Ej pidana #1 adi baladika

Page 1

Tindak Pidana Yang Dilakukan Apoteker Di Bidang Kefarmasian Oleh: Adi Baladika, SH. Lulus pada tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. M. Rasyid Ariman, S.H. M.H. dan Artha Febriansyah, S.H., M.H.


Tindak Pidana Yang Dilakukan Apoteker Di Bidang Kefarmasian Oleh: Adi Baladika, SH. Lulus pada tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. M. Rasyid Ariman, S.H. M.H. dan Artha Febriansyah, S.H., M.H.

A. PENDAHULUAN 1. Latar belakang Nama Apotek sudah dikenal oleh masyarakat sebagai tempat untuk menyimpan, menyediakan, dan menjual obat, dimana obat merupakan produk utama Apotek.Selain obat yang dijual di Apotek, juga berbagai produk keperluan kesehatan lainnya yakni keperluan pengobatan sehari-hari, keperluan pemeliharaan kesehatan dan keperluan peningkatan kesehatan. Secara umum Apotek mempunyai dua fungsi yakni memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat dan tempat usaha yang menerapkan prinsip laba.1 Layanan kesehatan kepada masyarakat salah satunya dalam bentuk penyerahan obat berdasarkan permintaan masyarakat, baik itu resep dokter (obat racikan dan bukan obat racikan) dan bukan resep dokter (obat pabrikan atau obat jadi).Apotek sebagai tempat usaha yang menerapkan prinsip laba dapat didirikan oleh perseorangan maupun kelompok yang bertujuan untuk mencari keuntungan.1 Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.2Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.3 Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang berhak melakukan pekerjaan kefarmasian adalah Apoteker. Fenomena di dalam kenyataan, pendistribusian obat berdasarkan permintaan dari masyarakat sebagai pemakai obat (konsumen) baik resep dokter (obat racikan dan bukan obat racikan) dan bukan resep dokter (obat pabrikan atau obat jadi) dimana kemungkinan terjadi kesalahan dalam pendistribusian 11

Aryo Bogadenta, Manajemen Pengelolaan Apotek, D-Medika, Yogyakarta, 2012, hlm

11.

Hal | 1


obat sehingga dalam ini masyarakat sebagai pemakai obat (konsumen) mengalami kerugian baik berupa cacat (sementara dan permanen) dan mati. 2. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diketahui permasalahan yakni Pasal-Pasal mana saja yang mengatur tindak pidana yang dilakukan Apoteker di bidang kefarmasian baik di dalam KUHP maupun Perundangundangan di luar KUHP dan Apa persamaan dan perbedaan dari Pasal-Pasal yang ada di dalam KUHP maupun Perundang-undangan di luar KUHP tersebut baik dilihat dari subjek hukum, jenis tindak pidana, objek hukum, sanksi pidana, kejahatan dan pelanggaran.2 3. Kerangka teori Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas maka sebelum dibahas lebih lanjut perlu diketahui apa tujuan hukum itu sendiri. Hukum memiliki keterkaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat.Kaidah yang hidup dalam pergaulan masyarakat mencerminkan cita-cita sistem nilai yang berlaku umum dalam masyarakat. Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat terhadap anggota lainnya maka yang dirugikan harus diganti oleh yang melakukan pelanggaran tersebut, peraturan harus ditegakkan dan yang melanggar tersebut agar tidak terulang kembali maka harus dikenakan sanksi hukuman, yang dapat dipaksakan kepadanya oleh alat kekuasaan publik.4 Hukum tidak dapat berdiri sendiri yang dimana ada hukum pastilah ada masyarakat atau sebaliknya. Maka dari itu untuk mendukung adanya hukum yang mengatur masyarakat diperlukan suatu kaidah atau norma yang mengikat bagi masyarakat. Kaidah atau norma merupakan sikap tindak dan perilaku yang baik dan yang buruk, yang patut dan tidak patut. Kaidah-kaidah terwujud secara alamiah dan dianut sekalipun tidak tertulis. Ada yang merupakan kaidah atau norma hukum, namun banyak pula yang berupa kaidah atau norma-norma lain yang bukan kaidah atau norma hukum.5 Norma-norma lain yakni norma kepercayaan, norma kesusilaan, dan norma kesopanan selain daripada norma hukum.3 22

Pasal 1 angka 13 PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 124. 3 Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. 34

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm 2.

Hal | 2


Norma adalah segala sesuatu yang menjadi pedoman bagi orang untuk bersikap tindak di dalam kehidupannya, baik dalam hidupnya sendiri secara pribadi maupun dalam pergaulannya dengan orang lain/masyarakat.Normanorma hukum, yaitu segala sesuatu yang menjadi pedoman bagi setiap orang untuk bersikap tindak yang baik dalam bidang hukum, dalam arti selaras dengan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.6 Peraturan-peraturan hukum yang berlaku bertujuan untuk menciptakan stabilitas yang kondusif bagi masyarakat agar dapat dilindungi hak dan kewajibannya serta tidak main hakim sendiri (Eigenrichting). Untuk mewujudkan stabilitas setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur (regelen/anvullen recht) dan aturan-aturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Menurut Dr. Soedjono Dirdjosisworo bahwa tujuan hukum adalah menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama.7 Sebagaimana dijelaskan pada latar belakang masalah, Kesalahan dari Apoteker sehingga mengakibatkan kerugian bagi konsumen berupa cacat dan mati, apabila dikaitkan dengan tujuan hukum, maka timbulah tujuan pidana itu sendiri bagi masyarakat. 4 Literatur inggris, tujuan pidana biasa disingkat dengan 3 (tiga) R itu ialah Reformation, Restraint, Retribution, dan 1 (satu) D ialah Deterrence yang terdiri atas Individual Deterrence dan General Deterrence (pencegahan khusus dan pencegahan umum). Reformation berarti memperbaiki diri pelaku menjadi orang baik dan berguna bagi dirinya, orang lain dan masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat agar perbuatan yang dilakukan oleh pelanggar tidak terulang lagi.Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Dan terakhir Deterrance, berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.8 Dari ke semua tujuan pidana diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana adalah 5

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 84. 46 A.Ridwan Halim,Pengantar Ilmu Hukumdlm Tanya Jawab,GhaliaIndonesia,Jakarta, 1983, hlm 61 7 Sudarsono, Op.cit, hlm 48.

Hal | 3


untuk membuat pelaku jera sehingga pelaku tidak lagi mengulangi lagi perbuatan, dapat memperbaiki diri dan dapat berguna bagi masyarakat. Berkaitan dengan tujuan pidana yang telah dijelaskan sebelumnya maka muncul beberapa teori dalam hukum pidana. Ada 3 (tiga) macam teori untuk membenarkan adanya penjatuhan pidana :95 1. Teori Absolut atau Pembalasan 10 Teori-teori ini dikenal sejak akhir abad ke-18 yang sebagian besar dianut oleh ahli-ahli filsafat jerman. Pokoknya, yang dianggap sebagai dasar hukum dari pidana itu ialah pembalasan (Belanda :vergelding, Jerman : vergeltung). Pidana itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap perbuatan pidana yang dilakukan seseorang. 2. Teori Relatif atau Tujuan 11 Hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman tersebut dengan harapan dapat memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan itu.Tujuan hukuman dipandang secara ideal atau layak.Selain itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. Perbedaan dalam hal prevensi, yakni :Algemene Preventie, hal ini dapat dilakukan dengan ancaman, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan (eksekusi) hukuman, Speciale Preventie, prevensi ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan itu. 3. Teori-Teori Gabungan 12 Merupakan gabungan dari teori absolut dan relatif. Gabungan kedua 6 teori ini mengajarkan penjatuhan hukuman untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat. Dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan adalah : 1. Menjerakan penjahat; 2. Membinasakan atau membuat tak berdaya lagi si penjahat; 3. Memperbaiki pribadi si penjahat.

58

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm 28. Ibid, hlm 30. 6 10 Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Unsri, Palembang, 2007, hal 27. 11 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm 106. 12 Ibid, hal 107. 9

Hal | 4


B. PEMBAHASAN A. Pasal-Pasal yang mengatur tindak pidana yang dilakukan Apoteker di bidang kefarmasian baik di dalam KUHP maupun Perundang-undangan di luar KUHP. 1. KUHP a. Buku II BAB VII (Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang maupun barang)13 1. Pasal 204 Membagi-bagikan barang yang diketahui membahayakan nyawa atau kesehatan seseorang. 2. Pasal 205 Barangsiapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang.7 3. Pasal 206 Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam Pasal 204 dan 205, hakim dapat memerintahkan supaya putusan diumumkan. b. Buku II BAB XV (Meninggalkan orang yang perlu ditolong)14 1. Pasal 304 Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara. 2. Pasal 306 Salah satu perbuatan berdasarkan Pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka-luka berat dan kematian diancam dengan pidana. c. Buku II BAB XVII (Membuka rahasia)15 1. Pasal 322 Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya.8 2. Pasal 323

713

Buku II BAB VII KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Buku II BAB XV KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). 15 Buku II BAB XVII KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). 814

Hal | 5


Barangsiapa dengan sengaja memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan dagang, kerajinan atau pertanian, dimana ia bekerja atau dahulu bekerja. d. Buku II BAB XIX (Kejahatan terhadap nyawa orang)16 Pasal 338 Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain. 1. Pasal 339 Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana. 2. Pasal 340 Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain. 3. Pasal 344 Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri.9 4. Pasal 346 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu. 5. Pasal 347 Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya. 6. Pasal 348 Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya. 7. Pasal 349 Jika seorang dokter, bidan, juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346. 8. Pasal 350 Dalam hal pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan dengan rencana, atau karena salah satu

916

Buku II BAB XIX KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Hal | 6


kejahatan berdasarkan Pasal 344, 347 dan 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1-5. e. Buku II BAB XXI (Menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan)17 1. Pasal 359 Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati. 2. Pasal 360 Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama jangka waktu tertentu. 3. Pasal 361 Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian.10 f. Buku III BAB V (Pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan)18 1. Pasal 531 Barangsiapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain. 2. Perundang-undangan di luar KUHP a. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan19 1. Pasal 190 Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien.11 1017

Buku II BAB XXI KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). 1118

Buku III BAB V KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Hal | 7


2. Pasal 191 Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi tidak mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian. 3. Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan. 4. Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu. 5. Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar. 6. Pasal 198 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian. 7. Pasal 201 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190-192 dan Pasal 196-200 dilakukan oleh korporasi. b. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika20 1. Pasal 111 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. 2. Pasal 112

19

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 144.

Hal | 8


3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki ,menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman. Pasal 113 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau 12 menyalurkan Narkotika Golongan I. Pasal 114 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I. Pasal 115 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I. Pasal 116 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain. Pasal 117 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II. Pasal 118 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II. Pasal 119 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II.

1220

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 143.

Hal | 9


10. Pasal 120 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II. 11. Pasal 121 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain. 12. Pasal 122 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III. 13. Pasal 123 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III. 14. Pasal 124 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III. 15. Pasal 125 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III. 16. Pasal 126 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain. 17. Pasal 129 setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. 18. Pasal 130

Hal | 10


Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111-126, dan 129 dilakukan oleh korporasi. 19. Pasal 131 Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111-129. 20. Pasal 132 Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111-126, dan Pasal 129. 21. Pasal 135 Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban. 22. Pasal 137 Setiap orang yang menempatkan, membayarkan atau membelanjakan yang berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika. 23. Pasal 144 Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana. 24. Pasal 147 pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. c. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Psikotropika21 1. Pasal 59 Barangsiapa mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan.13 2. Pasal 60 Barangsiapa memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan, memproduksi atau 1321

Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Lembaran Negara RI Tahun 1997 No. 10.

Hal | 11


mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan, memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen di bidang kesehatan. 3. Pasal 62 Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika. 4. Pasal 63 ayat (1) Barangsiapa tidak mencantumkan label. 5. Pasal 65 Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah. B. Persamaan dan perbedaan dari Pasal-Pasal yang ada di dalam KUHP maupun Perundang-undangan di luar KUHP tersebut baik dilihat dari subjek hukum, jenis tindak pidana, objek hukum, sanksi pidana, kejahatan dan pelanggaran. 1. Persamaan

Hal | 12


Tabel 1: Persamaan antara Pasal-Pasal KUHP dengan Perundang-undangan di luar KUHP PASAL-PASAL PARAMETER KUHP

UU KESEHATAN Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, Korporasi, setiap orang

UU NARKOTIKA Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, Korporasi, setiap orang

Menggunakan, memproduksi, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, menyalurkan, menyerahkan, menerima, melakukan pengangkutan, mengedarkan -

SUBJEK

Barangsiapa

TINDAK PIDANA

Menjual, menawarkan, menyerahkan, dijual, menggugurkan atau mematikan kandungan wanita (melakukan aborsi), tidak memberikan pertolongan

Melakukan aborsi, tidak memberikan pertolongan, memproduksi, mengedarkan

Menjual, menawarkan, Menggunakan, memproduksi, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, menyalurkan, menyerahkan, menerima, mengangkut, dijual

OBJEK

Kandungan wanita

Kandungan wanita

-

SANKSI PIDANA

Pidana mati, pidana penjara dan pidana denda

Pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan

KEJAHATAN PELANGGARAN

-

-

Pidana mati, pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan -

UU PSIKOTROPIKA

Barangsiapa, Korporasi

Pidana mati, pidana penjara dan pidana denda -

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa subjek dalam KUHP hanya sama dengan subjek dalam UU Psikotropika (barangsiapa), sedangkan UU Psikotropika subjeknya sama dengan UU Kesehatan dan UU Narkotika (korporasi) dan subjek dalam UU Kesehatan dan UU Narkotika semuanya sama. Tindak pidana dalam KUHP dan UU Kesehatan (melakukan aborsi dan tidak memberikan pertolongan), KUHP dan UU Narkotika (menjual, menawarkan, menyerahkan, dijual), KUHP dan UU Psikotropika (menyerahkan).UU Kesehatan dan UU Narkotika (memproduksi), UU Kesehatan dan UU Psikotropika (mengedarkan).UU Narkotika dan UU Psikotropika (menggunakan, memproduksi, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, menyalurkan, menyerahkan, menerima dan mengangkut). Hal | 13


Objek dalam KUHP hanya sama dengan UU Kesehatan (kandungan wanita). Untuk sanksi pidana baik dalam KUHP, UU Kesehatan, UU Narkotika dan UU Psikotropika semuanya memiliki ketentuan pidana penjara dan pidana denda sedangkan pidana mati hanya ada pada (KUHP, UU Narkotika dan UU Psikotropika) dan pidana tambahan hanya ada pada (UU Kesehatan dan UU Narkotika). Kejahatan dan pelanggaran tidak ada persamaan. 2. Perbedaan Tabel 2 : Perbedaan antara Pasal-Pasal KUHP dengan Perundangundangan di luar KUHP PARAM ETER

SUBJEK

TINDAK PIDANA

OBJEK

SANKSI PIDANA KEJAHA TAN PELANG GARAN

KUHP Wanita, dokter, bidan dan juru obat Membagibagikan, dibagibagikan, menempatkan, membiarkan, membuka rahasia, memberitahukan, merampas nyawa, pembunuhan dengan rencana, membantu melakukan kejahatan, kesalahan (kealpaan) Barang, keadaan seseorang, rahasia jabatan, perusahaan dagang, nyawa seseorang

PASAL-PASAL UU UU NARKOTIKA KESEHATAN Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan, pimpinan Tenaga industri farmasi dan kesehatan pimpinan pedagang besar farmasi

UU PSIKOTROPIKA

-

Tanpa izin melakukan praktik, tidak memiliki keahlian dan kewenangan

Menanam, memelihara, menyediakan, mengekspor, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, mengirim, mentransito, memberikan, menguasai

Pengemasan, tidak mencantumk an label, mengiklanka n, tidak melaporkan penyalahgun aan dan pemilikan

Pasien, praktik kefarmasian, sediaan farmasi, alat kesehatan dan teknologi

Narkotika dan prekursor narkotika

Psikotropika

Pidana kurungan

-

-

-

Bab II

-

Pasal 63

Pasal 68

Bab III

Pasal 186

-

-

Hal | 14


Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa subjek, tindak pidana, objek, sanksi pidana, kejahatan dan pelanggaran tidak ada yang sama, semuanya berbeda dan memiliki masing-masing kekhususan yang tidak sama satu sama lain misalnya sanksi pidana berupa pidana kurungan hanya ada pada KUHP. Pada sub menu parameter dimana kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP sudah jelas bahwa kejahatan diatur dalam Buku II dan pelanggaran Buku III. UU Kesehatan bukan UU Pidana namun bersanksi pidana dan masuk dalam kategori pelanggaran. Dimana disebutkan dalam Pasal 186 UU Kesehatan berbunyi : "Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran hukum di bidang kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan". Selain UU Kesehatan, UU Narkotika dan UU Psikotropika juga bukan UU Pidana namun bersanksi pidana dan masuk dalam kategori kejahatan. Dimana untuk Narkotika disebutkan dalam Pasal 63 UU Narkotika berbunyi : "pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional". Dalam penjelasan Pasal 63 UU Narkotika berbunyi : "ketentuan ini menegaskan bahwa kerja sama internasional meliputi juga kerja sama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan Narkotika transnasional yang terorganisasi". Lebih lanjut untuk Psikotropika disebutkan dalam Pasal 68 UU Psikotropika yang berbunyi : "tindak pidana di bidang Psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang ini adalah kejahatan". C. PENUTUP 1. Kesimpulan Pasal-Pasal yang mengatur tindak pidana yang dilakukan Apoteker di bidang Kefarmasian merupakan ketentuan atau aturan hukum pidana yang berlaku bagi Apoteker, salah satu kasus yang sering terjadi adalah dalam pendistribusian obat ke konsumen kesalahan kemungkinan dapat terjadi.Tindak pidana yang dilakukan sifatnya dapat aktif juga pasif.Aktif apabila tindak pidana tersebut ada niat dari Apoteker sedangkan pasif, tindak pidana itu merupakan murni kesalahan konsumen namun Apoteker tetap bertanggung jawab karena Apoteker merupakan profesi pelayanan kesehatan.Pasal-Pasal yang mengatur Hal | 15


tindak pidana tersebut selain KUHP juga perundang-undangan di luar KUHP (UU Kesehatan, UU Narkotika dan UU Psikotropika). Persamaan dan perbedaan antar Pasal-Pasal dalam KUHP dan Perundang-undangan di luar KUHP bertujuan untuk mengetahui dimana letak asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis.Pengertian Lex Specialis Derogat Lex Generalis artinya ketentuan khusus boleh mengesampingkan ketentuan umum asalkan ketentuan khusus tidak bertentangan dengan ketentuan umum.Ketentuan umum yakni KUHP dan ketentuan khusus yakni Perundang-undangan di luar KUHP. Diketahuinya mengenai asas ini apabila ada persamaan dalam ketentuan perundang-undangan di luar KUHP yang sama dengan KUHP maka dapat digunakan dua-duanya sedangkan apabila tidak ada maka digunakan salah satu saja. Persamaan dan perbedaan antar Pasal dalam KUHP dan Perundangundangan di luar KUHP dapat memudahkan penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim dalam menyelesaikan perkara/kasus Apoteker di bidang kefarmasian. 2. Saran Perlu adanya UU khusus Tentang Kefarmasian sehingga PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian yang isinya sebagian besar mengatur tentang Apotek dan Apoteker dapat menjalankan UU Kefarmasian tersebut sebagaimana mestinya dan PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian tidak lagi bergantung pada Undang-Undang Kesehatan karena untuk aturan mengenai Apotek sebagai objek hukum, Apoteker sebagai subjek hukum yang dimana kedua variabel ini (Apotek dan Apoteker) yang kedua bergerak di bidang kefarmasian dapat tertuju hanya pada UU tentang Kefarmasian sebagai aturan khusus mengenai Kefarmasian. Apabila UU khusus Tentang Kefarmasian sudah dibentuk, PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian yang menjalankan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dapat dicabut atau dibentuk Peraturan Pemerintah baru yang menjalankan UU khusus Tentang Kefarmasian digabung dengan PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian sehingga hanya ada 1 (satu) PP yang menjalankan UU tentang Kefarmasian. Dalam hal pembelian obat baik itu berdasarkan resep dokter maupun bukan resep dokter, belilah di Apotek yang ada Apotekernya minimal ada 1 (satu) Apoteker yang bertugas di Apotek tersebut, hindari pembelian obat di Apotek yang tidak ada Apoteker. Apotek wajib ada Apoteker. Dalam memilih Apoteker, pilihlah yang sudah dikenal oleh konsumen (sebagai pemakai obat) dan sudah berpengalaman Hal | 16


dengan cara melihat kinerja sehari-hari di Apotek tersebut atau bertanya dengan masyarakat sekitar dalam hal kualitas Apotek maupun Apoteker di tempat tersebut. Dalam hal pelayanan terhadap masyarakat, Apotek sebaiknya dibuka selama 24 jam dengan sistem pergantian karyawan dan Apoteker serta Apotek juga dibuka pada hari besar (peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, Hut Kemerdekaan RI) dan hari libur (Minggu). Apotek yang buka 24 jam, hari besar maupun hari libur karyawan dan Apoteker yang ada di Apotek tersebut dibuat sistem pergantian (shift) karyawan dan Apoteker guna menghindari kelelahan dalam bertugas, karena jika kelelahan kemungkinan dapat terjadi kesalahan dalam pendistribusian obat.

Hal | 17


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku A. Ridwan Halim, 1983, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta. Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Aryo Bogadenta, 2012, Manajemen Pengelolaan Apotek, D-Medika, Yogyakarta. Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2007, Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Unsri, Palembang. Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sudarsono, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. B. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

Hal | 18


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.