53 minute read

Tentang Aceh

Next Article
Astagatra

Astagatra

BAB I TENTANG ACEH

Aceh satu-satunya provinsi di Indonesia yang selain berstatus istimewa, juga khusus.

Advertisement

Status istimewa Aceh diperoleh berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam undangundang ini ditetapkan bahwa Aceh istimewa di bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat, serta pelibatan ulama dalam pengambilan kebijakan publik.

Sebelum undang-undang ini terbit, tiga keistimewaan Aceh diakui negara dalam bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Mr. Hardi, Nomor 01/ Missi/1959 dalam rangka mengakhiri pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh (19531959).

Pada tahun 1962, Kolonel M. Jasin selaku Panglima Komando Daerah Militer I/Iskandar Muda mengeluarkan keputusan dengan penetapan berlakunya syariat Islam untuk Aceh. Namun, ketika Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Aceh membuat Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, ternyata ditolak oleh Menteri Dalam Negeri. Itu karena, kedua pemberian tersebut, baik status keistimewaan yang diberikan Mr. Hardi tahun 1959, maupun pemberlakuan syariat Islam untuk Aceh yang ditandatangani Kolonel M. Jasin, tidak pernah muncul (menjadi pembicaraan serius dan resmi) di tingkat pusat.

Namun, setelah berlakunya UndangUndang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh tahun 1999, empat keistimewaan Aceh menjadi lebih legitimate baik di tingkat lokal maupun nasional, apalagi sudah dikuatkan dengan undangundang yang bersifat lex spesialis.

Selain itu, Aceh kini satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara kaffah sejak 1 Muharam 1422 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 26 Maret 2001, setelah berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi sejak disahkannya UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada 1 Agustus 2006. Namun, melalui undangundang baru ini status otonomi khusus Aceh dipertegas kembali, setahun setelah Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri konflik bersenjata dan menandatangani Nota Kesepahaman Damai di Helsinki, Finlandia.

Melalui UUPA pula diatur dan diakui sejumlah kekhususan Aceh. Misalnya, hanya di Aceh ada partai politik lokal, ada Wali Nanggroe sebagai simbol pemersatu adat dan budaya Aceh, ada wilayatul hisbah sebagai polisi syariah, juga ada Badan Reintegrasi Aceh sebagai lembaga resmi pemerintah yang mengurus masalah reintegrasi dalam proses perdamaian (pascakonflik) di Aceh.

Perubahan Status

Kedudukan Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan status.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan diri sebagai bangsa dan negara yang merdeka serta berdaulat. Tidak lama setelah itu, Aceh sudah menjadi wilayah atau bagian dari negara Republik

FOTO: DOK. TP ACEH Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Mayor Jenderal Tgk. M. Daud Beureueh, berjabat tangan selamat datang dengan Bung Karno saat Presiden RI itu berkunjung ke Aceh, Lhoknga, Juni 1948. Indonesia yang berkedudukan sebagai salah satu keresidenan dari Provinsi Sumatera berdasarkan ketetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya pada hari kedua tanggal 19 Agustus 1945.1

Dalam sidang tersebut, PPKI menetapkan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra. Masing-masing provinsi dikepalai oleh seorang gubernur dan setiap provinsi dibagi ke dalam beberapa keresidenan yang dikepalai oleh seorang residen.

Untuk Provinsi Sumatera, Mr. Teuku Muhammad Hasan ditetapkan sebagai gubernur dan daerah Aceh menjadi keresidenan di bawah Provinsi Sumatera. Bersamaan dengan pembentukan Keresidenan Aceh berdasarkan Surat Ketetapan Gubernur Sumatera Nomor 1/X tanggal 3 Oktober 1945, diangkat pula Teuku Nyak Arif sebagai Residen Aceh yang pertama.2

Akibat agresi militer Belanda yang pertama terhadap Republik Indonesia (tahun 1947), beberapa daerah di Nusantara berhasil mereka duduki kembali. Termasuk Pematang Siantar, tempat Gubernur Muda Sumatera Utara berkedudukan, sehingga gubernur beserta stafnya terpaksa mengungsi ke Bukit Tinggi.

Meskipun Keresidenan Aceh pada saat itu tidak termasuk daerah yang diduduki Belanda, tetapi Wakil Presiden Republik Indonesia, Drs. Mohammad Hatta dalam fungsinya sebagai Wakil Panglima Tertinggi Tentara Republik Indonesia mengeluarkan sebuah keputusan yang penting dan strategis. Dalam keputusannya Nomor 3/BPKU/47 di Bukit Tinggi pada tanggal 26 Agustus 1947,

1 Pramoedya Ananta Toer, Kronik Revolusi Indonesia, Jilid I, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Adi Karya IKAPI dan The Ford Foundation, 1991, hlm 34. 2 Ibid.

Daerah Keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Tanah Karo ditetapkan menjadi daerah militer yang berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh sekarang) dengan Gubernur Militernya adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh, seorang tokoh Aceh terkemuka saat itu, dengan pangkat jenderal mayor.3

Meski pada saat itu telah dibentuk daerah militer, tetapi status Keresidenan Aceh masih tetap dipertahankan. Selanjutnya, pada tanggal 5 April 1948 ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi tiga provinsi otonom, yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Provinsi Sumatera Utara meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli Selatan, dipimpin oleh seorang gubernur, yakni Mr. S.M. Amin.4

Dalam menghadapi Agresi II yang dilancarkan Belanda tahun 1948 untuk menguasai kembali Republik Indonesia, pemerintah bermaksud memperkuat pertahanan dan keamanan dengan mengeluarkan Ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia Nomor 21/ Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949 yang memusatkan kekuatan sipil dan militer kepada Gubernur Militer.

Pada zaman perang kemerdekaan ini, sumbangan dan keikutsertaan rakyat Aceh dalam perjuangan sangatlah besar, sehingga Presiden Soekarno memberikan julukan “daerah modal” kepada Aceh.

Faktanya, selain memberikan sumbangan dua pesawat Dakota untuk kepentingan Revolusi Indonesia, rakyat Aceh juga menyumbang biaya-biaya untuk pemerintah pusat di Yogyakarta. Pada tahun 1949, Pemerintah Daerah Aceh telah mengeluarkan biaya untuk keperluan pemerintah pusat di

3 T. Ali Basyah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Pustaka Putro Tjanden, 1969, hlm. 29. 4 S. M. Amin, Kenang-Kenangan dari Masa Lampau, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm.40. Yogyakarta sebesar S$ 500.000 (Straits Dollar).5

Saat itu Aceh juga merupakan modal perjuangan dalam bentuk daerah kekuasaan teritorial, sebagai garis pertahanan Republik Indonesia yang terakhir. Soalnya, pada saat Agresi Militer II hanya Aceh satu-satunya daerah di Indonesia yang tersisa dan tidak dimasuki dan disentuh oleh militer Belanda. Itu sebab, Aceh dijuluki “Daerah Modal” Republik Indonesia.

5 Teuku Muhammad Ali Panglima Polem, Memoir, Banda Aceh: Alhambra, 1972, hlm. 10-12. FOTO: DOK. ARSIP NASIONAL Pesawat Seulawah RI 001 persembahan rakyat Aceh untuk Republik Indonesia [atas], dan Presiden Soekarno, didampingi Kol Hotman Sitompul, Gub Mil Aceh, Langkat dan Tanah Karo Mohd Daoed Beureueh memeriksa pasukan di Lapangan Gadjah Koetaradja, 15 Juni 1948

FOTO: Repro buku Aceh Daerah Modal

Penyerahan cek sebesar $140.000 dari Ketua Panitia Pengumpulan Dana T Mohd Ali Panglima Polem dan Residen TM Daud Sjah kepada Presiden RI Soekarno, Koetaradja, 20 Juni 1948

“Pokoknya saudara punya perjuangan sekarang ini ialah perjuangan menyelamatkan Republik Indonesia, republik yang sekarang menjadi kecil sesudah terjadinya perang kolonial pada tanggal 21 Juli 1947 tahun yang lalu, tetapi dengan Aceh menjadi Daerah Modal, seluruh wilayah Republik Indonesia akan kita rebut kembali…” demikian cuplikan pidato Presiden Soekarno pada rapat raksasa yang diadakan di Lapangan Explanade (kini Lapangan Blang Padang, Banda Aeh) pada tanggal 17 Juni 1948. Kemudian, dalam rapat raksasa tanggal 18 Juni 1948 di Bireuen, hal senada kembali diulang Presiden Soekarno.6

Pada akhir tahun 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Provinsi Sumatera Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi Provinsi Aceh. Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur Provinsi Aceh.

Namun, beberapa bulan kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 status Provinsi Aceh

6 Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1990, hlm. 24. dikembalikan menjadi keresidenan sebagaimana halnya status Aceh pada awal kemerdekaan.

Kali ini, perubahan status tersebut menimbulkan reaksi dan gejolak politik yang menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban, dan ketenteraman masyarakat Aceh dan berimbas pula pada relasi Aceh-pusat. Alhasil, keinginan pemimpin dan rakyat Aceh ditanggapi oleh pemerintah pusat sehingga diterbitkanlah UndangUndang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Kembali Provinsi Aceh yang meliputi seluruh wilayah bekas Keresidenan Aceh.

Kemudian, dikeluarkan lagi UndangUndang Nomor 1 Tahun 1957 yang mengatur tentang status Provinsi Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27 Januari 1957 Ali Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Provinsi Aceh.

Akan tetapi, gejolak politik di Aceh—salah satunya akibat penurunan status Provinsi Aceh sehingga memicu pemberontakan DI/TII—belum seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas nasional serta demi persatuan dan kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal

dengan nama Missi Hardi tahun 1959 dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan gejolak politik, pemerintahan, dan pembangunan daerah Aceh.

Hasil misi tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/ MISSI/1959. Maka, sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau Provinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Dengan predikat tersebut, Aceh sebetulnya memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat istiadat, dan pendidikan. Namun, status istimewa ini tidak langsung diperkuat dengan undang-undang sebagai payung hukumnya, juga tidak dan peraturan pelaksanaannya, sehingga tidak dapat diimplementasikan. Beberapa tokoh Aceh malah menyebutnya hanya “cek kosong” atau “pepesan kosong” belaka.

Ketika kemudian disahkan UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan, status Daerah Istimewa Aceh yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/Missi/1959 hanya dipertegas kedudukannya (pada Pasal 88) bahwa Aceh itu adalah “provinsi”, sama halnya dengan status Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak ada satu pasal atau ayat pun yang menjabarkan tentang kewenangan pelaksana, dukungan anggaran, dan bagaimana tiga keistimewaan Aceh itu diimplementasikan.

Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu yang menitikberatkan pada sistem yang terpusat (sentralistik) dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi yang demikian ini memunculkan pergolakan di Aceh.

Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan memberikan otonomi khusus kepada Aceh melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Dengan demikian, Provinsi Daerah Istimewa Aceh pun berubah lakab menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan status daerah otonomi khusus.

Kemudian, berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan Dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009 ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penanda Tangan, Stempel Jabatan, dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/ nomenklatur “Nanggroe Aceh Darussalam” (NAD) menjadi sebutan/nomenklatur “Aceh”. Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009.

Dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 ini, maka nomenklatur Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (Polda NAD) pun ikut berubah menjadi Kepolisian Daerah Aceh, disingkat Polda Aceh.

Daerah Aceh mempunyai batas-batas sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka; Sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara; Sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan Sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Mengenai batas ini diatur pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebelumnya, di dalam Pasal 1.1.4 Nota Kesepahaman Damai antara Pemerintah

Masjid Raya Baiturrahman dan kota Banda Aceh tampak dari udara. Masjid ini merupakan ikon kebanggan dari Aceh. Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka disebutkan bahwa perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.

Luas Aceh mencapai 58.377 km2 , dengan kabupaten terbesar adalah Kabupaten Aceh Timur seluas 6.286,01 km2, diikuti Kabupaten Gayo Lues 5.719,58 km2, kemudian Kabupaten Aceh Tengah seluas 4.318,39 km2. Kabupaten/ kota yang wilayahnya paling kecil adalah Kota Banda, hanya 61,36 km2 , disusul Kota Sabang 153 km2, dan Kota Lhokseumawe 181,06 km2 .

Penduduk Aceh saat ini tercatat 5.371.532 jiwa (Berdasarkan data BPS Aceh tahun 2019 yang di-update terakhir pada 24 Februri 2020).

Penduduk tersebut tersebar di 18 kabupaten dan 5 kota. Terbanyak berada di Aceh Utara mencapai 576.895 jiwa, disusul Bireuen 432.870 jiwa, dan Aceh Timur 422.261 jiwa, sedangkan penduduk paling sedikit berada di Kota Sabang hanya 40.040 jiwa, berikutnya Kota Subulussalam 81.187 jiwa, dan Kabupaten Simeulue 89.327 jiwa.

Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 terdapat sebelas etnis/suku besar yang mendiami seluruh kabupaten/ kota di Aceh, yakni Suku Aceh (70,65%

dari populasi provinsi); Suku Gayo (7,22% di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues); Suku Alas (2,13% di Kabupaten Aceh Tenggara); Suku Simeulue, suku Devayan, dan suku Sigulai (1,49% di Kabupaten Simeulue); Suku Aneuk Jamee dan Suku Kluet (1,4% di Kabupaten Aceh Selatan dan sekitarnya); Suku Tamiang (1,11% di Kabupaten Aceh Tamiang dan sekitarnya); Suku Singkil dan suku Haloban (1.04% di Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil); Suku Jawa (8.94% yang tersebar di beberapa kabupaten/kota); Suku Batak (3,29% tersebar di seluruh Aceh); Suku Minang (0,74% tersebar di seluruh Aceh); dan suku lainnya (1,99%).

Suku pendatang seperti suku Batak terdapat di Kabupaten Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, dan Aceh Singkil; keturunan suku Nias terdapat di Kabupaten Simeulue dan Aceh Singkil; sedangkan suku Jawa merupakan pendatang yang pada umumnya sebagai warga transmigran yang sudah ada sejak zaman Belanda atau didatangkan kemudian ke Aceh dari Jawa saat Presiden Soeharto berkuasa. Suku Minang merupakan sebagian kecil dari penduduk Aceh pesisir.

Masing-masing suku mempunyai budaya, bahasa, dan pola pikir tersendiri. Semuanya hidup berdampingan dengan damai serta saling menjaga harmoni di dalam taman raya bernama Aceh, negeri bersyariat Islam yang menjadi rahmatan lil alamin.

Mayoritas penduduk Aceh bergama Islam, mencapai 98,00% (2010), selebihnya terdiri atas pemeluk agama Kristen Katolik dan Protestan, Hindu, Budhha, dan lainnya.

Dalam sumber antropologi disebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari suku Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer).

Orang-orang Aceh telah tinggal dalam zona yang menjadi rebutan pihak militer berbagai bangsa selama 137 tahun. Orang Aceh juga memiliki kebanggaan yang membara tentang sejarah prakolonial. Berdasarkan dokumen sejarah, wilayah pantai Aceh dikunjungi oleh para pedagang asing, diplomat, dan pemuka agama dari akhir milenium pertama, dan Pasai (di wilayah pantai utara Aceh) pada abad ke-13 menjadi kerajaan pertama di Asia Tenggara yang menganut Islam.

Identitas keacehan masyarakat Aceh dibangun berlandaskan kebanggaan akan budaya Islam dan masa kejayaan mereka pada abad ke-16 dan ke17, ketika Aceh memegang tampuk kepemimpinan politik dan budaya di tanah Melayu (Alam Melayu), seabad setelah Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511.

Melalui perdagangan Islam yang berkembang dengan kerajaan muslim di India dan Asia tengah dan barat, Aceh menjadi tempat penyaluran barang (kargo) yang terdepan di Selat Malaka. Dari Aceh para pedagang membawa rempah-rempah, terutama lada (kemukus), cengkih, pala, kapur barus, dan kemenyan. Hal ini turut mengintegrasikan budaya dan kepercayaan Islam ke dalam budaya tulisan dan oral Melayu yang berasal dari Johor (L. Andaya 2008, 1089). Bahkan pada masa itu, orkestra bangsawan istana Aceh dan ansambel gendang obo (alat musik dari kayu) memiliki kesamaan dengan penampilan

serupa di Moghul, India, serta penampilan di daerah yang dikuasai oleh bangsawan Melayu lainnya di daerah barat Asia Tenggara.

Diperkirakan, nenek moyang bangsa Aceh bermigrasi ke daerah pesisir Aceh dari daerah Chamic (MonKhmer) daratan Asia Tenggara pada pertengahan milenium pertama dan sekitar tahun 1471 (Mark Durie 1990, 111; Thurgood 2010, 38-39). Mereka juga termasuk populasi awal daerah pesisir yang pindah melalui jalur sungai untuk menetap di pedalaman pegunungan.

Bahasa yang umum digunakan adalah bahasa Aceh (70,65%) selain bahasa Indonesia. Bahasa Aceh merupakan bahasa yang dituturkan oleh sekitar 3.500.000 suku Aceh yang terdapat di wilayah pesisir, sebagian pedalaman, dan sebagian kepulauan di Aceh.

Bahasa Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Chamic, cabang dari rumpun bahasa MelayuPolinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia.

Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, dan Rade di Kamboja, Vietnam.

Dalam pergaulan sehari-hari, penduduk Aceh tidak hanya menggunakan bahasa Aceh, meski penuturnya paling dominan. Hingga kini bahasa yang hidup dan berkembang di Aceh selain bahasa Aceh adalah bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Tamiang, bahasa Anuek Jamee, bahasa Singkil (Julu), bahasa Haloban, bahasa Kluet, bahasa Sigulai, bahasa Devayan, dan bahasa Lekon.

Mata pencaharian utama masyarakat Aceh adalah bertani, dengan tanaman pokok berupa padi, kelapa, pisang, cengkih, kakao, dan lain-lain. Sekitar 60% penduduk Aceh bertani dan berkebun. Di Dataran Tinggi Gayo, penduduknya dominan berkebun kopi, serai wangi, jagung, dan kemiri.

Sebagian masyarakat Aceh Selatan berkebun pala, kelapa, dan kacang tanah. Di sebagian besar Aceh, seperti di Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, Aceh Timur hingga Aceh Tamiang, mayoritas penduduk bertanam kelapa sawit.

Setelah petani, nelayan menempati posisi kedua mata pencaharian penduduk Aceh, disusul aparatur sipil Negara (ASN), TNI, Polri, serta pedagang dan karyawan swasta.

Aceh memiliki banyak sumber daya alam, antara lain di bidang pertanian meliputi padi dan palawija, perkebunan meliputi karet, kelapa sawit, kopi, jagung, nilam, kelapa, kakao, cengkih, pala, serai wangi, kemiri, dan lainnya. Sementara di bidang pertambangan mencakup minyak, gas bumi, emas, besi, tembaga, seng, perak, pasir besi, batu kapur/gamping, batu bara, marmer,

granit, magnesit, dan batu pualam. Bidang kehutanan meliputi kayu, rotan, damar, kemenyan, dan berbagai jenis fauna di dalamnya yang merupakan kekayaan alam Aceh.

Kemudian di bidang perikanan seperti perikanan tangkap dan perairan air tawar, dan di bidang industri mencakup gas alam cair (LNG), pupuk, semen, dan industri lainnya.

Aceh yang kini kita kenal awalnya terdiri atas kerajaan-kerajaan Islam yang tidak terlalu besar, meliputi Kerajaan Lamuri di Aceh Besar, Pedir di Pidie, Samudera Pasai di Aceh Utara, Kerajaan Peureulak di Aceh Timur, dan Daya di Aceh Jaya.

Ada kelemahan dari kerajaan yang berskala kecil, yakni mudah dirongrong dan ditaklukkan oleh musuh. Itulah yang terjadi pada Kerajaan Peureulak ketika diserang pada tahun 986 Masehi oleh Kerajaan Sriwijaya (kerajaan bercorak Buddha di Sumatera Selatan).7

7 Slamet Muljana, Sriwijaya, Yogyakarta: LKIS, 2006. Peperangan hebat pun pecah yang melibatkan pasukan kedua kerajaan. Dalam perang ini, Sultan Peureulak Pesisir, yaitu Sultan Alaiddin Syad Maulana Mahmud Syah gugur dalam peperangan.

Belakangan, Majapahit juga menyerang wilayah Sultan Peureulak Pedalaman dan berhasil menaklukkannya pada penyerangan kedua.

Samudera Pasai pun sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, pernah diserang oleh Majapahit, saat kerajaan yang didirikan Sultan Malikussaleh itu dipimpin oleh raja yang berkelakuan buruk, yakni Sultan Ahmad Malik Az-Zahir. Ia menyewa orang untuk meracuni putra sulungnya yang menghalang-halanginya untuk melakukan inses dengan kedua putrinya (Tun Medam Peria dan Tun Takiah Dara).

Kedua putrinya itu akhirnya bunuh diri karena merasa tak ada lagi yang

FOTO: Reny Fharina Resam Berume atau kebiasaan memanen padi khas masyarakat suku Gayo di Aceh Tengah, menggambarkan kerjasama masyarakat dalam bersawah, dengan ciri khas pakaian yang unik dan membawa benda-benda yang unik juga.

Habib Abdurrahman az-Zahir. Pernah menjadi Mangkubumi merangkap Menteri Luar Negeri kerajaan Aceh. Ia diutus oleh Sultan untuk mencari bantuan ke Turki. Sekembali dari Turki tahun 1876 langsung memimpin perlawanan terhadap Belanda antara lain Teungku Chik di Tiro, dan berkedudukan di Montaasi', Aceh Besar. Disebabkan perpecahan yang terjadi dalam tubuh pemerintahan Kerajaan Aceh dan usaha-usaha yang menyudutkan dirinya akibat kekalahan pasukannya dalam pertempuran di Seuneulob, Aceh Besar membawa akibat yang buruk terhaap pribadi habib. tanggal 13 Oktober 1878 Habib berdamai dengan Belanda dan di akhir tahun tersebut habib berangkat menetap ke Mekkah serta memperoleh 10.000 ringgit sebagai sumbangan tahunan dari Pemerintah Belanda. melindungi. Belakangan, Sultan Ahmad Malik juga mendalangi penenggelaman putranya yang kedua, Tun Abdul Jalil yang terlibat jalinan percintaan dengan Raden Galuh Gemerencang, putri dari Kerajaan Majapahit. Hal itu ia lakukan karena menginginkan sang putri menikah dengan dirinya. Raden Galuh yang kecewa justru memilih bunuh diri dengan menenggelamkan diri di tempat kekasihnya ditenggelamkan calon mertuanya. Hal ini membuat Majapahit murka.8

Dengan ratusan kapal perang, puluhan ribu pasukan andalan Majapahit dipimpin Gajahmada bertolak menuju Pasai untuk melakukan penggempuran. Sesampainya di Pasai, perang pun meletus. Pasukan Majapahit berhasil membuat pasukan Pasai porak-poranda, ibu kota kerajaan dikuasai. Ketika pasukan Majapahit kian merangsek ke pusat istana, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir melarikan diri ke suatu tempat bernama Menduga yang berlokasi 15 hari perjalanan dari ibu kota Samudera Pasai. Setelah peristiwa tersebut maka takluklah Pasai di bawah Majapahit.9

Majapahit kemudian membawa banyak rampasan perang dari Pasai juga membawa orang-orang pandai dan ulama dari negeri ini. Untuk urusan selanjutnya Majapahit mengangkat pemimpin baru di Pasai, yaitu Sultanah Nahrasiyah/Nur Illah sebagai sultanah pertama di Pasai.

Riwayat Samudera Pasai akhirnya benar-benar tamat pada masa pemerintahan sultan terakhirnya, Zain Al-Abidin IV (1514-1517).

Menyadari hal itu, Ali Mughayat Syah berinisatif untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh agar lebih tangguh, diperhitungkan, dan disegani. Gagasannya untuk penyatuan

8 Russel Jones, Hikayat Raja Pasai, Petaling Jaya: Fajar Bakti, 1987, hlm. 57-65. 9 Harry Kawilarang, Aceh, dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Cetakan ke-3, Banda Aceh: Bandar Publishing 2010, hlm. 19-20.

Aceh mendapat dukungan, lalu Kesultanan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496.

Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putra sulungnya bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Salahuddin kemudian digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.

Masa Kejayaan

Dari 39 sultan Aceh—empat di antaranya perempuan atau sultanah— Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas justru terjadi pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) atau Sultan Meukuta Alam.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa Iskandar Muda memerintah.

Pada masa kepemimpinannya, Aceh juga menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama.

Pada tahun 1629, Kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka dengan armada yang terdiri atas 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.

Di masa Sultan Iskandar Muda lah wilayah kekuasaan Aceh sangat luas, membentang dari Perak di semenanjung Malaya hingga ke Tiku di pesisir barat Minangkabau (Sumatera Barat).

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) berkuasa pernah pula dikirim perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 yang dipimpin Tuanku Abdul Hamid. Karena sakit, ia meninggal dan dimakamkan di sana.

Sultan Alaidin juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti kepada Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

Terkuat di Selat Malaka

Aceh merupakan salah satu bangsa di Pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer tangguh dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu saat dipimpin Sultan Iskandar Muda.

Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sultan pada istrinya, sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Sang putri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itulah sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang putri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi di pangkal Jalan Teuku Umar, sebagai salah satu objek wisata Kota Banda Aceh.

Aceh Melawan Portugis

Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul sebagai pembela di bawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’ Albuquerque dengan armadanya berhasil menaklukkan Malaka.

Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, Aceh pula yang bangkit

membela di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528) yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537), Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar (1537-1568), Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), Sultan Seri Alam (1576), Sultan Muda (1604-1607), dan Sultan Iskandar Muda, gelar marhum Mahkota Alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.

Hubungan dengan Barat

Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusan bernama Sir James Lancester ke Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam” serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga, termasuk sepasang gelang dari batu rubi, dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”.

Sultan Aceh juga membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh yang masih disimpan oleh Kerajaan Inggris, bertarikh tahun

1585:

“Sayalah sang penguasa perkasa negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra, dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam.”

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits—pendiri Dinasti Oranje—juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar Belanda. Namun, karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini, di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Yang Mulia Pangeran Bernhard, suami mendiang Ratu Juliana dan ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Utsmaniyah

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusan untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul, Turki. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang dalam posisi genting, maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung sekian lama sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit lada sebagai hadiah persembahan untuk sultan demi kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sultan, persembahan mereka hanya tinggal sekarung lada (Lada Sicupak). Namun, sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu Kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak.10

Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh. Bahkan ketika Aceh menghadapi Portugis di Malaka, Sultan Selim II dari Turki memperbolehkan seluruh armada laut Aceh memakai bendera Turki. Dimklumatkan pula bahwa siapa pun yang menyerang kapal Aceh yang berbendera Turki disamakan dengan menyerang kedaulatan Dinasti Utsmaniyah.

Prancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Prancis. Utusan Raja Prancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun, dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumen atau Aula Kaca di dalam istananya.11

10 Harry Kawilarang, Aceh, dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Cetakan ke-3, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2010, hlm. 21-22. 11 Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (16071636), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.

Menurut utusan Prancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tidak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligoe Aceh atau Pendopo Gubernur Aceh). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah.

Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh supaya mengalir di bawah istananya (sungai ini hingga kini masih dapat dilihat, mengalir tenang di bawah restoran dan masjid Meuligoe Gubernur Aceh yang dinamakan Darul Isyki atau Krueng Daroy). Di sanalah dulunya sultan acap kali berenang sambil menjamu tamutamunya.

Pasca-Sultan Iskandar Thani

Setelah Sultan Iskandar Muda mangkat tahun 1636, ia digantikan menantunya, Tuanku Pangeran Mogul Husin, yaitu putra Sultan Pahang yang kemudian bergelar Sultan Iskandar Thani.

Lima tahun kemudian Iskandar Thani wafat tahun 1641, ia digantikan oleh permaisurinya dengan gelar Sri Sulthanah Safiatuddin Tajul Alam Syah Johan Berdaulat Zillullahil fil ‘Alam binti Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.

Safiatuddin memerintah dalam waktu singkat, hanya dua tahun. Ia kemudian digantikan secara berturutturut oleh sultanah, diakhiri oleh Sultanah Naqiatuddin Syah, sehingga masa kepemimpinan wanita di Kerajaan Aceh mencapai 59 tahun lamanya.12

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani (mangkat 1641) mengalami kemunduran yang terusmenerus. Hal ini disebabkan naiknya empat sultanah berturut-turut sehingga

12 Fairus, dkk., Professionalism, Courage, Dignity, Profil dan Sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: Biro Humas Polda NAD, 2009, hlm. 381. membangkitkan amarah kaum ulama Wujudiyah. Padahal, Sultanah Safiatudin yang merupakan sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan putri Sultan Iskandar Muda dan istri Sultan Iskandar Thani. Ia juga menguasai enam bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Persia. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 13 orang di antaranya adalah wanita.

Kepemimpinan para sultanah ini mendapat dukungan dari Syekh Abdurrauf selaku Kadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh. Namun, setelah ia wafat pada tahun 1693, perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Makkah yang menyatakan keberatan jika wanita menjadi sultanah, karena pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Alhasil, berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh saat Aceh dipimpin sultanah keempat, Sulthanah Kamalat Shah (1688-1699).

“Peristiwa ini menandakan akhir dari pemerintahana ratu di Kerajaan Aceh setelah berlansung selama 59 tahun berturut-turut,” tulis Anthony Reid.13

Datangnya Pihak Kolonial

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugis, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris), dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.

Pada tahun 1824, Perjanjian BritaniaBelanda ditandatangani: Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengeklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan

13 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, Jakarta: KITLV-Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.

Belanda menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Prancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Perang Belanda di Aceh

Tahun 1873 pecah perang Belanda melawan Aceh. Perang ini disebabkan:

Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan, dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda berada di bawah kekuasaan Aceh;

Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah Traktat London (1824). Isi Traktat London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara, yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh;

Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah;

Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan;

Dibuatnya Perjanjian Sumatra 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya Inggris memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalu lintas di Selat Sumatra. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.

Akibat Perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, dan Turki di Singapura dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.

Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia, dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia, Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan dua kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Alhasil, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik.14

Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler dikirimkan pada tahun 1874, tapi dikalahkan oleh tentara Aceh di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah yang telah memodernisasikan senjatanya.

Köhler sendiri tewas ditembak mujahid Aceh pada tanggal 10 April 1873 di bawah pohon geulumpang yang tumbuh di depan Masjid Raya Baiturrahman. Peristiwa itu menjadi berita besar di London Times edisi 22 April 1873 dan New York Time edisi 6 Mei 1873 serta menggemparkan Eropa, karena untuk pertama kalinya pribumi berhasil mengalahkan supremasi kulit putih pada abad ke-19.15

Untuk mengenang peristiwa itu, Belanda menamai pohon tersebut dengan Kohlerboom yang berarti pohon Kohler.

Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai sultan di Masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial

14 Ibrahim Alfian, Sastra Perang: Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil, Jakarta: Balai Pustaka, 1992. hlm. 248. 15 Harry Kawilarang, Aceh, dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Cetakan ke-3, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2010, hlm. 17

menyatakan bahwa perang telah berakhir.

Namun, dalam kenyataannya, perang dilanjutkan secara gerilya oleh rakyat dan jihad fisabilillah pun dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilancarkan sampai tahun 1904.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Muhammad Tibang dalam perjalanannya menuju pelantikan Kaisar Napoleon III dari Prancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan kepada Kalifah Utsmaniyah. Sedangkan Amerika Serikat menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania Raya yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, August Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar (Johan Pahlawan) dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar berbalik menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus melawan tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur.

Lalu, Cut Nyak Dien, istri Teuku Umar, tampil menjadi komandan perang melanjutkan gerilya melawan tentara Belanda.

Pada tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye sempat menyamar dua tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Atjehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.16

Isi nasihat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:

Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya. Senantiasa menyerang

16 Hurgronje, Christiaan Snouck, De Atjehers, Batavia: Landsdrukkerij, 1893. dan menghantam kaum ulama. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan, irigasi, dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai Gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasihatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.

Sultan Ditangkap

Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Sultan M. Daud akhirnya menyerah dan menandatangani surat pengakuan kalah perang (kapitulasi) yang

Sketsa pendaratan pasukan Belanda dalam Agresi Kedua, Desember 1875 di Kuala Gigieng - Lheue. Para pejuang Aceh bertempur di bawah pimpinan tuanku Hasyim Bantamuda.

FOTO: Leiden University Sultan Mohammad Daud Syah [dua dari kiri]. Raja terakhir Aceh yang dibuang Belanda ke Ambon. Bertahta 1884-1903. disodorkan Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian diluluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, di mana dibentuk pasukan marechaussee yang dipimpin Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan-nya yang telah mampu dan menguasai pegununganpegunungan dan hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara menculik anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya, Christoffel menculik permaisuri sultan dan Teungku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putra Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putra Panglima Polem, Cut Po Radeu, saudara perempuannya, dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya, Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah di Lhokseumawe tahun 1903. Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan pasukan pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Misalnya, pembunuhan di Kuto Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya yang terdiri atas 1.773 lakilaki dan 1.149 perempuan.

Taktik terakhir adalah menangkap Cut Nyak Dien, istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, di mana akhirnya Cut Nyak Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.

Surat Tanda Penyerahan

Van Heutz telah menyiapkan surat pendek tentang penyerahan kekuasaan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Surat ini dinamakan surat kapitulasi (surat pengakuan kalah perang). Isinya adalah: Raja (sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia-Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J. Sirait, dan M. Simamora, Sejarah Nasional (Perang Aceh), 1987).

Sultan Aceh yang menandatangani surat ini adalah Muhammad Daud Syah, sultan Aceh yang terakhir.

Bangkitnya Nasionalisme

Pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerja sama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, dibentuk di Aceh pada tahun 1917. Ini kemudian diikuti oleh organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian, tahun 1939 Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di Aceh.

Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), sebuah organisasi antiBelanda. PUSA pula yang kemudian mengirim utusannya ke Malaysia untuk menjumpai perwakilan Jepang di sana dan meminta kesediaan Jepang mengusir Belanda dari Aceh.

Perang Dunia II

Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai Gubernur Aceh oleh Gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).

Seperti penduduk Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan Belanda, apalagi beberapa ulama Aceh sudah melobi perwakilan Jepang di Malaysia untuk datang ke Aceh membantu pejuang Aceh mengusir Belanda. Namun, ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda, tidak membuat kondisi Aceh kembali membaik.

Masuknya Jepang menggantikan Belanda tahun 1942 tidak membawa perubahan sama sekali bagi peradaban Aceh yang mengalami kemunduran akibat invasi Belanda. Selama tiga tahun Jepang berkuasa di Aceh hingga tahun 1945, tidak ada kebijakan yang dilakukan untuk memungkinkan berkembangnya kembali peradaban Aceh. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan pemerintah pendudukan Jepang seluruhnya diarahkan pada usaha peperangan, karena mereka ingin memenangkan Perang Asia Timur Raya.17

Jepang bahkan merekrut kembali para uleebalang untuk mengisi jabatan gunco dan sunco (kepala distrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang.

Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942 yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, juga di Pandrah dan Jeunieb pada tahun 1944.

Pada masa Jepang inilah dibentuk struktur kepolisian di Aceh yang terdiri atas

17 Mawardi Umar, Yarmen Dinamika, Wildan, dan Sulaiman Tripa, 58 Tahun Unsyiah, Kiprah Kampus ‘Jantong Ate’ untuk Bangsa, Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2019, hlm. 18.

dua jenjang komando. Untuk level provinsi disebut keimubu, sedangkan di tingkat distrik dinamakan keisatsusho.

Kedua lembaga ini dipimpin oleh polisi Jepang. Kepolisian di Aceh baru dipimpin oleh putra daerah pada Oktober 1945 ketika Jepang mengangkat Muhammad Hasyim untuk memangku jabatan keimubutyo (kepala kepolisian daerah) di Kutaraja.

Kelak, ketika Jepang angkat kaki dari bumi Aceh, tepatnya pada tanggal 11 Agustus 1946 dengan Ketetapan Nomor 204, Gubernur Sumatra, Mr. Teuku Muhammad Hasan mengangkat Muhammad Hasyim sebagai Kepala Kepolisian Keresidenan Aceh.18

Inilah untuk pertama kalinya setelah kemerdekaan Aceh memiliki kepala kepolisian daerah.

Masa Republik Indonesia

Kedudukan Aceh di dalam RIS

Setelah 41 tahun semenjak berakhirnya perang Belanda melawam Aceh, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata, perjuangan untuk bebas dari cengkeraman Belanda belum selesai, sebelum Hubertus Johannes van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS).

Ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yang terdiri atas:

Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan Perjanjian Renville; Negara Indonesia Timur; Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta; Negara Jawa Timur; Negara Madura; Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan

18 Fairus, dkk., Professionalism, Courage, Dignity, Profil dan Sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: Biro Humas Polda NAD, 2009, hlm. 249. Selatan dan Labuhan Batu; Negara Sumatra Selatan.

Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.

Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.

Sebagai gantinya, Aceh termasuk ke dalam Republik Indonesia, di mana Republik Indonesia adalah salah satu negara bagian dari RIS. Dengan demikian, Aceh termasuk juga ke dalam sistem RIS, meskipun tidak berwujud sebagai negara bagian yang terpisah.

Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 1516 Desember 1949.

Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedangkan untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS

dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.

Belanda di bawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. Maan Sassen dan Ketua Delegasi RIS Mohammad Hatta membubuhkan tanda tangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949.

Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Antonius Hermanus Johannes Lovink dalam suatu upacara bersamasama membubuhkan tanda tangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986).

Kembali ke Negara Kesatuan

Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan UndangUndang Darurat Nomor 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan UndangUndang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan diri ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanyalah tiga negara bagian, yaitu RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).

Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.

Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986).

Maklumat NII Aceh

Tiga tahun setelah RIS bubar dan

FOTO: WIKIPEDIA Ir. Soekarno (Bung Karno) didampingi Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta) sedang memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada hari Jum'at tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi di Pegangsaan Timur 56 Jakarta (sekarang jalan Proklamasi).

kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia (NII) di bawah Imam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.

Isi Maklumat NII di Aceh adalah:

“Dengan lahirnja proklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam. Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:

Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan negara.

Pegawai2 negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.

Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.

Rakjat seluruhnja djangan mengadakan sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.

Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.

Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.

Negara Islam Indonesia Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja. MUHARRAM 1373 Atjeh Darussalam September 1953

Daud Beureueh Menyerah

Bulan Desember 1962, tujuh bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, Imam NII, tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuankesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” atas prakarsa Panglima Kodam I/iskandar Muda, Kolonel M.Jasin.19

Deklarasi Aceh Merdeka

Sekitar 14 tahun kemudian, Hasan Muhammad Di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra.20

Bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:

“Kepada rakyat di seluruh dunia: Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.

Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat.

Tengku Hasan Muhammad di Tiro.

Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4 Desember 1976.″

19 Sekretariat Negara Republik Indonesia, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1986.

20 Hasan Muhammad di Tiro, The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro, New York: National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, p 15-17.

Operasi Jaring Merah

Pemerintah pusat merespons deklarasi yang disampaikan Hasan Tiro dengan menguber pentolan dan para simpatisan Aceh Merdeka dan menyebut gerakan tersebut sebagai Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT). Kemudian, digolongkan sebagai gerombolan pengacau keamanan (GPK) Aceh hingga akhirnya diidentifikasi sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Untuk menggempur GAM dan pendukungnya, Panglima ABRI (sebelum bernama TNI) memberlakukan operasi dengan sandi Operasi Jaring Merah (OJM) sejak 1990. Orang Aceh menyebutnya DOM (Daerah Operasi Militer). Melalui operasi inilah banyak anggota GAM yang ditangkap, hilang, dan terbunuh, sebagiannya lari ke luar Aceh, bahkan ke luar negeri. Operasi militer ini mendapat sorotan dari pegiat hak asasi manusia (HAM) internasional, seperti Human Rights Watch dan Amnesty International, karena dalam rangka menumpas GAM timbul ekses pelanggaran HAM di kalangan masyarakat sipil nonkombatan. Yayasan Peduli HAM saat itu mencatat 7.727 kasus dugaan pelanggaran HAM dilaporkan warga dari tiga daerah (Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur) kepada relawan mereka yang turun melakukan pendataan kasus ke lapangan.21

Para pegiat HAM di Aceh pun, di antaranya Koalisi NGO HAM dan Kontras, melaporkan ekses penerapan DOM, yakni sedikitnya 8.344 warga tewas, 875 orang hilang,.456 perempuan menjadi janda, 4.670 anak menjadi yatim, 55 perempuan mengaku diperkosa, 298 orang cacat, serta 809 unit rumah dirusak dan dibakar oleh pihak yang terlibat dalam konflik. Para

21 Al Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad, dan Yarmen Dinamika, Aceh Bersimbah Darah, Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer 1989-1998, Cetakan ke-2, edisi revisi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998. FOTO: KUMPARAN Tgk Daud Beureueh (tengah) saat turun gunung.

FOTO: Kumparan Tgk Hasan Tiro bersama para kombatan GAM saat latihan di Libya.

aktivis HAM juga minta DOM dicabut dan kasus-kasus pelanggaran HAM diadili.

Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Dayan Dawood, M.A., menilai jika status operasi militer terus diberlakukan maka akan sangat merugikan Aceh secara ekonomi. Maka, pada 14 Oktober 1996 Dayan menyatakan bahwa kondisi Aceh lebih aman daripada Jakarta saat itu, sehingga sudah saatnya status operasi militer bagi Aceh dicabut karena merugikan daerah secara ekonomi, politik, dan psikologis.

Upaya pencabutan status DOM juga diusulkan pada 29 Desember 1996 oleh Kapolda Aceh, Drs. Suwahyu yang dilantik sebagai Kapolda pada 6 September 1996. Suwahyu menilai, situasi Aceh sudah aman dan sepantasnya operasi militer diganti dengan operasi kamtibmas.22

Usul Suwahyu itu direspons oleh Panglima Komando Daerah I Bukit Barisan di Medan, Mayjen Sedaryanto pada 30 Desember 1996 yang mendukung sepenuhnya keinginan masyarakat Aceh sebagaimana disuarakan Suwahyu. Namun, dia

22 Fairus, dkk., Professionalism, Courage, Dignity, Profil dan Sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: Biro Humas Polda NAD, 2009, hlm. 272. meminta jaminan hitam di atas putih sebelum status daerah rawan itu dicabut. Sebulan kemudian, usai pengusulan itu, Suwahyu pun dipindah dan jabatannya digantikan oleh Kolonel Polisi Drs. Teuku Bachtair Aziz.

Status DOM Dicabut

Setelah sepuluh tahun diterapkan dan menuai banyak protes, apalagi situasi keamanan Aceh semakin kondusif, akhirnya pada 7 Agustus 1998 Menteri Pertahanan dan Keamanan/ Panglima Angkatan Bersenjata (Menhankam/Pangab), Jenderal TNI Wiranto mencabut status Operasi Jaring Merah (OJM) atau yang populer dengan sebutan Daerah Operasi Militer (DOM) di Lhokseumawe yang saat itu masih merupakan ibu kota Aceh Utara.

Usai salat Jumat di Masjid Baiturrahman Kota Lhokseumawe, Wiranto meminta maaf kepada masyarakat Aceh yang mengalami pelanggaran HAM sebagai ekses diberlakukannya operasi militer sejak tahun 1989. Wiranto mencabut status operasi militer atas perintah Presiden Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto yang lengser pada 21 Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa.

Wiranto juga memerintahkan

jajarannya mengganti penyebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang selama ini ditujukan kepada kelompok Hasan Tiro dan menggantinya dengan Gerombolan Pengacau Liar (GPL).

Dalam sebulan, pasukan nonorganik ditarik. Para tahanan politik Aceh pun mendapat amnesti dan abolisi. Penarikan pertama pasukan dilakukan terhadap 250 prajurit TNI pada 20 Agustus 1998, lalu disusul penarikan kedua sebelas hari kemudian. Selanjutnya, dilakukan penarikan secara bergelombang.

Fungsi Normal Kepolisian

Setelah status DOM dicabut, kendali keamanan dan ketertiban otomatis beralih dan dipegang oleh personel polisi dan prajurit TNI organik di Aceh. Dengan demikian, urusan keamanan dan ketertiban Aceh kembali ke fungsi normal kepolisian.

Namun sayang, jatuhnya rezim Orde Baru, berkibarnya reformasi, dan berakhirnya status operasi militer tersebut justru menyebabkan masyarakat mengalami euforia reformasi. Sipil bersenjata yang selam ini tiarap dan berada di bawah permukaan tiba-tiba unjuk gigi dan memperlihatkan senjata laras panjang atau pendek yang mereka miliki dan belum ditarik meski DOM sudah dicabut.

Pada waktu bersamaan, pihak keamanan, khususnya TNI, terbebani oleh perasaan bersalah di masa lampau. Apalagi setelah pelanggaran HAM selama Aceh berada di bawah Operasi Jaring Merah, dibeberkan ke publik oleh pegiat HAM, jurnalis, aktivis perempuan, dan Forum Janda DOM (Forjadom).

Penculikan dan penembakan misterius pun mulai sering terjadi. Kondisi Aceh, terutama di pesisir timur, mulai bergolak. Bahkan pada November 1999, ratusan pemuda sambil menenteng senjata berkeliling Kota Lhokseumawe. Mereka menaiki truk, minibus, dan sepeda motor. Jika terlihat bendera Merah Putih berkibar

di kantor-kantor pemerintah, langsung mereka turunkan. Markas Kepolisian Sektor Syamtalira Bayu, Aceh Utara, pun mereka tembaki. Untungnya tak ada yang terluka dan korban jiwa.

Situasi yang tidak kondusif tersebut, ditambah sejumlah peristiwa berikutnya yang rentan mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat, akhirnya memaksa pemerintah pusat bertindak tegas dengan mengirim Pasukan Pengendali Rusuh Massa (PPRM) pada 1999 dengan garda terdepan dipegang oleh anggota polisi dari kesatuan Brimob.

Kolonel Polisi Ridhwan Karim, putra Aceh kelahiran Gayo Lues, diamanahkan sebagai komandan PPRM dan Kolonel Polisi Teuku Ashikin Husin yang juga kelahiran Aceh, sebagai wakil komandannya. Kelak, Ashikin menjabat Wakapolda Aceh, Kapolda Sulawesi Tengah, dan Kapolda Bali.

Dalam menjalankan tugasnya, PPRM mengalami dilema. Ketika mereka patroli ke desa-desa untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat, justru warga ramai-ramai eksodus dari desa dan memilih untuk mengungsi. Pilihan warga untuk mengungsi semakin beralasan karena di desa tertentu sering terjadi kontak senjata antara anggota PPRM dengan kelompok sipil bersenjata yang saat itu dinamakan Gerombolan Bersenjata Pengacau Keamanan (GBPK).

Kepada media lokal dan nasional yang terbit saat gelombang eksodus itu terjadi berulang, Kapolda Aceh, Kolonel Polisi Bachrumsyah sering menyatakan bahwa eksodusnya warga dari perkampungan bukan karena masuknya anggota PPRM ke desadesa, melainkan lebih karena situasi yang sengaja diciptakan oleh sipil bersenjata dengan cara mengintimidasi, mengancam, dan meneror masyarakat agar mengungsi.

Bachrumsyah menjelaskan, salah satu bukti masyarakat tidak takut kepada aparat keamanan dibuktikan dengan mengungsinya warga ke kotakota yang di sana justru terdapat 2.000 anggota PPRM, tersebar di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Tiga kabupaten ini merupakan bekas ‘hot spot area’ semasa eskalasi konflik Aceh memuncak, karena dijadikan GAM sebagai daerah basis perjuangan mereka.

Untuk mengendalikan situasi, Polda Aceh kemudian menggelar Operasi Sadar Rencong (OSR) tahap I yang dimulai pada 21 Mei 1999 hingga OSR tahap III yang berakhir pada 22 Agustus 2000. Operasi ini dilanjutkan dengan Operasi Cinta Meunasah (OCM) tahap I dan II yang berakhir pada 31 April 2001.

Fase Perundingan

Untuk penyelesaian konflik Aceh yang berkepanjangan, akhirnya jalur diplomasi pun ditempuh. Dalam kondisi kemanan yang belum begitu stabil pascareformasi, Pemerintah Indonesia mengadakan perundingan pertama dengan GAM pada 2 Juni 1999 di Banda Aceh. Hasilnya, disepakati untuk membentuk Forum Dialog Jeda Kemanusiaan untuk Aceh yang terdiri atas perwakilan Pemerintah Republik Indonesia, GAM, serta kelompok independen.

Para perwakilan ini tersebar dalam Komite Bersama Modalitas Keamanan (KBMK) dan Komite Bersama Aksi Kemanusiaan (KBAK) yang anggotanya masing-masing enam orang. Terdapat pula tim monitoring yang anggotanya juga enam orang, keberadaan mereka disetujui pihak Pemerintah RI dan GAM.

Ketika berlangsung pertemuanpertemuan antara pihak RI dan GAM atas mediasi Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue, pihak

kepolisian selalu terlibat. Misalnya, pada pertemuan Komandan Lapangan RI-GAM KBMK pada 23 Februari 2001 di Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh, pihak kepolisian diwakaili oleh KBP Drs. Manahan Daulay dan AKBP D. Anggalaksana. Bahkan sebanyak 1.540 anggoata GAM telah menyerahkan diri kepada aparat kepolisian di lima polres dalam wilayah hukum Kepolisian Daerah Aceh.

Bertindak sebagai Kasatgas OCM saat itu adalah Kolonel Polisi Drs. Dody Sumantyawan HS. Untuk menghadapi situasi keamanan Aceh yang memburuk, Dody Sumantyawan yang kemudian menjabat Kapolda Aech dengan pangkal Brigjen, menyiagakan 11.000 personel polisi di seluruh Aceh. Ini dilakukan untuk mengantisipsi gangguan keamanan di Aceh, terutama gangguan keamanan dengan teror bom, seperti pernah dilakukan terhadap Kantor Bupati Pidie yang dibom pada 25 September 2000.

Forum Jeda Kemanusiaan ini kelak berubah nama menjadi Damai Menuju Dialog (DMD) untuk Aceh. Semua anggota KBMK dari Indonesia merupakan putra Aceh, yakni Kolonel Sulaiman AB (terakhir Danpuspom TNI), Kolonel Teuku Johan Basyar (TNI Angkatan Udara), Kolonel Madani TNI Angkatan Laut), Kolonel Polisi Ridhwan Karim dan Kolonel Rismawan dari unsur kepolisian. Rismawan kelak menjabat Kapolda Aceh.

Darurat Militer dan Darurat Sipil

Perundingan antara Pemerintah RI dan GAM di Tokyo pada 17-18 Mei 2003 gagal, karena GAM ngotot menuntut merdeka dan menolak tawaran otonomi khusus bagi Aceh, juga menolak untuk meletakkan senjata.

Penolakan itu menyebabkan Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 2003 yang menetapkan bahwa seluruh Aceh dalam keadaan bahaya dengan status Darurat Militer dengan nama Operasi Terpadu, berlaku selama enam bulan sejak 19 Mei 2003 dan dapat diperpanjang.

Salah satu pendekatan dari dari Operasi Terpadu ini adalah .Operasi Penegakan Hukum dengan unsur utamanya adalah polisi dengan penanggung jawabnya Kapolri.

Operasi ini dilakukan karena banyak kejahatan seperti penculikan, pemerasan dengan dalih pajak nanggroe, dan pemaksaan untuk menjadi anggota GAM. Tujuan operasi ini untuk mengintensifkan penegakan hokum, termasuk memberlakukan gerakan bersenjata separatis GAM ebagai kejahatan terhadap keamanan Negara. Dalam operasi ini, TNI mengerahkan Polisi Militer.

Degan terpaksa, jalur dialog yang dirintis sejak tahun2000 itu pun buyar. Pemerintah pun kembali memobilisasi pasukan ke Aceh dan ini operasi terbesar yang dilakukan pemerintah pusat.

Sekitar 40.000 pasukan dari unsur TNI dan Polri dikirim ke Aceh melalui jalur darat, laut, dan udara untuk memberi rasa aman kepada masyarakat Aceh dari Geromnolan Sipil Bersenjata (GSB) atau Gerakan Separatis Aceh (GSA).

Keputusan Presiden tentang pemberlakukan darurat militer itu dimulai pada 19 Mei hingga 19 November 2003. Lalu dilanjutkan dengan darurat militer tahap II berdasarakan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 2003 yang dimulai 19 November hingga 19 Mei 2004. Kendali operasi selama darurat militer dipegang oleh Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Panglima Komano Daerah Militer Iskanar Mua, Mayor Jenderal TNI Endang Suwarya. Selama darurat

militer pula kartu tanda penduduk (KTP) orang Aceh diganti menjadi KTP Merah Putih.

Selama setahun darurat militer, Kapolda Aceh tetap dijabat oleh Irjen Pol Drs. Bahrumsyah Kasman, S.H., yang mulai dia emban sejak tahun 2002. Sejarah mencatat Bahrumsyah merupakan Kapolda terlama di Indonesia pascareformasi dengan masa kerja pada periode pertama 1999-2000 dan periode kedua tahun 2002-2007.

Sebelum darurat militer periode kedua berakhir, Indonesia melaksanakan agenda demokrasi, yakni Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada 5 April 2004. Kali ini jumlah pemilih di Aceh lebih meningkat dibanding Pemilu 1999.

Ribuan anggota GSB pun menyerahkan diri, ditangkap, serta mengikuti proses pengadilan sebagai bagian dari penegakan hukum yang merupakan ranah tugas kepolisian.

Setahun kemudian, status darurat militer diturunkan menjadi darurat sipil setelah kondisi keamanan di Aceh berangsur pulih. Penurunan status dari darurat militer ke darurat sipil ini dituangkan melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 2004.

Keputusan ini mulai berlaku sejak 19 Mei 2004 hingga 19 November 2004 dengan pusat kendali dipegang oleh Gubernur Aceh, Abdullah Puteh selaku Penguasa Darurat Sipil daerah (PDSD). Selama itu pula sepucuk pistol kerap menempel di tali pinggang Abdullah Puteh.

Selama darurat militer dan darurat sipil, bagai tak dapat dielak, warga sipil, anggota GSA, personel Polri, dan prajurit TNI banyak yang menjadi korban.

Darurat sipil tahap I berakhir, dilanjutkan dengan darurat sipil tahap II berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2004 yang dimulai pada 19 November 2004 hingga 19 Mei 2004.

Namun, belum sampai dua bulan perpanjangan status darurat sipil tahap II diberlakukan, Allah berkehendak lain. Sebuah bencana alam mahadahsyat mengguncang dan meluluhlantakkan Aceh, yakni gempa berkekuatan 9,3 skala Richter dengan kedalaman 20 kilometer di sebelah barat Meulaboh yang memicu tsunami terbesar pada abad 21.

Gempa dan Tsunami

Ketika gempa besar mengguncang Aceh dan memicu tsunami dahsyat pada 26 Desember 2004 sekitar pukul 07.58 WIB, Aceh sedang berstatus darurat sipil. Sebagai daerah tertutup bagi pendatang, apalagi bagi orang asing, menyulitkan arus bantuan logistik masuk ke Aceh yang porakporanda dihantam tsunami.

Status tersebut dicabut oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 27 Desember 2004 dan dengan demikian bantuan untuk Aceh bebas masuk, demikian para relawan dan pekerja kemanusiaan dari luar negeri.

Tak kurang 7.000 relawan asing masuk Aceh saat itu dan 53 negara menyalurkan bantuannya untuk Aceh yang 236.000 lebih penduduknya meninggal dan hilang, serta ratusan ribu jiwa mengungsi karena kehilangan rumah.

Tsunami Aceh mencetak rekor sebagai bencana alam terbesar pada abad 21 di dunia dari segi jumlah korban. Di Aceh saja, berdasarkan data Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tsunami telah menewaskan 236.116 jiwa penduduk dan hampir 74.000 jiwa di antaranya dinyatakan hilang, karena jasadnya tidak ditemukan atau tak lagi dikenali. Selain itu, 514.150 jiwa terpaksa menjadi pengungsi spontan,

karena kehilangan rumah dan tempat tinggal.

Gempa yang terjadi di Samudra Hindia dan berjarak 149 kilometer sebelah barat Meulaboh, Aceh Barat, itu juga dirasakan dampak destruktifnya dalam bentuk getaran gempa dan tunami di sepuluh negara selain Indonesia, yakni Thailand, Malaysia, Maladewa, India, Myanmar, Banglades, Sri Lanka, Kenya, Tanzania, bahkan Somalia. Itu karena, pada peristiwa gempa yang bermula di Aceh itu telah memicu dan diikuti oleh delapan gempa besar lainnya di seputar Nikobar dan Andaman di India.

Akibatnya, total general korban tsunami yang meninggal dan hilang di sebelas negara pada pengujung tahun 2004 itu hampir 400.000 jiwa.

PBB bahkan menetapkan peristiwa ini sebagai bencana internasional dan menunjuk Bill Clinton, mantan presiden Amerika Serikat, sebagai Utusan Khusus (Special Envoy) Sekjen PBB untuk menangani dampak tsunami di berbagai negara.23

Belum pernah dalam sejarah lembaga perhimpunan bangsa-bangsa itu melibatkan begitu banyak satuan tugas serta dana untuk merespons dampak tsunami yang ditimbulkan oleh gempa Aceh.

Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Banda Aceh merupakan wilayah terparah yang dihantam tsunami. Komunikasi dengan dunia luar sempat putus total hingga hari ketiga, kecuali menggunakan telepon satelit.

Dua helikopter milik Polri yang siaga di halaman markas Brimob (kini menjadi halaman Mapolda Aceh) yang sempat dihidupkan untuk terbang menjauh tiba-tiba saja ringsek didahului gelombang tsunami yang datang dari arah belakang dan sisi kiri markas Brimob. Helikopter ini terseret

23 Yarmen Dinamika, dkk., Tsunami Aceh Getarkan Dunia, Banda Aceh: Harian Serambi Indonesia dan Japan-Aceh Net, 2006, hlm. 9-10.

Masjid Raya Baiturrahman yang masih kokoh walaupun diterjang gempa dan Tsunami hingga 100 meter dari tempatnya semula. Bangkai helikopter itu kini satu ditempatkan di Kompleks Museum Tsunami Aeh, satu lagi berada di halaman belakang Gedung Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala yang berada di Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh.

Tak cuma dua helikopter, tsunami juga menghancurkn 29 asrama polisi yang berdekatan dengan pantai, misalnya Asrama Polisi Lamteumen I dan II, Asrama Polisi Punge, Asrama Polisi Ulee Lheue, Asrama Brimob Jeulingke, dan Asrama Polisi Air di Lampulo (Banda Aceh), Asrama Polisi Blang Paseh (Sigli), serta Asrama Polisi Air Ujong Karang (Meulaboh).

Kerugian terbesar yang dialami Polda Aceh saat itu adalah kehilangan sumber daya personel polisi serta keluarga mereka. Secara keseluruhan, 612 personel polisi dan PNS di jajaran Polda Aceh meninggal dunia atau hilang akibat tsunami, termasuk polisi nonorganik yang sehari-hari membantu tugas pemulihan keamanan di Aceh. Di antara yang gugur itu terdapat sembilan perwira pertama dan 42 orang bintara. Taruna Akademi Kepolosian (Akpol) yang sedang cuti pun ikut menjadi korban sebanyak tiga orang.

Akibat gempa dan tsunami di Aceh, paling kurang Kepolisian Republik Indonesia mengalami kerugian materiel dan fisik sekitar Rp 591,72 miliar.

Dalam kondisi itu, 53 negara turun tangan memberikan bantuan pada fase awal tanggap darurat yang melibatkan 16.000 pasukan di Aceh. Mereka berasal dari Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Australia, Pakistan, Jepang, dan sejumlah negara lain yang diterjunkan dalam misi kemanusiaan nonperang terbesar seusai Perang Dunia II yang melibatkan sembilan kapal induk, 11 kapal perang, 31 pesawat udara, dan 75 helikopter/ helicooper.

Akhir Konflik

Di sisi lain, tsunami tersebut mendorong pula tekad elite Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia untuk kembali ke meja perundingan. Tsunami memang bukan faktor penentu, tapi ia menjadi faktor pendorong kelancaran dialog dalam perundingan penyelesaian konflik Aceh

di Helsinki.

Setelah melewati lima putaran perundingan di Helsinki, pada 15 Agustus 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka akhirnya berhasil mencapai kesepahaman damai untuk mengakhiri konflik selama hampir tiga dekade itu.

Dalam preambule nota kesepahaman tersebut, antara lain, disebutkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi semua.

Juga disebutkan bahwa para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebutlah akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pascatusnami tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan.

Kesepakatan bersejarah tersebut ditandatangani di Helsinki, Finlandia, atas mediasi mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari selaku pimpinan Crisis Management Initiative (CMI).

Pada 15 Agustus 2005, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia akhirnya sepakat untuk menandatangani persetujuan damai (MoU) dan sekaligus mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung hampir 30 tahun. Kesepakatan itu memberikan hak otonomi khusus (special autonomy) kepada Aceh.

Sejak saat itu, Pemerintah Republik Indonesia menarik semua elemen tentara dan polisi nonorganik dari Aceh dalam empat tahap, dimulai 15 September dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.

Setelah itu, keamanan dan ketertiban di Aceh sepenuhnya dikendalikan oleh kepolisian. Aceh kembali memasuki fase fungsi normal kepolisian. Tertib sipillah yang berlaku dan polisi organik bertanggung jawab untuk menjaga hukum serta ketertiban di Aceh hingga kini.[]

FOTO: KUMPARAN Hamid Awaluddin (kiri), Martti Ahtisaari (tengah) dan Malik Mahmud, saat momen kesepakatan damai Aceh di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005

This article is from: