Buletin Radikal Edisi April 2018

Page 1

Menerawang Orientasi Pembangunan dan Akademik FIA UB

EDISI APRIL 2018


j

diann Radikatorial Salam Persma !

Pendidikan sudah selayaknya dituangkan kembali dalam ranah esensinya sendiri. Mundur tiga dekade kebelakang, General Agreement Trade in Services (GATS) digulirkan oleh World Trade Organization (WTO), salah satu sektor yang terdampak adalah pendidikan. Perjanjian tersebut mencetuskan bahwa bidang Pendidikan menjadi salah satu faktor industri tersier. Hal ini menjadi tolok perubahan apa yang dicapai dalam pendidikan di Indonesia itu sendiri. Dalam lingkungan yang sempit seperti di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) dalam Rencana Strategis (Renstra) tahun 2015-2019 menekan bagaiman proses pendidikan itu sendiri dalam lingkaran pencitraan internasional. Hal ini yang menjadi dasar Buletin Radikal Edisi April kali ini mengangkat seperti apa pencitraan internasional tersebut dalam ranah pembangunan baik secara fisik hingga pembangunan manusia lewat orientasi akademik di FIA. Selain itu, diangkat pula opini yang menggugah esensi dari pencitraan internasional, cerita pendek yang berbicara hakikat pendidikan. Resensi buku yang berbicara makna cendekiawan. Lewat Buletin Radikal Edisi April menjadi refleksi kita untuk memahami kembali hakekat dan esensi pendidikan itu sendiri. Selamat membaca! REDAKSI

Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa DIANNS FIA UB Koordinator Liputan : Rifqah Dita Nabilah Tim Peliput : Ayulia Amanda, Nesty Omara, Rifqah Dita Nabilah, Setia Nur Reformasinta Sastra : Bimo Adi Kresnomurti Komik Strip : Joko Nur Sulistyawan Opini : Dewi Bayu Pamungkas Resensi Buku : Helmi Naufal Zul’azmi Editor : Bimo Adi K, Dinda Indah A, Hendra Kristopel, Meyulinda Krisnawati, Johanis M. Cigo, Rethiya Astari, Wakhidatul Rochmawati Layout : Abdillah Akbar, Dewi Intan Ps, Rima Fahmi A.


j

ns.org BERITA

Pembangunan FIA UB: Orientasi Menuju PTN-BH ­Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) teng­ah melakukan pembangunan dan perbaikan fasilitas kampus yang didasarkan pada Master Plan tahun 2016-2020. Beberapa bangunan yang akan dibangun diantara­nya berupa laboratorium, joglo, gazebo, gallery administrasi, dan sport center. Pembangunan ini bertujuan untuk membuka ruang publik di dalam fakultas yang dimaksudkan sebagai bentuk peningkatan akreditasi dan mem­persiapkan FIA UB menuju Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Akan tetapi pembangunan belum didasarkan pada peningkatan kualitas civitas academica melainkan pemenuhan akreditasi bagi fakultas.

delapan sampai sepuluh rencananya akan digunakan sebagai laboratorium sebagai penunjang kebutuhan praktikum maha­ siswa. Sedangkan lantai dua belas yang merupakan rooftop, rencananya akan difungsikan sebagai tempat penerima tamu. Selanjutnya pada tahun ini, FIA UB berencana akan membangun laboratorium, joglo, gazebo, gallery administrasi, dan sport center. Perihal pembangunan joglo, gazebo dan gallery adminis­ trasi. Hamidah Nayati Utami, selaku Wakil Dekan II FIA UB menyatakan bahwa, “Kita hanya memiliki gazebo yang dibangun oleh rektorat jadi kita akan membangun empat gazebo dan satu joglo,”. Hal tersebut didasarkan atas hasil akreditasi audit yang menyatakan FIA UB kekurangan ruang terbuka. Bangunan tersebu­t juga bertujuan untuk peningkatan akdreditasi bagi fakultas dan digunakan sebagai sarana ruang publik untuk mahasiswa. Untuk pembangunan laboratorium sendiri masih tertunda karena dana. Pendanaan pada pembangun­ an Gedung E FIA UB dahulu menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan

Pembangunan secara fisik Gedung E FIA UB saat ini telah selesai dibangun. Namun fasilitas penunjang pembelajar­an yang ada di gedung tersebut ditargetkan akan selesai dilengka­pi pada tahun 2019. Pada lantai­satu terdapat Bank Mandiri Syari­ah, kantin, resepsionis, dan lobi yang dipergunakan untuk kegitan mahasiswa. Lantai dua sampai dengan lantai tujuh dipergunakan sebagai ruang belajar mengajar. Kemudian lantai

1


j

diann Belanja Negara (APBN) dan dana universitas. Sedangkan untuk pembangu­­­­­nan laboratorium, Hamidah menutur­ kan fakultas akan melakukan kerjasama mela­ lui Corporate Social Responsibi­lity (CSR) untuk memenuhi semua pendanaan tersebut. Opsi itu diambil karena Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasis­wa sebagai salah satu elemen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dirasa kurang cukup untuk mendanai pembangunan. Rencana tersebut akan dilakukan pada tahun 2019. Bersamaan dengan arah pengembangan UB untuk menjadi PTN-BH yang tercantum di Rencana Strategis (Renstra) UB tahun 2015-2019.

Pembangunan saat ini yang masif digunakan untuk mempersiapkan ketika UB beralih status menjadi PTN-BH. Gedung dan fasilitas yang telah dibangun dapat disewakan untuk menambah pemasukan keuangan bagi FIA. Hal tersebut dilakukan agar UKT mahasiswa tidak perlu mengalami kenaikan, menurut Bambang Supriyono, selaku Dekan FIA UB. Salah satu bentuk penyewaan yang saat ini telah dilakukan, seperti penyewaan ruang untuk Bank Mandiri Syariah di Gedung E FIA UB, Aula Gedung A FIA UB, dan kantin. Mengenai penyewaan Bank Mandiri Syariah, Heru Susilo,­selaku mantan Wakil Dekan II FIA UB, menyatakan bahwa hal itu digunakan sebagai fasilitas bagi dosen dan karyawan untuk mempermudah transaksi gaji. Selain itu bank juga berfungsi sebagai sarana belajar. “Bank Mandiri Syariah sendiri ikut berkontribusi dalam pembangunan mini bank yang difungsikan bagi pembelajaran secara langsung bagi mahasiswa,” tutur Heru. Berbeda halnya dengan pendapat Arfian Ardhitama, Menteri Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa (Kastrat BEM) FIA UB menyatakan kurang merasakan manfaat dari bank

Sakban Rosidi, seorang Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Malang (UM), memandang bentuk kerjasama berupa CSR antar perusahaan dan fakultas kurang tepat. Sebab CSR bertujuan untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan dari perusahaan terhadap masyarakat. “Masih banyak kampung kumuh, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang tak memadahi mengapa malah kampus yang mendapat CSR,” ujar Sakban ketika dihubungi oleh awak LPM DIANNS melalui pesan pendek. Sebab sedang berada di luar kota.

2


j

ns.org tersebut. Karena mahasiswa jarang yang menggunakan Bank Mandiri Syariah, walaupun menyediakan mini bank. Sedangkan pembayaran UKT juga tidak dapat dilakukan melalui bank tersebut. Dalam fungsi pemanfaatan ruang di dalam kampus. Sakban memandang ruang di dalam kampus tidak semestinya digunakan sebagai suatu ladang untuk mencari profit, baik dalam bentuk menyewakan ataupun kerjasama. Karena ketika penyewaan itu dimaksud untuk pencarian profit. Maka dapat dikatakan sebagai bentuk komersialisasi pendidikan. Sakban menambahkan komersialisasi adalah bentuk pengkhianatan terhadap hakikat pendidikan. Pemanfaatan ruang sepenuhnya digunakan untuk kegiatan pengembangan civitas academica dan bukan untuk peningkatan akreditasi semata bagi fakultas. “Akreditasi program studi semestinya menyoal kelayakan akademik, sedangkan akreditasi institusi menyoal kelayakan institusi,” kata Sakban. Arfian menambahkan­ pembangunan, seperti gazebo, joglo, dan gallery FIA dirasa kurang perlu. Sebab ia melihat lebih baik membangun ruang-ruang publik di Gedung E FIA UB sebagai

pusat aktivitas mahasiswa. “Memandang arah pembangunan FIA kepentingannya untuk perbaikan akreditasi,” ungkap Arfian. Keresahan atas pembangunan di FIA UB juga muncul dari Rangga Naviul Wafi, mahasiswa Jurusan Administrasi Bisnis angkatan 2015. “Pembangunan di FIA sendiri sekarang ini mematikan ruang publik mulai dari lobi gedung yang dipakai bank,” ujarnya. Rangga juga merasa tidak setuju mengenai kerjasama antara perusahaan dan fakultas melalui CSR. Sebab ia memandang CSR merupakan tanggung jawab terhadap masyarakat yang terdampak. Ia juga berharap pembangunan dan fasilitas FIA UB lebih memperbanyak ruang publik. Karena masih banyak mahasiswa FIA UB yang cenderun­g kuliah pulang dan tidak mengikuti kegiat­ an organisasi ataupun diskusi.

Reporter: Rifqah Dita Nabilah dan Setia Nur Reformasinta

3


j

diann BERITA

Internasionalisasi Iklim Akademik FIA UB Fakultas Ilmu Admninistrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) melakukan peningkatan akreditasi sebagai upaya pembentukan reputasi internasional. Upaya ini sudah tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) FIA UB tahun 2015-2019. Namun, eksekusi pencitraan internasional tersebut terlalu berfokus pada branding. Peningkatan kuantitas akreditasi internasional masih menjadi tujuan utama dari pada fokus ranah keilmuan secara mendalam.

perluasan akses, kerjasama, pengakuan, dan lain-lain. Akade­ misi dan masyarakat global­akan­ mengakui kampus yang memiliki indeks yang tinggi, baik karena karya, dosen, mahasiswa, dan lulusannya. Permintaan masyarakat juga akan naik seiring meningkatnya indeks perguruan tinggi. “Nah, kita juga memiliki Badan Akreditasi Nasion­ al Perguruan Tinggi (BAN-PT). Itukan akreditasi di tingkat nasional­ . Tapi ada juga indeks di level internasional. Nah itu yang kita kejar, pemeringkatan internasional,” tambah Yustika. FIA UB tak luput mengupayakan pencitraan internasio­ nal. Hal ini terdapat pada visi di Renstra FIA UB tahun 20162020, yakni “Menjadi institusi pendidikan, pengembangan ilmu administrasi berkala internasional yang berwawasan Entrepreneur dan Smart Faculty Governance pada tahun 2020”. Dari visi ini kemudian diturunkan menjadi empat misi. Salah satu misi dalam Renstra FIA UB tahun 2016-2020 adalah ter-

Dalam Renstra UB tahun 2015-2019, pencitraan internasional merupakan upaya berkelanjutan agar UB dikenal sebagai World Class Enterpreneurship University pada tahun 2025. Cita-cita tersebut merupakan bagian internasionalisasi­untuk meningkatkan indeks perguruan tinggi. Mengenai indeks­pergu­ ruan tinggi, Yustika­Citra Mahendra selaku dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB mengungk­apkan bahwa dampak indeks ini ada, agar kampus bisa mendapatkan hibah penelitian,

4


j

ns.org wujudnya peningkatan kualitas pendidikan guna menghasilkan lulusan yang berwawasan nasio­ nal dan berdaya saing global. Dalam pelaksanaan visimisi tersebut, FIA UB memiliki strategi peningkatan pada beberapa komponen di bidang akademik, antara lain kurikulum berstandar i nternasional, kerjasama nasional dan internasio­nal, kualitas jurnal internal institusi, publikasi jurnal ilmiah terindeks SCOPUS dan THOMSON, student exchange, serta prestasi akademik dan non akademik­di tingkat nasional maupun internasional. Peningkatan akademik bertujuan meningkatkan jumlah akreditasi internasional FIA UB dan pengakuan masyarakat global. Dampak dari citra ini juga akan meningkatkan indeks UB secara menye­ luruh baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Fadhilla Putra selaku dosen Administrasi Publik FIA UB mengungkapkan bahwa pencitraan internasional FIA terkesan transaksional karena menerapkan kerjasama dengan beberapa universitas di luar negeri­berbasis Memorandum of Understanding (MoU). Fadhilla kemudian memberi contoh peningkatan jumlah

mahasiswa internasional sebagai salah satu indikator pencapaian akreditasi di Universitas Harvard dengan UB, “Mereka menaikkan jumlah mahasiswa internasional dengan menaikkan kualitas. Semen­ tara kita tidak melihat, bahkan tidak ada mahasiswa internasio­nal disini. Kalau toh ada sifatnya sangat dipaksa­ kan,”. Fadhilla juga menjelaskan bahwa pencitraan internasional hanya bersifat belum menyentuh ranah­yang lebih mendalam pada basis­keilmuan. “Semua serba supervision. Cuma di permu­ kaan, tapi sedikit saja menye­lam sedalam satu sentimeter itu udah gak ada orang. Karena yang diperbaiki itu sebatas permukaan saja. Kayak minyak disemprot­ kan ke air. Di dalamnya tetap air, minyaknya cuma di permukaan saja. Ya seperti itu penci­ traan internasional,” tandasnya. Yusri Abdillah selaku Wakil Dekan I FIA UB menjelaskan bahwa penyusunan kurikulum berdasar pada kebutuhan industri sehingga kampus mampu menciptakan lulusan-lulusan yang mampu bersaing secara internasional. Diakui Yusri, standar kurikulum FIA UB mengacu pada Kerangka Kurikulum Nasional Indonesia (KKNI) yang su-

5


j

diann dah disetarakan dengan standar kurikulum yang ada di seluruh dunia. KKNI ini adalah upaya standardisasi kurikulum oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek­ dikti). KKNI terdiri dari 50% dari kurikulum yang disusun oleh asosiasi keilmuan sesuai­kebutuhan industri, seperti Asosiasi Ilmu Administrasi Bisnis Indonesia (AIABI). Pembeda antara KKNI dengan standar kurikulum perguruan tinggi di luar negeri adalah mata kuliah wajib yang hanya ada di Indonesia, seperti agama, Pancasila, dan Kewarganegaraan. “Tapi adakah kaitannya kurikulum dengan pencitraan atau branding itu ya yaitu memang iya. Artinya upaya salah satu branding kita adalah bagaimana kita mendapatkan akreditasi internasional,” tambah Yusri. Hasil penelitian berupa jurnal juga berperan penting dalam pencitraan internasional. Diakui Supriono, dosen Jurusan Administrasi Bisnis FIA UB, urgensi jurnal adalah untuk eksistensi bagi perguruan tinggi. “Di dalam jurnal ini tercantum nama universitas juga. Ketika nama universitas tercantum, semakin banyak orang melihat dan merujuk jurnal kita, maka perguruan tinggi kita di-

anggap bonafide,” ungkap­nya. Supriono juga mengakui bahwa­ para dosen yang melakukan pekerjaan-pekerjaan terkait Tri Dharma Perguruan Tinggi akan mendapatkan poin. Fungsi poin adalah untuk kenaikan pang­ kat. Pangkat yang paling tinggi adalah professor dengan total poin 800. “Yang paling tidak dibatasi itu penelitian. Penelitian ini pada akhirnya hanya jurnal. Kalo pengabdian masyarakat dan pendidikan itu dibatasi,” ungkapnya. Disinggung mengenai adanya join research di FIA, Fadhilla­menyayangkan belum ada satu pun join research antara dosen FIA dengan dosendosen di luar negeri. “Semua itu murni transaksi berbasis MoU. Kita kerjasama dengan Thailand dan lain-lain, semua itu berbasis MoU dan menurut saya itu tidak natural.” imbuhnya saat ditemui awak LPM DIANNS. Reperter: Ayulia A. dan Nesty Omara

6


j

ns.org OPINI

Pencitraan Internasional Bentuk Komersialisasi Pendidikan

dan dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking). Pesan dari Bapak Pendidikan Nasional ini sebenarnya sederhana. Ketika masyar­akat mampu berpikir mandiri serta mendidik sendiri. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermartabat. Pendidikan adalah salah satu upaya untuk menumbuhkan kemandirian tersebut. Pada saat ini, kesan pendidik­ an jauh dari pesan yang diberikan Bapak Pendidikan Nasio­ nal. Pendidikan dianggap sebagai sebuah industri, khususnya di perguruan tinggi. Aneka­pemasaran yang diguna­ kan di dunia bisnis sekarang mulai diterapkan di lembagalembaga pendidikan. Globali­ sasi dan liberali­sasi pendidikan menjadi­kan higher education borderless market yang menyebab­ kan kompetensi yang keras perguruan tinggi di negeri ini. Jika menghadapi situasi persaingan yang bernuansa pasar bebas, tentulah perguruan tinggi harus bersaing dengan menggunakan prinsip-prinsip pemasaran yang menyebabkan hilangnya esensi pendidikan itu sendiri.

Ilustrator : salsa

Ketika mendirikan Taman­ Siswa pada 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah me­ memerdekan manusia sebagai anggota­masyarakat. Dalam pendidikan yang ditegaskan Ki Hajar Dewantara, kemerdekaan bersifat tiga macam yaitu berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk),

7


j

diann Prinsip pasar bebas menjelaskan bahwa selalu akan ada invisible hand yang mengatur mekanisme pasar.­Karena itu, campur tangan­dari otoritas (pemerintah)­ tidak­diperlukan. Pasar akan bergerak secara otomatis untuk­ mencapai­titik keseimbangan sehingga intervensi pemerintah­ melalui regulasi-regulasi­yang ditetapkan justru mengganggu keseimbangan tersebut. ­­­­­ Belenggu Pendidikan Persoalan-persoalan se­ makin­bertambah rumit setelah masuk­ nya liberalisasi di sektor pendidikan yang menggunakan prinsip-prinsip pasar bebas. Salah satu prinsip pasar bebas adalah branding. Pencitraan diperlukan agar terbentuk reputasi. Reputasi adalah akumulasi dari citra organisasi dalam kurun waktu yang lama dan khalayak yang luas. Reputasi sering dimiliki­oleh perguruan tinggi yang sudah berdiri sejak lama. Pencitraan merupakan keberhasilan dalam komunikasi pemasaran dan keberhasilan menyampaikan jasa akan memberikan kontribusi yang besar dalam membangun ekuitas merek. Apa boleh buat, perguruan tinggi pun harus meniru perusahaan dengan memanfaatkan komunikasi pemasaran. Sederet

alat pemasaran diguna­ kan sebagai alat komunikasi untuk­menarik calon mahasiswa. Orientasi pendidikan yang bertujuan untuk memerdekakan manusia sebagai anggota masyarakat, malah menjadikan perguruan tinggi sebagai logika pasar bebas. Apa yang didapatkan akan sesuai dengan apa yang akan dibayarkan, dimana uang menjadi modal untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Banyaknya perguruan tinggi tentu menuntut mereka­ untuk menonjol atau mencari sesuatu yang dapat diangkat menjadi icon. Maka pembentukan identitas yang nanti akan menimbulkan citra sangatlah penting. Citra bukan suatu yang statis ketika ada yang berubah maka citra akan berubah. Citra­dibentuk dari banyak hal seperti­menunjukan keunggulan perguru­an tinggi. Salah satunya adalah World Class University (WCU), beberapa upaya yang dilakukan dalam kegiatan internasional yakni melakukan kerja sama dengan universitas luar negeri baik mengenai beasiswa, pertukaran mahasiswa, maupun program-program yang lain.

8

Citra adalah komoditas


j

ns.org yang rapuh dan mudah pecah, tetapi kebanyakan organisasi juga meyakini bahwa citra organi­ sasi yang positif adalah esensial, sukses­yang berkelanjutan dan dalam jangka panjang. Citra banyak yang diciptakan sehingga publik­digiring untuk memandang suatu organisasi menjadi seperti­apa yang diinginkan organisasi tersebut. Bahkan terkadang hanya menciptakan kesan yang sebenarnya tidak ada. Ditambahkan pula oleh Grunig, Cutlip, dan Bernays berpendapat bahwa citra merupakan suatu yang ilusi dan manipulatif dibandingkan dengan menciptakan untuk ikatan hubungan perilaku yang krusial.

sasi kan

pendidikan mengguna­ prinsip-prinsip bisnis.

Berkurangnya campur tangan pemerintah dalam pendidikan dengan dalih agar perguruan tinggi dapat memiliki sifat otonomi, demokrasi, dan kemandirian hanyalah sebuah bentuk utopis. Berkurangnya campur tangan pemerintah malah menyebabkan pendidikan tidak lagi ditempatkan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga negara yang wajib dipenuhi dan negara sendiri wajib memenuhi kebutuhan itu. Hal tersebut menyebabkan pendidikan dijadikan sebagai komoditas. Masalah pendidikan yang terjadi sekarang ini tidak bisa dilepas dari sejarah masa lalu bangsa ini. Neoliberalisme dipupuk selama Era Orde Baru dan tumbuh besar pasca rezim ini runtuh. Praktik agenda neoliberalisme ini terlihat ketika­Indonesia menandatangani perjanjian dengan International Monetary Fund (IMF) untuk mengucurkan dana talangan krisis moneter yang terjadi tahun 1997. Kemudian, perjanjian ini secara otomatis memaksa Indonesia harus tunduk pada aturan IMF dan Washington Consensus sebagai solusi untuk mengatasi krisis yang

Perguruan tinggi berlomba-lomba untuk membuat citra yang positif bagi publik untuk mendapatkan daya saing yang tinggi agar terhindar dari krisis, menekan biaya untuk promosi, menjadi daya tarik, dan merupakan suatu aset yang "mahal" bagi perguruan tinggi. Itulah mengapa­ banyak perguruan tinggi membangun kesan yang baik dari publik untuk mendapatkan nilai surplus dan keberlanjutan perguruan tinggi dengan menjaring banyak calon mahasiswa agar masuk ke perguruan tinggi tersebut dengan melakukan komersiali­

9


j

diann terjadi. Washington Consesus ini yang menyebutkan prinsip deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi di berbagai bidang termasuk pendidikan. Paradigma pendidikan telah bergeser ke arah komersialisasi yang kapitalistik. Pendidikan dan ilmu pengetahuan dianggap sekedar komoditas­ yang bebas diperjual-belikan. Munculnya ­­Komersialisasi Pendidikan di Indonesia Keberadaan PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum­ Milik Negara) sendiri bermula­ pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 tentang­ Penetapan Pendidikan Tinggi sebagai Badan Hukum.­Kemudian semua perguruan­tinggi negeri di Indonesia­harus­berubah status menjadi Badan Hukum.­­ Konsekuen­sinya, kampus memiliki otonomi di wilayah akademik­ sampai pendanaan. Jika kita lihat lebih­jauh, persoalan­otonomi­di wilayah pendanaan operasionali­ sasi pendidikan memunculkan problem baru. Negara tidak sepenuhnya memberikan subsidi pembiayaan pendidikan. Dengan kata lain, negara melepaskan tanggung jawab terhadap dunia pendidikan di tanah air. Perguruan tinggi dipaksa untuk mencari dana secara man-

10

diri. Inilah yang menjadi pintu­ masuk bagi komersialisasi. Sebenarnya lebih tepat jika dikatakan perubahan status­ ini adalah bentuk pelepasan tanggung jawab negara dan tidak­murni otonomi. Otonomi­ dalam konteks ini hanya diandai­ kan dalam konteks pendana­an. Sementara dalam hal lainnya terutama persoalan kebebasan akademik tetap berada dalam kontrol pemerintah. Bukti sederhana, seperti dilihat dari kewenangan Menteri Pendidikan Nasional pada BAB X Pasal 14 (3) dijelaskan bahwa rektorat diangkat dan diberhenti­ kan oleh Majelis Wali Amanat (MWA) yang terdiri dari dari unsurunsur yaitu menteri, senat aka­ demik, masyarakat, dan rektor.­ Sementara seluruh dosen dan mahasiswa justru tidak memiliki hak pilih. Bandingkan dengan Menteri Pendidikan Nasional yang memiliki hak suara 35% jauh lebih besar bila dibandingkan pemilik hak suara lainnya. Sehingga, pemerintah memiliki andil yang besar dalam memutuskan pemimpin kampus. Komersialisasi pendidi­ kan­­tidak hanya cukup berhenti­ dengan BHMN, dunia pendidi­


j

ns.org kan makin terjerumus dengan disahkanya Rancangan Undang-­ Undang Sistem Pendidikan Nasio­ nal menjadi Undang Undang (UU) Nomor 20 Tahun­2003 yang menjadi­penanda­utama pendidi­kan Indonesia­ semakin kapitalistik.­Selain memberikan legitimasi­yang kokoh kepada BHMN, undang-­ undang ini mengamanat­kan pembentukan satu Badan Hukum Pendidikan (BHP). BHP inilah yang akan menjadi wajah baru dari BHMN. Latar belakang kemunculan BHP dilandasi keinginan pemerintah untuk mewujudkan kemandirian dalam penyelenggaraan pendidikan dengan mene­ rapkan otonomi bagi pendidikan tinggi. BHP sendiri diharapkan memberikan pelayanan pendidikan formal sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Padahal keberadaan BHP akan mengaburkan peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, sedangkan secara teknis menyulitkan masya­ rakat untuk mengakses pendidikan yang diselenggarakan oleh negara. Kelemahan BHP terletak pada absenya rekonseptualisasi makna dan peran lembaga pendidikan tinggi dalam dinamika masyarakat melalui pelayanan se-

11

cara otonomi yang terjadi justru tidak dimaknainya otonomi pengelolaan organisasi pendidikan untuk merespon perkembangan masyarakat yang ada. Melainkan konsep BHP ini terkesan lahir dari pemikiran yang instan, tidak mendalam, dan kejar setoran. Masuknya komersiali­ sasi dalam pendidikan juga menyebab­ kan hilangnya idealisme dan integritas intelektual. Hilangnya orang-orang yang bekerja penuh integritas keilmuwan yang tinggi untuk menegakkan kebenaran, melayani sesama, pengembangan kebudayaan dan peradaban bangsa, serta menjaga integrasi bangsa dan sosial. Tugas­universitas yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran akan hilang karena peran tersebut tidak diajarkan di universitas. Kaum akademis sibuk dipaksa untuk melakukan agenda kapitalis di kampus dengan menjadi konsultan di berbagai proyek. Inilah logika pasar bebas. Apa yang didapatkan akan sesuai dengan apa yang dibayarkan. Menurut Sheila Slaughter dan Larry L. Leslie dalam buku "Academic Capitalism Politics, Policies, and the Enterpreneurial University", kondisi tersebut


j

diann pakan agenda Neoliberal yang mesti diwaspadai. Jika tidak, perguruan tinggi akan menjadi 'ladang baru' Kapitalisme. Sementara­dalam sisi yang berhadapan, adalah sosok maha­ siswa dan rakyat yang dirugikan karena kebijakan ini diskriminatif bagi rakyat golongan ekonomi menengah ke bawah. Konsep BHP diharapkan dapat dijadikan solusi untuk minimnya budget pendidikan yang dialokasikan pemerintah Indonesia,­dalam rangkaian kebijakan pembangunan pemerin­ tah lebih tertarik untuk membangun struktur ekonomi daripada mencetak manusia-manusia yang well-educated.­ Dal am Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah diatur bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Ini berarti hak untuk mendapatkan pendidikan dapat diperoleh semua unsur masyarakat baik bagi yang miskin maupun kaya. Tapi saat ini hanyalah isapan jempol semata. Kenyataanya terjadi pengingkaran dengan adanya usaha swastanisasi kampus yang menghantui seluruh­ perguruan tinggi di Indonesia.

disebut kapitalisme akademik. Istilah ini mengacu pada institusi pendidikan yang kemudian menganut sistem ekonomi pasar yang menyebabkan setiap keputusan yang diambil oleh pimpinan perguruan tinggi berdasakan mekanisme pasar yang sedang terjadi. Fasilitas yang ada dikampus kemudian diberi harga,­ ditawarkan kepada calon konsumen. Bagi yang memiliki uang dapat mengakses fasilitas tersebut, sementara yang tidak punya uang dipinggirkan pelan-pelan. Perguruan tinggi menga­ lami pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan pendidikan­akibat masuknya liberalisasi pendidikan. Pertama, penyelenggaraan perguruan tinggi yang semula menaruh perhatian pada pertanyaan reflektif, eksploratif dan humanis kini berubah menjadi utilitarian. Kedua, perguruan tinggi kehilangan tanggung­ jawab atas perkembangan dan perubahan masyarakat menyangkut aspek, sosial, politik dan peradaban manusia. Fokus yang diambil saat ini hanya sebatas­ pada graduate employability atau keterserapan lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja.

Penulis: Dewi Bayu Bamungkas

Kebijakan BHP ini meru-

12


j

ns.org RESENSI

Cendekiawan itu Merangkul Kemanusiaan, Berpijak Kebenaran Judul Buku : Cendekiawan dan Politik Penyunting : Aswab Mahasin dan Ismed Natsir Penerbit

: LP3ES

“Semakin ia cinta kepada rakyat ­ dan masyarakatnya yang dianggap­‘ketinggalan’, semakin­pedih pula penderitaannya.” – Y.B. Mangunwijaya.

Awal-awal saya belum

begitu tertarik membaca buku ‘Cendekiawan dan Politik’. Menurut saya, dari judulnya pun kurang merangsang selera mem-

13

baca. Dalam banyak kekurangan­ saya, pelan-pelan saya coba menerawang isi dari buku ini, yang menurut hemat saya, tidak akan jauh-jauh dari pemba­ hasan kaum elit dengan gaya bahasa sulit dicerna. Akhirnya saya beranikan diri membaca sekaligus menulis ulang buku ini setelah melihat dan merasakan wujud rupanya! Buku ini kecil, mudah dibawa kemanamana, termasuk di dalam kantong celana. Memang kurang etis, tapi ini kenyataannya. Buku ini menghimpun karangan dari beberapa tokoh yang menuangkan ide dan perasaan­mengenai kaitan cendekiawan dan politik, peran cendekiawan, peran intelektual di Barat maupun di Timur. Karangan yang diambil untuk menghiasi buku ini diambil dari tokoh-tokoh berikut ini: Mohammad­Hatta, Soedjatmoko­, Selo Soemardjan, Harsja W. Bachtiar, Y.B. Mangunwijaya,


j

diann Alfian, Arief­ Budiman­, Wiratmo Soekito­ , Dorodjatun KuntjoroJakti, dan Edawrd Shils. Buku ini juga memberikan beberapa halaman kepada filsuf sekaligus pengarang Perancis, Harry Julien Benda yang menulis pandangannya tentang (Kaum Inteligensia Timur sebagai Golongan Elit Politik). Dalam karangannya, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (Romo Mangun) memberikan pertanyaan mendasar, sederhana, tapi tajam. Romo Mangun mempertanyakan, apa dan siapa cendekiawan itu? Apakah seorang ilmuwan yang menemukan metode baru pemetaan galaksi-galaksi angkasa­itu tergolong cendekiawan? Di sisi lain, negaranya belum bisa memproduksi sendiri pensil atau ballpoint. Atau pejabat negara yang memberikan konsesi minyak­ dan mengalirkan uang ke kas negara sekaligus ke kas pribadi­ bisa disebut kaum intelektual? Pertanyaan-pertanyaan­ Romo Mangun tentang makna­ cendekiawan berkisar diantaranya. Banyak hal belum jelas, bahkan tidak akan pernah jelas. Karena pengertian, makna, istilah­cendekiawan selalu sudah mengandung­tafsiran tertentu.

14

Tulisan ini di awali dengan kutipan dari Romo Mangun yang saya ambil dari buku. Kata "Ia" dalam kalimat itu merujuk kepada kaum cendekiawan. Baginya, kaum cendekiawan harus terus menerus diilhami oleh keprihatinan terhadap manusia. Keprihatinan itu tidak hanya sebatas mereka sadar akan nasib manusia. Lebih jauh dari itu, keprihatinan harus diamalkan melalui pengetahuan yang dimiliki kaum cendekiawan. Melibatkan diri dalam masyarakat secara khusus dan manusia secara umum. Melibatkan diri diartikan sebagai upaya aktif meleburkan dirinya dalam masyarakat. Hal ini diungkapkan Romo Mangun­bukan tanpa alasan. Romo Mangun­ menilai pelibatan itu wajar, dan memang suatu keharusan dari kaum cendekiawan. Ia melihat banyaknya dimensi kehidupan dan kenyataan terselubung sudah diketahui cendekiawan sebelum massa mengetahuinya­ . Sampai sini, gagasan Romo Mangun diungkapkan tegas, tanpa 'tedheng aling-aling'. Selain itu, Romo Mangun juga menjelaskan keadaan kaum cendekiawan yang tidak disenangi oleh para pengua­ sa­ . Kaum cendekiawan pada


j

ns.org umumnya­tidak mengabdi pada kekuasaan, melainkan pada kebenaran­. Mereka tidak mengenal struktur hirarkis, tidak mengenal hubungan sesama rekan, pergaulan yang jujur dan terbuka ialah pijakannya. Jujur dan terbuka juga berlaku pada diri mereka­ sendiri. Salah satunya sikap kritis­ terhadap kemampuannya yang terbatas. Sikap yang dimiliki kaum cendekiawan bermuara pada titik kewasapadaan dalam pemahaman yang benar. Keadaan semacam itu lekas berbentrokan dengan orang lalim dan kaum bandit bertopeng penguasa. Pandangan ­­­­­­­­­­­­­­­serupa juga diungkapkan Edward Shils yang dikutip Arief Budiman dalam tulisannya­“Peranan Mahasiswa­ sebagai Inteligensia­”. Edward Shils merumuskan corak­yang ada dalam diri kaum cendekiawan­. Corak itu berkisar pada kegairahan­mereka terhadap kebenaran. Hanya kebenaran dan keberanian mengutarakan kebenaran. Mereka tidak mempunyai­kepentingan duniawi­, tidak menarik keuntungan sosial maupun politis. Keberanian mengutarakan kebenaran­ di muka umum jadi ciri pembeda kaum cendekiawan. Kebenaran yang diungkapkan langsung ber-

15

batasan dengan konsekuensi yang harus diambil. Mereka tidak segan, takut, minder untuk mengungkapkannya, sekalipun­ terasa pait bagi penguasa. Tujuan­ mereka hanya satu, kebenaran­ . “Bukankah mereka­harus matang dulu dalam penghayatannya akan sesuatu, supaya­ berhak mempersaksikannya­ secara bertanggung jawab­ ?” begitu kata Romo Mangun. Kata pengantar buku ini ditulis Wiratmo Soekito, dia mengutip­Julian Benda yang berbicara mengenai pengkhianatan­ kaum cendekiawan­pada awal abad 20, ketika kaum cendekiawan­terlibat dalam politik­praktis. Menurutnya, kaum cendekiawan ialah orangorang yang kegiatan hakikinya bukan mengejar tujuan praktis. Cendekiawan itu unterscheidend innewerden, memisah-uraikan sambil mengendapkan dalam batin. Mereka dapat dipahami sebagai­orang-orang yang 'dalam' dan intens memikirkan atau menghayati sesuatu. Secara tersirat, pandangan ini sudah menggambarkan segi-segi etos dan moralitas. Mereka hanya mengabdi kepada kemanusiaan, bersetubuh dengan nasib manusia.


j

diann Mahasiswa Tidak Selalu Intelektual, Apalagi Cendekiawan Mahasiswa dapat digolongkan sebagai kaum cendekiawan­ . Tetapi berlainan dengan makna cendekiawan yang berkaitan dengan status sosial­dalam masyarakat. Situasi­ mahasiswa selalu bercorak sementara, ini sifat khas yang melekat pada mahasiswa. Penggolongan status mahasiswa dalam masyarakat­, mau tidak mau harus­ menyertakan­ asal-usul mereka­, situasi mereka, serta arah sosial mereka sebagai mahasiswa. Nilainilai subkultur dan kebudayaan yang melekat pada mahasiswa bukanlah berasal dari kelompok borjuis dan bukan dari golongan proletar, apalagi cendekiawan. Namun, pembenaran mahasiswa sebagai kaum cendekiawan dapat dilihat dari peran dan fungsinya dalam konteks perubahan­sosial di masyarakat­ . Mahasiswa yang menggunakan ilmunya­ untuk menyatakan kebenaran. Hal ini pernah terjadi beberapa tahun belakangan­ , tidak hanya di Indonesia. Merujuk sejarah, akhirakhir ini, cukup besar peran mahasiswa selaku pencetus perubahan sosial dan politik. Mahasiswa sekarang dapat belajar­ dari kekuatan mahasiswa dalam

16

peristiwa penggulingan Juan Peron di Argentina tahun 1995, Perez Jimenez di Venezuela­tahun 1958, penggulingan Sukarno­ tahun 1966, jatuhnya Ayub Khan di Pakistan tahun 1969, dan banyak lagi yang lain. Titik poinnya, bukan kelompok mahasiswa yang beraksi sampai akhirnya terlaksana gerakan revolusioner­. Mereka hanya katalisator­yang penting dalam aksi yang bersifat politis. Kira-kira begitu­ menurut Arief Budiman. Cita-cita Bung Hatta Tulisan Bung Hatta dalam buku ini menggambarkan bentuk ideal dari universitas. Universitas diharapkan memberikan­ sumbangan yang nyata terhadap perkembangan ilmu. Sisi lain, universitas juga harus insyaf­ akan tugasnya sebagai abdi masyarakat. Mahasiswa digambarkan Bung Hatta sebagai intelektual muda. Setelah menyelesaikan studinya, diharapkan dapat memakai ilmunya untuk penghidupan­masyarakat. Oleh sebab itu, guru besar yang mendidik­mahasiswa, tugasnya harus diringankan­. Seluruh­perhatian harus dipusatkan­kepada mereka yang memerlukan didikan itu. Tapi, Bung Hatta juga menulis, bahwa universitas tidak


j

ns.org bisa memberikan secukup-cukupnya pengetahuan. Universitas melalui guru besar hanya mendidik mahasiswa untuk pandai­ berdiri sendiri­dalam mempelajari ilmu, cara bagaimana­ia membahas masalah yang dihadapinya. Lalu, universitas harus menjadi tempat pendidikan manusia yang bertanggungjawab­kepada masyarakat. Bung Hatta berpendapat mengenai titik berat universitas. Menurutnya harus ditekankan kepada pembentukan karakter­ . “Pangkal segala pendidikan karakter­ialah cinta kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar”. Demikian katanya­. Cita-cita itu tidak akan terwujud­jika hanya satu arah. Artinya, mahasiswa­sendiri harus ikut serta mendidik dirinya sendiri­, dengan berpedoman cinta akan kebenaran. Jelas itu tidak gampang­ . Untuk menemukan kebenaran­ , ia harus menghayati betul persoalan yang ada, sembari­ memikirkan secara intens. Kondisi ini bertentangan dengan sistem universitas yang digambarkan Romo Mangun. Pada akhir abad 20, bisa jadi sampai sekarang, masyarakat­industri tidak menghendaki mahasiswa­

17

yang intelektual dalam artian Bung Hatta. Yang dibutuhkan adalah ahli-ahli terampil­dan berdisplin taat mutlak, tetapi hanya ahli dalam bidangnya dan bisa disetir menurut kemauan industri. Ahli­-ahli­­ terampil dibuktikan hanya­ dengan keberadaan ijazah. Ijazah sebagai jembatan mahasiswa memasuki pasar industri. Intelektual dalam artinya yang asli tidak ada sangkut­ pautnya­dengan ijazah, status sosial­dalam masyarakat­ , formalitas­resmi dan sebagainya­. Ini dibawa oleh tabiat ilmu itu sendiri yang wujud­nya tidak sekedar mencari kebenaran, tapi membela dan memperjuang­kan kebenaran. Seandainya mahasiswa "sekolah sekenanya, yang penting­dapat ijazah" disebut kaum intelektual, bagaimana kita bisa menggambarkan Ki Hajar Dewantoro, Hamka, dan Sutan Sjahrir yang tak pernah menggondol ijazah universitas? Oleh : Helmi Naufal Zul’azmi


j

diann SASTRA

Menuai Mahkota dari Dedikasi tumbuh di peternakan­Paman Grey. Paman Grey selalu mengembangkan teknik yang baik untuk merawat Edelweis. Setiap pekarangan ternak­nya mendapatkan satu benih Edelweis dalam satu petak yang dimanfaatkan untuk media menanam Edelweis.

Tiba-tiba terdengar suara lantang, “Jangan kau bantah!”, Molly si Domba hanya termenung setelah mendengar suara dari kejauhan­itu. Tak berselang suara tapakan kaki dari sumber suara terasa semakin mendekat. Ternyata Sam si Babi, tiba dengan muka geram. Seperti biasa, setelah mata­ hari terbit, Sam selalu memanggil setiap pasukan babi-babi kecilnya untuk berkumpul di lapangan lumpur tengah di kandangnya.

Setiap pagi, dua pemimpin­berkumpul untuk memberi­ kan komando kepada anak buahnya. “Rapatkan barisan!” Sam dengan kerasnya. Hal itu tanda dimulainya forum itu. Sam yang berperawakan garang selalu menjadi perhatian khusus. Tiap ternak lain ingin berbicara, Sam selalu memotong. Secara tidak langsung, pemimpin ini tidak berbuah kegembiraan. Melihat cara itu, Molly mulai ikut geram dengan perilaku Sam. “Hargai yang lain!” Sam tetap saja memasang muka datar dan tak peduli.

“Kau tidak bisa berkata halus saja Sam?” saut Molly terlihat merenung­. Dengan sedikit geram, Sam geleng-­geleng kepala. Molly yang hanya disebelah kandang Sam, Sam dan Molly hanya segelintir hewan yang hidup di Peternakan Paman Grey. Merekalah yang memimpin para anak buahnya masingmasing di tiap pekarangannya.

Keesokan harinya, Paman Grey datang ke pekarangan Sam dan Molly. Paman Grey mulai memerintah penduduk­nya untuk menanam Edelweis. Bunga Edelweis biasa tumbuh dengan waktu enam sampai delapan minggu.

Aktivitas rutin mereka setiap hari adalah bercocok tanam. Paman Grey mengajarkan teknik menanam bunga Edelweis. Bunga Edelweis sudah sejak lama menjadi tanaman turun-temurun yang

18


j

ns.org ka waktu yang cukup panjang pada proses perawatan, hanya satu kuncinya yaitu ketekunan. Setelah memasuki minggu kedua, dilakukan proses perawatan. Selanjutnya pertumbuhan Edelweis selalu bergantung bagaimana caranya orang disekitarnya merawatnya. Perilaku hewan ternak tersebut di kehidupan seharihari akan berpengaruh pula pada kondisi Edelweis yang dirawatnya. Paman Grey berpikir untuk mencoba bereksperimen, Paman Grey mengajak penduduknya untuk mengajak bicara Edelweis saat mulai tumbuh kuncup.

Paman Grey memberi instruksi untuk berlomba-lomba menumbuhkan Edelweis. Edelweis akan mencapai puncak mekarnya ketika warna mahkota berubah dari berwarna merah ke merah muda.

Karena hubungan antara ternak-ternak Paman Grey yang terbentuk sejak lama dengan suasana yang cukup panas, membuat mereka saling berkompetisi. Sam dengan sigap mengorganisir babi-babi kecilnya. Lantas, dengan penuh paksaan yang keras pula membuat Sam dan pasukannya lebih cepat setengah Seiring berjalannya hari untuk tahawaktu tiga minggu, pan menanam Ilustrator: Yayan kuncup Edelweis bibit. Berlawanan yang ditanam oleh ternak-ternak dengan hewan lainnya, mereka mulai tumbuh kuncup. Pagi tiba memerlukan waktu sehari penuh. waktu itu, Paman Grey, memberikan wejangan bahwa ter Menanam Edelweis medapat cara baru untuk merawat merlukan proses yang panjang. Edelweis. “Interaksilah dengan Karena itu, membuat setiap penkembang itu, maka Edelweis duduk Paman Grey memerlukan akan tumbuh sesuai laku kalian.� perhatian khusus terhadap tumbuhnya Edelweis. Dengan jang-

19


j

diann Menanam Edelweis menjadi kompetitif, ternak-ternak mulai merencanakan apa yang harus mereka lakukan. Tibalah waktu untuk berbicara dengan Edelweis itu datang. Sambil menyiraminya, Molly berharap Edelweis tumbuh dengan perlahan namun dapat menikmati bagaimana proses tumbuhnya. “Seperti yang aku lihat bagai teman setiaku, aku akan selalu bersedia berkawan dengan Edelweis ini,” ucapnya sambil mengelus kuncup Edelweis.

Di tempat lain, Molly membagi tugas dengan domba lainnya. Setiap jam domba-domba­ itu bergantian mengajak berbicara Edelweis itu. Molly mengor­ ganisir setiap domba untuk tetap tenang dan sabar sembari berbicara dengan kembang itu. “Biar­ kan Edelweis tumbuh dengan perlahan, nikmatilah proses berinteraksi dengan kembang ini,”. Masuk pada minggu ketiga, seperti biasa mereka melakukan aktivitas berinteraksi dengan Edelweis mereka masing-masing. Karena aktivitas setiap ternak akan berpengaruh dengan baik tidaknya Edelweis tumbuh. Sam seperti biasa bersikap keras kepada babi-babi kecilnya. Selain beraktivitas dengan Edelweisnya, Sam menyuruh babi kecilnya untuk giat mengolah tanah yang ada di kandang mereka. “Cepat kalian olah ini semua, biar singgasanaku semakin indah!”­ lontaran kata-kata Sam sembari mengawasi babi-babinya.

Disisi lain, Sam masih sibuk dengan membayangbayang­ kan Edelweis tumbuh dengan cepat seketika. Sam mulai mengikuti cara Paman Grey. Edelweis yang sudah berkuncup mulai Sam ajak berbicara. “Tumbuh lah kau dengan cepat, biar aku menjadi yang tercepat” . Sembari beraktivitas lain, seperti biasa Sam, mengajak babibabi kecilnya untuk ikut bekerja membantu berbicara dengan Edelweis. Sam sedikit memaksa dengan berteriak untuk bersama-­ sama meneriaki Edelweis itu, “Cepatlah kau tumbuh, biar aku yang paling cepat!” diikuti pula babi-babi kecilnya yang ikut berteriak-teriak. Sampai pada akhir­ nya babi-babi itu mulai lelah.

Disisi lain, Molly bersama para dombanya bergotong-royong untuk membangun rumah jerami di dalam kandangnya. Para domba perlahan-lahan menata satu-persatu jerami membentuk kandang kecil baru. .

20


j

ns.org Keesokan harinya, Kuncup Edelweis mulai terbuka, satu persatu berubah menjadi mahkota. Setiap Edelweis mereka, secara bersamaan mulai muncul dan berubah warna menjadi merah. Ternak-ternak menyambut gembira melihat pertumbuhan Edelweis dengan sempurna. Mulailah kembali ternak-­ ternak itu berinteraksi lagi dengan Edelweis. Sam dengan­santainya menepuknepuk mahkota Edelweis­“Tak sabar aku melihat­kau tumbuh dengan­cepat, " Sam mulai kembali­ menggiring babinya bergantian berinteraksi dengan Edelweis. Setiap­kata yang terucap membuat­ ludah­dari babi-babi itu men­ darat secara perlahan di mahkota Edelweis­itu. Sam tak peduli itu. Di tempat lain, Molly dengan para dombanya­masih­sibuk bergantian­ berinteraksi­ dengan Edelweis.­Molly sampai melindungi­Edelweis itu dengan­ jerami­ nya­agar tetap terjaga.

garkan sebuah celotehan. Para domba saling bercerita mengenai nilai-nilai kebajikan yang selama mereka lakukan saat berinteraksi di dalam kandang. Di tempat lain, Sam masih berkutat dengan cara yang sama sebelumnya dalam memperlakukan Edelweis itu. Ia mencoba mencari pola interaksi baru, caranya dengan memanfaatkan Edelweis sebagai tempat berlatih para babi untuk berlagak marah. Lewat cara itu, babi-babi kecil Sam mampu menjadi babi yang muncul sifat menindasnya. Edelweis diposisikan sebagai subjek yang berkelas rendah. Tapi tak terhindarkan, ludah dari babibabi itu kembali menyemprot kearah mahkota Edelweis itu. Sam keesokan harinya, mempraktekkan hasil latihan babi-babi kecil itu untuk bermain dalam forum. Pada forum tersebut dibahas bagaimana hasil dari proses merawat masingmasing Edelweis mereka. Karena waktu yang semakin sempit untuk menunggu hasil mekar kembang itu. ”Sudah tinggal menunggu waktu, bunga siapa yang akan mekar dengan baik,” sambil disambut oleh teriakan babi-babi kecilnya “Benar!”

Pada minggu kelima, tibalah fase Edelweis itu mekar separuh. Dalam jangka waktu itu, persaingan semakin ketat. Molly berniat membuat forum kecil untuk berbicara dengan Edelweis. Edelweis diposisikan ditengah-tengah para domba, bak orang yang sedang menden-

21


j

diann Waktu yang ditunggutunggu itu telah tiba. Terbitnya sinar matahari menandai dimulainya aktivitas hewan ternak Paman Grey di pekarangan. Tak disangka oleh Sam, warna mahkota Edelweis mereka berubah warna menjadi cokelat. Itu yang membuat Sam marah besar sehingga kesal dengan babi-babi kecilnya. Sam sampai menendang-nendang semua babi-babinya dengan kasae.

Di ­­pekarangan Molly, terlihat keadaan yang kontras. Warna Edelweis Molly sangat cerah, merah muda yang hidup. Persis dengan apa yang Molly dan para dombanya lakukan saat merawat Edelweis itu. “Tidaklah s­ emua ini sia-sia dengan­apa yang kulakukan?” ucap Sam dengan nada menyesal. -selesaiPenulis : Bimo Adi K.

22


Eh liat ..... dung itu gedibikin apmau a?

Katanya make dana pemban- Gimana transparagunan sinya?

in Bo..

Ndet,..tum b Sekarang kampus la en lagi gi bernyamuk D Fogging asap gini? B mungk

Oleh: Joko N.S

Iya, kok tumben berasap gini. Lagi apa ini kampus?

Rek lapo ribut ribut?

Gimana bisa liat kalo ada tukang satenya

Oh..ini kampus lagi buka-bukaan soal penggunaan dana pembangunan kampus

ns.org

j

KOMIKSTRIP

23


j

diann POSTER

Membangun dan dibangun. Negeri ini nampaknya sedang berbenah. Tembok-tembok beton, gedung pencakar langit, juga jalan-jalan layang. Di tengah pembangunan itu, ada satu hal yang terlupakan. Bahwa akan ada sekelompok orang yang terluka. Ia harus tersingkir dari tanahnya. Jangan! Jangan biarkan itu! Jangan biarkan ia terluka! Jangan biarkan ia tersingkir dari ruang hidupnya. Dan jangan biarkan manusia-manusia keji itu terus menindasnya. Hanya ada satu kata: LAWAN! Membaca adalah melawan, menulis menciptakan perubahan. Untuk itu LPM DIANNS membuka sayembara karya berupa sastra, opini, karikatur, dan komikstrip. Dengan tema Pembangunan dan Perebutan Ruang. Karya dapat dikirim melalui email tulisandianns@ gmail.com . Batas pengumpulan 29 April 2018. Karya terbaik akan diterbitkan di Mading Radikal LPM DIANNS Jangan kau penjarakan ucapanmu. Jika kau menghamba pada ketakutan, kita akan memperpanjang barisan perbudakan! – Wiji Thukul Kami tunggu karya anda di Mading Radikal LPM DIANNS.

24


j

ns.org STAY UPDATE YOUR INFORMATION WITH US, BY FOLLOWING OUR WEBSITE AND SOCIAL MEDIA

dianns.org Tuangkan kreatifitas & kontribusi kalian dalam bentuk opini dan sastra

Dengan Ketentuan : - Mencantumkan identitas (Nama, NIM & Jurusan). - Tema bebas. - Tulisan maksimal seribu kata. - Times NewRoman, 12

Kirimkan ke e-mail LPM DIANNS : diannsmedia@gmail.com Tulisan yang terpilih akan dimuat pada website LPM DIANNS Kunjung dan Ikuti : @diannsmedia

@fil3760t

@dianns_media

LPM DIANNS

LPM DIANNS

dianns.org

Alamat Redaksi LPM DIANNS : Sekretariat Bersama Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Jalan Mt Haryono No. 163 Malang, 65145.


Membebaskan pendidikan terdiri dari tindakan kognisi, bukan hanya sekedar transfer informasi. - Paolo Freire

Ilustrasi

Cover Depan : Evryta dan Dips Cover Belakang : Rima


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.