Bidang Hukum Pidana Gratifikasi Terhadap Pegawai Negeri Atau Penyelenggara Negara Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi
Oleh: Gustian Winanda, SH Lulus Tanggal 14 September 2013 di Bawah Bimbingan Malkian Elvani, SH., M.Hum dan Henny Yuningsih, SH., M.Hum
Gratifikasi Terhadap Pegawai Negeri Atau Penyelenggara Negara Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Oleh: Gustian Winanda, SH Lulus Tanggal 14 September 2013 di Bawah Bimbingan Malkian Elvani, SH., M.Hum dan Henny Yuningsih, SH., M.Hum
Abstrak: Pada Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi rumusannya menyatakan setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban. Sedangkan kategori tentang suap terdapat dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, dan Pasal 12. Permasalahannya bagaimana kriteria perbuatan suap dan gratifikasi yang digolongkan dalam tindak pidana korupsi, dalam pengolahan menggunakan metodelogi yuridis normatif, dengan kata lain penelitian ini bertitik tolak pada data sekunder atau dengan cara meneliti bahan pustaka. Kata Kunci: Korupsi, Gratifikasi, Suap, Pegawai Negeri, Penyelenggara Negara.
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Menurut Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi1, gratifikasi yang diberikan terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap kalau pemberian tersebut ditujukan untuk jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban penerima2, sedangkan suap sendiri antara lain diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi3, kalau dilihat secara lengkap dalam rumusan Pasal 12 B ayat (1) huruf a pemberian dengan nilai 1
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150) 2 Rumusan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150) 3 Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008, hlm. 84
Hal | 1
sepuluh juta rupiah atau lebih yakni penerimalah yang membuktikan bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap 4 dan huruf b mengatakan jika pemberian yang nilainya di bawah sepuluh juta kewajiban pembuktian beban penuntut umum kalau pemberian tersebut merupakan suap dan sedangkan Pasal 12 C mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlakukan apabila penerima gratifikasi tersebut melaporkan apa yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 5 dan sebagaimana pelaporannya dipertegas dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang intinya menjelaskan pelaporan dan penentuan status gratifikasi yang diterimanya tersebut.6 Ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf A yaitu terdapat beberapa unsur-unsur sebagai berikut:7 a. Setiap Orang8 b. Memberi atau menjanjikan sesuatu9 c. Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara10 d. Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara Negara berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya11 Jika diuraikan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 12 rumusan tersebut terdiri dari 2 dua ketentuan yaitu pertama Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut menduga, hadiah atau janji diberikan karena kekuasaan dan kewenangan yang berhubungan dengan jabatan penerima 13 . Kedua Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga menurut pikiran orang yang memberikan 4
Ibid. Ibid. 6 Ibid. 7 R Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 58 8 Ibid. 9 Ibid. 10 Ibid. 11 Ibid. 12 Rumusan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150) 13 Loc cit., R Wiyono, hlm 97 5
Hal | 2
hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya14. Pembahasan Pasal 11 jika dilakukan dengan mengikuti setiap unsur dari masing-masing kedua ketentuan di atas yaitu15 a. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara16 b. Menerima Hadiah atau Janji17 c. Diketahui atau patut diduga18 d. Karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya; dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya19 Gratifikasi sendiri di dalam Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi20, menyatakan gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dianggap suap jika pemberian tersebut dimaksudkan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban21. Dilihat dari rangkaian kalimat pasal tersebut diatas secara lengkap hanya menyatakan tentang pembuktiannya tidak menjelaskan apa yang menjadi unsur pembeda antara gratifikasi dan suap22, sedangkan suap sendiri sudah diatur oleh peraturan perundang-undang lain23, pengertian tindak pidana tentang gratifikasi dalam penjelasan umum tersebut adalah tindak pidana korupsi tentang pemberian gratifikasi dengan nilai sepuluh juta rupiah atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a.24 Pada ketentuan Pasal 12 B ayat (1) yaitu merupakan delik materiel dan bukan delik formiel karena masih harus dibuktikan bahwa pemberian itu bukan merupakan suap25, hal ini tersirat dinyatakan dalam kalimat dianggap suap serta 14
Ibid. Ibid. 16 Ibid. 17 Ibid. 18 Ibid. 19 Ibid. 20 Pasal 12 B ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor: 4150) 21 Rumusan Pasal 12 B ayat (1) (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor: 4150) 22 Loc cit., R Wiyono, hlm 122 23 Ibid. 24 Ibid. 25 Romli Atmasasmita,kapita selekta hukum pidana internasional, CV Utomo, Bandung, 2004, hlm. 58 15
Hal | 3
mengenai pembuktian tersebut mengunakan sistem beban pembuktian terbalik artinya penerima suap wajib membuktikan bahwa pemberian kepadanya bukan merupakan suap 26 . Penjelasan demikian pada butir (2) bahwa pemberian tersebut harus berkaitan atau berhubungan dengan jabatannya sebagai Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri yang dituduh itulah yang harus membuktikan tidak adanya hubungan atau kaitan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajibannya27, dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a dimana Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan harus membuktikan bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap jika nilai pemberian lebih dari sepuluh juta rupiah 28 sedangkan nilai pemberian kurang dari sepuluh juta rupiah pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut suap oleh penuntut umum.29 2. Rumusan Masalah Menurut ketentuan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi rumusannya menentukan bahwa setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dianggap suap jika pemberian tersebut berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajibannya, sedangkan tindak pidana korupsi dalam bentuk suap diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12. Berdasarkan latar belakang diatas timbul permasalahan, yaitu “Bagaimana kriteria perbuatan suap dan gratifikasi yang digolongkan ke dalam tindak pidana korupsi� 3. Kerangka Konseptual/Kerangka Teori Perbuatan tentang suap diatur secara luas di dalam peraturan perundangundangan lain sedangkan suap yang akan dibahas berkaitan dengan gratifikasi sesuai dengan rumusan Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 Jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikarenakan agar pembahasan skripsi ini tidak menyimpang dari permasalahan sehingga dapat terarah dan sesuai dengan objek permasalahan dan judul, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan pada:
26
Ibid. Ibid. 28 Ibid. 29 Ibid. 27
Hal | 4
1. Kriteria perbuatan suap 2. Kriteria Gratifikasi B. Gratifikasi Terhadap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi30 pengaturan suap dalam undang-undang tersebut diatas terdapat dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, dan Pasal 12. 31 Ruang lingkup dari suap-menyuap yakni, menerima janji, tawaran dan/atau hadiah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut baik kepada pejabat umum (Publik) atau swasta maupun pejabat di luar negeri (internasional).32 Pemberi suap dianggap dalam istilah pelaku korupsi aktif, sedangkan penerima suap di istilahkan pelaku korupsi pasif. 33 Pelaku korupsi suap aktif, yakni memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan dan bertentangan dengan kewajibannya sebagai pejabat publik atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.34 Pelaku korupsi suap pasif, yakni pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut untuk menduga, hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan yang di kuasainya dan berdasarkan pikiran orang yang telah memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.35
30
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150) 31 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 147 32 Ibid. 33 Ibid. 34 Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001 Jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) 35 Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 Jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)
Hal | 5
Kriteria/Perbedaan tindak pidana suap dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi36, perhatikan tabel sebagai berikut: PASAL
36
PERBUATAN
PENERIMA
MAKSUD Berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya, berlawanan dengan kewajiban Mempengaruhi putusan yang akan diadili dan mempengaruhi nasihat atau pendapat, berhubungan dengan perkara yang akan diadili Diketahui atau patut diduga pemberian itu karena kekuasaannya, menurut pikiran pemberi hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya
Pasal 5
Memberi atau Menjanjikan
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Pasal 6
Memberi atau Menjanjikan
Hakim dan Advokat
Pasal 11
Menerima Hadiah atau Janji
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150)
Hal | 6
Pasal 12
a
Menerima Hadiah atau Janji
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
b
Menerima Hadiah
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
c
Menerima Hadiah atau Janji
Hakim
d
Menerima Hadiah atau Janji
Advokat
e
Menyalahgunakan Kekuasaan, Memaksa Seseorang Memberikan, Membayar, atau Menerima Pembayaran Dengan potongan, atau Mengerjakan Sesuatu
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Diketahui atau patut diduga, untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan dalam jabatan, bertentangan dengan kewajiban. Diketahui atau patut diduga, sebagai akibat atau disebabkan telah melakukan atau tidak melakukan dalam jabatan, bertentangan dengan kewajiban Mempengaruhi putusan perkara yang akan diadili Mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan di berikan Menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
Hal | 7
f
Pada Waktu Menjalankan Tugas, Meminta, Menerima, atau Memotong Pembayaran Kepada Orang Lain atau Kepada Kas Umum
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara.
g
Dalam Menjalankan Tugas, Meminta, Menerima Pekerjaan, dan Penyerahan Barang
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
h
Dalam Menjalankan Tugas, Telah Mengunakan Tanah Negara yang Di atasnya Terdapat Hak Pakai Untuk Seluruh atau Sebagian Ditugaskan Untuk Mengurus atau Mengawasinya
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
i
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Seolah-olah orang lain atau kas umum mempunyai utang kepadanya padahal diketahui itu bukan merupakan utang Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa itu bukan merupakan utang Seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, merugikan orang yang berhak Langsung atau Tidak Langsung Dengan Sengaja Ikut serta Dalam Pemborongan, Pengadaan, atau Persewaan
Gratifikasi pengertiannya terdapat pada penjelasan Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi37 bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi yaitu pemberian dalam lingkup luas yakni pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cumacuma, dan khusus fasilitas lainnya ini menurut analisis penulis dapat juga dikenakan untuk gratifikasi seks dan Gratifikasi tersebut diterima di dalam
37
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150)
Hal | 8
negeri maupun di luar negeri dan mengunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.38 Rumusan Pasal 12 B yaitu Setiap pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap jika pemberian tersebut dimaksudkan ada hubungan dengan jabatan dan akibat dari pemberian itu akan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai pejabat pemerintah (ayat 1).39 Memperhatikan dari rumusan Pasal 12 B maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu pemberian hadiah atau gratifikasi bisa berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian itu diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya dan akan mengakibatkan munculnya suatu penyimpangan dengan kewajiban atau tugas mereka. 40 Secara prinsipil gratifikasi dan suap tidak ada perbedaan keduanya sama-sama dilarang. 41 Akan tetapi gratifikasi dengan adanya alasan pembenar dapat diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pada Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam butir (1) menjelaskan ketentuan Pasal 12 B tidak Diberlakukan kalau penerima gratifikasi melaporkan pemberian tersebut pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).42 A. Penutup Berdasarkan dari bab-bab sebelumnya dalam skripsi ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kriteria gratifikasi (khusus Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara) dan suap tidak ada perbedaan kesemuanya itu dilarang atau illegal, Artinya kedua-nya merupakan suatu tindak pidana korupsi.
38
Penjelasan Gratifikasi Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 JO. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150) 39 Rumusan Pasal 12 B UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150) 40 Loc cit., Direktorat Gratifikasi, hlm. 4 41 Ibid. 42 Ibid., Hlm. 10
Hal | 9
2. Khusus gratifikasi, dengan alasan pembenar gratifikasi dapat diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara setelah melaporkan gratifikasi tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dianalisis lebih lanjut mengenai kepemilikannya apakah menjadi milik negara atau menjadi milik penerima (Pasal 12 C)
Hal | 10
DAFTAR PUSTAKA
-------------------Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011 Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi Di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, Maret 2005 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiel dan Formiel Korupsi Di Indonesia, Bayu Media Publishing, Malang, 2005 Baharuddin Aritonang, Cek Miranda dan Korban-Korbannya, Pustaka Pergaulan, Jakarta, 2012 Chaerudin & Syaiful Ahmad & Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan dan Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT Refika Aditama, Bandung, 2008 Direktorat Gratifikasi, Buku Saku Memahami Gratifikasi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 2010 ------------------------Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Firmansyah, Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi dan Perspektif Integrated Criminal Justice System, Idea Press, Yogyakarta, 2010 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2009 M Marwan & Jimmy P, Kamus Hukum Dictionary Of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya, 2009 P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 -------------Rohim, Modus Operandi Tndak Pidana Korupsi, Pena Multi, Jakarta, 2008 R Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, CV Utomo, Bandung, 2004 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007
Hal | 11
---R Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009 Usmawadi, Materi Pendidikan Latihan dan Kemahiran Hukum (PLKH), Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, 2013 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4150) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor: 140) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor: 169) (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 3890) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 3851) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor: 137) Wikipedia Indonesia, biografi singkat Miranda Swaray Goeltom, http://id.m.wikipedia.org/wiki/miranda_goeltom, Diakses Tanggal 26 Maret 2013 Jam 21:01 Wib Berita Catalog BBC online, sidang putusan perkara Miranda Swaray Goeltom, www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/09/120927_vonismiran da.shtml, Diakses Tanggal 26 Maret 2013 Jam 22:43 Wib Mahkamah Agung RI, Direktori putusan perkara marsekal muda Suyitno, putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/027243e2f2c47bc043fa9d97747 22970, Diakses Tanggal 27 Februari 2013 Jam 21:15 Wib
Hal | 12