PIH

Page 1

PENGANTAR

ILMU HUKUM

Writted by Prof. Dr. Hj. Dewi Astutty Mochtar, SH., MS Dr. Dyah Ochtorina Susanti, SH., MHum Malang - April 2012


PENGANTAR ILMU HUKUM

Penulis Prof. Dr. Hj. Dewi Astutty Mochtar, SH., MS Dr. Dyah Ochtorina Susanti, SH., MHum

Layout Yosep M. Pamuji

Edisi Pertama Cetakan Pertama, Februari 2012

Diterbitkan oleh Bayumedia Publishing

Anggota IKAPI Jatim Jalan Bukit Barisan No. 23, Malang Telp/Facs : (0341) 568323

ISBN :

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memper足banyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk fotokopi, merekam, atau dengan tek足nik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6).


PENGANTAR ILMU HUKUM

Writted by. Prof. Dr. Hj. Dewi Astutty Mochtar, SH., MS Dr. Dyah Ochtorina Susanti, SH., MHum

MALANG APRIL 2012



KATA PENGANTAR Pengantar Ilmu Hukum merupakan selayang pandang (overzicht) dari �domein� hukum, yaitu menerapkan apa itu isinya ilmu yang akan dipelajari. Terkait dengan hal tersebut, dapat diartikan bahwa Pengantar Ilmu Hukum mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting dalam rangka mempelajari ilmu hukum. Tanpa menguasai mata pelajaran Pengantar Ilmu Hukum terlebih dahulu, mereka yang ingin mempelajari/mendalami ilmu hukum akan menghadapi banyak kesulitan. Guna mendorong peningkatan kemampuan dalam mempelajari ilmu hukum, kami memberanikan diri untuk menulis serta menerbitkan buku ini. Meskipun dimaksudkan untuk pendidikan Sarjana Hukum, namun buku ini juga mempunyai manfaat bagi siapapun yang akan belajar ilmu hukum. Buku ini disusun secara lengkap yang memuat hukum sebagai obyek ilmu, ilmu hukum dalam pengertian kaidah dan ilmu hukum sebagai pengertian hukum. Harapan kami semoga buku ini bermanfaat tidak hanya bagi mahasiswa Fakultas Hukum, tetapi juga untuk semua kalangan masyarakat yang akan mempelajari ilmu hukum. Saran dan kritik untuk kemajuan dan/atau perbaikan karya kami selanjutnya, kami harapkan dari para pembaca.

Malang, Februari 2012

Penulis

v



DAFTAR ISI Kata Pengantar..................................................................................v Daftar Isi.......................................................................................... vii Daftar Gambar..................................................................................ix Bab I Disiplin Umum.................................................................................. 1 1.1. Perjalanan Ilmu Hukum di Indonesia................................... 1 1.2. Disiplin Hukum........................................................................ 4 1.2.1. Ilmu Hukum: Sui Generis.............................................. 6 1.3. Sistem Hukum dan Klasifikasinya......................................... 8 1.3.1. Sistem Hukum Eropa Kontinental.............................. 10 1.3.2. Sistem Hukum Anglo Saxon........................................ 12 1.3.3. Sistem Hukum Adat...................................................... 14 1.3.4. Sistem Hukum Islam..................................................... 15 1.4. Perkembangan Ilmu Hukum dan Makna Hukum dalam Kehidupan Sehari-hari................................ 17 1.4.1. Pada Tataran Normatif.................................................. 17 1.4.2. Pada Tataran Empiris.................................................... 24 Bab II Masyarakat dan Hukum................................................................ 30 2.1. Masyarakat dan Hukum........................................................ 30 2.2. Subyek Hukum........................................................................ 34 2.2.1. Manusia sebagai Subyek Hukum................................ 34 2.2.2. Badan Hukum sebagai Subyek Hukum..................... 36 2.3. Hak dan Kewajiban................................................................. 40 2.3.1. Pengertian Hak.............................................................. 41 2.3.2. Jenis-jenis Hak............................................................... 44 2.3.3. Kewajiban....................................................................... 46 2.4. Peristiwa Hukum.................................................................... 51 2.5. Obyek Hukum......................................................................... 52 2.6. Hubungan Hukum................................................................. 54

vii


Bab III Sumber Hukum............................................................................... 56 3.1. Pengertian Sumber Hukum................................................... 56 3.2. Sumber Hukum Formil.......................................................... 61 3.3. Sumber Hukum Materiil........................................................ 69 Bab IV Penemuan Hukum.......................................................................... 71 4.1. Penafsiran Sebagai Metode Penemuan Hukum...................................................................................... 71 4.2. Jenis-jenis Penafsiran Hukum............................................... 73 4.3. Jenis Penafsiran dalam Hukum Konstitusi......................... 79 Bab V Tujuan dan Fungsi Hukum............................................................ 83 5.1. Tujuan Hukum Berdasarkan Teori Etis dan Teori Utilitis...................................................................... 83 5.2. Fungsi Hukum......................................................................... 89 Bab VI Bidang-bidang Dalam Studi Hukum........................................... 94 6.1. Sosiologi Hukum..................................................................... 94 6.2. Antropologi Hukum............................................................... 97 6.3. Sejarah Hukum dan Psikologi Hukum................................ 99 6.4. Filsafat Hukum.......................................................................101 6.5. Teori Hukum.......................................................................... 103 6.6. Perbandingan Hukum.......................................................... 105 6.7. Politik Hukum....................................................................... 107 Bab VII Urgensi Hukum dalam Masyarakat........................................... 109 7.1. Urgensi Hukum dalam Masyarakat.................................. 109 7.2. Teori Hukum Pembangunan............................................... 115 Daftar Pustaka............................................................................... 121 Tentang Penulis............................................................................. 129 viii


DAFTAR GAMBAR

Bagan Disiplin Hukum dalam Hubungan Antara Kenyataan dan Cita-Cita................................................. 5 Hubungan Manusia, Masyarakat dan Hukum....................... 33 Klasifikasi Peristiwa HuKum.................................................... 51

ix



BAB I DISIPLIN HUKUM 1.1. Perjalanan Ilmu Hukum di Indonesia Perjalanan Ilmu Hukum di Indonesia, pada bagian ini akan penulis bagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu tahap pertama diawali dengan masa sebelum bangsa Barat datang ke Indonesia, tahap kedua diawali dengan kedatangan bangsa Barat di Indonesia dan tahap ketiga adalah tahap sesudah Indonesia merdeka. Tahap pertama dimulai sebelum bangsa barat datang ke Indonesia1, kehidupan di Indonesia sudah berlangsung secara teratur berdasarkan tatanan sistem kaidah yang terorganisasi dalam kerangka berbagai satuan persekutuan hukum. Melalui tindakan para warga dalam interaksi dengan sesama warga dan keputusan para pimpinan masyarakat pada saat menyelesakan konflik antar warga dan berbagai masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama, sistem tersebut tumbuh sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan dan peradaban masyarakat. Pada perkembangannya, terjadi proses diferensiasi yang memunculkan sistem kaidah hukum yang kemudian disebut dengan hukum adat di samping sistem kaidah lainnya seperti adat dan agama, meskipun dengan batas-batas yang masih kabur. Para warga dan pimpinan masyarakat (persekutuan hukum), sebagai pendukung kebudayaan (cultuurdragers) yang memunculkan hukum adat tersebut. Terkait dengan hukum adat sebagai pendukung kebudayaan, hukum adat muncul secara intuisif menghayati nilai-nilai dan asas-asas dengan kaidah-

1 Pada bagian ini penulis lebih cenderung menggunakan istilah “Indonesia”, walaupun dalam beberapa literatur banyak para ilmuwan yang mennggunakan istilah “Nusantara” dengan pertimbangan istilah Indonesia baru ada semenjak penjajah mulai datang ke Indonesia. Terlepas dari pro kontra yang ada, guna keseragaman istilah dalam penulisan buku ini maka penulis memilih kata “Indonesia”, untuk menyebut Indonesia yang saat awal masuknya bangsa barat belum berbentuk sebagai negara kesatuan, melainkan berbentuk kerajaan yang bertebaran dari sabang sampai merauke.

1


kaidah dan sistem hukum adatnya. Pada tahap kehidupan yang masih sederhana ini, masyarakat belum mempunyai pemahaman secara ilmiah-rasional terhadap hukum adat itu, sebab secara intuitif, tiap warga mengetahui kedudukan serta hak dan kewajibannya dalam hubungan antara dirinya dengan sesama warga dan terhadap masyarakat (persekutuan hukum) sebagai keseluruhan. Hukum adat tersebut hidup secara faktual dalam sikap dan perilaku nyata para warga dalam hubungan antara satu dengan yang lainnya serta keputusan dan tindakan dari para pimpinan masyarakat. Pada kondisi yang demikian, lingkungan persekutuan hukum dan pusat-pusat kekuasaan di Indonesia sampai saat kedatangan orang Barat tidak (belum) memerlukan kehadiran suatu ilmu hukum. Tahap perkembangan selanjutnya adalah tahap kedua, yang diawali dengan kedatangan bangsa barat di Indonesia. Sesudah kedatangan bangsa barat, perlahan-lahan tumbuh minat ilmiah untuk memahami kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai aspek kebudayaannya, termasuk sisi hukum yang ada di masyarakat. Usaha ini pada permulaan dilakukan oleh para etnolog dan penyebar agama Kristen. Kemudian, sesudah Belanda berhasil menguasai seluruh wilayah Kepulauan Indonesia dan mendirikan pemerintahan (Hindia Belanda) pada awal abad 19, timbullah kebutuhan pada penguasa politik untuk memahami hukum yang berlaku pada masyarakat setempat untuk keperluan menegakkan “rust en orde� di wilayah jajahannya. Diawali dari minat inilah, kemudian bangkit usaha-usaha untuk meneliti kehidupan hukum masyarakat Indonesia. Salah satu usaha melakukan penelitian dalam bidang kehidupan hukum dalam masyarakat di Indonesia adalah usaha dari Van Vollenhoven, yang berhasil mengangkat penelitian dan pengetahuan objektif tentang hukum rakyat di Hindia Belanda ke taraf ilmiah. Usaha Van Vollenhoven ini melahirkan Ilmu Hukum Adat yang tempatnya berada pada tatanan yang sama dengan Ilmu Hukum Positif lainnya, lengkap dengan para pakar pengembannya seperti Teer 2

Disiplin Hukum


Haar Bzn, F.D. Hollenman, Soepomo, Soekanto dan lainlain. 2 Ilmu Hukum di Indonesia mulai dikenal pada saat berdirinya RECHTSSCHOOL pada tahun 1909 oleh Gubernur Jenderal J.B. Van Heuts.3 Rechtsschool bukanlah perguruan tinggi, melainkan sekolah menengah kejuruan. Pendirian RECHTSSCHOOL dimaksudkan untuk mendidik orang Indonesia agar dapat menjadi hakim di pengadilan Landraad, hal ini disebabkan hingga permulaan Abad 20 sedikit sekali Sarjana Hukum orang Belanda yang bersedia ke Indonesia untuk menjadi hakim. Pada tahun 1909 itu, belum ada orang Indonesia yang memiliki ijazah Sarjana Hukum. Orang Indonesia pertama yang menjadi Sarjana Hukum adalah Gondowinoto, yang memperoleh gelar “Meester in de Rechten” (Mr) dari Universitas Leiden pada tahun 1917.4 Pendidikan tinggi hukum dibentuk pada tahun 1924 dengan dibukanya FAKULTEIT DER RECHTSGELEERDHEID atau kebih dikenal dengan nama RECHSHOGESCHOOL (RH) oleh Gubernur Jenderal D. Fock pada tanggal 24 Oktober 1924.5 Para pengajar dari Rechtsschool dan Rechtshogeschool itu adalah orang yang memperoleh pengetahuan hukum dari orang Belanda atau di Belanda dan para sarjana hukum orang Belanda. Oleh sebab itu, Ilmu Hukum yang dajarkan pada hakikatnya adalah Ilmu Hukum Belanda atau Ilmu Hukum yang dikembangkan di Belanda. Terkait hal yang demikian, Ilmu Hukum yang diperoleh dan diemban oleh para sarjana hukum orang Indonesia generasi pertama adalah Ilmu Hukum Belanda, termasuk Ilmu Hukum Adatnya adalah Ilmu Hukum Adat yang dipersepsi dan dikembangkan oleh pakar hukum orang Belanda.

2 Daniel S. Lev. Van Vollenhoven dan Hukum Adat dalam Hukum dan Politik di Indonesia. (Tanpa Kota: LP3ES, 1990), h. 429-437 3 Reglement Voor de Opleidingsschool Voor Indlandsche Rechtskundigen. S. No. 93/1909 4 Wirjono Projodikoro. Bunga Rampai Hukum: Kenang-Kenangan Sebagai Hakim selama 40 Tahun Mengalami Tiga Zaman. (Jakarta: Ichtiar Baru, 1974), h. 9 5 Reglement Van de Rechtshoogeschool, S. No. 457/1924. Pada kesempatan itu, Paul Scholten mengucapkan pidato tentang “Onderwijs en recht”

Pengantar Ilmu Hukum

3


Tahap ketiga dari perjalanan Ilmu Hukum adalah tahap sesudah Indonesia merdeka. Pada masa ini Indonesia sudah dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi hukum, dalam dua atau tiga dasawarsa pertama Ilmu Hukum yang diajarkan diberbagai Fakultas Hukum adalah Ilmu Hukum Belanda atau yang sangat dipengaruhi Ilmu Hukum Belanda. Kini, karena pengaruh kehadiran pakar hukum yang memperoleh pendidikan hukum di negara maju lain yang bukan dari Belanda (misalnya Amerika Serikat, Inggris, dll) serta terbukanya akses ke hasil karya para pakar hukum dari negara-negara tersebut dan juga perkembangan yang terjadi di dalam negara Indonesia sendiri, maka keadaan sudah berubah. Berbagai disertasi dan karya ilmiah dalam bidang Ilmu Hukum sesudah Indonesia merdeka memperlihatkan adanya dinamika tersebut, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Ilmu Hukum Belanda masih dapat dirasakan. Meskipun demikian, hal itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa pengembanan hukum di Indonesia mengacu pada hukum Belanda. Pada masa sesudah Indonesia merdeka (dengan ditandai Proklamasi Kemerdekaan) perkembangan pengembanan hukum di Indonesia sudah menemukan jalannya sendiri, yakni dengan mengacu pada Pancasila dan kepentingan Nasional dalam kerangka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1.2. Disiplin Hukum Pada bagian ini penulis akan mengulas mengenai disiplin hukum, penulis membedakan antara disiplin analitis dan disiplin perspektif. Disiplin analitis merupakan sistem ajaran yang menganalisa, memahami dan menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi, contohnya sosiologi, psikologi, ekonomi dll. Disiplin persepktif merupakan sistem-sistem ajaran yang menentukan apakah seyogyanya atau yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi kenyataan-kenyataan tertentu, misalnya hukum, filsafat dll. 4

Disiplin Hukum


Maka jelaslah bahwa disiplin hukum merupakan disiplin perspektif yang berusaha menentukan apakah yang seyogyanya, seharusnya dan yang patut dilakukan dalam menghadapi kenyataan. Berikut ini adalah bagan disiplin hukum dalam hubungan antara kenyataan dan cita-cita: Gambar 1 Bagan Disiplin Hukum dalam Hubungan antara Kenyataan dan Cita-Cita

DISIPLIN HUKUM

KENYATAAN

SEYOGYANYA dan SEHARUSNYA Sumber: Catatan Pribadi, diolah, 2011

Hukum adalah gejala dalam kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, yang mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase. Hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, sosial, ekonomi, budaya teknologi, keagamaan dll) yang dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat, bentuknya ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan bentuk dan sifat-sifat masyarakat itu sendiri. Jadi, dalam dinamikanya, hukum itu dikondisi dan mengkondisikan mesyarakat, karena menyandang tujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan secara konkret dalam masyarakat, maka dalam hukum terkandung baik kecenderungan konservatif (mempertahankan dan memelihara apa yang sudah tercapai) maupun kecenderungan modernisme (membawa, menganalisasi dan mengarahkan perubahan). Pada implementasinya, hukum Pengantar Ilmu Hukum

5


memerlukan kekuasaan dan sekaligus menentukan batas-batas serta cara-cara penggunaan kekuasaan itu.6 Berbicara tentang disiplin hukum, ruang lingkup utamanya setidak-tidaknya meliputi: Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum. 1.2.1. Ilmu Hukum: Sui Generis Pada bahasa Inggris, ilmu hukum disebut Jurisprudence.7 Beberapa penulis asing ada yang menyebut ilmu hukum sebagai the science of law atau legal science. Salmond dalam Hari Chand, mengatakan:8 “If we use the term science in its widest permissible sense as including the systematized knowledge of any subject of intellectual enquiry, we may define jurisprudence as the science of civil law.” Demikian halnya dengan Keaton dalam Hari Chand, menurutnya:9 “the science of jurisprudence may be considered as the strictly and systematic arrangement of the general principles of law” Senada dengan para tokoh diatas, Roscoe Pound dalam Hari Chand, menyatakan:10 “Jurisprudence is the science of law, using the term law in the judicial senseas denoting the body of principles recognized or enforced by public or regular tribunals in the administration of justice”. Meuwissen menggunakan istilah rechtsbeoefening (pengembanan

6 Mochtar Kusumaatmadja. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. Majalah Padjajaran, Jilid III No. 1 tahun 1970, h. 8 7 Kata Jurisprudence, dalam bahasa Inggris tidak sama artinya dngan kata “Jurisprudence dalam bahasa Perancis atau kata Jurisprudentie dalam bahasa Belanda. Arti Jurisprudence dalam bahasa Perancis dan Jurisprudentie dalam bahasa Belanda adalah putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pada bahasa Belanda, menyebut ilmu hukum dengan sebutan Rechtwetenschap dan bahasa Perancis Theorie generale du droit. Mengenai ilmu hukum ini, bahasa Jerman secara bergantian menyebutnya sebagai Jurisprudenz dan Rechtswissenschaft. 8 Hari Chand. Modern Jurisprudence. (Kuala Lumpur: International Book Services, 1994), h. 2 9 Ibid, h. 3 10 Ibid

6

Disiplin Hukum


hukum) untuk menunjuk pada semua kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam masyarakat.11 Pada tahap perkembangan selanjutnya Meuwissen menata berbagai disiplin ilmu hukum bersadarkan tataran analisisnya atau tingkat abstraksinya. Berdasarkan tataran analitisnya itu, dibedakan tiga jenis pengembanan hukum teoritis. Disiplin hukum pada tataran yang tingkat abstraksinya paling rendah, yakni pada tataran ilmu positif, disebut ilmu hukum yang terdiri atas Dogmatika Hukum (ilmu hukum dalam arti sempit), Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum, Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum. Disiplin hukum pada tataran yang lebih abstrak disebut teori hukum. Pada tataran yang tingkat abstraksinya paling tinggi, yakni pada tataran refleksi kefilsafatan, yang disiplinnya disebut Filsafat Hukum yang meresapi semua bentuk pengembanan hukum teoritis dan praktis. Meuwissen menggunakan istilah Ilmu Hukum dalam arti yang luas yang mencakup semua pengembanan hukum teoritis pada tataran ilmu positif. Terkait dengan Ilmu Hukum dalam arti sempit, ia menggunakan istilah yang sudah lazim untuk dunia barat, yakni Dogmatika Hukum (Rechtsdogmatiek, Legal Dogmatics) Senada dengan Meuwissen, Bruggink menggunakan istilah “Teori Hukum dalam arti luas�, yang didefiniskan sebagai “keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusanputusan hukum, sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.�12

11 Pengertian pengembanan hukum dibedakan ke dalam pengembanan hukum praktis dan pengembanan hukum teoritis. Pengembanan hukum praktis adalah semua kegiatan manusia berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkret, sedangkan pengembanan hukum teoritis menunjuk pada refleksi teoritis terhadap hukum, yaitu kegiatan akal budi untuk memperoleh penguasaan intelektual atau pemahaman hukum secara ilmiah atau secara metodis sistematis-logis-rasional. Lihat dan baca Bernard Arief Sidharta. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. (Bandung: Mandar Maju, 2000), h. 117 12 J.J.H. Bruggink. Refleksi Tentang Hukum. (terjemahan: Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie. Kluwer, 1993). (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996),

Pengantar Ilmu Hukum

7


Teori Hukum dalam arti luas ini terdiri atas Sosiologi Hukum, Dogmatika Hukum, Teori Hukum dalam arti sempit, dan Filsafat Hukum. Ia juga mengemukakan istilah “Ilmu Hukum� mempunyai makna ganda. Ilmu Hukum dalam arti sempit adalah Dogmatika Hukum, sedang Ilmu Hukum dalam arti luas adalah setiap ilmu yang obyek telaahannya hukum sejauh memenuhi syarat untuk dikualifikasi sebagai ilmu.13 Kepustakaan Indonesia sendiri tidak tajam dalam menggunakan istilah ilmu hukum. Istilah ilmu hukum disejajarkan dalam istilah-istilah dalam bahasa asing tersebut. Lebih lanjut Meuwissen membuat klasifikasi ilmu hukum dogmatik dan ilmu hukum empiris, Meuwissen menetapkan ilmu hukum dogmatik sebagai sesuatu yang bersifat sui generis, yang artinya tidak ada bentuk ilmu lain yang dapat dibandingkan dengan ilmu hukum.14 Sui generis merupakan bahasa latin yang artinya hanya satu untuk sejenisnya sendiri.15 Apa yang disampaikan Meuwissen ini memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu hukum bukan bagian dari ilmu sosial maupun humaniora, melainkan ilmu tersendiri. 1.3. Sistem Hukum dan Klasifikasinya Membahas sistem hukum, maka sama halnya dengan membahas seluruh peraturan-peraturan hukum secara komperehensif. Menurut Bellefroid dalam Surojo Wignjodipuro, sistem hukum merupakan suatu rangkaian kesatuan peraturanperaturan hukum yang disusun secara tertib menurut asasasasnya.16 Senada dengan Bellefroid, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama

h. 4

Ibid, h. 161 Bernard Arief Sidharta. Op.Cit. h. 118 15 Ibid 16 Surojo wignjodipuro. Pengantar Ilmu Hukum. (Bandung: Alumni, 1974), h. 103 13 14

8

Disiplin Hukum


lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.17 Paul Scholten dalam Utrecht, menjelaskan bahwa sistem hukum merupakan kesatuan di dalam sistem hukum, tidak ada peraturan hukum yang bertentangan dengan peraturan-peraturan hukum lain dari sistem itu.18 Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan peraturanperaturan hukum, yang terdiri dari bagaian-bagian hukum yang mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain, tersusun sedemikian rupa menurut asas-asasnya yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan. Sistem hukum merupakan sistem abstrak (konseptual) karena terdiri dari dari unsur-unsur yang tidak konkrit, yang tidak menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat. Unsur-unsur dalam sistem hukum mempunyai hubungan khusus dengan unsur-unsur lingkungannya. Selain itu juga dikatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem yang terbuka, karena peraturan-peraturan hukum dengan istilahistilahnya yang bersifat umum, terbuka untuk penafsiran yang berbeda dan untuk penafsiran yang luas.19 Menurut Fuller dalam Satjipto Rahardjo, hukum baru dapat dikatakan sebagai sistem apabila memenuhi 8 (delapan) asas yang dinamakan “principles of legality�, yaitu:20 1. Suatu sistem harus mengandung peraturan-peraturan, tidak boleh mengandung sekedar keputusan ad hoc. 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan. 3. Peraturan-peraturan tidak boleh berlaku surut. 4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti. 5. suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.

Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum. (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 100 Utrecht. Pengantar dalam Hukum Indonesia. (Jakarta: Ikhtiar, 1957), h. 207 19 Sudikno Mertokusumo. Op.Cit. h. 102 20 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. (Bandung: Alumni, 1986), h. 91 17 18

Pengantar Ilmu Hukum

9


6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan orang kehilangan orientasi. 8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Sifat hukum sifatnya konsisten. Peraturan-peraturan hukum dikehendaki tidak ada yang bertentangan satu sama lain. Jika terjadi juga pertentangan, maka akan berlaku secara konsisten asas-asas hukum sepert “lex specialis derogat lex generalis”, “lex posteriori derogat lex priori”, “lex superior derogat lex inferiori”. 1.3.1. Sistem Hukum Eropa Kontinental Sistem hukum Eropa Kontinental berkembang di negaranegara Eropa barat, pertama kali di negeri Perancis, kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa Barat lainnya seperti Belanda, Jerman, Belgia, Swiss, Italia, Amerika Latin dan termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda dulu. Prinsip utama yang menjadi dasar Sistem Eropa Kontinental adalah, bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam bentuk undang-undang, yang disusun secara sistematis dan lengkap dalam bentuk kodifikasi atau kompilasi. Sistem hukum Eropa Kontinental Rechtsstaat dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut Julius Stahl konsep sistem hukum ini tandai oleh empat unsur pokok:21 1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2. Negara didasarkan pada teori trias politika; 3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); 4. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah

21 Selanjutnya Konsep Stahl ini dinamakan negara hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang. Bandingkan dengan pendapat Hans Kelsen dalam Denny Indrayana, Negara Hukum Pasca Soeharto: Transisi Menuju Demokrasi Vs Korupsi. Jurnal Konstitusi. Mahkamah Konstitusi RI Vol. 1 No. 1, Juli 2004. h. 106

10

Disiplin Hukum


(onrechtmatige overheidsdaad) Sejalan dengan pertumbuhan negara-negara di kawasan Eropa, yang berorientasi pada unsur kedaulatan (sovereignty), termasuk untuk menetapkan hukum, maka yang menjadi sumber hukum di dalam sistem Eropa Kontinental meliputi:22 1. Undang-undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislative; 2. Peraturan-peraturan yang dibuat pegangan eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undangundang; 3. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undangundang. Berdasarkan sumber-sumber hukum yang digunakan, maka sistem eropa kontinental dibagi kedalam 2 (dua) golongan yaitu penggolongan ke dalam bidang hukum publik dan penggolongan ke dalam bidang hukum privat. Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa negara serta hubungan-hubungan antara masyarakat di negara. Hukum Privat mencakup peraturanperaturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya. Termasuk dalam hukum publik adalah hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana dan sebagainya, sedangkan yang termasuk hukum privat meliputi hukum sipil dan hukum dagang. Kendati pada sistem Eropa Kontinental mengenal pembagian hukum sebagaimana tersebut diatas, sejalan dengan perkembangan peradapan manusia saat ini, batas-batas yang jelas antara hukum publik dan hukum privat semakin sulit ditemukan, karena:23 1. Terjadinya proses sosialisasi di dalam hukum sebagai akibat dari makin banyaknya bidang-bidang kehidupan

67

22

Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. (Jakarta: Rajawali Press, 1984), h.

23

Ibid Pengantar Ilmu Hukum

11


masyarakat, walaupun pada dasarnya memperlihatkan unsur “kepentingan umum” yang perlu dilindungi dan dijamin. Salah satu contohnya adalah dalam bidang hukum perburuhan dan hukum agraria. 2. Makin banyaknya ikut campur negara di dalam bidang kehidupan yang sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan. Salah satu contohnya adalah bidang perdagangan, bidang perjanjian dan sebagainya. 1.3.2. Sistem Hukum Anglo Saxon Sistem hukum Anglo Saxon yang kemudian dikenal dengan sebutan “Anglo Amerika” mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang juga sering disebut “Sistem Common Law” dan “Un Written Law”. Sistem ini sering diikuti oleh negara-negara bekas jajahan, dominion dan mendapat pengaruh dari Inggris dan Amerika Serikat. Sistem ini banyak dianut oleh negara-negara Amerika Utara, seperti Kanada dan beberapa negara Asia yang termasuk negara persemakmuran Inggris dan Australia, selain Inggris dan Amerika Serikat sendiri.24 Sistem hukum negara-negara Anglo Saxon mengutamakan Common Law, yaitu kebiasaan dan hukum adat dari masyarakat, sedangkan undang-undang hanya mengatur pokok-pokoknya saja dari kehidupan masyarakat, sehingga bukan tidak memiliki undangundang sama sekali. Adanya Common Law, kedudukan kebiasaan dalam masyarakat lebih berperan dan selalu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju.25 Sistem hukum Common Law ini asalnya adalah dari kebiasaan di Inggris yang berasal dari adat istiadat suku-suku Anglo dan Saxon yang menghuni Inggris. Adat istiadat itu berlaku secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Adanyab sistem Common law di Amerika Serikat, sebetulnya berasal dari hukum adat Ingris yang mempunyai latar belakang dari para

Ibid, h. 77 Marhainis Abdul Hay. Dasar-Dasar Ilmu Hukum Jilid II. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), h. 204 24 25

12

Disiplin Hukum


imigran Inggris. Mereka hijrah sekitar abad ke-16 dan ke-17 ke Amerika Tengah setelah terjadi revolusi oleh koloni Inggris. kemudian menjadi negara merdeka Amerika Serikat. Orang-orang Inggris di Amerika Serikat sebagai free englishmen, menghendaki persamaan politik dan hukum yang lebih bebas dan luas dengan menjadikan sistem Common Law Inggris sebagai sistem hukumnya.26 Konsep negara hukum Anglo-Saxon Rule of Law dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris). Menurut A.V Dicey, konsep Rule of Law ini menekankan pada 3 (tiga) tolok ukur:27 1. Supremasi hukum (supremacy of Law) 2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law) 3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on individual rights). Pada sistem hukum Anglo Saxon ini, sumber-sumber hukum yang digunakan adalah sebagai berikut:28 1. Putusan-putusan pengadilan atau hakim (judicial decision), yaitu hakim tidak hanya berfungsi sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum, tetapi juga membentuk seluruh tata kehidupan dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru (yurisprudensi). 2. Kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis Undang-Undang dan peraturan administrasi negara. Pada perkembangan selanjutnya, sistem hukum Anglo Saxon mengenal juga pembagian hukum publik dan hukum privat. Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Eropa Kontinental. Tidak demikian halnya dengan hukum privat, pengertian hukum privat dalam sistem Anglo Saxon agak berbeda dengan pengertian hukum privat yang terdapat dalam sistem

Ibid, h. 205 Muhammad Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Study Tentang PrinsipPrinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 67 28 Abdoel Djamali. Op.Cit. h. 69 26 27

Pengantar Ilmu Hukum

13


hukum Eropa Kontinental. Hukum privat pada sistem hukum Anglo Saxon lebih ditujukan pada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (law of contract) dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of tort) yang tersebar di dalam peraturan tertulis, putusan-putuan hakim dan hukum kebiasaan.29 1.3.3. Sistem Hukum Adat Sistem hukum adat terdapat dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Cina,India, pakistan, Jepang dan sebagainya. Istilah hukum adat berasal dari Belanda, yaitu “adatrecht� yang pertama kali dikemukakan Snouck Hurgronje,30 yang kemudian dipopulerkan sebagai istilah teknis yuridis oleh Van Vollenhoven.31 Menurut C. Van Vollenhoven dalam Soekanto, hukum adat adalah bahwa hukum Indonesia dan kesusilaan masyarakat merupakan hukum adat dan adat yang tidak dapat dipisahkan serta hanya mungkin dibedakan dalam akibat-akibat hukumnya.32 Kusumadi Pudjosewojo mengatakan bahwa Adatrecht adalah dat samenstel van voor inlanders en vreemde oosterlingen geldende geragregels, die eenerzijds sanctie hebben (daarom “adat), (adatrecht ialah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putra dan orang Timur asing, yang mempunyai upaya pemaksa, lagi pula tidak dikodifikasikan).33 Sistem hukum adat bersumber pada peraturan-peraturan yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Hukum adat mempunyai tipe tradisional dengan berpangkal pada kehendak nenek moyang, artinya untuk ketertiban hukumnya selalu

Ibid, h. 70 Soerjono Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar untuk Mempelajari Hukum Adat. (Jakarta: RajaGrafindo, 1996), h. 37 31 Ibid 32 Ibid 33 Kusumadi Pudjosewojo. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 64 29 30

14

Disiplin Hukum


diberikan penghormatan yang sangat besar bagi kehendak suci. Berdasarkan sumber hukum dan tipe hukum adat, maka daerah lingkungan hukum (rechtsking) di Indonesia sistem hukum adat terbagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu:34 1. Hukum adat mengenai Tata Negara (tata susunan rakyat mengatur yang tentang susunan dari dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum (rechtsgemenschappen) serta susunan dan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatanjabatan dan pejabatnya. 2. Hukum adat tentang delik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang pelbagai delik dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran hukum pidana itu. 3. Hukum adat tentang warga/hukum warga (perdata), terdiri dari: a. Hukum pertalian sanak (perkawinan, waris); b. Hukum tanah (hak ulayat tanah, transaksi-transaksi tanah); c. Hukum perhutangan (hak-hak atasan, transaksi-transaksi tentang benda selain tanah dan jasa). 4. Hukum adat acara, memuat peraturan-peraturan tata cara penyelenggaraan persidangan adat. Hukum adat merupakan pencerminan kehidupan masyarakat Indonesia. Tetapi karena masyarakat itu sendiri selalu berubah, dengan tipe yang mudah berubah dan elastis, maka sejak penjajahan Belanda peraturan hukum adat banyak mengalami perubahan sebagai akibat politik hukum yang ditanamkan oleh pemerintah Belanda, keadaan berlangsung sampai Indonesia merdeka. 1.3.4. Sistem Hukum Islam Sistem hukum Islam semula dianut oleh masyarakat Arab, karena di tanah Arab-lah awal mulanya timbul dan menyebarnya agama Islam. Pada perkembangan selanjutnya agama Islam berkembang ke seluruh pelosok dunia, terutama negara-negara

34

Abdul Djamali. Op.Cit. h. 80 Pengantar Ilmu Hukum

15


Asia, Afrika, Eropa dan Amerika secara individu dan kelompok. Malahan, beberapa negara di dunia (seperti Arab Saudi dan Pakista) menjadikan hukum Islam sebagai sistem hukum yang berlaku dan mengikat bagi masyarakatnya. Hukum Islam bersumber pada: a. Al-Qur’an, ialah kitab suci kaum muslimin, yang merupakan kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, S.A.W. b. Hadits, ialah perkataan, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad, S.A.W. c. Ijma, ialah kesepakatan para ulama mengenai hukum terhadap sesuatu yang belum jelas diatur dalam Al-Qur’an dan hadits. d. Qias, ialah analogi terhadap sesuatu yang hukumnya sudah jelas ditentukan dalam Al-Qur’an maupun hadits. Sistem hukum Islam, berbeda dengan ketiga sistem hukum yang lainnya. Sistem hukum Islam mengandung aturan yang sangat luas, yang meliputi segala keperluan hidup dan kehidupan manusia, di dunia dan di akhirat. Hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan manusia (disebut mu’amalah), tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-Nya (disebut ibadah). Selain itu, hukum Islam juga mempunyai sifat-sifat universal, yang sesuai dengan perkembangan jaman. Menurut Anwar Harjono, ciri khas pembentukan hukum dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:35 a. Ayat-ayat Al-Qur’an lebih cenderung untuk memberi patokanpatokan umum daripada memasuki persoalan sampai detaildetailnya. b. Ayat-ayat yang menunjukkan adanya (beban) kewajiban bagi manusia, tidak pernah bersifat memberatkan. c. Sebagai patokan ditetapkan kaidah: dalam bidang ibadah, semua dilarang kecuali yang disuruh. Pada bidang mu’amalah

35 Anwar Harjono. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. (Jakarta: Bulan BIntang, 1968), h. 113

16

Disiplin Hukum


semua diperbolehkan kecuali yang dilarang. d. Dugaan-dugaan atau sangkaan-sangkaan tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum. e. Ayat-ayat yang berhubungan dengan penetapan hukum, tidak pernah meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan. f. Penerapan hukum, khususnya hukum pidana dan yang bersifat perubahan hukum, tidak punya daya surut. Peraturan-peraturan hukum dalam sistem hukum Islam dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu syari’at dan fiqh. Syari’at adalah norma-norma dan prinsip-prinsip hukum yang secara langsung ditemukan dalam Al-Qur’an dan diperjelas dengan hadits. Jadi, sudah disebutkan dengan jelas dalam Al-Qur’an dan hadits sehingga tidak perlu adanya penafsiran lagi. Berlainan halnya dengan fiqh, fiqh adalah norma hukum yang merupakan hasil pemikiran manusia (ahli fiqh) terhadap sesuatu yang tidak jelas disebut dalam Al-Qur’an dan hadits. Fiqh sebagai hasil pemikiran manusia, maka fiqh sifatnya berubah-ubah menurut tempat dan waktu. Syari’at sebagai aturan-aturan yang langsung dari Allah, sifat tetap dan tidak berubah-ubah. Terkait dengan hal tersebut, dikenal dalam sejarah pemikiran hukum dalam Islam mengenai beberapa pendapat yang berbeda-beda mengenai sesuatu soal yang sama, hal itu tidaklah mengherankan. 1.4. Perkembangan Ilmu Hukum dan Makna Hukum Dalam Kehidupan Sehari-Hari 1.4.1. Pada Tataran Normatif Ilmu hukum adalah ilmu modern pertama yang lahir di dunia barat, demikian dikatakan Harold J. Berman berdasarkan penelusuran historis.36 Ilmu hukum sebagaimana kita kenal pada masa kini timbul sekitar abad 12 – 13, bersamaan dengan lahirnya universitas. Pada abad 12 timbul diskusi “kefilsafatan”

36 H.J. Berman. The Origins Of Western Legal Science. Harvard Law Review Vol. 90 No. 5, 1977. h. 530.

Pengantar Ilmu Hukum

17


dan teologikal, mengalami perkembangan yang dapat dikatakan eksepsional. Penyebab adalah diseminasi (penyebarluasan) tulisan-tulisan Aristoteles dan bangkitnya kembalinya minat pada Hukum Romawi. Timbulnya universitas di Eropa dimulai dari tempat para guru-guru yang terkenal mengajarkan ilmunya, misalnya Peter Abelard yang mengembangkan studi teologi di Paris dan Irnerius yang mengembangkan studi hukum di Bologna. Kota-kota tersebut menarik orang muda dari berbagai tempat di Eropa untuk menjadi mahasiswa para guru tersebut, yang menyebabkan kota-kota tersebut menjadi pusat studi yang pada waktu itu dinamakan “Studium Generale” (belum dinamakan unversita). Pendidikan yang sudah bersifat universitas itu bertumpu pada apa yang dinamakan “the seven liberal art” yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, disebut “trivium” yang terdiri atas gramatika, retorika dan logika. Bagian kedua disebut “quadrivium” yang terdiri atas aritmetika, geometrika, astonomi dan musika.37 Berdasarkan pembagian 2 (dua) bidang tersebut diatas, maka pendidikan universitas (yang saat itu belum bernama universitas) juga tersusun atas 2 (dua) tingkat atau 2 (dua) “gradus” (grade). Orang yang mau belajar di Stadium Generale harus melakukan “matricula” , artinya mendaftarkan diri kepada seorang “master” (guru). Tahap pertama berlangsung 4 (empat) tahun. Pada tahap ini diajarkan “trivium” yang diakhiri dengan suatu ujian untuk menjadi seorang “baccalaureus”, yang merupakan syarat untuk dapat mengikuti pelajaran pada tahap kedua atau tingkat dua. Tahap kedua juga berlangsung selama 4 tahun. Pada tahap kedua ini diajarkan “quadrivium” dan filsafat (atau moral dan metafisika). Jika seorang mahasiswa, setelah menempuh pelajaran itu lulu ujian, maka ia menjadi seorang “master” dan memperoleh “licentia ius ubique docendi” (hak atau kewenangan untuk mengajar).38 Universitas tidak timbul begitu saja, melainkan dipengaruhi

37 38

18

Boyd-King. The History Of Western Education. (London: TP. 1977), h. 125 Lihat H.J. Berman. Op.Cit. 902. Lihat juga Boyd-king. Ibid. 149 Disiplin Hukum


oleh berbagai faktor kemasyarakatan. Pada abad 11 dan 12, di Eropa berlangsung perubahan social.39 Pada waktu itulah mulai munculnya pusat-pusat kekuasaan politik yang kuat yang membawa ketertiban dalam masyarakat, dan dengan itu pengaturan dan penataan kehidupan masyarakat secara politik. Pada waktu yang bersamaan, dinamika perdagangan lintas batas wilayah kekuasaan politik memunculkan sejumlah kota di Eropa yang untuk pengamanan masing-masing dilindungi benteng di sekelilingnya.40 Sejak saat itulah timbul kelas baru di dalam masyarakat, yakni kelas para yuris professional, yakni para hakim profersional dan para penasehat hukum atau pengacara professional. Pada masa itu juga orang mulai melakukan penulisan “legal treaties� dan kompilasi serta sistematisasi warisan “legal materials� dari zaman Romawi, yang mendorong perkembangan konsep hukum sebagai perangkat asas-asas hukum dan prosedur-prosedur yang mandiri dan terintegrasi. Perkembangan politik, social dan ekonomi di Eropa Barat pada abad 11, 12 dan 13 menyebabkan munculnya: 41 1. Sistem hukum kanonik yang terdiri atas Ius Novum dan Ius Antiquum. Ius novum adalah keseluuhan perundang-undangan (aturan tertulis) yang dibuat oleh Paus dan Dewan Gereja sejak abad 11. Ius Antiquum adalah hukum kanonik sebelum abad 11 yang dikompilasi dan sistematisasi oleh Gratianus pada tahun 1140. 2. Sistem hukum secular yang diciptakan oleh raja-raja. 3. Sistem hukum kota (urban law) yang diciptakan di kota-kota bebas. 4. Sistem hukum feodal dan manorial. 5. Sistem hukum dagang baru untuk memenuhi kebutuhan para pedagang dalam kegiatan pedagangan antar-kota (intercity) antar-regional dan international.

H.J. Berman. Ibid. h. 896-898 Lihat Boyd-King. Op.Cit. h.149 41 H.J. Berman. Law and Revolution. (Harvard University Press, 1983) 39 40

Pengantar Ilmu Hukum

19


Dapat dikatakan bahwa penciptaan sistem hukum modern abad 11, 12, 13 itu merupakan respons tehadap proses perubahan social dan ekonomi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor keagamaan, yakni perubahan revolusioner dalam Gereja serta hubungan antara Gereja dan otoritas sekular. Jadi, hingga derajat tertentu, tradisi hukum barat modern ditimbulkan oleh separasi eksplosif kekuasaan gereja dan kekuasaan sekular.42 Kehadiran tradisi hukum modern yang mengikat dan memang dibutuhkan masyarakat menyebabkan banyak orang ingin atau membutuhkan pemahaman tentang hukum. Masyaakat pada waktu itu memang membutuhkan orang-orang yang memahami hukum secara berkeahlian, dan mampu menggunakan keahliannya itu untuk menemukan penyelesaian terhadap masalah hukum yang timbul dalam interaksi kemasyarakatan. Hal ini menyebabkan banyak orang tertarik untuk belajar secara sistematis agar memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang hukum yang diperlukan itu. Terdorong oleh suasana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada tenaga keahlian dan minat orang muda itulah Duchess of Tuscany yang bernama Matilda mendirikan Studium Generale di Bologna. Pada perkembangan selanjutnya, Matilda mengundang Irnerius untuk mengajar di Bologna. Kemashuran Irnerius menyebabkan ribuan orang muda dari berbagai bangsa di Eropa berbondong-bondong ke Bologna untuk belajar hukum kepada Irnerius dan para asisten hasil didikannya sendiri. Jika “School of Theology and Philosophy” yang menonjol di stadium Generale Paris karena peranan Peter Abelard, maka di stadium Geneale Bologna yang menonjol adalah “Law-School”-nya karena kehadiran Irnerius. Kendati yang menonjol di Bolognya adalah “Law-School”nya, namun yang diajarkan dan dipelajari secara sistematis di Bologna itu bukanlah hukum yang hidup pada masa itu, melainkan hukum yang termuat dalam manuskrip kuno yang

42

20

H.J. Berman. Ibid. 1977, h. 897 Disiplin Hukum


ditemukan secara tidak sengaja dalam sebuah perpustakaan di Italia pada akhir abad 11. Manuskrip itu memuat “legal materials” yang dikompilasi dibawah Kaisar Justinianus pada tahun 534, yang kemudian dikenal sebagai Corpus Iuris Civilis atau dikenal juga dengan nama Corpus Iuris Justinianus. Corpus Iuris Civilis itu terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu:43 1. Codex, yang terdiri atas 12 buku yang berisi aturan-aturan dan putusan-putusan para kaisar Romawi sebelum Justinianus, yang mencakup 1034 halaman. 2. Novellae, yang memuat undang-undang yang ditetapkan oleh Justinianus, yang mencakup 562 halaman. 3. Iustitutiones, yang berupa buku teks ringkas sebagai pengantar untuk mahasiswa hokum pemula, yang mencakup 173 halaman. 4. Digestum atau Pandectae, yang terdiri atas 50 buku yang memuat sejumlah besar akstrak dari pendapat (opini) para yuris Romawi tentang berbagai masalah hukum, yang mencakup 2734 halaman. Jadi, Pandectae memuat “proposisi hukum” berupa pendirian (holding) dalam kasus actual dan pernyataan (edicts) para magistratum tentang apa yang akan mereka lakukan terhadap kasus-kasus prospektif. Proposisi-proposisi ini diikuti kutipan-kutipan dari opini berbagai yuris, Pada pengajaran hukum di Bologna itu, focus studi terutama diarahkan pada Pandectae. Naskah asli Pandectae sangat kasusitik dan “untheoretical”44 Para professor dari Bologna itu mampu melihat bahwa dalam bermacam-macam aturan konkrit dan berbagai istilah umum yang tidak didefinisikan itu, secara implicit terkandung sebuah sistem konsep abstrak yang majemuk. Berdasarkan pemahaman itu para professor sejak abad 12 mensistematisasi naskah asli untuk kemudian diajarkan kepada para mahasiswa. Cara mengajae dan mengkaji “legal materials” yang terdapat dalam Pandectae itu disebut Metode Skolastik, yang pada intinya adalah

43 44

Ibid. 903-904 Ibid. h. 906 Pengantar Ilmu Hukum

21


metode dialektika. Metode dialektika adalah metode analisis dan sintesis. Sumber dari karya ini adalah karya Aristoteles, khususnya karya di bidang logika. Aristoteles dalam karyanya, membedakan logika menjadi 2 (dua) jenis penalaran, yaitu “apodiktik� dan “dialektika�. Apodiktik adalah penalaran yang bertolak dari premis-premis yang sudah diketahui pasti benar, dan dialektika adalah penalaran dari premis-premis yang secara umum diterima, atau diajukan oleh ahli, namun tetap masih terbuka untuk diperdebatkan, sehingga tidak akan mencapai kepastian, melainkan probabilitas. Ciri khas pada dialektika adalah proses penalarannya tidak dimulai dengan proposisi, melainkan dengan masalah, untuk kemudian diselesaikan dengan memunculkan proposisi.45 Perubahan cara pengajaran hukum mulai terjadi pada abad 17, dengan dimasukkannya hukum positif yang berlaku ke dalam kurikulum. Perubahan ini dipengaruhi oleh perubahan social yang fundamental, yang ditimbulkan oleh Renaisance, yang langsung menerobos ke inti tradisi hukum. Pada dunia intelektual, peubahan diawali dengan munculnya kritikan terhadap logika Aristoteles yang diutarakan oleh Pierre de la Ramee dalam buku Dialextica dan Rhetoric. Telaah hukum secara ilmiah melepaskan diri dari keterkaitannya dengan teks individual Corpus Iuris, dan dengan itu Teori Hukum memusatkan perhatiannya pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum. Perubahan dalam dunia pemikiran ilmu hukum yang digambarkan tadi mengungkapkan dampak cara pandang Aufklaerung (pencerahan) terhadap pemikiran tentang hukum. Aufklaerung yang memuja kemampuan akal budi manusia memunculkan gagasan hukum kodrat. Ciri khas doktrin hukum kodrat adalah usaha untuk membentuk tata hukum secara langsung dengan proses penalaran deduktif. Titik tolak penalaran ini adalah konsep hak asli manusia yang sekarang kita kenal

45

22

Ibid, h. 910 Disiplin Hukum


dengan konsep hak asasi manusia dan konsep kontrak sosial (Grotius, Hobbes, Locke, Rousseau)dengan mendalilkan bahwa satu-satunya tujuan kontrak sosial adalah untuk menjamin hak asasi manusia dengan menciptakan tata hukum, yang deivasi secara deduktif dai sejumlah postulat tertentu, sebagai suatu sistem perlindungan hak-hak itu. Pandangan tentang hukum ini menimbulkan kecenderungan baru pada pemaparan sistem dan asas-asas hukumnya, dan tiak lagi dalam bentuk komentar terhadap Corpus Iuis.46 Perubahan radikal mulai terjadi dengan terjadinya revolusi Perancis. Di bawah pengaruh semangat Aufklaerung dan filasafat rasionalisme (Descartes), Revolusi Perancis memunculkan gerakan kpdifikasi hukum Nasional. Gerakan kodifikasi ini dalam waktu yang relative sangat pendek (dihitung sejak dimulainya Revolusi Perancis) mampu menghasilkan kodifikasi hukum pada berbagai Negara di Eropa. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari karya para ilmuwan sejak pertengahan abad ke 18 yang dipengaruhi oleh pemahaman dan wawasan baru dalam ilmu hukum, yakni bahwa kodifikasi hukum itu strukturnya harus sistematis dan bertumpu pada sejumlah asas.47 Di bawah pengaruh Rasionalisme Descartes dan transcendental kritisisme Kant yang menimbulkan Aufklaerung, ketidakpastian hukum yang berkaitan dnegan tatanan hukum yang pluralistic di seluruh Eropa dan kesemrawutan ekonomi dengan kesenjangan sosialnya, konsepsi hukum yang baru mendorong penguasa yang berpikiran cerah. Frederick The Great memerintahkan kodifikasi hukum Prusia dan pada tahun 1794 memberlakukan kodifikasi hukum modern pertama, yakni Preussisches Allgemeine Landrecht. Di bawah pengarahan Napoleon, Perancis mewujudkan kodifikasi hukumnya yang dimulai dengan Code Civil pada tahun 1804. Austria memberlakukan

46 Lihat Helmut Coing. The Original Unity Of Euopean Legal Science dalam Law and State. Vol. 11, 1975. h. 79 47 Ibid. 89

Pengantar Ilmu Hukum

23


Allgemeine Burgerliche Gesetzbuch pada tahun 1811 yang hingga kini masih berlaku, setelah sebelumnya memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada tahun 1803. Reorganisasi pengajaran hukum yang disebabkan oleh kodifikasi hukum, menimbulkan orientasi baru dalam pengembanan ilmu hukum dan kegiatan penelitian hukum. 1.4.2. Pada Tataran Empiris Pada bagian ini peneliti akan menguraikan perkembangan ilmu hukum dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pendapat Roscoe Pound. Menurut Roscoe Pound, gagasan mengenai untuk apa hukum itu diadakan, tidak dapat terlepas dari gagasan mengenai apa sebenarnya hukum itu.48 Guna mengetahui tujuan hukum tersebut, Roscoe Pound mengelaborasi secara kronologis gagasan mengenai apa sebenarnya hukum itu. Terkait dengan hal ini Roscoe Pound mengemukakan 12 (dua belas) gagasannya mengenai apa yang dimaksud dengan hukum. Adapun kedua belas gagasan itu adalah sebagai berikut: 1. Hukum dipandang sebagai aturan atau seperangkat aturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan oleh kekuasaan yang bersifat ilahi. Contohnya adalah, Code Hammurabi yang dipercaya sebagai sesuatu yang diwahyukan oleh Dewa Manu dan hukum Musa yang diwahyukan Allah di Gunung Sinai. Di sini hukum dimaknai sebagai wujud campur tangan langsung kekuasaan yang bersifat illahi terhadap kehidupan masyarakat. Adanya makna yang demikian menunjukkan bahwa status naturatlis yang menggambarkan keadaan atimistis manusia yang digambarkan baik oleh Thomas Hobbes maupun John Locke tidak pernah ada. 2. Hukum dimaknai sebagai suatu tradisi masa lalu yang terbukti bekenan bagi para dewa sehingga menuntun manusia untuk mengarungi kehidupan dengan selamat.49 Bagi masyarakat primitif yang dikelilingi oleh kekuatan yang menyeramkan

48 Roscoe Pound. An Introduction To The Philosophy of Law. (University Press, New Haven, 1975), h. 25 49 Ibid

24

Disiplin Hukum


dan dapat mengamuk sewaktu-waktu, manusia selalu dibayangi ketakutan yang terus-menerus sehingga tidak berani melanggar kekuatan itu. Secara individual maupun berkelompok, orang-orang ini berusaha meredakan jangan sampai kekuatan yang dahsyat itu murka. Caranya adalah menetapkan apa saja yang boleh dilakukan oleh mereka dengan mengacu kepada kebiasaan masa lalu mengenai segala sesuatu yang tidak diperkenankan para dewa. Hukum dengan demikian dipandang sebagai seperangkat aturan moral (precept) yang dicatat dan dipelihara. Bilamanapun dijumpai seperangkat aturan hukum primitif yang dikuasai oleh sekelompok orang yang menunjukkan bahwa kelompok itu mempunyai kelas dalam oligarki politik, hukum itu dipandang seperti layaknya Firman Allah dalam tradisi imamat orang Yahudi, tetapi bukan dipandang sebagai wahyu ilahi seperti pada gagasan sebelumnya. Berlainan dengan itu, pandangan transedental tetap menguasai masyarakat primitif dalam memaknai hukum dikaitkan dengan kedashyatan alam yang menakutkan yang dianggap sebagai perbuatan para dewa. 3. Hukum dimaknai sebagai catatan kearifan para orang tua yang telah banyak makan garam atau pedoman tingkah laku manusia yang telah ditetapkan secara ilahi. Kearifan dan pedoman tingkah laku itu lalu dituangkan ke dalam kitab undang-undang primitif. Terkait dengan hal ini, hubungan yang bersifat transendental masih terasa sehingga dapat dipikirkan bahwa kearifan para orang tua tersebut juga merupakan sesuatu yang didapat dari suatu kuasa yang mereka anggap ilahi. 4. Hukum dipandang sebagai sistem prinsip-prinsip yang ditemukan secara filsufis dan prinsip-prinsip itu mengungkapkan hakikat hal-hal yang merupakan pedoman bagi tingkah laku manusia.50 Pada gagasan ini, pandangan yang bersifat transendental mulai dilepaskan dan digantikan oleh pandangan yang bersifat metafisik. Pada dasarnya menurut Roscoe Pound, gagasan keempat ini merupakan

50

Roscoe Pound. Loc.Cit Pengantar Ilmu Hukum

25


penggabungan gagasan kedua dan ketiga yang dilakukan oleh para juriskonsul Romawi. Karya juriskonsul adalah pendapat hukum yang ditujukan kepada para hakim kekaisaran Romawi Barat. Pada masa itu, yaitu dari abad kedua sampai abad keempat, nasihat-nasihat hukum tersebut dikompilasi dalam buku teks. Pada buku teks inilah ditemukan prinsipprinsip keadilan dan hak dalam memberikan bentuk untuk dinyatakan dalam pengalaman melalui penalaran. 5. Kelima adalah lanjutan dari gagasan keempat. Di tangan para filsuf, prinsip-prinsip itu ditelaah secara cermat, di interpretasi dan kemudian digunakan. Oleh karena itulah, dalam gagasan kelima ini hukum diartikan sebagai seperangkat aturan dan pernyataan kode moral yang abadi dan tidak dapat berubah. 6. Hukum dipandang sebagai seperangkat perjanjian yang dibuat oleh orang-orang dalam suatu masyarakat yang diorganisasi secara politis. Perlu dikemukakan disini bahwa pandangan ini bukan merujuk kepada teori-teori spekulatif yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes dan John Locke, melainkan merujuk kepada karya Plato yang berjudul Minos.51 Pandangan ini menurut Roscoe Pound merupakan pandangan yang bersifat demokratis. Terkait dengan hal ini, hukum diidentifikasikan sebagai undang-undang dan dekrit yang diundangkan dalam Negara kota yang ada pada zaman Yunani kuno. Demosthenes menyarankan pandangan demikian kepada jury Athena.52 Pada teori semacam itu, sangat mungkin gagasan yang bersifat filsufis mendukung gagasan politis dan menjadikan dasar kewajiban moral yang melekat di dalamnya mengenai alasan mengapa perjanjian yang dibuat dalam dewan rakyat harus ditaati. 7. Hukum dipandang sebagai suatu reflesi pikiran ilahi yang menguasai alam semesta. Pandangan demikian dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Tak pelak lagi, sejak saat itu pandangan ini telah sangat berpengaruh. Bahkan kemudian terjadi berbagai variasi atas pandangan hukum alam ini.

51 52

26

Ibid. h. 27 Ibid Disiplin Hukum


8. Hukum dipandang sebagai suatu rangkaian perintah penguasa dalam suatu masyarakat yang di organisasi secara politik. Berdasarkan perintah itulah, manusia bertingkah laku tanpa perlu mempertanyakan atas dasar apakah perintah itu diberikan.53 Pandangan demikian dikemukakan oleh yuris Romawi dan masa klasik. Tidak dapat disangkal bahwa pandangan itu hanya mengakui hukum positif yaitu hukum yang dibuat penguasa sebagai hukum. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hukum Romawi yang menjadi acuan hukum barat sebenarnya bersumber pada Corpus Iuris Civilis hasil kodifikasi Kaisar Yustinianus, sebagai seorang kaisar, ia dapat menuangkan kehendaknya menjadi berkekuatan hukum, akan tetapi apa yang dilakukan oleh Yustinianus sebenarnya adalah melakukan kompilasi karya para juriskonsul pada masa Kekaisaran Romawi Barat masih jaya. Ternyata pandangan bahwa hukum merupakan perintah penguasa sesuai dengan pandangan hukum para ahli hukum yang aktif mendukung kekuasaan raja di Kerajaan Perancis yang tersentralisasi pada abad ke 16 dan 17.54 Para ahli hukum ini lalu mengundangkan menjadi undang-undang. Hal itu ternyata juga sesuai dengan pandangan supremasi parlemen di Inggris setelah tahun 1688 dan kemudian menjadi teori yuristik Inggris orthodoks.55 Pandangan itu sesuai dengan teori kedaulatan rakyat yang dianggap sebagai pengganti teori supremasi parlemen pada Revolusi Amerika atau pengganti teori kedaulatan raja pada Revolusi Perancis. 9. Hukum dipandang sebagai suatu sistem pedoman yang ditemukan berdasarkan pengalaman manusia dan dengan pedoman tersebut manusia secara individual akan merealisasikan kebebasannya sebanyak mungkin seiring dengan kebebasan yang sama yang dimiliki orang lain. Gagasan semacam ini dengan berbagai bentuknya dikemukakan oleh mazhab historis. Menurut E.C. Von Savigny (salah satu tokoh

53 54 55

Ibid. Ibid. h. 28 Ibid Pengantar Ilmu Hukum

27


dalam mazhab historis) hukum bukanlah dibuat secara sengaja, melainkan ditemukan melalui pengalaman manusia.56 Terkait dengan hal demikian, pertumbuhannya benar-benar merupakan suatu proses organis dan tidak disadari. Proses itu ditentukan oleh gagasan mengenai hak dan keadilan atau gagasan mengenai kebebasan yang terwujud dalam pengelolaan keadilan oleh manusia atau dalam bekerjanya hukum-hukum biologis dan psikologis atau dalam karakter ras yang mau tidak mau menghasilkan sistem hukum yang berlaku pada suatu waktu tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.57 10. Hukum dipandang sebagai sistem prinsip yang ditemukan secara filsufis dan dikembangkan secara rinci melalui tulisan yuristik dan putusan pengadilan. Sistem tersebut digunakan untuk mengukur kehidupan lahiriah manusia melalui nalar atau dalam suatu fase yang lain digunakan untuk menyelaraskan kehendak manusia secara individual dengan kehendak manusia sesamanya. Cara berpikir semacam ini muncul pada abad 19 setelah teori hukum alam yang telah dianut selama 2 (dua) abad ditinggalkan orang dan filsafat dikedepankan guna memberikan suatu kritik yang sistematis bagi perkembangan hukum secara mendetail. 11. Hukum dipandang sebagai seperangkat atau suatu sistem aturan yang dipaksakan kepada manusia dalam masyarakat oleh sekelompok kelas yang berkuasa baik secara sengaja atau tidak untuk meneguhkan kepentingan kelas yang berkuasa tersebut. Pandangan ini merupakan suatu pandangan dari segi ekonomi, yang mengemukakan bahwa dalam bentuk positivis-analitis yang menempatkan hukum sebagai perintah penguasa. Dasar perintah tersebut pada hakikatnya adalah kepentingan ekonomi dari kelas yang berkuasa. 12. Hukum dipandang sebagai suatu gagasan yang ditimbulkan dari prinsip-prinsip ekonomi dan social tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat, ditemukan berdasarkan

56 Surya Prakash Sinha. Jurisprudence: Legal Philosophy in A Nutshell. (Minnesota: West Publishing St. Paul, 1993), h. 206 57 Roccoe Pound. Op.Cit. h.27

28

Disiplin Hukum


observasi, dinyatakan dalam petunjuk-petunjuk yang bekerja melalui pengalaman manusia mengenai apa yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan dalam pelaksanaan keadilan. Pandangan ini merupakan suatu pandangan akhir abad 19 ketika mulai dikemukakannya pandangan yang bersifat metafisis.

Pengantar Ilmu Hukum

29


BAB II MASYARAKAT DAN HUKUM 2.1. Masyarakat dan Hukum Manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai keinginan untuk hidup bermasyarakat dengan manusia-manusia lain, artinya setiap manusia mempunyai keinginan untuk berkumpul dan mengadakan hubungan dengan sesamanya. Kumpulan atau persatuan manusia-manusia yang saling mengadakan hubungan antara yang satu dengan yang lain dinamakan “masyarakat�. Jadi masyarakat terbentuk apabila ada dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup mereka timbul berbagai hubungan atau pertalian yang mengakibatkan mereka salling mengenal dan mempengaruhi.58 Berdasarkan hubungan dari anggota-anggotanya, masyarakat dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:59 1. Masyarakat paguyupan (gemeinschaft), yaitu masyarakat yang hubungan antara anggotanya erat sekali yang bersifat pribadi dan terjadi ikatan batin antara anggotanya. Misalnya keluarga (rumah tangga), perkumpulan berdasarkan agama dan sebagainya. 2. Masyarakat patembayan (gesellschaft), yaitu masyarakat yang hubungan antara anggotanya tidak begitu erat yang tidak bersifat pribadi dan tidak ada ikatan batin antara anggotanya, tetapi karena adanya kepentingan kebendaan (mencari keuntungan) secara bersama-sama. Misalnya perseroan terbatas, perseroan komanditaire dan sebagainya.

58 Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 30 59 Marhainis Abdul Hay. Op. Cit. h. 20 Lihat juga Kansil. Ibid, h. 31

30


Berdasarkan pada peri kehidupan (kebudayaannya) masyarakat dapat pula dibedakan sebagai berikut:60 1. Masyarakat primitif dan masyarakat modern. 2. Masyarakat desa dan masyarakat kota. 3. Masyarakat teritorial dan masyarakat geneologis. 4. Masyarakat teritorial-geneologis. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia itu mempunyai keinginan untuk hidup bermasyarakat, banyak faktor pendorong lain untuk hidup bermasyarakat, yaitu: kebutuhan biologis, persamaan nasib, persamaan kepentingan, persamaan ideologi, persamaan agama, persamaan bahasa, persamaan kebudayaan, persamaan persepsi bahwa mereka berdiam dalam wilayah yang sama, persamaan tujuan dan sebagainya. Hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi makhluk manusia, artinya hanya dengan hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya. Hal ini berarti manusia tidak mungkin hidup sendiri. Tidak dapat disangkal bahwa secara kodrati manusia memang makhluk bermasyarakat. Sampai saat ini, tidak ada catatan sejarah sejak kapan manusia mulai dapat berbicara yang dapat dipahami oleh sesamanya. Teori evolusi Darwin juga tidak dapat menerangkan sejak fase evolusi manakah manusia mulai dapat mengembangkan bentuk komunikasi lewat simbol-simbol yang disebut bahasa. Kemampuan manusia untuk hidup bermasyarakat dan berbicara ini telah menjadi alat perekat bagi kehidupan bermasyarakat. Melalui kemampuan berbicara dapat dibangun komunikasi antara sesama manusia dan dengan lingkungannya. Melalui komunikasi secamam inilah manusia dapat mengekspresikan perasaannya kepada sesamanya dan hal ini makin mempererat pola hidup bersama. Oleh karena itulah kebutuhan manusia bukan sekedar kebutuhan fisik semata-mata, melainkan juga kebutuhan pengakuan akan keberadaannya. Kebutuhan akan pengakuan terhadap keberadaannya disebut sebagai aspek eksistensial.

60

Ibid Pengantar Ilmu Hukum

31


Berdasar hal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa dalam hidup bermasyarakat manusia memiliki dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek eksistensial. Aspek fisik merujuk kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang secara ragawi benar-benar hidup. Aspek lainnya adalah aspek eksistensial yang berkaitan dengan keberadaannya yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Secara fisik, untuk mempertahankan hidupnya manusia butuh makan, minum, melindungi diri dari kekejaman alam dengan membuat senjata dan sebagainya. Guna mempertahankan eksistensinya manusia membutuhkan cinta kasih. Mengasihi adalah bereksistensi dalam suatu kerangka yang lain daripada sekedar bertahan hidup secara fisik. Gabriel Marcel menyatakan bahwa “as long as death plays no further role than that of providinng man with an incentive to evade it, man behaves as mere living being, not as exixsting being.�61 Rasa cinta kasih yang dibarengi dengan sikap kebersamaan inilah yang disebut moral. Pada perkembangan selanjutnya moral dari manusia-lah yang melahirkan pranata-pranata yang membantu kehidupan masyarakat, misalnya pranata yang terkait dengan perkawinan. Guna menata pranata-pranata dan menjaga agar kepentingan manusia dalam masyarakat tidak berbenturan, maka diperlukan apa yang disebut dengan hukum. Secara umum, hukum diperlukan bagi kehidupan manusia untuk: 1. Menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, terutama mengenai pelaksanaan hak-hak pribadi. 2. Menjaga agar tidak terjadi konflik antar anggota masyarakat, sehingga keseimbangan hidup masyarakat dapat tercapai. Hukum hadir untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi agar kondisi sosial yang tidak seimbang dapat dipulihkan kembali seperti semula. 3. Memberikan jaminan terciptanya suasana aman, tertib, dan nyaman untuk mendukung tercapainya tujuan hidup bersama yaitu kesejahteraan.

61 Wayne Morrison. Jurisprudence: From the Greeks to Post-Modernism. (London: Cavendish, 1998), h. 16

32

Masyarakat dan Hukum


Mengenai hubungan manusia, masyarakat dan hukum dapat digambarkan dalam sebuah bagan sebagai berikut: Gambar 2 Bagan Hubungan Manusia, Masyarakat dan Hukum Manusia 3

Hukum

4 2

1 Masyarakat

Sumber: Catatan Pribadi Penulis, diolah, 2011

Keterangan : 1. Manusia sesuai dengan kodratnya cenderung hidup berkelompok, berkumpul dengan manusia yang lain membentuk sebuah komunitas yang disebut masyarakat. Manusia yang hidup berkelompok dilatar belakangi oleh berbagai alasan, yang intinya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 2. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu dengan tujuan tertentu. Kehidupan berkelompok tersebut terproses melalui interaksi antar anggota masyarakat. Kehidupan manusia yang kebutuhannya semakin kompleks, cenderung menciptakan konflik di antara mereka. Oleh karena itu, diperlukan hukum agar proses interaksi manusia dapat berjalan tertib, aman dan nyaman. 3. Hukum yang dimaksud, dalam wujudnya dapat berupa aturan-aturan tidak tertulis (hukum adat/kebiasaan) dan dapat berupa aturan-aturan tertulis (peraturan perundangundangan). Bagi individu (manusia), hukum diperlukan untuk menjamin hak-hak perorangan, untuk menjamin kesamaan hak dalam kesederajatan serta melindungi dari kesewenang-wenangan orang lain. 4. Hukum perlu masyarakat untuk pelaksanaannya. Hukum tanpa masyarakat maka hukum tersebut tidak dapat berjalan/ bekerja. Pengantar Ilmu Hukum

33


Di masyarakat, selalu ada hukum meskipun dalam wujud hukum tersebut sangat sederhana sekali, Ibi ius ubi sicietas. Di mana ada hukum disitu ada masyarakat. 2.2. Subyek Hukum Pada bagian di depan telah dijelaskan mengenai hubungan manusia, masyarakat dan hukum. Maka pada bagian ini penulis akan menjelaskan siapakah yang disebut sebagai subyek hukum. Istilah subyek hukum berasal dari terjemahan Bahasa Belanda rechsubject atau law of subject (Inggris). Beberapa ahli memberikan pendapatnya tentang apa itu subyek hukum, antara lain: 1. Chaidir Ali, menyatakan bahwa subyek hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum, dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu oleh hokum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.62 2. Algra dalam Salim HS, menyatakan bahwa subyek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid).63 3. Soerojo Wignjodipoero, menyatakan subyek hukum (subjectum juris atau subject van een recht) adalah segala sesuatu yang mempunyai hak menurut hukum atau sesuatu sebagai pendukung hak/kewajiban yang teraktualisasikan dalam bentuk wewenang hukum (rechtsbevoegd).64 Subyek hukum memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum. Subyek hukum, dibagi menjadi 2 (dua), yaitu manusia dan badan hukum. 2.2.1. Manusia sebagai Subyek Hukum Manusia dalam pengertian biologis adalah gejala dalam alam, gejala biologika, yaitu makhluk hidup yang mempunyai

62 63

h. 23

34

64

Chaidir Ali. Badan Hukum. (Bandung: Alumni, 1976), h. 16 Salim HS. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), Surojo Wignjodipuro. Op.Cit. h. 40 Masyarakat dan Hukum


panca indera dan mempunyai budaya. Secara yuridis, manusia dalam hukum disebut dengan orang atau persoon. Chaidir Ali, mengartikan bahwa manusia adalah makhluk yang berwujud dan rohani, yang berfikir dan berasa, yang berbuat dan menilai, berpengetahuan dan berwatak, sehingga menempatkan dirinya berbeda dengan makhluk lainnya.65 Menurut hukum modern, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi, artinya diakui sebagai orang atau persoon.66 Terkait dengan hal tersebut, setiap manusia diakui sebagai subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban. Manusia sebagai subyek hukum dimulai sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Bahkan pada fakta empirisnya, bila suatu kepentingan tertentu menghendaki, janin yang masih dalam kandungan sudah dapat diperhitungkan sebagai subyek hukum. Hal ini terdapat dalam pasal 2 KUHPerdata. Pengecualian mulainya subyek hukum dalam KUHPerdata disebutkan dalam pasal 2 KUHPerdata yang menentukan sebagai berikut: 1. Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. 2. Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada. Ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 KUHPerdata di atas ini sering disebut �rechtsfictie� . Terkait dengan pasal 2 KUHPerdata ini, mempunyai makna bahwa selama seseorang masih hidup, selama itu pula ia mempunyai kewenangan dan hak, dan baru akan berakhir ketika orang yang bersangkutan meninggal dunia. Terkait dengan manusia sebagai subyek hukum selama dia hidup, pasal 3 KUHPerdata menyatakan bahwa �Tiada suatu hukumpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan

Chaidir Ali. Op.Cit. h. 10 Pasal 6 Universal Declaration of Human Right mengatakan bahwa manusia yang merupakan persoon memiliki sifat-sifat tertentu antara lain: 1. Bisa hadir atau tidak hadir pada suatu tempat dan waktu tertentu; 2. Mempunyai tempat tinggal (domicili); 3. Memiliki kebangsaan (nationaliteit); 4. Mempunyai sifat kerohanian (gaestelijk vermogen); 5. Mempunyai rasa khawatir dan takut; 6. Mempunyai kepentingan, baik kepentingan umum maupun pribadi. 65 66

Pengantar Ilmu Hukum

35


segala hak perdata.� Manusia sebagai subyek hukum ternyata tidak semuanya dipandang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid), ada beberapa orang yang oleh undangundang dinyatakan �tidak cakap� untuk melakukan perbuatan hukum. Adapun orang-orang tersebut adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 1330 KUHPerdata Jo. Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974). Orang yang belum dewasa dalam melakukan perbuatan hukum diwakili oleh walinya atau pengampunya (curatele) 2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang yang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros (Pasal 1330 KUHPerdata Jo. 433 KUPerdata). Sama halnya dengan orang yang belum dewasa, orang yang berada dibwah pengampuan dalam melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, atau walinya atau siapa yang telah ditunjuk sebagai pengampunya (curatele) 3. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang dinyatakan pailitkan. (Pasal 1330 KUHPerdata Jo. UndangUndang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran). Orang-orang yang mendapat putusan pailit, dalam menyelesaikan hutang piutangnya dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) Jadi orang-orang yang cakap melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) adalah orang yang dewasa dan sehat pikirannya serta tidak dilarang oleh sesuatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Pada perkembangannya, ternyata manusia bukanlah satu-satunya pendukung hak dan kewajiban, masih ada satu lagi yang merupakan pendukung hak dan kewajiban dengan batasan-batasan tertentu, yaitu badan hukum. 2.2.2. Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum Pada perkembangannya, manusia bukanlah satu-satunya pendukung hak dan kewajiban, melainkan ada subyek hukum 36

Masyarakat dan Hukum


lain yang juga mendukung hak dan kewajiban, yaitu badan hukum (rechtspersoon). Badan hukum ini adalah pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa, dia dapat melakukan semua kewajiban dan menerima hak di ranah hukum kekayaan. Satu hal yang membedakan manusia dan badan hukum adalah bahwa manusia dapat mendukung hak dan kewajiban pada semua ranah hukum, namun badan hukum hanya mendukung hak dan kewajiban pada ranah hukum kekayaan, badan hukum tidak dapat mendukung hak dan kewajiban pada ranah hukum keluarga, seperti melahirkan, perkawinan dan sebagainya. Badan hukum, merupakan realitas yang timbul karena kebutuhan masyarakat, sebab manusia selain mempunyai kepentingan perseorangan (individu), juga mempunyai kepentingan bersama dan tujuan bersama yang harus diperjuangkan bersama pula dalam masyarakat. Mereka juga memasukkan harta kekayaan mereka masing-masing menjadi milik bersama, dan menetapkan peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku di kalangan mereka anggota organisasi itu. Pada pergaulan hukum, semua orang yang mempunyai kepentingan bersama yang tergabung dalam kesatuan kerja sama tersebut dianggap perlu sebagai �kesatuan yang baru� yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota-anggotanya serta dapat bertindak hukum sendiri.67 Sri Soedewi Masjchoen dalam Salim HS, memberikan pengertian badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan hukum, yaitu (1) berwujud himpunan, dan (2) harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu dan dikenal dengan yayasan.68 Salim HS juga mengatakan bahwa badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan (arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta hak dan

67 Ali Rido. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf. (Bandung: Alumni, 1977), h. 10 68 Salim HS. Op. Cit. h. 26

Pengantar Ilmu Hukum

37


kewajiban.69 Menurut Chaidir Ali, bahwa untuk memberi pengertian tentang badan hukum merupakan persoalan teori hukum dan persoalan hukum positif, yaitu:70 1. Menurut teori hukum, �apa� badan hukum dapat dijawab bahwa badan hukum adalah subyek hukum yaitu segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. 2. Menurut hukum positif, �siapa� badan hukum yaitu siapa saja yang oleh badan hukum positif diakui sebagai badan hukum. Berdasarkan uraian para ahli tentang badan hukum, maka dapat disimpulkan bahwa unsur dari badan hukum adalah: 1. Mempunyai perkumpulan; 2. Mempunyai tujuan tertentu; 3. Mempunyai harta kekayaan; 4. Mempunyai hak dan kewajiban; 5. Mempunyai hak untuk menggugat dan digugat. Guna mengetahui hakikat dari badan hukum, dapat ditelusuri melalui 2 (dua) jenis penafsiran yaitu: 1. Penafsiran dogmatis, yaitu dengan mengajukan asas kemudian dengan abstraksi memecahkan asas umum tersebut; 2. Penafsiran teleologis, yaitu menyelidiki dengan mengingat tujuan peraturan-peraturan yang ada, sampai dimana peraturan itu dapat berlaku bagi badan hukum. Berikut ini penulis akan merangkum beberapa teori tentang badan hukum yang dikeluarkan oleh para ahli hukum, yaitu: 1. Teori Fiksi (Fictie Theory) Menurut teori ini badan hukum itu adalah semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fictie, yakni sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Teori ini dikemukakan Friederich Carl Von Savigny (Jerman), yang diikuti oleh Opzomer (Belanda), Houwing dan Salmond.

69 70

38

Ibid Chaidir Ali. Op.Cit, h. 20-22 Masyarakat dan Hukum


2. Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie) Menurut teori ini, hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum, akan tetapi teori ini, ada kekayaan (Vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu. Inilah yang dinamakan badan hukum. Adanya badan hukum yang diberi kedudukan sebagai orang, disebabkan badan ini mempunyai hak dan kewajiban yaitu hak atas harta kekayaan dan dengannya itu memenuhi kewajiban-kewajiban kepada pihak ke 3 (tiga). Kekayaan yang dimiliki biasanya berasal dari kekayaan seseorang yang dipisahkan atau disendirikan dari kekayaan orang yang bersangkutan dan diserahkan kepada badan tersebut, misalnya: yayasan, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sebagainya. Penganut teori ini adalah Brinz dan Van Der Heijden dari Belanda. 3. Teori Organ (Organnen Theory) Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubyek. Tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantara alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota-anggotanya seperti manusia biasa yang mempunyai organ (panca indera). Contoh konkrit dari implementasi teori ini adalah koperasi yang memiliki organ seperti RUPS, pengurus dan anggota. Pengikur teori ini adalah Otto Van Gierke dan Z.E. Polano. 4. Teori Pemilikan Bersama (Propriete Collectief Theory) Nama lain dari teori ini adalah Gezammenlijke eigendoms Theorie. Berdasarkan teori pemilikan bersama ini, hak dan kewajban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Teori ini diikuti oleh Star Busmann, Kranenburg dan Molengraaf. Pengantar Ilmu Hukum

39


Teori ini didukung oleh Rudolf Von Jhering (1818-1892), dengan nama teori kekayaan bersama (Collectief Vermogens Theory), yang berpendapat bahwa yang dapat menjadi subyeksubyek hak badan hukum, yaitu: 1. Manusia-manusia yang secara nyata ada dibelakangnya; 2. Anggota-anggota badan hukum; 3. Mereka yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan. 5. Teori kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer Theorie) Teori ini mengatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realita (realiteit), konkrit, riil, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal, tetapi keyaan yuridis. Teori yang dikemukakan oleh Mejers ini menekankan hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja. Menurut teori ini, badan hukum dipersamakan dengan manusia adalah suatu realita yuridis, yaitu suatu fakta yang diciptakan oleh hukum. Jadi adanya badan hukum itu karena ditentukan oleh hukum. Contoh konkrit dari teori ini adalah koperasi, koperasi merupakan kumpulan yang diberi kedudukan sebagai badan hukum setelah memenuhi persyaratan tertentu, tetapi firma bukan merupakan badan hukum karena hukum di Indonesia menentukan demikkian (lihat pasal 18 KUHD). Berdasarkan teori ini, maka untuk menjadi sebuah badan hukum harus memenuhi syarat:71 1. Mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya; 2. Disyahkan oleh yang berwenang; 3. Mempunyai tujuan. Teori ini diikuti oleh Mejers, Suyling dan Scholten. 2.3. Hak dan Kewajiban Hak adalah wewenang atau izin yang diberikan hukum. Oleh

71 Hartono Hadisoeprapto. Pengantar Tata Hukum Indonesia. (Liberty: Yogyakarta, 1999), h. 91

40

Masyarakat dan Hukum


karenanya, kata lain dari ”hak” adalah ”wewenang”. Setiap orang yang mempunyai hak/wewenang atas sesuatu benda dan/atau dapat berbuat sesuatu atas benda itu. Ia dapat menikmati hasilnya, dapat menjual, dapat menyewakan, dapat menggadaikan serta perbuatan lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Hukum disini berfungsi sebagai pembatasan hak mutlak. Oleh karena itu, meskipun namanya hak mutlak, tetapi dalam praktik ada batas-batasnya (fungsi sosial atas hak). Orang-orang yang menyalagunakan hak/wewenang, dapat diancam dengan hukum, misalnya seseorang karena jabatannya, memiliki hak/wewenang untuk mengatur atau memerintah dan/ atau membuat kebijakan tertentu. Jika kebijakan yang dibuat melampaui batas yang telah ditetapkan dengan hukum, maka ia dapat diancam hukuman, misalnya melakukan tindakan korupsi. 2.3.1. Pengertian Hak Guna memperoleh kejelasan tentang apa yang dimaksud dengan hak, berikut ini diberikan penjelasan tentang berbagai pengetian hak menurut para ahli dan pengertian hak menurut kamus-kamus hukum sebagai berikut: a. Philipus M. Hadjon Pengertian “hak” (right) sendiri telah lama menjadi salah satu bahan perdebatan, baik oleh kalangan filsuf hukum, maupun politik, tidaklah ada maksud disini untuk ikut melibatkan diri dalam perdebatan, tapi hanya sekedar mengungkapkan bahwa hal itu dipermasalahkan. Pada tulisan ini pengertian hak (rights) tidak juga disefinisikan, tetapi suatu inti yang terkandung dalam hak, yaitu adanya suatu tuntutan (claim), sehingga berbicara tentang hak kita membayangkan bahwa di dalamnya ada suatu “claims”.72 b. K. Bertens Hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok orang yang satu terhadap yang lain aatau terhadap masyarakat. Orang yang mempunyai hak bisa menuntut (dan

72 Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), h. 39.

Pengantar Ilmu Hukum

41


bukan saja mengharapkan atau menganjurkan) bahwa orang lain akan memenuhi dan menghormati hak itu. Tetapi bila dikatakan demikian, segera harus ditambah sesuatu yang amat penting: hak adalah klaim yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan. Sebab, mengatakan klaim begitu saja jelas tidak cukup. Ternyata sering dikemukakan klaim yang tidak dapat dibenarkan. Seorang penodong bisa saja mengklaim harta penumpang dalam kereta api. Tapi kita semua akan menyetujui bahwa klaim itu tidak sah. Sebaliknya, kondektur kereta api bisa menuntut agar penumpang membayar karcisnya. Itulah klaim yang bisa dibenarkan dan karenanya harus dipenuhi oleh yang bersangkutan.73 a. Theo Huijbers Adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia mempunyai suatu keistimewaan yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlukan sesuai dengan keistimewaan tersebut.74 b. Satjipto Rahardjo Mengenai pengertian hak, Satjipto Rahardjo menjelaskan sebagai berikut: “Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditemukan kekuasaan didalamnya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak. Dengan demikian, tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.”75 c. Black’s Law Dictionary Black’s Law Dictionary memberikan pengertian hak sebagai berikut ini: “1. That which is propper under law, morality, or ethics ( know right from wrong). 2. Something that is due to aperson by just claims, legal

73 74 75

42

K. Bertens. Etika. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 178-179. Theo Huijbers. Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 95. Satjipto Rahardjo. Op.Cit. h. 94. Masyarakat dan Hukum


guarantee, or moral principle (the right of library). 3. A power, privilege, or immunity secured to person by law (the right to dispose of one’s estate). 4. A legally enforceable claim that another will do or will not do a given act; a recognized and protected interest the violation of which is a wrong (a breach of duty that infringes one’s right). 5. (often pl.) The interest, claim, or ownership that one has in tangible or intangible property (a debtor’s rights in collateral) (publishing rights). 6. The privilege of corporate shareholders to purchase newly issued securities in amount proportionate to their holdings. 7. The negoitable certificate granting such a privilege to co corporate shareholder.”76 d. Oran’s Dictionary of Law Oran’s Dictionary of Law menjelaskan pengertian hak, yaitu: “1. Morally, ethically, or legally just. 2. One person’s legal ability to control certain actions of another person or of all other persons. Most rights have a corresponding duty. (When lawyers speak of “a right,” they mean a legal, not moral right.) 3. For Bill of Rights, riparian rights, stock rights, the right to privacy, right to counsel, right to travel, or the rights of election, redemption, survivorship, etc., see those words. For right to die, see advance directive.” 77 e. Gale Encyclopedia of American Law Pada Gale Encyclopedia of American Law, pengertian hak dijelaskan sebagai berikut: “Right: In an abstract sense, justice, ethical correctness, or harmony with the RULES OF LAW or the principles of morals. In a concrete legal sense, a power, privilege, demand, or claim possessed by a particular person by virtue of law.78 f. Oxford Dictionary of Law Hak menurut Oxford Dictionary of Law adalah: 1. Title to or an interest in any property. 2. Any other interest or privilege

76 Bryan A. Garner. Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (Thomson West, St. Paul, 2004).h. 1347. 77 Daniel Oran, JD. Oran’s Dictionary of Law, 3 rd Edition, (West Legal Studies Thomson Learning, 2000), h.428. 78 Dona Batten (Project Editor). Gale Encyclopedia of American Law, 3RD Edition, Volume 14, Dictionary Legal Term, CENGAGE LEARNING, 2010, h.196.

Pengantar Ilmu Hukum

43


recognized and protected by law. 3. Freedom to exercise any power conferred by law.79 Berkaitan dengan hak, Fitzgerald dalam Satjipto Rahardjo mengemukakan ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum adalah sebagai berikut: 1. Hak itu diletakkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subyek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak. 2. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang relatif. 3. Hak yang ada pada seorang ini mewajibkan fihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan. Ini biasa disebut isi dari hak. 4. Perbuatan atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut sebagai obyek dari hak. 5. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.80 2.3.2. Jenis-Jenis Hak K. Berten dalam bukunya yang berjudul ETIKA membagi jenis-jenis hak sebagai berikut:81 1. Hak Legal dan Hak Moral Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk. Hak legal berasal dari undang-undang, peraturan hukum atau legal dokumen lainnya. Di Indonesia hak legal ini banyak ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dari yang tertinggi UUD 1945, undangundang dan lain-lain. Hak legal juga dapat ditemukan dalam suatu perjanjian tertentu yang mengikat dua orang atau

79 Elizabeth A. Martin (editor), Oxford Dictionary of Law, Fifth Edition, (Oxford University Press: New York, 2002). h.435. 80 Satjipto Raharjo. Op.Cit. h.95-96. 81 K. Berten. Op.Cit, h. 179-188. Lihat dan baca juga Satjipto Rahardjo, Op.Cit, h.102.

44

Masyarakat dan Hukum


lebih. Misalnya perjanjian jual beli antara si A dan si B. Si A selaku pembeli berhak atas penerimaan barang yang ia beli sedangkan si B berhak untuk menerima harga pembayaran barang dari barang yang ia jual Hak moral adalah hak yang didasarkan atas prinsip atau peraturan etis saja. Hak moral misalnya si A berjanji untuk mengantar si B untuk pergi kesekolahnya. Si B berhak untuk diantar ke sekolah oleh si A. 2. Hak Khusus dan Hak Umum Hak khusus adalah hak yang timbul dalam suatu relasi khusus antara beberapa manusia atau karena fungsi khusus yang dimiliki orang satu terhadap orang lain. Misalnya si A dan si B melakukan perjanjian jual beli. Si A telah membayar harga barang yang dijual oleh si B. Si A berhak atas barang yang yang dijual dari si B, bukan dari pihak lainnya. Hak umum adalah hak yang dimiliki oleh manusia bukan karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak umum dimiliki oleh semua manusia tanpa terkecuali. Hak umum dalam bahasa Inggris disebut natural right atau juga human right, dan dalam bahasa Indonesia disebut “hak asasi manusia�. 3. Hak Positif dan Hak Negatif Suatu hak bersifat positif, jika saya berhak bahwa orang lain berbuat sesuatu untuk saya. Anak kecil yang jatuh dalam kolam air berhak untuk diselamatkan dan orang lain harus membantu dia, jika kebetulan menyaksikan itu. Secara umum bisa dikatakan, semua orang yang terancam bahaya maut mempunyai hak bahwa orang lain membantu untuk menyelamatkan mereka. Contoh hak positif adalah hak atas makanan, pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan yang layak dan sebagainya. Suatu hak negatif, jika saya berhak bebas untuk melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu, dalam arti: orang lain tidak boleh menghindari dari saya untuk melakukan atau memiliki hal itu. Hak negatif sepadan dengan kewajiban orang lain untuk tidak melakukan sesuatu, yaitu tidak menghindari saya untuk melaksanakan atau meiliki apa yang menjadi hak saya. Contoh hak negatif adalah hak atas kehidupan, kesehatan, Pengantar Ilmu Hukum

45


milik atau keamanan, hak mengikuti hati nurani, hak untuk beragama, hak mengemukakan pendapat, hak berkemumpul dengan orang lain. 4. Hak Individual dan Hak Sosial Hak individu adalah hak yang dimiliki individu-individu terhadap negara. Negara tidak boleh menghindari atau mengganggu individu dalam mewujudkan hak-hak ini, seperti hak mengikuti hati nurani, hak beragama, hak berserikat, hak mengemukan pendapat. Hak individu ini termasuk hak-hak negatif. Hak sosial adalah hak yang dimiliki oleh anggota masyarakat bersama-sama dengan anggota yang lain. Contoh dari hak sosial adalah hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan. Hak-hak ini bersifat positif. Hak sering disebut juga sebagai “hukum subjektif� , sedangkan “hukum objektif� adalah hukum itu sendiri. Antara hak dan hukum selalu terkait, dengan adanya hukum, maka seseorang dapat memiliki hak secara sah melalui perbuatan hukum, misalnya melalui jual beli orang dapat memiliki hak atas suatu barang/benda. Hukum subjektif adalah hak yang diberikan oleh hukum objektif. Pada ilmu hukum, dikenal ada 2 (dua) hak, yaitu hak mutlak dan hak nisbi/relatif. Hak mutlak adalah hak yang memberikan kewenangan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan dan hak ini dapat dipertahankan oleh setiap orang yang menerimanya dari gangguan orang lain. Hak mutlak ini wajib dihormati oleh setiap orang. Salah satu hak yang termasuk dalam hak mutlak adalah hak asasi manusia (HAM). Hak nisbi/relatif yaitu hak yang memberikan kewenangan kepada seseorang/beberapa orang tertentu untuk menuntut agar seseorang/beberapa orang tertentu melakukan sesuatu. Salah satu contoh dari hak nisbi/relatif adalah dalam hal jual beli si pembeli berhak menuntut penjual menyerahkan uang sebagai pembayaran. Hak untuk menarik uang sewa kos dari anak kos termasuk hak relatif/nisbi, karena berlakunya tidak secara publik, melainkan antar orang. 2.3.3. Kewajiban Mengenai pengertian kewajiban Theo Huiber menjelaskan bahwa adanya suatu kewajiban pada seseorang berarti bahwa 46

Masyarakat dan Hukum


diminta daripadanya suatu sikap atau tindakan, yang sesuai dengan keistimewaan yang ada pada orang lain.82 Curzon dalam Satjipto Rahardjo mengelompokkan kewajiban-kewajiban sebagai berikut:83 1. Kewajiban-kewajiban yang mutlak dan nisbi Kewajiban yang mutlak adalah yang tidak mempunyai pasangan hak, seperti kewajiban yang tertuju kepada diri sendiri; yang diminta oleh masyarakat pada umumnya, yang hanya ditujukan kepada kekuasaan (sovereign) yang membawahinya. Kekuasaan nisbi adalah yang melibatkan hak di lain fihak. 2. Kewajiban-kewajiban publik dan perdata Kewajiban publik adalah yang berkorelasi dengan hak-hak publik, seperti kewajiban untuk mematuhi hukum pidana. Kewajiban perdata adalah korelatif dari hak-hak perdata, seperti kewajiban yang timbul dari perjanjian. 3. Kewajiban-kewajiban yang positif dan negatif Kewajiban positif menghendaki dilakukannya perbuatan positif, seperti kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembelinya. Kewajiban negatif dalah yang menghendaki agar suatu pihak tidak melakukan sesuatu, seperti kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu yang mengganggu milik tetangganya. 4. Kewajiban-kewajiban universal, umum dan khusus Kewajiban universal ditujukan kepada semua warga negara, seperti yang timbul dari undang-undang. Kewajiban umum ditujukan kepada segolongan orang-orang tertentu, seperti orang asing, orang tua (ayah-ibu). Kewajiban khusus adalah yang timbul dari bidang hukum tertentu, seperti kewajiban dalam hukum perjanjian. 5. Kewajiban-kewajiban primer dan yang bersifat memberi sanksi Kewajiban primer adalah yang tidak timbul dari perbuatan

82 83

Theo Huijber. Op.Cit. h. 95. Satjipto Rahardjo. Op.Cit. h. 101-102. Pengantar Ilmu Hukum

47


yang melawan hukum, seperti kewajiban seseorang untuk tidak mencemarkan nama baik orang lain yang dalam hal ini tidak timbul dari pelanggaran terhadap kewajiban lain sebelumnya. Kewajiban yang bersifat memberi sanksi adalah semata-mata timbul dari perbuatan yang melawan hukum, seperti kewajiban tergugat untuk membayar gugatan pihak lain yang memenangkan perkara. Apakah ada hubungan antara hak dengan kewajiban? Apakah kewajiban selalu diringi hak atau sebaliknya? Ataukah ada kewajiban tanpa hak atau sebaliknya? Pandangan yang disebut “korelasi� menyatakan bahwa setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain, dan sebaliknya setiap hak seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut. Mereka berpendapat bahwa kita baru dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi tentang itu. Hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya tidak pantas disebut “hak�.84 Oleh Satjipto Rahardjo dikatakan bahwa antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat. Yang satu mencerminkan adanya yang lain.85 Namun demikian, tidak selalu suatu kewajiban selalu berdampingan dengan hak, tidak bersifat mutlak. Kewajiban legal yang bersumber dari peraturan resmi tidak selalu berdampingan dengan hak. Misalnya, pengemudi wajib berhenti ketika lampu merah menyala, tapi tidak bisa dikatakan bahwa orang lain berhak agar pemudi berhenti.86 Kewajiban moral tidak selalu disertai hak. Setiap orang mempunyai kewajiban moral untuk bersikap murah hati, ia tidak menyatakan sikap etis yang benar, kalau tidak bersedia membagi kelebihannya dengan orang yang sangat membutuhkan. Hal itu adalah kewajibannya. Tapi itu tidak berarti bahwa orang tertentu berhak untuk dibantu oleh orang kaya itu.87

86 87 84 85

48

K. Bertens. Op.Cit. h. 193. Satjipto Rahardjo. Op.Cit. h.94. K. Bertens. Loc.cit. Ibid Masyarakat dan Hukum


Peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak asasi manusia juga mengatur kewajiban-kewajiban untuk mengimbangi pengakuan hak-hak itu. Pasal 28 huruf J ayat (1) UUD 1945 menentukan “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara�. Ketentuan Pasal 28 huruf J ayat (1) UUD 1945 ini diatur lebih lanjut dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang beberapa ketentuan pasalnya menyatakan sebagai berikut: Pasal 2 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan Pasal 67 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia: Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia. Pasal 69 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia: 1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggungjawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya. Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia: Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi maanusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Pengantar Ilmu Hukum

49


2.4. Peristiwa Hukum Peristiwa hukum (rechtsfert atau rechtsfeid) pada hakekatnya adalah peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. LJ Van Apeldorn dalam Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum.88 Senda dengan pendapat LJ. Van Apeldorn, Bellefroid dalam Sudikno Mertokusumo memberikan pendapatnya bahwa peristiwa sosial tidak dengan otomatis dapat menimbulkan hukum, kecuali membawa akibat yang diatur oleh hukum.89 Apa yang disampaikan Bellefroid, dapat dicontohkan bahwa seseorang yang melihat peristiwa jatuhnya air dari langit (hujan), peristiwa dimana seseorang sedang menangis, contohcontoh tersebut bukanlah peristiwa hukum. Suatu peristiwa baru dapat dikatakan sebagai peristiwa hukum bila akibatakibat yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut diatur oleh hukum, misalnya jual beli, dimana ada penjual dan pembeli yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Bila hak dan kewajiban ini diabaikan, ada hukum yang akan mengatur cara untuk menyelesaikannya. Menguatkan pendapat Van Apeldorn dan Bellefroit, Sudiman Kartodiprojo dalam Samidjo menyatakan, bahwa suatu peristiwa merupakan peristiwa hukum karena terdapat norma hukum yang memberi akibat terhadap peristiwa itu.90 Berdasarkan berbagai pendapat para ahli diatas, yang dapat dijadikan tolok ukur apakah suatu peritiwa termasuk dalam peristiwa hukum atau bukan adalah norma hukum. Apakah ada norma hukum yang mengaturnya?... Apakah norma hukum yang bersangkutan memberikan akibat hukum terhadap peristiwa tersebut?... Hanya peristiwa-peristiwa yang diatur oleh norma hukumlah dan yang menimbulkan akibat hukum yang dinamakan peristiwa hukum. Guna lebih rincinya, perhatikan bagan berikut ini:

88 89 90

50

Sudikno Mertokusumo. Op.Cit. h. 44 Ibid Samidjo dan A. Sahal. Tanya Jawab; Pengantar Ilmu Hukum. h. 155 Masyarakat dan Hukum


Gambar 3 Klasifikasi Peristiwa Hukum Kematian Peristiwa yang bukan perbuatan subjek hukum

Kelahiran Daluwarsa

Peristiwa Hukum

Perbuatan Hukum yg bersegi satu (ex. Wasiat) Perbuatan Hukum

Perbuatan Hukum yg bersegi dua (ex. Perjanjian jual beli)

Perbuatan Subyek Hukum

Perbuatan yang bukan perbuatan hukum

Perbuatan yang sesuai dengan asas-asas hukum (zaakwaarneming = ps. 1354 BW, onverschuldigde betaling Perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum (onrechtmatigedaad = ps. 1365 BW

Sumber: Sudikno Mertokusumo, 1986

Berkaitan dengan adanya peristiwa hukum, hal yang selanjutnya adalah akibat hukum. Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan karena adanya suatu tindakan/peristiwa hukum. Tindakan-tindakan hukum tersebut, menghendaki adanya suatu akibat, misalnya pembuatan surat wasiat, pernyataan berhenti menyewa rumah dan sebagainya. Akibat hukum dapat berwujud 3 (tiga) hal, yaitu: a. Lahir atau hilangnya suatu keadaan hukum, 1. Menurut BW, sejak seseorang telah berusia 21 tahun maka ia telah dianggap cakap menurut hukum (lahirnya keadaan hukum baru). 2. Seseorang yang berada di bawah pengampuan, maka ia telah kehilangan kecakapan hukum (hilangnya keadaan hukum). Pengantar Ilmu Hukum

51


3. Sejak suatu hal dinyatakan kedaluwarsa (lewat waktu), seseorang bisa mendapatkan hak (584 BW), tetapi juga bisa kehilangan hak. b. Lahir atau hilangnya sesuatu hubungan hukum Sejak A dan B membuat perjanjian jual beli rumah, maka lahirlah hubungan hukum antara A dan B. Hubungan hukum akan hilang bila hak dan kewajiban (prestasi) kedua belah pihak telah selesai dilaksanakan. c. Adanya Sanksi Sanksi ini akan datang (baik dari pihak lain atau dari penguasa) bila terjadi pelanggaran hukum/tindakan melawan hukum. Pada hukum pidana, sanksi berupa tindakan pemidanaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 14 KUHPidana, sedangkan dalam hukum perdata, sanksi berupa ganti rugi atau denda. 2.5. Obyek Hukum Pada dunia hukum, selain subjek hukum, dikenal pula apa yang disebut dengan objek hukum. Objek hukum ialah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum (manusia dan/atau badan hukum), dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum. Objek hukum biasanya disebut juga dengan benda. Pengertian benda (zaak) secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat dihak-i atau menjadi objek hak milik (pasal 499 KUHPerdata). Berdasarkan pasal 499 KUHPerdata maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan benda adalah sesuatu yang dapat dihak-i atau dapat dimiliki orang. Maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki orang bukanlah termasuk pengertian benda (menurut KUHPerdata). Subekti membagi pengertian benda menjadi 3 (tiga), yaitu:91 1. Benda dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dapat

91

52

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: Internusa, 2002), h. 60 Masyarakat dan Hukum


dihak-i oleh orang; 2. Benda dalam arti sempit adalah barang yang dapat terlihat saja; 3. Benda adalah sebagai objek hukum Pada hukum perdata barat (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia, pengertian benda (zaak) sebagai objek hukum tidak hanya meliputi benda berwujud (yang dapat ditangkap panca indera), tetapi juga benda yang tidak berwujud, yakni hak-hak atas barang yang berwujud. Hal ini berbeda dengan pengertian benda dalam hukum adat. Pada hukum adat, tidak dikenal pengertian benda yang tidak berwujud. Perbedaannya ialah bahwa dalam pandangan hukum adat hak atas suatu benda tidak dibayangkan terlepas dari benda yang berwujud, sedangkan dalam pandangan hukum perdata barat, hak atas suatu benda seolah-olah terlepas dari bendanya, seolah-olah merupakan benda tersendiri. Perbedaan cara pandang ini, menurut Wirjono Projodikoro disebabkan perbedaan cara berpikir orang-orang Indonesia asli dengan orang-orang Barat. Cara berpikir orangorang Indonesia asli cenderung pada kenyataan belaka, sedangkan cara berpikir orang-orang Barat cenderung pada hal yang hanya berada dalam pikiran belaka.92 Pada KUHPerdata, pengertian benda (zaak) tidak hanya meliputi benda yang berwujud saja, akan tetapi juga meliputi benda yang tidak berwujud (yang oleh beberapa sarjana disebut benda dalam arti bagian dari harta kekayaan), namun sebagian terbesar dari pasal-pasal Buku II KUHPerdata yang mengatur mengenai benda dalam arti barang yang terwujud.93 Berikut ini adalah pembagian benda menurut BW: 1. Benda tidak bergerak (Pasal 506, 507, dan 508 KUHPerdata) 2. Benda bergerak (Pasal 509, 510, dan 511 KUHPerdata)

92 Wirjono Projodikoro. Hukum Perdata tentang Hak-Hak Atas Benda. (Jakarta: Pembimbing Masa, 1963), h. 11 93 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. Hukum Perdata Hukum Benda. (Yogyakarta: Liberty), h. 14

Pengantar Ilmu Hukum

53


3. Benda yang musnah (Pasal 756 sampai pasal 817 KUHPerdata) 4. Benda yang tetap ada (Pasal 829 KUHPerdata) 5. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti (Pasal 1694, Pasal 1714) 2.6. Hubungan Hukum Tidak setiap hubungan adalah hubungan hukum, yang dimaksud hubungan hukum adalah hubungan antara 2 (dua) subyek hukum atau lebih dimana kewajiban dan hak para pihak saling berhadapan, dan hubungan ini menimbulkan apa yang disebut dengan akibat hukum. Contoh konkrit dari hubungan hukum diilustrasikan sebagai berikut: Rosita menjual sandal berhiaskan swarosky kepada Aan dengan harga Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Kegiatan jual beli sandal ini, menimbulkan perjanjian jual beli antara Rosita dan Aan, hubungan yang terjadi antara keduanya diatur oleh hukum (Pasal 1457 – Pasal 1540 KUHPerdata dan hukum adat). Berdasarkan hubungan hukum tersebut, maka Rosita wajib menyerahkan sandal kepada Aan, dan Rosita berhak meminta harga pembayaran sandal kepada Aan sejumlah yang telah disepakati (Rp. 500.000,-) Sebaliknya Aan berkewajiban membayar harga tersebut dan berhak meminta sandal yang telah diperjanjikan. Hubungan yang terjadi antara Rosita dan Aan inilah yang dinamakan hubungan hukum. Berdasarkan ilustrasi diatas, dapat diketahui bahwa unsurunsur dari hubungan hukum adalah: 1. Orang-orang yang hak/kewajibannya saling berhadapan (subjek); 2. Objek terhadap hak/kewajiban yang berlaku; 3. Hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau hubungan terhadap objek yang bersangkutan (causa) Selain unsur-unsur tersebut diatas, hubungan hukum harus memenuhi 2 (dua) syarat yaitu:94

94

54

Samidjo dan A. Sahal. Op.Cit. h. 142 Masyarakat dan Hukum


1. Adanya dasar hukum, yaitu peraturan hukum yang mengatur hubungan tersebut; 2. Peristiwa hukum, yaitu kejadian yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. Setiap hubungan hukum mempunyai 2 (dua) segi, yaitu kekuasaan dan kewajiban. Kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada seseorang (badan hukum) karena perhubungan hukumnya dengan seseorang (badan hukum) lain biasanya diberi nama hak.95 KUHPerdata memberikan aturan yang terperinci mengenai hubungan-hubungan hukum, sebagai berikut: 1. Pasal-pasal Buku II KUHPerdata, pasal 499 sampai pasal 1232, tentang benda adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara subyek hukum dan benda. Hubungan hukum antara subyek hukum dan benda inilah yang kemudian menimbulkan hak kebendaan. 2. Pasal-pasal Buku III KUHPerdata, pasal 1233 sampai pasal 1864 tentang perikatan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar subjek hukum. Hubungan hukum yang timbul dari para subjek hukum inilah yang kemudian melahirkan hak perseorangan.

95

Utrecht. Op. Cit. h. 230 Pengantar Ilmu Hukum

55


BAB III SUMBER HUKUM

3.1. Pengertian Sumber Hukum Para ahli memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai sumber hukum, guna memperjelas mengenai pengertian sumber hukum. John Graydalam Edgar Bodenheimer mengartikan sumber hukum sebagai bahan-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara.96 Istilah sumber hukum mengandung banyak pengertian.97 Istilah itu dapat dilihat dari segi historis, sosiologis, filsufis dan ilmu hukum. Masing-masing disiplin mengartikannya dari perspektifnya terhadap hukum. Bagi seorang sejarawan dan sosiolog, hukum tidak lebih dari sekedar gejala sosial sehingga harus didekati secara ilmiah.98 Filsuf dan yuris sebaliknya memandang hukum sebagai keseluruhan aturan tingkah laku dan sistem nilai. Sejarawan hukum menggunakan istilah sumber-sumber hukum dalam dua arti, yaitu dalam arti sumber tempat orangorang untuk mengetahui hukum dan sumber bagi pembentuk undang-undang menggali bahan dalam penyusunan undangundang.99 Sumber dalam arti tempat orang-orang mengetahui hukum adalah semua sumber-sumber tertulis dan sumbersumber lainnya yang dapat diketahui sebagai hukum pada saat, tempat, dan berlaku bagi orang-orang tertentu.100 Dilihat dari perspektif sosiologis, sumber-sumber hukum

96 Edgar Bodenheimer. Jurisprudence: The Philosophy and Method of The Law. (Massachussetts: Cambride, 1962), h. 270 97 G.W. Paton. A. Teksbook of Jurisprudence. (London: Oxford University Press, 1972). 98 P. Van Dijk, et all. Van Apeldorn’s Inleiding Tot de Studie Van Het Negerlands Recht. (W.E.J. Tjeenk-Willijnk, 1985), h. 65 99 Ibid 100 Ibid

56


berarti faktor-faktir yang benar-benar menyebabkan hukum tersebut benar-benar berlaku. Faktor-faktor tersebut adalah faktafakta dan keadaan-keadaan yang menjadi tuntutan sosial untuk menciptakan hukum. Dipandang dari segi sosiologi, hukum tidak lebih dari pencerminan realita sosial, sehingga hukum dikondisi oleh faktor-faktor politik, ekonomi, budaya, agama, geografis dan sosial. Menurut penganut sosiologi hukum, baik legislator maupun hakin harus mempertimbangkan faktorfaktor tersebut dalam mengundangkan undang-undang dan memutus perkara. Tanpa mempertimbangkan faktor-faktor itu, sosiolog memandang bahwa hukum tidak lebih daripada kehendak penguasa. Faktor-faktor yang dikemukakan oleh sosiolog tersebut, pada tulisan ini dikemas sebagai faktor-faktor yang harus dirujuk sebagai praktik-praktik yang telah diterima sebagai hukum. Dilihat dari sisi filsufis, istilah sumber hukum juga mempunyai 2 (dua) pengertian. Pertama, arti mengenai keadilan yang merupakan esensi hukum. Berdasarkan pengertian ini, sumber hukum menetapkan kriteria untuk menguji apakah hukum yang berlaku sudah mencerminkan keadilan dan fairness.101 Hal ini juga menimbulkan pertanyaan baru, yakni �apakah yang menjadi dasar penentuan kriteria tersebut?�..... Sudah dapat dipastikan bahwa jawaban dari pertanyaan ini tidak mungkin terjawab secara objektif, karena hukum dikondisi oleh faktor-faktor politik, ekonomi, budaya dan sosial, dan menurut mazhab historis, sumber esensi dari hukum adalah kesadaran sosial akan hukum. Terkait dengan pertanyaan diatas, para filusufis memberikan sudat pandangnya, bahwa hukum dipandang sebagai aturan tingkah laku, sudut pandang tersebut akan menelaah lebih dalam mengenai esensi hukum, yaitu nilai yang diemban oleh hukum tersebut. Merupakan suatu titik berat pandangan filsufis bahwa hukum harus mengusung nilai-nilai keadilan dan fairness dengan merujuk kepda faktor-faktor politik, ekonomi, budaya dan sosial.

101

Ibid. h. 69 Pengantar Ilmu Hukum

57


Selain pengertian-pengertian diatas, berikut ini penulis akan mengemukakan beberapa pengertian atas istilah sumber hukum: 1. Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai ”asalnya hukum” ialah berupa keputusan penguasa yang berwenang untuk memberikan keputusan tersebut. Terkait dengan hal ini, keputusan itu haruslah berasal dari penguasa yang berwenang (mempunyai wewenang) untuk itu. Sumber hukum dalam arti sebagai asalnya hukum, membawa pada suatu penyelidikan tentang wewenang, untuk menyelidiki apakah suatu keputusan berasal dari penguasa yang berwenang atau tidak. Keputusan penguasa yang berwenang dapat berupa ”peraturan” dapat pula berupa ”ketetapan”.102 2. Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai ”tempat” ditemukannya peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Sumber hukum dalam pengertian ini membawa pada penyelidikan tentang macam-macam, jenis-jenis dan bentukbentuk dari peraturan dan ketetapan.103 Menurut penulis, terkait dengan pengertian sumber hukum ini, bisa berbentuk undang-undang, kebiasaan atau adat, traktat, yurisprudensi dan doktrin, bisa juga berbentuk ketetapan MPR, peraturan daerah, peraturan pemerintah dan sebagainya. 3. Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai ”hal-hal yang dapat atau seyogyanya mempengaruhi kepada penguasa di dalam menentukan hukumnya”. Terkait dengan hal ini, Juniarto memberikan contoh, misalnya keyakinan akan hukumnya, rasa keadilan, perasaan akan hukumnya, atau rumusan lain yang semacam itu, entah dari penguasa ataupun rakyatnya/

102 Juniarto. Ilmu Hukum Tata Negara dan Sumber-Sumber Hukum Tata Negara. (Yogyakarta: Gajah Mada, 1968), h. 19-21. Lebih lanjut Juniarto menerangkan bahwa Keputusan itu berupa “peraturan”, jika keputusan tersebut dimaksudkan untuk mengatur hal-hal yang umumnya sama, Tindakan yang dimaksudnya untuk mengatur hal-hal umum sama disebut tindakan pengaturan. Keputusan ini berupa “ketetapan” jika keputusan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan hukumnya atau menetapkan hukumnya terhadap sesuatu hal yang konkrit tertentu. Oleh karena itu, ketetapan initidak berlaku umum terhadap hal-hal yang umum sama. Tindakan yang maksudnya untuk memberi penyelesaian hukum atau menetapkan hukumnya terhadap sesuatu hal yang konkrit tertentu dapat disebut “tindakan penetapan” 103 Ibid, h. 86.

58

Sumber Hukum


masyarakatnya dan juga teori-teori, pendapat-pendapat atau ajaran-ajaran dari ilmu hukum. Guna menciptakan peraturan-peraturan hukum positif yang baik oleh penguasa yang berwenang, sesuai dengan kebutuhan hukum dan rasa keadilan masyarakat, sehingga dapat diterima oleh masyarakat serta memberikan kepuasan semua pihak serta dapat dipertanggungjawabkan kepada TUHAN, kepada diri sendiri dan kepada masyarakat, maka penguasa yang bijaksana akan mempertimbangkan berbagai macam hal yang tersebut diatas sebelum menentukan hukumnya.104 Algra dalam Sudikno Mertokusumo, membagi sumber hukum menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Labih lanjut Algra menjelaskan bahwa sumber hukum materiil ialah tempat darimana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya: hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi dan lalu lintas), perkembangan internasional, keadaan geografis. Ini semuanya merupakan obyek studi penting bagi sosiologi hukum. Algra juga memberikan pengertian sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk dan cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku.105 Van Apeldorn dalam Sudikno Mertokusumo, membedakan 4 (empat) macam sumber hukum, yaitu:106 1. Sumber hukum dalam arti historis, yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau segi historis. Sumber hukum dalam arti historis ini dibagi lebih lanjut menjadi 2 (dua), yaitu: a. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenal hukum secara historis, seperti dokumendokumen kuno, lontar dan sebagainya.

Ibid. Sudikno Mertokusumo. Op.Cit. h. 77 106 Ibid 104 105

Pengantar Ilmu Hukum

59


b. Sumber hukum yang merupakan tempat pembentuk undang-undang mengambil bahannya. 2. Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, seperti pandangan agama dan sebagainya. 3. Sumber hukum dalam arti filosofis, yang dibagi lebih lanjut menjadi 2 (dua), yaitu: a. Sumber isi hukum, di sini dinyatakan isi hukum itu asalnya darimana. Ada 3 (tiga) pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini, yaitu: pertama, pandangan theocratis yang mengatakan bahwa isi hukum berasal dari TUHAN. Kedua, pandangan hukum kodrat, yang mengatakan bahwa isi hukum berasal dari akal manusia. Ketiga, pandangan madzhab historis yang mengatakan bahwa isi hukum berasal dari kesadaran hukum. b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum: mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaedah hukum bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan atau kepercayaan. 4. Sumber hukum dalam arti formil, yaitu dilihat dari cara terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat hakim dan penduduk. Isinya timbul dari kesadaran rakyat. Agar dapat berupa peraturan tentang tingkah laku harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, kebiasaan dan traktat atau perjanjian antar negara. Lebih lanjut menurut Van Apeldorn menyebutkan perjanjian, yurisprudensi dan ajaran hukum atau doktrin sebagai faktorfaktor yang membantu pembentukan hukum, sedangkan Lemaire menyebutkan yurisprudensi kesadaran hukum dan ilmu hukum sebagai determinan bagi pembentukan hukum.

60

Sumber Hukum


Achmad Sanoesi, membagi sumber hukum menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:107 1. Sumber hukum normal, yang dibaginya lebih lanjut menjadi: a. Sumber hukum nomal, yang langsung atas pengakuan undang-undang, yaitu: ÂÂ undang-undang ÂÂ perjanjian antar negara ÂÂ kebiasaan b. Sumber hukum normal yang tidak langsung atas pengakuan undang-undang, yaitu: ÂÂ perjanjian ÂÂ doktrin ÂÂ yurisprudensi 2. Sumber hukum abnormal, yaitu: a. Proklamasi b. Revolusi c. Coup d’etat 3.2. Sumber Hukum Formil Sumber hukum formil menurut Utrecht dalam Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim adalah sumber hukum yang dikenal dalam bentuknya, karena bentuk inilah sumber hukum formil diketahui dan ditaati sehingga hukum berlaku umum. Selama belum mempunyai bentuk, suatu hukum baru merupakan perasaan hukum dalam masyarakat atau baru merupakan cita-cita hukum. Terkait dengan hal tersebut hukum belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.108 Senada dengan Utrecht, Juniarto memberikan definisi sumber hukum sebagai ”tempat” dimana ditemukan peraturan-peraturan hukum positif,

107 Achmad Sanusi. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. (Bandung: Tarsito, 1977), h. 34 108 Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1983), h. 45

Pengantar Ilmu Hukum

61


yaitu menunjuk pada bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan.109 Adapun sumber hukum formil adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Undang-undang adalah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.110 Menurut penulis undangundang dalam konteks Indonesia adalah peraturan tertulis yang merupakan produk dari proses legislasi yang dilakukan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden,untuk mengatur kehidupan bernegara yang mempunyai kekuatan hukum serta mengandung sanksi bagi yang melanggarnya. Menurut T.J. dalam Kansil, undang-undang mempunyai 2 (dua) arti, yaitu:111 1. Undang-undang dalam arti formil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya (terjadi). 2. Undang-undang dalam arti materiil, ialah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjadi badan pembuat undang-undang adalah Presiden dengan persetujuan DPR. Pada prakteknya, yang mengajukan rancangan undang-undang kebanyakan Pemerintah bukan DPR. Hal ini disebabkan karena Pemerintah mempunyai alat perlengkapan yang jauh lebih banyak daripada DPR, sehingga lebih mengetahui dan menguasai persoalanpersoalan dalam masyarakat yang membutuhkan pengaturan dengan undang-undang dan bagaimana sebaiknya undangundang yang ingin dibuat untuk mengatur persoalan itu. Undang-undang dalam arti materiil adalah semua peraturan yang isinya mengikat masyarakat (suatu daerah). Undang-undang dalam arti materiil juga disebut �peraturan� (dalam bahasa

Juniarto. Op.Cit. h. 86 Kansil. Op.Cit. 111 Ibid, h. 46. Lihat Juga Hartono Hadisapoetro. Op.Cit. h. 9. Paul laban adalah ahli hukum dari Jerman yang pertama kali mengadakan pembagian undang-undang dalam 2 pengertian, formil dan materiil, hal ini diuraikan dalam bukunya Des Staatsrecht Des Deusches Reiches. 109 110

62

Sumber Hukum


Belanda disebut �regeling�)112 Terkait dengan undang-undang, ada beberapa asas berlakunya suatu undang-undang, yaitu: 1. Undang-undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama (lex superior derogat lex inferior). 2. Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum apabila undangundang tersebut sama kedudukannya (lex specialis derogat lex generalis). 3. Undang-undang yang baru membatalkan undang-undang yang lama, sejauh undang-undang itu mengatur hal sama (lex posterior derogat lex priori). 4. Undang-undang tidak boleh diganggu gugat, artinya undangundang itu tidak boleh diuji, apakah isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi. 5. Undang-undang yang telah diundangkan dianggap telah diketahui oleh setiap orang, karenanya orang yang melanggar undang-undang tidak bisa membela dirinya dengan menyatakan tidak mengetahui undang-undang yang bersangkutan. 2. Kebiasaan Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama.113 Apabila kebiasaan tertentu diterima masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulangulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengannya dianggap sebagai pelanggaran perasaan hukum. Kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang inilah yang selanjutnya disebut hukum kebiasaan. Kendati demikian, tidak berarti semua perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan sendirinya menjadi kebiasaan. Guna menjadikan sesuatu perbuatan itu kebiasaan adalah keyakinan atau kesadaran masyarakat, bahwa perbuatan itu sebagai suatu kepatutan,

112 113

Utrecht. Op.Cit. h. 120 Kansil. Op.Cit. h. 48 Pengantar Ilmu Hukum

63


sesuatu yang memang seharusnya atau sebaiknya, karena dirasakan patut, maka dilakukan berulang-ulang.114 Guna timbulnya hukum kebiasaan,diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:115 1. Adanya perbuatan tertentu yang dilakukan berulang-ulang (tetap) dalam lingkungan masyarakat tertentu. 2. Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan, bahwa perbuatan itu merupakan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Jadi, berdasarkan keyakinan bahwa mereka memenuhi kewajiban hukum.116 3. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.117 Hukum kebiasaan dan undang-undang kedua-duanya merupakan penegasan dari pandangan-pandangan hukum yang terdapat dalam masyarakat atau disebut sebagai perumusan kesadaran hukum masyarakat. Perbedaannya ialah, bahwa undang-undang merupakan penegasan yang dilakukan pembuat undang-undang, sedangkan hukum kebiasaan merupakan penegasan oleh masyarakat atau golongan masyarakat tertentu. Perbedaan ini, pada tataran implementasi hukum di ranah empiris, terkadang menjadi salah satu penyebab terjadinya benturan undang-undangan dengan hukum kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat, walaupun hal ini bukanlah kesengajaan dari pembuat undang-undang, namun secara tidak langsung akan menghilangkan kesadaran hukum masyarakat. Di Indonesia, kebiasaan dalam bidang pemerintahan disebut juga dengan convention, dan convention ini juga mempunyai tempat terpenting di samping undang-undang. Salah satu pertanyaan yang timbul sehubungan dengan adanya kebiasaan dan undang-undang adalah, bagaimana jika hukum kebiasaan bertentangan dengan undang-undang?... Menurut Sudikno Mertokusumo, jika undang-undang berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa dan bertentangan dengan hukum

Sudikno Mertokusumo. Op.Cit. h. 82 Ibid, h. 84 116 Apeldorn. Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Inleiding tot de Studies Van Het Nederlandse Recht Oleh Mr. Oetarid Sadino), (Jakarta: Noordhoff-Kolff NV, 1959), h. 99 117 Sudikno Mertokusumo. Op.Cit. h. 84 114 115

64

Sumber Hukum


kebiasaan, undang-undang mengalahkan hukum kebiasaan, akan tetapi pada umumnya diakui bahwa hukum kebiasaan dapat mengesampingkan ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat pelengkap.118 Terkait dengan hukum kebiasaan yang mempunyai sifat tidak tertulis,hukum kebiasaan tidak dirumuskan secara jelas, sehingga pada umumnya sukar untuk menggalinya. Hukum kebiasaan yang beraneka ragam, diantara golongan masyarakat yang satu berbeda dengan golongan masyarakat yang lain, maka hal ini kurang memberikan kepastian hukum. 3. Traktat Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih. Pada saat traktat itu diadakan oleh dua negara saja, dinamakan ”perjanjian bilateral” dan bilamana traktat itu diadakan oleh lebih dari dua negara, dinamakan ”perjanjian multilateral”. Pada perkembangan selanjutnya, bilamana perjanjian multilateral memberi kesempatan kepada negara-negara lain yang tadinya tidak ikut mengadakannya, untuk juga menjadi pihak, dinamakan ”perjanjian kolektif atau terbuka”.119 Menurut Utrecht, pembuatan traktat melalui empat fase yang berurutan sebagai berikut: 1. Penetapan (sluiting) ialah penetapan ”isi” perjanjian oleh utusan (delegasi) pihak-pihak yang bersangkutan dalam konferensinya. Hasil penetapan diberi nama konsep traktat (sluitingsoorkonde). 2. Persekutuan masing-masing parlemen pihak yang bersangkutan. Hal ini kalau di negara yang bersangkutan persetujuan parlemen diperlukan supaya kepala negara dapat meratifikasi konsep traktat. 3. Ratifikasi atau pengesahan oleh masing-masing kepala negara. Pada saat setelah konsep traktat diserahkan pemerintah (delegasi) ke parlemen dan disetujui oleh parlemen untuk diratifikasi, maka kepala negara (di Indonesia: Presiden) mengesahkan konsep traktat tersebut. Pengesahan ini dinamakan ratifikasi. Traktat yang telah diratifikasi

118 119

Ibid. h. 86 Kansil. Op.Cit. h. 50-51 Pengantar Ilmu Hukum

65


diundangkan dalam lembaran negara. 4. Pengumuman atau pelantikan (alfkondiging). Setelah masingmasing kepala negara meratifikasi konsep traktat sehingga menjadi traktat, maka fase selanjutnya mengadakan upacara saling menyampaikan piagam perjanjian. Perbuatan ini diberi nama pengumuman atau pelantikan. Perbuatan pengumuman ini berbeda dengan pengundangan dalam lembaran negara. Pengundangan traktat dalam lembaran negara hanyalah perbuatan yang berarti formil.120 Setelah fase ke-4 (empat) ini dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa traktat telah terbentuk. Lazimnya sekarang oleh para peserta traktat yang diadakan itu didaftarkan di sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih-lebih kalau yang membuat traktat itu adalah anggota PBB. Keuntungan dari pendaftaran ini adalah bahwa PBB dapat diminta turut campur di kemudian hari apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan traktat.121 Terdapat 2 (dua) pendapat yang berbeda tentang kekuatan hukum traktat dalam mengikat terhadap penduduk di wilayah negara, yaitu:122 1. Traktat tidak dapat mengikat secara langsung penduduk di wilayah negara yang menjadi pihak. Hal ini didasari dengan pemikiran bahwa traktat semata-mata suatu perjanjian antara negara-negara yang mengadakannya, jadi hanya negara dan tidak manusia yang merupakan pihak. Keadaan hukum (kedudukan hukum) para penduduk tidak dipengaruhi oleh traktat itu. Agar traktat mengikat penduduk negara yang mengadakannya, maka traktat itu harus lebih dahulu dijadikan hukum nasional berdasarkan suatu undang-undang negara nasional. Pendapat ini dikemukakan oleh Laband dan diikuti oleh ahli hukum Belanda bernama Telders yang dikenal dengan teori inkorporasi. Menurut teori ini, traktat harus lebih dahulu diinkorporasikan ke dalam suasana

Utrecht. Op.Cit. h. 159 Surojo Wignjodipuro. Op.Cit. h. 69 122 Utrecht. Op.Cit. h. 483-484 120 121

66

Sumber Hukum


hukum nasional, yang terjadi pada pengundangan traktat dalam lembaran negara. 2. Traktat mengikat langsung penduduk di wilayah negara yang menjadi pihaknya. Pendapat ini dianut oleh Hamaker, Van Eijsinga, Verzijl dan juga diterima oleh Hoge Raad di negeri Belanda pada tahun 1906. Teori kedua ini mengakui ”primat hukum antarnegara”, yaitu mengakui hukum antarnegara lebih tinggi derajatnya daripada hukum nasional. Pemerintah Indonesia juga mengakui primat hukum antarnegara. Sebagai konsekuensi dari penerimaan teori ”primat hukum antarnegara”, maka traktat batru dapat mengesampingkan undang-undang nasional lama, yaitu berdasarkan asas ”lex posterior derogat lex priori”. Terkait dengan perjanjian antar negara, dikenal 2 (dua) istilah, yaitu ”treaty” dan ”agreement”. Treaty adalah perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan sebelum disahkan (diratifikasi) oleh Presiden, yaitu perjanjianperjanjian yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi sebagai berikut: ÂÂ Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, seperti perjanjian persahabatan, perjanjian persekutuan dan perjanjian tentang perubahan wilayah. ÂÂ Ikatan-ikatan sedemikian rupa yang mempengaruhi haluan politik luar negeri (perjanjian kerjasama ekonomi dan teknik atau pinjaman uang). ÂÂ Soal-soal yang menurut UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 atau sistem perundang-undangan, seperti kewarganegaraan, kehakiman dan sebagainya. Berlainan dengan treaty, Agreement adalah perjanjian yang mengandung materi yang hanya disampaikan kepada DPR untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden. Agreement ini diberi bentuk Keputusan Presiden. 4. Yurisprudensi Perkembangan masyarakat dan kasus yang terjadi didalamnya, seringkali lebih cepat berkembang daripada hukum yang ada. Hal ini tentunya membuat kesulitan tersendiri dari seorang hakim Pengantar Ilmu Hukum

67


yang akan menangani permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Menjadi sangat dilematis ketika hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya sedangkan hukum yang mengaturnya belum ada. Seorang hakim wajib memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Disinilah kemudian timbul istilah ”yurisprudensi” . Menurut Utrech, Istilah yurisprudensi berasal dari kata ”Jurisprudentia” yang merupakan bahasa latin, yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerheid), kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia, sama artinya dengan kata ”Jurisprudentie” dalam bahasa Belanda dan ”Jurisprudence” dalam bahasa Perancis, yang berarti peradilan tetap atau hukum peradilan. Kata ”Jurisprudence” dalam bahasa Inggris berarti teori ilmu hukum (Algemene Rechtsleer, General Theory of Law) sedangkan untuk pengertian yurisprudensi dipergunakan istilah-istilah ”case law” atau ”judge made law”.123 Menurut Kansil, yurisprudensi adalah putusan hakim (pengadilan) yang memuat peraturan sendiri, kemudian diikuti dan dijadikan dasar putusan bagi hakim yang lain dalam perkara yang sama.124 Putusan yang disebut pertama itulah yang menjadi sumber hukum, baik bagi pengadilan maupun administrasi (tata usaha negara). Hukum yang termuat dalam putusan hakim semacam itu menjadi hukum yurisprudensi atau hukum putusan atau disebut juga hukum hakim. Pada sistem peradilan di Indonesia, hakim tidak terikat pada suatu putusan pengadilan yang lebih dulu, tetapi tetap mempunyai kebebasan untuk memberikan putusan yang dirasakan adil. Pada praktek di ranah empiris, hakim-hakim bawahan lazimnya sangat memperhatikan putusan-putusan hakim atasannya yang telah ada, terutama dalam perkara yang sama atau mengandung esensi yang sama yang sedang diperiksa dan diadilinya. Pada perkembangannya, tidak semua ahli hukum sependapat untuk menyatakan yurisprudensi sebagai sumber hukum. Salah satunya adalah Van Apeldorn, yang menolak yurisprudensi

123 124

68

Utrecht. Op.Cit. h.161 Kansil. Op.Cit. h. 50, lihat juga Utrecht. Ibid, 161 Sumber Hukum


sebagai sumber hukum. Van Apeldorn dalam Utrecht, mengatakan bahwa apabila suatu ketentuan dalam putusan-putusan hakim terus-menerus diikuti sedemikian rupa, sehingga telah menjadi bagian dari keyakinan hukum umum, yakni apabila tentang sesuatu soal hukum tertentu telah tercipta yurispurudensi tetap, maka ketentuan itu telah menjadi hukum, namun bukan karena putusan hakim, melainkan karena �kebiasaan�, yakni karena hal itu berdasarkan kenyataan hukum dari hakim.125 5. Doktrin Doktrin adalah pendapat ahli-ahli hukum yang ternama, yang mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan pengadilan. Doktrin sebagai sumber hukum mempunyai pengaruh besar dalam hubungan internasional. Mahkamah International dalam Piagam Mahkamah Agung International (Statute of The International Court of Justice) Pasal 38 ayat 1 mengakui �pendapat-pendapat ahli hukum� sebagai pedoman dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu perselisihan, di samping berpedoman pada perjanjian-perjanjian international (international conventions), kebiasaan-kebiasaan international (international customs), asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradap itu (the general principles of law recognized by civilsed nations) dan putusan hakim (judicial decisions).126 3.3. Sumber Hukum Materiil Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum. Sumber ini diperlukan ketika akan menyelidiki asal usul hukum dan menentukan isi hukum. Sumber hukum materiil ini dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, misalnya dari sudut pandang ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya. Contoh konkritnya adalah, ahli ekonomi mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya

125 126

Utrecht. Ibid. h. 160 Kancil. Op.Cit. h. 51 Pengantar Ilmu Hukum

69


hukum, terutama hukum ekonomi. Seorang psikolog anak, akan mengatakan bahwa perkembangan jiwa seorang anak wajib dijaga dan dilindungi oleh hukum, maka dari itu diperlukan hukum perlindungan anak.

70

Sumber Hukum


BAB IV PENEMUAN HUKUM

4.2. Penafsiran Sebagai Metode Penemuan Hukum Pada ilmu hukum, interpretasi atau penafsiran adalah metode penemuan hukum (rechtvinding) dalam hal pengaturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan peristiwanya. Penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan hal meng-konkritisasi-kan produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah proses kegiatan pengambilan keputusan yuridis konkrit yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaries dan sebagainya). Pada arti tertentu menurut Meuwissen, penemuan hukum adalah pencerminan pembentukan hukum.127 Penafsiran sebagai salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding), berangkat dari pemikiran, bahwa pekerjaan kehakiman memiliki karakter logical. Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi atau penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.128 Penafsiran sebagai suatu metode penemuan hukum secara histories memiliki relevansi dengan tradisi hermeneutik yang sudah sangat tua usianya. Semula hermeneutik adalah teori yang menyibukkan diri dengan ihwal menginterpretasi naskah, karena itu pada permulaan digunakan oleh para teolog, yang

127 Bernard Arief Sidarta. Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum. (Bandung: Refika Aditama, 2008), h. 11 128 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Penemuan Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 13

71


tugasnya memang berurusan dengan naskah-naskah keagamaan. Kemudian cabang ajaran-ilmu bini juga menarik perhatian para historikus, ahli kesusastraan dan para yuris.129 Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani, yakni kata kerja hermeneuein, yang berarti menafsirkan atau mengeinterpretasi dan kata benda hermeneia yang berarti penafsiran atau interpretasi.130 Pada karya Heidegger, Gadamer dan karya Paul Ricoeur, hemeneutik sebagai metode dikembangkan menjadi filsafat hermeneutik, yang berintikan konsep-konsep kunci seperti pendidikan (bildung), tradisi (ueberlieferung), prasangka (vorurteil), pemahaman (verstehen), lingkaran hermeneutik (hermeneutische zirkel), pengalaman (erfahrung), sejarah pengaruh (wirkungsgeschichte), kesadaran sejarah pengaruh (effective historical consciousness, wirkungsgeschichtliches bewusstsein), perpaduan cakrawala (fusion of horizons, horizontverschmelzung). Filsafat hermeneutik adalah filsafat tentang hal mengerti atau memahami (verstehen), yang dipermasalahkan dalam filsafat ini bukanlah bagaimana orang harus memahami, jadi bukan ajaran seni atau ajaran metode, melainkan apa yang terjadi jika orang memahami atau menginterpretasi. Menurut Gadamer, pemahaman terhadap sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu atau sebaliknya.131 Pada perkembangannya, terutama di tahun 70-an (tujuh puluhan), hermeneutik mempunyai pengaruh besar terhadap teori penemuan hukum (rechtsvindingstheorie), khususnya oleh teoretikus Jerman Jozef Esser dan Karl Larenz. Di Belanda, hermeneutik dari H.G. Gadamer diintroduksi ke dalam teori penemuan hukum oleh J.B.M. Vranken. Dalil hermeneutik yang dirumuskan adalah: Dat men feiten moet kwalificeren in het licht van de normen en de normen moet interpreteren in het licht van de feiten behoort tot het paradigma van de huidige rechtsvindingstheorie. (bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-

J.J.H. Bruggink. Op. Cit. h. 137 Sebagaimana dikemukakan oleh Bernard Arief Sidharta mengutip pendapat E. Sumaryono dalam bukunya yang berjudul Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Lihat B. Arief Sidharta. Op. Cit. h. 95 131 Ibid, h. 96 129 130

72

Penemuan Hukum


kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya faktafakta, termasuk dalam paradigma dari teori penemuan hukum dewasa ini).132 4.2. Jenis-Jenis Penafsiran Hukum Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelaskan yang gambling mengenai teks undang-undang, agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengentahui makna undang-undang. Selain undang-undang, perjanjian juga memerlukan penafsiran, hal ini disebabkan banyaknya kata yang ambigu atau tidak jelas dalam sebuah perjanjian. Pembenaran dari metode penafsiran ini terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Oleh karena itu perlu dikaji dengan hasil yang diperoleh. Fitzgerald dalam Satjipto Rahardjo mengemukakan secara garis besar, interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:133 1. Interpretasi harfiah; 2. Interpretasi fungsional. Interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang sematamata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya, dengan kata lain, interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang tidak keluar dari litera legis. Interpretasi fungsional disebut juga dengan interpretasi bebas, disebut bebas karena penafsiran ini mencoba untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap bisa memberikan kejelasan yang lebih memuaskan. Disamping beberapa metode penafsiran sebagaimana tersebut diatas, berdasarkan dari hasil penemuan hukum (rechtsvinding),

132 133

J.J.H. Bruggink. Op.Cit. h, 139 Satjipto Rahardjo. Op. Cit. (cetakan 2006), h, 95 Pengantar Ilmu Hukum

73


metode interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:134 1. Metode penafsiran restriktif; 2. Metode penafsiran ekstensif. Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi. Guna menjelaskan suatu ketentuan undangundang, ruang llingkup ketentuan itu dibatasi. Prinsip yang digunakan dalam metode penafsiran ini adalah prinsip lex certa, bahwa suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (lex stricta), atau dengan kata lain suatu ketentuan perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan itu sendiri. Mengenai metode interpretasi ekstensif, Sudikno Mertokusumo memberikan penjelasan bahwa penafsiran ini adalah penafsiran yang melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal.135 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, memberikan identifikasi beberapa metode interpretasi yang lazimnya digunakan oleh hakim (pengadilan) sebagai berikut:136 1. Interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa. 2. Interpretasi teleologis atau sosiologis. 3. Interpretasi sistematis atau logis. 4. Interpretasi historis. 5. Interpretasi komparatif atau perbandingan. 6. Interpretasi futuristik Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, interpretasi otentik tidak termasuk dalam ajaran tentang interpretasi. Interpretasi otentik adalah penjelasan yang diberikan undangundang dan terdapat dalam teks undang-undang dan bukan dalam Tambahan Lembaran Negara.137 Berikut ini penjelasan

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Op.Cit. h. 19-20 Ibid 136 Ibid. h. 14 137 Ibid 134 135

74

Penemuan Hukum


beberapa metode interpretasi yang lazim digunakan oleh hakim (pengadilan) sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. 1. Interpretasi Gramatikal Interpretasi gramatikal atau interpretasi menurut bahasa ini memberikan penekanan pada pentingnya kedudukan bahasa dalam rangka memberikan makna terhadap sesuatu objek. Sangat sukar dibayangkan, hukum tanpa adanya bahasa. Menurut Bruggink, positief recht bestaat dus alleen maar dankzij het feit dat de men seen taal heft (hukum positif itu ada hanya karena kenyataan bahwa manusia memiliki bahasa).138 Lebih lanjut menurut Bruggink, men kan zelfs nog verder gaan en stellen dat ook het recht als conceptueel system allen maar vorm kan krijgen in het denken van de mens, dankzij de taal die hij spreekt (hukum sebagai sistem konseptual hanya dapat memperoleh bentuk dalam pikiran manusia, karena bahasa yang digunakan untuk berbicara).139 Terkait dengan hal tersebut, James A. Holland dan Julian S. Webb mengemukakan, bahwa bahasa merupakan salah satu factor kunci untuk bagaimana kita dapat mengetahui sengketa hukum (legal disputes) yang sebenarnya dikonstruksi oleh hakim (pengadilan). Law and fact dan law and language (hukum dan fakta dan hukum dan bahasa) merupakan 2 (dua) variable kunci untuk memahami sengketa hukum di peradilan. The legal process is intrinsically bound up with language (proses hukum secara intrinsik diikat dengan bahasa).140 Metode interpretasi gramatikal yang disebut juga metode penafsiran objektif merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari sekedar membaca undangundang. Berdasar hal tersebut, arti atau makna ketentuan

JJH. Bruggink. Op. Cit. h. 13 Ibid 140 James A. Holland and Julian S. Webb. Learning Legal Rules. (Great Britain: Blackstone Limited, 1991), h. 73, 82 138 139

Pengantar Ilmu Hukum

75


undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Ini tidak berarti bahawa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang. Interpretasi menurut bahasa ini juga harus logis.141 Terdapat 3 (tiga) pendekatan contextualism yang dapat digunakan dalam metode penafsiran, yaitu:142 1. Noscitur a Socis, yaitu arti suatu perkataan harus dinilai dari ikatannya dalam kumpulan-kumpulannya. 2. Ejusdem Generis. Asas ini mengandung makna of the same class. Jadi suatu perkataan yang digunakan dalam lingkungan atau kelompok yang sama. 3. Expressum facit cassare tacitum, yaitu bahwa kata-kata yang dicantumkan secara tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu perundang-undangan. Misalnya, apabila di muka peraturan telah memperinci tentang pedagang, tenaga terampil, pekerja atau orang lain apapun, maka kata orang lain apapun, harus diartikan dalam kategori orangorang yang telah disebutkan sebelumnya itu. 2. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis Interpretasi teleologis atau sosiologis adalah apabila makna undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Berdasar interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau tidak sesuai lagi, diterapkan pada peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Jadi peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan keadaan baru atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual.143 3. Interpretasi Sistematis atau Logis

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo. Op. Cit. h. 14-15 Lihat Satjipto Rahardjo. Op.Cit. h. 97-98, dan lihat juga pendapat ahli, Philipus M. Hadjon dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 005/PUU-IV/2006 (tentang permohonan pengujian undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan pasal 34 ayat (3) undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kehakiman) 143 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Op.Cit. h. 15-16 141 142

76

Penemuan Hukum


Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undangundang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain disebut dengan interpretasi sistematis atau interpretasi logis.144 Salah satu contoh penerapan dari penafsiran ini dapat dilihat seperti yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 (dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang N0. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kehakiman, sebagai berikut: Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan, original intent,145 perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai Komisi Yudisial (KY) dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Berdasar sistematika penempatan ketentuan mengenai KY sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung (MA), yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang MK, yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai KY pada pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur di dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945

Ibid, h. 16-17 Pada pertimbangan hukum ini penafsiran sistematis digunakan secara bersamasama dengan metode penafsiran berdasarkan original intent perumusan ketentuan UUD 1945 144 145

Pengantar Ilmu Hukum

77


4. Interpretasi Historis Makna ketentuan dalam suatu peraturan perundangundangan dapat juga ditafsirkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan itu sendiri. Penafsiran yang demikian itu disebut dengan penafsiran histories. Ada 2 (dua) macam interpretasi historis, yaitu:146 1. Penafsiran menurut sejarah undang-undang; 2. Penafsiran menurut sejarah hukum. Berdasar penfsiran sejarah menurut undang-undang, hendak dicari maksud dari ketentuan undang-undang seperti yang dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk undang-undang pada saat undang-undang yang bersangkutan dibuat. Pikiran yang mendasari metode interpretasi ini adalah bahwa undangundang merupakan kehendak pembentuk undang-undang yang tercantum dalam teks undang-undang. Interpretasi menurut sejarah undang-undang ini disebut juga dengan interpretasi subjektif, karena penafsir menempatkan diri pada pandangan subjektif pembentuk undang-undang. Interpretasi subjektif ini merupakan lawan dari interpretasi menurut bahas yang disebut juga interpretasi objektif. Metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang dalam konsteks seluruh sejarah hukum disebut interpretasi menurut sejarah hukum. Salah satu contoh konkrit adalah, jika kita hendak menjelaskan ketentuan dalam KUHPerdata yang tidak terbatas sampai pada terbentuknya KUHPerdata saja, tetapi masih mundur ke belakang sampai pada hukum Romawi, dengan demikian berarti telah terjadi penafsiran menurut sejarah hukum. 5. Interpretasi Komparatif atau Perbandingan Interpretasi komparatif atau perbandingan merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara beberapa aturan hukum. Tujuan hakim memperbandingkan adalah dimaksudkan untuk mencari kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan undang-undang.147 Interpretasi komparatif

146 147

78

Ibid, h. 17-18 Ibid, h. 19 Penemuan Hukum


dapat dilakukan dengan jalan membandingkan penerapan asasasas hukumnya (rechtsbeginselen) dalam peraturan perundangundangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rectsregel), disamping perbandingan tentang latar belakang atau sejarah pembentukan hukumnya. 6. Interpretasi Futuristik Interpretasi futuristic atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.148 Interpretasi futuristik ini lebih bersifat ius contituendum (hukum atau undangundang yang dicitakan) daripada ius constitutum (hukum atau undang-undang yang berlaku pada masa sekarang) 4.3. Jenis Penafsiran dalam Hukum Konstitusi Istilah penafsiran konstitusi merupakan terjemahan Dario constitutional interpretation.149 Penafsiran konstitusi atau constitutional interpretasi merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar atau interpretation of the basic law.150 Penafsiran konstitusi yang dimaksudkan disini adalah penafsiran yang digunakan sebagai suatu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding) berdasarkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang digunakan. Metode penafsiran diperlukan karena peraturan perundang-undangan tidak seluruhnya dapat disusun dalam bentuk yang jelas dan tidak membuka penafsiran lagi. Berkaitan dengan macam-macam penafsiran, khusus untuk menafsirkan konstitusi dalam sebuah negara, Bobbitt dalam Albert H. Y. Chen mengidentifikasikan 6 (enam) macam metode penafsiran konstitusi (constitutional interpretation), yaitu:151 1. Penafsiran tekstual Penafsiran tekstual (textualism or literalism) atau penafsiran

Ibid Albert H.Y Chen. The Interpretation of The Basic Law – Common Law and Mainland Chinese Perspectives. (Hongkong: Hongkong Journal Ltd, 2000), h. 1 150 Ibid 151 Ibid 148 149

Pengantar Ilmu Hukum

79


harfiah ini merupakan bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang dilakukan dengan cara memberikan makna terhadap arti dari kata-kata di dalam dokumen atau teks yang dibuat oleh lembaga legislatif (meaning of the words in the legislative text). Penafsiran ini menekankan pada pengertian atau pemahaman terhadap kata-kata yang tertera dalam konstitusi atau undang-undang sebagaimana yang pada umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang. 2. Penafsiran historis (atau penafsiran originalism) Penafsiran historis ini disebut juga dengan penafsiran original, yaitu bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang didasarkan pada sejarah konstitusi atau undang-undang itu dibahas, dibentuk, diadopsi atau diratifikasi oleh pembentuknya atau ditandatangani institusi yang berwenang. Pada umumnya metode penafsiran ini menggunakan pendekatan original intent terhadap norma-norma hukum konstitusi. Menurut Anthony Mason dalam Charles Samford, interpretasi atau penafsiran ini merupakan penafsiran yang sesuai dengan pengertian asli dari teks atau istilah-istilah yang terdapat dalam konstitusi. Penafsiran ini biasanya digunakan untuk menjelaskan teks, konteks, tujuan dan struktur konstitusi.152 3. Penafsiran doktrinal Penafsiran doktrinal merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan cara memahami aturan undang-undang melalui sistem preseden atau melalui praktik peradilan. Menurut Bobbitt dalam Albert H. Y. Chen, metode penafsiran doktrinal ini banyak dipengaruhi oleh tradisi common law yang digunakan sebagai pendekatannya.153 James A. Holland dan Julian S. Webb mengemukakan bahwa common law is used to describe all those rules of law that have evolved through court cases (as opposed to those which have emerged from parliament).154

152 Charles Samford (Ed). Interpreting Constitutions Theories, Priciples and Intitutions. (Sidney: The Federation Press, 1996), h. 14 153 Albert H.Y. Chen. Op.Cit, h.5 154 James A. Holland and Julian S. Webb. Op.Cit. h.8

80

Penemuan Hukum


4. Penafsiran prudensial Penafsiran prudensial merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan cara mencari keseimbangan antara biayabiaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari penerapan suatu aturan atau undangundang tertentu. Menurut Bobbitt dalam Albert H. Y. Chen, prudential arguments is actuated by facts, as these play into political and economic policies.155 5. Penafsiran struktural Penafsiran struktural merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan cara mengkaitkan aturan dalam undang-undang dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang mengatur tentang struktur-struktur ketatanegaraan. Bobbitt dalam Albert H.Y. Chen, mengemukakan metode penafsiran ini juga berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai federalisme, pemisahan kekuasaan dan isu-isu lainnya di lingkungan pemerintahan, di luar isu-isu tentang kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Bobbitt dalam Albert H.Y. Chen mengemukakan structuralism as a kind of macroscopic prudentialism.156 6. Penafsiran etikal Penafsiran etikal merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan cara menurunkan prinsip-prinsip moral dan etik sebagaimana terdapat dalam konstitusi atau UndangUndang Dasar. Metode penafsiran ini dikonstruksi dari tipe berpikir konstitusional yang menggunakan pendekatan filsafati, aspirasi atau moral. Terkait dengan hal tersebut, metode penafsiran ini dapat digunakan untuk isu-isu yang menekankan pada pentingnya hak-hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kekuasaan negara atau pemerintahan. Pada metode penafsiran etikal ini, moralitas konvensional (conventional morality) dan filsafat moral (moral philosophy) merupakan 2 (dua) aspek yang sangat relevan sekali apabila digunakan sebagai metode pendekatan.157

Albert H.Y. Chen. Op.Cit. h.8 Ibid 157 James A. Holland and Julian, S. Webb. Op. Cit. h.10 155 156

Pengantar Ilmu Hukum

81


Albert H.Y. Chen, dengan mengutip pendapat Bobbitt, mengemukakan keenam macam metode penafsiran konstitusi diatas, dan keenamnya disebut dengan the purposive approach. Metode penafsiran purposif ini merupakan metode penafsiran yang digunakan untuk memberikan arti atau makna aturanaturan dalam undang-undang berdasarkan maksud atau tujuan pembentukkannya. Menurut Chen, metode penafsiran ini akan dapat dipahami dengan baik apabila dihadapkan dengan metode penafsiran harfiah atau tekstual. Apabila metode penafsiran harfiah atau tekstual menggunakan pendekatan dari sudut kata-kata yang dirumuskan sebagai aturan oleh pembentuk undang-undang, maka metode penafsiran purposif menggunakan pendekatan yang lebih luas mengenai hal-hal yang terkait dengan isi atau substansi atau faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memahami maksud pembentuk undang-undang tersebut.158 Penelusuran terhadap berbagai kepustakaan ilmu hokum dan konstitusi ditemukan banyak variasi metode penafsiran yang dikemukakan oleh para ahli. Berdasarkan berbagai ragam metode penafsiran, pada hakikatnya metode penfsiran konstitusi ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu: metode penafsiran originalism, yang menggunakan pendekatan original intent (termasuk pendekatan historis) terhadap normanorma hukum konstitusi, dan non originalisme

158

82

Albert H. Y. Chen. Op.Cit. h. 10 Penemuan Hukum


BAB V TUJUAN dan FUNGSI HUKUM 5.1. Tujuan Hukum Berdasarkan Teori Etis dan Teori Utilitis Pada bagian ini penulis akan menguraikan apa yang menjadi dengan tujuan dan fungsi hukum. Terkait dengan tujuan hukum, penulis akan mengemukakan tujuan hukum berdasarkan teori etis dan teori utilitis. 1. Teori Etis Menurut Utrecht, Aristoteles sebagai pencetus teori etis (etische theorie), hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Teori ini terdapat dalam karya Aristoteles yang berjudul Ethica Nicomachea dan Rhetorika, yang menyatakan bahwa:159 hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya, Terkait bahwa hukum untuk mewujudkan keadilan, berikut ini adalah pendapat para ahli mengenai keadilan:160 1. Aristoteles, mengatakan justice is a political virtue, by rules of it the states is regulated and these rules the criterion of what is right. 2. Justianus, mengatakan which results in each person receiving his due. 3. Mill, mengatakan the idea of justice supposes two things: a rule of conduct and sentiment which sanctions the rule. The first must be supposed common to all mankind and intended for their good: the sentiment is a desire that punishment may be suffered by those who infringe the rule. 4. Uegen Ehrlich, mengatakan bahwa justice has always weighted the scales solely in favour of the weak and the persecuted. A just decision based on grounds which appeal to a disinterested person. 5. Brunner, menurutnya who or whatever renders to every man his

159 160

37-38

Utrech. Op. Cit, h. 20 Curzon. Jurisprudence. M & E Handbook. (tanpa kota: tanpa penerbit, 1979), h.

83


due, that person or thing is just: an attitude, an institution, a law, a relationship, in which every man is given his due is just. 6. Wortley, justice among men involves an impartial and fearless act of choosing solution for a dispute within a legal order, having regard to the human rights which that order protects. 7. Ross, mengatakan justice is the correct application of a law as opposed to arbitrariness. 8. Bodenheimer, justice requires that freedom, equality and security be accorded to human beings to the greaterst extent consistent with the common good. Berdasar beberapa definisi tentang keadilan yang dikemukakan para ahli diatas, terlihat beragamnya visi setiap pakar tentang apa yang dimaksud dengan keadilan. Ada yang mengkaitkan keadilan dengan peraturan politik Negara, sehingga terkait dengan hal tersebut, ukuran tentang apa yang menjadi hak atau bukan senantiasa didasarkan pada ukuran yang telah ditentukan oleh Negara. Senada dengan Aristoteles, Ulpianus dalam O.Notoamidjojo161 menggambarkan keadilan sebagai “justitia es constans et perpetua voluntas ius suum cuiqe tribuendi� (keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masingmasing apa yang menjadi haknya) atau “to give everybody his own�, memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya.162 Pengertian ini diambil oleh Justianus dalam O. Notoamidjojo163 dalam Corpus Iuris Civilis: Juris Praecepta Sunt haec: honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere, bahwa peraturanperaturan dasar dari hukum adalah terkait dengan hidup dengan patut, tidak merugikan orang lain dan memberi pada orang lain apa yang menjadi bagiannya. Pada perkembangan pemikiran selanjutnya tentang keadilan, muncul pendapat dari Thomas Aquinas dalam E. Sumaryono, dalam hubungannya dengan keadilan terdapat tiga struktur

O. Notoamidjojo. Masalah Keadilan. (Semarang; Tirta Amerta, 1971), h. 18-19 K. Bertens. Pengantar Etika Bisnis. (yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 86-87 163 O.Notoamidjojo. Op.Cit. h. 9 161 162

84

Tujuan dan Fungsi Hukum


fundamental (hubungan dasar) yaitu:164 1. Hubungan antar individu (ordo partium ad partes) 2. Hubungan antar masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu (ordo totius ad partes) 3. Hubungan antara individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo partium ad totum) Thomas Aquinas dalam E. Sumaryono165 memberikan penjelasan bahwa keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia dan keluhurannya. Pada konteks keadilan distributif, keadilan dan kepatutan tidak semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan yang lainnya. Ada dua bentuk kesamaan yaitu: 1. Kesamaan proporsional (acqualitas proportionis) 2. Kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas) Lebih lanjut Thomas Aquinas menyatakan bahwa penghormatan terhadap person dapat terwujud apabila ada sesuatu yang dibagikan/diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya dia terima. Berdasarkan hal demikian maka pengakuan terhadap person harus diarahkan pada pengakuan terhadap kepatutan (equity), kemudian pelayanan dan penghargaan di distribusikan secara proporsional atas dasar harkat dan martabat manusia. Berkaitan dengan keadilan dan proporsionalitas, Paul Tillich menyatakan bahwa keadilan yang terkandung dalam keadilan atributif, distributif dan retributif bersifat proporsional (baik positif maupun negatif). Lebih lanjut Tilich menyebut keadilan proporsional sebagai keadilan tributif. Sementara itu pembagian keadilan menurut pemikir modern, antara lain sebagaimana yang dilakukan John Boatright dan Manuel Velasquez, adalah:166 1. Keadilan distributif (distributive justice), mempunyai

164 E. Sumaryono. Etika Profesi Hukum. (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 125-126. Selanjutnya disingkat menjadi E. Sumaryono -I 165 E. Sumaryono. Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 90-91. Selanjutnya disingkat menjadi E. Sumaryono -II 166 Ibid.

Pengantar Ilmu Hukum

85


pengertian yang sama pada pola tradisonal, dimana benefits and burdens harus dibagi secara adil. 2. Keadilan retributif (distributive justice), berkaitan dengan terjadinya kesalahan, di mana hukum atau denda dibebankan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil. 3. Keadilan kompensatoris (compensatoris justice), menyangkut juga kesalahan yang dilakukan untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada pihak lain yang dirugikan. Pada perkembangan pemikiran tentang keadilan di masa-masa mendatang, keadilan distributif dipandang awal mula segala jenis teori keadilan. Dinamika keadilan yang berkembang di masyarakat dalam telaah para ahli pada umumnya berlandaskan pada teori keadilan distributif, meskipun dengan berbagai versi dan pandangannya masing-masing. Pada teori etika modern terdapat dua prinsip untuk keadilan distributif, yaitu prinsip formal dan prinsip material. Prinsip formal, sebagaimana yang dikemukakan Aristoteles bahwa “equals ought to be treated equally and unequals may be treated unequally� . Prinsip ini beranjak dari asumsi “untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama� (prinsip ini menolak adanya perbedaan perlakuan-diskriminasi). Prinsip material, prinsip ini melengkapi prinsip formal. Hal yang sama dikemukakan oleh L.J. Van Apeldorn167, bahwa keadilan itu memperlakukan sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan yang tidak sama sebanding dengan ketidaksamaannya. Ada pula yang melihat keadilan sebagai wujud kemauan yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Ada juga yang melihat keadilan sebagai pembenaran bagi pelaksanaan hukum, yang melawan kesewenang-wenangan. Kelemahan dari teori etis ini adalah bahwa hukum tidaklah selalu mewujudkan keadilan. Di Indonesia, teori etis ini mendapat banyak ditentang oleh para ahli. Beberapa ahli yang menentang teori etis ini adalah Sudikno Mertokusumo, Satjipto Rahardjo dan

167

86

Apeldorn. Op.Cit. h. 11-13 Tujuan dan Fungsi Hukum


Achmad Ali. Sudikno Mertokusumo, mengatakan bahwa:168 “Kalau dikatakan bahwa hukum itu bertujuan mewujudkan keadilan, itu berarti bahwa hukum itu identik atau tumbuh dengan keadilan. Hukum tidaklah identik dengan keadilan… Dengan demikian teori etis itu berat sebelah.” Senada dengan Sudikno Mertokusumo, Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa:169 “… sekalipun hukum itu langsung dihadapkan kepada pertanyaanpertanyaan yang praktis, yaitu tentang bagaiman sumber-sumber daya itu hendak dibagi-bagikan dalam masyarakat, tetapi ia tidak bisa terlepas dari pemikiran yang lebih abstrak yang menjadi landasannya, yaitu pertanyaan tentang”mana yang adil” dan “apa keadilan itu?” Tatanan social, sistem sosial, hukum, tidak bisa langsung menggarap hal tersebut tanpa diputuskan terlebih dahulu konsep keadilan oleh masyarakat yang bersangkutan. Kita juga mengetahui, bahwa keputusan ini tidak bisa dilakukan oleh sub sistem sosial, melainkan oleh sub sistem budaya, seperti ditunjukkan dalam bagan sibernetika. Pertentangan terhadap teori etis juga ditunjukkan oleh Achmad Ali, secara jelas beliau menegaskan bahwa tidak mendukung pendapat yang menyatakan bahwa hukum hanyalah sematamata untuk mewujudkan keadilan, karena bagaimanapun nilai keadilan terlalu subjektif dan abstrak. Achmad Ali setuju jika keadilan bersama-sama dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dijadikan tujuan hukum secara prioritas, sesuai dengan kasus in konkreto.170 Perlu diketahui, bahwa gagasan-gagasan tentang bagaimana cara yang pantas dan sah untuk mendekati sistem hukum, secara decisive (menentukan) mau tidak mau mempengaruhi bentuk-bentuk dan teknik-teknik dibentuknya banyak tuntutan. Salah satu gagasan terpenting yang sangat berpengaruh dalam

Sudikno Mertokusumo. Op.Cit. 1986, h. 60 Satjipto Rahardjo. Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembaharuan Hukum Nasional. (Bandung: Sinar Baru, 1985), h. 54 170 Achmad Ali. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002), h. 75 168 169

Pengantar Ilmu Hukum

87


pembentukan hukum dan bekerjanya hukum, adalah gagasan tentang keadilan. Realitas di masyarakat, terdapat perbedaan cara menafsirkan keadilan. Tidak jarang konsep keadilan menjadi bias dalam masyarakat tertentu. 2. Teori Utilitis Aliran etis dapat dianggap sebagai ajaran moral ideal atau ajaran moral teoritis, sebaliknya ada aliran yang dapat dimasukkan dalam ajaran moral praktis, yaitu aliran utilities. Menurut aliran atau teori utilities (utilities theorie), hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagian sebanyakbanyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Penanganannya didasarkan pada falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiannya, dan hukum merupakan salah satu alatnya. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Jeremy Bentham (17481832), dia adalah seorang ahli hukum dari Inggris (dikenal sebagai the father of legal utilities) yang tidak puas dengan UndangUndang Dasar Inggris serta mendesak agar diadakan perubahan dan perbaikan berdasarkan suatu ide yang revolusioner. Ide utilities ini menurut Bentham, didasari oleh pemikiran bahwa hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Terkait dengan hal tersebut, maksud manusia melakukan tindakan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Baik buruknya tindakan diukur dari baruknya akibat yang dihasilkan tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik jika tindakan itu menghasilkan kebaikan. Sebaliknya, dinilai buruk jika mengakibatkan keburukan.171 Oleh Bentham teori tersebut diatas secara analogis diterapkannya pada bidang hukum. Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, serta berkurangnya penderitaan dan sebaliknya, dinilai buruk

171

88

Utrecht. Op. Cit. Tujuan dan Fungsi Hukum


jika penerapannya menghasilkan akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan. Doktrin utilitis Bentham pada asasnya dapat disimpulkan ke dalam 3 (tiga) hal, sebagaimana dikemukakan oleh Curzon, yaitu:172 1. The principle of utility subjects every thing to these two forces. (i). Utility is the property or tendency of an object to produce benefit, good or happiness or to prevent mischief, pain or evil. (ii). The utility principle allows us to approve of an action according to its tendency to promote oppose happiness 2. Pleasure may be equated with “good”, “pain”, with “evil”. 3. A things is said to promote the interest, or to be for the interest, of an individual, when it tends to add to the sum total of his pleasure: or what comes to the same thing, to diminish the sum total of his pains. Sehubungan dengan utilities ini, Curzon menuliskan bahwa:173 “Utilitarianism is a moral philosophy that definies the “rightness” of an action in terms of its contribution to general happiness, and considers ultimate good to be “the greatest happiness of the greatest number” Teori utilities ini mempunyai kelemahan, terlalu banyak memperhatikan hal-hal umum dan terlalu individualistis, sehingga tidak memberikan kepuasan bagi perasaan hukum.174 Teori ini juga mendapat kritikan sari seorang guru besar di Universitas Harvard bernama John Rawls, yang kemudian mengembangkan sebuah teori baru tentang keadilan. Teori John Ralws ini mengajarkan bahwa justice as fairness, yang pada intinya bahwa dalam keadilan terdapat 2 (dua) prinsip dasar, yaitu prinsip kebebasan dan dan prinsip “fair”. Pada perkembangannya teori John Rawls tentang keadilan ini dinamakan teori justice as fairness. 5.2. Fungsi Hukum

Curzon. Op.Cit. h. 93-94 Ibid 174 Utrecht. Op.Cit 172 173

Pengantar Ilmu Hukum

89


Sifat hukum adalah mengatur dan memaksa. Terkait dengan hal tersebut, barang siapa yang melakukan pelanggaran hukum wajib mempertanggungjawabkan secara hukum dan dapat dikenai hukuman/sanksi sesuai dengan pelanggarannya. Hukum mempunyai kekuatan mengikat kepada tiap-tiap orang, agar hukum itu tetap terjaga, dihormati dan ditaati oleh setiap orang, maka kualitas hukum harus dijaga. Hukum yang berkualitas adalah hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak/aspirasi mereka. Hal penting yang wajib diingat adalah bahwa hukum mengatur kehidupan manusia sejak berada dalam kandungan sampai meninggal dunia. Bahkan, kehendak dari seseorang yang meninggal dunia masih diatur oleh hukum. Hukum mengatur semua aspek kehidupan masyarakat, pada aspek ekonomi, politik, social, budaya, pertahanan, keamanan dan sebagainya. Tidak ada satupun segi kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari sentuhan hukum. Jadi, hukum itu berada dalam masyarakat sebab hukum hanya ada pada masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh ahli hukum Romawi, Cicero, yaitu: “Ubi societas ibi ius�. Pertanyaan yang penting selanjutnya adalah, bagaimana fungsi hukum dalam sebuah masyarakat?... Berikut ini akan penulis uraikan fungsi okum menurut pemikiran para ahli. Joseph Raz, melihat fungsi hukum sebagai fungsi sosial, yang dibedakannya menjadi 2 (dua), yaitu:175 1. Fungsi Langsung Fungsi langsung yang bersifat primer, mencakup: 1. Pencegahan terhadap perbuatan tertentu dan mendorong dilakukannya perbuatan tertentu; 2. Penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat; 3. Penyediaan servis dan pembagian kembali barang-barang; 4. Penyelesaian perselisihan di luar jalur regular. Selain fungsi langsung yang bersifat primer, menurut Joseph Raz, ada pula fungsi langsung yang bersifat sekunder, yaitu:

175

90

Joseph Raz. The Authority of Law. (Oxford Clarendon Pres, 1983), h. 163-177 Tujuan dan Fungsi Hukum


a. Prosedur bagi perubahan hukum, yang meliputi constitution making bodies, parliaments, local authorities, administrative legislation, custom, judicial law-making, regulations made by independent public bodies, dan sebagainya. b. Prosedur bagi pelaksanaan hukum. 2. Fungsi Tidak Langsung Joseph Raz menjelaskan bahwa yang termasuk di dalam fungsi hukum yang tidak langsung ini adalah memperkuat atau memperlemah kecenderungan untuk menghargai nilai-nilai moral tertentu, sebagai contoh, kesucian hidup, memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap otoritas umum, dan mempengaruhi perasaan kesatuan nasional. Selain pendapat dari Josep Raz, dalam ilmu hukum juga diwarnai perbedaan-perbedaan paham mengenai fungsi hukum, adapun paham-paham yang berkembang dalam menjelaskan fungsi hukum, antara lain adalah: a. Paham pertama, mengatakan bahwa fungsi hukum hanyalah mengikuti perubahan-perubahan dan sedapat mungkin mengesahkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pendapat ini dipelopori oleh mazhab sejarah dan kebudayaan yang diajarkan oleh Friderich Carl Von Savigny, seorang ahli dari Jerman. b. Paham kedua, mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Paham kedua ini dikembangkan oleh Rodcoe Pound di Amerika dari aliran “sociological jurisprudence� yang dikenal dengan konsepsinya, bahwa hukum (harus juga) berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan masyarakat yang lebih dikenal dengan “law as a tool of social engineering� 176 Jika fungsi hukum dilihat sebagai sarana pengendali hukum, terlihat bahwa hukum menjalankan tugas untuk mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada. Hukum di sini hanya

176 Soerjono Soekanto. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum. (Bandung: Alumni, 1976), h. 41

Pengantar Ilmu Hukum

91


sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagai social engineering lebih bersifat dinamis, yaitu hukum digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahanperubahan di dalam masyarakat. Jadi, hukum tidak hanya sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada dalam masyarakat, tetapi ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang baru.177 Bertolak dari 2 (dua) paham fungsi hukum sebagaimana diuraikan di atas, dapat dijabarkan fungsi hukum dalam kaitannya dengan berbagai tujuan yang ingin dicapai. Senada dengan 2 (dua) paham diatas, seorang ahli sosiologi hukum dari Princeton University, Lawrence Rosen dalam Mulyana W. Kusumah, melihat ada 3 (tiga) dimensi penting pendayagunaan pranata-pranata hukum di dalam masyarakat yang sedang berkembang, yaitu:178 1. Hukum sebagai pencerminan dan wahana bagi konsepkonsep yang berbeda mengenai tertib dan kesejahteraan hukum yang berkaitan dengan pernyataan dan perlindungan kepentingan-kepentingan masyarakat. 2. Hukum dalam peranannya sebagai pranata otonom dapat pula merupakan pembatas kekuasaan sewenang-wenang, sungguhpun pendayagunaan hukum bergantung pada kekuasaan-kekuasaan lain di luarnya. 3. Hukum dapat didayagunakan sebagai sarana untuk mendukung dan mendorong perubahan-perubahan hukum ekonomi. Perspektif hukum di Indonesia, menurut Mulyana W. Kusumah, menunjukkan pentingnya hukum sebagai sarana bagi perubahanperubahan hukum atau sarana pembangunan.179 Sunaryati Hartono juga memberikan pendapatnya tersendiri mengenai fungsi hukum dalam kaitannya dengan pembangunan, yaitu:180

177 Satjipto Rahardjo. Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Studi Hukum. (Bandung: Alumni, 1977), h. 143-145 178 Mulyana W. Kusumah. Peranan dan Pendayagunaan Hukum dalam Pembangunan. (Bandung: Alumni, 1982), h. 4 179 Ibid, h. 5 180 Sunaryati Hartono. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. (Bandung: Binacipta, 1982), h. 6

92

Tujuan dan Fungsi Hukum


1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan; 2. Hukum sebagai sarana pembangunan; 3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan; 4. Hukum sebagai sarana pendidikan mesyarakat. Senada dengan Sunaryati Hartono, Soedjono Dirdjosisworo menyebutkan 4 (empat) tahap fungsi hukum, yaitu:181 1. Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat; 2. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan hukum lahir batin; 3. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan; 4. Fungsi kritis dari hukum. Lebih umum dari pendapat para ahli diatas, Gevers (seorang ahli hukum Belanda) dalam Algra menerangkan fungsi hukum secara umum dalam masyarakat, sebagai berikut:182 1. Hukum berfungsi sebagai alat untuk membagi hak dan kewajiban di antara para anggota masyarakat. Peraturan hukum memberikan suatu petunjuk arah pada tuntutan yang dapat dilaksanakan oleh berbagai peserta dalam lalu lintas hukum satu sama lain. 2. Hukum berfungsi mendistribusi wewenang untuk mengambil keputusan mengenai soal hukum, soal umum. 3. Hukum berfungsi menunjukkan suatu jalan bagi penyelesaian pertentangan. Oleh karena itu, hukum menunjukkan lembaga yang dapat memberikan keputusan yang dapat dipaksakan dalam penyelesaian pertentangan antara para anggota suatu masyarakat, dan memberikan peraturan mengenai cara bagaimana lembaga tersebut bekerja dalam menangani hal itu serta memberi aturan yang harus dilaksanakan pada penyelesaian pertentangan tersebut, maka hukum bekerja sebagai suatu mekanisme bagi penyelesaian perselisihan.

181

155

Soedjono Dirdjosisworo. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 154-

182 Algra. Mula Hukum (terjemahan Rechtsaanvang oleh Simorangkir). (Bandung: Binacipta, 1983), h. 379

Pengantar Ilmu Hukum

93


BAB VI BIDANG-BIDANG DALAM STUDI HUKUM 6.1. Sosiologi Hukum Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gelaja-gejala sosial lainnya.183 Soerjono Soekanto mengatakan:184 “Gejala-gejala sosial itu ruang lingkupnya meliputi “struktur sosial” dan “proses sosial”. Lebih lanjut menurut beliau, struktur sosial meliputi keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kelompok sosial, kebudayaan, lembaga-lembaga sosial, stratifikasi, kekuasaan dan wewenang. Proses sosial menurutnya adalah pengaruh timbal balik antara berbagai bidang kehidupan yang mencakup interaksi sosial, perubahan-perubahan sosial dan masalah-masalah sosial. Senada dengan Soerjono Soekanto, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa objek telaah sosiologi hukum, adalah hukum dari sisi kenyataannya, yakni hukum sebagaimana dijalankan sehari-hari oleh orang dalam masyarakat.185 Berangkat dari pendapat Satjipto Rahardjo, maka yang dipelajari dalam disiplin ilmu sosiologi hukum ini adalah kenyataan hukum dalam arti kenyataan kemasyarakatan berkenaan dengan adanya aturan hukum yang mencakup hubungan timbal balik antara hukum dan proses kemasyarakatan. Berkaitan dengan pendapat-pendapat diatas, sosiologi hukum dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berdasarkan analitis teoritis dan penelitian empiris berusaha menetapkan dan menjelaskan pengaruh proses kemasyarakatan dan perilaku orang terhadap pembentukan, penerapan, yurisprudensi dan

Soerjono Soekanto. Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung: Alumni, 1979), h. 13 Ibid 185 Satjipto Rahardjo. Op.Cit. h.325 183 184

94


dampak kemasyarakatan aturan hukum dan sebaliknya pengaruh aturan hukum terhadap proses kemasyarakatan dan perilaku orang. Menurut Satjipto Rahardjo, Schuit, dan Vinke186 dan sosiolog hukum lainnya pada umumnya mengemukakan bahwa penelitian hukum secara sosiologis itu mencakup, penelitian sosiologis tentang sistem hukum, tentang lembaga hukum dan organisasi dengan jabatan yang ada di dalamnya, tentang yustisiabel, tentang asas hukum dan pengertian-pengertian fundamental dalam hukum. Mengenai aliran dalam sosiologi hukum, Bruggink187 mengemukakan adanya 2 (dua) jenis aliran dalam sosiologi hukum, yaitu sosiologi hukum empirik (Erklaerende Soziologie) dan sosiologi hukum kontemplatif (Verstehende Soziologie). Sosiologi hukum empirik bertolak dari titik berdiri eksternal dan mengacu pada teori kebenaran korespondensi, mengkompilasi dan menata material obyek-telaahnya (perilaku orang dan kelompok orang), dengan metode kuantitatif menarik kesimpulan-kesimpulan tentang hubungan antara kaidah atau aturan hukum dan kenyataan kemasyarakatan. Metode yang digunakan mendekati metode yang digunakan ilmu alam. Tujuannya adalah untuk menghasilkan produk penelitian semurni atau seobyektif mungkin, sehingga mampu menciptakan gambaran setepat mungkin tentang kenyataan kemasayarakatn yang di dalamnya berfungsi aturan hukum positif. Produknya sedapat mungkin dituangkan ke dalam proposisi informative yang terbuka untuk verifikasi empiris. Penuangan ke dalam proposisi normative atau evaluatif sangat dihindari, karena dipandang non-kognitif dan tidak dapat diverifikasi secara empiris sehingga tidak dapat digunakan dalam suatu teori empiris. Para sosiolog hukum empiris pada umumnya termasuk dalam aliran positivisme.

186 Lihat Ibid, lihat juga C.J.M. Schuit. Rechtssociologie. (Rotterdam: Een Terreinverkening, 1971), h. 11-23, dan lihat P. Vinke. Wat Is En Waarom Rechtssociologie dalam Rechtssociologie en Jurimetrie. (Deventer, 1970), h. 11-24 187 Bruggink. Op.Cit. h. 164-166

Pengantar Ilmu Hukum

95


Lain halnya dengan sosiologi kontemplatif, yang menganut pendirian bahwa untuk dapat mengatakan sesuatu secara bermakna tentang masyarakat dan kaidah-kaidah hukum yang berperan penting di dalamnya, maka orang harus menjadi bagisan dari masyarakat itu dan akrab dengan kaidah-kaidah hukum yang berfungsi di dalamnya. Ini berarti bahwa penelitian sosiologis tentang hukum harus bertolak dari titik berdiri internal, yakni dari perspektif partisipan pada masyarakat dan kehidupan hukumnya yang menjadi objek telaah. Jenis sosiologi ini mengacu kepada teori kebenaran prakmatik. Produk penelitiannya dituangkan ke dalam proposisi baik informative maupun normatif dan evaluatif. Kesahihan ilmiah kegiatan penelitian dan produknya dikaji melalui diskursus inter-subyektif. Penelitian empiris dalam kerangka perspektif eksternal dengan metode kuantitatif tetap dipandang penting dalam sosiologi hukum kontemplatif, namun sebagai suatu momen dalam keseluruhan kegiatan penelitian dan pengkajian ilmiah. Mengenai sifat sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo188 mengemukakan 3 (tiga) krakteristik yaitu: 1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek hukum dengan menjelaskan mengapa praktek hukum itu demikian, apa sebabnya, apa factor yang mempengaruhi, apa latar belakangnya dan sebagainya. Hal ini berdasarkan pandangan Max Weber yang memberikan penjelasan tentang perilaku orang berkenaan dengan berlakunya aturan hukum itu mencakup segi eksternal dan segi internalnya (motif perilaku). 2. Sosiologi hukum selalu menguji kesahihan empiris aturan atau pernyataan hukum. 3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, melainkan hanya memberikan penjelasan apa adanya dalam kenyataan dan dengan demikian mendekati hukum dari segi obyektivitas semata. Sosiologi hukum akan dapat memberikan informasi mengenai

188

96

Satjipto Rahardjo. Op. Cit. h.326-327 Bidang-bidang dalam Studi Hukum


hambatan-hambatan apa saja yang menghalangi pelaksanaan suatu ide hukum dan dengan demikian akan sangat berjasa guna menghindari dan mengatasi hambatan-hambatan tersebut. 6.2. Antropologi Hukum Antropologi hukum adalah cabang antropologi budaya yang memusatkan perhatian pada studi hukum sebagai aspek kebudayaan dengan mempelajari nilai-nilai, aturan-aturan dan institusi-institusi hukum pada masyarakat yang masih sederhana. Disiplin ini dapat dipandang sebagai pengembangan dari apa yang dahulu disebut Etnologi Hukum. Pada masa sekarang di Indonesia studi antropologi hukum ini penting untuk penelitian hukum adat dan perkembangannya, serta kemungkinan pemanfaatannya dalam pembangunan tata hukum nasional.189 Antara studi hukum dan antropologi terdapat suatu hubungan yang erat karena keduanya membahas dan mengkaji perihal ketertiban organisasi masyarakat berikut pranata-pranata pengendaliannya yang sesungguhnya merupakan kajian-kajian yang tergolong sentral, seperti masalah-masalah struktur, tertib struktur, dan fungsionalisasi setiap komponen struktur, aksi, serta perilaku individu pemeran social dalam struktur, berikut segala pengendalian yang dicoba diefektifkan oleh para penguasa di dalam struktur.190 Senada dengan pendapat diatas, Soedjono Dirdjosisworo, menjelaskan bahwa antropologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana maupun masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan.191 Menurut Hilman Hadikusuma, antropologi hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan manusia dengan kebudayaan

T.O. Ihromi. Bianglala Hukum. (Bandung: TP, 1986), h.3 Rumusan hasil seminar pengajaran Antropologi Hukum yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran Bandung, tanggal 5 Agustus 1989 191 Soedjono Dirdjosisworo. Op.Cit. h. 54 189 190

Pengantar Ilmu Hukum

97


yang khusus di bidang hukum.192 Antropologi hukum adalah spesialisasi ilmiah dari antropologi budaya bahkan dari antropologi social, dengan demikian antropologi hukum adalah ilmu tentang manusia dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah social yang tidak bersifat hukum bukanlah sasaran pokok dari penelitian antropologi hukum. Karakteristik antropologi hukum terletak pada sifat pengamatannya, penyelidikannya, dan pemahamannya yang secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia (seperti sejarah manusia, lingkungan hidup, kehidupan keluarga, pemukiman, ekonomi, politik, agama, bahasa, kesenian, pakaian dan sebagainya). Pengamatannya tidak hanya dilakukan terhadap kehidupan satu dua bangsa saja, tetapi banyak bangsa, sehingga pengertian-pengertian yang dibentuknya mempunyai nilai universal, baik menurut tempat maupun waktu. Ruang lingkup persoalan yang dikaji dalam antropologi hukum menurut Satjipto Rahardjo diantaranya adalah sebagai berikut:193 1. Bagaimana tipe-tipe badan yang menjalankan pengadilan (adjudication) dan perantaraan dalam masyarakat?... 2. Apakah yang menjadi landasan kekuasaan dari badan-badan itu untuk menjalankan peranannya sebagai penyelesaian sengketa?... 3. Dalam keadaan tertentu, macam-macam sengketa yang bagaimanakah yang menghendaki penyelesaian melalui pengadilan dan yang manakah yang menghendaki perundingan (negotiation)?... 4. Fungsi-fungsi serta efek-efek ekosistemik yang manakah yang bekerja atas suatu proses hukum? (ini meliputi penyelidikan terhadap jaringan hubungan-hubungan social, psikologis, ekonomi, dan politik antara para pihak, wakil-wakil atau pendukung-pendukungnya dan kepala-kepala mereka). 5. Prosedur-prosedur manakah yang dipakai untuk masing-

h. 10

98

192

Hilman Hadikusuma. Antropologi Hukum Indonesia. (Bandung: Alumni, 1986),

193

Satjipto Rahardjo. Op.Cit. h. 323 Bidang-bidang dalam Studi Hukum


masing jenis sengketa pada kondisi-kondisi tertentu?... (pertanyaan ini mengandung penyelidikan terhadap segisegi, seperti penangkapan tersangka, tempat kejadiannya, bukti-bukti dan sebagainya). 6. Bagaimana keputusan itu dijalankan? 7. Bagaimana hukum berubah? Jadi, persoalan-persoalan yang banyak dikaji dalam antropologi hukum adalah persoalan-persoalan tentang penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Terkait dalam hubungan ini, Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa antropologi hukum terutama mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat sederhana maupun masyarakat yang sedang mengalami proses modernisasi.194 6.3. Sejarah Hukum dan Psikologi Hukum Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan dan asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi waktu yang berbeda pula.195 Menurut penulis, sejarah hukum mempelajari sistem dan gejala hukum dari masa lampau dengan memaparkan dan menjelaskan perkembangannya untuk memperoleh pemahaman tentang apa yang berlaku sebagai hukum di masa lampau. Selain perkembangan sistem hukum sebagai keseluruhan, sejarah hukum juga mempelajari perkembangan institusi hukum dan kaidah hukum individual tertentu dalam sistem hukum yang bersangkutan, misalnya pranata hukum perkawinan atau ketentuan hukum tentang perceraian di Indonesia. Penentuan objek formal dan metodenya kurang lebih sama dengan yang berlaku dalam lingkungan ilmu induknya, yakni ilmu sejarah pada umumnya. Pada bidang studi sejarah hukum, juga terjadi “methodenstreit� (perdebatan tentang metode) antara penjelasan kausal yang menggeneralisasi

194 195

Soerjono Soekanto. Op. Cit. h. 13 Soedjono Dirdjosisworo. Op.Cit. h. 58 Pengantar Ilmu Hukum

99


(dari Noturwissenschaften, nomotheis) dan pemahaman atau “verstehen” yang mengindividualisasi (dari Geisteswissenschaften, ideographis).196 Mengingat hukum itu pada dasarnya produk sejarah yang memiliki “historische bepaaldheid” yang lebih baik tentang hukum yang berlaku pada masa kini, dan yang dibutuhkan di masa depan. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa dengan mengetahui dan memahami secara sistematis proses-proses terbentuknya hukum, faktor-faktor yang menyebabkannya, interaksi faktorfaktor yang mempengaruhinya, proses adaptasi terhadap hukum yang baru, fungsi lembaga-lembaga hukum tertentu, faktorfaktor yang menyebabkan hapusnya atau tidak digunakannya lagi suatu lembaga hukum tertentu, perkembangan lembagalembaga hukum dari suatu hukum tertentu, dan sebagainya akan memberikan tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami gejala hukum dalam masyarakat.197 Hal ini dilakukan oleh cabang studi hukum yang disebut sejarah hukum. Tentang psikologi hukum, Meuwissen memberikan penjelasan bahwa 198 psikologi hukum adalah cabang ilmu hukum yang paling muda. Tujuannya adalah untuk memahami hukum positif dari sudut pandang psikologi. Psikologi dapat memberikan sumbangan dalam 3 (tiga) arti, yaitu: 1. Berdasarkan sudut psikoanalisa. Gejala-gejala hukum dan Negara dengan cara ini dapat dianalisa dengan cara yang interesan diherinterpretasi. 2. Berdasarkan sudut psikologi humanistik. Berdasar sudut pandang ini dapat diperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang cara “kesadaran hukum” atau “perasaan hukum” berfungsi pada manusia. 3. Berdasarkan psikologi perilaku. Pada perilaku yang diamati, dengan bantuan model penjelasan kausal dipahami dari sudut konstelasi tertentu. Model ini dapat diterapkan pada hukum (misalnya, perilaku hakim, advokat dan pembentuk undang-

D.H.M. Meuwissen. Pengembanan Hukum. Pro Justitia No. 1 Tahun 1994, h. 66 Satjipto Rahadjo. Op. Cit. h.333 198 D.H.M. Meuwissen. Op.Cit. h. 67-68 196 197

100

Bidang-bidang dalam Studi Hukum


undang). Pada masa kini, psikologi hukum hanya memainkan peranan kecil dalam bidang hukum pidana, misalnya berkaitan dengan masalah kesalahan, pertanggungjawaban dan kebebasan. Menurut Soerjono Soekanto, psikologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut.199 Lebih lanjut beliau menjelaskan pentingnya psikologi hukum bagi penegakan hukum, sebagai berikut:200 1. Untuk memberikan isi atau penafsiran yang tepat pada kaidah hukum serta pengertiannya, misalnya seperti pengertian itikad baik, tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri, pertanggungjawaban perbuatan dan sebagainya. 2. Untuk menerapkan hukum dengan mempertimbangkan keadaan psikologis pelaku. 3. Untuk lebih menyerasikan ketertiban dengan ketentraman yang menjadi tujuan utama dari hukum. 4. Untuk sebanyak mungkin menghindarkan penggunaan kekerasan dalam penegakkan hukum. 5. Untuk memantapkan pelaksanaan fungsi penegakkan hukum dengan cara lebih mengenal diri atau lingkungannya. 6. Untuk menentukan batas-batas penggunaan hukum sebagai sarana pemeliharaan dan penciptaan kedamaian. 6.4. Filsafat Hukum Filsafat hukum merupakan refleksi teoritis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari dari semua refleksi teoritis tentang hukum.201 Filsafat hukum adalah filsafat atau bagian dari filsafat yang mengarahkan (memusatkan) refleksinya terhadap hukum atau gejala hukum.

199 Soerjono Soekanto. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. (Bandung: Alumni, 1979), h. 9 200 Ibid, h. 57-58 201 Lili Rasjidi. Filsafat Hukum : Apakah Hukum Itu? (Bandung: Tanpa Penerbit, 1988), h. 1-12.

Pengantar Ilmu Hukum

101


Terkait dengan filsafat sebagai refleksi terhadap hukum, filsafat hukum tidak ditujukan untuk mempersoalkan hukum positif tertentu, melainkan merefleksi hukum dalam ke-umum-annya atau hukum sebagai demikian (law as such). filsafat hukum berusaha mengungkapkan hakikat hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum sejauh yang mampu dijangkau akal manusia. Filsafat hukum adalah cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum, dengan kata lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filsafat. Jadi obyek filsafat hukum adalah hukum yang dikaji secara mendalam. Filsafat hukum berusaha mengungkapkan hakikat hukum dengan mengemukakan dengan landasan terdalam dari keberadaan hukum sejauh yang mampu dijangkau akal budi manusia. Masalah pokoknya, sebagai filsafat adalah masalah marginal berkenaan dengan hukum. Obyek formalnya adalah hukum dipandang dari 2 (dua) pertanyaan fundamental yang saling berkaitan (dwitunggal pertanyaan-inti), yaitu:202 1. Apa yang menjadi landasan kekuatan mengikat dari hukum? 2. Atas dasar (kriteria) apa hukum dapat dinilai keadilannya? Pada dwi-tunggal pertanyaan itu terkandung masalah tujuan hukum, hubungan hukum, dan kekuasaan serta hubungan hukum dan moral. Terkait dengan itu, obyek formal filsafat hukum adalah landasan dan batas-batas kaidah hukum.203 Jawaban atas dwi-pertanyaan fundamental itu akan ditentukan oleh pendirian yang dianut tentang eksistensi manusia dan kedudukannya di alam semesta, yakni oleh pandangan hidup yang meliputi keyakinan tentang hubungan antara manusia dan alam, manusia dan sesamanya serta manusia dengan TUHAN. Pada dasarnya filsafat hukum bertolak dari titik berdiri internal dan mengacu pada teori kebenaran pragmatik, yang produk refleksinya dirumuskan dalam proposisi-proposisi informatif, normatif dan evaluatif. Berkaitan dengan ajaran filsafati dalam hukum, maka ruang

202 203

102

D.H.M. Meuwissen. Filsafat Hukum dalam Pro Justitia No. 3 tahun 1994, h. 3 J.J.H. Bruggink. Op.Cit. h. 181 Bidang-bidang dalam Studi Hukum


lingkup filsafat hukum tidak lepas dari ajaran filsafat itu sendiri, yang meliputi:204 1. Ontology hukum, yakni mempelajari hakekat hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan hukum dan moral, dan sebagainya. 2. Axiology hukum, yakni mempelajari isi dari nilai seperti, kebenaran, keadilan, kebebasan, kewajaran, penyalagunaan wewenang dan lainnya. 3. Ideology hukum, yang mempelajari rincian dari keseluruhan orang dan masyarakat yang dapat memberikan dasar atau legitimasi bagi keberadaan lembaga-lembaga hukum yang akan datang, sistem hukum atau bagian dari sistem hukum. 4. Epistemology hukum, merupakan suatu studi meta filsafat. Mempelajari apa yang berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana pengetahuan mengenai hakekat hukum atau masalah filsafat hukum yang fundamental lainnya yang umumnya memungkinkan. 5. Teleology hukum, yakni menentukan isi dan tujuan hukum. 6. Keilmuan hukum, merupakan meta teori bagi hukum. 7. Logika hukum, yakni mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari sistem hukum dan struktur sistem hukum. 6.5. Teori Hukum Teori hukum dalam bahasa Inggris, disebut dengan Jurisprudence atau legal theory. Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan. Baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji

204 Philipus M. Hadjon. Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif). Yuridika: Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6 Tahun IX, November-Desember, 1994. h. 4-5

Pengantar Ilmu Hukum

103


dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat.205 Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya inter-disipliner. Sifat inter-disipliner ini dapat terjadi melalui dua cara, yaitu:206 1. Menggunakan hasil disiplin lain untuk eksplanasi hukum; 2. Dengan metode tersendiri meneliti bidang-bidang seperti: sejarah hukum, sosiologi hukum dan lainnya. Berkaitan dengan sifat inter-disipliner, maka bidang kajian teori hukum meliputi:207 1. Analisa bahan hukum, meliputi konsep hukum, norma hukum, sistem hukum, konsep hukum teknis, lembaga hukum-figur hukum, fungsi dan sumber hukum; 2. Ajaran metode hukum, meliputi metode dogmatik hukum, metode pembentukan hukum dan metode penerapan hukum; 3. Metode keilmuan dogmatik hukum, yaitu apakah ilmu hukum sebagai disiplin logika, disiplin eksperimental atau disiplin hermeneutic; 4. Kritik ideologi hukum. Berbeda dengan ketiga bidang kajian diatas, kritik ideologi merupakan hal baru dalam bidang kajian teori hukum. Ideologi adalah keseluruhan nilai atau norma yang membangun visi orang terhadap manusia dan masyarakat. Teori hukum dipandang sebagai kelanjutan atau pengganti Allgemeine Rechtslehre208, yang timbul di abad 19 ketika minat pada filsafat hukum mengalami kelesuan, karena dipandang terlalu abstrak dan spekulatif dan dogmatika hukum dipandang terlalu konkret serta terikat waktu dan tempat. Para pelopornya adalah John Austin, Adolf Merkel, Karl Bergbohm, Ernst R. Bierling, Rudolf Stammler dan Felix Somlo, yang mana tokoh-

Ibid, h. 122 Philipus M. Hadjon. Op.Cit. h.1. 207 J.J.H. Bruggink. Op.Cit. h. 169 208 Allgemeine Rechtslehre adalah suatu penelitian ilmiah positif tentang ciri umum pada semua aturan hukum dan sistem hukum dengan meneliti struktur dasar, asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok yang terdapat dalam setiap tata hukum posistif dengan metode induktif-empiris dan bebas nilai. Jadi, Algemeine Rechtslehre bukan ilmu normatif, melainkan ilmu yang secara empiris dengan bertolak dari titik berdiri eksternal berupaya menemukan ontologi (hakikat) dari hukum. 205 206

104

Bidang-bidang dalam Studi Hukum


tokoh ini berada dibawah pengaruh positivisme dan inspirasi ilmu-ilmu positif dengan metode induktif-empirisnya, dengan berusaha menghadirkan ilmu tentang hukum yang bebas nilai. Pada permulaan abad 20, muncul Hans Kelsen yang membandingkan isi antara berbagai aturan hukum dan pengertian dalam hukum sebagai obyek penelitian khas Allgemeine Rechtslehre berkembang menjadi penelitian yang diarahkan pada struktur dan fungsi kaidah hukum dan sistem hukum. Pada permulaan abad 20 pula, istilah Allgemeine Rechtslehre mulai tergeser oleh istilah Rechtstheorie yang diartikan sebagai teori dari hukum positif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama pada semua sistem hukum. Adapun masalah-masalah yang dimaksud adalah sifat hukum, hubungan antara hukum dan negara serta hukum dan masyarakat, perangkat pengertian pokok dan berbagai metode untuk memperoleh pengetahuan hukum, hubungan timbal balik antara hukum nasional dan hukum internasional. 6.6. Perbandingan Hukum Perbandingan hukum sebagai disiplin ilmiah mandiri harus dibedakan dari metode perbandingan (hukum). Metode perbandingan adalah salah satu bentuk cara menangani hukum atau cara melakukan penelitian dan pengkajian ilmiah untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum.209 Perbandingan hukum sebagai disiplin ilmiah adalah ilmu yang mempelajari dua atau lebih system hukum positif pada Negara-negara atau lingkungan-lingkungan hukum yang di dalamnya sistemsistem hukum yang ditelaah. Isi dan bentuk sistem-sistem hukum itu saling diperbandingkan untuk menemukan dan memaparkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan, serta menjelaskan factor-faktor yang menyebabkannya dan kemungkinan arah perkembangannya. Pada kondisi ini, diperlukan beberapa ilmu bantu, misalnya antropologi hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum dan sebagainya.

209 Lihat Sunaryati Hartono. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. (Bandung:Citra Aditya Bakti, 1991), h. 1-23

Pengantar Ilmu Hukum

105


Pada literatur ilmu hukum, istilah perbandingan hukum menunjukkan 2 (dua) pengertian yang berbeda, pertama, perbandingan hukum sebagai metode studi hukum. Kedua, perbandingan hukum sebagai ilmu pengetahuan (yang juga menggunakan metode perbandingan), yang membandingkan sistem hukum negara yang satu dengan negara yang lain. Perbandingan hukum juga dapat diadakan dalam satu negara saja, yang mempunyai sistem hukum yang pluralistik atau majemuk. Sebagai contoh, Indonesia, dapat diadakan perbandingan hukum antara sistem-sistem hukum adat atau antara sistem hukum barat dan sistem hukum adat.210 Studi perbandingan hukum dilakukan dengan maksud-maksud sebagai berikut: 1. Untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan yang ada di antara sistem hukum atau bidang-bidang hukum yang dipelajari. 2. Untuk menjelaskan mengapa terjadi persamaan atau perbedaan yang demikian itu, faktor-faktor apa yang menyebabkannya. 3. Untuk memberikan penilaian terhadap masing-masing sistem yang digunakan. 4. Untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa ditarik sebagai kelanjutan dari hasil-hasil studi perbandingan yang telah dilakukan. 5. Untuk merumuskan kecenderungan-kecenderungan yang umum pada perkembangan hukum, termasuk di dalamnya irama dan ketentuan yang dapat dilihat pada perkembangan hukum tersebut. 6. Untuk menemukan asas-asas umum yang didapat sebagai hasil dari penyelidikan yang dilakukan dengan cara membandingkan hukum tersebut.211 Penelitian dan pengkajian dalam bidang perbandingan hukum dibedakan dalam komparasi-makro dan komparasi-

210 Satjipto Rahardjo. Op.Cit. h. 330, Lihat juga Soerjono Soekanto. Perbandingan Hukum. (Bandung: Alumni, 1979), h. 49 211 Satjipto Rahardjo. Ibid. h.331

106

Bidang-bidang dalam Studi Hukum


mikro. Komparasi-makro, membandingkan dua atau lebih sistem hukum sebagai keseluruhan, misalnya antara Civil Law Sistem dan Common Law Sistem, antara sistem hukum Indonesia dan sistem hukum Malaysia, atau antara sistem hukum Belanda dan sistem hukum Jerman yang dua-duanya termasuk dalam keluarga Civil Law Sistem. Komparasi-mikro, membandingkan bagian dari dua atau lebih sistem hukum, misalnya antara hukum perkawinan Indonesia dan hukum perkawinan Malaysia, atau cara peralihan hak milik pada jual beli rumah di Singapura dan di Philipina. Perbandingan hukum mulai timbul pada pertengahan abad 19 yang dipacu oleh perubahan karakter international ilmu hukum menjadi ilmu hukum nasional sebagai akibat dari pengkodifikasian hukum di Eropa setelah Revolusi Perancis 1789. Perbandingan hukum sebagai ilmu mandiri memang termasuk ilmu yang masih baru. Sesungguhnya Aristoteles, pelopor ilmuilmu Empiris sudah melakukan studi perbandingan hukum, yakni membandingkan konstitusi berbagai negara-kota (polis) di Yunani.212 6.7. Politik Hukum Hukum sebagai gejala sosial bukanlah suatu yang otonom sepenuhnya melainkan mempunyai kaitan dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Salah satu segi dari keadaan ini, hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai masyarakatnya. Terkait dengan hal ini, maka hukum dikatakan mempunyai dinamika. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian itu, karena ia diarahkan pada ius constituendum (hukum yang dicita-citakan). Terkait dengan hal ini, menurut penulis, politik hukum adalah suatu bidang studi hukum yang kegiatannya memilih atau menentukan hukum mana yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh masyarakat.

212 Max Pheinstein. Comparative Law and Legal System. Dalam International Encyclopedia of The Sosial Sciencess. Vol. 9. David L. Shills (ed). (New York, 1972), h. 206

Pengantar Ilmu Hukum

107


Menurut Soedjono Dirdjosisworo, politik hukum adalah disiplin ilmu hukum yang mengkhususkan dirinya pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan-tujuan yang dicitacitakan oleh masyarakat tertentu. 213 Senada dengan Soedjono Dirjosisworo, Teuku Mohammad Radhie dalam Satjipto Rahardjo dan Fauzi mengartikan politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya dan mengenai arah ke mana hukum hendak diperkembangkan. Selanjutnya dijelaskan bahwa kata “politik” dalam perkataan “politik hukum” dapat berarti kebijaksanaan atau disebut dengan “policy” dari penguasa. Jadi, keikutsertaan negara dengan alat-alat perlengkapannya.214 Sebagai penguasa pergaulan hidup negara di dalam politik hukum ada 3 (tiga) bagian, yaitu:215 1. Melaksanakan hukum; 2. Mempengaruhi perkembangan hukum; 3. Menciptakan hukum. Suatu ketentuan umum mengharuskan agar politik hukum suatu negara berdasarkan kepentingan rakyatnya, dan inilah yang menjadi dasar pokok bagi politik hukum negara Republik Indonesia, dengan tujuan akhir yang hendak dicapai adalah menjadikan masyarakatnya menjadi masyarakat yang adil dan makmur. Politik hukum dapat dikatakan benar, jika semua kegiatan penyiapan, penyusunan dan perumusan peraturan serta ketentuan untuk masyarakat telah mengarah kepda terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Menurut penulis perlu dipahami bahwa politik hukum selalu berbicara tentang hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dan berupaya menjadikannya sebagai hukum positif (ius constitutum) pada suatu masa yang akan datang.

Soedjono Dirdjosisworo. Op.Cit. h. 48 Satjipto Rahardjo dan Fauzi. Pengantar Imu Hukum. Buku Materi Pokok 5. Pengantar Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Karunia, 1985), h. 165 215 Ibid 213 214

108

Bidang-bidang dalam Studi Hukum


BAB VII URGENSI HUKUM DALAM MASYARAKAT 7.1. Urgensi Hukum dalam Masyarakat Pada bagian ini penulis akan memaparkan tentang kekeberadaan hukum dalam komunitas masyarakat. Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa konsep hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidahkaidah dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.216 Senada dengan pendapat Sudikno Mertokusumo, Jimly Asshiddiqie memberikan konsep hukum dalam arti luas menurut meliputi aturan normatif yang mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap penyimpangan terhadapnya.217 Terkait dengan konsep hukum, maka diperlukan suatu pendekatan sistem dalam hukum. Menurut Ludwig Von Bertalanfy, sistem adalah :218 “Complexes of elements standing interaction; a system is a set of elements standing interrelation among themselves and with the environment “. Secara lebih umum, William A. Shore and Voich dalam Esmi Warassih mendefinisikan sistem sebagai berikut :219 “ a set of interrelated parts, working independently and jointly, in pursuit of common objectives of the whole, within a complex environment “ Definisi – definisi sistem tersebut menekankan kepada beberapa hal berikut :220

Sudikno Mertokusumo. Op.Cit, h. 40 Jimly Asshiddiqie. Pembentukan dan Pembuatan Hukum. (Jakarta : Universitas Indonesia, 2000), h. 54 218 Ludwig Von Bertalanfy. General System Theory, Foundation, Development, Applications. (New York : George Braziller,1968). Tanpa Halaman. 219 Esmi Warassih. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. (Semarang : Suryandaru Utama, 2005), h.41 220 William A Shrode dan Voich. Organization and Management, Basic System Concepts.(Tllahassee, Fla : Florida state University, 1974), h. 122 216 217

109


1. Purposive behaviour the system is objective oriented ( Sistem itu berorientasi kepada tujuan ). 2. Holism the whole is more than the sum of all the part ( Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian – bagiannya ). 3. Openness the system interacts with a larger system, namely its environment (Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yaitu lingkungan). 4. Transformation the working of the part creates something of value ( Bekerjanya bagian – bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga ). 5. Interrelatedness the various parts must fit together ( Masing – masing bagian harus cocok satu sama lain ). 6. Control mechanism there is a unifying force that olds the system together ( Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu ). Kehadiran hukum dalam suatu sistem yang ada di komunitas masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan individu yang kemungkinan dapat saling menimbulkan disintegrasi. Pengorganisasian kepentingankepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut, Berkaitan dengan usaha mengatur, hukum menyesuaikan kepentingan perorangan dengan kepentingan masyarakat sebaik-baiknya. Hukum berusaha mencari keseimbangan antara memberi kebebasan kepada individuindividu yang menyebabkan terjadinya interaksi, maka akan selalu terjadi konflik atau ketegangan antara kepentingan individu dengan masyarakat lain. Hukum bertujuan menserasikan nilai-nilai yang universal tentang baik dan buruk, tentang patut dan tidak patut. Terkait dengan tujuan tersebut, maka hukum selalu diharapkan efektif pada suatu kondisi masyarakat tertentu, sehingga keadaan keteraturan masyarakat dapat terus terjaga. Tanpa adanya hukum yang secara efektif mengatur hubungan antar masyarakat (social relationship), dan sangatlah mustahil ide yang menjadi cita-cita hukum dapat terwujud. Pada kenyataannya, tidak setiap hukum sebagai produk masyarakat selalu berada pada kondisi yang diinginkan. Hukum seringkali 110

Urgensi Hukum dalam Masyarakat


tidak dapat secara efektif mengatur hubungan-hubungan antara manusia yang menjadi anggotanya. Ketidakefektifan hukum dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor manusia dalam kapasitasnya sebagai penegak, pelaksana maupun pengaman hukum yang tidak mengandung keberlakuan suatu hukum. Membahas urgensi hukum dalam masyarakat, harus melihat kembali cita hukum, sebagaimana Radbruch dalam Ayudya D Prayoga, di mana sekurang – kurangnya memberi 3 ( tiga ) syarat utama untuk menentukan apakah suatu ketentuan hukum dapat dikatakan baik, yakni secara filosofis dapat menciptakan keadilan, secara sosiologis dapat menciptakan kemanfaatan, dan secara yuridis dapat menciptakan kepastian.221 Ketiga aspek hukum tersebut, tidak bisa berdiri sendiri atau dengan kata lain, satu sama lain saling terkait. Oleh karena itu, hukum hanya bisa berlaku secara efektif apabila ketiga aspek tersebut secara inheren melekat di dalamnya. Ide bahwa hukum merupakan sesuatu yang dicita-citakan oleh masyarakatnya adalah merupakan aspek terpenting dari filsafat hukum. Dalam arti lain, hukum yang dibuat untuk keperluan ketertiban, keteraturan, dan kemaslahatan masyarakat harus benar-benar mencerminkan watak dan ide (cita-cita) masyarakat. Ide-ide tersebut pada akhirnya harus dirumuskan dalam aturan spesifik oleh lembaga yang berwenang (aspek yuridis) yang secara operasional harus dapat diterima dan diakui masyarakat, sehingga masyarakat sanggup untuk mentaati hukum tersebut (aspek sosiologis).222 Berkaitan dengan analisa sosiologi ini ada 3 ( tiga ) hal yang harus diperhatikan, yaitu :223 1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan penjelasan terhadap praktek – praktek hukum.

221 Ayudha D. Prayoga ( ed ) Et All. Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya Di Indonesia. (Tanpa Kota : ELIPS, TT), h. 52 222 Ayat Dimyati. Problema Sosiologi Hukum Islam. (Bandung : IAIN Sunan Gunung Djati Press, 1996). h.45 223 Satjipto Raharjo. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. (Jakarta : Rajawali Press, 1987), h. 310

Pengantar Ilmu Hukum

111


2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. 3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Pernyataan Paul Scholten dalam Satjipto Raharjo, bahwa hukum diciptakan untuk dijalankan, sedangkan hukum yang tidak pernah dijalankan pada hakekatnya telah berhenti sebagai hukum. Ungkapan tersebut menampakkan kedudukan hukum sebagai suatu fenomena yang harus dijalankan di dalam kehidupan masyarakat. Hanya persoalannya hukum bukanlah suatu produk yang begitu dihasilkan langsung akan dapat bekerja atau berfungsi.224 Berkaitan dengan hal ini, dapat dilihat bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat hanya akan dapat berjalan melalui sentuhan tangan dan pikiran masyarakat sendiri. Hukum sebagai suatu proses tidak dapat dilihat sebagai suatu perjalanan penetapan peraturan-peraturan hukum saja. Melainkan, hukum sebagai proses perwujudan tujuan sosial di dalam hukum. Sehingga yang tengah berlangsung dalam perjalanan penetapan peraturan itu adalah adanya suatu proses penetrasi dari sector-sektor kehidupan masyarakat. Mengenai hal ini Bredermeiyer dalam Esmi Warasih berpendapat bahwa di dalam suatu sistem sosial dapat dijumpai bekerjanya 4 (empat) proses-proses fungsional utama, yaitu :225 1. Adaptasi 2. Perwujudan tujuan 3. Mempertahankan pola 4. Integrasi. Keempat proses itu saling kait mengkait dan secara timbal balik saling memberikan input. Setiap sub-proses memperoleh input dari ketiga lainnya. Sementara itu out put dari salah satu proses itu juga akan menjadi input bagi sub-proses yang lain. Keberadaan hukum sebagai salah satu kaidah sosial yang mengatur kehidupan manusia sangat penting. Perwujudan

224 225

112

Satjipto Raharjo. Hukum dan Masyarakat. (Bandung : Alumni, 1980), h. 69 Esmi Warassih. Op Cit. h.5 Urgensi Hukum dalam Masyarakat


hukum sebagai salah satu kaidah sosial bersifat beragam yakni berupa petunjuk atau pedoman untuk bertingkah laku, larangan untuk berbuat, mengatur apa saja yang diperbolehkan bagi seorang warga masyarakat. Tidak dapat dibayangkan bahwa seandainya dalam kehidupan masyarakat tidak ada hukum, maka yang pasti terjadi adalah kekacauan-kekacauan tanpa akhir penyelesaian. Hukum itu sebenarnya merupakan merupakan aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak. Konsep abstrak ini berarti tidak bisa dilihat dan diraba, akan tetapi ada dalam kenyataan.226 Sehubungan dengan sifatnya yang abstrak, maka rumusan abstrak dalam hal ini berada dalam pikiran warga masyarakat yang bersangkutan. Masih terkait dengan sifatnya yang abstrak (baik hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis) maka keberadaan hukum bersifat statis dan tidak berdaya tanpa adanya tindakan manusia. Hukum tampak melakukan sesuatu dan saling berinteraksi karena adanya tingkah laku dan tindakan manusia, sedangkan hukum sendiri tidak dapat bertingkah laku. Walaupun hukum sendiri tidak dapat bertingkah laku, tetapi pada kenyataannya hukum dapat mempengaruhi tingkah laku dari masyarakat dimana hukum itu berada. Di sisi lain, jika dalam berbagai realitas sosial, dapat diamati bahwa seringkali hukum itu tidak berdaya, pada dasarnya bukan karena hukumnya sendiri, tetapi karena ulah atau tindakan manusia. Berbagai penyimpangan terhadap aturan hukum yang sudah jelas ancamannya pada dasarnya berkaitan dengan tindakan manusia sebagai penegak hukum ataupun sebagai anggota masyarakat. Sehubungan dengan itu, tidak salah jika hukum itu hanya dapat berjalan kalau ada campur tangan dari manusia. Konsepkonsep seperti inilah yang biasanya menjadi pegangan para ahli hukum yang beraliran sosiologis. Mereka mengatakan bahwa

226 Lihat juga pendapat Lemaire dan Mr. Dr. Kisch dalam Van Apeldorn. Op.Cit. h. 13, bahwa menurut Lemaire, bahwa hukum itu banyak seginya meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komperhensif. Demikian pula , Mr. Dr. Kisch mengatakan bahwa oleh karena hukum itu tidak dapat dilihat / ditangkap oleh panca indera, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum yang memuaskan umum.

Pengantar Ilmu Hukum

113


hukum itu tidak hanya dapat dilihat sebagai suatu perangkat aturan-aturan yang bersifat statis, melainkan sebagai suatu proses. Suatu masalah agak rumit yang muncul dalam kaitan dengan bekerjanya hukum ini adalah pertanyaan mengenai apakah hukum yang dijalankan dalam masyarakat itu benarbenar mencerminkan gambaran hukum yang terdapat di dalam peraturan hukum. Seorang ahli hukum yang beraliran sosiologis Roscoe Pound dalam tesis yang ditulis oleh Winardi misalnya, membuat pembedaan dalam ilmu hukum yaitu Law in the book and Law in action pembedaan ini mencakup persoalan-persoalan antara lain: pertama, apakah hukum di dalam bentuk peraturan yang telah diundangkan itu mengungkapkan pola tingkah laku sosial yang ada pada waktu itu, kedua, apakah yang dikatakan pengadilan itu sama dengan yang dilakukan olehnya, ketiga apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh suatu peraturan itu sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataannya.227 Sehubungan dengan hal tersebut, dapat dilihat bahwa di dalam pelaksanaan hukum itu sudah ada kesepahaman sosial yakni hukum itu memberikan kesempatan bagi warga negara untuk menentukan pola kelakuannya sendiri dalam batas-batas kerangka hukum yang ada. Keberadaan pola tingkah laku sosial yang masuk ke dalam hukum menunjukkan terjadinya interaksi antara hukum sebagai kelembagaan formal dengan tingkah laku sosial dengan kelembagaan informal. Parson lewat tulisan the law and social control yang dikutib oleh Winardi dalam tesisnya menguraikan bahwa fungsi utama sistem hukum bersifat integratif karena dimaksudkan untuk mengatur, memelihara dan menjaga hubungan-hubungan sosial dalam suatu sistem sosial. Lebih jauh Parson menegaskan, agar fungsi integratif dapat berjalan dengan efektif, ada empat prasarat masalah mendasar yang perlu mendapat elaborasi secara tepat dalam suatu sistem hukum, yaitu :228

227 Winardi. Tesis: Pelaksanaan Inpres Nomor 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi dan Danpaknya terhadap Petani (Studi Kasus Petani TRI di Kabupaten Jombang). (Malang : Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang, 2001), h. 51 228 Ibid. h. 56

114

Urgensi Hukum dalam Masyarakat


1. Masalah legitimasi, menyangkut hak-hak dan kewajiban dalam proses penerapan aturan hukum. 2. Masalah interpretasi, menyangkut hak-hak dan kewajiban dalam proses penerapan aturan hukum. 3. Masalah sanksi baik jenis maupun lembaga yang menerapkannya. 4. Masalah yurisdiksi, menyangkut kewenangan penegakkan norma-norma hukum. Hukum dalam masyarakat tidak akan berjalan dengan baik jika tidak mendapat dukungan dari masyarakat, yang berupa kesadaran dan ketaatan hukum dari masyarakat, dan aparat hukum berkewajiban menegakkan hukum. 7.2. Teori Hukum Pembangunan Pada bagian ini, penulis akan memaparkan pembangunan hukum menurut konsep yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmaja. Pada dasarnya, dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia maka salah satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan masyarakat adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmaja. Ada beberapa argumentasi krusial mengapa Teori Hukum Pembangunan tersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut: Pertama, Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi Pengantar Ilmu Hukum

115


struktur (structure), kultur (culture) dan substansi (substance) sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W. Friedman.229 Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”230 (law as a tool social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.231 Dikaji dari perspektif sejarahnya maka sekitar tahun 1970an (tujuh puluhan) lahir Teori Hukum Pembangunan dan elaborasinya bukanlah dimaksudkan penggagasnya sebagai sebuah “teori” melainkan “konsep” pembinaan hukum yang dimodifikasi dan diadaptasi dari teori Roscoe Pound “Law as a tool of social engineering” yang berkembang di Amerika Serikat. Apabila dijabarkan lebih lanjut maka secara teoritis Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, yang dipengaruhi cara berpikir dari Herold D. Laswell dan Myres S. Mc Dougal (Policy Approach) ditambah dengan teori hukum dari Roscoe Pound (minus konsepsi mekanisnya). Mochtar mengolah semua masukan tersebut dan menyesuaikannya pada kondisi

229 Lawrence W. Friedman. American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily our daily lives, (New York: W.W. Norton & Company, 1984), h. 1-8. dan pada Legal Culture and Social Development, (New York: Stanford Law Review, TT), h. 1002-1010 serta dalam Law in America: a Short History. (New York: Modern Library Chronicles Book. 2002), h. 4-7 menentukan pengertian struktur adalah,“The structure of a system is its skeleton framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the though rigid nones that keep the process flowing within bounds..”, kemudian substansi dirumuskan sebagai, “The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave,” dan budaya hukum dirumuskan sebagai,“The legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation. Legal culture refers, then, to those ports of general culture customs, opinions ways of doing and thinking that bend social forces toward from the law and in particular ways.” 230 Pada dasarnya, fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool of social engeneering) relative masih sesuai dengan pembangunan hukum nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi dengan pemberdayaan birokrasi (beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep panutan atau kepemimpinan, sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat menciptakan harmonisasi antara elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang disebut “beureucratic and social engineering” (BSE). Lihat Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, h. 7. 231 Lihat Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra. Hukum Sebagai Suatu Sistem. (Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 5.

116

Urgensi Hukum dalam Masyarakat


Indonesia.232 Ada sisi menarik dari teori yang disampaikan Laswell dan Mc Dougal dimana diperlihatkan betapa pentingnya kerja sama antara pengemban hukum teoritis dan penstudi pada umumnya (scholars) serta pengemban hukum praktis (specialists in decision) dalam proses melahirkan suatu kebijakan publik, yang di satu sisi efektif secara politis, namun di sisi lainnya juga bersifat mencerahkan. Terkait dengan hal tersebut, maka Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, memperagakan pola kerja sama dengan melibatkan keseluruhan stakeholders yang ada dalam komunitas sosial tersebut. Pada proses tersebut maka Mochtar Kusumaatmadja menambahkan adanya tujuan pragmatis (demi pembangunan) sebagaimana masukan dari Roscoe Pound dan Eugen Ehrlich dimana terlihat korelasi antara pernyataan Laswell dan Mc Dougal bahwa kerja sama antara penstudi hukum dan pengemban hukum praktis itu idealnya mampu melahirkan teori hukum (theory about law), teori yang mempunyai dimensi pragmatis atau kegunaan praktis. Mochtar Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk pembangunan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih jauh, Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas dari hukum sebagai alat karena:233 1. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya jika

232 Shidarta. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Ke-Indonesiaan. (Jakarta: Utomo, 2006), h. 411 233 Ibid, h. 415

Pengantar Ilmu Hukum

117


dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat lebih penting. 2. Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu. 3. Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional. Lebih detail maka Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa:234 “Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.” Pada perkembangan berikutnya, konsep hukum pembangunan ini akhirnya diberi nama oleh para murid-muridnya dengan “Teori Hukum Pembangunan”. 235 Ada 2 (dua) aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori

234 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis). (Bandung: Alumni, 2002), h. 14 235 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra. Op.Cit. h. 182

118

Urgensi Hukum dalam Masyarakat


hukum ini, yaitu:236 Pertama, ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan alam pemikiran masyarakat ke arah hukum modern.237 Oleh karena itu, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.238 Fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” atau ”law as a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan” dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :239 “Hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan.”

236 Mochtar Kusumaatmadja. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. (Bandung: Bina Cipta, tanpa tahun), h. 2-3. 237 Lihat Otje Salman dan Eddy Damian (ed). Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., (Bandung: Alumni, 2002), h. V. 238 Mochtar Kusumaatmadja. Op. Cit. h. 13 239 Mochtar Kusumaatmadja. Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional. (Bandung: Binacipta, 1995), h. 13.

Pengantar Ilmu Hukum

119



DAFTAR PUSTAKA Abdoel Djamali. 1984. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Toko Gunung Agung. Achmad Sanusi. 1977. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: Tarsito. Algra. 1983. Mula Hukum (terjemahan Rechtsaanvang oleh Simorangkir). Bandung: Binacipta. Ali Rido. 1977. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni. Anwar Harjono. 1968. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Jakarta: Bulan Bintang. Apeldorn. 1959. Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Inleiding tot de Studies Van Het Nederlandse Recht Oleh Mr. Oetarid Sadino). Jakarta: Noordhoff-Kolff NV. A Shrode, William dan Voich. 1974. Organization and Management, Basic System Concepts. Tllahassee, Fla : Florida state University. Ayat Dimyati. 1996. Problema Sosiologi Hukum Islam. Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Press. Ayudha D. Prayoga (ed) Et All. TT. Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya Di Indonesia. Tanpa Kota : ELIPS. Batten, Dona (Project Editor). 2010. Gale Encyclopedia of American Law, 3RD Edition, Volume 14, Dictionary Legal Term, Cengage Learning. Bernard Arief Sidharta. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju.

121


--------------------------. 2008. Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Bandung: Refika Aditama. Berman, H.J. 1983. Law and Revolution. Harvard University Press. Bertalanfy. Ludwig Von. 1968. General System Theory, Foundation, Development, Applications. New York : George Braziller. Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. -------------. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius. Bruggink, J.J.H. 1996. Refleksi Tentang Hukum. (terjemahan: Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie. Kluwer, 1993). Bandung: Citra Aditya Bakti. Bodenheimer, Edgar. 1962. Jurisprudence: The Philosophy and Method of The Law. Massachussetts: Cambride. Boyd-King. 1977. The History Of Western Education. London: TP. Chaidir Ali. 1976. Badan Hukum. Bandung: Alumni. Chand, Hari. 1994. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur: International Book Services. Chen, Albert H.Y. 2000. The Interpretation of The Basic Law – Common Law and Mainland Chinese Perspectives. Hongkong: Hongkong Journal Ltd. Curzon. 1979. Jurisprudence. M & E Handbook. TK: TP. Dijk, P. Van, et all. 1985. Van Apeldorn’s Inleiding Tot de Studie Van Het Negerlands Recht. W.E.J. Tjeenk-Willijnk. Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang : Suryandaru Utama.

122

Daftar Pustaka


E. Sumaryono. 1995. Etika Profesi Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 1995. -----------------. 2002. Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Yogyakarta: Kanisius. Friedman, Lawarence W. 1984. American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily our daily lives, (New York: W.W. Norton & Company. Garner, Bryan A. 2004. Black's Law Dictionary, Eighth Edition, Thomson West, St. Paul. Hartono Hadisoeprapto. 1999. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Liberty: Yogyakarta. Hilman Hadikusuma. 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: Alumni. Holland, James A. and Julian S. Webb. 1991. Learning Legal Rules. Great Britain: Blackstone Limited. Jimly Asshiddiqie. 2000. Pembentukan dan Pembuatan Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia. Juniarto. 1968. Ilmu Hukum Tata Negara dan Sumber-Sumber Hukum Tata Negara. Yogyakarta: Gajah Mada Kansil. 1984. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Kusumadi Pudjosewojo. 1984. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Lev, Daniel S. 1990. Van Vollenhoven dan Hukum Adat dalam Hukum dan Politik di Indonesia. Tanpa Kota: LP3ES. Lili Rasjidi. 1988. Filsafat Hukum : Apakah Hukum Itu? (Bandung: Tanpa Penerbit. ------------. dan Ida Bagus Wiyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung: Mandar Maju. Pengantar Ilmu Hukum

123


Martin, Elizabeth A. (editor). 2002. Oxford Dictionary of Law, Fifth Edition, Oxford University Press: New York. Marhainis Abdul Hay. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Hukum Jilid II. Jakarta: Pradnya Paramita. Muhammad Tahir Azhary. 1992. Negara Hukum: Suatu Study Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang. Mulyana W. Kusumah. 1982. Peranan dan Pendayagunaan Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni. Mochtar Kusumaatmadja. 2002. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis). Bandung: Alumni. ------------------------------. TT. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Bina Cipta. ------------------------------. 1995. Hukum, Masyarakat, Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta.

dan

Mochtar Kusumaatmadja. 1986. Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional. Bandung: Binacipta. Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI. Morrison, Wayne. 1998. Jurisprudence: From the Greeks to PostModernism. London: Cavendish. Otje Salman dan Eddy Damian (ed). 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., Bandung: Alumni. Oran, JD, Daniel. 2000. Oran's Dictionary of Law, 3 rd Edition. West Legal Studies Thomson Learning. O. Notoamidjojo. 1971. Masalah Keadilan. Semarang; Tirta Amerta. 124

Daftar Pustaka


Paton, G.W. 1972. A. Teksbook of Jurisprudence. London: Oxford University Press. Pheinstein, Max. 1972. Comparative Law and Legal System. Dalam International Encyclopedia of The Sosial Sciencess. New York. Philipus M. Hadjon. 1997. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu. Pound, Roscoe. 1975. An Introduction To The Philosophy of Law. University Press, New Haven. Raz, Joseph. 1983. The Authority of Law. Oxford Clarendon Pres. Samford, Charles. (Ed). 1996. Interpreting Constitutions Theories, Priciples and Intitutions. Sidney: The Federation Press. Salim HS. 2001. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika. Samidjo dan A. Sahal. TT. Tanya Jawab; Pengantar Ilmu Hukum. TK: TP Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986. ---------------------. 1985. Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembaharuan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru. ---------------------. 1977. Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Studi Hukum. Bandung: Alumni. --------------------- dan Fauzi. 1985. Pengantar Imu Hukum. Buku Materi Pokok 5. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Karunia. ---------------------. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta : Rajawali Press. ---------------------. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Alumni. Pengantar Ilmu Hukum

125


Schuit, C.J.M. 1971. Terreinverkening.

Rechtssociologie.

Rotterdam:

Een

Sinha, Surya Prakash. 1993. Jurisprudence: Legal Philosophy in A Nutshell. Minnesota: West Publishing St. Paul. Shidarta. 2006. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Ke-Indonesiaan. Jakarta: Utomo. Sjachran Basah. 1992. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara. Bandung: Alumni. Subekti. 2002. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Internusa. Sudikno Mertokusumo. 1986. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty. --------------------------- dan A. Pitlo. 1993. Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Sunaryati Hartono. 1982. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bandung: Binacipta. ----------------------. 1991. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Bandung:Citra Aditya Bakti. Surojo wignjodipuro. 1974. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. Soedjono Dirdjosisworo. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali. Soerjono Soekanto. 1996. Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar untuk Mempelajari Hukum Adat. Jakarta: RajaGrafindo. -----------------------. 1976. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum. Bandung: Alumni. -----------------------. 1979. Mengenal Sosiologi Hukum. Bandung: Alumni.

126

Daftar Pustaka


-----------------------. 1979. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Bandung: Alumni. -----------------------. Alumni.

1979.

Perbandingan

Hukum.

Bandung:

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. TT. Hukum Perdata Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty, Theo Huijbers. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius. T.O. Ihromi. 1986. Bianglala Hukum. Bandung: TP. Utrecht. 1957. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ikhtiar. P. Vinke. P. 1970. Wat Is En Waarom Rechtssociologie dalam Rechtssociologie en Jurimetrie. Deventer. Wirjono Projodikoro. 1974. Bunga Rampai Hukum: KenangKenangan Sebagai Hakim selama 40 Tahun Mengalami Tiga Zaman. Jakarta: Ichtiar Baru. ------------------------. 1963. Hukum Perdata tentang Hak-Hak Atas Benda. Jakarta: Pembimbing Masa. Dokumen, Makalah, Artikel, Jurnal, Majalah dan Hasil Penelitian Denny Indrayana, Negara Hukum Pasca Soeharto: Transisi Menuju Demokrasi vs Korupsi. Jurnal Konstitusi. Mahkamah Konstitusi RI Vol. 1 No. 1, Juli 2004. H.J. Berman. The Origins Of Western Legal Science. Harvard Law Review Vol. 90 No. 5, 1977 Helmut Coing. The Original Unity Of Euopean Legal Science dalam Law and State. Vol. 11, 1975 Mochtar Kusumaatmadja. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. Majalah Padjajaran, Jilid III No. 1 tahun 1970. Pengantar Ilmu Hukum

127


Meuwissen, D.H.M. Pengembanan Hukum. Pro Justitia No. 1 Tahun 1994 --------------------. Filsafat Hukum dalam Pro Justitia No. 3 tahun 1994 Philipus M. Hadjon. Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif). Yuridika: Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6 Tahun IX, November-Desember, 1994 Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII� di Denpasar, 14-18 Juli 2003. Winardi. Tesis : Pelaksanaan Inpres Nomor 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi dan Danpaknya terhadap Petani (Studi Kasus Petani TRI di Kabupaten Jombang). Malang : Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang, 2001.

128

Daftar Pustaka


TENTANG PENULIS Prof. Dr. Dewi Astutty Mochtar, SH., MS, Lahir di Jakarta 21 April 1956. Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada tahun 1981. Memperoleh gelar Magister Sains pada Program Sarjana Ilmu Hukum Universitas Airlangga tahun 1989, dan gelar Doktor diperoleh pada tahun 1999 dari Universitas Airlangga. Tahun 2009 pengukuhan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum di Universitas Merdeka Malang. Hingga sekarang mengabdi pada Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang, sebagai tenaga pengajar dan Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang sejak tahun 2004 sampai sekarang. Staf pengajar di Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya sejak 2001 sampai sekarang, dan staf pengajar pada Magister Kenotariatan di Universitas Brawijaya sejak 2007 sampai sekarang. Beberapa karya berbentuk buku yang telah diterbitkan adalah Perjanjian Lisensi Alih Teknologi Dalam Pengembangan Teknologi di Indonesia (tahun 2001). Aspek-Aspek Hukum Bisnis dan Hukum Ekonomi (tahun 2008). Hukum Bisnis (2009). Dapat dihubungi di email : dewi.astutty@gmail.com

129


Dr. Dyah Ochtorina Susanti, SH., MHum. Lahir di Malang, 26 Oktober 1980. Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada tahun 2003. Memperoleh gelar Magister Humaniora (Hukum) pada tahun 2006 di Universitas yang sama, yakni Universitas Brawijaya. Tahun 2006-2009 menjadi Dekan di Fakultas Hukum Universitas Islam Balitar – Blitar, serta tahun 2007-2009 menjadi Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Balitar Blitar. Gelar Doktor diraih pada tahun 2011 dari Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai staf pengajar S1 dan S2 di Fakultas Hukum Universitas Jember, sekaligus staf pengajar di S2 Fakultas Hukum Universitas Islam Kadiri – Kediri. Tahun 2010 menjadi konsultan legislatif di DPRD Lumajang sampai sekarang, Selain aktif menulis di beberapa jurnal ilmiah, juga telah mempunyai karya berupa beberapa buku, yaitu: 1. Asas Keadilan: Konsep dan Implementasinya dalam Perspektif Hukum Islam dan hukum Barat (Bayumedia Publishing, 2011); 2. Ketika Hukum Berhadapan dengan Globalisasi (UB Press, 2011); 3. Pengantar Ilmu Hukum (Bayumedia Publishing, 2012); 4. Hukum Ekonomi Syari’ah: Pembentukan Persekutuan Komanditer (Comanditaire Venootschap) Berdasar Akad Musyarakah (dalam proses terbit, UPT Penerbitan Univ. Jember, 2012). Dapat dihubungi melalui website pribadi : www.ony-dosen.com atau melalui email : ochto_dy@yahoo.com.

130

Tentang Penulis


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.