Ej pidana #1 andri kosasi

Page 1

Tindakan Penundaan Pelaksanaan Pidana Mati Sebagai Pemindaan Ganda Oleh: Andri Kosasi, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. H. Ruben Achmad, SH.,MH dan Hj. Nashriana, SH.,M.Hum


Tindakan Penundaan Pelaksanaan Pidana Mati Sebagai Pemindaan Ganda Oleh: Andri Kosasi, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. H. Ruben Achmad, SH.,MH dan Hj. Nashriana, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan hukuman mati sebagai hukuman yang dijalankan dengan membunuh orang yang bersalah. 1Umumnya eksekusi dilaksanakan dengan hukuman gantung atau tembak mati. Pidana mati merupakan pidana yang memiliki ciri khas, bersifat istimewa juga berbeda dengan jenis pidana pokok lainnya.Karena pidana mati sekali dilakukan, tidak mungkin dapat dibatalkan atau diperbaiki kembali, meskipun ternyata didapati kekeliruan, kesalahan atau ditemukan novum (bukti baru) dalam kasus tersebut. Dengan kata lain, sekali eksekusi pidana mati dijalankan, maka orang orang yang sudah kehilangan nyawa tersebut tidak mungkin dihidupkan lagi. 2 Di Indonesia, perdebatan konseptual seputar penggunaan pidana mati sebagai sarana penanggulangan kejahatan telah muncul sejak berkembangnya falsafah pembinaan dalam pemidanaan, namun perdebatan tentang pidana mati semakin gencar dengan meningkatnya isu global tentang hak asasi manusia. Ditinjau dari sejarah pemidanaan, hukuman mati lahir bersama dengan lahirnya manusia di muka bumi, dengan budaya hukum retalasi, hukuman yang berdasarkan teori pembalasan mutlak, penerapan hukuman mati bagaikan serigala memakan serigala.3bentuk hukuman mati telah dikenal di seluruh dunia meski sejak awal abad ke-20 banyak negara yang mulai menghapuskannya. Ada pula negara yang bergeming untuk tetap mempertahankan bentuk hukuman pidana mati.

1

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, 2008. Pusat Bahasa. J.E Sahetapy. 2007. Pidana Mati dalam Negara Pancasila.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 67. 3 Bambang Poernomo, Hukum Pidana Karangan Ilmiah (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 9. 2

Hal | 1


Sejarah pelaksanaan hukuman mati di Indonesia mempunyai landasan normatif yang kuat. 4 KUHP Indonesia, yaitu Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sejak 1 Januari 1918, KUHP tersebut memang warisan Belanda, negara yang telah menghapus pidana mati untuk kejahatan biasa sejak tahun 1870, kemudian menghapus pidana mati untuk seluruh kasus kejahatan pada tahun 1982. Berdasarkan catatan sejarah, pidana mati telah berlaku sejak berabadabad silam.Bahkan, pidana mati ditetapkan dalam sanksi pidana adat.Pidana mati di Indonesia, secara hukum, berlaku sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sanksi ini ditegaskan lagi dalam Peraturan Hukum Pidana UU No. 73 Tahun 1958 tentang berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mengubah Wetboek van StraftrechtNederlandsch Indie menjadi Wetboek van Straftrecht yang saat ini dikenal dengan sebutan KUHP.5 Pidana mati merupakan pidana puncak dari seluruh sanksi pidana.Jenis pidana ini mengakhiri kehidupan seseorang secara hierarkis dan substantif.KUHP Pasal 10 menempatkan pidana mati pada urutan teratas yang secara langsung mengindikasikan bahwa hukuman mati merupakan pidana terberat di antara sekian banyak pidana pokok di dunia, tidak terkecuali dalam sistem hukum pidana di Indonesia.Hukuman mati hanya dapat dilaksanakan apabila segala upaya banding dari terdakwa, penasihat hukum, atau ahli warisnya telah selesai, dan biasanya diakhiri dengan dikeluarkannya grasi. Pembahasan mengenai pidana mati akan selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra pidana mati selalu berkembang di tengah-tengah masyarakat, baik di tingkat internasional maupun nasional.Wacana pro dan kontra pidana mati sebenarnya sudah cukup lama yang pasang surutnya seirama dengan perkembangan hukum di Indonesia.Isu pidana mati kemudian menghangat lagi ketika Presiden Megawati Soekarno Putri menolak grasi enam

4

Dasar hukum tertuang dalam Pasal 10 (a) KUHP. Pembagian Pidana: Pidana Pokok, 1. Pidana Mati. 2. Pidana Penjara. 3. Pidana Kurungan. 4. Pidana Denda. 5. Pidana Tutupan., Dan Pidana Tambahan. 1. Pencabutan Hak-hak tertentu.2. Perampasan Barang-barang Tertentu. 3. Pengumuman Putusan Hakim. Pasal 11 KUHP jo UU No. 2/PNPS/1964, dan Pasal-pasal KUHP yang mengatur kejahatan terhadap keamanan negara dan pembunuhan berencana (Pasal 340) serta perundang-undangan pidana di luar KUHP mengenai UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Terorisme, Narkotik. 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1946. Tentang Pernyataan Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia.Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958.No. 127. Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660.

Hal | 2


terpidana mati. 6 dengan mengeluarkan empat Keputusan Presiden, yaitu Keputusan Presiden Nomor 20/G, Nomor 21/G, Nomor 22/G, dan Nomor 24/G Tahun 2003.7 Perdebatan seputar pro dan kontra pidana mati kembali menghangat setelah pemerintah melakukan eksekusi terhadap Fabianius Tibo dan kawankawan. 8 Perdebatan mengenai konstitusionalitas pidana mati kembali mengemuka ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana mati tidak bertentangan dengan konstitusi.9 Beberapa kasus pembunuhan yang grasinya ditolak Presiden ditemukan di lapas-lapas di Surabaya dan Malang. Para terdakwanya antara lain sumiarsih, Djais Adi Prayitno, dan Sugeng. Ketiga pelaku telah dieksekusi mati Juli 2008.Sumiarsih mempertanyakan mengapa eksekusi harus tertunda sekitar 20 tahun.“Mengapa pelaksanaan eksekusi sampai terlalu lama?Bukankah saya sudah berbuat baik selama di Lapas ini?” keluhnya.10 Sebuah fakta hukum yang cukup menarik untuk dikaji, dari apa yang dialami oleh terpidana mati, Sumiarsih, ketika dia harus menunggu dalam kurun waktu sekitar 20 tahun dari saat putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap yang menyatakan bahwa dirinya divonis mati oleh majelis hakim sampai waktunya tiba untuk pelaksanaan vonis tersebut atau eksekusi. Terjadinya masa “menunggu” dilaksanakannya pidana mati atas diri Sumiarsih tersebut berseberangan dengan apa yang diutarakan oleh Mahkamah Konstitusi yang menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan sebagaimana

6

Enam terpidana mati yang permohonan grasinya ditolak oleh Presiden Megawati Soekarno Putri Adalah : Suryadi Swabuana, Sumiarsih, Djais Andi Prayitno, Jurit Bin Abdullah, Sugeng, dan Ayodhiya Prasad Chaubey. http://arsip.gatra.com//2003-0206/artikel.php?id=25103, ,“Presiden Tolak Grasi Enam Terpidana Mati”diakses 20 Desember 2012. 7 Ratih Lestarini, Efektifitas Hukuman Mati, Jurnal Legislasi Indonesia Vol 4 No 4 Desember 2007, hlm 45. 8 Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus Dasilva adalah terpidana mati kasus kerusuhan Poso, Sulawesi Tenggara tahun 2000 yang dieksekusi mati pada tanggal 21 September 2006. http://www.kontras.org/hmati/index.php?hal=pers&id=403 , “Jatuhnya hukuman mati Tibo, Da Silva dan Riwu, Pengabaian Pemerintah terhadap hak-hak keluarga, dan reaksi paska Hukuman Mati”diakses pada 20 Desember 2012. 9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian (judicial review) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika khususnya tentang ketentuan pidana mati terhadap Undang-undang Dasar 1945. hlm 430. 10 Arba’i, Yon Artiono, Aku Menolak Hukuman Mati, Telaah Atas Penerapan Pidana Mati. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2012. hlm 131.

Hal | 3


mestinya 11 . Waktu selama dua puluh tahun itu, tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa itu waktu yang sangat lama untuk dihabiskan di dalam penjara, dua puluh tahun adalah masa hukuman terberat untuk pidana penjara, tidak ada terpidana penjara yang mendekam selama dua puluh tahun. Tapi apa yang terjadi dengan Sumiarsih adalah sebuah kenyataan yang ada, masih banyak terpidana mati yang bernasib sama dengan Sumiarsih, yang harus menunggu dalam waktu yang tidak pasti, mengapa disebut tidak pasti, karena belum ada peraturan perundangundangan yang mengatur secara rinci “masa tunggu” maksimal setelah putusan pidana mati yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dijatuhkan, atau setelah upaya hukum terakhir yang diajukan oleh terpidana tersebut dilakukan. Hal ini dapat dikatakan tidak selaras dengan asas keadilan dan kepastian hukum, yang menghendaki bahwa hukum itu harus pasti dan terperinci, tidak berisi keragu-raguan dan ketidakjelasan yang dapat menurunkan supremasi hukum dimata khalayak ramai yang selalu membahas pro dan kontra pelaksanaan pidana mati, dalam hal ini terpidana mati seolah-olah menerima pemidanaan ganda.12 Dalam kejadian tertentu, bahwa pidana pada hakikatnya adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok yaitu perlindungan masyarakat dan di sisi lain perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana. Dari dua sasaran pokok tersebut, maka syarat pemidanaan menurut konsep juga bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistis antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu; antara faktor objektif dan faktor subjektif. Oleh karena itu syarat pemidanaan juga bertolak dari dua pilar yang sangat fundamental di dalam hukum pidana, yaitu “asas legalitas” (yang merupakan “asas kemasyarakatan”) dan “asas kesalahan/asas culpabilitas” (yang merupakan “asas kemanusiaan”). Dengan kata lain, pokok pemikiran mengenai tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seperti telah dikemukakan diatas. Jika dilihat dari pokok pemikiran yang lebih menitikberatkan pada perlindungan kepentingan masyarakat, maka wajar konsep pemidanaan masih tetap

11

. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian (judicial review) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika khususnya tentang ketentuan pidana mati terhadap Undang-undang Dasar 1945. hlm 430. 12 http://www.kontras.org/data/hukuman%20mati.pdf“Praktek Hukuman Mati di Indonesia” diakses 21 November 2012.

Hal | 4


mempertahankan jenis-jenis sanksi pidana yang berat, yaitu pidana mati dan pidana seumur hidup.13 Pemidanaan ganda, pada dasarnya yang dimaksud dengan kata “ganda� yaitu berarti berulang, atau bertambah dua kali lipat.Secara yuridis tidak ada atau belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemidanaan ganda, patut diketahui bahwa pemidaan ganda berbeda dengan pemidanaan dengan pemberatan 14 . Pemidanaan ganda dapat diartikan dengan kalimat, pemidanaan yang mana seorang terpidana menerima hukuman dengan dua sanksi pidana sekaligus dalam satu waktu. 2. Rumusan Masalah. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka telah dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Mengapa terjadi penundaan yang tidak memiliki batasan waktu yang pasti, setelah putusan pidana mati yang dijatuhkan oleh majelis hakim, sampai ke upaya hukum terakhir yang diajukan terpidana, hingga dilaksanakannya eksekusi pidana mati? 2. Apakah sanksi pidana mati masih menjadikan tujuan pemidanaan tercapai? B. PEMBAHASAN 1. Perkembangan Pidana Mati di Indonesia Pidana mati (doodstraf) adalah pidana yang merampas suatu kepentingan umum, yaitu jiwa atau nyawa manusia.Dalam sejarahnya, keberadaan pidana mati menimbulkan pro dan kontra.Bagi yang pro, pidana mati adalah merupakan sarana ultimum remedium (pilihan terakhir).Sedangkan bagi golongan yang kontra terhadap pidana mati selalu menggunakan hak untuk hidup sebagai alasan untuk menolak pelaksanaan pidana mati tersebut.15 2. Perkembangan Teoritis Tentang Tujuan Pemidanaan Salah satu tujuan dari pada sistem pemidanaan di Indonesia adalah memasyarakatkan kembali terpidana (resosialisasi).Dalam arti bahwa setelah 13

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana-Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana 2011. Hlm 94. 14 Hal-hal yang memberatkan pemidanaan dibedakan 3 macam, yaitu: 1. Kedudukan sebagai pejabat (Pasal 52 KUHP);. 2. Pengulangan tindak pidana (Residive); dan 3. Perbarengan (Samenloop). Nashriana, 2009, Hukum Penitersier, Diktat Kuliah, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. 15 Ibid.

Hal | 5


menjalani pidananya, maka seseorang dapat hidup bersama-sama dalam masyarakat dan memiliki kemampuan untuk melanjutkan kehidupan secara produktif.16Teori tentang tujuan pidana memang semakin hari semakin menuju ke arah sistem yang lebih manusiawi dan lebih rasional, sehingga perjalanan sistem pidana menunjukkan bahwa retribution(revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendir maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan.17 Pada dasarnya, terdapat pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan penjatuhan suatu pidana, yaitu: 18 a. pembalasan (revenge); b. penghapusan dosa (expiation); c. menjerakan (deterrent); d. perlindungan terhadap umum (protection of the public); dan e. memperbaiki si penjahat (rehabilitation of the criminal). 3. Perkembangan Tujuan Pemidanaan dalam Konsep Rancangan KUHP Nasional. Dalam Pasal 54 Buku I Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Nasional Draft Februari 2008, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, 19 yaitu: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

16

Niniek Suparni. 2007. Eksistensi Pidana Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan.Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 87. 17 Andi Hamzah. Op .Cit. Hlm 29. 18 Andi Hamzah dan Sumangelipu.1984. Pidana Mati di Indonesia Dimasa Lalu, Kini dan Dimasa Depan.Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm 15-16. 19 Lilik Mulyadi. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi.Jakarta: Djambatan. Cetakan KE-2.Hlm. 18.

Hal | 6


4. Faktor-faktor yang menyebabkan tertundanya pelaksanaan pidana mati Yaitu upaya-upaya hukum yang diajukan oleh terpidana mati untuk mendapatkan keadilan, mengubah putusan, ataupun memohon keringanan hukuman, yang terdiri dari, yaitu upaya hukum biasa yang terdiri dari upaya hukum tingkat banding, dan upaya hukum kasasi.Kemudian upaya hukum luar biasa ada dua yakni kasasi demi hukum, dan peninjauan kembali. Upaya-upaya hukum tersebut, bagi seorang terpidana mati, apabila terus diajukan secara bertahap, dari tingkat banding, sampai upaya hukum luar biasa, dapat dipastikan akan memakan waktu yang cukup panjang dan juga tidak dapat dipastikan berapa lama, sementara itu si terpidana itu sendiri akan tetap menjalani masa tahanannya dibalik jeruji besi, selama apapun proses hukum yang masih berlangsung maka terpidana itu akan ditahan. Dari sinilah yang menjadi titik awal penulis untuk mengangkat tema penundaan mati sebagai pemidanaan ganda, karena terjadi sebuah keadaan yang menimbulkan dilema hukum, karena hukum positif Indonesia tidak mengenal istilah pidana ganda, sementara itu nasib terpidana sendiri lebih banyak tidak jelas, karena mereka hanya diberikan harapan-harapan semu dengan mengajukan banyak upaya hukum, namun belum tentu bisa bebas atau bisa berubah lebih ringan, sedangkan hal tersebut banyak menguras moriil dan materiil si terpidana. Lalu apakah dalam keadaan lain, seorang terpidana yang divonis pidana mati akan tetapi tidak mengajukan upaya hukum apapun, alias menerima putusan, akan lebih cepat dieksekusi, jawabannya tidak juga. Sebagaimana penulis paparkan dalam bab satu, rata-rata terpidana mati selalu menjalani masa tahanan yang lebih dari dua tahun, meskipun dia menerima putusan pidana mati tersebut. Salah satu contoh kasus yang ada di Palembang adalah terpidana mati kasus pembunuhan berencana, yang dilakukan oleh Suryadi Swabhuana, Als Adi, Als Kumis, Als. Dodi Bin Soekarno. 20 Suryadi ditahan sejak bulan Juli tahun 1991, merupakan terpidana mati yang mengajukan semua upaya hukum, baik upaya hukum biasa hingga upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali dan Grasi. Secara keseluruhan Suryadi telah menjalani masa tahanan kurang lebih selama 22 tahun. Apakah hal seperti itu bukan pemidanaan ganda, menurut penjelasan dari Kepala Seksi Pidana umum, Kejaksaan Negeri Palembang. Ursula Dewi. 21 20

Wawancara dengan Ursula Dewi, Kepala Seksi Pidana Umum.Kejaksaan Negeri Palembang, Tgl 5 April 2013. 21 Ibid.

Hal | 7


“Sama dengan pemidanaan ganda, tetapi pemidanaan penjara itu (menjalani tahanan setelah divonis pidana mati) bukan untuk pemberian nestapa. Namun dengan maksud untuk memberikan kesempatan bagi terpidana mati untuk mempergunakan hakhaknya menempuh upaya hukum, yang mungkin dapat memperbaiki pemidanaan mati yang ditimpakan kepadanya� Preseden seperti inilah yang banyak menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, namun penulis berkesimpulan hal seperti itu terjadi tak lebih dari bentuk kehati-hatian hukum dalam menentukan putusannya untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan dimasa mendatang dari aparat penegak hukum itu sendiri. Faktor berikutnya yang menimbulkan permasalahan mengapa terjadi penundaan yang tidak memiliki batasan waktu yang pasti, setelah putusan pidana mati yang dijatuhkan oleh majelis hakim, sampai ke upaya hukum terakhir yang diajukan terpidana, hingga dilaksanakannya eksekusi pidana mati adalah, Grasi. - Grasi Grasi tidak disebutkan sebagai upaya hukum dan tidak juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Grasi diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010, merupakan perubahan atas Undangundang No. 22 Th 2002, tentang Grasi. Pengertian Grasi menurut J.C.T Simorangkir yaitu wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim.untuk menghapuskan seluruhnya. sebagian atau merobah sifat atau bentuk hukuman itu. 22 Grasi bukanlah bagian dari upaya hukum biasa ataupun luar biasa, grasi merupakan hak Prerogratif seorang presiden.Sebagaimana dipendapatkan oleh R. Soesilo.23 “Pemberian grasi merupakan salah satu dari wewenang prerogratif Kepala Negara untuk membatalkan untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana yang telah dijatuhkan atau untuk merubah pidana itu menjadi pidana yang lebih ringan sifatnya (lebih berat tidak dimungkinkan.� 22

J.C.T Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Hlm 58. R. Soesilo, Hukum Acara Pidana, Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Bagi Penegak Hukum. Cetakan Pertama. Bandung: PT. Karya Nusantara, 1982. Hlm 137. 23

Hal | 8


Bagi seorang terpidana mati, grasi akan sangat menentukan bagaimana nasibnya, karena grasi bisa merubah putusan hukum dari pidana mati hanya menjadi pidana penjara seumur hidup. Setidaknya akan memberikan kejelasan nasib terpidana yang belum ingin mati. Meskipun artinya terpidana harus memohon ampun dan mengakui akan kesalahan dari perbuatannya. Undang-undang tentang grasi tidak mengatur tentang berapa lama jangka waktu minimal ataupun maksimal yang diajukan oleh terpidana mati, selama itu pula terpidana tersebut tetap berada dalam tahanan. Namun eksekusi tetap ditunda sampai Presiden memutuskan seperti apa hukuman yang diterima oleh terpidana. Apakah menolak pengajuan grasi atau menerima grasi dan merubah hukumannya menjadi lebih ringan dari pidana mati hanya menjadi pidana seumur hidup, karena untuk menjadi lebih berat tidak dimungkinkan oleh undang-undang. 5. Pro Kontra Pidana Mati dalam Upaya Tercapainya Tujuan Pemidanaan Penghapusan hukuman mati di Belanda tidak diikuti Indonesia karena beberapa pertimbangan, sebagaimana menurut Satochid Kartanegara: 1. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Pada masa colonial, dengan adanya penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, sangat mudah menimbulkan berbagai pertentangan-pertentangan dan akibatnya, hukuman mati dipertimbangkan perlu dipertahankan 2. Indonesia terdiri dari sejumlah besar pulau dan pada waktu itu aparatur pemerintah kolonilal kurang sempurna, disamping sarana perhubungan antar pulau yang juga tidak sempurna. Dan, 3. Terlepas dari alasan yang berhubungan dengan geografis, beberapa ahli berpendapat bahwa daerah colonial memerlukan kekuasaan yang mutlak untuk menjaga ketertiban umum, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. 24

24

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Dua, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun, Hlm. 341.

Hal | 9


Pendapat tersebut mengacu terhadap situasi dan kondisi pada masa itu, pada masa lalu saat Indonesia belum ada, dan masih terjajah. Namun saat ini situasinya sudah berbeda, Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat, serta berhak untuk menentukan kemana arah hukum akan berjalan, apakah akan berjalan maju, diam ditempat dengan setia mengikuti warisan kolonial, atau melangkah mundur. Meskipun perlahan, sebuah langkah maju dapat dirasakan dari gigihnya para pembuat undang-undang menggodok konsep Rancangan KUHP Baru. Namun sayangnya, pidana mati masih akan tetap diberlakukan hal ini dapat dilihat dari draft Rancangan KUHP terbaru yaitu draft tahun 2009. Penulis mengutip dari buku yang ditulis oleh Prof. Barda Nawawi Arief, sebagai berikut: Jenis dan sanksi yang digunakan dalam Konsep KUHP, terdiri dari jenis “pidana” dan “tindakan”. Masing-masing jenis sanksi terdiri dari: a. PIDANA: a.1 Pidana Pokok: 1. pidana penjara; 2. pidana tutupan; 3. pidana pengawasan; 4. pidana denda; 5. pidana kerja Sosial. a.2 Pidana Tambahan: 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu dan tagihan; 3. pengumuman putusan hakim; 4. pembayaran ganti kerugian; 5. pemenuhan kewajiban yang ada. a.3 Pidana Khusus: pidana mati. b. TINDAKAN: b.1 Untuk orang yang tidak atau kurang mampu bertanggungjawab (“tindakan” dijatuhkan tanpa pidana): 1. perawatan di rumah sakit jiwa; 2. penyerahan kepada pemerintah; 3. penyerahan kepada seseorang. Hal | 10


b.2 Untuk orang pada umumnya yang mampu bertanggungjawab (dijatuhkan bersama-sama dengan pidana): 1. pencabutan surat izin mengemudi; 2. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; 3. perbaikan akibat-akibat tindak pidana; 4. latihan kerja; 5. rehabilitasi; 6. perawatan dalam suatu lembaga. 25 Dari jenis-jenis sanksi pidana dalam wacana R-KUHP Baru, pidana mati masih tetap sebagai sanksi pidana khusus, hal itu berbeda dengan KUHP saat ini, yang mana pidana mati adalah sebagai pidana pokok. Namun nampaknya R-KUHP Baru secara normatif tidak mengakomodir pola-pola seperti “Pemidanaan Ganda� sebagai mana yang selama ini terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia, meskipun dimungkinkan adanya penambahan pemidanaan dengan sanksi pidana tambahan, hal itu hanya terbatas sanksi pidana pokok ditambah sanksi pidana tambahan (pidana penjara ditambah pidana pencabutan hak-hak tertentu), bukan pada pidana pokok ditambah sanksi pidana khusus (pidana mati). Hubungannya sebuah kasus pemidanaan ganda, memiliki potensi untuk terjadi sebuah polemik yang membenturkan antara supremasi hukum dan hak hukum terdakwa atau hak asasi manusia si terdakwa. Disudut supremasi hukum, hukum akan bertindak sebagai panglima yang tidak pandang bulu dalam penegakannya dengan azas cepat, murah dan efektif. Namun dalam sudut pemenuhan hak hukum terdakwa, akan berseberangan dengan azas cepat, murah dan efektif. Karena hak hukum yang diajukan terdakwa dalam prakteknya akan berjalan lama dan berlarut-larut. Organisasi Kemasyarakatan penggiat kemanusian seperti KONTRAS, bahkan dengan tegas menganggap pidana mati tidak lagi relevan saat ini dan menolak tetap diberlakukannya pidana mati dimasa mendatang sesegera mungkin. Adapun yang menjadi alasan-alasan KONTRAS adalah sebagai berikut. 1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial. dan 25

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Jakarta: Kencana, 2011. Hlm. 153.

Hal | 11


aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati pada Sengkon dan Karta pada tahun 1980 lalu di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita.Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisasalah. 2. hukuman mati dapat dianggap telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati (capital punishment) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba.Terorisme.ataupun kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktural lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. 3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias tidak jelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius atau luar biasa. Para koruptor, dan pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati.Padahal janji Presiden SBY hukuman mati diprioritaskan buat kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran berat HAM. Tentulah kita tidak harus menelan mentah-mentah alasan-alasan tersebut, jangan pula langsung mengangguk-mengiyakannya, tetapi kita harus lebih membuka mata dan cermat dalam menyikapinya, bahwa dibelahan dunia lain, orang-orang mulai menyadari bahwa manusia tidaklah berhak untuk mengambil kehidupan manusia lainnya, meskipun dia melakukan perbuatan hukum yang berat sekalipun.Demikian kira-kira pemikiran negara-negara yang menghapuskan pidana mati dalam kodifikasi hukumnya. Dari fakta dan alasan-alasan penolakan pidana mati diatas, itu adalah tanda bagi kita bahwa sudah saatnya juga Indonesia mulai mengkaji secara serius penghapusan, pengurangan atau moratorium sekalipun dalam penggunaan pidana mati. Salah satu sisi positif dari penghapusan atau pengurangan atau moratorium pidana mati adalah, meningkatkan daya tawar Indonesia di mata Hal | 12


internasional dalam praktek hukum pidana mati antar lintas negara, terkhusus yang melibatkan Warga Negara Indonesia. Sebagai konklusi dari permasalahan dan pertanyaan apakah pidana mati masih menjadikan tujuan pemidanaan tercapai. Maka penulis menyampaikan sebuah opini bahwa secara substansif masih cukup relevan, akan tetapi sudah waktunya perlu dilakukan kajian serius untuk menyelaraskan tujuan pemidanaan dan pidana mati dalam prakteknya yang berkembang dimasa modern seperti sekarang ini. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Tidak ada batasan waktu tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang bagi seorang terpidana mati menjalani masa tahanan setelah mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.Hal demikian itu sangat merugikan bagi terpidana dan meragukan bagi supremasi hukum.Karena berapapun lamanya seorang terpidana menjalani masa tahanan dalam upayanya menegakkan hukum, baik penahanan dengan maksud pemberian nestapa ataupun tidak, pemidanaan ganda tetaplah sebuah preseden hukum yang tidak diatur dengan jelas dalam perundang-undangan di Indonesia. Maka sudah seharusnya ada perubahan dalam pengemasan pidana mati di Indonesia saat ini karena berdasarkan faktanya selama ini pelaksanaan pidana mati dapat dianggap telah gagal menunjukkan fungsinya untuk menimbulkan efek jera dan tujuan pencegahan umum bagi pelaku lainnya dibanding hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup, tetap meningkatnya kejahatan terorisme, narkoba dan kriminalitas lainnya cukup membuktikan pidana mati bukanlah sesuatu yang ditakuti oleh pelaku kejahatan, permasalahan utamanya terletak pada hal struktural seperti kemiskinan atau penegakan peradilan yang korup. Di sisi lain praktek hukuman mati di Indonesia yang kita saksikan sekarang ini masih bias dan diskriminasi, pidana mati lebih terkesan hanya diperuntukkan kepada pelaku tindak pidana yang miskin, tidak pernah menjangkau pelaku besar yang mencakup kelompok elit yang kategori kejahatannya adalah kejahatan luar biasa. 2. Saran Perlu dilakukan pengkajian serius dalam kebijakan penggunaan sanksi pidana mati, hal itu bisa dimulai dengan moratorium pidana mati, atau menghapuskan pidana mati untuk kejahatan biasa Sebelum Indonesia menjadi Hal | 13


negara yang paling lambat menghapus pidana mati seperti mayoritas negaranegara di dunia. Sehingga kedepannya dapat dibuatkan peraturan-perundangundangan dalam pengaturan jangka waktu terpidana mati ditahan, misalkan jika dalam waktu 20 tahun atau jangka waktu tertentu lainnya, tergantung pertimbangannya.belum juga mendapat kejelasan kemungkinan eksekusi bagi terpidana mati, bisa dipertimbangkan kemungkinan untuk bebas demi hukum, atau diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Upaya-upaya hukum yang diajukan oleh terpidana mati haruslah sesuai asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Jangan seperti selama ini mahal, lambat, berlarut-larut dan tidak jelas, cenderung memancing terdakwa untuk menghabiskan segala daya upaya baik moriil dan materiil akan tetapi tidak mengubah apapun dari nasib terpidana mati. Hal demikian itu cenderung lebih menguntungkan bagi terpidana yang memiliki kekayaan besar atau memiliki pengaruh dengan pejabat pemerintahan.

Hal | 14


DAFTAR PUSTAKA BUKU Arba’i, Yon Artiono. 2012. Aku Menolak Hukuman Mati, Telaah Atas Penerapan Pidana Mati. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia. Andi Hamzah dan Sumangelipu.1984. Pidana Mati di Indonesia Dimasa Lalu, Kini dan Dimasa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Barda Nawawi Arief. 2011. Bunga Rampai, Kebijakan Hukum PidanaPerkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana. Bambang Poernomo, Hukum Pidana Karangan Ilmiah (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 9. J.C.T Simorangkir. 2004. Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. J.E Sahetapy. 2007. Pidana Mati dalam Negara Pancasila.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Lilik Mulyadi. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi.Jakarta: Djambatan. Niniek Suparni. 2007. Eksistensi Pidana Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. R. Soesilo, Hukum Acara Pidana, Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Bagi Penegak Hukum. Cetakan Pertama. Bandung: PT. Karya Nusantara, 1982. Hlm 137. Ratih Lestarini, Efektifitas Hukuman Mati, Jurnal Legislasi Indonesia Vol 4 No 4 Desember 2007, hlm 45. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Dua, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun. SUMBER PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010, Perubahan atas Undang-undang No. 22 Th 2002, tentang Grasi. SUMBER INTERNET DAN LAINNYA http://arsip.gatra.com//2003-02-06/artikel.php?id=25103, ,“Presiden Tolak Grasi Enam Terpidana Mati”diakses 20 Desember 2012. http://www.kontras.org/hmati/index.php?hal=pers&id=403 , “Jatuhnya hukuman mati Tibo, Da Silva dan Riwu, Pengabaian Pemerintah terhadap hak-hak keluarga, dan reaksi paska Hukuman Mati”diakses pada 20 Desember 2012. http://www.kontras.org/data/hukuman%20mati.pdf“Praktek Hukuman Mati di Indonesia” diakses 21 November 2012. Hal | 15


Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, 2008. Pusat Bahasa. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian (judicial review) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika khususnya tentang ketentuan pidana mati terhadap Undangundang Dasar 1945.

Hal | 16


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.