Ringkasan disertasi non penal

Page 1

Kebijakan Non Penal Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di Kalangan Remaja (Studi Kasus Di Palembang) Dr. H. Ruben Achmad, SH., MH


KEBIJAKAN NON PENAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI KALANGAN REMAJA (STUDI KASUS DI PALEMBANG)

RINGKASAN DISERTASI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor (Dr) Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Dipertahankan dihadapan Sidang Akademik Terbuka Di Pimpin Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Pada Hari Minggu Tanggal 29 Bulan Juni, Tahun 2013 Pukul WIB di Ruang Sidang Doktor Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Oleh : RUBEN ACHMAD NIM : 20083003002

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA JUNI 2013

[1]


HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk yang tercinta : Kedua Orang Tuaku, Bapak H. Zainal Abidin Achmad (alm), Ibu Hj. Rr. Siti Sumaryati, Istriku Hj. Mariani Dwi Astuty. Bsc, Dan anak-anakku Lulu, Adit serta cucu-cucuku

[2]


DEWAN PENGUJI

Prof. Amzulian Rifai, SH., LLM, Ph.D

(Promotor)

Prof. Dr. H. Mustafa Abdullah, SH

(Co-Promotor)

Prof. Dr. Joni Emirzon, SH., MH.

(Penguji)

Dr. Zen Zanibar MZ., SH., MH

(Penguji)

Dr. Firman Muntaqo, SH., MH

(Penguji)

Dr. Suparman Marzuki, SH., MH

(Penguji)

Dr. Sahuri Lasmadi, SH., MH

(Penguji)

[3]


KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, dengan rahmat, Ridho, dan karunia Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penulisan Disertasi untuk memenuhi persyaratan pada program Doktor Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sriwijaya. Disertasi ini berjudul “KEBIJAKAN NON PENAL PENANGGULANGAN PENYALAGGUNAAN NARKOTIKA DI KALANGAN REMAJA (STUDI KASUS PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI KALANGAN REMAJA DI PALEMBANG). Shalawat dan salam semoga di;limpahkan kepada junjungan kita. Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarha dan para sahabatnya. Penulis menyadari sepenuhya dalam penyusunan Disertasi ini banyak mendapatkan bantuan, kemudahan dan dukungan serta masukan – masukan yang sangat berharga yang tanpa semua itu tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Prof. Amzulian Rifai, SH., LLM., Ph.D selaku Promotor dan Prof. Dr. H. Mustafa Abdullah, SH. Selaku Co Promotor yang telah memberikan bimbingan, kemudahan dan semangat sehingga penulisan Disertasi ini dapat berjalan dengan baik. Ucapan terima kasih setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr. Joni Emirzon, SH., MH, Dr. Zen Zanibar, SH., MH, Dr. Firman Muntaqo, SH., MH, Dr. Suparman, SH., MH, Dr. Sahuri Lasmadi, SH., MH selaku Anggota Dewan Penguji. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pula kepada Dr. Syaifuddin, SH., MH, Dr. Happy Warsito, SH., MS, Dr. Febrian, SH., MS, Dr. Ridwan, SH., MH selaku Dosen Program Doktor. Secara sadar penulis mengakui bahwa seringkali telah membuat kecewa dan tidak taat atas segala petunjuk yang diberikan, semua itu dikarenakan masih sempitnya pengetahuan dan pengalaman penulis, untuk semua itu perkenankanlah penulis mohon maaf yang sebesarbesarnya. Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan, selama penulis memasuki jenjang pendidikan pascasarjana, kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Prof. Amzulian Rifai, SH., LL.M., Ph.D., kepada Ketua Program S2 Dr. Zen Zanibar, SH., MH, kepada Ketua Program S3 Prof. Dr. Joni Emirzon, SH., MH, [4]


serta para pimpinan dan staf sekretariat Program Pascasarjana Studi Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya. Penulis mengakui, bahwa suatu karya tulis akan berkurang nilainya jika tidak mengikuti tata cara dan format yang sesuai yang berlaku dan disusun dengan tata bahasa dan gaya bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Mulyadi Eko Purnomo, yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam menuangkan kalimat-kalimat sesuai dengan tata bahasa serta gaya Bahasa Indonesia yang berlaku. Akhirnya ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada yang tercinta Istriku Mariani Dwi Astuty, anak-anakku Luluk dan Adit yang selalu memberi semangat dan dorongan selama penulisan Disertasi ini.

Palembang, Juni 2013 Penulis,

Ruben Achmad

[5]


ABSTRAK Penelitian Desertasi ini dengan judul Kebijakan Non Penal Penanggulangan Penyalahgunaan narkotika Di Kalangan Remaja (Studi Kasus Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Kalangan Remaja Di Palembang). Permasalahan penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah Gejala Penyalahgunaan Narkotika Remaja Di kota Palembang., (2) Faktor-faktor Korelasional Kriminogen Apakah yang melatarbelakangi terjadinya penyalahgunaan narkotika remaja di kota Palembang ; (3) Bagaimanakah langkah kebijakan yang telah di tempuh selama ini terhadap praktek penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja di Palembang yang utamanya lebih bersifat kebijakan penal ; (4) Apakah Relevansi pengedepanan kebijakan non penal dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja di Palembang. Untuk menjawab ke empat permasalahan penelitian disertasi ini digunakan metodelogi penelitian hukum normatif dengan bersumber pada data sekunder, sementara data primer sebagai penunjang. Hasil temuan penelitian ini diuraikan dalam kesimpulan umum dan kesimpulan khusus. Kesimpulan umum merupakan jawaban tidak langsung atas permasalahan penelitian sementara kesimpulan khusus merupakan jawaban langsung dan bersifat spesifik atas ke empat pertanyaan penelitian yaitu : Gejala penggunaan narkotika remaja sangat meluas, disamping konsumen remaja semakin bertambah banyak, para pengedar juga makin banyak karena merasakan manisnya uang hasil narkotika. Padahal mereka tahu persis bahwa jika tertangkap maka sanksi pidananya sangat berat. Faktor korelasional kriminogen yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana narkotika remaja adalah : faktor korelatif internal dan eksternal. Adapun upaya penal yang ditempuh melalui tahapan proses sistem peradilan pidana yang tidak efektif terkait dengan upaya pencegahan dan penindakan terhadap remaja pelaku tindak pidana narkotika. Sedangkan relevansi pengedepanan kebijakan non penal melalui pengembangan model restoratif justice dalam wujud pendekatan sosio budaya Indonesia khususnya sosio budaya Palemabng melalui media si adat. Pengalihan dengan cara adat terhadap penyelesaian penyalahgunaan narkotika remaja bersesuaian dengan budaya agama Islam yang sebagian besar dianut oleh masyarakat Palembang disamping itu juga mendapat legitimasi oleh sistem budaya Pancasila. Rekomendasi penelitian, perlu dilakukan renovasi upaya penal, selain itu upaya penal di tentukan dengan sangat selektif, pengembangn kebijakan non penal ditetapkan sebagai alternatif pemberantasan narkotika di kalangan remaja melalui pendekatan budaya adat (mediasi adat)

[6]


DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul ..........................................................................................

i

Halaman Persembahan .............................................................................

ii

Dewan Penguji ..........................................................................................

iii

Kata Pengantar .........................................................................................

iv

Abstrak ......................................................................................................

vi

Daftar isi ....................................................................................................

vii

A. B. C. D. E. F. G. H.

Latar Belakang Permasalahan ....................................................... Rumusan Permasalahan ................................................................ Tujuan Penelitian ........................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................ Orisinalitas Penelitian .................................................................... Kerangka Teoritis ........................................................................... Definisi Operasional ...................................................................... Metode Penelitian ......................................................................... 1. Pendekatan Penelitian ............................................................. 2. Spesifikasi Penelitian ............................................................... 3. Jenis Data ................................................................................. 4. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... Metode Analisis Data ............................................................... Sistimatika Penelitian ............................................................... Kesimpulan .............................................................................. Rekomendasi ........................................................................... Implikasi Penelitian ..................................................................

1 10 11 11 12 13 36 37 37 38 38 38 39 40 41 41 42

Daftar Pustaka ..........................................................................................

44

Daftar Riwayat Hidup ................................................................................

53

I. J. K. L. M.

[7]


RINGKASAN DISERTASI

A. Latar Belakang Permasalahan Problem remaja merupakan topik pembicaraan di negara manapun di seluruh dunia. Negara-negara super modern juga mempunyai persoalan dengan perkembangan remajanya, Pada kenyataannya negara-negara berkembang termasuk Indonesia, problem remaja sangat komplek. Hal ini disebabkan banyak faktor, diantaranya para remaja di negara berkembang belum siap menerima perubahan yang begitu cepat. Sementara itu lingkungan budaya yang begitu kukuh berakar dalam pribadi telah menentukan sikap tertentu terhadap perubahan tersebut. Akan tetapi keadaan jiwa remaja yang masih dalam keadaan transisi menunjukkan sikap labil dan gampang sekali terpengaruh terhadap sesuatu yang datang pada dirinya, sehingga kadang-kadang timbullah konflik pada dirinya dengan lingkungannya. Hal ini memancar kepada tingkah laku yang 1 mengandung problem terhadap lingkungan dan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan pendapat tersebut, dapatlah ditegaskan bahwa masalah kenakalan remaja bukan saja merupakan masalah hukum nasional suatu negara tertentu, melainkan sudah merupakan masalh hukum semua negara di dunia atau merpakan masalah global. Meskipun narkoba sangat diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkoba secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan atau masyarakat, khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan melemahkan ketahanan nasional. Penyalahgunaan narkoba adalah pemakaian narkoba diluar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, dan pemakiannya bersifat patologik (menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas dirumah, sekolah atau kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosial. Ketergantungan narkoba adalah kondisi yang kebanyakan

1

Sofyan S. Willis, 1983 Problem Remaja dan Pemecahannya, Angkasa, Bandung, hlm 3.

[8]


diakibatkan oleh penyalahgunaan zat yang disertai dengan adanya toleransi zat (dosis semakin tinggi) dan gejala putus zat. Masalah penyalahgunaan Narkotika terus menjadi permasalahan global, mewabah hampir semua bangsa di dunia ini, mengakibatkan kematian jutaan jiwa, menghancurkan kehidupan keluarga dan mengancam keamanan, stabilitas dan ketahanan nasional. Dampak yang sering terjadi di tengah masyarakat dari penyalahgunaan/ketergantungan narkoba antara lain: merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku anti sosial (perilaku maladaptif), gangguan kesehatan (fisik dan mental), mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak kekerasan, dan 2 kriminalitas lainnya. PBB mengatakan bahwa Narkoba sedang mencabik-cabik masyarakat kita, memicu aksi-aksi kejahatan, menyebarkan penyakit seperti AIDS, dan merenggut nyawa kaum muda serta masa depan kita. PBB menambahkan, “Kini diperkirakan ada 190 juta pengguna narkotika di seputar dunia. Tidak ada satu negara pun yang terluput. Dan tidak ada satu negarapun yang sanggup memberantas sendiri perdagangan narkotika dari kawasan negaranya. Globalisasi perdagangan Narkoba menuntut penanganan 3 secara internasional� Di Indonesia, ancaman Narkotika dewasa ini sudah sangat serius dan memperihatinkan dilihat dari jumlah, proporsi penyalahgunaannya, jenis dan jumlah narkotika yang disalahgunakan dan diedarkan secara gelap. Data menunjukkan bahwa korban penyalahgunaan narkotika di Indonesia meningkat tajam dan terus bertambah. Buktinya, jumlah pasien di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSOK) meningkat 6 kali lipat dalam 4 2 tahun terakhir, dimana sebagian besar pasiennya berusia 15-25 tahun. Pada saat ini, masalah narkotika sudah merambah ke semua lapisan masyarakat. Fakta yang paling mengganggu adalah bahwa usia awal perkenalan dengan bermacam-macam zat-obat menjadi semakin mudah. Survai tahun 1994, usia mengenal ganja, memakai opium dan zat-zat 2

Dadang Hawari, 1997, Konsep Islam Memerangi AIDS dan NAZA, Dhana Bakti Priyasa, Yogyakarta, cet. Xi, hlm 153. 3 Badan Narkotika Nasional, 2009. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Apa Yang Bisa Anda Lakukan, Pusat Pencegahan Lakhar BNN, hlm 2. 4 Ibid.

[9]


terlarang lainnya adalah 11 tahun. Survai tahun 1997 pada lokasi yang sama, menemukan bahwa usia pengenalan semakin muda, yaitu menghisap rokok (6 tahun), zat halusinogen (10 tahun), obat psikotropika 5 (10 tahun) dan opium (13 tahun). Menurut Direktorat pelayanan rehabilitasi sosial korban narkotika, dalam kurun tiga tahun terjadi peningkatan 400%. Sementara dari pihak kepolisian Republik Indonesia, dilaporkan pula adanya peningkatan jumlah 6 penyalahgunaan narkotika dalam kurun tiga tahun sebesar 91,33%. Dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan pula dalam jumlah maupun jenis narkotika yang beredar. Hal ini dapat diketahui dari hasil tangkapan bea dan cukai. Narkotika yang berhasil disita terdiri dari 15.980 kg heroin, 993 butir ekstasi, 301 gr shabu-shabu dan 30 kg ganja yang bernilai total 6,5 miliar rupiah. Kemudian peningkatan terus terjadi, yakni mencapai 11 miliar rupiah, tetapi komposisinya berubah, yakni heroin sebanyak 6.575 kg, ekstasi sebanyak 54.872 butir dan shabu-shabu sebanyak 27.610 gr. Sehingga diperkirakan pada saat ini di Jakarta saja 7 omzet narkotika dalam sehari mencapai 260-270 miliar rupiah. Berdasarkan data hasil pengamatan yang penulis dapatkan dari jalanan menunjukkan bahwa anak-anak usia 7 tahun telah menghirup uap lem (ngelem). Asessemen mutakhir yang ada menyimpulkan bahwa tingkat penyalahgunaan Narkotika pada kelompok ini cukup tinggi. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Palembang, dapat diasumsikan bahwa 30-40 % anak-anak jalanan memakai zat-zat adiktif yang mempengaruhi kerja otak seperti lem, pil-pil psikotropika, alkohol dan ganja. Dengan proporsi penduduk anak remaja dan pemuda sekitar 40% dari 220 juta, merupakan sasaran empuk pemasaran gelap Narkotika. Hal ini bisa di lihat dari jumlah Narkotika yang disita di Bandara Soekarno-Hatta dengan puluhan kilogram heroin dan Methamphetamine HCL (shabu) dan ribuan butir pil ekstasi yang hendak diselundupkan ke Indonesia. Akibat terus diserbu pasokan Narkotika, pecandunya terus meningkat. Berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat khususnya perilaku para remaja yang kurang mendapat perhatian yang serius, baik dari para aparat penegak hukum maupun dari masyarakat itu sendiri, yang dalam hal ini 5

Ibid. Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2010, Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika oleh Masyarakat Sekolah, Departemen Agama RI, Jakarta, hlm 81-82. 7 Ibid 6

[ 10 ]


peristiwa yang bertentangan dengan hukum, misalnya tentang perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para remaja. Kartini Kartono, menyatakan bahwa kenakalan remaja banyak tumbuh dan berkembang di kota-kota besar dan bertanggung jawab atas banyaknya kejahatan dalam bentuk: pencurian, perusakan milik orang lain, dengan sengaja melanggar dan menentang otoritas orang dewasa serta moralitas yang konvensional, 8 melakukan tindak kekerasan, meneror lingkungan, dan lain-lain. Romli Atmasasmita menyatakan bahwa kenakalan remaja adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan. Sedangkan menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan Anak Nakal adalah: a.

Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b.

Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Kejahatan dan kenakalan remaja tidak dapat dilepaskan dari konteks kondisi sosial-budaya zamannya, sebab setiap priode sifatnya khas, dan memberikan jenis tantangan khusus kepada generasi mudanya. Menurut Hurlock, kenakalan anak dan remaja bersumber dari moral yang sudah berbahaya atau berisiko (moral hazard). Menurutnya, kerusakan moral bersumber dari: (1) keluarga yang sibuk, keluarga retak, keluarga dengan single parent dimana anak hanya diasuh oleh ibu; (2) menurunnya kewibawaan sekolah dalam mengawasi anak; (3) peranan 9 gereja tidak mampu menangani masalah moral Perubahan sosial (sosial change) yang demikian cepat, menyebabkan pengaruh orang tua, sekolah dan agama, menjadi tertinggal dibelakang. Dengan kata lain kenakalan anak dan remaja sudah canggih, berbasis budaya Barat dan teknologi baru, pasti tidak mudah dikontrol. Penyebaran narkotika makin canggih jaringannya. Bahkan sekolah-sekolah sudah

8

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2; Kenakalan Remaja, Rajawali Pres, Jakarta, hlm 13. Hurlock, dalam Sofyan S. Willis,2010, Remaja Dan Masalahnya:Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan Remaja Narkoba,Free Sex Dan Pemecahannya, Alfa Beta, Bandung, hlm 89. 9

[ 11 ]


dimasuki jaringan narkotika. Akan tetapi antisipasi guru, orang tua, dan pihak masyarakat termasuk pihak keamanan amat sederhana. Konflik dalam keluarga juga dapat melahirkan kejahatan. Kehangatan dalam sebuah keluarga akan melahirkan motivasi yang positip para anggotanya dalam menghadapi kehidupan. Sebaliknya, kondisi keluarga yang berantakan menjadikan angota-anggotanya terutama anak-anak cenderung melakukan perbuatan yang menyimpang sehingga dapat mengarah terjadinya kejahatan. Keluarga memainkan peranan penting untuk melindungi anggotanya dari perilaku kriminal atau bentuk perilaku menyimpang lainnya. Sepanjang sejarah kehidupan manusia keluaga telah menjadi lembaga utama untuk menerapkan aturan dan nilai-nilai dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Anak-anak mempunyai lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga dibanding dengan orang lain. Komunikasi dalam keluarga ini adalah elemen yang utama untuk menciptakan kedekatan hubungan emosional. Keluarga adalah lembaga yang mempunyai tanggung jawab untuk mendidik anak-anak supaya tidak berbuat kejahatan dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan. Dalam konteks ini keluarga juga berperan untuk mensosialisasikan kepada 10 anak-anak supaya tidak melanggar hukum Kuantitas penyalahgunaan narkotika ini semakin hari semakin meningkat, baik pelaku pengedar maupun korbanya disebabkan oleh sistem tata nilai yang dianut warga masyarakat telah terjadi pergeseran dari nilai-nilai disiplin di lingkungan kehidupan rumah tangga, sekolah, dan sosial, hal ini disebabkan oleh semakin pudarnya social order atau sistem pengawasan sosial masyarakat. Di sisi lain, hukum dipandang sebagai salah satu sarana social engineering, tapi dalam kenyataannya tidak mampu menghadapi ancaman dari gejala penyimpangan sosial di atas. Ajaran mazhab ilmu hukum sosiologis telah membekali pandangan tentang hukum yang tidak hanya terbatas pada hukum yang dogmatis. Hukum mempunyai aspek tingkah laku manusia sehingga hukum merupakan gejala sosial yang dapat diteliti manusia pada hakekatnya mempelajari tingkah laku hukum. Hal ini dapat diketengahkan bahwa terdapat kecenderungan seseorang melibatkan diri kedalam penyalahgunaan narkotika, diakibatkan karena renggangnya sistem sosial budaya dalam kehidupan masyarakat secara intrinsic hal ini disebabkan oleh permasalahan pribadi pihak pihak konsumen narkotika.

10 Lafree & Gary,1998, Social Institution and crime Bust of The 1990s Journal of Criminal Law & Criminologi. 00914169. Summer. Vol 88. Issue 4, hlm 9

[ 12 ]


Penyalahgunaan narkotika anak, remaja, dan golongan pemuda. pertama, menyangkut prestise, kebanggaan atau ingin sekedar tahu, yaitu salah satu motivasi seseorang melibatkan dirinya dalam mengonsumsi narkotika tersebut. Permasalahan kedua, kondisi lingkungan kehidupan di keluarga. Perrmasalah ini merupakan salah satu faktor yang menonjol, yaitu lemahnya mekanisme komunikasi antara anak dengan orang tua dan komunikasi antara orang tua dan guru dalam melakukan kontrol terhadap kemajuan anak didik. Permasalahan ketiga, diakibatkan kurangnya masyarakat ikut berperan secara aktif terhadap pemecahan permasalahan sosial dan untuk mencari solusi guna meminimalkan kesenjangan sosial yang semakin tajam tersebut. Kuatnya pengaruh pergaulan teman sebaya, demikian juga pergaulan muda-mudi dewasa ini, terdapat kecenderungan lebih mengarah pada budaya simbolik, yaitu untuk sekedar mendapat pengakuan status sosial dari kelompok remaja lainnya, agar dianggap sebagai masyarakat perkotaan. Lunden seperti dikutip oleh Soedjono Dirjosisworo di negara berkembang 11 kejahatan yang dilakukan remaja disebabkan oleh : 1.

Besarnya jumlah dan sukarnya melakukan pencegahan terhadap gelombang urbanisasi remaja dari desa ke kota;

2.

Terjadinya konflik antar norma adat perdesaan (tradisional) dengan norma baru yang tumbuh dalam proses dan perkembangan kehidupan sosial yang cepat di kota besar;

3.

Memudarnya pola-pola kepribadian individu yang terkait kuat pada pola kontrol sosial tradisionalnya, sehingga anggota masyarakat terutama remajanya mulai kehilangan pola kepribadian atau “samar pola� menentukan perilakunya.

Jumlah remaja yang bermasalah dengan narkotika yang berada di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara dalam kurun waktu lima tahun (2006-2010) khususnya di kota Palembang berjumlah 438 12 remaja, memunculkan berbagai pertanyaan. Mengapa terjadi peningkatan jumlah remaja yang menyalahgunakan narkotika khususnya di kota Palembang, faktor apakah yang menyebabkannya dan bagaimana cara menanggulanginya.

11 Soedjono Dirdjosisworo 1984, Sosio Kriminologi, Amalan Imu-ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan. Sinar Baru; Bandung, hlm 70. 12 Kantor Wilayah Hukum dan Hak Azazi Manusia (HAM) Propinsi Sumatera Selatan, 2012.

[ 13 ]


Yang memperihatinkan juga adalah korban penyalahgunaan narkotika pada umumnya remaja dan dewasa muda 16 – 25 tahun, justru mereka sedang dalam usia produktif dan merupakan sumber daya manusia atau 13 aset bangsa dikemudian hari. Kondisi ini sangat memperihatinkan sekali karena kalau tidak bisa diatasi jelas akan merusak generasi muda Indonesia, dan akan menjadi bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, bangsa dan negara. Ditambah lagi, kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih. Peredaran narkotika, secara illegal di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini, semakin meningkat. Indonesia yang pada mulanya sebagai negara transit perdagangan narkotika kini sudah dijadikan daerah tujuan operasi oleh jaringan narkotika internasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya pengedar berkebangsaan asing yang tertangkap dengan penyitaan barang bukti narkotika dalam jumlah besar. Peredaran narkotika di dalam negeri hampir meliputi seluruh kotakota besar sampai sejumlah desa-desa, dan sebagai tempat transaksinya biasanya tempat hiburan (diskotik, karaoke), lingkungan kampus, hotel, apartemen dan tempat kumpul remaja, seperti mall, pusat belanja, dan 14 lain-lain. Upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika dimulai sejak pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Verdovende Middelen Ordonantie (S. 1927-278). Pada tahun 1976 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika berdasarkan rativikasi Konvensi Tunggal Narkotika yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika Tahun 1961 Beserta Protokol yang mengubahnya. Undang-Undang No 9 Tahun 1976 tentang Narkotika ini merupakan pengganti Verdovende Middelen Ordonantie (S. 15 1927-278). Dalam perkembangannya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak memadai lagi untuk membendung perkembangan peredaran narkotika. Dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika yang semakin berkembang pemerintah Indonesia meratifikasi

13

Mahdiah, 2002, Hak Asasi Manusia Untuk Anak Usia Sekolah Korban Narkotika, Direktorat Jenderal Perlindungan, Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002, hlm 13. 14 Togar M. Sianipar, 2003, “Perkembangan Kejahatan Narkotika� Makalah dalam seminar Narkotika di Departemen Kehakiman dan HAM tanggal 22 Juli, hlm 9. 15 Sudarto, 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana. PT. Alumni, Bandung, hlm 45.

[ 14 ]


Konvensi Internasional melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1977 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffict In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances. Kemudian pemerintah melanjutkan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997, ternyata tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang masih belum dapat ditekan secara maksimal baik kualitas maupun kuantitas. Pesatnya perkembangan penyalahgunaan narkotika dan obatobatan terlarang tidak dapat diselesaikan oleh UU Nomor 22 Tahun 1997, oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan perubahan UU tersebut. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditegaskan untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomo 22 Tahun 1977 tentang 16 Narkotika . Dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Tanggal 14 September 2009 Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika menjadi Undang-Undang yaitu UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang ini pada prinsipnya mengatur tentang mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/menggunakan narkotika tanpa pnegendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana narkotika. Kriminalisasi terhadap narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia. Kebijakan penanggulangan kejahatan (Narkotika) sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif

16

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

[ 15 ]


dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk budaya hukum masyarakat sehingga masyarakat ikut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) menurut Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing viewsof society on crime 17 and punishment (mass media) Penanggulangan kejahatan lewat jalur hukum pidana, melalui mekanisme sistem peradilan pidana yang dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan. Bekerjanya mekanisme sistem peradilan pidana, bertujuan untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegaskan dan yang bersalah dipidana, serta mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Terkait dengan upaya “non penal� terhadap penyalahgunaan narkotika oleh remaja berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana, melalui pendekatan keadilan restoratif, sebagaimana dinyatakan bahwa akar nilai yang diusung oleh keadilan restoratif berakar dari nilainilai tradisional dalam masyarakat tradisional seperti nilai keseimbangan, harmonisasi serta kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu melalui lembaga mediasi adat sebagai sarana untuk meyelesaikan permasalahan atau sengketa yang dialaminya termasuk di dalamnya upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja khususnya di Kota Palembang. Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat dipakai

17

G. Peters Hoefnagels, 1973. The Other Side of Criminology. Deventer, Holand: Kluwer,

hlm 57.

[ 16 ]


18

dalam sistem peradilan pidana yang rasional . Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidak puasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu 19 tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum. Konsep hukum adat Indonesia sebagai wadah dari institusi peradilan adat juga memiliki konsep yang dapat digambarkan sebagai akar dari keadilan restoratif. Di Indonesia, karakteristik dari hukum adat di tiap daerah pada umumnya amat mendukung penerapan keadilan restoratif. Berdasarkan uraian tersebut di atas Penelitian Disertasi ini menitik beratkan Fokus Studinya pada: Kebijakan Non Penal Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di kalangan Remaja (Studi Kasus Di Palembang). B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan maka penelitian disertasi ini fokus studinya pada: Kebijakan Non Penal Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di kalangan Remaja (Studi Kasus Di Palembang). Fokus studi ini dilatar belakangi oleh ketidak efektivan Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Remaja melalui jalur penal (HukumPidana), khususnya pada remaja yang pemakai narkotika. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat diformulasikan beberapa masalah sebagai berikut: 1.

Bagaimanakah gejala penyalahgunaan narkotika remaja di Kota Palembang.

2.

Faktor korelasional kriminogen apakah yang melatar belakangi terjadinya penyalahgunaan narkotika remaja di Kota Palembang.

hlm 64.

18

Eva Achjani Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung,

19

Ibid.

[ 17 ]


C.

3.

Bagaimanakah kebijakan penal yang telah ditempuh selama ini terhadap praktek penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja di Palembang.

4.

Bagaimanakan relevansi penggunaan kebijakan non penal dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja di Palembang.

Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut : 1.

Untuk menganalisis gejala penyalahgunaan narkotika remaja di Kota Palembang.

2.

Untuk mengidentifikasi faktor korelasional kriminogen yang melatar belakangi penyalahgunaan narkotika remaja di Kota Palembang.

3.

Untuk mengetahui langkah kebijakan yang telah ditempuh selama ini terhadap praktek penanggulangan penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja di Palembang yang utamanya lebih bersifat kebijakan penal.

4.

Untuk mengetahui dan mengembangkan langkah-langkah kebijakan non penal (yang sesuai dengan budaya masyarakat) dalam penyalahgunaan narkotika remaja di Kota Palembang

D. Manfaat Penelitian Sehubungan dengan tujuan penelitian yang dirumuskan tersebut, maka manfaat yang ingin dicapai, adalah sebagai berikut : 1.

Manfaat Teoritis, bahwasanya hasil Penelitian Disertasi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian teoritis dan akademis untuk pengembangan ilmu hukum pidana khususnya berkaitan dengan pola atau model upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika remaja melalui upaya / kebijakan non penal.

2.

Manfaat Praktis, hasil penelitian Disertasi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi aparat Penegak Hukum Pidana dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika remaja khususnya di Kota Palembang. Disamping itu hasil penelitian ini juga bermanfaat untuk Lembaga Legislatif, dalam rangka pembentukan Kebijakan Legislatif untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana / Sistem Peradilan Pidana Anak/Remaja. [ 18 ]


E.

Orisinalitas Penelitian Romli Atmasasmita menulis disertasi dengan judul : Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Disertasi ini mengupas tentang tindak pidana narkotika transnasional menurut Konvensi Wina 1988 dapat merupakan tindak pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia dan ketentuan perluasan yurisdiksi kriminal dalam sistem hukum pidana Indonesia dapat dijadikan alas hukum untuk 20 menuntut dan mengadili tindak pidana narkotika transnasional . Siswanto Sunarso menulis disertasi dengan judul: Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum. Disertasi ini fokusnya adalah mengenai pengaruh substansi hukum dapat menunjang peranan penegak hukum dan peran serta masyarakat guna kepentingan tujuan penegakan hukum dan hubungan antara sikap tingkah laku penegak hukum dan peran serta masyarakat terhadap efektivitas hukum, dalam rangka penegakan hukum psikotropika serta pengaruh sanksi pidana, terhadap efektivitas 21 hukum, dalam rangka penegakan hukum psikotropika. Mardani menulis disertasi dengan judul Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional. Fokus kajian disertasi ini adalah tentang penyalahgunaan narkoba dalam perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Nasional terutama tentang bahayanya, sanksi hukumnya dan unsur persamaan dan perbedaan antara 22 kedua sistem hukum tersebut . Dibandingkan penelitian terdahulu, maka kajian yang berjudul Kebijakan Non Penal Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Kalangan Remaja ( Studi Kasus Di Palembang) ini, terdapat unsur kebaruan: penelitian dalam disertasi ini diawali dengan gejala penyalahgunaan narkotika remaja, latar belakang terjadinya penyalahgunaan narkotika remaja, kebijakan penal yang telah ditempuh selama ini terhadap praktek penanggulangan penyalahgunaan narkotika, dan relevansi penggunaan kebijakan non penal melalui mediasi adat (khususnya mediasi sosial budaya Palembang).

20 Romli Atmasasmita,1997.Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung 1997, hlm 27. 21 Siswanto Sunarso,2004. Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta, hlm 16. 22 Mardani, 1996. Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 9.

[ 19 ]


F.

Kerangka Teoritis Dalam rangka menjawab permasalahan disertasi kerangka yang tersusun atas kerangka konseptual dan teoritis. Konsep tentang remaja dijelaskan dengan batasan usia atau kondisi kejiwaan remaja. Berbicara masalah remaja orang sering mengkaitkannya dengan tingkat usia. Diakui bahwa dalam istilah hukum tidak dikenal istilah remaja yang ada istilah dibawah umur atau belum cukup umur. Konsep anak/remaja dapat dinyatakan sebagai seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun. Di dalam proses seorang anak menuju usianya yang ke 21 tahun itu banyak hal yang harus dilaluinya, ia harus melalui tahapantahapan perkembangan kejiwaan. Tahap perkembangan kejiwaan remaja dan tingkat usianya dapat diklasifikasikan menjadi: (a) remaja dini (12 – 15 tahun), (b) remaja penuh (15 – 17 tahun ), (c) dewasa muda (17 – 21 tahun). Dari pengklasifikasian usia tersebut, secara sederhana dapatlah dinyatakan bahwa remaja merupakan suatu masa persiapan untuk memasuki usia dewasa. Kondisi kejiwaan yang dialami remaja di setiap 23 tahapan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut a.

Menguasai tubuhnya (kecanggungan akan postur tubuh “baru”nya, ketidaknyamanan kejiwaan yang dirasakan dalam menanggapi postur tubuh “barunya” itu);

b.

Identifikasi dalam penanmpungan);

c.

Mencari popularitas dan kesetiaan pada teman tinggi;

d.

Mereorganisasikan Diri (perubahan sikap, minat, pola hubungan pertemanan lain jenis);

e.

Mencoba mencari pengalaman baru, sehingga minat keluar rumah tinggi;

f.

Penguasaan diri (dalam Keluarga, sekolah, lingkungan pergaupan).

Keluarga(egois,

dan

membutuhkan

Kondisi kejiwaan demikian membawa akibat adanya:

23

Singgih Gunarso, 1989, Perubahan Sosial dalam masyarakat, Makalah disampaikan dalam seminar Keluarga dan Budaya Remaja di Perkotaan, Pusat Antara Universitas Ilmu-ilmu Social, UI. Jakarta, hlm 9.

[ 20 ]


1.

Perasaan Gelisah;

2.

Selalu terjadi konflik dalam dirinya;

3.

Keinginan untuk coba-coba;

4.

Terbius dalam khayalan fantastis;

5.

Suka Aktivitas Berkelompok;

6.

Pergaulan Heteroseksual;

7.

Kondisi Emosional labil dan

8.

Prestasi Sekolah Labil.

Kondisi demikian, bila saja tidak dipahami oleh remaja sendiri ataupun masyarakat orang tua, sudah tentu akan sangat mengganggu perkembangan jiwanya, dan pada gilirannya kondisi akhir setelah remaja memasuki kedewasaannya jadi jauh dari harapan orang tua pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pada pihak lain Eric Erikson 24 mencoba melukiskan perkembangan manusia sebagai pertautan antara dua kekuatan yang berkonflik, Anak-anak praremaja mengalami konflik untuk rajin atau minder. Kalau mereka berhasil melampaui masa ini mereka akan menjadi kooperatif dan pandai. Remaja-remaja juga mengalami konflik antara kejelasan identitas dengan kekacauan identitas. Bila saja mereka berhasil melampaui tahap ini, maka mereka bakal menjadi manusia yang memiliki kesetiaan tinggi dan suka menolong. Sementara bila mereka sudah sampai pada tahap awal kedewasaan, maka mereka akan mengalami konflik antara intimitas dan isolasi. Kalau mereka berhasil melampaui perlu dicatat kecenderungan yang ada ditegaskan oleh Erich Fromn, banyak orang yang tak mampu mencintai secara benar. Mereka Cuma sibuk untuk dicintai orang tetapi tidak sungguh-sungguh untuk respect, ngeman, appreciate dan tanggung pada orang yang dicintai. Erat kaitannya dengan masalah ini, paparan proses kepatuhan manusia pada norma yang disampaikan oleh kohlberg. Menurut Kohlberg orang biasanya mematuhi norma masyarakat karena takut hukuman, dan ingin memperoleh pujian. Tahapan berikutnya, biasanya orang patuh norma karena berharap akan diperlakukan sama oleh orang lain atas dirinya. Baru setelah itu norma-norma masyarakat dipatuhi karena adanya kesadaran bahwa keseluruhan norma itu demi kelangsungan hidup sistem

24 Paulus Hadisuprapto 1997, Juvenile Delinquenscy Penanggulangannya), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 38.

(Pemahaman

dan

[ 21 ]


masyarakat bersangkutan. Pada tahapam terakhir, norma-norma masyarakat akan diapatuhi karena norma-norma itu mencerminkan moral 25 yang sifatnya universal. Penyalahgunaan Narkotika (drugs abuse) oleh Remaja adalah suatu pemakaian non medical atau illegal barang haram yang dinamakan narkotika yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan yang produktif remaja pemainya. Manusia pemakai narkotika bisa dari berbagai kalangan, mulai dari level ekonomi tinggi, hingga rendah, para penjahat, pekerja, ibu ibu rumah tangga, bahkan sekarang sudah sampai ke sekolah-sekolah yang jelas-jelas terdiri dari para generasi muda, bahkan lebih khusus lagi anak dan remaja. Berbagai jenis narkotika yang mungkin disalahgunakan yang dapat memberikan keracunan, misalnya yang diisap dari asapnya. Penyalahgunaan narkotika dapat menyebabkan ketergantungan zat narkotika, jika dihentikan maka sipemakai akan sakau. Banyak remaja mulai memakai narkotika karena ingin coba-coba (bereksprimen), akhirnya mendapat rasa kesenangan karena efek zat-zat tersebut. Ada juga karena pengaruh dari teman-temannya yang sudah kecanduan, atau juga karena ingin seperti perilaku orang dewasa, atau berperan meniru orang dewasa. Orang-orang muda yang bereksprimen tidak akan langsung kecanduan. Akan tetapi karena diulangi lagi dan lagi, maka dia merasakan kenikmatan zat tersebut, seperti nikotin, alkohol dan narkotika. Lama-lama remaja itu bergantung kepada zat tersebut dan sukar untuk melepaskan diri karena mereka telah kecanduan (ketergantungan narkotika), Jika sudah demikian maka remaja yang sudah bergantung pada zat-zat narkotika akan berusaha apa saja bagaimana mendapatkan uang, baik secara halal maupun haram seperti mencuri, merampok, mencopet, dan sebagainya. Pemakaian yang berulang-ulang akan bergantung secara fisik dan psikis terhadap narkotika, dan tidak bisa dihentikan. Jika tidak mendapat narkotika maka pemakai akan menjalani sakaw (withdrawal). Penyalahgunaan narkotika remaja merupakan kenakalan remaja dan penyebab yang mendorong remaja untuk meyalahgunakan narkotika secara teoritis disebabkan oleh banyak faktor. Misalnya ada teori biologis dan biososial yang membahas tentang samatotype, warisan, pengaruh

25 Darmato Jatiman, 1992, Konflik Nilai dalam Kehidupan Remaja, Makalah Diskusi Pusat Studi Sosial Budaya, Lemabaga Penelitian Undip, hlm 18.

[ 22 ]


kebiasaan (conditionability and delinquency); teori psikologi, teori sosial disorganization dan anomie yang menyatakan bahwa kenakalan remaja adalah disebabkan oleh faktor lingkungan dimana seseorang itu berada, teori control, teori lower class, dan teori differential culture (teori penyimpangan kebudayaan). Para ahli psikologi memberikan perbedaan individu dengan menggunakan faktor intelegensia atau kecerdasan, kepribadian atau faktor lainnya di dalam masyarakat. Faktor tersebut secara langsung ataupun tidak langsung dapat menentukan adanya delinquency atau tidak pada seorang remaja. Inilah yang disebut teori psikologi dalam delinquency. Teori ini juga menyangkut keturunan dan keadaan lahir seseorang. Faktor psikologi juga merupakan faktor yang ada sejak lahir, 26 seperti kecerdasan. Dengan dikenalnya tes kecerdasan pada awal abad 20, maka orang mulai memfokuskan pada faktor mental dari seseorang walaupun menurut analisis kecerdasan merupakan faktor turunan sehingga masih dapat disebut sebagai faktor biologi. Di akhir abad 19 seorang ahli psikologi bernama Sigmun Freud menulis tentang aktivitas internal dari daya pikir dan kepribadian seseorang dan bagaimanakah komponen internal tersebut dapat mempengaruhi tingkah laku ataupun kriminalitas. Pembahasan seperti ini menggunakan psychiatric-psychoanalytis yang memfokuskan pendekatan pada masalah tingkah laku manusia. Pada awal abad 20 pendekatan psikologi terhadap kejahatan anak/remaja mulai diterapkan. Banyak variasi yang mengemukakan dari semua pendekatan yang ada termasuk konsep penurunan mental (mental defisiency), gangguan berfikir (psychiatric disturbance) dan faktor dalam diri yang dimiliki seperti rasa malas, marah, tersinggung, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang menjadi asumsi menurut para ahli psikologi yaitu: penyebab dasar deliquency meliputi pola individu dan pengembangannya. Pertama, perilaku remaja merupakan manifestasi dari keadaan internalnya, Kedua, gangguan psikologi yang serius akan membentuk sebuah pola tingkah laku anak. Selain itu, faktor internal dalam diri remaja muncul karena pengaruh faktor external, lingkungan. Oleh karena itu, gangguan pada diri remaja merupakan hal serius yang harus dipecahkan dan diatasi sebaik-baiknya

26 Donald J. Shoemaker, dalam Marlina, 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice, Aditama, Bandung, hlm 66.

[ 23 ]


untuk kepentingan perkembangan psikologisnya yang lebih baik dan 27 terarah . Ada teori yang menghubungkan antara kecerdasan dan delinquency. Para ahli menyebutkan bahwa kekurangan kecerdasan mempunyai pengaruh yang penting dalam melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab kriminal. Menurut asumsi dasar antara delinquency dan penyakit sosial mempunyai hubungan seperti, kekurangan kecerdasan secara langsung menjadi awal terjadinya perilaku kriminal dan kondisi remaja yang mempunyai masalah lain. Selanjutnya diasumsikan rendahnya kecerdasan menyebabkan kesulitan mengontrol emosi dan hasrat yang timbul dari dalam dirinya dan mudah terjerumus ke dalam kriminalitas. Ada juga ahli yang menyatakan bahwa asumsi pengaruh rendahnya kecerdasan tidak secara langsung menyebabkan delinquency, karena hanya menyebabkan faktor lain yang mana mempunyai hubungan 28 yang lebih erat dengan terjadinya delinquency . Kebijakan penanggulangan kejahatan sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga masyarakat ikut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan. Keterlibatan masyarakat ini sangat penting karena menurut G Peter Hoefnagels bahwa: “Criminal policy is the 29 organization of social reaction to crime� . Bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan yang secara rinci dirumuskan sebagai: ( “ criminal policy as a science of responses, criminal policy as a science of crime prevention, criminal policy is a policy of disignating human behaviuor as crime, criminal policy is rational total of 30 the responses to crime) “ Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwasanya menanggulangi kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional, dan menyeluruh sebagai respon terhadap

27

ibid, 66-67. ibid 29 G. Peters Hoefnagels, 1973. The Other Side Of Criminologi. Deventer, Holland: Kluwer, 28

hlm 57.

30

Ibid 99-100.

[ 24 ]


kejahatan, termasuk bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) menurut Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana(criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment (mass 31 media) Teori yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels di atas, kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara. Pertama, melalui kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law application”. Kedua, kebijakan non penal (non-penal policy) yang terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and punishment (mass media)”. Pendekatan integral antara penal policy dan non penal policy dalam penanggulangan kejahatan harus dilakukan karena pendekatan penerapan hukum pidana semata mempunyai berbagai keterbatasan. Keterbatasan kemampuan hukum pidana dapat dilihat dari sudut hakekat terjadinya kejahatan dan dari sudut hakekat berfungsinya/bekerjanya hukum (sanksi) 32 pidana itu sendiri. Dilihat dari hakekat kejahatan sebagai suatu masalah kemanusiaan dan masalah sosial, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan. Faktor penyebab kejahatan itu sangat kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana. Jadi, hukum pidana tidak akan mampu menjelaskan secara mendalam causa terjadinya kejahatan apabila tidak mendapat bantuan dari disiplin ilmu yang lain antara lain kriminologi. Disinilah hukum pidana secara terpadu melakukan pendekatan sosial. Dilihat dari hakekat berfungsinya/bekerjanya hukum pidana itu sendiri, sanksi (hukum) pidana selama ini bukanlah obat (remedium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit, tetapi sekedar untuk mengatasi gejala/akibat dari “pengobatan kausatif” tetapi hanya sekedar 33 “pengobatan simptomatik”

31

Ibid., hlm 56. Barda Nawawi Arief, 1998., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung, Citra Aditya, hlm 44-45. 33 Ibid. Pengobatan simptomatik lewat obat berupa “sanksi pidana” banyak kelemahan, sehingga masih selalu dipersoalkan keevektivannya. Terlebih obat (“pidana”) itu sendiri 32

[ 25 ]


Keterbatasan kemampuan hukum pidana dapat dilihat juga dari sifat/fungsi pemidanaan yaitu pemidanaan individual/personal, dan bukan pemidanaan yang bersifat struktural/fungsional. Pemidanaan yang bersifat individual / personal kurang menyentuh sisi-sisi lain yang berhubungan erat secara struktural/fungsional dengan perbuatan (dan akibat perbuatan) si pelaku. “Sisi lain yang bersifat struktural/fungsional� ini misalnya pihak korban/penderita lainnya dan struktur/kondisi lingkungan 34 yang menyebabkan si pembuat melakukan kejahatan/ tindak pidana. Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan diharapkan memberikan pencegahan kepada masyarakat dan pelaku sendiri untuk tidak berbuat kejahatan kembali. Akan tetapi tujuan ini senyatanya mengalami kegagalan, yang dapat diketahui dengan peningkatan angka pengulangan kejahatan disamping itu masyarakat sendiri dapat meniru untuk melakukan kejahatan, hal ini dikarenakan sanksi pidana tidak sampai pada akar persoalan kejahatan yang senyatanya. Oleh karena itu memerlukan pendekatan non penal disamping pendekatan penal. Pendekatan non penal dalam penanggulangan kejahatan bersifat pencegahan untuk terjadinya suatu kejahatan. Sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah sosial yang secara langsung dapat menimbulkan kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur penal dan non penal pada dasarnya juga dapat dipahami melalui perkembangan teoritis tentang tujuan pemidanaan. Sehubungan dengan itu akan diuraikan teoriteori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (teori retributif), teori relatif (teori tujuan), teori treatment, dan teori perlindungan sosial (social defence). Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang kemasa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada 35 tindakan kejahatan yang sudah dilakukan. Menurut Sahetapy, teori

mengandung juga sifat-sifat kontradiktif /paradoksal dan unsur-unsur negatif yang membahayakan atau setidaknya dapat menimbulkan efek-efek sampingan yang negatif. 34 Ibid. 35 J.E.Sahetapy, 1982. Suatu Studi khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, CV. Rajawali, Jakarta, hlm 198.

[ 26 ]


tersebut adalah teori tertua, setua sejarah manusia. Teori ini memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Meskipun kecenderungannya untuk membalas ini pada prinsipnya adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan karena itu irrasional. Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena sipelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Pemidanaan menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan karenanya teori ini disebut juga sebagai teori proporsionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan 36 dibenarkan secara moral. Sedangkan teori relatif (teori tujuan) berporos pada tiga tujuan utama 37 pemidanaan, yaitu: preventif, deterrence, dan reformatif. Tujuan Prevention dalam pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat, hal ini 38 disebut incapacitation. Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan adalah untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan. Tujuan ini dibedakan dalam tiga bagian, yaitu : tujuan yang bersifat individual, tujuan yang bersifat publik, dan tujuan yang bersifat jangka panjang. Tujuan deterrence yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku menjadi jera untuk kembali melakukan kejahatan. Sedangkan tujuan deterrence yang bersifat publik, agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahata. Tujuan deterrence yang bersifat jangka panjang atau long term deterrence adalah agar dapat memelihara keajegan sikap

36 Yong Ohoitimur. 1997, Teori Etika Tentang Hukuman Legal. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 6-7. Teori Retributif mempunyai akar yang panjang dalam sejarah. Kita bisa menemukan jejaknya dalam kitab-kitab Perjanjian lama dan Tahmud yang sampai kepada pemikirpemikir yang kontemporer seperti H.J. McCloskey, C.W.K. Mundle, Herbert Morris, Michel Davis, George Sher dan J.G. Murphy. Tetapi secara klasik, tak dapat disangkal bahwa Kant dan Hegel merupakan dua tokoh retributivis yang paling berpengaruh. 37 Khusus mengenai tujuan preventif dan deterrence, salah seorang tokoh aliran Klasik, Jeremy Bentham yang dikenal dengan ajaran “utilitarianisme� nya pernah mengajukan empat tujuan utama dari pidana : (1). Mencegah semua pelanggaran, (2). Mencegah pelanggaran yang paling jahat, (3). Menekan kejahatan, (4). Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya. Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori- teori dan Kebijakan Pidana, 1992. Alumni, Bandung, hlm 31. 38 Menurut Sue Titus Reid, incapacitation merupakan salah satu dari filsafat pemidanaan.

[ 27 ]


masyarakat terhadap pidana. Teori ini sering disebut sebagai educative 39 theory. Dari uraian di atas dapatlah ditegaskan bahwa teori Relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Dari teori ini muncullah tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. 40

Menurut Leonard Orland, teori relatif dalam pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi cenderung melakukan kejahatan. Karena itu teori relatif lebih melihat kedepan. Teori ini, sampai derajat tertentu, dapat dilihat sebagai bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi-konsekuensinya baik untuk sebanyak mungkin orang. Akibat-akibat positip yang diperhitungkan ada pada suatu tindakan, merupakan kreteria satu-satunya bagi pembenarannya. Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terpidana telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan itu mengandung kosekuensi-konsekuensi positif bagi siterpidana, korban dan juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai teori 41 konsekuensialisme. Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif, pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa

39

Romli Atmasasmita, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung, hlm 84. 40 Leonard Orland. 1973. Justice, Punishment, Treatment The Correctional Process. Free Press. New York, hlm 184. 41 Yong Ohoitimur, op. Cit., hlm 24.

[ 28 ]


pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan 42 tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) Menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan lain yang bermanfaat. Pidana ditetapkan bukan karena orang melakukan kejahatan, tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan. Karena teori ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam pemidanaan, maka teori relatif sering juga disebut sebagai teori tujuan (utilitarian theory). Selanjutnya akan dijelaskan bahwa tujuan utama yang ingin dicapai pidana dan hukum pidana sebagai salah satu sarana dari politik kriminal 43 adalah “perlindungan masyarakat”. Perlindungan masyarakat inilah, yang menurut Bassiouni merupakan batu landasan (a cornerstone) dari hukum pidana. Menurut Marc Ancel ada dua konsepsi atau interpretasi pokok mengenai “social defence” yang secara fundamental berbeda satu 44 sama lain : 1) Interpretasi yang kuno atau tradisional, yang membatasi .pengertian perlindungan masyarakat itu dalam arti “penindasan kejahatan (represion of crime). Jadi menurut penafsiran pertama ini, “social defence” diartikan sebagai “perlindungan masyarakat terhadap kejahatan” (the protection of society against crime). Oleh karena itu, penindasan kejahatan merupakan “the essential needs of social defence”. Konsepsi pertama menurut Marc Ancel masih mempunyai banyak pendukung. 2) Konsepsi modern, yang menafsirkan perlindungan masyarakat dalam arti pencegahan kejahatan dan pembinaan para pelanggar (the prevention of crime and the treatment of offenders). Rumusan demikian diterima oleh Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai tujuan pada waktu terbentuknya Seksi Perlindungan Masyarakat (the social defence section of the united nation) pada tahun 1948. Pandangan

42 C. Ray Jeffrey, dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral nalPe Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm 79. 43 Sahetapy, 1982. Dalam disertasinya kurang sependapat dengan pandangan ini : Suatu studi khusus mengenai ancaman pidana mati terhadap pembunuhan berencana. CV. Rajawali, Jakarta, hlm 189-190. 44 Barda Nawawi Arief, 1984., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta. Semarang, hlm 90-91.

[ 29 ]


modern ini menampakkan diri sebagai suatu reaksi terhadap sistem pembalasan semata-mata (exclusively retributive system). Bila dikaitkan dengan uraian Marc Ancel di atas, maka tujuan pemidanaan tampaknya cenderung pada konsepsi modern (the new or modern conception of social defence). Hal ini terutama terlihat pada rumusan Seminar Kriminologi ketiga yang menegaskan pengertian perlindungan masyarakat dalam arti “melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitasi) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan dan masyarakat�. Juga di dalamnya dimasukkan unsur perlunya memperhatikan korban. Malah ditonjolkan lagi dalam keputusan itu bahwa pidana yang dijatuhkan dalam rangka perlindungan masyarakat itu, harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia bersifat edukatif 45 konstruktif dan dirasakan adil Berdasarkan uraian di atas, maka perkembangan teori tujuan pemidanaan sendiri mengakui upaya-upaya paduan antara kebijakan penal dan kebijakan non penal dalam menanggulangi kejahatan. Hal ini terlihat bahwa konteks pendekatan sosial dengan mengedepankan upaya preventif di dalam masyarakat terhadap kejahatan akan sangat membantu mengurangi terjadinya kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana penal bersinggungan dengan Sistem Peradilan Pidana yang di dalamnya terkandung gerak sistemik dari sub-sub sistem pendukungnya yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Ke empat komponen ini biasa disebut dengan aparat penegak hukum. Dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka advokat telah mempunyai legitimasi sebagai aparat penegak hukum, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1). Status advokat disejajarkan dengan aparat penegak hukum lainnya dalam proses peradilan. Komponen dalam sistem peradilan pidana berusaha mentransformasikan masukan (input) manjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana yang berupa resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah), dan kesejahteraan sosial (jangka panjang). Mardjono, mengemukakan komponen dalam sistem peradilan pidana diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu “integrated

45

ibid.

[ 30 ]


criminal justice system�. Apabila keterpaduan dalam bekerjasama tidak 46 dilakukan diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai berikut : 1) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi, sehiubungan dengan tugas mereka bersama: 2) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana): dan 3) Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan. Dengan demikian apabila peradilan pidana berjalan dengan terpadu (integrated criminal justice system) diharapkan dapat mencapai tujuan 47 Sistem Peradilan Pidana, yaitu: 1) 2) 3) 4)

Melindungi masyarakat (Protect Society); Memelihara ketertiban dan stabilitas (Maintain order and stability); Mengendalikan kejahatan (Control Crime); Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan serta melakukan penahanan terhadap pelakunya (Investigate crimes and arrest offenders); 5) Memberikan batasan tentang bersalah atau tidak kepada pengadilan (Provide for judiciel determination of guilt or innoncence); 6) Menetapkan hukuman yang pantas dan sesuai bagi bersalah (Set an appropriate sentence for the guilty); 7) Melindungi hak-hak hukum terdakwa melalui proses peradilan pidana (Protect the constitutional rights of defendants throughout the criminal justice process); Kadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita menyatakan bahwa sistem peradilan pidana dapat dikaji melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan normative, pendekatan administrative, dan 48 pendekatan sosial. Pendekatan normative memandang komponenkomponen aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan lembaga pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga komponen-komponen ini adalah bagian yang tidak

46 B. Mardjono Reksodiputro, 1994., Hak Azazi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm 84-85. 47 Philip P. Purpura, 1997., Criminal Justice and Introduction, Boston: ButterworthHeinemann, hlm 5. 48 Romli Atmasasmita, op.cit, hlm 17.

[ 31 ]


terpisahkan darfi sistem penegakan hukum. Pendekatan administrative memandang komponen-komponen aparatur penegakan hukum sebagai suatu organisasi managemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungannya yang bersifat horizontal, maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi. Pendekatan sosial memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial. Hal ini berarti masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau tidaknya pelaksana tugas dari komponen-komponen aparatur penegak hukum tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial. Berdasarkan pendekatan sosial terhadap sistem peradilan pidana, maka terdapat tempat bagi keterlibatan masyarakat dalam upaya penanggulangan kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan harus melibatkan keseluruhan komponen masyarakat. Komponen masyarakat yang harus terlibat dalam penanggulangan kejahatan, yaitu: (1) Politisi; (2) Aparat Penegak Hkum; (3) Masyarakat; (4) Para Ahli. Masing-masing komponen berada pada kedudukan yang sama dengan peranan yang berbeda, akan tetapi masing-masing komponen harus berkoordinasi. Dalam senyatanya masing-masing komponen bekerja secara parsial dan 49 terbatas untuk penanggulangan kejahatan Pandangan Politisi terhadap penanggulangan kejahatan terbatas kepada aspek keuangan dan politis semata. Sedangkan aparat penegak hukum lebih mengutamakan pendekatan kasus-perkasus dalam menyelesaikan persoalan kejahatan. Pandangan masyarakat terhadap penanggulangan kejahatan selalu diliputi oleh rasa takut akibatnya masyarakat memiliki persepsi yang salah. Sementara para ahli dengan kompetensi keilmuannya, sering kali pandangannya menyimpang dari keadaan yang senyatanya, hal tersebut menjadikan peranan ahli untuk penanggulangan kejahatan tidak mencapai tujuannya. Dari uraian di atas ingin ditegaskan bahwa upaya penanggulangan kejahatan secara efektif hanya terwujut apabila terdapat kesadaran dari semua komponen masyarakat tersebut. Kesadaran itu haruslah dapat diwujutkan dalam senyatanya melalui komitmen yang tinggi untuk menyumbangkan tenaga, waktu dan pikiran dalam rangka mencapai tujuan.

49 Adam Crawford 1998. Crime Prevention and Community Safety, Politic, Policies, and Practices. London. Addition Weley Longman Limited, hlm 10.

[ 32 ]


Upaya penanggulangan kejahatan yang berupa pencegahan oleh masyarakat (pendekatan non penal) dilakukan dengan membangun kerjasama dalam masyarakat dan membangun jaringan dengan sekolah, tempat ibadah dan lembaga sosial lainnya (melalui budaya masyarakat), menyediakan tempat bersosialisasi bagi para remaja sehingga mereka tidak terlibat pada perilaku yang menyimpang. Uraian di atas menjelaskan penanggulangan kejahatan oleh masyarakat tetapi di luar sistem peradilan pidana, disamping itu masyarakat dapat juga berperan dalam penanggulangan kejahatan melalui mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu pada saat masyarakat diminta keterangan sebagai saksi dalam peradilan pidana. Dengan demikian posisi masyarakat dalam sistem peradilan pidana dapat berada dalam sistem maupun diluar sistem tersebut. Upaya pencegahan kejahatan di luar sistem peradilan pidana diawali dengan upaya mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kejahatan tersebut yang selanjutnya dilakukan upaya-upaya perbaikan terhadap faktor-faktor yang potensial sebagai pencetus terjadi perilaku menyimpang (kejahatan). Teori Kriminologi yang menjelaskan penyebab kejahatan dalam hal ini akan menggunakan Teori Kontrol Social sebagaimana dijelaskan Travis 50 Hirchi, berpendapat bahwa seseorang bebas untuk melakukan kejahatan atau penyimpangan-penyimpangan tingkah lakunya, tingkah laku tersebut diakibatkan oleh tidak adanya keterikatan atau kurangnya keterikatan (moral) pelaku terhadap masyarakat. Perspektif kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delinkuensi dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial. Kelompok-kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misalnya kelas bawah) cenderung melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional. Jika seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan menyimpang dari aturan-aturan kelompoknya, Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang.

50 Travis Hirchi, dalam Romli Atmasasmita. 1982, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. PT. Eresco. Bandung, hlm 36.

[ 33 ]


51

Travis Hirchi, sebagai pelopor teori ini, mengatakan bahwa “Perilaku kriminal merupakan kegagalan kelompok-kelompok sosial konvensional seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikatkan atau terikat dengan individu”. Artinya argumentasi dari teori kontrol sosial adalah bahwa “......Individu dilihat tidak sebagai orang yang secara intrinsik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis dimana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana”. Argumentasi ini, didasarkan pada bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar aturan hukum. Dalam hal ini Kontrol Sosial, memandang delinkuen sebagai “Konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum”. Teori Kontrol Sosial berusaha untuk menjelaskan kenakalan dikalangan para remaja. Kenakalan di antara para remaja dikatakan sebagai “deviasi primer”, maksudnya bahwa setiap individu yang 52 melakukan: 1.

Deviasi secara periodik/jarang-jarang.

2.

Dilakukan tanpa organisir atau tanpa melakukan dengan cara yang lihai.

3.

Si pelaku tidak memandang dirinya sebagai pelanggar.

4.

Pada dasarnya hal yang dilakukan itu, wajib dipandang sebagai deviasi oleh yang berwajib.

Manusia dalam Teori Kontrol Sosial, dipandang sebagai makhluk yang memiliki moral murni, oleh karena itu, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu. Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum.

51

Travis Hirchi, dalam Yesmil Anwar dkk.2010. Kriminologi. PT. Refika Aditama. Bandung, hlm 192. 52 Yesmil Anwar, Adang. 2010., Kriminologi, PT. Refika Aditama. Bandung, hlm 102.

[ 34 ]


Dalam Teori Kontrol Sosial, ada empat element yang harus 53 diperhatikan yakni sebagai berikut: 1.

Attachment (kasih sayang)

2.

Commitmen (keterikatan seseorang pada subsistem)

3.

Involvement (Attachment (keterlibatan)

4.

Beliefs (kepercayaan)

Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain, jika attachment sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain. Attachment dibagi menjadi dua bentuk: 1.

Attachment total: Suatu keadaan dimana seorang individu melepas rasa ego yang terdapat dalam dirinya dan diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang untuk menaati peraturan, karena melanggar peraturan berarti menyakiti perasaan orang lain. Tujuan akhir dari Attachment ini adalah, akan mencegah hasrat seseorang untuk melakukan deviasi.

2.

Attachment Partial: Suatu hubungan antara seorang individu dengan individu lainnya, di mana hubungan tersebut tidak didasarkan kepada peleburan ego yang lain, akan tetapi karena hadirnya orang lain yang sedang mengawasi perilaku individu. Dengan kata lain, attachment ini, hanya akan menimbulkan kepatuhan pada individu, bila sedang diawasi perilakunya oleh orang lain.

Commitment adalah keterikatan seorang pada subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, dan organisasi. Hal ini merupakan aspek yang rasional yang terdapat dalam ikatan sosial, segala kegiatan yang dilakukan oleh individu, akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut, karena adanya manfaat tersebut, segala aturan akan ditaatinya oleh individu. Involvement merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem konvensional. Jika seseorang aktif dalam organisasi maka kecil kecenderungannya untuk melakukan deviasi, artinya “Apabila individu aktif disegala kegiatan maka individu tersebut, akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan tersebut, sehingga individu tersebut tidak sempat lagi memikirkan hal-hal yang bersifat melanggar hukum�.

53

Ibid., hlm 105.

[ 35 ]


Beliefs merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial, yang merupakan unsur kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Berdasarkan uraian di atas, Hirchi menegaskan bahwa perilaku menyimpang (deviance) remaja ditentukan oleh keempat elemen yang menjadi bagian teori kontrol sosial. Terjadinya kejahatan tidak semata dipandang sebagai bagian pembawaan sifat manusia secarta alami. Kejahatan dari sudut pandang sosiologis disebabkan oleh adanya pengaruh eksternal dari lingkungan sosial. Salah satu teori yang melegitimasi pengaruh lingkungan sosial terhadap terjadinya kejahatan adalah Teori Anomi. Teori Anomi, pertama kali dikemukakan oleh Emile Durkheim (1858-1917) sebelum akhir abad ke- 19. Saat itu para sarjana sibuk mencari apa yang tidak wajar (abnormal) dari kejahatan, maka Durkheim justru menulis dan menguraikan dalam bukunya mengenai “kewajaran suatu kejahatan dalam masyarakat” (The normality of crime in society). Menururtnya, untuk menjelaskan tingkah laku manusia yang salah maupun yang benar, maka tidak bisa hanya dilihat dari pribadi seseorang, melainkan harus dilihat pada kelompok masyarakatnya. Pada konteks inilah, Durkheim mengenalkan istilah “anomi”, yang diterjemahkannya sebagai “ tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat di dalam masyarakat sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai dan standar-standar yang mengatur 54 kehidupan. Durkheim menjelaskan lebih lanjut bahwa perubahan sosial yang cepat mempunyai pengaruh yang besar terhadap semua kelompok di dalam masyarakat. Hal ini bisa menyebabkan kabur atau hilangnya nilainilai dan norma-norma yang selama ini dianut dan diterima masyarakat. Kondisi ini memunculkan kehidupan sosial yang tanpa norma (anomie). Pada tahun 1983, Robert K. Merton mengambil konsep teori anomie Emile Durkheim untuk menjelaskan tingkah laku kejahatan di Amerika, namun konsepnya berbeda dengan konsep Durkheim. Menurut Merton, permasalahan yang utama kejahatan adalah tidak diciptakan oleh perubahan yang mendadak dalam masyarakat, melainkan oleh adanya struktur sosial yang masing-masing bertahan untuk mencapai tujuan yang sama bagi semua anggotanmya tanpa memberikan sarana (alat) yang 54

Freda Adler, dalam Mahmud Mulyadi. Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. Pustaka Bangsa Press. Medan, hlm 106.

[ 36 ]


sama untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini menyebabkan tidak adanya kesesuaian antara apa yang diminta oleh kultur dengan apa yang dibolehkan dalam struktur. Hal ini dapat mengakibatkan hancurnya 55 norma-norma sosial karena tidak adanya patokan berperilaku. Berdasarkan teori Merton ini, maka ada dua komponen di dalam masyarakat yang menentukan terjadinya ketertiban, yaitu tujuan bersama dalam masyarakat (the same goals in society) dan sarana atau alat yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut (acceptable means). Terjadinya ketimpangan antara pencapaian tujuan dengan sarana yang digunakan, maka menyebabkan anggota masyarakat dapat melakukan penyimpangan dalam mencapai tujuan tersebut. Inilah yang disebut Merton sebagai 56 Anomi. Berdasarkan uraian di atas, Merton menekankan pengaruh struktur sosial sebagai faktor korelatif terjadinya kejahatan. Pengaruh ini terlihat dari adanya disparitas antara tujuan yang hendak dicapai dengan sarana yang digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Hal ini akhirnya menjadi ketegangan (strain) pada seseorang, sehingga mengambil jalan pintas berupa kejahatan untuk mencapai tujuannya. Selain teori anomi, Teori yang melegitimasi pengaruh lingkungan sosial terhadap terjadinya kejahatan adalah Teori Differential Association. Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland dalam dua versi, yaitu pertama tahun 1939 dan versi kedua tahun 1947. Menurut Sutherland, perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial dan tidak diwariskan dari orang tua. Ada sembilan pernyataan Sutherland mengenai bagaimana proses seseorang dapat terlibat dalam 57 perilaku kriminal yaitu:

55

Ibid, hlm 111 Periksa juga Made Darma Weda, 1996., Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, hlm 32-33. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dalam setiap masyarakat selalu terdapat struktur sosial yang berbentuk kelas-kelas. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dal;am mencapai tujuan. Misalnya mereka yang mempunyai kelas yang rendah (lower class) mempunyai kesempatan yang lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang mempunyai kelas yang tinggi (upper class). Tidak meratanya sarana-sarana dan adanya perbedaan-perbedaan struktur kesempatan akan menimbulkan frustrasi dikalangan warga yang tidak mempunyai kesempatan dalam mencapai tujuan, sehingga akan melahirkan konflik dan penyimpangan dalam mencapai tujuan tersebut. Situasi ini akan menimbulkan keadaan dimana warga tidak lagi mempunyai ikatan yang kuat terhadap tujuan dan sarana-sarana yang terdapat di dalam masyarakat. 57 Edwin H. Sutherlad dan Donald R. Cressey. 1960., Principles of Criminology, Sixth Edition, J.B. Lippincott Company, New York, hlm 77-78. 56

[ 37 ]


1.

Criminal behavior is learned. Negatively, this means that ceiminal behavior is not inherited;

2.

Criminal behavior is learned in interaction with other persons in a process of communication. This communication is verbal in many respects but include also “the communication of gestured�;

3.

The principle part of the learning of criminal behavior occurs within intimate personal groups. Negativel, this means that the impersonal agencies of communication, such as movies and newspapers, play a relatively unimportant part in the genesis of criminal behavior;

4.

When criminal behavior is learned, the learning includes (a) tehniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sametimes very simple; (b) the specifics direction of motive, drivers, rationalization, and attitudes;

5.

The specific direction of motives and drivers is learned from difinitions of legal codes as favorable and unfavorable. In same societies an individual is surrounded by person who invariably define by legal codes as rules to be observed, while in other he is sorrounded by person whose definition are favorable to the violation of the legal codes.

6.

A person becomes delinquent because of an axcess of difinition favorable to violations of law over difinitions un favorable to violation of law;

7.

Differential association may very in frequency, duration, priority, and intensity;

8.

The process of learning criminal behavior by assiciation with criminal and anticriminal patterns involves all of the mechanisme that are involved in any other learning;

9.

While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needang values.

Berdasarkan uraian di atas, maka menurut Sutherland bahwa perilaku kriminal itu dipelajari, hal ini berarti bahwa perilaku kriminal tersebut tidak diwariskan. Bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi dalam kelompok-kelompok yang intim atau dekat. Keluarga dan kawan-kawan dekat mempunyai pengaruh yang paling besar dalam mempelajari tingkah laku yang menyimpang ini. Ketika tinglah laku kriminal ini dipelajari, pembelajaran itu termasuk: (a) teknik-teknik melakukan kejahatan; (b) arah khusus dari motif-motif, dorongandorongan, rasiponalisasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap. Pelaku bukan saja [ 38 ]


belajar bagaimana mencuri di toko, membongkar kotak, membuka kunci, dan sebagainya, tetapi juga belajar bagaimana merasionalisasi dan 58 membela tindakan tindakan mereka. Arah khusus dari motif-motif dan dorongan-dorongan itu dipelajari melalui difinisi-difinisi dari aturan-aturan hukum, apakah menguntungkan atau tidak. Dibeberapa masyarakat seseorang individu dikelilingi oleh orang-orang yang tanpa kecuali mendifinisikan aturan-aturan hukum sebagai aturan-aturan yang harus dijalankan. Sedangkan ditempat lain dia dikelilingi oleh orang-orang yang difinisi-difinisinya menguntungkan untuk melanggar aturan hukum. Tidak setiap orang dalam masyarakat kita setuju bahwa hukum harus ditaati. Sebagian orang mendifinisikan aturan hukum itu sebagia sesuatu yang tidak penting. Seseorang menjadi delinquent karena difinisi-difinisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih 59 dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum. Assosiasi differensial itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan pola pola tingkah laku kriminal dan anti kriminal melibatkan setiap mekanisme yang ada disetiap pembelajaran lain. Walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan -kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku non kriminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang 60 sama. Teori-teori Kriminologi yang diuraikan akan digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor korelasional kriminogen yang melatar belakangi terjadinya penyalahgunaan narkotika remaja. Dari keseluruhan uraian kerangka pemikiran ingin ditegaskan bahwa upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan kebijakan non penal merupakan bentuk upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana. Pencegahan kejahatan tanpa menggunakan hukum pidana, melalui pengembangan konsep restoratif justice. Restoratif justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan

58 Topo Santoso dan Eva Achjany Zulfa. 2011. Kriminology, Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada, hlm 75. 59 Ibid hlm 76. 60 Ibid hlm 77.

[ 39 ]


dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Restoratif justice dianggap cara berpikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang manusia. Konsep restoratif justice mempunyai pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran sebagai suatu pengrusakan norma 61 hukum. Pengembangan konsep restoratif justice, dalam penanggulangan kejahatan berupa pencegahan ditempuh melalui informal seperti lembaga sosial masyarakat atau lembaga Pelaksanaan pengembangan konsep restoratif justice berbasis masyarakat lokal melalui mediasi dalam hukum adat.

upaya sistem adat. kultur

Masyarakat hukum adat lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah, yang bertujuan untuk mewujutkan kedamaian dalam masyarakat. Jalur musyawarah merupakan jalur utama yang digunakan mayarakat hukum adat menyelesaikan sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan damai yang menguntungkan kedua belah pihak. Penggunaan jalur musyawarah bukan berarti menafikan proses penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan adat. Penyelesaian sengketa baik melalui jalur musyawarah maupun jalur peradilan adat, tetap didominasi pendekatan musyawarah dalam menyelesaikan sengketa, karena musyawarah merupakan salah satu filosofi dan ciri masyarakat hukum adat. Dalam sistem hukum adat, tidak dikenal pembagian hukum kepada hukum publik dan hukum privat. Akibatnya, masyarakat hukum adat tidak mengenal kategorisasi hukum pidana dan hukum perdata, sebagaimana dalam sistem hukum Eropah Kontinental. Istilah “sengketa� bagi masyarakat hukum adat bukan hanya ditujukan untuk kasus perdata, yang menitik beratkan pada kepentingan perorangan, tetapi sengketa juga digunakan untuk tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Makna sengketa bagi masyarakat hukum adat, ditujukan pada ketidak seimbangan sosial. Artinya, jika terjadi sengketa dalam hukum perdata, atau kejahatan dan pelanggaran dalam hukum pidana, maka masyarakat hukum adat merasakan adanya ketidak seimbangan yang terjadi dalam

61 Allison Morris and C. Brielle Maxwell, 2001., Restoratif Justice for Juveniles : Confrencing Mediation and Circles. Oxford-Portland Oregeon: Hart Publishing, hlm 3.

[ 40 ]


kehidupan masyarakat hukum adat. Oleh karena itu, masyarakat akan 62 menyelesaikan sengketa tersebut melalui mekanisme hukum adat. Penyelesaian sengketa melalui mekanisme hukum adat dapat dilakukan melalui musyawarah yang mengambil bentuk mediasi, negosiasi, fasilitasi, dan arbitrase. Keempat model penyelesaian sengketa ini sering dipraktikkan masyarakat adat dalam menyelesaikan sengketa mereka. Para tokoh adat menjalankan fungsinya sebagai mediator, fasilitator, negosiater dan arbiter. Dalam praktiknya para tokoh adat umumnya menggunakan pendekatan ini secara bersama-sama, terutama dalam menyelesaikan sengketa privat maupun publik. Dalam masyarakat hukum adat, mediasi dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana. Sebagai contoh, jika terjadi penganiayaan atau pembunuhan, maka tokoh adat akan menyelesaikan kasus ini dengan melakukan pendekatan baik dengan korban dan keluarga korban maupun dengan pelaku dan keluarga pelaku. Keterlibatan pihak keluarga menjadi amat penting, karena dalam masyarakat hukum adat ikatan kekeluargaan menjadi pengikat kuat hubungan antar-anggota kerabat. Oleh karenanya jika salah seorang dari anggota kerabat melakukan tindak pidana atau menjadi korban dari perlakuan yang tidak senonoh oleh pihak lain, maka keluarga korban akan bertindak untuk mencari keadilan. Kasus pembunuhan atau penganiayaan telah membawa konflik atau persengketaan bukan hanya antar individu yang melakukan tindak pidana dengan korban, tetapi juga antar dua keluarga besar. Di sinilah peran tokoh adat menjembatani (negosiasi atau fasilitasi) guna mencari penyelesaian secara adil menurut hukum adat. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa bentuk restoratif justice dalam upaya pencegahan kejahatan khusunya terhadap remaja narkotika melalui mediasi dalam hukum adat yang berbasis budaya mayarakat adat setempat (budaya masyarakat Palembang). Berdasarkan uraian kerangka pemikiran tersebut, kebijakan non penal penanggulangan penyalahgunaan narkotika remaja (studi kasus penanggulangan penyalahgunaan narkotika remaja di Palembang) dapat disimpulkan melalui diagram berikut ini:

62

Bushar Muhammad, 1995. Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta. Pradnya Paramita, hlm

62-63.

[ 41 ]


PENEGAKAN HUKUM PDANA

Penanggulangan Kejahatan

Politik Kriminal Criminal Policy

Penal

Non Penal

Perumusan NormaNorma Hukum Pidana

Keb. Kes. Masy Soc.Wel. Pol.

Substantif Struktural Kultural

Keb. Sosial Soc. Pol

Keb. Perl. Masy. Soc. Def. Pol

Mediasi Adat

SPP

Kepolisian

Kejaksaan

1. 2. 3.

Pengadilan nn

Lemb. Pemasy. Lemb. Koreksi

Tujuan SPP Resosialisasi Jangka Pendek Pencegahan Kejahatan Jangka Menengah Kesejahteraan Sosial Jangka Panjang

[ 42 ]


G. Definisi Operasional Selanjutnya untuk menghindari perbedaan pengertian terhadap istilah yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian, maka difinisi operasional dari istilah-istilah tersebut sebagai berikut: 1.

Kebijakan Non Penal adalah upaya penanggulangan kejahatan berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan 63 pemidanaan melalui media massa.

2.

Kebijakan Penal yaitu langkah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana (atau bersifat represif).

3.

Restoratif justice adalah proses penyelesaian terhadap tindak pidana yang terjadi dengan cara bersama-sama bermusyawarah antara korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, dan masyarakat untuk mencari bentuk penyelesaian yang terbaik guna memulihkan semua kerugian yang diderita oledh semua pihak.

4.

Remaja adalah suatu tingkatan umur, dimana anak-anak tidak lagi disebut anak, akan tetapi belum dapat dipandang dewasa. Jadi remaja adalah umur yang menjembatani antara umur anak-anak dan umur 64 dewasa. konsep remaja dapat dinyatakan sebagai seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun.

5.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang No. 35 tahun 65 2009.

6.

Tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undangundang yang bersifat melawan hukum dan tidak diliputi oleh alasan pembenar, serta diancam dengan sanksi pidana.

63

Lihat Barda Nawawi Arif, Hukum Pidana,hlm 49. Sarana non penal yaitu langkah penanggulangan masalah sosial tanpa menggunakan hukum pidana tetapi misalnya dengan menggunakan penerapan sanksi hukum perdata, hukum administrasi. 64 Zakiah Daradjat. 1982. Pembinaan Remaja, Bulan Bintang, Jakarta, hlm 11. 65 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.CV. Novindo Pustaka Mandiri,Jakarta,hlm 5-6.

[ 43 ]


7.

Tindak pidana narkotika adalah sekumpulan norma-norma hukum pidana atau rumusan delik narkotika yang mengancam dengan sanksi apabila dilanggar yang diatur dalam Undang-undang No. 35 tahun 2009. Pasal 111-148.

8.

Penyalahguna narkotika remaja adalah remaja yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum sebagai korban.

H. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian. Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian disertasi ini, akan dijawab dengan melakukan pendekatan yuridis sosiologis, satu pendekatan studi yang empiris, hal ini berkaitan dengan gejala penyalahgunaan narkotika mencakup para penyalahgunanya diteliti secara empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis empiris artinya adalah mengidentifikasikan dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang mempola. J. Supranto mengatakan bahwa penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang condong bersifat kuantitatif, berdasarkan data primer. Data primer adalah data yag diperoleh secara langsung dari objeknya. Selain menggunakan pendekatan yuridis (juristic approach), yang melihat kejahatan itu secara normatif, maka penelitian ini juga menggunakan 66 pendekatan Kriminologi , pendekatan ini melihat kejahatan itu sebagai suatu gejala sosial dan sebagai suatu perilaku manusia yang menyimpang dari norma dan nilai dominan dalam masyarakat. Pendekatan seperti ini akan membawa peneliti kepada usaha pemahaman mengapa perilaku itu ( dalam penelitian ini pelanggaran UU Narkotika oleh Remaja Palembang) banyak terjadi dan meningkat. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, selain mendasarkan pada penelitian lapangan, penulis juga melakukan penelitian kepustakaan secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika.

66

Mardjono Reksodiputro, 2012. Sindikat Narkoba di Indonesia Dan Antisipasinya, dalam Legalitas, Jurnal Ilmiah Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batang Hari, Jambi, hlm. 13.

[ 44 ]


2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif analisis. Hal ini berkaitan dengan tujuan penelitian untuk membuat suatu gambaran tentang gejala penyalahgunaan narkotika remaja dan faktor-faktor yang melatar belakanginya serta menemukan alternatif kebijakan berupa kebijakan non penal penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja. 3. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang bersumber melalui studi lapangan (field research). Studi lapangan dilakukan untuk menggali dan memahami secara mendalam mengenai pendapat responden terhadap fakta-fakta remaja yang menyalahgunakan narkotika dan upaya non penal penanggulangan penyalahgunaannya narkotika di kalangan remaja di Palembang sehingga dapat dijadikan bahan untuk menganalisis masalah-masalah dalam penelitian disertasi ini. Di samping data primer penelitian disertasi ini juga akan menggunakan data sekunder yang bersumber dari kepustakaan. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth intervieuw) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide). Penentuan sample merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian yang representatif dari seluruh populasi. Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh unit yang akan diteliti atau dapat dikatakan populasi merupakan jumlah manusia ataupun fenomena yang mempunyai karakteristik sama. Dalam penelitian ini sebagai populasinya adalah remaja pengguna narkotika di kota Palembang. Mengingat luasnya populasi yang diteliti, maka untuk efesiensi waktu dan biaya serta untuk menjaga akurasi data yang diperoleh, penulis menggunakan metode pengambilan sample non random sampling. Teknik yang digunakan adalah teknik non random sampling, yang artinya hanya obyek yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat diambil sebagai sample, dengan demikian yang dijadikan sample dalam penelitian ini adalah hanya obyek yang memiliki keterlibatan langsung dalam Kebijakan Non Penal Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di kalangan Remaja (Studi kasus di Palembang). [ 45 ]


Sebagai Responden dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a)

Ketua Lembaga Adat Kota Palembang : 2 (dua ) orang

b) Dosen /guru : 2 ( dua ) orang c)

Tokoh Agama : 2 ( dua ) orang

d) Tokoh Masyarakat : 2 ( dua ) orang e)

Remaja pemakai dan

f)

Pengguna narkotika : 20 ( dua puluh ) orang.

Data sekunder dilakukan dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis. Pengumpulan data ini dilakukan dengan studi atau penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari peraturan-peraturan, dokumen-dokumen maupun bukubuku yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, dan doktrin atau pendapat para sarjana. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

I.

67

1.

Bahan Hukum primer yaitu Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan narkotika yakni Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Putusan-putusan pengadilan atau Yurisprudensi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

2.

Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti data dari Badan Narkotika Propinsi Sumatera Selatan, hasil-hasil seminar, buku-buku 68 ilmiah, hasil penelitian para ahli dan sebagainya.

3.

Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang da[at mendukung bahanbahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus hukum, kamus 69 bahasa Indonesia, majalh, jurnal ilmiah dan sebagainya.

Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif untuk data skunder yang akan didahului dengan kegiatan pengorganisasian dan diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan

67 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif : suatu tinjauan singkat edisi I, cet. V. PT. Raja Grafindo Persada, hlm 29. 68 Ibid hlm 30 69 Ibid hlm 33.

[ 46 ]


dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Kemudian dilakukan penguraian data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis dan tidak tumpang tindih sehingga memudahkan implementasi data dan pemahaman hasil analisis. Dari bahan dan data tersebut selanjutnya dilakukan analisis terhadap kebijakan non penal penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja(studi kasus di Palembang) Sedangkan untuk data primer atau data empiris akan dianalisis secara kuantitatif. J.

Sistematika Penelitian Penulisan hasil penelitian ini terdiri 4 (empat) bab dan masing-masing bab terdiri sub bab untuk memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang akan diteliti. Bab Satu adalah Bab Pendahuluan yang menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat, orisinalitas, kerangka pemikiran dan difinisi operasional, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab Kedua membahas mengenai perspektif teoritis penanggulangan kejahatan narkotika di kalangan remaja dan faktor korelatif kriminogennya. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu subbab A yang membahas tentang upaya penanggulangan kejahatan, subbab B yang membahas tentang pengaturan narkotika di dalam hukum Nasional dan subbab C yang membahas tentang faktor korelatif kriminogen penyalahgunaan tindak pidana narkotika remaja. Bab Ketiga membahas mengenai Kebijakan Non Penal Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di Kalangan Remaja (Studi Kasus Di Palembang). Bab ketiga ini di bagi dalam empat subbab, akan membahas hal-hal sebagai berikut: Subbab A yang membahas tentang gejala penanggulangan narkotika di Kota Palembang. Subbab B membahas masalah faktor korelasional kriminogen penyalahgunaan narkotika remaja. Subbab C mengajukan pembahasan praktek penanggulangan penyalahgunaan narkotika remaja melalui kebijakan penal. Subbab D mengajukan pembahasan relevansi pengedepanan kebijakan non penal dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja. Bab Keempat mengemukakan kesimpulan dan saran sebagai rangkuman hasil analisis temuan penelitian dan saran yang diajukan penulis berdasarkan penelitian dan analisis yang telah dilakukan. Sebagai kelengkapan disertasi ini, terdapat daftar pustaka, riwayat hidup, rekomendasi serta implikasi dan lampiran.

[ 47 ]


K. Kesimpulan Berdasarkan Identifikasi masalah dan analisis yang telah dikemukakan penelitian disertasi ini menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Gejala penyalahgunaan narkotika remaja sangat meluas, konsumen remaja makin bertambah banyak, hal ini disebabkan oleh faktor ketersediaan narkotika, faktor individu, dan faktor lingkungan sosial. 2. Faktor korelasional kriminogen yang melatar belakangi terjadinya penyalahgunaan narkotika remaja di Palembang, yakni faktor korelatif internal: predisporing, lemahnya pertahanan diri remaja, kurangnya kemampuan penyesuaian diri, dasar keimanan. Sedangkan faktor korelatif eksternal: kasih sayang perhatian orang tua, lemahnya ekonomi orang tua, keluarga yang tidak harmonis, kurangnya pelaksanaan ajaran agama secara konsekuen, kurangnya pendidikan orang tua, kurangnya pengawasan terhadap remaja, dan pengaruh norma-norma baru. 3. Kebijakan penal terhadap penanggulangan penyalahgunaan narkotika remaja berdampak negatif yang disebabkan oleh faktor Undangundang, faktor budaya masyarakat dan faktor penegak hukum dan cenderung membekaskan stigma atas diri remaja. Dampak negatif kebijakan penal upaya penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan remaja dapat dihindari dengan mengutamakan kebijakan non penal, lewat jalur kebijakan sosial melalui pendekatan restoratif justice, dengan mediasi dalam hukum adat. 4. Pengembangan kebijakan sosial, untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dalam kaitannya dengan penanggulangan penyalahgunaan narkotika remaja di Palembang di tempuh melalui pendayagunaan budaya masyarakat lokal (Palembang) dengan mediasi adat. Relevansi penggunaan mediasi adat dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika remaja di legitimasi sistem syariat islam, dan sistem budaya pancasila. L.

Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:

[ 48 ]


Pertama, upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja yang telah dijalankan selama ini melalui jalur penal sebaiknya dilakukan renovasi dengan pembatasan-pembatasan baik pada tahap penyidikan, penuntutan, pengadilan, dan tahap pelaksanaan hukuman. Pengaturan pembatasan tersebut dituangkan pada kebijakan legislatif, yang menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum pidana. Kedua, upaya penal merupakan upaya yang terakhir, dalam artian penggunaan upaya penal ditentukan dengan sangat selektif, mengingat dampak negatif yang akan timbul pada anak/remaja pelaku tindak pidana narkotika melalui upaya penal. Ketiga, kelemahan upaya penal dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja menuntut penetapan kebijakan non penal sebagai alternatif tambahan guna pemberantasan narkotika di kalangan remaja. Keempat, agar kebijakan non penal, melalui pendekatan budaya adat (mediasi adat) terkait penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja ditetapkan sebagai alternatif penanggulangan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja. M. Implikasi Penelitian Hasil kajian permasalahan dalam penelitian disertasi ini secara langsung maupun tidak langsung berimplikasi kepada kehidupan hukum pada tataran teoritik maupun pada tataran praktis. Pertama, pada tataran teoritik, hasil kajian ini berimplikasi pada kerangka pemikiran teoritik yang selama ini dikembangkan dalam peradilan pidana khususnya peradilan pidana anak /remaja yang lebih beorientasi pada penetapan kesalahan dan penghukuman (pemidanaan) terhadap anak/remaja yang terlibat perkara narkotika. Memang tidak ada salahnya kalau dalam sebuah proses peradilan pidana remaja/anak diorientasikan untuk mencari orang atau kelompok orang guna mempertanggung jawabkan suatu tindak pidana yang terjadi, tetapi yang paling penting juga bagaimana relasi sosial dari pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tindak pidana yang dilakukan remaja tersebut dapat dipulihkan kembali dalam lingkup sosial yang lebih besar. Kedua, apabila temuan teoritik dalam penelitian disertasi ini ditarik masuk kedalam arah praksis maka jelas akan memberikan beberapa implikasi terhadap kebijakan peradilan pidana pada umumnya, terutama berkaitan dengan remaja/anak pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia.

[ 49 ]


(a)

Apabila Mediasi (adat) dimasukkan sebagai bagian yang tidak terpisah dari sebuah proses peradilan terhadap remaja/anak, maka diperlukan sebuah alternatif baru dalam sistem peradilan pidana anak/remaja terkait penyalahgunaan narkotika oleh remaja/anak. Untuk membangun kembali relasi sosial para pihak yang bertikai (remaja pelaku narkotika) Apabila lembaga mediasi ( adat) perdamaian ditarik masuk sebagai bagian dari sistem peradilan pidana (SPP) untuk diterapkan pada remaja pelaku narkotika di Palembang, maka ini akan terkait pada keterlibatan fungsionaris adat dalam proses penyelesaian kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan remaja/anak.

(b)

Apabila lembaga mediasi ( adat) perdamaian ditarik masuk sebagai bagian dari sistem peradilan pidana (SPP) untuk diterapkan pada remaja pelaku narkotika di Palembang, maka ini akan terkait pada keterlibatan fungsionaris adat dalam proses penyelesaian kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan remaja/anak.

[ 50 ]


DAFTAR PUSTAKA Achmad, Ruben, dkk. 1993. Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung. Adler, Freda, et all. 1995. Criminologi Second Edition, McGraw-Hill. USA. Alder, Cristine, 1993. Police, Youth and Violence, dalam buku Joy Wundersitz at al. Ancel, Marc. 1965. Social Defence : A Modern Approach to Criminal Problems Routledge & Kegan Paul, London. Andenaes, J. 1965. The General Part of the Criminal Law of Norway. Antila, Inkeri. 1976. A New Trend in Criminal Law in Finlandia, dalam Criminology Between The Rule of Law and The Outlaws, Edited by Jasperse, van Leeuwen Burow and Tornvilet, Kluwer, Deventer. Arief, Barda Nawawi. 1984. Kebijakan Legislatief Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, C.V. Ananta, Semarang. __________________ , 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung. __________________ , 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti Bandung. __________________ , 2003 Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. __________________ , 1994. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, C.V. Ananta, Semarang. Atmasasmita, Romli, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung. __________________ ,1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung. Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sis. __________________ , 1997. Tindak Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

[ 51 ]


Anwar, Yesmil dkk. 2009. Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, Bandung. Bemmelen, Van, JM. 1993. Hukum Pidana I, Bina Cipta, Cetakan Kedua, Bandung. Bogdan, Robert and Taylor. 1975. J, Introduction to Qualitative Research Methods, : John Wulley & Sons. New York. Budiardjo, Miriam. 2004 Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Coffey, Alan. 1994. An Introduction to Criminal Justice System and Process. New York jersey Prentice, Engelwood Cliff. Clifford, W. 1973. Reform and Criminal Justice in Asia and the Far fast, Tokyo, UNAFEI. Resource Material Series, no. 6. Christiansen, Karl O. 1974. Some Consideration on the Possibility of a Rattional Criminal Policy. Tokyo UNAFEI, Resource Material Series No. 7. Cragg, Wesley. 1992. The Practical Punishment: Towards a Theory of Restorative Justice, Routledge, London-New York. Damaska, Mirjan R, dalam Luhut M.P. Pangaribuan.2009. Lay Judges & Hakim ad Hoc, Papas Sinar Sinanti, Jakarta. Darajat, Zakiah. 1982. Pembinaan Remaja, Bulan Bintang, Jakarta. Dinito, Diana,M. 2000. Social Welfare Politics and Public Policy,Allyn. Boston. Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Sosio Kriminologi, Amalan Imu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Sumur Baru, Bandung. Donnison, David. 1995. Criminal and Urban Policy, Dalam Changes in Society crime and Criminal Justice in Europe. Cyrille Fijnaut et al. (Ed). Belgia. Kluwer Law International. Eight United Nations Congres. 1991. On The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders. New York: Departement of economic and Social Affairs. UN. Ekblom, Paul. 1998. Situational Crime Prevention: Effectiveness of Lokal Initiatives dalam Reducing Offending An Assesment of Research Evidence on Wings of Dealing with Offending Behaviour. Peter Goldblatt dan Chris Lewin Ed. London. Fadilah, Syarif. Dkk. 2004. Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi & Hukum Pidana Islam, Gradhika Press, Jakarta.

[ 52 ]


Fourth United Nations Congress. 1971. On The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, New York: Departement of Economics and Social Affairs. UN. Fifth United Nations Congress. 1976. On The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, New York; Departement of economic and social Affairs. UN. Friedman, Lawrence,M. 1984. American Law an Introduction, W.W. Norton & Company, New York. __________________ , 2001. Penerjemah Wisnu Basuki. American Law An Introduction Second Edition. Tatanusa.Jakarta. __________________ , 1969. Law and the Behavioral A Social Science. The Bobbs Company, Inc, New York. __________________ , 1975. The Legal System A social Science Prespective. Russel Sage Foundation. New York Hadisuprapto, Paulus. 1997. Juvenille Delinquency (Pemahaman dan Penanggulangannya). PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hagan, Frank,E. 1990. Introduction to Criminology, Theories, Methods and Criminal Behavior : Nelson-Hall, Inc, Second Edition. Chicago. Hadikusuma, Hilman. 1992. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Mandar Maju. Bnadung. Harkrisnowo, Harkristuti, 2003. Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, Depok. ____________ , 2002. Menelaah Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam konteks Indonesia, Makalah pada Workshop On Developing Integrated Criminal Justice System in North Sumatera. Hazard Jr, Geofley. 1989. Standford Kadish: Encylopedy of Crime and Justice, Vol 2. The Free Press-McMillan Company. Herlina, Apong, dkk. 2004. Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan Dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta. Hirchi, Travis. Dalam Romli Atmasasmita. 1982. Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Eresco. Bandung. ____________ , Dalam Yesmil Anwar dkk. 2010. Kriminologi, PT. Reflika Aditama, Bandung.

[ 53 ]


Hoefnagels, Peters, G. 1973. The Other Side of Criminology, Deventer, Kluwer, Holland. Huijbers OSC, Theo. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Yayasan Kanisius, Bandung. Hurlock, dalam Sofyan S. Willis. 2010. Remaja Dan Masalahnya Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan Remaja Narkotika, Free Sex Dan Pemecahannya, Alfa Beta, Bandung. Jabir, Abu Bakr. 2007. Ensiklopedi Muslim, (Penerjemah: Fadhil Bahri), cetakan 11, Darul Falah. Jakarta. Jeffrey, C. Ray. 1977. Crime Prevention Through Environmental Design, Bevery Hills : Sage Publication. London. Kartono, Kartini. 1984. Patologi Sosial 2 : Kenakalan Remaja, Rajawali Press, Jakarta. Kartabrata, Abrar. Akuntabilitas Hakim Dalam Mengemban Prinsip Kebebasan Hakim, Artikel, Litigasi, Fakultas Hukum Unpas. Bandung. Kelsen, Hans. 1995. Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik Deskriptif, alih bahasa Drs. Somardi, Rimdi Press, Jakarta. Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan-Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Koesnoe, Moch. Menuju Kepada Penyusunan Teori Hukum Adat, dalam M. Syamsudin, dkk. (Penyunting). Lubis, Solly. 1989. Serba Serbi Politik dan Hukum. Mandar Maju. Bandung. Makaro, Taufik, Moh, dkk. 2005. Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Bogor. Mudzakir, 2001. Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana. Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Muhammad, Rusli. 2006. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP. Semarang. ___________, 2003. Aspek Moral dan Etika dalam Penegakan Hukum Pidana. Makalah Seminar dan Rakernas Forkahpi di Crowne Plaza Hotel. Jakarta. ___________. 1985. Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni. Bandung.

[ 54 ]


____________ , 2002. Hak Azazi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. BP. Universitas Diponegoro. Semarang. ____________ , 2002. Demokratisasi, Hak Azasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia. The Habibie Center, Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori- Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. Mulyadi, Machmud. 2008. Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press. Medan. Muhammad, Bushar. 1995. Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta. Morris, Allison, and C. Brielle Maxwell. 2001. Restoratif Justice for Juveniles : Confrencing Mediation and Circles, Hart Publishing, Oxford Forland Oregeon. MD, Machmud. 1998. Politik Hukum di Indonesia. LP3ES. Jakarta. Naning, Ramdlon. 1983. Gatra Ilmu Negara, Liberty, Jogya. Ohoitimur, Yong. 1997. Teori Etika Tentang Hukuman Legal, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Orlan, Leonard. 1973. Justice, Punishment,Treatment The Correctional Process, Free Press, New York. Packer, Herbert L. 1968. The Limits of Criminal Saction, Stanford University Press, California. Patra, LA. 2006. Analizing the Criminal Justice System, Lexington Books, .Bangsa Press, Medan. Palmquis, Stephen, 2002. Penerjemah Muhammad Shodig. The Tree of Philosophy A Course of Introductory Lectures for Beginning Students of Philosophy. Philosophy Press, Hongkong. Purpura, Philip P. 1997. Criminal Justice an Introduction, ButterworthHeinemann. Boston. Pustaka, Balai. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta. Podgorecki, Adam. Dkk. 1997. Pendekatan Sociologis terhadap Hukum. Bina Aksara. Jakarta. Prakoso, Djoko. Dkk. Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta.

[ 55 ]


____________, 1984. Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini, Ghalia Indonesia, Jakarta. Rawls, Jhon. 1995. Teori Keadilan (terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta. Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru. Bandung. Reksodiputro, B. Mardjono. 1994. Hak Azazi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kunpulan Karangan Buku ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminolgi Universitas Indonesia, Jakarta. _____________________, 1993. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi. Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. ___________________,1997. Mengembangkan Sistem Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu Pemikiran Awal), dalam Kriminologi dan Peradilan Pidana. Buku kedua, Jakarta Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI. Remmelink, Ian. 1993. Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Pandangannya dalam KUHP Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sadli, Saparina. 1976. Persepsi Social Mengenai Perilaku Menyimpang, Bulan Bintang, Jakarta. Sahetapy, J.E. 1982. Suatu Studi Khusus Medngenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, C.V. Rajawali, Jakarta. Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Binacipta.Bandung. Seventh United Nations Congres. 1986 On The Prevention of Crime and the Treatment of offenders. New York: Departement of Economic and Social Affairs. UN. Sidharta, Arief, Bernard. 2000. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, sebuah penelitian tentang fondasi kefilsafatan dan sifat keilmuan ilmu hukum sebagai landasan pegembangan ilmu hukum nasional, C.V. Mandar Maju, Bandung.

[ 56 ]


Sixth United Nations Congres. 1981. On The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders. New York: departement of Economic and Social Affairs. UN. Syamsudin, M. Dkk. 1998. Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Yogyakarta: FH UII. Sholehuddin. 2009. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya. PT. RajaGrafindo, Jakarta. Sumaryanto, Djoko, 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Prestasi Pustaka, Jakarta. Sujono, 20011. Komentar & Pembahasan Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Sinar Grafika. Sjahdeini, Sutan, Remy. 2007. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Press, Jakarta. Santoso, Topo dan Eva Achjany Zulfa. 2011. Kriminologi, PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. Soekanto, Soerjono Dan Sri Mamudji. 2001 Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1 cet. V. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1983. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka, UI Pembangunan di Indonesia Pres, Jakarta. _______________, 2002. Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. Ke 34, PT Raja Grafindo Persada Jakarta. _____________, 1986. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta. Soepomo, 1996. Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta. Sudarto,. 1977. Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 2006. Sudirman, Antonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Sudiyat, Iman. Perkembangan Beberapa Bidang Hukum Adat sebagai Hukum Klasik Modern. Suharto, Edi. 2005. Analisis KebijakanPublik Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, CV. Alfabeta, Bandung.

[ 57 ]


Sutherland, Edwin H, dan Donald R. Cressey 1960. Principles of Criminology, Six Edition, JB. Lippincott Company, Newyork. Syaifuddin, Muhammad. 2010. Struktur dan Prosedur Penelitian Hukum Empiris, PSIH-PPS Unsri. Santoso, Topo. Dkk. 2001. Kriminologi, PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Tanzil, At. 2006. Al Quran dan Terjemahannya, Juz 1 s/d 30 (transliterasi), Sinar Baru Algensindo, Triaatmodjo, Sudibyo. 1982. Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan yang ada dalam KUHAP. Bandung. Trojanowicz, Robert C. 1978. Juvenile Delinquency, Concept and Control, Englewood, New Jersey, Prantice-Hall. Warman, Edi. 2003. Perlindungan Hukum bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, Pustaka Bangsa Press. Medan. Walker, Nigel. 1971. Sentencing in a Rational Society, Bacic Books, Inc, Publischers, New York. Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta. Weda, Made Darma. 1996. Kriminologi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Widayanti, Ninik dan Warsita, Yulius. 1987. Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Bina Aksara, Jakarta. Willis, Sofyan S. 1983. Problem Remaja dan Pemecahannya, Angkasa, Bnadung. Wilkins, Leslie T. 1992. Social Invention for social Defence. The technology of Crime Prevention, dalam Criminal Justice in Asia The Quest for An Integrated Approach. Tokyo. UNAFEI. Jurnal-Jurnal: Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 3, Oktober 2010. Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Ilmu Hukum, Volume 10, Mei 2010. Jurnal Simbur Cahaya, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Ilmu Hukum, Volume IX, September 2012. Jurnal Simbur Cahaya, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Ilmu Hukum, Volume XX, Januari 2013. Jurnal Masalah – Masalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jilid 41, Januari 2012.

[ 58 ]


Lafree & Gary 1998. Social Institution and Crime, Bust of The 1990s Journal of Criminal Law & Criminology, 00914169, Vol 88, Issue 4. Jurnal Hukum Supremasi, Pusat Studi Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Sahid, Vol. III. Maret 2010. Jurnal Ilmiah, Legalitas, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batang Hari. Vol. II. Nomor I. Juni 2012.

[ 59 ]


DAFTAR RIWAYAT HIDUP IDENTITAS PROMOVENDUS 1. Nama Lengkap

: H. RUBEN ACHMAD

2. Tempat/Tgl lahir

: Palembang, 2 September 1955.

3. Pekertjaan

: Dosen Fakultas Hukum

4. Golongan/ Pangkat

: IV C – Lektor Kepala

5. Agama

: Islam

6. Alamat Kantor

: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Universitas Sriwijaya

Kampus Indralaya Nomor Telpon

: (0711) 580063

Nomor Fax.

: (0711) 581179

7. Alamat Rumah

: Jl. Musi 6 Blok K 15 Way Hitam Pakjo Palembang. Nomor Telepon (0711) 411774. Hp. 08127822689.

8. Nama Ayah

: H. Zainal Abidin Achmad

9. Nama Ibu

: Hj. Rr. Siti Sumaryati

10. Nama Anak-anak

: Galuh Miranti. SE Adikara Adhyatmika. SKM

11. Nama Istri

1.

: Mariani Dwi Astuti, Bsc

RIWAYAT PENDIDIKAN 1. SD. Negeri No. 5 berijazah Tahun 1967 Palembang 2. SMP Xaverius I berijazah Tahun 1970 Palembang 3. SMA Negeri III berijazah Tahun 1973 Palembang 4. Sarjana Hukum Universitas Sriwijaya (S1) jurusan Hukum Pidana berijazah Tahun 1980 Palembang 5. Magister Ilmu Hukum UI-KPK-Undip (S2) jurusan Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana berijazah Tahun 1990.

[ 60 ]


6. Candidat Doktor Ilmu Hukum (S3) bidang Ilmu Hukum Pidana Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya. 2.

PENGALAMAN JABATAN DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 1. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya sejak tahun 1982 sampai dengan sekarang 2. Sekretaris Unit Pengabdian Mayarakat Fakultas Hukum Unsri 3. Sekretaris Unit Penelitian Fakultas Hukum Unsri 4. Ketua Unit Penelitian Fakultas Hukum Unsri 5. Sekretaris Laboratorium Hukum Unsri 6. Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Unsri 7. Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unsri s.d. sekarang 8. Anggota Senat Fakultas Hukum Unsri s.d. sekarang 9. Anggota Senat Universitas Sriwijaya s.d. sekarang

3.

PENGALAMAN JABATAN DI LUAR UNIVERSITAS SRIWIJAYA 1. Sekretaris Bagian Palembang

Hukum

Pidana

Universitas

Muhammadiyah

2. Ketua Bagian Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Palembang 3. Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas IBA Palembang 4. Dekan Fakultas Hukum Universitas IBA Palembang 5. Anggota Pengawas Pemilu (Panwaslu) Propinsi Sumatera Selatan 6. Anggota Majelis Pengawas Wilayah Notaris Sumatera Selatan sampai dengan sekarang. 4.

PENGALAMAN MENGAJAR DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS 1.

Pengajar Program S1 dan S2 di Lingkungan Universitas Sriwijaya dalam Mata Kuliah Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana, Kapita Selekta Hukum Pidana, Politik Hukum Pidana dan Hukum Pidana Kodifikasi

2.

Pengajar Program S1 dan S2 di Luar Universitas Sriwijaya dalam Mata Kuliah Hukum Pidana dan Pemidanaan, Pembaharuan Hukum Pidana, dan Tindak Pidana Korupsi

[ 61 ]


5.

PENGALAMAN MELAKUKAN PENELITIAN 1.

Studi Pengaruh Pidana Penjara terhadap terpidana di Lembaga Pemasyarakatan Palembang

2.

Upaya Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Pertanahan dengan Hukum Pidana

3.

Tinjauan Yuridis terhadap Jurnalistik

4.

Penerapan Azas Oportunitas dalam Hukum Pidana

5.

Eksistensi Penyidik PPNS dalam Proses Peradilan Pidana

6.

Studi tentang Kenakalan Remaja di Kotamadya Palembang

7.

Kebijakan Hukum Pidana di Bidang Pertanahan

8.

Pertanggungjawaban korporasi dalam Hukum Pidana

9.

Studi Pengaruh Palembang

Pidana

terhadap

Masyarakat

di Kotamadya

10. Identifikasi faktor yang berpengaruh terhadap kejahatan khususnya Pasal 369 KUHP 11. Realitas anak yang berkonflik dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana 12. Upaya Penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum di Kota Palembang 13. Pertanggungjawaban Pidana dalam Kejahatan di bidang Perbankan 14. Kekerasan terhadap wanita sebagai korban tindak pidana dalam rumah tangga 15. Perkembangan kriminalitas penanggulangannya

di

Palembang

dan

usaha

16. Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan gangguan Kamtibmas 17. Pembinaan Narapidana sebagai sarana dalam mencegah kejahatan 18. Persepsi mayarakat terhadap putusan Hakim dalam kasus perkosaan 19. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan prilaku PNS melanggar Peraturan Kepegawaian 20. Studi tentang kejahatan pencurian kendaraan bermotor dan usaha penanggulangannya di Kotamadya Palembang 21. Penegakkan (sanksi) Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Ekonomi 22. Aspek Kepidanaan dalam Hukum Pajak dan beberapa masalah dalam upaya Hukum Kasasi

[ 62 ]


23. Tindakan-tindakan khusus untuk kejahatan ekonomi dalam per undang-undangan positif di Indonesia 24. Penelitian tentang Putusan Hakim Pidana bekerjasama dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia. 25. Pelaksanaan Pidana Penjara di Lembaga Pemasyarakatan Anak Palembang 26. Kebijakan Penal dan Non Penal dalam menangani Perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga 6.

SEMINAR DAN LOKAKARYA 1.

Seminar tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

2.

Latihan dan Bimbingan untuk studi kasus bagi mahasiswa hukum

3.

Lokakarya Laboratorium Hukum

4.

Lokakarya penyusunan model dan standarisasi laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Lampung

5.

Lokakarya Kompetensi lulusan Fakultas Hukum

6.

Seminar Anti Corruption Summit dengan tema meningkatkan peran Fakultas Hukum dalam mendukung pemberantasan korupsi melalui pengawasan peradilan

7.

Penyuluhan Hukum pada Narapidana dan Tahanan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan: Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana

8.

Lokakarya penyusunan model dan standarisasi Laboratorium Hukum: Unila

9.

Instruktur tekhnis penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tingkat Propinsi Sumatera Selatan

10. Lokakarya metodologi Penelitian Putusan Hakim 11. Seminar Nasional Pengaruh Globalisasi terhadap hukum pidana dan kriminologi menghadapi kejahatan transnasional 12. Lokakarya pengembangan kemampuan hakim: membangun komitmen bersama dalam mewujutkan hakim yang jujur, kompeten, berwibawa, dan profesional 13. Sosialisasi dan penjaringan calon hakim agung

[ 63 ]


14. Workshop evaluasi kinerja jejaring investigasi dan hasil penelitian putusan hakim 15. Dlsb. 7.

PENGALAMAN PENGADIANMASYARAKAT Memberikan keterangan ahli: 1.

Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Pengangkatan Anak Secara Ilegal

2.

Kasus Sengaja Melakukan Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan dengan Luasan Tertentu dan/atau usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan dengan Kapasitas Tertentu

3.

Menempatkan Keterangan Palsu ke dalam Akte Otentik dengan Maksud untuk Memakai atau Menyuruh Orang Lain Memakai Akta tersebut Seolah-olah Keterangannya Sesuai dengan Kebenaran

4.

Sengaja Memanfaatkan Hak Eksklusif Ciptaan Seni Logo Natasha tanpa Seizin Pemiliknya/Penciptanya

5.

Menggunakan Surat Palsu

6.

Menggunakan Hak Paten Tanpa Izin Pemilik yang Sah

7.

Sengaja Menghancurkan, Merusak Barang yang Disita

8.

Saksi Ahli Hukum Pidana: Pertambangan Mineral dan Batubara

9.

Korupsi Penyimpangan Pelaksanan Pembangunan Jaringan Listrik di Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi

10. Menyuruh Menempatkan Keterangan Tidak Benar ke dalam Akta Otentik tentang Kejadian yang Sebenarnya 11. Perkara Kehutanan (Mengerjakan dan atau Menggunakan dan aau Menduduki Kawasan Hutan Produksi) 12. Kelalaian Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia 13. Tindak Pidana Pengangkutan BBM 14. Dlsb

[ 64 ]


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.