang tentu saja mirip tulisan gadis-gadis SMA yang lagi curhat pada buku harian. Well, inilah Bengkel Kolase #5. Hasil kolaborasi yang berhasil membelah laut Jawa. Gampangnya, bayangkan saja begini: bayangkan rasa Coto Makassar yang bercampur dengan Batagor Bandung.
Bandung Barat, Desember 2015
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Pengantar penerjemah Beberapa tahun yang lalu dosenku merekomendasikan buku kumpulan cerpen Godi Suwarna yang berjudul Morang-maring. Katanya, dalam buku itu ada satu cerita bagus yang menunjukan kecerdikan Godi Suwarna dalam meracik sebuah cerita. Tak lain dan tak bukan cerita itu adalah “Kalangkang Budah�. Kecerdikan Godi Suwarna yang paling terlihat dari cerita itu adalah karena beliau mempertemukan Sangkuriang – tokoh utama cerita rakyat sunda dalam kisah asal-usul Gunung Tangkubanparahu dan Oidipus – seorang raja Thebes yang merupakan tokoh cukup sentral bagi mitologi Yunani, sehingga Sophocles memboyongnya untuk dikisahkan dalam karyanya yang berjudul Oedipus Rex. Beliau dengan cerdas mampu menghadirkan persamaan dari dua karya sastra yang lahir dari dua budaya berbeda. Tentu bukan tanpa alasan Godi Suwarna mempertemukan dua tokoh itu, alasan yang paling mudah ditebak adalah karena kedua tokoh itu sama-sama mencintai ibu kandungnya sendiri. Bedanya, Sangkuriang tidak berhasil menikahi ibunya, Dayang Sumbi, lantaran Dayang Sumbi sudah kabur duluan. Sedangkan Oidipus berhasil menikahi ibunya serta dikaruniai (ini karunia bukan seeeeeh???) empat orang anak. Dibalik itu semua, Kang Godi menyajikan makna kehidupan melalui dua tokoh itu. Sebut saja ini adalah sebuah fanart, selayak pecinta Star Wars yang rela bikin lightsaber sendiri. Akhirnya aku mencoba membuat terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Dengan dibantu oleh beberapa kawan (sebut mereka: Dendy, Kang Syarif, dan Ibu Scream) yang lebih fasih berbahasa sunda daripada diriku. Sial memang, aku adalah peranakan Sunda-Jawa dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Semasa hidup, sepertinya, identitas kedaerahanku memang tergerus oleh nilai-nilai modern yang terkandung dalam masyarakat sekitar. Sekolah-sekolah yang pernah kumasuki memakai Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, dan hanya belajar Bahasa Sunda sebanyak dua jam pelajaran dalam satu minggu. Otomatis, aku bisa berbahasa sunda dari pergaulan saja, yang menjadikan bahasa sundaku itu bahasa sunda sehari-hari yang pantas dipakai untuk berbicara dengan teman sebaya. Maka, aku membutuhkan orang-orang sunda yang ilmu bahasa sunda mereka jauh di atas diriku demi membuat terjemahan ini kena pada makna asli yang dimaksud oleh sang penulis aslinya. Tujuan dari penerjemahan ini tak lain dan tak bukan hanya karena aku ingin berbagi karya yang aku suka pada khayalak ramai. Khususnya pada mereka yang tidak/belum mengerti bahasa sunda. Bukankah katanya kebahagian itu baru terasa nyata bila sudah dibagikan? Aku sangat sadar, terjemahan ini jauh dari kata sempurna (lebih tepat dibilang sebagai: terjemahan urakan). Maka, aku akan sangat merasa senang jika ada yang memberiku kritik dan saran tentang terjemahan atas carpon ini. Tabik! 16
Bayangan Buih* oleh Godi Suwarna
Air bergerak riuh. Dari tengah danau ombak besar menghantam dinding bendungan. Brah! Dinding itu roboh. Air mengamuk lebih gila, bersama dengan gemuruh angin puyuh yang menghempas entah dari mana. Bulan terkaget disentil suara gemuruh. Petir membabi buta menyambar buih ombak. Langit berselimut malam berwarna merah darah. Dia berdiri tegap di atas batu. Wajahnya berubah menjadi warna besi terbakar. “Dayang Sumbi! Jangan ingkar!”, teriaknya menyaingi gemuruh. Tetapi alam makin goyah, lemah bagai ingin terbalik. Terdengar suara terbahak di balik langit, seperti mengejek. Dia bergetar menahan amarah yang hampir tak terbendung. “Kembalikan Dayang Sumbi, goblok!” Petir menggelegar menghempas dekat telinganya. Yang terbahak tambah seru mengejek. Nafsunya memburu bagai bendungan roboh. “Haram jadah!”. Meloncat ia pada gumpalan air. Yang marah dan yang mengamuk saling bertengkar. Terpelanting raganya. Tapi dia tetap berenang mencari yang dikejarnya. Terapung.. terapung.. Terkejut nyaring, hening. Bulan terdiam, silau oleh cahaya yang menggeliat di timur. Langit telanjang terbasuh air laut. Tidak ada ombak gusar. Tidak ada angin puyuh. Tidak ada petir menggelegar. Tentu saja, kala terlewati dilipat waktu. Ibarat suara, melenguh panjang. Tidak ada yang terdengar lagi. Seperti yang lainnya, waktu pun tak mau bersahabat dengannya. Waktu yang sedikit demi sedikit memakan raganya. Waktu yang telah memulas rambutnya dengan warna putih. Waktu yang meremas kulitnya menjadi keriput. Ya. Waktu yang nyaris mengalahkan dirinya. Setelah menggeliat sebentar, dia lalu berjalan melintasi pesisir. Sepasang burung walet terbang di atas kepalanya. Sesekali menyambar rambutnya yang terurai. Mencuat ribut seakan menghinanya. Dia tidak peduli ombak besar yang menghempaskan air keruhnya seakan tak mau diinjak. Buih ombak selayak liur menempel pada mata kakinya. Dia lalu berjalan menuju batu karang yang menjorok ke laut. Di batu karang dia berdiri berkacak pinggang sambil memandang lingkaran matahari. Seharian berdiri tegap sementara penglihatan tak lepas mengikuti gerak matahari. “Pantang jika harus kalah olehmu!”, sesekali terdengar hawar-hawar selang suara deru ombak. Pada saat itu juga dia tenang memandang birunya laut. Memandang ombak yang bergerak tidak mau diam. 17
Seperti sampah yang dihanyutkan oleh air sungai, akhirnya dia pun mengambang terbawa ke laut. Samudra tempat bermuaranya semua kotoran dunia. Tapi meskipun begitu, di tengah, airnya tetap jernih. Sampah menumpuk di pesisir, birunya laut tidak terganggu. Bersama dengan terbitnya matahari dari dasar samudra. Lamat-lamat terlihat layar perahu melebar diterpa angin. Membelah ombak menuju ke sisi pantai. Semakin dekat, semakin jelas yang menaikinya, manusia. Dia terkaget. Sudah lama aku ada di tempat ini. Baru sekarang ada orang tersesat, katanya dalam hati. Perahu telah merapat pada pesisir agak jauh dari tempatnya diam. Orang yang baru datang itu sedang memeras layar dengan tenang, tidak merasa ada yang melihatnya dari kejauhan. Dengan ragu dia mendekat. Setelah dekat lalu berdehem. Yang satunya tiba-tiba menoleh. Brah! Terkaget keduanya bangkit terkejut. Setara! Laut hening. Angin hening. Burung-burung laut berkicau di kejauhan. Pelan-pelan matahari meniti tangga langit. Sejajar pohon kelapa tidak usik tidak berbalik. Rambut sama putihnya terurai menyapu pundak. Sorot mata sama-sama tajam. Sorot yang sudah kenyang melihat hidup. Hanya pakaian yang berbeda. Yang baru datang memakai jubah berpulas hijau basah sebatas lutut tentu karena telah bergulat dengan ombak. Tinggi juga besar. Sedangkan potongan wajah sama persis tidak berbeda sedikit pun. Setelah kenyang saling tatap. Orang itu melangkah mendekat sambil menjulurkan tangan: “Oidipus!�, kata orang itu tegas. Suaranya bagaikan gemuruh dari jauh. “Sangkuriang!� dia ikut menyebutkan nama. Suaranya bagaikan angin gunung. Nikmat tetapi menyimpan kekuatan. Oidipus melanjutkan urusannya. Bungkusan besar diturunkan dari perahu. Sangkuriang membantunya tanpa diminta. Sangkuriang sudah tidak tahan ingin bercerita. Sudah lama dia tidak bertemu orang untuk diajak bercerita, hanya samudra. Penasaran ingin mengetahui asal-usul tamu itu dan mengapa tersesat ke pesisir milikku, katanya dalam hati. Si tamu masih tetap dengan urusannya. Seperti tidak mau terganggu. Malah ketika Sangkuriang membantu pun si tamu tak mengucapkan terimakasih. Cukup dengan tertawa kecil. Keduanya masih tetap saling diam. Isi perahu diangkut ke tempat yang agak jauh dari air. Terkadang beradu tatap. Rasa penasaran tergambar pada mata masing-masing. Kemah telah didirikan. Sangkuriang pergi menghampiri laut. Ingin menantang lagi matahari seperti kemarin. Tahu akan kelakuan Sangkuriang, Oidipus hanya melirik saja lalu meneruskan lagi merapikan bawaannya. Sangkuriang teguh menuju batu untuk melamuni tempat yang jauh. Aku ini raja! Raja yang dahulu pernah membuat gempar jagat! Aku sudah bersumpah pada diri sendiri pantang tunduk pada orang lain! Mengapa aku mau menghinakan diri dengan membantu tamu? Apa memang aku ini telah berubah menjadi rakyat jelata? Diambilnya batu. Diincarnya burung yang terbang menyambar muka air. Blewer! Beletak! Keras menghantam kepalanya. Burung itu jatuh menukik disambut ombak. Bangkainya tak berdaya diseret ombak. 18
Telah dibuktikan olehku kepada mereka yang bersembunyi di balik langit, bahwa Sangkuriang tidak akan hanyut terseret nasib! Aku yang dianggap mainan oleh mereka, masih sanggup tegap menantang langit. Ingin tahu bagaimana tingkahnya jika ditantang duel olehku! Terdengar suara yang terbahak di belakang mega. Suara yang memojokkan. Suara yang mengikuti kemana dirinya pergi. Suara yang paling dibencinya. Tapi dia tak sanggup mengusir suara itu dari pendengarannya. “Setan! Keluar kau! Aku ingin lihat wajahmu!”, Sangkuriang murka sambil menunjuk ke langit. Suara yang terbahak itu kini sunyi. Berubah menjadi senandung. Suara senandung yang mengajak istirahat bagi yang lelah setelah pulang berkelana. “Jangan malah bernyanyi seperti betina kau! Meskipun bala tentaramu banyak, tapi aku tidak akan mundur!” “Belum saatnya, Sangkuriang!” kata suara di belakang. Sangkuriang menoleh ke arah datangnya suara. Breh! Oidipus berdiri dengan tangan melipat di dada. Sangkuriang seperti menemukan tempat untuk meluapkan kekesalan. Dia menatap Oidipus yang roman mukanya datar. Mata elang Sangkuriang menusuk pada rongga mata Oidipus. Semakin tajam Sangkuriang menatap, semakin merasa bahwa yang berdiri di depannya adalah bayangan dirinya sendiri. “Kamu benci padaku kan? Maaf jika kelakuanku tadi merubah hatimu” kata Oidipus sembari menyentuh pundak Sangkuriang. Dua laki-laki setengah baya itu saling diam. Perlahan Sankuriang bangkit menatap wajah Oidipus lalu dia berbicara pelan: “Kamu tidak akan kenal padaku” “Bukan tidak akan kenal, Sangkuriang. Belum kenal!” “Siapa sebenarnya dirimu?” “Oidipus…………” “Oidipus?” “Ya. Oidipus! Orang yang pernah menggemparkan jagat Yunani. Kalau kamu? Siapa sebenarnya dirimu?” “Sangkuriang! Orang yang pernah menggemparkan tatar Sunda” Matahari terbenam ke dasar samudra. Burung laut berhambur masuk ke dalam gua karang. Satu per satu mengapung dipermainkan angin sore. “Sudah sangat jauh aku keliling dunia. Banyak kejadian yang kualami! Tapi aku merasa heran melihat tingkahmu tadi!” kata Oidipus sambil duduk di atas batu. Sangkuriang duduk di sampingnya. Kabut menggantung di pucuk pohon kelapa. Samar-samar terdengar suara binatangbinatang menyambut malam. Sangkuriang menghela nafas. Tatapannya menembus kegelapan. “Kisahku akan panjang jika diceritakan, Oidipus! Lembaran hidup yang penuh dengan berbagai macam teka-teki. Seperti yang disaksikan olehmu tadi. Aku benci mereka yang bersembunyi di balik langit. Mereka yang seenaknya mengaturku seperti pada wayang yang tak punya hati. Mereka yang pandai menjawab pertanyaanku bahwa semuanya itu ada pada pusaran nasib. Aku tidak ingin jika semua rasa penasaranku dijawab hanya dengan itu. Sesal, Oidipus! Sudah selama ini tapi belum menemukan jawaban yang memuaskan!” 19
“Coba ceritakan apa yang pernah dialami, Sangkuriang!” kata Oidipus sembari menatap Sangkuriang yang sedang melamun. “Aku ingin melupakan semua yang telah teralami! Tetapi bayangannya terus saja mengikuti langkah!” Sangkuriang berhenti sejenak sambil memandang bulan yang dimuntahkan dari perut samudra. “Jika kamu mendegar kisahku, seperti yang lain tentu kamu pun akan benci padaku!” “Itu tergantung pada siapa kamu bercerita, ya saudara! Kita yang dewasa cukup berpikir santai, bukan?” kata Oidipus yang makin penasaran. Setelah melamun beberapa lama, Sangkuriang mulai membongkar pengalamannya. Kisah yang menggemparkan. Cerita yang diketahui banyak orang. Kisah yang mengakibatkan dirinya gelisah seumur hidup. Ya! Disiksa oleh batin sendiri. Dimusihi oleh alam dan isinya. Suaranya terkadang merdu bagai senandung dari jauh. Terkadang bergolak bagai samudra ditabrak topan. Terkadang jelas. Terkadang seperti kebingungan. Terkadang naik menanjak. Terkadang tersungkur turun. Gemuruh ombak memecah sunyi. Burung hantu yang sedari tadi diam berpindah ke dahan yang lain. Perlahan kabut menyingkir dihalau angin. Di langit, bulan bergetar digores garis putih. “Begitulah pengalamanku, Oidipus! Aku sadar, Dayang Sumbi atau si Tumang hanyalah penyebab. Aku bukannya tak rela akan Dayang Sumbi yang menyebabkan hatiku tak mau menerima nasib. Ada lagi yang lebih jahat selain dari itu!” Sangkuriang mengakhiri kisahnya. Oidipus menghirup nafas panjang. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya dia bicara: “Ternyata sama dengan apa yang dialami olehku! Kisahmu tidak jauh berbeda dengan yang dialami olehku!” Lamunan Sangkuriang terhalau, dia berdiri terkaget sambil menatap Oidipus. Oidipus pun berkisah dari awal sampai akhir tentang zaman saat dia masih muda. “Perbedaannya, kamu tidak jadi menikah dengan ibumu. Aku pernah menikah, malah punya anak segala!” kata Oidipus setelah kisahnya tamat. “Apa sebabnya kamu tersesat ke daerah ini, Oidipus?” “Aku pernah hidup di rantau orang sekaligus dihina. Lalu dewa Apollo kasihan padaku, malah oleh seluruh rakyat Yunani aku dianggap sebagai orang keramat. Aku meminta pada yang kuasa, sebelum mati aku ingin mengenal diri sendiri. Pergi dari Yunani meninggalkan semua yang disayangi sembari pasrah menerima takdir yang telah dialami maupun yang akan tiba!” “Dewa adil padamu, Oidipus! Tidak seperti padaku” Sangkuriang bergeming menatap langit, lalu meludah. “Mereka hanya bisa menghina! Salah ada padaku! Benar ada pada mereka!” “Bukan begitu, ya saudara! Kurang bagaimana, dewa pun menurunkan bermacammacam cobaan. Dengan cobaan itu aku semakin mengenal hatiku sendiri. Aku punya keyakinan, tidak semata-mata dewa menurunkan cobaan jika tidak ada maksud dibaliknya” “Bagus benar apa yang kau katakan, Oidipus! Tapi aku tidak yakin bahwa dibalik cobaan yang diturunkan dewa ada maksud yang bagus!” “Apa kamu juga tidak yakin bahwa kita ini ciptaan yang paling disayanginya?” 20
“Aku ini hanya sekedar mainan dewa, Oidipus! Jika bagus dipakai, jika jelek dilempar berikut tidak diperbaiki lagi. Jika benar kita adalah ciptaan yang paling disayanginya, mengapa harus ada nasib buruk? Mengapa bukan yang bagus saja yang diberikan pada kita? “Sangkuriang, hidup itu tidak cukup hanya dengan bertanya-tanya. Mengapa harus begini? Mengapa harus begitu? Celaka jika manusia menjeratmu dengan hal seperti itu sembari tidak menerima takdir!” “Menerima………?” Sangkuriang tertawa. Dengan cekatan, Oidipus memotong omongan Sangkuriang yang bermaksud menghina. “Ya, menerima, wahai saudara! Dasar dari rasa menerima adalah hati yang pasrah. Aku percaya hatimu itu keras seperti batu karang yang doyong kurang seimbang! Hatimu terlalu doyong ke kiri! Padahal, jika seimbang, senang ataupun susah tentu akan terasa sama. Seperti batu yang dilempar ke samudra, tenggelam tak berbekas!” “Siapa yang menciptakan hatiku yang doyong ini, Oidipus? Bukan inginku untuk lahir di dunia” “Jika semuanya dilemparkan pada sang pencipta, dimana tanggungjawabmu sebagai makhluk hidup?” “Cukup Oidipus! Kamu anak raja! Sedangkan aku? Bapakku anjing! Ibuku wanita yang pasrah digerayangi binatang! Biar bagaimanapun kita tak akan bisa satu keyakinan!” kata Sangkuriang setengah teriak. Matanya kembali beringas. Oidipus menggelengkan kepalanya sambil berdiri. Dia berbalik ke kemahnya meninggalkan Sangkuriang yang diam berdiri di atas batu. Sangkuriang terhenyak, gemuruh dalam dadanya semakin tak mau diam. Pikirannya kusut lebih dari biasanya. Bulan merangsek di sela-sela induk langit. Pekat langit bertemu ujung lautan. Oidipus anak raja! Aku anak anjing! Anak raja jadi raja! Anak binatang jadi binatang! Tapi apa benar? Apakah aku tak akan bisa lepas dari lumpur menjijikan? Jika cobaan datang dari dewa, mengapa jalan keluarnya pun datang dari dewa pula? Mengapa….? Macam-macam persoalan membelit-belit pikirannya. Antara menerima dan menolak. Antara keras kepala dan menurut. Dan antara-antara yang lainnya berseliweran mengisi hatinya. Pagi hari. Dia menggeliat setelah semalaman berdiri di tempat itu. Sangkuriang teguh hati ingin mendatangi Oidipus, ingin mendengarkan lagi omongan si tamu. Penasaran, ingin tahu sudah sampai mana tamu itu menyelami hidup, menjawab teka-teki yang disodorkan oleh tangan gaib. Terburu-buru menuju tempat si tamu bermalam. Terlihat kosong melompong tak ada jejak sama sekali. Rumput yang dipakai tempat berkemah basah oleh air embun. Sangkuriang pergi ke sisi laut. Perahu yang kemarin merapat di pesisir sudah tidak ada. Oidipus bagai ditelan laut. “Oidipus………!” Sangkuriang berteriak, dijawab gemuruh ombak pecah di batu karang. “Oidipus………!” Teriakannya menyangkut pada bentangan mega. Tersangkut pada pucuk pohon kelapa. Sebagian melayang tertiup angin. Dari langit terdengar lagi suara senandung. Suara yang mengejek. Suara yang merasa iba. Segala macam suara berkumpul pada batin Sangkuriang. 21
“Haram jadah!” Sangkuriang melompat ke gumpalan ombak. Samudra seperti akan tumpah membanting raganya. Sangkuriang berenang menerobos ke tengah ingin menyusul Oidipus. Sayup-sayup terdengar teriakan suaranya memanggil tamu yang pernah datang meskipun tidak diundang. “Oidipus………..! Oidipus………..! Oidipus………..!” Isola ‘77 *Cerpen pernah dimuat di majalah Mangle No 643 dengan judul asli “Kalangkang Budah”. Juga terdapat pada buku kumpulan carita pondok Godi Suwarna yang berjudul Murangmaring
Oidipus, aku pengen curhat dong!
Apa sih kamu Sangkuriang? Kamu kira aku Mamah Dedeh? 22
a
23
CATATAN Aku Tak Ingin Berulang. Keluar! Ketika sesuatu berulang terus-menerus maka kebosanan akan menguntit dari belakang untuk pada akhirnya sang kebosanan akan tancap gas dan merangkul diri dengan sungguh aduhai. Meluluhlantahkan semangat dan harapan. Maka, dibutuhkan suatu api yang baru dari korek kreatifitas yang dipantik dengan gesekan antara ilmu pengetahuan dan pengalaman kehidupan keseharian. Aku berharap banyak gesekan yang memantik tiap langkah dalam hidup keseharianku. Berbentuk kesalahan, kesembronoan, kebodohan, hingga bercahaya seperti ekstase kedirian bersifat makrifat, pop-up idea yang tak terduga-duga, serta kegembiraan sederhana ataupun yang sulit dimengerti. Aku membutuhkan itu semua sebelum kematian merenggut hidupku. Kehidupan adalah sebuah karunia terbesar untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya demi memahami label manusia yang terlanjur nyantol pada setiap diri yang lahir ke dunia. “Timbulkan kekacauan agar bintang menari dalam diri�- Friedrich Nietzsche Kacau adalah sesuatu yang sama sekali tidak mendekap aturan. Kalaupun ada, aturannya hanya satu: kacaulah! Sekacau teori evolusi Darwin yang memantik ilmu-ilmu biologi dan antropologi pada jendela-jendela baru. Sekacau Fahmy yang setia bersepeda dengan ekstrim walaupun tubuhnya dihantam hepatitis. Sekacau aku yang pengen jadi penulis novel malah kerja sebagai tukang ledeng. Sekacau Ram Punjabi yang mengacaukan makna buku-buku Buya Hamka pada layar kapitalisme gedung bioskop. Sekacau kacau yang harus mengacau agar memaksa keteraturan terbentuk. 24
Ngelindur Aku hampir saja kehilangan kesadaran di tengah musim yang pancaroba. Peralihan dari panas menyengat ke dingin yang aduhai memaksa pertahanan tubuh bekerja ekstra. Tak luput pula dari kekalahan telak sehingga harus dibantu obat yang pahit dan tentunya gak pernah enak untuk dikunyah. Maka, aku lebih memilih menelannya langsung dengan air segelas. Asupan nutrisi harus tepat demi menjaga kebugaran tubuh, tak ketinggalan pula olahraga yang biasanya aku malas melakukannya, kini aku ternyata tetap saja malas untuk melakukannya. Sehingga rejeki bagi sang dokter dan anak buahnya karena dapat uang dari hasil memeriksa tubuhku dan pembelian obat. Sakit badan ada dokter. Sakit jiwa ada dokter jiwa. Nah, masalahnya jika sakit hati tidak ada dokter hati yang entah dimana letaknya. Tentu saja ini bukan liver. Hati, kalbu, you name it. Karena ini terjadi saat apa-apa yang terjadi tak sesuai dengan yang diharapkan. Seperti saat aku membeli buku Penumpang Gelap karya Alijullah Hasah Jusuf. Aku kira buku itu akan menarik untuk dibaca, namun ternyata tidak. Terlalu berkesan mengada-ngada dan berbau drama seperti sinetron-sinetron di televisi. Kekecewaan tentu saja harus diobati agar hati menjadi tenang dan kembali menapaki harapan yang telah terpatri sebelumnya. Maka, aku mencoba untuk membaca kembali terjemahan Also Sprach Zaratushtra. Mungkin, aku dengan membaca itu aku dapat mengambil perkakas untuk mengatasi diriku sendiri yang masih berwujud manusia, karena Nietzsche berkata dalam buku itu melalui si tokohnya yang bernama Zaratushtra: “Manusia adalah sesuatu yang harus diatasi�. Tak ketinggalan juga buku Tasawuf Modern yang ditulis oleh Buya Hamka (rekomendasi dari temanku si pemilik toko buku online), yang kumaksud sebagai alat bantu penyeimbang kehidupan. Mengatasi diri. Mengenal diri. Hingga tahu tujuan dari diri. Maka, ketika semua telah terkuasai, langkah-langkah tak akan lagi gontai dihantam keraguan melainkan berderap gagah nan kokoh untuk berjalan menuju tujuan diri yang diketahui hanya oleh diri yang melangkah itu sendiri.
Perkakas Pada suatu Rabu aku membulatkan tekadku untuk membeli mesin pemindai. Tak lain dan tak bukan adalah untuk mendongkrak semangatku dalam membuat kolase-kolasean. Jadi
25
aku gak perlu lagi mengunjungi warnet depan rumah untuk sekedar mengkonversi kolase analog yang telah kubuat untuk menjadi bentuk digital. Bukan suatu mesin yang terbaik memang. Namun cukup baik untuk menyalin hasil karyaku pada sebuah folder digital yang tersimpan dalam cakram keras notebookku. Maklum, sebuah dana harus kupertimbangkan terlebih dahulu dalam membeli sesuatu. Jika terlalu mahal, tentu saja aku urung membelinya. Mengingat hidupku masih terlalu panjang jika harus boros dalam satu tindakan. Serakah adalah salah satu dari tujuh dosa yang mematikan. Sialnya, keserakahan malah sepertinya makin asoy saja mendekap tubuhku. Aku jadi ingin memiliki perkakasperkakas lain yang mampu mendukung kegiatan kreatifku (atau setidaknya menjaga bara kreatif dalam diriku tetap menyala), tapi tentu saja keserakahanku ini tertahan oleh keserakahan yang lain – membeli buku misalnya. Tak dipungkiri memang, dengan keberadaan perkakas dalam ruang kamarku membuatku merasa lebih santai dalam berkarya. Malah, bisa menjadi membuatku malasmalasan juga. Seperti menunda-nunda berkarya karena beranggapan bahwa akses pada perkakas sangat mudah dijangkau. Aih, mungkin ini memang sifat manusia dalam diriku yang selalu saja plin-plan dan susah untuk konsisten. Yah, namanya juga manusia. Manusia bebal, lebih tepatnya. Yang katanya mah, jangan pernah berhenti belajar dari pengalaman biar gak melulu jadi bebal. Kata Buya Hamka, disamping belajar dari pengalaman pribadi, belajar juga dari pengalaman orang lain, karena itu merupakan jalan menuju bahagia.
26
27
Rekam jejak tukang kolase amatiran. Layaknya bengkel, zine ini berisi segala macam alat dan perkakas yang menjadikan kolase-kolasenya ada dan juga mengungkap apa yang dirasa oleh si pembuat kolase yang karyanya dapat ditemui pada akun instagramnya. Sejujurnya, tak ada yang spesial dari apa yang dibeberkan.Namun, ketidakspesialannya itulah yang memaksa zine ini lahir untuk membuat yang tidak spesial menjadi terlihat sedikit spesial bagi si pembuat 28 kolase itu sendiri