Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) Pelaku Usaha Dalam Produk Makanan Yang Mengandung Bahan Berbahaya Oleh: Muhammad Azhar, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Sri Handayani, SH.,M.Hum dan H. Amrullah Arpan, SH.,SU
Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) Pelaku Usaha Dalam Produk Makanan Yang Mengandung Bahan Berbahaya Oleh: Muhammad Azhar, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Sri Handayani, SH.,M.Hum dan H. Amrullah Arpan, SH.,SU
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan makanan yang aman, bergizi, bermutu, beragam, dan tersedia secara cukup sebagai prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagai komoditas dagang, makanan memerlukan dukungan sistem perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta turut berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Bahan makanan adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Selain itu adanya zat yang ditambahkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang akan mempengaruhi kualitas makanan itu sendiri. Penambahan tersebut dapat berbahaya bagi kesehatan manusia.Racun dalam makanan dapat membahayakan orang yang memakannya apabila kebersihan dan sanitasinya dalam mengolah bahan makanan tersebut tidak cermat.Bahan makanan yang berguna untuk sumber tenaga dapat menjadi media perantara bagi mikroorganisme dan berbagai jenis bahan kimia. Keracunan makanan erat kaitannya dengan proses produksi dan distribusinya. Dalam proses produksi terkadang terjadi kelalaian bahkan kesengajaan menggunakan bahan berbahaya yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau melebihi batas ambang normal sebagai zat tambahan seperti zat pewarna, zat pengawet dan sebagainya.1Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari.Dengan begitu, pangan selain 1
Library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-nurmaini2.pdf, diakses tanggal 7 Juni 2012, Pukul 20.06 WIB.
harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau, juga harus memenuhi persyaratan lainnya, yaitu aman, sehat, serta halal.Jadi, sebelum pangan tersebut didistribusikan harus memenuhi persyaratan kualitas, penampilan, dan cita rasa, maka terlebih dahulu pangan tersebut harus benar-benar aman dikonsumsi.Artinya, pangan tidak boleh mengandung bahan-bahan yang berbahaya.2 Kedudukan konsumenyangterkadangawam terhadapbarangbarangyang dikonsumsinyadan adanyaketerbatasan untukmeneliti sebelumnya mengenai keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsib arang tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Dalam meningkatkan harkat dan martabat konsumen maka perlu ditingkatkan pengetahuan, kesadaran, kepedulian, kemandirian, dan kemampuan konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab. Hal ini sesuai dengan pemasyarakatan hak konsumen, antara lain hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak untuk memperoleh informasi yang benar dan jujur, hak untuk dapat memilih barang/jasa yang dibutuhkan, hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk mendapatkan ganti rugi, dan hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat.3 Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan “pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 8 ayat (3) telah disebutkan juga bahwa “pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat, atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.� Pangan dan Sediaan farmasi yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan ini diperkuat dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bagian keenam belas tentang pengamanan makanan dan minuman Pasal 111 ayat (1) yang menyatakan “makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada 2
Celina Tri Siwi Kristiyanti,Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hlm.169. 3 Zumratin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Suara, Jakarta, 1996, Hlm. 8.
standar dan/atau persyaratan kesehatan.” Pasal 111 ayat (2) menyatakan “makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pasal 111 ayat (6) menyatakan “makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Lebih lanjut peraturan tentang bahan makanan berbahaya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 1 butir 5 “keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.” Pasal 75 ayat (1) menyatakan “setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui batas ambang maksimal, dan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan.” Makanan yang mengandung bahan berbahaya baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja oleh pelaku usaha sangatlah merugikan konsumen. Penambahan bahan berbahaya pada makanan seperti Sakarin, Siklamat, Nitrosamin, MSG, Rhodamin B, Metanyl Yellow, Formalin, Boraks, Arcylamide, Bisphenol A sangat membahayakan. 4 Hal ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi organ vital manusia jangka pendek maupun jangka panjang, bahkan tak jarang berujung pada kematian.Penambahan Bahan berbahaya pada makanan juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Makanan. Dalam perlindungan konsumen sesungguhnya ada prinsip yang disebut strict liability, yang berarti tanggung jawab mutlak yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.Tanggung jawab mutlak adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 28 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. 4
http://cetak.kompas.com/read/2012/07/27/04272421/makanan.pasar.mengandung.zat. bahaya, diakses tanggal 29 Juli 2012, Pukul 20.00 WIB.
Prinsip ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19 (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan/atau diperdagangkan, dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (1) Setiap orang yang terlibat dalam rantai pangan wajib mengendalikan resiko bahaya pada pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi, maupun dari perseorangan hingga keamanan pangan terjamin. Kasus yang pernah menggemparkan Indonesia pada awal tahun 1990an ialah kasus biskuit beracun CV.Gabisco sebagai produsen, yang merupakan murni karena kelalaian produsen yang menyebabkan Amonium Bikarbonat (sejenis bahan pembuat renyah biskuit) sehingga tercemar Sodium Nitrit (NaNO2), akibatnya 28 orang dikabarkan meninggal dunia.5Pada April tahun 1994 terjadi kasus keracunan makanan yang terjadi di Talang Kubangan, Desa Bandarjaya, Dempo Selatan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.5 orang meninggal dunia dan 69 dirawat di rumah sakit.Sebab keracunan adanya Asam Sianida, yang ada dalam makanan berasal dari Mie Instan. 6 Kasus mengenai tanggung jawab mutlak pelaku usaha terhadap produk makanan ialah antara P. Silalahi vs pasar swalayan Macan Yohan, pembeli membeli biskuit merk Sweet Home tetapi pada tanggal kadaluarsanya diberi garismerah sehingga menimbulkan keraguan bagi konsumen terhadap barang yang dibelinya. Kasus lainnya yaitu antara Ramdhy A.B. Tambunan vs pasar swalayan Macan Yohan, gugatan diajukan karena terdapat stiker merah di atas tulisan spidol hitam mengenai masa kadaluarsa produk.7 China merupakan negara yang rawan mengenai makanan yang mengandung bahan berbahaya. Satu diantaranya pada tahun 2008, melamin telah membuat sakit hampir 300 ribu bayi di China dan menewaskan setidaknya 6 bayi yang terkontaminasi bahan kimia industri tersebut. Hal itu terjadi untuk menambah kadar protein dalam susu sehingga seolah-olah susu
5
Http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/02/24/HK/mbm.19900224.HK16414 .id.html, diakses tanggal 15 Juni 2012, Pukul 21.05 WIB. 6 Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Hal 41. 7 Inosentius Samsul,Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, Hlm. 204.
itu memiliki kadar protein yang tinggi. 8 Masalah susu bermelamin ini menjadi semakin besar karena produk susu China dan produk turunannya tersebar diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia, serta produk makanan tersebut cukup familiar dikalangan masyarakat Indonesia. Produk-produk tersebut masuk melalui jalur impor resmi tapi ada juga tak jelas prosedurnya. Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan 28 merek susu dan produk turunannya yang mengandung bahan bermelamin dan memerintahkan untuk ditarik dari peredarannya. Kasus susu formula bermelamin bukanlah satu-satunya kasus makanan yang tercemar bahan berbahaya dari China, masih ada kasus lain diantaranya kenari palsu, madu palsu, daging palsu, roti daur ulang. 9Kasus terbaru dari China adalah kasus beras palsu yang terbuat dari limbah plastik, kentang, dan ubi jalar yang direkayasa sedemikian rupa sehingga menyerupai beras. Lebih berbahaya lagi karena produsen menambahkan resin sintetik industri. Resin tersebut sangat berbahaya jika dikonsumsi karena dapat menyebabkan kanker.10 Pada tahun 2011 Indonesia juga sempat dihebohkan dengan kasus susu berbakteri Sakazaki. Isu tersebut sempat membuat ibu-ibu yang mempunyai balita menjadi khawatir. Meski sempat menunggu beberapa saat, akhirnya pemerintah mengumumkan bahwa 47 merk susu yang diteliti pada saat itu dinyatakan bebas dari bakteri Sakazaki, meskipun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan IPB pada tahun 2003-2006 dimana 22 persennya disebut mengandung cemaran bakteri Sakazaki.11 Selain itu berdasarkan pengamatan tim reportase investigasi Trans TV banyak sekali ditemukan produk makanan yang mengandung bahan berbahaya yang beredar di masyarakat. Untuk membuat ikan, cumi, udang, kerang, dan sejenisnya tetap terlihat menarik, tetap terlihat segar, kenyal, sisik udang dan ikan terlihat mengkilap, ternyata banyak penjual di pasar tradisonal sebelum menjualnya terlebih dahulu merendam dan mencampurinya dengan zat-zat kimia berbahaya yang mengandung klorin, 8
http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_pangan/melamin-dalam-produk makanan/, diakses pada tanggal 17 Juni 2012, Pukul 23.17 WIB. 9 Http://pergerakan.org/pgk/index.php/berita/berita-kpri/149-hati-hati-ada-berasplastik-dari-china, diakses tanggal 17 Juni 2012, Pukul 23.35WIB. 10 Http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=b783a5fa123 afc820e33320b1f242bbd&jenis=d41d8cd98f00b204e9800998ecf8427e, diakses pada tanggal 17 Juni 2012, Pukul 23.40 WIB. 11 Http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/07/110708_ sakazakibacteria.shtml, diakses pada tanggal 18 Juni 2012, Pukul 19.00 WIB.
formalin, deterjen, pemutih, dan pewarna tekstil. 12 Kue brownies dan bolu kukus yang dijual pun terkadang mengandung bahan berbahaya yang dapat meracuni perut dan otak karena mengandung bahan berbahaya seperti boraks, telur busuk, pewarna rambut, dan natrium siklamat. 13 Tidak hanya itu, sayuran yang selama ini dianggap dapat menyehatkan ternyata mengandung bahan berbahaya yang sangat merugikan kesehatan. Sayuran tersebut direndam dengan cairan boraks agar terlihat lebih segar dan dapat bersaing dengan sayuran impor.14 Berdasarkan kasus di atas, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional negara Republik Indonesia yaitu melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (Pembukaan Undang-Undang Dasar alinea IV).Dengan demikian konsumen sebagai pihak yang sering dirugikan oleh produsen dapat memperjuangkan hak-haknya karena adanya perlindungan hukum yang pasti, sehingga penulis tertarik untuk menulis jurnal dengan judul “PENERAPAN PRINSIP TANGGUNG JAWAB MUTLAK (STRICT LIABILITY) PELAKU USAHA DALAM PRODUK MAKANAN YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA.� 2. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liabilityt) pelaku usaha dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya, adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah ketentuan dan standar mutu suatu produk makanan yang digolongkan dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya ? 2. Bagaimanakah penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) pelaku usaha dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya? 3. Kerangka Teori/ Kerangka Konseptual a. Kerangka Teori
12
Http://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2010/12/04/jangan-jangan-selama-inianda-telah-makan-ikan-berklorin-berformalin/, diakses pada tanggal 23 Juni 2012, Pukul 21.00 WIB. 13 Reportase Investigasi Trans TV, Brownies dan Bolu Kukus Berbahaya, Sabtu 16 Juni 2012, Pukul 16.00 WIB. 14 Reportase Investigasi Trans TV, Sayuranku Berbahaya, Minggu 17 Juni 2012, Pukul 16.00 WIB.
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat� pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen.Asas tanggung jawab itu dikenal dengan product liability.Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya.Secara historis, strict liabilitylahir karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Ketidakseimbangan itu terjadi menurut R.C. Hoeber, biasanya terjadi karena (1) konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks; (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misal dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya; (3) asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.15 Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat/rusak sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah ataupun kematian. Produk cacat menurut Emma Suratman16 adalah: Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang. Dari batasan ini terlihat bahwa pihak yang (terutama) bertanggung jawab adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut (produsen), Perkembangan ini sebenarnya dipicu juga oleh tujuan yang ingin dicapai, yaitu:17 a. Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut. b. Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak dapat dihindari.
15
Celina Tri Siwi Kristiyanti,Op.Cit, Hlm. 97. Emma Suratman, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di bidang Farmasi terhadap Konsumen. BPHN Departemen Kehakiman RI, 1990, Hlm. 248. 17 Mr. K. Van Leeuwen, Juridische Aspecten van Productveiligheid, Kluwer Deventer, Entshede, 1990, p. 24 dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hlm.103. 16
Secara umum prinsip pertanggung jawaban dalam hukum dibedakan sebagai berikut :18 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab 3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab 4. Prinsip tanggung jawab mutlak 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan b. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian, maka dirasa perlu untuk memberikan batasan judul penelitian, yaitu sebagai berikut: Perlindungan konsumen adalah upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Tanggung jawab adalah keadaan wajib untuk menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb) atau huk fungsi menerima pembebanan , sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain. 19Tanggung jawab pelaku usaha erat kaitannya dengan tanggung jawab produk, yaitu tanggung jawab sebagai hasil suatu usaha.Tanggung jawab produk ialah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang
18
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008.Hlm. 32. 19
http://kamusbahasaindonesia.org/tanggung%20jawab, diakses tanggal 17 Juni 2012, Pukul 22.20 WIB.
menimbulkan atau menyebabkan cacat yang melekat pada produk tersebut.20 Makanan adalah “Barang yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia, termasuk permen karet dan sejenisnya akan tetapi bukan obat.� Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Bahan berbahaya adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksinasi), karsinogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.
B. PEMBAHASAN 1. Ketentuan atau standar produk makanan yang digolongkan dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya. Untuk dapat menentukan suatu produk berbahaya atau tidak diperlukan adanya standarisasi.Standarisasi merupakan ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai kriteria. Menurut International Standar Organization (ISO) definisi standar mutu adalah spesifikasi teknis atau dokumen lain yang dapat digunakan untuk umum yang dibuat dengan cara kerjasama/konsensus dari pihak-pihak yang berkepentingan berdasarkan pada konsultasi hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan pengalaman.21 Suatu standar dapat mempunyai tingkatan sebagai standar pabrik, standar lokal, standar nasional, standar regional, maupun standar internasional, yang pada dasarnya di dalam wawasannya masing-masing merupakan standar konsesus. Masing-masing tingkatan standar tersebut belum tentu mempunyai kesesuaian atau kesamaan.Sebagai contoh, standar nasional yang telah dimiliki suatu negara seringkali mempunyai perbedaanperbedaan dengan standar regional yang merupakan standar dari gabungan beberapa negara.22 Secara ringkas tujuan dan kegunaan standarisasi adalah: 20
Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda-Indonesia, Yogyakarta, 1988, Hlm. 2. 21 Muhammad Arpah, Pengawasan Mutu Pangan, Tarsito, Bandung, 1993, Hlm. 14. 22 Ibid,Hlm. 14
a. Sebagai kesatuan bahasa atau pengertian dalam mutu bagi pihakpihak yang terlibat, b. Keseragaman mutu produk dari waktu ke waktu, c. Untuk memperlancar pemasaran, d. Untuk memberikan pedoman mutu bagi masyarakat industri. Perusahaan makanan dan minuman kemasan di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat.Terdapatmakanan kemasan yang siap saji dan instan yang dikenal dengan istilah junk food.Junk foodadalah kata lain untuk makanan yang jumlah kandungan nutrisinya terbatas. Umumnya yang termasuk golongan junk food adalah makanan yang kandungan garam, gula, lemak, dan kalorinya tinggi,tetapi kandungan gizinya sedikit.23 Peranan bahan tambahan makanan (BTM) atau yang sering disebut pula bahan tambahan pangan (BTP) sangatlah besar untuk menghasilkan produk-produk kemasan.Keberadaan bahan tambahan makanan (BTM) bertujuan membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, dengan rasa dan tekstur lebih sempurna.Penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) yang telah terbukti aman sebenarnya tidak membahayakan kesehatan. Namun demikian, penggunaan dalam dosis yang terlalu tinggi atau melebihi ambang yang diizinkan akan menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Menurut undang-undang yang berlaku ketentuan mengenai makanan yang berbahaya adalah makanan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang melebihi ambang batas maksimal yang diperbolehkan atau bahan tambahan pangan yang dilarang oleh undang-undang yang diatur di dalam UndangUndang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pasal 75 ayat (1). Ketentuan mengenai makanan yang diperbolehkan atau dilarang oleh undang-undang diatur di dalam PerMenKes Nomor 33 Tahun 2012. 2. Tanggung jawab mutlak (strict liability) pelaku usaha yang memproduksi dan/atau menyalurkan bahan makanan yang mengandung bahan berbahaya. Tanggung jawab pelaku usaha dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya adalah berdasarkan asas product liability (tanggung jawab produk). Menurut tanggung jawab produk, pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkan. Dari perkembangan product liabilitydi berbagai negara, dapat dikemukakan bahwa product liabilitymerupakan 23
Reni Wulan Sari, Bahaya Makanan Cepat Saji dan Gaya Hidup Sehat, O2, Yogyakarta, 2008, Hlm. 111.
tanggung jawab yang menggunakan kontruksi hukum tort(perbuatan melawan hukum), dengan beberapa modifikasi. Modifikasi tersebut antara lain adalah:24 1. Produsen langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product liability, sehingga dianut prinsip praduga bersalah (presumption of fault) berbeda dengan praduga tidak bersalah (presumption of no fault) yang dianut tort. 2. Karena produsen dianggap bersalah, sebagai konsekuensi ia harus bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi secara langsung kepada pihak konsumen yang menderita kerugian. Jenis tanggung jawab (liability) semacam ini disebut no fault liability atau strict liability. 3. Karena produsen telah dianggap bersalah, maka yang menjadi korban tidak perlu membuktikan unsur kesalahan produsen. Dari sini dapat dilihat, konsumen jelas sangat diringankan dari beban untuk membuktian kesalahan produsen, yang relatif sukar seperti yang dianut tort. Dalam hal ini pembuktian justru dialihkan (shifting the burden of proof) kepada pihak produsen, untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian kepada konsumen. Hal ini sesuai dengan pasal 19 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pecemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat menkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan/atau diperdagangkan, dan Pasal 71 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (1) Setiap orang yang terlibat dalam rantai pangan wajib mengendalikan resiko bahaya pada pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi, maupun dari perseorangan hingga keamanan pangan terjamin. C. PENUTUP 1. Kesimpulan 1. Ketentuan mengenai produk makanan yang berbahaya di atur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Di dalam Pasal 75 ayat (1) dapat dilihat bahwa makanan yang berbahaya ialah makanan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui batas ambang maksimal, dan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan. Standarmengenai ambang batas maksimal dan dilarang untuk digunakan untuk tambahan pangan diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012. 24
Johannes Gunawan, Product Liability dalam hukum bisnis indonesia, orasi ilmiah dalam rangka dies natalis XXXIX, Unika Parahyangan, Bandung, Januari 1994.
2. Tanggung Jawab Mutlak (Strict liability) sebagai bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya). Dengan menggunakan prinsip pertanggung jawaban mutlak (strict liability) pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh produk makanan yang membahayakan konsumen. Contoh penerapan Prinsip ini dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya dapat dilihat pada kasus sengketa antara P. Silalahi vs Swalayan Macan Yaohan Medan, pelaku usaha harus membayar Rp. 2.500.000. Kasus serupa antara Ramdhy A.B. Tambunan vs Swalayan Macan Yaohan, dalam sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase tersebut pelaku usaha diwajibkan membayar Rp. 300.000 ditambah dengan pengembalian uang pembelian produk Rp. 42.000. 3. Saran Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas maka penulis akan memberikan saran-saran sebagai berikut ini: 1. Pemerintah hendaknya terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat sangat mengerti akan hak-hak mereka dan dapat lebih teliti mengenai produk makanan yang mengandung bahan berbahaya. 2. Bagi setiap pelaku usaha terutama industri rumah tangga meningkatkan kesadaran dalam melakukan kegiatan usaha agar tidak menimbulkan kerugian materiil dan immateriil bagi konsumen dan pemerintah menghukum berat bagi pelaku usaha yang memproduksi, mengedarkan produk makanan yang mengandung bahan berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008. Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda-Indonesia, Yogyakarta, 1988. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Emma Suratman, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di bidang Farmasi terhadap Konsumen. BPHN Departemen Kehakiman RI, 1990. Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Johannes Gunawan, Product Liability dalam hukum bisnis indonesia, orasi ilmiah dalam rangka dies natalis XXXIX, Unika Parahyangan, Bandung, Januari 1994. Muhammad Arpah, Pengawasan Mutu Pangan, Tarsito, Bandung, 1993. Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Zumratin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Suara, Jakarta, 1996. Reni Wulan Sari, Bahaya Makanan Cepat Saji dan Gaya Hidup Sehat, O2, Yogyakarta, 2008. PERUNDANG-UNDANGAN: R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, 2008. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Makanan INTERNET:
http://bbc.co.uk/indonesia http://cetak.kompas.com http://chem-is-try.org http://health.kompas.com http://kamusbahasaindonesia.org http://kesehatan.kompasiana.com http://library.usu.ac.id http://majalah.tempointeraktif.com http://manado.tribunnews.com/ http://pergerakan.org http://surabayapost.co.id