BULETIN
BUNGA RAMPAI PENDIDIKAN EDISI SEPTEMBER 2019
j
dianns.org OPINI Radikatorial Salam Persma !
Pola Mandek Orientasi Pengenalan Kampus
Agustus merupakan awalan bagi mereka yang akan menempuh kehidupan pendidikan baru. Pengenalan kampus merupakan tahap awal dari jenjang baru ini. Namun nyatanya kegiatan pengenalan kampus telah menjadi ajang mengekang dan tak mengedukasi. Pendidikan yang harusnya menjadi media pembebasan manusia dari kungkungan kebodohan justru dibatasi dengan segala peraturannya. Buletin bunga rampai kali ini akan membahas tentang pendidikan dalam kehidupan kampus perguruan tinggi. Pengalaman dan analisa awak DIANNS akan dituangkan dalam beberapa tulisan. Konteks orientasi pengenalan kehidupan kampus saat ini akan dibahas mendalam melalui opini. Selain itu, sastra sisngkat mengenai pendidikan bebas dan konteks dijauhkannya mahasiswa dari realitasnya akan dirangkai dalam rubrik cerpen. Serta ulasan film mengenai pendidikan dan puisi sebagai penutup buletin edisi kali ini. Buletin edisi kali ini akan menggali dan meluapkan aktivitas penghidup dalam perguruan tinggi yang sebenarnya terjadi. Tak luput pula bagaimana seidealnya pendidikan harusnya dijalankan. Selamat membaca! REDAKSI
Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa DIANNS FIA UB Koordinator Tulisan : Jo Cigo Sastra : Jo Cigo, Rifqah Dita Nabilah Opini : Rama Yusuf Resensi Buku : Bagas Prakoso Puisi : Widya Adelia Ilustrator : Dinda Fajriza & Widya Adelia Editor : Jo Cigo, Nesty O'mara, Rifqah Dita Nabilah Dinda Fajriza Layout : Jo Cigo, Widya Adelia
Tepat sebelum aku memutuskan untuk memulai menulis tulisan ini. Aku yang pada saat itu sedang duduk santai, mengangkat secangkir kopi dengan iringan lagu dari band indie. Tiba-tiba, terdiam. Ketika mendengar bahwa ada kabar peliputan kegiatan yang bernama orientasi pengenalan kampus (Ospek) untuk mahasiswa baru (Maba), dari pimpinan redaksi (Pimred) lembaga pers mahasiswa (Lpm) fakultasku – DIANNS. Sialnya, aku menjadi satu-satunya peliput yang tersedia dan kebagian untuk meliputnya. “Sruputt, glek”. Ku minum secangkir kopi itu. Kemudian, berkata pada Pimred. “Aku enggak bisa. Enggak mau. Toh ospek juga seperti itu. Paling tidak, seperti tahun-tahun sebelumnya. Minim esensi.” Secara sengaja ataupun tidak, omonganku tentang penolakan itu mengalir layaknya air. Bergerak dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah. Mengingat pada harihari sebelum Pimred mengajakku untuk bertukar pikiran tentang peliputan ini, aku telah melihat, membaca dan tidak sengaja meng-analisis pola peliputan ospek pada tahun-tahun sebelumnya. Seperti misalnya peliputan Ospek yang dilakukan kawan-kawan DIANNS pada tahun 2017, dengan judul berita ‘Nuansa Nasionalisme didalam PKKMU Universitas Brawijaya
2017’. Juga peliputan kawan-kawan dari LPM universitasku (Kavling10) tahun 2015 pada jurnal ospek (Juros) ke-1 dengan judul berita ‘Jumlah Maba Membludak, GOR Pertamina Overload’. Pesan berita yang tersampaikan sama persis. Tidak kurang, hanya sebatas mengambarkan rangkaian panjang kegiatan yang pada saat itu berlangsung. Normatif. Sesekali ada kekritisan, namun dasarnya adalah kendala teknis saat berlangsungnya kegiatan. Artinya, gugatan mendasar mengenai benar-salah konsep ospek, atau persamaan-perbedaan ospek dari tahun ke tahun merupakan hal yang tabu untuk kita bisa belajar memperbaikinya. Keseharian Ospek Selasa, Rabu, dan Kamis. Atau yang pada kalender masehi bertepatan di tanggal 14, 15, dan 16 Agustus 2018. Merupakan tiga hari pertama maba atau lebih tepatnya milik maba di tahunku, untuk memasuki dan mengenal kampus dengan mengikuti kegiatan yang bernama Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Universitas (PKKMU) dan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMABA) alias ospek. Harapan kami besar untuk mengetahui bagaimana kehidupan kampus. Terlihat benar dari antusias kami yang rela melakukan
1
j
dianns.org sesuatu berbeda dengan kesehariannya. Berupa, berkumpul saat pagi hari di depan pintu masuk kampus dengan berpakaian hitam putih berdasi, lengkap dengan sepatu dan tas punggung yang kami pakai dengan rapi. Kemudian kami dibariskan. Ditata panitia sedemikian hingga kami kondusif. Kondusif dalam artian, ketika ada perintah dari panitia untuk berjalan memasuki kampus, kami berjalan memasuki. Ketika tiba aba-aba dari panitia untuk sarapan, kami sarapan. Hingga tiba waktunya pengenalan birokrat, organisasi yang ada dalam kampus, kami pun kondusif dengan mengikuti alur yang ada serta melihat juga mendengarkannya seraya mantuk-mantuk.
Hal ini terlihat dari rentetan postingan instagram Lpm Perspektif pada tanggal 13 Agustus 2019 yang memotret pengkondisian panitia terhadap maba yang dimobilisasi. Pun juga tergambarkan didalam buletin LPM Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Indikator, Edisi PK2MU 2019 pada rubrik Klik, terdapat potret panitia yang memobilisasi maba dengan teriak ‘gerak’ sambil menunjuk ke arah rombongan maba yang mereka mobilisasi. Pada kenyataannya tradisi pengkondisian seperti ini, telah ada sejak lama dan terpotret pula didalam buletin LPM Indikator Edisi PK2MU 2016. Tidak tau saya, mengapa pola seperti ini terus direproduksi setiap tahunnya. Saya tidak sepakat. Apapun dasarnya, entah itu karena jumlah maba terlalu banyak dibandingkan panitia sehingga besar kemungkinan rangkaian kegiatan berjalan tidak tepat waktu. Saya menolaknya. Ada risiko lain yang lebih besar dari pada mencapai tujuan sederhana itu. Satu hal yang pasti terjadi ialah penghilangan rasa kemerdekaan manusia dari dirinya sendiri. Maba menjadi objek ospek. Disuruh ini, harus begini. Disuruh itu, wajib begitu. Artinya, maba tidak merdeka untuk merespon, sealamiah mungkin, kejadian yang mereka timpa. Diatur dalam berekspresi.
Peristiwa tersebut ternyata pada ospek tahun ini masih terlihat ada bahkan melekat dalam keseharian rangkaian acaranya. Ospek yang tahun ini mulai diselenggarakan pada tanggal 13,14, dan 15 Agustus 2019 masih sama persis dengan ospek pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam banyak kejadian berupa pengarahan maba. Mulai dari memasuki hingga meninggalkan tempat kegiatan. Pola komunikasi instruktif berupa perintah panitia yang bersifat absolut. Harus ditaati oleh mereka yang di perintah. Masih menjadi opsi utama untuk melekatkan kedisiplinan dalam diri maba pada kegiatan ini. Bahkan, jika tidak mentaatinya hukum sebab-akibat akan berlaku.
2
Sementara itu, didalam mekanisme diskusi rangkaian kegiatan ini. Maba lagi-lagi hanya menjadi objek. Tidak ada keterlibatan secara intens berupa diskusi dua arah antara maba dengan birokrat kampus. Kalau pun ada, diskusinya hanya berupa interaksi yang bersifat simbolik. Atau hanya karena, sudah saatnya sesi untuk tanya-jawab.
maba sebagai objek kegiatan. Ospek ini tidak menyediakan atau setidaknya menyemai benih-benih potensi pikiran kritis maba. Tidak menggerakkan letupan kebebasan berfikir maba. Seperti misalnya, memantik maba untuk mempertanyakan ulang, apa petingnya Ospek? Mengapa mekanisme Ospek harus seperti ini? dan, mungkin, nilai yang ingin dicapai ospek itu apa?
Kegiatan semacam itu tergambar dari live report posting instagram akun resmi PK2MU Raja Brawijaya 2019. Terdapat empat jumlah postingan yang mengambarkan diskusi berjalan secara sentralistik. Yang terlihat bahwa pola diskusinya mempunyai dikotomi subjek dan objek. Birokrat sebagai subjek dan maba ialah objek. Gambaran pola diskusi semacam ini juga terlihat dari foto narasi LPM DIANNS yang memotret kejumudan maba untuk mendengarkan pemateri dari Birokrat.
Mencari apa yang benar, bukan siapa yang salah Satu per satu keganjalan agenda tahunan ini muncul. Keganjalan yang selama ini lupa untuk kita refleksi kembali. Tentang banyak hal yang telah terjadi, seperti: logika dasar ospek, konsep yang tepat untuk memperkenalkan kehidupan kampus pada maba, dan nilai apa yang ingin di capai. Sedikit saya mengingat tentang pendidikan Sanggar Anak Alam (Salam) yang berada di Jogjakarta. Sanggar ini merupakan tempat belajar anak didik dari mulai sekolah tingkat dasar hingga menenggah atas. Menurut saya ada satu hal bersifat utama yang membuat Salam berbeda dengan sekolah pada umumnya termasuk perguruan tinggi sekalipun. Namun hal itu sangat mendasar dan mengakar. Salam menganggap anak didik sebagai subjek aktif yang merdeka dan berdaulat untuk belajar apa pun. Pendidik hanya sebagai
Pengenalan kondisi kehidupan kampus semacam ini tidak baik untuk memulai peletakkan batu pijakan dalam membangun iklim pendidikan setaraf perguruan tinggi. Birokrat yang berdiri di atas panggung tepat di depan Maba. Hanya mengisi akal pikir maba dengan sambutan atau pun penyampaian materi pengenalan kehidupan kampus. Berupa pengenalan pelayanan kemahasiswaan. Seperti fasilitas kampus. Padahal pada dasarnya hal itu dapat di akses melalui website kampus. Artinya, kesempatan ospek ini selain hanya menganggap
3
j
dianns.org ILUSTRASI fasilitator untuk proses belajar anak didik. Artinya tidak ada kuasa lebih bagi pendidik untuk menjadikan anak didik harus begini, begitu, menjadi ini atau menjadi itu. Anak didik berlatih untuk mandiri. Bebas berekspresi dengan kejadian yang dialaminya. Pungkasnya, atas dasar kekeliruan berupa kemalasan atau tidak adanya keberanian pada diri kita untuk memikirkan kembali secara mendasar dan mengakar tentang ospek yang selama ini telah terjadi. Sehingga pada banyak kejadian ospek hanyalah ceremony tahunan yang minim esensi. Atau jangan-jangan, gambaran ospek semacam ini adalah benar, karena berdasarkan realita kehidupan kampus yang mengobjekan mahasiswanya. Saya pribadi, menyatakan pamit untuk tidak meliput kegiatan ini. Sia-sia rasanya apabila terus berada di pola yang sama tanpa pernah bertanya: benar-salahnya, baik-buruknya, dan indah-tidaknya. Penulis: Rama Yusuf
4
5
j
dianns.org SASTRA
Antara Imaji “Pakai baju apa ya hari ini?. Tampaknya ku ingin bergaya alaala tahun 80an dengan celana cut bray dan kemeja gombrong milik ayah. Ah.. tak lupa totebag hitam kesayanganku.”Pukul empat subuh ku terbangun dengan penuh semangat. Ini merupakan hari pertamaku menginjakan kaki di tempat belajar baru ku. Sudah dari pagi hari ku bersemangat untuk memulai langkah baru. Ibu, sedari tadi sibuk menyiapkan sarapanku dan meletakkannnya kedalam kotak makan. “Nak, makananmu sudah siap! Ayo sarapan dulu!,” ucap ibu dari ruang makan. Aku pun bergegas menuju ruang makan dan makan sayur lodeh buatan ibuku.
dapur. “Tak apa bu,” hanya itu yang dapat kusampaikan untuk menenangkannya. “Ayahmu pasti bangga denganmu nak. Kamu berhasil masuk kedalam kampus tersebut, tempat ayahmu dulu berbakti.” Diriku pun memeluknya dengan erat. Sembari menyodorkan tangan untuk berpamitan, ibu memberikan kotak makan yang penuh dengan makanan untuk bekal siang nanti. Dengan motor klasik kesayanganku, skuter lawas dengan tulisan Jenggo di bagian belakang, diriku pun berangkat. Menyusuri jalan-jalan kota, ku menemui banyak mahasiswamahasiswa baru yang juga berangkat menuju kampus. Mereka menggunakan setelan busana yang berbagai macam. Ada yang menggunakan celana pendek dan kaus oblong, sarung dan peci, celana jeans dan kemeja, atau bahkan piama. Sempat ku mengerutkan dahi ketika ku melihat dandanan mereka yang begitu ‘ahsudahlah’.
Sehabisnya nasi di atas piring langsung ku kembali ke kamar dan mengambil pakaian yang telah kusiapkan kemarin. Pakaian nyentrik ala tahun 80an menjadi temaku hari ini. Ibu, menjadi orang pertama yang melihat cara berpakaianku pun langsung memujiku. “cocok banget kamu pakai pakaian itu,” serunya sambil melihatku menuruni tangga. Ya, ini adalah pakaian yang dulu dikenakan oleh ayahku ketika ia masih sering mengajar di kampus baruku. Ayahku memang seorang yang sangat mengikuti mode busana. Ibu yang melihatku mengenakan pakaian ini pun tak kuasa menahan air mata. Diriku hanya dapat memeluknya saat ku menemuinya di
Sesampainya di kampus, ku bergegas memarkirkan Jenggo tepat di pojokkan. Mataku pun langsung tertuju pada sekelompok orang yang duduk melingkar, seperti magnet, mereka Nampak memebrikan aura yang kuat dan membuatku tertarik untuk menuju kesana. “nah itu bener
6
tu, kadang kita sebagai manusia lupa, bahwa kita dikendalikan oleh hawa nafsu. Nafsu untuk menguasai satu sama lain. Nafsu untuk menentukan nasib orang lain,” ucap seseorang yang menggunakan baju bertuliskan Deus. Saat ku masih mencoba memikirkan maksud dari orang tersebut, di sisi lain lingkaran seorang gadis berkacamata bundar pun ikut menimpal pernyataan terebut. “Ya kalo menurut Lakan sih, manusia itu makhluk berlubang dan mencoba untuk terus menutupi lubang tersebut dengan hasrat, ya salah satu haratnya mungkin menguasai.” Pernyataan tersebut pun membuatku mengerutkan dahi cukup lama.
ucap pria paruh baya sambal tetap melihat langit. Baru saja saatku ingin membuka mulut, pria itu justru menjawab pertanyaannya sendiri “gak ada.” Diriku pun semakin bingung kala itu, ingin ku memberikan pernyataan bahwa kami tidak memiliki drajat yang sama antara manusia dengan hewan. Namun setelah kupikirkan, terkadang manusia justru lebih kejam bagi sesamanya. Entah karna apa. Diskusi pun terus berjalanhingga pria paruh baya tersebut menyimpulkan isi diskusi. Barulah ku tau bahwa ia adalah seorang pengajar di kampus ini. Pria itu pun mengeluarkan binder dari dalem tasranselnya. Ia langsung saja menuliskan sesuatu d bindernya. Tanpa ada kalimat suruh, satu-persatu dari kami pun mengambil binder masing-masing dan mulai menulis. Kecuali diriku, aku masih bingung tentang apa yang harus ku tulis. ***
Belum usai ku berpikir tentang apa yang mereka bicarakan, ternyata di lingkaran tersebut terdapat seorang paruh baya dengan jaket kulit mengajakku untuk ikut duduk melingkar. Tak terasa lingkaran pun semakin melebar, pria paruh baya tersebut pun sedikit memundurkan posisi duduknya, sembari melihat birunya langit, pria paruh baya tersebut berkata bahwa manusia dapat menjadi seorang yang baik bagi temannya, tetapi juga dapat menjadi serigala bagi sesamanya.
Diriku pun berlanjut menuju ke dalam kelas. Sisa-sisa kursi kosong memaksaku untuk duduk di belakang. Perbincangan tentang materi pun kunanti, tetapi kulihat tak ada dosen yang memberi. Hanya dengan sebuah tulisan “belajar mandiri” di papan tulis, seisi kelas mencoba mencari materi. Entah apa yang mereka cari, tetapi kelas ini seharusnya bercara tentang kebijakan publik. Ku lihat ada yang sibuk dengan gawai, ada yang membaca koran, membuka halaman, atau bahkan duduk melingkar. Ku tak melihat batasan dalam mencari infor-
“Serigala?” pikirku sambal mengerutkan dahi. Sontak sempat terpintas dalam benakku tentang Werewolf dalam film Twillight. Bagaimana bisa manusia menjadi seekor serigala? Ucapku kepada pria paruh baya tersebut. “coba kamu pikirkan sendiri serigala dan manusia itu apa bedanya?,”
7
j
dianns.org SASTRA masi. Tak lama berselang, seorang paruh baya yang lain masuk dan berkata “apa yang dapat kita bahas hari ini?,” seluruh isi kelas secara spontan mengangkat tangannya. Mereka hendak bersuara, entah bertanya, memberi pernyataan, atau bahkan mengeluarkan ‘celetukan’.
rumah, ia sahabat dekatmu dari dulu,” kata ibu. “Ia datang untuk membangunkanmu.” Penulis: Jo Cigo
Ku tak melihat adanya rasa canggung untuk bersuara, ku tak melihat akan adanya rasa malu untuk menjadi dirinya sendiri, ku tak melihat adanya sikap menunggu untuk mencari. Semua berjalan sesuai dengan naluri makhluk hidup, mereka lapar maka mereka makan, mereka haus maka minum, mereka merasa jenuh maka mereka mencari, mereka merasa perlu maka mereka belajar. Mereka merdeka atas dirinya sendiri, mereka melakukan apa yang mereka perlukan. Mereka bukanlah bebas, tetapi mereka tau apa yang harus dibatasi. *** Perjalanan singkatku hari ini mengantarku ke ujung hari, dimana ku harus kembali ke rumah sendiri. Hari yang mengajarkanku berbagai arti, bahwa kehidupan tidak dapat dilihat dari satu sisi. Menuju parkiran pojok tempat Jenggo bersemayam, ku siap mengarungi hari esok kembali. Menarik tuas kopling dan memasukan gigi satu, aku pergi. Sesampainya dirumah, ibu menyapaku sambil sesekali terasa mengusap dahiku, ia berucap dengan sangat jelas “hari ini imaji datang ke
Permen Karet kentara. Tak luput telinganya mendengar sayup-sayup hingga teriakan banyak pemuda. Pemandangan yang sungguh tak biasanya ia tangkap dengan jelas. Di sana, depan gedung putih gading yang menjulang, segerombolan mahasiswa Universitas Biru berdiri, bersorak hingga bernyanyi. Membawa poster, bendera, hingga spanduk yang bertuliskan “tolak UKT mahal,” “PTN tanpa BH harga mati,” “Pendidikan tinggi bukan barang mahal,” dan sebagainya. Tergugu sang tuan memaku langkah, memandang kosong kearah teman sejawatnya. Hingga satu panggilan menyadarkan ia dari kebengongan, “Arka!, sini ka! sini Ikut!,” teriak teman sejawatnya. Namun, amat disayangkan karena nyatanya sang tuan pemilik nama memilih memalingkan wajah dan berjalan menjauhi dengan langkah gamangnya. Menghiraukan seakan tak mendengar teriakan temannya. Meski pikiran dan hatinya berantakan bagai debur ombak yang menabrak karang dilautan. Mempercepat langkahnya, sang tuan mencoba memantapkan hati menuju kelas yang sedari awal telah menjadi tujuannya datang. Tak seperti biasa, sang tuan yang seusai kelas akan menjadi yang pertama meninggalkan ruang kini terduduk ia di kursinya hingga ruang kosong. Seingatnya telah berhasil menghilangkan keraguan yang ia punya tadi. Namun sungguh naas, hati nyatanya tak
Jatuh sang fajar di ufuk barat, kembali ia ke peraduannya. Bernaung atap kayu, bertemankan semilir angin dan sayup-sayup adzan maghrib, Arka terduduk menatap buku tebal dipangkuannya. “Nak, kemarilah dan makan,” sang ibu bersua memanggilnya. “Sebentar lagi ibu,”saut sang tuan. Tak lama, ia menutup bukunya berlalu menghampiri meja yang telah diisi keluarganya. Terduduk ia khidmat menyantap hidangan di atas piring. Sudah jadi sebuah kebiasaan, keluarga itu akan makan diatas meja makan sembari menyalakan televisi. Entah benar untuk ditonton atau hanya sekedar menghempas keheningan yang merajai. Namun, tayangan televisi kali ini agaknya mampu menghisap seluruh atensi manusia di atas meja makan. Berita yang terdengar “Uang Kuliah Tunggal (UKT) akan mengalami kenaikan, mahasiswa Universitas Biru Tua aksi depan gedung Rektorat.” “Bang, bukan itu Universitas mu?,” tanya sang ayah penasaran. “Iya yah,” sahutnya sembari menumbuk pandang kosong pada berita di televisi. Tak dapat diterka apa yang ada dipikiran sang tuan. *** Seperti biasa, sang fajar telah selesai dari istirahatnya. Kembali ia menciptakan cahaya. Mengartikan rutinitas manusianya yang dimulai kembali. Hingga sampailah sang tuan hari ini di Universitas Biru Tua. Baru beberapa pijakan miliknya melangkah, iris matanya telah menangkap perbedaan yang amat
8
9
j
dianns.org mampu ia kendalikan. Arka terus terngiang panggilan teman sejawatnya tadi, ia terus menerus dihantui rasa bersalah. Hatinya menyeri, akan tetapi pikirannya mendesak egonya untuk berkuasa. Tak sadar berapa lama ia begitu, hingga cleaning service kampus memintanya keluar ruangan kelas agar bisa dibersihkan. Sekali lagi setelah perdebatan diri yang panjang, egonya berhasil mengalahkan hati untuk menguasai diri. Kalimat penawar “masih banyak tugas yang harus aku selesaikan, lebih baik aku pergi ke perpustakaan,” terus ia daur ulang untuk menyembuhkan hatinya. Melangkah mantap ia menuju ke ruang perpustakaan di ujung koridor fakultasnya. Koridor yang ia lewati memiliki atap tinggi dengan taman bunga disisi kanan dan kiri, menjadi tempat mahasiswa sering menghabiskan waktunya. Kali ini diperjalanannya menuju perpustakaan, tak sengaja ia melihat segerombolan mahasiswa fakultasnya tengah duduk melingkar. Sepertinya tengah mengadakan forum diskusi. Tak sengaja, satu kalimat yang tercuri dengar di telinganya “kenaikan UKT kali ini ada hubungannya dengan pergantian status kampus menjadi PTN-BH,” mengikuti, kalimat kedua tercuri dengar “kenaikan UKT sudah terjadi pada mahasiswa baru, tapi dengan keadaan keungan kampus yang semakin tidak balance tak menutup kemungkinan UKT mahasiswa lama juga naik.” Langkah mantapnya lagi terhenti, perasaan
berdebar takut menghantui. Satu, dua, tiga detik termangu. Namun sekali lagi ia berhasil merobohkan hatinya sendiri, egonya pun turut membohongi “masih ada kemungkinan tidak terjadi padaku, tak perlu peduli,” kalimat kedua yang ia daur ulang untuk menyembuhkan hati. Kini Arka sedang duduk menikmati hawa sejuk AC di perpustakaan sembari memangku sebuah buku Manajemen Pemasaran karya Philip Kotler. Khidmat ia membaca buku untuk kepentingan tugas makalah nya minggu depan. Membalik-balik halaman demi halaman hingga beratus kata ia baca. Tiba-tiba terjingkat sang tuan kala sebuah tangan menepuk pundaknya, mengikuti sebuah suara bass ala pria terdengar “hei ka, serius amat.” Menoleh ke sumber suara sang tuan dengan air muka terkejutnya. “eh dimas, bikin kaget aja,” ucap Arka sambil mengelus dada. “yee gitu aja kaget,” saut sang lawan bicara sembari tertawa. “ka, tadi aku panggil kok malah gak dihirauin?,” tanya dimas kemudian, memandang lurus mata Arka. Gugup melanda seketika, blank pikirnya menjawab secepat ia bisa “masa? Aku gak dengar, tadi buru-buru Dim ada kelas,” elaknya. Percaya, sang lawan bicara hanya menanggapi “oh,” tapi disambung kalimatnya “kalau begitu ka besok gimana kalau kau ikut aksi sama kawan-kawan yang lain?,” tanya Dimas antusias. Hening sesaat taka da suara. “Kayaknya gak bisa Dim,” akrinya ia berucap pelan. “Kenapa?,” tanya Dimas, “minggu depan ada makalah yang harus ku kerjain, ada kuis di mata ku-
10
Ia ingin meyakinin utopisnya, kedamaian dengan tak mendapati masalah akibat melakukan hal-hal semacam aksi dan tuntutan. Namun, sungguh hatinya bergejolak mengamati temanteman sejawatnya turun ke jalanan. Rasa-rasa menggelitik nurani untuk turun mengulurkan tangan sempat terbesit, tetapi sekali lagi egoismenya memenangkan pertarungan. *** Berlalu sebulan pertemuan di perpustakaan kala itu. Arka pun sudah tak menjumpai Dimas selama ini. Teman sejawatnya itu tak terlihat mampir di kelas-kelas mata kuliah mereka. Sibuk, kata yang menggambarkan teman Arka itu beberapa minggu kebelakang. Suasana kampus sekarang ini memang nampak lenggang, tak seperti beberapa minggu yang lalu. Isu UKT dan PTN-BH masih kerap terdengar di mulut para mahasiswa, tapi tak segencar sebelumnya. Gerakan aksi demonstrasi di depan gedung Rektorat pun tak lagi terlihat. Entah gerakan itu menuai hasil seperti apa, Arka tak pernah tau. Ia mencoba untuk terus tak peduli, selama ini merasa masih dalam koridor aman. Berjalan santai dengan persaan tenangnya Arka menuju perpustakaan, akan tetapi belum tangannya menggapai gagang pintu handphone miliknya berbunyi. Ia turunkan tangan kanannya merogoh saku celana, membuka handphone melihat isi pesan masuk. Terkejut tak
liah pak Cahyo, aku juga punya tugas akuntansi yang belum selesai, pokoknya sampai minggu depan padet deh Dim,” jawabnya. “Tapi ka, kamu tau nggak kalau UKT mu berpotensi mengalami kenaikan?. Kalau udah begitu apa masih bisa kamu belajar dengan tenang?,” tanya Dimas kedua kali. Menggebu Arka menjawab “Seberapa besar prosentase nya Dim?, hal yang kamu lakuin sekarang juga emang berapa besar prosentase berhasilnya?, gapasti kan? Buang-buang waktu Dim.” “Arka kamu pernah dengar soal people power? Itu yang sedang diusahakan ka, kita juga melakukan skema aksi dan menuntut negosiasi ke pihak Rektorat. Semoga dengan sebanyak mungkin mahasiswa yang mau sadar dan bergabung, semakin kuat aliansi untuk meruntuhkan kebijakan yang akan merugikan mahasiswa ini,” sahut Dimas tenang. “Ajak yang lain aja Dim,” putus Arka final. Rasa tak ada lagi yang bisa dibicarakan, “Yaudah pergi dulu,” pamit Dimas kemudian. Tak disangka perjalanan pulangnya kerumah kali ini diisi dengan segala pergolakan batin dan logikanya. Arka menjadi insan yang hilang arah, ia tak ingin ikut kedalam gerakan aksi yang menurutnya membuang-buang waktu. Arka pun meyakini bahwa gerakan aksi selalu berkaitan dengan hal-hal anarkis yang berada diluar jalur norma-norma masyarakat. Aksi baginya selalu identik dengan kekerasan dan kerusuhan. Arka menghindari yang baginya sebuah permasalahan jika nanti harus berurusan dengan pihak kemahasiswaan kampus.
11
j
dianns.org RESENSI menyangka ia dipanggil dosen penanggung jawab akademiknya keruangan. Tak dipedulikan lagi niat awalnya mengerjakan tugas di perpustakaan, memutar badan, berderap ia menuju gedung dosen fakultasnya. Selama berjalan, pikirannya tak henti membentuk kemungkinan-kemungkinan penyebab dosen memanggilnya. Terus mencoba mencari-cari kesalahan atau kekurangan apa yang telah dilakukannya. Semakin berpikir keras, membuat kepalanya sakit hingga ia memutuskan untuk mempercepat langkah karena penasaran sudah hampir membunuhnya. Berdiri di depan ruang dosen pembimbing akademiknya, Arka terpaku memandangi kertas ditangannya. Kini tanpa harus mencari tahu, Arka sudah mendapatkan jawabannya. Pertanyaan tentang hasil pergerakan teman-teman sejawatnya. Rasa-rasanya kaki berubah menjadi jelly, hingga tak mampu menopang tubuh kembali. Berputar ingatannya atas perkataan sang ayah pada makan malam keluarga hari itu “ka, semoga UKT mu nggak ikut naik ya, ayah gatau gimana cari uang tambahan kalau naik. Adikmu juga mau masuk SMA, butuh biaya.” Dipukul pikirnya kembali pada ucapan teman sejawatnya, mulai berangan ia “seandainya aku ikut aksi, apa hasil ditanganku akan berubah?,” tak mendapat jawaban melainkan hanya rasa sesal. Arka kini menyesali keegoisannya atas tugas-tugas dan kesibukan individunya. Mengungkung dirinya sendiri dengan menara gading nya yang nyaman tanpa memikirkan bahwa, orang
disekitarnya sedang mempertahankan menara itu berdiri. Tanpa ia sadari selama ini mengabaikan realitas disekitarnya, terjerat kesibukan agenda perkuliahan .“ah begini ternyata rasanya. Benar perihal kau tak akan membuang bekas permen karet sembarangan jika merasakan susah nya melepas bekas permen karet yang menempel di sepatumu,” eluhnya sendiri. Sekarang apa yang akan dilakukannya atas keputusan nominal baru yang tertera di kertas putih itu? Tak tahu jawabannya. Penulis: Rifqah Dita
Dead Poets Society: Menggugat Relasi Guru dan Murid
Sutradara Durasi Tahun Rilis
: Peter Weir : 128 Menit : 1989
Akademi Welton telah berdiri selama lebih dari 100 tahun, hal ini membawa kepada terbentuknya satu tradisi kuat yang dianut oleh sekolah. Akademi Welton memiliki bangunan fondasi yang dianalogikan sebagai 4 pilar dasar: Tradition, Honor, Discipline, Excellence. Empat pilar dasar ini yang kemudian diturunkan dalam aktivitas bersekolah, mulai dari belajar-me-ngajar di kelas sampai keseharian muridnya di luar ruang kelas. Aktivitas belajar-mengajar di kelas adalah salah satu aktivitas primer yang ada di sekolah formal. Kehadiran guru sebagai pengajar dan siswa sebagai murid yang diajar merupakan titik poin penting dalam melihat kualitas pendidikan di sekolah. Film yang memenangi empat nominasi dalam Oscar, termasuk Best Picture ini secara gamblang membongkar bagaimana proses pendidikan justru menuju proses dehumanisasi dan berlawanan dengan semangat pendidikan yang membebaskan.
Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brazil menyebut model pendidikan seperti ini sebagai ‘Pendidikan gaya Bank’ yang digambarkan sebagai kegiatan menabung dan sederhananya murid adalah celengan sedangkan guru adalah penabungnya. Pengetahuan, dalam model pendidikan gaya Bank adalah benda mati dan dihibahkan dari seseorang yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak berpengetahuan. Relasi yang terbentuk dari dua pelaku model pendidikan ini kemudian adalah relasi hierarkis sehingga bersifat menindas.
Dead Poets Society menggambarkan aktivitas belajar-mengajar di kelas sebagai satu aktivitas yang membosankan dan diulang-ulang. Disiplin ketat serta aturan penilaian yang kaku justru menjadi bumerang yang menghapus daya kreatif siswanya. Siswa hanya dibiasakan mencatat, menghafal, dan mengejar materi pelajaran dengan tujuan memperoleh nilai yang tinggi.
12
John Keating merupakan seorang guru sastra baru di sekolah. Pria alumni dari Akademi Welton ini
13
j
dianns.org membawa perubahan yang luar biasa pada murid ajarannya. Salah satu narasi yang terus digunakan oleh John Keating ketika mengajar di kelas adalah menyebut siswanya dengan sebutan freethinker, yaitu pemikir bebas. Kehadiran John Keating menggugat satu fondasi kuat dan membentuk murid menjadi obyek pasif dari pendidikan di Akademi Welton selama ini.
ruh puisi dalam bentuk grafik horizontal dan vertical, lalu berupaya memberi gambaran kepada pembaca tentang bagaimana menilai sebuah puisi dalam bentuk angka. Keating menggambar grafik tersebut di papan tulis sambil diikuti oleh gambar tersebut diikuti oleh seluruh murid di kelas. Setelah si murid selesai membacakan kata pengantar tersebut, tidak diduga Keating menyuruh seluruh muridnya untuk merobek halaman buku yang berisi kata pengantar tersebut. Sontak seluruh murid di kelas tersebut kaget sembari raguragu merobeknya.
Pada pertemuan pertama misalnya, John Keating membawa siswanya untuk belajar di luar kelas. Pada pertemuan ini, John memperkenalkan satu istilah yang bagi saya merupakan gambaran besar tentang film ini, yaitu ‘Carpe Diem’ atau Seize the day yang berarti Petiklah hari (Raihlah hari ini). Pelajaran tersebut sangat mengena bagi muridnya karena membawa mereka hidup dalam keseharian, tidak semata-mata melihat hal besar yang jauh dari mereka. John Keating adalah tokoh protagonis yang posisinya mengguggat model sistem pendidikan semacam ini. Saat pertama kali mengajar di ruang kelas, Keating meminta salah seorang siswa untuk membaca kolom pengantar dari buku pelajaran, yaitu Understanding Poetry. Pengantar buku tersebut mena-
Scene tersebut menurutku adalah salah satu scene yang sangat kuat dalam Dead Poets Society. Di sini Keating hendak menggugat satu bangunan kokoh yang telah mengakar dalam sistem pendidikan, yaitu pendidikan yang hendak menyeragamkan. Murid dituntut untuk menjadi sama dalam berpikir, dikenalkan pada satu paradigma yang datang jauh dari keseharian mereka. Pada akhirnya pendidikan murid tidak dapat mengkontensktualkan apa yang dipelajari dan hanya mengikuti paradigma yang sudah ada. Eksistensi mereka sebagai individu yang unik disangkal dan diseragamkan dalam satu payung cara berpikir. Keating mendorong muridnya untuk mengeksplorasi diri dalam cara belajarnya. Alih-alih berpatok pada buku pelajaran, iklim yang dibangun adalah bagaimana setiap murid dapat mengenal sastra dengan caranya sendiri sesuai dengan latar
14
belakang mereka yang beragam.
berusaha dibangun justru tidak begitu tampak dalam film ini. Meskipun Keating merupakan korban karena cara mengajarnya tidak disukai oleh pihak sekolah, ia digambarkan sebagai sosok heroik bagi muridnya. Bagaimanapun, pendidikan yang membebaskan terletak pada upaya pemecahan masalah kontradiksi guru dan murid. Sehingga guru secara bersamaan adalah murid, begitu pula murid secara bersamaan adalah guru. Guru dan murid adalah subyek aktif dalam pendidikan, sehingga murid belajar dari guru, begitu juga guru belajar dari muridnya. Dalam Dead Poets Society, hampir tidak ada basis refleksi dari John Keating yang diperlihatkan, sehingga kita tidak melihat bagaimana si guru juga belajar dari murid. Ini merupakan masalah karena belajar mengajar hanya bersifat satu arah, yaitu dari guru kepada murid.
Dalam Dead Poets Society, siswa adalah manusia yang diinvestasikan oleh orang tua. Todd Anderson (diperankan oleh Ethan Hawke) adalah salah seorang siswa yang dikirimkan oleh orang tuanya untuk bersekolah di Akademi Welton. Sosok yang digambarkan berkarakter pemalu tersebut memikul beban di pundaknya karena dibayang-bayangi oleh sosok kakaknya yang merupakan alumni sukses lulusan Akademi Walton. Hal itu mendorong Todd tidak dapat menjadi dirinya sendiri secara utuh. Tidak hanya Todd, Neill Perry (diperankan oleh Robert Sean Leonard) adalah salah satu korban dalam sistem pendidikan. Neil termasuk salah satu siswa yang beruntung, karena meskipun tidak berasal dari keluarga yang kaya, Ia dapat mengenyam pendidikan di Akademi Walton. Setidaknya hal tersebut yang kerap dinarasikan oleh orang tuanya pada Neil. Neil dituntut oleh ayahnya untuk fokus dalam bidang akademiknya agar cepat lulus sehingga Neil yang sebenarnya sangat tertarik dalam teater justru dipaksa meninggalkan ekstrakurikuler teaternya. Relasi orang tua dan anak adalah relasi kuasa yang akhirnya tidak dapat membuat si anak menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi obyek yang diproyeksikan sesuai dengan kehendak si orang tua. Meskipun Dead Poets Society berusaha mengkritik sistem pendidikan, khususnya relasi antara guru dan murid. Film ini tetap meninggalkan celah. Pembagian atas dua kelompok bertentangan yaitu guru dan murid yang
Dead Poets Society sangat relevan ketika melihat sistem pendidikan kita hari ini. Lembaga pendidikan (dalam hal ini sekolah) saat ini tak ayal menjadi pabrik yang menyiapkan siswanya agar sesuai dengan masyarakat industri. Relasi antara guru dan murid yang terjadi selama ini dapat menjadi pintu untuk merefleksikan bagaimana fungsi pendidikan sesungguhnya, sehingga salah satu syarat pendidikan yang membebaskan adalah membongkar dua kelompok yang bertentangan antara guru dan murid. Apakah guru yang benarbenar paling tahu dan murid adalah yang benar-benar tidak tahu (bodoh)? Penulis: Bagas Prakoso
15
j
dianns.org PUISI
STAY UPDATE YOUR INFORMATION WITH US, BY FOLLOWING OUR WEBSITE AND SOCIAL MEDIA
dianns.org Tuangkan kreatifitas & kontribusi kalian dalam bentuk opini dan sastra
Dengan Ketentuan : - Mencantumkan identitas (Nama, NIM & Jurusan). - Tema bebas. - Tulisan maksimal seribu kata. - Times NewRoman, 12
Kirimkan ke e-mail LPM DIANNS : diannsmedia@gmail.com Tulisan yang terpilih akan dimuat pada website LPM DIANNS Kunjung dan Ikuti : @diannsmedia
Tanda Tanya Pendidikan Bangun di kedinginan hari Berbaju rapi dengan semangat pagi Menenteng tas dengan buku-buku ajaib Bagaimana tak ajaib Aku selalu harus mengerti yang ada di dalamnya Tak butuh tau aku siapa Tak tau berpengaruh kemana Aku selalu menimba, tanpa ku pernah tau wujudnya Jika ku bertanya, jawabnya menurut empunya Buntu fikir ku, bagaimana bisa Aku menimba apa yang ku tak tau
@fil3760t
dan apa manfaat untuk ku Sungguh tak bisa Tapi itu makanan ku hingga 12 tahun Wajib tak bisa ditawar
@dianns_media
LPM DIANNS
Karena jika tidak, ku dianggap tak pernah belajar Semudah itu mendefinisikan orang yang tak pernah belajar dan berpendidikan Yang menelan habis-habis tanpa tau keadaan
LPM DIANNS
dianns.org
Alamat Redaksi LPM DIANNS : Sekretariat Bersama Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Jalan Mt Haryono No. 163 Malang, 65145.
16
Ilustrasi Cover Depan
: Widya Adelia