Ej htn #1 ayu muria wardhani

Page 1

Konsep Otonomi Berdasarkan Perkembangan Undang-Undang Dasar 1945 Di Indonesia Oleh: Ayu Muria Wardhani, SH Lulus Tanggal 6 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. Febrian, SH.,MS dan Abunawar Basyeban, SH., MH

Hal | 0


Konsep Otonomi Berdasarkan Perkembangan Undang-Undang Dasar 1945 Di Indonesia Oleh: Ayu Muria Wardhani, SH Lulus Tanggal 6 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. Febrian, SH.,MS dan Abunawar Basyeban, SH., MH

Abstrak:Amandemen dalam UUD 1945 dianggap sebagai arus perubahan besar yang terjadi dalam proses dan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara termasuk perihal hubungan kerja antar lembaga tinggi negara. Dampak dari amandemen ini dapat dilihat pada beberapa pasal yang mengalami perubahan besar. Perubahan ini terjadi pada pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang pergeseran kekuasaan membentuk undangundang dimana dalam pasal inidijelaskan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Pasal selanjutnya yang mengalami perubahan adalah pasal 20 ayat (5) yang mengatur tentang proses pemberlakuan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dan Presiden namun tidak disahkan oleh Presiden dalam jangka waktu 30 hari maka rancangan undang-undang tersebut berlaku dan sah menjadi undang-undang. Implikasi dari rumusan pasal 20 ayat (5) justru menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat karena dianggap sebagai fenomena baru yang melanda sistem ketatanegaraan Indonesia. Faktor penyebab terjadinya pemberlakuan undang-undang tanpa pengesahan Presiden menurut Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 ini adalah karena adanya hak veto yang melekat pada Presiden, kurangnya koordinasi dan pengontrolan Presiden terhadap Menteri yang mewakili Presiden dalam proses pembahasan bersama DPR tentang kelanjutan pembahasan rancangan undang-undang serta konstitusi yang memperbolehkan berlakunya undang-undang tanpa pengesahan Presiden. Undang-undang tanpa pengesahan Presiden merupakan undangundang yang disahkan secara formil karena berdasarkan ketentuan konstitusi dan tidak menimbulkan akibat hukum apapun. Oleh karenanya keabsahan dari undang-undang ini dibenarkan dalam sistem ketatanegaraan sebab dalam pasal 20 ayat (5) UUD 1945 undang-undang yang tidak disahkan Presiden setelah 30 hari akan secara otomatis berlaku menjadi undang-undang yang mengikat secara umum. Kata Kunci: Pengesahan, Rancangan Undang-Undang, Undang-Undang, Pasal 20 ayat (5)

Hal | 1


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Amandemen dalam UUD 1945 dianggap sebagai arus perubahan besar yang melanda sistem ketatanegaraan Indonesia, perubahan terjadi dalam proses dan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara termasuk perihal hubungan kerja antar lembaga tinggi negara. Beberapa pasal yang mengatur kekuasaan Presiden dan DPR, utamanya dalam membentuk undang-undang mengalami perubahan besar. Perubahan pertama UUD 1945, MPR menyepakati perubahan 9 pasal dan 13 ayat yaitu pasal 5, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 20 dan pasal 21, terdiri tiga materi pokok yakni Bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab tentang Kementerian Negara, Bab tentang Dewan Perwakilan Rakyat.1 Berbagai kalangan menduga bahwa perubahan pada pasal-pasal di atas dikarenakan pasal-pasal itu secara langsung terkait dengan kekuasaan Presiden yang amat besar nyaris tanpa mekanisme checks and balances. Melihat hasil perubahan itu, tak dipungkiri bahwa salah satu target utama amandemen konstitusi adalah tentang lembaga kepresidenan (presidency) dan lembaga perwakilan rakyat. Dengan kata lain, inti amandemen pertama bukan lain hendak mereduksi kekuasaan presiden dan memberdayakan lembaga perwakilan. Para perumus perubahan konstitusi berkomitmen untuk mempertegas sistem presidensial yang dianut oleh UUD 1945. Oleh karena itu rumusan yang dihasilkan ialah upaya menyeimbangkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam suatu sistem checks and balance yang lebih sepadan.2 Secara umum pola hubungan presiden dengan legislatif (DPR-DPD) dan parlemen (MPR) 3 menunjukkan perubahan penting dalam sistem pemerintahan di 1

Fajar Laksono dan Subardjo, Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden, Yogyakarta : UII Pers, 2006, hlm.6 2 Ibid, hlm.7 3 Setelah amandemen UUD 1945, MPR tetap dapat disebut sebagai institusi mandiri meskipun kedudukannya tidak bersifat tertinggi. MPR diberi kewenangan memilih Presiden/Wakil Presidendalam rangka mengisi habatan yang kosong, memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, dan berwenang mengubah UUD. Sifat pekerjaan MPR tidak lagi bersifat rutin, tidak terus menerus melainkan secara ad hoc dan kedudukannyatidak lebih tinggi dari lembaga lain seperti DPR, DPD dan Presiden. Pimpinan MPR bersifat permanen dan berdiri sendiri di samping pimpinan DPR. Oleh karenanya struktur parlemen di Indonesia sekarang ini bukan bikameral melainkan menjadi parlemen tiga kamar (trikameral)

Hal | 2


Indonesia, hal ini tampak sekali pada kedudukan dan peran DPR yang begitu mengemuka. Transformasi UUD 1945 menghasilkan konstitusi bercirikan legislative heavy bukan lagi MPR heavy ataupun executive heavy. Pergeseran dari executive heavy menjadi DPR heavy kian nyata karena kekuasaan membuat undangundang tidak lagi berada ditangan Presiden melainkan di tangan DPR, Presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang. Hal ini tegas dirumuskan dalam pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 UUD 1945. Perubahan radikal terhadap pasal-pasal itu adalah dengan mengurangi secara signifikan kekuasaan presiden dalam membuat undang-undang. Kekuasaan legislatif presiden digeser menjadi proses politik di DPR sebagai kekuatan paling dominan dalam menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yang ada dalam konstitusi. Padahal sebelum dilakukan dilakukan perubahan, DPR hanya berfungsi legislasi semu karena posisinya sekedar �tukang stempel� 4 dalam setiap pembuatan undang-undang. Meski perubahan konstitusi telah menempatkan kekuasaan legislasi di tangan DPR bukan berarti Presiden tidak lagi memiliki peran dalam proses pembentukan undang-undang. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) menyebut bahwa suatu rancangan undang-undang (RUU) hanya dapat menjadi undang-undang apabila ada persetujuan bersama DPR dan Presiden. Bila rancangan undangundang tidak mendapat persetujuan bersama maka rancangan undang-undang tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu. Secara ringkas, konsekuensi terjadinya sharing of legislative power dalam proses legislasi menyebabkan adanya dua hal penting yang patut dicermati, yaitu pertama, keabsahan undang-undang didasarkan pada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Kedua, setelah 30 hari maka undang-undang tersebut berlaku secara otomatis meski tidak mendapatkan pengesahan Presiden karena konstitusi mengharuskan kepada Presiden untuk mengundangkannya dalam Lembaran Negara. Kedua hal di atas adalah pernyataan yang saling terkait sehingga sangat layak dipertanyakan jika sebelumnya telah ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden namun sesudah itu Presiden tidak bersedia mengesahkan suatu rancangan undang-undang, tetapi rancangan undang-undang itu tetap diundangkan.

4

Fajar Laksono, Op.Cit., hlm.7

Hal | 3


Lebih lanjut ditegaskan oleh konstitusi, dalam kondisi apapun keabsahan suatu undang-undang adalah dengan adanya pengesahan Presiden karena konstitusi telah mengharuskan. Hal ini mengandung makna jika Presiden tidak bersedia mengesahkan suatu rancangan undang-undang maka sama dengan Presiden melakukan pelanggaran hukum apalagi terhadap konstitusi maka impeachment dapat dilakukan.5 Sesungguhnya masalah tidak perlu muncul jika rumusan pasal 20 behenti pada ayat (4) saja, karena bagaimanapun pasal 20 ayat (4) itu menjadi klausul ’pengunci’ yang menutup peluang presiden untuk tidak bertindak lain kecuali mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR menjadi undang-undang. Namun kemudian disepakatinya rumusan pasal 20 ayat (5) justru membuka peluang Presiden melakukan tindakan tidak mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR. Selengkapnya pasal 20 ayat (5) itu berbunyi : �Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang, dan wajib diundangkan.� Ayat ini menjadi permakluman terhadap tindakan Presiden yang tidak mengesahkan sebuah rancangan undang-undang. Boleh dikata ayat itu menganulir ayat sebelumnya sehingga seolah-olah tindakan Presiden yang tidak mengesahkan rancangan undang-undang tidak melanggar konstitusi. Menanggapi fenomena ketatanegaraan itu, muncul setidaknya dua pemahaman terkait dengan problem pengesahan Presiden. Satu pihak menilai bahwa ketentuan Presiden mengesahkan sebagaimana yang dimaksud Pasal 20 ayat (5) adalah untuk melaksanakan prinsip check and balance sekaligus menjadi jalan keluar kebuntuan konstitusi ketika Presiden benar-benar tidak mengesahkan undang-undang. 6 Sementara pihak lain menengarai ketentuan pasal 20 ayat (5) justru membuat hak veto Presiden terhadap sebuah rancangan undang-undang menjadi tidak berarti. Maka dari itu penulis bermaksud melakukan penelusuran sekaligus pembahasan terhadap salah satu capaian amandemen UUD 1945 dalam memperjelas hubungan legislatif-eksekutif melalui peneguhan presidential 5

Ibid., hlm. 9 Kutipan Fajar Laksono dan Subardjo, seperti yang dikemukakan Jimly Ashiddiqqie dalam Sumali, Kedudukan Perpu dalam TAP No.III/MPR/2000 dan Problem Implementasinya, Tesis S-2 Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2003, hlm.102 6

Hal | 4


system of government dan pemberdayaan DPR dalam proses pembentukan undang-undang. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis mengangkat rumusan permasalahan mengenai faktor apakah yang menyebabkan penolakan Presiden untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama? 3. Kerangka Teori Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechtstaat. Istilah rechtstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah ada sejak lama. Konsep rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Konsep ini bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law dan yang menjadi karakteristiknya adalah administratif. Ciri-ciri dari rechtstaat adalah sebagai berikut : 7 a. adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat ; b. adanya pembagian kekuasaan negara ; c. diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Ciri-ciri diatas menunjukkan bahwa ide sentral rechtstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya undang-undang dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Wirjono Prodjodikoro,8 negara hukum berarti suatu negara yang didalam, wilayahnya adalah : 1. semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat perlengkapan dari pemerintah dalam rindakan baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing, tidak boleh

7

Ni’Matul Huda.,Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2005

8

Ibid, hlm.75

hlm.74

Hal | 5


sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku; 2. semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku ; Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Salah satu asas penting negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan badan/pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar undang-undang, badan/pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau memenuhi keadaan hukum warga masyarakat. Guna menghindari penggunaan kewenangan bebas (vrij bestuur)dan wewenang kebijaksanaan (freies ermessen) yang disalahgunakan dan agar tetap berada dalam batas-batas hukum maka kehadiran dan peranan hukum administrasi menjadi semakin penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu dalam suatu negara hukum dikenal teori pembagian kekuasaan. Menurut teori konstitusi,9 terdapat dua macam pembagian kekuasaan dalam suatu negara, yaitu pembagian kekuasaan yang vertikal dan pembagian kekuasaan yang horizontal. Pembagian kekuasaan vertikal adalah pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sedangkan pembagian kekuasaan horizontal adalah pembagian kekuasaan yang ada ditingkat pusat maupun daerah, yaitu pembagiannya ke dalam legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan horizontal ini dikenal dengan nama trias politica yang digagas oleh Montesquieu. Seperti yang dijelaskan oleh Montesquieu, bahwa suatu pemerintahan memiliki tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan pelaksana undang-undang dan kekuasaan mengadili sesuai undang-undang. Ketiga kekuasaan ini harus diberikan pada pihak yang berbeda-beda, terutama untuk menjaga agar hak-hak rakyat tidak dilanggar. Menumpuknya ketiga kekuasaan ini pada satu tangan akan sangat berbahaya dan dapat menyebabkan inefisiensi, korupsi dan kesewang-wenangan. Di Indonesia, secara substantif UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal ini dapat diketahui antara lain, kekuasaan eksekutif terlalu besar 9

Munir Fuady., Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Bandung : PT. Refika Aditama, 2009, hlm. 103

Hal | 6


tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy dan itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan presiden. Salah satu gagasan yang dikemukakan untuk memperbaiki dan mengubah sistem politik dan ketatanegaraan di Indonesia adalah dengan menawarkan usulan tentang sistem dan mekanisme checks and balances (sistem perimbangan kekuasaan antar alat kelengkapan organisasi negara) 10di dalam sistem politik dan ketatanegaran. Dalam pembuatan undang-undang, seluruhnya di dominasi oleh eksekutif baik proses inisiatifnya maupun pengesahannya. Dominasi eksekutif dalam membuat, melaksanakan, dan menafsirkan undang-undang menjadi begitu kuat di dalam sistem politik yang executive heavy karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan undang-undang. Pengujian undang-undang oleh lembaga yudisial dalam apa yang dikenal sebagai judicial review hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislatif melalui legislative review atau political review. Ketika wacana memasukkan sistem checks and balances anatara lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif, maka dominasi Presiden dalam proses legislasi di geser ke DPR. Jika dalam waktu 30 hari sejak disahkan di DPR sebuah rancangan undang-undang belum ditandatangani (disahkan) oleh Presiden, maka rancangan undang-undang tersebut sah sebagai undang-undang dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh Presiden (Pasal 20 ayat 5 UUD 1945, hasil perubahan). B. PEMBAHASAN 1. Pergeseran Kekuasaan Pembentukan Undang-Undang (Legislasi) Dalam pembahasan mengenai proses legislasi maka tak akan pernah lepas dari analisis mengenai relasi Presiden-DPR. Kekuasaan legislatif memang tidak secara tegas ditentukan harus berada ditangan DPR karena dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Lembaga legislatif dipahami sebagai lembaga pembuat peraturan perundang-undangan. Sebagai lembaga, legislatif selalu dipengaruhi oleh bentuk, sistem pemerintahan dan prosedur yang berlaku dalam hal pembuatan

10

Op. Cit., hlm. 97

Hal | 7


peraturan perundang-undangan itu sendiri. 11 Secara konseptual UUD 1945 sebelum amandemen DPR ditempatkan sebagai lembaga yang pasif dalam proses legislasi. Pasal 5 Ayat (1) menyebutkan bahwa Presiden memiliki kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. DPR hanya berhak memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan RUU yang diajukan Presiden. Konstitusi memberi kewenangan penuh terhadap Presiden untuk menjalankan fungsi legislatif, membentuk undang-undang. Setelah adanya amandemen UUD 1945, sekarang lembaga-lembaga negara memiliki relasi kelembagaan yang berbeda. Hal yang paling menonjol adalah DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang meskipun setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR bersama Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Adapun tugas-tugas yang berkaitan dengan hubungan fungsional DPR dalam proses pembentukan undang-undang pasca amandemen UUD 1945 adalah : 1. Berwenang mengajukan rancangan undang-undang ; 12 2. Berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang ; 13 3. Berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang/Perpu. 14 Kekuasaan dan kewenangan DPR menurut UUD 1945 pasca amandemen dalam hal relasi kelembagaan dengan Presiden meliputi tiga hal pokok, yaitu pelaksanaan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. 15 Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut terhadap Presiden, ada beberapa hal yang harus dipisahkan. Pertama, dalam hal legislasi, DPR dan Presiden harus menjadi partner legislatif. Kedua, dalam hal pengawasan terhadap pemerintah. Hal ini dilakukan untuk menjamin DPR bekerja berdasarkan objektivitas. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia bukan hanya menunjuk bagaimana prosedur pembentukan undang-undang saja, tetapi juga menunjuk pada kekuasaan

11

Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000,hlm. 140 12 Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 13 Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 14 Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 15 Dahlan Thalib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta : Liberty, 1993, hlm. 59

Hal | 8


penyelenggaraan negara yang pelaksanaannya berada di tangan lembagalembaga negara, yakni DPR dan Presiden. 16 Pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR dianggap sebagai langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara. DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang. DPR dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pembentuk undang-undang tetap wajib memperhatikan pendapat lembaga negara lain seperti Presiden yang merupakan pelaksana undang-undang. Perubahan konstitusi yang seperti ini dilakukan sebagai bagian dari upaya membatasi kekuasaan Presiden dengan dalih menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara legislatif dan eksekutif. Pokok pemikiran ini mempengaruhi jalan pikiran para anggota MPR sehingga amandemen UUD 1945 hendak mempertegas kekuasaan DPR di bidang legislatif, terutama mengubah pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1). Dikaitkan dengan konsep Trias Politica, ketentuan yang menyatakan setiap ranvangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama sebenarnya berlawanan dengan konsep ini, karena dengan masih adanya kewenangan Presiden untuk memberikan persetujuan maupun mengesahkan undang-undang, maka konsep Trias Politica menjadi tidak di terapkan sepenuhnya. Pembentukan undang-undang tidak pernah lepas dari ketentuan Pasal 20 UUD 1945 pasca amandemen. Secara keseluruhan, Pasal 20 memiliki pemahaman bahwa : 17 1. Lembaga legislator adalah DPR bukan Presiden ataupun DPD. 2. Presiden hanyalah lembaga yang mengesahkan rancangan undangundang dalam rapat paripurna DPR. 3. Setiap rancangan undang-undang yang telah resmi sah menjadi undangundang wajib di undangkan dan setiap rancangan undang-undang dibahas bersama untuk mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR. Dalam hal pembentukan undang-undang yang dimaksud Pasal 20 UUD 1945 pasca amandemen, ada empat bentuk keikutsertaan Presiden, yaitu :

16

Soimin dan Soelardi, Hubungan Badan Legislatif dan Yudikatif, Malang : UMM Press, 2004, hlm.210 17 Fajar Laksono, Op.Cit., hlm. 55

Hal | 9


1. 2. 3. 4.

Perancangan; Pembahasan di DPR ; Menolak/tidak mengesahkan RUU yang sudah disetujui DPR ; Pengesahan dan pemuatan dalam Lembaga Negara dan Tambahan Lembaga Negara. Pada dasarnya meskipun legislator adalah Presiden, namun baik DPR ataupun Presiden sama-sama memiliki fungsi legislasi terkait dengan inisiatif mengajukan rancangan undang-undang. Pada sistem pemerintahan presidensil, dalam hal keikutsertaan Presiden dalam membentuk undang-undang dipandang sebagai kecenderungan eksekutif yang semakin kuat termasuk dalam pembentukan undang-undang. 18 Keikutsertaan dan peran besar Presiden dalam pembentukan undangundang disebabkan oleh kenyataan bahwa memang pihak pemerintahlah yang sesungguhnya paling mengetahui mengenai apakah sesuatu hal perlu dibuatkan undang-undang atau tidak.19 Keikutsertaan dalam pembentukan undang-undang menunjukkan bahwa undang-undang merupakan produk bersama DPR dan Presiden. 2. Faktor Penyebab Terjadinya Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden Fenomena tidak dibubuhkannya tanda tangan Presiden sebagai tanda pengesahan dari suatu rancangan undang-undang ini sebenarnya tak lepas dari adanya hak veto yang melekat pada Presiden. Kata “veto” menurut kamus Latin berarti “saya melarang” atau “saya menolak”. Dalam konteks ketatanegaraan, hak veto merupakan hak menolak terhadap suatu rancangan undang-undang.20 Hak veto adalah sebuah hak yang ditemukan dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan. 21 Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hak veto 18

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta : Gama Media, 1999, hlm. 131 Fajar Laksono, Op.Cit., hlm. 57 20 Di negara adikuasa seperti Amerika Serikat, Presiden memiliki hak untuk memveto suatu rancangan undang-undang yang dapat merugikan jalannya pemerintahan. Presiden dapat memveto Rancangan Undang-undang (RUU) yang diajukan oleh DPR AS, Senat AS dan Kongres AS sekalipun jika itu menyangkut keselamatan jalannya pemerintahan. Hal ini diperoleh untuk mengimbangi besarnya kekuasaan lembaga legislatif AS. 21 Ditemukan berdasarkan konstitusi Amerika Serikat dan diterapkan dalam rangka checks and balances. International Encyclopedia of Governments and Politics menguraikan halhal yang berkaitan dengan hak veto dalam kehidupan ketatanegaraan Amerika Serikat sebagai berikut:…The veto is one of the essential balances that maintain the system of separation of powers in the United States. This incomplete check on legislative power has served to prevent 19

Hal | 10


merupakan hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi yang dilaksanakan Presiden. Dalam hal penolakan terhadap suatu rancangan undang-undang adalah dengan cara tidak mengesahkannya dan sifatnya temporer. Secara hukum, Presiden berhak untuk tidak menandatangani atau tidak mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama antara DPR dengan Pemerintah.22 Pada dasarnya baik Presiden maupun DPR memiliki hak untuk menolak atau menerima sebuah rancangan undang-undang. Presiden mempunyai hak mengajukan rancangan undang-undang, berhak memveto rancangan undangundang inisiatif DPR dan memveto rancangan undang-undang yang mengalahkan kepentingan pemerintahannya, sedangkan DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang atas inisiatifnya, berhak menyetujui, mengamandemen dan tidak menolak suatu rancangan undang-undang dan menolak suatu PERPU yang telah diberlakukan oleh Pemerintah. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, belum pernah ada Presiden menggunakan hak veto sehingga mengesankan hak veto itu tidak ada. Hak veto sebenarnya dapat dilihat pada Pasal 20 ayat 2 UUD 1945. Pada pasal ini tersirat bahwa dalam proses pembahasan rancangan undang-undang, Presiden diberikan hak oleh konstitusi untuk menyetujui atau menolak suatu rancangan undangundang. Dikaitkan dengan konsep Trias Politica, secara gramatikal atau ketatabahasaan, ketentuan pasal 20 ayat (2) UUD 1945 pasca amandemen ini tersirat makna bahwa dalam pembahasan rancangan undang-undang, Presiden diberi hak oleh konstitusi untuk menyetujui rancangan undang-undang. Begitu pula berdasarkan teori penafsiran a contrario, Presiden diberi pula hak untuk menolak atau tidak menyetujui. Berdasarkan amandemen konstitusi yang mengintrodusir norma baru, Presiden telah diberikan hak untuk untuk menyatakan penolakan terhadap rancangan undang-undang yang telah dibahas most congressional encroachment on the executive, although its negative nature has prevented presidents from dictating the content of the laws to Congress. ‌.. The first purpose of the veto for the Framers of the Constitution was to give presidents a tool to defend their office and themselves from encroachments on their power by the legislature. Congress has made many attempts to limit presidential power, especially in the areas of appointments, budgeting, and military powers. The veto power has been used, succesfully on the whole, to prevent encroachment on the executive office‌. Every bill passed by Congress must be presented to the president before it can become a law, as stated in Article 1, section 7, clause 2, of the Constitution 22 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/17/opini/435867., diakses pada tanggal 30 Maret 2013

Hal | 11


bersama di persidangan DPR. Tentu saja “veto" Presiden tersebut harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan filosofis, yuridis dan sosiologis23 yang dimiliki secara pribadi oleh Presiden, sebab pada akhirnya presidenlah yang paling bertanggung jawab dalam setiap pelaksanaan undangundang. 24 Namun dengan munculnya pasal 20 ayat (5) justru mengesankan bahwa hak veto Presiden menjadi hilang, terlebih adanya pasal 20 ayat (5) yang membuat pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4) terkesan mubazir. Keberadaan hak veto ini diatur dalam sistem yang menganut prinsip pemisahan kekuasaan karena dianggap dapat dijadikan senjata efektif guna menolak mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui dalam persidangan parlemen. Hak veto harus di batasi sebab tanpa pembatasan Presiden dapat saja bertindak sewenang-wenang dalam menggunakan hak veto. Besarnya kekuasaan Presiden untuk menggunakan senjatanya memveto rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh parlemen diiringi kecenderungan pemerintah untuk mengajukan rancangan undang-undang ini didasari oleh kenyataan bahwa pemerintahlah yang sesungguhnya paling mengetahui kebutuhan untuk membuat suatu undang-undang karena pemerintah bersentuhan langsung dengan masyarakat. Penerapan sistem hak veto bagi pihak eksekutif atas tindakan pihak legislatif merupakan salah satu implementasi dari prinsip checks and balances. Hak veto pihak legislatif ini diperlukan agar pihak

23

Secara teoritis akademis, setiap undang-undang yang diberlakukan menjadi hukum positif harus memenuhi persyaratan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis materi hukum tersebut memiliki tujuan-tujuan yang luhur dan baik demi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan, serta dapat diterima oleh akal sehat dan logika. Secara yuridis telah selaras dan tidak menyimpang dari asas-asas dan prinsip hukum, serta sistem hukum yang dianut. Sedangkan secara sosiologis, dalam suatu negara hukum yang demokratis dapat terjadi perbedaan pendapat pro kontra yang tajam dan sangat prinsipial, sehingga kalau rancangan undang-undang itu diberlakukan justru dapat menimbulkan ketidaktertiban, ketidakamanan, ketidaktentraman, serta ketidaksejahteraan. Yang bertanggung jawab untuk menghadapi kekacauan sosiologis adalah Presiden (dengan aparat eksekutifnya). 24 Di negara penganut prinsip sparation of power seperti Amerika Serikat, Presiden diberi hak veto sebagai senjata guna menolak mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui dalam persidangan parlemen. Sebagian Gubernur di negara-negara bagian Amerika Serikat akin sering menggunakan hak veto. Selama abad ke 19 hak veto cenderung digunakan lebih sering dibandingkan abad sebelumnya. Menurut William J.Keete dan Morris S. Ogul, hal ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu (1) meningkatnya permasalahan yang dihadapi sebagai akibat perkembangan industrialisasi, urbanisasi dan krisis internasional, (2) meningkatnya harapan dan kebutuhan public akan tindakan pemerintah, (3) meluasnya lingkup dan intensitas konflik politik.

Hal | 12


legislatif tidak bertindak berlebihan yang memberatkan pihak eksekutif dengan mengatasnamakan suara rakyat.25 Keikutsertaan dan peran besar Presiden dalam pembentukan undangundang menurut Jimly Asshiddiqie disebabkan oleh kenyataan bahwa sebenarnya pihak pemerintahlah yang paling mengetahui apakah sesuatu hal perlu dibuatkan undang-undang atau tidak.26 Secara logika, lembaga eksekutif merupakan lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dalam kedudukannya sebagai penyelenggara pemerintahan dan memiliki jaringan luas hingga ke daerah, memiliki data dan fasilitas yang lebih lengkap dibanding legislatif. Keengganan Presiden dalam membubuhkan tanda tangan pada keempat rancangan undang-undang yang telah disinggung sebelumnya juga dipengaruhi oleh faktor konstitusi dimana konstitusi memberi peluang Presiden untuk melakukan hal tersebut. Ada atau tidaknya tanda tangan Presiden memberikan gambaran bahwa rancangan undang-undang tersebut akan tetap berlaku dan tidak ada konsekuensi serius secara yuridis bagi Presiden dan Presiden terkesan cari aman atas rancangan undang-undang yang tidak ditandanganinya. Seharusnya dalam sidang DPR, Presiden harus memberikan persetujuan atau penolakan terhadap rancangan undang-undang secara formal yang telah dibahas di DPR sebagai kata akhir. Tahapan proses persetujuan atau penolakan rancangan undang-undang oleh Presiden di persidangan DPR harus mutlak dilakukan dan tidak boleh dilewati. Selain hak veto yang melekat pada Presiden, faktor lain yang berkaitan dengan pengesahan dan pengundangan adalah tindakan Menteri Sekretaris Negara yang memiliki kewajiban mengundangkan suatu rancangan undangundang. Dalam hal ini Mensesneg merupakan pembantu Presiden yang notabene sebagai bawahan Presiden. 27 Dengan tidak mengesahkan rancangan undangundang, ini memberikan maksud bahwa Presiden tidak menginginkan rancangan 25

Munir Fuady, Op.Cit., hlm.127 Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah存Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD sePropinsi (baru) Banten yang diselenggarakan oleh Institute for the Adacement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000 27 Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan mengenai pejabat yang berwenang melakukan pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia adalah menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang hukum (Bab IX Pendungangan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) 26

Hal | 13


undang-undang tersebut di undangkan menjadi undang-undang. Hal ini juga dipahami bahwa Presiden secara tidak langsung memerintahkan kepada Mensesneg untuk tidak mengundangkannya dan sudah selayaknya menteri menuruti perintah Presiden dan tidak mengundangkan rancangan undangundang yang tidak disetujui Presiden ke dalam Lembaran Negara. Dalam UUD 1945, jabatan Menteri sangatlah penting kedudukannya sebab menteri bekerja hanya atas perintah dan atau atas nama Presiden seperti yang tertuang dalam pasal 17 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi : “Presiden di bantu oleh menterimenteri negara�. Pasal ini memperkuat pernyataan bahwa menteri tidak memiliki kewenangan mandiri sebab kedudukan hukum menteri berada dibawah serta bertanggungjawab kepada Presiden. Namun pada kenyataannya menteri justru bertindak tanpa kompromi dengan Presiden terlebih dahulu karena menteri berpatokan pada ketentuan Pasal 20 ayat (5) yang menjelaskan bahwa tidak ditandatanganinya rancangan undang-undang selama 30 hari oleh Presiden, rancangan tersebut sah dan berlaku sebagai undang-undang. Lemahnya kontrol Presiden terhadap Menteri disebabkan oleh tidak adanya koordinasi tentang perkembangan pembahasan rancangan undangundang antara Presiden dan Menteri sehingga Menteri bertindak sendiri sesuai dengan tugasnya sebagai pembantu Presiden. Dengan kata lain, menteri tidak melaporkan tentang pembahasan rancangan undang-undang ini kepada Presiden sehingga muncul kemungkinan ada substansi rancangan undang-undang yang prinsipnya tidak dikehendaki Presiden, namun sudah selesai dibahas dan disetujui DPR dan Menteri.28 Secara keseluruhan Pasal 20 UUD 1945 pasca amandemen ini dapat dipahami bahwa lembaga legislator adalah DPR bukan Presiden. Kedua, Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama dalam rapat paripurna DPR. Ketiga, rancangan undang-undang yang telah resmi sah menjadi undang-undang wajib diundangkan dan keempat setiap rancangan undang-undang dibahas bersama untuk mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR. Meskipun legislatornya adalah DPR namun baik DPR maupun Presiden pada dasarnya sama-sama memiliki fungsi legislasi terkait inisiatif dalam hal mengajukan rancangan undang-undang. Dalam hal keikutsertaan Presiden ini juga muncul konsekuensi sebagai akibat dari karakter 28

http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F3888/Fenomena% 20UU%20Tanpa%20Pengesahan%20Presiden.htm, diakses pada tanggal 22 April 2013

Hal | 14


yang dimiliki masing-masing lembaga. Namun pengesahan oleh Presiden memang merupakan syarat yang tidak bisa diabaikan begitu saja, pun begitu dengan tanggung jawab pengesahan Presiden yang tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain manapun karena pengesahan dan persetujuan oleh Presiden harus dilakukan secara formal oleh Presiden sendiri. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Undang-undang yang lahir tanpa adanya pengesahan Presiden memang menjadi fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Undang-undang ini menimbulkan kontroversi dan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Ada yang menilai undang-undang ini cacat yuridis karena menyalahi aturan pembentukan undang-undang. Namun di satu sisi, undang-undang ini merupakan implementasi dari ketentuan pasal 20 ayat (5) UUD 1945, yakni memperbolehkan lahirnya undang-undang tanpa adanya tandatangan Presiden sebagai tanda pengesahan. Lahirnya undang-undang tanpa pengesahan Presiden ini seharusnya tidak terjadi apabila rumusan pasal 20 terhenti hanya sampai pada ayat (4) saja. Lahirnya pasal 20 ayat (5) justru membuat pembentukan perundang-undangan menjadi tidak sesuai dengan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan untuk pembubuhan tanda tangan Presiden jangka waktunya adalah 30 (tiga puluh) hari semenjak rancangan undang-undang telah mendapat persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Undang-undang seperti ini terjadi pada zaman pemerintahan Presiden Megawati dan sudah ada empat undang-undang yang lahir tanpa adanya tanda tangan Presiden. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain Presiden menggunakan hak vetonya yang melekat padanya untuk menolak rancangan undang-undang tersebut. Tidak adanya persetujuan dan pengesahan dari Presiden akan suatu rancangan undang-undang juga dinilai bahwa Presiden sebenarnya sedang berupaya mencari aman apabila rancangan undang-undang yang tidak disetujuinya itu menimbulkan masalah di kemudian hari. Peran Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) juga tidak lepas dari pengesahan undang-undang oleh Presiden, sebab Menterilah yang ditunjuk Presiden untuk menindaklanjuti pembahasan rancangan undang-undang, mempersiapkan pengesahan dan pengundangan undang-undang. Namun karena

Hal | 15


lemahnya kontrol dan koordinasi yang kurang kooperatif antara Presiden dan Menteri yang bersangkutan serta tidak dilaporkannya perkembangan pembahasan rancangan undang-undang yang dilakukan oleh Menteri kepada Presiden, membuat Menteri justru bertindak atas wewenang dan kepentingan sendiri. Menteri merasa bahwa apapun yang dilakukannya untuk dan atas nama Presiden. Hal ini berarti bahwa Presiden dan Menteri berjalan sendiri-sendiri berdasarkan kepentingan masing-masing tanpa adanya komando yang terarah. Hal lain yang menjadi faktor lahirnya undang-undang ini juga adalah karena adanya penggabungan yang tidak jelas antara konsep Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, dimana pembuatan dan pembentukan undang-undang tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya dikarenakan adanya hambatan yang ditimbulkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembentukan undang-undang itu sendiri. Tidak adanya tandatangan Presiden secara simbolis di dalam suatu undang-undang banyak menimbulkan reaksi beragam di kalangan masyarakat dan pakar hukum. Jika melihat dari jenisnya, pengesahan tanpa persetujuan Presiden ini merupakan pengesahan secara formil dimana ketentuan pengesahan didasarkan kepada konstitusi Negara Indonesia yaitu UUD 1945 dan ketentuan mengenai pengesahan serta keberlakuan suatu rancangan undang-undang menjadi undang-undang diatur dalam pasaL 20 ayat (5). Keanehan akan undang-undang yang diundangkan tanpa adanya tandatangan Presiden ini terjawab dengan berdasarkan ketentuan pasal 73 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa keberlakuan dan keabsahan dari suatu pengesahan undang-undang tanpa persetujuan Presiden adalah didasari pada UUD 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia. Namun dengan adanya rumusan pasal ini rasanya pemakluman akan pengundangan undang-undang yang tidak ada tanda tangannya Presiden agak sukar dilakukan, karena lazimnya pemahaman di masyarakat, undang-undang pasti memiliki tanda tangan Presiden sebagai simbol pengesahan dan kunci utama dalam keberlakuannya secara mengikat umum. Adanya fenomena dan ketentuan pasal yang agak kontroversi ini pun harus dapat dipahami sebagai pewujudan dari ketentuan UUD 1945 sebagai konsitusi atau hukum dasar dari suatu negara hukum.

Hal | 16


2. Saran Banyaknya reaksi beragam yang timbul karena adanya undang-undang tanpa pengesahan Presiden ini seharusnya membuat pihak legislatif segera melakukan pelaksanaan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 20 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan karena pada dasarnya ketentuan pasal 20 ayat (5) memiliki maksud perimbangan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif, namun implementasinya di masyarakat luar tidak sesuai dan justru membuat munculnya berbagai opini mengenai undang-undang tersebut. Selain mengamandemen UUD 1945 dan melakukan revisi terhadap beberapa undang-undang yang telah disebutkan sebelumnya, Presiden juga harus melakukan kontrol terhadap Menteri Sekretaris Negara yang menjadi wakilnya dalam pembahasan rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan bersama DPR agar Menteri tidak bertindak sendiri dalam hal pengesahan rancangan undang-undang. Tidak hanya melakukan kontrol terhadap Menteri saja yang harus dilakukan, namun Presiden juga harus melakukan koordinasi yang kooperatif dengan Mensesneg agar Presiden dapat mengetahui bagaimana perkembangan pembentukan undang-undang yang diwakilkan oleh Menteri terkait. Dari segi pengawasan dan pengontrolan yang dilakukan oleh Presiden, Presiden sebagai pemegang peran penting dalam pengesahan undang-undang harus membuat kata putus dan kata akhir dalam pembahasan rancangan undangundang untuk menyetujui atau menolak dan Presiden harus memperbaiki kinerja dan pengawasan terhadap Menterinya untuk meminimalisir terjadinya pengesahan undang-undang tanpa persetujuan Presiden.

Hal | 17


DAFTAR PUSTAKA A. SUMBER BUKU Bagir Manan.Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta : Gama Media. 1999. Dahlan Thalib. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Yogyakarta : Liberty. 1993. Fajar Laksono dan Subardjo. Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden.Yogyakarta : UII Pers. 2006. Faried Ali. Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000. Ni’Matul Huda. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers. 2005. Munir Fuady. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat). Bandung : PT. Refika Aditama. 2009. Soimin dan Soelardi.Hubungan Badan Legislatif dan Yudikatif.Malang : UMM Press. 2004. B. SUMBER INTERNET http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F3888/Fenomena %20UU%20Tanpa%20Pengesahan%20Presiden.htm, diakses pada tanggal 22 April 2013 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/17/opini/435867., diakses pada tanggal 30 Maret 2013 C. MAKALAH Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah, Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten yang diselenggarakan oleh Institute for the Adacement of Strategies and Sciences (IASS) di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000.

Hal | 18


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.