Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Usaha yang Menggunakan Zat Kimia Berbahaya Dalam Makanan di Kota Palembang (Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) Oleh: Yogi Aria Putra, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Hj. Helmanida, S.H., M.Hum dan Henny Yuningsih, S.H., M.H
Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Usaha yang Menggunakan Zat Kimia Berbahaya Dalam Makanan di Kota Palembang (Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) Oleh: Yogi Aria Putra, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Hj. Helmanida, S.H., M.Hum dan Henny Yuningsih, S.H., M.H
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan aktifitasnya. Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang tidak diolah maupun yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses pengolahan, pembuatan dan penyiapan makanan atau minuman. Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku pengolahan pangan. Misalnya air segar, gandum,beras, ikan, segala macam buah. Sedangkan Makanan / pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan kelompok tersebut.oleh sebab itulah para perusahaan dan produsen makanan melakukan upaya menghasilkan produk pangan yang aman dikonsumsi masyarakat agar produk pangannya laku di pasaran. Kenyataan yang berbeda terjadi pada makanan yang selama ini dijumpai dan dikonsumsi oleh masyarakat seperti di kota Palembang sendiri Tim Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Palembang menemukan makanan yang berpengawet seperti, boraks, rhodaminB,formalin saat menginspeksi mendadak delapan lokasi pasar beduk yang ada di Kota Palembang. Kedelapan lokasi itu, yakni simpang empat Radial, Jl Ratna, Pasar Beduk Kambang Iwak, Balayudha, bawah Jembatan Ampera, simpang Kebun Hal | 1
Bunga, simpang Tanjung Api-Api dan Km 5. Ada 59 sampel yang kita uji, hanya 30 sample bebas syarat, Sisanya 29 sampel lagi dinyatakan positif menggunakan pengawet. 7 menggunakan boraks, 9 sampel mengandung rhodamin,dan 13 sampel ditemukan berformalin, Adapun pedagang yang menggunakan bahan berpengawet diamankan sementara dan dibina.1 Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Tujuan dibentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen itu sendiri adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dan meningkatkan kesadaran, kemampuan, kepedulian dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.Dalam kenyataannya posisi konsumen di Indonesia sebagai pengguna, pemakai atau pemanfaat barang atau jasa, pada umumnya kurang mengerti atau kurang paham terhadap barang atau jasa.2 Seharusnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memberikan sanksi berupa sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang menggunaan zat kimia berbahaya yang dilakukan oleh produsen makanan, karena tindakan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang telah diatur didalam: UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 8 ayat (1) huruf e: yang menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, proses pengolahan, komposisi,mode, gaya, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. Dalam sanksi pidananya sendiri telah diatur dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen didalam Pasal 62 ayat (1) yang menyatakan Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). 1
BPOM Palembang Menemukan Makanan Berpengawet, http://infopublik.kominfo.go.id diakses 1 Oktober 2012 2 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta, 2000, hlm 17.
Hal | 2
Berdasarkan uraian diatas, maka Penulis akan membahas skripsi yang berjudul: “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Usaha yang menggunakan Zat Kimia Berbahaya Dalam Makanan di Kota Palembang (Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen)� 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka perumusan masalah ini adalah: 1. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan di kota Palembang ? 2. Apa saja yang menjadi hambatan dalam memberikan sanksi pidana kepada produsen makanan yang menggunakan zat kimia yang berbahaya dalam makanan ? 3. Kerangka Teori 1. Pengertian Makanan Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang tidak diolah maupun yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses pengolahan, pembuatan dan penyiapan makanan atau minuman. 2. Pengertian zat kimia Bahan kimia merupakan suatu zat atau senyawa dapat berwujud padat, cair atau gas, dan berdasarkan komponen penyusunnya berbentuk tunggal atau persenyawaan (campuran) yang berasal dari alam maupun hasil proses produksi. Pemanfaatan bahan kimia yang berasal dari sumber daya alam baik yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable) maupun yang dapat diperbaharui (renewable). 3. Macam-macam zat kimia yang sering disalahgunakan didalam makanan a) Boraks Digunakan untuk antiseptic dan deterjen
Hal | 3
b) Formalin Larutan formaldehida yang biasanya digunakan dalam industri antibusa, plastik, kertas, bahan konstruksi, tekstil, karpet, mebel dan cat.Formaldehida juga digunakan untuk mengontrol parasit pada ikan dan mengawetkan mayat. c) Rhodamin B Rhodamin B adalah zat pewarna yang tersedia di pasar untuk industri tekstil. B. PEMBAHASAN 1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan Menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Makanan yang baik adalah makanan yang sehat dan bersih namun seringkali banyak yang tidak memperdulikan makanan yang dikonsumsi, hal tersebut dapat merugikan kesehatan tubuh konsumen. Masih banyaknya kasuskasus makanan yang tidak layak untuk dikonsumsi dijual bebas dipasaran ini merupakan akibat faktor persaingan ekonomi dinegara ini yang semakin membentuk pola pikir pelaku usaha makanan untuk menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan modal yang sekecil-kecilnya sesuai dengan prinsip ekonomi. Kasus makanan yang sering kita dengar dibeberapa media masa pada beberapa tahun terakhir ini ialah kasuskasus makanan yang mengandung zat-zat kimia yang berbahaya, sepertimengandung formalin, boraks, rhodamin B dan zat-zat kimia lainnya yang tidak ditujukan sebagai bahan tambahan dalam makanan. Terlihat dari kasus makanan yang sering terjadi tujuan dari pemidanaan tidak terlaksana dengan yang seharusnya, kita ketahui salah satu teori pemidanaan yang dapat dikenakan untuk menjerat agar para pelaku usaha tidak melakukan kejahatan itu lagi ialah teori tujuan atau teori relative, teori ini didasarkan pada pendirian dan asas bahwa tertib hukum perlu diperhatikan ,
Hal | 4
akibatnya tujuan pidana adalah prevensi terjadinya kejahatan, teori ini sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu :3 1. Pencegahan secara umum (preventive general), bahwa semua pemidanaan harus ditunjukan untuk menakut-nakuti semua orang supaya jangan melakukan kejahatan, dengan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan. 2. Pencegahan secara khusus (preventive special), menyatakan untuk bertujuan mencegah niat buruk pelaku yang bertujuan melakukan penanggulangan, perbuatan, atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan yang direncanakan. Pihak BPOM sendiri menjelaskan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku usaha makanan dapat dilakukan dengan cara penal dan juga non penal, namun kebanyakan kasus makanan para pelaku usaha lebih sering dikenakan sanksi dengan cara non penal. Hal ini merupakan suatu prosedur yang telah dibuat agar para pelaku usaha dapat melanjutkan kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Jadi penegakan hukum terhadap para pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara penal dan non penal. 1. Upaya Non Penal ( Bukan/ Diluar Hukum Pidana) Penegakan hukum secara non penal dilakukan pemerintah kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana melalui sosialisasi dengan ruang lingkup yang luas.Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan/ penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan itu terjadi. 4Mengingat upaya penaggulangan kejahatan non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah mengenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.Usaha-usaha penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan sarana non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial.Tujuan dari usaha-usaha non penal itu adalah memperbaiki kondisi yang dapat dianggap merugikan. Pada Pasal 47 Undang-undang perlindungan konsumen menyatakan “penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk 3
M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Kejahatan Tertentu dalam KUHP, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2007, hlm 31 4 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 49
Hal | 5
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin� tidak akan terjadi kembali atau akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen.� Maksudnya bentuk jaminan dalam Pasal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang merugikan konsumen tersebut.5Dalam kasus makanan sendiri yang sering terjadi kebanyakan pelaku usaha hanya diberikan peringatan-peringatan agar tidak mengulangi perbuatan tersebut. Kebijakan yang diberikan oleh pihak BPOM melalui cara non penal ini tidak menutup kemungkinan bagi para pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi secara penal, namun sebelum para pelaku usaha tersebut dikenakan sanksi secara penal pelaku usaha tersebut diberikan terlebih dahulu sanksi secara non penal. Hal ini dapat kita lihat dengan beberapa tahap yang dijelaskan oleh pihak BPOM sumsel kepada penulis, tahap-tahap tersebut diantaranya adalah : 1. Pembinaan Pembinaan yang dilakukan oleh pihak BPOM diberikan pada saat pelaku usaha sedang melakukan kegiatan usaha, dalam hal ini pihak BPOM memberikan penjelasan-penjelasan terhadap hak-hak dan kewajibankewajiban bagi para pelaku usaha. 2. Peringatan Peringatan diberikan terhadap pelaku usaha oleh pihak BPOM apabila pelaku usaha didapati menggunakan bahan-bahan yang diluar komposisi makanan yang digunakan.Peringatan yang diberikan berupa pernyataan diatas materai agar pelaku usaha tersebut tidak melakukan kegiatan kecurangan lagi. 3. Peringatan Keras (menghentikan sementara kegiatan) Peringatan keras diberikan apabila pelaku usaha terbukti melakukan kegiatan kecurangan lagi yang sebelumnya telah diberiakan peringatan. Pihak BPOM memberikan peringatan keras dengan cara menghentikan kegiatan usaha sementara dengan tujuan agar pelaku usaha jera dan tidak mendapatkan penghasilan selama sanksi yang diberikan BPOM berlangsung. 4. Jalur Hukum Jalur hukum yang diberikan berupa sanksi pidana apabila pelaku usaha masih melanggar peringatan keras yang telah diberikan oleh BPOM. 5
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 232
Hal | 6
Keempat tahap tersebut dijelaskan oleh ketua BPOM adalah tahap yang sering diberikan terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan. Berdasarkan tahap-tahap diatas kita dapat melihat bahwa pelaku usaha tidak akan langsung diberikan sanksi pidana (penal) karena masih banyak kendala yang dihadapi diantaranya: 1. Pelaku usaha adalah masyarakat dengan perekonomian menengah kebawah. 2. Pelaku usaha merupakan tulang punggung keluarganya. 3. Masih banyak pelaku usaha yang belum mengetahui bahaya yang akan timbul akibat perbuatannya tersebut. 2. Upaya Penal (Hukum Pidana) Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi. 6 Melalui jalur penal didalam UUPK sendiri terlihat dengan adanya ketentuan sanksi pidana dalam Pasal 61 sampai dengan 63 UUPK.Sesuai dengan ketentuan Pasal 61 Undang-undang perlindungan konsumen, maka penentuan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Terlihat dalam kasus makanan yang sering terjadi para pelaku usaha diselesaikan dengan jalur non penal dan jarang diselesaikan dengan jalur penal, dalam kasus ini sebenarnya para pelaku usaha telah melanggar aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan UndangUndang Pangan, hal ini dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kejahatan menurut para pakar hukum bahwa kejahatan dapat didefinisikan secara yuridis dan secara sosiologis. Secara yuridis kejahatan adalah segala tingkah laku manusia yang bertentangan dengan hukum, dapat dipidana, yang diatur dalam hukum pidana.Sedangkan secara sosiologis kejahatan adalah tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat.Kesimpulannya kejahatan adalah sebuah perbuatan yang anti sosial, merugikan dan menjengkelkan masyarakat atau anggota masyarakat.7Oleh sebab itu seharusnya penegakan hukum secara pidana terhadap pelaku usaha tersebut dapat dilakukan sesuai dengan peraturan yang telah ada karena kita ketahui bahwa kasus makanan yang mengandung zat kimia berbahaya masih sering kita jumpai pada saat ini. 6
Barda Nawawi Arief, Op, cit, hlm 49 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana, PT Grasindo, Jakarta, 2008, hlm 206 7
Hal | 7
Penegakan hukum bagi tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan berdasarkan hukum pidana dapat dilakukan karena telah melanggar hukum pidana materil.Hukum pidana materil yang diartikan sebagai hukum pidana itu sendiri sedangkan hukum pidana formil yang diartikan sebagai hukum acara pidana. Hukum pidana materil yang berarti isi atau substansi hukum pidana itu, dengan kata lain dapat diartikan abstrak atau dalam keadaan diam, sedangkan hukum pidana formil atau hukum acara pidana bersifat nyata atau kongkrit, sebagai hukum pidana dalam keadaan bergerak, dijalankan, atau berada dalam suatu proses. Oleh karena itulah disebut juga sebagai hukum acara pidana. 8 Hukum pidana Materil merupakan sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya dikenai suatu sanksi hukuman sebagai suatu ancaman bagi pelanggar.Mengenai penegakan hukum masuk kedalam kategori dari hukum pidana formil yang mana hukum pidana formil merupakan peraturan yang mengatur hak Negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.Secara umum tindak pidana merupakan suatu konsep yuridis yang dapat diartikan sebagai suatu tingkah laku manusia yang dapat diberikan sanksi atau hukuman berdasarkan hukum pidana.9 Jadi setiap tindakan yang dianggap melawan hukum akan menerima hukuman atau sanksi yang berlaku yang diharapkan dapat menjadi suatu bentuk pengatur masyarakat menjadi lebih baik. Dalam kaitannya dengan penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya, para pelaku usaha tersebut dapat dikenakan sanksi pidana karena telah melanggar ketentuan didalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang terdapat didalam Pasal 8 ayat (1) huruf e: yang menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. Dalam sanksi pidananya sendiri telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen didalam Pasal 62 ayat (1) yang menyatakan Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling 8
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Citra, Jakarta, 2008, hlm 2 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, hlm 259 9
Hal | 8
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi pidana karena juga telah melanggar Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan dalam Pasal 75 ayat (1) huruf b yang menyatakan: setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan. Dalam sanksi pidananya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pada Bab XV tentang Ketentuan Pidana dalam Pasal 136 huruf b yang menyatakan: setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan yang dengan sengaja menggunakanbahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Kedua cara penegakan hukum terhadap perlindungan konsumen makanan sebagai korban dari pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya baik melalui jalur penal dan non penal masih dianggap kurang memberi efek jera terhadap pelaku usaha tersebut. Perlindungan hukum melalui jalur non penal berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang lebih menitik beratkan pada upaya-upaya bersifat preventif (pencegahan/penanggulangan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Perlindungan konsumen melalui jalur non penal ini lebih sering dikenakan oleh para pelaku usaha yang kedapatan menggunakan zat kimia berbahaya.Namun belumlah berlangsung sebagaimana yang diharapkan, karena setiap tahunnya masih banyak ditemukan kasus-kasus makanan yang menggunakan zat kimia berbahaya. Hal ini dikarenakan masih kurangnya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), kurangnya kesadaran masyarakat untuk menuntut hak selaku konsumen apabila dirugikan oleh pelaku usaha, sedangkan perlindungan hukum terhadap konsumen melaluli jalur penal yang lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang bersifat repressive (penindasan/pemberantasan/penumpasan) dengan adanya ketentuan sanksi pidana Pasal 61,62 dan 63 Undang-undang perlindungan Konsumen, penerapan dan pelaksanaan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-undang perlindungan Konsumen tersebut dalam prakteknya belumlah berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pelaku usaha yang jelas melakukan kesalahan dan merugikan konsumen justru kerap kali terbebas dari hukum.
Hal | 9
2. Faktor penghambat dalam memberikan sanksi pidana kepada produsen makanan yang menggunakan zat kimia yang berbahaya dalam makanan Berdasarkan hasil wawancara dari ketua YLKI palembang ada beberapa faktor penghambat dalam memberikan sanksi pidana kepada produsen makanan yang menggunakan zat kimia yang berbahaya dalam makanan. Faktor penghambat tersebut diantaranya sebagai berikut :10 a) Faktor hukumnya sendiri (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ) Sejak disahkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999 dan mulai diberlakukan sejak tamggal 1 januari 2000, artinya usia Undang-undang ini hampir memasuki usia 13 tahun. Namun pada usia tersebut ternyata UUPK tidak dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya. Dimana pada kenyataannya hak-hak konsumen belum sepenuhnya terlindungi, terutama konsumen dalam bidang pangan yang mengandung zat kimia berbahaya.Sampai dengan saat ini belum ada tanda-tanda bahwa norma-norma UUPK ditegakan oleh para aparat penegak hukum terutama dalam melindungi konsumen pangan yang mengandung zat-zat kimia berbahaya yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan.Hal ini dimungkinkan karena ketidaktahuan atau keengganan konsumen untuk memanfaatkannya maupun karena perbuatan pihak produsen yang sering bertindak semena-mena dibalik ketidakberdayaan dan ketidaktahuan konsumen tersebut, demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. b) Faktor Aparat Penegak Hukum Aparat penegak hukum memilki peranan yang penting dalam perlindungan konsumen.Menurut system peradilan pidana, maka pihak-pihak yang berwenang dalam penegakan hukum, diantaranya Kepolisian, PPNS, Kejaksaan dan Pengadilan. Dari hasil wawancara dengan pihak BPOM Palembang selaku penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang berwenang mengatasi peredaran obat dan makanan di wilayah kota Palembang. Menurut hasil wawancara terhadap pegawai BPOM bagian penyidik sebenarnya telah bertindak aktif melakukan pengusutan terhadap kasus makanan dan minuman yang mengandung zat kimia 10
Hasil wawancara penulis dengan Bapak R.M Taufik Husni.Op.cit
Hal | 10
berbahaya berdasarkan pengaduan yang masuk ke pihak BPOM.Tetapi dalam prosesnya ditemui kesulitan yang sangat besar. Pihak BPOM hanya dapat memeriksa saksi-saksi terutama saksi korban, sedangkan barang bukti berupa makanan dan minuman yang mengandung zat kimia berbahaya yang diduga sebagai sumber keracunan sering tidak lengkap bahkan tidak ada sama sekali. Padahal dalam kasus tersebut barang bukti sangatlah diperlukan, dengan demikian pihak BPOM sendiri menghadapi kendala dalam mengusut kasus makanan yang mengandung zat kimia berbahaya tersebut, karena barang bukti dianggap tidak kuat apabila dilanjutkan ke P-21.Tidak ada atau tidak lengkapnya alat bukti yang diperlukan dalam mengusut kasus makanan mengandung zat kimia berbahaya tersebut, mengakibatkan terhambatnya pembuktian terhadap kasus tersebut. Selain kesulitan dalam mendapatkan barang bukti, aparat penegak hukum kerapkali lebih memberlakukan KUHP dengan dakwaan dengan dakwaan penipuan (Pasal 378 KUHP) dalam kasus perlindungan hukum terhadap konsumen. Padahal, sesuai dengan asas perundang-undangan Lex specialis derogate lex generalis dapat diterapkan terutama Pasal 62 UUPK yang mempergunakan system perumusan pidana alternative yang dapat menjerat pelaku usaha dengan hukuman yang setimpal dibandingkan apabila hanya diterapkan KUHP khususnya Pasal 378 yang mengatur mengenai penipuan. 11 c) Faktor Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Penegakan Hukum Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum terhadap perlindungan konsumen ini meliputi terbatasnya dana, sarana dan fasilitas serta sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki dalam melakukan advokasi dibidang perlindungan konsumen, sehingga dalam gerak langkahnya belum bisa berjalan sebagimana yang diharapkan. Hali ini terlihat dari belum dimilikinya laboratorium sendiri dan kantor yang strategis lokasinya, sehingga masyarakat akan mudah untuk menjangkaunya. Salah satu sarana dan peralatan terpenting adalah harus memiliki laboratorium sendiri diberbagai wilayah yang ramai sehingga untuk mengadakan penelitian terhadap makanan yang beredar dipasaran dapat langsung dilakukan tanpa harus menunggu hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memilik laboratorium yang tempatnya cukup memakan waktu. 11
Ibid
Hal | 11
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung didalam penegakan hukum pidana terhadap konsumen ditentukan juga oleh peran pemerintah sebagai pengayom masyarakat dan juga sebagai Pembina pengusaha dalam meningkatkan kemajuan industri dan perekonomian Negara.Bentuk perlindungan yang diberikan adalah dengan mengeluarkan undang-undang, peraturan pemerintah dan penerbitan standar mutu barang.Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan pada penerapan peraturan ataupun standar-standar yang telah ada, sikap tidak berat sebelah dalam melihat kepentingan konsumen dan pelaku usaha diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap konsumen. d) Faktor Masyarakat (Konsumen) Faktor masyarakat merupakan faktor utama yang menyebabkan lemahnya kondisi dan kedudukan konsumen di Indonesia.Kelemahan ini merupakan salah satu penyebab perlindungan hukum terhadap konsumen belum terlaksana sebagaimana mestinya.Hal ini terlihat dari sikap pasrah konsumen dengan tidak mengembalikan barang yang cacat dan kurangnya informasi yang diperoleh oleh konsumen.Sebagai contoh masih banyaknya konsumen yang membeli sesuatu dan mengkonsumsinya dengan tidak terlebih dahulu membaca petunjuk atau mencoba produk yang dibelinya atau konsumen sering tidak terlebih dahulu membaca petunjuk atau mencoba produk yang dibelinya atau konsumen sering tidak mendapat pelayanan yang memuaskan dari produsen.Terhadap hal tersebut konsumen tidak mengadakan suatu reaksi atas perlakuan tersebut cukup dengan suatu sikap yang menyatakan tidak mau dikatakan orang yang cerewet, banyak tingkah atau orang yang sombong.Sikap tersebut berdampak pada produsen selaku pelaku usaha bersikap acuh tak acuh dan cenderung tidak bertanggung jawab.Sikap tidak bertanggung jawab terlihat dalam suatu pasar swalayan atau toko ada terdapat kata-kata “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan�.Kalimat tersebut berdampak pada produsen selaku pelaku usaha untuk tidak bertanggung jawab dan seolah-olah resiko ada pada konsumen.Hal tersebut jelas sangat bertentangan dengan Undang-undang perlindungan konsumen.12
12
Hasi Wawancara penulis dengan Bapak R.M Taufi Husni.Dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sumatera Selatan
Hal | 12
e) Faktor Pelaku Usaha Pelaku usaha sebagai pihak yang memproduksi dan memasarkan produk makanan seharusnya wajib menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan bertanggung jawab untuk memperhatikan hak-hak dan kepentingan konsumen agar tidak dirugikan.Pengetahuan pelaku usaha terhadap keberaadaan UUPK juga masih rendah. Hal ini ditunjukan dari hasil penelitian lapangan, bahwa pada umumnya para pelaku usaha masih kurang memperhatikan aspek perlindungan konsumen, antara lain seperti dalam penggunaan bahan baku untuk makanan yang dijualnya atau dari cara pembuatannya atau dari cara penyajian makanan yang dijualnya. Terhadap para pelaku usaha yang demikian perlu diberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanggung jawab sebagai pelaku usaha sebagaimanayang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. C. PENUTUP 1. Kesimpulan a) Penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan dapat dilakukan dengan jalur Penal dan Non penal. Melalui jalur penal dalam Undang-undang perlindungan konsumen lebih menitik beratkan pada upaya yang bersifat repressive (penindasan/pemberantasan/ penumpasan) dengan adanya ketentuan sanksi pidana dalam UUPK tersebut dalam prakteknya belumlah berjalan sebagaimana diharapkan. Pelaku usaha yang jelas menggunakan zat kimia justru terbebas dari hukuman. Begitu juga melalui jalur non penal. Jalur non penal berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang bersifat preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi juga belumlah berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terlihat dari kurangnya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat, juga kurangnya kesadaran masyarakat untuk menuntut hak selaku konsumen apabila dirugikan oleh pelaku usaha. Hukuman yang ringan kepada pelaku usaha seperti peringatan dan pembinaan dll, justru tidak memberi efek jera terhadap pelaku usaha.
Hal | 13
b) Lima faktor yang menjadi penghambat dalam memberikan sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan saling berkaitan erat, yang merupakan faktor dari penegakan hukum yang menjadi tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum terhadap konsumen makanan, yaitu meliputi: 1. Faktor hukumnya sendiri (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dimana kurangnya sosialisasi terhadap undang-undang perlindungan konsumen kepada masyarakat serta beberapa ketentuan dalam undang-undang perlindungan konsumen tersebut dalam prakteknya belum terlaksana dengan baik. 2. Aparat penegak hukum belum melaksanakan sepenuhnya undang-undang perlindungan konsumen sebagaimana mestinya, karena kurangnya pemahaman dan sosialisasi terhadap undangundang perlindungan konsumen. c) Faktor sarana atau fasilitas yang terbatas dan SDM yang belum memadai menjadikan sulitnya dalam mencari alat bukti dalam kasuskasus makanan yang sering terjadi. d) Faktor masyarakat selaku konsumen di Negara ini masih bersifat tidak perduli terhadap situasi yang terjadi. Hal ini juga terlihat masih banyaknya konsumen yang membeli makanan dengan sembarangan tanpa terlebih dahulu menanyakan bahan dan komposisi kepada pelaku usaha. e) Faktor pelaku usaha yang masih banyak tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai pelaku usaha sesuai dengan isi undang-undang perlindungan konsumen. 2. Saran Berdasarkan penjelasan diatas, penulis ingin mencoba memberikan saran-saran sebagai berikut: a) Mensosialisasikan undang-undang perlindungan konsumen secara menyeluruh kepada konsumen, pelaku usaha dan Khususnya kepada aparat penegak hukum. b) Aparat penegak hukum dapat menjerat para pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dengan sanksi hukum pidana agar para pelaku usaha jera.
Hal | 14
c) Perbanyak fasilitas dan sarana seperti alat uji laboratorium di tempattempat strategis. d) Ditingkatkannya kesadaran pelaku usaha agar tidak merugikan konsumen dengan cara memberitahukan komposisi dan bahan baku makanan yang dijualnya kepada konsumen. e) Setiap pelaku usaha makanan harus memiliki izin usaha baik pelaku usaha makanan yang besar ataupun yang kecil. f) Pemberian himbauan kepada masyarakat agar lebih berhati-hati dalam membeli makanan.
Hal | 15
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo.Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004. Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1996. Hamzah, Andi, Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Citra. 2008. Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati.Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Mandar Maju. 2000. M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib.Kejahatan Tertentu dalam KUHP.Palembang: Universitas Sriwijaya. 2007. Yesmil Anwar dan Adang.Pembaruan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana. Jakarta: PT. Grasindo. 2008.
Hal | 16