MEDIA KOMUNIKASI TRIWULANAN
Vol. 33 No. 4 Oktober - Desember 2016
PROVINSI JAWA BARAT
OPTIMALISASI NILAI PEROLEHAN AIR TERHADAP PENINGKATAN pendapatan pajak air permukaan di
Jawa Barat
MUSRENBANGREG JAWA-BALI 2016
dari redaksi
Assalamu'alaikum Wr. Wb
PROVINSI JAWA BARAT
Para pembaca yang berbahagia pada terbitan Warta Bappeda Edisi Triwulan IV Volume 33 Nomor 4, Oktober - Desember Tahun 2016 ini kami menyajikan beberapa Rubrik diantaranya Laporan Kegiatan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat dan Wawasan Perencanaan. Hal ini dilakukan demi memberikan kepuasan para pembaca dalam memperoleh informasi perencanaan pembangunan Jawa Barat melalui majalah triwulanan ini.
Jl. Ir. H. Juanda No.287 Telp.2516061 Website : bappeda.jabarprov.go.id E-mail : wartabappedajabar@yahoo.com
Tulisan kali ini diawali dengan Laporan Utama Musrenbang Regional Jawa Bali tahun 2016, dilanjutkan dengan Liputan tentang Rapat Koordinasi Ekonomi Penumbuhan Daya Saing Daerah, dan juga liputan tentang Inovasi Terbaru Bappeda Jabar.
ISSN: 0216-6232
Para pembaca Warta Bappeda yang kami hormati, selain tulisan diatas kami hadirkan pula beberapa Artikel Wawasan Perencanaan yang mengupas tentang Analisis Keperluan Air Bersih di Perdesaan Jawa Barat, Integrasi Tanaman-Ternak pada Usaha Tani Padi dalam Perspektif Pengendalian Organisme Pengganggu tanaman & Manfaat Ekonomi, Menuju Modernisasi Pertanian di Jawa Barat, Peranan Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan, dan Optimalisasi Nilai Perolehan Air Terhadap Peningkatan Pendapatan Pajak Air Permukaan di Jawa Barat. Akhir kata kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penulis atas kontribusinya selama ini. Kami tunggu artikel berikutnya yang akan diterbitkan dalam Edisi Triwulan I Tahun 2017. Selamat membaca.
TERBIT BERDASARKAN SK. MENPEN RI NO. 1353/SK/DITJENPPG/1988
Penanggung Jawab: Ir. Yerry Yanuar, MM Ketua: Ir. Bambang Tirtoyuliono, MM Sekertaris: Anjar Yusdinar, S.STP., M.Si. Penyunting: Ir. H. Tresna Subarna, M.M. Drs. Bunbun W. Korneli, MAP Drs. Achmad Pranusetya, M.T. T. Sakti Budhi Astuti, SH., M.Si. Sekretariat: Hj. Megi Novalia, S.Ip., M.Si.
Wassalamu'alaikum Wr. wb Fotografer: Roni Sachroni, BA Liputan: Fajar Fauzan S.Pd
MEDIA KOMUNIKASI TRIWULANAN
Vol. 33 No. 4 Oktober - Desember 2016
Layouter: Ramadhan Setia Nugraha S.Sos
PROVINSI JAWA BARAT
OPTIMALISASI NILAI PEROLEHAN
AIR TERHADAP PENINGKATAN
MUSRENBANGREG pendapatan pajak air permukaan di
JAWA-BALI 2016 Jawa Barat
Cover Depan Desain Cover: Ramadhan Setia Nugraha, S.Sos
Cover Belakang
menerima tulisan dari pembaca yang berhubungan dengan wawasan perencanaan, disarankan untuk melampirkan foto-foto yang mendukung. Tulisan diketik satu spasi minimal 5 halaman A4. Artikel yang pernah dimuat di media lain, tidak akan dimuat. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah substansi.
daftar isi
3
Musrenbangreg Jawa Bali 2016 Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif melalui Konektivitas Sektor Pertanian dan Kelautan
U
ntuk kali ke enam, sejak tahun 2010, Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional (Musrenbangreg) Regional Jawa Bali kembali digelar. Bappeda Provinsi Jawa Barat didaulat menjadi tuan rumah dan penyelenggara ajang musyawarah perencanaan 7 provinsi se-Pulau Jawa Bali tersebut. Di tahun 2016 ini, Musrenbangreg mengusung tema Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif melalui Konektivitas Infrastruktur Sektor Pertanian dan Kelautan.
16 Merencana dengan Dua Inovasi Teranyar
9 Rapat Koordinasi Ekonomi: Penumbuh Daya Saing Daerah
Seiring dengan kewajiban penyelenggaraan pemerintahan yang eďŹ sien, efektif dan transparan, pemerintah daerah dituntut untuk melakukan inovasi, baik dalam ranah pelayanan publik dan percepatan kinerja. Di tahun ini pun, Bappeda Provinsi Jawa Barat menginisiasi dua aplikasi teranyar, yaitu
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
1
daftar isi
wawasan perencanaan
24
Analisis Keperluan Air Bersih di Perdesaan Jawa Barat Healthy Water Requirements Analysis In
32
Integrasi Tanaman Ternak pada Usaha Tani Padi dalam Perspektif Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman & Manfaat Ekonomi
63
Optimalisasi Nilai Perolehan Air Terhadap Peningkatan Pendapatan Pajak Air Permukaan di Jawa Barat (Hasil Kajian Dispenda Jabar Dalam Perspektif Axsiologi)
opini
46
Menuju Modernisasi Pertanian di Jawa Barat
53
Peran Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Desa
2
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
76
Re-Code Birokrasi dan Organisasi
81
Perlukah Konsolidasi Tanah dalam Pembangunan Daerah?
laporan utama
Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
MUSRENBANGREG JAWA-BALI 2016
Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif melalui Konektivitas Sektor Pertanian dan Kelautan
U
ntuk kali ke enam, sejak tahun 2010, Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional (Musrenbangreg) Regional Jawa Bali kembali digelar. Bappeda Provinsi Jawa Barat didaulat menjadi tuan rumah dan penyelenggara ajang musyawarah perencanaan 7 provinsi se-Pulau Jawa Bali tersebut. Di tahun 2016 ini, Musrenbangreg mengusung tema Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif melalui Konektivitas Infrastruktur Sektor Pertanian dan Kelautan.
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
3
laporan utama Berangkat dari amanat yang tertuang pada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan eďŹ siensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan. Kerja sama daerah tersebut juga sebagai upaya pemecahan permasalahan dan tantangan bersama, guna menciptakan keterpaduan dan sinergitas pembangunan. Sebagai implementasinya, di tahun ini, Bappeda Provinsi Jawa Barat didaulat sebagai penyelenggara dan tuan rumah menggelar Musyawarah Rencana Pembangunan Regional (Musrenbangreg) Jawa Bali tahun 2016 bertema Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif melalui Konektivitas Infrastruktur Sektor Pertanian dan Kelautan. Kegiatan berlangsung selama tiga hari di Hotel Prama Grand Preanger Bandung dan Kantor Bappeda Provinsi Jawa Barat, 28 hingga 30 November 2016. Seperti di tahun sebelumnya, peserta utama Musrenbangreg adalah para Gubernur, Kepala dan Perwakilan Bappeda di tujuh provinsi se-Jawa Bali yakni Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Bali. Pun, turut diundang Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi Jawa Barat dan sejumlah unsur pemerintah daerah di Jawa Barat seperti Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat, Kapolda Jawa Barat, Pangdam III Siliwangi, Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Asisten Daerah Provinsi Jawa Barat, Ketua Pengadilan Tinggi dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
4
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Pemecahan Masalah di Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Saat membuka resmi Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional Jawa Bali tahun 2016, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat Ir. Yerry Yanuar, MM menyampaikan bahwa kegiatan bertujuan mengidentiďŹ kasi serta memecahkan permasalahan dan isu strategis bersama di bidang pemerintahan dan pembangunan antar Provinsi di Jawa dan Bali serta mengusulkannya kepada Pemerintah Pusat. Sejalan dengan itu, pelaksanaan Musrenbangreg yang terhitung ke enam kalinya tersebut dapat mempererat kerja sama pembangunan antar Provinsi di Jawa Bali serta mendorong Pemerintah Provinsi di Jawa Bali untuk mengukur kemajuan daerah masingmasing sejak penyelenggaraan di tahun 2010 lalu.
Paparan Tematik Di hari kedua (29/11/2016), bertempat di Ruang Sidang Soehoed Warnaen Bappeda Provinsi Jawa Barat, agenda Musrenbangreg Jawa Bali diisi dengan pemaparan para narasumber dari empat Kementerian dalam ruang lingkup Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif melalui Konektivitas Infrastruktur Sektor Pertanian dan Kelautan, yaitu: a.
Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Dr. Ir. Sri Yanti JS, MPM bertema Mewujudkan Ketahanan Pangan Melalui Kerja sama Regional Bidang Pertanian dan Kelautan
b.
Kasubdit Perencanaan dan Evaluasi Pembangunan Daerah Jawa Bali Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Drs.
laporan utama Bob R. F Sagala, M.Si bertema Kebijakan serta Strategi Perencanaan Pembangunan Wilayah Regional c.
Sekretaris Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Putut Hari Satyaka, S.E., MPP. bertema Pertumbuhan Ekonomi Regional Jawa Bali dan Pengaruhnya Terhadap Ekonomi Nasional
d.
Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pertanian, Dr. Ir. Kasdi Subagyono, M.Sc. bertema Perlindungan Lahan Pertanian Produktif dalam Mengakselerasi Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Usaha Pertanian
Urgensi Pertanian dan Kelautan dalam Pembangunan Jawa Bali Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Dr. Ir. Sri Yanti JS menyebut bahwa Wilayah Jawa Bali dihadapkan pada 4 tantangan pembangunan. Pertama, kontribusi ekonomi yang sangat besar bagi perekonomian nasional, namun juga berkontribusi terhadap tingginya jumlah penduduk miskin dan pengangguran nasional. Kedua, tingginya biaya logistik transportasi darat dan laut. Ketiga, tingginya urbanisasi, diikuti persoalan perkotaan seperti urban sprawl dan penurunan kualitas lingkungan serta pemenuhan kebutuhan dasar, sedangkan kawasan perdesaan sebagai hinterland belum maksimal dalam memasok produk primer. Keempat, disparitas antar wilayah relatif masih tinggi terutama antara wilayah pantai utara Jawa dan pantai selatan Jawa. Di bidang pertanian, wilayah Jawa Bali memiliki potensi besar dan berkontribusi terbesar
dengan menyuplai lebih dari setengah kebutuhan pangan nasional. Begitu pun di sektor perikanan, Indonesia, terlebih Jawa Bali adalah salah satu negara dan kepulauan dengan potensi perikanan terbesar di dunia. Salah satu visi jangka panjang pembangunan nasional adalah mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk itu, laut harus diposisikan sebagai halaman depan yang harus dikelola sebaik-baiknya sebagai sumber kesejahteraan bagi bangsa. Diperlukan upaya pembangunan kedaulatan pangan berbasis laut melalui pengembangan industri perikanan. Pengembangan pertanian dan kelautan (perikanan) dapat menjadi prime mover ekonomi di daerah yang menjadi sentra pertanian dan kelautan (perikanan). Keunggulan tersebut harus diikuti dengan kemampuan Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah dan memenuhi kecukupan pangan nasional.
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
5
laporan utama Implementasi kebijakan dan rencana strategi pengembangan sektor unggulan pertanian dan perikanan perlu diintegrasikan dengan tujuan, kebijakan dan strategi dalam rencana pembangunan daerah dan didukung dengan kerja sama antar daerah. Untuk mendorong peningkatan sektor pertanian dan kelautan (perikanan) dalam mendukung ketahanan pangan, Dr. Ir. Sri Yanti JS membagi isu utama pembangunan Wilayah Jawa Bali ke dalam tiga poin, antara lain:
a
Peningkatan pembangunan sektor pertanian dan perikanan
Peranan wilayah Jawa Bali dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional lebih banyak didorong oleh pembangunan sektor industri pengolahan non primer, perkembangan ini perlu diimbangi dengan upaya-upaya percepatan pembangunan sektor unggulan primer (pertanian, perikanan dan peternakan).
Seperti yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, bahwa tema pengembangan dan pembangunan Wilayah Jawa Bali diarahkan sebagai lumbung pangan nasional; pendorong sektor industri dan jasa nasional dengan pengembangan industri makanan-minuman, tekstil, otomotif, alutsista, telematika, kimia, alumina dan besi baja; salah satu pintu gerbang destinasi wisata terbaik dunia dengan pengembangan ekonomi kreatif; dan percepatan pembangunan ekonomi berbasis maritim (kelautan) melalui pengembangan industri perkapalan dan pariwisata bahari. Karena itu, menurut Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Dr. Ir. Sri Yanti JS bentuk kerja sama Regional Jawa Bali untuk mendukung ketahanan pangan dapat diwujudkan dengan empat cara, yakni:
1
Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Hal ini dapat dicapai melalui kerja sama regional melalui sinergitas tata ruang dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Inovasi dan kerja sama dalam pelayanan publik akan mengurangi konversi lahan seiring dengan berkurang pembangunan infrastruktur (bangunan) untuk pelayanan publik.
b
Akselerasi pembangunan infrastruktur dan peningkatan konektivitas intra wilayah dan antar wilayah Infrastruktur konektivitas dan jaringan distribusi yang belum memadai mendorong biaya logistik sektor pertanian dan kelautan (perikanan) yang tinggi dan potensi inasi di wilayah Jawa Bali. Infrastruktur yang belum memadai menjadi kendala bagi wilayah untuk mendistribusikan hasil sektor unggulan pertanian dan kelautan (perikanan) baik intra wilayah Jawa Bali maupun antar wilayah di Indonesia.
2
Pembangunan infrastruktur dan peningkatan konektivitas intra wilayah dan antar wilayah Pembangunan infrastruktur intra wilayah dan antar wilayah sangat diperlukan untuk menghubungkan daerah penghasil komoditas pertanian dan kelautan (perdesaan) dengan wilayah lokasi pemasaran (perkotaan) sehingga komoditas pertanian dan kelautan dapat terdistribusi dengan baik. Dan pembangunan konektivitas dalam konteks ketahanan pangan meliputi berbagai hal termasuk jaringan jalan, pelabuhan, bandar udara serta pembangunan pasar sebagai tempat perdagangan hasil pertanian dan kelautan (perikanan).
c
Optimalisasi pengembangan sektor unggulan pendorong pertumbuhan ekonomi Perlu adanya upaya-upaya pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta kemitraan dengan usaha besar, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mencetak tenaga kerja terampil salah satunya melalui pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), penerapan teknologi tepat guna untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian dan perikanan.
6
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
3
Pengembangan teknologi pertanian dan kelautan (perikanan) Kerja sama antar daerah dapat dilakukan melalui pengembangan science park dan techno park bersama antar beberapa
laporan utama daerah bersama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Wilayah Jawa Bali yang tidak banyak memiliki potensi cetak sawah baru perlu didorong dengan pengembangan berbagai teknologi tepat guna di bidang pertanian dan kelautan.
4
Pengembangan kerja sama kawasan agropolitan dan minapolitan Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah Jawa Bali dengan mengedepankan konsep pengembangan agropolitan dan minapolitan
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
7
laporan utama Deklarasi Jawa Barat Di akhir kegiatan, hari ketiga (30/11/2016), Kepala Bappeda Provinsi Jawa Tengah mewakili 7 Gubernur Provinsi se-Pulau Jawa dan Bali membacakan Isi Deklarasi Jawa Barat yang menjadi hasil akhir pembahasan musyawarah perencanaan tersebut. Adapun bunyi kesepakatan tersebut adalah: Untuk mendukung dan mempercepat penguatan konektivitas infrastruktur pertumbuhan ekonomi inklusif sektor pertanian dan kelautan dalam koridor ekonomi regional Jawa Bali, maka pada hari ini Rabu 30 November 2016, bertempat di Ballroom Prama Grand Preanger, kami yang bertanda tangan di bawah ini Gubernur se-Jawa Bali bersepakat mengambil langkah-langkah yang kongkret sebagai berikut: 1.
2.
3.
Perlunya kerja sama regional, regionalisasi ekonomi wilayah Jawa Bali terutama pada pemenuhan substitusi bahan baku impor, pemasaran output produksi, dan pengendalian inasi melalui integrasi data harga bahan pokok. Akselerasi pembangunan dan pengembangan sarana prasarana transportasi darat, prioritas jalan lintas pantai selatan dan laut berserta fasilitas pendukungnya guna peningkatan konektivitas infra dan antar wilayah untuk memperlancar distribusi hasil pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan. Transformasi bertahap menjadi dari
perekonomian berbasis keunggulan komparatif menjadi perekonomian berkeunggulan kompetitif terutama pada industri kecil menengah di kawasan agropolitan dan minapolitan regional. 4.
Penguatan pengawasan jejaring terutama pada angkutan hasil pertanian, peternakan, dan kelautan dan penerapan sangsi bagi pelaku usaha angkutan yang melanggar.
5.
Mendorong dan mengupayakan perlindungan lahan pertanian melalui percepatan pendetailan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) berupa pemetaan by name, by address dan by cause serta pembuatan aturan insentif dan diinsentif bagi petani pemilik LP2B.
6.
Percepatan penyusunan dan penetapan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
7.
Penguatan kelembagaan keuangan petani dan nelayan melalui revitalisasi organisasi dan usaha koperasi petani dan nelayan.
8.
Peningkatan investasi industri kemaritiman melalui kemudahan perizinan jaminan pasokan bahan baku serta jaminan mutu dan keamanan produk industri pengelolaan ikan.
Selain itu, disepakati, Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional Jawa Bali di tahun mendatang, tahun 2017, akan diselenggarakan di Provinsi Jawa Tengah. (Humas Bappeda)
Foto-Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
8
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Rapat Koordinasi Ekonomi Penumbuhan Daya Saing Daerah
P
eraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2014 menuangkan konsep percepatan dan pengembangan potensi di tiga wilayah metropolitan dan tiga pusat pertumbuhan di Jawa Barat. Bidang Ekonomi Provinsi Jawa Barat mematangkan konsep tersebut dengan menyusun Rencana Investasi Pengembangan masing-masing wilayah. Pemerintah Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat didaulat sebagai tuan rumah penyelenggaraan Rapat Koordinasi Perencanaan
Pembangunan Daerah Bidang Ekonomi se-Jawa Barat bertema Penumbuhan Daya Saing Daerah di Hotel Horison Palma, Pangandaran, 1 dan 2 Desember 2016. Rapat koordinasi yang digelar setiap triwulan tersebut dibuka secara resmi oleh Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Provinsi Jawa Barat Ahmad Ade Hadeansyah, ST,. M.Si, Sekretaris Daerah Kabupaten Pangandaran Mahmud, SH., MH., dan Kepala Bappeda Kabupaten Pangandaran Drs. Ade Supriatna. Dihadiri lebih dari 100 peserta yang terdiri dari sejumlah perwakilan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi Jawa Barat, Bidang Ekonomi Bappeda Kabupaten/Kota se-Jawa Barat dan para staf Bidang Ekonomi Bappeda Provinsi Jawa Barat.
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
9
liputan
Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
liputan Pasca pembukaan, rapat dilanjutkan dengan pembahasan Konsep, Kajian dan Kebijakan dalam Menumbuhkan Daya Saing Daerah oleh Prof. Dr. Rina Indiastuti, SE, M.S.I.E. Dan pemaparan Rencana Investasi Pengembangan Wilayah Pusat Pertumbuhan Rancabuaya Raya dan Pangandaran Raya dalam Perspektif Daya Saing Daerah oleh Dr. Asep Agus Handaka Suryana S. SPi., MT. dan Dr. A. Gima Sugiama, SE., MT. serta Rencana Investasi Pengembangan Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur Raya, Bandung Raya dan Cirebon Raya dalam Perspektif Daya Saing Daerah oleh Dr. Acuviarta Kartabi, SE., ME., Pringgo Dwiyantoro, SE, MM, M.Si, dan Dr. Adhitya Wardhana, S.E, M.Si.
Membangun Daya Saing Daerah dalam Kolaborasi Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Rina Indiastuti, SE, M.S.I.E., mengatakan bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki potensi yang luar biasa, yang jika dioptimalkan, akan menjadi modal besar untuk menyejahterakan masyarakat Jawa Barat. Potensi Jawa Barat terdiri dari sumber daya alam yang beragam dan berlimpah, seni budaya, laut, gunung, pariwisata dan pertanian. Pun, nilai tambah tinggi yang dihasilkan dari sektor industri dan pengolahan. Jawa Barat juga diuntungkan karena keberadaan lokasinya yang strategis, bertetangga dengan Provinsi Jakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Namun ketimpangan sosial ekonomi, seperti di daerah (provinsi) lainnya, adalah kelemahan yang harus diselesaikan, selain perlunya untuk mendorong produktivitas masyarakat, pemerataan dari variatifnya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) serta peningkatan 10
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
infrastruktur di daerah. Di sisi lain, Jawa Barat juga dihadapkan pada peluang dengan hadirnya era integrasi ekonomi ASEAN yang dapat memantik peningkatan persaingan, namun seiring dengan itu, menjadi peluang besar bagi komoditas di pasar-pasar domestik untuk berkembang. Optimisme pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di Jawa Barat sangat tergantung pada fungsi kemampuan membangun dan strategi yang dilakukan. Kemampuan membangun berdampak pada kemampuan berdaya saing. Strategi melalui kebijakan diharuskan dapat memiliki meningkatkan standar hidup masyarakat. Penulis Buku Daya Saing Daerah: Konsep, Kajian dan Kebijakan tersebut menawarkan model baru dalam pembangunan ekonomi daerah yang berorientasi daya saing yakni pembangunan melalui kolaborasi melibatkan pemerintah berbagai level seperti pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perusahaan swasta lokal, lembaga pendidikan dan riset, masyarakat dan sektor luar negeri sebagai peluang. Ia menyarankan, untuk segera memperbaharui model lama seperti peran pemerintah yang mendorong pembangunan ekonomi (dan non ekonomi) melalui kebijakan, regulasi dan insentif. Dengan membagi peran, melaksanakan tanggung jawab pembangunan dan kerja sama penuh antara pemerintah dan masyarakat, maka akan didapatkan collective added value disertai dengan X-eďŹƒciency. Oleh karena itu, menurutnya, harus dikurangi kegiatan yang bersifat autis (masing-masing). Dengan demikian, akan berdampak pada peningkatan standar hidup masyarakat di Jawa Barat. Daerah yang memiliki daya saing, dapat diindikasikan dengan empat ciri, yaitu pelaku usaha di daerah produktif, tumbuh, dan memiliki pasar semakin luas; perekonomian daerah mampu menarik pelaku usaha dan investor untuk membangun daerah bersama pemerintah; perekonomian daerah mampu mengaktifkan semua pelaku usaha, lembaga dan pemerintah untuk meningkatkan total nilai tambah secara eďŹ sien; dan daerah mampu menjaga dan meningkatkan standar hidup masyarakat. Prof. Dr. Rina Indiastuti, SE, M.S.I.E., membagi kriteria kelayakan investasi untuk daya saing
liputan daerah ke dalam enam poin, yaitu: a.
Orientasi pembangunan daerah untuk penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
b.
Penggerak daya saing adalah pelaku usaha yang efisien sekaligus produktif.
c.
Peningkatan daya saing mendorong pertumbuhan ekonomi daerah namun mutlak harus inklusif (basis pendidikan , kesehatan, pengurangan ketimpangan dan kemiskinan).
d.
Diversifikasi ekonomi berorientasi keseimbangan sektor produktif dan sektor jasa.
e.
Masalah ketimpangan pemilikan aset (asset inequality) harus disolusikan dengan kebijakan investasi dan pembiayaan yang pro-inklusif namun mendorong keunggulan.
f.
Peningkatan tenaga tenaga kerja informal mungkin menjadi kendala aliran investasi dan pembiayaan, diperlukan program peningkatan lapangan kerja formal berbasis investasi.
Kunci sukses membangun keunggulan kota/kabupaten terletak pada membangun keunggulan dengan memanfaatkan aset lokal yang dimiliki komunitas setempat yaitu skill penduduk, rancangan pemanfaatan ruang, infrastruktur, institusi pendidikan dan kesehatan, lembaga kemasyarakatan, alam dan sumber daya, budaya, dan kualitas hidup. Pendekatan pembangunan, harus memperhatikan lokasi dan sinergi antar pemilik aset lokal tersebut. Karena kekuatan kabupaten/kota tidak sama, kolaborasi dikembangkan antar pemilik aset yang berasal dari daerah yang berdekatan untuk percepatan peningkatan daya saing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Dengan melaksanakan itu, optimalnya kemampuan membangun keunggulan daerah, hasilnya akan seperti yang diharapkan, yakni meningkatnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), ketimpangan sosial ekonomi berkurang, kemiskinan berkurang, dan pengangguran terbuka menjadi sempit.
Rencana Investasi Pengembangan Tiga Wilayah
Metropolitan dan Tiga Pusat Pertumbuhan Sebagai upaya pengembangan ekonomi, penghela kesejahteraan, menjaga stabilitas sosial dan pembangunan yang berkelanjutan, sebuah terobosan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengangkat konsep Pembangunan Tiga Wilayah Metropolitan dan Pengembangan Tiga Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat. Konsep tersebut diterbitkan dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat. Keberadaan Perda tersebut mendorong untuk dilakukan tindaklanjut dalam menyempurnakan tahapan perencanaan hingga dapat direalisasikan. Di tahun 2016, Bidang Ekonomi Provinsi Jawa Barat mematangkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2014 tersebut dengan menyusun Dokumen Rencana Investasi masing-masing Wilayah Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan. Dokumen rencana tersebut kemudian dipaparkan secara tematik dalam Rapat Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah Bidang Ekonomi se-Jawa Barat bertema Penumbuhan Daya Saing Daerah di Hotel Horison Palma, Pangandaran, 1 dan 2 Desember 2016.
Pusat Pertumbuhan Rancabuaya Pusat Pertumbuhan Rancabuaya berada di Kabupaten Garut sebelah selatan dan Kabupaten Cianjur sebelah selatan. Di tahun 2010, Pusat Pertumbuhan Rancabuaya terdiri atas lima kecamatan, yaitu empat kecamatan di Kabupaten Garut yaitu Kecamatan Caringin, Kecamatan Cisewu, Kecamatan Bungbulang, dan Kecamatan Mekarmukti, serta satu kecamatan di Kabupaten Cianjur yaitu Kecamatan Cidaun. Sesuai yang tertuang pada Perda Jawa Barat Nomor 12 tahun 2014 bahwa pengembangan Pusat Pertumbuhan Rancabuaya berbasis pariwisata, perikanan dan perkebunan. Narasumber Rencana Investasi Pengembangan Wilayah Pusat Pertumbuhan Dr. Asep Agus Handaka Suryana, MT menilai Pusat Pertumbuhan Rancabuaya berangkat dari kondisi eksisting yang berbeda dengan dua Pusat Pertumbuhan lainnya, seperti Pangandaran dan Palabuhanratu. Perbedaan tersebut terletak pada tingkat perkembangan wilayah, Rancabuaya yang masih dalam tahap “ingin dikembangkan”, Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
11
liputan
sementara Pangandaran dan Palabuhanratu sudah dalam tahap “sedang dikembangkan�. Pendapat tersebut didasarkan pada kondisi aktual Rancabuaya yang dalam konteks pertanian dan perikanan yang masih dalam suasana perdesaan. Namun, di masa mendatang, Asep meyakini jika Rancabuaya tumbuh sesuai dengan tujuan yang tertuang pada Perda Nomor 12 tahun 2014, maka akan memacu daerah di sekitarnya untuk tumbuh pula. Keberadaan Rancabuaya di tengah-tengah selatan Jawa Barat menjadikan Rancabuaya sebagai pengimbang perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya. Menurut Asep, model pengembangan Rancabuaya akan diarahkan dengan menggerakkan roda ekonomi lokal yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Peningkatan ekonomi di Rancabuaya harus seiring juga dengan tersedianya lapangan kerja bagi masyarakat lokal dan mendorong peningkatan produksi primer di wilayah setempat. Dengan catatan, menghindari model pembangunan yang eksploitatif guna mencegah kerusakan sumber daya alam dan ketimpangan sosial ekonomi masyarakat. Sebagai fondasi awal, pertumbuhan Rancabuaya sebagai wilayah dengan keunggulan pariwisata, perkebunan dan pertanian, setidaknya Rancabuaya dapat didorong dengan beberapa aspek, seperti:
12
1.
Adanya sistem kepastian hukum, seperti status kepemilikan lahan dengan legalitas yang kuat.
2.
Infrastruktur dasar, seperti transportasi listrik, komunikasi, air bersih, kesehatan, pendidikan, pelabuhan, dan mekanisasi pertanian.
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
3.
Pengembangan Industri pengolahan berbahan sektor perkebunan dan perikanan dengan sub sektor makanan olahan dan sub sektor kerajinan.
4.
Sarana produksi perikanan dan perkebunan.
5.
Pengembangan destinasi wisata.
6.
Promosi dan marketing.
Pusat Pertumbuhan Pangandaran Berdasarkan hasil analisis Pemerintah Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2010, lima kecamatan termasuk ke dalam delineasi wilayah Pusat Pertumbuhan Pangandaran, yaitu Kecamatan Pangandaran, Kecamatan Parigi, Kecamatan Kalipucang, Kecamatan Sidamulih, dan Kecamatan Cijulang. Konsep pengembangan Pusat Pertumbuhan Pangandaran yang diusung adalah Pusat Pertumbuhan Pangandaran sebagai pusat pertumbuhan berbasis sektor pariwisata. Kabupaten Pangandaran adalah sebuah daerah otonomi baru (DOB) di Provinsi Jawa Barat. Sebelumnya Pangandaran telah menjadi daerah penting dan kawasan strategis di Provinsi Jawa Barat. Dengan pengelolaan yang optimal, Pangandaran, dalam lingkup Pusat Pertumbuhan Pangandaran Raya berpotensi dijadikan pusat pertumbuhan hingga dapat merangsang pertumbuhan daerah lain. Dalam konteks Pusat Pertumbuhan Pangandaran Raya tersebut, berdasarkan hasil kajian, Narasumber Rencana Investasi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Pangandaran Dr. A Gima Sugiama, SE., MP. membagi potensi Pusat Pertumbuhan Pangandaran Raya ke dalam empat sektor strategis, yakni pariwisata, kelautan, agrobisnis dan agroindustri.
liputan Menurut Gima, berdasarkan kondisi terkini, investasi di Pangandaran Raya masih terkonsentrasi pada sektor kepariwisataan, padahal di sektor lainnya, investasi masih sangat terbuka luas terutama bagi sektor kelautan yang diorientasikan pada ekspor hasil budidaya dan dapat dijadikan positioning dibanding daerah lainnya. Kondisi keempat sektor strategis (pariwisata, kelautan, agrobisnis, agroindustri) di Pangandaran Raya tersebut umumnya masih berskala kecil dan menengah dengan sebagian besar masih bersifat subsisten. Penguatan pertumbuhan investasi empat sektor strategis tersebut perlu dilakukan untuk mencapai daya saing yang kuat dibanding daerah lain, seperti: a.
Kepariwisataan berkelanjutan (sustainable tourism)
b.
Kelautan yang berorientasi pada pasar ekspor
c.
Agrobisnis yang terkait dengan kepariwisataan
d.
Agroindustri yang terkait dengan kepariwisataan dan kelautan
Pangandaran Raya dapat menjadi penumbuhan daya saing daerah di Jawa Barat sebagai daerah industri pariwisata pantai dan kelautan yang mandiri dan berkelanjutan. Investasi diarahkan untuk menumbuhkan semaksimal mungkin keikutsertaan semua pihak pemangku kepentingan, dengan menerapkan konsep Penta Helix yakni local communities, government, academia, industry, dan business.
Pusat Pertumbuhan Palabuhanratu Wilayah Palabuhanratu (Kabupaten Sukabumi) merupakan salah satu Pusat Pertumbuhan yang terletak di koridor selatan Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2010, Pusat Pertumbuhan Palabuhanratu terdiri atas 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Cisolok, Kecamatan Cikakak, Kecamatan Palabuhanratu, Kecamatan Simpenan dan Kecamatan Ciemas. Sesuai yang tertuang di dalam Perda Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat bahwa Pusat Pertumbuhan Palabuhanratu diarahkan menjadi pusat pertumbuhan berbasis sektor pariwisata dan perikanan.
Di sisi pariwisata, Palabuhanratu akan mengembangkan sektor unggulan dengan fokus penciptaan pelayanan jasa pariwisata yang berstandar nasional dan internasional. Pada sektor perikanan, Pusat Pertumbuhan Palabuhanratu akan dikembangkan sebagai pusat distribusi dan pengelolaan produk perikanan dari seluruh Jawa Barat. Di Pusat Pertumbuhan Palabuhanratu akan dikembangkan sentra-sentra produksi perikanan berskala besar, baik dari tingkat produksinya maupun tenaga kerja yang terlibat. Di Pusat Pertumbuhan Palabuhanratu juga akan dibangun beberapa industri untuk mendukung kegiatan sektor perikanan, seperti industri es, industri pengemasan, dan sebagainya. Selain pengembangan sarana dan prasarana, akan dibangun juga linkage antara Pusat Pertumbuhan Palabuhanratu dengan produsen perikanan lainnya di Jawa Barat sehingga sektor perikanan Jawa Barat dapat berkembang dengan baik.
Metropolitan Bandung Raya Pada tahun 2010, terdapat 56 kecamatan yang telah mempunyai ciri perkotaan di Kota Bandung, Kota Cimahi, sebagian Kabupaten Bandung, sebagian Kabupaten Bandung Barat, dan sebagian Kabupaten Sumedang. Berdasarkan keunggulan yang paling potensial, Metropolitan Bandung Raya akan diarahkan sebagai metropolitan modern dengan sektor unggulan wisata perkotaan, industri kreatif, serta pengembangan IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni). Narasumber Rencana Investasi Pengembangan Wilayah Metropolitan Bandung Raya Pringgo Dwiyantoro, SE., MM., M.Si. memaparkan bahwa Metropolitan Bandung Raya memiliki telah keunggulan absolut yakni Kota Bandung sebagai Ibukota Provinsi Jawa Barat, dari segi geograďŹ s, peninggalan sejarah, dan budaya sangat memadai. Aksesibilitas juga menjadi salah satu keunggulan komparatif Metropolitan Bandung Raya, wilayah ini mudah dijangkau dengan menggunakan berbagai moda transportasi. Ketersediaan fasilitas perdagangan dan industri, serta tenaga kerja industri tekstil dan pengolahan makanan sangat memadai.
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
13
liputan Dalam konteks keunggulan kompetitif, Metropolitan Bandung Raya telah memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang sebagian besar mewujud komunitas kreatif dan inovatif. Selain itu, Bandung Raya juga rumah bagi perguruan tinggi berkelas dunia dari berbagai bidang ilmu serta fasilitas riset dan pengembangan.
yang besar dengan kualitas sumber daya manusia yang relatif lebih baik dibandingkan kawasan metropolitan lainnya di Jawa Barat.
Namun, perkembangan penduduk di Metropolitan Bandung Raya diikuti dengan munculnya isu dan permasalahan dari berbagai aspek, terutama dalam hal ketersediaan infrastruktur, seperti transportasi, perumahan, jaringan air bersih, dan fasilitas pengelolaan persampahan.
Proporsi Penghasilan Asli Daerah (PAD) dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota di seluruh Bodebek Karpur pada tahun 2011 telah melebihi 50%, menandakan daerah tersebut telah relatif mandiri dalam membiayai pembangunannya.
Sebagai metropolitan modern, di Bandung Raya akan dikembangkan berbagai infrastruktur modern yang dapat mengakomodasi kegiatan perekonomian serta aktivitas penduduk seperti perumahan vertikal skala besar, sistem angkutan umum massal, peningkatan kualitas pelayanan infrastruktur publik, ruang terbuka publik multifungsi, dan pelayanan fasilitas kegiatan sesuai standar metropolitan lainnya.
Metropolitan Bodebekkarpur Sesuai yang tertuang pada Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2014, di tahun 2010, Bodebek Karpur mencakup 82 kecamatan yang tersebar di tujuh kabupaten/kota yaitu di Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta. Metropolitan Bodebek Karpur akan dikembangkan sebagai Metropolitan Mandiri berbasis industri manufaktur, jasa, keuangan, serta perdagangan, hotel, dan restoran serta pariwisata. Narasumber Rencana Investasi Pengembangan Wilayah Metropolitan Bodebek Karpur Dr. Acuviarta Kartabi, SE. menuturkan bahwa Bodebek Karpur merupakan lokasi kawasan industri terbesar di Indonesia dan diunggulkan dari sisi ketersediaan infrastruktur yang memadai untuk mendukung kegiatan industri seperti akses jalan tol dan bendungan sebagai sumber energi listrik dan air baku, serta memiliki universitas terkemuka dan berskala internasional seperti Universitas Indonesia dan Institut Pertanian Bogor sebagai pusat inovasi. Karena itu, Bodebek Karpur ditinggali penduduk
14
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Berbekal kedekatan lokasi dengan DKI Jakarta sebagai pusat modal, potensi pasar, dan outlet pelabuhan dan bandara berskala internasional, Bodebek Karpur juga memiliki komoditas unggulan yang sudah berorientasi ekspor.
Acuviarta membagi keunggulan Bodebek Karpur ke dalam tiga jenis, yaitu: ¡ Keunggulan Absolut, yaitu keberadaan sumber daya satu-satunya produksi dan dari sejarah yang dimilikinya tidak dimiliki wilayah lain; lokasi yang sangat strategis; dan akses yang mudah dengan Ibu Kota Negara sebagai sumber pembangunan. ¡ Keunggulan Komparatif yaitu memiliki sumber daya produksi yang lebih banyak dibandingkan yang dimiliki wilayah lain Foto: Dokumentasi Bappeda sebagai lokasi konsentrasi kegiatan industri manufaktur terbesar di Indonesia; keberadaan waduk sebagai sumber daya PLTA yang mampu menghasilkan energi untuk pasokan energi wilayah Pulau Jawa dan Bali; serta memiliki keanekaragaman objek wisata, mulai dari wisata alam sampai wisata kuliner dan belanja. ¡ Keunggulan kompetitif, yaitu Bodebek Karpur Raya mempunyai kualitas sumber daya produksi seperti lahan, bahan baku, SDM, penggunaan IPTEK, dan lokasi yang lebih baik dari wilayah lain; lokasi yang mempunyai daya tarik sangat tinggi dalam berbagai kegiatan investasi seperti industri, perdagangan, pariwisata, dan perumahan; keberadaan universitas kelas dunia, yang menghasilkan SDM unggul di bidang IPTEK; serta lumbung padi nasional yang mempunyai produktivitas tinggi. Wilayah Jawa Barat menyumbang 21,58 persen dari total investasi di Indonesia, sedangkan wilayah Bodebek Karpur menyumbangkan 72,58 persen dari total investasi di Jawa Barat. Incremental Capital Output Rasio
liputan (ICOR) rata-rata di Metropolitan Bodebek Karpur dari tahun 2012-2015 sebesar 2,31, dengan nilai ICOR terkecil pada tahun 2012 yaitu sebesar 1,44. Berdasarkan hasil kajian, Acuviarta menjelaskan bahwa rencana Kebutuhan investasi di Metropolitan Bodebek Karpur di tahun 2016 sebesar RP 91.150 triliun, naik dari tahun sebelumnya Rp 88.192 triliun. Rencana kebutuhan investasi Metropolitan Bodebek Karpur pada tahun 2020 diperkirakan sebesar Rp 115.075.769.000, dengan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen dan tingkat inflasi sebesar 4 persen per tahun.
Metropolitan Cirebon Raya Tahun 2010, Metropolitan Cirebon Raya terdiri dari 29 kecamatan yang terdapat di tiga Kabupaten/Kota (Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Kuningan) dengan luas lahan terbangun sekitar 25%. Kondisi tersebut terus berkembang, jumlah penduduk dan luas area Metropolitan Cirebon Raya diprediksikan akan terus bertambah. Pengembangan Metropolitan Cirebon Raya akan lebih diarahkan sebagai metropolitan budaya dan sejarah dengan sektor unggulan wisata dan industri kerajinan. Narasumber Kajian Rencana Investasi Pengembangan Metropolitan Cirebon Raya Dr. Adhitya Wardhana, S.E, M.Si memaparkan, selain di tahun 2014, kondisi perekonomian Wilayah Metropolitan Cirebon Raya memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan Jawa Barat. Namun sejak tahun 2014, beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat tumbuh lebih tinggi dibandingkan Provinsi Jawa Barat, seperti Kota Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka.
setiap persentase pertumbuhan ekonomi yang terjadi di daerahnya. Besaran Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di Metropolitan Cirebon nampak lebih besar dibandingkan dengan di kabupaten/kotanya. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah metropolitan mengalami skala ekonomis yang lebih baik. Setiap kenaikan 1% pada pertumbuhan ekonomi akan membangkitkan investasi sebesar 3,7%nya. ICOR sektor basis di Metropolitan Cirebon Raya misalnya, menunjukkan angka yang lebih rendah (berkisar di antara 2) dibandingkan dengan ICOR total yang berkisar 3. Lebih rendahnya ICOR menunjukkan produktivitas sektor basis untuk mendorong perekonomian semakin besar. Sektor basis di Metropolitan Cirebon Raya lebih besar melakukan ekspor ke daerah lain dibandingkan dengan kabupaten dan kota di Metropolitan Cirebon Raya. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, sektor pertambangan dan penggalian menjadi sektor basis yang terbesar untuk memenuhi permintaan wilayah lain. Berdasarkan hasil kajian, peneliti dan pengajar di Universitas Padjadjaran Bandung tersebut menjelaskan bahwa arah kebijakan yang investasi pada Metropolitan Cirebon Raya antara lain: ·
Peningkatan daya tarik investasi yang didukung bidang infrastruktur agar menjadi prioritas utama.
·
Penguatan Sektor pertanian; pertambangan dan penggalian; transportasi dan pergudangan; serta jasa keuangan juga menjadi prioritas investasi lainnya.
·
Memenuhi kebutuhan utama dari investasi di masing-masing kabupaten di sesuaikan dengan sektor basis dari masing-masing kabupaten/kota – dengan besaran seperti yang ditunjukkan pada kebutuhan investasi sektor basis.
·
Memenuhi kebutuhan investasi non basis di tunjukkan untuk menunjang daya saing sektor-sektor basis, demi mewujudkan Metropolitan Cirebon Raya sebagai metropolitan budaya dan sejarah berbasis pariwisata, industri, dan kerajinan. (Humas Bappeda)
Pada tahun 2011-2015 hampir semua sektor di Kabupaten Cirebon memiliki spesialisasi, kecuali sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, pengadaan listrik dan gas, serta sektor informasi dan komunikasi. Di antara kabupaten/kota yang tercakup pada Wilayah Metropolitan Cirebon Raya, hanya Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon yang menjadi daya tarik investasi. Rata-rata persentase investasi Kabupaten di Metropolitan Cirebon Raya masih berada di bawah Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Cirebon dianggap memiliki sensitivitas terbesar terhadap perubahan investasi untuk
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
15
liputan
Merencana dengan Dua Inovasi Teranyar S
eiring dengan kewajiban penyelenggaraan pemerintahan yang eďŹ sien, efektif dan transparan, pemerintah daerah dituntut untuk melakukan inovasi, baik dalam ranah pelayanan publik dan percepatan kinerja. Di tahun ini pun, Bappeda Provinsi Jawa Barat menginisiasi dua aplikasi teranyar, yaitu SIP Bankeu (Sistem Penganggaran Bantuan Keuangan) dan SiAp Be-Res (Sistem Aplikasi Bappeda e-Reminder System). Keduanya meraih juara terbaik pertama dan ketiga, serta dipamerkan pada kegiatan Pameran Inovasi 2 yang digelar oleh Badiklat Provinsi Jawa Barat di Gedung Sabuga ITB, Bandung, 8 Desember 2016. 16
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Sistem Aplikasi
liputan
Pelawan Lupa
atau E-Reminder
Untuk Sukses Perencanaan Sukses Implementasi;
Bappeda Siap Beres SiAp Be-Res Berangkat dari pentingnya mengoptimalkan komunikasi dan koordinasi penyusunan produk perencanaan, serta pelaporan kinerja program dan kegiatan di Bappeda Provinsi Jawa Barat, Kepala Subbag Perencanaan Bappeda Provinsi Jawa Barat Deny Hermawan, ST.,MT menginisiasi perancangan sebuah sistem elektronik yang memudahkan teknis operasional kelancaran komunikasi dan koordinasi para pihak. Sistem tersebut digagas pada Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV Angkatan VI Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2016. Inovasi tersebut adalah sistem perangkat elektronik pelawan lupa/e-reminder system bernama SiAp Be-Res. SiAp Be-Res, kependekan dari Sistem Aplikasi Bappeda e-Reminder System, berperan untuk peningkatan efektivitas tugas fungsi Bappeda Provinsi Jawa Barat. Sistem ini merupakan salah satu contoh inovasi monitoring di bidang tata kerja dan tata laksana, yang akan bekerja secara otomatis untuk pemberitahuan agenda kerja yang sudah terjadwal dan diprogramkan sejak awal.
seperti antara staf di bidang yang sama, antara staf lintas bidang, antara pimpinan, bahkan antara staf dan pihak eksternal. SiAp Be-Res akan mengoptimalkan koordinasi pegawai, dengan penyelesaian administrasi yang bertahap dan dapat dipantau. "Berawal dari banyaknya pekerjaan Bappeda yang menuntut harus tertib administrasi dan waktunya pun terus menerus (tidak henti), perlu suatu kedisiplinan, kesadaran, dan dukungan sistem untuk melaksanakan tugas itu. Terpikirkan perlu ada satu sistem yang secara otomatis mengingatkan, bisa mendokumentasikan, melibatkan semua pihak agar terkoneksi untuk taat waktu dan taat administrasi,� ujar Deny. Berbekal dukungan dari Kepala dan Sekretaris Bappeda Provinsi Jawa Barat, SiAp Be-Res dirintis sejak Bulan September 2016. semua Tim Efektif yang terdiri dari para staf internal Bappeda Provinsi Jawa Barat merumuskan dan menggodok SiAp Be-Res hingga dirilis untuk versi pertama di Bulan Oktober 2016. Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
Para pihak terkait (pengguna) akan mendapat informasi aktivitas pekerjaan yang harus diselesaikan. Sistem yang akan dibangun memperkuat efektivitas korespondensi yang saat ini dilakukan secara manual seperti melalui surat menyurat atau nota dinas dan dapat didokumentasikan berupa audio dan visual. Disampaikan Kepala Subbag Perencanaan Bappeda Provinsi Jawa Barat, di Bappeda Provinsi Jawa Barat, hampir setiap pekerjaan memerlukan keterlibatan antara pihak internal yang berbeda,
Deny Hermawan Kasubbag Perencanaan
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
17
liputan Sejak dirilis, sampai saat ini, aplikasi SiAp BeRes masih dalam tahap uji coba. Namun dalam tahap ini, aplikasi SiAp Be-Res sudah digunakan di Subbag Perencanaan Bappeda Provinsi Jawa Barat guna mendukung penyusunan Rencana Kerja Perangkat Daerah (RKPD) tahun 2018. Rencananya, aplikasi ini akan digunakan oleh seluruh pegawai pada di pertengahan tahun 2017 setelah melalui penyempurnaan. “Bulan November sampai pertengahan tahun 2018 mulai diujicobakan dalam rangka penyusunan RKPD 2018, tahun depan ada gagasan untuk bisa digunakan lebih banyak orang,” jelas Deny. Di tahap ini, pengguna sudah mulai dapat memanfaatkan berbagai fitur, seperti Fitur SOP online monitoring, yang memungkinkan administrator kegiatan dapat merencanakan milestones kegiatan sesuai dengan SOP yang ditetapkan, dan memungkinkan untuk membuat SOP secara otomatis setelah menginput data tahapan kegiatan. Jika pekerjaan ini rutin dan berulang, maka administrator tidak perlu lagi menginput ulang, cukup hanya dengan menyesuaikan waktu kegiatan. Pemantauan pelaksanaan kegiatan akan lebih mudah melalui Fitur Schedule Board, pengguna dapat memantau perkembangan setiap kegiatan dan melakukan evaluasi keberhasilan dan efektivitas pelaksanaannya. Selain itu, pengguna dapat memanfaatkannya sebagai Personnel To do list untuk menyinkronisasikan antar kegiatan agar tidak terjadi penumpukan beban kerja, serta memungkinkan untuk memilih prioritas pekerjaan.
Fitur SMS Reminder, digunakan untuk pengingat tenggat waktu pekerjaan yang bermanfaat bagi semua entitas yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan mulai dari pimpinan sampai dengan staf operator. Notifikasi dikirimkan secara otomatis kepada pelaksana kegiatan melalui media SMS. Sedangkan fitur penting yang sangat bermanfaat lainnya adalah Fitur Dokumentasi Pekerjaan. Fitur ini melengkapi berbagai macam keunggulan aplikasi karena sudah dapat mengarsipkan semua output kunci dan dokumen proses setiap tahapan pekerjaan secara elektronik, tidak hanya berupa dokumen namun juga audio atau video. SiAp Be-Res terus disempurnakan hingga didukung oleh versi mobile, yang dapat diinstal di smartphone android atau iOS masing-masing pengguna. Dalam versi mobile tersebut, SiAp BeRes akan dilengkapi SMS dan push notification (pemberitahuan) bagi penggunanya. Saat sudah memiliki versi mobile, aplikasi dianggap ideal untuk dilaunchingkan dan digunakan oleh seluruh pegawai Bappeda Provinsi Jawa Barat. SiAp Be-Res terpilih sebagai Terbaik Ketiga pada Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV Angkatan VI tahun 2016 di bidang inovasi, dan dipamerkan pada Pameran Inovasi 2 yang digelar Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat Gedung Sabuga ITB, Bandung, 8 Desember 2016. Aplikasi sudah dapat diakses melalui website Bappeda Provinsi Jawa Barat, dengan mengeklik ikon SiAp Be-Res.
SiAp Be-ReS SEBUAH SISTEM PERANGKAT ELEKTRONIK “PELAWAN LUPA”/ E-REMINDER SYSTEM UNTUK MENDUKUNG EFEKTIFITAS PELAKSANAAN TUGAS -TUGAS
BAPPEDA PROVINSI JAWA BARAT
SEHINGGA DAPAT DISELESAIKAN SESUAI WAKTU DAN TAAT ADMINISTRASI SEBUAH PROYEK PERUBAHAN DARI Deny Hermawan & Tim Efektif MENTOR Bambang Tirtoyuliono | COACH Hendy Hendayana DIKLATPIM IV TAHUN 2016 ANGKATAN VI INFO LEBIH LANJUT : SUBBAG PERENCANAAN BAPPEDA PROVINSI JAWA BARAT Jl. Ir. H. Juanda No. 287 Bandung 40135 | bappeda.jabarprov.go.id/siapberes
18
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
liputan
Be-ReS
Bappeda e-Reminder System
SOP Online Monitoring |Timeline Project Manajemen | Schedule Sync Personal to do list | File Sharing, etc.
Kualitas Produk Perencanaan Jabar Akan Meningkat dengan Integrasi Sistem & Lebih Banyak Melibatkan Pihak Terkait
Proses Kegiatan Termonitor Secara Realtime
:
Produk Perencanaan dan Pelaporan Selesai Secara Tertib Administrasi dan Tepat Waktu
½
Sistem Berbasis Web Memungkinkan Masyarakat Luas Dapat Memantau Proses Perencanaan Pembangunan
Menyampaikan Pengingat Kepada Seluruh Pihak Terkait Berupa To Do List
GENERATE: Memasukan SOP Beserta Timeline
SOP To Do List Reminder
Pusat Pengolah Data Siap Beres
Pihak Terkait Melihat Hasil Pekerjaan
Update:
Completion Document (Process & Final)
User Pengelola Kegiatan
Validasi Hasil Pekerjaan SMS
LCD
AKUN
Pihak Terkait Mendapat Pekerjaan Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
19
liputan
SIP Bankeu Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dengan penuh tanggung jawab melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Otonomi Daerah diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diberikan, dibutuhkan pendanaan yang besar dalam upaya mewujudkannya. Karena keterbatasan pendanaan, Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat meminta bantuan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam bentuk program/kegiatan yang diusulkan untuk didanai APBD Provinsi. Untuk program dan kegiatan Kabupaten/Kota yang diusulkan, ditempatkan pada pos Belanja Bantuan Keuangan. Belanja bantuan keuangan, harus didasarkan pada pertimbangan untuk mengatasi kesenjangan ďŹ skal, membantu pelaksanaan urusan pemerintahan daerah yang tidak tersedia alokasi dananya dan/atau menerima manfaat dan pemberian bantuan keuangan tersebut, serta dalam rangka kerja sama antar daerah sesuai kemampuan keuangan masing-masing daerah.
Dan Belanja Daerah Bappeda Provinsi Jawa Barat Agus Supriadi, S. Kom, bersama Tim Kerja, dengan didukung oleh Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat dan Kepala Bidang Pendanaan Pembangunan, merancang sebuah sistem komputer penganggaran bantuan keuangan ke kabupaten/kota berbasis indikator bernama Sistem Penganggaran Bantuan Keuangan atau SIP Bankeu. Aplikasi Bappeda Provinsi Jawa Barat ini memperoleh penghargaan sebagai inovasi Terbaik Pertama pada Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV Angkatan V Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2016, dan dipamerkan pada Pameran Inovasi 2 yang digelar oleh Badan Diklat dan Pelatihan Provinsi Jawa Barat, 8 Desember 2016, di Gedung Sabuga, Bandung. “Kemarin, di Diklatpim, kita Terbaik Pertama,� ujar Agus. SIP Bankeu hadir sebagai instrumen jika semua kabupaten/kota telah mengisi seluruh Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
Agar dalam perhitungan besaran bantuan keuangan yang diberikan kepada kabupaten/kota memenuhi prinsip keadilan, objektif dan transparan, yang sesuai dengan salah satu misi Bappeda Provinsi Jawa Barat yaitu mewujudkan perencanaan pembangunan daerah yang berkualitas, akuntabel dan transparan, maka perhitungannya menggunakan variabel kinerja pembangunan sebagai indikator. Terkait itu, untuk mendukung dan mempermudah semua prosesnya, diperlukan peran perangkat lunak komputer. Diinisiasi oleh Kasubid Anggaran Pendapatan
Agus Supriadi Kasubbid APBD
20
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
liputan variabel yang telah ditentukan, maka dengan cepat akan terlihat skoring dari masing-masing kabupaten/kota yang berimplikasi terhadap besaran alokasi bantuan keuangan yang akan diterimanya. Hasilnya dapat dipergunakan sebagai pendukung kebijakan dan/atau keputusan pimpinan dalam Penyusunan APBD Provinsi Jawa Barat.
dilakukan oleh pimpinan akan lebih berkualitas dengan melihat kondisi saat ini. Di model ini, atau tahap pertama sudah SIP Bankeu berbasis indikator yang menggunakan 2 pendekatan yaitu bantuan dan penghargaan sebagai pendukung kebijakan pimpinan. Di tahap kedua, di tahun depan, SIP Bankeu dikembangkan hingga dapat berbasis indikator dengan fokus keterkaitan program prioritas Provinsi.
Dengan menggunakan indikator kinerja pembangunan yang terkomputerisasi sebagai dasar perhitungan bantuan keuangan maka prinsip keadilan, objektif dan transparan diharapkan dapat terwujud.
Dan di tahap akhir, atau ideal, SIP Bankeu akan tersedia berbasis indikator secara kerkelanjutan dan terintegrasi dengan Sistem RKPD Jabar Online 2101. “Secara bertahap, akan di-combine dengan RKPD online. Menjadi salah satu modul (ďŹ tur) yang menunjang untuk RKPD Online. Terintegrasi dengan RKPD Online,â€? pungkas Agus.
SIP Bankeu sebagai Decision Support System (DSS), yang berarti informasi yang diperoleh dari hasil pengolahan data sampai dengan penetapan keputusan, hasilnya dapat digunakan sebagai pendukung pengambilan keputusan. DSS merupakan suatu sistem yang menyediakan fasilitas untuk melakukan suatu analisis sehingga setiap proses pengambilan keputusan yang
SIP Bankeu dapat diakses melalui alamat sipbankeujabar.com atau rkpdjabaronline.jabarprov.go.id/sipbankeu.aspx (Humas Bappeda)
TUJUAN gan keuan ntuan unakan a b an. n ggara pimpin engg engan tor yang m kebijakan p m e a sist asis indika endukung diany p Terse /Kota berb n sebagai b a ke Ka pendekat ) 2 (dua
a Jangk
k
Pende
an euang tuan K eterkaitan n a B an sk nggar n foku Penga tor denga m e t a is dik nS asis In sanaa Pelak /Kota berb Provinsi b s a ke K m priorita a progr engah
a Men
Jangk
gan Keuan ntuan jutan dan a B n gara kelan 01 ngang ra ber 21 em pe ikator seca ar Online t is S a b d y a n J In a D ng KP san asis Panja Terlak /Kota berb n Sistem R ngka a J a b a g ke K grasi den e terint
Kondisi Saat Ini
Perhitungan masih manual dan belum ada indikator yang baku
Intervensi
Pembangunan Sistem Penganggaran
Kondisi yang diharapkan
Perhitungan yang Adil, Transparan dan Objektif
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
21
liputan INOVASI Pengembangan dari Sistem RKPDJabar Online 2101 dengan menambah konten pengisian indikator
Kondisi yang diharapkan
Kondisi Saat ini
KERANGKA PIKIR Kerangka
22
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Flowchart
Inovas Terbar
Bappeda provinsi jawa barat
SiAp
Be-ReS
Bappeda e-Reminder System
Sebuah sistem perangkat elektronik “Pelawan Lupaâ€?/ e-Reminder System untuk mendukung efektiďŹ tas pelaksanaan tugas-tugas Bappeda Povinsi Jawa Barat sehingga dapat diselesaikan sesuai waktu dan taat administrasi
Sistem ini dibangun untuk melakukan perhitungan alokasi bantuan keuangan per kab/kota dengan menggunakan variabel kinerja pembangunan sebagai indikatornya.
by
by
Deny Hermawan
Agus Supriadi
Kasubbag Perencanaan
Kasubbid APBD
wawasan perencanaan
ANALISIS KEPERLUAN AIR BERSIH DI PERDESAAN JAWA BARAT HEALTHY WATER REQUIREMENTS ANALYSIS IN Oleh Trisna Subarna* Lissiana Nusifera**
*)Peneliti Bappeda Jawa Barat **)Guru SMA Lab School UPI
24
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
wawasan perencanaan ABSTRAK
ABSTRACT
Sampai degan Tahun 2015, kecukupan air bersih di Jawa Barat baru mencapai 67,13 persen, atau sebanyak 32,87 persen masyarakat masih mengkonsumsi air yang belum terjamin kesehatannya. Permasalahannya adalah kondisi dari 5964 desa di Jawa Barat yang sangat memerlukan air bersih belum teridentiďŹ kasi, sehingga diperlukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui desa-desa prioritas yang memerlukan air bersih. Penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret sampai dengan Juni 2016, data diperoleh dari Potensi Desa (PODES) Tahun 2014, dengan menggunakan metoda skoring, dan veriďŹ kasi lapangan secara sampling. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Sumber air untuk keperluan rumah tangga di desa-desa adalah: mata air sebanyak 69,64 persen, air hujan 17,72 persen, dan 12,64 persen air sungai. (2) Desa yang sangat membutuhkan air bersih untuk keperluan rumahtangga sebanyak 1.365 desa, dari jumlah tersebut terdapat 582 desa dengan katagori sangat memerlukan air bersih; (3) Untuk pelaksanaan penyediaan air yang bersih perlu diprioritaskan bagi desa yang mengalami kritis air, yaitu 95 desa di 13 kabupaten /kota; wilayah yang mengalami kritis air bersih terdapat di 297 desa yang berada di 19 kabupaten/kota; dan kurang air di 190 desa di 22 kabupaten/kota; Hasil penelitian ini sebagai acuan untuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam merencanakan dan melaksanakan program pemenuhan air bersih.
Up to 2015, the availability of healthy water in West Java has reached 67.13 percent, or 32.87 percent of the people are still consuming water that has not yet assured health. The problem, is the conditions of 5964 villages in West Java which is in need of healthy water has not been identiďŹ ed, so that the necessary research that aims to identify villages priorities that require healthy water. The results of this strudy showed: (1) The source of water for domestic use in the villages are: the springs as much as 69.64 percent, 17.72 percent of rain water, and 12.64 percent of the river water. (2) The village is in dire need of healthy water for household purposes are 1,365 villages, and of these there are 582 villages in the category is in need of healthy water; (3) The implementation of the construction in healthy water, giving priority to the village which is very critical water in 95 villages located in 13 regencies; critical condition of water in 297 villages in 19 regencies; and less water in 190 villages in 22 districts; The results of this study as a benchmark for West Java Provincial Government in planning and implementing compliance programs to clean water. Keywords: Clean Water/ Healthy Watter
Kata Kunci: Air Bersih
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
25
wawasan perencanaan PENDAHULUAN Air bersih dideďŹ nisikan sebagai air yang memenuhi persyaratan kesehatan, baik itu untuk minum, mandi, cuci dan lain sebagainya. Air yang bersih sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Air dikatakan Bersih bila : terlihat jernih, tidak berbau, tidak mempunyai rasa. Air dikatakan air minum bila : terlihat jernih, tidak berbau, dan memenuhi syarat air minum (Burhanudin AY, 2008). Penyediaan air bersih bagi masyarakat erat kaitannya dengan tingkat kesehatan masyarakat, yang berdampak terhadap kualitas sumberdaya manusia. Di beberapa wilayah Jawa Barat khususnya di pedesaan masih dijumpai masyarakat yang menggunakan air bersih yang bersumber dari; (1) air hujan; (2) mata air dari tempat lain yang relatif jauh dan mahal; dan (3) air sungai, waduk dan kolam yang secara kualitas masih belum dijamin kesehatannya. Masih banyaknya masyarakat Jawa Barat yang menggunakan air yang tidak berkualitas disebabkan oleh: (a) terbatasnya sumber air baku; (b) kondisi tofograďŹ wilayah yang terjal dan jauh dari sumber air; (c) rendahnya kualitas sistem penyediaan air minum, dan (c) kondisi ekonomi masyarakat yang belum mampu berswadaya (Mas Zulfah Kamaliyatul A, dan Nadia Agni Sheilla, 2016). Sampai dengan Tahun 2015 pemenuhan air bersih di Jawa Barat, baik yang dilaksanakan melalui Perusahaan Daerah Air Minum, pompanisasi, dan pembuatan sumur, serta pemnfaatan mata air, baru mencapai 67,13 persen dari jumlah rumahtangga. Dengan demikian masih terdapat 22,87 persen atau sebanyak 3.631.455 rumah tangga di Jawa Barat belum memeperoleh kecukupan air bersih (Pusdalisbang Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2016). Berdasarkan kondisi tersebut, maka permasalahan dalam menyelesaikan 22,87 persen masyarakat Jawa Barat yang masih rendah aksesnya terhadap sumber air besih adalah desa mana saja yang sangat memerlukan air bersih saat ini. Untuk menyelesaikan masalah tersebut maka diperlukan penelitian terhadap seluruh desa di Jawa Barat, sehingga dihasilkan desa yang diprioritaskan untuk memperoleh dukungan dalam penyediaan air bersih dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.
26
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
METODA ANALISIS Data dan Sumber data: Untuk menentukan desa/kelurahan yang memerlukan air bersih bagi keperluan rumah tangga di Jawa Barat digunakan Data Potensi Desa (PODES) Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik Jawa Barat Tahun 2015. Populasi desa ditunjuk secara sensus sebanyak 5.964 desa di 27 Kabupaten/Kota di Jawa Barat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2015). Parameter yang digunakan mengacu kepada indikator ketersediaan air pada PODES 2014 dari BPS Jawa Barat (2015), yaitu : (1) kepadatan penduduk per desa pada desa kabupaten; (2) sumber air untuk minum sebagian besar warga, terdiri atas 9 komponen; (3) sumber air untuk aktivitas rumah tangga (mandi, cuci, masak) sebagian besar warga, terdiri atas 8 komponen; (4) kekeringan lahan, terdiri atas 2 komponen; (5) frekwensi kekeringan lahan Tahun 2011,2012, dan Tahun 2013; (6) pencemaran tanah terdiri atas 2 komponen; dan (7) sumber penccemaran tanah terdiri atas 2 komponen.
wawasan perencanaan Analisis Data Data dianalisis dengan metoda tabulsi silang, yang terlebih dahulu dilakukan pembobotan terhadap parameter melalui Fokus Grup Diskusi (FGD) dengan peserta FGD empat orang analis Pusdalisbang Bappeda Provinsi Jawa Barat, satu orang peneliti Bappeda Provinsi Jawa Barat, dua orang perencana Bappeda Jawa Barat, dua orang staf Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Jawa Barat. Pembobotan dilaksanakan terhadap dua aspek yaitu parameter dan komponen, Untuk menentukan kondisi desa (N) yang bersumber dari PODES 2014, dilakukan perhitungan sebagai berikut: N = (∑ni... i=1-7 ), ni = yi * xi dimana: N= Kondisi air bersih di desa ke N (Skor kecukupan air bersih) ni = Parameter indikator kecukupan air bersih (i=1-7); yi = Bobot dari tiap parameter; xi = skor dari tiap komponen, Masing-masing skor komponen parameter (xi) dikalikan dengan bobot dari tiap parameter (yi) sehingga didapatkan nilai parameter indikator kecukupan air bersih (ni). Parameter ini kemudian dijumlahkan yang akan menghasilkan skor dari masing masing desa N = (∑ni... i=1-7 ). Setelah
diperoleh skor dari masing masing desa, kemudian dilakukan sortir skor dari yang tertinggi hingga terendah. Selanjutnya dipilih desa-desa dengan skor teratas sebagai desa yang paling tidak mencukupi kebutuhan air bersih. Selanjutnya hasil dari scoring ini dipetakan dengan membagi kedalam 3 kategori prioritas berdasarkan rentang skor masing-masing desa, yang kemudian diolah secara spasial. Untuk memvalidasi hasil analisis tersebut di atas dilakukan veriďŹ kasi kondisi desa di lapangan yang dilaksanakan secara acak di lima kabupaten dengan sampel desa masig-masing tiga desa untuk setiap kabupatennya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Desa yang Membutuhkan Air Bersih Hasil analisis dari sejumlah 5.681 desa di 27 Kabupaten/Kota di Jawa Barat, terdapat 1.365 desa yang tersebar di 22 Kabupaten Kota Jawa Barat yang sangat membutuhkan air bersih saat ini, baik untuk air minum maupun untuk keperluan rumah tangga lainnya seperti mandi dan mencuci. Lokasi kekurangan air bersih terdapat dibeberapa kabupaten yang ditunjukkan oleh umlah desa yang tinggi yaitu kabupaten: Garut, Tasikmalaya, Cianjur, Sumedang, Ciamis, Majalengka, Kuningan Majalengka , Sukabumi, Bandung, dan Bogor (Gambar 1).
Gambar 1. Jumlah Desa yang Memerlukan Air Bersih Menurut Kabupaten/Kota Di Jawa Barat
Sumber : Diolah dari Data PODES 2014. BPS Provinsi Jawa Barat 2015.
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
27
wawasan perencanaan Berdasarkan hasil analisis ternyata wilayah yang sangat membutuhkan air bersih berada di Jawa Barat Selatan, wilayah ini memiliki karakteristik alam yang khas, yaitu geografi dan topografi yang cukup tinggi dan terjal sehingga ada indikasi bahwa kondisi ini menjadi penghambat bagi sistem penyediaan air bersih terutama sistem jaringan di perdesaan. Pada kondisi geografi dan tofografi seperti di Jawa Barat Selatan, maka yang dilakukan untuk pemenuhan air bersih bagi masyarakat adalah air tanah, atau memanfaatkan mata air untuk disalurkan ke masyarakat. Sumber air permukaan merupakan sumber utama air bersih penduduk Jawa Barat dengan kuantitas air yang relatif besar terletak pada topografi rendah seperti yang berada di Jawa Barat Wilayah Utara. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ch. Nasution dan Djazim Syaifullah (2005) yang menyatakan bahwa pada wilayah ini disamping ketersediaan airtanah yang cukup akibat banyaknya aliran sungai serta tofografi datar, juga kondisi ekonomi cukup baik sehingga masyarakat mampu untuk menyediakan air bersih secara individu dengan sedikit memanfaatkan air sungai. Kondisi yang berbeda dengan Jawa Barat Wilayah Selatan dan Tengah, yang bertofografi terjal, dan kondisi ekonomi yang belum sebaik di wilayah utara, menyebabkan masyarakat di wilayah ini secara individu dan komunal sulit untuk mengembangkan penyediaan air bersih (Gambar 2).
Gambar 2. Peta Desa yang Memerlukan Air Bersih Menurut Kabupaten/Kota Di Jawa Barat
Sumber : Diolah dari Data PODES 2014. BPS Provinsi Jawa Barat 2015.
Prioritas Desa yang Memerlukan Air Bersih Untuk mengetahui desa yang perlu penanganan segera dalam penanganan air bersih, maka dari 1365 desa prioritas yang sangat membutuhkan air, kemudian di bagi dalam tiga katagori yaitu prioritas pertama dengan skor diatas 40.000, prioritas kedua dengan skor antara 30.000-40.000, dan prioritas ketiga dengan skor 28
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
kurang dari 30.000. Hasil analisis menunjukkan 95 desa dengan prioritas pertama yang berada di 12 Kabupaten dan satu desa di Kota Depok, 297 desa dengan prioritas kedua yang berada di 19 Kabupaten, 190 desa dengan prioritas ketiga yang berada di 22 Kabupaten/Kota (Tabel 1).
wawasan perencanaan Tabel 1. Prioritas Lokasi Desa Penanganan Kebutuhan Air Bersih di Jawa Barat
Sumber : Diolah dari Data PODES 2014. BPS Provinsi Jawa Barat 2015.
Berdasarkan hasil analisis, kriteria tofograďŹ yaitu lokasi sumber air untuk minum, mandi dan masak merupakan kriteria yang paling mempengaruhi penyediaan sistem air bersih di perdesaan Jawa Barat. Dari tujuh parameter yang di uji kedalam data PODES Tahun 2014 diperoleh nilai tertinggi di atas 40.000 skor, yang sebagian besar berada dari bobot lokasi sumber air untuk minum, mandi dan masak, kondisi ini menujukkan sulitnya akses masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih.
sebanyak 16 Desa, Sumedang sebanyak 11 Desa, Cianjur sebanyak 10 desa dan Kabupaten Garut sebanyak 8 desa, serta Kabupaten Sukabumi dan Kuningan masing-masing enam desa, serta Prioritas Kabupaten Bandung dan majalengka masing-masing lima desa.
Sumber Air Bersih
Kondisi ini sesuai dengan hasil veriďŹ kasi lapangan di Kabuuaten Bekasi, Sumedang, Indramayu, Subang dan Sukabumi. Kecuali di Desa kecuali Rongga Kecamatan Cijambe Kecamatan Subang tidak sesuai dengan hasil analisis karena telah dilakukan penyediaan air bersih oleh pemerritah Provinsi Jawa Barat Tahun nggaran 2015, sedangkan data PODES tahun 2014.
Penyediaan air baku eksisting pada wilayah perencanaan dapat dikategorikan sebagai penyediaan air baku secara mandiri dan sistem penyediaan air melalui jaringan perpipaana atau sumur bor. Sistem penyediaan air secara mandiri adalah pengambilan air oleh penduduk yang berasal dari sumur dangkal, sumur dalam, maupun mata air yang dimanfaatkan secara langsung oleh penduduk. Sedangkan sistem penyediaan air perpipaan adalah penyediaan air yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyediakan air bersih.
Berdasarkan analisis di atas seperti disajikan pada Tabel 1, prioritas pertama yang harus di dukung dalam pemenuhan air bersih adalah Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 20 desa, Ciamis
Berdasarkan veriďŹ kasi lapangan menunjukkan bahwa keputusan masyarakat desa untuk menggunakan air bersih dari sumber yang tersedia, bahwa penggunaan air bersih di
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
29
wawasan perencanaan tentukan oleh enam faktor yang mempengaruhi pengelolaan air bersih yaitu; (1) Keadaan Topografi; (2) Kondisi Geografis; (3) Pencemaran Sumber Air; (4) Produktivitas; (5) Tarif dasar air bersih; (6) Kehilangan air. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan air bersih baik untuk minum, mandi dan cuci di perdesaan Jawa Barat, diperoleh dengan cara; mengambil air dari sungai, danau, kolam/embung; menampung air hujan; memebli air kemasan; mengambil dari sumur bor/sumur pompa, sumur gali, dan dri mata air, serat perpipaan komunal, hal ini sesuai dengan pendapat Pramono (2002). Dari 1.365 desa yang prioritas memerlukan air bersih di Jawa Barat, sebagian besar masyarakatnya (69,64 persen) menggunakan mata air, dan air hujan (17,72 persen) sebagai sumber utama untuk minum, mandi dan cuci. Pada kelompok masyarakan yang menggunakan sumur, ternyata penggunaan sumur bor masih relatif rendah yaitu 0,39 persen dari populasi masyarakat yang menggunakannya untuk mandi dan cuci, 8,53 persen untuk minum, demikian pula dengan sumber air bersih dari sumur gali hanya 8,53 persen untuk minum dan 17,72 persen untuk mandi dan cuci (Gambar 2).
Gambar 2. Sumber Air Bersih di Perdesaan Jawa Barat (dalam %)
Sumber : Diolah dari Data PODES 2014 BPS Provinsi Jawa Barat 2015.
Sebagian besar masyarakat pada kelompok yang menggunakan sumur hanya sebagian kecil yang menggunakan air sumur untuk keperluan mandi dan cuci, kondisi ini kemungkinan besar masyarakat menghemat air tanah yang disebabkan langkanya air tanah, padahal jarak antara sumber mata air dengan pemukiman masyarakat relatif jauh dengan akses yang cukup sulit. Rendahnya akses masyarakat terhadap air bersih dipengaruhi oleh: lingkungan fisik; lingkungan sosia;. teknologi; kelembagaan; dan kondis ekonomi masyarakat (Triweko, 1992). Data pada Gambar 2 menunjukkan masih jauh dan sulitnya akses masyarakat terhadap sumber air bersih, karena kedaaan geografi, dan tofografi, serta kondisi ekonomi masyarakat yang belum dapat memenuhi harapannya untuk beralih kepada pengadaan air bersih dalam bentuk sumur bor maupun ledeng komunal. Kondisi geografi dan tofografi di pedesaan Jawa Barat menyeabkan biaya pemasangan instalasi pengolahan air pada daerah yang tinggi akan menjadi lebih mahal dibanding apabila instalasi dipasang pada daerah relatif datar, topografi akan mempengaruhi biaya produksi yang dihasilkan oleh instalasi pengolahan air yang berhubungan dengan jumlah penduduk yang terlayani. Dari sisi non fisik, sistem penyediaan air bersih dapat dipengaruhi oleh tingkat kehilangan air, pembiayaan, dan kelembagaan (Rini Susanti, 2010). 30
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
wawasan perencanaan Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan 1)
Dari 5964 desa di 27 Kabupaten/Kota di Jawa Barat, terdapat 1.365 desa yang tersebar di 22 Kabupaten Kota Jawa Barat yang sangat membutuhkan air bersih saat ini
2)
Kabupaten dengan jumlah desa yang tinggi dalam hal kekurangan air bersih adalah: Kabupaten: Garut 190 desa, Tasikmalaya 151 desa, Cianjur 139 desa, Sumedang 138 desa, Ciamis 133 desa, Majalengka 126 desa, Kuningan 121 desa, Sukabumi 112 desa, Kabupaten Bandung 105 desa, dan Bogor sebanyak 77 desa.
3)
4)
5)
2.
Prioritas pertama desa yang segera di dukung dalam penyediaan air bersih adalah: 95 desa yang berada di 12 Kabupaten dan satu desa di Kota Depok, 297 desa, prioritas kedua yang berada di 19 Kabupaten, 190 desa, dan prioritas ketiga yang berada di 22 Kabupaten/Kota Dari 1365 desa yang prioritas memerlukan air bersih di Jawa Barat, sebagian besar masyarakatnya (69,64 persen) menggunakan mata air, dan air hujan (17,72 persen) sebagai sumber utama untuk minum, mandi dan cuci. Pada kelompok masyarakan yang menggunakan sumur, ternyata penggunaan sumur bor masih relatif rendah yaitu 0,39 persen dari populasi masyarakat yang menggunakannya untuk mandi dan cuci, 8,53 persen untuk minum, demikian pula dengan sumber air bersih dari sumur gali hanya 8,53 persen untuk minum dan 17,72 persen untuk mandi dan cuci.
Rekomendasi
Hasil analisis ini dipergunakan Bagi Bidang Perencana Bappeda Provinsi Jawa Barat dan OPD yang terkait dalam melaksanakan program pemenuhan air baku di Jawa Barat yang berpedoman kepada desa prioritas pertama, kemudian dilanjutkan dengan desa prioritas kedua dan ketiga.
Daftar Pustaka
Burhanudin AY, 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Air Bersih Dari Masyarakat Terhadap Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Karanganyar. Paradigma, Vol 05, No 02, Semester Genap 2008. Universitas Islam Batik Surakarta. Ch. Nasution dan Djazim Syaifullah, 2005. Analisis Spasial Indeks Kekeringan Daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat. Jurnal Air Indonesia (JAI) Vol. 1 , No.2 2005. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknoogi (BPPT), Jakarta. Mas Zulfah Kamaliyatul A, dan Nadia Agni Sheilla, 2016. Kecukupan Air Di Indonesia Pada Tahun 2040. Pogram Studi Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), Institut Teknologi Bandung. Pramono, Sigit S. 2002. Pendekatan Sistem (System Approach) Pada Pengelolaan Air Bersih di Indonesia, Universitas Gunadharma, Jakarta. Pusdalisbang Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2016. Buku Data LKPJ Tahun 2015. Bappeda Provinsi Jawa Barat. Rini Susanti, 2010. Pemetaan Persoalan Sistem Penyediaan Air Bersih untuk Meningkatkan Kualitas Sistem Penyediaan Air Bersih di Kota Sawahlunto. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 21 No. 2, Agustus 2010. Triweko, R.W. 1992. Paradigma Baru dalam Pengelolaan Air Bersih Perkotaan, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2015. Rencana Kerja Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016. Ir.Maria Christine Sutandi.,MSc, 2011. Laporan Penelitian Air Bersih Menjadi Air Minum PT.Summit Plast.Delta Silikon Cikarang
Biro Pusat Statistik Jawa Barat Tahun 2015. Data Potensi Desa di Jawa Barat Tahun 2014.
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
31
INTEGRASI TANAMAN - TERNAK PADA USAHA TANI PADI Dalam Perspektif Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman & Manfaat Ekonomi
Oleh Agus Nurawan* Liferdi** Agus Ruswandi***
*)Peneliti BPTP Jawa Barat **)Peneliti BPTP Jawa Barat ***)Peneliti BP3IPTEK Provinsi Jawa Barat
Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
wawasan perencanaan LATAR BELAKANG Salah satu kendala dalam budidaya tanaman padi di lahan sawah irigasi (LSI) adalah adanya serangan Organisme Pengganggu Batang Coklat (WBC), Wereng Hijau, Penggerek Batang Padi Kuning (PBPK) dan beberapa penyakit Tanaman (OPT). Beberapa OPT utama yang menyerang tanaman padi diantaranya Wereng. Di beberapa Kabupaten di Jawa Barat telah dilaporkan Karawang, kerusakan dan kehilangan hasil yang diakibatkan oleh Penggerek Batang dapat mencapai 29% (Bengardi, 2011), sementara di Jawa Timur dalam periode Januari-Juni 2011 hama wereng coklat menyerang lahan pertanian seluas 126.752 hektar. Beberapa cara pengendalian OPT ini yang sudah banyak dilakukan seperti dengan cara yang saat ini petani lebih suka menggunakan cara kimiawi dengan pestisida yang hasilnya kontan dapat dilihat dan tanpa memperhitungkan ambang kendali dan ambang ekonomi. Tampaknya petani belum menyadari, bahwa cara pengendalian menggunakan pestisida kimiawi yang tanpa kendali, mempunyai dampak yang negatif seperti pencemaran lingkungan, resistensi dan resurgensi terhadap OPT sasaran, terbunuhnya musuh alami dan biaya produksi yang cukup tinggi. mekanis, kultur teknis, kimiawi, dan biologi. Bahkan ada yang mengkombinasikan berbagai cara pengendalian OPT tersebut, agar lebih efektif dan eďŹ sien. Berdasarkan hasil penelitian biaya penggunaan pestisida yang dikeluarkan oleh petani dapat mencapai 30% dari biaya produksi
Tampaknya petani belum menyadari, bahwa cara pengendalian menggunakan pestisida kimiawi yang tanpa kendali, mempunyai dampak yang negatif 34 Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
total.(Suyanto, 1994). Salah satu model pengendalian OPT pada budidaya padi adalah dengan melakukan integrasi ternak itik yang digembalakan di lahan sawah. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh dari sistem integrasi ini menurut Simanjuntak (2005) adalah, berkurangnya biaya produksi, padi yang dihasilkan menjadi beras organik yang harganya lebih tinggi, peningkatan mutu dan kondisi lahan, dan biaya produksi itik lebih rendah karena sebagian sumber pakan ada di sawah. Hal ini juga dilaporkan oleh Manda, dkk., (1992), bahwa dengan sistim Aigamo di Jepang, yaitu itik Aigamo yang digembalakan di sawah pertumbuhan gulma dapat ditekan jauh lebih rendah daripada sawah tanpa Aigamo. Demikian juga jumlah belalang dan keong lumpur dapat dikontrol dengan sistim Aigamo. Lebih lanjut Boray (1991), menyatakan bahwa sehubungan dengan banyaknya itik yang digembalakan di sawah-sawah di Indonesia hal ini dapat menurunkan populasi siput. Bila anak itik digembalakan di sawah yang tergenang dapat memangsa larva serangga, cacing dan hama lain yang muncul. Disamping itu itik yang digembalakan di sawah dapat mengkonsumsi siput sebanyak 17% dari total pakan. (Liu, 1985, dan Evans, 1982 dalam Abduh, dkk., 2003)dan hama (serangga, siput, keong mas) karena dimakan tiktok. BPTP Jakarta, (2008), keuntungan inovasi teknologi integrasi tiktok dengan padi sawah adalah adanya tambahan keuntungan yaitu tiktok cepat tumbuh, kandungan lemaknya rendah, tekstur daging empuk, rasanya gurih dan keuntungan tambahan berupa tambahan pupuk dari kotoran, meningkatkan kadar oksigen dalam tanah dan meminimalkan gangguan. Berbagai pengkajian dan penelitian sudah banyak dilakukan di berbagai daerah dengan mengkombinasikan berbagai komoditas tanaman dan jenis ternak, hasilnya hampir semua menyatakan bahwa dengan melakukan integrasi dapat diperoleh berbagai keuntungan. Keuntungan dapat dari berbagai sisi, dari komponen peningkatan produktivitas tanaman, komponen ternak, dari unsur penambahan kesuburan tanaman dan lingkungan. Tulisan ini bertujuan menyajikan informasi tentang manfaat dari pola integrasi tanaman-ternak dalam usahatani padi sawah, terutama dalam hal yang berkaitan dengan pengendalian OPT, dan manfaat ekonomi.
wawasan perencanaan METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan pada Tahun 2012 berlokasi di Desa Gunungsari, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang. Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan eksperimantal riset berupa aplikasi teknologi usahatani padi sawah diintegrasikan dengan pemeliharaan ternak yang dilakanakan secara partisipatif dengan petani. Data yang dikumpulkan meliputi perkembangan jumah hama tanaman, hasil padi.
Gambar 1. Integrasi tanaman padi dengan itik petelur sumber: dokumentasi pribadi Agus Nurawan
Pengkajian ini sudah dilakukan di Desa Gunungsari, Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang, Jawa Barat. Perlakuan yang diterapkan pada lahan sawah yang diintegrasikan dengan itik petelur dan dibandingkan dengan kebiasaan petani tanpa itik masing-masing 1 ha. Itik dara mulai dipelihara di sawah sejak padi berumur 14 HST, dan diangkat kembali pada umur 75 HST. Lahan sawah yang diintegrasikan dengan itik sekelilingnya dipagari dengan platik setinggi 75 cm, agar itik tidak lepas. Pemeliharaan itik secara terpadu ini bertujuan untuk mengurangi penggunaan pestisida, itik diharapkan dapat melakukan predatorisme terhadap opt. Pakan itik di letakan di pinggir sawah yang terdiri dari dedak yang dicampur dengan konsentrat khusus itik. Kegiatan integrasi tanaman padi dengan itik petelur ini mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut : 1) eďŹ sien tidak menggunakan pestisida, 2) eďŹ sien penggunaan pakan itik, 3) ramah lingkungan, 4) peningkatan pendapatan petani.
Perhitungan Populasi OPT dan predator Keadaan OPT di petakan perlakuan itik keadaannya lebih sedikit bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa dipelihara itik). Rata-rata-rata populasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis dan populasi OPT dan musuh alami pada perlakuan dan kontrol di Desa Gunungsari, Kecamatan Pagaden, Subang Tahun 2012
Keterangan : WBC: Wereng batang Coklat
KP:Kepik
PGK:Penggerek Batang
LB:Laba-Laba
TC:Tomcat
Foto:Bl:Belalang Dokumentasi N
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
35
wawasan perencanaan Analisis Usahatani Berdasarkan hasil pengamatan biaya yang dikeluarkan selama periode penanaman padi dan pemeliharaan itik dapat dihasilkan sebagai berikut (Tabel 2).
Tabel 2. Analisis usahatani padi dan penggembalaan itik, satu musim seluas 1 ha di Desa Gunungsari, Kecamatan Pagaden, ubang Tahun 2012.
36
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
wawasan perencanaan Keuntungan yang diperoleh sebagian besar karena dalam kegiatan budidaya padi sama sekali tidak menggunakan pestisida, sehingga dapat melakukan eďŹ siensi yang pada umumnya penggunaan pestisida ini bisa mencapai Rp. 1.500.000,- per periode tanam. Pada pelakuan penggunaan itik, total pengeluaran Rp. 11.970.000,- dan total pendapatan dari hasil panen padi dan telur itik selama periode pemeliharaan sebesar Rp. 34.532.500,- Sehingga keuntungan yang diperoleh sebesar Rp. 22.562.500,-, dan B/C adalah 1,88. Di samping itu, aset yang masih terdapat di petani adalah itik.
Bila dibandingkan dengan kontrol, analisis usahatani kontrol yaitu total pendapatan Rp.24.000.000,-, total pengeluaran Rp. 8.930.000,sehingga keuntungan yang diperoleh Rp.15.070.000,- dan B/C adalah 1,68 seperti pada (Tabel 3). Hasil pengkajian Suwandi, dkk. (2008). Hasil analisis usahatani padi sawah tiap ha terintegrasi dengan 350 ekor tiktok di kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara pada MK 2006 sebesar Rp.12.681.600,- dan tanpa terintegrasi dengan itik keuntungan ďŹ nansial hanya Rp.6.557.520,-
Tabel 3. Analisis usahatani padi kontrol (tanpa pengembalaan itik) selama satu musim seluas 1 ha di Desa Gunungsari, Kec.Pagaden, Subang Tahun 2012
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
37
wawasan perencanaan Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
Walaupun pengeluaran pada perlakuan penggembalaan itik lebih banyak, tetapi pendapatannya juga lebih tinggi mengingat ada hasil tambahan dari telur yang dihasilkan. Ada kelebihan untuk perlakuan penggembalaan itik, yaitu eďŹ sien dalam biaya produksi padi karena sama sekali tidak menggunakan pestisida. Karena bila menggunakan pestisida akan meracuni itik dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Disamping itu, produksi padi yang dari perlakuan penggembalaan itik produktivitasnya lebih tinggi. Pada perlakuan penggembalaan itik, produksi padi yang dihasilkan 7,68 ton/ha, dan tanpa penggembalaan hanya 6.00 ton/ha. Hal ini sependapat dengan hasil penelitian Abduh, dkk, (2004) hasil produksi padi pada perlakuan penggembalaan itik di Sulawesi Selatan lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penggembalaan. Perbedaannya antara perlakuan penggembalaan itik dan tanpa itik sebesar 270 kg sampai dengan 500 kg/ha. Tingginya produksi padi pada sawah dengan penggembalaan akibat dari itik yang memakan gulma serta serangga OPT tanaman padi, sehingga dihasilkan padi yang bebas pestisida. Kotoran itik yang dikeluarkan saat menggembala merupakan pupuk organik yang menyuburkan tanaman padi. Hal ini juga sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilaporkan oleh Manda, dkk., (1992), bahwa dengan sistim Aigamo di Jepang, yaitu itik Aigamo yang digembalakan di sawah pertumbuhan gulma dapat ditekan jauh lebih rendah daripada sawah tanpa Aigamo. Demikian juga jumlah belalang dan keong lumpur dapat dikontrol dengan sistim Aigamo. Lebih lanjut Boray (1991), menyatakan bahwa sehubungan dengan banyaknya itik yang digembalakan di sawah-sawah di Indonesia hal ini dapat menurunkan populasi siput. BPTP Jakarta, (2008), keuntungan inovasi teknologi integrasi tiktok dengan padi sawah adalah adanya tambahan keuntungan tiktok cepat tumbuh, kandungan lemak rendah, tektur daging empuk dan rasanya lebih gurih. Keuntungan lainnya adalah tambahan pupuk dari kotoran, meningkatkan kadar oksigen dalam tanah dan meminimalkan gangguan gulma dan hama (serangga, siput, keong mas) karena dimakan tiktik. Pakan juga dapat dikurangi karena mendapat pakan tambahan dari OPT seperti gulma, serangga, siput, keong mas dari sawah.
38
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
EFEK PEMBERIAN BAHAN ORGANIK KE DALAM TANAH DIKAITKAN DENGAN PENGENDALIAN OPT. Bertahun-tahun lamanya, bahkan cukup lama sekali berbagai program di masa lalu yang pada intinya menerapkan sistem intensiďŹ ksi padi sawah. Hal ini berakibat lahan sawah menjadi sakit, di waktu itu masih kurang memperhatikan pemberian bahan organik. Pemberian bahan organik ini, tentu sangat banyak manfaatnya disamping memberikan unsur hara, memperbaiki ďŹ sik tanah, struktur tanah, dan menstimulasi aktivitas ora dan fauna tanah. Menurut Kusdiaman, (2009), pemberian bahan organik/kompos ke dalam tanah dapat meningkatkan populasi jasad renik dalam tanah karena kompos jerami tersebut digunakan sebagai sumber energi sehingga proses dekomposisi bahan organik di dalam tanah semakin meningkat. Dari hasil penelitian Widiarta, dkk., (2006) dalam Kusdiaman, (2009) menyatakan, bahwa keragaman dan kemerataan kelompok hewan arthropoda tertinggi pada budidaya organik dan PTT saat bera. Keragaman arthropoda yang tertinggi pada saat bera, yang berpengaruh positif untuk konservasi musuh alami karena tersedia cukup mangsa. Karena musuh alami banyak tersedia cukup makanan, maka otomatis perkembangannya menjadi cepat, sehingga OPT yang dimangsa juga menjadi banyak. Pada penelitian ini, Paederus sp. populasinya cukup tinggi dan serangga ini merupakan pemangsa yang aktif, sehingga dapat menekan populasi serangga hama.
wawasan perencanaan Tabel 4. Indek keragaman arthropoda pada tanaman padi dengan 3 cara budidaya
Sumber : Widiarta, dkk, (2006) dalam Kusdiaman, (2009)
Keterangan : VAW : Vegetatif Awal, VAK : Vegetatif Akhir
Dari pengkajian ini dapat dilihat, bahwa pada 2, 4, dan 6 MST populasi hama dapat ditekan pada perlakuan bahan organik masingmasing 2, 5 dan 10 ekor, sedangkan musuh alaminya 30 ekor, 160 dan 120 ekor. Ini membuktikan bahwa dengan bahan organik serangga musuh alami banyak memangsa serangga hama.
jarak tanam jajar legowo, dan penerapan konsep PHT dalam pengendalian OPT). Selama kegiatan berlangsung, petani/peternak tidak perlu mengambil rumput/ngarit karena ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan hijauannya cukup diberikan jerami fermentasi. Jerami fermentasi ini disediakan dan disimpan dalam gudang untuk selanjutnya dimanfaatkan setiap hari.
INTEGRASI TANAMAN PADI DENGAN SAPI PERAH
KEUNTUNGAN YANG DIPEROLEH Pemberian Pupuk Organik
Sistem integrasi tanaman-ternak bila dikelola dengan baik akan diperoleh beberapa keuntungan yang berasal dari produksi susu, limbah petanian (kompos), kesuburan lahan meningkat, peningkatan produktivitas gabah dan akhirnya pendapatannya meningkat. Di Propinsi Jawa Barat dengan wilayah daratan seluas 4.411,719 ha dan perairan laut seluas 22.008.000 ha serta ketersediaan tenaga yang cukup, merupakan potensi yang besar untuk menghasilkan pangan dan komoditas ekspor. Dalam kegiatan ini membandingkan antara kegiatan keiasaan petani dengan introduksi inovasi teknologi. Beberapa introduksi teknologi yang digunakan adalah pakan jerami fermentasi, ampas tahu, serta PTT padi sawah (Varietas unggul padi, benih muda, bagan warna daun,
Adanya integrasi tanaman-ternak tentu memberikan manfaat berupa pemanfaatan pupuk organik yang berasal dari kandang. Hal ini akan memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kadar unsur hara tanah dan mengaktifkan mikroorganisme di dalam tanah. Perlakuan dengan dekomposer dapat mempercepat proses pelapukan pupuk kandang dari 3-4 bulan menjadi 3 minggu pupuk kandang menjadi matang. (Nurawan, 2009). Sehingga dengan segera dapat diaplikasikan secepat mungkin ke dalam tanah, dan dapat segera diambil manfaatnya untuk kesuburan tanah. Berdasarkan hasil pengamatan keuntungan yang diperoleh dari penjualan pupuk kandang yang sudah diproses adalah 124.500 ton pupuk organik.
Tabel 5.Analisis biaya pembuatan pupuk organik (2009)
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
39
wawasan perencanaan
PRODUKSI SUSU Berdasarkan hasil pengkajian,bahwa keuntungan yang diperoleh adalah 1) produksi susu cenderung diatas rata-rata dibandingkan dengan yang diberikan dengan hijauan lapangan, 2) Kualitas susu lebih baik dari pada yang diberikan pakan hijauan lapang (BJ>1) sebelumnya hanya BJ 0,7, (ditolaK oleh KUD) 3) pekerjaan pemeliharaan sapi perah relatif lebih ringan sebab petani tidak disibukan untuk mencari rumput hijauan, 4) kotoran sapi lebih kering dibandingkan dengan pakan ternak
hijauan, sehingga bau kotoran tidak menyengat dan bersih lingkungan, dan 5) di musim kemarau tidak ada rasa khawatir kekurangan rumput pakan karena ada stok pakan. Produksi susu sapi perah setelah diberikan jerami padi memperlihatkan produksi yang di atas produksi yang diberi hijauan lapangan. Walaupun pada saat awal pemberian fermentasi jerami ada kecenderungan produksi susunya menurun.
Tabel 6. Analisis keuntungan penggunaan fermentasi jerami pada sapi perah per ekor per hari dibandingkan dengan pakan hijauan lapangan, di Desa Suci Kecamatan Karangpawitan, Garut Tahun 2005
Sumber : Nurawan, dkk., (2009)
Perbedaan yang mencolok jumlah pengeluaran perhari ditentukan oleh biaya penggunaan rumput dan biaya tenaga kerja yang digunakan dalam pemeliharaan sapi perah. Sehingga jumlah pengeluaran secara keseluruhan menjadi Rp.7.900,untuk yang menggunakan fermentasi jerami dan Rp.15.400,- untuk yang menggunakan hijauan lapang. Keuntungan yang diperoleh per ekor perhari untuk yang menggunakan fementasi jerami Rp 10.300,- dan yang menggunakan hijauan lapang Rp.1.400,40
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
wawasan perencanaan INTEGRASI TIKTOK DENGAN PADI SAWAH Keuntungan yang diperoleh dari sistem integrasi ini menurut Simanjuntak, (2005) adalah a) berkurangnya biaya produksi akibat penurunan pemberian pupuk, pestisida serta upah kerja pemeliharaan, b) padi yag dihasilkan merupakan beras organik yang mempunyai harga yang lebih tinggi, c) peningkatan kondisi lahan akibat karena penggunaan pupuk anorganik yang minimal, d) biaya produksi itik menjadi lebih rendah, karena menggunakan sumber pakan dari bahan lokal. Kegiatan integrasi tiktok dilakukan di lahan sawah dengan populasi tiktok 70 ekor/2000 m2. Tiktok berumur 14 hari, dilepas pada lahan sawah yang berumur 21 HST dan lama pemeliharaan 75 hari.
USAHATANI PADI TANPA INTEGRASI Produksi padi yang dihasilkan dengan cara tradisional dan tanpa integrasi dalam 1 ha adalah 5.000 kg dengan harga jual gabah kering Rp.2.000,-/kg, hasil penjualannya adalah
Rp.10.000.000,- Adapun biaya usahatani padi secara tradisional Rp.4.646.000 per sekali, panen, sehingga pendapatan dari usahatani padi secara tradisional tanpa teknologi integrasi dengan tiktok hanya sebesar Rp. 5.354.000,-/ha/musim.
USAHATANI PADI TERINTEGRASI DENGAN TIKTOK/ITIK SERATI Analisis usahatani padi terintegrasi dengan tiktok dengan luas lahan 1 ha dan jumlah tiktok 350 ekor. (Tabel 7). Hasil produksi padi dengan cara jajar legowo 2:1 4.500 kg/ha/musim. Total biaya usahatani padi terintegrasi tiktok sebesar Rp. 7.408.400,-/ha/musim, sedangkan total penerimaan padi terintegrasi tiktok Rp.19.790.000,-/ha/musim. Keuntungan ďŹ nansial atas biaya total usahatni padi sawah teritegrasi tiktok adalah Rp. 12.381.600,-/ha/mmusim sedangkan keuntungan atas biaya tunai adalah Rp.12.681.600,-/ha/musim dengan B/C = 1,67 dan efeisiensi penggunaan pakan sebesar 1,60 (Andayani, dkk., 2009).
Gambar 2. Integasi padi dan titok | Sumber: dokumentasi pribadi Agus Nurawan
Tabel 7. Analisis usahatani padi sawah terintegrasi tiktok, di Jakarta Utara Tahun 2009
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
41
wawasan perencanaan
Sumber : Andayani, dkk., (2009)
Usahatani integrasi padi dengan tiktok ini, petani mendapatkan keuntungan sekitar Rp.7.027.600/ha/musim. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian Kusdiaman, (2009) usahatani padi terintegrasi dengan sapi dapat meningkatkan produktivitas padi dari 5 ton/ha menjadi 6,5 ton/ha, karena keadaan tanah yang membaik karena selalu diberi pupuk kandang yang banyak tersedia. Disamping itu menurut Widiarta dkk. (2006), bahwa pemberian pupuk organik kedalam tanah akan memperbaiki sifat ďŹ sik tanah dan menstimulasi aktivitas ora dan fauna tanah. Dalam biologi tanah pemberian kompos dapat meningkatkan populasi jasad renik, karena kompos tersebut dijadikan sumber energi sehingga dekomposisi bahan organik di dalam tanah semakin meningkat.AktiďŹ tas musuh alami berpengaruh negatif terhadap perkembangan OPT, karena banyak OPT yang dijadikan sumber makanan. Pemberian 2 ton pupuk organik meningkatkan populasi arthropoda baik kelompok spesies hama, musuh alami maupun kelompok netral.
INTEGRASI JAGUNG-SAPI Dalam memanfaatkan lahan kering penerapan pola usahatani terpadu sangat penting, terutama bila diinginkan adanya tanaman pangansemusim. Usahatani pada lahan kering marginal yang bertumpu hanya pada tanaman pangan saja tidak akan memenuhi kebutuhan keluarga tani dan juga tidak menjamin kelestariannya. 42
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
wawasan perencanaan
Gambar 3. Integrasi ternak sapi dengan tanaman jagung Sumber: dokumentasi pribadi Agus Nurawan
Disamping itu, banyak sekali permasalahan yang dihadapi di lahan kering, seperti rendahnya produktivitas lahan, tidak eďŹ siennya pemupukan, tingginya serangan OPT, sempitnya lahan garapan, kurangnya modal, dan rendahnya pengetahuan petani. Berdasarkan berbagai kendala tersebut di atas, maka untuk lahan kering yang marginal diperlukan suatu pola usahatani yang dapat mengantisipasi beberapa permasalahn tersebut. Ada 3 komponen teknologi utama yang mendukung kegiatan integrasi jagung-sapi antara lain: 1) teknologi budidaya ternak, 2) teknologi budidaya jagubg melalui pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu), dan 3) teknologi pengolahan pakan ternak dan kompos serta teknologi penyimpanan dan peingkatan mutu gizi pakan. Teknologi Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) mempunyai nilai keuntungan yang tinggi dari hasil utama berupa kompos untuk perbaikan sifat ďŹ sik, kimia, dan biologi tanah. Dari aspek sosial, pengembangan SITT ini dapat menekan perkembangan penyakit ternak, pencurian ternak dan dapat meningkatkan kepercayaan petani karena meningkatnya asset yang mereka miliki (Puslitbangnak, 2002).
KEUNTUNGAN YANG DIPEROLEH Ketiga komponen yang mendukung kegiatan SITT tersebut pengelolaan tanaman, pengelolaan ternak, dan pengelolaan limbah semua mendapat nilai tambah yang positif. Dari unsur komponen tanaman produktivitasnya meningkat dan juga berat berangkasannya sangat berbeda.
Tabel.8 Produksi (ton/ha) antara yang menggunakan Pupuk organik, anorganik dan cara petani
Dari hasil analisis usahatani yang dilakukan di Gorontalo ternyata keuntungan yang diperoleh sebelum dilakukan pengkajian keuntungannya hanya Rp. 940.000,-per ha kemudian setelah pengkajian meningkat menjadi Rp. Rp. 2,071.500,-, sehingga ada selisih Rp. 1.113.500,Hasil pengkajian Rohaeni dkk.( 2009), analisis biaya untuk 20 ekor sapi yang dipelihara di lahan seluas 3 ha dengan cara integrasi dengann jagung yang dibandingkan dengan kontrol (tanpa integrasi) pendapatannya Rp. 19.511.000,- (R/C = 1,32) sedangkan kontrol Rp. 10.961.400,- (R/C = 1,18). Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
43
wawasan perencanaan INTEGRASI TANAMAN PADI-IKAN (MINA PADI) Integrasi tanaman padi dengan ikan persyaratannya harus di sawah yang mempunyai pengairan irigasi teknis. Sawah yang digunakan diberi saluran/selokan/caren di bagian tengah dan di sekelilingnya, untuk digunakan sebagai tempat berkumpulnya ikan.
3) ikan dapat memangsa opt yang ada di sekitar rumpun padi, 3) meningkatkan pendapatan. Hasil penelitian Nurawan, dkk., (2005). Di Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut pendapatan petani meningkat Rp. 1.250.000,-/ha yang melakukan kegiatan mina-padi dibandingkan dengan tanpa mina-padi. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan ikan benih yang berukuran jari (ngaramo) dan eďŹ siensi dalam menggunakan insektisida. Karena dari hasil pengamatan OPT pada kontrol (bukan mina-padi) populasi wereng hijau, penggerek batang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tanpa minapadi. Perbedaan yang cukup mencolok ini adalah populasi wereng hijau pada perlakuan 2 ekor/rumpun sedangkan kontrol sampai dengan 10 ekor/rumpun.
PENUTUP Gambar 4. Minapadi Sumber: dokumentasi pribadi Agus Nurawan
Pada umumnya ikan yang dipelihara adalah ikan mas dan digunakan untuk pembesaran dari sebesar kayu korek api hingga sebesar ibu jari (lama pembesaan kurang lebih 30 hari).
KEUNTUNGAN Ada beberapa keuntungan yang diperoleh dari kegiatan mina padi ini yaitu 1) dapat memanfaatkan air sewaktu tanaman masih muda, 2) lebih eďŹ sien dalam menggunakan pakan ikan,
Ada beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan sistem usaha tani, antara lain: (1) eďŹ siensi penggunaan lahan; (2)menjaga kestabilan ekosistem ; (3)mengurangi risiko kerugian akibat kegagalan produksi dari salah satu komponen usaha tani; (4) mengurangikerugian akibat uktuasi harga pasar; (5) menjamin distribusi tenaga kerja yang relatif merata sepanjang tahun; (6) mempertahankan keseimbangan unsur hara dalam tanah; dan (7) mengurangi kemungkinan timbulnya serangan organisme pengganggu.
Tabel 9 . Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Asia Tenggara.
Sumber : Risdiono, (2010) 44
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
wawasan perencanaan Sebenarnya dalam penerapan integrasi tanaman-ternak ini ada beberapa kendala yang dihadapi oleh petani, untuk itu maka perlu pendampingan dan bimbingan dari penyuluh, peneliti agar hasilnya dapat lebih optimal dan menguntungkan bagi pelaku.
DAFTAR PUSTAKA Abduh, U, Andi, Ella dan A. Nurhayu. 2004. Integrasi ternak itik dengan sistem usahatani berbasis padi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Prosiding seminar nasional sistem integrasi tanaman-ternak, BPTP Sulawesi Selatan. Kerjasama antara BPTP Sulsel-Pemda Sulsel. Hal 234-239. Andayani, D., U. Sente, dan B. Bakrie. 2009. Pemeliharaan Terpadu Tiktok dengan Padi Sawah di Wilayah DKI Jakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DKI Jakarta. Hal 22-26. Boray, J.C. 1991. Current status of the control of the trematode infections in livestock in developing countries. Working paper for expert consultation on helminth infection of livestock Prosiding seminar apresiasihasilpenelitianpadimenunjang P2BN. BB Padi. BadanLitbang Pertanian.339-350.in developing countries. FAO Rome pp 1-33 BPTP DKI Jakarta. 2008. Sistem itegrasi pemeliharaan itik (Tiktok) dan padi sawah. Informasi ringkas. Bank Pengetahuan padi Indonesia. BPTP DKI Jakarta. 2 hal. Kusdiaman, D.2009. Keberadaan arthropoda pada pemanfaatan limbah sistem integrasi padi ternak (SIPT). Balai Besar Penelitian Padi, Sukamandi. Manda, M. 1992. Paddy rice cultivation using crossbred ducks. Agriculture science and nature resources. Faculty of Agriculture, Kagoshima Universty. Farming japan. Vo. 26, pp 35-42.
D. 2009. Integrasi Tanaman Padi-Sapi perah di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Balai Pengkajian Teknologi Petanian Jawa Barat. Hal.45-50. Nurawan, Agus G. 2005. Hasil pengkajian Minapadi (PTT padi sawah) di Kabupaten Garut. Prosiding Seminar ilmiah penerapan teknologi spesiďŹ k lokasi. Prosiding Seminar ilmiah. Balai Besar Pengkajian Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.. Puslitbangnak.2002. Petani melalui pengembanangan sapi pesawahan. Badan Litbang Pertanian. Puslitbangnak, Bogor. Rasali, H., Matondang dan M. Rusliyadi. 2009. Pengkajian Sistem Integrasi Jagung-Sapi di Provinsi Gorontalo dengan Model Kemitraan. Pusat Penelitian Peternakan. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Risdiono, B. 2010. Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Balai Penelitian Peternakan. Ciawi, Bogor. Warta Litbang 32(4). Hal 16-18. Rohaeni, ES., M. Sabran dan E. Hadiwirawan. 2009. Hasil kajian dan Prospek Penerapan Sistem Integrasi Tanaman Ternak di Kalimantan Selatan. Balai Pengkajian Kalimantan Selatan. Hal. 129-139. Widiarta, IN., D. Kusdiaman dan Suprihanto. 2006. Keragaman arthropoda pada padi sawah dengan pengelolaan tanaman terpadu. Jurnal hama dan penyakit tropikal 6(2) Suyanto, A. Hama sayur dan buah. Seri PHT. Penerbit Penebar Swadaya. 116 hal. Simanjuntak. 2005. Usahatani terpadu PATI. Padi, Azolla, Tiktok dan Ikan. Pola pertanian organik terpadu yang mudah, murah, dan ramah lingkungan. Agromedia Pustaka Jakarta. Suwandi. D. Andayani, U. Sente dan B. Bakrie, 2007. Pengembangan sistem pemeliharaan terpadu itik dengan padi sawah di wilayah DKI Jakarta.
Nurawan, A., A. Gunawan, Hasmi, B dan IGP Alit,
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
45
wawasan perencanaan Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
MENUJU MODERNISASI PERTANIAN DI JAWA BARAT Oleh Trisna Subarna* Suciati Nurhartati**
*)Peneliti Bappeda Jawa Barat **)Guru Honor Pada SMK Pekerjaan Umum Jawa Barat
46
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
wawasan perencanaan PENDAHULUAN Modernisasi pertanian digambarkan dengan suatu pasarisasi atau komersialisasi pada bidang pertanian yang mencakup tiga hal, yakni modernisasi (teknologi, institusi dan infrastruktur pertanian); integrasi sektor pertanian dengan sektor-sektor perekonomian nasional lain, memaksimumkan peran pertanian dalam mendukung pembangunan pada umumnya dan penciptaan nilai tambah dari sektor pertanian nasional pada khususnya. Pertanian modern yaitu pertanian dengan keuntungan (profit) komersial murni merupakan ukuran keberhasilan dan hasil maksimum per hektar dari hasil upaya manusia (irigasi, pupuk, pestisida, bibit unggul, dll) dan sumber daya alam merupakan tujuan kegiatan pertanian (Arsad Arsyad, Lincolin. 1992). Modernisasi dapat diartikan sebagai proses perubahan dari corak kehidupan masyarakat yang “tradisional” menjadi “modern”, terutama berkaitan dengan teknologi dan organisasi sosial. Dengan kata lain, seluruh produksi diarahkan pada kegiatan pasar. Sebagai lokomotif penggerak perekonomian desa, maka usaha pertanian haruslah dapat tumbuh berkembang secara progresif, karena sektor pertanian berperan dalam; 1) penyedia pangan, 2) sumber tenaga kerja bagi sektor perekonomian lain, 3) sumber kapital bagi pertumbuhan ekonomi modern khususnya dalam
tahap awal pembangunan, 4) sumber devisa dan 5) masyarakat pedesaan merupakan pasar bagi produk yang dihasilkan dari sektor industri di perkotaan (Gillis et al, 1992; Mohammad Abdul Mukhyi,2007). Pada perkebngannnya sector pertanian telah meningkatkan produksi melalui berbagai rekayasa teknologi dan kelembagaan namun belum cukup mampu meningkatkan pendapatan, kesejahteraan petani dan penangggulangan kemiskinan di pedesaan (Dillon et al.,1999; Simatupang et al., 2000; Nizwar Syafa'at, at al, 2007). Sasaran misi kedua Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018 menyatakan bahwa; (1) Jawa Barat Sebagai Daerah Pertanian Berbasis agrikultur dengan indikator yang harus dicapai skor Pola Pangan Harapan (PPH), dan (2) Meningkatnya daya saing pertanian dengan indikator Nilai Tukar Petani (NTP). Hasil evaluasi kedua indictor tersebut pada akhir Tahun 2015 (Balai Pusdlisbang Bappeda jawa Barat, 2016) diperoleh capaian indikator Nilai Tukar Petani (NTP) dari target 111-112 poin hanya dapat dicapai 105,06 poin (tidak tercapai) yang disebabkan oleh indeks yang dibayar petani lebih tinggi dibanding yang diterima petani yang dipengaaruhi oleh kondisi perekonomian nasional dan global. Pekembangan NTP selama Tahun 20155 seperti pada gambar berikut:
Gambar 1. Nilai Tukar Petani (NTP) Gabungan Jawa Barat Tahun 2015
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
47
wawasan perencanaan Sedangkan skor Pola Harapan Pangan (PHP) melebihi target yang ditetapkan yaitu dari target 76 poin dicapai 78,3 poin, kondisi ini menunjukkan kuantitas dan kualitas serta diversifikasi pangan telah tercapai. Berdasarkan capaian NTP dan PHP tersebut, dilihat dari sisi produksi dan kualitas komoditas padi, umbiumbian, dan buah-buahan, kacang-kacangan, dan sayur sayuran (yang merupakan komoditas pembentuk indikator PHP) telah mencukupi kebutuhan masyarakat Jawa Barat. Tidak tercapainya NTP menunjukkan produksi yang dihasilkan petani belum berdampak terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani, karena harga jual produksi belum sebanding dengan harga-harga yang diperlukan bagi usahatani dan kebutuhan dasar petani. Berdasarkan kondisi NTP dan PPH tersebut maka diperlukan transformasi pertanian ke pertanian modern.
TRANSFORMASI MODERNISASI PERTANIAN Walaupun target produksi telah tercapai namun produksi tersebut belum optimal yang disebabkan oleh: (1) Upaya peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian melalui diversifikasi usahatani dan pengolahan hasil belum tercapai; (2) Bahan baku Bioindustri dan Bioenergi belum tersedia dalam skal industry diperdesaan yang mendukung kebutuhan dan nilai tambah bagi petani; (3) Industri pengolhan hasil belum berjalan. Kondisi tersebut memerlukan upaya terobosan melalui modernisasi Pertanian untuk mewujudkan Jawa Barat sebagai daerah pertanian berbasis agrikultur dan agroindustri, meningkatnya daya saing usaha pertanian, dan meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, seperti diamanatkan dalam RPJMD Jawa Barat Tahun 2013-2018. Untuk mewujudkan tema sentral tersebut diperlukan dua pendekatan yaitu : (1) Transformasi Kinerja Aparatur Pertanian Jawa Barat dalam mencapai indikator knerja Misi dua RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018; dan (2) Transformasi Pertanian saat ini menjadi Pertanian yang Modern. Transformasi Kinerja Aparatur Transformasi kinerja aparatur dimaksudkan perubahan atau reformasi yang mendasar dari pola kerja berdasarkan output yang tidak terkur
48
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
menjadi kinerja yang berorientasi outcome yang terukur berdasarkan target indikator kenierrja RPJMD di seluruh level birokrasi, yaiu tercapainya target PHP, NTP, produksi dan peningkatan pendapatan petani, serta keberlanjutan usaha pertanian. Reformasi ini merujuk kepada lima Agenda Besar Reformasi Birokrasi dengan slogan “Reformasi Birokrasi Mewujudkan Birokrasi Bersih, Kompeten Dan Melayani”. Lima agenda tersebut slah satunya adalah agdenda ke tiga yaitu Manajemen Berbasis Kinerja SAKIP/LAKIP), yang terdiri atas : (a ) Perencanaan Kinerja, (b) Pengukuran Kinerja, (c) Laporan Kinerja, (d) Evaluasi Kinerja, dan (e) Hasil Kinerja. Transformasi Menuju Modernisasi Pertanian Keberlanjutan usaha pertanian saat ini masih mengalami kendala diantaranya: (1) peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian melalui diversifikasi usahatani dan pengolahan hasil belum tercapai; (2) bahan baku bioindustri dan bioenergi belum tersedia dalam skala industri; dan (3) industri pengolahan hasil belum berjalan . Untuk mengantisipasi kendala tersebut diperlukan an upaya kearah modernisasi pertanian yaitu pertanian yang tersepesialiasi dan komersial. Hasil akhir dari pertanian modern adalah: (1) Meningkatkan ketersediaan dan diversifikasi pangan; (2) Meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian; (3) Meningkatkan pendapatan dan kesejaahteraan petani ; (4) Meningkatkan ketersediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi.
LANDASAN REGULASI MODERNISASI PERTANIAN DI JAWA BARAT: Untuk melaksanakan modernisasi pertanian di Jawa Barat mengacu kepada: (1) Agenda ke 7 (tujuh) Nawacita yaitu Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Dengan Menggerakkan Sektor-Sektor Strategis Ekonomi Domestik, dengan program Kedaulatan pangan; (2) Prioritas Pembangunn Jawa Barat 2013-2018 No 4 pada RPJMD yaitu Meningkatkan Ekonomi Pertanian, sebagai komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap ketahanan pangan; (3) Misi 2 RPJMD Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2013-2018, yaitu Membangun Perekonomian yang Kokoh dan Berkeadilan dengan sasaran : sasaran kesatu Jawa Barat Sebagai Daerah Pertanian Berbasis Agricultur (Agribisnis), dan sasaran kedua
wawasan perencanaan
Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
meningkatnya Daya Saing Usaha Pertanian; (4) Rencana aksi multi pihak dalam pembngunan Jawa Barat berdasarka SK Gubernur No. 500/Kep.66-org/2014 yang terkait dengan Diperta yaitu : (a) Menciptakan 100.000 wirausahaan baru, (b) Mempersiapkan Cetak Sawah Baru 100.000 Ha (2015) (Nasional), (c) Kontribusi Surplus 10 Juta Ton Beras (Nasional), (d) Pengelolaan Jaringan Irigasi Terpadu, (e) Ketahanan Pangan (Nasional), dan (f) Pengelolaan Terintegrasi DAS Citarum, DAS Ciliwung dan DAS Cimanuk.
3)
Strategi ST, yaitu meningkatkan kekuatan dengan meminimalkan ancaman yaitu strategi: Pengembangan Usaha Dan Sarana Prasarana Serta Pemasaran Produk Pertanian; dan
4)
Strategi Pengembangan Pertanian Berkelanjutan;
5)
Strategi WT, yaitu meningkatkan kekuatan dengan memanfaatkan peluang, yaitu strategi Peningkatan Kualita Produksi Melalui Pengendalian Hama Dan Penyakit Tanaman Dan Kehilangan Hasil Panen.
STRATEGI MENUJU KEBERHASIAN PERTANIAN MODERN DI JAWA BARAT.
Strategi tersebut dilaksanakan dalam dua pendekatan sebagai berikut:
Hasil analisis SWOT dalam menuju pertanian tanaman modern di Jawa Barat terdapat lima strategi yaitu:
a)
1)
Strategi WO, yaitu meminimalkan kelemahan saat ini dengan memanfaatkan peluang yang ada dengaan strategi: Peningkatan Kinerja Sumberdaya Dan Kelembagaan Pertanian;
2)
Strategi SO, yaitu meningkatkan kekuatan dengan memanfaatkan peluang yang ada dengaan strategi: Peningatan Produksi dan Produktivitas Komoditas Pertanian;
Transformasi Integritas Kinerja Aparatur 1)
Tahun 2017, tahap inisiasi ditujukan untuk memeberikan kesepahaman tanggungjawab dan kinerja yang harus dicapai berdasarkan target indikator kinerja individu (IKI), indikator Kinerja utama eselon IV, eselon III dan Kepala Dinas, indikator kinerja daerah (IKD) dan Indikator Kinerja Utama (IKU) Gubernur beserta cara-cara mencapai target. Inisisasi ini drancang melalui: (1) Pembentukan Tim Transformasi Integritas Kinerja; (2) Penyelarasan Renstra, Renja dengan RPJMD; (3) Penentuan Indikator
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
49
wawasan perencanaan dan targetnya; (4) Penentuan Inovasi E-Performance. Dilaksanakan pada tiga bulan pertama.
b)
2)
Tahun 2017, tahap implementasi ditujukan untuk melaksanakan kinerja aparatur berbasis kinerja dalam rangka transpormasi program dan kegiatan modernisasi pebangunan pertanian. Pengukuran kinerja dilaksanakan setiap pelaksanaan kegiatan dimulai dari kerangka acuan kerja (KAK), hasil kegiata berupa output, out come, dan impact.
3)
Tahun 2018, tahap pemantapan ditujukan untuk memantapkan kinerja aparatur berdasarkan level tanggung jawab, berdasarkan hasil evaluasi pada akhir tahun 2017. Pada tahun ini diharapkan kinerja aparatur sudah berbasis kinerja, yaitu implementasi program dan kegiatan berbasis kinerja dalam mencapai IKD, IKU dan indikator kinerja diperta.
4)
Tahun 2019, dan Tahun 2020 merupakan awal RPJMD 2018-2023, tahun ini merupakan tahun pemantapan untuk transformasi kinerja aparatur untuk mencapai pembangunan yang lebih baik lagi, yang digambarkan pada Gambar3.
Transformasi Mencapai Pertanian Modern
Untuk mencapai Pertanian yang modern yang menjamin keberlanjutan usaha pertanian dengan tujuan: : (1) Meningkatkan ketersediaan dan diversiďŹ kasi pangan; (2) Meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian; (3) Meningkatkan pendapatan dan kesejaahteraan
50
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
petani ; (4) Meningkatkan ketersediaan bahan baku bioindustri dan bioenergy, dengan tahapan sebagai berikut: 1)
Tahun 2017, implementasi dari 5 Strategi modernisasi, dan inisiasi Bioindustri Daan Bio Energi (skala kelompok), serta Pengembangan Banana Belt di Jabsel, dan
wawasan perencanaan Pengembangan Corn Belt di Priangan, supporting Geopark Ciletuh – Palabuhanratu dan KBU dengan Konservasi Tanaman BuahBuahan. 2)
Tahun 2018, pemantapan Implementasi 5 Strategi modernisasi untuk pencapaian IKD/IKU Gubernur, IK Diperta, dan Perluasan Bioindustri Daan Bio Energi (Skala Gab Kelompok), serta Pengembangan Banana Belt di Jabsel, dan Pengembangan Corn Belt di Priangan, supporting Geopark Ciletuh – Palabuhanratu dan KBU dengan Konservasi Tanaman Buah-Buahan.
3)
Tahun 2019, Evaluasi implementasi 5 Strategi modernisasi, dan Pengembangan Bioindustri Daan Bio Energi (Skala Wilayah), serta Pengembangan Banana Belt di Jabsel, dan Pengembangan Corn Belt di Priangan, supporting Geopark Ciletuh – Palabuhanratu dan KBU dengan Konservasi Tanaman BuahBuahan
4)
Tahun 2020, tercapainya pertanian modern
MEMBANGUN INTEGRITAS BERBASIS KINERJA BAGI SELURUH LEVEL TANGGUNG JAWAB Integritas merupakan isu penting yang harus ditindaklanjuti sekaligus dijadikan sebagai sikap dan komitmen oleh segenap aparatur pemerintah tanpa kecuali untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi (2014).
Salah satu upayanya dengan mengembangkan kebijakan dan penegakan sistem integritas birokrasi, yang merupakan prasyarat penting untuk menciptakan pemerintah yang bersih danbebas KKN, dan mencapai target dari Indikator Kinerja Daerah dan Indikator Kinerja OPD. Hal ini akan dicapai antara lain melalui pemantapan kebijakan pengawasan, peningkatan efektivitas sistem pengawasan, peningkatan kuantitas dan kualitas internal, pemantapan penerapan sistem pengendalian intern pemerintah melalui penyusunan pedoman dan peningkatan kapasitas aparatur, serta pelaksanaan asistensi, konsultasi dan bimbingan teknis bagi aparatur dari seluruh level tanggung jawab dalam penyelenggaraan program dan kegiatan. Pengendalian program dilakukan oleh kepala dinas ke eselon tiga, selanjutnya ke eselon empat dan stap, dalam rangka mencapai indikator yang telah ditetapkan. Hasil kegiatan berupa output dari individu, gabungan individu menjadi out come capaian indikator eselon empatatau indikator kegatan, gabungan indikator kegiatan menjadi out come indikator eselon tiga dan sekertaris atau kepala UPTD selanjutnya menjadi impact kepala dinas atau indikator Kinerja Daerah dan atau indikator kinerja Kepala Dinas Lingkup Pertanian yang mendukung IKU Gubernur, dengan tahapan sebagai berikut:
gambar 2. membangun integritas berbasis kinerja bagi seluruh level tanggung jawab aparatur pertanian dalam pencapaian indikator kinerja rpjmd misi 2
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
51
wawasan perencanaan TEROBOSAN MENUJU PERTANIAN MODERN 1.
Transformasi Integraitas Aparatur Pertanian
2.
Membangun Pertanian Berkelanjutan melalui: (1) Pencetakan sawah Baru; (2) Inovasi Kelebagaan Pengelolaan Lahan Usahatani; (3) Inovasi Teknologi Pertanian Lahan Sempit; (4) Inovasi Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL);
3.
Pencapaian Produkasi (Padi pada Tahun 2018 sebesar 13 Juta ton, Jagung 1,3 jt ton, dan Kedele 55 000 ton) melalui: Penggunaan dan Pengembangan dan Penyebaran Benih Bermutu kepada petani dan penangkar benih dengan revitalisasi Balai Benih; penerapan teknologi dan pengembangan kelembagaan sarana produksi; penggunaan teknologi percepatan tanam (tanam benih langsung, system ratun, dan gogorancah), dan cadangan benih daerah.
4.
Menekan kehilangan panen dari 11,1% menjadi 7,5% melalui teknologi panen dan pasca panen
5.
Pengembangan diversifkasi usahatani dan pengolahan hasil melalui pemantapan kelembagaan dan teknologi pengolahan untuk peningkatan pendapatan petani.
6.
Penyediaan data dan Informasi Produksi, Harga dan Informasi pasar, melalui Teknologi Informasi untuk meningkatkan harga jual komoditas pagan dan hortikultura.
7.
Rehabilitasi Saluran Irigasi dan jalan Usahatani sampai kondisi 80 persen pada Tahun 2018.
8.
Regulasi untuk hibah dan subsidi sarana produksi (benih, pupuk, alsintan dan lainnya)
DAFTAR PUSTAKA Achmad Suryana,2007. PERANAN INOVASI TEKNOLOGI DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN PERTANIAN Prosiding Seminar Nasional, Medan 2007 Badan Litbang Pertanian. Arsyad, Lincolin. 1992. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi YKPN Bappenas, 2013. Analisis Nilai Tukar Petani( NTP) sebagai bahan penyusunan RJMN
52
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Tahun 2015-2019. Kerjasama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BappenaJapan International Cooperation Agency (Jica) 2013 BPS Jawa Barat, Tahun 2012, 2013, 2014. Jawa Barat Dalam Angka. Elisabeth, Roosgandha dan Darwis, Valeriana. 2000. Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Kedelai (Studi Kasus : Provinsi Jawa Timur). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor Badan Litbang Kementrian Pertanian. May Salina Ginting, Rahmanta Ginting, Satia Negara Lubis, 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani Ubi Kayu (Studi Kasus : Desa Tadukan Raga, Kecamatan Stm Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara). Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Mohammad Abdul Mukhyi, 2007. Analisis Peranan Sub sektor Pertanian dan Sektor Unggulan Terhadap PembangunanKawasan Ekonomi Propinsi Jawa Barat. Pendekatan Analisis IRIO. Simposium Nasional RAPI VI 2007 ISSN: 1412-9612. Faku1tas Ekonomi, Universitas Gunadarma Nizwar Syafa'at, Adreng Purwoto, Saktyanu K. Dermoredjo, Ketut Kariyasa, Mohamad Maulana, dan Pantjar Simatupang, 2007. Indikator Makro Sektor Pertanian Indonesia Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 Nizwar Syafa'at, Adreng Purwoto, Saktyanu K. Dermoredjo, Ketut Kariyasa, Mohamad Maulana, dan Pantjar Simatupang, 2007. Indikator Makro Sektor Pertanian Indonesia Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 Pusdalisbang Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2015. Indikator Makro Pembangunan Jawa Barat. Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jawa Barat.
wawasan perencanaan
PERANAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA Pendahuluan Oleh Shakti Budhi Astuti* Cakradhiharja**
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah yang mempunyai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Melalui undang-undang ini masyarakat lebih diberdayakan dan diberi tanggung jawab untuk mempercepat laju pembangunan daerah. Begitu pun dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 secara eksplisit memberikan tugas kepada pemerintah desa yaitu penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Dengan adanya otonomi daerah *)Perencana Madya Bidang PE Bappeda Provinsi Jawa Barat **)Mahasiswa Universitas Padjajaran (UNPAD) Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
53
wawasan perencanaan maka pemerintah daerah berkewenangan mengurusi urusan rumah tangga daerah sendiri (desentralisasi). Pemerintah di berikan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan yang ada didesa dalam rangka mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka melaksanakan wewenang pemerintahan, pemerintah wajib melaksanakan kehidupan demokrasi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memelihara ketentraman dan ketertiban dan menjalankan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) yang bebas dari kolusi korupsi nepotisme (KKN). Dalam rangka memperbaiki kondisi kehidupan untuk menjadi lebih baik tentunya dengan cara menggerakkan partisipasi masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses teknis untuk memberikan kesempatan dan kewenangan yang lebih luas kepada masyarakat untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai persoalan. Menurut I.Nyoman Surmayadi (2010:46) partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.
Pembahasan Konsep Peranan Menurut Levinson dalam Soekanto bahwa peranan mencakup tiga hal, yaitu 1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat; 2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat; 3. Peranan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur social masyarakat. Sedangkan pendapat T. Coser dan Anthony Rosenberg dalam bukunya yang berjudul “An Introduction to International Politicsâ€? mendeďŹ nisikan peranan yakni sebagai tuntutan yang diberikan secara struktural (norma-norma, harapan, larangan, tanggung jawab) dimana didalamnya terdapat serangkaian tekanan dan kemudian yang menghubungkan, membimbing, dan mendukung fungsinya dalam organisasi (T. Coser dan Rosenberg, 1976:232-255). 54
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014, pemerintah desa diberi kewenangan sangat besar. Pemerintah desa bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat yang ada di desa tersebut. Secara eksplisit menjelaskan bahwa pemerintah desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah desa sebagaimana dimaksud adalah kepala desa yang dibantu oleh
wawasan perencanaan
Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses teknis untuk memberikan kesempatan dan kewenangan yang lebih luas kepada masyarakat untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai persoalan - I.Nyoman Surmayadi (2010:46)
perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa, dengan kata lain bahwa pemerintah desa adalah kepala desa dan yang dibantu oleh perangkat desa. Perangkat desa yang dimaksud adalah sekretaris desa, unsur kewilayahan, dan pelaksana teknis. Kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dan Lembaga Kemasyarakatan (LPMD) merupakan unsur penggerak pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang diarahkan untuk meningkatkan
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
55
wawasan perencanaan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu ketiga lembaga tersebut harus terus bersinergi, membangun kekuatan dan kerja sama secara harmonis dan secara terus menerus. Desa mempunyai arti penting dalam mengamankan dan menegakkan pilar-pilar kebangsaan yang utama yaitu pancasila, undang-undang dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemerintah mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat dan dijadikan basis pembuatan keputusan. Akses, yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan termasuk akses dalam pelayanan publik. Kontrol, yakni setiap warga atau elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan atau kontrol terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah (Sutoro Eko, 2003).
Partisipasi Masyarakat Secara umum kata “partisipasi” mengacu pada posisi pelaku sebagai “part” (bagian atau ambil bagian) atau sebagai “partner” (mitra), dengan arti bahwa part menempatkan pemahaman “partisipasi” pada posisi pelaku hanya “sekadar ambil bagian” atau “sekadar berperan serta”, dan lebih cenderung pada posisi “pinggiran atau marjinal”. Partisipasi lantas hanya dipadankatakan dengan “ikut serta” atau “peran serta”, yang pada proses terbentuknya “tindakan” tersebut tidak diawali dengan proses internal kesadaran yang menumbuhkan dorongan untuk “berprakarsa” atau “berinisiatif” atau “mengawali” suatu tindakan (bersama). Prakarsa dilakukan pihak lain, kemudian warga diikutsertakan saja. Sedangkan kata partner dapat ditafsirkan : (1) ada inisiatif untuk melakukan tindakan oleh “sang subyek”; (2) mempunyai kesetaraan atau kesederajadan posisi dalam melakukan tindakan bersama orang lain (the others); (3) masingmasing pihak bersedia dan siap menanggung konsekuensi bersama dari tindakan yang samasama dilakukan tersebut; (4) masing-masing pihak mempunyai “makna subyektif” yang sama (setidaknya mirip) dalam menentukan dan melakukan tindakan bersama tersebut; dan (5) tindakan yang sama-sama dipilih tersebut telah diproses dalam “ruang kesadaran” secara sadar sehingga tindakan itu memang sesuatu yang dikehendaki untuk dilakukan. Partisipasi dimaknai juga sebagai keterlibatan masyarakat didalam proses perencanaan/pembuatan keputusan, penerapan keputusan, menikmati hasil, dan evaluasi hasil itu (Cohen dan Uphoff, 1980). Selanjutnya partisipasi secara substantif mencakup : Voice (suara) artinya setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan dan pembangunan. 56
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Terjalinnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa, maka dibutuhkan beberapa strategi sebagai berikut : 1.
Membangun Komitmen Bersama dengan masyarakat, dengan cara melibatkan seluruh masyarakat dalam musyawarah desa, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menuangkan pokok-pokok pikiran atau ide-ide.
2.
Membangun Kepercayaan dari Masyarakat, dengan cara melakukan pendekatan langsung dengan masyarakat; menjadi Pelaksana Utama atau menjadi contoh dalam setiap kegiatan.
Keberhasilan dalam suatu pembangunan di masyarakat seringkali di pengaruhi oleh tipikal dari seorang pemimpin. Karakter dari seorang pemimpin sangat berpengaruh pada peran serta masyarakat. Oleh karena itu kepedulian seoarang pimpinan terhadap warganya atau masyarakat sangat di perlukan. Faktor public figure yang ada dalam diri seorang pemimpin sangat penting. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan selalu di hubungkan dengan keaktifan aparatur pemerintah dalam proses pembangunan, dalam arti bahwa dalam proses pembangunan keterlibatan aktif dari aparat pemerintah merupakan salah satu indikator penilaian masyarakat dalam suatu desa.
Perencanaan Pembangunan Desa Dalam undang-undang dinyatakan, bahwa pemerintah desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri, namun dalam penyusunan perencanaan
wawasan perencanaan pembangunan tetap harus memperhatikan keterkaitan antara perencanaan kabupaten/kota, desa/kelurahan dan antar pemerintah desa/kelurahan, sehingga pencapaian tujuan desa diharapkan dapat mendukung pencapaian tujuan pembangunan daerah. Aspek hubungan kelembagaan desa mempertimbangkan kewenangan yang diberikan pemerintah daerah terkait pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya maupun dengan pelayanan umum serta keuangan di tingkat desa. Melalui otonomi desa diharapkan pemerintah desa mampu meningkatkan kualitas pelayanan, daya saing, pertumbuhan ekonomi, pemerataan, keadilan dalam pembangunan serta memiliki kapasitas dalam meningkatkan daya guna potensi dan keanekaragaman sumber daya lokal.
Perencanaan Dalam pelaksanaan pembangunan perencanaan merupakan proses penting untuk mecapai hasil yang diinginkan, perencanaan pembangunan desa merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintahan desa, dan wujud dari visi misi kepala desa terpilih yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), serta suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia, dengan syarat sebagai berikut : 1). Harus memiliki, mengetahui, dan memperhitungkan; 2). Tujuan akhir yang dikehendaki; 3). Sasaransasaran dan prioritas untuk mewujudkan (yang mencerminkan pemilihan dari berbagai alternatif; 4). Jangka waktu untuk mencapai sasaran tersebut; 5). Masalah-masalah yang dihadapi; 5). Modal atau sumber daya yang akan digunakan serta pengalokasiannya; 6). Kebijakan-kebijakan untuk melaksanakan; 7). Adanya orang, organisasi, atau badan pelaksanaannya; 9). Mekanisme pemantauan, evaluasi dan pengawasan pelaksanaan. Dalam pelaksanaan proses perencanaan tersebut kepala desa harus melibatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan, proses yang melibatkan masyarakat ini, mencakup dengar pendapat yang dilakukan secara terbuka dengan sejumlah besar warganegara yang mempunyai kepedulian, dimana dengar pendapat ini disusun dalam suatu cara untuk mempercepat para individu, kelompok kepentingan dan para pejabat memberikan kontribusi mereka kepada pembuatan desain dan redesain kebijakan dengan tujuan mengumpulkan informasi sehingga pembuat kebijakan bisa membuat kebijakan lebih baik. (Winarso, 2007:64).
Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
57
wawasan perencanaan Dengan Partisipasi tersebut maka perencanaan menjadi semakin baik, aspirasi masyarakat semakin tertampung sehingga tujuan dan langkah yang diambil oleh pemerintah desa semakin baik dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sepaham dengan yang disampaikan oleh Robinson Tarigan, bahwa Perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. (Tarigan, 2009:1) Dalam ketentuan umum Permendagri 114 Tahun 2014 pada pasal 1 ayat 10, Perencanaan pembangunan desa adalah proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dan unsur masyarakat secara partisipatif guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa. Hal tersebut diatas sangatlah jelas bahwa perencanaan adalah proses penting dalam pelaksanaan pembangunan dan pelibatan masyarakat atau partisipasi masyarakat merupakan upaya untuk mendekatkan kebutuhan masyarakat dalam kerangka pilihan keputusan dalam perencanaan.
Pembangunan Pembangunan merupakan sebuah proses kegiatan yang sebelumya tidak ada menjadi ada, atau yang sebelumnya sudah ada dan dikembangkan menjadi lebih baik, menurut Myrdal (1971) pembangunan adalah sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Artinya bahwa pembangunan bukan hanya pembangunan ekonomi, melainkan pembangunan yang seutuhnya yaitu semua bidang kehidupan dimasyarakat (dalam Kuncoro. Mudrajad, 2013:5) Dalam pelaksanaan pembangunan pelibatan partisipasi masyarakat sangatlah perlu untuk dilakukan karena dengan partisipasi masyarakat maka proses perencanaan dan hasil perencanaan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini sebagaimana pendapat Arif (2006 : 149-150) tujuan pembangunan adalah untuk kesejahteraan masyarakat, jadi sudah selayaknya masyarakat terlibat dalam proses pembangunan, atau dengan kata lain partisipasi masyarakat (dalam Suwandi dan Dewi Rostyaningsih), sesuai dengan pasal 54 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, bahwa 58
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Pembangunan bukan hanya pembangunan ekonomi, melainkan pembangunan yang seutuhnya yaitu semua bidang kehidupan dimasyarakat (dalam Kuncoro. Mudrajad, 2013:5) Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan maka diharapkan hasil pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan tujuan pembangunan itu sendiri sebagaimana disebutkan dalam Permendagri 114 Pasal 1 ayat 9, Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Dari uraian tersebut sangatlah jelas bahwa pembangunan dengan adanya partisipasi masyarakat maka akan tercapai tujuan yang ditargetkan. Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 mengatakan peraturan desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keterkaitan hal tersebut diatas diuraikan dalam Pasal 79 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pemerintah Desa menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota, dan ayat 2 menyatakan perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disusun secara berjangka yang meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk jangka waktu 6
wawasan perencanaan (enam) tahun; dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Sesuai dengan pasal 79, bahwa dalam pasal 80 ayat 3, menyatakan Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
MENIMBANG (b) UU NO. 6 TH 2014 TENTANG DESA Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi KUAT, MAJU, MANDIRI, dan DEMOKRATIS sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam MELAKSANAKAN PEMERINTAHAN dan PEMBANGUNAN menuju MASYARAKAT yang ADIL, MAKMUR, dan SEJAHTERA; Sumber : Ichary Soekirno., Komite Perencana, 2015, “Spirit Perencanaan Pembangunan Desa Berdasarkan UU No. 6/2014 Tentang Desa Serta PP 43 & PP 60 Th 2014�
Dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pada pasal 5 menyatakan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). RPJM Daerah tersebut ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (pasal 19 (3)). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) merupakan dokumen rencana strategis pembangunan desa yang menjadi acuan bagi pemangku kepentingan dalam menetapkan kebijakan, tujuan, strategi dan prioritas program pembangunan desa dalam rentang waktu 6 (enam) tahun. Selain sebagai dokumen perencanaan, RPJM Desa merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Desa yang
penyusunannya berpedoman pada hasil musyawarah desa (musrenbang desa). Dalam rangka perencanaan pembangunan nasional, pemerintah desa harus memperhatikan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat dan struktur tata pemerintahan. Oleh karena itu tujuan dan sasaran pembangunan harus memperhatikan permasalahan yang menjadi lingkup desa maupun amanat pembangunan yang diberikan oleh pemerintah daerah (Kabupaten/Kota). Terdapat dua dokumen rencana desa, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) untuk enam tahun dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) tahunan. Dokumen RPJM Desa ditetapkan dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) dan RKP Desa ditetapkan dengan Peraturan Kepala Desa. RKP Desa menjadi acuan penyusunan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) sebagai hasil (output) dari musrenbang tahunan. Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
59
wawasan perencanaan
Sumber : Ichary Soekirno., Komite Perencana, 2015, “Spirit Perencanaan Pembangunan Desa Berdasarkan UU No. 6/2014 Tentang Desa Serta PP 43 & PP 60 Th 2014�
Prinsip-prinsip perencanaan, dalam penyusunan RPJM Desa dilakukan melalui pendekatan keterpaduan yaitu: teknokratis, demokratis, partisipatif, politis, bottom-up dan top down process. Hal ini dimaksudkan agar perencanaan desa selain diharapkan memenuhi kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan dan akuntabel; konsisten dengan rencana lain yang relevan; juga kepemilikan rencana (sense of ownership) menjadi aspek yang perlu diperhatikan, seperti prinsipprinsip sebagai berikut
1
Strategis; dokumen RPJM Desa merupakan suatu kerangka kerja pembangunan yang komprehensif dan sistematis dalam mencapai harapan yang dicita-citakan, dan hasil dari pemikiran strategis dalam menggali gagasan dan isu-isu penting yang berpengaruh terhadap pencapaian visi dan misi pemerintahan desa dan masyarakat. Kebijakan strategis yang dituangkan dalam RPJM Desa menentukan arah perubahan dan orientasi pembangunan yang perlu dilakukan untuk mencapai harapan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, kualitas dokumen RPJM Desa sangat ditentukan seberapa jauh dokumen perencanaan dapat mengungkapkan secara sistematis proses pemikiran strategis tersebut.
60
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
2
Demokratis dan Partisipatif; RPJM Desa merupakan dokumen milik bersama sebagai acuan kebijakan desa yang disusun secara partisipatif melibatkan pemangku kepentingan, dengan prinsip musyawarah dan partisipasi menjadi landasan dalam proses penyusunan RPJM Desa yang dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan perencanaan di semua tahapan perencanaan.
3
Politis; RPJM Desa sebagai sebuah produk politik yang dalam penyusunannya melibatkan proses konsultasi dengan kekuatan politis terutama Kepala Desa dan BPD.
4
Bottom-up Planning; Perencanan dari bawah yang dimaksud bahwa proses penyusunan RPJM Desa harus memperhatikan dan mengakomodasikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, seperti : penjaringan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk melihat konsistensi dengan visi, misi dan program kepala desa terpilih; memperhatikan hasil proses musrenbang dan kesepakatan dengan masyarakat tentang prioritas pembangunan desa; dan
wawasan perencanaan memperhatikan hasil dari proses penyusunan usulan kegiatan desa.
5
Top-down Planning; Perencanan dari atas yang dimaksud bahwa proses penyusunan RPJM Desa perlu bersinergi dengan rencana strategis di atasnya dan komitmen pemerintahan atasan berkaitan: RPJM Desa sinergi dengan RPJM Kabupaten/Kota; dan RPJM Desa sinergi dan komitmen pemerintah terhadap tujuan pembangunan global seperti Millenium Development Goals (MDGs), Sustainable Development, pemenuhan Hak Asasi Manusia, pemenuhan air bersih, sanitasi, dan infrastruktur dasar.
DIALEKTIKA PROSES PEMBANGUNAN PERDESAAN
INISIATIF PEMBANGUNAN UMUMNYA BUKAN DARI DESA (TOP DOWN)
INISIATIF PEMBANGUNAN DARI DESA (BOTTOM UP)
Sumber : Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2015, “Desa Membangun Prinsip Perencanaan Pembangunan Di Jawa Barat�
Dalam proses perencanaan Pembangunan desa harus dilihat dan dipahami bahwa Perencanaan pembangunan desa merupakan suatu panduan atau model penggalian potensi dan gagasan pembangunan desa yang menitikberatkan pada peranserta masyarakat dalam keseluruhan proses pembangunan. (Supeno, 2011: 32), Lebih lanjut Supeno (2011:32) mengatakan secara garis besar garis besar perencanaan desa mengandung pengertian sebagai berikut :
a
Perencanaan sebagai serangkaian kegiatan analisis mulai dari identiďŹ kasi kebutuhan masyarakat hingga penetapan program pembangunan.
b
Perencanaan pembangunan lingkungan; semua program peningkatan kesejahteraan, ketentraman, kemakmuran dan perdamaian masyarakat di lingkungan pemukiman dari tingkat RT/RW, dusun dan desa.
c
Perencanaan pembangunan bertumpu pada masalah, kebutuhan, aspirasi dan sumber daya masyarakat setempat.
d
Perencanaan desa menjadi wujud nyata peran serta masyarakat dalam membangun masa depan.
e
Perencanaan yang menghasilkan program pembangunan yang diharapkan dapat memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan, kemakmuran dan perdamaian masyarakat dalam jangka panjang.
Hal tersebut diatas, jelas nampak bahwa partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa sangat diperlukan dan harus menjadi landasan dalam penyusunannya.
Penutup Langkah untuk meningkatkan suatu pembangunan itu diawali dengan adanya partisipasi masyarakat setempat, dan pembanguanan tanpa adanya partisipasi akan terbengkalai oleh kerena itu langkah atau strategi yang di buat pemerintah desa pada masyarakat adalah memberikan motivasi pelibatan atau partisipasi dalam perencanaan pembangunan desa.
Kesimpulan Dalam perencanaan pembangunan desa partisipasi masyarakat mempunyai peran penting Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
61
wawasan perencanaan karena pembangunan desa sebenarya ditujukan untuk memajukan desa itu sendiri dan memanfaatkan berbagai potensi serta sumber daya yang ada, maka dengan terlaksananya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan diharapkan hasil dari pembangunan dapat sesuai dengan yang diharapkan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Perencanaan pembangunan desa merupakan proses yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan, salah satu kunci dari keberhasilan tujuan pembangunan adalah sejauh mana perencanaan pembangunan dilakukan. Dalam Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 tentang desa sudah seharusnya dan menjadi prasyarat penerimaan dana desa, maka desa harus membuat perencanaan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), dan merupakan penjabaran Visi Misi Kepala desa dengan partisipasi masyarakat. Proses penyusunan RPJM Desa diharapkan menghasilkan sebuah dokumen perencanaan yang benar-benar berkualitas dan terukur. RPJMDesa yang baik tidak hanya mampu mengakomodasikan aspirasi atau partisipasi masyarakat tetapi memiliki bobot yang memadai, tingkat adaptasi tinggi terhadap perubahan dan dapat diimplementasikan secara optimal, maka :
1
Pembangunan melalui partisipasi masyarakat merupakan salah satu upaya untuk memberdayakan potensi masyarakat dalam merencanakan pembangunan yang berkaitan dengan potensi sumber daya lokal berdasarkan kajian musyawarah, yaitu peningkatan aspirasi berupa keinginan dan kebutuhan nyata yang ada dalam masyarakat, peningkatan motivasi dan peran-serta kelompok masyarakat dalam proses pembangunan, dan peningkatan rasamemiliki pada kelompok masyarakat terhadap program kegiatan yang telah disusun.
2
Prinsip kerja dari pembangunan melalui partisipasi masyarakat, sebagai berikut ;
Daftar Pustaka Bintarto R., 1983, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta Dadang Solihin, MA, 2008, Perencanaan 62
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Pembangunan Desa dan Kelurahan Juanda, Puradimaja Deny., Kepala Bappeda Provinsi Barat, 2015, “Desa Membangun Prinsip Perencanaan Pembangunan Di Jawa Barat� pada Pelatihan Desa Provinsi Jawa Barat tahun 2015 Soerjono Soekanto, 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, edisi baru. Penerbit Rajawali Pers Jakarta Soekirno, Ichary., 2015, Spirit Perencanaan Pembangunan Desa Berdasarkan UU No. 6/2014 Tentang Desa Serta PP 43 & PP 60 Th 2014 pada Pelatihan Desa Provinsi Jawa Barat tahun 2015 Supeno, Wahjudin, 2011 Perencanaan desa Terpadu edisi Revisi, Read, Banda Aceh Suwandi dan Rostyaningsih, 2012, perencanaan pembangunan partisipatif di Desa Surakarta Kecamatan Suranenggala Kabupaten Cirebon, Journal of Public Policy and Management, http://ejournals1.undip.ac.id/inde Tarigan, Robinson, 2009, perencanaan pembangunan wilayah, edisi revisis. Penerbit PT Bumi Aksara, Jakarta Peraturan – Peraturan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa Peraturan Pemerintah No. 43 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa Peraturan Pemerintah No. 60 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 30 Tahun 2006 Tatacara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten dan Kota Kepada Desa Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 2014 tentang pedoman pembangunan desa
wawasan perencanaan
Optimalisasi Nilai Perolehan Air Terhadap Peningkatan Pendapatan Pajak Air Permukaan Di Jawa Barat ( Hasil Kajian Dispenda Jabar Dalam Perspektif Axiologi )
Oleh Firdaus Saleh* Ruchimat** 1. PENDAHULUAN Air beserta sumbernya merupakan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia sepanjang masa, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial. Oleh karena air sebagai nilai vital yang merupakan sumber kebutuhan hidup manusia, maka pemanfaatannya harus dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sehingga dikuasai oleh negara sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33, ayat 3. Penguasaan yang dimaksud oleh negara, dalam pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mengatur pemanfaatan air secara berkeadilan, agar dapat mewujudkan kemakmuran rakyat secara berkesinambungan.
*)Peneliti Pada Bidang Renbang Dispenda Jabar; Doktor Ilmu Filsafat Nilai (Axiologi) UGM Yogyakarta **)Konsultan Ahli Pengairan Pada Dinas PSDA Jawa Barat Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
63
wawasan perencanaan Kewenangan pemerintah mengatur pengambilan dan pemanfaatan air, mengacu kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Namun isi UU tersebut, setelah dilakukan Uji Materi oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan No.85/PUU-XI/2013), maka keputusannya adalah dibatalkan, karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu hasil keputusannya adalah memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Pembatalan Undang-Undang yang mengantur Sumber Daya Air ini tidak mengurangi kewenangan pemerintah dalam memungut pajak air dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam penetapan kewenangan pajak air, dibedakan antara jenis Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah (ABT) dengan Pajak Air Permukaan (PAP) yang dimasukkan sebagai Pajak Provinsi yang dikelola Pemerintah Provinsi, sedangkan Pajak Air Bawah Tanah ditetapkan menjadi Pajak Kabupaten/Kota yang dikelola Pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan demikian, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan seluasluasnya untuk mengurus dan mengatur semua urusan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat, termasuk kewenangan dan keleluasaan untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan dengan mengacu kepada
Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan memungut Pajak Air Permukaan (PAP) sebagai sumber pendapatan daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat
64
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan memungut Pajak Air Permukaan (PAP) sebagai sumber pendapatan daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dalam struktur anggaran pendapatan Provinsi Jawa Barat, menunjukkan bahwa pendapatan dari PAP memberikan kontribusi terkecil di antara 4 jenis pajak lainnya. Pada hal, potensi PAP memiliki peluang untuk diperluas kapasitasnya dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan melakukan kajian terhadap objek dan subjek pajak yang dapat mempengaruhi Nilai Perolehan Air (NPA) sebagai faktor penentu besaran PAP, karena penetapan tarif pajakanya sebesar 10% telah maksimal. Nilai Perolehan Air (NPA) berasal dari besaran volume air yang diambil dan dimanfaatkan wajib pajak dikalikan Harga Dasar Air (HDA) yang salah satu unsurnya ditentukan oleh Harga Baku Air (HBA). Penetapan HBA sejak 13 tahun yang lalu, pada tahun 2002 hingga 2015 belum pernah dilakukan penyesuaian harga terhadap perubahan situasi dan kondisi makro ekonomi di Jawa Barat. Karena itu, akan membuka peluang untuk memperluas kapasitas peningkatan penerimaan pendapatan daerah. Rentang waktu yang cukup panjang ini tidak serta-merta dapat langsung dikeluarkan kebijakan dengan
Foto: Dokumentasi Net
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
wawasan perencanaan menaikkan tarif atas harga baku air (HBA) agar dapat mempengaruhi kenaikan NPA, tetapi membutuhkan kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi NPA dengan memperhatikan nilai keadilan atas pemungutan pajak. Orientasi pemungutan terhadap objek pajak atas pengambilan dan pemanfaatan air adalah bertujuan untuk kemakmuran rakyat dan mengendalikan pemanfaatan air demi kelestarian lingkungan dalam menjaga keseimbangan kosmologi kehidupan alam. Pengambilan air permukaan yang dilakukan masyarakat memiliki tujuan untuk pemanfaatan yang berbeda-beda, sehingga beban pengenaan pajak akan berbeda pada setiap kelompok subjek pajak karena tergantung pada penetapan NPA. Penetapan NPA berasal dari perhitungan harga dasar air dikalikan volume pengambilan air sebagai objek pajaknya. Kedua hal tersebut merupakan unsur yang penting dalam menetapkan NPA, sehingga akan berpengaruh terhadap nilai penerimaan pendapatan PAP di Jawa Barat. Karena itu, Dispenda Provinsi Jawa Barat pada tahun 2015 melakukan kajian Optimalisasi Penggalian Pendapatan Daerah Dari PAP, yang menjadi esensi dari hasil kajian tersebut adalah bagaimana melakukan optimalisasi NPA pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan PAP di Jawa Barat.
2. RUANG LINGKUP DAN METODE KAJIAN Pengaruh Nilai Perolehan Air (NPA) Terhadap Peningkatan Pendapatan Pajak Air (PAP) Permukaan sangat signiďŹ kan, karena PAP dipungut setelah penetapan Nilai Perolehan Air (NPA), dan kemudian dikalikan 10%. Dengan demikian, nilai penerimaan PAP ditentukan oleh besaran NPA. Karena itu, kajian ini bertujuan untuk mengetahui: (a) Karakteristik potensi wajib pajak dan faktor-faktor yang mempengaruhi optimalisasi Nilai Perolehan Air (NPA) serta pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan dari pajak air permukaan,(b) Pola pengelolaan sumber daya air permukaan dengan pengenaan pajak terhadap pendapatan pajak air permukaan, (c) Pemanfaatan PAP bagi pembangunan kesejahteraan lingkungan masyarakat dan wajib pajak air permukaan. Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam menyusun kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam bentuk usulan Peraturan Gubernur yang berpengaruh terhadap NPA dan PAP serta kemudahan perizinan (SIPPA), sehingga diharapkan dapat meningkatkan nilai penerimaan pendapatan dari pajak air permukaan dan sekaligus dapat meningkatkan pelayanan bagi masyarakat.
2.1. Ruang Lingkup Kajian Pemaknaan 'nilai' dalam konteks kajian perolehan air adalah nilai materiil dengan mengacu kepada pemikiran Notonagoro (1974), bahwa nilai materiil adalah segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia. Nilai materiil pada air mengandung makna kuantitatif dan kualitatif. Makna kuantitatif, bahwa air dapat diukur dengan besaran volume menggunakan alat meter air dalam satuan kubik (m3), sedangkan makna kualitatif dapat diukur kandungan unsur-unsur kimia dalam air dengan peralatan di Laboratorium. Dengan demikian, perolehan air merupakan satu-kesatuan antara kuantitas dan kualitas air, yang dihitung dengan satuan rupiah dalam perhitungan NPA dan PAP. Karena air sangat dibutuhkanan bagi kehidupan manusia dan memiliki keterkaitan dengan siklus alam semesta, maka air mengadung nilai vital yang pengelolaannya harus diatur negara dengan memperhatikan nilai keadilan sosial. Pemaknaan air permukaan menurut Perda Jawa Barat Nomor : 10 Tahun 2001, bahwa air Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
65
wawasan perencanaan adalah semua air yang terdapat di perairan umum, seperti sungai, waduk, telaga, danau, rawa dan sejenisnya termasuk di dalamnya air permukaan yang berasal dari pemunculan alamiah air tanah yang sudah ada di perairan umum (Pasal 1 (7). Mengacu kepada Perda Jawa Barat No. 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, bahwa air permukaan adalah objek pajak yang dipungut pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Sedangkan yang menjadi subjek pajak air permukaan adalah Orang Pribadi atau Badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan, yang juga disebut Wajib Pajak. Pengenaan PAP mengacu kepada Perda Jawa Barat No. 13 Tahun 2011 Pasal 53, ayat (1), bahwa dasar pengenaan Pajak Air Permukaan (PAP) adalah Nilai Perolehan Air (NPA), sedangkan Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% termaktub dalam Pasal 54. Mengacu pada Pasal 55 Perda tersebut, bahwa besaran pokok Pajak Air Permukaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54. Dasar pengenaan pajak sebagaimana tercantum dalam Pasal 53, maka dapat dirumuskan Pengenaan PAP, adalah Nilai Perolehan Air (NPA) dikalikan dengan tarif pajaknya sebesar 10%. Mengacu kepada Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, bahwa Tarif PAP ditetapkan maksimal 10%, sehingga tidak ada peluang untuk menaikkan tarif tersebut sebagai potensi untuk menaikkan pendapatan dari PAP. Karena itu, dalam melakukan optimalisasi penggalian potensi pendapatan daerah yang berasal dari PAP tertuju pada seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi Nilai Perolehan Air (NPA) sebagaimana tercantum dalam Perda Jawa Barat No. 13 tahun 2011 tentang Pajak Daerah, pada Pasal 13 ayat (2), antara lain meliputi: (1) Jenis sumber air
Foto: Dokumentasi Bappeda permukaan; (2) Lokasi sumber air permukaan; (3) Tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan; (4) Volume air permukaan yang diambil dan/atau dimanfaatkan; (5) Kualitas air permukaan; (6) Luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan; (7) Musim pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan; dan (8) Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
2.2. Operasional Variabel Penelitian. Operasional variabel penelitian yang berpengaruh terhadap peningkatan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air (NPA) dan Tarif PAP. Perolehan air permukaan dinyatakan dalam rupiah dan Nilai Perolehan Air Permukaan (NPA) dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor dari unsur perkalian, antara : (a)
Volume air permukaan, yang diambil dan/ atau pemanfaatan air permukaan,
adalah menunjukkan kuantitas air permukaan yang diambil sebagai faktor penentu nilai air terhadap validitas kebenaran jumlah volume air dalam satuan meter kubik (m3) menggunakan alat pengukur (water meter) debet air yang harus selalu ditera secara periodik. (b)
Harga Dasar Air (HDA), adalah harga air baku (HBA) per-satuan volume air yang akan dikenai pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan yang besarannya sama dengan harga air baku dikalikan dengan faktor nilai air. Harga Dasar Air (HDA) berasal dari hasil perkalian : (a) Faktor Sumber Daya Air (FSDA), (b) Faktor Kelompok Pengguna/Pemanfaat Air (FKPA); dan (c) Harga Baku Air (HBA) dengan formulasi sebagai berikut :
POLA PENGENAAN PAJAK AIR PERMUKAAN a. Perda No.13 Tahun 2011 Pajak Daerah (Pasal 53, 54, 55) & Pergub No. 13 Tahun 13 Pasal 7, 8, 9 Pajak Air Permukaan (PAP) = Tarif 10% x Nilai Perolehan Air (NPA)
66
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
wawasan perencanaan Harga Baku Air (HBA) atau Harga Air Baku adalah harga rata-rata air permukaan per satuan volume di suatu daerah yang besarnya sama dengan nilai investasi untuk mendapatkan air permukaan dibagi dengan volumenya. Besaran HBA mengacu kepada Keputusan Gubernur Jawa Barat No.29 Tahun 2002, dalam Pasal 14 ditetapkan sebesar Rp.60,-/m3. Formulasi dalam menghitung HBA menurut Peraturan Menteri PUPR No. 18/PRT/M/2015 tentang IPEP., tanggal 21 April 2015, bahwa Biaya Jasa Perhitungan Sumber Daya Air (BPJSDA) dengan rumusan sebagai berikut :
2.3. Pendekatan Kajian dan Lokasi Penelitian Pendekatan kajian ini dilakukan melalui 4 (empat) pendekatan, antara lain studi : literatur, studi komparasi, studi lapangan dan studi forum diskusi kelompok/FGD. Studi literatur dilakukan terhadap jenis literatur yang memiliki relevansi dengan objek dan variabel penelitian. Sedangkan Studi komparasi merupakan studi perbandingan mengenai kebijakan pemerintah provinsi lain mengenai NPA dan PAP dengan melakukan studi banding ke Dispenda Provinsi Banten dan Provinsi Kepulauan Riau. Studi lapangan dilakukan terhadap objek penelitian untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data primer dilakukan melalui survey lapangan ke 4 (empat) Kantor CPDP dan 4 Balai PSDA Jawa Barat. Pengumpulan data sekunder berasal dari : Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat, Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum. Studi forum diskusi kelompok/FGD dilakukan berdasarkan tahapan perkembangan hasil penelitian.
2.4. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data Metode pengumpulan data primer melalui kuesioner yang terisi dan terkumpul diorganisir untuk menyusun tabulasi serta kemudian dilakukan analisa. Sedangkan pengumpulan data sekunder yang terkumpul diklasiďŹ kasi dan diorganisir melalui pengelolaan data. Selanjutnya dilakukan analisa secara deskriptif dan analisa keterkaitan antara hasil pengolahan data primer dan sekunder untuk kepentingan analisis kajian. Hasil dari analisis kajian dibahas dalam forum kelompok diskusi yang mengundang instansi terkait sebagai masukan untuk penulisan laporan. Foto: Dokumentasi Net
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
67
wawasan perencanaan 3. HASIL KAJIAN OPTIMALISASI NPA TERHADAP PENDAPATAN PAP Setiap tahun Pemerintah Provinsi Jawa Barat selalu berusaha meningkatkan pendapatan daerah yang bersumber dari PAD, terutama dari hasil penerimaan pajak daerah. Karena kebutuhan pendanaan pembangunan selalu meningkat, maka optimalisasi penggalian pendapatan daerah yang berasal pajak daerah harus dimaksi-malkan. Penarikan pajak daerah yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terbatas pada 5 jenis pajak, dengan penerimaan pendapatan pajak daerah selama 5 tahun terakhir (2010 – 2014) berkontribusi terhadap PAD rata-rata sebesar 63,39% dan di antara 5 jenis pajak daerah yang memberikan kontribusi terkecil terhadap PAD adalah Pajak Air Permukaan (PAP) rata-rata sebesar 0,59%. Pajak air permukaan dipungut dari wajib pajak yang berasal dari perhitungan besaran NPA dikalikan tarif PAP 10%. Besaran NPA menjadi esensi yang menentukan besaran penerimaan PAP, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhinya berupa: Volume air yang diambil dikalikan Harga Dasar Air. Volume air permukaan merupakan kuantitas air yang diambil berasal dari : sungai, waduk, situ, dan sumber air permukaan lainnya. Menurut data Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat, bahwa potensi air permukaan di Jawa Barat sampai bulan Nopember 2014 mencapai 4.895123.847 meter kubik. Data ini bersifat uktuatif, karena sangat tergantung pada keadaan musim hujan atau kemarau yang berpengaruh terhadap debet air. Potensi air permukaan yang cukup besar berasal dari wilayah sungai yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu terdiri dari 6 wilayah sungai, seperti pada peta berikut.
PETA WILAYAH SUNGAI DI JAWA BARAT PERMEN RU NO.4/RRT/M/2015
Berdasarkan gambar peta di atas, bahwa potensi air permukaan yang berasal dari sungai di Jawa Barat terdapat di 6 Wilayah Sungai (WS), yaitu: (1) WS. Ciliwung-Cisadane, (2) WS. CisadeaCibareno, (3) WS. Citarum. (4) WS. Citanduy, (5) WS. Ciwulan-Cilaki, (6) WS. CimanukCisanggarung. Pengelolaan wilayah sungai tersebut dilakukan oleh 6 Balai PSDA yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa 68
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Barat. Sumber air tersebut diambil dan dimanfaatkan secara terus-menerus oleh masyarakat, sehingga pemberian izin dan penetapan NPA adalah merupakan bentuk pengendalian dan pengawasan berdasarkan pemanfaatan atas azas nilai keadilan demi kemakmuran rakyat. Batasan pengambilan air yang dizinkan bagi pemanfaat mempertimbangkan keberadaan air dalam siklus alam, sehingga nilai keseimbangan kosmologi
wawasan perencanaan alam harus terjaga kesinambungannya dengan memperhatikan lingkungan konservasi air. Pola pengendalian dilakukan dengan pemberian izin yang dikeluarkan bagi pemohon yang telah memenuhi persyaratan dengan dikeluarkannya Rekomendasi teknis (Rekomtek). Dasar dikeluarkan Rekomtek merupakan hasil veriďŹ kasi Balai PSDA atas pertimbangan Dinas PSDA Jawa Barat terhadap pemohon untuk dapat mengambil air di wilayah sungai atau sumber air lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Rekomtek bagi pemohon untuk dapat mengambil air di wilayah sungai atau sumber lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, maka dikeluarkan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS/BWS). Rekomtek merupakan salah satu persyaratan agar dapat dikeluarkannya Izin (SIPPA) oleh Ditjen Sumber Daya Air Kemen PUPR. Dalam izin (SIPPA) inilah tertera batasan nilai air yang diambil dan dimanfaatkan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang diperbolehkan bagi pemohon. Karena itu, izin harus selalu diperharui setiap 2 tahun sekali, sedangkan penetapan NPA atas pengambilan air dilakukan secara periodik bulanan sebagai bentuk pengendalian dan pengawasan oleh Balai PSDA Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya penetapan PAP dilakukan oleh Cabang Pelayanan Dispenda (CPDP) di kab/kota wilayah Provinsi Jawa Barat setelah mendapatkan NPA-nya. Setiap pemberian izin (SIPPA), pemohon harus melengkapi persyaratan dengan mengikuti prosedur dan mekanisme yang berlaku. Namun, menurut pemohon dari kelompok usaha kecil menengah bahwa pemenuhan persyaratan dianggap sulit, di antaranya berupa : analisis dampak lingkungan, pembuatan peta, gambar konstruksi bangunan pengambilan air, dan proposal teknis. Begitu pula mekanisme prosedur izin, dianggap terlalu panjang dan lama, terutama jenis izin yang dikeluarkan Pemerintah Pusat. Inilah salah satu penyebab banyak pemanfaat air dari kalangan pengusaha kecil menengah tidak mengurus perizinan, walaupun telah memanfaatkan air dengan cara ilegal tidak memiliki izin. Pada umumnya perhitungan volume air yang digunakan dalam menghitung NPA masih didasarkan pada laporan pengambilan air permukaan yang disampaikan dari perusahaanperusahaan sesuai data yang tercantum dalam
Foto: Dokumentasi Net
SIPPA dengan pola at bulanan. Menurut pemaparan Kepala Inspektorat Provinsi Jawa Barat (2015), bahwa perhitungan volume pengambilan air untuk mengihitung NPA, ternyata masih banyak ditetapkan secara at perbulan, seharusnya didasarkan pada realisasi pengambilan air permukaan, baik perusahaan yang menggunakan alat meter air maupun yang tidak menggunakan alat meter air. Pola pengawasan dilakukan melalui peninjauan ke perusahaan-perusahaan dengan cara sampling pada setiap bulan (hanya dilakukan kepada 2 dan 4 perusahaan saja). Akibatnya, validitas kebenaran volume pengambilan air tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga untuk meningkatkan NPA yang berkaitan dengan validitas kebenaran volume air masih berpeluang dapat ditingkatkan. Optimalisasi NPA tidak hanya pada besaran volume, tetapi penetapan Harga Dasar Air (HDA) yang merupakan perkalian antara komponen : Faktor Sumber Daya Air (FSDA) yang berorientasi pada nilai kualitas air; Faktor Kelompok Pemanfaat/ Pengguna Air (FKPA) yang berorientasi pada nilai pengguna atas dasar keadilan sosial; dan Harga Baku Air (HBA) berorientasi pada nilai perolehan air. Berdasarkan besaran volume air dikalikan HAD, maka menghasilkan besaran NPA. Sedangkan Pajak Air Permukaan (PAP) berasal dari NPA dikalikan tarif pajak 10% yang disetorkan kepada Cabang Pelayanan Dispenda (CPDP) di kabupaten/kota. Adapun target dan realisasi pendapatan PAP di Jawa Barat selama 3 tahun (2012-2014) mengalami perubahan yang beruktuatif, seperti pada tabel berikut. Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
69
wawasan perencanaan Tabel 1. Target dan Realisasi Pendapatan Pajak Air Permukaan Menurut Jumlah Wajib Pajak, Status Perizinan dan NPA Tahun 2012 – 2014
Sumber : Dispenda Jabar & Dinas PSDA Jawa Barat, 2015 (diolah). Keterangan : *) Data realisasi NPA dan Pendapatan PAP (tarif 10%) tidak sesuai (Wajib Pajak Membayar Pajak tanpa Penetepan NPA adalah 3 BUMN atas Waduk; Saguling, Cirata, Jatiluhur)
Dalam tabel 1 di atas menunjukkan bahwa, penerimaan PAP tertinggi terjadi pada tahun 2013, tetapi NPA lebih rendah dari pada tahun 2014. Hal ini diakibatkan oleh pembayaran PAP oleh 3 BUMN (PT. Indonesia Power pada Waduk Saguling, PT. Pembangkit Listrik Jawa-Bali pada Waduk Cirata, dan Perum Jasa Tirta II pada Waduk Jatiluhur) tanpa penetapan NPA. Alasan tidak ditetapkan NPA menurut Dinas PSDA Jawa Barat, karena tidak memiliki izin, sehingga pada keterangan tabel 1 terjadi ketidaksesuaian data atas dasar formulasi rumusan PAP dan NPA. Namun, berdasarkan data Dispenda Jawa Barat, bahwa penerimaan PAP selama 5 tahun terakhir (2010-2014) mengalami partumbuhan yang beruktuatif dengan capaian rata-rata 8,19% per tahun. Pemanfaat air permukaan yang belum ditetapkan NPA-nya karena tidak mengurus izin atau izinnya dalam proses pengajuan atau perpanjangan, tetapi telah mengambil air sehingga menurut prinsip hukum perpajakan seharusnya dikenakan pajak. Karena mereka telah mengambil manfaat atas air yang dikuasai negara. Dengan demikian, pemanfaat yang telah mengambil air permukaan, tetapi belum dikenakan pajaknya merupakan potensi pendapatan yang harus dihitung dan ditetapkan NPA-nya. Berdasarkan data Dinas PSDA Jawa Barat sampai Juli 2015, maka sumber pendapatan yang berasal dari pemanfaat yang belum ditetapkan NPA-nya dapat dibuat estimasi dalam perhitungan berdasarkan status perizinan, penetapan NPA seperti tabel berikut.
Tabel 2. Dasar Perhitungan Estimasi PAP Pola InstensiďŹ kasi Berdasarkan Pemanfaat Air Yang Belum Ditetapkan NPA-nya
Sumber : Hasil Rekapitulasi Bidang Bina Manfaat Dinas PSDA Jawa Barat, Juli 2015 (diolah)
32 Nomor Nomer 34 Juli Oktober - September - Desember 20162016 70 Warta Bappeda Volume 33 70
wawasan perencanaan Berdasarkan tabel 2 di atas menunjukkan bahwa, jumlah pengambil dan pemanfaat air permukaan di 6 (enam) Wilayah Sungai di Jawa Barat yang belum ditetapkan NPA-nya berjumlah sebanyak 145 pemanfaat (18,3%), dan yang sudah ditetapkan NPA-nya sebanyak 659 (81,97%). Pemanfaat air permukaan terdapat 804, terdiri dari pemanfaat yang mendapatkan izin sebanyak 735 (91,42%), yang belum memiliki izin 69 (8,58%). Pemanfaat air yang belum ditetapkan NPA-nya merupakan potensi pendapatan, agar dapat ditetapkan NPA setelah dikeluarkan izinnya. Alasan belum ditetapkan NPA-nya oleh Balai PSDA di Jawa Barat karena tidak memiliki izin, sehingga Dispenda bersama Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat melakukan “upaya� menjadikan sebagai Wajib Pajak yang harus membayar pajaknya.
Untuk menaikkan HBA mengacu pada formulasi yang telah dirumuskan pada Permen PUPR No.18/PRT/M/2015 tentang IPEP, maka harus memperhatikan laju pertumbuhan ekonomi makro Jawa Barat dengan asumsi rata-rata mencapai 5%/tahun, maka perhitungan HBA pada tahun 2015 sebesar Rp.113 /m3. Namun, bila mengacu kepada hasil studi yang dilakukan Perum Jasa Tirta-II tahun 2008, maka perhitungan HBA sebesar Rp.89,44/m3, sehingga bila dihitung dengan mengacu pada formulasi rumusan Permen tersebut dengan asumsi laju pertumbuhan ekonomi yang rata-rata sama, maka HBA pada tahun 2015 sebesar Rp.125/m3. Kedua penetapan HBA yang berbeda, jika Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
Penetapan Harga Dasar Air (HDA) merupakan salah satu unsur penting yang harus diperhatikan agar dapat meningkatkan NPA. Unsur dalam penetapan HDA yang harus dicemati dan diperhatikan adalah 3 faktor yang mempengaruhinya, antara lain: (a) Komponen Faktor Sumber Daya Air (FSDA); bahwa penentu nilai air permukaan dipengaruhi sumber air, berkaitan dengan jenis, kualitas, lokasi, dan kondisi sumber airnya. Kondisi kualitas air yang diambil jika semakin jelek akibat kerusakan lingkungan serta keberadaan lokasi sumber air yang letaknya jauh, maka semakin tinggi faktor nilainya; (b) Faktor Kelompok Pemanfaat/Pengguna Air (FKPA); bahwa pengguna air dari kelompok perusahaan yang berorientasi mendapatkan keuntungan nilai ekonomi, maka harus dicemati dan diperhatikan atas perubahan status skala usahanya, seperti: perusahaan industri, perdagangan, dan jasa. Dalam izin bagi badan usaha, bahwa skala usaha tercantum kelompok perusahaan pada katagori skala usaha sedang, tetapi dalam kenyataan di lapangan dapat berubah menjadi kelompok usaha katagori skala besar, sehingga hasil perhitungannya akan mengalami kenaikan; (c) Penetapan Harga Baku Air; adalah penetapan harga baku air yang mengacu kepada Keputusan Gubernur Jawa Barat No.29 Tahun 2002, yang tertuang pada Pasal 14 adalah sebesar Rp.60,/m3. Namun dalam kurun waktu sekitar 13 tahun sampai tahun 2015, ternyata tidak pernah dilakukan penyesuaian harga sejalan dengan perubahan kondisi ekonomi makro Jawa Barat. Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
71
wawasan perencanaan diperbandingkan dengan ketetapan HBA di Provinsi Banten sebesar Rp.100,-/m3 ditetapkan sejak tahun 2013, dan HBA Provinsi Kepulauan Riau sebesar Rp.150,-/m3 ditetapkan tahun 2015, maka penetapan HBA Provinsi Jawa Barat berada pada kisaran antara penetapan HBA kedua provinsi tersebut. Optimalisasi NPA dilakukan melalui operasionalisasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam meningkatkan pendapatan PAP, sehingga dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi seperti yang direkomendasikan dalam Punutup. Hasil dari penerimaan pajak air permukaan yang selama ini dikoordiner oleh Dispenda masuk ke Kas Daerah Jawa Barat sebagai sumber penerimaan pendapatan APBD Provinsi Jawa Barat. Sedangkan alokasi dana untuk pembiayaan dalam menjaga kesinambungan pelestarian air permukaan difasilitasi dinas teknis, baik Dinas PSDA maupun Dinas Kehutanan melalui dana APBD Provinsi Jawa Barat sesuai dengan tupoksinya.
4. PENUTUP Kosmologi air dalam siklus alam semesta berjalan sesuai proses keseimbangan alam, sehingga keberadaan air mengikuti sistem keseimbangan tersebut. Keberadaan air yang berasal dari air bawah tanah muncul ke permukaan tanah disebutnya air permukaan. Air ini selalu diambil dan dimanfaatkan manusia untuk kebutuhan hidupnya, sehingga manusia sangat tergantung pada air menjadikan nilai vital bagi kehidupannya. Karena itu, orientasi pengambilan air harus sejalan dengan pola keseimbangan alam agar dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat melalui penguasaan negara yang dilaksanakan oleh pemerintah. Kewenangan pemungu-tan pajak air permukaan diberikan kewenangan kepada Pemerintah provinsi, termasuk penetapan Nilai Perolehan Air (NPA)-nya, sehingga Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan upaya penggalian pendapatan dari PAP. Pemungutan PAP lebih difokuskan terhadap Nilai Perolehan Air (NPA), karena pengenaan tarif pajaknya sebesar 10% sudah maksimal, sehingga NPA menjadi esensi dalam meningkatkan PAP. Nilai Perolehan Air adalah nilai materiil dalam pengertian secara kuantitatif menggunakan 72
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
ukuran volume, sedangkan secara kualitatif mengetahui unsur-unsur kandungan kimia dalam air. Penetapan Nilai Perolehan Air dilakukan terhadap pemanfaat air permukaan yang telah memiliki izin (SIPPA), tetapi terdapat sekitar 145 (18,3%) pemanfaat yang seharusnya menjadi subjek pajak yang belum ditetapkan NPA-nya dengan alasan; tidak memiliki izin, izinnya dalam proses pengajuan atau perpanjangan. Pemanfaat air yang belum ditetapkan NPA-nya, maka seharusnya ditetapkan NPA-nya agar dapat ditagih pajaknya, yang bersamaan agar dipenuhi izinnya. Pengurusan memenuhi persyaratan izin menurut pengusaha kecil menengah dianggap “sulit” dan mekanisme prosedur pengurusan izin dianggap terlalu “lama”, terutama izin yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Seharusnya, pelayanan perizinan memberikan solusi atas keluhan masyarakat sebagai bentuk mewujudan pelayanan prima. Pembentuk NPA, yaitu besaran volume air yang diambil dan dimanfaatkan yang secara kuantitas dijamin validitas kebenarannya, tetapi temuan Inpektorat Provinsi Jawa Barat (2015) bahwa besaran volume tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena banyak 'kelemahan' yang harus diperbaiki, antara lain : (a) perhitungan volume pengambilan air harus dituangkan dalam “berita acara” pencatatan angka besarnya pengambilan dan pemanfaatan air permukaan pada meter air yang ditandatangani kedua belah pihak, (b) Setiap besaran angka dalam pengecekan volume air dalam meter air harus dilakukan bukti adanya foto secara visual, (c) Besarnya volume air didasarkan pada realisasi pengambilan dan pemanfaatan air, tidak dihitung secara flat bulanan, (d) Pengawasan melalui peninjauan ke perusahaan pemanfaat air dilakukan melalui “survey” lapangan, tidak dilakukan secara “sampel”. Karena itu, temuan ini perlu ditindaklanjuti dengan membuat Standar Operasional Prosedur dalam menentukan volume air permukaan. Berkaitan dengan kegiaan intensifikasi dalam mengoptimalkan pendapatan daerah yang bersumber dari pajak air permukaan, maka dipandang perlu : a. Balai PSDA Provinsi Jawa Barat agar meningkatkan kinerja dan pengendalian perizinan (SIPPA) dan penetapan Nilai
wawasan perencanaan
Foto: Dokumentasi Net
Perolehan Air (NPA) dalam bentuk : ยง
Rasionalisasi kelembagaan, yang berkaitan dengan satuan unit pelayanan dan rasionalisasi sumber daya manusia, antara peningkatan kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan beban kerjanya.
ยง
ยง
Adanya standarisasi alat pengukur meter air (water meter) agar menjamin validitas kebenaran data volume air yang dimanfaatkan wajib pajak. Memenuhi kelengkapan sarana pendukung operasional petugas lapangan berupa; peralatan, perlengkapan kendaraan, surat perjalanan dinas, dan didukung oleh standar operasional prosedur (SOP) dalam melakukan survey lapangan.
b. Menyusun Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Tim Pengawas Gabungan yang melibatkan : Inspektorat, BPMPT, Dispenda dan CPDP, Dinas PSDA dan BPSDA Provinsi Jawa Barat, Dinas Satpol PP. Sekiranya melakukan pengawasan terhadap wilayah sungai yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, maka perlu melibatkan BBWS dan PJT-
II. Adapun tujuan pembentukan Tim ini adalah untuk melakukan pengawasan melalui 'Sidak', sehingga bila ditemukan pemanfaat air yang tak berizin agar dilakukan proses perhitungan NPA terhadap pemanfaat air yang mengambil air pada sumber air permukaan dengan status : (a) Belum memiliki izin, (b) Izin dalam proses diperpanjang atau tidak diperpanjang, (c) Izin yang dikeluarkan dari Pemerintah Pusat. c. Penetapan NPA kepada 3 (tiga) BUMN antara lain : PT. Indonesia Power pada Waduk Saguling, PT. Pembangkit Listrik Jawa-Bali pada Waduk Cirata, dan Perum Jasa Tirta pada Waduk Ir.H. Juanda bersamaan dengan pengurusan izin. d. Menyusun Peraturan Gubernur Jawa Barat sebagai Petunjuk Pelaksanaan dalam mensinergikan antara Perda Jawa Barat No. 21 Tahun 2001 tentang Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan, Perda Jawa Barat No. 7 Tahun 2010 tentang Perizinan, dan Perda Jawa Barat No.13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah beserta turutannya yang memuat : ยง
Penyesuaian Harga Baku Air (HBA) mengacu kepada alternatif 1 atau
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
73
wawasan perencanaan alternatif 2. §
Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Perizinan (SIPPA).
§
Menyusun Standar Operasional (SOP) NPA dan Pajak Air Permukaan.
Daftar Pustaka 1. Asdak, C., 2002, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Kegiatan ekstensiďŹ kasi dalam mengoptimalkan pendapatan daerah yang bersumber dari PAP dilakukan melalui :
2. Notonagoro, 1974, Pancasila Falsafah Negara, Penerbit Pancoran Tujuh, Jakarta.
a.
Peraturan dan Perundang-Undangan :
b.
c.
Koordinasi dengan Pemerintah Pusat, terkait dengan proses perizinan yang menjadi kewenangan wilayah sungai Pemerintah Pusat atas prosedur mekanisme yang panjang dan lama serta kesulitan memenuhi jenis persyaratan atas keluhan kelompok pengguna air pada usaha kecil menengah. Bila perlu membahas perlimpahan kewenangan izin registrasi perpanjangan ke Pemerintah Pusat secara gradual atau seluruhnya agar dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai perluasan kewenangan. Menyusun Peraturan Daerah yang menetapkan proses SIPPA, NPA, dan pemungutan PAP di seluruh Jawa Barat yang mengacu kepada peraturan dan perundangundangan yang baru berkaitan dengan Pengairan dengan dibatalkannya UndangUndang tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstutusi. Menyusun pengaturan dan tata-kelola retribusi terhadap penggunaan tanah sempadan wilayah sungai oleh masyarakat yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, walaupun retribusi ini tidak masuk dalam PAP tetapi memiliki keterkaitan wilayah sungai sebagai bagian dari optimalisasai pendapatan daerah.
Hasil pengumpulan pajak air permukaan sebagai pendapatan Provinsi Jawa Barat agar sebagian dana APBD Provinsi Jawa Barat dialokasikan untuk : perbaikan konservasi penghijauan dalam menjaga kesinambungan lingkungan sumber daya air, perbaikan sarana dan prasarana di lingkungan sumber daya air yang dimanfaatkan masyarakat setempat agar ikut menjaga peletarian sumber daya air, pemberdayaan masyarakat di lingkungan sumber daya air
74
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 8/PRT/M/2014 tentang Pedoman Pemungutan BPJSA yang diganti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 8/PRT/M/2015 tanggal 21 April 2015. 7. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah 8. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 10 Tahun 2001 tentang Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan. 9. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 7 Tahun 10 tentang Perizinan. 10.Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 13 tahun 2011 tentang Pajak Daerah Untuk Jenis Pungutan Pajak Air Permukaan. 11.Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 29 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perhitung-an Harga Dasar Air Sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
www.pusdalisbang.jabarprov.go.id pusdalisbang@bappeda.jabarprov.go.id
Pusat Data dan Analisis Pembangunan Provinsi Jawa Barat
RE-CODE Birokrasi & Organisasi Oleh Bisma Jatmika Tisnasasmita dan Syamsurizal Mahasiswa Program Doktor Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Negeri Jakarta
Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
opini
Pemimpin dapat memberikan pengaruh pada pengelolaan sistem di dalam sebuah organisasi sekaligus membentuk dan menanamkan nilai serta keyakinan pada setiap anggotanya
Foto: Dokumentasi Humas Jabar
K
ami berpikir bahwa seorang pemimpin memiliki peran dalam membentuk sistem birokrasi. Pemimpin dapat memberikan pengaruh pada pengelolaan sistem di dalam sebuah organisasi sekaligus membentuk dan menanamkan nilai serta keyakinan pada setiap anggotanya. Anggota organisasi ibarat DNA yang mengandung kode-kode berupa nilai, budaya, keyakinan, dan norma yang semuanya membentuk karakteristik organisasi. Re-code DNA organisasi berarti mengubah nilai, budaya, keyakinan, dan norma tersebut. Peran pemimpin sangat penting terutama dalam merencanakan, melaksanakan, dan menanamkan hasil-hasil perubahan ke dalam budaya organisasi.
78
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Indonesia telah mengalami enam periode pemerintahan presiden, namun perkembangan birokrasi di Indonesia belum sepenuhnya mendukung cita-cita negara Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur. Birokrasi identik dengan proses yang lambat dan rigid (kaku). Hal tersebut adalah akibat dari birokrasi yang terikat oleh tradisi yang ketinggalan jaman. Pada dasarnya birokrasi adalah alat pemerintah untuk melaksanakan pelayananan publik. Jadi jika birokrasi dilaksanakan dengan baik maka penyelenggaraan negara juga akan menjadi baik. Birokrasi yang buruk menyebabkan pelayanan publik ditunggangi kepentingan-kepentingan dari
opini kelompok atau golongan tertentu, misalnya kelompok dan golongan yang ingin menang di dalam pertarungan politik dan ekonomi. Pada era ini juga masih terjadi ketidakadilan di dalam penegakan hukum. Hukum masih terkesan “tajam ke bawah dan tumpul ke atas.� Pelayanan publik seharusnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan melayani kepetingan umum. Birokrat yang ideal seharusnya berpikir jangka panjang sehingga kerugian besar akibat buruknya birokrasi tidak akan dialami oleh generasi di masa mendatang. Re-code pada sektor pelayanan publik menjadi sangat penting agar visi negara Indonesia yang tertera di dalam UUD Negara Republik Indoneseia Tahun 1945 dapat terwujud. Palmer, Dunford, dan Akin (2009) mendeskripsikan lima tekanan yang mendorong sebuah organisasi untuk berubah, yaitu tekanan untuk tumbuh, tekanan kerja sama, tekanan identitas, tekanan pemimpin baru, dan tekanantekanan kekuasaan dan politik. Akibat globalisasi, pelayanan publik di Indonesia mengalami tekanan-tekanan di atas dan dituntut untuk responsif, kreatif, dan inovatif. Karena itu negara memerlukan pemimpin yang mampu mengubah tradisi dan nilai-nilai yang telah tertanam sejak orde baru hingga saat ini pada organisasi birokrasi. Posisi-posisi strategis harus ditempati oleh birokrat – birokrat yang andal, memiliki integritas, dan komitmen untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Pemerintah harus mampu menerbitkan perangkat peraturan yang inovatif dan memberikan ruang gerak bagi para birokrat untuk menggunakan metode-metode terbaik di dalam melaksanakan tugasnya.
Seorang birokrat harus memiliki kompetensi dan reputasi yang sesuai dengan tugas-tugas yang akan diembannya. Citra yang baik harus diikuti oleh kontribusi yang terukur, bukan sekedar kesan baik yang tidak fundamental..
3
Merencanakan dan melaksanakan perubahan bersama dengan para agen perubahan, serta mengukuhkan hasil-hasil perubahan yang baik agar menjadi bagian dari budaya birokrasi. Hasil-hasil perubahan harus diteruskan kepada generasi berikutnya.
4
Melaksanakan kaderisasi agar regenerasi pemimpin dapat berjalan dengan baik. Calon pemimpin masa depan harus membawa nilai-nilai dan keyakinan baru. Dengan demikian hasil-hasil dari upaya perubahan akan berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
5
Menjaga komunikasi dengan kelompokkelompok maupun golongan dan meyakinkan bahwa tercapainya cita-cita negara akan memberikan dampak positif bagi mereka. Usaha ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan penuh dan meminimalkan dampak dari beberapa pihak yang menolak perubahan.
Kami berpendapat bahwa pemimpin yang diperlukan negara saat ini adalah transformational leader. Pemimpin harus mampu melaksanakan lima tugas utama sebagai berikut :
1
Mengarahkan pemerintah agar mendukung pencapaian visi dan pelaksanaan misi Negara Republik Indonesia untuk mencapai tujuan yang bersifat nasional, bukan hanya menguntungkan golongan atau kelompok tertentu.
2
Melakukan seleksi birokrat dengan cara yang tepat agar menemukan sumber daya manusia unggul untuk menduduki jabatanjabatan strategis di dalam pemerintahan. Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
79
opini Kelima tugas di atas harus dilakukan oleh pemimpin negara ini agar re-code dapat dilakukan secara menyeluruh dan hasil-hasil perubahan menjadi bagian dari tradisi dan budaya baru. Kami yakin pemimpin yang mumpuni mampu melakukan re-code dalam skala nasional.
dalam pelaksanaan program kerja. Birokrat tidak harus selalu berasal dari pegawai negeri dan partai politik, namun bisa juga berasal dari profesional yang memiliki integritas, kompetensi, dan komitmen untuk mewujudkan masyakat Indonesia yang adil dan makmur.
Contoh re-code yang sedang berlangsung saat ini adalah yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Pertama beliau membentuk kabinet yang mayoritas berisi profesional yang diharapkan mampu memberikan hasil kerja nyata bagi negara. Kedua beliau merancang sembilan agenda prioritas (Nawa Cita) yang menjadi pedoman perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga beliau melaksanakan revolusi mental, yaitu gerakan yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia bersama pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa agar menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ketiga upaya di atas mematahkan tradisitradisi lama dan mengubah paradigma birokrasi. Birokrasi harus bertujuan untuk menjadikan Indonesia lebih baik dengan mengurangi hambatan-hambatan di dalam sistem pemerintahan serta menentukan prioritas di
Kasali, Rhenald. Re-Code : Your Change DNA. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012. Palmer, Ian. Dunford, Richard. Akin, Gib. Managing Organizational Change. Second Edition. Singapore: Mc Graw Hill, 2009. Armstrong, Michael. Taylor, Stephen. Armstrong's Handbook of Human Resource Management Practice. 13th Edition. London: Ashford Colour Press Ltd., 2014. Kotter, John P.. Leading Change. Massachusetts: Harvard Business School Press, 1996. Cohen, Dan S.. The Heart of Change Field Guide : Tools and Tactics for Leading Change in Your Organization. Massachusetts: Harvard Business School Press, 2005.
Foto: Dokumentasi Net
80
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
opini
Perlukah Konsolidasi Tanah dalam Pembangunan Daerah ??? Oleh Nirra Cahaya Pertama Tim Humas Bappeda Provinsi Jawa Barat Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
81
opini Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
Prospek Konsolidasi Tanah dalam Pembangunan Dalam proses pembangunan khususnya pembangunan di wilayah perkotaan senantiasa muncul berbagai permasalahan, antara lain permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk dan urbanisasi yang cepat, meningkatnya standar hidup akibat dari peningkatan pendapatan, permintaan tempat tinggal yang terus meningkat, diiringi dengan peningkatan infrastruktur dan kenaikan produktivitas bahan kebutuhan masyarakat (Talkurputra, Darga, Deputi di Badan Pertanahan Nasional, 1999). Di lain pihak ketersediaan tanah untuk pembangunan relatif terbatas. Dengan demikian, tentunya perlu dipersiapkan upayaupaya penyediaan tanah agar dapat mengakomodasikan kegiatan-kegiatan tersebut. Pembangunan akan selalu mengalami dinamika sebagai wujud untuk mencapai suatu keinginan atau kehendak. Dalam kaitannya dengan pembangunan daerah, suatu daerah akan senantiasa menggerakkan roda kegiatan pembangunan guna mempertahankan dan memajukan eksistensi daerah tersebut. Menurut Saswinadi Sasmojo (Dosen Kebijakan Publik-ITB, 2001), pembangunan dideďŹ nisikan sebagai 'suatu proses (atau suatu fenomena) perubahan'. Hal ini mengandung maksud bahwa pembangunan merupakan suatu proses dinamis yang selalu mengalami 'pasang surut' perubahan, dengan harapan bahwa melalui perubahan tersebut dapat tercapai kehendak atau tujuan yang diinginkannya. Di dalam pembangunan daerah, proses perubahan ini pada umumnya tidak berlangsung dengan sendirinya secara alamiah, namun terjadinya perubahan akibat adanya intervensi atau campur tangan pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah, sebagai lembaga eksekutif yang berupaya menjalankan komitmen yang merupakan kesepakatan bersama semua komponen masyarakat. Intervensi pemerintah ini dilakukan di segala bidang agar keinginan yang disepakatinya dapat terwujud. Berbagai program pembangunan yang tertuang di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah bertujuan untuk menanggulangi permasalahan yang timbul dan mengantisipasi perkembangan yang akan timbul di kemudian hari dengan 82
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
memperhatikan berbagai kendala dan limitasi yang ada serta memanfaatkan secara optimal potensi yang dimilikinya. Pembangunan wilayah merupakan suatu langkah atau kerangka besar dalam memperbaiki dan meningkatkan ekonomi suatu wilayah. Di dalam pembangunan wilayah perlu diterapkan konsepsi dan strategi yang tepat, berdaya guna dan berhasil guna dengan harapan tercapai tujuan peningkatan wilayah yang diinginkan sesuai dengan potensi dan kendala yang dimilikinya. Salah satu tujuan pembangunan adalah tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Menurut Widjajono Partowidagdo (1999), dalam buku Memahami Analisis Kebijakan, dikatakan bahwa keadilan adalah meletakan sesuatu pada tempatnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa suatu tindakan harus dilakukan secara proporsional dan merata atau dengan kata lain tidak berat sebelah, sedangkan makmur berarti sejahtera. Dalam kaitannya dengan pembangunan, pengertian adil mengandung makna bahwa seluruh komponen masyarakat harus terlibat aktif secara proporsional di dalam proses pembangunan agar hasil dari
opini pembangunan tersebut, dapat dinikmati secara adil dan merata sehingga pada akhirnya dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat dan berkontribusi positif terhadap ekonomi wilayah. Dalam era reformasi ini, paradigma pembangunan daerah mengalami pergeseran orientasi yang sangat dramatis, dari semula dominasi sentralistik (pusat lebih banyak berperan) menjadi dominasi desentralistik (daerah lebih banyak berperan). Desentralisasi pada dasarnya adalah penataan mekanisme pengelolaan kebijaksanaan dengan kewenangan yang lebih besar diberikan kepada daerah agar penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan lebih efektif dan eďŹ sien. Namun demikian, kewenangan otonomi yang diberikan kepada daerah Kota/Kabupaten harus diwujudkan dalam bentuk otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Oleh karenanya, pemerintah daerah khususnya Daerah Kota/Kabupaten diharapkan untuk mampu melaksanakan kegiatan pembangunannya secara mandiri, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian hingga evaluasi termasuk didalamnya pembiayaan pembangunannya. Secara garis besar, pembangunan akan meliputi pembangunan bidang ďŹ sik dan pembangunan bidang non ďŹ sik. Pembangunan dalam bidang ďŹ sik akan terkait erat dengan ruang khususnya keberadaan tanah. Tanah sebagai salah satu sumber daya alam, keberadaannya tidak pernah bertambah, sementara itu jumlah penduduk relatif akan terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini akan memicu timbulnya konik tanah sebagai akibat dari 'perebutan' berbagai aktiďŹ tas untuk menyelenggarakan kehidupan manusia. Dalam pelaksanaan pembangunan di berbagai daerah seringkali timbul konik tanah khususnya yang berkenaan dengan penyediaan tanah untuk pembangunan. Di waktu yang lampau kita sering mendengar bahkan melihat secara transparan bahwa salah satu kelompok masyarakat harus merelakan tanah miliknya bahkan cenderung 'dipaksa' untuk melepaskan tanah miliknya dengan dalih untuk kepentingan pembangunan, tanpa diimbangi dengan harga ganti rugi yang memadai. Dalam situasi sekarang dimana demokrasi dan semangat reformasi 'sedang berkibar' pemaksaaan pengambil-alihan
tanah milik masyarakat sudah tidak dapat dilakukan lagi karena dapat menimbulkan reaksi sosial negatif dari masyarakat. Reaksi sosial negatif ini dapat menganggu stabilitas keamanan sehingga mempengaruhi proses kelancaran pelaksanaan pembangunan dan pada akhirnya dapat berkontribusi negatif terhadap perekonomian daerah. Selain itu, meskipun dalam pelaksanaan otonomi daerah ini, sumber pembiayaan pembangunan daerah didukung oleh dana perimbangan pusat dan daerah, namun diharapkan pemerintah daerah dapat mampu untuk membiayai pelaksanaan pembangunan secara mandiri. Dengan demikian, pemerintah daerah diharapkan dapat menggali sumber pendapatan baru dan terutama pembelanjaan keuangan daerah, harus eďŹ sien. Oleh karenanya di dalam era otonomi daerah ini, pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan khususnya pembangunan bidang ďŹ sik, perlu memikirkan kembali suatu pendekatan pembangunan yang tepat, eďŹ sien, efektif dan inovatif sehingga dengan keterbatasan dana yang dimilikinya, kegiatan pembangunan dapat terus berjalan dan juga proses pembangunan yang dilakukannya tidak menimbulkan konik sosial. Dengan demikian, metode pembangunan yang dapat mensinergiskan berbagai aktor pembangunan yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta, sudah saatnya untuk dipikirkan. Konsolidasi tanah sebagai salah satu instrumen pembangunan, dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif kebijakan pembangunan yang dapat dikembangkan dalam rangka mengatasi permasalahan pembangunan daerah tersebut. Konsolidasi tanah bukan merupakan kebijakan pembangunan yang hanya dilakukan di Indonesia saja, tetapi banyak negara di dunia mempergunakan pendekatan konsolidasi tanah ini dalam rangka pembangunannya. Oleh karenanya banyak pengertian yang dinyatakan oleh para ahli mengenai konsolidasi tanah, namun kesemuanya bermuara pada ďŹ losoďŹ yang sama. Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang juga memanfaatkan kebijakan konsolidasi tanah dalam mengimplementasikan pembangunan, membuat pengertian tersendiri mengenai konsolidasi tanah. Pengertian Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
83
opini konsolidasi tanah yang dinyatakan oleh Badan Pertanahan Nasional adalah Kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah sesuai dengan Tata Ruang Wilayah serta usaha pengadaan tanah untuk pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup, pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Berdasarkan pengertian atau deďŹ nisi tersebut, konsolidasi tanah dapat diterapkan baik di daerah perkotaan maupun perdesaan dan dalam proses pelaksanaannya sangat diharapkan adanya peran serta masyarakat, khususnya peserta konsolidasi tanah, untuk terlibat secara aktif. Hal lain yang cukup penting bahwa dalam pelaksanaan konsolidasi tanah, masyarakat tidak akan tergusur dari lingkungannya. Situasi ini menunjukkan bahwa konsolidasi tanah merupakan konsep yang sangat berpihak kepada masyarakat, karena masyarakat sangat diakui keberadaannya. Hal ini sesuai dengan ďŹ losoďŹ yang dikandung dalam konsolidasi tanah yaitu 'dari, oleh, dan untuk masyarakat'. Bertitik tolak dari pengertian dan pemahaman tentang konsolidasi tanah maka konsep ini dapat dikatakan sebagai suatu pendekatan pembangunan yang mempunyai fungsi pencegah keresahan sosial khususnya akibat pembebasan tanah oleh para pengembang ataupun pelaku pembangunan baik di perkotaan dan perdesaan. Mengapa demikian, karena disamping, mereka tidak tergusur akibat pembangunan, lingkungan tempat tinggal mereka dilakukan penataan bidang-bidang tanahnya agar tercipta lingkungan permukiman yang teratur dan sehat. Masyarakat, dalam hal ini peserta konsolidasi tanah, mendapat jaminan tidak akan tergusur dari lingkungannya sehingga mereka dapat menikmati hasil dari pembangunan dan sebagai wujud keterjaminan bahwa mereka tetap berada di dalam lingkungannya, kepada mereka diberikan kepastian hukum hak atas tanah atau kepastian pemilikan tanah yang berupa sertiďŹ kat tanah.
84 Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
Sekilas Teknis Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Dasar Hukum Aturan hukum tertinggi yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah di Indonesia hanya berupa Peraturan Kepala BPN yaitu Peraturan KBPN No 4 Tahun 1991 tanggal 7 Desember 1991 tentang Konsolidasi Tanah. Beberapa istilah yang disering dipergunakan dalam kegiatan konsolidasi tanah antara lain : Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP) yaitu sumbangan tanah yang diberikan oleh para peserta konsolidasi tanah untuk pembangunan prasarana jalan, fasilitas sosial, fasilitas umum dan Tanah Pengganti Biaya pelaksanaan (TPBP). Besarnya STUP tergantung pada kesepakatan para peserta berdasarkan jenis dan luasan tanah untuk sarana dan prasarana yang dibutuhkannya. TPBP yaitu bagian dari STUP yang dapat dijual kepada pihak ketiga dengan pembayaran kompensasi berupa uang, yang dapat dipergunakan untuk pembiayaan pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah. Kegiatan konsolidasi tanah yang dilaksanakan selama ini di Indonesia mengikuti kaidah teknis yang tersebut di dalam Peraturan Kepala Badan Nasional No 4 tahun 1991 dan beberapa Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Surat Edaran Deputi Bidang Pengaturan Penguasaan dan Penatagunaan Tanah khususnya mengenai Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah (SE KBPN No 410-4245 tahun 1991) dan Petunjuk Teknis Konsolidasi Tanah (SE MNA/KBPN No 410-1078 tahun 1996). Teknis Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Secara garis besar, pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah terbagi dalam 3 tahapan yaitu pertama, tahap persiapan lokasi konsolidasi tanah, kedua, tahap pelaksanaan lapang dan ketiga, tahap konstruksi. Tahapan persiapan lokasi konsolidasi tanah. Dalam tahapan ini ada 5 kegiatan yang dilakukan yaitu : 1.
Kegiatan penjajakan/pemilihan lokasi.
opini 2.
Kegiatan penyuluhan kepada calon peserta konsolidasi tanah.
3.
Kegiatan penjajakan kesepakatan dengan para calon peserta untuk diketahui apakah mereka bersedia untuk ikut serta dalam kegiatan konsolidasi.
4.
Kegiatan penetapan lokasi konsolidasi tanah, bila jumlah calon peserta yang bersedia ikut dalam kegiatan konsolidasi tanah memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah digariskan/ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 4 Tahun 1991, maka lokasi tersebut dapat ditetapkan sebagai lokasi konsolidasi tanah oleh Bupati/Walikota atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan peserta konsolidasi tanah ditetapkan dalam satu kelompok.
5,
Kegiatan terakhir dalam tahap persiapan lokasi konsolidasi tanah adalah Penyusunan RUPKT (Rencana Umum Pelaksanaan Konsolidasi Tanah).
Tahapan pelaksanaan lapang konsolidasi tanah. Dalam tahapan ini, ada 3 kegiatan utama yang dilakukan yaitu 1.
Kegiatan pendataan yang meliputi pendataan subjek tanah dan objek tanah serta pendataan ďŹ sik tanah yang mencakup kegiatan pengukuran dan pemetaan keliling dan rincikan.
2.
Kegiatan penataan, kegiatan penataan merupakan aktiďŹ tas lanjutan dari kegiatan pendataan yang meliputi kegiatan penyusunan rencana blok konsolidasi tanah, penyusunan desain konsolidasi tanah dan kegiatan musyawarah kepada para peserta mengenai rencana blok konsolidasi tanah dan desain konsolidasi tanah yang telah dibuat oleh pelaksana yang mencakup rencana penempatan persil/kaveling TPBP (Tanah Pengganti Biaya Pembangunan), rencana jaringan jalan, rencana penempatan fasilitas serta rencana penempatan persil/kaveling baru dari para peserta. Bentuk persil/kaveling baru dari para peserta tersebut sangat dimungkinkan adanya perubahan bentuk ataupun pergeseran tempat. Desain konsolidasi tanah harus disepakati dan disetujui oleh
para peserta dan hal ini tertuang dalam berita acara. 3.
Kegiatan sertipikasi, mencakup kegiatan staking-out persil/bidang baru hasil Desain Konsolidasi Tanah yang sudah disepakati para peserta
Tahapan konstruksi. kegiatan yang dilakukan pada umumnya adalah pembentukan badan jalan, penggalian parit drainage, pembuatan gorong-gorong dan pengurugan jalan. Dan bila dana memungkinkan, dapat dilakukan kegiatan
Peran Positif Konsolidasi Tanah dalam Pembangunan Pembangunan adalah suatu proses yang tidak dapat dihindari dan akan senantiasa berlangsung sepanjang kehidupan suatu wilayah. Di dalam pelaksanaannya, pembangunan akan selalu mengalami dinamika sebagai wujud untuk mencapai suatu keinginan atau kehendak. Oleh karenanya, pembangunan akan selalu dijaga keberlangsungannya guna mencapai kehendak atau keinginan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan harkat dan martabat suatu wilayah. Pada hakekatnya tujuan dari pembangunan adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur. Dalam kaitannya dengan pembangunan daerah, pengertian adil dan makmur mengandung makna bahwa seluruh pemangku kepentingan harus terlibat aktif secara proporsional di dalam proses pembangunan agar hasil dari pembangunan tersebut dapat berjalan adil dan hasilnya dapat dinikmati secara merata sehingga pada gilirannya dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat dan pada akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap perekonomian ekonomi daerah tersebut. Di dalam melaksanakan pembangunan khususnya pembangunan di bidang ďŹ sik, sangat banyak instrumen pembangunan yang dapat dipergunakan untuk dapat mewujudkan tujuan pembangunan tersebut, salah satunya adalah konsolidasi tanah. Berangkat dari ďŹ losoďŹ yang terkandung, konsolidasi tanah memiliki peran positif dalam pembangunan, antara lain :
Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
85
opini 1. Konsolidasi Tanah sebagai Upaya Memberdayakan Masyarakat Dalam kegiatan pembangunan, masyarakat (rakyat) merupakan salah satu pilar penting dalam proses pembangunan. Terlebih di dalam alam demokrasi saat ini, masyarakat mempunyai pengaruh yang signiďŹ kan terhadap berhasil tidaknya pembangunan. Bila masyarakat dikesampingkan dalam proses pembangunan, mereka akan 'berteriak keras' sehingga akan berpengaruh negatif terhadap jalannya pembangunan. Agar masyarakat dapat duduk sejajar dengan pelaku pembangunan lainnya dan berkiprah secara proporsional dalam pembangunan, tentunya mereka harus memiliki kemampuan yang mandiri dan kemampuan ini dapat dibentuk melalui upaya pemberdayaan. Pada dasarnya tujuan akhir dari pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan harkat dan martabatnya sehingga mereka dapat mensejahterakan dirinya. Dengan memberdayakan masyarakat diharapkan belenggu kemiskinan dan keter-isolasi-an dari berbagai akses, dapat terlepas sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya atau dengan kata lain, mereka mempunyai kemampuan untuk memandirikan dirinya sendiri secara berkesinambungan. Tentunya, masyarakat yang berdaya, tidak dapat terwujud sendiri karena mereka merupakan sub sistem dari rencana dan strategi pembangunan sehingga keberadaan mereka (masyarakat tidak berdaya) harus didukung 'keinginan nyata' yang kuat dari pelaku pembangunan lainnya khususnya pemerintah, dengan memberikan berbagai kemudahan akses baik itu akses informasi, pendidikan/pembinaan ataupun saluran dana bantuan. Dalam kaitannya dengan kegiatan konsolidasi tanah, konsep ini sangat erat hubungannya dengan pemberdayaan masyarakat karena : FilosoďŹ yang terkandung dalam konsep konsolidasi tanah yaitu dari, oleh dan untuk rakyat, mengamanatkan adanya peran serta aktif masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah. Peran serta aktif masyarakat tersebut di tunjukkan dalam beberapa hal, yaitu :
1
Adanya keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan khususnya dalam menentukan besaran Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP) dan pembuatan Desain Konsolidasi Tanah (DKT). Mereka dapat memberikan pendapat setuju tidaknya terhadap DKT dan besaran STUP yang diperlukan, berdasarkan keinginan dan kebutuhan yang dirasakanya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun.
2
Keterlibatan aktif masyarakat dalam penyusunan DKT meliputi penentuan jenis fasilitas yang dibutuhkan (baik fasilitas sosial maupun fasilitas umum) dan penyediaan jaringan jalan yang menyangkut pola dan dimensi, dalam rangka melayani semua bidang tanah. Kesemuanya itu sangat bergantung kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat dan diputuskan melalui kesepakatan dengan seluruh peserta, dengan memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam tata ruang. Luasan tanah untuk penyediaan semua fasilitas yang dibutuhkan tersebut, akan dikompensasikan kepada setiap peserta dalam bentuk sumbangan tanah (STUP).
3
Sumbangan tanah yang diberikan oleh para peserta (STUP), tidak sekedar untuk menyediakan kebutuhan tanah bagi fasilitas dan jaringan jalan saja, tetapi juga para peserta ditawarkan untuk memberikan sumbangan tanahnya guna keperluan TPBP (Tanah Pengganti Biaya Pelaksanaan). Pengadaan TPBP bertujuan untuk mendapatkan dana dalam rangka membiayai proses pelaksanaan konsolidasi tanah, melalui penjualan TPBP. Pengadaan TPBP ini, tidak bersifat memaksa, namun bergantung dari tingkat kepentingan para peserta. Bila TPBP disetujui oleh para peserta, luasannya-pun bergantung kepada mereka dengan asumsi bahwa luasan TPBP yang disepakati, bila dijual akan cukup mendanai proses pelaksanaan konsolidasi tanah.
Foto: Dokumentasi Humas Bappeda
86
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
opini Namun dalam kenyataannya, menjual kaveling TPBP tidak mencukupi untuk membiayai pelaksanaan konsolidasi tanah. Oleh karenanya, dalam memanfaatkan TPBP perlu ada tindakan inovatif yang dapat menguntungkan semua pihak, misalnya dalam rangka mendapatkan dana pembangunan konsolidasi tanah, TPBP tidak hanya sekedar dijual, tetapi akan lebih menguntungkan bila dapat mengundang pihak ketiga untuk memanfaatkan TPBP tersebut untuk dikembangkan sebagai kegiatan komersial atau kegiatan ekonomi tertentu (tentunya sesuai dengan arahan tata ruang yang ada), di mana dalam mekansime pengelolaannya, dapat dilakukan dalam bentuk sewa untuk jangka waktu tertentu yang kemudian diserahkan kepada peserta (dengan sistem BOT/Built Operate and Transfer), atau mekanisme saham, di mana peserta konsolidasi tanah dapat terlibat dalam kegiatan yang diusahakan oleh pihak ketiga dalam bentuk kepemilikan saham sehingga keberadaan TPBP tidak hanya sekedar upaya pencarian dana pembangunan semata tapi juga sebagai sumber alternatif pendapatan sehingga pada akhirnya dapat mensejahterakan masyarakat peserta. Tentunya, upaya inovatif ini perlu didukung oleh semua pihak dan aturan hukum yang jelas. Sebenarnya, pemanfataan TPBP dengan melibatkan pihak ketiga, bukan hal yang 'aneh' di beberapa negara lain. Jepang, sebagai salah satu negara yang cukup sukses melaksanakan kegiatan konsolidasi tanah dalam rangka mendukung pembangunan, telah melaksanakan hal ini. Kaveling TPBP diserahkan kepada swasta dengan kesepakatan pihak swasta mendanai biaya pelaksanaan termasuk membiayai pembangunan beberapa fasilitas tertentu, umumnya pembangunan jaringan jalan lokal. TPBP tersebut dikembangkan sebagai kegiatan komersial/kegiatan ekonomi tertentu (sesuai dengan arahan tata ruang yang ada), dikelola dengan baik oleh pihak swasta dan peserta mendapatkan bagian keuntungan yang memadai sehingga tampak terlihat bahwa masyarakat (peserta konsolidasi tanah) sangat berdaya karena mereka dianggap sebagai mitra usaha atau bahkan bertindak sebagai investor dalam
kegiatan komersial tersebut. Peserta konsolidasi tanah di jepang terwadahi dalam suatu asosiasi, dan melalui mekanisme pengelolaan TPBP seperti itu, asosiasi peserta konsolidasi tanah di Jepang memiliki keuangan sendiri yang cukup besar. Dengan besarnya keuangan yang dimilikinya, terkadang asosiasi ini ikut serta mendanai pelaksanaan konsolidasi tanah di tempat lainnya di Jepang. Hal seperti itu, tentunya merupakan suatu contoh pengelolaan TPBP yang baik dan bukan tidak mungkin, dapat diterapkan di Indonesia. Adanya ketentuan untuk membentuk kelompok peserta pada saat awal pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah, sangat membantu dalam mengidentifikasi tingkat sosial ekonomi kelompok peserta sehingga akan dapat diketahui langkah tindak advokasi yang tepat untuk memberdayakan dan mensejahterakan mereka. Terlebih lagi, bila TPBP dikelola dengan baik, dan juga melibatkan pihak swasta dalam pengelolaannya, maka upaya pemberdayaan masyarakat (peserta konsolidasi tanah) dapat diselaraskan dengan rencana pengembangan TPBP tersebut sehingga dapat terjalin aktifitas ekonomi yang saling menguntungkan dan proporsional antara swasta dan masyarakat.
2. Konsolidasi Tanah sebagai Upaya Peredam Konflik Tanah Timbulnya konflik tanah dalam pembangunan sebagai akibat pengabaian hak-hak rakyat khususnya para pemilik atau penggarap tanah dalam proses pembangunan. Kedudukan mereka senantiasa 'ditindas' oleh aktor pembangunan lainnya. Sementara itu, konsepsi konsolidasi tanah mengutamakan adanya kedudukan yang proporsional dari semua stakeholder, dalam proses pembangunan baik sejak mulai proses perencanaan sampai proses pelaksanaan. Hal ini selaras dengan filosofi yang dikandungnya yaitu 'dari, oleh dan untuk rakyat'. Keputusan yang diambil dalam pelaksanaan konsolidasi tanah merupakan keputusan bersama yang saling menguntungkan dan saling menghargai di antara sesama pelaku pembangunan. Dengan kata lain, masyarakat tidak menjadi objek pembangunan tetapi mereka menjadi subjek dari kegiatan pembangunan. Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
87
opini Selain dari ďŹ losoďŹ 'dari, oleh dan untuk rakyat', di dalam konsolidasi tanah terkandung pula ďŹ losoďŹ 'membangun tanpa menggusur'. Dengan ďŹ losoďŹ 'membangun tanpa menggusur' tersebut, masyarakat (dalam hal ini peserta konsolidasi tanah) mendapat jaminan tidak akan tergusur dari lingkungannya sehingga mereka dapat menikmati hasil dari pembangunan dan sebagai wujud keterjaminan bahwa mereka tetap berada di dalam lingkungannya, kepada mereka diberikan kepastian hukum hak atas tanah atau kepastian pemilikan tanah yang berupa sertipikat tanah. Hal ini tentunya memberikan dampak ketenangan bagi masyarakat sehingga keresahan sosial akibat pembangunan, dapat terhindarkan. Keresahan sosial akibat pembangunan merupakan salah satu bibit potensial timbulnya konik tanah. Dengan demikian, berangkat dari abstraksi-abstraksi tersebut dapat dikatakan bahwa konsepsi konsolidasi tanah dapat berfungsi sebagai peredam timbulnya konik tanah akibat pembangunan.
3. Konsolidasi Tanah sebagai Upaya untuk Memperindah Wajah Kota dan Menghemat Biaya Pembangunan dalam Pengadaan Sarana dan Prasarana Kota Kota akan senantiasa mengalami perkembangan, sejalan dengan pertumbuhan penduduk baik secara alami ataupun migrasi desa-kota/urbanisasi. Pada dasarnya kedatangan penduduk dari desa ke kota dengan suatu harapan dapat memperbaiki taraf kehidupannya. Kehidupan kota yang penuh dengan 'kegemerlap-an' merupakan daya pikat yang cukup kuat bagi penduduk yang tinggal di perdesaan untuk datang ke kota. Semakin banyak penduduk desa yang datang ke kota, akan mempengaruhi terhadap peningkatan laju pertumbuhan alami dan pada akhirnya akan semakin meningkatkan jumlah penduduk kota secara pesat. Hal seperti ini, terjadi hampir di semua kota di Indonesia terutama di kota-kota besar dan hal seperti ini pula yang mempengaruhi perkembangan suatu kota sekaligus merupakan salah satu titik awal timbulnya permasalahan perkotaan. Perkembangan kota tidak saja dipengaruhi oleh faktor penduduk, tetapi juga dipengaruhi faktor yang lain seperti faktor ekonomi dan faktor politik. Yang dimaksudkan dengan Faktor ekonomi yaitu pengembangan berbagai kegiatan 88
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
usaha dalam rangka memberikan 'pintu penghidupan' bagi masyarakat sekaligus bagi kehidupan kota itu sendiri, sedangkan faktor politik merupakan perwujudan dari kepentingan pengelola kota (dalam hal ini pemerintah daerah dan lembaga legislatif) untuk mengarahkan perkembangan kota sesuai dengan visi-misi yang mereka inginkan. Pada awal pembentukan kota, 'wajah kota' belum tampak terlihat 'kusut' karena penduduk yang mendiami kota tersebut masih relatif sedikit, akibatnya kegiatan binaan yang ada, masih belum banyak sehingga cukup banyak lahan kosong yang tersedia di kota tersebut. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, kota-pun mengalami perkembangan yang signiďŹ kan. Bila kota dibiarkan berkembang tanpa ada pengaturan dan pengarahan yang tepat, wajah kota akan terlihat semrawut dan kusut. Namun, bila dalam perkembangan kota dilakukan intervensi pemerintah, dalam bentuk pengaturan dan pengarahan yang jelas, wajah kota akan lebih teratur. Salah satu wujud intervensi pemerintah dalam mengatur wajah kota adalah pembuatan rencana tata ruang. Guna mengimplementasikan rencana tata ruang tersebut, banyak instrumen pembangunan yang dapat dipergunakan, dapat melalui urban renewal, urban revitalization, Kampung Improvement Programme (KIP), konsolidasi tanah dan instrumen pembangunan lainnya. Pada umumnya, dalam pengadaan sarana dan prasarana kota secara parsial, digunakan mekanisme pembebasan tanah, misal dalam pembuatan jaringan jalan utama kota yang melintasi kawasan permukiman. Dalam pembuatan jalan utama tersebut, yang akan mengalami 'pembenahan' hanya pada ruas jalan yang akan dibuat, sedangkan kawasan permukiman disekitar jalan tersebut, tetap tidak tertata sehingga meskipun struktur jalan utama kota sudah tertata rapih, namun wajah kota masih terasa kurang begitu indah karena lingkungan permukiman disekitarnya tidak mengalami penataan. Situasi ini disebabkan, kemampuan dana pemerintah sangat terbatas sehingga tidak memungkinkan bila harus membebaskan tanah untuk membangun dan menata jaringan jalan lainnya yang berada dalam kawasan permukiman tersebut. Seandainya, dalam proses pembangunan
opini jaringan jalan utama kota tersebut, dipadukan dengan mekanisme konsolidasi tanah, maka dana pemerintah yang terbatas tersebut, tidak hanya sekedar mencukupi untuk membangun jaringan jalan utama kota saja, tetapi juga dapat dipergunakan untuk membangun fasilitas umum lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar rencana jaringan jalan utama kota tersebut. Hal ini dikarenakan, dalam konsolidasi tanah ada kewajiban yang dibebankan kepada para peserta untuk memberikan sumbangan tanah bagi penyediaan fasilitas dan jaringan jalan dalam bentuk STUP. Jadi dana pemerintah yang terbatas tersebut, tidak perlu dialokasikan untuk pembebasan tanah, tetapi dapat dipergunakan untuk kegiatan lebih luas lagi yaitu pertama, untuk melakukan pengerasan jalan, di mana pengerasan jalan yang dilakukan tidak hanya jaringan jalan utama kota (sesuai dengan yang direncanakan) tetapi juga termasuk jaringan jalan lokal lain yang berada di kawasan permukiman tersebut, kedua, dana tersebut dapat dipergunakan untuk membiayai pelaksanaan konsolidasi tanah, dan ketiga, dapat digunakan membangun fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat tersebut.
Ilustrasi Perkembangan Kota
menghemat biaya pembangunan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengadakan sarana dan prasarana kota sekaligus pula dapat memperindah wajah kota.
4. Konsolidasi Tanah sebagai Upaya Administrasi Tanah Tanah merupakan salah satu aset pembangunan yang cukup penting. Hampir semua aktifitas pembangunan terutama pembangunan fisik, akan berkait erat dengan tanah. Informasi mengenai tanah merupakan salah satu input penting dalam melaksanakan suatu kegiatan pembangunan. Terkadang dalam suatu kegiatan pembangunan, akan mengalami pemborosan biaya ataupun penundaan pekerjaan sebagai akibat informasi yang kurang akurat mengenai keberadaan kepemilikan tanah pada lokasi yang akan dibangun Sebagai contoh kasus (sama dengan contoh pada bagian sebelumnya), yaitu kegiatan pembebasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka membangun jaringan jalan. Pada saat membuat rencana anggaran biaya pembebasan lahan, tentunya pihak terkait akan mendata terlebih dahulu keberadaan tanah dan pemilik tanah yang ada pada rencana lokasi pembebasan. Seandainya, bila data mengenai keberadaan tanah tersebut kurang akurat, mereka akan menetapkan biaya pembebasan berdasarkan perkiraan. Di dalam proses pelaksanaanya, sangat dimungkinkan terjadi 3 situasi :
Dalam waktu yang bersamaan, tanah milik masyarakat (peserta konsolidasi tanah) yang berada di kawasan permukiman tersebut, juga ditata sehingga bentuk dan letak persilnya menjadi teratur. Pada akhirnya, tujuan pembangunan jaringan jalan utama kota tersebut, dapat tercapai dan sekaligus lingkungan permukiman disekitarnya, tertata dengan baik. Hal ini akan membuat 'wajah kota terlihat lebih cantik'. Dari abstraksi tersebut dapat dikatakan bahwa melalui konsolidasi tanah, dapat
·
Pertama, dana yang dibutuhkan untuk pembebasan relatif sama dengan perkiraan dana yang ditetapkan sehingga pelaksaan kegiatan pembebasan tanah dapat berjalan tepat waktu dan efisien.
·
Kedua, dana yang dibutuhkan untuk pembebasan tanah lebih kecil dari dana yang disediakan. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pemborosan biaya dan pada umumnya, kelebihan dana yang ada tersebut tidak akan dikembalikan ke kas pemerintah daerah atau negara sehingga sangat dimungkinkan terjadinya tindak korupsi
·
Ketiga, dana yang dibutuhkan untuk pembebasan tanah lebih besar dari dana yang tersedia. Hal ini akan mengakibatkan pelaksanaan pembebasan tanah tidak dapat selesai tepat pada waktunya. Volume 33 Nomor Nomer 4 Oktober - Desember 2016 Warta Bappeda
89
opini Lain halnya, bila semua tanah yang ada pada rencana lokasi pembebasan tanah tersebut telah terdata dengan baik. Pihak aparat terkait dalam merencanakan anggaran biaya tidak didasarkan pada perkiraan tetapi akan mengacu kepada data/informasi keberadaan tanah dan pemilik tanah tersebut sehingga anggaran yang ditetapkan akan tepat, optimal dan eďŹ sien. Dan akhirnya, saat pelaksanaan pembebasan tanahpun akan dapat berjalan secara eďŹ sien dan tepat waktu. Tanah yang telah terdata diwujudkan dalam bentuk sertipikat tanah. Di dalam sertipikat tanah terdapat informasi pemilik tanah, luas tanah, bentuk tanah dan letak tanah secara akurat serta beberapa infomasi administratif lainnya seperti tanggal diterbitkannya sertipikat, nomer persil, nomer alas hak, riwayat tanah dan lain sebagainya. Sebenarnya tanah yang terdata, tidak hanya bermanfaat bagi pemerintah tetapi justru banyak bermanfaat bagi pemiliknya karena pertama, dengan memilki sertipikat berarti pemilik tanah (yang tertera di dalam sertipikat tersebut) mempunyai kekuatan hukum untuk memiliki dan memanfaatkan tanah tersebut, kedua, mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan tanah yang belum bersertipikat karena bila akan diagunkan ke bank, akan mendapatkan nilai agunan yang lebih besar dan juga bila akan di jual, akan mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Sebenarnya dalam proses pendataan/pengadminitrasi-an tanah guna memperoleh sertipikat, ada beberapa cara untuk mendapatkannya yaitu dapat melalui jalur pendaftaran untuk pertama kali, jalur ijin lokasi, jalur PRONA, jalur ajudikasi, jalur redistribusi tanah ataupun jalur konsolidasi tanah. Hal yang membedakan pendataan tanah melalui jalur konsolidasi tanah dibandingkan jalur lainnya adalah tanah yang terdata menjadi lebih teratur bentuk dan letaknya dan juga semua tanah yang ada akan terlayani oleh jaringan jalan sehingga dapat tercipta lingkungan yang tertata apik. Sedangkan melalui jalur lainnya, tidak ada penataan tanah sehingga bentuk dan letak tanah setelah proses sertipikasi, mungkin masih tampak semrawut dan kusut.
90
Warta Bappeda Volume 33 Nomor 4 Oktober - Desember 2016
5. Konsolidasi Tanah sebagai Upaya Alternatif Peningkatan Pendapatan Daerah Pada umumnya, harga tanah pada lokasi yang telah dikonsolidasi tanah akan mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan pada lokasi tersebut lingkungannya tertata dengan apik dan teratur, di mana setiap persil tanah telah tertata dengan baik, semua persil terlayani oleh jaringan jalan dan juga pada lokasi tersebut tersedia beberapa fasilitas lingkungan. Dengan demikian, meskipun peserta konsolidasi tanah mengalami pengurangan luas tanah akibat sebagian tanahnya disumbangkan untuk STUP, namun 'nilai tanah' secara keseluruhan terjadi peningkatan. Dengan meningkatnya nilai tanah pada lokasi yang telah dikonsolidasi tanah, pemerintah daerah setempat dapat meningkatkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sehingga dapat membantu meningkatkan pendapatan daerah. Namun, bila masyarakat tersebut (yang tinggal pada lokasi yang telah di konsolidasi tanah) tidak bermatapencaharian tetap, tentunya peningkatan PBB ini akan menjadi suatu beban yang memberatkan mereka. Oleh karenanya, dalam kegiatan konsolidasi tanah, akhir dari pelaksanaan tidak hanya sekedar tertatanya persil tanah menjadi teratur tetapi perlu dilanjutkan dengan upaya pemberdayaan masyarakatnya. Sebagaimana telah diulas di atas, salah satu alternatif pemberdayaan masyarakat di lokasi konsolidasi tanah adalah mengelola tanah TPBP secara optimal dengan melibatkan pihak swasta dalam pengelolaannya baik melalui mekanisme sewa lahan ataupun pola bagi hasil usaha (pola kepemilikan saham) atau mekanisme inovatif lainnya sehingga masyarakat lebih berdaya dan mempunyai sumber alternatif pendapatan. Dengan semakin berdayanya masyarakat (yang berada pada lokasi yang telah di konsolidasi tanah), tentunya tingkat kesejahteraan mereka diharapkan turut meningkat pula sehingga peningkatan PBB pada lokasi tersebut, tidak menjadi beban bagi mereka. Bahkan lebih jauh lagi, bila usaha bersama yang dikembangkan dengan pihak swasta dalam mengelola TPBP tersebut menunjukkan keberberhasilan, pemerintah daerah dapat mengenakan pajak usaha. Dengan demikian, melalui kegiatan konsolidasi tanah, pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan daerahnya.
Al Ja ama Fax lan I t Red : (0 r. H. aks 22 Ju i: Su )25 and b. 107 a N Ba 31 o.2 gian Ba 87 U ndu Te mu ng lp. m L - 4 (02 t. 2 013 2) , K 5 251 ant 60 or 61 Ba p
BAPPEDA Provinsi Jawa Barat
ped
aJ
aba
r
CAL L
Maj ala
Ka
m
Fun i me n Pen gsio gunda Pem eliti, nal P ng pa ere ra unt er Do art uk mehati sen, d ncan a, ke ikel nyum Pem an ma ilm b jala ia bang ang h p kan un h an op ule rny a Kirim
kan
wa
arti
kel ilmi m bap elal ah popu ped ui ema ler B aja il kam apak/ Ibu/ bar i: S
rta
Tul is War an pal ta B ing app lam eda bat tan dite gga rim l 19 a ti Feb m re rua dak ri 2 si 017
@y
ah
oo
dr/
.co
m
i
h
FOR PAP E
R
bappeda.jabarprov.go.id pusdalisbang.jabarprov.go.id e-mail: wartabappedajabar@yahoo.com
sumber informasi perencanaan pembangunan jawa barat
RKPDJabar KM-0 Pro Poor JABAR-ONLINE -ONLINE
SMS JABAR MEMBANGUN 0811 200 5500
SMS
SATU DATA JABAR
08778 200 5500 Contoh: RLS*JAWA BARAT*2011#