27 minute read
Sejarah Kepolisian Daerah Aceh
Advertisement
BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN POLDA ACEH
SEJARAH KEPOLISIAN DI ACEH
Babakan sejarah kepolisian di Aceh terkait erat dengan masa transisi yang menandai berakhirnya fase kolonisme Belanda di Aceh dan masuknya Jepang ke daerah ini tahun 1942 atas undangan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Menjelang akhir kekuasaan Belanda, PUSA yang dibentuk pada 5 Mei 1939 1, melalui utusannya, Teungku Syekh Abdul Hamid Samalanga (Ayah Hamid), mengadakan hubungan rahasia dengan Jepang di Penang, Malaysia.2
Tujuan ulama mengundang Jepang adalah untuk membantu rakyat Aceh mengusir Belanda yang telah merongrong kedaulatan Kerajaan Aceh melalui deklarasi perang secara resmi pada 26 Maret 1873.
Di tengah menguatnya cengkeraman Belanda di Aceh pada era 1940-an, ulama dan sebagian besar rakyat Aceh
1 Harry Kawilarang. 2010. Aceh, dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Cetakan ke-3, Banda Aceh: Bandar Publishing, hlm. 3. 2 Rusdi Sufi. 2009. Pernak-Pernik Sejarah Aceh, Banda Aceh: Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh, hlm. 111.
terkesan dan menaruh harapan besar pada Jepang karena Kekaisaran Jepang mulai memakai siasat propaganda untuk menarik simpati dari golongan uleebalang, ulama, dan masyarakat Aceh melalui slogan “Nippon pemimpin Asia”, “Nippon pelindung Asia”, dan “Nippon cahaya Asia”.
Namun, janji Jepang dalam propagandanya untuk mengusir Belanda dari Aceh itu lebih banyak menarik simpati golongan ulama daripada uleebalang (hulubalang). Soalnya, golongan ulamalah yang paling disasar Belanda sejak mereka mendarat di Aceh. Sebaliknya, golongan ini pula yang paling membenci dan anti terhadap Belanda sehingga menjadikan perang Aceh melawan kaphe Belanda sebagai jihad fisabilillah (perjuangan suci di jalan Allah).
Sebagaimana disebutkan Teuku Ibrahim Alfian3 bahwa jauh-jauh hari sebelum Jepang mendarat di Aceh, perwakilan Jepang yang berada di Malaysia telah melakukan hubungan politik yang menguntungkan mereka melalui kontak langsung dengan para pemimpin rakyat Aceh, terutama dari kalangan PUSA. Lembaga ini menjadi panutan rakyat Aceh karena golongan inilah yang menjadi inti dalam melakukan aksi perlawanan terhadap Belanda setelah Sultan Aceh ditawan.
3 T. Ibrahim Alfian, dkk. 1982. Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (19451949), Banda Aceh: Museum Negeri Aceh, hlm. 9.
Perjuangan PUSA dalam bentuk politik, menurut Bambang Suwondo, antara lain, dengan mengadakan rapat-rapat rahasia untuk menyusun strategi yang tepat dalam menghadapi Belanda serta mengadakan hubungan dengan luar negeri guna memperoleh bantuan.4
Dalam sebuah rapat rahasia bulan Desember 1941 yang dihadiri Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Teungku Abdul Wahab (PUSA), Teuku Nyak Arief (Panglima Sagi XXVI Mukim), Teuku Muhammad Ali Panglima Polem (Panglima Sagi XXII Mukim), Teuku Ahmad (Uleebalang Jeunieb-Samalanga), dan lain-lain, mereka mengucapkan ikrar setia kepada agama Islam, bangsa, dan tanah air, serta menyusun pemberontakan bersama melawan Pemerintah Belanda dan bersetia kepada Dai Nippon.
Tindak lanjut dari rapat rahasia itu, pihak PUSA dan uleebalang menghubungi perwakilan Jepang yang berada di Malaya antara bulan Januari dan Februari 1942.
Utusan Aceh yang datang untuk bertemu Jepang adalah Teungku Syekh Abdul Hamid (Ayah Hamid) dari PUSA, sedangkan dari golongan uleebalang adalah Teuku Muda dari Lhoksukon dan Teuku Ali Basyah dari Panton Labu.5
4 Bambang Suwondo. 1983. Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Depdikbud, hlm 13-14. 5 Nazaruddin Sjamsuddin. 1999. Revolusi di Serambi Mekah, Jakarta: UI-Press, DOK. KELUARGA
Tengku Muhammad Daud Beureueh (bertongkat) bersama para ulama Aceh, Ayah Hamid (berdiri ke dua dari kiri).
geheugen.delpher.nl
Sejarah Kolonial. Perang Aceh. Divisi pendaratan Marinir dan Angkatan Laut Belanda pada awal Perang Aceh 1873-74.
Tengku Muhammad Daud Beureueh
Pada kesempatan lain PUSA mengutus Said Abu Bakar dan Syekh Ibrahim secara khusus guna menjajaki kemungkinan masuknya Jepang ke Aceh dengan tujuan secepat mungkin untuk mengusir Belanda.
Hubungan Jepang dengan utusanutusan ini direalisasikan dengan mengumpulkan orang-orang Aceh yang ada di Pulau Pinang dan Malaya seraya menganjurkan kepada mereka untuk kembali ke Aceh guna membentuk organisasi rahasia yang diberi nama “Fujiwara Kikan” atau yang lebih sering disebut dengan Barisan “F”, karena mereka memakai inisial “F” sebagai lambangnya.
Melalui Barisan “F” inilah Jepang memberikan indoktrinasi serta janjinya untuk mempercepat pengusiran Belanda dari Aceh. Barisan “F” ini berperan dalam melakukan kampanye untuk memuluskan jalan bagi pendaratan Jepang. Mereka mempropagandakan
hlm. 42. tentang rencana pendaratan Jepang serta menyebarluaskan janji-janji Jepang ke seluruh daerah.6
Dari gambaran di atas, tampak bahwa PUSA memiliki peran penting dalam mendatangkan Jepang ke Aceh. Namun, perlu diingat bahwa tujuan PUSA semata-mata hanyalah ingin mengusir Belanda dari Aceh dengan bantuan tentara Jepang. Pada masa itu hampir tidak memungkinkan bagi Aceh untuk menumpas akar-akar kolonialisme Belanda tanpa dukungan perlengkapan perang yang lengkap. Jadi, kalangan ulama menganggap bahwa niat Jepang masih tulus dalam membantu perjuangan rakyat Aceh, meskipun kelak Jepang mempunyai misi lain yang lebih parah dibandingkan Belanda.
Sejarah mencatat (Teuku Ibrahim Alfian, dkk., 1982:9-10) bahwa Jepang mendarat di Aceh pada tanggal 12 Maret 1942.
6 Bambang Suwondo. 1983. op.cit., hlm 17.
Pendaratan Jepang dilakukan pada tiga tempat yang berbeda, yaitu di Krueng Raya (Aceh Besar), Sabang, dan Peureulak (Aceh Timur). Versi lain menyebutkan pendaratan bukan di Krueng Raya, melainkan di Krueng Raba, Lhoknga, Aceh Besar. Tapi tampaknya Krueng Raya-lah yang lebih valid, mengingat di kawasan itulah, tepatnya di bukit Ujong Batee, dibangun benteng Jeupang Teuka (Jepang Tiba) yang masih ada hingga kini.
Jepang mendarat di Aceh tanpa rintangan apa pun. Baik dari Pemerintah Belanda maupun dari rakyat Aceh sendiri. Malah sebaliknya, rakyat Aceh saat itu menyambut baik kedatangan bala tentara Jepang dengan perasaan senang sebagai saudara tua yang akan turut membantu perjuangan mereka mengusir Belanda dari tanah Aceh.7
Seperti dicatat Paul Van’t Veer, seorang penulis Belanda dalam bukunya
7 A .J . Piekaar. 1977. Aceh dan Peperangan dengan Jepang Bab 1 (terjemahan), dari Abu Bakar, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, hlm. 51. De Atjeh Oorlog8 , serentetan perlawanan bersenjata pada tahun 1912 hingga 1942, masih terus dilakukan oleh rakyat Aceh dalam rangka mengusir Belanda menjelang kedatangan bala tentara Jepang.9
Ia bahkan menulis, peperangan Belanda di Aceh harus dianggap sebagai sebuah peperangan besar dan dahsyat yang berlangsung terus-menerus sejak tahun 1873 sampai saat Belanda mengundurkan diri dari Aceh selamalamanya pada tahun 1942. Peperangan itu tidak berakhir pada tahun 1913 atau 1914, melainkan masih terus terjadi serangkaian perlawanan rakyat Aceh— berupa pembunuhan dan pemukulan— terhadap prajurit dan perwira Belanda dari tahun 1914 hingga tahun 1942 (sampai saat Jepang masuk).
Setelah Jepang mendarat, mereka langsung menyerang pertahananpertahanan Belanda yang masih tersisa di Aceh. Takengon menjadi basis pertahanan utama Belanda saat itu. Ke sanalah serangan dilancarkan.
Kekuatan yang dimiliki Jepang dan rakyat Aceh, membuat mereka dengan mudah berhasil mengusir Belanda dari wilayah Aceh. Rakyat Aceh memberikan kepercayaannya kepada Jepang, dan dimanfaatkan Jepang untuk menyusun kekuatan mereka dengan merekrut pemuda-pemuda di Aceh menjadi anggota militer Jepang, seperti tokubetsu keisatsutai (polisi khusus), gyu gun (tentara sukarela), dan heiho (serdadu pembantu).10
Mereka semua merupakan pemuda pribumi yang dilatih Jepang secara serius agar setelah nantinya matang akan direkrut sewaktu-waktu sebagai tenaga bantuan untuk melawan sekutu.
Tujuan Jepang ialah untuk kepentingannya dalam melawan sekutu, akan tetapi berkat pelatihan militer Jepanglah orang-orang pribumi, terutama di Aceh, mulai dapat belajar bagaimana cara berorganisasi secara
militer yang tidak didapatkan pada masa Belanda.
Jepang juga banyak membangun pangkalan angkatan perang mereka di wilayah Aceh, akan tetapi pangkalan angkatan perang yang berada di Lhoknga, Aceh Besarlah yang terkuat di wilayah Aceh, bahkan pangkalan angkatan perang Jepang ini yang terkuat di belahan barat Indonesia.11
Dalam membangun pangkalan angkatan perangnya Jepang telah membentuk suatu perkumpulan pekerja-pekerja untuk umum (Aceh Syu), perkumpulan pekerja inilah yang bertugas untuk membangun pangkalan angkatan perang di wilayah Aceh.
Menurut T. Ibrahim Alfian, dkk., (1982:11) di daerah Tanah Alas dan Gayo Lues terdapat dua markas teritorial Belanda, yaitu di bawah pimpinan Gosenson dan Overakker yang kemudian menjadi sasaran
11 T.A. Talsya. 1990. Batu Karang di Tengah Lautan (Perjuangan Kemerdekaan di Aceh) 1945-1946, Medan: Prakarsa Abadi Press, hlm. 152. penyerangan Jepang. Mulanya Gosenson mempertahankan serbuan Jepang dari jurusan Takengon, sedangkan Overakker mempertahankan serangan yang dilancarkan dari arah Tanah Karo dengan memusatkan pertahanan di Kutacane.
Pada tanggal 24 September 1942, tentara Jepang terus melancarkan serangan untuk menemukan dan mendesak kedudukan kedua markas teritorial Belanda itu. Tekanan demi tekanan yang dilancarkan Jepang telah menyebabkan Overakker dan Gosenson terpaksa menyerah kepada Jepang di Blangkejeren pada 28 Maret 1942. Pada tanggal itulah berakhirnya kekuasaan Belanda secara resmi di Aceh.
Dengan demikian, sejak tanggal 28 Maret 1942, secara resmi Jepang berkuasa sepenuhnya di seluruh daerah Aceh dan mengatur langkah selanjutnya dalam usaha penanaman kekuasaan.
Pada masa Jepang, sistem pemerintahan di Aceh masih
seperti yang telah diatur oleh Pemerintah Belanda terdahulu. Daerah Aceh terdiri atas daerah yang disebut Zelfbestuursgebied (daerah berpemerintahan sendiri) dan Rechsreeks Bestuur Gebied (daerah yang berada langsung di bawah gubernur atau Pemerintah Belanda).
Menurut Amran Zamzami, ketika Jepang masuk ke Aceh, rakyat menyambut mereka dengan suka ria, bahkan ada yang sudi menyediakan makanan kelapa atau buah-buahan serta berteriak, “Banzai Dai Nippon, banzai, banzai.” Hal-hal itulah yang membuat pemuda-pemuda Aceh keranjingan heiteisan, gandrung pada jiwa keprajuritan.12
Mereka, kata Amran, memimpikan kegagahperkasaan untuk membela tanah air dengan pangkat-pangkat kasikan (bintara), syukur kalau-kalau bisa menjadi perwira dengan sepatu “pacok” dan samurai bergantung di pinggang. Anak-anak dan para pelajar setiap pagi giat melakukan taiso (senam) di samping baris-berbaris, serta apel yang diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, yaitu Kimigayo. Lagu yang menanamkan rasa hormat kepada militer pun digunakan untuk menumbuhkan jiwa keprajuritan pada anak-anak Aceh. Setiap anak bahkan hafal nyanyian Heiteisan Yo Arigato (terima kasih kepada tuan serdadu) dan Myoto Okaino, serta fasih meneriakkan pekik selamat kepada Kaisar Jepang: Banzai Tenno Heika, Banzai!
Namun, semua keindahan itu hanyalah bersifat sementara. Pada kenyataan selanjutnya, sebagaimana yang kita tahu, bahwa Jepang saat menjajah lebih kejam perlakuannya terhadap rakyat kita daripada Belanda. Sehingga, ada ungkapan yang mengatakan “lebih baik dijajah Belanda selama 350 tahun daripada dijajah oleh
12 Amran Zamzami. 1990. Jihad Akbar di Medan Area, Jakarta: PT Bulan Bintang, hlm. 19. Penduduk Aceh dengan gembira menyambut kedatangan pasukan Garuda Kekaisaran Jepang berbaris melewati Masjid Raya Kutaraja
Jepang 3,5 tahun”. Semua itu adalah kenangan pahit sejarah bagi kita.
Dengan kata lain, masuknya Jepang menggantikan Belanda tahun 1942 tidak membawa perubahan sama sekali bagi peradaban Aceh yang mengalami kemunduran akibat invansi Belanda.13
Selama tiga tahun Jepang berkuasa diAceh sampai 1945, tidak ada kebijakan yang dilakukan Jepang untuk memungkinkan berkembangnya kembali peradaban Aceh. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan pemerintahan pendudukan Jepang seluruhnya diarahkan pada usaha peperangan, karena mereka terobsesi memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Masa-masa pahit itu tak berlangsung lama. Belakangan, Jepang kalah oleh sekutu pada 14 Agustus 1945 setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom sekutu masing-masing pada 6 dan 9 Agustus sehingga ikut
13 Mawardi Umar, Yarmen Dinamika, Wildan, dan Sulaiman Tripa. 2019. 58 Tahun Unsyiah, Kiprah Kampus ‘Jantong Ate’ untuk Bangsa, Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, hlm 18.
Presiden Soekarno dalam rangka peresmian Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam mendapat sambutan meriah dari masyarakat di sepanjang jalan yang dilaluinya, September 1959. menghentikan kekuasaan Jepang di Aceh. Jepang hanya menunggu waktu untuk menyerahkan wilayah Aceh kepada sekutu. Pada saat itu tentara rekrutan Jepang maupun polisi khusus mereka di Aceh (tokubetsu keisatsutai) semuanya dirumahkan. ***
Merujuk pada fragmen sejarah di atas, tampak bahwa eksistensi lembaga kepolisian di Aceh dimulai pada masa pendudukan Jepang, tepatnya pada bulan Mei 1942. Oleh Jepang, lembaga ini diberi nama Aceh Syukeimubu.14
Markas Aceh Syukeimubu berada di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), tepatnya di Kantor Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (Baperis) yang berada di Kompleks Museum Aceh, hanya berjarak sekitar 200 meter dari Pendopo (Meuligoe) Gubernur Aceh di
14 Fairus dkk. 2009. Professional, Courage, Dignity; Profil dan Sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia: Biro Humas Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, hlm 246-248. Gampong Peuniti, Kecamatan Baiturrahman.
Struktur kepolisian pada zaman Jepang di Aceh tergolong sederhana, karena hanya memiliki dua jenjang komando. Untuk tingkat provinsi disebut keimubu yang dipimpin oleh seorang keimubutyo atau kepala daerah polisi (kadapol).
Di bawahnya terdapat satu jenjang komando untuk level distrik (kabupaten) yang dinamakan kaisatsusho. Pimpinannya disebut kaisatsushotyo atau komandan distrik.
Di bawah distrik atau pada level kecamatan saat itu tidak ada lagi jenjang komando kepolisian seperti yang kita kenal sekarang berupa kepolisian sektor (polsek) yang berkedudukan di ibu kota kecamatan.
Baik keimubutyo maupun keisatsushotyo dijabat oleh polisi Jepang, sebagaimana berlaku di daerah lain Indonesia yang mereka kuasai.
Lembaga kepolisian di Aceh baru dipimpin oleh putra daerah justru pada Oktober 1945 ketika Jepang mengangkat Muhammad Hasyim untuk memangku jabatan keimubutyo di Kutaraja.
Kemerdekaan Indonesia memang sudah diproklamirkan di Jakarta pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta. Namun, secara de facto tentara Jepang belum angkat kaki dari Aceh pada bulan itu. Terbukti, pada Oktober 1945 Jepang justru mengangkat Muhammad Hasyim untuk mengepalai keimubutyo di Kutaraja yang belakangan berganti nama menjadi Banda Aceh.
Diam-diam pada 1 Oktober 1945 Hasyim menghadiri sebuah rapat rahasia di salah satu ruangan Masjid Raya Baiturrahman, Kutaraja. Yang dibahas dalam rapat itu adalah kabar penting yang dikirim melalui kawat (telegram) oleh Abdullah Hussain, Wakil Kepala Polisi di Langsa kepada Hasyim selaku Keimubutyo Kutaraja.
Dalam surat kawat itu dikabarkan bahwa Indonesia sudah merdeka dan Soekarno sebagai presiden. Kemerdekaan Indonesia juga disokong oleh Nehru (India) dan partai buruh Australia.
Abdullah Hussain juga meminta Hasyim untuk memonitor siaran radio meter 16,6 pada pukul 7,30 malam waktu Jawa terkait informasi tentang kemerdekaan tersebut.
Abdullah Hussain sendiri mendapatkan kabar tentang Indonesia merdeka dari Moenar Hamidjojo, Pemimpin Redaksi Majalah Melati di Medan, Sumatera Utara. Saat itu, Abdullah Hussain bertemu Moenar di Jalan Teratai Medan saat ia melakukan perjalanan dari Langsa menuju Kutacane, Aceh Tenggara, pada 22 Agustus 1945.
Setelah memperoleh kepastian bahwa benar Indonesia sudah merdeka, Hasyim diam-diam menyerukan kepada para pemuda dan anggota kepolisian Jepang yang berdarah pribumi untuk mengambil alih aset-aset Jepang sekaligus menunjukkan eksistensi kemerdekaan Indonesia, tak lama setelah jabatan keimubutyo dipercayakan kepadanya.
Di sisi lain, berita tentang kemerdekaan Indonesia di Aceh sebenarnya secara tidak resmi sudah terdengar oleh beberapa kalangan di hari-hari awal proklamasi. Misalnya saja di Takengon, Aceh Tengah, pada tanggal 18 Agustus 1945 sudah ada warga yang mengetahui hal tersebut, persis sehari setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur, Jakarta.
Radio milik penduduk Kebayakan, Takengon, bernama Teungku M. Saleh Adry dan radio milik seorang etnis Tionghoa di Kampung Asir-Asir, Takengon, menangkap siaran berita tentang kemerdekaan itu.
Berita ini sangt dirahasiakan, mengingat tentara Jepang di Aceh masih memiliki kekuatan meski sudah menjadi pihak yang kalah dalam perang melawan sekutu. Pemerintahan, polisi, dan militer Jepang masih dalam keadaan utuh dan lengkap, baik dalam hal personel maupun prasarana dan sarana.
Namun begitu, berbeda dengan kebanyakan daerah lain, di Kutaraja gelora dan semangat kemerdekaan ini lebih terasa dan enggan untuk dirahasiakan. Berita proklamasi yang telah menyebar di kalangan pemuda dan masyarakat Aceh di Kutaraja telah menggerakkan mereka untuk menunjukkan eksistensi kemerdekaan Indonesia. Hasyim bahkan menyeru para pemuda untuk mengambil alih aset-aset Jepang.
Upaya pengibaran bendera Merah Putih pun dilakukan di mana-mana dengan sasaran utama kantor-kantor dan lembaga yang berada di bawah kekuasaan Jepang. Upaya pengibaran ini selalu mendapat hambatan dari serdadu Jepang yang tetap berusaha memelihara status quo wilayah yang didudukinya atas perintah sekutu.
Kendati mendapat tantangan, semangat rakyat bersama pemuda Aceh yang tergabung dan menjadi bagian dari kantor keimubu tidak surut untuk menaikkan bendera Merah Putih. Dari sejumlah tempat yang dianggap penting, kantor keimubu sendiri menjadi target utama untuk direbut atau diambil alih.
Semula, keinginan untuk mengibarkan bendera Merah Putih ini dilakukan para pegawai berkebangsaan Indonesia, tetapi timbul insiden dengan tentara Jepang. Usaha untuk pengibaran bendera Merah Putih selanjutnya
dipimpin oleh petinggi keimubu berdarah pribumi. Dia adalah Muhammad Hasyim yang saat itu menjabat keiumubutyo atau kepala daerah polisi (kadapol).
Begitupun, usaha ini tetap saja mendapat halangan dan bahkan mendapat teguran keras dari tentara Jepang. Akan tetapi, Muhammad Hasyim dan para pemuda Aceh yang berada dalam organisasi kepolisian Jepang itu tidak patah semangat. Spirit mereka tetap berkobar dan tanpa kenal kata menyerah.
Seorang polisi bernama Lama Amin Bugis yang akrab disapa Amin Bugeh akhirnya berhasil mengibarkan bendera tersebut dan tercatat sebagai orang pertama yang mengibarkan bendera di Aceh.
Ketika itu, setelah beberapa kali mendapat pengadangan dan bendera Merah Putih yang sedang dikerek naik diturunkan kembali oleh tentara Jepang, Amin Bugih merampas bendera yang diturunkan itu dan segera memanjat tiang bendera yang kosong dari kibaran.
Di atas tiang, Amin Bugih melepas tali pengikat dan langsung mengikatkan bendera Merah Putih di puncak tiang. Dengan cara inilah sang Dwiwrna tidak bisa diturunkan lagi, kecuali jika tiangnya ditumbangkan. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1945. Prasasti tentang peristiwa heroik ini kini berdiri kokoh di depan Kantor Baperis yang berada satu kompleks dengan Museum Aceh.
Kantor Baperis itu sendiri dahulunya
Prasasti pengibaran bendera Merah Putih pertama di Banda Aceh. Di atasnya tertulis “Di tempat ini penaikan Sang Saka Merah Putih pertama dengan melalui insiden antara rakjat dengan serdadu kolonial Djepang tanggal 24-8-1945”. Prasasti ini berdiri kokoh di depan kantor Bapperis yang berada dalam komplek kediaman Gubernur Provinsi Aceh. merupakan kantor kepolisian Jepang tingkat keimubu. 15
Setahun setelah insiden penaikan bendera tersebut, tepatnya tanggal 11 Agustus 1946, dengan Ketetapan Nomor 204, Gubernur Sumatra, Mr. Teuku Muhammad Hasan mengangkat Huhammad Hasyim sebagai Kepala Kepolisian Keresidenan Aceh. Bersamaan dengan itu diangkat pula Teuku Chik Muhammada Daudsyah menjadi Residen/Kepala Pemerintahan Aceh.
Tanggal pengangkatan Muhammad Hasyim sebagai Kepala Kepolisian Keresidenan Aceh yang pertama itu sebenarnya layak diperingati sebagai Hari Jadi Kepolisian Daerah (Polda) Aceh.
MARKAS pertama Kepolisian Daerah Aceh secara resmi ditempati pada tahun 1946.
15 Fairus dkk., op.cit., hlm 249.
Lokasinya berada di bekas toko mobil Cors milik Kerlen yang berkebangsaan Belanda.
Sebelum itu, Markas Kepolisian Daerah Aceh menumpang di bekas Gedung Kepolisian Jepang yang berada di kompleks Baperis.
Markas pertama yang sekarang menjadi bekas bangunan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) di Jalan Cut Meutia Banda Aceh itu sebelumnya ditempati oleh Kepolisian Kabupaten (Resor) 101/Aceh Besar sebelum kemudian Kepolisian Daerah Aceh di bawah kepemimpinan Komisaris Polisi Kelas I Muhamamd Hasyim secara bersama menempati gedung yang sama.
Baru pada pertengan 1961 setelah memiliki beberapa lokasi markas, tukar guling (ruislah) dengan markas-markas yang ada dilakukan.
Sejak itu, masing-masing markas— baik Markas Kepolisian Daerah Aceh maupun Markas Kepolisian Resor 101/ Aceh Besar—terpisah dan memiliki gedung sendiri-sendiri.
Proses tukar guling ini terjadi saat Kepolisian Daerah Aceh berganti nama menjadi Kepolisian Komisariat Aceh dan berada di bawah kepemimpinan KBP. A. Hakim Nasution.
Pembangunan representastif Markas Kepolisian Daerah Aceh baru dimulai tahun 1975 saat Kepala Polisi Daerah (kala itu disebut Kapadol-1/Aceh) dijabat Brigjen Pol. Drs. H. Rachmat Subagio. Pembangunan ini dilakukan tatkala wilayah hukum kepollisian di Aceh berganti nama dari Kepolisian Komisariat Aceh (dipakai selama 1957-1963) dan Daerah Angkatan Kepolisian (digunakan selama 19631971) menjadi Daerah Kepolisian-1/Aceh.
Pembangunan markas ini dilakukan, mengingat Markas Komando Utama Kepolisian Daerah Aceh saat itu tidak lagi memenuhi syarat sebagai markas komando utama akibat sudah tua, lapuk, dan sempit sehingga tidak lagi mendukung pekerjaan para personel secara terpusat (satu atap).
Waktu itu, sejumlah staf bekerja terpencar
DOK.POLDA ACEH
Markas Kantor Polisi Komisariat Kutaraja tempo dulu.
Markas pertama yang sekarang menjadi bekas bangunan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) di Jalan Cut Meutia Banda Aceh itu sebelumnya ditempati oleh Kepolisian Kabupaten (Resor) 101/Aceh Besar sebelum kemudian Kepolisian Daerah Aceh di bawah kepemimpinan Komisaris Polisi Kelas I Muhammad Hasyim secara bersama menempati gedung yang sama. sehingga sulit melakukan koordinasi. Asisten Intelijen Keamanan (Intelkam) dan stafnya harus berkantor di Dinas Kesehatan Kepolisian-1/ Aceh, bukan di markas utama. Markas Komando Utama saat itu disebut Markas Komando Daerah Kepolisian (Makodak) 1/Aceh.
Pada tahun-tahun awal terbentuknya Kepolisian Daerah Aceh, tidak saja kondisi markas yang menjadi persoalan sehingga harus meminjam dan menempati sejumlah ruangan yang kurang layak. Pada tahun-tahun pertama itu sekolah kepolisian— saat itu disebut Sekolah Kepolisian Keresidenan Aceh—pun meminjam tempat pada pihak lain, yakni Kesatria Divisi Rencong yang berada di kawasan Peuniti, Kutaraja.
Sekolah kepolisian ini merupakan sekolah kepolisian pertama di Sumatra yang secara resmi dibuka pada 1 November 1947 ketika Kepala Kepolisian Daerah Aceh dipimpin oleh KBP Muhammad Insja. Sekolah ini diasuh oleh 12 tenaga pengajar, berasal dari internal kepolisian maupun dari pihak luar (guru tidak tetap).
Pada tanggal 18 Juni 1949 sekolah ini menghasilkan kader kepolisian angkatan pertama. Para siswa yang lulus menerima ijazah kursus kilat bagian reserse kriminal.
Pada saat pembagian ijazah itu Kepala Kepolisian Keresidenan Aceh, KBP Muhammad Insja menyatakan bahwa kepolisian yang dipimpinnya mempunyai cita-cita untuk membentuk Kepolisian Republik Indonesia yang setaraf dengan kepolisian internasional.
Di sini terlihat Muhamamd Insja tidak hanya menyebutkan Kepolisian Keresidenan Aceh, tetapi organisasi kepolisian yang lebih besar, yakni Kepolisian Republik Indonesia. Ini bukti bahwa sejak awal para tokoh dan pemuda Aceh memiliki totalitas semangat yang besar terkait nasionalisme (keindonesiaan).
Wadah komunikasi antarsesama polisi pun dibentuk pada masa ini; tidak hanya di Aceh, tetapi mencakup juga wilayah Langkat (masuk dalam wilayah hukum Sumatera Utara sekarang).
Saat itu, Persatuan Pegawai Polisi (P3) Daerah Aceh dan Langkat mengeluarkan majalah bulanan yang diberi nama Suara Polisi. Majalah ini memuat sejumlah tulisan mengenai kepolisian dan ketentaraan, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan olaharaga. Terdapat pula sejumlah artikel yang ditulis oleh para petinggi pemerintahan dan tokoh masyarakat.
Suara Polisi diterbitkan perdana pada 28 November 1949. Memasuki bulan Desember 1949, P3 Daerah Aceh dan Langkat mengadakan konferensi. Diawali dengan resepsi, konferensi yang berlangsung pada 9 Desember itu turut dihadiri Wakil Perdana Menteri, Sjafruddin Prawiranegara; Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Teungku Muhammad Daud Beureueh; Komandan TNI Divisi X, Letnan Kolonel Husin Yusuf; pejabat-pejabat sipil dan militer, serta para utusan badan-badan kepolisian seluruh Aceh dan Langkat.
Dalam konferensi ini Kepala Kepolisian Keresidenan Aceh, Muhammad Insja menyemangati peserta konferensi agar sejak dini berorientasi menjadi polisi yang profesional serta memperoleh kehormatan di mata rakyat.
“Kita bukan polisi fasis, bukan polisi kolonial, tetapi polisi Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Polisi harus menjadi pelindung rakyat, tempat meminta tolong,” ujar KBP Muhammad Insja.
Konferensi tersebut berakhir tanggal 13 Desember 1949 dengan menghasilkan beberapa kesimpulan: 1) Reorganisasi Persatuan Pegawai Polisi Daerah Aceh dan Langkat, 2) meminta kepada pemerintah agar Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi inti Kepolisian Republik Indonesia Serikat (saat itu pembentukan RIS sedang diwacanakan); 3) meminta kepada pemerintah agar kepolisian memiliki kementerian tersendiri dan menolak berada di bawah kementerian lain; 4) memberi akses yang luas bagi pegawai polisi dalam Kepolisian Republik Indonesia untuk melanjutkan pendidikan guna mencapai mutu kepolisian yang ditetapkan, serta 5) pengadaan perpustakaan.
Sejumlah tekad dan upaya untuk merekrut dan melahirkan polisi profesional memang sedang giatgiatnya dilakukan pada masa itu.
Setelah menghasilkan kader kepolisian angkatan pertama, misalnya Sekolah Kepolisian Keresidenan Aceh pun membuka kesempatan luas kepada masyarakat untuk berlatih dan mengikuti kursus kepolisian. Anggota masyarakat yang lulus ujian akhir akan ditempatkan pada jawatan kepolisian dengan
KBP Muhammad Insja
Kepala Kepolisian Keresidenan Aceh
pangkat komandan polisi. Bagi yang tidak lulus tetap mendapat jabatan dengan pangkat agen polisi kelas 1 dan diwajibkan bekerja dalam dinas kepolisian sekurang-kurangnya dua tahun.
Meski masih dalam masa-masa awal pembentukan organisasi kepolisian, persyaratan untuk masuk dalam kursus bukannya mudah. Apalagi karena, di samping sebagai upaya merekrut tenaga baru kepolisian, orientasi profesional ini juga menjadi acuan. Itu sebabnya, saat rekrutmen ini beberapa persyaratan dijadikan acuan dasar. Misalnya, calon peserta harus berusia 20-30 tahun, berpendidikan sekurang-kurangnya kelas 3 setingkat sekolah menengah pertama (SMP), memiliki tinggi badan minimal 16 centimeter, tidak terlibat tindak kejahatan, dan berkelakuan baik.
Calon peserta kursus kepolisian yang dibuka pada tanggal 19 Agustus 1949 ini pun diharuskan melampirkan surat keterangan berbadan sehat dari dokter.
Namun sayang, sejumlah upaya untuk melahirkan polisi profesional pada era 1940-1950-an di Aceh sempat mengalami kendala, terutama pada tahun 1953 karena Aceh mulai bergolak. Pada masa itu, tepat tanggal 21 September, Peristiwa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) meletus sebagai akumulasi dari kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat di Jakarta.
Postur Polisi dengan pangkat Komisaris Polisi lengkap dengan sabuk hias (holster).
Presiden Soekarno dianggap telah mengkhianati kesetiaan rakyat Aceh terhadap Repubik Indonesia dengan keputusannya membubarkan Divisi X TNI di Aceh dan menurunkan status Provinsi Aceh yang dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara (saat itu bernama Sumatera Timur).
Akibatnya, konflik bersenjata pun terjadi. Pemerintah mengirim empat batalion tentara dan 13 batalion Mobile Brigade atau Mobrig (sekarang Brimob) dengan harapan pemberontakan tersebut dapat dipadamkan paling lambat pada akhir 1954.
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo bersikeras bahwa pemberonatakan Daud Beureueh harus ditumpas cepat. Namun, hingga kabinet Ali jatuh pada tahun 1955, perlawanan Daud Beureueh nyatanya masih berlanjut.
Untuk memadamkan perang yang terus berlanjut, pada bulan Juni 1955 Soekarno-Hatta mengirim utusan khusus ke Aceh untuk menjajaki penyelesaian dengan pihak Daud Beureueh. Sayangnya, misi ini gagal.
Perubahan justru mulai terjadi ketika Kepala Polisi Sumatera Utara dan Aceh, Muhammad Insja bersama Pengusa Perang Daerah (Peperda) Aceh, Letkol Sjamaun Gaharu; Mayor A. Sani, Kapten Usman Nyak Gade Ismail dengan Panglima Tentara Islam Indonesia (TII), Hasan Saleh; Perdana Menteri Darul Islam, Hasan Aly; Menteri Penerangan Darul Islam, Abdul Gani Mutiara; Ishak Amin, dan Pawang Leman, menggagas sebuah pertemuan di Desa Lamteh, Aceh Besar.
Pertemuan dalam kamar tertutup itu membahas kesepakatan untuk gencatan senjata. Peran polisi dalam menyelesaikan konflik Aceh tampak sudah diawali di sini; pada penyelesaian Peristiwa DI/TII pimpinan Daud Beureueh.
Adalah Muhammad Insja yang mencoba melakukan pendekatan terhadap Daud Beureueh. Putra Aceh yang kala itu menjabat Kepala Kepolisian Sumatera Utara dan Aceh ini memerintahkan Kepala Kepolisian Bireuen, Teuku Muhammad Ali untuk melobi elite DI/TII Husin Yusuf agar berdamai. Husin Yusuf membalas tawaran ini dan mengirim surat balasan kepada Gubernur Sumatera, Panglima Teritorial I, serta Kepala Kepolisian Sumatera Utara dan Aceh.
Pihak DI/TII bersedia berdamai. Peristiwa ini terjadi pada 14 Oktober 1956. Setali dengan jalan yang ditempuh
Akhir tahun 1957, Perdana Menteri Juanda berkunjung ke Aceh yang baru saja menandatangani Ikrar Lamteh. Dari kiri ke kanan: Perdana Menteri Ir. H. Juanda, Kepala Kepolisian Sumatera Utara dan Aceh KBP Muhammad Insja, Gubernur Aceh Ali Hasjmy, Menteri Sosial Mulyadi, Panglima Kodam I/ Iskandarmuda Kolonel Syamaun Gaharu, dan Ketua DPRD Aceh Abduhsyam. Insja, Sjamaun Gaharu pun mencetuskan konsep Prinsipil Bijaksana. Jalinan kontak dengan DI/TII dilakukan untuk menemukan jalan damai.
Pendekatan dan kontak-kontak yang dilakukan, baik oleh Insja maupun Sjamaun Gaharu, akhirnya melahirkan Ikrar Lamteh pada tanggal 8 April 1957.
Sebelum pembacaan ikrar itu, pembicaraaan antarberbagai pihak berlangsung dalam dua tahap di Kampung Lamteh, Aceh Besar. Tahap pertama, tanggal 5 April, pembicaraan belum menyentuh hal substansial, baru sekadar membangun situasi bahwa yang bertemu hari itu bukanlah aparat Pemerintah RI dengan para pemberontak DI/TII, melainkan putra Aceh dengan putra Aceh lainnya yang membicarakan persoalan Aceh.
Pada pertemuan lanjutan, 7 April 1957, materi pembicaraan lebih mendalam, menyentuh tentang penghentian permusuhan dan cara pelaksanaannya. Pertemuan kedua ini dihadiri Penguasa Perang Daerah, Sjamaun Gaharu; Kepala Kepolisian Sumatera Utara dan Aceh, Muhammad Insja; Mayor A. Sani, dan Kapten Usman Nyak Gade Ismail. Pihak DI/TII diwakili Menteri Pertahanan Hasan Saleh, Perdana Menteri Hasan Aly, Menteri Penerangan Abdul Gani Mutiara, Ishak Amin, dan Pawang Leman.
Pertemuan berlangsung alot dan mengalami ketegangan. Saat itu jarum jam menunjukkan angka 22.00 WIB, kesepakatan belum juga tercapai. Masing-masing pihak diam, tak bersuara.
“Kalau Bapak-Bapak tidak sanggup menyelesaikan masalah ini, mari kita bakar saja Aceh ini supaya kita puas dan anak cucu kita di belakang hari nanti akan menuduh kita sebagai pengkhianat dan orang yang tidak bertanggung jawab!” suara berat Pawang Leman memecah kebuntuan.
Peserta pertemuan terhenyak, lalu ruang pertemuan itu pun hening kembali. Yang kemudian terdengar hanyalah sesunggukan haru dan miris Pawang Leman.
Merespons situasi tegang itu, Muhammad Insja angkat bicara. “Di awal pertemuan, kedua panglima
perang yang dulunya saling tembak sudah saling berangkulan. Setelah itu, kita makana bersama. Kemudian, kita sudah menghasilkan Ikrar Lamteh. Bagaimana kalau saya usulkan agar sekarang juga kita mengambil keputusan untuk mengumumkan penghentian permusuhan agar terbuka jalan bagi anak buah kita untuk bersikap dan bergaul seperti yang kita lakukan malam ini?” Insja mengajukan pertanyaan retorik.
“Saya setuju,” sahut Sjamaun Gaharu tanpa menunggu waktu.
Beberapa detik kemudian semua yang hadir mengacungkan jari telunjuk tanda setuju. Insja berhasil mengendalikan situasi.16
Akhirnya, pembicaraan berlangsung lancar, masing-masing pihak menghargai dan menghormati pihak lain. Negosiasi menemukan alurnya.
Fragmen ini patut dicatat sebagai peran strategis dari elite Kepolisian Daerah Aceh dalam penyelesaian konflik bernama pemberontakan DI/TII.
Pada 8 April 1957 ditandatangani Ikrar Lamteh sebagai bentuk gencatan senjata antara DI/TII dengan Pemerintah Indonesia. Ikrar Lamteh tersebut berbunyi:
Kami putera-puteri Aceh, di pihak mana pun berada akan berjuang sungguhsungguh untuk: menjunjung tinggi kehormatan Islam, menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan rakyat Aceh; menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan daerah Aceh.
Kemudian, 15 Februari 1958 Daud Beureueh bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta serta memutus hubungan dengan Kartosuwiryo.17
Ketika posisi Panglima Kodam Iskandar Muda dijabat oleh Kolonel M. Jasin, ia intens melakukan korespondensi dengan Daud Beureuh dan tak henti-
16 Fairus dkk., op.cit., hlm 256. 17 Harry Kawilarang, op cit., hlm 5. Meski tidak lagi memimpin pemberontakan DI/TII, bukan berarti pengaruh Daud Beureueh padam setelah turun gunung pada 9 Mei 1962. Rakyat bahkan mengikuti setiap perkataannya.
Pada tahun 1963, atas inisiatif sendiri, Daud Beureueh memimpin kerja bakti membuat irigasi sepanjang 17 kilometer di Kabupaten Pidie. Kerja bakti ini diikuti para warga. Antropolog Amerika Serikat, James Siegel, yang berada di Aceh saat itu menyaksikan antara 300 orang bahkan pernah mencapai 2.000 orang ikut bekerja di bawah instruksi Daud Beureueh. James melihat sendiri bagaimana Daud Beureueh mencangkul, berpeluh, tidur di gubuk bersama petani, dan makan bersama mereka. Paska turun gunung, Daud Beureueh menghasilkan karya nyata bersama masyarakatnya. Selain irigasi, sebuah jalan dibangun sepanjang 12 kilometer di Lampoh Saka, Pidie.
Kepala Staf Kodam I Iskandarmuda Letkol T Hamzah, Gubernur Aceh Ali Hasjmy dan Kepala Polisi Aceh Komisaris Hakim Nasution sedang menuju ke Kepulauan Simeulu dalam suatu inspeksi dinas, dengan sebuah kapal pengejar penyeludup kepunyaan Polri. hentinya mengajak sang ulama turun gunung. Pada tanggal 2 November 1961 Jasin pun melakukan pertemuan langsung dengan Daud Beureueh di Langkahan, Aceh Timur. Enam bulan kemudian, 9 Mei 1962 bujukan Jasin membuahkan hasil. Daud Beureueh beserta pasukannya bersedia turun gunung dan kembali ke tenah-tengah masyarakat yang telah lama merasakan kehilangan figurnya selaku pemimpin dna ulama karismatik.
Dengan turun gunungnya pemimpin DI/TII Aceh ini maka tuntasnya penyelesaian DI/TII di Aceh.
Setelah itu, kondisi Aceh pun tergolong aman dan kondusif sampai akhirnya Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 di Gunung Halimon, Pidie. Pemberontakan yang memicu konflik bersenjata selama 29 tahun ini pun berakhir damai di meja perundingan pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Pada fase-fase berikutnya, institusi kepolisian di Aceh berjalan normal, antara lain, ditandai dengan tertib sipil yang semakin mantap dan terkendali, polisi organik bertanggung jawab sepenuhnya menjaga hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat di Aceh, serta pergantian Kapolda Aceh dari satu periode ke periode lainnya yang semuanya berlangsung secara normal. Masing-masing Kapolda pun, sesuai masa penugasannya, mengukir prestasi dan sejarah kepemimpinan yang patut dikenang.
Polisi diabadikan di Kutaraja, tahun 1948 [atas], seragam polisi pada masa awal kemerdekaan [kiri], para siswa kepolisian sedang menjalani kegiatan pengenalan medan [kanan], Para siswa Kejuruan [bawah] di Dodiklat 01 Dak-I Aceh.