dekadensiotak maret 2017
geratis karena ga berani masang tarip
Volume Satu
Mimpi Hari ini adalah dimana aku benar-benar meliburkan diri. Jam 2 dini hari aku baru tidur, maka hari ini aku tidur sampai mataku sedikit bengkak. Memang terdengar seperti pemalas. Aku hanya bergerak ketika perutku lapar, turun ke bawah untuk buka tudung saji. Menu hari ini ayam goreng. Selalu enak dimakan setelah aku mengucurkan kecap manis di atasnya. Dan, setelah makan.. tidur lagi. Aku tahu mengapa aku sangat jadi pemalas hari ini. Kemarin, tenagaku terkuras di jalan raya, mengendarai sepeda motorku ke Ciumbuleuit - Common Room - UPI - Ciumbuleuit - pulang. Ditambah lagi aku terserang penyakit ga mau tidur. Aku yakin itu bukan insomnia, karena insomnia punya efek yang lebih parah. Tiga hari benar-benar tidak bisa tidur, barulah aku simpulkan sebagai insomnia. Kalau cuma begadang sih, ah itu cuma nakal saja. Biar terlihat keren seperti di Film Fight Club, maka anak-anak muda sok anarki itu bilang "Anjing! aing tadi peuting insomnia lah!" Bicara soal tidur, ga jauh-jauh sama mimpi. Orang bilang mimpi itu bunganya tidur. Kalau aku sih bilangnya mimpi itu bioskop waktu tidur, karena aku merasakan cerita absurd yang terasa sangat visual sekali. Visualisasi cerita absurd ini aku alami ketika tidur siang tadi. Jangan bertanya tadi aku mimpi apa. Aku tidak ingat. Wajar ketika seseorang lupa apa yang telah dimimpikannya ketika tidur, begitu kata salah satu artikel yang aku baca di kaskus. Tapi, aku bisa menceritakan mimpiku secara gamblang ketika mimpi itu benar-benar menarik. Biasanya, mimpi yang sangat menarik itu berhubungan dengan keadaanku sebelum tidur. Ketika aku kangen pada seorang wanita dengan kangen sekangen-kangennya, aku bisa melihat wajahnya pada mimpiku. Dan, ketika tidak ada hal menarik yang aku alami seharian, maka mimpinya pun terasa aneh, bahkan aku sering lupa telah mimpi apa ketika terbangun. Aku tahu aku telah bermimpi, tapi aku tidak tahu apa yang telah aku mimpikan. Hal yang menyebalkan adalah ketika tidur tidak dihiasi mimpi, karena tidur tidak akan berasa jika tidak ada mimpi. Zzzzaaappp, hanya berasa satu detik saja aku tidur jika tidak bermimpi. Dan itu sungguh membuat aku merasa rugi. Aku adalah seorang pemimpi. Dulu, semasa sekolah dasar. Aku sering berkhyal atau melamun. Di dalm bahasa inggris, melamun itu "day dreaming" yang kalau diartikan secara kasar adalah "mimpi di siang hari". Maka, aku simpulkan bahwa melamun itu bermimpi, berkhayal, menginginkan sesuatu yang belum terjadi, memvisualisasikan keinginan di dalam kotak imajinasi. Jaman sd, menjadi Power Ranger merah adalah sesuatu yang sering
1
aku imajinasikan. Saking senangnya aku menonton serial Power Ranger di RCTI, aku selalu ingin menjadi kuat dan menyelamatkan orang-orang di sekitarku. Ranger merah yang kupilih. Ranger merah selalu menjadi pemimpin pada setiap versi Power Ranger. Intertekstualitas yang terjadi antara aku dan Ranger merah itu membentang pada garis lurus yang menghubungkan antara aku dan kekuatan. Kekuatan akan apapun. Kekuatan untuk mengontrol apapun yang ada di sekelilingku, kekuatan untuk menghancurkan apapun yang aku benci. Arogan. Yah, arogan. Yang menarik dari Power Ranger itu kalau melawan monster pasti tidak sendiri. Setidaknya ada lima Ranger dengan lima warna kostum berbeda berdiri di depan satu monster. Mereka bahu membahu dalam aksi pembunuhan terhadap monster yang meresahkan warga kota. Lalu, mereka masuk ke dalam robot raksasa untuk melawan monster yang juga menjadi raksasa. Akhir ceritanya selalu saja kelima ranger berhasil membunuh monster dengan bertarung tak lebih dari lima menit. Ini pun diadopsi ke dalam mimpiku. Aku biasanya bermimpi menjadi ranger merah, dan aku ditemani teman-temanku yang lain untuk menjadi ranger dengan warna berbeda. Pastinya aku memilih teman yang benar-benar aku anggap dekat saja yang aku jadikan ranger. Sangat menarik sekali ketika aku memimpikan diriku bersama teman-temanku melawan monster jahat dengan mempraktekan gerakan berantemnya. Masa kecil memang masa yang sangat indah. Tak heran jika Peterpan tidak mau menjadi tua dan memilih untuk tinggal di Neverland.
?... GO GO PAWER RENJER.. TONEENEENEENEET GO GO PAWER RENJER.. TONEENEENEENEET GO GO PAWER RENJER MAIGTI MORPIN PAWER RENJEEEEEER... ?
2
[Ulasan album] California (2016) Album anyar blink-182 really made my day. Anjing! Aku hanya ingin mengumpat karena aku rindu Tom DeLonge. Aku rindu suaranya. Matt Skiba memang berbakat tapi Alkaline Trio bagiku lebih tepat bagi tempat suaranya untuk lirik-lirik rumit nan puitis.Namun, album yang dinamai California ini katanya menggambarkan blink-182 yang back to its origin. Aku harus setuju. Karena sudah hampir tidak ada lagi itu suara-suara aneh dari luar angkasa seperti di album Neighborhood (Lagu Left Alone kenapa harus ada suara tenot-tenot gitu sih?). Ini memang blink-182 yang minus Tom. Mark Hoppus masih gitu-gitu aja dengan suaranya yang mendayu dan lirik-lirik yang catchy. Travis, oh, aku selalu suka permainan hihatnya. Dan si Matt, yes you are a new guitarist for the band, but I always think about Alkaline Trio everytime I hear you sing. Ya mau gimana lagi, emang suaranya begitu sih. Anyway, this album is so fucking amazing. Setelah akhir-akhir ini aku kenyang dengan K-hiphop. Sekarang aku kembali pada musik yang membawaku pada gerbang ngehek anak muda. Agak heran sebenarnya kenapa aku selalu ingat All The Small Things ketika cukup banyak lirik “Na na na na” yang dipakai pada album ini. Pada lagu No Future, California dan Sober ditemukan lirik itu. Sialnya, aku suka itu. Terlebih untuk lagu Sober yang terdengar jauh lebih keren dari lagu Sober punya Bigbang. Bagiku, itu adalah sebuah nostalgia akan album Enema of the State (dengarkan juga No Future, dan intronya akan membuatmu melayang jauh ke masa itu). Apalagi ketika aku pertama kali mendengar lagu San Diego yang sepertinya memang benar-benar sebuah nostalgia tentang tempat dimana blink-182 pertama kali dibentuk. “Sometimes I wonder where our lives go. They question who we used to be” The good old days. Seakan mewakili perasaan aing akan tempat-tempat lama di masa lalu yang aing ga akan pernah lagi merasakan hal yang sama, walaupun aing kembali sowan ke tempat itu. Njing! Harusnya aing setuju sama Simple Plan di lagu Grow Up yang gak ingin jadi dewasa. Karena hal-hal masa muda yang konyol itu memang tak pernah bisa tergantikan. Damnt shit this peterpan complex. Masa dimana aku masih mendengarkan Alkaline Trio di kosan Jepe ketimbang mendegarkan lagu Tulus di kantor. Keriunduan itu tergali ketika Matt Skiba bernyanyi pada The Only Thing That Matters. Maka, Built This Pool dan Brohemian Rhapsody harus didengarkan karena mengeluarkan energi yang sama seperti lagu-lagu Blew Job atau Mother’s Day atau When You Fucked Grandpa atau Dick Lips, ataupun, err, Fuck a Dog. Toilet humor banget. Sangat-sangat menunjukan bagaimana gobloknya mereka dari tahun 90an sampai sekarang. Terakhir. California harus didengarkan bagiku karena aku mendengarnya seakan Cimahifornia. Akhirul kalam, “Hey here’s to you ‘Cimahifornia’. Beautiful haze of suburbia.”
3
[Ulasan film] Pulp Fiction (1994) When things reach an extreme, they can only move in the opposite direction. Begitu pula saat aku terlalu banyak nginstall mod buat game GTA: San Andreas. Terlalu banyak ngedit malah jadi crash dan ga bisa nerusin misi yang harus dilakukan kalau pengen game itu tamat. Ketololan ini memang ulahku. Tidak bikin back-up file-nya karena terlalu malas dan terlalu pede bahwa pengeditan amatiranku akan berjalan mulus. Alhasil, aku malas membenarkannya. Yah.. malas. Kemalasan adalah ibu dari semua keburukan, tapi biar bagaimanapun, kita harus tetap menghormati sang ibu, bukan begitu wahai Shikamaru? Kemalasan akan bermain game itu membuatku mencari hal lain dalam menikmati malammalam bulan Ramadhan di sepuluh hari terakhir. Ketika banyak para relijius yang ber i'tikaf di masjid, aku bertapa di depan laptop untuk melahap beberapa film. Semua film yang kutonton akhir-akhir ini adalah film yang sudah pernah aku tonton. Ya, aku menontonnya kembali. Ketika aku menontonnya kembali, aku menjadi lebih mengerti jalan ceritanya. Maklum, otak bobrok di tempurung kepalaku ini memang agak susah menyerap informasi kalau dijejali secara terburuburu. Ada dua film yang pengen sekali aku tulis ulasannya. Film pertama adalah The Exorcist (Willam Friedkin, 1973), yang lainnya adalah Pulp Fiction (Quentin Tarantino, 1994). Mengingat dua film itu mendapat nilai yang cukup baik dari para penonton dan para kritikus film. Aku mencoba membandingakan The Exorcist (cerita horor bajingan yang bikin kasur goyang dombret) dan Pulp Fiction (cerita komedi hitam brengsek feat. praktek sodomi sadomasokis) dengan kacamata remaja bejat yang baru saja ditinggal kekasihnya. Ternyata Pulp Fiction lebih menyentuh sanubariku dikarenakan aku terkesima dengan dilibatkannya ayat dalam kitab Yehezkiel. Oh agama, oh pilihan.. memang menarik untuk didiskusikan sambil minum kopi hitam. Secangkir kopi telah aku siapkan, sekantung tembakau telah ada disampingku. Inilah dia ulasan film Pulp Fiction rasa rock n' roll abal-abal (Mungkin, nanti aku juga bakal bahas The Exorcist di kesempatan lain, sekali lagi, mungkin...)
4
Di film ini, ga akan ada itu si Samuel L. Jackson berkepala botak seperti di film superhero The Avengers, melainkan berambut acak-acakan dan kumis yang semrawut. John Travolta pun sudah tidak unyu lagi seperti di film musikal Grease yang nyanyi Summer Night sambil mondarmandir dengan gaya yang lebih nyebelin dibanding boyband korea rookie, melainkan tambun dan sudah pantas disebut Om. Tapi, mungkin, penampilan mereka itulah yang menjadikan mereka pas memerankan pasangan gangster konyol yang doyan nembakin orang. Tapi, terimakasih Tuhan, masih ada Uma Thurman yang masih muda disini, dan juga ada Maria de Medeiros yang aduhai putih sekali itu pahanya walaupun tampilnya cuman bentar doang. Film beralur maju-mundur dan bikin aku puyeng waktu nonton pertama kali (khas Tarantino), belum lagi percakapan yang diucapkan bersahutan dengan tempo cukup cepat membuat aku harus me-rewind-nya berkali-kali. Tontonan pertamaku mengasilkan hanya sebuah sketsa acak adut saja di kepalaku. Di kesempatan kedua aku menonton film ini, aku sungguh menyiapkan diriku untuk memahami cerita apa yang disajikan si Quentin Tarantino ini. Sekantung bako dan kopi murahan menemaniku. Internet sudah siap untuk mencari informasi kalau-kalau ada suatu istilah yang aku tidak mengerti. Aku menontonnya untuk kedua kali. Bermula dari sepasang kekasih yang hendak merampok restoran yang sedang mereka kunjungi, film ini menyuguhkan suatu rasa cinta yang bermula dari pasangan ini. Diawali dengan berciuman dan memanggil nama kesayangan bagi pasangannya, mereka mulai menodongkan pistol ke para pelanggan restauran. Yah, mungkin Durrutti salah. Sebenarnya, cinta dapat dilampiaskan melalui selongsong senapan dengan berbekal pengalaman merampok terdahulu. Terlebih lagi ketika Butch (Bruce Willis), menggunakan cinta sebagai tameng emosinya. Dia mengelebui ketua gangster, mengkhianatinya. Si ketua itu menyuruhnya untuk mengalah dalam pertandingan tinju. Tetapi, tentu saja, Butch tidak mau. Dia malah bertaruh untuk dirinya sendiri dan menang. Bahkan lawannya dibikin meninggal dunia. Fabienne (Maria de Medeiros), adalah kekasih Butch yang setia menemaninya bahkan disaat Butch dikejar-kejar sama gengnya si ketua gengster yang dia khianati itu. Durrutti memang kurang tepat lagi ternyata. Cinta tidak hanya berbicara di selongsong senapan, tetapi juga bersemayam diatas ring tinju. Alur yang bolak-balik ini memaksaku berfikir dan menyusun ulang alur-alur itu di dalam kepalaku agar menjadi alur maju yang utuh. Menyimpan karakter-karakter dan adeganadegannya untuk direka ulang kembali. Ada satu pelajaran yang aku bisa simpulkan. Ternyata kematian suatu tokoh penting bukanlah akhir dari sebuah cerita. Vincent yang diperankan oleh Travolta mati ditembak Butch saat ia mencari jam tangan emas kesayangannya. Adegan kematian itu berada di tengah-tengah cerita. Karena alur film ini maju-mundur, maka di scene selanjutnya diceritakanlah adegan lanjutan dari adegan pertama sebelum si Vincent mati ditembak. Tebaklah kawan, Vincent masih hidup di adegan lanjutan adegan pertama ini. Puyeng kan dengan gayaku bercerita? Aku tak peduli. Karena kepedulian hanya terjadi dalam sebuah hal yang sangat berharga, seberharga sebuah kisah pengorbanan yang mungkin bisa saja dibalut oleh apa yang namanya cinta. Sekali lagi, mungkin. Karena jika ingin kepastian, sepertinya Butch lebih mengerti hal ini. Jam tangan emas yang dia bela mati-matian itu peninggalan kakek buyutnya yang diturunkan pada ayahnya dan kini ada di tangannya. Membuat jam itu menjadi barang yang paling berharga bagi dirinya. Jam yang dicintainya itu jugalah yang membuat Butch masuk dalam sebuah petaka. Sebagaimana Kahlil Gibran bilang jika cinta pun membawa pedang tajam disela-sela sayapnya yang halus. Cinta akan jam emas harus dibayar cukup menjengkelkan karena Butch
5
bertemu dengan si ketua gengster untuk kemudian mereka berdua menjadi tawanan para gay sadomasokis. Dan, anjing!, hanya di film ini ketua gengster bisa disodomi sama seorang "satpam". Ok, kembali ke saat dimana Vincent masih hidup. Vincent dan Jules (Samuel L. Jackson) adalah sepasang hitman serasi. Vincent adalah seorang yang berfikir pragmatis, sedangkan Jules lebih suka menjadikan dunianya sebagai panggung teater dimana dia bisa ngebacot, berfilsafat, dan membuat pilihan langkah hidup untuk masa depan dengan lebih dramatis. Jules mengaku telah lebih dari tiga kali ditodongkan pistol ke kepalanya, maka, sepertinya, dia lebih santai menghadapi sebuah ancaman. Itu pula yang menjadikan dia berterimakasih pada Tuhan karena telah menyelamatkan hidupnya dari rentetan peluru yang aduhai dekat sekali jarak tembaknya. Vincent menganggap itu sebuah kebetulan, tetapi Jules tidak. Menurutnya, itu adalah anugrah Tuhan. Menyingung soal Tuhan, Jules selalu mengutip satu ayat alkitab yang dia ambil dari kitab Yehezkiel 25:17 sebelum dia membunuh seseorang. Alasannya sih, karena kalimat itu terdengar keren saja. "Aku akan memberikan pembalasan dengan kejam disertai kemarahan, dan mereka tahu bahwa aku adalah Tuhan saat aku memberikan pembalasan pada mereka� Setelah membaca kalimat itu, Jules menembak targetnya. Apakah ini berarti Jules merasa jika Tuhan telah merasuk dalam dirinya? Dan dia berhak memberikan "pembalasan" pada targetnya? Mungkin saja seperti itu. Karena di scene-scene selanjutnya dia berkata bahwa ayat itu telah memberika suatu perenungan padanya jika dia tak lebih dari seorang penjahat saja, dan sudah waktunya untuk dia beralih menjadi orang baik untuk selanjutnya menjadi "penggembala". Pada akhirnya Jules menyatakan berhenti menjadi anggota geng dan berencana untuk hidup berpetualang. Tanpa tuan. Yes! Jules berhenti jadi gengster, memaksa Vincent untuk bekerja seorang diri. Vincent bertemu Butch. Dan, Bang! Mati. Keajaiban bagi Jules, bukan? Keajaiban dalam cinta, atau cinta dalam keajaiban? Ah sudahlah, kadang, memang aku harus kembali menelaah sesuatu yang bisa membuatku berbelok sedikit untuk mencari sebuah petualangan baru, seperti Jules dengan Yehezkiel-nya, atau Butch dengan jam-nya.
6
Apa yang bisa dilakukan ketika tidak ada lagi yang bisa dipercaya? Karena pada masa ini teritori kedirian mudah sekali untuk ditembus pihak luar. Kini, orang-orang berbondong membawa nilai-nilai. Parahnya, mereka mencoba mencekoki nilai-nilai yang mereka anggap ideal kepada setiap orang. Sungguh ini sebuah kegilaan. Karena manusia-manusia yang seperti ini adalah manusia-manusia sok tahu. Menganggap diri paling benar berbekal nilai-nilai dari pengetahuan yang dangkal. Menghakimi adalah lumrah. Maka program gossip makin diminati di pagi hari ketika kepul asap sedap dari penggorengan masuk hidung, ketika aroma kopi pagi hari mencoba memugar estetika sosial, sampai ketika koran-koran direntangkan oleh orang-orang yang duduk di kursi panjang - berdasi berkerah putih. Nietzsche harusnya hidup lagi. Biar dia bisa memarahi setiap orang yang ada di pasar. Menertawai pemuka korporat. Hingga dia akhirnya harus datang ke setiap toko buku untuk memboyong Gay Science sampai Ecce Homo. Di senja yang mendung dengan rintik hujan dingin, dia akan menumpuk bukubukunya di taman kota. Memanggil doger monyet lalu menyuruh si monyet dan pawang berdansa. Ketika itulah lidah-lidah api yang oranye memakan habis lembar demi lembar.
dekadensiotak.wordpress.com dekadensiotak@gmail.com