Buletin Radikal Edisi September PKK MABA

Page 1

EDISI September 2018

EDISI KHUSUS PKK MABA


diann

Radikatorial Salam Persma ! Semester baru telah tiba, kawan-kawan angkatan 2018 pun menginjakan langkah yang baru dalam fase pembelajaran. Dunia pendidikan terutama perguruan tinggi selalu ramah menerima kawan barunya. Disambut dengan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau yang kita kenal dengan Ospek, kawan-kawan ini pun dikenalkan dengan kampus barunya. Ospek merupakan salah satu ritual wajib yang tak pernah dilewatkan. Ospek sendiri di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Usianya sendiri sudah seusia zaman kolonial, tepatnya sejak STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927) berdiri. Sejalan dengan berkembangnya Ospek saat ini, bukan berarti Maba dapat bergerak bebas. Di FIA dan juga selayaknya di kebanyakan fakultas, mereka tetap harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Seperti harus menggunakan seragam ketika kuliah, tidak boleh berdandan hingga kuku yang harus terlihat rapi. Banyaknya aturan yang diterapkan ini tidak jarang membuat Maba yang membangkang, mendapat hadiah hukuman dari panitia Ospek, terutama dari Divisi Garda Mahasiswa (Gama). Konsekuensi terburuk dari pelanggaran yang dibuat oleh Maba adalah tidak dinyatakan lulus Ospek. Lulus Ospek sendiri merupakan syarat khusus untuk mengajukan judul skripsi. Dengan banyaknya embel-embel peraturan dan panjangnya rangkaian ospek, pertanyaan yang sama pun selalu didaur ulang. Apakah esensi sebenarnya dari kegiatan ospek ini? Namun, suasana ospek kali ini terasa berbeda dengan sebelumnya ketika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengeluarkan pernyataan bahwa Universitas Brawijaya (UB) merupakan salah satu diantara beberapa Perguruan Tinggi yang terpapar radikalisme. Kegiatan ospek pun digunakan menampik kabar tersebut. Materi deradikalisasi pun semakin digencarkan kepada kawan-kawan baru 2018. Dengan banyaknya seluk-beluk dalam kegiatan Ospek, dan berbagai permasalahan pendidikan tinggi. Buletin LPM DIANNS Edisi Khusus PKKMABA 2018/2019 ini hadir untuk mengajak pembaca melihat realitas di sekitar, bahwa pendidikan tinggi tidak baik-baik saja. Selamat membaca! REDAKSI Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa DIANNS FIA UB Koordinator Liputan : Jo Cigo Tim Peliput : JoCigo, Muhammad Hafidz, Rifqah Dita, Wakhidatul Cerpen : Satria Utama Komik Strip : Rethiya Astari Opini : Iko Dianwiratama Editor : Bimo Adi K., Dinda Indah, Helmi Naufal, Rethiya Astari. Layout : Jo Cigo, Bimo Adi K. Ilustrator : Salsa Nur Aisyah, Bimo Adi K, Evryta Putri, Iqbal Ahmad


ns.org BERITA

Cerminan Wajah Baru FIA dalam PKKMABA ia memasuki halamannya dan berada dalam gedung-gedungnya. Salah satu aturan tersebut adalah siswa pribumi wajib mengenakan pakaian berdasarkan daerah asalnya. Hal yang digunakan untuk menandai posisi pribumi yang lebih rendah dari Orang Belanda dan Eropa pada saat itu. Seakan belum cukup, Minke mesti merasakan prilakuprilaku yang merendahkan martabatnya. Setibanya ia ke asrama dan menaruh barang-barang, penghuni lain sudah pada datang merubung. Perlakuan tidak enak pun ia dapatkan kembali. Ia dihina, diteriaki, dan ditertawakan, bahkan nyaris ditelanjangi. Hal yang menghinakan itu bukan hanya dilakukan Orang Eropa, tapi juga Pribumi sendiri, yang sama-sama bernasib sebagai bangsa terjajah seperti dirinya. Tetralogi Buru memang novel tidak sepenuhnya nyata, namun Pram menulisnya berdasar riset sejarah, hingga tak salah peristiwa itu dapat kita gunakan untuk melihat cerminan sejarah Indonesia di awal masa pergerakan, dan mungkin juga bahan belajar untuk tak mengulang kesalahan. Sayangnya, praktek-praktek orientasi siswa baru semacam

Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) kini sedang menggelar orientasi bagi Mahasiswa Angkatan 2018. Ospek adalah ritual tahunan tiap kampus. Pada ritual itu, mahasiswa yang baru masuk akan dibedakan dan dilekati dengan berbagai aturan serta ketentuan. Namun, melihat fenomena ospek hari ini, membuat kami teringat dengan sosok Minke, tokoh utama dalam novel Tetralogi Buru tulisan Pramoedya Ananta Toer ketika menjadi siswa baru di S.T.O.V.I.A. (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi pada tahun 1901. Dikisahkan dalam buku Jejak Langkah, ia bertemu dengan Orang Eropa Totok, yang merupakan salah seorang pegawai sekolah. Orang itu menyodorkan selembar kertas berisi tata tertib yang harus ia patuhi saat menjadi siswa di S.T.O.V.I.A, dimulai sejak

1


diann itu ternyata masih berlangsung hingga kini, meskipun dalam bentuk yang tidak terlalu ekstrem. Tepat pada tanggal lima belas Agustus 2018, kami menyaksikan orangorang baru yang masuk ke kampus kami diteriak-teriaki. Sejak hari itu hingga hari-hari setelahnya, pakaian mereka pun juga diatur. Setiap hari Senin dan Selasa mereka diwajibkan memakai pakaian hitam putih, Rabu dan Kamis diwajibkan memakai batik, dan hari Jumat diwajibkan memakai jas almamater. Mereka diperlakukan berbeda dengan kami yang hanya terpaut satu atau dua tahun lebih dulu memasuki kampus. Kewajibankewajiban ini merupakan bagian dari peraturan rangkaian pengenalan kehidupan kampus yang biasa disebut sebagai Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMABA) di Fakultas Abu-Abu, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA). Peraturan tersebut merangkum hak dan kewajiban, larangan, beserta sanksi baik untuk mahasiswa baru maupun panitia pelaksana. Peran pelaksana divisi Garda Mahasiswa (GAMA) dalam hal ini bermain. Divisi ini bertugas membuat peraturan serta memberikan sanksi bagi yang melanggar. Ditemui di Basement Gedung A pada hari Senin, tanggal 10 Oktober lalu, Arifin Saeg Mabruri, selaku Koordinator Garda Mahasiswa (CO

GAMA) menuturkan bahwa secara garis besar, peraturan PKKMABA tahun ini tidak jauh berbeda dengan peraturan sebelumnya. Penetapan peraturan ini berdasar peraturan PKK MABA tahun kemarin yang ditambah penyesuaian terhadap keinginan Ketua Pelaksana (Kapel) dan Dekanat yang disinkronkan dengan peraturan fakultas. “Tujuannya membentuk MABA supaya sesuai dengan tujuan Kapel, dan target dari Dekanat�, ujarnya. Ia pun juga menambahkan bahwa hal ini terkait dengan target dekanat yang mengharuskan mahasiswa baru mempunyai prestasi dan attitude yang baik. Sedangkan perihal pakaian hubungannya dengan menegakkan peraturan atau sebagai bentuk controlling kepada mahasiswa baru. Pakaian dalam hal ini adalah identitas yang membedakan mahasiswa baru dengan mahasiswa lama, sehingga proses pengenalan dan penanaman nilai sebagaimana diharapkan Kapel dan Dekanat terwujud. Tidak adanya komunikasi yang baik atas maksud dan tujuan adanya peraturan tersebut menuai pertanyaan dari mahasiswa baru. Nada Kharirunnisa, Mahasiswa Angkatan 2018 mempertanyakan substansi dari adanya peraturan berpakaian yang tidak ia ketahui. Menurutnya, alasan itu merupakan suatu hal yang

2


ns.org penting bagi maba. “Mereka ngelarang harusnya ada alasannya. Tapi ini gak ada.” Hal bertentangan justru diutarakan oleh Arifin dalam wawancara dengan kami. Mahasiswa Administrasi Publik Angkatan 2016 itu menyatakan bahwa ketika sidak pihaknya tidak asal menyalahkan maba yang tidak sesuai aturan, tetapi juga memberi rasionalisasi dan alasan. Selain peraturan yang dianggap mengekang, pelaksanaan PKKMABA juga tidak pernah terlepas dari serentetan penugasan yang dianggap memberatkan maba. Selain menyita waktu juga mengeluarkan uang, sebagaimana hal ini disampaikan oleh Mitriannisa El- Jihad Kahar, salah satu mahasiswa baru dari Prodi Administrasi Publik. “Makanannya sih yang paling malesin,” tutur Nada, menjustifikasi pernyataan Mitriannisa. Untuk membawa makanan sebagai bagian dari penugasan dalam bentuk barang bawaan, maba diharuskan untuk menafsirkan kode-kode yang diberikan panitia. Kurangnya pemahaman mengenai substansi atas penugasan tersebut, membuat mereka mengeluhkannya. Hal ini dirasakan oleh Faqih Ryan Widhiyanto, mahasiswa 2018 yang menuturkan bahwa tugas itu memberatkan. “Kayak bikin mading, sama stand Lembaga Kedaulatan Mahasiswa

(LKM) itu. Tujuannya untuk apa itu juga gak tau. Gak pernah dijelasin”, ujarnya. Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik angkatan 2018 tersebut juga bercerita mengenai kebingungannya saat berada di stand Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis (Himabis) padahal dirinya mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Publik. Mohammad Rizal Alauri, yang juga merupakan mahasiswa baru angkatan 2018 juga membenarkan jika yang menjadikan tugas itu berat, bukan perkara berapa banyaknya tetapi perkara substansi yang kurang jelas. “Kalo misal kayak yang minta stempel-stempel itu sebenarnya bagus. Cuma karena kurangnya penjelasan, jadi kayak yang penting dapet stempel aja.” Banyaknya peraturan yang mengekang dan penugasan yang tidak tersampaikan substansinya kepada MABA, membuat mereka mengikuti acara PKKMABA atas dasar keterpaksaan. Seperti yang diungkapkan oleh Faqih yang mengaku mengikuti PKKMABA hanya karena ingin mendapatkan sertifikat PKKMABA sebagai syarat skripsi. Hal ini kemudian diperkuat dengan pernyataan Rizal kepada kami, “Soale kata temen-temen Ikut PKKMABA untuk menunjang skripsi.”

Penulis: Wakhidatul dan Rifqah Dita 3


diann BERITA

Sepak Terjang Makna Radikalisme Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengeluarkan pernyataan bahwa beberapa perguruan tinggi terpapar radikalisme diantaranya adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (UNDIP), hingga Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas Airlangga (UNAIR). Bahkan Universitas Brawijaya (UB) pun juga termasuk dalam daftar kampus yang terpapar radikalisme menurut BNPT. DIANNS mencoba untuk menilik lebih jauh tentang makna radikalisme dan efek yang ditimbulkannya.

lau anda dituntut berfikir radikal dan disuruh menjadi mahasiswa radikal dalam artian pembelajaran, itu bagus. Artinya melihat masalah sampai akar-akarnya, radix. Tapi bertindak radikal, wait, tunggu dulu. Karna ini tergantung siapa yang melihat,” ujarnya ketika ditemui di gedung FISIP UB. Menurutnya tanpa ada radikalisme, maka tak ada perlawanan untuk kemerdekaan. Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro dianggap oleh sosok yang radikal oleh orang Belanda karena perspektifnya adalah ingin mengganti kemapanan dengan ketidak mapanan. “Ini kan menjadi bias, karna menurut kita, Imam Bonjol dan Diponegoro bukan radikal, tapi pahlawan,” Imbuhnya setelah menjelaskan hal tersebut..

Radikalisme sendiri menurut dosen Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik (FISIP) UB, Yusli Effendi, mengalami power bias atau bias kekuasaan. Bias kekuasan disebabkan oleh siapa yang melihat dan siapa yang mendefinisikan. Makna radikal itu pun bisa mempunyai makna negatif ataupun positif. “Makna positif radikalisme contohnya, ka-

Radikalisme di Indonesia sudah memiliki sejarah yang cukup panjang. Ali Maksum sebagai dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UB membagikan dua jenis sejarah radikalisme, yaitu radikalisme agama dan radikalisme politik. Sejarah radikalisme agama di Indonesia

4


ns.org

genealoginya bisa ditemui dari gerakan islam Sumatera Barat yaitu di Minangkabau, salah satu tokohnya adalah Imam Bonjol. “Imam Bonjol yang pemahaman agamanya lebih dekat ke wahabi, atau wahabisme. Itu radikalisme keagamaan, oleh karena itu pemahaman dan pengamalan keagamaan yang tidak sesuai dengan kriteria mereka itu dibid’ahkan, dikurafahkan, ditahayulkan, bahkan pada tingkat yang ekstrim itu dikafirkan. Itu radikalisme yang sifatnya keagamaan,” jabarnya Sedangkan untuk radikalisme politik muncul ketika Indonesia baru merdeka, terdapat sekelompok orang yang tidak setuju dengan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Indonesia. Seperti usaha untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) atau yang biasa dikenal Dahrul Islam (DI) oleh Kartosoewirjo. “Gerakan tersebut sifatnya politik dan kemudian diikuti oleh gerakan-gerakan sesudahnya dan dalam rentan waktu yang cukup jauh, ada Jamiyah Islamiyah (JI) yang dipimpin oleh Abdullah Sungkar dan dilanjutkan oleh Abu Bakar Ba’asir, kemudian di JI yang menjadi Jamaah Ansharut Daulah yang dipimpin oleh Aman Abdurrahman,” Jelasnya

ketika ditemui awak DIANNS pada Senin, 17 September 2018. Ali Maksum juga menambahkan bahwa adanya organisasi gerakan yang bersifat pemikiran dan bertujuan mengganti dasar Negara Indonesia dengan Negara Khilafah Islamiyah, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI sendiri secara resmi dicabut status badan hukumnya per tanggal 19 Juli 2017 oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM. Pencabutan status badan hukum organisasi masyarakat (ormas) HTI berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pencabutan status badan hukum ormas tersebut melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI. Pencabutan status badan hukum HTI, negara memiliki wewenang untuk melarang penyebaran faham yang bertolak belakang dengan Pancasila, baik ideologi yang bersumber pada agama maupun ideologi yang bersumber dari

5


diann pemikiran manusia. Kewenangan negara tersebut tercantum dalam Perppu tentang Organisasi Kemasyarakatan tersebut. Menurut Yusli, “Negara punya wewenang untuk tindakan, tindakan bisa 2 hal, soft approach dan hard approach,” ucapnya ketika menjelaskan wewenang negara. Selain kewenangan pada tindakan, negara juga memiliki wewenang untuk mencegah. Salah satunya adalah countering violence extremism dengan tujuan mencegah kemiskinan. Agenda tersebut termasuk dalam kerangka kontra radikalisme karena ada banyak sebab dalam radikalisme, salah satunya adalah kemiskinan. Proses pencegahan lainnya dapat dilakukan dengan cara diskusi, menurut Adhi Fahadayna, sering kali orang-orang yang mengikuti kelompok yang sedikit konservatif seperti HTI, tidak dapat membuka diri terhadap dunia luar. “Dia tidak mempunyai lingkungan memadai untuk kemudian mengimbangi pikiran dia, jadi bayangkan jika kalian punya pikiran yang sangat tertutup dan hidup di lingkungan yang sangat tertutup itu akan kemudian membentuk karakter yang tertutup,” ujar Adhi sebagai dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIP UB. Beliau menjelaskan bahwa kita yang hidup di lingkungan mereka, kemudian sangat membenci terhadap mereka. Kita kerap bersifat agresif terhadap mereka dan kita bersikap fasis

6

terhadap mereka. Menurut Adhi, hal tersebutlah yang mengakibatkan mereka semakin menutup diri, karena kita tidak mau merangkul mereka. “Jadi kita sebagai orang luar juga memiliki andil dalam menyuburkan itu,” ucapnya ketika diwawancara oleh awak LPM DIANNS. Sikap-sikap tertutup dari beberapa kelompok agama yang dianggap radikal juga dikatakan sebagai salah satu indikator adanya sifat radikalisme. Menurut Yusli Effendi, salah satu batasan radikalisme agama ialah sikap Konservatif. “Nah batasan yang utama ada konservatisme, intoleransi, anti sistem, dan revolusioner,” ujar Yusli. Beliau menjelaskan bahwa sikap konservatif berarti tertutup dengan bukti sikap literalisme, memaknai teks termasuk kitab suci apa adanya. Dengan contoh kata "bunuhlah", pendefinisian kata bunuhlah tanpa melihat konteks ayat, di zaman mana dan pada masa apa. Sehingga pengartian dari sebuah kata bersifat kaku. Sikap intoleransi pun dijadikan sebagai batasan untuk mengetahui sebuah ajaran radikal. “Intoleransi adalah ketidakmauaan dan ketidakmampuan untuk melihat mereka yang berbeda. jadi secara pikiran dan praktik dia tidak mengakui ada perbedaan praktik keagaaman yang berbeda dengan dia,” ucapnya.


ns.org Selain dua batasan tersebut, adapula antisistem. Anti sistem sendiri berarti tidak menyetujui sistem yang resmi, artinya ingin mengganti sistem yang ada. Dan yang terakhir adalah revolusioner yang berarti ingin mengubah secara drastis.

(PKKMABA) FIA 2018. Yusli Effendi pun mengatakan bahwa sistem pendidikan saat ini tidak menumbuhkan nalar kritis sehingga dapat menciptakan radikalisme kaum intelektual yang sifatnya berbahaya. Ali Maksum pun berpendapat bahwa “Gerakan-gerakan radikalisme jelas berbahaya bagi NKRI, Pancasila, dan Kebhinnekaan di Indonesia, karena kelompokkelompok ini memaksakan pahamnya untuk dilaksanakan oleh orang lain,” ujarnya ketika ditemui di Gedung A FISIP UB. Radikalisme tersebut menurutnya berbahaya karena kelompok-kelompok radikal bersifat memaksakan fahamnya untuk dilaksanakan oleh orang lain. Senada dengan Ali, Adhi Fahadyna punmenjelaskan bawa pemaksaan faham untuk orang lain tersebut menurut Adhi Fahadayna merupakan tindakan fasis. “Jadi radikalisme terus-menerus akan menjadi ektrimis dan jika itu terlembagakan akan menjadi fasis. Fasis ialah ketika kelompokkelompok ini mengklaim dirinya mewakili kelompok lain,” ujar Adhi ketika diwawancarai di UB Cafe.

Dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh BNPT bahwa ada beberapa perguruan tinggi yang terpapar radikalisme termasuk Universitas Brawijaya. Kampus mempunyai wewenang untuk mengontrol faham-faham yang ada didalamnya. Menurut Ali Maksum kampus punya aturan untuk melarang faham-faham yang bertentangan. “Pertama perlu dilakukan pengkajian dan observasi yang mendalam untuk memetakan fenomenafenomena faham keagamaan di tingkat mahasiswa maupun dosen, dan jika ditemukan indikator ada dosen dan mahasiswa yang tidak mau mengikuti upacara bendera dan tidak mau membaca teks pancasila, dan sebagainya” ujar beliau. Wewenang yang dapat diambil adalah dengan melakukan pendekatan terhadap mereka yang terindikasi terpapar radikalisme dan melakukan pembinaan. Salah satu pembinaan yang dapat dilakukan adalah dengan adanya deradikalisasi melalui program Orientasi Pendidikan dan Orientasi Mahasiswa (OPSS) yang terdapat pada ospek FIA. Hal ini dibenarkan oleh Arfian Ardhitama selaku ketua pelaksana Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru

Reporter: Jo Cigo dan M. Hafidz

7


diann OPINI

Lelucon Tahunan

Ilustrator: Bimo

Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia baru saja ramai melaksanakan ritual tahunannya yaitu penyambutan mahasiswa baru. Setiap PT memiliki agendanya masing-masing dalam menyambut mahasiswa baru. Namun ada hal yang rasa-rasanya tidak hilang dari tahun ke tahun. Bentuk-bentuk pendisiplinan yang kurang substansial masih belum berubah. Seperti cara gertakan, teriakan, beban tugas dan peralatan yang menyulitkan. Parahnya lagi hal itu wajib dilakukan karena apabila tidak, maka akan dikenai sanksi yang sebenarnya lebih tidak substansial. Padahal tidak ada kaitannya dengan apa yang akan mereka jalani setelah menjadi mahasiswa aktif. Hal seperti ini masih ada diberbagai tempat, sehingga bukan kasusistik, tapi menunjukan pola yang sama ditempat yang berbeda Tiap tahun panitia-panitia penyam-

8

butan mahasiswa baru selalu berganti seakan membawa pembaharuan.. Pembaharuan dilakukan dengan penggantian nama penyebuatan angkatan dan tema yang dibawa, namun sayang tidak merubah substansi. Substansinya sama dan mekanismenya juga sama, yaitu sama-sama merupakan mekanisme orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek) untuk mahasiswa baru dengan gaya lama. Orang yang iseng akan bertanya-tanya: Kalau substansi dan mekanismenya sama, tujuannya apa ganti nama? Kalau tidak mampu dan terlalu takut melakukan reformasi yang lebih substansial, lebih baik tidak usah ganti nama, karena tidak ada makna didalam pelaksanaanya. Mahasiswa baru hanya disodori satu pilihan yang terpaksa harus diambil karena kalau tidak


ns.org diambil dapat dituduh subversif (melanggar aturan). Akibatnya, mahasiswa baru ini tidak bisa mengekspresikan kemerdekaannya karena masih terbebani oleh rasa takut, sungkan, atau bahkan malu karena dianggap melanggar aturan. Menurut Wilheml von Humboldt, pemikir Jerman, sebagaimana dikutip oleh Reza A.A Wattimena, “Ketika orang menghasilkan sesuatu karena diperintah, kita bisa menghargai apa yang ia lakukan, tetapi kita mencela dirinya, karena dia bukanlah manusia sejati yang bertindak berdasarkan dorongan dan keinginannya. Banyak dari mereka bekerja bukan karena dorongan hati, melainkan dari keterpaksaan semata”. Orang semacam inilah yang dianggap Humboldt sebagai orang ‘terbodoh’ yang pernah hidup di dalam sejarah manusia. Mengejawentahkan Nilai-Nilai ‘Mahasiswa’ Substansi dari menjadikan siswa ke mahasiswa itu sendiri belum mampu dimanifestasikan seperti menumbuhkan sikap kritis, termasuk terhadap kebijakan dan aturan sendiri. Itu disebabkan tujuan dari Ospek telah direduksi menjadi instrumen bagi kepentingan kelompok/golongan yang ingin berkuasa. Seperti kata Soe Hok Gie, “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau

9

berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, dan teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adikadik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh mahasiswa semacam tadi.“ Akhirnya muncul ketakutan saya, jika mahasiswa bermental sok kuasa itu sudah terbiasa menjadi raja-raja kecil yang menuntut penghormatan tinggi, tapi sekaligus bermental jongos terhadap atasan. Bagaimana mungkin orang yang tidak hidup merdeka akan memerdekakan sesamanya? Itu hanyalah lelucon belaka. Ini membuktikan bahwa reformasi mengenai sistem ospek itu hanya retorika saja bahkan dikalangan mahasiswa sendiri. Mahasiswa yang sering melabelkan dirinya sebagai aktivis, biasanya getol menolak agenda Ospek dengan gaya lama. Tetapi setelah mereka menjadi panitia pelaksanaan ospek, mereka juga yang turut melanggengkan gaya lama itu. Bentuk-bentuk penyeragaman, yang merupakan bagian dari ideologi militeristik dan politisasi agama di kampus masih ada. Kecenderungan ideologi militeristik itu diimplementasikan secara fisik maupun nonfisik. Secara fisik, melalui penyeragaman pakaian menggunakan pakaian ‘hitam-putih’ diawal-awal semester. Sedangkan


diann nonfisik dilakukan dengan indoktrinasi melalui beberapa agenda seperti seminar dan tugas-tugas yang diberikan. Nafas-nafas orde baru mengenai larangan berambut gondrong juga masih jelas dilanggengkan.

dan rohaninya. Hal ini senada juga dengan Paulo Freire, seorang tokoh teoritikus pendidikan dari Brasil, mengenai pendidikan yang membebaskan. Noam Chomsky, tokoh filsuf politik, juga seirama dengan keduanya, ia bersepakat bahwa pendidikan adalah sebagai proses untuk menciptakan orang-orang bebas, demokratis yang mampu menjalin hubungan secara setara dengan orang-orang di sekitarnya, dan bekerja sama untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran melalui proses-proses demokratis.

Kebijakan dan tugas-tugas dalam praktiknya lebih diarahkan kepada proses pembentukan keahlian dan kemampuan untuk dapat mengisi dunia industri. Sehingga akan menciptakan efektivitas dan efisiensi untuk kebutuhan dunia industri kapitalis. Ilmu yang diseminasikan kepada subjek didik adalah ilmu yang dapat digunakan untuk beradaptasi dengan masyarakat industri. Hal ini kelak akan menjadi problematika sendiri bagi mahasiswa baru karena tidak mampu berfikir kritis dalam melihat dunia. Apakah itu sejalan dengan upaya mencerdasan kehidupan bangsa atau justru sejalan untuk memasok kebutuhan dunia industri?

Ketiganya memiliki substansi yang sama, yaitu pendidikan seharusnya membuat orang menjadi lebih otonom, tidak tergantung pada orang lain. Orang lain hadir bukan sebagai ordinat atau subordinat, atau bahkan sebagai kompetitor, tapi sebagai individu yang saling memerlukan satu dan lainnya atau hubungan kemanusian. Relasi yang mereka bangun adalah relasi antarpersonal. Pendidikan yang mampu mendekatkan subjek didiknya dengan realitas dan dapat berfikir kritis atas apa yang ada disekitarnya. Bukan pendidikan yang menjadikan subjek didiknya menjadi merasa harus saling bersaing dan berbebeda dengan yang lain.

Apabila kita coba menengok konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara sebenarnya lebih substansial sebagai upaya mencerdasan kehidupan bangsa. Konsep pendidikan yang memerdekakan, Beliau menentang pendidikan yang bercorak otoriter, karena akan menyulitkan dalam pencapaian tujuan pendidikan sebagai usaha menjadikan subjek didik menjadi manusia yang utuh jiwa

Kita cukupkanlah agendaagenda Ospek yang bersifat eko-

10


ns.org nomis, materialis, pragmatis dan teknis. Menghilangkan tugas-tugas ospek yang tidak substansial seperti meminta mahasiswa baru untuk membawa barang-barang yang tidak ada kaitannya dengan apa yang akan mereka jalani selama menjadi mahasiswa. Melakukan penyeragaman dengan dalih kedisiplinan sebagai bentuk identitas fisik namun kita ganti menjadi pembentukan identitasi diri sebagai manusia. Karena bagi saya kedisipilnan itu terbentuk dari kesadaran diri bukan sebuah paksaan. Kita ganti agendanya agar mereka lebih kritis dalam melihat dunia.

Saya pikir persoalan yang kita masih hadapi sekarang adalah, PT hanya menawarkan sesuatu yang sifatnya material dan positivistik seperti sosialiasi prestasi hingga urutan peringkat. Segala sesuatunya diukur berdasarkan skala-skala kuantitatif, seperti angka partisipasi mahasiswa yang tinggi dalam setiap perlombaan, pun juga nilai akhir yang tinggi. Simplifikasi persoalanya cenderung ke aspek-aspek yang bersifat ekonomis, materialis, pragmatis dan teknis. Akibatnya, tidak mengherankan bila banyak mahasiswa yang nantinya ketika lulus PT tidak memiliki rasa welas asih , kepekaan sosial yang tinggi, toleransi, maupun empati terhadap penderitaan sesama.

Membuka mimbar akademik adalah salah satunya. Berdiskusi bersama mahasiswa baru dengan membahas permasalahan bangsa sebagai bentuk penyadaran terhadap ketimpangan tatanan sosial yang terjadi. Sehingga, mereka memahami persoalan dan permasalahan yang akan mereka hadapi kedepan sebagai penerus bangsa Indonesia. Menjadikan mereka menjadi mahasiswa baru yang berani berteriak ketika melihat ketidakadlilan, berani bergerak untuk menegakkan kebenaran. Bagi, Soe Hok Gie, universitas menjadi tempat paling suci dimana arus pemikiran bergejolak dan benteng terakhir dari kemerdekaan intelektual sebuah bangsa.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD juga pernah menyebutkan dalam orasi ilmiahnya di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) bahwa sembilan puluh lima persen koruptor di Indonesia adalah lulusan dari PT. Sekaligus kritik juga untuk kota Malang yang disebut sebagai kota pendidikan karena lebih dari sembilan puluh persen anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota Malang adalah koruptor. Sangat ironis apabila ternyata PT justru menjauhkan mahasiswanya dari upaya mencerdasan kehidupan bangsa menjadi upaya mengakumulasi modal pribadi.

11


diann Tujuh puluh tiga tahun sudah sejarah mencatat kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang didapat dari hasil perjuangan yang panjang, jiwa raga dikorbankan untuk memerdekaan bangsa Indonesia. Sekaligus juga sebagai tanda berakhirnya jalan panjang penindasan, eksploitasi, dan pembodohan. Upaya mencerdasan bangsa nampaknya belum dilihat secara holistik sebagai upaya bersama. Saya pikir kalimat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ sangat jelas berbeda dengan ‘mencerdaskan kelompok tertentu atau wilayah tertentu‘. Semoga ini menjadi refleksi bersama sebagai usaha menjadi manusia merdeka.

1 Berbelas kasih sayang Penulis: Iko Dian Wiratama

12


ns.org SASTRA

Seorang Pemuda yang Patah Hati Pada Kehidupan “Amit, Mas.� Ucap petugas kebersihan yang sedang menyapu deaunan kering di sela kaki Akbar. “Inggih, monggo Pak,� jawab Akbar.

Ilustrator: Evryta

Pagi itu berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Akbar berangkat satu jam lebih pagi dari biasanya. Tujuan pemberhentiannya yakni kantin kampus. Ia hanya ingin sekedar minum kopi dan menghisap kreteknya. Orang kota biasa menyebut kegiatan menyendiri ini sebagai, me time. Ini adalah ritual wajib baginya, setiap pagi setelah ibadah subuh. Tapi pagi ini ia terpaksa melaksanakan ritual wajibnya itu di kampus. Karena stok kopi di kosannya sedang habis.

Lagaknya yang lembut dan sopan serta suaranya yang sengaja dimerdu-merdukan. Menyembunyikan karakternya yang keras dan gampang naik darah. Ketika menikmati kopi, smartphone Akbar bergetar. Ada chat whatsapp dari Nia, sahabat sejak SMP yang sekarang satu jurusan dengannya. Nia memiliki wajah oval, rambut lurus, badan tinggi dan kulit putih bersih seperti standar iklan yang ada di televisi. Namun kerupawanan yang dimiliki Nia sering menjadi objek bercandaan bernada seksis. Siapa lagi yang melakukanya jika bukan Imron, dosen yang terkenal genit terhadap mahasiswi di fakultasnya. Akbar tahu jika hal itu termasuk pelecehan verbal. Tapi ia tak tahu harus berbuat apa. Bersama kegusarannya itu, ia mulai membaca kabar dari Nia. Bar, Pak Imron udah dateng. Cepet masuk kelas!

Akan tetapi suasana di kantin cukup ramai pagi ini. Setelah menenteng segelas kopi, Akbar mulai melangkah mencari tempat duduk dengan setelan putih hitamnya. Tak lupa ia kenakan jaket tentunya. Apalagi, jika bukan untuk membawa motor. Sebab peraturan melarang mahasiswa baru untuk membawa kendaraan ke kampus. Langkah kaki membawanya untuk duduk di sebuah tempat sepi dan rindang, dekat gedung sekretariat organisasi kampus.

Bagi Akbar duduk 60 menit di kelas yang penuh kebohongan terasa jauh lebih panjang dan membosankan. Daripada duduk dua jam

13


diann

dengan secangkir kopi sachet dan lintingan Tembakau Temanggung. Akbar memutuskan mengurungkan niatnya untuk masuk kelas pagi ini. Aduh Pak Imron ya, titip absen dong. Chat Akbar untuk Nia. Namun tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria yang menyela ngopi pagi Akbar. “Keluar kau, Wiji!� Teriak pria itu yang kemudian diikuti suara pintu yang digedor keras. Teriakan itu membuat Akbar penasaran. Ia pun celingak-celinguk melihat apa yang terjadi di kampung yang berada di sisi timur kampusnya. Tampak dari pagar pembatas antara kampus dan kampung yang padat penduduk itu, beberapa pria berseragam Satpol PP berdiri tegap di depan pintu sebuah rumah. Tetapi hampir setengah jam berlalu, pria yang bernama Wiji itu tak kunjung keluar dari rumah itu. Gerombolan pria berwajah sangar itu pun kemudian bergegas meninggalkan rumah itu. Ketika Akbar membalikan badannya, halaman gedung sekretariat itu mendadak seperti bioskop. Penuh oleh mahasiswa lainnya yang membubarkan diri kembali ke ruangan sekretariat masing-masing. Keributan yang terjadi tadi, rupanya mengundang rasa penasaran mahasiswa untuk menyaksikannya. Disaat itulah Akbar melihat tulisan di

14

salah satu ruangan gedung sekertariat, Mahasiswa Pecinta Alam. Akbar langsung mendatangi ruangan itu. Selain karena udaranya yang sejuk. Gunung Semeru merupakan alasan lain Akbar untuk studi di Malang. Selain itu akses ke beberapa gunung di jawa timur juga tidak terlalu sulit. Mungkin bergabung dengan Mahasiswa Pecinta Alam dapat membawanya berpetualang ke beberapa gunung. Akbar memang telah tergabung dalam organisasi pecinta alam sejak SMA. Ia merupakan pemuda yang diberi tuhan sebuah anugerah berupa antusiasme berkegiatan alam. Baginya, semesta alam akan selalu menjadi buku yang terbuka. Selalu membuatnya penasaran untuk menyelami ‘pemikirannya’ sendiri. Tanpa pikir panjang lagi Akbar langsung masuk ke ruangan sekretariat organisasi tersebut. Tampak salah satu mahasiswa berambut gondrong menyapanya dengan ramah, Yadi. Di dalam ruangan itu terdapat dua mahasiswa lain yang sedang duduk lesehan sambil melinting tembakau. Akbar menyebrangi ruangan berwarna putih itu. Ruangan dengan tumpukan berkas dan perlengkapan aktivitas outdoor yang berserakan. Kesukaan yang sama atas tembakau


ns.org membuat mereka cepat akrab. Hingga cukup lama mereka berdiskusi. Ruangan berukuran 3x4 meter yang berdinding keramik itu sudah penuh oleh kepulan asap rokok saat ini. Akbar pun merasa cukup menambang informasi tentang organisasi itu. Ketika hendak pamit keluar ruangan. Sebuah informasi terlontar dari Yadi.

Sontak jawaban tersebut membuat Akbar mengurungkan niatnya untuk bergabung organisasi tersebut. Baginya, mereka hanya bersembunyi dibalik nama pecinta alam. Ia langsung meninggalkan ruangan itu. Kini hanya rasa penasaran atas keributan pagi tadi yang ada dipikirannya. Ia akhirnya memutuskan untuk mengunjungi rumah pria bernama Wiji itu. Langkahnya belum sampai di pagar perbatasan kampus dan kampung. Tapi handphone-nya telah berdering saja. Nama salah satu kakak tingkat yang sering mengajaknya ngopi dan diskusi, berada dalam panggilan itu.

“Kampus mau bangun gedung baru, Bar. Jadi ada perluasan area. Makannya tadi ada rame-ramekan.” Tutur Yadi santai di ambang pintu. “Terus kampung itu digusur dong, Mas? Organisasi ini mau bantuin nggak mas? Kasian tau.” Cecar Akbar dengan alis berkerut.

“Halo. Iya, Mas?” Sapa Akbar. “Ntar malem ngopi Bar. Lanjutin diskusi kita kemarin.” Ajak pemuda di sebrang smartphone-nya.

“Ya mau gimana lagi. Emang apa hubungannya pecinta alam sama penggusuran?” Balas Yadi atas pertanyaan Akbar.

“Siap, Mas. Mas tau penggusuran kampung untuk perluasan area kampus nggak?” Tanya Akbar sambil menghisap kreteknya.

“Bukankah mencintai alam sama dengan mencintai manusia?” Tanya Akbar yang mulai pupus oleh jawaban Yadi.

“Oh iya Bar. Kampus kita lagi branding biar naik ranking,” jawabnya dengan nada santai.

“Apa yang kau harapkan? Program pembangunan ini dari pusat. Organisasi ini juga mendapat dana dari rektorat, kan?” Tandas mahasiswa yang dua tahun lalu itu juga menjadi mahasiswa baru seperti Akbar.

“Sampeyan2 gak bantuin warga kampung sini, Mas?” Tergambar keraguan di wajah Akbar. “Pengen sih, tapi agenda lagi padet

15


diann

Bar.” Jawab kakak tingkatnya itu. Akbar langsung menutup panggilan itu. Terlalu sibuk diskusi perjuangan sampai lupa berjuang, ucapnya dalam hati. Akbar telah sampai di depan rumah yang ia tuju. Seorang pria keluar mengenakan kaos oblong lusuh dan sarung dengan motif kotak-kotak. Itu pasti Wiji, batin Akbar mengira-ira.

dengan datar disela-sela asap kretek yang membumbung dari mulutnya. Wiji bertutur, minggu lalu Ia marahmarah ke petugas BPN yang melihat dan mengukur halaman rumah Wiji. Pembangun gedung itu akhirnya mulai bekerja tanpa seizin Wiji. Setelah berkali-kali merayunya untuk menjual tanahnya. Tetapi tentu tidak juga berhasil. Sebab Wiji sangat mencintai Ani. Di halaman depan rumah itulah, dulu Ani menanam bungabunga indah dan macam-macam pohon yang dia rawat dengan telaten.

“Permisi Pak. Tadi ada apa ya ramerame?” Tanya Akbar tanpa basa-basi. “Kampusmu itu, Le3. Bikin gaduh saja! Tak usah kau tanya lagi. Ku rasa, kau dapat merasakan apa yang sedang kurasakan. Mungkin pula kau bisa membaca perasaan yang tersirat di wajahku.” Jawab wiji dengan datar.

“Ani pernah berkata, bunga dan pohon di halaman itu adalah tempat bermain anak kami kelak,” curhat Wiji. Namun naas, Ani meninggal ketika melahirhan buah hati pertama mereka. Menurut Akbar hal itu wajar saja, bila kemudian Wahyu menolak tawaran untuk menjual tanahnya. Saat melihat halaman itu, Wiji selalu teringat kepada Ani. Mereka sudah melaporkan pembangunan itu ke pihak yang berwenang. Namun mereka malah menyalahkan Wiji. Mereka berkata, Wiji bodoh menolak tawaran yang begitu tinggi.

Ya jelas aku mengerti perasaanmu Pak. Balas Akbar dalam batinnya. Suasana terasa ringkuh, terlebih mereka baru berkenalan. Tapi Akbar memberanikan diri untuk menwarkan tembakaunya agar suasana mencair. Dengan basa-basi sedikit, pria kurus itu menjelaskan kronologis apa yang terjadi.

“Aku tidak tahu lagi harus mengadu kepada siapa, Le.” Ucap Wiji datar.

“Sudah enam bulan aku menulis surat pada rektormu. wali kota, hingga presiden. Tapi sampai detik ini belum dibalas, Le.” Ucap Wiji

Cukup lama mereka berdua ngobrol. Sore itu, mereka ber-

16


ns.org dua duduk sambil memandangi halaman peninggalan Ani. Akbar merasa cukup hangat meskipun saat itu angin bertiup sangat kencang. Sementara di beberapa titik bisa terlihat bekas galian yang akan dijadikan patok pembangunan. Tak lama kemudian tampak pria dengan pakaian rapi mendatangi Wiji. Burung merpati yang menjadi lambang perusahaan pos nasional terjahit rapi di lengannya. Alangkah terkejut Wiji saat melihat sebuah amplop berlambang salah satu lembaga negara ditujukan ke alamat Wiji. Dia girang bukan kepalang. Perlahan dia buka dan baca surat itu. Di surat itu tertulis, Ikhlaskan. Itu semua demi pembangunan dan kemajuan pendidikan.

1 “Iya, silahkan Pak,� 2 Sampeyan = kamu atau anda, dalam Basa Jawa. 3 Le = sebutan untuk anak laki-laki dalam Basa Jawa.

17

Penulis: Satria Budi Utama


diann

Pupus Oleh: Salsa Nur Aisyah

Pupus sudah harapan mereka Mengelu-elu pendidikan tinggi dibenak adalah.. Surga kebebasan akademik dan kritik Surga kebebasan pemikiran dan pilihan Langkah demi langkah dilewati Fakta demi fakta digali Opini demi opini dicicipi Kecewa yang mereka dapatkan Namun sungkan untuk melawan Apakah cuaca sedang berawan atau memang iklim pendidikan tinggi sedang suram? Suara dibungkam Kritikan dihujam Sudahlah tak perlu dielu-elu Semua hanya harapan palsu

18


ns.org KOMIKSTRIP

19


diann POSTER

20


ns.org

DIANNS.ORG Tuangkan kreatifitas & kontribusi kalian dalam bentuk opini dan sastra

Dengan Ketentuan : - Mencantumkan identitas (Nama, NIM & Jurusan). - Tema bebas. - Tulisan maksimal seribu kata. - Times NewRoman, 12

Kirimkan ke e-mail LPM DIANNS : diannsmedia@gmail.com Tulisan yang terpilih akan dimuat pada website LPM DIANNS Kunjung dan Ikuti : @diannsmedia

@fil3760t

@dianns_media

LPM DIANNS

LPM DIANNS

dianns.org

Alamat Redaksi LPM DIANNS : Sekretariat Bersama Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Jalan Mt Haryono No. 163 Malang, 65145.


Ilustrasi

Cover Depan : Salsa Cover Belakang : Iqbal


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.