Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Labelisasi Halal Pada Produk Makanan Oleh: Elsy Elvarisha, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. KN. Sofyan Hasan, SH.,MH dan Sri Handayani, SH.,M.Hum
Hal | 0
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Labelisasi Halal Pada Produk Makanan Oleh: Elsy Elvarisha, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. KN. Sofyan Hasan, SH.,MH dan Sri Handayani, SH.,M.Hum
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Besarnya kuantitas umat muslim di Indonesia mengharuskan negara memberikan perhatian yang sangat besar terhadap jaminan produk halal. Sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Hal ini juga tegaskan dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Pemberian label atau pelabelan produk, khususnya terhadap produk makanan, hal ini sangat penting karena berhubungan dengan nyawa manusia. Pelabelan pangan baru merupakan kewajiban jika produsen/importir menyatakan halal bagi umat Islam.2 Label halal bisa dicantumkan jika pelaku usaha sudah mendapatkan sertifikat halal yang diterbitkan oleh LPPOM MUI. Sertifikat halal adalah bukti sah tertulis yang menyatakan kehalalan suatu produksi yang dikukuhkan oleh Menteri Agama,3 sedangkan Label halal adalah tanda pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, atau tempat tertentu yang menunjukkan kehalalan suatu produk. Pada tahun 2007 LPPOM MUI mendapatkan data jumlah produk yang telah didaftarkan untuk mendapatkan sertifikasi halal. Konsumen hanya bergantung pada informasi yang diberikan oleh produsen karena hal ini 1
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 2 Ahmad Miru dan Sutarno Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 80. 3 Departemen Agama, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Jakarta : Departemen Agama RI, 2003, hlm. 132.
Hal | 1
merupakan kewajiban produsen memberikan informasi yang jelas tentang produknya. Sehingga konsumen sukar untuk membedakan produk mana yang halal dan dapat dikonsumsi sesuai dengan ajaran Islam dengan produk yang tidak halal karena belum bersertifikat halal. Beberapa tahun ini kasus beredarnya makanan tidak halal semakin bertambah. Proses pembuatannya dengan cara-cara yang tidak halal atau makanan berasal dari bahan yang tidak halal atau mengandung bahan-bahan yang tidak halal atau haram untuk digunakan.4 Semakin banyaknya kasus bakso yang berbahan dasar dari daging babi, penggunaan formalin atau zat kimia berbahaya lain, penggunaan minyak babi, dan lain sebagainya semakin meresahkan umat muslim. Syariat yang wajib dijalankan bagi umat muslim adalah mengkonsumsi makanan halal. Ditegaskan dalam Al-Qurâ€&#x;an surat Al Baqarah ayat (168) : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baikbaik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.â€? Hal ini menjelaskan bahwa fungsi makanan bagi kaum muslimin di samping berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok, juga berkaitan dengan keimanan dan ibadah, bahkan dengan perilaku. Dari ayat diatas, penulis menyimpulkan bahwa Allah memerintahkan umatnya memakan apa saja di dunia ini yang diciptakan-Nya, sepanjang batas-batas yang halal dan baik. Seharusnya konsumen dapat memisahkan mana yang halal dan mana yang haram dan cara memperoleh makanan itu.5 Pengaturan tentang kehalalan suatu produk di Indonesia, yakni Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pada Pasal 97 ayat 1 yaitu setiap orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan Pangan, Pasal 97 ayat 2 setiap orang yang setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan 4
Departemen Agama, Sistem Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI, Jakarta : Departemen Agama RI, 2003, hlm. 22 5 Departemen Agama, Modal Pelatihan Auditor Internal Halal, Jakarta : Departemen Agama RI, 2003, hlm. 90
Hal | 2
label dan/atau pada kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pasal 97 ayat 3 yaitu pencantuman label di dalam dan/atau pada kemasan pangan sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 dan 2 ditulis dan dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai : nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; halal bagi yang dipersyaratkan; tanggal dan kode produksi; tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan asal usul bahan Pangan tertentu. Jika dibandingkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tidak ditegaskan keharusan seorang pelaku usaha untuk memuat label halal pada produk makanannya hal ini tercantum dalam Pasal 3 ayat 2 Label memberikan keterangan sekurang-kurangnya: Nama produk; Daftar bahan yang digunakan; Berat bersih atau isi bersih; Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; Tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa. Akan tetapi pada pasal 10 ayat 1 menegaskan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label, pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa pernyataan halal sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. Kewajiban pelaku usaha yang antara lain adalah: beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, hal ini ditegaskan dalam dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Departemen Kesehatan (Depkes) telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Ketetapan tersebut kemudian diubah menjadi Surat Keputusan Nomor: 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan „‟halal” pada Label Makanan, Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan „‟halal” wajib siap diperiksa oleh petugas Tim
Hal | 3
Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk Direktur Jenderal.6 Departemen Agama juga mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, 7 dan Surat Keputusan Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, yaitu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI, sebagai pencetak label halal Kementrian Agama menunjuk Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) sebagai Pelaksana Pencetakan Label Halal hal ini diatur dalam Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 525 Tahun 2001.8 Produk yang banyak beredar dikalangan konsumen Muslim bukanlah produk-produk yang memiliki label halal yang dicantumkan pada kemasannya. Banyak produk-produk yang beredar dimasyarakat belum memiliki sertifikat halal yang diwakili dengan label halal yang ada pada kemasan produknya. Hal ini menyebabkan konsumen Muslim akan menemukan produk-produk halal yang diwakili dengan label halal yang ada kemasannya dan produk yang tidak memiliki label halal pada kemasannya. Sehingga diragukan kehalalan produk makanan tersebut, pemilihan untuk membeli produk-produk yang berlabel halal atau tidak sepenuhnya ada di tangan konsumen, seharusnya konsumen harus lebih memperhatikan label halal pada produk yang di belinya sehingga tetap menjalankan syariat Islam. Pemberian sertifikat halal kepada produsen/ pelaku usaha obat dan makanan secara sukarela dilakukan oleh produsen artinya tidak ada keharusan dari LPPOM MUI untuk mendaftarkan produk makanan tersebut. Majalah Jurnal Halal melakukan survei pada tahun 2007 untuk produkproduk yang mencantumkan label halal tanpa sertifikat halal. Survei tersebut menunjukkan masih banyak produk yang mencantumkan label halal tapi belum memiliki sertifikat halal. Lalu ditemukan pula ada perusahaan yang telah
6
“Produk Halal dan Perubahan Masyarakat”, source: http://jambi.kemenag.go.id/file/dokumen/PRODUKHALALDANPERUBAHANMASYARAK AT.pdf, diakses tanggal 25 Januari 2013 pukul 10.00 WIB 7 “Keputusan-keputusan Kementrian Agama”, source: http://www.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=kepmenag, diakses tanggal 29 Desember 2012 20.30 WIB 8 http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F360/Menteri%20Aga ma.htm, diakses tanggal 29 Desember 2012 pukul 20. 35 WIB
Hal | 4
mencantumkan label halal pada untuk semua produk di perusahaannya, padahal mereka baru mendapatkan sertifikat halal hanya untuk satu produk.9 Pengelola industri kecil sebagian tidak tahu bahwa produknya tersebut harus mencantumkan label halal. 10 Terdapat banyak produk yang mencantumkan label halal tapi belum mendapatkan sertifikat halal. Sehingga peraturan yang mengharuskan pencantuman label halal hanya berdasarkan inisiatif produsen. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menentukan prosedur yang berlaku dalam pemberian izin label halal ini.11 Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan mengadakan penelitian dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP LABELISASI HALAL PADA PRODUK MAKANAN”
2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis memfokuskan penelitian ini dengan rumusan masalah yang akan dibahas adalah: 1. Bagaimana prosedur pencantuman label halal pada produk makanan di Indonesia? 2. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen jika produsen melakukan pemalsuan label halal pada produk makanan?
3. Kerangka Konsep a. Perlindungan Konsumen Perlindungan Konsumen adalah Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. b. Halal dan Haram Halal adalah makanan atau barang gunaan yang haram untuk dimakan atau digunakan oleh orang-orang Islam. Sedangkan yang haram ialah makanan 9
“Label Halal tanpa Sertifikat”, source http://m.republika.co.id/berita/shortlink/17092, tanggal akses 2 Februari 2013, pukul 20.00 WIB 10 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LP-POM MUI, Jakarta : LPPOM MUI, 2008, hlm. 26 11 Ibid., hlm. 18
Hal | 5
atau barang yang tidak diizinkan (dilarang) untuk dimakan atau digunakan oleh orang-orang Islam.12 c. Sertifikasi dan Labelisasi Halal Sertifikat halal adalah bukti sah tertulis yang menyatakan kehalalan suatu produksi yang dikukuhkan oleh Menteri Agama. 13 Pengertian sertifikat halal menurut Keputusan Menteri Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal adalah fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan suatu produk pangan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeriksaan. Label halal adalah tanda pada bagian tertentu dari produk atau tempat tertentu yang menunjukkan kehalalan suatu produk. Perusahaan yang telah mendapatkan sertifikat halal wajib mencantumkan keterangan halal pada kemasan produknya.14 B. PEMBAHASAN 1. Prosedur pencantuman label halal pada produk makanan di Indonesia BPOM bekerja sama dengan LPPOM MUI untuk menangkal makanan tak halal, kerjasama ini mencakup pemeriksaan sarana produksi pangan, pencantuman keterangan halal dan penerapan Sistem Jaminan Halal (SJH) pada produk pangan. 15 Label halal saat ini bukan hanya untuk melindungi konsumen muslim akan tetapi sudah merupakan peluang yang mendominasi perdagangan dunia. Sehingga perdagangan produk pangan halal dunia dewasa ini sudah mencapai 629 miliar dolar atau mendekati 50 persen perdagangan pangan dunia yang mencapai 1,2 triliun dolar. Dapat diartikan perdagangan halal ini sudah menjadi perdagangan global dan tidak lagi eksklusif.16 Penerapan label halal di Indonesia dibawah naungan Badan POM kemudian melalui sebuah lembaga LPPOM MUI dan Departemen Agama
12
Departemen Agama, Sistem Prosedur Penetepan Fatwa Produk Halal MUI, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, hlm. 14 13 Departemen Agama. Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Jakarta : Departemen Agama RI, 2003, hlm. 132 14 Departemen Agama, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Jakarta : Depertemen Agama, 2003, hlm. 242 15 Rini Friastuti, “LPPOM MUI dan BPOM Kerjasama Tangkal Makanan Tak Halal”, source: http://www.detik.com/news/read/2013/0520/133743/2250667/10/mui-dan-bpomkerjasama-tangkal-makanan-tak-halal, diakses tanggal 28 Mei 2013 pukul 14.10 WIB 16 “Indonesia menjadi Rujukan Halal di 24 Negara”, source: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/23/mk4a86-indonesia-jadi-rujukanhalal-di-24-negara, di akses tanggal 27 Mei 2013, pukul 19.00 WIB.
Hal | 6
yang lebih memfokuskan pada halal dan haramnya bahan makanan tersebut.17 Mengenai pedoman dan tata cara pemeriksaan dan penetapan pangan halal diatur dalam Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001, didalamnya terdapat aturan-aturan secara garis besar mengenai tata cara pemeriksaan dan penetapan pangan halal tersebut. Adapun prosedur penetapan label halal pada produk makanan di Indonesia, adalah sebagai berikut:18 1. Pemohon mengajukan permohonan dengan mengisi formulir permohonan (Lampiran 1) Permohonan dilampiri dengan : a. Spesifikasi sumber/asal usul bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong yang digunakan, dikeluarkan oleh produsen yang membuat bahan tersebut. b. Bahan yang berasal dari hewan, sertakan surat keterangan dari Rumah Pemotongan Hewan yang menjelaskan bahwa hewan tersebut dipotong sesuai dengan hukum Islam. c. Bagan alir proses d. Prosedur tetap setiap langkah produksi. e. Surat persetujuan Pendaftaran (MD/ML) yang dikeluarkan oleh Badan POM (untuk produk yang terdaftar di Badan POM) atau Sertifikat Penyuluhan (SP) yang dikeluarkan Kandep setempat untuk Industri rumah Tangga. f. Dokumen lain yang menunjang penilaian. 2. Formulir permohonan yang sudah diisi diserahkan ke Badan POM, c.q Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Subdit Inspeksi Produksi Berlabel Halal, masing-masing rangkap 3 (tiga). 3. Berkas permohonan diperiksa kelengkapannya: a. Berkas yang tidak lengkap dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi. b. Berkas yang sudah lengkap rangkap 3 (tiga) diteruskan ke LPPOM MUI, Departemen Agama, dan Badan POM 4. Badan POM (sebagai Sekretariat untuk sertifikat dan labelisasi halal) akan membuat jadwal kunjungan yang disepakati oleh TIM dan perusahaan, kemudian melakukan audit ke sarana produksi. 17
Asrul, Kepala Bagian Sekretariat LIK, Badan POM Palembang. Wawancara dilakukan tanggal 24 Mei 2013, pukul 11.00 WIB 18 BPOM, Katalog Produksi, Unit Layanan Pengaduan Konsumen, Jakarta : BPOM, 2004, hlm. 6-9
Hal | 7
a. Pelaksanaan audit oleh Tim Gabungan (Badan POM, Majelis Ulama Indonesia, dan Departemen Agama)19 - LP POM MUI melakukan audit bahan dan proses. Badan POM melakukan audit penerapan GMP/CPMB. Departemen Agama melakukan audit pertanggungjawaban halal dan layanan karyawan muslim. b. Untuk audit tersebut perusahaan diminta mempersiapkan: - Bagan alir proses (manual proses) - Spesifikasi untuk bahan baku dan bahan tambahan - Dokumen pembelian bahan-bahan dua bulan terakhir - Pabrik sedang berproduksi produk yang diajukan untuk sertifikasi dan labelisasi halal c. Setelah melakukan audit TIM Gabungan akan membuat Berita Acara tentang: - Bahan-bahan yang digunakan harus sesuai dengan permohonan yang diajukan dan spesifikasi yang dilampirkan. - Purchehe order bahan-bahan apakah sesuai dengan bahan-bahan yang digunakan. - Pemeriksaan kartu stock di gudang (kemana saja bahan tersebut disalurkan) - Penilaian pabrik apakah sudah melakukan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB). - Bila diperlukan TIM Gabungan akan melakukan sampling bahan dan diuji di Lab LP POM MUI. d. Biaya audit dibebankan kepada perusahaan yang diperhitungkan atas dasar kebutuhan: - Honorarium untuk auditor. - Tiket pesawat, akomodasi, transpor di daerah dan hotel diselenggarakan pemohon. - Biaya administrasi (pengurusan). e. Penjemputan auditor (bila di dalam kota) - Auditor Badan POM dan Departemen Agama dijemput di Badan POM c.q Sub Dit Inpeksi Produk Berlabel Halal, Jl. Percetakan Negara No. 23 Gedung F Lantai 2 Jakarta Pusat, telp. (021) 42875518. 19
Departemen Agama, Tanya Jawab Seputar Produksi Halal, Jakarta : Departemen Agama RI, 2003, hlm. 24
Hal | 8
-
5.
6.
7.
8.
9.
Auditor LPPOM MUI dijemput di Laboratorium Terpadu Kimia Analis FMIPA IPB, Jl. Lodaya II No. 3 Bogor, telp. (0251) 358748. Hasil audit 3 komponen tersebut diatas dapat berupa perbaikan dan kelengkapan yang disampaikan melalui pemberitahuan resmi. - Hasil audit yang tidak memenuhi syarat Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) dibahas di Badan POM untuk ditindak lanjuti. - Hasil audit mengenai kehalalan bahan dibahas oleh Tim Evaluasi LP POM MUI dan apabila memenuhi syarat akan diteruskan ke Komisi Fatwa Hasil komisi fatwa: - Memenuhi syarat akan dikeluarkan Sertifikat Halal oleh MUI - Belum memenuhi syarat dikembalikan ke pemohon untuk dilengkapi dan bila perlu akan dilakukan audit ulang. Pemohon yang telah mendapatkan sertifikat halal dari MUI segera mengirimkan foto kopi sertifikat halal ke Badan POM cq Direktorat Inspeksi dam sertifikat Pangan untuk penerbitan ijin labelisasi halal. Berdasarkan Sertifikat Halal dari MUI dan hasil pemeriksaan yang sudah memenuhi syarat Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB), Badan POM mengeluarkan ijin pencantuman tulisan halal pada label produk. Setelah memperoleh izin tersebut, produsen dapat mencantumkan tulisan/logo pada label produk yang bersangkutan.
Industri Pangan yang akan mengajukan sertifikasi halal disyaratkan telah menyusun dan mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal (SJH). 20 Sistem Jaminan Halal adalah sistem yang mencakup organisasi, tanggung jawab, prosedur, kegiatan, kemampuan, dan sumber daya yang bertujuan untuk menjamin bahwa proses produksi yang dilakukan dapat menghasilkan produk halal. 21 Pengaturan secara khusus mengenai sertifikasi halal dilakukan oleh LPPOM MUI, yaitu sebagai berikut:22
20
“Label Halal di Beberapa Negara ASEAN�, source: http://erywijaya.wordpress.com/2010/03/23/label-halal-di-negara-asean/, tanggal akses 30 Mei 2013 pukul 20.00 WIB 21 Departemen Agama, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Op.cit., hlm. 131 22 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal MUI, Op.cit., hlm. 10
Hal | 9
1) Sistem Sertifikasi Halal a. Proses Sertifikasi Halal Sistem Jaminan Halal merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses sertifikasi halal. Prosedur proses sertifikasi halal dapat dilihat pada. Gambar 1. Dokumen SJH (1)
Pendaftaran
Dokumen Sertifikasi Produk
Audit Produk
Evaluasi Audit
Audit Memorandum Bahan
Fatwa Ulama
Sesuai Dokumen SJH 2) Sertifikat HALAL
Gambar 1. Diagram Alir Proses Sertifikasi Halal. Sumber : Buku LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal, Jakarta : LPPOM MUI, 2008, hlm. 11
Keterangan : Pada diagram alir (Gambar 1) pengertian Dokumen SJH adalah sebagai berikut: 1. Untuk perusahaan baru yang belum memiliki Sertifikat Halal MUI, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah: a. Dokumen SJH1) berupa surat pernyataan di atas materai bahwa perusahaan bersedia menyerahkan Manual SJH Standard paling lambat enam bulan setelah terbitnya SH.
Hal | 10
b. Dokumen SJH2) berupa manual SJH minimum yang terdiri dari klausul kebijakan halal, struktur manajemen halal dan ruang lingkup penerapan SJH. 2. Untuk perusahaan yang telah memiliki Sertifikat Halal MUI namun audit implementasi SJH belum dilakukan, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah : a. Dokumen SJH1) berupa Manual SJH Minimum terdiri dari : klausul kebijakan halal, struktur manajemen halal dan ruang lingkup penerapan SJH. b. Dokumen SJH2) berupa Manual SJH Standar terdiri dari : I. Informasi Dasar Perusahaan II. Kendali Dokumen III. Tujuan Penerapan IV. Ruang Lingkup Penerapan V. Kebijakan Halal VI. Panduan Halal VII. Struktur Manajemen Halal VIII. Standard Operating Procedures (SOP)
IX. Acuan Teknis X. Sistem Administrasi XI. Sistem Dokumentasi XII. Sosialisasi XIII. Pelatihan XIV. Komunikasi Internal dan Eksternal XV. Audit Internal XVI. Tindakan Perbaikan XVII. Kaji Ulang Manajemen
3. Untuk perusahaan yang telah mendapatkan status SJH minimal B (cukup) dan akan memperpanjang masa berlaku SH-nya, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah : 1. Dokumen SJH1) berupa laporan berkala terkini dan Revisi Manual SJH (jika ada) atau copy status SJH minimal B atau Sertifikat SJH. 2. Dokumen SJH2) tidak diperlukan. SJH dapat diterapkan pada berbagai jenis industri seperti industri pangan, obat, kosmetik baik dalam skala besar maupun kecil serta
Hal | 11
memungkinkan untuk industri berbasis jasa seperti importir, distributor, transportasi, dan retailer. b. Siklus Operasi SJH SJH merupakan kerangka kerja yang dipantau terus menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. 23 Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya peluang perubahan baik secara internal maupun eksternal. 2) Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Pemangku kepentingan terhadap proses sertifikasi halal yaitu Manajemen perusahaan, Auditor Halal Internal, LPPOM MUI, dan Komisi Fatwa MUI.24 Prosedur penetapan label halal di Indonesia saat ini sudah sangat baik akan tetapi yang terjadi dilapangan banyak sekali kecurangan. Kelemahan yang ada saat ini karena label halal pada kemasan makanan dicetak sendiri oleh pelaku usaha. Hal ini umumnya dilakukan pelaku usaha yang ingin melakukan penghematan sehingga pelaku usaha mencetak pembungkus dan label halal sekaligus untuk kebutuhan lebih dari dua tahun. Padahal sertifikat halal yang sudah lulus uji oleh LPPOM MUI hanya berlaku selama dua tahun. Akibat negatifnya, usia sertifikat telah habis dan belum diperpanjang atau perusahaan mengubah bahan baku atau tambahan dengan barang yang belum tentu halal, pangan yang beredar tersebut tetap berlabel halal.25 Akibat lain dari label halal yang dicetak sendiri, label halal jadi tidak memenuhi standar baik bentuk, warna, ukuran, gaya atau jenis penulisan dan bahan, sehingga sulit diawasi dan mudah sekali dipalsukan. Karena mudahnya mencetak label halal yang tidak standar tersebut, maka sangat mudah sekali perusahaan mencetak label halal meskipun belum diperiksa. Akibatnya banyak pemalsuan label halal yang terjadi dimasyarakat saat ini.26 2. Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pemalsuan label halal pada produk makanan di Indonesia. Setiap konsumen memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas kerugian yang diterimanya. Agar pelaku usaha menyadari pentingnya 23
Departemen Agama, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Op.cit., hlm.
159 24
LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal MUI, Op.cit., hlm. 15 Departemen Agama, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Op.cit., hlm. 32 26 Ibid 25
Hal | 208
kewajibannya untuk mencantumkan label halal dan menjamin kehalalan produknya maka harus ada sanksi dari setiap kecurangan pemalsuan label halal bagi pelaku usaha. Berdasarkan Pasal 62 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), bagi setiap Pelaku usaha yang melanggar ketentuan pada Pasal 8 huruf h UUPK yaitu tidak mengikuti ketentuan produksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal� yang dicantumkan pada label maka akan di pidana dengan pidana pernjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar).27 Bagi pelaku usaha yang melanggar Pasal 105 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yaitu setiap orang yang menyatakan dalam iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas kebenarannya, maka bagi setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda; penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; ganti rugi; dan/atau pencabutan izin hal ini ditegaskan dalam Pasal 106 ayat 2 Undangundang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. 28 C. PENUTUP 1. Perlu adanya penyempurnaan peraturan dan ketentuan penyusunan standar halal serta peningkatan koordinasi antara MUI pusat dengan MUI yang ada didaerah karena sudah saatnya ada sistem dan prosedur fatwa secara umum dan sistem dari prosedur produk fatwa produk halal yang berlaku untuk seluruh dunia khususnya untuk negara seperti Indonesia. Rancangan Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal secepatnya diberlakukan agar pengaturan tentang keharusan bagi semua pelaku usaha untuk menjamin kehalalan pada produknya dan tentang pengaturan pencantuman label pada kemasan makanan tersebut dilakukan oleh satu lembaga saja, agar pelaku usaha tidak dapat lagi melakukan pemalsuan label halal pada produk makanan yang diperdagangkan. 2. Adanya koordinasi dengan tiga unsur utama yaitu, pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat/konsumen tentang sertifikat halal dan label halal. Pemerintah harus lebih aktif untuk mensosialisasikan dan menumbuhkan 27
Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 377 28 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5360)
Hal | 209
rasa kepedulian bagi pelaku usaha pentingnya produk halal kepada masyarakat luas dan mendorong semakin banyak pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikat halal melalui Lembaga Pengkajian Makanan, Obatobatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI ) serta menjadi mitra untuk mempermudah masyarakat dalam memperoleh berbagai jenis produk halal. Diperlukan juga sosialisasi melalui media televisi, internet, radio, dan media cetak untuk memberikan informasi tentang produk-produk halal atau haram dan jenis-jenis produk halal tersebut dapat di akses melalui situs internet yang memiliki database produk-produk yang dinyatakan halal atau haram. Penyebaran informasi tentang halal ini harus dilakukan secara meluas dan terus menerus. Melakukan penyempurnaan peraturan yang ada tentang standar label halal resmi yang ditetapkan oleh Pemerintah sehingga tidak terjadi pemalsuan. Sebagai contoh negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Amerika, dan negara lainnya yang memiliki standar label halal resmi.
Hal | 210
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Ahmad Miru dan Sutarno Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. BPOM. 2004. Katalog Produksi, Unit Layanan Pengaduan Konsumen. Jakarta: BPOM RI. Departemen Agama. 2003. Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal. Jakarta : Departemen Agama RI. Departemen Agama. 2003. Sistem Jaminan Halal. Jakarta : Depertemen Agama RI. Departemen Agama. 2003. Sistem Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI. Jakarta : Departemen Agama RI. Departemen Agama. 2003. Tanya Jawab Seputar Produksi Halal. Jakarta : Departemen Agama RI. Departemen Agama. 2003. Modul Pelatihan Auditor Internal Halal. Jakarta: Departemen Agama RI. LPPOM MUI. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LP-POM MUI. Jakarta : LPPOM MUI. Yusuf Shofie. 2003. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. B. PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5360) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. (Lembaran Negara Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3867) Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal Surat Keputusan Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal C. INTERNET “Produk Halal dan Perubahan Masyarakat�, source: http://jambi.kemenag.go.id/file/dokumen/PRODUKHALALDANPERUB AHANMASYARAKAT.pdf
Hal | 211
“Keputusan-keputusan Kementrian Agama”, source: http://www.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=kepmenag, http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F360/Ment eri%20Agama.htm, diakses tanggal 29 Desember 2012 pukul 20. 35 WIB Rini Friastuti. “LPPOM MUI dan BPOM Kerjasama Tangkal Makanan Tak Halal”, source: http://www.detik.com/news/read/2013/0520/133743/ 2250667/10/mui-dan-bpom-kerjasama-tangkal-makanan-tak-halal “Indonesia menjadi Rujukan Halal di 24 Negara”, source: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/23/mk4a86indonesia-jadi-rujukan-halal-di-24-negara “Label Halal di Beberapa Negara ASEAN”, source: http://erywijaya.wordpress.com/2010/03/23/label-halal-di-negara-asean/, D. HASIL WAWANCARA Muhammad Asrul, S.Si., A.tp, Kepala Bagian Sekretariat LIK, Badan POM Palembang. Tanggal wawancara 24 Mei 2013, pukul 11.00 WIB Sugito, S.TP., M.Si, Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan, dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Provinsi Sumatera Selatan, tanggal wawancara 30 Mei 2013 pukul 14.00 WIB
Hal | 212