Peran Korban Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh: Satukhid Kartanegara, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum dan Vera Novianti, S.H., M. Hum
Peran Korban Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh: Satukhid Kartanegara, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum dan Vera Novianti, S.H., M. Hum
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkannya, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan dan ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup tersebut.1 Umumnya dikatakan hubungan korban dengan kejahatan adalah pihak yang menjadi korban sebagai akibat kejahatan. Tentu ada asap pasti ada api, pihak yang menjadi korban karena ada pihak lain yang melakukan kejahatan.2 Hal penting dalam negara hukum adalah adanya penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum (Equality Before the Law).3 Setiap tindak pidana tidak terkecuali dengan tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga, yang bertujuan untuk melindungi setiap hak-hak yang dimiliki oleh korban kekerasan dalam rumah. Yang dimaksud dengan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini, yaitu :4
1
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 341. 2 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 18. 3 Ibid, hlm. 1. 4 Konsideran Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN 2004.
Hal | 1
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan rumah tangga,merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; c. Bahwa korban kekerasaan dalam rumah tangga adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan; d. Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-Undang terhadap penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga sering kali disebut oleh para ahli sebagai hidden crime (kejahatan yang tersembunyi). Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri atau yang dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang banyak terjadi dimasyarakat.Kekerasan dalam rumah tangga juga disebut dengan istilah kekerasaan domestik.Dimana kekerasan domestik tersebut terjadi didalam ranah domestik (privat).5 Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang rumusannya adalah setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:6 a) Kekerasan fisik; b) Kekerasan psikis; c) Kekerasan seksual; d) Penelantaran rumah tangga. Sementara itu yang dimaksud dengan korban adalah seorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
5
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif YuridisViktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 1. 6 Pasal 5 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN 2004.
Hal | 2
diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Melihat rumusan tersebut, yang disebut korban adalah :7 1. setiap orang, 2. mengalami penderitaan fisik, mental, 3. kerugian ekonomi, 4. akibat tindak pidana. Kebiasaan dalam pratek dimasyarakat yang sampai saat ini masih sering terjadi, suami dan istri yang terlibat dalam kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga seringkali masalahnya tanpa mau menyelesaikannya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sehingga permasalahan tersebut berlarut dan menyebabkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam kehidupan berkeluarga. 2. Permasalahan Berdasarkan uraian dan judul yang telah dipaparkan diatas maka perumusan masalah yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana peran korban dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ? 2. Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat bagi korban dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ?
B. PEMBAHASAN 1. Peran Korban dalam Penyelesaian Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga Dalam hal menerima adanya laporan mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga, pihak kepolisian harus segera menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan. 8 Untuk melindungi hak-haknya dan dukungan yang kuat dari pemerintah merupakan langkah yang sangat mendukung dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Penyelenggaraan pelayanan
7
Pasal 1 Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LN No 4635, TLN 2006. 8 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif YuridisViktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 69.
Hal | 3
terhadap korban, pemerintah dan aparatur terkait lainnya sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing dapat melakukan, yaitu:9 a. Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama, program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban dan d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban. e. Memberikan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yaitu:10 1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puleh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. 2) Perlindungan sementara diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. 3) Polisi wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. f. Dalam memberikan perlindungan sementara, pihak kepolisian dapat bekerjasama dengan pekerja sosial, relawan pendamping untuk mendampingi korban.11 g. Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan.12 h. Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.13 i. Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:14 9
Pasal 13 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN
2004. 10
Pasal 16 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN
2004. 11
Pasal 17 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN
2004. 12
Pasal 18 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN
2004. 13
Pasal 19 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN
2004.
Hal | 4
1) Identitas korban untuk pengenalan kepada korban; 2) Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatab terhadap martabat manusia; 3) Kewajiban untuk melindungi korban. pihak yang terkait dalam hal ini kepolisian terlebih dahulu mengutamakan untuk memulihkan kondisi psikis yang dialami oleh korban yang diakibatkan oleh kekerasan yang telah dia alami. Barulah kemudian dilakukan pendekatan mengenai tindak kekerasan yang dia alami, hal ini ditujukan agar korban mendapat rasa nyaman bahwa adanya perlindungan terhadap diri korban yang diberikan oleh pihak kepolisian.15 Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Polresta Palembang yang beralamatkan Jln. Jakabaring Palembang, Pihak kepolisian dalam menjalankan tugasnya telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan kewenangan yang dimiliki yang berpedoman dengan aturan yang ada dan pihak kepolisian juga bekerja secara maksimal sesuai dengan kewenangannya, melakukan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, serta bekerja sama dengan WCC (women’s crisis center) Palembang untuk menindak lanjuti kasus kekerasan dalam rumah tangga yang diadukan atau dilaporkan. 2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi korban dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga a) Korban Dari data penelitian yang diperoleh melalui wawancara dengan korban kekerasan dalam rumah tangga.Hasil wawancara dengan korban menunjukan hal yang mendasar menimpa para korban adalah kekerasan psikis dimana para korban bertujuan selalu berusaha menempatkan diri mereka sebaik mungkin dalam hubungan suami istri dengan berbagai masalah rumah tangga yang mereka hadapi.Peneliti menilai bahwa telah adanya kesadaran diri dari para korban kekerasan dalam rumah tangga bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami mereka merupakan bentuk tindakan yang melawan hukum, korban merasa hak-haknya sebagai seorang istri belum sepenuhnya terpenuhi. Namun, sikap untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga yang telah mereka bina begitu besar membuat para korban kekerasan dalam rumah tangga memilih 14
Pasal 20 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN
2004. 15
Hasil wawancara dengan IPDA Imelda Rahmat selaku KANIT PPPA Polresta Palembang tanggal 24 Juli 2013.
Hal | 5
untuk menutup diri demi menjaga keutuhan rumah tangganya dan kekhawatiran mereka akan berujungnya perceraian dari pernikahan yang telah mereka bina selama ini. b) WCC (Women’s Crisis Center) Sepanjang tahun 2011, Divisi Pendampingan WCC (women’s crisis center) Palembang telah melakukan pendampingan 386 kasus, yang terdiri dari: perkosaan dan pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam pacaran (KDP), perdagangan perempuan dan anak serta beragam bentuk kekerasan lainnya. Adapun komposisi kasus berdasarkan bentuk kekerasan yang terjadi antara lain:16 Tabel 1: Jumlah Korban dan Bentuk Kekerasan yang ditangani WCC (Women’s Crisis Center) Palembang No 1 2 3 4 5
Bentuk Kekerasan Perkosaan & Kekerasan Seksual lainnya Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) Perdagangan perempuan & Anak Kekerasan Lainnya Total Kasus
Jumlah 156 133 52 11 34 386
Sumber: WCC (women’s crisis center) Palembang, Tahun 2011
Berdasarkan tabel diatas, jumlah korban dan bentuk kekerasan yang ditangani oleh WCC (Women’s Crisis Center) pada tahun 2011. Dan pada tahun 2011 hingga tahun 2014 WCC (women’s crisis center) Palembang bersama sama dengan mitranya telah bersepakat untuk mengkampanyekan masalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Selain itu juga, data terhadap kekerasan dalam rumah tangga dikelompokkan oleh karakteristik dilihat dari tingkat pendidikan baik dari pelaku tindak kekerasan maupun dari korban kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, yaitu:
16
Data kekerasan yang ditangani oleh WCC (women’s crisis center) Palembang.
Hal | 6
Tabel 2: Data kekerasan terhadap perempuan Periode 1 januari – 28 desember 2011 A. Karakteristik dilihat dari Tingkat Pendidikan 1. Tingkat Pendidikan Korban No 1
Tingkat Pendidikan
Jumlah
<SD
27
2
SD
63
3
SLTP
102
4
SLTA
135
5
Perguruan Tinggi
57
6
Lainnya (S2/S3)
2
TOTAL
386
Sumber: WCC (women’s crisis center) Palembang, Tahun 2011
2. Tingkat Pendidikan Pelaku No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
1
<SD
4
2
SD
33
3
SLTP
64
4
SLTA
96
5
Perguruan Tinggi
118
6
Lainnya (S2/S3)
9
TOTAL
324
Sumber: WCC (women’s crisis center) Palembang, Tahun 2011
Dari data yang diperoleh berdasarkan WCC (women’s crisis center) Palembang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) peneliti menganalisis bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat dialami oleh setiap orang tanpa memandang usia, latar belakang pendidikan dan juga profesi pekerjaan korban maupun pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga sendiri. Untuk itu harus adanya kerjasama yang baik baik dari korban kekerasan dalam rumah tangga, Hal | 7
aparat berwenang (pemerintah, pihak kepolisian) maupun lembaga swadaya seperti: WCC (women’s crisis center) dalam upaya mengurangi terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga dan upaya melindungi hak-hak (istri,anak) yang menjadi korban kekerasan tindak pidana. Berdasarkan jenis pekerjaan korban dan pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga(KDRT), yaitu:17 Tabel 3: Data Kekerasan Terhadap Perempuan Periode 1 Januari – 28 Desember 2011 C. Karakteristik dilihat dari Profesi/Pekerjaan 1. Profesi/Pekerjaan Korban No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Profesi/Pekerjaan Korban Karyawan Petani/Nelayan Pelajar/Mahasiswa Buruh Pabrik PNS Pegawai Swasta Dokter/Perawat/Bidan Pembantu Rumah Tangga Guru/Dosen Lainnya TOTAL
Jumlah 30 27 136 38 41 29 8 19 24 34 386
Sumber: WCC (women’s crisis center) Palembang, Tahun 2011
2. Profesi/Pekerjaan Pelaku No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Profesi/Pekerjaan Pelaku Buruh Pabrik Pegawai Swasta PNS Guru/Dosen Pelajar/Mahasiswa Kernet/Sopir TNI/Polri Pegawai BUMN Petani Lainnya TOTAL
Jumlah 38 33 23 18 79 24 7 15 38 49 324
Sumber: WCC (women’s crisis center) Palembang, Tahun 2011
17
Ibid.
Hal | 8
Data WCC (womenâ&#x20AC;&#x2122;s crisis center) Palembang menunjukkan bahwa banyak sekali faktor penghambat dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.Sangatlah penting keaktifan pemerintah untuk mendukung upaya pemberantasan tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, hampir setiap golongan masyarakat terlibat dalam kasus tindak pidana ini mulai dari kalangan biasa hingga aparatur negara sendiri seperti pegawai negeri sipil. Hambatan-hambatan lain yang muncul dalam melakukan proses penyidikan dalam penangan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tanga, yaitu:18 1) Masih adanya ketidaktahuan korban bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami merupakan perbuatan melawan hukum dan dapat dijatuhkan sanksi pidana. 2) Korban membiarkan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadi menimpa dirinya karena korban berpendapat bahwa nantinya tingkah laku dari sang suami akan berubah dan tidak akan mengulangi perbuatannya tersebut. 3) Adanya ketergantungan hidup (secara ekonomi) terhadap pasangan, dikarenakan dalam kehidupan rumah tangga hanya satu dari pasangan yang bertugas mencari nafkah. 4) Korban berusaha menutupi-nutupi kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa dirinya karena merasa malu dengan tetangga yang ada disekitar tempat tinggalnya, sehingga dapat berpengaruh pada status sosial keluarganya dalam masyarakat itu sendiri 5) Secara pembuktian kekerasaan fisik yang menimpah korban terkadang hilang, dikarenakan korban terlambat melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa dirinya. 6) Dalam ruang lingkup keluarga korban, kekerasan rumah tangga yang terjadi kepada dirinya adalah merupakan aib keluarga yang harus ditutupi agar tidak diketahui oleh tetangga disekitar lingkungan tempat tinggal mereka. 7) Terjadinya kekerasan lebih banyak diketahui oleh pelaku dan korban saja.
18
Hasil wawancara dengan Yeni Rolaini Izi selaku Direktur Eksekutif WCC (womenâ&#x20AC;&#x2122;s crisis center) Palembang tanggal 22 Juli 2012.
Hal | 9
8) Bagi korban yang melapor dan perkaranya memenuhi syarat formil maupun materil, tidak jarang korban sering berusaha mencabut kembali laporan karena merasa tidak mampu untuk membesarkan anak-anaknya tanpa adanya seorang suami yang mendamping dan menginginkan rumah tangga yang telah dibangunj dapat kembali seperti dulu lagi. 9) Sering terlambatnya laporan terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga akan berpengaruh terhadap proses selanjutnya, kesukaran penyidik dalam melakukan proses penyelidikan, terutama pengumpulan saksi dan barang bukti terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga. 3. Pihak Kepolisian Dalam melaksakan tugas tidak jarang adanya muncul hambatanhambatan dalam proses tersebut. Berdasarkan penelitian lapangan menurut IPDA Imelda Rahmat (KANIT PPPA) mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang timbul dalam melaksanakan tugas yaitu:19 a. Sumber Daya Manusia Kurangnya sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penghambat dalam penyelesaian tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena baik secara kualitaas maupun kuantitas aparat artinya dari jumlah keahlian masih sangat minim sehingga kinerja dan tenaga ahli lainnya juga masih banyak yang kurang memadai dan kurang mendukung kinerja dari aparat yang berwenang.Dari bidang yang bertugas menyelesaikan masalah tindak kekerasan dalam rumah tangga yang hanya memiliki keahlian hanya 11 orang terhitung semua jajaran. Masih rendahnya pengetahuan dan peran serta aktif masyarakat terhadap tindak pidana kekerasaan dalam rumah tangga yang terjadi disekitar lingkungan tempat tinggal mereka maupun masih kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat menjadikan tugas yang diemban oleh aparat dalam menyelesaikan kejahatan tindak pidana dalam rumah tangga menjadi bertambah dalam upaya pengungkapan kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut.
19
Wawancara dengan IPDA Imelda Rahmat selaku KANIT PPPA Polresta Palembang tanggal 24 juli 2013.
Hal | 10
b. Sarana dan prasarana Akibat minimnya dana terhadap yang dialokasikan untuk penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga maka secara kualitas kinerja dari aparatur pun menjadi terhambat. Minimnya sarana dan prasarana untuk melakukan kegiatan penanggulangan, sosialisasi dan fasilitas/peralatan dalam melaksanakan tugas juga belum memadai sebagaimana mestinya. Kurangnya dana yang disediakan oleh pemerintah merupakan bentuk penghambat yang terjadi dalam upaya penanggulangan tumbuh kembangnya penyakit masyarakat dan membuat usaha-usaha serta rencana yang akan dilakukan untuk menanggulangi terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga menjadi kurang maksimal. Diantaranya adalah: 1) Kurang memadainya sarana dan prasarana untuk melakukan sosialisasi terhadap tindak pidana kekerasaan dalam rumah tangga seperti minimnya alat komunikasi dan informasi pendukung untuk mensosialisasikan serta penyuluhan terhadap Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) keseluruh masyarakat yang ada di sumatera selatan. 2) Tidak adanya kerjasama yang baik untuk melakukan proses pemeriksaan lebih lanjut terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga antara aparat dengan korban karena korban merasa kebingungan terhadap apa yang telah dia lakukan (melaporkan kasus kekerasan yang dialami oleh diri si korban itu sendiri) dan lebih memilih untuk mencabut pengaduan yang telah dia buat kepihak kepolisian. 3) Masyarakat sendiri masih kurang berpartisipasi aktif turut serta dalam memberantas kekerasan dalam rumah tangga apakah kekerasan yang terjadi pada diri korban musti dilaporkan untuk mendapatkan perlindungan terhadap diri korban karena masyarakat merasa itu merupakan masalah rumah tangga. C. PENUTUP 1. Kesimpulan a) Peran untuk meminimalisasi kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri bukan hanya pada korban kekerasan, melainkan juga adanya peran serta masyakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti WCC (womenâ&#x20AC;&#x2122;s crisis center) Palembang, jajaran pemerintah serta pihak kepolisian untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Hal | 11
Peran dari semua kalangan tersebut yaitu mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan medis kepada korban, membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga. Adapun menjadi hambatan yaitu korban masih malu mengungkapkan, masih tertutup karena orang lain serta masyarakat menganggap tidak berhak masuk dalam lingkungan keluarga nya. Peran WCC (womenâ&#x20AC;&#x2122;s crisis center) Palembang adalah memberikan pelayanan, membantu korban memulihkan tekanan psikis yang diderita oleh korban, pendampingan pengaduan kepada korban yang ingin menempuh jalur hukum. b) Efektivitas Polresta yang dilakukan adalah dengan adanya ruangan khusus yaitu unit pelayanan perempuan dan anak (UPPA) dimana ruangan ini diisi oleh polisi dan polwan yang bertugas untuk mendengarkan keluhan dan menerima laporan korban yang mengalami kekerasan untuk menceritakan peristiwa yang mereka alami sehingga korban merasa aman dan merasa bahwa dirinya mendapatkan perlindungan dan merasa terjauh dari ancaman tindak kekerasan dalam rumah tangga. 2. Saran 1. Untuk korban agar dapat berpartisipasi dalam pemberantasan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dimulai dari diri sendiri, menjadi mitra yang baik dalam upaya untuk memperoleh informasi tentang tindak kekerasan yang menimpah dirinya. 2. Untuk pihak kepolisian agar memberikan penampungan sementara terhadap korban kekerasan supaya korban dapat memulihkan tekanan psikis yang diderita serta mampu bekerjasama dengan baik untuk menyelesaikan kekerasan yang menimpanya. 3. Meningkatkan kerjasama dengan lembaga swadaya, polisi dan pihakpihak terkait yang memperiotaskan masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk memberikan informasi dan penyuluhan kepada masyarakat. 4. Pihak pemerintah maupun lembaga sosial masyarakat serta pihak kepolisian harus menjadi mitra satu kesatuan yang utuh serta memberikan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat bahwa Hal | 12
tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat dijatuhkan sanksi pidana
Hal | 13
DAFTAR PUSTAKA BUKU Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika, Jakarta. Moerti Hadiati Soeroso, 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta. Rachmadi Usman, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
SUMBER PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, LN No 4419, TLN 2004. Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LN No 4635, TLN 2006.
HASIL WAWANCARA Hasil wawancara dengan IPDA Imelda Rahmat selaku KANIT PPPA Polresta Palembang tanggal 24 Juli 2013. Hasil wawancara dengan Yeni Rolaini Izi selaku Direktur Eksekutif WCC (women’s crisis center) Palembang tanggal 22 Juli 2012. Data kekerasan yang ditangani oleh WCC (women’s crisis center) Palembang.
Hal | 14