Edisi 54 >> November 2016 >> FIA UB www.dianns.org
DIANNS SONGSONG KEHIDUPAN DENGAN DIALEKTIKA
KEBERPIHAKAN PEMERINTAH
DALAM PEMBANGUNAN RENGGUT AIR PETANI
DEMI PELANGGAN PDAM NOSTALGIA PRAM DAN PATABA
DI KOTA BLORA SUARA RAKYAT
DALAM NADA
08530599
DIANNS RUANG REDAKSI Penanggung Jawab: Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Pimpinan Organisasi: Pemimpin Umum: Esa Kurnia Alfarisi Sekretaris Umum: Zendy Titis Dwi Andini Bendahara Umum: Resti Syafitri Andra Pemasaran: Pemimpin Pemasaran Nurbaiti Permatasari Iklan dan Sirkulasi: Nurbaiti Permatasari, Nurhidayah Istiqomah, Satria Utama, Athika Sri Ayuningtyas. ALAMAT REDAKSI Kantor LPM DIANNS, Sekretariat Bersama Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Jalan MT. Haryono 163 Malang, 65145 HUBUNGI KAMI diannsmedia@gmail.com 0812-3357-998 fil3760t diannsmedia @DIANNS_Media LPM DIANNS FIA UB
Pemimpin Redaksi: Dea Kusuma Riyadi Redaktur Pelaksana: Ria Fitriani Editor: Esa, Zendy, Dea, Ria, Danar, Mechelin, Aliefiana, Dinda, Bimo, Hayu, Rethiya Reporter: Esa, Zendy, Resti, Dea, Ria, Mechelin, Fadhila, M. Fakhrul, Dinda, Bimo, Hayu, Rethiya, Joko, M. Yusuf, Dimas, R.M Dhimas, Danar, M. Rizky, Rahma, Muhammad, Hendra, Cucut, Nurbaiti, Satria, Nurhidayah, Athika. Layout dan Artistik: Fadhila Isniana, Nurhidayah Istiqomah, M. Yusuf Ismai’l, Danar Yuditya P. Karikatur dan Ilustrasi: Fadhila Isniana, M. Yusuf Isma’il, Rethiya Astari Fotografer: M. Fakhrul Izzati, Dimas Ade, Satria Utama, Resti Syafitri, Rahma Agustina, Bimo Adi, Muhammad Bahmudah, Danar Yuditya P.
SALAM REDAKSI I
ndonesia Negeri Zamrud Khatulistiwa,� layaknya bongkahan zamrud digaris khatuliswa, Indonesia nampak hijau nan subur di sepanjang garis khayal tersebut. Negeri ini diberkahi kekayaan alam yang melimpah oleh Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu kekayaan alam dan sumber kehidupan manusia di negeri ini ialah air. Air menjadi penopang utama kehidupan manusia, sebab tanpa air manusia pasti akan mati. Negara kita memiliki ribuan bahkan jutaan sumber mata air yang seharusnya dapat mencukupi kebutuhan air seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana yang termaktub dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.� Namun nyatanya, pemerintah seakan lebih mengutamakan kepentingan pemodal yang mengambil alih sumber-sumber mata air untuk memupuk modalnya, sehingga tak jarang rakyat harus mengalami penderitaan akibat konflik air ini. Melihat permasalahan seputar air yang masih menjadi polemik di kalangan masyarakat, kami tergerak untuk mengangkat isu ini menjadi tema dalam majalah DIANNS edisi ke 54 kali ini. Sebagai lembaga pers sekaligus mahasiswa, kami merasa memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan perubahan, melalui tulisan tentunya. Manusia tak selamanya dapat berbicara, manusia juga tak selamanya mampu bergerak, namun dengan menulis, manusia bisa berbicara dan bergerak dalam satu langkah. Kiranya itulah yong coba kami lakukan untuk membuat sebuah perubahan melalui tulisan di majalah DIANNS ke 54 ini. Laporan utama kami dalam majalah ini membahas tentang relasi antara pemerintah, rakyat dan swasta dalam pembangunan di bidang air. Masalah ini perlu kami bahas untuk mengulas keberpihakan pemerintah dalam pembangunan mengarah kepada siapa, apakah rakyat atau swasta, sehingga peran kita sebagai media kontrol terhadap pemerintah terpenuhi. Selain itu, terdapat empat tulisan lain yang membahas permasalahan menyangkut air. Pertama, terkait dengan kedaulatan atas air antara rakyat dengan pemerintah dimana rakyat seakan tidak bisa memiliki air mereka dan selalu terkorbankan hak-haknya. Permasalahan limbah pabrik yang mencemari sungai Badek di kelurahan Ciptomulyo Kota Malang juga tak luput dari sorotan kami. Kemudian, kami merasa perlu untuk mengangkat sebuah tulisan tentang dampak pembangunan pariwisata di Kota Batu terhadap ketersediaan air bagi masyarakatnya yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Terakhir, permasalahan yang bagi kami tidak kalah penting untuk diangkat adalah konflik air antara peme-
rintah, rakyat, dan swasta di Kota Batu dalam memperebutkan hak atas Umbul Gemulo yang berujung pada narasi perjuangan masyarakat setempat dalam memperjuangkan mata air. Keempat tulisan ini kami sajikan secara rapi dalam rubrik liputan khusus. Di samping rubrik laporan utama dan liputan khusus yang berkaitan dengan tema air, terdapat tulisan pada rubrik yang tak kalah penting untuk kita bahas, seperti kabar kampus, budaya, media, jalan-jalan, musik, dan lainnya. Pada akhirnya, sebagai wujud bakti pada rakyat dan negeri ini, kami persembahkan karya awak LPM DIANNS dalam bentuk majalah DIANNS Edisi 54 yang terbit pada November 2016. Dan atas keprihatinan terhadap permasalahan air yang menimpa rakyat, kami berharap majalah DIANNS ke 54 ini dapat menggugah pembaca untuk bersama-sama memikirkan solusi permasalahan tersebut. Bagi kami, diperlukan upaya yang serius baik dari pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan terpenuhinya kebutuhan air rakyat secara layak. Pemerintah harus berkomitmen dalam melaksanakan amanat UUD 1945 untuk menyejahterakan kehidupan bangsa dan masyarakat pun harus sadar terhadap terhadap segala kewajiban dan hak-haknya.
Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak keserakahan setiap manusia. (Mahatma Gandhi)
Daftar Isi Ÿ Ÿ Ÿ
Ruang Redaksi : .... i Salam Redaksi : ....ii Daftar isi:...iii
10 Ÿ Liputan Khusus: Potret Buram Kali Badek Antara Lingkungan dan Industri
1 Kilas Balik: Manusia Sentra Pembangunan Ÿ
Liputan Khusus Pariwisata Kota Batu Tekankan Keuntungan Bukan Lingkungan Ÿ
14
3 Ÿ Laporan Utama: Keberpihakan Pemerintah dalam Pembangunan
Ÿ Liputan Khusus: Narasi Perjuangan Penyelamatan Umbul Gemuloh
18
OPINI: Merajut Asa, Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Atas Air di Era Otonomi Daerah Ÿ Ÿ
21 Liputan Khusus: 7 Renggut Air Petani Demi Pelanggan PDAM Ÿ
Ÿ Foto Narasi: Cerminan Harmoni Alam dan Kehidupan
Kabar Kampus : UKT dan PTN BH Masih Membelenggu Mahasiswa Ÿ Kabar Kampus: Menyelisik Makna PENGMAS di UB Ÿ
25 27 30
Musik: Suara Rakyat dalam Nada
32
Media: Menilik Media Alternatif Masa Kini
35
Ÿ Budaya: Barongan Mulai dari Seni Hingga Sarana Dakwah
38
Ÿ
Ÿ
Jalan-Jalan: 42 Nostalgia PRAM & PATABA di Sudut Kota Blora Ÿ
Ÿ Cerpen: Bumi Sakti Alam Kerinci
46
Puisi: Bung
50
Ÿ
Ÿ Resensi: -Buku : Kisah Maestro Sastra Perjuangan
-The True Cost : Apa yang Kita Kenakan Harus Adil dengan Lingkungan
51 53
Kilas Balik
Manusia Sentra Pembangunan (Juni – Agustus 1990) Penulis: Zendy Titis Dwi Andini
M
anusia dijadikan sebagai poros sentral dalam pembangunan. Artinya pembangunan dilakukan dengan lebih memerhatikan kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan manusia. Mengapa manusia dijadikan sentra pembangunan? Mungkinkah pendekatan ini diterapkan? Inikah pendekatan terbaik yang selama ini seharusnya digunakan dalam pembangunan? Majalah DIANNS edisi keenam belas mencoba mengulasnya lebih dalam melalui artikel yang ditulis oleh Wiyono, mahasiswa FIA angkatan 1985 yang merupakan Pemimpin Redaksi Suplemen MIMBAR MAHASISWA Unibraw—sebutan Universitas Brawijaya kala itu.
Pendekatan partisipatoris mulai disebutsebut dalam pembangunan semenjak munculnya kesadaran terhadap harkat dan martabat manusia di dalam pembangunan. Sejak pertumbuhan ekonomi sudah tidak lagi menjadi ukuran tunggal dan isu-isu pemerataan kian deras meluncur, pendekatan ini kian menjadi pertimbangan bagi para ekonom. Manusia mulai ditempatkan sebagai ukuran keberhasilan pembangunan. Dengan demikian, proses pembangunan nasional menjadi lebih tanggap terhadap kepentingan-kepentingan penduduk. David C. Korten menyebutnya sebagai “Community-based Resource Management” dan Nasikun menerjemahkannya sebagai Pembangunan Berwawasan Komunitas. Pembangunan tidak lagi berpijak pada birokrasi dan program-program atau proyekproyek sentralistik, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Masyarakat diserahi tanggung jawab atas kebutuhan, kemampuan, dan penguasaan terhadap sumber daya dan nasib mereka. Artinya, proses pembangunan dilimpahkan kepada masyarakat dengan penanaman kesadaran akan potensi yang mereka miliki. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan mematahkan anggapan bahwa mereka bodoh dan tidak dapat menentukan nasibnya sendiri. Jika diterapkan dengan benar, pendekatan ini akan membawa perubahan ke arah yang konstruktif dan humanis. Tidak akan ada lagi penindasan atas manusia karena pembangunan justru berorientasi pada
1
DIANNS EDISI 54
pemerataan kesejahteraan manusia. Akan tetapi, walaupun secara teoretis menemukan bentuk yang ideal, pada praktiknya pendekatan ini masih mengalami pelbagai kendala. Kendala itu menjadi pekerjaan rumah bagi para perumus kebijakan untuk menemukan solusinya. Di antara berbagai kendala tersebut, yang dapat kita soroti adalah sebagai berikut: kendala pertama, pengaruh ekonomi klasik yang menekankan pada pertumbuhan, masih kuat. Negara-negara Dunia Ketiga tidak bisa benar-benar meninggalkan pertumbuhan ekonomi sebagai pengukur keberhasilan pembangunan. Padahal pendekatan ini dinilai tidak mampu mengangkat harkat dan martabat penduduk miskin. Para pengambil kebijakan di negara Dunia Ketiga bak memburu setan untuk meningkatkan pertumbuhan nasionalnya. “Penyebabnya tak lain adalah rasa rendah diri karena merasa tertinggal, apabila dihadapkan pada negara-negara maju,” tulis Wiyono dalam artikelnya. Tak heran apabila dalam pengambilan kebijakan, mereka tidak segan-segan untuk bersikap otoriter dan menutup keran partisipasi bagi masyarakat. Kendala kedua adalah belum hilangnya anggapan bahwa masyarakat miskin itu bodoh. Anggapan ini tak sepenuhnya salah. James C. Scott dalam bukunya yang berjudul “Moral Ekonomi Petani” menilai masyarakat miskin tidak benar-benar ingin mentas dari kemiskinan yang membelenggunya. Tindakan mereka untuk berubah hanya di-
Sampul depan majalah LPM DIANNS tahun1990 yang memuat tulisan “Manusia Sntra Pembangunan”
dasarkan pada upaya meminimalkan risiko ketimbang memaksimalkan manfaat. Tindakan yang tentu tak sejalan dengan ambisi pengambil kebijakan untuk mengejar ketertinggalan. Faktor penghambat selanjutnya yakni hubungan patron-klien dalam struktur masyarakat di kebanyakan negara Dunia Ketiga yang merancukan makna partisipasi. Partisipasi disamakan dengan mobilisasi. Rakyat sudah dianggap berpartisipasi bila dapat dimobilisasikan dalam pelaksanaan program-program pembangunan. Ironisnya, ungkap Scott, rakyat merasa tak perlu banyak bicara mengenai hal itu. Yang penting masih ada kesempatan untuk melihat matahari atau diistilahkan oleh Scott sebagai “Safety First”. Terlepas dari berbagai kendala yang mungkin menghambat aplikasinya, berbagai langkah taktis perlu dilakukan demi terwujudnya pendekatan partisipatoris yang nyata. Wiyono memilih untuk kembali mengutip nasihat dari Ernst Friedrich Schumacher agar memasukkan manusia sebagai hitungan dalam setiap proses pembangunan. Yakni dengan menghayati ungkapan bahwa kecil itu indah; “Small is beautiful”. Ia lantas mengejawantahkan ungkapan tersebut ke
Kilas Balik dalam konsep-konsep yang konkret. Dicontohkan dalam hal inovasi teknologi. Ketika para pemimpin negara-negara Dunia Ketiga sibuk mengalihkan teknologi “berat” dari Barat, ahli ekonomi yang lahir di Jerman ini justru menganjurkan agar mengembangkan teknologi madya. Tidak mengandalkan mesin berat yang jauh dari tingkat pemikiran rakyat Dunia Ketiga. Tidak perlu investasi besar-besaran, melainkan program yang dapat dijalankan oleh tenaga manusia. Dengan kata lain, bersifat padat karya. Partisipasi masyarakat dalam alih teknologi pun kian besar. Sejalan dengan pemikiran Schumacher, Korten bahkan menilai bahwa logika pembangunan dewasa ini benar-benar telah terbalik. Pembangunan yang selama ini berlangsung, cenderung menyubordinasikan ni-lai-nilai manusia ke dalam produksi. Untuk melawan hal ini, ia membuat antitesis yang menekankan humanisme dalam pemba-ngunan. “Pembangunan harus tunduk pada nilai-nilai manusia. Keber-
Ilustrator: Rethiya
hasilan pembangunan, tanpa diikuti perkembangan nilai-nilai kemanusiaan, tak bermakna apa-apa!” tegasnya. Korten menekankan konsepnya pada pendekatan “proses belajar”. Belajar dari kesalahan, belajar dari keberhasilan organisasi lain, dan belajar untuk mengembangkan potensi diri. Semua proses belajar ini menjadi tuntutan bagi semua organisasi yang terlibat di dalam pembangunan. Akhirnya sebagai penutup dari artikel ini, Wiyono mengajak untuk kembali bertanya pada diri kita sendiri seandainya kitalah penentu kebijakan di negara ini, “Sanggupkah kita mengaplikasikan model ini? Sanggupkah kita memanusiakan manusia dalam pembangunan?” Menilik pembangunan-pembangunan yang selama ini masih menyisakan masalah-masalah ekologi sosial, bahkan sampai menggusur rumah-rumah penduduk dan melenyapkan kelestarian alam. “Masih jauh di angan-angan,” tandasnya.
“Pembangunan harus tunduk pada nilai-nilai manusia. Keberhasilan pembangunan, tanpa diikuti berkembangnya nilai-nilai kemanusiaan, tak bermakna apa-apa!”
DIANNS EDISI 54
2
Laporan Utama
Fotografer: Bimo Salah satu kolam di Sumber Mata Air Wendit. Terdapat tandon yang digunakan sebagai penampungan salah satu mata air terbesar di Wendit. Dimana sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Keberpihakan Pemerintah dalam Pembangunan Konsep pembangunan berkelanjutan yang selama ini dianut oleh Indonesia perlu dikritisi kembali. Sudharta P. Hadi dalam bukunya Opcit menyebutkan, pembangunan berkelanjutan adalah konsep pembangunan yang menyelaraskan kepentingan pembangunan dengan pengelolaan lingkungan. Namun, seiring konflik pembangunan dan lingkungan yang marak terjadi saat ini, konsep ini pun dipertanyakan. Dalam konflik yang kemudian menyeret tiga pihak: pemerintah, sektor privat, dan rakyat, keberpihakan pemerintah selaku pembuat kebijakan turut diragukan. Apalagi, jika dikaitkan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang selama ini digadang-gadangkan.
3
DIANNS EDISI 54
Laporan Utama Iwan Nurhadi, Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univeristas Brawijaya (FISIP UB) mengungkapkan, pembangunan berkelanjutan harus dilihat secara kritis. Artinya, konsep ini harus dilihat asal munculnya, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan seperti apa. Kalau dalam posisi pemerintah atau negara yang meratifikasi peraturan legal formal dari internasional dengan bukti ratifikasi itu tidak cukup karena ada tujuan lebih besar. Pembangunan sendiri perlu dipertanyakan sebagai sebuah gagasan yang sangat negara 'majusentris', atau dengan kata lain konsep pembangunan kita terjebak pada ide-ide yang dicetuskan oleh lembaga-lembaga internasional tanpa mampu membangun diri sendiri: bukan sosialis maupun kapitalis. “Waktu terus berjalan. Kita sudah terlanjur mengadopsi pembangunan developmentalis. Kita seolah-olah tidak punya waktu untuk merefleksi apakah konsep tersebut memberikan manfaat bagi banyak orang,” ungkapnya saat ditemui LPM DIANNS pada 28 September 2016 lalu di ruangannya. Lebih lanjut, Iwan menjelaskan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development merupakan suatu paradoks. Konsep tersebut sebenarnya berfokus pada lingkungan namun dalam realitasnya, lingkungan justru banyak dikorbankan atas nama pembangunan. “Selayaknya katak yang direbus, manusia tidak akan mampu beradaptasi dalam perubahan lingkungan yang begitu cepat dan dramatis,” tuturnya. Dalam hal pembangunan, terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu pemerintah, sektor privat, dan rakyat. Pembangunan yang awalnya memerlukan biaya perlu adanya keberadaan sektor privat. Namun, sektor privat mengambil posisi untuk menguntungkan pihak mereka. Peran masyarakat yang semulanya sebagai pengelola, kemudian dialihkan kepada sektor privat, oleh pemerintah dipermudah dengan jalan regulasi dan perizinan. Sehingga masyarakat hilang atas haknya untuk mengeksplorasi kekayaan alam tersebut. Kepentingan yang berseberangan sering kali terjadi antara masyarakat dengan sektor privat. Kontribusi sejarah bangsa Indonesia juga mendukung dalam konteks hak pengusaan kekayaan alam sehingga
menimbulkan pengusaan secara privat. Anton Novenanto yang juga Dosen Ju-rusan Sosiologi FISIP UB mengung-kapkan, berdasarkan sejarah perada-ban, kepemilikan itu muncul di negara-negara yang mengutamakan tanah se-bagai ruang hidup. Teori Maltus secara sederhana menjelaskan, pertumbuhan penduduk selalu tidak pernah seimbang dengan pertumbuhan lahan. Lahan ke-mudian menjadi terbatas, tetapi kemu-dian logika awal ialah logika kepemi-likan. “Disini individualisme bisa mun-cul dalam negara-negara yang berbasis tanah itu. Sementara komunalisme a-kan muncul di negara-negara yang ber-basis laut,” ungkapnya. Beberapa teori mengenai kepemilikan sumber daya seperti yang kemukakan oleh Garret Hardyn dalam Common Property Regime, yang merupakan the tragedy of common. Hardyn menjelaskan sumber daya alam yang digunakan oleh orang banyak dan bersifat open source dimana setiap orang berhak untuk memanfaatkannya guna memenuhi kebutuhan. Akibat dari sifatnya yang terbuka menimbulkan terjadinya setiap individu untuk eksploitasi yang berlebihan tanpa memikirkan pelestarian atau pengaruhnya terhadap orang lain. Sehingga setiap individu berlombalomba melakukan pemanfaatan secara terus-menerus dan mencari keuntungan sendirinya. Teori ini dikritik oleh Elinor Ostrom, dimana ia berpendapat kontribusi masyarakat atau kolektif dalam mengelola sumber daya secara bersama mampu dikelola dengan baik. Jadi tidak berhenti dengan pernyataan Hardin dengan kepemilikan individu. Suatu masyarakat mampu diandalkan dalam pemanfaatan sumber daya.
pengelolaan dan pengambilan air. Jika eksploitasi yang berlebihan maka akan mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan. Implikasinya k e t i d a k s e - i m b a n g a n s i k l u s a i r. Keseimbangan air ditentukan oleh siklus pemasukan kem-bali dari air yang diambil. Air tanah yang timbul dan keluar dari permukaan disebut mata air. Mata air sangat sensitif dengan lingkungan yang ada di sekitar-nya maka diperlukan perlindungan. “Mata air perlu dilindungi dengan broncaptering, bangunan penangkap mata air, supaya tidak mudah terkontaminasi dengan zat yang timbul dari kerusakan lingkungan,” ungkap Ery Suhartanto selaku Dosen Jurusan Teknik Pengairan UB pada 25 Agustus 2016 lalu. Namun, bangunan tersebut dibuat sesuai dengan keadaan lingkungan sekitar mata air. Kawasan yang mempunyai fungsi penting dalam menjaga konservasi mata air salah satunya daerah hulu tersebut. Hulu mata air terdapat pada daerah lereng pegunungan. Daerah pegunungan yang ditumbuhi oleh daerah perhutanan menjadi tempat siklus perputaran dan penyimpanan air. Hal ini membuat relasi antara daerah hulu dan hilir mempunyai sifat integral. Jika salah satu unsur dalam keadaan yang tidak seimbang maka
Pembangunan dalam konteks air Pada hakikatnya, air merupakan kekayaan alam yang hadir dalam kehidupan sebagai sebuah barang milik bersama (common goods). Komposisi air yang terdapat di lapisan bumi terdiri dari 97 persen air asin dan 3 persen lainnya berupa air tawar. Salah satu jenis air tawar merupakan air bawah tanah. Air bawah tanah merupakan air yang berada di dalam tanah yang mempunyai sifat keterbarukan melalui siklus alamiah. Untuk menjaga siklus, tentunya haFoto Iwan Nurhadi. Fotografer: Ipad
DIANNS EDISI 54
4
Laporan Utama akan berdampak dengan apa yang ada di bawahnya. Konservasi mata air ini berkaitan dengan ketersediaan air dalam jangka panjang. Ery menjelaskan, air ialah milik bersama yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat adalah dalam artian luas, bukan hanya masyarakat golongan tertentu apalagi sektor privat semata. Sejalan dengan Ery, Iwan mengungkapkan cara Earth Democrasy dilaksanakan. “Dunia ini milik bersama bukan milik satu pihak saja. Bukan semata-mata pengaturan siapa yang berhak mengelola dan untuk siapa air itu karena sudah tidak dapat dipertanyakan bahwa air itu kan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar Iwan. Di sisi lain, Daniel Stephanus selaku pegiat lingkungan menilai adanya pergeseran cara pandang manusia saat ini terhadap air. Air dianggap sebagai 'sumber daya'. Kata 'sumber daya' bermakna eksploitatif. “Sumber daya itu komoditas, jadi siap untuk diperdagangkan, berbeda ketika nenek moyang kita menyebutkan kekayaan alam, atau sources. Dimana sources merupakan bermakna modifikasi. Kata tersebut cenderung untuk melakukan sebuah tindakan untuk melindungi. Dan resources itu remodifikasi. Sehingga butuh pemaknaan yang lebih dalam kata sumber daya,” ungkap alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UB ini saat ditemui di kediamannya pada Kamis, 3 Novem-ber 2016 lalu. Air untuk Kota Malang Kota Malang yang memiliki topografi dataran tinggi memiliki relief yang berbentuk mangkok. Cekungan mangkok terdapat di balai kota, sehingga pembangunan, kota terpusat dan dimulai dari titik tersebut. Kondisi tersebut juga memengaruhi persebaran sumber mata air di Kota Malang. Di kawasan kota, terdapat beberapa titik yang salah satunya masih “bertahan” terletak di kawasan Malabar. Dengan debit air yang tergolong kecil tidak mungkin mampu mencukupi kebutuhan air seluruh masyarakat Kota Malang. Sehingga untuk mencukupi kebutuhan air, diambilah sumber air yang berada di luar kawasan kota Malang. Seperti yang terjadi di sumber mata air yang terdapat di Desa
5
DIANNS EDISI 54
Mangliawan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang yaitu sumber mata air Wendit. Jangan pernah membayangkan sumber mata air Wendit sebagai kolam alami yang memancarkan air dengan debit besar. Sumber air ini telah disulap oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang menjadi kolam wisata. Terletak dipinggir jalan menuju Tumpang, sumber air ini dikelilingi tembok tinggi. Berbekal uang 10.200 rupiah, pengunjung dapat berenang di kolam buatan yang airnya langsung dari sumber. Begitu pula dengan waterpark yang ada di sana, langsung dipompakan air dari sumber. Terdapat pula wisata naik perahu bebek yang dahulu dikuasai oleh masyarakat namun sekarang berada di bawah kendali pengelola. Namun, pengunjung tak
Ilustrator: Rethiya
dapat menikmati kolam spa atau pun sumber Widodaren dikarenakan akan dikenakan tiket masuk tersendiri. Sedangkan di sebelah tempat wisata tersebut, terdapat Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Malang yang bertugas mengalirkan air sumber Wendit ke PDAM Kota Malang dengan harga tertentu. Pada saat LPM DIANNS mencoba mengunjungi sumber air tersebut pada Kamis, 3 November 2016 lalu, terdapat beberapa orang lelaki yang mengaku warga sekitar sedang menjaring ikan mujair di kolam dekat sumber. Salah satu di antaranya –yang enggan disebutkan identitasnya— mengungkapkan, sejak dahulu warga sekitar memang terbiasa menangkap ikan di sumber untuk dimakan sehari-hari. Sa-yangnya, ikan di sumber air ter-sebut tidak sebanyak dahulu. Tidak jauh dari tempat tersebut,
sebuah bangunan beton berwana biru menutupi tempat memancarnya air sumber tersebut. Air dari bangunan tersebut kemudian mengisi kolam buatan tempat pengunjung berenang, kemudian mengalir ke wahana perahu bebek, lalu keluar tembok pembatas menuju area pertanian kangkung warga dan kemudian ke sungai. Menurut penuturan Agus, mantan ketua RT 9 RW 3 Lowoksuruh, dahulu warga juga menggantungkan hidup dari pertanian kangkung sebelum pada akhirnya lahan mereka diambil pemerintah untuk dibangun tembok pembatas tempat wisata dan saat ini lahan mereka tinggalah sedikit. Terdapat bangunan beton biru kedua yang terletak tak jauh dari ba-ngunan beton pertama. Menurut pengakuan Faizal, seorang bocah 14 tahun yang sering bermain di sumber, air dari bangunan beton tersebut akan dipompa menuju kolam arus yang tak jauh dari sana di akhir pekan saat kolam wisata ini dipadati pengunjung. Terkait pembangunan tempat wisata tepat di atas sumber air, Ery menjelaskan sesungguhnya tidak diperbolehkan ada bangunan di sekitar sumber mata air dalam radius 200 meter. Hal ini didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990 menyatakan bahwa kawasan dengan radius 200 meter di sekitar mata air diperuntukkan sebagai kawasan konservasi. Artinya, di kawasan ini dilarang sebagai lokasi untuk mendirikan bangunan demi menjaga kualitas dan kuantitas mata air. Sedangkan, di sumber Wendit hal ini telah dilanggar karena adanya pendirian waterpark hingga kolam. Perihal kuantitas air, Surat Pernyataan Kesanggupan Melaksanakan Konservasi Air Tanah dan Pelestarian Lingkungam antara Pemkab dan Pemkot Malang Tahun 2014 menyebutkan, debit air yang diambil sebanyak 773 liter/detik dari total debit sumber 1020 liter/detik. Teguh Prie Jatmono, salah seorang warga Mangliawan yang ikut memperjuangkan hak masyarakat atas air mengaku, pembangunan tempat wisata ini hanya memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Padahal, AMDAL diwajibkan untuk pengambilan air di atas 250 liter/detik.
Laporan Utama “Tempat wisata itu sudah tidak ada AMDAL-nya, dibangun bangunan permanen, tidak ada konservasi airnya juga,” terangnya saat ditemui di kediamannya pada Jumat, 4 November 2016. Kasus air yang terjadi di Wendit menunjukkan konflik kepentingan tidak hanya menyangkut rakyat, privat sektor, dan pemerintah seperti kebanyakan kasus. Namun, juga dapat melibatkan pihak ketiga yang ternyata juga berada di pihak pemerintah –dalam hal ini adalah pihak PDAM. Seperti yang diungkapkan Daniel, “Pemerintah juga bisa menjadi eksploitator, tidak hanya sektor privat. Jika sudah begini, pembangunan pemerintah berpihak ke siapa?” Reporter: Dea K. Riyadi dan Bimo Adi K.
“Dunia ini milik bersama bukan milik satu pihak saja. Bukan sematamata pengaturan siapa yang berhak mengelola dan untuk siapa air itu karena sudah tidak dapat dipertanyakan bahwa air untuk kebutuhan sehari-hari”
Fotografer: Bimo
DIANNS EDISI 54
6
Liputan Khusus
Fotografer: Satria Air yang terpancar dari sela-sela bebatuan di Desa Duwet Krajan, Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang ini kerap disebut Sumber Pitu atau Tujuh Sumber. Sumber air menjadi tumpuan hidup petani dari sebelas desa sekitar. Foto ini diambil pada 4 Juni 2016 oleh Satria Budi Utama.
Renggut Air Petani Demi Pelanggan PDAM
S
umber Pitu, sebuah sumber mata air yang terletak di Desa Duwet Krajan, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Airnya memancar melalui tujuh sela bebatuan di antara tumbuhan hijau yang merambat. Alirannya memenuhi sungai yang disebut kali lajing. Sungai yang memegang peranan penting dalam kehidupan para
petani dengan mengairi lahan pertanian di sebelas desa yang tersebar di Kecamatan Tumpang dan Pakis. Sayangnya, aliran air itu kini harus rela terbagi atau bahkan terenggut oleh kebutuhan air pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Malang.
7
DIANNS EDISI 54
Liputan Khusus Jika menilik ke Sumber Pitu, di sana akan tampak sebuah bangunan kubus besar berwarna biru muda bertuliskan Perusahaan Daerah Air melalui saluransaluran pipa ke setiap pelanggan PDAM Kabupaten Malang yang berada di daerah Kabupaten dan Kota Malang, seperti yang dilansir dalam website Balai Besar Wilayah Sungai Brantas. Pengambilan air tersebut akan mengurangi pasokan air bagi sawah para petani, yang berujung pada terenggutnya kebutuhan air petani. Menyadari haknya telah diambil, para petani merasa resah dan berujung pada perebutan sumber air.
sebesar 200 liter per detik, dengan harga air baku sebesar Rp 290 per meter3. Namun, informasi ini sendiri masih belum mendapatkan verifikasi dari pihak PDAM. Dikarenakan hingga berita ini dituliskan, pihak PDAM Kabupaten Malang sulit untuk diwawancarai.
Benturan nasib dan kepentingan Pembangunan reservoir di Desa Duwet Krajan menyebabkan keresahan dikalangan warga. Khususnya para petani yang ketakutan akan masa depan nasib mereka. “Kalau air ini diambil, bagaimana nasib anak-anak kami, banyak juga di antara kami yang masih jadi buruh tani� tutur Yatmo, petani sekaligus waker atau petugas pembagi air di Desa Sukoanyar, Kecamatan Pakis. Proyek yang diperuntukan bagi kepentingan PDAM tersebut, akan menyebabakan sawah mereka kekurangan air. Yatmo mengungkapkan jika pada saat musim kemarau, air harus dibagi dengan sistem penjadwalan. Pembagiannya pun bukan dilakukan secara bergiliran tiap petak lahan, tetapi bergilir pada tiaptiap desa. Menurut Muktiono dari Pusat Pengembangan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (PPHD) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, terdapat dua kubu yang saling beradu kepentingan dalam permasalahan di Sumber Pitu. Kedua kubu tersebut yaitu petani yang memanfaatkan air Sumber Pitu untuk kehidupannya, dan pemerintah dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yaitu PDAM Kabupaten dan Kota Malang yang mengambil air untuk memenuhi kebutuhan air di Kabupaten dan Kota Malang. Air yang diambil dari Sumber Pitu tersebut, digunakan untuk memenuhi kebutuhan delapan ribu pelanggan baru PDAM yang tersebar di berbagai tempat. Di daerah Kabupaten Malang, air akan dialirkan ke empat kecamatan, yaitu Tumpang, Pakis, Jabung, dan Tajinan. Selain itu, Kota Malang juga
Fotografer: Satria
Reservoir milik PDAM Kabupaten Malang yang berada kurang dari 200 meter di depan mata air. Pembangunan reservoir ini ditolak oleh warga karena melanggar Keppres Nomor 32 Tahun 1990. Berdasarkan peraturan tersebut, dalam radius 200 meter dari sumber air harus dijadikan kawasan konservasi. Foto ini diambil oleh Satria
Debit mata air Sumber Pitu menurut Himpunan Petani Pengguna Air (HIPPA) sebesar 935 liter per detik, sementara menurut PDAM Kabupaten Malang adalah 643 liter per detik. Menurut Surat Izin Pengambilan Air (SIPA), direncanakan debit air yang akan diambil dari Sumber Pitu sebanyak 450 liter per detik. Menurut Fauzi sebagai Seksi Konservasi Bidang Perencanaan Konservasi Sumber Daya Air (PKSDA) Dinas Pengairan Kabupaten Malang, rata-rata kebutuhan irigasi pertanian adalah 1,2 liter air per satu hektar tanah. Sedangkan jumlah sawah petani yang menggunakan air dari Sumber Pitu seluas 1.100 hektar. Maka dapat kita lihat bagaimana dampak pengambilan air tersebut terhadap petani. Atas alasan itulah, para petani melakukan beberapa kali penolakan dan perjuangan atas kedaulatan air. Petani dari sebelas desa telah melakukan berbagai hal untuk memperjuangkan haknya. Beberapa petani yang berasal dari Desa Pucungsongo, Sukoanyar, Bokor, Sumber Pasir, Slamet, Kedung Rejo, Banjar Rejo, Tumpang, Malangsuko, Jeru, dan Wringinsongo. Pada hari Rabu, 28 Januari 2015 lalu, menghentikan secara paksa dan menyegel proyek pembangunan jaringan
beberapa kali juga telah melakukan pertemuan dengan PDAM Kabupaten Malang dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Malang. Namun sering menuai kegagalan. Penundaan pertemuan dengan DPRD Kabupaten Malang pun pernah terjadi pada 12 Februari 2015. Hingga 5 Maret 2015 pertemuan bersama DPRD komisi A, B, C, dan D dapat dilaksanakan dan menghasilkan titik temu, berupa persetujuan untuk menghentikan pembangunan proyek per Maret 2015. Penghentian proyek tersebut dilakukan sampai dengan konflik antara PDAM Kabupaten Malang, Pemerintah Kabupaten Malang, dan petani tuntas. Namun sangat disayangkan, meskipun konflik masih terus bergulir, pembangunan tersebut tetap dilanjutkan oleh pihak PDAM dan kini telah siap digunakan. Konflik perebutan sumber air pitu Masalah perebutan air di Sumber Pitu berawal sejak rencana pengambilan air PDAM dengan adanya membangun reservoir. Sedangkan rencana pengambilan air telah dimulai sejak tahun 2010. Hal itu ditandai dengan adanya MoU (Memorandum of Understanding) bernomor 99/MoU/ PU/mlg/II dan nomor 116/3033/35.73.701/ 2010 tertanggal 4 Oktober 2010 tentang pemanfaatan sumber air di kawasan KPH Malang. Nota kesepakatan antara KPH Malang dan PDAM Kota Malang tersebut, berisikan mengenai persetujuan pengelolaan hutan secara bersama-sama. Sementara, untuk pembangunan pipanisasi diawali dengan penandatanganan kontrak karya dengan PT. Wijaya Karya pada 12 D e s e m b e r 2 0 1 2 . Pe m b a n g u n a n reservoir dan pipanisasi yang menelan
Reservoir di Desa Wringinanom ini pernah dihentikan secara paksa dan disegel oleh warga namun sekarang justru sudah diaktifkan oleh pihak PDAM Kabupaten Malang.
DIANNS EDISI 54
8
Liputan Khusus dana sebesar 152 miliar rupiah, dipenuhi menggunakan dana APBN sebesar 100 juta rupiah. Sedangkan sisanya dipenuhi melalui pinjaman Bank Negara Indonesia (BNI). Pembangunan reservoir yang telah dilaksanakan, tidak melibatkan peranan masyarakat setempat secara langsung. Serta tidak dilakukannya sosialisasi terhadap sebelas desa terdampak. Pembangunan yang dilakukan, juga hanya melalui perizinan dari Kepala Desa Duwet Krajan dan Dinas Pengairan sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap urusan air dari hulu hingga ke hilir. Kepala Desa Duwet Krajan mengungkapkan, jika ia tidak menyetujui adanya pembangunan tersebut. Karena banyak masyarakat setempat yang masih membutuhkan air Sumber Pitu. Akan tetapi, ia juga mengaku tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu, pihak Dinas Pengairan telah menyetujuinya dengan syarat. “Ketika permohonan itu masuk, kami izinkan dengan syarat, yaitu saat musim hujan air bisa diambil 100 persen, namun saat musim kemarau harus tunggu dulu hasil musyawarah petani”, ungkap Fauzi. Tetap sayangnya, PDAM justru telah melalakukan pembangunan terlebih dahulu, lanjutnya. Selain tidak adanya partisipasi dari masyarakat. Izin pengambilan air di Sumber Pitu juga menuai masalah. Masalah itu terletak pada tidak adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam proses tersebut. Dikarenakan, pengambilan air yang dilakukan masih berada di bawah batas yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 5 Tahun 2012. Pengambilan air di Sumber Pitu, yang pada awalnya direncanakan sebanyak 450 liter per detik. Mengalami perubahan hanya akan diambil sebanyak 240 liter per detik. Meskipun sebenarnya dalam Permen LH Nomor 5 Tahun 2012, di bagian lampiran IV yang berisi mengenai langkah–langkah yang harus ditempuh badan usaha yang tidak termasuk wajib AMDAL agar bisa diajukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup menjadi badan usaha wajib AMDAL. Disebutkan pengukuran dengan kriteria dampak penting seperti jumlah manusia yang akan terkena dampak, luas wi-
9
DIANNS EDISI 54
l a ya h p e r s e b a r a n dam-pak, intensitas dan lama-nya dampak berlangsung, banyaknya komponen lingkungan yang terkena dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik (reversible) atau tidak ber-baliknya (irreversible) dampak. M a k a , m e l i h a t kemungkinan besaran Fotografer: Danar dampak pengambilan Sumber Pitu yang akan Dam di Kecamatan Tumpang ini menjadi pintu air untuk mengatur Foto ini diambil menimpa petani dari se- distribusi air dari Sumber Pitu ke sebelas desa sekitar. pada 2 September 2016 belas desa, seharusnya proyek ini rebutan air tersebut sudah selesai. Telah memakai AMDAL. Meski-pun, ada solusi yang diputuskan dalam raMuktiono sendiri kurang yakin pat dewan DPRD yang dihadiri oleh AMDAL akan lolos jika dilakukan. KaDinas Pengairan, PDAM Kabupaten rena, dari awal sudah timbul penolakan Malang dan Badan Lingkungan Hidup. masyarakat, yang artinya aspek partisiPembangunan Embung Cokro di Desa pasi tidak terpenuhi. Sukoanyar, Kecamatan Pakis meruTidak adanya AMDAL dalam proses pakan solusi yang diputuskan dalam rapembangunan ini, menjadi bukti jika pat tersebut. Embung tersebut kelak hukum saat ini hanya berperan sebagai akan berfungsi sebagai suplai air dari instrumen kekuasaan. Hal ini menurut saluran irigasi dam Tumpang untuk Muktiono menjadikan permasalahn ini para petani. menarik, jika dikaji dari aspek hukum. Solusi memang telah diputuskan, Menurutnya pemerintah adalah pihak namun apakah itu telah disetujui oleh yang berwenang mengeluarkan izin serakyat? Muncul pertanyaan lagi mengebagai keran pengendalian dalam nai, bagaimana implementasinya atas pengambilan air Sumber Pitu. Semenkeputusan tersebut? Muktiono menjetara PDAM sendiri adalah perusahaan laskan jika memang telah ada solusi, milik pemerintah. Dilihat dari sini, sebetetapi apakah solusi tersebut sudah win narnya telah terjadi disparitas atau kewin solution? Apakah masyarakat senjangan terkait izin pengambilan air menerima dan kemudian yang paling Sumber Pitu. “Dari sini dapat kita lihat terpenting? Apakah embung tersebut adanya disparitas, ada kesenjangan, datidak mengganggu ekosistem disana lam tanda petik power disparity. Dalam juga? Kepentingan rakyat atas haknya kondisi ini, tentu saja wajar kondisi peakan air atau sumber daya alam terpingtani sangat lemah, karena petani tidak girkan ketika terjadi bentrok kepenmempunyai kuasa apapun”, ungkap tingan. “Kenapa harus air sumber pitu Muktiono. yang diambil, apakah tidak ada usaha Terkait PDAM yang tidak memiliki intensifikasi sumber mata air, untuk biAMDAL. Dalam pengambilan air, perusa tetap menjaga kebutuhan air petani” sahaan air minum milik negara tersebut ungkapnya. Muktiono mengatakan jika hanya mengantongi dokumen Upaya solusi untuk masalah ini sendiri Pemantauan Lingkungan dan Upaya sebenarnya me-rupakan jalan panjang. Pengelolaan lingkungan (UKL dan Solusi yang paling masuk akal UPL) yang ditinjau oleh Badan Lingmenurutnya adalah bagaimana cara kungan Hidup (BLH) Kabupaten Mamenginklusi masyarakat. Menginklusi lang. Dalam dokumen itu kurang lebih dalam hal ini adalah bagimana tercantum enam buah dampak beserta mengedukasi masyarakat, melibatkan solusinya. Beberapa dampak yang termereka dalam struktur dan seterusnya. cantum diantaranya, yaitu penurunan debit, penurunan kualitas mata air, penurunan debit irigasi dan gejolak masyarakat petani.
Reporter: Dinda Indah dan Danar Yuditya
Liputan Khusus
Potret Buram
Kali Badek Antara Lingkungan dan Industri DIANNS EDISI 54
10
Liputan Khusus Aroma tidak sedap langsung menyeruak tatkala kita menyusuri aliran saluran pembuangan limbah yang oleh warga sekitar dijuluki dengan “Kali Badek”. Saluran yang berasal dari sejumlah pabrik di Kelurahan Ciptomulyo ini, mengalir ke timur melewati Kelurahan Mergosono hingga pada akhirnya bermuara di Sungai Brantas. Kali Badek merupakan salah satu contoh permasalahan limbah cair di Kota Malang yang hingga hari ini tak kunjung terselesaikan. Masalah yang berlarut-larut ini secara nyata telah berdampak pada lingkungan fisik maupun sosial masyarakat di sekitarnya.
N
atalino Monteiro selaku Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Malang, mengungkapkan bahwa dari sekian banyak industri yang membuang limbahnya ke saluran tersebut, ada dua industri yang memiliki tingkat pencemaran cukup tinggi. Dua industri tersebut yaitu PT Kasin Leather yang pindah ke kawasan tersebut pada tahun 1951 dan PT Usaha Loka yang mulai beroperasi sekitar tahun 1990-an. Pencemaran yang terjadi di Kali Badek sendiri bermula saat pertama kali pabrik kulit PT Kasin Leather beroperasi di kawasan Ciptomulyo. Saat itu kondisi air Kali Badek bahkan lebih buruk daripada sekarang. Hal ini diungkapkan oleh Mustari, salah satu warga yang tinggal di bantaran Kali Badek. “Sejak saya pindah kesini tahun 66 itu sudah bau, malah lebih parah dari ini, dulu airnya warnanya merah, kalo sekarang kan warnanya jadi putih,” ujarnya salah saat ditemui oleh LPM DIANNS pada 18 September 2016 lalu. Pada kesempatan berbeda, Subagyo selaku Ketua Rukun Warga (RW) 05 Kelurahan Ciptomulyo menuturkan bahwa kawasan sekitar saluran pembuangan limbah tersebut dahulu merupakan tanah milik PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Oleh PT KAI kawasan tersebut digunakan sebagai tempat pembuangan limbah bekas pembakaran kereta api uap. Namun karena di kawasan tersebut berdiri pabrik kulit PT Kasin Leather, ditambah dengan tanah milik PT KAI yang murah, maka banyak karyawan pabrik serta pendatang yang menetap di kawasan tersebut. Apabila kita merujuk pada peratur-
11
DIANNS EDISI 54
tang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 72 Tahun 2013. Dalam Pergub tersebut dijelaskan bahwa kadar maksimum baku mutu limbah cair untuk parameter BOD5 adalah 100 miligram per liter, sementara COD adalah 250 miligram per liter. artinya, kadar baku mutu PT Usaha Loka untuk parameter BOD melebihi 1020 miligram per liter, atau atau lebih dari sepuluh kali lipatnya. Sementara untuk COD mencapai lima belas kali lipat dari kadar seharusnya.
Dampak lingkungan an pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air pada Tingkat pencemaran yang masih pasal 40 ayat (1) menyebutkan bahwa se- jauh melebihi baku mutu tersebut tentutiap usaha dan atau kegiatan yang akan nya menimbulkan pelbagai permasalahmembuang air limbah ke air atau sum- an bagi warga yang tinggal di sekitar ber air wajib mendapat izin tertulis dari aliran Kali Badek. Salah satunya adalah Bupati/Walikota atau Izin Pembuangan pencemaran sumur-sumur warga. Air Limbah Cair (IPLC). Untuk mendapat- sumur yang tercemar berwarna kekukan IPLC, syaratnya setiap industri ha- ningan dan jika didiamkan selama beberus memiliki kualitas limbah yang me- rapa hari akan muncul endapan berwarmenuhi baku mutu yang telah dite- na kuning di dasar air. Pada akhirnya tapkan. Sehingga, jika melebihi atau warga terpaksa beralih menggunakan jauh dari baku mutu tersebut, tidak akan air dari PDAM (Perusahaan Daerah Air bisa mendapat IPLC. “IPAL itu kan ada Minum) karena air sumur sudah tidak satu izin yang namanya IPLC (Izin Pem- layak dipergunakan, baik dimanfaatkan buangan Limbah Cair), salah satu untuk dikonsumsi maupun mencuci paketentuan dari IPLC itu harus lulus dari tiga kali uji yang dilakukan secara berturut-turut, dan itu harus sudah memenuhi baku mutu, kalo belum memenuhi ya tentu izin nggak akan keluar,” ujar Monteiro saat ditemui awak DIANNS di kantor pada 7 Oktober 2016. Salah satu industri yang masih belum memenuhi standar baku mutu tersebut adalah PT Usaha Loka. Industri tersebut memang hingga saat ini masih belum memiliki izin IPLC. Berdasarkan hasil uji labolatorium BLH Kota Malang pada Juli 2016, air limbah PT Usaha Loka masih menunjukan parameter baku mutu limbah cair yang buruk, yaitu Biochemical Oxygen Demand 5 days (BOD5) mencapai 1120 miligram per liter, dan Chemical Oxygen Demand (COD) mencapai 3680 miligram per Fotografer: Ipad liter. Hal ini jauh melebihi kadar maksimum yang disebutkan dalam Pipa dan tiang yang berkarat di kawasan aliran drainase Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa kelurahan Ciptomulyo Timur Nomor 52 Tahun 2014 Ten-
Liputan Khusus kaian. Seperti keluhan salah seorang warga RW 2 Kelurahan Ciptomulyo yang enggan disebutkan indentitasnya tentang kondisi air tanah di sumur rumahnya. “Dulunya memang memanfaatkan, tapi karena udah nggak bisa dipakek sekarang banyak dari orang kampung beralih menggunakan PDAM. Warnanya kuning dan sudah tercemar, jadi nggak bisa dikonsumsi, kalo buat nyuci juga nempel di baju. Jadi ga layak digunakan lagi.” Selain masalah pencemaran sumur, permasalahan lain yang dirasakan masyarakat sekitar pabrik tersebut ialah bau limbah yang menyengat. Menurut Monteiro, bau menyengat tersebut berasal dari zat amonium yang terkandung dalam air limbah Kali Badek. Senada dengan pendapat Montero, Catur Retnaningdyah mengatakan, “Zat amonium memang menimbulkan bau menyengat menyerupai septic tank,” ujar dosen yang mengampu mata kuliah Ekosistem Perairan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya (FMIPA UB) tersebut pada 26 September 2016 lalu. Tidak hanya itu, selama ini warga yang tinggal di sekitar aliran Kali Badek juga mengeluhkan pengaratan barangbarang yang terbuat dari logam serta alat-alat elektronik. Hal ini diungkapkan oleh Subagyo pada 29 Agustus 2016 silam, “Kalo warga sekitar RW 05 sungai yang di belakang itu ya elektroniknya katanya sering rusak. Di belakang pabrik Fotografer: Ipad
sama yang ngelewati sungai itu, terutama televisi.” Mengenai adanya kaitan antara keberadaan kali badek dan rusaknya barang-barang logam serta elektronik dibenarkan oleh Monteiro. Menurutnya memang semua limbah yang mengandung asam itu sifatnya korosif, karena itu jika di daerah tersebut logam yang terpapar terlalu lama akan
korosif. Dilematis pemerintah Limbah yang dibuang ke Kali Badek memiliki kadar pencemaran yang masih jauh dari baku mutu yang telah ditetapkan. Bahkan menurut Monteiro, permasalahan limbah Kali Badek merupakan permasalahan limbah yang paling berat di Kota Malang. Meskipun begitu, permasalahan tersebut harus segera dicarikan solusinya, karena sangat merugikan masyarakat dan mencemari aliran Sungai Brantas. Pihak pemerintah melalui BLH sebenarnya selama ini telah melakukan pembinaan terhadap industri yang limbahnya masih belum memenuhi baku mutu, untuk memperbaiki kualitas Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang dimiliki. Namun fakta di lapangan menunjukan bahwa permasalahan ini terjadi secara berlarut-larut hingga puluhan tahun dan belum terselesaikan hingga hari ini. Dalam hal ini pemerintah menjadi dilema. Satu sisi pabrik telah menyebabkan dampak yang membahayakan lingkungan dan merugikan warga, sehingga seharusnya ditutup. Namun, di sisi lain pabrik tersebut juga merupakan mata pencarian warga, sehingga jika ditutup dampaknya besar. Hal ini diungkapkan oleh Monteiro, “Sebenarnya solusi paling bagus ya tutup, tapi kalau tutup kan dampaknya ke masyarakat, kan juga banyak yang kerja disana.” Menurutnya, pihaknya sebenarnya sudah pernah menawarkan untuk menutup pabrik, namun, masyarakat tidak menyetujui. Alasannya, karena bagi mereka pabrik merupakan tempat hidup. Warga hanya mengharapkan agar limbahnya untuk diolah. Selain itu, terdapat wacana untuk menerapkan teknologi Rotating Biological Contactor (RBC) guna mengatasi permasalahan limbah tersebut. Namun pihak pemerintah sendiri tidak memaksa industri yang bersangkutan menerapkannya, karena biayanya yang mahal dikhawatirkan akan memberatkan industri yang bersangkutan. “RBC itu memang bagus tapi biaya operasionalnya besar, makanya kita kasih kesempatan mereka untuk meningkatkan kualitas IPAL, itu jadi pilihan terakhir,” ungkap Monteiro saat memaparkan teknologi
“ Apakah kemudian dampak sosial untuk kesejahteraan itu selaras dengan dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan yang mereka terima?
“ RBC di BLH Kota Malang. Terlepas dari semua itu, ketegasan pemerintah sangat diperlukan guna menyelesaikan permasalahan limbah Ciptomulyo, karena apabila permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut akan memperparah dampak yang ditimbulkan baik dari aspek lingkungan, sosial, maupun kesehatan masyarakat sekitar. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Ucca Arawindha selaku dosen jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politi Universitas Brawijaya (FISIP UB) saat ditemui LPM DIANNS di ruangannya pada 7 Oktober 2016 lalu. Ia mengungkapkan jika pabrik juga memberikan efek sosial karena bisa menyerap tenaga kerja, sehingga dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, ia menambahkan, bahwa masyarakat juga harus mempertimbangkan dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pabrik tersebut. “Apakah kemudian dampak sosial untuk kesejahteraan itu selaras dengan dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan yang mereka terima? Kalo sosial ya kaitanya dengan interaksi sosial pasti terganggu lah, ketika mereka misalkan kita lewat aja kecium kan baunya ga enak, itu kan sudah menganggu,” ungkapnya. Reporter: Muhammad Bahmudah dan Hayu Primajaya
DIANNS EDISI 54
12
KALI BADEK Fotografer: Ipad
Salah satu spanduk pada dinding depan SMP PGRI 06 Malang sebagai tuntutan untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran bau limbah agar tidak mengganggu kegiatan pendidikan di kelurahan Ciptomulyo
Liputan Khusus Pariwisata Kota Batu Tekankan Keuntungan Bukan Lingkungan “Sebenarnya kalau saya melihat pembangunan di Kota Batu ya sudah menyimpang. Karena dalam rencana pembangunan jangka panjang Kota Batu, itu wisatanya berbasis agro atau pertanian. Jadi yang harusnya dikembangkan adalah sektor-sektor pertanian yang merupakan produk unggulan dari Kota Batu. Tetapi saya melihat yang diunggulkan malah wisata buatan”, ujar Andika Muttaqin, akademisi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) yang konsen terhadap pembangunan dan kebijakan lingkungan pada Senin, 3 Oktober 2016 lalu.
K
ota Batu akan dijadikan sebagai sentra pertanian organik berbasis kepariwisataan internasional. Tekad itu dituliskan dalam visi Kota Batu tahun 2012–2017. Keadaan alam yang secara alamiah terbentuk memang mendukung untuk menjadikannya sebagai sentra produksi pertanian. Topografi, geologi, hidrologi, dan klimatologi kota berjuluk Kota Apel ini juga merupakan karakteristik yang digemari oleh masyarakat untuk wisata sektor pertanian. Sesuai Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Batu Tahun 2016, sektor pertanian atau umum disebut sebagai agrowisata, memanglah daya tarik yang dicanangkan oleh pemerintah. Lantas, pertanyaannya adalah, dengan visi untuk menjadikan Kota Batu sebagai kota agrowisata, apakah sektor pertanian menjadi penyumbang pendapatan terbesar bagi Kota Batu? Berdasarkan RPKAD tahun 2016, subsektor perdagangan, hotel dan restoranlah yang menempati peringkat tertinggi penopang laju pertumbuhan
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB ADHB) Kota Batu. Angkanya mencapai 29,65 persen. Sementara subsektor per-tanian sebagai visi Kota Batu hanya me-nempati angka 16,42 persen. Dengan ge-larnya sebagai kota wisata, tercatat ada empat belas objek wisata. yang dimiliki Kota Batu. Obyek wisata itu tengah di-efektifkan oleh pemerintah. Keempat belas obyek wisata tersebut diantaranya Pemandian Selecta, Kusuma Agro Wisa-ta, Jatim Park, Air Panas Cangar, Peman-dian Songgoriti, Batu Night Spectacular (BNS), Petik Apel “Makmur Abadi”, Vi-hara “Dammadhipa Arama”, Museum Satwa, Beji Outbond, Rafting Kali-watu, Ingu Laut Florist, Kam-poeng Kidz, Banyu Brantas Rafting, dan Desa Wisata yang tersebar di wilayah Kota Batu. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu tahun 2010-2030, wilayah pengembangan kawasan kegiatan perdagangan dan
pengembangan kegiatan pariwisata dan jasa penunjang akomodasi wisata hanya terletak pada Kecamatan Batu. Namun faktanya, bangunan-bangunan itu saat ini justru mudah sekali kita temui di dua kecamatan lain di Kota Batu, yakni Keca-matan Junrejo dan Bumiaji. Banyaknya alih fungsi lahan pertanian dan per-kebunan menjadi infrastruktur pariwi-sata di dua kecamatan tersebut, terlihat melalui data yang dihimpun oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Batu. Dimana menurut d a t a terseb ut,
Sumber : RKPD Kota Batu Tahun 2016
DIANNS EDISI 54
14
Liputan Khusus han pertanian terlihat sejak 2012 hingga tahun 2015. Menimbulkan masalah lingkungan Salah satu contoh lahan pertanian yang sekarang ini menjadi tempat wisata buatan adalah lahan yang digunakan oleh Batu Night Spctacular (BNS) di Desa Oro-Oro Ombo. Sugiono, selaku kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Oro-Oro Ombo, mengungkapkan jika lahan yang saat ini digunakan oleh BNS sebelumnya adalah lahan pertanian seluas satu hektar. Tidak hanya itu, tempat wisata lain yang letaknya tidak jauh dari BNS, yaitu Jatim Park II juga membawa permasalahan lingkungan. Lokasi bangunan Jatim Park II dinilai telah menyalahi aturan. “Itu kan daerah serapan air. Kalau secara aturan di rencana tata ruang, disitu tidak boleh ada bangunan. Memang dikhususkan agar tanah tidak longsor dan tidak banjir,” ujar Andika. Ia menambahkan jika daerah Oro-Oro Ombo berada di atas banyak titik mata air. Sehingga, berdasarkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, harusnya tidak boleh ada bangunan di lokasi tersebut. Masalah serupa juga terjadi di lokasi lain di Kota Batu. Masalah tersebut yaitu rencana pembangunan Hotel The Rayja yang telah muncul sejak 2010. Pembangunan hotel ini menuai konflik dengan masyarakat. Hotel ini rencananya akan dibangun pada radius 150 meter dari sumber Umbulan Gemulo. Hal ini dikhawatirkan oleh warga akan memecah sumber mata air tersebut dan merusaknya. Sumber Umbulan Gemulo sendiri, merupakan sumber besar yang memasok air minum untuk Dusun Cangar, Desa Bulukerto, Desa Bumiaji, Desa Sidomulyo, dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Batu. Selain untuk kebutuhan rumah tangga, Sumber Umbulan Gemulo juga mengaliri lahan-lahan di Desa Sidomulyo dan Pandanrejo untuk kebutuhan pertanian. Sehingga jika sumber Umbulan Gemulo mati, maka banyak pihak yang mengalami kerugian. Peningkatan pembangunan pariwisata buatan dan aspek penunjangnya yang semakin masif di Kota Batu telah mengancam kebutuhan air warga. Hal ini dirasakan pula oleh masyarakat yang
15
DIANNS EDISI 54
berada di dataran lebih rendah, k h u s u s - n ya K e c a m a t a n J u n r e j o . Jamaludin, Ke-tua BPD Desa Tlekung, yang berprofesi sebagai petani. Ia menyatakan, saat ini kondisi buruk bagi petani adalah sulit-nya mendapatkan air. “Air untuk warga berkurang, sering mati,” keluhnya pada DIANNS ketika ditemui di rumahnya, Desa Tlekung Kecamatan Junrejo pada 9 September 2016. Kecamatan Junrejo merupakan kecamatan yang menjadi lokasi pem-bangunan wahana wisata buatan Predator Fun Park. Jamal mengadu, pasokan air Predator Fun Park berasal dari sumber mata air yang sama dengan warga. “Predator juga mengambil air dari sumber mata air Urip yang dimanfaatkan warga sini. Soal pengambilan air ini tidak ada musyawarah ke warga sekitar,” imbuhnya. Ia menambahkan, sebelum adanya pembangunan industri pariwisata, kondisi air masih baik dan tetap bisa mencukupi bahkan pada musim kemarau sekalipun. Namun, sekarang warga sudah sangat mengalami krisis air. Sejalan dengan Jamal, Edi Suharyono, Ketua Himpunan Masyarakat Pengguna Air Minum (HIPPAM) Pemuda menyatakan, sumber mata air di Kecamatan Junrejo sudah banyak yang mati. Apalagi pembangunan industri pariwisata banyak dilakukan di dataran tinggi, sehingga mematikan sumber air yang terletak di bawahnya. Wilayah di dataran yang lebih rendah akan terkena dampak penurunan kuantitas air.
rangan Rencana Kota (KRK), AMDAL, Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalin), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Gangguan (HO), Tanda Daftar Perusa-haan (TDP), dan Tanda Daftar Usaha Pa-riwisata (TDUP). “Objek wisata lain juga terindikasi demikian. Saya minta doku-men dan AMDAL-nya BNS juga tidak dikasih sampai sekarang,” ujar Hayyik selaku Wakil Koordinator Eksternal Ma-lang Corruption Watch (MCW). PT. Jatim Park Group, sebagai induk perusahaan pariwisata di Kota Batu pun terbukti memiliki penunggakan pajak. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2014, jumlah penunggakan pajak yang dilakukan oleh PT. Jatim Park Group adalah sebesar 24 miliar rupiah. Namun, tunggakan pajak ini kemudian diampuni oleh Pemkot Batu dengan memberikan keringanan sebesar
Tidak taat administrasi Industri Pariwisata yang ada di Kota Batu ternyata juga memiliki persoalan hukum. Salah satunya adalah Predator Fun Park yang terbukti tidak memiliki perizinan yang sesuai aturan. Hal ini diperkuat dengan adanya surat dari Badan Penanaman Modal, Nomor 503/692/422. 206/2015 tanggal 25 November 2015. Dalam surat tersebut tertulis bahwa saat ini Predator Fun Park sedang mengurus peruntukan tata ruang sebagai dasar perizinan terkait. Padahal Predator Fun Park telah diresmikan sejak Agustus 2015 oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Batu. Ini menunjukan bahwa sejak diresmikan, Predator Fun Park belum memiliki perizinan. Adapun perizinan terkait hal itu
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Batu Tahun 2012 – 2015
Liputan Khusus Walaupun memiliki permasalahan administrati, nyatanya Pemkot Batu masih saja memberikan izin pembangunan Jatim Park III yang saat ini sedang berada pada tahap konstruksi. Keberpihakan Pemerintah Meskipun dengan segala permasalahan yang ditimbulkan oleh industri pariwisata dan penunjangnya, pemerintah sebagai pembuat kebijakan justru tetap memberikan izin kepada perusahaan untuk beroperasi. Menanggapi keputusan yang diambil pemerintah ini, MCW menyatakan, Pemkot Batu tunduk pada logika pasar. MCW menuding Pemkot Batu lebih berpihak pada takaran-takaran akumulasi kapital ketimbang pertimbangan hukum, lingkungan, etika pejabat publik, serta kebutuhan objektif masyarakat. Andika pun berpendapat sama, “Pemerintah ya berpihak neng sing duwe duwit. Arah kebijakannya nggak jelas. Dia hanya investasi untuk perusahaan-perusahaan pariwisata tok. Tapi keberpihakan untuk masyarakat, mana? Nggak ada. Orang-orang yang
sejahtera di sana adalah orang-orang pendatang, bukan orang asli Batu.� Padahal, menurut Luluk Dwi Kumalasari, Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang, pariwisata bukan hanya tentang industri. Berbicara tentang pariwisata, persepsi kebanyakan orang akan mengaitkannya dengan konsep industri yang menghasilkan uang. “Sebenarnya kalau kita berbicara pariwisata, kegiatannya bukan hanya kegiatan ekonomi saja. Tetapi harus membentuk aspek-aspek lain, terkait persoalan sosial dan budaya,� tegas dosen yang mengampu mata kuliah Sosiologi Pariwisata tersebut. Ia menambahkan, aspek yang paling penting adalah parameter lingkungan, baik fisik maupun sosial. Pariwisata tidak boleh mencemari lingkungan fisik dan sosial di sekitarnya. Misalnya, limbah yang berdampak pada pencemaran air, tanah, atau udara.
Peningkatan pembangunan pariwisata buatan dan aspek penunjangnya yang semakin masif di Kota Batu telah mengancam kebutuhan air warga.
Reporter: Zendy Titis dan Hendra Kristopel
Sumber: Audit BPK 2014
Sumber: Analisis Divisi Advokasi MCW
DIANNS EDISI 54
16
Ilustrator: Yusuf
Liputan Khusus
Narasi Perjuangan Penyelamatan Umbul Gemulo
B
ermula dari implementasi kebijakan pembangunan Kota Wisata Batu (KWB) yang ternyata tidak partisipatif dan menimbulkan konflik sosial, lahirlah sebuah narasi perjuangan masyarakat Desa Bumiaji, Sidomulyo, dan Bulukerto. Perjuangan ini sebagai refleksi atas pemberontakan rakyat terhadap belenggu kesewenang-wenangan pemerintah dan hegemoni kapitalis. Penurunan debit sumber mata air (umbul) Gemulo sebagai akibat dari pembangunan hotel, melahirkan sebuah gerakan massa tiga desa tersebut sebagai bentuk perjuangan untuk mempertahankan mata air yang terletak di Desa Bumiaji ini. Sejak akhir 2010, mereka berjuang mempertahankan sumber mata air yang menghidupi tiga desa tersebut dan menolak pembangunan Hotel The Rayja. Pada puncak perjuangan rakyat, sembilan ribu orang dari ketiga desa untuk melakukan aksi turun kejalan pada 23 Januari 2014 silam.
Kasus yang sarat perjuangan masyarakat tersebut kemudian diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA) dengan menolak gugatan kedua belah pihak pada 21 Juli 2014. Meski demikian, MA tetap menerima eksepsi yang diajukan oleh warga pembela Umbul Gemulo untuk menghentikan pembangunan hotel. Putusan ini menandai konflik Umbul Gemulo kembali memasuki status quo, dimana surat keputusan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Batu dan rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup, Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) masih berlaku, yaitu perintah penghentian pembangunan hotel The Rayja. Berawal dari peristiwa ini, awak DIANNS mencoba menyingkap kembali narasi perjuangan masyarakat pejuang Umbul Gemulo yang gigih mempertahankan kelestarian sumber mata air dari ancaman pembangunan. Massa dari tiga desa tersebut dapat bergabung dan membentuk satu kekuatan besar karena adanya satu kesepakatan bersama untuk menyelamatkan umbul Gemulo dari kerusakan. Solidaritas mereka terbangun dan terhubung satu sama lain
Sumber: dokumen pribadi Nawakalam
DIANNS EDISI 54
18
Liputan Khusus melalui informasi yang disampaikan dari desa ke desa secara tatap muka dan musyawarah. Saat itu, warga Desa B u m i a j i m e n g a j a k wa r g a D e s a Sidomulyo dan Bulukerto untuk bergerak bersama-sama memperjuangkan mata air yang terancam rusak akibat pembangunan Hotel The Rayja. Slamet Hariadi, salah satu warga desa sekaligus anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Sidomulyo menuturkan, warga desanya mendengar adanya pembangunan hotel The Rayja dari warga Bulukerto yang sengaja bertamu untuk memberikan informasi terkait pembangunan hotel di dekat Umbul Gemulo tersebut. Pokok permasalahannya terletak pada jarak antara pembangunan hotel dengan tepi mata air kurang dari 200 meter. Hal ini melanggar aturan, sebab dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990 menyatakan bahwa kawasan dengan radius 200 meter di sekitar mata air diperuntukkan sebagai kawasan konservasi. Artinya, di kawasan ini dilarang sebagai lokasi untuk mendirikan bangunan demi menjaga kualitas dan kuantitas mata air. Melihat hal tersebut, keteguhan warga Sidomulyo untuk ikut berjuang membela mata air semakin kuat kerena masyarakat setempat ikut memanfaatkan sumber mata air Gemulo untuk keperluan sehari-hari. Menurut penuturan Hari, informasi tersebut disampaikan oleh pihak BPD Bulukerto kepada pihak BPD Sidomulyo yang kemudian bermusyawarah untuk mencari solusi atas permasalahan yang terjadi. “Pada waktu itu, BPD Bulukerto menemui rekanrekan BPD di Sidomulyo terutama didaerah yang berdekatan dengan umbul Gemulo. Lalu kita sharing, musyawarah antar BPD bahwasanya masyarakat harus diberitahu jika pembangunan hotel kurang dari 200 meter,” ungkapnya kepada awak DIANNS pada 2 September 2016 lalu. Ia melanjutkan, masyarakat yang memang peduli dengan pelestarian Umbul Gemulo menyadari kelestarian sumber Umbul Gemulo harus dipertahankan untuk generasi masa depan. Sejalan dengan Hari, salah seorang warga Bulukerto bernama Tubiono juga menyatakan, warga di desanya turut mendukung perjuangan memper-
19
DIANNS EDISI 54
tahankan mata air Gemulo. Menurut-nya, sumber mata air sebagai satu ke-satuan dengan lingkungan alam sangat penting untuk dijaga sebab air meru-pakan kebutuhan utama setiap manu-sia. Ia juga menggambarkan kearifan lokal masyarakat setempat yang telah berlaku turun-temurun memiliki peran-an penting dalam mempertahankan ke-lestarian sumber mata air. Ketika dising-gung mengenai p e m b a n g u n a n ya n g b e r p o t e n s i merusak mata air Gemulo, dengan tegas Tu b i m e n ya t a k a n , m a - s ya r a k a t Bulukerto menolak keras pembangunan tersebut. “Masyarakat disini
semua ikut turun, laki-laki maupun perempuan, kita ikut berjuang bersama Desa Sidomulyo dan Bumiaji. Kita tahu sendiri bahwa pembangunan itu jaraknya kurang dari 200 meter, ini tidak benar karena menyalahi undang-undang,” tegasnya. Meskipun Tubi bukan pengguna dari sumber air Gemulo, melainkan pengguna air PDAM, sebagai warga negara masih peduli dengan tanah airnya ia dengan tegas menyatakan kesiapannya untuk turun kapan saja jika kasus serupa kembali terjadi. Aksi protes menuntut pencabutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Hotel The Rayja yang dibangun di atas Umbul Gemulo pada 2014 lalu masih tergambar jelas dalam ingatan Tubi ketika diminta untuk menceritakan suasana demonstrasi saat itu. Tubi menggambarkan suasana ribuan warga sangat antusias mengikuti aksi tanpa paksaan dari siapapun. Mereka secara kompak menyuarakan keadilan melalui orasi maupun spanduk-spanduk yang bertuliskan tuntutan, komentar, maupun ancaman
rintah. Tubi menganggap hal yang dila-kukan pemerintah kepeda masyarakat tersebut merupakan s e b u a h k e s a l a h a n b e s a r. I a menyayangkan keputusan Pe-merintah Kota (Pemkot) Batu yang me-loloskan IMB Hotel The Rayja yang je-las-jelas menyalahi aturan. Bahkan ia mengibaratkan pembangunan hotel tersebut seperti pembangunan WC diatas sumber air yang diminum masyarakat. “Coba sekarang kalian bayangkan, hotel itu ibaratnya WC, lalu sumber air yang ada dibawahnya itu untuk minum warga. Siapa yang akan terima?” tutur pria yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang sayur ini. Dari kacamata akademisi, Danny Sutopo, dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) menyebut tindakan yang dilakukan. oleh masyarakat dari tiga desa tersebut sebagai gerakan sosial. Danny menjelaskan, gerakan sosial dalam perspektif ilmu sosiologi ialah masyarakat biasa bukan penguasa yang membangun kekuatan untuk menjadi himpunan dan kolektivitas kemudian menjalankan visi mereka. Ketika kolektivitas yang ada telah bersatu padu dan memiliki tujuan atau visi, barulah dapat disebut sebagai gerakan. Dalam memahami gerakan sosial, tidak bisa sebatas pengertian umum saja tetapi juga harus memahami pengertian yang lebih spesifik lagi. Pengertian ini maknanya lebih dekat dengan perjuangan visi atau tujuan yang telah ada tersebut untuk “melawan” struktur yang menindas. Pengertian gerakan sosial secara spesifik baru bisa diterjemahkan ketika masyarakat di tataran struktur bawah melawan dominasi struktur atas yang mencoba menindas mereka. Danny menyebut ini sebagai pengertian klasik dari gerakan sosial dalam teori Karl Marx yang ditandai dengan adanya perjuangan kelas. “Pengertian ini ada dalam tingkatan klasik, yaitu gerakan sosial untuk melawan dominasi struktur. Gerakan ini cukup tua, sejalan dengan teori dari Karl Marx, yaitu dibangun atas dasar kelas atau struktur. Permasalahannya ada pada kelas atas atau borjuis yang menekan kelas bawah atau proletar sehingga memunculkan perjuangan kelas,” jelasnya. Danny menuturkan, dalam perju-
Liputan Khusus hat bagaimana dominasi pemerintah dapat menguasai sumber air dengan dalih pembangunan. Masyarakat yang sadar tentang ketidakberesan tersebut lantas bergerak untuk melawan. Narasi perjuangan tersebut juga bisa diterjemahkan sebagai gerakan sosial dalam arti modern. Dalam perkembangannya, perjuangan kelas atau gerakan sosial dalam pengertian klasik ini mulai merambah ke aspek-aspek yang tidak hanya berorientasi pada struktur. Orientasinya pada gejala-gejala yang tidak sesuai dengan norma, atau gerakan-gerakan yang menuntut keadilan, yang bukan hanya keadilan ekonomi. Pada zaman modern, keadilan ini pada akhirnya digunakan untuk memperjuangkan HAM seiring dengan maraknya pelanggaran atas HAM itu sendiri. Keadilan hak asasi ini tidak hanya dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam hak-hak yang lain untuk memperoleh kehidupan, misalnya hak untuk memperoleh air. Seperti yang terjadi di desa Bumiaji, Danny mengatakan, “Karena sebagaimana kita tahu air sebagai kebutuhan utama kita. Ketika hak ini tidak dipenuhi maka wajar jika masyarakat melakukan aksi perlawanan. Apalagi dominasi air ini dilakukan oleh struktur penguasa.� Komunitas dalam gerakan sosial Kesadaran tentang hak atas air dan kewajiban untuk menularkan kesadaran mengenai pentingnya mempertahankan umbul Gemulo untuk kelangsungan hidup, menjadi penyemangat bagi masyarakat di tiga desa tersebut untuk memperjuangkan hak atas air. Mereka menghimpun massa, bergerak secara massif dan membentuk beberapa komunitas untuk mendukung keberhasilan gerakan yang mereka bangun. Beberapa komunitas yang telah terbentuk diantaranya seperti Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPA), Nawakalam Gemulo dan Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (HIPPAM). Seperti yang diungkapkan oleh Aris Faudzin, salah seorang anggota FMPMA sekaligus Nawakalam Gemulo, komunitas tersebut tidak memiliki struktur hierarkis formal namun mereka terbentuk atas dasar kesadaran. “Mereka tidak terbentuk secara struktur, mereka tidak terbentuk secara organisasi, tetapi mereka merupakan perkumpulan atau
Sumber: dokumen pribadi Nawakalam
forum yang secara sadar diri dan didorong oleh kekuatan adat. Jadi tanpa adanya bentukan mereka sudah terbentuk dengan sendirinya karena kesadaran masyarakat itu sendiri,� ungkapnya saat ditemui awak DIANNS di kediamannya di Desa Bumiaji, Kota Batu. Selain membentuk beberapa komunitas, mereka juga bergerak dengan cara berkolaborasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diantaranya Wa-hana Lingkungan Hidup (WALHI), Ma-lang Corruption Watch (MCW), dan di-bantu oleh beberapa akademisi. LSM yang terlibat memiliki peranan masing–masing. Indra, salah seorang anggota Nawakalam Gemulo menjelaskan, MCW bergabung karena simpatik dengan permasalahan yang terjadi, dimana isu yang terjadi di Gemulo ini tidak hanya tentang ekologi, tetapi juga tentang lingkungan yang terkait erat dengan korupsi dan praktik represifitas. Sedangkan dari WALHI, yang terlibat bukan hanya di level cabang setempat saja tetapi juga sampai level nasional. Keterlibatan WALHI di sini tidak hanya melayani konsultasi terkait permasalahan lingkungan tetapi juga memberikan
edukasi kepada masyarakat setempat. Kasus di atas merupakan refleksi dari pergerakan sosial yang menggambarkan perjuangan masyarakat dalam mempertahankan kelestarian mata air yang menopang hajat hidup ribuan nyawa. Selama kasus tersebut bergulir, warga setempat terutama warga Desa Bumiaji telah banyak mendapatkan represifitas dan tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh tangan-tangan penguasa. Kendati demikian, warga tidak gentar dalam melawan penindasan yang terjadi, justru sebaliknya, semangat warga semakin tak terbendung. Hal ini menunjukkan, gerakan sosial yang mencuat di masyarakat tidak bisa dianggap remeh. Kekuatan berbasis massa yang begitu besar dapat melawan dominasi struktur yang menindas sekaligus memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak warga negara dan yang paling penting ialah menjaga kelestarian alam untuk generasi di masa yang akan datang. Reporter: Ria Fitriani dan Satria Budi
DIANNS EDISI 54
20
Opini
Ilustrator: Fadhila
Merajut Asa, Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Atas Air di Era Otonomi Daerah Oleh: Esa Kurnia Alfarisi
“Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang� Penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
S
elama berabad-abad, air merupakan elemen yang secara signifikan dapat menopang seluruh kehidupan manusia. Manusia bisa saja bertahan hidup hanya dengan makan roti atau umbi-umbian selama enam hari enam malam, namun apakah manusia juga bisa bertahan tanpa air selama itu ? Dalam sejarah manusia, nyatanya air memegang peran vital dalam perkembangan suatu peradaban. Berdasarkan studi antropologi, dinyatakan bahwa peradaban-peradaban di belahan dunia, kerap muncul di wilayah yang berdekatan langsung dengan sumber mata air. Misalnya saja dalam peradaban Mohenjo Daro di provinsi Sind, Pakistan. Mohenjo Daro dikenal sebagai peradaban yang mapan dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan air, dimana masyarakatnya telah memanfaatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Pada masa silam, corak penguasaan atas air dilakukan secara komunal. Air tak hanya dianggap sebagai hasil bumi yang dapat diolah dan dimanfaatkan, melainkan air juga menjadi harta sosial budaya yang telah melekat di dalam kehidupan bermasyarakat. Selain menjadi pusat kebudayaan, air sepanjang sejarah peradaban manusia juga kerap menjadi sumber konflik. Invasi suatu kerajaan untuk menemukan daerah jajahan barunya tidak terlepas  dari kebutuhan akan sumber daya alam yang salah satunya adalah air. Pada era globalisasi dewasa ini, praktik privatisasi serta komersialisasi telah merangsek masuk ke seluruh lini perekonomian, yang salah satunya adalah pengusahaan atas air. Suatu hal baru yang ditemukan dalam fase peradabaan kali ini, dimana pengusahaan atas air secara perorangan telah menyebabkan tampuk
21
DIANNS EDISI 54
produk dimonopoli oleh segelintir orang saja. Hal ini tidak terlepas dari masuknya paradigma pembangunan 'ala' Washington Concensus yang menitikberatkan proses ekonomi pada akumulasi pertumbuhan ekonomi, produksi ekonomi, dan cenderung melepaskan penguasaan negara atas sumber daya air di Indonesia. Privatisasi air di Indonesia, sejatinya diawali dari lahirnya Undang-Undang Sumber Daya Air (UUSDA) nomor 7 tahun 2004. UUSDA dianggap sebagai UU yang melegitimasi penguasaan korporasi dan penarikan peran negara atas pengelolaan air di Indonesia. Bahayanya pengusahaan atas air amat berkaitan langsung dengan kebutuhan hajat hidup masyarakat luas. Dalam konsep privatisasi, terselip rasionalitas atau logika 'ala' liberal-kapitalistik, Dimana air sudah tak lagi dipandang sebagai barang bebas, melainkan lebih kepada komoditi ekonomi semata yang cenderung mengarah kepada komersialisasi dan eksploitasi. Hal ini tentu amat bertentangan
Opini dengan air yang pada dasarnya merupakan res commune, yang oleh karenanya tidak boleh dimiliki perorangan. Begitu pentingnya air bagi manusia membuat air tergolong sebagai nonsubstution good –Barang yang tidak dapat diganti oleh barang kebutuhan lainnya. Hal ini membuat air seharusnya tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi. Sepanjang pelaksanaannya, UUSDA dinilai sebagai aspek regulatif yang membuka keran privatisasi atas penguasaan air di Indonesia. Hingga, Putusan Nomor 85/PUU-XII/2013 Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2015 yang pada akhirnya mempertegas pencabutan seluruh pasal yang ada dalam UU Nomor 7 Tahun 2004. Pencabutan atas UUSDA tersebut telah berimplikasi pada timbulnya kekosongan hukum, dan dalam konteks ini, untuk memotong monopolisasi sumber daya air, seharusnya pemerintah dapat melakukan tindakan tegas untuk memutus kontrak dengan perusahaan-perusahaan serta mengembalikan penguasaan dan pengusahaan atas air kepada negara. Dalam hal ini, maka perlu adanya perubahan atas paradigma bagaimana memandang dan memanfaatkan air yang dijamin secara konstitusi melalui Hak Menguasai Negara (HMN) serta perlu adanya perbaikan atas sistem pengelolaan air yang lebih berorientasi pada masyarakat.
Pengelolaan sumber daya air yang kurang baik nyatanya selalu menyimpan potensi konflik bagi sebagian daerah. Tidak adilnya pembagian air untuk keperluan pertanian, air minum, industri, serta keperluan rumah tangga membuat potensi konflik di daerah semakin besar. Pemerintah kerap kali tidak memperhitungkan total cadangan air daerah dengan laju pertumbuhan penduduk. Bagi wilayah yang memiliki sumber daya air besar kebutuhan masyarakat cenderung dapat terpenuhi, celakanya bagi wilayah perkotaan yang terletak di pesisir pantai seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, dimana mereka tidak memiliki sumber daya air. Air tanah dinilai menjadi alternatif yang digunakan secara masif, dampaknya terjadi penurunan tanah permukaan di wilayah tersebut.
Kedaulatan rakyat sebagai tujuan
Sebagai jalannya, mereka mencari wilayah lain yang dapat menyuplai kebutuhan perkotaan. Konflik antar daerah pun tidak dapat dihindari. Pasca otonomi daerah konflik atas air timbul tidak hanya antara pemerintah dengan rakyatnya, melainkan antar wilayah administratif satu dengan yang lainnya. Dengan dalih pemenuhan kebutuhan perkotaan, kemudian pemerintah kerap melakukan eksploitasi besar-besaran pada wilayah yang dinilai menyimpan cadangan air besar di wilayah kabupaten atau desa. Tujuannya jelas, untuk mendorong Pendapatan Asli Daerah (PAD). Konflik pun muncul, misalnya pengurangan debit air yang semula dimanfaatkan petani untuk bercocok tanam, kemudian diambil sebagian untuk air minum penduduk kota (dalam satu kabupaten). Lagi-lagi yang dirugikan adalah masyarakat kecil. Para petani maupun warga yang dekat dengan sumber mata air justru kerap tidak mendapatkan keuntungan dari pengelolaan
Pasca pembatalan UUSDA dan kembali diberlakukannya UU Nomor 11 Tahun 1974 menurut hemat penulis tidak serta merta dapat menyelesaikan permasalahan. Hal ini diakibakan oleh adanya perubahan pada pola-pola kewenangan pengaturan atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya air yang telah berubah sejalan dengan bergulirnya otonomi daerah. Masuknya era otonomi daerah dan reformasi, telah memunculkan berbagai gugatan atas sistem pengelolaan sumber daya air di pelbagai daerah, dimana hilirnya adalah mengenai tuntutan atas pembagian fulus. Sejak era otonomi daerah bergulir, tidak jarang kita temukan konflik terjadi antara Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan akan sumber air. Ada yang menuntut kontribusi dan kompensasi dari PDAM, sehingga secara ekonomis harga air melambung tinggi.
“ “
air pemerintah. Belum lagi, banyak sum-ber mata air yang menyatu dengan aset tanah milik pribadi telah menyebabkan akses masyarakat luas terhadap sumber air semakin minim. Di sisi lain, kualitas air tanah yang telah tercemar di perkota-an telah memaksa penghuni ruang kota untuk terus menggunakan jasa PDAM. Belum lagi harga yang perlu dibayar-kan cukup mahal bagi masyarakat ping-giran perkotaaan. Selain itu, pada aspek konservasi air, pemerintah kerap menanggalkan permasalahan ini. Pembangunan berkedok pariwisata dan hotel kerap tidak memerhatikan konser-vasi air yang bermuara pada hilangnya sumber-sumber mata air warga. Akses air bersih dan murah sejatinya merupakan kemerdekaan dan jaminan yang diberikan negara kepada rakyat dari seluruh kelas sosial pada era Otonomi Daerah. Sayangnya, pemerintah acap kali terjerembak pada frasa dikuasai negara', sehingga dalam pelaksanaannya otoritas pemerintah dalam pemanfaatan kekayaan sumber daya air sangat besar. Frasa 'dikuasai negara' yang termaktub dalam Pasal (3) UUD 1945 pada akhirnya hanya akan menciptakan interpretasi subjektif pemerintah daerah yang berujung pada pembatasan ruang politik masyarakat dalam penguasaan atas air. Pemaknaan frasa 'dikuasai negara' sudah sepatutnya dipahami atas prinsip kedaulatan rakyat yang sejatinya dianut oleh Pembukaan UUD 1945. Menurut hemat penulis, frasa 'dikuasai negara' pada pasal (2) dan (3) UUD 1945 tidak seharusnya ditafsirkan atas dasar dimiliki negara' seperti yang ditafsirkan MK melalui hasil putusannya. Penafsiran ini, perlu dipahami pada fungsi sosialnya, dimana penekanannya berada pada aspek keadilan sosial yang berorientasi pada kedaulayan rakyat sebagai wujud keadilan yang berfilosofi pancasila. Hal ini guna menghindari kekuasaan absolut negara atas sumber daya air. Patut ditunggu, dalam kondisi kekosongan hukum atas sumber daya air, apakah peraturan baru yang sedang dipersiapkan akan dapat menjamin terciptanya kedaulatan rakyat atas air. Penulis adalah Pemimpin Umum LPM DIANNS 2016
DIANNS EDISI 54
22
Sensasi Lumeran Keju Bakso BUKA BAJU BUKA BAJU?? Apaan tuh??
“Lumer, Kuning, dan Menggoda”
Ya, itulah yang akan kita lihat dan rasakan ketika menikmati bakso keju yang dipotong. Potongan bakso keju ini harus segera dimakan agar sensasi menggodanya terasa di lidah. Lumeran keju yang pecah di lidah ditambah bakso yang lezat itu rasanyaa...
Biar lebih greget, baksonya langsung aja dimakan tanpa dipotong. Gigit baksonya pelan-pelan,dan rasakan lelehan keju yang melted dengan isi. Hmm, pas kejunya meleleh di lidah, itulah sensasi yang bikin bergairah Nah, bakso yang menjadi andalan ini ada versi kuah sama bakar loh! Kalau yang kuah nih, lelehan kejunya bercampur dengan kuah yang jernih dan gurih. Nah, kalau yang bakar, ini nih jadi menu favorit. Bakso bakar keju ini dibalut dengan bumbu yang bisa membuat kita menelan ludah. Untuk yang suka menu pedas, di sini kalian dapat merasakan tingkat kepedasan yang berbeda. Mulai dari menu yang nggak pedas, yaitu Buka Mulut, menu Buka Kancing (pedas sedang dengan 2 cabai) yang agak pedas, dan bagi pecinta makanan pedas, wajib nih nyoba menu yang namannya Buka Baju (pedas dengan 4 cabai). Bagi seorang food lovers, rasa saja juga tidak cukup. Di BUKA BAJU, kita juga dapat merasakan suasana yang membuat nyaman. Suasana ruang yang sejuk dengan lampu pijar yang khas, membuat food lovers sekalian dapat merasakan pengalaman berada dan pastinya nyaman. Desain tulisan “BUKA BAJU” yang berwarna kuning di dinding semen menambah suasana nyaman dan bikin kita betah. Apalagi kalau food lovers sekalian kesini pada malam hari, suasana Kota Malang yang dingin seakan sirna tergantikan dengan kehangatan dari cahaya lampu pijar yang membuat malam semakin tenang. Selain nyobain bakso andalan, menu lainnya juga patut dicoba kok. Ada menu bakso kuah yang isinya bakso rawit, bakso polos, bakso goreng, tahu, siomay tim, dan siomay goreng. Atau bagi food lovers yang mau memesan bakso per biji juga boleh kok. Bagi pecinta bakso bakar jangan lupa nyoba bakso bakar sapi/ayam/rawit. Nah, bakso bakar kejunya ada dua varian daging, daging ayam, dan daging sapi. Terakhir ada bakso goreng bumbu, ada 4 varian rasa: ayam panggang, barbaque, keju, dan pedas. Selain bakso, ada pangsit mie ayam juga. Pilihannya: pangsit
mie ayam, pangsit mie ayam+keju, pangsit mie lada hitam, pangsit mie hijau, dan pangsit mie hijau+keju. Kalau soal harga, food lovers sekalian tak perlu khawatir, dan pastinya sesuai dengan kantong kok. Harga bakso per bijinya hanya Rp 2.500. Untuk menu bakso campurnya, terbilang murah juga loh, hanya dengan harga Rp 17.000 , food lovers udah dapat banyak item dalam satu mangkok. Kalo bakso bakar nya Rp 15.000-Rp 18.000. Sedangkan bakso goreng bumbu hanya Rp 15.000. Lain halnya dengan pangsit mie ayam, dari Rp 15.000-Rp 20.000. Dan bagi kalian yang nggak bisa makan tanpa nasi, disini juga tersedia nasi putihnya loh. Dijamin deh, nggak akan nyesel kok makan disini, yang ada malah ketagihan. Bahkan hebatnya lagi, penyajiannya juga cepat. Nggak butuh waktu lama untuk dapat menikmati makanan lezat disini. Pelayanan yang ramah dan sopan juga menjadi nilai tambah tersendiri buat para pengunjung semua. Nah, sensasi bakso keju dan menu lainnya ini bisa kita nikmati langsung di kota pelajar kita tercinta, Kota Malang. Tempatnya mudah dijangkau kok, ya tepatnya di Jalan Ahmad Yani No 20D (Depan Masjid Sabilillah) Malang. Nah dari tadi baca BUKA BAJU terus, pasti pada pensaran kan apa filososi namanya? Nggak hanya rasanya yang bikin penasaran, tapi namanya juga membuat kita tercengang. Ya BUKA BAJU. Jika pertama kali mendengarnya, pasti binggung. Sama halnya dengan saya yang pertama kali mendengarnya “Apaan sih tempat BUKA BAJU?” Ternyata itu hanya akronim dari Gubuk Makan Bakso Keju. Gubuk tapi tempatnya seperti kafe, betah deh disana lama-lama. Apalagi ditemani sama teman, keluarga, rekan kerja, ataupun kekasih. Nggak hanya rasanya yang bikin penasaran, tapi namanya juga membuat kita tercengang. Ya BUKA BAJU. Jika pertama kali
mendengarnya, pasti bingung. Sama hal-nya dengan saya yang pertama kali men-dengarnya “Apaan sih tempat BUKA BAJU?” Ternyata itu hanya akronim dari Gubuk Makan Bakso Keju. Namanya sih gubuk, tapi tempatnya seperti cafe, betah deh disana berlama-lama. Apalagi ditemani sama teman, keluarga, rekan kerja, ataupun kekasih. BUKA BAJU ini yang pertama di Malang, tapi udah cabang ketiga. Cabang pertama dan keduanya ada di Bali. Sejak Juni 2016 kemarin udah menemani para Food Lovers. BUKA BAJU ini buka setiap hari, meskipun libur ya. Nah bukanya mulai pukul 10.00-23.00 WIB. Jangan lupa cobain dan kepoin instagramnya @bukabaju.
Karya: Rethiya Astari
Foto Narasi
Cerminan Harmoni
“Alam hadir sebagai cornucopians (persediaan yang melimpah),� begitulah kutipan buku Ecocriticism karangan Greg Garrad. Tatkala kebutuhan ekonomi dan industri menjadi penyebab kerusakan alam dan lingkungan, peran alam sebagai “persediaan yang melimpah� pun berada pada titik kritis. Inilah yang sepatutnya menjadi titik awal pemikiran manusia untuk menghargai alam tidak hanya dari segi kegunaannya. Dengan begitu terciptalah keselarasan hidup antara lingkungan dengan manusianya. Sumber mata air Guo, yang berhulu di kaki Gunung Semeru, merupakan satu dari sumber-sumber air lainnya yang digunakan oleh warga Kecamatan Tumpang untuk keperluan pertanian. Desa Pulungdowo adalah desa yang langsung
25
DIANNS EDISI 54
mendapatkan air tersebut untuk pengairan 75 sampai 80 hektar sawah pro-duktif disana. Wasim, seorang petani Desa Pulungdowo mengungkapkan, sumber air Guo ini tidak pernah kering walau di musim kemarau. Hal ini terjadi dikarenakan sumber air tersebut hanya digunakan untuk pertanian di desa ini, tidak untuk yang lainnya. Air yang tidak pernah kering ini menjadi modal utama petani untuk mengolah lahan pertanian menjadi lebih produktif. Wajar saja jika siklus tanam dan panen pertanian di desa ini tidak pernah ber-
Foto Narasi
Alam dan kehidupan
ubah ataupun terganggu. Dari sini-lah kita mendapat suatu gambaran tentang pemanfaatan air yang tepat sasaran sehingga tidak a d a k e p e n - t i n g a n r a k ya t ya n g terkorbankan. Puncaknya, akan tiba saatnya Wasim dan petani lainnya mulai
ning. Sekam-sekam yang beterbangan menjadi pemandangan unik siang itu ketika Wasim mulai sibuk menggepyok padi dengan memukulkannya ke pa-pan gepyok untuk merontokan gabah dari batangnya. Cara yang dilakukan memang masih tradisional; tidak menggunakan mesin dalam proses pe-ngerjaannya. Nilai lebihnya sudah tentu tidak ada polusi yang ditimbulkan. Inilah salah satu cerminan keselarasan alam dengan kehidupan yang manu-sianya sadar untukya tidak berlebihan dan tidak membuat alam menjadi ru-sak. Dan, alam sebagai cornucopians akan selalu tahu caranya kembali dan memberi. Fotografer Editor Foto Narasi
: RM Dhimas, M Bimo Adi Kresno : Dimas Ade Surya L : M Fakhrul Izzati
DIANNS EDISI 54
26
Kabar Kampus
UKT dan PTN BH Masih Membelenggu Mahasiswa
Universitas akan memperoleh pendapatan dari hasil mendirikan Perseroan Terbatas (PT), yayasan, dan lain sebagainya.
P
enetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Brawijaya (UB) dimulai sejak tahun 2013. UKT ini dikenakan pada Mahasiswa Baru yang lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPTN). Sayangnya ketika sistem itu berjalan, muncul pro dan kontra di kalangan mahasiswa. Belum lagi pro dan kontra UKT reda, pada tahun 2015 mahasiswa kembali diresahkan dengan rencana Universitas Brawijaya untuk menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN BH). Ketika universitas menjadi PTN BH, dikhawatirkan uang kuliah akan menjadi lebih mahal.
Data UKT UB Tahun Akademik 2016/2017 Kimia
Bioteknologi
Kelompok I : 500.000 (II) Kelompok I : 500.000 (I) : 1.000.000 (I) :1.000.000 (II) Kelompok II : 3.000.000 Kelompok II : 4.500.000 Kelompok III : 3.600.000 Kelompok III : 5.500.000 Kelompok IV : 4.700.000 Kelompok IV : 6.000.000 Kelompok V : 5.300.000 Kelompok V : 6.500.000
Teknik Lingkungan Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V
: 500.000 (I) : 1.000.000 (II) : 3.000.000 Tekno. Industri : 3.600.000 Pertanian : 4.700.000 Kelompok I : 500.000 (I) : 5.300.000 : 1.000.000 (II)
Sastra Inggris Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V
: 500.000 (I) : 1.000.000 (II) : 3.744.000 : 3.978.000 : 4.446.000 : 4.680.000
Sastra Jepang Kelompok I : 500.000 (I) : 1.000.000 (II) Kelompok II : 3.744.000 Kelompok III : 3.978.000 Kelompok IV : 4.446.000 Kelompok V : 4.680.000
Kelompok II Statistika Kelompok III Kelompok I : 500.000 (I) Kelompok IV : 1.000.000 (II) Kelompok V Kelompok II : 3.000.000 Kelompok III : 4.750.000 Kelompok IV : 5.250.000 Kelompok V : 5.750.000
Sumber : Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 63/PMK.05/2015 Tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Universitas Brawijaya pada Kementerian Riset, Teknologi, dan PendidikanTinggi
27
DIANNS EDISI 54
:3.000.000 : 3.600.000 : 5.150.000 : 5.300.000
Kabar Kampus Nasib UKT terhadap rencana Universitas Brawijaya menjadi PTN BH PTN BH adalah status yang diberikan kepada perguruan tinggi sehingga mereka dapat mengelola institusinya secara mandiri. Mereka mempunyai otonomi untuk membuat keputusan atau kebijakan sendiri. Mereka hanya mengawasi rambu-rambu yang berlaku. Dana tetap terkucur dari pemerintah, sementara mereka juga diperbolehkan mencari sumber dana lain. Sedangkan syarat utama untuk menjadi PTN BH adalah memiliki aspek kemampuan finansial yang kuat untuk memperoleh generate income. Maksudnya adalah universitas akan memperoleh pendapatan dari hasil mendirikan Perseroan Terbatas (PT), yayasan, dan lain sebagainya. Tetapi tetap akan mendapatkan jatah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sumber dana universitas dapat berasal dari uang mahasiswa atau orang tua, usaha atau bisnis universitas, dan uang negara. Menjadi PTN BH juga akan diberi kekuasaan untuk membuka atau menutup program studi di institusinya.
“Intinya, persiapan yang harus dilakukan UB untuk menjadi PTN BH adalah standar aset terpenuhi, laporan setiap kegiatan terperinci dengan baik dan jelas, menunjukkan bahwa UB bias menjadi Perguruan Tinggi yang mandiri. Segi manajemen harus berjalan dengan baik. Semuanya harus tersusun rapi dalam proposal pengajuan menjadi PTN BH yang menunjukkan adanya kemajuan dalam segala hal,” ujar Sihabudin, selaku Wakil Rektor (WR) II ketika ditanya dampak PTN BH terhadap kenaikan UKT, ia menjawab bahwa PTN BH tidak akan berdampak pada kenaikan UKT karena PTN BH maupun Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) hanyalah status hukum. PTN BLU yang berada di bawah hukum pemerintahan seperti UB saat ini subjeknya adalah pemerintah. Sedangkan PTN BH yang berbadan hukum secara mandiri subjeknya adalah universitas itu sendiri. “Untuk saat ini, Universitas Brawijaya belum ada rencana menjadi PTN BH, tetapi untuk beberapa persyaratan menjadi PTN BH sebenarnya UB sudah mendekati,” ujarnya. Ketakutan mahasiswa terhadap PTN
BH adalah kemungkinan tingginya bi-aya kuliah, terutama bagi mahasiswa yang kurang mampu. Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 6 telah disebutkan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan Pendidikan Tinggi adalah keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi dan pemberdayaan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan Tinggi. Akan tetapi, bahkan sebelum UB resmi menjadi PTN BH, nasib buruk UKT mulai terlihat jelas. Semester genap tahun 2016, berdasarkan pernyataan Sihabudin, UB memang melakukan penurunan UKT di Fakultas Kedokteran Gigi pada kategori 3. Namun pada tahun ini, beberapa fakultas mengalami kenaikan UKT yaitu Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Fakultas Kedokteran, dan Fakultas Teknik Pertanian (FTP) untuk program studi tertentu. Pernyataan tersebut ditambahkan oleh Puji Rahayu bahwa UKT Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Teknik (FT), Fakultas Ilmu Komunikasi (FILKOM) juga mengalami kenaikan.
Kimia
Sastra Jepang
Kelompok II : 5.000.000 Kelompok III : 6.000.000 Kelompok IV : 6.500.000 Kelompok V : 6.500.000
Kelompok II : 3.900.000 Kelompok III : 3.978.000 Kelompok IV : 4.446.000 Kelompok V : 4.680.000
Statistika
Sastra Inggris
Teknik Industri Pertanian
Kelompok II : 4.500.000 Kelompok III : 5.500.000 Kelompok IV : 6.000.000 Kelompok V : 6.500.000
Kelompok II : 3.900.000 Kelompok III : 3.978.000 Kelompok IV : 4.446.000 Kelompok V : 4.680.000
Kelompok III : 3.900.000 Kelompok IV : 5.150.000 Kelompok V : 5.800.000
Bioteknologi
Teknik Lingkungan
Kelompok III : 3.900.000 Kelompok IV : 5.150.000 Kelompok V : 5.800.000
Kelompok III : 3.900.000 Kelompok IV : 5.150.000 Kelompok V : 5.800.000
Uang Kuliah Tunggal Tahun Akademik 2016/2017
Sumber : selma.ub.ac.id
DIANNS EDISI 54
28
Kabar Kampus Di sisi lain, Rencana Strategis Bisnis UB Tahun 2013 menyebutkan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Akademik (yang dipungut dari mahasiswa) sebesar 82,48 persen dari total PNBP. Hal ini mengindikasikan ketergantungan UB terhadap penerimaan dari mahasiswa masih besar. Maka, seandainya UB menjadi PTN BH yang memiliki otonomi penuh termasuk keuangan, patut dipertanyakan seberapa besar UB akan memungut dari mahasiswanya untuk kemandirian universitas.
Keringanan UKT
Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (SE Dirjen Dikti) Nomor 97/E/KU/2013 tanggal 5 Februari 2013 menyebutkan, tujuan pemberlakuan UKT adalah untuk memudahkan proses pembayaran biaya kuliah dan meng-hilangkan biaya tambahan seperti uang pangkal, uang gedung, dan biaya administrasi yang sulit diawasi negara. Pemangkasan biaya tersebut dilakukan agar biaya kuliah yang dibebankan kepada mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan ekonominya. Namun pada praktiknya, besaran UKT yang dibebankan kepada mahasiswa dirasa masih tidak sesuai. Seperti pengakuan mahasiswi Administrasi Bisnis 2016, Meyulinda, menuturkan, “Kategori UKT yang saya dapatkan masih terlalu tinggi, tidak sesuai dengan data-data saat pengisian UKT.” UKT sendiri ditetapkan berdasarkan biaya kebutuhan mahasiswa, gaji dosen, dan gaji karyawan di setiap fakultas. Termasuk biaya operasional yang di dalamnya terdiri atas uang gedung, administrasi, dan lain-lain. Saat ini UKT tertinggi terdapat pada kategori 6 Fakultas Kedokteran sebesar Rp 23.000.000,00 dan terendah pada kategori 3 Fakultas Hukum sebesar Rp2.800.000,00. Terkait alur perumusan UKT, Sihabudin selaku Wakil Rektor (WR) II UB menjelaskan, rumusan UKT yang berdasarkan pada Biaya Kuliah Tunggal (BKT) ditentukan oleh pemerintah menurut kebutuhan fakultas. Perhitungan dari fakultas meliputi biaya untuk mahasiswa, operasional, dan gaji yang
29
DIANNS EDISI 54
dibagi dalam delapan semester. Supaya UK T bisa ditetapkan, maka setiap fakul-tas harus mengajukan semua kebutuhan dananya ke rektorat UB, lantas UB akan mengajukannya ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ke-menristekdikti). Karena UKT tergolong ke dalam Pendapatan Negara Bukan Pa-jak (PNBP), maka fakultas akan diberi-kan anggaran sesuai dengan program yang telah ditetapkan Kemenristekdikti. UKT yang telah ditetapkan selanjutnya diberikan kepada universitas dan akan dibagikan ke setiap fakultas sesuai kebutuhan yang telah diajukan.
r u n a n U K T. “ P r i n s i p y a n g s e b e n a r n ya u n t u k m e n g a j u k a n keberatan UKT ada-lah melalui fakultas, karena fakultaslah yang lebih memiliki hak untuk menye-tujui pengajuan keberatan UKT atau ti-dak,” jelasnya ketika diwawancarai re-porter DIANNS pada tanggal 8 Agustus 2016 di ruangannya. Dirinya menam-bahkan bahwa fakultas memiliki wewe-nang sebesar 70 persen dalam mengatur UKT, sedangkan universitas hanya me-miliki 30 persen. Jadi menurutnya, tugas universitas hanya sebagai pembantu fakultas dalam menangani masalah pengajuan keringanan UKT.
Mahasiswa yang merasa keberatan dengan penetapan UKT dapat mengajukan permohonan penundaan atau penurunan UKT dengan alur yang telah ditentukan oleh pihak universitas. Rizky selaku Advokesma Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi (BEM FIA) UB mengatakan ada tiga kriteria bagi mahasiswa untuk mengajukan penundaan atau penurunan UKT, yaitu orang tua meninggal, orang tua bercerai, dan orang tua pensiun atau mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pengajuan keringanan UKT harus melalui BEM di fakultas masing-masing terlebih dahulu untuk diadvokasikan ke dekanat. Di samping itu, Eksekutif Mahasiswa (EM) juga menugaskan penanggung jawab (PJ) di tiap fakultas untuk mendistribusikan berkas pengajuan keringanan UKT yang sebelumnya telah diterima EM saat crisis center. Apabila dalam pengajuan keringanan UKT terdapat kendala, PJ fakultas dapat berkoordinasi dengan pihak fakultas terkait. PJ juga akan dibantu oleh grup aliansi advokesma fakultas se-UB dan lingkar advokesma.
Menurut Rizky, terjadi penurunan jumlah mahasiswa yang mengajukan keberatan atau penundaan UKT dibandingkan dengan tahun lalu. Namun pihaknya tidak dapat memberikan secara rinci berapa perbandingan pengajuan untuk penundaan atau penurunan UKT tahun lalu maupun tahun ini karena mereka harus menjaga privasi mahasiswa yang mengajukan, baik yang disetujui maupun yang tidak. Reporter : Mechelin Dirgahayu Sky dan Rahma Agustina
Apabila sudah disetujui oleh dekanat, berarti pengajuan penurunan atau keringanan UKT mahasiswa telah diterima. Mahasiswa bisa melihat nominal yang sudah disetujui melalui Sistem Informasi Akademik Mahasiswa (SIAM). Puji Rahayu selaku Advokesma EM menjelaskan, “Pengajuan penurunan UKT yang tidak disetujui akan diberikan ke EM untuk diadvokasikan ke rektorat dan ditujukan ke Wakil Rektor II.” Akan tetapi menurut Sihabudin, rek-
Saat ini UKT tertinggi terdapat pada kategori 6 Fakultas Kedokteran sebesar Rp23.000.000,00 dan terendah pada kategori 3 Fakultas Hukum sebesar Rp2.800.000,00.
Kabar Kampus
Menyelisik Makna Pengmas di UB
P
engabdian Kepada Masyarakat atau biasa disingkat Pengmas di Universitas Brawijaya (UB) sesuai dengan data yang dihimpun dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) tahun 2016, terdapat 71 judul dengan 187 dosen yang terlibat. Tiga kelompok diantaranya berasal dari bidang sosial humaniora sedangkan lebihnya didominasi bidang ilmu murni dan terapan. Pada mahasiswa, pengmas dilakukan dengan turun ke masyarakat untuk memberikan penyuluhan atau transfer ilmu. Anik Martinah seorang dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) UB yang juga aktif dalam pengmas menjelaskan “Pengmas itu bukan berarti sekali dua kali terjun ke masyarakat lalu selesai, tidak seperti itu,� ujarnya. Hal ini disinyalir disebabkan oleh b e l u m a d a n ya k e s e l a r a s a n makna terkait pengabdian antar masyarakat di UB.
DIANNS EDISI 54
30
Kabar Kampus
“Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan sivitas akademika dalam mengamalkan dan membudayakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.�
31
DIANNS EDISI 54
Musik
Suara Rakyat Dalam Nada
Fotografer: Danar
Iksan Skuter menyanyikan lagu Kukira Jakarta di Godbless Café, Malang. Ia tampil untuk memeriahkan acara Launching Album Kos Atos pada 13 September 2016.
“Pagi sudah datang, saatnya aku kerja. Berangkat jam 5 pagi dan pulang malam hari. Kini aku menjadi kuli di negeriku sendiri. Kini aku menjadi budak di tanahku sendiri.”
I
tulah salah satu petikan lagu berjudul “Kukira Jakarta” yang dibawakan oleh Muhammad Iksan, atau yang akrab disapa Iksan Skuter pada tanggal 13 September 2016 di Godbless Café, Malang. Lagu yang berisikan kritik terhadap kota metropolitan tersebut, menjadi salah satu lagu andalan yang sering ia bawakan ketika tampil diatas panggung. Gitar hitam serta topi hijau bergambar bintang merah tak pernah tertinggal menemani setiap penampilan solo dari pria kelahiran Blora, 30 Agustus 1981 ter-sebut. Dalam ruangan minim cahaya, semburat lampu LED yang sesekali berubah secara bergantian menyorot Iksan yang tengah asik memetik gitar diatas panggung. Seluruh penonton yang a-
walnya riuh menjadi hening seketika. Sebelum melantunkan sebuah lagu, ia selalu mengawalinya dengan sebuah ce-rita tentang kisah pengalamannya. Dari pengalaman dan keresahan itulah, bait-bait lagu yang ia mainkan tercipta. Lewat bait-bait liriknya, Iksan seakan mengajak para pendengarnya untuk turut serta merasakan permasalahan sosial yang dialami oleh sebagian orang. Lagu bergenre folk dipadukan dengan lirik yang sarat akan kritik sosial dan mengakar rumput seakan melekat pada musisi asal Malang ini. Kritik lewat lirik Bagi Iksan, seni bukan hanya seke-
gai media penyampai aspirasi. Kepada reporter DIANNS, Iksan mengatakan bahwa seorang seniman t i d a k h a n ya m a m p u m e m b u a t pendengarnya jatuh hati lewat karyakaryanya. Begitu da-lamnya makna dalam seni, sebuah karya musik tidak hanya dinilai indah tetapi juga sanggup merobohkan sebuah ke-kuasaan. “Pada saat Indonesia Raya per-tama kali dikumandangkan, seluruh rakyat Indonesia bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan,” ujar Iksan. Tidak hanya lagu Indonesia Raya, lagu karya C. Simanjuntak berjudul Indonesia Merdeka turut mengobarkan semangat persatuan dan perjuangan para pemuda-pemuda Indonesia di kota Praha. Begitu pula dengan lagu Halo-Halo Bandung karya Ismail Marzuki yang mampu membakar semangat pemuda Bandung untuk melawan tentara NICA. Memasuki rezim Soeharto, muncul sosok penyair lain yang gemar melakukan kritik terhadap penguasa kala itu. Iwan
DIANNS - 544 DIANNS53 EDISI
32
Musik but. Ia menyuarakan keadaan politik dan realitas sosial pada era tersebut. Lagu-lagunya yang melegenda hingga saat ini diantaranya Wakil Rakyat, Oemar Bakri, Bento, dan Bongkar. Di era reformasi, musisi yang menyuarakan kritikan tetap mempertahankan makna musiknya, meskipun berbeda dengan arus pasar musik saat ini. Iksan sebagai salah satu musisi tersebut menerangkan, ketika seorang musisi sudah merasa gelisah terhadap sebuah realitas sosial. Maka ia dapat menyampaikan kegelisahannya lewat sebuah karya. “Seperti halnya wartawan yang menulis sebuah realitas dalam berita, seorang musisi juga mampu menuliskannya lewat lirik lagu yang mereka ciptakan. Inilah yang sudah hilang dari dunia musik saat ini. Seorang musisi yang hanya diam ketika melihat permasalahan sosial maka perlu dipertanyakan kemanusiaannya,” ungkap musisi yang menyebut dirinya sebagai “musisi yang terkenal dikalangan orang-orang khilaf”. Iksan menambahkan, lewat musik seorang musisi mampu mengungkapkan kritik secara luwes. Melalui lirik yang berbalutkan nada, ia mencoba menyampaikan pesan dengan bahasa populis sehingga mudah dicerna oleh kalangan masyarakat luas. “Itulah kelebihan dari seni, termasuk seni musik. Ketika dia mempropagandakan sesuatu maka dia akan terkesan luwes,” ungkap mantan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tersebut. Lagu berjudul Kuliah Bercerita, merupakan salah satu lagu Iksan yang cukup fenomenal di kalangan mahasiswa. Lirik lagu tersebut menceritakan betapa kuliah menjadi hal yang sulit dijangkau. Hal tersebut pernah dialami oleh sebagian besar orang tua dan mahasiswa. Ia mengawali lagu tersebut dengan petikan gitar yang lambat. Kemudian disambut dengan lirik yang bercerita tentang cita-cita seseorang untuk menjadi mahasiswa. Petikan gitarnya mulai bertempo cepat ketika memasuki lirik “dimana kuliah hanyalah angan-angan”. Mengingat kuliah saat ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi. “Seharusnya kampus terutama kampus negeri bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat,” terang Iksan saat ditemui awak LPM DIANNS seuasai konser.
33
DIANNS EDISI 54
Lirik berisi kritikan pun bukan sebuah kesengajaan Iksan, atau bahkan untuk mempropaganda. Ia menjelaskan bahwa lirik-lirik yang dibuatnya adalah hasil dari realitas yang selama ini ia lihat, dengar, dan rasakan. “Pernah ada yang protes. Kalau ada yang tersinggung dengan lagu saya berarti ada yang salah dengan dia,” ujar Iksan. Selain mendapat protes dari pendengar, Iksan juga pernah mendapat teguran dari keluarga. Mereka merasa khawatir melihat sebagian besar lirik lagu yang ia ciptakan cenderung bersifat sarkas. Namun, baginya itu merupakan konsekuensi bagi dirinya yang tidak bisa diam begitu saja ketika melihat realitas sosial yang ada disekitarnya. Musisi yang dikenal dengan lagunya yang berjudul “Partai Anjing” ini, juga pernah melakukan kerja sama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam membuat album kompilasi anti korupsi yang berjudul “Frekuensi Perangkap Tikus”. Selain membuat album kompilasi bersama ICW, Iksan juga ikut tergabung dalam Saksi Nada yang terdiri dari tujuh musisi dari berbagai daerah. Melalui Saksi Nada, ia bersama kawan-kawan musisinya aktif menyuarakan masalah isu-isu lingkungan khususnya agraria. “Terakhir, bersama kawan-kawan musisi dari Malang kita membuat album kompilasi untuk masalah hutan Kota Malabar,” lanjut Iksan. Tidak hanya aktif menyuarakan kritik lewat lagu, Iksan juga kerap turun memperjuangkan hak rakyat. Berkat idealismenya, dalam beberapa kesempatan ia sering diundang oleh para aktivis untuk mengisi acara mereka. Beberapa kali juga, ia turut andil dalam gerakan, seperti Solidaritas Rembang, Hutan Kota Malabar, kasus di Kulonprogo, hingga kasus agraria di Batang. Bahkan ia diminta untuk mengisi soundtrack film mengenai kasus Salim Kancil, petani Lumajang yang dibunuh karena kasus konflik agraria. Perjalanan karir Untuk mempertahankan ciri khas dari musiknya yang cenderung melawan arus pasar musik. Iksan berkomitmen untuk tetap turun ke jalan dan melihat realitas sosial. Seorang kreator tidak bisa menghasilkan karya hanya dengan
berdiam diri di kamar tanpa melihat rea-litas. Apalagi saat ini terlalu banyak lagu mendayu-dayu yang membuat para pendengarnya terlena. “Maka dari itu, aku harus melawan dengan caraku. Ka-lah itu wajar, setidaknya aku punya harga diri karena melawan,” pungkas Iksan. Selain bermain musik dan aktif dalam gerakan sosial, Iksan juga membuka sekolah musik gratis yang diberi nama Institut Musik Jalanan. Bersama kawankawannya ia mencoba memberikan wadah bagi para musisi jalanan untuk berkarya. Menurutnya, terlalu sayang jika musisi jalanan memainkan ulang lagulagu dari musisi terkenal. Hingga saat ini sudah terdapat dua album yang dikeluarkan oleh Institut Musik Jalanan. Sekolah musik ini pun tidak berbentuk kelas, melainkan warung kopi. “Kelas hanya akan mengotak-ngotakkan pendidikan. Melalui Institut Musik Jalanan, aku mengharapkan adanya sekolah yang bebas, tidak ada dogma bahwa guru pasti benar dan murid pasti bodoh,” ujar Iksan. Ia menambahkan, adanya warung kopi ini juga bertujuan untuk mendanai sekolah musik gratis tersebut. Institut Musik Jalanan juga lahir sebagai kritik terhadap industri musik saat ini. Melalui Institut Musik Jalanan, Iksan berharap mampu mendorong musisi jalanan yang terpinggirkan oleh industri-industri musik besar. “Aku ingin menghapus dogma-dogma dimana penyanyi harus berparas cantik, ganteng, atau lagu dengan lirik cinta,” ujar pemilik warung Srawung ini. Ia melanjutkan, melalui sekolah ini ia berharap dapat mendobrak mekanisme industri besar saat ini dengan berani membuat karya sendiri. Iksan Skuter sendiri mengawali karir bermusiknya, saat ia menjadi gitaris homeband Universitas Brawijaya pada awal tahun 2000. Tidak hanya bermain gitar, Ia pun mengaku sempat menjajal drum. Bersama kawan-kawan dari homeband Universitas Brawijaya, ia mulai membentuk sebuah band indie bernama Draft Band yang kemudian berganti nama menjadi Putih Band. Mencoba peruntungan, band asal Malang ini kemudian hijrah ke Ibu Kota Jakarta. Disinilah awal karir Iksan dalam dunia musik mulai beranjak naik. Lagu-
Musik lagu yang dibawakan band tersebut ru-panya memiliki banyak peminat dari ka-langan masyarakat luas sampai akhir-nya membawa band mereka ke taraf na-sional. Pada tahun 2007 ia bersama ka-wan-kawan bandnya sukses merilis al-bum pertama mereka. Hingga pada ta-hun 2010 kontrak antara bandnya de-ngan label yang membawa mereka sam-pai ke puncak pun selesai. Karir band-nya pun harus terhenti setelah berhasil merilis 3 album.
Sadar akan kondisi industri musiknya yang mulai kalang-kabut, tahun 2012 Iksan Skuter memutuskan untuk mencoba solo karir. Sampai tahun 2016 Iksan sudah merilis lima album, diantaranya Album Matahari, Folk Populi Folk Dei (Moesik Rakjat Moesik Toehan), Kecil Itu Indah, Shankara, dan terakhir merupakan album yang baru ia rilis tahun 2016 yang berjudul Benderang Terang. “Album pertama dan kedua saya buat di Jakarta, sedangkan untuk al-
bum ketiga, keempat, dan kelima saya buat di Malang,� terang mantan gitaris Putih Band.
Reporter: Fadhila Isniana dan Dhimas Dwi Agung
Seorang musisi yang hanya diam ketika melihat permasalahan sosial maka perlu dipertanyakan kemanusiaannya.
Media
Fotografer: Dimas
Suara Surabaya, salah satu media alternatif yang sampai sekarang masih ada.
Menilik Media Alternatif Masa Kini
35
DIANNS EDISI 54
M
edia berperan memberikan informasi kepada khalayak sehingga mampu memengaruhi ataupun mengkonstruk pola pikir masyarakat. Oleh sebab itu, media sering dijadikan alat oleh penguasa untuk mengendalikan rakyat. Wahid seorang dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (Ilkom FISIP UB) menuturkan, sejak dahulu media dan kekuasaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Dimana ada media, di sana pasti ada kekuasaan yang berkerja, entah itu kekuasaan yang bersanding ataupun melawan media. Media dinilai tidak lagi independen karena adanya tekanan dari kekuasaan dan ekonomi sehingga munculah istilah media alternatif. Seperti yang diungkapkan oleh Christopher Frank Atton, penulis buku Alternative Media, media alternatif ialah perlawanan terhadap hegemoni media mainstream.
Media Selepas masa Orde Baru (orba), media mulai berkembang pesat karena adanya kebebasan yang diberikan oleh pemerintah. Banyak media baru yang muncul untuk mencoba peruntungan di dunia penyiaran. Wahid mengibaratkan munculnya media saat itu seperti tumbuhnya cendawan di musim hujan–sangat banyak. Media-media baru saat ini didominasi oleh pihak swasta sehingga kontrol dari penguasa tidak lagi kuat. Namun permasalahan yang muncul selanjutnya adalah keikutsertaan para pemilik media arus utama ke dalam dunia perpolitikan. sehingga tidak lagi mampu menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial terhadap pemerintahan. “Metro TV sangat dekat dengan Surya Paloh, atau pertelevisian lainnya dengan Bakrie, bahkan media digunakan sebagai medium kampanye capres oleh pemiliknya” ujar Wahid. Media telah mengambil posisinya masing-masing terhadap perkembang-an perpolitikan di Indonesia sehingga mengabaikan rakyat yang telah kehilangan kepercayaan pada media. Independensi media hari ini telah hilang, tidak ada yang independen dari sebuah media. Media akan selalu menjadi sarana untuk membawa kepentingan bagi pemiliknya. Meskipun di ruang redaksi para jurnalis berkata ingin independen dalam pemberitaan, tetapi kenyataan di lapangan berbeda, di mana publik akhirnya hanya akan menjadi komoditi yang dijual oleh media Media berperan sebagai penyambung lidah antara masyarakat dengan kaum elite yang sedang berkuasa. Di tengah banyak media yang tidak lagi berpihak pada rakyat dalam pemberitaan, masih ada beberapa media yang tetap menjaga agar informasi yang disampaikan terlepas dari semua tekanan politik yang ada. Salah satunya ialah Radio Suara Surabaya atau biasa disebut SS. Seperti namanya, SS adalah salah satu stasiun radio yang menyuarakan aspirasi rakyat di Kota Pahlawan, Surabaya. Walaupun serangan media sangat gencar dari sisi pertelevisian dan online, radio seperti SS masih tetap eksis dengan menjadi salah satu media alternatif masyarakat Surabaya. Radio ini telah berdiri sejak tahun 1983 dan pertama kali mengudara saat terjadi fenomena alam gerhana matahari. Sejak awal berdi-
ri, SS mengangkat konsep jurnalistik radio dan aktif mengudara dengan menampung dan menyampaikan keluh kesah serta saran dari masyarakat Surabaya atas permasalahan yang terjadi di ibu kota Jawa Timur ini. Rudi Hartono selaku Business Development SS menjelaskan, konsep yang dibawa SS sejak pertama mengudara adalah radio jurnalistik. Tapi aktivitas jurnalistik saat itu tidak segencar hari ini karena banyak pembatasan kegiatan jurnalistik di media massa. “Terdapat kontrol yang sangat ketat disitu karena pada masa Orba,” tuturnya ketika ditemui LPM DIANNS di Gedung Penyiaran Radio Suara Surabaya pada 2 September 2016 silam. Saat itu Orba memang menjadi salah satu momok yang menghambat perkembangan media massa karena pemerintahan Soeharto hanya mengakui dua media yang diizinkan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat, yaitu RRI dan TVRI. Sedangkan pada era sekarang ini, SS menjadi pilihan tersendiri sebagai media alternatif yang begitu aktif dan interaktif dengan para pendengarnya. Atton mengungkapkan, media alternatif mampu memberikan akses kepada beberapa kelompok minoritas atau marginal yang tidak memiliki kekuatan di media massa. Begitu pula SS memberikan akses pada masyarakat untuk menyampaikan keluhan. Mekanisme pengaduan yang diberlakukan oleh SS ialah menerima keluhan dari masyarakat melalui sambungan telepon lalu membacakannya ketika mengudara. Salah satu yang pernah terjadi adalah adanya pungutan liar ketika pembuatan EKTP di sebuah kelurahan di Surabaya. Menerima keluhan ini, SS terusmenerus memberitakan masalah ini hingga instansi terkait menghubungi SS via telepon yang tersambung langsung dengan siaran radio, sehingga klarifikasi yang disampaikan oleh pihak terkait dapat didengar oleh masyarakat. Dalam sehari, SS menerima hampir 1200
hingga 1500 keluhan. Mereka ratarata mengeluhkan masalah lalu lintas dan juga pencatatan sipil. Kebutuhan informasi menjadi salah satu komponen yang berpengaruh bagi kelangsungan hidup masyarakat, terlepas dari kemungkinan apakah informasi tersebut akan menguntungkan atau pun merugikan penerimanya. Karena pada hakikatnya, manusia memiliki naluri untuk selalu ingin mengetahui apa saja yang telah terjadi di sekitarnya. Saat ini ada banyak media yang menawarkan informasi dengan media yang beragam seperti, surat kabar, radio, televisi, media online, dan streaming radio. Bahkan saat ini telah ada stasiun televisi yang menayangkan beritanya secara streaming sehingga bisa diakses dengan cepat dan mudah dari smartphone. Hal ini dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan teknologi modern dan semakin mudahnya akses internet oleh masyarakat. Namun, di tengah pesatnya perkembangan dan serangan arus media yang ada, kiranya patut dipertanyakan kemana arah berita yang ingin disampaikan. “Ketika pemilik media tersebut berkecimpung dalam politik, media akan menjadi medium untuk kampanye politik,” pungkas
Ilustrator: Yusuf
Media Wahid saat ditemui awak DIANNS di ruangannya 9 September 2016 lalu. Gramatika media di Indonesia Sejarah mencatat, perkembangan media Indonesia telah melalui jalan yang cukup panjang. Media awalnya lahir karena adanya gerakan melawan kepada pemerintah Hindia-Belanda. Dahulu media digunakan sebagai alat perlawanan dan bahasa yang digunakan pun sangat vulgar. Media digunakan sebagai alat propaganda saat masa penjajahan, peran yang cukup esensial saat itu. Semangat untuk melawan penjajah difokuskan pada nasionalisme yang memang relevan dengan suasana perjuangan kala itu. Hal ini karena perlawanan pada masa penjajahan membutuhkan semangat yang terbangun dari kekuatan bersama dan rasa persatuan. Pada fase awal kepemimpinan Soekarno atau masa Orde Lama (Orla), media diberikan kebebasan yang cukup besar karena semangat yang dibangun sama, yaitu tentang nasionalisme. Namun pada fase menengah hingga akhir, media mulai dilemahkan karena dianggap berusaha melawan atau memecah dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Setelah lepas dari masa pemerintahan Soekarno dan masuk ke rezim Soeharto, media awalnya masih diberikan ruang dan kebebasan. Namun sete-
lah tiga tahun masa pemerintahan Orba berjalan, pembatasan terhadap kebebas-an media kembali muncul. Hanya media milik pemerintah yang boleh eksis, yang dengan kata lain, media telah dikuasai Soeharto. Dengan kontrol secara penuh pada media, pemberitaan yang memba-wa citra buruk bagi Soeharto akan di-bungkam atau dibredel.Pada masa itu, sebuah media dapat dipastikan aman jika media tersebut memiliki kedekatan dengan Soeharto. Hal itu tentu saja tidak berlaku lagi pada saat ini. Sejarah perkembangan media menunjukkan posisi dari media itu sendiri, yaitu media tidak akan pernah terlepas dari kekuasaan yang ada. Akan selalu ada media yang berjalan bergandengan dengan pemerintah dalam arti mendukung pemberitaan yang baik, dan ada pula media yang berseberangan dengan kekuasaan. Memang, Soeharto menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan media kala itu, dan sekarang pun media tetap tidak bisa berjalan sendiri tanpa kekuasaan, yang mana pemilik media menjadi bagian yang berkuasa itu. Disadari atau tidak, hal ini tentu saja berlawanan dengan independensi yang selama ini diagung-agungkan dalam dunia jurnalistik. Wahid menjelaskan perbedaan makna “rakyat” pada masa perjuangan dengan saat ini. Semasa perjuangan, rakyat dibicarakan dalam arti sesungguhnya,
mendapatkan pendidikan namun tidak termasuk orang-orang yang berada di bawah kendali Hindia Belanda dan yang melayani pemerintah kolonial. ke dalam orang-orang berada di bawah kendali Hindia Belanda. “Tetapi se-karang yang disebut rakyat adalah kata-kata yang sering diucapkan untuk me-negaskan bahwa mereka adalah media untuk publik,” tukas Wa h i d . L a n j u t n y a , t i d a k a d a pembatasan berpolitik atau antipolitik dalam media, justru media harus bisa berpolitik tetapi dalam ca-tatan, yang dipilih adalah aspirasi lang-sung oleh rakyat. Karena media ada un-tuk mengontrol pemerintahan dan ti-dak berpihak terhadap satu pihak saja. Media merupakan pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Sebagai pilar keempat bukan berarti media berperan untuk menguatkan atau mendukung ketiga pilar sebelumnya dalam pemberitaan, namun media bertugas sebagai pengontrol atas kebijakan atau bias disebut sebagai peran control politik. “Jurnalisme sebagai pilar keempat. Media mengontrol pemerintah, bukan sebaliknya,” tutur Wahid. Reporter: Resti Syafitri Andra dan Dimas Ade Surya
Tidak ada pembatasan berpolitik atau antipolitik dalam media, justru media harus bisa berpolitik tetapi dalam catatan, yang dipilih adalah aspirasi langsung oleh rakyat. Karena media ada untuk mengontrol pemerintahan dan tidak berpihak terhadap satu pihak saja.
37
DIANNS EDISI 54
Budaya
Barongan: Mulai dari Seni Hingga Sarana Dakwah
Salah satu penari Barong yang menari bersama ribuan barong lainnya dalam pagekaran tari kolosal 1000 barong di Simpang Lima Gumul pada 6 Agustus 2016. Fotografer: Bimo Adi Kresnomuurti.
A
roma menyengat kemenyan yang tercium di kawasan Simpang Lima Gumul (SLG), Kediri, Jawa Timur menjadi awal dari dimulainya sebuah pagelaran tarian kolosal pada Sabtu, 6 Agustus 2016 yang bertajuk Semarak Bumi Panji Kediri. Aroma yang tercium bersamaan dengan teriknya matahari dan iringan gamelan Jawa yang berbunyi, menjadi sebuah isyarat bagi seorang pembawa cemeti yang akan dipukulkan keras ke dasar jalanan SLG siang itu. Pembawa cemeti yang datang dan memukulkan cemetinya menjadi simbol dimulainya sebuah pagelaran seni kolosal barongan dan jaranan. Aroma khas kemenyan yang tercium menjadikan barongan dan jaranan dikenal masyarakat sebagai tarian yang mistis. Namun kemistisan yang dikenal masyarakat saat ini, menurut sejarah kemunculannya tidak memuat unsur mistis bahkan tarian ini merupakan sebuah sarana yang dilakukan seorang ulama untuk berdakwah. Aroma kemenyan yang tercium sepanjang arena SLG hanya sebagai isyarat wewangian yang diguankan untuk memulai sebuah pertunjukan. Satu demi satu lakon datang beriringan dengan cemeti yang dipukulkan, juga diiringi suara gamelan yang bertalu-talu. Lakon yang menari di atas sebuah anyaman bambu berwujud kuda ini menjadi pembuka pertunjukan tarian kolosal 1000 barong. Lakon yang menari di anyaman bambu inilah yang
biasa disebut dengan jaranan. Barong-an sendiri merupakan bagian dari pa-gelaran seni jaranan yang dipentaskan dalam sebuah tari kolosal sabtu lalu. Ribuan pembarong yang m e m e n u h i l o k a s i k h u s u s ya n g disiapkan untuk pagelaran di SLG menari mengikuti irama gamelan dan
kul beberapa kali. Tak hanya satu tari jaranan yang ditampilkan dalam pembukaan tari kolosal ini, ada beberapa jenis tarian yang ditampilkan dalam satu pertunjukan. Tari ini terdiri atas jaranan dari Kecamatan Kucur, Tari Mendak dari lamongan, Tari bong dari Kalimantan Timur dan ada beberapa
DIANNS - 544 DIANNS53 EDISI
38
Budaya fashion show dalam satu rangkaian aca-ra. Berbagai macam lakon tarian yang ditampilkan bergantian, hingga saatnya barong yang dinantikan masyarakat pun datang. Dengan paras barong yang berwujud singa mengerikan, 2023 pem-barong datang dengan iringan musik gamelan dan suara cemeti yang dipukul. Ribuan barong itu menari mengikuti ira-ma musik dan suara cemeti. Hal ini lah yang menjadi pusat perhatian ma-syarakat yang menyaksikan pagelaran tarian kolosal tersebut. Sorak-sorai masyarakat Kediri serta terik matahari tentunya akan membuat siapa pun tidak tahan berada disana. Namun, tidak bagi mereka yang sangat menghargai dan mencintai budaya barong pada pagelaran ini. Satu dari seribu budaya nusantara yang sampai saat ini masih dipertahankan dan tetap dilestarikan. Kebudayaan barong sudah lama dikenal masyarakat nusantara, bahkan untuk beberapa daerah memiliki kebudayaan barong ter-sendiri dengan ciri khasnya masing-masing. Namun, kebudayaan barong memiliki kesamaan yang sangat spesifik walaupun masingmasing daerah memiliki jenis barongnya sendiri. Beberapa kesamaan yang utama dalam kebudayaan barong adalah topeng yang berwujud wajah singa dan terkadang naga dengan mata melotot dan taring yang mencuat. Kesamaan ciri dalam paras topeng yang dipakai membuat tari kolosal barong yang di tampilkan tidak hanya berasal dari Kediri melainkan melibatkan gabungan pembarong se-Indonesia. Asal mula barong seperti yang termuat dalam historis katalog Himpunan Paguyuban Reog Ponorog dan Jaranan Kota Surabaya (HIPREJS) mendeskripsikan bahwa tari barongan berasal dari sumber cerita yang sama dengan Jaranan dan Reog. Tarian Barong muncul di era Brawijaya ke-5, pada saat kepemimpinan raja Majapahit. Pada saat itu keseni-
39
DIANNS EDISI 54
yang ditujukan kepada raja. Sosok singa dalam barong menggambarkan kekua-saan dan mahkota barong melambang-kan kecantikan dari seorang permaisuri. Pada masa Brawijaya ke-5, pemerinta-han dikuasai oleh para permaisuri yang memicu banyak pemberontakan pada tempo dulu dan barongan dianggap se-bagai sarana yang digunakan pemberon-tak untuk merebut pemerintahan. Kesenian barong yang dianggap sarana pemberontakan pun di lenyapkan oleh pemerintahan Brawijaya ke-5. Lalu, pada masa pemerintahan Kediri yang pertama kali, istri Betoro Katong yang merupakan murid dari Sunan Ampel, menghidupkan kembali kesenian Barong. Istri Betoro membuat alur cerita dimana raja dari Kerajaan Bantarangin di Ponorogo terpikat oleh kecantikan Putri Kediri. Tri Suryono yang merupakan ketua HIPREJS, mengungkapkan cerita barong memiliki keterkaitan dengan cerita Putri Kediri dan Istri Betoro Katong yang melestarikan tarian barong untuk sarana berdakwah. Tri mengaku “Kesenian barong di masyarakat selama ini muncul persepsi bahwa kesenian barong merupakan hal yang mistis. Sebenarnya tidak seperti itu. Kesenian barong dulu digu-nakan sebagai sarana berdakwah.” ungkap Tri. Dalam pementasan kesenian barong, bau kemenyan, yang mengawali acara hanyalah se-batas sarana pewangi untuk pembuka tarian barong. Tidak ada hal yang mistis dalam tari-an jaranan maupun barongan. “ Pe n g g u n a a n k e m e n ya n hanya sebatas wangi-wangian. Zaman dahulu menggunakan kemen-yan dan bunga hanya sebatas untuk sarana pewangi saja.” papar Tri.
pakan budayawan Universitas Brawija-ya (UB) Malang menjelaskan, pemaha-man barong tidak ada nilai mistis dida-lam tarianya ter-gantung doa yang diu-capkan di awal tarian. Pemahaman ma-syarakat mengenai hal yang ada mistis atau tidak, bisa dirasakan pada niat doa di awal. “Semua ini tergantung niat doa-nya. Apabila doanya bermaksud me-minta izin penunggu daerah itu, maka ada nilai mistisnya. Karya seni berasal dari pemikiran penciptanya. Jika yakin dengan kekuatan yang tidak tampak, maka harus di tampakan berupa kesenian,” tambah Riyanto. Riyanto menjelaskan bahwa, suatu kesenian yang dimunculkan dalam suatu tarian harus berdasarkan pemikiran penciptanya. Baik itu berasal dari suatu yang tidak tampak ataupun
Budaya bentuk yang nyata dari sutau kesenian tersebut. Barong merupakan karya yang berwujud dan berparaskan singo ataupun naga. Penafsiran dari barong sendiri adalah memiliki kekuatan yang luar biasa dalam bentuk singo barong. Tetapi, apabila penafsiran dari barong dimaknai dengan cara membangun ide untuk menciptakan paras barong tersebut, maka harus dilihat lagi runtutan yang dibawakan dalam tariannya. Keyakinan masyarakat tempo dulu beranggapan bahwa paras dari barong merupakan suatu kekuatan yang besar dan diwujudkan dengan suatu wujud yang menakutkan. Hal inilah yang membuat barong diparaskan dengan muka hewanhewan buas seperti, singa ataupun naga. Makna tarian barong Paras barong yang menyeramkan, memiliki makna dalam setiap runtutan gerakan maupun musik yang mengiringi setiap gerakan tariannya. Seiring dengan perkembangan waktu, barongan tidak hanya bercerita tentang riwayat Dewi Songgolangit, melainkan ada runtutan cerita tambahan untuk kreasi dalam gerakannya. Supriyo, Ketua sanggar seni Cipto Budoyo di Kediri menjelaskan bahwa dulunya tarian barong memiliki sejarah yang sama dengan jaranan dan bertepatan dengan pendirian masjid. Untuk menarik perhatian warga agar beribadah, maka tarian barong ini diperagakan dan di kreasikan. Hal ini sejalan dengan fungsi pengiring barong yang berupa gamelan untuk menarik antusiasme masyarakat. Dalam gamelan, ada beberapa alat pengiring tarian barong yang memiliki filosofi khusus. Seperti halnya kendang yang berari “kon ndang-
Fotografer: Bimo
ndang”, kenong yang berarti “kon ngening-ngening”, gong yang berarti “kon ngeblengne” dan beberapa alat musik pengiring kreasi barongan seperti terompet dan angklung untuk bisa menarik perhatian masyarakat. Runtutan dari tarian barong yang mengikuti alur cerita ataupun kreasi dalam perkembangan zaman, terdiri atas beberapa gerakan tarian. Tarian pengiring barong ini terdiri atas atraksi pecut untuk memulai rangkaian barong. Pecut yang digunakan adalah cemeti samandiman yang melambangkan jamus kalimasodo. Kalimasodo ini menurut pemaparan Supriyo, awalnya adalah sebuah jimat pada masa Wali Songo yang kemudian di ubah pelafalannya menjadi kalimat sahadat untuk memperkenalkan agama islam pada waktu itu. Setelah aksi cemeti, runtutan tarian barong yang merupakan bagian dari kesenian jaranan diawali dengan rangkaian tari Kuda Kepang yang dibawakan oleh penari pria. Pembawaan tarian Kuda Kepang disesuaikan dengan kreasi dalam sebuah cerita Jaranan. Rangkaian kreasi tari ini kemudian disusul dengan penari wanita yang terus berlangsung dengan tarian bujang ganong, barong, dan ditutup dengan celengan. Reporter: Nurhidayah Istiqomah dan M.Yusuf Isma’il
DIANNS - 544 DIANNS53 EDISI
40
Jalan-Jalan
Nostalgia
PRAM & PATABA Di Sudut Kota Blora Plang PATABA yang tergantung di teras, menyambut setiap pengunjung yang datang.
Fotografer: Rethiya
P
ulang, telah mengisyaratkan untuk kembali. Rindunya menguntum akan jati diri yang telah lama ia tinggalkan. Menanti mekar, diantara kenangan, canda tawa,dan sedu sedan di kampung halaman. Namun, kali ini sedu sedanlah yang akan menyeruak, memunculkan roman Bukan Pasar Malam dalam iringan pulang. Roman Pramoedya Ananta Toer Bukan Pasar Malam mampu begitu dekat melukiskan keterasingan seseorang dari kota kelahirannya dalam perjalanan pulang. Roman ini seakan membisiki saya untuk menapaki lagi sebuah daerah di ujung timur Jawa Tengah, yakni Kabupaten Blora. Menilik sisi lain Sang Maestro Sastra di kampung halamannya. Mencari-cari nostalgia tentangnya bersama orang-orang terdekatnya. Utamanya menyambangi sebuah rumah tua di sudut Blora yang sering ia kunjungi pada hari-hari senjanya. Rumah yang kini mewujud perpustakaan. Tempat yang menjadi tujuan saya untuk membaca, mengenang, dan mengenal sosok Pram
lebih dalam. Tempat tersebut d i k e n a l s e - b a g a i Pe r p u s t a k a a n Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA). Hari ketiga puluh bulan Juli 2016, Stasiun Cepu begitu terik. Debu-debu yang beterbangan tersibak angin membuat udara semakin terasa gerah. 1 Sumuk...sumuk.... erang saya dalam hati. Kabupaten Blora telah memasuki mangsa ketiga. Siang ini saya menjemput seorang teman dari Malang untuk bersama-sama mengunjungi PATABA. Dari balik sebuah lorong, sosok yang saya cari akhirnya muncul. Usai bertukar cerita sejenak di stasiun, kami memulai perjalanan menuju Kota Blora. Di Kabu-
Akronim PATABA dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa
DIANNS - 544 DIANNS53 EDISI
42
Jalan-Jalan yakni di Kecamatan Cepu dan Kecamatan Randublatung yang masingmasing berjarak satu jam perjalanan menggunakan angkutan darat menuju pusat kota. Angkutan darat yang tersedia di sini adalah minibus, angkot, atau kendaraan pribadi. Saya memilih menggunakan yang terakhir. Mobil kami mulai membelah jalanan beraspal, diapit rimbunan jati yang sedang meranggas. Kota ini terkenal akan kualitas kayu jatinya yang bagus, sehingga tak heran apabila di kiri kanan jalan banyak dijumpai pengrajin mebel. Mobil membawa kami melintasi gapura bertuliskan “Blora Mustika”, tanda bahwa kami telah memasuki Kota Blora. Sudut barat daya adalah arah yang kami tuju karena di sanalah PATABA berada. Jalanannya tak terlalu terjamah hiruk pikuk manusia. Sejak kami tiba, hanya ada satu dua truk pasir hilir mudik. Pagar kayu setinggi perut orang dewasa membentengi rumah tua Keluarga Mastoer. Di pelatarannya yang luas, tampak seorang wanita setengah baya sedang memberi makan kambing. Menyadari kedatangan kami, ia lantas setengah berteriak, “Langsung masuk saja mbak.” Kami buka perlahan pagar yang tertutup itu dan mulai melintasi halaman. Wanita tadi langsung mengajak kami masuk ke ruangan disamping rumah utama. Dari perkenalan yang singkat, kami tahu bahwa wanita itu adalah Bu Suratiyem, istri adik bungsu Pram. Duduklah kami di teras ruangan, sementara Bu Suratiyem kembali melanjutkan akivitasnya. Plang bertuliskan “PATABA” terpampang di teras ini. Juga beberapa kursi dan meja dari akar kayu jati yang ditata rapi. Tak lama, jendela ruangan itu terbuka, disusul dengan pintu yang terayun menampakkan senyum ramah seorang kakek yang menyambut kami. Itu-lah Pak Soesilo, adik bungsu Pram yang saat ini mengurus PATABA. Beliau mempersilakan kami masuk dan duduk. Kusapukan pandangan kesekeliling ruangan berukuran 5 x 4 meter yang dindingnya dihiasi lukisan dan foto ini. Meski terbilang kecil, namun di sini banyak tersimpan koleksi buku yang sudah berusia puluhan tahun, beberapa diantaranya berbahasa Rusia dan Inggris. Buku Pram dalam cetakan lama tak
43
DIANNS EDISI 54
Buku-buku berderet tak beraturan memenuhi rak, bersama foto dan lukisan menghiasi dinding PATABA.
tertinggal menghiasi koleksi PATABA, seperti Bumi Ma-nusia dan Sang Pencerah yang dipisahkan di rak ter-sendiri. Sayangnya, buku-buku itu kebanyakan terla-pisi debu dan tidak tertata rapi. Di bawah meja, juga tampak b e b e r a p a m a j a l a h ya n g tertumpuk tak tersentuh dalam kardus. Mungkin karena tidak adanya tenaga yang ber-sedia membantu Pak Soesilo dan Bu Suratiyem merawat PATABA, sehingga kondisi perpustakaan kurang terurus. PATABA sendiri mengalami kendala finansial, sehingga juga kekurangan biaya perawatan. Meskipun begitu, Pak Soesilo enggan mengenakan tarif masuk bagi siapapun yang ingin berkunjung ke PATABA. Pengunjung hanya perlu mengisi sebuah buku tamu. Seolah tak cukup dengan masuk gratis, di sana juga disediakan makanan ringan dan air mineral, sama gratisnya. Bahkan tak jarang ketika waktu makan siang tiba, Pak Soesilo mengajak pengunjung untuk bersantap siang bersama. Saat ini PATABA menempati sebuah ruang yang dulu merupakan bekas dapur Keluarga Mastoer. Pada tahun 2003, ruangan tersebut sempat akan dijual karena dirasa tak kuat lagi menahan atap dan dinding yang akan roboh. Pram merasa kecewa atas keputusan tersebut. Sebab sebagai anak sulung ia merasa tak dapat merawat warisan orang tuanya. Hingga pada akhirnya, ia memberikan kepercayaan kepada adik bungsunya untuk merenovasi dapur tersebut. Setelah renovasi rampung, Pram dan keluarga sering berkunjung ke Blora. Sempat
Fotografer: Rethiya
kebangkitan Kota Blora mengelilingi ru-mah Keluarga Mastoer. Namun urung, karena salah seorang adiknya tak me-nyetujui rencana tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah sebuah kamar di sudut ruangan ini. Pak Soesilo bilang, kamar itulah yang sering digunakan Pram untuk tidur jika sedang di Blora. Kini, kamar tersebut difungsikan sebagai tempat istirahat bagi pengunjung yang ingin menginap atau tidur barang sebentar. Sembari kami menyusuri koleksi PATABA, Pak Soesilo yang tengah duduk di kursi terus bertutur tentang Pram dan PATABA. Perbincangan kami semakin menarik ketika ia bercerita mengenai sebatang rokok dan kopi yang menjadi nyawa Pram saat menulis. Kebiasaan itu berawal ketika Pram kecil yang sering bergaul dengan anak-anak petani, mulai mencicipi kopi dan batang rokok. Bersamaan dengan itulah Pram menemukan ide-ide untuk tulisan-tulisannya. Sebut saja sosok Ontosoroh dalam tetralogi legendarisnya, Bumi Manusia. Menurut penuturan Pak Soesilo, Ontosoroh terinspirasi dari sosok ibu temannya yang seorang pengembala kambing. Juga tokoh utama
Jalan-Jalan
Kini sepuluh tahun sudah PATABA menyumbangkan kontribusinya bagi masyarakat dalam merawat ingatan sejarah. Namun, pemerintah setempat belum memberikan apresiasi yang layak bagi PATABA.
dalam novel Gadis Pantai yang terinspirasi dari kisah neneknya yang dinikahi penghulu kaya raya beristri banyak dari Rembang. Kepiawaian Pram dalam memadukan realita sosial dan ide-ide fiksinya menjadikan setiap novel yang ia tulis seolah memiliki nyawa masingmasing. Tiga puluh April tahun 2006, PATABA didirikan untuk mengenang Pram. Nama PATABA sendiri awalnya merupakan akronim dari Pramoedya Anak Asli Blora yang kemudian dipendekkan menjadi Pramoedya Anak Blora. Namun karena dinilai berbau kedaerahan, maka dibuatkan lagi akronim PATABA dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Bertepatan dengan tanggal berdirinya, PATABA kerap menggelar beberapa kegiatan, seperti pembagian bibit jati, bedah buku, ataupun srawung seni yang diisi dengan diskusi seni dan budaya. Ada juga pembacaan puisi, pementasan teater, serta lomba melukis untuk anak-anak. Kini sepuluh tahun sudah PATABA menyumbangkan kontribusinya bagi masyarakat dalam merawat ingatan sejarah. Namun, pemerintah setempat belum memberikan apresiasi yang layak bagi PATABA. Statusnya yang masih dianggap sebagai “perpustakaan liar” menyebabkan PATABA kurang mendapat perhatian dari pemerintah, terutama dalam hal pendanaan. Pak Soesilo sempat bercerita bahwa pada tahun 2010, PATABA pernah mengajukan surat rekomendasi kepada Dinas Pendidikan setempat. Tapi surat rekomendasi tersebut tak kunjung terbit. Padahal surat tersebut merupakan salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi PATABA untuk mendapatkan block grant dari Kementerian Pendidikan Nasional. Selain pre-
servasi koleksi, masalah finansial juga berdampak pada pendataan koleksi. Seluruh koleksi di PATABA saat ini be-lum dapat didata karena lagi-lagi, sum-ber daya masih sangat terbatas, baik fi-nansial maupun sumber daya manusia. Meskipun begitu, Pak Soesilo selaku pengemban amanah dari masyarakat untuk mengelola PATABA tetap berusa-ha membenahi setiap inci dari perpusta-kaan di Sudut Blora itu. Nostalgia yang saya dapat tentang Pram dan PATABA bersama Pak Soesilo hari ini memberikan kenangan yang tak akan mudah dilupakan. Saya begitu hanyut dalam cerita-cerita Pak Soesilo hingga tak terasa waktu mendesak untuk mengucapkan kata pamit. Saya dan kawan pun pulang. Sepanjang perjalanan itu, suara Pram akan ketidakadilan terus terdengung lewat larik-larik kalimat yang ditulisnya. Suara yang akan terus terdengung bahkan hingga beratus abad kemudian. Seperti larik legendaris yang diungkapkan Pram, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Reporter: Rethiya Astari
Soesilo Toer sedang berbagi cerita mengenai sejarah berdirinya PATABA kepada awak LPM DIANNS di PATABA pada 31 Juli 2016.
DIANNS EDISI 54
44
Sastra
Bumi Sakti Alam Kerinci Penulis: Athika Sri A.
Aku terbangun ketika cahaya sang fajar dari ufuk timur mampu menembus celahcelah ventilasi kamar yang aku tempati. Semburat cahayanya menyilaukan mataku yang masih setengah terpejam. Aku segera bangkit, dengan langkah gontai membuka jendela kamar sembari mengulum senyum saat melihat salah satu surga yang Tuhan berikan di bumi ini. Pemandangan Gunung Kerinci yang berdiri tegak menjulang ke lazuardi dengan hamparan perkebunan teh Kayu Aro berada di kakinya. Bak permadani hijau yang terlihat seribu kali lebih menawan daripada hamparan bunga tulip di Negara Kincir Angin.
Ilustrator: Fadhila
DIANNS EDISI 54
46
Sastra
A
ku memusatkan pandangan pada puluhan wanita dan laki-laki paruh baya yang hendak pergi ke perkebunan teh. Ada yang berkendara dengan motor butut. Ada juga yang berjalan kaki bersama rekan-rekannya. Mereka menyambut hari ini dengan semangat. Dengan membawa keranjang di punggungnya, siap memetik pucuk daun teh terbaik. Ini adalah hal terbaik yang akan aku dapatkan selama enam hari dari jatah cuti yang bisa kantor berikan untukku. Pernah dengar kata, “Sambil menyelam minum air”? Sambil berlibur dari penatnya deadline di kantor yang menghantuiku setiap malam. *** Aku jadi bisa berlibur di salah satu tempat terbaik di Indonesia. Aku dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang bersuku heterogen. Ayah berasal dari tanah Jawa dan Amak berasal dari tanah Minang. Mereka adalah dua dari sekian banyak orang yang merantau ke Jambi untuk mendapatkan pekerjaan dan Keluarga besar mereka pun juga banyak yang merantau ke berbagai daerah di Indonesia tapi tak sedikit pula yang masih berada di tanah kelahiran. Darah rantau sudah pasti aku warisi dari kedua orang tuaku. Bahkan tepat tiga bulan setelah perayaan kelulusanku di Jogja waktu itu. Sebuah surel dengan alamat pengirim yang sangat aku kenal sudah mejeng di kotak masuk. Isi pesan tersebut menyuruhku untuk melakukan interview di salah satu perusahaan di Ibu Kota. Setelah satu setengah tahun aku bekerja di salah satu perusahaan ternama Indonesia di bilangan Jakarta. Aku merasa, aku butuh sebuah tempat yang bisa menghilangkan kepenatanku dari ramainya Ibu Kota. Aku butuh pemandangan permadani hijau, aroma teh Kayu Aro, dan kue Padamaran. Malam itu, aku berbicara dengan kedua orangtuaku tentang rencana liburanku. Aku dan Ayah sempat berdebat, karena orang-orang di rumah
47
DIANNS EDISI 54
sudah kadung rindu kepadaku. “Balek la dulu ke Jambi, Ka. Kalo kau nak liburan, main be ke Kerinci tempat Pak Etek Rizal. Kau kan belum pernah main kesano, tengokin la dio tu,” kalimat penutup dari Ayah yang tak mau lagi aku bantah. Penerbangan selama satu jam sepuluh menit pukul 09.30 WIB esok hari memaksaku untuk segera memejamkan mata. Apalagi perjalanan darat selama kurang lebih sepuluh jam menuju Kerinci juga menungguku. Pak Etek Rizal, ah. Aku datang. *** “Kau la bangun, Zika?” tanya Mak Etek Midah−istri Pak Etek Rizal− tiba-tiba dari balik pintuku yang sedikit terbuka. “Ha, la Mak Etek, la bangun dari 1 tadi. Maaf yo, Zika dak langsung turun ke dapur bantuin Mak Etek. Dari kemaren mato Zika belum puas nengokin pemandangan macam ni,” jawabku sambil tersenyum menunjuk ke luar jendela. “Yelah, puas-puasin la mumpung disini,” Mak Etek Midah hanya tertawa kecil dan meninggalkanku sendiri. Rumah kayu berlantai dua ini berada di wilayah sekitar perkebunan teh Kayu Aro. Pak Etek Rizal menjadikannya ladang bisnis sebagai homestay bagi para pendaki maupun wisatawan yang ingin berlibur ke Kerinci. Aku setuju jika banyak orang yang mengatakan bahwa orang Padang itu suka sekali berbisnis. Bahkan sedari dulu aku selalu memikirkan, apa jangan-jangan Padang itu akronim dari Pandai dagang? Ah, entahlah. *** Aku turun ke dapur dan melihat Mak Etek Midah sibuk menyiapkan sarapan. Asap mengepul dari balik kukusan mengeluarkan aroma pandan yang wangi menggoda selera. 2 “Kau suko kue padamaran dak, Ka?” tanya Mak Etek Midah kepadaku. “Ai Mak Etek ni, jangan ditanyo la tu!” jawabku sambil tertawa.
Aku menyusun kue-kue padamaran di atas dua piring yang berbeda. “Sikok untuk kito, sikok lagi untuk budak-budak homestay ni yo, Ka. Kirokiro budak tu ado duo puluh orang. Mak Etek nak buat teh dulu. Biak nyo nyicip teh kampung yang la go Interna3 sional ni hahaha, ” seloroh Mak Etek yang membuat tawaku meledak. Menurut Mak Etek, tak lengkap rasanya jika makan kue padamaran tanpa didampingi segelas teh Kayu Aro. Apalagi teh yang baru diseduh Mak Etek dalam sebuah teko tanah liat mengeluarkan uap panas. Sangat pas sekali diminum saat suhu udara o Kerinci mencapai 19 C. “Mak Etek, kapan la Bang Arman tu balek dari Gunung Kerinci? Zika nak ngajak Bang Arman keliling kebun teh sambil nengok uhang pan4 dak di sekitar Gunung Kerinci ni, ” tanyaku sambil mengambil kue padamaran untuk ketiga kalinya. “Palingan jugo agek malam Bang Arman la sampai di rumah ko, Ka. Ngapo pula kau nak nyari-nyari uhang pandak tu? Dak bakal ketemu dio tu kalau kau cari. Tapi lain pula ceritonyo kalo agek kau tiba-tiba ketemu uhang pandak tu di jalan,” ujar Mak Etek Midah. Aku pamit untuk kembali masuk ke kamarku. Ada beberapa pekerjaan kantor yang masih harus aku selesaikan di masa cutiku. Sebelum aku beranjak, aku berpapasan dengan tiga orang yang tampilannya seperti pendaki. Dengan masing-masing carrier –yang kira-kira berukuran 80L– di punggungnya. Mereka berpamitan dengan Mak Etek Midah untuk mendaki puncak Gunung Kerinci dan akan kembali dua hari lagi. Satu dari tiga orang itu terlihat pongah. Kami saling beradu pandang. Sepasang mata indah di bawah naungan alis tebal yang membuat tatapannya begitu tajam nan dingin. Segera saja aku mele-ngos melewatinya untuk kembali ke kamarku. Sengak!!! teriakku dalam hati. Aku terkadang menggerutu pada diriku sendiri mengapa aku sangat su-
Sastra ka menebak-nebak sifat seseorang da-ri wajah dan gayanya. Entah apa yang ada di pikiran orang-orang ini. Apa un-tungnya mendaki puncak gunung itu? Menyiksa badan saja, pikirku. *** Aku menyusuri jalan setapak sepanjang perkebunan teh yang membentang. Aku tersenyum sepanjang jalan dan terkadang menyapa ibu-ibu pemetik daun teh yang aku lewati. Aku menuju saung bambu yang dibangun di tengah-tengah kebun teh. Tak butuh waktu yang lama untuk memutuskan beranjak dari tempat itu dan mencoba peruntungan untuk menemukan uhang pandak yang masih menjadi misteri dan sesegera mungkin untuk memotretnya. Dengan kamera yang aku kalungkan di leher, aku bergegas menyusuri kembali jalanan kebun teh yang sangat luas. Tak terasa aku sudah berjalan cukup jauh dari rumah Pak Etek Rizal. “Ah, capek jugo yo. Tapi la jauh pulak. Tanggung nian kalo aku balek,” pikirku sambil memegangi lutut, persis seperti orang yang sedang ruku. Persis beberapa langkah dari tempatku, aku dikejutkan dengan beberapa tapak kaki yang besar-besar. Mirip seperti tapak kaki manusia pada umumnya, tetapi aku yakin ini bukan tapak kaki manusia biasa. Baru saja aku mau berbalik ke belakang, aku dikejutkan oleh seorang laki-laki yang mengenakan topi petani dengan keranjang rotan di punggungnya. Rupanya hanya pekerja kebun teh. “Ngapoin kau disini? Bukannyo kau ni ponakannyo Uda Rizal? Hari la nak sore, ngapo kau dak balek?” tanyanya dengan logat Kerinci. “Hem, iyo Pak Etek, sayo tadi lagi jalan-jalan be. Abis tu....,” jawabanku menggantung. Lawan bicaraku mengernyitkan dahinya. “Abis tu kau nengok ado tapak kaki ni ha?” tanyanya lagi sambil menunjuk tapak kaki di depanku. “Iyo Pak Etek, apo ini tapak kakinyo uhang pandak4?” tanyaku langsung padanya. Aku dan Pak Etek terus berjalan menyusuri kembali kebun teh untuk kembali pulang. Sepanjang perjalanan aku lontarkan bermacam-macam pertanyaan yang terus menggangguku.
Kau tahu kan kalau uhang pandak tu masih jadi misteri? Banyak nian sudah peneliti yang datang ke Kerinci ni buat nyari uhang pandak tu, tapi apo? Hasilnyo nihil. Mereka dak nak nunjukin dirinyo,” sergah Pak Etek pemetik daun teh. Aku diam, hendak ingin bertanya lagi, tetapi ke-buru disambar kembali oleh Pak Etek yang tidak kuketahui namanya ini. “Sudahlah, kalian anak mudo jangan nak nyari bala pula. Biaklah dio jadi misteri. Biak-i dio napaki langkah di depan kau, dan biaklah misteri tu terkuak dengan sendirinya, atau memang akan tetap menjadi misteri. Dak selamonyo yang dikejar tu biso kau tangkap kan?” sambung Pak Etek itu lagi sambil tersenyum menampakkan sederetan giginya yang menguning. *** “Ka, bangunlah!!” kata si empunya suara sambil menepuk-nepuk lenganku. Ku kerdipkan kedua kelopak mataku. Samar-samar aku lihat air mukanya yang panik. “Apo Mak Etek?” tanyaku dengan sedikit berteriak. Aku pandangi wajah Bang Arman yang masih terlihat lelah setelah beberapa hari berjalan hilirmudik ke Gunung Kerinci. Aku pandangi satu persatu wajah Pak Etek Rizal, Mak Etek Midah, beberapa orang asing penghuni homestay Pak Etek Rizal, dan... dua dari tiga orang yang aku lihat tiga hari yang lalu. Tepat dimana aku mengumpat dalam hati kepada teman mereka. “Terus, kalian kok bisa pulang tanpa teman kalian? Apa kalian nggak sama-sama waktu jalan ke Puncak?” tanyaku merocos dengan bahasa yang otomatis berubah tanpa memperhatikan mendengar suara deheman dari sisi kiriku. Terlihat Pak RT Desa Koto Tuo ini sedang geleng-geleng kepala melihat ulahku. “Kami emang sama-sama ke puncak. Hampir mencapai puncak. Tapi apes. Kabutnya tebal banget. Ampe gak keliatan apa-apa. Eh si 'pe-ak' malah nekat buat nyampe puncak gara-gara tinggal 200 meter katanya,” terang Abdi dengan logat Jakartanya. Dia menjelaskan panjang lebar semua kejadian yang terjadi sebelum si 'sengak' menghilang. Entah kenapa aku masih saja menyebutnya si 'sengak'. Abdi juga mengatakan, saat itu
cuaca memang tidak mendukung mereka untuk sampai ke puncak. Awalnya mereka berhenti sejenak untuk menunggu kabut menipis dan cuaca membaik. Sayangnya saat itu, tidak ada tanda-tanda kabut akan menipis. Mereka awalnya sepakat untuk turun kembali karena memang kondisi yang tidak memungkinkan. “Lagian kita gak pulang gitu aja ya, Di. Kita malahan nge-debat buat ngasih tau dia supaya gak nekat naik. Tapi tetep aja dianya batu kalau ada kemauan. Terus pas kabut udah tipisan dikit, kita langsung nyusulin dia. Eh, pas nyampe sono malah gak ada dia,” celoteh Raka panjang lebar. Terlihat jelas kepanikannya saat mengetahui temannya tidak ada di tempat. “Apa sih yang ada dipikiran anak itu. Kenapa nekat banget daki ke puncak. Bukannya dia mantan Ketua Sispala? Harusnya dia tahu dong kalau cuaca lagi ga bagus, ga seharusnya juga maksain diri buat ke Puncak,”seru Bang Arman tiba-tiba. Dia tahu betul keadaan Gunung Kerinci saat diselimuti kabut tebal. Jangan coba-coba nekat mendaki kalau tidak mau jatuh ke jurang. Halimun yang sangat berbahaya. Apalagi beberapa hari yang lalu saat Bang Arman melakukan pendakian, sudah terasa debu vulkanik yang mulai turun dari Gunung Kerinci. Bang Arman sangat menyesali tindakan yang diambil oleh orang itu. “Tapi kalo emang dia jatuh ke jurang, pasti dia akan teriak, Bang. Tapi kemarin kita berdua sama-sama ga denger ada orang teriak minta tolong,” timpal Raka. Seisi ruang tunggu homestay Pak Etek Rizal hanya menghela napas panjang sambil mengelus dada. Aku sendiri masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Pak Etek Rizal sudah melaporkan ini kepada Ketua RT serta “orang-orang pintar” yang ada di Kerinci yang kebetulan langsung datang ke rumah Pak Etek Rizal. Tim SAR pun akan segera melakukan pencarian ke Gunung Kerinci sore nanti. Di sela-sela kejdian itu, aku menanyakan kepada Bang Arman kenapa dia sangat suka mendaki gunung. Dia hanya tersenyum sambil mengacak-acak rambutku. Aku pun pamit untuk masuk ke kamarku. Kurebahkan badan sejenak. Banyak sekali pikiran yang muncul
DIANNS EDISI 54
48
Sastra saat itu. Siluet laki-laki itu, yang aku lihat dari balik jendela kamar ini. Kejadian-kejadian lain yang aku alami di Tanah Kerinci ini. Mulai dari keindahan kebun teh Kayu Aro, misteri uhang pandak, sampai misteri hilangnya laki-laki itu. Memang benar kata orang tua dulu, bahwa Kerinci ini begitu indah sampai para pujangga menuliskan di dalam syairnya bahwa Kerinci adalah sekepal tanah dari surga yang dilemparkan ke Bumi. Tetapi jangan sampai terbuai dengan keindahannya, Kerinci juga memiliki sejuta misteri yang terkadang tidak bisa dipercaya oleh akal sehat manusia. *** Enam bulan telah berlalu. Aku menyempatkan diri untuk kembali ke tanah yang memiliki permadani perkebunanan Teh Kayu Aro. Pagi ini aku memutuskan untuk pergi ke salah satu pondok bambu yang
letaknya di tengah-tengah kebun teh. Disana sudah ada cerek dan beberapa gelas beling tergeletak di lantai pondok. Sepertinya milik para petani disini. Sambil meminum segelas teh hangat, aku memerhatikan ibuibu yang sedang memetik teh. Mereka tetap tertawa dan penuh semangat, walaupun harus memikul keranjang besar di punggung. Tiba-tiba saja tatapanku terasa janggal. Ada sosok seseorang yang tak asing di mataku. Badannya yang bersih dan tegap. Ah, tidak mungkin. Aku tersentak ketika dia membalikkan badannya. Mengedarkan pandangannya ke segala arah. Terlihat dengan jelas mata yang indah dengan alisnya yang tebal, seperti terakhir kali kulihat. Masih dengan tatapan yang tajam dan lebih dingin. Aku menganga sedikit. “Alfa,” bisikku lirih. SELESAI.
Kerinci ini begitu indah sampai para pujangga menuliskan di dalam syairnya bahwa Kerinci adalah sekepal tanah dari surga yang dilemparkan ke Bumi. Tetapi jangan sampai terbuai dengan keindahannya, Kerinci juga memiliki sejuta misteri yang terkadang tidak bisa dipercaya oleh akal sehat manusia.
“
“
1 “Iya, sudah Mak Etek, sudah bangun dari tadi. 2 “Satu untuk kita, satu lagi untuk orang-orang di homestay ya, Ka. Kira-kira orangnya ada dua puluh orang. Mak Etek mau buat teh dulu. Biar nanti mereka nyicip teh kampung yang udah go Internasional hahaha,” 3 “Mak Etek, kapan ya Bang Arman pulang dari Gunung Kerinci? Zika mau ngajak Bang Arman keliling kebun teh sambil melihat uhang pandak di sekitar Gunung Kerinci,” 4 Uhang pandak = orang pendek (dalam bahasa Kerinci) atau orang bunian. Menurut beberapa sumber, uhang pendek mempunyai bulu lebat di sekujur tubuhnya dan memiliki kaki terbalik. Belum pernah masyarakat Kerinci bertemu langsung dengan uhang pandak. Larinya sangat kencang dan mempunyai kehidupannya sendiri. Sampai sekarang uhang pandak di Kerinci masih menjadi misteri.
49
DIANNS EDISI 54
Sastra -
BUNG -
Nurbaiti Permatasari
Tapi Bung, semua lenyap bak digerogoti api Tatkala dia datang menghampiri Berjuta kata hanyalah ilusi Tuk menarik, tuan-nyonya disini Kini Bung, pencakar langit menghiasi Hembusan kotor menyayat hati Dentuman merdu tiada henti Pekikan nyanyi tak tertandingi
Ilustrator: Yusuf
Dulu Bung, hamparan hijau menjajaki Dimana-mana, air bertumpah ruah Dan dulu Bung, dikelilingi hembusan asri Dimana-mana, canda tawa tercipta
Bahkan Bung, compang-camping menjadi andalan Terlelap dalam hangatnya kepedihan Tetesan air meluap bak kekeringan Melaju kencang keringat bercucuran Bung, lihatlah... bangun dari tidur cantikmu Ayo lenyapkan kepedihan tiada tara satukan suara derap langkah Tumpaskan dia- Si Jas Dasi Merah Tuk mengembalikan milik kita
DIANNS EDISI 54
50
Resensi
Kisah Maestro
P
ramoedya Ananta Toer (1925-2006) atau biasa akrab dipanggil “Pram” lahir di Blora, 6 Februari 1925 dikenal sebagai seorang penulis yang telah banyak menyalurkan pelbagai karya tulis yang sebagian besar me-rupakan novel “best seller”. Tema yang diangkat oleh Pram selalu mengenai perjuangan tentang kebebasan berpendapat Dalam tiap tulisan, ia selalu mengkritik keras pemerintah yang tengah berkuasa pada masa itu. Hal tersebutlah yang sering membuat ia keluar masuk penjara, baik di era kolonial, orde lama, maupun orde baru.
Judul Buku : Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II Penulis Buku : Pramoedya Ananta Toer Editor : Joesoef Isak Penerbit : Hasta Mitra Kota Terbit : Jakarta Tahun Terbit : 2000 Cetakan : Ke-5 (Edisi Pembebasan) Tebal Buku : Cover + xi + 339 halaman
51
DIANNS EDISI 54
Pada kurun waktu tesebut, selama menjadi tahanan politik ia tetap aktif menulis meskipun harus dilakukannya secara sembunyi-sembunyi. Saat itu tulisan-tulisan Pram tampak berserakan, tak beraturan sebelum akhirnya disusun oleh Belanda pada tahun 1988-1989 dengan judul Lied Van een Stomme sebanyak dua jilid. Diantara tulisan-tulisan tersebut, Pram juga sempat menulis beberapa kisah pengalaman masa lalunya tentang keluarganya, serta masa kecilnya saat tinggal di Blora. Di dalamnya juga terdapat banyak hal, seperti tentang latar belakang kedua orangtuanya, baik ayahnya yang memegang teguh pada keyakinan nasionalismenya dan juga ibunya. Terdapat pula lembaran suratsurat kepada anak-anaknya, namun tak tersampaikan. Antara lain surat untuk Yudi, Yana, Rita, dan Nenny. Kepada Yudi, ia bercerita tentang perjalanannya ke India, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Di India ia bercerita tentang bagaimana kondisi ketimpangan sosial antara si kaya dengan si miskin yang sudah sangat parah di sana. Dia juga berpesan saat menulis surat, Yudi diminta untuk melihat atlas besar untuk mengetahui negara yang dikunjungi oleh ayahnya karena dia mempelajari ilmu bumi. Kepada Yana, dia sangat senang akan kegemaran putrinya terhadap musik. Namun, ia menyarankannya untuk memainkan dan mendengarkan musik yang baik seperti “The Soul of Spain”, bukan seperti musik tenar pada masa itu yang hanya memen-
Sastra Perjuangan Penulis : Joko Iwan
tingkan uang tanpa menyisakan pesan yang berarti. Lalu ia menceritakan ke-pada Yana tentang kunjungannya ke Bratsk, Siberia Utara untuk melihat proyek pembangunan bendungan raksasa yang digadang-gadang akan mengalahkan Bendungan TVA (Tennessee Valley Authority) di Amerika Serikat yang saat itu dikatakan terbesar di dunia. Lalu kepada Rita ia ceritakan pula bahwa ia menyesal karena tidak mempelajari bahasa-bahasa asing terutama bahasa Belanda dan bahasa Inggris secara serius serta ia juga menceritakan kehidupannya selama menjadi tahanan politik di pulau Buru. Kepada Nenny, ia juga menuliskan tentang perkara awal penciptaan manusia menurut ilmu agama dengan ilmu pengetahuan yang nyaris berbeda. Pram juga mengingatkan, sejatinya bahwa adanya ilmu pengetahuan merupakan bukti dari kuasa Tuhan. Dalam buku ini, seakan-akan Pram menceritakan kondisi kehidupan masa lalunya kepada anak-anaknya sendiri. Ia menceritakan secara terperinci tentang pengalaman-pengalaman hidupnya pada lembaran-lembaran kertas saat berada di dalam tahanan. Ia banyak menceritakan tentang pengalaman hidup serta buah pemikirannya dalam suratsurat tersebut. Diceritakan bahwa ia dilahirkan dari kedua keluarga yang agamis. Ayahnya, Toer merupakan seorang guru yang memiliki ideologi nasionalis yang juga pernah mengikuti berbagai lembaga politik
Resensi seperti Boedi Oetomo, Partindo, dan lain sebagainya. Pram menggambarkan ayahnya sebagai orang berperawakan tegap, teguh pendirian serta sikapnya. Dari cerita tetangga sekitar, dia tahu bahwa ayahnya seorang orator ulung. Sementara ibunya, Saidah adalah putri dari penghulu di Kota Rembang , Haji Ibrahim, sekaligus mantan muridnya di HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Ibunya digambarkan bertubuh lemah dan kecil. Untuk menjaga kesehatannya, Haji Ibrahim sampai harus membeli dan memelihara seekor sapi perah untuk Saidah. Selain itu, ibunya selalu dididik dalam lingkungan feodal. Sejak lahir, kehidupan Pram telah dipenuhi oleh nuansanuansa perjuangan, karena ayahnya yang terus berkiprah di jalur politik perjuangan. Tiap hari ayahnya jarang pulang karena sibuk menghadiri rapat-rapat organisasi. Sementara ibunya harus bekerja keras untuk mampu merawat sekitar sembilan belas mulut yang terdiri atas adiknya, paman-paman dari pihak ayah, kemenakankemenakan ayahnya, dan juga anak-anak yang dititipkan orangtua mereka kepada ibunya dengan alasan tak bisa merawatnya. Sedangkan lembaga tempat ayahnya mengajar mengalami krisis karena ayahnya menolak permintaan dari komisi dan para pengajar lain untuk mundur dari lembaga Boedi Oetomo karena diduga adanya konspirasi pejabat setempat dengan komisi tersebut agar para pengajar tersebut bisa mendapat tempat di Boedi Oetomo. Sehingga banyak pengajar yang ikut konspirasi tersebut dipecat oleh ayahnya. Sejak itu perekonomian keluarganya mulai bermasalah karena banyak perlengkapan rumah dan sekolah yang hilang. Ada yang disita karena hutang maupun dipinjamkan kepada orang lain yang membutuhkan namun tak kunjung jua dikembalikan.
Lalu juga ada kisah saat Pram masih kecil, banyak anak sebayanya yang menderita karena suatu penyakit aneh. Karena minimnya pengetahuan yang didapatkan masyarakat maka banyak anak yang kekurangan gizi, karena adanya mitos bahwa daging dan kelapa dapat menyebabkan cacingan. Kenyataannya, mitos itu salah besar. Pada masa tersebut lebih banyak orang yang percaya tahayul dan perkataan dukun daripada pengetahuan dan perkataan dokter. Inilah kisah masa lalu Pram bersama keluarga ayahnya maupun setelah dia menikah dengan istrinya, Maemunah Thamrin. Banyak kehidupan yang telah
dilalui oleh Pram di Blora termasuk saat dia mulai ditahan secara politik karena tulisannya yang dianggap telah menghina pemerintah. Buku ini merupakan jilid kedua dari buku berjudul sama. Buku ini merupakan satu-satunya buku otobiografi yang ditulis Pram selama ditahan di dalam penjara sebagai tahanan politik di Nusakambangan maupun di pulau Buruh. Selama berada di tahanan, Pram dipercaya untuk menjadi juru tulis. Ini merupakan kesempatan emas baginya untuk tetap menulis secara diamdiam dan menyimpan naskah tulisannya secara acak di kamar tahanannya. Buku ini telah diterjemahkan dalam ba-
nyak bahasa terutama dalam bahasa Belanda dan Jerman. Kelebihan dari novel ini adalah kita dapat mengetahui latar belakang kehidupannya dan pemikiran Pram sendiri. Pram menuliskan kisah kehidupannya secara detail mulai dari kehidupan pribadinya maupun latar belakang orang-orang yang berada di sekitar, serta cerita tentang fenomena-fenoma sosial yang terjadi pada saat itu secara gamplang dan detail. Mulai isu lokal hingga isu yang bersifat internasional, dia ceritakan secara terbuka melalui sudut pandang dirinya pribadi. Selain itu, menjelang akhir buku terdapat beberapa foto dokumenter selama dia berada di lapas pulau Buru, Maluku. Kelemahan dari buku novel ini adalah berkisar pada alurnya yang agak lamban serta materi cerita yang disampaikan cukup berat bagi yang belum terbiasa membaca novel sejenis ini. Banyak karakter –karakter yang tak terlalu berpengaruh pada cerita ini. Sedangkan tokoh penting seperti tokoh ibu kurang terekspos. Buku ini dianjurkan untuk dibaca oleh semua khalayak umum terutama para aktivis pergerakan untuk mengetahui bagaimana mereka seharusnya bergerak. Bagi pecinta novel otobiografi maupun pecinta novel perjuangan, buku ini wajib untuk dibaca. Terutama, bisa juga dibaca oleh para sejarawan untuk mengetahui kondisi sosial masyarakat Indonesia pada masa kolonial hingga Orde Baru.
DIANNS EDISI 54
52
Resensi
The True Cost : Apa yang Kita Kenakan Harus Adil dengan Lingkungan Penulis: M. Fakhrul Izzati
K
JENIS
: Dokumenter
SUTRADARA
: Andrew Morgan
PENULIS
: Andrew Morgan
PRODUSER
: Michael Ross
TANGGAL RILIS : 29 Mei 2015
53
DURASI
: 92 Menit
STUDIO
: Life is My Movie Entertaiment
PEMAIN
: Stella McCartney, Vandana Shiva, Rick Ridgeway, Tim Kasser (John Hilary, Guido Brera, Safia Minney, Tansy Hoskins, Orsola De Castro, Richard Wolff, Mu Sochua)
DIANNS EDISI 54
eadaan lingkungan di bumi ini semakin buruk dari tahun ke tahun. Ada yang rusak, tercemar, bahkan hangus. Kita dapat melihat langsung kejadian itu dari tulisan, foto, poster, lukisan. Bahkan ada juga yang turun ke jalan untuk membuka mata para penguasa yang gencar mencanangkan pembangunan tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Disini, Andrew Morgan ikut memperlihatkan kondisi lingkungan dengan caranya sendiri, yaitu melalui film dokumenter. Demi pembuatan film dokumenter ini, ia harus turun langsung ke jalan, dan daerah-daerah yang menjadi titik permasalahan lingkungan akibat dari kemajuan zaman. The True Cost merupakan judul film dokumenter garapan Andrew Morgan yang menguak kisah sebenarnya di balik produksi pakaian yang kita kenakan sehari-hari. Film ini mempertontonkan pengaruh industri pakaian terhadap kondisi sosial, budaya, serta lingkungan. Pengaruh terhadap lingkungan disorot tajam dalam film ini. Morgan mencoba menggambarkan kondisi lingkungan secara rinci dengan menampilkan keadaan pertanian, buruh, serta lingkungan sekitar pabrik garmen.
Resensi
Foto potongan scene dalam Film Dokumenter “The True Cost�. Sumber : http://truecostmovie.com/press-3/
Kisah ini berawal dari bahan baku pakaian yaitu: kapuk atau kapas. Morgan melihat adanya 'permainan' dalam pengadaan bahan baku pakaian dan merugikan lingkungan. Para pemilik modal di perusahaan bibit dan pestisida merancang benih kapas khusus. Di usia tertentu, benih ini akan merusak dirinya sendiri seakan sedang terserang hama tanaman. Hal ini kemudian memaksa petani untuk membeli pestisida dari perusahaan tersebut. Dari bahan baku pakaian sendiri saja, perusahaan telah memanipulasi sistem pertanian dan memonopoli pasar dengan cara yang licik Tak hanya berhenti di sana, penggunaan pestisida dalam tanaman tersebut akan memberikan dampak lain. Penggunaan pestisida yang berlebihan pada pertanian kapas membuat air tanah tercemar dengan zat kimia. Morgan memperlihatkan betapa mengerikan dampak tersebut. Salah satunya di Punjab, India, sekitar 60 hingga 70 anak terlahir dengan kondisi cacat fisik maupun mental. Lebih parahnya lagi, zat kimia yang berasal dari pestisida dan pewarna yang digunakan untuk mewarnai kain membuat masyarakat terkena penyakit kulit hingga kanker. Hal yang sama juga terjadi di Sungai Gangga yang berada di daerah Kanpur, India. Sungai yang dianggap suci oleh umat Hindu di India ini, kini menjadi tercemar setiap harinya. Limbah air dari industri kulit menjadikan warna Sungai Gangga berubah-ubah, kadang juga mengeluarkan bau tidak sedap. Tanah disekitarnya pun terkontaminasi dengan zat kromium.
Selain dampak limbah air yang menyebabkan penyakit kulit dan kanker, beberapa sampah dari sisa-sisa produksi pakaian tersebut yang sulit terurai, seperti limbah tekstil yang membutuhkan 3040 tahun untuk membuatnya terurai. Selain itu, limbah yang terlalu lama dibiarkan dan terus-menerus menumpuk dapat mengeluarkan gas berbahaya yang bisa mengganggu pernafasan. Selain dampak lingkungan yang cukup mengerikan, nasib para pekerja pun dipertaruhankan. Perusahaan pakaian tersebut mempekerjakan buruh yang ada di Kota Dhaka, Bangladesh, dengan bayaran yang cukup minim. Mereka hanya di-bayar kurang dari 3 USD dalam sehari kerja dengan lingkungan yang tidak sehat. Padahal satu baju yang mereka hasilkan dapat terjual 4 sampai 5 USD. Shima, merupakan salah satu contoh dari para pekerja pabrik tekstil yang hanya mendapatkan upah 10 USD perbulan di Kota Dhaka, Bangladesh. Dengan pekerjaan yang terus menekannya, mau tidak mau ia harus membawa anaknya untuk ikut bekerja di pabrik yang sangat panas dan banyak bahan kimia berbahaya bagi anak-anak. Hal itu dilakukannya lantaran tidak ada orang lain yang bisa menjaga putri semata wayangnya. Banyak upaya yang telah ia coba untuk mendapatkan kesejahteraan sebagai buruh. Namun justru pil pahit lah yang diterima, ketika tuntutannya kepada perusahaan dibalas dengan cara kekerasan.
Film dokumenter tentang fast fashion ini membuka mata kita tentang dampak yang ditimbulkan ternyata sangatlah luas. Bukan hanya memengaruhi sisi sosial dan budaya saja, namun juga pada lingkungan hidup. Permasalahan seperti ini juga sering kita temui di sekitar kita sendiri. Bahkan di Kota Malang sendiri, salah satu lingkungan yang tercemar oleh limbah adalah Kali Badek. Nama tersebut diberikan oleh warga sekitar akibat bau tidak sedap yang berasal dari kali itu. Limbah cair dari pabrik industri di sekitarnya yang dibuang tanpa pengolahan yang baik diduga menjadi dalang atas pencemaran Kali Badek. Hal ini telah membuat warga sekitar kali resah terhadap bau tak sedap yang muncul dari limbah cair. Contoh-contoh seperti itulah yang menyadarkan kita tentang permasalahan lingkungan yang harus diperbaiki agar keseimbangan antara alam dan manusia bisa saling terjaga. Pada dasarnya, film karya Andrew Morgan ini menyampaikan pesan bahwa apa yang kita kenakan harus bisa adil pada lingkungan, bukan hanya soal mode namun perlu diperhatikan pula kesejahteraan para pekerja buruh di balik itu semua. Secara keseluruhan, film dokumenter ini sangat menarik untuk ditonton sebab kaya pesan moral yang ingin disampaikan agar kita tidak hanya melihat sebuah realita dari satu sisi saja, melainkan dampak yang terjadi di berbagai sisi.
DIANNS EDISI 54
54