Cirrus Zine: Kumpulan Prosa Suka-Suka

Page 1


4


A

nd after finishing the very last page of a tale, a tale of a wicked giant in a city of a mad scientist a daughter leans her head up on her father’s shoulder and her father got his face covered by her daughter’s red hair “dad..” she plays with her finger tip upon the fairy tale book in mumble “yes dear..?” and he stroke the daughter’s hair, waiting her daughter to finish her line the daughter stops playing the book and looks into her father eyes in doubt, quite sad, he guessed. “you don’t read this tale to another sisters, do you?”

5


SOME RANDOM THOUGHTS AT 3 AM “Have you ever feel how sad it is, when somebody’s deleting a picture of you or anything, it’s like a big part of you is also being deleted from their life, or more like they don’t want anybody or somebody know that you have a certain story with them. I named it rejection.” “There are a lot of things i want to ask you, but always ended up with ‘maybe it’s better to not knowing, anyway’.” “The moment when we talk, and you rest your back on mine, i can feel your sound through your backbones, tickles my skin with its echo.” “Not a bouquet of flower, not a conceptual pre-wed photo, nothing. But, what i really want to put on my wedding gate is a really huge picture of my husband and me, holding each other, with huge middle fingers with a really huge caption: “DEAR ALL OF OUR UNREQUITTED LOVES IN THE PAST, FUCK YOU GUYS”

6


“Look, Cirrus.. and if someday you went home late and drunk and sad and you broke your glasses and you had your tie sag let’s go to our creme sofa, have a seat, cry it out on my sharp right shoulder, it won’t ask you any question until morning and i do my part to stroke your hair with my left hand and let you sleep”

7


T

he saddest part of your life is when you have everything but someone to see all your night tears. On the night i lick my tears on my cheek, my mom told me that, I, only a regular human and we don’t deserve any special treat. “Don’t cry, because you’re not special.” 8


A

ku selalu suka suasana kelas yang kosong. Setengah jam tepat sebelum kelas dimulai, teman-teman masih di kantin untuk memuaskan perut mereka masing-masing. Hanya terdengar suara lampu neon berdengung, kadang sesekali suara motor yang terasa jauh, semakin mendamaikan suasana siang hari yang tidak terasa panas karena ruangannya dilengkapi pendingin. Jarum jam yang tidak bosannya berdetik semakin jelas terdengar karena aku duduk di lantai memeluk lutut erat-erat sehingga jam tanganku lebih dekat dengan wajahku. Indah sekali kesunyian ini, ditambah dengan pikiran yang bebas menerawang kemana-mana. Aku suka sepi. Memberikanku jeda, waktu luang, untuk memikirkan segala hal juga kebebasan untuk bernapas. Karena kadang terrasa sulit untuk berlomba-lomba menghirup oksigen dengan orang-orang lain di ruangan yang sama. Sudah setengah jam dan teman-teman mulai berdatangan, ku letakkan tas berwarna biru donker bermotif bunga ku di kursi kosong sebelah kanan; agar tidak ada yang duduk di situ. Atmosfir sunyi terpecah. Saatnya untuk kembali memakai bola hamster berukuran manusia.

9


10


Ketika di Rumah Mati Lampu Kalian sadar, gak? Kalau listrik sedang padam, langit jadi terlihat terang. Bintang jadi lebih jelas, padahal kami tinggal di kota. Lantas, kami melihat bintang jatuh, yang bisa mengabulkan permohonan. Aku membuat permohonan: Semoga modem wifi cepat nyala.

11


if we can’t hold no longer into that string why don’t we cut it off and let ourselves drowning to somewhere dark and cold and let ourselves suffocating in our very own blood no one ever knew if you’re still alive or dying we’re all alone. in very different room. and we’re holding our knees and bleeding until you smell the death itself and laughing in pain, but your spine is all fine your ribs also really just fine, everybody started to hate yourself for being such yourself and ask you why

12


but you’re too weak to move your tongue and ended up with smiling and say nothing is happen. because it’s the easiest way to do and you became nothing itself, ignoring all the opened doors only for sleeping in a glasses box but you’re not really fall asleep. you pretending it, you hide life at the back of your eyelid you make your own remote area far away inside your head if we can’t hold no longer. why don’t we just cut the string off. maybe wind will tied them into absurd tangle and we don’t know where’s the end and that string became a dead end and we don’t know how to make it up and again, you hide that at the back of your eyelid. you come into glass box, pretending you’re sleeping, while the doors are ‘knock knock’ until twelve o’clock

13


14


P

intu depan tiba-tiba terbuka, brukkkk, bunyinya kencang sekali, aku nyaris menumpahkan secangkir teh pahit ke atas draft kerjaku. Pukul satu pagi, komputerku sudah panas, karena sengaja kunyalakan untuk memutar lagu, meski aku masih berkutat dengan kertas-kertas sialan ini. Cirrus baru pulang dari kantor, mabuk, berantakan, serampangan, kemeja biru langitnya lusuh dan kulihat ada satu kancing yang nyaris copot di dekat dasinya yang melorot. Tak perlu kubertanya mengapa atau ada apa, aku menghampirinya, ku sambut tangannya yang memegang tas laptop berwarna hitam, ku takut ia akan membantingnya, tapi Cirrus bukan tipikal lelaki tempramen, ia mengeluarkan kemarahannya dengan menangis dan raungan bau alkohol. Gagang kacamatanya patah sebelah, sudah berkali-kali benda itu kuperbaiki; ia sengaja tidak ingin menggantinya, ia anggap itu simbol kesabaranku menghadapinya di kala ia berada di lembah, aku tertawa setiap ia mengatakan itu, aku suka jalan pikirannya yang diluar dugaanku, selalu memberi kejutan, remeh namun spesial. Artinya ini bukan pertama kalinya ia pulang dalam keadaan hancur, hatinya hancur, rambutnya berantakan, mukanya basah, menangis sejadi-jadinya. Setelah meletakkan tas laptopnya di meja kerjaku, ku letakkan kacamatanya di depan meja ruang tamu. Kami duduk di sofa. Seperti biasa, ia meraung-raung, mencengkeram bahuku keras-keras. Ukuran kepedihan hatinya dapat diukur dari seberapa kencang cengkeramannya. Yang ini paling keras, menurutku. Mukanya terbenam di bahu kananku yang kurus dan tajam. Memang begitu, sejak awal kami sepakat, sepakat untuk tidak mengeluarkan kata-kata roman picisan sampah yang bikin mual, kami tidak suka kata-kata mesra;namun ada rasa terikat, di dalam, dimana, tidak tahu, tapi ada, sebuah ruangan, tidak, sebuah dunia, yang memiliki bahasa sendiri. Kami saling menyayangi tanpa kata-kata, menyayangi dalam hening, hening namun kuat. Kuat meski malumalu. Tapi tidak kalah besar dari telur angsa emas di dongeng Hans Christian Andersen. (Ya, Cirrus sangat suka membacakanku dongeng anak-anak, meski aku tidak meminta. Terapi jiwa, katanya, dia memang lucu sekali.). Cirrus masih menangis di bahuku, air matanya mengalir hangat hingga ke lenganku. Pedih sekali rasanya.

15


Bahunya bergerak naik-turun mengikuti irama tangisannya. Kugerakkan tangan kiri ku ke pipinya. Ia meraih tanganku. Mencengkeramnya, semakin kuat, berarti semakin sedih, lalu kulepaskan, sakit, akhirnya ku usap kepalanya seperti kucing, anak kucing yang malang, anak kucing yang malang tersesat di kota besar, tangisnya semakin sedih saja, menyayat pagi seperti nada sedih biola yang mengalunkan lagu Clair de Lune. Aku ikut tersayat, bagaimanapun. Aku bisa apa, dengar aku ingin sekali membantumu namun saat ini aku hanya terdiam, menahan rasa kesemutan lengan kananku yang sudah satu jam menyaksikan tangisan Cirrus. Kacamata lusuh kesayangannya memandangku dari atas meja. Kami berdua sepakat untuk diam, tidak banyak tanya, meski dihantui penasaran masalah proyek apalagi yang menghancurkan dirinya seperti ini. Sampai aku dan Cirrus sama-sama jatuh tertidur, basah dan lengket karena air mata. Pukul setengah delapan aku terbangun, mendapati diriku tertidur di sofa dengan selimut dan tangan menjuntai ke lantai yang dilapisi karpet putih bulu sintetik yang lembut dan membuat nyaman. Ku lihat sarapan sudah tersaji di meja, menggantikan kacamata Cirrus semalam. Kuhabiskan sarapan masakan Cirrus, nasi goreng pakai sosis dan telur ceplok yang berbentuk hati; kami beli cetakan telur bermacam-macam di supermarket tempo hari, yang dipakai sesuai dengan suasana hati ketika memasak. Cirrus suka memasak. Jauh lebih suka memasak daripada aku. Masakannya enak, biasa saja, tapi enak, untuk ukuran laki-laki kantoran. Sambil minum air putih yang tidak dingin, aku memandang keluar pintu kaca halaman belakang. Cirrus sedang menyirami tanaman di kebun, tangan kirinya memegang selang, tangan kanannya memegang rokok. Ia berdiri membelakangi. Ku letakkan gelas Winnie The Pooh berisi air putih di meja telepon dan mendatangi dirinya, merangkul pinggangnya, karena aku nyaris setinggi dia. Aku berbisik. “Masih sedih?” Wajah Cirrus masih hampa. Ia mematikan rokoknya. Lalu ia menjawab. “Lumayan. Terimakasih.” “Kalau begitu, ayo kita bilas kesedihanmu.”

16


Kusambar selang yang ia pegang, lalu menyiram wajahnya. Ia tertawa. Ia membalas dengan menyalakan semua kran sprinkler yang ada di taman. Air menyala semua. Kami basah kuyup. Kukejar dia dan kusiram sambil tertawa. Ia tertawa lepas. Lalu terjatuh di atas rumput basah dan sedikit berlumpur. Aku melihat sekeliling, tampak tetangga kami, lelaki paruh baya yang bekerja sebagai petugas kantor pos yang juga sedang libur mengamati kami dari balik koran Sabtu paginya. Menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum dan meletakkan cerutu. Aku ikut berbaring di atas rumput. Menatap langit penuh cirrus. Bukan Cirrus yang basah dan di atas rumput. Namun cirrus yang tinggi, jauh di atas sana. Berarak berjalan perlahan. Lalu suara Cirrus memecah gemericik air dari kran sprinkler. “Kamu masih bisa ketawa kayak gini, nggak, tiga bulan kedepan?” “Tergantung. Ada apa.” “Aku kehilangan proyek terbesarku.” “Besar mana dengan yang minggu lalu?” “Yang ini.” “Sudah kuduga.” “Perusahaan ku kehilangan investor dan kami harus memberhentikan beberapa pekerja di kantor. Aku merasa bersalah karenanya, dan merasa bersalah padamu.” “Apa yang harus kamu nangisin, sih? “ “Ya, kukira tiga bulan ke depan kita nggak bisa lagi melakukan ritual makan gila-gilaan di restoran buffet sampai mampus, atau beli sabun cuci piring yang harganya beberapa sen lebih mahal karena mengandung bahan yang tidak bikin kulit sensitif tanganmu lecet, atau sereal warna-warni kesukaanmu atau —-” “Itu saja?” “Ya.” “Cengeng.” “Iya. Kadang aku merasa, akulah yang perempuan.” “Hahahahahahahahahahahaha.....”

17


Aku meninju perutnya lalu mengelitiki ia sampai ia tertawa tidak bersuara. Ia menyiram mukaku lagi sampai hidungku sakit karena kemasukan air, lalu kulempari ia tanah basah yang sepertinya ada cacingnya, rumputnya rusak tapi peduli apa. Kami sudah gila. Segila awal tahun lalu, memutuskan untuk patungan membeli rumah dan mendapatkan uang tambahan dari hasil menang lotere di pusat kota, Cirrus sengaja membeli rumah dengan pagar rendah, agar seluruh tetangga dapat melihat dan iri dengan tawa bahagia kami yang kadang kami sengajakan kencang-kencang agar semua orang terganggu. Atau teriakan yang kami buatbuat ketika menonton film dokumenter di malam hari yang membuat tetangga kami marah-marah di depan garasi karena membangunkan anak bayinya yang masih merah. Ah, peduli apa.

18


T

he first time i gave a respect to human is when they spell my name correctly. And the first time i fell for you is when i try

to spell your name extra-correctly. Since then, i started to see your name everywhere i move my eyes, i see your name as a vandal on the wall, i see your initial in a number of every vehicle i found on the street, i see your name on a uniform of the highway patrol officer, i see your name as a small seafood kiosk where i buy my dinner, i see your name on an identity card of a convenience store cashier while i pay my fruity pebbles and a jug of fresh milk and a basket of eggs. And it was like i see you everywhere i go. And that’s why i don’t feel so alone in my solitude.

19


“… and i’ll make a notebook named it ‘count your bless’, and re-read it when life goes mad.” 20


P

ukul delapan malam lewat enam menit. Sedang duduk di depan pintu rumah membaca kiriman paket dari Jerman yang nggak tahu udah dari kapan ada di bawah pintu soalnya nggak muat untuk diselipkan dari bawah pintu, isinya kartu pos bagus-bagus dan secarik surat semacam pertemanan tapi belum kebaca jelas karena udah gelap. (kunci rumah nggak ketinggalan , tapi listrik di rumah padam terus belum dikirimin token listrik.) Pesawat yang mengangkutku telat beberapa puluh menit karena landasan katanya sedang penuh pesawat jadi kita diajak muter-muter gratis di angkasa tapi aku heran ada bapak-bapak pemarah yang teriak dari arah belakang kiri ku “Apa? Tiba pukul 6.50????! Yang benar saja!!!�. Aku sesekali melihat jam tangan dan bingung harus ngapain, hanya bawa satu buku cerita tipis yang sudah selesai dibaca untuk kedua kali dan nggak bawa peralatan gambar, nyalain handphone nggak boleh, katanya. Lantas aku cuma duduk sambil mikirin akan nulis tulisan ini setibanya di rumah. Setelah roda kecil pesawat sampai di daratan, semua orang turun dan bergegas untuk mengambil bagasi, muternya lama terus aku nggak bisa menemukan ransel hitamku. Seorang bapak-bapak gembul menyerobot dari balik punggungku untuk mengejar kardus makanan yang diikat tali rafia merah yang bertuliskan ‘Agus’ ya mungkin namanya Agus atau memang dia cuma namain kardusnya sebagai Agus, nggak ngurusin. Tiba-tiba ada anak kecil berkaus biru yang baunya seperti buah aprikot menyembul dari samping kanan mengambil koper besar banget motifnya kotak-kotak. Nah, itu dia, ransel hitamku keluar dari terowongan penghasil ransel dan koper, bergerak mendekat. Sebenarnya cerita hari ini ceritaku nggak akan sesantai ini, sungguh akukesal sekali hari ini, seperti hari-hari biasanya. (Aku sebal karena jadwal pesawat yang terlambat, sebal karena bosan, sebal karena diserobot saat mengantri, sebal karena di rumah listrik padam, sebal karena hidupku memang selalu terasa

21


menyebalkan.) Kalau saja sesaat setelah mendarat aku nggak diam-diam mengintip layar handphone seri lama seorang pria yang terlihat biasa saja di sampingku. Dia mengirim pesan singkat kepada istrinya, bahwa rumahnya kemalingan. Lantas ia menoleh padaku, lalu aku alihkan pandangan ke jam tanganku, lalu beberapa detik kemudian kupandangi lagi dirinya diam-diam. Nampaklah di sana raut wajah murung, bingung, tidak karuan, rambutnya acak-acakan dan sepanjang ia menunggu barang bagasi di terowongan penghasil ransel dan koper, ia bersandar pada tembok dengan wajah muram, tangannya tidak bisa diam, kadang jemarinya mengetuk papan besi terowongan penghasil ransel dan koper, kadang ia lipat kadang ia masukkan ke dalam kantong jaket berwarna cokelat mudanya, kadang kakinya bergerak naik turun. Aku tidak sempat mengamati lebih jauh lagi karena ranselku sudah sampai di depanku, dan aku bergegas menghampiri penjaja taksi yang ramai menunggu calon penumpang di pintu kedatangan yang diramaikan para keluarga atau saudara atau supir atau teman atau kekasih atau orang tua atau kolega yang menunggu. Semua orang di depan pintu kedatangan kelihatan biasa tanpa kita tahu apa yang berrenang-renang di benak mereka semua ketika sedang menunggu. Mungkin salah satu dari mereka ada yang baru saja kehilangan pekerjaan, mungkin ada yang ditinggal mati anjing atau kucing atau kelinci atau hamster atau ikan mas peliharaan mereka, mungkin ada yang baru saja kehilangan orang yang dicintainya, mungkin ada yang sudah menunggu sejak sore tapi yang ditunggu tidak jadi datang. Tapi semuanya terlihat biasa, karena kita semua sama saja, nggak ada yang spesial.

22


23


J

ika dianalogikan sebagai objek, ruangan itu bagai rumah yang penuh perabot yang menunggu kedatangan tamu. Rumah itu sudah lengkap dengan bak mandi dan pemanas air, hingga rak sepatu dan gantungan baju. Ku tata rumah itu sedemikian baik, detail-detail yang kurasa ia suka tak lupa kuletakkan di sana. Lukisan Van Gogh, piring-piring dengan gambar kincir angin dari Belanda, tidak lupa ku gelar keset lantai bermotif garis-garis, ku siapkan secangkir teh panas beraroma melati untuk menyambut kedatangannya, tamu itu. Mungkin setengah jam lagi. Batinku sambil menatap secangkir teh yang mulai dingin. Uapnya mulai menghilang perlahan. Mungkin dua jam. Mungkin tiga jam. Mungkin esok, atau lusa. Minggu depan, barangkali. Aku selalu menebarkan harapan itu, pada kaktus-kaktus mini di beranda, pada anggrek yang menggantung malas, pada bunga matahari yang merunduk. Kusirami mereka setiap hari, menjaga kesegaran tanaman-tanamanku, berjagajaga kali saja tamu itu datang hari ini. Kembali kuseduh teh beraroma melati di dalam cangkir yang baru. Duduk. Dengan sol sepatu yang dipandangi lantai marmer, kadang terasa bergoyang, vertigo. Kaleng biskuit yang nyaris kadaluarsa perlahan berderit. Lama-lama berteriak. Menyalahkan. “Hey, buang sajalah aku. Semut-semut ini membuatku gila.� Gila saja, lah. Namun tetap saja, tamu itu tidak kunjung datang. Laba-laba mulai meminta izin untuk membangun sarang di lampu gantung berwarna silver. Ya, bangun saja. Terserah. Aku sudah tidak peduli. Tapi sesungguhnya aku masih peduli. Aku masih menyirami tanaman di beranda. Menjaga mereka dari dahaga. Namun langkahku semakin gontai setelah mondar-mandir menyirami tanamanmenyeduh teh melati-merapikan keset dalam kurun waktu setengah dekade ini. Relativitas waktu nampaknya berubah kedalam bentuk angin siang yang mulai lembab. Tak lama kemudian diguyur hujan. Hujan? Bukannya, ini masih kemarau?

24


Langit. Langit akhirnya memberikan jeda pada kemarauku yang panjang. Aku berlari keluar untuk memastikan. Meninggalkan secangkir teh dingin, sekaleng biskuit penuh semut, dan laba-laba yang sudah berkeluarga. Kupandangi sekitar, ya, hujan gerimis, sedikit. Namun perhatianku terdistraksi, oleh halaman hijau indah di sekeliling rumahku, padang rumput yang sangat luas yang tidak akan habis untuk ditelusuri dalam semalam. Ditumbuhi bunga-bunga liar berwarna ungu, putih, dan oranye. Indah sekali. Kontras dengan pekaranganku yang sudah kering dan gersang dan kupaksakan kehidupannya. “Kamu senang?” Kata langit membuatku mengalihkan pandangan ke atas. Langit berbicara? “Siapa yang kau tunggu, bodoh?” ujarnya lagi. “Kau kan, langit, kau harusnya selalu tahu.” “Bodoh. Itu rumahmu sendiri. Tidak seorangpun akan datang, kau tidak mengundang siapapun.” Baru aku menyadari kebodohanku, tiba-tiba kilat datang dan menawarkan pilihan dengan tergesa-gesa, karena gemuruh kedatangan petir sudah mulai terdengar. Dia memberiku pilihan. Pilihan untuk membiarkan petir menyambar diriku yang berada di tanah lapang, atau tiarap dan membiarkannya menghancurkan rumahku dengan konsekuensi aku harus mulai kembali membangun rumah yang baru, menata detail ruangan yang baru, dan mulai mengundang teman-teman untuk datang, khususnya langit. (Kurasa aku mulai selalu menginginkan kehadirannya. Tidak setiap saat yang mungkin dapat ku lihat jika aku sedang berada di dalam rumah, namun ku yakin dia ada. Di atas sana untuk mengamatiku dalam diam, kadang membiarkan terik, kadang menawarkan teduh.) “JAWAB CEPAT!” Ujar kilat, membuyarkan lamunan. Lalu.. Aku tiarap.

25


26


27


28


Terimakasih telah membaca serangkaian pikiranpikiran tanpa dasar yang selalu menumpuk di dalam kepala setiap jam 3 pagi sampai jam 5 pagi, atau ketika sedang bengong berkendara, atau ketika sedang makan siang sendirian di suatu tempat, atau ketika sedang menonton orang-orang yang berjalan kaki. Jangan harap menemukan tulisan dengan EYD atau diksi yang bagus, atau tidak menemukan grammar bahasa Inggris yang error, karena ini prosa suka-suka yang agak payah tapi lumayan, iya nggak? Silakan sambangi kediaman saya di dunia maya, jika ingin, sebuah rumah berbentuk blog dengan alamat www.dellanaarievta.com. Kalau kamu punya cerita, kirim-kirim pesan via e-mail juga boleh ke arievtadellana@gmail.com, kirim cerita apa saja, terserah, saya suka mendengarkan cerita orang lain kok, meski ternyata ceritanya membosankan, saya nggak bakal bilang bosan. Janji deh!

29


www.dellanaarievta.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.