E journal bidang kajian pidana (edisi pertama)

Page 1

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN)Provinsi Sumatera Selatan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika Di Palembang | Oleh: Dodi Ardiansah Ginting, SH (Hal 1-10) Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144/PHPU.D-VIII/2010 Terhadap Pelanggaran Pemilukada yang Dikategorikan Bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif Pada Pelaksanaan Pemilukada Kota Manado Tahun 2010 | Oleh: Eka Franc Damanik, SH (Hal 11-23) Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyebaran Hasil Cipta Melalui Media Internet Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik | Oleh: Galih Prayoga, SH (Hal 24-39) Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Eksploitasi Seksual Melalui Media Internet | Oleh: M. Septayadi Pratama, SH (Hal 40-52) Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual | Oleh: Maulana Ibrahim, SH (Hal 53-65) Analisis Yuridis Pembelaan Terpaksa (Nooweer) Oleh Korban Penganiayaan | Oleh: Muhammad Muslih, SH (Hal 66-80) Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Tindak Pidana di Bidang Medis | Oleh: Nenty Permata Sari, SH (Hal 81-92) Upaya Hukum Polresta Palembang Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penadahan Kendaraan Sepeda Motor Hasil Pencurian | Oleh: Pebri Berdikari Manalu, SH (Hal 93-106) Tempat dan Waktu Tindak Pidana Serta Hubunganya Dengan Daluwarsa Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana | Oleh: Ramawati Kemalasari, SH (Hal 107-120) Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Perempuan Menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang | Oleh: Randy Aditya, SH (Hal 121-132) Tindakan Penundaan Pelaksanaan Pidana Mati Sebagai Pemindaan Ganda | Oleh: Andri Kosasi, SH (Hal 152-167) Tindak Pidana Yang Dilakukan Apoteker Di Bidang Kefarmasian | Oleh: Adi Baladika, SH (Hal 168-185) Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan | Oleh: Niko Silvanus, SH (Hal 186-198) Kepatuhan Pengendara Kendaraan Bermotor Rodadua Terhadap Peraturan Tertib Lalu Lintas | Oleh: A. Marcos Saputra, SH (Hal 199-213)

Hlm. 1 dari 2 Hlm.


Peranan Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Wanita Di Wilayah Polresta Palembang | Oleh: Abi Oktavia Putra, SH (Hal 214-224) Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Usaha yang Menggunakan Zat Kimia Berbahaya Dalam Makanan di Kota Palembang (Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) | Oleh: Yogi Aria Putra, SH (Hal 225-240) Tanggung Jawab Pidana Pemilik Senjata Api Berizin yang Disalahgunakan Oleh Orang Lain Karena Kelalaian | Oleh: M. Angga Prayogi, SH (Hal 241-252) Peran Korban Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga | Oleh: Satukhid Kartanegara, SH (Hal 253-266)

Hal | ii Hlm. 2 dari 2 Hlm.


PENGANTAR KATA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Elekktronik Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang terbit pertama pada Bulan Agustus 2013 merupakan tindak lanjut dari edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor:152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 hal Publikasi Karya Ilmiah dan Surat Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Nomor:1026/UN9.1.2/MI/2013 tanggal 3 Juli 2013 hal Pemberitahuan Publikasi Karya Ilmiah Mahasiswa. Jurnal ini disepakati untuk diberi nama “OPINI HUKUM”. Penamaan ini dimaksudkan bahwa karya ilmiah yang diterbitkan pada tiap edisi adalah pemikiran-pemikiran hukum yang cerdas dari lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Penerbitannya dilakukan setiap dua bulan menjelang dengan Wisuda Sarjana Universitas Sriwijaya. Pada tiap penerbitannya tulisantulisan dikelompokkan ke dalam Bidang Kajian yang ada di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, yang terdiri dari Bidang Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Internasional. Untuk edisi perdana ini tulisan yang disajikan sebanyak 91 artikel sesuai dengan jumlah lulusan Sarjan Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Periode Juli 2013 yang tersebar sesuai dengan Bidang Kajian Hukum para lulusan. Redaksi menyadari bahwa dari segi penampilan dan mutu karya ilmiah yang tersaji belumlah memenuhi standar kualitas yang diharapkan. Namun, ada optimisme untuk melakukan penyempurnaan pada masa yang akan datang. Kepada khalayak pembaca kami ucapkan selamat berkunjung pada OPINI HUKUM Electronic Journal Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Indralaya, 31 Juli 2013 Redaksi

Hal | iii


KATA SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Karya tulis ilmiah justru miskin ditengah-tengah masyarakat ilmiah. Inilah tantangan besar dunia perguruan tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Kemendikbud, jumlah karya ilmiah yang dihasilkan perguruan tinggi Indonesia saat ini masih rendah, hanya sepertujuh saja jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia. Kondisi memprihatinkan itulah yang juga menjadi pertimbangan diterbitkannya Surat Dirjen Dikti No: 152 tanggal 27 Januari 2012. Inti dari surat Dirjen tersebut bahwa yang menjadi syarat lulus bagi mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasikan karya ilmiahnya, yaitu: (1) Untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, (2) Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti, dan (3) Untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional. Menjadi kewajiban semua pengelola perguruan tinggi, termasuk Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, untuk merespon apa yang menjadi arahan Dirjen Dikti tersebut. Walaupun sebelumnya beberapa upaya juga telah dilakukan untuk mendorong kreativitas mahasiswa untuk menghasilkan pemikiran yang kritis dan analitis yang dituangkan juga dalam tulisan. Respon terhadap surat Dirjen Dikti tersebut dan sebagai upaya menambah sarana bagi mahasiswa untuk menuangkan pemikiran yang kritis dalam bentuk tulisan, maka fakultas Hukum UNSRI menerbitkan E-Journal berjudul Opini Hukum. E-Journal ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa untuk memuat karya tulis mereka sehingga terpenuhi apa yang menjadi harapan Dirjen Dikti tersebut. Saya menyambut baik diterbitkannya E-Journal Opini Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang merupakan hasil dari kerja keras tim dibawah koordinasi Pembantu Dekan I. Kiranya para mahasiswa khususnya dan masyarakat ilmiah di Fakultas Universitas Sriwijaya pada umumnya dapat memanfaatkan E-Journal ini secara maksimal. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Indralaya, 26 Juli 2013 Dekan, Prof. Amzulian Rifai, SH., LL.M., Ph.D Hal | iv


Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN)Provinsi Sumatera Selatan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika Di Palembang Oleh: Dodi Ardiansah Ginting, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. H. Abdullah Gofar, S.H.,M.H dan Hj. Nashriana, S.H.,M.H

Abstrak: Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu aparat penegak hukum mempunyai peranan penting dalam menanggulangi kasus tindak pidana narkotika adalah Badan Narkotika Nasional (BNN), yang diharapkan mampu membantu proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika yang sesuai dengan undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika dan undang-undang nomor 23 tahun 2010 tentang badan narkotika nasional. Metode pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Pendekatan ini mengkaji konsep yuridis empiris penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika oleh Badan Narkotika Nasional.

Kata Kunci: Narkotika, Badan narkotika Nasional, Penegakan hukum

Hal | 1


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau tidak tanaman, baik sin tetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan menurunkan atau merubah kesadaran, menghilangkan rasa, mengurangi rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1 Di satu pihak narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat dibidang pengobatan, bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, selain itu dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama. Narkotika apabila digunakan secara tepat, baik dosis ukuran atau pun penggunannya dapat memberikan manfaat bagi kepentingan manusia. Namun sebaliknya bila digunakan secara berlebihan akan menimbulkan gangguan kesehatan pemakai bahkan lebih fatal lagi dapat mengakibatkan kematian, serta tidak stabilnya tatanan kehidupan sosial dimasyarakat. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika baik didunia mapun di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan peningkatan tajam dan penyebaran yang cepat meluas keseluruh Negara dan wilayah. Sekarang di Indonesia tidak satupun kabupaten atau kota yang bebas dari penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika.2 Meningkatnya penyalaguna narkoba disebabkan oleh tersedianya narkoba dimana-mana (di pemukiman, sekolah, kampus, universitas, warungwarung kecil). Pada umumnya, apabila disuatu tempat narkotika itu mudah diperoleh, maka dilingkungan itu akan banyak pula dijumpai korban penyalagunaan narkotika.3 Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim. Dengan demikian, penegakan hukum diharapkan mampu manjadi faktor penangkal terhadap merebaknya perdagangan gelap serta peredaran narkotika.

1

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Tommy T.Jacobus, Modul Pelatihan Tokoh Masyarakat Sebagai Fasilitator Penyuluh Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, Pusat dukungan pencegahan pelaksana harian badan narkotika nasional, 2005,Hlm 1. 3 Retno sukesti, Modul Pelatihan Keluarga & Orang Tua Sebagai Fasilitator Penyuluh Pencegah Penyalahgunaan Narkoba, Pusat dukungan pencegahan pelaksana harian badan narkotika nasional, 2005,Hlm 30. 2

Hal | 2


Namun, dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat peredaran serta perdagangan narkotika tersebut.4 Kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang pada masa sekarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat penegak hukum diharapkan bisa mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia diIndonesia, khususnya bagi generasi penerus bangsa. Di antara aparat penegak hukum yang juga mempunyai peran penting terhadap adanya kasus tindak pidana narkotika ialah Badan Narkotika Nasional (BNN), yang diharapkan mampu membantu proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika.5 Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang di dalamnya diatur juga sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, maka Badan Narkotika Nasional diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan tindak pidana narkotika tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Badan Narkotika Nasional diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, hal tersebut belum diatur dalam undang-undang lama. Dua kewenangan dirasa perlu untuk mengantisipasi kejahatan narkotika dengan modus operandi yang semakin kompleks dan didukung oleh jaringan organisasi. Tidak hanya menambah kewenangan, status kelembagaan Badan Narkotika Nasional pun ditingkatkan.6 Efektivitas berlakunya undang-undang sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak umum, dalam hal tersebut seluruh intansi yang terkait langsung, dengan Badan Narkotika Nasional serta para penegak hukum yang lainnya. Hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, maka peran Badan Narkotika Nasional bersama masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika yang semakin marak.7 Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian dimaksudkan untuk mengetahui peranan dari Badan Narkotika Nasional dalam penegakan hukum 4

Rudianto, Peranan Badan Narkotika Nasional Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika, Fakultas Hukum Muhammadiyah Surakarta, 2010, www.Peranan badan narkotika nasional.com Diakses tgl 15-12-2012, Hlm 4. 5 Ibid. 6 Ibid. 7 Ibid.

Hal | 3


terhadap tindak pidana narkotika serta hambatan yang ditemui di dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, dengan judul: “PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) PROVINSI SUMATERA SELATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI PALEMBANG�. 2. Rumusan Permasalahan 1. Bagaimana peranan Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Selatan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika? 2. Apa yang menjadi hambatan Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Selatan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika? 3. Tinjauan Pustaka A. Tinjauan Tentang Hukum Pidana 1. Pengertian Pidana Pidana berasal dari kata Straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana yang lebih tepat dari istilah hukuman, kerana hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari Recht. Pidana lebih tepat didefenisikan sebagai salah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberika oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan didalam hukum pidana disebut sebagai tindak pidana (Strafbaar Fait).8 2. Pengertian Hukum Pidana Menurut Moeljatno, Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengatur dasar-dasar dan aturanaturan:9 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2) Menentukan waktu kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan. 8

Adami Chazami, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Dan Batas Hukum Pidana, (PT: RajaGrafindo Persada; Jakarta), 2010, Hlm 24. 9 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (PT Raja Grafindo Persada; Jakarta), 2011, Hlm 25.

Hal | 4


3)

Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut..10 Menurut Satochid Kartanegara, bahwa hukum pidana dapat dilihat dari beberapa pandangannya, adalah sebagia berikut: a) Hukum pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman. b) Hukum pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Menurut Pompe hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya. B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Menurut defenisi dari Simons yang merumuskan tindak pidana sebagai berikut: Tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum, diancam dengan pidana oleh undang-undang perbuatan mana yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipersalahkan pada sipembuat.11 C. Tinjauan Tentang Penyidik Penyidik adalah pejabat polisi Negara republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.12 Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya dalam Peraturan Presiden Republik Indonesiadisebut BNN adalah lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.13

10

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta; Jakarta),2004, Hlm 4-5. Ibid, Hlm 52. 12 Pasal 1 Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana. 13 Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional. 11

Hal | 5


D. Tinjauan Tentang Narkotika Narkotika yaitu suatu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis atau bukan semisintesis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya kedalam tubuh manusia. Pengaruh-pengaruh tersebut berupa pembiusan, hulangnya rasa sakit, rangsangan semangat, timbulnya khayalankhayalan yang akan menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya. 14 E. Tinjauan Tentang Penegakan Hukum Penegak hukum akan dibatasi pada kalangan secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang hanya tidak mencakup Law Enforcement, dan juga Peace Maintenance. Kiranya dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang kehakiman, bidang kejaksaan, bidang kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyaratan.15 B. PEMBAHASAN Tabel 1: Data Prevalensi Jumlah Penyalahguna Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur, Tahun 2011 NO KELOMPOK USIA LAKI-LAKI PEREMPUAN 1 10-19 Tahun 3,4 1,0 2 20-29 Tahun 7,2 1,8 3 30-39 Tahun 3,2 0,5 4 < 40 Tahun 1,8 0,3 Sumber: Dit TPN Bareskrim polri dan BNN, Januari 2013

Berdasarkan tabel diatas bahwa jumlah tindak pidana narkoba menurut jenis kelamin, kelompok umur sangat mengkawatirkan bagi pengguna, karena narkoba tersebut tidak memandang usia yang akan menyalahgunakan narkoba tersebut, baik dikalangan remaja,dewasa dan tua semua biasa terkena narkoba. Oleh karena itu badan narkotika nasional harus perlu menangani secara serius karena narkoba tidak memandang jenis kelamin laki-laki atau perempuan yang 14

Istiati,Narkoba, (Jakarta; Sahabat), 2009, Hlm 11. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,(Rajawali Pers;Jakarta), 2012, Hlm 19-20 15

Hal | 6


membuat atau mengakibatkan moralitas pengguna narkoba tersebut kurang dan menambah korban penyalahguna narkotika semakin banyak. Tabel 2: Data Prevalensi Jumlah Penyalahguna Menurut Jenis Kelamin dan Sektor Pekerjaan, Tahun 2012 NO SEKTOR PEKERJAAN LAKI-LAKI PEREMPUAN 1 Pertanian/ Perkebunan 2,8 2,0 2 Pertambangan 4,8 1,8 3 Industri pengolahan 5,5 1,7 4 Listrik, gas dan air 2,6 2,5 5 Konstruksi 5,2 3,7 6 Perdagangan/Rumah 6,7 1,9 Makan/Akomodasi 7 Angkutan, Gudang dan 4,7 1,6 Komunikasi 8 Keuangan/real estate/persewaan 4,6 2,2 9 Jasa kemasyarakatan/sosial 8,4 8,0 5,4 3,6 Sumber: Dit TPN Bareskrim polri dan BNN, Januari 2013

Perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan didalam kelompok masyarakat agar upaya menanggulangi penyalahgunaan narkoba didalam masyarakat tersebut menjadi lebih efektif. Pada program tersebut pengenalan narkoba akan dibahas lebih mendalam yang nantinya akan disertai dengan simulasi penanggulangan seperti latihan pidato, latihan diskusi dan latihan untuk menolong penderita. karena narkoba juga tidak memandang sektor pekerjaan seperti pertanian, pertambangan dan sebagainya.

Hal | 7


Tabel 3: Data Kasus Narkoba Berdasarkan Penggolongan Tahun 2008-2012 Kasus % No Tahun Narkotika Psikotropika Bahan Jumlah Peningkatan/ Penurunan adiktif 1 2008 10.008 9.783 9.573 29.364 2 2009 11.140 8.779 10.964 30.883 5,17 % 3 2010 17.898 1.181 7.599 26.678 -13,62 % 4 2011 19.128 1.601 9.067 29.796 11,69 % 5 2012 17.628 1.599 7.239 26.458 -11,20 % Jumlah 75.794 22.943 44.442 143.179 Sumber: Dit TPN Bareskrim polri dan BNN, Januari 2013

Berdasarkan tabel diatas kasus narkotika, psikotropika dan bahan aktif kadang kala semakin meningkat oleh karena itu perlu adanya penindakan khusus instansi terkait seperti badan narkotika nasional, kepolisian dan membangun kerja sama terhadap masyarakat yang telah dibangun oleh badan narkotika nasional dan disosialisasikan oleh badan narkotika nasional. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas, maka timbul suatu kesimpulan atas permasalahan yaitu sebagai berikut: a) Peranan Badan Narkotika Nasional Provinsi dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika di Palembang sebagaimana yang telah dijelaskan di bab-bab diatas bahwa badan narkotika mempunyai upaya preventif dengan cara bersosialisasi dengan masyarakat dan para pelajar dan akan tetapi Badan Narkotika Nasional Provinsi juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang terkait serperti kepolisian, kampus dan masyarakat dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bahaya narkotika. b) Hambatan-hambatan yang dihadapi Badan Narkotika Nasional Provinsi dalam melaksanakan tugasnya yaitu: Dari segi sumber daya manusia yaitu Kurangnya sumber daya masnusia menyebabkan Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Selatan merupkan badan baru berdiri, maka baik secara kualitas maupun kuantitas aparat belum maksimal. Dari segi

Hal | 8


sarana dan prasarana yaitu kurangnya dana untuk fasilitas/peralatan dalam melaksanakan tugas belum sebagaimana mestinya. 2.

Saran Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas, maka timbul suatu saran dari kesimpulan yaitu sebagai berikut: 1. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Selatan dibutuhkan tenaga yang ahli sesuai yang diperlukan, maka jika setelah mendapatkan dana agar memenuhi fasilitas/peralatan agar tindak pidana narkotika semakin berkurang dan dapat di berantas seperti yang kita harapkan, dan perlu membuat seminar kekampus pada ajaran mahasiswa baru bahwa narkotika sengat berbahaya bagi penerus bangsa. 2. Perlunya sosialisasi ke sekolah-sekolah dan mahasiswa dalam bentuk penyuluhan dengan melibatkan guru-guru dan memberi kesaksian kepada siswa dengan mengundang mantan pencandu yang telah sembuh dari penyakit narkoba dan berbagi cerita tentang berbahaya narkoba bagi generasi muda. 3. Didalam Badan Narkotika Nasional Provinsi perlu adanya tempat rehabilitasi, bagi pengguna narkoba agar dapat sehat kembali seperti masyarakat pada umumnya.

Hal | 9


DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Adami Chazami,2010, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Dan Batas Hukum Pidana, (PT: RajaGrafindo Persada; Jakarta). Andi Hamzah, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta; Jakarta). Ishaq, 2007,Dasar-Dasar Ilmu Hukum,(Sinar Grafika; Jakarta). Retno sukesti,2005,Modul Pelatihan Keluarga & Orang Tua Sebagai Fasilitator Penyuluh Pencegah Penyalahgunaan Narkoba, Pusat dukungan pencegahan pelaksana harian badan narkotika nasional. Soerjono Soekanto,2012 ,Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Rajawali Pers; Jakarta). Teguh Prasetyo,2011,Hukum Pidana, (PT Raja Grafindo Persada; Jakarta). Tommy T.Jacobus,2005,Modul Pelatihan Tokoh Masyarakat Sebagai Fasilitator Penyuluh Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, Pusat dukungan pencegahan pelaksana harian badan narkotika nasional. Perundang-undangan Kitab Undang-Udang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional. Internet Rudianto, Peranan Badan Narkotika Nasional Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika, Fakultas Hukum Muhammadiyah Surakarta, 2010, www.Perananbadan narkotika nasional.com Diakses tgl 15-12-2012.

Hal | 10


Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144/PHPU.DVIII/2010 Terhadap Pelanggaran Pemilukada yang Dikategorikan Bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif Pada Pelaksanaan Pemilukada Kota Manado Tahun 2010 Oleh: Eka Franc Damanik, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. Febrian, S.H.,M.S dan Indah Febrian,S.H.,M.H

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dengan adanya perubahan ketiga Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 muncul lembaga baru didalam kekuasaan yudisial, yakni Mahkamah Konstitusi (MK), terbentuknya MK diharapkan terwujudnya checks and balances system yang merupakan sistem saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang kekuasaan yang satu dengan kekuasaan lainnya.16 Pasal 24C ayat (1) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum yang sebelumnya diselesaikan di Mahkamah Agung. Kelahiran dan kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak saja menimbulkan berbagai opini diantara pakar hukum tata negara, akan tetapi dibalik hal itu mencoba menaruh harapan besar kepada lembaga ini, agar mampu independen, sekaligus cerdas dalam menentukan putusannya. Sehingga mempunyai implikasi yang kuat terhadap penyelenggaraan lembaga negara yang lain, termasuk juga dalam hal penyelesaian sengketa tentang hasil pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah yang dewasa ini marak terjadi.17 Mahkamah Konstitusi dalam perkara sengketa Pemilukada telah beberapa kali memutus yang memerintahkan KPUD untuk melakukan pemungutan suara ulang atau penghitungan suara ulang Pemilukada di beberapa daerah karena terbukti dalam penyelenggaran Pemilukada tersebut terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, antara lain Pemilukada Kota Manado. 16

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara RajaGrafindoPersada, 2010), hal. 290. 17 Mustafa lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia, hal. 97

Jilid

II

(Jakarta:

Hal | 11


Pada pelaksanaan Pemilukada Kota Manado, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 144/PHPU.D-VIII/2010, tanggal 3 September 2010 dalam pertimbangan hukumnya telah menyatakan bahwa dalam pelaksanaan Pemilukada Kota Manado telah terbukti adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon, oleh karena itu Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya memerintahkan KPU Kota Manado untuk melaksanakan pemungutan suara ulang. Dalam penelitian ini, penulis akan fokus terhadap ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 144/PHPU.D-VIII/2010 TERHADAP PELANGGARAN PEMILUKADA YANG DIKATEGORIKAN BERSIFAT TERSTRUKTUR, SISTEMATIS DAN MASIF PADA PELAKSANAAN PEMILUKADA KOTA MANADO TAHUN 2010 2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya yaitu Apakahputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144/PHPU.D-VIII/2010 terhadap pelanggaran Pemilukada kota Manado yang dikategorikan bersifat terstruktur, sistematis dan masif sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia? 3. Kerangka Teori a) Konsep Negara Hukum Negara hukum adalah konsep baku yang selalu saja mengalami simplifikasi makna menjadi dalam Negara berlaku hukum. Padahal filosofi negara hukum meliputi pengertian, ketika negara melaksanakan kekuasaannya, maka negara tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya, ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi). Akan tetapi, jika pengawasan hukum atas kekuasaan negara tidak memadai, pengertian subtantif negara hukum akan terperosok ke dalam kubangan lumpur negara yang kuasa. Hukum itu tidak lebih dari sekedar perisai kekuasaan yang membuat kekuasaan steril dari hukum dan melahirkan negara yang semata-mata dikendalikan oleh kekuasaan.18

18

Ahmad syahrizal, Peradilan Konstitusi Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, hal 55.

Hal | 12


Untuk memahami perkembangan konsep negara hukum, secara empiris dapat dikatakan sebagai objek kajian yang tidak terpisah dari perkembangan fungsi yudisial dalam melaksanakan pengujian hukum secara formil 19 dan materil 20 . Setelah melihat hasil dari dilaksanakannya kewenangan itu, maka konsep negara hukum yang awalnya bersifat transedental menjadi lebih nyata atau konkret dirasakan oleh masyarakat luas. Karena melalui system pengujian seperti itu diperkirakan hak-hak konstitusional masyarakat yang dilanggar oleh produk hukum dapat dikembalikan pada hakikatnya semula. Keteguhan revolusioner guna mencapai cita-cita negara hukum atau rechtsstaat, secarara filosofis dapat ditelusuri keberadaannya melalui pemikiran Fichte (1762-1814). Fichte memulai dengan suatu pernyataan bahwa hak asasi individu harus dilindungi oleh negara. Karena hak asasi manusia adalah syarat yang diperlukan bagi adanya individu itu. Hal ini merupakan integritas dari institusi, hak milik, dan perlindungan diri. Artinya hukum harus merealisasikan keadilan dan segera harus menjadi rechtsstaat. Untuk menjamin agar hal tersebut dapat berlangsung, Fichte mendalilkan kehadiran sebuah institusi yang bebas dari kekuasaan negara dan diperlukan untuk menguji keabsahan tindakantindakan Negara (Ephorat). Akan tetapi, ketika Fichte tidak menuntut konstitusi tertulis guna menetapkan hak asasi manusia.21 Konsep rechtsstaat dan rule of law sama-sama merupakan konsepsi negara hukum dalam pengertian bahasa kita di Indonesia. Rechtsstaat adalahkonsep negara hukum menurut versi dan tradisi Eropa. Akan tetapi, pengertian seperti yang dipahami saat kini berbeda dari masa klasik dulu. Demikian pula konsep rule of law yang kurang lebih juga merupakan konsepsi negara hukum menurut versi dan tradisi Anglo-Amerika juga berkembang pengertiannya dari waktu ke waktu.22 Secara geopolitik perkembangan progresif doktrin negara hukum (rechsstaat) lebih terlihat di sebelah Barat Daya Jerman daripada di Prussia. Dalam berbagai literatur dapat dikatakan munculnya konsep rechsstaat sebagai awal dari kemenangan system kekaisaran Napoleon23. Ahli hukum Tata Negara Padmo Wahyono selalu mengingatkan bahwa konstitusi (die staatverfassung) tidak lain adalah seperangkat ketentuan mengenai tata cara bernegara suatu 19

Sri Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, hal. 6-7 Ibid.,hal. 11 21 W. Friedmann, Legal Theory, hal. 82 22 Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata negara, hal. 4. 23 Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society; Toward Critism of Social Theory Society, hal. 186 20

Hal | 13


bangsa, yang isinya selain fundamental bagi struktur organisasi negara, juga mengenai segala aspek kehidupan bernegara dari rakyatnya (hukum, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, hubungan luar negeri dan lain-lain24). Kriteria dalam hal ini adalah “yang dianggap penting� oleh rakyat banyak, dimasukkan ke dalam konstitusi agar memperoleh jaminan dan kepastian hukum. Mengingat sulitnya untuk mengubah suatu konstitusi, ini dinamakan relativering proses dari hal-hal yang fundamental dalam isi suatu konstitiusi. Dan ini pula yang menyebabkan perbedaan konstitusi negara yang satu dengan negara yang lain. Namun, isi konstitusi tetap mempunyai sifat absolut. Salah satusifat absolut itu dirumuskan dengan istilah forma-formarum. Bahwa konstitusi menentukan segala bentuk yang ada25. Misalnya apabila dirumuskan kedaulatan rakyat, maka tidak akan ada di negara tersebut, sumber kewenangan lain dari rakyat atau wakilnya, demikian juga norma normarum.26 Berlakunya sifat absolut konstitusi menerangkan selengkapnya keadaan ajaib, bahwa semakin lama semakin banyak diterima secara konsekuen tentang berlakunya norma-norma hukum terhadap negara, yakni tentang pertanggungjawaban negara akan tindakan-tindakan tanpa hak yang di manamana dapat dilihat. Hal ini merupakan senjata dogmatis yuridis Krabbe yang paling tajam terhadap teori kedaulatan negara. Sedangkan Kranenburg memahami bahwa kekuasaan harus diberikan untuk mencapai bertambah baiknya syarat-syarat kehidupan masyarakat menurut kecakapan yang agak lebih banyak itu, mempertinggi kesejahteraannya, atau menghindarkan kerugian dan kecelakaan27. Wirjono Prodjodikoro, menilai bahwa dalam konsepsi negara hukum berarti suatu negara, yang di dalam wilayahnya terdiri dari dua hal, yaitu (1) semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintahan dalam tindakan-tindakannya baik terhadap warga negara maupun saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku; (2) semua 24

Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, hal. 57 Berdasarkan pandangan Hans Kelsen, konstitusi dapat dipahami dalam arrtian formil danmaterial. Dalam pengertiannya yang mataerial, konstitusi terdiri dari atas norma positif atau kaidah-kaidah yang akan mengatur pembentukan norma-norma hukum yang bersifat umum. Selanjutnya Kelsen mengungkapkan konstitusi dalam artian formil, terdiri sebagian dari normanorma tertulis, dan sebagian lagi dapat terdiri dari hukum yang tidak tertulis. Lihat Hans Kelsen dalam Pure Theory of Law, university Of California Press Berkeley, hal. 222. 26 Op.Cit., hal. 58 27 Ranenburg, Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, hal. 148. 25

Hal | 14


orang-orang penduduk dalam perhubungan kemasyarakatan harus tunduk pada perturan-perturan hukum yang berlaku.28 Untuk mengatur segala perhubungan alat-alat perlengkapan dari Negara maupun perhubungan dari semua orang-orang penduduk itu, maka tidak dapat tidak, diperlukan seperangkat perturan norma-norma hukum yang perbuatannya didasari oleh konstitusi. Paul Scholten dalam bukunya Struktur Ilmu Hukum (De Struktuur Der Rechtswetenschap) mendalilkan bahwa hukum terdiri atas perintah-perintah, aturan-aturan kaidah. Kaidah-kaidah itu menghendaki penetapan, terarah pada perwujudan, hukum itu direalisasikan dalam kehidupan kemasyarakatan. 29 Pada tahap mewujudkan hukum pada realitas kehidupan mungkin saja terjadi contra legem antara norma-norma hukum. Dengan demikian, dalam negara berdasarkan hukum, hakim sebagai wasit dalam rangka menyelesaikan persoalan yang timbul antara norma-norma hukum yang mengatur hubungan timbal balik atara masyarakat dengan negara maupun antar masyarakat itu sendiri, adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Apalagi kita telah menyepakati secara konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang menjungjung tinggi hukum. Dalam negara hukum secara substantif, persengketaan internal system hukum yang timbul harus diselesaikan melalui mekanisme “adjudikasi konstitusional�. b) Pemilihan Umum Menurut M. Ali Safaat, kenyataan pelaksanaan demokrasi dapat diklasifikasi berdasarkan pelaksanaan pemerintahan demokrasi berdasarkan cara yang digunakan, pada umumnya dibagi dua, yaitu30: 1. Demokrasi Langsung (directe democratie) Apabila semua rakyat berkumpul bersama-sama untuk membuat undangundang. Sistem ini masih dilaksanakan di Swiss dengan system referendum yaitu dimana rakyat secara langsung melakukan pengawasan, terutama kebijakan yang telah, sedang, atau yang akan dilaksanakan oleh badan eksekutif atau legislatif.

28

Wirjono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 37. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum (De Struktuur Der Rechtswetenschap) hal. 28. 30 Ramdlon Naning, Aneka Asas Ilmu Negara, hal 52, sebagaimana dikutip M. Ali Safaat, “KedudukanDewan Perwakilan Daerah (DPD) Dalam Struktur Parlemen Indonesia Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945� Tesis Universitas Indonesia, 2005, hal. 8. 29

Hal | 15


2. Demokrasi Perwakilan (representative democratie) Yaitu apabila rakyat yang telah dewasa memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam dewan perwakilan rakyat baik di pusat maupun di daerah, yang akan melakukan mekanisme pemerintahan. Demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat sendiri, dalam arti segala keputusan diambil oleh seluruh rakyat yang berkumpul pada waktu dan tempat yang sama, hanya mungkin terjadi pada negara yang wilayah dan jumlah warganya sanagat kecil. Pada jaman modern, sebuah cita-cita demokrasi yang ideal dimana rakyat terlibat secara langsung dalam pemerintahan sudah tidak mungkin dilaksanakan lagi. Bahkan Robert A Dahl berpendapat bahwa salah satu kegagalan demokrasi di jaman Romawi adalah bahwa dalam praktek rakyat tidak mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam majelis warga di pusat pemerintahan karena hal itu membutuhkan biaya dan waktu yang memberatkan.31 Jika tidak mungkin untuk dilaksanakan demokrasi langsung, maka harus diusahakan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menjadi bahan pembuatan keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka. Timbulah system perwakilan rakyat, dan kumpulan para wakil rakyat ini dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat yang sering disebut “parlemen� atau lemabaga legislatif (legislature). Di dalam gagasan demokrasi perwakilan, kekuasaan tertinggi (kedaulatan) tetap di tangan rakyat, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat sendiri.32 Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu delam Undang-Undang Dasar. Di samping itu, kedaulatan rakyat dapat pula disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebebasan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamain oleh Undang-Undang Dasar. Namun demikian, prinsip kedaulatan rakyat yang bersifat langsung itu hendaklah dilakukan melalui saluran-saluran yang sah sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan. Sudah 31

M. Ali Safaat, “Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dalam Struktur Parlemen Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945� Tesis Universitas Indonesia, 2005, hal. 8. 32 Ibid.,hal. 9

Hal | 16


seharusnya lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah diberdayakan fungsinya dan pelembagaannya, sehingga dapat membuat system demokrasi yang berdasar atas hukum (demokrasi konstitusional) dan prinsip negara hukum yang demokratis tersebut di atas .33 Secara teoritis, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai lewat pemilihan umum (Pemilu). Salah satunya adalah menguji kedaulatan rakyat. Menurut Indria Samego, barangkali hanya inilah satu-satunya kesempatan buat seluruh warganegara untuk menentukan pilihannya secara langsung. Artinya, betapapun mahalnya sebuah Pemilu, pemerintah harus menyelenggarakannya secara regular bila tidak mau dianggap bahwa pemerintah telah gagal dalam menjalankan salah satu kewajiban politiknya. Karena kedaulatan berada di tangan rakyat, maka segala proses penyelenggaraan negara, termasuk Pemilu, harus diserahkan kepada pemiliknya.34 Menurut Jimly Asshidiqie, perselisihan hasil pemilihan umum adalah perselisihan antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum. Peserta pemilu adalah: a. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; b. Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah; c. Partai Politik peserta Pemilihan Umum untuk memilih Anggota DPR dan DPRD. d. Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur; e. Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati; f. Pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota.35 Pemilihan Umum Kepala Daerah pada kenyataannya telah termasuk dalam rezim pemilihan umum. Dalam perselisihan hasil Pemilu, para peserta Pemilu itu dapat saja tidak puas atas hasil pemilihan umum yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilihan umum, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika mereka tidak puas, maka dapata mengajukan permohonan perkara ke Mahkamah Konstitui sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang pemilihan umum, dan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.36

33

Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, hal 72. Indria Samego, “Pemilu dan Pelembagaan Demokrasi�, Makalah Untuk Persidangan Mahkamah Konstitusi, 28 Januari 2009, hal. 4. 35 Jimly Asshidiqi, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, hal. 732 36 Ibid. 34

Hal | 17


B. PEMBAHASAN 1. Analisis Pelanggaran Pemilukada Yang Dikategorikan Bersifat Terstruktur, Sistematis Dan Masif Salah satu substansi penting dari perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai suatu lembaga negara baru yang berdiri sendiri dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai salah Perubahan Ketiga UUD 1945.37Oleh sebab itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha mengakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaiman ditentukan dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi (MK) sejak tahun 2008 diberikan kewenangan mengadili sengketa Pemilukada yang semula dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). 38 Perkara yang ditangani MK sejak pengalihan kewenangan tersebut mengalami peningkatan signifikan pada tahun 2010 dengan banyaknya perkara yang diperiksa dan diputus.39 Salah satunya yaitu perkara PHPU Kada Manado tahun 2010. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144/PHPU.D-VIII/2010, tanggal 3 September 2010 dalam pertimbangan hukumnya telah menyatakan bahwa dalam pelaksanaan Pemilukada Kota Manado telah terbukti adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon, oleh karena itu Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya memerintahkan KPU Kota Manado untuk melaksanakan pemungutan suara ulang. Pelanggaran yang mendominasi Pemilukada secara langsung yaitu mobilisasi dan ketidaknetralan Pegawai Negeri Sipil, penyalahgunaan jabatan

37

Ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, tanggal 9 November 2001. Pasal 104 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menentukan keberadaan penetapan hasil Pemilukada berkenaan “hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon� diadili MA. Dalam perkembangannya kemudian ditangani MK berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tenang Pemerintahan Daerah dan UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Berdasarkan UU ini penanganan sengketa hasil pemilu oleh MA dialihkan ke MK paling lama 18 bulan sejak ditetapkan undang-undang tersebut. 39 Pada 2008 pertama kali MK menangani PHPU Kada sebanyak 27 perkara. Selanjutnya pada 2009 sebnyak 3 perkara, pada 2010 sebanyak 230perkara dan pada 2011 (akhir april) kurang lebih menerima 47 perkara dan sebanyak 42 perkara setelah diputus. 38

Hal | 18


dan fasilitas/ anggaran negara oleh calon incumbent, dan maraknya praktik money politik.40 Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas telah membenarkan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon peserta Pemilukada Kota Manado tahun 2010 secara sistematis, terstruktur dan massif pada saat pelaksanaan Pemilukada Kota Manado tahun 2010 tersebut, dan juga merupakan pelanggaran terhadap konstitusi khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan Pemilukada dilakukan secara demokratis dan tidak melanggar asas-asas pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana ditentukan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144/PHPU.D-VIII/2010 tersebut di atas, membuktikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi semakin berkembang, baik terkait luas pemeriksaan yang tidak terbatas menilai penghitungan suara dan menetapkan perolehan suara yang benar, tetapi juga menilai beberapa pelanggaran pidana dan adiministrasi setiap tahapan Pemilukada. Selanjutnya bobot pelanggaran dinilai apakah merupakan pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif atau pelanggaran yang berpengaruh atas hasil akhir perolehan suara atau melanggar asas-asas Pemilukada sesuai konstitusi yang pada dasarnya pelanggaran hukum, keadilan dan nilai-nilai demokrasi. Mahkamah Konstitusi akan memberikan sanksi dalam amar putusannya sesuai tahapan pelanggaran dan bobotnya dalam ranah hukum Pemilu, karena pelanggaran administrasi dan pidana masih dapat diteruskan ke lembaga lain yang berwenang. Mahkamah Konstitusi berkembang paradigmanya tidak hanya membuka dan menciptakan peluang keadilan substantif, juga memperluas keadilan substantif dengan pergeseran dari aturan kepada prinsip-prinsip dan tujuan dan turut memperkuat demokrasi yang berlangsung agar lebih berkualitas sesuai tujuan demokrasi sendiri, bukan sebatas demokrasi politik, tetapi membukakan jalan tercapainya demokrasi ekonomi dan sosial. Mahkamah Konstitusi berperan akhir menilai semua tahapan parameter penyelenggaraan Pemilukada dilaksanakan demokratis, termasuk oleh penyelenggara Pemilu/birokrasi yang seharusnya tidak memihak (neteral). Demokrasi tidak berhenti pada demokrasi 40

Miftahul Huda, Jurnal Konstitusi volume 8, Pola Pelanggaran Pemilukada Dan Perluasan Keadilan Substantif, (Jakarta, Sekretaria Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2011) hal. 150.

Hal | 19


prosedural, tetapi juga mewujudkan tujuan demokrasi dan mewujudkan keadilan sosial dan peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi sangat menentukan dalam kewenangan konstitusionalnya. Tidak hanya membangun tatanan politik yang demokratis, akan tetapi juga dibutuhkan penguatan masyarakat itu sendiri dan terbukanya ruang publik. Oleh karenanya, hakim Konstitusi dituntut sebagainegarawan yang memiliki peran membawa demokrasi dan keadilan tidak hanya untuk Pemilukada saat ini tetapi juga memikirkan masa depan demokrasi di Indonesia.41 C. PENUTUP 1. Kesimpulan Pelanggaran pemilihan umum adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang pemilihan umum yang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pertama, pelanggaran pidana adalah tindakan-tindakan kriminal dan berakibat pada hukuman penjara dan/atau denda. Kedua, pelanggaran administratif yaitu pelanggaran-peanggaran terhadap ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang pemilihan umum yang tidak didefinisikan sebagai tindakan kriminal dan tidak berkaitan dengan hukuman dan/atau denda. Pelanggaran yang bersifat terstruktur artinya pelanggaran tersebut sudah melibatkan aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pemilu yang berjenjang dari atasan sampai ke tingkat bawah. Pelanggaran bersifat sistematis pelanggaran tersebut telah direncanakan dengan matang.Pelanggaran bersifat masif artinya pelanggaran tersebut sudah sangat meluas dan bukan sporadis. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144/PHPU.D-VIII/2010 telah membenarkan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon peserta Pemilukada Kota Manado tahun 2010 secara sistematis, terstruktur dan massif pada saat pelaksanaan Pemilukada Kota Manado tahun 2010 tersebut, dan juga merupakan pelanggaran terhadap konstitusi khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan Pemilukada dilakukan secara demokratis dan tidak melanggar asas-asas pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana ditentukan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144/PHPU.D-VIII/2010 tersebut di atas, membuktikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi semakin 41

Ibid.,hal.151.

Hal | 20


berkembang, baik terkait luas pemeriksaan yang tidak terbatas menilai penghitungan suara dan menetapkan perolehan suara yang benar, tetapi juga menilai beberapa pelanggaran pidana dan adiministrasi setiap tahapan Pemilukada. Selanjutnya bobot pelanggaran dinilai apakah merupakan pelanggaran ssitematis, terstruktur dan masif atau pelanggaran yang berpengaruh atas hasil akhir perolehan suara atau melanggar asas-asas Pemilukada sesuai konstitusi yang pada dasarnya pelanggaran hukum, keadilan dan nilai-nilai demokrasi. Mahkamah Konstitusi akan memberikan sanksi dalam amar putusannya sesuai tahapan pelanggaran dan bobotnya dalam ranah hukum Pemilu, karena pelanggaran administrasi dan pidana masih dapat diteruskan ke lembaga lain yang berkembang. 2. Saran Dari uraian tersebut di atas, Penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Bagi Provinsi, Kabupaten/Kota yang akan menyelenggarakan Pemilukada, agar lebih intensif mensosialisasikan kepada warga di daerahnya mengenai pentingnya demokrasi yang adil dan jujur agar penyelenggaraan Pemilukada berjalan dengan demokratis dan dapat menciptkan pemimpin-pemimpin daerah yang lebih berkualitas. 2. Ke depan penyelesaian sengketa Pemilukada tidak dipersengketakan di Mahkamah Konstitusi namun di lembaga peradilan daerah setempat penyelenggara Pemilukada agar tidak memakan biaya yang tinggi bagi para yang akan berperkara.

Hal | 21


DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdul Laif, Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum Yang Demokrasi)., Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum., Bandung: Mandar Maju, 2008. Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum., Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek., Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia., Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negra Jilid I., Jakarta: Konstitusi Press, 2006. , Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II., Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010. , Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Kepaniteraan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah., Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2012. Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia., Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia., Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, pikiran-pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat., cet-2, Bandung: Sega Arsy, 2008. Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia., Yogyakarta: UII Press, 2010. Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia; Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945.,Yogyakarta: FH UII Pres Yogyakarta, 2003. Sekretariat Jenderal Kepniteraan MK , Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2010. Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum., Jakarta: UI-Press, 2006 dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif., Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003.

Hal | 22


Zulkarnaen dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Konstitusi, Bandung: Pustaka Setia, 2012. B. Jurnal Sekretariat Jenderal Kepniteraan MK , Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2010. Miftahul Huda, Jurnal Konstitusi volume 8, Pola Pelanggaran Pemilukada Dan Perluasan Keadilan Substantif, Jakarta: Sekretaria Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2011. C. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Hal | 23


Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyebaran Hasil Cipta Melalui Media Internet Menurut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Oleh: Galih Prayoga, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Rd. Muhammad Ikhsan, SH.,MH dan Arfiana Novera, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi. Fenomena kecepatan perkembangan teknologi informasi ini telah merebak di seluruh belahan dunia. Tidak hanya negara maju saja, namun juga telah memacu perkembangan teknologi informasi pada masyarakat negara berkembang, sehingga teknologi informasi mendapatkan kedudukan yang penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah kepribadian baik masyarakat maupun peradaban manusia secara universal. Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini sudah menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan peranan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, serta peradaban manusia, sekaligus menjadi media efektif perbuatan melawan hukum.42 Pada era digital saat ini, manakala setiap ciptaan multimedia baik di bidang seni, sastra, maupun ilmu pengetahuan dapat diekspresikan melalui medium internet yang memunculkan fenomena model perlindungan hak cipta di internet, perlu dilakukan pendekatan hukum untuk pengaturan pemberian perlindungan atas ciptaan-ciptaan yang dipublikasikan dengan menggunakan teknologi digital. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang merupakan hak eksklusif pencipta, penemu, inventor, atau yang menerima hak memegang 42

Ahmad Ramli, Cyber Law Dan HAKI-Dalam sistem Hukum Indonesia, (Bandung; Rafika Aditama), 2004, hlm. 1

Hal | 24


peran penting dengan maksud agar pencipta dapat mengumumkan, mempergunakan, memperperbanyak, melaksanakan atau mengizinkan pihak lain melaksanakan hak ekslusif ini yang mengandung hak-hak ekonomi. Suatu kekayaan intelekual berupa ciptaan di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan yang dilindungi undang-undang yang merupakan hak eksklusif bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan-ciptaan dilindungi sebagai hak cipta menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 2002). Suatu kenyataan bahwa produk yang dilindungi hak cipta seringkali direproduksi dan didistribusikan secara ilegal. Perbanyakan tanpa hak atas suatu karya intelektual atau dikenal dalam bahasa Inggris dengan istilah “piracy” yang bermakna “the unauthorized and illegal reproduction or distribution of material protected by copyright, patent of trademark law ”. Perbanyakan tanpa hak (piracy) dimaksudkan pada tindakan mereproduksi dan mendistribusikan dengan tanpa hak dan melanggar hukum terhadap barang yang dilindungi oleh hukum hak cipta. Dengan demikian istilah “perbanyakan tanpa hak” dalam lingkup hak cipta adalah memiliki makna sama dengan tindak pidana hak cipta yang dikualifikasikan dalam UUHC 2002 sebagai tindak pidana. Perlindungan hukum atas karya cipta termasuk didalamnya ciptaan multimedia di internet setidaknya meliputi, pertama hak cipta atas isi (content) yang terdapat di media internet yang berupa hasil karya berbentuk informasi, tulisan, karangan, review, program atau bentuk lainnya; kedua, hak cipta atas alamat situs web dan alamat surat elektronik pelanggan jasa internet. Media internet merupakan salah satu bagian dari kemajuan dibidang teknologi informasi. Dengan menggunakan media internet, setiap orang bebas mendapatkan informasi yang diinginkan dengan mudah tanpa terhalang oleh ruang dan waktu. Adanya kemudahan untuk mendapatkan informasi melalui sarana digital seperti internet dapat membuat sebagian masyarakat menggunakan internet untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Internet dipandang sebagai media yang memberikan informasi dengan biaya yang rendah atau ekonomis. Penyebaran informasi tersebut saat ini didistribusikan lewat “Physical format” diantaranya video dan Compact Disk. Hal ini memungkinkan untuk diperbanyak dan atau juga digandakan oleh konsumen dengan tujuan-tujuan tertentu. Dengan sering terjadinya berbagai macam pelanggaran Hak Cipta mengenai pengunduhan hasil cipta secara gratis melalui media internet untuk komersial maupun digunakan untuk pribadi, yang sekarang kemudian pencipta Hal | 25


telah merasakan kerugian yang di derita mereka maka mereka tidak hanya menginginkan perlindungan hukum yang tegas untuk mengatasi pengunduhan secara ilegal tersebut tetapi juga menginginkan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku penyebaran hasil cipta maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYEBARAN HASIL CIPTA MELALUI MEDIA INTERNET MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah penulisan ini yaitu : 1. Bagaimanakah bentuk tindak pidana yang dikategorikan dalam kejahatan siberterhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menurut Pasal 32 dan Pasal 34 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyebaran hasil cipta melalui media internet menurut Pasal 48 dan Pasal 50 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ? 3. Landasan Teori 1. Teori Perlindungan Hak Cipta Pembahasan mengenai perlindungan hak cipta dapat dilepaskan dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Eddy Damain menyatakan bahwa kelahiran undang-undang ini didorong oleh kecenderungan masyarakat Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual. Perlindungan hak cipta dalam lingkup Internasional terlihat dalam beberapa instrumen hukum yang terlahir di penghujung abad ke20 dan awal abad ke-21, yaitu dengan dicapainya kesepakatan kolektif untuk meningkatkan masalah hak kekayaan intelektual kea rah kesepakatan bersama, sebagaimana tercantum dalam Agreement Establising the World Trade Organization (WTO Agreement) yang

Hal | 26


berjudul Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement).43 TRIPs sebagai lampiran WTO Agreement adalah dokumen yang mengikat Indonesia yang telah meratifikasi persetujuan tersebut dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 24 November 1994, yang dalam perspektif hukum internasional dikatakan bahwa persetujuan internasional yang telah diratifikasi merupakan hukum nasional bagi negara peratifikasi persetujuan itu. Keikutsertaan Indonesia pada persetujuan TRIPs telah melahirkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hak Cipta adalah bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan hak kekayaan intelektual yang pengaturannya terdapat dalam hukum hak kekayaan intelektual, yang membidangi hak-hak yuridis dari karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah piker manusia yang bertautan dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi dan moral.44 Para penulis Indonesia dan asing sering menyebut bahwa upaya negara-negara di dunia memperkuat sistem hukum perlindungan hak kekayaan intelektual mendapat bentuknya yang jelas dalam Bern Convention 1971. 45 Penting dicatat bahwa Bern Convention termasuk yang harus dirujuk dalam TRIPs pasca terbitnya Paris Convention 46 . Konvensi Paris dan Konvensi Bern merupakan dua konvensi yang dirujuk dalam TRIPs. Konvensi Bern mengatur cabang kedua dari hak kekayaan intelektual, yaitu hak kekayaan intelektual yang substansinya parallel dengan Konvensi Paris yang intinya melindungi Hak Paten, Merek, Rahasia Dagang, Disain Industri, dan hak lainnya.

43

Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 3-4. 44 Eddy Damian, Op.Cit., hlm. 32. 45 Ibid.,hlm. 44. 46 Konvensi Paris sebenarnya adalah kelanjutan dari Konvensi pertama yang membicarakan perlindungan bagi Inventor yang diselenggarakan di Wina pada tahun 1873. Konvensi inilah yang kemudian diteruskan di Paris di tahun 2883 yang dihadiri sekitar 500 peserta termasuk 11 Negara serta 48 wakil kamar dagang dan industry dan teknik yang berdiam di Paris. Sebuah komisi yang dibentuk dalam Konvensi tersebut menyiapkan rancangan konvensi pada tahun itu juga.Rancangan Konvensi ini dikirimkan ke berbagai negara dan pada tahun 1880 diadakan Konvensi berikutnya di Paris dengan dihadiri wakil 19 negaga.Rancangan Konvensi tersebut diterima dengan beberapa perubahan dan rancangan yang telah diubah ini dikirim kembali ke beberapa negara untuk mendapatkan tanggapan, Ibid. hlm. 29.

Hal | 27


Nico Kansil, mengemukakan beberapa teori tentang perlunya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual47, sebagai berikut: 1. Teori Reward Berdasarkan teori Reward, pengakuan dan penghargaan perlu diberikan oleh masyarakat atas usaha dan keberhasilan seseorang dengan member perlindungan kepada pencipta dan penemu atas karya-karyanya. 2. Teori Recovery Berdasarkan teori Recovery, alasan utama mengapa harus ditegakkan, adalah karena penemu/pencipta perlu diberi kesempatan untuk memperoleh dan meraih kembali apa yang telah dikorbankan atau dikeluarkannya, seperti: waktu, tenaga dan uang. 3. Teori Incentive Berdasarkan teori Incentive, penemu/pencipta memerlukan insentif agar dapat melakukan kegiatannya, dan insenfit tersebut bermanfaat untuk menarik dana dan upaya bagi pelaksanaan dan pengembangan kreativitas; penemuan dan semangan untuk menghasilkan penemuan. 4. Teori Expanded Public Knowledge Berdasarkan teori Expanded Public Knowledge yang dikembangkan untuk bidang paten. Untuk mempromosikan publikasi dari penemuan dalam bentuk dokumen yang secara mudah tersedia untuk umum, maka diberi kesempatan untuk menikmati hak khusus, hak ekslusif yang bersifat sementara 5. Teori Risk Berdasarkan teori Risk, bahwa HKI merupakan hasil dari suatu penelitian yang mengandung risiko, sebab usaha yang bersifat perintisan diperlukan untuk menghasilkan sesuatu yang tidak dengan sendirinya sudah jelas sebelumnya, sehingga banyak diganggu dengan langkah permulaan yang keliru, arah yang salah dan kesimpangsiuran 6. Teori Public Benefit

47

Nico Kansil, “Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Perlindungan Di Indonesia� Makalah disampaikan pada Seminar “Perlindungan Dan Penegakan Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual�, Jakarta, 1995, hlm. 7, Ibid.,hlm. 25.

Hal | 28


Berdasarkan teori ini, HKI merupakan alat bagi pengembangan ekonomi. Pengembangan ekonomi merupakan keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistemperlindungan HKI yang efektif. 2. Teori Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh, para penulis-penulis pada umumnya tidak membicarakan konsepsi pertanggungjawaban pidana melainkan membicarakan ukuran-ukuran tentang mampu bertanggung jawab, sehingga dipandang perlu adanya pertanggungjawaban pidana. 48 Roeslan Saleh mengatakan bahwa bertanggungjawab atas suatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu. Pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan itu.49 Sudarto menyatakan bahwa seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. 50 Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

48

Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 33. 49 Ibid., hlm. 34 50 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan kuliah FH UNDIP, 1987, hlm. 85

Hal | 29


B. PEMBAHASAN 1. Bentuk Tindak Pidana Kejahatan Siber Terhadap Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual a) Tindak Pidana Yang Berhubungan dengan Gangguan Data Tujuan pengaturan data interference adalah untuk menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan Informasi dan Dokumen Elektronik. 51 Pada dasarnya hanya pihak yang memiliki hak atau kewenangan yang dapat mengambil tindakan yang mempengaruhi kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan Informasi dan Dokumen Elektronik. Pasal 32 UU ITE memberikan perlindungan terhadap data komputer atau program komputer dari penyerangan atau kerusakan sebagaimana diberikan terhadap “barang fisik.52 Setiap data memiliki nilai, baik berupa nilai pribadi, nilai strategis maupun nilai ekonomis yang dapat diperhitungkan atau diukur dengan uang bagi seseorang atau organisasi. 53 Selain itu, data bersifat sensitif; perubahan, penambahan, atau pengurangan data dapat berdampak besar terhadap integritas data. Semakin besar atau tinggi nilai data, semakin penting perlindungan terhadap data. Tujuan perlindungan data adalah untuk menjaga dan melindungi kerahasiaan, keutuhan, dan keteraksenan karena pada prinsipnya hanya orang yang memiliki hak yang dapat mengakses informasi termasuk mengubah, menambah, mengurangi, atau menghilangkan data. Pengertian gangguan dalam satu sistem elektronik dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik” Unsur “dengan sengaja”, unsur “tanpa hak” dan unsur “melawan hukum” menjadi bagian yang penting dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU ITE. Dalam Memorie Van Toelichting (Mvt) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan criminal Wetboek tahun 1881 (yang menjadi kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia 1915), di jelaskan : “sengaja’’ diartikan : “ dengan 51

Josua Sitompul, Op.Cit., hlm. 232. Bandingkan dengan Pasal 406 KUHP yang mengatur “… dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai, atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain. 52

Hal | 30


sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.” Sedangkan tanpa hak adalah tidak memiliki hak berdasarkan undang-undang, perjanjian, atau alas hukum lain yang sah. Seseorang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarluaskan hasil cipta melalui media internet dapat dikenakan sanksi pidana. Yang dimaksud dengan “mengubah” menurut KBBI adalah menjadikan lain dari semula yang artinya apabila dikaitkan dengan Pasal 32 ini adalah melakukan modifikasi Informasi atau Dokumen Elektronik asli. Dalam unsur “mengubah” terkandung makna “penambahan” atau “pengurangan”. Unsur “menambah” maksudnya membuat Informasi dan Dokumen Elektronik menjadi lebih banyak dari informasi atau dokumen aslinya atau yang seharusnya. Yang dimaksud dengan “mengurangi” menurut KBBI adalah mengambil (memotong) sebagian yang artinya Dokumen Elektronik menjadi lebih sedikit dari aslinya atau yang seharusnya, baik mengurangi Informasi atau Dokumen Elektronik, atau mengurangi jumlah Informasi atau Dokumen Elektronik. Unsur “melakukan transmisi” maksudnya adalah mengirimkan, memindahkan, atau meneruskan Informasi atau Dokumen Elektronik dari satu pihak atau tempat pihak atau tempat lain. Dalam hal ini Yang dimaksud dengan “memindahkan” adalah menempatkan Informasi dan Dokumen Elektronik dari tempatnya semula ke tempat lain. Unsur memindahkan mempunyai makna yang sama dengan melakukan transmisi. Memindahkan Informasi atau Dokumen Elektronik antar sistem dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (2)UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronil Orang lain yang tidak berhak” Dalam pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) terdapat unsur yang sama; pada ayat pertama digunakan unsur “melakukan transmisi” dan “memindahkan” yang dapat sama maknanya dengan unsur “memindahkan atau mentransfer” pada ayat (2). Meskipun demikian, pembentuk undang-undang membedakan penggunaan dan ancamannya. Ayat (1) mencakup adanya gangguan terhadap data dalam satu Sistem Elektronik, sedangkan ayat (2) menekankan gangguan data berupa pemindahan atau transfer dari satu Sistem Elektronik ke sistem lainnya.54 54

Pada ayat (2) terdapat unsur “memindahkan” atau “mentransfer” yang telah diatur pada ayat (1). Frase “…kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak” sebagaimana diatur pada ayat (2) menjadi tidak relevan lagi karena kriminalisasi data interference adalah

Hal | 31


Unsur “memindahkan atau mentransfer” maksudnya menempatkan atau mengirimkan Informasi atau Dokumen Elektronik dari tempatnya semula ke tempa lain: “kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak”. Perpindahan atau transfer tersebut dapat saja mengakibatkan Informasi atau Dokumen Elektronik ada di Sistem Elektronik asal dan Sistem Elektronik yang dituju. Perpindahan atau transfer tersebut tidak harus mengakibatkan Informasi atau Dokumen Elektronik tidak adala lagi di tempatnya semula seperti melakukan “cut” dan “paste”. Perpindahan atau transfer tersebut dapat saja mengakibatkan Informasi atau Dokumen Elektronik ada di Sistem Elektronik asal dan sistem Elektronik yang dituju. b) Tindak Pidana Penyalahgunaan Alat dan Perangkat Untuk Memfasilitasi Perbuatan yang Dilarang Tindak pidana penyalahgunaan alat dan perangkat untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang diatur di dalam Pasal 34 ayat (1)UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a. Perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. Sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33”. Kriminalisasi terhadap perbuatan yang diatur dalam Pasal 34 UU ITE didasarkan pada fakta bahwa cybercrime dilakukan dengan menggunakan alat dan perangkat teknologi informasi dan komunikasi, dan kriminalisasi terhadap perbuatan yang diatur dalam pasal ini dimaksudkan untuk mengurangi potensi meningkatnya tindak pidana siber dengan meminimalisir sumber tindak pidana, penyalahgunaan alat dan perangkat.55

terhadap tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum. Bahkan seharusnya data interference terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik publik sebagaimana diatur pada ayat (1) diancam dengan pidana yang lebih berat. Josua Sitompul, Op.Cit.,hlm. 239. 55 Explanatory Report Convention on Cybercrime, Article 6.

Hal | 32


Berdasarkan Pasal 34 ayat (1), tindak pidana penyalahgunaan alat dan perangkat untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang adalah dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum, memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki: a. Perangkat keras atau perangkat lunak yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang; b. Sandi, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan yang dilarang. Penekanan pada ketentuan ayat (1) huruf a adalah niat pelaku dalam memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki adalah untuk memfasilitasi terjadinya perbuatan yang dilarang khususnya dalam hal penyebaran hasil cipta melalui media internet. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya pasal ini tidak dimaksudkan untuk digunakan terhadap perangkat keras atau perangkat lunak yang umum didapat seperti telepon genggam atau pc komputer. Akan tetapi, apabila perangkat-perangkat tersebut dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat mengerjakan suatu fungsi baru atau fungsi selain yang dimaksudkan pada pembuatan awalnya maka perangkat-perangkat tersebut termaksud dalam kategori ayat (1) huruf a.56 Unsur “memfasilitasi� menekankan adanya keterkaitan yang erat antara perbuatan tersebut (memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak) dan perbuatan yang dilarang. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) huruf b UU ITE, produksi, penjualan, pengadaan, pengimporan, pendistribusian, penyediaan, atau pemilikan sandi kode akses yang ditujukan untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang khususnya dalam hal penyebaran hasil cipta melalui

56

Pembatasan ini perlu dilakukan mengingat pengaturan yang terlalu sempit atau terlalu luas dapat mempersulit aparat penegak hukum.Pengaturan yang terlalu sempit dapat mempersulit aparat penegak hukum untuk menghadirkan bukti-bukti yang cukup dan relevan.Apabila perangkat keras dan lunak tersebut hanyalah yang secara khusus dirancang atau dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang maka cangkupan perangkat tersebut menjadi terbatas.Perangkat yang dimaksud hanyalah, misalnya alat dan perangkat intersepsi atau alat dan perangkat yang khusus dibuat untuk membuat situs unduhan hasil cipta secara ilegal. Di lain pihak, pengaturan yang terlalu luas membuat pengaturan ini menjadi tidak efektif karena perangkat yang dimaksud mencakup, misalnya komputer, telepon genggam, bahkan USB. Lihat Eksplanotory Report Convention on Crybercrime mengenai pengaturan Misuse of Device yang dikutip oleh Josua Sitompul, Op.Cit., hlm. 245.

Hal | 33


atau tidak melalui media internet juga dapat dipidanakan berdasarkan ketentuan ini. 2. Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Tindak Pidana Hak Cipta Atas Ciptaan Multimedia Tindak pidana atas hak cipta merupakan tindakan-tindakan menyimpang yang menyebabkan terlanggarnya hak moral dan ekonomi atas suatu karya cipta. Perkembangan teknologi informasi dapat menghasilkan beberapa modus yang memungkinkan terlanggarnya suatu hak cipta yakni berupa tindakan browsing, posting, publication, webcasting, linking, and framing, serta peer to peer or file sharing. Perilaku penyedia layanan, penyedia isi, dan pengguna akhir atau suatu media digital internet sebenarnya merupakan tindakan yang kerap kali dilakukan dalam dunia maya dan bukan suatu pelanggaran. Tindakan-tindakan tersebut dapat menjadi sarana terlanggarnya hak moral dan ekonomi karya berhak cipta di dunia digital. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana hak cipta khususnya terhadap produk multimedia, berupa perbuatan mempublikasikan, memperbanyak dan mendistribusikan karya cipta hak cipta dalam dunia digital tanpa seijin pencipta dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni57: a. Pelaku melakukan Tindak Pidana Hak Cipta Atas Ciptaan Multimedia Dalam Dunia Teknologi Digital (Internet) 1) Pelaku sebagai Pengguna Akhir Pelaku melakukan interaksi dengan dunia digital internet dengan melakukan akses “browsing and catching� yang mencakup pada kegiatan pengunduhan (download) informasi yang berisi karya berhak cipta (misalnya suatu produk multimedia berhak cipta) kemudian dimasukan ke dalam Random Acces Memory58 (RAM) komputer. Hukum di Indonesia mengatur tentang pelaku sebagai pengguna akhir dalam penjelasan diatas termasuk ke dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE yang diancam dengan sanksi hukuman pidana Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: 57

Widyo Pramono, Op.Cit. hlm. 243. RAM ( Random Acces Memory ) adalah pada dasarnya merupakan salah satu jenis piranti penyimpanan data di dalam komputer berfungsi menyimpan berbagai data dan instruksi program dan RAM merupakan piranti penyimpanan sementara, data akan hilang bila listrik mati. Pcinfocom, http://pcinfocom.blogspot.com/2011/11/ram-random-acces-memory.html, diakses pada hari Jum’at Tanggal 28 Juni 2013 pukul 19.30 WIB. 58

Hal | 34


“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).” 2) Pelaku sebagai Penyedia Isi Pelaku sebagai Penyedia Isi (Contant Providers) berupa menempatkan (Posting), mempublikasikan (Publication), dan penyiaran langsung (Webcasting) ke dalam dunia internet atas karya-karya yang dilindungi hak cipta. Tindakan tersebut merupakan otoritas yang dimiliki pemegang hak cipta. Oleh karena itu, pengaturan tentang cara penempatan, publikasi, dan penyiaran langsung karya cipta di dunia digital, perlu pengaturan yang jelas dan tegas. Hukum di Indonesia mengatur tentang pelaku sebagai penyedia isi dalam penjelasan diatas termasuk ke dalam Pasal 32 ayat (2) UU ITE yang diancam dengan sanksi hukuman pidana Pasal 48 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)” 3) Pelaku sebagai Penyedia Jasa Pelaku sebagai penyedia jasa online dengan menetapkan site “cermin” pada miliknya, yang memperbanyak isi dari orisinal site, sehingga memperlebar halaman yang di akses dan memperpendek waktu akses yang dialami pengguna internet. Dalam hal ini pelaku juga menyediakan situs unduhan hasil cipta yang tanpa ijin dari pencipta. Hukum di Indonesia mengatur tentang pelaku sebagai penyedia jasa dalam penjelasan diatas termasuk ke dalam Pasal 34 ayat (1) UU ITE yang diancam dengan sanksi hukuman pidana Pasal 50 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)” b. Pelaku Melakukan Tindak Pidana Hak Cipta Atas Ciptaan Multimedia Melalui Internet Dengan Menggunakan Sarana Teknologi Digital. Seorang pengakses internet dianggap oleh kebanyakan para ahli telah melanggar hak cipta jika ia men-download isi dari situs yang dibukanya dan kemudian menyimpannya ke dalam hard disc komputernya. Apalagi dengan Hal | 35


dikuasainya materi atau informasi tersebut kemudian mengubah bentuknya dari karya digital ke bentuk lain yang dapat dilihat dan kemudian memperbanyak dan mendistribusikan dengan motif komersial tentulah dapat disepakati bahwa tindakan tersebut merupakan tindak pidana hak cipta. Ilustrasi dimaksud menyatakan bahwa perbanyakan karya cipta secara tidak sah, misalnya tindakan mengkopi suatu software di internet, sesungguhnya merupakan bentuk aktifitas manusia yang menggunakan internet sebagai media, sekaligus jalur distribusi bagi produk software (bajakan). Ilustrasi kasus lain, seseorang mengkopi software di internet, kemudian disimpan dalam perangkat teknologi digital, misalnya sebuah Compact Disc (CD)atau Video Compact Disc (VCD). Hasil kopian tersebut kemudian digandakan dan didistribusikan dengan tujuan komersial. Ilustrasi ini menggambarkan tindak pidana hak cipta diluar dunia digital, tetapi menggunakan sarana digital. Terkait hal ini bias ditegaskan bahwa prinsip tradisional hak cipta dapat mengjangkau tindak pidana hak cipta yang berasal dari jaringan internet. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebaran hasil cipta melalui media internet diatur dalam Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dikarenakan berlakunya asas lex specialis pada Undang-undang Hak Cipta meskipun sanksi pidana penjara paling lama diatur di dalam Pasal 48 UU ITE yaitu 9 (sembilan) tahun. Pasal 72 UUHC berbunyi59: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

59

Indonesia, Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, Pasal 72.

Hal | 36


C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan data yang penulis dapatkan dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan: 1. Bentuk tindak pidana kejahatan siber terhadap pelanggaran hak kekayaan intelektual salah satunya adalah tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan data. Tujuan pengaturan gangguan data adalah untuk menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan Informasi dan Dokumen. Dalam gangguan data tersebut, pelaku penyebar hasil cipta sering melanggar hak cipta atas karya digital dengan cara mengubah, mengurangi, melakukan transmisi, dan memindahkan suatu karya digital melalui atau tanpa melalui media internet. Pengaturan mengenai gangguan data telah diatur di dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Kriminalisasi terhadap pelanggaran hak cipta di internet diatur dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang didasarkan pada fakta bahwa penyebaran hasil cipta dilakukan dengan menggunakan alat dan perangkat teknologi informasi dan komunikasi 2. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebaran hasil cipta melalui media internet berupa mempublikasikan, memperbanyak dan mendistribusikan karya cipta berhak cipta. Pelaku tindak pidana hak cipta di internet digolongkan menjadi tiga yaitu pelaku sebagai pengguna akhir, pelaku sebagai penyedia isi, pelaku sebagai penyedia jasa. Pertanggungjawaban pidana diatur di dalam Pasal 48 ayat (1) dan (2) UU ITE. Tidak dianggapnya sebagai suatu tindak pidana hak cipta jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian sistem elektronik, untuk perlindungan sistem elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum. 2. Saran 1. Perlu sosialisasi intensif agar terdapat pemahaman yang terkait dengan pertimbangan ekonomi hak cipta, sifat subsidiaritas serta permasalahan yurisdiksi hukum pada dunia teknologi digital atas ciptaan multimedia dengan menggunakan sarana teknologi digital. 2. Perlu direvisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, khususnya pengaturan tentang pertanggungjawaban pidana hak cipta pada dunia teknologi dengan menggunakan sarana Hal | 37


teknologi digital dengan mendasarkan strategi 3 (tiga) pilar yang mengatur sistem hak cipta di dunia digital, yaitu: a. Penyempurnaan infrastruktur penegakkan hukum hak cipta; b. Pemahaman budaya menghargai ciptaan-ciptaan pencipta yang dilindungi hukum hak cipta, yaitu dengan memahami ciptaanciptaan yang tersedia di internet bukan berarti bebas untuk semua; c. Kerja sama antar para instansi pemerintah negara untuk penegakkan hukum HKI (termasuk hak cipta) yang terkoordinir dengan baik.

Hal | 38


DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Damain,Eddy. 2006. Hukum Hak Cipta. Bandung: Alumni. Pramono,Widyo. 2012. P ertanggung Jawaban Pidana Korporasi Hak Cipta. Bandung: Alumni. Purba, Achmad Zen Umar. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: Alumni. Ramli, Ahmad. 2004. Cyber Law Dan HAKI-Dalam sistem Hukum Indonesia. Bandung: Rafika. Saleh, Roeslan Pikiran-pikiran tentang Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 33. Sitompul, Josua. 2012. Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan aspek hukum pidana. Jakarta: Tatanusa. Sudarto. 1997. Hukum Pidana I. Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan kuliah FH UNDIP.

Hal | 39


Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Eksploitasi Seksual Melalui Media Internet Oleh: M. Septayadi Pratama, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah BimbinganHj. Nashriana, S.H.,M.H dan Vera Novianti, S.H., M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi disamping memberi manfaat bagi kemaslahatan masyarakat, disisi lain memiliki peluang untuk digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakukan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dapat terjadi pada kejahatan biasa maupun yang secara khusus menargetkan kepada sesama infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi sebagai korbannya60. Masalah korban ini sebetulnya bukanlah masalah baru, hanya karena halhal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila kita mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka mau tidak mau kita harus memperhitungkan peranan si korban dalam timbulnya suatu kejahatan.61 Korban yang biasa rentan terjadi tindak kejahatan merupakan anak, dikarenakan anak merupakan tergolong manusia yang lemah dan sebagai orang yang belum mampu memahami masalah hukum yang terjadi atas dirinya. Tindak kejahatan yang sering terjadi pada anak yang dimaksud dapat berupa bentuk eksploitasi atau meperkerjakan manusia di bawah umur.62 Makna dari eksploitasi anak adalah suatu tindakan yang memanfaatkan anak untuk kepentingan pribadi, baik secara fisik, non fisik, ekonomi, sosial dan seksual. Terdapat banyak bentuk eksploitasi terhadap anak dari yang mulai penelantaran hingga kekerasan terhadap anak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa 60

Jusrida Tara, 2007, Fenomena Kejahatan Penipuan Internet dalam Kajian Hukum Republik Indonesia,http://www.interpol.go.id, diakses pada tanggal 21 Desember 2012. 61 Ibid. 62 Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hlm 4.

Hal | 40


memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya. Misalnya anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki atau industri sepatu) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.63 2. Perumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan suatu perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban eksploitasi melalui media internet berdasarkan hukum positif Indonesia? 2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap kasus ekploitasi seksual anak melaui media internet berdasarkan hukum positif Indonesia? 3. Kerangka Teori a) Pengertian Perlindungan Anak Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkebangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakanjaminan bagi kegitan perlindungan anak.64 b) Pengertian Anak Pengertian anak di dalam kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai subjek hukum. Kedudukan anak dalam pengertian

63

Abu Huraerah, 2006, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung, Nuansa, hlm 40. Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama,hlm 35. 64

Hal | 41


yang dimaksud meliputi pengelompokkan ke dalam subsistem dari pengertian sebagai berikut:65 a. Pengertian anak dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pengertian anak atau kedudukan anak yang ditetapkan menurut Undang-Undang Dasar 1945 terdapat dalam Pasal 34. Pasal ini mempunyai makna khusus terhadap pengertian dan status anak dalam bidang politik, karena menjadi dasar kedudukan anak, dalam kedua pengertian ini, yaitu anak adalah subjek hukum dari sistem hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan. b. Pengertian anak dalam Hukum Pidana Pengertian kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna “ penafsiran hukum secara negatif � dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang seharusnya bertanggungjawab terhadap tindak pidana ( strafbaar feit ) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukan sebagai seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu untuk perlakuan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku. c. Pengertian anak dalam Hukum Kebiasaan atau Hukum Adat Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa dan berwenang untuk bertindak menurut hukum. Hasil penelitian R.Soepomo tentang hukum perdata Jawa Barat menjelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang di ukur dari segi:66 1. Dapat bekerja sendiri. 2. Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggungjawab. 3. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri. 4. Telah menikah. 5. Berusia 21 (dua puluh satu) tahun.

65

Maulana Hasan Wadong,2000,Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, hlm 17. 66 Irma Setyowati Sumitro,1990,Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, Bumi Aksara,hlm19.

Hal | 42


d. Pengertian anak menurut agama Hukum Islam memberikan pengertian anak sesuai dengan konsep-konsep Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad. saw adalah dimuliakan kedudukannya. Kedudukan anak dalam pengertian Islam yaitu anak adalah titipan Allah, kepada kedua orang tua, masyarakat, bangsa dan negara sebagai pewaris dari ajaran Islam. Hak-hak anak yang mutlak dalam dimensi aqidah pandangan kehidupan agama Islam, terdiri dari : 1. Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan atau rahim ibunya (Q.S Al-Baqarah, ayat 233). 2. Hak untuk disusui selama 2 (dua) tahun (Q.S Al-Baqarah, ayat 233). 3. Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang benar (Q.S Mujadaadalah, ayat 11 dan hadist nabi) 4. Hak untuk mendapatkan nafkah dari orang tuanya (Q.S Qashash, ayat 12). c) Pengertian Korban Eksploitasi seksual Anak Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 menganut pengertian koban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hanya secara fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi di antara ketiganya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) UndangUndang No. 13 Tahun 2006 yang menyebutkan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Masalah korban ini sebetulnya bukanlah masalah baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila kita mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka mau tidak mau kita harus memperhitungkan peranan si korban dalam timbulnya suatu kejahatan.67 Korban yang biasa rentan terjadi tindak kejahatan merupakan anak, dikarenakan anak merupakan tergolong manusia yang lemah dan sebagai orang yang belum mampu memahami masalah hukum yang terjadi atas dirinya. Tindak kejahatan yang sering

67

Arif Gosita,2004,Masalah Perlindungan Anak, Jakarta, Bhuana Ilmu Populer, hlm 96.

Hal | 43


terjadi pada anak yang dimaksud dapat berupa bentuk eksploitasi atau meperkerjakan manusia di bawah umur.68 Makna dari eksploitasi anak adalah suatu tindakan yang memanfaatkan anak untuk kepentingan pribadi, baik secara fisik, non fisik, ekonomi, sosial dan seksual. Terdapat banyak bentuk eksploitasi terhadap anak dari yang mulai penelantaran hingga kekerasan terhadap anak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya. Misalnya anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki atau industri sepatu) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.69 d) Dampak Penyalahgunaan Media Internet Tak hanya dampak positif yang ditimbulkan pada media internet, internet juga menimbulkan dampak negatif atau yang membahayakan manusia. Adapun beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari media internet, yaitu:70 1) Penyalahgunaan dan eksploitasi anak-anak, merupakan tindakan menjijikan yang secara fisik dan emosional dan membekaskan luka pada anak-anak yang polos. Penciptaan dan keberhasilan internet telah membalikkan posisi ini. Saat ini eksploitasi anak adalah industri multi-miliar dolar, menurut Pusat Nasional untuk Anak Hilang dan Tereksploitasi merupakan salah satu industri internet paling cepat berkembang dan kemampuan untuk berkomunikasi secara anonym maupun pembayaran online yang kian muda, semudah mendistribusikannya ke massa menyebabkan

68

Maidin Gultom,2008, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hlm 4. 69 Abu Huraerah,2006,Kekerasan Terhadap Anak, Bandung, Nuansa, hlm 40. 70 http:www.arhamvhy.blogspot.com, Dampak Negatif Internet Bagi Manusia, diakses Tanggal 22 Januari 2013.

Hal | 44


2)

3)

4)

5)

6)

7)

eksploitasi anak menjadi proporsi besar yang hamper tak terbendung. Umpatan dan pelecehan Cyber merupakan cyber-bullying dan pelecehan bertahan yang dimana chat room, papan pesan, dan situs jaringan sosial yang dibuat menjadi tempat baru untuk memaki dan melecehkan korban. Para pengumpat dan pemaki hanya dapat bersembunyi di balik tabir layar komputer mereka dan bahkan tetap anonym, sementara korban mereka terluka bahkan tersiksa. Perdagangan pasar gelap cyber, merupakan yang sering disebut Cyber-Black Market adalah pasar dimana barang-barang illegal yang diperdagangkan atau dijual. Kesalahan informasi/Propaganda, internet telah memungkinkan siapapun dengan komputer untuk menulis hampir apapun yang mereka inginkan dan mendistribusikannya ke semua orang. Sedangkan dampak sebenarnya dari informasi yang salah tidak pernah dapat diukur, kita bisa melihat beberapa contoh untuk melihat seberapa kuat ancaman ini berpengaruh. Penipuan, dampaknya ribuan orang korban jatuh di seluruh dunia untuk penipuan internet dan ada puluhan variasi penipuan ini semua melibatkan ditribusi massa dari email. Hal ini diasumsikan bahwa penipuan internet akan menjadi industri yang berkembang sebagai usia baby-boomer karena makin lebih bergantung pada transfer uang internet. Kecanduan Online, beberapa kecanduan menjadi unik dengan adanya internet dikarenakan kecanduan jelas ada sebelum internet. Menurut Pusat internet Addiction Recovery website (ironic), penelitian telah menunjukkan bahwa semakin banyak orang di seluruh dunia telah menjadi kecanduan aktifitas online seperti game, perjudian dan browsing. Online Predators, merupakan menggunakan situs jaringan sosial dan chat room untuk menargetkan sasarannya, dan sering individu di bawah umur. Online predator kadang-kadang akan menggunakan identifikasi palsu dan berusaha untuk memikat korban untuk mengungkapkan informasi pribadi maupun untuk bertemu mereka secara pribadi.

Hal | 45


8) Virus komputer dan worms, dalam hal ini internet telah menjadi

tempat berkembang biak limbah seperti untuk virus, worm, Trojan, dan spyware. Virus dan malware menyebabkan kerusakan terbatas untuk kegiatan usaha membunuh waktu, memanfaatkan sumber daya pribadi dan menyia-nyiakannya. 9) Privasi, dalam hal ini internet telah melucuti pada tingkat yang luar biasa pada privasi kita baik dalam rekaman audio, gambar dan teks dapat dikirim, dan didistribusikan oleh siapa saja tanpa jalur hukum, terutama jika diposting dengan anonim. Hacking and Data Security, seseorang bisa dengan mudah mencuri email dan informasi perbankan dari kotak surat karena ia bisa hack ke komputer melalui internet. Dengan demikian, semakin banyak orang memasukkan informasi keuangan, pribadi, professional, dan medis secara online, maka semakin dia berada pada risiko yang lebih besar. B. PEMBAHASAN 1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai KorbanEksploitasi Melalui Media Internet Berdasarkan Hukum Positif Indonesia Pihak pemerintah juga harus memperhatikan hak-hak anak, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah eksploitasi anak khususnya pada eksploitasi seksual terhadap anak adalah dengan mengeluarkan undangundang yang mengatur ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan kasus eksploitasi seksual terhadap anak yang juga menggunakan sarana informasi dan transaksi elektronik (ITE) berupa internet. Adapun ketentuan-ketentuan hukum yang dijadikan landasan hukum pada kasus eksploitasi seksual terhadap anak antara lain adalah sebagai berikut : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Berdasarkan ketentuan pasal 282 ayat (1) maka perbuatan pelaku eksploitasi seksual pada anak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan asusila oleh sebab telah menyiarkandan mempertunjukkan gambar porno antara pelaku dengan anak di bawah umur dengan terang-terangan dengan tujuan untuk menawarkan atau menunjukkan bahwa anak yang terdapat dalam gambar porno tersebut dapat di pesan untuk kegiatan pemuasan seksual dan pelaku mengetahui bahwa isi tulisan pada salah satu website yang memasang gambar pornonya tersebut telah melanggar rasa susila.

Hal | 46


2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Anak mendapatkan perlindungan sesuai harkat dan martabat sebagai manusia khususnya dalam bentuk eksploitasi seperti yang terkandung dalam Pasal 65 yaitu bahwa “setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari segala bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.” 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan didasarkan Pasal 13 ayat (1) bahwa “setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan; a) Diskriminasi, b) Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, c) Penelantaran, d) Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, e) Ketidakadilan dan f) Perlakuan salah lainnya.” 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Diatur dalam Pasal 1 ayat (8) mengenai pengertian eksploitasi seksual yaitu segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran serta pencabulan. 5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Keberadaan anak sangat dilindungi oleh pemerintah khususnya dalam kegiatan pornografi seperti yang terkandung dalam Pasal 11 bahwa “setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9 atau Pasal 10.” 6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Diatur dalam Pasal 27 ayat (1) bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi

Hal | 47


Elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.� 2. Penegakan Hukum Terhadap Eksploitasi Anak Sebagai Korban SeksualMelalui Media Internet Terkait dengan hukuman atau sanksi yang dianut hukum pidana merupakan ciri khas yang membedakan hukum pidana dengan bidang hukum lain. Hukuman dalam hukum pidana ditujukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang teratur. 71 Prostitusi cyber adalah kejahatan yang secara nyata ada di dalam masyarakat baik dalam arti kejahatan yuridis maupun kejahatan dalam arti sosiologis. Andi Hamzah memaknai pemidanaan sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana atau penghukuman. Kemudian ia memperjelas kembali bahwa pemberian pidana ini ini mempunyai dua arti yaitu: a. Dalam arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto). b. Dalam arti konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.72 Larangan mengenai eksploitasi seksual di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana PerdaganganOrang. Dalam Pasal 1 angka (8) Undang-undang tersebutdijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ekspolitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.� Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 34 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka pidana yang dapat dijatuhkan bagi pelaku prostitusi cyber adalah pidana penjara dan/ atau pidana denda.73 Roeslan Saleh mengatakan bahwa pidana penjara adalah pidana 71

Leden Marpaung,2008,Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm

105. 72

Tolib Setiady, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung,

hlm 21. 73

Pasal 34 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memidana setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:

Hal | 48


utama diantara pidana hilang kemerdekaan dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu. 74 Lebih lanjut Roeslan Saleh menyatakan bahwa “Pidana penjara adalah pidana utama diantara kehilangan kemerdekaan dan pidana penjara ini dapat untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu.75 Kedua kata penjara dapat diartikan sebagai fungsi, penjara adalah bangunan yang berbentuk rumah atau gedung yang sengaja dibangun untuk menampung orang-orang (terpidana) yang dikenai atau dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. Menurut Romli Atmasasmita pengertian kepenjaraan adalah “tempat orang menjalani hukuman untuk memperbaiki diri orang hukuman guna masa depannya.76 Berdasarkan ketentuan pasal diatas maka pelaku eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet telah memenuhi unsur kejahatan yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh sebab itu pelaku dapat dikenakan ketentuan pidana pada Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah ).” Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juga diatur ketentuan pidana terhadap pelaku kegiatan eksploitasi seksual pada anak di bawah batas usia yang terkandung dalam Pasal 88 yaitu “setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp.200.000.000.00. (dua ratus juta rupiah)” a.perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. 74 Tolib Setiady, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, hlm 92. 75 Roeslan Saleh,1987, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 62. 76 Romli Atmasasmita,1982, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung, hlm 44.

Hal | 49


Penjatuhan pidana bagi mucikari online sekali pun masih berupa pidana penjara diharapkan dapat memberikan setidaknya tiga fungsi yakni:77 a. Hukuman dapat memberikan akibat jera seseorang yang diberi hukuman. Ini berarti bahwa hukuman memberikan efek preventif. b. Hukuman sebagai rehabilitasi, memberi kesempatan pada terhukum untuk memperbaiki diri. Mungkin lembaga pemasyarakatan di Indonesia diharapkan untuk merehabilitir para terhukum. c. Hukuman sebagai pendidikan moral, bersifat edukatif agar si terhukum menjadi taat pada hukum. Penegakan hukum di suatu negara dikatakan berhasil bukan hanya karena hakim telah menjatuhkan sanksi pidana yang adil terhadap korban atau pelaku itu sendiri, namun juga menyangkut sanksi yang diterapkan mampu merubah perilaku salah yang dilakukan pelaku tersebut.78 Dalam rangka mencari alternatif pengganti pidana penjara (alternative to custodial sentence), seyogyanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang realistis dalam masyarakat.79 C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban eksploitasi seksual melalui media internet juga harus lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah sebagaimana telah di atur dalam Undang-Undang 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada pasal 13 ayat (1) , maka setiap anak berhak untuk mendapatkan kepastian hukum dalam perlindungan anak serta perlindungan khusus dari pemerintah dengan tujuan agar anak jauh dari perlakuan yang salah. b) 2. seksual melalui media internet dengan cara penjatuhan pidana bagi mucikari online sekali pun masih berupa pidana penjara 77

Yong Ohoitimur, 1997, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 26-48. 78 Fransisco Tarigan, 2006, Peran Jaksa Dalam Pelaksanaan dan Pengawasan Pidana Bersyarat, URL:http://jurnal.dikti.go.id, diaksespada tanggal 24 Juni 2013. 79 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro semarang, Semarang, hal. 133, (selanjutnya sebutnya Muladi III).

Hal | 50


diharapkan dapat memberikan setidaknya tiga fungsi yakni; hukuman dapat memberikan akibat jera seseorang yang diberi hukuman, hukuman sebagai rehabilitasi, memberi kesempatan pada terhukum untuk memperbaiki diri, hukuman sebagai pendidikan moral, bersifat edukatif agar si terhukum menjadi taat pada hukum. 2. Saran 1. Perlu adanya perhatian khusus pada batasan umur anak sehingga anakanak yang belum cukup umur terlindungi dari tindakan eksploitasi orang dewasa maupun orang tuanya sendiri baik secara ekonomi dan seksual sehingga penegakkan hukum terhadap perlindungan anak mulai dari penyidikan, penuntutan benar-benar profesional dari penegak hukum dengan cara kebijakan yang berdasarkan pada hak anak dalam peraturan hukum yang melindunginya khususnya pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 2. Perlunya adanya peningkatan kualitas penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam menangani cybercrime khususnya pada tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet mengingat modus operandi dalam cybercrime ini sangat berbeda dengan kejahatan konvensional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan upaya-upaya pelatihan (training) bagi para penegak hukum mengenai kejahatan yang berkaitan dengan cybercrime. Karena hal ini tentu saja membutuhkan kecermatan para penegak hukum dalam upaya penjeratan terhadap pelaku kejahatan cybercrime.

Hal | 51


DAFTAR PUSTAKA BUKU Abu Huraerah, 2006, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa.. Arif Gosita, 2004, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Irma Setyowati Soemitro, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Bumi Aksara. Leden Marpaung, 2008, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika. Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama. Maulana Hasan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. Roeslan Saleh, 1987, Segi Lain Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia. Romli Atmasasmita, 1982, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Bandung: Armico. Tolib Setiady, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Alfabeta. Yong Ohoitimur, 1997, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang - Undang Hukum Pidana. Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (ITE). Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang - Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi . SUMBER LAIN / INTERNET Jusrida Tara, 2007, Fenomena Kejahatan Penipuan Internet dalam Kajian Hukum Republik Indonesia,http://www.interpol.go.id, diakses pada tanggal 21 Desember 2012. http://arhamvhy.blogspot.com, dampak negatif internet bagi manusia, diakses pada tanggal 22 Januari 2013

Hal | 52


Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Oleh: Maulana Ibrahim, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah BimbinganHj. Nashriana, S.H.,M.H dan Henny Yuningsih, S,H., M.H

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang DiIndonesia Fenomena yang baru dalam perlindungan anak, dimana permasalahan pelacuran komersial telah melibatkan sebagian anak-anak sebagai korbannya. Anak yang dilacurkan adalah anak korban dari sindikat kriminal yang memanfaatkan anak sebagai alat pemuas nafsu pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan industri seks. Keterlibatan yang mengikut sertakan anak-anak dalam kegiatan pelacuran adalah sebuah fakta dimana anak-anak tidak hanya di perdagangkan untuk dilacurkan semata, tetapi juga untuk kegiatan pornografi, pengemis, serta pembantu rumah tangga, maupun perdagangan narkoba dan pekerjaan eksploitatif lainnya seperti pekerjaan di jermal. Itu hanya sedikit dari betapa mirisnya kondisi anak–anak di Indonesia.80 Anak seyogyanya adalah sebuah gambaran dan cerminan masa depan, aset keluarga, agama dan bangsa, negara dan anak merupakan generasi penerus bangsa dan pembangunan di masa yang masih akan datang. Mereka itu berhak untuk mendapatkan kebebasan serta menikmati dunianya sendiri, dilindungi hak–hak mereka tanpa adanya pengabaian yang dilakukan oleh pihak manapun yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi.81 Dari berbagai gejala sosial yang muncul mengenai masalah anak merupakan permasalahan yang banyak dibicarakan.Keadaaan ekonomi yang terpuruk harus diakui mempunyai pengaruh terhadap munculnya masalah anak.sampai saat ini permasalahan pekerja anak, bukan lagi tentang pekerja anak itu sendiri, melainkan telah terjadi ekploitasi terhadap anak secara seksual dan menempatkan anak di lingkungan pekerjaan yang berbahaya. Dalam Undang– undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak supaya dapat hidup dan tumbuh 80

Anomim,-Abg-Penjajah-Seks-Diberi-Komisirp-50,http://Ideaguenews. com/2012/09/3 html. diakses hari Senin tanggal 29 Oktober 2012. 81 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2011, hlm. 1.

Hal | 53


serta berkembang maupun berpartisipasi baik secara optimal sesuai dengan harkat maupun martabat kemanusiaan,serta dapat perlindungan dari kekerasan serta bentuk diskriminasi, demi terwujudnya kualitas anak Indonesia yang sangat berkualitas.82 Dalam Pasal 66 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa :83 ayat (1) : Perlindungan khusus bagi anak yang di eksploitasi secara ekonomi atau seksual sebagaimana di maksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. ayat (2) : Perlindungan khusus bagi anak yang di eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui : a) Penyebarluasan atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan seksual. b) Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. c) Perlibatan berbagai instansi pemerintah dan perusahaan serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secra ekonomi dan seksual. ayat (3) : Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1). Kasus eksploitasi anak secara seksual pada tahun 2011 terjadi 126 kasus yang melibatkan eksploitasi anak dan perempuan di Indonesia menurut Linda Gumelar Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak dalam acara konferensi pers perayaan pengesahan RUU Ratifikasi Protokol Konvensi Hak Anak.84 Pemerintah dan masyarakat sepakat tentunya para pelaku eksploitasi terhadap anak baik itu secara seksual harus diberikan sebuah sanksi baik itu eksploitasi tersebut dilakukan baik oleh orang tua maupun kerabat ataupun

82

Farhana,Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 41. 83 Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak, Diva press,Jakarta, 2012, Lembaran Negara Nomor 109 Tahun 2002. 84 Anomim, Indonesia.Pemasok.Psk.Anak.Terbesar.Di.Asia tenggara, http://female.kompas.com/read/2012/09/09/15304593/indonesia.diakses hari Jumat 19 Oktober 2012.

Hal | 54


orang lain, dapat diberikan sanksi dengan ancaman pidana terhadap pelaku eksploitasi diatur dalam Pasal 88 UU No.23/2002 yang berbunyi :85 “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri maupun orang lain, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)�. Dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa ekploitasi anak secara seksual merupakan suatu tindak pidana kejahatan terhadap perlindungan anak, terlebih lagi korbannya mayoritas adalah anak-anak karena anak merupakan orang yang usianya belum mencapai 18 belas tahun. Data kasus menurut Women Crisis Center (WCC) Palembang menerima pengaduan dari masyarakat terkait perdagangan anak untuk di ekploitasi seksual yang terjadi dalam berbagai bentuk disegala tingkat kehidupan. Berikut adalah tabel jumlah kasus eksploitasi anak yang terjadi di Sumatera Selatan : Tabel 1: Jumlah Kasus Eksploitasi Anak No

Tahun

1 2 3 4

2009 2010 2011 2012

Jumlah 30 kasus dengan persentase 8,02 % 21 kasus dengan persentase 5,37 % 11 kasus dengan persentase 2,85 % 30 kasus dengan persentase 8,02 %

Jenis kelamin Laki-laki dan perempuan Laki-laki dan perempuan Laki-laki dan perempuan Laki-laki dan perempuan

2. Rumusan Masalah 1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual ? 2) Bagaimana hambatan-hambatan dalam perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual ? B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Perlindungan Anak Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi pertumbuhan dan perkembangan anak yang secara wajar meliputi fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak masuk dalam wujud perwujudan adanya keadilan berupa suatu di dalam masyarakat, jadi dengan 85

Anomim, Awas-Eksploitasi-Terhadap-Anak, http://www.facebook.com/notes/tecky/ 189891864357301.diakses hari Senin tanggal 29 Oktober 2012.

Hal | 55


demikian suatu perlindungan anak harus diusahakan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.86 Menurut Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya supaya bisa hidup, tumbuh dan berkembang maupun berpartisipasi, baik secara optimal sesuai dengan ketentuan harkat dan martabat kemanusiaan, serta pula mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.87 2. Dasar-Dasar Perlindungan Terhadap Anak Dasar pelaksanaan perlindungan terhadap anak adalah: a) Dasar Filosofis, pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga maupun bermasyarakat dan bernegara serta berbangsa, di dalam dasar filosofis ketentuan pelaksanaan perlindungan anak. b) Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang dimiliki, untuk digunakan demi mencegah perilaku menyimpang di dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksaan perlindungan anak. c) Dasar Yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagi peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di dalam masyarakat. Dalam penerapan dasar yuridis harus secara integratif, yaitu penerapan yang terpadu menyangkut suatu peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.88 3. Pengertian Anak Secara umum anak adalah generasi muda penerus bangsa dan penerus pembangunan di masa yang akan datang, yaitu generasi yang akan dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia dan juga perlindungan anak Indonesia berarti bagaimana melindungi potensi sumber daya 86

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan PidanaAnak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 33. 87 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Diva Press, Jakarta, 2012, Pasal 1 Ayat 2, Lembaran Negara Nomor 109 Tahun 2002. 88 Maidin Gultom, Op, cit,hlm. 37.

Hal | 56


insani dan membangun manusia Indonesia yang seutuhnya, menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, materiil spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945.89 4. Pengertian Eksploitasi Eksploitasi anak adalah suatu kegiatan penyalahgunaan anak yang dilakukan oleh orang dewasa dengan cara paksa, pemberian uang atau sejenisnya kepada anak yang bersangkutan ataupun kepada pihak ketiga dengan anak dijadikan sebagai media untuk mencari uang.90 5. Pengertian Eksploitasi Seksual Anak a. Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang eksploitasi seksual anak adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korbannya yaitu anak demi mendapatkan keuntungan termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.91 b. Kathryn E. Nelson mengartikan ekploitasi seksual anak atau perdagangan seks sebagai suatu keadaan di man perempuan dan anakanak tidak bisa mengubah secara cepat, tidak bisa keluar dari keadaan itu, dan mereka di jadikan subjek eksploitasi dan kekerasan seksual.92 c. Menurut Meril Anugence Anthes, ekploitasi seksual anak merupakan bentuk yang paling banyak digunakan oleh pelaku untuk mendapatkan perempuan dan anak-anak setelah penjeratan utang. eksploitasi seksual ini merupakan bisnis yang haram yang paling banyak mendatangkan keuntungan materi dibandingkan dengan bentukbentuk perdagangan orang yang lain di perkirakan lebih dari 1.000.000 anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual.93

89

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2011, hlm. 1. 90 Anomim,Eksploitasi-Seksual-Komersial-Mengintai-AnakKita/,www.Djpp.Depkumham.go.id/2012/09/. diakses hari Selasa tanggal 15 Januari 2013. 91 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, Tentang penghapusan perdagangan orang, Pasal 1 Ayat 8, Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2007. 92 Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, Perdagangan Orang Dimensi, Instrumen Internasional Dan Pengaturannya Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 24. 93 Ibid, hlm. 25.

Hal | 57


6. Karakteristik Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Karakteristik anak yang menjadi korban eksploitasi seksual yaitu:94 a. Anak yang putus sekolah atau yang baru tamat sekolah dan ingin mencari pekerjaan. b. Anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. c. Anak yang baru habis kontrak kerjanya dan membutuhkan pekerjaan kembali. 7. Dampak Yang Dialami Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Dampak yang dialami korban yaitu :95 a. Dampak Nonfisik : merasa bersalah, rasa takut terutama pada keluarga, sering mengalami kesepian dan kebingungan, merasa kehilangan harapan hidup dan harga diri terutama karena ia merasa tak ada laki-laki yang akan menikahinya, dan dalam beberapa kasus ada yang berprinsip sudah kepalang basah, lebih baik melacur. b. Dampak Fisik : mengalami luka lecet, robek atau cacat pada bagian tubuh akibat pemukulan/penganiayaan di daerah tubuh. c. Dampak Secara Seksual : rasa nyeri, pembengkakan, pendarahan dan atau dischange dari vagina, memar pada payudara, pinggul, perut bagian bawah atau paha, infeksi vagina atau penyakit kelamin terutama infeksi menular seksual (IMS) paling sering infeksi gonococcus dan HIV/AIDS, sakit perut yang berulang, kehamilan tak diinginkan pada usia dini, aborsi atas kemauan sendiri. 8. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah terhadap penyelenggaaraan perlindungan anak, ditegasakan dalam Pasal 21 sampai Pasal 26 dan Pasal 59 serta Pasal 64 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang No 23

94

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan, Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm. 34. 95 Ibid.

Hal | 58


Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang meliputi beberapa kewajiban dan tanggung jawab pemerintah.96 Untuk anak-anak korban perdagangan manusia yang khususnya untuk di eksploitasi secara seksual, mengingat karateristik kejahatannya sangat khas bentuknya, perlu diberikan suatu perlindungan secara khusus yaitu sebagai berikut:97 a. Perlindungan berkaitan dengan identitas pada diri korban, terutama selama proses persidangan berlangsung. Tujuan dari perlindungan ini adalah agar korban dapat terhindar dari berbagai ancaman atau intimidasi dari pelaku yang mungkin terjadi selama proses persidangan berlangsung. b. Jaminan keselamatan dari aparat yang berwenang, korban harus dapat diperlakukan dengan hati-hati oleh aparat penegak hukum agar keselamatannya terjamin sehingga dapat memberikan kesaksian. c. Bantuan medis, hukum, psikologis, dan sosial, terutama untuk dapat mengembalikan kepercayaan pada dirinya serta mengembalikan kepada keluarga dan komunitasnya. d. Kompensasi dan restitusi. Korban memperoleh kompensasi dan restitusi karena penderitaan korban juga merupakan tanggung jawab negara. Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan termasuk korban eksploitasi seksual dapat diberikan dalam berbagai cara. Oleh sebab itu dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan yang pernah terjadi sebelumnya, ada beberapa bentuk perlindungan yang dapat diberikan terhadap korban kejahatan yang lazimnya diberikan, antara lain sebagai berikut:98 1. Pemberian Restitusi Dan Kompensasi Penjelasan Pasal 35 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 memberikan pengertian kompensasi yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan restitusi yaitu ganti kerugian yang diberikan

96

Pasal 21-26, 59, 64 Ayat 1, 2, Dan 3, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara Nomor 109 Tahun 2002. 97 Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin, Perlindungan Saksi Dan Korban DalamSistem Peradilan Pidana, Putra Media Nusantara, Surabaya, 2009, hlm. 76. 98 Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban KejahatanAntara Norma Dan Realita, Raja Grasindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 166.

Hal | 59


kepada korban atau keluarganya oleh pelaku maupun pihak ketiga. Restitusi itu dapat berupa: a. Pengembalian harta milik b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan maupun penderitaan c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu Pengertian Restitusi dan Kompensasi merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (Interchangeable). Namun, menurut penjelasan Stephen Schafer, perbedaan antara keduanya itu adalah kompensasi lebih pada bersifat keperdataan, Kompensasi timbul dari permintaan korban sendiri, dan dibayar oleh masyarakat yang merupakan suatu bentuk pertanggungajawaban masyarakat atau negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih pada bersifat pidana, yang timbul dari suatu putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana (the responsibility of the offender). Lebih lanjut Schafer menyatakan bahwa terdapat empat sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban dari kejahatan, yaitu sebagai berikut: a. Ganti rugi (damages) yang lebih bersifat keperdataan dan diberikan melalui proses perdata, Sistem ini memisahkan suatu tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana. b. Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana. c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana diberikan melalui proses pidana. Walaupun dalam restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan suatu sifatpidana(punitif) nya. Salah satu dalam bentuk restitusi menurut sistem ini adalah “denda kompensasi “(compensatoryfine). Denda ini merupakan suatu “kewajiban yang bernilai uang “(monetaryobligation) yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban di samping pidana yang seharusnya diberikan. 2. Konseling Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu bentuk tindak pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling ini sangat cocok diberikan kepada

Hal | 60


korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan seperti kasus-kasus menyangkut kesusilaan.99 3. Pelayanan/Bantuan Medis Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana khusunya korban eksploitasi seksual. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan suatu alat bukti). Keterangan medis ini sangat diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang menimpanya ke aparat kepolisian untuk ditindaklanjuti. 4. Bantuan Hukum Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah diberikan baik diminta maupun tindak diminta oleh korbannya. Hal ini sangat penting, mengingat masih rendahnya suatu tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita kejahatan ini. Sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat berakibat pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan. 5. Pemberian Informasi Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh diri korban. Pemberian informasi ini sangat memegang peranan yang sangat penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah diharapkan fungsi control masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif. 9. Hambatan-Hambatan Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Hambatan-hambatan dalam perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual yaitu kendala-kendala atau masalah-masalah yang muncul bahwa korban kejahatan atau tindak pidana khususnya korban eksploitasi seksual belum memperoleh perlindungan yang memadai. Hambatan-hambatan untuk memberikan perlindungan terhadap anak korban eksploitasi seksual dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:100 99

Ibid, hlm. 169. Ibid, hlm. 173.

100

Hal | 61


1. Faktor Undang-Undang Keberadaan suatu perundang-undangan dalam suatu sistem hukum merupakan faktor yang sangat menentukan bagi tercapainya suatu tertib hukum karena untuk itulah salah satu tujuan dibentuknya perundang-undangan. Terlebih utama undang-undang merupakan sumber hukum yang utama, yang mana kaidah-kaidah hukum yang banyak itu memang berasal dari pengundangundang yang menuliskan hukum dalam berbagai undang-undang dan memberlakukannya dalam kitab undang-undang. Dalam kehidupan masyarakat, bagaimana praktik penegakan hukum menjadi tidak berdaya disebabkan oleh undang-undang yang seharusnya menjadi landasan yuridis belum terbentuk dan sekalipun undang-undang perlindungan korban sudah dibentuk namun karena peraturan pelaksanaannya belum ada, maka undang-undang yang ada hanyalah sekedar peraturan tertulis yang sukar untuk di operasionalisasikan. 2. Kesadaran Hukum Korban Dalam penerapan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan khususnya korban eksploitasi seksual, banyak dijumpai korban atau keluarganya menolak untuk melaporkan kekerasan yang menimpanya dengan berbagai alasan seperti takut adanya ancaman dari pelaku atau ketakutan apabila masalahnya dilaporkan akan menimbulkan aib bagi korban maupun keluarganya. Padahal, dari segi yuridis sikap pembiaran ini dapat merugikan korban sendiri, berupa penderitaan yang sepanjangan. Begitu pula, tidak adanya laporan atau pengaduan dari korban atau keluarganya akan membuat proses peradilan pidana terhadap pelaku kekerasan tidak akan berjalan. Munculnya perasaan yang takut terjadi upaya balas dendam dari pelaku menjadi penyebab korban tidak mau melapor ke pihak kepolisian, terlebih apabila pelaku sudah memberikan biaya ganti kerugian kepada korban atau keluarganya, perkara dianggap sudah selesai. 3. Fasilitas pendukung Kurangnya sarana dan prasarana pendukung dalam upaya perlindungan korban kejahatan yang paling nyata dirasakan adalah pada perlindungan korban ekspolitasi seksual dan korban akibat kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai contoh, untuk dapat memenuhi standar minimal suatu ruang pelayanan khusus, perlu adanya beberapa fasilitas pendukung, seperti berikut ini:101

101

Ibid, hlm. 177.

Hal | 62


a. Ruangan pelayanan khusus ini letaknya harus terpisah dari ruang pemeriksaan yang biasa dipergunakan untuk pemeriksaan kejahatankejahatan pada umumnya, sekalipun letaknya masih dalam kompleks kantor kepolisian setempat. b. Ruangan pelayanan khusus harus terasa nyaman dan familiar, tidak seperti ruangan pemeriksaan untuk kejahatan-kejahatan pada umumnya sehingga pada saat korban diperiksa atau dimintai keterangan oleh petugas tidak seperti sedang diperiksa di kantor polisi melainkan seperti di rumahnya sendiri. c. Ruangan pelayanan khusus harus memilik ruangan relaksasi yang dapat dipergunakan oleh korban untuk beristirahat guna memulihkan kondisi fisik dan mentalnya sehingga pada tahap berikutnya korban siap untuk dimintai keterangan berkaitan dengan kekerasan yang menimpa dirinya. 4. Sumber Daya Manusia Keterbatasan sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun kualitas turut mempengaruhi kualitas pemberian perlindungan hukum terhadap korban kejahatan khususnya korban eksploitasi seksual. Sebagai contoh di lingkungan institusi kepolisian, terdapatnya kesenjangan yang sangat lebar antara aparat kepolisian dengan masyarakat, berdampak pula pada kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat kepolisian kepada korban, apalagi jumlah personil ini dikaitkan dengan jumlah (kuantitas) personil polisi wanita.102 C. PENUTUP 1. Kesimpulan a) Perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual dapat diberikan dengan cara perlindungan secara khusus antara lain sebagai berikut: 1. Perlindungan berkaitan dengan identitas pada diri korban, terutama selama proses persidangan berlangsung. Tujuan dari perlindungan ini adalah agar korban dapat terhindar dari berbagai ancaman atau intimidasi dari pelaku yang mungkin terjadi selama proses persidangan berlangsung.

102

Ibid, hlm. 178

Hal | 63


2. Jaminan keselamatan dari aparat yang berwenang, korban harus dapat diperlakukan dengan hati-hati oleh aparat penegak hukum agar keselamatannya terjamin sehingga dapat memberikan kesaksian. 3. Bantuan medis, hukum, psikologis, dan sosial, terutama untuk dapat mengembalikan kepercayaan pada dirinya serta mengembalikan kepada keluarga dan komunitasnya. 4. Kompensasi dan restitusi. Korban memperoleh kompensasi dan restitusi karena penderitaan korban juga merupakan tanggung jawab negara. Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan termasuk korban eksploitasi seksual dapat diberikan dalam berbagai cara. Oleh sebab itu dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan yang pernah terjadi sebelumnya, ada beberapa bentuk perlindungan yang dapat diberikan terhadap korban kejahatan yang lazimnya diberikan, antara lain sebagai berikut: 1. Pemberian Restitusi Dan Kompensasi 2. Pemberian Konseling 3. Pelayanan/Bantuan Medis 4. Bantuan Hukum 5. Pemberian Informasi b) Hambatan-hambatan yang terjadi dalam memberikan perlindungan terhadap anak korban eksploitasi seksual dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut : 1. Faktor Undang-Undang 2. Kesadaran Hukum Korban 3. Fasilitas Pendukung 4. Sumber Daya Manusia 2. Saran a) Diharapkan agar pemerintah dan aparat penegak hukum dapat memberikan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban eksploitasi seksual dengan memberikan perlindungan hukum sebagaimana yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan. b) Diharapkan agar aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara eksploitasi seksual yang melibatkan anak sebagai korban, agar lebih memperhatikan hak-hak anak sebagai korban eksploitasi seksual. Hal | 64


DAFTAR PUSTAKA Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin, Perlindungan Saksi Dan Korban DalamSistem Peradilan Pidana, Putra Media Nusantara, Surabaya, 2009. Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2011. Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan, Refika Aditama, Bandung, 2012. Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban KejahatanAntara Norma Dan Realita, Raja Grasindo Persada, Jakarta, 2007. Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, Perdagangan Orang Dimensi, Instrumen Internasional Dan Pengaturannya Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan PidanaAnak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008. Peraturan Undang-undang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, Tentang Penghapusan Perdagangan Orang, Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2007. Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara Nomor 109 Tahun 2002. Website Anomim,-Abg-Penjajah-Seks-Diberi-Komisirp-50,http://Ideaguenews. com/2012/09/3 html. diakses hari Senin tanggal 29 Oktober 2012. Anomim, Indonesia.Pemasok.Psk.Anak.Terbesar.Di.Asia tenggara, http://female.kompas. com/read/2012/09/09/15304593/indonesia. diakses hari Jumat 19 Oktober 2012. Anomim, Awas-Eksploitasi-Terhadap-Anak, http://www.facebook.com/notes/tecky/ 189891864357301. diakses hari Senin tanggal 29 Oktober 2012. Anomim,Eksploitasi-Seksual-Komersial-Mengintai-AnakKita/,www.Djpp.Depkumham.go.id/2012/09/. diakses hari Selasa tanggal 15 Januari 2013.

Hal | 65


Analisis Yuridis Pembelaan Terpaksa (Nooweer) Oleh Korban Penganiayaan Oleh: Muhammad Muslih, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah BimbinganDr. H. Abdullah Gofar, S.H., M.H dan Hj. Nashriana, S.H.,M.H

Abstrak: Pembelaan terpaksa (Noodweer), dalam hal ini sebenarnya pelaku atau terdakwa sudah memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan hukum pidana.Adapun permasalahan yang diteliti melalui penelitian ini ialah untuk mengetahui bagaimana syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa tidak dapat dihukum dan bagaimana batasan pembelaan terpaksa (noodweer) yang dapat dikatakan sebagai upaya pembelaan dari oleh korban penganiayan. Kesimpulannya adapun yang menjadi syarat-syarat dan batasan pembelaan terpaksa secara tegas telah ditentukan secara limitatif dalam pasal 49 ayat (1) dan (2) KUHP. Kata Kunci: Korban, Penganiayaan, Pembelaan Terpaksa.

Hal | 66


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. 103Alasanalasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana.104 KUHPidana yang sekarang ini meskipun mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan tetapi KUHPidana sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang makna dari alasan penghapus pidana tersebut. Pengertiannya hanya dapat ditelusuri melalui sejarah pembentukan KUHPidana (WvS Belanda). Menurut sejarahnya yaitu melalui M.v.T. (Memorie van Toelichting) mengenai alasan penghapus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasanalasan tidak dapat dipidananyaseseorang”. Dalam ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tentang asas legalitas menyatakan :“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada.” Negara hukum yang berasas legalitas, menjelaskan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan

103

Penyebutan atau penamaan dari istilah ini tidak seragam. Ada yang menyebutnya dengan istilah “alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman” misalnya Utrecht,Hukum Pidana I: Penerbit Universitas,Jakarta, 1960, hlm 344. Ada yang menyebutnya dengan istilah “dasar peniadaan pidana”, seperti A.Zainal Abidin Farid,Hukum Pidana I. Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm 189. Yang lain menyebutnya dengan istilah “alasan yang menghapuskan pidana”, seperti Roeslan Saleh,Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana,Aksara Baru,Jakarta, 1983, hlm 125. Sudarto, Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto. Semarang, 1990, hlm 138.Dalam tulisan ini selanjutnya digunakan istilah alasan penghapus pidana. 104 Penyebutan atau penamaan dari istilah ini tidak seragam. Ada yang menyebutnya dengan istilah “alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman” misalnya Utrecht,Hukum Pidana I: Penerbit Universitas,Jakarta, 1960, hlm 344. Ada yang menyebutnya dengan istilah “dasar peniadaan pidana”, seperti A.Zainal Abidin Farid,Hukum Pidana I. Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm 189. Yang lain menyebutnya dengan istilah “alasan yang menghapuskan pidana”, seperti Roeslan Saleh,Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana,Aksara Baru,Jakarta, 1983, hlm 125. Sudarto, Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto. Semarang, 1990, hlm 138.Dalam tulisan ini selanjutnya digunakan istilah alasan penghapus pidana.

Hal | 67


terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Asas-asas ini mengandung tiga pengertian, yaitu :105 1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan-aturan undangundang. 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah atau fakta oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia).106 Atas dasar pandangan yang demikian, maka secara umum pengertian penganiayaan merupakan kejahatan-kejahatan yang mempunyai sifat yang lain dari sifat utama penyerangan terhadap tubuh dan nyawa manusia tidak dimasukkan dalam pengertian kejahatan terhadap tubuh dan nyawa.107 Timbul permasalahan bagaimana jika dalam keadaan terpaksa yang melampaui batas melakukan pembelaan yang mengakibatkan luka. Apakah pelaku tindak pidana penganiayaan dapat dijatuhikan sanksi pidana? Sedangkan didalam proses pembuktian Hukum Pidana, sisi lain terdapat asas alasan pemaaf atau pembenar yang artinya ada orang-orang tertentu saja melakukan tindak pidana yang tidak bisa dihukum. Dalam teori hukum pidana biasanya dikenal asas alasan yang menghapuskan pidana.108 Berdasarkan pada Pasal 49 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) di atas, Pasal tersebut dalam kata �terpaksa melakukan pembelaan� ada termasuk 3 pengertian, yaitu :109 1. harus ada serangan atau ancaman serangan; 2. harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atas ancaman serangan pada saat itu; dan 105

Feri Firmansyah, Pengertian AsasLegalitas, http://klik-fe.blogspot.com/2011/03/ pengertian-asas-legalitas.html, Diakses Tanggal 21 Oktober 2012 106 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm.64. 107 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.7. 108 Alvi Syahrin, Alasan Penghapus Pidana, http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/alasan-penghapusan-pidana.html, Diakses Tanggal 21 Oktober 2012 109 Moeljatno, Op cit, hlm.158.

Hal | 68


3. perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan dengan ancaman serangan. 2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil beberapa permasalahan dalam penulisan skripsi ini yaitu : 1. Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa tidak dapat di hukum? 2. Bagaimana batas pembelaan terpaksa (noodweer) yang dapat dikatakan sebagai upaya pembelaan dari oleh korban penganiayaan? 3. Pengertian Pembelaan Terpaksa Dari segi bahasa, noodweer terdiri dari kata “nood”dan “weer”. “Nood” yang artinya (keadaan) darurat.”Darurat” berarti: 1) Dalam keadaan sukar (sulit) yang tidak disangka-sangka yang memerlukan penanggulangan segera 2) Dalam keadaan terpaksa. Kata “Weer” artinya pembelaan yang berarti perbuatan membela, menolong, melepaskan dari bahaya.110 Jika digabungakan kedua kata tersebut maka dapat diartikan melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa atau menolongdalam keadaan sukar (sulit).111 Noodweer adalah pembelaan yang diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak dan tibatiba serta mengancam dan melawan hukum.112 Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau onrechtmatigheid), maka alasan menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) juga dikatakan alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigings-grond) disebutfait justificatief.113 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, Merupakan penghapus pidana berdasarkan alasan pembenar melihat dari sisi perbuatannya (obyektif). Pada alasan pembenar, suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/diperbolehkan dan pelakunya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Sebagai mana diatur dalam KUHP 110

Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 156. 111 Pengertian tersebut muncul karena undang-undang tidak memberi pengertian dari pada “noodweer”. Doktrin memberikan kata “noodweer” bagi Pasal 49 ayat (1) KUHP. 112 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 200. 113 Wirjono Prodjodikoro, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989, hlm. 75.

Hal | 69


pembelaan terpaksa pembelaan terpaksa dari serangan atau ancaman yang melawan hukum, yang dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain.114 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, Merupakan penghapus pidana berdasarkan alasan pemaaf yang melihat dari sisi pelakunya (subyektif). Pada alasan pemaaf, maka suatu tindakan tetap melawan hukum, tetapi terdapat hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahan nya karena pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan jiwa yang hebat.115 Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodwer) dan pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawwan hukum, yang dibela juga sama yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda baik diri sendiri maupun orang lain, akan tetapi perbedaannya ialah:116 1) Pada pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces), pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu maka perbuatan itu tetap melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena keguncang jiwa yang hebat. 2) Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf, sedangkan pembelaan terpaksa merupakan dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada. B. PEMBAHASAN 1. Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Seseorang Yang Melakukan Pembelaan Terpaksa Tidak Dapat Di Hukum Undang-undang No. 1 Tahun 1964 tentang KUHP telah merumuskan dan mengatur pembelaan terpaksa dalam Pasal 49.117 Dimana dalam rumusan Pasal 114

, http://antoni-mitralaw.blogspot.com/, Aspek Hukum Pidana Dalam Penyelenggaraan Negara, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. 115 Aspek Hukum Pidana Dalam Penyelenggaraan Negara, Op.Cit. 116 Ringkasan Buku Asas-asas Hukum Pidana Aandi Hamza, http://kazamashuriken.blogspot .com/2011/03/ringkasan-buku-asas-asas-hukum-pidana.html, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. 117 Bandingkan dengan Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam.Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam a.Pengertian difa asy-syari (pembelaan syari khusus) atau dafu as-sail (menolak penyerang atau pembelaan diri) Menurut istilah yang dinamakan dafu as-sail (menolak penyerang/pembelaan diri) adalah kewajiban manusia untuk menjaga dirinya atau jiwa

Hal | 70


49 ditegaskan bahwa barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri ataupun orang lain tidak dipidana.118 Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa syaratsyarat pembelaan terpaksa adalah sebagai berikut : a. Pembelaan tersebut diperlukan karena ada serangan atau ancaman seketika yang bersifat melawan hukum ; b. Pembelaan tersebut diperlukan untuk melindungi kepentingan diri sendiri atau orang lain ; c. Pembelaan tersebut diperlukan untuk melindungi kehormatan kesusilan atau harta benda sendiri maupun orang lain ; Pembelaan diri hanya terdapat pada orang yang diserang, bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya sebagai penyerang mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan dari orang yang diserang semula sudah melampaui batas maka tindakan itu dapat dibenarkan.119 Memperhatikan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila perbuatan seseorang tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana dirumuskan di atas, dan pembelaan tersebut harus dalam keadaan terpaksa, maka terhadap perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. 120 Namun demikian semula Pasal 49 ini hanya ditentukan “serangan secara mendadak” saja. Ketentuan ini sama dengan KUHP Belanda. Tetapi kemudian ditambah dengan “mengancam secara langsung” dengan alasan karena sebagian besar daerah di orang lain, atau hak manusia untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain dari kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran dan penyerangan yang tidak sah. Penyerangan khusus baik yang bersifat wajib maupun hak bertujuan untuk menolak serangan, bukan sebagai hukuman atas serangan tersebut sebab pembelaan tersebut tidak membuat penjatuhan hukuman atas penyerang menjadi tertolak. Dasar pembelaan diri dan menolak penyerangan, berdasarkan firman Allah SWT :“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.”Disarikan dari buku Muhyati, Pembelaan Terpaksa Dalam Hukum Pidana Islam, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm 119-123. 118 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta : 2006, hal 8 119 M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. ke-2, 1986, hlm. 122. 120 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta : 2006, hal 8

Hal | 71


Indonesia sangat jauh dari alat kepolisian, sehingga rakyat akan harus selalu waspada dan diberi kesempatan membela diri yang lebih luas dan membela diri dari serangan yang sedang dipersiapkan orang.121 Memperhatikan dasar atau alasan yang dapat dilakukan oleh seseorang dalam melakukan pembelaan terpaksa, menurut peneliti salah satu dari alasan tersebut wajib dipenuhi sehingga perbuatan pembelaan tersebut tidak dipenuhi. Artinya secara normatif Pasal 49 KUHP telah memberikan alasan atau dasar secara limitatitf, sehingga ketentuan tersebut tidak dimungkinkan ditafsirkan secara luas. Untuk memudahkan pemahaman dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 49 KUHP yang mengatur pembelaan terpaksa tersebut, peneliti akan menjelaskan dan mengalisis syarat-syarat pembelaan terpaksa yang terdapat dalam putusan Pengadilan Negeri kelas IA Palembang, sebagaimana dapat dilihat dalam uraian dibawah ini. 2. Kasus Posisi Pada hari sabtu tanggal 3 april 2004 berkisar kira-kira pukul 03.30 terdakwa berkeinginan untuk ke kamar mandi untuk cuci muka, setelah dari kamar mandi terdakwa lalu secara tiba-tiba di telanjangi oleh Yudistira (Korban I), dan terdakwa disuruh korban membuka bajunya di kamar mandi. Setelah berapa lama terdakwa tidur kembali kekamar tidurnya dan korban pun mendatangi terdakwa lalu meraba-raba kemaluan dan mencium serta memegang kemaluan dari terdakwa, merasa kehormatanya terancam lalau terdakwa marahmarah dan kepala terdakwa didorong-dorong, akan tetapi korban tetap memegang kemaluan terdakwa. Dan pada akhirnya terdakwa memukul korban 2 (Dua) kali tepat dibagian dada korban dengan tangan kosong korban pun marah-marah dan terjadi perang mulut antara korban dan terdakwa. Kemudian korban mengambil pisau kecil yang berada disamping rak meja kecil dan mengancam terdakwa. Pisau tersebut ditepis oleh terdakwa dan pisau tersebut terpelental, dan terdakwa pun lari. Pada saat ingin berlari korban menarik baju terdakwa, dan terdakwa pun terjatuh, pada saat terjatuh terjadi 121

Serangan itu harus wederrechtelijk.Oleh karena itu serangan orang gila atau binatang tidak termasuk.VOS mengemukan tentang dua macam tentang serangan binatang, yaitu serangan binatang karena diasut orang atau tidak karena diasut.Pembelaan atas serangan binatang karena diasut orang menimbulkan noodweer, sedang kalau tidak dihasut bukan noodweer.Menurut H.R. 11 Mei 1903 pembelaan terhadap serangan binatang yang dihasut orang itu adalah overmacht.Ini sesuai dengan pendapat Simons.Tetapi Van Hamel tetap menggolongkannya kedalam noodweer.

Hal | 72


perebutan pisau dan pada akhirnya terdakwa yang mendapat pisau tersebut dan menusukanya dibagian leher, dada, lengan, dan punggung korban secara membabi buta dan pada saat tersebut korban berposisi tiduran. 3. Dakwaan Jaksa No.Reg.Perk.PDM.874/Plg/EP/2/06/2004 Terhadap kejadian tersebut di atas, selanjutnya peneliti akan menguraikan dan menjelaskan terhadap surat dakwaan jaksa selaku penuntut umum yang memuat kronologis kejadian. Dalam hal ini Jaksa mendakwa terdakwa dengan dakwaan sebagai berikut : a. Primer, Terdakwa Deni diancam pidana Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) kec (-1) KUHP, Pasal 338 menerangkan bahwa; “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 Tahun.” Pasal 55 ayat (1) ke (-1) menerangkan bahwa “Meraka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbutan” b. Subsider, Terdakwa diancam pidana Pasal 351 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke(-1) KUHP Pasal 351 ayat (1) ke (1) “penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda tiga ratus rupiah” Berdasarkan dakwaan tersebut peneliti tidak sependapat dengan dakwaan jaksa baik primer maupun subsidder dimana dalam kasus tersebut terdakwa didakwa berdasarkan Pasal 338 yang unsur-unsurnya yaitu : Barang siapa, sengaja merampas nyawa orang lain”. Terhadap uraian dalam surat dakwaan penuntut umum sebagaimana dikemukakan di atas, penulis berbeda pandangan di dalam memahami antara perbuatan yang ditudukan kepada terdakwa berdasarkan Pasal 338 karena terdapat unsur yang termasuk di dalam Pasal 49 (1) dan (2) yaitu perbuatan terdakwa yang dilakukan karena atas dasar pembelaan kehormatan dan guncangan jiwa pada saat terjadinya perbuatan. 4. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap putusan tersebut di atas, hakim telah membuat pertimbanganpertimbangan hukum (yuridis) terhadap perbuatan terdakwa dalam pembelaan terpaksa. Untuk mempermudah pemahaman berikut ini peneliti akan menganalisis dan menjelaskan pertimbangan hukum hakim dalam putusannya sebagaimana dapat dilihat dalam uraian dibawah ini: a. Unsur Adanya Serangan Atau Ancaman Serangan Seketika Hal | 73


b. Untuk Mengatasi Adanya Ancaman Serangan Atau Serangan Yang Sifat Melawan Hukum c. Harus Seimbang Dengan Serangan Yang Mengancam d. Pembelaan Terpaksa Itu Hanya Terbatas Dalam Hal Mempertahankan 3 (Tiga) Macam Kepentingan Hukum 5. Analisis terhadap putusan Pengadilan Negeri Pertimbangan hukum ini menurut penulis sudah tepat, jika dilihat dari syarat-syarat untuk adanya pembelaan diri yang melampaui batas (noodweer exces) menurut Pasal 49 ayat (2) KUHP. Akan tetapi seharusnya hakim dalam hal ini harus mempertimbangkan, apakah tidak ada cara lain yang dapat dilakukan oleh terdakwa untuk menghindar dari serangan yang melawan hukum yang dilakukan oleh korban ketika itu. Sehingga perbuatan terdakwa memang benar-benar terpaksa harus dilakukannya. Oleh karena bagaimanapun syaratsyarat noodweer exces yang ada dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP tidak terlepas dari syarat-syarat noodweer yang ada dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. Pembelaan diri yang dilakukan terhadap serangan yang melawan hukum merupakan suatu keharusan, apabila tidak ada cara lain, cara itulah satu-satunya yang dapat dilakukan. Jadi harus tetap memperhatikan asas subsidiaritas. Jika orang masih dapat menghindarkan diri dari serangan, maka pembelaan tidak menjadi keharusan; bantahan atas dasar pembelaan terpaksa (dan yang melampaui batas) harus ditolak. Dalam kasus ini menurut penulis, masih ada cara lain yang dapat dilakukan terdakwa untuk menghindar. Oleh karena peristiwa ini terjadi di lapangan terbuka (di luar kedai kopi), terdakwa masih dapat berbuat lain, misalnya lari/pergi dari tempat itu, atau ia masih dapat minta bantuan orang lain yang ada di sekitar tempat kejadian, orang-orang yang ada di kedai kopi, dan lain sebagainya. Dengan kata lain masih ada pilihan lain yang dapat dilakukan terdakwa selain membalas serangan dari korban. Oleh karena itu Pasal 49 ayat (1) maupun ayat (2) tidak dapat digunakan untuk dijadikan alasan penghapus pidana dalam kasus ini. 6. Batas Pembelaan Terpaksa (Noodweer)Korban Penganiayaan Sumber hukum pidana terdiri dari undang-undang, pendapat para ahli (doktrin) dan yurisprudensi. Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai undang-undang telah mengatur pembelaan terpaksa dalam Pasal 49 ayat (1) dan (2) yang secara eksplisit. Hal | 74


7. Duduk perkaranya I Made Rana dan Wayan Locong sebagai warga satu dusun sudah saling mengenal, suatu waktu duduk santai di warung Desa di Kabupaten Gianyar Bali. Saat itu, Wayan Locong yang badannya tegap tinggi meminta uang Rp.1000,kepada I Made Rana untuk membayar minuman di warung tersebut. Permintaan itu dituruti. Setelah itu Wayan Locong minta lagi, cincin yang sedang dipakai oleh I Made Rana. Permintaan ini pun dipenuhi. Tanpa suatu sebab, Wayan Locong memukul kepala I Made Rana, sambil menantang agar I Made Rana bersedia berkelahi dengannya untuk mengukur kesaktiannya. Tantangan ini tidak ditanggapi oleh I Made Rana. Pada malam harinya, Wayan Locong memberitahukan kepada isterinya (NiMade Sambereg) bahwa ia akan pergi berkelahi habis-habisan dengan seorang pria. Setelah memberitahukan hal tersebut kepada isterinya, Wayan Locong segera pergi keluar rumah dengan membawa senter lampu dan kayu pemanggal buaya (kayu berduri) sebesar lengan. Wayan Locong pergi ke rumah I Made Rana dan sesampainya di halaman rumah tersebut, Wayan Locong berteriak menyuruh I Made Rana keluar rumahnya, untuk berkelahi dengan dia disertai pukulan keras pada bambu pagar rumah I Made Rana. Wayan Locong dengan berlumuran darah pada perutnya pulang ke rumah yang disambut dengan tangisan istrinya. Setelah dirawat beberapa waktu lamanya, malam itu juga Wayan Locong meninggal dunia. Sementara (setelah kejadian) itu I Made Rana kembali pulang ke rumahnya. Saat di rumahnya ia baru mengetahui bahwa sabitnya berlumuran darah dan setelah dilihat halaman rumahnya juga ada ceceran darah. Melihat hal ini, akhirnya ia melapor kepada Kepala Dusun dan selanjutnya dilaporkan ke Kepolisian. 8. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah sebagai berikut: Primer : terdakwa bersalah melakukan perbuatan dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain (pembunuhan) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP, yaitu dengan cara mengayun-ayunkan (menyabetkan) sabitnya ke tubuh korban. Subsider: terdakwa bersalah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3), yaitu dengan cara mengayun-ayunkan sabitnya kepada orang lain sehingga mengakibatkan orang lain itu meninggal dunia. Berdasarkan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum tersebut Pengadilan Negeri telah menjatuhkan putusannya sebagai diuraikan dibawah ini. Hal | 75


9. Putusan Pengadilan Negeri Pertimbangan Pengadilan Negeri dalam putusannya, secara ringkas adalah sebagai berikut: Tentang dakwaan primer: yaitu melanggar Pasal 338 KUHP; yang unsurunsurnya adalah: 1. Dengan sengaja 2. Menghilangkan jiwa orang lain. Mengenai dakwaan subsider: terdakwa telah didakwa melanggar Pasal 351 ayat (3) KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. penganiayaan 2. perbuatan tersebut mengakibatkan matinya orang. Majelis hakim berpendapat, Seyogianyaterdakwa masih dapat menghindar serangan dari korban tersebut dengan jalan lain, misalnya dengan cara menangkis atau menghindar daripada mengambil tindakan mengayunkan sabitnya yang tajam itu ke arah badan korban. Berdasarkan hal tersebut hakim berpendapat perbuatan terdakwa bukan merupakan pembelaan terpaksa(noodweer) dan oleh karenanya terdakwa terbukti sebagai orang yang mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan harus dipidana. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah syaratsyarat dan batas pembelaan terpaksa sebagaimana telah dikemukakan dalam bab III, peneliti menyimpulkan sebagai berikut : a) Syarat harus dipenuhi sehingga termasuk dalam lingkup pembelaan terpaksa sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 49.Dalam praktiknya penerapan Pasal 49 sangat bergantung dari fakta yuridis dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dimana dalam putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Palembang No. 994/PID.B/2004/PN.Plg. Dalam pertimbangan hukumnya ditemukakan bahwa perbuatan terdakwa Deni Triokta Als Bin Edi Nuryadi tidak terbukti melakukan pembunuhan dalam dakwaan primer, karena salah satu unsur dalam Pasal 338 jo 55 KUHP menurut hakim tidak terbukti. Namun demikian, perbuatan terdakwa Deni Triokta Als Bin Edi Nuryadi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian korban. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan terdakwa melakukan Hal | 76


perbuatan tersebut karena korban telah melakukan serangkaian perbuatan yang telah menyerang kehormatan terdakwa seperti mencium, meraba-raba kemaluan terdakwa bahkan akan membunuh terdakwa sekalipun terdakwa telah berusaha melarikan diri guna menghindari perbuatan korban tetapi tidak berhasil, sehingga telah memnuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 49 KUHP, akan tetapi fakta-fakta yang terungkap dipersidangan tersebut justru bukan dijadikan pertimbangan hukum dalam membuat putusan. b) Batas pembelaan terpaksa secara tegas telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 49 KUHP, namun dalam penerapannya hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan tinggi maupun putusan hakim mahkamah agung, justru tidak memiliki pola yang sama dalam pertimbangan hukumnya, seperti dalam putusan pengadilan negeri No. 579 K/Pid/1990 tanggal 11 Juli 1990 dan Putusan MARI No. 1897-K/Pid/1992, tanggal 20 Juli 1994, menunjukkan bahwa batas penerapan Pasal 49 KUHP terhadap tindak pidana penganiayaan tidak memiliki perbedaan dalam pertimbangan hukumnya, sehingga sulit difahami apakah Pasal 49 ayat (1) yang terbukti secara dan menyakinkan terhadap perbuatan terdakwa dalam tindak pidana penganiayaan atau Pasal 49 ayat (2) KUHP, karena kedua ayat itu secara tegas dibedakan baik dalam KUHP maupun dalam doktrin hukum pidana. Artinya sangat mungkin batasan penerapannya dapat menimbulkan ketidakadilan bagi korban penganiayaan yang justru menjadi terdakwa. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut di sarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Penerapan Pasal 49 KUHP secara yuridis normatif jelas berbeda, sehingga dalam pemeriksaannya diperlukan hakim baik ditingkat pertama, banding dan kasasi wajib diperiksa oleh hakim yang mengerti dan memahami hukum pidana khususnya berkaitan dengan perkara pembelaan terpaksa ; 2. Perlu adanya teguran bagi hakim yang mempunyai putusan yang berbeda-beda dalam kasus yang sama, karena undnag-undang telah menentukan secara limitatif, artinya tidak perlu mencari penafsiran lain ; Hal | 77


3. Perlu pembenahan sumber daya manusia dalam memahami substansi hukum pidana khususnya dalam perkara pembelaan terpaksa.

Hal | 78


DAFTAR PUSTAKA A. Buku A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika, 1995. ---------, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001. --------, Pelajaran Hukum Pidana, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002. Andi hamzah, Asas-Assa Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007. Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Bambang Poernomo, Azaz-azaz Hukum Pidana,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998. Didik M.Arief Mansyur dan Ellisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007. Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2006. Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP (Hukum Pidana Dalam Kodifikasi), BP Universitas, Palembang, 2007. Mardjono Reksoputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1994. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008. ---------, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2011. B. Perundang-undangan Molejatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2011 Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987. ---------, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1996. C. Internet dan Kamus Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, www.jimly.com/pemikiran/ getbuku/12, Diaskes Tanggal 21 Oktober 2012 Feri Firmansyah, Pengertian AsasLegalitas, http://klikfe.blogspot.com/2011/03/ pengertian-asas-legalitas.html, Diakses Tanggal 21 Oktober 2012. Alvi Syahrin, Alasan Penghapus Pidana, http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/alasan-penghapusan-pidana.html, Diakses Tanggal 21 Oktober 2012. Hal | 79


Syarat-syarat Pembelaan Diri yang Dibenarkan Hukum, http://www.hukumonline.com /klinik/detail/lt5057343d8ada9/syaratsyarat-pembelaan-diri-yang-dibenarkan-hukum, Diakses Tanggal 05 Desember 2012. H.M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana, (makalah), 2009, hlm 8. diakses tanggal 6 April 2013. http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-kejahatan. html, Diakses Tanggal 09 Desember 2012. http://balance04.blogspot.com/2010/03/perbedaan-pelanggaran-dengankejahatan.html, Diakses Tanggal 09 Desember 2012. Kejahatan Terhadap Tubuh, http://anggijuve.blogspot.com/2009/03/ kejahatanterhadap-tubuh.html, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. http://id.scribd.com/doc/39802104/1/A-Pengertian-Viktimologi, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. Ruang Lingkup Viktimologi, http://raypratama.blogspot.com /2012/02/ruanglingkup-viktimologi.html, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. Viktimologi,http://fauzysroom.blogspot.com/2012/01/viktimologi.html, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. ---------,http://wwwgats.blogspot.com/2008/12/victimologi.html, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. H.M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana, Tidak Dipulikasikan, 2010. Peniadaan Pidana, http://makalah-hukum-pidana.blogspot.com/2012_ 09_01 archive. html, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. Lahirnya Alasan Penghapus Pidana, http://tutorq.blogspot.com /2012/06/lahirnyaalasan-penghapusan-pidana-di.html, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. Aspek Hukum Pidana Dalam Penyelenggaraan Negara, http://antonimitralaw.blogspot.com/, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. Alasan Peniadaan Pidana, http://henrik-blog2.blogspot.com/2012/06/ alasanpeniadaan-pidana.html, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. Rangkuman Asas-asas Hukum Pidana, http://andruhk.blogspot.com/2012 /07/asas-asas-hukum-pidana.html, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. Ringkasan Buku Asas-asas Hukum Pidana Andi Hamzah, http://kazamashuriken.blogspot .com/2011/03/ringkasan-buku-asas-asashukum-pidana.html, Diakses Tanggal 10 Desember 2012. Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989,

Hal | 80


Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Tindak Pidana di Bidang Medis Oleh: Nenty Permata Sari, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah BimbinganHj. Nashriana, S.H.,M.H dan Vera Novianti, S.H., M. Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Hukum diartikan sebagai keseluruhan kumpulan-kumpulan peraturanperaturan tertulis atau kaidah-kaidah dalam suatu masyarakat sebagai susunan sosial, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan memberikan sanksi jika dilanggar. Tujuan pokok dari hukum adalah menciptakan suatu tatanan hidup dalam masyarakat yang sejahtera dan tertib. Dengan terciptanya ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia dapat terlindungi.122 Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang kesehatan terlihat jelas masih kurang. Di negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah malpraktik medis ini ternyata tuntutan terhadap dokter yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak berkurang. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis penyakit kandungan dan kebidanan.123 Hukum kesehatan termasuk hukum lex specialis yang melindungi secara khusus tugas dan profesi kesehatan dalam program pelayanan kesehatan manusia dan perlindungan secara khusus terhadap pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.124 Istilah “Malpraktek” tidak dijumpai dalam KUHP, karena memang bukan istilah yuridis, istilah “malpraktek” hanya digunakan untuk menyatakan 122

Soeparto, Pitono, dkk, 2008, Etik Dan Hukum Dibidang Kesehatan, Airlangga, Surabaya, hlm. 129. 123 DIR 1/ KAM & TRANNAS BARESKRIM POLRI JAKARTA, Jurnal Aspek Hukum Malpraktek Pelayanan Kesehatan, Edisi Tinjauan Kasus Kriminal, 4 Juli 2010, hlm 5. 124 Nusye Ki Jayanti, 2009, Penyelesaian Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm. 14.

Hal | 81


adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi, baik dibidang hukum maupun di bidang kedokteran. Dalam bidang kesehatan, malapraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan (termasuk penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan dampak buruk bagi pasien atau korban. Lebih khusus lagi bagi tenaga medis (dokter atau dokter gigi). Malpraktik medik dapat terjadi karena tindakan kelalaian ataupun suatu kekurang mahiran atau ketidakkompeten yang tidak beralasan. Untuk malpraktik medik yang dilakukan dengan sikap batin culpa hanya 2 Pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 KUHP (jika korban luka berat). Pada tindak pidana aborsi kriminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiayaan (Pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medis. Kasus korban usus hilang 35 sentimeter minta keadilan. Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) mengecam ketidakseriusan pihak kepolisian Polda Riau yang tidak menindaklanjuti kasus dugaan malpraktik yang menimpa Ellyna Fitri pasien dari Indragiri Hulu, Riau di RSUD Indra Sari. Menurut Tim Litigasi DKR, Royke Barce Bagalatu S.H, operasi usus buntu tanpa persetujuan keluarga adalah melanggar UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat 5 yang menegaskan bahwa “ setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan�. Sedangkan infeksi yang disebabkan operasi usus buntu dan menyebabkan pemotongan usus sepanjang 35 sentimeter pada Ellyna Fitri yang hingga saat ini terganggu kesehatannya adalah kelalaian seperti tertera pada KUHP Pasal 360 ayat 1 Selama ini IDI melakukan proteksi berlebihan pada anggotanya dan meninggalkan nilai kemanusian. Ada ratusan kasus malpraktek terjadi di Indonesia namun hanya beberapa saja yang bisa masuk ke pengadilan dan belum tentu bisa memberi vonis yang pantas bagi dokter-dokter yang melakukan malpraktik. Seharusnya menurut Hadi Supeno, IDI meningkatkan kualitas dokter dengan tetap berorientasi pada perlindungan pasien bukannya dengan mengorbankan pasien, karena selama ini pelaku malpraktik selalu dilindungi IDI.125

125

Korban Usus Hilang 35 Sentimeter Minta Keadilan,http://www.tribunnews.com/2010/06/01/Korban. Usus. Hilang. 35. Sentimeter. Minta. Keadilan, diakses tanggal 02 Oktober 2012, Pukul 17.22 WIB.

Hal | 82


Tindakan malpraktik menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil di pihak pasien atau keluarga pasien sebagai korban. Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana upaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi pasien. Di dalam KUHAP juga mengatur hak korban tindak pidana kejahatan dalam Pasal 98-101, yang mengatur tentang penggabungan gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana. 2. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Korban tindak pidana di bidang medis ? 2. Bagaimana menentukan kesalahan Pelaku tindak pidana di bidang medis ? 3. Kerangka Teoritis Merupakan suatu tindakan malpraktek apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :126 1. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilakukan. 2. Adanya dereliction of that duty (penyimpangan kewajiban). 3. Adanya damage (kerugian). 4. Adanya direct causal relationship (berkaitan langsung) Kelalaian dapat terjadi dalam 3 (tiga) bentuk yaitu:127 1. Malfeasance yaitu melakukan tindakan yang melanggar hukum. 2. Misfeasance yaitu melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat. 3. Nonfeasance yaitu tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. 4. Metode Penelitian a) Bahan Hukum Bahan Hukum yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari :128 - Bahan hukum primer, yaitu antara lain : 126

Soerjono Soekanto dan Herkutanto, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Remaja Karya, Jakarta, hlm. 157. 127 Eka Julianta Wahjoepramono, 2012, Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik, Karya Putra Darwati, Bandung, hlm. 89. 128 Ibid, hlm. 106.

Hal | 83


-

-

a. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; b. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; c. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); d. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bahan hukum sekunder, seperti Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK), makalah-makalah dan Hukum kesehatan dan lain-lain. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus kesehatan

b) Pengumpulan Bahan Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, publikasi, dokumen resmi, buku-buku dan juga membutuhkan informasi dan wawancara dengan tenaga medis atau instansi yang berkenaan dengan objek penelitian yang diperlukan sebagai data penunjang penelitian ini.129 c) Analisa Bahan Penelitian dan Penarikan Analisa data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap bahan Hukum primer dan bahan Hukum sekunder. Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur Hukum positif yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi dan makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.130 Selanjutnya penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan yang bertolak dari suatu proposal umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan yang lebih khu 129

Ibid, hlm. 107. Ibid

130

Hal | 84


B. PEMBAHASAN 1. Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Tindak Pidana di Bidang Medis a) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Tabel: Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Kesalahan Atau Kelalaian Di Bidang Medis Yang Terdapat Dalam KUHP(Pasal 346, 347, 348, 359, 360, 386) Pasal

TindakPidana

346

menggugurkan ataumematikankandungannya atau menyuruhorang lain untuk itu. 1. Menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya 2. Jika perbuatanitu mengakibatkanmeninggal nya wanitatersebut.

347

348

Pertanggungjawaban Pidana Dengan sengaja

Dengan sengaja

AncamanPidana Pidanapenjara palinglama 4 tahun

Penjara paling lama 12 tahun

Penjara palinglama 15 tahun 1. menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya 2. jika perbuatan itu mengakibatkan meninggalnya wanita tersebut.

359

360

Dengan sengaja

Kerena kesalahannya (kealpaanya) menyebabkan oranglain meninggal 1.karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka berat 2.karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara, atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara

Penjara 5 tahun 6 bulan

Penjara 7 tahun

Penjara 5 tahun atau pidana kurungan 1 tahun Kesalahan (kealpaannya)

Penjara 5 tahun atau pidana kurungan 1 tahun Kesalahan (kealpaannya)

1.menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan, minuman, atau obat-obatan yang di ketahuinya bahwa itu di palsukan.

Penjara 9 bulan atau pidana kurungan 6 bulan atau pidana denda empat ribu lima ratus rupiah. Kesalahan (kealpaannya)

Hal | 85


2.barang makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsukan jika nilai faedahnya menjadi berkurang karena sudah dicampur dengan bahan lain. 386

Penjara 4 tahun Dengan sengaja

b) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.131 Ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dirumuskan dalam Pasal 190 sampai dengan pasal 199. c) Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Untuk memberikan Perlindungan dan Kepastian Hukum kepada penerima Pelayanan Kesehatan, Dokter, dan Dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan Praktik Kedokteran. Ketentuan Pidana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun2004 tentang Praktik Kedokteran dirumuskan pada Pasal 75-80. Hak dan kewajiban dokter atau dokter gigi:132 a. Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak: 1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. 2) Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional. 3) Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dan pasien atau keluarganya dan, 4) Menerima imbalan jasa.

131

Lihat Pembukaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Lihat Ketentuan Pasal 50 Dan Pasal 51 Undang-Undang Nomor. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. 132

Hal | 86


b. kewajiban: 1) Membenikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. 2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan lebih baik, apabila tidak mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan. 3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. 4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya dan, 5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Hak dan kewajiban Pasien :133 a. Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: 1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3). 2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain. 3) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. 4) Menolak tindakan medis dan, 5) Mendapatkan isi rekam medis. b. kewajiban: 1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya. 2) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi. 3) Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan. 4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. d) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No.8 Tahun1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Bab XIII Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian pada Pasal 98-101. 133

Lihat Ketentuan Pasal 52 Dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Hal | 87


Hak-hak pasien adalah hal-hal yang bisa dituntut dari petugas kesehatan atau dokter yang melayani. Sedangkan kewajiban pasien adalah hal-hal yang harus diberikan pasien kepada petugas kesehatan atau dokter. Seorang petugas kesehatan atau dokter tidak seharusnya mengutamakan kewajiban pasien terlebih dahulu sebelum memenuhi hak-hak pasien.134 Secara garis besar kewajiban-kewajiban masyarakat atau pasien antara lain sebagai berikut:135 a. Memeriksakan diri sedini mungkin pada petugas kesehatan atau dokter. b. Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya. c. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter. d. Menandatangani surat-surat pernyataan persetujuan tindakan (inform concent). e. Yakin pada dokternya dan yakin akan sembuh. f. Melunasi biaya perawatan, biaya pemeriksaan dan pengobatan serta honorarium dokter. Hak-hak dan kewajiban petugas kesehatan, terutama dokter: a. Kewajiban Dokter a) Kewajiban umum. b) Kewajiban terhadap penyakit atau pasien. c) Kewajiban terhadap teman sejawat. d) Kewajiban terhadap diri sendiri. b. Hak-hak Dokter a) Melakukan praktik dokter. b) Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien atau keluarga tentang penyakitnya. c) Bekerja sesuai standar profesi. d) Menolak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan etika, hukum, agama, dan hati nurani. e) Mengakhiri hubungan dengan seorang pasien, jika menurut penilaiannya kerja sama pasien dengannya tidak ada gunanya lagi, kecuali dengan keadaan darurat. 134

Cecep Triwibowo, 2012, Perizinan Dan Akreditasi Rumah Sakit, Nuha Medika, Yogyakarta, hlm. 45. 135 Ibid.

Hal | 88


f) Menolak pasien yang bukan bidang spesialisasinya, kecuali dalam keadaat darurat atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya. g) Hak atas “privacy� dokter. h) Ketenteraman bekerja. i) Mengeluarkan surat-surat keterangan dokter. j) Menerima imbalan. k) Menjadi anggota perhimpunan profesi. l) Hak membela diri. Rumusan sengaja pada norma Hukum Pidana dimuat dengan kata-kata, antara lain:136 a. Dengan maksud b. Dengan sengaja c. Mengetahui atau diketahuinya d. Dengan rencana terlebih dahulu Secara umum, pakar Hukum Pidana telah menerima adanya tiga bentuk kesengajaan, yaitu :137 a. Kesengajaan sebagai maksud, adalah dimana akibat dari perbuatan itu diharapkan timbul atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi. b. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti, ialah si pelaku mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. c. Kesengajaan sebagai kemungkinan, adalah seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain juga dilarang dan diancam oleh Undang-undang. rkealpaan itu memuat tiga unsur:138 1) Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut Hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan yang melawan Hukum. 2) Pelaku telah berlaku kurang berhati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.

136

Leden Marpaung, 2005, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,

hlm. 22. 137

Leden Marpaung, Opcit, hlm. 15. Ibid, hlm. 44.

138

Hal | 89


3) Perbuatan pelaku tidak dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut. Hukum Pidana termasuk Hukum yang berlaku umum, artinya setiap orang wajib tunduk dan taat serta pelaksanaan sanksinya dapat dipaksakan juga terhadap seorang Dokter. Contohnya, Hukum Kedokteran harus memenuhi Azas Praduga Tak Bersalah. Jika perbuatan Malpraktik yang terjadi dilakukan oleh Dokter dengan kasus yang ada karena Kelalaian, maka Dokter dapat dikenakan sanksi Pidana karena kesengajaan atau kelalaian telah melakukan perbuatan melawan Hukum yakni menghilangkan nyawa orang lain dan mengancam keselamatan jiwa pasien. Jika terbukti melakukan tindakan medis yang tidak memenuhi standar operasi praktik yang digunakan, melanggar kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI), dan Undangundang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka Dokter itu dapat dikenakan tuduhan malpraktik dan sanksi Pidana.139 e) Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor. 1438/MENKES/PER/IX/2010 Tentang Standar Pelayanan Kedokteran dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor. 43/MENKES/SK/X/1993 Tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pada dasarnya PERMENKES dan KEPMENKES RI ini merupakan suatu pedoman yang dibuat untuk dijadikan landasan bekerja ketika interaksi terjadi antara Dokter, Perawat, dan Pasiennya, sehingga pedoman itu wajib diikuti oleh Dokter atau Dokter Gigi yang melakukan Praktek Kedokteran, sebagaimana ketentuan Pasal 1 butir (1) PERMENKES Nomor. 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran. C. PENUTUP Perlindungan hukum bagi korban tindak pidana bidang medis dalam hukum pidana positif di Indonesia saat ini dilakukan dengan mengenakan sanksi bagi pelaku tindak pidana berdasarkan KUHPidana, UU No. No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU. No. 29 Tahun 2004tentang Praktik Kedokteran, 139

Putra Jaya Nyoman, Kapita Selekta Hukum Pidana, PenerbitUniversitas Diponegoro, Semarang, hlm. 34.

Hal | 90


Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan peraturan-peraturan berlaku yang mendukung. Pada dasarnya yang prtugas kesehatan termasuk Dokter tugas utamanya adalah melayani masyarakat atau pasien. Tugas seorang pelayan hendaknya mendahulukan kepentingan atau hak yang dilayani yakni pasien. Hak-hak masyarakat atau Pasien harus diimbangi dnegan kewajiban-kewajiban mereka terhadap petugas pelayanan kesehatan atau Dokter. Maka, masyarakat atau pasien yang baik pasti akan melakukan atau memenuhi kewajibannya setelah hak-haknya dipenuhi oleh petugas kesehatan atau Dokter yang sudah

Hal | 91


DAFTAR PUSTAKA Buku : Eka Julianta Wahjoepramono, 2012, Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik, Karya Putra Darwati, Bandung. Leden Marpaung, 2009, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Nusye Ki Jayanti, 2009, Penyelesaian Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Putra Jaya Nyoman, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Soeparto, Pitono, dkk, 2008, Etik Dan Hukum Dibidang Kesehatan, Airlangga, Surabaya. Soerjono Soekanto dan Herkutanto, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Remaja Karya, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. PeraturanMenteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor.1438/MENKES/PER/ IX/2010 Tentang Standar Pelayanan Kedokteran. Website Korban Usus Hilang 35 Sentimeter Minta Keadilan, http://www.tribunnews.com/2010/06/01/Korban. Usus. Hilang. 35. Sentimeter. Minta. Keadilan, diakses tanggal 02 Oktober 2012, Pukul 17.22 WIB. Jurnal DIR 1/ KAM & TRANNAS BARESKRIM POLRI JAKARTA, Jurnal Aspek Hukum Malpraktek Pelayanan Kesehatan, Edisi Tinjauan Kasus Kriminal, 2010. melayaninya.

Hal | 92


Upaya Hukum Polresta Palembang Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penadahan Kendaraan Sepeda Motor Hasil Pencurian Oleh: Pebri Berdikari Manalu, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. M. Rasyid Ariman, S.H., M.H dan Vera Novianti, S.H., M. Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penadahan salah satu tindakan yang dilarang olehhukum, karena pendahan diperoleh dengan cara kejahatan, dapat dikatakanmenolong atau memudahkan tindakan kejahatan dari si pelaku, karena dapatmempersulit pembuktian kejahatan yang bersangkutan, salah satu dia antara awal dari tindak pidana penadahan adalah kejahatan pencurian. 140 Untuk kelangsungan pembangunan di segala bidang sangat membutuhkan kendaraan seperti yang banyak digunakan masyarakat adalah kendaraan bermotor roda dua (sepeda motor) demi kelangsungan bekerja dan berbisnis. Namun kurangnya kesadaran hukum terhadap cara memperoleh kuasa kepemilikan sebuah benda atau cara membeli kendaraan sepeda motor, serta masalah ketidak mampuan ekonomi sering kali dijadikan alasan dan dikaitkan dengan perilaku-perilaku yang menyimpang tersebut, pelaku penyimpangan tersebut dalam memenuhi kebutuhannya dengan jalan pintas terkadang tidak menghiraukan bahwa tindakannya tersebut telah melanggar hukum, diantaranya adalah dengan merampas hak orang lain, mencuri atau bahkan menadah hasil dari kejahatan tersebut. Perangkat hukum diperlukan untuk menyelesaikan konflik atau kejahatan yang ada dalam masyarakat. Salah satu usaha pencegahannya dan pengendalian kejahatan itu ialah dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana dalam kodifikasi hukum pidana yaitu KUHPidana. Tindak pidana pencurian yang diatur mulai Pasal 362 dan Tindak pidana penadahan Pasal 480. Tindak pidana penadahan atau disebut juga tindak pidana pemudahan ini diatur dalam Bab XXXKUHPidana.Tindak pidana penadahan atau tindak 140

SoerjonoSoekanto,HartonoWidododanChalimahSutanto,PenanggulanganPencurianKendaraan Bermotor Suatu Tinjauan Kriminologi, PenerbitAksara, Jakarta,1988.hlm.20.

Hal | 93


pidana pemudahan ini merupakan tindak pidana yang erat kaitannya dengan tindak pidana terhadap harta kekayaan orang lain. Tindak pidana penadahan diatur dalam ketentuan Pasal 480 KUHPidana yang menyatakan: Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah karena penadahan. Dalam hal ini peran POLRESTA Palembang diharapkan mampu menekan terjadinya setiap permasalahan kehidupan masyarakat yang diantaranya tindak pidana penadahan kendaraan bermotor yang berasal dari hasil pencurian. 2. Rumusan Masalah a. Bagaimana upaya hukum Polresta Palembang dalam menanggulangi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor (sepeda motor) hasil pencurian di wilayah hukum Polresta Palembang ? b. Bagaimana modus operandi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor (sepeda motor) hasil pencurian? 3. Tinjauan Pengertian Polisi Pada Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang POLRI yaitu pada Pasal 1 angka1 disebutkan mengenai pengertian Kepolisian yaitu �Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan’. 141 Istilah polisi adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara, dan istilah �kepolisian� adalah sebagai organ dan sebagai fungsi. Sebagai organ yakni suatu lembaga pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam organisasi negara, sedangkan sebagai fungsi yakni tugas dan wewenang serta tanggung jawab lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan fungsinya, yaitu antara lain pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.142 4. Penyelidikan dalam Suatu Tindak Pidana Dalam melaksanakan penyidikan suatu tindak pidana yang mana tindak pidana dapat dilaksanakan penyidikanya setelah diketahui bahwa suatu peristiwa

141

Sadjijono, Op.Cit, hlm.217. Ibid. hlm.5.

142

Hal | 94


yang terjadi merupakan tindak pidana, sedangkan suatu peristiwa dan tindak pidana dapat diketahui melalui : a. Laporan yang mana laporan diterima dari seseorang baik tertulis maupun lisan yang dicatat oleh penyidik pembantu atau juga oleh penyidik dan setelah selesai permainan laporan, kepada pelapor diberikan surat tanda penerimaan laporan. b. Pengaduan bisa dilakukan baik secara lisan atau tertulis kepada Polri yang disertai dengan permintaan untuk menindak menurut hukum terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan (delik aduan relative) dari pihak yang dirugikan. c. Tertangkap Tangan, dalam hal tertangkap tangan, setiap petugas Polri tanpa surat perintah dapat dilakukan tindakan : hindarkan sikap dan tindakan yang dapat merugikan pelaksanaan penyelidikan selanjutnya. Istilah “modus operandi� memang cukup sering didengar dan sangat erat dan tidak terlepas apabila dikaitkan dengan proses terjadinya kejahatan atau suatu tindak pidana baik yang dilakukan individu atau perorangan maupun yang dilakukan oleh beberapa orang yang biasanya dilakukan secara terkoordinir. Modus operandi sendiri mempunyai pengertian yaitu, metode operasional suatu perbuatan yang mungkin saja terjadi dari satu atau lebih bahkan merupakan kombinasi dari beberapa perbuatan.143 Tindak pidana merupakan salah satu istilah untuk menggambarkan suatu perbuatan yang dapat dipidana, dalam bahasa belanda disebutstraftbaarfeit, istilah lain yang pernah digunakan untuk menggambarkan perbuatan yang dapat dipidana adalah :Peristiwa pidana,Perbuatan pidana, Pelanggaran pidana, Perbuatan yang dapat dihukum.144 5. Pengertian Tindak Pidana Pencurian dan Penadahan Sebelum terjadinya suatu tindak pidana penadahan kendaraan bermotor faktor yang mempengaruhi adanya penadahan itu sendiri adalah diawali dengan adanya tindak pidana pencurian terhadap kendaraan bermotor (curanmor). Masalah yang kemudian muncul adalah kemana para pelaku curanmor tersebut menghilangkan atau menjual barang hasil pencuriannya tersebut, yang tertuju dalam masalah ini adalah pelaku penadahan kendaraan bermotor. Pengertian 143

M. Sholehuddin, Tindak Pidana Perbankan, Jakarta, P.T Grafindo Persada, 1997,

hlm.11. 144

Masruchin Rubai, Asas-Asas Hukum Pidana, Kerjasama penerbit UM Press, Malang, 2001.hlm. 21

Hal | 95


pencurian menurut hukumdirumuskandalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokok yang berbunyi: “Barang siapa mengambil sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam dengan pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau dendapaling banyak Rp. 900,00�.145 6. Tindak Pidana Penadahan (helling) Sebelum menentukan unsur-unsur yang terdapat pada tindak pidana penadahan (helling), terlebih dahulu mengetahui bahwa rumusan hukum dari setiap tindak pidana sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka perlu dipahami dulu unsur-unsur yang melekat dalam setiap pasalnya. Jika dilihat dari kedua aliran tersebut maka apabila dikaji unsur-unsur yang terdapat dalam Pengertian tindak pidana penadahan yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu Pasal 480 yang berbunyi:146 Ke-1 : karena melakukan penadahan (heling) barang siapa membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau dengan maksud mendapat untung, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau menyembunyikan suatu barang, yang diketahuinya atau pantas disangkanya, bahwa barang itu diperoleh dengan jalan kejahatan. 7. Upaya Penanggulangan Kejahatan a. Upaya preventif Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali . Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi lagi kejahatan ulangan.

145

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2008,

146

Moeljatno, Op.Cit, hlm.128.

hlm.128

Hal | 96


b. Upaya represif Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat. B. PEMBAHASAN 1. Penanggulangan Tindak Pidana Penadahan Kendaraan Bermotor (Sepeda Motor) Hasil Pencurian Yang Dilakukan Polresta Palembang Upaya pencegahan ini harus benar-benar dilaksanakan sesuai fungsi dan tugas Kepolisian Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Agar tindak pidana Pendahan kendaraan bermotor (sepeda motor) hasil pencurian ini tidak terus bertambah atau berkurang dari tahun ke tahun. Khususnya Kepolisian kota Palembang yang sangat penting keberadaannya ditengah-tengah masyarakat sebagai abdi negara penyeimbang dan pengayom kehidupan dalam masyarakat. Dan Upaya-upaya yang dilakukan Polresta al: a.Upaya Preventif Upaya preventif atau upaya pencegahan yaitu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu tindak pidana penadahan kendaraan bernotor khususnya sepeda motor. Hal ini dilakukan oleh Babinkantibmas. Penanggulangan preventif atas tindak pidana penadahan kendaraan bermotor ini meliputi :147 1) Memberikan penyuluhan atau himbauan kepada masyarakat akan pentingnya saling mejaga dan melindungi antar warga. 2) Meningkatkan kewaspadaan masyarkat untuk menghindari terjadinya tindak pidana penadahan kendaraan bermotor khusunya sepeda motor, yaitu dengan cara jangan membeli sepeda motor bekas kepada orang yang tidak dikenal sebelumnya.

147

Wawancara dengan Bapak Brigadir Dedy Kurniadi.S.H, Staf Unit Ranmor Polresta Palembang, Tanggal 18 Juni 2013, Pukul 08.25.

Hal | 97


3) Meningkatkan langkah-langkah praktis dalam pengamanan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan suatu kejahatan dalam hal ini adalah tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang mempunyai dampak kepada timbulnya tindak pidana penadahan kendaraan bermotor. Bagi semua warga masyarakat agar selalu waspada bila meletakan atau memarkir kendaraan baik dirumah maupun di luar rumah, selalu menggunakan kunci tambahan. 4) Memberikan penerangan kepada masyarakat apabila terjadi tindak pidana pencurian kendaraan bermotor masyarakat dihimbau untuk segera melaporkan bahwa telah terjadi peristiwa pencurian. Hal ini bertujuan agar Polisi dapat dengan cepat ditangani dan ditindak lanjuti agar jangan sampai sepeda motor hasil curian tersebut jatuh ke penadah. 5) Mensosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya cek fisik, surat-surat kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB) sebelum membeli kendaraan roda dua. Hal itu bisa dilakukan di kantor SAMSAT. Dan upaya tersebut dapat disampaikan melalui spandukspanduk di tempat-tempat parkir ataupun di pinggir jalan. 6) Pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan agama setempat agar terjalin suatu hubungan yang baik antara polisi dengan masyarakat. Hal ini mempunyai tujuan agar apa yang telah disosialisasikan oleh polisi dapat dijalankan oleh masyarakat. Dari upaya-upaya tersebut dapat dilihat bahwa perlu adanya suatu kerja sama yang baik antara Polisi dengan masyarakat. b. Upaya represif Upaya repersif atau biasa dikenal dengan upaya penindakan oleh satuan reserse. Satuan Reserse melakukan upaya penindakan terhadap semua tindak pidana termasuk tindak pidana penadahan kendaraan bermotor. Upaya represif tersebut meliputi :148 1) Upaya ini dilakukan agar diperoleh bukti-bukti yang falid (sempurna) karena dimungkinkan bukti-bukti yang ada masih utuh yang memudahkan penyidik dalam melakukan penanganan lebih lanjut. 2) Langkah yang diambil oleh anggota Reskrim Polresta Palembang yaitu, mendata tempat-tempat penjualan sepeda motor pretelan yang ada di 148

Wawancara dengan Bapak Brigadir Dedy Kurniadi.S.H, Staf Unit Ranmor Polresta Palembang, Tanggal 18 Juni 2013, Pukul 08.25.

Hal | 98


kawasan hukum Polresta Palembang kemudian terjun langsung ke tempat-tempat tersebut. Berkaitan dengan masalah ini anggota Reserse melakukan tertutup yaitu dengan menggunakan pakaian biasa. 3) Membentuk UKL ( Unit Kecil Lengkap ) yang terdiri dari anggota Reserse Polresta Palembang dimana setiap unit berjumlah 6 orang anggota Reserse. UKL tersebut ditempatkan di setiap ”Kring – kring” yang ada di wilayah Polresta Palembang. Kring adalah semacam daerahdaerah kecil dalam wilayah yang dekat mengingat Kabupaten Palembang mempunyai wilayah yang luas. Kring – kring tersebut antara lain, pada Radius I: Ilir Barat I, Ilir Barat II, Ilir Timur I, Ilir Timur II,Bukit Kecil, Kemuning, Kalidoni, dan pada Radius II: Sukarame, Sako, Gandus, Seberang Ulu I, Seberang Ulu II, Plaju, Kertapati, Sematang Borang, Alang-Alang Lebar. 4) Mendata daftar-daftar residivis terutama penadahan kendaraan bermotor. Dengan begitu memudahkan Polisi untuk langsung menuju ketempat residivis tersebut tinggal dimana hal itu sesuai dengan data yang ada sebelumnya yang telah dicatat oleh pihak Polresta. 2. Bermotor (Sepeda Motor) Hasil Pencurian Di Wilayah Hukum Polresta Secara umum bisa disimpulkan bahwa semakin tingginya tingkat pencurian kendaraan bermotor khususnya sepeda motor ini maka mempengaruhi pula kepada tingginya tingkat tindak pidana penadahan. Dalam kenyataan yang terjadi tingkat tindak pidana penadahan yang terjadi dalam wilayah hukum Polresta Palembang dapat kita lihat di tabel berikut : Tabel 5: Jumlah Tindak Pidana Penadahan Kendaraan Sepeda Motor Di Wilayah Hukum Polresta Palembang. TAHUN 2010 2011 2012 2013 (hingga bulan Juni) Jumlah

LAPORAN 1 3 10 4 17

SELESAI 1 3 9 3 16

Sumber data: Bagian adminstrasi Reskrim Polresta Palembang, tahun 2008

Hal | 99


Pada tabel tersebut secara umum yang terjadi adalah bahwa setiap tahunnya tindak pidana penadahan ini mengalami peningkatan. Sulitnya dalam proses penyidikan dan penyelidikan dalam upaya tindakan Polresta pada saat mengungkap perkara tindak pidana penadahan. Selain dari pada itu barang bukti dan tempat kejadian perkara tidak berada ditempatnya atau dapat dikatakan di bawa oleh pelaku. 149 Dan pada tahun 2012 telah terjadi 10 (enam) kasus penadahan dan kasus tersebut bisa ditangani sampai selesai. Dikarenakan tertangkap tangan dan cukup bukti-bukti yang kuat seperti barang bukti atau adanya pengaduan dari masyarakat atau korban sehingga langsung dilakukan tindakan tegas berupa penangkapan terhadapa pelaku atau tersangka.150 Awal dari tindak pidana penadahan kendaraan bermotor dapat berasal dari berbagai macam tindak pidana lain, diantaranya dari hasil pencurian sepeda motor yang saat ini sering terjadi. Jika dilihat dari rangkaian modus-modus atau cara-cara yang dilakukan oleh pelaku kejahatan pencurian, hingga kemudian muncul tindak pidana penadahan kendaraan bermotor, maka terdapat dua bentuk terjadinya suatu penadahan kendaraan bermotor, yaitu : a. Penadahan yang timbul dari pihak pelaku pencurian kendaraan bermotor (penadah pasif) Yang dimaksudkan disini para pelaku pancurian kendaraan sepeda motor setelah mereka melakukan pencurian mereka selalu menjual hasil kejahatannya tersebut kepada pihak lain untuk bertujuan mendapatkan keuntungan materi (uang) dari hasil pencurian tersebut. Tindak pidana penadahan ini timbul bukan karena kemauan atau kehendak dari pelaku penadahan, melainkan timbulnya dari pelaku pencurian itu sendiri yang menawarkan, menjual, menggadaikannya kepada pihak kedua yang kemudian disebut penadah, yang mana pelaku penadahan tidak tahu dari mana asal sepeda motor tersebut apakah dari pencurian atau bukan hasil. Modus-modusnya adalah sebagai berikut :151 1) Mengatakan bahwa sepeda motor tersebut adalah merupakan hasil pembelian dari dealer motor, kemudian karena terdesak kebutuhan ekonomi pelaku menjualnya. Dengan begitu pihak yang membeli motor tersebut tidak akan curiga kepada pelaku dengan menanyakan dari mana asal motor tersebut apakah hasil pencurian atau bukan. 149

Wawancara dengan Bapak Brigadir Dedy Kurniadi Ranmor Reskrim Polresta Palembang, Tanggal 18 Juni 2013, Pukul 10.00 Wib. 150 Ibid. 151 Wawancara dengan Bapak Bripka M. Ginting, Kasubnit Ranmor Reskrim Polresta Palembang, Tanggal 17 Juni 2013, Pukul 10.00 Wib.

Hal | 100


2) Mengatakan kepada pihak kedua (pelaku penadah) bahwa dia (pelaku pencurian) membutuhkan uang, sebagai gantinya ia menjaminkan motor tersebut untuk kemudian mendapatkan pinjaman uang dari pihak kedua. Pelaku pencurian tersebut tidak mengatakan bahwa motor tersebut adalah merupakan hasil kejahatan melainkan merupakan motor miliknya sendiri. Untuk meyakinkan kepada pihak kedua sebagai penerima motor hasil pencurian tersebut pelaku memberikan janji bahwa dalam kurun waktu tertentu yaitu antara 1 sampai 2 bulan uang tersebut akan dilunasi untuk kemudian mengambil motornya kembali. 3) Menjual langsung kepada pihak kedua yang berminat dengan motor hasil pencurian tersebut. Dalam hal ini pihak kedua sebagai pembeli tidak tahu bahwa motor tersebut adalah merupakan hasil pencurian, dikarenakan daerah dari pihak kedua (penadah) di pedesaan atau di luar wilayah Hukum Polresta Palembang. Peneliti mengambil contoh kasus untuk diteliti seperti kasus yang terjadi sesuai dengan berkas pemeriksaan menganai tindak pidana penadahan kendaraan bermotor dengan No. POL/SP. B-338/XI/2012/ Reskrim. Sebagai contoh kasus penadahan sepeda motor terjadi di kawasan Stadion Patrajaya Plaju Palembang. Kasus ini merupakan pengembangan dari kasus pencurian yang terjadi di Kecamatan Ilir Timur I Palembang, di Jalan Ratu Lorong Damai Kelurahan 20 Ilir. Jika dianalisa secara yuridis kasus tersebut sesuai dengan Pasal 480 ayat 1 KUHP karena terpenuhinya unsur-unsur sesuai dengan yang terdapat pada pasal tersebut. Secara garis besar faktor yang sering terjadi dilapangan adalah bahwa tingkat kesadaran hukum terhadap masalah penadahan ini juga kurang dipahami betul oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kasubnit ranmor Sidik I Reskrim Polresta Palembang Bripka M Ginting. Masyarakat kurang waspada pada saat melakukan pembelian atau menerima terhadap suatu benda dalam hal ini adalah kendaraan sepeda motor. Masyarakat hanya berpikir sesaat saja. 152 Jika dihubungkan dengan aturan yang ada yaitu Pasal 480 ayat 1 dan 2 KUHP dengan fakta yang terjadi dilapangan kesadaran hukum masyarakat memang sangat diperlukan, mengingat pada pasal tersebut menyebutkan bahwa tindak pidana penadahan dapat disangkakan kepada seseorang yang melakukan 152

Wawancara dengan Bapak Bripka M. Ginting, Kasubnit Ranmor Reskrim Polresta Palembang, Tanggal 17 Juni 2013, Pukul 10.00 Wib.

Hal | 101


tindakan pembelian, menawarkan, menerima gadai, menerima hadiah atau mengambil keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyembunyikan suatu benda yang diketahuinya atau sepatutnya adalah merupakan hasil dari sebuah kejahatan. b. Tindak penadahan yang memang timbul dari pelaku penadahan sendiri (penadah aktif) Yang dimaksud adalah bahwa tindak pidana penadahan kendaraan ini muncul akibat dari penadah yang memang mempunyai niat untuk menadah kendaraan bermotor hasil pencurian, untuk kemudian memperoleh keuntungan dengan menjualnya kepada orang lain. Berkaitan dengan ini pasal yang berlaku adalah Pasal 481 KUHP yaitu penadahan sebagai kebiasaan. Modus yang dilakukana adalah sebagai berikut : 1) Pihak kedua selaku penadah kendaraan bermotor memang sengaja memberikan sejumlah uang kepada pihak pertama selaku pencuri kendaraan bermotor, dimana pembayaran uang tersebut adalah dengan cara penadah pertama kali memberikan setengah dari jumlah uang yang sudah disepakati antara penadah dengan pencuri kemudian setelah pencuri berhasil mencuri kemudian menyerahkan motor hasil curian tersebut maka penadah meberikan sisa uang yang sudah disepakati. Cara yang digunakan oleh penadah untuk mencari keuntungan tersebut adalah dengan cara: a) Membongkar satu-persatu sepeda motor hasil curian tersebut untuk dijual secara terpisah b) Mengganti serta merubah nomor rangka dan nomor mesin kemudian dirangkai untuk membuat sebuah motor baru dengan bentuk fisik yang baru dengan nomer rangka dan nomer mesin palsu. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Tidak pidana penadahan yang terjadi di wilayah hukum Polresta Palembang secara umum masih banyak terjadi. Ada dua modus timbulnya kejahatan penadahan ini yaitu yang pertama adalah penadahan yang timbul akibat pelaku pencurian yang kemudian memunculkan tindak pidana penadahan kendaraan bermotor, Yang Kedua tindak penadahan yang memang timbul dari pelaku penadahan sendiri (penadah aktif)modusnya adalah : a. Menjual atau memberikan kepada pihak kedua dengan alasan berbisnis tanpa memberitahukan asal-usul sepeda motor tersebut. Hal | 102


b. menggadaikan kepada pihak kedua yang kemudian sengaja tidak ditebus dimana kemudian pihak kedua disebut sebagai penadah. c. menjual langsung kepada pihak kedua pada saat bertemu di jalan setelah pelaku pencurian berhasil melakukan kejahatannya, dan yang kedua adalah penadahan yang timbul akibat adanya niat dari penadah Upaya-upaya Polresta dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penadahan Kendaraan Sepeda Motor Hasil Pencurian. 1) Memberikan penyuluhan atau himbauan kepada masyarakat akan pentingnya saling mejaga dan melindungi antar warga. 2) Meningkatkan kewaspadaan masyarkat untuk menghindari terjadinya tindak pidana penadahan kendaraan bermotor khusunya sepeda motor, yaitu dengan cara jangan membeli sepeda motor bekas kepada orang yang tidak dikenal sebelumnya. 3) Memberikan penerangan kepada masyarakat apabila terjadi tindak pidana pencurian kendaraan bermotor masyarakat dihimbau untuk segera melaporkan bahwa telah terjadi peristiwa pencurian. 4) Mensosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya cek fisik, suratsurat kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB) sebelum membeli kendaraan roda dua. Hal itu bisa dilakukan di kantor samsat. 5) Pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan agama setempat agar terjalin suatu hubungan yang baik antara polisi dengan masyarakat. Upaya represif tersebut meliputi : Upaya yang pertama yang dilakukan adalah upaya penindakan berdasarkan laporan dari masyarakat atau keterangan dari pelaku pencurian yang tertangkap mengenai kemana pelaku pencurian tersebut menjual hasil curiannya. Upaya ini dilakukan agar diperoleh bukti-bukti yang falid (sempurna) karena dimungkinkan bukti-bukti yang ada masih utuh yang memudahkan penyidik dalam melakukan penanganan lebih lanjut. Penyidik langsung menyikapi dengan langsung terjun ke tempattempat yang di sinyalir menjadi tempat-tempat yang digunakan oleh pelaku tindak pidana pencurian sebagai tempat menjual atau menadah hasil kejahatannya. 2. Saran 1. Dalam upaya penindakan dari polisi agar mengupayakan satuan wilayah (Satwil) mencari mengamankan sepedamotor tanpa dokumen. Hal | 103


2. Memeriksa orang yang menguasai sepeda motor tersebut untuk mengurai sampai kepelaku. 3. Dalam pengolahan data kendaraan sepeda motor agar terkontrol maka pihak Polresta Palembang mencari data seluruh sepeda motor yang diamankan di SAMSAT untuk mengetahui pelapor dan modus berpindahnya sepeda motor yang hilang. 4. Agar mempermudah birokrasi pengambilan data kendaraan di SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) 5. Masyarakat harus lebih waspada tehadap terjadinya tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang berakibat kepada timbulnya tindak pidana penadahan. 6. Masyarakat harus lebih memahami akan pentingnya kewaspadaan apabila akan membeli sepeda motor bekas dari pihak lain dengan cara melihat dan memperhatikan nomor rangka dan nomor mesin sesuai dalam Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BKPB) yang lengkap dan asli.

Hal | 104


DAFTAR PUSTAKA Buku A. Hamzah “Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia”, Galia Indonesia. 1978. Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, Cipta Manuggal, Jakarta, 1997. M. Sholehuddin, ,Tindak Pidana Perbankan, Jakarta, P.T Grafindo Persada,1997. M. Yahya Harahap “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan”, Sinar Grafika, Jakarta. 2009. M. Yahya Harahap “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP”, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988. Masruchin Rubai, Asas-Asas Hukum Pidana, Kerjasama penerbit UM Press, Malang, 2001. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2008. Mohammad Kemal Darmawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Citra Aditya Bakati, Bandung, 1994. P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Depok, 2008. Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2012. Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, Laks Bang, Yogyakarta, 2010. SoerjonoSoekanto,HartonoWidododanChalimahSutanto,Penanggulangan Pencurian KendaraanBermotor Suatu Tinjauan Kriminologi, Penerbit Aksara, Jakarta,1988. Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Jakarta, Balai Pustaka. Internet. KAPOLRI, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 TentangKode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,http://humas.polri.go.id/dms/SetiapSaat/PERKAP%20NOMOR%201 4%20TH%202011%20TTG%20KODE%20ETIK%20PROFESI.pdf.Diakses tanggal 16 Maret 2013, Pukul 9.30 Wib.

Hal | 105


Intansi Kepolisian Resor Kota Palembang (POLRESTA Palembang) Wawancara dengan Bapak Brigadir Dedy Kurniadi Ranmor Reskrim Polresta Palembang, Tanggal 18 Juni 2013, Pukul 10.00 Wib. Wawancara dengan Bapak Bripka M. Ginting, Kasubnit Ranmor Reskrim Polresta Palembang, Tanggal 17 Juni 2013, Pukul 10.00 Wib. Undang-undang. Pasal 16 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983 Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Hal | 106


Tempat dan Waktu Tindak Pidana Serta Hubunganya Dengan Daluwarsa Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Oleh: Ramawati Kemalasari, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. H. Ruben Achmad, SH.,MH dan Henny Yuningsih, S.H., M.H

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kejahatan memang merupakan suatu gejala sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap kelompok masyarakat yang ada dimuka bumi ini dan banyak sekali usaha-usaha manusia untuk menghapuskan kejahatan tersebut, akan tetapi kegiatan tersebut tidak dapat dihapuskan tetapi hanya dapat dikurangi intensitasnya maupuan kualitasnya. Kejahatan merupakan suatu peristiwa dimana terjadinya penyelewengan terhadap norma-norma atau prilaku teratur yang menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat didalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum. Dipandang dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat ( dalam hal ini negara) diberi pidana. 153 Sehubung dengan pengertian kejahatan tersebut diatas J.E Sahetapy dan B. Mardjono Reksodipuro menyatakan bahwa Kejahatan adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian) yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi hukum pidana karena melanggar norma-norma sosial masyarakat, yaitu harapan masyarakat menyangkut tingkah laku yang patut dari seseorang warga negaranya.154 Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi didalam masyarakat. Demikian pula permasalahan hukum juga akan ikut berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Memang salah satu sifat dari hukum adalah dinamis. untuk itu hukum harus selalu ditegakan. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara 153

JE. Sahetapy, Kejahatan Dalam Beberapa Analisa Kriminologi, Alumni, Bandung, 1981, hlm 91 154 JE. Sahetapy, Parados Kriminologi, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hlm 81

Hal | 107


Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi didalam masyarakat. Demikian pula permasalahan hukum juga akan ikut berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Memang salah satu sifat dari hukum adalah dinamis. untuk itu hukum harus selalu ditegakan. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk 155 1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, diserta dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut 2. Menetukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaiman yang telah diancamkan 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat di laksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturanya telah disusun dalam kitab UndangUndang (Wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-Undang Pidana, menurut suatu sistem yang tertentu.156 Secara umun, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar tercipta dan dapat terpeliharanya ketertiban umun. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan. Antara satu kebutuhan dengan yang lain tidak saja berlainan, tetapi terkadang saling bertentangan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentinganya ini, manusia bersikap dan berbuat, agar sikap dan perbuatanya tidak merugikan kepentingan dan hak seseorang, hukum memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu sehingga manusia tidak sebebas-bebasnya berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai dan memenuhi kepentinganya itu.157 Mengenai dilarang dan diancamnya suatu prilaku, yaitu tentang prilaku pidananya sendiri, mengenai criminal act, juga ada dasar yang pokok, yaitu asas legalitas (Principle of Legality). Asas ini menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya dikenal dengan dalam bahasa latin 155

Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm 1 Ibid, hlm, 17 157 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002,hlm, 15 156

Hal | 108


sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lage (tidak adanya delik, tidak adanya pidana tanpa peraturan lebih dulu)158 Dalam pasal 143 KUHAP, syarat materil surat dakwaan harus berisi secara teliti, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut tempat dan waktu perbuatan pidana dilakukan, yang jika syarat itu tidak dipenuhi maka surat dakwaan itu terancam batal demi hukum (143 ayat 3 KUHAP). Dalam Praktik hukum pidana perihal tempat dan waktu tindak pidana , juga penting bagi tersangka atau dakwaan dan penasihat hukum dalam hal menyiapkan dan atau melakukan pembelaanya dengan sebaik-baiknya, khusunya mengenai alibi, serta untuk mengetahui faktor yang dapat mengakibatkan timbulnya daluwarsa dalam kasus pidana.159 Daluwarsa (lewat waktu/ verjaring) dalam hukum dikenal secara teori maupun dalam prakteknya sebagai lewat waktu yang ditetapkan oleh UndangUndang sehingga jaksa kehilangan hak untuk menuntut suatu perkara pidana. Adapun jangka waktu dari daluwarsa yang telah ditetapkan dalam Pasal 78 KUHP yaitu sebagai berikut: 160 Ayat (1) untuk pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan dengan alat cetak, batas waktu daluwarsa adalah satu tahun, lewat dari satu tahun jaksa kehilangan hak menuntut, Ayat (2) untuk kejahatan yang diancam pidana dibawah 3 tahun, batas waktu daluwarsa adalah enam tahun, Ayat (3) untuk kejahatan yang diancam kejahatan yang diancam diatas 3 tahun, batas waktu daluwarsa adalah dua belas tahun, Ayat (4) untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, jangka waktu daluwarsa delapan belas tahun. Sedangkan menurut Pasal 84 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berbunyi :161 1. Kewenangan menjalankan pidana hapus karena lewat waktu 2. Tenggang lewat waktu mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun, terkait kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun, dan menganai kejahatan-kejahatan yang lain 158

Moeljatno Op.cit, hlm 25 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1 PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 137 160 http//www.tandjoeng,wordpress.com/2009/03/11/asas-daluwarsa-dalam-hukumpidana.tanggal 5 februari 2013,pukul.14.30 wib 159

161

Andi Hamzah, Kitab Undang Undang Hukum Pidana Pasal 84 , Rieka Cipta, Jakarta, 2008

Hal | 109


lamanya sama dengan tenggang lewat waktu bagi penuntutan pidana, di tambah sepertiga 3. Bagaimana pun juga tenggang waktu tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan 4. Wewenang menjalankan pidana mati tidak lewat waktu 2. Permasalahan 1. Apa kegunaan penentuan tempat dan waktu tindak pidana dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana? 2. Hal-hal apakah yang menjadi penyebab terjadinya daluwarsa dalam tindak pidana? 3. Kerangka Konseptual Berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam pasal 143 KUHAP, syarat materil surat dakwaan harus berisi secara teliti, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut tempat dan waktu perbuatan pidana. Pasal 78 Kitab Undang Undang Hukum Pidana : 1. Kewenangan menuntut pidana dihapus karena lewat waktu : a. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun b.Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda,pidana kurungan,atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; c. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun sesudah dua belas tahun d. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. 2. Bagi orang yang pada saat itu, melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang lewat waktu diatas dikurangi sepertiga. Pasal 79 Kitab Undang Undang Hukum Pidana tenggang lewat waktu mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal berikut : 1) Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai waktu berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang rusak digunakan; Hal | 110


2) Mengenai kejahatan dalam pasal 328,329,330,dan 333 tenggang dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia 3) Mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan,dipindah ke kantor tersebut B. PEMBAHASAN 1. Kegunaan Penentuan Tempat dan waktu tindak pidana dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana a) Kegunaan penentuan tempat dalam tindak pidana Telah di uraiankan pada bab-bab sebelumnya bahwa tempat dan waktu dalam suatu tindak pidana merupakan salah faktor yang sangat penting dalam menunjang proses pengungkapan dalam tindak pidana.Tempat dalam tindak pidana manfaatnya sangat penting dan besar artinya dalam menunjang keberhasilan proses pengungkapan tindak pidana. Tempat dari pada tindak pidana berguna untuk :162 1. Menentukan berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu negara 2. Untuk menetapkan di wilayah hukum manakah terjadinya tindak pidana yang bersangkutan, sehingga dapat di tentukan pula pengadilan yang berwenang untuk mengadili pelakunya 3. Untuk mengetahui apakah suatu tindak pidana dilakukan di tempat umum atau tidak 4. Untuk mengetahui dapat tidaknya suatu hukum pidana diberlakukan terhadap suatu perkara. 5. Sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan Secara umum jika kita mempelajari tentang hukum pidana kita sudah pasti akan berhadapan langsung dengan sejumlah kasus yang beragam macamnya terjadi didalam masyarakat dan kehidupan keseharian kita. Hukum Pidana sebagai hukum yang bersifat Ultimum Remidium ( jalan terakhir atau 162

Gerson W Bawengan, Hukum Pidana Dalam teori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta,1983 hlm 178

Hal | 111


pilihan terakhir ) sudah barang tentu memiliki konsekuensi yang lebih berat dari hukum yang lain karena dalam hukum pidana dikenal dengan pengenaan sanksi (Straf).163 Hukum Pidana adalah jenis hukum yang sangat detail dalam pelaksanaannya karena dalam setiap dakwaan dan penuntutan jaksa penuntut harus dapat menguraikan dengan jelas cermat dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan serta harus menyertakan atau menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan atau lebih familiar dengan kata Locus dan Tempus Delictinya. Tempat dan waktu ini sangat perlu dalam surat dakwaan karena jika tidak maka dakwaannya batal demi hukum. Untuk menentukan Locus dan TempusDelicti ini secara pasti tidaklah mudah karena pada hakikatnya tindak pidana merupakan tindakan manusia, dimana untuk melakukan tindak pidana itu sering digunakan alat yang dapat membantu orang tersebut melakukan tindak pidana yang tentunya hal ini susah dilacak. Selain itu pengaturan tentang Locus dan Tempus ini tidaklah diatur dalam kitab Undang - Undang Hukum Pidana melainkan ajaran ini hanya dapat di pelajari dari doktrin. Sehingga perlu pemahanan secara holistik untuk mengaitkan antara doktrin dan hukum positif yang telah ada dan diatur dalan KUHP yang berlaku.164 Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana ada beberapa pasal yang mengatur ketentuan tentang tindak pidana menurut waktu terdapat di dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8 dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Locus Delicti berhubungan dengan Pasal 2 sampai Pasal 9 KUHP yaitu menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana atau tidak. Selain itu juga, locus delicti akan menetapkan pengadilan mana yang memiliki wewenang terhadap kasus tersebut dan ini berhubungan dengan kompetensi relative.165 Sesuai yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengatakan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang sudah ada�. Maka bila perbuatan tersebut telah dilaksanakan orang setelah suatu ketentuan pidana menurut undang-undang itu benar-benar berlaku, pelakunya itu dapat dihukum dan dituntut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan 163

I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.1998 hlm.8-11 Tongat, Dasar–Dasar Pemidanaan Dalam Persepektif Pembaharuan. Refika Aditama, Bandung.2001, hlm 146 165 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto UNDIP, 1990 hlm 19 164

Hal | 112


pidana tersebut. Ini berarti bahwa orang yang telah melakukan suatu tindak pidana dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu hanya dapat dihukum dan dituntut berdasarkan undang-undang pidana atau berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah berlaku, pada waktu orang tesebut telah melakukan tindakannya yang terlarang dan diancam dengan hukuman. 166 Sedangkan untuk konsep KUHP lebih memperinci perubahan undangundang pidana tersebut. Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan pengecualian terhadap berlaku surut (retroaktif) undang-undang pidana. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut, namun demikian aturan undang-undang tersebut haruslah yang paling ringan atau menguntungkan bagi terdakwa.167 Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP mempunyai 2 peraturan pokok, yaitu: a. Sesudah perbuatan dilakukan ada perudahan dalam perundangundangan. b. Dipakai aturan yang paling menguntungkan atau meringankan. Menurut Bambang Poernomo, 2 (dua) ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP itu menimbulkan pandangan dan masalah, sehingga perlu dilihat kembali atas kemanfaatan dari hukum peralihan yang perumusannya seperti itu akan ditiadakn sama sekali dengan pertimbangan tidak ada hukum yang berdiri sendiri tanpa pengaruh dari lapangan hukum yang lain sehingga hukum pidana akan tetap memperhatikan perkembangan lapangan hukum yang lain.168 a. Dasar perubahan undang-undang yang baru adalah karena bahan perasaan/keyakinan/ kesadaran hukum rakyat, yang melewati badan pembentuk undang-undang dalam membentuk undang-undang yang baru, untuk perbuatan pidana yang terjadi akan datang, sehingga pembaharuan undang-undang yang karena sifatnya berlaku sementara tidak termasuk perubahan di sini. b. Perubahan undang-undang yang menyangkut berat atau ringannya ancaman pidana tidak akan memiliki arti, karena didalam prakteknya hakim tetap memiliki hak asas kebebasan di dalam menjatuhkan pidana yang diancam.

166

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika 1995 ,hlm 128 Ibid,hlm, 129 168 E. Utrecht, Hukum Pidana I, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, 1994, hlm 241 167

Hal | 113


c.

Asas lex temporis delicti yang berlaku secara tertulis maupun tidak tertulis adalah asas yang menjamin kepastian hukum serta keadilan hukum.

b) Kegunaan penentuan waktu dalam tindak pidana Selain tempat dalam terjadinya tindak pidana, kita perlu juga mengetahui tentang waktu yang dianggap terjadinya suatu tindak pidana atau tempus delict yang artinya, perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang oleh aturan hukum akan menimbulkan kesulitan apabila perbuatan dan akibat yang terjadi pada dua saat yang berbeda, sehingga kapan perbuataan pidana itu dapat dilakukan, ditentukan (Tempus Delicti). Adapun kegunaan diketahuinya waktu tindak piadana / tempus delicti dalam suatu kejadian tindak pidana adalah untuk :169 1. Untuk mengetahui usia pelaku (Pasal 47 KUHP) dan usia korban untuk delik susila (Pasal 287 ayat(2), Pasal 290 dan Pasal 291) pada saat peristiwa pidana itu terjadi. 2. Untuk mengetahui keadaan jiwa pelaku (Pasal 44 KUHP) 3. Daluwarsa dalam penuntutan dan menjalani hukuman (Pasal 78-85 KUHP) 4. Asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) 5. Perubahan suatu undang-undang pidana (Pasal 1 ayat 2 KUHP) Tempus Delicti ditimbulkan karena : 1. Berlakunya Pasal 1 ayat 1 KUHP. 2. Hukum transitur (Trantitoir Recht) yaitu Pasal 1 ayat 2 KUHP. 3. Adanya ketentuan lewat waktu (Verjaring) yaitu Pasal 78 dan 79 KUHP. 4. Pasal 45 KUHP. Dalam waktu tindak pidana atau tempus delict ada gugurnya hak menuntut yang di karenakan daluwarsa / verjaring. Penulis ingin menguraikan sedikit tentang beberapa sebab gugurnya hak menuntut dan sebab-sebab gugurnya hak untuk melaksanakan hukuman, sebagaiman yang di atur dalam Buku I KUHP mulai dari Pasal 76 sampai dengan Pasal 85 KUHP. Pembahasan hal ini dipandang perlu karena daluwarsa (lewat waktu) itu masuk dalam

169

Soeharto RM, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika , Jakarta, 1993,hlm 99

Hal | 114


beberapa sebab gugurnya hak menuntut dan sebab gugurnya hak untuk melaksanakan hukuman. Gugurnya hak untuk menuntut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang terdiri dari 4 (empat) jenis, sedangkan yang di atur di luar Kitab Undaang-Undang Hukum Pidana ada 3 (tiga) jenis yaitu :170 Yang diatur di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana diantaranya adalah : a. Ne bis In Idem Arti dari kalimat tersebut adalah seseorang tidak boleh di tuntut terhadap sesuatu delict, apabila delict yang dilakukan itu telah diberi keputusan hakim dan keputusan mana mempunyai kekuatan terakhir atau dengan kata lain seseorang tidak dapat di tuntut kembali dengan delik yang itu juga, karena telah ada keputusan hakim sebelumnya. b. Tertuduh meningal dunia Apabila seorang tertuduh meninggal dunia setelah putusan penghukum dijatuhkan dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka menurut Pasal 38 KUHP gugurnya hak untuk menjalankan hukumanya, akan tetapi tak termasuk pula hukuman tambahan seperti denda dan ongkos perkara, hal tersebut dapat di tagih kepada ahli warisnya. c. Lewat waktu (daluwarsa) Hal ini di atur dalam Pasal 84 dan Pasal 85 Kitab Undang Undang Hukum Pidana dimana dalam Pasal 84 di tentukan bahwa : 1. Hak menjalankan hukuman hilang karena daluarsa 2. Tenggang daluarsa ini untuk pelanggaran adalah dua tahun, untuk kejahatan yang dilakukan dengan alat cetak 5 tahun, dan untuk daluwarsa hak menuntut hukuman. 3. Tenggang daluwarsa tidak boleh lebih sedikit dari lamanya hukuman yang telah di jatuhkan 4. Terhadap hukuman mati dan hukuman seumur hidup, tidak dikenakan tenggang daluwarsa. d. Penyelesaian di luar proses pengadilan (khusus untuk kejahatan pelanggaran saja) Sedangkan gugurnya hak melaksanakan hukuman adalah sebagai berikut: 170

Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Bagian I, Balai lektur Mahasiswa, Jakarta,1983, hlm. 151

Hal | 115


Yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diantaranya 1. Matinya si terhukum 2. Lewat waktu (Daluarasa) Dalam waktu tindak pidana atau tempus delict ada gugurnya hak menuntut yang di karenakan daluwarsa / verjaring. Penulis ingin menguraikan sedikit tentang beberapa sebab gugurnya hak menuntut dan sebab-sebab gugurnya hak untuk melaksanakan hukuman, sebagaiman yang di atur dalam Buku I KUHP mulai dari Pasal 76 sampai dengan Pasal 85 KUHP. Pembahasan hal ini dipandang perlu karena daluwarsa (lewat waktu) itu masuk dalam beberapa sebab gugurnya hak menuntut dan sebab gugurnya hak untuk melaksanakan hukuman. 2. Hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya daluwarsa Daluwarsa (Veryaring) Yaitu Untuk menentukan saat berlakunya daluwarsa, maka perlu diketahui saat/waktu yang mana dianggap terjadinya suatu kejahatan, jadi disini waktu kejadian harus benar-benar diketahui, karena perhitungan daluwarsa mulai keesokan harinya setelah hari kejadiannya (Pasal 79 KUHP).Sehubung dengan pertanyaan dan penjelasan di atas serta menganalisa hasil wawancara penulis dengan aparat penegak hukum bahwa ada beberapa hal dan faktor yang mempengaruhi terjadinya daluarasa dalam suatu kasus pidana dan diantaranya:171 1. Jika seseorang melakukan suatu tindak pidana yang melanggar hukum tetapi tidak tertangkap oleh aparat hukum atau juga kasusnya tidak terselesaikan juga dalam kurun waktu tertentu yang telah tertera maka pelangaran itu akan menjadi daluwarsa sehingga gugur hak penuntutanya. 2. Apabila penyidik tidak bisa menemukan alat-alat bukti yang cukup untuk mengungkap suatu tindak pidana sehingga tidak dapat menentukan dan menjerat tersangka dalam pelaku tindak pidana tersebut maka kasus tersebut dalam daluwarsa sesuai dengan Pasal yang ada dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

171

Hasil Penelitian Wawancara dengan Kasat Reskrim Poltabes Palembang Kompol. Djoko Djulianto tanggal 9 April, Pukul 10.00 wib

Hal | 116


3. Daluarsa atau gugurnya hak untuk menuntut juga bisa terjadi apabila terdakwa atau tersangka dalam suatu tindak pidana meninggal dunia seperti yang tercantum dalam Pasal 77 Kitab Undang Undang Hukum Pidana. 4. Daluarsa juga dapat terjadi apabila berhubungan dengan waktu terjadinya tindak pidana. Contohnya : Apabila seseorang di perkosa pada umur 6 tahun dan baru di ketahui ketika korban berumur 19 tahun maka, maka pelaku pemerkosaan tersebut tidak bisa di tuntut karena kasusnya telah daluarsa karena jarak waktu antara korban di perkosa yaitu umur 6 6 tahun dengan jarak korban melapor yang telah berumur 19 tahun telah lebih dari 12 tahun. Karena selama rentan waktu 12 tahun tersebut kasus tersebut telah di anggap daluarsa seperti yang tercantum dalam Pasal 78 Ayat 3 Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Daluwarsa yang dimaksud baik daluwarsa mengenai memalsukan pengaduan baik tindak pidana aduan, daluwarsa menjalankan hukuman maupun daluwarsa melakukan penuntutan terhadap si pelaku tindak pidana tersebut. Dengan adanya lewat waktu, ingatan masyarakat terhadap tindak pidana tertentu telah hilang, dengan adanya lewat waktu ada kemungkinan menghilangnya alat bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tertentu, dam juga untuk memberikan kepastian hukum bagi tersangka (vide Pasal 80 KUHP). Jangka daluwarsa bisa dihentikan, oleh karena si pelaku mengetahui bahwa perbuatannya sedang dituntut, atau oleh pejabat yang berwenang memberi tahu si pelaku bahwa perbuatannya hendak dituntut. Dengan begitu jangka daluwarsa dimulai dengan jangka waktu baru. Jangka waktu daluwarsa juga dapat ditunda, oleh karena adanya suatu masalah hukum yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Dengan adanya penundaan jangka waktu daluwarsa, maka jangka waktu daluwarsa yang telah berjalan masih tetap diperhitungkan.. Mengenai hal penetapan maksimum hukuman tiga tahun atau lebih dari tiga tahun sebagaimana tersebut di dalam uraian di atas terdapat perdebatan pendapat di kalangan para ahli hukum. Yakni manakah yang harus dipakai terhadap ukuran tiga tahun itu hanya mengenai maksimum biasa atau setelah dikurangai atau di tambah dengan adanya hal-hal yang meringankan dan memberatkan bagi terhukum. Kejadian misalnya, dalam hal percobaan tindak pidana dan dalam hal membantu melakukan tindak pidana dimana hukuman yang dapat dijatuhkan dapat dikurangi, sedangkan maksimum ditambah biasa Hal | 117


terjadi dalam hal tindak pidana dilakukan oleh seseorang pegawai negeri, yang dengan perumusan secara material, hari terjadinya akibat yang di tuju. Hal ini kiranya cukup penting sebab antara perbuatan dan dengan akibat yang di timbulkan seringkali harus melampaui suatu yg relatif lama waktunya. Adapun jangka waktu dari daluwarsa yang telah ditetapkan dalam Pasal 78 KUHP yaitu sebagai berikut:172 Pasal 78 Ayat (1) untuk pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan dengan alat cetak, jangka waktu daluwarsa adalah satu tahun, lewat satu tahun jaksa kehilangan hak menuntut, Pasal 78 Ayat (2) untuk kejahatan yang diancam pidana dibawah 3 tahun, jangka waktu daluwarsa adalah enam tahun, Pasal 78 Ayat (3) untuk kejahatan yang diancam kejahatan yang diancam diatas 3 tahun, jangka waktu daluwarsa adalah dua belas tahun, Pasal 78 Ayat (4) untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman mati atau penjarn seumur hidup, jangka waktu daluwarsa delapan belas tahun C. PENUTUP 1. Kesimpulan 1. Tempat dan waktu merupakan hal yang sangat penting dalam proses pengungkapan suatu tindak pidana. Karena waktu dan tempat memiliki kegunanya masing-masing dalam suatu tindak pidana mulai dari proses penyidikan sampai dengan proses peradilan suatu tindak pidana. Tempat berguna untuk menentukan Undang Undang yang di gunakan dan aparat penegak hukum mana yang berwenang untuk menjalankan semua rangakaian proses peradilan dalam suatu kasus tersebut. Sedangkan waktu merupakan syarat mutlak dalam suatu tindak pidana. Untuk itu tempat dan waktu dalam suatu tindak pidana merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah proses penyidikan suatu perkara. 2. Daluarasa merupakan hapusya kewenangan untuk menuntut, hilangnya hak untuk menuntut bisa di timbulkan oleh beberapa faktor sesuai dengan yang ada di pembahasan pada Bab III. Daluarsa merupakan tenggang waktu yang di berikan untuk menentukan

172

http//www.tandjoeng,wordpress.com/2009/03/11/asas-daluwarsa-dalam-hukumpidana.tanggal 5 mei 2013,pukul.14.30 wib

Hal | 118


sampai kapan berakhirnya hak penuntutan dalam suatu perkara pidana. . 2. Saran 1. Agar aparat penegak hukum lebih teliti dan cermat dalam menentukan unsur-unsur yang di perlukan dalam proses pidana seperti waktu dan tempat terjadinya tindak pidana agar tindak pidana tersebut dapat secara jelas di ungkap dapat segera dapat di selesaikan. 2. Agar aparat penegak hukum yang berperan serta dalam rangkaian proses penyidikan harus lebih bisa berkerja dengan maksimal dalam hal pengumpulan alat bukti yang cukup untuk mengungkap suatu kasus dan menjerat pelaku kejahatan, serta aparat hukum segera bergerak cepat untuk menangkap pelaku tindak pidana agar tidak menjadi buron dan tidak menyebabkan suatu kasus daluarsa karena tersangkanya melarikan diri.

Hal | 119


DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adami chazawi, Pelajaran Hukum PidanaI PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Andi Hamzah, Kitab Undang Undang Hukum Pidana , Rieka Cipta, Jakarta, 2008. A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika 1995 E. Utrecht, Hukum Pidana I, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, 1994, Gerson W Bawengan, Hukum Pidana Dalam teori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta,1983 Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1998 JE. Sahetapy, Parados Kriminologi, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, JE. Sahetapy, Kejahatan Dalam Beberapa Analisa Kriminologi, Alumni, Bandung, 1981 Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertangungjawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta,1990, Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Bagian I, Balai lektur Mahasiswa, Jakarta,1983, Soeharto RM, S.H, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika , Jakarta, 1993,hlm 99 Tongat, Daasar–Dasar Pemidanaan Dalam Persepektif Pembaharuan. Refika Aditama, Bandung.2001, B. Internet http//www.tandjoeng,wordpress.com/2009/03/11/asas-daluwarsa-dalam-hukumpidana. http://tandjoeng.wordpress.com/2009/03/11/asas-daluwarsa-dalam-hukumpidana/ C. Perundang Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Kitan Undang Undang Hukum Pidana D. Wawancara dengan Kompol Djoko Djulianto Selaku Kasat Reskrim Polresta Palembang berserta staff

Hal | 120


Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Perempuan Menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Oleh: Randy Aditya, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Wahyu Ernaningsih, S.H., M.Hum dan Dr. H. Ruben Achmad, SH.,MH

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kewajiban negara ialah melindungi dan menghormati hak asasi setiap manusia, baik laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak semua sama saja. Perempuan adalah ibu bangsa dan merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran agama perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta jaminan hak hidupnya. Untuk itu segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan, harus segera dihentikan. Di dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang yang dengan teganya telah memerlakukan perempuan untuk kepentingan bisnis, seperti trafiking (perdagangan manusia). Istilah trafiking ini sebagai kata serapan, dari kata yang diambil dari bahasa inggris “Trafficking� yang berarti perpindahan. Trafiking terhadap perempuan merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban diperlakukan seperti layaknya barang yang dapat dibeli, dijual kembali, dipindah-pindahkan, serta dirampas hak asasinya bahkan sampai pada resiko kematian bagi korbannya. Gejala ini berkembang dan berubah namun tetap perbudakan dan perhambaan. Selama ini trafiking hanya dianggap terbatas pada bentuk prostitusi saja, akan tetapi didalam rtrafiking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran, serta bekerja pada tempat-tempat kasar yang memberi gaji yang rendah seperti perkebunan, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, tenaga penghibur, termasukkawin kontrak dengan warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Korban women trafiking (perdagangan perempuan) biasanya adalah perempuan berusia muda dan belum menikah, anak perempuan korban perceraian, serta mereka yang pernah bekerja dipusat kota atau luar negeri. Hal | 121


Umumnya sebagian penghasilannya diberikan kepada keluarga. Korban trafiking seringkali berasal dari masyarakat yang diharapkan dapat menambah penghasilan keluarga dikarenakan meskipun norma-norma budaya menekan bahwa tempat perempuan adalah dirumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan atau pelengkap untuk kebutuhan keluarga. 2. Permasalahan Adapun yang menjadi permasalahannya dalam penulisan skripsi ini, adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Perempuan Menurut UU No. 21 Tahun 2007 Di Kota Palembang? 2. Mengapa Pentingnya Perlindungan Hukum Bagi Para Korban Perdangangan Perempuan ? B. PEMBAHASAN Pengertian perlindungan hukum dalam pembahasan ini adalah suatu tindakan memberi pertolongan kepada seseorang yang menjadi korban perdagangan perempuan dengan menggunakan dan merealisasikan peraturan yang tertulis maupun tidak tertulis guna mewujudkan suatu ketentraman dan ketertiban yang dapat mengatur hidup dalam masyarakat. Di Indonesia korban-korban trafiking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran, serta bekerja pada tempattempat kasar yang memberi gaji yang rendah seperti perkebunan, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, tenaga penghibur, termasuk kawin kontrak dengan warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Beberapa kasus tersebar di beberapa pelosok nusantara, tak terlepas pada Wilayah Sumatera Selatan khususnya Kota Palembang. Pemerintah telah melakukan perumusan Perundang-undangan mengenai perlindungan hukum terhadap korban secara umum, tidak dikhususkan kepada korban perdagangan perempuan. Akan tetapi Undang-Undang tersebut dapat dipakai sebagai acuan untuk perlindungan terhadap korban tindak pidana. Didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah dijelaskan tentang definisi korban dan juga definisi perlindungan hukum serta telah dibentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Hal | 122


Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak kepada Saksi dan / atau Korban sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan hukum ini berdasarkan pada : Penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. Didalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat hak-hak korban, yaitu :173 a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penterjemah; e. Bebas dari pernyataan yang menjerat; f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. Mendapat identas baru; j. Mendapat tempat kediaman baru; k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapat nasehat hukum; dan / atau m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga mengatur mengenai masalah ganti rugi, akan seseorang / kelompok yang merasakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu yang menyebabkan korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diatas. Alasan-alasan utama ganti kerugian kepada pihak korban oleh negara antara lain adalah sebagai berikut :174 173

Asa Mandiri, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Penerbit AM Asa Mandiri, Jakarta, 2008, hlm. 27-28 174

Arief Gosita, Op.Cit, hlm. 90

Hal | 123


1. 2. 3. 4.

Kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya; Tidak cukupnya ganti kerugian untuk para korban; Ketidaklayakannya pembagian penghasilan; Pandangan sosiologis bahwa kejahatan adalah kesalahan masyarakat pada umumnya. Membaca tentang pembayaran ganti rugi bagi korban, ada 2 (dua) bentuk yaitu kompensasi dan restitusi. Menurut Stephen Schafer yang dikutip oleh Mase Darma Weda mengatakan bahwa kompensasi adalah pembayaran oleh negara kepada korban yang telah mengalami penderitaan, sedangkan restitusi adalah pembayaran yang dilakukan oleh pelaku kepada korban berdasarkan putusan peradilan pidana.175 Dengan adanya perbedaan ini, jelas bahwa kompensasi hanya bisa dimintakan pada negara sedangkan restitusi dimintakan pada pelaku. Selain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diperjelaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga mengatur mengenai masalah ganti rugi. Didalam bab V Undang-Undagan Perlindungan Saksi dan Korban pasal 48 berbunyi : “Setiap korban tindak pidana perdagangan manusia atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi�. Rerstitusi yang dimaksudkan berupa ganti kerugian atas : 1. Kehilangan kekayaan atau penghasilan; 2. Penderitaan; 3. Biaya untuk perawatan medis dan / atau psikologis; dan / atau 4. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan manusia. Di dalam pasal 51 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dimana korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan manusia khususnya perempuan. Perlindungan hukum bagi korban yang ada diluar negeri maupun korban warga negara asing yang berada di Indonesia mendapatkan

175

Mase Darma Weda, Kriminolog, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 129

Hal | 124


perlindungan hukum dan wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban serta memulangkan ke negara asalnya, yang tercantum dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu : (1) Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan manusia, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya Negara. (2) Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia. (3) Pemberian perlindungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, hukum internasional, atau kebijakan internasional. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan diperjelas lagi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, telah banyak membantu banyak pihak untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan dan memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdangan manusia dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku dan hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan manusia.176 Jika dihubungkan dengan efektifitas dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap beberapa aspek dalam masyarakat, maka efektifitas tersebut akan dapat diuraikan, antara lain sebagai berikut:  Dari Segi Hukum

176

Hasil Wawancara dengan Bapak Djoko Julianto, S.Ik, MH, Kasat Reskrim Kepolisian Resort Kota Palembang, tanggal 27 September 2012

Hal | 125


Lawrence M. Friedman pernah mengatakan bahwa, efektifitas dari implementasi dari suatu produk hukum ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: pertama; faktor substansi atau materi dari undang-undangnya sendiri, dalam hal ini Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, kedua; faktor aparatur penegak hukum yang terkait, seperti Women Crisis Center (WCC) Palembang, polisi, jaksa dan hakim, dan ketiga adalah faktor budaya hukum yang ada di masyarakat.177 Istilah kejahatan ekonomi (economic crime) oleh American Bar Assosiation 178 dirumuskan sebagai kegiatan yang tidak sah, tanpa menggunakan kekerasan (non-violent) yang terutama menyangkut, penipuan, penyesatan, penyembunyian informasi, penggelapan dan manipulasi. Dalam perkembangan lebih lanjut dari peristilahan diatas, UNAFEI seminar in the prevention and control of social and economic offensespada Tahun 1978. Disini muncul istilah kejahatan sosio-ekonomi (socio-economic offenses), yang mengandung tujuan untuk lebih menekan dampak sosialnya dan menonjolkan suatu hakikat bahwa jenis kejahatan inisecara umum sangat merugikan atau melanggar kepentingan negara dan masyarakat.  Dari Segi Ekonomi Istilah kejahatan ekonomi (economic crime) oleh American Bar Assosiation 179 dirumuskan sebagai kegiatan yang tidak sah, tanpa menggunakan kekerasan (non-violent) yang terutama menyangkut, penipuan, penyesatan, penyembunyian informasi, penggelapan dan manipulasi. Dalam perkembangan lebih lanjut dari peristilahan diatas, UNAFEI seminar in the prevention and control of social and economic offensespada Tahun 1978. Disini muncul istilah kejahatan sosio-ekonomi (socio-economic offenses), yang mengandung tujuan untuk lebih menekan dampak sosialnya dan menonjolkan suatu hakikat bahwa jenis kejahatan inisecara umum sangat merugikan atau melanggar kepentingan negara dan masyarakat.

177

Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, W.W. Norton and Co., New York, hlm.tanpa tahun, hlm. 6-10. 178

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 3-4 179 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 3-4

Hal | 126


Tindak pidana perdagangan orang (perempuan) merupakan salah satu lingkup dari kejahatan ekonomi dalam kategori bisnis. Dikatakan demikian karena korban (perempuan yang dijual untuk dijadikan PSK) tersebut diperjualbelikan dan dalam “pemanfaatannya� tidak cukup sekali atau berlangsung terus menerus. Kemudian dikatakan sebagai kategori bisnis, bentuk kejahatan ini biasanya terorganisir oleh beberapa orang atau sindikat yang memiliki peranannya masing-masing dan terhadap itu tiap orang mendapatkan upahnya masing-masing. Pentingnya perlindungan hukum terhadap korban khususnya korban perdagangan perempuan, karena hal tersebut jelas melanggar hak asasi manusia yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, korban trafiking tidak dapat disamakan dengan korban kejahatan lain, karena beban yang ditanggung sangatlah berat terlebih korban yang mendapat eksploitasi seksual yang dapat menimbulkan trauma yang mendalam. Mengingat hukum pidana mempunyai tujuan melindungi masyarakat dari kejadian yang dilakukan oleh anggota masyarakat itu sendiri. Atas dasar tujuan ini, negara diberi wewenang untuk menetapkan hukum, salah satunya hukum pidana. Dengan konsep perlindungan negara tersebut sudah sewajarnya pula bahwa negara juga menjamin dan bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan oleh pelaku yang melanggar hukum pidana termasuk perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan perempuan. Perdagangan perempuan seperti yang kita ketahui jelas telah melanggar hak asasi manusia, diantaranya hak kebebasan pribadi, hak untuk tidak diperbudak, dan sebagainya. Oleh karena itu hak asasi manusia dapat dijadikan pusat dari pentingnya upaya mencegah, memberantas perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak serta untuk melindungi, membantu dan memberikan ganti rugi bagi para korban perdagangan manusia yang dalam hal ini lebih dititikberatkan kepada perempuan dan juga anak-anak sebagai warga negara. Negara, dibawah aturan hukum internasional memiliki tanggung jawab untuk bertindak mencegah, menuntut para oknum pelaku perdagangan manusia serta membantu dan melindungi orang-orang yang menjadi korban perdagangan manusia. Perlindungan dan perhatian terhadap kepentingan korban, khususnya dalam konteks kejahatan trafiking, benar untuk dicermati, karena hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) yang mengadopsi norma-norma Hal | 127


yang termaktub di dalam Universal Declaration of Human Rights (1945) dan International Convention On Civil and Political Rights (ICCPR; 1996), sekalipun sudah banyak memberikan perlindungan dan penghormatan kepada hak-hak tersangka-terdakwa, belumlah mencakup upaya-upaya perlindungan kepentingan korban tindak pidana. Satu hal yang sangat penting adalah, karena korban trafiking kerap kali adalah juga sekaligus “pelaku� dalam tindak pidana lain yang berlangsung berkaitan dan memungkinkan terjadinya kejahatan trafiking. Misalnya, mereka yang mecari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di dalam dan di luar negeri dan kemudian mencari “korban� karena mengalami eksploitasi dalam bentuk apapun sering membuat dan selanjutnya menggunakan surat-surat identitas yang palsu (KTP / Paspor) atau memalsukan umur mereka sekedar agar dapat dikirim dan diterima bekerja di luar negeri.180 Dari uraian ini, kita melihat bahwa telah mulai ada orientasi korban dalam sistem peradilan pidana. Orientasi ini tidaklah dimaksudkan untuk mengurangi perhatian terhadap upaya pembinaan narapidana, melainkan menempatkan kepentingan korban sebagai salah satu bagian yang mutlak dipertimbangkan dalam proses pidana. Korban trafiking mengalami penderitaan pada saat mereka mengetahui bahwa mereka adalah korban perdagangan manusia antara sakit hati, kecewa, dan sedih bercampur aduk menjadi satu karena mereka merasa telah dibohongi, terlebih lagi oleh orang terdekat mereka sendiri misalnya, keluarga, tetangga, bahkan pacar. Tidak menutup kemungkinan mereka mungkin mengalami berbagai cara perlakuan kejam secara fisik, seksual, psikologis. Penculikan, penyekapan ilegal, pemerkosaan, perlakuan tidak senonoh, penyerangan fisik dan ancaman untuk membunuh korban atau keluarganya adalah jenisjenis kekejaman yang lazim terjadi secara dalam konteks trafiking. Trauma yang ada dapat berlanjut berbulan-bulan, bertahun-tahun sampai sepanjang sisa hidupnya. Disamping dampak-dampak diatas ada pula dampak lain dari segi ekonomi. Banyak kasus trafiking yang pada awalnya dipungut biaya. Pelaku perdagangan manusia (trafficker) mengatakan biaya tersebut akan 180

Hasil Wawancara dengan Bapak Djoko Julianto, S.Ik, MH, Kasat Reskrim Kepolisian Resort Kota Palembang, tanggal 27 September 2012

Hal | 128


digunakan untuk mengurus surat-surat identitas (KTP, Paspor) korban. Dalam perdagangan perempuan biasanya korban bergolongan ekonomi lemah dan berpendidikan rendah. Karena mereka membutuhkan pekerjaan sehingga tidak memikirkan akibat dan resiko yang ada. Para korban trafiking menyanggupi biaya tersebut yang mungkin dianggap cukup banyak bagi mereka. Akan tetapi bayangan mereka untuk bekerja secara baik dan mendapat upah layak tidak menjadi kenyataan. 181 Dalam memberikan perlindungan ini kita tidak boleh lalai dan melakukan seleksi untuk menentukan prioritas yang harus dilayani. Tidak semua korban / pihak korban patut mendapatkan ganti kerugian. Sebab, korban / pihak korban ada yang secara langsung atau tidak langsung terlibat atau ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya suatu kejahatan. Yang terutama perlu dilayani adalah para korban /pihak korban golongan ekonomi lemah, yang tidak mempunyai kemampuan pribadi untuk mengatasi sendiri penderitaan mental, fisik, sosial sebagai akibat tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh pihak lain maupun pemerintah. Ongkos, pengobatan, perawatan kesehatan kerap kali dibayar sendiri, karena tidak mempunyai asuransi untuk hal ini. Bagaimana dengan perlindungan korban trafiking dalam hukum pidana, telah dikatakan dengan terbongkarnya suatu sindikat, maka penderitaan baru akan dimulai oleh korban. Dimulai dari pertanyaanpertanyaan penyidik yang terkadang cenderung memojokkan korban perdagangan perempuan tersebut, apabila ia dikenal sebagai perempuan yang kurang baik, atau setidaknya semakin mengingatkan pada peristiwa buruk yang ia alami. Hal tersebut berlanjut pada persidangan. Proses pembuktian semakin mengoyak dirinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan aparat penegak hukum akan menjadikan seolah-olah korban trafiking sebagai tertuduh. Itu semakin sempurna ketika pengadilan tidak dapat membuktikan kesalahan pelaku, atau jika terbukti hanya menghukum pelaku dengan hukuman yang seringan-ringannya.182 Hal ini bertolak belakang daripada hasil riset yang penulis lakukan di Kepolisian Resort Kota (Polresta) Palembang, yang memberikan

181

Hasil Wawancara dengan Bapak Djoko Julianto, S.Ik, MH, Kasat Reskrim Kepolisian Resort Kota Palembang, tanggal 27 September 2012 182

Afief Gosita, Op.Cit, hlm. 35

Hal | 129


perlindungan mulai dari menerima laporan / pengaduan untuk kemudian di proses pidana hingga pada perlindungan yang bersifat pelayanan (fasilitas) misalnya memberikan proteksi terhadap ancaman dari luar (pelaku) yang tidak menginginkan kasus tersebut tersentuh ke ranah hukum. Tampak selain dampak fisik, psikis, dan sosial faktor pentingnya perlindungan terhadap korban trafiking, terutama terhadap perempuan yang tergolong lemah mental, fisik, sosial, yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri, tidak kalah penting adalah faktor yang ditimbulkan oleh penegak hukum sebagai pengemban struktur hukum itu sendiri, yang pada akhirnya berakibat pada moral hukum itu sendiri, yang pada akhirnya berakibat pada moral hukum masyarakat. Oleh karena itu dirasa pentingnya perlindungan hukum terhadap korban khususnya korban perdagangan perempuan, karena hal tersebut jelas melanggar hak asasi manusia yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, korban trafiking tidak dapat disamakan dengan korban kejahatan lain, karena beban yang ditanggung sangatlah berat terlebih korban yang mendapat eksploitasi seksual yang dapat menimbulkan trauma yang mendalam. Mengingat hukum pidana mempunyai tujuan melindungi masyarakat dari kejadian yang dilakukan oleh anggota masyarakat itu sendiri. Atas dasar tujuan ini, negara diberi wewenang untuk menetapkan hukum, salah satunya hukum pidana. Dengan konsep perlindungan negara tersebut sudah sewajarnya pula bahwa negara juga menjamin dan bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan oleh pelaku yang melanggar hukum pidana termasuk perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan perempuan. Berdasarkan undang-undang dan hasil wawancara penulis dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan merupakan suatu bentuk pelindungan secara khusus yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan diatur secara umum oleh UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang didapat pada sumber-sumber yang telah dimuat pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai perlindungan hukum terhadap korban perdagangan Hal | 130


perempuan menurut UU No. 21 Tahun 2007 Di Kota Palembang dan pentingnya perlindungan hukum bagi para korban perdangangan perempuan sebagai berikut: 1. Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan di Kota Palembang sudah cukup baik. Dapat dilihat dengan dibentuknya Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Polresta Palembang. Dalam memberikan perlindungannya Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) bekerjasama dengan Women’s Crisis Centre (WCC) Palembang. 2. Pentingnya perlindungan hukum bagi para korban perdangangan perempuan karena korban trafiking mengalami penderitaan baik secara fisik maupun psikis. Bahkan walaupun mereka dipekerjakan tetapi mereka tidak mendapatkan upah yang pernah dijanjikan, atau dengan kata lain korban trafficking dirampas hak asasinya. 2. Saran 1. Bagi Pemerintah perlu diperjuangkan lebih keras lagi untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan mengenai trafiking agar tidak ada lagi korban-korban yang terjerumus pada lubang yang sama, meskipun tampaknya untuk situasi di Indonesia masih agak sulit dalam merealisasikannya, tetapi hal itu menjadi kewajiban dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan guna melindungi hak-hak warga negaranya. 2. Diharapkan kepada instansi terkait seperti Departemen Sosial ataupun Departemen Kominfo, untuk melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang kepada masyarakat supaya adanya pemahaman dan kesadaran serta dapat meminimalisir jatuhnya korban-korban yang baru dikemudian hari. 3. Melakukan evaluasi terhadap proses dan dampak yuridis secara keseluruhan, maksudnya mengevaluasi hukum itu sendiri baik secara formil (instansi tertentu yang harus dibenahi) maupun materil (produk hukum yang harus direvisi atau diganti). 4. Adanya kerjasama yang melembaga dari Pemerintah Daerah, Kepolisian dan pihak ketiga atau LSM yang peduli terhadap masalah

Hal | 131


perempuan pada khususnya, agar pencegahan dan penanganan terhadap masalah ini dapat diatasi lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Mase Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNIP, Semarang, 1995 Perundang-Undangan Asa Mandiri, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Penerbit AM Asa Mandiri, Jakarta, 2008. Hasil Wawancara Wawancara dengan Bapak Djoko Julianto, S.Ik, MH, Kasat Reskrim Kepolisian Resort Kota Palembang, tanggal 27 September 2012.

Hal | 132


Studi Hukum Tentang Gelandangan dan Pengemis Terhadap Timbulnya Kriminalitas di Kota Palembang Oleh: Jurnal Siagan, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Syarifuddin Pettanasse, SH.,MH dan Dr. H. Ruben Achmad, SH.,MH

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahanpermasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.183 Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai tingkah laku manusia memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar kriminologi terhadap hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Kemunculan aliran positif mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih menaruh perhatian kepada pemahaman tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula hukum serta dampakdampaknya. Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi kemasyarakat muncul kembali pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai dianggap memiliki peranan penting dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu kejahatan. Para pakar kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif seseorang terhadap hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh yang penting dalam penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis.184 Dari keseluruhan kajahatan kekerasan yang dilaporkan di Indonesia (115.238 kasus), 6% dari jumlah tersebut (6.813 kasus) dilakukan oleh gelandangan dan pengemis di Kota Palembang, dari jumlah keseluruhan 183

Romli Atmasasmita S. H., Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT Eresco, 1992), hal. 42 184 Ibid, hal 43

Hal | 133


kejahatan yang terjadi sebesar 9.862 kasus. Angka tersebut membuktikan bahwa masih tingginya tingkat kriminalitas di Kota Palembang. Disamping itu terdapat kebiasaan – kebiasaan di masyarakat Kota Palembang membawa senjata tajam yang cenderung dapat melahirkan kejahatan kekerasan185. Secara umum kejahatan dengan kekerasan dapat di klasifikasikan atas pencurian dengan kekerasan, pembunuhan, perkosaan, penculikan, dan penganiayaan. Gelandangan secara etimologi dapat didefenisikan sebagai orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tempat tinggal tetap. Dalam sejarah perkembangan masyarakat, mereka adalah orang-orang yang tersingkir dari lapangan produksi, dan terbuang dari kelasnya. Di eropa misalnya, ketika memasuki revolusi industri, gelandangan atau vagrants berawal dari pengusiran para petani dari ladang-ladangnya, kemudian memilih berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan ( urbanisasi). Di Inonesia, untuk pertama kalinya, sebuah laporan kolonial yang menjelaskan mengenai keberadaan para gelandangan, sudah terdokumentasi pada abad 18. Dalam laporan itu disebutkan, antara Semarang dan Jogjakarta terdapat sekitar 35 ribu orang pekerja kasar, yang disebut sebagai batur. Mereka ini, menurut laporan itu, tidak memakai baju, bercelana cawet, tidak punya tempat tinggal tetap, dan keluarga tetap. Setiap hari, para batur ini bekerja serabutan, terutama menjadi pengangkut barang-barang di pasar-pasar. Dari pekerjaan itu, mereka hanya mendapat hasil yang kecil, sehingga sering kali dihabiskan ditempat perjudian. Mereka hidup secara liar, sering terlibat dalam kerusuhan, sehingga dipandang sebagai pengganggu oleh pemerintah kolonial. Menurut penelusuran sejarah, para batur (pekerja kasar) sudah hadir semenjak perang diponegoro berlangsung, dan menjadi unsur penting dalam perlawanan tersebut. Mereka menjadi penghubung antara kesatuan atau sel pasukan diponegoro di Wilayah Jawa Tengah. Pada masa pelaksanaan tanam paksa, jumlah batur meningkat dengan pesat di Indonesia, sebab banyak petani yang terusir dari tanahnya, mengalami kegagalan panen, atau terjadi kekeringan panjang. Kelaparan menimpa rakyat dimana-mana, sehingga banyak diantara

185

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/7369 diakses pada tanggal 23-03-

2012

Hal | 134


mereka meninggalkan desanya menuju ke kota, dengan harapan mendapatkan bahan makanan.186 Sedangkan Pengemis itu sendiri adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan beragai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.Dalam hal ini gelandagangan dan pengemis mempunya resiko yang sama menimbulkan tindakan kriminal, Sehingga keberadaan mereka seringkali menimbulkan kekacauan diperkotaan. Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Hal itu pula yang menyebabkan timbulnya gelandangan dan pengemis. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri, dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal tersebut diatas sejalan dengan pendapat: Kemiskinan adalah sebuah fenomena sosial yang tidak semata-mata diakibatkan oleh segi buruk suatu sistem sosial masyarakat tertentu. Akan tetapi juga diperburuk oleh adanya kebudayaan kemiskinan diantara orang-orang miskin tersebut. Kebudayaan kemiskinan yang dihayati mengakibatkan mayoritas orang-orang miskin tidak mampu meninggalkan kemiskinannya. Kendati diberikan bantuan-bantuan ekonomi yang sesungguhnya memadai, bahkan bila sistem sosial masyarakatnya mengalami perbaikan-perbaikan mendasar.187 Pola kehidupan dan tingkah laku orang-orang miskin yang menjadi pengemis itu tidak lepas hubungannya dengan kebudayaan kemiskinan yang telah tertanam dalam diri mereka masing-masing. Menurut Oscar Lewis, dalam bukunya yang berjudul The Children Of Sanches, Kebudayaan Kemiskinan itu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:188 1. Tingkat mortalitas yang tinggi dan harapan hidup yang rendah; 2. Tingkat pendidikan yang rendah; 3. Partisipasi yang rendah dalam organisasi-organisai sosial, seperti organisasi buruh, politik, dan sebagainya; 4. Tidak atau jarang ambil bagian dalam perawatan medis dan program kesejahteraan lainnya; 5. Sedikit saja memamfaatkan fasilitas-fasilitas kota, seperti toko-toko; 186

http://setyorinihestiningtyas.wordpress.com/category/uncategorized diakses pada tanggal 17-05-2012. 187 Wiryanto-Wehner,Membangun Masyarakat, Bandung, Alumni, 1973,hal, 7 188 Alimadan, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, Jakarta, CV, Rajawali, 1976, hal, 26

Hal | 135


6. Tingkat keterampilan kerja yang rendah; 7. Tidak memiliki tabungan atau kredit; 8. Tidak mempunya persediaan makanan dalam rumah untuk hari esok; 9. Kehidupan mereka tanpa kerahasiaan pribadi (privacy) ; 10. Sering terjadi tindak kekerasan, termasuk pemukulan anak-anak; 11. Perkawinan sering berdasarkan konsensus, sehingga sering terjadi perceraian dan pembuangan anak; 12. Keluarga biasanya tertumpu pada ibu; 13. Kehidupan keluarga bersifat otoriter; Gelandangan dan pengemis sebagai gejala sosial yang tumbuh di daerah perkotaan kemudian menjadi masalah sosial, karena: Pertama, keberadaan kelompok gelandangan dengan pemukiman kumuh dan gubuk liarnya seringkali dianggap merusak keindahan kota. Keadaan demikian dapat memberikan kesan yang jelek di mata-tamu dari negara asing. Kedua., gelandangan dan pemgemis seringkali juga dianggap sebagai sumber pencemaran dan sumber penyakit, sebagai akibat perilaku mereka yang kurang memperhatikan syarat-syarat kesehatan, kebersihan dan sanitasi. Misalnya, untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus mereka seringkali memanfaatkan air sungai. Ketiga, Keberadaan gelandangan seringkali juga dianggap sebagai sumber penyakit sosial. Di sentrasentra gelandangan dan pengemis banyak ditemui adanya perilaku yang dianggap menyimpang dari norma umum, seperti: pelacuran kelas embun, pengemis, kumpul kebo, dan berbagai tindak kejahatan (pencurian, perampokan, pencopetan, perjudian, d1l). Keempat, tempat hunian gelandangan dan pengemis yang dibangun secara liar di atas tanah milik pemerintah atau di atas tanah yang bukan miliknya seringkali mengacaukan pola tata kota yang telah digariskan pemerintah. Keberadaan gelandangan dan pengemis yang menimbulkan berbagai permasalahan sosial tersebut memunculkan adanya semacam stigma atau atribut yang melekat pada gelandangan, bahwa kehidupan gelandangan selalu diwarnai bentuk-bentuk kriminalitas, pelacuran, sumber penyalit, perjudian, mabukmabukan, dan berbagai atribut negatif yang lain.189

189

http://trijokoantro-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-64133Antropologi%20PerkotaanSOSIALISASI%20ANAK%20PADA%20KELUARGA%20GELANDANGAN, diakses pada tanggal 21 agustus 2012.

Hal | 136


2. Permasalahan 1. Apakah faktor penyebab timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis di Kota Palembang? 2. Apakah upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis di Kota Palembang? 3. Tinjauan Pustaka a) Latar Belakang Munculnya Gelandangan dan Pengemis Menurut Buku Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, ada beberapa hal yang mempengaruhi seseorang menjadi gelandangan, yaitu : a. Tingginya tingkat pendidikan yang menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga secara layak. b. Rendahnya tingkat pendidikan dapat menjadi kendala seseorang untuk mendapat pekerjaan yang layak. c. Kurangnya keterampilan kerja menyembabkan seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan pasar kerja. d. Faktor sosial budaya, hal ini didukung oleh lingkungan sekitar dan para pemberi sedekah.190 Ada beberepa faktor sosial budaya yang mempengaruhi seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu : a. Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan tidak dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta. b. Sikap pasrah pada nasib, menganggap bahwa kemiskinan dan kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada keinginan untuk melakukan perubahan. c. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang, ada kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan pengemis yang hidup menggelandang, karena mereka merasa tidak terikat pada aturan atau

190

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis. (Jakarta: Departeman Sosial RI, 2005), hal 7-8

Hal | 137


norma yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis menjadi salah satu mata pencaharian.191 Awalnya, kemiskinan merupakan pilihan hidup seseorang atau sekawanan komunitas untuk memilih realitas kepapaan berdasarkan pandangan nilai tertentu. Kemiskinan yang semula sebagai pilihan sukarela menjadi pilihan terpaksa akibat berbagai hal yang bersifat kelembagaan dan spesialisasi kerja atau karena ketertundukkan secara fisik. Maka kemiskinan pun semakin menjadi rumit. Di zaman feodal, dimana kerajaan-kerajaan tumbuh kembang, fenomena kemiskinan semakin kompleks.192 Realitas kemiskinan telah menemukan bentuk historisnya di negeri ini sejak zaman kolonial, terutama ketika pemerintah kolonial Belanda menyediakan lahan di atas tanah jajahan untuk pengembangan perkebunanperkebunan besar. Bentuk historis itu bercirikan kekuatan kuasa kapitalis Belanda menjajah negeri ini dan sekaligus memantapkan monopoli atas tanah dan tenaga kerjanya melalui politik agraria yang didasarkan pada Agrarisch Wet (1870). Belanda mengambil kekayaan negeri ini melalui dan bersama kekuatan kapitalisme negara-negara Eropa lainnya atas perdagangan tanaman komoditi ekspor. Sejak saat itu sampai dengan kalahnya Belanda oleh kekuatan Jepang, perkebunan-perkebunan besar telah dikembangkan dengan konsentrasi di wilayah pulau Jawa dan Sumatera, dan sejak saat itu pula, realitas kemiskinan semakin meluas ketika ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah terjadi, serta ribuan penduduk dipaksa dan terpaksa bekerja sebagai buruh tani, kuli kontrak ataupun sebagai petani penggarap diatas lahan perkebunan – perkebunan besar itu.193 Ketika proklamasi kemerdekaan terjadi, semestinya masalah-masalah di atas dapat diselesaikan. Namun karena kemerdekaan itu tidak hanya dicapai melalui perjuangan dengan senjata tetapi juga melalui perundingan-perundingan antara pemerintahan baru dengan Belanda dan sekutunya, maka segala upaya untuk lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan menjadi lambat. Belum lagi, pemerintah Belanda tetap berkeinginan mempertahankan dan memiliki kembali investasi modal besar dari kalangan pengusaha Eropa atas lahan-lahan perkebunan. Sementara itu, pemerintahan baru di bawah Soekarno dan Hatta sendiri juga berkepentingan besar atas lahan-lahan perkebunan besar itu hingga 191

Ibid www. gapri.org, Advokasi Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (Buku Panduan): Gappri/Oxfam, Jakarta, 2003, Diakses Pada Tanggal 18 Oktober 2010. 193 Ibid 192

Hal | 138


munculnya kebijakan nasionalisasi. Akibatnya masalah ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah pertanian tetaplah bertahan. Dan itu berarti, formasi kemiskinan tetap juga bertahan.194 Ikhtiar menghapus situasi ini melalui UU Pokok Agraria dan kebijakan landreform justru berujung pada kenyataan pahit hingga klimaksnya pada tahun 1965, ketika realitas kemiskinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya dijadikan perang politik ideologi untuk perebutan kekuasaan. Kemiskinan tersebut menyebabkan timbulnya gelandangan dan pengemis sebagai pilihan hidup, atau karena politik hukum yang belum dapat menyentuh kebutuhan-kebutuhan rakyat, sehingga menjadi pengemis adalah karena keterpaksaan akibat beban ekonomi tidak dapat ditanggulangi oleh masyarakat. Oleh sebab itu dibutuhkan ide hukum nasional dengan pementingan regulasi kehidupan ekonomi (secara selektif lewat perundang-undangan nasional yang terkodifikasi dan terunifikasi secara terbatas) karena hukum adalah sarana penting guna mempertahankan ketertiban. Perintisan upaya memfungsionalkan hukum untuk pembangunan ekonomi merupakan suatu upaya pembangunan ekonomi masyarakat, sebagai wujud dari negara kesejahteraan.195 b) Fungsionalisasi Hukum Pidana Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau berkerja dan terwujud secara kongkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi dan konkretisasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.196 Bertolak dari pengertian yang demikian, maka fungsionalisasi hukum pidana, seperti fungsionalisasi atau proses pada penegakan hukum pada umunya, melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait yaitu faktor perundangundangan, faktor aparat/penegak hukum dan faktor kesadaran hukum. Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Maka didalam fungsionalisasi hukum pidana ini yang akan dikaji adalah komponen substansi hukum agar pemahaman tentang penegakan hukum agar tidak melebar.

194

www. gapri.org.,Op. Cit Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum kolonial Ke Hukum Nasional (Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), Op. Cit., hlm. 234-235 196 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Op. Cit, hal 157 195

Hal | 139


Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan. Antara satu kebutuhan dengan yang lain tidak saja berlainan, tetapi terkadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan ini, manusia bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain, hukum memberikan ramburambu berupa batasan-batasan tertentu untuk mencapai dan memenuhi kepentingan itu. Fungsi yang demikian disebut fungsi umum hukum pidana.197 c) Penghukuman Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis Perbuatan gelandangan dan pengemis menurut hemat Rusli Effendi dalam Djoko Prakoso, menjelaskan bahwa penghukuman yang terdapat dalam Pasal 504-505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan pidana kurungan dikhawatirkan bahwa lembaga pemasyarakatan atau tempat untuk menjalani pidana bagi gelandangan dan pengemis tidak akan mencukupi (over capacity) dengan memperhatikan banyaknya orang yang demikian diperkotaan. Sehingga ide penghukuman terhadap gelandangan pengemis mustahil diterapkan apabila melihat kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia.198 Ide penghukuman ini tidak terlepas dari kejahatan konvensional dengan pelakunya yang berasal dari lapisan sosial bawah, sehingga gambaran yang dihasilkan mengenai tampang kriminal terutama yang memiliki ciri-ciri tertentu dari orang yang berada di lapisan bawah. Dengan demikian, cara berpakaian bertingkah laku, pekerjaan tertentu atau tidak bekerja dicurigai dan karenanya juga lebih di perhatikan.199 Adanya persepsi tentang kejahatan dan penjahat yang demikian itu menyebabkan lalu mencurigai pengemis, gelandangan serta pemungut puntung rokok daripada terhadap orang-orang yang berpakaian rapi dan trendy apabila mereka berada disekitar rumahnya. Ini memberikan gambaran mengenai keadaan bahwa persepsi kejahatan masyarakat juga dipengaruhi oleh struktur dan status sosial dari pelakunya, pandangan ini tidak sepenuhnya benar karena 197

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hal 15 198 Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana, di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1987), hal 178 199 I.S. Susanto, Statistik Kriminal Sebagai Konstruksi Sosial (Penyusunan, Penggunaan dan Penyebarannya Suatu Studi Kriminologi), (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 73

Hal | 140


banyak kejahatan berkedudukan.200

dan

pelanggaran

juga

dilakukan

oleh

orang-orang

B. PEMBAHASAN 1. Faktor – Faktor Timbulnya Kejahatan Yang di Lakukan Oleh Gelandangan dan Pengemis Di Kota Palembang Realitas sosial paling sedikit mencakup dua arti, yaitu sosialnya dan sebagai hasil daripada anggapan-anggapan subyektif manusia perorangan. Orang perorangan di dalam pergaulan hidup sehari-hari, secara sadar maupun secara tidak sadar mengadakan aktivitas-aktivitas dan pola-pola perilakuan yang dikaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini masyarakat sering mengadakan interaksi, maka terbentuk kondisi sosial, yang melahirkan perubahan sosial yang mana perubahan sosial dapat melahirkan problema sosial. Untuk mempelajari tingkah laku manusia dapat dilakukan dengan pendekatan deskriptif, dengan pendekatan deskriptif kita dapat bertolak dari suatu teori umum atau dari teori banyak faktor.201 Ada kecendrungan untuk menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena ketidakserasian, khususnya mengenai hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekspresif dengan kekuatan-kekuatan normatif. Apabila kekuatan ekspresif mencakup faktor-faktor psikologis dan biologis, maka kekuatan normatif meliputi faktor-faktor keluarga, agama dan sosial kultural. Taraf keserasian antara kekuatan-kekuatan tersebut menentukan, apakah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, manusia akan memetahi norma dan prilaku teratur yang ada, atau akan menyeleng sehingga sehingga menimbulkan gangguan pada ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia. Timbulnya kejahatan oleh gelandangan dan pengemis dapat dilihat pula dengan latar belakang timbulnya alienasi dan perversi dalam masyarakat fenomena ini merupakan pembelokan serta keingkaran total terhadap semua kaidah-kaidah. Menurut Bripka Masrizal terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis di Palembang dipengaruhi beberapa faktor yaitu 200 201

Ibid, hal 74 B. Simandjuntak dan Chidir Ali, Cakrawala Baru Kriminologi, Tarsito, Bandung,

1978, hal 139.

Hal | 141


ekstern dan intern, yang dimana faktor ekstern itu adalah sebagai berikut faktor ekonomi, lingkungan, human (pelaku) karena si pelaku mempunyai kesempatan dan waktu, efek jera atau hukuman yang diberikan. Sedangkan faktor internalnya karena psikologis dari pelakunya (niat).202 Berikut faktor dari luar diri pelaku; a) Faktor Ekonomi Pertumbuhan ekonomi berkolerasi secara positif walaupun berbedabeda dengan angka laju yang tinggi dari sebagian besar kejahatan-kejahatan yang dilaporkan; tenggang waktu antara fluktuasi ekonomi dan peningkatan angka laju kejahatan berbeda-beda sesuai dengan jenisnya, masyarakat dan waktu; Secara teoritik M. Harvey Brenner mengidentifikasikan beberapa pandangan berbeda mengenai latar belakang kejahatan dalam hubungannya dengan pengaruh langsung ekonomi terhadap kejahatan, yakni : 203 a. Penurunan pendapatan nasional dan lapangan kerja akan menimbulkan kegiata- kegiatan illegal. b. Terdapatnya bentuk-bentuk innovasi sebagai akibat kesenjangan antara nilai-nilai atau tujuan-tujuan sosial dengan sarana-sarana sosiokultural untuk mencapainya. Dalam masa kemunduran ekonomi, banyak warga masyarakt yang kurang mencapai kempatan mencapai tujuan-tujuan sosial dan menjadi innovator potensial yang cenderung bentuk pelanggaran hukum; c. Perkembangan karir kejahatan dapat terjadi sebagai akibat tersumbatnya kesempatan dalam sektor-sektor ekonomi yang sah; d. Pada beberapa tipe kepribadian tertentu, krisis ekonomi akan menimbulkan frustasi oleh karena adanya hambatan atau ancaman terhadap pencapaian cita- cita dan harapan yang pada gilirannya menjelma dalam bentuk-bentuk perilaku agresif; e. Pada kelompok – kelompok tertentu yang mengalami tekanan ekonomi terdapat kemungkinan besar bagi berkembangnya subkebudayaan delinkuen; f. Sebagai akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran, sejumlah warga mayarakat yang menganggur dan kehilangan 202

Hasil wawancara dengan Bripka Masrizal (Anggota Reskrim Polresta Palembang), tanggal 13 Januari 2013. 203 Soerjono Soekanto, Hengkie Lilikuwata, Mulyana W. Kusumah, Op.Cit, hal 72 - 74.

Hal | 142


penghasilannya cenderung untuk menggabungkan diri dengan teman – teman yang menjadi penganggur pula dan dengan begitu lebih kemungkinan dirancang dan dilakukannya suatu kejahatan. Akan halnya sikap masyarakat terhadap kejahatan serta pengendalian sosial mereka yang pada dasarnya mencerminkan taraf toleransi sosial yang ada, terdapat sejumlah petunjuk bahwa dibawah kondisi tekanan – tekanan ekonomi, taraf toleransi sosial terhadap kejahatan tradisional cenderung rendah. b) Faktor Lingkungan Lingkungan dimaksud mencari sebab-sebab kejahatan dari lingkungan dimana individu berada. Dalam proses sosialisasi seseorang akan mendapat banyak pengalaman sehingga seseorang yang dibesarkan dilingkungan masyarakatnya atau keluarganya sering melakukan suatu kejahatan, maka seseorang tersebut akan terpengaruh sehingga melakukan kejahatan. Dan menurut Bripka Masrizal di Kota Palembang ini SDMnya masih tergolong rendah dan tingkat pengangguran terbilang tinggi jadi dalam hal masyarakat kebanyakan mudah terkontaminasi dengan lingkungan masyarakat yang banyak melakukan kejahatan khususnya daerah yang kurang diperhatikan oleh pemerintah, apalagi dilingkungan masyarakatnya banyak pengangguran.204 Nilai-nilai yang menyimpang terdapat dalam kelompok-kelompok dan pranata-pranata, mulai dari gang-gang penjahat dewasa yang melakukan pencurian. Jadi dalam suatu lingkungan masyarakat, pecurian dianggap suatu hal yang layak dan benar oleh kelompok tertentu karena dalam kelompokkelompok tertentu kemakmuran dan prestise dijamin melalui tindakan-tindakan berani dan terampil dalam dunia delinkuen dan kejahatan.205 Tempat kejahatan dimaksud bahwa pejahat itu selalu memilih tempat yang menguntungkan bagi dirinya misalnya tempat gelap, sunyi jauh dari patroli atau penjagaan polisi, dalam hal ini dapat dikaitkan pada uraian daerah kejahatan. 206

204

Hasil wawancara dengan Bripka Masrizal (Anggota Reskrim Polresta Kota Palembang), tanggal 13 Januari 2013. 205 Soerjono Soekanto Hengkie Lilikuwata, Mulyana W. Kusumah, Op. Cit, hal 78. 206 Ibid, hal 52.

Hal | 143


c) Faktor Human (Adanya Kesempatan dan Waktu) Waktu kejahatan dimaksudkan untuk mengetahui pada saat mana kejahatan itu banyak dilakukan serta karena tempoyangberkembang maka tindakan penjahat akan mempengaruhi atau dipengaruhi waktu.207 Dan kebanyakan kejahatan oleh gelandangan dan pengemis di Kota Palembang dilakukan di tempat-tempat keramain dimana kejahatan-kejahatan tersebut terjadi disebabkan oleh kurangnya perlindungan dari pihak yang berwajib serta peluang yang diberikan oleh korban, sehingga dalam hal ini dapat menimbulkan kesempatan bagi gelandangan dan pengemis untuk melakukan kejahatan, dan para pelaku kejahatan tersebut sering melakukan aksinya dengan modus – modus:208  Pura-pura berkenalan;  Pura-pura jadi peminta - minta;  Yang berujung dengan pemaksaan atau pemerasan;  Menawarkan bantuan. d) Efek Jera (Hukuman) Sebagaiman diharapakn yang kesemuanya tercantum dan diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan fungsi yang diharapkan, kejahatan akan dapat dicegah atau ditanggulangi, apabila memang sudah terjadi. Akan tetapi masalahnya tidak semudah itu, karena ada berbagai faktor yang mempengaruhi efektivitas yang diharapkan dari fungsi-fungsi tersebut didalam kaitannya dengan kejahatan terlebih tindak pidana tindak pidana yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis di Kota Palembang. 2. Upaya-upaya Yang Dilakukan Penegak Hukum Dalam Menanggulangi Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Palembang Melihat makin maraknya kejahatan yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis di Kota Palembang maka dengan ini penegak hukum harus lebih kiat dalam membasmi kejahatan ini serta pemerintah harus melakukan pengetatan di bidang ekonomi sehingga tidak terjadi lagi namanya gejolak sosial 207

H.M.Rasyid Ariman, Syarifuddin Pettanasse, Fahmi Raghib, Op.Cit., hal 52. Hasil wawancara dengan Bripka Masrizal (Anggota Reskrim Polresta Palembang), tanggal 13 Januari 2013. 208

Hal | 144


dalam masyarakat dan juga dapat menumbulkan rasa aman kepada masyarakat yang lain. W. Clifford memperkenalkan teori differential control. Beliau mengatakan bahwa kelakuan seseorang dalam masyarakat berubah sesuai dengan tingkat pelaksanaan norma. Hal ini berarti kejahatan merupakan hasil dari alat yang didirikan untuk mempertahankan sosial kontrol.209. Dalam perilndungan masyarakat yang harus juga mendapat perhatian dalam penegakkan hukum:210 a. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini, maka wajar apabila penegakkan hukum bertujuan untuk penanggulangan kejahatan. b. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang. Oleh karena itu, wajar pula apabila penegakkan hukum pidana bertujuan memperbaiiki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tinngkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. c. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakkan hokum pidana harus mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang – sewenang diluar hukum. d. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keseluruhan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari adanya kejahatan. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakkan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan hanya bersifat Kurierenam Symptom dan bukan sebagai faktor yang menghilangkan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Adanya sanksi pidana hanyalah berusaha mengatasi gejala atau akibat dari penyakit dan bukan sebagai obat (remidium) untuk mengatasi sebab-sebab terjadinya penyakit. . 209 210

B. Simandjuntak dan Chidir Ali, Op. Cit, hal 141 – 142. Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal 13 – 14.

Hal | 145


Berdasarkan rumusan Tugas Pokok Polri yang tercantum dalam Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut : a. Selaku alat Negara Penegak Hukum memelihara serta meningkatkan tertib Hukum. b. Selaku alat Negara yang memelihara stabilitas Kamdagri. c. Melaksankan Tugas-tuga Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku Pelindung, Pengayom, dan Pelayan masyarakat bagi tegaknya peraturan perundang - undangan. d. Bersama-sama dengan komponen Instansi Pemerintahan lainnya membina ketentraman masyarakat dalam wilayah Negara Republik Indonesia guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat. e. Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan Pemerintah maupun Swasta untuk kepentingan bersama. f. Melaksanakan tugas lain yang dibebankan oleh undang-undang serta pemerintah. Dalam konteks ini perpolisian tidak hanya menyangkutoperasionalisasi (taktik) fungsi kepolisian tetapi juga pengelolaanfungsi kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran manajemen puncaksampai manajemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filsafatiyang melatar belakanginya. Penanggulangan dan pencegahan kejahatan tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi pendekatan sarana penal dan non penal tersebut harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat Upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan ini memerlukan pendekatan integral dikarenakan hukum pidana tidak akan mampu menjadi satu-satunya sarana dalam upaya penanggulangan kejahatan yang begitu komplek yang terjadi dimasyarakat Menurut Bripka Masrizal dalam penanggulangan berkenaan dengan tindak pidana oleh gelandangan dan pengemis, bahwa pihak kepolisian sudah melakukan dengan semaksimal mungkin dalam misalnya dengan cara; berpatroli melakukan kampanye atau sosialisasi mengenai pentingnya pengamaanan dari masyarakat sendiri, karena menurut beliau masyarakat khususnya di Kota Palembang kurang peduli dan tidak peka akan lingkungannya sendiri, sehingga memancing orang untuk berbuat jahat. Untuk peran/tindakan Polri dalam menangani Tindak pidana yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis dapat Hal | 146


terlihat bahwa Tindakan Polresta Kota Palembang dalam menangani Tindak Pidana tersebut. Dengan kekerasan dimasa yang akan datang adalah Disamping mempertahankan protapnya ( Progam Tetap) yaitu Patroli, Berantai, Jartup, Polmas, Kring serse, Deteksi dini.211 C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan urain yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa faktor penyebab timbulnya gelandangan dan pengemis antara lain a) Tingkat mortalitas yang tinggi dan harapan hidup yang rendah b) Tingkat pendidikan yang rendah c) Partisipasi yang rendah dalam organisasi-organisasi sosial, seperti organisasi buruh, politik, dan sebagainya d) Tidak atau jarang ambil bagiandalam perawatan medisdan program kesejahteraan lainnya e) Sedikit saja memamfaatkan fasilitas-fasilitas kota, seperti tokotoko f) Tingakat keterampilan kerja yang rendah g) Tidak memiliki tabungan atau kredit h) Tidak mempunyai persediaan makanan dalam rumah atau hari esok i) Kehidupan mereka tanpa kerahasiaan pribadi (privacy) j) Sering terjadi tindak kekerasan, termasuk pemukulan anak – anak k) Perkawinan sering berdasarkan konsensus, sehingga sering terjadi perceraian dan pembuangan anak l) Keluarga biasanya tertutup pada ibu m) Kehidupan keluarga bersifat otoriter n) Penyerahan diri kepada nasib/fatalisme

211

Hasil wawancara dengan Bripka Masrizal (Anggota Reskrim Polresta Kota Palembang), tanggal 13 Januari 201 211 Hasil wawancara dengan Bripka Masrizal (Anggota Reskrim Polresta Kota Palembang), tanggal 13 Januari 2013

Hal | 147


2. Atas terjadinya faktor – faktor diatas, maka timbul suatu pikiran singkat dari gelandangan dan pengemis untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tindakan kriminal yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. 3. Belum sepenuhnya terlaksana program – program pemerintah dalam menanggulangi terjadinya gelandangan dan pengemis, baik tindakan secara preventif maupun tindakan hukum. 2. Saran Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyarankan supaya pemerintah benar – benar serius dalam melakukan tindakan preventif untuk mencegah atau menanggulangi terjadinya gelandangan dan pengemis, misalnya, penyuluhan, bimbingan sosial dan pembinaan sosial, sehingga mereka kelak akan menjadi manusia – manusia yang terampil dan mampu memenuhi kebutuhan sendiri.Di samping itu ,perlu kiranya pengkajian ulang akan undang – undang yang mengatur tentang gelandangan dan pengemis, supaya benar – benar diatur secara faktual sesuai dengan situasi dan keadaan masyarakat yang sebenarnya.

Hal | 148


DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Al-Faqih,Negara Ideal St. Ausgustine: Adakah Negara Indonesia Itu, Jurnal Governance, Pusat Penelitian Kebijakan dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, vol. 2 no. 8, 2006. Alimadan, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, Jakarta, CV Rajawali, 1976 Atmasasmita Romli,Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: PT Eresco, 1992. Barda Nawawi Arief,Kebijakan Legislatif Dalam Penaggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010. Cesare Beccaria,Perihal Kejahatan dan Hukuman, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011. Charles Himawan,Hukum Sebagai Panglima, Jakarta: Kompas, 2006. Chazawi Adami,Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Djoko Prakoso,Pembaharuan Hukum Pidana, di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1987. Fuad Usfa Ahmad,Pengantar Hukum Pidana, Malang: UMM Press, 2006. Mahmud Mulyadi,Criminal Policy, Medan: Pustaka Bangsa Press, 1988. Muladi dan Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta, CV Rajawali, 1998. Ninik Widyanti, Panji Anaroga,perkembangan kejahatan dan masalahnya, Paramita, Jakarta, 1987. Purba Hasim,Suatu Pedoman Memahami Hukum, Medan: CV. Cahaya Ilmu, 2006. Riduan Syahrani,Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004. Satjipto Rahardjo,Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009. Simandjuntak. B dan Chidir Ali,Cakrawala Baru Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1978. Soedjono, Ilmu Jiwa Kejahatan dalam Studi Kejahatan, Karya Nusantara, Bandung, 1977.

Hal | 149


Soerjono Soekamto,Kriminologi Suatu Pengantar , Ghalia Indonesia,Jakarta, 1981. ________________,Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, Bandung: Alumni, 1983. ________________,Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. ________________, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008. Sunaryati Hartono,Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991. Susanto,Statistik Kriminal Sebagai Konstruksi Sosial (Penyusunan, Penggunaan dan Penyebarannya Suatu Studi Kriminologi), Yogyakarta: Genta Publishing, 2011. _______, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011. Syafruddin Kalo,Teori dan Penemuan Hukum, Bahan Kuliah Teori Hukum dan Penemuan Hukum Pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004 Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010. Wignjosoebroto Soetandyo,Dari Hukum kolonial Ke Hukum Nasional (Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Wiryanto-Wehner,Membangun Masyarakat, Bandung, Alumni, 1973. Yesmil Anwar dan Adang,Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Bandung: Widya Padjadjaran, 2009. Peraturan Perundang-undagan Republik Indonesia Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Website/Jurnal/Surat Kabar www. gapri.org, Advokasi Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (Buku Panduan): Gappri/Oxfam, Jakarta, 2003, Diakses Pada Tanggal 18 Oktober 2010. Hal | 150


http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/7369 diakses pada tanggal 23-032012 http://setyorinihestiningtyas.wordpress.com/category/uncategorized diakses pada tanggal 17-05-2012. http://trijokoantrofisip.web.unair.ac.id/artikel_detail64133Antropologi%20Perk otaan SOSIALISASI%20ANAK%20PADA%20KELUARGA%20GELANDANG AN, diakses pada tanggal 21 agustus 2012. www. Trijayaplg.net opini/2013/01 kemiskinan- belum-berlalu, tanggal 19 Januari 2013. Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis. Jakarta: Departeman Sosial RI, 2005. Komnasham.go.id/portal/files/mmb-perlindungan-hakasasi-manusia-melaluihukum-pidana, Diakses Tgl.18 Oktober 2010, lihat juga Muladi, Beberapa Catatan terhadap Buku II RUU KUHP, makalah disampaikan pada Sosialisasi RUU KUHP diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 23-24 Maret 2005

Hal | 151


Tindakan Penundaan Pelaksanaan Pidana Mati Sebagai Pemindaan Ganda Oleh: Andri Kosasi, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. H. Ruben Achmad, SH.,MH dan Hj. Nashriana, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan hukuman mati sebagai hukuman yang dijalankan dengan membunuh orang yang bersalah.212Umumnya eksekusi dilaksanakan dengan hukuman gantung atau tembak mati. Pidana mati merupakan pidana yang memiliki ciri khas, bersifat istimewa juga berbeda dengan jenis pidana pokok lainnya.Karena pidana mati sekali dilakukan, tidak mungkin dapat dibatalkan atau diperbaiki kembali, meskipun ternyata didapati kekeliruan, kesalahan atau ditemukan novum (bukti baru) dalam kasus tersebut. Dengan kata lain, sekali eksekusi pidana mati dijalankan, maka orang orang yang sudah kehilangan nyawa tersebut tidak mungkin dihidupkan lagi. 213 Di Indonesia, perdebatan konseptual seputar penggunaan pidana mati sebagai sarana penanggulangan kejahatan telah muncul sejak berkembangnya falsafah pembinaan dalam pemidanaan, namun perdebatan tentang pidana mati semakin gencar dengan meningkatnya isu global tentang hak asasi manusia. Ditinjau dari sejarah pemidanaan, hukuman mati lahir bersama dengan lahirnya manusia di muka bumi, dengan budaya hukum retalasi, hukuman yang berdasarkan teori pembalasan mutlak, penerapan hukuman mati bagaikan serigala memakan serigala. 214 bentuk hukuman mati telah dikenal di seluruh dunia meski sejak awal abad ke-20 banyak negara yang mulai menghapuskannya. Ada pula negara yang bergeming untuk tetap mempertahankan bentuk hukuman pidana mati.

212

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, 2008. Pusat Bahasa. J.E Sahetapy. 2007. Pidana Mati dalam Negara Pancasila.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 67. 214 Bambang Poernomo, Hukum Pidana Karangan Ilmiah (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 9. 213

Hal | 152


Sejarah pelaksanaan hukuman mati di Indonesia mempunyai landasan normatif yang kuat. 215 KUHP Indonesia, yaitu Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sejak 1 Januari 1918, KUHP tersebut memang warisan Belanda, negara yang telah menghapus pidana mati untuk kejahatan biasa sejak tahun 1870, kemudian menghapus pidana mati untuk seluruh kasus kejahatan pada tahun 1982. Berdasarkan catatan sejarah, pidana mati telah berlaku sejak berabadabad silam.Bahkan, pidana mati ditetapkan dalam sanksi pidana adat.Pidana mati di Indonesia, secara hukum, berlaku sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sanksi ini ditegaskan lagi dalam Peraturan Hukum Pidana UU No. 73 Tahun 1958 tentang berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mengubah Wetboek van StraftrechtNederlandsch Indie menjadi Wetboek van Straftrecht yang saat ini dikenal dengan sebutan KUHP.216 Pidana mati merupakan pidana puncak dari seluruh sanksi pidana.Jenis pidana ini mengakhiri kehidupan seseorang secara hierarkis dan substantif.KUHP Pasal 10 menempatkan pidana mati pada urutan teratas yang secara langsung mengindikasikan bahwa hukuman mati merupakan pidana terberat di antara sekian banyak pidana pokok di dunia, tidak terkecuali dalam sistem hukum pidana di Indonesia.Hukuman mati hanya dapat dilaksanakan apabila segala upaya banding dari terdakwa, penasihat hukum, atau ahli warisnya telah selesai, dan biasanya diakhiri dengan dikeluarkannya grasi. Pembahasan mengenai pidana mati akan selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra pidana mati selalu berkembang di tengah-tengah masyarakat, baik di tingkat internasional maupun nasional.Wacana pro dan kontra pidana mati sebenarnya sudah cukup lama yang pasang surutnya seirama dengan perkembangan hukum di Indonesia.Isu pidana mati kemudian menghangat lagi ketika Presiden Megawati Soekarno Putri menolak grasi enam

215

Dasar hukum tertuang dalam Pasal 10 (a) KUHP. Pembagian Pidana: Pidana Pokok, 1. Pidana Mati. 2. Pidana Penjara. 3. Pidana Kurungan. 4. Pidana Denda. 5. Pidana Tutupan., Dan Pidana Tambahan. 1. Pencabutan Hak-hak tertentu.2. Perampasan Barang-barang Tertentu. 3. Pengumuman Putusan Hakim. Pasal 11 KUHP jo UU No. 2/PNPS/1964, dan Pasal-pasal KUHP yang mengatur kejahatan terhadap keamanan negara dan pembunuhan berencana (Pasal 340) serta perundang-undangan pidana di luar KUHP mengenai UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Terorisme, Narkotik. 216 Undang-undang No. 1 Tahun 1946. Tentang Pernyataan Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia.Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958.No. 127. Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660.

Hal | 153


terpidana mati. 217 dengan mengeluarkan empat Keputusan Presiden, yaitu Keputusan Presiden Nomor 20/G, Nomor 21/G, Nomor 22/G, dan Nomor 24/G Tahun 2003.218 Perdebatan seputar pro dan kontra pidana mati kembali menghangat setelah pemerintah melakukan eksekusi terhadap Fabianius Tibo dan kawankawan. 219 Perdebatan mengenai konstitusionalitas pidana mati kembali mengemuka ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana mati tidak bertentangan dengan konstitusi.220 Beberapa kasus pembunuhan yang grasinya ditolak Presiden ditemukan di lapas-lapas di Surabaya dan Malang. Para terdakwanya antara lain sumiarsih, Djais Adi Prayitno, dan Sugeng. Ketiga pelaku telah dieksekusi mati Juli 2008.Sumiarsih mempertanyakan mengapa eksekusi harus tertunda sekitar 20 tahun.“Mengapa pelaksanaan eksekusi sampai terlalu lama?Bukankah saya sudah berbuat baik selama di Lapas ini?” keluhnya.221 Sebuah fakta hukum yang cukup menarik untuk dikaji, dari apa yang dialami oleh terpidana mati, Sumiarsih, ketika dia harus menunggu dalam kurun waktu sekitar 20 tahun dari saat putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap yang menyatakan bahwa dirinya divonis mati oleh majelis hakim sampai waktunya tiba untuk pelaksanaan vonis tersebut atau eksekusi. Terjadinya masa “menunggu” dilaksanakannya pidana mati atas diri Sumiarsih tersebut berseberangan dengan apa yang diutarakan oleh Mahkamah Konstitusi yang menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan sebagaimana

217

Enam terpidana mati yang permohonan grasinya ditolak oleh Presiden Megawati Soekarno Putri Adalah : Suryadi Swabuana, Sumiarsih, Djais Andi Prayitno, Jurit Bin Abdullah, Sugeng, dan Ayodhiya Prasad Chaubey. http://arsip.gatra.com//2003-0206/artikel.php?id=25103, ,“Presiden Tolak Grasi Enam Terpidana Mati”diakses 20 Desember 2012. 218 Ratih Lestarini, Efektifitas Hukuman Mati, Jurnal Legislasi Indonesia Vol 4 No 4 Desember 2007, hlm 45. 219 Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus Dasilva adalah terpidana mati kasus kerusuhan Poso, Sulawesi Tenggara tahun 2000 yang dieksekusi mati pada tanggal 21 September 2006. http://www.kontras.org/hmati/index.php?hal=pers&id=403 , “Jatuhnya hukuman mati Tibo, Da Silva dan Riwu, Pengabaian Pemerintah terhadap hak-hak keluarga, dan reaksi paska Hukuman Mati”diakses pada 20 Desember 2012. 220 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian (judicial review) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika khususnya tentang ketentuan pidana mati terhadap Undang-undang Dasar 1945. hlm 430. 221 Arba’i, Yon Artiono, Aku Menolak Hukuman Mati, Telaah Atas Penerapan Pidana Mati. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2012. hlm 131.

Hal | 154


mestinya 222 . Waktu selama dua puluh tahun itu, tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa itu waktu yang sangat lama untuk dihabiskan di dalam penjara, dua puluh tahun adalah masa hukuman terberat untuk pidana penjara, tidak ada terpidana penjara yang mendekam selama dua puluh tahun. Tapi apa yang terjadi dengan Sumiarsih adalah sebuah kenyataan yang ada, masih banyak terpidana mati yang bernasib sama dengan Sumiarsih, yang harus menunggu dalam waktu yang tidak pasti, mengapa disebut tidak pasti, karena belum ada peraturan perundangundangan yang mengatur secara rinci “masa tunggu” maksimal setelah putusan pidana mati yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dijatuhkan, atau setelah upaya hukum terakhir yang diajukan oleh terpidana tersebut dilakukan. Hal ini dapat dikatakan tidak selaras dengan asas keadilan dan kepastian hukum, yang menghendaki bahwa hukum itu harus pasti dan terperinci, tidak berisi keragu-raguan dan ketidakjelasan yang dapat menurunkan supremasi hukum dimata khalayak ramai yang selalu membahas pro dan kontra pelaksanaan pidana mati, dalam hal ini terpidana mati seolah-olah menerima pemidanaan ganda.223 Dalam kejadian tertentu, bahwa pidana pada hakikatnya adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok yaitu perlindungan masyarakat dan di sisi lain perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana. Dari dua sasaran pokok tersebut, maka syarat pemidanaan menurut konsep juga bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistis antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu; antara faktor objektif dan faktor subjektif. Oleh karena itu syarat pemidanaan juga bertolak dari dua pilar yang sangat fundamental di dalam hukum pidana, yaitu “asas legalitas” (yang merupakan “asas kemasyarakatan”) dan “asas kesalahan/asas culpabilitas” (yang merupakan “asas kemanusiaan”). Dengan kata lain, pokok pemikiran mengenai tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seperti telah dikemukakan diatas. Jika dilihat dari pokok pemikiran yang lebih menitikberatkan pada perlindungan kepentingan masyarakat, maka wajar konsep pemidanaan masih tetap

222

. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian (judicial review) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika khususnya tentang ketentuan pidana mati terhadap Undang-undang Dasar 1945. hlm 430. 223 http://www.kontras.org/data/hukuman%20mati.pdf“Praktek Hukuman Mati di Indonesia” diakses 21 November 2012.

Hal | 155


mempertahankan jenis-jenis sanksi pidana yang berat, yaitu pidana mati dan pidana seumur hidup.224 Pemidanaan ganda, pada dasarnya yang dimaksud dengan kata “ganda� yaitu berarti berulang, atau bertambah dua kali lipat.Secara yuridis tidak ada atau belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemidanaan ganda, patut diketahui bahwa pemidaan ganda berbeda dengan pemidanaan dengan pemberatan225. Pemidanaan ganda dapat diartikan dengan kalimat, pemidanaan yang mana seorang terpidana menerima hukuman dengan dua sanksi pidana sekaligus dalam satu waktu. 2. Rumusan Masalah. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka telah dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Mengapa terjadi penundaan yang tidak memiliki batasan waktu yang pasti, setelah putusan pidana mati yang dijatuhkan oleh majelis hakim, sampai ke upaya hukum terakhir yang diajukan terpidana, hingga dilaksanakannya eksekusi pidana mati? 2. Apakah sanksi pidana mati masih menjadikan tujuan pemidanaan tercapai? B. PEMBAHASAN 1. Perkembangan Pidana Mati di Indonesia Pidana mati (doodstraf) adalah pidana yang merampas suatu kepentingan umum, yaitu jiwa atau nyawa manusia.Dalam sejarahnya, keberadaan pidana mati menimbulkan pro dan kontra.Bagi yang pro, pidana mati adalah merupakan sarana ultimum remedium (pilihan terakhir).Sedangkan bagi golongan yang kontra terhadap pidana mati selalu menggunakan hak untuk hidup sebagai alasan untuk menolak pelaksanaan pidana mati tersebut.226 2. Perkembangan Teoritis Tentang Tujuan Pemidanaan Salah satu tujuan dari pada sistem pemidanaan di Indonesia adalah memasyarakatkan kembali terpidana (resosialisasi).Dalam arti bahwa setelah 224

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana-Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana 2011. Hlm 94. 225 Hal-hal yang memberatkan pemidanaan dibedakan 3 macam, yaitu: 1. Kedudukan sebagai pejabat (Pasal 52 KUHP);. 2. Pengulangan tindak pidana (Residive); dan 3. Perbarengan (Samenloop). Nashriana, 2009, Hukum Penitersier, Diktat Kuliah, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. 226 Ibid.

Hal | 156


menjalani pidananya, maka seseorang dapat hidup bersama-sama dalam masyarakat dan memiliki kemampuan untuk melanjutkan kehidupan secara produktif.227Teori tentang tujuan pidana memang semakin hari semakin menuju ke arah sistem yang lebih manusiawi dan lebih rasional, sehingga perjalanan sistem pidana menunjukkan bahwa retribution(revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendir maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan.228 Pada dasarnya, terdapat pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan penjatuhan suatu pidana, yaitu: 229 a. pembalasan (revenge); b. penghapusan dosa (expiation); c. menjerakan (deterrent); d. perlindungan terhadap umum (protection of the public); dan e. memperbaiki si penjahat (rehabilitation of the criminal). 3. Perkembangan Tujuan Pemidanaan dalam Konsep Rancangan KUHP Nasional. Dalam Pasal 54 Buku I Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Nasional Draft Februari 2008, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, 230 yaitu: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

227

Niniek Suparni. 2007. Eksistensi Pidana Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan.Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 87. 228 Andi Hamzah. Op .Cit. Hlm 29. 229 Andi Hamzah dan Sumangelipu.1984. Pidana Mati di Indonesia Dimasa Lalu, Kini dan Dimasa Depan.Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm 15-16. 230 Lilik Mulyadi. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi.Jakarta: Djambatan. Cetakan KE-2.Hlm. 18.

Hal | 157


4. Faktor-faktor yang menyebabkan tertundanya pelaksanaan pidana mati Yaitu upaya-upaya hukum yang diajukan oleh terpidana mati untuk mendapatkan keadilan, mengubah putusan, ataupun memohon keringanan hukuman, yang terdiri dari, yaitu upaya hukum biasa yang terdiri dari upaya hukum tingkat banding, dan upaya hukum kasasi.Kemudian upaya hukum luar biasa ada dua yakni kasasi demi hukum, dan peninjauan kembali. Upaya-upaya hukum tersebut, bagi seorang terpidana mati, apabila terus diajukan secara bertahap, dari tingkat banding, sampai upaya hukum luar biasa, dapat dipastikan akan memakan waktu yang cukup panjang dan juga tidak dapat dipastikan berapa lama, sementara itu si terpidana itu sendiri akan tetap menjalani masa tahanannya dibalik jeruji besi, selama apapun proses hukum yang masih berlangsung maka terpidana itu akan ditahan. Dari sinilah yang menjadi titik awal penulis untuk mengangkat tema penundaan mati sebagai pemidanaan ganda, karena terjadi sebuah keadaan yang menimbulkan dilema hukum, karena hukum positif Indonesia tidak mengenal istilah pidana ganda, sementara itu nasib terpidana sendiri lebih banyak tidak jelas, karena mereka hanya diberikan harapan-harapan semu dengan mengajukan banyak upaya hukum, namun belum tentu bisa bebas atau bisa berubah lebih ringan, sedangkan hal tersebut banyak menguras moriil dan materiil si terpidana. Lalu apakah dalam keadaan lain, seorang terpidana yang divonis pidana mati akan tetapi tidak mengajukan upaya hukum apapun, alias menerima putusan, akan lebih cepat dieksekusi, jawabannya tidak juga. Sebagaimana penulis paparkan dalam bab satu, rata-rata terpidana mati selalu menjalani masa tahanan yang lebih dari dua tahun, meskipun dia menerima putusan pidana mati tersebut. Salah satu contoh kasus yang ada di Palembang adalah terpidana mati kasus pembunuhan berencana, yang dilakukan oleh Suryadi Swabhuana, Als Adi, Als Kumis, Als. Dodi Bin Soekarno. 231 Suryadi ditahan sejak bulan Juli tahun 1991, merupakan terpidana mati yang mengajukan semua upaya hukum, baik upaya hukum biasa hingga upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali dan Grasi. Secara keseluruhan Suryadi telah menjalani masa tahanan kurang lebih selama 22 tahun. Apakah hal seperti itu bukan pemidanaan ganda, menurut penjelasan dari Kepala Seksi Pidana umum, Kejaksaan Negeri Palembang. Ursula Dewi. 232 231

Wawancara dengan Ursula Dewi, Kepala Seksi Pidana Umum.Kejaksaan Negeri Palembang, Tgl 5 April 2013. 232 Ibid.

Hal | 158


“Sama dengan pemidanaan ganda, tetapi pemidanaan penjara itu (menjalani tahanan setelah divonis pidana mati) bukan untuk pemberian nestapa. Namun dengan maksud untuk memberikan kesempatan bagi terpidana mati untuk mempergunakan hakhaknya menempuh upaya hukum, yang mungkin dapat memperbaiki pemidanaan mati yang ditimpakan kepadanya� Preseden seperti inilah yang banyak menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, namun penulis berkesimpulan hal seperti itu terjadi tak lebih dari bentuk kehati-hatian hukum dalam menentukan putusannya untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan dimasa mendatang dari aparat penegak hukum itu sendiri. Faktor berikutnya yang menimbulkan permasalahan mengapa terjadi penundaan yang tidak memiliki batasan waktu yang pasti, setelah putusan pidana mati yang dijatuhkan oleh majelis hakim, sampai ke upaya hukum terakhir yang diajukan terpidana, hingga dilaksanakannya eksekusi pidana mati adalah, Grasi. - Grasi Grasi tidak disebutkan sebagai upaya hukum dan tidak juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Grasi diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010, merupakan perubahan atas Undangundang No. 22 Th 2002, tentang Grasi. Pengertian Grasi menurut J.C.T Simorangkir yaitu wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim.untuk menghapuskan seluruhnya. sebagian atau merobah sifat atau bentuk hukuman itu. 233 Grasi bukanlah bagian dari upaya hukum biasa ataupun luar biasa, grasi merupakan hak Prerogratif seorang presiden.Sebagaimana dipendapatkan oleh R. Soesilo.234 “Pemberian grasi merupakan salah satu dari wewenang prerogratif Kepala Negara untuk membatalkan untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana yang telah dijatuhkan atau untuk merubah pidana itu menjadi pidana yang lebih ringan sifatnya (lebih berat tidak dimungkinkan.� 233

J.C.T Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Hlm 58. R. Soesilo, Hukum Acara Pidana, Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Bagi Penegak Hukum. Cetakan Pertama. Bandung: PT. Karya Nusantara, 1982. Hlm 137. 234

Hal | 159


Bagi seorang terpidana mati, grasi akan sangat menentukan bagaimana nasibnya, karena grasi bisa merubah putusan hukum dari pidana mati hanya menjadi pidana penjara seumur hidup. Setidaknya akan memberikan kejelasan nasib terpidana yang belum ingin mati. Meskipun artinya terpidana harus memohon ampun dan mengakui akan kesalahan dari perbuatannya. Undang-undang tentang grasi tidak mengatur tentang berapa lama jangka waktu minimal ataupun maksimal yang diajukan oleh terpidana mati, selama itu pula terpidana tersebut tetap berada dalam tahanan. Namun eksekusi tetap ditunda sampai Presiden memutuskan seperti apa hukuman yang diterima oleh terpidana. Apakah menolak pengajuan grasi atau menerima grasi dan merubah hukumannya menjadi lebih ringan dari pidana mati hanya menjadi pidana seumur hidup, karena untuk menjadi lebih berat tidak dimungkinkan oleh undang-undang. 5. Pro Kontra Pidana Mati dalam Upaya Tercapainya Tujuan Pemidanaan Penghapusan hukuman mati di Belanda tidak diikuti Indonesia karena beberapa pertimbangan, sebagaimana menurut Satochid Kartanegara: 1. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Pada masa colonial, dengan adanya penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, sangat mudah menimbulkan berbagai pertentangan-pertentangan dan akibatnya, hukuman mati dipertimbangkan perlu dipertahankan 2. Indonesia terdiri dari sejumlah besar pulau dan pada waktu itu aparatur pemerintah kolonilal kurang sempurna, disamping sarana perhubungan antar pulau yang juga tidak sempurna. Dan, 3. Terlepas dari alasan yang berhubungan dengan geografis, beberapa ahli berpendapat bahwa daerah colonial memerlukan kekuasaan yang mutlak untuk menjaga ketertiban umum, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. 235

235

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Dua, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun, Hlm. 341.

Hal | 160


Pendapat tersebut mengacu terhadap situasi dan kondisi pada masa itu, pada masa lalu saat Indonesia belum ada, dan masih terjajah. Namun saat ini situasinya sudah berbeda, Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat, serta berhak untuk menentukan kemana arah hukum akan berjalan, apakah akan berjalan maju, diam ditempat dengan setia mengikuti warisan kolonial, atau melangkah mundur. Meskipun perlahan, sebuah langkah maju dapat dirasakan dari gigihnya para pembuat undang-undang menggodok konsep Rancangan KUHP Baru. Namun sayangnya, pidana mati masih akan tetap diberlakukan hal ini dapat dilihat dari draft Rancangan KUHP terbaru yaitu draft tahun 2009. Penulis mengutip dari buku yang ditulis oleh Prof. Barda Nawawi Arief, sebagai berikut: Jenis dan sanksi yang digunakan dalam Konsep KUHP, terdiri dari jenis “pidana” dan “tindakan”. Masing-masing jenis sanksi terdiri dari: a. PIDANA: a.1 Pidana Pokok: 1. pidana penjara; 2. pidana tutupan; 3. pidana pengawasan; 4. pidana denda; 5. pidana kerja Sosial. a.2 Pidana Tambahan: 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu dan tagihan; 3. pengumuman putusan hakim; 4. pembayaran ganti kerugian; 5. pemenuhan kewajiban yang ada. a.3 Pidana Khusus: pidana mati. b. TINDAKAN: b.1 Untuk orang yang tidak atau kurang mampu bertanggungjawab (“tindakan” dijatuhkan tanpa pidana): 1. perawatan di rumah sakit jiwa; 2. penyerahan kepada pemerintah; 3. penyerahan kepada seseorang. Hal | 161


b.2 Untuk orang pada umumnya yang mampu bertanggungjawab (dijatuhkan bersama-sama dengan pidana): 1. pencabutan surat izin mengemudi; 2. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; 3. perbaikan akibat-akibat tindak pidana; 4. latihan kerja; 5. rehabilitasi; 6. perawatan dalam suatu lembaga. 236 Dari jenis-jenis sanksi pidana dalam wacana R-KUHP Baru, pidana mati masih tetap sebagai sanksi pidana khusus, hal itu berbeda dengan KUHP saat ini, yang mana pidana mati adalah sebagai pidana pokok. Namun nampaknya R-KUHP Baru secara normatif tidak mengakomodir pola-pola seperti “Pemidanaan Ganda� sebagai mana yang selama ini terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia, meskipun dimungkinkan adanya penambahan pemidanaan dengan sanksi pidana tambahan, hal itu hanya terbatas sanksi pidana pokok ditambah sanksi pidana tambahan (pidana penjara ditambah pidana pencabutan hak-hak tertentu), bukan pada pidana pokok ditambah sanksi pidana khusus (pidana mati). Hubungannya sebuah kasus pemidanaan ganda, memiliki potensi untuk terjadi sebuah polemik yang membenturkan antara supremasi hukum dan hak hukum terdakwa atau hak asasi manusia si terdakwa. Disudut supremasi hukum, hukum akan bertindak sebagai panglima yang tidak pandang bulu dalam penegakannya dengan azas cepat, murah dan efektif. Namun dalam sudut pemenuhan hak hukum terdakwa, akan berseberangan dengan azas cepat, murah dan efektif. Karena hak hukum yang diajukan terdakwa dalam prakteknya akan berjalan lama dan berlarut-larut. Organisasi Kemasyarakatan penggiat kemanusian seperti KONTRAS, bahkan dengan tegas menganggap pidana mati tidak lagi relevan saat ini dan menolak tetap diberlakukannya pidana mati dimasa mendatang sesegera mungkin. Adapun yang menjadi alasan-alasan KONTRAS adalah sebagai berikut. 1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial. dan 236

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Jakarta: Kencana, 2011. Hlm. 153.

Hal | 162


aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati pada Sengkon dan Karta pada tahun 1980 lalu di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita.Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisasalah. 2. hukuman mati dapat dianggap telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati (capital punishment) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba.Terorisme.ataupun kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktural lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. 3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias tidak jelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius atau luar biasa. Para koruptor, dan pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati.Padahal janji Presiden SBY hukuman mati diprioritaskan buat kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran berat HAM. Tentulah kita tidak harus menelan mentah-mentah alasan-alasan tersebut, jangan pula langsung mengangguk-mengiyakannya, tetapi kita harus lebih membuka mata dan cermat dalam menyikapinya, bahwa dibelahan dunia lain, orang-orang mulai menyadari bahwa manusia tidaklah berhak untuk mengambil kehidupan manusia lainnya, meskipun dia melakukan perbuatan hukum yang berat sekalipun.Demikian kira-kira pemikiran negara-negara yang menghapuskan pidana mati dalam kodifikasi hukumnya. Dari fakta dan alasan-alasan penolakan pidana mati diatas, itu adalah tanda bagi kita bahwa sudah saatnya juga Indonesia mulai mengkaji secara serius penghapusan, pengurangan atau moratorium sekalipun dalam penggunaan pidana mati. Salah satu sisi positif dari penghapusan atau pengurangan atau moratorium pidana mati adalah, meningkatkan daya tawar Indonesia di mata Hal | 163


internasional dalam praktek hukum pidana mati antar lintas negara, terkhusus yang melibatkan Warga Negara Indonesia. Sebagai konklusi dari permasalahan dan pertanyaan apakah pidana mati masih menjadikan tujuan pemidanaan tercapai. Maka penulis menyampaikan sebuah opini bahwa secara substansif masih cukup relevan, akan tetapi sudah waktunya perlu dilakukan kajian serius untuk menyelaraskan tujuan pemidanaan dan pidana mati dalam prakteknya yang berkembang dimasa modern seperti sekarang ini. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Tidak ada batasan waktu tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang bagi seorang terpidana mati menjalani masa tahanan setelah mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.Hal demikian itu sangat merugikan bagi terpidana dan meragukan bagi supremasi hukum.Karena berapapun lamanya seorang terpidana menjalani masa tahanan dalam upayanya menegakkan hukum, baik penahanan dengan maksud pemberian nestapa ataupun tidak, pemidanaan ganda tetaplah sebuah preseden hukum yang tidak diatur dengan jelas dalam perundang-undangan di Indonesia. Maka sudah seharusnya ada perubahan dalam pengemasan pidana mati di Indonesia saat ini karena berdasarkan faktanya selama ini pelaksanaan pidana mati dapat dianggap telah gagal menunjukkan fungsinya untuk menimbulkan efek jera dan tujuan pencegahan umum bagi pelaku lainnya dibanding hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup, tetap meningkatnya kejahatan terorisme, narkoba dan kriminalitas lainnya cukup membuktikan pidana mati bukanlah sesuatu yang ditakuti oleh pelaku kejahatan, permasalahan utamanya terletak pada hal struktural seperti kemiskinan atau penegakan peradilan yang korup. Di sisi lain praktek hukuman mati di Indonesia yang kita saksikan sekarang ini masih bias dan diskriminasi, pidana mati lebih terkesan hanya diperuntukkan kepada pelaku tindak pidana yang miskin, tidak pernah menjangkau pelaku besar yang mencakup kelompok elit yang kategori kejahatannya adalah kejahatan luar biasa. 2. Saran Perlu dilakukan pengkajian serius dalam kebijakan penggunaan sanksi pidana mati, hal itu bisa dimulai dengan moratorium pidana mati, atau menghapuskan pidana mati untuk kejahatan biasa Sebelum Indonesia menjadi Hal | 164


negara yang paling lambat menghapus pidana mati seperti mayoritas negaranegara di dunia. Sehingga kedepannya dapat dibuatkan peraturan-perundangundangan dalam pengaturan jangka waktu terpidana mati ditahan, misalkan jika dalam waktu 20 tahun atau jangka waktu tertentu lainnya, tergantung pertimbangannya.belum juga mendapat kejelasan kemungkinan eksekusi bagi terpidana mati, bisa dipertimbangkan kemungkinan untuk bebas demi hukum, atau diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Upaya-upaya hukum yang diajukan oleh terpidana mati haruslah sesuai asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Jangan seperti selama ini mahal, lambat, berlarut-larut dan tidak jelas, cenderung memancing terdakwa untuk menghabiskan segala daya upaya baik moriil dan materiil akan tetapi tidak mengubah apapun dari nasib terpidana mati. Hal demikian itu cenderung lebih menguntungkan bagi terpidana yang memiliki kekayaan besar atau memiliki pengaruh dengan pejabat pemerintahan.

Hal | 165


DAFTAR PUSTAKA BUKU Arba’i, Yon Artiono. 2012. Aku Menolak Hukuman Mati, Telaah Atas Penerapan Pidana Mati. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia. Andi Hamzah dan Sumangelipu.1984. Pidana Mati di Indonesia Dimasa Lalu, Kini dan Dimasa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Barda Nawawi Arief. 2011. Bunga Rampai, Kebijakan Hukum PidanaPerkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana. Bambang Poernomo, Hukum Pidana Karangan Ilmiah (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 9. J.C.T Simorangkir. 2004. Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. J.E Sahetapy. 2007. Pidana Mati dalam Negara Pancasila.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Lilik Mulyadi. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi.Jakarta: Djambatan. Niniek Suparni. 2007. Eksistensi Pidana Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. R. Soesilo, Hukum Acara Pidana, Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Bagi Penegak Hukum. Cetakan Pertama. Bandung: PT. Karya Nusantara, 1982. Hlm 137. Ratih Lestarini, Efektifitas Hukuman Mati, Jurnal Legislasi Indonesia Vol 4 No 4 Desember 2007, hlm 45. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Dua, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun. SUMBER PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010, Perubahan atas Undang-undang No. 22 Th 2002, tentang Grasi. SUMBER INTERNET DAN LAINNYA http://arsip.gatra.com//2003-02-06/artikel.php?id=25103, ,“Presiden Tolak Grasi Enam Terpidana Mati”diakses 20 Desember 2012. http://www.kontras.org/hmati/index.php?hal=pers&id=403 , “Jatuhnya hukuman mati Tibo, Da Silva dan Riwu, Pengabaian Pemerintah terhadap hak-hak keluarga, dan reaksi paska Hukuman Mati”diakses pada 20 Desember 2012. http://www.kontras.org/data/hukuman%20mati.pdf“Praktek Hukuman Mati di Indonesia” diakses 21 November 2012. Hal | 166


Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, 2008. Pusat Bahasa. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian (judicial review) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika khususnya tentang ketentuan pidana mati terhadap Undangundang Dasar 1945.

Hal | 167


Tindak Pidana Yang Dilakukan Apoteker Di Bidang Kefarmasian Oleh: Adi Baladika, SH. Lulus pada tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. M. Rasyid Ariman, S.H. M.H. dan Artha Febriansyah, S.H., M.H.

A. PENDAHULUAN 1. Latar belakang Nama Apotek sudah dikenal oleh masyarakat sebagai tempat untuk menyimpan, menyediakan, dan menjual obat, dimana obat merupakan produk utama Apotek.Selain obat yang dijual di Apotek, juga berbagai produk keperluan kesehatan lainnya yakni keperluan pengobatan sehari-hari, keperluan pemeliharaan kesehatan dan keperluan peningkatan kesehatan. Secara umum Apotek mempunyai dua fungsi yakni memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat dan tempat usaha yang menerapkan prinsip laba.1 Layanan kesehatan kepada masyarakat salah satunya dalam bentuk penyerahan obat berdasarkan permintaan masyarakat, baik itu resep dokter (obat racikan dan bukan obat racikan) dan bukan resep dokter (obat pabrikan atau obat jadi).Apotek sebagai tempat usaha yang menerapkan prinsip laba dapat didirikan oleh perseorangan maupun kelompok yang bertujuan untuk mencari keuntungan.237 Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.2Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.3 Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang berhak melakukan pekerjaan kefarmasian adalah Apoteker. Fenomena di dalam kenyataan, pendistribusian obat berdasarkan permintaan dari masyarakat sebagai pemakai obat (konsumen) baik resep dokter (obat racikan dan bukan obat racikan) dan bukan resep dokter (obat pabrikan atau obat jadi) dimana kemungkinan terjadi kesalahan dalam pendistribusian 2371

Aryo Bogadenta, Manajemen Pengelolaan Apotek, D-Medika, Yogyakarta, 2012,

hlm 11.

Hal | 168


obat sehingga dalam ini masyarakat sebagai pemakai obat (konsumen) mengalami kerugian baik berupa cacat (sementara dan permanen) dan mati. 2. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diketahui permasalahan yakni Pasal-Pasal mana saja yang mengatur tindak pidana yang dilakukan Apoteker di bidang kefarmasian baik di dalam KUHP maupun Perundangundangan di luar KUHP dan Apa persamaan dan perbedaan dari Pasal-Pasal yang ada di dalam KUHP maupun Perundang-undangan di luar KUHP tersebut baik dilihat dari subjek hukum, jenis tindak pidana, objek hukum, sanksi pidana, kejahatan dan pelanggaran.238 3. Kerangka teori Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas maka sebelum dibahas lebih lanjut perlu diketahui apa tujuan hukum itu sendiri. Hukum memiliki keterkaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat.Kaidah yang hidup dalam pergaulan masyarakat mencerminkan cita-cita sistem nilai yang berlaku umum dalam masyarakat. Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat terhadap anggota lainnya maka yang dirugikan harus diganti oleh yang melakukan pelanggaran tersebut, peraturan harus ditegakkan dan yang melanggar tersebut agar tidak terulang kembali maka harus dikenakan sanksi hukuman, yang dapat dipaksakan kepadanya oleh alat kekuasaan publik.4 Hukum tidak dapat berdiri sendiri yang dimana ada hukum pastilah ada masyarakat atau sebaliknya. Maka dari itu untuk mendukung adanya hukum yang mengatur masyarakat diperlukan suatu kaidah atau norma yang mengikat bagi masyarakat. Kaidah atau norma merupakan sikap tindak dan perilaku yang baik dan yang buruk, yang patut dan tidak patut. Kaidah-kaidah terwujud secara alamiah dan dianut sekalipun tidak tertulis. Ada yang merupakan kaidah atau norma hukum, namun banyak pula yang berupa kaidah atau norma-norma lain yang bukan kaidah atau norma hukum.5 Norma-norma lain yakni norma kepercayaan, norma kesusilaan, dan norma kesopanan selain daripada norma hukum.239 2382

Pasal 1 angka 13 PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 124. 3 Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. 2394

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm 2.

Hal | 169


Norma adalah segala sesuatu yang menjadi pedoman bagi orang untuk bersikap tindak di dalam kehidupannya, baik dalam hidupnya sendiri secara pribadi maupun dalam pergaulannya dengan orang lain/masyarakat.Normanorma hukum, yaitu segala sesuatu yang menjadi pedoman bagi setiap orang untuk bersikap tindak yang baik dalam bidang hukum, dalam arti selaras dengan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.6 Peraturan-peraturan hukum yang berlaku bertujuan untuk menciptakan stabilitas yang kondusif bagi masyarakat agar dapat dilindungi hak dan kewajibannya serta tidak main hakim sendiri (Eigenrichting). Untuk mewujudkan stabilitas setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur (regelen/anvullen recht) dan aturan-aturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Menurut Dr. Soedjono Dirdjosisworo bahwa tujuan hukum adalah menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama.7 Sebagaimana dijelaskan pada latar belakang masalah, Kesalahan dari Apoteker sehingga mengakibatkan kerugian bagi konsumen berupa cacat dan mati, apabila dikaitkan dengan tujuan hukum, maka timbulah tujuan pidana itu sendiri bagi masyarakat. 240 Literatur inggris, tujuan pidana biasa disingkat dengan 3 (tiga) R itu ialah Reformation, Restraint, Retribution, dan 1 (satu) D ialah Deterrence yang terdiri atas Individual Deterrence dan General Deterrence (pencegahan khusus dan pencegahan umum). Reformation berarti memperbaiki diri pelaku menjadi orang baik dan berguna bagi dirinya, orang lain dan masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat agar perbuatan yang dilakukan oleh pelanggar tidak terulang lagi.Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Dan terakhir Deterrance, berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.8 Dari ke semua tujuan pidana diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana adalah 5

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 84. 2406 A.Ridwan Halim,Pengantar Ilmu Hukumdlm Tanya Jawab,GhaliaIndonesia,Jakarta, 1983, hlm 61 7 Sudarsono, Op.cit, hlm 48.

Hal | 170


untuk membuat pelaku jera sehingga pelaku tidak lagi mengulangi lagi perbuatan, dapat memperbaiki diri dan dapat berguna bagi masyarakat. Berkaitan dengan tujuan pidana yang telah dijelaskan sebelumnya maka muncul beberapa teori dalam hukum pidana. Ada 3 (tiga) macam teori untuk membenarkan adanya penjatuhan pidana :9241 1. Teori Absolut atau Pembalasan 10 Teori-teori ini dikenal sejak akhir abad ke-18 yang sebagian besar dianut oleh ahli-ahli filsafat jerman. Pokoknya, yang dianggap sebagai dasar hukum dari pidana itu ialah pembalasan (Belanda :vergelding, Jerman : vergeltung). Pidana itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap perbuatan pidana yang dilakukan seseorang. 2. Teori Relatif atau Tujuan 11 Hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman tersebut dengan harapan dapat memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan itu.Tujuan hukuman dipandang secara ideal atau layak.Selain itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. Perbedaan dalam hal prevensi, yakni :Algemene Preventie, hal ini dapat dilakukan dengan ancaman, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan (eksekusi) hukuman, Speciale Preventie, prevensi ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan itu. 3. Teori-Teori Gabungan 12 Merupakan gabungan dari teori absolut dan relatif. Gabungan kedua 242 teori ini mengajarkan penjatuhan hukuman untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat. Dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan adalah : 1. Menjerakan penjahat; 2. Membinasakan atau membuat tak berdaya lagi si penjahat; 3. Memperbaiki pribadi si penjahat.

2418

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm 28. Ibid, hlm 30. 242 10 Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Unsri, Palembang, 2007, hal 27. 11 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm 106. 12 Ibid, hal 107. 9

Hal | 171


B. PEMBAHASAN A. Pasal-Pasal yang mengatur tindak pidana yang dilakukan Apoteker di bidang kefarmasian baik di dalam KUHP maupun Perundang-undangan di luar KUHP. 1. KUHP a. Buku II BAB VII (Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang maupun barang)13 1. Pasal 204 Membagi-bagikan barang yang diketahui membahayakan nyawa atau kesehatan seseorang. 2. Pasal 205 Barangsiapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang.243 3. Pasal 206 Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam Pasal 204 dan 205, hakim dapat memerintahkan supaya putusan diumumkan. b. Buku II BAB XV (Meninggalkan orang yang perlu ditolong)14 1. Pasal 304 Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara. 2. Pasal 306 Salah satu perbuatan berdasarkan Pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka-luka berat dan kematian diancam dengan pidana. c. Buku II BAB XVII (Membuka rahasia)15 1. Pasal 322 Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya.244 2. Pasal 323

24313

Buku II BAB VII KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Buku II BAB XV KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). 15 Buku II BAB XVII KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). 24414

Hal | 172


Barangsiapa dengan sengaja memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan dagang, kerajinan atau pertanian, dimana ia bekerja atau dahulu bekerja. d. Buku II BAB XIX (Kejahatan terhadap nyawa orang)16 Pasal 338 Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain. 1. Pasal 339 Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana. 2. Pasal 340 Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain. 3. Pasal 344 Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri.245 4. Pasal 346 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu. 5. Pasal 347 Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya. 6. Pasal 348 Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya. 7. Pasal 349 Jika seorang dokter, bidan, juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346. 8. Pasal 350 Dalam hal pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan dengan rencana, atau karena salah satu

24516

Buku II BAB XIX KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Hal | 173


kejahatan berdasarkan Pasal 344, 347 dan 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1-5. e. Buku II BAB XXI (Menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan)17 1. Pasal 359 Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati. 2. Pasal 360 Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama jangka waktu tertentu. 3. Pasal 361 Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian.246 f. Buku III BAB V (Pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan)18 1. Pasal 531 Barangsiapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain. 2. Perundang-undangan di luar KUHP a. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan19 1. Pasal 190 Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien.247 24617

Buku II BAB XXI KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). 24718

Buku III BAB V KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Hal | 174


2. Pasal 191 Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi tidak mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian. 3. Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan. 4. Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu. 5. Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar. 6. Pasal 198 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian. 7. Pasal 201 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190-192 dan Pasal 196-200 dilakukan oleh korporasi. b. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika20 1. Pasal 111 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. 2. Pasal 112

19

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 144.

Hal | 175


3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki ,menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman. Pasal 113 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau 248 menyalurkan Narkotika Golongan I. Pasal 114 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I. Pasal 115 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I. Pasal 116 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain. Pasal 117 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II. Pasal 118 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II. Pasal 119 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II.

24820

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 143.

Hal | 176


10. Pasal 120 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II. 11. Pasal 121 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain. 12. Pasal 122 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III. 13. Pasal 123 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III. 14. Pasal 124 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III. 15. Pasal 125 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III. 16. Pasal 126 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain. 17. Pasal 129 setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. 18. Pasal 130

Hal | 177


Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111-126, dan 129 dilakukan oleh korporasi. 19. Pasal 131 Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111-129. 20. Pasal 132 Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111-126, dan Pasal 129. 21. Pasal 135 Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban. 22. Pasal 137 Setiap orang yang menempatkan, membayarkan atau membelanjakan yang berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika. 23. Pasal 144 Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana. 24. Pasal 147 pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. c. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Psikotropika21 1. Pasal 59 Barangsiapa mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan.249 2. Pasal 60 Barangsiapa memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan, memproduksi atau 24921

Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Lembaran Negara RI Tahun 1997 No. 10.

Hal | 178


mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan, memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen di bidang kesehatan. 3. Pasal 62 Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika. 4. Pasal 63 ayat (1) Barangsiapa tidak mencantumkan label. 5. Pasal 65 Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah. B. Persamaan dan perbedaan dari Pasal-Pasal yang ada di dalam KUHP maupun Perundang-undangan di luar KUHP tersebut baik dilihat dari subjek hukum, jenis tindak pidana, objek hukum, sanksi pidana, kejahatan dan pelanggaran. 1. Persamaan

Hal | 179


Tabel 1: Persamaan antara Pasal-Pasal KUHP dengan Perundang-undangan di luar KUHP PASAL-PASAL PARAMETER KUHP

UU KESEHATAN Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, Korporasi, setiap orang

UU NARKOTIKA Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, Korporasi, setiap orang

Menggunakan, memproduksi, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, menyalurkan, menyerahkan, menerima, melakukan pengangkutan, mengedarkan -

SUBJEK

Barangsiapa

TINDAK PIDANA

Menjual, menawarkan, menyerahkan, dijual, menggugurkan atau mematikan kandungan wanita (melakukan aborsi), tidak memberikan pertolongan

Melakukan aborsi, tidak memberikan pertolongan, memproduksi, mengedarkan

Menjual, menawarkan, Menggunakan, memproduksi, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, menyalurkan, menyerahkan, menerima, mengangkut, dijual

OBJEK

Kandungan wanita

Kandungan wanita

-

SANKSI PIDANA

Pidana mati, pidana penjara dan pidana denda

Pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan

KEJAHATAN PELANGGARAN

-

-

Pidana mati, pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan -

UU PSIKOTROPIKA

Barangsiapa, Korporasi

Pidana mati, pidana penjara dan pidana denda -

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa subjek dalam KUHP hanya sama dengan subjek dalam UU Psikotropika (barangsiapa), sedangkan UU Psikotropika subjeknya sama dengan UU Kesehatan dan UU Narkotika (korporasi) dan subjek dalam UU Kesehatan dan UU Narkotika semuanya sama. Tindak pidana dalam KUHP dan UU Kesehatan (melakukan aborsi dan tidak memberikan pertolongan), KUHP dan UU Narkotika (menjual, menawarkan, menyerahkan, dijual), KUHP dan UU Psikotropika (menyerahkan).UU Kesehatan dan UU Narkotika (memproduksi), UU Kesehatan dan UU Psikotropika (mengedarkan).UU Narkotika dan UU Psikotropika (menggunakan, memproduksi, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, menyalurkan, menyerahkan, menerima dan mengangkut). Hal | 180


Objek dalam KUHP hanya sama dengan UU Kesehatan (kandungan wanita). Untuk sanksi pidana baik dalam KUHP, UU Kesehatan, UU Narkotika dan UU Psikotropika semuanya memiliki ketentuan pidana penjara dan pidana denda sedangkan pidana mati hanya ada pada (KUHP, UU Narkotika dan UU Psikotropika) dan pidana tambahan hanya ada pada (UU Kesehatan dan UU Narkotika). Kejahatan dan pelanggaran tidak ada persamaan. 2. Perbedaan Tabel 2 : Perbedaan antara Pasal-Pasal KUHP dengan Perundangundangan di luar KUHP PARAM ETER

SUBJEK

TINDAK PIDANA

OBJEK

SANKSI PIDANA KEJAHA TAN PELANG GARAN

KUHP Wanita, dokter, bidan dan juru obat Membagibagikan, dibagibagikan, menempatkan, membiarkan, membuka rahasia, memberitahukan, merampas nyawa, pembunuhan dengan rencana, membantu melakukan kejahatan, kesalahan (kealpaan) Barang, keadaan seseorang, rahasia jabatan, perusahaan dagang, nyawa seseorang

PASAL-PASAL UU UU NARKOTIKA KESEHATAN Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan, pimpinan Tenaga industri farmasi dan kesehatan pimpinan pedagang besar farmasi

UU PSIKOTROPIKA

-

Tanpa izin melakukan praktik, tidak memiliki keahlian dan kewenangan

Menanam, memelihara, menyediakan, mengekspor, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, mengirim, mentransito, memberikan, menguasai

Pengemasan, tidak mencantumk an label, mengiklanka n, tidak melaporkan penyalahgun aan dan pemilikan

Pasien, praktik kefarmasian, sediaan farmasi, alat kesehatan dan teknologi

Narkotika dan prekursor narkotika

Psikotropika

Pidana kurungan

-

-

-

Bab II

-

Pasal 63

Pasal 68

Bab III

Pasal 186

-

-

Hal | 181


Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa subjek, tindak pidana, objek, sanksi pidana, kejahatan dan pelanggaran tidak ada yang sama, semuanya berbeda dan memiliki masing-masing kekhususan yang tidak sama satu sama lain misalnya sanksi pidana berupa pidana kurungan hanya ada pada KUHP. Pada sub menu parameter dimana kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP sudah jelas bahwa kejahatan diatur dalam Buku II dan pelanggaran Buku III. UU Kesehatan bukan UU Pidana namun bersanksi pidana dan masuk dalam kategori pelanggaran. Dimana disebutkan dalam Pasal 186 UU Kesehatan berbunyi : "Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran hukum di bidang kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan". Selain UU Kesehatan, UU Narkotika dan UU Psikotropika juga bukan UU Pidana namun bersanksi pidana dan masuk dalam kategori kejahatan. Dimana untuk Narkotika disebutkan dalam Pasal 63 UU Narkotika berbunyi : "pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional". Dalam penjelasan Pasal 63 UU Narkotika berbunyi : "ketentuan ini menegaskan bahwa kerja sama internasional meliputi juga kerja sama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan Narkotika transnasional yang terorganisasi". Lebih lanjut untuk Psikotropika disebutkan dalam Pasal 68 UU Psikotropika yang berbunyi : "tindak pidana di bidang Psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang ini adalah kejahatan". C. PENUTUP 1. Kesimpulan Pasal-Pasal yang mengatur tindak pidana yang dilakukan Apoteker di bidang Kefarmasian merupakan ketentuan atau aturan hukum pidana yang berlaku bagi Apoteker, salah satu kasus yang sering terjadi adalah dalam pendistribusian obat ke konsumen kesalahan kemungkinan dapat terjadi.Tindak pidana yang dilakukan sifatnya dapat aktif juga pasif.Aktif apabila tindak pidana tersebut ada niat dari Apoteker sedangkan pasif, tindak pidana itu merupakan murni kesalahan konsumen namun Apoteker tetap bertanggung jawab karena Apoteker merupakan profesi pelayanan kesehatan.Pasal-Pasal yang mengatur Hal | 182


tindak pidana tersebut selain KUHP juga perundang-undangan di luar KUHP (UU Kesehatan, UU Narkotika dan UU Psikotropika). Persamaan dan perbedaan antar Pasal-Pasal dalam KUHP dan Perundang-undangan di luar KUHP bertujuan untuk mengetahui dimana letak asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis.Pengertian Lex Specialis Derogat Lex Generalis artinya ketentuan khusus boleh mengesampingkan ketentuan umum asalkan ketentuan khusus tidak bertentangan dengan ketentuan umum.Ketentuan umum yakni KUHP dan ketentuan khusus yakni Perundang-undangan di luar KUHP. Diketahuinya mengenai asas ini apabila ada persamaan dalam ketentuan perundang-undangan di luar KUHP yang sama dengan KUHP maka dapat digunakan dua-duanya sedangkan apabila tidak ada maka digunakan salah satu saja. Persamaan dan perbedaan antar Pasal dalam KUHP dan Perundangundangan di luar KUHP dapat memudahkan penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim dalam menyelesaikan perkara/kasus Apoteker di bidang kefarmasian. 2. Saran Perlu adanya UU khusus Tentang Kefarmasian sehingga PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian yang isinya sebagian besar mengatur tentang Apotek dan Apoteker dapat menjalankan UU Kefarmasian tersebut sebagaimana mestinya dan PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian tidak lagi bergantung pada Undang-Undang Kesehatan karena untuk aturan mengenai Apotek sebagai objek hukum, Apoteker sebagai subjek hukum yang dimana kedua variabel ini (Apotek dan Apoteker) yang kedua bergerak di bidang kefarmasian dapat tertuju hanya pada UU tentang Kefarmasian sebagai aturan khusus mengenai Kefarmasian. Apabila UU khusus Tentang Kefarmasian sudah dibentuk, PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian yang menjalankan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dapat dicabut atau dibentuk Peraturan Pemerintah baru yang menjalankan UU khusus Tentang Kefarmasian digabung dengan PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian sehingga hanya ada 1 (satu) PP yang menjalankan UU tentang Kefarmasian. Dalam hal pembelian obat baik itu berdasarkan resep dokter maupun bukan resep dokter, belilah di Apotek yang ada Apotekernya minimal ada 1 (satu) Apoteker yang bertugas di Apotek tersebut, hindari pembelian obat di Apotek yang tidak ada Apoteker. Apotek wajib ada Apoteker. Dalam memilih Apoteker, pilihlah yang sudah dikenal oleh konsumen (sebagai pemakai obat) dan sudah berpengalaman Hal | 183


dengan cara melihat kinerja sehari-hari di Apotek tersebut atau bertanya dengan masyarakat sekitar dalam hal kualitas Apotek maupun Apoteker di tempat tersebut. Dalam hal pelayanan terhadap masyarakat, Apotek sebaiknya dibuka selama 24 jam dengan sistem pergantian karyawan dan Apoteker serta Apotek juga dibuka pada hari besar (peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, Hut Kemerdekaan RI) dan hari libur (Minggu). Apotek yang buka 24 jam, hari besar maupun hari libur karyawan dan Apoteker yang ada di Apotek tersebut dibuat sistem pergantian (shift) karyawan dan Apoteker guna menghindari kelelahan dalam bertugas, karena jika kelelahan kemungkinan dapat terjadi kesalahan dalam pendistribusian obat.

Hal | 184


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku A. Ridwan Halim, 1983, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta. Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Aryo Bogadenta, 2012, Manajemen Pengelolaan Apotek, D-Medika, Yogyakarta. Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2007, Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Unsri, Palembang. Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sudarsono, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. B. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

Hal | 185


Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan Oleh: Niko Silvanus, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. H. Ruben Achmad, SH.,MH dan Henny Yuningsih, SH.,MH

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Di Indonesia sumber utama hukum pidana terdapat dalam kitab Undang Undang Hukum Pidana dan peraturan perundang undangan hukum pidana lainya. Tetapi disamping KUHP masih dimungkinkan sumber dari hukum adat atau hukum rakyat yang masih hidup sebagai peristiwa pidana dengan batasan batasan tertentu menurut Undang Undang darurat 1951 No.1 pasal 5 ayat (3) B. Untuk hukum acara pidana bersumber pada KUHAP, Undang Undang Republik Indonesia No 8 tahun 1981.250 Tindak Pidana adalah suatu kejahatan atau perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai oleh ancaman dan sanksi sanksi yang semuanya itu telah diatur dalam undang undang dan begitu pula dalam KUHP. Tindak pidana sering juga disebut dengan istilah kejahatan. Sebab kejahatan merupakan suatu masalah dalam masyarakat karena sebagai perbuatan manusia yang mengalami perkembangan sebagaimana dari perkembangan dari perkembangan masyarakat itu sendiri. Salah satu dari bentuk tindak pidana tersebut adalah perbuatan tidak menyenangkan. Tindak pidana ini merupakan gangguan terhadap ketentraman dan kenyamanan masyarakat. Perbuatan tidak menyenangkan adalah setiap perlakuan yang menyinggung perasaan orang. Perlakuan ini dapat berupa ucapan kata kata atau perbuatan perbuatan yang tidak langsung mengenai orangnya.251 Sebagaimana termuat dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat ketentuan ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana 250

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta ,1985,

hlm 37. 251

R Soesilo, Kitab Undang Undang Hukum Pidana serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea,Bogor, 1986, hlm 236.

Hal | 186


perbuatan tidak menyenangkan, yang terkandung yaitu pada Bab XVIII, tentang kejahatan terhadap orang, khususnya pada Pasal 335 KUHP. Pasal 335 Ayat (1) ke 1 KUHP : (1) “Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah” ; Ke 1 “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan , suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”. Ke 2 “Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis”. (2) “Dalam hal diterangkan Ke-2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena”. Sebagai contoh yang terjadi ialah perkara perbuatan tidak menyenangkan yang terdapat Pengadilan Negeri Palembang, dimana terdakwa tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan tersebut atas nama Elisa Damayanti alias Lis dan Wawan Heriyanto Als YantoBin Soleh. Jaksa kemudian menuntut terdakwa dengan pidana selama 3 bulan untuk terdakwa Elis dan 8 bulan untuk terdakwa Yanto. Pengadilan Negeri Palembang yang memeriksa dan mengadili perkara pidana menjatuhkan putusan : 0988/Pid.B/2012/PN.PLG atas nama Elisa Damayanti alias Lis dan No 0898/PID.B/ 2012/PN. PLG atas namaWawan Heriyanto Als Yanto Bin Soleh. Setelah peradilan dilaksanakan maka ditetapkanlah sebuah keputusan yang disebut ”Putusan Pengadilan”. Hakim kemudian memutus terdakwa Elis dengan pidana penjara selama 2 bulan untuk terdakwa Elis dan 6 bulan untuk terdakwa Yanto Putusan pengadilan ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan selanjutnya jaksa melaksanakan putusan tersebut maka dari itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepada jaksa tersebut. Dari putusan pengadilan di atas dapat di lihat beberapa perbedaan antara pandangan jaksa dan hakim dalam menerapkan sanksi terhadap pelaku perbuatan tidak menyenangkan. Selain itu tidak semua kasus perbuatan tidak menyenangkan ini sampai pada tahap pengadilan hal tersebut dikarenakan adanya hambatan bagi penyidik dalam melakukan penyelidikan yang dalam hal ini dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk itu kita harus Hal | 187


tahu terlebih dahulu apa yang menjadi penghambat dalam proses peradilan pada kasus perbuatan tidak menyenangkan dan bagaimana penerapan sanksi yang tepat terhadap pelaku perbuatan tidak menyenangkan ini Maka dari itulah penulis tertarik mengangkat PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN (Studi Kasus Putusan PN. Palembang No:0988/Pid.B/2012/ PN.PLG dan No 0898/PID.B/2012/PN.PLG ) menjadi Jurnal Hukum. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik suatu permasalahan sebagai berikut 1. Apa yang menjadi hambatan bagi penyidik dalam melakukan penyidikan pada perkara tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan ? 2. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan berdasarkan putusanPN. PalembangNo : 0988/Pid.B/2012/PN.PLG dan No 0898/PID.B/ 2012/PN. PLG. 3. Kerangka Teori Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi acuan dan bertujuan untuk mengindentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.252 Adapun teori-teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini ialah : a) Teori Pemidanaan Berdasarkan dengan tujuan pemidanaan, paling tidak terdapat 3 golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu :253 1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien) Teori pembalasan mengatakan, bahwa pemidanaan tidaklah bertujuan untuk hal - hal yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi suatu keharusan,. Hakekat suatu pemidanaan adalah pembalasan.

252

Soerjono SoekantoPengantar Penelitian Hukum Cet ke-3, UI. Press, Jakarta, 1986,

hlm 125. 253

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011,

hlm 33-38.

Hal | 188


2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien) Teori tentang tujuan pemidanaan yang kedua yaitu teori relatif. Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam penyelenggaraan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pemidanaan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda - beda: menakutkan, memperbaiki atau membinasakan. 3. Teori gabungan (verenigingstheorien) Kemudian teori gabungan antara pembalasan dan prevensi terdapat beberapa variasi. Ada yang menitikberatkan pada pembalasan, dan ada pula yang menghendaki unsur pembalasan dan prevensi seimbang. Yang pertama, yaitu menitik beratkanpada unsrur pertahanan tata tertibmasyarakat. Menurut teori ini, bahwa pidana yang dijatuhakn tidak boleh lebih berat dari pada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya. b) Teori Pengambilan Keputusan Menurut Reid Hastie teori pengambilan keputusan adalah pengambilan keputusan yang disusun berdasarkan prinsip rasional dan teori pengambilan keputusan ini dibagi menjadi tiga, yaitu :254 1. Pendekatan Teori Probalitas Pendekatan teori probalitas ini pada awalnya hakim haruslah mempunyai kekuatan keyakinan terlebih dahulu terhadap kasus yang sedang ditangani. Keyakinan hakim disini dapat terbentuk dari bagaimana hasil kerja yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta semua hal yang terkait kasus tersebut. Setelah hakim memiliki keyakinan terhadap kasus tersebut barulah hakim mengindentifikasi dan memahami informasi-informasi yang nantinya akan berpengaruh terhadap keyakinan hakim. 2. Pendekatan Teori Aljabar Pendekatan teori aljabar ini biasanya banyak dipergunakan dalam teori psikologi yang diterapkan dalam perubahan sikap, pandangan terhadap manusia hingga dalam pembuatan keputusan. Ilmu kedokteran kehakiman merupakan salah satu bagian ilmu kedokteran jiwa yang mengkhusukan diri dalam hal-hal kasus gangguan jiwa yang berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan

254

Abdul Mun'im Idris dan Sutomo Slamed Iman, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gunung Agung, Jakarta, 1985, hlm 109.

Hal | 189


oleh terdakwa yang melakukan tindak pidana tersebut dimana yang bersangkutan itu dalam keadaan terganggu jiwanya. 3. Pendekatan Model Cerita Hakim dalam memutuskan perbuatan pidana yang telah memperoleh serta mengumpulkan informasi-informasi yang didapatkanya dari jaksa penuntut umum, saksi, terdakwa maupun barang bukti barulah mengembangkan pendekatan teori model cerita yang diawali dengan perhatian hingga dapat menggambarkan tingkah laku. Setelah konstruksi cerita dari hakim maka disusun berdasarkan bukti-bukti serta kesimpulan dari hakim, maka hakim dapat menyusun lebih dari satu cerita yang hakim pun memiliki keyakinan terhadap cerita yang terbalik dari semua cerita yang disusunya. B. PEMBAHASAN 1. Hambatan Bagi Penyidik Dalam Melakukan Penyidikan Pada Perkara Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan Dalam penyelesaian perkara tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan, tentunya harus melalui Sistem Peradilan Pidana. Menurut Mardjono Reksodipoetro 255 , Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga pemasyarakatan. Di dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat suatu tahap yang dinamakan Penyidikan. Yang dimaksud dengan penyidikan adalah “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menuntut yang diatur dalam undang - undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 ayat 2 KUHAP).256 Dalam menyelesaikan perkara tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan haruslah melewati tahap peyidikan. Kemudian pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan tersebut akan dilakukan penyidikan di Kepolisian. Setelah Kepolisian melakukan penyidikan maka kepolisian akan membuat Berita Acara Pemeriksaan atau BAP untuk diserahkan ke Kejaksaan. Kemudian Jaksa Penuntut Umum akan memeriksa BAP dari Kepolisan lalu menyatakan sudah lengkap atau belum syarat formil yang dibutuhkan untuk melakukan proses persidangan di Pengadilan. 255

Panjaitan, Petrus Irwan, dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan ,Jakarta, 1995, hlm 21. 256 Moch. Faisal Salam, Loc cit, hlm 35.

Hal | 190


Sebagai contoh dalam 2 (dua) tahun belakangan ini jumlah kasus tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan yang masuk ke Polresta Palembang dan Pengadilan Negeri Palembang pada tahun 2011 sebanyak 20 (dua puluh) kasus dan pada tahun 2012 sebanyak 30 (tiga puluh) kasus. Hal tersebut menandakan bahwa BAP yang dibuat oleh Kepolisian belum memenuhi syarat formil sehingga Jaksa Penuntut Umum menyatakan belum dapat dapat dilanjutkan ke Pengadilan untuk dilakukan persidangan dan meminta Kepolisian untuk memenuhi syarat formil yang dibutuhkan Jaksa Penuntut Umum tersebut. Tidak terpenuhinya syarat Formil dalam BAP yang dibutuhkan Jaksa Penuntut Umum dikarenakan Kepolisian menemui beberapa hambatan dalam melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan Adapun hambatan yang ditemukan oleh penyidik dalam melakukan penyidikan sehingga dari seluruh kasus yang masuk ke kantor tidak seluruhnya dapat diajukan ke Pengadilan Negeri Palembang ialah:257 1. Substansial (Peraturan perundang - undangan) Masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan yang termuat dalam Pasal 335 Ayat (1) Ke-1 KUHP dan belum adanya pengertian khusus yang mengatur apa sajakah dan bagaimanakah bentuk-bentuk perbuatan tidak menyenangkan karena dalam Pasal 335 KUHP sendiri hanya menyebutkan tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang. 2. Struktural (Aparat penegak hukum) Membahas mengenai aparat penegak hukum sebagai faktor penghambat, maka kebutuhan personil aparat penegak untuk melakukan penyuluhan terhadap warga haruslah ditambah jumlahnya, hal ini untuk memberi pengertian terhadap warga tentang spesifikasi tindak pidana perbuatan tidak menyenagkan, hal ini mengingat pada tugas dari pihak kepolisian sebagai pengayom masyarakat. Selain itu menurut analisis penulis, bahwa dari aspek aparat penegak hukum itu sendiri hendaklah jeli dalam melihat substansi dari peraturan

257

Wawancara dengan Ipda Masrizal, di ruang Bareskrim Polresta Palembang, pada tanggal 24 April 2013 Pukul 10.30 WIB.

Hal | 191


tersebut baik dari unsur-unsur subjektif maupun objektif suatu tindak pidana yang terjadi di masyarakat. 3. Kultural (Budaya masyarakat) Budaya hukum dan kesadaran hukum masyarakat serta Minimnya pemahaman masyarakat dalam hukum, merupakan bagian faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan. Adanya sosialisasi hukum dari aparat penegak hukum itu sangat penting untuk menumbuhkan budaya serta kesadaran hukum masyarakat.Biasanya yang hanya dapat hadir ialah saksi korban saja dan saksi selain korban tyang melihat langsung tidak dapat dihadirkan, hal ini dapat menghambat penyidik dalam mencukupi syarat formil yaitu terdapatnya asas satu saksi bukan saksi atau unus testis nullus testis sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1991 2. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan Pada bab ini, penulis akan mencoba mengemukakan Putusan hakim dalam perkara pidana perbuatan tidak menyenangkan yang dijatuhkan di Pengadilan Negeri Palembang. Kasus ini diperoleh dengan mempelajari dari berkas-berkas perkara yang ada di Pengadilan Negeri Palembang. Dengan demikian hasil analisis kasus nantinya merupakan pendukung daripada materi yang dibuat pada bab-bab sebelumnya, dan dapat diuji kebenaranya sesuai dengan kesimpulan sementara tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan. 1. Putusan Pengadilan Negeri Palembang No.0988/Pid.B/2012/PN.PLG Atas nama terdakwa Elisa Damayanti Als Lis Binti Robani a. Duduk Perkara Bahwa terdakwa Elisa Damayanti Als Lis Binti Robani pada hari Senin, 16 September 2011 sekitar pukul 16.00 WIB di Jl GHA Bastari Jakabaring Palembang, telah melakukan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan. Korban Ani bersama saksi Dian Saputra yang hendak mencari suaminya yang bernama Mulkan di pangkalan truk milik saksi Nusri alias Basri yang berlokasi di Jl GHA Bastari. Kemudian setelah beberapa saat ternyata korban berhasil menemukan suaminya tersebut di dalam mobil dan langsung menyuruh suaminya tersebut untuk langsung pulang, hal tersebut dikarenakan korban telah Hal | 192


meninggalkan korban selama 30 hari. Di dalam mobil tersebut juga terdapat terdakwa yang merupakan istri muda mulkan. Terdakwa kemudian merasa tidak senang dan terdakwa pun langsung turun dari mobil itu sambil mengacungkan sebuah obeng ke arah korban diiringi perkataan “Sini mati kau, kubunuh kau�, dan pada saat itu saksi Dian langsung menangkis tangan terdakwa dan mengambil obeng tersebut dari tangan terdakwa, kemudian suaminya tersebut menutur korban dan saksi dian untuk pulang ke rumah. b. Dakwaan Perbuatan terdakwa diancam sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) Ke-1 KUHP. c. Tuntutan TUNTUTAN 1. Menyatakan terdakwa Elisa damayanti alias Lis Binti Robani telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan pasal 335(1) KUHP; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 bulan dipotong dengan masa tahanan yang telah dijalankan oleh terdakwa dengan perintah terdakwa tetap ditahan; 3. Menyatakan barang bukti : 1 bilah obengbesi warna kuning sepanjang 30 cm dirampas untuk dimusnahkan; 4. Menetapkan agar terdakwa dibebankan membayar biaya perkara sebesar Rp.2000,-. Setelah Hakim mempelajari perkara tersebut, Hakim mengeluarkan sebuah putusan, yang isi nya sebagai berikut : d. Putusan MENGADILI 1. Menyatakan terdakwa Elisa damayanti alias Lis Binti Robani telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana"Perbuatan tidak menyenangkan"; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 bulan' 3. Menyatakan bahwa lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana tersebut; 4. Memerintah terdakwa tetap ditahan; Hal | 193


5.

Memerintahkan barang bukti berupa : 1 bilah obengbesi warna kuning sepanjang 30 cm dirampas untuk dimusnahkan; 6. Menetapkan agar terdakwa dibebankan membayar biaya perkara sebesar Rp.2000,-. 2. Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 0898/PID.B/2012/PN.PLG Atas nama terdakwa WAWAN HERIYANTO Als YANTO Bin SOLEH a. Duduk Perkara Bahwa terdakwa Wawan Heriyanto Als Yanto Bin Soleh pada hari Senin tanggal 23 Januari 2012 sekitar pukul 16.30 WIB di di Jalan Basuki Rahmat Depan PTC Palembang, telah melakukan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan. Korban Jimmy bersama saksi M.Nur dan saksi Kamaludin yang hendak mencari Terdakwa yang bernama Yanto di Jl. Basuki Rahmat depan PTC Palembang, dengan maksud menyelesaikan masalah yang sebelumnya terjadi antara terdakwa Yanto dan Korban Jimmy, masalah tersebut diakibatkan korban membawa angkot yang hampir menabrak angkot terdakwa dan tedakwa pun meminta korban agar menyetorkan uang sebanyak Rp 300.000 setiap bulannya kepada terdakwa. Kemudian setelah beberapa saat setelah korban bersama kedua saksi M.Nur dan saksi Kamaludin menunggu terdakwa lewat, akhirnya terdakwa pun lewat sembari menurunkan penumpang. Terdakwa kemudian merasa tidak senang dan terdakwa pun langsung turun dari mobil angkot itu sambil membawa samurai kemudian mengejar korban diiringi perkataan “apo kendak kau mo, mano keluarga kau”, dan pada saat itu korban dan saksi M.Nur berlari kucar-kacir menyelamatkan diri masing-masing ke lorong di depan PTC sambil berkata “awas Yanto bawa pedang”. Lantas terdakwa pun marah dan membacok helm sepeda motor milik saksi Kamaludin yang adalah mertua korban, hal tersebut dikarenakan terdakwa tidak berhasil mendapatkan korban dan saksi. 3. Analisis hukum kasus Elisa Damayanti alias Lis Binti Robani dan Wawan Heiyanto alias Yanto bin Soleh Menurut responden Posma P Nainggolan, mengenai pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan tersebut mengacu pada Pasal yang didakwakan yaitu Pasal 335 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Serta memperhatikan keterangan para saksi-saksi, Hal | 194


keterangan kedua terdakwa itu sendiri serta dihubungkan satu sama lain hingga saling berkaitan dan saling melengkapi, setelah majelis hakim telah mendapatkan fakta-fakta hukum dan dari fakta-fakta hukum dan dari fakta-fakta hukum itu majelis hakim akan mempertimbangkan apakah terdakwa tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan akan perbuatanya sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.258 Apabila pernyataan responden di atas dihubungkan dengan teori pengambilan keputusan, maka dapat disimpulkan bahwa hakim telah menggunakan teori Probalitas, dimana keyakinan hakim disini dapat terbentuk dari bagaimana hasil kerja yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta semua hal yang terkait kasus tersebut. Setelah hakim memiliki keyakinan terhadap kasus tersebut barulah hakim mengindentifikasi dan memahami informasi-informasi yang nantinya akan berpengaruh terhadap keyakinan hakim. Setelah pada tahap ini kesemua hal yang telah dilalui hakim tersebut maka barulah hakim mengkombinasikan dengan bukti baru apabila dari informasiinformasi yang diperolehnya tadi ia mendapatkan bukti baru sehingga memperbarui lagi keyakinanya yang akan menjadi pertimbangan baginya. Setelah pada tahap akhir barulah hakim membandingkan hasil akhir yang telah dicapainya dengan kriteria hakim dalam mengadili.259 Lamanya pidana yang akan dijatuhkan yaitu pidana penjara selama 2 (dua) bulan 15 (lima belas) hari untuk terdakwa Elisa Darmayanti dan 6 (enam bulan) untuk terdakwa Wawan Heriyanto, disesuaikan dengan tingkat kesalahan si pelaku, sikap batin si pelaku, motivasi tindak pidana tersebut, pengaruh terhadap diri korban atau masyarakat, serta fakta-fakta hukum lainya yang terungkap di persidangan dan juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan maupun yang meringankan yang terdapat di dalam diri terdakwa. Posma P Nainggolan menjelaskan dalam kaitanya kasus perbuatan tidak menyenangkan yang tertuang dalam Pasal 335 Ayat (1) KUHP menentukan dapat dijatuhkan pidana penjara meskipun ancaman hukumanya paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan . pasal ini tidak menyebutkan pidana minimal, sehingga dalam penjatuhan pidana , pasal ini 258

Wawancara dengan Posma P Nainggolan, di ruang Hakim Pengadilan Negeri Palembang, pada tanggal 8 Mei 2013 Pukul 09.25 WIB. 259

Abdul Mun'im Idris dan Sutomo Slamed Iman, Ilmu Kedokteran KehakimanGunung Agung,Jakarta, 1985, hlm 48

Hal | 195


harus dikembalikan pada Pasal 13 Ayat (2) KUHP yang menentukan batas minimal pidana adalah 1 (satu) hari penjara, sehingga hakim mempunyai kebebasan untuk menjatuhkan pidana berdasarkan keyakinanya.260 Dari uraian di atas dan bila dihubungkan dengan teori tujuan pemidanaan yaitu teori Absolut, teori Relatif dan teori Gabungan, maka hakim telah mempergunakan teori gabungan terhadap terdakwa Elisa Damayanti Als Lis Binti Robani dan terdakwaWawan Heriyanto Als Yanto Bin Soleh . Terbukti dengan putusan hakim, yang menjatuhkan putusan pidana penjara sebagai sarana pembalasan terhadap diri terdakwa juga menjadikan sarana tujuan yaitu memberikan pelajaran kepada terdakwa agar di lain waktu tidak mengulangi perbuatanya dan sebagai shock terapy bagi masyarakat agat tidak mengikuti perbuatan tersebut.261 Penjatuhan pidana haruslah merupakan suatu tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat tidak hanya bagi si pelaku tetapi juga harus bermanfaat bagi masyarakat, karena setiap penjatuhan pidana selalu akan menimbulkan korban yaitu penderitaan, kerugian mental dan fisik. Pada akhirnya Hakim harus memutuskan perkara yang diadilinya semata-mata berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan serta yang tidak membeda-bedakan individu, tentunya dengan berbagai resiko yang akan dihadapinya C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian ini sebagai berikut : a) Hambatan bagi penyidik dalam melakukan penyidikan pada perkara perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 335 Ayat (1) Ke-1 KUHP disebabkan oleh Faktor substansial yaitu peraturan perundang - undangan dalam hal ini Pasal 335 KUHP sering membuat keliru masyarakat. Faktor struktural yaitu aparat penegak hukum yang sering kali kurang cermat dalam memilah kasus pidana yang masuk ke lembaganya. Faktor kultural yaitu budaya hukum

260

Wawancara dengan Posma P Nainggolan, di ruang Hakim Pengadilan Negeri Palembang, pada tanggal 6 Mei 2013 Pukul 09.00 WIB. 261 Wawancara dengan Posma P Nainggolan, di ruang Hakim Pengadilan Negeri Palembang, pada tanggal 8 Mei 2013 Pukul 09.38 WIB.

Hal | 196


masyarakat yang belum bisa berperan aktif dalam penegakan hukum di negara ini. b) Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan berdasarkan putusanPN. Palembang No : 0988/Pid.B/2012/PN.PLG dan No 0898/PID.B/ 2012/PN. PLG ialah dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan faktafakta dipersidangan sebagaimana diatur di dalam (Pasal 183, Pasal 194 ayat (1) KUHAP). Selain itu hakim juga perlu mempertimbangkan halhal yang memberatkan bagi terdakwa dan hal-hal yang meringankan bagi terdakwa. Adapun hal-hal yang memberatkan bagi terdakwa ialah perbuatan terdakwa membuat saksi korban menjadi takut, sedangkan yang meringankan terdakwa ialah terdakwa mengakui semua perbuatanya dan berlaku sopan selama persidangan, terdakwa belum pernah dihukum. 2. Saran Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka ada beberapa hal yang dapat disarankan antara lain : a) Agar penyidik tidak mengalami hambatan dalam melakukan penyidikan pada perkara tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan, maka yang harus dilakukan penyidik ialah penyidik harus lebih teliti dalam mengkualifikasikan jenis-jenis tindak pidana yang masuk ke Kepolisian sehingga proses penyidikan dapat berkjalan dengan lancar, selain itu penyidik juga perlu melakukan menyuluhan maupun seminar kepada masyarakat agar masyarakat menjadi lebih sadar dan taat hukum. b) Hakim dalam menjatuhakan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan hendaklah didasarkan pada dipenuhinya alat-alat bukti dan fakta-fakta dipersidangan sebagaimana diatur di dalam (Pasal 183, Pasal 194 ayat (1) KUHAP). Selain itu hakim juga perlu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan bagi terdakwa dan hal-hal yang meringankan bagi terdakwa.

Hal | 197


DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdul Mun'im Idris dan Sutomo Slamed Iman. 1985.Ilmu Kedokteran Kehakiman. Gunung Agung. Jakarta. Bambang Poernomo. 1985. Asas-asas Hukum Pidana.Ghalia Indonesia.Jakarta. Moch. Faisal Salam. 2001.Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Mandar Maju, Bandung. Panjaitan, Petrus Irwan, dan Pandapotan Simorangkir. 1995.Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. R Soesilo.1986. Kitab Undang Undang Hukum Pidana serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea. Bogor. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI-Press. Jakarta. Teguh Prasetyo. 2011.Hukum Pidana Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. B. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Putusan PN. Palembang No : 0988/Pid.B/2012/PN.PLG. Putusan PN. Palembang No : 0898/PID.B/2012/PN.PLG. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. C. Internet http://www.patanahgrogot.net/utama/index.php?option=com_content&view=article&i d=61:metode-penelitian&catid=6:artikel-umum&Itemid=11 http://www.jpnn.com/read/2012/08/09/136366/Ancam-Istri-Tua,-Istri-MudaDipenjara

Hal | 198


Kepatuhan Pengendara Kendaraan Bermotor Rodadua Terhadap Peraturan Tertib Lalu Lintas Oleh: A. Marcos Saputra, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Malkian Elvani, S.H., M.Hum dan H. M. Rasyid Ariman, S.H., M.H

Abstrak: Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa kendaraan bermotor atau angkutan jalan harus ditata dalam sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang sesuai dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur, dan lancar.Lalu lintas dan angkutan jalan memiliki peranan yang sangat penting sehingga pelanggarannya oleh negara dan pembinaanya dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang nyaman dan efisien,demi terjalinnya suatu kerertiban dalam berlalu lintas. Berlalu lintas masyarakat dituntut memiliki kesadaran untuk menggunakan jalan sesuai dengan peraturan dan perundangundangan yang berlaku, karena lalu lintas yang tertib adalah gambaran dari disiplin dan tertib hukum dari suatu bangsa. Dari tahun ke tahun jumlah kejahatan tidak menunjukan kenaikan, tidak demikian halnya dengan Pelanggaran lalu lintas. Kata Kunci :Kepatuhan, Kendaraan Bermotor, Lalu Lintas.

Hal | 199


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial masyarakat dan kemajuan teknologi dalam suatu Negara akan timbul masalah-masalah dan hambatan juga ancaman yang sangat berpengaruh terhadap pencapaian sasaran pembangunan, misalnya semakin tingginya kualitas dan kuantitas kejahatan dan pelanggaran terhadap normanorma hukum. Tetapi apabila di hubungkan dengan masalah dan hambatan yang di hadapi di bidang perhubungan seperti pembangunan dan perluasan jalanjalan, akan dapat di temukan masalah yang lebih penting dan harus mendapatkan penanganan khusus dalam rangka penertiban dan penanggulangannya, seperti pelanggaran-pelanggaran terhadap lalu lintas262. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pasal 285 Jo UndangUndang Nomor 22 Tahun 2010 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ada beberapa macam kelengkapan yang wajib dipenuhi dalam kendara motor sebagai berikut263: 1. Wajib memakai helm Standar Nasional Indonesia 2. Wajib membawa Surat Izin Mengemudi (SIM) 3. Kaca spion 4. STNK 5. Klakson 6. Lampu rem 7. Alat pengukur kecepatan 8. Knalpot Standar 9. Menyalakan lampu pada siang hari 10. Lampu isyarat 11. Wajib menyalakan lampu pada malam hari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 menyatakan ketentuan tertib lalu lintas yang wajib di patuhi oleh semua pengendara sebagaimana terdapat pada pasal 106 dan 285. 1. Harus memenuhi persyaratan teknis dan layak jalan serta tidak sesuai. 2. Harus mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM). 3. Harus membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). 4. Melanggar rambu-rambu dan marka jalan. 262

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Cetakan Ketiga (Bandung : Alumni 1983), hlm.

46 263

Undang-Undang Lalu Lintas, No. 22 Tahun 2009 , tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Hal | 200


5. Mendengarkan musik saat mengendarai Motor. 6. Menerima telepon saat mengendarai Motor. 7. Merubah Warna Motor dan harus sesuai dengan Warna di STNK (masih belum jelas alasannya). 8. Harus memakai helm 9. Harus memakai spion Dengan berlakunya undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 agar masyarakat bisa melihat dan menikmati kondisi lalu lintas yang tertib. Banyak terjadinya kecelakaan lalu lintas dan biasanya kecelakaan lalu lintas itu disebabkan oleh prilaku manusia sendiri yang menyimpang dari peraturanperaturan yang telah ada. Banyak peristiwa yang terjadi dijalan raya beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas dan hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran hukum, oleh karena itu maka penegak hukum berfungsi sebagai pencegah dan penanggulangannya. Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk memperbaiki kondisi lalu lintas di Indonesia namun masih belum mampu untuk menekan jumlah kecelakaan lalu lintas tiap tahun264. Tabel 1: Jumlah Kecelakaan, Korban Mati, Luka Berat, Luka Ringan, Jumlah Korban NO

TAHUN

JUMLAH KASUS

MD

LB

LR

RB

JUMLAH KECELAKAAN KESELURUHAN

1

2008

281

62

131

94

17

314

2

2009

279

74

179

137

13

394

3

2010

307

189

95

159

13

456

4

2011

854

167

54

627

77

1295

Keterangan: MD: Meninggal Dunia LR: Luka Ringan

LB: Luka Berat RB: Rusak Berat

Kecelakaan lalu lintas masih memprihatinkan, apabila dilihat data diatas bahkan sangat menakutkan. 265Sangat disayangkan bila nyawa orang dengan sia-

264

Peraturan Pemerintah NO.43 Tahun 1993.Tentang Prasarana dan lalu lintas jalan. Hasil wawancara pra penelitian dengan bapak Arif, Kanit Polesta Palembang, tanggal 17 Oktober 2012. 265

Hal | 201


sia. Walau telah dilakukan upaya penerangan dan penyuluhan serta tindakan operasi serta operasi zebra yang dilanjutkan dengan operasi patuh. Ada banyak peristiwa yang terjadi di jalan raya ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas dan hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran hukum, oleh karena itu maka penegak hukum berfungsi sebagai pencegah dan penanggulangnya faktor tersebut266. Dalam berlalu lintas masyarakat dituntut memiliki kesadaran untuk menggunakan jalan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, karena lalu lintas yang tertib adalah gambaran dari disiplin dan tertib hukum dari suatu bangsa267. Maka hal diatas telah melatar belakangi penulis untuk lebih memahami mengenai masalah kepatuhan hukum dalam berlaku lalu lintas dan dituangkan dalam penulisan hukum ini, dengan judul : KEPATUHAN PENGENDARA KENDARAAN BERMOTOR RODADUA TERHADAP PERATURAN TERTIB LALU LINTAS 2. Rumusan Masalah Berdasarkan apa yang dikemukakan diatas, maka penulisan mencoba Merumuskan Masalah dalam penulisan skripsi sebagai berikut: 1. Pelanggaran apa saja yang terjadi oleh pengendara kendaraan bermotor khususnya roda dua sehingga mengakibatkan kecelakaan lalu lintas ? 2. Bagaimana upaya aparat penegak hukum dalam meningkatkan kepatuhan tertib lalu lintas terhadap kendaraan bermotor khususnya roda dua ? 3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk menggambarkan lebih jelas pelanggaran-pelanggaran apa saja yang sering terjadi dan apa saja pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pengendaraan bermotor roda dua, terhadap peraturan tertib lalu lintas.

266

Soerjono Soekamto, Polisi dan Lalu lintas, Analisis Menurut Sosiologi Hukum, cetakan 1 Bandung : Mandar Maju, 1990, hlm. 6 267 Soetrisno Gandsoepena, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, Bandung:Wahana. 1996, hlm. 29

Hal | 202


2. Untuk mengetahui bagaimana upaya aparat kepolisian lalu lintas demi miningkatkan kepatuhan terhadap kendaraan bermotor khususnya roda dua dalam tertib lalu lintas. 4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian dari penulisan ini sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Dari penulisan ini dapat memberikan suatu tambahan wawasan dan dapat lebih jelas apa saja permasalah, pelanggaran dan lemahnya kesadaran hukum bagi penegendara bermotor khususnya di daerah Resort Palembang. Sekaligus juga dapat menambah pengetahuan kita khususnya dalam berkendaraan bermotor dalam mematuhi rambu-rambu lalu lintas. 2. Manfaat Praktis Dari penulisan ini diharapkan dapat berguna dalam memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membacanya, terutama mahasiswa lain yang dapat lebih memahami mengenai tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Diharapkan juga penulisan ini dapat menjadikan referensi (pegangan) bagi penegakan hukum dalam mengatasi tertib Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 5. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Dalam mengkaji suatu permasalah di bidang ilmu hukum harus lah disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas, tipe penelitian adalah yuridis empiris dan pendekatan yuridis empiris yaitu mengunakan Udang-Undang ataupun bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan, pendekatan Empiris yaitu keberlakuan hukum dalam masyarakat dengan mencari data ke lapangan. 268 Sedangkan jenis penelitian lebih ditekankan kepada deskriptif analisis yang menggambarkan mekanisme sebuah proses, menciptakan seperangkat katagori atau pola. Penulisan skripsi ini juga ditunjang dengan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan menggunakan atau meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder.269 268

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm 10 Soerjono Soekamto, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, 2003, hlm

269

13

Hal | 203


2. Jenis dan Sumber Data Jenis Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang akan diperoleh dan dilengkapi dengan data kuantitatif, sementara. Sumber datanya adalah : a) Data Primer Data yang diperoleh dari penelitian lapangan (Field research).Yaitu dengan mengadakan wawancara dengan pimpinan instansi terkait khususnya Kasat Lantas Polresta Palembang, Kepala Seksi Lalu Lintas DLLAJ Cabang Kotamadya Palembang. b) Data Sekunder Data sekunder sebagai data pelengkap diperoleh dari penelitian kepustakaan dan laporan hasil penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Bahan hukum primer sebagia berikut a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. d. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan. e. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.Bahan hukum sekunder yang di dapat nanti dugunakan dalam penelitian ini adalah Majalah, Tulisan Ilmiah, Buku-buku hukum. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.Bahan hukum tertier seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan Internet.

Hal | 204


3. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukanoleh penulis seluruhnya berlokasikan di Kotamadya Palembang, yaitu penelitian pada : - Kepolisian Kota Besar Palembang (POLTABES) - Kepala Lalu Lintas DLLAJ Cabang Kotamadya Palembang 4. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah aparat kepolisian lalu lintas. Sampel diambil secara purposive sampling, penarikan sample dilakukan dengan teknik pengumpulan data yang dipakai, yaitu : wawancara. Responden dalam penelitian ini meliputi : 1. Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Kota Besar Palembang (Kasat Lantas). 2. Anggota Satua Lalu Lintas Kepolisian Kota Besar Palembang 3. Masyarakat pengguna kendaraan bermotor di kota Palembang yang melakukan pelanggaran. 5. Teknik Pengumpulan Data 1. Studi Lapangan (Field research). Yaitu suatu yang di dapat dari wawancara atau dari suatu quiseoner. 2. Studi Pustaka (Library resesrch). Yaitu bahan-bahan hukum atau data tertulis, baik yang berupa kitab undang-undang, buku-buku yang bersangkutan. 6. Analisis Data Analisis data ini dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode dekriptif kualitatif, dimana data yang diperoleh memberikan suatu gambaran atau suatu perumusan suatu masalah yang telah dikemukakan. Data sekunder dengan bahan hukum primer, sekunder, serta tersier dianalisis secara kualitatif oleh penulis. Bahan-bahan hukum tersebut telah dianalisis kemudian diuraikan secara sistematis untuk memecahkan permasalahan dalah skripsi ini. Hasil dari penganalisisan suatu permasalahan dituangkan dalm bentuk penjelasan-penjelasan kemudian ditarik kesimpulan dari penelitian tersebut.

Hal | 205


6. Kerangka Teori Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lainnya yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. 270 Kecelakaan lalu lintas diakibatkan karena pengguna kendaraan bermotor tidak disiplin dalam berkendaraan seperti tidak mematuhi tata tertib lalu lintas dan rambu lalu lintas dan marka jalan, melaupaukan batas kecepatan yang telah ditentukan dan yang paling penting adalah kelayakan kendaraan bermotor roda dua tidak sesuai dengan standarisasi yang telah ditentukan oleh pemerintah mengenai kelengkapan berkendaraan bermotor roda dua. B. PEMBAHASAN 1. Pelanggaran yang Dilakukan Oleh Pengendara Kendaraan Bermotor Khusus Pada Roda Dua Bedarsarkan data kecelakaan lalu lintas kota Palembang kecelakaan paling banyak terjadi pada sepeda motor roda dua karena banyak tidak mentaati tata cara berlalu lintas yang baik dan benar dalam berprilaku tertib dijalan raya serta tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan. Tabel 2 Jumlah Kecelakaan Kendaraan Bermotor Roda Dua NO 1 2 3

TAHUN 2010 2011 2012

SEPEDA MOTOR 340 940 145

Sumber: Data Statistik Kepolisian Polesta Palembang

Buku pedoman Direktorat Lalu Lintas Polri Panduan praktis Berlalu Lintas, Penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas terhadap kendaraan bermotor roda dua terdapat empat faktor yaitu: a. Pengemudi Lauren F.Friedman mengatakan kepentingan sendiridapat meletakkan perilaku seorang pada aturan hukum, bahwa pada saat berkendaraan seorang dengan memperhatikan petunjuk kecepatan kendaraan bermotor, agar terhindar dari kecelakaan, dengan kata lain ia patuh pada peraturan lalu lintas, akan tetapi apabila kecepatan itu melempaukan batas kendali 270

Lihat Pasal 108 UU. No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Hal | 206


maka kemungkinan terjadi kecelakaan relatif besar 271 . Kesalahan pengemudi adalah faktor utama dalam banyak kejadian kecelakaan, pengemudi di bawah usia 25 tahun lebih banyak mengalami kecelakaan dibandingkan dengan pengemudi yang lebih tua, kesalahan – kesalahan pengemudi seperti dibawah ini 272: 1. Dalam keadaan lengah / lelah / mengantuk Yaitu dalam hal ini pengemudi sering tidak konsentrasi dalam berkendara karena pengemudi dalam kondisi lelah dan mengantuk sehingga mengakibatkan lengah dalah mengemudi kendaraaan atau kondisi pengemudi dalam keadaan tidak sehat atau fit. 2. Tidak tertib yaitu pengemudi sering melakukan pelanggaranpelanggaran rambu-rambu lalu lintas. 3. Dibawah pengaruh obat atau alkohol yaitu pengemudi pada saat mengendarai kendaraan dipengaruhi oleh obat-obatan dan minuman keras yang memiliki efek samping pada kesehatan pengemudi. 4. Melaju dengan kecepatan di atas batas yaitu pengemudi mengendarai kendaraannya dengan kecepatan 40 sampai dengan 60 km/jam273. b. Kendaraan Rancangan kendaraan dapat merupakan faktor yang besar dalam terjadinya kecelakaan dan mekanis pada salah satu atau keberadaan yang tersangkut kecelakaan seperti dibawah ini 274: 1. Rem tidak berfungsi dengan baik 2. Kemudi tidak berfungsi dengan baik 3. Lampu tidak berfungsi dengan baik 4. Spion tidak berfungsi dengan baik 5. Muatan berlebihan 6. Tidak sesuai dengan spektek 7. Tidak layak c. Jalan Kecelakaan lalu lintas di perkotaan maupun di pedesaan dikarenakan jalan yang tidak baik yang dapat menimbulkan potensi kecelakaan seperti dibawah ini275: 271

Taneko Soleman, Pokok Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hal 51. 272 Wells, Rekayasa lalu-lintas, Jakarta, Penerbit Bhatara,1993,hal.136 273 PP NO.43 Tentang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas, Tahun 1993 274 Ibid, hal.135.

Hal | 207


1. Berlubang / tikungan tajam yaitu permukaan jalan yang tidak rata dan karena tidak ada marka jalan yang menunjukan adanya tikungan tajam. 2. Pandangan terhalang yaitu pandangan yang terhalang oleh kabut, dan hujan. 3. Licin yaitu jalan yang di akibatkan oleh faktor hujan, dan pasir. 4. Tidak ada marka / rambu yaitu tidak adanya tanda-tanda marka jalan. 5. Marka / rambu rusak yaitu dikarenakan marka jalan yang sudah tidak layak pakai. d. Alam Sering sekali juga faktor alam menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas seperti dibawah ini : 1. Banjir 2. Longsor 3. Kabut 4. Hujan 5. Gempa 6. Angin Ribut 7. Pohon Tumbang Angka kecelakaan setiap tahunnya meningkat dari tahun ke tahun di Kota Palembang yang disebabkan oleh banyak faktor. Berikut data mengenai angka kecelakaan lalu lintas di kota Palembang dari tahun 2010,2011,2012 dibawah ini. Tabel 3 Data Laka Lantas Polresta Palembang Tahun 2010, 2011, dan 2012 No

Tahun

Jumlah Korban Kasus MD LB LR 1 2010 379 74 170 17 2 2011 307 179 95 159 3 2012 854 167 414 627 Sumber: Data Statistik Kepolisian Polesta Palembang

Keterangan: MD: Meninggal Dunia LR: Luka Ringan

RB 13 13 77

Jumlah Korban Keseluruhan 384 446 1285

LB: Luka Berat RB: Rusak Berat

Dari tabel diatas dari tahun 2010,2011,2012, mengenai kecelakaan lalu lintas di Kota Palembang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, 275

Ibid,hal.138.

Hal | 208


kecelakaan tersebut diakitkan oleh pengemudi yang lalai dalam mengendarai kendaraan dan juga bisa diakibatkan oleh kendaraan yang tidak laik, jalan yang baik, dan juga dari faktor alam. 2. Upaya aparat penegak hukum dalam meningkatkan kepatuhan tertib lalu lintas terhadap kendaraan bermotor khususnya roda dua Upaya yang dilakukan oleh Polresta Kota Palembang dalam pengawasan dan pemeliharaan rambu-rambu jalan. Serta marka jalan, kegiatan pengawasan lalu lintas merupakan kegiatan yang diikuti: a) Pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan lalu lintas. Kegiatan pemantauan dan penilaian dimaksudkan untuk mengetahui efektifitas dari kebijakan-kebijakan tersebut untuk mendukung pencapaian tingkat pelayanan yang telah ditentukan. Termasuk dalam kegiatan pemantauan antara lain, infentarisasi mengenai kebijakan-kebijakan lalu lintas pada ruas jalan, jumlah pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan koreksi yang telah dilakukan atas pelanggaran tersebut. Termasuk dalam penilaian antara meliputi penentuan kriteria penilaian, analisis tingkat pelayanan, analisis pelanggaran dan usulan kriteria tindak perbaikan. b) Tindakan korektif terhadap pelaksanaan kebijakan lalu lintas. Tindakan korektif dimaksud untuk menjamin tercapainya sasaran tingkat pelayanan yang telah ditentukan.Termasuk dalam tindakan korektif adalah peninjauan ulang terhadap kebijaksanaan apabila di dalam pelaksanaannya menimbulkan masalah yang tidak diinginkan.276 c) Kepolisian memberikan rambu-rambu dan marka jalan agar pengendara bermotor dan tidak bermotor dapat mengetahui arah dari isyarat yang dibuat tersebut, yang memudahkan jalan agar terciptanya ketertiban dalam lalu lintas.277 Udang-Undang No.22 Tahun 2009 Pasal 206 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan membagi pengawasan terhadp pelaksanaan program keamanan dan keselamatan lalu lintas meliputi, audit, inspeksi dan pengamanan dan pemantauan. 276

Suwadjoko P. Warpain, Pengelolaan Lalu Lintas dan Jalan, Bandung, ITB,

2002,hal.83 277

Ibid

Hal | 209


Kegiatan audit pada pengawasan lalu lintas terbagi dua, yaitu: a. Audit bidang pengawasan lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh Kepala Kepolisian RI b. Audit bidang keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh pembina lalu lintas dan angkutan jalan. C. PENUTUP 1. Kesimpulan a) Saat mengemudi kendaraan di jalan pengendara kendaraan bermotor roda dua seringkali melanggar pelanggaran-pelanggaran lalu lintas yang diakibatkan karena melanggar rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan, misalkan mengubah standar nasional indonesia (SNI), mengubah ban standar menjadi ukuran kecil, mengubah lampu belakang menjadi bening dan terang sehingga mengakibatkan orang menjadi silau sehingga terjadi kecelakaan. Tidak membawa perlengkapan untuk berkendara khususnya helm, mengebut dijalan raya dan adapun faktor yang menyebabkan suatu kecelakaan dalammengendarai kendaraan bermotor roda dua adalah karena keadaan mental pengendara, karena keadaan fisik pengendara, kemampuan intelektual pengendara dan ketidak hati-hatian pengendara. b) Upaya yang akan dilakukan aparat penegak hukum untuk menciptakan kepatuhan hukum dalam berlalu lintas pengendara kendaraan bermotor roda dua terhadap rambu-rambu lalu lintas adalah melakukan pembinaa penyuluhan tentang cara berlalu lintas yang baik dan benar, misalkan memberi penyuluhan di SD, SMP, SMA, sejak dini sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan, memelihara rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan. 2. Saran a) Agar segera dibentuk tim pengawas, dalam rangka mengontrol dan mengawasi tingkat kedisiplinan pengguna jalan, khususnya penegendara kendaraan bermotor roda dua serta tingkat disiplin petugas pelaksana dalam menjalankan tugasnya dilapangan. Hal ini bertujuan untuk saling mengontrol terhadap tingkat kepatuhan masing-masing pihak dalam menjalankan peranannya dan tugas Hal | 210


sehari-hari, apabila tanpa adanya tim pengawas yang bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana hasil dari penerapan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 selama ini, sehingga dapat diketahui faktor-faktor kelemahan yang ada dalam penerapan Undang-Undang tersebut, apakah aparat sendiri yang kurang bisa menertibkan pengendara atau sarana pendukung yang kurang memadai atau tingkat kesadaran masyarakat pengguna jalan yang masih relatif rendah. b) Kebijaksanaan dalam penambahan jumlah kendaraan terutama kendaraan bermotor roda dua perlu dipertimbangkan secara lebih seksama dan sdisesuaikan dengan kondisi dan ruas jalan yang tersedia. c) Pengadilan dan Polisi harus berkerja sama dan pengertian yang baik untuk mendapat efek yang diharapkan atau usaha dari kepolisian di bidang penegakan hukum karena tugas polisi tidak akan mencapai maksimal tanpa bantuan pengadilan. Oleh karena itu jaksa harus mengerti dan memahami segala persoalan yang dihadapi baik oleh polisi maupun oleh masyarakat yang berhubungan dengan lalu lintas. d) Para aparat yang berwenang harus terus menertibkan pedagang yang berjualan disepanjang jalan yang bisa membuat kemacetan di jalan raya.

Hal | 211


DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku Abid Bahari, Acuan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Jakarta, Pustaka Yustisia, 2010 Anton Tabah, Menatap dengan Mata hati Polisi Indonesia, Cetakan ke-3 Kalarta, Gramedia Pustaka Umum, 1990 Azis Samsudin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta, Sinar Grafika, 2011 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Semarang, Kharisma putra, 2010 Djajoesman,H.S.,Polisi Lalu Lintas, Dinas Lalu Lintas, Jakarta, 1976 Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009 J.Salusu, Mengurangi Pelanggaran Lalu Lintas, suara pembaharuan, Jakarta, 1995 M.L. Tobing, Sekitar Pengantar Ilmu Hukum, Erlangga, Jakarta, 1987 Moh Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Khusus, Yogyakarta, Liberty, 2009 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,Kencana Prenada, Jakarta, 2008 R.Badri, Hak dan Kewajiban dalam Undang-Undang Lalu lintas Angkutan Jalan, Cetakan ke-2, Surabaya : Amin, 1994 Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Msalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, Reamatjan Karja, Bandung, 1997 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Bandung, Alumni 1983 Soetrisno Gandsoepena, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, Bandung:Wahana. 1996 Soerjono Soekamto, Polisi dan Lalu lintas, Analisis Menurut Sosiologi Hukum, cetakan 1 Bandung : Mandar Maju, 1990 Oetoyo Oesman, “Budaya Menerobos Hukum Merugikan�, Kompas, Rabu 8 Oktober,Jakarta : 1996 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986 SoerjonoSoerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Jakarta, Rajawali, 1982 Soekamto, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, 2003 Soerjono Soekamto, Polisi dan Lalu Lintas, Bandung, Mandara Maju. 1990 Hal | 212


Soerjono Soekanto, Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005 Soerjono Soekanto,Pokok-pokok Sosiologi Hukum,Rajawali Pers,Jakarta,1980 Soerjono, kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia., Rajawali Pers, Jakarta, 1985 Soerjono, Beberapa Aspek Sosial Yuridis Msyarakat, Alumni, Bandung, 1983 Soerjono, Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rineka cipta, Jakarta, 1995 Soekamto, Kejahatan Dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1995 Syarifuddin Pettanase, Kebijakan Kriminal, Palembang : Unsri. Januari 2010 Satjipto Rahardjo, Polisi Pelaku Dan Pemikir, Jakarta, Gramedia Pustaka Umum, 1983 Suwadjoko P. Warpain, Pengelolaan Lalu Lintas dan Jalan, Bandung, ITB, 2002 Soleman,Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Pers,Jakarta,1993 Taneko Soleman, Pokok Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Pers, Jakarta, 1993 Wells, Rekayasa lalu-lintas, Jakarta, Penerbit Bhatara,1993 UNDANG-UNDANG Undang-undang no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan PP no 43 tahun 1993 tentang prasarana dan lalu lintas jalan.

Hal | 213


Peranan Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Wanita Di Wilayah Polresta Palembang Oleh: Abi Oktavia Putra, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum dan Henny Yuningsih, S.H., M.H

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penanggulangan Kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradapan manusia itu sendiri (the Oldest philosophi of crime control). Persoalan penggunaan sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan telah menciptakan dua kubu yang saling bertentangan.278 Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika merupakan ancaman yang telah berkembang pesat dan merisaukan, serta mengguncangkan kehidupan keluarga dan masyarakat Indonesia. Peredaraan gelap dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Penduduk yang paling rentan terhadap bahaya narkotika dan psikotropika adalah remaja dan pemuda sebagai calon pemimpin bangsa yang jumlahnya mencapai 40% dari masyarakat Indonesia, kondisi ini sangat memprihatikan dimana anak berumur 7 tahun sudah menyalahgunakan narkoba.279 Narkotika dan psikotropika sering disebut-sebut dengan istilah NARKOBA. Narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat/ bahan berbahaya yang telah populer beredar di masyarakat perkotaan maupun dipedesaan, termasuk bagi aparat hukum. 280 Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan RI adalah NAPZA yaitu singkatan dari Narkotika, Psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Semua istilah ini sebenarnya mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai risiko yang oleh masyarakat disebut berbahaya yaitu kecanduan (adiksi). Narkoba yang populer saat ini adalah Narkotika dan Psikotropika. Sebagaimana disebutkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 278

Suharso, Apa Saja Teori Penanggulangan Kejahatan File:///C:/User/axioo/Downloads/teori tp.htm. Diakses Tanggal 03 Februari 2013 279 Subroto, Hak Asasi Manusia untuk anak usia sekolah korban Narkoba,www.ham..go.id, 27 November 2012 280 Suyono, Narkoba Dalam Kehidupan Masyarakat, Http://www.bnn.co.id/,, Diakses Tanggal 27 November 2012

Hal | 214


sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 1 ke1, “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sentetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.�281 Kemajuan teknologi tidak selalu berdampak positif, adakalanya berdampak negatif, maksudnya adalah kemajuan teknologi juga ada peningkatan masalah kejahatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang lebih modern. Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk menciptakan penanggulangan khususnya dalam kasus narkoba yang dilarang. Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih. 282 Tindak pidana narkoba merupakan kejahatan yang memiliki jaringan yang tidak pernah putus. Masalah narkoba harus ditangani dengan serius, secara menyeluruh, bersama instansi terkait, tidak lagi dilakukan secara parsial dan yang tentunya kesadaran masyarakat itu sendiri atas bahaya narkoba tersebut. Jika tidak, maka bangsa Indonesia akan terpuruk dan akan kehilangan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Penggunaan narkoba tidak hanya dijumpai dikalangan remaja laki-laki bahkan perempuan pun menggunakan narkoba, hal ini dapat dilihat dalam salah satu kasus berikut ini. Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah pada tahap yang memprihatinkan. Pemberitaan akhir-akhir ini terkait dengan penyalahgunaan narkoba, secara beruntun membuat masyarakat prihatin. Kejadian xenia yang menabrak dan mengakibatkan korban 9 orang meninggal. Dan tiga wanita yang berstatus ibu rumah tangga ditangkap polisi di Palembang lantaran kedapatan menjadi bandar narkotika. Barbiturasi jenis shabu-shabu(SS) dijual Yulia (37), warga Jalan Musi Raya Barat, Kecamatan Sako Kenten, Palembang. Satuan Narkoba Polresta Palembang dipimpin Iptu Hesbin Fadilah menemukan 8 paket SS dari kediaman tersangka. Informasi bermula didapat polisi tentang peredaran narkoba di kawasan Musi Raya Barat. Bersama barang bukti, tersangka pun digelandang ke Polresta Palembang. Sementara dua perempuan lain yang diduga sebagai bandar narkoba untuk jenis pil ekstasi (ineks) bernama Dewi (32) dan Lis (30), keduanya warga Perumahan Ogan Permata Indah, Jakabaring, 281

Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Suyono, Narkoba Dalam Kehidupan Masyarakat, Http://www.bnn.co.id/,, Diakses Tanggal 27 November 2012 282

Hal | 215


Kelurahan 15 ulu, Kecamatan Seberang ulu I, Palembang. Keduanya tertangkap didepan diskotik di Palembang. Polisi menemukan 40 butir ineks berlogo Nazi dan Mercy dari tangan dan tas sandang tersangka. Meski sempat membujuk polisi agar mau disuap, kedua tersangka tetap digelandang kekantor polisi. Kini keduanya masih diperiksa intensif guna pengembangan kasusnya. “Para tersangka berikut barang buktinya telah diamankan guna kepentingan penyidikan. Kasus ini dikembangkan untuk mencari tahu dari mana asal narkotika,� tukas Kepala Polresta Palembang Kombes Pol Zainul Arifin.283 Narkoba (Narkotika dan Psikotropika) sangat dibutuhkan di dalam bidang medis sebagai pengobatan (dalam waktu operasi sebagai obat bius dan untuk penenang). Undang-Undang juga membenarkan dan memberi izin penggunaannya kepada dua hal, yakni keperluan medis atau rumah sakit dan keperluan penelitian atau ilmu pengetahuan. 284 Pada prinsipnya, Narkoba tersebut tidak dilarang jika digunakan sebagaimana mestinya untuk dua keperluan tersebut. Namun demikian, kepemilikannya juga harus ada izin tertentu dari pemerintah. Dari kasus diatas dapat dilihat bahwa pengguna narkoba adalah wanita untuk itulah dibutuhkan kerja keras dari aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian untuk menanggulangi tindak pidana wanita sebagai pengguna narkoba. Adapun yang menjadi tugas kepolisian yang mempunyai peranan penting terhadap adanya tindak pidana narkoba ialah Polri diharapkan mampu menghentikan tindak pidana narkotika tersebut, tidak hanya mengungkap dari kasus-kasus tindak pidana narkotika dan psikotropika tetapi juga menyadarkan masyarakat atas bahayanya narkotika dan psikotropika itu sendiri. Dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika, kepolisian sangatlah memiliki peranan yang sangat besar karena kepolisian merupakan salah satu lembaga yang berwenang dalam mengatasi maraknya tindak pidana narkotika dan psikotropika, dimana peranan dari kepolisian itu sendiri bertujuan untuk memberikan pelayanan, perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat secara mudah, tanggap/ responsif serta tidak diskriminatif sehingga terbebas dari gangguan fisik dan psikis, memelihara keamanan dan ketertiban

283

Agung Rajasa, Kasus Narkoba Merajalela di Palembang Selama 2012, http:///www.republika.co.id/berita/daerah/12/12/28/mfpimz, diakses 10 Januari 2013. 284 Lihat Pasal 4 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, hlm. 7

Hal | 216


masyarakat sepanjang waktu dengan tetap memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat.285 Keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana didalamnya diatur sanksi-sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan. Efektifitas berlakunya Undang-Undang tersebut sangatlah tergantung pada jajaran penegak hukum, dalam hal ini seluruh instansi yang terkait langsung. Disisi lain hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Maka peran kepolisian bersama masyarakat sangatlah penting dan membantu proses penyelesaian terhadap tindak pidana wanita sebagai pengguna narkoba. Dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut maka dikaji penelitian dalam bentuk skripsi ini yang berjudul : “Peranan Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Wanita di Wilayah Polresta Palembang �. 2. Rumusan Masalah Dari uraian-uraian singkat tersebut telah dapat memberikan gambaran mengenai permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagaimanakah Peranan kepolisian dalam upaya Penanggulangan tindak pidana narkotika oleh Wanita di wilayah Polresta Palembang? 2. Apakah yang menjadi hambatan-hambatan Kepolisian dalam Penanggulangan wanita pengguna Narkotika? 3. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian skripsi ini menggunakan metode Empiris yang ditunjang oleh data-data yang diperoleh dari bahan-bahan

285

Djoko Prakoso, Polri SebagaiPenyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 20

Hal | 217


2.

kepustakaan, penelitian ini lebih menitik beratkan pada data primer.286 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penegakan hukum terhadap penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh wanita dengan mengambil data di lapangan, berdasarkan sampel yang penulis tentukan dalam penelitian. Sumber data a. Data Primer Data primer adalah Data lapangan yang diperoleh dari responden yakni berupa informasi mengenai penegakan hukum terhadap penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh wanita di wilayah Polresta Palembang.287 Untuk memperoleh data primer dilakukan wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur yang kedua teknik tersebut akan diarahkan, kemudian dengan observasi yaitu kegiatan pengamatan terfokus pada hal tertentu yang dianggap penting dan relevan dengan permasalahan penelitian. b. Data Sekunder Data sekunder adalah Data yang diperoleh dari yang bertujuan untuk mencari data yang berupa dokumen, buku, laporan penelitian, pendapat-pendapat, teori-teori, doktrin-doktrin, pandanganpandangan dan asas-asas yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan yang akan di teliti. Untuk itu dibutuhkan referensi yang bersifat umum maupun khusus yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Sumber-sumber data terdiri dari: 1. Data Primer Data primer diperoleh melalui studi lapangan dengan cara melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang terkait dalam penulisan ini. 2. Data Sekunder Data Sekunder diperoleh melalui bahan hukum yang terdiri dari: 286

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI PRESS, Jakarta,1986,

hlm. 9 287

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 20

Hal | 218


a.

3.

4.

Bahan Hukum Primer Bahan hukum yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh Pemerintah. Bahan hukum primer terdiri dari: 1. Berbagai Peraturan Perundang-Undangan yang berhubungan dengan penulisan ini, yaitu: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. 2. Putusan Pengadilan tentang Narkotika. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum yang isinya membahas bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder terdiri dari: 1. Asas-asas hukum 2. Teori hukum 3. Yurisprudensi. c. Bahan Hukum Tersier, terdiri dari: 1. Buku / Literatur 2. Laporan Penelitian 3. Jurnal, Makalah, dan Media 4. Internet Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah wilayah hukum Polresta Palembang. Dengan pertimbangan bahwa di Palembang dianggap cukup mewakili sebagai wilayah penelitian. Instansi yang diteliti meliputi aparat penegak hukum yang menangani tindak pidana narkoba. Pengumpulan data yang dilakukan pada instansi yang terkait yaitu Polresta Palembang dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Palembang. Sampel Sampel pada penelitian ini akan diambil berdasarkan metode Purposive Sampling yang bertujuan untuk mengambil subjek didasarkan pada tujuan tertentu. Untuk menentukan sampel sebagai responden dalam penelitian ini, digunakan cara Purposive yang disesuaikan dengan derajat kepentingan dan

Hal | 219


kebutuhan akan data, juga berdasarkan kompetensi dan kedudukannya.288 Adapun Sampel yang akan diambil adalah: 1. Kepala Kepolisian Resort Palembang. 2. Wakil Kepala Kepolisian Resort Palembang. 3. Kepala Satuan Reserse Narkoba Polresta Palembang 5. Analisis Data Data dianalisis secara Kualitatif yaitu tidak menggunakan perhitungan angka-angka, tetapi menggunakan cara berpikir deduktif yaitu kerangka berpikir dengan cara menarik kesimpulan dari data-data yang bersifat umum kedalam data yang bersifat khusus dan dengan metode induktif yaitu kerangka berpikir dengan cara menarik kesimpulan dari data-data yang bersifat khusus kedalam data yang bersifat umum. 4. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian a) Pengertian Kepolisian Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Anggota kepolisian adalah pegawai negeri pada kepolisian Negara Republik Indonesia. Aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara dan merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat adil makmur, dan beradab. Untuk memelihara keamanan dalam negeri peran yang paling utama adalah kepolisian negara RI, yang memiliki ruang lingkup pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan. Kepolisian negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan kepolisian nasional Indonesia yang bertanggung jawab langsung dibawah presiden yang keanggotannya adalah pegawai negeri pada kepolisian negara republik indonesia.289 b) Tugas Kepolisian Tugas pokok kepolisian secara umum yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat pelaksanaan tugasnya sebagai pelindung,

288

Ronny Hanitijo soemitro, Metodologi Penelitian dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 35 289 Lihat Pasal 1 butir 1 dan 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Hal | 220


pengayom dan pelayan masyarakat yang terpercaya serta penegak hukum dengan menjunjung tinggi HAM. Dalam melaksanakan tugas pokonya, kepolisian negara Republik Indonesia bertugas :290 a) melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan. b) Menyelenggarakan segala kegiatan dan menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan. c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undang. d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. f) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk- bentuk pengamanan swakarsa. g) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya. B. PEMBAHASAN 1. Upaya-Upaya yang Dilakukan Polresta Palembang Untuk Penanggulangan Wanita Pengguna Narkotika a) Upaya Represif 291 Upaya ini mengadakan koordinasi terbuka yang dilakukan pihak Polresta Palembang yang berkoordinasi dengan Kalapas yang bersangkut dengan narapidana warga binaan yang di penjara didalam lapas tersebut. Selama koordinasi berjalan dengan cukup baik dan kerjasama berjalan lancar. Hasil yang dapat diperoleh dari koordinasi ini yaitu penyerahan hasil tangkapan dengan bukti ganja yang didapat dari dalam kamar narapidana pada saat razia mendadak yang dilakukan pihak lapas atas intruksi Kalapas dan hasil tersebut diserahkan pada pihak Polresta Palembang sebagai barang bukti adanya peredaran narkoba didalam Lapas. 290

Lihat Pasal 14 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Wawancara dengan Penyidik Narkoba Polresta Palembang , Aipda Ardianti W. Harahap, Tanggal 7 Maret 2013 291

Hal | 221


b) Upaya Represif dan Preventif 292 Upaya ini dilakukan tertutup berarti koordinasi ini hanya dilakukan oleh pihak Kepolisian saja untuk mengungkap kasus adanya peredaran narkoba apakah itu peredaran narkoba yang terjadi didalam Lapas atau pengendalian peredaran narkoba yang dilakukan dari dalam Lapas keluar area Lapas pada masyarakat umumnya. 2. Hambatan-Hambatanpolresta Palembang Dalam Menangani Wanita Pengguna Narkoba Ada beberapa hambatan dalam melakukan pembinaan-pembinaan tersebut diantaranya yaitu:293 1. Kurangnya Sumber daya Manusia. Kurangnya sumber daya manusia dalam hal ini meliputi dua unsur yaitu personil atau aparat kepolisian dan masyarakat. Sedangkan kekurangan yang dimaksudkan adalah kurangnya jumlah aparat kepolisian. Jumlah aparat kepolisian saat ini tidak mencukupi untuk memberikan pembinaan-pembinaan khusus untuk masyarakat, apalagi untuk daerah-daerah terpencil. 2. Kurangnya peran serta dari Masyarakat Masyarakat juga sepertinya kurang memahami apa itu narkoba, seperti apa ciri-ciri narkoba tersebut dan dampak buruk yang terjadi apabila mengkonsumsi narkoba. Disamping itu masyarakat sepertinya kurang kesadaran untuk memberikan teguran dan nasihat terhadap masyarakat di lingkungannya yang memakai narkoba sehingga hal itu menjadi hambatan kepolisian dalam menanggulangi narkoba. 3. Kurangnya sarana dan prasarana.294 Dalam melakukan pembinaan narkoba kepolisian juga memerlukan sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana dimaksud adalah kendaraankendaraan untuk transportasi ketempat tujuan dilakukannya pendidikan pencegahan narkoba, laboratorium untuk melaksanakan rehabilitasi, posterposter serta penyuluhan-penyuluhan yang berisikan pesan-pesan untuk menjauhi narkoba. 292

Wawancara dengan Penyididik Narkoba Polresta Palembang, Aipda Ardianti W. Harahap,. tanggal 7 Maret 2013 293 Wawancara Dengan Aipda Ardianti, Penyidik Narkoba Polresta Palembang Tanggal 7 Maret 2013 294 Wawancara Dengan Aipda Ardianti, Penyidik Narkoba Polresta Palembang Tanggal 7 Maret 2013

Hal | 222


C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut: 1. Upaya-upaya yang dilakukan Polresta Palembang untuk mengurangi wanita pengguna narkoba yaitu : a. Upaya Represif dalam bentuk koordinasi terbuka yaitu Dengan cara pelimpahan Polresta pada Kasat Narkoba untuk berkoordinasi dengan Kalapas. Dilakukan koordinasi apabila ada dugaan peredaran narkoba didalam Lapas. b. Upaya Represif dan Preventif dalam koordinasi tertutup yaitu Koordinasi dilakukan oleh pihak kepolisian sendiri tanpa pihak luar. Kepolisian melakukan penulusuran terhadap tersangka pengguna yang selanjutnya dikembangkan ke tingkat pengedar. 2. Hambatan-hambatan Polresta Palembang dalam menangani wanita pengguna narkoba yaitu a. Kurangnya sumber daya manusia di kepolisian dalam hal ini meliputi dua unsur yaitu personil atau aparat kepolisian dan masyarakat, sedangkan kekurangan yang dimaksudkan adalah kurangnya jumlah aparat kepolisian. Jumlah aparat kepolisian saat ini tidak mencukupi untuk memberikan pembinaanpembinaan khusus untuk masyarakat, apalagi untuk daerahdaerah terpencil b. Kurangnya peran serta masyarakat yaitu Masyarakat juga sepertinya kurang memahami apa itu narkoba, seperti apa ciriciri narkoba tersebut dan dampak buruk yang terjadi apabila mengkonsumsi narkoba. Disamping itu masyarakat sepertinya kurang kesadaran untuk memberikan teguran dan nasihat terhadap masyarakat di lingkungannya yang mengguna narkoba sehingga hal itu menjadi hambatan kepolisian dalam menanggulangi narkoba. c. Kurangnya sarana dan prasarana untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan yaitu Sarana dan prasarana dimaksud adalah kendaraan-kendaraan untuk transportasi ketempat tujuan dilakukannya pendidikan pencegahan narkoba, laboratorium untuk melaksanakan rehabilitasi, poster-poster serta Hal | 223


penyuluhan-penyuluhan yang berisikan pesan-pesan untuk menjauhi narkoba. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan-kesimpulan yang didapat, maka saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan lagi sumber daya manusia, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah sumber daya dari kepolisian itu sendiri guna meningkatkan sumber daya kepolisian dalam mengatasi tindak pidana narkotika perlu diberikan pendidikan dan pelatihan khusus secara rutin bagi penyidik dan menambahkan lagi personil kepolisian untuk permasalahan narkoba agar dapat dengan mudah mengungkap tindak pidana narkotika. 2. Pemberlakuan sanksi yang tegas apabila ditemukan kasus mengenai penyalahgunaan narkoba di masyarakat khususnya bagi pengedar itu sendiri. 3. Masyarakat sebagai media informasi harus lebih peka dan berperan aktif terhadap upaya penanggulangan peredaran narkoba.

Hal | 224


Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Usaha yang Menggunakan Zat Kimia Berbahaya Dalam Makanan di Kota Palembang (Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) Oleh: Yogi Aria Putra, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Hj. Helmanida, S.H., M.Hum dan Henny Yuningsih, S.H., M.H

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan aktifitasnya. Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang tidak diolah maupun yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses pengolahan, pembuatan dan penyiapan makanan atau minuman. Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku pengolahan pangan. Misalnya air segar, gandum,beras, ikan, segala macam buah. Sedangkan Makanan / pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan kelompok tersebut.oleh sebab itulah para perusahaan dan produsen makanan melakukan upaya menghasilkan produk pangan yang aman dikonsumsi masyarakat agar produk pangannya laku di pasaran. Kenyataan yang berbeda terjadi pada makanan yang selama ini dijumpai dan dikonsumsi oleh masyarakat seperti di kota Palembang sendiri Tim Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Palembang menemukan makanan yang berpengawet seperti, boraks, rhodaminB,formalin saat menginspeksi mendadak delapan lokasi pasar beduk yang ada di Kota Palembang. Kedelapan lokasi itu, yakni simpang empat Radial, Jl Ratna, Pasar Beduk Kambang Iwak, Balayudha, bawah Jembatan Ampera, simpang Kebun Hal | 225


Bunga, simpang Tanjung Api-Api dan Km 5. Ada 59 sampel yang kita uji, hanya 30 sample bebas syarat, Sisanya 29 sampel lagi dinyatakan positif menggunakan pengawet. 7 menggunakan boraks, 9 sampel mengandung rhodamin,dan 13 sampel ditemukan berformalin, Adapun pedagang yang menggunakan bahan berpengawet diamankan sementara dan dibina.295 Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Tujuan dibentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen itu sendiri adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dan meningkatkan kesadaran, kemampuan, kepedulian dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.Dalam kenyataannya posisi konsumen di Indonesia sebagai pengguna, pemakai atau pemanfaat barang atau jasa, pada umumnya kurang mengerti atau kurang paham terhadap barang atau jasa.296 Seharusnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memberikan sanksi berupa sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang menggunaan zat kimia berbahaya yang dilakukan oleh produsen makanan, karena tindakan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang telah diatur didalam: UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 8 ayat (1) huruf e: yang menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, proses pengolahan, komposisi,mode, gaya, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. Dalam sanksi pidananya sendiri telah diatur dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen didalam Pasal 62 ayat (1) yang menyatakan Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). 295

BPOM Palembang Menemukan Makanan Berpengawet, http://infopublik.kominfo.go.id diakses 1 Oktober 2012 296 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta, 2000, hlm 17.

Hal | 226


Berdasarkan uraian diatas, maka Penulis akan membahas skripsi yang berjudul: “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Usaha yang menggunakan Zat Kimia Berbahaya Dalam Makanan di Kota Palembang (Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen)� 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka perumusan masalah ini adalah: 1. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan di kota Palembang ? 2. Apa saja yang menjadi hambatan dalam memberikan sanksi pidana kepada produsen makanan yang menggunakan zat kimia yang berbahaya dalam makanan ? 3. Kerangka Teori 1. Pengertian Makanan Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang tidak diolah maupun yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses pengolahan, pembuatan dan penyiapan makanan atau minuman. 2. Pengertian zat kimia Bahan kimia merupakan suatu zat atau senyawa dapat berwujud padat, cair atau gas, dan berdasarkan komponen penyusunnya berbentuk tunggal atau persenyawaan (campuran) yang berasal dari alam maupun hasil proses produksi. Pemanfaatan bahan kimia yang berasal dari sumber daya alam baik yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable) maupun yang dapat diperbaharui (renewable). 3. Macam-macam zat kimia yang sering disalahgunakan didalam makanan a) Boraks Digunakan untuk antiseptic dan deterjen

Hal | 227


b) Formalin Larutan formaldehida yang biasanya digunakan dalam industri antibusa, plastik, kertas, bahan konstruksi, tekstil, karpet, mebel dan cat.Formaldehida juga digunakan untuk mengontrol parasit pada ikan dan mengawetkan mayat. c) Rhodamin B Rhodamin B adalah zat pewarna yang tersedia di pasar untuk industri tekstil. B. PEMBAHASAN 1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan Menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Makanan yang baik adalah makanan yang sehat dan bersih namun seringkali banyak yang tidak memperdulikan makanan yang dikonsumsi, hal tersebut dapat merugikan kesehatan tubuh konsumen. Masih banyaknya kasuskasus makanan yang tidak layak untuk dikonsumsi dijual bebas dipasaran ini merupakan akibat faktor persaingan ekonomi dinegara ini yang semakin membentuk pola pikir pelaku usaha makanan untuk menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan modal yang sekecil-kecilnya sesuai dengan prinsip ekonomi. Kasus makanan yang sering kita dengar dibeberapa media masa pada beberapa tahun terakhir ini ialah kasuskasus makanan yang mengandung zat-zat kimia yang berbahaya, sepertimengandung formalin, boraks, rhodamin B dan zat-zat kimia lainnya yang tidak ditujukan sebagai bahan tambahan dalam makanan. Terlihat dari kasus makanan yang sering terjadi tujuan dari pemidanaan tidak terlaksana dengan yang seharusnya, kita ketahui salah satu teori pemidanaan yang dapat dikenakan untuk menjerat agar para pelaku usaha tidak melakukan kejahatan itu lagi ialah teori tujuan atau teori relative, teori ini didasarkan pada pendirian dan asas bahwa tertib hukum perlu diperhatikan ,

Hal | 228


akibatnya tujuan pidana adalah prevensi terjadinya kejahatan, teori ini sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu :297 1. Pencegahan secara umum (preventive general), bahwa semua pemidanaan harus ditunjukan untuk menakut-nakuti semua orang supaya jangan melakukan kejahatan, dengan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan. 2. Pencegahan secara khusus (preventive special), menyatakan untuk bertujuan mencegah niat buruk pelaku yang bertujuan melakukan penanggulangan, perbuatan, atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan yang direncanakan. Pihak BPOM sendiri menjelaskan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku usaha makanan dapat dilakukan dengan cara penal dan juga non penal, namun kebanyakan kasus makanan para pelaku usaha lebih sering dikenakan sanksi dengan cara non penal. Hal ini merupakan suatu prosedur yang telah dibuat agar para pelaku usaha dapat melanjutkan kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Jadi penegakan hukum terhadap para pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara penal dan non penal. 1. Upaya Non Penal ( Bukan/ Diluar Hukum Pidana) Penegakan hukum secara non penal dilakukan pemerintah kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana melalui sosialisasi dengan ruang lingkup yang luas.Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan/ penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan itu terjadi.298Mengingat upaya penaggulangan kejahatan non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah mengenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.Usaha-usaha penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan sarana non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial.Tujuan dari usaha-usaha non penal itu adalah memperbaiki kondisi yang dapat dianggap merugikan. Pada Pasal 47 Undang-undang perlindungan konsumen menyatakan “penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk 297

M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Kejahatan Tertentu dalam KUHP, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2007, hlm 31 298 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 49

Hal | 229


mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin� tidak akan terjadi kembali atau akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen.� Maksudnya bentuk jaminan dalam Pasal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang merugikan konsumen tersebut.299Dalam kasus makanan sendiri yang sering terjadi kebanyakan pelaku usaha hanya diberikan peringatan-peringatan agar tidak mengulangi perbuatan tersebut. Kebijakan yang diberikan oleh pihak BPOM melalui cara non penal ini tidak menutup kemungkinan bagi para pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi secara penal, namun sebelum para pelaku usaha tersebut dikenakan sanksi secara penal pelaku usaha tersebut diberikan terlebih dahulu sanksi secara non penal. Hal ini dapat kita lihat dengan beberapa tahap yang dijelaskan oleh pihak BPOM sumsel kepada penulis, tahap-tahap tersebut diantaranya adalah : 1. Pembinaan Pembinaan yang dilakukan oleh pihak BPOM diberikan pada saat pelaku usaha sedang melakukan kegiatan usaha, dalam hal ini pihak BPOM memberikan penjelasan-penjelasan terhadap hak-hak dan kewajibankewajiban bagi para pelaku usaha. 2. Peringatan Peringatan diberikan terhadap pelaku usaha oleh pihak BPOM apabila pelaku usaha didapati menggunakan bahan-bahan yang diluar komposisi makanan yang digunakan.Peringatan yang diberikan berupa pernyataan diatas materai agar pelaku usaha tersebut tidak melakukan kegiatan kecurangan lagi. 3. Peringatan Keras (menghentikan sementara kegiatan) Peringatan keras diberikan apabila pelaku usaha terbukti melakukan kegiatan kecurangan lagi yang sebelumnya telah diberiakan peringatan. Pihak BPOM memberikan peringatan keras dengan cara menghentikan kegiatan usaha sementara dengan tujuan agar pelaku usaha jera dan tidak mendapatkan penghasilan selama sanksi yang diberikan BPOM berlangsung. 4. Jalur Hukum Jalur hukum yang diberikan berupa sanksi pidana apabila pelaku usaha masih melanggar peringatan keras yang telah diberikan oleh BPOM. 299

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 232

Hal | 230


Keempat tahap tersebut dijelaskan oleh ketua BPOM adalah tahap yang sering diberikan terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan. Berdasarkan tahap-tahap diatas kita dapat melihat bahwa pelaku usaha tidak akan langsung diberikan sanksi pidana (penal) karena masih banyak kendala yang dihadapi diantaranya: 1. Pelaku usaha adalah masyarakat dengan perekonomian menengah kebawah. 2. Pelaku usaha merupakan tulang punggung keluarganya. 3. Masih banyak pelaku usaha yang belum mengetahui bahaya yang akan timbul akibat perbuatannya tersebut. 2. Upaya Penal (Hukum Pidana) Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi. 300 Melalui jalur penal didalam UUPK sendiri terlihat dengan adanya ketentuan sanksi pidana dalam Pasal 61 sampai dengan 63 UUPK.Sesuai dengan ketentuan Pasal 61 Undang-undang perlindungan konsumen, maka penentuan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Terlihat dalam kasus makanan yang sering terjadi para pelaku usaha diselesaikan dengan jalur non penal dan jarang diselesaikan dengan jalur penal, dalam kasus ini sebenarnya para pelaku usaha telah melanggar aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan UndangUndang Pangan, hal ini dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kejahatan menurut para pakar hukum bahwa kejahatan dapat didefinisikan secara yuridis dan secara sosiologis. Secara yuridis kejahatan adalah segala tingkah laku manusia yang bertentangan dengan hukum, dapat dipidana, yang diatur dalam hukum pidana.Sedangkan secara sosiologis kejahatan adalah tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat.Kesimpulannya kejahatan adalah sebuah perbuatan yang anti sosial, merugikan dan menjengkelkan masyarakat atau anggota masyarakat. 301 Oleh sebab itu seharusnya penegakan hukum secara pidana terhadap pelaku usaha tersebut dapat dilakukan sesuai dengan peraturan yang telah ada karena kita ketahui bahwa kasus makanan yang mengandung zat kimia berbahaya masih sering kita jumpai pada saat ini. 300

Barda Nawawi Arief, Op, cit, hlm 49 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana, PT Grasindo, Jakarta, 2008, hlm 206 301

Hal | 231


Penegakan hukum bagi tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan berdasarkan hukum pidana dapat dilakukan karena telah melanggar hukum pidana materil.Hukum pidana materil yang diartikan sebagai hukum pidana itu sendiri sedangkan hukum pidana formil yang diartikan sebagai hukum acara pidana. Hukum pidana materil yang berarti isi atau substansi hukum pidana itu, dengan kata lain dapat diartikan abstrak atau dalam keadaan diam, sedangkan hukum pidana formil atau hukum acara pidana bersifat nyata atau kongkrit, sebagai hukum pidana dalam keadaan bergerak, dijalankan, atau berada dalam suatu proses. Oleh karena itulah disebut juga sebagai hukum acara pidana.302Hukum pidana Materil merupakan sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya dikenai suatu sanksi hukuman sebagai suatu ancaman bagi pelanggar.Mengenai penegakan hukum masuk kedalam kategori dari hukum pidana formil yang mana hukum pidana formil merupakan peraturan yang mengatur hak Negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.Secara umum tindak pidana merupakan suatu konsep yuridis yang dapat diartikan sebagai suatu tingkah laku manusia yang dapat diberikan sanksi atau hukuman berdasarkan hukum pidana.303 Jadi setiap tindakan yang dianggap melawan hukum akan menerima hukuman atau sanksi yang berlaku yang diharapkan dapat menjadi suatu bentuk pengatur masyarakat menjadi lebih baik. Dalam kaitannya dengan penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya, para pelaku usaha tersebut dapat dikenakan sanksi pidana karena telah melanggar ketentuan didalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang terdapat didalam Pasal 8 ayat (1) huruf e: yang menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. Dalam sanksi pidananya sendiri telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen didalam Pasal 62 ayat (1) yang menyatakan Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling 302

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Citra, Jakarta, 2008, hlm 2 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, hlm 259 303

Hal | 232


lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi pidana karena juga telah melanggar Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan dalam Pasal 75 ayat (1) huruf b yang menyatakan: setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan. Dalam sanksi pidananya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pada Bab XV tentang Ketentuan Pidana dalam Pasal 136 huruf b yang menyatakan: setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan yang dengan sengaja menggunakanbahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Kedua cara penegakan hukum terhadap perlindungan konsumen makanan sebagai korban dari pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya baik melalui jalur penal dan non penal masih dianggap kurang memberi efek jera terhadap pelaku usaha tersebut. Perlindungan hukum melalui jalur non penal berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang lebih menitik beratkan pada upaya-upaya bersifat preventif (pencegahan/penanggulangan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Perlindungan konsumen melalui jalur non penal ini lebih sering dikenakan oleh para pelaku usaha yang kedapatan menggunakan zat kimia berbahaya.Namun belumlah berlangsung sebagaimana yang diharapkan, karena setiap tahunnya masih banyak ditemukan kasus-kasus makanan yang menggunakan zat kimia berbahaya. Hal ini dikarenakan masih kurangnya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), kurangnya kesadaran masyarakat untuk menuntut hak selaku konsumen apabila dirugikan oleh pelaku usaha, sedangkan perlindungan hukum terhadap konsumen melaluli jalur penal yang lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang bersifat repressive (penindasan/pemberantasan/penumpasan) dengan adanya ketentuan sanksi pidana Pasal 61,62 dan 63 Undang-undang perlindungan Konsumen, penerapan dan pelaksanaan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-undang perlindungan Konsumen tersebut dalam prakteknya belumlah berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pelaku usaha yang jelas melakukan kesalahan dan merugikan konsumen justru kerap kali terbebas dari hukum.

Hal | 233


2. Faktor penghambat dalam memberikan sanksi pidana kepada produsen makanan yang menggunakan zat kimia yang berbahaya dalam makanan Berdasarkan hasil wawancara dari ketua YLKI palembang ada beberapa faktor penghambat dalam memberikan sanksi pidana kepada produsen makanan yang menggunakan zat kimia yang berbahaya dalam makanan. Faktor penghambat tersebut diantaranya sebagai berikut :304 a) Faktor hukumnya sendiri (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ) Sejak disahkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999 dan mulai diberlakukan sejak tamggal 1 januari 2000, artinya usia Undang-undang ini hampir memasuki usia 13 tahun. Namun pada usia tersebut ternyata UUPK tidak dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya. Dimana pada kenyataannya hak-hak konsumen belum sepenuhnya terlindungi, terutama konsumen dalam bidang pangan yang mengandung zat kimia berbahaya.Sampai dengan saat ini belum ada tanda-tanda bahwa norma-norma UUPK ditegakan oleh para aparat penegak hukum terutama dalam melindungi konsumen pangan yang mengandung zat-zat kimia berbahaya yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan.Hal ini dimungkinkan karena ketidaktahuan atau keengganan konsumen untuk memanfaatkannya maupun karena perbuatan pihak produsen yang sering bertindak semena-mena dibalik ketidakberdayaan dan ketidaktahuan konsumen tersebut, demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. b) Faktor Aparat Penegak Hukum Aparat penegak hukum memilki peranan yang penting dalam perlindungan konsumen.Menurut system peradilan pidana, maka pihak-pihak yang berwenang dalam penegakan hukum, diantaranya Kepolisian, PPNS, Kejaksaan dan Pengadilan. Dari hasil wawancara dengan pihak BPOM Palembang selaku penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang berwenang mengatasi peredaran obat dan makanan di wilayah kota Palembang. Menurut hasil wawancara terhadap pegawai BPOM bagian penyidik sebenarnya telah bertindak aktif melakukan pengusutan terhadap kasus makanan dan minuman yang mengandung zat kimia 304

Hasil wawancara penulis dengan Bapak R.M Taufik Husni.Op.cit

Hal | 234


berbahaya berdasarkan pengaduan yang masuk ke pihak BPOM.Tetapi dalam prosesnya ditemui kesulitan yang sangat besar. Pihak BPOM hanya dapat memeriksa saksi-saksi terutama saksi korban, sedangkan barang bukti berupa makanan dan minuman yang mengandung zat kimia berbahaya yang diduga sebagai sumber keracunan sering tidak lengkap bahkan tidak ada sama sekali. Padahal dalam kasus tersebut barang bukti sangatlah diperlukan, dengan demikian pihak BPOM sendiri menghadapi kendala dalam mengusut kasus makanan yang mengandung zat kimia berbahaya tersebut, karena barang bukti dianggap tidak kuat apabila dilanjutkan ke P-21.Tidak ada atau tidak lengkapnya alat bukti yang diperlukan dalam mengusut kasus makanan mengandung zat kimia berbahaya tersebut, mengakibatkan terhambatnya pembuktian terhadap kasus tersebut. Selain kesulitan dalam mendapatkan barang bukti, aparat penegak hukum kerapkali lebih memberlakukan KUHP dengan dakwaan dengan dakwaan penipuan (Pasal 378 KUHP) dalam kasus perlindungan hukum terhadap konsumen. Padahal, sesuai dengan asas perundang-undangan Lex specialis derogate lex generalis dapat diterapkan terutama Pasal 62 UUPK yang mempergunakan system perumusan pidana alternative yang dapat menjerat pelaku usaha dengan hukuman yang setimpal dibandingkan apabila hanya diterapkan KUHP khususnya Pasal 378 yang mengatur mengenai penipuan. 305 c) Faktor Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Penegakan Hukum Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum terhadap perlindungan konsumen ini meliputi terbatasnya dana, sarana dan fasilitas serta sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki dalam melakukan advokasi dibidang perlindungan konsumen, sehingga dalam gerak langkahnya belum bisa berjalan sebagimana yang diharapkan. Hali ini terlihat dari belum dimilikinya laboratorium sendiri dan kantor yang strategis lokasinya, sehingga masyarakat akan mudah untuk menjangkaunya. Salah satu sarana dan peralatan terpenting adalah harus memiliki laboratorium sendiri diberbagai wilayah yang ramai sehingga untuk mengadakan penelitian terhadap makanan yang beredar dipasaran dapat langsung dilakukan tanpa harus menunggu hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memilik laboratorium yang tempatnya cukup memakan waktu. 305

Ibid

Hal | 235


Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung didalam penegakan hukum pidana terhadap konsumen ditentukan juga oleh peran pemerintah sebagai pengayom masyarakat dan juga sebagai Pembina pengusaha dalam meningkatkan kemajuan industri dan perekonomian Negara.Bentuk perlindungan yang diberikan adalah dengan mengeluarkan undang-undang, peraturan pemerintah dan penerbitan standar mutu barang.Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan pada penerapan peraturan ataupun standar-standar yang telah ada, sikap tidak berat sebelah dalam melihat kepentingan konsumen dan pelaku usaha diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap konsumen. d) Faktor Masyarakat (Konsumen) Faktor masyarakat merupakan faktor utama yang menyebabkan lemahnya kondisi dan kedudukan konsumen di Indonesia.Kelemahan ini merupakan salah satu penyebab perlindungan hukum terhadap konsumen belum terlaksana sebagaimana mestinya.Hal ini terlihat dari sikap pasrah konsumen dengan tidak mengembalikan barang yang cacat dan kurangnya informasi yang diperoleh oleh konsumen.Sebagai contoh masih banyaknya konsumen yang membeli sesuatu dan mengkonsumsinya dengan tidak terlebih dahulu membaca petunjuk atau mencoba produk yang dibelinya atau konsumen sering tidak terlebih dahulu membaca petunjuk atau mencoba produk yang dibelinya atau konsumen sering tidak mendapat pelayanan yang memuaskan dari produsen.Terhadap hal tersebut konsumen tidak mengadakan suatu reaksi atas perlakuan tersebut cukup dengan suatu sikap yang menyatakan tidak mau dikatakan orang yang cerewet, banyak tingkah atau orang yang sombong.Sikap tersebut berdampak pada produsen selaku pelaku usaha bersikap acuh tak acuh dan cenderung tidak bertanggung jawab.Sikap tidak bertanggung jawab terlihat dalam suatu pasar swalayan atau toko ada terdapat kata-kata “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan�.Kalimat tersebut berdampak pada produsen selaku pelaku usaha untuk tidak bertanggung jawab dan seolah-olah resiko ada pada konsumen.Hal tersebut jelas sangat bertentangan dengan Undang-undang perlindungan konsumen.306

306

Hasi Wawancara penulis dengan Bapak R.M Taufi Husni.Dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sumatera Selatan

Hal | 236


e) Faktor Pelaku Usaha Pelaku usaha sebagai pihak yang memproduksi dan memasarkan produk makanan seharusnya wajib menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan bertanggung jawab untuk memperhatikan hak-hak dan kepentingan konsumen agar tidak dirugikan.Pengetahuan pelaku usaha terhadap keberaadaan UUPK juga masih rendah. Hal ini ditunjukan dari hasil penelitian lapangan, bahwa pada umumnya para pelaku usaha masih kurang memperhatikan aspek perlindungan konsumen, antara lain seperti dalam penggunaan bahan baku untuk makanan yang dijualnya atau dari cara pembuatannya atau dari cara penyajian makanan yang dijualnya. Terhadap para pelaku usaha yang demikian perlu diberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanggung jawab sebagai pelaku usaha sebagaimanayang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. C. PENUTUP 1. Kesimpulan a) Penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan dapat dilakukan dengan jalur Penal dan Non penal. Melalui jalur penal dalam Undang-undang perlindungan konsumen lebih menitik beratkan pada upaya yang bersifat repressive (penindasan/pemberantasan/ penumpasan) dengan adanya ketentuan sanksi pidana dalam UUPK tersebut dalam prakteknya belumlah berjalan sebagaimana diharapkan. Pelaku usaha yang jelas menggunakan zat kimia justru terbebas dari hukuman. Begitu juga melalui jalur non penal. Jalur non penal berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang bersifat preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi juga belumlah berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terlihat dari kurangnya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat, juga kurangnya kesadaran masyarakat untuk menuntut hak selaku konsumen apabila dirugikan oleh pelaku usaha. Hukuman yang ringan kepada pelaku usaha seperti peringatan dan pembinaan dll, justru tidak memberi efek jera terhadap pelaku usaha.

Hal | 237


b) Lima faktor yang menjadi penghambat dalam memberikan sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan saling berkaitan erat, yang merupakan faktor dari penegakan hukum yang menjadi tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum terhadap konsumen makanan, yaitu meliputi: 1. Faktor hukumnya sendiri (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dimana kurangnya sosialisasi terhadap undang-undang perlindungan konsumen kepada masyarakat serta beberapa ketentuan dalam undang-undang perlindungan konsumen tersebut dalam prakteknya belum terlaksana dengan baik. 2. Aparat penegak hukum belum melaksanakan sepenuhnya undang-undang perlindungan konsumen sebagaimana mestinya, karena kurangnya pemahaman dan sosialisasi terhadap undangundang perlindungan konsumen. c) Faktor sarana atau fasilitas yang terbatas dan SDM yang belum memadai menjadikan sulitnya dalam mencari alat bukti dalam kasuskasus makanan yang sering terjadi. d) Faktor masyarakat selaku konsumen di Negara ini masih bersifat tidak perduli terhadap situasi yang terjadi. Hal ini juga terlihat masih banyaknya konsumen yang membeli makanan dengan sembarangan tanpa terlebih dahulu menanyakan bahan dan komposisi kepada pelaku usaha. e) Faktor pelaku usaha yang masih banyak tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai pelaku usaha sesuai dengan isi undang-undang perlindungan konsumen. 2. Saran Berdasarkan penjelasan diatas, penulis ingin mencoba memberikan saran-saran sebagai berikut: a) Mensosialisasikan undang-undang perlindungan konsumen secara menyeluruh kepada konsumen, pelaku usaha dan Khususnya kepada aparat penegak hukum. b) Aparat penegak hukum dapat menjerat para pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dengan sanksi hukum pidana agar para pelaku usaha jera.

Hal | 238


c) Perbanyak fasilitas dan sarana seperti alat uji laboratorium di tempattempat strategis. d) Ditingkatkannya kesadaran pelaku usaha agar tidak merugikan konsumen dengan cara memberitahukan komposisi dan bahan baku makanan yang dijualnya kepada konsumen. e) Setiap pelaku usaha makanan harus memiliki izin usaha baik pelaku usaha makanan yang besar ataupun yang kecil. f) Pemberian himbauan kepada masyarakat agar lebih berhati-hati dalam membeli makanan.

Hal | 239


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo.Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004. Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1996. Hamzah, Andi, Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Citra. 2008. Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati.Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Mandar Maju. 2000. M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib.Kejahatan Tertentu dalam KUHP.Palembang: Universitas Sriwijaya. 2007. Yesmil Anwar dan Adang.Pembaruan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana. Jakarta: PT. Grasindo. 2008.

Hal | 240


Tanggung Jawab Pidana Pemilik Senjata Api Berizin yang Disalahgunakan Oleh Orang Lain Karena Kelalaian Oleh: M. Angga Prayogi, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah BimbinganRd. Muhammad Ikhsan, SH.,MH dan Henny Yuningsih, S.H., M.H

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat sering ada permasalahan yang timbul dan dapat mengancam keselamatan maupun kehidupan manusia itu sendiri.Oleh karena itu manusia mempunyai kemampuan untuk membela dan melindungi diri dari gangguan-gangguan dan permasalahan yang dimaksud di atas. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum sebagai norma dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu serta kehormatan dan kemerdekaan juga terhadap jiwa dan harta serta benda, dan juga sebagainya terhadap hal merugikannya.307 Sebagai norma, hukum mempunyai karakteristik yang membedakan dengan norma-norma lain. Perbedaan antara norma-norma lainnya adalah sebagai berikut: 1. Suatu norma hukum itu bersifat heterenom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar diri seseorang. Contohnya dalam hal melakukan pembayaran pajak maka kewajiban itu datangnya bukan dari diri seseorang, tetapi paksaan itu dating dari negara, sehingga seseorang harus memenuhi kewajiban tersebut senang atau tidak suka. Normalainnya yang bersifat otonom, dalam pengertian bahwanorma itu hadir dari dalam diri seseorang, contohnya apabila seseorang akan menghormati orang tua atau seseorang atau seseorang akan melakukan doa, maka hal tersebut dilakukan karena adanya kehendak dan keyakinan seseorang tersebut, seseorang menjalankan norma-norma tersebut karena kesadarannya sendiri, sehingga tindakan tersebut tidak dapat dipaksakan dari luar. 2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara fisik sedangkan norma lainnya tidak dapat didekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara transparan. Contohnya apabila seseorang telah melanggar norma hukum, misalnya 307

L. J. Van Apeldoorn, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Pengantar Ilmu Hukum, 1 PT Pradnya Pramita, Jakarta, 2009, hlm, 23.

Hal | 241


menghilangkan nyawa orang lain maka ia akan dituntut dan dipidana, tetapi apabila seseorang melanggar norma lainnya ia tidak dapat dituntut dan dipidana. 3. Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan oleh aparat negara (sepertikepolisian, kejaksaan, kehakiman) sedangkan terhadap pelanggaran norma-norma lainnya sanksi itu datangnya dari diri sendiri misalnya adanya perasaan bersalah dan perasaan berdosa, serta terhadap pelanggaran norma-norma moral atau dalam norma adat tertentu maka para pelanggarnya akan dikucilkan dari masyarakat.308 Penegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum tetapi terdapat unsur penilaian pribadi. Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound maka LaFavre menyatakan bahwa pada dasarnya diskresi berada di antara hukum dan moral (etika dalam arti sempit). Atas dasar uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa adanya gangguan bagi aparat penegak hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal� nilai, kaidah dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundangundangannya walaupun di dalam kenyataan di indonesia kecenderungannya adalah demikian sehingga dalam pengertian law enforcement begitu sangat terkenal. Selain itu terdapat kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan majelis hakim. Perlu dicatat bahwa pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan apabila dalam pelaksanaan perundang-undangan atau suatu keputusankeputusan hakim tersebut malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi suatu penegakan hukum yaitu:309 1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 308

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan I, Kanisius, Jakarta, 2007, hlm 25. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 8. 309

Hal | 242


4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni ebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Dalam rangka penegakan sistem peradilan pidana(criminal justice system) harus dilihat sebagai jaringanpengadilan danpengadilanyang berhubungan denganhukum pidana danpenegakannya. Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai Physical System dalam arti seperangkat unsure atau elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai sebuah tujuan, maupun sebagai Abstract System dalam hal ini gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.310 Dikehidupan seperti sekarang ini sering terjadi suatu perbuatan pidana yang dilatar belakangi oleh unsur kesengajaan dan kealpaan(kelalaian) sehingga terjadinya suatu tindak pidana yang merugikan serta bisa ampai menghilangkan nyawa orang lain. Kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari suatu kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai suatu hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa). Karenanya ancaman pidana pada suatu delik lebih berat, apabila adanya unsur kesenggajaan daripada dengan kealpaan. Bahkan terdapat beberapa tindakan tertentu, apabila dilakukan dengan kealpaan tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, maka merupakan suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.311 Pengertian kealpaan(culpa) , seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan merupakan bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada unsur kesengajaan. Tetapi dapat juga dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan karena apabiladalam kesengajaan, sesuatu akibat yang telah dikehendaki, walaupun pelaku bisa memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah merupakan letak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata). Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang dapat membahayakan keamanan

310

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP Universitas Diponegoro, 1995,

hlm 15. 311

Mr. E. Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Jakarta, 1986, hlm 120.

Hal | 243


orang atau barang, atau mendatangkan suatu kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi.312 Senjata api adalah alat yang boleh digunakan sebagai senjata yang ditembak sama ada satu atau berganda projektil yang ditujahkan pada kelajuan tinggi oleh gas yang dihasilkan melalui kecepatan, pembakaran dibataskan dari suatu pendorong. Proses yang dihasilkan dari kecepatan pembakaran secara teknikalnya dikenali sebagai nyahflagrasi. Pada senjata apizaman dulu, pendorong ini pada dasar serbuk hitam, tetapi senjata api modern menggunakan serbuk tanpa asap, kordit, atau pendorong lain. Kebanyakan senjata api moden (dengan pengecualian yang penting dari senapangberlaras licin) mempunyai laras berpilin untuk memberikan putaran kepada projektil untuk menambah kestabilan semasa dalam penerbangan.313 Dalam Perpu Nomor 20 tahun 1960 ini menjelaskan bahwa apabila masyarakat ingin memiliki senjata api, maka harus mengajukan permohonan kepemilikan senjata api kepada pejabat yang diberikan wewenang oleh undangundang yaitu Polisi Republik Indonesia maupun Tentara Nasional Indonesia di atur oleh masing-masing departemen angkatan perang sendiri. Melihat berbagai kasus pelanggaran dan peredaran serta penyalahgunaan senjata api yang akhirakhir ini, tentu cukup memprihatinkan kita semua. Penyalahgunaan senjata api yang makin marak, baik untuk tindakan kriminal maupun untuk tindakan yang dapat membahayakan nyawa seseorang. Oleh karenanya, kondisi tersebut tidak dapat dibiarkan dan perlu penataan kembali peraturan perundang-undangannya. Salah satu pelanggaran senjata api yang paling menonjol adalah untuk tindakan kriminal. Tindakan kriminal ini tidak lagi menggunakan senjata api yang diizinkan dimasyarakat, tetapi juga menggunakan senjata api standar aparat keamanan. Sebenarnya peraturan perundang-undangan tentang senjata api sudah ada sejak zaman kolonial belanda dan ada beberapa yang masih berlaku. Namun dengan melihat kondisi perkembangan saat ini, baik itu perubahan secara organisasi dan perkembangan senjata api yang makin canggih, maka peraturan perundang-undangan itu banyak yang sudah tidak relevan lagi, sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran dan penyalahgunaan senjata api yang

312

Ibid , hlm 122. http//www.Ms.wikipedia.org/wiki/Senjata_api. Diakses pada tanggal26 November

313

2012

Hal | 244


sangat membahayakan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara.314 Pada kehidupan manusia sehari-hari banyak sekali terjadi pelanggaranpelanggaran, seperti terjadi nya kepemlikan senjata api legal yang disalah gunakan oleh orang lain karena kelalaian. Berikut adalah contoh kasus pemilik senjata api legal yang disalahgunakan oleh orang lain karena kelalaian : Palembang – Bermula pada hari senin tanggal 21 September 2009 sekira jam 14.00 WIB terdakwa Carisma Progresto Bin Teguh Progresto menelpon saksi ibrohim alias Boim bin Mas Cek dengan alasan untuk bersilahturahmi lebaran dan saksi Ibrohim mempersilahkan terdakwa dating kerumah saksi, selanjutnya pada jam 12.30 WIB datang korban Rossi Bambang kerumah saksi ibrohim yang mana memang korban berteman dengan saksi ibrohim, tidak lama kemudian dtang terdakwa dan melihat korban Rossi Bambang sudsh ada di rumah saksi Ibrohim tersebut terdakwa yang memang telah lama berteman dengan korban Rossi Bambang langsung menodongkan senjata api yang dibawa terdakwa kearah saudara Rossi Bambang sambil mengatakan “kamu membohongi saya, saya menyuruh kamu menagih dan setelah dapat tagihan kamu tidak laporan lagi dengan saya, HP kamu matikan. Saya malu dengan orang yang saya tagih katanya sudah dibayar dengan kamu�. Kemudian korban Rossi Bambang dibawa oleh terdakwa ke Polsek SU I. Selanjutnya sesampainya di Polsek SU I, terdakwa menyuruh korban masuk kedalam ruang patroli untuk diinterogasi. Kemudian sambil menginterograsi korban terdakwa pun melakukan tindakan penganiayaan dengan memukul bagian kepala korban Rossi dengan menggunakan kayu bekas kaki meja lalu menembak kaki kiri korban Rossi bambang dengan senjata api jenis revolver 38 merk S&W warna putih Laras pendek caliber 22 dan 5 silinder sehingga korban Rossi Bambang berteriak. Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyataterdakwa menggunakan senjata apimilik rekannya yaitu AKP Bambang WG yang merupakan Kapospol Muara Kumbang yang juga mantan Kanit Reskrim Polsek SU I Palembang. Akibat kasus tersebut, terdakwa yang merupakan anggota polisi republic Indonesia dikenakan pasal berlapis dan pemecatan secara tidak hormat, saksi lain yang terlibat yaitu AKP Bambang WG dimintai keterangan terkait kasus

314

www.indopos.co.id/index.php/nasional/34-berita-nasional 1087-penyalahgunaan senjata api memprihatinkan. html. Diakses pada 26 november 2012, pukul 22.30 wib.

Hal | 245


tersebut dan apabila terlibat dalam kasus tersebut maka AKP Bambang WG akan dikenakan sidang kode etik.315 Kepemilikan senjata api pada dasarnya dapat di kenakan sanksi tindak pidana Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yaitu pada pasal 1 ayat 1, yang berbunyi :“Barang siapa yang tanpa hak memasukan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau hukuman penjara selama-lamanya 20 Tahun� Dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut maka dikaji penelitian dalam bentuk skripsi ini yang berjudul : “Tanggung Jawab Pidana Pemilik Senjata Api Berizin yang Disalahgunakan oleh Orang Lain Karena Kelalaian�. 2. Rumusan Masalah Dari uraian-uraian singkat tersebut telah dapat memberikan gambaran mengenai permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pemilik senjata api berizin yang disalahgunakan oleh orang lain karena kelalaian di wilayah kota Palembang? 2. Hambatan-hambatan apa saja yang ditemukan dalam penegakan hukum terhadap pemilik senjata api berizin yang disalahgunakan oleh orang lain di wilayah kota Palembang? 3. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah Yuridis Empiris.Yuridis yaitu menggunakan undang-undang ataupun bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan, sedangkan empiris yaitu keberlakuan hukum dalam masyarakat dengan mencari data ke lapangan. 316 Sedangkan jenis penelitian lebih 315

http://www.forumbebas.com/thread-81364.html. diakses pada tanggal 29 Juni 2013 pukul 14.00 Wib. 316 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm 10

Hal | 246


ditekankan kepada deskriptif analisis yang mengabarkan mekanisme sebuah proses, menciptakan seperangkat katagori atau pola. Penulisan skripsi ini juga ditunjang dengan pendekatan yuridis normative yaitu pendekatan dengan menggunakan atau meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder. 317 Serta mengumpulkan data yang dilakukan melalui data kepustakaan dan data lapangan di wilayah hukum Polresta Palembang. 2. Jenis dan Sumber Data a. Jenis data dalam penelitian ini adalah kualitatif, yang diperlukan untuk mengetahui sejauh mana penegakan pertanggung jawaban pidana pemilik senjata api legal khususnya dalam wilayah hukum kota Palembang yaitu: 1. Data primer, merupakan data yang diperoleh langsung melalui wawancara dan atau survey di lapangan yang berkaitan dengan perilaku masyarakat.318 2. Data sekunder, yaitu data dari penelitian kepustakaan dan Pada umumnya data sekunder dalam studi dokumen b. Sumber Data Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu.Dalam wawancara ada 2 pihak, yaitu interviewer (pewawancara) dan interviewee (yang diwawancara).Wawancara ini menggunakan sistem terbuka kepada narasumber yang berkompeten dibidangnya, dimana yang diwawancara dalam hal menjawab pertanyaan mempunyai kebebasan dengan kata-katanya sendiri serta menyatakan ide-ide yang dianggapnya tepat. 3. Teknik Pengumpulan Data Data yang berasal dari bahan-bahan hukum sebagai data utama yang diperoleh dari pustaka ,antara lain : a. Data Primer Merupakan data yang diperoleh langsung dilapangan melalui wawancara dengan narasumber / informan yang dianggap mengetahui permasalahan mengenai pertanggung jawaban pidana pemilik senjata api berizin. Data primer didapat atau bersumber dari kegiatan penelitian pada kepolisian Republik Indonesia daerah Sumatera Selatan. 317

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali press, Jakarta, 2003, hlm

13 318

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafis, Jakarta, 2009, hlm 23

Hal | 247


b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum yang mempunyai otoritas ( autoritatif ) yang terdiri peraturan perundang-undangan, antara lain : 1) Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 mengenai Senjata Api 2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang cara pendaftaran dan pemberi izin pemakaian senjata api 3) Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Tentang Kelalaian c. Bahan Hukum Tersier Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder meliputi kamus, ensiklopedia, dan indeks.319 4.Analisis Data Data dianalisis secara Kualitatif yaitu tidak menggunakan perhitungan angka-angka, tetapi menggunakan cara berpikir deduktif yaitu kerangka berpikir dengan cara menarik kesimpulan dari data-data yang bersifat umum kedalam data yang bersifat khusus dan dengan metode induktif yaitu kerangka berpikir dengan cara menarik kesimpulan dari data-data yang bersifat khusus kedalam data yang bersifat umum. 4. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian a) Pengertian Senjata Api Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 Pasal 1 ayat (2) memberikan pengertian senjata api dan amunisi yaitu termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 (1) dari peraturan senjata api 1936 (Stb 1937 Nomor 170) yang telah diubah dengan ordonantie tanggal 30 Mei 1939 (Stb Nmor 278) tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senjata "yang nyata" mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat di pergunakan. b) Jenis Senjata Api Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948, tentang pendaftaran dan pemberian izin kepemilikan senjata api pada Pasal 9 dinyatakan, bahwa setiap 319

Ibid hlm 13.

Hal | 248


orang yang bukan anggota tentara atau polisi yang memakai dan memiliki senjata api harus mempunyai izin pemakaian senjata api menurut contoh yang ditetapkan oleh kepala kepolisian negara. Adapun senjata-senjata yang boleh dimiliki antara lain adalah : 1. Selain senjata api yang memerlukan ijin khusus (IKHSA), masyarakat juga bisa memiliki senjata genggam berpeluru karet dan senjata genggam gas, cukup berijinkan direktorat Intel Polri. 2. Jenis senjata yang bisa dimiliki oleh perorangan adalah senjata genggam hanya kaliber 22 dan kaliber 33 yang bisa dikeluarkan izinnya. 3. Untuk senjata bahu (laras panjang) hanya dengan kaliber 12 GA dan kaliber 22. (jumlah maksimurn dapat memiliki dua pucuk per orang) 4. Senjata api berpeluru karet atau gas (IKHSA) dengan jenis senjata api antara lain adalah Revolver, kaliber 22/25/32 dan Senjata bahu Shortgun kaliber 12mm. 5. Sedangkan untuk kepentingan bela diri seseorang hanya boleh memiliki senjata api genggam jenis revolver dengan kaliber 32/25/22, atau senjata api bahu jenis Shotgun kaliber 12 mm dan untuk senjata api klasifikasi (IKHSA) adalah jenis yakni Hunter 006 dan Hunter 007. B. PEMBAHASAN 1. Tanggung Jawab Pidana Pemilik Senjata Api Berizin Yang Disalahgunakan Oleh Orang Lain Karena Kelalaian Bentuk PertanggungJawaban terhadap pelaku kelalaian dalam kepemilkan senjata api yang berizin dikalangan kepolisian akan diberi sanksi yang tegas baik menurut Undang-undang darurat Nomor 12 tahun,Kode Etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu pada Pasal 4 huruf F dan pada huruf G, serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012 tentang pengawasan dan pengendalian senjata api, serta Pasal 359 KUHP tentang kelalaian. 2. Hambatan-Hambatan Dalam Proses Penegakan Hukum Pemulik Senjata Api Berizin yang Disalhgunakan Oleh Orang Lain Menurut Briptu Denny, ada pula hambatan yang ditemukan dalam penegakan hukum terhadap pemilik senjata apiberizin yang disalahgunakan oleh

Hal | 249


orang lain karena kelalaian. Berikut adalah beberapa hambatan yang ditemukan:320 1. Senjata api tidak dikembalikan setelah bertugas, maka hal tersebutlah yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak kelalaian. 2. Tidak ada undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai kepemilikan senpi terhadap anggota polri khususnya dalam hal tindak pidana baik itu pembunuhan, pencurian, dan lain-lain yang apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh masyarakat sipil akibat peminjaman senjata api itu sendiri oleh anggota polri. 3. Dalam undang-undang Nomor 12 tahun 1951 hanya mengatur tentang kepemilikan senjata api oleh anggota polri hanya untuk bidang olahraga. Didalam undang-undang ini pun tidak ada pasal yang mengatur secara signifikan tehadap anggota polri apabila meminjamkan senpi kepada masyarakat umum (sipil), sehingga dapat memungkinkan terjadinya tindak pidana (dolus evantualis). 4. Dalam undang-undang kepolisian tidak mengatur sanksi terhadap anggota Polri yang meminjamkan senpi kepada masyarakat sipil sehingga menimbulkan tindak pidana, namun di dalam undang-undang kode etik kepolisian pada Pasal 4 yakni huruf F hanya mengatur masalah penyalahgunaan wewenang yang berbunyi “ Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan, dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara “. Kemudian pada huruf G mengatur mengenai penghargaan terhadap benda-benda yang berada dibawah penguasaannya yang berbunyi “Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara�. C. PENUTUP 1. Kesimpulan a) Bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pemilik senjata api yang telah lalai akan mendapatkan sanksi yang tegas apabila benar-benar terbukti melakukan kesalahan. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, kemudian dikenakan juga Pasa359 320

Hasil wawancara dengan Brigadir Denny Apriyanto, Selaku Sat reskrim Polresta Palembang pada tanggal 6 Februari 2013

Hal | 250


KUHP serta Undang-undang kode etik pada Pasal 4 huruf (f) dan (g). hal ini diterapkan dengayarat telah terpenuhinya unsure-unsur yang terkadang di dalam suatu peristiwa pidana, b) Dalam undang-undang kepolisian tidak mengatur sanksi terhadap anggota Polri yang meminjamkan senpi kepada masyarakat sipil sehingga menimbulkan tindak pidana, namun di dalam undangundang kode etik kepolisian pada Pasal 4 yakni huruf F hanya mengatur masalah penyalahgunaan wewenang yang berbunyi “ Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara “. Kemudian pada huruf G mengatur mengenai penghargaan terhadap benda-benda yang berada dibawah penguasaannya yang berbunyi “Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara�. 2. Saran a) Kepolisian hendaknya memperketat proses pengawasan kepemilikan senjata api malalui razia atau operasi gabungan dalam jumlah yang lebih besar dan lebih banyak dalam hal jumlah intensitas razia dan operasi tersebut. b) Harus adanya peraturan secara tegas dalam mengatur tentang pelaku yang telah lalai dalam kepemilikan senjata api.

Hal | 251


DAFTAR PUSTAKA A. Buku L. J. Van Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT Pradnya Pramita, Jakarta. Maria Farida Indrati,2007, Ilmu Perundang-undangan I, Jakarta: Kanisius, Jakarta. Mr. E. Utrecht, 1987, Hukum Pidana II, Surabaya; Pustaka Tinta Mas. Mr. E. Utrecht, 1986, Hukum Pidana I, Surabaya:Pustaka Tinta Mas. Muladi,1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Surabaya:BP Universitas Diponegoro. Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafis.

B. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 Tentang Senjata Api. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberi Izin Pemakaian Senjata Api. Pasal 359 kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kealpaan. Pasal 15 dan 16, Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta KUHAP C. Peraturan Pelaksana Skep Kapolri No 82/11/2004 tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendaliaan Senjata Api Non Organik TNI/POLRI Lembaran Negara Republik Indonesia, Pasal 48 Perkapolri Nomor 8 tahun 2009 D. Internet http://www.forumbebas.com/thread-81364.html. diakses pada tanggal 29 Juni 2013 pukul 14.00 Wib http://www.tempointeraktif.com, Karimun, Ada 18 Ribu Senjata Api Milik Perorangan, Artikel, Diakses 17 April 2013 pukul 13.00. wib.

Hal | 252


Peran Korban Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh: Satukhid Kartanegara, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum dan Vera Novianti, S.H., M. Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkannya, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan dan ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup tersebut.321 Umumnya dikatakan hubungan korban dengan kejahatan adalah pihak yang menjadi korban sebagai akibat kejahatan. Tentu ada asap pasti ada api, pihak yang menjadi korban karena ada pihak lain yang melakukan kejahatan.322 Hal penting dalam negara hukum adalah adanya penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum (Equality Before the Law).323 Setiap tindak pidana tidak terkecuali dengan tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga, yang bertujuan untuk melindungi setiap hak-hak yang dimiliki oleh korban kekerasan dalam rumah. Yang dimaksud dengan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini, yaitu :324 321

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 341. 322 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 18. 323 Ibid, hlm. 1. 324 Konsideran Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN 2004.

Hal | 253


a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan rumah tangga,merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; c. Bahwa korban kekerasaan dalam rumah tangga adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan; d. Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-Undang terhadap penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga sering kali disebut oleh para ahli sebagai hidden crime (kejahatan yang tersembunyi). Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri atau yang dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang banyak terjadi dimasyarakat.Kekerasan dalam rumah tangga juga disebut dengan istilah kekerasaan domestik.Dimana kekerasan domestik tersebut terjadi didalam ranah domestik (privat).325 Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang rumusannya adalah setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:326 a) Kekerasan fisik; b) Kekerasan psikis; c) Kekerasan seksual; d) Penelantaran rumah tangga. Sementara itu yang dimaksud dengan korban adalah seorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

325

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 1. 326 Pasal 5 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN 2004.

Hal | 254


diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Melihat rumusan tersebut, yang disebut korban adalah :327 1. setiap orang, 2. mengalami penderitaan fisik, mental, 3. kerugian ekonomi, 4. akibat tindak pidana. Kebiasaan dalam pratek dimasyarakat yang sampai saat ini masih sering terjadi, suami dan istri yang terlibat dalam kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga seringkali masalahnya tanpa mau menyelesaikannya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sehingga permasalahan tersebut berlarut dan menyebabkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam kehidupan berkeluarga. 2. Permasalahan Berdasarkan uraian dan judul yang telah dipaparkan diatas maka perumusan masalah yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana peran korban dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ? 2. Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat bagi korban dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ?

B. PEMBAHASAN 1. Peran Korban dalam Penyelesaian Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga Dalam hal menerima adanya laporan mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga, pihak kepolisian harus segera menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan.328Untuk melindungi hak-haknya dan dukungan yang kuat dari pemerintah merupakan langkah yang sangat mendukung dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Penyelenggaraan pelayanan

327

Pasal 1 Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LN No 4635, TLN 2006. 328 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 69.

Hal | 255


terhadap korban, pemerintah dan aparatur terkait lainnya sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing dapat melakukan, yaitu:329 a. Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama, program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban dan d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban. e. Memberikan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yaitu:330 1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puleh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. 2) Perlindungan sementara diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. 3) Polisi wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. f. Dalam memberikan perlindungan sementara, pihak kepolisian dapat bekerjasama dengan pekerja sosial, relawan pendamping untuk mendampingi korban.331 g. Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan.332 h. Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.333 i. Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:334 329

Pasal 13 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN

2004. 330

Pasal 16 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN

2004. 331

Pasal 17 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN

2004. 332

Pasal 18 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN

2004. 333

Pasal 19 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN

2004.

Hal | 256


1) Identitas korban untuk pengenalan kepada korban; 2) Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatab terhadap martabat manusia; 3) Kewajiban untuk melindungi korban. pihak yang terkait dalam hal ini kepolisian terlebih dahulu mengutamakan untuk memulihkan kondisi psikis yang dialami oleh korban yang diakibatkan oleh kekerasan yang telah dia alami. Barulah kemudian dilakukan pendekatan mengenai tindak kekerasan yang dia alami, hal ini ditujukan agar korban mendapat rasa nyaman bahwa adanya perlindungan terhadap diri korban yang diberikan oleh pihak kepolisian.335 Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Polresta Palembang yang beralamatkan Jln. Jakabaring Palembang, Pihak kepolisian dalam menjalankan tugasnya telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan kewenangan yang dimiliki yang berpedoman dengan aturan yang ada dan pihak kepolisian juga bekerja secara maksimal sesuai dengan kewenangannya, melakukan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, serta bekerja sama dengan WCC (women’s crisis center) Palembang untuk menindak lanjuti kasus kekerasan dalam rumah tangga yang diadukan atau dilaporkan. 2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi korban dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga a) Korban Dari data penelitian yang diperoleh melalui wawancara dengan korban kekerasan dalam rumah tangga.Hasil wawancara dengan korban menunjukan hal yang mendasar menimpa para korban adalah kekerasan psikis dimana para korban bertujuan selalu berusaha menempatkan diri mereka sebaik mungkin dalam hubungan suami istri dengan berbagai masalah rumah tangga yang mereka hadapi.Peneliti menilai bahwa telah adanya kesadaran diri dari para korban kekerasan dalam rumah tangga bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami mereka merupakan bentuk tindakan yang melawan hukum, korban merasa hak-haknya sebagai seorang istri belum sepenuhnya terpenuhi. Namun, sikap untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga yang telah mereka bina begitu besar membuat para korban kekerasan dalam rumah tangga memilih 334

Pasal 20 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN

2004. 335

Hasil wawancara dengan IPDA Imelda Rahmat selaku KANIT PPPA Polresta Palembang tanggal 24 Juli 2013.

Hal | 257


untuk menutup diri demi menjaga keutuhan rumah tangganya dan kekhawatiran mereka akan berujungnya perceraian dari pernikahan yang telah mereka bina selama ini. b) WCC (Women’s Crisis Center) Sepanjang tahun 2011, Divisi Pendampingan WCC (women’s crisis center) Palembang telah melakukan pendampingan 386 kasus, yang terdiri dari: perkosaan dan pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam pacaran (KDP), perdagangan perempuan dan anak serta beragam bentuk kekerasan lainnya. Adapun komposisi kasus berdasarkan bentuk kekerasan yang terjadi antara lain:336 Tabel 1: Jumlah Korban dan Bentuk Kekerasan yang ditangani WCC (Women’s Crisis Center) Palembang No 1 2 3 4 5

Bentuk Kekerasan Perkosaan & Kekerasan Seksual lainnya Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) Perdagangan perempuan & Anak Kekerasan Lainnya Total Kasus

Jumlah 156 133 52 11 34 386

Sumber: WCC (women’s crisis center) Palembang, Tahun 2011

Berdasarkan tabel diatas, jumlah korban dan bentuk kekerasan yang ditangani oleh WCC (Women’s Crisis Center) pada tahun 2011. Dan pada tahun 2011 hingga tahun 2014 WCC (women’s crisis center) Palembang bersama sama dengan mitranya telah bersepakat untuk mengkampanyekan masalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Selain itu juga, data terhadap kekerasan dalam rumah tangga dikelompokkan oleh karakteristik dilihat dari tingkat pendidikan baik dari pelaku tindak kekerasan maupun dari korban kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, yaitu:

336

Data kekerasan yang ditangani oleh WCC (women’s crisis center) Palembang.

Hal | 258


Tabel 2: Data kekerasan terhadap perempuan Periode 1 januari – 28 desember 2011 A. Karakteristik dilihat dari Tingkat Pendidikan 1. Tingkat Pendidikan Korban No 1

Tingkat Pendidikan

Jumlah

<SD

27

2

SD

63

3

SLTP

102

4

SLTA

135

5

Perguruan Tinggi

57

6

Lainnya (S2/S3)

2

TOTAL

386

Sumber: WCC (women’s crisis center) Palembang, Tahun 2011

2. Tingkat Pendidikan Pelaku No

Tingkat Pendidikan

Jumlah

1

<SD

4

2

SD

33

3

SLTP

64

4

SLTA

96

5

Perguruan Tinggi

118

6

Lainnya (S2/S3)

9

TOTAL

324

Sumber: WCC (women’s crisis center) Palembang, Tahun 2011

Dari data yang diperoleh berdasarkan WCC (women’s crisis center) Palembang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) peneliti menganalisis bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat dialami oleh setiap orang tanpa memandang usia, latar belakang pendidikan dan juga profesi pekerjaan korban maupun pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga sendiri. Untuk itu harus adanya kerjasama yang baik baik dari korban kekerasan dalam rumah tangga, Hal | 259


aparat berwenang (pemerintah, pihak kepolisian) maupun lembaga swadaya seperti: WCC (women’s crisis center) dalam upaya mengurangi terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga dan upaya melindungi hak-hak (istri,anak) yang menjadi korban kekerasan tindak pidana. Berdasarkan jenis pekerjaan korban dan pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga(KDRT), yaitu:337 Tabel 3: Data Kekerasan Terhadap Perempuan Periode 1 Januari – 28 Desember 2011 C. Karakteristik dilihat dari Profesi/Pekerjaan 1. Profesi/Pekerjaan Korban No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Profesi/Pekerjaan Korban Karyawan Petani/Nelayan Pelajar/Mahasiswa Buruh Pabrik PNS Pegawai Swasta Dokter/Perawat/Bidan Pembantu Rumah Tangga Guru/Dosen Lainnya TOTAL

Jumlah 30 27 136 38 41 29 8 19 24 34 386

Sumber: WCC (women’s crisis center) Palembang, Tahun 2011

2. Profesi/Pekerjaan Pelaku No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Profesi/Pekerjaan Pelaku Buruh Pabrik Pegawai Swasta PNS Guru/Dosen Pelajar/Mahasiswa Kernet/Sopir TNI/Polri Pegawai BUMN Petani Lainnya TOTAL

Jumlah 38 33 23 18 79 24 7 15 38 49 324

Sumber: WCC (women’s crisis center) Palembang, Tahun 2011

337

Ibid.

Hal | 260


Data WCC (women’s crisis center) Palembang menunjukkan bahwa banyak sekali faktor penghambat dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.Sangatlah penting keaktifan pemerintah untuk mendukung upaya pemberantasan tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, hampir setiap golongan masyarakat terlibat dalam kasus tindak pidana ini mulai dari kalangan biasa hingga aparatur negara sendiri seperti pegawai negeri sipil. Hambatan-hambatan lain yang muncul dalam melakukan proses penyidikan dalam penangan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tanga, yaitu:338 1) Masih adanya ketidaktahuan korban bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami merupakan perbuatan melawan hukum dan dapat dijatuhkan sanksi pidana. 2) Korban membiarkan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadi menimpa dirinya karena korban berpendapat bahwa nantinya tingkah laku dari sang suami akan berubah dan tidak akan mengulangi perbuatannya tersebut. 3) Adanya ketergantungan hidup (secara ekonomi) terhadap pasangan, dikarenakan dalam kehidupan rumah tangga hanya satu dari pasangan yang bertugas mencari nafkah. 4) Korban berusaha menutupi-nutupi kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa dirinya karena merasa malu dengan tetangga yang ada disekitar tempat tinggalnya, sehingga dapat berpengaruh pada status sosial keluarganya dalam masyarakat itu sendiri 5) Secara pembuktian kekerasaan fisik yang menimpah korban terkadang hilang, dikarenakan korban terlambat melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa dirinya. 6) Dalam ruang lingkup keluarga korban, kekerasan rumah tangga yang terjadi kepada dirinya adalah merupakan aib keluarga yang harus ditutupi agar tidak diketahui oleh tetangga disekitar lingkungan tempat tinggal mereka. 7) Terjadinya kekerasan lebih banyak diketahui oleh pelaku dan korban saja.

338

Hasil wawancara dengan Yeni Rolaini Izi selaku Direktur Eksekutif WCC (women’s crisis center) Palembang tanggal 22 Juli 2012.

Hal | 261


8) Bagi korban yang melapor dan perkaranya memenuhi syarat formil maupun materil, tidak jarang korban sering berusaha mencabut kembali laporan karena merasa tidak mampu untuk membesarkan anak-anaknya tanpa adanya seorang suami yang mendamping dan menginginkan rumah tangga yang telah dibangunj dapat kembali seperti dulu lagi. 9) Sering terlambatnya laporan terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga akan berpengaruh terhadap proses selanjutnya, kesukaran penyidik dalam melakukan proses penyelidikan, terutama pengumpulan saksi dan barang bukti terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga. 3. Pihak Kepolisian Dalam melaksakan tugas tidak jarang adanya muncul hambatanhambatan dalam proses tersebut. Berdasarkan penelitian lapangan menurut IPDA Imelda Rahmat (KANIT PPPA) mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang timbul dalam melaksanakan tugas yaitu:339 a. Sumber Daya Manusia Kurangnya sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penghambat dalam penyelesaian tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena baik secara kualitaas maupun kuantitas aparat artinya dari jumlah keahlian masih sangat minim sehingga kinerja dan tenaga ahli lainnya juga masih banyak yang kurang memadai dan kurang mendukung kinerja dari aparat yang berwenang.Dari bidang yang bertugas menyelesaikan masalah tindak kekerasan dalam rumah tangga yang hanya memiliki keahlian hanya 11 orang terhitung semua jajaran. Masih rendahnya pengetahuan dan peran serta aktif masyarakat terhadap tindak pidana kekerasaan dalam rumah tangga yang terjadi disekitar lingkungan tempat tinggal mereka maupun masih kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat menjadikan tugas yang diemban oleh aparat dalam menyelesaikan kejahatan tindak pidana dalam rumah tangga menjadi bertambah dalam upaya pengungkapan kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut.

339

Wawancara dengan IPDA Imelda Rahmat selaku KANIT PPPA Polresta Palembang tanggal 24 juli 2013.

Hal | 262


b. Sarana dan prasarana Akibat minimnya dana terhadap yang dialokasikan untuk penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga maka secara kualitas kinerja dari aparatur pun menjadi terhambat. Minimnya sarana dan prasarana untuk melakukan kegiatan penanggulangan, sosialisasi dan fasilitas/peralatan dalam melaksanakan tugas juga belum memadai sebagaimana mestinya. Kurangnya dana yang disediakan oleh pemerintah merupakan bentuk penghambat yang terjadi dalam upaya penanggulangan tumbuh kembangnya penyakit masyarakat dan membuat usaha-usaha serta rencana yang akan dilakukan untuk menanggulangi terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga menjadi kurang maksimal. Diantaranya adalah: 1) Kurang memadainya sarana dan prasarana untuk melakukan sosialisasi terhadap tindak pidana kekerasaan dalam rumah tangga seperti minimnya alat komunikasi dan informasi pendukung untuk mensosialisasikan serta penyuluhan terhadap Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) keseluruh masyarakat yang ada di sumatera selatan. 2) Tidak adanya kerjasama yang baik untuk melakukan proses pemeriksaan lebih lanjut terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga antara aparat dengan korban karena korban merasa kebingungan terhadap apa yang telah dia lakukan (melaporkan kasus kekerasan yang dialami oleh diri si korban itu sendiri) dan lebih memilih untuk mencabut pengaduan yang telah dia buat kepihak kepolisian. 3) Masyarakat sendiri masih kurang berpartisipasi aktif turut serta dalam memberantas kekerasan dalam rumah tangga apakah kekerasan yang terjadi pada diri korban musti dilaporkan untuk mendapatkan perlindungan terhadap diri korban karena masyarakat merasa itu merupakan masalah rumah tangga. C. PENUTUP 1. Kesimpulan a) Peran untuk meminimalisasi kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri bukan hanya pada korban kekerasan, melainkan juga adanya peran serta masyakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti WCC (women’s crisis center) Palembang, jajaran pemerintah serta pihak kepolisian untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Hal | 263


Peran dari semua kalangan tersebut yaitu mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan medis kepada korban, membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga. Adapun menjadi hambatan yaitu korban masih malu mengungkapkan, masih tertutup karena orang lain serta masyarakat menganggap tidak berhak masuk dalam lingkungan keluarga nya. Peran WCC (women’s crisis center) Palembang adalah memberikan pelayanan, membantu korban memulihkan tekanan psikis yang diderita oleh korban, pendampingan pengaduan kepada korban yang ingin menempuh jalur hukum. b) Efektivitas Polresta yang dilakukan adalah dengan adanya ruangan khusus yaitu unit pelayanan perempuan dan anak (UPPA) dimana ruangan ini diisi oleh polisi dan polwan yang bertugas untuk mendengarkan keluhan dan menerima laporan korban yang mengalami kekerasan untuk menceritakan peristiwa yang mereka alami sehingga korban merasa aman dan merasa bahwa dirinya mendapatkan perlindungan dan merasa terjauh dari ancaman tindak kekerasan dalam rumah tangga. 2. Saran 1. Untuk korban agar dapat berpartisipasi dalam pemberantasan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dimulai dari diri sendiri, menjadi mitra yang baik dalam upaya untuk memperoleh informasi tentang tindak kekerasan yang menimpah dirinya. 2. Untuk pihak kepolisian agar memberikan penampungan sementara terhadap korban kekerasan supaya korban dapat memulihkan tekanan psikis yang diderita serta mampu bekerjasama dengan baik untuk menyelesaikan kekerasan yang menimpanya. 3. Meningkatkan kerjasama dengan lembaga swadaya, polisi dan pihakpihak terkait yang memperiotaskan masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk memberikan informasi dan penyuluhan kepada masyarakat. 4. Pihak pemerintah maupun lembaga sosial masyarakat serta pihak kepolisian harus menjadi mitra satu kesatuan yang utuh serta memberikan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat bahwa Hal | 264


tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat dijatuhkan sanksi pidana

Hal | 265


DAFTAR PUSTAKA BUKU Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika, Jakarta. Moerti Hadiati Soeroso, 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta. Rachmadi Usman, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

SUMBER PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN 2004. Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LN No 4635, TLN 2006.

HASIL WAWANCARA Hasil wawancara dengan IPDA Imelda Rahmat selaku KANIT PPPA Polresta Palembang tanggal 24 Juli 2013. Hasil wawancara dengan Yeni Rolaini Izi selaku Direktur Eksekutif WCC (women’s crisis center) Palembang tanggal 22 Juli 2012. Data kekerasan yang ditangani oleh WCC (women’s crisis center) Palembang.

Hal | 266


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.