E journal bidang kajian htn (edisi pertama)

Page 1

Konsep Otonomi Berdasarkan Perkembangan Undang-Undang Dasar 1945 Di Indonesia | Oleh: Pausa Grenaldi, SH (Hal 1-13) Konsep Otonomi Berdasarkan Perkembangan Undang-Undang Dasar 1945 Di Indonesia | Oleh: Ayu Muria Wardhani, SH (14-31) Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Pembubaran Partai Politik Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi | Oleh: Riska Indah Permata H (33-43) Penyelenggaraan Bantuan Hukum Di Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 | Oleh: Ariza Amelia, SH (44-54) Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Yang Demokratis (Studi Kasus: Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Di Sumatera Selatan Tahun 2008)| Oleh: Mutiara Rizky, SH (55-66) Organisasi Masyarakat Dalam Persfektif Negara Hukum Demokratis | Oleh: Muhammad Arif Saputra, SH (67-81) Implementasi Sekolah Gratis di Sumatera Selatan Dalam Mewujudkan Hak Warga Negara Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 | Oleh: M. Prasetya W.B (82-94) Praktik Koalisi Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Dengan Sistem Multipartai Di Indonesia | Oleh: Meiliyanza, SH (95-108) Pelaksanaan Sistem Outsourcing Dalam Hubungan Industrial Di Indonesia (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011) | Oleh: Anggun Wahyuni, SH (109-126) Otonomi Khusus Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia | Oleh: Selli, SH (127-145)


PENGANTAR KATA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Elekktronik Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang terbit pertama pada Bulan Agustus 2013 merupakan tindak lanjut dari edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor:152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 hal Publikasi Karya Ilmiah dan Surat Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Nomor:1026/UN9.1.2/MI/2013 tanggal 3 Juli 2013 hal Pemberitahuan Publikasi Karya Ilmiah Mahasiswa. Jurnal ini disepakati untuk diberi nama “OPINI HUKUM”. Penamaan ini dimaksudkan bahwa karya ilmiah yang diterbitkan pada tiap edisi adalah pemikiran-pemikiran hukum yang cerdas dari lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Penerbitannya dilakukan setiap dua bulan menjelang dengan Wisuda Sarjana Universitas Sriwijaya. Pada tiap penerbitannya tulisantulisan dikelompokkan ke dalam Bidang Kajian yang ada di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, yang terdiri dari Bidang Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Internasional. Untuk edisi perdana ini tulisan yang disajikan sebanyak 91 artikel sesuai dengan jumlah lulusan Sarjan Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Periode Juli 2013 yang tersebar sesuai dengan Bidang Kajian Hukum para lulusan. Redaksi menyadari bahwa dari segi penampilan dan mutu karya ilmiah yang tersaji belumlah memenuhi standar kualitas yang diharapkan. Namun, ada optimisme untuk melakukan penyempurnaan pada masa yang akan datang. Kepada khalayak pembaca kami ucapkan selamat berkunjung pada OPINI HUKUM Electronic Journal Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Indralaya, 31 Juli 2013 Redaksi

Hal | ii


KATA SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Karya tulis ilmiah justru miskin ditengah-tengah masyarakat ilmiah. Inilah tantangan besar dunia perguruan tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Kemendikbud, jumlah karya ilmiah yang dihasilkan perguruan tinggi Indonesia saat ini masih rendah, hanya sepertujuh saja jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia. Kondisi memprihatinkan itulah yang juga menjadi pertimbangan diterbitkannya Surat Dirjen Dikti No: 152 tanggal 27 Januari 2012. Inti dari surat Dirjen tersebut bahwa yang menjadi syarat lulus bagi mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasikan karya ilmiahnya, yaitu: (1) Untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, (2) Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti, dan (3) Untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional. Menjadi kewajiban semua pengelola perguruan tinggi, termasuk Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, untuk merespon apa yang menjadi arahan Dirjen Dikti tersebut. Walaupun sebelumnya beberapa upaya juga telah dilakukan untuk mendorong kreativitas mahasiswa untuk menghasilkan pemikiran yang kritis dan analitis yang dituangkan juga dalam tulisan. Respon terhadap surat Dirjen Dikti tersebut dan sebagai upaya menambah sarana bagi mahasiswa untuk menuangkan pemikiran yang kritis dalam bentuk tulisan, maka fakultas Hukum UNSRI menerbitkan E-Journal berjudul Opini Hukum. E-Journal ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa untuk memuat karya tulis mereka sehingga terpenuhi apa yang menjadi harapan Dirjen Dikti tersebut. Saya menyambut baik diterbitkannya E-Journal Opini Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang merupakan hasil dari kerja keras tim dibawah koordinasi Pembantu Dekan I. Kiranya para mahasiswa khususnya dan masyarakat ilmiah di Fakultas Universitas Sriwijaya pada umumnya dapat memanfaatkan E-Journal ini secara maksimal. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Indralaya, 26 Juli 2013 Dekan, Prof. Amzulian Rifai, SH., LL.M., Ph.D Hal | iii


Konsep Otonomi Berdasarkan Perkembangan Undang-Undang Dasar 1945 Di Indonesia Oleh: Pausa Grenaldi, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. Febrian, SH.,MS dan Dr. Zen Zanibar MZ, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, negara Republik Indonesia telah menetapkan bahwa landasan konstitusional negara ini adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang memuat atarun-aturan yang salah satunya adalah bentuk Negara Indonesia. Negara Indonesia adalah Negara yang menganut bentuk Negara Kesatuan (Unitary) namun hal ini akan berbeda ketika kita lihat dalam sistem Pemerintahan Daerah dalam Negara Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip Federalisme seperti otonomi daerah. Ada hubungan yang berkaitan dengan prinsip kenegaraan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat utamanya pasca reformasi1 Salah satu peraturan perundang-undangan yang menjadi sasaran reformasi di bidang hukum ialah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Keinginan untuk melakukan peninjauan dan perubahan terhadap undang-undang tersebut sebenarnya telah muncul pada dekade terakhir masa Orde baru. Namun, keinginan itu belum atau bahkan tidak dapat tanggapan yang berarti dari pemerintah (Presiden) maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).2 Konsep otonomi daerah sebenarnya lebih mirip sistem dalam Negara Federal, dalam sistem Federal, konsep kekuasaan asli (residual power) berada di daerah bagian, sedangkan dalam sistem Negara Kesatuan, kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat sehingga terdapat pengalihan kekuasaan pemerintah dari pusat kedaerah padahal dalam Negara Kesatuan idealnya semua kebijakan terdapat di tangan Pemerintahan Pusat.3 1

Moch .Machfud M.D, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2001, hal. 71. 2 Kharishna D. Darumurti, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran Pengaturan dan Pelaksanaan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 1. 3 Jimly Asshiddqie, Otonomi Daerah dan Parlemen Di Daerah, makalah dalam, www.legalitas.org. di akses pada tanggal 15-12-2012

Hal | 1


Perwujudtan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis dalam konsep daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus. Wewenang mengurus dan mengatur merupakan substansi otonomi daerah. Aspek khusus dan masyarakat yang memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas sejak pembentukan daerah otonom, yang perlu kejelasan adalah materi wewenang yang tercakup dalam otonomi daerah. Oleh karena itu, selain pembentukan daerah otonom tercakup dalam konsep desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang atau disebut oleh perubahan Pasal 18 UUD 1945 urusan pemerintahan. Dengan adanya penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit distribusi wewenang antara Pemerintah dan daerah otonom.4 Banyaknya asas yang dianut Negara ini jika diukur secara teoritis menimbulkan sebuah dikotomi (pembagian atas dua kelompok yang bertengtagan) utamanya antara konsep sentralisasi dengan konsep desentralisasi, walaupun telah menjadi kesepakatan bersama secara nasional bahwa tidak ada pendikotomian antar asas tersebut. Namun masih saja ada sebuah kejanggalan karena banyak penafsiran yang kadang menimbulkan perbedaan. Seharusnya ada sebuah pemahaman yang jelas mengenai konsep otonomi daerah di Negara Indonesia ini. Selain itu harus adanya pembaruan terhadap pemahaman masyarakat selama ini mengenai otonomi daerah yang sesungguhnya, bahwa otonomi daerah di indoneasia tetap bersandar pada asas desentralisasi seperti yang telah tertuang dalam peraturan. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dalam penelitian ini telah dirumuskan beberapa masalah yang akan dicari jawabannya secara ilmiah. Berikut beberapa permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini : 1. Bagaimana konsep otonomi daerah dalam Pemerintahan Daerah berdasarkan perkembangan Konstitusi Republik Indonesia ? 2. Bagaimana hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut UUD 1945 di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ?

4

Bhenyamin Hoessein, Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Makalah disampaikan pada Diskusi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Jangka Panjang, yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengernbangan Otonomi Daerah, BAPPENAS, tanggal 27 November 2002, hal. 4.

Hal | 2


3. Kerangka Konseptual Membahas otonomi daerah di Indonesia akan berkaitan dengan Konsep dan teori pemerintahan lokal (local government) dan bagaimana aplikasinya dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia. Oleh karena konsep local government merupakan bagian Negara maka konsep local government tidak dapat dilepascan dari konsep-konsep tentang kedaulatan Negara dalam sistem unitary dan federal serta sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Konsep local government berasal dari barat untuk itu, konsep ini haruslah dipahami sebagaimana orang barat memahaminya. Bhenyamin Hoessein mengatakan bahwa local government dapat mengandung tiga arti. Pertama, pemerintahan local. Kedua pemerintahan local yang dilakukan oleh pemerintahan local. Ketiga berarti, daerah otonom. 5 Dalam konteks Negara Kesatuan, hubungan kewenangan antara pusat dan kewenangan daerah di Indonesia mendasarkan diri pada tiga bentuk, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind (tugas pembantuan).6 Pelaksanaan konsep otonomi daerah tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya jika diukur dalam pemahaman masyarakat awam bahkan dalam jajaran birokrasi pun terdapat perbedaan dimana otonomi lebih dipahami sebagai pemindahan “kekuasaan politik� dari pemerintah pusat (dalam hal ini Negara) kepada Pemerintah daerah (masyarakat), sehingga pemegang kekuasaan politik tersebut menganggap ia dapat bebas atau bahkan keluar dari pengaruh Pemerintahan Pusat (Negara), berbuat sekehendaknya atas nama otonomi daerah tanpa memperhatikan hakekat sebenarnya dari otonomi tersebut. Dari hal tersebut dalam rangka untuk memfokuskan tulisan ini agar sesuai dengan kajian ilmu hukum, maka penulis akan mencoba menjawab dari permasalahn yang ada tersebut yakni apa dan bagaimana bentuk otonomi daerah yang sebenarnya dianut Indonesia. Dalam tulisan ini akan dicari inti atau pokok-pokok pikiran tentang pola atau sistem otonomi daerah dalam bentuk Negara Kesatuan, serta mendiskripsikan asas-asas apa yang sekiranya berkenaan dengan pokok bahasan dalam tulisan ini. Hal ini supaya pembahasan tidak menyimpang dan tetap terfokus pada rumusan masalah yang ditentukan serta menghindari penyimpangan yang terlalu jauh dari objek kajian ilmu hukum. 5

Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Jakarta grasindo, 2007, hal. 6. 6 Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, Yogyakarta, INSIST , 2000, hal. 11

Hal | 3


B. PEMBAHASAN 1.

Masa Pemberlakuan UUD RI Tahun 1945 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan Konstitusi pertama yang menjadi dasar Negara Indonesia. Diputuskan dan disahkan pada awal berdirinya Negara Indonesia melalui rapat (PPKI) dalam sidangnya tanggal 18 agustus 1945 di Jakarta Secara tersirat dalam batang tubuh (Pasal-Pasalnya) memuat ketentuan yang mendasar mengenai gagasan Negara Kesatuan , bentuk Negara Republik, kedaulatan rakyat dan Negara Hukum. Hal ini dipertegas lagi dengan gagasan mengenai pelaksanaan kekuasaan lembaga Negara dan kekuasaan pemerintahan senantiasa mengacu pada Konstitusi. Wujud Negara Kesatuan yang dipadu dengan sistem presidensil dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan mendapat justifikasi kaidah yang tersurat dalam Konstitusi. 7 Mengenai pengaturan Pemerintahan Daerah Secara tekstual dapat dilihat dalam UUD 1945 yaitu dalam Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 18. Secara tersirat dalam Pasal 18 dapat di tafsirkan Pemerintahan Daerah lebih mengedepankan aspek desentralisasi. Menurut penjelasan Pasal 18 bahwa oleh karena Negara indoesia itu suatu enheidsaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat pula. Berarti dalam konsep ini sangat berbeda dengan konsep dalam Negara Federasi dimana dalam lingkungan Negaranya terbagi dalam Negara-Negara. 2.

Masa Pemberlakuan Konstitusi RIS Tahun 1949 Konstitusi RIS lahir ditengah berkecamuknya peperangan antara Negara Indonesia yang baru berdiri dengan Negara Belanda yang berusaha untuk mendirikan kembali kekuasaannya di Indonesia yang telah runtuh pasca berakhirnya perang dunia II. Hanyalah karena kedudukan politis dan kekuasaan militer Republik Indonesia dan pengaruh komisi perserikatan bangsa-bangsa untuk Indonesia (United Nations Commmision For Indonesia). Suatu konferensi meja bundar antara Belanda dan Indonesia telah dilangsungkan di Denhag dari 23 agustus 2 november 1949. Sebagai hasilnya pada 27 desember 1949 Kerajaan Belanda terpaksa harus memulihkan kedaulatan atas wilaya Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat. Dan pada hari yan sama juga Republik Indonesia 7

Lihat UUD 1945 Pasal 1 ayat 1 beserta penjelasannya.

Hal | 4


menyerahkan kedaulatannya kepada Republik Indonesia Serikat dan menjadi salah satu dari enam belas Negara Bagiandari Republik Indonesia Serikat.8 Sehingga Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 bisa dikatakan sebagai jalan tengah teradap kemelut yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda, dimana Negara Indonesia mengalami perubahan dari bentuk Kesatuan menjadi Negara Federal. Perubahan ini secara langsung turut mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan sampai di daerah-daerah. Bukan lagi hubungan pusat dengan daerah , tetapi antara pemerintah Negara Federal dengan pemerintah Negara Bagianserta pemerintah Negara Bagiandengan pemerintah daerah di bawahnya. Pemberlakuan Konstitusi RIS, dalam realitannya membawa konsekwensi atas pembagian wilayah (daerah) dalam pelaksanaan pemerintahan. 3.

Masa Pemberlakuan UUD Sementara RI Tahun 1950 Pergantian Konstitusi pada saat ini diawali oleh kesepakatan dan persetujuan antara perwakilan pemerintah RIS dan pemerintah RI dalam sidang (pertemuan) pada hari Jumat 9 Mei 1950, yang melahirkan beberapa kesepakatan penting, diantaraya adalah:  Menyetujui melaksanakan Negara Kesatuan sebagai jelmaan daripada RI berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945.  Menyetujui pergantian Konstitusi RIS 1949 menjadi UUDS 1950 sebagai hukum dasar Negara.  Untuk meratifikasi persetujuan ini, maka masing-masing pemerintahan RIS mengajukan kepada DPR dan senat, sedangkan pemerintah Republik Indonesia mengajukan kepada BP KNIP.9

4.

Masa Pemberlakuan UUD RI 1945 (Periode Dekrit II : Dekrit Presiden RI) Setelah pemberlakuan UUDS sekitar 9 (sembilan) Tahun, maka pada 5 Juli 1959, melalui Dekrit Presiden RI diberlakukan kembali UUD 1945 yang dulunya berfungsi sebagai hukum Negara dalam penyelenggaraan Negara dan pemerintah pada saat NKRI diproklamasikan. Dekrit Presiden dibingkai dalam 8

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif , Aksara Baru: Jakarta, 1986, hal. 134. Naskah Persetujuan Pemerintahan RIS dan Pemerintahan RI yang ditetapkan pada hari Jum‟at 10 Mei 1950 oleh Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta dan Perdana Menteri RI A. Hal.im. 9

Hal | 5


Keppres No. 150/1959. Keppres ini berisikan tiga hal pokok, yaitu pembubaran konstituante, penetapan UUD 1945, dan pembentukan MPRS serta pembentukan DPAS.10 5.

Masa Pemberlakuan UUD Tahun 1945 (Periode III: Amandemen UUD 1945) Pemberlakuan UUD NRI Tahun 1945 ini merupakan pemberlakuan periode ketiga UUD 1945 setelah mengalami amandemen empat tahap. Pada Tahun 1999, perjalanan NKRI kembali mengalami dinamika ketatanegaraan, dengan dilakukannya amandemen mengenai UUD 1945 yang secara langsung turut mempengaruhi landasan pelaksanaan pemerintahan, khususnya pelaksanaan pemerintahan di daerah. Kaidah Konstitusi sebagai dasar dari pelaksanaan pemerintahan di daerah berubah, pokok pikiran yang menjiwai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berbeda pemaknaannya dengan pemberlakuan UUD 1945 periode sebelumnya saat proklamasi dan saat keluarnya Dekrit Presiden Perubahan dapat dilihat dalam beberapa hal, pertama pada UUD 1945 hasil proklamasi dan dekrit presiden 5 juli 1959 menegaskan mengenai representasi kedaulatan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR serta tidak menegaskan secara tersurat dalam Pasalnya mengenai Negara hukum. Makna Negara hukum dicantumkan dalam penjelasannya. Sementara, menurut UUD 1945 hasil amandemen menegaskan mengenai kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD serta menambah satu Pasal yang secara tekstual menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.11 a) Hubungan Pemerintah Pusat Dan Daerah Menurut Amanat Dari Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 Sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, maka negara Republik Indonesia telah menetapkan bahwa landasan konstituonal negara ini adalah ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang memuat aturan-aturan dalam hal-hal yang mencakup pengertian kontitusi (kumpulan norma hukum yang mengtur alokasi fungsi, kekuasaan, serta tugas berbagai lembaga negara, serta yang menentukan hubungan-hubungan diantara lembaga-lembaga tersebut dengan rakyat)12 10

Lihat KEPPRES 150/1959 tentang Kembali Kepada Undang Undang Dasar 1945 atau disebut juga dengan dekrit presiden 5 juli 1959 11 Ibid., hal. 70. 12 Moch. Mahfud M.D, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UUI Pers, Yogyakarta, 2001, Hal. 71.

Hal | 6


Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945 yang berisi, “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Repubik”, sejak berlakunya UUD 1945 hinga diadakannya amandemen terhadap UUD 1945, pasal ini tidak termasuk pasal yang di amandemen. Ketentuan ini memberikan pesan bahwa Negara RI dibangun dalam sebuah kerangka negara yang berbentuk kesatuan (unitary), dan bukan berbentuk federasi (serikat). Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Reublik”, ayat (2) megaskan, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” tidak dikatagorikan sebagai objek perubahan. Dalam Pasal 37 ayat (5) UUD 1945, dinyatakan “khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”, jelas mengandung komitmen dan tekad bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 tetap berbenuk negara kesatuan selamanya, kecuali jika Mejelis Permusyawaratan Rakyat pada suatu saat mengubah lagi ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 ayat (5) UUD 1945.13 Negara kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat. Hanya ada atu pemerinthan (pusat) di seluruh wilayah negara yang mengatur seluruh daerah. Disebut negara kesatuan apabia kekuasaan pemerintah pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara, dan tidak ada saingan dari badan legislatif pusat dalam membentuk undang-undang. Adapun kekuasaan peerintah di daerah bersifat derivatif (langsung) dan ering dalam bentuk otonomi luas.14 a.1. Hubungan Dalam Bidang Keuangan Hubugan keuangan antara Pusat dan Daerah sangat menentukan kemandirian otonomi. Akan tetapi, yang umum diperssoalkan adalah batasnya jumlah uang yang dimiliki pusat. Berdasarkaan premisi ini, inti hubungan keuangan pusat dan daerah adalah perrimbangan keuangan. Perimbangan adalah memperbesar pendapatan asli daerah sehingga lumbung keuangan daerah dapat berisi lebih banyak.15

13

Jimly Asshiddqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Kosntitusi Press, Jakarta,2005, hal. 260. 14 Moh. Kusnardi dan Bintan R.Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hal. 207. 15 Utang Raidin, SH, MH, Otonomi Daerah dan Dsesentralisasi, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2010, hal. 48.

Hal | 7


a.2. Hubungan Dalam Bidang Kewenangan Hubungan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah yang tidak kalah pentingnya yaitu dalam bidang kewenangan. Dalam hal ini menangkut urusan penyelengaraan pemerintah dalam bidang urusan rumah tangga daerah. Dalam Undang-Undagn No.32 Tahun 2004 Tentang pemerintaha daerah, Pasal 1 Ayat (2), dikatakan disitu bahwa “......prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistemdan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945”. Dapat penulis simpulkan dari bunyi Pasal 1 Ayat (2) tersebut bahwa undang-undang ini menganut sistem “otonomi luas” dengan demikian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah jauh lebih banyak bila kita bandingkan dengan urusan yang menjadi urusan pemerintahan pusat. Dengan demikian berarti wewenang pemerintah daerah juga akan lebih banyak apabila dibandingkan dengan wewenang pemerintah pusat. a.3. Hubungan Dalam Bentuk Pembinaan Dan Pengawasaan Seiring dengan pemberlakuan asas-asas penyelengaraan pemerintah daerah, Indonesaia sebagai negara kesatuan dengan sistem “disentralisasi” yang mana daerah diberi kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, serta pembentukan pemerintah daerah dengan sistem “dekonsentrasi” yang mana adanya pelimpahan wewenang yang bertujuan untuk mencapai efektifitas dan efesien dalam menyelengarakan dan mengelola pembanguan dan pelayan kepada masarkat dan kepentingan umum, maka sangat memerlukan pembinaan dan pengawasaan dari pemerintah.16 “prinsip hubungan pusat dan daerah” dilaksanaka secar selaras dan adil. Pengaturan hubungan antara pusat dan daerah yang adil dan selaras, dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintah daerah yang mandiri dan mewujudkan kesejahteraan rakyat yang bersangkutan degan adanya otonomi, daerah diharapakan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya, untuk itu pemerintah daerah di harapakan mampu memainkan perannya dalam mejukan daerah tampa intervensi dari pihak lain, yang disertai denga ertangungjawaban publik/masyarakat Pemberian otonomi pada suatu daerah berarti daerah tersebut pada hakekatnya perlu mendapatkan pembinaan dan pengawasaan dari pemerintah pusat dalam menjalankan aktifitas roda pemerintahan dan menjaga hubungan

16

Muslimin, Amrah, Aspek-Aspek Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hal 35.

Hal | 8


yang harmonis dengan pemerintah pusat, dan selalu menjaga “keutuhan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia�17

C. PENUTUP 1.

Kesimpulan Dinamika Konstitusi yang terjadi selama kurun waktu sejak kemerdekaan sampai sekarang telah memberikan corak tersendiri terhadap konsep otonomi daerah yang terjadi di tiap masa pemerintahan di Indonesia. Bahwa kebijakan otonomi yang terdapat dalam Konstitusi Indonesia tersebut adalah mencoba menerapkan adanya otonomi daerah yang seluas-luasnya. Pertama pada era berlakunya UUD 1945 periode pertama otonomi daerah merupakan perwujudan dari asas desentralisai, karena di Indonesia terdapat konsep Negara hukum dan kedaulatan rakyat jika dikaitkan dengan sendi desentralisasi, di samping dekonsentrasi, maka akan di temukan adanya pemencaran kekuasaan. Ini dapat dilihat dari kaidah Pasal 18 UUD 1945, yang secara Konstitusional pemencaran kekuasan di lakukan melalui badan-badan publik satuan pemerintahan di daerah dalam wujud desentralisasi teritorial, yang mempunyai kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang mandiri. Sehingga terdapat dua nilai dasar yakni nilai unitaris dan nilai desentralisasi territorial. Nilai unitaris dimaksudkan bahwa di Indonesia tidak akan memiliki satuan pemerintahan lain yang bersifat Negara, artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan Negara Indonesia tidak akan terbagi dalam kesatuankesatuan pemerintahan. Sementara nilai desentralisasi territorial diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam bentuk otonomi daerah. Kebijakan pemerintah saat itu yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundangan pemerintah daerah telah menunjukkan bahwa konsep yang di gunakan dalam pemerintahan daerah adalah mencoba mempertahankan asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Kedua dalam Konstitusi RIS yang tentu saja jelas mengatur konsep Federalisme dimana dalam konstitusi RIS di bentuk Negara- Negara Bagian, seperti Negara Indonesia timur, Negara pasundan: termasuk distrik Federal Jakarta, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur serta Negara Sumatera Selatan Daerah lainnya bukan Negara Bagian tetapi sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri dan mempunyai kedaulatan untuk menentukan nasib sendiri seperti, berdaulat, mempunyai hak dan kewajiban 17

Inu Kencana Syafii, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 11.

Hal | 9


yang sama. Hak ini diwujudkan dalam kedaulatan rakyat masing-masing daerah untuk menentukan status dan pimpinan, tanpa ada intervensi dari Pemerintah Federal serta pelaksanaan pemerintahannya yang disesuaikan dengan format/ konsep demokrasi yang dikedepankan dalam Konstitusi RIS. Konstitusi RIS merupakan pijakan awal sebagai batu loncatan menuju bentuk Negara kesatuan di Indonesia serta sebagai sebuah upaya dan solusi untuk melepascan hegemoni Negara Belanda yang mencoba untuk menjajah kembali Indonesia. Ketiga pada era Berlakunya UUDS 1950 yang mengatur bahwa Konstitusi RIS yang dahulunya menganut sistem Federal, kemudian UUDS 1950 mengubah sistem tersebut menjadi Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Perubahan ini membawa konsekuensi makna hukum yang mengatur pelaksanan pemerintahan di daerah. UUDS mengatur hubungan antara pemerintah (pusat) dengan pemerintah daerah dalam bingkai satu Kesatuan dalam kerangka NKRI. Perubahan tersebut dapat dilihat dalam makna secara tekstual yang ditegaskan dalam UUDS yang mengatur dan menjiwai pelaksanaan pemerintahan di daerah. UUDS juga menegaskan landasan hukum pelaksanaan Pemerintahan Daerah dalam beberapa Pasal, seperti pembagian daerah Indonesia atas daerah besar, dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan Negara. Kepada daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri dan dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya. Kedudukan daerah swapraja dan bentuk susunan pemerintahannya diatur dan disesuaikan dengan sistem pemerintahan. Kedudukan daerah-daerah swapraja dan bentuk susunan pemerintahannya diatur dan disesuaikan dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan, dengan senantiasa mengingat dasardasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan Negara. Daerah-daerah swapraja yang ada tidak dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah. Keempat, dalam Undang-Undang Dasar amandemen aspek otonomi daerah yang seluas-luasnya semakin jelas pada era ini dimana wilayah telah dibagi dalam daerah profinsi, kabupaten/kota serta pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya bagi daerah. Ditambah lagi saat ini bahkan pada tataran Hal | 10


pemilihan kepala daerah pun dipilih sepenuhnya oleh rakyat di daerah secara langsung sehingga pemerintah pusat tidak dapat mengintervensi mengenai pemimpin di daerah. Dari uraian diatas dapat dirumuskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah di masa amandemen ini lebih menitikberatkan pada perubahan secara signifikan terhadap pembatasan kekuasaan pusat. 2.

SARAN Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan maka saran yang dapat diberikan yaitu : a. Refitalisasi Wawasan Nusantara dan Nasionalisme Bahwa kekhawatiran adanya disintegrasi ketika munculnya otonomi daerah maka perlu adanya upaya untuk merefitalisasi wawasan nusantasra guna meningkatkan nasionalisme dalam diri setiap individu sehingga tidak terjadi disintegrasi. b. Pembangunan Local Government yang Aspiratif Bukanlah sebuah otonomi daerah ketika pemerintah daerah tidak aspiratif terhadap masyarakat di daerah. Disini bagaimana dengan otonomi daerah pemerintah daerah harus mampu membangun komitmen bersama dan melibatkan masyarakat dalam Pengembangan rumah tangga daerah. c. Optimalisasi Pendidikan Politik Masyarakat Pelaksanaan demokratisasi di Indonesia sudah semakin jelas namun akan sangat timpang ketika demokrasi hanya dimaknai secara procedural namun substansi demokrasi bagi masyarakat tidak mengetahuinya. Maka disini perlu adanya Pendidikan politik bagi masyarakat. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan bentuk Pendidikan politk dari sisi posedural saja namun selama ini paradigma masyarakat dalam pilkada langsung belumlah mampu untuk berpikir secara rasional, dalam memilih calon kepala daerah saat ini masih berkutat pada alasan-alasan primordial dan financial. Sehingga ketika masayarakat telah sadar dan rasional dalam keikutsertaannya dalam PILKADA langsung maka diharapkan masyarakat mampu memilih figur pemimpin daerah yang siap dalam Pemerintahan Daerah dan terbentuklah Pemerintahan Daerah yang baik.

Hal | 11


DAFTAR PUSTAKA Asshiddqie, Jimly, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan Rl, Jakarta, The Habibie Center, 2001. Asshiddqie , Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jakarta, Rajawali Pers, 2010. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1977. C.S.T, Kansil dan ST Kansil, Christine, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 2008. Djafar Saidi, Muhammad, Hukum Keuangan Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2008. Gadjong, Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah Kajian Politik Dan Hukum, Galia Indonesia, Bogor, 2007. Fauzi, Noer dan Zakaria, R.Yando, Mensiasati Otonomi Daerah, Yogyakarta, INSIST , 2000. Held, David, “Demokrasi Dan Tatanan Global” dari Negara modern hingga pemerintahankosmopoloitan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004. Hoessein, Bhenyamin, Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000. Hoessein, Bhenyamin, Desentrralisasi Dan Otonomi Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta, 1995. Huda, Ni‟matul, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005. Kaloh, J, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2002. Kaho, Riwu, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, Jakarta, Bina Aksara, 1982. Kartasapoetra, Sistematka Hukum Tata Ngara, Jakarta, Bina Aksara, 1987. Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, 1945. Kencana Syafii, Inu, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Koesoemahatmadja. Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta, Bina Cipta, 1979. Kusarnadi, Moh dan R.Saragih, Bintan, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007. Hal | 12


Kusnardi dan Ibrahim, Harmailly, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:PSHTN, 1983. Liang Gie, The, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993. Lubis, M. Solly, S.H, Ketatanegaran Republik Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1993. Mahfud MD, makalah Otonomi Daerah Sebagai Keharusan Agenda Reformasi Menujuc Tatanan Indonesia Baru Brawijaya, 2000. Mahfud M.D, Moch, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2001. Mahfud MD, Otonomi Daerah Sebagai Keharusan Agenda Reformasi Menuju Tatanan Indonesia Baru dalam Jurnal Administrasi Negara Universitas Brawijaya VoL I, No. 1 September 2000. Manan, Bagir, Menyongsong Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas UII, Yogyakarta, 2002. Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Andi, 2002. Nasution, Adnan Buyung, Asppirasi Pemerintah Kontitusional, Jakarta, 2005. Nugroho Dwidjowijto, Riant, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tampa Revolosi, Elex Media Komputindo, Jakarta 2000. Nurcholis, Hanif, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Jakarta grasindo, 2007. Riwu Kaho, Josef, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 1991. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999. Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000. Soejito, Irawan, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1981. Soekanto, Soedjono, Pengantar Penelitia Hukum, Jakarta, universitas Indonesia press,1986. Sujamto, Pokok – Pokok Pemerintahan di Daerah, jakarta Melton Putra, 1991. Suny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif , Aksara Baru: Jakarta, 1986. Syafruddin. Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II dan Perkembangannya. Bandung, Mandar Maju. 1991.

Hal | 13


Konsep Otonomi Berdasarkan Perkembangan Undang-Undang Dasar 1945 Di Indonesia Oleh: Ayu Muria Wardhani, SH Lulus Tanggal 6 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. Febrian, SH.,MS dan Abunawar Basyeban, SH., MH

Abstrak:Amandemen dalam UUD 1945 dianggap sebagai arus perubahan besar yang terjadi dalam proses dan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara termasuk perihal hubungan kerja antar lembaga tinggi negara. Dampak dari amandemen ini dapat dilihat pada beberapa pasal yang mengalami perubahan besar. Perubahan ini terjadi pada pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang pergeseran kekuasaan membentuk undangundang dimana dalam pasal inidijelaskan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Pasal selanjutnya yang mengalami perubahan adalah pasal 20 ayat (5) yang mengatur tentang proses pemberlakuan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dan Presiden namun tidak disahkan oleh Presiden dalam jangka waktu 30 hari maka rancangan undang-undang tersebut berlaku dan sah menjadi undang-undang. Implikasi dari rumusan pasal 20 ayat (5) justru menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat karena dianggap sebagai fenomena baru yang melanda sistem ketatanegaraan Indonesia. Faktor penyebab terjadinya pemberlakuan undang-undang tanpa pengesahan Presiden menurut Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 ini adalah karena adanya hak veto yang melekat pada Presiden, kurangnya koordinasi dan pengontrolan Presiden terhadap Menteri yang mewakili Presiden dalam proses pembahasan bersama DPR tentang kelanjutan pembahasan rancangan undang-undang serta konstitusi yang memperbolehkan berlakunya undang-undang tanpa pengesahan Presiden. Undang-undang tanpa pengesahan Presiden merupakan undangundang yang disahkan secara formil karena berdasarkan ketentuan konstitusi dan tidak menimbulkan akibat hukum apapun. Oleh karenanya keabsahan dari undang-undang ini dibenarkan dalam sistem ketatanegaraan sebab dalam pasal 20 ayat (5) UUD 1945 undang-undang yang tidak disahkan Presiden setelah 30 hari akan secara otomatis berlaku menjadi undang-undang yang mengikat secara umum. Kata Kunci: Pengesahan, Rancangan Undang-Undang, Undang-Undang, Pasal 20 ayat (5)

Hal | 14


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Amandemen dalam UUD 1945 dianggap sebagai arus perubahan besar yang melanda sistem ketatanegaraan Indonesia, perubahan terjadi dalam proses dan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara termasuk perihal hubungan kerja antar lembaga tinggi negara. Beberapa pasal yang mengatur kekuasaan Presiden dan DPR, utamanya dalam membentuk undang-undang mengalami perubahan besar. Perubahan pertama UUD 1945, MPR menyepakati perubahan 9 pasal dan 13 ayat yaitu pasal 5, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 20 dan pasal 21, terdiri tiga materi pokok yakni Bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab tentang Kementerian Negara, Bab tentang Dewan Perwakilan Rakyat.18 Berbagai kalangan menduga bahwa perubahan pada pasal-pasal di atas dikarenakan pasal-pasal itu secara langsung terkait dengan kekuasaan Presiden yang amat besar nyaris tanpa mekanisme checks and balances. Melihat hasil perubahan itu, tak dipungkiri bahwa salah satu target utama amandemen konstitusi adalah tentang lembaga kepresidenan (presidency) dan lembaga perwakilan rakyat. Dengan kata lain, inti amandemen pertama bukan lain hendak mereduksi kekuasaan presiden dan memberdayakan lembaga perwakilan. Para perumus perubahan konstitusi berkomitmen untuk mempertegas sistem presidensial yang dianut oleh UUD 1945. Oleh karena itu rumusan yang dihasilkan ialah upaya menyeimbangkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam suatu sistem checks and balance yang lebih sepadan.19 Secara umum pola hubungan presiden dengan legislatif (DPR-DPD) dan parlemen (MPR) 20 menunjukkan perubahan penting dalam sistem pemerintahan di 18

Fajar Laksono dan Subardjo, Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden, Yogyakarta : UII Pers, 2006, hlm.6 19 Ibid, hlm.7 20 Setelah amandemen UUD 1945, MPR tetap dapat disebut sebagai institusi mandiri meskipun kedudukannya tidak bersifat tertinggi. MPR diberi kewenangan memilih Presiden/Wakil Presidendalam rangka mengisi habatan yang kosong, memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, dan berwenang mengubah UUD. Sifat pekerjaan MPR tidak lagi bersifat rutin, tidak terus menerus melainkan secara ad hoc dan kedudukannyatidak lebih tinggi dari lembaga lain seperti DPR, DPD dan Presiden. Pimpinan MPR bersifat permanen dan berdiri sendiri di samping pimpinan DPR. Oleh karenanya struktur parlemen di Indonesia sekarang ini bukan bikameral melainkan menjadi parlemen tiga kamar (trikameral)

Hal | 15


Indonesia, hal ini tampak sekali pada kedudukan dan peran DPR yang begitu mengemuka. Transformasi UUD 1945 menghasilkan konstitusi bercirikan legislative heavy bukan lagi MPR heavy ataupun executive heavy. Pergeseran dari executive heavy menjadi DPR heavy kian nyata karena kekuasaan membuat undangundang tidak lagi berada ditangan Presiden melainkan di tangan DPR, Presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang. Hal ini tegas dirumuskan dalam pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 UUD 1945. Perubahan radikal terhadap pasal-pasal itu adalah dengan mengurangi secara signifikan kekuasaan presiden dalam membuat undang-undang. Kekuasaan legislatif presiden digeser menjadi proses politik di DPR sebagai kekuatan paling dominan dalam menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yang ada dalam konstitusi. Padahal sebelum dilakukan dilakukan perubahan, DPR hanya berfungsi legislasi semu karena posisinya sekedar �tukang stempel� 21 dalam setiap pembuatan undang-undang. Meski perubahan konstitusi telah menempatkan kekuasaan legislasi di tangan DPR bukan berarti Presiden tidak lagi memiliki peran dalam proses pembentukan undang-undang. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) menyebut bahwa suatu rancangan undang-undang (RUU) hanya dapat menjadi undang-undang apabila ada persetujuan bersama DPR dan Presiden. Bila rancangan undangundang tidak mendapat persetujuan bersama maka rancangan undang-undang tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu. Secara ringkas, konsekuensi terjadinya sharing of legislative power dalam proses legislasi menyebabkan adanya dua hal penting yang patut dicermati, yaitu pertama, keabsahan undang-undang didasarkan pada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Kedua, setelah 30 hari maka undang-undang tersebut berlaku secara otomatis meski tidak mendapatkan pengesahan Presiden karena konstitusi mengharuskan kepada Presiden untuk mengundangkannya dalam Lembaran Negara. Kedua hal di atas adalah pernyataan yang saling terkait sehingga sangat layak dipertanyakan jika sebelumnya telah ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden namun sesudah itu Presiden tidak bersedia mengesahkan suatu rancangan undang-undang, tetapi rancangan undang-undang itu tetap diundangkan.

21

Fajar Laksono, Op.Cit., hlm.7

Hal | 16


Lebih lanjut ditegaskan oleh konstitusi, dalam kondisi apapun keabsahan suatu undang-undang adalah dengan adanya pengesahan Presiden karena konstitusi telah mengharuskan. Hal ini mengandung makna jika Presiden tidak bersedia mengesahkan suatu rancangan undang-undang maka sama dengan Presiden melakukan pelanggaran hukum apalagi terhadap konstitusi maka impeachment dapat dilakukan.22 Sesungguhnya masalah tidak perlu muncul jika rumusan pasal 20 behenti pada ayat (4) saja, karena bagaimanapun pasal 20 ayat (4) itu menjadi klausul â€&#x;pengunciâ€&#x; yang menutup peluang presiden untuk tidak bertindak lain kecuali mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR menjadi undang-undang. Namun kemudian disepakatinya rumusan pasal 20 ayat (5) justru membuka peluang Presiden melakukan tindakan tidak mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR. Selengkapnya pasal 20 ayat (5) itu berbunyi : â€?Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang, dan wajib diundangkan.â€? Ayat ini menjadi permakluman terhadap tindakan Presiden yang tidak mengesahkan sebuah rancangan undang-undang. Boleh dikata ayat itu menganulir ayat sebelumnya sehingga seolah-olah tindakan Presiden yang tidak mengesahkan rancangan undang-undang tidak melanggar konstitusi. Menanggapi fenomena ketatanegaraan itu, muncul setidaknya dua pemahaman terkait dengan problem pengesahan Presiden. Satu pihak menilai bahwa ketentuan Presiden mengesahkan sebagaimana yang dimaksud Pasal 20 ayat (5) adalah untuk melaksanakan prinsip check and balance sekaligus menjadi jalan keluar kebuntuan konstitusi ketika Presiden benar-benar tidak mengesahkan undang-undang. 23 Sementara pihak lain menengarai ketentuan pasal 20 ayat (5) justru membuat hak veto Presiden terhadap sebuah rancangan undang-undang menjadi tidak berarti. Maka dari itu penulis bermaksud melakukan penelusuran sekaligus pembahasan terhadap salah satu capaian amandemen UUD 1945 dalam memperjelas hubungan legislatif-eksekutif melalui peneguhan presidential 22

Ibid., hlm. 9 Kutipan Fajar Laksono dan Subardjo, seperti yang dikemukakan Jimly Ashiddiqqie dalam Sumali, Kedudukan Perpu dalam TAP No.III/MPR/2000 dan Problem Implementasinya, Tesis S-2 Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2003, hlm.102 23

Hal | 17


system of government dan pemberdayaan DPR dalam proses pembentukan undang-undang. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis mengangkat rumusan permasalahan mengenai faktor apakah yang menyebabkan penolakan Presiden untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama? 3. Kerangka Teori Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechtstaat. Istilah rechtstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah ada sejak lama. Konsep rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Konsep ini bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law dan yang menjadi karakteristiknya adalah administratif. Ciri-ciri dari rechtstaat adalah sebagai berikut : 24 a. adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat ; b. adanya pembagian kekuasaan negara ; c. diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Ciri-ciri diatas menunjukkan bahwa ide sentral rechtstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya undang-undang dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Wirjono Prodjodikoro,25 negara hukum berarti suatu negara yang didalam, wilayahnya adalah : 1. semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat perlengkapan dari pemerintah dalam rindakan baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing, tidak boleh

24

Niâ€&#x;Matul Huda.,Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2005

25

Ibid, hlm.75

hlm.74

Hal | 18


sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku; 2. semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku ; Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Salah satu asas penting negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan badan/pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar undang-undang, badan/pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau memenuhi keadaan hukum warga masyarakat. Guna menghindari penggunaan kewenangan bebas (vrij bestuur)dan wewenang kebijaksanaan (freies ermessen) yang disalahgunakan dan agar tetap berada dalam batas-batas hukum maka kehadiran dan peranan hukum administrasi menjadi semakin penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu dalam suatu negara hukum dikenal teori pembagian kekuasaan. Menurut teori konstitusi, 26 terdapat dua macam pembagian kekuasaan dalam suatu negara, yaitu pembagian kekuasaan yang vertikal dan pembagian kekuasaan yang horizontal. Pembagian kekuasaan vertikal adalah pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sedangkan pembagian kekuasaan horizontal adalah pembagian kekuasaan yang ada ditingkat pusat maupun daerah, yaitu pembagiannya ke dalam legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan horizontal ini dikenal dengan nama trias politica yang digagas oleh Montesquieu. Seperti yang dijelaskan oleh Montesquieu, bahwa suatu pemerintahan memiliki tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan pelaksana undang-undang dan kekuasaan mengadili sesuai undang-undang. Ketiga kekuasaan ini harus diberikan pada pihak yang berbeda-beda, terutama untuk menjaga agar hak-hak rakyat tidak dilanggar. Menumpuknya ketiga kekuasaan ini pada satu tangan akan sangat berbahaya dan dapat menyebabkan inefisiensi, korupsi dan kesewang-wenangan. Di Indonesia, secara substantif UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal ini dapat diketahui antara lain, kekuasaan eksekutif terlalu besar 26

Munir Fuady., Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Bandung : PT. Refika Aditama, 2009, hlm. 103

Hal | 19


tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy dan itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan presiden. Salah satu gagasan yang dikemukakan untuk memperbaiki dan mengubah sistem politik dan ketatanegaraan di Indonesia adalah dengan menawarkan usulan tentang sistem dan mekanisme checks and balances (sistem perimbangan kekuasaan antar alat kelengkapan organisasi negara) 27di dalam sistem politik dan ketatanegaran. Dalam pembuatan undang-undang, seluruhnya di dominasi oleh eksekutif baik proses inisiatifnya maupun pengesahannya. Dominasi eksekutif dalam membuat, melaksanakan, dan menafsirkan undang-undang menjadi begitu kuat di dalam sistem politik yang executive heavy karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan undang-undang. Pengujian undang-undang oleh lembaga yudisial dalam apa yang dikenal sebagai judicial review hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislatif melalui legislative review atau political review. Ketika wacana memasukkan sistem checks and balances anatara lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif, maka dominasi Presiden dalam proses legislasi di geser ke DPR. Jika dalam waktu 30 hari sejak disahkan di DPR sebuah rancangan undang-undang belum ditandatangani (disahkan) oleh Presiden, maka rancangan undang-undang tersebut sah sebagai undang-undang dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh Presiden (Pasal 20 ayat 5 UUD 1945, hasil perubahan). B. PEMBAHASAN 1. Pergeseran Kekuasaan Pembentukan Undang-Undang (Legislasi) Dalam pembahasan mengenai proses legislasi maka tak akan pernah lepas dari analisis mengenai relasi Presiden-DPR. Kekuasaan legislatif memang tidak secara tegas ditentukan harus berada ditangan DPR karena dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Lembaga legislatif dipahami sebagai lembaga pembuat peraturan perundang-undangan. Sebagai lembaga, legislatif selalu dipengaruhi oleh bentuk, sistem pemerintahan dan prosedur yang berlaku dalam hal pembuatan

27

Op. Cit., hlm. 97

Hal | 20


peraturan perundang-undangan itu sendiri. 28 Secara konseptual UUD 1945 sebelum amandemen DPR ditempatkan sebagai lembaga yang pasif dalam proses legislasi. Pasal 5 Ayat (1) menyebutkan bahwa Presiden memiliki kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. DPR hanya berhak memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan RUU yang diajukan Presiden. Konstitusi memberi kewenangan penuh terhadap Presiden untuk menjalankan fungsi legislatif, membentuk undang-undang. Setelah adanya amandemen UUD 1945, sekarang lembaga-lembaga negara memiliki relasi kelembagaan yang berbeda. Hal yang paling menonjol adalah DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang meskipun setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR bersama Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Adapun tugas-tugas yang berkaitan dengan hubungan fungsional DPR dalam proses pembentukan undang-undang pasca amandemen UUD 1945 adalah : 1. Berwenang mengajukan rancangan undang-undang ; 29 2. Berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang ; 30 3. Berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang/Perpu. 31 Kekuasaan dan kewenangan DPR menurut UUD 1945 pasca amandemen dalam hal relasi kelembagaan dengan Presiden meliputi tiga hal pokok, yaitu pelaksanaan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. 32 Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut terhadap Presiden, ada beberapa hal yang harus dipisahkan. Pertama, dalam hal legislasi, DPR dan Presiden harus menjadi partner legislatif. Kedua, dalam hal pengawasan terhadap pemerintah. Hal ini dilakukan untuk menjamin DPR bekerja berdasarkan objektivitas. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia bukan hanya menunjuk bagaimana prosedur pembentukan undang-undang saja, tetapi juga menunjuk pada kekuasaan

28

Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000,hlm. 140 29 Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 30 Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 31 Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 32 Dahlan Thalib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta : Liberty, 1993, hlm. 59

Hal | 21


penyelenggaraan negara yang pelaksanaannya berada di tangan lembagalembaga negara, yakni DPR dan Presiden. 33 Pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR dianggap sebagai langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara. DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang. DPR dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pembentuk undang-undang tetap wajib memperhatikan pendapat lembaga negara lain seperti Presiden yang merupakan pelaksana undang-undang. Perubahan konstitusi yang seperti ini dilakukan sebagai bagian dari upaya membatasi kekuasaan Presiden dengan dalih menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara legislatif dan eksekutif. Pokok pemikiran ini mempengaruhi jalan pikiran para anggota MPR sehingga amandemen UUD 1945 hendak mempertegas kekuasaan DPR di bidang legislatif, terutama mengubah pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1). Dikaitkan dengan konsep Trias Politica, ketentuan yang menyatakan setiap ranvangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama sebenarnya berlawanan dengan konsep ini, karena dengan masih adanya kewenangan Presiden untuk memberikan persetujuan maupun mengesahkan undang-undang, maka konsep Trias Politica menjadi tidak di terapkan sepenuhnya. Pembentukan undang-undang tidak pernah lepas dari ketentuan Pasal 20 UUD 1945 pasca amandemen. Secara keseluruhan, Pasal 20 memiliki pemahaman bahwa : 34 1. Lembaga legislator adalah DPR bukan Presiden ataupun DPD. 2. Presiden hanyalah lembaga yang mengesahkan rancangan undangundang dalam rapat paripurna DPR. 3. Setiap rancangan undang-undang yang telah resmi sah menjadi undangundang wajib di undangkan dan setiap rancangan undang-undang dibahas bersama untuk mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR. Dalam hal pembentukan undang-undang yang dimaksud Pasal 20 UUD 1945 pasca amandemen, ada empat bentuk keikutsertaan Presiden, yaitu :

33

Soimin dan Soelardi, Hubungan Badan Legislatif dan Yudikatif, Malang : UMM Press, 2004, hlm.210 34 Fajar Laksono, Op.Cit., hlm. 55

Hal | 22


1. 2. 3. 4.

Perancangan; Pembahasan di DPR ; Menolak/tidak mengesahkan RUU yang sudah disetujui DPR ; Pengesahan dan pemuatan dalam Lembaga Negara dan Tambahan Lembaga Negara. Pada dasarnya meskipun legislator adalah Presiden, namun baik DPR ataupun Presiden sama-sama memiliki fungsi legislasi terkait dengan inisiatif mengajukan rancangan undang-undang. Pada sistem pemerintahan presidensil, dalam hal keikutsertaan Presiden dalam membentuk undang-undang dipandang sebagai kecenderungan eksekutif yang semakin kuat termasuk dalam pembentukan undang-undang. 35 Keikutsertaan dan peran besar Presiden dalam pembentukan undangundang disebabkan oleh kenyataan bahwa memang pihak pemerintahlah yang sesungguhnya paling mengetahui mengenai apakah sesuatu hal perlu dibuatkan undang-undang atau tidak.36 Keikutsertaan dalam pembentukan undang-undang menunjukkan bahwa undang-undang merupakan produk bersama DPR dan Presiden. 2. Faktor Penyebab Terjadinya Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden Fenomena tidak dibubuhkannya tanda tangan Presiden sebagai tanda pengesahan dari suatu rancangan undang-undang ini sebenarnya tak lepas dari adanya hak veto yang melekat pada Presiden. Kata “veto” menurut kamus Latin berarti “saya melarang” atau “saya menolak”. Dalam konteks ketatanegaraan, hak veto merupakan hak menolak terhadap suatu rancangan undang-undang.37 Hak veto adalah sebuah hak yang ditemukan dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan. 38 Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hak veto 35

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta : Gama Media, 1999, hlm. 131 Fajar Laksono, Op.Cit., hlm. 57 37 Di negara adikuasa seperti Amerika Serikat, Presiden memiliki hak untuk memveto suatu rancangan undang-undang yang dapat merugikan jalannya pemerintahan. Presiden dapat memveto Rancangan Undang-undang (RUU) yang diajukan oleh DPR AS, Senat AS dan Kongres AS sekalipun jika itu menyangkut keselamatan jalannya pemerintahan. Hal ini diperoleh untuk mengimbangi besarnya kekuasaan lembaga legislatif AS. 38 Ditemukan berdasarkan konstitusi Amerika Serikat dan diterapkan dalam rangka checks and balances. International Encyclopedia of Governments and Politics menguraikan halhal yang berkaitan dengan hak veto dalam kehidupan ketatanegaraan Amerika Serikat sebagai berikut:…The veto is one of the essential balances that maintain the system of separation of powers in the United States. This incomplete check on legislative power has served to prevent 36

Hal | 23


merupakan hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi yang dilaksanakan Presiden. Dalam hal penolakan terhadap suatu rancangan undang-undang adalah dengan cara tidak mengesahkannya dan sifatnya temporer. Secara hukum, Presiden berhak untuk tidak menandatangani atau tidak mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama antara DPR dengan Pemerintah.39 Pada dasarnya baik Presiden maupun DPR memiliki hak untuk menolak atau menerima sebuah rancangan undang-undang. Presiden mempunyai hak mengajukan rancangan undang-undang, berhak memveto rancangan undangundang inisiatif DPR dan memveto rancangan undang-undang yang mengalahkan kepentingan pemerintahannya, sedangkan DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang atas inisiatifnya, berhak menyetujui, mengamandemen dan tidak menolak suatu rancangan undang-undang dan menolak suatu PERPU yang telah diberlakukan oleh Pemerintah. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, belum pernah ada Presiden menggunakan hak veto sehingga mengesankan hak veto itu tidak ada. Hak veto sebenarnya dapat dilihat pada Pasal 20 ayat 2 UUD 1945. Pada pasal ini tersirat bahwa dalam proses pembahasan rancangan undang-undang, Presiden diberikan hak oleh konstitusi untuk menyetujui atau menolak suatu rancangan undangundang. Dikaitkan dengan konsep Trias Politica, secara gramatikal atau ketatabahasaan, ketentuan pasal 20 ayat (2) UUD 1945 pasca amandemen ini tersirat makna bahwa dalam pembahasan rancangan undang-undang, Presiden diberi hak oleh konstitusi untuk menyetujui rancangan undang-undang. Begitu pula berdasarkan teori penafsiran a contrario, Presiden diberi pula hak untuk menolak atau tidak menyetujui. Berdasarkan amandemen konstitusi yang mengintrodusir norma baru, Presiden telah diberikan hak untuk untuk menyatakan penolakan terhadap rancangan undang-undang yang telah dibahas most congressional encroachment on the executive, although its negative nature has prevented presidents from dictating the content of the laws to Congress. ‌.. The first purpose of the veto for the Framers of the Constitution was to give presidents a tool to defend their office and themselves from encroachments on their power by the legislature. Congress has made many attempts to limit presidential power, especially in the areas of appointments, budgeting, and military powers. The veto power has been used, succesfully on the whole, to prevent encroachment on the executive office‌. Every bill passed by Congress must be presented to the president before it can become a law, as stated in Article 1, section 7, clause 2, of the Constitution 39 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/17/opini/435867., diakses pada tanggal 30 Maret 2013

Hal | 24


bersama di persidangan DPR. Tentu saja “veto" Presiden tersebut harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan filosofis, yuridis dan sosiologis40 yang dimiliki secara pribadi oleh Presiden, sebab pada akhirnya presidenlah yang paling bertanggung jawab dalam setiap pelaksanaan undangundang. 41 Namun dengan munculnya pasal 20 ayat (5) justru mengesankan bahwa hak veto Presiden menjadi hilang, terlebih adanya pasal 20 ayat (5) yang membuat pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4) terkesan mubazir. Keberadaan hak veto ini diatur dalam sistem yang menganut prinsip pemisahan kekuasaan karena dianggap dapat dijadikan senjata efektif guna menolak mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui dalam persidangan parlemen. Hak veto harus di batasi sebab tanpa pembatasan Presiden dapat saja bertindak sewenang-wenang dalam menggunakan hak veto. Besarnya kekuasaan Presiden untuk menggunakan senjatanya memveto rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh parlemen diiringi kecenderungan pemerintah untuk mengajukan rancangan undang-undang ini didasari oleh kenyataan bahwa pemerintahlah yang sesungguhnya paling mengetahui kebutuhan untuk membuat suatu undang-undang karena pemerintah bersentuhan langsung dengan masyarakat. Penerapan sistem hak veto bagi pihak eksekutif atas tindakan pihak legislatif merupakan salah satu implementasi dari prinsip checks and balances. Hak veto pihak legislatif ini diperlukan agar pihak

40

Secara teoritis akademis, setiap undang-undang yang diberlakukan menjadi hukum positif harus memenuhi persyaratan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis materi hukum tersebut memiliki tujuan-tujuan yang luhur dan baik demi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan, serta dapat diterima oleh akal sehat dan logika. Secara yuridis telah selaras dan tidak menyimpang dari asas-asas dan prinsip hukum, serta sistem hukum yang dianut. Sedangkan secara sosiologis, dalam suatu negara hukum yang demokratis dapat terjadi perbedaan pendapat pro kontra yang tajam dan sangat prinsipial, sehingga kalau rancangan undang-undang itu diberlakukan justru dapat menimbulkan ketidaktertiban, ketidakamanan, ketidaktentraman, serta ketidaksejahteraan. Yang bertanggung jawab untuk menghadapi kekacauan sosiologis adalah Presiden (dengan aparat eksekutifnya). 41 Di negara penganut prinsip sparation of power seperti Amerika Serikat, Presiden diberi hak veto sebagai senjata guna menolak mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui dalam persidangan parlemen. Sebagian Gubernur di negara-negara bagian Amerika Serikat akin sering menggunakan hak veto. Selama abad ke 19 hak veto cenderung digunakan lebih sering dibandingkan abad sebelumnya. Menurut William J.Keete dan Morris S. Ogul, hal ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu (1) meningkatnya permasalahan yang dihadapi sebagai akibat perkembangan industrialisasi, urbanisasi dan krisis internasional, (2) meningkatnya harapan dan kebutuhan public akan tindakan pemerintah, (3) meluasnya lingkup dan intensitas konflik politik.

Hal | 25


legislatif tidak bertindak berlebihan yang memberatkan pihak eksekutif dengan mengatasnamakan suara rakyat.42 Keikutsertaan dan peran besar Presiden dalam pembentukan undangundang menurut Jimly Asshiddiqie disebabkan oleh kenyataan bahwa sebenarnya pihak pemerintahlah yang paling mengetahui apakah sesuatu hal perlu dibuatkan undang-undang atau tidak.43 Secara logika, lembaga eksekutif merupakan lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dalam kedudukannya sebagai penyelenggara pemerintahan dan memiliki jaringan luas hingga ke daerah, memiliki data dan fasilitas yang lebih lengkap dibanding legislatif. Keengganan Presiden dalam membubuhkan tanda tangan pada keempat rancangan undang-undang yang telah disinggung sebelumnya juga dipengaruhi oleh faktor konstitusi dimana konstitusi memberi peluang Presiden untuk melakukan hal tersebut. Ada atau tidaknya tanda tangan Presiden memberikan gambaran bahwa rancangan undang-undang tersebut akan tetap berlaku dan tidak ada konsekuensi serius secara yuridis bagi Presiden dan Presiden terkesan cari aman atas rancangan undang-undang yang tidak ditandanganinya. Seharusnya dalam sidang DPR, Presiden harus memberikan persetujuan atau penolakan terhadap rancangan undang-undang secara formal yang telah dibahas di DPR sebagai kata akhir. Tahapan proses persetujuan atau penolakan rancangan undang-undang oleh Presiden di persidangan DPR harus mutlak dilakukan dan tidak boleh dilewati. Selain hak veto yang melekat pada Presiden, faktor lain yang berkaitan dengan pengesahan dan pengundangan adalah tindakan Menteri Sekretaris Negara yang memiliki kewajiban mengundangkan suatu rancangan undangundang. Dalam hal ini Mensesneg merupakan pembantu Presiden yang notabene sebagai bawahan Presiden. 44 Dengan tidak mengesahkan rancangan undangundang, ini memberikan maksud bahwa Presiden tidak menginginkan rancangan 42

Munir Fuady, Op.Cit., hlm.127 Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah存Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD sePropinsi (baru) Banten yang diselenggarakan oleh Institute for the Adacement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000 44 Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan mengenai pejabat yang berwenang melakukan pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia adalah menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang hukum (Bab IX Pendungangan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) 43

Hal | 26


undang-undang tersebut di undangkan menjadi undang-undang. Hal ini juga dipahami bahwa Presiden secara tidak langsung memerintahkan kepada Mensesneg untuk tidak mengundangkannya dan sudah selayaknya menteri menuruti perintah Presiden dan tidak mengundangkan rancangan undangundang yang tidak disetujui Presiden ke dalam Lembaran Negara. Dalam UUD 1945, jabatan Menteri sangatlah penting kedudukannya sebab menteri bekerja hanya atas perintah dan atau atas nama Presiden seperti yang tertuang dalam pasal 17 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi : “Presiden di bantu oleh menterimenteri negara�. Pasal ini memperkuat pernyataan bahwa menteri tidak memiliki kewenangan mandiri sebab kedudukan hukum menteri berada dibawah serta bertanggungjawab kepada Presiden. Namun pada kenyataannya menteri justru bertindak tanpa kompromi dengan Presiden terlebih dahulu karena menteri berpatokan pada ketentuan Pasal 20 ayat (5) yang menjelaskan bahwa tidak ditandatanganinya rancangan undang-undang selama 30 hari oleh Presiden, rancangan tersebut sah dan berlaku sebagai undang-undang. Lemahnya kontrol Presiden terhadap Menteri disebabkan oleh tidak adanya koordinasi tentang perkembangan pembahasan rancangan undangundang antara Presiden dan Menteri sehingga Menteri bertindak sendiri sesuai dengan tugasnya sebagai pembantu Presiden. Dengan kata lain, menteri tidak melaporkan tentang pembahasan rancangan undang-undang ini kepada Presiden sehingga muncul kemungkinan ada substansi rancangan undang-undang yang prinsipnya tidak dikehendaki Presiden, namun sudah selesai dibahas dan disetujui DPR dan Menteri.45 Secara keseluruhan Pasal 20 UUD 1945 pasca amandemen ini dapat dipahami bahwa lembaga legislator adalah DPR bukan Presiden. Kedua, Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama dalam rapat paripurna DPR. Ketiga, rancangan undang-undang yang telah resmi sah menjadi undang-undang wajib diundangkan dan keempat setiap rancangan undang-undang dibahas bersama untuk mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR. Meskipun legislatornya adalah DPR namun baik DPR maupun Presiden pada dasarnya sama-sama memiliki fungsi legislasi terkait inisiatif dalam hal mengajukan rancangan undang-undang. Dalam hal keikutsertaan Presiden ini juga muncul konsekuensi sebagai akibat dari karakter 45

http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F3888/Fenomena% 20UU%20Tanpa%20Pengesahan%20Presiden.htm, diakses pada tanggal 22 April 2013

Hal | 27


yang dimiliki masing-masing lembaga. Namun pengesahan oleh Presiden memang merupakan syarat yang tidak bisa diabaikan begitu saja, pun begitu dengan tanggung jawab pengesahan Presiden yang tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain manapun karena pengesahan dan persetujuan oleh Presiden harus dilakukan secara formal oleh Presiden sendiri. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Undang-undang yang lahir tanpa adanya pengesahan Presiden memang menjadi fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Undang-undang ini menimbulkan kontroversi dan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Ada yang menilai undang-undang ini cacat yuridis karena menyalahi aturan pembentukan undang-undang. Namun di satu sisi, undang-undang ini merupakan implementasi dari ketentuan pasal 20 ayat (5) UUD 1945, yakni memperbolehkan lahirnya undang-undang tanpa adanya tandatangan Presiden sebagai tanda pengesahan. Lahirnya undang-undang tanpa pengesahan Presiden ini seharusnya tidak terjadi apabila rumusan pasal 20 terhenti hanya sampai pada ayat (4) saja. Lahirnya pasal 20 ayat (5) justru membuat pembentukan perundang-undangan menjadi tidak sesuai dengan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan untuk pembubuhan tanda tangan Presiden jangka waktunya adalah 30 (tiga puluh) hari semenjak rancangan undang-undang telah mendapat persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Undang-undang seperti ini terjadi pada zaman pemerintahan Presiden Megawati dan sudah ada empat undang-undang yang lahir tanpa adanya tanda tangan Presiden. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain Presiden menggunakan hak vetonya yang melekat padanya untuk menolak rancangan undang-undang tersebut. Tidak adanya persetujuan dan pengesahan dari Presiden akan suatu rancangan undang-undang juga dinilai bahwa Presiden sebenarnya sedang berupaya mencari aman apabila rancangan undang-undang yang tidak disetujuinya itu menimbulkan masalah di kemudian hari. Peran Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) juga tidak lepas dari pengesahan undang-undang oleh Presiden, sebab Menterilah yang ditunjuk Presiden untuk menindaklanjuti pembahasan rancangan undang-undang, mempersiapkan pengesahan dan pengundangan undang-undang. Namun karena

Hal | 28


lemahnya kontrol dan koordinasi yang kurang kooperatif antara Presiden dan Menteri yang bersangkutan serta tidak dilaporkannya perkembangan pembahasan rancangan undang-undang yang dilakukan oleh Menteri kepada Presiden, membuat Menteri justru bertindak atas wewenang dan kepentingan sendiri. Menteri merasa bahwa apapun yang dilakukannya untuk dan atas nama Presiden. Hal ini berarti bahwa Presiden dan Menteri berjalan sendiri-sendiri berdasarkan kepentingan masing-masing tanpa adanya komando yang terarah. Hal lain yang menjadi faktor lahirnya undang-undang ini juga adalah karena adanya penggabungan yang tidak jelas antara konsep Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, dimana pembuatan dan pembentukan undang-undang tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya dikarenakan adanya hambatan yang ditimbulkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembentukan undang-undang itu sendiri. Tidak adanya tandatangan Presiden secara simbolis di dalam suatu undang-undang banyak menimbulkan reaksi beragam di kalangan masyarakat dan pakar hukum. Jika melihat dari jenisnya, pengesahan tanpa persetujuan Presiden ini merupakan pengesahan secara formil dimana ketentuan pengesahan didasarkan kepada konstitusi Negara Indonesia yaitu UUD 1945 dan ketentuan mengenai pengesahan serta keberlakuan suatu rancangan undang-undang menjadi undang-undang diatur dalam pasaL 20 ayat (5). Keanehan akan undang-undang yang diundangkan tanpa adanya tandatangan Presiden ini terjawab dengan berdasarkan ketentuan pasal 73 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa keberlakuan dan keabsahan dari suatu pengesahan undang-undang tanpa persetujuan Presiden adalah didasari pada UUD 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia. Namun dengan adanya rumusan pasal ini rasanya pemakluman akan pengundangan undang-undang yang tidak ada tanda tangannya Presiden agak sukar dilakukan, karena lazimnya pemahaman di masyarakat, undang-undang pasti memiliki tanda tangan Presiden sebagai simbol pengesahan dan kunci utama dalam keberlakuannya secara mengikat umum. Adanya fenomena dan ketentuan pasal yang agak kontroversi ini pun harus dapat dipahami sebagai pewujudan dari ketentuan UUD 1945 sebagai konsitusi atau hukum dasar dari suatu negara hukum.

Hal | 29


2. Saran Banyaknya reaksi beragam yang timbul karena adanya undang-undang tanpa pengesahan Presiden ini seharusnya membuat pihak legislatif segera melakukan pelaksanaan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 20 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan karena pada dasarnya ketentuan pasal 20 ayat (5) memiliki maksud perimbangan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif, namun implementasinya di masyarakat luar tidak sesuai dan justru membuat munculnya berbagai opini mengenai undang-undang tersebut. Selain mengamandemen UUD 1945 dan melakukan revisi terhadap beberapa undang-undang yang telah disebutkan sebelumnya, Presiden juga harus melakukan kontrol terhadap Menteri Sekretaris Negara yang menjadi wakilnya dalam pembahasan rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan bersama DPR agar Menteri tidak bertindak sendiri dalam hal pengesahan rancangan undang-undang. Tidak hanya melakukan kontrol terhadap Menteri saja yang harus dilakukan, namun Presiden juga harus melakukan koordinasi yang kooperatif dengan Mensesneg agar Presiden dapat mengetahui bagaimana perkembangan pembentukan undang-undang yang diwakilkan oleh Menteri terkait. Dari segi pengawasan dan pengontrolan yang dilakukan oleh Presiden, Presiden sebagai pemegang peran penting dalam pengesahan undang-undang harus membuat kata putus dan kata akhir dalam pembahasan rancangan undangundang untuk menyetujui atau menolak dan Presiden harus memperbaiki kinerja dan pengawasan terhadap Menterinya untuk meminimalisir terjadinya pengesahan undang-undang tanpa persetujuan Presiden.

Hal | 30


DAFTAR PUSTAKA A. SUMBER BUKU Bagir Manan.Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta : Gama Media. 1999. Dahlan Thalib. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Yogyakarta : Liberty. 1993. Fajar Laksono dan Subardjo. Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden.Yogyakarta : UII Pers. 2006. Faried Ali. Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000. Niâ€&#x;Matul Huda. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers. 2005. Munir Fuady. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat). Bandung : PT. Refika Aditama. 2009. Soimin dan Soelardi.Hubungan Badan Legislatif dan Yudikatif.Malang : UMM Press. 2004. B. SUMBER INTERNET http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F3888/Fenomena %20UU%20Tanpa%20Pengesahan%20Presiden.htm, diakses pada tanggal 22 April 2013 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/17/opini/435867., diakses pada tanggal 30 Maret 2013 C. MAKALAH Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah, Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten yang diselenggarakan oleh Institute for the Adacement of Strategies and Sciences (IASS) di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000.

Hal | 31


Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Pembubaran Partai Politik Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi Oleh: Riska Indah Permata H, SH Lulus Tanggal 6 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. Febrian, SH.,MS dan Zulhidayat, SH., MH

Abstrak: Partai politik adalah organisasi golongan rakyat berdasarkan persamaan kehendak di dalam negara untuk memperjuangkan bersama-sama tercapainya tujuan rakyat yang tersusun dalam bentuk negara. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tidak semua orang boleh mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon (legal standing). Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara dengan adagium point d’interet point d’action yaitu apabila ada kepentingan hukum boleh mengajukan gugatan, tidak dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Kata Kunci: Pembubaran, Partai Politik, Mahkamah Konstitusi

Hal | 32


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik yang dikaitkan dengan kekuasaan. Dalam konsep hukum tata negara, wewenang (bevoegheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtmacht). 46 Ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. “Kewenangan” adalah apa yang disebut “kekuasaan yang formal”, kekuasaan berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif dari kekuasaan legislatif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintah tertentu yang bulat. Sedangkan “wewenang” hanya mengenai suatu bagian (onderdeel) tertentu saja dari kewenangan.47 UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan.48 Artinya, segala sesuatunya dalam hidup bernegara harus tunduk pada hukum, bukan pada kekuasaan. Untuk menjalankan tugas kenegaraan yang berdasarkan hukum, hukum membutuhkan sendi-sendi konstitusi. Berdasarkan Perubahan ke IV UUD 1945, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.49 Menurut Moh. Mahfurd MD 50 , pembentukan Mahkamah Konstitusi didasarkan atas pemikiran bahwa UUD 1945 yang merupakan dasar negara (stategroundgesetz) harus dijaga dan dikawal secara konsisten, sehingga keberadaan Mahkamah Konstitusi di dalam struktur kekuasaan kehakiman adalah dimaksudkan sebagai pengawal dan penafsir konstitusi (the quardian of the constitution atau waakhond van de grondwet dan the interpreter of the constitution). Oleh karena itu, kewenangan

46

Philipus M. Hardjon dikutip dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.210 47 Ateng Safrudiin dikutip dalam Abdul Rasyid Thalib, 2006, hlm. 210 48 Prinsip negara hukum Indonesia dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi: “Negara Indonesia ialah negara hukum”. Kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah tidak berdasarkan kekuasaan senjata. 49 Perubahan ke IV UUD 1945, meyatakan bahwa : “kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan semua peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” (Abdul Rasyid Thalib, 2006 hlm.222) 50 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 99

Hal | 33


yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi adalah untuk menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional51. Beberapa kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran konstitusional adalah52 : 1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;53 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; 3. Memutus pembubaran partai politik; dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (termasuk Perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah)54. Terkait dengan pengaturan pembubaran partai politik, Venice Commision membuat pedoman bahwa pada prinsipnya negara harus mengakui hak setiap orang untuk berorganisasi secara bebas dalam partai politik. Pelarangan dan pembubaran paksa partai politik hanya dimungkinkan dalam kasus partai politik itu melakukan tindakan dengan menggunakan kekerasan sebagai alat politik untuk menghancurkan tatanan demokrasi yang menjamin kebebasan dan hak. Pembubaran tidak dapat dilakukan atas dasar tindakan individu anggota tanpa mandate dari partai. Pelarangan atau pembubaran partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga yudisial lain dengan menjamin adanya due process of law, keterbukaan, dan pengadilan yang fair.55 Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, suatu partai politik dapat dikenakan sanksi berupa pembekuan dan pembubaran dengan berbagai alasan. Berdasarkan Pasal 47, 48 (1), dan 48 (6) UU Partai Politik No. 2 Tahun 2011, sanksi pembekuan dapat dijatuhkan jika partai politik melanggar larangan terkait dengan nama, lambang, atau tanda gambar, serta melanggar larangan mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Pembekuan juga dapat dijatuhkan kepada organisasi partai politik jika 51

Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 24C UUD RI 1945 jo. Pasal 10 UU MK 53 Menurut Sri Sumantri: “Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.� 54 Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 55 European Commision for Democracy Through Law (Venice Commision), dalam dalam Sekjen Mahkamah Konstitusi RI, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekjen Mahkamah Konstitusi RI & Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 198 52

Hal | 34


melanggar larangan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan negara. Selanjutnya dalam Pasal 48 ayat (3) disebutkan bahwa pembekuan tersebut disebut sebagai pembekuan sementara dan dilakukan paling lama satu tahun. Apabila partai yang telah dibekukan tersebut melakukan kembali pelanggaran yang sama, dapat ditindaklanjuti dengan pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi. 2. Rumusan Masalah 1. Mengapa kewenangan memutus pembubaran partai politik di indonesia diberikan kepada Mahkamah Konstitusi? 2. Mengapa hanya Pemerintah yang menjadi pemohon dalam pembubaran partai politik? 3. Kerangka Teori a) Teori Demokrasi Perwakilan Ajaran/Teori Demokrasi yang awalnya dicetuskan oleh JJ.Rousseau telah berkembang menjadi Ajaran/Teori Demokrasi Perwakilan yang kemudian berkembang lagi menjadi berbagai model demokrasi perwakilan yang saling bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung pada kondisi masing-masing negara yang bersangkutan. Langkah penyempurnaan terhadap Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau yang paling penting dan merupakan awal yang mengarah demokrasi modern yaitu Demokrasi Perwakilan yang dikenal sampai saat ini, adalah dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat di Inggris pada pertengahan Abad XIII (1265).56 Singkatnya ajaran/teori demokrasi ini mengatakan bahwa kehendak tertinggi pada suatu negara berada ditangan rakyat dan karenanya rakyat menentukan segala sesuatu berkenaan dengan negara serta lembagaannya. Atau dapat juga dikatakan sebagai ajaran tentang Pemerintahan Negara berada ditangan Rakyat. Pada Demokrasi Perwakilan, rakyat secara menyeluruh tidak ikut serta menentukan jalannya pemerintahan negara, tetapi rakyat mewakilkan kepada

56

Muchyar Yara, “Mencari Model Demokrasi ala Indonesia,� Makalah dimuat pada Simposium Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani Selasa, 8 Agustus 2006.

Hal | 35


wakil-wakilnya yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan negara. Timbulnya variasi model demokrasi perwakilan ini menurut kacamata Ilmu Hukum Tata Negara bersumber dari perbedaan nilai-nilai dasar bersama yang dianut oleh rakyat pada setiap negara, dan secara khusus gilirannya tercermin melalui perbedaan pada sistem pembagian kekuasaan dan sifat hubungan antar lembaga-lembaga negara (terutama antara Lembaga Legislatif dan Lembaga Eksekutif), yang ditetapkan oleh masing-masing negara yang bersangkutan. Namun setiap variasi model demokrasi perwakilan harus tetap berpegang pada 4 (empat) prinsip adalah: 1. Prinsip Kedaulatan Rakyat, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi (kedaulatan) berada ditangan rakyat; 2. Prinsip Perwakilan, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus menetapkan bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat itu dilaksanakan oleh sebuah atau beberapa lembaga perwakilan rakyat; 3. Prinsip Pemilihan Umum, dimana untuk menetapkan siapakah diantara warganegara yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang menjalankan kedaulatan rakyat harus diselenggarakan melalui pemilihan umum . 4. Prinsip Suara Mayoritas, dimana mekanisme pengambilan keputusan dilaksanakan berdasarkan keberpihakan kepada suara mayoritas. Tanpa adanya ke 4 (empat) ciri pokok diatas secara lengkap, maka suatu tatanan kenegaraan tidak dapat dikatakan sebagai Model Demokrasi. b) Teori HAM Dalam memperlajari hak asasi manusia maka kita mengenal adanya teori hukum alam yang dikembangakan oleh john locke yang menyetakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia dan bersifat universal (menyeluruh) dan inalianabe (idak dapat dicabut) dan berdasarkan kontrak sosial (social contrac) perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara.57 Pandangan john locke akan teori kondrati (alam) ini mendapatkan tantangan yang serius dari Edmund burke. Dan penentang yang sangat terkenal adalah Jeremy bethan yang mana ia mengkiritik bahwa teori kodrati itu tidak 57

Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2008, hlm.

8.

Hal | 36


bisa dikonfirmasi dan diverivikasikebenarannya. Burke mengatatakan bahwa “ bagi saya hak dan hukum merupakan hal yang sama, karena saya tidak menganal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak kandung hukum: dan berbagai fungsi hukum lahirnlah beragam jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah memiliki seorang ayah.58 Kelompok penolakan terhadap teori kodrati ini disebut dengan utilitarian. Teori utilitarian ini kemudia di perkuat oleh mazhab positivis yang di kembangan oleh john Austin dengan lebih tersitematis. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari negara. Satu-satunya hukum yang sah adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tidak datang dari alam atau moral. Indonesia merupakan salah satu negara yang menghargai dan melindungi adanya Hak asasi manusia. Hal ini dapat kita lihat pada konstitusi negara Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945 yang banyak mengatur tentang keberadaan HAM ini. seperti yang dijelaskan dalam pasal 27, 28A hingga 28 J, 29 (2), 30 (1) dan 33. Selain itu, sebagai salah satu negara yang memiliki tujuan untuk menghapuskan penjajahan diatas dunia Indonesia juga terlibat aktif dalam organisasi PBB dan telah menyetujui dan menandatangani universal declaration of human rights. Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia banyak dipengaruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana yang terkait dengan perkembangan pemikiran konstitusi, seperti John Locke dan Jean Jacques Rousseau. John Locke juga dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu. Bersama-sama dengan Thomas Hobbes, J.J. Rousseau dan John Locke mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial (contract social). Perbedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes menghasilkan monarki absolut, jadi teori John Locke menghasilkan monarki konstitusional.59 Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia (HAM) merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya "homo homini lupus, bellum omnium contra omnes". Dalam suatu keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan seperti binatang buas dalam legenda kuno yang disebut „Leviathanâ€&#x; yang dijadikan oleh Thomas Hobbes 58

Loc.Cit. Hari Chand, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala Lumpur, 1994, hlm. 43. 59

Hal | 37


sebagai judul sebuah buku. Keadaan seperti itulah, menurut Hobbes, mendorong bentuknya perjanjian masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Jadi itu sebabnya pandangan Thomas Hobbes disebut sebagai teori yang mengarah kepada pembentukan monarki absolut.60 Sebaliknya, John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Yang diserahkan, hanya hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara yang semata, sedangkan hak-hak yang lainnya tetap berada pada masing-masing individu. John Locke membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai ”Second Treaties of Civil Government” yang juga menjadi judul bukunya. Dalam instansi pertama (the first treaty) adalah perjanjian antara individu dengan individu warga yang ditujukan untuk terbentuknya masyarakat negara dan politik. Instansi pertama disebut oleh John Locke sebagai “Pactum Unionis”. B. SUMBER DATA 1. Sumber Bahan Hukum a. Bahan Hukum Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, terdiri dari: - Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum mengikat, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan antara lain : a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia1945; b. Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Tahun 1999 – 2002 c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik e. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik - Bahan Hukum Sekunder

60

Loc.Cit.

Hal | 38


Bahan hukum memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum61. - Bahan Hukum Tersier Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedi.62 b. Teknik Pengumpulan Bahan Penelitian Bahan penelitian dalam penelitian ini diperoleh melalui Studi Kepustakaan, dengan mengkaji dan menelusuri sumber-sumber kepustakaan serta mempelajari bahan-bahan hukum tertulis yang ada kaitannya baik peraturan perundang-undangan, buku ilmiah, surat kabar, serta dokumen-dokumen tertulis lainnya yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini63 c. Analisis Bahan Penelitian dan Penarikan Kesimpulan Bahan penelitian yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu dengan bentuk pengelolaan bahan penelitian yang diringkas dan sistematis sehingga mudah untuk dipahami. 64 Selanjutnya penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan yang bertolak dari suatu proposal umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus.65 C. PEMBAHASAN Di awal masa reformasi wewenang pembubaran partai politik ada pada Mahkamah Agung. Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, wewenang pengawasan partai politik ada pada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dapat membekukan atau membubarkan suatu partai politik.66 Suatu partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap setelah mempertimbangkan keterangan dari pengurus pusat partai yang bersangkutan. Selain itu juga dapat dilakukan melalui pengadilan terlebih dahulu yang terkait 61

Ibid, hlm. 32 Loc.Cit. 63 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. hlm 50. 64 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kumulatif, Yogyakarta, 1998, hlm. 28. 65 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 10 66 Pasal 17 dan 18 UU Nomor 2 Tahun 1999. 62

Hal | 39


dengan pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik yang dapat menjadi dasar pembubaran partai politik. Sebelum pembubaran tersebut dilakukan, Mahkamah Agung memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 kali berturut-turut dalam waktu 3 bulan.67 Dengan adanya Perubahan UUD 1945, khususnya Pasal 24C ayat (1), pembubaran partai politik menjadi bagian dari wewenang MK. Jika dilihat dari proses pembahasan perubahan UUD 1945, wewenang memutus pembubaran partai politik sejak awal sudah mengemuka terkait dengan akan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Pemberian wewenang itu menurut anggota Pataniari Siahaan karena perkara pembubaran partai politik menyangkut masalah politik sehingga dipandang lebih tepat menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi dan kurang tepat jika dimasukkan dalam masalah hukum yang ditangani Mahkamah Agung.68 Mahkamah Agung dinilai lebih banyak menangani perkara kasasi yang saat itu sudah menumpuk.69 Selain itu, dari sisi hakim yang menangani perkara, hakim konstitusi dinilai memiliki kualifikasi yang lebih baik untuk menangani perkara-perkara terkait dengan konstitusi.70 Kewenangan pembubaran yang saat itu dipegang oleh Mahkamah Agung dinilai tidak proporsional.71 Partai politik, dan juga pemilihan umum, terkait erat dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, masalah pembubaran partai politik juga dipandang menyangkut masalah konstitusi sehingga menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. 72 Walaupun demikian, juga terdapat pendapat yang mempertanyakan masuknya wewenang memutus pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi. Anggota DPR RI, Harjono menyatakan bahwa yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi adalah terkait dengan peraturan, bukan tindakan. Peraturan tersebutlah yang dapat dimintakan pembatalan dengan alat penguji UUD 1945. 73 Namun dalam persidangan berikutnya, 67

Penjelasan Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Pada Tahun 2000 dan 2001 terdapat 2 gugatan pembubaran Partai Golkar ke MA, yaitu Perkara No. 01.G/WPP/2000 dan Perkara No. 02.G/WPP/2001. Namun kedua gugatan tersebut diputus ditolak. 68 Risalah Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 29 Mei 2001. 69 Asnawi Latief dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD RI Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan Tahun 1999-2002. 70 Jacob Tobing. dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD RI Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan Tahun 1999-2002.. 71 Risalah Rapat Komisi A Ke-3 (lanjutan) Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, tanggal 6 November 2001. 72 Risalah Rapat Tim Perumus Komisi A Masa Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, tanggal 6 November 2001. 73 Risalah Rapat Lobi Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR tanggal 27 September 2001.

Hal | 40


pendapat itu telah bergeser. Harjono menyatakan bahwa wewenang utama Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang dan memutus pertentangan antar lembaga negara. Sedangkan memutus pembubaran partai politik adalah wewenang tambahan dengan pemeriksaan yang melibatkan isu fakta, bukan hanya norma.74 Berwenangnya Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa pembubaran partai politik yang diajukan oleh pemerintah (diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM) akan menimbulkan kontradiksi tentang yurisdiksi, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebab dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tidak ditentukan siapa yang dapat mengajukan pembubaran partai politik itu dan di lembaga mana keputusan administrasi itu bersifat final, apakah di Departemen Kehakiman dan HAM atau di KPU, sebab kedua-duanya bersifat perbuatan adminitrasi. Artinya, ketika satu partai mendaftarkan diri ke ke Departemen Kehakiman dan HAM dan mendapat status badan hukum publik, apakah dengan Keputusan Departemen dan HAM sudah termasuk putusan final atau belum final. Berwenangnya Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili atas pembubaran partai politik memberi landasan hukum bahwa lembaga peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung tidak diberi wewenang lagi untuk mengadili sengketa yang beraspek politik dan sekaligus memberi jalan keluar bagi negara yang berprinsip demokrasi untuk menyelesaikan sengketa politik di lembaga peradilan, yaitu Mahkamah Konstitusi. Atau dengan kata lain, kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dapat menyelesaikan sengketa yang bernuansa politik, akan tetapi dalam memutus sengketa itu menggunakan pertimbangan-pertimbangan hukum, bukan pertimbangan politik. Pada awalnya, wewenang Mahkamah Konstitusi memutus pembubaran partai politik dalam rancangan perubahan tidak disebutkan secara eksplisit. Hanya disebutkan sebagai kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Hal itu juga dikemukakan oleh Tim Ahli Pah I BP MPR. 75 Namun akhirnya

74

Risalah Rapat Pleno Ke-38 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 10 Oktober

2001. 75

Risalah Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI tanggal 29 Mei 2001, dan Risalah Rapat Lobi Perumusan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI tanggal 27 September 2001.

Hal | 41


disepakati wewenang dirinci, termasuk untuk memutus pembubaran partai politik.76 Pasal 68 ayat (1) UU MK menentukan bahwa pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah pemerintah, yaitu pemerintah pusat. 77 Tidak diberikannya hak mengajukan pemohonan pembubaran partai politik kepada lembaga lain, misalnya partai politik yang merasa dirugikan atau masyarakat, misalnya lewat LSM, karena jika yang mengajukan adalah partai politik, tidak menutup kemungkinan akan terjadi sengketa antar partai politik yang mengarah pada pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan yang bisa menimbulkan sengketa perdata atau tindak pidana.78 Menurut Jimly 79 apabila hak permohonan pembubaran partai politik diberikan kepada suatu partai politik, berarti partai politik dibenarkan menuntut pembubaran saingannya sendiri. Hal ini harus dihindarkan, karena di alam demokrasi sudah seharusnya sesama partai politik dapat bersaing secara sehat antar satu sama lain. Oleh sebab itu, partai politik tidak boleh diberikan kedudukan sebagai pemohon dalam pembubaran partai politik. Masyarakat dan lembaga lainnya tidak diberi hak untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik karena masyarakat tidak begitu jelas identitasnya dan tidak bisa mewakili masyarakat secara keseluruhan, tetapi lebih bersifat politis serta akan sulit melakukan pembuktian80. Pemerintah diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik karena pemerintah melalui Departemen Kehakiman dan HAM merupakan lembaga negara yang memberi status hukum atas pendaftaran suatu partai sehingga partai tersebut terdaftar dan memperoleh status badan hukum publik sebagai partai dan berhak mengikuti verifikasi untuk mendaftarkan diri di KPU menjadi partai peserta pemilu. Pemberian hak mengajukan permohonan pembubaran partai politik hanya kepada pemerintah adalah untuk mencegah terjadinya saling menuntut pembubaran di antara partai politik yang ada 76

Risalah Rapat Lobi Perumusan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI tanggal 25, 26, dan 27 September 2001 dan Risalah Rapat Komisi A (Lanjutan) Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 tanggal 6 November 2001. 77 Pasal 68 Ayat (1) dan Penjelasannya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 78 Abdul Rasyid Thalib, wewenang mahkamah konstitusi dan implikasinya dalam sistem ketatanegaraan RI, h. 432 79 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Cetakan keenam, Konstitusi Prress, Jakarta, 2006, hlm. 205. 80 Abdul rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan implikasinya dalam sistem ketatanegaraan RI, h. 433

Hal | 42


Kewenangan pemerintah mengusulkan pembubaran suatu partai politik karena pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman dan HAM diberi tugas untuk menerima pendaftaran suatu partai politik sebagai badan hukum publik. Sedangkan KPU diberi wewenang untuk menetapkan partai politik peserta pemilu. Atau dengan kata lain , yang memproses pendaftaran suatu partai politik sebagai partai peseta pemilu adalah KPU. Jadi, tidak semua partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM adalah partai peserta pemilu tanpa didaftarkan dan diverifikasi terlebih dahulu ke KPU.81 D. PENUTUP Berdasarkan UUD 1945, pengadilan yang berwenang membubarkan partai politik adalah MK. Alasan MK lembaga satu-satu yang berwenang memutus pembubaran partai politik dapat diketahui dari hasil risalah rapat DPR RI tentang Amandemen ke III UUD 1945. Pemerintah satu-satunya yang berhak menjadi pemohon dalam pembubaran partai politik. Adanya pembatasan para pihak untuk mengajukan permohonan atau gugatan terhadap partai politik ini, berarti legislatif sendiri telah melakukan kelalaian dalam menyususn undangundang dan telah melakukan pembatasan berlebihan terhadap ruang lingkup masyarakat untuk mengontrol tindakan partai politik. Hal ini melanggar prinsip demokrasi dan negara hukum di mana partai politik merupakan penopang berjalannya aspirasi politik dalam suatu negara.

81

Ibid, hlm. 433.

Hal | 43


Penyelenggaraan Bantuan Hukum Di Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Oleh: Ariza Amelia, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. Febrian, SH.,MS dan Indah Febriani, SH.,M.Hum

Abstrak: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 1 Ayat (3) secara tegas menentukan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum. Prinsip Negara hukum salah satunya adalah menuntut adanya kesamaan/ksesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Pembangunan yang menempati kedudukan sentral seperti sekarang ini menghendaki agar hukum dapat dijadikan sebagai sandaran kerangka untuk mendukung usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk membangun masyarakat. Sejalan dengan itu, kegiatan bantuan hukum sebagai salah satu sarana untuk “penegakan� Hak Asasi Manusia, yang khususnya ditujukan bagi masyarakat miskin dan buta hukum, tampak semakin meluas dan memasyarakat. Suatu kecenderungan yang sungguh menggembirakan dalam suasana dimana political will dari pemerintah tampak semakin menaruh perhatian yang semakin besar terhadap pembangunan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Kata Kunci : Undang –Undang Dasar 1945

Hal | 44


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) secara tegas menentukan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum. Prinsip negara hukum salah satunya adalah menuntut adanya kesamaan/kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28 D ayat (1) mengatur bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum�.82 Pembangunan yang menempati kedudukan sentral seperti sekarang ini menghendaki agar hukum dapat dijadikan sebagai sandaran kerangka untuk mendukung usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk membangun masyarakat. Sejalan dengan itu, kegiatan bantuan hukum sebagai salah satu sarana untuk “penegakan� Hak Asasi Manusia, yang khususnya ditujukan bagi masyarakat miskin dan buta hukum, tampak semakin meluas dan memasyarakat. Suatu kecenderungan yang sungguh menggembirakan dalam suasana dimana political will dari pemerintah tampak semakin menaruh perhatian yang semakin besar terhadap pembangunan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.83 Mendapatkan bantuan hukum merupakan hak asasi yang dimiliki oleh setiap orang. Hak asasi tersebut merujuk pada syarat setiap orang untuk mendapatkan keadilan, tak peduli dia kaya atau miskin. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kekecualian. Bantuan Hukum khususnya bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum tampaknya merupakan hal yang dapat kita katakan relatif baru di negara-negara berkembang. Demikian juga di Indonesia. Bantuan Hukum sebagai legal institution (lembaga hukum) semula tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional, dia baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum barat di Indonesia.84 Berdasarkan hal tersebut sesuai Misi Gubernur Sumatera Selatan Periode 2008-2013 yaitu Sumsel Sejahtera dan Terdepan Bersama Masyarakat Cerdas

82

Lihat Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 H.Bambang Anggana dan Aries Harianto, 1994, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV.Kandar, Bandung, hal 5. 84 Adnan Buyung Nasution, 1988, Bantuan Hukum di Indonesia, LP3ES, hal 23. 83

Hal | 45


yang Berbudaya 85 , Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan pada Tahun 2009 telah menggulirkan Program Pemberian Bantuan Hukum Gratis kepada masyarakat miskin Sumatera Selatan. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menyediakan layanan bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin di Provinsi Sumatera Selatan. Penyediaan layanan tersebut sebagai wujud kepedulian Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan terhadap masyarakat miskin yang harus berurusan dengan hukum. Penyediaan layanan bantuan hukum gratis tersebut dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dengan Perhimpunan Advokasi Indonesia Palembang, Kongres Advokasi Provinsi Sumatera Selatan dan Lembaga Bantuan Hukum Palembang.86 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulisan skripsi ini akan membahas permasalahan sebagai berikut : Bagaimana pelaksanaan program bantuan hukum gratis di Provinsi Sumatera Selatan dihubungkan dengan Persyaratan Pemberi Bantuan Hukum yang harus terakreditasi sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011? B. PEMBAHASAN 1. BANTUAN HUKUM A. Pengertian Bantuan Hukum Pembicaraan tentang bantuan hukum, hak asasi manusia dan atau negara hukum dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum menjadi penting artinya manakala kita mengingat bahwa dalam membangun Negara hukum itu terlekati ciri-ciri yang mendasar, yaitu : 1. Pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, kultural, dan pendidikan;

85

Visi Misi Gubernur Sumatera Selatan Periode 2008-2013, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Biro Hukum dan HAM, 2011. 86 Hisbullah, Implementasi Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 829/KPTS/III/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Bantuan Hukum Gratis Bagi Masyarakat Miskin di Sumatera Selatan, Tesis, 2011, Program Pasca Sarjana, STIS Chandra Dimuka.

Hal | 46


2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan lain apapun; 3. Legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya.87 Oleh karena itu, misalnya suatu negara tentu tidak dapat kita katakan sebagai negara hukum apabila negara yang bersangkutan tidak memberikan penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap masalah hak asasi manusia. Program bantuan hukum bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan relatif buta hukum khususnya dapat membantu pencapaian pemerataan keadilan karena kian dipermudah upaya-upaya semisal terbinanya sistem peradilan yang lebih berakar dalam perasaan hukum rakyat. Bukankah konstitusi kita menginginkan agar warga negara (rakyat) menjunjung hukum? Apabila demikian yang terjadi, tak pelak lagi pada gilirannya nanti program bantuan hukum tersebut akan juga menunjang setiap usaha pembangunan88. B. Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia Bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat sejak jaman Romawi, di mana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan atau honorarium89. Setelah meletusnya Revolusi Perancis yang monumental itu, bantuan hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridis, dengan mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk menekankan pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingannya di muka pengadilan, dan hingga awal abad ke-20 kiranya bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa di bidang hukum tanpa suatu imbalan90. Bantuan hukum khususnya bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum tampaknya merupakan hal yang dapat kita katakan relatif baru di negaranegara berkembang, demikian juga di Indonesia. Bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) semula tidak dikenal dalam sistem hukum 87

H.Bambang Sunggono,SH.,MS dan Aries Harianto,S.H.,2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal 4. 88 Ibid, hal. 25. 89 Ibid, hal. 60. 90 Ibid, hal 62.

Hal | 47


tradisional, dia baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia.91 Namun demikian, bantuan hukum sebagai kegiatan pelayanan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin dan buta hukum dalam dekade terakhir ini tampak menunjukkan perkembangan yang amat pesat di Indonesia, apalagi sejak PELITA ke III Pemerintah mencanangkan program bantuan hukum sebagai jalur untuk meratakan jalan menuju pemerataan keadilan di bidang hukum. C. Konsep Bantuan Hukum Sejalan dengan kegiatan bantuan hukum khususnya bagi masyarakat miskin dan buta hukum yang tampak semakin meluas dan memasyarakat, suatu pandangan kritis terhadap konsep-konsep bantuan hukum yang kini dikembangkan di Indonesia banyak dikemukakan oleh kalangan hukum, baik teoritisi maupun praktisi, serta kalangan ilmuwan sosial. Berbicara mengenai bantuan hukum sebenarnya tidak terlepas dari fenomena hukum itu sendiri. Seperti telah kita ketahui keberadaan (program) bantuan hukum adalah salah satu cara yang penting artinya bagi pembangunan hukum (khususnya) di Indonesia. Perbincangan mengenai hukum sebagai suatu konsep yang modern, 92 akan menghantarkan kita pada satu penglihatan bahwa hukum tidak hanya merupakan sarana untuk pengendalian atau control sosial, melainkan lebih dari itu, hukum tampak lebih banyak digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahanperubahan dalam masyarakat. Kehidupan masyarakat sendiri sudah barang tentu banyak mengalami perubahan. Perbedaannya kiranya terdapat pada sifat dan tingkat perubahan itu. Perubahan-perubahan yang terjadi ini dapat kentara dan menonjol atau tidak, dapat cepat atau lambat, dan dapat pula menyangkut masalah-masalah yang fundamental bagi masyarakat yang bersangkutan, atau bahkan hanya menyangkut perubahan yang kecil saja. Yang jelas, bagaimanapun sifat dan tingkat perubahan itu, masyarakat senantiasa mengalaminya.93

91

Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, sebagaimana dikutip dalam op. cit., hal. 23. 92 Myron Weiner. (ed.0, 1996, Modernization: The Dynamics of Growth, Cambridge Mass, hal. 168-170) sebagaimana dikutip dalam Ibid.,hal.21. 93 Soerjono Soekanto, 1974, Sosiologi: Suatu Pengantar. Yayasan Penerbit Univ. Indonesia, Jakarta, hal. 215.

Hal | 48


D. Perkembangan Bantuan Hukum Untuk kepentingan pembangunan di bidang hukum khususnya dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum rakyat, menjamin penegakan hukum dan kepastian hukum, serta pelayanan hukum, maka dilakukan upaya berupa gerakan agar masyarakat mengetahui dan mengerti itu semua, di antaranya berupa pemberian bantuan hukum. Dalam kaitannya dengan bantuan hukum tersebut, secara umum dapatlah dikatakan bahwa semua jenis bantuan hukum adalah bertujuan untuk mengadakan perubahan sikap, walaupun hal itu bukanlah merupakan tujuan akhir, akan tetapi masing-masing bantuan hukum tersebut mempunyai tujuan yang diarahkan pada bermacam-macam kategori sosial di dalam masyarakat.94 Sebagai wawasan, bantuan hukum tentu masih terus berkembang dan diperbincangkan. Ia bukanlah konsep yang sudah mapan atau final. Secara konsepsional, apabila kita melihat pada tujuan dan orientasi, sifat, cara pendekatan dan ruang lingkup aktivitas program bantuan hukum di Indonesia, pada dasarnya dapat dikategorikan pada dua konsep pokok, yaitu konsep bantuan hukum tradisional dan konsep bantuan hukum konstitusional.95 E. Advokat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat96, maka yang dimaksud dengan Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Hak advokat adalah bebas mengeluarkan pendapat atau penyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan profesinya, advokat bebas untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.97

94

Ibid.,hal 189. Soerjono Soekanto, 1983,Bantuan Hukum: Suatu Tinjauan Sosio-Yuridis, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 174. 96 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 1 angka 1. 97 Dr.H.Siswanto Sunarso,SH,MH, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 251. 95

Hal | 49


Guna menjaga agar advokat menjalankan profesinya sesuai kode etik profesi dan koridor hukum yang ada, Undang-Undang Advokat menguraikan bentuk pengawasan untuk memantau perilaku advokat. Kode etik advokat menguraikan tentang hubungan antara advokat dengan klien yang diantaranya menyatakan:  Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.  Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.98 F. Pengertian Bantuan Hukum menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 dan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 8 Tahun 2012. Berdasarkan penjelasan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, bantuan hukum diartikan sebagai jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk : a) menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; b) mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; c) menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; d) mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. 2. PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM DI PROVINSI SUMATERA SELATAN A. Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Provinsi Sumatera Selatan. Kegiatan pemberian bantuan hukum gratis kepada masyarakat miskin dimaksud mendapat apresiasi dari masyarakat. Hal ini dibuktikan bahwa sejak dilauncing tanggal 12 Februari 2009 oleh Gubernur Sumatera Selatan sampai dengan Desember 2009, telah diterima 114 permohonan masyarakat Sumatera Selatan untuk mendapat fasilitas bantuan hukum gratis, sehingga pada tahun 2010 program bantuan hukum gratis dilanjutkan. Sesuai tujuan umum program 98

Dr.O.C.Kaligis,SH,MH, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Penerbit PT.Alumni, Bandung, 2006, hal.361-362.

Hal | 50


Bantuan Hukum Gratis yaitu memberikan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia khususnya kepada masyarakat miskin yang menghadapi persoalan hukum, juga ada tujuan khusus dari program tersebut yaitu memberikan rasa aman kepada masyarakat miskin yang menghadapi persoalan hukum. Sasaran kegiatan Pemberian Bantuan Hukum Gratis yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan adalah seluruh masyarakat miskin Sumatera Selatan yang betul-betul mempertahankan hak dan kepentingan hukumnya sesuai kriteria yang telah ditentukan99. Bantuan hukum gratis hanya diberikan kepada masyarakat miskin yang dibuktikan dengan surat keterangan miskin dari pemerintah setempat. Yaitu masyarakat miskin tersebut betul-betul mempertahankan hak atau kepentingan hukumnya. Untuk pengajuan agar mendapat bantuan hukum gratis ada prosedur yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 62 Tahun 2010100 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pemberian Bantuan Hukum Gratis kepada Masyarakat Miskin Sumatera Selatan yaitu sebagai berikut : 1. Permohonan Bantuan Hukum dari masyarakat miskin diajukan kepada Gubernur Sumatera Selatan c.q. Kepala Biro Hukum dan HAM Setda Provinsi Sumatera Selatan dengan dilengkapi/dilampiri : a. Kartu Tanda Penduduk atau Keterangan Domisili dari Lurah atau Kepala Desa setempat; b. Surat Keterangan miskin dari Ketua Rukun Tetangga yang diketahui oleh Lurah atau Kepala Dusun yang diketahui Kepala Desa setempat; c. Kronologis/duduk perkara. 2. Selanjutnya Tim Evaluasi melakukan penelitian dan kajian terhadap permohonan tersebut dan apabila berdasarkan hasil penelitian ternyata yang bersangkutan tidak miskin dan/atau tidak memenuhi persyaratan, maka permohonan yang bersangkutan ditolak. 3. Hasil kerja Tim Evaluasi dilaporkan kepada Gubernur Sumsel oleh Kepala Biro Hukum dan HAM Setda Provinsi Sumatera Selatan. 4. Apabila Gubernur memberikan persetujuannya, maka akan dilanjutkan dengan penunjukan advokat/konsultan hukum yang mendampingi. 5. Permohonan bantuan hukum gratis yang diterima dapat diteruskan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota asal pemohon apabila Pemerintah 99

Hisbullah, Ibid, hal. 107. Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 62 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pemberian Bantuan Hukum Gratis Kepada Masyarakat Miskin Sumatera Selatan. 100

Hal | 51


Kabupaten/Kota setempat telah melaksanakan program bantuan hukum gratis. B. Pelaksanaan Bantuan Hukum setelah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada sub bagian sebelumnya, pelaksanaan program bantuan hukum di Sumatera Selatan sejak tahun 2012 hingga pertengahan tahun 2013 tidak dapat dilaksanakan. Kendalanya karena ada persyaratan bagi pemberi bantuan hukum yaitu pengacara atau advokat dalam melaksanakan program bantuan hukum ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang tersebut. Persyaratan yang dicantumkan dalam Undang-Undang tersebut hingga saat ini belum dapat dipenuhi oleh pemberi bantuan hukum. Belum ada satupun pemberi bantuan hukum di Sumatera Selatan yang berbadan hukum. Bila bentuknya harus berbadan hukum, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan bentuk badan hukum yang diakui di Indonesia ada 3 yaitu Perseroan Terbatas, Koperasi dan Yayasan. Sedangkan Lembaga Bantuan Hukum yang ada hanya menggunakan bentuk Firma atau Perkumpulan yang merupakan badan usaha yang bukan bentuk dari badan hukum. Bentuk badan hukum yang ada di Indonesia ada 3 yaitu: a. Perseroan Terbatas (yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), b. Koperasi (yaitu Undang-Undang Nomor 70 Tahun 2012), c. Yayasan (yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004). C. Analisis Pelaksanaan Bantuan Hukum setelah diterbitkan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011 dan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 8 Tahun 2012 Pelaksanaan Bantuan Hukum di Provinsi Sumatera Selatan setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 yang ditindak lanjuti dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 8 Tahun 2012 telah penulis kemukakan pada sub bagian pembahasan sebelumnya. Beberapa advokat atau pengacara telah dimintai pendapat melalui wawancara antara lain yaitu Bapak Adriansyah,S.H. Bahwa menurut beliau setelah terbitnya UndangUndang dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2012 , pelaksanaan bantuan hukum di Sumatera Selatan tidak dapat terlaksana karena berdasarkan Hal | 52


ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tersebut terdapat persyaratan yang sulit untuk dapat terpenuhi oleh advokat dan dari sisi efisien dan efektif malah mempersulit bagi masyarakat yang tidak mampu mendapatkan bantuan hukum yang disediakan anggarannya oleh negara atau pemerintah untuk digunakan masyarakat tidak mampu, dikarenakan UndangUndang ini mensyaratkan bagi Pemberi Bantuan Hukum dengan syarat yang memberatkan bagi pemberi bantuan hukum apabila harus berbadan hukum sebab badan hukum yang harus dibuat dari ketiga bentuk yang ada (yaitu PT. Koperasi, atau Yayasan) itu sendiri syarat- syaratnya tidak sedikit modal awal yang harus ditempatkan untuk mendirikan salah satu dari ketiga bentuk badan hukum tersebut untuk memenuhi syarat tersebut sehingga dengan demikian yang dirugikan oleh ketentuan syarat Undang-Undang tersebut adalah masyarakat yang tidak mampu sendiri yang perlu bantuan hukum. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan pada uraian dan pembahasan pada mengenai pelaksanaan bantuan hukum Gratis di Sumatera Selatan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: a. Pelaksanaan program bantuan hukum cuma-cuma (gratis) yang selama ini merupakan salah satu program unggulan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dengan alokasi anggaran yang cukup besar tidak dapat dilaksanakan karena adanya benturan permasalahan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang mensyaratkan bahwa Pemberi Bantuan Hukum yang akan melaksanakan bantuan hukum harus berbadan hukum dan memiliki akreditasi Program bantuan hukum cuma-cuma yang telah dilaksanakan oleh beberapa pemerintah daerah khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah sangat berhasil dilaksanakan tetapi dengan adanya persyaratan yang belum dapat dipenuhi oleh para Pemberi Bantuan Hukum dikhawatirkan proses penegakan hukum tidak dapat terlaksana. Dan hal ini pada akhirnya justru akan merugikan masyarakat karena pemenuhan hakhak konstitusionalnya justru terhambat atau tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. b. Dengan telah terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2013 sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 yang lebih merinci mengenai persyaratan bagi pemberi Hal | 53


bantuan hukum, seharusnya ketentuan dimaksud dapat membawa perubahan yang lebih baik dalam pelaksanaan program bantuan hukum, tetapi senyatanya ketentuan tersebut berbenturan dengan keadaan yang senyatanya ada, dimana belum ada satupun advokat yang telah berbadan hukum di Sumatera Selatan. 2. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut: Sehubungan dengan persyaratan bagi pemberi bantuan hukum yang akan melaksanakan program bantuan hukum, disarankan agar diberikan tenggang waktu bagi pemberi bantuan hukum yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tersebut. Agar diberikan kelonggaran persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemberi bantuan hukum yang akan melakukan proses verifikasi dan akreditasi. Seharusnya Pemerintah dalam mengeluarkan suatu ketentuan harus memperhatikan kondisi yang ada. Apakah mungkin program bantuan hukum akan terhenti hanya karena beberapa persyaratan yang tidak dapat dipenuhi bagi pemberi bantuan hukum. Kondisi ini sangat disayangkan, mengingat program ini sangat membantu masyarakat terbukti dengan banyaknya masyarakat miskin yang mendapat bantuan hukum gratis di Sumatera Selatan. Untuk itu diharapkan agar Pemerintah memberikan kelonggaran bagi advokat atau pemberi bantuan hukum yang melaksanakan bantuan hukum untuk tetap dapat melanjutkan program pemberian bantuan hukum cuma-cuma dengan mengabaikan persyaratan sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Hukum dimaksud.

Hal | 54


Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Yang Demokratis (Studi Kasus: Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Di Sumatera Selatan Tahun 2008) Oleh: Mutiara Rizky, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Amir Syarifuddin, SH., MH dan Indah Febriani, SH.,M.Hum

Abstrak: Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara oleh pemerintah negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Salah satu dari sarana kedaulatan rakyat dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yaitu kegiatan pemilihan umum.Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memiliih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis sesuai dengan kehendak rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sesuai dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945.Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat memilih pemimpin politik secara langsung.Yang dimaksud pemimpin politik disini adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen) baik ditingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga eksekutif atau kepala pemerintahan seperti Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati. Kata Kunci : Demokrasi, Pemilihan Umum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Demokrasi berasal dari dua kata yaitu demos dan cratein (bahasa yunani). Cratein berarti pemerintahan dan Demos berarti rakyat.Karena itu, secara sederhana demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. 101 Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara oleh pemerintah negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

101

Kuntana Magnar, Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Otonom dan Wilayah Administratif, Bandung: Penerbit Armico, 1984, hlm. 22.

Hal | 55


Sejarah tentang paham demokrasi itu menarik; sedangkan sejarah tentang demokrasi itu sendiri menurut Held membingungkan.102Ada dua fakta historis yang penting.Pertama, hampir semua orang pada rezim politik di seluruh dunia mendeskripsikan dirinya sebagai demokrasi. Namun demikian, apa yang dikatakan dan diperbuat oleh rezim yang satu dengan yang lain sering berbeda secara substansial. Demokrasi kelihatannya melegitimasi kehidupan politik modern, penyusunan dan penegakan hukum dipandang adil dan benar jika „demokratisâ€&#x;.Pada kenyataannya tidak selalu demikian.Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi baru-baru ini saja.Kedua, sementara banyak negara pada saat ini menganut paham demokrasi, sejarah lembaga politiknya mengungkap adanya kerapuhan dan kerawanan tatanan demokrasi. Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi yang berlandaskan Pancasila, masih dalam perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai pandangan serta tafsiran.Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang belum diamandemen. Pemilihan Umum adalah suatu lembaga yang berfungsi sebagai sarana penyampaian hak-hak demokrasi rakyat.Eksistensi kelembagaan pemilihan umum sudah diakui oleh negara-negara yang bersendikan asas kedaulatan rakyat.103 Pemilu yang berkualitas itu harus dapat menjamin adanya kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Hal ini hanya bisa dicapai apabila Pemilu itu diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil. 104 Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunya kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berlandaskan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, 105 yaitu :

102

David Held, Models of Democracy, diterjemahkan oleh Abdul Haris, Akbar Tandjung Institute, Jakarta, 2007, hlm. xxiii. 103 Hukum.kompasiana.com/2012/05/17/hak-pilih-warga-negara-sebagai-saranapelaksanan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu/ 104 Rozali Abdullah., Mewujudkan Pemilu yang lebih Berkualitas, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009), hlm 158. 105 http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

Hal | 56


1. Pengakuanpartisipasi rakyat di dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil 2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama. Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi yaitu sebagai berikut106: 1. Adanya keterlibatan warga Negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan); 2. Adanya suatu pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara); 3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga Negara dalam segala bidang; 4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum; 5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara; 6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah; 7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat; 8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat; 9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya). Dengan demikian, apakah melalui pemilu ini dapat terwujud suatu pemilihan umum yang demokratis, artinya suatu pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang sangat diharapkan untuk terciptanya suatu pemerintahan yang mampu menyelenggarakan pemilu yang demokratis ? Pemilihan kepala daerah merupakan bagian dari suatu Pemilihan Umum dan merupakan bagian dari Otonomi Daerah yang ditetapkan di dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemilihan Kepala daerah di Indonesia berkaitan dengan adanya system pemerintahan daerah sejak awal kemerdekaan pembentukan pemerintahan daerah sudah digagas sebagai 106

Ibid

Hal | 57


implementasi dari konsep otonomi daerah. Sejak berlakukannya Undangundang Nomor 32 Tahun 2004, mengenai pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, banyak menimbulkan masalah, diantaranya waktu yang panjang, sehingga sangat menguras pikiran dan tenaga, belum lagi biaya yang sangat besar, baik dari segi politik ( isu perpecahan internal partai poltik, isu tentang money politic, isu kecurangan dalam bentuk pengelembungan suara yang melibatkan instansi resmi), sosial (isu tentang disintegrasi sosial walaupun sementara, kampanye hitam dan lain-lain) maupun finansial. Namun, dalam sejarah ketatanegaraan inti otonomi itu bermacam-macam.Ada otonomi riil atau otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, otonomi yang seluas-luasnya, dan otonomi khusus.Soal otonomi daerah sudah diatur dalam berbagai ketentuan hukum sejak tahun 1948 sampai dengan sekarang ini.107 Salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan pemilu terletak pada kesiapan dan profesionalitas penyelenggara pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Panitia Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu. Ketiga konstitusi ini telah diamanatkan oleh undangundang untuk menyelenggarakan Pemilu menurut fungsi, tugas-tugas dan kewenangannya masing-masing. 2. Rumusan Masalah Apakah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Sumatera Selatan Tahun 2008 sudah sesuai dengan asas demokrasi ? Ya atau Tidak ? 3. Kerangka Teori Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). 108 Istilah demokrasi pertama kali dikenalkan oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu yang menggariskan bahwa kekuasaan pemerintah berada ditangan orang banyak (rakyat).109 Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, suara dan kesempatan yang sama di

107

Sujamto, Otonomi Daerah yang Nyata dan bertanggung Jawab, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984, hal 110 108 http://id.m.wikipedia.org/wiki/Demokrasi#section_6 109 Ibid

Hal | 58


dalam mengatur kebijakan pemerintaha. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.110 Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk di dalam menilai kebijaksanaan negara, karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. 111 Jadi, negara demokrasi ialah negara yang diselenggarkn berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, jika ditinjau dari sudut organisasi ia berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat. 112 Dalam kaitan ini patut pula dikemukakan bahwa Hendry B. Mayo memberikan pengertian sebagai berikut: “A democratic political system is one in which public policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom.�113 (Sistem politik demokratis ialah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang di dasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik). Lebih lanjut Hendry B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai, yaitu:114 1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized peacfull settlement of conflict); 2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peacefull change in changing society); 3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rulers); 4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion); 110

Ibid Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, CV. Rajawali, Jakarta, cet. 1, 1983, halaman 207. 112 Amirmachmud, “Demokrasi, Undang-undang dan Peran Rakyat�, dalam Prisma No. 8LP3ES, Jakarta, 1984 113 Hendry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford University Press, New York 1960. halaman 70 114 Ibid., hlm. 218-243. 111

Hal | 59


5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, dan tingkah laku; 6. Menjamin tegak nya keadilan. Untuk melaksanakan nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut:115 1. Pemerintahan yang bertanggung jawab; 2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi; 3. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik; 4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat; 5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan. Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hamper seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokratis adalah sebagai berikut : 1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan); 2. Adanya pengakuan, perlindungan, dan penghargaan terhadap, hak-hak asasi rakyat (warga negara); 3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang; 4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegak hukum; 5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara; 6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah; 7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat; 8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih); 9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragaman (suku, agama, golongan, dan sebagainya).

115

Niâ€&#x;matul Huda, Ilmu Negara, PT RajaGrafindo Persada, 2010.hlm 219.

Hal | 60


B. SUMBER DATA 1. Sumber Bahan Hukum Jenis-jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:116 a) Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan antara lain117 : 1. Norma (Dasar) atau kaedah dasar, yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar1945; 2. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggraan Pemilu 3. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah 4. Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 32 Tahun 2004 b) Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari berbagai kalangan hukum, dan lain sebagainya.118 c) Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan lain-lain.119 d) Selain sumber data tersebut penelitian ini menggunakan sumber data yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Selatan 2. Teknik Pengumpulan Bahan Penelitian Didalam melakukan penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan, adalah studi kepustakaan, data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen resmi, publikasi, dari hasil penelitian.120 Didalam melakukan penulisan ini, penulis juga menggunakan proses wawancara langsung dengan koresponden.Wawancara merupakan cara yang 116

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia,1984, hlm 12 117 . Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 30. 118 Ibid, hal. 52 119 . Ibid, hal. 52 120 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Hal 50

Hal | 61


digunakan dalam memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan dari wawancara tersebut. Sebelum melakukan wawancara penulis menyiapkan bahan – bahan yang akan dijadikan topik wawancara dan juga penulis menggunakan wawancara dalam bentuk interview terpimpin yaitu wawancara baku terbuka(guided interview).121 3. Analisis Bahan Penelitian dan Penarikan Kesimpulan Data yang diperoleh data primer akan dikumpulkan, diklasifikasikan menurut pembahasannya, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu dengan bentuk pengelolaan data yang pada awalnya panjang lebar kemudian diolah menjadi suatu data yang diringkas dan sistematis sehingga mudah untuk dipahami.122 Bahan penelitian yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu dengan bentuk pengeloaan bahan penelitian yang diringkas dan sistematis sehingga mudah untuk dipahami. Analisis hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan sebagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah penelitian. C. PEMBAHASAN Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis sesuai dengan kehendak rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, di mana rakyat dapat memilih secara langsung pemimpin politik. Yang dimaksud dengan Pemimpin Politik di sini adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen) baik ditingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga eksekutif atau kepala pemerintahan seperti Presiden,Gubernur, Walikota dan Bupati. Di dalam pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur syaratsyarat yang diperlukan dari masing-masing calon baik dari calon perseorangan maupun syarat calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan dari partai politik/gabungan partai politik. Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan dari Calon Perseorangan harus didukung paling rendah 4% dari jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Selatan (4% x 8.840.030 Jiwa) yaitu 121

Ibid, hal.272 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kumulatif, Yogyakarta, 1998, hal. 28.

122

Hal | 62


353.602 orang dukungan dan harus tersebar dilebih dari 50% jumlah kabupaten/kota Se-Sumatera Selatan yaitu minimal di 8 kabupaten/kota. Sedangkan, Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dari partai politik/gabungan partai politik jumlah kursi dan jumlah suara sah paling rendah untuk pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan yang diajukan dari Partai Politik/Gabungan Partai Politik yang menggunakan salah satu presentase 15% x 3,501.332 suara sah = 525.200 suara sah.123 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan Tahun 2008 secara langsung dirinci di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu. Dalam ketentuan ini diatur mengenai Pemilihan Gubernur, meliputi penetapan pemilih dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, waktu pelaksanaan kampanye, pemungutan suara, penetapan calon terpilih, pelantikan, pelaksanaan pemilihan, sanksi pidana apabila terjadi pelanggaran dan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Pada saat Pelaksanaan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Sumatera Selatan Pada Tahun 2008, pada saat masa kampanye, minggu tenang dan setelah proses penghitungan suara menurut Bapak Agus Heri Pramono dan menurut data-data yang dimiliki oleh KPU Provinsi bahwa pada saat masa kampanye pelanggaran umum masih terjadi seperti peserta kampanye yang dibawah umur, peserta kampanye PNS, dan penggunaan fasilitas negara seperti mobil dinas. Namun pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tersebut tidak sampai pada penindakan pelanggaran pemilu. Sanksi-sanksi administratif lain nya yang masih terjadi pada saat masa tenang yaitu pelanggaran administrasi seperti seperti atribut yang dipasang tidak pada tempatnya serta melakukan kampanye di luar jadwal. Untuk pelanggaran seperti ini, Panitia Pengawas Pemilihan Umum langsung menegur kepada kandidat dan tim sukses untuk memperbaikinya. Ruslan juga meminta agar kedua kandidat menertibkan kembali spanduk, balon udara, dan atribut karena telah memasuki masa tenang.124 Hingga pada saat proses penghitungan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2008, menurut data yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Selatan terdapat beberapa permasalahan 123

Agus Heri Pramono, Kepala Bahian Hukum dan Humas Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Selatan 124 http://www.tempo.co/read/news/2008/09/02/055133323/Pelanggaran-Terjadi-diPemilihan-Gubernur-Sumatera-Selatan

Hal | 63


yang juga terjadi seperti proses penghitungan suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara) tidak ada keberatan yang berarti terhadap hasil dari masingmasing calon, pada proses rekapitulasi tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan proses rekapitulasi kabupaten/kota juga tidak ada permasalahanpermasalahan yang berarti. Namun pada saat proses rekapitulasi di tingkat KPU Provinsi terjadi penolakan hasilnya dengan adanya demonstrasi besar-besaran oleh pendukung Syahrial Oesman-Helmi Yahya, karena memang hasil akhir perbedaan perolehan suara (perolehan suara terlampir). Pada saat itu Syahrial Oesman juga melakukan gugatan ke Mahkamah Agung, meskipun pada akhirnya gugatan dari Pasangan Calon Syahrial Oesman-Helmy Yahya mencabut gugatannya di Mahkamah Agung. Dari data yang didapat Partisipasi Pemilih pada saat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2008 masih tergolong tinggi yaitu 72,79% dan tingkat kecerdasan memilih (perbandingan suara sah dan tidak sah) 74%. 125 Sebagai upaya untuk memahami proses pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2008 penyelenggaraan pemilihan umum yang merupakan sarana mewujudkan kedaulatan rakyat. Pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan bagian dari Otonomi Daerah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang dimana untuk mewujudkan kepemimpinan yang demokratis yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan, penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Sumatera Selatan berkaitan dengan adanya sistem pemerintahan daerah sejak awal kemerdekaan pembentukan pemerintahan daerah sudah digagas sebagai implementasi dari konsep otonomi daerah. Namun ketika muncul Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Pemilihan kepala daerah bukan lagi dari otonomi daerah tetapi bagian dari pemilu. Oleh karena itu penyelenggaraan nya sudah langsung dibawah koordinasi Komisi Pemilihan Umum secara nasional.

125

Agus Heri Pramono, Kepala Bagian Hukum dan Humas KPU Provinsi Sumatera Selatan, wawancara tanggal 12 Juni 2013

Hal | 64


Pemilu adalah pesta demokrasi rakyat Indonesia yang akan menentukan nasib bangsa nya kedepan. Oleh sebab itu, setiap kita harus memahami aturan main dan ikut terlibat aktif dalam pesta akbar tersebut. Jangan sampai kita dicurangi oleh segelintir orang yang hanya bekerja demi kepentingan pribadi atau golongan nya saja. D. PENUTUP Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Sumatera Selatan yang pernah dilaksanakan pada tahun 2008 sudah sesuai dengan asas demokrasi yang mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang sebagaimana telah diubah menjadi undang-undang nomor 12 tahun 2008 serta Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu. Pemilihan kepala daerah dalam perspektif demokrasi, menjanjikan harapan terpilihnya kepala daerah yang legitimate, memahami aspirasi rakyat dan berjuang untuk membangun jiwa raga, jasmani dan rohani, serta kesejahteraan dan keadilan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang Demokratis, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu, pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilihan umum dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada ditangan rakyat serta wujud paling konket partispasi rakyat dalam penyelenggaraan negara.Oleh karena itu, sistem dan penyelenggaraan pemilu selalu menjadi perhatian utama.Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat diharapkan benar-benar dapat diwujudkan melalui penataan sistem dan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum. Salah satu faktor penting bagi penyelenggaraan pemilu terlatak pada kesiapan dan profesionalitas penyelenggara pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Panitia Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu. Di dalam Undang-Undang tersebut disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adanya pengertian yang Hal | 65


demikian ini sesungguhnya juga harus dimaknai bahwa pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia terutama di Provinsi Sumatera Selatan bukan hanya konkritisasi dari kedaulatan rakyat (langsung, umum, bebas, dan rahasia), terlebih dari itu yaitu menghendaki adanya suatu bentuk pemerintahan yang demokratis yang ditentukan secara jujur dan adil.

Hal | 66


Organisasi Masyarakat Dalam Persfektif Negara Hukum Demokratis Oleh: Muhammad Arif Saputra, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. Zen Zanibar MZ, SH.,M.Hum dan Indah Febriani, SH., M.Hum

ABSTRAK: Hak untuk berorganisasi merupakan Hak Asasi Manusia, yang pengaturan mengenai Hak untuk berorganisasi ini terdapat pada UndangUndang Dasar 1945 serta di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, menurut hemat penulis pengaturan mengenai Organisasi Kemasyarakatan ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai-nilai kemasyarakatan yang demokratis, karena Undang-Undang tersebut dibentuk pada masa Orde Baru yang merupakan suatu bentuk pemerintah yang bersifat otoriter, dimana secara de facto kekuasaan tertinggi masih ditangan seorang Presiden. Di dalam penelitian ini penulis ingin meneliti mengenai perkembangan pengaturan mengenai organisasi masyarakat apakah masih sesuai dengan perkembangan Negara pasca reformasi serta bagaimana seharusnya pengaturan mengenai organisasi masyarakat pasca reformasi, metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian normatif yaitu penelitian yang bertitik tolak dari telaah hukum positif, hasil yang penulis temukan dari penelitian ini bahwa pengaturan mengenai organisasi masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai demokratis yang berkembang di masyarakat, dari penelitian ini juga penulis memberikan saran agar pengaturan mengenai organisasi masyarakat ke depannya akan semakin baik yaitu bahwa pasca reformasi diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang baru untuk mengatur mengenai Organisasi Kemasyarakatan yang lebih mencerminkan nilai-nilai demokrasi yaitu nilai kebebasan, kemerdekaan, persamaan hak, kontrol serta partisipasi. Kata Kunci : Hak Asasi Manusia (HAM), Orde Baru, Reformasi, Organisasi Kemasyarakatan

Hal | 67


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah prinsip Negara berdasarkan hukum, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi „Negara Indonesia adalah negara hukumâ€&#x;. 126 Bahkan secara historis negara hukum (Rechtsstaat) adalah negara yang di idealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UndangUndang Dasar 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).127 Demokrasi dan negara hukum adalah dua konsep yang saling berkaitan yang satu sama lain, yang tidak dapat dipisahkan. Pada konsep demokrasi, di dalamnya terkandung prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) sedangkan di dalam konsep negara hukum terkandung prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie), yang masing-masing prinsip dari kedua konsep tersebut dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang.128 Demokrasi adalah suatu pemerintahan di mana rakyat secara langsung ikut serta memerintah (mederegeren), secara langsung yang terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sangat sederhana (demokrasi langsung) maupun secara tidak langsung karena rakyat dalam hal ini diwakilkan (demokrasi tidak langsung) yang terdapat didalam negara-negara modern.129 Pada pengertian yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat, berarti dalam hal ini kekuasaan itu pada pokoknya diakui bersumber dari rakyat, dan oleh karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan bernegara. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri.130 126

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3) Pasca Amandemen. Lihat Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 128 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008. Hlm. 690. 129 Niâ€&#x;Matul Huda, Hukum Tata Negara, Edisi Revisi, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2010, Hlm. 69. 130 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sepihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta: Perpustakaan Nasional RI Data Katalog Dalam Terbitan (KDT), Hlm. 241. 127

Hal | 68


Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. 131 Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Sedangkan dalam negara yang berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirearkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi.132 Konsep demokrasi selalu menempatkan rakyat pada posisi yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan, walaupun pada saat implementasinya terjadi perbedaan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Dikarenakan berbagai varian implementasi demokrasi tersebut, maka dengan demikian di dalam literatur kenegaraan dikenal beberapa istilah demokrasi yaitu demokrasi konstitusional, serta demokrasi yang mendasarkan dirinya atas komunisme.133 Salah satu ciri negara hukum yang demokrasi yaitu terdapat kebebasan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat merupakan suatu hak yang menjadi bagian dari hak asasi manusia. Selain dijamin melalui instrumentinstrumen internasional yang berlaku secara universal, kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat juga dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.134 Negara hukum itu harus ditopang dengan sistem demokrasi karena terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada suatu konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi tanpa pengaturan hukum dalam menjalankan demokrasi akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa adanya demokrasi akan kehilangan makna.135

131

Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (2) Pasca Amandemen. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 152 – 162. 133 Demokrasi konstitusional mencita-citakan sebuah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya, yaitu suatu negara hukum (rechtsstaat) yang tunduk pada Rule Of Law sebaliknya, demokrasi yang mendasarkan dirinya atas komunisme, mencita-citakan pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaannya (machtsstaat) dan bersifat totaliter. Niâ€&#x;Matul Huda, Op., Cit. hlm 246-247 134 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E Ayat (3) Setelah Amandemen yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapatâ€? 135 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII-Press. 2002. hlm. 8. 132

Hal | 69


Dalam Negara hukum yang bersifat demokratis, hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum dalam hal ini tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan berdasarkan kekuasaan semata (machtsstaat). Akantetapi sebaliknya, demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum (rechtsstaat) karena perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi,136 yang akan mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri.137 Implementasi yang lebih sederhana atas pelaksana hak tersebut melahirkan kemunculan organisasi masyarakat (selanjutnya disebut ormas) sebagai wadah berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.138 Sejarah kelahiran ormas di Indonesia yang diawali dengan munculnya kelompok masyarakat yang senang berkumpul, memiliki arti penting bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Organisasi masyarakat yang pada masa pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan terbukti memiliki andil besar dalam kelahiran Indonesia dan memperkuat fondasi hubungan dan interaksi antara negara dan bangsa (warga negara). Organisasi Kemasyarakatan sebagai wadah bagi masyarakat untuk berserikat dan berkumpul merupakan salah satu hak asasi manusia yang terdapat dalam instrumen-instrumen HAM, dimana kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat dikenal sebagai tiga kebebasan dasar yang merupakan bagian dari konsep hak-hak asasi manusia, terutama dalam rumpun hak sipil dan politik.139 Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat (UU Ormas), keberadaan organisasi masyarakat mendapatkan sejumlah pengaturan, terutama pengaturan ideologi yang secara ketat mengharuskan penempatan Pancasila sebagai asas tunggal. Tidak hanya itu, 136

Mobokrasi adalah terminologi yang diperkenalkan oleh Aristoteles untuk menyebut bentuk pemerosotan dari demokrasi. 137 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Op. Cit. 138 Lihat Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Masyarakat Pasal 1. 139 Komisi Hukum Nasional RI, Pendapat Komisi Hukum Nasional RI Tentang Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat, hlm. 3.

Hal | 70


menurut UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi masyarakat, pemerintah dapat membekukan dan/atau membubarkan pengurus organisasi masyarakat tanpa melalui proses hukum apabila organisasi masyarakat melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah, dan memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan negara.140 Keberadaan Organisasi Masyarakat dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang lahir pada masa orde baru digunakan sebagai alat penguasa di masa lalu untuk mengawasi dan mengekang kebebasan berorganisasi. Sebab, organisasi kemasyarakatan dianggap lebih kental dengan nuansa politik dibandingkan argumentasi hukumnya.141 Kekhawatiran terhadap peran dan posisi Ormas sebagaimana dipaparkan di atas mendorong lahirnya Rancangan Undang-Undang Organisasi masyarakat sebagai regulasi yang kuat bagi keberadaan Organisasi Masyarakat di Indonesia. Rancangan Undang-Undang Organisasi masyarakat harus mampu memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengatur ruang lingkup dan definisi organisasi masyarakat secara jelas terkait dengan aspek legal administratif, serta Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan harus mencerminkan keseimbangan antara hak-hak individual untuk melaksanakan kebebasannya dan kebutuhan perlindungan kepentingan umum.142 Penyempurnaan undang-undang dan peraturan hukum yang berkaitan dengan Organisasi Kemasyarakatan sangat diperlukan demi kepentingan umum dan memberikan perlindungan bagi Organisasi Kemasyarakatan sendiri. Sebagaimana yang dinyatakan Leon E. Irish, undang-undang perlu ada di dalam semua masyarakat yang terbuka untuk menjamin dan melindungi kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul secara damai bagi seluruh warga negara.143

140

Lihat Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Masyarakat Bab VII

Pasal 13. 141

Komisi Hukum Nasional RI, Op.,Cit, hlm. 4 Leon E. Irish, Robert Kushen and Karla W. Simon, Guidelines for Laws Affecting Civic Organization, Open Society Institute, International Centre for Not-for-Profit Law, New York, 2004, hlm. 10 di kutip oleh Komisi Hukum Nasional RI, Pendapat Komisi Hukum Nasional RI Tentang Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat, Op.,Cit. 143 Ibid, hlm 2. 142

Hal | 71


2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka perumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah pengaturan terhadap Organisasi Masyarakat yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 masih sesuai dengan perkembangan masyarakat pasca reformasi? 2. Bagaimana seharusnya substansi/materi muatan pengaturan terhadap Organisasi Masyarakat pasca reformasi? 3. Kerangka Teori Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) disebutkan 144”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” serta pada ayat (3) disebutkan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” kedua ayat ini menjadi landasan konstitusional bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut prinsip Negara Hukum Demokrasi. R. Supomo dalam hal ini memberikan pengertian negara hukum sebagai negara yang tunduk pada hukum, peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat perlengkapan negara. Di dalam negara hukum menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan perlindungan hukum, antar hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik.145 F.J Stahl mengemukakan empat unsur dari negara hukum (Rechtsstaat), yakni: 1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia 2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Pemerintah haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan 4. Adanya peradilan administrasi.146 Konsep negara hukum di Eropa yang dikenal dengan Rule Of law yang sangat terkenal uraian A.V. Dicey dalam bukunya yang berjudul “law and constitution” (1952). Dalam bukunya tersebur Dicey menyatakan bahwa unsurunsur Rule of Law mencakup:

144

Lihat ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945. Pendapat Supomo dikutip oleh Sirajuddin, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 13. 146 Ibid hlm. 1 145

Hal | 72


1. Supremasi aturan-aturan hukum. Tidak adanya kekuasaan yang bersifat sewenang-wenang dalam arti bahwa seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalil ini yang berlaku, baik bagi mereka rakyat kebanyakan maupun pejabat. 3. Terjadinya hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusankeputusan pengadilan.147 Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum tersebut kemudian mengalami beberapa penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat di antaranya:148 a. Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat; b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; e. Adanya pengawasan dari badan-badan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam artian lembaga peradilan tersebut benarbenar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif; f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah; g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran rakyat. B. PEMBAHASAN Merupakan suatu hak warga Negara untuk melaksanakan kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat di dalam suatu Negara hukum yang demokratis sebagaimana diterangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang terdapat dalam Pasal 28 serta Pasal 28 E Ayat (3).149

147

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 58. 148 Ridwan. HR. Op.,Cit. hlm. 4 149 Kemerdekaan berserikat dan, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang, serta setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendatap. Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 dan Pasal 28 E Ayat (3).

Hal | 73


Organisasi kemasyarakatan merupakan wujud nyata dari masyarakat dalam keikutsertaan secara aktif yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjamin terdapatnya persatuan bangsa, keberhasilan pembangunan nasional, serta untuk menjamin tercapai tujuan nasional.150 Di dalam Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Pasal 1 menyatakan bahwa:151 “…Organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila…” Organisasi kemasayarakatan juga mempunyai beberapa fungsi yang diterangkan di dalam Pasal 5 Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, yaitu152: a. Sebagai wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggotanya; b. Wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi; c. Sebagai wadah peranserta dalam usaha menyukseskan pembangunan nasional; d. Sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar Organisasi Kemasyarakatan, dan antara Organisasi Kemasyarakatan dengan organisasi kekuatan sosial politik, badan permusyawaratan/perwakilan rakyat, dan pemerintah. Mengenai pembentukan Organisasi Kemasyarakatan diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 1986 Tentang pelaksanaan UndangUndang (UU) No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang terdapat pada Pasal 2 Ayat (1), (2), dan (3)153. 150

Komisi Hukum Nasional RI, Pendapat Komisi Hukum Nasional RI Tentang Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat, hlm. 4. 151 Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Pasal 1. 152 Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Pasal 5. 153 Pasal 2 PP No. 18 Tahun 1986 Tentang Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan menyatakan bahwa: (1). Anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara sukarela dapat membentuk organisasi kemasyarakatan atas dsar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Hal | 74


Perkataan mengenai â€œâ€Śreformasi‌â€? seringkali terkait dengan banyak ranah, tidak saja terbatas pada kaitan hukum dan politik, melainkan terkait juga dengan aspek-aspek penting lainnya seperti, ekonomi, budaya, gender, militer dan etika atau moralitas. Tuntutan reformasi pada tahun 1998 menghendaki adanya perubahan fundamental terhadap hukum dan politik, ini dikarenakan sesuai dengan implikasi sosial dan politis ketika kekuatan zaman menuntut reformasi menjadi begitu besar.154 Pengalaman orde baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi Negara dan penderitaan terhadap rakyat. Oleh sebab itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi yang merupakan suatu proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, serta pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).155 Langkah awal yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR hasil pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahun (1999-2002), perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis.156 Pergeseran kekuasaan dan perubahan yang dikehendaki rakyat dalam kurun waktu seperempat abad lebih tersebut yang seolah dalam sedetik terjadi dalam perubahan paradigmatic peta perpolitikan di Indonesia kala itu dalam sejarah konstitusi Indonesia, secara otomatis Wakil Presiden B.J.Habibie menduduki kursi orang pertama RI menggantikan Soeharto sampai habis masa jabatannya.157 Pada saat Presiden Habibie memimpin inilah di kenal dengan perkataan era reformasi di karenakan pada saat ini demokrasi mulai dilakukan, ditandai dengan adanya kebebasan mengeluarkan pendapat yang merupakan salah satu (2). Organisasi Kemasyarakatan yang baru dibentuk Pengurusnya memberitahukan secara tertulis kepada pemerintah sesuai dengan ruang lingkup keberadaannya. (3). Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak tanggal pembentukanya dengan melampirkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan Susunan Pengurus. 154 Bambang Sutiyoso. Aktualisasi Hukum dalam Era Reformasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. Hlm. XI. 155 Meriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012. Hlm. 134. 156 Ibid. 157 Ibid. Hlm.3- 4

Hal | 75


unsur dari demokrasi dimana tidak adanya rasa takut oleh rakyat untuk berbeda pendapat, untuk berserikat serta tidak ada keraguan untuk memasuki partai politik tertentu.158 Perubahan tersebut menimbulkan nilai-nilai baru di dalam menjalani pemerintahan, pada pemerintahan Orde Baru cenderung kepada kekuasaan yang bersifat tunggal, cenderung otoriter serta tertutup sedangkan pada era reformasi menimbulkan nilai-nilai yang bersifat kebebasan, kemerdekaan, persamaan, keadilan, keterbukaan dan lain sebagainya.159 Perubahan terhadap nilai-nilai yang berkembang di dalam pemerintahan pada masa reformasi sekarang berpengaruh juga terhadap Undang-Undang Tentang Organisasi Kemasyarakatan, dalam hal ini penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan tentang organisasi kemasyarakatan perlu diadakan agar tercipta suatu perlindungan terhadap organisasi masyarakat dan kepentingan umum.160 Leon E. Irish berpendapat bahwa aturan mutlak diperlukan di dalam masyarakat yang bersifat terbuka agar terdapat jaminan perlindungan terhadap kebebasan berserikat, berkumpul serta berpendapat yang dilakukan secara damai bagi warga Negara, aturan hukum juga diperlukan untuk melindungi publik dari adanya penyalahgunaan Organisasi Kemasyarakatan.161 Pada awalnya prinsip mengenai kebebasan dan kemerdekaan untuk berserikat terdapat pada Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 28 yang merupakan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum reformasi, yang menyatakan:162 â€œâ€Śkemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UndangUndang‌â€? Berdasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut belum terdapat adanya jaminan konstitusional yang tegas dan langsung, hanya menyatakan akan ditetapkan melalui sebuah Undang-Undang tidak menyatakan

158

Miftah Thoha. Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia. Yogyakarta: Thafa Media, 2012. Hlm. 31. 159 Bambang Istianto. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011. Hlm. 126. 160 Komisi Hukum Nasional RI, Op., Cit. hlm. 2. 161 Leon E. Irish, Robert Kushen and Karla W. Simon, guidelines for laws Affecting Civic Organization, Open Society Institute, International Centre for Not-for-Profit Law, New York, 2004, hlm. 10. Dikutip oleh Komisi Hukum Nasional RI. Ibid. Hlm. 3. 162 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28.

Hal | 76


secara tegas dan secara langsung mengenai kebebasan warga negaranya perihal hak-hak warga negara.163 Selain itu, berdasarkan Pasal 28, kemerdekaan berkumpul, berserikat dan menyampaikan pikiran yang merupakan hak asasi manusia (HAM), diartikan dan tergantung pada kemauan seorang presiden, seperti pada UU Organisasi Kemasyarakatan dibuat untuk kepentingan Presiden dan Orde Barunya.164 Setelah reformasi mulai berlaku yang ditandai dengan jatuhnya Rezim Orde Baru, melalui amandemen kedua terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan pada tahun 2000, maka jaminan konstitusional mengenai kebebasan berserikat menjadi lebih tegas sesuai dengan yang terdapat di dalam Pasal 28 E Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:165 â€œâ€Śsetiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat‌â€? Dengan adanya Pasal 28 E Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 terdapat tiga hal yang dijamin secara tegas oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan sebagai berikut:166 a. Adanya jaminan terhadap kebebasan untuk berserikat atau beroganisasi (Freedom of association); b. Adanya jaminan terhadap kebebasan untuk berkumpul (Freedom of assembly); dan c. Adanya jaminan kebebasan untuk menyatakan pendapat (Freedom of expression). Setiap orang diberi hak untuk bebas membentuk atau ikut serta dalam keanggotaan atau pun menjadi pengurus organisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian kita tidak lagi memerlukan pengaturan oleh undang-undang untuk memastikan adanya kemerdekaan atau kebebasan bagi setiap orang itu untuk berorganisasi dalam wilayah negara Republik Indonesia. 167

Akantetapi, untuk melaksanakan kegiatan organisasi tersebut diperlukan pengaturan mengenai cara pembentukannya, pembinaan, penyelenggaraan kegiatan, sistem pengawasan, dan pembubaran organisasi. Karena itu, 163

Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat di dalam Undang-Undang, http://jimlyschool.com/read/analisis/274/mengatur-kebebasan-berserikat-dalamundangundang/. Di akses 30 Mei 2013 Jam 12.25 WIB. 164 Moh. Alifuddin, Berdemokrasi (Panduan Praktis Perilaku Demokratis), Jakarta. MagnaScript Publishing. 2012, Op.Cit. Hlm. 27. 165 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E Ayat (3). 166 Jimly Asshiddiqie. Op.Cit. 167 Ibid.

Hal | 77


dipandang perlu untuk menyusun suatu undang-undang baru untuk menggantikan undang-undang lama yang disusun berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum reformasi, yaitu Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.168 Pendapat Jimly Asshiddiqie di dalam tulisannya “Mengatur Kebebasan Berserikat di dalam Undang-Undang” untuk menyiapkan pengaturan Organisasi Kemasyarakatan oleh pemerintah, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut ini:169 a. Terdapat prinsip pemisahan (decoupling) antara wilayah Negara, wilayah masyarakat serta dunia usaha; b. Adanya prinsip “legal and constitutional organization” c. Terdapat prinsip pemerintahan yang baik “good governance”, dan d. Kebutuhan dalam hal “organizational empowerment” untuk mewujudkan suatu prinsip “freedom of association” agar tetap menjamin serta tidak mengurangi mengurangi prinsip kebebasan dalam hal berkeyakinan, berpikir serta kebebasan tentang berpendapat. Pengaturan mengenai Organisasi Kemasyarakatan di dalam hal ini mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam sistem ketatanegaraan yang ada yang menginginkan adanya “legal and constitutional government” serta adanya keinginan untuk mewujudkan “good governance” bahwa kegiatan komunitas organisasi di ketiga wilayah yaitu Negara, dunia usaha dan masyarakat harus berada di kedudukan yang seimbang, saling menunjang satu sama lainnya untuk mewujudkan kemajuan bangsa.170 C. BAGIAN AKHIR 1. Kesimpulan Berdasarkan pada permasalahan serta dengan adanya pembahasan mengenai rumusan permasalahan pada tulisan diatas, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:  Bahwa pengaturan terhadap ormas berdasarkan pada UU tersebut sudah tidak sesuai lagi ini dikarenakan pasca reformasi nilai-nilai yang berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat yaitu nilai-nilai demokrasi

168

Ibid. Ibid. 170 Ibid. 169

Hal | 78




yang lebih mencerminkan kepada kebebasan, kemerdekaan, persamaan hak, kontrol serta partisipasi. Bahwa pengaturan terhadap organisasi masyarakat yang akan dibentuk dalam suatu peraturan perundang-undangan yang baru, harus lebih mencerminkan nilai-nilai demokrasi, serta melihat pada perkembangan organisasi masyarakat yang telah berkembang sehingga tidak menimbulkan sifat otoriter yang baru di pemerintah.

2. Saran Berdasarkan pada latar belakang permasalahan yang ada pada penulisan skripsi ini, penulis memberikan beberapa rekomendasi terhadap pengaturan yang akan diberikan kepada Organisasi Masyarakat melalui Rancangan UndangUndang, yaitu sebagai berikut:  Pengaturan yang akan diberikan kepada organisasi masyarakat melalui peraturan perundang-undangan yang baru yang memperhatikan nilai-nilai demokrasi yang telah berkembang.  Pasal-pasal pada Rancangan Undang-Undang mengenai Organisasi Kemasyarakatan yang dapat menimbulkan sifat otoriter model baru agar dihapuskan misalkan saja pasal yang mengharuskan Organisasi Kemasyarakatan untuk mendaftarkan diri kepemerintah, yang apabila tidak mendaftarkan berakibat Organisasi Kemasyarakatan tidak dapat beroperasi/beraktifitas.  Pasal-pasal pada Rancangan Undang-Undang mengenai organisasi kemasyarakatan yang bersifat ambigu serta dapat menimbulkan berbagai penafsiran mengenai isi pasal tersebut agar dihapuskan atau diperjelas arti dari isi pasal tersebut.

Hal | 79


DAFTAR PUSTAKA A. BUKU LITERATUR: Alifuddin, Moh, Berdemokrasi (Panduan Praktis Perilaku Demokratis), Jakarta. MagnaScript Publishing. 2012. Asshiddiqie, Jimly . Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sepihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta. Konstitusi Press. 2005. ______________. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta. Konstitusi Press. 2005. ______________. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008. Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 1992. ______________. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama, 2012. HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta. UII-Press. 2002. Huda, Ni‟Matul. Hukum Tata Negara, Edisi Revisi. Jakarta. PT. RajaGrafindo. 2010. Istianto, Bambang, Demokratisasi Birokrasi. Jakarta. Mitra Wacana Media, 2011. Sirajuddin. Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik. Bandung. PT Citra Aditya Bakti, 2006. Sutiyoso, Bambang, Aktualisasi Hukum dalam Era Reformasi. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 2004. Thoha, Miftah, Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia, Yogyakarta. Thafa Media, 2012. B.   

PERUNDANG-UNDANGAN: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Masyarakat. PP No. 18 Tahun 1986 Tentang Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.

C. SUMBER LAIN-LAIN  Komisi Hukum Nasional RI, Pendapat Komisi Hukum Nasional RI Tentang Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat. Hal | 80




Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat di dalam Undang-Undang http://jimlyschool.com/read/analisis/274/mengatur-kebebasan-berserikatdalam-undangundang/. Di akses 30 Mei 2013 Jam 12.25 WIB

Hal | 81


Implementasi Sekolah Gratis di Sumatera Selatan Dalam Mewujudkan Hak Warga Negara Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Oleh: M. Prasetya W.B, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Amir Syarifuddin, SH.,M.Hum dan Hj. Helmanida, SH.,M.Hum

Abstrak: Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea ke IV menyatakan bahwa Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumusan ini menyiratkan pendidikan adalah elemen terpenting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bangsa. Untuk menjalankan amanat tersebut Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menjalankan sebuah program yaitu Program Sekolah Gratis.yang dilaksanakan dari SD , SMP & SMA/ sederajat.Hak warga negara dalam memperoleh pendidikan yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat diwujudkan melalui Sekolah. Namun dalam pelaksanaan sebuah program pasti ada hambatan, lalu bagaimana pelaksanaannya serta upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi hambatan tersebut. Kata Kunci : Hak warganegara,kesejahteraan,sekolah gratis,angka partisipasi kasar, angka partisipasi murni

Hal | 82


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara hukum yang bertumpu pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan, dengan kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui sistem demokrasi.Dalam sistem demokrasi, penyelengaraan negara itu harus bertumpu pada partisipasi dan kepentingan rakyat. Implementasi kepentingan negara hukum itu ditopang dengan sistem demokrasi.171 Seiring dengan perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran negara hukum pada saat kini di anut oleh negara-negara di dunia khususnya setelah perang dunia kedua adalah negara kesejahteraan ( welfarestate). Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan dari konsep legal state atau negara penjaga malam. Dalam konsepsi legal sate terdapat prinsip staatsonthouding atau pembatasan peranan negara dan pemerintah dalam bidang politik yang bertumpu pada dalil “ the least government is the best government�dan terdapat prinsip “laissez faire, laissez aller�di bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencapuri kehidupan ekonomi masyarakat (staatsbemoeienis). Akibat dari pembatasan ini pemerintah atau administrasi negara menjadi pasif, yang dikenal dengan sebutan negara penjaga malam. Adanya pembatasan negara dan pemerintah ini dalam praktiknya ternyata berakibat menyusahkan kehidupan warga negara, yang kemudian dapat memunculkan reaksi dan kerusuhan sosial. Dan artinya konsepsi negara penjaga malam telah gagal dalam implmentasinya dikarenakan kegagalan tersebut kemudian muncul gagasan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya , yaitu welfare state .Ciri utama negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Dengan kata lain, ajaran wefare state merupakan bentuk konkret dari peralihan prinsip staasonthouding, yang membatasi peran negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat , yang menghendaki negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah awal dalam mewujudkan kesejahteraan umum, disamping untuk menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde ).172 Dalam Sistem pemerintahan di Indonesia ditegaskan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945 atau konstitusi, 171 172

Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara .,Jakarta: Rajawali pers, 2008,hlm,14-15 Ibid

Hal | 83


Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum dalam bahasa belanda “rechsstaat.” Atau dalam bahasa inggrisnya “the rule of law” .merupakan suatu ciri dari sebuah pembatasan kekuasaan negara. Pembatasan tersebut dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh karena iu konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional , yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi..173 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang untuk pertama kalinya ditetapkan oleh para pendiri negara pada tanggal 18 agustus 1945. Sebagai hukum dasar ,UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan hanya merupakan dokumen hukum tetapi juga mengandung aspek lain seperti suatu pandangan hidup, suatu cita-cita, serta falsafah yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa dan menjadi landasan dalam penyelengaraan negara sebagai sumber hukum tertinggi.174 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea ke IV menyatakan bahwa Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan suatu kehidupan bangsa. Rumusan tersebut menyiratkan adanya kesadaran tinggi dari para pendiri negara indonesia bahwa pendidikan adalah elemen ter penting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan suatu bangsa. Pernyataan itu kemudian diperkuat dalam Batang Tubuh UUD RI Tahun 1945 Pasal 31 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) : (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya.175 Setiap pendidikan merupakan bagian dari suatu proses menuju kepada tujuan tertentu. Tujuan tersebut telah ditentukan oleh masyarakat pada waktu dan tempat tertentu dengan latar belakang berbagai macam faktor seperti faktor sejarah, faktor tradisi , faktor kebiasaan ,faktor sistem sosial, faktor sistem ekonomi, faktor politik, serta faktor kemauan bangsa. Berdasarkan faktor-faktor 173

Jimly Asshiddiqie , “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara jilid II”.,seketariat jendral dan kepaniteraan MK RI :JAKARTA 2006,,hlm.11 174 Sambutan Pimpinan MPR RI PERIODE 2009-2014 Dalam buku Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terbitan seketariat jendral MPR RI 2012 175 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen keempat

Hal | 84


tersebut , Unesco telah memberikan suatu gambaran tentang tujuan pendidikan pada umumnya dan untuk di Indonesia sendiri tujuan itu telah ditetapkan dalam Ketetapan MPR.176 Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan posisi seseorang dalam stratifikasi sosial masyarakat . kepercayaan pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencegah masalah, merupakan salah satu syarat berlangsungnya dan berhasilnya pembangunan. Pendidikan merupakan suatu sarana dan proses untuk memperoleh kemampuan-kemampuan tertentu di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, nilai untuk mementingkan pendidikan, merupakan suatu nilai yang dapat menunjang proses pembangunan.177 Di dalam hal ini UUD 1945 telah merumuskan suatu tujuan yang ideal yaitu mencerdaskan kehidupan rakyatnya. sistem pendidikan nasional merupakan suatu upaya untuk mewujudkan cita-cita ideal tersebut ialah warganegara Indonesia yang cerdas. warga negara Indonesia yang cerdas adalah warga negara Indonesia yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan berprestasi sebagai seseorang yang bermoral . Moral yang dimiliki oleh manusia Indonesia yang cerdas adalah sebagai warga negara dari Indonesia yang bersatu .178 Pendidikan merupakan salah satu faktorMerujuk pada Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pendidikan adalah “sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seluruh warga negara”. siapapun tidak berhak untuk menghalangi orang lain untuk memperoleh pendidikan. Bahkan terdapat kewajiban untuk Pemerintah membiayainya. Yang artinya, Pemerintah, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah di provinsi, sampai pemerintah di kabupaten dan kota, wajib menjamin atas penyelenggaraan pendidikan tanpa memungut biaya (Pasal 34 ayat 2 UU NO 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional). Ini dapat diartikan bahwa biaya-biaya terkait dengan penyelenggaraan pendidikan ditanggung oleh negara. Bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Pemprov Sumsel) otonomi daerah, khususnya untuk otonomi pendidikan, merupakan sebuah peluang bagi Pemerintah Provinsi untuk lebih leluasa mengelola urusan pendidikan sesuai 176

Martin sardy, ,Pendidikan Manusia, alumni :bandung 1985.hlm 47 Soerjono soekanto, heri tjandrasari ,” Beberapa Aspek Sosio Yuridis masyarakat” ,penerbit alumni , bandung.,hlm36 178 A.r.tilaar “Standarisasi Pendidikan Nasional-Suatu Tujuan Kritis”,.rineka cipta :Jakarta ,2006, hlm,76 177

Hal | 85


dengan karakteristik yang dimiliki oleh daerah. Berbagai upaya yang dilakukan dalam peningkatan kinerja pembangunan pendidikan di Sumsel telah digagas dan dilakukan. Bahkan sampai Pemprov Sumsel tsudah berkomitmen untuk terus memposisikan pendidikan sebagai prioritas pembangunan yang pertama agar pendidikan di daerah sangat bermutu, akuntabel, murah, merata, dan terjangkau oleh rakyat banyak yaitu dengan cara Program Sekolah Gratis di Sumatera selatan.179 Dengan adanya kebijakan sekolah gratis diasumsikan bahwa seluruh masyarakat Di Sumatera Selatan tidak buta huruf dan mendapatkan pendidikan yang layak minimal baca tulis.dengan adanya sekolah gratis tidak ada alasan untuk anak tidak dapat mengenyam pendidikan di berbagai jenjang. Seluruh lapisan berhak mendapatkan pendidikan.180 Kebijakan sekolah gratis juga terdapat Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tentang persamaan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pengajaran dijamin berdasarkan pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) yang menetapkan bahwa: tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur dengan undang-undang. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu tujuan negara kita sebagaimana yang diungkapkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak . Bertitik tolak pada keadaan tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI SEKOLAH GRATIS DI SUMATERA SELATAN DALAM MEWUJUDKAN HAK WARGA NEGARA MENURUT UNDANGUNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945�. 2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian singkat diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan Skripsi ini, yaitu :

179

Strategi membangun pemerintahan yang bermutu di Sumatera Selatan http://www.majalahkibar.com/strategi-membangun-pendidikan-bermutu-di-sumatera-selatan/ diakses 18 juni 2013 180 Artikel Sekolah Gratis itu Dekat Kemakmuran oleh jajang r kawentar dalam bulletin young-g edisi 19 september 2012 hlm 3

Hal | 86


1. Bagaimanakah implementasi sekolah gratis di Sumatera Selatan dalam mewujudkan hak warga negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ? 2. Upaya apakah yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka kebijakan sekolah gratis di Sumatra Selatan guna mewujudkan mewujudkan hak warga negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ? 3. Kerangka Teori a) Teori negara Hukum Negara Hukum ialah negara yang berediri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada seluruh warga negaranya. Keadilan tersebut merupakan syarat untuk terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar keadilan keadilan tersebut perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar dapat menjadi suatu warga negara yang taat pada peraturan . Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya dapat dilaksanakan jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.181 b) Teori Negara kesejahteraan Pada tipe negara kesejahteraan atau welfare state ini, negara mengabdi sepenuhnya kepada masyarakat pada sebuah negara, dalam negara kesejahteraan maka negara adalah alat satu-satunya untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, disini negara sangat bersifat aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya, untuk kepentingan seluruh rakyat dan negara. Jadi pada tipe negara kesejahteraan ini tugas dari pada negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan rakyat semaksimal mungkin182 c) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) : (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya.183 181

Abu Daud Busroh “Ilmu Negara“,Jakarta:Bumi Aksara,2008.hlm53 Ibid hlm 54-55 183 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen 182

keempat

Hal | 87


B. PEMBAHASAN 1. Implementasi Sekolah Gratis di Sumatera Selatan dalam Mewujudkan Hak Warga Negara Menurut Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Program Sekolah Gratis merupakan bebasnya orangtua peserta didik dari kewajiban membayar biaya oprasional sekolah yang selama ini dipungut oleh sekolah dari orangtua peserta didik, selanjutnya biaya tersebut dibayar oleh pemerintah dengan besaran tertentu berdasarkan kebutuhan dasar Setiap peserta didik pertahun untuk mengikuti kegiatan pembelajaran pada jenjang pendidikan sampai jenjang pendidikan menengah. Berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No 14 Tahun 2013, pada Pasal 1 anggka 13 menyatakan bahwa “sekolah gratis adalah program untuk meringgankan beban orang tua atau wali melalui pembebasan dari kewajiban membayar biaya oprasional sekolah” 184. Selanjutnya Pada Pasal 1 anggka 14 menyatakan bahwa “biaya oprasional sekolah adalah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan proses belajar mengajar yang terdiri dari : 1) Biaya personal meliputi biaya untuk kesejahteraan guru, pegawai, pengembangan profesi guru ; dan 2) Biaya non personal yang meliputi seperti penerimaan siswa baru atau daftar ulang siswa, untuk penunjang kegiatan belajar mengajar, untuk evaluasi/penilaian, untuk perawatan/pemeliharaan ringan daya dan jasa, untuk pembinaan kesiswaan, serta alat tulis kantor”.185 Menurut Pejabat Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan dalam hal ini Asrin selaku seketaris Tim Pelaksana Program Sekolah Gratis Provinsi Sumatera Selatan mengatakan bahwa : sekolah gratis merupakan program pemerintah untuk menuntaskan wajib belajar 12 tahun sebagai lanjutan dari program nasional wajib belajar 9 tahun.186 Sasaran program sekolah gratis adalah semua penduduk provinsi Sumatera Selatan usia sekolah tanpa memandang dari asal-usul, jenis kelamin, status sosial, serta suku dan agama, yang tercatat sebagai suatu peserta didik pada sekolah atau madrasah mulai dari jenjang pendidikan dasar (SD/SDLB/MI Dan SMP/SMPLB/Mts), Sampai dengan suatu jenjang pendidikan menengah 184

Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2009 Nomor 2 Seri E, Perda No 3 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Program Sekolah Gratis di Provinsi Sumatera Selatan Pasal 1 anggka 13 185 Ibid Pasal 1 anggka 14 186 Op.cit Wawancara Dengan Bapak Asrin

Hal | 88


(SMA/SMALB/MA dan SMK). Artinya, bahwa Program Sekolah Gratis jelas merupakan Implementasi program Wajib Belajar 12 Tahun sebagai lanjutan dari program nasional Wajib Belajar 9 Tahun. Keberhasilan dari Program Sekolah Gratis dapat terlihat dari perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) di Sumatera Selatan. Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah dari siswa, berapasaja usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. Misalnya APK SMP sama dengan jumlah siswa yang duduk di bangku SMP dibagi dengan jumlah penduduk kelompok usia 12 sampai 15 tahun. Dapat kita lihat pada grafik perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) di Sumatera Selatan dibawah ini . Grafik 1. Perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) Sumatera Selatan 2009- 2012 SM-MA

SMP-MTs

SD-MI

0

20

40

60

80

100

SD-MI

SMP-MTs

SM-MA

Th.2012

102.08

96.54

81.68

Th.2011

101.43

96.36

81.27

Th.2010

102.21

96.04

80.04

Th.2009

102.03

94.01

79.52

120

Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan

APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan suatu indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan. Dapat dilihat perkembangan APK di Sumatera Selatan Meningkat dari Tahun ketahun yang artinya ada perkembangan dari tahun 2009 sampai tahun 2012. Dapat dilihat dari indikator tersebut penulis berpendapat bahwa implementasi dari wajib belajar 12 tahun sudah hampir tercapai, ukuran Hal | 89


tercapainya suatu kebijakan tersebut dapat dilihat dari indikator atau petunjuk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun ,dengan peningkatan tersebut artinya adanya keinginan masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan amanat Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Selain perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) di Sumatera Selatan. Keberhasilan dari Program Sekolah Gratis juga dapat terlihat dari perkembangan Angka Partisipasi Murni (APM) di Sumatera Selatan. Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama. APM menunjukkan suatu partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat pendidikan tertentu. Seperti APK, APM juga merupakan suatu indikator daya serap penduduk usia sekolah di setiap jenjang pendidikan. Namun, bila dibandingkan APK, APM merupakan suatu indikator daya serap yang lebih baik karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut. Dapat kita lihat perekembangan APM di Sumatera Selatan pada Grafik di bawah ini. Grafik 2. Perkembangan Angka Partisipasi Murni (APM) Sumatera Selatan 2008- 2012 Th 2012

Th.2011

Th.2010

Th.2009

Th. 2008

68.88 68.32 67.03

SM-MA 56.27 48.94

SMP-MTs

SD-MI

83.98 83.94 83.03 81.06 79.42 95.52 95.36 95.14 95.01 94.84

Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan

Grafik tersebut merupakan indikator atau jawaban dari partisipasi masyarakat yang walaupun Program Sekolah Gratis tersebut belum memenuhi segala keinginan masyarakat namun sudah membuat masyarakat sadar akan arti pentingnya pendidikan untuk masa depan. Selain APK dan APM , indikator yang menunjukan keberhasilan dari program sekolah gratis untuk mewujudkan hak warga negara menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , dapat dilihat dari Hal | 90


penurunan Angka Putus Sekolah dari tahun 2008 yaitu tahun sebelum sekolah gratis dilaksanakan, tahun 2009 ketika program Sekolah Gratis Mulai Dilaksanakan Angka Putus Sekolah tersebut terus menurun. Dapat disimpulan oleh penulis bahwa dengan program sekolah gratis di Sumatera Selatan telah menunjukan kesadaran dari masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi kehidupan di masyarakat. Dari pelaksanaan program sekolah gratis ini dapat mewujudkan hak warganegara dalam memperoleh pendidikan sesuai dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) yang mengamanatkan bahwa: Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.187 2. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dalam rangka Kebijakan Sekolah Gratis guna mewujudkan hak warga negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam melaksanakan program sekolah gratis di sumatera selatan pemerintah provinsi sumatera selatan tentunya mendapatkan hambatan seperti hambatan dari masyarakat yang kurang mengerti tentang program sekolah gratis. Dalam menghadapi hambatan yang menghambat berjalannya program sekolah gratis di Sumatera Selatan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah berupaya untuk mencari jalan keluar dalam penyelesaian masalah tersebut . Meunurut Asrin : “Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah mengupayakan untuk mensosialisasikan program sekolah gratis tersebut agar lebih dimengerti oleh masyarakat, dengan melakukan sosialisasi tentang program sekolah gratis di Sumatera Selatan ini melalui tim pelaksana program sekolah gratis kabupaten/kota, bahkan tim pelaksana program sekolah gratis provinsi Sumatera Selatan pun turun untuk melaksanakan sosialilasi program sekolah gratis ini berjalan sesuai dengan tujuan yaitu dengan adanya program sekolah gratis tidak akan ada lagi anak usia sekolah jenjang pendidikan dasar dan menengah di Provinsi Sumatera Selatan yang tidak bersekolah dikarenakan alasan biaya.188 Menurut penulis dengan adanya sosialisasi kepada masyarakat dan tim Pelaksana Program Sekolah Gratis di kabupaten atau kota oleh tim 187

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Pasal 31 Amandemen

keempat 188

Wawancara dengan bapak Asrin (seketaris Tim Pelaksana Program Sekolah Gratis Provinsi Sumatera Selatan ) pada tanggal 20 mei 2013

Hal | 91


Penyelenggara Program sekolah gratis ini, maka masyarakat akan lebih mengerti lagi akan arti dan maksud dan tujuan dari program sekolah gratis sehingga dalam pelaksanaanya tidak ada lagi masalah dan hambatan dalam kata lain dapat mensukseskan penyelengaraan program sekolah gratis di Sumatera Selatan. Hambatan yang lain adalah Selain hambatan dari masyarakat terdapat pula hambatan menurut Asrin dari pola dalam pelaksanaan penyaluran dan program sekolah gratis ini ke kabupaten atau kota dimana dan program sekolah gratis yang bersumber dari APBD Provinsi untuk sekolah negeri non madrasah dananya ditansfer ke kas daerah kabupaten kota masing-masing. Hal ini menjadi hambatan bagi sekolah negeri non madrasah sebab dana yang diberikan dari program sekolah gratis tidak langsung masuk ke sekolah tetapi melalui kas daerah kabupaten kota masing-masing. Sebab akan membuat lambannya penyaluran dana program sekolah gratis tersebut untuk sampai ke sekolahsekolah.189 Namun permasalahan atau hambatan ini telah di upayakan dan diatasi oleh pemerintah provinsi sumatera selatan dengan di keluarkannya Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Penyelengaraan Program Sekolah Gratis dimana salah satu pasalnya yaitu Pasal 8 yang menerangkan bahwa : penyaluran dana program sekolah gratis ke rekening sekolah paling lambat 4 (empat) hari kerja setelah transfer dana dari Provinsi masuk ke daerah , dan juga penambahan Bab pada Pergub ini yaitu penambahan Bab sanksi , yang isinya akan memberikan sanski jika melanggar ketentuan dari Pergub tersebut. dari Pergub tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa sudah ada aturan hukum yang mengatur agar dana yang ada di kas kabupaten atau kota segera di berikan kepada sekolah, dengan adanya peraturan gubernur ini diharapkan tidak ada lagi hambatan yang terjadi dalam penyaluran dana , agar program sekolah gratis ini dapat berjalan dengan lancar dan dapat mewujudkan tidak akan ada lagi anak usia sekolah jenjang pendidikan dasar dan menengah di Provinsi Sumatera Selatan Yang tidak bersekolah dikarenakan alasan biaya.190 Jika kita lihat unsur yang mempengaruhi hukum salah satunya adalah Substansi hukum,Yang dimaksud substansi hukum ialah aturan atau norma yang merupakan pola perilaku manusia dalam masyarakat yang berada dalam sistem hukum tersebut, Menurut freidman dalam buku karangan achmad, the substance is composed of substantive rules and rules and rules about how institusion

189 190

Ibid Ibid

Hal | 92


should be have. Jadi, yang dimaksud dengan substansi menurut friedman adalah aturan, norma,dan pola perilaku manusia nyata yang berada dalam sistem itu.191 Substansi hukum memiliki pengaruh yang cukuip besar dalam menjalankan Hukum dalam suatu Negara, maka dengan adanya Peraturan Gubernur yang baru tersebut dapat menjadikan masyarakat taat akan aturan yang telah dibuat. Menurut penulis dengan adanya peraturan baru tersebut dapat menjadikan hambatan dalam pola pelaksanaan tersebut dapat teratasi sebab dengan adanya peraturan yang baru tersebut telah menjadi payung hukum agar masyarakat dan tim pelaksana program sekolah gratis dapat patuh dengan peraturan yang baru tersebut. C. PENUTUP 1. Kesimpulan 1. Dalam pelaksanaanya program sekolah gratis telah menujukan indikator keberhasilan yaitu dari peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) Serta penurunan angka putus sekolah yang artinya masyarakat telah sadar pentingnya arti pendidikan. 2. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi Hambatan seperti kurangnya mengerti masyarakat mengenai program sekolah gratis namun pemerintah telah berupaya untuk melakukan sosialisasi mengenai program tersebut agar masyarakat lebih mengerti, hambatan yang kedua yaitu dari pola penyaluran dana yang lambat namun pemerintah telah berupaya dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur yang baru yang menambahkan BAB mengenai sanksi, agar pelaksanaanya dapat berjalan sesuai dengan aturan tersebut. 2. Saran 1. Agar pemerintah dapat terus menjalankan sosialisasi tentang program sekolah gratis kepada seluruh masyarakat jika perlu dilaksanakan rutin agar program sekolah gratis tersebut dapat dimengerti oleh masyarakat dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat , sebab

191

Achmad ali “keterpurukan hukum di indonesia (penyebab dan solusinya) ,ghalia Indonesia,jakarta;2002 hlm8

Hal | 93


seluruh masyarakat memiliki hak akan pendidikan yang layak dan berkualitas; 2. Agar dengan adanya Peraturan Daerah Dan Peraturan Gubernur tentang program sekolah gratis pemerintah dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang berlaku dan menaati segala aturan dalam peraturan tersebut.

Hal | 94


Praktik Koalisi Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Dengan Sistem Multipartai Di Indonesia Oleh: Meiliyanza, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Fahmi Yoesmar AR, SH.,MS dan Zulhidayat, SH.,MH

Abstrak: Fenomena kebebasan terjadi pada masa reformasi ketika Indonesia kembali ke sistem multipartai. Sistem multipartai di Indonesia merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari karena Indonesia memiliki tingkat kemajemukan masyarakat sangat tinggi. Sedangkan sistem pemerintahan setelah amandemen UUD 1945 mengamanatkan penegasan sistem pemerintahan presidensial yang secara otomatis berdampak pada perilaku partai dalam arena elektoral. Amandemen itu menghasilkan sistem pemilihan presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Persaingan antar partai semakin kompetitif. Pemilu yang diselenggarakan pada tahun 1999 menunjukkan bahwa tidak ada partai politik yang mencapai suara mayoritas mutlak yang dapat mengendalikan pemerintahan. Koalisi partai pun dibentuk guna mengamankan jalannya pemerintahan. Praktik politik yang diwarnai oleh praktik koalisi menyebabkan ketidakstabilan hubungan eksekutif dan legislatif karena anggota badan legislatif dari partai politik yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah dengan sepenuhnya. Kemudian, untuk menciptakan pola hubungan yang kondusif antara eksekutif dan legislatif, salah satunya dapat dilakukan dengan perbentukan koalisi permanen. Kata Kunci: Reformasi, Multipartai, Presidensial, Koalisi

Hal | 95


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam sebuah negara plural seperti Indonesia tidak dapat dihindari timbulnya golongan-golongan atau kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ideologi yang mendorong pilihan ke arah sistem multipartai (kemajemukan partai). Euphoria reformasi juga ikut berperan dalam penerapan multipartai, kebebasan masyarakat Indonesia yang semula terbelenggu ketika masa Orde Baru menjadi terlepas dan mengakibatkan pembengkakan jumlah partai politik. Sistem multipartai di Indonesia merupakan implementasi tuntutan reformasi. Kebebasan berpartai atau mendirikan partai politik dimulai sejak pemilu yang diselenggarakan pada tahun 1999, Pemilu 1999 tersebut memang bukan satusatunya penyelesaian segenap permasalahan, politik, sosial dan ekonomi yang dialami oleh negara Indonesia saat ini. Namun, Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu pertama yang dilaksanakan pasca reformasi. Adanya kebebasan berpartai politik ini terekspresi dengan banyaknya jumlah partai politik, ada 180 partai baru yang berdiri, meskipun hanya 141 partai yang dapat terdaftarkan di Departemen Kehakiman, dan hanya 48 yang lolos verifikasi untuk bersaing dalam pemilu 1999.192 Sistem kepartaian berhubungan erat dengan stabilitas dan instabilitas pemerintahan. Hal ini terkait dengan hubungan sistem kepartaian dengan sistem pemerintahan. Sistem dua partai sering disebut sistem kepartaian yang paling ideal untuk semua sistem pemerintahan, baik sistem presidensial maupun sistem parlementer. Sedangkan sistem multipartai hanya cocok pada sistem parlementarian.193 Pembentukan koalisi di Indonesia adalah suatu hal yang mutlak perlu. Alasannya, sistem multipartai yang diterapkan di negara kita tidak mempunyai partai mayoritas, akibatnya tidak ada satu pun di antara partai-partai itu yang bisa secara sendirian mengajukan calon presiden yang syarat minimalnya 25% suara nasional atau 20% kursi DPR. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan hasil pemilu yang diperoleh dari tahun 1999, 2004, dan 2009. Sebagai berikut: Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pemilu pada tahun 1999, 2004, dan 2009 tidak menghasilkan suara mayoritas di Parlemen. PDIP yang memperoleh suara dan kursi paling banyak ternyata tidak dapat 192

Suryakusuma. Almanak Parpol Indonesia Pemilu. Jakarta, 1999. Sigit Pamungkas. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. Institute for Democracy and Welfarism, Yogyakarta, 2011, hlm. 55 193

Hal | 96


menjadikan Megawati Soekarno Putri (Ketua Umum PDIP) sebagai Presiden RI yang ke-4. Dengan adanya koalisi partai-partai islam dan beberapa partai baru menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal dengan poros tengah, posisi PDIP menjadi kalah kuat. Dengan demikian, yang dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI adalah pendiri PKB, partai yang hanya memperoleh persentase jumlah suara 12,61%, yaitu KH Abdurrahman Wahid. Sedangkan Wakil Presiden di pegang oleh Megawati Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan persentase jumlah suara sebesar 33,74%. 194 Apabila persentase dari masing-masing partai tersebut dijumlahkan maka kekuatan eksekutif tidak mencapai dukungan sebesar 50%, sementara syarat untuk pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden untuk memenangkan pemilihan Presiden adalah 50% plus 1. Begitu juga pada pemilu selanjutnya yaitu pada tahun 2004, Eksekutif dipegang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat dengan persentase jumlah suara hanya mencapai 7,45%. Dan pada tahun 2009 dimana Eksekutif masih dipegang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat dengan persentase jumlah suara 20,85%. 195 Selama 3 periode tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa negara kita dipimpin oleh kekuatan yang tidak mayoritas di Parlemen sehingga pilihan terhadap koalisi merupakan hal yang mutlak sebagai solusi untuk mengamankan jalannya pemerintahan. Oleh karena itu pembahasan mengenai koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai menjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih dalam untuk melihat praktiknya dalam sistem pemerintahan di Indonesia. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana praktik koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai di Indonesia? 2. Bagaimana praktik koalisi dalam perspektif hubungan antara badan eksekutif dan badan legislatif?

194

Miriam Budiarjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 450 195 Ibid, hlm. 450

Hal | 97


3. Kerangka Teori Heywood dalam Sigit Pamungkas menyatakan bahwa koalisi adalah sebuah pengelompokkan aktor-aktor politik pesaing, untuk dibawa bersama baik melalui persepsi ancaman bersama, atau pengakuan bahwa tujuan mereka tidak dapat dicapai dengan bekerja secara terpisah. Penggabungan sumber daya bersama untuk menentukan hasil dari sebuah situasi motif campuran yang melibatkan lebih dari dua unit seperti dikutip Sigit Pamungkas dalam Gamson yang dikutip Hinckley.196 Koalisi merupakan kelompok individu yang berinteraksi yang sengaja dibentuk secara independen dari struktur organisasi formal, terdiri dari keanggotaan yang dipersepsikan saling menguntungkan, berorientasi masalah atau isu, menfokuskan pada tujuan di luar koalisi, serta memerlukan aksi bersama para anggota. Dalam ranah politik, koalisi merupakan gabungan dua partai atau lebih dengan tujuan untuk membentuk secara bersama satu pemerintahan. Koalisi merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa dihindari dalam proses bangsa yang menganut sistem multipartai.197 Di Indonesia sejak merdeka sampai dengan sekarang telah berlaku tiga UUD dalam empat periode, yaitu:198 a. Periode 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 Pada periode ini berlaku UUD 1945 yang hanya berisi prinsipprinsip umum dan menyerahkan peraturan selanjutnya kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Banyak hal-hal yang sangat penting mengenai pemerintahan yang tidak disuratkan ataupun tersirat dalam UUD 1945, bahkan seringkali dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat berarti lebih dari satu makna . Namun, hal tersebut dapat dimaklumi bila diketahui dalam suasana apa pembuatan UUD itu dibuat. Inti dari sistem pemerintahan yang tertuang dalam UUD ini adalah pergeseran kekuasaan eksekutif dari bentuk presidensial ke bentuk kabinet parlementer. b. Periode 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950 Pada periode ini, pemerintah Indonesia menenmui kesulitan yang lebih besar, dikarenakan Indoesia tidak memiliki basis untuk ketatanegaraan yang demokratis di tingkat pemerintah pusat, baik 196

Sigit Pamungkas, Op cit, hlm. 77 Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 49 198 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1976, hlm. 37-45 197

Hal | 98


dalam pengalaman, maupun dalam bentuk organisasi politiknya. Bentuk negara federal yang merupakan dasar yang lemah, juga mempengaruhi kebijaksanaan yang memperlemah sebuah pemerintahan. Selama UUD 1945 quasi kabinet parlementer merupakan titik berat dalam sistem pemerintahan dalam masa ini. c. Periode 17 Agustus 1950 samapai dengan 5 Juli 1959 Pada periode ini timbul ketidakstabilan di dalam pemerintahan. Di satu sisi disebutkan dalam UUD1950 pasal 1 yang menyatakan bahwa kedaulatan rakyat dilakukan oleh pemerintah dan parlemen secara bersama-sama yang berarti bahwa presiden merupakan bagian dari pemerintah. Di pihak lain ada anggapan bahwa presiden terlepas dari tanggung jawab pemerintahan. Keadaan ini menimbulkan dualisme pimpinan bangsa. Pimpinan revolusi dipisahkan dari pimpinan pemerintahan, bahkan pimpinan revolusi dapat dilumpuhkan oleh pimpinan pemerintahan. d. Periode 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang Dengan kembalinya kepada naskah asli UUD 1945 yang mempunyai landasan idiil yakni Pancasila dan landasan struktural yakni pemerintahan yang stabil berdasarkan demokrasi terpimpin, maka sistem pemerintahan presidensial dapat dilaksanakan. Suatu tipe pemerintahan presidensial lebih menjamin kestabilan suatu jangka waktu tertentu dalam masa jabatan, selama itu pemerintahan tidak dapat ditumbangkan, selama sebuah parlemen susah diperintah dan tidak dapat dikontrol. Disamping kemajuan-kemajuan yang diperoleh bangsa Indonesia selama 57 tahun kemerdekaannya, Indonesia juga seringkali mengalami krisis-krisis ketatanegaraan. Seperti pada masa reformasi pada pertengahan 1948 sampai dengan berakhirnya pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, banyak sekali terjadi penyimpanganpenyimpangan terhadap UUD 1945 terutama yang menyangkut hubungan antara badan eksekutif dan badan legislatif.199 Sebagai negara demokratis, Indonesia lebih memfoukuskan pada hubungan antara badan eksekutif dan badan legislatif dalam menjalankan pemerintahan. Sebagai akibat daripada hubungan kedua badan pemerintahan tersebut, menimbulkan dua model alternatif

199

Ibid.

Hal | 99


yang utama dalam sistem pemerintahan Indonesia yaitu sistem pemerintahan dan sistem pemerintahan presidensial. Dalam konteks Indonesia yang menerapkan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai yang maka Presiden membutuhkan dukungan dari partai politik dalam sebuah bangunan koalisi untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif. Hal ini dikarenakan Presiden tidak selalu bisa mengambil keputusan sendiri, namun harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPR. Oleh karena itu, Presiden harus merangkul sejumlah partai untuk mendapatkan suara mayoritas di DPR.200 Hakikat koalisi pada dasarnya adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomous), dan tahan lama (durable). 201 Pemerintahan yang kuat adalah kemampuan pemerintah dalam mengambil kebijakan publik tanpa khawatir mendapat perlawanan dari parlemen. Koalisi sendiri sudah berumur lama, dalam tradisi politik parlementer, koalisi menjadi bagian dari pembentukan pemerintahan, tradisi ini sudah berlangsung lama di negara-negara Eropa.202 Apabila telah tercipta bentuk pemerintahan yang kuat, mandiri, dan tahan lama maka akan tercipta pemerintahan efektif yang mampu mencapai tujuan negara, sebagaimana tujuan negara Indonesia yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 â€œâ€Śmelindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ‌â€? Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut konsep welfare state dimana pemerintah (negara) mengabdi sepenuhnya kepada masyarakat. Dalam negara Kesejahteraan tugas daripada pemerintah adalah semata-mata menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dengan semaksimal mungkin. 203 Untuk mencapai kesejahteraan yang merupakan tujuan negara tersebut maka dibutuhkan sistem pemerintahan yang stabil dimana terdapat hubungan yang harmonis antara lembaga negara. Sistem pemerintahan sendiri menurut Jimly

200

Sri Soemantri. Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN. Tarsito, Bandung 1976, hlm. 34 201 Arend Lijphart, Op cit, hlm 50 202 Sigit Pamungkas. Op cit, hlm. 78 203 Abu Daud Busroh. Ilmu Negara. Bumi Aksara, 2008, hlm. 55.

Hal | 100


Asshiddiqie204 adalah suatu sistem hubungan antara lembaga-lembaga negara, sedangkan menurut Sri Soemantri sistem pemerintahan adalah hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif.205 Menurut Juniarto terdapat 3 model pemerintahan yang demokratis berdasarkan pola hubungan antara badan legislatif dan eksekutif, yaitu sistem pemerintahan presidensial, sistem pemerintahan parlementer, dan sistem badan pekerja.206 Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai untuk itu agar menghasilkan pemerintahan yang stabil pilihan untuk mempraktikan koalisi menjadi sesuatu yang mutlak. B. PEMBAHASAN 1. Praktik Koalisi Partai Politik Di Indonesia a) Konfigurasi Koalisi Partai Politik Koalisi memang merupakan pilihan politik yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan ketatanegaraan kita saat ini. Karena tanpa koalisi akan sulit mencapai kekuatan mayoritas di parlemen dan akan sulit pula proses pengambilan keputusan politik di DPR. Keberadaan koalisi antar partai politik sekaligus akan memperkuat fungsi check and balances antara parlemen dan pemerintah.207 Kemudian, untuk membentuk suatu bangunan koalisi tentu saja harus terdapat persamaan antar partai politik yang menjadi dasar dibangunnya koalisi tersebut, Supadmi Kohar yang merupakan Sekretaris Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) PAN berpendapat bahwa:208 �Koalisi terjadi manakala terdapat tujuan yang sama, setidaknya terdapat lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Jika ada perbedaan yang tajam tidak mungkin ada kerjasama atau koalisi. Contohnya terdapat persamaan visi dan misi diantara partai politik sehingga dibangun koalisi di tingkat daerah dalam pemilihan kepala daerah. PAN berkoalisi dengan PBR dan PKS mengusung Iskandar Hasan dan Hafisz dalam pemilihan Gubernur Periode 2013-2018.�

204

Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisnme Indonesia. Sekjen Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta 2006 hlm. 205. 205 Sri Soemantri. Op cit, hlm. 37 206 Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Bina Aksara, Jakarta, Cet. Kedua, hlm. 66. 207 Ibid., hlm. 159 208 Wawancara dilakukan pada tanggal 23 April 2013 di Kantor DPW PAN Sumatera Selatan.

Hal | 101


Hal serupa juga disampaikan oleh Herpanto selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Golkar Provinsi Sumatera Selatan, ia berpendapat bahwa:209 �Suatu koalisi partai politik dibangun ketika ada persamaan tujuan politik, dalam hal kepentingan mengambil keputusan. Misalnya pada pemilihan kepala daerah di tingkat daerah atau pemilihan presiden di tingkat pusat. Persamaan tersebut yaitu berupa persamaan visi dan misi untuk kepentingan masyarakat. Selain itu, melihatnya juga kepentingan organisasi.� Kemudian ketika telah terjadi kesepakatan antar partai politik yang memiliki kepentingan dan tujuan politik yang sama untuk membangun koalisi, yang harus diperhatikan adalah ruang lingkup dari koalisi itu sendiri. Adi Apriansyah, ketua DPD PKS Provinsi Sumatera Selatan menyatakan bahwa ruang lingkup koalisi partai politik sangat beragam, namun yang pasti ruang lingkupnya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan aktualisasi dan eksistensi partai politik tersebut.210 Kesepakatan koalisi tersebut kemudian dituangkan dalam naskah tertulis yang ditandatangani oleh masing-masing ketua dan sekretaris dari partai politik yang dituangkan dalam surat dukungan, tanda tangan dilakukan diatas materai. Hal ini disampaikan oleh Supadmi Kohar, Sekretaris Dewan Perwakilan Wilayah PAN Sumatera Selatan.211 b) Kekuatan Mengikat Koalisi Partai Politik Pola koalisi yang terbangun dalam struktur multipartai pragmatis seperti Indonesia cenderung melahirkan bangunan koalisi yang cair dan rapuh. Multipartai pragmatis memiliki karateristik rendahnya tingkat pelembagaan, kekuatan politik di Parlemen terfragmentasi, dan kemunculan koalisi yang rapuh dan cair. 212 Berbagai upaya pun ditempuh untuk memupuk semangat koalisi antar mitra koalisi agar tetap solid dan berjalan secara efektif. Salah satunya

209

Wawancara dilakukan pada tanggal 08 Mei 2013 di Kantor DPD Partai Golkar Provinsi Sumatera Selatan. 210 Wawancara dilakukan pada tanggal 10 Juni 2013 di Kantor DPD PKS Provinsi Sumatera Selatan 211 Wawancara dilakukan pada tanggal 23 April 2013 di Kantor DPW PAN Provinsi Sumatera Selatan. 212 Hanta Yuda AR. Presidensialisme Setengah Hati. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010 hlm. 159

Hal | 102


dikemukakan oleh Herpanto selaku Sekretaris DPD Partai Golkar, ia menyatakan, bahwa:213 �Agar koalisi tetap solid dapat dilakukan dengan cara mengikutsertakan semua anggota koalisi dalam setiap kegiatan. Contohnya dengan mencantumkan anggota koalisi dalam banner atau poster-poster calon kepala daerah atau capres sehingga timbul rasa memiliki antar partai politik. Kemudian secara non teknis yaitu dengan cara melengkapi fasilitas, di dalam politik uang bukanlah segalanya namun untuk mencapai suatu tujuan politik uang sangat dibutuhkan. Akan tetapi, banyak uang saja tidak cukup untuk mencapai tujuan dalam politik, strategi juga sangat menentukan tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itulah koalisi dibangun sebagai bentuk strategi untuk mencapai tujuan politik.� Hilmin, Wakil Direktur Eksekutif Partai Demokrat, menyatakan bahwa komunikasi dan koordinasi yang baik juga merupakan cara yang dapat ditempuh agar koalisi tetap solid dan berjalan efektif. 214 Walaupun ketika berbagai upaya telah dilakukan agar koalisi tersebut tetap solid dan efektif tidak menutup kemungkinan jika dalam menjalankan koalisi muncul perbedaan pandangan antara mitra koalisi. Namun, manakala tujuan yang hendak dicapai oleh masing-masing partai politik yang berkoalisi tetap sama tetapi cara mencapainya saja yang berbeda itu tidak jadi masalah, yang terpenting tujuannya tidak berubah.215 c) Dinamika Koalisi Partai Politik Koalisi yang dibangun di Indonesia bukanlah merupaka koalisi yang permanen melainkan hanya bersifat sementara. Koalisi yang dilakukan hanya terbatas pada kepentingan sesaat.216 Koalisi yang dibangun hanya terbatas pada tujuan yang hendak dicapai oleh masing-masing partai, misalnya koalisi untuk kepentingan pilihan kepala daerah.217 213

Wawancara dilakukan pada tanggal 08 Mei 2013 di Kantor DPD Partai Golkar Provinsi Sumatera Selatan 214 Wawancara dilakukan pada tanggal 10 Juni 2013 di Kantor DPD Partai Demokrat Provinsi Sumatera Selatan 215 Supadmi Kohar, wawancara dilakukan pada tanggal 23 April 2013 di Kantor DPW PAN Provinsi Sumatera Selatan. 216 Syamsul Bahrul, wawancara dilakukan pada tanggal 10 Mei 2013 di Kantor DPC PPP Kota Palembang 217 Fahlevi Maizano, wawancara dilakukan pada tanggal 10 Mei 2013 di Kantor DPD PDI Perjuangan Provinsi Sumatera Selatan.

Hal | 103


Adanya koalisi tidak serta merta menjamin bahwasannya setiap mitra koalisi akan selalu bersesuaian sikap atau sejalan dengan pertai pemerintah sebagai kelompok koalisi. Mahfudz Sidik mengatakan bahwa koalisi bukanlah penyeragaman pandangan yang akan merusak kultur demokrasi. Jika terdapat penyeragaman pandangan maka tidak perlu dibangun koalisi. Koalisi dibangun karena adanya perbedaan tetapi dengan tujuan yang sama. 218 Sehingga tidak mengherankan jika dalam koalisi terjadi perbedaan pandangan. Fahlevi Maizano menyatakan bahwa: �Perbedaan pandangan antara para pihak yang berkoalisi bukan tidak mungkin terjadi, hal itu dikarenakan setiap partai politik mempunyai kepentingan yang berbeda. Tetapi dengan platform yang sama pasti ada benang merahnya. Perbedaan pandangan sah-sah saja asal perbedaan pandangan tersebut bersifat membangun, pandangan yang realistis, dan tujuannya untuk kepentingan rakyat. Kalau dalam koalisi tidak boleh ada perbedaan pandangan saya pikir itu bukan koalisi melainkan pengkebirian.� Perbedaan pandangan dalam koalisi sangat jelas dapat kita lihat pada saat ini dimana PKS sebagai anggota koalisi yang tegabung dalam sekretariat gabungan secara tegas menolak kebijakan pemerintah dalam menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan harga BBM dimaksudkan untuk menguarangi subsidi yang dianggap tidak tepat sasaran. Masing-masing memberikan argumen, ada yang berdasarkan fakta-fakta di lapangan, objektif, fair, dan ada juga yang mengemukakan alasannya berdasarkan prasangka belaka yang disertai dengan sentimen negatif, khususnya bagi yang menolak rencana kenaikan harga BBM (dalam hal ini fraksi PKS), yang mengatakan bahwa PKS menolaknya demi kepentingan politiknya semata. d) Praktik Koalisi Dalam Perspektif Hubungan antara Badan Eksekutif dan Badan Legislatif Pada sistem multipartai kekuatan politik terdistribusi ke dalam beberapa partai, terutama pada sistem pemerintahan parlementer. Pada sistem pemerintahan parlementer kebutuhan untuk membangun koalisi adalah kondisi 218

Menanti Ketegasan Susilo Bambang Yudhoyono, Metro TV news, tanggal 19 Juni

2013

Hal | 104


yang tidak dapat dihindari. Pada sistem perlementer, ketika tidak ada partai mayoritas maka pembentukan pemerintahan atau kabinet hanya dapat melalui koalisi diantara partai-partai yang ada. Namun demikian, pada sistem pemerintahan presidensial terbentuknya koalisi bukanlah merupakan sesuatu yang mustahil, terutama pada sistem pemerintahan presidensial yang dipadukan dengan sistem multipartai.219 Dalam konteks Indonesia, koalisi dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan tujuan untuk memenangkan calon yang diusung oleh koalisi tersebut. Tawar-menawar di antara partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian jabatan menteri dan jabatan lainnya tanpa disertai perumusan platform bersama, padahal menteri-menteri tersebut berasal dari partai politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula. Hal inilah yang memperlemah hak prerogatif presiden dalam penyusunan kabinet. Profesionalisme yang seharusnya menjadi dasar pengisian jabatan menteri dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berpengaruh pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Selain itu, koalisi yang dibentuk tersebut tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung programprogram yang dibuat oleh pemerintah. Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara eksekutif dan legislatif serta immobilisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.220 C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pasca Reformasi, terjadi perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang mempertegas bahwa sistem pemerintahan presidensial merupakan dasar penyelenggaraan negara. Akan tetapi, sistem kepartaian dan sistem pemilu Indonesia saat ini justru memperlemah sistem pemerintahan presidensial itu sendiri. Sistem multipartai menyebabkan fragmentasi yang luas. Demikian pula pada sistem Pemilihan Umum Indonesia, yakni proportional representation yang tidak mungkin menghasilkan majority government. Keadaan seperti inilah yang mendorong partai politik untuk membangun koalisi. Namum demikian, 219 220

Sigit Pamungkas, Op cit, hlm. 78 Hanta Yuda AR, Op cit, hlm. 146

Hal | 105


dalam praktinya koalisi menyebabkan ketidakstabilan hubungan eksekutif dan legislatif, hal ini dikarenakan anggota badan legislatif dari partai politik yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah dengan sepenuhnya. Pola koalisi yang terbangun dalam struktur multipartai pragmatis seperti ini cenderung melahirkan bangunan koalisi yang cair dan rapuh. 2. Saran Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat dikatakan bahwa pilihan untuk menerapkan koalisi di Indonesia adalah suatu keniscayaan, karena sistem presidensial dan sistem multipartai merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi. Untuk menghindari pembentukan koalisi yang justru mengganggu stabilitas hubungan antara ekskutif dan legislatif, perlu diadakan penataan dalam sistem kepartaian dan sistem pemilu di Indonesia. Penataan terhadap sistem kepartaian dilakukan dengan penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu yaitu dengan meningkatkan electoral threshold dan parliamentary threshold. Kemudian selain sistem kepartaian, sistem proportional representation yang dianut oleh Indonesia tidak mungkin menghasilkan majority government dan kurang mendorong partai untuk berintegrasi sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah partai. Untuk menghindari berbagai hal tersebut, maka sistem pemilu yang tepat untuk Indonesia adalah sistem distrik yang mendorong penyederhanaan partai secara alami dan memungkinkan bagi suatu partai untuk meraih posisi mayoritas di badan legislatif dan setidaknya dapat mengurangi fragmentasi kekuatan partai politik yang ada sehingga memperkecil kecenderungan pembentukan koalisi. Namun, apabila pembentukan koalisi tersebut tidak dapat dihindari dalam praktik politik di Indonesia saat ini, maka koalisi dapat saja dibangun dengan tetap mempertahankan ide dasar untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial melalui beberapa perbaikan yang pada akhirnya akan menciptakan pola hubungan yang kondusif antara eksekutif dan legislatif. Upaya perbaikan itu meliputi: pembentukan koalisi harus dilakukan melalui serangkaian tahapan negosiasi formal; pelaksanaan praktik koalisi tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga harus didasarkan pada platform bersama yang mengakomodasi kepentingan rakyat; dan pelaksanaan praktik koalisi harus ditunjang dengan etika politik untuk menyehatkan situasi politik di Indonesia. Untuk membentuk pemerintahan yang kuat, pemerintahan yang mandiri dan tahan lama, maka bentuk koalisi yang harus dibentuk adalah koalisi yang permanen. Koalisi permanen ialah koalisi yang terbentuk dari adanya nilai-nilai Hal | 106


bersama, tujuan politik yang sama dengan adanya suatu konsensus dan kontrak politik untuk mempertahankan koalisi. Bukanlah koalisi pragmatis yang hanya berdasarkan pada kepentingan sesaat untuk merebut kekuasaan. Kemudian, Presiden terpilih selaku pemegang hak prerogatif dalam pembentukan kabinet tidak harus berkiblat pada kerangka koalisi yang telah dibangun, tetapi hendaknya harus mengedepankan profesionalitas dan kompetensi para menteri yang akan menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam kabinet yang akan dibentuk.

Hal | 107


DAFTAR PUSTAKA Abu Daud Busroh., Ilmu Negara., Bumi Aksara, Jakarta, Cet. Ke 5, 2008. Arend Lijphart., Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995. Hanta Yuda AR., Presidensialisme Setengah Hati. PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010. Jimly Assiddhiqie., Konstitusi dan Konstitusionalisnme Indonesia. Sekjen Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. Juniarto., Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. Jakarta: Bina Aksara. 1983. Miriam Budiarjo., Dasar-Dasar Ilmu Politik., Gramedia, Jakarta, 2008. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim., Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1976. Sigit Pamungkas., Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. Institute for Democracy and Welfarism, Yogyakarta, 2011. Sri Soemantri., Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN. Tarsito, Bandung, 1976. Suryakusuma., Almanak Parpol Indonesia Pemilu. Jakarta, 1999.

Hal | 108


Pelaksanaan Sistem Outsourcing Dalam Hubungan Industrial Di Indonesia (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUIX/2011) Oleh: Anggun Wahyuni, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Zulkarnain Ibrahim, SH.,M.Hum dan Agus Ngadino, SH.,MH

Abstrak: Tenaga kerja berperan penting dalam meningkatkan produktivitas nasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itulah agar tenaga kerja dapat berperan serta secara optimal dalam pembangunan nasional serta dapat bersaing secara luas maka perlu diperdayakan terlebih dahulu melalui perencanaan dan program ketenagakerjaan Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing. Hubungan kerja dengan sistem outsourcing ini menyebabkan kedudukan para pihak menjadi tidak seimbang sehingga sering terjadi perselisihan antara pihak perusahaan dan pekerja/buruh outsourcing. Kebijakan outsourcing saat ini telah menuai protes bagi kalangan serikat buruh, dan pada pelaksanaannya pun hasilnya jauh dari yang diharapkan pemerintah. Dari sini la timbul permasalahan bagaimana pelaksanaan sistem outsourcing di Indonesia dan seperti apa implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi terkait pelaksanaan pengawasan oleh pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami perlindungan hukum bagi para pihak dalam hubungan industrial dengan sistem outsourcing dan bertujuan sebagai bahan analisis mengenai implikasi terkait pelaksanaan pengawasan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan sistem outsourcing dalam hubungan industrial di Indonesia pada prinsipnya dapat dilihat dalam tiga hal yaitu secara subtansi, kultur hubungan industrial dan struktur kelembagaan. Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 terhadap pelaksanaan sistem outsourcing, bahwa Mahkamah Konstitusi semakin mendukung adanya sistem outsourcing di Indonesia, dan di dalam prakteknya pengawasan pemerintah dalam pelaksaan sistem outsourcing kurang efektif. Pelaksanaan praktek outsourcing sangat merugikan pekerja/buruh outsourcing, sekalipun pelaksanaan outsourcing tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Hal ini karena ketidak jelasan perumusan hubungan kerja antara pemberi pekerjaan, penyedia jasa dengan pekerja/buruh outsourcing, dan dalam pelaksanaannya pun tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ditentukan. Kata Kuci: Sistem Outsourcing, Hubungan Industrial, Pengawasan

Hal | 109


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sistem Outsourcing saat ini telah dipraktekan di perusahaan industri besar, seperti perusahaan pertambangan dan juga perusahaan perkebunan sejak masa Hindia Belanda.221 Aspek sistem outsourcing dalam ketenagakerjaan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan negara. Sistem Outsourcing diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, yang mana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.222 Konsep sistem outsourcing muncul ketika perusahaan memiliki kebutuhan untuk menjalankan proses intinya secara fokus. Karena dengan fokus pada proses intinya akan semakin besar peluang perusahaan untuk mencapai keberhasilan. Jadi untuk melakukan hal-hal yang di luar proses inti, perusahaan dapat menggunakan jasa dari pihak lain, yang memang memiliki keahlian khusus dalam hal-hal sekunder tersebut. Berbicara mengenai isu outsourcing, hingga saat ini masih menjadi isu sentral Ini dikarenakan dalam bentuk perekrutan dan penyaluran tenaga kerja dalam hubungan industrial dengan melalui sistem outsourcing telah menimbulkan keadaan yang merugikan bagi semua pihak, khususnya bagi kalangan kalangan buruh, pencari kerja dan serikat pekerja. Praktek tersebut berawal ketika sistem kerja fleksibel atau sistem kerja outsourcing diterapkan sebagai bagian integral pembangunan untuk memperluas kesempatan kerja dan mengundang para investor.223 Hubungan kerja224 dengan sistem outsourcing ini menyebabkan kedudukan para pihak menjadi tidak seimbang sehingga sering terjadi perselisihan antara pihak perusahaan dan pekerja/buruh outsourcing.

221

Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hal 52. 222 Ibid. hal 55. 223 Ibid, hal 187. 224 Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara seorang buruh dengan seorang majikan, hubungan kerja hendak menunjukkann kedudukan kedua belah pihak itu yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban buruh terhadap majikan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban majikan terhadap buruh. Lihat: Koko Kosidin, Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan dan Perjanjian Perusahaan, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1999, hal 1.

Hal | 110


Dicanangkannya kebijakan outsourcing, telah menuai protes bagi kalangan serikat buruh, dan pada pelaksanaannya hasilnya pun jauh dari yang diharapkan pemerintah. Dan sebaliknya, pasar tenaga kerja semakin tidak stabil, hal ini ditandai dengan tidak adanya kepastian dan perlindungan kerja, termasuk tidak adanya kepastian mendapatkan pendapatan yang layak. Padahal didalam pasal 27 dan 28 D Undang-Undang Dasar 1945 telah menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan pendapatan yang layak�.225 Tidak dipungkirin bahwa persoalan outsourcing semakin meluas ketika diberlakukannya Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Kenyataan tersebut diperparah dengan lemahnya sistem penegakan hukum. Seperti yang terdapat pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 yang menempatkan pekerja/buruh outsourcing hanya sebagai faktor produksi semata. Dalam pasal 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun ada kaitannya dengan pasal 64. Terhadap sistem outsourcing ini ada larangan yang didasarkan pada ketentuan pasal 66 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang maupun kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kini sistem outsourcing semakin menggurita setelah di sahkannya Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 . Keadaan tersebut merupakan hasil dari keadaan yang saling berkaitan antara kesempatan kerja yang terbatas, kemampuan sumber daya manusia yang terbatas, dan suplai tenaga kerja yang melimpah, Keadaan demikian semakin diperparah ketika serikat buruh belum pulih sepenuhnya setelah dihancurkan secara sistematis selama kekuasan rezim Soeharto. Dengan demikian, selain bagian dari agenda kapital global yang diadopsi secara mentah-mentah dalam strategi pembangunan, menguatnya sistem outsourcing disebabkan oleh persoalanpersoalan struktural.226 Apabila dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 27/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa sistem kerja outsourcing 225

Lembaran Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 dan 28 D. http://www.akatiga.org/index.php/artikeldanopini/perburuhan/150-melawan-praktikoutsourcing. artikel tentang melawan praktek outsourcing, diakses pada senin, 5 November 2012. 226

Hal | 111


bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 kecuali jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Dari Putusan tersebut menyatakan bahwa sistem kerja outsourcing berdampak buruk kepada tenaga kerja dan berjanji untuk merevisi aturannya. Tapi sayangnya, setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tentang outsourcing, Kementerian Tenaga Kerja hanya sebatas mengeluarkan yakni Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012. Surat Edaran tersebut memberikan pengakuan terhadap perjanjian kerja waktu tertentu, sebagaimana yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 59. Selain itu, berkaitan dengan pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa tenaga kerja, diatur pula tentang perlunya perlindungan hak-hak buruh. Selain itu, di keluarkanya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 10 tahun 2012 tentang Komite Pengawasan Ketenagakerjaan. Secara praktis, masalah outsourcing bertautan dengan konsepsi dan aspek praktis dari undang-undang dan peraturan turunannya. Dengan demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi maupun Surat Edaran tidak akan memadai untuk memecahkan persoalan karut-marutnya outsourcing. Dengan memahami paparan tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji dan membahas secara lengkap dan jelas melalui penulisan skripsi yang berjudul �PELAKSANAAN SISTEM OUTSOURCING DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011� 2. Permasalahan Secara garis besar permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan sistem outsourcing dalam hubungan industrial di Indonesia berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan sistem outsourcing dalam hubungan industrial di Indonesia? 2. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUIX/2011 terhadap pelaksanaan pengawasan sistem outsourcing di Indonesia?

Hal | 112


3. Kerangka Teori a) Teori Perlindungan Hukum Konsep hukum sangat dibutuhkan apabila kita mempelajari tentang hukum. Konsep hukum pada dasarnya merupakan batasan tentang suatu istilah tertentu. Pada tiap-tiap istilah ditetapkan arti dan batasan maknanya setajam dan sejelas mungkin yang dirumuskan dalam suatu defenisi dan digunakan secara konsisten. Konsep yuridis (legal concept) yaitu konsep konstruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu aturan hukum atau sistem aturan hukum. Pengaturan outsourcing apabila di lihat dari segi hukum ketenagakerjaan adalah untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan sistem outsourcing dan dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh. Dengan demikian, adanya suatu anggapan bahwa hubungan kerja pada sistem outsourcing selalu menggunakan kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu, sehingga mengaburkan hubungan industrial yang tidak benar. Pelaksanaan hubungan industrial dengan sistem outsourcing telah diatur secara jelas dalam Pasal 65 ayat (6) dan (7) dan Pasal 66 ayat (2) dan (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.227 b) Konsep Penegakan Hukum Penegakan hukum dimaksudkan agar tercapai suatu tujuan hukum yaitu ketentraman dan kedamaian dalam pergaulan dan hubungan sosial. Penegakan hukum bertujuan untuk menciptakan kedamaian dalam pergaulan hidup antar manusia. Kedamaian dalam pergaulan hidup di satu pihak berarti menunjukan adanya ketertiban yang bersifat inter personal atau ekstern antar pribadi, dan di lain pihak artinya ketentraman yang bersifat personal atau inter pribadi. Keduanya harus serasi dan seimbang agar tercipta suatu kedamaian. Penegakan hukum di dalam ketenagakerjaan dilaksanakan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagai aparatur negara yang bertanggung jawab untuk mengawasi penerapan hukum ketenagakerjaan, hal ini tertuang dalam Pasal 176 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyatakan pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

227

Kusnadi Pudjosewojo, Pedoman Tata Hukum Indonesia, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1976, hal 40.

Hal | 113


Proses penegakan hukum merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka mewujudkan ide-ide atau konsep yang abstrak menjadi kenyataan, usaha untuk mewujudkan ide atau nilai selalu melibatkan lingkungan serta menjadi pengaruh dari beberapa faktor lainnya. Oleh karena itu apabila hukum hendak ditegakan, maka hukum harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem. Menurut Lawrence M.Friedman sebagaimana dikutif Esmi Warassih, hukum itu merupakan gabungan antara komponen struktur, substansi dan kultur. Menurut Friedman struktur hukum diibaratkan seperti mesin, substansi diibaratkan sebagai apa yang telah dihasilkan atau yang dikerjakan oleh mesin dan kultur atau budaya hukum adalah siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin tersebut. Satu saja komponen pendukung tidak berfungsi niscaya sistem mengalami disfunction (pincang).228 B. PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Sistem Outsourcing dalam Hubungan Industrial di Indonesia Pelaksanaan sistem outsourcing dalam hubungan industrial di Indonesia pada prinsipnya dapat dilihat dalam tiga hal yaitu berdasarkan substansi, struktur kelembagaan dan kultural dari hubungan industrial.229 Secara substansi, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan landasan hukum bagi sistem outsourcing dan bentuk perjanjian kerja buruh outsourcing dalam membangun hubungan industrial. Pelaksanaan sistem outsourcing dalam hubungan industrial telah diatur secara jelas dalam pasal 65 ayat (6) dan (7) dan pasal 66 ayat (2) dan (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pelaksanaan sistem outsourcing dalam hubungan industrial harus berdasarkan pada nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang bertujuan untuk mewujudkan hubungan industrial yang, harmonis, dinamis dan berkeadilan. Dalam hubungan industrial 230 perusahaan outsourcing sesuai hukum positif, dapat mempekerjakan buruh outsourcing dengan salah satu bentuk 228

Esmi Warassih, Filsafat Hukum Dan Moralitas, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2004,

hal 75. 229

Teori Friedman, Teori Sistem Hukum, Terjemahan Chandra Suwondo. Lihat: Chandra Suwondo, Outsourcing Implementasi di Indonesia, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2004, hal 2. 230 Dalam Lembaran Negara Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa hubungan industrial atau lebih sering dikenal dengan hubungan perburuhan merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku usaha

Hal | 114


hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). 231 Sistem outsourcing dalam hubungan industrial pada prakteknya ada fakta yang tidak bisa disangkal bahwa hubungan kerja antara buruh dan perusahaan outsourcing dibuat dalam bentuk PKWT. Pada Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun diatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain dan perjanjian penyedia jasa buruh. Selain itu juga diatur bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 65 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menyebutkan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) harus memenuhi syarat bahwa pekerjaan itu harus dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Dalam hal ini terdapat inkonsistensi antara Pasal 64 dan Pasal 65 Ayat (1) sub b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Hal tersebut akhirnya menimbulkan konsekuensi hukum bahwa perusahaan yang memborongkan pekerjaan dengan pekerja pelaksana pekerjaan terdapat hubungan kerja. Dan sebaliknya antara pekerja dengan perusahaan yang memborongkan pekerjaan tidak terdapat hubungan kerja. Landasan konstitusional mengenai hakekat trilogi hubungan industrial berikut sarana penyaluran aspirasi bagi pelaksanaan hubungan industrial secara eksplisit tertuang dalam pasal 102 dan pasal 103 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menjelaskan fungsi dan peran pemerintah, pengusaha serta para pekerja/buruh. Didalam menjalankan fungsi dan peranannya baik pemerintah, pengusaha, maupun para pekerja/buruh harus berdasarkan pada nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan untuk menjamin kelangsungan usaha dan kelangsungan bekerja. 232 Secara filosofis mengenai ketentuan Pasal 102 (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa, dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu: pengusaha/pemilik modal, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 231 Gunawi Kartasapoetra, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Penerbit: PT. Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal 67. 232 Iftida Yasar, Menyusun Perjanjian Kerja Bersama, Menciptakan Hubungan Industrial yang Harmonis Pengusaha-Pekerja, PPM, Jakarta, 2010, hal 99.

Hal | 115


penanaman asas keseimbangan kepentingan dalam aturan hukum yang mengandung nilai kejujuran, kepatutan, keadilan, dan tuntutan moral, seperti hak dan kewajiban serta tanggung jawab dalam hubungan antara manusia harus sesuai dengan sila-sila Pancasila, di mana di antara pekerja dan pengusaha mempunyai hubungan timbal balik yang bernilai kemanusiaan, tidak adanya diskriminasi, serta mencari penyesuaian paham melalui musyawarah mufakat dalam membangun kemitraan. Didalam pelaksanaan sistem outsourcing pertimbangan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 menyangkut Ketenagakerjaan dapat dijadikan sebagai landasan konstitusional, yang mana dari pertimbangan tersebut Mahkamah Konstitusi menentukan dua model perlindungan hak-hak pekerja, yakni mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak terbentuk PKWT, tetapi berbentuk perjanjian PKWTT. Hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Pada pelaksanaannya secara kultur hubungan industrial praktek seharihari outsourcing selama ini di akui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selama ini selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak, upah yang di dapat lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada sebatas minimal, tidak adanya jaminan pengembangan karier, serta tidak adanya job security dan lainlain. dengan melalui sistem outsourcing di Indonesia sepanjang perjalanannya sering menunjukkan bahwa buruh ditempatkan sebagai faktor produksi. Berbicara mengenai pelaksanaan sistem outsourcing secara struktur kelembagaan harus adanya pengawasan yang di lakukan pemerintah. Kontruksi kelembagaannya adalah untuk mengawasi jalannya sistem outsourcing dalam hubungan industrial agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah diberlakukan. Yang mana kerangka kelembagaan sebagai dasar hukum pengawasan ketenagakerjaan terdiri dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 Tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1943 Nomor 23 dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UndangUndang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO conventioan Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industri and Commerce (Konvensi ILO Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan

Hal | 116


Kerja, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-03/MEN/1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu. Untuk memastikan hak dari setiap pekerja/buruh dalam mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, pemerintah membentuk Pegawai Pengawas Perburuhan (sekarang: Ketenagakerjaan) sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Pengawasan Perburuhan dan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berada di instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat.233 Faktanya, pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, baik pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi maupun pemerintahan pusat, yang kewenangannya diatur oleh Undang-Undang Pengawasan Perburuhan yang mana diharapkan dapat memberikan jaminan, kepastian dan perlindungan hukum dalam pelaksanaan hubungan industrial tidak terlaksana, karena antara pekerja/buruh dengan pemberi kerja, selalu beralasan kekurangan pegawai pengawas dan benturan dengan otonomi daerah, sehingga tidak dapat berperan secara maksimal dalam menjamin pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan, yang berakibat pada banyaknya praktek-praktek penyimpangan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pemberi kerja, sehingga kepastian hukum bagi pekerja/buruh tidak terjamin dan tidak terlindunginya Dalam hal ini pemerintah tidak serius dalam menangani upaya pencegahan penyimpangan penerapan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Hal demikian dapat dibuktikan dengan lahirmya Undangundang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang mengatur tentang tata cara penyelesaian perselisihan yang terjadi antara pekerja/buruh dengan pemberi kerja, yang mana pemerintah terkesan lebih mementingkan urusan penyelesaian perselisihan yang berawal dari adanya penyimpangan penerapan ketentuan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pemberi kerja, dari pada menyempurnakan Undang-Undang Pengawasan Perburuhan.234

233

Jiko Triyanto, Hubungan Kerja di Perusahaan Jasa Konstruksi, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2004, hal 90. 234 Oleh Hafiz, Perkuat Posisi Buruh Karena Bangsa Ini Hidup Dalam Keringat Buruh, http://hukum.kompasiana.com/2013/05/17/perkuat-posisi-buruh-karena-bangsa-ini-hidup-dalamkeringat-buruh,556893.html, Diakses Pada 17 Mei 2013.

Hal | 117


2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 terhadap Pelaksanaan Pengawasan Sistem Outsourcing di Indonesia Didalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Akan tetapi bagi pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, maka Mahkamah Konstitusi menawarkan dua model yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja outsourcing yaitu: Pertama, dengan mensyaratkan dalam perjanjian kerja, antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian PKWT, tetapi berbentuk PKWTT. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan dengan sistem outsourcing. Putusan Mahkamah Konstitusi ini menyiratkan bahwa setiap pekerja outsourcing terjamin kedudukannya dalam perusahaan pengguna karena perjanjian kerjanya bersifat PKWTT atau tetap. Akan tetapi timbul masalah secara yuridis, yaitu mengenai siapakah sebenarnya para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, sebab seperti yang telah dikemukakan pada sebelumnya, perjanjian kerja secara sistem outsourcing dilakukan antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja outsourcing, di samping sifat dan jenis pekerjaan melalui outsourcing pada dasarnya bukan untuk pekerjaan pokok dan oleh karenanya disubkontrakkan.235 Meskipun dua model usulan Mahkamah Konstitusi diarahkan untuk melindungi para pekerja, tetapi kalangan buruh merasa belum cukup. Tenaga kontrak/outsourcing dalam pekerjaan yang sifatnya bukan borongan atau tidak selesai dalam sekali waktu tetap diperbolehkan. Inilah yang membuat risau kalangan buruh dan serikat buruh dan menilai putusan Mahkamah Konstitusi justru semakin mengukuhkan praktek outsourcing, dimana sebagian dari kalangan serikat buruh menyebutkan bahwa putusan ini makin melegalkan praktek kerja dengan sistem outsourcing. Ini dibuktikan karena setidaknya ada beberapa hal penting yang patut dikritisi dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan turunannya tersebut: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi justru semakin mengukuhkan keberadaan outsourcing dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia. 235

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 dalam buku Pedoman Terbaru Outsourcing Dan Kontrak Kerja, Penerbit Pustaka Yustisia, Jakarta, 2012, hal 63.

Hal | 118


Para pekerja masih bekerja di perusahaan penyedia tenaga kerja bukan di perusahaan pengguna tenaga kerja; 2. Posisi tawar buruh diperusahaan dengan sistem outsourcing sangat lemah terutama dalam hal hak membentuk dan hak untuk bergabung dalam serikat buruh yang menjadi pilihan para buruh; 3. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat mengubah apapun sebab bentuk pengalihan tanggung jawab perlindungan buruh terletak perjanjinan antara perusahaan pemberi borongan dengan perusahaan penerima pemborongan sementara jaminan atas tanggung jawab perlindungan tenga kerja buruh terletak pada pada perjanjian kerja dan atau perjanjian kerja bersama sementara perjanjinan antara perusahaan pemberi dan penerima outsourcing baik pemborongan pekerjaan ataupun tenagakerja buruh bukan suatu hal yang mudah diakses oleh buruh apalagi calon buruh. Disisi lain sistem pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan setelah dikeluarkannya putusan mahkamah konstitusi pun pelaksanaanya belum maksimal dimana saat ini serikat buruh memandang bahwa pemerintah tidak serius dalam melakukan pengawasan dan memberikan hukuman kepada perusahaan yang tidak mematuhi peraturan ketenagakerjaan. Bagi perjanjian kerja yang sudah diberikan kepada pekerja outsourcing sebelum diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya tidak masalah, karena berdasarkan Surat Edaran Menteri No. B.31/PHI.JSK/2012 menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut. Akan tetapi permasalahan akan timbul setelah diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi ini yang telah ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Menteri No B.31/PHI.JSK/I/2012 yang menyebutkan bahwa harus ada proses TUPE (Transfer Of Undertaking Protection Of Employment), yang dipersyaratkan dalam Perjanjian Kerja Outsourcing apabila sifatnya berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Untuk sebagian besar kalangan perusahaan pengguna sistem outsourcing, hal ini tentu memberatkan karena alasan semula mempekerjakan pekerja outsourcing adalah berdasarkan kebutuhan dan sifat tentatif dari pekerjaan yang diperjanjikan. Bagi kalangan perusahaan pengguna sistem outsourcing sebenarnya hal tersebut membebaskannya dari kewajiban

Hal | 119


mempekerjakan pekerja outsourcing yang masa kerjanya habis sebelum masa kontraknya habis.236 Pada sisi lain, bagi pekerja outsourcing, sebenarnya Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap makin melegalkan outsourcing di Indonesia, terutama tidak disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi maupun Surat Edaran Menteri mengenai pekerjaan apa saja yang dapat di outsourcing kan. Konsekuensi yuridis normatif dengan diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pekerja outsourcing adalah bahwa semua perusahaan penyedia jasa harus mempekerjakan pekerja outsourcing sebagai pekerja tetap, sedangkan sifat pekerjaan yang di outsourcing kan biasanya tergantung tingkat dan jenis kebutuhan. Didalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstutusi mempertimbangkan bahwa posisi buruh outsourcing dalam hubungannya dengan perusahaan menghadapi ketidak pastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja dilakukan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Perjanjian kerja ini memberi implikasi jika hubungan pemberian kerja antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan outsourcing habis, maka habis pula masa kerja buruh. Dalam Putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan PKWT masih tetap berlaku sepanjang terdapat klausul yang mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja yang objek kerjanya tetap ada, meskipun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja. Oleh karena itu dengan menerapkan pengalihan perlindungan masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, Mahkamah Konstitusi berharap pekerja dengan melalui sistem outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional.237 Terkait hal tersebut, dalam menindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi, yang bertujuan untuk memberikan 236

Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dalam buku Pedoman Terbaru Outsourcing Dan Kontrak Kerja, Penerbit Pustaka Yustisia, Jakarta, 2012, hal 69. 237 Perlidungan Upah Dan Kesejahteraan Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah konstitusi, http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4f85d2f06d235/node/lt4a0a533e31979/perlindu ngan-upah-dan-kesejahteraan-pekerja-outsourcing-pasca-putusan-mk-, diakses Pada Selasa, 30 April 2013.

Hal | 120


pengaturan lebih lanjut yang menjelaskan mengenai pelaksanaan dari putusan ini di dalam praktek. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga disebutkan bahwa mekanisme pengawasan bagi kegiatan ketenagakerjaan lebih ditingkatkan dan hukum lebih ditegakkan. Suatu perusahaan yang menggunakan jasa outsourcing juga diwajibkan untuk dapat menjamin kesejahteraan para pekerjanya dan wajib melaporkan setiap 3 bulan sekali. Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dapat membuat golongan buruh dan serikatnya merasa lega dan mendapatkan kesejahteraan mendapatkan hak-haknya. Sehingga, buruh merasa aman dan nyaman dalam proses bekerjanya. Selaras dengan ide wakil rakyat (DPR. RI), melalui karya perundangundangannya, khususnya penjelasan Pasal 61 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa “ ‌hak-hak yang harus diberikan lebih baik dan menguntungkan bagi pekerja â€?. Hal ini dipahami sebagai sesuatu yang wajar, di mana keberadaan pekerja selalu pada posisi marginal, sehingga kedudukkan pekerja harus dilindungi dari kesewenang-wenangan pengguna kerja, serta perusahaan penyedia jasa pekerja melalui payung hukum, dan penegakan hukum oleh pejabat yang berwenang.238 Fungsi pengawasan pemerintah adalah untuk memastikan implementasi ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur outsourcing sesuai dengan perundang-undangan bidang hukum perburuhan. Sebab, yang menjadi akar masalah (root causes) adalah bukan norma yang mengatur outsourcing, melainkan masalah implementasinya. Pemerintah yang mempunyai fungsi pengawasan dan penegakan hukum harus dapat memberi pelayanan, perlindungan pekerja, yang dari aspek sosial sangat lemah dan pemberlakuan hukum harus memberi nilai kebenaran, manfaat dan keadilan. Peran pemerintah dalam menetapkan kebijakan, keseimbangan hak, kewajiban dan tanggung jawab harus sesuai dengan cita hukum, yang bergulir pada tumbuh dan berkembangnya budaya hukum. Sebagai fasilitator dan regulator, pemerintah harus bertindak pro aktif dan bertindak adil menyelesaikan sengketa yang mendera pekerja/buruh dan pengusaha. Masalah outsourcing yang muncul ke publik merupakan masalah bangsa berdimensi nasional. Praktik outsourcing selama ini ditengarai mengabaikan aspek keadilan sosial. Asas keadilan sosial mengamanatkan bahwa 238

Hutagalung, Hukum dan Keadilan Bagi Perlindungan Tenaga Kerja, Disertasi FH.Universitas Padjajaran, Bandung, 1995, hal 143.

Hal | 121


semua warga negara mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum.239 Jika segala aspek tersebut dipatuhi oleh perusahaan penyedia jasa dalam menempatkan pekerja pada perusahaan pengguna kerja dengan jaminan perlindungan hukum, maka perselisihan antara pemberi kerja, atau penyedia jasa dengan pekerja outsourcing, dapat terhindarkan. 240 Jika peran pemerintah berjalan sesuai tanggung jawabnya, maka pelaksanaan outsourcing akan memberikan nilai tambah bagi kepentingan pekerja, serta meperluas dunia kerja bagi tenaga kerja yang belum mendapatkan kesempatan kerja. Bahkan hal ini memberi ruang yang cukup luas untuk dunia usaha, terutama perusahaan penyedia jasa pekerja untuk merekrut tenaga kerja potensial, melalui pola perjanjian kerja waktu tertentu terhadap pekerjaan yang bersifat tetap, namun bukan merupakan bagian dari kegiatan pokok dalam suatu proses produksi. Demikian pula bagi perusahaan pemberi pekerjaan/ pengguna kerja, akan mendapatkan pemanfaatan dari keberadaan pekerja outsourcing dalam melaksanakan kegiatan penunjang, selain itu memberi nilai tambah bagi perusahaan, khususnya aspek efisiensi serta ikut mengurangi beban perusahaan, meminimalkan resiko. Dengan demikian perusahaan dapat melakukan penghematan, melalui penyerahan pelaksanaan pekerjaan pada perusahaan lain. Selain itu hal yang menguntungkan perusahaan, seperti, menekan labour cost, pekerjaan akan mencapai optimal, jika dikerjakan oleh ahlinya (pekerjaan yang bersifat spesifik), dan mengurangi beban maupun panjangnya dan komplesitas birokrasi manajemen. Perusahaan secara tidak langsung telah membantu membuka dunia usaha, serta pemerataan kesempatan usaha, khususnya bagi usaha pada strakta menengah ke bawah. Dengan pola sistem order akan terbagi beban dalam dunia usaha dan tidak mengerjakan semua pekerjaan merupakan simbul penghematan, pemerataan, kurangnya resiko, terpenuhinya sistem proporsional dan keadilan dalam ikut membangun masyarakat dunia usaha seutuhnya, serta melaksanakan anjuran pemerintah dalam membangun, mengembangkan jalinan kemitraan guna menghindari penguasaan dunia usaha secara sentralistik, mengurangi atau bahkan menghindari kerawanan sosial, khususnya timbulnya perselisihan 239

Martin Khor, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, hal 87. 240 Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Penerbit Nuansa, Bandung, 2009, hal 133.

Hal | 122


pekerja dengan pengusaha, yang dapat mengarah pada unjuk rasa dan/ atau mogok kerja dan pemutusan hubungan kerja. Dengan terbangunnya sistem dunia usaha pada pola outsourcing, akan memberi nilai manfaat bagi pekerja yang faktanya mereka hidup pada level/strata yang kurang menguntungkan. Pada dasarnya hukum diperlukan untuk menjaga harmonisasi hubungan kerja dari pengambil keputusan yang sewenang-wenang dan bersifat sepihak, tanpa merasa bahwa apa yang dilakukannya melanggar hukum. Dengan adanya perhatian penegak hukum serta keberadaan aturan hukum yang berasaskan keadilan, maka nilai manfaat benar-benar dapat dirasakan oleh para pekerja outsourcing. Paradigma demikian akan membuahkan hasil, atau mempunyai nilai manfaat pada kondisi di mana pekerja telah memiliki kualifikasi sebagai seorang ahli pada bidangnya dan kondisi ini membutuhkan waktu jangka panjang, hingga memiliki kualifikasi tersebut.241 C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan pada permasalahan serta dengan adanya pembahasan mengenai rumusan permasalahan pada tulisan di atas, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa pelaksanaan sistem outsourcing dalam hubungan industrial di Indonesia pada prinsipnya dapat dilihat dalam tiga hal yaitu secara subtansi, kultur hubungan industrial dan struktur kelembagaan. 2. Membicarakan implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 terhadap pelaksanaan sistem outsourcing, bahwa Mahkamah Konstitusi semakin mendukung adanya sistem outsourcing di Indonesia. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi timbul masalah terkait pelaksanaan pengawasan dalam menjalankan praktek outsourcing. Masalah timbul dikarenakan masih sedikitnya jumlah orang yang menjadi pengawas yang masih sangat sedikit sedangkan perusahaan penyedia maupun pengguna jasa pekerja jumlahn ya begitu banyak. Disisi lain serikat buruh memandang bahwa pemerintah tidak serius dalam melakukan pengawasan dan memberikan hukuman kepada preusan yang tidak mematuhi peraturan ketenagakerjaan.

241

Agusmida, Op.cit, hal. 67.

Hal | 123


2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang ditarik oleh penulis, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Dalam hubungan industrial, selaku perusahaan yang menggunakan sistem outsourcing, seharusnya diterapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan membuat perjanjian dalam penyediaan jasa pekerja yang sesuai dengan peraturan perundangundangan agar tidak menjadi kendala dalam penerapannya. 2. Sebagai fasilitator dan regulator, pemerintah harus bertindak pro aktif dan bertindak adil menyelesaikan sengketa yang mendera pekerja/buruh dan pengusaha. 3. Pemerintah sebagai pengusul perubahan regulasi dan pemegang kendali pengawasan dalam pelaksanaan praktek outsourcing juga sebaiknya memperhatikan kepentingan para pihak, sebab pada dasarnya pelaksanaan outsourcing akan dapat menguntungkan semua pihak yang berkaitan asalkan masing-masing pihak mengetahui hak dan kewajiban masing-masing dan berada dalam koridor penegakan hukum ketenagakerjaan.

Hal | 124


DAFTAR PUSTAKA Buku Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor, 2010. Gunawi. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Penerbit: PT. Bina Aksara, Jakarta, 1988. Kosidin. Koko, Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan dan Perjanjian Perusahaan, Penerbit: Mandar Maju, Bandung, 1999. Khor. Martin, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, Podjosewojo. Kusnadi, Pedoman Tata Hukum Indonesia, Penerbit: Aksara Baru, Jakarta, 1975. Sudrajat. Sodik Achmad, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Penerbit Nuansa, Bandung, 2009, Suwondo. Chandra, Outsourcing Implementasi di Indonesia, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2004. Triyanto. Jiko, Hubungan Kerja di Perusahaan Jasa Konstruksi, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2004. Warassih. Esmi, Filsafat Hukum Dan Moralitas, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2004 Yasar. Iftida, Menyusun Perjanjian Kerja Bersama, Menciptakan Hubungan Industrial yang Harmonis Pengusaha-Pekerja, PPM, Jakarta, 2010.

INTERNET http://www.akatiga.org/index.php/artikeldanopini/perburuhan/150-melawanpraktik-outsourcing. Artikel tentang Legalitas Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Diakses Pada 30 Oktober 2012. http://www.antaranews.com/. “Mahkamah Konstitusi: Aturan Pekerja /Outsourcing/ Tidak Ada Dasar Hukumnya�, Oleh Aditia Maruli, Diakses Pada 14 Februari 2013. http://economi-smp2pleret.blogspot.com/2011/02/peranan-pemerintah-dalampermasalahan.html, Oleh Smp2pleret, Diakses Pada 14 Maret 2013.

Hal | 125


http://www.hukumonline.com/, Jurnal hukum online Legalitas Outsourcing paska Putusan MK, Oleh Juanda Pangaribuan, Diakses pada 30 Oktober 2012. Peraturan Perundang-Undangan Lembaran Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Lembaran Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor. B.31/PHIJSK/I/2012 Tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.

Hal | 126


Otonomi Khusus Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Oleh: Selli, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Amir Syarifuddin, SH.,M.Hum dan Agus Ngadino, SH.,MH

Abstrak: Berbagai isu otonomi daerah dan persoalan mengenai pemerintahan daerah akhir-akhir ini menajdi isu yang hangat, salah satunya mengenai isu tuntutan otonomi khusus di beberapa Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah pemberian Otonomi Khusus terhadap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua. Pada dasarnya persoalan tersebut berakar dari masalah besar kecilnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah yang dihadapkan pada kenyataan bentuk Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami pelaksanaan otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan implikasi keberadaan daerah yang berstatus khusus tersebut terhadap hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Hasil penelitian ini adalah bahwa penerapan kebijakan otonomi khusus di Indonesia khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua merupakan solusi yang tepat untuk menjaga keutuhan negara dengan pelaksanaannya tetap berada dalam kerangka bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah khusus dalam menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing. Sehingga, dapat menciptakan keserasian hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Kata Kunci: Negara Kesatuan, Hubungan Pemerintah Pusat Dan Daerah, Otonomi Khusus

Hal | 127


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Negara Indonesia ialah Negara yang berbentuk Negara Kesatuan. Hal ini tercantum dalam konstitusi Negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik�.Hal itu berarti, the founding fathers Indonesia sangat menekankan pentingnya konsepsi Negara Kesatuan sebagai hakikat Negara Indonesia.242 Dalam pelaksanaan sistem pemerintahannya, bentuk Negara kesatuan ini terbagi menjadi dua macam sistem pemerintahan, yaitu Sentralisasi dan Desentralisasi. Bentuk negara kesatuan dengan sistem Sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah melaksanakan kebijakan pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan Negara kesatuan dengan sistem Desentralisasi yaitu daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus dan mengatur pemerintahan di wilayahnya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah otonom.243 Konsekuensi dari penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang menggunakan asas desentralisasi adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali bidang; politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.244 Hal ini menimbulkan peningkatan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan di tingkat daerah yang sangat besar.245 Konstitusi disusun dalam kerangka Negara Kesatuan harus tercermin kepentingan daerah, melalui aturan pembagian kekuasaan antara badan-badan pusat dan badan-badan daerah secara adil dan bijaksana sehingga daerah 242

Negara kesatuan ini juga disebut negara unitaris. Ditinjau dari segi susunannya, ada dua kemungkinana bentuk negara, yaitu 1) Negara kesatuan, yaitu negara yang bersusunan tunggal, dan 2) Negara federasi, yaitu negara yang bersusunan jamak, lihat dalam Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Palembang. 1989, hlm. 64 243 Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1982, hlm. 3. 244 Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut terdapat kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3) sistem administrasi negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (6) pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8) konservasi dan (9) standarisasi nasional. 245 Lihat dalam http://rusdianto.dosen.narotama.ac.id/files/2012/01/Daerah-OtonomiKhusus-dalam-Sistem-NKRI.pdf (hlm. 2), diakses pada tanggal 6 Desember 2012.

Hal | 128


memelihara kepentingannya dalam kerangka Negara Kesatuan. Susunan yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintahan di tingkat pusat dan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Sebagai pelaksanaan dari Pasal 18 UUD 1945 di bidang ketatanegaraan pemerintah Republik Indonesia melaksanakan pembagian daerah-daerah dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menurut UUD 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat UUD 1945, pemerintah daerah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara merata di daerah sesuai dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu mensejahterakan rakyat. Inti konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan kelangsungan pelayanan umum yang tidak diabaikan.246 Setiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model.247 Menurut Soepomo bahwa Otonomi Daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat, dan sifat-sifat sendirisendiri dalam kadar negara kesatuan. Selain otonomi daerah, Negara juga mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18b ayat (1) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang 246

H.A.W. Widjaja. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.22. 247 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Op. Cit,hlm. 11.

Hal | 129


bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang�. Artinya, diaturnya hal tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 mendukung eksistensi pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, baik provinsi, kabupaten kota, maupun desa. Otonomi Khusus yang diberikan kepada daerah khusus merupakan bentuk realisasi dari amanat Pasal 18b ayat (1) UUD 1945, yang menuangkan secara eksplisit bahwa negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus.Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada daerah khusus, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat. PemberianOtonomikhususadalahsuatubentuknyatadari bentuk Negara Kesatuan yang melaksanakan sistem pemerintahan Desentralisasi untuk memberikanpengakuan dan penghormatankepadasatuanpemerintahandaerah yang bersifatkhusus. 248 Pengaturantentangkeberadaanotonomikhusus ini ditujukanuntukpenegasandaripengakuan dan penghormatan negara terhadapsatuanpemerintahdaerah yang bersifatkhusus. Oleh karena itu, perlu ditempuh langkah-langkah antara lain, mempertahankan integritas bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan budaya masyarakat masing-masing dengan tidak bergesernya dari konsep Negara Kesatuan ke Negera Federal serta tetap berada pada bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.249 Sehingga pemberian otonomi khusus oleh negara mendorong berkembangnya prakarsa sendiri dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan untuk kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa tersebut tercapailah apa yang disebut dengan demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, tetapi juga memperbaiki nasibnya sendiri. Otonomi Khusus dalam pemerintahan daerah merupakan suatu dinamika politik di daerah yang secara konseptual tidak umum ada dalam suatu Negara yang berbentuk Negara Kesatuan. Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis 248

Sebagaimanatelahtertuangdalamkonstitusi yang kemudianditurunkandalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerahdalam Pasal 225 yang berbunyi Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undangundang lain. 249 Ibid.

Hal | 130


tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul “Otonomi Khusus dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia�. Untuk membahas lebih mendalam mengenai Keselarasan keberadaan otonomi khusus yang ideal dalam kerangka Negara Indonesia yang berbentuk Kesatuan sesuai dengan yang dikehendaki dalam konstitusi. 2. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahanpermasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Pelaksanaan Otonomi Khusus dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia? 2. Bagaimanakah Implikasi Keberadaan Daerah yang Berstatus Otonomi Khusus Terhadap Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah? 3. Kerangka Teori Negara Republik Indonesia adalah negara yang berbentuk kesatuan. Hal ini dinyatakan dengan tegas di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik�. Menurut Soehino, negara kesatuan jika ditinjau dari susunannya adalah negara yang tidak tersusun ke dalam beberapa negara sebagaimana yang terdapat dalam negara federal, melainkan negara yang bersifat tunggal. Artinya hanya ada satu negara. Tidak ada negara dalam negara. Dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan. Pemerintah pusat inilah yang memegang keputusan akhir dan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu di dalam negara tersebut.250 Bagi negara Indonesia yang menggunakan bentuk negara kesatuan, eksistensi dan peranan Pemerintah Pusat tidak dapat dikesampingkan atau ditinggalkan dengan diberikannya kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.251 Hubungan antara pemerintah pusat 250

Soehino, Ilmu Negara cet. 2, FH-UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 224. Peranan Pemerintah Pusat akan tetap dan terus ada melalui kebijakan-kebijakan nasional (public policy) dalam semua aspek kehidupan, demi mewujudkan kesejahteraan yang seimbang, maupun perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat atau daerah, lihat dalam Ibid, hlm. 102. 251

Hal | 131


dan pemerintah daerah dapat diatur dalam berbagai peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan otonomi daerah.252 Hal ini dikarenakan berbagai cakupan dan masalah yang berkaitan dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab berbagai tingkat pemerintahan yang ada di suatu negara tidak bisa diatur dalam satu undang-undang saja. Oleh karena itu, keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu kewajaran dalam suatu negara.253 Konsep pemikiran tentang otonomi daerah mengandung pemaknaan terhadap eksistensi otonomi tersebut terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.254 Prinsip otonomi daerah menurut Undang-undang No.32 Tahun 2004, yaitu prinsip otonomi yang seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab. 255 Artinya bahwa daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.256 B. PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Otonomi Khusus dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Secara yuridis konstitusional, pengaturan mengenai daerah khusus diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang�. Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 menurut Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa prinsip yang terkandung dalam pasal tersebut merupakan pengakuan negara terhadap pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. 257 Pengakuan negara terhadap pemerintahan daerah yang 252

Lihat dalam Akil Mochtar, Kewenangan Pusat dan Daerah dalam Pembangunan Daerah di Era Otonomi, hlm.1, diakses pada tanggal 2 April 2013. 253 Pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dapat berbentuk Undangundang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang yang mengatur Hubungan keuangan Pusat dan Daerah, Undang-undang Kewenangan Pusat dan Daerah. 254 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 8. 255 B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm. 170. 256 Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 48. 257 Philipus M. Hadjon, Kedudukan UU Pemerintahan Daerah dalam Sistem Pemerintahan, 2004, Makalah dalam Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen

Hal | 132


bersifat khusus menjadi landasan hukum dalam pemberian status otonomi khusus, seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua. Hal ini menjadi legitimasi dilakukannya peningkatan derajat desentralisasi untuk meredam berbagai tuntutan dan gerakan di daerah.258 Menurut Jimly Asshiddiqie konsep daerah otonomi khusus dapat dikembangkan sehingga dapat mempercepat pola pembangunan sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Pengembangan konsep daerah otonomi khusus juga tidak hanya bersifat politik dan administratif, tetapi dapat pula bersifat ekonomi atau budaya. Dengan demikian, daerah khusus itu dapat saja dibentuk di daerah kabupaten/kota serta dapat berciri ekonomi-budaya.259 Pengembangan konsep otonomi khusus tersebut menurut Jimly Asshiddiqie dinilai bermanfaat bagi pemberdayaan potensi ekonomi untuk percepatan pembangunan masing-masing daerah. Selain itu, pengembangan tersebut juga perlu dilakukan agar struktur dan perangkat hukum kelembagaan pemerintah benar-benar diabdikan untuk menunjang tujuan pembangunan yang hendak dicapai di masing-masing wilayah atau kawasan pembangunan. Menurutnya, struktur pemerintah dan perangkat peraturan perundang-undangan yang ada cenderung diberlakukan secara seragam walaupun di daerah-daerah telah diberikan kewenangan konstitusional yang luas untuk mengatur urusanurusan pemerintah daerahnya sendiri dengan memberlakukan peraturan daerah.260 Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Daerah Istimewa Aceh berdasarkan pada kondisi riil masyarakat Aceh memunculkan pergolakan dalam berbagai bentuk reaksi. Pergolakan tersebut muncul sebagai akibat dari kebijakan dalam penyelenggaan pemerintahan pada masa orde baru yang menitik beratkan pada sistem yang terpusat. Sistem itulah yang menjadi sumber bagi kemunculan ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, apabila tidak segera ditanggapi dengan aktif dan bijaksana, maka hal tersebut akan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Kanwil Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, 9-10 Juni, 2004, dalam Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009, hlm.172. 258 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Ibid., hlm.172. 259 http://beritasore.com/2011/06/15/jimly-usulkan-pengembangan-konsep-daerahotonomi-khusus/. Diakses pada tanggal 04 Juni 2013. 260 Ibid.

Hal | 133


Otonomi khusus Daerah Istimewa Aceh ditetapkan untuk mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai sosial budaya masyarakat Aceh yang diatur dengan undang-undang. Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh diberikan melalui UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini, antara lain: 1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing. 2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan pada UU Pemerintahan Aceh merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional. 3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut. 4. Pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada. 5. Implementasi formal penegakan syariâ€&#x;at Islam dengan asas personalitas keislaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah tersebut sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.261 Dalam hal pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia, Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal 261

Lihat Novi Kristi, Otonomi Khusus, 2012, dalam http://kristiarjati.blogspot.com/2012/06/otonomi-khusus.html. Diakses pada tanggal 05 Juni 2013.

Hal | 134


mendasar dari undang-undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.262 Sedangkan untuk Provinsi Papua, pemerintah mengeluarkan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi Khusus bagi Provinsi papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti tanggung jawab yang lebih besar bagi pemerintah dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua. Hal ini bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.263 Pada umumnya orang Papua berbeda ras dari orang Indonesia, sejarah Papua Barat dalam kaitan dengan kontak dengan dunia luar ataupun sejarah penjajahan dan perjuangan kemerdekaan berbeda dengan sejarah Indonesia, pulau Papua masuk dalam wilayah Pasifik, Papua Barat dibatasi oleh laut, terpisah dari pulau-pulau NKRI, tetapi wilayah itu diduduki dan di kuasai oleh Indonesia, maka status wilayah itu berbeda dari pada wilayah lain di Indonesia. Oleh karena itulah wilayah ini diberi otonomi khusus. Hal ini dilakukan untuk tetap mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masayrakat Papua, melalui penetapan daerah otonomi khusus.264 262

Lihat dalam penjelasan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134. 263 Lihat Bambang Wibiono, Otonomi Khusus Sebagai Solusi Masalah Desentralisasi, dalam Op. Cit. 264 Lihat dalam Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151.

Hal | 135


Otonomi khusus ini diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. Hal-hal yang mendasar menjadi isi undang-undang ini adalah: 1. Mengatur kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah provinsi Papua serta menerapkan kewenangan tersebut di provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan 2. Pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar 3. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri, antara lain: a) partisipasi rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan; b) pelaksanaan pembangunan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan c) penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat. 4. Pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.265 Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertujuan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Menurut Balthasar Kambuaya, otonomi khusus merupakan solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan di Papua, terutama permasalahan yang berkaitan dengan kesejahteraan. 266 Adanya Undang-Undang Otonomi Khusus adalah bukti komitmen kuat pemerintah pusat 265

Lihat Novi Kristi, Otonomi Khusus, dalam Op. Cit. Balthasar Kambuaya aalah seorang tokoh di Papua yang juga Menteri Lingkungan Hidup dan Rektor Universitas Cendrawasih Papua, lihat dalam http://regional.kompas.com/read/2011/11/04/01400850/Otonomi.Khusus.Tak.Jawab.Persoalan. Diakses pada tanggal 06 Juni 2013. 266

Hal | 136


untuk menyelesaikan masalah Papua. Otonomi khusus melalui UU No.21 Tahun 2001 menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama.267 2. Implikasi Keberadaan Daerah yang Berstatus Otonomi Khusus Terhadap Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berstatus otonomi khusus berbeda dengan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah lainnya. Undang-Undang Dasar 1945 memberi ruang hadirnya praktik hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang didasarkan pada karakter khas suatu daerah. Dalam UUD 1945, secara eksplisit ditegaskan, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Berdasarkan rumusan tersebut, UUD 1945 memungkinkan munculnya praktik otonomi daerah yang berbeda antara suatu daerah dengan daerah yang lain. Namun, untuk mengatur lebih jauh bagaimana perbedaan derajat khusus ataupun istimewa tersebut, UUD 1945 menyerahkannya kepada undang-undang.268 Kewenangan khusus yang dimiliki pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, adalah:269 1) Kewenangan membentuk lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh dari pihak mana pun.270

267

Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua, lihat dalam Pasal 1 huruf t dan u Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151. 268 Lihat Saldi Isra, Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, 2010, dalam www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=100:pembagian-kew.. Diakses pada tanggal 06 Juni 2013. 269 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Op. Cit., hlm.244. 270 Adapun pasal-pasal di dalam UU No.18 Tahun 2001 yang meyatakn tentang kewenangan Provinsi NAD untuk membentuk lembaga peradilan sendiri tersebut antara lain: a) Pasal 25 ayat (1) yang berbunyi “Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syariah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun�

Hal | 137


2) Kewenangan untuk menentukan bendera daerah.271 3) Kewenangan memiliki jumlah anggota legislatif daerah yang berbeda.272 4) Kewenangan untuk menyusun jenjang pemerintahan sendiri.273 5) Kewenangan membentuk peraturan daerah yang dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain.274 6) Kewenangan khusus tenrtang kepolisian daerah.275 b) Pasal 25 ayat (2) yang berbunyi “Kewenangan Mahkamah Syariah sebagimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas Syariat Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” c) Pasal 25 ayat (3) yang berbunyi “Kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) diberlakukan bagi pemeluk agama islam.” 271 Pasal-pasal dalam UU No.18 Tahun 2001 yang menyebutkan tentang pemberian kewenangan untuk menentukan lambang atau panji daerah adalah: a) Pasal 8 ayat (1) berbunyi, “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menentukan lambang daerah yang didalamnya termasuk alam atau panji kemegahan yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.” b) Pasal 8 ayat (2) berbunyi, “Lambang daerah yang di dalamnya termasuk alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diperlakukan sebagai bendera kedaulatan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.” 272 Pasal yang mengatur tentang jumlah legislatif di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari yang ditetapkan undang-undang.” 273 Pasal-pasal dalam UU No.18 Tahun 2001 yang menyebutkan kewenangan kepada pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk menyusun jenjang pemerintahan sendiri, antara lain: a) Pasal 2 ayat (1) Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibagi dalam Kabupaten/Sagoe atau nama lain dan Kota/Banda atau nama lain daerah otonom. b) Pasal 2 ayat (2) Kabupaten/Sagoe atau nama lain dan Kota/Banda atau nama lain terdiri atas Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain. c) Pasal 2 ayat (3) Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain terdiri atas Mukim atau nama lain dan Mukim terdiri atas Gampong atau nama lain. d) Pasal 2 ayat (4) Penyetaraan jenjang pemerintahan di dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diperlukan untuk penentuan kebijakan nasional diajukan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kepada pemerintah. e) Pasal 2 ayat (5) Susunan, kedudukan, penjenjangan, dan penyebutan pemerintahan sebagaimana disebut pada ayat (2) dan (3) ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. f) Pasal 2 ayat (6) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki otonomi khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 274 Lihat dalam Penjelasan Umum UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal-pasal yang menyebutkan kewenangan kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk membentuk Qanun adalah Pasal 1 angka 8, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah peraturan daerah sebagai pelaksanaan undangundang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.

Hal | 138


Ciri khas lain yang juga dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai daerah “istimewa” adalah diizinkannya pendirian partai politik yang berbasis di Aceh selama memenuhi persyaratan nasional. Hal tersebut dilakukan dengan beberapa ciri yang harus dipenuhi untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah serta mendukung kekhususan dan keistimewaan Aceh.276 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua memberikan kewenangan khusus dan lebih luas kepada Provinsi Papua. Adapun kewenangan khusus tersebut, antara lain: 1) Kewenangan memiliki bendera daerah.277 2) Penyerahan sisa kewenangan kepada pemerintah daerah.278 3) Kewenangan membentuk lembaga representasi rakyat.279 275

Pasal-pasal dalam UU No.18 Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelenggaraan kepolisian daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah: a) Pasal 21 ayat (4), hal-hal mengenai tugas fungsional kepolisian di bidang ketertiban dan ketentraman masyarakat diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. b) Pasal 21 ayat (5), pelaksanaan tugas fungsional kepolisian di bidang ketertiban dan ketentraman masyarakat dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. c) Pasal 21 ayat (6), pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur. 276 Lihat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 78 ayat (2). 277 Pasal dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang menyebutkan tentang kewenangan Provinsi Papua untuk memiliki bendera daerah, yaitu Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi, “Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. 278 Pasal-pasal dalam UU No.21 Tahun 2001 yang menyebutkan tentang sistem pembagian urusan pemerintahan untuk Provinsi Papua, yaitu: a) Pasal 4 ayat (1), yang berbunyi “kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b) Pasal 4 ayat (2), yang berbunyi “selain kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1), dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan undang-undang ini. 279 Pasal-pasal dalam UU No.21 Tahun 2001 yang mengatur tentang keberadaan MRP adalah: a) Pasal 1 huruf g yang berbunyi, “Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP adalah representasi kultural orang Papua yang memiliki kewenangan tertentu

Hal | 139


4) Kewenangan memiliki jumlah anggota legislatif daerah yang berbeda.280 5) Kewenangan membentuk peraturan daerah yang bersifat khusus.281 Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 282 Pemberian sumber keuangan negara kepada pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang didasarkan atas penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini merupakan suatu sistem yang meyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Penerimaan dalam rangka otonomi khusus, berupa tambahan penerimaan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari hasil sumber daya alam di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah dikurangi pajak, yaitu sebesar 55% (lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk pertambangan gas alam selama delapan tahun sejak berlakunya undang-undang ini. dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam undang-undang ini�; b) Pasal 5 ayat (2) yang berbunyi, “Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provnsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama�. 280 Di dalam UU No.21 Tahun 2001 yang menatur tentang jumlah legislatif di Provinsi Papua adalah Pasal 6 ayat (4) yang berbunyi, jumlah anggota DPRP adalah 1,25 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 281 Pasal-pasal dalam UU No.21 Tahun 2001 yang mengatur tentang peraturan daerah yang bersifat khusus Provinsi Papua adalah: a) Pasal 1 huruf i yang berbunyi Peraturan Daerah Khusus yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam undang-undang ini; b) Pasal 1 huruf j yang berbunyi Peraturan Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Perdasi adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 282 Lihat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, BAB II Prinsip Kebijakan Perimbangan Keuangan, Pasal 2 ayat (1).

Hal | 140


Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan serta Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.283 C. PENUTUP 1. Kesimpulan Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Hal-hal yang menjadi isi undang-undang tersebut adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing, tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan pada UU Pemerintahan Aceh merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional. Sedangkan, untuk Provinsi Papua, pelaksanaan otonomi khusus diatur di dalam Undang-Undang nomor 21 Tahun 2001. Di mana hal-hal yang menjadi muata undang-undang tersebut adalah mengatur kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah provinsi Papua serta menerapkan kewenangan tersebut di provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan, pengakuan dan penghormatan hakhak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar, serta mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. 2) Dengan adanya status otonomi khusus tersebut berimplikasi pada hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berstatus khusus tersebut, baik hubungan kewenangan maupun keuangan. Kewenangan khusus yang dimiliki oleh pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak dimiliki oleh daerah lain, yaitu antara lain kewenangan membentuk lembaga peradilan 283

Ibid.

Hal | 141


yang bebas dari pengaruh dari pihak mana pun, kewenangan untuk menentukan bendera daerah, kewenangan memiliki jumlah anggota legislatif daerah yang berbeda, kewenangan untuk menyusun jenjang pemerintahan sendiri, kewenangan membentuk peraturan daerah yang dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain, kewenangan khusus tenrtang kepolisian daerah, dan diizinkannya pendirian partai politik yang berbasis di Aceh selama memenuhi persyaratan nasional. Sedangkan, kewenangan khusus bagi Provinsi Papua, yaitu kewenangan memiliki bendera daerah, penyerahan sisa kewenangan kepada pemerintah daerah, kewenangan membentuk lembaga representasi rakyat, kewenangan memiliki jumlah anggota legislatif daerah yang berbeda, dan kewenangan membentuk peraturan daerah yang bersifat khusus. Selain hubungan kewenangan, juga berimplikasi pada hubungan keuangan, di mana adanya penerimaan khusus yang diperoleh kedua daerah tersebut dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus tersebut. Penerimaan dalam rangka otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, berupa tambahan penerimaan dari hasil sumber daya alam di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah dikurangi pajak, yaitu sebesar 55% (lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk pertambangan gas alam. Sedangkan, Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan serta Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. 2. Saran 1) Dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Indonesia harus tetap mempertahankan susunan Negara Kesatuan. Meskipun otonomi khusus tidak lazim ada dalam suatu negara yang berbentuk kesatuan, namun menurut penulis penerapan kebijakan otonomi khusus ini merupakan pilihan yang tepat dengan mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat Indonesia yang Hal | 142


beragam sebagai pelaksanaan prinsip persatuan dan kesatuan dalam rangka menjaga keutuhan negara dn pemerataan kesejahteraan. 2) Dalam hubungan kewenangan, diperlukan adanya pembagian kewenangan yang jelas antara pemerintah pusat dengan lembaga khusus di daerah yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan kebijakan otonomi khusus agar tidak terjadinya benturan kepentingan antara kepentinga pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Hal | 143


DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku: Abdullah, Rozali. 2000. Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Busroh, Abu Daud. 1989. Ilmu Negara. Palembang: Bumi Aksara. Darumurti, Krishna D. dan Umbu Rauta. 2003. Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hendratno, Edie Toet. 2009. Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kaho, Riwu. 1982. Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: PT Bina Aksara. Marbun, B.N. 2005.Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Soehino. 2002. Hukum Tata Negara Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Yogyakarta: BPFE-UGM. Sunarno, Siswanto. 2006.Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika. Widjaja, HAW. 2001. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3848. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844.

Hal | 144


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Internet: http://rusdianto.dosen.narotama.ac.id/files/2012/01/Daerah-Otonomi-Khususdalam-Sistem-NKRI.pdf. Diakses pada tanggal 6 Desember 2012. http://beritasore.com/2011/06/15/jimly-usulkan-pengembangan-konsep-daerahotonomi-khusus/. Diakses pada tanggal 04 Juni 2013. http://regional.kompas.com/read/2011/11/04/01400850/Otonomi.Khusus.Tak.Ja wab.Persoalan. Diakses pada tanggal 06 Juni 2013. www.saldiisra.web.id. Diakses pada tanggal 16 Mei 2013.

Hal | 145


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.