MEDIA KOMUNIKASI TRIWULANAN
Vol. 29 No. 115 Juli - September 2017
PROVINSI JAWA BARAT
DARI RINJANI UNTUK GLOBAL GEOPARK CILETUH PELABUHANRATU
Rakernas Ke-VIII Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia
DARI
REDAKSI
PROVINSI JAWA BARAT
Majalah Warta Bappeda merupakan produk media cetak yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat. Diproduksi secara berkala untuk memberikan insipirasi, pencerahan, serta edukasi dalam menunjang proses perencanaan pembangunan anda
Assalamu'alaikum Wr. Wb Para pembaca yang berbahagia pada terbitan Warta Bappeda Edisi Triwulan III Volume 29 Nomor 115 (Juli-September) Tahun 2017 ini, kami hadirkan beberapa artikel Wawasan Perencanaan yang mengupas tentang Desa Mandiri Pembangunan Desa Masa Kini, kemudian Pengamatan Hasil Pengendalian dan Evaluasi Dokumen Rencana Pembangunan D a e r a h , G r a n d D e s i g n Pe m b a n g u n a n Kependudukan Provinsi Jawa Barat Tahun 20152035, Habitus Wirausaha Baru (WUB) dalam Penilaian Pengukuran Kinerja Program di Jawa Barat, dan Peranana “Geographic Information System dalam Membantu Perencanaan Pembangunan Sosial. Pembaca Warta Bappeda yang kami hormati, selain tulisan tersebut diatas kami sajikan pula liputan berita yang berisi Laporan utama tentang Rakernas VIII Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia, serta Laporan Khusus Catatan Kaji Banding Fungsional Perencana Bappeda Jabar ke Geopark Rinjani-Lombok tentang Perbandingan Rinjani dengan Ciletuh Pelabuhanratu. Akhir kata kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penulis atas
Terbit Berdasarkan SK Menpen RI No. ISSN
Penanggung Jawab Ketua
1353/SK/DITJENPPG/1988 0216-6232
Ir. H. Yerry Yanuar, MM Ir. Bambang Tirtoyuliono, MM
Sekeretaris
Anjar Yusdinar, S.STP., M.Si
Penyunting
Ir. H. Tresna Subarna, M.M Drs. Bunbun W. Korneli, MAP Drs. Achmad Pranusetya, M.T T. Sakti Budhi Astuti, SH., M.Si
Sekretariat
Hj. Megi Novalia, S.Ip., M.Si
Fotografer
Roni Sachroni, BA
Layouter Alamat
Ramadhan Setia Nugraha S.Sos Jl. Ir. H. Juanda No.287 Telp.2516061 Website : bappeda.jabarprov.go.id E-mail : wartabappedajabar@yahoo.com
kontribusinya. Kami tunggu artikel berikutnya yang akan diterbitkan dalam Edisi Triwulan III Tahun 2016. Selamat membaca Wassalamu'alaikum Wr. wb menerima tulisan dari pembaca yang berhubungan dengan wawasan perencanaan, disarankan untuk melampirkan foto-foto yang mendukung. Tulisan diketik satu spasi minimal 5 halaman A4. Artikel yang pernah dimuat di media lain, tidak akan dimuat. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah substansi.
D A F TA R I S I Warta Bappeda Vol. 20 No. 77 Januari - Maret 2017
L A P O R A N U TA M A
3
10
R A K E R N A S K E -V I I I B A P P E D A P R O V I N S I SELURUH INDONESIA
Sebagai perencana diharapkan Bappeda tidak pernah menyerah dalam menghadapi permasalahan pembangunan baik tingkat daerah maupun tingkat nasional. Dengan terus mengedepankan koordinasi dan sinergitas pembangunan antar wilayah dan seluruh stakeholder dengan melihat keunggulan dari masing-masing daerah dan mengabaikan ego kepentingan sehingga sinergi bukanlah hanya basa basi belaka
23
DESA MANDIRI PEMBANGUNAN DESA MASA KINI
32
P E N G A M ATA N H A S I L PENGENDALIAN DAN E VA LUA S I D O KU M E N RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH
42
LAPORAN KHUSUS DARI RINJANI UNTUK G L O B A L G E O PA R K C I L E T U H - PA L A B U H A N R AT U
Rinjani boleh saja gagal menjadi global geopark tahun ini. Namun begitu, rekomendasi yang diberikan UNESCO kepada pengelola Geopark Rinjani patut menjadi pelajaran penting bagi taman bumi lainnya di Indonesia. Termasuk bagi Geopark Ciletuh-Palauhanratu di tepi selatan Jawa Barat. Berikut catatan Warta Bappeda saat mengunjungi Geopark Rinjani belum lama ini.
58
HABITUS WIRAUSAHA BARU (WUB) DALAM PENILAIAN PENGUKURAN KINERJA PROGRAM D I J A W A B A R AT
70
PERANAN “GEOGRAPHIC I N F O R M AT I O N SYSTEM DALAM MEMBANTU PERENCANAAN PEMBANGUNAN SOSIAL
88
BAPPEDA KEMBALI B E R P R E S TA S I
GRAND DESIGN PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN P R O V I N S I J A W A B A R AT TA H U N 2 0 1 5 - 2 0 3 5
Masalah kependudukan merupakan salah satu konsen Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam pelaksanaan pembangunan daerah sehingga dirasakan perlu melakukan berbagai upaya untuk mengelola penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya agar berkualitas dan menjadi potensi positif di dalam pembangunan. Sebaliknya, akan menjadi beban bila tidak diikuti dengan meningkatnya kualitas. Contoh, Negara maju di Benua Asia, Eropa dan Amerika umumnya tidak memiliki sumber daya alam yang memadai namun memiliki sumber daya manusia yang tangguh.
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
1
LAPORAN
U TA M A
2
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Foto: Humas Bappeda Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
3
LAPORAN
U TA M A
Rakernas KE-VIII Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia Foto-foto: Humas Bappeda
Le'ba kusoronna biseangku, kucampa'na sombalakku, tamassaile punna teai labuang Bila perahu telah kudorong layar telah terkembang takkan ku berpaling kalau bukan labuhan yang kutuju Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan Drs. H. Jufri Rahman, M.Si
S
eperti peribahasa Makassar diatas, Jufri menjelaskan sebagai perencana diharapkan Bappeda tidak pernah menyerah dalam menghadapi permasalahan pembangunan baik tingkat daerah maupun tingkat nasional. Dengan terus mengedepankan koordinasi dan sinergitas pembangunan antar wilayah dan seluruh stakeholder dengan melihat keunggulan dari masing-masing daerah dan mengabaikan ego kepentingan sehingga sinergi bukanlah hanya basa basi belaka.
4
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Perencanaan pembangunan harus berorientasi manfaat untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, Bappeda memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembangunan nasional yang diharapkan terus berkerjasama dalam tugas mulia tersebut demi kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial seluruh Rakyat Indonesia. Atas dasar itu, Asosiasi Bappeda Provinsi seluruh Indonesia melaksakan Rapat Kerja Nasional ke-VIII di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, dengan tema: “Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pusat – Daerah Untuk Penguatan Daya Saing Daerah Dalam Menghadapi Tantangan Persaingan Global.� Pertemuan ini dilakukan setiap tahunnya d a l a m r a n g k a m e n j a g a s i n k ro n i s a s i d a n harmonisasi kebijakan Pemerintah Pusat untuk Pencapaian target Pembangunan Nasional atau sasaran 9 Agenda Prioritas Nasional (Nawa Cita) dengan Kebijakan Pembangunan Daerah terkait agenda dan target pembangunan wilayah di masing-masing provinsi khususnya kegiatan strategis Pembangunan Infrastuktur yang menjadi Prioritas dan sangat penting untuk mengurangi kesenjangan infrastruktur antar daerah, wilayah dan memperkuat konektivitas nasional sehingga perlu percepatan pembangunan infrastuktur antar daerah, wilayah dan pulau. Selain itu perlu perhatian khusus bagi daerah Lumbung Pangan Nasional untuk dukungan hilirisasi industri
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
5
U TA M A
Foto-foto: Humas Bappeda
LAPORAN
pengelolaan pertanian, seperti contoh Sulawesi Selatan punya pendekatan dalam ruang ketahanan pangan melalui pangan darat, pangan laut dan pangan hutan. Untuk itu sangat perlu model pendekatan pembangunan mulai dari pinggiran/desa, daerah perbatasan, daerah dan pulau terpencil, pembangunan kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). “Saya berharap pada kesempatan yang baik ini, dan melalui forum atau rapat konsultasi ini merupakan ruang bagi para Kepala Bappeda untuk menyampaikan dan mengusulkan kembali usulan kegiatan strategis masing-masing daerah Provinsi yang tidak masuk dalam mekanisme rangkaian Musrenbangnas atau tidak masuk pada proses pembahasan Pra Musrenbangnas 2017 yang lalu.� Ujar Gubernur Sulawesi Selatan DR. H. Sahrul Yasin Limpo, SH., M.Si., MH pada acara pembukaan Rakernas yang berlangsung di Hotel Clarion Makassar, Kamis malam (14/9). SYL menambahkan bahwa besar harapan untuk kedepannya, bisa bersama-sama meninggalkan sesuatu warisan atau sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat “Life is Legacy� karena esensi pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan rasa keadilan.
Isu Kesenjangan Pe r te m u a n i n i m e n e k a n k a n ke pa d a pembangunan wilayah dan isu kesenjangan antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia. Dimana kesenjangan difokuskan bukan hanya kepada kesenjangan ekonomi, tapi juga terhadap kesenjangan pelayanan dasar yang menyebabkan adanya perbedaan antara barat dan timur. Diperlukan kebijakan utama yang disampaikan untuk mentransformasikan, serta mengakselerasikan khususnya untuk kawasan timur Indonesia dalam hal pembangunannya. Selain itu diperlukan untuk menjaga momentum pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di kedua wilayah tersebut. 6
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Berkenaan dengan hal tersebut, Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Prof. Dr. Bambang P.S. Brodjonegoro menilai secara umum bahwa ketimpangan paling tidak sudah menurun di bawah angka 0.4. Menurut Bambang dalam paparannya, ada beberapa hal yang menarik dan perlu diperhatikan mengenai ketimpangan;
1
Secara teori, Simon Kuznet menyatakan bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan itu berbentuk U terbalik. Artinya pada saat income perkapita pada suatu negara masih relatif rendah, kemudian ada pertumbuhan ekonomi, maka ketimpangan melebar.
2
Gini ratio di Indonesia naik di dua periode, periode 1990 sampai menjelang krisis, dan yang kedua periode 2006-2014. Disana gini kita punya tendensi meningkat, kesimpulan adalah ketika ekonomi kita booming atau tinggi, gini ratio kita naik. Artinya ekonomi naik, ketimpangan pun ikut meningkat.
Ketimpangan di Indonesia sempat rendah ketika krisis 1998. Gini ratio paling rendah atau drop ada di angka 0.31 dari 0.38 tapi pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi di angka -14% sehingga jika kita mengambil kesimpulan menggunakan teori korelasi di dalam statistik, jika ingin menurunkan gini ratio maka Indonesia harus krisis.
menggunakan pengeluaran, sedangkan Singapura dengan income. Gini ratio Singapura 0.5 lebih tinggi dari Indonesia. Mengapa berbeda, karena Indonesia tidak memiliki data tentang income di setiap penduduk, kita hanya memiliki data dari BPS berupa pengeluaran saja. Sedangkan jika kita memiliki data income setiap penduduk jauh lebih memudahkan kinerja pemerintah, kita jadi bisa mengontrol pajak setiap penduduk, ironisnya penduduk Indonesia cenderung mengakui bahwa pendapatannya rendah, agar tidak membayar pajak dengan biaya tinggi. Jadi fenomena ketimpangan adalah fenomena global, mengapa di Singapura dengan 0.5 gini ratio nya tidak dipermasalahkan seperti 0.4 di Indonesia, karena dari pendataan saja sudah berbeda.
Masalahnya gini ratio rendah, yang terjadi adalah pemerataan kemiskinan yang tentunya tidak kita inginkan. Namun kembali kepada Kuznet tadi, Gini ratio akan naik ketika pertumbuhan ekonomi kita tinggi, karena income pertumbuhan perkapita kita belum cukup tinggi. Jadi kita masih perlu mengejar pertumbuhan ekonomi supaya pendapatan perkapita kita sampai pada suatu titik di pucak kurva Kuznet kemudian mulai turun ketika pendapatan perkapita naik.
3
Ketimpangan adalah isu internasional, berbeda dengan Indonesia, misalnya Singapura. kita menghitung gini ratio Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
7
LAPORAN
U TA M A
Adapun upaya yang dilakukan Bappenas saat ini untuk mencapai pemerataan pembangunan: 1.
Fokus mengurangi kemiskinan di 40% terbawah dalam masalah Income. 40% berada di kalangan sangat miskin, miskin, hampir miskin, dan rentan miskin.
2.
Menjaga ekonomi tetap tumbuh 5.01.
3.
Meningkatkan investasi dengan kontribusi (Penanaman Modal Dalam Negeri) PMDN yang semakin meningkat.
4.
Menjaga kestabilan ekonomi (nilai tukar rupiah terjaga stabil pada kisaran Rp. 13.300 – 13.400 per USD.
5.
Pembangunan infrastruktur untuk meningkat konektivitas antar wilayah (Bandara baru, tol laut, jalan baru dan jalan tol, penyediaan lintasan kereta api perintis).
6.
Peningkatan ketersediaan energi dan pembangunan pita lebar untuk menjangkau daerah terpencil.
Rumusan Kesepakatan Kegiatan Rapat Kerja Nasional VIII Asosiasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi se-Indonesia Tahun 2017 telah menghasilkan rumusan kesepakatan yang nantinya akan dilimpahkan ke pusat. Berikut merupakan hasil kesepakatan yang sudah ditandatangani seluruh perwakilan Asosiasi Bappeda Provinsi seIndonesia: Pada hari ini, Jumat Tanggal Lima Belas Bulan September Tahun Dua Ribu Tujuh Belas, setelah membahas dan mengkaji berbagai pemikiran yang disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional VIII Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Makassar pada tanggal 14 sampai dengan 15 September 2017, kami Kepala Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia yang hadir dalam Rapat Kerja Nasional VIII Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia sepakat mengusulkan kepada Pemerintah Pusat untuk melakukan langkah strategis bagi ter wujudnya percepatan pembangunan daerah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas serta diiringi rasa tanggungjawab dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah sebagai bagian dari perencanaan pembangunan nasional, maka dirumuskan kesepakatan Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia, yaitu: 1.
8
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan dengan pendekatan Tematik,
7.
Berkomitmen untuk mendukung pencapaian target prioritas nasional yang tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2018.
8.
Memperpendek proses penyusunan APBD dengan menghilangkan tahapan KUA PPAS sebagaimana proses perencanaan APBN didasarkan langsung pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
9.
Mendorong Pemerintah Pusat untuk melakukan peninjauan kembali terhadap implementasi regulasi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendanaan Pilkada bersumber dari APBD, dengan mempertimbangkan kemampuan ďŹ skal daerah.
10. Melakukan pertemuan asosiasi dengan Bappenas secara berkala, sehari sebelum pelaksanaan konsultasi triwulanan Bappenas.
Foto-foto: Humas Bappeda
11. Menetapkan Bappeda Provinsi Sumatera Barat sebagai tuan rumah Rapat Kerja Nasional IX Asosiasi Bappeda Provinsi Seluruh Indonesia yang akan dilaksanakan pada triwulan I Tahun 2018.
Holistik, Integratif dan Spasial (THIS) dan Anggaran Berbasis Program Prioritas (Money Follow Priority Program) dan Anggaran Berbasis Kinerja. 2.
Mendukung upaya pemerataan pembangunan daerah dalam rangka mengurangi ketimpangan antar wilayah dan menanggulangi kemiskinan melalui alokasi penganggaran APBN secara proporsional berdasarkan karakteristik wilayah dan kemampuan ďŹ skal daerah.
3.
Untuk menjamin konsistensi antara perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah dibutuhkan sistem alokasi dana perimbangan (DAU dan DAK) yang pasti.
4.
Mengimplementasikan komitmen nasional terkait pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/SDGs dalam kerangka pembangunan daerah secara konsisten oleh pemerintah pusat dan daerah.
5.
Untuk meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, maka diperlukan upaya integrasi program multi sektor untuk mempercepat perbaikan gizi dan menekan angka stunting di daerah.
6.
Perlu komitmen yang tinggi dan konsisten dari pemerintah dalam pengembangan dan peningkatan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di daerah melalui pemberian insentif sebagaimana pengembangan energi fosil.
Demikian kesepakatan ini disusun sebagai komitmen bersama dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berkualitas dan akuntabel bagi peningkatan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Humas Bappeda) Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
9
LAPORAN KHUSUS
10 Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Foto: upload.wikimedia.org
Dari Rinjani untuk Global Geopark Ciletuh-Palabuhanratu *Catatan Kaji Banding Fungsional Perencana Bappeda Jabar ke Geopark Rinjani-Lombok
R
injani boleh saja gagal menjadi global geopark tahun ini. Namun begitu, rekomendasi yang diberikan UNESCO kepada pengelola Geopark Rinjani patut menjadi pelajaran penting bagi taman bumi lainnya di Indonesia. Termasuk bagi Geopark Ciletuh-Palauhanratu di tepi selatan Jawa Barat. Berikut catatan Warta Bappeda saat mengunjungi Geopark Rinjani belum lama ini.
KHUSUS Foto: www.expedia.co.id
LAPORAN
Tersebutlah pada 1982 seorang fotografer berkebangsaan Jerman yang tak diketahui namanya menjelajahi Pulau Lombok. Gunung Rinjani pun menjadi salah satu tujuannya. Setibanya di puncak Rinjani, kamera di arahkan ke sejumlah objek di sekelilingnya. Danau Segara Anak, air terjun Sendang Gile, hamparan sawah menghijau, hingga pantai pasir putih terbentang dengan segera memenuhi gulungan negatif film yang tersemat di dalam kamera. Sang bule mengambil gambar dengan penuh antusias dan decak kagum. Kekaguman kian menjadi-jadi ketika gulungan film tersebut dicetak menjadi lembaran foto. Tampak begitu nyata eksotika Lombok bak lembaran permadani. Saking kagumnya pada keindahan Lombok, juru potret Jerman itu memberinya julukan istimewa: The heaven on the planet. Ya, serpihan surga di planet bumi. Ungkapan juru foto anonim tersebut sempat dikutip Gubernur
Lombok adalah serpihan surga yang ada di bumi – Zainul Majdi
12 Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Gunung Rinjani Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi yang beken dengan sapaan Tuan Guru Bajang (TGB) saat memberikan testimoni pada buku saku promosi wisata Dong Ayok ke Lombok! yang terbit pada 2012 lalu. “Lombok adalah serpihan surga yang ada di bumi.”–Zainul Majdi @zainulmajdi Eksotika Pulau Lombok memang tak perlu diragukan lagi. Ini dibuktikan dengan tingginya tingkat kunjungan wisata ke pulau yang bila diartikan secara harfiah berarti “lurus” tersebut. Pada 2016 lalu misalnya, Dinas Pariwisata (Dispar) dan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB mengkalaim berhasil melampaui target 3 juta kunjungan wisatawan sepanjang tahun. Dalam beberapa hal, Lombok memang mencoba memanfaatkan kunjungan wisatawan ke Pulau Bali yang dianggap mulai jenuh atau s e t i d a k n y a ove r l o a d . Tak h e r a n b i l a k i t a menemukan adanya promosi wisata Lombok yang “mendompleng” ketenaran Bali. Ungkapan “Lombok, Cuma setengah jam dari Bali” menjadi
hal lumrah di kalangan pelaku jasa wisata Lombok. Lagi pula, kekayaan dan keanekaragaman objek wisata Lombok tak kalah bila dibandingkan dengan Bali. Dengan begitu, kedekatan geograďŹ s dengan Bali membawa berkah bagi pariwisata lombok. Ya, perjalanan Bali-Lombok memang cukup ditempuh dalam tempo 30 menit sampai 1 jam saja. Saking dekatnya hubungan Lombok-Bali, baik dalam arti sesungguhnya maupun dalam arti kebudayaan, muncul julukan baru untuk Pulau Lombok: The sister island of Bali. Secara geograďŹ s, seperti disinggung diatas, jarak Bali dan Lombok boleh dibilang sangat dekat, sehingga bisa diakses menggunakan rupa-rupa moda transportasi. Dari sisi kebudayaan, banyak suku dan budaya Bali yang berkembang di Lombok. Apa yang ditemukan di Bali bisa dengan mudah ditemui di Lombok. Sebaliknya, tidak semua yang ada di Lombok bisa ditemui di Bali. Lombok pun lebih komplet.
Foto: lombok-escape.com Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
13
LAPORAN
KHUSUS Sayangnya, tidak selamanya kedekatan Lombok-Bali itu membawa keberuntungan. Dalam konteks pengembangan taman bumi (geopark), kedekatan itu justru membawa “kerugian”. Lho, kok bisa? Ya, kali ini terkait dengan pengajuan Geopark Nasional Rinjani menjadi taman bumi kelas dunia yang diakui UNESCO Global Geopark (UGG). Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) tersebut menekankan perlunya pembeda jelas antara Geopark Batur di Pulau Bali dan Geopark Rinjani di Pulau Lombok. Titah ihwal pembeda Batur-Rinjani tersebut tertuang dalam 10 rekomendasi UGG Council untuk pengelola Geopark Rinjani. Pentingnya pembeda itu menjadi poin utama rekomendasi yang diberi tenggat untuk diselesaikan dalam dua tahun ke depan, terhitung sejak Maret 2017 lalu. A full and comparative study is needed between applicant territory and Batur UNESCO Global Geopark to ascertain if there is a similar geological heritage. Itulah poin pertama rekomendasi yang diakui atau tidak telah menjadi “pukulan” bagi para pengelola. (Rekomendasi lengkap lihat pada infografik)
GEOPARK RINJANI LOMBOK Terletak di pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang kawasannya meliputi 4 kabupaten yaitu: KABUPATEN LOMBOK BARAT, LOMBOK TENGAH, LOMBOK TIMUR, LOMBOK UTARA dan 1 Kota yaitu KOTA MATARAM dengan GUNUNG RINJANI sebagai pusat GEOPARK. GEOPARK RINJANI LOMBOK memiliki 22 situs keragaman geologi (geo-diversity), 17 situs keragaman Budaya (Culture-Diversity) dan 8 situs keragaman Biologi (Bio-Diversity).
APA MANFAAT GEOPARK RINJANI LOMBOK BAGI MASYARAKAT? 1
Membina usaha ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan demi kemajuan yang berkelanjutan.
2
Melestarikan nilai adat budaya kearifan lokal, dimana lembaga dan kelompok masyarakat akan dilibatkan dalam pengelolaan dan pengembangan pemanfaatan lokasi
3
Sebagai wadah bersama pemerintah dengan masyarakat dalam meluhurkan warisan bumi dan kekayaan sumber daya alam.
GEOPARK RINJANI LOMBOK telah ditetapkan menjadi Geopark Nasional pada tanggal 7 Oktober 2013 oleh Komite Nasional Geopark Indonesia. "Tahun 2016 Geopark Rinjani Lombok akan diusulkan menjadi anggota Global Geopark Network (GGN) UNESCO."
Belajar dari Rinjani Nah, bagi Jawa Barat, kegagalan Rinjani meraih predikat UGG tahun ini patut menjadi pembelajaran tersendiri. Maklum, di luar rekomendasi nomor wahid UGG yang menekankan adanya studi komprehensif perbedaan geopark Batur dengan Rinjani, sisanya boleh dibilang berlaku umum. Artinya, pengelolaan geopark dunia harus mengacu kepada prinsip dan tata kelola yang telah digariskan UGG Council. “Dengan Geopark Rinjani yang telah lebih dahulu mengajukan sebagai anggota UGG, maka sudah barang tentu dapat dijadikan sebagai tempat pembelajaran bagaimana pengelolaan dan persyaratan serta inovasi apa saja yang dapat diambil sebagai contoh pengajuan. Selain itu, dapat memberikan pengetahuan untuk bisa mengembangkannya di Geopark CiletuhPalabuhanratu supaya bisa diakui menjadi bagian dari geopark dunia dan destinasi wisata dunia,” terang Anjar Yusdinar, Kepala Sub Bagian Umum Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat, yang memimpin rangkaian kaji banding tim Bappeda Jabar ke Rinjani beberapa waktu lalu. Anjar berharap laporan yang disusun timnya bisa menjadi masukan dalam penyusunan rencana pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu di Jawa Barat. Dengan begitu, Geopark CiletuhPalabuhanratu benar-benar menjadi model tata keola geopark secara hakiki sesuai prinsip yang telah digariskan. Dalam hal ini, Geopark CiletuhPa l a b u h a n r a t u m e n j a d i u p a y a b e r s a m a memuliakan warisan bumi untuk menyejahterakan masyarakat sebagai konsep taman bumi itu sendiri. Geopark, terang Anjar, merupakan kawasan geografis di mana situs-situs warisan geologis menjadi bagian dari konsep perlindungan, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan. Konsep manajemen pembangunan kawasan dilakukan secara berkelanjutan dengan memaduserasikan tiga keragaman alam, yaitu geodiversity, biodiversity, dan cultural diversity. “Sinergi antara keragaman geologi, biologi, dan budaya harus ditonjolkan sebagai bagian yang tak terpisahkan,” tandas Anjar. Lalu, apa yang dipelajari dari Geopark Nasional Rinjani? Berangkat dari 10 rekomendasi UGG Council, maka Ciletuh sudah seharusnya menjalankan apa yang menjadi jalan terjal Rinjani.
Foto-foto: Humas Bappeda
Ya, jalan Rinjani menuju geopark dunia sungguh begitu terjal. Ini tidak lepas dari 10 rekomendasi baru yang diwajibkan UGG Council untuk dipenuhi. Tak ada yang menyangka. Rupanya penetapan Gunung Batur sebagai geopark dunia mendahului Rinjani, mendatangkan kerepotan bagi pengelola Rinjani. Maklum saja, tadinya para pemangku kepentingan baik di NTB maupun di Jakarta sudah begitu yakin, jalan Rinjani menjadi taman bumi ketiga yang diakui UNESCO di Indonesia bakal berjalan mulus. Penetapan Gunung Sewu di Pacitan, Jawa Timur dan Gunung Batur di Bali, menjadi contoh. Keduanya mulus tanpa kendala. Belum lagi jika memperhitungkan sambutan untuk Rinjani di konferensi tahunan UNESCO bertajuk Global Geopark Network Expo and Conference 2016 (GGN 2016) di Torquey, Inggris, pada Oktober 2016 lalu yang dihadiri Gubernur TGB. Di sanalah, rekomendasi asesor UNESCO yang telah datang menilai Rinjani pada Mei 2016 Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
15
LAPORAN
KHUSUS
diserahkan. Rinjani begitu dinanti dalam konferensi tahunan tersebut. Atau jika memperhitungkan bagaimana respon dua asesor yang dikirim UNESCO untuk menilai kelayakan Rinjani sebagai geopark dunia, Maurizio Burlando dari Italia dan Soo-Jae Lee dari Korea Selatan. Terlihat jelas dalam evaluation mission selama tiga hari di Pulau Lombok, dua asesor yang didampingi asesor observer Ibrahim Koomoo dan Nurhayati dari Geopark Asia Pasifik tersebut terkagum-kagum begitu melihat dari dekat situssitus Geopark Rinjani. Karena itu, tak ada keraguan sedikitpun, kalau Rinjani akan terganjal. Sebab, sedari awal, NTB memang menyiapkan betul sangat matang usulan Rinjani sebagai geopark dunia. Publik NTB tak akan lupa, bagaimana Pemprov NTB secara khusus mendatangkan asesor UNESCO Mahito Watanabe dari Jepang, untuk membimbing penyiapan dokumen dossier usulan Geopark Rinjani. Dokumen yang disusun dalam bahasa Inggris itu kalau ditumpuk dari tanah tingginya lebih dari satu setengah meter. Dengan bimbingan Watanabe, dossier kemudian disusun begitu detail, setelah terlebih dahulu menyusutkan situs-situs geologi yang dianggap perlu, dan membuang situs-situs yang dinilai sebagai pendukung dan diangap tidak perlu. Bolak-balik dokumen itu dinilai sampai kemudian dianggap paripurna untuk kemudian diajukan ke UNESCO. Dukungan pemerintah pusat juga begitu besar. Ini misalnya dengan tahun 2016 lalu, Pemerintah RI hanya mengajukan Rinjani sendirian untuk menjadi Geopark Dunia. Meski, muncul usulan-usulan lainnya yang datang dari berbagai daerah, tapi p e m e r i n t a h t e t a p pa d a p e n d i r i a n u n t u k mengajukan hanya Rinjani. Dengan konsentrasi dan fokus pada Rinjani, maka harusnya di atas kertas, mustahil ada yang kurang dalam pengusulan Rinjani. Bahkan, Ketua Task Force Geopark Dunia Indonesia Yunus Kusumasubrata kala itu memberi garansi soal jalan mulus Rinjani. Pemerintah RI, kata Yunus, benarbenar all out memperjuangkan Rinjani masuk dalam jaringan Geopark Dunia. Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tersebut mengaku pemerintah telah belajar dari pengalaman pengajuan dua Geopark Dunia yang telah dimiliki Indonesia sebelumnya.
16
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Itu sebabnya, Yunus yakin seyakin-yakinnya, bahwa Rinjani selangkah lagi akan masuk jajaran geopark dunia. “Rinjani sudah sangat siap,” tegas dia kala itu. Tapi, rupanya Tuhan berkehendak lain. Segala keyakinan itu pun akhirnya buyar, manakala pemberitahuan tertulis dari UNESCO datang Maret lalu. Memang, mulai tahun 2016, ada yang beda dalam pola penetapan geopark dunia oleh UNESCO. Sertifikat geopark dunia tidak diberikan l a n s g u n g b e r ba re n g a n d e n g a n te r b i t n y a rekomendasi dari UNESCO. Namun, dilakukan setahun setelahnya. Sehingga andai Tim Asesor telah memberikan rekomendasi mereka pada 2016, UNESCO baru akan menerbitkan sertifikat Geopark Dunia untuk Rinjani apda 2017. Mulai tahun itu juga nama Geopark Dunia juga diubah oleh UNESCO. Jika sebelumnya nama Geopark Dunia tersebut adalah Global Geopark Network, maka mulai 2017, namanya diubah menjadi UNESCO Global Geopark. Toh, dengan adanya perubahan itu, tak mengikis keyakinan akan jalan mulus yang akan ditempuh Rinjani. Sampai kemudian datanglah rekomendasi dari U N E S CO i t u . B u k a n n y a m e n y e t u j u i , t a p i rekomendasi isinya meminta Pemerintah RI melengkapi sepuluh rekomendasi baru. “Semula kita diminta melengkapinya dua tahun,” kata Kepala Bappeda NTB Ridwan Syah seperti dikutip Lombok Post. Salah satu rekomendasi tersebut di antaranya UNESCO meminta ada nota kesepahaman antara pemerintah dengan perguruan tinggi yakni memasukkan Geopark Rinjani dalam kurikulum di sekolah-sekolah. Dia mengatakan, untuk hal ini, pemerintah memang tinggal membuat kesepahaman dengan perguruan tinggi saja. Bahkan kata Ridwan, dalam Musrembang 2017 dua pekan lalu, MoU dengan Universitas Mataram dan Universitas Muhammadiyah Mataram sudah diteken Gubernur TGB bersama pimpinan dua perguruan tinggi tersebut. Apakah urusan lalu selesai? Rupanya tidak. Ada pula rekomendasi yang memang sungguh berat. Ini menyangkut penyiapan kajian perbedaan Gunung Rinjani dengan Geopark Dunia Gunung Batur di Bali yang telah lebih dulu ditetapkan sebagai Geopark Dunia. Tepatnya pada 22 September 2012.
Foto: 4.bp.blogspot.com
Lain Batur, Lain Rinjani Rupanya UNESCO memandang sangat penting hal ini. Sebab, Bali dan Lombok adalah pulau bertetangga. Jaraknya sangat dekat. Sehingga, UNESCO ingin tahu apakah Geopark Batur berbeda dengan Geopark Rinjani dan apa saja pembedanya. Memang, Gunung Batur dan Gunung Rinjani sama-sama merupakan gunung api yang samasama merupakan bagian dari cincin api (ring of fire) yang melintasi Indonesia. Tapi, tentu saja, dua gunung api ini sangat berbeda. Inilah modal Rinjani. Para ahli meyakini, Rinjani dinilai punya kekayaan geologi yang jauh lebih lengkap. Rinjani dinilai memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang jauh lebih mumpuni. Demikian juga dengan warisan budaya dan p e m a n f a a t a n R i n j a n i u n t u k ke p e n t i n g a n pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar. Keunggulan-keunggulan itu pula yang menjadikan Rinjani sebetulnya jauh-jauh hari sudah lebih dahulu diajukan sebagai Geopark Dunia yakni semenjak 2008. Jauh sebelum rencana pengajuan Gunung Batur. Sayangnya, usulan Gunung Rinjani tidak begitu diseriusi. Bahkan, Rinjani tertinggal dari Gunung Sewu di Pacitan yang ditetapkan sebagai Geopark Dunia pada 2015. Perekayasa Utama Museum Geologi milik Kementerian ESDM di Bandung, Heryadi Rachmat merinci keunggulan-keunggulan Rinjani dibanding Gunung Batur. Dia mengatakan, jika Gunung Batur memiliki danau kaldera terluas di dunia, maka Rinjani memiliki danau kaldera gunung api aktif tertinggi di dunia. Tak ada danau kaldera yang lebih tinggi dari yang dimiliki Rinjani yakni Danau Segara Anak. “Yang ini tidak ada duanya di dunia,” kata Heryadi.
Gunung Batur Bahkan kata Heryadi, peneliti asal Jepang, Perancis dan Indonesia telah memastikan usia kaldera Rinjani tersebut terjadi akibat letusan Samalas Rinjani, yang merupakan Gunung Rinjani purna yang terjadi pada tahun 1257. Letusan itu telah memorakporandakan Eropa, dan menebar maut di sana. “Jauh lebih besar dari letusan Tambora,” katanya. Rinjani juga kata dia, memiliki keunikan dari segi geologis dan pemandangan alam yang menakjubkan terutama dengan adanya kaldera Danau Segara Anak dan air terjun. Tinggi Gunung Rinjani juga jauh di atas Gunung Batur yang ketinggiannya 1.717 meter di atas permukaan laut. Sementara Rinjani tingginya 3.726 meter di atas permukaan laut. Karena itu, jenis flora dan fauna Rinjani menjadi lebih kaya dibanding Batur. Di sebelah selatan dan barat pada ketinggian 1.000-2.000 meter banyak ditumbuhi Dysoxylum sp, Pterospermum, dan Ficus superba. Pada ketinggian 2.000-3.000 meter banyak tumbuh cemara gunung (Casuarina junghuhniana). Sementara pada ketinggian di atas 3.000 meter memang miskin tumbuhan. Namun, Rinjani banyak ditumbuhi rumput dan bunga edelweiss (Anaphalis javanica). Sementara di sebelah timur gunung banyak ditumbuhi pohon akasia. Selain itu, tercatat 109 jenis burung hidup di Gunung Rinjani, beberapa di antaranya adalah jenis burung yang ada di Australia, monyet perak yang berasal dari Bali, rusa dan landak. Sementara di Pelawangan Sembalun, Lombok Timur terdapat monyet ekor panjang. Ini tergolong sebagai monyet cerdas. Sebab, monyet ini mampu membuka kemah para pendaki yang memakai Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
17
ritsleting, lalu kemudian mengambil makanan di dalam tenda. Rinjani juga meraih penghargaan kelas dunia yang sangat bergengsi. Di antaranya Word Legacy Award tahun 2004 dan Finalis Tourism For To m o r r o w A w a r d ( 2 0 0 5 - 2 0 0 8 ) . J a n g a n hitungpenghargaan nasional. Sementara itu, kalau di Gunung Batur, ada Anjing Kintamani yang endemik karena bentuk mulutnya yang mendekati serigala, maka Rinjani juga punya hewan endemik yakni Musang Rinjani atau Paradoxurus Hermaphroditus Rindjanicus. Hewan ini hanya ada di Rinjani, tak ada di tempat lain di belahan dunia manapun. Pun jika Danau Batur merupakan sumber air bagi sistem pengairan Subak di Bali, maka Danau Segara Anak di Rinjani juga merupakan sumber air di Pulau Lombok . Rinjani bahkan adalah penyangga kehidupan. Sebab, seluruh sumber air di Lombok dipastikan bersumber dari Rinjani. Termasuk air untuk kepentingan irigasi. Cuma memang, dari sisi kemanfaatan jika dibanding dengan keberadaan Gunung Ratur dari sisi ekonomi, secara kasat mata, kemanfaatan Gunung Rinjani boleh dibilang belum segemerlap Batur. Lebih majunya pariwisata di Bali memang menjadikan perputaran uang untuk masyarakat di Gunung Batur dari sisi pariwisata memang lebih besar. Namun, Rinjani pun sedang mengarah ke sana. Seiring dengan meningkatnya arus kunjungan untuk mendaki Rinjani. Dalam setahun, Rinjani kini didaki lebih dari 80 ribu orang. Di sisi lain, ada perputaran uang dari pemanfaatan potensi perkebunan, hortikultura yang ada di kakikaki Rinjani. Hal lain yang menjadikan Batur lebih unggul, adalah kondisi dimana wisatawan ke Gunung Batur bisa dari segala usia. Sebab, kawah Gunung Batur memang bisa dinikmati siapa saja karena orang bisa berkendara hingga ke sana. Bahkan, di bibir kawah, telah ada restoran-restoran ternama dimana di sana orang bisa menikmati keindahan kawah Gunung Batur sambil bersantap. Sementara kawah Rinjani hanya bisa dinikmati oleh para pendaki. Itu sebabnya, Ahli Geologi dan Pakar Kegunungapian dari Institut Teknologi Bandung Budi Brahmantyo pernah menyebut hal tersebut sebagai satu-satunya kekurangan Rinjani dalam pengajuannya ke UNESCO. Karena itu, kata dia, di masa mendatang harus dipertimbangkan bagaimana agar semua orang dapat menikmati 18
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
pamandangan luar biasa dari Danau Segara Anak. Dosen senior Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB ini bahkan mengatakan perlu mempertimbangkan pembuatan cableway atau kereta gantung untuk memudahkan wisatawan berkunjung ke Gunung Rinjani. Memang ada problem. Misalnya, Gunung Rinjani merupakan gunung api aktif yang menyebab bahan kereta gantung cepat berkarat, sehingga membahayakan. Belum lagi juga perlunya mempertimbangkan dengan sangat cermat biaya yang cukup mahal untuk infrastruktur ini. Salah satu alternatif yang layak dikaji kata dia, adalah membangun jalan darat yang bisa dilalui dengan kendaraan roda empat hingga bibir kaldera Danau Segara Anak. “Salah satu jalur yang memungkinkan untuk jalan darat ini di Sembalun, Lombok Timur,â€? tandas dia. Apakah bisa? Hal ini tampaknya masih jauh. Tentu, Geopark Ciletuh tak mesti repot-repot menjadi pembeda dengan Geopark Batur sebagaimana Rinjani. Namun demikian, identiďŹ kasi secara menyeluruh untuk menentukan karakteristik Ciletuh-Palabuhanratu sebagai taman bumi kelas dunia penting untuk dilakukan. Dengan demikian, ketika wisatawan yang sebelumnya sudah terlebih dahulu berkunjung ke Rinjani atau Batur atau Gunung Sewu tetap menentukan sensasi berbeda ketika bertandang ke Ciletuh.
Foto: Humas Bappeda
Kolaborasi dan Keberpihakan UNESCO benar-benar memberikan perhatian utama pada keterlibatan semua pihak, terutama dunia pendidikan dan masyarakat lokal, dalam pengelolaan geopark. Ini tampak dari sejumlah rekomendasi yang ditujukan bagi Rinjani. Pada poin kedua misalnya, UNESCO meminta adanya kolaborasi dengan perguruan tinggi dan institusi penelitian guna mendukung makna ilmiah dari masing-masing warisan geologi yang terdapat di dalam kawasan Geopark yang ditetapkan menjadi geosite. Rinjani pun lantas memformalkan kerjasama mereka dengan lembaga pendidikan tinggi yang diwakili Universitas Mataram (Unram) dan Universitas Muhammadiyah Mataram. Sejalan dengan poin di atas, UNESCO juga meminta adanya peningkatan sejumlah kegiatan penelitian dan memperbanyak ragam publikasi, dan pengklasifikasian geosite berdasarkan fungsinya (pengembangan ilmu pengetahuan, konservasi, geowisata). Pesannya, panel-panel informasi didesain semenarik dan sejelas mungkin supaya mudah dipahami pengunjung dan asyarakat setempat. Dengan begitu, geosite lebih efektif dari sisi fungsi serta berpenampilan menarik. Ciletuh sendiri melakukan kolaborasi tersebut dari jauh-jauh hari. Dalam beberapa tahun terakhir, Pe m e r i n t a h P ro v i n s i Ja w a B a r a t m a u p u n
Pemerintah Kabupaten Sukabumi sudah terlebih dahulu menjadi kerjasama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad) sebagai mitra strategis dalam pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu. Bahkan, Jawa Barat mendudukan ilmuwan Mega Fatimah Rosana dari Fakultas Teknik Geologi Unpad sebagai tokoh sentral dalam pengembangan geopark. Penempatan guru besar dalam Ilmu Geologi Eksplorasi tersebut selangkah lebih maju bila dikaitkan dengan rekomendasi UNESCO untuk Geopark Rinjani. Pada poin kesepuluh rekomendasi tersebut, UNESCO meminta secara khusus untuk memperkuat keterlibatan perempuan ke dalam jajaran manajemen sekaligus memperbanyak staf perempuan dalam susunan badan pengelola. Di sisi lain, pesan kolaborasi dan perluasan jejaring kerkelanjutan juga tertuang dalam rekomendasi mengenai pentingnya memperbanyak program yang di dalamnya melibatkan sekolah di sekitar kawasan geopark. Misalnya memperbanyak frekuensi program “Geopark to School” dan “School to Geopark” dalam rangka penyebarluasan informasi keunikan warisan geologi dan warisan lainnya yang terdapat di dalam kawasan geopark guna menambah pengetahuan murid sekolah. Juga bertujuan menumbuhkan kebanggaan terhadap identitas daerah dan lingkungan di sekitarnya. Tidak kalah pentingnya adalah menyelenggarakan kursus kepada para pemandu lokal secara reguler guna meningkatkan Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
19
pemahaman terhadap warisan geologi dan warisan lainnya.
mengembangkan Geopark Rinjani-Lombok secara konsisten.
Selain dunia pendidikan, UNESCO meminta adanya pengembangan strategi kemitraan secara menyeluruh dengan pemangku kepentingan di sekitar geopark. Sebut saja misalnya, bidang jasa akomodasi, katering, transportasi, asosiasi pemadu, penghasil produk lokal, dan lain-lain. Juga dengan kelompok masyarakat umum guna menjamin terpenuhinya fungsi ilmu pengetahuan, pendidikan dan konservasi di dalam kawasan geopark . Lebih dari sekadar kesepamahan, UNESCO meminta kemitraan tersebut dituangkan secara resmi dalam bentuk perjanjian formal.
Dari poin tersebut, maka sudah sejatinya logo Geopark Ciletuh-Palabuhanratu menghiasi aneka rupa papan informasi yang berkaitan dengan geopark. Dengan demikian, penempatan logo Geopark Ciletuh-Palabuhanratu turut mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat tentang keberadaan geopark di daerah mereka. Juga, menjadi simbol kemitraan strategis di antara pemangku kepentingan. Tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan mutu website resmi Geopark Ciletuh-Palabuhanratu sebagai pusat sumber daya informasi menyeluruh dan ramah bagi pengguna.
Bahkan, UGG Council memberi catatan khusus terhadap keberadaan masyarakat atau suku asli di kawasan geopark. Untuk Rinjani, UNESCO meminta untuk mempromosikan budaya, bahasa, dan tradisi asli Suku Sasak melalui keikutsertaan mereka di dalam kegiatan perencanaan pengembangan geopark. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya pengakuan, pelestarian dan pemahaman tentang adat istiadat dari suku asli tersebut. Terlebih UNESCO meminta adanya perluasan kawasan geopark yang dengan sendirinya semakin banyak masyarakat yang terlibat.
Mencermati poin-poin rekomendasi seperti dijelaskan di atas, tampak jelas adanya penekanan pada dua aspek: kolaborasi atau kemitraan dan keberpihakan. Terutama keberpihakan pada masyarakat lokal dan secara khusus bagi pemberdayaan perempuan. Dengan demikian, jelas sudah apa saja yang harus dilakukan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu dalam upaya percepatan pengakuan resmi sebagai anggota jaringan taman bumi dunia melalui pengakuan UNESCO Global Geopark.
Selain dengan kalangan pemangku kepentingan lokal atau dunia pendidikan, UNESCO j u g a m e n s y a r a k a t k a n a d a n y a ke r j a s a m a antargeopark, baik nasional, regional, maupun global. Hal ini tertuang dalam rekomendasi kedelapan untuk Rinjani, yang juga tentu saja berlaku untuk geopark lain yang mengajukan diri sebagai global geopark. Karena itu, kaji banding yang dilakukan Bappeda Jawa Barat di Geopark Rinjani merupakan langkah penting dalam membangun aliansi strategis taman bumi di tanah air. Satu lagi catatan yang penting untuk mempersiapkan diri menjadi global geopark. Yakni, sosialisasi secara massif keberadaan geopark. Mengabil contoh rekomendasi untuk Geopark Rinjani, pengelola diminta mengupayakan peningkatan visibilitas di Gili Trawangan dengan menempelkan logo Geopark Rinjani-Lombok di setiap papan informasi di masing-masing geosite, sign boards, publikasi Geopark (leaet, booklet, peta perjalanan, VCD, dan lain-lain), lokasi mitra Geopark ; termasuk logo para pemangku kepentingan (kabupaten, kementerian) yang ikut bersinergi dalam membangun dan
Geopark Ciletuh Foto: iwisataindonesia.com
20
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Geopark Ciletuh-Palabuhanratu Kini Kini, mari kita menengok sebentar ke Geopark Ciletuh-Palabuhanratu di Kabupaten Sukabumi, bagian selatan Jawa Barat. Dibanding beberapa tahun lalu, sudah pasti Ciletuh kini berbeda. Ciletuh –termasuk Palabuhanratu– kini makin cantik dan memesona. Satu setengah tahun setelah ditetapkan sebagai geopark nasional pada akhir Desember 2015 lalu, kini akses menuju taman bumi kebanggan Jawa Barat tersebut lebih mulus. Juga dijamin tidak akan tersesat berkat papan informasi dan penunjuk arah yang lengkap sejak Sukabumi kota hingga bibir pantai. Tak hanya itu, Geopark Ciletuh-Palabuhanratu kini dilengkapi pusat informasi yang terbilang lengkap. Pusat informasi dengan label Geopark Information Centre (GIC) tersebut bisa dikunjungi di Citepus, Palabuhanratu. Tempat ini pula yang awal Agutsus 2017 lalu dikunjungi asesor UNESCO. Alexandru Andrasanu dari Rumania dan Soo Jai Lee dari Korea Selatan. Mereka akan memberikan penilaian apakah Geopark Ciletuh-Palabuhanratu masuk UGG atau tidak. Jika ya, maka Ciletuh akan akan dinyatakan sebagai geopark kelas dunia.
Bagaimana tanggapan para asesor terhadap kondisi geopark yang kini sudah bersolek? Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Sukabumi Iyos Somantri yang turut mendampingi asesor saat berkunjung ke Ciletuh tampak sumringah menerima pertanyaan tersebut. Dari gestur yang ditunjukkan asesor, Iyos optimistis jalan menuju geopark kelas dunia bakal segera terwujud. Ia menyebutnya gestur tim yang datang terlihat senang dan puas. “Kami merasa senang melihat asesor UNESCO yang datang terlihat gesturnya sangat nyaman dan puas dengan apa yang kita miliki untuk persiapan UGG. Hal ini terlihat saat mereka kunjungan ke GIC. Dari semula hanya diagendakan selama satu jam, mereka tembus selama hampir dua jam. Ini kan tandanya mereka merasa sangat puas dengan fasilitas di sana,” kata Iyos bangga. Menurut Iyos, penilaian itu tertangkap saat asesor mengungkapkan saat melakukan penilaian di tempat lain kebanyakan belum memiliki GIC atau p u s a t i n f o rm a s i te n t a n g G e o pa rk s e c a ra keseluruhan. “Lokasi GIC kita menceritakan seluruh kelebihan atau keunggulan GCP yang disuguhkan secara lengkap, lokasinya pun sangat strategis. Ini yang jadi alasan kenapa mereka kerasan di sana,” tutur Iyos seperti dikutip detik.com. Dalam kesempatan terpisah, Bupati Sukabumi Marwan Hamammi meminta dukungan masyarakat agar target Geopark CiletuhPalabuhanratu diakui menjadi global geopark tahun ini bisa terwujud. “Kami memohon doa restu agar keinginan harapan seluruh masyarakat Sukabumi dapat terwujud. Kehadiran tim dari lembaga dunia ini, diharapkan dapat mendorong kesejahteraan seluruh warga Sukabumi dan Jawa Barat,” kata Marwan seperti dikutip Pikiran Rakyat. Marwan mengatakan, tim penilaian tidak hanya didampingi para pejabat terkait di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Tapi, sejumlah pejabat di Kabupaten Sukabumi dan Unpad juga turut ser ta mendampinginya. “Kedatangan tim merupakan kehormatan dan ke ba n g g a a n ba g i m a s y a r a k a t K a b u pa te n Sukabumi. Mudah-mudahan kedatangan mereka memberikan kesan baik,” katanya. Keberadaan kawasan Geopark CiletuhPalabuhanratu, terang Marwan, memiliki potensi geologi luar biasa indahnya. Daerah ini juga memiliki karakteristik yang khas dan jarang ditemui Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
21
di dunia. Karena itu, Marwan optimistis tim UNESCO bakal memberikan penilaian baik terhadap Geopark Ciletuh-Palabuhanratu. Keunggulan Ciletuh terletak pada perpaduan antara bentang alam pantai dan perbukitan. Keberadaan air terjun, keunikan batuan geologi, serta keanekaragaman hayati berupa flora dan fauna juga menambah nilainya. Ada pula keragaman budaya yang sangat kaya. Selain menjadi kawasan konservasi dan pendidikan, Geopark Ciletuh-Palabuhanratu juga menjadi tempat geowisata. Sebagai catatan, nasib Ciletuh-Palabuhan sebagai taman bumi warisan dunia akan ditentukan tahun ini. Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar yang hadir membuka Ciletuh Geopark Festival 2017 meminta doa pada seluruh masyarakat Sukabumi untuk keberhasilan target tersebut. Bagi Deddy, doa adalah hal yang tidak dapat diremehkan dalam usaha meraih keberhasilan. Di samping itu, pemerintah pun terus berupaya dalam mempermudah digitalisasi, homestay, dan konektivitas di kawasan wisata Ciletuh. “Masyarakat terus dibina dalam mengelola homestay. Untuk connectivity, kami targetkan Tol Bocimi bisa sampai Cigombong, Lido, tahun depan. Itu paling penting, soalnya orang Sukabumi ke Jakarta suka bilangnya mau umrah karena perjalanannya 9 jam,” ujar Deddy Wagub menjelaskan, Pemprov Jabar telah mengucurkan APBD Rp 211 miliar sepanjang tahun ini. Jumlah tersebut di luar penyaluran dana CSR untuk Ciletuh. Termasuk pembukaan jalur ke Puncak Dharma yang kini sangat efisien. Deddy Mizwar juga menegaskan akan meminta Kementerian Perhubungan untuk pengadaan bandara alternatif di Sukabumi pada 2018. Kemudian, kata Deddy, biodiversitas budaya amatlah penting. “Ruh pariwisata itu budaya. Laut, gunung, sungai di manapun banyak. Tapi yang membedakan itu manusianya yang menjadikannya pantas dibudidayakan. Maka jangan dirusak, batuan puluhan juta tahun. Jangan dicoret, jangan dijadikan motorcross,” kata Deddy menyindir perilaku tidak terpuji oknum pengendara motorcross yang melindas salah satu batuan purba di kawasan geopark. (NJP/dari berbagai sumber)
Foto-foto: Humas Bappeda
22
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
WAWA S A N PERENCANAAN
Desa Mandiri Foto: Humas Bappeda
Pembangunan Desa Masa Kini Pendahuluan 72 Tahun sudah Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka. Merdeka dari segala bentuk penjajahan kolonialisme yang membuat banyak rakyat Indonesia menderita. Kenyataannya tidak sedikit masyarakat Indonesia yang merasa belum merdeka dalam arti tercapainya kehidupan yang sejahtera. Berbagai macam visi, misi, hingga program – program telah dilakukan pemerintah Indonesia sejak presiden pertama hingga presiden saat ini untuk mencapai kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Oleh: Muhammad Dera Purdiansyah
Sejak pemerintahan orde baru, banyak dilakukan pemanfaatan sumber daya alam yang ada sebagai modal untuk pembangunan dalam segala bidang terutama pembangunan terhadap bidang politik, ekonomi, dan sosial yang menjadi perhatian sebagai kunci utama dalam pembangunan nasional. Kondisi bidang politik yang tidak kondusif menjadi salah satu sebab lambatnya pembangunan nasional pada era orde lama, orde baru, hingga reformasi. Hingga muncul-lah era otonomi daerah sebagai upaya bagi pemerintah daerah yang berwenang dalam pembangunan daerahnya masing – masing. Meski upaya ini dilakukan untuk menghindari adanya pemerintahan yang sentralistik, keberadaan kebijakan pada saat itu kurang menunjang kebutuhan pembangunan daerah sehingga yang terjadi, terkadang muncul pemerintah daerah yang dipilih langsung bisa melakukan apa saja tanpa adanya musyawarah bersama masyarakat desa. Keadaan ini tentu tetap sama saja seperti Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
23
sebelumnya, pemerintahan yang sentralistik hanya perbedaannya dalam skala yang lebih kecil. Segala macam upaya pembangunan dilakukan pemerintah terhadap wilayah – wilayah yang memiliki sumber daya alam yang sebagian besar terletak di kawasan perdesaan. Pembangunan pada masa orde baru memiliki sistem memusat dan bersifat top down. Seluruh proses pemanfaatan sumber daya alam dilakukan oleh pemerintah pusat. Sehingga tak sedikit masyarakat perdesaan hanya menjadi penonton dan tidak mengetahui proses pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Konsep pembangunan pada masa itu menjadikan desa sebagai objek pembangunan, bukan subjek (Sutoro eko,et., al. 2014). Banyak produk – produk kebijakan yang belum mengatur kedaulatan desa yang serius. Yang terjadi pada saat itu, desa semakin terpinggirkan. Apalagi pada saat yang bersamaam, lahir produk regulasi sektoral yang mencabut hak dan kedaulatan desa dalam jumlah yang tidak sedikit. UU No. 5 Tahun 1979 tentang Desa, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan contoh produk kebijakan yang dirasa mematikan kehidupan desa (Borini Kurniawan, 2015). Keberadaan Undang – Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa memberikan angin segar kepada desa sebagai konsep kebijakan tata kelola desa secara nasional. Kebijakan tersebut juga memberikan hak dan kedaulatan desa secara jelas yang selama ini terpinggirkan oleh kebijakan – kebijakan terdahulu. Produk Undang – Undang Desa ini memberikan kewenangan terhadap desa untuk mengurus tata pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan secara mandiri untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan berkualitas. Adapun tujuan dari UU No. 6 Tahun 2014 adalah sebagai berikut :
1
Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannnya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2
Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
3 4
Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi Desa untuk pengembangan
Foto:masyarakat Humas Bappeda
24
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
potensi dan aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5 6 7
Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
Meningkatkan pelayanan publik bagi warga m a s y a r a k a t D e s a g u n a m e m p e rc e pa t perwujudan kesejahteraan umum; Meningkatkan ketatahanan sosial budaya masyaraat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
8 9
Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Tujuan Undang – Undang Desa tersebut sejalan dengan visi dan misi perencanaan pembangunan nasional 2015 – 2019 yang bersumber pada Nawa Cita Presiden Joko Widodo yang menghendaki terwujudnya Indonesia yang berdaulat, Mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Maka, visi dan misi tersebut akan sangat baik jika diturunkan kepada Pemerintah Daerah agar tercipta keselarasan visi/ tujuan bagi pembangunan desa seper ti visi dan misi Pemerintah Provinsi Jawa Barat sesuai dengan RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2013 – 2018 yakni “Jawa Barat Maju dan Sejahtera Untuk Semua”. Salah satu dari penjabaran Maju adalah sikap dan kondisi masyarakat yang produktif, berdaya saing dan mandiri, terampil dan inovatif dengan tetap dapat menjaga tatanan sosial masyarakat yang toleran, rasional, bijak dan adaptif terhadap dinamika perubahan namun tetap berpegang pada nilai budaya serta kearifan lokal dan berdaulat secara pangan, ketahanan ekonomi dan sosial. Menurut data dari Indeks Desa Membangun Tahun 2015, Persentase desa mandiri di Indonesia hanya 0,24 % dan untuk Provinsi Jawa Barat hanya 0,73 % yang sudah berstatus sebagai Desa Mandiri. Oleh karena itu, Nawa Cita dan keselarasan visi dan misi dalam perencanaan pembangunan daerah dapat menjadi terbukanya pintu harapan bagi desa dalam memperbaharui paradigma pembangunan yang selama ini memberikan kewenangan yang pasif bagi pemerintah desa menjadi pemerintah desa yang aktif dalam pembangunan desa.
Foto-foto: Humas Bappeda
Kedudukan Desa Berkaitan dengan kedudukan desa, maka dapat dilihat dalam Pasal 18 ayat (1) Undangundang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya Pasal 18 B ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beser ta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Kedudukan desa di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, hal tersebut sesuai dengan Pasal 18 huruf (b) ayat 2 UUD 1945. Akan tetapi, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menempatkan pemerintahan desa di bawah kabupaten/kota. Walaupun dalam Undangundang itu menegaskan tentang hak Desa untuk mengurus urusanya sendiri sesuai dengan asal usul dan adat istiadat, tetapi implementasi pelaksanaan hak itu tidak diatur dengan jelas. Pada akhirnya penempatan pemerintahan desa di bawah kabupaten/kota berarti desa tidak memiliki perbedaan dengan kelurahan, yang sama-sama di bawah kabupaten/kota (Iis Mardeli, 2015). Kedudukan desa di dalam Undang – undang Nomor 6 Tahun 2014 dalam Pasal 1 Undangundang Nomor 6 Tahun 2014 Desa, baik desa dan
desa adat atau yang disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan deďŹ nisi tersebut, Desa dipahami terdiri atas Desa dan Desa adat yang menjalankan dua fungsi yaitu fungsi pemerintahan dan mengurus urusan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul dan hak tradisional ( Iis Mardeli, 2015). Kedudukan Desa tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 undang-undang tersebut bahwa Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian dalam pasal 5 dinyatakan bahwa, Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota. Dalam UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 3 disebutkan bahwa asas pengaturan desa, yaitu (1) rekognisi, (2) subsidiaritas, (3) keberagaman, (4) keber samaan, (5) kegotongroyongan, (6) kekeluargaan, (7) musyawarah, (8) demokrasi, (9) kemandirian, (10) partisipasi, (11) kesetaraan, (12) pemberdayaan, dan (13) keberlanjutan.
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
25
Desa Mandiri Mandiri menurut KBBI adalah dalam keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Keadaan mandiri juga berani menetapkan gambaran keadaan sesuai tujuan tanpa adanya bantuan dari orang lain. Sedangkan kemandirian adalah suatu perasaan otonomi, sehingga penger tian perilaku mandiri adalah suatu kepercayaan diri sendiri, dan perasaan otonomi diartikan sebagai perilaku yang terdapat dalam diri seseorang yang timbul karena kekuatan dan dorongan dari dalam diri seseorang yang timbul karena kekuatan dorongan dari dalam tidak karena terpengaruh oleh orang lain (Brawer, 1993). Sebelumnya dikenal dengan otonomi desa, sekarang dikenal kemandirian desa atau desa mandiri. Otonomi asli desa dikenal sangat populer di kalangan akademik , pegiat desa, dan pemerintah, meskipun pemerintah cenderung menggunakan otonomi asli untuk melakukan isolasi terhadap desa. Meskipun UUD 1945 tidak mengenal otonomi asli, tetapi konsep ini dikenal luas dalam banyak literatur dan perbincangan tentang desa. Otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1962; T. Ndraha, 1991; HAW Widjaja, 2003). Banyak tafsir tentang kemandirian desa atau desa mandiri, CIFOR (2006) pernah melakukan penelitian survei di Kabupaten Malinau Kaltim tentang pemahaman berbagai pihak mengenai pengertian desa mandiri. Pengertian desa mandiri sangat beragam. Wawancara tim terhadap staf BAPPEDA diperoleh pemahaman tentang desa mandiri sebagai berikut: “Desa mandiri adalah desa yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak semata tergantung dengan bantuan dari pemerintah. Kalau ada bantuan dari pemerintah, sifatnya hanya stimulant atau perangsang”. Sementara staf Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa menyampaikan pendapatnya “Ada kerjasama yang baik, tidak tergantung dengan bantuan pemerintah, sistem administrasi baik, pendapatan 26
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
“Desa mandiri adalah desa yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak semata tergantung dengan bantuan dari pemerintah. Kalau ada bantuan dari pemerintah, sifatnya hanya stimulant atau perangsang” masyarakat cukup. Supaya lebih berdaya, masyarakat perlu menghormati aturan, kelestarian hutan terjaga, memiliki kemampuan keahlian, keterampilan, sumber pendapatan cukup stabil, semangat kerja yang tinggi, memanfaatkan potensi alam untuk lebih bermanfaat dengan menggunakan teknologi tepat guna, mampu menyusun dan melaksanakan pembangunan desanya”. Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban di Jawa Barat adalah desa yang maju kehidupan lahir bathin meliputi bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban, kedaulatan politik, peran serta masyarakat dan kinerja pemerintahan desa. Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban adalah desa yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas sosial yang memadai seperti sarana dan prasarana, kesehatan pendidikan, ekonomi, ibadah, olahraga, hiburan, perbelanjaan dan lain-lain (Sutoro eko,et., al. 2014). Kemandirian desa tentu tidak berdiri sendiri, tetapi sangat penting melihat relasi antara desa dengan pemerintah (negara), termasuk memperhatikan pendekatan pemerintah terhadap desa. Memang ada dilema serius kehadiran (intervensi) negara terhadap desa. Kalau negara tidak hadir salah, tetapi kalau hadir keliru. Konsep kesendirian desa menunjukkan bahwa negara tidak hadir, dalam hal ini negara melakukan isolasi terhadap desa, sehingga wajar kalau ada ribuan desa berpredikat sebagai desa tertinggal. Pada kutub yang lain, kehadiran negara yang berlebihan pada ranah desa yang bisa disebut sebagai pemaksaan (imposition) justru akan melumpuhkan prakarsa lokal. Karena itu kemandirian lebih baik dimaknai dalam pengertian emansipasi lokal. Emansipasi lokal dalam pembangunan dan p e n c a pa i a n ke s e j a h te r a a n m e m b u t u h k a n pengakuan (rekognisi) oleh negara, dan negara perlu mengambil langkah fasilitasi terhadap berbagai institusi lokal dan organisasi warga, untuk menggantikan imposisi, sekaligus untuk menumbuhkan emansipasi yang lebih meluas (Borni Kurniawan, 2015).
Pembangunan Desa Mandiri Desa Mandiri harus menjadi salah satu kunci ekonomi Indonesia dan sumber kesejahteraan bagi warganya baik itu petani, perempuan, tokoh adat, penyandang disabilitas, penduduk asing, anak – anak, pemuda, dll. Untuk mewujudkan Desa Mandiri, pemerintah telah mengesahkan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU Desa ini memberikan kesempatan kepada desa untuk mengatur dan menjalankan pembangunannya sendiri karena desa yang mengetahui kebutuhan apa – apa saja yang dapat mewujudkan desa yang maju dan sejahtera. Semua program pembangunan desa harus direncanakan oleh Pemerintah Desa bersama Badan Musyawarah Desa dan masyarakat. Program – program tersebut harus dimusyawarahkan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Program tersebut seluruhnya menjadi Rencana Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk 6 tahun ke depan yang dituangkan kembali dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) Tahunan. Jadi setiap tahun harus dialaksanakan beberapa kali musyawarah desa untuk mempertajam dan menyepakati rencana kerja dan anggaran desa tahunan. Seluruh kegiatan desa dapat direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh masyarakat desa secara langsung. Untuk meningkatkan pendapatan desa, desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Melalui BUM Desa masyarakat dapat meningkatkan perekonomian desa sendiri dan memanfaatkan hasilnya untuk kesejahteraan bersama. UU Desa juga mendorong budaya gotong royong bukan hanya kerjasama antar sesama masyarakat desa, akan tetapi dengan masyarakat desa lain dalam mencapai kesejahteraan bersama. Elemen paling penting dalam terwujudnya Desa Mandiri adalah peran kelembagaan masyarakat desa untuk mendorong partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan. Lembaga kemasyarakatan desa berperan juga sebagai mitra pemerintah dalam mengelola semua kegiatan pembangunan dan pemberdayaan desa serta penggunaan dana desa secara bersama – sama. Untuk mencapai mekanisme pembangunan desa mandiri, berikut ada beberapa strategi yang secara umum dipraktikkan dalam membangun kemandirian desa dari dalam menurut Borni Kurniawan dalam DESA MANDIRI, DESA MEMBANGUN, antara lain :
Pertama, membangun kapasitas warga dan organisasi masyarakat sipil di desa yang kritis dan dinamis. Proses pembentukan bangunan warga dan organisasi masyarakat sipil biasanya dipengaruhi oleh faktor eksternal yang mengancam hak publik. Meski demikian, keduanya adalah modal penting bagi desa untuk membangun kedaulatan dan titik awal terciptanya komunitas warga desa yang nantinya akan menjadi kekuatan penyeimbang atas munculnya kebijakan publik yang tidak responsif. Tanpa harus menunggu dipicu oleh sosial, di desa sebenarnya sudah banyak lembaga-lembaga sosial kemasyarakat. Kelembagaan tersebut secara umum terbagi dalam dua jenis, lembaga korporatis dan non korporatis. Lembaga korporatis identik dengan organisasi masyarakat desa yang dibentuk oleh negara. Contohnya, PKK, Karang Taruna, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Pertahanan Sipil (Hansip) dan kelompok tani, kelompok nelayan, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang akhir-akhir ini menjamur seiring masuknya program masuk desa dari Kementerian/Lembaga (K/L). Sementara, yang non korporatis adalah organisasi yang tumbuh atas prakarsa masyarakat. Contohnya, majelis taklim (kelompok pengajian yasin tahlil), rambange (semacam perkumpulan petani pengguna air untuk cocok tanam di Kabupaten Gowa), organisasi adat dan kelompok seni rakyat. Sayangnya, akhir-akhir ini kedua jenis lembaga tersebut kebanyakan sama-sama meredup peran dan fungsinya dalam upaya membangun desa mandiri. Tidak sedikit organisasi Karang Taruna yang ditinggal pemuda-pemuda desa bermigrasi ke kota. LKMD sudah sirna karena dulu hanya menjadi alat partai politik Orde Baru. Demikian pula dengan kehadiran kelompok tani, organisasi nelayan maupun petani hutan, melemah karena jaminan keberlanjutan program dari K/L
Foto: Humas Bappeda
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
27
terkait tidak ada lagi. Kondisi hamper sama juga nyaris terasakan pada organisai non korporatis desa. Majelis-majelis pengajian bagi komunitas muslim kurang mengembangkan variasi kegiatannya, sehingga terkesan eksklusif bergulat dengan urusan akhirat saja. Lalu, bagaimana agar lembaga-lembaga kemasyarakatan desa tersebut kembali berperan membangun desa yang mandiri?. Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah desa di masa depan?. Mengorganisasi dan fasilitasi program penguatan kapasitas organisasi kemasyarakat desa. Langkah-langkahnya:
1
Melakukan assessment dan pemetaan kapasitas organisasi kemasyarakatan desa. Tujuannya apa? Pertama, agar pemerintah desa mempunyai data ada berapa, mana dan siapa saja sih organisasi kemasyarakatan desa yang masih aktif dan pasif. Kita mungkin akan bersepakat, bahwa tidak sedikit organisasi kemasyarakatan desa yang masih ada struktur organisasinya tapi sudah tidak ada lagi pengurusnya. Masih ada pengurusnya, ternyata tidak memiliki program dan kegiatan yang jelas. Karena itulah kedua, dengan pemetaan ini diharapkan desa akan memiliki baseline data tentang apa saja masalah dan potensi yang dimiliki desa adalah pelibatan mereka ke dalam arena perumusan dan pengambilan kebijakan desa. Melalui cara ini, secara tidak langsung pemerintah desa telah mengedepankan prinsip penghormatan, partisipasi dan emansipasi warga dalam pembangunan. Dari sinilah nanti akan lahir proses check and balancies dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
2
Mengorganisasi dan menfasilitasi proses penguatan kapasitas organisasi kemasyarakatan desa melalui penyelenggaraan program/kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kapasitas organisasi tersebut. Hasil pemetaan tersebut sudah seharusnya menjadi landasan bagi pemerintah desa untuk membuat seperangkat strategi kebijakan dan program desa untuk menguatkan peran organisasi kemasyarakatan desa dalam kerangka pembangunan desa. Caranya bagaimana? Tidak lain pemerintah desa harus mengakomodasi program/kegiatan penguatan kapasitas organisasi kemasyarakatan desa ke dalam dokumen peraturan desa tentang RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa. Bentuk kegiatan untuk penguatan kapasitas misalnya pelatihan managemen organisasi, mendorong restrukturisasi/ peremajaan pengurus organisasi, ataupun pemberian bantuan desa untuk organisasi kemasyarakatan desa.
3
Pelibatan organisasi kemasyarakatan desa dalam proses-proses pengambilan kebijakan publik yang diselenggarakan pemerintah desa. Berangkat dari kesadaran bersama sebagai entitas, desa tidak hanya terdiri dari pemerintah desa, tapi ada elemen masyarakat yang salah satunya terwakili melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan desa, maka setiap kebijakan strategis desa hendaknya dilandasai atas musyawarah mufakat semua elemen desa. Di samping itu salah satu yang menjamin peran dinamis organisasi masyarakat sipil di desa adalah pelibatan mereka ke dalam arena perumusan dan pengambilan kebijakan desa. Melalui cara ini, secara tidak langsung pemerintah desa telah mengedepankan prinsip penghormatan, partisipasi dan emansipasi warga dalam pembangunan. Dari sinilah nanti akan lahir proses check and balancies dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Kedua, memperkuat kapasitas pemerintahan dan interaksi dinamis antara organisasi warga dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Ada cukup banyak cerita kemandirian desa yang ditopang oleh kecakapan pemerintahan desa karena proses interaksi yang dinamis dengan organisasi warganya. Interaksi yang dinamis antara organisasi warga dengan pemerintah desa akan menjadi energi pembaharuan yang memiliki nilai lebih manakala bertemu dengan local leadership kepala desa yang berkarakter mau mendengarkan warga dan inovatif- progresif. 28
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Foto-foto: Humas Bappeda
Ketiga, membangun sistem perencanaan dan penganggaran desa yang responsif dan partisipatif. Menuju sebuah desa mandiri dan berdaulat tentu membutuhkan sistem perencanaan yang terarah di ditopang partisipasi warga yang baik. Sebelum Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa lahir, desa telah mengenal sistem perencanaan pembangunan partisipatif. Acuan atau landasan hukumnya waktu itu adalah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kewajiban desa membuat perencanaan pembangunan dipertegas melalui PP No.72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa sebagai regulasi teknis turunan dari UU No.32 Tahun 2004 tersebut. Pada praktiknya, meskipun desa telah diwajibkan membuat perencanaan, usulan program yang digagas masyarakat dan pemerintah desa jarang sekali terakomodir dalam kebijakan perencanaan pembangunan tingkat daerah. Tidak sedikit pemerintah desa yang mengeluh karena daftar usulan program prioritas dalam RKP Desa pada akhirnya terbengkelai menjadi daftar usulan saja. Meski telah berkali-kali diperjuangkan melalui forum musrenbangcam, forum SKPD dan musrenbangkab, usulan program prioritas dari desa itu pun harus kandas karena kuatnya kepentingan pihak di luar desa dalam mempengaruhi kebijakan pembangunan daerah. Pada akhirnya, kue APBD lebih banyak terserap untuk membiayai program-program daerah. Kalau toh ada proyek pembangunan di desa, desa hanya menjadi lokus proyek saja, bukan pelaksana apalagi penanggung jawab proyek. Keempat, membangun kelembagaan ekonomi lokal yang mandiri dan produktif. Saat ini banyaksekali tumbuh inisiatif desa membangun keberdayaan ekonomi lokal. Keberhasilan di bidang ekonomi tersebut tidak lepas dari kemampuan desa membangun perencanaan yang konsisten, partisipatif dan disepakati dalam dokumen perencanaan dan penganggaran desa (RPJMDesa, RKP Desa dan APB Desa).
Monitoring Program Mandiri Pangan ala Desa Mbatakapidu Untuk memastikan bahwa tanaman yang diberikan pemerintah desa kepada warga, benarbenar ditanam di kebun warganya, pemerintah desa membuatkan sebuah kartu kontrol. Kartu ini terdiri dari 5 bagian. Bagian pertama, berisi tentang aset masyarakat dibidang tanaman umur pendek yang memuat tentang target area yang akan ditanam dengan berbagai tanaman umur pendek dan hasil panennya dikonversi ke dalam jumlah rupiah yang dihasilkan dari setiap kilogram hasil panen. Bagian kedua, berisi tentang aset masyarakat di bidang tanaman jangka menengah yang memuat tentang target jumlah pohon yang akan ditanam dan jumlah pohon yang saat ini sudah ada di kebun masyarakat. Bagian ketiga, berisi tentang aset masyarakat di bidang tanaman jangka panjang yang memuat tentang target jumlah pohon yang akan ditanam dan jumlah pohon yang sudah ada saat ini. Bagian keempat, berisi tentang aset masyarakat di bidang peternakan (besar, kecil dan unggas), yang memuat tentang target jumlah ternak yang akan dipelihara Foto: Humas Bappeda dan jumlah yang sudah ada sampai dengan saat ini. Bagian kelima, berisi luasan lahan yang dikelola oleh setiap rumah tangga, baik itu yang berisi pekarangan, kebun, sawah, penghijauan, lahan tidur, atau tanah kapling.Bagian keenam, berisi tentang peralatan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat dalam mengolah lahannya, berisi jenis alat yang dimiliki dan status alat apakah berfungsi atau tidak.Bagian ketujuh adalah berisi tentang identitas kepala rumah tangga dan jumlah anggota Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
29
rumah tangga.Kartu ini terdapat di setiap rumah warga di Desa Mbatakapidu. Melalui kartu kontrol semua data komoditas tanaman, luas lahan yang ditanam dan kepemilikan ternak pada setiap KK menjadi jelas. Untuk memastikan bahwa setiap rumah tangga mengetahui apa yang dimilikinya maka kartu ini dibuat rangkap tiga. Kartu ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk pengawasan internal atas apa yang dimiliki oleh setiap kepala rumah tangga. Rangkap pertama untuk ditempelkan di depan rumah penduduk yang sewaktu-waktu dapat dilihat ketika ada pengawasan dari pemerintah desa atau dapat dilihat/dibaca oleh orang lain. Rangkap kedua, untuk disimpan di dompet atau yang mudah untuk dibawa kemana-mana, jika sewaktu-waktu ada pertanyaan dari pemerintah desa atau orang lain yang bersangkutan dapat membuktikan dengan menunjukkan kartu ini. Rangkap ketiga, akan digunakan untuk memperbanyak pada tahun berikutnya jika jumlah aset yang miliki semakin banyak atau bertambah. (Mutiara Perubahan Inovasi dan Emansipasi Desa dari Indonesia Timur, 2013)
Penutup Menjadi desa mandiri merupakan salah satu solusi dalam pembangunan perdesaan saat ini. Adanya kebutuhan masyarakat yang besar harus tersampaikan atau terimplementasikan dalam pembangunan desa agar tidak lagi tercipta paradigma “Yang direncanakan tidak dibangun, yang dibangun tidak direncanakan.” Selain itu bentuk perencanaan benar – benar dapat dipergunakan oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Menjadi desa mandiri memperhatikan beberapa faktor seperti sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal. Faktor yang menjadi fokus utama dalam pembentukan desa mandiri yakni sumber daya manusia. Manusia sebagai perencana, pelaksana, dan pengendali pembangunan desa harus memiliki kapasitas atau kualitas yang baik. Pembangunan suber daya manusia antar elemen desa akan menjadi pondasi yang kuat dalam pembangunan desa mandiri. Sebab, desa yang mandiri tentu dapat membangun desa mulai dari perencanaan hingga pengendalian tanpa bantuan dari luar secara langsung. Menjadi desa mandiri tidak bisa terwujud secara instan. Membutuhkan waktu yang cukup 30
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
lama untuk mewujudkannya. Sinergitas dan konsistensi antar elemen atau lembaga pembentuk desa menjadi modal yang cukup kuat dalam pembangunan desa mandiri.
Daftar Pustaka Eko, Sutoro, Dyah Widuri, Suci Handayani, Titik Uswatun Khasanah, Ninik Handayani, Puji Qomariyah, Hastowiyono, Suharyanto, Sahrur Aksa, dan Borini Kurniawan. 2014. Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta : FPPD bekerjasama dengan ACCESS Phase II-AusAID Kurniawan, Borni .2015. DESA MANDIRI, DESA MEMBANGUN. Cetakan Pertama. Jakarta : KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA. Shuida, I Nyoman. 2016. Buku Bantu Pengelolaan Pembangunan Desa. Jakarta : D e p u t i Ko o rd i n a s i Pe m b e rd a y a a n Masyarakat, Desa, dan Kawasan Ke m e n t e r i a n Ko o rd i n a t o r B i d a n g Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Mardeli, Iis. 2015. KEDUDUKAN DESA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Yogyakarta : Artikel Tesis. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Atma Jaya Republik Indonesia. 2014. Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Lembaran Negara RI Tahun 2014, Nomor 7. Sekertariat Negara RI. Jakarta Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2013 – 2018. Bandung H a m i d i , H a n i ba l d k k . 2 0 1 5 . I n d e k s D e s a Membangun. Jakarta : KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA.
WAWA S A N PERENCANAAN
Pengamatan Hasil Pengendalian dan Evaluasi Dokumen Rencana Pembangunan Daerah
Oleh Sakti Budhi Astuti* dan Hendra Diharja**
*) Fungsional Perencana Madya Bappeda Provinsi Jawa Barat ( pada Balai Pelayanan Evaluasi dan Pelaporan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat. **) Pengamat Ekonomi UIKA Bogor.
Foto: Humas Bappeda
Pendahuluan Pengendalian dan evaluasi merupakan satu kesatuan dari sistem perencanaan pembangunan daerah agar dapat menjamin konsistensi pelaksanaan dan menilai capaian kinerja rencana pembangunan daerah. Hal ini sesuai dengan maksud Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jo Pasal 155 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara
Pe n y u s u n a n , Pe n g e n d a l i a n d a n E va l u a s i Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Pengendalian dan evaluasi diperlukan untuk mengetahui kekurangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan dan program itu sendiri, dan akan menghasilkan informasi mengenai kemajuan dan kualitas pelaksanaan pelayanan dan program; mengidentiďŹ kasi masalah dan potensi masalah dalam pelaksanaan pelayanan dan program; memberikan penilaian terhadap keberhasilan pelayanan dan program baik dari segi output, manfaat maupun dampaknya; dan Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
33
menjelaskan keberhasilan, kekurangan atau kegagalan pelayanan dan program. Sejalan dengan diterbitkannya Undangundang Nomor 23 Tahun 2014 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi perubahan kebijakan nasional di bidang politik, pemerintahan, pengelolaan keuangan negara, dan sistem perencanaan nasional, yang berimplikasi terhadap perubahan mekanisme dan substansi dokumen perencanaan pembangunan di daerah, dan mengamanatkan bahwa Pembangunan Daerah merupakan perwujudan dari pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang telah diserahkan ke Daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, serta pembangunan daerah terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi. Pe r m e n d a g r i N o m o r 5 4 Ta h u n 2 0 1 0 mengamanatkan bahwa Gubernur melakukan pengendalian dan evaluasi terhadap perencanaan pembangunan daerah lingkup provinsi dan antarkabupaten/kota dan m enyam pai kan pelaksanaannya kepada Menteri Dalam Negeri. Sesuai dengan tingkatan pemerintahan, kewenangan untuk melakukan pengendalian dan evaluasi telah diamanatkan kepada Menteri Dalam Negeri, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Termaksud bahwa pengendalian dan evaluasi yang harus dilaksanakan (sesuai bunyi pasal 156 s/d pasal 281 Permendagri No. 54 Tahun 2010) meliputi:
Dasar Hukum Perencanaan 1.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
4.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan PP Nomor 08 Tahun 2008;
5.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/253/SJ tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan setelah Ditetapkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahn Daerah.
Mengingat Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 masih dalam proses revisi, maka akan dikupas beberapa Dasar Hukum Pengendalian dan Evaluasi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dengan beberapa penekanan dalam :
1
Pasal 275, bahwa pengendalian dan evaluasi pembangunan Derah meliputi pengendalian terhadap perumusan kebijakan perencanaan pembangunan Daerah; pelaksanaan rencana pembangunan Daerah; dan evaluasi terhadap hasil rencana pembangunan Daerah.
2
Pengendalian dan evaluasi kebijakan pembangunan daerah;
Pengendalian dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah;
Tujuan Khusus Pengendalian dan Evaluasi, untuk mewujudkan : -
Evaluasi hasil pelaksanaan pembangunan daerah.
Pasal 276, bahwa menteri melakukan p e n g e n d a l i a n d a n e va l u a s i t e r h a d a p pembangunan Daerah provinsi; Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan p e n g e n d a l i a n d a n e va l u a s i te r h a d a p pembangunan daerah kabupaten/kota; Gubernur melakukan pengendalian dan evaluasi pembangunan Daerah provinsi; Bupati/Walikota melakukan pengendalian dan evaluai terhadap pembangunan Daerah kabupaten/kota.
-
Konsistensi antara kebijakan dengan pelaksanaan dan hasil rencana pembangunan daerah. Konsistensi antar dokumen perencanaan : (Antara RPJPD dengan RPJPN dan RTRWN; Antara RPJMD dengan RPJPD dan RTRWD; Antara RKPD dengan RPJMD; Antara RENSTRA
34 Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
PD dengan RPJMD; Antara RENJA PD dengan RKPD; Antara RKPD , KUA&PPAS , RKAPD dan RAPBD). -
Kesesuaian antara capaian pembangunan daerah dengan indikator-indikator kinerja yang telah ditetapkan.
Fungsi Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 265 dan 266 menyatakan : 1.
Dokumen RPJPD, menjadi pedoman dalam perumusan visi, misi, dan program calon kepala daerah
2.
Dokumen RPJMD, sebagai instrumen evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
3.
Dokumen RKPD, sebagai instrumen evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan menjadi pedoman kepala daerah dalam menyusun KUA serta PPAS.
Ketiga dokumen perencanaan pembangunan daerah tersebut dinyatakan dengan catatan, 1) Apabila penyelenggara Pemerintahan Daerah tidak menetapkan Perda tentang RPJPD dan RPJMD anggota DPRD dan kepala daerah dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 3 (tiga) bulan. 2) Apabila kepala daerah tidak menetapkan Perkada tentang RKPD, kepala daerah dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak ke u a n g a n y a n g d i a t u r d a l a m p e r a t u r a n perundang-undangan selama 3 (tiga) bulan.
Kewenangan Pelaksanaan Pengendalian Dan Evalasi Perencanaan Pembangunan Daerah
Sumber : Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
35
Kewenangan Pengendalian dan Evaluasi
Sumber : Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia
Tahapan Pelaksanaan Pengendalian dan Evaluasi (Pasal 156 – Pasal 281 Permendagri Nomor 54 Tahun 2010)
36
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Hasil pengamatan Bidang Pengendalian dan Evaluasi Sebagaimana telah diuraikan diatas dan sejalan dengan diterbitkannya Undangundang Nomor 23 Tahun 2014 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat masih perlu dioptimalkan. Didalamnya terdapat salah satu isu penting dalam pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan pembangunan daerah yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi. Peraturan tersebut akan berimplikasi kepada peraturan yang sudah ada dan perlu disesuaikan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pengalaman dalam pelaksanaan dan pengamatan yang telah dilakukan selama ini dengan berpedoman pada Permendagri Nomor 54 Tahun 2010, kemudian dapat memberikan beberapa masukan pada perumusan kebijakan dikemudian hari, antara lain : No 1
2
Kegiatan Pengendalian Perumusan Kebijakan RPJPD
Pengendalian Perumusan Kebijakan RPJMD
Tugas dan Fungsi
Hasil pengamatan
• Pemantauan dan supervisi mulai dari tahap penyusunan rancangan awal sampai dengan RPJPD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. • Mencakup perumusan visi, misi, arah kebijakan dan sasaran pokok pembangunan jangka panjang daerah. • Mengevaluasi dan memastikan perumusan kebijakan RPJPD, telah mengacu pada RPJPD Provinsi dan berpedoman pada RTRW masing-masing, serta memperhatikan RPJPD dan RTRW daerah lainnya • Pemantauan dan supervisi mulai dari tahap penyusunan rancangan awal sampai dengan RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Mencakup perumusan visi, misi, sasaran dan indikator kinerja daerah, strategi dan kebijakan, serta program dan pendanaan Mengevaluasi dan memastikan bahwa perumusan kebijakan perencanaan pembangunan jangka menengah daerah, telah berpedoman pada RPJPD dan RTRW masing-masing, mengacu pada RPJMD Provinsi dan RPJMN dan memperhatikan RTRW daerah lainnya
Belum pernah dilakukan pengendalian dan evaluasi
Hasil pemantauan dan evaluasi Keterlibatan dalam pengendalian perumusan kebijakan RPJMD saat ini hanya pada saat Musrenbang dan Evaluasi Rancangan Perda. Dalam pelaksaan Musrenbang RPJMD, belum diikuti dengan kegiatan bedah dokumen secara maksimal, sehingga hasil evaluasi rancangan Perda tentang RPJMD dan Surat Keputusan Bupati/Walikota, hingga saat ini yang pernah dilakukan (Berita Acara hasil konsultasi beberapa kabupaten/kota : Kab. Indramayu, Sukabumi, Bandung, Pangandaran, Karawang, Tasikmalaya, Cianjur, dan Kota. Depok, Cimahi) masih memuat rekomendasi terkait dengan sistematika, dasar hukum penyusunan, data yang belum akurat atau tabel yang kurang lengkap. Sehingga dirasakan kurang menukik, belum menyentuh substansi utama perencanaan, misalnya benang merah dari permasalahan pembangunan hingga program pembangunan.
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
37
No 3
4
38
Kegiatan Pengendalian Perumusan Kebijakan RKPD
Evaluasi Raperda RPJPD RPJMD
&
5
Pengendalian Pelaksanaan RKPD
6
Evaluasi Hasil Pelaksanaan RKPD
7
Evaluasi Hasil Pelaksanaan RPJMD
Tugas dan Fungsi
Hasil pengamatan
Pemantauan dan supervisi mulai dari tahap penyusunan rancangan awal sampai dengan RKPD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. Mencakup perumusan sasaran dan prioritas pembangunan daerah program, kegiatan dan pagu indikatif. Mengevaluasi dan memastikan bahwa perumusan kebijakan RKPD telah berpedoman pada RPJMD masing-masing dan mengacu pada RKPD Provinsi. Evaluasi Raperda RPJPD untuk menguji kesesuaian dengan RPJPD Provinsi dan RPJPN serta RTRW, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. • Evaluasi Raperda RPJMD untuk : m menguji teknis penyusunan dan konsistensi substansi materi dokumen; m menguji konsistensi dengan kebijakan yang tercantum dalam RPJPD dan RTRW; m memastikan telah memperhatikan RPJPD Provinsi dan RPJMN; dan m keselarasan dengan RPJMD serta RTRW lainnya
Hasil pemantauan dan evaluasi Keterlibatan dalam pengendalian perumusan kebijakan RKPD saat ini hanya pada saat Musrenbang RKPD dan masih sebatas seremonial, belum diikuti dengan kegiatan bedah dokumen, sehingga inkonsistensi program, kegiatan, indikator, dan target antardokumen belum pernah dilakukan, (kecuali dalam pelaksanaan penilaian Pangripta Nusantara Provinsi).
Memastikan bahwa prioritas pembangunan, program dan kegiatan RKPD telah dipedomani KUA-PPAS dalam rangka penyusunan R-APBD. Memastikan pencapaian target kinerja dan anggaran RKPD melalui pelaksanaan APBD.
Pemantauan dan supervisi realisasi pencapaian target kinerja program dan kegiatan pembangunan daerah. Menjamin tercapainya target kinerja program dan kegiatan pembangunan daerah. Dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dengan menggunakan laporan pelaksanaan RKPD Semester I tahun berjalan (tahun n-1) Pemantauan dan supervisi realisasi pencapaian sasaran dan target kinerja pembangunan jangka menengah daerah. • Menjamin agar sasaran dan target kinerja pembangunan jangka menengah daerah tercapai. • Dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dengan menggunakan laporan evaluasi hasil RKPD.
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Hasil Evaluasi Rancangan perda RPJPD atau RPJMD dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari setelah surat permohonan oleh kepala daerah diterima secara lengkap dengan lampirannya. Oleh karena itu, terdapat waktu yang cukup bagi anggota Tim Evaluasi untuk menelaah, menganalisis dokumen, sehingga diperoleh temuan yang perlu diklarifikasi pada saat rapat evaluasi dengan daerah yang bersangkutan, maka dengan demikian akan dihasilkan rekomendasi yang berbobot dan menjadi pedoman daerah dalam meningkatkan manfaat pembangunan (Belum pernah dilakukan) Hasil Monev RKPD merupakan pedoman penyusunan KUA-PPAS dalam rangka menyusun RAPBD. Dalam rangka menjamin konsistensi antara perencanaan dan penganggaran, perlu dilakukan pemetaan kebijakan dan prioritas pembangunan, serta program dan kegiatan antara RKPD dengan KUA-PPAS (Belum pernah dilakukan) Hasil Evaluasi Wajib melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan RKPD setiap triwulan dengan menggunakan hasil evaluasi Renja-OPD. Kegiatan ini belum difasilitasi secara maksimal, sehingga hanya sedikit OPD yang melaksanakannya, itupun belum mampu dilakukan dengan baik, hanya sekedar melaksanakan kewajiban. Hasil Evaluasi Hasil pelaksanaan RPJMD diperoleh berdasarkan pelaksanaan RKPD setiap tahun. Hingga saat ini hasil evaluasi RPJMD masih lebih dominan permasalahan dari sisi dokumen yang kurang baik, belum mengarah pada pencapaian outcome maupun impact yang tercantum dalam Perda tentang RPJMD dan masih kurang maksimal (pernah dilakukan pada tahun 2014, 2015 untuk provinsi, dan tahun 2016 pada provinsi dan beberapa daerah saja)
8
Evaluasi Hasil Pelaksanaan RPJPD
Pemantauan dan supervisi realisasi pencapaian sasaran pokok pembangunan jangka panjang daerah. Menjamin agar sasaran pembangunan jangka panjang daerah tercapai. Dilaksanakan paling sedikit 4 (empat) kali dalam 20 (duapuluh) tahun dengan menggunakan laporan evaluasi hasil RPJMD.
Kegiatan no 1 - 8, hal tersebut diatas merupakan tugas dan fungsi dari Pengendalian dan Evaluasi, yang tak luput dari hasil pelaporan, maka perlu dilakukan pelaksanaan Pengendalian dan Evaluasi berpedoman pada Permendagri Nomor 54 Tahun 2010, dengan memperhatikan dan mengisi form-form yang ada sesuai juknis pada setiap tahunnya, sebagai berikut :
1
Pengendalian Perumusan Kebijakan RPJPD, dilakukan dengan cara :
-
-
-
2
Memantau (Penyajian rancangan awal; Pe n y a j i a n r a n c a n g a n ; M u s re n ba n g ; Penyajian rancangan akhir) Meminta dokumen dan menganalisis rancangan awal, rancangan, dan rancangan akhir secara lengkap
- Mengevaluasi hasil evaluasi RKPD sampai dengan tahun lalu (program dan kegiatan) - Mengevaluasi sasaran tahunan yang dimuat dalam RKPD dan membandingkannya dengan RPJMD (indikator dan target impact) - Mengevaluasi outcome program yang d i m u a t d a l a m R K P D d a n m e m b a n d i n g k a n n y a d e n g a n R PJ M D (indikator dan target) untuk tahun berkenaan - Memetakan indikator dan target output kegiatan
4
Pengendalian Perumusan Kebijakan RPJMD, dilakukan dengan cara :
- Meminta dokumen dan menganalisis rancangan awal, dan rancangan akhir secara lengkap
Evaluasi Raperda RPJPD & RPJMD, dilakukan dengan cara :
- Melakukan evaluasi Raperda bab demi bab
Memetakan sasaran pokok (indikator dan t a rg e t i m p a c t ) R PJ P D s e l u r u h kabupaten/kota dan membandingkannya dengan provinsi dan nasional
- Memantau (Penyajian rancangan awal; Penyajian rancangan; Musrenbang; Penyajian rancangan akhir)
Hasil Pengendalian Sasaran pokok yang tercantum dalam RPJPD pada umumnya sulit diukur, masih bersifat kualitatif, sehingga hasil evaluasi RPJPD setiap akhir periode RPJMD belum mampu menggambarkan keberhasilan pembangunan daerah, (belum pernah dilakukan)
Ÿ
Memetakan substansi yang diuji konsistensi dan keselarasannya
Ÿ
Mengundang OPD untuk FGD dan pada saat evaluasi
Ÿ
Memberikan rekomendasi yang detil dan teknis
Ÿ
Melakukan klarifikasi Perda secara detil sebagaimana rekomendasi yang disampaikan
5
Pengendalian Pelaksanaan RKPD, dilakukan dengan cara : Ÿ
Menyurati daerah untuk menyampaikan Perbub/Perwal RKPD sesuai dengan ketentuan
Ÿ
Monev ke daerah untuk memperoleh KUA-PAS
Ÿ
Mmbandingkan substansi RKPD dengan KUA-PPAS
Pengendalian Perumusan Kebijakan RKPD, dilakukan dengan cara :
Ÿ
Menyampaikan hasil pengendalian pelaksanaan
- Memantau (Penyajian rancangan awal; Penyajian rancangan; Musrenbang; Penyajian rancangan akhir)
Ÿ
Pembahasan R-APBD di (Biro Keuangan) difokuskan pada kesesuaian antara RAPBD dengan RKPD
- Meminta dokumen dan menganalisis rancangan awal, rancangan dan rancangan akhir secara lengkap
Ÿ
Membahas realisasi output dan anggaran RKPD Semester I tahun berjalan
- M e n g e v a l u a s i s a s a r a n R PJ M D d a n m e m b a n d i n g k a n n y a d e n g a n R PJ P D (indikator dan target impact) - Memetakan program, indikator dan target outcome
3
Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda
39
6
Evaluasi Hasil Pelaksanaan RKPD, dilakukan dengan cara :
Ÿ
Menyurati daerah agar menyampaikan hasil e va l u a s i p e l a k s a n a a n R K P D s e t i a p triwulanan
Ÿ
Membandingkan antara indikator dan target sasaran RPJMD (impact) dengan realisasi capaian RKPD tahun lalu
Ÿ
Membandingkan antara indikator dan target program RPJMD (outcome) dengan realisasi capaian RKPD tahun lalu
Ÿ
Memberikan rekomendasi dalam rangka pencapaian sasaran dan program RPJMD untuk ditindaklanjuti bupati/Walikota dalam RKPD tahun rencana (tahun n)
7
Evaluasi Hasil Pelaksanaan RPJMD, dilakukan dengan cara :
Ÿ
Menerima hasil pengendalian pelaksanaan RPJMD dari Bupati/Walikota bersamaan dengan penyampaian Perbub/Perwal RKPD
Ÿ
Membandingkan antara indikator dan target sasaran RPJMD (Impact) dengan realisasi capaian RKPD tahun lalu
Ÿ
Membandingkan antara indikator dan target program RPJMD (outcome) dengan realisasi capaian RKPD tahun lalu
Ÿ
Memberikan rekomendasi dalam rangka pencapaian sasaran dan program RPJMD untuk ditindaklanjuti Bupati/Walikota dalam RKPD tahun rencana (tahun n)
Foto: Humas Bappeda
Permasalahan Hasil pengalaman dalam pelaksanaan dan pengamatan yang telah dilakukan selama ini, terdapat beberapa permasalahan, yaitu : a.
Belum adanya kesamaan persepsi aparat pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam memahami tahapan dan tatacara pengendalian dan evaluasi.
b.
Belum efektifnya fasilitasi dan mekanisme pelaporan hasil pengendalian dan evaluasi secara internal dan berjenjang mulai dari kabupaten/kota, provinsi, dan ke pusat.
c.
Tidak tersedianya data dan informasi tentang hasil pengendalian dan evaluasi rencana pembangunan tahunan daerah untuk perumusan kebijakan tahun anggaran berikutnya.
d.
Masih rendahnya kualitas dokumen rencana pembangunan daerah karena belum didasarkan pada hasil evaluasi rencana pembangunan Daerah yang dilakukan secara simultan dalam proses perencanaan.
8
Evaluasi Hasil Pelaksanaan RPJPD, dilakukan dengan cara :
40
Ÿ
Menerima hasil pengendalian pelaksanaan RPJPD dari Bupati/Walikota bersamaan dengan penyampaian Raperda RPJMD
Ÿ
Membandingkan antara target sasaran pokok RPJPD untuk setiap periode dengan realisasi pencapaian RPJMD
Ÿ
Memberikan rekomendasi dalam rangka pencapaian sasaran pokok RPJPD untuk ditindaklanjuti Bupati/Walikota dalam RPJMD yang akan di evaluasi
Ÿ
Memberikan saran kepada Bappeda Provinsi, Kabupaten/Kota dalam rangka pencapaian sasaran pokok RPJPD untuk ditindaklanjuti dalam RPJMD
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan fakta tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan daerah belum maksimal sehingga perlu adanya pemahaman bersama tentang pengendalian dan evaluasi rencana pembangun Daerah, baik bagi aparat provinsi maupun kabupaten/kota. Hal tersebut untuk dapat ditindaklanjuti dengan p e l a k s a n a a n p e n g e n d a l i a n d a n e va l u a s i perencanaan pembangunan daerah setiap triwulanan, tahunan yang menukik bukan hanya secara serimonial untuk sekedar memenuhi kewajiban administrasi.
Peraturan – Peraturan
Rekomendasi Mengingat pentingnya tugas dan fungsi tentang pengendalian dan evaluasi rencana pembangun Daerah, maka perlu : -
Meningkatkan pembinaan dan pengawasan baik provinsi, maupun kabupaten/kota;
-
Meningkatkan koordinasi kebijakan perencanaan jangka panjang, menengah, dan tahunan, serta triwulanan baik provinsi maupun kabupaten/kota;
-
Meningkatkan evaluasi pencapaian kinerja program/kegiatan RKPD Provinsi dan kabupaten/kota;
-
Meningkatkan kapasitas aparatur Bappeda provinsi dan PD, serta aparatur Bappeda kabupaten/kota, tentang cara dan teknis melakukan pengendalain dan evaluasi dokumen rencana pembangunan Daerah berdasarkan Permendagri Nomor 54 Tahun 2010, dan mengimplementasikan dalam pelaksanaan pengendalian dan evaluasi perencanaan pembangunan daerah, untuk mendukung pelaksanaan tugas Gubernur s e ba g a i w a k i l p e m e r i n t a h d i b i d a n g pembinaan dan pengawasan, penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan.
Undang-Undang 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2008, tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Pe n y u s u n a n , Pe n g e n d a l i a n d a n E va l u a s i Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Foto-foto: Humas Bappeda
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
41
WAWA S A N PERENCANAAN
Foto: Humas Bappeda
Grand Design
Pembangunan Kependudukan Provinsi Jawa Barat Tahun 2015-2035
Oleh Delsi Taurustiati (Fungsional Perencana Bidang Pemerintahan, Sosial, dan Budaya Bappeda Jabar) Ferry Hadiyanto (Dosen FE UNPAD) Siti Sunendiari (Dosen Statistik UNISBA) Mudiyati Rahmatunnisa (Dosen FISIP UNPAD)
M
asalah kependudukan merupakan salah satu konsen Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam pelaksanaan pembangunan daerah sehingga dirasakan perlu melakukan berbagai upaya untuk mengelola penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya agar berkualitas dan menjadi potensi positif di dalam pembangunan. Sebaliknya, akan menjadi beban bila tidak diikuti dengan meningkatnya kualitas. Contoh, Negara maju di Benua Asia, Eropa dan Amerika umumnya tidak memiliki sumber daya alam yang memadai namun memiliki sumber daya manusia yang tangguh. Sebaliknya banyak negara berkembang termasuk Indonesa, meskipun memiliki sumber daya alam
yang melimpah dan jumlah sumber daya manusia yang besar tetapi karena kualitasnya belum memadai dan tetap tertinggal pembangunannya. Oleh karena itu, Bappeda Provinsi Jawa Barat pada tahun 2015 tergerak untuk membuat suatu grand design pembangunan kependudukan di Jawa Barat Tahun 2015-2035 yang dapat memberikan arah kebijakan bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di bidang kependudukan. Tujuannya agar penduduk Jawa Barat dapat tumbuh seimbang; sehat jasmani dan rohani, cerdas, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja yang tinggi; keluarga Jawa Barat yang berketahanan, sejahtera, sehat, maju, mandiri, dan harmoni.
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
43
Berikut adalah executive summary Grand Design Pembangunan Kependudukan Provinsi Jawa Barat Tahun 2015-2035 :
BAB I PENDAHULUAN Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penyumbang terbesar jumlah penduduk di Indonesia yaitu kurang lebih 45.340.799 pada tahun 2013 dengan kepadatan penduduk sebesar 1.219 orang/km, dengan luas wilayah sebesar 37.173,97 km2 (BPS, 2014). Sedangkan laju per tumbuhan penduduk (LPP) Jawa Barat berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 (SP 2010) adalah 1,90% per tahun. Kontribusi LPP di Jawa Barat berasal dari 3 komponen utama yaitu migrasi, fertilitas, dan mortalitas. Komponen migrasi dapat menjadi salah satu faktor penyebab akibat adanya arus migrasi yang tidak terkendali. Hal ini terlihat dari SP 2010 yang mencatatat bahwa 1.818.053 atau 4,7% penduduk Jawa Barat merupakan migran masuk risen (recent migration) antar kabupaten/kota. Persentase migran masuk risen di daerah perkotaan 6,6 kali lipat lebih besar dari daerah perdesaan yang hanya 1,0 persen. Sementara angka fertilitas (TFR) Jawa Barat menunjukkan tren yang terus menurun walaupun tidak terlalu cepat. Di sisi lain,, penduduk banyak bermukim di daerah-daerah pusat pertumbuhan yang menjadi magnet bagi penduduk untuk melakukan migrasi masuk. Hal ini tidak hanya berdampak pada daya dukung dan daya tampung lingkungan saja tetapi juga akan menimbulkan dampak sosial lainnya. Saat ini diperlukan suatu acuan bagi pembangunan kependudukan di Jawa Barat terutama arah kebijakan dan strategi umum yang tertuang di dalam Grand Design Pembangunan Kependudukan Provinsi Jawa Barat Tahun 2015-2035 dengan indikator yang jelas, terarah, dan tepat.
tujuan
b. manusia Jawa Barat yang sehat jasmani dan rohani, cerdas, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja yang tinggi melalui peningkatan kualitas penduduk dalam rangka pembangunan berkelanjutan; c.
d. keseimbangan persebaran penduduk yang serasi dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan mellaui penataan persebaran dan pengarahan mobilitas penduduk; dan e.
Tu j u a n G r a n d D e s i g n P e m b a n g u n a n Kependudukan adalah:
1
S e ba g a i s a l a h s a t u p e d o m a n u n t u k pencapaian RPJPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025 Khususnya di bidang Kependudukan, yang diharapkan :
a.
44
penduduk tumbuh seimbang melalui pengendalian dan pengelolaan jumlah penduduk;
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
keluarga Jawa Barat yang berketahanan, sejahtera, sehat, maju, mandiri, dan harmoni melalui pembangunan keluarga yang berkualitas dan memiliki ketahanan sosial, budaya dan ekonomi;
2
administrasi kependudukan yang tertib, akurat, dan dapat dipercaya melalui penataan administrasi kependudukan berbasis IT..
Sebagai Pedoman penentuan program kegiatan Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Barat untuk jangka pendek, menengah, dan panjang yang terkait dengan pembangunan kependudukan.
Foto-foto: Humas Bappeda
Dasar Hukum U n d a n g - U n d a n g D a s a r Ta h u n 1 9 4 5 (Pembukaan, Pasal 28B, Pasal 33, dan Pasal 34); Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang PokokPokok Perkawinan; Undang-Undang No. 4 tentang Penyandang Cacat; Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia; UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM); Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan; Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); Undang-Undang No. 25 Tahun 2005 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional; Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI; UndangUndang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
45
Undang No. 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasia; Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga; Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2010 tentang Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional; Peraturan Presiden RI No. 153 Tahun 2014 tentang Grand Design Pembangunan Kependudukan; Peraturan Presiden RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial; Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 tentang Pembangunan yang Berkeadilan; Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 6 Tahun 2009 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah; Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 24 Tahun 2010 tentang Perubahan Perda No. 9 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025; Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 25 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018; Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 9 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga.
BAB II KONDISI PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN JAWA BARAT Bab 3 menceritakan kondisi terkini dari 5 ruang lingkup yang dibahas dan kondisi yang menjadi harapan di tahun 2035 beserta analisisnya. Berikut ringkasannya :
KONDISI TERKINI
1. 2. 3. 4.
Kuantitas Penduduk Jumlah penduduk yang besar Kepadatan penduduk cukup tinggi LPP tinggi Dependency ratio 48.38%
Kualitas Penduduk 1. 2.
3.
IPM 2013 : 73,58 Pendidikan : IP = 82.1 AMH = 96.87 RLS = 8.11
Kesehatan IK = 72.99 AHH = 68.84 Jumlah kematian ibu dan bayi masih tinggi
KONDISI HARAPAN Kuantitas Penduduk Untuk mencapai kondisi penduduk tumbuh seimbang, diharapkan angka kelahiran total (TFR) akan berada pada 2,1 per perempuan, Reproduction Rate (NRR) sebesar 1 per perempuan pada tahun 2025. Selanjutnya secara berlanjut angka fertilitas total menjadi 2,02 pada tahun 2030 dan 2 pada tahun 2035. TFR 2025-2030 = 2.1 dan 2030-2035 = 2 AKB 2025-2030 = 17 dan 2030-2035 = 15/12 Kualitas Penduduk AKB 2030-2035 menjadi sekitar 12 per 1000 kelahiran hidup. Usia harapan hidup di Jawa Barat diharapkan meningkat menjadi 74,9 tahun pada tahun 2035. Pada tahun 2025, diharapkan rata-rata lama sekolah Indikator Kualitas 201 201 202 203 penduduk 0 5 0 2025 0 2035 Dependency Ratio 0.51 0.48 0.46 0.47 0.47 0.46 AKH 68.2 70.7 71.6 72.5 73.4 74.3 penduduk Jawa Barat adalah 9 tahun dan terus meningkat menjadi 12 tahun pada tahun 2035 Dependency ratio dan AKH 2010-2035 Sumber : Hasil Perhitungan
46
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Mobilitas dan Persebaran Penduduk lebih dari seperempat penduduk Jawa Barat tinggal di daerah penyangga Ibu Kota hampir seperlima penduduk Jawa Barat tinggal di Bandung Raya/Ibu Kota Provinsi Tren migrasi Jawa Barat
Pembangunan Keluarga Aspek sosial jumlah penderita penyakit HIV/AIDS, kenakalan remaja, narkoba semakin meningkat , TB dan malnutrisi masih ada; bencana masih banyak keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, kurang sejahtera, dan kurang berketahanan social Sebagian besar keluarga Indonesia masih belum mampu menjalankan peran dan fungsi keluarga secara optimal, baik fungsi ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan Aspek ekonomi Proporsi tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012-2013 sebesar 72,4 persen dari jumlah penduduk Februari 2015 jumlah angkatan kerja mencapai 22.332.813 orang, Penduduk yang bekerja pada Bulan februari 2015 adalah 20.456.889 orang Jumlah pencari kerja/penganggur 1.875.924 orang pada Februari 2015. Tingkat Pengangguran Terbuka 8,40 persen, Pekerja paruh waktu cenderung berfluktuasi, yaitu 2.869.659 orang pada Februari 2015.
Mobilitas dan Persebaran Penduduk Harapan di tahun 2035, penduduk Jawa Barat tersebar seimbang di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat baik di pusat kota maupun desa atau daerah penyangganya sesuai potensi daerah masing masing dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan Tahun 2025 telah dimulai terjadinya keseimbangan antara migrasi masuk dan keluar sehingga tidak terjadi penumpukan penduduk.Kondisi migrasi yang diharapkan adalah terciptanya pusat-pusat pertumbuhan baru di luar pusat kota yang saat ini menjadi magnet paramigran sehingga persebaran penduduk menjadi seimbang sesuai dengan daya dukung dan potensi.
Pembangunan Keluarga Tahun 2035, keluarga di Jawa Barat bisa memiliki ketahanan fisik, ekonomi, sosial-psikologi dan ketahanan social budaya yang mumpuni sehingga mampu melahirkan sosok manusia yang berkualitas tinggi dan menjadi bagian dalam pembangunan di Jawa Barat. Fungsi ekonomi diharapkan dapat mendorong keluarga agar dapat membina kualitas kehidupan ekonomi keluarga, sekaligus dapat bersikap realistis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarga. Fungsi pendidikan, bukan hanya berhubungan dengan kecerdasan, melainkan juga termasuk pendidikan emosional dan juga pendidikan spiritualnya. Fungsi kesehatan berintikan bahwa setiap keluarga dapat menerapkan cara hidup sehat dan mengerti tentang kesehatan reproduksinya. Termasuk di dalamnya adalah pemahaman tentang alat kontrasepsi maupun pengetahuan penyiapan kehidupan berkeluarga bagi para remaja.
ANALISIS PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN JAWA BARAT Analisis kuantitas penduduk Kondisi ketidakseimbangan penduduk yang jika dibiarkan terjadi dalam jangka waktu panjang semakin mempersulit bagaimana balanced growth of population dapat terjadi di Provinsi Jawa Barat. Hal tersebut belum lagi ditambah dengan memperhitungkan semakin terserapnya sumber daya ekonomi dan sosial ke daerah perkotaan daripada pedesaan. Eksternalitas negatif juga semakin besar baik yang bersifat mempengaruhi kegiatan ekonomi, sosial, bahkan lingkungan dan kelembagaan.
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
47
Kriteria Matrik Perkembangan Kependudukan
1. 2.
Tahap Stabil tinggi Perkembangan awal
Tingkat Fertilitas Tinggi Tinggi
3.
Perkembangan akhir
Turun
Turun lebih cepat
Nol, atau sangat rendah
4.
Stabil rendah
Rendah
Rendah
Negatif
5.
Menurun
Rendah
Lebih tinggi daripada kelahiran
Berdasarkan data pada bagian sebelumnya, kondisi dan perkembangan kependudukan Jawa Barat dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Pada keadaan I Kondisi dimana angka kelahiran tinggi tetapi angka kematian menurun. Pada kondisi ini akan terasa tingginya laju pertumbuhan penduduk alami, seperti dialami Jawa Barat pada periode tahun 1970 sampai 1980 dengan angka pertumbuhan 2,66 % per tahun. b. Pada Keadaan II Terjadi perubahan akibat pembangunan dan juga upaya pengendalian penduduk. Maka sikap terhadap fertilitas berubah menjadi cenderung mempunyai anak lebih sedikit, sehingga turunnya tingkat kematian juga
Tingkat Morbiditas Tinggi Turun pelan
Pertumbuhan Alami Lambat sangat rendah Pesat
diikuti turunnya tingkat kelahiran sehingga pertumbuhan penduduk menjadi tidak tinggi lagi. Keadaan tersebut dapat dilihat pada pertumbuhan penduduk Jawa Barat periode 1980 sampai 2010 yang turun menjadi 1,9%. c. Pada Keadaan III Bila penurunan tingkat kelahiran dan kematian berlangsung terus menerus, maka akan mengakibatkan pertumbuhan yang stabil pada tingkat yang rendah. Jawa Barat sedang menuju/berharap tercapainya kondisi ini yaitu penduduk bertambah sangat rendah atau tanpa pertumbuhan. Tidak mustahil beberapa waktu yang akan datang Jawa Barat akan mencapai keadaan yang stabil dan meyelesaikan transisi demograďŹ .
Analisis Kualitas Penduduk Gambar. Proyeksi Komposisi Penduduk di Jawa Barat 2010 – 2030
Sumber : Publikasi Bapenas (2013)
Dalam konteks pembangunan berbasis sumber daya manusia (people centre development), indikator yang penting adalah kualitas penduduk. Hal ini karena tingginya jumlah penduduk usia produktif tidak akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah jika tidak diimbangi dengan kualitasnya. Kualitas penduduk tidak hanya kualitas pada kesehatan dan membaiknya income percapita saja, namun dalam 48
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
jangka panjang pendidikan dan keterampilan menjadi faktor dominan dalam pembangunan daerah. Hal ini menjadikan modal dasar bagi pembangunan daerah di Jawa Barat melalui pembangunan berbasis kependudukan (DemograďŹ Based of Development) terutama dalam menyiapkan transisi demograďŹ yang ditandai dengan tingginya jumlah penduduk usia produktif.
Foto: Humas Bappeda
Analisis Pembangunan Keluarga Jumlah penduduk mempunyai dampak signiďŹ kan terhadap pencapaian IPM. Pada gilirannya, jumlah penduduk akan mempengaruhi pembangunan keluarga. Sejak awal masyarakat dihadapkan kepada hipotesis program Keluarga Berencana (KB) akan mampu memangkas dengan cepat kemiskinan di satu daerah. Dengan kata lain, program KB merupakan alternatif yang efektif untuk pengentasan kemiskinan. Hal itu bisa terjadi dikarenakan bahwa program KB bukan saja berbicara masalah konstrasepsi tetapi disertai pula dengan program-program pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan data BKKBN tahun 2010, kemiskinan (Pra-KS) di Jawa Barat termasuk yang menurun, walaupun relatif kecil. Sementara pada saat yang sama peserta KB semakin membaik. Bahkan dalam program KB Jawa Barat dari rangking 27 secara nasional naik menjadi rangking 3. Ini merupakan pertanda, secara perlahan Jawa Barat mulai bangkit membangun pembangunan keluarga melalui program KB. Provinsi Jawa Barat juga sudah merespon dengan baik pembangunan keluarga ini, dengan diluncurkannya Peraturan
Daerah (perda) tentang Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga. Diharapkan dengan adanya perda ini, fungsi-fungsi keluarga akan berjalan dengan baik.
Secara perlahan Jawa Barat mulai bangkit membangun pembangunan keluarga melalui program KB
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
49
BAB III ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN JAWA BARAT 2015-2035 PENGENDALIAN KUANTITAS PENDUDUK Kondisi kependudukan yang diinginkan dalam jangka panjang adalah tercapainya penduduk stabil (penduduk tumbuh seimbang) dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Dari kondisi ini diharapkan bahwa jumlah bayi yang lahir sama (seimbang) dengan jumlah kematian sehingga penduduk menjadi stabil. Searah dengan kebijakan Pemerintahan Pusat, untuk mencapai kondisi penduduk tumbuh seimbang (PTS), diharapkan angka kelahiran total (TFR) akan berada pada 2,1 per perempuan atau Net Reproduction Rate (NRR) sebesar 1 per perempuan tahun 2020. Selanjutnya secara berlanjut angka fertilitas total menjadi 2,04 pada tahun 2025, 1,99 pada tahun 2030 dan tidak melebihi 1,97 pada tahun 2035. Di samping itu, dari sisi perubahan komposisi penduduk menurut umur, sama halnya dengan kondisi nasional, tahun 2027 diharapkan Jawa Barat berada pada fase ketika rasio ketergantungan mencapai angka terendah, yaitu kurang dari 44,8. Kondisi ini penting karena akan memberi kesempatan bagi Jawa Barat untuk mencapai bonus demografi. Salah satu tandanya adalah dengan jumlah penduduk usia produktif yang mencapai puncak, yaitu kira-kira 70 persen dari jumlah penduduk. Pencapaian tahap ini sangat tergantung kepada pengelolaan pertumbuhan penduduk melalui pengendalian angka kelahiran. Jika angka kelahiran meningkat, maka tahap tersebut akan tertunda atau bahkan hilang sama sekali. Untuk mencapai kondisi tersebut, perlu untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui pengaturan kelahiran. Oleh karena itu, pelaksanaan Program KB masih sangat relevan. Strategi pengendalian kuantitas penduduk adalah sebagai berikut : a. Revitalisasi program KB dengan mengubah orientasinya dari supply ke demand side approach b. Memperkuat kelembagaan, penguatan SDM lembaga, memperkuat komitmen politik, memperkuat infrastruktur, mendelegasikan kewenangan operasional berdasarkan kondisi spesifik setiap daerah.
50
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
c. Strategi kemitraan dilakukan dengan cara memperkuat kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil. Kemitraan tidak terbatas dilakukan secara internal, tetapi juga dengan lembaga internasional dengan prinsip kesetaraan dan mutual benefits. d. Pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan kapasitas kelembagaan untuk memperkuat jejaring antarpemangku kepentingan, baik secara vertikal maupun horizontal, nasional maupun intenasional. e. Pelaksanaan program KB difokuskan pada masyarakat miskin dengan cara memberikan subsidi pelayanan kesehatan reproduksi dan KB. Dalam pelaksanaannya, strategi ini perlu memerhatikan kondisi sosial, budaya, demografi, dan ekonomi kelompok sasaran Jawa Barat juga menghadapi persoalan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut (aging population) yang pada gilirannya berkontribusi pada tingginya tingkat ketergantungan penduduk. Untuk mengatasi persoalan ini, kebijakan yang ditempuh adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan kepada penduduk yang berusia lanjut dan mendorong para pengusaha untuk mempekerjakan mereka. Di samping itu, untuk sector public, perpanjangan masa usia kerja dapat menjadi alternatif kebijakan. Untuk menunjang strategi tersebut, perlu didukung oleh program perbaikan kesehatan bagi penduduk usia lanjut. Strategi ini berpotensi untuk mengurangi tingkat ketergantungan penduduk juga pada akhirnya. Kebijakan seperti ini relatif berhasil dipraktikkan di Hong Kong. Yang perlu menjadi perhatian adalah kebijakan dan progam KB tidak dapat berjalan sendirian dan perlu ditopang oleh kebijakan dan program lain, diantara yang strategis adalah intensifikasi program-program pengentasan kemiskinan, pembedayaan perempuan, dan berbagai program peningkatan penghasilan dan perbaikan ekonomi keluarga yang berpotensi untuk mengurangi tingkat fertilitas.
PENINGKATAN KUALITAS PENDUDUK Pengembangan kualitas penduduk dilakukan untuk mewujudkan manusia yang sehat jasmani dan rohani, cerdas, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja yang tinggi. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pembangunan kualitas penduduk difokuskan pada unsur pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Unsur-unsur Pembangunan Sumber Daya Manusia
Pembangunan Ekonomi
Pembangunan Pendidikan
SDM Pembangunan Kesehatan
Sumber: (KEMENKOKESRA 2012)
Akan tetapi, dengan memperhatikan diversitas kondisi kesehatan antardaerah, terutama dalam hal penyakit, maka setiap strategi, sekali lagi, tidak dapat bersifat homogen atau tunggal, tetapi harus merespons kondisi spesiďŹ k setiap daerah. peran dan tanggung jawab kaum pria dalam hal peningkatan kesehatan reproduksi, dapat juga menjadi alternatif program yang strategis. Foto: Humas Bappeda
Di bidang pendidikan, strategi penting yang harus dilakukan adalah memberikan akses yang sebesar-besarnya kepada kelompok rentan, khususnya penduduk miskin, untuk memperoleh pendidikan; IntensiďŹ kasi penyelenggaraan pendidikan dasar sampai kepada pendidikan tinggi perlu terus dilakukan; Penurunan gender gap dalam hal akses terhadap pelayanan pendidikan juga penting sebagai prioritas, khususnya untuk mengatasi masalah di berbagai daerah yang masih lebar kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuannya, antara wilayah perdesaan dan perkotaan; Pengentasan kemiskinan karena kemiskinan merupakan akar permasalahan mendasar; Pembangunan sekolah menjadi pilihan yang strategis, khususnya untuk daerah-daerah yang remote; Perbaikan infrastruktur lainnya seperti akses jalan menuju sekolah perlu terus dilakukan. Di bidang kesehatan, strategi dilakukan untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak serta kematian maternal. Untuk itu, strategi utama yang harus dilakukan adalah melakukan pencegahan dan treatment penyakit infeksi, khususnya pada bayi dan anak-anak. Di samping itu, alokasi sumber daya kesehatan harus juga diarahkan untuk pencegahan dan treatment penyakit tersebut. Pelaksanaan program KB juga akan memberikan kontribusi terhadap penurunan angka kematian maternal. Hal tersebut menopang upaya pelayanan prenatal dan antenatal yang telah dikembangkan.
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
51
MOBILITAS DAN PERSEBARAN PENDUDUK
Strategi pembangunan keluarga yang dapat dilakukan adalah:
Tren mobilitas penduduk di Indonesia pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, yakni kebijakan ekonomi makro, kebijakan politik nasional, gaya hidup, dan globalisasi. Sementara itu, secara nasional persebaran penduduk melalui transmigrasi mati suri seiring dengan berakhirnya era orde baru dan digantikan era reformasi (yang menghasilkan kebijakan desentralisasi). Untuk mengatasi hal tersebut, maka prinsip pokok pembangunan kependudukan pada penataan persebaran dan pengerahan mobilitas diarahkan pada:
a. Membangun keluarga yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, melalui Pendidikan Etika, Moral, dan Sosial Budaya secara formal maupun informal.
1.
Pengarahan mobilitas penduduk yang didorong dan mendukung pembangunan pembangunan daerah yang berkeadilan;
2.
Pengelolaan urbanisasi yang mengarah pada pembangunan perkotaan yang berkelanjutan;
3.
Pengarahan persebaran penduduk untuk mencapai tujuan pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi di setiap wilayah.
Untuk mendukung per wujudan upaya tersebut, maka pengarahan mobilitas penduduk perlu juga untuk: 1. Meningkatkan promosi daerah-daerah tujuan baru sehingga penduduk terangsang untuk melakukan perpindahan secara spontan; 2. Membuat regulasi baik di tingkat provisni ataupun kabupaten/kota yang menguntungkan bagi daerah tujuan dengan sasaran menghambat/mengurangi minat penduduk yang tidak berkualitas berpindah ke daerah lain (mobilitas bukan sekadar pemindahan kemiskinan). Penduduk miskin adalah tanggung jawab daerah asal/kelahiran.
PEMBANGUNAN KELUARGA Sasaran dari pokok kegiatan pembangunan keluarga tersebut adalah seluruh keluarga yang terdiri dari keluarga dengan siklus keluarganya; keluarga yang memiliki potensi dan sumber kesejahteraan sosial; keluarga rentan secara ekonomi, sosial, lingkungan, maupun budaya; serta keluarga yang bermasalah secara sosial ekonomi dan sosial psikologis.
52
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
b. Membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang sah dilakukan dengan hal berikut: meningkatkan pelayanan lembaga penasihat perkawinan, meningkatkan peran kelembagaan keluarga, komitmen Pemerintah Indonesia yang hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan, perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan negara, perkawinan yang mensyaratkan diketahui oleh keluarga dan masyarakat c. Membangun keluarga harmonis, sejahtera, sehat, maju, dan mandiri melalui: peningkatan ketahanan keluarga berwawasan gender berbasis kelembagaan lokal, pengembangan perilaku hidup sehat pada keluarga (sehat ďŹ sik/reproduksi, sehat psikologis, sehat sosial, dan sehat lingkungan), pendidikan dan pengasuhan anak agar berkarakter baik, pengembangan ketahanan keluarga dan ketahanan pangan keluarga melalui pemanfaatan pekarangan dan dukungan sosial lingkungan. d. Membangun keluarga yang berwawasan nasional dan berkontribusi kepada bangsa dan Negara melalui kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) keluarga, seperti penguatan kapasitas keluarga, pembangunan sebuah keluarga berketahanan sosial, pemilihan keluarga pionir, dan peningkatan peran serta keluarga dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. e. M e m b a n g u n k e l u a r g a y a n g m a m p u merencanakan sumber daya dengan pendampingan manajemen sumber daya keluarga. Kegiatan lainnya adalah dengan konsultasi perkawinan, pengasuhan anak, m a n a j e m e n ke u a n g a n r u m a h t a n g g a , manajemen stres, serta manajemen waktu dan pekerjaan keluarga. P r i n s i p m e n g e n a i i n te g r a s i ke b i j a k a n kependudukan ke dalam kebijakan pembangunan harus menjadi prioritas, karena hanya dengan menerapkan prinsip tersebut pembangunan
kependudukan akan berhasil. Untuk itu strategi pertama yang harus dilakukan adalah melakukan population mainstreaming. Semua kebijakan pembangunan harus dilakukan dengan mendasarkan pada prinsip people centered development untuk mencapai pembangunan yang berwawasan kependudukan. Pelaksanannya adalah melakukan integrasi kebijakan kependudukan dengan kebijakan pembangunan sejak tahap perumusan, implementasi sampai dengan evaluasi dan monitoring.
BAB IV ROADMAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN JAWA BARAT 2015-2035 Roadmap Grand Design Pengendalian Penduduk ini mencakup kurun waktu 2015 sampai dengan 2035 dengan periode lima tahunan. Roadmap dibuat untuk mengetahui sejauh mana sasaran-sasaran pengendalian kuantitas penduduk telah dapat dicapai, baik yang mencakup fertilitas maupun mortalitas. Dengan demikian, tujuan roadmap ini dapat berjalan secara sistematis dan terencana sehingga dapat diketahui sasaran-sasaran yang harus dicapai pada setiap periode, serta kebijakan, strategi, dan program yang perlu dilakukan.
Pengendalian Kuantitas Penduduk ŀ Roadmap 2011-2015
Roadmap 2011-2015
Roadmap 2021-2025
Roadmap 2026-2030
Ŝ Ź nya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk
Tercapainya kondisi penduduk tumbuh seimbang
Bertahannya kondidi penduduk tumbuh seimbang
Tercapainya kondisi penduduk tumbuh seimbang sebagai prasyarat penduduk tanpa pertumbuhan (PTP)
ŀ Indikator/Parameter Laju Pertumbuhan Penduduk (%) Total Fertility Rate Contraseptive Prevalence rate Usia Kawin Pertama Bagi Wanita
2010 1,9 2,2 60 21
2015 1,58 2,1 62 22
Roadmap 2031-2035
Tercapainya kondisi penduduk tanpa pertumbuhan (PTP)
Periode Roadmap 2010-2035 2020 2025 2030 1,2 1,1 0,9 2,1 2,04 1,99 65 70 75 22 23 23
2035 0,9 1,97 80 23
Peningkatan Kualitas Penduduk ŀ Roadmap 2011-2015
Ő Ź ŹŹ ŀ kualitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi penduduk yang mapan
Roadmap 2011-2015
Roadmap 2021-2025
Peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi penduduk yang mapan yang didukung terciptanya good governance
Pencapaian penduduk kreatif dan inovatif untuk meningkatkan kerja produkttif
Roadmap 2026-2030
Peningkatan kualitas penduduk kreatif dan inovatif untuk meningkatkan kerja produktif
Roadmap 2031-2035
Terwujudnya kualitas penduduk yang bertakwa, maju, mandiri, mapan, kreatif dan inovatif
ŀ Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
53
Pembangunan Keluarga ŀ Roadmap 2011-2015 Ŝ nya kondisi keluarga berdasar kan perkawinan yang sah dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Roadmap 2011-2015
Peningkatan dan perbaikan kondisi keluarga berdasar kan perkawinan yang sah dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Roadmap 2021-2025
Terwujudnya kondisi keluarga yang berkualitas dengan ciri sejahtera, sehat, maju, mandiri, dengan jumlah anak ideal (2) dalam keharmnisan, adil dan berkesataraan gender
ŀ Indikator/Parameter Persentasi Penduduk miskin Rata-rata banyaknya anak dalam keluarga Persentasi Keluarga Prasejahtera Indeks Pembangunan Gender
2010 9,89 4 6 70
2015 9,61 3 5 71
Roadmap 2026-2030
Roadmap 2031-2035
Peningkatan kondisi keluarga yang berkualitas dengan ciri sejahtera, sehat, maju, mandiri, dengan jumlah anak ideal (2) dalam keharmnisan, adil dan berkesataraan gender
Terwujudnya keluarga kecil yang sejahtera, berkualitas, berkeadilan dan berkesetaraan gender serta berdaya saing
Periode Roadmap 2010-2035 2020 2025 9,5 9,3 3 3 4,8 4,6 72 73
2030 9 2 4,5 74
2035 8,9 2 4,6 75
Pengarahan Mobilitas Penduduk Penataan Persebaran dan Moblitas Penduduk Provinsi Jawa Barat 2010-2035 ŀ Roadmap 2011-2015
Ő Ź ŹŹ ŀ Ź ŀ penyebaran penduduk antar daerah kabupaten/kota
Roadmap 2011-2015
Roadmap 2021-2025
Roadmap 2026-2030
Roadmap 2031-2035
Penataan dan penyebaran penduduk antar daerah kabupaten/kota sesuai dengan potensi, data dukung social dan lingkungannya.
Penataan persebaran dan pengarahan mobilitas penduduk melalui pengembangan daerah penyangga
Peningkatan mobilitas non permanen dengan cara menyediakan berbagai fasilitas social, ekonomi, budaya, dan administrasi di beberapa daerah yang diproyeksikan sebagai daerah tujuan mobilitas penduduk.
Terwujudnya persebaran penduduk yang lebih merata antar daerah kabupaten/kota sehingga konsentrasi penduduk terkendali dan harmonis..
ŀ 54
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan Pembiayaan
Peningkatan pendidikan Perempuan
Dalam konteks peningkatan indikator pembangunan kependudukan, upaya secara bertahap dapat menjadi prioritas, dengan tidak mengabaikan program-program lain yang bersentuhan langsung dengan perbaikan derajat kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk serta administrasinya. Hal ini dapat dicapai antara lain dengan pemenuhan pembiayaan kesehatan melalui penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai baik di tingkat kabupaten/kota, dan juga provinsi. Peningkatan pembiayaan untuk pembangunan sarana dan prasarana dapat memperbesar keterjangkauan masyarakat terhadap fasilitas kesehatan, pendidikan serta kelurga berencana dan lembaga institusi masyarakat yang diharapkan mampu menghasilkan masyarakat yang berkualitas, yang pada akhirnya menuju penduduk yang seimbang di wilayah tersebut.
Mengingat pentingnya peran ibu dalam kelangsungan hidup bayi, dan sebagai ujung tombak pembangunan keluarga, diperlukan kebijakan-kebijakan pemerintah Propinsi Jawa Barat yang lebih berpihak pada perempuan. Misalnya, memberikan akses yang lebih mudah pada penduduk perempuan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, memprioritaskan beasiswa pada penduduk perempuan, memperbanyak muatan kurikulum yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah yang dalam penerapannya melibatkan tenaga kesehatan, dan mengaktifkan kembali kegiatan penyuluhan oleh tenaga kesehatan terutama kepada perempuan usia reproduksi.
Untuk memberikan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau perlu diterapkan beberapa prioritas kebijakan, baik pengembangan dari kebijakan yang sudah ada maupun penerapan kebijakan baru. Perluasan akses pelayanan kesehatan ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keterjangkauan dari segi biaya, kecukupan pengetahuan, maupun keterjangkauan dari segi jarak tempuh ke fasilitas kesehatan. Salah satu kebijakan yang bisa dilakukan adalah pembebasan retribusi terhadap fasilitas kesehatan yang kemudian diikuti dengan jaminan kesehatan yang lebih baik dan meluas, terutama untuk masyarakat kurang mampu yang menggunakan fasilitas kesehatan. Peningkatan pengetahuan masyarakat juga antara lain dapat diupayakan melalui bantuan para kader kesehatan. Pe r l u d i t e r a p k a n s u a t u ke b i j a k a n u n t u k memantapkan upaya revitalisasi Posyandu melalui pemberian penghargaan berupa insentif bagi para kader kesehatan.
Desentralisasi merupakan proses transfer otoritas dan kewenangan perencanaan, manajemen, dan pengambilan keputusan dari pengendali organisasi di tingkat atas kepada tingkat yang ada di bawahnya. Pentingnya pelaksanaan desentralisasi program KB selain sebagai manifestasi responsibilitas/daya tanggap atas perubahan lingkungan strategis (arus demokratisasi dan HAM serta delegasi kewenangan pemerintahan dalam beberapa bidang).
Foto: Humas Bappeda
Perluasan Akses Pelayanan Kesehatan
Kebijkan Keluarga Berencana Sebagai Basis Pembangunan Keluarga
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
55
BAB V PENUTUP Tingginya laju pertumbuhan penduduk yang dialami oleh suatu daerah, di satu sisi akan berdampak positif berupa penyediaan jumlah sumberdaya manusia yang memadai, peluang permintaan terhadap barang dan jasa yang semakin tinggi, dan terkelolanya potensi sumberdaya yang tersedia sehingga menjadi efektif, namun di sisi lain akan berdampak negatif dalam pembangunan. Masalah kependudukan harus mendapat perhatian pemerintah baik Pusat dan Daerah. Penanganan secara berkelanjutan perlu terus dilakukan guna mewujudkan komitmen semua pihak untuk menyadari pentingnya pembangunan berwawasan kependudukan. Grand Design Pembangunan Kependudukan selain sebagai arah bagi kebijakan kependudukan di masa depan, juga diharapkan dapat berjalan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangkan Panjang Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Barat. Dengan arah, kebijakan dan pokok-pokok pembangunan kependudukan yang tertuang dalam dokumen Grand Design Pembangunan Kependudukan ini diharapkan akan terwujudnya kondisi penduduk yang berkualitas sebagai modal pembangunan untuk mencapai Jawa Barat yang mandiri, maju, adil dan sejahtera di masa yang akan datang.
Todaro and Smith, 2015. Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Palmore, James A., Si Gde Made Mamas & Yohandarwati Arifiyanto, “Fertility Decline in Indonesia”, Journal of Populations, Volume 1 number 1, Demographic Intitute Faculty of Economics University of Indonesia, pp. 45-69 Robinson, Warren C. & Sarah F. Harbison. 1993 Menuju Teori Fertilitas Terpadu, Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Win Konadi, Zainuddin Iba, 2011. Bonus Demografi Membangun Bangsa yang Bermartabat dan Sehat, Jurnal Ilmiah Unimus, ISSN: 2085- Volume 2 Nomor 6.
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik, berbagai tahun. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta : Badan Pusat Statistik Indonesia ------------------------, Data-data Kependudukan. www.bps.go.id Bappeda Jawa Barat, Pertumbuhan Penduduk di Jawa Barat Potensi Pembangunan Ataukah Malapetaka ?, Pusdalisbang, Bappeda Jabar. Ferry Hadiyanto, 2013, Grand Design Kuantitas Kependudukan Jawa Barat 2013-2035, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, BPPAKB, Jawa Barat.
Foto-foto: Humas Bappeda
56
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Dapatkan informasi terbaru seputar Perencanaan Pembangunan Jawa Barat
Design by: Rama
bappeda.jabarprov.go.id Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda
15
WAWA S A N PERENCANAAN
Oleh Firdaus Saleh*
Foto-foto: Humas Bappeda
Habitus Wirausaha Baru (WUB) Dalam Penilaian Pengukuran Kinerja Program Di Jawa Barat
I. Pendahuluan
W
irausahawan kreatif dan inovatif yang telah berhasil mengembangkan bisnis usaha menjadi pemicu terhadap perkembangan perekonomian daerah, sehingga diharapkan di masa mendatang dapat berdampak s e c a r a a g re g a t i f t e r h a d a p p e r t u m b u h a n perekonomian nasional. Di tangan merekalah roda pengelolaan usaha dalam skala ekonomi yang semakin tumbuh dan berkembang menghasilkan produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Keberadaan mereka begitu strategis, karenanya pemerintah daerah membutuhkan peran mereka
untuk menjaga stabilitas kesinambungan pertumbuhan ekonomi agar tidak terjadi stagnasi dalam dinamika ekonomi lokal, regional maupun n a s i o n a l . B e g i t u p e n t i n g n y a ke b e r a d a a n wirausahawan yang berkualitas bagi suatu daerah dalam satu negara, seperti dikutip pendapat seorang sosiolog kondang David Mc. Clelland, yang mengatakan bahwa “suatu Negara bisa m e n j a d i m a k m u r, b i l a a d a e n t re p re n e u r (wirausahawan) sedikitnya 2% dari jumlah penduduknya�. Menurut Teori Motivasi Berprestasi yang dikemukakan David Mc.Clelland, bahwa manusia
*)Doktor Filsafat Nilai pada UGM Yogyakarta; Ketua Yayasan Pengembangan Pengetahuan & Pemberdayaan Masyarakat (YP3M) Bandung 58
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
pada hakikatnya memiliki kemampuan untuk berprestasi di atas kemampuan orang lain. Ada tiga jenis kebutuhan manusia yang dikemukakan David Mc. Clelland dalam mendukung teorinya, antara lain berupa ; (1) Kebutuhan untuk berprestasi (nAch), yaitu kebutuhan akan prestasi sebagai dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar pengukuran dalam dunia usaha terhadap pada dirinya yang bergulat untuk sukses; (2) Kebutuhan untuk berkuasa (n-Pow), yaitu kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara yang menyebabkan mampu mengendalikan orang lain tanpa dipaksa dalam menerapkan kepemimpinan; (3) Kebutuhan BeraďŹ liasi atau bersahabat (n-A), yaitu kebutuhan untuk berhubungan antar pribadi secara ramah, akrab, erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dalam membangun relasi internal maupun eksternal dalam mengembangkan usahanya, sebagaimana digambarkan berikut ini.
Gambar 1 : Berprestasi Menjadi Wirausahawan Dalam Teori Motivasi Berprestasi Model David Mc. Clelland
Motivasi Berprestasi (n-Ach)
Motivasi Bera iliasi
Motivasi Berkuasa
(n-A)
(n-Pow)
Berprestasi Jadi WIRAUSAHAWAN
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
59
Dalam perspektifâ€?,program wirausaha baru, maka ketiga jenis kebutuhan ini pada diri seorang wirausahawan berada pada skala di atas rata-rata dengan pengukuran pada posisi tinggi, karena tuntutan menjadikan wirausahawan yang berprestasi mengembangkan usahanya. Walaupun dalam prakteknya, bahwa ketiga jenis kebutuhan tersebut berada pada “arenaâ€? interaksi pengalaman empiris dalam kehidupan masyarakat sebagai faktor eksternal yang tidak mudah dikendalikan sepenuhnya oleh diri wirausahawan. Faktor internal yang bersifat utama pada diri wirausahawan berupa 'habitus' dengan kemampuan 'kapital' (modal) yang dimilikinya, baik modal intelektual, modal budaya maupun modal ekonomi (uang) yang akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mengembangkan usahanya. Hal inilah yang harus menjadikan landasan berpikir pada saat mendesain program pencetakan wirausaha baru (WUB), sehingga dalam pelaksanaan kegiatan dapat menempatkan habitus calon wirausaha pada tahap rekruitmen dan tahap seleksi yang ketat, agar memperoleh kompetensi kualitas wirausahawan yang unggul. P ro v i n s i Ja w a B a r a t m e l a l u i P ro g r a m Pencetakan Seratus Ribu Wirausaha Baru dengan menggunakan metode tersebut di atas, mempertimbangkan bahwa indikator penilaian kinerja pelaksanaan program WUB di Jawa Barat dapat menghasilkan outcame, baneďŹ t, dan impact bagi perkembangan usaha dalam menunjang perekonomian daerah di Jawa Barat. Evaluasi penilaian pengukuran kinerja program WUB di Jawa Barat ini harus dilakukan minimal setahun atau lebih, setelah kegiatan pelaksanaan tahap pendampingan. Penciptaan wirausaha baru sebagai suatu program, selayaknyalah dilakukan e va l u a s i k i n e r j a p ro g r a m W U B te r h a d a p perkembangan kinerja perusahaan termasuk habitusnya, sejauhmana dapat berdampak terhadap perluasan kesempatan kerja membuka 2 juta lapangan kerja baru, sehingga keduanya dapat saling terkait sebagai janji Gubernur Jawa Barat periode 2013-2018.
II.Memaknai Habitus Wirausaha Baru Dalam Perspektif Program Di Jawa Barat Habitus menurut Wikipedia merupakan istilah biologi yang berarti tindakan naluriah (instingtif) hewan atau kecenderungan alamiah bentuk suatu
60
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
tumbuhan. Istilah ini paling sering digunakan untuk menunjukkan seekor hewan menghabiskan sebagian besar masa hidupnya. Dalam perspektif pencetakan wirausahawan, bahwa penggunaan istilah habitus dalam dirinya dapat menjadi seorang wirausahawan, apakah merupakan bakat bawaan ataukah dapat dipelajari melalui pendidikan, atau keduanya saling terkait. Konsep habitus dikembangkan oleh Pierre B o u rd i e u , s e o r a n g p e m i k i r P r a n c i s y a n g menganalisis secara sosiologis dan ďŹ lsafati atas perilaku manusia. Menurutnya, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia. Bourdieu (1984) menyatakan, bahwa habitus selalu terkait dengan ranah (arena) dan kapital (modal) sehingga dalam menerangkan praktik sosial menggunakan rumus persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Karena itu, kapital merupakan modal yang memungkinkan seseorang mendapatkan peluang dalam struktur sosial masyarakat dari pada yang tidak memiliki modal. Ada beberapa jenis modal yang dibutuhkan dalam diri manusia, antara lain : (1) Modal Intelektual, dalam praktik sosial lebih dimakanai sebagai modal pendidikan, (2) Modal ekonomi, dalam praktek sosial dimaknai berupa uang, (3) Modal budaya dalam praktik sosial dimaknai sebagai latar belakang dan jaringan. Keberadaan kapital dalam diri manusia bisa diperoleh, jika seseorang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya. Karena itu, kapital bersifat dinamis, bisa diubah menjadi jenis kapital lainnya.Tentu bagi seseorang yang memiliki habitus gemar membaca, menulis, dan berdiskusi menghasilkan modal intelektual dan modal budaya. Sikap rajin bekerja dengan luasnya jaringan bisnis usaha sebagai modal budaya akan menghasilkan kapital ekonomi. Kapital intelektual bisa diubah menjadi kapital budaya, begitu pula kapital ekonomi dengan melakukan investasi yang tepat, maka akan menghasilkan kapital ekonomi dan kapital budaya y a n g l e b i h b e s a r. K e b e r h a s i l a n s e o r a n g wirausahawan tidak semata-mata hanya memiliki habitus dan kapital yang tepat, tetapi berada dalam arena (ranah) yang tepat sebagaimana gambar 2 berikut.
Gambar 2 : Hibitus Wirausahawan Dalam Model Pierre Bourdieu (Habitus x Modal) + Ranah = Praktek
Modal Intelektual
HABITUS
Modal Ekonomi
Modal Budaya
Arena (Ranah)
Konsep habitus dalam perumusan model Bourdieu, jika dilakukan analisis keterkaitan dan kesepadanan (link and match) dengan Lingkup Pelaksanaan Tahapan Program Pencetakaan WUB di Jawa Barat (Gambar 4 & 5), maka dalam habitus seorang calon wirausahawan pada setiap tahapan harus memiliki kemampuan merubah jenis kapital (modal) sesuai orientasi kebutuhan atas tujuan keberhasilan menjadikan wirausahawan. Tentu, kemampuan habitus seorang wirausaha dengan kemampuan mengelola kapital sangat tergantung pada 'arena' dari dunia bisnis usaha yang ditekuni dan selalu terkait dengan modal lainnya. Karena itu, hubungan keterkaitan habitus dengan beragam jenis modal yang dimiliki pada arena kehidupan bisnis usaha dalam kehidupan masyarakat sangat signifikan, karena menentukan keberhasilan seorang WUB. Pada tahapan Identifikasi dan Seleksi WUB harus didesain oleh tenaga profesional (psikolog) agar menentukan habitus yang tepat pada tahapan indikator kinerja Inputan dan Proses. Pada tahapan inilah habitus menjadi dasar pengukuran analisis motivasi berprestasi yang dikaji sebagaimana teori yang dikemukakan David Mc.Clelland (n-Ach; n-aff; n-Pow) pada tahapan Rekruitmen dan Persyaratan (Tahap-1) serta Seleksi dan Verifikasi dokumen (Tahap-2) bagi calon WUB sebagaimana gambar berikut.
Gambar 3 : Habitus Dalam Tahapan Seleksi, Verifikasi, dan Wawancara Calon WUB Di Provinsi Jawa Barat (tahun 2014 – 2018).
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
61
Proses terjadinya transformasi nilai pengetahuan dan keterampilan dari orang lain (instruktur, pengalaman pengusaha berhasil), menjadikan nilai positif bagi habitus pada calon WUB yang didominasi oleh modal intelektual, terutama dalam tahap Pelatihan (tahap4), Pemagangan (tahap-5), Pendampingan (tahap-6), sehingga harus didukung oleh modal budaya. Karena itu, habitus membutuhkan modal ekonomi (uang) pada saat merintis usaha baru dengan mengembangkan pemasaran dan pengembangan jaringan kemitraan (tahap6), serta fasilitasi pembiayaan (tahap-9). Oleh karena pada saat terjadi permasalahan dalam aktivitas pengelolaan usaha, maka membutuhkan fasilitator dan konsultasi bisnis (tahap-7) dalam kaitannya dengan Lingkup Pelaksanaan Tahapan Program Pencetakan WUB di Jawa Barat seperti gambar berikut. Gambar 4 : Lingkup Pelaksanaan Tahapan Program Kegiatan Pencetakan Wirausaha Baru di Jawa Barat REKRUITMEN & PERSYARATAN (1)
SELEKSI (Administrasi; Wawancara; Proposal) (2)
PELATIHAN (Materi : Kewirausahan; Subtantif Produk/Jasa) (3)
PEMASARAN & Pengembangan Jaringan KEMITRAAN (6)
PENDAMPINGAN (Bimbingan Lapangan & Konsultasi Usaha) (5)
PEMAGANGAN ( Proses Produksi & Pengelolaan Usaha) (4)
TIM FASILITATOR & KLINIK BISNIS (7)
MONITORING , EVALUASI & PELAPORAN (8)
PEMBIAYAAN (9)
Sumber : Pergub Jabar No.79 Tahun 2015.
III.Evaluasi Penilaian Kinerja Program WUB di Jawa Barat Program Pencetakan Wirausaha Baru (WUB) di Provinsi Jawa Barat berlangsung selama 5 tahun sejak tahun 2014 – 2018, mengacu kepada Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor : 79 Tahun 2015 tentang Pencetakan Seratus Ribu Wirusaha Baru Di Daerah Provinsi Jawa Barat, sebagai pengganti dari Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 58 Tahun 2014 tentang Pedoman Pencetakan Seratus Ribu Wirausaha Baru, yang ditetapkan pada tanggal 23 Juli 2014. Program ini telah berjalan selama 3 tahun (2014-2016), berdasarkan Pasal 16, ayat (2) bahwa, Perangkat Daerah (PD) Pelaksana melakukan monitoring dan e va l u a s i t e r h a d a p p e l a k s a n a a n p ro g r a m pencetakan WUB sesuai dengan bidang usahanya
62
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
yang dilakukan Tim Fasilitator (ayat 1). Dengan demikian, terdapat 13 PD Pelaksana yang harus melakukan evaluasi dan monitoring ser ta pelaporan perkembangan kegiatan Program Pencetakan Wirausaha Baru di masing-masing dinas sebagai dasar melakukan penilaian kinerja kegiatan. Kegiatan Pencetakan Seratus Ribu WUB di Jawa Barat dilakukan melalui suatu tahapan, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4, yang dalam hubungan keterkaitan operasionalisasinya dapat dikelompokkan menjadi Tahap Penciptaan WUB, dan Tahap Penumbuhkembangan Bisnis WUB. Pola pentahapan kegiatan dalam Program WUB di Jawa Barat sebagaimana dikemukakan dalam Buku 1/4: Rencana Besar Penciptaan 100.000 Wirausaha Baru Provinsi Jawa Barat 2013 – 2018 dilakukan kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana gambar berikut.
Gambar 5 : Tahapan Penciptaan WUB Dalam Pola Monitoring dan Evaluasi Di Jawa Barat, 2014 – 2018.
Sumber : Buku I/4, Rencana Besar Penciptaan Seratus Ribu WUB (Bappeda Jabar, 2014)
Pola pentahapan kegiatan WUB menurut gambar 5 di atas, mengacu kepada Pergub Jabar No. 79 Tahun 2015 dan operasionalisasi pelaksanaan di lapangan dari masing-masing PD, relatif berbeda, karena : (1) Pola pengelompokkan tahapan kegiatan tidak dilakukan menurut penciptaan WUB dan penumbuhkembangan bisnis termasuk monitoring dan evalusi; (2) Masingmasing PD memiliki jenis dan karakteristik kegiatan usaha yang spesifik; (3) Adanya kegiatan WUB yang didanai Non-APBD Provinsi Jawa Barat; (4) Penyusunan konsep Rencana Besar Penciptaan Seratus WUB yang disusun Bappeda Jabar tidak terjadi konsistensi. Akibatnya, pola tahapan pelaksanaan kegiatan Program WUB di Jawa Barat relatif berbeda antara konsep dan pelaksanaan di masing-masing PD. Untuk melakukan evaluasi penilaian kinerja program WUB yang telah berjalan di masingmasing 13 PD di Jawa Barat, maka harus mengacu pada perumusan indikator kinerja berdasarkan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAN-RI, 2003). Bahwa, indikator kinerja kegiatan dalam pedoman tersebut terdiri dari ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja kegiatan Pencetakan Seratus Ribu WUB tahunan, selama 5 tahun (2014-2018) yang dilaksanakan 13 dinas PD pelaksana telah ditetapkan target capaian secara kuantitatif dalam Pergub Jabar Nomor 79 Tahun 2015, pasal 4, dilakukan pengukuran keberhasilan dengan menggunakan indikator kinerja tahunan, menurut pengkategorian ke dalam kelompok :
Foto: Humas Bappeda
a.
Masukan (Inputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dari program WUB dapat berjalan dengan baik dalam rangka menghasilkan ouputs sehingga pada tahapan ini dibutuhkan “tahapan proses” pelaksanaan kegiatan Program WUB, berupa : (1) Rekruitmen Peserta dan persyaratan, (2) Seleksi, (3) Pelatihan, (4) Pemagangan, (5) Pe n d a m p i n g a n , ( 6 ) Pe m a s a ra n d a n Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
63
Pengembangan Jaringan Kemitraan. (7) Tim Fasilitator dan Klinik Konsultasi Bisnis, (8) M o n i t o r i n g , E v a l u a s i , Pe l a p o r a n , ( 9 ) Pe m b i a y a a n . D a l a m t a h a pa n p ro s e s pelaksanaan kegiatan membutuhkan sumber daya manusia, dana, material, waktu, teknologi, dan kebutuhan lainnya secara memadai didasarkan pada pengukuran indikator kinerja, agar tahapan proses dapat berjalan dengan baik selama setahun. b.
c.
d.
64
Keluaran (Outputs), merupakan sesuatu berupa produk atau jasa sebagai hasil langsung dari pelaksanaan kegiatan atau program WUB. Bentuk keluaran dari kegiatan Pencetakan Seratus Ribu WUB adalah tercapainya Seratus Ribu orang WUB, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pola penilaian kinerja ini dilakukan terhadap capaian target kuantitatif bersifat tahunan dari Dinas PD Pelaksana yang didukung penilaian indikator kualitatif profil pengusaha sebagai peserta penerima manfaat, dan profil usaha (perusahaan). Pada tahapan ini, evaluasi untuk mengetahui pemilihan WUB dengan habitus yang tepat dapat diketahui berdasarkan data profil WUB penerima manfaat termasuk perkembangan usahanya. Hasil (Outcames), merupakan segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output kegiatan pada jangka menengah. Outcames, merupakan ukuran seberapa jauh setiap produk atau jasa dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Bentuk indikator outcomes dari program Pencetakan Seratus Ribu WUB berupa meningkatnya “omzet penjualan” dan perolehan “laba usaha”. Pada tahapan ini, evaluasi dilakukan terhadap profil perusahaan atas perkembangan usaha dengan melakukan survei lapangan dan mengevaluasi laporan keuangan perusahaan dengan memperbandingkan sebelum dan setelah mengikuti Program WUB. Manfaat (Benefits), merupakan kegunaan suatu outputs yang dihasilkan dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Bentuk indikator Benefits terhadap program Seratus Ribu orang WUB, berupa berkembangnya WUB yang diidentifikasi dari meningkatnya : perkembangan usaha, penyerapan tenaga kerja” sebagai akibat dari hasil “laba usaha yang telah berkembang”. Pada tahapan ini, evaluasi dilakukan terhadap profil perusahaan atas
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
perkembangan usaha dengan melakukan survei lapangan dan mengevaluasi laporan keuangan perusahaan serta teridentifikasinya peningkatan tenaga kerja berdasarkan evaluasi sebelum dan sesudah mengikuti Program WUB. e.
Dampak (Impacts), merupakan ukuran tingkat pengaruh sosial, ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh capaian kinerja pada setiap indikator dalam kegiatan WUB. Pada tahapan ini, evaluasi dilakukan terhadap profil perusahaan atas perkembangan usahanya dengan melakukan survei lapangan dan mengevaluasi laporan keuangan perusahaan serta teridentifikasinya berupa: perkembangan usaha, laba perusahaan, penambahan tenaga kerja, dan ve r i fi k a s i d a t a a t a s d a m pa k te r h a d a p perekenomian daerah terhadap produk atau jasa yang dihasilkan, baik sebelum maupun sesudah mengikuti Program WUB pada setiap Dinas PD pelaksana.
Pengukuran capaian indikator kinerja yang bersifat kuantitatif dapat diidentifikasi melalui pelaporan tahunan dari 13 PD pelaksana, berdasarkan perbandingan antara target capaian tahunan dengan realisasi capaiannya. Sedangkan capaian indikator yang bersifat kualitatif sebagai satu-kesatuan capaian indikator kerja kuantitatif, menjadikan dasar dalam melakukan evaluasi berupa indikator : Outcames, Benefits, dan Impacts. Dalam perspektif evaluasi capaian indikator kuantitatif terhadap WUB, yang didasarkan pada Pergub Jabar Nomor 79 Tahun 2015 Pasal 1 (12), bahwa pengertian Wirausaha Baru (WUB) adalah individu yang telah terseleksi sebagai peserta dalam Program Pencetakan Seratus Ribu Wirausaha Baru dan berusaha antara 0 sampai dengan 5 tahun, serta memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pergub tersebut. Bentuk WUB ini dapat bersifat individu atau kelompok yang dibentuk oleh paling kurang 2 (dua) orang WUB. Pemaknaan “Baru” sebagai Wirausaha dalam batasan 'dimensi waktu' berdasarkan lama usaha, terhitung sejak berdirinya usaha maksimal 5 (lima) tahun. Pemaknaan Wirausaha “Baru” dalam lingkup Pergub ini, menurut penulis dapat dikategorikan sebagai berikut : (a)
Kelompok wirausaha yang “baru” pada tahapan “ide gagasan usaha” (business idea phase), yaitu fase pada tataran ide membuat gagasan usaha yang dilakukan calon
Foto: Humas Bappeda
wirausaha yang setelah mengikuti tahapan pelatihan, pemagangan, dan pendampingan u s a h a t e l a h m e n d i r i k a n u s a h a ba r u didasarkan pada proposal usahanya. Menurut dimensi waktu, WUB memulai sejak 0 (nol) tahun, sehingga evaluasi capaian indikator kinerja dilakukan setelah setahun, yang b e r a d a pa d a i n d i k a to r o u t p u t , y a i t u “memulai” usaha baru yang teridentifikasi dari profil pengusaha dan profil perusahaan yang telah mulai berjalan. (b)
Kelompok wirausaha yang “baru” pada tahapan memulai usaha (starp-up business phase), yaitu fase pendirian usaha telah memulai usahanya dan berjalan selama jangka waktu 1 sampai dengan 2 tahun. Evaluasi capaian pada indikator output dan outcame teridentifikasi dari perkembangan omzet penjualan dan peningkatan laba usaha yang didasarkan pada profil perusahaan sebagai data awal sebelum mengikuti Program WUB dan dievaluasi setelah 1-2 kemudian setelah mengikuti tahapan pendampingan Program WUB.
(c)
Kelompok wirausaha yang “baru” pada tahapan pengembangan usaha (development business phase), yaitu fase pengembangan
usaha yang telah berjalan selama 3 sampai dengan 5 tahun. Evaluasi capaian pada indikator output dan oucame, teridentifikasi dari profil perusahaan atas perkembangan omzet penjualan dan peningkatan laba usaha, kapasitas usaha, dan penambahan tenaga kerja yang didasarkan data awal sebelum mengikuti program WUB yang dievaluasi setelah 1 – 2 tahun kemudian, setelah mengikuti program WUB. Berdasarkan indikator evaluasi penilaian WUB dalam dimensi waktu lama berusaha, maka pola penilaian peserta WUB yang pada tahapan rekruitmen didasarkan pada Calon Penerima Calon Lokasi (CPCL) yang bertumpu hanya pada “by name by address” sebagaimana yang dilaksanakan pada kegiatan hibah daerah dan bantuan sosial, yang bertujuan untuk memastikan ketepatan sasaran penerima manfaat. Namun, berbeda pada saat mengevaluasi WUB pada tahapan Output, Outcame, Banefit dan Impact, maka harus didasarkan pada data Profil Pengusaha dan Profil Perusahaan secara terpadu dengan memperbandingkan antara sebelum dan sesudah mengikuti Program Pencetakan WUB di PD Pelaksana.
Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda
39 65
3.1.Target Kuantitatif Pencetakan Wirausaha Baru di Jawa Barat Penciptaan WUB di Jawa Barat selama 5 (lima) tahun (2014-2018) telah ditetapkan target sebanyak seratus ribu WUB, mengacu pada Pergub Jawa Barat No. 79 Tahun 2015, Pasal 4 (1). Target capaian secara kuantitatif ini telah ditetapkan terhadap 13 PD Pelaksana di Jawa Barat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 (2) Pergub tersebut dengan capaian pertahun sebagaimana tabel berikut. Tabel 3 Target Pencetakan Seratus Ribu Wirausaha Baru di Jawa Barat Selama 5 tahun (2014-2018) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Dinas PD Pemprov Jawa Barat Dinas Koperasi, UMKM Dinas Prindag Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dinas Perikanan & Kelautan Dinas Peternakan Dinas Perkebunan Dinas Kehutanan Dinas Pariwisata & Kebudayaan Dinas Energi & Sumber Daya Mineral Dinas Olah Raga & Pemuda Dinas Pendidikan Dinas Kesehatan Jumlah
2014 3.000 3.000 1.000 3.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0 0 17.000
Capaian Selama 5 (tahun/orang) 2015 2016 2017 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 1.000 1.000 1.000 3.000 3.000 3.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 21.000 21.000 21.000
2018 3.000 3.000 1.000 3.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 2.000 2.000 21.000
Jumlah (orang) 15.000 15.000 5.000 15.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 8.000 8.000 101.000
Sumber : Pergub Jabar No.79 Tahun 2015, Pasal 4 (2) (diolah)
Berdasarkan tabel di atas, bahwa 13 dinas sebagai PD Pemerintah Provinsi Jawa Barat diberikan target capaian tahunan selama 5 (lima) tahun yang secara kuantitatif mencetak wirausaha baru. Dalam Pergub Jawa Barat No. 79 Tahun 2015 memang tidak membahas tentang capaian indikator 'kualitatif' WUB, tetapi setiap kegiatan yang dilakukan instansi pemerintah, tentunya harus didasarkan pada Indikator kinerja kegiatan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Berdasarkan Inpres tersebut, mengacu kepada Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang didasarkan pada Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor: 239/IX/6/8/2003, bahwa indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang telah ditetapkan berdasarkan inputs, outputs, outcomes, beneďŹ ts, dan impacts. Karena itu, capaian target secara kuantitatif juga merupakan capaian kualitatif secara satu-kesatuan dalam menyusun penilaian kinerja kegiatan.
3.2.Realisasi Capaian Kinerja Kuantitatif Kegiatan Pencetakan Wirausaha Baru Pelaksanan kegiatan pencetakan seratus ribu WUB di Jawa Barat telah berlangsung selama 3 (tiga) tahun, mulai tahun 2014 sampai dengan 2016. Capaian realisasi kinerja kegiatan secara kuantitatif yang dilakukan oleh 13 dinas PD Pelaksana dapat dilakukan evaluasi kinerja atas target capaian tahunan selama 3 tahun, sejak tahun 2014 hingga 2016. Sumber pembiayaan program, mengacu kepada Pergub Jabar Nomor 70 Tahun 66
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
2015 pada Pasal 18, bahwa pendanaan Program Pencetakan Seratus Ribu WUB di Daerah Jawa Barat bersumber dari : (a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat; dan (b) Sumber lain yang sah tidak mengikat, di luar APBD Provinsi Jawa Barat. Dalam kurun waktu 3 tahun, realisasi tahunan capaian kuantitatif WUB yang dilakukan oleh 13 dinas PD Pelaksana dapat diidentiďŹ kasi pada tabel 4 berikut.
Tabel 4 Realisasi Pencetakan Seratus Wirausaha Baru Di Jawa Barat Menurut Sumber Pendanaan (APBD* & Non APBD**) Selama 3 tahun (2014-2016) No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Dinas (PD) Pemprov Jawa Barat Dinas Koperasi, UMKM Dinas Prindag Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dinas Perikanan & Kelautan Dinas Peternakan Dinas Perkebunan Dinas Kehutanan Dinas Pariwisata & Kebudayaan Dinas Energi & Sumber Daya Mineral Dinas Olah Raga & Pemuda Dinas Pendidikan Dinas Kesehatan
Jumlah Persentase (%)
Target 3 tahun ( 2014 2016 ) 9.000 9.000 3.000
Realisasi Pencetakan WUB Selama 3 tahun (orang) Tahun 2014 APBD
Tahun 2015 Total
APBD
300 150 1.705
Non APBD 6.252 1.105 87
6.552 1.255 1.792
9.000
0
120
3.000 3.000 3.000 3.000 3.000
712 851 0 447 0
3.000 3.000 4.000 4.000 59.000
Tahun 2016
1.500 657 2.919
Non APBD 2.795 2.518 309
Total
APBD
Non APBD 2.004 2.900 2.743 1.768 713 230
4.295 3.175 3.228
120
530
60
590
697
0 558 707 608 175
712 1.509 707 1.055 175
683 776 350 500 200
0 454 800 500 660
683 1.270 1.150 1.000 880
30
0
30
250
3.075
200 0 0 4.395 31,29
40 0 0 9.652 68,71
240 0 0 14.047 100
200 131 650 9.546 47,70
40 0 0 11.011 53,56
Total
Capaian Realisasi (3 tahun) Jumlah %
4.904 4.513 943
15.251 8.943 5.569
169,00 99,37 185,63
0
697
1.407
15,63
928 808 350 540 280
0 5.10 400 0 553
928 1.318 750 540 833
2.323 4.007 2.607 2.590 1.368
77,43 133,57 86,90 86,33 45,60
3.325
400
1.282
1682
5.037
167,90
240 131 650 20.557 100
300 150 3.470 13.375 66,43
0 0 0 6.759 33,57
300 150 3.470 20.134 100
780 281 4.120 55.282
26,00 7,03 103,00 93,69
Sumber : Dinas KUKM Jawa Barat, 2017 (diolah) Keterangan : *APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat) **Non-APBD (Pendaan berasal dari APBN, CSR, Jabar Masagi, dan sumber lain di luar APBD*)
Berdasarkan tabel 4 di atas, menunjukkan bahwa realisasi capaian jumlah WUB selama 3 tahun (2014 – 2016) mencapai 93,69% dari jumlah target capaian secara kuantitatif yang dilakukan 13 dinas PD di Jawa Barat. Persentase ketidaktercapaian atas kuantitas jumlah WUB tersebut, disebabkan karena terdapat 8 (delapan) dinas PD Pelaksana kegiatan WUB pencapaian targetnya di bawah seratus persen, hanya 5 (lima) dinas PD Pelaksana yang mampu melebihi target capaian kuantitatif, antara lain : (1) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (185,63%); (2) Dinas Koperasi dan UMKM (169%); (3) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (167,90%); (4) Dinas Peternakan (133,57%); (5) Dinas Kesehatan (103%).
Adapun pengelolaan kegiatan WUB menurut sumber pendanan WUB pada tahun 2014, berasal dari 68,71% bersumber dari Non-APBD dan 31,28 % bersumber dari APBD Provinsi Jawa Barat, sumber pendanaan WUB tahun 2015 berasal dari 53,56% Non-APBD dan 47,70% bersumber dana APBD Provinsi Jawa Barat, sedangkan tahun 2016 sumber pendanaan WUB berasal dari 66,43% APBD Provinsi Jawa Barat dan 33,57% bersumber dana Non-APBD Provinsi Jawa Barat. Capaian persentase menurut sumber pendanaan WUB selama 3 (tiga) tahun ini terhadap jumlah pencetakan WUB, ternyata hampir sama besarannya hanya sedikit lebih besar jumlah WUB yang didanai dari NonAPBD Provinsi Jawa Barat.
3.3.Program Pencetakan Seratus Ribu WUB dan Pengaruhnya Terhadap Perluasan Lapangan Kerja Di Jawa Barat Program Pencetakan Seratus Ribu WUB dan Program Membuka 2 juta Lapangan Kerja Baru di Jawa Barat sebagai janji Gubernur Jawa Barat yang telah tertuang dalam RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018. Selama tiga tahun ini, kedua program tesebut dalam pelaksanaannya mengacu pada pedoman pelaksanaan tersendiri yang berbeda dan diidentifikasi tidak memiliki keterkaitan. Dalam perspektif indikator kinerja kegiatan Program WUB yang bersifat kualitatif, diharapkan WUB penerima manfaat mampu mengembangkan usahanya sehingga dapat membuka lapangan kerja baru (tahapan indikator kinerja benefit). Namun, sebagian besar 13 dinas PD Pelaksana lebih memfokuskan pada capaian indikator kuantitatif saja, karena judul program Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
67
mencerminkan capaian jumlah pencetakan “Seratus Ribu” WUB dan tidak tersurat capaian indikator kualitatif dalam Pergub Jabar No.79 Tahun 2015, sehingga akibatnya diidentifikasi akan mengabaikan capaian indikator kualitatif, terutama kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja baru sebagai suatu hipotesis. Oleh karena itu, untuk membuktikan hipotesis tersebut perlu dilakukan evaluasi terhadap Program WUB” yang mengacu kepada pemaparan evaluasi penilaian kinerja Program WUB yang telah dipaparkan di atas.
IV Penutup Janji Gubernur Jawa Barat tentang pencetakan seratus ribu WUB dan membuka dua juta lapangan kerja baru sebagai program yang tertuang dalam RPJMD Jawa Barat Tahun 2013-2018 akan diper tanggung jawabkan pada masa akhir pemerintahan pada tahun 2018. Capaian indikator kinerja tahunan kegiatan pencetakan seratus ribu WUB dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun (2014-2016) dalam realisasi target capaian secara kuantitatif mencapai 93,69%. Berbagai aspek yang menyebabkan ketidaktercapaian target kuantitatif tahunan selama tiga tahun terjadi pada 8 (delapan) dinas PD Pelaksana. Oleh karena itu, diharapkan dua tahun menjelang akhir (2017-2018) 13 Dinas PD Pelaksana di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus berusaha memenuhi target capaian yang telah ditetapkan dalam Pergub Jabar No.79 Tahun 2015 pasal 4 (2) seperti pada tabel 3. Upaya yang telah dilakukan beberapa dinas PD Pe l a k s a n a d e n g a n ke t e r b a t a s a n s u m b e r pendanaan APBD tahunan Provinsi Jawa Barat untuk membiyai Program Pencetakan Seratus Ribu WUB, maka diidentifikasi mencari sumber pendanaan Non-APBD Provinsi Jawa Barat yang berasal dari dana : APBN, APBD kab/kota di Jawa Barat dan , CSR, dalam bentuk program yang telah berjalan, seperti pembinaan UKM melalui CSR, pembinaan teknis Pemerintah Pusat kepada dinas
PD Pelaksana, Program Jabar Masagi, dan jenis program lainnya. Bentuk operasionalisasi sumber pendanaan dalam pencetakan WUB yang dibiyai Non-APBD Provinsi Jawa Barat diidentifikasi tidak mengikuti tahapan kegiatan sesuai Pergub Jabar No.79 Tahun 2016 seperti pada Gambar 4 (Rekruitmen dan persyaratan, Seleksi, Pemagangan, dan Pendampingan), tetapi disesuaikan dengan program masing-masing dalam bentuk keluaran. Output (keluaran) yang telah dibiayai dana Non-APBD yang diidentifikasi berdasarkan pada jenis usaha berdasarkan “by name by address”, karena belum sepenuhnya memiliki data profil pengusaha dan profil perusahaan yang lengkap beserta perkembangannya. Evaluasi penilaian indikator kualitas kinerja sangat penting dalam mengukur keberhasilan Program Pencetakan Seratus Ribu WUB di Jawa Barat, untuk melihat sejauhmana manfaat terhadap penyerapan tenaga kerja baru dan dampak pengaruh terhadap peningkatan perekonomian lokal dalam lingkup daerah. Di samping itu, terdapat kelemahan dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 79 Tahun 2015, yaitu Pasal 7 (2), bahwa dalam persyaratan peserta membuat pernyataan keberlangsungan usaha. Namun, realisasi pada kelompok WUB yang berada pada fase ide gagasan usaha (business idea phase), terdapat WUB yang tidak dapat memulai usaha, atau fase selanjutnya mengalami kerugian sehingga tidak terjadi keberlangsungan usaha dengan berbagai alasan. Dalam pergub tersebut tidak ada sanksi yang dikenakan kepada WUB yang bersangkutan, sehingga surat pernyataan tersebut tidak bermakna. Kendala yang terjadi terhadap WUB pada tahapan fase ide gagasan usaha yang baru akan memulai usaha belum adanya “Skema Kredit WUB” sebagaimana yang dirumuskan dalam Buku 3/4: Simulasi Penciptaan WUB Provinsi Jawa Barat (Bappeda Jabar, 2014) seperti pada gambar berikut.
Gambar 6 : Skema Pembiayaan Wirausaha Baru
68
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Pentingya Skema Kredit WUB bagi peserta pada fase ide gagasan usaha yang baru memulai 0 (nol) tahun, karena tidak dapat difasilitasi kredit perbankan, termasuk melalui fasilitasi Kredit Cinta Rakyat (KCR) produk Bank BJB. Skema pinjaman melalui kredit perbankan menyaratkan kegiatan usaha telah berjalan lebih dari 2 tahun adalah bertujuan untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan usaha dilengkapi dengan laporan keuangan tahunan. Akibatnya WUB pada fase ini kesulitan memperoleh kredit pembiayaan dari berbagai sumber pendanaan sehingga mengakibatkan tidak memulai usaha. Dalam perspektif habitus sebagai model yang dirumuskan Boerdieu, bahwa kapital ekonomi dalam bentuk modal investasi maupun modal kerja harus dimiliki oleh WUB, agar melalui modal intelektualnya dapat mengembangkan modal budaya dalam jaringan bisnis usaha. Dengan hanya mengandalkan modal intelektual semata tanpa memiliki dan menyinergikan modal ekonomi dan modal budaya pada 'arena' (jaringan usaha) yang tidak memberikan peluang positif bagi berkembangnya habitus yang tepat, maka sulit u n t u k W U B m a m p u b e r ke m b a n g . U n t u k menciptakan wirausahawan unggul menurut teori David Mc. Clelland dalam dirinya harus memiliki motivasi berprestasi (n-Ach; n-Aff; n-Pow) yang tinggi. Karena dalam 'arena' lingkup jaringan bisnis usaha terjadi hukum evolusi, bahwa siapa yang kuat dia akan bertahan (survival and fittest) sehingga habitus yang memiliki motivasi berprestasilah yang akan menjadi wirausahawan unggul.
New York. 2. Bappeda Jabar, 2014, Rencana Besar Penciptaan 100.000 Wirausaha Baru Provinsi Jawa Barat 2013 – 2018 (Buku 1 /4), B a d a n Pe re n c a n a a n Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat, April 2014. 3. ------------------------------, Simulasi Penciptaan 100.000 Wirausaha Baru Provinsi Jawa Barat 2013 – 2018 (Buku 3/4), B a d a n Pe re n c a n a a n Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat, April 2014. 4. Harker, Richard; Mahar, Cheelen; Wikers, Chris, 1990, An Introduction to the Work Perre Bourdie: The Pratice Theory; diterjemahkan oleh Pipit Maizer : (Habitus x Modal = Praktik , Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta. 5.
Mahmudi, 2004, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Penerbit UPP AMP-YKPN, Yogyakarta.
6. Mc.Clelland, David, 1973, Memacu Masyarakat Berprestasi, terjemahan Siswo Suyanto, Penerbit Intermedia, Jakarta.
Peraturan dan Perundang-undangan 1. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda, ser ta Penyediaan Prasarana dan Sarana Kepemudaan.
Semoga dengan dilakukan evaluasi penilaian indikator kinerja kegiatan WUB, maka desain perencanaan dan pengembangan Program WUB di Jawa Barat ke depan dapat diinspirasi dari Teori Motivasi Berprestasi model David Mc. Clelland melalui Habitus yang dikembangkan dalam praktek sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Penciptaan Seratus Ribu WUB yang berkualitas akan mampu membuka lapangan kerja dan lapangan usaha baru, demi terwujudnya masyarakat Jawa Barat yang makmur untuk semua, semoga.
4. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2013 – 2018.
Daftar Pustaka
5. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 58 Tahun 2014 tentang Pedoman Pencetakan Seratus Ribu Wirausaha Baru.
1. Bourdieu, Pierre, 1986, 'The Form of Capital' dalam J.G. Richardson (edit.), Handbook of Theory and Research for the Sociology, Grenwood Press,
2. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. 3. Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor : 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 79 Tahun 2015 tentang Pencetakan Seratus Ribu Wirausaha Baru Di Daerah Provinsi Jawa Barat.
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
69
Foto: Humas Bappeda
70 Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017 70
WAWA S A N PERENCANAAN
STUDI PENGEMBANGAN
MINA PADI DI JAWA BARAT
Oleh
Agus Ruswandi*
Kemiskinan dan pengangguran masih merupakan karakteristik petani di Jawa Barat. Mina padi dapat menyediakan pendapatan dan bahan makanan yang cukup bagi petani miskin karena selain bulir padi dapat dihasilkan protein berkualitas tinggi pada sebidang lahan yang sama. Padi merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Jawa barat. Dimana padi umumya kekurangan protein terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh, dan wanita hamil atau sedang menyusuai.
*) Peneliti Balitbangda Provinsi Jawa Barat
Foto-foto: Humas Bappeda
S
tudi Pengembangan Mina Padi di Jawa Barat dilaksanakan dari bulan Januari hingga bulan Desember 2015 di beberapa sentra pertanaman padi di Jawa Barat yang mencakup kabupaten Purwakarta, Subang, Bandung, Cianjur, Tasikmalaya dan Ciamis. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan perkembangan mina padi di Jawa Barat. Sedangkan luaran dari kegiatan ini adalah diperolehnya data dan informasi mengenai: (1) keragaan mina padi di Jawa Barat terutama pada lahan sawah berpengairan; (2) permasalahan dan peluang pengembangan mina padi di tingkat petani; dan (3) Rekomendasi pengembangan mina padi di Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) yang operasionalisasi pengumpulan data/informasi mencakup desk study, observasi langsung, dan diskusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Petani di Jawa Barat saat ini, sebagian besar merupakan petani lapisan bawah (kecil) dengan penguasaan dan pengusahaan lahan yang relatif sempit (< 0,20 ha). Pada dasarnya petani kecil tersebut bercirikan, antara lain: (1) sangat terbatasnya penguasaan terhadap sumberdaya, (2) sangat menggantungkan hidupnya pada usahatani, (3) tingkat pendidikan yang relatif rendah, (4) secara ekonorni tergolong miskin dan (5) Petani umumnya adalah pemilik sekaligus penggarap. Sebagian besar generasi muda yaitu yang berumur 15-30 tahun, telah meninggalkan bidang pertanian untuk melakukan urbanisasi ke kota-kota besar karena sektor pertanian diidentikkan tradisional, tidak menjanjikan, dan tidak memberikan nilai tambah. Pendapatan bersih sistem mina padi adalah sebesar Rp. 11.562.200, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan sistem non mina padi yang memberikan pendapatan bersih sebesar Rp. 13.810.000 untuk setiap ha nya (Tabel 14). Usaha mina padi menunjukkan R/C rasio 2,20, artinya usaha tersebut mampu memberikan penerimaan sebesar 2,20 kali biaya atau dengan keuntungan bersih sebesar 120%. Pada beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan adanya penurunan usaha mina padi di Jawa Barat yang disebabkan karena: (a) Kerusakan jaringan irigasi; (b) Serangan burung dan pencurian; (c) Penyuluhan kurang intensif; dan (d) Rendahnya kualtas air sawah. Kata Kunci: Mina Padi, 72
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
PENDAHULUAN Kemiskinan dan pengangguran masih merupakan karakteristik petani di Jawa Barat. Mina padi dapat menyediakan pendapatan dan bahan makanan yang cukup bagi petani miskin karena selain bulir padi dapat dihasilan protein berkualitas tinggi pada sebidang lahan yang sama. Padi merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Jawa barat. Dimana padi umumya kekurangan protein terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh, dan wanita hamil atau sedang menyusuai. Ikan adalah sumber utama protein dari hewan yang penting di Indonesia hingga saat ini. Pada tahun 1986, konsumsi ikan per kapita di Indonesia adalah 14,7 kg/kapita/tahun dan meningkat menjadi 15,1 kg/kapita/tahun pada tahun 1987. Namun demikian, pertumbuhan rata-rata konsumsi ikan di Indonesa masih jauh di bawah negara-negara di Asia seperti Malaysia, Philippines, Thailand, Singapura, dan Brunai (FAO, 1984). Berdasarkan data tahun 1980-1982 untuk negara-negara ini, rata-rata konsumsi ikan ber turut-turut adalah 47,6; 33,4; 30,2; 32,2; dan 33,6 kg/kapta/tahun. Penyebab utama rendahnya konsumsi ikan adalah rendahnya ketersediaan ikan dan rendahnya ekonomi masyarakat di perdesaan. Pengembangan pemeliharaan ikan yang murah pada
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
73
petani padi sawah dapat membantu dalam peningkatan ketersediaan ikan di perdesaan, menyediakan keuntungan nutrisi dan penambahan peluang kerja bagi masyarakat perdesaan. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan perkembangan mina padi di Jawa Barat. Sedangkan luaran dari kegiatan ini adalah diperolehnya data dan informasi mengenai: )1) Keragaan mina padi di Jawa Barat terutama pada lahan sawah khususnya yang berpengairan teknis; 2) Permasalahan dan peluang pengembangan mina padi di tingkat petani; dan (3) Rekomendasi pengembangan mina padi di Jawa Barat.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari hingga Agustus 2015 di beberapa sentra pertanaman padi di Jawa Barat. Sesuai dengan tujuan penelitian, pemilihan kabupaten/kota ditentukan secara purposive dengan kriteria sebagai daerah sentra padi dengan lahan sawah berpengairan. Berdasarkan kriteria ini kabupaten yang dipilih adalah: Kabupaten Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Cianjur. Selanjutnya pada setiap Kabupaten dipilih satu Kecamatan yang memiliki lahan sawah berpengairan yang menerapkan mina padi. Pada setiap Kecamatan kemudian dipilih 1-2 desa dengan kriteria yang sama dengan penentuan Kabupaten dan Kecamatan. Metode Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) yang operasionalisasi pengumpulan data/informasi mencakup desk study, observasi langsung, dan diskusi (Hardinsyah et al., 1998 dan Calub, 1999). Penelitian ini merupakan penelitian dua tahap, yaitu: (1) Pencarian data sekunder dan literatur, dan (2) Pengambilan data primer melalui survei lapang, pengolahan, dan analisa data perbandingan. Unit-unit contoh dalam penelitian ini adalah petani padi sawah Pemilihan petani responden dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan menggunakan sistem sampel stratiďŹ kasi sederhana (StratiďŹ ed sample). Populasi petani dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan sistem mina padi dan sistem non mina padi. Kemudian dari masing-masing populasi tersebut diambil masingmasing 5 responden per desa, sehingga terdapat responden sebanyak 40 orang. Data untuk penelitian ini dikumpulkan dari tingkat petani (data 74
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
primer) dan data sekunder, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung terhadap responden yang telah dipiih sebelumnya dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan kunci. Data primer yang dikumpulkan berupa biaya yang meliputi biaya tunai dan biaya tidak tunai, produksi dan penerimaan dalam usahatani padi sawah dalam satu kali produksi, hasil produksi ďŹ sik dan nilai p ro d u k s i d a r i u s a h a t a n i pa d i s e r t a d a t a penggunaan input usahatani seperti benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Sedangkan data sekunder digunakan untuk mendukung data primer. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi/dnas serta media cetak yang berkaitan dengan masalah penelitian seperti Badan Pusat Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah, Kecamatan, Kelurahan/Desa, informasi dari hasil penelitian serta tulisan yang berkaitan penelitian. Pengolahan dan analisis data disesuaikan dengan data yang tersedia dan tujuan yang hendak dicapai. Analisis yang dilakukan adalah analisis perbandingan biaya dan pendapatan (R/C ratio). Data yang diperoleh diolah dan disederhanakan dengan bantuan kalkulator dan komputer dengan menggunakan Microsoft Excel serta disajikan dalam bentuk tabulasi dan diuraikan secara deskriptif. Penelitian ini membandingkan keragaan usahatani padi sawah menurut sistem mina padi dan sistem non mina padi dengan data usahatani pada musim tanam pertama (Januari-April 2015).
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Mina Padi Budidaya Minapadi yakni budidaya ikan dan tanaman padi yang dikerjakan dalam lahan yang sama, kini menjadi salah satu alternatif usaha yang dapat memberikan nilai tambah pendapatan bagi pembudidaya ataupun petani. Usaha budidaya minapadi ini telah berkembang dengan cukup baik. Baik sebagai usaha pendederan ataupun sebagai usaha pembesaran. Dari empat kabupaten wilayah penelitian ternyata kabupaten Cianjur memiliki lahan mina padi terluas, yaitu mencapai 12.980,9 ha diikuti kabupaten Garut seluas 8.603,7 ha, Tasikmalaya seluas 4.703,4 ha, dan Bandung seluas 4.480,6 ha berturut-turut dengan produksi sebesar 6.256,0 ton, 3.591,6 ton, 6.158,2 ton dan 2.502,0 ton (Tabel 6; Pusdalisbang, 2014). Kabupaten Tasikmalaya dengan luas areal mina padi yang lebih kecil dibandingkan kabupaten Cianjur, tetapi jumlah rumah tangga yang terlibat lebih besar, yaitu masing-masing sebesar 23.836 RTP dan 20.321 RTP.
Tabel 6. Keragaan Budidaya Pemeliharaan Ikan di Lahan Sawah (Mina Padi) di Masing-Masing Kabupaten Wilayah Penelitian. 2012 No 1. 2. 3. 4.
Kabupaten Cianjur Garut Tasikmalaya Bandung Jawa Barat
Luas Areal (ha) 12.980,9 8.603,7 4.703,4 4.48,6 34.496,3
Produksi (t) 6.256,0 3.591,6 6.158,2 2.502,0 22.647,6
Nilai Produksi (Rp.) 119.013.000 61.056.461 118.347.847 30.641.245 154.301.067
Jumlah Rumah Tangga 20.321 10.389 23.836 4.431 65.513
Sumber: Pusdalisbang (2014)
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
75
Analisis Biaya Usahatani Analisis biaya usahatani dilakukan untuk mengetahui biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam menjalankan usahataninya. Dalam analisis biaya usahatani padi sawah dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai yang dikeluarkan dalam usahatani padi sawah terdiri atas baya penggunaan benih padi, pupuk kimia, pestisida, tenaga kerja mesin (traktor, dan lain-lain), tenaga kerja luar keluarga, biaya transportasi, biaya sakap, pajak lahan, biaya sewa alat pertanian (semprotan), dan sewa lahan. Untuk sistem mina padi, biaya tunainya bertambah dari pemasukan input benih ikan. Sedangkan penyusutan peralatan pertanian dan perikanan, jumlah HOK yang dikeluarkan untuk pemanenan mina padi yang berasal dari tenaga kerja dalam keluarga, dan benih ikan tergolong ke dalam biaya tidak tunai (Tiku, 2008). Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk usahatani mina padi dan non mina padi seperti terlihat pada Tabel 7. Ratarata benih padi yang digunakan pada usahatani mina padi dan non mina padi berturut-turut 28 kg dan 35 kg per ha. Biaya pemupukan urea, SP-36 dan KCl adalah masing-masing sebesar Rp. 616.600, Rp. 300.600, dan Rp. 220.600 untuk sistem mina padi, dan Rp. 660.00, Rp. 175.600, dan Rp. 175.600 untuk sistem non mina padi. Sedangkan penggunaan insektisida untuk kedua sistem usahatani tersebut adalah sama, yaitu sebesar Rp. 750.000/ha. Biaya rata-rata tenaga kerja luar keluarga adalah sebesar Rp. 20.000 per hari (HOK) untuk tenaga kerja pria, dan Rp. Rp. 16.000 per hari untuk tenaga kerja wanita. Biaya sewa alat pertanian (hanya semprotan) adalah Rp. 5.000 per hari (HOK). Sedangakan pajak lahan di seluruh wilayah penelitian sebesar Rp 15,00/m2. Jumlah pajak lahan yang diperoleh berasal dari hasil perkalian antara luas lahan yang dimiliki dengan satuan pajak per meter perseginya. Pendapatan bersih sistem mina padi adalah sebesar Rp. 11.562.200, sedikit lebh rendah dibandingkan dengan sistem non mina padi yang memberikan pendapatan bersih sebesar Rp. 13.810.000 untuk setiap ha nya (Tabel 14). Usaha mina padi menunjukkan R/C rasio 2,20, artinya usaha tersebut mampu memberikan penerimaan sebesar 2,20 kali biaya atau dengan keuntungan bersih sebesar 120%.
76
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Permasalahan Mina Padi dan Alternati Pemecahannya Pada beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan adanya berbagai permasalahan usaha mina padi di tingkat petani yang perlu diantisipasi segera. Beberapa permasalahan terkait dengan usahatani berbagai komoditas pertanian dapat dijelaskan, sebagai berikut: Penurunan Areal Mina Padi. Pertumbuhan produksi sistem mina padi telah terjadi pada beberapa tahun terakhir ini yang disebabkan karena penurunan luas panen dan kapasitas p r o d u k s i , s e r t a ke g a g a l a n d a l a m u p a y a mengantisipasinya (Tabel 8). Luas baku lahan sawah cenderung menurun karena terjadinya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian, yang mencapai sekitar 40.000 ha/tahun dan kerusakan jaringan irigasi mengakibatkan penurunan areal mina padi.. Pada tahun 2010, jaringan irigasi dalam kondisi rusak berat dan ringan mencapai 46% dari seluruh jaringan irigasi yang ada di Jawa Barat (Pemda Prov. Jawa Barat, 2010). Selanjutnya, luas baku lahan sawah di Jawa telah mengalami pertumbuhan negatif (berkurang absolut) sejak 1980-an dan terus mengalami percepatan penurunan pada beberapa tahun terakhir ini. Tingkat penurunan luas baku lahan sawah dan kerusakan jaringan irigasi tersebut telah mencapai titik yang menghawatirkan yang mengakibatkan penurunan produksi beberapa komoditas pertanian. Oleh karena itu, pembuatan lahan sawah baru dan perbaikan serta perluasan jaringan irigasi seyogyanya menjadi prioritas penanganan pemerintah daerah. Pada lahan sawah juga telah terjadi penurunan produktivitas lahan (kesuburan tanah) sebagai akibat penggunaan lahan secara intensif, seperti: pengolahan tanah sempurna, intensitas tanam tinggi, pemupukan sangat tinggi, irigasi intensif. Penurunan kesuburan tanah telah menyebabkan respon tanaman terhadap pemupukan sangat rendah, sehingga takaran pupuk harus ditingkatkan agar hasil panen tidak menurun. Akibatnya kualitas air juga urang optimal bagi peneliharaan ikan di asawah.
Tabel 7. Analisis Usahatani Mina Padi dan Non Mina Padi di Jawa Barat. 2015
Tabel 8. Program dan Kegiatan Unggulan Pengembangan Mina Padi Berdasarkan Permasalahan Utama
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
77
Dalam upaya mengantisipasi permasalahan produktivitas lahan tersebut, maka telah dikembangkan Pengelolaan Tanaman Terpadu (Integrated Crop Management) dalam suatu sistem usahatani Terpadu (Tanaman-Ternak) dengan elemen pokok adalah perbaikan dalam pengelolaan tanah, cara tanam, dan pemupukan. Pengembangan sistem usahatani Terpadu dirancang berdasarkan permasalahan yang spesiďŹ k lokasi dan diterapkan oleh petani secara luas atau skala ekonomi. Hal ini berarti, bahwa tim pelaksana harus mencakup peneliti, petani, dan penyuluh dalam suatu tim yang utuh. Penyuluh diharapkan dapat memainkan peranan penting dalam berbagai aspek, antara lain: (1) mengetahui dan menganalisis kebutuhan inovasi teknologi dan respon petani terhadap inovasi teknologi sehingga setiap hasil penelitian dapat diterima oleh petani secara luas; (2) meningkatkan dinamika kelompoktani dan kelembagaan pendukung usaha pertanian lainnya; (3) memfasilitasi kemitraan antara petani dan swasta; dan (4) penyebarluasan berbagai informasi/inovasi teknologi kepada target pengguna/petani. Pendekatan sistem usaha terpadu dikembangkan secara luas karena berbagai alasan, antara lain: (1) ketidakberdayaan petani kecil dengan keterbatasan sumberdaya mengadopsi teknologi yang direkomendasikan; (2) perlunya mengurangi risiko usahatani melalui pendekatan diversiďŹ kasi; (3) perlunya meningkatkan produktivitas; (4) perlunya mengembangkan keter sediaan pekerjaan dan memperkuat pendapatan usahatani; (5) perlunya melestarikan lingkungan secara berkelanjutan. Berbagai permasalahan keluarga tani adalah saling terkait, satu masalah akan menimbulkan permasalahan baru, sehingga usaha pemecahannya harus komprehensif. Berdasarkan pengalaman dari beberapa periode sebelumnya (1970an-1990an), pendekatan pengembangan sistem usahatani terpadu terus disempurnakan pada periode 2000an, yang secara bertahap, berubah menjadi pendekatan sistem dan usaha agribisnis (Bachrein, 2006). Dalam pendekatan ini, pengembangan tidak saja terbatas pada usaha budidaya pertanian dalam perspektif sistem usaha per tanian, tetapi mencakup pengembangan industri hulu pertanian, industri hilir pertanian, serta berbagai jasa pendukung. Disadari bahwa, meskipun Indonesia
78
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Dalam pendekatan ini, pengembangan tidak saja terbatas pada usaha budidaya pertanian dalam perspektif sistem usaha pertanian, tetapi mencakup pengembangan industri hulu pertanian, industri hilir pertanian, serta berbagai jasa pendukung
berhasil menjadi salah satu produsen terbesar untuk beberapa komoditas primer di dunia, tetapi Indonesia belum memiliki kemampuan bersaing di pasar internasional. Selain itu, nilai tambah yang diraih sebagian besar petani, masih relatif kecil sehingga tingkat pendapatan masyarakat tetap rendah. Pemasaran Hasil Kurang EďŹ sien Di Jawa Barat, hasil panen padi yang dihasilkan petani umumnya dijual secara langsung kepada pedagang pengumpul lokal, pedagang pengumpul luar kabupaten, dan pengusaha pengolahan lokal. Proporsi yang dijual kepada ketiga lembaga tersebut berturut-turut adalah 70%, 10%, dan 20%. Pengusaha pengolahan dan pedagang pengumpul luar kabupaten disamping membeli dari petani juga membeli hasil panen dari pedagang pengumpul lokal. Aliran hasil panen selanjutnya adalah kepada pedagang besar ibu kota Kabupaten atau pedagang besar luar Kabupaten lainnya utamanya Kota Bandung dan Kota Jakar ta. Dalam kaitan ini, pedagang lokal/menengah umumnya sudah mempunyai pelanggan tetap di masing-masing daerah/wilayah. Dari pedagang besar tersebut ke pedagang pengecer dan terakhir ke konsumen. Marjin pemasaran adalah selisih harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani yang besar kecilnya digunakan sebagai patokan untuk menentukan tingkat eďŹ siensi sistem distribusi. Semakin rendah marjin maka semakin eďŹ sien sistem distribusi yang ada, meskipun untuk lebih akurat perlu dilihat juga apakah setiap fungsi dari para pelaku telah dilaksanakan dengan biaya optimal. Pada beberapa tahun terakhir ini, terdapat kecenderungan adanya peningkatan marjin pemasaran terutama yang diterima petani karena kurang eďŹ siennya (terlalu panjang) pemasaran hasil komoditas pertanian. Industrialisasi perikanan yang saat ini menjadi fokus Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan sebuah kebijakan strategis yang diharapkan akan mampu mendorong jalannya siklus usaha perikanan secara berkelanjutan dan menjadi penggerak bagi pilar pertumbuhan ekonomi nasional yaitu Pro-poor, Pro-job, Progrowth, dan pro-enviroment. Ada 3 (tiga) faktor kunci dalam konsep industrialisasi perikanan yaitu peningkatan nilai tambah (value added), efesiensi dan daya saing (bargaining position), dimana keVolume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
79
tiga faktor tersebut akan mampu mendorong terciptanya iklim usaha yang positif sebagai upaya dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Industrialisasi perikanan akan berjalan apabila seluruh aspek penggerak siklus aquabisnis mampu dibangun secara efektif. Pencapaian produksi dan kapasitas usaha akan mampu dicapai jika para pelaku utama maupun pelaku usaha secara ekonomi mampu mencapai titik optimal dari kelayakan usaha. Sedangkan kelayakan usaha tentunya sangat bergantung pada jalannya subsistem-subsistem yang saling berinteraksi mulai dari kegitatan di hulu (on farm) sampai kegiatan di hilir (oďŹ&#x20AC; farm), hal ini karena keberadaan subsistem dalam siklus yang berjalan secara efektif akan mampu meningkatkan efesiensi produksi. Kebijakan strategis melalui industrialisasi perikanan budidaya, dinilai oleh sebagian besar masyarakat perikanan sebagai langkah positif dalam upaya mengembalikan kemandirian dan daya saing produk perikanan Jawa Barat. Sudah saatnya potensi tersebut digali dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Guna mewujudkan harapan mulia tersebut, maka perencanaan sebelum implementasi perlu menjadi fokus perhatian Pemeritah Daerah dengan melibatkan dukungan dan kerjasama sinergi dari seluruh stakeholders. Tidak dapat dipungkiri bahwa kata â&#x20AC;&#x153;Sinergitasâ&#x20AC;? memang mudah diucapkan tapi pada kenyataannya terkesan masih sulit diimplementasikan, hal ini kenapa? Karena penyakit egosentris masih melekat, sehingga menjadi faktor penghambat nomer wahid pada setiap implementasi kebijakan. Fenomena penerapan kebjakan strategis seringkali pada kenyataannya tidak fokus memberikan dukungan pada satu sasaran utama, namun seringkali masih berjalan sendiri-sendiri secara sektoral, entah karena kurangnya koordinasi ataupun penyakit egosentris tersebut. Tapi apapun itu, di Tahun 2013 ini mestinya menjadi titik balik untuk memperbaiki diri, dan menjadi ajang rembug dan komitmen nasional untuk menyatukan persepsi, tanggung jawab bersama dalam pencapaian visi dan misi demi kejayaan perikanan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Industrialisasi perikanan nasional merupakan gambaran siklus bisnis yang terintegrasi dari hulu ke hilir sebagai mata rantai yang tidak terputus
80
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
pada satu tahapan proses produksi, sehingga komitmen dan dukungan sektoral/sub sektor sangat menentukan keberhasilan. Disamping itu persamaan pendekatan baik pendekatan kawasan maupun komoditas mutlak menjadi fokus perhatian bersama sehingga dukungan apapun akan terkonsentrasi pada satu target/tujuan bersama.
kawasan pengembangan budidaya akan menjamin pergerakan rantai pasok (suplly chain) pada setiap unit produksi dengan begitu secara langsung akan mempengaruhi terhadap peningkatan efektifitas dan efisiensi jalannya siklus aquabisnis. Kelembagaan mestinya sudah harus menjadi isyu penting dalam pengembangan industrialisasi perikanan budidaya yang berkelanjutan.
Dalam hal ini pentingnya penataan “Kelembagaan” pada setiap kawasan pengembangan, karena faktor inilah yang seringkali diabaikan, sehingga konsep apapun seringkali terkendala pada saat implementasi di lapangan. Sebagai contoh, pada kenyataannya d i s e n t r a l - s e n t r a l p ro d u k s i s e c a r a u m u m kelembagaan masih belum menunjukan sebuah kelembagaan yang kuat dan mandiri baik Pokdakan maupun kelembagaan penunjang. Padahal pada negara-negara maju, faktor kelembagaan menjadi barometer utama dalam mendorong tumbuh kembangnya bisnis dan pembangunan secara umum. Kelembagaan penunjang, misalnya koperasi yang dikelola secara profesional pada
Kelembagaan juga menjadi faktor penting dalam membuka peluang membangun kemitraan u s a h a y a n g b e r s i f a t l u a s . K a re n a d a l a m industrialisasi perikanan sendiri interaksi antara subsistem/unit usaha akan berjalan efektif jika pola kemitraan tersebut mampu dibangun secara kuat dan berkelajutan. Dalam industrialisasi perikanan peran kemitraan sendiri diibaratkan sebagai “Bahan bakar ” yang tentunya akan mempengaruhi pergerakan semua sistem yang ada.
82
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
Hasil identifikasi pada beberapa kawasan pengembangan budidaya, khususnya budidaya udang, hampir secara umum keberhasilan budidaya disebabkan oleh adanya pola kemitraan
yang dibangun, dalam hal ini perusahaan pakan ikan. Tengok, misalnya konsep yang diberi nama â&#x20AC;&#x153;kampung vanameâ&#x20AC;? pada kawasan-kawasan budidaya udang di Pantura Jawa, telah secara nyata membawa keberhasilan yang cukup menggembirakan. Konsep kemitraan yang dilandasi rasa tanggung jawab dalam hubungan saling menguntungkan, sudah barang tentu akan membuahkan keberhasilan yang dirasakan bersama. Bagi penulis konsep ini, sangat baik dan telah membuktikan keberhasilannya, sehingga implementasi industrialisasi perikanan budidaya khususnya industrialisasi udang sudah sewajarnya melakukan adopsi terhadap konsep tersebut, atau bahkan melibatkan secara langsung pihak swasta (perusahaan pakan) yang mempunyai konsep maupun SOP yang jelas dan telah terbukti berhasil. Pemerintah dalam hal ini pun menyadari bahwa ada keterbatasan sumberdaya dalam melakukan implementasi kebijakan industrialisasi perikanan, sehingga perlu membuka diri bagi keterlibatan pihak-pihak terkait khususnya pihak swasta, perbankkan, perguruan tinggi dan
organisasi perikanan serta stakeholders lain dalam melaksanakan dan mengawal secara langsung pelaksanaan industrialisasi perikanan budidaya, terlebih program ini membutuhkan perencanaan dan sumberdaya baik materi maupun non materi yang tidak sedikit. Menyadari keterbatasan tersebut, pemerintah juga dapat mengambil langkah dengan mendorong pengembangan program kemitraan yang melibatkan perusahaanperusahaan besar maupun BUMN melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). CSR sebagai manifestasi peran pihak perusahaan dalam upaya pemberdayaan masyarakat lokal memang menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk tanggung jawab moral yang harus secara langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Pengembangan program kemitraan dengan pola CSR ini dapat dilakukan dalam berbagai pola, seper ti community development, Peningkatan kapasitas, promosi produk, bahkan perkuatan permodalan bagi Usaha Mikro dan Kecil. Pada beberapa kasus, program CSR telah secara nyata mampu mendukung dan memperkuat Usaha Kecil dan Menengah (UMKM), sehingga ke-depan perusahaan-perusahaan besar maupun BUMN harus dilibatkan dalam turut serta menopang kegiatan usaha perikanan budidaya. Tahun lalu, beberapa perusahaan migas yang tergabung dalam KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama) Migas telah menyampaikan niatnya untuk memberikan dukungan terhadap pengembangan perikanan budidaya melalui dana CSR di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Inilah yang seharusnya pemerintah dukung melalui fasilitasi regulasi dalam memberikan arahan terhadap alternatif kawasan dan usaha budidaya yang akan dikembangkan. Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
83
Dalam upaya mendorong pengembangan kemitraan, maka pemerintah harus melakukan langkah-langkah, antara lain: a) Memfasilitasi/mengadvokasi pengembangan kemitraan, serta mengeluarkan kebijakan dalam mendorong program kemitraan; b) Melakukan pengawalan, dan penerapan kebijakan secara konsisten baik di tingkat pusat maupun daerah; c) Memberikan reward bagi perusahaan yang b e r p re s t a s i d a l a m m e n g e m ba n g k a n d a n memperkuat UMKM Pola-pola kemitraan serupa hendaknya sudah m u l a i d i ke m b a n g k a n d i s e n t r a k a w a s a n pengembangan industrialisasi perikanan budidaya. Peran pendampingan dan penyuluhan yang profesional sangat dituntut dalam membangun kelembagaan yang kuat dan mandiri. Penyuluh bukan hanya sekedar menampung permasalahan yang ada, tetapi penyuluh profesional seyogyannya mampu menjadi, mitra, motivator, fasilitator dan dinamisator bagi pelaku utama. Peran advokasi dari penyuluh sangat diharapkan dalam membangun sebuah kelembagaan yang profesional di kawasan pengembangan budidaya.
KESIMPULAN DAN SARAN Keimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1
Petani di Jawa Barat saat ini, sebagian besar merupakan petani lapisan bawah (kecil) dengan penguasaan dan pengusahaan lahan yang relatif sempit (< 0,20 ha). Pada dasarnya petani kecil tersebut bercirikan, antara lain: (1) sangat terbatasnya penguasaan terhadap sumberdaya, (2) sangat menggantungkan hidupnya pada usahatani, (3) tingkat pendidikan yang relatif rendah, (4) secara ekonorni tergolong miskin dan (5) Petani umumnya adalah pemilik sekaligus penggarap.
2
Sebagian besar generasi muda yaitu yang berumur 15-30 tahun, telah meninggalkan bidang pertanian untuk melakukan urbanisasi ke kota-kota besar karena sektor pertanian diidentikkan tradisional, tidak menjanjikan, dan tidak memberikan nilai tambah.
3
Pendapatan bersih sistem mina padi adalah sebesar Rp. 11.562.200, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan sistem non mina padi yang memberikan pendapatan bersih sebesar Rp. 13.810.000 untuk setiap ha nya (Tabel 14). Usaha mina padi menunjukkan R/C rasio 2,20, artinya usaha tersebut mampu memberikan penerimaan sebesar 2,20 kali biaya atau dengan keuntungan bersih sebesar 120%.
4
Pada beberapa tahun terakhir terdapat kecederungan adanya penurunan usaha mina padi di Jawa Barat yang disebabkan karena: (a) Kerusakan jaringan irigasi; (b) Serangan burung dan pencurian; (c) Penyuluhan kurang intensif; dan (d) Rendahnya kualtas air sawah.
Saran Industrialisasi perikanan yang saat ini menjadi fokus Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan sebuah kebijakan strategis yang diharapkan akan mampu mendorong pengembangan mina padi secara berkelanjutan. A d a 3 ( t i g a ) f a kto r k u n c i d a l a m ko n s e p industrialisasi perikanan yaitu peningkatan nilai tambah (value added), eďŹ siensi dan daya saing (bargaining position), dimana ketiga faktor tersebut 84 Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
akan mampu mendorong terciptanya iklim usaha yang positif sebagai upaya dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Industrialisasi perikanan akan berjalan apabila seluruh aspek penggerak siklus aquabisnis mampu dibangun secara efektif. Pencapaian produksi dan kapasitas usaha akan mampu dicapai jika para pelaku utama maupun pelaku usaha secara ekonomi mampu mencapai titik optimal dari kelayakan usaha. Sedangkan kelayakan usaha tentunya sangat bergantung pada jalannya subsistem-subsistem yang saling berinteraksi mulai dari kegitatan di hulu (on farm) sampai kegiatan di hilir (off farm), hal ini karena keberadaan subsistem dalam siklus yang berjalan secara efektif akan mampu meningkatkan efesiensi produksi.
DAFTAR PUSTAKA Calub, B. M. 1999. Participation in Farming Systems Development. Farming Systems and Soil Re s o u r c e I n s t i t u t e , U n i v e r s i t y of Philippines, Los Banos, Philippines. Damayanti, Y. 2011. Potensi Dan Peluang Pengembangan Sistem Minapadi Sebagai Upaya Penanganan Dampak Perubahan Iklim Di Provinsi Jambi. Seminar Nasional Sains Dan Teknologi-IV. Jakarta Diodenha, A. 2001. Persepsi Lingkungan Petani Desa Purwasari, Kec. Dramaga, Kab. Bogor Te r h a d a p P e n e r a p a n Te k n o l o g i Intensifikasi Mina Padi (INMIDI). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fagi, A.M., S. Suriapermana dan I. Syamsiah. 1992. Rice-fish farming research in low land area: the West Java Case. Rice fish research and development in Asia. ICLARM conf. Proc. P. 273–286. Hafsanita, S.D. 2002. Analisis Ekonomi Pola Pemanfaatan Lahan Sawah Untuk Pe r i ka n a n D i Ke c a m a t a n B i n o n g , Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Hardinsyah, D. Beriawan, dan Y. Heriyanto. 1998. Kajian Kelembagaan Untuk Pemantauan Ketahanan Pangan. Kerjasama Pusat Kebijakan Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor dengan Unicef dan Biro Perencanaan, Departemen Pertanian, JakartaKaimuddian, B. Ibrahim, L. Tangko. (2008). Budidaya Padi Sawah Irigasi
dengan Aplikasi Azolla dan Ikan Nila. Jurnal Agrivior. Mei-Agustus 2008. 7(3): 242–253. Koesoemadinata, S., and B.A. Costa-Pierse. 1992. Development of rice-fish farming in Indonesia: Past, Present, and Future. P. 4562. In. C.R. ela Cruz, C. Lightfoot, B.A. Coasta-Pierse, V.R. Caranga;, M.P. Bimzo (eds.) Rice-Fish Research and Development in Asia. International Center for Living Aquatic Rresources Management (ICLARM) Conf. Proc. 24., 457p. MCPO Box 2051, 0718 Makati, Metro Manila, Philippines. Pusdalisbang. 2014 Jawa Barat Dalam Angka 2013. Pusat Data dan Analisa Pembangunan, Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Provinsi Jawa Barat. Sasa, J.J., S. Partohardjono dan A.M. Fagi. 2003. Azolla pada Mina Padi dan Pengaruhnya terhadap Produktivitas dan Emisi Gas Metan di Lahan Sawah Irigasi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 22(2): 86–95. Sasa, J.J dan O. Syahromi. 2006. Sistem Mina Padi dalam Perspektif Produktivitas Lahan, Pendapatan dan Lingkungan. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 25 (5): 1–9. Tiku, G.V. 2008. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sawah Menurut Sistem Mina Padi dan Sistem Non Mina Padi (Kasus Desa Tapos I Dan Desa Tapos Ii, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Institut Pertanian Bogor Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
85
JENDELA PERENCANAAN
Pertunjukan laser & lighting show meriahkan Gedung Sate Festival 'Semarak Pesta Rakyat' di area Gedung Sate, Kota Bandung, Sabtu (30/9/2017). Permainan laser dan tata lampu yang dipadukan musik kontemporer ini menjadi salah satu suguhan menarik bagi warga dalam puncak perayaan HUT ke-72 Provinsi Jawa Barat.
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
87
Bappeda Jabar Kembali Berprestasi
Foto-foto: Humas Bappeda
88
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
B
andung, Bappeda Jabar.- Aparatur Sipil Negara (ASN) Bappeda Provinsi Jawa Barat kembali mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat, Kamis (6/9/17).
Deny Hermawan, ST., M.T Kepala Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan meraih Juara II sebagai Pegawai Negeri Sipil Berprestasi Yang Memiliki Inovasi Atas Program/Karya Cipta Kategori Jabatan Struktural Eselon IV Tingkat Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2017.
Serta, Ade Suteja Surya, Analisis SDM Subbag Kepegawaian dan Umum meraih Juara I sebagai Pegawai Negeri Sipil Berprestasi Yang Memiliki Inovasi Atas Program/Karya Cipta Kategori Jabatan Fungsional Umum Tingkat Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2017.
Volume 29 Nomor 115 Juli - September 2017 Warta Bappeda
89
Selain itu, Bappeda Jabar juga meraih Penghargaan untuk kategori lomba Website Perangkat Daerah Provinsi Jawa Barat "Most Improved" pada acara Kominfo Awards 2017 yang berlangsung di The Trans Luxury Hotel, Bandung, Rabu (14/9/17).
90
Warta Bappeda Volume 29 Nomor 155 Juli - September 2017
BALE WIWAHA
MAJALAH
Call For Papers Kami Mengundang para Fungsional Perencana, Peneliti, Dosen, Mahasiswa dan Pemerhati Pembangunan untuk menyumbangkan artikel ilmiah populernya ke Majalah
IV I S I ED
17
r 20
mbe
ese r-D
be
Okto
Majalah Warta Bappeda merupakan produk media cetak yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat. Diproduksi secara berkala guna memberikan inspirasi, pencerahan, serta edukasi bagi pembacanya. Selain itu, bisa digunakan sebagai referensi untuk menunjang proses perencanaan pembangunan Provinsi Jawa Barat
1.
Artikel berisi gagasan tentang perencanaan pembangunan di Jawa Barat, bukan kumpulan dokumen atau regulasi.
2.
Tulisan berbentuk Karya Tulis Ilmiah Populer dengan tetap menggunakan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar/sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
3.
Isi artikel tidak memuat unsur yang merusak hubungan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan kebencian atau memunculkan aksi terorisme.
4.
Artikel belum pernah dipublikasikan di media manapun.
5.
Besaran honor yang diterima penulis berdasarkan jumlah halaman yang telah melalui proses penyuntingan.
Artikel dikirim melalui email:
wartabappedajabar@yahoo.com dengan menyertakan: identitas lengkap (biodata) dan foto penulis paling lambat tanggal:
23 November 2017 CP: 087820862434
bappeda.jabarprov.go.id Jl. Ir. H. Juanda No.287 Dago, Bandung
bappeda.jabarprov.go.id bp2apd.jabarprov.go.id pep3d.jabarprov.go.id e-mail: wartabappedajabar@yahoo.com
Foto: Humas Bappeda
sumber informasi perencanaan pembangunan jawa barat C Bappeda Provinsi Jawa Barat
@bappedajabar
@bappedajabar
Bappeda Provinsi Jawa Barat