Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Perempuan Menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Oleh: Randy Aditya, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Wahyu Ernaningsih, S.H., M.Hum dan Dr. H. Ruben Achmad, SH.,MH
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Perempuan Menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Oleh: Randy Aditya, SH Lulus Tanggal 19 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Wahyu Ernaningsih, S.H., M.Hum dan Dr. H. Ruben Achmad, SH.,MH
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kewajiban negara ialah melindungi dan menghormati hak asasi setiap manusia, baik laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak semua sama saja. Perempuan adalah ibu bangsa dan merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran agama perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta jaminan hak hidupnya. Untuk itu segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan, harus segera dihentikan. Di dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang yang dengan teganya telah memerlakukan perempuan untuk kepentingan bisnis, seperti trafiking (perdagangan manusia). Istilah trafiking ini sebagai kata serapan, dari kata yang diambil dari bahasa inggris “Trafficking� yang berarti perpindahan. Trafiking terhadap perempuan merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban diperlakukan seperti layaknya barang yang dapat dibeli, dijual kembali, dipindah-pindahkan, serta dirampas hak asasinya bahkan sampai pada resiko kematian bagi korbannya. Gejala ini berkembang dan berubah namun tetap perbudakan dan perhambaan. Selama ini trafiking hanya dianggap terbatas pada bentuk prostitusi saja, akan tetapi didalam rtrafiking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran, serta bekerja pada tempat-tempat kasar yang memberi gaji yang rendah seperti perkebunan, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, tenaga penghibur, termasukkawin kontrak dengan warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Korban women trafiking (perdagangan perempuan) biasanya adalah perempuan berusia muda dan belum menikah, anak perempuan korban perceraian, serta mereka yang pernah bekerja dipusat kota atau luar negeri. Hal | 1
Umumnya sebagian penghasilannya diberikan kepada keluarga. Korban trafiking seringkali berasal dari masyarakat yang diharapkan dapat menambah penghasilan keluarga dikarenakan meskipun norma-norma budaya menekan bahwa tempat perempuan adalah dirumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan atau pelengkap untuk kebutuhan keluarga. 2. Permasalahan Adapun yang menjadi permasalahannya dalam penulisan skripsi ini, adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Perempuan Menurut UU No. 21 Tahun 2007 Di Kota Palembang? 2. Mengapa Pentingnya Perlindungan Hukum Bagi Para Korban Perdangangan Perempuan ? B. PEMBAHASAN Pengertian perlindungan hukum dalam pembahasan ini adalah suatu tindakan memberi pertolongan kepada seseorang yang menjadi korban perdagangan perempuan dengan menggunakan dan merealisasikan peraturan yang tertulis maupun tidak tertulis guna mewujudkan suatu ketentraman dan ketertiban yang dapat mengatur hidup dalam masyarakat. Di Indonesia korban-korban trafiking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran, serta bekerja pada tempattempat kasar yang memberi gaji yang rendah seperti perkebunan, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, tenaga penghibur, termasuk kawin kontrak dengan warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Beberapa kasus tersebar di beberapa pelosok nusantara, tak terlepas pada Wilayah Sumatera Selatan khususnya Kota Palembang. Pemerintah telah melakukan perumusan Perundang-undangan mengenai perlindungan hukum terhadap korban secara umum, tidak dikhususkan kepada korban perdagangan perempuan. Akan tetapi Undang-Undang tersebut dapat dipakai sebagai acuan untuk perlindungan terhadap korban tindak pidana. Didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah dijelaskan tentang definisi korban dan juga definisi perlindungan hukum serta telah dibentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Hal | 2
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak kepada Saksi dan / atau Korban sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan hukum ini berdasarkan pada : Penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. Didalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat hak-hak korban, yaitu :1 a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penterjemah; e. Bebas dari pernyataan yang menjerat; f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. Mendapat identas baru; j. Mendapat tempat kediaman baru; k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapat nasehat hukum; dan / atau m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga mengatur mengenai masalah ganti rugi, akan seseorang / kelompok yang merasakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu yang menyebabkan korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diatas. Alasan-alasan utama ganti kerugian kepada pihak korban oleh negara antara lain adalah sebagai berikut :2 1
Asa Mandiri, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Penerbit AM Asa Mandiri, Jakarta, 2008, hlm. 27-28 2
Arief Gosita, Op.Cit, hlm. 90
Hal | 3
1. 2. 3. 4.
Kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya; Tidak cukupnya ganti kerugian untuk para korban; Ketidaklayakannya pembagian penghasilan; Pandangan sosiologis bahwa kejahatan adalah kesalahan masyarakat pada umumnya. Membaca tentang pembayaran ganti rugi bagi korban, ada 2 (dua) bentuk yaitu kompensasi dan restitusi. Menurut Stephen Schafer yang dikutip oleh Mase Darma Weda mengatakan bahwa kompensasi adalah pembayaran oleh negara kepada korban yang telah mengalami penderitaan, sedangkan restitusi adalah pembayaran yang dilakukan oleh pelaku kepada korban berdasarkan putusan peradilan pidana. 3 Dengan adanya perbedaan ini, jelas bahwa kompensasi hanya bisa dimintakan pada negara sedangkan restitusi dimintakan pada pelaku. Selain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diperjelaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga mengatur mengenai masalah ganti rugi. Didalam bab V Undang-Undagan Perlindungan Saksi dan Korban pasal 48 berbunyi : “Setiap korban tindak pidana perdagangan manusia atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi�. Rerstitusi yang dimaksudkan berupa ganti kerugian atas : 1. Kehilangan kekayaan atau penghasilan; 2. Penderitaan; 3. Biaya untuk perawatan medis dan / atau psikologis; dan / atau 4. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan manusia. Di dalam pasal 51 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dimana korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan manusia khususnya perempuan. Perlindungan hukum bagi korban yang ada diluar negeri maupun korban warga negara asing yang berada di Indonesia mendapatkan
3
Mase Darma Weda, Kriminolog, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 129
Hal | 4
perlindungan hukum dan wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban serta memulangkan ke negara asalnya, yang tercantum dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu : (1) Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan manusia, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya Negara. (2) Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia. (3) Pemberian perlindungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, hukum internasional, atau kebijakan internasional. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan diperjelas lagi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, telah banyak membantu banyak pihak untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan dan memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdangan manusia dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku dan hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan manusia.4 Jika dihubungkan dengan efektifitas dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap beberapa aspek dalam masyarakat, maka efektifitas tersebut akan dapat diuraikan, antara lain sebagai berikut:  Dari Segi Hukum
4
Hasil Wawancara dengan Bapak Djoko Julianto, S.Ik, MH, Kasat Reskrim Kepolisian Resort Kota Palembang, tanggal 27 September 2012
Hal | 5
Lawrence M. Friedman pernah mengatakan bahwa, efektifitas dari implementasi dari suatu produk hukum ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: pertama; faktor substansi atau materi dari undang-undangnya sendiri, dalam hal ini Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, kedua; faktor aparatur penegak hukum yang terkait, seperti Women Crisis Center (WCC) Palembang, polisi, jaksa dan hakim, dan ketiga adalah faktor budaya hukum yang ada di masyarakat.5 Istilah kejahatan ekonomi (economic crime) oleh American Bar Assosiation 6 dirumuskan sebagai kegiatan yang tidak sah, tanpa menggunakan kekerasan (non-violent) yang terutama menyangkut, penipuan, penyesatan, penyembunyian informasi, penggelapan dan manipulasi. Dalam perkembangan lebih lanjut dari peristilahan diatas, UNAFEI seminar in the prevention and control of social and economic offensespada Tahun 1978. Disini muncul istilah kejahatan sosio-ekonomi (socio-economic offenses), yang mengandung tujuan untuk lebih menekan dampak sosialnya dan menonjolkan suatu hakikat bahwa jenis kejahatan inisecara umum sangat merugikan atau melanggar kepentingan negara dan masyarakat.  Dari Segi Ekonomi Istilah kejahatan ekonomi (economic crime) oleh American Bar Assosiation 7 dirumuskan sebagai kegiatan yang tidak sah, tanpa menggunakan kekerasan (non-violent) yang terutama menyangkut, penipuan, penyesatan, penyembunyian informasi, penggelapan dan manipulasi. Dalam perkembangan lebih lanjut dari peristilahan diatas, UNAFEI seminar in the prevention and control of social and economic offensespada Tahun 1978. Disini muncul istilah kejahatan sosio-ekonomi (socio-economic offenses), yang mengandung tujuan untuk lebih menekan dampak sosialnya dan menonjolkan suatu hakikat bahwa jenis kejahatan inisecara umum sangat merugikan atau melanggar kepentingan negara dan masyarakat.
5
Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, W.W. Norton and Co., New York, hlm.tanpa tahun, hlm. 6-10. 6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 3-4 7 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 3-4
Hal | 6
Tindak pidana perdagangan orang (perempuan) merupakan salah satu lingkup dari kejahatan ekonomi dalam kategori bisnis. Dikatakan demikian karena korban (perempuan yang dijual untuk dijadikan PSK) tersebut diperjualbelikan dan dalam “pemanfaatannya� tidak cukup sekali atau berlangsung terus menerus. Kemudian dikatakan sebagai kategori bisnis, bentuk kejahatan ini biasanya terorganisir oleh beberapa orang atau sindikat yang memiliki peranannya masing-masing dan terhadap itu tiap orang mendapatkan upahnya masing-masing. Pentingnya perlindungan hukum terhadap korban khususnya korban perdagangan perempuan, karena hal tersebut jelas melanggar hak asasi manusia yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, korban trafiking tidak dapat disamakan dengan korban kejahatan lain, karena beban yang ditanggung sangatlah berat terlebih korban yang mendapat eksploitasi seksual yang dapat menimbulkan trauma yang mendalam. Mengingat hukum pidana mempunyai tujuan melindungi masyarakat dari kejadian yang dilakukan oleh anggota masyarakat itu sendiri. Atas dasar tujuan ini, negara diberi wewenang untuk menetapkan hukum, salah satunya hukum pidana. Dengan konsep perlindungan negara tersebut sudah sewajarnya pula bahwa negara juga menjamin dan bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan oleh pelaku yang melanggar hukum pidana termasuk perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan perempuan. Perdagangan perempuan seperti yang kita ketahui jelas telah melanggar hak asasi manusia, diantaranya hak kebebasan pribadi, hak untuk tidak diperbudak, dan sebagainya. Oleh karena itu hak asasi manusia dapat dijadikan pusat dari pentingnya upaya mencegah, memberantas perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak serta untuk melindungi, membantu dan memberikan ganti rugi bagi para korban perdagangan manusia yang dalam hal ini lebih dititikberatkan kepada perempuan dan juga anak-anak sebagai warga negara. Negara, dibawah aturan hukum internasional memiliki tanggung jawab untuk bertindak mencegah, menuntut para oknum pelaku perdagangan manusia serta membantu dan melindungi orang-orang yang menjadi korban perdagangan manusia. Perlindungan dan perhatian terhadap kepentingan korban, khususnya dalam konteks kejahatan trafiking, benar untuk dicermati, karena hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) yang mengadopsi norma-norma Hal | 7
yang termaktub di dalam Universal Declaration of Human Rights (1945) dan International Convention On Civil and Political Rights (ICCPR; 1996), sekalipun sudah banyak memberikan perlindungan dan penghormatan kepada hak-hak tersangka-terdakwa, belumlah mencakup upaya-upaya perlindungan kepentingan korban tindak pidana. Satu hal yang sangat penting adalah, karena korban trafiking kerap kali adalah juga sekaligus “pelaku� dalam tindak pidana lain yang berlangsung berkaitan dan memungkinkan terjadinya kejahatan trafiking. Misalnya, mereka yang mecari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di dalam dan di luar negeri dan kemudian mencari “korban� karena mengalami eksploitasi dalam bentuk apapun sering membuat dan selanjutnya menggunakan surat-surat identitas yang palsu (KTP / Paspor) atau memalsukan umur mereka sekedar agar dapat dikirim dan diterima bekerja di luar negeri.8 Dari uraian ini, kita melihat bahwa telah mulai ada orientasi korban dalam sistem peradilan pidana. Orientasi ini tidaklah dimaksudkan untuk mengurangi perhatian terhadap upaya pembinaan narapidana, melainkan menempatkan kepentingan korban sebagai salah satu bagian yang mutlak dipertimbangkan dalam proses pidana. Korban trafiking mengalami penderitaan pada saat mereka mengetahui bahwa mereka adalah korban perdagangan manusia antara sakit hati, kecewa, dan sedih bercampur aduk menjadi satu karena mereka merasa telah dibohongi, terlebih lagi oleh orang terdekat mereka sendiri misalnya, keluarga, tetangga, bahkan pacar. Tidak menutup kemungkinan mereka mungkin mengalami berbagai cara perlakuan kejam secara fisik, seksual, psikologis. Penculikan, penyekapan ilegal, pemerkosaan, perlakuan tidak senonoh, penyerangan fisik dan ancaman untuk membunuh korban atau keluarganya adalah jenisjenis kekejaman yang lazim terjadi secara dalam konteks trafiking. Trauma yang ada dapat berlanjut berbulan-bulan, bertahun-tahun sampai sepanjang sisa hidupnya. Disamping dampak-dampak diatas ada pula dampak lain dari segi ekonomi. Banyak kasus trafiking yang pada awalnya dipungut biaya. Pelaku perdagangan manusia (trafficker) mengatakan biaya tersebut akan 8
Hasil Wawancara dengan Bapak Djoko Julianto, S.Ik, MH, Kasat Reskrim Kepolisian Resort Kota Palembang, tanggal 27 September 2012
Hal | 8
digunakan untuk mengurus surat-surat identitas (KTP, Paspor) korban. Dalam perdagangan perempuan biasanya korban bergolongan ekonomi lemah dan berpendidikan rendah. Karena mereka membutuhkan pekerjaan sehingga tidak memikirkan akibat dan resiko yang ada. Para korban trafiking menyanggupi biaya tersebut yang mungkin dianggap cukup banyak bagi mereka. Akan tetapi bayangan mereka untuk bekerja secara baik dan mendapat upah layak tidak menjadi kenyataan. 9 Dalam memberikan perlindungan ini kita tidak boleh lalai dan melakukan seleksi untuk menentukan prioritas yang harus dilayani. Tidak semua korban / pihak korban patut mendapatkan ganti kerugian. Sebab, korban / pihak korban ada yang secara langsung atau tidak langsung terlibat atau ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya suatu kejahatan. Yang terutama perlu dilayani adalah para korban /pihak korban golongan ekonomi lemah, yang tidak mempunyai kemampuan pribadi untuk mengatasi sendiri penderitaan mental, fisik, sosial sebagai akibat tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh pihak lain maupun pemerintah. Ongkos, pengobatan, perawatan kesehatan kerap kali dibayar sendiri, karena tidak mempunyai asuransi untuk hal ini. Bagaimana dengan perlindungan korban trafiking dalam hukum pidana, telah dikatakan dengan terbongkarnya suatu sindikat, maka penderitaan baru akan dimulai oleh korban. Dimulai dari pertanyaanpertanyaan penyidik yang terkadang cenderung memojokkan korban perdagangan perempuan tersebut, apabila ia dikenal sebagai perempuan yang kurang baik, atau setidaknya semakin mengingatkan pada peristiwa buruk yang ia alami. Hal tersebut berlanjut pada persidangan. Proses pembuktian semakin mengoyak dirinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan aparat penegak hukum akan menjadikan seolah-olah korban trafiking sebagai tertuduh. Itu semakin sempurna ketika pengadilan tidak dapat membuktikan kesalahan pelaku, atau jika terbukti hanya menghukum pelaku dengan hukuman yang seringan-ringannya.10 Hal ini bertolak belakang daripada hasil riset yang penulis lakukan di Kepolisian Resort Kota (Polresta) Palembang, yang memberikan
9
Hasil Wawancara dengan Bapak Djoko Julianto, S.Ik, MH, Kasat Reskrim Kepolisian Resort Kota Palembang, tanggal 27 September 2012 10
Afief Gosita, Op.Cit, hlm. 35
Hal | 9
perlindungan mulai dari menerima laporan / pengaduan untuk kemudian di proses pidana hingga pada perlindungan yang bersifat pelayanan (fasilitas) misalnya memberikan proteksi terhadap ancaman dari luar (pelaku) yang tidak menginginkan kasus tersebut tersentuh ke ranah hukum. Tampak selain dampak fisik, psikis, dan sosial faktor pentingnya perlindungan terhadap korban trafiking, terutama terhadap perempuan yang tergolong lemah mental, fisik, sosial, yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri, tidak kalah penting adalah faktor yang ditimbulkan oleh penegak hukum sebagai pengemban struktur hukum itu sendiri, yang pada akhirnya berakibat pada moral hukum itu sendiri, yang pada akhirnya berakibat pada moral hukum masyarakat. Oleh karena itu dirasa pentingnya perlindungan hukum terhadap korban khususnya korban perdagangan perempuan, karena hal tersebut jelas melanggar hak asasi manusia yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, korban trafiking tidak dapat disamakan dengan korban kejahatan lain, karena beban yang ditanggung sangatlah berat terlebih korban yang mendapat eksploitasi seksual yang dapat menimbulkan trauma yang mendalam. Mengingat hukum pidana mempunyai tujuan melindungi masyarakat dari kejadian yang dilakukan oleh anggota masyarakat itu sendiri. Atas dasar tujuan ini, negara diberi wewenang untuk menetapkan hukum, salah satunya hukum pidana. Dengan konsep perlindungan negara tersebut sudah sewajarnya pula bahwa negara juga menjamin dan bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan oleh pelaku yang melanggar hukum pidana termasuk perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan perempuan. Berdasarkan undang-undang dan hasil wawancara penulis dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan merupakan suatu bentuk pelindungan secara khusus yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan diatur secara umum oleh UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang didapat pada sumber-sumber yang telah dimuat pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai perlindungan hukum terhadap korban perdagangan Hal | 10
perempuan menurut UU No. 21 Tahun 2007 Di Kota Palembang dan pentingnya perlindungan hukum bagi para korban perdangangan perempuan sebagai berikut: 1. Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan di Kota Palembang sudah cukup baik. Dapat dilihat dengan dibentuknya Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Polresta Palembang. Dalam memberikan perlindungannya Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) bekerjasama dengan Women’s Crisis Centre (WCC) Palembang. 2. Pentingnya perlindungan hukum bagi para korban perdangangan perempuan karena korban trafiking mengalami penderitaan baik secara fisik maupun psikis. Bahkan walaupun mereka dipekerjakan tetapi mereka tidak mendapatkan upah yang pernah dijanjikan, atau dengan kata lain korban trafficking dirampas hak asasinya. 2. Saran 1. Bagi Pemerintah perlu diperjuangkan lebih keras lagi untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan mengenai trafiking agar tidak ada lagi korban-korban yang terjerumus pada lubang yang sama, meskipun tampaknya untuk situasi di Indonesia masih agak sulit dalam merealisasikannya, tetapi hal itu menjadi kewajiban dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan guna melindungi hak-hak warga negaranya. 2. Diharapkan kepada instansi terkait seperti Departemen Sosial ataupun Departemen Kominfo, untuk melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang kepada masyarakat supaya adanya pemahaman dan kesadaran serta dapat meminimalisir jatuhnya korban-korban yang baru dikemudian hari. 3. Melakukan evaluasi terhadap proses dan dampak yuridis secara keseluruhan, maksudnya mengevaluasi hukum itu sendiri baik secara formil (instansi tertentu yang harus dibenahi) maupun materil (produk hukum yang harus direvisi atau diganti). 4. Adanya kerjasama yang melembaga dari Pemerintah Daerah, Kepolisian dan pihak ketiga atau LSM yang peduli terhadap masalah
Hal | 11
perempuan pada khususnya, agar pencegahan dan penanganan terhadap masalah ini dapat diatasi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Mase Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNIP, Semarang, 1995 Perundang-Undangan Asa Mandiri, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Penerbit AM Asa Mandiri, Jakarta, 2008. Hasil Wawancara Wawancara dengan Bapak Djoko Julianto, S.Ik, MH, Kasat Reskrim Kepolisian Resort Kota Palembang, tanggal 27 September 2012.
Hal | 12