Warta Bappeda Edisi 1 Tahun 2017

Page 1

MEDIA KOMUNIKASI TRIWULANAN

Vol. 20 No. 77 Januari - Maret 2017

PROVINSI JAWA BARAT

LAPORAN UTAMA: MUSRENBANG PERBATASAN JABAR-JATENG TAHUN 2017

Peresmian Bersama

PROYEK CSR JABAR


DARI

REDAKSI

PROVINSI JAWA BARAT

Majalah Warta Bappeda merupakan produk media cetak yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat. Diproduksi secara berkala dan memberikan insipirasi, pencerahan, serta edukasi untuk menunjang proses perencanaan pembangunan anda

Assalamu'alaikum Wr. Wb Para pembaca yang berbahagia pada terbitan Warta Bappeda Edisi Triwulan I Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret Tahun 2017 kali ini kami tampilkan wajah baru, perubahan tata letak dan penambahan rubrik anyar kami hadirkan lebih kontras untuk penyegaran majalah yang sudah 20 tahun menemani pembaca setia kami. Beberapa Rubrik diantaranya Laporan Kegiatan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat dan Wawasan Perencanaan. Hal ini dilakukan demi memberikan kepuasan para pembaca dalam memperoleh informasi perencanaan pembangunan Jawa Barat melalui majalah triwulanan ini.

Terbit Berdasarkan SK Menpen RI No. ISSN

1353/SK/DITJENPPG/1988 0216-6232

Tulisan kali ini diawali dengan Laporan Utama Musrenbang Perbatasan Jabar Jateng tahun 2017, dilanjutkan dengan Liputan tentang Peresmian Proyek CSR Jabar.

Penanggung Jawab

Sekeretaris

Anjar Yusdinar, S.STP., M.Si

Para pembaca Warta Bappeda yang kami hormati, selain tulisan diatas kami hadirkan pula beberapa Artikel Wawasan Perencanaan yang mengupas tentang Demonstrasi Plot Varietas Unggul Baru Kentang Toleran Penyakit Busuk Daun di Tingkat Petani, Akulturasi Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Nilai Kearifan Lokal Budaya Sunda, Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bekasi, Pelaksanaan Pengendalian dan Evaluasi RPJMD Kabupaten/Kota, Peramalan dalam Perencanaan Pembangunan, dan Analisis Potensi Retribusi Aset Milik Pemerintah.

Penyunting

Ir. H. Tresna Subarna, M.M Drs. Bunbun W. Korneli, MAP Drs. Achmad Pranusetya, M.T T. Sakti Budhi Astuti, SH., M.Si

Sekretariat

Hj. Megi Novalia, S.Ip., M.Si

Fotografer

Roni Sachroni, BA

Akhir kata kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penulis atas kontribusinya selama ini. Kami tunggu artikel berikutnya yang akan diterbitkan dalam Edisi Triwulan II Tahun 2017. Selamat membaca. Wassalamu'alaikum Wr. wb

Ketua

Layouter Alamat

Ir. H. Yerry Yanuar, MM Ir. Bambang Tirtoyuliono, MM

Ramadhan Setia Nugraha S.Sos Jl. Ir. H. Juanda No.287 Telp.2516061 Website : bappeda.jabarprov.go.id E-mail : wartabappedajabar@yahoo.com

menerima tulisan dari pembaca yang berhubungan dengan wawasan perencanaan, disarankan untuk melampirkan foto-foto yang mendukung. Tulisan diketik satu spasi minimal 5 halaman A4. Artikel yang pernah dimuat di media lain, tidak akan dimuat. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah substansi.


D A F TA R I S I Warta Bappeda Vol. 20 No. 77 Januari - Maret 2017

L A P O R A N U TA M A

3

LAPORAN KHUSUS

10 M U S R E N B A N G TA S J A B A R - J AT E N G 2 0 1 7

Pelaksanaan Musrenbang Perbatasan Jabar-Jateng 2017 ini dimaksudkan dapat menjadi suatu forum kerjasama daerah dalam rangka pemerataan pembangunan peningkatan aksesbilitas masyarakat, khususnya di wilayah perbatasan Provinsi Jawa Barat-Jawa Tengah

Setiap tahunnya, Bappeda Jabar sebagai Tim Fasilitasi CSR (Corporate Social Responsibility) melaksanakan acara peresmian bersama Proyek-Proyek CSR. Acara ini dilaksanakan untuk memberikan apresiasi kepada Mitra CSR Jabar yang peduli terhadap lingkungan sekitar. Pemerintah Provinsi Jawa Barat sangat mendukung kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan piagam penghargaan dan penandatanganan prasasti oleh Gubernur Jawa Barat.

60

16

24

D E M O N S T R A S I P LO T V A R I E TA S U N G G U L B A R U K E N TA N G T O L E R A N P E N YA K I T B U S U K D A U N D I T I N G K AT P E TA N I

A K U LT U R A S I B U D AYA D A N P E N G A R U H N YA T E R H A D A P N I L A I K E A R I FA N LO K A L B U D AYA S U N D A

38

JENDELA PERENCANAAN

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU ( R T H ) D I K O TA B E K A S I

Ruang Terbuka Hijau merupakan komponen ekosistem penting di wilayah perkotaan padat penduduk seperti di Kota Bekasi, yang membutuhkan fasilitas publik dengan fasilitas ruang terbuka hijau yang sebanding dengan jumlah penduduk. Kondisi ruang terbuka hijau di Kota Bekasi saat ini baru mencapai 15 persen dari luas wilayah yang seharusnya 30 persen. Untuk itu perlu diketahui sebaran dan kondisi ruang terbuka hijau guna mengantisipasi semakin berkurangnya ruang terbuka hijau di Kota Bekasi.

48

P E R E S M I A N P R OY E K CSR JABAR UNTUK KEMANUSIAAN & LINGKUNGAN

64

PERAMALAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

76

ANALISIS POTENSI RETRIBUSI ASET M I L I K P E M E R I N TA H

86

RE-CODE BIROKRASI & ORGANISASI

PELAKSANAAN P E N G E N DA L I A N & E VA LUA S I R P J M D K A B U PAT E N / K O TA

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

1


LAPORAN

U TA M A

2

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


Foto: Humas Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

3


LAPORAN

U TA M A

Musyawarah Perencanaan Pembangunan Perbatasan Pelaksanaan Musrenbang Perbatasan JabarJateng 2017 ini dimaksudkan dapat menjadi suatu forum kerjasama daerah dalam rangka pemerataan pembangunan peningkatan aksesbilitas masyarakat, khususnya di wilayah perbatasan Provinsi Jawa Barat-Jawa Tengah Foto: Humas Bappeda

S

aat ini begitu banyak bermunculan isu-isu ketertinggalan pembangunan wilayah perbatasan dan disparitas atau kesenjangan pembangunan wilayah, yang dicerminkan oleh PDRB dan terbatasnya fasilitas infrastruktur pada wilayah perbatasan. Berbagai permasalahan belum dapat terselesaikan dengan baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat hingga sekarang, hal ini disebabkan banyak faktor yang melatar belakangi permasalahan di wilayah perbatasan. Permasalahan kesenjangan dalam pembangunan masih didominasi oleh permasalahan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, serta rendahnya akses masyarakat di wilayah perbatasan. Ketersediaan prasarana dan sarana, baik sarana dan prasarana wilayah maupun fasilitas sosial dan fasilitas ekonomi masih jauh dari memadai. Akses jalan dan angkutan perhubungan juga masih sangat terbatas, hal ini menyebabkan sulit berkembangnya wilayah perbatasan, karena tidak memiliki keterkaitan sosial maupun ekonomi dengan wilayah lain. Kondisi prasarana dan sarana komunikasi di wilayah perbatasan juga umumnya 4

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

masih relatif minim. Ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi seperti pusat kesehatan masyarakat, sekolah, dan pasar juga sangat terbatas. Hal ini menyebabkan wilayah perbatasan sulit untuk berkembang dan bersaing dengan wilayah tetangga. Kemiskinan juga menjadi permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan, ini dapat dilihat dari tingginya jumlah keluarga prasejahtera di wilayah perbatasan serta kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah perbatasan tetangga. Kondisi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya seperti rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya produktiďŹ tas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan perbatasan Masyarakat di wilayah perbatasan juga umumnya masih mengalami kesulitan aksesibilitas baik darat, laut, maupun udara menuju pusat-pusat pertumbuhan. Sulitnya aksesibilitas masyarakat di wilayah perbatasan ini memunculkan kecenderungan masyarakat untuk berinteraksi


“Peningkatan Penyediaan Kebutuhan Fasilitas Sosial dan Fasilitas Ekonomi Guna Meningkatkan Aksesibilitas Masyarakat Wilayah Perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.” Tema Musrenbangtas Jabar-Jateng Tahun 2017

Musrenbang Perbatasan Jabar-Jateng Tahun 2017 dilaksanakan pada hari Kamis-Jumat , 16-17 Februari 2017 di Hotel Apita, Jalan Tuparev, Kedawung Cirebon.

dengan masyarakat di wilayah perbatasan tetangga. Minimnya asksesbilitas dari dan keluar wilayah perbatasan merupakan salah satu faktor yang turut mendorong orientasi masyarakat yang cenderung berkiblat aktivitas sosial ekonominya ke wilayah tetangga yang secara jangka panjang dikhawatirkan akan memunculkan atau menimbulkan permasalahan lainnya salah satunya seperti ketidak jelasan status kependudukan. Meskipun pengurangan kesenjangan antarwilayah sudah diadopsi menjadi salah satu agenda kebijakan (policy agenda) oleh hampir semua instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, pada kenyataannya pengarusutamaan dan penargetan dana pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat melalui mekanisme dana dekonsentrasi dan perbantuan atau oleh pemerintah daerah melalui dana APBD provinsi dan kabupaten/kota, namun sampai saat ini hasilnya masih belum mampu mengurangi secara signifikan kesenjangan yang ada.

Sementara itu, dalam melaksanakan pembangunan di wilayah-wilayah yang potensial, strategis, dan cepat tumbuh, keterkaitan dan integrasi dengan wilayah-wilayah sekitarnya yang masih tertinggal masih kurang diperhatikan oleh pemerintah daerah. Akibatnya, kemajuan yang berlangsung di wilayah strategis dan cepat tumbuh belum mampu memberikan pengaruh positif kepada wilayah tertinggal di sekitarnya. Oleh karena itu dalam mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah tersebut , khususnya wilayah perbatasan, Pemerintah membutuhkan suatu perencanaan dengan strategi dan program pembangunan yang didukung komitmen untuk mengalokasikan dana yang memadai oleh semua tingkat pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) dengan melibatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya, untuk peningkatan penyediaan kebutuhan baik fasilitas sosial maupun fasilitas ekonomi guna meningkatkan aksesbilitas masyarakat di wilayah perbatasan. Berangkat dari masalah tersebut, Bidang Pe m e r i n t a h a n d a n S o s i a l B u d a y a B a d a n Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat melaksanakan kegiatan M u s y a w a r a h Pe r e n c a n a a n Pe m b a n g u n a n Perbatasan (Musrenbangtas) Jabar-Jateng Tahun 2017 dengan tema: “Peningkatan Penyediaan Kebutuhan Fasilitas Sosial dan Fasilitas Ekonomi Guna Meningkatkan Aksesibilitas Masyarakat Wilayah Perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.” Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

5


LAPORAN

U TA M A

Pelaksanaan Musrenbang Perbatasan Jabar – Jateng 2017 ini dimaksudkan dapat menjadi suatu forum kerjasama daerah dalam rangka pemerataan pembangunan peningkatan aksesbilitas masyarakat, khususnya di wilayah perbatasan Provinsi Jawa Barat – Jawa Tengah

Adapun para peserta yang diundang dalam pelaksanaan Musrenbang Perbatasan Jabar – Banten yaitu sebagai berikut: 1.

Seluruh Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Jawa Barat

2.

Seluruh Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah

3.

Bappeda Kabupaten Cirebon

4.

Bappeda Kabupaten Kuningan

5.

Bappeda Kabupaten Ciamis

6.

Bappeda Kota Banjar

Tujuan yang diharapkan dapat tercapai yaitu:

1

Mendapatkan masukan dan gagasan dalam rangka membangun komitmen bersama untuk pembangunan kawasan perbatasan.

2

Tersusunnya kerangka pikir yang sistemik dan melembaga dalam rangka pembangunan wilayah perbatasan.

Musrenbang Perbatasan Jabar-Jateng Tahun 2017 dilaksanakan pada hari Kamis-Jumat , 16-17 Februari 2017 di Hotel Apita, Jalan Tuparev, Kedawung Cirebon. Narasumber/pembicara pada Musrenbang Perbatasan Jabar-Jateng yaitu:

1

Kementerian Sosial Republik Indonesia dengan materi : “Peningkatan Penyediaan Kebutuhan Fasilitas Sosial guna Meningkatkan Aksesibilitas Masyarakat di Wilayah Perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah”

2

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dengan materi:

Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat, Ir. H. Yerry Yanuar, MM.

6

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

9.

Bappeda Kabupaten Cilacap

Memperhatikan dinamika yang berkembang dalam rapat, telah dirumuskan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah serta Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah perbatasan, sebagai berikut : 1.

Rapat Koordinasi dilaksanakan sebagai upaya mensinergikan program/kegiatan pembangunan di wilayah provinsi dan kabupaten/kota perbatasan Provinsi Jawa Barat – Provinsi Jawa Tengah sehingga tercipta kesetaraan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat;

2.

Hasil evaluasi terhadap rencana kerjasama program/kegiatan tahun 2016 sebagian besar telah dapat dilaksanakan dengan sumber pendanaan berasal dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Terhadap program/kegiatan yang belum dapat dilaksanakan pada Tahun 2016, diminta komitmen masing-masing pemerintah daerah untuk dapat dijadikan acuan dalam perencanaan tahun anggaran 2018, atau apabila dimungkinkan dilaksanakan pada tahun anggaran perubahan 2017;

3.

Untuk menjaga kesinambungan perencanaan pembangunan khususnya di daerah wilayah perbatasan, kegiatankegiatan yang bersifat strategis dan pelaksanaanya melebihi 1 (satu) tahun

Kepala Bappeda Provinsi Jawa Tengah, Ir. Sujarwanto Dwiatmoko, M.Si.

Pelaksanaan Musrenbang Perbatasan Jabar-Jateng 2017 ini dimaksudkan dapat menjadi suatu forum kerjasama daerah dalam rangka pemerataan pembangunan peningkatan aksesbilitas masyarakat, khususnya di wilayah perbatasan Provinsi Jawa Barat-Jawa Tengah

Bappeda Kabupaten Pangandaran Bappeda Kabupaten Brebes

Hasil Kesepakatan

“ Peningkatan Penyediaan Kebutuhan Fasilitas Ekonomi guna Meningkatkan Aksesibilitas Masyarakat di Wilayah Perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah”

3 4

7. 8.


Foto: Humas Bappeda

jabar - jateng


LAPORAN

U TA M A

anggaran (multi years), agar dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat – Provinsi Jawa Tengah; 4.

Rincian usulan prioritas program/kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan Provinsi Jawa Barat – Provinsi Jawa Tengah yang pendanaanya melalui APBN maupun APBD provinsi dan Kabupaten/kota pada Tahun Anggaran 2018 sebagaimana tertuang dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari rumusan rekomendasi hasil Rapat Koordinasi Perbatasan Provinsi Jawa Tengah – Provinsi Jawa Barat Tahun 2017;

5.

Dalam rangka menjaga komitmen bersama, sesuai Perjanjian Kerjasama Nomor 125.5/19901 dan 119/2206/Pem Tahun 2014 tentang Perencanaan Program dan Kegiatan pembangunan Daerah Perbatasan antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat Tahun 20152018, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi tahunan terhadap pelaksanaan program/kegiatan yang telah disepakati;

6.

Pelaksanaan Rapat Koordinasi Perbatasan Provinsi Jawa Barat – Provinsi Jawa Tengah tahun 2018 akan diselenggarakan di Provinsi Jawa Tengah.

Demikian rumusan rekomendasi tersebut dibuat sebagai bahan masukan bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah perbatasan Provinsi Jawa Tengah – Provinsi Jawa Barat Tahun 2018. (Humas Bappeda)

Yang Menandatangani Kesepakatan:

Foto: Humas Bappeda

Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat Yerry Yanuar, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Tengah Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Bappeda Kabupaten Cirebon Denny Supdiana, Kepala Bappeda Kabupaten Kuningan Maman Suparman, Kepala Bappeda Kabupaten Ciamis Ika Dharmaiswara, Kepala Bappeda Kota Banjar Ade Setiana, Kepala Bappeda Kabupaten Pangandaran Ujang Endin Indrawan, Kepala Baperlitbangda Kabupaten Brebes Angkatno, dan Bappeda Kabupaten Cilacap Farid Ma’ruf.

8

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


r a b a j appeda

b

Bappeda Provins i Jawa Barat

Design by: Rama


LAPORAN

U TA M A


Peresmian Proyek

CSR Jabar untuk Kemanusiaan dan Lingkungan

Foto: Humas Bappeda


LAPORAN

KHUSUS

S

etiap tahunnya, Bappeda Jabar sebagai Tim Fasilitasi CSR (Corporate Social Responsibility) melaksanakan acara peresmian bersama Proyek-Proyek CSR. Acara ini dilaksanakan untuk memberikan apresiasi kepada Mitra CSR Jabar yang peduli terhadap lingkungan sekitar. Pemerintah Provinsi Jawa Barat sangat mendukung kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan piagam penghargaan dan penandatanganan prasasti oleh Gubernur Jawa Barat. Sebanyak 102 Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Milik Daerah (BUMD), dan Swasta turut berpartisipasi dan menjadi Mitra CSR Jabar. Mereka bergabung dan bersinergi dengan Pe m p r o v J a b a r u n t u k i k u t m e m b a n g u n perekonomian masyarakat dan lingkungan di daerah. Peran ini berkaitan dengan langkah Pemprov Jabar dalam mengembangkan konsep Jabar Masagi, dengan bermitra sejumlah perusahaan melalui pemanfaatan CSR. “Insya Allah ke depan, program ini akan terus diperluas dan dikembangkan, di mana konsep Jabar Masagi menjadi spirit kuat, dorongan sinergitas, dan kerja sama lebih luas dengan seluruh pemangku kepentingan daerah ini. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengajak dunia usaha untuk melakukan praktik investasi dan bisnis yang bertanggung jawab sosial melalui program CSR,� ujar Gubernur Ahmad Heryawan pada peresmian bersama proyek CSR di Hotel Intercontinental, Dago, Selasa (14/3/17). Maksud dilaksanakan acara Peresmian Bersama Proyek-Proyek CSR atau yang telah dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Lingkungan (TJSLP) Jabar ini, adalah sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan pemerintah daerah pada perusahaan yang telah berkontribusi dan berhasil menjalankan program kegiatan CSR/PKBL-nya, serta telah bersinergi dengan program-program pembangunan pemerintah daerah.

Foto: Humas Bappeda

Sedangkan tujuan kegiatan ini adalah :

1

Merespon terhadap kepedulian perusahaan yang telah menjalankan kegiatan CSR-nya untuk pembangunan, melalui pemberian apresiasi penghargaan dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.

2

Mengenal lebih jauh program program dan kegiatan CSR yang selama ini dijalankan oleh perusahaan di Jawa Barat.

CSR Jabar untuk Kemanusiaan dan Lingkungan


Lebih mendekatkan hubungan sinergi antara pemerintah daerah dengan perusahaan serta dengan stakeholders pembangunan lainnya.

Kemanusiaan dan Lingkungan (CSR Jabar For Humanity And Environment). Dengan moto Jabar Maju Bersama “Mitra�.

Acara Peresmian Bersama Proyek Proyek CSR Jabar kali ini adalah acara yang keenam (6) kalinya diselenggarakan secara rutin diawal tahun, sejak pertama diselenggarakan pada 14 januari tahun 2011, melalui pencanangan Deklarasi Bandung dengan tema utama: CSR Jabar untuk Misi

Dasar hukum yang menaungi acara ini adalah Perda Provinsi Jawa Barat No 2 tahun 2013 tentang pedoman Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan (TJSLP) dan Program Kemitraan Bina Lingkungan ( PKBL) di Jawa Barat. Peserta yang hadir pada acara peresmian

CSR Jabar untuk Kemanusiaan dan Lingkungan


LAPORAN

KHUSUS

bersama ini terdiri dari Unsur Kementerian/Lembaga Republik Indonesia, Pimpinan DPRD Provinsi Jawa Barat, Para Bupati Walikota Se-Jawa Barat, Ketua Kadin, Para Pimpinan Perusahaan Mitra CSR Jabar, Para Kepala OPD Lingkup Provinsi Jawa Barat, dan Para Kepala Bappeda Kabupaten/Kota Se-Jawa Barat. Jumlah kegiatan/proyek yang diresmikan melalui penandatangan prasasti bersama gubernur dengan pimpinan perusahaan untuk tahun 2016 sebanyak 121 kegiatan/proyek. Sedangkan perusahaan yang memamerkan produk hasil karya pembangunannya di area stand pameran berjumlah 58 perusahaan mitra CSR Jabar. Selain itu, tiga (3) perusahaan BUMD, 40 perusahaan BUMN, dan 59 perusahaan swasta menjadi Tim Fasilitasi CSR Jawa Barat. Pada peresmian tersebut, dilaksanakan pemberian piagam Museum Rekor Indonesia (MURI) atas Rekor Penandatangan Prasasti CSR Jabar Terbanyak Secara Serentak. Piagam MURI diberikan oleh direksi MURI kepada Bapak Gubernur Jawa Barat sebagai Pemrakarsa, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat sebagai Penyelenggara, dan Tim Fasilitasi CSR Jabar sebagai Pendukung. Investasi program kegiatan CSR Jawa Barat sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 telah mencapai Rp 1,2 triliun. Meskipun berbagai pembangunan telah tercapai, Pemprov Jawa Barat setidaknya masih mebutuhkan dana Rp 600 triliun untuk mewujudkan Jawa Barat sebagai provinsi termaju di Indonesia. Pemerintah mengaku tidak akan mampu jika harus memenuhi seluruhnya dengan hanya mengandalkan pendanaan bersumber APBD dan APBN. Dengan demikian, perlu peran serta multipihak, terutama masyarakat dan dunia usaha. Kegiatan CSR lebih dari sekedar charity, konsep Jabar Masagi dalam mengembanglan pola kemitraan CSR, diarahkan sebagai sebuah investasi sosial dari dunia usaha untuk berpartisipasi membangun Jawa Barat.

Foto-foto: Humas Bappeda

“Hal ini sejalan dengan tagline program CSR Jabar Maju Bersama Mitra, dengan prinsip CSR Jabar = Nol Rupiah,� ujar Ahmad Heryawan. (Humas Bappeda)

CSR Jabar untuk Kemanusiaan dan Lingkungan


Dapatkan informasi terbaru seputar Perencanaan Pembangunan Jawa Barat

Design by: Rama

bappeda.jabarprov.go.id Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

15


WAWA S A N PERENCANAAN

Demonstrasi Plot Varietas Unggul Baru Kentang Toleran Penyakit Busuk Daun di Tingkat Petani Oleh Agus Ruswandi* Nabila Rahma**

Penyakit busuk daun dapat menyebabkan kehilangan hasil sekitar 60 – 80 % bahkan pada serangan yang sangat parah dapat mengakibatkan kehilangan hasil sampai 100 %. Wattimena (1994)

*) Peneliti Balitbangda Provinsi Jawa Barat **) Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama

16

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


Foto: Humas Bappeda


Pendahuluan

T

anaman kentang merupakan tanaman yang berasal dari daerah sub tropis, oleh karena itu kentang di Indonesia termasuk di Jawa Barat ditanam pada dataran tinggi yang suhunya relatif rendah dan mempunyai kelembaban cukup tinggi. Pada daerah lembab demikin, pertumbuhan penyakit berupa jamur (fungi) akan cukup tinggi, yang terutama adalah penyakit penyakit busuk daun (Phytopthora infestans), merupakan penyakit utama kentang yang bersifat endemik, seringkali menimbulkan kerugian sangat besar bahkan menyebabkan gagal panen. Hal ini sejalan dengan aapa yang dikemukakan oleh % Wattimena (1994), bahwa penyakit busuk daun ini menyebabkan kehilangan hasil sekitar 60 – 80 % bahkan pada serangan yang sangat parah dapat mengakibatkan kehilangan hasil sampai 100 %. Para petani di Pangalengan, biasanya melakukan pengendalian penyakit busuk daun ini dengan melakukan oleh pestisida berupa fungisida rata-rata 25 kali/musim, padahal harga fungisida cukup mahal sehingga memerlkan biaya yang sangat tinggi yaitu sekitar Rp 24.000.000/ha. Para petani sangat mendambakan adanya Varietas Unggul Baru (VUB) kentang yang tolera terhadap penyakit busuk daun, untuk mengurangi kehilangan hasil dan mengurang biaya pestisida.

DEMONSTRASI PLOT VUB KENTANG TOLERAN PENYAKIT BUSUK DAUN DI TINGKAT PETANI Minat para petani penangkar terhadap VUB toleran penyakit busuk daun sangat besar sekali setelah melihat bukti keunggulan kedua VUB tersebut waktu saat temu lapang masa vegetatif dan waktu panen pada uji ketahanan kedua varietas tersebut terhadap penyakit busuk daun di lahan BPBK Pangalengan. Pada uji ketahanan tersebut perlakuannya adalah hanya 10 kali/musim penyemprotan fungisida, padahal biasanya petani melakukan penyemprotan fungisida rata-rata 25 kali/musim. Dengan perlakuan 10 kali semprot saja ternyata kedua VUB sangat toleran terhadap penyakit bsuk daun. Sementara varietas kontrol (Varietas Granola dan Atlantik) dengan perlakuan 10 kali semprot seluruhnya mengalami kematian (tidak toleran). Asosiasi Penangkar Benih Kentang Jawa Barat saat itu penasaran dan berkeinginan untuk menguji ketahanan kedua VUB tersebut lebih lanjut dengan hanya disemprot fungisida 5 kali/musim dan 2 kali/musim. Kemudian, asosisiasi penangkar benih kentang Jawa Barat melakukan demplot (uji ketahanan) kedua VUB tersebut terhadap penyakit busuk daun, pada lahan Pak Aceng, di Kampung Sukalilah, Desa Sukamanah, Kecamatan Pangalengan. dengan perlakuan: ·

· Varietas Dayang sumbi (Kepmentan Nomor 091/Kpts/SR.120/D.2.7/8/2016)

Va r i e t a s : V U B ( D a y a n g S u m b i d a n Sangkuriang), dan Granola (kontrol). Digunakannya Granola karena varietas kentang sayur yang ditanam di Jawa Barat didominasi oleh Varietas Ganola. Hal ini sejalan dengan pendapat Gunadi, et al (2012) bahwa pertanaman kentang di Indonesia masih didominasi oleh varietas Granola L

·

· Varietas Sangkuriang (Kepmentan Nomor 092/Kpts/SR.120/D.2.7/8/2016)

Perlakuan penyemprotan Fungisida/musim : 2 kali, 5 kali, dan 25 kali (kontrol)

·

Jumlah Tanaman: masing-masing varietas pada masing-masing perlakuan 429 tanaman, sehingga jumlah tanaman masing-masing varietas sebanyak 1.287 tanaman, sehingga total tanaman pada demplot 3.861 tanaman (sekitar 0,1 Ha)

·

Pemupukan serta pemeliharaan lainnya: dilakukan seperti biasa yang dilakukan petani setempat.

Melalui penelitian kerjasama BP3IPTEK dengan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), serta Balai Pengembangan Benih Kentang (BPBK) Pangalengan, pada Tahun 2016 telah dihasilkan dan telah dilepas oleh Menteri Pertanian RI dua VUB kentang toleran penyakit busuk daun, yaitu:

Kedua varietas tersebut cukup menarik petani, dimana minat petani cukup tinggi untuk mengembangkan. Pada tahun 2016, sudah dilakukan demonstrasi plot (demplot) di tingkat petani yang dibiayai oleh petani secara mandiri. Tulisan ini disajikan dengan maksud untuk memberikan informasi hasil demlot kedua VUB kentang toleran penyakit busuk daun tersebut.

Penanaman dilakukan pada Tanggal 27 Okt 2016. Pada demplot tersebut BP3IPTEK, Balitsa, dan BPBK melakukan supervisi, pendampingan dan pengamatan. 18

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


Gambar 1. Persiapan dan pengolahan laha demplot VUB di kebun petani Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 2. Tanam demplot VUB di kebun petani Sumber: dokumentasi pribadi

Pada umur 60 Hari Setelah Tanam (HST) dilakukan pengamatan pertumbuhan tanaman secara partisipatif, dimana petumbuhan tanaman pada semua perlakuan pada umur 60 HST, baik perlakuan petani (25 kali semprot), 5 kali semprot, serta 2 kali semprot/musim berpenampilan cukup baik (Gambar 3).

Varietas Dayang Sumbi

Varietas Sangkuriang

Gambar 3. Penampilan tanaman VUB kentang toleran penyakit Busuk daun, pada demplot petani umur 60 hari Sumber: dokumentasi pribadi

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

19


Gambar 4. Pengamatan dan diskusi lapangan Sumber: dokumentasi pribadi

Pada umur 105 Hari Setelah Tanam, dilakukan pemanenan secara partisipatif disaksikan oleh beberapa petani setempat, unsur BPBK Pangalengan, Balai Pengawasan dan Sertfkasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH) Provinsi Jawa Barat, BP3Iptek, dan unsur Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa).

Gambar 5. Panen Pada demplot di Petani Sumber: dokumentasi pribadi

Dari hasil panen tersebut, diperoleh data hasil masing-masing varietas pada masingmasing perakuan sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil umbi kentang pada masing-masing perlakuan, di Pangalengan. 2016

JUMLAH TANAMAN No

BERAT UMBI (Kg)

UMBI BUSUK (Kg)

Varietas 2 kali

5 kali 25 kali

2 kali

5 kali

25 kali 2 kali 5 kali 25 kali

1

Sangkuriang

429

429

429 207,91 407,07

421

3,28

8,15

7,65

2

Dayang sumbi

429

429

429 192,08 405,77

342

2,51 15,08

30

Granola

429

429

429 154,82 390,35

337

1,15

20

3

3,96

Keterangan : tanam, 27 September 2016; Panen, 12 Januari 2017 (105 HST)

20

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat diinterpretasi bahwa dengan jumlah tanaman yang sama pada masing masing perlakuan penyemrotan fungisida/musim ( 2 kali, 5 kali, 25 kali), menghasilkan berat umbi yang berbeda-beda. Pada perakuan 2 kali penyemprotan, baik VUB Sangkuriang maupun VUB Dayang sumbi mempunyai hasil yang lebih tinggi dibanding dengan Granola (kontrol). Begitu juga pada perlakuan 5 kali semprot dan 25 kali semprot menujukkan bahwa VUB hasilnya lebih tinggi dibanding Granola. Hal ini menunjukkan bahwa daya hasil kedua VUB tersebut pada perlakuan yang sama lebih tinggi dibanding dengan varietas kontrol (Granola). Dilihat dari jumlah umbi yang busuk, kentang VUB mempunyai jumlah umbi yang busuk lebih tinggi dibanding dengan Varietas Granola. Namun demikian secara umum apabila jumlah berat umbi

dikurangi dengan jumlah berat umbi yang busuk, daya hasilnya masih lebih tinggi pada VUB. Ada perbedaan yang cukup mencolok pada daya hasil antara demplot ini dengan demplot yang sebelumnya di BPBK yang hanya satu perlakuan (10 kali penyemprotan fungisida), dimana hasil VUB sangat jauh lebih tinggi dibanding dengan kontrol. Sedangan pada demplot di petani ini hasilnya tidak teralu jauh berbeda. Hal ini disebabkan adanya beberapa perlakuan, tetapi antara perlakuan 2 kali, 5 kali, dan 25 kali bedengan tersebut saling berdampingan tanpa penyekat, sehingga ketika petani melakukan penymprotan 25 kali pada perlakuan cara petani, maka fungisida mungkin masih mengenai perlakuan yang lainnya. Walaupun demikian, dari sisi eďŹ siensi biaya peyemprotan fungisida petani sudah merasakan pengurangan biaya yang cukup besar.

Tabel 2. Jumlah Umbi Per 2 Kg

NO

VARIETAS

JUMLAH UMBI PER 2 KG

1

Sangkuriang

19 knol

2

Dayang sumbi

20 knol

3

Granola

27 knol

Jumlah umbi per 2 Kg pada kedua VUB toleran penyakit busuk daun ( Sangkuran dan Dayang Sumbi) lebih sedikit dibanding dengan Varietas Granola (kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa ukuran umbi kedua VUB tersebut lebih besar dibanding kotrol. Hasil umbi dari ke tiga varietas tersebut yang diuji pada demplot kemudian dicoba di buat keripik, yang hasilnya disajikan pada tabel berikut: Tabel 3. Jumlah Keripik Per 2 Kg Umbi Basah NO

VARIETAS

1

Sangkuriang

2

Dayang sumbi

3

Granola

JUMLAH YANG JADI KERIPIK (Gr)

JUMAH YANG JADI SAMPAH (Gr)

204,2

167,7

198,5

194,8

196,4

186,4

Dari jumlah umbi bahan yang dibuat keripik yaitu sebanyak 2 Kg umbi basah, didapat hasil keripik dan sampah (kulit dan daging yang tidak terpakai) yang berbeda pada masingmasing varietas. Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

21


KESIMPULAN 1. Pertumbuhan tanaman VUB kentang toleran penyakit busuk daun cukup bagus, baik pada perlakuan 2 kali semprot maupun 5 kali semprot fungisida, yang mengindikasikan bahwa tanaman VUB tersebut tahan terhadap penyakit busuk daun. 2. D e n g a n m e m a d a i n y a t a n a m a n h a n y a disemprot fungisida, maka telah terjadi eďŹ siensi biaya penyemprotan fungisida yang sangat besar. 3. Hasil umbi kedua VUB (Sangkuriang maupun Dayang sumbi) baik pada perlakuan 2 kali, 5 kali maupun 25 kali semprot lebih tinggi dibanding Varietas Granola (kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa daya hasil kedua VUB tersebut pada perlakuan yang sama lebih tinggi dibanding dengan varietas kontrol (Granola). 4. Potensi hasil untuk keripik olahan, kedua VUB (Sangkuriang dan Dayang sumbi) lebih tinggi dibanding Granola.

generation derived from dierent seed sources on the growth and yield of potato in West Java-Indonesia. Laporan BOCI project BO-10-011-109 Sustainable potato production in Indonesia. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 91/Kpts/SR.120/D.2.7/8/2016 tentang Pemberian Tanda Daftar Varietas Tanaman Hortikultura, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Kpts/SR.120/D.2.7/8/2016 tentang Pemberian Tanda Daftar Varietas Tanaman Hortikultura, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Wattimena, G. A. 1994. Merakit kultivar kentang toleran terhadap penyakit degenerasi(PVX), PVY, PRLV), penyakit layu bakteri dan penyakit hawar daun melalui ekstraksi, transformasi dan fusi. Proposal Hibah TIM, Direktorat Perguruan Tinggi, Jakarta.

UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA Gunadi, N., R. Wustman, J. van der Burg, T. Been, A.K. Karyadi, W. Adiyoga, I. Sulastrini, and Kusmana. 2012. Potato Seed Quality Evaluation Trials 2011 Eect of seed

Dalam kesempatan ini kami sampaikan ucapkan terimakasih kepada Pak Dedi Supriyadi selaku tenaga teknis pada UPTD BPBK Pangalengan yang telah banyak membantu dalam pengmpulan data pengamatan Demplot tersebut. Foto-foto: Humas Bappeda

22

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


Design by: Rama


Foto: Humas Bappeda


WAWA S A N PERENCANAAN

Akulturasi Budaya dan Pengaruhnya

Terhadap Nilai Kearifan Lokal Budaya Sunda

Manusia sebagai makhluk sosial dalam mengembangkan dirinya selalu membutuhkan manusia lainnya, sehingga hidup berinteraksi secara berkesinambung-an dalam komunitas masyarakat yang bertempat tinggal di satu wilayah tertentu dengan identitas kebudayaan dan bahasa pengantar yang sama menjadikan suku bangsa.

Oleh : Wisnu Minsarwati (Doktor Filsafat Kebudayaan UGM Yogyakarta) Firdaus Saleh (Doktor Filsafat Nilai UGM Yogyakarta)


PENDAHULUAN

D

alam setiap diri manusia memiliki sifat kodrat sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial, merupakan satu-kesatuan yang bersifat monodualis menjadi ďŹ trahnya. Manusia sebagai makhluk sosial dalam mengembangkan dirinya selalu membutuhkan manusia lainnya, sehingga hidup berinteraksi secara berkesinambung-an dalam komunitas masyarakat yang bertempat tinggal di satu wilayah tertentu dengan identitas kebudayaan dan bahasa pengantar yang sama menjadikan suku bangsa. Dalam suku bangsa inilah penduduk dan keluarga membangun sistem sosial dan sistem budaya dalam kehidupan komunitas masyarakatnya membentuk satu identitas budaya (cultural identity). Eksistensi suatu suku bangsa sangat ditentukan oleh kemampuan mempertahankan identitas budayanya menghadapi pengaruh akulturasi dengan budaya lainnya. Begitu pentingnya identitas budaya dipertahan-kan dan dikembangkan karena didalamnya terdapat kearifan lokal (local wisdom) dari suatu suku bangsa tersebut. Dalam kearifan lokal ini banyak mengandung nilai-nilai adiluhung yang mengandung kebijaksanaan sebagai ciri dari komunitas kebudayaan masyarakat, termasuk pada suku bangsa Sunda. Kearifan lokal dalam perspektif etimologi, terdiri dari kata kearifan yang dalam Kamus Inggris-Indonesia oleh John M. Echols & Hassan Shadily, diartikan dengan kata wisdom, berarti kebijaksanaan, kearifan, sedangkan kata local artinya setempat. Dengan merunut bahasa kamus, menjadi local wisdom yang diterjemahkan kearifan setempat. Istilah local wisdom sering digunakan dalam ilmu ďŹ lsafat, sedangkan dalam ilmu arkeologi dikenal dengan local genius. Berdasarkan pengertian etimologi tersebut, menunjukkan bahwa kearifan setempat dipahami sebagai gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan yang bernilai baik diikuti komunitas masyarakat tertentu. Dengan demikian kearifan lokal budaya Sunda merupakan kearifan yang dilakukan komunitas masyarakat Sunda yang terdapat dalam unsur-unsur kebudayannya, terdiri dari ; sistem religi atau keagamaan, sistem

26

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

teknologi dan peralatan, sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, sistem pengetahuan atau pendidikan, sistem bahasa, dan seni. Keterdapatan kearifan lokal budaya Sunda dalam unsur kebudayaan akan terkait dengan wujud kebudayaannya. Keduanya saling berhubungan antara unsur kebudayaan dalam wujud budaya, baik berbentuk wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya artefak. Karena itu, kearifan lokal menjadikan kebiasaan yang mentradisi dilakukan secara turun-temurun dalam menyikapi kehidupan dan penghidupannya yang berhubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan alam sekitarnya. Bentuk kebiasaan ini dilakukan beragam jenis yang terdapat dalam kegiatan masyarakat sehari-hari yang muncul melalui sikap, perilaku, simbol-simbol dan bahasa yang dipraktekkan melalui kehidupannya. Kearifan lokal sebagai suatu kepribadian budaya menjadikan identitas kultural masyarakat, baik berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan khusus yang


Foto: Humas Bappeda

telah teruji kemampuannya, sehingga dapat bertahan secara terus-menerus. Esensi yang terkandung dalam kearifan lokal dalam budaya Sunda merupakan nilai-nilai kebaikan yang mengandung nilai moral sebagai keunggulan budaya dari hasil pikiran, perasaan, dan pengetahuan masyarakat Sunda yang di dalamnya mengandung kebijaksanaan. Oleh karena itu, setiap komunitas masyarakat Sunda memiliki kearifan lokalnya masing-masing, meskipun pada dasarnya di dalamnya berkembang nilai-nilai yang bersifat universal. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam budaya masyarakat Sunda muncul dalam tradisi lisan maupun tulisan. Kearifan lokal yang bersifat tradisi lisan dapat berupa: uga, pantun, nasihat, cariosan, carita, doa-doa, mantra-mantra yang bernilai kebaikan, wawacan, babad, dan berbagai tradisi lisan lainnya. Berbagai bentuk tradisi lisan yang mengandung nilai kebaikan ini, dilaksanakan dalam perilaku, sikap, adat-istiadat kehidupan dalam penghidupan komunitas masyarakat menjadi suatu kebiasaan yang bertahan secara

terus-menerus. Sedangkan kearifan lokal yang muncul dalam tradisi tulisan,dipraktekkan dalam perilaku kehidupan masyarakat berbentuk tradisi tulisan berupa; serat, naskah (manuskrip), carita, babad, prasasti, dan berbagai bentuk hasil tulisan yang mengungkap kearifan lokal dalam masyarakat Sunda. Sebagai contoh misalnya, kearifan budaya Sunda yang terdapat dalam Naskah Siksa Kandang Karesian, seperti : “Eta kehna kanyahokeuneun, di tuhuna di yogyana. Aya ma nu mayar mo nyaho, eta nu mo satya di guna maneh, mo teuing dicarek ku dewata urang. Tanawurung inanti dening kawah, lamun guna mo dipiguna, lamun twah mo dipitwah sahingga ningguna kreta. Terjemahan (Atja & Danasasmita, 1981) : “Itu semua yang harus diketahui dan patut ditaati. Apabila ada yang mengatakan tidak perlu tahu, orang itu tidak setia kepada tujuan hidup, dan hal itu tidak diucapkan oleh dewata kita. Pastilah ditunggu di Neraka, bila hidup tanpa tujuan, bila perilaku tidak untuk mencapai kebajikan� (Warnaen dkk., 2006; 100).

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

27


Foto: Istimewa

Oleh karena itu, kearifan lokal budaya Sunda dalam suatu komunitas masyarakat dapat diungkap dan ditelusuri dari hasil peninggalan tradisi tulisan berdasarkan fakta-fakta sejarah dan nara sumber sebagai pendukung kebudayaannya. Tentunya nara sumber tersebut memiliki kompetensi pemikiran, perasaan, dan pengetahuan yang berkaitan dengan fakta tertulis sangat diperlukan, karena ketersediaan fakta tulisan sangat terbatas dalam realitas kehidupan masyarakat Sunda. Karena fakta sejarah kebudayaan Sunda masa lalu lebih didominasi penggunaan tradisi lisan dari pada tradisi tulisan. Sekiranya terdapat fakta sejarah yang ditemukan, maka pada umumnya diperoleh hanyalah untuk memberikan gambaran sebagian dari informasi dalam mengungkap kearifan lokal masa lalu, seperti tercantum dalam prasasti, naskah, serat, dan data tertulis lainnya. Karena keterbatasan fakta sejarah tertulis ini, maka memerlukan konďŹ rmasi dari veriďŹ kasi kepada para nara sumber yang berkompeten dalam mengkaji kearifan lokal. Polapola yang dilakukan demikian akan lebih mudah

28

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

Dalam praktek kehidupan masyarakat Sunda terdapat berbagai kearifan lokal yang telah dijalankan oleh individu, keluarga, dan masyarakat sebagai suatu kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang menjadikan adat-istiadat

m engungkap keari fan lokal dal am s uatu kebudayaan komunitas masyarakat Sunda secara utuh dan konseptual. Dalam praktek kehidupan masyarakat Sunda terdapat berbagai kearifan lokal yang telah dijalankan oleh individu, keluarga, dan masyarakat sebagai suatu kebiasaan yang dilakukan berulangulang menjadikan adat-istiadat. Kearifan lokal ini dapat berasal dari nilai-nilai ajaran agama dan kebudayaan, yang mengalami kristalisasi dalam suatu adat-istiadat masyarakat tertentu yang mengandung nilai moral kebaikan, yang terkadang menjadikan suatu kewajiban dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, perbuataan yang mengandung nilai kearifan lokal disadari maupun tidak disadari menjadi kebiasaan, sehingga bila tidak dilaksanakan sepertinya ada sesuatu yang dianggap kurang baik bagi dirinya. Ternyata, keyakinan ini juga dilaksanakan dan diwariskan secara terus-menerus kepada generasi berikutnya, sehingga merupakan bagian penting dari kebudayaan masyarakat Sunda.


AKULTURASI BUDAYA DALAM MASYARAKAT SUNDA

Percampuran kebudayaan Sunda dengan kebudayaan luar lainnya tidak dapat dihindari, karena pelaku utama kebudayaan adalah masyarakat Sunda yang memiliki kebudayaan bersifat dinamis, selalu berhubungan dengan komunitas masyarakat lainnya. Hubungan antar kebudayaan masyarakat lain yang berbeda tidak dapat dihindari, karena setiap suku bangsa selalu membutuhkan suku bangsa lainnya dalam menjaga kesinambungan kehidupannya. Apalagi Orang Sunda menurut Didi Turmidzi (2004), memiliki tiga ciri karakter, yaitu : ramah, inklusif dan toleran, sehingga mudah membuka hubungan dengan komunitas masyarakat lainnya. Po l a h u b u n g a n m e l a l u i p e r c a m p u r a n kebudayaan masyarakat yang berbeda disebut akulturasi budaya, sehingga menurut Ralph Linton (1984) akulturasi budaya berakibat terjadinya penyebaran (difusi) pada dua kebudayaan. Di dalam proses sebaran kebudayaan tersebut akan selalu terjadi dua kemungkinan, yaitu menerima atau menolak masuknya anasir kebudayaan asing dalam internal kebudayaan masyarakatnya. Kemungkinan dalam menerima atau menolak pengaruh anasir kebudayaan asing, menurut Soewardji Safei (1986) yang amat berperan ialah pola kebudayaan (pattern of culture) dari kedua masyarakat atau bangsa yang bertemu. Jika ada pola yang sama atau hampir sama, maka kemungkinan menerima pengaruh kebudayaan asing itu lebih besar.Namun sebaliknya, apabila tidak ada kesamaan pola kebudayaan dari kedua masyarakat atau suku bangsa yang bertemu, maka kemungkinan menolak anasir kebudayaan asing itu lebih besar. Apabila anasir kebudayaan yang datang dapat diterima dan disesuaikan dengan pola kebudayaan yang menerima, maka akan terjadi proses pencampuran kebudayaan. Bila terjadi hal demikian di dalam kebudayaan masyarakat yang menerima pengaruh kebudayaan asing, maka dapat terjadi dua kemungkinan proses akulturasi, yaitu proses perombakan dan atau proses penyesuaian kebudayaan.

penting dalam menentukan sifat dan bentuk proses perkembangan dari dua kebudayaan masyarakat, yang terjadi di dalam proses percampuran kebudayaan. Kepribadian budaya suku bangsa inilah yang diharapkan menjadikan penyaring (ďŹ lter) dalam menerima kebudayaan asing itu, dalam perspektif pemikiran Quaritch Wales (1948) disebutnya local genius. Menurut Soewardji Safei (1986), bahwa perombakan kebudayaan akan terjadi apabila local genius kebudayaan masyarakat tidak cukup kuat, maka akan menimbulkan extreme acculturation, seperti yang terjadi di Srilangka, Birma, dan Siam akibat meluasnya kebudayaan India yang memperlihatkan kebudayaan tiruan. Apabila kedua kebudayaan masyarakat saling berhubungan sama kuat, maka akan terjadi proses penyesuaian yang akan menimbulkan suatu bentuk kebudayaan yang berakar kepada kebudayaan asing dan kebudayaan sendiri sebagai bentuk hibridisasi. Dari pengalaman sejarah kebudayaan Sunda Kuna hingga kini telah mengalami percampuran dengan berbagai kebudayaan luar. Dalam sejarah kebudayaan Sunda menujukkan bahwa, masyarakat Sunda telah mengalami akulturasi budaya dengan berbagai kebudayaan luar melalui ; penyebaran agama, pola perdagangan, pola penjajahan, dan berbagai bentuk akulturasi lainnya melalui unsur kebudayaannya.Kebudayaan Sunda Kuna menurut hasil penelitian antropologi budaya telah mengalami beragam akulturasi dengan kebudayaan luar, namun terdapat kebudayaan masyarakat adat yang tetap mempertahankan identitas kebudayaannya, seperti pada masyarakat Baduy (Kenekes) dan masyarakat adat lainnya. Dalam kebudayaan masyarakat Sunda masa kini terdapat identitas budaya Sunda yang tetap dipertahankan, tetapi juga terdapat nilai-nilai budaya yang tidak dipertahankan, karena sudah dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kebudayaannya. Foto: Humas Bappeda

Dalam proses akulturasi budaya, peran kepribadian budaya suatu suku bangsa sangatlah

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

29


Orang-orang India yang melakukan penyebaran agama Hindu dan Budha dalam masyarakat Sunda, juga melakukan suatu inovasi kebudayaan dengan pendirian kerajaan, sebagaimana di Negara India yang teridentikasi berdirinya Kerajaan Tarumanagara

Po l a - p o l a a k u l t u r a s i b u d a y a d a l a m masayarakat Sunda diidentifikasi dengan datanganya agama baru dari India, berupa agama Hindu dan Budha yang mempengaruhi terhadap kebudayaan Sunda Kuna, seperti peninggalan artefak bangunan tempat ibadah berupa Candi. Akulturasi agama Hindu dan Budha yang berasal dari India ini berakulturasi dengan kepercayaan masyarakat Sunda asli dalam bentuk dinamisme dan animisme, sehingga memunculkan pola-pola Agama Hindu dan Budha bermuatan kepercayaan masyarakat Sunda yang berbeda dengan agama aslinya, karena mengalami penyesuaian dengan kebudayaan Sunda Kuna. Begitu pula dengan datangnya Agama Islam yang berasal dari Arab Saudi, juga terjadi akultutasi yang sangat kuat dengan kebudayaan masyarakat Sunda, walaupun ajaran syariat agama Islam yang menjadi substansinya tidak mengalami perubahan. Orang-orang India yang melakukan penyebaran agama Hindu dan Budha dalam masyarakat Sunda, juga melakukan suatu inovasi kebudayaan dengan pendirian kerajaan, sebagaimana di Negara India yang teridentifikasi berdirinya Kerajaan Tarumanagara. Berbagai inovasi kebudayaan muncul dalam mengembangkan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Sunda Kuna yang masih tradisional, seperti sistem bercocok tanam, peralatan hidup dan teknologi, ritual, kesenian, bahasa, sistem bermasyarakat, dan

30

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

sistem pengetahuan. Akulturasi budaya India ini terjadi dalam wujud budaya ; ide, aktivitas, dan artefak dalam masyarakat Sunda Kuna yang di dalamnya mengandung nilai-nilai kearifan budaya. Masa berikutnya penyebaran agama Islam terjadi dalam masyarakat Sunda hingga kini, sehingga masyarakat Sunda pada umumnya beragama Islam. Akulturasi kebudayaan Sunda dengan Agama Islam begitu kuat, sehingga begitu sulit membedakan antara ajaran Agama Islam dengan budaya Sunda dalam realitas kehidupan masyarakat. Keberhasilan akulturasi Agama Islam dalam kebudayaan S unda karena terjadi persenyawaan antara keduanya, karena masyarakat Sunda merasa sesuai dengan adanya ajaran Agama Islam, sehingga proses seleksi datangnya Agama Islam memberikan ruang yang cukup luas berkembangnya agama baru. Agama Islam sebagai agama baru dalam masyarakat Sunda mampu memberikan fungsi yang positif dalam perkembangan kebudayaan Sunda, sehingga muncul nilai-nilai kearifan budaya Sunda dengan muatan ajaran Agama Islam. Agama Islam begitu mudah diterima oleh orang Sunda menurut Kahmad (1986), karena karakter agama Islam tidak jauh berbeda dengan karakter budaya Sunda yang ada pada waktu itu. Sedikitnya ada dua hal yang menyebabkan Agama Islam mudah dipeluk oleh orang Sunda. Pertama, ajaran Islam itu sederhana dan mudah diterima oleh orang Sunda yang juga sederhana. Ajaran tentang Aqidah, Ibadah, terutama akhlak Agama Islam sangat sesuai dengan jiwa orang Sunda yang dinamis. Kedua, kebudayaan asal yang menjadi “bungkus” Agama Islam adalah kebudayaan Timur yang tidak asing bagi orang Sunda. Karena itu, ketika orang Sunda membentuk jati dirinya bersamaan dengan proses Islamisasi, maka agama Islam merupakan bagian dari kebudayaan Sunda yang terwujud secara tidak sadar menjadi identitas kasundaannya. Akulturasi budaya juga terjadi dalam masyarakat Sunda melalui pola penjajahan bangsa Eropah, seperti penjajahan pemerintahan Inggris, Belanda, dan penjajahan Jepang, tetapi Pemerintah Belanda yang paling lama menjajah Nusantara termasuk tanah Pasundan. Selama penjajahan Belanda banyak aspek positif yang berkembang dalam kebudayaan masyarakat Sunda dalam bentuk nilai-nilai kearifan budaya yang muncul


Foto: Istimewa

Masjid Menara Kudus Merupakan Bangunan dengan Akulturasi Agama Islam Hindu dan Budha di Indonesia

melalui; sistem pengaturan pemerintahan, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, arsitektur bangunan perkantoran, penataan tata ruang wilayah bersinergi dengan penataan penduduk, dan pengembangan bahasa. Peninggalan artefak kebudayaan selama pejajahan pemerintahan Belanda teridenti-ďŹ kasi terbangunnya gedung perkantoran dan tata ruang wilayah serta sistem pemerintahan dan pendidikan. Walaupun demikian, dampak negatif juga ditimbulkan oleh penjajahan Belanda terhadap masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sunda, berupa nilai-nilai keberanian dalam mengungkapkan kebenaran menghadapi Belanda yang terkungkung, nilai-nilai kebebasan individu terbelenggu, dan sumberdaya alam diambil untuk kepentingan penjajah Belanda. Pola-pola perdagangan dalam sistem ekonomi masyarakat, terutama berkaitan dengan bangsa lainnnya seperti etnis keturunan Cina, juga menimbulkan akulturasi budaya dalam masyarakat Sunda. Sistem ekonomi masyarakat lokal dipengaruhi oleh pola-pola perdagangan yang dilakukan etnis keturunan Cina yang telah bertahun-tahun bersatu dengan masyarakat

Sunda. Akulturasi sistem ekonomi ini juga mempengaruhi terhadap penggunaan unsur bahasa dan sistem pengetahuan masyarakat dalam perekonomian masyarakat. Kemampuan pengetahaun ekonomi dan perdagangan dari bangsa etnis Cina lebih dominan, sehingga menyebabkan ekonomi masyarakat terutama di perkotaan dikuasai oleh masyarakat keturunan etnis Cina. Begitu pula kedatangan suku bangsa Minangkabau dan Jawa yang berimigrasi ke tanah Pasundan yang memiliki kemampuan berdagang lebih baik dari pada masyarakat Sunda pada umumnya. Akibatnya, terjadi penguasaan daerahdaerah perdagangan oleh suku bangsa pendatang yang sebelumnya dimiliki masyarakat Sunda. Oleh karena itu, akulturasi budaya masyarakat Sunda dengan budaya bangsa lainnya tidak hanya terjadi dengan bangsa dari negara-negara luar yang datang ke Indonesia. Namun juga terjadi dengan sukubangsa Indonesia sendiri, seperti dengan sukubangsa Jawa dan Betawi, Mingkabau, dan Batak. Akulturasi masyarakat Sunda dengan suku bangsa Jawa terjadi pada saat penguasaan kerajaan-kerajaan di Sunda dilakukan oleh Kerajaan Mataram, sehingga terjadi akulturasi

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

31


budaya dalam bahasa Sunda, sistem pemerintahan, dan organisasi sosial. Ternyata, akulturasi budayapun tidak terelakkan terjadi, dari dua sukubangsa yang bersatu dalam wilayah perbatasan, seperti perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Barat, terjadi akulturasi dari dua bahasa Jawa dan Sunda, perbatasan Jawa Barat dengan DKI Jakarta terjadi akulturasi bahasa Sunda dengan bahasa Betawi. Begitu pula perantauan dari Minangkabau, Batak, Jawa di tanah Pasundan, berakulturasi dengan masyarakat Sunda dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan dengan menampilkan berbagai wujud budaya masyarakat lokal setempat.

Kemampun mempertahankan kearifan budaya lama yang berkembang dalam masyarakat Sunda sendiri tergantung pada kepribadian atau jati diri kebudayaan Sunda yang akan menentukan sifat dan bentuk proses perkembangan kebudayaannya. Kepribadian budaya inilah yang akan menyaring dalam menerima pengaruh akulturasi dengan kebudayaan luar berkaitan dengan karakteristik kebudayaan Sunda. Dengan demikian kearifan lokal akan muncul dalam masyarakat Sunda, baik dalam orientasi pandangan hidup dan sistem nilai, persepsi atas tanggapan masyarakat Sunda terhadap dunia luar, pola dan sikap hidup dalam mewujudkan tingkah-laku masyarakat, dan gaya hidupnya yang mewarisi peri kehidupan masyarakatnya.

Karakteristik budaya Sunda itu lentur dan adaptif serta terbuka, sehingga mudah menerima akulturasi dengan kebudayaan lain. DAMPAK AKULTURASI BUDAYA DALAM MASYARAKAT SUNDA Dampak akulturasi budaya dapat berpengaruh positif memunculkan kearifan budaya baru, tetapi juga dapat berpengaruh negatif karena mematikan kearifan budaya lama yang berkembang di masyarakat Sunda. Akulturasi dalam perspektif ďŹ lsafat kebudayaan menurut Bakker (1984), merupakan proses “midwayâ€? antara konfrontasi dan fusi. Ketegangan budaya antara kedua pihak itu tidak diruncingkan dalam proses konfrontasi, melainkan tanpa pinjam-meminjam diciptakan suasana koeksistensi. Kedua belah pihak saling menghormati, dapat mencapai saling pengertian dalam kepentingan terbatas, tetapi tertutup bagi nilai pihak lain. Kedua belah pihak berdialog, tidak pindah dalam struktur budaya yang dihadapinya, sedangkan dalam fusi antara budaya kemandirian kedua belah pihak dihapus, diluluhkan bersama ke dalam keadaan budaya baru, sehingga terjadi amalgamasi uniform yang mengabsorir khasiat dari kepribadian budaya asli. 32

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

Mengingat karakteristik budaya Sunda itu lentur dan adaptif serta terbuka, sehingga mudah menerima akulturasi dengan kebudayaan lain. Wa l a u p u n d e m i k i a n t e r d a p a t k o m u n i t a s masyarakat adat yang tidak mau menerima pengaruh budaya luar, dan bahkan menolaknya dengan mempertahankan adat-istiadatnya seperti pada masyarakat adat Baduy Dalam di Banten Selatan dan masyarakat adat lainnya. Namun demikian secara umum, masyarakat Sunda menerima akulturasi budaya yang terjadi sejak abad ke-2, yaitu dengan masuknya Agama Hindu, Budha, dan Islam melalui agama itu sampai mengalir dengan deras unsur-unsur kebudayaan Barat dalam masyarakat Sunda hingga kebudayaan modern masa kini. Pengaruh modernisasi kepada kehidupan masyarakat Sunda masa kini tidak dapat ditolak, sehingga selektiďŹ tas penyaringan kebudayaan modern yang berakulturasi dengan kebudayaan Sunda menimbulkan perombakan, ataukah memperkuat kearifan lokal yang telah berkembang dalam kehidapan masyarakat Sunda. Perkembangan kebudayaan Sunda masa kini terjadi dikotomi antara masyarakat tradisional


Foto: Humas Bappeda

dengan modern, sebagaimana terjadi pada kehidupan masyarakat negara-negara berkembang lainnya. Menurut Alisyahbana bahwa : (1) masyarakat tradisional mengalami krisis yang menjelma dalam disintegrasi ikatan budaya tradisi oleh pengaruh dunia modern, (2) masyarakat maju mengalami krisis yang menjelma dalam pertentangan antara individu dan kelompok, kegelisahan pikiran, perasaan dan usaha individu, yang akibatnya terjadi skeptisme dan relativisme, eksprimentalisme yang tak tentu arah, kemajuan pesat teknologi dan ilmu, kenaikan taraf hidup, dan perumusan tegas akan hak-hak manusia. Perbedaan pandangan yang menjadi dikotomi tersebut di atas, dalam kehidupan masyarakat Sunda tidak secara ekstrim berdasarkan pengelompokan masyarakat tradisional dan modern, tetapi menurut Garna (2008) dikelompokkan menurut; (1) masyarakat tradisional, yaitu komunitas masyarakat yang tetap mempertahankan adat-istiadat ketradisionalannya seperti pada masayarakat adat, (2) masyarakat akomodatif, yaitu Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

33


masyarakat yang mengakomodasi nilai–nilai tradisional dan juga modernisasi dalam kehidupannya, (3) masyarakat modern, yaitu masyarakat yang menerima seutuhnya kebudayaan modernisasi dalam kehidupannya. Komunitas masyarakat Sunda yang mengakomodasi nilai-nilai tradisi dan modernisasi diidentiďŹ kasi cukup dominan, karena karakteristik kebudayaan Sunda yang penuh kelenturan itu di satu sisi memang adaptif, tetapi pada sisi lainnya dianggap terlalu terbuka atau membuka diri terhadap intervensi kebudayaan luar yang mendorong perubahan cepat. Hal tersebut membawa konsewensi, bahwa semakin besar mengadopsi nilai-nilai budaya modernisasi, maka kecenderungan mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal dari adatistiadatnya semakin diabaikan. Kecenderungan terjadinya dominasi kebudayaan modern terhadap kebudayaan tradisi kasundaan dalam kehidupan masyarakat dirasakan semakin kental, sehingga bila terjadi perombakan kebudayaan Sunda secara ekstrim yang diakibatkan perubahan masyarakat pada kebudayaan modern tersebut, maka akan menghilangkan identitas kebudayaannya di masa depan. Bila terjadi dominasi kebudayaan modern dalam masyarakat Sunda yang menerima seutuhnya modernisasi, maka akan melahirkan masyarakat modern dalam kehidupannya yang tercerabut dari akar-akar budayanya karena kearifan budayanya telah ditinggalkan. Kekhawatiran terjadinya perombakan identitas budaya Sunda dikemukakan oleh Ayip Rosidi (2010), bahwa orang Sunda sekarang kebanyakan sudah terpengaruh oleh paham kapitalis yang serakah dan tidak merasa kenyang dengan apa yang sudah didapat. Nilai tentang hidup sederhana sekarang hanya dilaksanakan karena terpaksa, dan kalau terpaksa semua orang bisa, walaupun hasratnya yang menonjol adalah mencapai kehidupan duniawi yang penuh gemerlapan. Kalau perlu tanpa memperhatikan larang-larangan yang diturunkan leluhurnya. Namun menurut Judistira Garna (2008), bahwa janganlah terlalu khawatir bahwa budaya Sunda itu mengalami erosi oleh pengaruh luar, terutama oleh arus modernisasi yang berlangsung melalui pendidikan, pemakaian teknologi, dan komunikasi antar pesona, sejauh “nilai-nilai budaya Sunda yang hakikiâ€? dalam kehidupan masih dijalani dalam proses kehidupannya. Pemikiran ini didasarkan

34 Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

pada konsep ketahanan budaya bahwa, semakin tinggi frekuensi pengaruh itu melanda suatu budaya, maka makin gigih masyarakat pendukung budaya tersebut berupaya mempertahankannya. Demikian pula halnya apa yang tampak dalam budaya Sunda, bahwa manakala norma atau institusi sosial itu dianggap akan sirna oleh perubahan, maka akan muncul norma dan institusi sosial penggantinya sebagai respons terhadap alur pengaruh luar.

Pentutup Menarik apa yang dikemukakan futurolog, John Naisbitt (1994) dalam bukunya berjudul : Global Paradox, yang menyatakan bahwa; Think globally, Act Locally�. Kalimat tersebut dapat dimaknai, bahwa jika manusia atau suatu komunitas masyarakat ingin sukses dalam persaingan global, maka harus mampu berpikir secara global, tetapi bertindak lokal. Makna kalimat tersebut menggugah kita sebagai diri manusia maupun sebagai komunitas masyarakat Sunda, bahwa arus globalisasi dengan budayanya telah

Think Globally Act Locally John Naisbitt Jika manusia atau suatu komunitas masyarakat ingin sukses dalam persaingan global, maka harus mampu berpikir secara global, tetapi bertindak lokal.


merasuk ke berbagai kehidupan masyarakat ke penjuru dunia melalui media informasi dan komunikasi serta teknologi yang tak dapat dibendung. Karena itu, pemikiran global harus dimiliki masyarakat Sunda sebagaimana pepatah: “Sunda anu henteu sarubak jamang, tapi Sunda anu saampar jagad“. Artinya, bukan Sunda yang hanya selebar baju, tetapi Sunda yang seluas dunia dalam perspektif pemikirannya untuk sukses memenangkan persaingan global. Namun, sikap dan perilakunya tetap mempertahankan identitas budaya yang didasarkan pada kearifan lokal budayanya. Oleh karena itu, sudah menjadi tanggungjawab para pendukung kebudayaan Sunda, baik dari kalangan pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan yang berorientasi kasundaan, dan seluruh stakeholder untuk melakukan pemikiran kembali (rethinking) tentang budayanya dalam upaya memantapkan identitas baru dengan tetap mengacu kepada tradisi yang bernilai dalam budaya Sunda. Bentuk tradisi yang bernilai dalam budaya Sunda inilah termanifestasi dan terkristalisasi dalam kearifan budaya Sunda dengan berupaya melakukan konservasi, rekonstruksi, refungsionalisasi dalam bentuk revitalisasi nilai kearifan budaya Sunda disesuaikan

dengan perkembangan kebudayaan modern masa kini dengan mengadopsi nilai-nilai moral kebaikannya. Pengertian Konservasi adalah tindakan terhadap karya budaya yang mencegahnya dari kerusakan; Rekonstruksi adalah tindakan perbaikan terhadap karya budaya yang sudah rusak dan ada unsur-unsurnya yang hilang untuk dapat dikembalikan kepada wujud asalnya, sekalipun dalam bentuk reproduksi atau wacana semata-mata. Namun seandainya karya budaya itu masih memiliki relevansi dengan keadaan masa kini dan dapat dipergunakan untuk menjawab sebagian dari tantangannya, maka terhadapnya d i l a k u k a n Re f u n g s i o n a l i s a s i . S e a n d a i n y a relevansinya hanya sebagian saja, maka terhadapnya dilakukan pengolahan kembali, hingga didalam karya budaya itu akan hidup kembali. Dengan demikian transformasi ini juga mengadung arti Revitalisasi. Oleh karena itu, nilai-nilai kearifan budaya Sunda masa lalu juga harus muncul dalam akulturasi dengan budaya modern yang positif benuansa nilai-nilai moral kebaikan menjadikan penggerak pembangunan masyarakat Sunda masa kini yang memiliki daya saing menghadapi globalisasi.

Foto: Humas Bappeda

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

35


Daftar Pustaka 1.

A l i s y a h b a n a , S u t a n Ta k d i r , 1 9 8 8 , Kebudayaan Sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisyahna, Cetakan Pertama, PT. Dian Rakyat, Jakarta.

2.

Bakker, J.M.W., 1984, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, Kanisius, Yogyakarta.

3.

Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 2007, Seminar dan Sarasehan Peran Filsafat dan Local Wisdom Dalam Mengembangkan Daerah Untuk Meningkatkan Semangat Kebangsaan, Yogyakarta.

4.

Garna, Judistira K., 2008, Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan, Lembaga Penelitian UNPAD dan Judistira Garna Foundation, Bandung.

5.

Kahmad, Dadang, 2006, Agama Islam dan Budaya Sunda, dalam Ajip Rosidi, Edi. S. Ekadjati, A. Chaedar Alwasilah (penyunting), 'Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda', Penerbit Yayasan Kebudayaan Rancage bekerjasama dengan PT. Dunia Pustaka Jaya, Jilid I: 321-329.

6.

Linton, Ralph, (terjemahan), 1984, The Study of Man, diterjemahkan oleh Firmansyah dalam buku 'Antropologi Suatu Penyelidikan tentang Manusia', Edisi Pertama, CV. Jemmars.

7.

Naisbit, John, 1994, Global Paradox, Warbet Books, Newyor.

8.

Rosidi, Ajip, 2011, Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Sunda, Cetakan Pertama, PT. Kiblat Buku Utama, Bandung.

9.

Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara, penerbit Kepel Press, Yogyakarta.

10.

Syafei, Soewardji, 1986, �Peran Local Genius Dalam Kebudayaan� dalam Ayatrohaedi, (Penyunting), 'Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius)', PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

11.

Wales, H.G. Quaritch, 1948, The Making of Greater India: Study of Southest Asian Culture Change, Journal of Royal Asiatic Society (1948-1949)..

12.

Warnaen, Suwarsih., Rusyana, Yus, W i b i s a n a , Wa h y u , G a r n a , Y u d i s t i r a , Djiwapraja, Dodong, 1987, Pandangan Hidup

36

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

Orang Sunda: Seperti Tercermin Dalam Trdisi Lisan dan Sastra Sunda (Tahap I & II), Bagian P r o y e k Pe n e l i t i a n d a n Pe n g k a j i a n Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung.

Foto-foto: Humas Bappeda


Inovas Terbar

Bappeda provinsi jawa barat

SiAp

Be-ReS

Bappeda e-Reminder System

Sebuah sistem perangkat elektronik “Pelawan Lupaâ€?/ e-Reminder System untuk mendukung efektiďŹ tas pelaksanaan tugas-tugas Bappeda Povinsi Jawa Barat sehingga dapat diselesaikan sesuai waktu dan taat administrasi

Sistem ini dibangun untuk melakukan perhitungan alokasi bantuan keuangan per kab/kota dengan menggunakan variabel kinerja pembangunan sebagai indikatornya.

by

by

Deny Hermawan

Agus Supriadi

Kasubbag Perencanaan

Kasubbid APBD


Foto: Humas Bappeda

38

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


WAWA S A N PERENCANAAN

Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Di Kota Bekasi

Ruang Terbuka Hijau merupakan komponen ekosistem penting di wilayah perkotaan padat penduduk seperti di Kota Bekasi, yang membutuhkan fasilitas publik dengan fasilitas ruang terbuka hijau yang sebanding dengan jumlah penduduk. Kondisi ruang terbuka hijau di Kota Bekasi saat ini baru mencapai 15 persen dari luas wilayah yang seharusnya 30 persen. Untuk itu perlu diketahui sebaran dan kondisi ruang terbuka hijau guna mengantisipasi semakin berkurangnya ruang terbuka hijau di Kota Bekasi.

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

39


Oleh R. Arso Budiriyadi* Annisa Puteri Utari Syamsuddin**

Abstrak

R

uang Terbuka Hijau merupakan komponen ekosistem penting di wilayah perkotaan padat penduduk seperti di Kota Bekasi, yang membutuhkan fasilitas publik dengan fasilitas ruang terbuka hijau yang sebanding dengan jumlah penduduk. Kondisi ruang terbuka hijau di Kota Bekasi saat ini baru mencapai 15 persen dari luas wilayah yang seharusnya 30 persen. Untuk itu perlu diketahui sebaran dan kondisi ruang terbuka hijau guna mengantisipasi semakin berkurangnya ruang teerbuka hijau di Kota Bekasi. Perhitungan luas ketersediaan ruang terbuka hijau dilakukan dengan pendekatan ekologis, yakni melalui interpretasi peta citra satelit antarwaktu. Hasil analisis SIG menunjukkan bahwa pada tahun 2015 hamparan wilayah Kota Bekasi didominasi oleh lahan terbangun seluas 17.313 hektar atau 82,25 persen dari luas total wilayah, sisanya merupakan RTH seluas 3.736,00 hektare. Dibandingkan dengan keadaan tahun sebelumnya, terjadi penurunan luas lahan RTH sebesar 1.109,00 hektar. Selanjutnya dengan metode ekologis dan metode bunga berganda diperoleh prediksi kebutuhan RTH pada tahun 2023 seluas 6.606,00 hektar dengan jumlah penduduk sebanyak 3.302.795 jiwa. Sementara eksisting RTH hanya tersisa 197,63 hektare, sehingga ada kekurangan luasan kebutuhan RTH sebesar 6 408,36 hektar. Untuk menghindari terus berkurangnya ruang terbuka hijau diperlukan kebijakan Pemerintah Kota Bekasi berupa peraturan pengendalian alih fungsi lahan. Kata Kunci : Ruang Terbuka Hijau, Penduduk, SIG

PENDAHULUAN Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah salah satu komponen penting pada suatu wilayah, terutama di wilayah perkotaan dengan jumlah penduduk yang relatif padat. Tingkat kepadatan penduduk sangat mempengaruhi kebutuhan fasilitas publik, terutama permukiman. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan fasilitas publik konsekuensinya akan diikuti pula dengan menurunnya komposisi lahan untuk RTH. Keadaan ini berdampak bagi memburuknya kualitas lingkungan hidup setempat dan menurunnya kualitas kesehatan penduduk. Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan yang merupakan tempat interaksi sosial bagi masyarakat, sangat penting disediakan oleh

40

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

pemerintah daerah. Pemerintah Kota Bekasi telah membuat peraturan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Aturan yang berlaku hingga 20 tahun ke depan ini mewajibkan Pemerintah Kota Bekasi untuk merealisasikan 30 persen ruang terbuka hijau, dengan perincian, 20 persen untuk kawasan hijau dan 10 persen untuk ruang publik (contohnya taman bermain). Bila dikonversi diperlukan sekitar 6.400 hektar dari luas wilayah keseluruhan 21 ribu hektar.

*) Analis Pembangunan pada Balai Pembangunan dan Analisa Potensi Daerah Bappeda Jawa Barat **) Tenaga Ahli GIS pada Balai Pembangunan dan Analisa Potensi Daerah Bappeda Jawa Barat


Foto-foto: Humas Bappeda

Permasalahannya adalah, wilayah Kota Bekasi baru baru memiliki 15 persen ruang terbuka hijau (dari jumlah tersebut, 11 persen merupakan RTH privat dan 4 persen merupakan RTH publik), yang seharusnya 30 persen. Untuk itu perlu dihitung ketersediaan lahan RTH dan tingkat kebutuhan RTH pada beberapa tahun mendatang guna mengantisipasi makin lebarnya kesenjangan keduanya yang berdampak pada makin rendahnya kualitas hidup masyarakat. Perhitungan luas ketersediaan RTH dilakukan dengan pendekatan ekologis, yakni melalui interpretasi peta citra satelit antarwaktu. Sedangkan perhitungan kebutuhan luas RTH dilakukan melalui perbandingan antara prediksi jumlah penduduk dengan satuan luas RTH ideal perjumlah penduduk pada waktu tertentu. Metoda analisis sistem informasi geograďŹ s (SIG) dapat menghitung kebutuhan RTH baik dari sisi ekologis maupun pertumbuhaan penduduk. Penelitian ini bertujuan untuk membahas sebaran RTH dan lahan terbangun di Kota Bekasi serta memprediksi luas lahan yang dibutuhkan untuk RTH.

Gambaran Kota Bekasi saat Ini Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

41


HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bekasi selama kurun waktu 2010-2016 cenderung naik, dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,84 persen pertahun (Gambar 1). Angka ini merupakan laju pertumbuhan tertinggi ketiga dari 27 kabupaten/kota se-Jawa Barat setelah Kabupaten Bekasi dan Kota Depok. Laju pertumbuhan penduduk di Kota Bekasi didominasi oleh migrasi penduduk sebagai akibat dari berkembangnya ekonomi dan industri.

Gambar 1. Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kota Bekasi Tahun 2010-2016

Perkembangan ekonomi di Kota Bekasi yang menyebabkan tingginya laju pertumbuhan penduduk diantaranya adalah makin menjamurnya keberadaan perumahan pascapembangunan perumahan oleh Perum Perumnas (hingga saat ini tercatat 38 perumahan dengan total areal pengembangan seluar 800 hektare), operasionalisasi jalan tol Jakarta-Cikampek yang memudahkan akses transportasi dan ekonomi, makin maraknya kawasan industri yang mendorong makin derasnya arus urbanisasi, serta yang tidak kalah pentingnya makin lengkapnya ketersediaan infrastruktur penunjang lainnya, seperti sekolah, rumah sakit dan pusat perbelanjaan. Di sisi lain, wilayah Kota Bekasi baru memiliki 15 persen ruang terbuka hijau (dari jumlah tersebut, 11 persen merupakan RTH privat dan 4 persen merupakan RTH publik), yang seharusnya 30 persen. Beberapa kendala terhambatnya upaya perluasan RTH publik seperti hutan kota dan taman kota, diantaranya adalah minimnya lahan yang tersedia dan harga tanah yang semakin tinggi. Untuk itu dilakukan upaya keterlibatan swasta dalam pengadaannya melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Kesulitan lain adalah munculnya regulasi yang baru diterbitkan

42

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

dalam menata fasilitas sosial dan fasilitas umum di Kota Bekasi, yakni Perda Nomor 16 Tahun 2011 tentang Penyediaan dan Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Kawasan Perumahan, Perdagangan dan Industri oleh Pengembang di Kota Bekasi. Berlandaskan perda itu, Pemerintah Kota bisa memveriďŹ kasi terhadap obyek ďŹ sik fasilitas sosial dan fasilitas umum, dan selanjutnya dapat diserahterimakan kepada pemerintah daerah oleh pengembang. Untuk mengetahui sebaran RTH di Kota Bekasi digunakan data Citra Spot 6 rekaman tahun 2015 dengan hasil uji akurasi tingkat kesesuaian 86 persen keadaan sebenarnya, dan diproses menggunakan software Envi 4.7 berbasis klasiďŹ kasi t e r b i m b i n g ( s u p e r v i se d ) . K l a s i ďŹ k a s i C i t r a menunjukkan hasil bahwa pada tahun 2015 sebanyak 82,25 persen dari 21.049 hektare wilayah Kota Bekasi merupakan lahan terbangun, sisanya 17,75 persen atau 3.736 hektare merupakan RTH. Kondisi RTH pada Tahun 2015 lebih rendah dibanding tahun 2014 seluas 4.845 hektare (berdasarkan hasil interpretasi Citra rekaman tahun 2014), atau selama satu tahun RTH berkurang seluas 1.109 hektare. Perubahan tutupan lahan RTH sebagian besar berubah fungsi menjadi lahan permukiman,


dengan demikian faktor utama berubahnya RTH di Kota Bekasi adalah desakan jumlah penduduk. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh perkembangan penduduk di Kota Bekasi yang sangat pesat, dari 2.642.508 jiwa pada tahun 2014 menjadi 2.714.825 jiwa pada tahun 2015 atau meningkat 2,73 persen dalam setahun.

Gambar 2. Peta Sebaran RTH dan Lahan Terbangun Tahun 2015

Dengan metode bunga berganda dapat diprediksi jumlah penduduk pada tahun 2023, selanjutnya dengan metode ekologis akan diprediksi luas RTH yang diperlukan Kota Bekasi seperti disajikan pada Tabel 1. Diperoleh angka pertumbuhan penduduk sebesar 2,84 persen pertahun, sehingga dapat diestimasi jumlah penduduk pada tahun 2023, sebanyak 3.302.795 jiwa. Selanjutnya dapat pula dihitung kebutuhan luas lahan RTH pada saat itu.

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

43


Tabel 1. Kebutuhan RTH Tahun 2010-2016 dan Prediksi tahun 2023

Sumber : Hasil Analisis 2017

Idealnya, semakin meningkat jumlah penduduk semakin meningkat pula luas RTH yang dibutuhkan, seperti taman kota, lapangan olahraga, kawasan hutan kota, jalur hijau kota, perkuburan, pekarangan, dan RTH produktif (berbagai tumbuhan/vegetasi). Namun dalam kenyataannya, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni semakin meningkat jumlah penduduk maka justru semakin berkurang eksisting luas RTH. Sebagai contoh, kebutuhan RTH pada tahun 2014 adalah 5.285,00 hektare, namun yang tersedia hanya 4.845,00 hektare saja. Ada kekurangan seluas 440,00 hektare. Begitu pula pada tahun 2015 dibutuhkan ketersediaan lahan seluas 5.340,00 hektare RTH, namun ternyata justru makin berkurang lahan yang tersedia yakni hanya 3.736,00 hektara saja. Terdapat kesenjangan yang makin melebar, yakni kekurangan seluas 1.694,00 hektare. Bila tidak dilakukan pengendalian yang lebih progresif sejak tahun 2017 ini, bisa dibayangkan kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan luas lahan RTH pada akhir tahun 2023 nanti. Berdasarkan perhitungan, dibutuhkan lahan seluas 6.606,00 hektare untuk RTH dengan jumlah penduduk 3.302.795 jiwa pada tahun itu, sementara yang tersedia hanya seluas 197.63,00 hektare saja. Bisa dibayangkan dampak bagi masyarakat setempat yang membutuhkan sejumlah udara segar tertentu, ternyata hanya sebagian kecilnya saja dapat dipenuhi. Dari sisi kesehatan, jelas keadaan ini bukan sebuah kondisi yang ideal. Oleh sebab itu harus ditempuh upaya yang radikal guna menata kembali ketimpangan ini. 44

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


Gambar 3. Kebutuhan RTH Tahun 2010 hingga 2023

Foto: Humas Bappeda

Gambaran melebarnya tingkat kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan luas RTH ditunjukkan dalam Gambar 3. Oleh sebab itu kiranya perlu dipertimbangkan untuk membatasi alih fungsi lahan dan pemeliharaan RTH melalui sebuah regulasi peraturan perundangan di tingkat daerah.

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

45


RTH

Kota

Bekasi

15%

Kesimpulan Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa:

1

Tahun 2015 di Kota Bekasi dengan total luas wilayah 21.049,00 hektare dominan dengan lahan terbangun sebesar 82,25 persen atau seluas 17.313,00 hektare, sisanya RTH seluas 3.736,00 hektare;

2

Terjadi penurunan luas lahan untuk RTH dari tahun 2014 ke tahun 2015 sebesar 1.109,00 hektare, sebaliknya terjadi kenaikan kebutuhan luas lahan RTH. Dengan demikian, semakin lama semakin tinggi kesenjangan di antara keduanya. Bila

46

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat. (2016). Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2015. BPLH Kota Bekasi. 2016. Buku Status Lingkungan Hidup Kota Bekasi Tahun 2016. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat. 2015. Buku Data Status Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat Tahun 2015. Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Bekasi, 2014. Instruksi menteri dalam negeri No.14 tahun 1988 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Perkotaan Irwan, Z.D. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi : Ekosistem, Lingkungan dan Pelestarian. Bumi Aksara. Jakarta. 177 hal. Mangunsong, I., dan Sihite,J. 1994. Prediksi Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Barat Tahun 2005. Majalah Trisakti No. 14/Th. IV/4/1994 hal 17-22, Jakarta.

Foto: Humas Bappeda

Niman, Mikael. 2014. Pertumbuhan Penduduk Kota Bekasi Capai 3 Persen. Suara Pembaruan, Senin 04 Agustus 20145.

tidak dikendalikan maka dapat berisiko terjadinya tingkat bencana di kemudian hari;

3

Kebutuhan RTH pada tahun 2023 yaitu seluas 6.606 hektare dengan jumlah penduduk 3.302.795 jiwa dan hanya tersedia 197,.63 hektare saja. Sebuah ketimpangan yang sangat ekstrim dan akan berdampak pada tingginya risiko gangguan kesehatan masyarakat.

Saran

Puntodewo, A., Dkk. 2003. Sistem Informasi GeograďŹ s untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam. Center for International Forestry Research. Bogor. Prahasta, E. (2005), Sistem Informasi GeograďŹ s: A p l i k a s i P e m o g r a m a n MapInfo,CV. Informatika, Bandung. Surjaya, Abdullah M. 1994. Kota Bekasi Baru Miliki 15 Persen Ruang Terbuka Hijau. Koran Sindo, Jumat 27 Maret 2015. Undang-undang Nomor. 24 TAHUN 1992 Tentang Penataan Ruang. Undang-undang Nomor. 26 TAHUN 2007 Tentang Penataan Ruang. Warsono, Adi. 2016. Penduduk Kota Bekasi Membludak di Tahun 2022. Koran Tempo, Kamis 31 Maret 2016.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dalam pengembangan kota yang berkaitan dengan dampak akibat berkurangnya dan hilangnya daerah terbuka hijau.

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

47


Pelaksanaan Pengendalian dan Evaluasi Kabupaten/Kota

RPJMD Oleh Sakti Budhi Astuti* Cakradiharja **

P

erencanaan pembangunan daerah disusun dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Berdasarkan peraturan tersebut bahwa evaluasi terhadap hasil rencana pembangunan daerah lingkup kabupaten/kota meliputi evaluasi terhadap hasil RPJPD lingkup kabupaten/kota, RPJMD lingkup kabupaten/kota, RKPD lingkup kabupaten/kota,

*) Fungsional Perencana Madya Balai Pelayanan Evaluasi dan Pelaporan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat **) Mahasiswa UNPAD 48

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


WAWA S A N PERENCANAAN

Foto: Istimewa


Secara umum evaluasi atas perencanaan pembangunan dilaksanakan pada tiga hal yaitu tingkat kebijakan, pelaksanaan dan hasil perencanaan. Lingkup yang harus dilakukan evaluasi adalah RPJP, RPJMD/Renstra SKPD dan RKPD/Renja SKPD. Pada tingkat kebijakan aspek yang dievaluasi adalah pada tataran proses penyusunan dokumen-dokumen perencanaan apakah telah disusun sebagaimana mekanisme yang telah digariskan dalam lampiran I-VI Permendagri tersebut. Hal ini termasuk menyangkut evaluasi atas kelengkapan sistematika, dan sinkronisasi antar bab pembahasan. Pada tingkat pelaksanaan evaluasi diharapkan dapat menjamin adanya konsistensi pelaksanaan perencanaan dengan target rencana pada dokumen. Sedangkan pada tataran hasil perencanaan evaluasi yang dilaksanakan lebih kepada pengukuran atas realisasi target-target kinerja yang telah dihasilkan. Adanya evaluasi atas perencanaan ini diharapkan adanya suatu jaminan bahwa dokumen perencanaan terkawal hingga ditetapkannya APBD. Pengendalian tersebut dilakukan oleh gubernur, bupati/walikota dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Bappeda untuk keseluruhan perencanaan pembangunan daerah dan oleh Kepala SKPD untuk program dan/atau kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Pe n g e n d a l i a n o l e h B a p p e d a m e l i p u t i pemantauan, supervisi dan tindak lanjut penyimpangan terhadap pencapaian tujuan agar program dan kegiatan sesuai dengan kebijakan pembangunan daerah. Pemantauan pelaksanaan program dan/atau kegiatan oleh SKPD meliputi realisasi pencapaian target, penyerapan dana, dan kendala yang dihadapi. Hasil pemantauan pelaksanaan program dan/atau kegiatan disusun dalam bentuk laporan triwulan untuk disampaikan kepada Bappeda. Kepala Bappeda melaporkan hasil pemantauan dan supervisi rencana pembangunan kepada kepala daerah, disertai dengan rekomendasi dan langkah-langkah yang diperlukan. Hal tersebut dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dengan menggunakan hasil evaluasi tahun RKPD kabupaten/kota yang diuji. Sedangkan Evaluasi dilaksanakan oleh gubernur, bupati/walikota dalam pelaksanaannya 50

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

dilakukan oleh Bappeda untuk keseluruhan perencanaan pembangunan daerah dan oleh Kepala SKPD untuk capaian kinerja pelaksanaan program dan kegiatan SKPD periode sebelumnya. Evaluasi oleh Bappeda meliputi penilaian terhadap pelaksanaan proses perumusan dokumen rencana pembangunan daerah, dan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah; dan menghimpun, menganalisis dan menyusun hasil evaluasi Kepala SKPD dalam rangka pencapaian rencana pembangunan daerah. Hasil evaluasi sebagaimana menjadi bahan bagi penyusunan rencana pembangunan daerah untuk periode berikutnya.


Foto: Istimewa

Tahapan Pelaksanaan Pengendalian dan Evaluasi (Pasal 156 – Pasal 281 Permendagri Nomor 54 Tahun 2010) Tujuan Pengendalian Perumusan Kebijakan RPJMD 1.

Untuk menjamin -

Visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, strategi dan program PJMD, selaras dengan visi, misi, arah dan kebijakan PJPD serta pemanfaatan struktur dan pola ruang;

-

Visi, misi, tujuan, kebijkan, strategi dan program PJMD, selaras dengan arah, kebijakan umum, serta prioritas pembangunan nasional, arah, kebijakan, dan prioritas untuk bidang-bidang pembangunan, dan pembangunan kewilayahan dalam RPJMN, sesuai dengan kewenangan,

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

51


kondisi, dan karakteristik daerah.

2.

-

Kebijakan, strategi dan program PJMD, selaras dengan PJMD lainnya.

-

P r o g r a m PJ M D , s e l a r a s d e n g a n pemanfaatan struktur dan pola ruang provinsi/kab/kota lainnya.

-

Strategi dan arah kebijakan PJMD, mengarah pada pencapaian visi dan misi PJMD, dan

-

Perumusan dilakukan sesuai dengan tahapan dan tata cara penyusunnan RPJMD

Mengevaluasi dan memastikan bahwa perumusan kebijakan perencanaan PJMD, telah berpedoman pada RPJPD dan RTRW, mengacu pada RPJMN/RPJMD provinsi dan memperhatikan RTRW, yang dilakukan melalui pemantauan dan supervise dalam perumusan RPJMD, mulai dari tahap penyusunan rancangan awal sampai dengan RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

memecahkan isu strategis dalam upaya mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran RPJMD sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD. -

3.

Menjabarkan indikasi rencana program, indikator kinerja (outcome) yang disertai kebutuhan pendanaan jangka menengah (RPJMD) yang dilakukan melalui pemantauan dan supervise dalam perumusan Rentra SKPD dan RKPD.

2.

Untuk menjamin -

52

Rencana kegiatan, indikator kinerja (output), kelompok sasaran, lokasi kegiatan serta pendanaan indikatif dalam Rentra SKPD, telah sesuai, dengan indikasi rencana program, indikator kinerja (outcome) yang disertai kebutuhan pendanaan jangka menengah untuk

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

Mengevaluasi dan memastikan bahwa program pembangunan dan indikasi rencana program prioritas yang disertasi kebutuhan pendanaan pembangunan jangka menengah daerah, telah dilaksanakan melalui Renstra SKPD dan RKPD.

Tujuan Evaluasi RPJMD 1.

Menilai realisasi antara rencana program prioritas dan kebutuhan pendanaan RPJMD, dengan capaian rencana program dan kegiatan prioritas daerah dalam RKPD dan realisasi antara capaian rencanan program dan prioritas yang direncanakan dalam RPJMD dengan prioritas dan sasaran pembangunan nasional dalam RPJMN.

2.

Memastikan bahwa visi, misi, tujuan dan sasaran pembangunan jangka menengah daerah provinsi dapat dicapai untuk mewujudkan visi pembangunan jangka panjang daerah, dan pembangunan jangka menengah nasional/provinsi

3.

Evaluasi dilaksanakan paling sedikit 1 (satu kali dalam 5 (lima) tahun dengan menggunakan hasil evaluasi hasil RKPD.

Tujuan Pengendalian Pelaksanaan RPJMD 1.

Arah kebijakan pembangunan jangka menengah daerah tahun berkenaan telah dipedomani dalam merumuskan sasarahn pembangunan tahunan daerah, dan indikasi rencana program, indikator kenerja (output) dan pagu indikatif dalam RPJMD telah dijabarkan kedalam rencana kegitan pembangunan tahunan daerah (RKPD)


Foto: Istimewa

Tujuan Pengendalian Pelaksanaan RPJMD Menjabarkan indikasi rencana program, indikator kinerja (outcome) yang disertai kebutuhan pendanaan jangka menengah (RPJMD) yang dilakukan melalui pemantauan dan supervise dalam perumusan Rentra SKPD dan RKPD.

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

53


Konsep Perencanaan Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui serangkaian pilihan-pilihan berdasarkan tujuan dan kriteria, dengan melalui urutan pilihan, serta dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Perencanaan sebagai suatu tradisi, adalah analisis kebijakan, pembelajaran sosial, reformasi sosial, dan mobilisasi sosial (Friedman, 1987). Langkah penting dalam menyusun perencanaan terdiri dari pemilihan alternatif, alokasi sumber daya dan upaya untuk menggerakkannya, upaya-upaya untuk mencapai tujuan, dan penyusunan orientasi masa depan yang terukur. Sedangkan pendekatan dalam perencanaan daerah adalah teknokratis, partisipatif, politis, top down dan bottom up (Permendagri Nomor 54 tahun 2010), sebagai berikut :

1 2 3

Proses teknokratif, proses berdasarkan kaidah-kaidah ilmu perencanaan, yang hasilnya dilaksanakan dengan pendekatan Top Down. Partisipatif, proses berdasarkan kaidah-kaidah demokrasi, yang hasilnya dilaksanakan dengan pendekatan Bottom Up.

Politis, proses berdasarkan kaidah-kaidah ilmu politik untuk membangun kesepahaman dan kesepakatan

Berdasarkan Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 (lampiran III), Bagan Alir Tahap Penyusunan RPJMD kabupaten/kota, sebagai berikut :

Evaluasi RPJMD berdasarkan Permendagri Nomor 54 Tahun 2010, meliputi pasal-pasal sebagai berikut : -

54

Pasal 213 ayat (1), menyatakan bahwa Kepala Bappeda provinsi melaksanakan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

RPJMD antar kabupaten/kota -

Pasal 223, menyatakan bahwa Evaluasi terhadap hasil rencana pembangunan daerah lingkup provinsi, antar kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 158 huruf c, meliputi RPJP, RPJMD, RKPD


-

Pasal 230 ayat (1), berisi Evaluasi terhadap hasil rencana pembangunan daerah lingkup provinsi, antar kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 158 huruf c, meliputi RPJP, RPJMD, RKPD

-

Pasal 231 ayat (2) berisi Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bupati/Walikota sebagai bahan penyusunan RPJMD kabupaten/kota masing-masing pada periode berikutnya

-

Pasal 230 ayat (2) berisi Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui penilaian hasil pelaksanaan RPJMD kabupaten/kota masing-masing

-

Pasal 231 ayat (3) berisi Kepala Bappeda Provinsi melaporkan hasil evaluasi RPJMD antar kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Gubernur.

-

Pasal 230 ayat (3) berisi Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk mengetahui: ¡

¡

-

-

Realisasi antara rencana program prioritas dan kebutuhan pendanaan RPJMD kabupaten/kota masing-masing dengan capaian rencana program dan kegiatan prioritas daerah dalam RKPD kabupaten/kota masing-masing; dan, Realisasi antara capaian dan rencana program dan prioritas yang direncanakan dalam RPJMD kabupaten/kota masingmasing dengan sasaran pokok RPJP kabupaten/kota masing-masing, serta dengan prioritas dan sasaran pembangunan daerah jangka menengah provinsi.

Pasal 230 ayat (4) berisi Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan untuk memastikan bahwa visi, misi, tujuan dan sasaran pembangunan jangka menengah daerah dapat dicapai untuk mewujudkan visi pembangunan jangka panjang kabupaten/kota masing-masing dan sasaran pembangunan menengah daerah provinsi Pasal 231 ayat (1) berisi Gubernur melalui kepala Bappeda Provinsi melaksanakan evaluasi terhadap hasil RPJMD antar kabupaten/kota

Kondisi Lapangan Kendala Utama Melaksanakan Evaluasi RPJMD -

Indikator keberhasilan yang digunakan masih bercampur antara yang bersifat makro dan merupakan output program, bercampur antara output dan outcome,

-

Pemahaman terhadap substansi permasalahan daerah berbeda,

-

Keterukuran

-

Analisis isu-isu strategis, dalam hal ini masih membutuhkan kajian-kajian akademik yang mendalam dan menyeluruh,

-

Kedalaman dalam menjelaskan permasalahan dan kebutuhan daerah, dan termasuk juga ketersediaan data,

-

Masalah-masalah spesiďŹ k daerah seperti fenomena lingkage pada metropolitan area dan pencapaian indikator-indikator pembangunan pada kawasan perbatasan

Foto: Istimewa

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

55


Analisis terhadap Evaluasi RPJMD kabupaten/kota di Jawa Barat

Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, dan Kota Banjar,

Melakukan evaluasi RPJMD kabupaten/kota Jawa Barat dapat ditinjau dengan dikelompokan berdasarkan dua klaster yakni RPJMD yang sedang pada masa pelaksanaan, dalam artian masih berjalan, dan RPJMD pada tahap penyusunan. Pada tahun 2016 terdapat 19 kabupaten/kota yang RPJMD nya masih berlaku tetapi dengan periode berlaku yang berbeda. Sisanya yakni 8 kabupaten/kota sedang pada tahap penyusunan RPJMD. Pada klaster RPJMD tahap pelaksanaan terdiri dari beberapa variasi masa berlaku RPJMD, sebagai berikut : -

Pertama, periode 2013-2018 terdiri dari Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung Barat, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi,

-

Kedua, periode 2014-2018 terdiri dari Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka,

-

Ketiga, periode RPJMD 2014-2019 terdiri Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Cirebon,

-

Keempat, periode RPJMD 2015-2019 yakni Kota Bogor.

Wilayah-wilayah yang RPJMDnya sedang masa penyusunan, ketika evaluasi RPJMD kabupaten/kota ini dilaksanakan terdiri dari Kabupaten Cianjur, Kota Depok, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Ta s i k m a l a y a , K a b u p a t e n I n d r a m a y u , d a n Kabupaten Karawang, serta Kabupaten Pangandaran. Pemberlakukan evaluasi terhadap RPJMD akan dilakukan dengan instrumen yang berbeda dengan evaluasi yang dilakukan pada dokumen RPJMD yang sedang berjalan. Idealnya, perioderisasi dokumen RPJMD yang berbeda di satu provinsi dievaluasi dengan melakukan desk valuation masing-masing kabupaten/kota secara terstruktur.

Tabel 1 Periode RPJMD Kabupaten/Kota di Jawa Barat NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 56

KABUPATEN/KOTA Kab. Bogor Kab. G a r u t Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. B e k a s i Kab. Bandung Barat Kota B o g o r Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab. Cianjur Kota Depok Kab. Sukabumi Kab. Bandung Kab. Tasikmalaya Kab. Indramayu Kab. Karawang Kab. Panandaran

PERIODE RPJMD 2013-2018 2014-2019 2014-2019 2014-2018 2014-2019 2014-2018 2014-2018 2014-2018 2013-2018 2012-2017 2013-2018 2015-2019 2013-2018 2013-2018 2013-2018 2013-2018 2012-2017 2013-2017 2014-2018 2011-2016 2011-2016 2010-2015 2010-2015 2011-2015 2011-2015 2011-2015 DOB

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

KLASTER Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan Penyusunan Penyusunan Penyusunan Penyusunan Penyusunan Penyusunan Penyusunan Penyusunan

Pemberlakuan evaluasi juga bersifat khusus untuk wilayah baru yakni Kabupaten Pangandaran. Kabupaten baru berpotensi untuk menyusun RPJMD dengan lebih baik mengingat peluang untuk melakukan benchmarking terhadap berbagai RPJMD dapat dilakukan. Beberapa kondisi ideal yang dimanifestasikan pada Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 dapat dinternalisasi lebih baik.

Hasil Evaluasi terhadap RPJMD Kabupaten/Kota di Jawa Barat Analisis terhadap dokumen mengindikasi beberapa hal yakni ketidaklengkapan infomasi terkait dengan proses penyusunan RPJMD. -

Pertama dokumen-dokumen yang perlu dilengkapi daerah adalah pembentukan tim penyusun RPJMD yang ditunjukkan oleh Bukti SK atau surat tugas serta naskah akademik RPJMD.


Foto: Istimewa

-

Kedua infomasi ini belum lengkap sehingga seolah-seolah belum dilakukan. Pada pengantar RPJMD perlu disebutkan secara lengkap bagaimana proses penyusunan RPJMD dilakukan pada masingmasing daerah termasuk dengan tim penyusun RPJMD.

Permasalahan lain dalam dokumen RPJMD kabupaten/kota beberapa informasi terkait dengan penyandingan/sinkronisasi dengan RPJPD belum dilakukan sehingga terdapat gap antara RPJMD dengan RPJP. RPJPD seolah-olah tidak diacu secara terstruktur pada dokumen RPJMD. Penyandingan antar dokumen perencanaan masih menjadi masalah umum pada RPJMD klaster ini. Untuk mempermudah proses evaluasi, sangat dianjurkan untuk menyusun matriks sandingan antara RPJPD dengan RPJMD per tahap, terutama terkait dengan capaian pembangunan. Sandingan tersebut akan mempermudah ketika menyusun RPJMD periode berikutnya sehingga mengurangi pengulangan-pengulangan rencana, yang terfokus pada rencana kegiatan. Kegiatan proses perencanaan juga perlu disebutkan seperti kegiatan musrenbangda dan apa saja yang menjadi isu-isu kritis yang ditemukan pada proses tersebut. Penyandingan dengan dokumen RPJMN menjadi masalah umum dalam dokumen RPJMD. Beberapa isu strategis pada RPJMN perlu diadopsi pada RPJMD sehingga daerah dapat memberi warna khas pada dokumen perencanaannya. Adanya konsolidasi pada dokumen RPJM akan memberi batas yang jelas ruang lingkup yang dapat diperkuat daerah, ruang lingkup yang dipertegas daerah, atau ruang lingkup yang perlu diisi oleh daerah karena luput dari perhatian RPJMN namun penting bagi daerah yang bersangkutan.

Ketiadaan penyandingan RPJMN secara eksplisit berimplikasi pada beberapa isu strategis nasional tidak dimasukkan pada RPJMD padahal secara eksplisit disebutkan pada Permendagri Nomor 54 Tahun 2010. Isu-isu nasional tersebut antara lain program aksi daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonik. Beberapa isu tersebut bisa saja tidak menjadi isu strategis di daerah. Untuk memenuhi tuntutan Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 tersebut, daerah perlu secara eksplisit menyampaikan semua isu yang ada pada indikator aturan yang dimuat. Isu lain yang seringkali tidak dimuat di dokumen RPJMD adalah terkait dengan iklim usaha dan investasi. Ketiadaan penyandingan terhadap RPJMN, R PJ M P r o v i n s i J a w a B a r a t s e r t a R PJ P D kabupaten/kota juga berdampak pada tidak terpenuhinya item pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dijawab berdasarkan ketentuan format-format yang terdapat dalam Permendagri Nomor 54 Tahun 2010. Terdapat dua artikel lain yang tidak dapat dipenuhi oleh RPJMD kabupaten/kota yakni rumusan tujuan dan sasaran pembangunan jangka menengah daerah berpedoman pada tujuan dan sasaran pembangunan jangka panjang daerah provinsi dan rumusan tujuan dan sasaran pembangunan jangka menengah daerah mengacu pada tujuan dan sasaran pembangunan jangka menengah nasional. Beberapa indikator nasional tidak disebutkan ekslipisit pada dokumen RPJMD kabupaten/kota antar lain pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan, upaya penurunan tingkat pengangguran, pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam, konservasi dan pemanfaatan lingkungan hidup, penguasaan dan pengelolaan

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

57


resiko bencana. Indikator-indikator tersebut kadangkala harus dimediasi melalui interview mendalam karena secara umum setiap daerah memiliki cara untuk mengindentiďŹ kasi isu-isu strategis pada wilayah masing-masing.

yang memadai, sehingga hasil yang di harapkan dapat dicapai sesuai peraturan Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 tersebut dapat diwujudkan dengan baik dan sempurna.

Sinkronisasi dokumen perencanaan antar berbagai level (Kabupaten/Kota, Provinsi, Pemerintah Pusat) akan memberi implikasi kelak terhadap pencapaian outcome. Ruang kendali masing-masing tingkat pemerintahan lebih efektif jika tidak terjadi tumpang tindih. Batasan fungsi dan peran juga akan membantu ketika mengevaluasi dan melakukan pengendalian. Sinkronisasi akan membantu fokus pemerintah daerah sehingga tidak membenani daerah dengan urusan-urusan yang dapat dilakukan oleh pusat dan provinsi namun justru memperkuat sehingga output pembangunan dapat dicapai lebih cepat dan eďŹ sien. Untuk mensiasati persoalan tersebut, daerah dapat memastikan bahwa dokumen RPJMD memenuhi standar dokumen perencanaan yang telah ditetapkan melalui Permendagri Nomor 54 Tahun 2010. Indikator-indikator yang dimuat pada setiap tabel evaluasi dapat dimanifestasikan pada narasi dokumen RPJMD.

Foto: Humas Bappeda

Permasalahan penyandingan antar dokumen perencanaan juga terjadi pada sinkronisasi terhadap dokumen RTRW. Pada umumnya daerah fokus menggali isi RTRWD masing-masing tanpa menyandingkannya dengan daerah sekitarnya terutama wilayah-wilayah yang berbatasan dan memiliki sumber daya bersama yang saling terhubung. Hal ini menjadi sorotan bahwa dokumen RPJMD perlu mengulas juga terkait hasil sinkronisasi tersebut.

Rekomendasi Temuan-temuan mengindikasikan beberapa hal yakni; 1.

Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 memiliki format yang terlalu rinci lebih menekankan sejumlah hal yang harus sangat “clear�, pada lampiran Permendagri khususnya aspek evaluasi dokumen RPJMD. Kebebasan kabupaten/kota menuangkan ide-ide khas daerah menjadi sulit diakomodir pada format RPJMD versi Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 tersebut. Pendekatan yang dilakukan terlalu output base bukan outcome base. Untuk itu diperlukan format evaluasi RPJMD kabupaten/kota yang fokus pada pencapaian outcome sehingga memberi ruang bagi kabupaten/kota berimprovisasi untuk mencapai outcome (hasil) pembangunan yang berkualitas dan berkelanjutan.

2.

Sinkronisasi antar dokumen perencananaan yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya yakni mencakup RPJMD Provinsi, RPJP kabupaten/kota, RTRWD wilayah yang berbatasan, dan RPJMN merupakan suatu

Kesimpulan Berdasarkan hasil beberapa evaluasi di beberapa kabupaten/kota yang dilaksanakan pada tahun 2016, dapat dilakukan walaupun masih jauh dikatakan dari sempurna, dengan terdapat berbagai keterbatasan seperti kurangnya SDM evaluator yang ada, dokumen kurang lengkap, dan kertas kerja tidak terdokumentasikan, serta waktu pelaksanaan kurang memadai. Tetapi dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil pengendalian dan evaluasi dokumen perencanaan pembangunan baik kabupaten/kota, provinsi dapat dilakukan setiap tahun dengan dukungan

58

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


keharusan sehingga upaya pencapaian outcome pembangunan dilakukan terintegrasi dengan baik yang berimplikasi pada lahirnya program-program yang mengakselerasi pencapaian outcome pembangunan. 3.

Lampiran Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 terkait evaluasi RPJMD dapat dijadikan acuan ketika menyusun atau melakukan review RPJMD kabupaten/kota sehingga tingkat keterjawaban pelaksanaan Permendagri tersebut terlaksana dengan nilai tinggi.

4.

Perlu ditingkatkan koordinasi antara Kemendagri dan Bappeda Provinsi serta Bappeda kabupaten/kota.

5.

Perlu dilakukan pertemuan rutin antara Bappeda Provinsi dengan Bappeda Kabupaten/Kota dengan maksud pelaksanaan pengendalian dan evaluasi dokumen perencanaan pembangunan tersebut dapat dilakukan dengan maksimal disertai dokumen lengkap, dan kertas kerja yang terlampirkan, sehingga dapat dicapai hasil pengendalian dan evaluasi sebagai masukan terhadap dokumen perencanaan selanjutnya.

a

ew

tim

: Is

o Fot

Daftar Pustaka Dokumen RPJMD kabupaten/kota , RKPD kabupaten/kota Tahun 2016 se Jawa Barat Peraturn – Peraturan Undang-Undang 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2008, tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Pe n y u s u n a n , Pe n g e n d a l i a n d a n E v a l u a s i Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

59


JENDELA PERENCANAAN


Kebun Raya Kuningan Kabupaten Kuningan saat ini tengah mempersiapkan diri untuk menjadi Kabupaten Konservasi. Kesadaran konservasi kabupaten tersebut telah mendorong pula untuk menangkap peluang pemanfaatan sumber daya hayati melalui pembangunan kebun raya. Keberhasilan Kebun Raya Bogor sebagai lembaga (1) konservasi, (2) penelitian, (3) penunjang pendidikan, dan (4) pariwisata, telah menumbuhkan keinginan Kabupaten Kuningan menyelaraskan pembangunan wilayahnya dengan membangun Kebun Raya Kuningan (KRK). Dengan harapan akan menjadi pendukung kabupatenkabupaten industri di sekitarnya, peran dan fungsi KRK menjadi sangat strategis. Terlebih karena kawasan Kebun Raya berdampingan dengan Taman Nasional Gunung Ciremai, yang hampir separuh kawasannya berada di Kabupaten Kuningan. Sumber: www.kuningankab.go.id

Foto: Humas Bappeda


TOL CIPALI PADA INTERCHANGE KERTAJATI


Foto: Humas Bappeda


Catatan Kasus di Kab. Kuningan

Peramalan (Forecasting) dalam Perencanaan Pembangunan 64

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


WAWA S A N PERENCANAAN

Oleh Eka Komara*

Foto: Humas Bappeda

Peramalan merupakan bagian awal dari suatu proses pengambilan suatu keputusan. Jika peramalan baik dan jujur, maka akan membuat keputusan baik dan sebaliknya. Maka dari itu jika di negeri kita para pembuat kebijakannya mendapat masukan yang salah, maka akan mempengaruhi arah kebijakan pembangunan.

*) Perencana Madya-Bappeda Kab. Kuningan Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

39 65


Foto: Humas Bappeda

Pendahuluan

K

aitan peramalan dengan pembangunan tidak saja zaman sekarang. Istilah ini kerap terdengar sejak “kuda gigit besi� . Misalnya. Penguasa Mesir membuat kebijakan baik yakni ketahahan pangan yang kuat setelah mendapat masukan dari Nabi Yusuf yang telah meramalkan mimpi raja. Namun sebaliknya penguasa lainnya yang dikenal Fir'aon, dia membuat kebijakan yang buruk untuk membunuh semua bayi laki-laki karena ada masukan dari penasehat Dukun Ramalnya. Dua kisah ramalan dan keputusan pembuat kebijakan. Tergambar disini bahwa Peramalan merupakan bagian awal dari suatu proses pengambilan suatu keputusan. Jika peramalan baik dan jujur, maka akan membuat keputusan baik dan sebaliknya. Maka dari itu jika di negeri kita para pembuat kebijakannya mendapat masukan yang salah, maka akan mempengaruhi arah kebijakan pembangunan.

66

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


Foto: Humas Bappeda

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

67


Fitri Lukiastuti ( 2009 : 43 )

68

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


1.

2.

3.

MAPE (Mean Absolute Percentage Error) Merupakan rata-rata dari keseluruhan persentase kesalahan (selisih) antara data aktual dengan data hasil peramalan, Ukuran akurasi dicocokkan dengan data time series, dan ditunjukkan dalam persentase, MAD (Mean Absolute Deviation) Merupakan rata-rata dari nilai absolutsimpangan, MSD (Mean Squared Deviation) Merupakan rata-rata dari nilai kuadrat simpangan data,

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

69


Çrend Analysis Plot for Pajak Daerah

ÇrendAnalysis Plot for Pajak Daerah

[inear Trend Model òt = -2458622805 + 8153198260×t

vuadratic TrendModel òt =8951209593 +546643329×t +950819366×t^2

ᾂ,4000E+11

ëariable ! ctual Cits Corecasts ! ccuracy Measures a APE ᾂ,58246E+01 a AD ᾄ,40971E+0 a SD ᾂ,49035E+19

t ajak Daerah

ᾂ,0000E+11 ᾉ,0000E+10 ᾇ,0000E+10 ᾅ,0000E+10

ᾄ,0000E+11

ëariable ! ctual Cits Corecasts

ᾃ,5000E+11

t ajak Daerah

ᾂ,2000E+11

ᾃ,0000E+10

! ccuracy Measures aAPE ᾇ,16122E+00 aAD ᾂ,68308E+0 aSD ᾅ,05481E+18

ᾃ,0000E+11

ᾂ,5000E+11

ᾂ,0000E+11

ᾆ,0000E+10

ᾁ ᾃ

ᾂ0

ᾂ2

ᾂ4

ᾂ6

ᾁ ᾃ

Lndex

ᾂ0

ᾂ2

ᾂ4

ᾂ6

Lndex

Çrend Analysis Plot for Pajak Daerah

Çrend Analysis Plot for Pajak Daerah

Drowth Curve Model òt = 7875124956 × (1,3416^t)

{ -Curve Trend Model òt = (10^12) / (7,97248 + 162,370×(0,656318^t))

ᾂ,2000E+12

ëariable ! ctual Cits Corecasts ! ccuracy Measures a APE ᾇ,84177E+00 a AD ᾃ,03405E+0 a SD ᾆ,61389E+18

ᾉ,0000E+11

ᾇ,0000E+11

ᾅ,0000E+11

ᾂ,0000E+11

t ajak Daerah

t ajak Daerah

ᾂ,0000E+12

ëariable ! ctual Cits Corecasts

ᾂ,2000E+11

/urve Parameters Lntercept ᾆ,87054E+0 ! symptote ᾂ,25432E+11 ! sym. Rate ᾇ,56318E-01

ᾉ,0000E+10 ᾇ,0000E+10

! ccuracy Measures a APE ᾈ,26591E+00 a AD ᾂ,83900E+0 a SD ᾆ,10053E+18

ᾅ,0000E+10 ᾃ,0000E+11

ᾃ,0000E+10 ᾁ ᾃ

ᾂ0

ᾂ2

ᾂ4

ᾂ6

ᾁ ᾃ

Lndex

ᾂ0

ᾂ2

ᾂ4

ᾂ6

Lndex

Bisa terlihat bahwa nilai MAPE Linier terkecil sehingga diambil kesimpulan bahwa model terbaik untuk Analisis Trend dari Pajak Daerah adalah Model yang terkecil adalah Linier Trend Model Fitted Trend Equation

Forecasts

Yt = -2458622805 + 8153198260×t

Period Forecast 8 6,27670E+10 9 7,09202E+10 10 7,90734E+10 11 8,72266E+10 12 9,53798E+10 13 1,03533E+11 14 1,11686E+11 15 1,19839E+11 16 1,27993E+11 17 1,36146E+11

Accuracy Measures MAPE 1,58246E+01 MAD 3,40971E+09 MSD 1,49035E+19

70 Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 70


b.Retribusi

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

71


Fitted Trend Equation

Forecasts

Yt = 61690862036 - 12656468434×t + 1329547973×t^2,

Period Forecast 8 4,55302E+10 9 5,54760E+10 10 6,80810E+10 11 8,33450E+10 12 1,01268E+11 13 1,21850E+11 14 1,45092E+11 15 1,70992E+11 16 1,99552E+11 17 2,30770E+11

Accuracy Measures MAPE 2,96763E+01 MAD 8,63121E+09 MSD 1,08505E+20

c. Pengelolaan Kekayaan Daerah

72

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


Çrend Analysis Plot for Pengelolaan Kekayaan Daerah

Çrend Analysis Plot for Pengelolaan Kekayaan Daerah

[inear Trend Model òt = 1917430684 + 116421611×t

vuadratic Trend Model òt = 2645961108 - 369265338×t + 60710869×t^2 ëariable ! ctual Cits Corecasts

ᾄ500000000

! ccuracy Measures a APE ᾂ,01601E+01 a AD ᾃ,34512E+0 a SD ᾇ,76799E+16

ᾄ000000000

ᾃ500000000

ᾃ000000000

ëariable ! ctual Cits Corecasts

ᾂ,4000E+10

t engelolaan Kekayaan Daerah

t engelolaan Kekayaan Daerah

ᾅ000000000

ᾂ,2000E+10

! ccuracy Measures a APE ᾆ,07203E+00 a AD ᾂ,13090E+08 a SD ᾃ,34502E+16

ᾂ,0000E+10 ᾉ000000000 ᾇ000000000 ᾅ000000000 ᾃ000000000

ᾂ0

ᾂ2

ᾂ4

ᾂ6

Lndex

ᾂ0

ᾂ2

ᾂ4

ᾂ6

Lndex

Çrend Analysis Plot for Pengelolaan Kekayaan Daerah

error

Drowth Curve Model òt = 1963131370 × (1,0470^t)

t engelolaan Kekayaan Daerah

ᾅ500000000

ëariable ! ctual Cits Corecasts

ᾅ000000000

! ccuracy Measures a APE ᾂ,00388E+01 a AD ᾃ,33850E+0 a SD ᾇ,45709E+16

ᾄ500000000

ᾄ000000000

ᾃ500000000

ᾃ000000000 ᾃ

ᾂ0

ᾂ2

ᾂ4

ᾂ6

Lndex

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

73


74

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


Desain: Rama

Sumber Informas

Perencanaan Pembangunan Jaw Bara

Design by: Rama


WAWA S A N PERENCANAAN

Analisis Potensi Retribusi Aset Milik Pemerintah Daerah (Studi Kasus Retribusi Sewa Tanah untuk Pemasangan Reklame di Ruas Jalan Provinsi Jawa Barat)

Oleh Akhmad Tauď€ qurrachman* dan Nugraha**

Ruas jalan provinsi di Jawa Barat mencapai 2.199,18 km yang secara peraturan memungkinkan dimanfaatkan sebagai titik reklame dapat memunculkan potensi pendapatan retribusi yang sangat besar

*) PNS pada Balai Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat **) Staf Pengajar Universitas Pendidikan Indonesia dan STIA LAN RI


Foto: Humas Bappeda

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

77


Pendahuluan Sebagai suatu daerah otonom, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakannya untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Jawa Barat diantaranya diperoleh melalui retribusi daerah. Dari tahun ke tahun, pendapatan daerah dari retribusi masih tergolong kecil yaitu tidak melebihi 0,5 persen dari total pendapatan daerah, sedangkan potensi pendapatan dari retribusi sangat besar dan belum digali secara optimal. Salah satunya adalah potensi retribusi sewa tanah di ruas jalan provinsi untuk pemasangan reklame yang belum digali sama sekali. Dengan ruas jalan provinsi di Jawa Barat mencapai 2.199,18 km yang secara peraturan memungkinkan dimanfaatkan sebagai titik reklame dapat memunculkan potensi pendapatan retribusi yang sangat besar. Namun hingga saat ini Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 19 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2009 tentang Garis Sempadan Jalan yang ditindaklanjuti dengan diterbitkanya Peraturan Gubernur Nomor 41 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 tahun 2009 tentang Garis Sempadan Jalan, yang menjadi dasar penyelenggaraan retribusi sewa tanah pada ruas jalan provinsi untuk pemasangan reklame belum dapat diimplementasikan secara optimal. Beberapa kendala dihadapi antara lain belum adanya koordinasi yang baik dengan pemerintah kabupaten/kota, dan penetapan besar tarif retribusi yang hanya didasarkan proyeksi-proyeksi tanpa kajian akademik. Salah satu pendekatan yang mampu menentukan besaran potensi tersebut adalah menggunakan Analisis Penggunaan Tertinggi dan Terbaik atau Highest and Best Used Analysis (HBU Study). Siregar (2004 : 553) menyebutkan optimalisasi Aset (HBU Study) dapat dilakukan terhadap aset yang dipandang belum optimal sehingga akan dapat menentukan pemanfaatan aset dengan nilai terbaik. Selain itu HBU Study akan mampu memberikan hasil dan laporan terbaik

78

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

dalam bentuk data-data terkini (up-date) maupun dalam bentuk rekomendasi. Untuk itu, dalam hal ini peneliti ingin menelaah lebih lanjut mengenai seberapa besar potensi retribusi pemakaian kekayaan daerah bagi PAD khususnya retribusi sewa tanah untuk pemasangan reklame di ruas jalan provinsi Jawa Barat dengan mengambil lokus penelitian di tiga lokasi yaitu Ruas Jalan Mayor Oking Cibinong Kabupaten Bogor, Ruas Jalan Oto Iskandardinata Kabupaten Subang, dan Ruas Jalan Dr. Setiabudi Kota Bandung, sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul “Analisis Potensi Retribusi Aset Milik Pemerintah Daerah (Studi Kasus Retribusi Sewa Tanah untuk Pemasangan Reklame di Ruas Jalan Provinsi Jawa Barat)�.

Aset daerah sebagai salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, harus dikelola dengan baik dan benar sehingga akan terwujud pengelolaan barang daerah yang transparan, e isien, akuntabel dan adanya kepastian nilai/keterukuran yang dapat berfungsi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari pemerintahan daerah. Yusuf (2013 : 13)

Kerangka Teoritis Halim (2008:25) menyatakan bahwa keuangan daerah memiliki ruang lingkup yang terdiri atas keuangan yang dikelola langsung atau kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang-barang investasi milik daerah atau disebut aset daerah. Yusuf (2013 : 13) menyatakan bahwa aset daerah sebagai salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintah dan


pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, harus dikelola dengan baik dan benar sehingga akan terwujud pengelolaan barang daerah yang transparan, efisien, akuntabel dan adanya kepastian nilai/keterukuran yang dapat berfungsi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari pemerintahan daerah. Tuntutan terhadap pengelolaan daerah yang lebih profesional dan akuntabel membutuhkan adanya upaya nyata yang sistematis dan menyeluruh dalam pengelolaan daerah pada masa mendatang salah satunya muncul konsep manajemen aset sebagai salah satu upaya optimalisasi. Siregar (2004: 553) menjelaskan bahwa dalam studi optimalisasi aset dapat menggunakan studi penggunaan tertinggi dan terbaik / highest and best use(HBU) analysis, terutama terhadap aset yang dipandang belum optimal untuk menentukan pemanfaatan aset dengan nilai terbaik (analisis optimalisasi). Selain itu HBU mampu memberikan hasil dan laporan kegiatan baik dalam bentuk data-data terkini maupun dalam bentuk rekomendasi. Menurut Hidayati dan Hardjanto (2014: 56), dalam menganalisis suatu penggunaan tertinggi dan terbaik terdapat empat kriteria yang harus dipenuhi yaitu: 1. Dimungkinkan secara fisik; Hidayati dan Hardjanto (2014 : 56) menyatakan bahwa kriteria pertama yang harus dipenuhi dalam menganalisis penggunaan tertinggi dan terbaik dari suatu properti adalah kelayakan secara fisik. Ukuran, bentuk tanah, luas dan kemiringan tanah mempunyai pengaruh terhadap penggunaan bidang tanah, demikian juga lebar depan dan panjang tanah. Selain itu dalam analisis fisik yang juga perlu dipertimbangkan adalah kapasitas dan tersedianya fasilitas umum. Sejalan dengan hal tersebut, Pranowo (2005 : 3) menyebutkan dalam menentukan kelayakan secara fisik harus memperhatikan beberapa aspek yaitu (1) Aspek Teknis; dan (2) Aspek Lingkungan dan Keselamatan. 2.

Diijinkan secara peraturan ; Hidayati dan Hardjanto (2014 : 57) menyebutkan hal yang perlu dikaji dalam

kelayakan secara aturan adalah peruntukan (zoning), aturan mengenai bangunan dan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan lingkungan seperti yang berkenaan dengan udara bersih, lingkungan bersih, air bersih, maupun yang berkenaan dengan keamanan. Sebelum dilakukan analisis kelayakan keuangan, terlebih dahulu dilakukan analisis pasar dengan memperhatikan setiap kekuatan permintaan dan penawaran untuk alternatif penggunaan yang memungkinkan. Terkait dengan pendapat tersebut, berkenaan dengan pemasangan reklame yang harus memperhatikan peraturanperaturan terkait yang berlaku, maka dalam penelitian ini beberapa peraturan yang harus diperhatikan yaitu peraturan yang berkenaan dengan pemanfaatan ruas jalan provinsi untuk pemasangan reklame yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yaitu: 1) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Garis Sempadan Jalan; dan 2) Peraturan Gubernur Nomor 41 Tahun 2013 Tentang Pentunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Garis Sempadan Jalan. 3.

Layak secara keuangan; Hidayati dan Hardjanto (2014 : 58) menyebutkan bahwa setelah melalui kedua filter utama yaitu faktor fisik dan peraturan maka kegunaan yang memungkinkan tersebut perlu dianalisis lebih lanjut dalam menghasilkan pendapatan, tingkat pengembalian (return), apakah sama atau lebih besar dari biaya operasi, dan sebagainya. Semua kegunaan yang diekspektasikan dapat memberi positive return dianggap memiliki kelayakan keuangan. Dalam menentukan kelayakan keuangan dari pemasangan reklame di ruas jalan Provinsi Jawa Barat dapat dilakukan, pertama dengan membuat alternatifalternatif potensi retribusi antara lain dengan menghitung potensi berdasarkan

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

79


peraturan yang ada, membandingkan dengan properti sejenis yaitu mengumpulkan informasi harga sewa tanah untuk pemasangan reklame yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota maupun pemerintah provinsi lain yang menerapkan kebijakan yang sama sehingga dapat menentukan nilai koeďŹ sien tarif, serta dengan menentukan nilai wajar sewa tanah. Kedua, melakukan analisis kelayakan keuangan sederhana dari alternatif-alternatif potensi tersebut, dengan memperhitungkan potensi pendapatan bersih yang dikurangi dengan pengeluaran, biaya operasi, biaya pembangunan dan sebagainya. Terkait dengan kemungkinan biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam pemasangan reklame pada ruas Jalan Provinsi Jawa Barat. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat tidak akan membangun konstruksi reklame, oleh karena itu dianggap tidak akan ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan, sehingga perhitungan potensi retribusi dari sewa tanah untuk pemasangan reklame akan diasumsikan sebagai potensi pendapatan yang akan diterima oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 4.

Memberikan hasil yang maksimal. Hidayati dan Hardjanto (2014 : 58) menyebutkan dari kegunaan-kegunaan yang layak secara ďŹ sik, memungkinkan secara peraturan, faktor permintaan dan penawaran setiap alternatif penggunaan, layak secara keuangan, maka kegunaan yang menghasilkan nilai tertinggi dan yang tingkat pengembaliannya konsisten dan terbesar merupakan kegunaan tertinggi dan terbaik yang dipilih.

Dalam konteks penelitian ini peneliti menyusun model penelitian atau model berďŹ kir analisis potensi retribusi pemakaian kekayaan negara dalam hal ini retribusi sewa tanah di ruas jalan provinsi untuk pemasangan reklame sebagaimana terlihat dalam gambar berikut:

GAMBAR 1 MODEL BERFIKIR

Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui participant observation (keikutsertaan observasi), in depth interview (wawancara mendalam) dan studi dokumentasi. Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah teknis analisis data kualitatif yaitu melalui data reduction, data display, dan conclusion drawing/veriďŹ cation.Selanjutnya, karena penelitian berangkat dari data maka dibutuhkan teknik menguji keabsahan data yang menggunakan teknik triangulasi.

Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian terhadap potensi retibusi pemakaian kekayaan daerah bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sewa tanah untuk pemasangan reklame pada tiga ruas jalan 80

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

Provinsi Jawa Barat yaitu Jalan Mayor Oking Cibinong Kabupaten Bogor, Jalan Oto Iskandardinata Kabupaten Subang dan Jalan Dr. Setiabudi Kota Bandung, yang dianalisis dengan


dimensi dan aspek-aspek meliputi dimungkinkan secara ďŹ sik/physically possible, diijinkan secara peraturan/legally permissible, kelayakan keuangan/ďŹ nancial feasible, dan memberikan hasil yang maksimal/maximally productive, sehingga dapat menentukan penggunaan tertinggi dan terbaik dari potensi-potensi retribusi yang ada, mengetahui potensi yang hilang, serta mengetahui potensi produktivitas retribusi jalan yang ditunjukan dengan tabel dibawah ini:

TABEL RINGKASAN HASIL PENELITIAN

Physically Possible

Legally Permissible

Ruas Jalan Mayor Oking Cibinong Kabupaten Bogor (3,79 km)

Ruas Jalan Oto Iskandardinata Kabupaten Subang (2,6 km)

Ruas Jalan Dr. Setiabudi Kota Bandung (4,9 km)

Nilai ekonomi yang tinggi Topografi cukup mendukung, relatif tidak memberi kendala terhadap pemasangan reklame Potensi gangguan aibat masalah Hidrologi dan Drainase rendah Potensi gangguan terhadap lingkungan biologi rendah Potensi gangguan terhadap lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya rendah Layak secara aspek fisik

Nilai ekonomi tidak terlalu tinggi (sedang) Topografi mendukung, tidak memberi kendala terhadap pemasangan reklame Potensi gangguan aibat masalah Hidrologi dan Drainase rendah Potensi gangguan terhadap lingkungan biologi rendah Potensi gangguan terhadap lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya rendah Layak secara aspek fisik

Nilai ekonomi sangat tinggi Topografi cukup mendukung, di beberapa titik dapat memberi kendala terhadap pemasangan reklame Potensi gangguan aibat masalah Hidrologi dan Drainase sedang Potensi gangguan terhadap lingkungan biologi sedang Potensi gangguan terhadap lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya rendah Layak secara aspek fisik

Reklame yang diijinkan berdiri sesuai peraturan: 1. Billboard 25 buah 2. Bando 7 buah

Reklame yang diijinkan berdiri sesuai peraturan: 1. Billboard 12 buah 2. Bando 5 buah

Reklame yang diijinkan berdiri sesuai peraturan: 1. Billboard 33 buah 2. Bando 9 buah

Dari 191 buah reklame eksiting berdiri

Dari 237 buah reklame eksiting berdiri

Dari 330 buah reklame eksiting berdiri

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

81


Perda 19/2014 dan Pergub Jabar 41/2013 Pergub DKI Jakarta 27/2014 Pergub DKI Jakarta 27/2014 (disesuaikan) Permenkeu 33/PMK.06/ 2012 dan Pergub Jabar 41/2013 Maximally Productive

Potensi Hilang

yang

Potensi Produktivitas Retribusi Jalan (Retribusi Per Panjang Jalan – Rp./km) Perda 19/2014 dan Pergub Jabar 41/2013 Pergub DKI Jakarta 27/2014 Pergub DKI Jakarta 27/2014 (disesuaikan) Permenkeu 33/PMK.06/2012 dan Pergub Jabar 41/2013 82

Ruas Jalan Oto Iskandardinata Kabupaten Subang (2,6 km)

Ruas Jalan Dr. Setiabudi Kota Bandung (4,9 km)

Potensi Retribusi (Rp.)

Potensi Retribusi (Rp.)

Potensi Retribusi (Rp.)

617.215.000,00

333.975.000,00

809.205.000,00

9.280.125.000,00

2.646.250.000,00

18.190.687.500,00

3.062.441.250,00

767.412.500,00

7.640.088.750,00

315.337.680,00

91.408.500,00

812.087.100,00

Kegunaan tertinggi dan terbaik yang dijadikan rekomendasi dasar perhitungan tarif retribusi adalah Pergub DKI Jakarta 27/2014 (disesuaikan)

Kegunaan tertinggi dan terbaik yang dijadikan rekomendasi dasar perhitungan tarif retribusi adalah Pergub DKI Jakarta 27/2014 (disesuaikan)

Kegunaan tertinggi dan terbaik yang dijadikan rekomendasi dasar perhitungan tarif retribusi adalah Pergub DKI Jakarta 27/2014 (disesuaikan)

Rp. 993.530.000,00 per tahun

Rp. 822.710.000,00 per tahun

Rp. 1.743.422.500,0 0 per tahun

Potensi Produktivitas (Rp./km)

Potensi Produktivitas (Rp./km)

Potensi Produktivitas (Rp./km)

162.853.562,00

128.451.923,00

165.143.878,00

2.448.581.794,00

1.017.788.462,00

3.712.385.204,00

808.031.992,00

295.158.653,00

1.559.201.785,00

83.202.554,00

35.157.115,00

165.732.061,00

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

Sumber: Hasil studi dokumentasi

Financial Feasible

Ruas Jalan Mayor Oking Cibinong Kabupaten Bogor (3,79 km)


Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa analisis potensi retribusi pemakaian kekayaan daerah melalui sewa tanah untuk pemasangan reklame di ruas jalan Provinsi Jawa Barat, menunjukan antara lain: ¡

¡

¡

Pada di m e n s i p hysic a lly p o s s ib le, meskipun di ketiga ruas jalan menunjukan nilai ekonomi yang berbeda-beda namun untuk pemasangan reklame dikatakan layak secara ďŹ sik; Pada dimensi maximally productive, meskipun hasil kelayakan keuangan menunjukkan perhitungan tarif retribusi berdasarkan Pergub DKI Jakarta Nomor 27 Tahun 2014 merupakan kegunaan tertinggi dan terbaik dalam menghitung potensi, namun tidak serta merta dapat digunakan sebagai landasan kebijakan retribusi sewa tanah untuk pemasangan reklame di ruas jalan Provinsi Jawa Barat. Penyesuaian dengan tingkat ekonomi lokal diperlukan, karena tingkat ekonomi ketiga daerah studi lebih rendah daripada tingkat ekonomi di Jakarta sehingga disesuaikan dengan indeks ekonomi antar wilayah yang disetarakan. Produktivitas retribusi jalan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan retribusi sewa tanah untuk pemasangan reklame di ruas jalan Provinsi Jawa Barat yang menerapkan prinsip berkeadilan.

yang telah disesuaikan dengan tingkat ekonomi lokal merupakan kegunaan tertinggi dan terbaik yang menghasilkan potensi retribusi terbesar dibandingkan dengan perhitungan Perda 19/2014 dan Pergub Jabar 41/2013, serta perhitungan Permenkeu 33/PMK.06/2012 dan Pergub Jabar 41/2013. Berdasarkan kesimpulan di atas dapat disarankan upaya-upaya konkret yang perlu ditempuh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat sebagai berikut:

1

Melaksanakan evaluasi terhadap perhitungan tarif retribusi pemakaian ruas jalan provinsi untuk pemasangan reklame yang ada di Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 19 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah;

2

Menerbitkan Peraturan Gubernur yang secara khusus mengatur mekanisme perizinan pemasangan reklame pada ruas jalan provinsi, dukungan teknis, pola koordinai dan hubungan kerja antar perangkat daerah, pembinaan, pengawasan dan evaluasi.

Menerbitkan Keputusan Gubernur pembentukan tim teknis yang bertugas melaksanakan kebijakan pemasangan reklame pada ruas jalan provinsi, serta sinergitas peraturan dengan kabupaten/kota.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan berbagai uraian, analisis dan pengkajian terhadap potensi retribusi pemasangan reklame pada ruas jalan provinsi dengan menggunakan perangkat analisa kualitatif, baik secara teori maupun empirik maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1

Retribusi pemakaian ruas jalan provinsi untuk pemasangan reklame memberikan potensi yang sangat besar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Jawa Barat;

2

Highest and Best Use Analysis mampu memberikan rekomendasi hasil yang maksimal terhadap potensi retrebusi pemakaian ruas jalan provinsi untuk pemasangan reklame;

3

Dasar perhitungan menggunakan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 27 Tahun 2014

Foto: Humas Bappeda

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

83


Daftar Pustaka Abdul, Halim. 2008. Akuntansi Keuangan Daerah Edisi Revisi 3. Jakarta: Salemba Empat. Ali F. 1997. Metode Penelitian Sosial dalam Ilmu Administrasi dan Pemerintahan. Jakarta: Raja Grafindo. Asyari SI. 1983. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rhineka Cipta. Bungin B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Prenada Putera Grafika. Davey, K. J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga. Jakarta : UI – Press. Dotzour, M. G., Grissom, T. V., Liu, C. H. and Pearson, T. 1990. Highest and Best Use: The Evolving Paradigm. Texas : American Real Estate Society.

Hidayati W dan Harjanto B. 2014. Konsep Dasar Pe n i l a i a n P r o p e r t i , E d i s i Ke d u a . Yogyakarta: BPFE. Moleong LJ. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. Nasution, S. 2003. Metode Penelitian NaturalistikKualitatif. Bandung: Tarsito. Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Pranowo. H. C. 2005. Pedoman Konstruksi dan Banguna: Studi Kelayakan Proyek Jalan dan Jembatan. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum Siregar, Doli D. 2004. Manajemen Aset. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Yusuf, M. 2010. Delapan Langkah Pengelolaan Aset Daerah Menuju Keuangan Daerah Terbaik. Jakarta: Salemba Empat.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

3.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

4.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

5.

Peraturan Menteri Keuangan No. 174/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 33/PMK.06/2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara.

6.

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Garis Simpadan Jalan.

7.

Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah

8.

Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2015.

9.

Peraturan Gubernur Nomor 41 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 tahun 2009 tentang Garis Simpadan Jalan.Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

10. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 27 Tahun 2014 tentang Penetapan Nilai Sewa Reklame.

84 Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


Kondisi eksisting reklame di ruas Jalan Dr. Setiabudi Kota Bandung

Kondisi eksisting reklame di ruas Jalan Oto Iskandardinata Kabupaten Subang

Kondisi eksisting reklame di ruas Jalan Mayor Oking Cibinong Kabupaten Bogor

Foto-foto: Dokumentasi Pribadi Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

85


OPINI

PERENCANAAN

Re-code Birokrasi & Organisasi 86

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017


Foto: Humas Bappeda

Oleh : Bisma Jatmika Tisnasasmita dan Syamsurizal Mahasiswa Program Doktor Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Negeri Jakarta

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

87


Kami berpikir bahwa seorang pemimpin memiliki peran dalam membentuk sistem birokrasi. Pemimpin dapat memberikan pengaruh pada pengelolaan sistem di dalam sebuah organisasi sekaligus membentuk dan menanamkan nilai serta keyakinan pada setiap anggotanya. Anggota organisasi ibarat DNA yang mengandung kodekode berupa nilai, budaya, keyakinan, dan norma yang semuanya membentuk karakteristik organisasi. Re-code DNA organisasi berarti 88

Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017

mengubah nilai, budaya, keyakinan, dan norma tersebut. Peran pemimpin sangat penting terutama dalam merencanakan, melaksanakan, dan menanamkan hasil-hasil perubahan ke dalam budaya organisasi. Indonesia telah mengalami enam periode pemerintahan presiden, namun perkembangan birokrasi di Indonesia belum sepenuhnya mendukung cita-cita negara Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur. Birokrasi identik


kelompok dan golongan yang ingin menang di dalam pertarungan politik dan ekonomi. Pada era ini juga masih terjadi ketidakadilan di dalam penegakan hukum. Hukum masih terkesan “tajam ke bawah dan tumpul ke atas.� Pelayanan publik seharusnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan melayani kepetingan umum. Birokrat yang ideal seharusnya berpikir jangka panjang sehingga kerugian besar akibat buruknya birokrasi tidak akan dialami oleh generasi di masa mendatang. Re-code pada sektor pelayanan publik menjadi sangat penting agar visi negara Indonesia yang tertera di dalam UUD Negara Republik Indoneseia Tahun 1945 dapat terwujud.

Pemimpin dapat memberikan pengaruh pada pengelolaan sistem di dalam sebuah organisasi sekaligus membentuk dan menanamkan nilai serta keyakinan pada setiap anggotanya Foto: Humas Bappeda

dengan proses yang lambat dan rigid (kaku). Hal tersebut adalah akibat dari birokrasi yang terikat oleh tradisi yang ketinggalan jaman. Pada dasarnya birokrasi adalah alat pemerintah untuk melaksanakan pelayananan publik. Jadi jika birokrasi dilaksanakan dengan baik maka penyelenggaraan negara juga akan menjadi baik. Birokrasi yang buruk menyebabkan pelayanan publik ditunggangi kepentingan-kepentingan dari kelompok atau golongan tertentu, misalnya

Palmer, Dunford, dan Akin (2009) mendeskripsikan lima tekanan yang mendorong sebuah organisasi untuk berubah, yaitu tekanan untuk tumbuh, tekanan kerja sama, tekanan identitas, tekanan pemimpin baru, dan tekanantekanan kekuasaan dan politik. Akibat globalisasi, pelayanan publik di Indonesia mengalami tekanantekanan di atas dan dituntut untuk responsif, kreatif, dan inovatif. Karena itu negara memerlukan pemimpin yang mampu mengubah tradisi dan nilai-nilai yang telah tertanam sejak orde baru hingga saat ini pada organisasi birokrasi. Posisi-posisi strategis harus ditempati oleh birokrat – birokrat yang andal, memiliki integritas, dan komitmen untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Pemerintah harus mampu menerbitkan perangkat peraturan yang inovatif dan memberikan ruang gerak bagi para birokrat untuk menggunakan metode-metode terbaik di dalam melaksanakan tugasnya. Kami berpendapat bahwa pemimpin yang diperlukan negara saat ini adalah transformational leader. Pemimpin harus mampu melaksanakan lima tugas utama sebagai berikut :

1

Mengarahkan pemerintah agar mendukung pencapaian visi dan pelaksanaan misi Negara Republik Indonesia untuk mencapai tujuan yang bersifat nasional, bukan hanya menguntungkan golongan atau kelompok tertentu.

2

Melakukan seleksi birokrat dengan cara yang tepat agar menemukan sumber daya manusia unggul untuk menduduki jabatanjabatan strategis di dalam pemerintahan. Seorang birokrat harus memiliki kompetensi dan reputasi yang sesuai dengan tugasVolume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

89


tugas yang akan diembannya. Citra yang baik harus diikuti oleh kontribusi yang terukur, bukan sekedar kesan baik yang tidak fundamental.

3

Merencanakan dan melaksanakan perubahan bersama dengan para agen perubahan, serta mengukuhkan hasil-hasil perubahan yang baik agar menjadi bagian dari budaya birokrasi. Hasil-hasil perubahan harus diteruskan kepada generasi berikutnya.

4

Melaksanakan kaderisasi agar regenerasi pemimpin dapat berjalan dengan baik. Calon pemimpin masa depan harus membawa nilai-nilai dan keyakinan baru. Dengan demikian hasil-hasil dari upaya perubahan akan berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.

5

Menjaga komunikasi dengan kelompokkelompok maupun golongan dan meyakinkan bahwa tercapainya cita-cita negara akan memberikan dampak positif bagi mereka. Usaha ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan penuh dan meminimalkan dampak dari beberapa pihak yang menolak perubahan.

Kelima tugas di atas harus dilakukan oleh pemimpin negara ini agar re-code dapat dilakukan secara menyeluruh dan hasil-hasil perubahan menjadi bagian dari tradisi dan budaya baru. Kami yakin pemimpin yang mumpuni mampu melakukan re-code dalam skala nasional. Contoh re-code yang sedang berlangsung saat ini adalah yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Pertama beliau membentuk kabinet yang mayoritas berisi profesional yang diharapkan mampu memberikan hasil kerja nyata bagi negara. Kedua beliau merancang sembilan agenda prioritas (Nawa Cita) yang menjadi pedoman perubahan

menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga beliau melaksanakan revolusi mental, yaitu gerakan yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia bersama pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa agar menjadi lebih baik. Ketiga upaya di atas mematahkan tradisitradisi lama dan mengubah paradigma birokrasi. Birokrasi harus bertujuan untuk menjadikan Indonesia lebih baik dengan mengurangi hambatan-hambatan di dalam sistem pemerintahan serta menentukan prioritas di dalam pelaksanaan program kerja. Birokrat tidak harus selalu berasal dari pegawai negeri dan partai politik, namun bisa juga berasal dari profesional yang memiliki integritas, kompetensi, dan komitmen untuk mewujudkan masyakat Indonesia yang adil dan makmur.

DAFTAR PUSTAKA Kasali, Rhenald. Re-Code : Your Change DNA. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012. Palmer, Ian. Dunford, Richard. Akin, Gib. Managing Organizational Change. Second Edition. Singapore: Mc Graw Hill, 2009. Armstrong, Michael. Taylor, Stephen. Armstrong's Handbook of Human Resource Management Practice. 13th Edition. London: Ashford Colour Press Ltd., 2014. Kotter, John P.. Leading Change. Massachusetts: Harvard Business School Press, 1996. Cohen, Dan S.. The Heart of Change Field Guide : Tools and Tactics for Leading Change in Your Organization. Massachusetts: Harvard Business School Press, 2005. Foto: Istimewa


Al Ja ama Fax lan I t Red : (0 r. H. aks 22 Ju i: Su )25 and b. 107 a N Ba 31 o.2 gian Ba 87 U ndu Te mu ng lp. m L - 4 (02 t. 2 013 2) , K 5 251 ant 60 or 61 Ba p

BAPPEDA Provinsi Jawa Barat

ped

aJ

aba

r

CAL L

Maj ala

Ka

m

Fun i me n Pen gsio gunda Pem eliti, nal P ng pa ere ra unt er Do art uk mehati sen, d ncan a, ke ikel nyum Pem an ma ilm b jala ia bang ang h p kan un h an op ule rny a Kirim

kan

h

FOR PAP E

R

arti

kel ilmi CP: m bap elal ah popu 087 ui e 820 l e p r Tul eda mail Bap 862 isan 434 a k j k a War palin aba mi: /Ibu ta B g la app mba /Sd r@ eda t di r/i tan teri y gga ma t ah l2 im

wa

rta

3m

ei 2 redak 017 si

oo

.co

m

Desain: Rama


bappeda.jabarprov.go.id bp2apd.jabarprov.go.id pep3d.jabarprov.go.id e-mail: wartabappedajabar@yahoo.com

Foto: Humas Bappeda

sumber informasi perencanaan pembangunan jawa barat C Bappeda Provinsi Jawa Barat

@bappedajabar

@bappedajabar

Bappeda Provinsi Jawa Barat


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.