Perlindungan Kreditur Kepailitan Melalui Actio Pauliana Oleh: Agustina Ria Retta Imelda Sianturi, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Putu Samawati, SH.,MH dan Sri Turatmiyah, SH.,M.Hum
Perlindungan Kreditur Kepailitan Melalui Actio Pauliana Oleh: Agustina Ria Retta Imelda Sianturi, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Putu Samawati, SH.,MH dan Sri Turatmiyah, SH.,M.Hum
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Di dalam lalu-lintas hukum (khususnya dalam hukum perjanjian) setidaktidaknya ada dua pihak yang terikat oleh hubungan hukum itu yaitu pihak kreditur dan pihak debitur. 1 Hubungan hukum tersebut di satu sisi akan memberikan hak bagi pihak kreditur untuk menuntut pemenuhan prestasi, dan di sisi lain akan membebankan kewajiban bagi kreditur untuk memenuhi prestasi tersebut. Namun di dalam praktiknya seringkali ditemukan suatu keadaan dimana debitur lalai untuk memenuhi kewajibannya. Kelalaian debitur dalam memenuhi kewajibannya tersebut dinamakan dengan wanprestasi. 2 Di dalam dunia perniagaan apabila debitur tidak mampu menjalankan kewajibannya untuk memenuhi prestasinya yaitu untuk membayar utangnya kepada kreditur (disebabkan oleh situasi ekonomi yang sulit atau keadaan terpaksa), maka telah disiapkan suatu “pintu darurat” untuk menyelesaikan persoalan tersebut, yaitu dikenal dengan nama lembaga “kepailitan” dan “penundaan pembayaran.” 3 Kepailitan itu sendiri adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit yaitu suatu keadaan disaat debitur berhenti membayar (utangutangnya) tetapi bukan dalam arti bahwa si debitur berhenti sama sekali untuk membayar utang-utangnya, melainkan debitur tersebut pada waktu diajukan
1
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2000, hlm. 23. 2 Wanprestasi adalah suatu istilah yang menunjuk pada ketiadaan prestasi oleh debitur. Bentuk ketiadalaksanaan ini dapat terwujud dalam beberapa bentuk, yaitu; 1. debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya; 2. debitur tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya atau melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya; 3. debitur tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; 4. debitur melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Dikutip dalam Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003, hlm.69. 3 Zainal Asikin, Op.Cit., hlm. 25.
permohonan pailit berada dalam keadaan tidak membayar utang tersebut. 4 Di Indonesia peraturan-peraturan di bidang kepailitan sebenarnya telah mengalami perkembangan dengan melewati sejarah yang cukup panjang yaitu dimulai dari sebelum tahun 1945 dimana pada saat itu ada dualisme hukum kepailitan yang berlaku, hingga sampai pada saat ini sudah ada peraturan kepailitan yang berlaku secara nasional yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hadirnya undang-undang kepailitan diharapkan akan membantu terciptanya suatu kondisi yang kondusif dalam rangka mendukung berkembangnya kegiatan perekonomian sekaligus untuk mengantisipasi agar jika suatu saat terjadi berbagai hal yang mengakibatkan dampak buruk yang besar terhadap perekonomian Indonesia seperti halnya krisis moneter pada tahun 1997, setidaknya kita sudah memiliki sarana hukum berupa undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum terhadap penyelesaian utang piutang tersebut, sehingga hal-hal demikian dapat segera ditanggulangi dan tidak sampai mengakibatkan dampak sistemik yang lebih parah. Selain itu, kenyataan bahwa perkembangan perekonomian menuju ke arah pasar bebas menuntut adanya suatu mekanisme penyelesaian utang piutang secara cepat, efektif, serta mampu memberikan perlindungan kepada kreditur dan debitur, membuat pembentukan dan perubahan undang-undang kepailitan menjadi sebuah kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Namun demikian, perubahan-perubahan peraturan kepailitan yang terjadi di sisi lain justru membuktikan bahwa peraturan-peraturan kepailitan yang ada hingga saat ini dalam praktik pelaksanaannya masih mengalami berbagai hambatan dan permasalahan. Hambatan dalam praktik pelaksanaan peraturan kepailitan salah satunya datang dari pihak debitur yang memiliki itikad tidak baik dalam pelunasan utang-utangnya yaitu misalnya dengan cara melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur.5 Hambatan-hambatan yang datang dari pihak debitur ini pada dasarnya sudah diantisipasi oleh peraturan-peraturan kepailitan baik yang berlaku saat ini maupun yang pernah berlaku sebelumnya. Salah satunya adalah dengan menyediakan suatu instrumen yang dinamakan dengan actio pauliana.
4
C.S.T.Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hlm. 169. 5 Gunawan Widjaja, “Refleksi Sepuluh Tahun UU Kepailitan dan Antisipasi Dampak Krisis Moneter Global : Kapasitas dan Efektifitas Pengadilan Niaga�, Sumber: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/28109513.pdf, diakses pada tanggal 7 November 2012.
Actio pauliana di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dapat diartikan sebagai upaya hukum yang dilakukan oleh kurator untuk membatalkan perbuatan hukum si pailit yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit untuk kepentingan si debitur pailit sendiri yang dapat merugikan kepentingan kreditur. 6 Lima belas tahun sudah sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, penerapan actio pauliana di dalam kepailitan nampaknya belum dapat berjalan dengan maksimal, padahal actio pauliana ini adalah instrumen yang penting dalam penyelesaian perkara kepailitan. Salah satu contohnya adalah dalam kasus Hj.Popy Indrajati, S.H.,M.Hum, Ketua Balai Harta Peninggalan melawan Wijiati (tergugat I), Eka Noviana Limantro (tergugat II), Ratna Indrianti (tergugat III), Liembang Priyadi Daljono,S.H., (tergugat IV), dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Blora (tergugat V).7 Apa yang diharapkan melalui kehadiran actio pauliana sebenarnya adalah adanya suatu kepastian hukum akan perlindungan kreditur khususnya terhadap harta kekayaan debitur yang kemudian akan digunakan untuk melunasi piutang mereka. Apabila ternyata actio pauliana ini dalam kenyataannya belum mampu memberikan kepastian hukum akan perlindungan kreditur, tentu akan berdampak pada kegiatan bisnis yang terus menurun aktifitasnya. Mengingat pentingnya penerapan actio pauliana sebagai instrumen yang disediakan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang untuk melindungi kreditur kepailitan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang baik dan sehat, maka perlu untuk dilakukan kajian penelitian secara lebih mendalam yang akan dijabarkan dalam skripsi yang berjudul “Perlindungan Kreditur Kepailitan Melalui Actio Pauliana�.
6
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2008, hlm. 348. 7 Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Putusan Nomor 018 PK/Pdt.Sus/2007�, Sumber : http://118.96.193.109/undangundang/admin/yurisprudensi/download_yurisprudensi.php?id=70, diakses pada tanggal 29 Maret 2013.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian singkat dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah sistem pembuktian terhadap suatu tindakan debitur dapat dinyatakan memenuhi syarat-syarat berlakunya actio pauliana? 2. Apa yang menjadi kelemahan-kelemahan actio pauliana dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditur? 3. Kerangka Teori Menurut R.Soeroso pengertian subjek hukum satu diantaranya adalah segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban. 8 Salah satu hak yang dipunyai oleh subyek hukum adalah hak keperdataan. Hak perdata tersebut dapat dibedakan menjadi hak absolut (ius in re) dan hak relatif (ius ad rem). 9 Terhadapsemua hak yang demikian, hukum memberikan perlindungan kepada setiap pemegang haknya, termasuk kepada pemegang hak kebendaan yang sah. 10 Pada hak-hak kebendaan ini, hukum memberikan hak kepada pemegang hak kebendaan untuk melakukan berbagai macam actie jika terdapat gangguan atas haknya misalnya dengan melakukan penuntutan kembali dan gugatan tersebut dapat dilaksanakan terhadap siapapun yang menganggu haknya sementara pada hak perorangan, pemegang hak hanya dapat mengajukan haknya terhadap pihak lawannya (wederpartij).11 Dengan adanya perlindungan yang diberikan hukum kepada para pemegang hak yang sah untuk mempertahankan haknya, lantas bukan berarti hukum memberikan legitimasi kepada para pemegang hak tersebut untuk bertindak tanpa ada batas. Tentu saja 8
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hlm. 227-228. Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, hlm. 105. 10 Menurut Pasal 499 KUHPerdata, kebendaan diartikan sebagai tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dikuasai oleh hak milik Berkenaan dengan konsep perlindungan hukum itu, Philipus M. Hadjon mengemukakan suatu teori yang menyatakan bahwa perlindungan hukum pada dasarnya terbagi menjadi 2 (dua) yaitu perlindungan hukum represif dan perlindungan hukum preventif. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan atau keputusan, rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya yang biasanya dilakukan melalui pengadilan. Dikutip dalam Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1987, hlm. 3, dalam Anak Agung Ayu Diah Indrawati, “Perlindungan Konsumen dalam Pelabelan Produk Pangan�, Sumber :http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-37695861053-final%20tesis.pdf, diakses pada tanggal 5 Februari 2013. 11 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, Yogyakarta : Liberti, 2008,hlm. 27. 9
ada kewajiban-kewajiban tertentu yang melekat pada hak-hak tersebut yang harus dijalankan oleh para pemegangnya sebagai wujud dari pembatasan itu sendiri. Tujuan dari adanya pembatasan tersebut tak lain adalah untuk melindungi kepentingan pihak lain. Pembatasan kewenangan pemegang hak agar tidak merugikan hak orang lain ini juga berlaku dalam suatu perjanjian utang piutang yaitu terhadap kewenangan debitur selaku pemegang hak atas kebendaan miliknya yang menjadi jaminan akan pelunasan utang-utangnya, khususnya dalam hal debitur tersebut sedang dalam proses kepailitan. Perlindungan hukum yang diberikan oleh negara terhadap hak-hak warga negaranya, misalnya melalui ketentuan-ketentuan dalam suatu undang-undang, merupakan kewajiban dari negara yang harus dipenuhi sebagai negara yang menganut paham kesejahteraan atau yang disebut dengan negara kesejahteraan (welfare state). Ciri utama dari negara kesejahteraan adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya.12 Keterlibatan aktif negara dan pemerintah dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat untuk mencapai kesejahteraan umum salah satunya diwujudkan dengan pembentukan berbagai produk hukum yang dapat mendukung terselenggaranya aktivitas perekonomian masyarakat dengan lancar. Produk hukum tersebut harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum khususnya dalam penyelesaian berbagai masalah yang mungkin muncul dalam penyelenggaran aktivitas perekonomian masyarakat. Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam hal ini merupakan salah satu contoh produk hukum yang dibentuk dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam penyelesaian masalah utang piutang. Melalui pembentukan undang-undang ini diharapkan penyelesaian masalah utang piutang dapat berjalan dengan lebih baik sehingga aktivitas perekonomian masyarakat Indonesia juga dapat terselenggara dengan lancar.
12
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Pers, 2008, hlm.15.
B. PEMBAHASAN 1. Sistem Pembuktian Terhadap Suatu Tindakan Debitur Dapat Dinyatakan Memenuhi Syarat-Syarat Berlakunya Actio Pauliana Pembuktian mengenai syarat-syarat berlakunya actio pauliana itu sendiri merupakan suatu rangkaian panjang dan menyangkut banyak hal seperti misalnya, pihak manakah yang memiliki kewenangan untuk mengajukan pembatalan tersebut, hukum apa yang digunakan untuk memproses gugatan actio pauliana itu sendiri, bagaimana gugatan actio pauliana tersebut diproses dan lain sebagainya, atau dapat dikatakan bahwa agar perbuatan hukum debitur tersebut dapat dibatalkan maka harus melalui suatu sistem pembuktian tertentu.13 Sistem pembuktian ini diawali terlebih dahulu dengan adanya pengajuan gugatan actio pauliana oleh pihak yang diberikan kewenangan untuk itu. Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa tuntutan hak berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 diajukan oleh Kurator ke Pengadilan. Adapun ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pembatalan terhadap perbuatan hukum debitur yang dilakukan sebelum debitur dinyatakan pailit dan dapat merugikan kepentingan kreditur. Agar suatu perbuatan debitur dapat dibatalkan melalui actio pauliana, terlebih dahulu harus diajukan suatu gugatan yang menurut ketentuan UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 kewenangan tersebut diberikan kepada kurator. Mengenai ke pengadilan manakah gugatan actio pauliana tersebut semestinya diajukan, masih terdapat dualisme di antara para praktisi hukum khususnya di antara para hakim. Namun demikian, apabila permasalahan ini dikembalikan lagi ke dalam ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka gugatan actio pauliana dalam kepailitan tersebut harus diajukan oleh kurator ke Pengadilan Niaga. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan diatur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang dalam hal ini daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum dari debitur.
13
Ivo Dona Yustiva, “Pembatalan Perbuatan Hukum Debitur dalam Perkara Kepailitan PT. Fiskar Agung, Tbk.�, Sumber : http://eprints.undip.ac.id/23927/1/Ivo_Donna_Yusvita.pdf, diakses pada tanggal 19 April 2013.
Adapun Hukum Acara yang dipergunakan di Pengadilan Niaga, sesuai dengan ketentuan Pasal 299 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga pada prinsipnya menggunakan Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR/RBg kecuali yang secara lain ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. 14 Hukum Acara Perdata inilah juga yang diberlakukan terhadap pemeriksaan perkara actio pauliana yang merupakan bagian dari “hal-hal” lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. 15 Terkait dengan jangka waktu penyelesaian perkara actio pauliana, apabila dihubungkan dengan Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka terhadap perkara actio pauliana dan perkara-perkara lain sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 penyelesaiannya pada tingkat Pengadilan Niaga tetap tunduk pada jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Penyelesaian terhadap perkara actio pauliana akan melewati tahapantahapan tertentu sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi permohonan pernyataan pailit, sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Hal ini berarti, prosedur terhadap penyelesaian perkara actio pauliana menyesuaikan dengan ketentuan yang sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Tahapan proses penyelesaian perkara actio pauliana mulai dari pengajuan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi) adalah sebagai berikut : (a) Pengajuan gugatan actio pauliana yang telah memenuhi syarat-syarat gugatan kepada Ketua Pengadilan Niaga. Dalam proses kepailitan, gugatan actio pauliana baru dapat diajukan setelah debitur dinyatakan pailit. Hal ini dikarenakan kurator baru ada ketika debitur dinyatakan pailit, yaitu melalui penunjukan dari hakim Pengadilan Niaga dalam putusan pernyataan pailit. 16 Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, gugatan actio pauliana ini diajukan oleh kurator ke Pengadilan Niaga yang daerah 14
Disriani Latifah, “Eksekusi Putusan Pailit”, Sumber :http://staff.blog..ui.ac.id/disriani.latifah/tag/pengadilan-niaga/, diakses pada tanggal 1 Mei 2013 15 Peraturan Republik Indonesia, Peraturan Republik Indonesia, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara No. 131 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4443, Penjelasan Pasal 3 ayat (1). 16 Ibid., Pasal 15 ayat (1)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum dari debitur. Gugatan actio pauliana yang diajukan oleh kurator ke Pengadilan Niaga, juga harus memenuhi syarat-syarat gugatan. Menurut Pasal 118 HIR suatu gugatan harus diajukan dengan suatu surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya, surat permintaan tersebut itulah yang dalam praktek disebut dengan surat gugatan. 17 Surat gugatan tersebut harus memuat yaitu :18 1. Tanggal gugatan tersebut diajukan dan identitas para pihak. 2. Posita atau Fundamentum Petendi yaitu dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. 3. Petitum (tuntutan) yaitu apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Petitum itu akan mendapatkan jawaban di dalam dictum atau amar putusan hakim. Gugatan tersebut didaftarkan pada buku pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang juga merupakan Kepaniteraan Pengadilan Niaga yang berwenang. Panitera menyampaikan/menaikkan/memberikan berkas tersebut kepada Ketua Pengadilan bahwa berkas tersebut sudah diteliti dan syarat formalnya sudah cukup atau lengkap.19 Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal perkara tersebut diajukan, Pengadilan Niaga mempelajarinya dan menetapkan hari sidang. 20 Sidang pemeriksaan atas perkara actio pauliana tersebut, sebagaimana dalam permohonan pernyataan pailit harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal perkara tersebut didaftarkan.21 Berdasarkan penetapan hari, tanggal, jam dan tempat persidangan tersebut, Juru Sita akan melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak yang berperkara. Pemeriksaan di persidangan.
17
M.Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, hlm. 22. Ahmaturrahman, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Diktat, Inderalaya : Universitas Sriwijaya, 2011, hlm. 44-45. 19 Ahmaturrahman, Op.Cit., hlm. 35 20 Ibid., Pasal 6 sayat (5) 21 Ibid., Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6) 18
(g) Tahap jawab menjawab antara pihak-pihak. Pada pemeriksaan tidak dibuka sistem replik duplik sehingga penerapan asas audi alteram partem dipersempit penerapannya.22 (h) Tahap pembuktian. Mengingat bahwa Pengadilan Niaga tunduk pada Hukum Acara Perdata kecuali untuk hal-hal yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka ketentuan mengenai alat-alat bukti pun tunduk pada Hukum Acara Perdata. Adapun alat-alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara Perdata diatur secara enumeratif yaitu dalam Pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, yang terdiri atas alat bukti berupa; bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. 23 Adapun yang harus dibuktikan oleh kurator adalah bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur tersebut memenuhi syaratsyarat berlakunya actio pauliana sehingga layak untuk dibatalkan. (i) Tahap penyusunan kesimpulan (konklusi) masing-masing pihak. (j) Musyarawarah majelis hakim yang bersifat rahasia dan tertutup untuk umum. Selanjutnya, dilakukan pembacaan atau pengucapan putusan hakim dalam sidang terbuka untuk umum. Setelah selesai putusan dibacakan, hakim ketua majelis akan menanyai pihak-pihak (baik tergugat maupun penggugat) apakah menerima putusan tersebut atau tidak. Bagi pihak yang tidak menerima putusan tersebut, diperkenankan untuk menggunakan upaya-upaya hukum yang disediakan.24 (k) Upaya hukum Upaya hukum yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ini berbeda dengan upaya hukum yang tersedia dalam Hukum Acara Perdata secara umum menurut HIR/Rbg. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 hanya tersedia upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali. (l) Pelaksanaan putusan hakim (eksekusi)
2. Kelemahan-kelemahan Actio Pauliana Perlindungan Hukum Kepada Kreditur
22
Dalam
Memberikan
Ivo Dona Yustiva, Loc.Cit. Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 119. 24 Ahmaturrahman, Op.Cit., hlm.36. 23
Kelemahan yang pertama dari actio pauliana ini adalah ketidakjelasan ke pengadilan manakah perkara mengenai actio pauliana akan diajukan untuk mendapatkan penyelesaian. Secara yuridis, jawaban dari pertanyaan ini memang dapat dikembalikan kepada ketentuan yang sudah diatur di dalam UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu pada Pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya. Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) beserta dengan penjelasannya memang sudah ditentukan bahwa perkara actio pauliana sebagai perkara yang masih terkait dengan perkara intinya yaitu permohonan pernyataan palit dan sebagai perkara yang juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Hal serupa juga kembali dinyatakan dalam ketentuan Pasal 41, Pasal 43 dan Pasal 47 sebagai bagian dari ketentuan yang mengatur mengenai actio pauliana. Merujuk pada ketentuan-ketentuan tersebut, sudah jelas bahwa UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 sebagai lex specialis menghendaki bahwa perkara actio pauliana dan perkara-perkara lain yang terkait dengan pernyataan pailit dan atau diatur dalam undang-undang tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan dari debitur. Namun dalam kenyataannya, ketentuan tersebut justru malah dimentahkan pemberlakuannya oleh para hakim baik hakim Pengadilan Niaga maupun hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Adapun yang menjadi alasan dari para hakim tersebut adalah bahwa pembuktian dari actio pauliana adalah bersifat tidak sederhana sehingga harus diajukan ke Pengadilan Negeri. Melalui kedua putusan tersebut terlihat bahwa selain karena pembuktian yang tidak sederhana dari actio pauliana itu sendiri, hal lain yang menjadi alasan hakim Mahkamah Agung untuk menolak gugatan tersebut yang terkait dengan kewenangan Pengadilan Niaga adalah hakim Mahkamah Agung masih berpendapat bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 280 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Pasal 300 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 kewenangan Pengadilan Niaga hanyalah meliputi permohonan pernyataan pailit dan PKPU, dan perkara lain di bidang perniagaan yang kemudian ditetapkan oleh undang-undang (HAKI). Terhadap Izral,S.H.,M.H undang-undang merupakan lex kepailitan pasti
permasalahan kewenangan pengadilan ini Bapak Yose berpendapat bahwa undang-undang kepailitan merupakan khusus atau dengan kata lain undang-undang kepailitan specialis dan oleh karena itu mengacunya persoalan (kasus) ke Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan PKPU. 25 Di dalam aturan undang-undang kepailitan, tindakan actio pauliana yang berkenaan dengan perkara kepailitan pasti diajukan ke Pengadilan Niaga tempat dimana perkara tersebut diputus, tetapi di lain sisi sangat disadari bahwa pembuktian dari actio pauliana ini tidak lagi sederhana dan apabila pembuktiannya tidak lagi sederhana maka harus diselesaikan ke Peradilan Umum yaitu ke Pengadilan Negeri. Jika undang-undangnya belum diubah maka hal tersebut akan sulit dan tindakan yang mungkin dapat dilakukan salah satunya dengan cara mengubah norma di dalam undang-undang kepailitan yaitu dengan mengajukan judicial review.26 Adanya perbedaan persepsi dalam menentukan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili perkara actio pauliana ini tentu saja akan menciptakan ketidakpastian hukum dan mempersulit kurator dalam melaksanakan haknya untuk mengajukan pembatalan atas perbuatan hukum debitur pailit yang dapat merugikan kepentingan kreditur. Apabila tuntutan actio pauliana ini harus diajukan secara terpisah ke Pengadilan Negeri, maka tujuan dari peraturan-peraturan kepailitan yang ada khususnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 agar perkara kepailitan dapat selesai secara tuntas dalam waktu yang cukup singkat (dalam arti bukan sampai putusan pernyataan pailit tetapi sampai likuidasi seluruh harta pailit) menjadi tidak tercapai.27 Pengajuan perkara actio pauliana ke Pengadilan Negeri berakibat penyelesaian terhadap perkara tersebut harus menggunakan Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum dan hal ini berarti jangka waktunya pun tunduk pada Hukum Acara Perdata. Tunduknya penyelesaian perkara actio pauliana pada jangka waktu dalam Hukum Acara Perdata tentu akan berdampak pada pelaksanaan tugas kurator yang akan terhambat sampai putusan atas perkara actio pauliana tersebut inkracht.28 Kelemahan dari actio pauliana yang kedua yaitu adalah pembuktiannya yang tidak sederhana. Pembuktian dalam actio pauliana tidak dapat dilakukan dengan cara pembuktian sederhana sebagaimana dalam permohonan pernyataan pailit. Sebagaimana dinyatakan oleh Kartini Muljadi, pembuktian terhadap syarat-syarat actio pauliana dalam kepailitan sangat sulit untuk dilakukan 25
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yose Rizal,S.H.,M.H, yang dilaksanakan di Kantor Hukum Bambang Haryanto and Partners, pada tanggal 27 Mei 2013 pukul 14.30 WIB. 26 Ibid. 27 Elijana S, dalam Rudhy A.Lontoh, et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : PT. Alumni, 2001,hlm. 20. 28 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Bahrul Ilmi Yakub,S.H.,M.H.,CGL., yang dilaksanakan di Bukit Indah Hotel, pada tanggal 18 Mei 2013 pukul 14.30 WIB.
terutama berkaitan dengan pembuktian bahwa debitur atau pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan kreditur. 29 Beban pembuktian kurator ini akan semakin berat pada perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur berupa perbuatan hukum banyak sisi atau perbuatan satu atau lebih orang tertentu yang tidak dilakukan dengan cuma-cuma.30 Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu di dalam ketentuan Pasal 49, dinyatakan bahwa setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian dari harta pailit debitur yang diperoleh melalui perbuatan hukum yang dibatalkan harus dikembalikan kepada kurator melalui hakim pengawas, kecuali benda tersebut diperoleh dengan itikad baik dan tidak cuma-cuma. Ketentuan ini, hendak menekankan bahwa pada dasarnya kepada para pihak yang beritikad baik dalam melakukan perbuatan hukum tersebut, undang-undang memberikan perlindungan hukum atasnya. Permasalahannya sekarang adalah dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 itu sendiri tidak ditentukan secara tegas mengenai indikator suatu perbuatan dilandasi dengan itikad baik atau tidak. Pembuktian itikad baik atau tidak baik ini akan menjadi beban yang sulit bagi kurator, mengingat bahwa itikad baik ini merupakan suatu konsep yang abstrak meskipun dapat didefinisikan secara limitatif. Beban ini bertambah terlebih untuk membuktikan itikad baik dalam pengertian subjektif yang memang bisa dinilai dari segi tindakan, tapi selebihnya pribadi masingmasing yang mengetahui. Begitu rumitnya pembuktian terhadap syarat-syarat actio pauliana terkhusus mengenai itikad baik ini juga akan menghambat langkah kurator untuk membatalkan perbuatan hukum debitur tersebut, padahal pembatalan perbuatan hukum debitur yang diikuti dengan pengembalian aset yang sudah beralih ke harta pailit tersebut sangat dibutuhkan untuk terlaksananya pelunasan piutang para kreditur khususnya kreditur konkuren yang tidak mempunyai jaminan apa-apa. Sulitnya pembuktian actio pauliana ini bukan tidak mungkin akan berakibat timbulnya keengganan bagi kurator-kurator lainnya untuk menggunakan instumen actio pauliana dalam mengembalikan aset yang seharusnya menjadi bagian dari harta pailit.
29
M. Hadi Subhan, Op.Cit., hlm. 178. MR. J.B. Huizink, Insolventie, Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hlm. 117. 30
Kelemahan selanjutnya adalah dari segi konsep hukum legal standing kurator untuk mengajukan gugatan actio pauliana lemah. 31 Sebagaimana diketahui dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dinyatakan bahwa tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit sejak putusan diucapkan terkait dengan harta pailit (boedel pailit). Sedangkan konsep dari harta pailit itu adalah harta yang ada pada saat dinyatakan pailit dan segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Jika perbuatan hukum tersebut dilakukan 1 (satu) tahun sebelum debitur dipailitkan, pertanyaannya apakah kurator berwenang untuk mengurusi harta kekayaan debitur yang dialihkan yang ada sebelum debitur dinyatakan pailit yang masih dalam bentuk sengketa tersebut mengingat bahwa kurator baru ada sejak debitur dinyatakan pailit dan konsep harta pailit itu sendiri adalah harta yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan dan yang diperoleh selama kepailitan.32 Di samping kelemahan-kelemahan tersebut, kelemahan actio pauliana lainnya datang dari penerapannya yang menemukan sejumlah kendala. Salah satu kendala yang sangat mungkin terjadi adalah harta debitur yang dialihkan melalui perbuatan hukum debitur tersebut sudah beralih ke tangan pihak lainnya baik pihak dilandasi oleh itikad baik maupun tidak. Kendala akan semakin bertambah karena di dewasa ini dengan perkembangan teknologi yang kian maju, pengalihan aset harta kekayaan dapat dilakukan melalui transaksi elektronik dengan hanya membutuhkan waktu yang sedikit. Dengan beralihnya harta debitur tersebut ke pihak lainnya lagi tentu berarti semakin banyak pihak yang harus terlibat dalam perkara tersebut dan semakin berat juga pembuktian yang harus dilakukan kurator. Hal ini tentu semakin memperkecil peluang gugatan actio pauliana tersebut dikabulkan dan kemungkinan untuk harta yang sudah dialihkan dapat masuk ke harta pailit juga semakin kecil.
31
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Bahrul Ilmi Yakub,S.H.,M.H.,CGL.,
32
Ibid.
Loc.Cit.
C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan sebagaimana terurai dalam bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Sistem pembuktian terhadap suatu tindakan debitur dapat dinyatakan memenuhi syarat-syarat berlakunya actio pauliana adalah diawali terlebih dahulu dengan adanya gugatan yang diajukan ke Pengadilan Niaga oleh kurator sebagai pihak yang diberikan kewenangan. Hukum Acara yang digunakan dalam mengadili perkara actio pauliana adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai pembatasan jangka waktu pemeriksaannya. Pembuktian pada perkara actio pauliana dibebankan kepada kurator selaku pemohon sesuai dengan ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata. 2. Kelemahan-kelemahan Actio Pauliana dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditur yaitu antara lain; ketidakjelasan ke pengadilan manakah perkara actio pauliana tersebut diajukan, pembuktiannya yang tidak sederhana, lemahnya legal standing kurator untuk mengajukan gugatan actio pauliana, dan yang terakhir kemungkinan harta yang dialihkan oleh debitur tersebut sudah dialihkan ke pihak yang lain lagi sehingga ada banyak pihak yang harus dilibatkan dalam perkara ini.
2.
Saran
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka beberapa saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut : 1. Bagi para pembentuk undang-undang Penulis menyarankan untuk mulai melakukan evaluasi dan pembenahan terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 secara umum dan ketentuan yang terkait dengan actio pauliana dalam undang-undang tersebut secara khusus, untuk selanjutnya melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Berdasarkan analisis yang penulis lakukan, penulis menemukan bahwa terdapat banyak kelemahan-kelemahan dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang salah satunya disebabkan oleh ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut yang tidak tegas atau multitafsir. Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 harus segera diperbaiki mengingat bahwa perkembangan perekonomian ke arah pasar bebas menghendaki adanya suatu mekanisme penyelesaian utang piutang secara cepat, efektif, serta memberikan perlindungan kepada semua pihak khususnya kepada pihak kreditur. 2. Bagi para kurator Penulis menyarankan agar para kurator dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dengan sebaik mungkin. Hal ini akan tercapai apabila para kurator membekali diri dengan berbagai kemampuan yang terkait dengan pemberesan terhadap harta pailit. Kurator juga harus benar-benar cermat dalam melakukan pemberesan terhadap harta pailit, sehingga proses seluruh harta pailit dari debitur dapat termanfaatkan secara maksimal untuk melunasi utang-utangnya.
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Ahmaturrahman, 2011, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Diktat, Inderalaya : Universitas Sriwijaya. C.S.T.Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2002, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. M.Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, Jakarta : Kencana Prenada Media. M.Nur Rasaid, 1995, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika MR.J.B.Huizink, 2004, Insolventie, Jakarta: Pusat Studi hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Zainal Asikin, 2000, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo. R.Soeroso, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2008, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta : Liberti. Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Pers. Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Kepailitan Di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Internet Disriani
Latifah, “Eksekusi Putusan Pailit”, Sumber :http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/tag/pengadilan-niaga/, diakses pada tanggal 1 Mei 2013. Gunawan Widjaja, “Refleksi Sepuluh Tahun UU Kepailitan dan Antisipasi Dampak Krisis Moneter Global : Kapasitas dan Efektifitas Pengadilan Niaga”, Sumber: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/28109513.pdf, diakses pada tanggal 7 November 2012. Ivo Dona Yustiva, “Pembatalan Perbuatan Hukum Debitur dalam Perkara Kepailitan PT. Fiskar Agung, Tbk.”, Sumber : http://eprints.undip.ac.id/23927/1/Ivo_Donna_Yusvita.pdf, diakses pada tanggal 19 April 2013. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1987, hlm. 3, sebagaimana dikutip dalam Anak Agung Ayu Diah Indrawati, “Perlindungan Konsumen dalam Pelabelan Produk Pangan”, Sumber :http://www.pps.unud.ac.id/ thesis/pdf_thesis/unud-376-95861053-final%20tesis.pdf, diakses pada tanggal 5 Februari 2013.
Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh Anonim, Jakarta : PT. Permata Press, 2008. Peraturan Republik Indonesia, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara No. 131 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4443. Putusan Mahkamah Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Putusan Nomor 018 PK/Pdt.Sus/2007�, Sumber: http://118.96.193.109/undang-undang/admin/yurisprudensi/ download_yurisprudensi.php?id=70, diakses pada tanggal 29 Maret 2013. Wawancara Bahrul Ilmi Yakub, S.H.,M.H., CGL, yang dilaksanakan di Bukit Indah Hotel, pada tanggal 18 Mei 2013 pukul 14.30 WIB. Yose Rizal,S.H.,M.H, yang dilaksanakan di Kantor Hukum Bambang Hariyanto and Partners, pada tanggal 27 Mei 2013 pukul 14.30 WIB.