23 minute read

Astagatra

BAB V ASTAGATRA

GEOGRAFI

Advertisement

Polda Aceh dituntut untuk mampu mendeteksi secara dini kerawanankerawanan konflik yang timbul dan bersumber dari berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehingga Polda Aceh dan jajarannya dapat dengan cepat dan tepat menyelesaikan permasalahan yang muncul di masyarakat. Secara geografis Aceh terdiri atas 18 kabupaten dan 5 kota, 289 kecamatan, 779 mukim dan 6.474 gampong atau desa. Luas wilayahnya adalah 5.677.081 ha atau merangkumi 12.26% pulau Sumatera. Batasbatas wilayah Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat hanyalah dengan Provinsi Sumatera Utara, sehingga memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan Provinsi Sumatera Utara. Posisi geografi Aceh yang berbatasan laut dengan negara Malaysia, Thailand, Myanmar dan India (Nicobar) membuat wilayah Aceh mudah diakses dari berbagai negara melalui laut dan udara. Kondisi geografi wilayah Aceh dominan dikelilingi laut dengan garis pantai sepanjang lebih dari 1.800 km. Banyak kuala-kuala dan pelabuhan rakyat yang tidak terjaga oleh aparat keamanan, sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana penyelundupan senjata api, narkoba, terorisme dan pelaku kriminalitas transnasional, termasuk pencurian ikan di perairan wilayah Aceh. Di sisi lain kondisi masyarakat pesisir sebagai nelayan masih belum sejahtera dan cenderung miskin karena masih menggunakan alat-alat tangkap tradisional.

DEMOGRAFI

Jumlah penduduk Aceh saat ini mencapai 5.189.466 jiwa dan terdistribusi pada wilayah seluas 5.677.081 hektare (ha), dengan jumlah wilayah 18 kabupaten, 5 kota, 289 kecamatan, 779 mukim dan 6.474 gampong atau desa. Aceh sebagai daerah yang heterogen dengan bermacam-macam suku, budaya dan adat istiadat berpeluang terjadinya konflik komunal (SARA). Faktor-faktor keberagaman ini menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengganggu stabilitas keamanan dan keutuhan di wilayah Aceh dan sebagai Provinsi dengan jumlah pemeluk Islam terbesar serta beberapa aliran, berpotensi terdapat masyarakat yang memiliki pemahaman radikal, yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

SUMBER DAYA ALAM

Aceh kaya akan sumber daya alam berupa hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2.270.080 ha, diikuti lahan pertanian/perkebunan rakyat seluas 700.350 ha, sedangkan lahan industri seluas 2.096 ha, bahan tambang/mineral, perikanan laut maupun darat. Penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam hutan melalui pengalihan fungsi hutan menjadi areal penggunaan lainnya (perkebunan, lahan pertanian maupun pemukiman masyarakat) di wilayah pedalaman tanpa memperdulikan kelestarian lingkungan cenderung menjadi sengketa antara pengusaha dengan masyarakat, pemerintah dengan masyarakat dan antara pengusaha dengan pengusaha. Hal ini juga mengakibatkan konflik antara satwa dengan manusia dan terjadinya bencana alam banjir dan pembakaran/kebakaran hutan.

Daerah Aceh memiliki sumber daya alam mineral yang sangat potensial, namun belum dimanfaatkan secara maksimal untuk kemakmuran masyarakat. Di samping itu, adanya kebijakan pemerintah daerah untuk memberlakukan moratorium tambang mendorong terjadinya pengelolaan secara ilegal. Kondisi ini berpengaruh terhadap pertumbuhan pertambangan emas tanpa izin yang membuat semakin kompleksnya permasalahan di Aceh.

IDEOLOGI

Ideologi Pancasila merupakan tatanan nilai yang digali dari nilainilai luhur budaya bangsa Indonesia. Kelima sila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh sehingga pemahaman dan pengamalannya harus mencakup semua nilai yang terkandung di dalamnya. Ideologi Pancasila dianggap sebagai ideologi terbuka yang merupakan kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat Indonesia. Isinya tidak langsung operasional, sehingga setiap generasi baru perlu menggali kembali falsafah tersebut agar dapat mengaplikasikannya dalam situasi kekinian.Pancasila tidak pernah membatasi kebebasan dan tanggung jawab masyarakat, melainkan menginspirasi masyarakat untuk berusaha hidup bertanggung jawab sesuai dengan falsafah itu. Pancasila mengajarkan masyarakat Indonesia menghargai pluralitas (kemajemukan), namun masih ada kelompok tertentu yang tidak dapat menerima perbedaan latar belakang budaya dan agama yang ada di Indonesia. Berbagai pemberontakan berkali-kali terjadi di Indonesia dengan motivasi mengganti ideologi negara. Kondisi ini sering harus ditangani dengan kekuatan senjata.

Aceh dalam sejarah era 1945-1949 memiliki peranan penting dalam revolusi dan perang kemerdekaan melawan belanda dan akibatnya disinyalir mampu mendapatkan janji dari Presiden Soekarno saat kunjungannya ke Aceh pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan untuk menerapkan hukum Islam (atau syariah) setelah perang kemerdekaan Indonesia.

Era tahun 1953-1962 Gubernur Militer Aceh Teungku Muhammad Daud Beureueh menyatakan bahwa Aceh akan memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI) untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai reaksi terhadap penolakan pemerintah pusat untuk mengizinkan pelaksanaan syariah dan penurunan Aceh dari status provinsi.

Pemberontakan ini di mana Aceh merupakan bagian dari NII dibawah pimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Darul Islam. Pemberontakan yang dipimpin Daud Beureueh periode ini tidak ada masalah keamanan atau politik khusus di Aceh terhadap pemerintah pusat yang berakhir niat bergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik

FOTO: MATAPADI.CO Tengku Muhammad Daud Beurueh (kiri) dan Presiden Soekarno (kanan).

Indonesia dalam operasi penumpasan berdarah Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 dan 1966.

Sistem sentralistik pemerintahan orde baru mendorong tokoh masyarakat Aceh Teungku Muhammad Hasan Di Tiro untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dianggap melatarbelakangi adalah terhadap praktik agama Islam konservatif masyarakat Aceh, budaya pemerintah Indonesia yang dianggap “neo-kolonial”, dan meningkatnya jumlah migran dari pulau Jawa ke Aceh. Distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga menjadi bahan perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, perusahaan yang mengoperasikan ladang gas Arun. Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi yang merupakan anggota kelas ekonomi atas dan menengah masyarakat Aceh. Kabinet pertama GAM yang dibentuk oleh di Tiro di Aceh antara tahun 1976 dan 1979.

FOTO: BUKU ABDI A. WAHAB PEMIMPIN DI DUA ERA Para residen berserta bupati se-Aceh berpose bersama Presiden R.I pertama Ir. Soekarno di depan Pendopo Gubernur Aceh sekitar tahun 1947-1948.

FOTO: AP PHOTO Pendukung Aceh berunjuk rasa untuk kemerdekaan di bawah spanduk bertuliskan "Referendum," di depan masjid utama di Banda Aceh, sekitar 1.700 kilometer (1.100 mil) barat laut Jakarta, Senin, 8 November 1999. Sebanyak 500.000 suara gaya Timor Timur apakah akan melepaskan diri dari Indonesia.

POLITIK

Pasca-pelaksanaan Pemilu 2019 memunculkan partai politik yang menjadi oposisi dalam parlemen maupun dalam pemerintahan karena terjadinya koalisi pendukung pemerintahan yang terpilih dan koalisi yang tidak pendukung pemerintahan terpilih (oposisi) yang cenderung kontradiktif dengan arah kebijakan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah, hal ini dapat melemahkan dan menghambat pemerintah dalam mewujudkan visi dan misi sesuai janji kampanye.

Wacana pemekaran Aceh dengan membentuk provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS) yang digagas oleh sejumlah tokoh politik daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena dirasakan adanya kesenjangan pembangunan antara wilayah timur yang sangat maju pesat dibandingkan dengan wilayah tengah dan barat yang masih relatif tertinggal.

Kemudian, keberadaan lembaga Wali Nanggroe yang dianggap tidak merepresentasikan keberadaan sub etnis yang ada di Aceh membuat lembaga tersebut masih sulit diterima oleh semua lapisan masyarakat dan masih menjadi perdebatan di kalangan tokoh masyarakat.

Kondisi politik di Aceh pasca MoU Helsinki situasi dominan dipengaruhi oleh desentralisasi dalam bentuk pemberlakuan otonomi khusus dan hegemoni elite politik lokal semakin meningkatkan primordialisme. Kemenangan partai politik lokal dalam beberapa pemilu legislatif dan pilkada telah menumbuhkan egoisme partai dan cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat di luar partai. Euforia desentralisasi yang merupakan penyerahan sebagian wewenang dari pusat kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri menjadi kontra produktif karena membuka peluang bagi kelompok mayoritas menindas kelompok minoritas yang sesungguhnya tidak dikenal dalam demokrasi Pancasila.

EKONOMI

Pertumbuhan ekonomi tahun 2021 diperkirakan akan stagnan, mengingat saat ini wabah covid-19 terjadi hampir di seluruh Indonesia tak terkecuali Aceh. Ekonomi akan bangkit di tahun mendatang bila pandemic covid-19 berlalu.

Industri pengolahan sumber daya alam yang ada di Aceh seperti gas alam, minyak, pupuk, dan semen pada umumnya adalah milik asing atau perusahaan dengan Penanaman Modal Asing (PMA) pada umumnya adalah Amerika dan Eropa. Perusahaanperusahaan tersebut terkesan belum berperan secara nyata untuk membantu penduduk miskin di sekitarnya melalui CSR dengan konsisten, bahkan ada indikasi bahwa Pemerintah RI tidak berdaya memaksa pengusaha asing untuk memenuhi kewajibannya mensejahterakan masyarakat sekitar perusahaan. Kondisi ini menimbulkan kesenjangan yang mengundang potensi niat kelompok tertentu untuk memberontak dengan menyatukan kekuatan dengan kelompok radikal.

Ketersediaan kebutuhan pokok pada umumnya sangat tergantung pasokan dari daerah lain khususnya Sumatera Utara. Kelancaran transportasi dan situasi keamanan mempengaruhi proses pendistribusian barang kebutuhan dan penjualan hasil bumi ke luar daerah. Kucuran dana otonomi khusus (Otsus) ke Aceh sejak Tahun 2008 tidak membuahkan hasil nyata bagi kesejahteraan masyarakat karena ditengarai banyaknya penyimpangan dan korupsi tidak menggerakkan hati aparat pemerintah pusat untuk mengusutnya. Rasa ketakutan

FOTO: DOK. PT PELINDO I Pelabuhan Malahayati sebagai pintu masuk perekonomian Aceh dalam sektor impor-ekspor komoditas Aceh dari dan ke luar negeri.

pemerintah pusat terhadap terulangnya konflik di Aceh membuat lemahnya kontrol dan pengawasan dari pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi khusus (Otsus). Kemiskinan yang masih sangat tinggi di Aceh 19,20% dan masih tingginya tingkat pengangguran sebesar 9,9% tidak dijadikan sebagai indikator tentang kegagalan pemerintahan dari mantan GAM.

Dana recovery ekonomi yang disalurkan oleh pemerintah pusat melalui pemerintah daerah belum optimal mengatasi masalah rakyat kecil dan timbul kesan tidak menyentuh akar permasalahan yang dihadapi. Kondisi ini cenderung mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan ilegal termasuk kegiatan yang merusak lingkungan. Angka kemiskinan dan penganguran masih tinggi dan kondisi ekonomi masyarakat belum sepenuhnya stabil khususnya akibat bencana alam tsunami, namun pemerintah selalu mempublikasikan keberhasilannya dalam memperbaiki perekonomian daerah.

SOSIAL BUDAYA

Adanya aliran kepercayaan atau sesat yang menyimpang dari akidah syariat Islam dan berkembang di beberapa daerah dalam wilayah Aceh diduga karena kurangnya pengawasan dari pemerintah daerah setempat. Hal ini cenderung menimbulkan keresahan di lingkungan masyarakat karena sewaktu-waktu akan berdampak dan dapat menimbulkan konflik dan tindakan anarkis.

Rendahnya pemahaman terhadap hak asasi manusia yang dilindungi UUD 1945 dan undang-undang serta peraturan lainnya akan mengakibatkan terhambatnya pemenuhan dan perlindungan oleh negara dan pemerintah terhadap hak-hak yang tidak dapat dikurangi khususnya bidang agama.

Dibukanya akses langsung dari Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) ke luar negeri dan adanya berbagai fasilitas kemudahan untuk bepergian ke luar negeri seperti haji/umrah, magang, program Bursa Kerja Khusus

(BKK), beasiswa, perjalanan wisata/ travel, penempatan buruh migran dan duta budaya berpotensi dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk tindak pidana perdagangan orang dan bisnis gelap narkotika. Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi khususnya media sosial berbasis android dan media massa elektronik yang masuk ke daerah Aceh tidak dapat dibendung sehingga menjadi pengaruh yang besar terhadap kebudayaan lokal, khususnya berpengaruh kepada perilaku para remaja atau generasi muda.

Posisi Aceh yang terletak pada lempeng Indonesia-Australia mengakibatkan kondisi wilayah Aceh sangat rentan terjadi bencana alam gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Antisipasi yang dilakukan dengan membentuk BNPB dan BPBD di Aceh telah berhasil meminimalisir dampak bencana, namun sumber daya dan dana yang terbatas menjadi kendala dalam pelaksanaannya. Belum adanya SOP yang jelas terhadap penanganan bencana cenderung mengakibatkan terjadinya diskriminasi dalam penanggulangannya dan hal ini semakin melemahkan wibawa pemerintah di mata masyarakat. Disamping itu bencana alam cenderung dimanfaatkan oleh oknum pejabat tertentu untuk korupsi karena ada anggapan bahwa penggunaan dana penanggulangan bencana adalah bebas dari audit.

Mutu sumber daya manusia yang masih relatif rendah akibat pendidikan yang kurang berkualitas mempengaruhi jumlah angka pengangguran karena minimnya keahlian yang dapat diandalkan dalam mencari atau menciptakan lapangan kerja. Kondisi tersebut mengakibatkan kemiskinan dan mendorong masyarakat tertentu untuk melakukan kejahatan. Adat dan budaya Aceh tak dapat dipisahkan dengan syariat Islam yang sudah melekat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh. Dalam istilah Aceh (hadih maja) dikenal hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut, tawiet han meulipat, ta tarek han meujeu’ut. Artinya hukum dengan adat seperti zat dengan sifat tidak patah dan tidak melentur.

Aceh memiliki budaya khas warisan masa lalu mulai dari rumah adat, bahasa daerah, senjata tradisional, tarian, upacara perkawinan, pakaian adat, peutron aneuk, lagu daerah, makanan dan minuman khas.

Rumah Aceh atau Rumoh Aceh

dalam bahasa Aceh adalah rumah adat Aceh yang berbentuk rumah panggung dengan denah rumah berupa persegi panjang dan diposisikan dari timur ke barat agar tidak sulit menentukan arah kiblat sedangkan tampak depan menghadap utara-selatan. Salah satu ciri khas rumoh Aceh ini adalah tiangtiang penopang rumah yang sangat tinggi, yaitu sekitar 2,5-3 meter. Luas bangunannya pun minimal 200 m2 dengan ketinggian dasar lantai hingga atap mencapai 8 meter. Tiga bagian utama dari rumah

Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Walaupun memiliki ukuran yang besar salah satu kehebatan rumoh Aceh ini adalah pembangunannya yang hanya menggunakan tali ijuk, pasak serta baji dengan material utamanya kayu, papan dan daun rumbia untuk atapnya. Namun hingga hari ini rumah aceh ini masih berdiri tegak setelah dibangun lebih dari 200 tahun.

Bahasa daerah. Aceh memiliki 10 bahasa daerah, terbanyak dibanding provinsi lain di Sumatera, seperti bahasa Aceh, bahasa Tamiang, bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Singkil, bahasa Kluet, bahasa Jamee, bahasa Sigulai, bahasa Devayan, dan bahasa Haloban1 . Mayoritas penduduk Aceh ialah Bahasa Aceh, sementara paling sedikit digunakan Bahasa Haloban dan Bahasa Kluet.

Senjata Khas Adat Masyarakat

Aceh. Senjata khas Adat masyarakat Aceh yang sampai dengan saat ini masih digunakan oleh masyarakat Aceh adalah rencong atau rincong. Rencong atau Rincong adalah senjata pusaka bagi rakyat Aceh dan merupakan simbol keberanian, keperkasaan, pertahanan diri, dan kepahlawanan Aceh dari abad ke abad. Bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti sikin panyang, peurise awe, peurise teumaga, siwah, geuliwang dan peudeueng.

Rencong telah dikenal pada awal Islam Kesultanan di abad ke-13. Pada zaman

1 Harun, Mohd. 2017. Revitalisasi Bahasa Daerah di Aceh. https://aceh.tribunnews.com/2017/12/19/revitalisasi-bahasa-daerah-di-aceh. Diakses pada 20 Desember 2020. Kerajaan Aceh Darussalam rencong ini tidak pernah lepas dari hampir setiap pinggang (selalu diselipkan di pinggang depan) rakyat Aceh yang rata-rata punya keberanian luar biasa baik pria maupun wanita karena rencong ini bagi orang Aceh ibarat tentara dengan bedilnya yang merupakan simbol keberanian, kebesaran, ketinggian martabat dan keperkasaan orang Aceh sehingga orang-orang Portugis atau Portugal harus berpikir panjang untuk mendekati orang Aceh.

RENCONG

Rencong memiliki berbagai tingkatan, untuk Sultan terbuat dari emas yang berukirkan sekutip ayat-ayat suci Al-Qur'an, sedangkan Rencong lainnya biasanya terbuat dari perak, kuningan, besi putih, kayu dan gading. Masyarakat Aceh menghubungkan kekuatan mistik dengan senjata Rencong. Rencong adalah simbol keberanian dan kegagahan ureueng Aceh. Bagi siapa saja yang memegang senjata akan merasa lebih berani di dalam menghadapi musuh. Pada masa sekarang, senjata ini memang sudah tidak begitu relevan untuk digunakan sebagai senjata penyerang. Namun demikian, senjata ini masih relevan sebagai sebuah simbolisasi dari keberanian, ketangguhan, dan kejantanan dari masyarakat Aceh

Tarian. Tarian daerah di Aceh merupakan wadah yang digunakan para pendakwah di masa lalu yang bersyair pesan-pesan agama, keberanian, kekompakan, dan lainnya. Kekayaan etnis di Aceh menciptakan keragaman tarian di Aceh. Tarian-tarian daerah di Aceh yaitu Tari Laweuët, Tari Likok Pulo, Tari Pho, Tari Rabbani Wahed, Tari Ranup Lam Puan, Tari Rapa'i Geleng, Tari Rateb Meuseukat, Tari Ratoh Duek, Tari Seudati, Tari Tarek Pukat, Tari Saman, Tari Bines, Tari Didong, Tari Guel, Tari Munalu, Tari Turun Ku Aih Aunen, Tari Mesekat, Tari Ula-ula Lembing, Tari Landok, Sampot, dan Tari Dampeng.

Salah satu tarian Aceh yang telah mendunia ialah Tari Saman yang dikembangkan oleh Syekh Saman pada abad ke XIV. Tarian ini ditampilkan pada acara-acara penting adat, misalnya merayakan kelahiran maulid Nabi Muhammad saw., penyambutan tamu kehormatan, dan lainnya. Pemain dalam tarian ini umumnya adalah laki-laki yang dipandu oleh 2 orang syekh (pembaca syair) dengan menonjolkan kecepatan gerakan tangan. Sehingga sering disebut juga dengan nama tarian seribu tangan (a thousand hand dance). Pada 24 November 2011 Tari Saman mendapatkan pengakuan sebagai warisan budaya dunia tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Upacara Perkawinan

Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.

Tahapan melamar (Ba Ranup).

Ba Ranup (ba-membawa ranup-sirih) merupakan suatu tradisi turun temurun yang tidak asing lagi dilakukan di mana pun oleh masyarakat Aceh, saat seorang pria melamar seorang perempuan.

Untuk mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang sudah dianggap dewasa maka pihak keluarga akan mengirim seorang yang dirasa bijak dalam berbicara (disebut seulangke) untuk mengurusi perjodohan ini. Jika seulangke telah mendapatkan gadis yang dimaksud maka terlebih dahulu dia akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang memiliki, maka dia akan menyampaikan maksud melamar gadis itu. Pada hari yang telah disepakati datanglah rombongan orangorang yang dituakan dari pihak pria ke rumah orang tua gadis dengan membawa sirih sebagai penguat ikatan berikut isinya. Setelah acara lamaran

FOTO: ANTARA Tari Ratoh Duek merupakan tari tradisional Aceh perpaduan tari Saman yang dimainkan oleh 10 wanita dan dua syahie (penyanyi syair).

selesai, pihak pria akan mohon pamit untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk bermusyawarah dengan anak gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.

Tahapan Pertunangan (Jak ba Tanda).

Bila lamaran diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan peukong haba (peukong-perkuat, habapembicaraan) yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk menetapkan berapa besar uang mahar yang diterima (disebut jeulamee) yang diminta dan berapa banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada acara ini sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jak-ba tanda, jak-pergi, ba-membawa tanda-tanda, artinya berupa pertanda sudah dipinang berupa cincin).

Pada acara ini pihak pria akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng (ketan berwarna kuning) dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Namun bila ikatan ini putus di tengah jalan yang disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka tanda emas tersebut akan dianggap hilang. Tetapi kalau penyebabnya adalah pihak wanita maka tanda emas tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat.

Pesta Pelaminan. sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (memakai inai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Adat ini kuat dipengaruhi oleh India dan Arab. Namun sekarang adat tersebut telah bergeser menjadi pengantin perempuan saja yang menggunakan inai.

Kemudian dilakukan persiapan untuk ijab kabul. Dahulu ijab kabul dapat dilakukan di KUA atau di meunasah/musala dekat rumah tanpa dihadiri pengantin wanita. Namun sekarang berkembang dengan ijab kabul yang dilakukan di masjidmasjid yang dihadiri kedua mempelai berserta keluarga dan undangannya. Ijab Kabul pengantin pria kepada wanita dihadiri oleh wali nikah, penghulu, saksi, dan pihak keluarga.

Pesta pelaminan dilakukan setelah melangsungkan ijab kabul antara sang calon pengantin lakilaki dengan pengantin perempuan, Baik dilakukan pada hari yang sama maupun pada lain hari, yaitu disebut juga acara tueng linto baro. pesta pelaminan ini bertujuan selain merayakan kebahagiaan juga untuk memperkenalkan kedua mempelai kepada seluruh kaum kerabat.

Tueng Lintoe Baroe. Tueng Linto baroe (tueng-menerima, linto-laki-laki, baroe-baru) yaitu menerima pengantin pria adalah yaitu menerima pengantin laki-laki oleh pihak perempuan, penerimaan secara hukum adat atau dalam tradisi Aceh. Pengantin laki-laki datang ke pesta beserta rombongan keluarga dan kerabat. Rombongan disuguhkan hidangan khusus disebut idang bu bisan (idanghidangan, bu bisannasi besan). Setelah selesai makan, maka rombongan linto baroe minta izin

FOTO: ACEH PRESS PHOTO Batee Ranup yang dibawa pada saat pernikahan adat Aceh

FOTO: KOMPASIANA Pakaian pengantin adat Aceh.

FOTO: ANTARA Adat Tueng Linto Baroe, pesta dimana pengantin laki-laki datang ke kediaman mempelai wanita. pulang ke rumahnya, sedangkan pengantin pria tetap tinggal untuk disanding di pelaminan hingga acara selesai.

Tueng Dara Baroe. Tueng dara baroe adalah suatu hal yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan kata lain adalah penjemputan secara hukum adat atau dalam tradisi Aceh. Acara ini sama dengan yang diatas namun pihak perempuan yang pergi ke acara pihak laki-laki.

Mahar (Jeulamee). Dalam adat istiadat Ureung Aceh, hanya dikenal mahar berupa emas. Mahar biasanya ditetapkan oleh pihak perempuan dan biasanya kakak beradik memiliki mahar yang terus naik atau minimal sama. Namun semua hal tentang mahar ini dapat berubah-ubah sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

Idang dan Peuneuwoe. Idang (hidang) dan peunuwo atau pemulang adalah hidangan yang diberikan dari pihak pengantin kepada pihak yang satunya. Biasanya pada saat Intat linto baroe (mengantar pengantin pria), rombongan membawa idang untuk pengantin wanita berupa pakaian, kebutuhan, dan peralatan sehari-hari untuk calon istri.

Pada saat intat dara baro (mengantar pengantin wanita), rombongan akan membawa kembali talam yang tadinya diisi dengan barang-barang tersebut dengan makanan khas Aceh seperti bolu, kue boi, kue karah, wajeb, dan sebagainya, sebanyak talam yang diberikan atau boleh kurang dengan jumlah ganjil. Adat membawa-bawa baik barang ataupun kue dalam adat Aceh sangatlah kental apalagi dalam sebuah keluarga baru.

Saat pengantin baru merayakan puasa pertama atau lebaran pertama dan pergi ke rumah salah satu kerabatnya untuk pertama kali maka wajiblah dia membawa makanan. Dan adat ini terus berlangsung hingga sang istri punya anak, yakni mertua membawa makanan dan sang istri membalasnya.

Peusijuek. Peusijuek (menepung tawari) adalah adat istiadat Aceh dari India juga, namun sudah beradaptasi dengan budaya Islam. Peusijuek dilakukan untuk memberi semangat, doa dan restu kepada orang yang dituju. Pada pernikahan maka kedua belah pihak keluarga akan melakukan Peusijuek di setiap kesempatan. Biasanya sebelum dan setelah ijab kabul, ketika di pelaminan di kedua acara. Peusijuek adalah salah satu tradisi Aceh yang dilakukan pada kegiatan apa pun seperti naik haji, mempergunakan barang baru seperti rumah atau kendaraan, bayi yang turun tanah, ibu yang hamil dan sebagainya. Adat di atas adalah adat yang biasanya dilakukan suku aceh. Hal ini suatu tradisi atau kebiasaan yang tidak pernah hilang di dalam kultur budaya Pidie, Aceh Besar, Bireuen,

dan sekitarnya. Untuk daerah timur dan sekitarnya yaitu untuk suku-suku lainnya, mungkin ada beberapa penambahan dan pengurangan.

Pakaian adat Aceh biasanya digunakan pada upacara pesta pernikahan yang memiliki sejumlah bagian. Pertama meukasah, pakaian yang digunakan sebagai atasan pengantin pria. Umumnya meukasah berwarna hitam yang ditutup dengan kerah menyerupai kerah cheongsam dan di bagian kerah hingga bagian dada terdapat sulaman berwarna emas. Kedua, sileuweu, celana atau bagian bawah pakaian adat pria berwarna sama seperti meukasah yang dilengkapi songket demi menambah kewibawaan.

Ketiga, meukutop, penutup kepala pengantin pria yang berbentuk lonjong ke atas, dihiasi dengan lilitan kain sutra berbentuk bintang segi delapan berbahan sutra atau kuningan yang disebut tengkulok. Meukutop terdiri dari 5 perpaduan warna yang masingmasing memiliki arti tersendiri. Warna merah dalam meukeutop memiliki arti kepahlawanan, kuning berarti kesultanan, hijau melambangkan agama Islam, hitam sebagai lambang ketegasan, dan putih sebagai lambang kesucian.

Sementara itu, pakaian adat pengantin perempuan bagian atasannya disebut dengan baju kurung, gabungan dari kebudayaan Melayu, Arab dan China. Bentuknya longgar sehingga tidak memperlihatkan lekuk tubuh perempuan karena sangat tertutup. Baju kurung dilengkapi songket khas yang dililitkan menggunakan tali yang disebut sebagai Taloe Ki Ieng Patah Sikureung. Bagian bawahan dilengkapi cekak musang, sama dengan pengantin pria. Cekak Musang bagi perempuan juga dilengkapi dengan lilitan sarung sepanjang lutut sebagai penghiasnya. Terakhir adalah patam dhoe atau penutup kepala seperti mahkota. Bagian tengah mahkota ini diukir membentuk motif daun sulur.

Peutron Aneuk (Turun Tanah Bayi).

Peutron aneuk diadakan saat bayi berumur 7 hari, ada yang melaksanakannya saat bayi berumur 44 hari, hingga lebih dari 1 tahun. Bayi waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.

Lagu daerah Aceh. Lagu daerah Aceh menyampaikan pesan-pesan untuk terus semangat pada masa perjuangan melawan Belanda, serta pesan kecintaan terhadap negeri. Lagu-lagu daerah di Aceh yaitu Bungong Jeumpa, Aceh Lon Sayang, Lembah Alas, Tawar Sedenge, I Lah Ni Ume, Saleum, Doda Idi, dan Jambo.

Makanan dan minuman khas Aceh.

Aceh kaya dengan makanan khas yang sangat enak karena dimasak dengan

FOTO: Acehtourism Upacara Peutron Aneuk biasanya akan dilakukan oleh masyarakat Aceh untuk menyambut kelahiran anak bayi di dunia.

begitu banyak rempah-rempah. Adapun makanan khas Aceh yakni gulai kambing (kari kambing), sie reuboh, keumamah, kuah pliek, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, kuah asam keueng, kuah beulangong, dan lainnya. Makanan tersebut dipadukan dengan nasi. Makanan ringan berupa kue khas Aceh seperti mie Aceh, timphan, kerupuk meulieng (melinjo), bu leukat boh drien, ruti samahani, adee, sate matang, martabak durian, lompong sagu, dan sebagainya.

Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir kopi atau pada siang hari sambil bercengkerama dengan teman sejawat makan nasi dengan kari kambing, dan sebagainya.

KEAMANAN

Kondisi wilayah dengan garis pantai sepanjang lebih dari 1.800 kilometer dengan karakteristik pantai berhutan bakau dan sungai-sungai kecil yang bermuara ke Selat Malaka serta minimnya jumlah petugas keamanan di pantai berpengaruh terhadap kejahatan penyelundupan. Kasus kejahatan narkotika dan penyelundupan barang ilegal lainnya sangat dipengaruhi oleh situasi ini.

Rasio perbandingan jumlah petugas Polri dengan luas wilayah yang diamankan masih sangat belum ideal demikian juga dengan dukungan peralatan belum sepenuhnya tercukupi untuk penegakan hukum di Aceh. Sedangkan unsur pengamanan dari instansi lain, terutama di wilayah perairan masih belum bersinergi secara optimal dengan Polri. Perlunya pengamanan wilayah perairan dan pulau-pulau kecil terluar berpenghuni yang berbatasan dengan wilayah negara Malaysia dan India yang berpotensi kerawanan di bidang keamanan. Termasuk penjarahan hasil sumber daya alam yang dilakukan oleh negara yang merasa memiliki atas pulau atau wilayah tersebut, akan dapat menimbulkan kerawanan di daerah tersebut.

Gangguan keamanan yang ditandai dengan intensitas dan kualitas kejahatan konvensional, kejahatan transnasional, kejahatan siber, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan kejahatan lainnya yang berimplikasi kontinjensi akan terus mewarnai situasi Kamtibmas. Penyebab dan motivasi yang selalu berubah akibat dinamika kehidupan masyarakat akan selalu mewarnai peningkatan gangguan Kamtibmas.

Pelaksanaan tugas Polri dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berasal dari internal dan eksternal sehingga

FOTO: DIMAS ALDRIAN DILIASMARA Pasukan kepolisian Polda Aceh dalam mengendalikan kerumunan massa saat berunjuk rasa.

perlu untuk dilakukan identifikasi dan analisa agar dapat ditemukan formula yang tepat dalam menyusun arah kebijakan dan strategi. Polda Aceh memiliki personel yang tergelar mulai dari Mapolda Aceh, PolresPolres dan Polsek-Polsek sampai dengan pulau terluar berpenghuni dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini tentunya perlu diimbangi pula dengan peningkatan kualitas SDM Polri. Adapun kondisi eksternal yang dihadapi antara lain gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat semakin dinamis dan dapat terjadi setiap saat dan waktu, perkembangan teknologi informasi dapat menimbulkan peluang kejahatan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Tren tindak pidana masih didominasi tindak pidana pencurian dan tindak pidana narkoba (ganja) yang menuntut Polda Aceh untuk lebih optimal baik di bidang pencegahan maupun penegakan hukum. Oleh karenanya, Polda Aceh akan meningkatkan peran intelijen guna mendeteksi

Potensi-potensi pelanggaran keamanan demi terjaganya Kamtibmas baik dari sektor politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan negara, dan keamanan khusus. Sehingga program Polmas dan Bhabinkamtibmas perlu ditingkatkan agar tercapainya visi dan misi Polda Aceh. Tidak hanya itu, Polda Aceh akan teris menyiapkan kemampuan kepolisian agar selalu menghadapi berbagai macam kondisi kapanpun dibutuhkan. Penguatan di bidang informasi juga akan dikembangkan agar masyarakat terlayani dengan baik dengan meningkatkan kapasitas polisi. Hal yang tidak kalah pentingnya yakni penguatan Almatsus yang lebih modern dan mampu memenuhi kebutuhan polisi.

This article is from: