Tabloid Washilah Edisi 118 Spesial Magang

Page 1

Tabloid 118

MBKM, Produk Cacat Tidak Benar-benar Merdeka MBKM: Karpet Merah Komersialisasi Pendidikan

Hal. 7 Hal. 13

@washilah_uinam

Washilah

Eksistensi Bissu dalam Ragam Gender Suku Bugis

Washilah

www.washilah.com


2

DAPUR REDAKSI Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

TETAP ABADI

Tajuk Manuver MBKM

Anggota magang dan Dewan Pakar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Informasi Mahasiswa Alauddin (LIMA) Periode 2021/2022. I Foto Washilah - Andi Fahrul Aziz

“Lebih baik hilang dari pada pudar,” kalimat tersebut diucapkan Kurt Cobain. Kalimat yang cukup menggambarkan bagaimana kami dalam pemagangan. Klimaks dilema permasalahan selama magang, adalah satu persatu kawan-kawan kami memilih gugur. Beberapa lainnya memilih bertahan hingga dikukuhkan menjadi Keluarga Unit Kegiatan Mahasiswa ( UKM ) Lembaga Informasi Mahasiswa Alauddin (LIMA). Sembilan bulan lamanya, kami mengikuti pemagangan.Waktu yang cukup lama untuk berproses. Di akhir pemagangan kami dihadapkan oleh dua proyek yaitu kerja-kerja kepanitiaan In House Training Jurnalistik (IHTJ) XXl dan penggarapan tabloid yang berjalan beriringan. Kata lelah turut mengiringi proses kami. Mental dan fisik diuji. Namun, kami tetap menjaga kewarasan dengan tetap saling menguatkan. Tabloid 118 edisi magang yang sampai di

tangan pembaca adalah wujud nyata dari proses kami. Meski di tengah-tengah penggarapan banyak masalah yang datang silih berganti. Narasumber yang memilih diam. Iklan yang sulit tembus. Data riset yang harus dikumpulkan selama sebulan penuh. Setiap hari selalu menyambangi ruang pimpinan untuk lakukan verifikasi data. Belum lagi naskah yang selalu direvisi sebelum benar-benar diterbitkan. Membuat kami hampir menyerah. Pada akhirnya, tekanan itu membuat satu persatu teman magang memilih menggugurkan diri. Tetapi kami memilih abadi dalam balutan tulisan, menuntaskan amanah sebagai Pers Mahasiswa. Terima kasih untuk pihak yang memilih membersamai, selama penggarapan tabloid ini; dari kajian isu, rapat proyeksi, liputan, cetak putih, hingga pendistribusian. Untuk dewan pakar dan dewan senior yang tiada hentinya membimbing kami. Untuk Keluarga kecil UKM LIMA yang

masih menebar kasih dan cinta menyapa pembaca melalui tabloid. Mengabarkan fakta dan topik menarik untuk warga UIN Alauddin Makassar Pada tabloid edisi 118 spesial magang ini, Washilah menyuguhkan topik utama mengenai Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Kami ingin menyampaikan ke pembaca perihal carut marut MBKM. Di rubrik sosbud mengulas lebih dalam perihal lima gender di suku bugis. Menilik eksistensinya di tengah masyarakat saat ini. Terakhir, kami berharap tabloid 118 edisi magang ini mampu menghadirkan ruang-ruang diskusi. Menyuguhkan topik bagi civitas kampus untuk me-refresh kembali bahwa UIN Alauddin Makassar tidak baik-baik saja. Atau setidaknya menjembatani aspirasi mahasiswa yang melawan kebobrokan kampus. Selamat membaca!

Diterbitkan sesuai SK Rektor UIN Alauddin Makassar No. 409 tahun 2021 | Pelindung dan Penasehat : Rektor UIN Alauddin Makassar | Penanggung Jawab: Wakil Rektor III UIN Alauddin Makassar | Dewan Pembina : Hj. Yuspiani, Baharuddin, Firdaus Muhammad, Laode Arumahi, Waspada Santing, Muhammah Yusuf AR, Muh Sabri AR, Arum Spink, Sopian Asy’ari, Muh Arif Saleh, Muh Hasbi Assidieqy, Muddin Wael, Rokian M Lehu, Irfan Wahab, M Ruslan, Syaiful Safar, Edy Arsyad, Hamjal El Barkah, Hasbi Zainuddin, Agus, Islamuddin Dini, M Srahlin Rifaid, Luqman Zainuddin, Asrullah, Andi Al Qadri, Faisal Musafa, Muhammad Fahrul Iras, Muhammad Aswan Syahrin Dewan Pakar : Arya Nur Prianugraha, Reza Nur Syarika, Ardiansyah Safnas, Hendra J, Ardiansyah. Pimpinan Umum : M. Shoalihin | Sekretaris Umum : Hikma Aulia Ramadhani | Bendahara Umum : Pelita Nur| Direktur Pemberitaan : Nur Afni Aripin | Direktur Litbang : Muh Wahyu | Direktur Operasional : Awaluddin | Direktur Artistik : Fikri Mauluddin | Direktur Usaha : Sugiya Selpi R | Direktur Penyiaran: Dhea Anggreny | Direktur Media Sosial : Ai Shintya Maulidia | Redaktur Daring : Jushuatul Amriadi | Redaktur Tabloid : Nadia Hamrawati Hamzah | Redaktur Fotografi : A Fahrul Aziz | Redaktur Audio Visual : Yopi Yolandasari | Redaktur Pengembangan SDM : Tritia Kurniati | Redaktur Desain dan Layout : Muhammad Arfah |Redaktur Sirkulasi dan Periklanan : A Resky Satrio | Reporter : Heni Handayani, Nurlia, Kahlil Jaymar, Meiningsih, Amelia Mahfira, Moch Zulhilmi Islamy Z.

Suara Pembaca!

Untuk produk jurnalistik yang lebih baik lagi, kami menyediakan ruang untuk suara pembaca. Kirim kritik dan saranmu dengan scan barcode ini.

Sejak awal peluncurannya, Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang digagas Menteri Nadiem Makarim, sudah menuai pro dan kontra. Wajar saja, program yang diluncurkan di penghujung Januari 2020 ini mencatat bebarapa problem. Salah satunya, yakni membawa potensi industrialisasi kampus. Program ini layaknya ”pemaksaan” atas kompetensi atau skill mahasiswa yang harus memiliki link and match dengan Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI). Program MBKM ini bahkan memberi kemudahan kampus beralih status dari Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTNBLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Dampak dari PTNBH sendiri adalah biaya pendidikan mahal. Artinya, pendidikan yang seharusnya dinikmati oleh semua masyarakat, tanpa kendala biaya. Kini hanya bisa dirasakan bagi orang-orang dengan perekonomian atas. Masalah lainnya, adalah eksploitasi mahasiswa sebagai pemasok buruh gratis bagi perusahaan. MBKM menawarkan program magang bagi mahasiswa. Sayangnya eksploitasi jam kerja, pemecatan sepihak, bahkan lambannya pencairan uang saku pernah dirasakan oleh mahasiswa yang mengikuti magang jalur MBKM. Penyesuaian kurikulum karena MBKM juga telah dirasakan dampaknya terhadap Mahasiswa UIN Alauddin Makassar yang terancam bertambah masa studi. Lantas kampus merdeka apa yang dicita-citakan Nadiem Makarim jika sepenuhnya korbankan mahasiswa? Tabloid 118 ini hadir, dengan memupuk harapan untuk semua civitas akademika UIN Alauddin Makassar untuk bergerak bersama, setidaknya mendiskusikan kembali MBKM, sebelum sepenuhnya diterapkan di Kampus peradaban ini.

Ilustrasi dan Layout: Ismail HM , Asrianto


3

TOPIK UTAMA

Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

MBKM, Produk Cacat Tidak Benar-benar Merdeka Washilah - Tujuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Nadiem Makarim, luncurkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), adalah untuk mewujudkan pembelajaran di perguruan tinggi yang otonom dan fleksibel. Sehingga tercipta kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. MBKM sendiri menghimpun empat kegiatan, yaitu; pembukaan program studi baru, perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi, perguruan tinggi negeri berbadan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar program studi. Kendati demikian, program yang diluncurkan di tahun 2020 ini menuai kritikan. Kritikan itu salah satunya datang dari Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Dhia Al Uyun. Ia menilai, secara teknis MBKM tak memerdekakan mahasiswa. Selain itu, Dhia menganggap ada misi terselubung yang ingin dicapai melalui program ini, “MBKM itu memang nyata, tapi ada titipan lainnya. Yang paling jelas itu BHP (Badan Hukum Pendidikan)”, tegas Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tersebut. Tidak hanya KIKA, kritikan juga datang dari Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Adab dan Humaniora, Abdul Raviq R. Ia menilai, MBKM satu bentuk produk yang melegitimasi bahwa dunia pendidikan bukan lagi mencerdaskan anak bangsa, namun medium untuk dunia industri. Program seperti ini, lanjut Raviq, hanya akan memunculkan dehumanisasi dan alienasi manusia (mahasiswa). “Liberalisasi pendidikan itu nyata adanya, negara memudahkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk berbadan hukum agar pemerintah bebas dari pembiayaan pendidikan,” ucap Mahasiswa jurusan sejarah kebudayaan islam itu. Program link and match, menurut Nadiem, bukan hanya dengan dunia industri dan dunia kerja tetapi juga dengan masa depan yang berubah dengan cepat. Perguruan tinggi dituntut untuk dapat merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang inovatif agar mahasiswa dapat meraih capaian pembelajaran mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara optimal dan selalu relevan. Tujuan MBKM yang selama ini dicanangkan pemerintah melalui Kemendikbud Ristek, pada dasarnya untuk memberikan hak merdeka belajar kepada mahasiswa dalam memilih perguruan tinggi, mereka diberikan kesempatan mengambil mata kuliah di luar program studi selama satu semester, dan melaksanakan aktivitas pembelajaran di luar perguruan

tinggi selama dua semester. Namun, kata Dhia dalam realitasnya, mahasiswa tidak benar-benar merdeka. Mereka terbatasi dalam memilih mata kuliah yang diinginkan. Hal itu Dhia beberkan saat menjadi narasumber dalam diskusi MBKM yang diselenggarakan oleh Washilah, Selasa 29 Maret 2022. Salah satunya, seperti yang dilansir dari Project Multatuli

‘‘

Jika fakultas tidak ber MoU (nota kesepahaman) dengan kampus lain, tidak bisa bekerja sama dengan lembaga non badan hukum, serta tidak adanya perlindungan (hukum) dari eksploitasi di tempat magang,”

gram Studi pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, kampus yang berjuluk peradaban ini, sementara menyesuaikan kurikulum. Danrampung pada Desember 2021. “Mulai angkatan 2021 itu sudah menggunakan kurikulum berbasis MBKM. Sekarang sudah dua semester berjalan,” jelas Wakil Rektor l Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga UIN Alauddin Makassar, Prof Mardan. Saat ditemui di ruang kerjanya lantai lll Rektorat, Jumat 13 Mei 2022. Perubahan kurikulum berbasis MBKM di UIN Alauddin Makassar

Ketua Kaukus Indonesia Dhia Al Uyun dalam serial “Generasi Burnout”. Terkadang mahasiswa merasa diperlakukan sebagai buruh murah, mereka dibebani tanggung jawab pekerjaan yang sama, bahkan lebih banyak dari pekerja yang sudah berstatus tetap di perusahaan. Bahkan, porsi jumlah peserta magang di perusahaan lebih banyak dari pekerja tetap. Sementara, dalam Peraturan Pemerintah Tentang Tenaga Kerja (Permenaker) No. 6 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan pemagangan di dalam negeri, diatur bahwa, “penyelenggara pemagangan hanya dapat menerima peserta pemagangan di dalam negeri paling banyak 20% dari jumlah pekerja di perusahaan.” Menurut Dhia, seharusnya MBKM itu hadir untuk mempersingkat beban mahasiswa ketika menempuh pendidikan, agar punya banyak waktu untuk berkegiatan di luar. “Misalnya dengan jalur magang gitu yah. Tapi kan sekarang pendekatanya serba sertifikat. Yang penting magang punya sertifikat itu yang justru jadi buruk. Mestinya tolak ukurnya itu yah tes kompetensi atau diuji praktek itu lebih konkrit,” jelasnya. Progres MBKM di UIN Alauddin Kendati program MBKM menuai banyak problematika, nyatanya beberapa perguruan tinggi tetap melaksanakan kebijakan ini, salah satunya UIN Alauddin Makassar. Setelah dikeluarkannya keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 7290 Tahun 2020 tentang Panduan Implementasi MBKM dalam kurikulum Pro-

menuai masalah baru. Hal ini dikarenakan perubahannya yang tidak ditopang dengan sosialisasi yang masif. Seperti yang dialami salah satu mahasiswa dari Program studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum, Rian (bukan nama sebenarnya). Ia terancam harus menambah masa studinya karena pemberlakuan kurikulum tersebut. Mahasiswa yang saat ini

Ilustrasi: Washilah - Ismail HM (Magang)

duduk di semester VIII itu menambahkan, tidak ada informasi yang diterima mengenai perubahan mata kuliah. Karena tidak adanya sosialisasi secara menyeluruh sehingga hal tersebut bisa terjadi. Saat diklarifikasi kepada Prof Mardan, ia juga mengeluhkan terkait program tersebut. Dia mengakui, pergantian kurikulum bukan pekerjaan ringan dengan

banyaknya kebijakan menteri dan penyesuain di lingkup kampus. “Sebanyak 19 kali kita bertemu (PTKIN) secara nasional, untuk tinjauan kurikulum prodi-prodi dalam satu tahun. Itupun masih ada belum ditandatangani oleh Rektor karena belum mendapatkan lampu hijau (izin) dari asosiasi keilmuannya, itu menjadi penentu. Kalau ada persetujuan darinya baru ditandatangani oleh Rektor,” tutur pria kelahiran Maros tersebut. Lebih lanjut, untuk pelaksanaan pertukaran pelajar, menurut Prof Mardan, UIN Alauddin sudah melakukan MoU (nota kesepahaman) dengan 58 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), “jadi mahasiswa yang mau pertukaran itu tinggal menunggu waktu pelaksanaan di semester V, jadi lagi dua tahun,” katanya. Dengan segala kesiapan kampus, Prof Mardan masih memiliki kebingungan mengenai kebijakan menteri mengenai kuliah di luar perguruan tinggi yang tidak sejalan dengan kompetensinya. “Bagaimana orang bisa jadi ahli dengan 40 SKS di luar dari pada kompetensinya. Itu baru satu masalah,” ungkapnya. Masalah kedua menurut Prof Mardan, yakni perbedaan besaran jumlah Uang Kuliah Tunggal (UKT) di setiap kampus. “Jadi sebelum menjalankannya, mahasiswa harus berpikir dan memilih perguruan tinggi sesuai dari kemampuan finansialnya. Karena yang dibayarkan hanya sesuai UKT yang ada di sini (UIN). Selebihnya, dia (mahasiswa) yang tambah,” tutupnya. *Penulis: Irham Sari dan Khusnul Fatimah (Magang) *Editor: Nadia Hamrawati Hamzah


4

AKADEMIKA Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

Penerapan Kurikulum Responsif Gender Tidak Efektif Washilah – Sejak 2021, UIN Alauddin telah mendeklarasikan diri sebagai kampus responsif gender. Namun Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Dr Rosmini Amin mengungkapkan, kurangnya komitmen di tataran pimpinan masih menjadi alasan sehingga penerapannya belum maksimal. Pada tabloid Washilah edisi 114, Ketua PSGA, Dr Rosmini, mengaku telah banyak melakukan upaya perencanaan dalam mewujudkan kampus responsif gender. Untuk penerapan kurikulum berbasis gender, dirinya memprogramkan akan memanggil perwakilan dari jurusan yang ada di UIN Alauddin Makassar. Tujuannya, untuk menetapkan kurikulum responsif gender dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS). “Kami mau produk RPS setiap jurusan harus ada yang memang sudah memuat pembelajaran berperspektif gender,” ucapnya pada Jumat (23/04/2021) yang lalu. Setahun berselang, diketahui penerapan kurikulum yang dicanangkan PSGA hingga saat ini belum menyeluruh. Masih ada jurusan yang belum menerapkan kurikulum responsif gender. Salah satunya Jurusan Bahasa & Sastra Arab (BSA). “Kalau mata kuliah gender itu tidak ada, tapi kalau penerapan itu kan tetap ada,” tutur Ketua Jurusan (Kajur) BSA Muhammad Saleh saat diwawancarai di ruang kerjanya, Kamis (19/05/2022). Penerapan yang dimaksud Kajur BSA, yakni dalam pembagian mata kuliah. Ia mengklaim di jurusannya tidak ada diskriminasi. Misalnya, mahasiswa yang sering memakai cadar dengan yang tidak. Selain Jurusan BSA, diketahui Jurusan Keperawatan, juga belum menerapkan kurikulum responsif gender yang telah disosialisasikan oleh PSGA. Kajur Keperawatan, Anwar Hafid mengatakan akan menerapkan kurikulum tersebut, tetapi nanti setelah RPS rampung. “Kurikulum gender akan

diintegrasikan ke matakuliah di keperawatan, tapi itu nanti bukan sekarang,” ucapnya saat di hubungi melalui whatsapp. Berbeda dengan kedua jurusan di atas, Jurusan Jurnalistik ternyata sudah lama menerapkan mata kuliah gender pada RPS nya. Kajur Jurnalistik, Muhammad Nur Latif mengaku mata kuliah tersebut ditetapkan sebagai mata kuliah pilihan. “Benar itu ada, namanya itu Jurnalistik dalam Perspektif Gender,” ucapnya. Dosen Psikologi Komunikasi itu menganggap, gender penting untuk dipelajari oleh mahasiswa. Sebab, membahas nilai dan perilaku, kemudian mampu melihat kelebihan dan kekurangan seorang laki-laki maupun perempuan. “Seperti mahasiswa atau alumni jurnalistik dalam mendalami karir sebagai seorang jurnalis, mereka bukan hanya dominasi laki laki, ada juga perempuan,” papar Latif pada Senin (23/05/2022). Implementasi Kampus Responsif Gender Ala PSGA Upaya lain PSGA dalam mewujudkan kampus responsif gender adalah dengan melakukan workshop kurikulum RPS berperspektif gender. Workshop yang digelar pada Juli 2021 yang lalu itu, melibatkan sekitar 60 peserta yang terdiri dari ketua prodi dan perangkat-perangkat PSGA. Kemudian, PSGA telah membentuk Focal Point Gender dan Unit Layanan Terpadu (ULT). Juga melaksanakan koordinasi dengan pihak pemberdayaan perempuan. Serta rutin lakukan koordinasi terhadap PSGA lintas Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Saat ditemui pada Selasa (24/05/2022), Rosmini, mengatakan untuk menetapkan mata kuliah gender ke dalam RPS, terdapat beberapa metode yang dapat dipakai. “Pertama kita terapkan dalam satu bentuk mata kuliah, atau bisa juga dalam bentuk topik dari satu

mata kuliah itu. Topik itu bisa kita selipkan terkait dengan perempuan dan anak, terkait relasi perempuan dengan laki laki,” ucap perempuan kelahiran 1975 tersebut. Lebih rinci, Rosmini menjelaskan pada setiap jurusan memiliki review kurikulum. Ketika hasil review kurikulum dari setiap jurusan itu tidak mampu meng-cover mata kuliah perspektif gender di dalam RPS. Seminimalnya jurusan mampu melibatkan unsur gender dalam setiap mata kuliah atau topik pembelajaran yang ada di jurusan masing-masing. “Paling tidak metodenya saja berperspektif gender, proses pembelajarannya berperspektif gender,” jelasnya. Lanjut, Rosmini menganggap masih kurang kesadaran antar pimpinan untuk melihat gender sebagai sesuatu yang patut di-reading bersama. Sepatutnya, semua orang terlibat dalam penyelenggaraan kampus responsif gender, terutama pihak pimpinan yang menganggap isu gender itu sama halnya dengan isu-isu lainnya. Dirinya berharap, seluruh sivitas akademika membangun komitmen untuk melihat gender sebagai sesuatu yang harus direspon bersama. “Sesuatu hal penting karena kadang-kadang orang tidak bisa membedakan mana sensitif gender dan mana kesadaran gender,” pungkasnya. Seberapa Penting Kurikulum Responsif Gender Di UIN Alauddin Makassar beberapa jurusan telah menerapkan mata kuliah yang berkaitan dengan gender. Misalnya di Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Pentingnya penerapan kampus responsif gender kata Rosmini adalah untuk menunjang universitas menuju perguruan tinggi yang kapabel dan kompetitif. Pendapat lain tentang pentingnya penerapan kurikulum responsif

gender di kampus peradaban juga berasal dari Kajur Bahasa Sastra Arab (BSA), Muhammad Saleh, ia menganggap kurikulum responsif gender itu penting asalkan terdapat relevansi antara kurikulum itu dengan jurusan. ”Harus ada unsur-unsur relevansinya dengan jurusan. Setidaknya,mungkin redaksi atau materinya itu dikonsumsi di dalam bahasa arab karena kan jurusan BSA yah,” ujarnya. Selain itu, salah satu Mahasiswa Ilmu Hukum, Aqil, juga setuju selama itu (mata kuliah) tidak mengganggu kurikulum yang diterapkan di setiap jurusan karena mahasiswa perlu pemahaman tentang gender agar kiranya mahasiswa mampu mengetahui kodrat masing-masing. “Hal ini penting, seperti ji kita dapat mata kuliah akidah ahlak dan itu semua ada di setiap jurusan. Bagaimana gender yang satu bisa berhubungan dengan gender yang lain. Jadi perlu pemahaman gender terlebih dahulu supaya ditau (diketahui) kodratnya kita itu seperti apa? Batasannya kita itu seperti apa? Biar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan,” tutur ketua HMJ Ilmu Hukum Periode 2021 itu. Sementara Kajur Jurnalistik, Muh Nur Latif, memiliki pandangan yang berbeda. Ia mengatakan kurikulum itu tidaklah begitu wajib akan tetapi perlu pengenalan kepada mahasiswa. “PSGA pernah adakan Workshop dan di situ ada gerakan bagaimana supaya ada mata kuliah yang senantiasa membahas tentang gender. Jadi, mata kuliah itu sesuatu yang wajib? Tidak. Tapi perlu kita perkenalkan agar ada pembeda antara mana batasan yang harus dilakoni laki-laki, mana batasan yang harus dilakoni perempuan. Jangan samakan. Dari segi fisik dan emosional saja beda toh,” pungkasnya. *Penulis: Sahrir dan Nur Annisa (Magang) *Editor: Jushua Amriadi

Infografis: Washilah - Asrianto (Magang)

Infografis: Washilah - Fikri Mauluddin

Riset ini bertujuan untuk melihat implementasi program Kampus Responsif Gender. Pengumpulan pendapat melalui pembagian kuesioner yang dilakukan oleh Divisi Penelitian dan Pengembangan UKM LIMA Washilah pada 17 Juni sampai 25 Juni 2022. Pertanyaan dari riset ini berbasis pada indikator kampus responsif gender. Dengan menggunakan metode simple random sampling untuk menentukan responden yang semuanya merupakan mahasiswa UIN Alauddin Makassar, kami memilih 387 responden yang tersebar di 8 fakultas dengan margin of error 10%. Litbang Washilah, memilih untuk menampilkan hasil kuesioner yang dianggap penting untuk diketahui oleh sivitas akademika UIN Alauddin Makassar.


AKADEMIKA

Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

5

Penerapan Kurikulum MBKM; Mahasiwa Terancam Masa Studi Washilah – Kurangnya sosialisasi perihal perubahan kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), dari pihak jurusan berdampak bertambahnya masa studi mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Penerapan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di UIN Alauddin Makassar terus dilakukan. Implementasinya diwujudkan melalui penyesuaian kurikulum di Tahun 2021. Sayangnya, adanya perubahan kurikulum tidak dibarengi dengan sosialisasi mengundang polemik tersendiri. Hal ini dirasakan oleh salah satu mahasiswa dari Program Studi (Prodi) Ilmu Politik (Ipol) Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik

Ilustrasi: Washilah - Ismail HM (Magang)

(FUFP), Adrian (bukan nama sebenarnya) yang sementara menjalani semester VIII. Ia terancam harus menambah masa studi karena adanya perubahan mata kuliah karena pemberlakuan kurikulum MBKM. Ia mengaku ada mata kuliah yang error di semester II, kemudian dipindahkan ke semester ganjil. Akibatnya, ia tidak bisa mengambil program mata kuliah pada semester VIII dan harus menunggu semester berikutnya agar dapat mengambil mata kuliah itu kembali. “Solusinya ya jalankan di semester IX” kata Adrian. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa tidak ada informasi terhadap perubahan mata kuliah kepada mahasiswa. “Cobana (seandainya) ada sosialisasi semester laluji kuulang,” ungkapnya. Ketua Prodi Ilmu Politik UIN Alauddin, Dr Syahrir Karim, mengatakan bahwa sosialisasi program MBKM telah dilakukan oleh pihak prodi. “Pada saat mau menyusun kurikulum, prodi melibatkan mahasiswa, alumni dan stakeholder, artinya mereka juga sebenarnya sudah tersosialisasi terkait pelaksanaan kurikulum ini.” Untuk mahasiswa semester I dan II, kata Syahrir, prodi juga sudah mensosialisasikan ke mereka sejak awal Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK). Dosen pengajar mata kuliah Gerakan Sosial itu juga membenarkan adanya perubahan mata kuliah akibat kurikulum baru MBKM.

“Jadi sekarang ini ada beberapa mata kuliah yang sebelumnya itu di semester II ditarik ke semester 1, yang tadinya semester IV ditarik ke semester sekian,” ujarnya. Nyatanya, tidak sedikit mahasiswa yang belum mengetahui adanya perubahan kurikulum, khususnya bagi mahasiswa semester IV ke atas. Salah satunya Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara (HTN) yang bernama Hamka (bukan nama sebenarnya), mengalami kasus yang hampir sama. Ia terancam bertambah masa studinya karena tidak tahu-menahu mengenai perubahan mata kuliah terkait program MBKM. Pasalnya beberapa mata kuliah yang sebelumnya ditetapkan pada semester ganjil dipindahkan ke semester genap, begitu pun sebaliknya. Hamka mengatakan bahkan ada juga yang mengalami perubahan nama dan jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) yang bertambah. Lebih lanjut Hamka mengungkapkan terdapat mata kuliahnya pada semester II yang eror, kemudian ia berencana akan memprogramnya kembali di semester VIII. Namun, Mahasiswa semester VIII tersebut tidak menerima informasi terkait perubahan mata kuliah, ia pun tidak dapat mengambil mata kuliah tersebut. “Mata kuliah Hukum Kewarisan ganti nama, tapi tidak ada konfirmasi ke kami sehingga kami yang semester VIII ini sangat terkendala ke depannya, masa kami menunggu semester X untuk melakukan regular mata kuliah ini

kembali,” ungkapnya. Ia berharap pihak jurusan memberikan kebijakan sehingga mahasiswa yang terdampak tidak harus menunggu hingga semester selanjutnya. “Kami mau minta kebijakan ini, semoga kampus atau jurusan bisa berikan, walaupun kami tidak belanja (SKS) berikan kami keringanan untuk tetap mengikuti mata kuliah itu sehingga kami bisa selesaikan,” tutupnya. Untuk solusi dari masalah yang dikeluhkan oleh beberapa mahasiswa, Syahrir Karim mengatakan, pada Prodi Ilmu Politik, mahasiswa tidak harus menunggu semester selanjutnya sebelum melanjutkan program mata kuliah tertentu. “Pertimbangan khusus dari prodi yang memberi solusi secara utuh supaya mahasiswa ini tetap mengambil mata kuliah untuk di semester VIII itu mencukupkan, kecuali misalnya mahasiswa yang kelihatan masih banyak kuliahnya di semester VIII atau semester berikutnya maka tetap harus menunggu ke semester berikutnya,” Jelas Alumnus Ilmu Politik Universitas Gadja Madha itu. Sementara Wakil Rektor I, Prof Mardan menambahkan, sosialisasi telah berjalan sejak Januari 2022 sampai saat ini. Menjadi kewajiban setiap pimpinan fakultas untuk menginformasikan kepada mahasiswa mengenai pergantian kurikulum, baik secara offline maupun online. “Kita tidak bisa menerapakan kepada mahasiswa jika tidak pernah disosialisasikan. Pelaksanaanya, Lembaga Penjaminan Mutu bekerja sama dengan prodi-prodi untuk secara aktif menyampaikan hal tersebut,” ungkap Mantan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora tersebut. *Penulis : Ismail HM, Kardiman Aksah, dan Asrianto (Magang) *Editor: Nadia Hamrawati Hamzah


6

WANSUS Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

Implementasi MBKM di UIN Alauddin Makassar Washilah – Pada 2020, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) resmikan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). MBKM sendiri memiliki beberapa program turunan, antara lain: Kampus Mengajar, Magang Merdeka, Pertukaran Mahasiswa Merdeka, Pejuang Muda dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik. Kebijakan MBKM awalnya mendapatkan respon positif dari masyarakat terutama kalangan mahasiswa. Pasalnya kebijakannya dianggap mampu memberi pengalaman dan warna baru dalam proses pembelajaran mahasiswa. Meski demikian, implementasinya seringkali menemui permasalahan di tingkat universitas, tidak terkecuali UIN Alauddin Makassar. Untuk mengetahui sejauh mana program MBKM berjalan di UIN Alauddin Makassar, reporter Washilah telah menyambangi ruang Wakil Rektor I Bidang Akademik Pengembangan Lembaga UIN Alauddin Makassar, Prof Mardan, melakukan wawancara khusus menilik progres program MBKM di kampus yang dijuluki peradaban. Jumat (13/05/22).

Data Diri Nama : Prof. Dr. Mardan M.Ag. Agama : Islam Status Pegawai : PNS/Dosen Jabatan : Guru Besar/Wakil Rektor Pangkat/Gol : Pembina Utama Unit Kerja : Prodi Dirasah Islamiyah (S3) Jabatan Struktural - Dekan FAH 2007-2011 - Dekan FAH 2011-2015 - Wakil Rektor 1 2015-2019 - Wakil Rektor 1 2019-2023 Pendidikan - S3 UIN Alauddin Makassar, selesai pada tahun 2007 - S2 IAIN Alauddin Makassar, selesai pada tahun 1994 - S1 Fakultas Adab IAIN Alauddin Ujungpandang, selesai pada tahun 1986 - SMU PGAN 6, selesai pada tahun 1980 - SMP PGAN 4, selesai pada tahun 1977 - SD Negeri Padangalla, selesai pada 1973

Sejak kapan MBKM diterapkan di UIN Alauddin Makassar? Kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) menerapkan MBKM sesuai dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) itu, diterapkan mulai 2021 lalu. Bagaimana penerapan MBKM di UIN Alauddin Makassar? Penerapannya dilakukan dengan delapan kegiatan dari MBKM. Kita sudah membuat sejumlah mitra, terutama di 58 PTKIN yang dinaungi oleh Kemenag. Selain itu, kita sudah melakukan kerja sama, dengan penandatanganan sebagai mitra. Sekarang tinggal menunggu waktu, sebab pelaksanaan pertukaran pelajar ini akan dimulai pada semester V, sedangkan mahasiswa yang mengikuti kurikulum MBKM masih semester II. Apakah perubahan kurikulum MBKM, sudah disosialisasikan kepada mahasiswa? Kita tidak bisa menerapkan kepada mahasiswa jika tidak pernah disosialisasikan. Sudah menjadi kewajiban utama bagi Wakil Dekan I bersama seluruh ketua dan sekretaris Program Studi (Prodi), untuk menyampaikan kepada mahasiswa secara online maupun offline. Terkait perubahan kurikulum tersebut, hal itu juga harus ditempel

di setiap mading fakultas sebagai media informasi. Bagaimana bentuk sosialisasi program MBKM? Pelaksaannya itu Lembaga Penjamin Mutu bekerja sama dengan prodi-prodi. Mereka sudah disosialisasikan sejak Januari 2022 sampai sekarang berjalan terus. Untuk pemberitahuan secara offline kepada mahasiswa, prodi-prodinya yang aktif untuk menyampaikan hal tersebut. Tujuan dari Program MBKM di UIN Alauddin? MBKM diterapkan bukan tanpa alasan, tapi ini perintah dari atas. Harus sami’na wa atho’na, baik dari Kemendikbud Ristek maupun KMA, dua-duanya sudah lengkap semua. Jadi, kita harus menerapkan dan mengikuti perintah dari atas. Kecuali jika menteri sudah berganti lalu membuat kebijakan baru, itu lagi yang diikuti, karena harus melaksanakan perintah dari kementerian. Bagaimana tanggapan anda terkait permasalahan program MBKM, khususnya kurikulum? Mahasiswa tidak boleh dirugikan. Tidak boleh mahasiswa mengikuti dua kurikulum, karena dia akan hancur. Jadi, aturannya seluruh mahasiswa itu hanya bisa mengikuti satu kurikulum, tidak boleh dua. Makanya kalau seumpama sudah semester VI lalu muncul kurikulum baru, itu hanya diberlakukan pada mahasiswa baru di tahun itu, dan tidak berlaku untuk mahasiswa yang lama. Dari Bapak sendiri, apa yang menjadi kendala atas adanya perubahan kurikulum MBKM? Yang saya paling pikirkan itu di tahun 2022 ini. Bagaimana modelnya? Jika nanti mahasiswa harus kuliah di luar perguruan tinggi dua semester 40 sks, bagaimana caranya ini? Apalagi yang dikuliahkan itu tidak boleh sejalan dengan kompetensinya. Bagaimana bisa jadi ahli orang kalau 40 SKS harus di luar kompetensinya? Itu baru satu masalah. Masalah kedua ketika mahasiswa memilih di Universitas Gadjah Madha (UGM), apa kalau mereka kuliah di UGM pembayarannya akan sama yang di UIN atau tidak? Kalau tidak sama, tentu harus menambah biayanya juga di sana. Itulah mengapa mahasiswa harus berpikir. Jangan memilih perguruan tinggi yang mungkin di luar kemampuan finansialnya, jadi sebelum memilih harus mencari info detail terlebih dahulu. *Penulis : Asrianto (Magang) *Editor: Nadia Hamrawati Hamzah


7

SOROT

Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

MBKM: Karpet Merah Komersialisasi Pendidikan Washilah – Program MBKM yang diprakarsai Kemendikbud Ristek, Nadiem Makarim, ternyata berpotensi menjadi karpet merah untuk mengubah haluan Pergurun Tinggi Negeri (PTN) Bebadan Layanan Umum (BLU) menuju Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Berbadan Hukum (BH) yang melanggengkan komersialisasi pendidikan. Dalam buku panduan MBKM yang diterbitkan Kemendikbud Ristek, menjelaskan tujuan program ini mendorong kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan. Hal tersebut selaras dengan tujuan perubahan PTN BLU ke PTN BH yang diatur dalam peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 88 Tahun 2014, guna memberikan otonomi sebebas-bebasnya terhadap PTN melalui PTN BH. MBKM sendiri mencanangkan empat bentuk metode pembelajaran. Kesemuanya mendorong pemenuhan akreditasi kampus serta membuktikan pengimplementasian tri dharma perguruan tinggi. Hal itu sebagai prasyarat mengubah haluan PTN BLU menjadi PTN BH. Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Abd Rafiq, “persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi PTN BH tertera pada Permendikbud No 4 Tahun 2020, dalam pasal 2 yakni prinsip tata kelola yang baik, memenuhi standar kelayakan finansial, menjalankan tanggung jawab sosial, berperan dalam pertumbuhan ekonomi,” kata Mahasiswa angkatan 2018 tersebut. Senada dengan itu, Demisioner Dema UIN Alauddin periode 2018-2019, Askar Nur, mengatakan diterapkannya MBKM bagi setiap kampus mengajukan diri menjadi PTN BH. Tanpa adanya persyaratan yang sulit. Serta dapat mengajukan permohonan untuk berbadan hukum jika telah siap. Dalam UU No 2014 menyebutkan persyaratan PTN menuju PTN BH, yakni; Status terakreditasi dan peringkat terakreditasi unggul, baik perguruan tinggi maupun 80% dari program studi yang diselenggarakan. Prestasi PTN dalam turut serta di kegiatan-kegiatan dunia usaha dan industri. Keikutsertaan PTN dalam kegiatan pemerintah maupun pemerintah daerah. Komersialisasi Pendidikan di Balik MBKM Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademis (KIKA), Dhia Ul-uyun berpendapat bahwa yang cacat ialah PTN BHnya.

MBKM dan PTN BH itu berbeda, yang cacat dari awal itu adalah PTN BH, karena tujuannya bukan memajukan pendidikan namun menyiapkan tenaga kerja,” Ketua KIKA Dhia Ul-uyun

Sependapat dengan Dhia, Askar menuturkan jika PTNBH dengan MBKM merupakan dua hal yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang hampir sama. Dapat menimbulkan adanya komersialisasi yang mengantarkan pendidikan sebagai alat untuk melahirkan tenaga kerja sektor industri, bukan lagi sebagai proses pencerdasan. Hal ini menggambarkan keadaan pendidikan layaknya lembaga penghasil mesin yang siap memasok pasar industri. “Kampus akan menjelma menjadi arena utama pertumbuhan ekonomi. Padahal ruangnya bukanlah sektor pendidikan, karena sektor pendidikan merupakan tameng peran terakhir dalam pengembangan intelektual generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa ini,” ucap Alumni mahasiswa FAH itu. Ia menambahkan, jika mahasiswa diperkenalkan dengan hal yang bersifat pragmatis maka gagasan yang subur akan terhambat. Menurutnya, mahasiswa akan terus berpikir bahwa kesuksesan harus dilihat dari tingkat ekonomi yang diperoleh. "Dengan adanya komersialisasi pendidikan tersebut, pendidikan akan menjadi hal yang eksklusif serta jauh dari masyarakat umum. Bahkan hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu,” pungkasnya. Selain itu, Rafiq, menyampaikan PTN akan menghalalkan segala cara untuk mencapai keuntungan tanpa mempertimbangkan aspek kepentingan mutu pendidikan yang sebenarnya. Mahasiswa semester VIII itu, mengatakan dalam konsep PTN BH, negara akan lepas tangan dalam soal pembiayaan pendidikan. "Kampus mempunyai otonomi dalam pengelolaan keuangan. Kampus akan seenaknya dalam menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa, serta menentukan pembiayaan lainnya demi mencapai kepentingan profit dari PTN tersebut,” tutur Mahasiswa Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam ini. Dampak PTN BH terlihat dari Universitas Andalas (Unand) pada Tabloid “Manuver Unand pasca PTN BH” edisi LXXX Maret-April yang diterbitkan LPM Genta Andalas. Diketahui Unand belum mengalami perubahan dan peningkatan dalam hal akademik ataupun kualitas mahasiswa, tetapi terlalu sibuk mencari pemasukan baru untuk menutupi dana pengeluaran, meski telah berubah haluan menjadi PTN BH pada 31 Agustus 2021. “Kampus yang statusnya PTN BH harus dapat mencari dana sendiri layaknya BUMN, pengeluaran juga bertambah karena subsidi dari pemerintah berkurang,” ungkap Warek II Unand, Wirsma Arfi Harahap. Pendapatan selain APBN berasal dari biaya pendidikan mahasiswa berupa UKT dan SPP, yang kurang lebih sebesar 100 miliar. Dampaknya kenaikan UKT dari 2018 sampai 2022 naik secara signifikan. Bahkan di beberapa fakultas Unand kenaikannya mencapai lima juta

Ilustrasi: Washilah - Kardiman Aksah (Magang)

rupiah pertahunnya yang seharusnya beriringan dengan kualitas pendidikan dan sarana prasana. Apa yang dialami Unand, juga dialami Universitas Hasanuddin yang lebih dulu beralih menjadi PTNBH di tahun 2014 silam. Calon mahasiswa yang dinyatakan lulus dijalur ujian mandiri akan dibebankan dengan Dana Pembinaan Pendidikan (DPP) yang menyentuh angka 50 juta permahasiswa dilampiran UKT/ BKT UNHAS pada tahun 2017. “Bahkan untuk Fakultas Kedokteran yang dulunya tidak ada uang pangkal, kini 200 juta,” ungkap Presiden Mahasiwa Unhas, Imam Mobilingo. Menanggapi polemik tersebut, Dhia menuturkan seharusnya jika akreditasi meningkat, maka dana dari pemerintah akan bertambah. "Ketika Badan Hukum Pendidikan (BHP) dikeluarkan, UKT mahasiswa dibeberapa Universitas naik. Akhirnya mahasiswa menjadi korban,” tutur perempuan yang menjabat sebagai Dosen Fakultas Hukum Univeristas Brawijaya ini. Di lain sisi, revisi UU sistem pendidikan nomor 20 tahun 2003, mendorong seluruh PTKIN segera bertransformasi menjadi PTN BH. Hal tersebut disampaikan Nizar Ali selaku Sekretaris Jenderal Kementrian Agama yang dilansir melalui Medcom.id, (18/02/2022). Askar menambahkan bahwa

kampus akan siap, namun PTKIN akan dipersulit dengan dasar yang berbeda. pasalnya PTKIN condong kepada keagamaan dan persoalan PTN BH sedikit kontradiktif dengan polemik keagamaan. Sampai saat ini belum ada produk tersendiri sebagai bentuk interpretasi dari Kemendikbudristek mengenai MBKM kepada PTKIN karena PTN dan PTKIN memiliki kebijakan yang berbeda. “Misal antara Universitas Negeri Makassar (UNM) dan Universitas Islam Negeri (UIN). Walaupun sama-sama status negerinya tetapi secara sosio historis persoalan sumber dayanya berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan persoalan adaptasi terkait kebijakan dengan kondisi kampus, atau pun mempertimbangkan aspek kesiapan dari masing-masing kampus harus mempertimbangkan aspek sosiologisnya ataupun aspek manusia dan budaya dalam semua kampus,” katanya. Terakhir, Askar mengatakan tidak semua kampus mempunyai kultur yang sama, jika PTKIN belum siap ke arah MBKM dan dipaksakan, maka kebijakan itu tidak akan membawa pengaruh positif terhadap yang merasakan. Wakil Rektor IV Bidang Kerjasama dan Pengembangan Lembaga UIN Alauddin Makassar, Kamaluddin Abu Nawas, mengungkapkan sampai saat ini tidak ada upaya UIN Alauddin menuju PTNBH.

Tidak mudah sebenarnya. Bahkan sekarang yang menjadi BLU di bawah naungan Kemenag. Jangan sampai kita mau menuju PTNBH, tapi kita tidak mampu,” Wakil Rektor IV Kamaluddin Abu Nawas Kendati demikian, ia tidak menampik bahwa UIN Alauddin Makassar merupakan satu-satunya universitas bagian timur yang berpotensi untuk menjadi PTN BH jika ditinjau dari penghasilannya, “karena UIN mungkin masuk lima besar pendapatannya pada tataran universitas di Indonesia,”pungkasnya. Kamaluddin menambahkan sebanyak 20 BUMN penempatan pemagangan sedang dalam proses penandatanganan MoU. “Perusahaan seperti semen indonesia, Telkom, dan Perbankan. Semua dalam tahap proses. Meski diakui, sempat terhenti karena pandemi,” tutupnya. *Penulis: Firda dan Astiti Nuryanti (Magang) *Editor: Nur Afni Aripin


8

TESTIMONI Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

Firda Menulis tujuan masuk Washilah sebanyak 500 kata, pada awal menginjakkan kaki di Washilah. Saya menulis dengan penuh harap di setiap kalimatnya, sambil berpikir semoga keputusan berproses di sini adalah jalan “ninjaku” yang benar. Kamis, 16 Juni 2022, saya menulis kesan dan pesan terhadap apa yang saya lalui selama kurang lebih sembilan bulan. Tentu tujuan yang saya tuliskan di awal telah saya jalani dengan semaksimal mungkin dengan dukungan kawan seperjuangan dan seluruh keluarga kecil Washilah. Dalam sembilan bulan terakhir, tidak hanya berputar tentang kajian, liputan, dan kepanitian. Tentu semua lebih dari itu. Dalam proses itu banyak hal yang bisa saya rasakan, seperti kepedulian satu sama lain, kenyamanan, dan rasa kekeluargaan yang amat menenangkan. Keluarga kecil ini mempunyai tangan yang terbuka lebar untuk merangkul kami, seperti tulisan yang ada di pojok Rujab sebutan untuk sekretariat kami. “Rujab adalah tempat pulang bagi siapapun yang mencintai Washilah”. Terlalu banyak maklum yang diberikan kepada saya sehingga bisa sampai di tahap ini. Terima kasih telah membantu saya untuk memperbanyak bekal dalam menghadapi dunia kerja ke depannya. Untuk kalian kawan seperjuangan, terima kasih karena telah membersamai dalam segala senang dan sedih.

Harapan Bar

A

da istilah yang sampai saat ini mereka yakini dalam tiap proses yang telah ia le magang. Entah apa maksud penyematan tersebut, tapi itu mungkin representa kan kepada sesosok manusia tetapi kepada sekelompok orang.

Setelah melalui proses pemagangan selama sembilan bulan, kami telah melewati berb hal menyenangkan, berbaur dengan rasa sedih, kekesalan, putus asa, patah semangat kak akibat jam tidur yang berantakan, makan tidak teratur, membuat kami satu persa

Kerja keras yang dibalut cerdas, hadir sebagai pembaharu yang memang sedari awal k perlawanan, pembaharu kewarasan, pembaharu untuk tetap saling menguatkan dan p dikabulkan dengan caranya masing-masing.

Generasi demi generasi terus hadir di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Inf harapan baru Washilah ada. Mereka berkutat dengan persaingan demi menjadi pengo seputar UIN Alauddin Makassar.

Irham Sari Saya percaya bahwa takdir itu pilihan. Memilih untuk berproses di Washilah itu termasuk pilihan. Butuh waktu sembilan bulan, dengan segala halang rintang untuk ‘terlahir’ sebagai anggota Washilah. Terima kasih telah memberi kesempatan dan mengajarkan saya apa arti dari sebuah slogan “keluarga kecil”. Sekali lagi terima kasih!.

Nur Annisa Menjadi jurnalis adalah pilihan, tetapi bertahan dalam pemagangan adalah cinta. Sayaa besar dalam dunia kesehatan, tak pernah sekalipun memiliki pengalaman di bidang jurnalistik. Tapi saya memilih, untuk menginjakkan kaki dalam dunia kritis, dengan memilih Washilah menjadi wadah. Saya percaya mampu melihat dunia lebih luas melalui Washilah. Segenggam harap lain pun kubawa untuk mendapatkan rumah yang memahami mengapa tawa dan tangis itu terjadi. Waktu terus berjalan, sembilan bulan pemagangan tidak sedikit air mata, tawa dan renungan yang berhasil dibuat oleh Washilah. Benar, menjadi keluarga kecil Washilah adalah takdir terbaik. Hopefully this taste continues to grow and bear fruit sweetness.

Hamdan Selama sembilan bulan ber-Washilah, berproses dengan penuh perjuangan yang menguras tenaga, fisik, maupun mental. Tapi berkat teman-teman dan senior yang selalu menyemangati, akhirnya saya sampai di titik di mana janin itu terlahir sebagai anggota baru di keluarga kecil Washilah. melewati rintangan yang tidak mudah dan akhirnya sampai di titik ini. Bisa yok, tetap semangat!

Kardiman Aksah Terinspirasi dari Pram, dalam tulisannya pada roman Tetralogi Pulau Buru mengajarkan kepada siapa pun yang membacanya, bahwa historis Hindia-Belanda bergeming karena seorang pribumi menulis karena pers. Washilah adalah tempat belajar pers terbaik, karena menulis adalah bekerja untuk keabadian. Di Washilah kita menulis, membaca, dan bercengkrama layaknya wadah untuk meningkatkan kualitas diri. Kita hebat selama Magang!!

Khusnul Fatimah Sebenarnya alasan saya masuk Washilah, berangkat dari rasa penasaran akan asumsi orang-orang yang mengucapkan berbagai macam pujian-pujian mengenai Washilah, anehnya tak ada satu pun kekurangan dari organisasi ini terlontar dari lisan mereka. Enam bulan pemagangan berjalan, salah satu senior memberi saya sebuah jawaban, “Tidak akan kau temukan apa yang kau cari, kalau bukan kau sendiri yang bergerak mencarinya”. Alasan saya selalu kembali ke keluarga kecil Washilah, karena ada rasa di mana hanya kita sendiri yang dapat mengetahuinya. Dari situ saya sadar, bahwa sikap saya selama ini diam dan mengamati setiap hal yang dilakukan oleh kader Washilah, ternyata tidak dapat membawaku menemukan sebuah jawaban. Selama sembilan bulan menjalani proses pemagangan, saya belum menemukan satu pun kerugian ber-Washilah. Justru organisasi ini selalu memberikan kejutan dan pengalaman yang tidak saya sangka-sangka setiap harinya. Terkadang perasaan jenuh dan lelah, membuatku ingin meninggalkan keluarga kecil ini. Tetapi ternyata benar, ada sebuah rasa yang selalu menjadi alasan untuk kembali berWashilah. Terima kasih kepada keluarga kecil Washilah yang selalu menerimaku walaupun sering kuabaikan. lopelope di udara.

Astiti Nuryanti Washilah, begitulah orang-orang menyebut UKM kami tercinta, pernah terlintas untuk pergi. Namun memberanikan diri untuk bertahan, karena orang-orang aneh yang tidak saya temui di luar Washilah. Selain itu, kalau ditanya kenapa berWashilah, tidak banyak yang bisa saya ungkapkan. Karena saya salah satu orang yang malas untuk berbicara dengan orang banyak. Tetapi Washilah mengajarkan saya berbicara dengan banyak orang melalui karya, terima kasih Washilah.


TESTIMONI

Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

9 Ismail HM

ru Washilah

ewati “Pasukan Khusus”. Kata yang di sematkan pimpinan umum kepada anggota atif dari kerja-kerja kami selama ini. Sejatinya kerja-kerja organisasi tidak dipanggul-

bagai macam tantangan dalam kerja-kerja jurnalistik maupun kelembagaan. Segala dan amarah. Segala letih digambarkan dengan kantong mata yang mulai membengatu kelelahan.

kata “pembaharu” adalah kata harapan yang ditimpakan pada kami, pembaharu pembaharu apapun itu. Kata yang tetap terjaga, tersematkan pada diri kami dan

formasi Mahasiswa Alauddin (LIMA) UIN Alauddin Makassar. Hingga kini generasi olah, dan kini siap mengemban amanah besar sebagai pewarta, untuk mengabarkan

Washilah merupakan sebuah lembaga penyampai aspirasi bagi mahasiswa UIN Alauddin, dan juga sebagai wadah bagi mahasiswa yang ingin berkarya. Lebih daripada itu pula, Washilah mengajarkan kami bagaimana menjalankan roda organisasi dengan penuh keceriaan. Hal inilah membuat saya menyukai Washilah dikarenakan SDM-nya yang tetap konsisten menjaga keharmonisan lembaga, sehingga Washilah masih berdiri sampai saat ini. Satu hal pesan yang ingin saya katakan, jangan meminta apa yang kalian inginkan di lembaga tersebut, namun apa yang kalian nantinya berikan pada lembaga tersebut.

Harianti Lukmana Saya berangkat dari pertanyaan “kenapa ber-Washilah?” Pertanyaan yang sampai saya menulis ini belum terjawab. Tapi, anggap saja itu adalah takdir dan bertahan sampai sekarang adalah pilihan saya (pilihan yang dipengaruhi oleh orang di luar diri saya hehe). Di Washilah saya belajar tentang jurnalistik yang sama sekali saya tidak punya bakat di dalamnya, hal itu tentunya tidak mudah. Mencari isu, menemui narasumber, wawancara, dan menulis dengan deadline yang ditentukan sangat sulit bagi saya, belum lagi ketika ditagih oleh pemberitaan, haduhhh ini nih yang paling menguji kesabaran:( Tapi, di Washilah saya dipertemukan dengan banyak orang yang kupikir aneh tapi unik, dengan begitu saya tidak perlu jaga image. Terakhir, saya mau bilang bahwa berproses di Washilah bukan hal yang mudah sebab konsekuensi utamanya adalah siap kehilangan.

Sahrir Magang di Washilah bagaikan Janin dalam kandungan ibu. Selama sembilan bulan kami dirawat, disayangi, dijaga, dan yang terpenting diberi suplai ilmu pengetahuan agar kita dapat bertahan dalam kandungan, dan kemudian dilahirkan untuk menjadi penerus yang akan merawat organisasi ke depannya. Dalam kandungan banyak hal yang saya dapatkan, mulai dari ilmu pengetahuan di luar basis ilmu pengetahuan saya, relasi di mana-mana dikarenakan dari penugasan liputan, sedikit lebih tahu tentang kampus baik dari segi kasus yang pernah terjadi dan sering terjadi, mahasiswa berprestasi, dari segi perbedaan kultural dari setiap fakuktas maupun jurusan yang ada di UIN Alauddin Makassar, dan yang terpenting saya mendapatkan saudara-saudari yang begitu sempurna. Karena mereka mampu menjadi bara di saat saya hampir padam.

Asrianto Pada awal memutuskan untuk menjadi bagian dari Washilah, karena hanya tertarik ingin belajar desain. Tapi pada saat menjalani proses pemangangan, saya merasa tidak cocok berada di Washilah karena basic saya yang tidak suka menulis, kemudian dipaksa untuk bisa menulis suatu berita. Tapi seiring berjalannya waktu, Washilah membentuk saya jauh lebih baik soal kepenulisan. Menjalani proses pemagangan selama sembilan bulan bukan waktu yang singkat, ada banyak suka dan duka yang saya lalui, seperti penekanan oleh senior, deadline, dimarahi oleh narasumber dan masih banyak lagi. Tapi, ada banyak hal yang saya dapatkan di Washilah, salah satunya bisa bertemu teman-teman yang luar biasa, dan memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Jujur saja, saya pernah ingin keluar dari Washilah, tapi satu hal yang membuat saya ingin bertahan adalah teman-teman. Saya berfikir kalau keluar dari Washilah, mungkin saya akan kehilangan teman-teman yang luar biasa seperti mereka.

Nur Annisarul Aina Juni, tak terasa bulan ini memasuki bulan terakhir pemagangan, tak terasa sembilan bulan telah berlalu. Di sini aku belajar banyak hal bukan hanya tentang organisasi, namun juga tentang peretemanan, kekeluargaan, kekompakan, galdan, kepanitiaan, dan bahkan “perkalasian”. Diriku yang hanya modal nekat dan tak memiliki skill apapun sedikit merasa sangat lancang karena ingin ber-Washilah. Saat memasuki bulan pemagangan akhir aku selalu membandingkan prosesku dan proses teman-teman, di mana mungkin mereka telah pandai atau sudah sangat mahir dalam karya-karyanya, tetapi aku merasa diriku mentok jalan di tempat. Sempat berniat untuk mengikuti jejak teman-teman untuk berhenti karena merasa tak pantas untuk ber-Washilah, namun beberapa rekan dan kakak-kakak tetap merangkul dan meyakinkanku, bahwa aku bisa bertahan dalam keluarga kecil ini, Cheer up never give up one day u will succeed.

Muh. Fiqrawal Rahman

Charissa Azha Rasyid Manis-manis mengejutkan. Hanya itu yang bisa mendeksripsikan perasaanku di mana kami sudah cukup sembilan bulan di rahim ibu Washilah. Pemagangan, tak ada yang lebih menyenangkan dibanding menderita dan berpesta dengan rekan sejaninku yang lain, semoga kita akan tetap terus membersamai setelah dilahirkan di segala kondisi apapun. Karena cinta kita pada Washilah itu jujur.

Butuh waktu sembilan bulan hingga setiap kata dapat saya rajut untuk menggambarkan Washilah, bukan gambar abstrak, klasik atau modern kontemporer. Washilah pemilik kanvas digambar uniknya sendiri, memberi kesan setiap pasang mata yang melihatnya, terlebih lagi pada orang yang berperan melukis di dalamnya. Bagi saya washilah mempunyai dua wajah menyikapi mereka yang berusaha menggores kuas berwarna agar menjaganya tetap indah. Wajah pertama dia bisa menyenangkan, sangat malahan. Menyatukan beragam kepribadian unik, gelak tawa berbeda-beda, emosi yang malah buatnya saling merekatkan. Saya sudah sedikit paham mengapa kata “keluarga kecil” selalu digaungkan dia memberi kehangatan layaknya kelurga kecil yang dibangun dengan sederhana. Wajah kedua dia bisa menyengsarakan, bagi mereka yang berleha-leha atau hilang entah terbawa apa. Dibebankan tugas dan beban moral, bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan dengan sadarnya. Washilah punya caranya dan saya pernah melihat di kedua wajahnya. Membentuk pribadi menjadi mandiri, bertanggung jawab atas segalanya, apapun itu.


10

SASTRA Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

Aku Perempuan ?

Cerpen

Oleh: Muh. Fiqrawal Rahman

Ilustrasi: Washilah - Kardiman Aksah (Magang)

A

yam berkokok. Atmosfer semakin dingin. Aku tahu perasaan subuh datang menghampiri menjelang pagi. Kutarik selimut menghangatkan tubuh, terlelap. Samar-samar terdengar suara Ibu, seperti sirine peringatan pertanda bahwa aku harus bangun. “Estia, bangun nak! Siap-siap berangkat ke sekolah!” Ibu berteriak. Ibu memang selalu bangun awal mempersiapkan dagangannya. Ia menjual kue di kios depan rumah. Semenjak kematian Ayah, Ibu memiliki tanggung jawab menafkahiku. “Estiaaa, bangun nanti terlambat!” Suara Ibu meninggi, tapi kuhiraukan. Aku masih bergelut nyaman dengan gravitasi kasurku. “Ini sudah jam delapan, kamu terlambat ke sekolah!” Mendengar itu, mataku terbelalak, tubuhku bergerak sendiri. Entah masih sadar atau tidak, aku telah berada di kamar mandi. Guyuran air menyadarkanku. Ritual membersihkan badan telah usai, aku terburu-buru karena masih dalam zona panik. Setrika seragam sekolah, siapkan buku pelajaran, dan tak lupa bawa Alkitab. Hari ini ada pelajaran membedah ayat. Belum selesai menyetrika, ibu kembali berteriak, “Estiaa. Jangan lupa sarapan !” Suara ibu menggema. Takut membuatnya teriak dua kali, sebaiknya kukabulkan diteriakan pertama. Hanya memakai kaos dan celana pendek, aku beranjak ke meja makan. Tak peduli, aku mengunyah sarapan, langsung menelannya saja. “Estia! Makannya jangan terburu-buru! Lihat mulutmu seperti tupai yang penuh dengan biji kenari,” tegur Ibu tertawa. “Mau bagaimana lagi Bu, aku telat.” “Sudah-sudah. Lihat jam dinding dulu!”

Aku mendongak ke atas, hingga mataku sejajar dengan jam yang masih menunjukkan pukul 6.30 Wita. “Ibu! Tidak lucu. Tak kasihan apa? Lihat anaknya terburu-buru seperti kuda di track balap,” protesku cemberut. Dialog konflik pagi itu sedikit mereda. Kembali ke aktivitas utama memakai seragam sekolah dan sedikit berdandan. Bedak tipis di wajah, melentikkan bulu mata, tak usah terlalu menor. Selain karena peraturan sekolah, toh aku memang sudah terlahir cantik, kata ibu. Kulit putih, rambut terurai, wajah bulat, alis tebal, mata coklat berkelopak, hidung mancung, bibir tipis, serta lesung pipi di sebelah kanan. Tak berselang lama, terdengar suara perempuan memanggil namaku, mungkin arah suaranya dari halaman rumah. "Estia. Estia berangkat bareng yuk! " Itu pasti suara Helna, sahabatku dari kecil. Nama lengkapnya Helna Anggraeni Putri Caksono, seorang anak pengusaha kaya dari Jawa. Akrab kupanggil Cakso, nama Ayahnya. "Iya tunggu!” Kami masih duduk di bangku kelas dua, di salah satu SMA Kristen di Bali. Tak tahu kenapa si Cakso selalu mengajakku berangkat bersama ke sekolah, padahal dia punya supir pribadi yang siap mengantarnya ke mana saja. Kalau bersamaku cuma naik angkutan umum. *** Rabu 17 Juni, kuawali pagi dengan ceria. Seperti biasa, pergi ke sekolah bersama Cakso. Hari ini ada pelajaran olahraga praktik tolak peluru, kebetulan guru olahraga kali ini pindahan dari jawa . Pak Hamidi guru olahraga kami yang baru, langsung mengarahkan ke lapangan. Laku-

kan praktik harus pemanasan dahulu. Kami membuat lingkaran. Meregangkan tangan agar tak saling bersentuhan. Satu orang ditunjuk ke tengah sebagai instruktur stretching, kali ini Pak Hamidi menunjuk Cakso sebagai instruktur. Semua berjalan normal-normal saja, tiap ada gerakan yang salah Pak Hamidi membenarkan dengan tongkat kayu yang sering dia bawa-bawa. Tapi, setiap gerakan salah yang kuperbuat, dia membenarkan dengan sentuhan tangannya. Seperti membenarkan posisi pinggulku, tumpuan kaki dan gerakan tangan. Ia lakukan itu dengan tersenyum ke arahku, awalnya kuanggap biasa. Hingga masuk tahap praktik, teman yang lain melakukannya dengan lancar-lancar saja. Sesekali Pak Hamidi membenarkan gerakan yang salah kembali dengan tongkat kayunya. Hingga tiba di urutan absenku. Kulakukan gerakan sebaik mungkin. Kupikir tak mungkin salah, tapi masih ditegur oleh Pak Hamidi. Katanya, tumpuan tungkai pahaku kurang rendah. Ia lagi-lagi membenarkan gerakanku dengan menyentuhku. Ia menyentuh pahaku dan terus naik ke pinggul, yang membuatku tak tahan lagi. Dia menyentuh bokongku dan itu cukup lama. Aku menyudahi gerakan dan menatap tajam ke arahnya. “Guru cabul, bangsat!” Segala umpatan kulemparkan padanya. Cakso sigap menarik tanganku dan membawaku menjauh dari guru sialan itu. “Estia, sudah. Tenangkan dirimu!” Cakso mencoba menenangkanku. “Tidak Helna! Kejadian ini tak boleh di tenangkan, aku harus melapor ke kepala sekolah,” tegasku. Cakso hanya tertegun melihatku. Aku be-

ranjak ke ruang kepala sekolah, kebetulan ada Romo. Panggilan kami untuk pendeta yang mengajar agama di sekolah. Aku menceritakan kejadian yang Pak Hamidi lakukan kepadaku. Namun, kepala sekolah menanggapinya biasa saja, hanya Romo yang terlihat khawatir, tak tenang mendengar itu. Romo menyuruh salah satu siswa memanggil Pak Hamidi untuk datang ke ruang kepala sekolah. Tak berselang lama, Pak Hamidi tiba di ruangan kepala sekolah. Ia dimintai keterangan terkait kegaduhan yang kulaporkan tadi. Mungkin kelanjutan ceritanya bisa diterka, Pak Hamidi mengelak dengan apa yang dia lakukan. “Kejadiannya tak seperti itu Pak, Romo. Mungkin Hestia menanggapinya terlalu berlebihan, saya hanya mencoba memperbaiki gerakan yang salah, tadi itu kaki saya terpeleset dan tak sengaja menyenggol bokong Hestia.” “Bapak bohong! Romo, Pak kepala sekolah tolong percaya padaku! Jelas sekali aku merasakan dia memegang bokongku. Kalau aku menghitung satu sampai sepuluh, tangannya masih ada di bokongku,” wajahku memerah, aku sangat ingin menangis saat itu. Pak Hamidi masih tetap tak mau mengakui kesalahannya, “aduh! Hestia, buat apa Bapak seperti itu, lagian saya sudah punya istri dan dua anak. Sudahlah ini cuma salah paham.” Romo menengahi perdebatan aku dengan Pak Hamidi, “ kalau begitu kita lihat saja rekaman Cctv yang mengarah ke lapangan sekolah. Kalau memang benar Pak Hamidi melakukan tindakan tercela ini, kita keluarkan saja dari sekolah. Laporkan ke pihak berwajib. Jangan sampai Tuhan mengutuk kita atas kejadian ini!”


11

SASTRA

Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

Kepala sekolah menyahut, ia tadinya tak merespon kejadian ini, “sudah-sudah Romo, masalah ini tak usah dibesar-besarkan. Cctv rusak, lagian kita sudah mendengar penjelasan dari pak Hamidi. Jangan sampai masalah ini berimbas pada nama baik sekolah.” Mendengarnya aku menangis sejadi-jadinya. Melihat keadaanku, Romo kembali menimpali kepala sekolah, “seharusnya tidak seperti itu Pak, kita juga harus menghargai perasaan Hestia.” Namun, kepala sekolah naik pitam, ia menatapku, “ Hestia! Ayo katakan apa yang kamu mau?” Tanyanya dengan suara meninggi. Aku hanya bisa menangis, tak sanggup menjawab. Melihat tindakan kepala sekolah, Romo kecewa dan membawaku keluar ruangan. Romo mengantarku menuju kelas, menenangkanku, “yang kuat Hestia, tenangkan dirimu Nak! Yakinlah, Tuhan akan memberikan balasan yang setimpal kepada yang salah.” Romo memelukku, membuatku sedikit tenang. Lalu, Romo menyuruhku untuk pulang ke rumah agar aku lebih tenang, “pulanglah dulu nak! Urusan di sekolah biar Romo yang bertanggung jawab.” Helna yang sedari tadi di dekatku menyahut, “biar aku yang menemani Hestia pulang Romo.” Helna menghubungi supir pribadinya, menyuruh menjemput di depan gerbang sekolah, Romo menyetujui hal itu. *** Beberapa tahun telah berlalu, aku telah lulus. Banyak hal telah kulewati, tapi tidak di sekolah yang namanya sangat baik itu. Aku tak sanggup melihat wajah Pak Hamidi. Mungkin ini yang dikatakan trauma. Menulis namanya saja dalam ceritaku, ingin rasanya kuhilangkan setiap huruf di keyboard yang membentuk kata “Hamidi”. Awal masuk kuliah sebagai mahasiwa baru, rasanya sungguh sangat beda dibanding sekolah menengah. Sudah tertanam pada diriku untuk tak tampil mencolok. Berkaca pada pelecehan yang pernah kualami, aku tak mau jadi mangsa hewan liar kampus. Setiap harinya, aku masuk ke kampus hanya memakai kaos, kemeja, dan celana gombrang Dengan perubahan seperti itu, Cakso yang memang satu kampus denganku, meski beda jurusan merasa bahwa aku aneh. Mengataiku seperti bunglon yang mengubah warna kulit agar terhindar dari predatornya. Mengapa tidak, penampilanku berantakan kalau mau ke kampus saja. Tapi, jika di rumah aku kembali jadi putri ayu Bali. Dunia kampus memang menyenangkan, seperti tambang emas tapi bentuknya pengetahuan. Terlalu sempit untuk terjebak di ruang kuliahan dengan teori dosen tua, atau mendengar penjelasan kikuk dosen muda. Aku lebih suka bertukar pikiran di pelataran, lapangan, halaman, atau di warung kopi. Diskusi tentang feminis, kapitalis, apatis, dan kesetaraan. Setidaknya, memberiku pandangan bagaimana seharusnya perempuan. Perempuan bukan tentang pajangan penarik konsumen di bursa penjualan, pun berdiri melayani di depan meja kasir atau jadi pagar

ayu, otak borok koloni kapitalis. Harusnya, perempuan ibarat ratu lebah yang dihargai oleh lebah pekerja. Bukankah Induk singa betina bekerja sama dalam perburuan? Mempertahankan wilayah dan membela anak dengan singa pejantan. Bahkan hewan menjunjung kesetaraan melebihi manusia. *** Tak terasa dan memang rasa waktu tak ada, kini telah penghujung 2020. Momen mencekik penghujung semester. Karir sebagai mahsaiswa harus ditangguhkan. Menggarap proyek besar skripsi untuk menyabet predikat wisuda. Cakso mengambil start duluan, ia sedikit lagi jadi wisudawan. Satu tahun yang lalu ujian terberat bagi Cakso. Perusahaan Ayahnya jatuh bangkrut ditiipu rekan kerjanya. Karena itu Ayahnya sakit-sakitan. Ibunya yang melihat kondisi itu, pergi entah ke mana tanpa kabar. Ini adalah titik paling kritis bagi Cakso. Mungkin, itu alasan dia ingin cepat menyelesaikan tugas akhirnya. Segera pulang ke Bali merawat Ayahnya, berbakti dan membalikkan keadaan. Suatu malam, Cakso secara gamblang menceritakan kesialnnya. Ia ragu menghadapi ujian skripsinya. Katanya, yang jadi penguji Prof Koro Arbianto. Aku yang mendengar namanya saja sangat terkejut dan kasihan. Entah cobaan apa lagi yang diberikan Tuhan pada sahabatku ini. Prof Koro Arbianto terkenal dengan julukan “penjagal sarjanawan”, dosen penguji yang sangat dihindari oleh para mahasiswa semester usia lanjut. Banyak mahasiswa kalah perang olehnya, alhasil gagal sarjana. Setelah perbincanga itu, beberapa hari kemudian, kuperhatikan raut gelisah Cakso. Jalan ke sana ke mari, kupastikan ia panik karena skripsinya. “Tenang Helna! Cukup fokus saja pada isi skripsimu, kalau kamu menguasainya semua akan baik-baik saja,” aku berusaha menenangkan. “Ini sulit Hestia, yang kuhadapi Prof Koro loh! Kamu tahu sendirikan dia bagaimana, ini kesempatan terakhirku, belum lagi aku terus kepikiran dengan Ayahku.” “Iya, yang sabar Helna. Aku harus melakukan apa agar bisa menenangkanmu?” “Sudahlah! Aku mau keluar sebentar, jangan mengikutiku! Aku butuh sendiri!” Sudah hampir fajar, Helna tak kunjung pulang. Aku khawatir padanya. Belum sempat kubuka pintu niatku mencarinya, gagang pintu sudah lebih dulu bergerak. Nyatanya yang membuka pintu perempuan yang kucari. raut wajahnya sedikit pucat, mata sembab, serta senyum sendu. Entah apa yang telah terjadi padanya. “Helna! Kamu baik-baik saja kan?” Tanyaku memastikan “Iyah, aku hanya butuh tidur.” “Serius? Ayo cerita padaku!” “Tak terjadi apa-apa. Tolong Estia, aku hanya butuh tidur!” Terlepas rasa penasaran apa yang terjadi pada Helna, aku hanya diam untuk menghormati keputusannya.

*** Senin 16 Agustus. Hari ini kuanggap kado terbaik menjelang ulang tahunku, ujian sidang skripsi sahabatku berlangsung. Aku Menemani Helna ke kampus menuju ruang sidang, memegang tangannya yang terasa dingin. Meski dia mencoba menipuku dengan wajah penuh keyakinan, aku tahu dia sangat gugup. Menunggu di lobi ruangan, sudah satu jam sidang skripsinya di eksekusi. Aku mulai khawatir, dengan apa yang terjadi pada Helna sekarang. Lalu lalang di depan pintu. Akhirnya, terdengar suara gesekan tanda pintu terbuka, Helna yang berdiri tepat di hadapan ku dengan jas hitam, berpadu kemeja putih, dan rok hitam di bawah lutut. Ia membentangkan selembar kertas hasil sidangnya, kubaca dengan teliti bertuliskan kata lulus di atasnya. Aku melompat ke arahnya, memberikan pelukan dan meneteskan air mata. Bukan pada apa yang terjadi sekarang, aku teringat pada semua cobaan yang telah menimpa sahabatku ini. *** Awal perjalanan hingga sampai di Indekos, Cakso sedari tadi menangis, tangisnya terdengar pilu seakan ia teringat pada satu kejadian. Aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Bukankah hari ini hari bahagianya setelah menyandang gelar sarjana? “Helna, apa yang sebenarnya terjadi?” aku memberanikan diri bertanya tapi tak ada jawaban. “Helna! Helna!” Aku menggoyangkan tubuhnya, karena tak juga menjawab pertanyaanku. “Prof Koro! Hestia, ini tentang Prof Koro!” Tiba-tiba Helna menyebut nama Prof Koro dengan suara keras. Ia Kembali menangis lebih keras dari sebelumnya. Aku bingung apa yang terjadinya. “Aku menggadaikan tubuhku padanya Estia!” Cakso berteriak histeris. Tidak, tidak, itu tidak mungkin.Helna pasti bercanda. Aku menatap tajam ke arahnya. Mengapit wajahnya dengan kedua tanganku, hingga sejajar dengan wajahku. Entah mengapa air mataku menetes. “Helna, kamu bohong kan? Kamu tak melakukan itu kan? Jawab aku Helna!” Helna hanya diam dengan tangisan yang ia tahan. Aku baru tersadar Helna tak sedang bercanda. Aku berusaha mengingat, berusaha menghubungkan setiap tingkah ganjil yang dilakukannya. Akhirnya, kupastikan itu terjadi di malam di mana dia ingin sendiri, menyambangi kediaman Prof Koro Arbianto. “Anjing! Profesor anjing.” Amarahku memuncak, ingin rasanya bergegas menuju kampus untuk meluapkan kekesalanku. Tapi Helna menghentikanku, menarik langkah kakiku sebelum kudapati pintu. Memohon sejadi-jadinya bersujud di hadapanku. “Jangan Hestia! Kumohon jangan! Aku tahu hal ini akan terjadi jika kuberitahukan padamu. Tolong aku Hestia. Jangan buat aku sengsara terlalu lama, mengertilah dengan keadaanku! Aku tak mau kabar ini sampai ke telinga Ayahku. Kita akan membunuhnya!

Kita akan membunuhnya! Aku mohon padamu Hestia! Kita akan membunuhnya!” Aku hanya bisa pasrah mendengar apa yang dikatakan Helna. Terduduk lemas, mengangkat sujud Helna hingga sejajar dengan posisiku. Aku hanya bisa memeluknya dan mengusap kepalanya. Tangisku sudah tak bersuara, namun air mataku menetes sendiri tanpa aba-aba. Esok hari ulang tahunku, kejutan ini tak kunanti, esok juga negara merasa merdeka. Haruskah aku kembali diam Tuhan? Puan Negara? Perempuan ciptaan Tuhan dengan kutukan mengikutinya terpaksa membungkam, hanya boleh bersuara lewat desahannya. Apakah aku salah setelah ? atas semua yang telah ditimpakan padaku? *Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Hukum Fakuktas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar.

Puisi

Aku perempuan ?

Oleh: Muh. Fiqrawal Rahman

Kutemui hak ku terlantar Kebebasanku direnggut Tubuhku terpenjara Suaraku dicekal Aku perempuan? Ketika diamku mengangkat birahi pejantan Ketika deritaku jadi lolucon Ketika tangisku melolong pilu mereka tertawa terbahak Aku perempuan? Saat desahku jadi solusi permasalahan Aku perempuan? Tenggelam di genangan tersisih di bisikan Jatuh tersungkur dalam dunia yang tak menginginkanku Terbakar amarah yang tak bisa diluapkan Aku perempuan Dibiarkan berjuang sendiri Sialnya beberapa orang bangga menjatuhkanku Lantas antar aku berdialog pada tuhan Nanah dan darah imbas kutukan Perlawananku mati oleh tangan kanan Tetap berdiam diri Menelan pil pahit Yang dunia sugukan Pada mahluk kaparat yang disebut perempuan *Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Hukum Fakuktas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar.


12

LENSA Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

Di Balik Kampus Asri Washilah – Sejak dilantik 2019 sebagai Rektor UIN Alauddin Makassar, Hamdan Juhannis mencanangkan kampus asri sebagai poin pertama pancacita non-akademik di UIN Alauddin Makassar. Dalam upaya merealisasikannya, berbagai kebijakan telah ditenggarai oleh penulis buku “Melawan takdir” ini. Salah satunya, menerapkan bebas asap rokok di area kampus yang diusung pada Mei 2021. Berkaitan dengan itu, sebagai perpanjangan tangan dalam meujudkan pancacita rektor, Pusat Peradaban Islam Sulawesi-selatan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UIN Alauddin Makassar telah me-massifkan penguatan indikator Green Campus. Di antara kebijakannya, yakni; manajemen air, pemanfaatan kertas, pemanfaatan listrik dan penghijauan. Selain itu, kerja sama dengan PT Abadi Raya Commerce (PT Arco) perusahaan penyedia jasa cleaning service (CS) sebagai pemenang tender. Digadang-gadang menjadi pendukung pancacita rektor melalui penguatan komunikasi serta tugas dan fungsi para CS. Nampaknya, kerjasama ini semata-mata hanya menguntungkan satu pihak saja. Orang-orang yang lebih berjasa mewujudkan pancacita rektor merasa dirugikan. Seperti pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak serta kebijakan yang merugikan dan gaji tidak sepadan dengan beban kerja yang berlebih. Hal di atas menarik perhatian Reporter Washilah untuk mendatangi dan megulik lebih dalam cerita CS melalui foto. Berikut potret orang-orang yang berjasa dalam mewujudkan kampus asri meski kerap dipinggirkan, Minggu (22/05/2022).

Dilain sisi, Megawati (23) mengumpulkan daun kering di bawah pohon mangga yang bertempat di lapangan Rektorat Kampus UIN Alauddin. Megawati mengaku bekerja selama 11 jam. Padahal ia seharusnya bekerja delapan jam, di mana PT Arco menetapkan jam kerja hingga pukul 15.00 Wita. Namun Megawati memanfaatkan jam pulang kantor untuk membersihkan hingga pukul 18.00 Wita. Minggu (22/5/2022).

Fitriani (kiri), Fatimah (tengah), Zubaidah (kanan), telah mengumpulkan sampah daun kering pohon mangga di beberapa titik kampus II UIN Alauddin terkhusus lapangan rektorat. Aktivitas kerja bakti, dilakukan setiap sore. Fatimah telah bekerja 12 tahun, terhitung sejak tahun 2010. Namun, ia hanya diberi upah berkisar satu juta delapan ratus ribu rupiah. Sementara Pemerintah Kota Makassar telah menetapkan gaji Upah Minimum Regional (UMR) sebesar tiga juta dua ratus ribu rupiah di Tahun 2022, Minggu (22/5/2022).

Setelah menyapu lapangan depan Rektorat, sampah kemudian disimpan dalam karung oleh Zulfikar (23) untuk dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang, Minggu (22/5/2022).

Salah satu kelompok CS duduk istirahat setelah menyelesaikan pembersihan area lapangan Rektorat. Di sela-sela istirahat, Fatimah mengeluhkan persoalan gaji. Sementara beban kerja berlebihan, Minggu (22/5/2022).

Rukiah Dg Te’ne bertugas membersihkan lantai dua Rektorat, ia mengeluhkan minimnya tenaga CS yang membersihkan di gedung ini, sejak masuknya PT Arco dengan peraturan yang membatasi satu pekerja di tiap lantai gedung, Rabu (08/6/2022).

Dg. Bollo bersama timnya yang bertugas melakukan kerja bakti pukul 13.00 Wita di depan Perpustakaan Syekh Yusuf UIN Alauddin. Fatmawati mengungkapkan beban kerja yang tidak sesuai dengan tenaga, Rabu (02/3/2022).

*Foto dan Teks: Charissa Azha Rasyid (Magang) *Editor: Andi Fahrul Azis


13

SOSBUD

Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

Eksistensi Bissu dalam Ragam Gender Suku Bugis

Tiga Bissu tengah menghadiri acara tolak bala di Makassar tahun 2018. | Foto: Dok. Pribadi Samsu Rijal. Washilah – “Di antara mereka yang tertangkap, harus memilih antara mati dibunuh atau memilih masuk Islam dan menjadi manusia normal (laki-laki atau perempuan),” tulis Halilintar Lathief dalam bukunya yang berjudul Bissu. Selain bissu, Suku Bugis mengenal empat gender lainnya. Jika lazimnya kita mengenal dua gender, yakni laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan dengan feminitasnya. Maka, masyarakat Bugis mengenal lima gender dengan perannya yang berbeda-beda, yaitu; Oroane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calalai (perempuan dengan peran dan fungsi laki-laki), calabai (laki-laki dengan peran dan fungsi perempuan), sementara bissu (perpaduan dua gender yaitu perempuan dan laki-laki). Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Syamsul Rijal, menjelaskan kelima gender tersebut tidak berkaitan dengan seksualitas. Tapi berdasar pada pembagian hasil dari konstruk sosial masyarakat tentang peran-peran dan karakter mereka di dalam kehidupan bermasyarakat di Bugis Makassar. “Karena itu jelas, kelima entitas itu adalah pembagian yang berbasis gender, bukan berbasis seksualitas,” ungkap laki-laki kelahiran 1976 ini. Lanjut, Demisioner Ketua Riset, Budaya Lokal, dan Wacana

Alternatif Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Makassar menambahkan, status gender dalam Bugis Makassar ini, dianggap sebagai sesuatu yang tidak dibuat-buat, “ada yang dibilang calabai tongkonalino. Diyakini kecalabaiannya itu merupakan kodrat alam atau ketentuan dari Tuhan,” tambahnya. Hal tersebut juga dibenarkan penulis buku Calabai, Saprillah, ia mengungkapkan orientasi seksual merupakan takdir Tuhan yang tidak bisa dihadirkan sendiri, “artian orientasi seksual seseorang tidak bisa dihakimi, yang bisa dihukumi ketika seseorang itu mengekspresikan orientasi seksualnya menjadi praktek,” tuturnya. Meskipun calalai, calabai, dan bissu memiliki populasi yang rendah.Tapi tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk memutuskan memilih menjadi bissu, calalai, atau calabai. Mengenai hal ini, Saprillah menggambarkan tak ada penolakan atasnya. Masyarakat Bugis sudah menganggapnya sebagai tradisi kebudayaan dari para leluhur, sebelum Islam masuk ke tanah Bugis, “yang kita inginkan bagaimana membangun ruang kultur bersama, kita tidak boleh menghakimi,” tambah penulis buku Sejarah Sosial Masyarakat, Rongkong ini.

Kini, beberapa komunitas bissu dapat dijumpai di wilayah administratif Kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Pinrang, Sidrap, Makassar dan Pare-pare. Menilik Peran Bissu Ada yang menarik dari salah satu kelima gender ini, yakni bissu, yang dilabelkan sebagai manusia suci. Dikarenakan, mereka terhindar dari segala hal yang kotor seperti kegiatan seksual, haid, dan tidak memiliki hasrat seksual. Itulah mengapa bissu hanya berasal dari kalangan calabai. Dulunya, para bissu berperan sebagai penasihat, pengabdi, dan penjaga arajang yang merupakan benda pusaka keramat. Tugas mereka diyakini sebagai kehendak penguasa gaib. Pusaka yang berupa tombak suci, keris, peti, dan benda-benda lainnya. Benda pusaka yang disebut arajang ini ditemukan di Posik Tana umumnya berupa buah-buahan, sebilah senjata, batu-batu, alat pertanian yang berbentuk aneh. Biasanya, arajang disimpan di rumah Arajang yang disiapkan di dalam istana dengan satu kamar khusus yang disediakan. “Ada rumah khusus arajang yang disiapkan kerajaan dan bissu tinggal di rumah Arajang itu,” kata Ilham Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam UIN Alauddin Makassar. Pekerjaan utama bissu adalah

melaksanakan beberapa upacara ritual keluarga. Baik yang bersifat kenegaraan, rumah tangga, maupun yang bersifat keagamaan. Di daerah Bugis lainnya, di mana para bissu berperan pada upacara kerajaan yang dilaksanakan untuk pusaka-pusaka kerajaan. Upacara ini, mereka melebur ke dalam upacara untuk memanjatkan doa-doa, menjadi penyambung ke leluhur nenek moyang mereka. Meskipun, peran di masa lalu tidak sama dengan masa sekarang. Seiring dengan berkembangnya zaman, eksistensi keberadaan bissu mengalami kemunduran. Apalagi semenjak Islam masuk dan penganutnya sebagaian besar masyarakat Sulawesi-selatan. Terlebih pada masa peralihan kekuasaan, bissu menjadi sasaran genosida dan diskriminasi karena dianggap musyrik. Pada periode awal setelah kemerdekaan, banyak pembantaian bissu yang dilakukan oleh kelompok DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakkar dikenal dengan operasi Toba paa tahun 1966. “Masa itu, rakyat takut pada gerombolan dan tentara. Karena tentara membakar semua padi penduduk pedalaman agar tidak diambil oleh gerombolan. Sedang gerombolan membunuh orang yang kedapatan melakukan upacara

atau menyembah berhala,” Kata Angkong Petta Rala, dikutip dari buku Bissu. Bahkan ketika orde lama ditumbangkan oleh rezim orde baru. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang bahkan hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa saat itu. Para bissu dan mereka yang dipercaya akan kesaktian 1 dituduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan sirik, dianggap penganut ajaran animisme. Upaya Merawat Kultur Dewasa kini, degradasi bissu juga dipengaruhi terhadap Stigma. Yah, stigma terhadap identitas gender di luar laki-laki dan perempuan masing-masing kerap mendapatkan stigma yang buruk di kalangan masyarakat, termasuk gender calabai dan calalai yang ada di Bugis Makassar. Stigma yang biasanya diberikan kepada mereka adalah manusia pembawa sial dan pembawa dosa. “Status mereka dianggap status yang tidak jelas, bahkan juga dalam masyarakat, seperti yang dialami para bissu dan sering diceritakan oleh mereka. Mereka sering dikata-katai sebagai pembawa sial dan pembawa dosa,” kata Penelti madya di bidang agama da masyarakat itu. Tetapi para calabai dan calalai, serta beberapa gender lainnya merespon dengan cara menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa yang sama dengan manusia pada umumnya. “Banyak bissu yang menjalankan haji, untuk menunjukkan bahwa mereka juga sebenarnya orang-orang yang saleh. Itu demi menghadapi stigma-stigma yang ada di masyarakat tentang mereka,” lanjutnya. Seiring dengan berkembangnya zaman, istilah-istilah terkait transgender semakin banyak. Istilah yang populer sekarang adalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Dengan hadirnya hal itu, kata rijal masyarakat akan mengasumsikan bahwa kelompok gender ini ingin diakui keberadaan dan haknya, untuk melakukan perkawinan sesama jenis dan itu harus diakui. “Hal itu muncul dalam asumsi masyarakat sehingga mereka semakin ditolak dengan isu itu,” katanya. Sambung Rijal para transgender perlu untuk memilah istilah untuk melabelkan diri mereka. Merefleksikan ulang strategi-strategi mereka untuk mendapatkan hak-haknya dengan tidak terlalu memakai istilah-istilah bahwa gerakan mereka berbau liberal. Cara-cara yang dilakukan mereka justru sebagai bentuk menghargai heteroseksual. Meski demikian, Rijal menegaskan kelima gender ini haruslah dihargai keberadaannya, “karena pertama-tama adalah sesuatu yang ada sejak dahulu kala, identitasnya merupakan bagian dari mayarakat Bugis,” ungkapnya. Perbedaan orientasi seksual kata Rijal tidak melegitimasi untuk berhenti memandang manusia sebagai manusia. Mereka layak mendapatkan pendidikan, pekerjaan yang layak tanpa diskriminasi. Apalagi budaya Bugis memegang prinsip sipakatau, yang dimaknai sebagai memanusiakan manusia. *Penulis: Astiti Nuryanti dan Nurul Annisatul Aina (Magang) *Editor: Nur Afni Aripin


14

MIMBAR Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

Dari Sistem UKT hingga Kebijakan MBKM; Humanisasi atau Dehumanisasi di Perguruan Tinggi?

Oleh: Askar Nur “…..Saya mempunyai sebuah mimpi bahwa suatu hari kelak 4 anak saya yang kecil akan hidup (dan berkarya) dalam sebuah bangsa/ negeri di mana mereka tidak akan dinilai oleh warna kulitnya tetapi oleh isi dan muatan dari wataknya. Saya mempunyai mimpi hari ini…..” Sekilas, sebuah pidato dari Pdt. Dr. Martin Luther King mengenai masa depan yang lebih adil dan bebas untuk semua golongan manusia yang kemudian ditulis ulang oleh Pdt. Dr. Benny Giay dalam “Mari Mengambil Alih Kendali Kehidupan: Memperjuangkan Pemulihan Negeri ini” pada tahun 2008.[1] Petikan pidato “I Have a Dream” dari Martin Luther King tersebut merupakan gambaran proses kehidupan yang terjadi di Afrika-Amerika. Corak kehidupan yang penuh unsur rasialisme. Subordinasi ras kulit hitam oleh ras kulit putih yang terus langgeng bahkan mungkin sampai saat ini. Meskipun tidak separah beberapa dekade lalu. Bukan tanpa sebab, harapan Martin merupakan sebuah jalan setapak yang dapat ditempuh oleh siapapun dan termasuk harapan bersama manusia-manusia lainnya di semua bangsa/negeri. Sejatinya, pola dan tatanan kehidupan yang bergerak tidak pada porosnya melahirkan pengharapan. Harapan pemulihan dan meletakkan segalanya ke dalam pondasi awal. Dari unnecessary repression bergerak menuju emancipatory goals. Seperti halnya harapan Martin Luther King untuk generasi selanjutnya agar hidup dalam keadilan dan diperlakukan secara adil. Meskipun bagi Nietzsche, harapan adalah bentuk kejahatan terbesar dan mampu menciptakan penderitaan berkepanjangan bagi manusia. Kendati demikian, dalam konteks kehidupan sosial harapan merupakan hasil penelusuran terhadap realitas dan fakta sosial yang beranjak dari aspek empiris, termasuk harapan hadirnya konsep pendidikan yang berkeadilan sosial dan sebagai arena pengasahan kemampuan manusia baik secara teoritas maupun praktik.[2] Di Indonesia, pendidikan sebagai arena pengasahan kemampuan manusia telah dilembagakan dan memiliki tujuan utama sesuai yang termaktub dalam UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan dan keadilan. Gagasan ideal tentang pendidikan di UUD 1945 merupakan sinyal penguat harapan manusia mengenai konsep keadilan dan kemanusiaan yang dihadirkan melalui pendidikan. Akan tetapi, ibaratnya hegemoni yang tidak pernah sempurna dalam pelaksanaannya dan selalu terdapat pola counter-hegemony, begitupun dengan sistem atau kebijakan pendidikan tak selalu seindah pijakan awalnya. Di Indonesia, terdapat beberapa dasar utama pelaksanaan pendidikan di antaranya Pasal 28C (1), Pasal 31 (1) UUD 1945 yang keduanya mengelaborasi pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia dan hak seluruh elemen masyarakat untuk merasakan dunia pendidikan. Tak hanya itu, terdapat pula traktat dan deklarasi bersama dengan negara-negara lain yang melibatkan Indonesia dalam perumusan kebijakan yang memiliki orientasi atau tujuan untuk menja-

min hak setiap manusia untuk memperoleh pendidikan.[3] Aturan-aturan main tersebut tentang proses pendidikan di Indonesia secara keseluruhan merupakan gagasan ideal dan tentunya sangat diharapkan dan dibutuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Kendati demikian, setiap cerita umumnya selalu melibatkan dramatisasi. Pasalnya, arah pendidikan saat ini semakin menunjukkan ketidakramahannya terhadap kelas masyarakat tertentu. Hal tersebut terbukti dengan peningkatan angka putus kuliah dari kalangan masyarakat kelas ekonomi bawah menjadi sepuluh kali lipat di tahun 2022. Penyebab utamanya adalah tekanan ekonomi keluarga yang semakin menurut akibat pengaruh Covid-19 sehingga tidak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah anaknya.[4] Selain itu, hasil penelitian dari Fitriana Nur Itsnaini juga memberikan kesimpulan yang sama bahwa faktor penyebab putus sekolah didominasi oleh faktor internal yakni keadaan ekonomi orang tua yang lemah sehingga para peserta didik memutuskan untuk berhenti sekolah.[5] Hal senada pun juga ditemukan oleh Yuusufa Ramanda Indra Asmara, dkk bahwa angka putus sekolah semakin tinggi di Kabupaten Buleleng, Bali disebabkan oleh tingkat penghasilan orang tua peserta didik yang menurun.[6] Sebaliknya, sektor pendidikan saat ini khususnya pendidikan tinggi kian diperhadapkan dengan kebijakan-kebijakan yang justru mengaburkan makna pendidikan dalam konstitusi negara dan semakin membebankan biaya pendidikan kepada masyarakat. Terdapat beberapa kebijakan di sektor pendidikan tinggi yang jika dianalisis secara mendetail maka dapat ditemukan beberapa masalah yang dapat berakibat pada pupusnya harapan masyarakat dalam hal akses pendidikan. Seperti sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang merupakan inovasi baru dalam mengembangkan pendidikan tinggi. Sistem ini resmi diterapkan melalui Surat Edaran No. 97/E/KU/2013 tentang Uang Kuliah Tunggal yang berisi Permintaan Dirjen Dikti kepada Pimpinan PTN untuk menghapus uang pangkal dan melaksanakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014.[7] Sistem UKT merupakan sistem pembayaran dimana biaya kuliah mahasiswa selama satu masa studi di bagi rata per semester (jadi tidak ada lagi uang pangkal) serta tidak ada biaya tambahan lain-lain seperi Praktikum, KKN dan Wisuda. Secara definitif, sistem UKT merupakan sebagian Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang ditanggung setiap mahasiswa per semester berdasarkan kemampuan ekonominya. Uang Kuliah Tunggal dibayarkan oleh mahasiswa pada setiap awal semester menjelang proses pembelajaran sesuai kalender akademik. Sistem UKT diterapkan dengan tujuan untuk lebih membantu dan meringankan biaya pendidikan mahasiswa dengan sistem subsidi silang melalui penggolongan UKT. Secara kerangka teoritis, sistem UKT adalah jawaban dari permasalahan pembiayaan pendidikan sehingga pendidikan tinggi dapat diakses oleh seluruh kalangan masyarakat. Namun, secara praktik, sistem UKT juga memiliki perbedaan antara konsep dan implementasinya. Terdapat beberapa kasus yang menjadi contoh konkrit ketidaksesuaian antara gagasan dengan implementasi sistem UKT, di antaranya kisah 26 mahasiswa di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar yang dikeluarkan akibat terlambat membayar UKT dikarenakan mereka (mahasiswa) harus membanting tulang untuk mencari uang pembayaran kuliah.[8] Sementara itu, masih tentang sistem UKT, salah seorang petinggi fakultas di salah satu universitas keagamaan negeri melontarkan kalimat yang

tidak senonoh kepada mahasiswa yang saat itu tengah menggalang donasi untuk membantu para mahasiswa yang mengalami kekurangan biaya untuk membayar UKT. Secara sadar, pihak pimpinan tersebut mengutarakan bahwa “tidak usah kuliah, kalau tidak punya uang”. [9] Selanjutnya, di kampus yang sama di masa pandemi terdapat sejumlah mahasiswa yang memperoleh bantuan pemotongan UKT akibat Covid-19 tidak terdaftar namanya di Bank saat ingin melakukan proses pembayaran karena faktor keterlambatan.[10] Deretan kasus tersebut menyiratkan bahwa proses implementasi kebijakan UKT di perguruan tinggi masih terbilang buruk dan dapat menjadi penyebab putus kuliah semakin meningkat akibat biaya kuliah yang semakin hari semakin mengalami peningkatan. Senada dengan itu, merujuk pada peraturan lahirnya sistem UKT sebagai model pembayaran uang kuliah tanpa ada lagi pembayaran lainnya dalam hal ini uang pangkal. Akan tetapi, di beberapa perguruan tinggi khususnya yang berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang telah menerapkan sistem UKT namun masih tetap menerapkan pula pembayaran uang pangkal pada jalur masuk mandiri, seperti yang terjadi di Universitas Hasanuddin, Makassar, bagi mahasiswa baru yang dinyatakan lulus di jalur masuk mandiri maka diwajibkan untuk membayar Dana Pengembangan Pendidikan (DPP) atau Uang Pangkal. Secara peraturan, penerapan uang pangkal telah menyalahi peraturan UKT yang dikeluarkan oleh pihak kementerian.[11] [12] Antara sistem UKT dan PTN-BH, keduanya memiliki keterkaitan erat dan memiliki misi penguatan proses pendidikan tinggi. PTN-BH yang merupakan perpanjangan tangan dari Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang ditolak dan dihapus melalui keputusan MK pada 31 Maret 2010 karena dinilai bahwa kebijakan tersebut mengandung unsur diskriminatif dan ketidakadilan dari segi akses pendidikan tinggi. Akan tetapi, penghapus BHP tidak diikuti dengan penghapusan Pasal 53 UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. Prinsip otonomi dalam BHP adalah bahwa kebebasan pihak perguruan tinggi untuk menjalin kerjasama dengan pihak apapun dan menaikkan biaya kuliah demi stabilitas pengelolaan perguruan tinggi. Artinya, BHP merupakan wujud pelepasan tanggung jawab pemerintah di sektor pendidikan tinggi dan beralih hanya sebagai fasilitator. Di sisi PTN-BH, meskipun sampai saat ini, hanya terdapat 15 perguruan tinggi negeri di Indonesia yang telah berstatus PTN-BH akan tetapi tentunya akan terus bertambah.[13] Salah satu indikator yang akan menjadi dasar bertambahnya jumlah PTN di Indonesia yang berstatus PTN-BH adalah lahirnya kebijakan baru di sektor pendidikan tinggi di akhir Januari 2021 lalu yang dipelopori oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, yakni Program Kampus Merdeka yang merupakan lanjutan dari konsep Merdeka Belajar atau dikenal dengan istilah Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MB-KM).[14] Bagi Nadiem, MB-KM dimaknai memberi kebebasan dan otonomi kepada perguruan tinggi, dan merdeka dari birokratisasi, dosen dibebaskan dari birokrasi yang berbelit serta mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai melalui empat pokok kebijakan.[15] Implikasi dari bertambahnya jumlah PTNBH sebagai proyeksi pokok dari MB-KM adalah semakin memperpanjang konstruksi ketidakadilan di sektor pendidikan tinggi khususnya dalam hal akses pendidikan yang membutuhkan biaya yang tidak murah. Dari aspek historis, kebijakan MB-KM bukanlah produk yang baru di Indonesia melainkan tel-

ah hadir sejak tahun 1993 yang diintegrasikan dengan tujuan pendidikan di Indonesia dikenal dengan istilah link and match, yakni perpaduan antara keterkaitan yang dipelajari di sektor pendidikan dengan kesesuaian dunia kerja. Artinya, hasil pendidikan harus sesuai dengan dunia kerja demi mencapai pembangunan ekonomi di Indonesia. Lebih lanjut, pada Maret 2019 melalui Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi, Kemenristek Dikti, Totok Prasetyo, mengatakan perguruan tinggi atau kampus diarahkan untuk membentuk sarjana yang sesuai dengan kebutuhan industri. Pihak kampus harus berfokus membuka prodi atau jurusan yang berorientasi kepada dunia kerja dan mendukung kebutuhan industri.[16] Penulis sebelumnya telah menanggapi berita tersebut melalui tulisan “Pendidikan untuk Humaniora dan Sosial” sebagai bentuk respon terhadap pernyataan tersebut yang seakan-akan mendegradasi peranan ilmu sosial dan humaniora dalam arena perguruan tinggi.[17] Senada dengan itu, kehadiran kebijakan MB-KM dalam ruang lingkup perguruan tinggi justru ikut mempropagandakan manusia sebagai objek teknologi, menumbuh-kembangkan proses industrialisasi dan modernisasi di sektor pendidikan dan membentangkan karpet merah bagi pasar modal. Secara sekilas, kontradiksi antara kebijakan tersebut dengan ilmu sosial dan humaniora nampak tidak muncul secara nyata di permukaan, akan tetapi secara lebih analitis produk kebijakan MB-KM akan memperpanjang kesenjangan bagi para peserta didik termasuk kejumudan berpikir dan langgengnya jarak antara mahasiswa dan kondisi sosial kemasyarakatan. Kebijakan MB-KM di perguruan tinggi merupakan salah satu bagian dari proses modernisasi. Dari sudut pandang antropologi, beberapa antropolog berdasarkan penelitiannya melakukan penolakan terhadap proses modernisasi dalam dunia pendidikan dengan alasan bahwa modernisasi pendidikan tinggi akan semakin meningkatkan ketidaksetaraan dalam hal akses pendidikan, kebebasan akademik terancam, menghancurkan budaya asli dan mengurangi keanekaragaman budaya.[18] Pandangan tersebut juga didukung kuat oleh teori kekerasan simbolik dari Pierre-Felix Bourdieu, seorang antropolog perancis. Meskipun teorinya tidak hanya berfokus pada dunia pendidikan, akan tetapi pada wilayah kekerasan simbolik, Bourdieu mendudukkan analisis teorinya pada pendidikan tinggi. Kekerasan simbolik terjadi dalam ruang lingkup pendidikan tinggi murni hasil dari kebijakan pendidikan tinggi yang menjadikan developmentalisme sebagai landasan ideologis. Di tataran perguruan tinggi, kekerasan simbolik dapat disimak melalui hubungan antara tenaga pendidik (dosen) dan peserta didik (mahasiswa). Pola dominasi dengan menempatkan mahasiswa sebagai objek, salah satu contohnya di dalam ruang perkuliahan dosen selalu menempatkan dirinya sebagai subjek dan mahasiswa sebagai objek sehingga tidak terjadi proses dialektika dalam kelas. Alhasil, kecenderungan yang hadir adalah bentuk “pemaksaan” terhadap sebuah kebiasaan yang telah direformulasi melalui ideologi yang ditanamkan dan dikemas ke dalam bentuk kebijakan (sistem). Alhasil, melalui penerapan sistem UKT hingga kebijakan MB-KM di perguruan tinggi akan semakin memperparah ketimpangan kelas sosial dan ketidakadilan dalam hal akses pendidikan untuk semua kalangan, sehingga arena pendidikan tinggi menemukan watak barunya sebagai ruang dehumanisasi, sebuah bentuk penghilangan hak dan harkat manusia dalam melatih dan mengasah kecerdasan dan kapabilitas intelektual melalui konsep pendidikan yang berkeadilan dan demokratis.


15

MIMBAR

Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

Referensi: [1] I. N. Suryawan, “Ilmu-ilmu humaniora dan pembaharuan-pembaharuaan identitas di papua,” pp. 10–21, 2014. [2] A. Nur, “Nietzsche, Marjane, dan Mas Pur Menyapa Para Bucin,” basabasi.co, 2019. https://basabasi.co/nietzsche-marjane-dan-mas-pur-menyapa-para-bucin/. [3] A. Nur, “Sekapur Sirih Kapitalisme Pendidikan; Reinventing Paradigma Pendidikan Indonesia,” carabaca.id, 2021. https://carabaca.id/sekapur-sirih-kapitalisme-pendidikan/. [4] P. Prayogo, “Waduh, Angka Putus Sekolah Naik 10 Kali Lipat, Segera Gelar PTM,” kalderanews.com, 2022. https://www.kalderanews.com/2022/01/waduh-angka-putus-sekolahnaik-10-kali-lipat-segera-gelar-ptm/. [5] F. Nur Itsnaini, “IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB SISWA PUTUS SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR KOTA YOGYAKARTA,” 2015. [6] Y. R. I. Asmara and I. W. Sukadana, “Mengapa Angka Putus Sekolah Masih Tinggi? (Studi Kasus Kabupaten Buleleng Bali),” E-Jurnal Ekon. Pembang. Univ. Udayana, vol. 5, no. 12, pp. 1347–1383, 2016. [7] A. Nur, “Uang Kuliah Selama Pandemi, Mendaras SK Rektor UIN Alauddin tentang Keringanan UKT Mahasiswa,” makassar.tribunnews.com, 2020. https://makassar.tribunnews. com/2020/06/29/uang-kuliah-selama-pandemi-mendaras-sk-rektor-uin-alauddin-tentang-keringanan-ukt-mahasiswa. [8] A. Haq, “Telat Bayar Uang Kuliah, 26 Mahasiswa UIN Alauddin Dikeluarkan,” regional.kompas.com, 2018. https://regional.kompas.com/read/2018/03/19/22592131/telat-bayar-uang-kuliah-26-mahasiswa-uin-alauddin-dikeluarkan. [9] M. Azis, “Wakil Dekan II UIN: Tidak Punya Uang Tidak Usah Kuliah,” heraldmakassar.com, 2018. https://heraldmakassar.com/2018/05/26/wakil-dekan-ii-uin-tidak-punya-uangtidak-usah-kuliah/. [10] S. Aminah, “Mahasiswa UINAM Mengeluh Tak Bisa Bayar UKT, Namanya Tak Terdaftar di Bank,” makassar.tribunnews.com, 2021. https://makassar.tribunnews.com/2021/08/20/ mahasiswa-uinam-mengeluh-tak-bisa-bayar-ukt-namanya-tak-terdaftar-di-bank. [11] C. Life, “Biaya Kuliah UNHAS (Universitas Hasanuddin) Tahun Ajaran 2022/2023,” blog.cicil.co.id, 2020. https://blog.cicil.co.id/biaya-kuliah-unhas-universitas-hasanuddin/. [12] Admin, “Biaya Kuliah di Unhas 2022,” marikuliah.com, 2022. https://www.marikuliah.com/2022/02/biaya-kuliah-di-unhas-terbaru.html. [13] D. Ihsan, “15 Perguruan Tinggi Berstatus PTN-BH, Berikut Daftarnya,” edukasi.kompas.com, 2021. https://edukasi.kompas.com/read/2021/12/03/105543871/15-perguruan-tinggi-berstatus-ptn-bh-berikut-daftarnya?page=all. [14] D. Ihsan, “Perjalanan Kampus Merdeka sejak Diluncurkan Januari 2020,” edukasi.kompas.com, 2021. https://edukasi.kompas.com/read/2021/11/30/070400271/perjalanan-kampus-merdeka-sejak-diluncurkan-januari-2020?page=all. [15] J. R. Tohir, “Kemenristek Dikti Arahkan Kampus Sesuai Kebutuhan Industri, Bukan Humaniora dan Sosial,” jakarta.tribunnews.com, 2019. https://jakarta.tribunnews. com/2019/03/12/kemenristek-dikti-arahkan-kampus-sesuai-kebutuhan-industri-bukan-humaniora-dan-sosial. [16] A. Nur, Bangku depan: Kumpulan Suara Terbungkam di Ruang Kuliah. Makassar: Liyan Pustaka Ide, 2021. https://books.google.co.id/books?id=5kktEAAAQBAJ&source=gbs_ navlinks_s [17] D. Publikasi, “Berbagi Wawasan Pentingnya Ilmu Humaniora,” Universitas Katholik Parahyangan, 2021. https://unpar.ac.id/berbagi-wawasan-pentingnya-ilmu-humaniora/#. [18] A. Nur, “Antropologi Pendidikan, Developmentalisme dan Lonceng Kematian Ilmu Pendidikan,” carabaca.id, 2021. https://carabaca.id/antropologi-pendidikan-developmentalisme-dan-lonceng-kematian-ilmu-pendidikan/. *Penulis merupakan Demisioner Dema UIN Alauddin periode 2018 dan penulis buku Bangku Depan.

Kampus Beradab Tidak Membiarkan Hal Biadab

B

eberapa hari yang lalu, saya tersentak mendapati data kasus kekerasan seksual yang disimpan rapi di data litbang Washilah. Angka yang tidak sedikit. 36 korban, yang kesemuanya didominasi Mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Data yang dikumpulkan di tahun 2018 hingga 2022 ini betul-betul membuat saya berdecak kesal. Sebagai mahasiswa yang aktif di lembaga pers, tentu saya sadar bahwa angka ini belum sepenuhnya merampungkan data korban kekerasan sesksual yang pernah terjadi di kampus peradaban ini. Yah, kekerasan seksual layaknya fenomena gunung es. Jumlahnya mungkin berkali-kali lipat lebih banyak daripada yang telah diberitakan sebelumnya. Masih banyak korban yang enggan melaporkan kasusnya. Memilih menyimpan ceritanya sendiri. Padahal melapor kasus yang dialami ke pihak terkait menjadi salah satu upaya untuk mendapatkan keadilan, setidak-tidaknya membantu mereka mengatasi trauma. Berdasarkan laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari 20152020, kekerasan seksual terjadi disemua jenjang pendidikan. Namun hanya 27 persen dari aduan yang diterima terjadi di jenjang perguruan tinggi. Berdasarkan 174 testimoni, dari 79 kampus di 39 kota, sebesar 89 persen perempuan dan 4 persen dari laki-laki yang menjadi kekerasan seksual. Setelah menelisik lebih jauh dalam upaya mencari verifiksi. Saya menemukan fakta bahwa korban teramat takut melaporkan kasusnya, “saya trauma laporkan kasusku kak, karena naceramahija,”hal itu disampaikan junior saya. Saat saya bertanya, kenapa tak memilih melaporkan kasus eksibisionis yang dia alami pada 4 April 2022. Bukan hanya satu orang, beberapa kenalan saya juga mengatakan hal serupa. Mengaku pasrah. Takut bila kasusnya hanya menjadi perbincangan semata, tanpa ada penindakan serius dari kampus. Belum lagi beberapa orang tak begitu paham persoalan seksualitas dan terkesan menabukannya. Korban butuh untuk dirangkul. Setidaknya didengarkan. Bukan dipersalahkan atas kasus yang dialaminya. Bukan mengutuknya dengan dalih agama, bahwa pelecehan yang ia alami adalah karma atas dosa yang dia perbuat. “Seharusnya, perempuan tidak boleh jalan sendiri kalau tidak mau dilecehkan!” “Siapa suruh jalan di gang sempit tengah malam.” “ Makanya tutupi auratmu!” “ Siapa suruhko pacaran. “ Sekilas, penggalan kalimat tersebut terkesan sederhana, bagi orang yang tak memiliki empati atau seseorang yang kerap menjadi pelaku pelecehan seksual. Bukankah Blaming victim membuat korban ciut untuk melaporkan kasusnya? Tapi mengapa kalimat sampah itu kerap lahir dari orangorang terdidik bahkan sekelas pimpinan. Bukankah Kampus UIN Alauddin Makassar diisi oleh orang-orang yang telah cakap dalam mempelajari Islam. Agama yang mengajarkan

untuk menjunjung prinsip keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan. Hal yang miris, ketika korban adalah laki-laki, meski tak ada pembenaran jika pelecehan dialami oleh perempuan. Pasalnya, budaya patriarki yang mengkonstruk laki-laki sebagai mahluk paling kuat. Toxic masculinity jelas membuat laki-laki malu ketika menangis, takut dianggap lemah. Maka bukan hal yang asing bila kawan-kawan temui penyintas laki-laki yang tak mau melaporkan kasusnya. Candaan seksis seperti. “Kala laki-laki nasuka ji itu dilecehkan.” “Kenapako tidak melawan, deh bancimu. Masa laki-laki tidak bisa melawan.” Bahkan kerap keluar di tongkrongan. Menjadi bahan tertawaan. Guyonan yang sama sekalii tidak lucu. Menjijikkan. Di penghujung bulan Maret 2022, saat saya menemani teman saya bimbingan skripsi, ia mengaku dilecehkan oleh dosen pembimbingnya. Dosen laki-laki pula. Emosinya meluap saat pipinya dielus dan meninggalkan dosen cabul yang penuh nafsuan di ruangan pengap itu. Saya yang melihat matanya berair dan memerah, tersentak kaget. “Kalau bukan dosen, ku tamparmi.” Gerutunya. Saya terdiam, sedikit tak percaya. Kendati demikian ia sama sekali tak ingin melaporkan kasusunya. Takut bila ia dikatai lemah bahkan dipanggil banci karena tak bisa melawan. Kasusnya mengingatkan saya pada peristiwa Mahasiswa Universitas Sriwijaya (Unsri) yang mengalami pelecehan seksual oleh dosen. Sebelumnya, seorang mahasiswa Universitas Sriwijaya mengaku dilecehkan oleh seorang dosen. Pengakuan secara anonim tersebut viral di Twitter yang disebarkan akun @unsrifess, Minggu (26/9) lalu. Dalam unggahan tersebut, mahasiswa ini mengaku telah dilecehkan oleh seorang dosen saat mengurus berkas untuk ditandatangani dosen pembimbing dan penguji, Sabtu (25/9). Pertemuan mahasiswa dengan dosen tersebut berujung pada percakapan masalah pribadi mahasiswa. Usai bercerita, dosen tersebut dikatakan memeluk, mencium bibir, meraba bagian tubuh, dan bermasturbasi di depan mahasiswa tersebut.Cukup miris bukan? Tak ada yang lebih miris dari pelecehan yang terjadi di tempat yang seharusnya mencetak manusia terdidik. Tak ada yang lebih menakutkan dari tenaga pengajar melakukan pelecehan, terhadap mahasiswa yang menganggapnya sebagai pengganti orang tua di kampung. Tak ada yang lebih menjengkalkan dari senior yang menjadikan juniornya sebagai pemuas nafsu. Mereka seharusnya menjadi rumah, menjadi penenang bukan yang meninggalkan trauma dengan menanggalkan pakaian. Meninggalkan ludahnya di bibir. Survei yang dilakukan Kemenikbud pada 2020, sebanyak 77 persen dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di lingkungan kampus, 63 persen tidak melaporkan kasusnya karena khawatir terhadap stigma negative.

23 Agustus 2021 lalu UIN Alauddin Makassar menerbitkan Standar Operating Prosedure(SOP) Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) Entah untuk melindungi korban atau hanya sekadar formalitas belaka. Dimulai dari keterlambatan kampus membuat SK No. 5494 Tahun 2019 yang dikeluarkan direktoral Jendral Pendidikan Islam (Dirjen Penis) tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual Pada perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Di Bulan Juni, kampus berjuluk peradaban ini, kembali membuka pendaftaran bagi mahasiswa baru. Namun kampus tak punya jaminan, apakah mereka akan terlindungi untuk tak menyandang gelar penyintas seksual sebelum gelar sarjana? Kampus tak ada jaminan akan memberangus pelaku yang masih berkeliaran di kampus peradaban. *Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin dan Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar

Oleh: Nur Afni Aripin


16

PRESTASI Edisi 118| Zulkaidah 1443 H | Juni 2022 Masehi

Tak Didukung Pimpinan, UKM Tapak Suci Tetap Toreh Prestasi Washilah - Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Tapak Suci berhasil raih medali dalam ajang Kejuaraan Pencak Silat AIA Silat Championship. Meski tidak mendapat dukungan baik dalam hal fasilitas maupun finansial dari pimpinan kampus UIN Alauddin Makassar, mereka berhasil membawa pulang tujuh medali. Kegiatan pencak silat tersebut mengangkat tema, “Budaya Melahirkan Prestasi, Prestasi Semakin Membudaya”. Dilaksanakan di Kabupaten Wajo, Sulawesi-selatan pada tanggal 14 hingga 17 Mei 2022. Dalam perlombaan tersebut, UKM Tapak Suci berhasil menyabet tiga medali emas, tiga perak dan satu perunggu untuk kategori juara yang berbeda, yakni; juara satu ganda putri, juara dua ganda putri, juara satu tunggal putri, dan juara dua ganda putra. Pendamping peserta UKM Tapak Suci, Taufik, menjelaskan persiapan lomba kurang maksimal dikarenakan tempat dan waktu latihan yang terbatas. Hal ini disebabkan oleh penutupan kampus karena bertepatan dengan Bulan Ramadan. “Padahal, sebelum puasa hanya libur beberapa hari, tapi terus diperpanjang hingga lebaran usai,” jelasnya. “Kalau mau dihitung jumlah latihan, sekitar 15 hari. Kemudian latihan yang kami lakukan bertepatan dengan bulan puasa. Jadi, kita latihannya setelah tarawih sampai pukul sebelas malam,” tambahnya. Hal yang membuat Anggota UKM Tapak Suci patah semangat, lanjut Taufik, adalah persiapan hingga pulang dari lomba, pimpinan tak sedikit pun memberikan sumbangsih berupa fasilitas. “Pernah kami sekali latihan setelah Ramadan, untuk memaksimalkan sebelum berangkat, tapi malah dibubarkan padahal baru selesai salat Isya dan lampu dimatikan,” tambahnya. Selain itu, sambung Taufik, bantuan finansial pun tidak mereka dapatkan, biaya administrasi maupun biaya transpor-

Kontingen UKM Tapak Suci UIN Alauddin Makassar yang mengikuti AIA Silat Championship di Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. | Foto: Dok. Pribadi Yusni

tasi ditanggung sendiri oleh masing-masing peserta lomba. Taufik sangat menyesali hal tersebut. “Karena ketua UKM sudah berupaya, agar ada transportasi dari pihak kampus untuk mengantar kami ke lokasi pertandingan, bahkan sudah berapa kali di-follow up tapi tidak ada tindak lanjut,” keluhnya. Setelah meraih penghargaan pun, kata Taufik, pihak kampus tidak memberi apresiasi kepada mereka. Hal ini dikarenakan lomba yang mereka menangkan hanya tingkat regional. Ketua UKM Tapak Suci, Yuniar J, berharap prestasi tersebut menjadi pemicu semangat bagi mereka untuk terus berkarya dan pimpinan bisa memberi apresiasi kepada setiap mahasiswa yang berprestasi. “karena sangat disayangkan kalau ada mahasiswa yang berprestasi, tapi tidak mendapat dukungan maupun apresiasi dari pihak kampus. Padahal kita keluar tentunya ingin membawa dan mengharumkan nama kampus,” harap mahasiswa

Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam tersebut. Koordinator Bagian Kemahasiswaan, Baharuddin, mengungkapkan bahwa keberangkatan UKM Tapak Suci dalam perlombaan tidak memiliki rekomendasi. Hal itu menyulitkan pihaknya untuk melakukan pengawasan. “Kalau dia berangkat atas nama UIN Alauddin, wajib hukumnya dia menyurat ke rektorat untuk dibuatkan rekomendasi. Jadi bisa kita monitoring sejauh mana pertandingannya. Tapi kan mereka berangkat tanpa rekomendasi,” ucap pria yang akrab disapa Bahar. Baharuddin juga mengatakan alasan tidak adanya reward. Pasalnya perlombaan hanya pada jenjang regional saja. “Kalau tingkat regional tidak ada reward. Hasil rapat terakhir, kita hanya cari nasional dan internasional saja,” tutupnya. *Penulis : Harianti Lukmana (Magang) *Editor : Nur Afni Aripin

Mahasiswa UIN Alauddin Sabet Dua Medali Jenjang Nasional

Mahasiswa Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Alauddin Makassar, Deni Candra, sabet dua penghargaan pada dua ajang perlombaan, yakni; Medali perak di BIMAGE Competition dan medali perunggu di kegiatan National Science and Social Competition (NSSC) 3.0. | Foto: Dok. pribadi Deni Candra.

Washilah – Mahasiswa Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Alauddin Makassar, Deni Candra berhasil menyabet dua penghargaan pada dua ajang perlombaan yang berbeda. Mahasiswa yang menjabat sebagai staff Departemen Penelitian dan Pengembangan, Unit Kegiatan Mahasiswa Ritma, Deni Candra, berhasil meraih medali perak dalam ajang BIMAGE Competition bidang matematika tingkat Nasional jenjang mahasiswa yang diselanggarakan oleh OASE Edukasi pada 10 hingga 13 Maret 2022. Selain itu, ia juga membawa pulang medali perunggu pada kegiatan National Science and Social Competition (NSSC) 3.0, yang diselenggarakan CV Divya Cahaya Prestasi. Kata Deni, untuk meraih hal itu tidak terlepas dari dukungan keluarga, guru dan teman-teman yang menjadi penyemangat dia untuk mengikuti kompetisi. “Alhamdulillah, saya senang sekali bisa dapat juara, apalagi selama ini selalu gagal,” tuturnya. Adapun NSSC 3.0, lanjut Deni merupakan kompetisi se-Indonesia yang bertujuan mengembangkan wawasan serta diikuti oleh empat jenjang peserta, di antaranya SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi yang diselenggarakan pada 29 April hingga 1 Mei 2022.

Deni yang juga turut serta aktif berkecimpung dalam organisasi literasi FLP UIN Alauddin Makassar ini, mengungkapkan masih akan tetap ingin mengikuti perlombaan, guna menambah pengetahuan dan bisa membangun relasi. “Saya berharap bisa mendapat prestasi kembali dalam lomba akan saya ikuti supaya bisa mengangkat nama baik kampus,” harapnya. Terakhir, Deni berpesan agar mahasiswa lain bisa tetap konsisten dalam belajar, “supaya kita tidak cepat lupa dengan apa yang dipelajari,” pesannya. Koordinator Bagian Kemahasiswaan, Baharuddin, mengapresiasi prestasi Deni dengan memberikan reward berupa uang tunai. “Kami tidak hanya mengapresiasi lewat ucapan, tapi juga memberinya reward berupa uang tunai, itu kan sudah diatur di SK, “ tutur pria yang akrab disapa Bahar. Baharuddin berharap reward yang diberikan mampu memberi motivasi kepada mahasiswa untuk lebih berprestasi lagi. “Hadiah itu untuk menghargai jerih payah mahasiswa yang membawa nama baik kampus,” tutupnya. *Penulis : Harianti Lukmana (Magang) *Editor : Nur Afni Aripin


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.