Majalah LPM DIANNS Edisi 55

Page 1

Edisi 55 >> November 2017 >> FIA UB www.dianns.org

DIANNS SONGSONG KEHIDUPAN DENGAN DIALEKTIKA

MEMAKNAI TANAH DI TENGAH KERA­WANAN

PERAMPASAN RUANG HIDUP GELOMBANG KEHIDUPAN

NELAYAN SENDANG BIRU SENANDUNG NADA

ALAM SEMERU


DIANNS RUANG REDAKSI

PENANGGUNG JAWAB

: Dekan Fakultas Ilmu Administrasi

PEMIMPIN REDAKSI

: Zendy Titis Dwi Andini

REDAKTUR PELAKSANA : Bimo Adi Kresnomurti

TATA LETAK DAN ARTISTIK Abdillah Akbar, Dewi Intan PS, Fadhila Isniana, Ferry Firmanna, M. Yusuf Ismail, Muhammd B., Nurhidayah Istiqomah,

PEMIMPIN ORGANISASI

Zendy Titis

PEMIMPIN UMUM

: Muhammad Bahmudah

SEKRETARIS UMUM

: Resti Syafitri Andra

BENDAHARA UMUM

: Nurbaiti Permatasari

EDITOR

PEMIMPIN PEMASARAN DAN HUMAS Athika Sri Ayuningtyas

IKLAN DAN SIRKULASI Antonius Bagas, Athika Sri Ayuningtyas,

Bimo A., Dinda I., Hayu P., Hendra K., Muhammad B.,

Ayulia Amanda, Nurhidayah Istiqomah,

Rethiya A., Zendy T.

Setia Nur Reformasinta

REPORTER

ALAMAT REDAKSI

Abdillah A., A. Bagas, Athika Sri, Ayulia A., Bimo A.,

Kantor LPM DIANNS, Sekretariat Bersama

Dewi I., Dimas A., Dinda I., Fadhila I., Ferry F., Hayu P.,

Fakultas Ilmu Administrasi Universitas

Helmi N., Iko Dian, Hendra K., Johanis M. Cigo, Joko N.,

Brawijaya Jalan MT. Haryono 163 Malang,

Melinda C., Meyulinda K., Muhammad B., Iqbal A., M.

65145

Yusuf, Nurbaiti P., Nurhidayah I., Resti S., Rethiya A., Setia Nur, Wakhidatul R., Zendy T.

KARIKATUR DAN ILUSTRASI M. Yusuf, Dewi Intan PS, Joko Nur S., Bimo Adi

FOTOGRAFER

HUBUNGI KAMI Email: diannsmedia@gmail.com Handphone: 0812-3357-998 Line : @fil3760t Instagram : diannsmedia

Abdillah Akbar, Antonius B., Ayulia A., Bimo Adi, Dimas

Twitter : @DIANNS_Media

Ade, Fadhila I., Iqbal Achmad W., Iko Dian W., Johanis M.

Facebook : LPM DIANNS FIA UB

Cigo, Melinda C., Muhammad B., Wakhidatul R.

Youtube : LPM DIANNS

DIANNS 55 - 1


SA L A M R E DA KS I

S

ebagai negeri agraris, In­ donesia tentu dicirikan de­ ngan tanah pertanian yang menghampar luas. Serta barang tentu pula dengan sebagian be­ sar penduduknya yang bermata pencaha­rian sebagai petani. Akan tetapi bila menilik hari ini, benar­ kah hal demikian masih berlaku? Atau justru hingga hari ini seorang petani harus sengsara di negeri agraris­nya sendiri? Maraknya ke­ sewenangan beberapa pihak mu­ lai menggerus tanah pertanian. Kemudian menggantikannya de­ ngan industri yang sama sekali ti­ dak menyejahterakan masyarakat. Hal tersebut merupakan cerminan pemahaman tanah sebagai alat ekonomi atau pemahaman tanah secara sempit di negeri ini. Sebab tanpa dirasakan, secara tersirat se­ cara turun temurun, leluhur kita telah menempatkan tanah sebagai sebuah loka (tempat) yang tak dapat dipisahkan dari adat istiadat yang memiliki makna kebudayaan dan magis. Warisan tersebut tercermin dalam seutas kalimat “Tanah adalah ibu kandung kebu­ dayaan”.

Keadaan tersebut men­ dorong kami untuk melukiskan­ nya dalam tulisan di Majalah DIANNS edisi 55. Sebagai ben­ ­ tuk pengawalan isu yang saat ini ba­ nyak menyengsarakan ma­ syarakat. Serta tentunya sebagai bentuk dukungan terhadap per­ juangan masyarakat atas tanah­ nya. Pada Majalah DIANNS edi­ si 55 ini, kami mempersembahkan Laporan Utama mengenai per­ juangan petani di Dusun Kulon Bambang, Desa Sumberurip, Ke­ camatan Doko, Kabupaten Blitar. Para petani tersebut, harus ber­ juang atas kesewenangan peram­ pasan tanah, hingga tanah tersebut akhirnya berada ditangan mereka. Terdapat pula tiga tulisan lainnya yang saling melengkapi. Salah sa­ tunya tentang sebuah perjalanan panjang atas perjuangan masya­ rakat Kampung Sumber Sari, Dusun Junggo, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji. Di Kampung tersebut terdapat dua puluh dua keluarga yang menuntut hak atas redistribusi tanah yang telah ditelantarkan oleh pemegang Hak

Guna Bangunan (HGB). Perjala­ nan tersebut akan dibahas melalui liputan khusus pertama yang akan fokus pada keadaaan perjuangan masyarakat. Sedangkan liputan khusus kedua akan lebih fokus memandang persoalan tersebut dari segi aspek hukum. Sementara liputan khusus ketiga, kami coba menilik peranan adat istiadat dan kebudayaan setempat dalam men­ jaga tanah di Desa Ngadas yang masuk wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Atas terbitnya Majalah ­DIANNS Edisi 55 ini, harapan be­ sar bagi kami untuk bersama-sama mengawal isu mengenai agraria yang selama ini merupakan ru­ ang hidup bersama. Serta melalui berutas tulisan di dalam majalah ini sebagai bentuk perjuangan untuk terus melestarikan setiap kebudayaan leluhur agar tak kian tergerus. Tak lupa tentu ucapan terima kasih kami berikan bagi segenap pihak yang telah bekerja sama dan memperlancar terwu­ judnya majalah ini. Salam Perjuangan!

“Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili” -Gunretno-

DIANNS 55 - 2


D A F TA R I S I 11

20

Jalan Tak Berujung atas Konflik Tanah di Junggo

Desa Ngadas: Mandiri dalam Keterbatasan Ruang

liputan khusus

liputan khusus

16 liputan khusus

Junggo: Menanti Titik Terang Hak atas Tanah

7

laporan utama

Memaknai Tanah di Tengah Kerawanan Pe­rampasan Ruang Hidup

DIANNS 55 - 3


30 Riset

Dinamika Pertanian Kota Batu

44

Kabar kampus

Ketidakselarasan Konsep Green Campus UB dengan Lingkungan

47 Media

Kritis Hoaks Melalui Literasi Media

50

BUdaya

Yadnya Kasada Mengharmoniskan Keragaman Suku Tengger

1

ruang redaksi

2

Salam redaksi

3

daftar isi

5

kilas balik Ruang Hidup yang Terperangkap Kusutnya Kota

24

opini Tanah, Problem Sepanjang Zaman

27

opini Industrialisasi Digaungkan, Reforma Agraria Diabaikan

36

foto narasi Gelombang Kehidupan Nelayan Sendang Biru

41

lingkungan Carut-Marut Ruang Terbuka Hijau Kota Malang

53

budaya Riwayat Tembakau Rakyat yang Perlahan Tergerus Zaman

56

musik Senandung Nada Alam Semeru

59

jalan-jalan Kota Lama Semarang: Memori di Balik Bangunan-bangunan Tua

63

komik strip

64

sastra Tanah Kaya (Konflik)

65

sastra CURHATANAH

68

resensi 12 Years a Slave : Perjalanan Hidup Para Budak di Amerika

71

resensi Emas Hijau di Lereng Sindoro

DIANNS 55 - 4


Kilas Balik

Ruang Hidup yang Terperangkap Kusutnya Kota (Februari 2011)

Penulis: Resti Syafitri Andra

Kian majunya perkembangan suatu kota akan ­ selalu mengundang kaum pencari kesejahteraan untuk mengadu nasib. Ini adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Namun nyatanya, kerasnya k ­ehidupan di kota dengan minimnya kemampuan bekerja formal yaitu terkait pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki, menyebabkan kaum urban tidak mampu memperoleh penghidupan yang layak. Mau tak mau, mereka harus tinggal di permukiman kumuh. Inilah permasalahan klasik yang diangkat pada laporan utama majalah LPM ­DIANNS Edisi 48 yaitu mengenai permukiman kumuh yang ada di Kota Malang. Terdapat dua tulisan Laporan ­Utama yang dikulik dalam Kilas Balik kali ini, yaitu ­“Menilik P ­ ersoalan Penanganan Permukiman Kumuh” yang ditulis oleh Fahmi Rezha dan “Gunawan dan Harapannya” yang d ­ itulis oleh Denida Larasati.

K

ota Malang meru­pakan kota yang sedang bera­ da dalam proses tum­ buh dan berkembang di sektor ekonomi. Bahkan dise­ but-sebut sebagai salah satu daerah yang paling makmur di Jawa Timur. Berkembangnya sektor ekonomi tentu berkaitan de­ ngan peningkatan kebutu­ han akan tenaga kerja sehingga mengundang pendatang dari luar daerah. Ini menjadikan permukiman kumuh menjadi salah satu permasalahan yang tidak dapat dihindari oleh kota bunga ini. Permasalahan terkait permukiman kumuh sering­kali dianggap hanya berasal dari masyarakat pendatang, pada­ hal nyatanya permasalahan ini juga berasal dari kegagalan pemerintah kota (Pemkot) da­ lam mengontrol kedatangan mereka. Ini diperparah de­ ngan keterbatasan lahan untuk membangun tempat tinggal sebagai ruang hidup mereka. Sehingga akhirnya memben­ tuk daerah-daerah kumuh yang padat penduduk dengan tingkat ekonomi rendah yang tidak mampu lagi memikir­ kan bagaimana standar hidup

DIANNS 55 - 5

yang layak huni, sedang me­ menuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sangat sulit. Seringkali permukiman padat penduduk diartikan sama dengan lingkungan kumuh, padahal nyatanya me­ reka tidaklah sama. Ter­ dapat parameter dan kriteria menge­ nai permukiman ku­ muh yang dirumuskan oleh Direktorat Tata Kota dan Tata Dae­ rah, Direktorat Jender­ al Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (DTKTD, 93/94) menge­ nai karakteristik fisik ling­kungan, sosial dan budaya untuk kampung ku­ muh yang terdiri dari sembilan poin, yakni: perumahan yang padat tidak teratur; tingkat kepadatan penduduk tinggi; fasili­ tas dan sarana lingkung­ an tidak memadai; tingkat kepadatan bangun­ an tinggi; sebagian besar peng­ huni ber­ penghasilan tidak tetap; tingkat pendapatan rata-rata rendah; tingkat pengang­ guran tinggi; tingkat kerawanan sosial dan kriminali­tas tinggi; masyarakat terdiri atas berbagai suku bangsa dan golongan. Kemu­ dian Muhammad Nuh yang

merupakan salah satu dosen di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) menuturkan bahwa yang dise­ but permukiman kumuh ada­ lah yang strukturnya tidak la­ yak huni secara fisik, baik yang menyangkut aspek kesehatan ataupun lainnya, yang mana tempat tinggal tidak memberi­ kan kenyamanan yang layak Muhammad Nuh menambahkan bahwa ­ Pemkot Malang sudah seharusnya mulai memerhatikan k ­husus permasalahan ini dengan meng­antisipasi perpindahan penduduk ke Kota Malang. Terkait keadaan ini, salah satu solusi yang dilakukan oleh Pemkot Malang adalah dengan melakukan program Pemuga­­r­ an Rumah Sehat yang disebar­ kan merata di 57 kelurahan. Program ini memberikan ban­ tuan berupa perbaikan sani­ tasi dan pengadaan air bersih melalui pembangunan DAK, bantuan melalui proyek P2KP, PNPM dan sebagainya yang dibiayai oleh Pemerintah Pusat, Provinsi, Daerah, dan Swadaya masyarakat. Namun di sisi lain, penerapan program Pemkot


Kilas Balik ini rupanya bertentangan de­ ­ ngan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai dan Peraturan Menteri (Permen) PU Nomor 62/PRT/1993 tentang Pengatur­ an Daerah Sempadan Su­ ngai. Lantaran permukiman ku­ muh yang berada di kawasan DAS Brantas dan sempadan sung­ ai bisa saja mendapat bantuan dari program ini. Pa­ dahal masyarakat sebenar­ nya tidak diperbolehkan untuk bermukim di sana. Karena da­ lam aturan di atas, disebutkan bahwa dalam jarak minimal 30 meter dari bibir sungai harus bebas dari bangunan apa pun. Belum lagi permasalahan per­ mukiman kumuh yang berada di sekitar rel kereta api. Tanah tersebut seperti yang diketa­ hui, merupakan milik Perusa­ haan Jasa Kereta Api (PJKA) sehingga pemerintah tidak berwenang untuk menertibkan permukiman yang ada di sana. Akhirnya, permasalah­ an ini menjadi sesuatu yang dilematik bagi Pemkot Malang. Jika merujuk pada PP dan Per­ men yang telah diuraikan di atas, tentu tidak seharusnya pe­ merintah memperbaiki kondisi hunian maupun kawasan yang ada di DAS Brantas. Namun di sisi lain, pemerintah juga harus menyelesaikan permasalahan yang ada. Jika merujuk pada pendapat Muhammad Nuh, seharusnya Pemkot tidak men­ tolerasi bangunan apapun yang ada di bibir sungai, baik per­ mukiman atau pun hotel yang sifatnya permanen. Adapun menurut M. Anis Januar, Kepa­ la Sub Bidang Prasarana dan Sarana Bidang Tata Kota Bappe­ da, salah satu solusi mengenai permukiman kumuh ini telah dijalankan oleh pemerintah yakni melakukan pemindahan warga DAS Brantas ke rumah susun di daerah Kota Lama. Antara Harapan dan Kenyataan Gunawan adalah salah satu potret kehidupan manu­

sia yang harus berjuang hidup dalam kerasnya kenyataan di Kota Malang. Rumah berukur­ an 2m x 2m yang berada di Kelurahan Sukoharjo itu di­ tempati olehnya beserta istri dengan tiga anaknya. Namun dua di antaranya sudah me­ nikah dan tidak menetap di sana karena tidak ada ruang yang cukup untuk menampung semuanya. Pasalnya, rumah itu hanya terdiri dari ruang tamu. Sedangkan di belakangnya di­ manfaatkan untuk memasak, dan sebuah ruang kecil untuk kamar mandi di sebelahnya. Serta satu loteng yang menjadi tempat melepas lelah di malam hari bagi Gunawan, istri, dan anaknya. Rumah ini bukanlah milik Gunawan. Dia adalah pemilik kedua atas rumah tersebut dan setiap tahun ha­ rus rutin membayar sewa pada PJKA selaku pemilik tanah. Tanah tersebut merupakan mi­ lik PJKA karena masih masuk ke dalam area 6m hingga 10m dari rel kereta. Mirisnya lagi mereka bisa diusir kapan saja jika PJKA ingin menggunakan lahan tersebut. Nisa, tetangga Gunawan menerangkan bah­ wa dulu pernah ada rencana rumah-rumah di sana akan digusur untuk pembangunan jalur 2 namun belum terlaksa­ na hingga sekarang. Gatot Joko sekalu Kepala Stasiun Kota Lama saat itu, menuturkan bahwa penggusuran memang bisa saja terjadi jika PJKA ber­ niat menertibkan permukiman di sempadan rel. Sebab jika terjadi kejadian kereta anjlok, PJKA perlu lahan yang lebar untuk menanganinya, sedang­ kan keadaan permukiman cu­ kup menganggu. Berdasarkan data PJKA Kota Lama, kurang lebih terdapat tiga kelurahan di atas lahan PJKA yang dijadikan permukiman warga. Menurut Bappeda, beberapa di antara­ nya merupakan permukiman kumuh. Sudah 21 tahun Gu­ nawan menetap di sempadan rel kereta yang tentu sangat rentan terjadi kecelakaan kere­

ta api. Walaupun demikian, keras­ nya kehidupan tidak membuat Gunawan berhenti bermimpi. Dia memiliki hara­ pan untuk mencari rumah se­ derhana yang aman bagi kel­ uarganya. Dia juga siap untuk mengangsur cicilan rumah se­ derhana yang diimpikannya se­ suai keahliannya dalam bidang tambal ban di daerah Klojen. Namun harapannya masih jauh dari kenyataan hidup yang ada. Pemkot masih kesulitan untuk menemukan mekanisme yang tepat untuk mengadakan pro­ gram angsuran rumah sederha­ na yang diimpikan Gunawan. Program Rumah Sangat Seder­ hana (RSS) belum dibuat untuk umum karena terkendala me­ kanisme. Bambang Supriyono selaku Dosen Kebijakan Pem­ bangunan dan Perencanaan Daerah FIA UB menerangkan bahwa koordinasi yang baik antara Pemerintah Daerah, PJKA, dan warga permukiman sempadan rel dapat menjadi solusi bagi permasalahan per­ mukiman kumuh. Penanganan permasalahan ini tidak bisa ha­ nya secara sektoral. Selain ins­ tansi terkait dan pemerintah, masyarakat permukiman juga harus ikut berkoordinasi agar keadaan dapat diselesaikan dengan baik. Pada halaman terakhir laporan utama ini, tertulis se­ buah kutipan dari Mahatma Gandhi yang berbunyi, “Bumi cukup menyediakan segala se­ suatu untuk memuaskan ke­ butuhan semua orang, bukan semua ketamakan”. Kutipan ini merepresentasikan keadaan ke­ hidupan manusia hari ini. Beta­ pa ketamakan manusia yang tiada habisnya dapat merebut hak hidup orang lain. Bahkan ketamakan itu bisa mengam­ bil sesuatu yang menjadi hak pokok dalam kehidupan bagi seorang manusia, rumah. Se­ buah impian yang sangat jauh untuk dicapai bagi Gunawan dan bagi Gunawan-Gunawan lain di luar sana, di negeri ini.

DIANNS 55 - 6


LAPORAN UTAMA

Memaknai Tanah di Tengah Kerawanan Perampasan Ruang Hidup Lahan perkebunan yang berhasil diredistribusi dimanfaatkan warga untuk pembangunan infrastruktur Kulon Bambang

T

Muhammad

anah, menjadi hal yang masih runyam diperebutkan, hi­­n­ gga memicu konflik bahkan bagi semua manusia. Memiliki sebidang tanah bukan berarti bisa menguasai selamanya. Petani yang bekerja di atas petak tanah miliknya pun, tidak men­ jamin bahwa tanah tersebut tidak akan beralih tuan. Tanah menja­ di sesuatu yang rawan direbut ketika berhubungan dengan keku­ asaan. Maka selama reforma agraria belum dicapai, ruang-ruang hidup akan selalu dirampasi. Timbulnya gerakan sosial sebagai bentuk perjuangan petani pun dilakukan demi mendapatkan kembali hak ruang hidupnya.

an yang meresap ke dalam ideologi dan tercermin dari laku sebagian besar masyarakat Indonesia. Apa pun akan dilakukan demi memper­ tahankan warisan tersebut. Dengan begitu, makna kemerdekaan dapat dirasakan oleh rakyat. Vincent Har­ ding mengatakan, “Bagi negara berkembang yang agraris, makna kemerdekaan bagi rakyat adalah hak atas tanah yang digarapnya.”

Tanah adalah persoalan men­ dasar. Terutama bagi Indonesia yang agraris, yang mayoritas pen­ duduknya adalah petani, sega­ la aspek hidup akan melibatkan tanah. Tidak hanya sebagai modal utama produksi yang di atasnya terjadi berbagai macam aktivitas ekonomi, tanah adalah jati diri.

Ancaman Petani

DIANNS 55 - 7

Seperti kata Fachry Ali dalam esai­ nya Tanah dan Eksistensi Petani yang me­ngungkapkan, “Lewat hak pemilikan atas tanah, para petani, tanpa dirasakan dengan sadar, mendapat­ kan jati dirinya yang— tanpa disadari pula—merangsang lahir­nya sikap ‘demokratis’.” Maka makna tanah membentuk keyakin­

Perampasan

Lahan

Persoalan tanah di dalam masya­ rakat agraris, tidak hanya melibat­ kan hubungan petani dengan tanah, namun juga ba­nyak pihak. Hubun­ gan itu antara lain dibentuk oleh mereka yang mencurahkan tenaga


LAPORAN UTAMA kerja secara langsung seper­ti petani pemilik, petani penyakap, buruh tani dan mereka yang tidak berpro­ duksi secara langsung tetapi turut meng­ambil bagian keuntungan atas hasil produksi tersebut, yakni pemi­ lik tanah atau tuan tanah, peta­ ni majikan, pemilik modal, serta pe­ nguasa atau pemerintah. Melalui hubungan sewa tanah, pengupahan, kredit, pajak, atau bagi hasil antara petani dengan tuan tanah, timbul kesepakatan yang di dalamnya ada hak dan kewajiban masing-masing. Ironisnya, sejarah mencatat bah­ wa hubungan ini tidak pernah ber­ jalan harmonis dan setara. Petani selalu menjadi korban atas tidak ter­ penuhinya hak-hak mereka. Jurang ketimpangan antara petani dan pe­ nguasa menganga begitu lebar. Mu­ lai zaman feodalisme ketika rakyat harus menyerahkan upeti hasil bumi. Masa VOC pada abad ke-16, petani wajib membayar pajak bumi, dilanjutkan dengan sistem tanam paksa tahun 1830. Kemudian keka­ lahan petani yang nyata ditandai oleh lahirnya Agrarische Wet 1870, karena semenjak itu modal swasta semakin mencengkeram pertanian. Pendudukan Jepang selanjutnya ti­ dak mengurangi beban penderitaan petani. Lahirnya UUPA 1960 pun tersusul oleh transisi peme­rintahan Orde Baru ke Orde Lama akibat gejolak 1965. Akibatnya, belum ba­ nyak perbaikan sektor agraria yang bisa dilakukan dari UUPA 1960 saat itu. Selanjutnya teror 1965 semakin memperburuk keadaan pertanian Indonesia, karena banyaknya lahan rakyat yang dirampasi oleh peme­ rintah. Sampai dengan 1995, dua puluh dua ribu hektare tanah perta­ nian per tahun di Jawa beralih fung­ si ke non-pertanian. Hingga era reformasi, kasus-kasus perampasan lahan masih santer terdengar. Ancaman ini semakin menyulit­ kan posisi petani. Lahan mere­ ka bisa diambil sewaktu-waktu dengan berbagai dalih kebijakan dan pera­ turan. Catatan konflik agraria oleh Konsorsium Pembaruan Agraria

(KPA) tahun 2016 yang meningkat sebanyak 198 kasus dari tahun lalu, menunjukkan tingginya kerawa­ nan perampasan tanah itu. Merujuk pada catatan KPA tahun 2016 lain­ nya, ada 177 orang yang dikrimi­ nalisasi dalam kaitannya dengan kon­flik agraria. Nyatanya ancaman dari luar, termasuk negara, juga menjadi aktor yang memperlebar ketimpang­ an. Tanah seperti dija­ barkan oleh Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi dalam bukunya Enam Dekade Ketimpangan, jus­ tru berada di tangan perusahaan besar untuk kehutanan skala be­ sar, proyek pertambangan berskala besar, pembangunan perkebunan berskala besar, pembangunan kota baru dan pariwisata, dan industri berskala besar. “Lahan yang terse­ dia untuk kegiatan pertanian rakyat adalah perasan dari sisa-sisa lahan yang telah dialokasikan untuk ke­ giatan-kegiatan industri di atas,” sebut Bachriadi dan Wiradi dalam bukunya. Posisi tanah semakin rawan, pa­ dahal petani membutuhkan tanah, bahkan bergantung padanya baik dari segi kualitas maupun kuan­ titas. Seperti sebuah kalimat yang ditandaskan oleh Achmad Sodi­ ki, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang ahli di bidang Hukum Agraria, “Yang jelas petani butuh tanah,” katanya.“Ta­ pi apakah petani sudah merasakan pemihakan yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat? Belum, kalau menurut saya,” ujar profe­ sor yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2010 sampai 2013 itu. Akses Tanah oleh Rakyat Semakin Sulit Sulitnya akses tanah semakin dirasakan oleh petani, juga rakyat yang mengadu nasib di perkota­ an. Sodiki menjelaskan seluk-be­ luk akses tanah yang semakin sulit ini. Perkotaan bukan lagi tempat untuk mencari lahan, karena ak­

Perkebunan PT. Sari Bumi Kawi

Muhammad

ses tanah di kota terbukti semakin sulit. Penduduk dari pedesaan ber­ bondong-bondong ke kota dengan harapan mendapatkan pekerjaan. Namun mereka tidak memiliki tem­ pat untuk ditinggali, akhirnya ter­ paksa untuk tidur di kolong-kolong jembatan. “Ini membuktikan bahwa akses untuk permu­kiman di perko­ taan merupakan hal yang sangat serius,” ujarnya saat ditemui awak DIANNS di kediamannya pada Senin 25, September 2017. “Tapi di sisi lain,” sambungnya, “Kok ada pengusaha-pengusaha besar yang mengu­asai tanah ribuan hektare un­ tuk properti. Bagaimana bisa mere­ ka menguasai tanah tiga puluh ribu hektare itu di kota? Padahal UUPA sendiri menyatakan bahwa kepemi­ likan dan penguasaan tanah dibata­ si,” tegasnya. Undang-undang Dasar 1945 pa­ sal 33 ayat (3) telah mengamanat­ kan dengan jelas bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam di dalamnya­ dikuasai oleh negara dan diper­ gunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Nyatanya, sampai hari ini kemakmuran yang dicita-citakan tersebut, belum­ lah terwujud. Kemudahan akses kekayaan alam termasuk tanah itu, justru diperuntukkan bagi mereka yang memiliki modal. Perluasan in­ dustrialisasi juga menjadi salah satu penyebab sulitnya rak­yat mengak­ ses tanah. Sodiki mempertanyakan, betapa mudahnya pemerintah dae­ rah mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU) bagi per­usahaan-perusahaan besar. “Ketika masih menjabat di

DIANNS 55 - 8


LAPORAN UTAMA MK dan menguji UU Perkebunan, saya katakan, ‘Dengan perkebunan kok gampang ribuan hektare, tapi de­ngan rakyatnya sendiri kok pelit­ nya setengah mati, kenapa?’” ujar pria yang juga pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Malang periode 1998-2006 itu. Petani Merebut Kembali Hak atas Tanahnya Masalah-masalah pertanian yang terjadi berlarut-larut ini lantas ti­ dak dibiarkan begitu saja. Hak-hak petani yang tak kunjung dipenuhi, tanah yang semakin banyak diram­ pasi, memicu petani untuk berge­ rak menentang penindasan yang selama ini mencengkeram mereka. Inilah yang terjadi di Dusun Ku­ lon Bambang, Desa Sumberurip, Kecamatan Doko, Kabupaten Bli­ tar. Karena perju­angan para petani Kulon Bambang, kini lahan perke­ bunan teh, kopi, dan cengkeh yang HGU-nya dikeluarkan untuk PT. Sari Bumi Kawi sejak tahun 1972, berhasil diredistribusi. Perjuangan hingga sampai redistribusi tanah ini memakan waktu yang tidak seben­ tar, dua belas tahun lamanya petani mengorganisasi gerakan menentang perkebunan. Tukinan, atau yang bi­ asa dipanggil Pak Kinan oleh war­ ga sekitar adalah narasumber yang kami temui untuk berbagi ce­ rita terkait perjalanan petani di Kulon Bambang. Tukinan atau Kinan, se­ dang berada di atas bangunan yang masih berwujud cor-coran bersama puluhan lelaki lainnya ketika kami temui Minggu, 10 September 2017. Ba­ngunan tersebut rupanya hendak dibangun menjadi sebuah masjid. Ia pun mempersilakan kami ke ru­ mahnya yang tak jauh dari situ. Berawal dari percakapan tentang histori Kulon Bambang, Kinan pun mulai bertutur tentang lahan perke­ bunan di sana. Sejak masa pen­ dudukan Jepang, sebenarnya petani di dusun ini sudah memiliki akses untuk mengelola lahan. Asalkan, mereka juga menanam komoditas

Sumber: www.spi.or.id

tertentu seperti jarak untuk bahan bakar kendaraan pe­ rang Jepang. Pasca kemerdekaan, masyarakat memperluas penanaman tanaman pangan yang juga untuk suplai ke­ butuhan tentara. Kemudian pada tahun 1953 masa nasionalisasi, petani telah membentuk kopera­ si sebagai basis sumber ekonomi. Tahun 1960, lahirlah wacana redis­ tribusi lahan. Bahkan Kulon Bam­ bang saat itu masuk dalam wilayah yang telah diinventarisasi. Namun pasca meletusnya peristiwa G30S, momentum redistribusi perlahan lepas karena semua penggarap diPKI-kan. Sejak dikuasai swasta ta­ hun 1968, masyarakat hanya boleh menggarap lahan tanpa memiliki, sedangkan HGU diberikan kepada PT. Sari Bumi Kawi. “Jadi semua penggarap yang mulai tahun ‘42 itu, akhirnya menjadi buruh perke­ bunan,” tutur Kinan. Pria yang kini berusia 45 tahun itu melanjutkan bahwa pada tahun 1999, dimulailah gerakan organi­sasi untuk merebut tanah. Perkebunan akhirnya lumpuh karena hampir delapan puluh persen karyawan yang ada di dalam perkebunan, melakukan penuntutan atas tanah dengan mogok kerja. Kesadaran ini timbul karena munculnya rasa keti­ dakadilan di benak petani. “Bah­ wa kami yang bisa bertani, tidak memiliki tanah. Sedangkan mereka yang memiliki duit padahal tidak memiliki keahlian bertani, justru memiliki sebagian banyak tanah,” jelas Kinan. Lumpuhnya perke­ bunan menyebabkan mandeknya pembayaran utang perusahaan ke­ pada bank, sehingga bunga sema­ kin membengkak dan perkebunan runtuh. Meski sempat terjadi kese­ pakatan antara perkebunan dengan

warga untuk melepas 250 hektare lahan untuk redistribusi, namun kesepakatan tersebut diingkari oleh pihak perkebunan sehingga perla­ wanan warga semakin kuat. Pada mulanya memang tidak semua petani berani melawan, se­ bagian masih takut bersuara. Butuh waktu dua tahun untuk menyatu­ kan tekad para petani perkebunan Kulon Bambang demi memper­ juangkan hak atas tanah mereka. Keberanian itu tumbuh dari per­ lakuan perkebunan yang kian hari kian sewenang-wenang. Menurut cerita Kinan, petani perkebunan dulu tidak diperbolehkan meme­ gang KTP. Seluruh KTP dijadikan satu dan dipegang oleh kepala afdeling atau admi­ nistrasi perkebu­ nan. Apabila ada petani yang sakit, selama dia masih bisa berjalan, maka dia tetap wajib bekerja. Ter­ masuk pekerja wanita pun demiki­ an, satu bulan usai melahirkan, dia harus kembali bekerja. Maka sudah menjadi hal yang biasa apabila bayi berumur 30 hari dibawa ke kebun, sementara ibunya bekerja. Memi­ liki hewan ternak lebih dari dua ekor pun dilarang, karena dianggap akan menambah kekayaan petani dan tenaga mereka akan lebih ba­ nyak terkuras untuk ternak dari­ pada perkebunan. “Dari perlakuan inilah, rasa ketidakadilan dan den­ dam itu tertanam. Meski ketakut­ an, tapi kesadaran kecil mereka mulai muncul. Itu sebagai modal dasar yang terus dipupuk menjadi kebera­nian untuk membebaskan la­ han,” ujar pria yang sejak awal juga ikut berjuang itu. Warga terus memperbesar gerak­ an hingga terwadahi dalam satu organi­ sasi yakni Persatuan Warga Tani Kulon Bambang atau PAWARTAKU. Akhirnya me­re­­ ka memperlu­as jaringan ke da­ lam Paguyub­an Tukinan

DIANNS 55 - 9

Muhammad


LAPORAN UTAMA Petani Aryo Blitar (PPAB) sam­ pai sekarang. Pa­da tahun 2001, warga melakukan reclaiming atau pendudukan atas tanah. Baru pada Januari 2011, me­ reka mendapatkan kejelasan sertifikasi yang lalu diberikan pada bulan April 2012. Seluas 280 hektare lahan pun diberi­ kan kepada warga dengan to­ tal 335 Kepala Keluarga (KK). Dari total 280 hektare tersebut, 35 hektare dijadikan sebagai la­ han kolek­tif yang digarap ber­ sama, Balai Pusat Pendidikan dan Pelatih­an (Pusdiklat) Tani, fasilitas umum lainnya. Semen­ tara 25 hektare untuk jalan, pe­ rumahan, sungai, dan lain-lain. Kondisi Pasca Redistribusi Muhammad “Kita itu merdeka setelah re­ Potret lahan redistribusi Kulon Bambang yang dibangun jalan oleh warga dis,” ungkap Kinan yang me­ rupakan Ketua PAWARTAKU. “Se­ form atau asset reform dan access reform. Asset reform adalah penataan ulang belumnya, kita tidak menga­ takan kepenguasaan sumber-sumber agraria. Reforma agraria bukan hanya bahwa kita merdeka karena buruk­ berhenti pada program bagi-bagi tanah atau sertifikasi lahan, melainkan nya perlakuan perkebunan kepada dilanjutkan dengan access reform yakni kegiatan pasca asset reform. Kegia­ kita,” sambungnya. Kulon Bam­ tan ini meliputi cara-cara yang harus dipertimbangkan dengan matang un­ bang yang telah mendapatkan hak tuk mengelola lahan yang sudah dimiliki petani, baik melalui pendidikan, redistribusinya, kini men­ dapatkan pelatihan, maupun permodalan. Program pendidikan ini pun diterapkan kesejahteraan baik bagi warga mau­ di Kulon Bambang melalui Balai Pusdiklat Tani yang mereka bangun. Da­ pun desanya. Jaka Wan­dira selaku lam perjalanannya menjadi buruh perkebunan, warga Kulon Bambang Sekretaris Yaya­san Solidaritas Ma­ sempat dijuluki sebagai orang persil karena kemiskinan yang akut dan ti­ syarakat (Sitas) Desa Blitar seka­ dak berpendidikan. Persil adalah julukan bagi kelas rendah di kalangan ligus Sekjen PPAB mengatakan masyarakat Jawa. bahwa saat ini infrastruktur dapat Kulon Bambang adalah bukti bagi reforma agraria yang selama ini dici­ dibangun, warga mulai bisa mem­ ta-citakan. Demi mencapainya, reforma agraria harus dilaksanakan melalui bangun rumah dengan penghasilan kebijakan-kebijakan yang memihak rakyat. Kinan mengutarakan bahwa tani mereka, menyekolahkan anak- pemerintah harus konsisten menjalankan UUPA. Hari ini, 74 persen dari anak mere­ka hingga ke jenjang le­bih tanah Indonesia dikuasai oleh hanya 5 persen orang Indonesia. Itu berarti, tinggi, dan permodalan pertanian 26 persen tanah sisanya, dibagi-bagi kepada 95 persen orang Indonesia. sema­kin mapan dengan dibangun­ “Fungsi UUPA adalah untuk menata kembali ketimpangan itu,” tandas­ nya Credit Union Gerakan (CUG) nya. Sejalan dengan Kinan, Sodiki pun mengungkapkan bahwa semestinya PAWARTAKU. Pusdiklat Tani ju­ga kebijakan negara harus menguntungkan sebagian terbesar dari rakyat. Di dilaksanakan untuk mengembang­ Indonesia, karena sebagian besar rakyatnya adalah petani, maka petanilah kan potensi petani Kulon Bambang. yang harusnya diuntungkan dan diberdayakan. “Padahal masalah petani Sebagaimana dipaparkan oleh bukan hanya soal redistribusi tanah, melainkan dari segala segi,” lontar­ Jaka saat diwawancarai oleh awak nya. “Kebijakan tanah sekarang tinggal tunggu janji-janji itu,” jawabnya DIANNS di Kantor Sitas pada lantas tertawa, ketika ditanya awak DIANNS terkait kebijakan agraria pe­ Minggu, 11 Juni 2017, bahwasanya merintah hari ini.Ia melanjutkan, “Janji-janji meredis tanah-tanah terlantar, reforma agraria sejatinya memiliki sebagian dari perkebunan, sebagian dari perhutanan, sebagian dari yang dua kegiatan utama, yakni landre- dikuasai instansi lain.”

Reporter: Zendy Titis dan Hayu Primajaya

DIANNS 55 - 10


Liputan Khusus

Fotografer: Jo Johanis

DIANNS 55 - 11


Liputan Khusus

Jalan Tak Berujung atas Konflik Tanah di Junggo Bumiaji berasal dari kata “Bhumi Haji” yang memiliki arti tanah raja. Sebuah kecamatan yang terletak di barat Kota Batu itu, berada di lereng Pegunungan Arjuna sampai ­dengan Pegu­ nungan Welirang. Maka tak heran dae­rah tersebut ­dijadikan tanah perdikan1, sebab potensi alamnya yang menjanjikan. Tak terkecuali untuk sektor pertanian dan pariwisata. Akan teta­ pi kini kedua potensi tersebut harus tumpang tindih saling menggerus. Salah satunya tercermin pada perjuangan dua pu­ luh dua ­keluarga dalam mengajukan redistribusi atas tanah tak terurus yang m ­ asuk dalam Hak Guna Bangunan (HGB) PT Bukit Selecta Mas. Sedianya tanah tersebut mereka man­ faatkan untuk bercocok tanam. Tapi sampai dengan tulisan ini diturun­kan, proses tersebut masih terkendala oleh medi­ asi antara ­pihak warga dan perusahaan. Hal tersebut menja­ di jalan tak berujung yang harus diperjuangkan oleh warga tersebut, termasuk Sumaji yang bekerja sebagai buruh tani.

K

ala itu matahari masih ­enggan menunjukkan sinarnya saat dua orang paruh baya sedang sibuk me­ manen sayur mayur, Sumaji dan Hari sapaan akrab kedua­ nya. Di sela-sela mengang­ kat keranjang berisikan sawi, Hari yang merupakan pemilik lahan berbagi keluh kesah­ ­ nya ketika pendapatan yang ia ­terima tidak sebanding dengan pengeluarannya. Lahan milik­ nya merupakan lahan yang disewa dari Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani) sebesar enam ratus ribu per tahun. Selain sawi, ia mena­

nam sayur brengkuli atau yang biasa kita kenal dengan broko­ li. Terdapat pula cabai namun belum siap untuk dipanen. Hari pun menceritakan tentang sebuah pabrik penga­ lengan asparagus yang terli­ hat megah, kokoh, namun tak terawat di sekitar rumahnya dan Sumaji. Pabrik itu dapat menampung lebih dari sepu­ luh ribu karyawan. ­ Sehin­ gga, banyak orang berdatangan dari luar Kota Batu untuk bekerja di pabrik itu. Pabrik yang berdiri sejak rezim Orde Baru itu kemudian menga­ lami kebangkrutan. Hal itu

berdampak pada terhentinya seluruh kegiatan pabrik. Ter­ masuk ia dan kawan-kawannya yang harus mengalami Pemu­ tusan Hubungan Kerja (PHK). Sembari berbincang, ia pun meletakkan sawi terakhir dan kembali menyusuri jalan se­ tapak ke ladangnya untuk kem­ bali mengangkut sawi lainnya. Sumaji masih meng­ gendong keranjang yang ber­ isikan sawi putih di punggung­ nya. Mengangkat keranjang sawi itu bukan perkara mu­ dah. Curam­nya jalan dan cua­ ca dingin menjadikan ia harus berjalan perlahan agar dapat menuntaskan pekerjaan terse­ but. Di usia senjanya, ia masih harus bekerja sebagai buruh tani di lahan milik Hari. Tak hanya bertugas memanen dan mengangkut sayur dari lereng bukit ke pinggir jalan setapak. Tetapi ia juga harus memu­ puk, menyiram, membersihkan rumput di ladang sayur itu. Dari kebun seluas satu hektare ini, Sumaji dapat menghidupi keluarganya dengan upah lima puluh ribu rupiah per harinya. Sudah tak terhitung be­ rapa kali Sumaji mengangkat keranjang yang penuh dengan sawi. Setiap tetes keringat yang tercucur dari raut wajahnya merupakan sumber pengha­ silan untuk keluarganya. Ter­ masuk untuk membiayai ru­

DIANNS 55 - 12


Liputan Khusus mah kontrakan yang ia sewa seharga satu juta rupiah per tahunnya. Di rumah tersebut, ia tinggal bersama istri dan se­ orang mertua. “Lima puluh ribu buat makan aja gak cu­ kup,” ucapnya sembari me­ manggul keranjang sawi. Keadaan terse­ but membuat Sumaji masuk ke dalam daftar calon peneri­ ma redistribusi lahan di Kam­ pung Sumber Sari. Akan teta­ pi redistribusi lahan masih terkendala dengan proses ad­ ministrasi yang berjalan alot antara warga dan pihak swasta Bibit Konflik yang ­Mulai ­Bertumbuh Sebagian Kampung Sumber Sari masuk dalam Dusun Junggo, Desa Tulung­ rejo, Kecamatan Bumiaji. Kam­ pung yang berhawa sejuk ini menyimpan potensi yang cu­ kup baik untuk ditanami sayur mayur. Tak hanya sayur, ke­ bun apel pun tak tertinggal menghampar luas. Di antara rumah penduduk dan lahan perkebunan, terdapat sebuah lahan perumahan yang dike­ lola oleh PT Bukit Selecta Mas. Menurut data yang dihim­ pun dari laman Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), dahulunya la­han tersebut ma­ suk dalam HGB Nomor 1, 2, 3, dan 4 verponding Nomor 3597, 4078, 5356, dan 5332 milik PT Hartin. Akan tetapi, HGB atas lahan tersebut berakhir pada tanggal 24 September 1980. Sehingga menyebabkan lahan itu menjadi tak bertuan dan dikategorikan sebagai tanah terlantar. Oleh karena itu tanah menjadi milik negara kembali, yang kemudian diperuntukkan ­sebagai objek landreform.­­­

DIANNS 55 - 13

Keadaan di atas, di­ tambah dengan kondisi tanah yang tak terurus mendorong warga setempat untuk menga­ jukan permohonan hak ke Kan­ tor Agraria Kabupaten Malang pada tanggal 16 ­Oktober 1984. Tiga tahun lamanya masya­ rakat tak mendapat respon dari Kantor Agraria. Hingga pada pada 8 Agustus 1987, digelar­ lah mediasi antara masyarakat setempat dan Pemerintah Ka­ bupaten Malang di Kantor Ka­ bupaten Malang. Akan tetapi tanah tersebut justru berpindah tangan kepada PT Bukit Selec­ ta Mas. Pengambilan keputu­ san tersebut tidak melibatkan masya­ rakat setempat, perang­ kat desa, maupun pihak peru­ sahaan. Masyarakat yang geram dengan keputusan sepihak tersebut pun memasang tan­ da tulisan “Dilarang Masuk Tanpa Seizin Kepala Desa”. Pada akhirnya tulisan tersebut dicabut oleh PT Bukit Selecta Mas. Kedudukan perusahaan semakin diperkuat dengan mendapatkan izin pembangu­ nan perumahan dari Gubernur Jawa Timur. Berbagai lang­ kah hukum pun ditempuh oleh masyarakat untuk mem­ perjuangkan objek landreform tersebut. Berbagai cara ditem­ puh namun selalu berbuah pa­ hit. Termasuk pada tahun 1989 masyarakat mengadukan per­ masalahan ini ke pemerintah pusat dan menggugat melalui peradilan negeri Malang yang berakhir tak sesuai harapan. Akar yang Kian Menjalar Kini dua puluh dela­ pan tahun berselang. Kota Batu kian membenahi tata ruang­nya.

Tempat wisata berbasis alam yang makin marak, menjadi magnet tersendiri untuk mena­ rik wisatawan datang ke Kota Batu. Hal tersebut berbanding lurus dengan pembangu­ nan hotel dan vila yang kian ramai. Begitu pula di kanan dan kiri jalan menuju Kampung Sum­ ber Sari. Terkecuali pada la­han yang dikelola oleh PT Bukit Selecta Mas. Lahan yang telah dibagi menjadi sekitar 108 ka­ veling tersebut, hanya difung­ sikan sebagai vila ataupun ru­ mah sekitar 48 kaveling saja. Bangunan-bangunan megah tersebut juga nampak kosong. Hanya sekali dua kali terlihat seorang tukang kebun yang membersihkan halaman di be­ berapa bangunan tersebut. Se­ dangkan sekitar 60 lahan lain­ nya menjadi lahan kosong dan dibiarkan begitu saja. Kondisi lahan kosong yang tidak terurus dan ditum­ buhi ilalang, membuat warga sekitar perumahan yang pada dasarnya tidak memiliki lahan garapan, memanfaatkan lahan tersebut untuk bercocok tanam. Pada lahan kosong yang ada di perumahan tersebutlah, war­ ga sekitar menggantungkan hidupnya. Di antara rumah dan vila yang sunyi, mereka mena­ nam brokoli, cabai, dan wortel tanpa mengetahui siapa pemi­ lik lahan tersebut. Hingga pada tahun 2012, seorang pegawai dari Badan Pertanahan Negara (BPN) Kantor Wilayah Jawa Timur (Kanwil Jatim) melaku­ kan kerja lapangan di sekitar daerah tersebut. Karena keti­ daktahuan tersebut, Supan­ ji, salah seorang warga yang mendirikan rumah di sebelah


Liputan Khusus timur Perumahan Bukit Selec­ ta Mas, bersama kawan-kawan dari Kelompok Kajian Pember­ dayaan Masyarakat Universitas Islam Malang (KKPM Unis­ ma), memberanikan diri untuk menanyakan keadaan lahan ke­ pada petugas pertanahan terse­ but. Supanji pun mendapat informasi bahwa tanah terse­ but merupakan kepemilikan PT Bukit Selecta Mas yang ter­ tuang pada HGB Nomor 17/ Tulungrejo. Akan tetapi HGB tersebut telah berakhir sejak ta­ hun 2010. Keadaan jalan terjal berbatu-batu di area peruma­ han tersebut, serta ditambah deng­ ­ an kondisi di atas, men­ dorong pihak warga yang ter­ diri dari dua puluh dua kelu­ arga, termasuk Sumaji, untuk bertekad menga­ jukan redis­ tribusi atas lahan tersebut. Supanji yang merasa senasib sepenanggungan pun turut membantu. Sesungguh­nya ke­ diaman Supanji sendiri juga masuk dalam HGB tersebut. Ketika ditemui di rumah­ nya, Supanji menuturkan bahwa saat ini hak atas tanah terse­ but telah berpindah tangan ke pihak lain. Sepengetahuannya saat ini tanah yang ia duduki merupakan kepemilikan dari PT Mutiara. Sedangkan tanah lainnya ia kurang tahu, masih milik PT Bukit Selecta Mas atau tidak. Area tanah yang diminta oleh dua puluh dua keluarga tersebut hanyalah seluas 8,6239 hektare yang berada di timur perumahan PT Bukit Selecta Mas dan dekat pula dengan perkampungan warga. Kemu­ dian pada tanggal 27 Juni 2012 lalu, pihak warga yang diwakili oleh Supanji mengajukan pem­

Pemanfaatan lahan kosong yang dilakukan oleh warga Dusun Junggo untuk bercocok tanam

blokiran terlebih dahulu atas lahan tersebut. Pada akhir tahun 2016, warga mulai menduduki lahan yang dimohon untuk diredis­ tribusi. Sebab hak atas tanah PT Bukit Selecta Mas telah diblokir dan hanya menyisakan hak prioritas semata. Mereka men­ duduki lahan tersebut dengan cara membuat kaveling kecil sesuai peruntukan lahan apa­ bila diredistribusi kelak. Tak hanya untuk rumah warga, ­ tetapi warga juga akan meman­ faatkan lahan tersebut untuk lahan garapan dan satu tempat yang akan digunakan untuk berkegiatan berasama. Salah satu kegiatannya yaitu untuk berlatih kesenian reog warga setempat. Mereka pun mulai membangun rumah di kave­ ling tersebut dengan material sekadarnya, seperti bambu, as­ bes, ataupun triplek. Meskipun sampai dengan saat ini legali­ tas kepemilikan lahan tersebut belum ada di tangan mereka. Akan tetapi hal senada belum

Muhammad

dilakukan oleh Sumaji, ia pun bercerita bahwa kaveling yang diperuntukkan untuknya saat ini baru diberi batu saja. Hal itu ia lakukan karena keterbatasan biaya yang dimilikinya. “Iya ndak punya, sembarang-mbarang seadane,” ujarnya sambil tersenyum. Pengavelingan yang dilakukan oleh warga pemo­ hon reditribusi hingga saat ini telah dapat didirikan beberapa bangunan semi permanen. Bu­ kanlah perkara yang mudah. Sempat terjadi ketegangan atas pengavelingan tersebut. Slamet Djuari, salah seorang pemohon redistribusi, menyatakan diri­ nya pernah diminta oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Batu untuk membongkar kavelingan dan rumah semi permanen yang telah ia diri­ kan. Peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan Maret 2017. Ia menceritakan hal tersebut ketika ditemui awak DIANNS pada bulan Mei 2017 lalu. Dengan adanya gejolak tersebut, Supanji yang juga

DIANNS 55 - 14


Liputan Khusus mengurus administrasi menge­ nai pengajuan redistribusi la­ han kemudian pergi ke BPN Kota Batu untuk menga­ jukan redistribusi. Ketika ditemui di rumahnya, ia menutur­ kan bahwa pada bulan Apil 2017 dirinya bertemu dengan ­Sulam Samsul. Kepala Kantor BPN Kota Batu tersebut, kata Supanji, menyarankannya un­ tuk melakukan win win solution dengan pihak perusahaan. Proses itu dilakukan dengan jalan membeli tanah sesuai har­ ga kesepakatan antara PT Bukit Selecta Mas dan warga yang memohon redistribusi lahan. Hal itu terjadi, lantaran ma­ sih terdapat hak prioritas atas tanah HGB tersebut, meskipun HGB saat ini telah habis masa haknya. Serta pula, karena saat ini terdapat rumah ataupun vila yang berdiri di atas tanah tersebut. Setelah kesepakatan itu terjadi, barulah BPN Kota Batu mau turun tangan atas persoalan ini atau yang mereka sebut dengan “clean and clear”. Akan tetapi pihak BPN Kota Batu tidak menyanggupi untuk membantu dalam hal mediasi antara warga pemohon redis­ tribusi lahan dan PT Bukit Se­ lecta Mas. Atas keadaan terse­ but, Supanji melalui Darno, kawan dari KKPM Malang, me­ngontak pihak tangan kanan PT Bukit Selecta Mas. Dari pertemuan tersebut, belum ditemukan kese­ pakatan harga antara kedua belah pihak, teta­ pi perusahaan telah menyetu­ jui permohonan warga atas HGB tersebut. Keadaan itu ti­ dak lantas dapat menjadi nafas 1

kelegaan bagi mereka. Sebab pesetujuan haruslah tetap dari pemilik PT Bukit Selecta Mas. Sedangkan Supanji masih saja kesulitan untuk bertemu pemi­ lik PT Bukit Selecta Mas, meski­ pun melalui tangan kanan perusahan sendiri. Ditambah keengganan pihak BPN Kota Batu selaku pihak berwenang untuk memediasi persoalan ini. Dalam penyelesaian permasalahan ini, Supanji didampingi oleh Mohammad Izzuddin, selaku perwakilan dari KPA Jawa Timur. Izzudin, panggilan akrab Mahasiswa

Akan tetapi redistribusi lahan masih terkendala dengan proses administrasi yang berjalan alot antara warga dan pihak swasta. Universitas Islam Negeri Mau­ lana Malik Ibrahim Malang angkatan 2013 ini, menyatakan bahwa persoalan redistribusi lahan di Kota Batu telah men­ jadi Lokasi Prioritas Agraria Region Jawa-Bali. Pengajuan sebagai lokasi prioritas tersebut dilakukan oleh KPA kepada Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Untuk saat ini, ia berujar bahwa kedua lembaga tersebut bersedia untuk meng­ kaji permasalahan ini le­bih lan­ jut. Pada tanggal 25 September 2017 bersama 4 lokasi prioritas lainnya, diadakanlah audiensi dengan BPN Kanwil Jatim. Atas audiensi tersebut, pihak BPN Kanwil Jatim meres­ pon posi­ tif dengan bersedia menjadi

tanah yang dibebaskan dari kewajiban pajak kepada pemerintah

DIANNS 55 - 15

fasili­tator untuk mediasi antara pihak perusahaan dan warga. Hingga tulisan ini diturunkan, warga pemohon redistribusi dan KPA masih terus berusa­ ha mengumpulkan data untuk pengajuan mediasi. Asa di Tengah Jalan ­Tak B ­ erujung “Batu daerah pertanian yang subur dengan sebagian besar masyarakatnya adalah petani sejak turun temurun”, tertulis dalam sebuah buku dokumentasi berjudul Akar Sejarah Pertanian Kota Batu. Dari kalimat tersebutlah tersi­ rat bahwa Kota Batu memang terkenal masyhur akan perta­ niannya. Supanji pun juga ber­ ujar bahwa dahulu bapaknya yang pertama masuk hutan untuk bercocok tanam, setelah pabrik pengalengan aspara­ gus mengalami kebangkrut­ an. Setelah itu banyak warga yang mengikuti langkah orang tua Supanji tersebut. Hari pun juga menggarap lahan di hutan tersebut. Sembari menceri­ takan hal tersebut, terpercik pula harapan Supanji untuk menghidupkan kembali Serikat Petani Gunung Biru (SPGB). Dengan pemanfaatan sebagian lahan yang dimohon redistri­ busi untuk bercocok tanam. Sedangkan saat ini petani yang tergabung SPGB, banyak yang harus menyewa lahan di hutan untuk bertani. Tentu pula hal tersebut sejalan dengan perun­ tukan Kecamatan Bumiaji se­ bagai daerah pertanian.

Reporter: Johanis M. Cigo dan Rethiya Astari


LIPUTAN KHUSUS

Junggo: Menanti Titik Terang Hak atas Tanah Batu, sebuah kota yang menamai dirinya Kota Agro Wisata, dengan hawa dinginnya yang sejuk dan alamnya yang mengandung daya tarik, ternyata menyimpan sekelumit kisah mengenai perjuangan rakyat demi hak atas tanah. Sebanyak dua puluh dua warga dari Dusun Junggo, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, tengah berjuang untuk mendapatkan hak pembagian tanah atas tanah bekas Hak Guna Bangunan (HGB) PT Bukit Selecta Mas yang telah habis masanya sejak 2010. Sayangnya, meski telah memiliki alasan yang jelas untuk mengajukan pembagian tanah, permasalahan ini masih menemui kepelikan, di antaranya sulitnya proses mediasi dengan pihak perusahaan dan minimnya peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batu untuk bertindak sebagai mediator. Di luar itu semua, persoalan tanah di Indonesia memang masih menjadi persoalan yang sukar untuk dipecahkan. Kunjungan ke Dusun Junggo pun kami lakukan, demi mengetahui lebih dekat kisah ini.

J

alanan yang berkelok dan naik turun mengiringi kedatangan kami menuju dusun yang masuk wilayah Desa Tulungrejo itu. Hawa dingin, pohon-pohon apel yang berjajar di kanan dan kiri jalanan Kecamatan Bumiaji menjadi kawan perjalanan. Beberapa lahan juga ditanami sayur-sayuran. Namun, pemandangan indah selama perjalanan kami ini, sayangnya akan berkebalikan dengan kisah yang nantinya kami dengar. Rumah-rumah permanen bertingkat berjajar di sepanjang jalan masuk menuju wilayah perkampungan warga yang akan diajukan hak pembagian lahan. Kontras dengan rumah hunian warga di depannya yang keba­ nyakan hanya berdinding bambu ataupun triplek. Rumah permanen tersebut memanglah tampak mewah jika dipandang sekilas, tetapi retakan-retakan justru memenuhi tubuh beberapa bangunan ketika disaksikan dengan lebih seksama. Retakan ini diperparah dengan guratan berwarna cokelat pada tembok, yang merupakan lumut yang tumbuh dari bekas tetesan hujan.

Ilalang bahkan sampai tumbuh me­ menuhi halaman pada bebe­ rapa rumah. Rumah-rumah tersebut adalah perumahan milik PT Bukit Selecta Mas, bangunan yang berdiri di atas tanah HGB yang masa ber­ lakunya telah habis. Melewati jalanan tanah yang tidak rata, kami menuju rumah salah satu warga. Supanji namanya, namun kami lebih akrab menyapa­ nya dengan Mas Panji. Ia bersama beberapa warga Junggo yang lain sedang memperjuangkan hak atas tanah. Sebelumnya melalui pesan singkat kami memang telah mem­ buat janji untuk bertemu dengan­ nya. Kami mengetuk sebuah pintu rumah petak berdinding triplek. Seorang lelaki paruh baya mem­ bukakan pintu untuk kami. “Mari masuk,” ucapnya disertai dengan senyum. Lelaki itulah Mas Panji yang ingin kami temui. Seketika, ruang tamu yang begitu sederha­ na dengan dua buah sofa, sebuah meja dan lantai tanah langsung me­ nyambut kami. Segera setelah kami duduk, istrinya menghidangkan teh hangat untuk kami. Sambil sesekali

menyeruput minuman hangat itu, kami berbasa-basi menanyakan ka­ bar dan kemudian keluarlah kisah ini dari mulut Mas Panji. Hak Guna Bangunan PT Bukit Selecta Mas ternyata telah habis sejak 9 Juni 2010 berdasarkan Sertifikat HGB Nomor 17/Tulungre­ jo. Namun, hal ini baru diketahui­ nya pada 2012, bahwa tanah yang ia tinggali adalah milik Negara. Sebe­ lum tahun 2012 dahulu, ia dan war­ ga-warga yang tinggal di atas tanah HGB tersebut masih belum menge­ tahui siapa pemilik lahan yang se­ benarnya. Beberapa warga bahkan ada yang membayar sewa tanah untuk bertani kepada pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik tanah. Undang-Undang (UU) No­ mor 5 Tahun 1960 Tentang PokokPokok Agraria pada Bab V Pasal 35, ayat (1) menyebutkan bahwa HGB adalah hak untuk mendirikan ba­ ngunan atau memiliki bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu pa­ling lama tiga puluh tahun. Kepemilikan HGB sendiri dapat terjadi karena

DIANNS 55 - 16


LIPUTAN KHUSUS

Kondisi jalanan yang tak terawat di kawasan eks HGB PT Bukit Selecta Mas dua hal, yaitu pertama karena pe­ netapan pemerintah yang artinya bagi tanah-tanah yang dimiliki oleh negara. Kedua, karena perjanjian autentik antara pemilik tanah de­ ngan pihak yang akan memperoleh HGB, pihak yang bermaksud untuk menimbulkan hak tersebut. Alasan Pengajuan Pembagian Tanah Ada beberapa alasan kuat mengapa warga mengajukan pem­ bagian lahan atas tanah bekas HGB PT Bukit Selecta Mas. Pertama, po­ sisi tanah tersebut sebagai tanah negara. Hal ini dikuatkan dengan berbagai aturan, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir pada Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 3. Pada Pasal 1 ayat (2), dijelaskan bahwa tanah ei-

DIANNS 55 - 17

gendom yang luasnya lebih dari 10 bau, yang menjadi milik seseorang atau suatu badan hukum atau milik bersama dari beberapa orang atau beberapa badan hukum, diperlaku­ kan sebagai tanah partikelir. Tanah bekas HGB PT Bukit Selecta Mas, se­ belumnya adalah tanah bekas HGB PT Hartin yang habis sejak 1980. Mohammad Izzudin dari Konsor­ sium Pembaharuan Agraria (KPA) yang ikut mendampingi permasala­ han ini menyebutnya sebagai peru­ sahaan Belanda, “Istilah e perusahaan jaman Londo1,” tuturnya. Tanah yang akan diajukan pembagiannya terse­ but juga melebihi ketentuan sepu­ luh bau tersebut. Luas tanah terse­ but sebesar 8,6239 Ha, sementara satu bau setara dengan 0,73 Ha. Di sisi lain, Pasal 3 Un­ dang-Undang tersebut menyebut­

Muhammad

kan bahwa semua tanah partikelir hapus dan tanah-tanah bekas par­ tikelir, seluruhnya menjadi milik negara. Posisi ini semakin dikuat­ kan dengan adanya Surat Kepu­ tusan Penegasan sebagai tanah partikelir dengan Nomor SK 222/ Ka tanggal 13 Januari 1960, sebagai realisasi dari PP Nomor 18 Tahun 1958. Soal ini kami kutip dari Surat Permohonan Pemblokiran yang di­ ajukan warga melalui KPA dengan nomor surat 007/KPA-Blkr/IV/2017. Tanah negara sendiri ditegas­ kan dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pemba­ gian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Pada Bab I Pasal 1 poin d, bahwa tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka landreform salah satunya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, de­


LIPUTAN KHUSUS ngan penetapan oleh Menteri Agra­ ria. Dengan habisnya HGB PT Bukit Selecta Mas tujuh tahun yang lalu, maka secara otomatis tanah terse­ but kepemilikannya kembali lagi kepada negara, artinya memenuhi syarat untuk dibagikan. Meskipun, menurut penuturan Izzudin, sela­ ma kurun waktu antara tahun 2010 dengan 2012, saat baru diketahui HGB mati, terdapat selentingan ka­ bar bahwa pihak PT Bukit Selecta Mas telah memperpanjang HGB. Hal ini membuat warga resah. Na­ mun ia mengklarifikasi bahwa HGB PT Bukit Selecta Mas belum diper­ panjang oleh pihak perusahaan. Kedua, kondisi perumahan yang tidak terurus. Ini dibukti­ kan dengan banyaknya bangunan yang rusak dan kosong sehingga memperkuat alasan warga un­ tuk mengajukan pembagian atas tanah. Hal ini kami lihat langsung saat berkunjung ke sana. Di antara bangunan-bangunan perumahan, terdapat petak-petak tanah kosong yang dimanfaatkan untuk mena­ nam pelbagai tanaman oleh warga. Selain itu dilihat dari peta yang di­ buat oleh warga, juga tampak beta­ pa renggangnya bangunan yang di­ dirikan di atas tanah yang berlaku hak mempunyai dan mendirikan bangunan tersebut. Dalam peta itu tergambar kaveling-kaveling tanah dengan empat warna, yaitu putih, kuning, merah dan hijau. Warna kuning, hijau, dan merah adalah tanah dengan bangunan di atas­ nya, sementara warna putih untuk kaveling tanah yang masih kosong. Denah tersebut menggambarkan

Kantor BPN

warna putih yang lebih dominan. Mas Panji bahkan menceritakan saat kami temui hari Senin, 2 Oktober 2017 lalu, bahwa saat ia pergi ke BPN sekitar bu­ lan Maret atau April tahun ini, pihak BPN justru terkejut karena banyaknya lahan yang kosong. Selain itu, warga Dusun Jung­ go sendiri masih banyak yang tidak mempunyai lahan dan berprofesi sebagai buruh tani. Penghasilan dari menjadi buruh tani sangatlah kecil dan kehidupan warganya jauh

Di seluruh negeri ini masih banyak kasuskasus lain yang terjadi dari kata cukup. Dengan penghasi­ lan kecil itulah banyak warga masih menumpang ataupun mengontrak rumah. Rumah kontrakannya pun sangatlah sederhana. Sebab warga hanya mampu membayar rumah kontrakan yang murah. Peliknya Proses Mediasi Meskipun alasan yang dimi­ liki warga sudah cukup jelas untuk mengajukan pembagian tanah, sa­ yangnya proses ini masihlah mene­ mui kebuntuan. Pihak BPN menga­ takan agar proses ini dilakukan dengan musyawarah. Berdasarkan aturan yaitu Bab V pasal 35 ayat (2) mengenai HGB, PT Bukit Selecta Mas memang masih memiliki hak untuk melakukan perpanjangan

Sumber: Dokumen Pribadi Warga Junggo

HGB. HGB tersebut dapat diper­ panjang paling lama dua puluh ta­ hun. Karena itu pertemuan dengan pihak perusahaan menjadi suatu hal yang wajib. Hingga saat ini warga masih berjuang untuk bertemu dengan pihak perusahaan. Sebab pihak perusahaan masih sulit ditemui. Menurut Mas Panji, mulai dari awal pihak perusahaan yang ditemui hanya­lah tangan kanannya saja, ya­ itu Pak Bina. Alasannya pemilik pe­ rusahaan tengah sakit dan dirawat di rumah sakit luar negeri. Namun sayangnya, peran BPN Kota Batu sebagai perwakilan negara juga minim. BPN enggan memediasi antara warga dengan pihak peru­ sahaan dan meminta warga untuk mengusahakannya sendiri. Warga pernah mendatangi BPN melalui Serikat Petani Gunung Biru (SPGB), namun tidak membuahkan hasil. BPN mengungkapkan akan bertin­ dak ketika lahan tersebut clean and clear, artinya tidak dalam kondisi sengketa lagi. Berkaitan dengan tidak bisa­ nya BPN Kota Batu, pihak SPGB bersama dengan KPA mendatangi BPN Kantor Wilayah (Kanwil) Jawa Timur (Jatim) di Surabaya pada Senin, 25 September 2017. KPA ber­ sama warga mendatangi BPN Kan­ wil Jatim untuk meminta agar men­ jadi pihak penengah antara warga dan perusahaan. KPA memberi tahu terlebih dahulu bahwa kasus yang di Batu tersebut telah diajukan

Muhammad

DIANNS 55 - 18


LIPUTAN KHUSUS ke tingkat nasional. Pihak Kanwil menanggapi positif serta bersedia menjadi penengah atau memediasi pi­ hak warga dan perusahaan. Agus Salim selaku Kasie Konsolidasi Tanah dan Landreform BPN Kanwil Jatim memberikan saran untuk mengirim surat permohon­ an ke Kanwil agar oleh pihak Kanwil ditembuskan ke BPN Batu. Junggo dan Permasalahan Agraria Saat Ini Permasalahan di Junggo me­rupakan salah satu kasus permasalahan pertanahan di Indonesia. Di seluruh negeri ini masih ba­nyak kasus-kasus lain yang terjadi. ­Gunawan Wiradi dalam bukunya yang berju­ dul, Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria, dan Penelitian Agraria menyebutkan bahwa masalah agraria dapat digolongkan menjadi empat, yaitu ketim­ pangan struktur penguasaan, ketimpangan peruntu­ kan dan penggunaan tanah, perbedaan konsepsi antara hukum adat dengan hukum negara, serta tumpang tin­ dih hukum agraria. Berbagai permasalahan ini menun­ tut untuk segera diselesaikan. Usaha-usaha untuk menyelesaikan permasala­ han agraria sendiri, jika dirunut sejarahnya sebenarn­ ya sudah ada sejak tahun 1948 hingga dihasilkannya UUPA pada 1960. Selain itu, berbagai kebijakan lain soal agraria juga muncul se­sudahnya, seperti Program Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) yang di­ susun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Agraria Nomor 189 Tahun 1981 tanggal 15 Agustus 1981, Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Tanah (Larasita) yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bam­ bang ­Yudhoyono pada 16 Desember 2008, dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial yang diluncurkan saat rezim Presiden Jokowi.

Namun nyatanya hingga saat ini, permasalahan agraria justru semakin meningkat. Data dari Catatan Akhir Tahun KPA menyebutkan bahwa selama tahun 2016, terdapat 450 kasus terkait agraria yang terjadi di seluruh Indonesia. Jumlah ini justru meningkat hampir dua kali lipat daripada tahun sebelumnya. Artinya, be­ lum ada titik terang dalam penyelesaian masalah per­ tanahan di Indonesia. Muhammad Nuruddin, Sekjen Aliansi Petani Indonesia yang biasa dipanggil Gus Din bahkan menuturkan bahwa saat ini tengah terjadi daru­ rat agraria. Hal ini terjadi karena dalam redistribusi, lo­ kasi objek dan subjeknya tidak tepat sasaran, misalnya wilayah-wilayah kritis justru dijadikan sebagai objek. Sementara, peninggalan masa lalu seperti masa Orde Lama, misalnya Tanah Obyek Landreform (TOL), wari­ san Orde Baru, konflik-konflik di wilayah Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani) dan perkebunan negara maupun swasta juga belum diselesaikan. Pa­ dahal menurutnya, konflik-konflik yang terbesar ada di wilayah-wilayah itu. Kantong-kantong kemiskinan juga terakumulasi di situ. Dalam buku Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir tulisan Gunawan Wiradi, Konferensi Sedunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan berhasil merumuskan Deklarasi Prinsip-Prin­ sip, yang intinya berisi tentang tujuan reforma agraria dan pembangunan pedesaan, yaitu untuk mentrans­ formasikan kehidupan pada segala aspeknya. Hal ini dapat dicapai salah satunya dengan strategi yang di­ arahkan untuk penghapusan kemiskinan. Dilihat dari berbagai kebijakan pemerintah mengenai reforma agraria dan kondisi masyarakat sekarang, salah satu­ nya di Desa Junggo, tampaknya tujuan tersebut masih jauh dari kata terwujud. Reporter : Dinda Indah Asmara dan Meyulinda Krisnawati Istilahnya, perusahaan Zaman Belanda

1

Sejak akhir tahun 2016, warga menduduki tanah dengan membuat kavelingan kecil yang nantinya diperuntukkan warga yang tidak memiliki tempat tinggal Muhammad

DIANNS 55 - 19


LIPUTAN KHUSUS

Bimo

Tegalan di daerah Ngadas

Desa Ngadas: Mandiri dalam Keterbatasan Ruang

H

awa dingin menjadi penyambut dan gapura Ngadas menjadi penerima tamu pertama pengunjung. Suasana yang disajikan oleh alam ini menampilkan pemandangan khas permukiman desa pegunungan yang berpadu dengan tegalan-tegalan yang terhampar milik masyarakat sekitar. Desa ini memiliki relief perbukitan yang masuk dalam perbatasan Kabupa­ten Malang dengan kawasan Bromo Tengger Semeru. Desa Ngadas secara administrasi masuk ke dalam wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang memaksa Ngadas tidak bisa melebarkan wilayahnya, baik untuk permukiman maupun pertanian. Mayoritas masyarakat Desa Ngadas bermata pencaharian sebagai petani. Keadaan ini membuat masyarakat Ngadas harus menjaga tanah sebagai ladang ekonomi maupun tempat tinggal.

DIANNS 55 - 20


liputan khusus Corak kekeluargaan lewat tegur sapa menjadi ke­ biasaan masyarakat ini. Mereka menyambut tamu seperti sauda­ ra sendiri. Rasa hangat pun ikut menyambut dalam setiap kun­ jungan ke rumah warga. Kondi­ si geografis Ngadas yang bera­ da di wilayah TNBTS, memang menyebabkannya mempunyai ciri khas masyarakat pegunun­ gan. Hal ini dipaparkan oleh Agus Sunyoto, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawi­ jaya (FIB UB). Ia juga menutur­ kan bahwa Suku Tengger karena bermukim pada wilayah Bromo Tengger Semeru, memiliki karak­ teristik masyarakat pegunungan yang bercampur dengan tradisi adat milik Tengger sendiri. Ma­ syarakat pegunungan memiliki sikap guyub rukun, santun dan gotong royong. Hal ini menjadi salah satu modal sosial mereka untuk berkehidupan dan berin­ teraksi dengan masyarakat luar. Posisi Ngadas yang men­ jadi jembatan wilayah antara masyarakat Bromo Tengger Se­ meru de­ngan Malang, membuat Ngadas sering menjadi sing­ gahan mulai dari wisatawan, mahasiswa, akademisi, dan pene­ liti yang ingin mengenal budaya Tengger. Pada ranah suku, Ngadas memiliki struktur ma­syarakat Suku Tengger yang kuat. Hal itu dapat dilihat de­ ngan masih adanya struktur adat yang berlaku, yakni diakuinya kepala desa sebagai kepala adat, dan dukun sebagai pelaksana adat yang dibantu oleh legen sebagai wakil pelaksana adat. Walaupun begitu, me­reka tidak mempermasalahkan latar be­ lakang agama. Instrumen Adat untuk Pengelolaan Tanah Meskipun berasal dari latar belakang agama yang be­ ragam, masyarakat Ngadas sepa­ kat menjaga tanah wilayah Nga­

DIANNS 55 - 21

das untuk keturunan mereka. Kesepakatan ini dijalankan pen­ duduk desa dengan jalinan adat. Ngatono, Ketua Badan Permu­ syawaratan Desa (BPD) Ngadas mengatakan bahwa kepercayaan Adat Tengger lebih diterima oleh masyarakat sebelum agama. Hal ini juga terjadi untuk penjagaan tanah. Wilayah desa yang tetap, kemungkinan besar tidak ber­ tambah, menjadi latar belakang leluhur Desa Ngadas untuk mem­ berikan petunjuk bahwa tanah yang ada di Desa Ngadas tidak boleh dijual kepada orang

“TNBTS mempunyai aturan sendiri, bahkan kayu rencek saja tidak bisa dimiliki, rumput gak boleh diambil, binatang sekecil semut tidak bisa dimiliki, napa malih tanah” luar desa. Petunjuk dari leluhur desa berupa kata-kata kepada generasi penerusnya. Lambat laun melalui rapat desa, petun­ juk leluhur mengenai penjagaan tanah diturunkan melalui atu­ ran desa. Kondisi wilayah Nga­ das yang tidak dapat diperluas, memunculkan kebijakan bah­ wa setiap masyarakat Ngadas harus menjaga tanah miliknya. Penjagaan tanah ini tidak serta merta hanya pada taraf menja­ ga secara perlakuan menjaga yang sebenarnya, melain­ kan dilakukan dengan basis adat. Adat Teng­ ger yang terkandung dalam masyarakat Ngadas, membuat setiap laku men­ dukung upaya penjagaan ter­ hadap tanah. Secara kolek­ tif, masyarakat Ngadas te­rus m e l a k u k a n Ngatono

kebiasaan adat untuk menjaga tanah. Adat istiadat yang ber­ hubungan dengan pengelolaan, penjagaan tanah serta mensyuku­ ri hasil bumi. Beberapa media dalam mendukung penjagaan tanah di Ngadas, yaitu secara ‘halus’ dan teknologi. Lewat me­ dia ‘halus’, masyarakat Ngadas mewujudkannya melalui upaca­ ra-upacara tahunan, baik pada tingkat masyarakat maupun in­ dividu. Pada tingkat masyarakat, upacara-upacara yang diada­ kan seperti Upacara Karo yang berbarengan dengan syukuran satu desa pasca panen. Upacara Karo dilakukan untuk mempe­ ringati bekti kepada leluhur de­ ngan menyelamati wedang banyu1 biasa­nya dilakukan dengan sela­ matan di sumber mata air. Sene­ tram, salah seorang dukun adat Desa Ngadas menuturkan kepa­ da awak LPM DIANNS, bahwa upacara atau Hajat Karo dimu­ lai tanggal 7 Agustus sampai 21 Agustus yang ditandai dengan 3 titik upacara pada tanggal 7, 15, dan 21. Syukuran satu desa itu dilakukan sekali dalam setahun bersamaan dengan hari Raya Karo. Syukuran itu dinamai ngeliweti tegal pesakban atau ngatura­ ken ngeliweti bumi2. “Ngeliweti niku tujuane

Bimo


liputan khusus

Salah satu tegalan di daerah Ngadas

nggih sedekah bumi. Trus mangke didamelaken tamping, tamping niku dadose kue, sego pedih-pedih ngoten, dibuntel ron trus dibeto teng tegal,”3 lanjut Senetram. Nasi yang sudah dibuntel ditaruh di tegalan warga masing-masing secara in­ dividu. Proses menaruh liwet ke tegal merupakan upacara yang dilakukan di tingkat individu. Liwet yang diarak mengelilingi desa dan ditaruh ke tegal sebe­ lumnya sudah diberi doa-doa khusus atau disebut mantra oleh dukun Desa Ngadas. Dalam wawancaranya, Senetram melan­ jutkan bahwa kegiatan tegal pesabane atau ngeliwet dilakukan pada tanggal 16, serangkaian dengan Upacara Karo. “Tegal pesabane niku mbeta tamping sekedik mantun diupacaraaken teng griya akhire pun dipilah-pilah, didumdum dibawa dateng tegal4,” tambah Senetram. Selain media ‘halus’, dilakukan pula penjagaan lewat media teknologi. Proses pertani­ an yang ada di Ngadas menga­ dopsi sistem terasering. Hal ini telah diterapkan sejak lama, untuk memaksimalkan luas dan potensi tanah di sana. “Te­ galan-tegalan dibentuk terase­ ring untuk menjaga tanah secara

Bimo

teknik dalam tani,” ujar Ngato­ no. Media ‘halus’ dan teknologi dijadikan cara untuk menjaga tanah di Desa Ngadas. Menurut Senetram, wilayah penguasaan tanah oleh masyarakat sendiri secara kuantitas tidak bertam­ bah sejak babad alas dilakukan oleh leluhur mereka. Konteks pertana­ han tersebut membuat Desa Ngadas memiliki cara-cara tersendiri guna menjaga wilayah pertanahan mereka. Sampai se­ karang, ketika Desa Ngadas ma­ suk ke dalam wilayah TNBTS, dua cara di atas masih diguna­ kan untuk menjaga tanah. Masuknya Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Luas wilayah Desa Nga­ das adalah 395 hektare yang ter­ diri atas bangunan rumah warga dan lahan pertanian. Dari awal adanya perkampungan hingga saat ini, belum ada pelebaran dan perluasan wilayah Ngadas. Keadaan tersebut menjadi ma­ salah tersendiri bagi masyarakat desa karena jumlah penduduk terus bertambah seiring pertam­ bahan keturunan. Jumlah pen­ duduk yang terus bertambah, secara langsung mengakibatkan berkurangnya lahan pertani­

an. Masalah tersebut diperpa­ rah dengan aturan TNBTS yang tidak memperbolehkan Desa Ngadas memperluas wilayah­ nya. “TNBTS mempunyai aturan sendiri, bahkan kayu rencek saja tidak bisa dimiliki, rumput gak boleh diambil, binatang sekecil semut tidak bisa dimiliki, napa malih5 tanah,” ucap Ngatono. Senada dengan Ngatono, Sene­ tram me­ngungkapkan pelebaran wilayah untuk dijadikan tanah pemajekan6 sudah menjadi hara­ pan melip7 bagi masyarakat Desa Ngadas. Hal ini karena aturan dari TNBTS, katanya apa pun yang termasuk ke dalam TNBTS, tidak boleh dirusak. Sebelum TNBTS, wila­ yah Desa Ngadas termasuk da­ lam kawasan Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani). Saat dikelola Perhutani, peleba­ ran lahan untuk dijadikan tanah pemajekan juga menjadi masalah. Senetram mengatakan, “Waktu dikuasai Perhutani, kalau secara menambah tanah menjadi tanah pemajekan memang tidak bisa, tapi penambahan lahan untuk me­ ngelola hutan masih bisa.” Saat masih dalam wilayah Perhutani, penambahan lahan untuk me­ ngelola hutan dinamai tumpang sari atau komplangan. Penduduk desa memanfaatkan hutan yang belum dikelola Perhutani untuk ditanami sayur sekaligus ditana­ mi pohon. Selama dua tahun, po­ hon-pohon yang dulunya dita­ nam masyarakat menjadi besar. Sejak saat itu pula, masyarakat beralih memanfaatkan lahan Perhutani lainnya untuk kembali ditanami pohon dan sayur. “Ben­ tuk komplangan yaitu sayur yang ditanam di antara pohon-pohon yang hasilnya dapat dimanfaat­ kan penduduk desa,” ujar Nga­ tono. Tumpang sari atau komplangan sejatinya tidak merusak wilayah hutan, karena bentuk komplangan ini malah memban­ tu merawat hutan dengan cara

DIANNS 55 - 22


liputan khusus menanam pohon-pohon baru. Keterbatasan Lahan dan Upaya Peningkatan Ekonomi Kondisi tanah yang su­ bur di Ngadas, membentuk pola mata pencaharian masyarakat yang mayo­ritas adalah petani. “Teng mriki8, seratus persen adalah petani,” ujar Ngatono saat ditemui awak LPM DIANNS di rumahnya. Na­ mun, keterbatasan wilayah me­ maksa sebagian ma­ syarakat tidak lagi mempunyai tegalan. Sejak awal berdirinya perkampungan, wilayah Ngadas tidak pernah bertambah. Padahal populasi masyarakat terus bertambah banyak. Seiring berjalan­ nya waktu, tanah yang dijadikan sumber utama pendapatan ma­ syarakat semakin berkurang. Tanah yang dimiliki masyarakat secara individu harus dibagi ke anak cucu mereka, untuk dibuat rumah mau­ pun sawah. Medio 1980, muncul sis­tem sewa tanah yang berada di Ngadas. Orang-orang yang tidak punya te­ galan kemudian ikut andil dalam menggarap tegalan tetangga me­ reka dengan sistem sewa. Sistem sewa ini muncul karena kesadaran masyarakat Ngadas untuk tetap memperta­hankan tegalan-tegalan milik mereka. Beberapa kasus sewa tanah digambarkan oleh Dwi Cah­ yono, Dosen Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) bahwa hal ini merupakan upaya peningka­ tan ekonomi lewat ke­ terbatasan. “Masyarakat Ngadas melakukan itu untuk meningkatkan ekonomi. Selain itu, basis yang mereka pakai merupakan kepercayaan satu sama lain antara pihak dalam dengan luar atau penyewa,” imbuhnya saat diwawancara oleh awak LPM DI­ ANNS di rumahnya pada Senin, 5 Juni 2017. Akan tetapi, hal yang men­ jadi pembeda adalah pada kondi­ si ketika masyarakat luar sebagai pihak penyewa dan pe­ ngelola. Di­ buktikan dengan adanya sewa tanah, muncullah sistem bagi hasil

DIANNS 55 - 23

Salah satu tegalan di daerah Ngadas

dengan pemilik tanah. Pada pro­ sesnya tidak selalu berujung ke­ berhasilan. Praktik pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat luar Ngadas mempunyai per­ bedaan pada segi pe­ ngetahuan dan pe­ngalaman. “Namun, beda kondisinya de­ngan warga di luar desa Ngadas, beda pengetahuan lan ilmune9,” imbuh Rudin salah seorang warga yang ditemui oleh awak DIANNS di tegalan miliknya. Hal inilah yang mem­ buat pasca tahun 2000, sistem sewa tanah tidak difokuskan un­ tuk ma­syarakat luar Ngadas. Dalam konteks historis, terdapat perkembangan hasil pertanian yang ada di Ngadas. Menurut Senetram, perkemba­ ngan pertanian di Ngadas ber­ mula dari para petani meng­ garap tegalannya untuk tanaman jagung. Namun, masyarakat Ngadas sadar bahwa sebe­ narnya tegalan-tegalan tersebut masih mampu diupayakan pe­ manfaatannya secara maksimal di tengah ke­ terbatasan lahan di sana. “Dibuktikan dengan pembaruan pertanian di mana terjadi pergantian komoditi ke sawi, kentang dan bawang merah,” ujar Senetram ketika ditemui awak DIANNS di ru­ mahnya, Sabtu, 16 September 2017. Ia menambahkan bahwa perkembangan ini merupakan

Bimo

tindakan yang timbul dari ke­ sadaran masyarakat Ngadas akan keterbatasan lahan atau tegalan tersebut. “Kesadaran tersebut mampu meningkatkan ekonomi masyarakat Ngadas,” imbuh Senetram. Di tengah ke­ terbatasan wilayah, masyarakat Ngadas mampu menjaga lahan sekaligus me­ ningkatkan pere­ konomian me­reka. Melihat kondisi pe­ rekonomian masyarakat Ngadas sekarang, Senetram berharap adanya peningkatan ke arah yang lebih baik lagi. “Seperti pelebaran tanah, itu sulit untuk kondisi saat ini karena melihat Tanah pemajekan posisinya sudah tetap. Mungkin untuk ke depan ada jalan lain pada peningkatan lini produksi di masyarakat Nga­ das,” tutur Senetram usai me­ nyeruput kopinya. Reporter: Bimo Adi Kresnomurti dan Helmi Naufal sumber mata air upah-upah bumi, yakni mengembalikan sebagian hasil bumi sebagai bentuk terima kasih kepada alam 3 ngeliweti itu tujuannya sedekah bumi. Kemudian nanti dibuatkan tamping, tamping itu bentuknya kue, nasi sedikit-sedikit begitu, dibungkus ron terus dibawa ke sawah. 4 tegal pesabane itu membawa sedikit tamping yang sudah diupacarakan di rumah akhirnya dipilah-pilah, dibagi-bagi dibawa ke tegal. 5 apalagi 6 tanah yang sudah dipajakkan 7 sangat tinggi 8 di sini 9 dan ilmunya 1 2


Opini

TANAH, PROBLEM SEPANJANG ZAMAN Penulis : Purnawan Basundoro*

S

ejak manusia lahir sampai kelak meninggal dunia pasti membutuhkan tanah. Tanah tidak hanya dibutuhkan untuk ma­ nusia hidup, tetapi juga dibutuhkan oleh mereka yang telah meninggal dunia. Dengan demikian, tanah memiliki posisi yang paling sentral bagi manusia, sehingga ketika ke­ hidupan manusia menjadi semakin kompleks hubungan antara manu­ sia dengan tanah juga mengikuti­ nya. Manusia dan tanah adalah dua sisi mata uang, dengan demikian ketika jumlah manusia semakin bertambah, kebutuhan mereka akan tanah juga bertambah pula. Kondi­ si alamiah seperti itu menjadikan tanah yang semula merupakan ba­ gian dari hak yang bisa dimiliki se­ cara bebas oleh semua orang, beru­ bah menjadi barang ekonomi yang diperjualbelikan. Jika manusia ingin mendapatkan tanah mereka harus mengeluarkan biaya, semakin stra­ tegis posisi tanah yang diinginkan semakin tinggi nilai tanah tersebut. Perubahan posisi tanah menjadikan tanah menjadi barang yang sangat diperebutkan oleh manusia di ber­ bagai belahan dunia. Tanah dan manusia memi­ liki hubungan yang multidimensi,

Ilustrator: Bimo

salah satunya menjadi penopang paling objektif untuk mendefi­ nisikan identitas diri, baik secara kelompok maupun individu (Su­ hardono, 2001). Pada abad ke-16 bangsa-bangsa Eropa rela meng­ arungi lautan sampai ribuan ki­ lometer dalam rangka mencari sumber daya alam yang berbasis tanah. Kisah petualangan mere­ ka berujung pada kolonialisme yang berlangsung ratusan tahun. Ribuan nyawa melayang akibat memperebutkan dan memper­ tahankan tanah dalam konteks kolonialisme. Kolonialisme se­ cara sempit dapat diartikan se­ bagai upaya menduduki tanahtanah kelompok lain yang lebih dulu eksis di tempat tersebut. Kolonialisme menjadi gengsi negara-negara Eropa selama ra­ tusan tahun, salah satunya mela­ hirkan negara dengan kekuasaan atas tanah yang nyaris separuh dunia, yaitu Inggris. Secara personal kekua­ saan atas tanah juga melahirkan identitas baru. Orang-orang yang memiliki tanah amat luas diberi label tersendiri dengan sebutan tuan tanah, yang memiliki status sosial dan gengsi sangat tinggi.

Kisah tuan tanah lahir ketika tanah telah menjadi barang privat, yang bisa dimiliki secara perorangan. Sebaliknya, orang-orang yang ti­ dak memiliki tanah untuk menetap mendapatkan label sebagai gelan­ dangan, wong mbambung, klambrang­ an, serta label lain yang bersifat hina dan memiliki derajat sosial yang amat rendah. Orang tak ber­ tanah mendapat stigma buruk oleh sebagian besar masyarakat, bahkan dalam konteks tertentu dianggap sebagai pemalas dan pemicu pro­ blem sosial. Karena tanah memiliki nilai yang amat tinggi bagi manusia maka tanah menjadi barang yang paling diperebutkan. Mochammad Tauchid, tokoh pertanahan tahun 1960-an, dalam bukunya mengemu­ kakan bahwa masalah tanah ada­ lah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manu­ sia. Pendapat Tauchid menekankan betapa pentingnya tanah bagi ke­ hidupan manusia (Tauchid, 2009). Konflik-konflik Pertanahan Sedemikian pentingnya arti tanah bagi manusia, sehingga

DIANNS 55 - 24


Opini orang berani mati untuk memper­ oleh dan mempertahankan. Hal tersebut sejalan dengan pepatah Jawa, sedumuk bathuk sanyari bumi. Pepatah tersebut memosisikan tanah sebagai barang yang identik dengan harga diri seorang manu­ sia, sehingga walaupun hanya selu­ as jari jika hak atas tanah dilanggar oleh orang lain maka akan dibela sampai mati. Tauchid menegaskan bahwa orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup dengan basis tanah. Dalam sejarah panjang manusia, tanah merupakan sumber kehidupan sekaligus sum­ ber permasalahan. Tanah bisa men­ jadi sumber permasalahan karena posisi tanah yang unik, yaitu semua orang membutuhkan tanah, namun tidak semua orang mampu mengua­ sai tanah secara legal. Penguasaan tanah bertumpu pada modal. Pada zaman kuno, orang-orang kuat men­ jadi penentu atas pemilikan tanah. Ketika masyarakat dilembagakan ke dalam kelompok-kelompok sosial, para pemimpin kelompok memiliki hak untuk mengatur atas penggu­ naan tanah, dan ketika kelompok sosial menjadi lebih kompleks dan dilembagakan dalam bentuk kera­ jaan-kerajaan, raja memiliki otoritas paling tinggi untuk mengatur tanah. Di Indonesia, khususnya Jawa, kekuasaan raja dilanjutkan oleh kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Merekalah yang kemudian memiliki peran sentral melakukan rekonstruksi atas pemilikan tanah. Tanah-tanah yang semula dimili­ ki secara komunal yang bermuara pada kekuasaan raja kemudian di­ ceraikan kepemilikannya menjadi berbasis pada individu. Hal tersebut sejalan dengan kebijakan pemerin­ tah kolonial yang menjadikan rakyat dan tanah sebagai objek untuk di­ hisap sumber dayanya. Periode ko­ lonial menjadi periode yang paling krusial di mana tanah dijadikan hak privat. Dengan kebijakan tersebut maka posisi tanah setara dengan modal, atau modal itu sendiri. Hal tersebut memiliki konsekuensi leb­ ih lanjut terhadap hubungan an­ tara seseorang dengan kepemilikan tanah. Pertama, siapa pun yang ti­ dak memiliki riwayat dan hubungan dengan seseorang yang berkuasa atas tanah maka yang bersangkutan

DIANNS 55 - 25

memiliki kesempatan yang ke­ cil untuk bisa menguasai tanah. Kedua, seseorang yang tidak memiliki modal non-tanah yang cukup maka kesempatan untuk memiliki tanah akan semakin kecil. Ketiga, orang-orang yang memiliki riwayat dan hubungan dengan seseorang yang memiliki pertalian darah memiliki kesem­ patan besar untuk melanjutkan kepemilikan tanah, dan keem­ pat, orang-orang yang memiliki modal besar maka memiliki pula kesempatan besar untuk me­ nguasai tanah. Prinsip tersebut berlaku dalam dunia kontempo­ rer di mana tanah telah berubah menjadi komoditi perdagangan. Namun demikian bukan berarti orang-orang yang tidak memilki modal dalam bentuk materi tidak memiliki kesempa­ tan sama sekali untuk mengua­ sai tanah. Banyak kasus meng­ gambarkan bahwa orang-orang yang tidak memiliki modal pun ternyata mampu menguasai tanah, namun dengan cara-cara yang tidak semestinya alias ile­ gal. Cara-cara kekerasan yang dilakukan seseorang untuk menguasai tanah telah memicu konflik hebat, sehingga tanah menjadi sumber masalah. Kon­ flik-konflik pertanahan menjadi pembenar atas pepatah Jawa sedumuk bathuk senyari bumi. Konflik pertanahan di In­ donesia menyebar dari pedesaan hingga perkotaan, dengan inten­ sitas dan model yang berbeda. Konflik-konflik pertanahan di pedesaan mengalami intensitas yang sangat tinggi pada tahun 1960-an pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Ta­ hun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Undang-undang terse­ but menegaskan bahwa tanah harus berfungsi sosial dan ti­ dak boleh ada pemilikan tanah yang berlebihan (pasal 7). Da­ lam undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa semua masyarakat mempunyai kesem­ patan yang sama untuk mem­ peroleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendi­ ri maupun keluarganya (pasal 9). Ketentuan-ketentuan terse­

but menegaskan bahwa tidak boleh ada pihak-pihak yang diperboleh­ kan memiliki tanah berlebih. Un­ dang-undang tersebut melahirkan kebijakan landreform atau penataan kembali hak-hak kepemilikan tanah pada masa pemerintahan Sukarno. Kebijakan yang didasar­ kan pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tidak bisa di­ jalankan dengan mulus karena pada kenyataannya pelaksanaan landreform justru memicu pertikaian di pedesaan. Pangkal mulanya adalah munculnya kelompok radikal yang menghendaki agar tanah-tanah di pedesaan yang dikuasai oleh para pemilik tanah yang memiliki luas melebihi ketentuan hendak­ nya dibagikan kepada petani peng­ garap (Achdian, 2009). Di ban­ yak tempat gerakan penyerobotan tanah terjadi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal. Gera­ kan-gerakan tersebut baru berhenti pasca meletusnya Gerakan 30 Sep­ tember 1965. Namun demikian bu­ kan berarti perjuangan orang-orang yang tidak memiliki tanah berhenti sama sekali. Pada tahun 1990-an di Jember dan Malang Selatan aksi-ak­ si memperjuangkan kepemilikan tanah tetap marak, yang melibatkan petani dengan perusahaan negara PTPN. Konflik-konflik terjadi antara kedua belah pihak. Konflik pertanahan di pedesaan pada umumnya mem­ perebutkan tanah untuk kepenting­ an lahan pertanian. Konflik pertana­ han di perkotaan memiliki motif dan pola yang agak berbeda. Motif perebutan lahan di perkotaan seba­ gian besar berkisar pada keperluan untuk tempat tinggal dan kepen­ tingan bisnis. Pada tahun 19501960-an konflik tanah di perkotaan masih berkisar untuk kepentingan tempat tinggal. Kasus saling sero­ bot marak di beberapa kota besar, bahkan tanah-tanah makam juga diserobot untuk kepentingan tem­ pat tinggal. Pelakunya sebagian be­ sar adalah korban perang dan para pendatang dari pedesaan. Surabaya adalah salah satu kota yang pada ta­ hun 1950-an sangat marak de­ngan kasus konflik pertanahan untuk kepentingan dimaksud (Basundoro, 2013). Motif yang melatarbelakangi kasus-kasus tersebut adalah mur­ ni kebutuhan akan tempat ting­


Opini gal di perkotaan. Korban dan para pendatang dari pedesaan membu­ tuhkan tempat tinggal, sementa­ ra untuk bisa mengakses tanah di perkotaan mereka tidak memiliki modal yang cukup. Satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan ada­ lah melakukan penyerobotan terha­ dap tanah perorangan, tanah nega­ ra, maupun tanah pemerintah kota. Kasus Pertanahan Kontemporer Beberapa waktu yang lalu masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita keluarnya surat-su­ rat tanah untuk kawasan reklamasi di Jakarta. Hal tersebut bukan saja karena begitu cepatnya surat-surat tanah tersebut keluar namun juga karena kasus reklamasi di teluk Ja­ karta tersebut masih menjadi perha­ tian publik karena dianggap tidak tepat. Hampir bersamaan dengan kejadian tersebut, publik dikejutkan dengan penawaran besar-besar­ an apartemen yang dibangun oleh korporasi pengembang di kawasan Bekasi. Dua kasus tersebut menjadi contoh bahwa saat ini penguasaan tanah bukan lagi semata-mata un­ tuk pemenuhan kebutuhan yang paling primer, yaitu pangan dan papan. Tanah benar-benar telah dijadikan barang dagangan oleh para pemilik modal besar. Peru­ sahaan-perusahaan pengembang bebas menguasai tanah seberapa­ pun luasnya. Praktik yang mereka lakukan juga semata-mata untuk mengeruk keuntungan sebesar-be­ sarnya. Tanah-tanah yang mereka kuasai dibiarkan dulu untuk bebe­ rapa tahun sambil menunggu wak­ tu agar harganya melonjak tinggi. Mereka akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus, dari men­ jual tanah sekaligus menjual ru­ mah. Indonesia menjadi salah satu contoh negara yang paling liberal dalam perdagangan tanah. Keten­ tuan-ketentuan dari pemerintah mengenai harga dan tata cara pen­ jualan tanah nyaris tidak berlaku. Ketentuan perundangan mengenai pembatasan kepemilikan tanah pun mandul. Pasar menjadi penentu uta­ ma pemasaran tanah di Indonesia. Siapa yang menguasai modal akan menguasai tanah. Pemilik modal menjadi pengontrol utama dalam pasar tanah, di mana negara men­

jadi tidak memiliki kuasa apapun atas pasar tanah. Segelintir pemilik modal besar bisa memainkan harga sesuka mereka. Kasus seperti di atas tidak hanya melanda kota-kota besar se­ perti Jakarta atau Surabaya, namun juga melanda di kabupaten dan kota kecil. Menurut Koordinator Pokja Sengketa Tanah Pemerintah Kabupaten Malang, di daerah pada tahun 2016 terdapat 21 sengketa tanah. Dari kasus sebanyak itu 14 kasus berhasil diselesaikan dan sisanya belum bisa diselesaikan. Munculnya kasus tersebut mengin­ dikasikan bahwa kasus pertanahan bersifat laten, sewaktu-waktu bisa muncul kembali. Hal tersebut salah satunya dipicu adanya sertifikat do­ bel serta riwayat kepemilikan tanah yang tidak jelas. Kasus kaburnya riwayat kepemilikan tanah banyak terjadi di Malang, bahkan beberapa menyangkut tanah yang telah didi­ rikan bangunan untuk kepentingan umum, misalnya sekolahan. Pada tahun 2014 paling tidak terdapat kasus tanah sekolahan di Kabupa­ ten Malang yang dipersoalkan oleh orang-orang yang menganggap se­ bagai pewaris sah atas tanah-tanah yang telah didirikan bangunan fasilitas umum tersebut. Sengketa tanah dengan objek fasilitas umum cukup mem­ prihatinkan karena tanah yang su­ dah berfungsi untuk kemaslahatan orang banyak justru dipersoalkan dan diklaim sebagai milik pribadi. Hal tersebut mengindikasikan bah­ wa dalam hal tanah, etika umum dan etika keagamaan nyaris tidak berlaku. Jika orang menginginkan hak atas tanah yang diyakini se­ bagai miliknya ia akan berjuang sekuat tenaga untuk memilikinya tanpa melihat landasan etika atau moral. Pada masa mendatang fung­ si-fungsi sosial tanah akan semakin kabur. Itulah kenyataan liberalisasi pertanahan di Indonesia. Di perko­ taan kasus-kasus semacam itu se­ cara kuantitas jauh lebih besar. Pada tahun 1960-an di kota Surabaya bahkan sempat terjadi kasus guga­ tan atas sebidang tanah yang telah didirikan masjid. Penguasaan tanah yang sangat liberal tentu saja merugikan sebagian besar warga perkotaan.

Untuk bisa menguasai tanah di perkotaan mereka harus menye­ diakan modal sebesar yang diingin­ kan para penguasa pasar tanah (dan rumah). Mereka yang bisa membeli tanah di perkotaan tentu saja yang memiliki modal yang cukup, dan itu hanya bisa dilakukan oleh segelin­ tir orang. Sementara orang-orang yang tak mampu harus rela hi­dup di pinggiran atau di gang-gang sempit yang kumuh. Ketimpangan di perkotaan semakin lebar yang disebabkan penguasaan tanah yang tidak adil dan liberal. Pada akhir­ nya penguasaan tanah di perkotaan akan tetap berada pada segelintir orang yang memiliki modal besar. Jika pemerintah tidak memerankan dirinya sebagai pengendali kebija­ kan sekaligus sebagai wasit yang adil dalam pasar tanah, maka ke­ beradaan orang-orang tak mampu di perkotaan akan sirna. Di negara-negara berkem­ bang persoalan tanah seakan tak­ dapat diselesaikan dengan baik. Peran negara yang kurang maksi­ mal akan menempatkan tanah se­ bagai persoalan abadi sepanjang zaman.

*Penulis adalah Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

DIANNS 55 - 26


opini

INDUSTRIALISASI DIGAUNGKAN, REFORMA AGRARIA DIABAIKAN

T

anah dan manusia memi­ liki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Bah­ kan sejak manusia diciptakan, tanah telah memiliki kerekatan dengan manusia. Di dalam Al Quran surah Al-Mu’minun ayat 12 dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari saripati tanah. Janin yang ada dalam rahim ibu, makan dan tumbuh dari darah ibunya yang berasal dari nutrisi makanan yang ditum­ buhkan oleh tanah. Karena itu, tanah telah menjadi kebutuhan mendasar dan syarat hidup bagi manusia. Bagi masyarakat Tengger di wilayah Pegunu­ ngan Bromo, tanah merupakan aset berharga layaknya emas. Penguasaan dan kepemilikan tanah masih mengikuti keten­ tuan adat dalam upaya untuk tetap mempertahan­ kan tanah demi kemakmuran masyarakat. Seperti aturan adat yang mela­ rang tanah di wilayah Tengger untuk tidak diperjualbelikan kepada ma­syarakat luar Teng­ ger. Hal ini membuat mas­ yarakat Tengger sadar untuk selalu menjaga kearifan lokal di dalam teritorialnya. Ditambah adanya sikap hidup sederha­ na yang dipunyai masyarakat Tengger, yaitu “tata tentrem” dan “aja jawal jawil”. Menurut tafsir pendek penulis, bagi masyarakat Tengger hidup yang penting tenang, nyaman dan mereka tidak suka jika ada yang mengganggu. Bagi mereka, pihak luar me­rupakan ancaman. Mengingat teritori­

Penulis : Muhammad Bahmudah*

al masyarakat Tengger sangat potensial bagi yang i­ngin “ja­ wal jawil” dengan menduduki tanahnya. Manusia diciptakan di dunia, memiliki tugas sebagai khalifah atau penjaga bumi. Namun kerap tugas sebagai khalifah disalahgunakan oleh manusia sendiri. Tanah yang sejatinya merupakan kekayaan alam untuk menyejahterakan manusia, kini telah mengalami degradasi fungsi akibat kese­ rakahan yang dilakukan oleh manusia. Maraknya pemba­ ngunan yang mengarah ke in­ dustrialisasi, menjadikan tanah saat ini sebagai modal ekonomi produksi kapitalis, yang mana penguasaan atas tanah berada di tangan pemodal skala besar, baik domestik maupun asing. Sedangkan pola penguasaan tanah oleh masyarakat selama ini adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang

mayoritas sebagai petani. Wal­ hasil, hak-hak masyarakat ter­ hadap tanah akan terdesak dan sedikit demi sedikit, hilang sama sekali. Kekuasaan dan Struktur Agraria Hubungan tanah dan manusia yang demikian, men­ ciptakan perubahan-peru­ ba­ h­ an dalam tata susunan kepemilikan dan penguasaan tanah. Yang pada gilirannya, juga memberikan pengaruh kepada pola hubungan antar­ manusia sendiri. Kemudian, permasalah­ an yang nyata di sini bukanlah tanah itu sendi­ ri, melainkan terjadinya ketim­ pangan penguasaan tanah. Ketika satu pihak tidak dapat menguasai tanah, tetapi pihak lain dapat menguasai bahkan dalam satuan

Ilustrator: DIPS

DIANNS 55 - 27


opini jumlah yang sa­ngat besar. Di Indonesia, sistem kepemilikan tanah dahulu dilakukan dengan cara-cara tra­ disional, seperti gotong-ro­ yong dalam hak kepemilikan bersama atau tanah komunal. Artinya, tidak ada pembagian tanah secara individual, maka otomatis tanah tidak bisa diba­ gi dalam bentuk warisan ke­ pada individu. Sehingga hasil dari tanah komunal tersebut dapat digunakan untuk ke­ butuhan kolektif masyarakat. Sistem kepemilikan tanah yang bersifat kolektif ini berlaku di Indonesia, sebelum akhirnya tanah dijadikan sumber ke­ hidupan bagi raja-raja dengan menduduki dan mengambil alih kepemilikan tanah. Sistem pajak berupa upeti kepada raja diberlakukan bagi rakyat yang hendak meminjam tanah untuk bertani. Sementara raja berhak mengambil kembali tanahnya sewaktu-waktu. Mutlak, pada zaman feodal tersebut rakyat harus tunduk menghormati raja. Ekspansi tanah tidak ber­ henti di zaman feodal. Masuk­ nya para penjajah justru se­ makin memperkuat ekspansi tersebut. Akibatnya, rakyat se­ makin terpuruk atas hak-hak­ nya untuk memenuhi kebutuh­ an, termasuk kebutuhan akan tanah. Bayang-bayang feodal dan kolonial yang terlalu kuat, menyulitkan rakyat untuk ke­ luar dari jeratannya. Hingga akhirnya me­ nemui titik terang kala Soekar­ no memproklamasikan sebuah tindakan revolusi sebagai upa­ ya pemutus rantai feodal dan kolonial demi mengembalikan keadilan sosial bagi rakyat. Usaha Soekarno terus berjalan hingga terbentuklah peraturan sebagai pengganti Agrarische Wet bentukan zaman kolonial

yang di dalamnya memuat tentang pertanahan, yaitu Un­ dang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA 1960). Di dalamnya terdapat perintah pembaharuan agra­ ria atau biasa dikenal dengan reforma agraria. Soekarno men­ jadikannya dasar pembangun­ an untuk mewujudkan susun­ an masyarakat yang adil, sebagai upaya membangun ba­ sis ekonomi agraris yang kuat di Indonesia. UUPA 1960 menjadi udara segar bagi masyarakat karena dinilai dapat menye­ lesaikan masalah pertanian rakyat melalui program refor­ ma agrarianya. Sebelum akhir­ nya kondisi sosial, ekonomi, dan politik mengalami insta­ bilitas sehubungan dengan terjadinya pembunuhan mas­ sal pada tahun 1965. Kondisi tersebut pun memicu adanya perubahan konstelasi politik secara drastis. Termasuk pem­ berangusan UUPA 1960 yang dilakukan oleh rezim Soehar­ to atau biasa dikenal dengan rezim orde baru. Ernst Utrecht, seorang ahli hukum sosiologi sekaligus penasihat Soekarno, menyebut bahwa kondisi pasca 1965 telah memengaruhi pola kepemilikan tanah dengan ter­ jadinya land reform terbalik. Hal ini terjadi karena upaya refor­ ma agraria untuk mengemba­ likan hak rakyat atas tanah, telah dirampas kembali oleh para pemilik semula. Jika kita bandingkan dengan rezim orde lama, kondisi orde baru sa­ngat kontradiktif dari aspek so­ sial, ekonomi, dan politiknya. Rezim orde baru seakan-akan meng­ hidupkan kembali era feodal dan kolonial yang membeleng­ gu rakyatnya. Setiap rezim kekuasaan nyatanya memiliki tujuan yang berbeda-beda. Ini

pemecahan masalah tanah merupakan suatu syarat bagi perwujudan yang sempurna dari aspirasi-aspirasi kebangsaan. Oleh karena itu, sebagian besar merupakan kunci pembangunan ekonomi dan reorganisasi masyarakat yang berhasil. bisa ditafsirkan bahwa kekua­ saan dan bangunan politik yang ada dapat menentukan struktur agraria suatu negara. Malapetaka Pembangunan Rezim Orde Baru Kondisi yang tampak pada orde baru tersebut me­ nimbulkan malapetaka. Ter­ dengarnya gaung industrial­ isasi telah menjadi acuan dasar dalam pembangunan rezim orde baru yang telah melang­ kahi reforma agraria, yang mana sebelumya menjadi dasar pembangunan pada rezim orde lama. Disahkannya UU Pena­ naman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967 dan UU Penana­ man Modal Dalam Negeri No­ mor 6 Tahun 1968, celakanya telah membuka gerbang indus­ trialisasi bagi pemodal skala besar, baik nasional maupun internasional di Indonesia. Be­ lum lagi kebijakan di setiap sektoralisasi penguasaan, se­ perti UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Pada akhirnya, ke­ bijakan tersebut menjadi sistem sendiri dan mengabaikan prin­ sip-prinsip UUPA 1960. Pa­ dahal seharusnya UUPA 1960 menjadi payung satu kesatu­ an dalam konteks pertanahan. Tumpang tindih lahan dengan peruntukan lain, memicu ter­ jadinya polemik. Penguasaan

DIANNS 55 - 28


opini sektor kehutanan penyumbang hamparan lahan terluas seluas 124 juta hektar, pada praktik­ nya malah diberikan ke swasta yang notabene tidak mengikut­ sertakan masyarakat setempat dalam kebijakan pe­ nguasaan hutan. Manfaat yang minim menjadikan masyarakat setem­ pat hanya sebagai buruh tebang dan muat bongkar hasil hutan. Maka sangat jelas, negara de­ ngan dalih kebijakan tersebut, justru memfasilitasi kaum elite bertanah untuk menumbuhbe­ sarkan industri di Indonesia. “Tiada hari tanpa kata pembangunan” sudah menjadi slogan yang sakral. Ini benar jika kita mengikuti pandangan rezim orde baru. Namun nya­ tanya, model pembangunan rezim tersebut justru meru­ sak pembangunan itu sendiri. Kondisi yang terjadi adalah ketidakadilan yang akhirnya menimbulkan sekat-sekat kelas di masyarakat. Sehingga tim­ bullah kesenjangan antara si kaya yang kian berkuasa dan si miskin yang terus-terusan men­ derita. Tak jarang juga ditemu­ kan konflik pertanahan yang tersebar di luasan wilayah In­ donesia. Jika melihat data kon­ flik pertanahan, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat bahwa pada tahun 2016 terdapat 450 konflik de­ ngan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 Kartu Keluarga (KK) yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Ditambah 342 kor­ ban berjatuhan di pihak war­ ga akibat konflik agraria. Hal ini menunjukkan bahwa nega­ ra hari ini pun tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat. Amanat konstitusi yang tertera pada Pasal 33 ayat 3 yang ber­ tujuan untuk memakmurkan rakyat juga telah diabaikan.

DIANNS 55 - 29

Mengembalikan Cita-cita yang Hilang Dapatlah dikatakan, In­ do­ nesia saat ini memasuki zaman peralihan politik kekua­ saan negara yang ditandai oleh bangkrutnya dominasi kekua­ saan rezim orde baru. Namun timbul pertanyaan, apakah In­ donesia saat ini memiliki rezim yang mendukung penyelesai­ an permasalahan agraria yang mendasar dan menyeluruh? Julukan rezim infrastruktur yang diberikan pada kekua­ saan hari ini dapat ditafsirkan sendiri jawabannya. Banyaknya pembangunan megaproyek in­ frastruktur yang dilaksanakan merupakan sebuah ancaman perampasan tanah secara pak­ sa oleh negara. Ancaman itu sudah terjadi pada warga yang terkena dampak Jalur Lintas Selatan (JLS) yang dirampas tanahnya karena proyek terse­ but. Kehilangan tanah atau sumber hidup, sama halnya negara tengah memberikan masa depan kelam. Berband­ ing terbalik dengan para ak­ tor megaproyek yang terus mendapatkan untung. Bahkan jika kita tinjau, tujuan pem­ bangunan infrastruktur yang katanya demi pertumbuh­ an ekonomi nyatanya malah menim­ bulkan masalah besar. Utang negara hingga bulan Mei 2017, terhitung sebesar 3.672 triliun. Negara seakan ti­ dak mampu membayarnya dan seolah kita harus terus berada dalam jeratan utang tersebut. Kondisi sejak orde baru hing­ ga sekarang terasa tidak ada bedanya, perbaikan selesai hanya sampai wajah. Bahkan belum kita lihat penguasa hari ini melakukan penyelesaian masalah-masalah yang berar­ ti. Orde baru merupakan awal

kehancuran. Imbasnya, kebija­ kan-kebijakan yang sekarang tetap sejalan dengan kebijakan kekuasaan sebelumnya. Kebija­ kan yang justru menjadi penye­ bab mundurnya negara. Jika negara hendak mewujudkan keadilan sosi­ al, sudah seharusnya negara memantapkan dasar pemba­ ngunan. Karena dasar pemban­ gunan saat ini tak lagi bisa di­ harapkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi masya­ rakat. Penataan ulang kemba­ li secara keseluruhan terkait penguasaan dan penggunaan tanah, serta perubahan kebi­ jakan dan perubah­ an hukum sudah sela­yaknya kita kemba­ likan kepada reforma agraria dalam arti yang sebenarnya. Karena sejatinya reforma agrar­ ia dilaksanakan tak hanya ba­ gi-bagi sertifikat tanah seperti yang dila­ksanakan oleh rezim kekuasaan saat ini. Tetapi diper­ lukan ada­ nya asistensi mod­ al dan pendidikan tanpa me­ ngurangi aspek kedaulatan atas tanah. Hal ini dilakukan agar terjaminnya keberlangsung­ an nilai guna tanah yang dire­ distribusikan dan terjaminnya perkemba­ngan la­han pertanian secara terus-menerus. Eric Jaco­ by dalam bukunya Agrarian Unrest in Southeast Asia (1961) me­ ngatakan bahwa pemecah­ an masalah tanah merupakan suatu syarat bagi perwujudan yang sempurna dari aspira­ si-aspirasi kebangsaan. Oleh karena itu, sebagian besar me­ rupakan kunci pembangunan ekonomi dan reorganisasi ma­ syarakat yang berhasil.

*Penulis adalah Pemimpin Umum LPM DIANNS periode 2017


Riset

Bimo

DINAMIKA

PERTANIAN

KOTA BATU K

ota Batu adalah sebuah Kota di Provinsi Jawa Timur yang secara teritorial meru­ pakan bagian dari Malang Raya. Kota ini terletak kurang lebih 15 km dari Kota Malang dan dalam historisnya dulu merupakan sebuah kecamatan yang menjadi bagian dari Kabupate­n Malang. Lalu pada era otonomi daerah tahun 2000, wilayah ini telah berkembang menjadi Kota Administratif dan pada tahun 2001 berdasarkan UU Nomor 11 tahun 2001 resmi menjadi Kota Batu. Batu kemudian menjadi daerah otonom, yang pada akhirnya banyak mengalami perubah­ an drastis terkhusus di masa otonomnya.

Relasi Ruang dan Waktu Semenjak dulu manusia berupaya untuk me­ manfaatkan lingkungan sekitar, baik dengan me­ ngelola, membudidayakan, memelihara, atau bahkan dengan merusaknya guna memenuhi beragam kebu­ tuhan hidup. Dalam hubungan itu, tepat bila dinya­ takan bahwa secara langsung ataupun tidak langsung manusia dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya hi­ dup. Pada masa lalu, basis ekonomi warga Batu adalah agraris. Lingkungan fisis alamiah merupakan faktor signifikan dalam membangun budaya agraris­ nya. Telaah terhadap sejarah dan budaya Batu oleh karenanya membutuhkan analisis ekologis, yakni in­ terelasi antara manusia dengan alamnya. Interelasi itu kemudian membentuk kegiatan sosial budaya masa lampau yang bersifat agraris. Sebagaimana pada abad IV SM Hipocrates telah menyampaikan pernyataan bahwa setiap cuaca dan jenis-jenis fisik lingkungan mempunyai pengaruh yang tak dapat dielakkan oleh manusia, maka masyarakat Batu masa lalu melaku­ kan aktivitas sosial budaya tertentu, yang bisa di­ singkapkan sesuai dengan konteks lingkungan tem­ pat mereka bermukim dari masa ke masa.

DIANNS 55 - 30


Riset Secara geografis, daerah Batu yang meski ber­ada di dataran tinggi, cocok untuk dikembang­ kan sebagai daerah pertanian. Letak geografisnya yang berada pada lingkungan gunung api yang telah mati ataupun istirahat, menjadikan Batu sebagai dae­rah berlahan subur. Keberadaan se­ jumlah su­ngai utamanya, Sungai Brantas di DAS Hulu, dari banyak sumber air, merupakan unsur fisis alamiah yang menopang usaha pertanian warga. Selain karena potensi alamiah, pertanian Batu menjadi pilihan bukan sekadar pencahari­ an, melainkan telah menjadi tradisi, yakni tradisi agraris. Pilihan terhadap sektor pertanian sebagai basis ekonomi daerah di Batu dilandasi oleh per­ timbangan rasional akan potensi alam, potensi sosial maupun potensi budaya daerah ini, yang relevan dengan tradisi agraris. Pertanian daerah Batu dengan demikian tak cukup sekadar dilihat dari sudut pandang geografis (lingkungan fisis alamiah), namun perlu juga ditinjau dari sudut sosial budaya (lingkungan sosiobudaya). Pencaharian hidup adalah satu di antara tujuh unsur universal kebudayaan. Oleh karena itu pertanian sebagai suatu pencaharian, yang un­ tuk daerah Batu memiliki sejarah yang panjang, hendaknya diposisikan sebagai realita budaya, yaitu budaya pertanian. Melalui sudut pandang kultural ditemukan beberapa hal penting seperti ritus upacara tradisional yang berkenaan dengan kesuburan, sumber air, tahap-tahap kegiatan ber­ tani, bersih desa, sedekah bumi dan sebagainya. Ritus demikian adalah tradisi lokal yang memili­ ki akar budaya agraris lintas generasi. Tradisi yang sudah sangat menyejarah ini pun mengalami banyak perubahan di masanya. Khususnya di dekade terakhir ini, pertanian Batu mengalami banyak penurunan terutama di kuantitas lahan pertaniannya. Hal ini membawa dampak kepada hilangnya nilai sejarah, budaya dan jati diri Batu yang memiliki sejarah pertanian yang panjang. Dalam hal ini akan digambarkan bagaimana perubahan itu terjadi dan menimpa pertanian Batu.

di Batu. Dakon salah satunya ditemukan di Desa Sreb­ et di wilayah perladangan, sementara lum­pang batu banyak ditemukan di dekat aliran su­nga­i. Ditemukannya sistem tersebut membantu ma­ nusia purba untuk mulai melakukan cocok tanam ke­ ladi-keladian, ubi, sukun, pisang, dan beberapa jenis buah-buahan. Tanaman ini awalnya tumbuh secara liar namun perkembangannya ditanam sendiri de­ ngan menanam tunas-tunasnya. Para migran datang membawa Padi Gogo dan Jewawut. Tanaman ini lalu mulai ditanam oleh penduduk asli di lahan kering ha­ nya dengan menaburkannya saja.

Peralihan Pertanian Masa Hindu Budha Masa Kerajaan Kanyuruhan hingga Mataram Pada Masa kerajaan Hindu, tanah di wilayah Malang dan sekitarnya adalah desa perdikan. Per­ dikan adalah tanah yang bebas dari pajak. Awalnya Kerajaan Kanyuruhan merupakan wilayah Malang dan sekitarnya, yang mana disebutkan pada prasas­ ti yaitu Kubu Kubu dan Kanyuruhan milik kerajaan Kanyuruhan. Namun hal ini berganti oleh pengua­ saan Kerajaan Balitung. Hal ini berdasar pada Prasasti Kubu Kubu di baris kedua lempeng 1b, saat Mataram diperintah oleh Sri Maharaja Rakyan Watukura, ia menganugerahkan tanah kepada Rakyan Hujung Dya­ng Mangkarak dan Rakyan Matuha Rakai Ma­ jawuntan karena kemenangan atas penyerbuan ke Bantan. Nama Hujung dari Rakyan Hujung Dyang Mangkarak diduga menjadi cikal bakal daerah Ngu­ jung yang ada di Batu. Dugaan bahwa Ngujung adalah sebuah desa kuno diperkuat dengan berbagai penemuan arkeolo­ gis yang terdapat di Punden yaitu dua buah Yoni, satu Lumpang Batu, satu Umpak Batu, dan Batu Sima yang merupakan batas desa perdikan. Selain itu juga ditemukan arung (saluran air bawah tanah) yang digali dengan tangan manusia di Pandanrejo (perlu diketahui bahwa Ngujung saat itu merupakan salah satu dusun di desa Pandanrejo). Dengan adan­ ya pene­muan ini, bisa dikatakan daerah Ngujung saat itu te­lah memiliki lahan persawahan basah dan telah memiliki sistem irigasi. Orang-orang pada masa itu diduga juga telah melakukan penanaman padi-pa­ dian. Selain itu, pada masa itu juga terdapat sebuah Masa Megalitikum sebagai Era Awal Pertanian ritual magis yang disebut ritual “ujung”. Ritual ini Pada masa awal, masyarakat Batu berta­ dimaksudkan untuk memanggil hujan dan dilakukan nam dengan sistem lahan kering dan sawah tadah dengan masing-masing pemain memegang rotan dan hujan, sehingga sangat mengandalkan musim. berusaha untuk memukul lawannya. Karena itu dibutuhkan perhitungan musim yang akurat. Pada masa itu digunakan batu dakon se­ Masa Kerajaan Kediri hingga Singhasari bagai medianya, perhitungan ini kemudian di­ Pada masa ini, tidak ada kejelasan untuk jadikan semacam sistem penanggalan pertanian perkembangan pertanian. Dimulainya dengan kekua­ atau disebut dengan “Pranoto Mongso”. Selain saan Hemabhupati diduga wilayah Ngantang ter­ di Jawa, sistem ini juga digunakan di Bali. Arte­ dapat catatan kemenangan kerajaan Hemabhupati. fak seperti batu dakon dan lumpang batu banyak Dinyatakan dalam sasanti “Panjalu Jayati”, pada saat ditemukan secara bersamaan membuktikan telah itu rajanya adalah Jayabaya. Wilayah Hemabhupati adanya kegiatan pertanian pada masa-masa awal

DIANNS 55 - 31


Riset pun kemudian menjadi wilayah kerajaan Kedi­ ri, dan menjadi Tumapel sejak 1135. Diduga Ken Angrok berasal dari daerah Batu. Hal ini karena di Batu terdapat Rejoso atau Joso yang hampir mirip dengan gelar Ken Angrok setelah menja­ di raja Singhasari, yaitu Sri Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi. Jika hal ini benar, maka desa kelahiran Ken Angrok dapat dilacak dan secara tidak langsung hal ini juga menjelaskan menge­ nai pertanian Batu pada masa itu. Dikarenakan ibu Ken Angrok, yaitu Ken Ndok adalah seorang gadis tani, maka pada masa itu dimungkinkan masih bertani.

“gudang seng”. Ia merupakan penguasa perkebunan di derah Junggo. Bukti lain adalah ditemukan data bertahun 1812 mengenai perkebunan kopi di daerah Dinoyo dan Batu. Perkebunan itu berarti telah ada pada masa Inggris, artinya kemungkinan perkebunan itu dirintis pada masa VOC. Sementara itu, pada masa Tanam Paksa terjadi perluasan tanah yang digunakan untuk area perkebunan. Hal ini karena kebijakan ta­ nam paksa mewajibkan setiap desa untuk memberi­ kan sepertiga tanah dan tenaganya untuk melakukan penanaman wajib. Malang pada saat itu difokuskan untuk penanaman kopi (Sistem Tanam Paksa di Jawa, Robert van Niel). Kemudian pada tahun 1870 dikelu­ arkan Undang-Undang Agraria Belanda yang menye­ Masa Majapahit babkan maraknya tanah partikelir, termasuk di dae­ Pada masa Majapahit, daerah Batu dan Batwan rah Batu. Pada masa ini muncul pertanian-pertanian adalah dua daerah yang berbeda namun kedua­ besar yang diusahakan oleh para pengusaha partike­ nya merupakan desa perdikan. Dalam prasasti lir. Jiu II bertarikh 1408 (1486 M), dinyatakan bahwa Selain kopi dan teh, kina, kakao dan bunga Batu adalah desa perdikan paling selatan juga ditanam di Batu. Batu juga dimanfaatkan se­ di antara sejumlah bangunan suci bagai area peternakan sapi. Tahun 1925, Batu Trailokyapuri yang ada di Pa­ cet juga popu­ ler sebagai penghasil jeruk ke­ sekarang. Pada masa ini, Batu prok yang dikenal de­ ngan jeruk pun­ ten. me­ rupakan lumbung ba­ Pada masa itu jeruk ditanam baik di pe­ han pokok dan penghasil karangan maupun sawah. Namun ke­ hasil pertanian yang populerannya memudar saat Belan­­ da bisa dipasok ke dae­ pergi. Ketika Belanda pergi, mereka rah lainnya. Ditemu­ meminta petani untuk menambahkan kan juga juga sebuah mini­ belerang pada akar tanaman jeruk, se­ atur lumbung padi dari hingga tanaman jeruk rusak. Sementa­ batu di Kelurahan Sisir ra itu pada tahun 1930-an, masyarakat yang menunjukkan ber­ mulai melirik apel selain jeruk. Mereka asal dari masa ini. Miniatur meng­ ambil tanaman ini dari Australia. Sumber: herbandroot.com tersebut memiliki panjang 75 Orang yang memiliki inisiatif untuk ini ada­ cm dan tinggi 60 cm dan bagian atasnya dileng­ lah Tuan Pegtel de­ngan dibantu oleh Pak Kandar. kapi dengan pahatan dua ekor burung (tepat­nya sangka bersayap yang erat kaitannya dengan Surutnya Pertanian pada Masa Jepang Sri dan Wisnu). Dalam peralihan masa Majapa­ Pada masa pendudukan Jepang, Batu memili­ hit muncullah banyak desa perdikan. Terhitung ki posisi yang strategis. Hal ini karena angkatan laut sejak masa kerajaan Mataram hingga Majapahit Jepang untuk wilayah Malang berposisi di Pujon, se­ terdapat Desa Batu, Batwan, dan Sangguran, hingga garis komando militer selalu melewati Batu. serta dapat juga ditambah dengan Ngujung. Namun sayangnya, untuk urusan pertanian, petani Pada masa Hindu Budha terhitung sejak abad X banyak mengalami kesulitan pada masa ini. Ini dise­ hingga XV, Batu adalah daerah yang terdiri dari babkan perampasan hasil pertanian petani oleh mi­ sejumlah desa pertanian dan kerajinan. Peran liter Jepang untuk kepentingan Dai Nippon. Kalau­ pertaniannya bagi dae­rah sekitarnya pun sangat pun dilakukan pembelian, harga yang diberikan akan penting, yaitu sebagai penunjang. sangat tidak masuk akal, namun kemudian akan di­ jual dengan sangat mahal. Petani bahkan bisa menjadi Masa Kolonial Belanda pencuri di lahannya sendiri. Pada masa kolonial mulailah tumbuh perkebunan di Batu. Daerah Junggo dan Jurang­ Tumbuhnya Perkebunan pada Masa Kemerdekaan kuali, yaitu antara Junggo dan Sumber Brantas Batu pada masa kemerdekaan masuk wilayah adalah perkebunan teh dan kopi. Pada masa ini, Kawedanan Pujon. Pada masa ini terjadi kesulitan Sumber Brantas merupakan wilayah hutan yang pangan akibat perang. Petani kembali bertanam padi menjadi penopang kebutuhan air bagi Malang. dan sayur, karena di daerah Junrejo dan Batu tidak Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya makam terjadi perubahan varietas tanaman, sementara je­ Tuan Dinger di belakang daerah yang disebut ruk punten di Batu sudah tidak terlalu bagus. Pada

DIANNS 55 - 32


Riset masa ini pertanian masih menjadi penopang pertanian. Tahun 1970-an, mulailah penanaman apel diperluas. Jika sebelumnya apel hanya dita­ nam oleh orang B­eland­a, kini masyarakat utara Brantas pun melirik apel. Komoditas apel yang ditanam adalah rome beauty, manalagi, dan apel hijau (Australia). Apel yang disebut apel malang adalah rome beauty. Selain apel dan sayur, bunga hias dan bunga potong juga mulai dilirik. Sehing­ ga daerah utara Brantas lebih kepada pertanian sayur, bunga, dan apel. Berbeda dengan wilayah selatan sungai Brantas dan daerah Junrejo yang lebih difokuskan ke perdagangan dan industri. Batu Masa Kini Sejarah panjang kota Batu dalam hal per­ tanian kini mulai usang dengan berubahnya Kota Batu ke dalam bentuk otonom. Dari data yang di­ himpun, lahan pertanian di Kecamatan Bumiaji mengalami penurunan terus-menerus, khusus­ nya pada rentang tahun 2008 sampai 2009. Data pada Kecamatan Junrejo juga menunjukkan hal demikian. Sedangkan Kecamatan Batu menun­ jukkan grafik yang fluktuatif. Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa lahan pertanian Kota Batu mengalami penurunan drastis. Terjadi alih fungsi lahan di beberapa titik untuk lahan bisnis. Tercatat bahwa industri wisata buatan seperti Batu Night Spectacular (BNS) serta Predator Fun Park menggusur lahan pertanian subur untuk dijadikan bangunan dan wahana wisata buatan. Lahan pertanian tersebut dikenal sebagai tanah bengkok, atau tanah kas desa yang dikelola se­ cara bersama. Di sisi lain, pembangunan terhadap in­ dustri besar dan sedang, hotel berbintang serta restoran mengalami hal yang bertolak belakang. Berdasarkan data yang dihimpun, ketiga hal tersebut mengalami kenaikan. Industri meng­ alami kenaikan pada 2008 sampai 2010, dan penurunan pada 2013 sampai 2014. Pembangu­ nan hotel berbintang mengalami kenaikan drastis dan terus-menerus, khususnya pada rentang ta­ hun 2011 sampai 2013. Restoran pun mengalami hal serupa, kenaikan terjadi terus menerus, khu­ susnya rentang tahun 2011 sampai 2013. Fenome­ na ini menjadi bertolak belakang dengan visi Kota Batu dalam satu dekade terakhir sebagai Kota Agropolitan dan Kota Agrowisata. Lahan pertanian yang terus-menerus tergerus menun­ jukkan ketidaksinambungannya. Ditambah lagi fenomena ini tidak mendukung fungsi wilayah yang telah ditetapkan. Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 7 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah menyebut bahwa fungsi wilayah setiap Bagian Wilayah Kota meliputi: a)Kecamatan Batu

DIANNS 55 - 33

sebagai wilayah utama pengembangan pusat peme­ rintahan kota, pengembangan kawasan kegiatan per­ dagangan dan jasa modern, kawasan pengembangan kegiatan pariwisata dan jasa penunjang akomodasi wisata serta kawasan pendidikan menengah; b)Keca­ matan Junrejo sebagai wilayah utama pengembangan permukiman kota dan dilengkapi dengan pusat pe­ layanan kesehatan skala kota dan regional, kawasan pendidikan tinggi dan kawasan pendukung perkan­ toran pemerintahan dan swasta; c)Kecamatan Bumia­ ji sebagai wilayah utama pengembangan kawasan agropolitan, pengembangan kawasan wisata alam dan lingkungan serta kegiatan agrowisata. Namun pada kenyataan­nya fungsi tersebut tidak diindahkan. Kecamata­n­­ ­B­u­mia­­­ji sebagai wilayah pengembangan pertanian justru mengalami penurunan lahan perta­ nian yang drastis. Di samping itu, nilai sejarah, so­ sial dan budaya pertanian Kota Batu terancam hilang karena tradisi bertani masya­rakat Kota Batu juga di­ hilangkan. Yang menjadi akar masalah adalah lahan untuk bertani semakin lama semakin menghilang.

Sumber: Analisis Tim Kajian Litbang DIANNS

Penyusun: Tim Kajian Divisi Litbang DIANNS


Ilustrator: DIPS


Cita Rasa Pegunungan dalam Semangkuk Soto Gunung Mbah Djie “Sueger. Suedep. Suehat.”

S

epaket kata yang mampu menginterpretasikan semangkuk Soto Gunung Mbah Djie. Aroma rempahnya yang kuat nan menyegarkan, mampu mem­ berikan ciri khas tersendiri mengenai rasa. Selain rasa, penyajian soto ini pun juga berbeda dari soto lainnya. Pasalnya, Soto Gunung disajikan dalam sebuah mangkuk kecil, sebesar mangkuk dawet. Soal harga, jangan khawatir. Satu por­ sinya dipatok dengan harga yang sangat terjangkau. Hanya dengan Rp4.000,00, Haloodies sudah bisa mencicipi semangkuk kecil Soto Gunung. Tak hanya sampai di situ, pemilik Soto Gunung Mbah Djie ini juga menawarkan tempat yang sangat nyaman dan cozy untuk menyantap soto hangat di cuaca dingin Kota Malang. Soto ini bukan sembarang soto. Bukan khas Lamongan, Kudus, Banjar, ataupun Malang. Ini khas Soto Gunung. Kom­ binasi gurih, kecut, pedas, dan manis dengan rempah yang pas mampu meng­ goyang lidah. Kuahnya kuning bening kecoklatan dengan racikan rempah di dalamnya. Terlihat jelas irisan daging ayam, taoge, kubis, dengan pemanis topping irisan daun seledri dan brambang goreng, serta nasi putih ‘berenang’ di dalam kuah soto. Jika tidak ingin me­ nyantapnya dengan nasi putih, kedai ini juga menyediakan lontong sebagai penggantinya. Sambalnya terpisah da­ lam sebuah mangkuk batok dan tempe goreng ha­ngat khas Malang. Selain tem­ pe, ada juga sate yang menjadi teman menyantap soto, mulai sate usus, sate telur puyuh, dan sate ati ampela. Ngomong-ngomong soal harga, ini juga yang membuat Soto Gunung ber­ beda dari Soto yang lain. Harganya co­ cok banget buat mahasiswa! Untuk satu porsi hanya Rp4.000, Haloodies!! Murah bukan? Nah, porsi jumbonyo juga mu­ rah, hanya Rp8.000. Untuk pengganti nasi, ada lontong yang cuma Rp2.000. Dan jangan lupa, cici­ pi tempe goreng hangat ha­ nya Rp1.000 sate mulai dari harga

Rp2.000 sampai dengan Rp3.000. Minum­ annya juga sangat sangat terjangkau dan rasanya dijamin nggak bikin nyesel. Semakin kesini, Haloodies tidak hanya mementingkan rasa dan harga. Suasa­ na tempat pun menjadi pertimbangan menarik untuk datang berkunjung. Di kedai Soto Gunung, suasana tempat menjadi perhatian khusus bagi pemilik­ nya. Desain interior yang begitu klasik menambah kenyamanan suasana. Din­ ding sesek dan hiasan dinding seperti ca­ ping, kipas anyaman bambu dan sebuah lemari pajang dengan beberapa barang antik di sudut ruangan menambah ke­ san pedesaan. Beberapa potret alam dan gunung terpajang di dinding kedai ini. Alunan lagu dari berbagai genre pun ter­ dengar syahdu. Ditambah semburat lam­ pu pijar yang mendukung suasana nya­ man dan tenang. Seolah-olah, Haloodies sedang menikmati soto hangat di daerah pegunungan. Apalagi jika menikmatinya pada malam hari dengan suhu Malang yang dingin. Hemmm, maknyuss! Awal Mula Soto Gunung Ide nama kuliner ini dilahirkan oleh pasangan suami istri, Bapak dan Ibu Pur­ wohadi Susilo. Dinamai Soto Gunung karena Ibu Purwohadi sangat menyukai suasana pegunungan dan hobi menda­ ki. Ditambah saat melakukan perjalanan melewati pegunungan, Pak Purwohadi melihat seorang penjual soto dengan mangkuk kecil yang dijual dengan harga sangat murah. Dari situlah tercetus ide untuk membuat kuliner soto. Lalu siapa Mbah Djie? Mbah Djie adalah orang tua Ibu Purwohadi yang memiliki tempat yang dulunya digunakan sebagai dealer

mobil dan sekarang telah disulap menjadi kedai soto yang sangat apik. Berbicara mengenai resep, ternyata perjalanannya cukup panjang untuk me­ nemukan satu resep yang pas seperti se­ karang ini. Pak Purwohadi pun menga­ takan bahwa yang paling penting adalah racikan rempah untuk kuahnya. Karena Soto Gunung tidak hanya sekedar nama, tetapi juga dibuat sebagai konsep cita rasa soto itu sendiri. Semua rempah diramu untuk memberikan sepaket rasa ala pe­ gunungan. Karena daerah gunung identik dengan suhunya yang rendah, maka soto ini diracik dengan bumbu yang mampu menghangatkan dan menyehatkan badan. Bagi Haloodies yang tinggal dan lagi berlibur ke Kota Malang, bisa langsung mengunjungi kedainya dan mencicipi rasa soto yang khas. Kedai ini berada di Jalan Bendungan Sigura-gura Nomor 9 Malang. Posisinya di pinggir jalan, persis di depan Masjid Muhajirin di Jalan Bendungan Si­ gura-gura. Kedai ini buka setiap hari, lho. Mulai pukul 10.00 – 21.00 WIB. Pas banget buat makan siang dan makan malam. Berlama-lama duduk sambil menikma­ ti suguhan ala Soto Gunung tidak akan membuat kita bosan. Lebih enak lagi kalau makannya bareng teman, keluarga, rekan kerja atau pacar. Jadi, kita bisa sama-sama merasakan cita rasa pegununungan da­ lam semangkuk Soto Gunung Mbah Djie. Jangan lupa cobain ya, Haloo­ dies! Mencoba sekali akan mem­ buat kalian mencoba dua kali dan lebih.


W

Foto narasi

GELOMBANG KEHIDUPAN NELAYAN SENDANG BIRU

Pak No, yang kesehariannya sebagai nelayan speed, sedang membuat alat pancing. Nelayan kapal speed hanya menggunakan alat pancing, berbeda halnya dengan nelayan kapal jenis lain yang menggunakan jaring.

“Di sini baru aku mengerti kenapa nelayan membelah perahunya menjadi kayu api dan menghiris pukatnya untuk sarapan pagi.” - Awang Abdullah

P

antai di Malang Selatan ter­ hampar luas, dengan berbagai pemanfaatannya yang berma­ cam pula. Mayo­ ritas masyarakat mungkin hanya mengenal pantai di Malang sebagai tempat pariwisata. Namun terdapat potensi ekonomi kelautan di Malang yang tak banyak orang tahu. Salah satunya Pantai Sen­ dang Biru. Potensi pantai ini mampu memberikan sumber perekonomian masyarakat. Salah satunya dalam bidang perikanan. Perikanan Sen­ dang Biru memiliki potensi pada je­ nis ikan tuna dan tongkol. Potensi ini membentuk demografi pada daerah pesisir pantai, yang membentuk Kampung Nelayan. Dalam Kam­

pung Nelayan tersebut tinggallah ber­bagai masyarakat yang mayori­ tas berprofesi nelayan mandiri dan awak buah kapal. Dalam kehidupan nelayan, salah satu instrumen penting da­ lam melaut adalah perlengakapan dan peralatan. Dari perlengkapan dan peralatan terdapat posisi ter­ penting yaitu kapal itu sendiri. Masyarakat Sendang biru biasa menyebutnya langsung sesuai de­ ngan jenis kapal tersebut . Seperti kapal slerek, sekoci, dan speed. Karena kapal tersebut mempunyai bentuk dan kapasitas yang berbe­ da, hal ini yang membentuk ting­ katan yang berbeda-beda. Dimulai

dengan kepemilikan kapal speed. Mereka merupakan nelayan yang mandiri, karena kapal ini dapat di­ miliki oleh nelayan secara pribadi. Dengan kata lain nelayan speed ti­ dak bergantung kepada orang lain. Jadi hasil dari penjualan ikan tidak perlu dibagi lagi dengan orang lain. Berbeda dengan nelayan yang menggunakan kapal slerek dan sekoci. Kapal slerek dan sko­ ci biasa dimiliki oleh masya­rakat yang tidak bekerja sebagai ne­ layan. Me­reka para pemilik dua je­ nis kapal tersebut mempekerjakan nelayan atau biasa disebut awak buah kapal.

DIANNS 55 - 36



SENDANG BIRU Terlihat banyak kapal speed yang bersandar di pinggiran pantai dikarenakan besarnya ombak, yang mengakibatkan banyak nelayan memutuskan untuk tidak melaut.


Foto narasi

Beberapa nelayan speed sedang bersiap-siap di pinggir pantai meskipun besarnya ombak, para nelayan tetap memutuskan untuk melaut,

Mas Aris salah satu “nelayan speed” yang memutuskan untuk melaut sedang mempersiapkan kapalnya untuk berlayar.

Mas Aris yang telah menunggu beberapa lama setelah melepaskan pancing akhirnya mendapatkan ikan tongkol kecil.

DIANNS 55 - 39

Mayoritas dari mereka adalah nelayan pendatang yang berasal dari Sulawesi, Kaliman­ tan, Madura, dan Bugis. Jadi hasil penjualan tang­ kapan nelayan slerek dan sekoci masih harus diba­ gi dengan sang pemilik kapal. Si pemilik kapal biasanya disebut sebagai “Juragan Darat”. Pada saat itu kondisi ombak di Sendang Biru sedang besar. Ombak yang besar membuat nelayan speed tidak melaut. Pada waktu itu juga, para nelayan mencari kegiatan untuk mengisi waktu luang. Pak No salah satu nelayan speed di Sendang Biru mengisi waktu luangnya dengan membuat alat pancing untuk digunakan dalam mencari ikan. Ada juga beberapa nelayan speed yang memutuskan untuk melaut walaupun kondi­ si ombak sedang besar, tapi biasanya nelayan speed tidak melaut terlalu jauh. Biasanya nelayan speed melaut hingga 20 mil sampai 35 mil. Saat kondisi ombak sedang besar nelayan speed hanya melaut sampai jarak 1 mil dan biasanya hanya me­ mancing ikan kecil sejenis tongkol kecil. Salah satu nelayan speed yang masih me­ laut yaitu Mas Aris. Mas Aris memutuskan untuk melaut karena untuk tetap menjaga agar dapurnya mengepul untuk menjaga kebutuhan sehari-hari dalam hal makan. Walaupun begitu hasil tang­ kapan ikannya tidak sebanyak jika dibandingkan dengan kondisi ombak sedang baik. Selesai me­ laut, Mas Aris kembali ke pesisir untuk menjual hasil tangkapannya.Perekonomian nelayan di Sen­ dang Biru sangat bergantung pada cuaca, terlebih nelayan speed. Karena jika cuaca buruk dan kondi­ si ombak besar terjadi, mereka tidak bisa melaut. Namun ada salah satu akibat lain ketika ombak besar terjadi, yaitu tidak adanya ikan yang akan dijual ke pedagang karena nelayan tidak melaut. Sehingga mengakibatkan perekonomian melam­ bat. Melihat kondisi nelayan di Sendang biru yang sebagian tidak mempunyai pekerjaan selain men­ jadi nelayan, membuat para nelayan tidak mem­ punyai pendapatan selain dari hasil melaut. Untuk memenuhi kebutuhan dapurnya saat kondisi cuaca sedang buruk, para nelayan bi­ asanya berutang ke warung-warung atau ke peda­ gang yang biasanya membeli hasil tangkapan para nelayan tersebut. Bentuk interaksi ini membentuk hubungan sosial yang baik di Sendang Biru mem­ buat masyarakat timbul rasa akan saling mem­ bantu. Modal sosial ini membuat para nelayan tidak kesusahan dalam memenuhi kebutuhan se­ hari-hari mereka.

Fotografer : Iqbal Achmad W dan Dimas Ade Surya



Lingkungan

Carut-Marut Ruang Terbuka Hijau Kota Malang Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah bagian tak terpisahkan dari peradaban sebuah kota. Kota Malang yang pertumbuhan penduduknya terbilang cukup pesat, sebagian besar lahan pada tahap awal perkembangannya merupakan Ruang Terbuka Hijau. Namun seiring dengan perkembangannya, banyak lahan hijau yang dikonversi menjadi kawasan terbangun. Pada kurun waktu 1990-2000, tercatat hutan yang terkonversi di Kota Malang adalah sebesar 33,5%.

M

enurut hasil sensus pen­ duduk tahun 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang, dise­ butkan bahwa sebanyak 820.243 jiwa merupakan jumlah pen­ duduk kota tersebut. Sampai 2016 menurut catatan Dinas Kepen­ dudukan dan Catatan Sipil, pen­ duduk di Kota Malang mencapai 887.443 jiwa. Peningkatan ini akan membawa konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk lingkungan. Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 ten­ tang Penataan Ruang, setiap kota harus menyediakan minimal 30% dari luas wilayahnya untuk Ru­ ang Terbuka Hijau. Lebih rinci lagi, 20% adalah untuk Ruang Ter­ buka Hijau publik dan 10% untuk Ruang Terbuka Hijau privat. Di­ jelaskan pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2010 Para­ graf 4 Pasal 45, rencana penye­ diaan RTH Publik di Kota Malang adalah seluas 23,5 km persegi. Jika dihitung dari luas wilayah Kota Malang yang luasnya 110,06 km persegi, berarti ada sekitar 23,4% luas wilayah yang seharusnya disediakan untuk RTH. Berdasarkan data dari Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim), luasan wilayah RTH Publik Kota Malang dinyatakan berada di kisar­an ang­ ka 15%. Berbeda dengan data Disperkim, Dewan Daerah Waha­ na Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur, Purnawan D. Nega­ ra me­ nyampaikan bahwa luas­

DIANNS 55 - 41

an wilayah RTH Publik di Kota Malang belum menyentuh ang­ ka 20%. Bahkan, ia menekankan bahwa untuk saat ini, hanya seki­ tar 2,5% yang merupakan RTH Publik dari luas wilayah Kota Malang. “Memang WALHI mem­ beri data kontroversi, ini ada­ lah hasil dari investigasi WALHI sendiri,” tuturnya ketika awak DIANNS mempertanyakan angka yang terpaut jauh tersebut. Endah ­S­­etio­­­­­wati, selaku Kepala Sektor Bidang Pengembangan Pertaman­ an mengaku bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) terus ber­upaya da­ lam menambah RTH Publik baru. “Pemkot akan terus berupaya menambah RTH Publik baru meskipun agak terhambat dengan mencari lahan baru di kota,” ce­ tusnya. Upaya Degradasi Ruang Terbuka Hijau Purnawan me­ nuturkan bahwa ba­ nyak ditemukan upaya revitalisasi yang meng­ ancam fungsi RTH Publik itu sendiri. Salah satu kasus yang pernah terjadi yakni adanya upaya alih fungsi le­ wat pengubahan teks Perda lama yaitu Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Pada Pa­ sal 20 ayat (6) tertulis bahwa “Kawasan mi­

liter yang ada di daerah Rampal dan sekitarnya keberadaannya dipertahankan dan tidak dilaku­ kan pengembangan lebih lanjut, sedangkan untuk lapangan Bra­ wijaya keberadaan tetap berfung­ si sebagai tempat olah raga, pere­ sapan air, atau sejenisnya.” Ayat tersebut di Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sempat diubah menjadi “Kawasan militer yang ada di areal Rampal dan seki­ tarnya peruntukannya sebagai tempat olah raga, peresapan air, dan bangunan toko dan atau ruko pada pinggir lapangan Rampal sebelah barat yang menghadap Jl. Panglima Sudirman dan sebelah selatan yang menghadap Jl. Urip Sumoharjo.” Pengubahan ayat ini menurut penjelasan Purnawan, mengalami penolakan dari ma­ syarakat.

Hutan Kota Malabar, salah satu RTH publik yang pada tahun 2015 mendapatkan p


lingkungan Disebutkan dalam Per­ da Nomor 4 Tahun 2011 Pasal 16, “Kebijakan penetapan dan pengembangan kawasan lindung diarahkan pada kelestarian fungsi lingkungan hidup dan pengenda­ lian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup untuk men­ dukung pembangunan kota yang berkelanjutan.” Pasal ini menjadi dasar hukum bahwa RTH Publik harus dilindungi, termasuk dari kegiatan-kegiatan komersil. “Se­ hingga segala bentuk kegiatan bisnis dapat dikategorikan se­ bagai upaya merusak lingkung­ an,” jelas pria yang akrab disapa Pupung tersebut. Pupung menambahkan, pengelolaan tata ruang yang ti­ dak konsisten ini disebabkan oleh paradigma pembangunan Kota Malang yang cenderung “menge­ konomikan” ruang-ruang yang ada. Ruang Terbuka Hijau kerap dieksploitasi dan kian kehilangan esensinya sebagai penjaga kuali­ tas lingkungan di Kota Malang. Ini akan berdampak pada nilainilai kultural yang kian digerogo­ ti nilai-nilai komersil. Pada akhir­ nya, rasa kepemilikan akan ruang semakin hilang dari masyarakat, dan berakhir pada erosi ekologi.

proyek CSR dari PT. Amerta Indah Otsuka

Salah satu RTH Jalan di kawasan Jalan Veteran yang termasuk dalam RTH Publik

Harus ada komitmen menempat­ kan lingkungan yang mensubor­ dinasi ekonomi menjadi arus yang utama dalam pembangunan Kota Malang. “Alam tidak rusak de­ ngan sendirinya, upaya degradasi nilai kultural sengaja dilakukan oleh pengambil kebijakan dan pe­ mangku kepentingan,” ujarnya. Hal senada juga disam­ paikan oleh Robbani Amal Romis, seorang pemerhati lingkungan. Ia mengatakan bahwa RTH ti­ dak boleh hanya berfungsi me­ manjakan mata, bagaimanapun RTH tetap harus memiliki fungsi utamanya yaitu ekologis. Kare­ na pada hakikatnya RTH fungsi utaman­ ya adalah ekologis, sedangkan fungsi so­ sial hanyalah fungsi tambahan. “Landscape Ruang Terbuka Hijau jangan cuman instagramable, tapi pe­­na­ taannya juga harus memikirkan ekologis­ nya, bagaimana re­ sa­­­pan airnya, posisi tum­buhannya, dan yang lainnya,” jelas mahasiswa Jurusan Arsitektur UB terse­ but. Pada tahun 2015, Iqbal

Iqbal

Hutan Kota Malabar juga sempat terancam direvitalisasi menjadi Taman Ma­ labar. Pemkot dalam upaya revi­ talisasi menggunakan dana Corporate Social Responsbility (CSR) dari PT Amerta Indah Otsu­ ka. Padahal berdasarkan Peratur­ an Pemerintah (PP) Nomor 63 Ta­ hun 2002, sudah dijelaskan bahwa fungsi hutan kota adalah fungsi ekologis. Robbani yang pada wak­ tu itu menjadi juru bicara Aliansi Masyarakat Peduli Hutan Mal­ abar menyatakan bahwa revita­ lisasi tersebut dikhawatirkan akan mengganggu dan merusak fungsi ekologis Hutan Malabar. “Fungsi utama hutan kota adalah ekologis, sehingga fasilitas taman bermain, danau buatan, dan rumah pohon tidak relevan dengan fungsi hutan kota,” tegas aktivis lingkungan tersebut. Peran Serta Masyarakat Ruang merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia. Manusia berada dalam ruang, hi­ dup, bergerak, menghayati, dan berpikir, juga berperan secara langsung dalam pembentukan ru­ ang. RTH merupakan bagian dari ruang-ruang yang ada di kota dan bermanfaat baik secara langsung maupun tidak langsung, demi ke­ seimbangan ekosistem yang ada di

DIANNS 55 - 42


lingkungan kota. Sehingga partisipasi masya­ rakat sangat dibutuhkan dalam segala bentuk pembudidayaan ruang yang ada. Pupung memaparkan, sampai hari ini, di Indonesia be­ lum ada kebijakan yang menam­ pung secara utuh peran serta masyarakat. Belum ada yang benar-benar menjelaskan bah­ wa masyarakat dilibatkan secara langsung dalam pengambilan keputusan. Peran serta hanya di­ maknai sebatas masyarakat mem­ beri saran, menyampaikan lapor­ an atau pengaduan dan keberatan, sehingga posisi masyarakat tidak kuat dalam proses pengambilan kebijakan. Bahkan, banyak ditemu­ kan dalam produk perundang-un­ dangan istilah “peran serta” dika­

DIANNS 55 - 43

burkan menjadi “peran”. Pupung menegaskan, secara terminologi peran serta dan peran adalah hal yang berbeda. Bentuk dari peran, masyarakat hanya dilibatkan se­ bagai pemberi saran, sedangkan peran serta berarti masyarakat menjadi bagian secara langsung dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan. Dalam UU No­ mor 24 Tahun 1992 tentang Pe­ nataan Ruang dan PP Nomor 69 Tahun 1996, terminologi hukum yang digunakan adalah peran serta. Akan tetapi UU Nomor 24 tersebut diganti dengan UU No­ mor 26 tahun 2007 yang meng­ gunakan terminologi peran yang secara substansinya tidak menga­ komodasi bentuk peran turut ser­ ta dalam pengambilan keputusan. “Peran adalah bentuk partisipasi

yang semu, masyarakat hanya me­ nikmati hasil tanpa melalui pros­ es-proses yang melibatkan per­ an aktif mereka,” tandas Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama tersebut. Sistem hu­ kum tidak boleh hanya dipandang sebagai “kepantasan prosedural” belaka, melainkan harus secara jelas berisikan muatan-muatan keadilan sosial yang substantif. Harus ada pengembangan secara luas peran serta masyarakat se­ cara substansial maupun secara yuridis.

Reporter : Antonius Bagas dan Iqbal Achmad Wicaksono


Kabar Kampus

Ketidakselarasan Green Campus UB dengan Lingkungan

Gedung-gedung pencakar langit yang berada di dalam kampus Brawijaya

Bagas

Perguruan Tinggi memiliki peranan penting dalam melahirkan akademisi yang diharapkan mampu menjadi pemecah masalah dalam masyarakat, tidak terkecuali permasalahan ekologi. Dengan demikian perguruan tinggi dituntut untuk mampu menanamkan nilai-nilai kepedulian terhadap lingkungan pada insan sivitas akademika Perguruan Tinggi tersebut. Green Campus dengan konsep eco green menjadi salah satu cara bagi kampus untuk menjaga kelestarian lingkungan. Universitas Brawijaya (UB) sendiri sudah mulai merintis konsep Green Campus sejak tahun 2015. Namun, dalam program-program yang telah dibuat oleh UB banyak ditemukan ketidakselarasan program tersebut dengan keekologian. Programprogram yang dibuat justru merugikan lingkungan.

DIANNS 55 - 44


Kabar Kampus

K

ejanggalan dari program Green Campus tersebut salah satunya ditemukan dalam slide presentasi Wakil Rek­ tor (WR) IV pada acara bertajuk Rekam Jejak UB Green Campus yang diadakan pada bulan Ma­ re­ t 2017 lalu. Khususnya pada po­­in initiative indicators for initiative action yang menekankan penambahan jumlah peminat dan pendaftar calon mahasiswa. Yoga Saputra Hariyanto, selaku Sekretaris Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam (IMPALA) UB, membenarkan ketidakselarasan kebijakan penambahan jumlah mahasiswa dengan ekologi. Keti­ dakselarasan dari kebijakan ini dapat dihitung melalui perban­ dingan antara jumlah kapasitas masyarakat kampus dengan ru­ ang yang sudah disediakan. Di UB, jumlah penerimaan maha­ siswa tinggi namun luasan ruang tidak sesuai. Abdurrahman N­ar­ wastu Nagoro, anggota Komite Pendidikan UB pun menambah­ kan, “Apakah penambahan jum­ lah mahasiswa akan berdampak baik bagi kelangsungan ekologi, kan enggak toh?” Berdasarkan logika ke­ ti­­­dak­selarasan konsep Green Campus tersebut, faktanya UB tergolong kampus padat pen­ duduk. Dilansir dari laman Ke­ menterian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (ristekdikti. go.id), tahun ini UB menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan penerimaan mahasiswa jalur SNMPTN dan SBMPTN terbanyak se-Indonesia. Dengan kondisi tersebut, masyarakat UB turut menyumbang emisi karbon dan sampah yang tinggi. Meru­ juk hasil penelitian IMPALA UB pada tahun 2015, dikatakan bah­ wa beban emisi kendaraan yang masuk ke UB rata-rata sebesar 46.525.071,73 gr/h kg BBM. Motor sebagai penyumbang paling be­ sar yaitu 44.165.536 gr/h kg BBM, sedangkan sisanya adalah mobil.

DIANNS 55 - 45

“Terdapat suatu wacana di balik adanya UB Green Campus karena ketidak­ wajaran konsep Green Campus yang akan diusung.” Sementara jumlah C-Stock (pen­ dugaan cadangan carbon) di Uni­ versitas Brawijaya hanya menca­ pai 2.555.932,6 g/pohon. Artinya, jumlah CO2 yang dike­ luarkan oleh kendaraan jauh lebih besar jika dibandingkan de­ngan CO2 yang dapat diserap oleh po­ hon-pohon yang berada di UB. Hal ini yang dapat menyebabkan polusi di UB semakin mening­ kat. “Ini baru penelitian tahun 2015, belum lagi akhir-akhir ini UB banyak melakukan pemba­ ngunan. Contohnya di FIA ada pembangunan gedung baru dan harus menebang pohon,” ung­ kap Yoga. Tahun 2016 silam, IM­ PALA UB juga melakukan pe­ nelitian mengenai jumlah polusi sampah yang ditimbulkan oleh UB. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, sampah yang dihasil­ kan oleh kampus biru ini memi­ liki presentase 35 gr/orang/hari

atau 0,011 liter/orang/hari. Meski demikian, faktanya besar­an ang­ ka sampah yang dihasilkan jus­ tru didominasi oleh sampah or­ ganik (jenis sampah yang dapat diuraikan oleh alam) yakni se­ banyak 59%. Sampah tersebut dihasilkan dari pohon yang ber­ ada di dalam kampus. Sedang­ kan sisanya adalah sampah anor­ ganik (jenis sampah yang sulit diurai kembali) berupa kertas 19%, plastik 18%, kaca 1%, lo­gam 0,35%, dan jenis sampah lain seperti styrofoam 1,71%. Adapun komposisi terbesar berasal dari fakultas dengan presentase 62%, kantor 22%, dan fasilitas umum 16%. Jumlah sampah kertas le­ bih tinggi dibandingkan dengan angka jumlah plastik. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan akademis seperti laporan tugas kuliah dan kemasan kertas atau struk belanja justru menyum­ bang sampah anorganik ter­ tinggi jika dibandingkan dengan sampah plastik. Menurut Narwastu, Green Campus hanya dijadikan sebuah identitas. Terdapat suatu wacana di balik adanya UB Green Campus karena ketidakwajaran konsep Green Campus yang akan diusung. Narwastu berangga­ pan bahwa Green Campus hanya

Parkiran Timur UB dipadati oleh kendaraan bermotor

Bimo


Kabar Kampus sebagai indikator penguat PTN Badan Hukum atau biasa di­ singkat PTN BH. Indikator Green Campus dipakai untuk mening­ katkan akreditasi kampus. Apa­ bila administrasi kampus kuat dalam badan keuangan dari segi akademik maupun non-ak­ ademik, maka akan semakin memperlancar UB menuju PTN BH. Korelasi ini bisa dilihat melalui poin-poin penilaian da­ lam sistem akreditasi dan ser­ tifikat International Organization for Standardization (ISO) tata ru­ ang kampus. Yang berarti, untuk menjadikan kampus berbadan hukum dapat dilihat dari nilai akreditasi suatu kampus. “Dan untuk lolos akreditasi juga perlu adanya konsep tata ruang Green Campus,” terang Narwastu. Ketidakjelasan UB Green Campus Secara resmi, UB Green Campus diakui pada tahun 2015, meskipun persiapannya sudah dilakukan sejak tahun 2013. Na­ mun, hingga sekarang UB be­ lum memiliki grand design untuk Green Campus sehingga pelak­ sanaan Green Campus menjadi tidak jelas. Hal ini diakui oleh I Nyoman Suluh Wijaya selaku Staf Ahli WR IV, bahwa sam­ pai saat ini pihak WR IV hanya berfokus pada kegiatan Green Campus secara sporadis. “Bulan Maret kita mengadakan expose Green Campus yang diadakan di gedung Widyaloka dan dihadiri oleh perwakilan Badan Ekseku­ tif Mahasiswa (BEM) per fakul­ tas. Dalam kesempatan tersebut kita ekspose semua pendanaan kegi­atan di bawah WR IV yang kegiatannya mengarah ke Green Cam­­pus. Sayangnya memang be­ lum ada master plan atau grand design,” ungkap Nyoman. Pelaksanaan UB Green Campus pun masih terdapat kekurangan. Nyoman menga­ta­ kan bahwa pemanfaatan energi

di UB masih cukup tinggi se­ hingga pelaksanaan Green Campus belum mampu terfokus ke arah ekologi, namun lebih kepa­ da kurikulum pendidikan. Kuri­ kulum yang akan diusung untuk Green Campus pun belum diru­ muskan secara detail bagaima­ na arah dari satuan perkuliahan mengenai Green Campus akan diterapkan. Green Campus yang diusung UB saat ini masih da­ lam tataran konsep, dalam arti Green Campus UB bukan ber­ fokus pada ekologi tapi justru akan mengam­bil konsep produk lulusan responsif green lifestyle. “Jadi UB itu secara konsep Green Campus-nya nanti tidak hanya terfokus pada infrastruktur, tapi lebih pada kurikulum pember­ dayaan manusia. Cuma memang grand design belum ada,” terang Nyoman.

Macet di pintu keluar gerbang Soehat setiap menjelang rush hour

Fadhila

Nyoman menambahkan, sebelum adanya Green Campus sudah terdapat bahasan-bahasan mengenai ekologi di setiap juru­ san. Meski dalam perencanaann­ ya UB akan mengusung konsep Green Campus melalui kuriku­ lum pendidikan, namun Nyo­ ma­n mengaku bahwa masuknya Green Campus dalam mata kuli­ ah kurikulum pun dirasa akan sulit jika diterapkan di seluruh fakultas. “Hal ini dikarenakan di masing-masing fakultas memiliki

bidang fokus yang berbeda-be­ da,” ujar Nyoman. Senada dengan pernyata­ an Nyoman, Wara Indira Ruk­ mi selaku dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) UB mengatakan bahwa untuk men­ jadikan kampus berwawasan ekologi, maka penanaman wa­ wasan ekologi tidak ha­ nya di­ realisasikan selama menjadi mahasiswa kampus, melainkan hingga menjadi lulusan kampus. Lulusan tersebut nantinya harus dapat berkontribusi di dalam ak­ tivitas lingkungan mereka nanti. Sehingga, semua masyarakat ak­ ademik diharapkan dapat lebih berlaku positif terhadap manu­ sia, lingkungan sosial di sekitar kampus, lingkungan alamnya, serta menanamkan kesadaran bahwa menjaga lingkungan me­ rupakan hal yang penting. Wara juga mengatakan bahwa hal penting yang harus dilakukan adalah melibatkan seluruh masyarakat UB. Jika memang seluruh lapisan ma­ syarakat kampus merasa men­ jaga ekologi itu penting, maka dalam perencanaannya tidak ha­ nya melibatkan para ahli, dosen, pihak-pihak eksekutif atau pi­ hak-pihak pejabat kampus. Tapi juga harus menyertakan maha­ siswa sebagai bagian dari mas­ yarakat kampus. “Apakah maha­ siswa juga siap kalau kampus ini dijadikan Green Campus? Green Campus seperti apa yang mereka inginkan? Menurut mereka apa pengertian dari Green Campus itu sendiri? Jadi konsep itu tidak ha­ nya muncul secara top down tapi juga bottom up. Sehingga ketika konsep itu disusun rumusannya, maka harus betul-betul konsep yang mewadahi semua cita-ci­ ta masyarakat akademik UB,” pungkas Wara. Reporter: Fadhila Isniana dan Dimas Ade Surya

DIANNS 55 - 46


Media

Kritis Hoaks Melalui

Literasi Media

Hidup di era digital berarti hi­ dup dengan dikelilingi informasi yang makin meningkat. Media sosial kian bermunculan, informasi semakin bertebaran, bahkan media online atau daring kian merebut perhatian masyarakat. Informasi menjadi le­ bih mudah diakses, diterima Bimo dan diedarkan. Netizen sebagai pengguna internet dapat memproduksi informasi dengan mudahnya. Bahkan, tiap orang bisa mengubah konten sebuah informasi hanya dengan mengeditnya sesuai keinginan. Tinggal klik dan share, maka sebuah informasi bisa melanglang buana di dunia maya. Ditambah lagi, media daring berlomba-lomba meningkatkan kecepatan dalam penulisan berita. Tak pelak, ledakan informasi menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Untuk itu, diperlukan literasi media untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar mampu memahami media secara utuh.

D

ilansir dari Laporan Tahunan We Are Social, In­ donesia berada di urutan ketiga negara yang menyumbang lebih dari setengah pertumbuhan pengguna media sosial, sebanyak 27 juta orang setelah Cina (134 juta) dan India (55 juta). Dari sekitar 262 juta total populasi penduduk Indonesia, sebanyak 132,7 juta merupakan pengguna internet dan 106 juta di antaranya aktif menggunakan media sosial per Januari 2017. Angka pengguna media sosial ini meningkat sebesar 34% dari ta­ hun sebelumnya. Jika dihitung, rata-rata netizen di Indo­ nesia menghabiskan waktunya 8 jam 44 menit sehari un­ tuk mengakses internet via personal computer. Sedangkan 4 jam kurang 5 menit mereka habiskan untuk menatap layar smartphone. Berdasarkan data tersebut, terlihat jika penduduk Indonesia tidak dapat terpisahkan dari internet. Sebagian besar aspek kehidupan manusia berkaitan erat dengan informasi yang dengan mudah dipenuhi melalui internet, mulai dari memproduksi hingga membagikan sebuah informasi. Tercatat sebanyak 69% netizen membagikan informasi melalui telepon pintar. Sedangkan 28% lebih memilih komputer pribadi, dan sisanya melalui tablet. Asal terhubung jaringan, informasi bisa dengan mudah

DIANNS 55 - 47

dibagikan. Kemudahan dalam membagikan informasi inilah yang menimbulkan maraknya hoaks atau berita bohong. Yakni informasi yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tingginya penyebaran hoaks ini berbahaya karena rawan disalahgunakan untuk memanipulasi kepentingan tertentu. Menurut Hari Istiawan, Ketua Aliansi Jurna­ lis Independen (AJI) Malang, hoaks bisa sengaja dibuat, misalnya untuk kepentingan politik. Tujuannya adalah untuk menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. “Hoaks itu bukan informasi berdasarkan fak­ ta,” ujarnya. “Dalam urusan politik misalnya, media di­ gunakan untuk kepentingan kampanye.” Sejalan dengan Hari, Ragil Cahya Maulana yang merupakan pegiat lite­ rasi Gubuk Cerita memaparkan bahwa hoaks akan ber­ bahaya jika digunakan untuk memanipulasi publik. “Kita mendapatkan informasi dengan semakin mudah. Tapi dimanfaatkan untuk memanipulasi publik, bukan untuk memperkuat kesadaran publik. Mereka seolah-olah mem­ bicarakan kepentingan publik, padahal yang terjadi ada­ lah masyarakat dimanipulasi untuk mendukung elite-elite tertentu.” Menurut Hari, hoaks tersebar karena seseorang ti­


Media

Sumber: wearesocial.com

dak mengecek sumber informasinya terlebih dahulu, tapi langsung dise­ barkan dari media sosial. Ragil pun menyatakan bahwa pemahaman informasi harus diimbangi dengan aspek kognitif, selain aspek afektif. “Ketika tidak diimbangi dengan ke­ mampuan kognitif, penyebaran in­ formasi akan didasarkan pada yang penting setuju dan suka dengan teks tersebut. Ketika sebuah teks itu tidak sesuai dengan apa yang ingin diketa­ hui dan dipercayai, maka teks itu di­ anggap salah. Ini kan tidak rasional,” tutur mahasiswa Sosiologi Univer­ sitas Brawijaya (UB) angkatan 2012 tersebut. Literasi Media sebagai Kunci Literasi media menjadi satu kunci utama untuk menangani hoaks. Abdul Wachid, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB, menjelaskan bahwa literasi media adalah pemaha­ man terhadap media. Ia melanjutkan, adanya pemahaman literasi media secara tidak langsung membuat kita mampu membedakan mana infor­ masi yang bisa dipercaya atau tidak, maupun informasi yang kredibel atau tidak. Penjelasan ini diungkapkannya kepada awak DIANNS pada Selasa, 12 September 2017 lalu di MIPA Cor­ ner UB. Sependapat dengan W ­ achid, Hari menilai literasi adalah pemaha­ man mengenai seluk-beluk media. Menurutnya, dengan adanya pe­ mahaman mengenai literasi media, masyarakat akan mampu menyikapi

informasi yang diterima. “Pentingnya literasi media ini agar masyarakat ti­ dak salah paham dalam menanggapi suatu berita,” ujarnya. Tanpa adanya literasi, media akan dijadikan sebagai kiblat dalam berperilaku. Padahal, yang dikatakan media tidak semuanya benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Dijabarkan lebih jauh oleh Wachid, hoaks kaitan­ nya dengan kebudayaan masyarakat dan media, memiliki dua pandangan. Yang pertama, media sebagai objek determinan perilaku masyarakat.

“Ketika seseorang mempunyai literasi, maka ia bisa membedakan mana berita benar ataupun berita bohong” Apa pun yang dilakukan media akan diikuti oleh masyarakat. Kedudukan manusia menjadi lemah karena hal itu. Yang kedua, media sebagai geja­ la. Artinya, perilaku masyarakat ti­ dak mengikuti media secara penuh. Melainkan mampu bertindak secara mandiri dan rasional terhadap media. Literasi media harus dimiliki tiap individu. Artinya mengetahui media secara keseluruhan, baik dari dalam maupun dari luar media. Li­ terasi ini harus ditumbuhkan. Ragil

mengatakan, masyarakat harus mem­ punyai kesadaran kritis terhadap media, baik tentang proses teknis produksi maupun wacana. Tiap in­ dividu harus menyadari maksud konten tersebut harus dikonsumsi, harus beredar, bahkan akurat atau tidaknya sebuah konten. “Konsumen harus mempunyai kesadaran kritis terhadap konten-konten yang ada di media,” ujar pria yang akrab dis­ apa Ragil ini. Ia pun menambahkan bahwa kesadaran kritis ini bisa diba­ ngun dari kemampuan dan kebiasaan membaca. Ketika seseorang mempu­ nyai literasi, maka ia bisa membeda­ kan mana berita benar ataupun berita bohong. Karena hoaks akan berbaha­ ya jika tidak disadari. “Kemampuan membaca nggak hanya ditumbuhkan dari keluarga, tetapi juga harus diim­ bangi dengan peran sekolah dan per­ pustakaan,” imbuhnya. Sedangkan menurut Wachid, yang diperlukan adalah adanya orang atau kelompok yang mempunyai ke­ sadaran lebih untuk memberikan pe­ mahaman ke masyarakat lain tentang literasi media. Pemahaman tersebut mengenai mekanisme media, lahir­ nya konten di media apakah secara natural atau dari proses konstruksi. Karena sebagaimana yang diketahui, media tidak bisa terlepas dari kepen­ tingan ekonomi atau politik. “Secara tidak langsung menuntut kelompok yang paham untuk menyebarkan li­ terasi media,” tandasnya. Tanggung Jawab Media untuk Meliterasi Terkait pemahaman literasi media ini, media juga mempunyai tanggung jawab. Indra Mufarendra atau yang biasa dipanggil Muf se­ laku Redaktur Ekonomi menyatakan, literasi media juga merupakan tang­ gung jawab media, sehingga media tidak membodohi masyarakat. Cara­ nya yakni dengan mengedukasi in­ dividu supaya bijak dalam memilih dan menggunakan media. Di Radar Malang misalnya, ada rubrik untuk memastikan kebenaran informasi yang sedang hangat dibicarakan, se­ bagai pencerahan kepada masyarakat. Namanya rubrik “Hoax atau Kadit”

DIANNS 55 - 48


MEDIA hong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal 1 Mi­ liar.” Baru-baru ini juga dikeluarkan Surat Edaran Kepala Polri Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) ter­ tanggal 8 Oktober 2015. Meski demikian, tidak semua media massa mengindahkan kea­ kuratan dan validitas informasi da­ lam membuat berita. Lantaran men­ gandalkan kecepatan produksi berita, media daring dinilai menjadi salah satu pihak yang rawan memproduk­ si hoaks. Alih-alih memverifikasi ter­ lebih dahulu, media daring langsung asal mengunggah suatu informasi demi mengejar kecepatan. Hal ini diakui oleh Muf, “Hoaks di media online dan media sosial semakin kacau. Tak bisa dipungkiri bahwa online itu sistemnya kejar tayang, dituntut ha­ rus tayang pada menit ini atau menit itu. Semakin banyak diakses, sponsor semakin berdatangan, persaingan juga lebih ketat diban­dingkan media cetak. Jadi yang pen­ting upload dulu, konfirmasinya bisa dimuat di beri­ ta-berita selanjutnya.” “Tetapi me­ mang tidak semua berita online sep­ erti itu,” imbuh Redaktur yang juga bertugas sebagai Koordinator Lipu­ tan di Radar Malang itu. Untuk itu, upaya memerangi

hoaks adalah dengan mengecek ke­ benaran sumber asli suatu informasi melalui media-media yang terver­ ifikasi, tidak langsung menyebar­ kan informasi yang diterima. Hal ini disampaikan oleh Hari, “Ma­ syarakat harus punya kesadaran un­ tuk mengecek sumber asli, tidak serta merta menyebarkan informasi yang ia terima.” Sementara hal senada di­ ungkapkan oleh Made, Mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer (Filkom) UB angkatan 2017. Dalam menanggapi sebuah be­ rita, ia akan memastikan sumber-sumbernya dan memban­ dingkan dengan berita-berita lainnya. “Hoaks juga dapat dilihat dari tujuan pemberitaannya, yaitu untuk men­ cari sensasi,” tambahnya. Adapun Mahasiswi FISIP UB angkatan 2016, Erina Hapsari punya cara lain untuk memastikan hoaks tidaknya sebuah berita. Menurut­nya, berita hoaks cen­ derung menggunakan bahasa yang dilebih-lebihkan namun tidak sesuai fakta yang ada. “Terlebih jika pem­ beritaan dilakukan secara terus-me­ nerus, padahal kenyataannya tidak sesuai,” komentar­ nya pada awak DIANNS ketika ditanya perihal li­ ­ terasi media pada Rabu, 6 September 2017 di FISIP. Reporter: Nurbaiti Permatasari dan Setia Nur Reformasinta

Bimo

yang terbit seminggu sekali pada hari Sabtu. Rubrik ini bertujuan untuk memverifikasi berita hoaks yang te­ ngah beredar. Karena pada dasarnya, pers haruslah menyajikan informasi yang akurat sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, bahwa pers nasional mempunyai pe­ ranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Sejalan dengan itu, wartawan dalam pembuatan berita dituntut untuk menerapkan Kode Etik Jurnal­ istik (KEJ). Salah satunya yakni KEJ yang disusun oleh Dewan Pers. Ter­ tuang dalam pasal 1 yang berbunyi, “Wartawan Indonesia bersikap inde­ penden, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beriti­ ­ kad buruk.” Selanjutnya pasal 4 ber­ bunyi, “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.” Kode Etik ini jelas me­ negaskan kepada media massa untuk tidak menuliskan hoaks. Sanksi yang akan diterima penyebar hoaks tercan­ tum dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 28 ayat (1). Yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bo­

DIANNS 55 - 49


budaya

Iko

Orang-orang datang dan pergi bergantian dan ikut meramaikan hari perayaan Yadnya Kasada.

Yadnya Kasada, Menyoal Keharmonisan dalam Perbedaan di Suku Tengger Malam itu, Minggu 9 Juli 2017 tampak begitu cerah, angin tidak terlalu kencang dan bulan purnama bersinar terang menerangi orang-orang yang berbondong-bondong menuju lautan pasir Bromo. Ditemani suara-suara kendaraan pribadi yang memecah keheningan kawasan Gunung Bromo. Suasana alami Bromo yang biasa diselimuti kabut dan suhu dingin di lautan pasir, menjadi lebih hangat karena banyaknya manusia yang berlalu-lalang. Malam itu Bromo benar-benar dipenuhi orang, baik dari suku Tengger maupun wisatawan lokal dan asing. Hari itu lebih ramai dari biasanya karena ada upacara adat suku Tengger. Upacara itu bernama Yadnya Kasada, acara tahunan suku Tengger.

M

asyarakat Tengger ada­ lah salah satu masyarakat tertua di Indonesia yang menetap di wilayah Gunung Bro­ mo. Secara geogra­fis, wilayah suku Tengger dibagi menjadi empat yak­ ni Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Lumajang. Sebagai suku yang tertua, awal pelaksa­ naan upacara Yadnya Kasada ti­ dak diketahui secara pasti. Namun menurut Irawan, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Pasuruan, rekam jejak upacara Yad­ nya Kasada terdapat dalam Prasasti Walandit pada ta­ hun 1381 dan 1405 Masehi. Pra­ sasti Walandit me­rupakan prasasti yang ditulis pada zaman kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Ha­ yam Wuruk. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa orang-orang Tengger adalah “hulun hyang” atau pengabdi Tuhan yang tinggal di tanah “hila-hila”, yang b­erarti tanah

DIANNS 55 - 50


budaya suci. Mereka diberi kehormatan untuk melaksanakan u­pacara suci, yaitu upacara Yadnya Kasada. Di Gunung Bromo pada hari keempat belas saat purnama di bulan Kasa­ da, untuk mewakili seluruh masya­ rakat nusantara. Pada tahun ini, Yadnya Kasada dilaksanakan pada tanggal 9 dan 10 Juli 2017 di lereng Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo. Secara etimologi, Yadnya bera­ sal dari bahasa Sansekerta “yajña”, berakar dari kata yaj yang berarti mempersembahkan korban suci. Sedangkan “kasada” merupakan bulan kedua belas dalam penang­ galan kalender Tengger. Upacara ini adalah penghormatan kepada para leluhur suku Tengger sebagai ben­ tuk rasa terima kasih mereka atas rezeki yang diperoleh. Ma­syarakat suku Tengger yang terpisah empat kabupaten, hari itu berkumpul dan saling bertemu untuk menjalan­ kan upacara adat terlepas dari aga­ ma apa yang dianut masing-ma­ sing. “Upacara Kasada merupakan u­ pacara yang dilakukan bersama oleh suku Tengger di Gunung Bro­ mo. Itu bukan cuma orang Islam, orang Hindu, tetapi semua orang Tengger melaksanakannya,” ujar Iwa sebagai pedagang di kawasan penanjakan Gunung Bromo. Tujuan upacara Yadnya Kasada ini adalah untuk kese­ lamatan, kedamaian, dan kese­ jahterahan nusantara. Warga suku Tengger sejak malam itu hingga keesokan harinya datang silih ber­ ganti. Ada yang baru datang ke Gunung Bromo dengan membawa hasil bumi, ada juga yang hendak pulang. Walau ada ke­ mungkinan Gunung Bromo erupsi, itu tidak menyurutkan niat masyarakat suku Tengger untuk melaksanakan upacara Yadnya Kasada. “Lek acara adat niki gak oleh ditinggali,”1 ujar Iwa. Sebagian ma­syarakat suku Tengger berpendapat bahwa mengikuti upacara Yadnya Kasa­ da merupakan kewajiban dalam “a­ gama adat”. Jika mereka tidak

DIANNS 55 - 51

Beberapa dukun Tengger duduk di depan ongkek seraya menunggu umatnya datang dan meminta berkat atas hasil buminya kepada mereka.

ikut, diyakini akan ada hal buruk yang menimpa mereka. Bagi suku Tengger yang b­eragama Hindu, upacara Yadnya Kasada dilaksanakan di Pura Luhur Poten. Suasana pura malam itu begitu ramai dan kental akan budaya, malam yang dingin pun menjadi tidak terasa. Bulan purnama menghiasi langit. Orangorang Tengger dari berbagai desa bersiap-siap menuju Pura Luhur Poten. Salah satunya adalah orang Tengger dari Desa Ngadiwono, Ka­ bupaten Pasuruan. Mereka beserta sesaji perorangan diangkut dengan beberapa truk menuju Pura Luhur Poten. Truk-truk itu berjalan de­ ngan sangat hati-hati, naik turun melewati jurang yang berada di sisi kiri dan kanan jalan. Di perjalanan, mereka asyik berbicara dalam ba­ hasa Jawa Tengger dan tidak jarang mereka bertemu dengan truk-truk yang mengangkut orang-orang

Iko

Tengger dari desa lain. Kurang dari setengah jam, truk-truk itu sudah terparkir

sembarang di dekat Pura Luhur Po­ ten. Di sekelilingnya terdapat ban­ yak kendaraan pribadi dan jip yang mengangkut wisatawan. Pura terli­ hat riuh, orang-orang Tengger yang membawa sesajen kemudian cepat membaur dengan para wisatawan memasuki pura. Satu-satunya cara cepat untuk mengenali mereka ada­ lah sarung. Me­reka tampak hangat dengan sarung yang melilit tubuh dan rambut. Perempuan-perem­ puan Tengger juga memakai kain yang diikat dari pinggul ke mata kaki, etika sederhana bagi perem­ puan Tengger ketika memasuki pura. Di sisi kiri bagian manda­ la utama Pura Luhur Poten, musik tradisional Tengger mengiringi 46 dukun Tengger yang melayani umatnya. Jumlah dukun Tengger mewakili setiap desa yang ada di wilayah Tengger. Ada beberapa desa yang memiliki dukun lebih dari satu, salah satunya Desa Tosari di Kabupaten Pasuruan. Toleransi pada upacara Yadnya Kasada terasa kuat. Orang-orang Tengger berag­ ama Islam dapat nyaman memakai identitas mereka dan meminta ber­ kat atau melu kapal atas hasil bumin­ ya kepada dukun. Dukun tak pi­ lih-pilih agama. Semua masyarakat suku Tengger berhak dilayani. Sementara di sisi kanan bagian mandala utama pura, umat Hin­ du te­ngah melakukan persembah­ yangan di padmasana. Mereka dija­

Ayul


budaya

Iko

Masyarakat Tengger sedang menunggu hasil bumi yang hendak dilarung.

ga oleh pecalang atau orang yang me­ ngamankan kegiatan di sekitar padmasana. Bau kemenyan menema­ ni umat yang khidmat melakukan puja Tri Sandhya dan menghatur­ kan sesajen. Berbeda dengan suku Teng­ ger yang beragama Hindu, suku Tengger yang beragama Islam tidak pergi ke Pura, tapi hanya mela­rung sesaji ke kawah Gunung Bromo pada keesokaan harinya. Namun justru inilah yang menarik dari t­ra­ disi Yadnya Kasada suku Tengger ini. Yadnya Kasada adalah sebagai simbol atau tanda persatuan suku Tengger terlepas apa pun agama­ nya. Seperti yang disampaikan oleh Dwi Cahyono selaku Dosen Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) melalui wawancara dengan awak LPM DIANNS di kediamannya. “Kasada itu tidak lagi bicara tingkat komunitas kecil desa atau daerah, tapi Kasada itu merupakan tali in­ tegritas. Jadi simbol integritas suku Tengger itu ya Kasada,” ujar dosen yang biasa dipanggil Pak Dwi itu.

“Kasada itu tidak lagi bicara tingkat komunitas kecil desa atau daerah, tapi Kasada itu merupakan tali integritas. Jadi simbol integritas suku Tengger itu ya Kasada ” Lebih lanjut, Dosen Seja­rah UM tersebut menjelaskan, ada dua ritus utama yang jika orang Tengger tidak melakukannya, maka keteng­ gerannya diragukan. Ritus utama itu adalah Kasada dan Karo. Mes­ ki begitu, masih ada banyak sekali ritus yang ada di Tengger, seperti Unan-unan yang dilaksanakan lima tahun sekali. Namun yang paling utama adalah Kasada dan Karo. “Itu a­gama tradisi, artinya semua warga yang merasa Tengger, melakukan ri­ tus-ritus adat Tengger. Utama­ nya Kasada dan Karo. Tapi semakin kental ketenggerannya, maka akan semakin banyak ritus yang dilaku­ kan, seperti “Unan-unan,” ujar

Dosen Sejarah UM tersebut. Ketika upacara Kasada dilakukan, maka semua yang mera­ sa suku Tengger, terlepas baik dia Tengger daerah Kabupaten Pasuru­ an, Kabupaten Probolinggo, Kabu­ paten Malang, maupun Kabupaten Lumajang. Mereka datang ke satu titik dan menunaikan ritual bersa­ ma. Integritas ketenggeran itu mi­ nimal satu tahun sekali diperkuat melalui Kasada. “Kasada sebagai upaya untuk membangun tali in­ tegritas suku Tengger dari tahun ke tahun. Tidak bisa kita bayang­ kan apabila Kasada ini dihilangkan, maka Tengger juga tercerai. Jadi tali pengikatnya itu ya di situ,” terang Dwi. Meskipun zaman sudah se­ makin maju, tidak menyurutkan semangat suku Tengger untuk tetap menjaga dan melaksanakan apa yang telah di­wariskan leluhurnya.

Reporter : Iko Dian Wiratama dan Ayulia Amanda “Kalau acara adat seperti ini tidak boleh ditinggal”

1

DIANNS 55 - 52


budaya

Riwayat Tembakau Rakyat yang Perlahan Tergerus Zaman Cuaca pagi yang cerah disambut Hosna dengan senyumnya yang menunjukkan bahwa usianya sudah senja. Laki-laki yang kini berumur 70 tahun itu sejenak menikmati kopi dan cerutunya, kemudian bergegas memakai capil serta membawa cangkul menuju sawah. Sinar mentari pagi mengiringi langkah kaki Hosna ke sawah, menengok tanaman tembakau yang ia tanam sejak bulan Mei lalu di Dusun Prasean, Desa Glagahwero, Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember. Setiap pagi hingga sore hari, Hosna dan petani tembakau lainnya pergi ke ladang untuk merawat tanaman tembakaunya. “Menanam tembakau bagi masyarakat di sini sudah seperti kewajiban, setiap tahun pasti kami menanam tembakau,” tutur Hosna kepada kami, dua awak DIANNS yang ingin menelusuri potret budaya tembakau di Jember saat ini.

T

anaman tembakau meru­ pakan salah satu tanaman perkebunan yang menjadi bagian penting penopang pere­ konomian masyarakat petani Desa Glagahwero. Keberadaan tanaman tembakau rakyat di Desa Glagah­ wero selalu mengalami perkem­ bangan. Terlebih lagi setelah mun­ culnya Undang-Undang tentang Sistem Budi Daya pada tahun 1992 yang memberikan kebebasan ke­ pada petani untuk menanam tana­

man komoditas sesuai pilihannya. Hal itu­lah yang menjadi salah satu faktor pendorong berkembang­ nya perkebunan tembakau rakyat di Desa Glagahwero, sehingga mem­ berikan pengaruh terhadap perluas­ an lahan tembakau rakyat. Tanaman tembakau menja­ di tanaman tradisi bagi masyarakat Glagahwero yang tidak bisa diting­ galkan setiap tahunnya. Masyarakat petani Desa Glagahwero banyak mengetahui cara bercocok tanam

tembakau secara turun temurun dari keluarga. Hosna menceritakan bahwa petani memilih hari yang sesuai dengan hari lahirnya dalam tanggalan jawa untuk menanam tembakau agar hasil panennya ba­ gus. Budaya tersebut masih diper­ cayai hingga saat ini. Tak hanya itu, dahulu untuk menanam tembakau, masyarakat perlu mengadakan upacara adat setiap awal ditetap­ kannya waktu mulai tanam. Pun untuk sistem menanam tembakau,

Tembakau usia tiga bulan dipanen Subaidah. Panen tembakau pada usia tiga bulan adalah masa panen yang pertama.

DIANNS 55 - 53

Cucut


budaya masyarakat bergotong royong dari satu sawah ke sawah milik lainnya dengan sa­ling bergantian. Namun kini upacara itu tidak lagi dilaku­ kan. Gotong royong yang mana masyarakat saling bahu-membahu untuk menanam tembakau, juga telah berganti menjadi sistem upah buruh sebagaimana yang umum­ nya terjadi di banyak perkebunan lainnya. Menurut Sukamto selaku Ketua kelompok tani Glagahwero, luntur dan hilangnya budaya-bu­ daya yang dahulu ada dikare­ nakan kebutuhan masyarakat un­ tuk meningkatkan pendapatan. “Alasan tersebut dapat diterima karena sawah atau ladang yang digunakan untuk menanam tem­ bakau bukanlah milik masyarakat asli Desa Glagahwero,” ujarnya. Sukamto menjelaskan bahwa se­ bagian besar masyarakat petani tidak memiliki sawah sendiri, me­ reka hanya me­ngelola sawah yang telah diperca­ yakan kepada mere­ ka oleh pemiliknya. Pemilik tanah melakukan sistem bagi hasil de­ ngan pe­tani. Yang setelah dikurangi modal, kemudian barulah hasilnya dibagi dua de­­­­­­­­­­­­­­­n­­­­­­gan petani. “Tidak ada­ nya anak muda atau penerus yang mampu memperta­hankan bu­ daya yang ada, juga menjadi faktor lain hi­ langnya budaya tersebut,” ujar Sukamto. Walaupun pemu­ da-pemudi turut menjadi petani tembakau, me­ reka tidak pernah berinisiatif untuk menghidupkan kembali budaya-budaya itu. Para orang tua pun enggan melakukan gotong royong karena sistem upah dianggap lebih dapat menambah penghasilan. Padahal jika diper­ timbangkan, gotong royong justru dapat meminimalkan modal yang dikeluarkan oleh petani untuk me­ ngolah tembakau. Perkembangan zaman se­ olah menggerus budaya yang ada di masyarakat. Budaya yang seha­ rusnya menjadi harta karun nonma­ terial, tak mampu diperta­ hankan akibat kebutuhan material yang tak

“Tidak adanya anak muda atau penerus yang mampu mempertahankan budaya yang ada, juga menjadi faktor lain hilangnya budaya tersebut” dapat dielakkan. Agus Sunyoto se­ laku dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya berpendapat, bahwasanya kebudayaan suatu ko­ munitas selalu bersifat dinamis yang mana perubahan-perubahan dan penyesuaian terhadap unsur-unsur baru menjadi keniscayaan. Kebu­ dayaan petani yang cen­derung ku­ rang berkembang karena tumbuh di daerah agraris di pedalaman, pada akhirnya terkena pengaruh dari luar juga. Sehingga men­g­a­lami perubah­ an. Dibanding era sebelumnya, era global yang berada pada mileni­ um ketiga ini pengaruhnya sangat kuat seolah-olah gelombang lautan yang membentuk tsunami melanda peradaban yang ada. “Ide, konsep, panda­ngan, gagasan, wawasan, dan nilai yang membangun peradaban dan kebudayaan pun terlanda oleh globalisasi yang mana ide, konsep, serta gagasan, nilai-nilainya bersifat empirik, seku­ler, materialistik. Be­ gitulah, tradisi budaya sebuah ko­ munitas cende­rung berubah menja­ di upah, kapital, modal, jasa, rente, fee, komisi yang materialistik. Nilainilai, ide, dan konsep lama yang ti­ dak relevan pelan-pelan ditinggal­ kan,” Agus menambahkan. Tembakau Menjadi Penopang Perekonomian “Jenis tembakau yang di­ tanam oleh petani Desa Glagah­ wero adalah kasturi,” tutur Soli­ kun selaku Ketua RW yang juga petani tembakau. Berdasarkan ha­ sil wa­wancara dengan masyarakat petani tembakau Desa Glagahwero, seluruh petani menanam jenis tem­ bakau kasturi. “Tembakau tersebut

adalah jenis tembakau rajangan atau krosok lokal yang dikembang­ kan di Jember yang dinamakan tem­ bakau rak­ yat. Masyarakat petani di sini juga membibit sendiri tem­ bakau jenis kasturi untuk dijual,” jelas Solikun. Berdasarkan penjelas­ an tersebut dapat dipahami bahwa Tembakau Rakyat merupakan tem­ bakau yang ditanam oleh rakyat, mulai dari pembibitan, penanaman, dan pe­ ngolahan daunnya hingga siap dijual di pasaran. Bagi petani, perkebunan Tembakau Rakyat di Desa G­lagah­ wero mampu menciptakan lapa­ ngan pekerjaan yang dapat mem­ berikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat, khu­ susnya bagi petani tembakau. Ta­ naman Tembakau Rakyat yang dibudidayakan oleh petani di Desa Glagahwero dapat memberi­ kan nilai tambah bagi pendapatan petani karena memiliki nilai eko­ nomis yang cukup tinggi. Selain itu, keberadaan perkebunan Tembakau Rakyat di Glagahwero pada dasar­ nya mampu memberikan kesempa­ tan kerja kepada masyarakat buruh tani. Dengan adanya perkebunan Tembakau Rakyat, para buruh tani dapat bekerja sebagai buruh kerja tembakau. Petani juga menanam bibit tembakau sendiri untuk dijual kepada petani lokal dan luar dae­ rah. Sehingga Tembakau Rakyat di Glagahwero dapat menjadi sumber pendapatan dan penopang ekonomi masyarakat. Namun, tanaman tembakau juga dapat memberikan dampak negatif apabila nilai jual panen tem­ bakau rendah, karena pendapatan yang diterima pe­ tani tidak akan maksimal. Apabila petani tembakau terancam me­ngalami gagal panen, maka tenaga kerja yang digunakan oleh petani hanya sebatas tenaga kerja keluarga dalam rangka me­ minimalkan biaya. Tak ayal, petani akan terancam mengalami kerugian yang besar karena budi daya tem­ bakau membutuhkan modal yang besar. Dengan demikian, perekono­

DIANNS 55 - 54


budaya mian masyarakat buruh tani juga akan ikut terancam. Tahap Menanam Tembakau Ada beberapa tahapan da­ lam menanam tembakau. Hosna menjelaskan secara singkat kepada kami tahapan tersebut de­ngan isti­ lah-istilah lokal yang biasa dipakai petani tembakau setempat. Mena­ nam tembakau diawali dengan abedeng, yaitu membuat gundukan tanah tempat penanaman bibit tem­ bakau. Bedengan sebagai tempat mengalirnya air. Penanaman pada musim hujan dan kemarau memi­ liki ketentuan tinggi selokan yang berbeda sesuai dengan yang dibu­ tuhkan. Yang kedua adalah tahap norap atau kegiatan mengairi sawah. Proses norap dilakukan agar pada tahap penanaman bibit tembakau, tekstur tanah longgar dan bibit tetap hidup karena mendapat air yang cukup. Proses norap ini adalah kegiatan wajib yang dilakukan oleh petani tembakau. Jika sawah sulit mendapatkan air, petani menyedot air dari kali atau sungai terdekat menggunakan mesin penyedot. Kemudian namen, yaitu tahap penanaman bibit tembakau. Pada proses penanaman, ada bebe­ rapa cara yang harus diperhatikan, antara lain yang pertama ialah bibit yang akan ditanam diletakkan pada lubang-lubang tanam yang telah dibuat sesuai dengan jarak tanam­

nya. Kedua, bibit yang telah dita­ nam diusahakan lurus dan tidak re­ bah. Ketiga, menutup lubang tanam dengan tanah yang gembur. Keem­ pat, kedalaman penanaman seba­ tas pangkal batang. Dan yang ter­ akhir ialah, penanaman dilakukan pada sore hari, dengan tujuan agar tanam­ an tidak terlalu layu akibat sinar matahari. Setelah menanam, tak semua bibit tumbuh dengan baik. Ada pula yang mati dan ha­ rus diganti dengan bibit lain, proses itu disebut ngangselle yang membu­ tuhkan waktu dua hingga lima hari setelah penanaman awal. Kira-kira tiga bulan pas­ ca itu, dimulailah panen pertama daun tembakau. Memanen daun tembakau tidaklah mudah, harus bertahap dari daun paling bawah hingga daun paling atas, dan itu memakan waktu yang tidak seben­ tar. Panen tembakau juga tidak ha­ nya satu kali dalam sekali tanam, bisa sampai tiga kali dan dibutuh­ kan waktu antara empat hingga em­ pat setengah bulan dari panen per­ tama. Sukamto menjelaskan proses setelah panen ialah sujen, yaitu tembakau disunduk sebanyak em­ pat hingga lima lembar dalam satu sujen. Tahap selanjutnya ialah pem­ eraman tahap satu, yakni tembakau yang telah disujen, digantung. Pem­eraman dilakukan selama satu hingga dua hari. Setelah pemeram­ an tahap satu, dilanjutkan dengan

Muhammad Afiq sedang merawat tembakau usia empat bulan yang telah selesai dipanen.

DIANNS 55 - 55

penjemuran tahap satu. Penjemuran tahap satu ini membutuhkan waktu tiga hari berturut-turut. Setelah di­ jemur, proses pemeraman dilaku­ kan kembali untuk membusukkan ganggang tembakau dan dilaku­ kan selama dua hari. Setelah pe­ meraman kedua, tembakau kembali dijemur selama lima hingga enam hari agar tembakau benar-benar kering. Tahap akhir ialah pelepas­ an sujen untuk disortir berdasar­ kan kualitasnya, barulah kemudian dilakukan pengepakan. Pada bu­ lan Agustus dan September 2017 tembakau mencapai harga yang memuaskan bagi masyarakat petani Glagahwero. “Petani tembakau saat ini dapat merasa lega karena harga tembakau mencapai tiga juta rupiah per kuintal apabila kualitas tem­ bakau bagus dan satu juta rupiah apabila kualitas tembakau jelek,” tutur Sukamto. Masyarakat petani Glagahwero menjual tembakau pada pabrik-pabrik lokal yang ada di desa mereka sendiri. “Dalam prosesnya dari sujen hingga penge­ pakan masih menggunakan caracara yang tradisional atau cara yang sudah dipakai sejak zaman Belan­ da, namun budaya yang dahulu ada kini sudah tidak lagi dipelihara,” jelas Sukamto. Reporter : Melinda Cucut W. dan M. Yusuf Ismail

Cucut


musik

Abdillah

Minggu, 30 Juli 2017. Pagi Tadi sedang tampil dalam acara Launching Album Single Malang Dub Foundation di Kandang Moong

SENANDUNG NADA ALAM SEMERU

G

unung tidak membutuhkan manusia, tetapi manusia membutuhkan gunung. Tanpa campur tangan manusia, ia tetap akan bertahan. Jika sedang tidak aktif, maka ia akan mati suri atau mungkin malah akan mati untuk selamanya.Sebab gunung mempunyai siklus “hidupnya� sendiri. Hal itulah yang menginspirasi Pagi Tadi untuk berkarya. Melalui lantunan lirik lagu dan alunan musik yang syahdu. Band Folk asal Malang yang beranggotakan 3 orang personil ini, mencoba menerjemahkan hubungan antara alam dan manusia. Untuk mengajak masyarakat lebih peduli pada alam sekitar.

DIANNS 55 - 56


MUSIK

G

unung Semeru terma­ suk dalam Kawasan Taman Nasional Bro­ mo Tengger Semeru (TNBTS). Sebagai destinasi wisata yang cukup tersohor di Provinsi Jawa Timur, gunung tertinggi di Pulau Jawa ini setidaknya di­ kunjungi 500 ribu pengunjung di tahun 2016. Namun sangat disayangkan, kini keindahan alam Semeru harus terkikis oleh beberapa masalah. Mulai dari permasalahan sampah, konser­ vasi alam, hingga Salvinia Molesta yang memenuhi Ranu Pani dan Ranu Regulo. Benu, salah seorang personil Pagi Tadi, pun seiya sekata atas keadaan itu. Menurutnya, gulma Salvinia Molesta atau sejenis eceng gondok tersebut dapat menut­ upi permukaan Ranu Regulo. “Ikan, serangga dan makhluk hidup lainnya tidak bisa hidup dengan baik dan akan merusak siklus alam itu sendiri,” imbuh musisi bernama lengkap Yulias Nugroho Putra tersebut. Dari permasalahan lingkungan itu­ lah, lagu-lagu Pagi Tadi lahir. Personil Pagi Tadi ker­ ap menulis lirik lagu ketika sedang naik gunung, karena ketiganya memang hobi naik gunung. Menurut mereka, hal itulah yang membuat lirik lagu akan lebih filosofis dan tidak klise. Mereka juga beranggap­ an, naik gunung dapat mem­ buat manusia lebih merasakan realita hidup. “Alam dan seki­ tarnya menyumbang inspirasi besar dalam karya Pagi Tadi,” ungkap Puput, gitaris Pagi Tadi. Seperti yang dituangkan dalam album pertamanya yang bertajuk “Kembara”. Lantunan melodi dan lirik-lirik pada al­ bum Kembara berasal dari riset dan aransemen langsung di

DIANNS 55 - 57

alam Semeru. Salah satu lagu alam dan bentuk terima kasih dalam album tersebut bahkan kepada-Nya. Sebagaimana tagpernah menjadi soundtrack film line yang selalu dibawakan oleh indi di Malaysia. mereka, “Selamat Menikmati Saat ditemui Awak LPM Udara”. Tiga kata itu melam­ DIANNS seusai mengisi aca­ bangkan rasa syukur atas nik­ ra “Launching Single Malang mat Tuhan, yang dimulai dari Dub Foundation” di Kandang udara. Hal yang hampir selalu Moong pada Minggu, 30 Juli dilupakan oleh manusia. 2017 lalu, Benu sang vokalis Selain bermusik, mere­ mengungkapkan musik se­ ka juga aktif berkontribusi bagai media penyampaian pe­ langsung melakukan kampa­ san, pengungkapan rasa, dan nye lingkungan dan pengum­ renungan yang mudah ter­ pulan donasi. Pada akhir ta­ sampaikan. Saat ini, berbagai hun 2016, Compact Disk (CD) genre dan aliran musik juga album Kembara terjual hingga telah berkembang sebagai me­ menembus angka 600 keping. dia alternatif penyampaian Sebagian dari dana penjualan pesan atau perenungan akan disumbangkan untuk konser­ suatu kondisi. Di tengah hal vasi kawasan TNBTS. Khusus­ itu, ia bertutur bahwa Pagi Tadi nya, Ranu Pani dan Ranu Regu­ memilih musik yang berkaitan lo yang telah menyumbang erat dengan lingkungan atau ba­ nyak inspirasi dalam karya pun alam. Akan tetapi, seja­ mereka. Turun lapang juga tinya musik tetaplah sebagai menjadi kegiatan Pagi Tadi media hiburan. Tergantung dalam kampanye lingkungan bagaimana musik tersebut me­ sejak tahun 2015. “Song From maknai serta dimaknai oleh The Trees” menjadi pilot pro­ pemusik dan sang penikmat ject kegiatan turun lapang yang musik itu sendiri. dilakukan di kawasan gunung. Bernyanyi di antara alam Seperti pembersihan eceng dan menjadikan tanah se­ gondok yang telah menutupi bagai alasnya, Pagi Tadi mulai 60% permukaan Ranu Regulo melantunkan Kembara sebagai dan sapu bersih sampah. “Air pembuka penampilan sore Bicara” sebagai agenda rutin itu. Musik yang syahdu, dengan lokasi Kandang Moong yang jauh dari hirup pikuk kota, men­ jadikan suasana semakin tenang. Hingga mem­ bawa para pen­ dengar untuk berkontempla­ si. Sebab musik bagi Putra, Benu Pembersihan Gulma Salvinia Molesta yang telah memenuhi 60% dan Ncus meru­ Ranu Regulo, salah satu kegiatan Pagi Tadi atau biasa disebut “Song pakan respon From The Trees - Dokumen : Pagi Tadi


MUSIK lainnya, dilakukan di kawasan laut dan sungai. Di antara­ nya pungut sampah pernah dilakukan di sepanjang Pantai Kondang Merak dan area Co­ ban Talun hingga aliran Sungai Brantas. Bersama-sama de­ngan kawan-kawan relawan dan ko­ munitas lingkungan, kedua kegiatan tersebut berlangsung dengan guyub. Berbarengan dengan sebuah mini konser. Di Balik Replika “Waktu mulai berujar Tentang kedatangannya Mencecap hari-hari Diam tanpa udara” Sepenggal lirik yang ter­ kandung dalam lagu Replika di album Kembara itu, memiliki pemaknaan tentang suatu ke­ nangan dalam putaran waktu seorang perempuan tua. Mak Nunung, begitulah sapaan para personil Pagi Tadi kepada perempuan itu. Pertemuan tak sengaja berawal ketika beliau sedang mengumpulkan kayu bakar. Kala itu, personil Pagi Tadi sedang menekuni hobi­ nya untuk mendaki Semeru. Putut dan Benu menuturkan, beliau hanya merasa meng­ habiskan waktu dan hidup berdua dengan “suaminya”. Bahkan ia selalu membagi dua setiap makanan yang diper­ olehnya, walau hanya sekepal kentang. Akan tetapi kenyata­ annya, perempuan tua itu hi­ dup sendiri di tengah kemasy­ huran tanah Semeru. Beliau menyimpan sendiri duka atas kesepiannya. Kesepian yang

digantikan dan ditemani oleh alam, pun oleh “suaminya”. Skizofrenia atau halusi­ nasilah yang mewujudkan so­ sok “suami” dalam benak Mak Nunung. Itulah nama sebuah penyakit yang diduga ada pada diri perempuan tua itu. Entah sejak kapan penyakit itu berse­ mayam pada beliau. Akan tetapi, kesendirian beliau telah di­mulai sejak relokasi warga karena kon­ servasi area Ranu Regulo. Hal itu pula yang membuatnya menjadi satu-satunya warga asli suku Tengger yang berada di Ranu Regulo. Kisah tersebut juga divi­ sualkan ke dalam video clip Rep­ lika yang dirilis pada 12 Juli 2016 di kanal Youtube Pagi Tadi. Kesetiaan Mak Nunung dalam memelihara alam Ranu Regulo, telah menggambarkan bahwa antara alam dan manusia merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan. Sebab alamlah yang telah menyediakan makan, minum dan tempat tinggal bagi­ nya. Hal ini tak terlihat dalam laku para pendaki gunung saat ini, khususnya Gunung Semeru, yang hanya terjebak dalam ka­ limat- kalimat seruan di media sosial. Pagi Tadi menangkap keresahan atas fenomena penci­ traan tentang “omong kosong” terhadap kampanye peduli lingkungan tersebut. “Banyak orang berkoar-koar save hutan, save gunung dan save earth, akan tetapi mereka hanya terjebak pada kata save,” ujar Benu. Be­ gitu pula dengan kisah di balik lagu Replika. Lagu yang meng­ ingatkan kita akan keterkaitan manusia dengan alam. Senya­

wa dengan potongan kalimat Soe Hok Gie dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran, “Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya.” Dilihat dari data Balai Be­ sar TNBTS, setiap pengunjung membuang sekitar 0,5 kilogram sampah di Gunung Semeru. Pa­ dahal, setiap hari gunung terse­ but disambangi 200 hingga 500 pendaki. Artinya di Gunung Se­ meru ada sekitar 250 kilogram sampah per hari. Dengan pel­ bagai masalah tersebutlah, Pagi Tadi menuangkan keresahan­ nya pada karya musik. Dengan lebih easy listening dan sebagai sebuah hakikat manusia seper­ ti yang dijelaskan Puput Pagi Tadi, “Kita sebenarnya tidak hanya berbicara musik, tapi ini merupakan hakikat sebagai manusia.” Karena memang pada dasarnya alam tidak per­ nah meminta apa-apa kepada manusia, selain merawatnya. “Earth and sky, woods and fields, lakes and river, the mountain and the sea are excellent schoolmaster and providing everything. Teach some of us more than we can ever learn from books,” potongan ka­ limat seorang arkeolog Inggris, John Lubbock, menjelaskan bahwa alam telah menyediakan semuanya sebagai tempat bela­ jar bahkan lebih luas lagi. Reporter: Abdillah Akbar dan Dewi Intan Permata Sari

DIANNS 55 - 58


Jalan--Jalan Jalan Jalan

Kota Lama Semarang: Memori di Balik Bangunan-bangunan Tua

Gedung Marabunta, sebuah gedung yang dibangun pada tahun 1854, identik dengan semut rasaksa di atapnya.

T

Wakhi

eriknya matahari kala itu menemaniku menyusuri sebuah kawasan di sudut Kota Semarang. Wong Semarang menyebutnya Kota Lama. Sebuah kota kecil dengan deretan bangunan tua b­ ergaya Eropa klasik. Satu di antaranya masih kokoh berdiri, dua di antaranya telah usang termakan zaman, sedangkan beberapa lainnya menjelma menjadi sebuah bangunan anyar. Hotel, rumah makan, dan tempat hiburan menye­marakkan kawasan itu. Upaya pemerintah untuk menghidupkan Kota Lama mulai nampak secara perlahan. Kulihat mentari bersinar dengan terik-teriknya. Pada bulan Juli, ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini memang memasuki musim ke­ marau. Tak heran jika gerah tak terhindarkan. Siang ini, aku akan menuju ke Stasiun Tawang untuk menjemput seorang teman dari Malang. Bersama debu dan asap knalpot yang beterbangan. Ku­ susuri jalan menuju stasiun yang terletak di Kota Lama. Seperseki­ an menit kendaraanku melaju. Kini aku sudah menapaki sebuah bangunan dengan dominasi susu­ nan bata di setiap dindingnya. Kusapukan pandangan pada kur­ si-kursi yang berjajar, lantaran seseorang yang kucari sedang

DIANNS 55 - 59

duduk di- antaranya. Aku ber­ jalan menghampirinya, tegur sapa dan saling bertukar cerita pun tak terhindarkan walau barang sejenak. Sebelum pada akhirnya kami meninggalkan tempat itu. Lalu lintas yang tak terlalu padat mempercepat laju kenda­ raan kami menuju sebuah gedung bercat putih yang tak jauh dari Taman Srigun- ting. “Semarang Contemporary Art Gallery”, be­ gitulah tulisan yang terpampang di muka gedung. Sebuah patung semut berbadan manusia ber­ warna merah menyambut ke­ datangan kami. Gedung yang dahulunya digunakan sebagai kantor perusahaan asuransi In-

dische Lloyd ini, kini didominasi oleh lukisan dan patung. Sebagai sebuah galeri, suasana tenang menyelimuti tiap sudut ruang­an. Hanya ada beberapa pengun­jung yang asyik berfoto atau sekadar menikmati karya. Terdapat se­ buah lukisan yang menggambar­ kan bangunan ini dari masa ke masa. Ulasan mengenai sejarah singkat gedung pun tak terting­ gal menghiasi dinding gedung yang dibangun sejak tahun 1918. Kutatap sebuah lukisan, ketika seorang lelaki bertubuh besar lengkap dengan seragam keamanan menghampiri. Tanpa basa-basi, beliau pun langsung bercerita panjang lebar. Mulai


Jalan - Jalan dari sejarah sampai makna filo­ sofis beberapa karya di galeri ini. Semua beliau ceritakan dengan suka cita. Hingga sebuah kalimat tak terlupakan terucap oleh be­ liau. “Kebanyakan pengunjung ke sini sekadar berfoto-foto atau menikmati karya, lalu pulang. Mereka tidak memanfaatkan ke­sempatan un­tuk me­nyusuri sejarah dan seluk beluknya.” Kejadian itu pada akhinya men­ jadi keresahanku. Kejadian yang mendorongku untuk menyu­ suri jejak historis Kota Lama. Untuk itu siang ini, kami pun bergegas menuju dae­ rah Gunung Pati. Kami akan bertemu Mas Yunantyo Adi, seorang pemer­ hati sejarah dan juga advokat. Dedauanan yang bergo­yang tersapu angin, serta harum­ nya aroma kopi menjadi teman perbincangan kami siang itu. Lelaki yang la­ hir di Semarang ini men­ ceritakan asal mula Kota Lama. Berawal ketika VOC datang hingga mengam­ bil alih Semarang. Sampai pada akhir­ nya memban­ gun Kota Lama sembilan belas tahun setelah­ nya. Sebuah cerita yang tak per­ nah kudengar secara leng­ kap, padahal aku lahir dan besar di kota ini. Ia juga menambahkan, kini telah banyak hotel, dan bebe­rapa kafe sebagai per­ wujudan wajah baru Kota Lama. Esok harinya, ­dengan se­ carik kertas dari Mas ­ Yunantyo yang berisikan infografis bangun­ an penting di Kota Lama, kami hendak menilik kondisi bangun­ an tersebut. Kini kendaraan kami telah sampai di Jembatan Mberok yang membentang. Jem­

batan yang menjadi pintu ma­ suk kami menuju Kota Lama. Nuan­sa berbeda dengan bangun­ an-bangunan tua bergaya Ero­ pa klasik mendominasi di setiap sudutnya. Riuh kendaraan berlalu la­lang dan warung-warung kecil, juga pedagang-pedagang keliling memberikan kesan kota ini ma­ sih bersenyawa dengan zaman. Kami memarkirkan ken­ daraan tepat di samping Taman Srigunting. Taman ini masih tam­ pak ramai di setiap sudutnya oleh orang-orang yang sedang bersan­ tai. Taman yang pernah direnova­ si pada tahun 2001 dan 2004 itu, juga dileng­ k a p i dengan atributatribut foto se­ Wakhi perti sepe­ da, becak dan topi. Cukup mem­

lenduk”. Hingga sekarang, Gereja yang sesungguhnya bernama Im­ manuel tersebut masih digunakan untuk ibadah setiap Minggu. Menyeberang dari Taman Srigun­ ting, nampak sebuah ba­ ngunan megah di sudut Kota Lama. Aksen merah bata dan or­ namen jendela yang simetris be­ gitu lekat pada bangunan yang dibangun sekitar abad 19 ini. Marba, begitulah yang terpam­ ­ pang di gedung bagian depan. Di bawah teriknya matahari, se­ kelompok belia terlihat sedang mengambil gambar tak jauh dari bangunan itu. Hanya nampak beberapa orang sedang duduk di dalam gedung yang sekarang digunakan sebagai gudang. Ge­ dung yang berasal dari singkatan nama pendirinya ini. Dulunya pernah dijadikan kantor ekspe­ disi, juga Toko Modern de Ziekel. Kami berjalan menuju punggung Gedung Marba. Tak ramai kendaraan berlalu-lalang. Bangunan-bangunan tua yang sebagian be­ sar te­lah usang, disang­ ga oleh bambu sebagai penguat pondasinya. Pandangan kami tertuju pada sebuah bangunan yang sebagian besar te­ lah roboh. Sisi-sisi­ nya dikelilingi pembatas dari seng. Beberapa mobil nampak terparkir di depan gedung itu. Kami memandangi bangunan itu dengan Wakhi mata mengernyit. Ba­ Gereja Blenduk yang dibangun pada tahun 1753 ngunan itu dahulu­ nya dan menjadi ikon kota lama Semarang. digunakan sebagai kan­ bayar secara sukarela untuk menik­ tor surat kabar berbahasa Belan­ matinya. Tepat di sam­ping taman, da, De Locomotief, yang terbit di berdiri bangunan yang menjadi Semarang. Kerusakan tersebut ikon Kota Lama Semarang. Se­ terjadi sejak 2015. Diduga akibat buah gereja yang dibangun pada sang pemilik menelantarkan dan tahun 1753, dengan atap yang menjual kayu-kayu bangunan membentuk kubah. Orang Sema­ tersebut. “Telat diketahui juga,” rang menyebutnya “Gereja Mb­ ucap Mas Yunantyo. Menurutnya,

DIANNS 55 - 60


Jalan - jalan saat kutemui sehari sebelumnya, terjadi kesalahan identifikasi pada tahun 2006. Dalam denah bangun­ an, De Locomotief digambarkan sebagai gedung di sampingnya, yang saat ini menjadi Bank Mandiri. Beranjak dari De Locomotief, kami berjalan menuju tepi Kali Semarang. Angkutan kota berwarna jingga terparkir di sana, di antaranya terlihat sedang menunggu penumpang. Ramai pula warung-warung kecil berjejer. Di seberangnya, kupandangi dua ba­ ngunan yang letaknya berdampingan. Keduanya memiliki corak yang sama, namun dengan keadaan bangunan yang cukup kontras. Bangunan yang be­ rada di sisi kanan terlihat tak terawat. Bangunan itu merupakan bekas kantor perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan, PTPN XV. Sedangkan di sisi kiri, bangunan Eks-Koloniale Bank terlihat ramai dengan berbagai aktivitas di dalamnya. Saat ini ba­ ngunan itu difungsikan oleh Perusahaan Phapros. Di tengah rasa lelah dan teriknya mataha­ ri kala itu, kami memutuskan kembali ke- tempat parkir. Di tengah perjalanan, aku memandangi se­ buah ba­ngunan tak terawat di sudut jalan. Tak ada aktvitas apapun di dalamnya. Hanya beberapa ken­ daraan yang menumpang parkir di sana. Bangunan itu rupanya Eks-Penerbit dan Toko Buku Van Dorp. Sebuah perusahaan yang mencetak sebuah buku pergerakan, kamus dan buku refe­rensi, serta sastra Melayu-­Tionghoa. Di seberangnya, berdiri bangun­ an yang sedari tadi ramai di­kunjungi orang silih ber­ ganti. Beberapa kendaraan nampak terparkir di de­ pannya. Bangunan yang dibangun sekitar tahun 1760 itu, dulunya adalah Kantor Pengadilan Negeri Sema­ rang. Sebelum kemudian beralih menjadi rumah makan ternama. T e r j a ­ di banyak perubahan pada Kota Lama. Selama mele­ wati sisi demi sisi Kota Lama, aku menyaksi­kan beberapa di antara bangunanbangun­ an itu beralih fungsi. Mu­ lai dari hotel, galeri, m u ­ seum tiga dimensi, serta beberapa café dan ru­ mah makan ikut menye­ marakkan kawasan

Pabrik rokok lokal berdiri sejak tahun 1959 hingga sekarang.

Wakhi

ini. Peralihan fungsi, rupanya menjadi salah satu u­paya pemerintah guna menghidupkan Kota Lama. Menging­­at sepinya kawasan ini beberapa tahun si­ lam, menjadikannya rawan terhadap tindak keja­ hatan. “Yang terpenting asalkan perubahan fung­ si tersebut harus menghargai value Kota Lama apakah sesuai atau tidak,” ujar Mas Yunantyo. Akan tetapi, pemerintah juga mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi pemilik dari bangunanbangun­an tua. De Locomotief menjadi salah satunya. Meskipun telah banyak bangunan yang ber­ ganti rupa, tetapi tidak dengan sebuah bangunan yang terletak tak jauh dari Stasiun Tawang. Hanya beberapa kendaraan yang terlihat berlalu-lalang. Beberapa orang terlihat duduk sambil asyik berbin­ cang-bincang. Mungkin mereka salah satu pekerja dari pabrik yang berdiri sejak tahun 1959 ini. Meski­ pun namanya masih asing di telinga. Akan tetapi, pabrik rokok yang bernama Praoe Lajar ini ­nyatanya masih beroperasi hingga sekarang. Di sebelah ­kanan, berdiri bangunan yang awalnya merupakan kan­ tor surat kabar Het Noorden milik pemerintah Hin­ dia Belanda. Meski tak terlihat aktivitas apapun dari luarnya, bangunan ini sekarang digunakan se­ bagai Depo Arsip Suara Merdeka dan Galeri Merak. Sebuah gedung yang terletak di Jalan Cen­ drawasih menjadi tujuan akhir penyusuran kami. Sebuah bangunan bergaya Eropa klasik dengan ikon dua semut raksasa di atapnya. Gedung yang berdiri sekitar tahun 1890 itu dulunya bernama Schouwburg, sebelum berganti menjadi Marabunta. Memiliki de­ nah elips dan kafe mewah, dulunya gedung ini digu­ nakan sebagai tempat pertunjukan opera dan kafe­ taria. Menyadari sang mentari yang perlahan mulai tenggelam, kami pun menyudahi penyusuran kami.

Yunantyo Adi Wakhi

DIANNS 55 - 61

Reporter: Wakhidatul Rohmawati



Komik: Joko Nur S. DIANNS 55 - 63


Sastra

Tanah Kaya (Konflik) Penulis: Resti Syafitri Andra

Katanya ini negara agraris Katanya negeri ini zamrud khatulistiwa Katanya bahkan pena yang dijatuhkan dari langit bisa tumbuh menjadi pohon di sini Ah semua itu hanya katanya Semuanya dusta!!! Di sini, petani bahkan tak bisa mengelola sawahnya Pesanggem bahkan tidak bisa mengambil kayu dari hutan Kami tidak punya hak lagi atas tanah kami Tanah kami telah dirampas, semuanya dikuasai Tanah adalah milik negara, milik kaum berkuasa!!

Di mana-mana terjadi sengketa tanah Di mana-mana rakyat menjerit meminta keadilan Tapi tidak ada yang mendengar Tidak ada yang mau membuka mata Pemimpin kami telah buta dan tuli!! Hutan kami hilang demi perkebunan Sawah kami musnah demi perumahan Di mana-mana beton menjulang tinggi Manusia sekarang makan beton Tak beras tak apa asal ada beton Ini adalah masa di mana Saudara kami kehilangan nuraninya Para pemimpin kehilangan keadilannya Semuanya begitu sunyi Hanya kami yang menangis di sini

Ilustrator : DIPS

DIANNS 55 - 64


SASTRA

Ilustrator: Joko

CURHATANAH Penulis: Joko Nur Su;listyawan

Ini adalah kisahku sebagai sepetak tanah yang berada di sebuah desa kecil. Desa kecil yang masih memiliki suasana nan asri dan tenteram. Kurasakan di langit desa banyak burung perkutut terbang berputar-putar mengitariku, sambil menunggu kesempatan untuk mencuri sebutir beras di antara bulir-bulir padi yang menguning untuk dijadikan santapan pagi, sebelum mereka diusir petani menggunakan orang-orangan sawah yang ditancapkan di atasku. Serta petani yang memukulkan cangkulnya berulang-ulang di atas tubuhku, meskipun di era modern sudah digantikan oleh mesin traktor. DIANNS 55 - 65

Sepertinya aku belum mem­ beritahukan kisah kehidu­ pan masa laluku sebelumnya. Dulu aku tidaklah sendiri. Bisa dikatakan, dulu majikanku te­ lah mempunyai berpetak-petak lahan sawah yang telah menjadi teman-temanku daripada saat ini. Dulu majikanku adalah orang terkaya di desa kecil ini. Dia me­ ru­ pakan seorang juragan beras yang terbilang cukup sukses saat itu. Keluarganya dapat dikatakan cukup mapan dan berkecukupan. Dia hidup di sebuah rumah besar bersama dengan istri dan kelima anaknya. Anak-anaknya terdiri atas tiga anak lelaki dan dua anak perempuan. Tentu, sesuai dengan a­­dat kebudayaan setempat, anak


SASTRA laki-laki merupakan pewaris utama harta orang tuanya saat ke­ duanya telah tiada. Maka hampir sebagian besar warisan keluarga jatuh pada ketiga anak laki-laki mereka. Sedangkan anak perempuan akan mendapatkan sebagian kecil dari warisan tersebut. Namun, dari ketiga anak lelaki tersebut, hanya putra sulung yang berniat memantapkan diri meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai petani untuk mengurusiku. Sementara dua saudara laki-laki lainnya memutuskan untuk pergi merantau ke kota. Begitu juga dengan saudara perempuannya. Saat ini dapat dikatakan, pekerjaan sebagai petani yang bekerja di atas lahan pertanian, seperti bukanlah pekerjaan yang dapat menguntungkan serta menyejahterakan kehidupan. Kebanyakan para pemuda zaman sekarang lebih memilih merantau ke kota karena melihat kesuksesan teman sedesanya yang telah sukses di “belantara” perkotaan. Melihat saat ini pembangunan menuju era industri lebih menggiurkan daripada era agraria yang ha­nya mengandalkan diriku untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kini kulihat teman-temanku sesama petak-petak sawah telah berubah menjadi gedung-gedung kokoh yang seakan-akan memandang rendah diriku ini. Saat ini seakan-akan bekerja sebagai buruh pabrik ataupun pegawai sipil di kantor peme­ rintahan yang gajinya tetap, lebih dihargai daripada menjadi petani di kampung halaman. Kehidupan perkotaan

menawarkan berbagai fasilitas yang hampir tidak ditemui desa-desa kecil, seperti kebutuhan hidup yang lengkap serta lebih beragamnya lahan pekerjaan. Ingar-bingar perkotaan telah menghipnotis pemuda untuk hijrah ke belantara industri kota. Yang membuat tanah-tanah di sana tak sanggup menahan beban bangunan di atasnya karena saking banyaknya, sehingga banyak dari mereka yang makin turun. Tak perlulah aku beritahu kota mana yang kumaksud barusan. Baiklah kita kembali ke

“Saat ini pembangunan

menuju era industri lebih menggiurkan daripada era agraria yang hanya mengandalkan diriku untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka

ceritaku semula. Selang beberapa tahun setelah anak-anak majikanku kecuali si sulung pergi meninggalkan desa kecil ini, mereka membiarkan si sulung bersama istrinya menggarap sendiri petak-petak tersisa dariku yang didapatkannya dari bekas ayahnya. Sementara me­ reka juga memutuskan untuk menjual harta warisan lainnya guna bekal pergi merantau ke­ luar desa. Mereka berpikir pergi ke kota adalah jalan menuju kesuksesan satu-satunya. Padahal kalau boleh jujur, mengelola tanah pertanian seperti diriku

ini pun juga dapat mendatangkan uang. Namun, yang paling membuat orang semakin malas untuk menjadi seorang petani adalah ketika mereka harus berurusan dengan permainan licik tengkulak yang membeli gabah mereka de­ ngan harga rendah, lalu menjualnya kembali de­ ngan harga tinggi di pasaran. Tak hanya itu, petani kecil juga kesulitan dalam mencari bi­ bit dan pupuk karena langkanya kedua komoditas ini di pasaran. Kalaupun ada, alamak...!! Harga­nya bisa membuat dompet petani bocor. Terlebih lagi berita mengabarkan, ternyata produsen pupuk melakukan penumpukan pupuk di gudang hingga harga pupuk naik. Sungguh permainan cerdas dari kaum konglomerat. Kulihat si sulung me­ mukul-mukulkan cangkulnya pada tubuhku. Sembari disirami oleh sinar mentari yang me­ nyengat di tengah hari ini. Namun itu tak dia hiraukan. Dia terus-menerus berkonsentrasi meng­­olah diriku, tanah pertaniannya, agar menghasilkan produk pertanian yang berkualitas. Saat ini jalan yang ada di depanku yang dulunya jalan tanah berbatu telah menjadi jalan mulus beraspal, semenjak gencar­ nya pembangun akhir-akhir ini. Kulihat kosentrasi si sulung dalam bekerja buyar setelah didengarnya suara mobil berhenti di jalan beraspal di depanku. Saat si sulung menoleh, dilihatnya sebuah mobil hitam mengkilap nan indah bertengger di sana. Dari dalam mobil tersebut DIANNS 55 - 66


SASTRA muncullah orang berpenampil­ an necis dengan setelan kemeja dan jas berwarna hitam melenggang ke arah si sulung. Saat kulihat sejenak, sepertinya wajah pria itu tak asing bagiku. Setelah kuingat-ingat, akhir­ nya aku sadar pria itu adalah si bungsu yang sudah sepuluh tahun pergi merantau ke ibu kota untuk pekerjaan yang dianggap lebih “layak” daripada sekadar menggarap tanah persawahan warisan orangtuanya. Ternyata saat ini dia te­ lah bisa dianggap cukup sukses di tanah perantauan sana. Saat ini dia tampak telah menempati jabatan penting di sebuah perusahaan besar di kota tersebut. Sesudah saling bertegur sapa, mereka tampak tenggelam dalam pembicaraan serius. Setelah kucermati, inilah dialog yang kurang lebih kudapatkan. “Mas, saya ingin membeli tanah ini untuk perusahaan tempat saya bekerja. Karena bos saya menganggap lokasi ini cukup strategis sebagai investasi bisnis,” kata si bungsu sambil meminta. Tapi oleh si sulung dijawab, “Maaf Dik, tapi tanah adalah harta terakhir yang keluargaku miliki. Jika kujual, maka habislah kami. Apalagi ini tanah warisan orang tua kita.” Si bungsu menjawab, “Mas kalau tidak mau, begini saja, Mas kalau tidak mau karena jika tanah ini dijual Mas tak bisa makan, lebih baik kerja di perusahaan kami. Mas akan kami gaji lebih daripada hasil pendapatan seorang petani selama sehari menggarap sawah­ nya.” Namun oleh si sulung DIANNS 55 - 67

dibalas kembali dengan lebih tegas, “Maaf, sebagaimanapun menariknya pekerjaan yang anda tawarkan, saya tetap akan menolak menjualnya bahkan kepada adik saya sendiri!” Lalu dijawab balik oleh si bungsu, “Kalau begitu bagaimana jika setelah Mas jual, kami gantikan sawah­­­nya di tempat yang lebih subur. Serta kami sediakan fasilitas yang lebih mumpuni dari yang mas punya saat ini?” Dijawab lagi oleh si sulung dengan lebih keras, “Sudah kukatakan sedari tadi aku tak sudi menjual tanah ini bagaimanapun menariknya tawaranmu dan juga perusahaanmu tersebut. Kecuali kamu langkahi dulu mayatku!” Si bung­­supun akhirnya kehabisan kata-kata dan berbalik ke arah mobil hitamnya sambil bersungut-sungut menahan marah. Malampun tiba, saat se­ mua makhluk seluruh muka bumi ini tengah terbuai dengan alam mimpinya masing-ma­ sing. Aku, si tanah, berdiam diri mengamati pendaran cahaya bin­­­tang yang berkedap-kedip di langit malam nun jauh di sana. Saat aku mulai terhanyut dalam pesona cahaya bintang, kude­ ngar suara langkah kaki dari arah pinggir sawah. Kulihat si bungsu tengah terduduk lesu seperti telah hilang semangat. Sayup-sayup kudengar si bungsu melontarkan keluhannya selama ini. “Sudah susah payah aku mendapatkan jabatan dan pekerjaan ini dengan merantau ke kota, namun sekarang si bos terus menekanku untuk menjual tanah ini pada

perusahaan. Padahal tanah ini merupakan tanah berharga, warisan orang tua kami. Tentu sebenarnya aku juga ingin menolak ide tersebut namun jika tidak kuiyakan, perusahaan tersebut akan memecatku. Lalu setelah dipecat dari perusahaan, aku dan keluargakau nanti makan apa? Ini sungguh membuatku tertekan,” keluhnya kudengar saat embusan angin malam yang dingin menerpa diriku. Lalu setelah mengelu­ arkan semua keluh kesahnya, kudengar dia bergumam lagi, “Tak ada cara lain. Aku terpaksa menggunakan rencana ini kepada kakakku!” Setelah itu, ia beranjak pergi dan menghilang di dalam kegelapan malam. Keesokannya, tersiar kabar bahwa si sulung tewas terbunuh di tengah areal persawahan. Setelah diselidiki polisi, ditemukan berbagai kemungkinan dan akhirnya si bungsu ditangkap oleh kepolisian atas tuduhan membunuh si sulung. Sedangkan kepemilikan diriku akhirnya beralih ke anak te­ ngah. Si tengah, ternyata lebih mudah dinego oleh si bungsu sebelum dirinya tertangkap. Secara resmi, akupun menjadi aset baru perusahaan tersebut. Dan akhirnya akan dibangun gudang produksi perusahaan tersebut di atas tubuhku ini. Seandainya aku ini bisa berbicara dengan manusia, tentulah aku akan menggugat mereka.


Resensi

12 Years a Slave : Perjalanan Hidup Para Budak di Amerika Judul

: 12 Years a Slave

Jenis

: Biografi, Drama

Sutradara

: Steve McQueen

Skenario

: John Ridley

Tanggal Rilis

: 30 Agustus 2013

Musik

: Hans Zimer

Sinematografi : Sean Bobbit Sumber : foxsearchlight.com

Penyunting

: Joe Walker

Durasi

: 134 menit

Pemeran : Chiwetel Ejiofor, Michael Fassbender, Benedict Cumberbatch, Paul Dano, Paul Giamatti, Lupita Nyong’o, Sarah, Paulson, Brad Pitt, Alfre Woodard Produser : Brad Pitt, Dede Gardner, Jeremy Kleiner, Bill Pohlad, Steve McQueen, Arnon Milchan, Anthony Katagas

12 Years a Slave adalah film yang diadaptasi dari autobiografi karya Solomon Northup pada tahun 1853 tentang pengalaman pribadinya menjadi seorang budak. Film ini dibuat dengan latar belakang zaman perbudakan pada tahun 1841. Bercerita tentang seorang yang merdeka, Solomon Northup bekerja sebagai pemain biola yang andal. Dia tinggal bersama istri (Anne Hampton) dan kedua anaknya (Margaret Northup dan Alonzo Northup) di Saratoga Spring, New York. Ketika istri Solomon melakukan perjalanan ke Sandy Hills, Solomon ditawari pekerjaan sebagai pemain biola bersama rombongan sirkus selama 2 minggu di Washington. Tapi setelah tur mereka selesai, ia dibuat mabuk oleh kawan-kawan sirkusnya. Saat terbangun, Solomon sudah terikat dengan rantai di ruangan gelap dan hendak dijual sebagai budak.Ia pun terkejut karena tidak tahu apa yang terjadi padanya. Lalu dua orang muncul dan memberitahu bahwa dia akan dijual sebagai budak. Penolakan Solomon pun berakhir dengan cambukan oleh kedua orang tersebut. Setelah itu, Solomon hendak dikirim ke New Orleans untuk dijual bersama dengan budak-budak yang lain. Di kapal, dia bertemu dengan dua orang yang seperti dia, diculik dan dijadikan budak. Mereka membicarakan tentang rencana untuk melawan para penjual budak dengan serius tapi mereka urungkan karena berfikir jumlah mereka terlalu sedikit dan para budak yang lain tidak bisa berkelahi. Kebanyakan budak yang ada di kapal sudah lahir dan besar sebagai budak. Mereka lebih memen­ tingkan cara bertahan hidup daripada melawan dan mati. Sesampainya di New Orleans, Solomon dinamai Platt untuk menutupi nama aslinya sehingga orang tidak tahu kalau dia adalah Solo­ mon Northup, orang merdeka. Dia diberi identitas palsu sebagai budak pelarian dari Georgia. Sesampai­

nya di rumah penjualan budak, Solomon dibeli oleh seorang pemilik perkebunan bernama William Ford bersama dengan budak wanita bernama Eliza. Sesampainya di rumah Ford, Solomon dikenalkan dengan kepala tukang kayu Ford,

Sumber : cronicasdecalle.com.ar

John Tibeats dan pengawas perkebunan, Chapin. Solomon bekerja menebang dan memotong kayu di perkebunan kayu Ford.

Ford merupakan tuan yang baik. Dia melihat Solomon berbeda dengan budak-budak lain yang dia miliki. Selain bertalenta memainkan biola, Solomon juga cukup cerdas. Di perkebunan Ford, Solomon membuat jalur air untuk dilewati supaya dapat mengangkut kayu de­ ngan lebih cepat dan efektif ke seberang sungai sehingga Ford bersimpati kepada Solomon. Berkat itu, Ford menghadiahi Solomon sebuah biola. Melihat Ford bersimpati dengan Solomon, sang kepala tukang kayu tidak suka. Dia selalu mencari kesalahan Solomon agar punya alasan untuk menghukum Solomon. Saat melihat ada pekerjaan Solomon yang tidak beres, dia langsung memukuli Solomon dengan tampang yang sangat kesal, tapi Solomon tidak tinggal diam. Dia melawan dan akhirnya memukuli balik Tibeats

DIANNS 55 - 68


Resensi

Sumber : film-grab.com

sampai akhirnya dilerai oleh Chapin. Namun akhirnya Tibeats membalas perbuatan Ford dengan lebih kejam. Dia membawa beberapa orang untuk menggantung Solomon dengan hanya jempol kakinya yang menginjak tanah. Tidak tega melihat Solomon disiksa oleh Tibeats, Ford akhirnya menjual Solomon kepada pemilik perkebunan kapas bernama Edwin Epps. Epps terkenal suka menyiksa budak-budaknya dan menggunakan pembenaran atas perbuatannya itu menurut kitab suci. Dia percaya bahwa hak untuk menyiksa para budak diperbolehkan dalam kitab suci. Di perkebunan kapas Epps, para budak diharuskan memetik 200 pon kapas setiap harinya. Yang memetik kurang dari itu akan dihukum dengan cambukan. Solomon termasuk budak yang dihukum cambuk karena tidak memenuhi target panen. Di sana, Solomon bertemu dengan seorang budak perempuan bernama Patts. Dia mampu memanen kapas sampai lebih dari 500 pon setiap hari­ nya. Meski begitu, Patts tidak mendapat­ kan perlakuan baik dari Epps. Ia kerap mendapatkan kekerasan seksual dari Epps sendiri. Sehingga menyebabkan istri Epps cemburu dan seringkali melukai Patts tanpa alasan. Penyiksaan terhadap Patts yang dilakukan tuannya semakin memburuk hingga ia meminta Solomon untuk membunuhnya. Patts meminta Solomon dengan sangat karena dia sudah tidak tahan lagi dengan hidupnya. Tapi Solomon menolak untuk melakukan itu. Pada suatu hari, perkebunan Epps diserang hama. Dia percaya bah-

DIANNS 55 - 69

wa budak-budak yang baru dibelinyalah yang menyebabkan kedatangan hama. Para budaknya dianggap tidak mengikuti ajaran Tuhan sehingga Tuhan mengutuk perkebunan Epps dengan hama. Dia marah dan mencambuk budak­ nya di kebun dengan membabi buta. Akhirnya Epps menyewakan budak-budak­ nya kepada perkebunan lain hingga musim panen tiba. Selama bekerja di sana, Solo­mon diperlakukan dengan baik. Dia bahkan ditawari pekerjaan untuk bermain biola di ulang tahun pernikahan dan mendapatkan upah dari itu. Sekembalinya dia ke perkebunan Epps, dia langsung bekerja lagi dan masih belum mencapai target sehingga dia harus dicambuk. Lalu dia diobati oleh budak baru berkulit putih bernama Armsby. Solomon ingin meminta tolong Armsby untuk mengirimkan surat kepada orang yang bisa membebaskannya di New York. Ia membayar Armsby dengan uang yang didapatkannya dari bermain biola, sedangkan Armsby bersumpah untuk tidak memberitahukan ini kepada siapa pun. Akan tetapi, Armsby mengingkari janjinya. Ia mengadu kepada Epps tentang rencana Solomon. Berkat kemampuan Solomon meyakin­kan Epps, ia pun bisa lolos dari tuduhan. Kemudian Solomon langsung membakar surat yang ingin dikirimkan ke teman­nya itu sambil menangis, karena dia sudah kehilangan harapan untuk segera bebas.

Sumber : thedailybeast.com

Suatu hari, Epps membangun sebuah gazebo di depan rumahnya. Dia mempekerjakan Bass, tukang kayu dari Kanada. Bass adalah orang yang tidak suka dengan perbudakan dan dia menentang perbudakan. Dia berpikir kalau perbudakan tidak seharusnya ada karena mereka semua sama-sama manusia. Solomon percaya kepada Bass dan dia menceritakan kenapa dia bisa menjadi budak. Bass merasa simpati dengan cerita Solomon dan dia ingin membantu Solomon untuk mengirimkan surat kepada temannya. Satu hari, perkebunan Epps didatangi oleh sheriff setempat. Sheriff tersebut bersama orang yang bernama Parker yang merupakan teman Solomon. Melihat kedatangan mereka, Solomon terkejut dan sangat kaget melihat Parker. Sheriff lalu menanyakan nama asli Solomon, keluarga dan anak-anaknya. Mendengar jawaban Solomon, Sheriff dapat memastikan bahwa Solomon adalah orang merdeka, bukan budak bernama


Resensi Platt. Parker membawa surat pernyataan bahwa Solomon sebenarnya adalah orang merdeka dan bukan budak. 12 Years a Slave yang merupakan film adaptasi dari kisah nyata, memaparkan secara langsung perbudakan yang terjadi pada era 1800-an. Di sini ditunjukkan bahwa sang pemilik budak dapat melakukan apa pun kepada budak­nya, bahkan hal-hal yang sangat kejam dan tidak manusiawi. Kekerasan fisik, psikologi, dan seksual adalah siksaan sehari-hari yang biasa diterima oleh para budak. Mereka memang sudah tidak dianggap seperti manusia lagi, melainkan hanyalah alat untuk melayani dan bekerja. Film ini tidak lepas dari adegan-adegan siksaan yang dilakukan ma-

jikan budak kepada sang budak. Akan tetapi hal itulah yang membuat film ini menarik. Bukan tentang pelarian atau perlawanan para budak terhadap majikan, namun perjalanan hidup para budak. Betapa tragis karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa saking kuatnya pengekangan kebebasan atas mereka oleh para majikan yang keba­ nyakan berkulit putih, hingga ada yang lebih memilih mati daripada terus disiksa sedemikian rupa. Tidak hanya berfokus pada Solomon sebagai tokoh utama, tetapi juga tentang keseluruhan para budak. Digambarkan bagaimana keseharian para budak dan juga bagaimana mereka bertahan hidup dalam siksaan yang dilakukan oleh tuannya setiap hari.

Sumber : movieandphilosopinow.blogspot.com

Film ini sangat direkomendasikan untuk menjadi daftar tontonan anda karena menyentuh setiap lekuk kemanusiaan dan juga sisi kehidupan sosial, termasuk rasisme yang sangat kental.

Penulis : Ferry Firmana

“I could not comprehend the justice of that law, or that religion, which upholds or recognizes the principle of slavery� - Solomon Northup, Twelve Years a Slave

DIANNS 55 - 70


Resensi

GENDUK

“Emas Hijau di Lereng Sindoro”

Judul Buku : Genduk Penulis : Sundari Mardjuki Tebal : 232 halaman Panjang : 20 cm Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit : Cetakan Pertama, 2016

Tanah kerontang ia gemburkan Larik benih ia taburkan Ada kehidupan di sana yang ia dekap hingga bulan tak berbilang

S

ebait Sajak Pohon Tembakau yang menjadi bagian dari kisah baru karangan kedua Sundari Mardjuki. Setelah sukses mendapa­ tkan penghargaan novel pendatang baru terbaik untuk karya pertaman­ ya di tahun 2012, Sundari Mardjuki kembali dengan karya fiksi keduan­ ya de­ngan latar yang diambil pada tahun 1970-an. Lereng Gunung Sin­ doro atau juga disebut Sundoro yang terletak di Jawa Tengah menjadi latar tempat diceritakannya kisah baru seorang gadis tembakau. Bermodal pengalaman masa kecil tinggal di le­ reng Sindoro, Sundari mampu men­ ciptakan suasana khas pegunungan. Tak hanya itu, riset pun dilakukan­ nya untuk mendapatkan suasa­ na para petani tembakau di sana. Tokoh utama dalam kisah ini adalah seorang gadis berusia 11 tahun yang akrab disapa Genduk oleh warga sekitar lereng Gunung Sindoro. Rumah kecil sederhana menjadi tempat ia singgah bersa­ ma Biyung, sebutan lokal setempat untuk memanggil “Ibu”. Biyung­ nya adalah seorang petani gurem yang menggantungkan nasib pada lembaran daun tembakau yang ia tanam di lereng Sindoro. Walau­ pun hidup berdua, Genduk selalu teringat akan sosok seorang lelaki

DIANNS 55 - 71

yang tak pernah ia temui sebelum­ nya, namun sangat ia rindukan. So­ Sumber : goodreads.com sok yang selalu membuat Genduk nampak berkhayal membayangkan betapa bahagianya ia ketika bersa­ yang menakutkan bagi para petani. ma dengan lelaki itu. Sosok Pak’e Selain karena harus ada uang lebih yang tiba-tiba menghilang saat ia untuk membeli pupuk, benih tem­ kecil. Namun khayalan hanya men­ bakau yang ditanam harus terjaga jadi sebuah angan baginya. Biyun­ dari gulma. Secara berkala bibit gnya tak suka sama sekali saat ia tembakau ini harus diperiksa. Apa­ hendak membicarakan sosok Pak’e. bila ada yang mati, harus segera Genduk menjalani diganti dengan bibit tembakau hari-harinya seperti anak biasanya. yang baru. Tembakau yang sema­ Pergi bersekolah, bermain, dan kin meninggi dan muncul tunas di membantu Biyung saat musim sela-sela daun, harus dipotong agar panen tiba. Musim tembakau ada­ sari-sari terus mengalir di daun tem­ lah musim labuh. Apa yang di­ bakau. Proses pemotongan tunas ini miliki petani dipertaruhkan agar disebut dengan ngewos. Tak hanya penanaman tembakau dapat ber­ ngewos tunas tembakau, punggel hasil hingga panen. Saat musim juga harus dilakukan ketika bunga panen tiba, menjadi hari tersibuk tembakau tumbuh. Punggel adalah bagi masyarakat di lereng Sindoro. proses memotong bunga tembakau Bahkan kegiatan belajar diliburkan agar tidak tumbuh lagi sehingga karena anak-anak lebih memilih un­ daunnya semakin subur dan lebar tuk membantu memanen tembakau. hingga sampai pada masa panen. Setelah proses tanam, tiba­ Bagi masyarakat Sindoro, lah masa memetik tembakau yang tembakau merupakan harapan yang siap panen. Memetik tembakau itu dipupuk dengan perjuangan keras. unik, ada beberapa jenis dan kuali­ Setiap lembar daun tembakau me­ tas daun tembakau dilihat dari war­ rupakan harta yang tak ternilai. na dan posisi daun tembakau. Daun Tiap lembarnya menjadi penentu yang paling bawah disebut totol A. hidup para petani selanjutnya. Emas Di atas totol A dan berwarna kuning Hijau, itulah julukan bagi tiap lem­ bar daun tembakau yang tumbuh. disebut totol B, lalu semakin ke atas Melalui berbagai macam proses ta­ dan warna­nya berubah dari kuning nam, Emas Hijau ini sudah menguji menjadi semburat merah namanya nyali petani sejak awal. Saat ladang totol C, D, E, F hingga puncaknya dipacul, ditanam, hingga masa totol G yang disebut mbako srintil. Buah hasil Emas Hijau ini panen. Pada awal masa tanam, pu­ akan nampak saat mencapai tiga puk dan nanjaki menjadi suatu hal bulan setelah masa tanam. Apa­


Resensi kah daun ini dapat memberikan laba atau malah menjadi malape­ taka bagi para petani? Malapetaka akan terjadi jika para tengkulak dan gaok tidak memilih hasil panen para petani untuk dibawa ke kota. Loka­ si di lereng Sindoro membuat para petani kesusahan dalam mendapat­ kan akses secara langsung sehingga dengan mudah menyerahkan buah hasil mereka pada gaok. Gaok yang merupakan perantara petani dan tengkulak ini pun tak jarang me­ mainkan harga jual tembakau se­ suka hati mereka. Sehingga ke­ rap petani yang telah memanen tem­ bakaunya akan terjerat utang apabi­ la daun-daun itu tidak dipilih para gaok untuk didistribusikan ke kota. Hingga akhirnya, Genduk merasa lelah dengan berbagai ma­ cam hal yang menimpanya. Diper­ mainkan oleh salah satu gaok ber­ nama Kaduk yang amat tak ia sukai dengan iming-iming tembakau Bi­ yungnya akan dipilih untuk didis­ tribusikan. Tetapi hal itu tidaklah terjadi, Genduk hanya termakan omongan palsu Kaduk. Merasa mur­ ka dan bersalah pada dirinya, Gen­ duk memutuskan untuk keluar dari lereng Sindoro menuju kota tanpa sepengetahuan Biyung. Ia memu­ tuskan untuk mencari sosok Pak’e di kota dengan bekal celengan ayam yang telah ia pecahkan. Genduk meyusuri lereng Gunung Sindoro menuju kota. Melihat pemandangan yang amat berbeda dari desanya, ia merasa takjub dengan berbagai ma­ cam perubahan suasana yang ada di depannya. Ia pun terus menyu­ suri jalanan kota hingga ia menye­ lamatkan cucu juragan tembakau yang sering disebut Biyungnya, dari hantaman truk yang lewat. Genduk pun singgah sejenak di rumah jura­ gan tembakau Tjo Tian Djan setelah menyelamatkan cucunya, sebelum melanjutkan perjalanan mencari Pak’e. Usai dari rumah juragan tembakau tersebut, perjalanan Gen­ duk berhenti di sebuah pesantren. Ia mengikuti informasi yang ia dapat­ kan terkait Pak’e dari penjual di warung makan pinggir jalan. Dengan memberanikan diri, Genduk memu­

lai langkah untuk menemui pemilik pesantren dan menjelaskan maksud kedatangannya. Obrolan panjang pun terjadi hingga Genduk merasa terkejut dengan apa yang ia dengar. Sosok yang selama ini ia rindukan, sosok yang selama ini ia anganangan­ kan untuk bertemu, semua­ nya hancur karena satu kalimat yang terlontar dari Pak Kyai pesantren tersebut. Pak Kyai mengatakan bah­ wa saat itu, geger antara santri dan abangan sedang berkecamuk, dan Pak’e menjadi salah satu korbannya. Pupus sudah harapan Gen­ duk untuk bertemu dan melepas rindu dengan Pak’e. Akhirnya Gen­ duk pulang ke Sindoro dan kembali

Sumber:semarangbisnis.com

menemui Biyung untuk mencerita­ kan semuanya. Namun, permasala­ han tidaklah berhenti. Desa geger! Ada seseorang yang bunuh diri karena tembakaunya hancur diper­ mainkan para gaok. Para petani pun menjadi lebih waspada dalam menyerahkan hasil tembakaunya ke tangan gaok. Tetapi para petani juga tidak mempunyai cara lain karena mereka tidak mempunyai akses. Genduk pun teringat akan suatu benda yang ia peroleh setelah menyelamatkan cucu juragan saat ia pergi ke kota. Lalu ia memutuskan untuk pergi ke kota lagi dengan sei­ zin Biyungnya. Ditemani Lik Nga­ dun, ia menemui juragan Tjo Tian Djan untuk membicarakan menge­

nai tembakau para petani dari Sin­ doro. Perasaan bahagia muncul keti­ ka juragan tembakau menyukai hasil panen para petani di lereng Gunung Sindoro. Akhirnya para petani tem­ bakau memercayakan Emas Hi­ jau mereka pada Genduk dan Lik Ngadun sebagai perantara ke jura­ gan tanpa perlu memikirkan kabar tembakau mereka di tangan gaok. Gaya penanaman tembakau era 1970-an yang telah diriset oleh Sundari menjadi daya tarik tersendi­ ri dalam karya fiksi ini. Proses pena­ naman tembakau hingga panen yang dijelaskan secara spesifik de­ ngan bahasa yang mudah dipaha­ mi, membuat kita dapat merasakan dan menggambarkan bagaimana proses bibit tembakau menjadi lem­ baran daun Emas Hijau. Konflik antarpetani dan gaok pun nampak nyata dengan realita yang terjadi saat ini, walaupun setting waktu berada pada beberapa puluh tahun yang lalu. Tak hanya mengisahkan beberapa aspek sosial saja, Novel Genduk memuat aspek lain. Seper­ ti halnya aspek budaya seperti wi­ witan dan pertunjukan Jatilan yang dikemas secara rapi oleh Sundari. Sayangnya, pembawaan konflik tokoh antagonis dalam ce­ rita masih kurang mendalam dan berakhir begitu saja. Konflik an­ tara Kaduk dan Genduk berakhir begitu saja, tanpa terjadi gejolak penyelesai­ an masalah yang le­ bih mendalam. Namun di balik itu semua, kisah Genduk si gadis tem­ bakau dapat menjadi rekomendasi bagi pembaca yang menyukai cerita berdasarkan konflik sosial dan ke­ senjangan di masyarakat. Tak hanya itu, novel Genduk dapat menjadi bacaan ringan bagi pembaca yang penasaran akan metode penanaman tembakau dan bagaimana selem­ bar daun tembakau dapat menjadi sumber penghidupan masyarakat di lereng Gunung Sindoro. Novel Gen­ duk juga mendeskripsikan secara tersirat mengenai bentuk dan jenis tembakau terbaik yang seringkali disebut dengan tembakau srintil.

Penulis : Nurhidayah Istiqomah

DIANNS 55 - 72




TANAHADALAHTUBUH TA N A H A DA L A H K I TA TA N A H M I L I K R A K YAT


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.