Semester Baru Sistem Baru Hal. 5
Praktik Pungli dan Kontradiksi Zona Integritas
Hal. 7
Denda Peminjaman Buku di Masa Pandemi, Pungli atau Malfungsi?
Hal. 5
Hal. 14 @washilah_uinam
Washilah
Washilah
www.washilah.com
2
DAPUR REDAKSI
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
Beradaptasi
Tajuk Mencari Titik Terang
Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Informasi Mahasiswa Alauddin (LIMA) Periode 2021/2022
“Mereka yang tidak bisa beradaptasi akan tergilas oleh zaman.” Ungkapan itu acap kali kita dengar; dari obrolan di warung kopi, dari mulut dosen di bangku perkuliahan, hingga pada obrolan panjang tak berujung di tongkrongan. Ungkapan demikian relevan dengan kondisi hari ini. Pandemi Covid-19 berpengaruh ke segala sektor, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Informasi Mahasiswa Alauddin (LIMA) sebagai Lembaga Pers Mahasiswa di Kampus Peradaban, tidak terkecuali terkena dampak di masa pagebluk ini. Di tahun kedua pandemi, bukan hal mudah untuk menyesuaikan
diri dengan keadaan. Akan tetapi, Washilah berusaha untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada. Dengan segenap upaya, tabloid Washilah edisi 114 kini bisa hadir di tangan pembaca. Dalam keadaan ini, kendala datang silih berganti. Dimulai dari kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) sehingga pengurus mengambil alih hampir semua kerja-kerja tabloid, respon dari narasumber yang lambat dan kerap kali menolak untuk wawancara, sistem perkuliahan jarak jauh yang diterapkan sehingga beberapa reporter dan pengurus tidak bisa hadir langsung dalam penggarapan tabloid, adalah
sekian dari serangkaian kendala yang kami hadapi. Kami sadar jika tabloid ini masih jauh dari kata sempurna, kami telah berusaha maksimal dan berusaha bekerja secara profesional, maka dari itu kami pun tiada henti meminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Pada akhirnya, kami berterimakasih kepada semua pihak yang telah konsisten mengawal tabloid ini; dari kajian isu, rapat proyeksi, liputan, cetak putih, hingga cetak dan pendistribusian. Ucapan terimakasih kepada Anggota Magang Washilah yang sangat semangat berpartisipasi dalam membantu
proses penggarapan tabloid. Selain itu, kepada Dewan Pakar dan Dewan senior yang sampai saat ini tiada henti membimbing dan mendampingi kami. Untuk keluarga kecil UKM LIMA Washilah, yang tiada henti menebar cinta yang terkonversi menjadi semangat bagi pengurus dalam menyelesaikan tabloid ini. Dengan semangat itu, tabloid Washilah pun hadir dalam bentuk cetak dan PDF. Sebuah upaya untuk selalu mengabarkan berita aktual dan faktual di kampus peradaban. Pada laporan utama Tabloid Washilah edisi 114, kami menyajikan liputan wacana perkuliahan blending.
Diungkapkan oleh Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga I Prof. Mardan, sistem perkuliahan ini menggabungkan antara kuliah tatap muka dan kuliah jarak jauh. Selanjutnya, pada rubrik Sorot kami menyajikan ulasan terkait kasus Pungli yang marak terjadi di UIN Alauddin Makassar, pada rubrik Wansus kami mewawancarai langsung Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) terkait wacana kampus responsif gender. Cerita-cerita menarik Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama mengabdi 45 hari juga bisa kita temukan pada rubrik Akademika.
Diterbitkan sesuai SK Rektor UIN Alauddin Makassar No. 409 tahun 2021 | Pelindung dan Penasehat : Rektor UIN Alauddin Makassar | Penanggung Jawab: Wakil Rektor III UIN Alauddin Makassar | Dewan Pembina : Hj. Yuspiani, Baharuddin, Firdaus Muhammad, Laode Arumahi, Waspada Santing, Muhammah Yusuf AR, Muh Sabri AR, Arum Spink, Sopian Asy’ari, Muh Arif Saleh, Muh Hasbi Assidieqy, Muddin Wael, Rokian M Lehu, Irfan Wahab, M Ruslan, Syaiful Safar, Edy Arsyad, Hamjal El Barkah, Hasbi Zainuddin, Agus, Islamuddin Dini, M Srahlin Rifaid, Luqman Zainuddin, Asrullah, Andi Al Qadri, Faisal Musafa, Muhammad Fahrul Iras. Dewan Pakar : Muh. Aswan Syahrin, Laras Rahmadani, Emiliana, Rahmania, Nurul Wahda Marang. Pimpinan Umum : Arya Nur Prianugraha | Sekretaris Umum : Reza Nur Syarika | Bendahara Umum : Aulya Febrianti | Direktur Pemberitaan : Ardiansyah | Direktur Litbang : M. Sholihin | Direktur Operasional : Lismardiana Reski | Direktur Artistik : Ardiansyah Safnas | Direktur Usaha : Nur Isna Mulyani Rasya | Redaktur Daring : Agil Asrifalgi | Redaktur Tabloid : Ulfa Rizkia Apriliyani | Redaktur Fotografi : Mutmainna S. Sabra | Redaktur Videografi : Ilham Hamza | Redaktur Penyiaran : Hikma Aulia Ramadhani | Pengenbangan SDM : Pelita Nur | Desain dan Layout : Ridah Amalia Hamzah | Sirkulasi dan Periklanan : Iva Anugrahawati | Tim Sosial Media : Nur Apiah B | Reporter : Viviana Basri, Nur Qalbina Razak, Rahma Indah, Hadziratul Qudzyah, Sri Resky Laura Fajrianti, Asdar, Alam Kapriadi, Hendra J.
Dengan meningkatnya kasus penyebaran Covid-19 di Indonesia menjadikan ruang gerak diberbagai aspek kehidupan sangat terbatas. Dalam ranah pendidikan, sudah setahun lebih sekolah maupun universitas ditutup secara serentak, hal itu dilakukan dengan dalih menekan jumlah penyebaran Covid-19. Pembelajaran tatap muka diganti dengan sistem perkuliahan jarak jauh. UIN Alauddin Makassar, sebagai universitas yang dinaungi oleh Kementerian Agama juga melakukan hal demikian. Sejak ditutup pada Maret 2020 lalu, sampai hari ini kejelasan dari pihak pimpinan untuk kembali memberlakukan kuliah tatap muka belum menemui titik terang. Memasuki awal tahun 2021, beberapa media sempat mengabarkan UIN Alauddin Makassar akan mulai dibuka pada semester mendatang, hal itu dikonfirmasi melalui wawancara dengan Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga, Prof. Mardan. Setelah santernya berita dan isu yang beredar, Reporter Washilah mencoba mengonfirmasi ulang kabar tersebut.
Ilustrasi: Ardiansyah Safnas
TOPIK UTAMA
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
Semester Baru, Sistem Perkuliahan Blending Siap Digunakan
Ilustrasi: Ardiansyah Safanas
Washilah – Diwacanakan akan memulai perkuliahan tatap muka pada semester ganjil mendatang, UIN Alauddin Makassar siap sambut semester baru dengan sistem kuliah blending.
S
ejak dikeluarkannya Maklumat Rektor Nomor: Istimewa /P/ UN-06/HK.07.7/03/2020 tentang Penutupan Sementara Kampus UIN Alauddin Makassar. Terhitung dari Maret 2020, hingga hari ini, pihak pimpinan belum memberi kejelasan terkait pelaksanaan perkuliahan tatap muka. Sementara itu, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Pembelajaran Tahun Ajaran 2020/2021. SKB yang dikeluarkan sejak 30 November itu menyebutkan, Perguruan Tinggi dapat melaksanakan perkuliahan campuran (offline dan online) untuk semester mendatang. Keputusan ini dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Nomor 04/ KB/2020, Menteri Agama dengan Nomor 737 Tahun 2020, Menteri Kesehatan dengan Nomor HK.01.08/ Menkes/7093/2020, dan Menteri Dalam Negeri Republik dengan Nomor 420-3987 Tahun 2020. Angin segar sempat berhembus, kala UIN Alauddin Makassar dikabarkan akan kembali memulai kuliah tatap muka pada September mendatang, kabar tersebut
dikonfirmasi langsung oleh Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga Prof. Mardan saat ditemui Reporter Washilah pada Maret lalu. Untuk kembali mengonfirmasi dan mempertanyakan kesiapan kampus yang akan kembali memberlakukan kuliah tatap muka, pada Senin 29 Maret, saat diwawancarai di ruang kerjanya, Prof. Mardan menegaskan tidak ada kepastian terkait perkuliahan tatap muka. Menurut Prof. Mardan, lambatnya pengambilan keputusan ini didasari karena pandemi Covid-19 yang masih saja mewabah di tengah masyarakat, terkhusus untuk daerah Makassar, Gowa, dan sekitarnya. “Tidak ada kepastian kuliah tatap muka, meski presiden mencanangkan kuliah di bulan Juli. kita cuma mengikuti koordinasi pemerintah, kalau pemerintah menyatakan kuliah tatap muka, kita tatap muka, tapi kalau pemerintah bilang tidak ya kita ikut saja,” tegasnya. Namun dalam upaya antisipasi jika kampus benar-benar melakukan kuliah tatap muka, mantan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora ini menyatakan nantinya kampus akan
melakukan perkuliahan yang dikenal dengan istilah perkuliahan sistem blending. Pria kelahiran Maros ini menjelaskan, sistem blending dalam pelaksanaannya akan menerapkan 16 kali pertemuan di tiap semester, kuliah tatap muka akan dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan, enam kali secara online, dan dua kali praktik lapangan. Ia juga mengatakan sistem perkuliahan seperti ini sudah dimulai sejak tahun 2013 oleh Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dengan sistem perkuliahan jarak jauh dengan memanfaatkan tekonologi. Guru besar Ilmu Tafsir ini menuturkan, pada 2018 UIN Alauddin Makassar sudah melakukan uji coba kuliah jarak jauh, hingga merebaknya Covid-19 akhirnya memaksa mahasiswa beradaptasi dengan sistem tersebut. Walaupun begitu, kata Prof. Mardan, kuliah jarak jauh diwarnai dengan berbagai masalah, semisal; tidak optimalnya subsidi kuota internet. Lebih lanjut, mengenai sarana kelengkapan kampus jika perkuliahan tatap muka benar-benar dilaksanakan, Prof. Mardan menjelaskan bahwa Protokol Kesehatan (Prokes) menjadi syarat utama yang akan dilengkapi, sementara proses belajar yang berlangsung akan dilakukan dengan sistem bergantian. “Prokes harus tetap ditegakkan, paling tidak jumlah dalam satu ruangan yang biasanya berjumlah 40 orang harus dibagi dua,” lanjutnya. Dengan diterapkannya metode blending, Prof. Mardan mengatakan pembagian kelas mahasiswa nantinya akan disiapkan ruang-ruang perkuliahan yang lain, mengingat perkuliahan akan dilakukan secara bergantian. Selain ruang perkuliahan untuk memaksimalkan metode blending, ia mengungkapkan jadwal perkuliahan akan ditambah agar protokol kesehatan tetap terlaksana. Prof. Mardan menegaskan, untuk mahasiswa yang tidak diberikan izin mengikuti kuliah tatap muka oleh orangtuanya, nantinya para dosen akan diwajibkan untuk membuat kelas online.
Sementara itu, jika nantinya kampus mengalami keterbatasan ruangan karena membengkaknya jumlah kelas akibat sistem blending, kata Prof. Mardan kemungkinan besar Kampus satu akan digunakan untuk memaksimalkan perkuliahan. “Untuk mengatasi membengkaknya jumlah kelas, kemungkinan besar Kampus I akan dipergunakan agar perkuliahan maksimal, termasuk Gedung Pascasarjana dan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) akan dipindahkan seluruhnya ke Kampus I,” terangnya. Menanggapi sistem perkuliahan yang akan diterapkan pihak UIN Alauddin Makassar, Praktisi Kesehatan Syafril Rahim, S.Kep.,Ns.,M. Kes, saat diwawancarai melalui sambungan telepon pada 10 April lalu, mengungkapkan kesetujuannya dengan sistem yang akan diterapkan. “Saya setuju dengan sistem pembelajaran secara offline dengan secara terbatas, misalnya dalam satu ruangan mahasiswanya 50 dibagi dua jadi 25, tapi dengan syarat Prokes tetap dijalankan, seperti penggunaan masker, jaga jarak, dan penggunaaan handsanitizer,” jelas Praktisi Kesehatan yang juga dosen itu, Pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kabupaten Bulukumba ini menambahkan, dengan adanya metode blending setidaknya ada interaksi yang terjadi di 16 pertemuan perkuliahan, serta kelas yang dibagi dua yang menurutnya akan lebih membantu penerapan Prokes dan memutus rantai penyebaran Covid-19. Lebih lanjut, menurutnya vaksinisasi yang telah dilakukan di lingkungan UIN Alauddin Makassar telah menjadi langkah awal untuk menekan penyebaran Covid-19. Ketua III Dewan Pengurus Pusat (DPP) Himpunan Perawat Anastesi ini menyarankan, agar metode blending ini optimal dan aman, idealnya 80% mahasiswa sudah disuntik vaksin Covid-19. “Menurut saya kalau bisa minimal 80% mahasiswa juga ikut divaksin, supaya betul-
3
betul imunnya terjaga. Karena dengan 80% mahasiswa yang divaksin diharapkan bisa membentuk suatu imunne community,” ujarnya. Selain membahas mengenai sistem blending, ia menilai perkuliahan online yang selama ini kurang efektif. Sebagai tenaga pendidik, ia menjelaskan bahwa ada tiga unsur yang harusnya terpenuhi dalam melakukan pembelajaran, yaitu unsur norma, keterampilan, dan sikap. Sementara dalam perkuliahan online, pencapaian pemahaman keilmuan dan tiga unsur utama dalam pembelajaran tersebut, menurutnya hampir tidak ditemukan, ditambah dengan kendala seperti akses jaringan yang tidak memadai menjadikan metode blending perlu untuk segera diterapkan. Senada dengan itu, Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan Muh. Nur Alief mengatakan sangat setuju dengan wacana kampus terkait perkuliahan sistem blending, namun ia tidak terlalu mengkhawatirkan masalah penerapan Prokes, menurutnya kampus pasti selalu melakukan yang terbaik untuk menjaga mahasiswanya agar tidak terpapar Covid-19. Selain itu, proses perkuliahan online menurutnya pribadi sangat tidak efektif diterapkan. Transfer pengetahuan yang seharusnya terjadi dalam proses belajar mengajar itu tidak ia rasakan sama sekali. “Kalu saya setuju dengan wacana kuliah sistem blending, kalau masalah Prokes itu saya rasa kampus akan melakukan yang terbaik. Alasan saya setuju itu karena proses belajar ketika kuliah online tidak bisa memberi kita tanggapan pengetahuan” ungkap Alif saat diwawancarai di Sekretariat Ilmu Perpustakaan pada minggu (18/04/). Diketahui, salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Makassar, Universitas Bosowa (Unibos) telah menerapkan sistem perkuliahan blending sejak awal April lalu. Rektor Unibos, Prof. Saleh Pallu membenarkan hal tersebut, ia mengatakan, pihaknya telah menerapkan kuliah tatap muka dengan menggabungkan kuliah offline
4
TOPIK UTAMA
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
dan online. “Perkuliahan tatap muka di Unibos sudah sejak lama direncanakan, kami memastikan semua Prokes dapat dipatuhi dengan baik sesuai aturan yang berlaku,” pungkasnya, seperti dilansir dari rri.co.id pada 8 April. Dekan Fakultas Ekonomi Unibos, Dr Arifuddin Manne membenarkan hal tersebut, ia mengatakan penerapan sistem kuliah blending di Unibos berdasar pada SKB empat menteri yang menyebut
perkuliahan tatap muka dapat diberlakukan dengan syarat tertentu, salah satunya dengan penerapan Prokes yang ketat. Sebelum diterapkan di Unibos, kata Dr Arifuddin, pihak Pimpinan Universitas dan Fakultas menindaklanjuti SKB tersebut dengan menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) kuliah tatap muka dan menggelar Rapat Pimpinan sebelum disahkan melalui SK Rektor. Ditetapkannya sistem kuliah blending ini kata Dr Arifuddin,
didasari karena sebelumnya pihaknya telah melakukan evaluasi terhadap efektivitas sistem pembelajaran online dan offline. Hasilnya, ditemukan bahwa sistem pembelajaran offline jauh lebih efektif. “Sejak diberlakukannya sistem ini, mahasiswa sangat senang sekali, apalagi mereka yang mahasiswa baru,” ucapnya. Satu bulan menerapkan sistem perkuliahan blending di Unibos, Dr Arifuddin menyarankan agar perguruan tinggi yang lain terkhusus UIN Alauddin
Makassar bisa menerapkan hal serupa. “Sangat-sangat jauh berbeda jika perkuliahan dilakukan dengan tatap muka, saya rasa UIN takut menerapkan sistem kuliah tatap muka,” pungkasnya. Mahasiswa Jurusan Akuntansi Unibos, Sintya Puspitasari membenarkan hal terebut, selama mengikuti kuliah online hingga diberlakukannya kembali kuliah tatap muka melalui sistem blending, kuliah tatap muka dinilainya jauh lebih efektif. Walaupun begitu, ia mengatakan,
kuliah tatap muka dengan Prokes yang sangat ketat terkesan rumit. “Selain masker yang tidak bisa dibuka saat di dalam ruangan, waktu kuliah di dalam ruangannya juga sebentar sekali, hanya sekitar 40 menit, terus benar-benar jaga jarak memang,” ucapnya.
*Penulis: Ardiansyah, Muhammad Wahyu (Magang) *Editor: Ulfa Rizkia Aprilliyani
Riset Terkait Kesiapan Kuliah Tatap Muka Riset ini dilakukan oleh Divisi Litbang UKM LIMA, bertujuan untuk mengetahui kesiapan sivitas akademika UIN Alauddin Makassar dalam menghadapi kuliah offline atau tatap muka yang diwacanakan pada bulan sembilan mendatang. Riset Ini dilakukan dalam kurun waktu tiga hari, dimulai pada tanggal lima sampai dengan delapan April 2021. Dari 100% responden 33,2 % mahasiswa semester II. 21,6 % mahasiswa semester IV dan mahasiswa semester VI 39,3 % dengan sisanya 5.9 % mahasiswa semester VIII hingga IV. Memiliki Margin Error 4.5 % dengan jumlah responden 376 orang dari delapan fakultas yang ada di UIN Alauddin Makasasar.
Sumber: Litbang Washilah (Lihin) Infografis: Ridah A. Hamzah
SOROT
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
5
Praktik Pungli dan Kontradiksi Zona Integritas
Ilustrasi: Ardiansyah Safnas
Ilustrasi mahasiswa yang sedang membawa makanan sebagai prasyarat saat melakukan bimbingan tugas akhir.
Washilah - Pasca mencuatnya kasus pungutan liar (Pungli) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) dan Fakultas Kesehatan Ilmu Kedokteran (FKIK), tidak lama setelahnya Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) dinyatakan lolos sebagai Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), mewakili Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
K
asus Pungli pertama terjadi pada september 2020, kasus ini menyeret oknum Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) berinisial “S”. Kemudian, kasus kedua terjadi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), terduga pelaku merupakan pejabat teras. Oknum Wakil Dekan. Peristiwa itu terjadi pada awal Februari 2021. Mahasiswa diminta membawa makanan, tanaman hias, dan sejumlah uang. Beda kasus, beda pula penyelesaiannya. Oknum dosen inisial “S” di FEBI, mendapat sanksi setelah lalui proses sidang kode etik. Sementara itu, kasus di FKIK berujung dengan damai. Penyelesaiannya lewat mediasi, mempertemukan terduga pelaku dengan mahasiswa yang menjadi korban. Proses mediasi ini melibatkan Rektor UIN Alauddin Makassar Prof Hamdan Juhannis dan keluarga korban. Praktisi Hukum Tata Negara, Muhammad Reski Ismail mengatakan, tindakan Pungli dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya; faktor ekonomi, lemahnya kontrol dan pengawasan, serta budaya organisasi. “Mahasiswa banyak memiliki mental tidak enakan, kemudian memberikan sesuatu sebagai ucapan terimakasih. Pahadal itu sudah menjadi tugas dosen atau pihak akademik untuk memberi layanan,” ucapnya melalui
sambungan telepon pada Kamis (15/04). Pria yang akrab disapa Reski ini menjelaskan, di tataran kampus, punguntan biaya dapat dikatakan Pungli tergantung aturan masing - masing Universitas yang berlaku. Hal ini dikarenakan beberapa Universitas melegalkan pembayaran dalam proses penyelesaian tugas akhir. “Aturan sistem pembayaran yang berlaku di Universitas Muslim Indonesia (UMI) berbeda dengan Universitas Hasanuddin (Unhas). UMI menerapkan sistem pembayaran yang tidak terintegrasi untuk semua layanan, sedangkan Unhas menerapkan sistem pembayaran yang dihimpun dalam Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) untuk semua pelayanan,” jelasnya. Misalnya, kata Reski, di Unhas pada setiap proses ujian akhir pihak akademik telah menyiapkan konsumsi untuk dosen penguji dan pembimbing. Dana yang digunakan berasal dari UKT-BKT. Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Lembanga, Prof. Mardan membenarkan hal terebut, ia mengatakan, tidak ada pungutan tambahan kepada mahasiswa bagi kampus yang menerapkan sistem UKTBKT, termasuk di antaranya UIN Alauddin Makassar. “Di aturan UKT-BKT itu haram memungut biaya dari
mahasiswa selain dari beberapa item-item yang berhubungan,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (6/04). Mantan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora ini mengungkapkan, UIN Alauddin Makassar sudah beberapa kali menggelar seminar pembuatan regulasi terkait hal ini, bahkan akan dimasukkan dalam kode etik dosen. Namun, hal itu hanya berjalan selama setahun.
“
Kalau ditentukan biayanya oleh pengelola atau penyelenggara itu tidak boleh, karena tidak ada aturan seperti itu. Tidak ada payungnya, itu pasti Pungli. Di aturan UKT-BKT itu haram memungut dari mahasiswa selain dari beberapa item-item yang berhubungan, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga Prof. Mardan
“Kalau tidak salah sudah tiga kali diseminarkan di lantai empat, tapi hasilnya mentah karena banyak yang tidak menginginkan itu,” ungkapnya. Menanggapi kasus pungli di FKIK yang berujung damai, Guru Besar Fakultas Adab dan Humanior ini menganggap, dalam penyelesaian kasus di tataran Universitas harusnya dijalankan sesuai kode etik. Pendamaian sebagai proses di bidang akademik, sedangkan proses hukum harusnya tetap
dijalankan. Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan (Sulsel) Andi Suryadi Culla menganggap bahwa sangat mengkhawatirkan jika perilaku menyimpang seperti Pungli terjadi di lingkungan universitas. “Harusnya universitas menjadi sebuah lembaga ilmiah, sebuah dunia akademik yang komitmennya mendidik,” ucapnya saat diwawancarai pada Jumat, (9/04). Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Unhas ini juga menegaskan, sebaiknya lembaga pendidikan membuat rambu-rambu untuk mengatur dan pengawasi perilaku sivitas akademika. Menurutnya, jika aturan sudah ada, aturan itu harus diaktualisasikan dan divokalkan. Sesuai tanggungjawab dan fungsi dosen, yaitu membimbing, mendidik, mengarahkan, dan membina mahasiswa. Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi Setelah santer diberitakan di berbagai media mengenai Pungli, melalui FTK, kini UIN Alauddin Makassar telah terdaftar sebagai Zona Integritas WBK dan WBBM. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) dinyatakan lolos sebagai perwakilan UIN Alauddin Makassar. Hal itu disampaikan Direktorat Jendral (Dirjen) Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Surat Keputusan nomor 0851/Dj.I/KP.02.3.02/2021. Dilansir dari majalah Universum edisi Maret 2021, Dekan FTK Dr H Marjuni mengatakan, terpilihnya FTK sebagai perwakilan UIN Alauddin Makassar, setelah melakukan pendataan registrasi yang mencakup enam item. “Ada enam item penilaian seperti manajemen perubahan, penataan tatalaksana, penataan sistem manajemen sumber daya manusia, penguatan akuntabilitas kinerja, penguatan pengawasan, dan penguatan kualitas pelayanan publik.” Senada dengan itu, Wakil Dekan II FTK Bidang Administrasi Umum, Dr M Rusdi mengatakan, penunjukan FTK sebagai perwakilan kampus dalam zona integritas penuh dengan pertimbangan. Tarbiyah dianggap paling layak dari segi pembenaran administrasinya dan penanganan masalah fakultas. “Jadi memang itu penunjukan dari rektor, tapi bukan sembarang ditunjuk. Pimpinan univer-
sitas melihat, Fakultas Tarbiyah lah yang paling layak mewakili UIN Alauddin Makassar. Untuk berjuang masuk ke zona integritas menuju WBK,” ucapnya saat diwawancarai di ruang kerjanya pada Senin (29/03). Doktor Pendidikan Islam UIN Alauddin ini berharap, setelah dinyatakan lolos dalam zona integritas, FTK dapat menjadi cerminan kepada Fakultas lain. “Diharapkan bisa memberi contoh. Dari dulu Pungli itu melanggar undang-undang, jadi tidak perlu lagi ada SK sebetulnya. Kalau sudah ada buktinya dan ada yang melapor, itu bisa ditindaki sesuai undangundang,” tegasnya. Sebagai salah satu bentuk pemaksimalan program ini, FTK melakukan pemasangan spanduk di beberapa titik di gedung fakultas sebagai bentuk sosialisasi, dengan mencantum Surat Edaran nomor B8825/T.1/ PP.00.9/12/2019 terkait pelarangan menerima parsel dalam proses interaksi dosen dan mahasiswa. Selain di berbagai titik di gedung FTK, bentuk sosialisasi zona integritas melalui spanduk juga terlihat di spanduk centre jalur masuk pintu satu. Spanduk tersebut bertuliskan “ANDA MEMASUKI ZONA INTEGRITAS WILAYAH BEBAS KORUPSI DAN WILAYAH BIROKRASI BERSIH DAN MELAYANI”. Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) FEBI Al Mugni beranggapan, hadirnya zona integritas tidak mencerminkan kondisi UIN Alauddin Makassar. “Di FEBI sendiri itu terjadi tindakan yang tidak mencerminkan zona integritas. Kasusnya sudah hampir setengah tahun berlarut dan tidak menemui titik terang. Jadi kupikir zona integritas itu hanya omong kosong belaka, itu sesuatu yang tidak mencerminkan kondisi UIN Alauddin Makassar,” ungkapnya saat dihubungi melalui Whatsapp, Kamis (29/04). Berdasarkan penelusuran Reporter Washilah, dosen FEBI berinisial “S” yang sebelumnya terseret dalam kasus Pungli. Sejak akhir 2020 dikabarkan telah dijatuhi sanksi dengan tidak lagi diberikan tugas sebagai pembimbing dan penguji selama satu semester. Walaupun begitu, hingga saat ini belum ada bukti tertulis terkait hal tersebut. *Penulis: Reza Nursyarikah, Jushuatul Amriadi (Magang) *Editor: Ardiansyah
6
LIFESTYLE
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
Masker Sebagai Fashion di Masa Pandemi
Dok. Pribadi: Nurul Afifah Afra
Foto ilustrasi penggunaan masker sebagai fashion di masa pandemi.
Washilah - Pada awal merebaknya Covid-19, beberapa persediaan masker di toko-toko menjadi terbatas, masker menjadi barang langka. Karena hal tersebut, harga masker yang ada di pasaran melonjak tinggi. Masyarakat kelas atas memang memiliki peluang leibih untuk mendapatkan bahkan memborong masker sebagai persediaan, lantas bagaimana dengan masyarakat dari kelas bawah? Di tengah situasi pandemi masker menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Seiring berjalannya waktu, masker tidak hanya dijadikan sebagai alat pelindung diri, melain-
kan aksesoris yang menunjang penampilan, maka tidak heranmasker pun didesain dengan ragam motif yang menarik. Beberapa perusahaan dan pengusaha berlomba-lomba
untuk melakukan inovasi dalam menciptakan bentuk dan jenis masker yang menarik. Perusahaan melihat masker sebagai peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan besar. Mereka menciptakan masker dengan motif beraneka ragam sesuai fashion, dan kebutuhan masyarakat. Ismail, salah satu pebisnis masker dengan beraneka motif, mengaku baru saja mulai menjalankan bisnis masker pada saat pandemi, ia yang dulu menjadikan baju olahraga dan kaos kaki sebagai produksi utamanya kini beralih ke dunia masker setelah melihat tingginya kebutuhan masyarakat. Keputusan ini menjadi hal yang tepat, terbukti keuntungan penjualan masker meningkat pada awal penjualannya sampai akhir tahun 2020. Namun memasuki tahun 2021, penjualan maskernya mengalami penurunan. Penjualan masker yang digeluti oleh Ismail ini memang menarik banyak pembeli, selain karena masker yang ia jual sesuai dengan standar kesehatan, masker yang dijajakan juga memanjakan konsumen dengan berbagai desain yang unik, menarik serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat terkhusus kaum millenial. Masker menjadi salah satu produk yang disulap menjadi item fashion di tengah pandemi Covid-19. Masker bahkan dapat memancarkan sebuah gaya atau look seseorang. Menurut Desainer Musa Widyatmodjo, penggunaan masker wajah masih akan menjadi tren di tahun 2021. “Pemakaian masker tidak akan pernah menghilang. Misalnya ketika nanti Covid-19 sudah tidak ada, bukan keanehan kalau kita
tetap mengenakan masker,” kata Musa, seperti dikutip dari Antara News. Ismail juga berusaha mencari solusi dan bekerjasama dengan dua brand guna menjual masker dengan motif unik sesuai dengan kaum milenial. Ia berharap dengan masker yang dijualnya bisa menarik masyarakat khususnya golongan muda untuk menggunakan masker. “Biasanya banyak anak muda yang malas menggunakan masker medis yang polos, karena tidak terlalu keren , jadi kita berusaha menjual masker yang bermotif bagi mereka guna anak muda menjadi rajin menggunakan masker saat keluar rumah,” ungkap Ismail. Masker menjadi barang yang wajid digunakan di masa pandemi, tujuan dari penggunaan masker tentunya untuk menghindari terjadinya inveksi Covid-19. Bahkan penggunaan masker yang baik dan benar juga diharuskan selama masa pandemi. Pakar kesehatan, dr. Purnama menjelaskan cara menggunakan masker yang baik dan benar yaitu dengan menutup sumber masuknya virus ke dalam tubuh manusia. “Menutupi bagian yang memang menjadi sumber infeksi, misalnya bagian lubang hidung, atau mulut ditutup dengan sempurna. Adapun jenis masker yang baik digunakan yaitu masker yang tebal dan menutupi bagian wajah yang rawan terkena virus,” jelasnya. Tren fashion dalam penggunaan masker telah menyasar pada masyarakat luas seperti Ibu-ibu, kalangan Anak Muda bahkan Anak-anak sekalipun. Tren masker ini juga menjadi
fashion di kalangan sivitas akademika. Menurutnya, dengan begitu penyebaran virus menjadi berkurang, dan penularannya pun pelan-pelan dapat dikurangi. Masker bisa menjadi tren fashion karena banyaknya motif yang beranekaragam dan warnanya yang begitu bervariasi membuat pengguna masker tidak bosan untuk menggunakan masker. Penggunaan masker sebagai fashion juga diterapkan oleh Aqilah Nurfadillah H, Mahasiswa Hubungan Internasional itu menganggap masker dapat membantunya dalam membangun kepercayaan diri seperti tampil berbicara di depan umum. Pakar Sosiologi Dr. Asrul Muslimin mengganggap, masker adalah salah satu benda yang sangat penting, jika ditelaah lebih jauh, menurutnya penggunaan masker memang bisa meningkatkan kepercayaan diri. Dosen Sosiologi UIN Alauddin Makassar ini setuju jika masker menjadi salah satu tren fashion di zaman sekarang ini. Terlebih, menurutnya masker yang berjejeran di pinggir jalan dan di toko-toko menawarkan berbagai macam bentuk dan motif yang unik-unik. “Tak bisa dikesampingkan lagi jika masker telah menjadi bagian dari trend fashion baru di era pandemi ini,” tutupnya. *Penulis : Iva Anugrahwati, Nur Afni Magang), Fikri (Magang) *Editor : Ulfa Rizkia Apriliyani
LIPSUS
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
Denda Peminjaman Buku di Masa Pandemi, Pungli atau Malfungsi?
Foto Ilustrasi perpustakaan di UIN Alauddin Makassar
Washilah - Kepala UPT Perpustakaan UIN Alauddin Makassar Hildawati Almah mengatakan, tidak ada pemungutan denda akibat terlambat mengembalikan buku selama pandemi. Namun ironisnya, Washilah menemukan denda tetap berjalan. Lisa, Mahasiswa Ushuluddin, Filsafat, dan Politik merupakan salah satu korban.
T
elepon genggam milik Lisa (bukan nama sebenarnya) berpendar-pendar, segera ia mencari pesan masuk yang dialamatkan. Pandangannya langsung tertuju pada tumpukan pesan singkat di grup Whatsapp. Grup kelas yang biasanya hening, tiba-tiba saja dipenuhi ungkapan suka cita “Libur dua minggu, hore!” Dengan sigap, Lisa mencari musabab kegembiraan massal yang sangat disyukuri oleh teman sekelasnya pagi itu. Rupanya, sebuah surat bernomor B-809/ Un.06.1/PP.00.09/03/2020 yang ditanda tangani Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof. Hamdan Juhannis menginstruksikan, seluruh aktivitas di Kampus Peradaban harus diberhentikan selama dua minggu, terhitung mulai tanggal 16 hingga 28 Maret 2020. Disebutkan, hal ini dilakukan sebagai bentuk kewaspadaan, sekaligus mencegah penyebaran Covid-19. Dua minggu berselang, rektor kembali mengeluarkan surat edaran, mengintruksikan pembatasan hingga waktu yang tidak ditentukan. Sebuah surat edaran bernomor B-847/Un.06.I/ PP.00.9/03/2020 bertanggal 27 Maret 2020 tersebut, membuat para mahasiswa mulai resah dengan dua minggu yang sebelumnya mereka syukuri. Gerbang kampus tertutup rapat, tak ada yang diizinkan melintas; tak ada perkuliahan, tak ada pelayanan, tak ada kepastian. Kampus Peradaban resmi dinyatakan lockdown. Maret telah berganti, April menyongsong, sudah tiga minggu
perkuliahan dilakukan secara Daring. Di masa paceklik itu, masa setiap orang diwajibkan untuk di rumah saja, tiap orang punya cara melawan jenuh dan rasa bosan. Tak terkecuali Lisa, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Filsafat, dan Politik (FUFP), dengan niat melawan jenuh dan bosan, Lisa mengambil salah satu buku di rak bukunya untuk dibaca. Di hadapan tumpukan buku, mata Lisa berhenti pada buku berjudul Ushul Fiqih bersampul biru muda yang ia pinjam di perpustakaan fakultasnya tempo hari. Sesaat, Lisa terhenyak, ia baru menyadari, buku itu dipinjamnya seminggu sebelum aktivitas kampus dihentikan. Sejak saat itu, buku bersampul biru yang sudah jatuh tempo masa peminjamannya benar-benar menghantui pikiran Lisa. Kepalanya dipenuhi bayang-bayang, jika denda terlambat mengembalikan buku 1000 Rupiah per hari, berapa denda yang harus ia bayar untuk melunasi, Di mana bisa mendapat uang sebanyak itu. Rasa cemas berkelahi di kepala Lisa, “Tapi tutupji kampus, nda adaji pelayanan, masa masih berlaku denda?” gumamnya mencoba menafikan rasa khawatir. November 2020, walau perkuliahan masih Daring, kampus mulai dibuka. Lisa berjalan menyusuri koridor fakultasnya. Melihat sekeliling, seakan baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ia menimba ilmu sejak 2019 silam. Timbul kerinduan tersendiri, akan suasana kampus setelah dirumahkan
selama delapan bulan oleh virus. Dengan menenteng buku yang sudah lama jatuh tempo masa peminjamannya, Lisa berjalan menuju perpustakaan fakultas, berharap bahwa kekhawatirannya mengenai denda prminjaman buku selama ini tidaklah benar. Di ambang pintu, ia mengetuk sembari mengucap salam. Memohon izin untuk masuk ke ruang pustaka. Senyuman dan balasan salam dari pegawai perpustakaan menyambutnya dengan hangat, kemudian disusul dengan satu kalimat “Maaf dek, dendata 100 ribu,” ucap Pegawai Perpustakaan tersebut. Mendengar hal itu, Lisa terhenyak sejenak. “Saya kira tidak berjalan denda selama pandemi? ”Lisa membela diri. “Peraturannya sudah begitumi dek,” timpal Pegawai Perpustakaan. ”Bagaimana bisa begitu Pak, saya kira tidak ada pelayanan di fakultas?” Lisa kukuh dengan argumentasinya, “Begini saja dek, saya kasiki keringanan. 50 ribu mi saja,” negosiasi berakhir, Lisa takluk dan merelakan uang bergambar Djuanda Kartawidjaja miliknya harus berpindah tangan. Lisa tidak habis pikir, pihak perpustakaan fakultas masih tetap memberlakukan kebijakan yang menurut hematnya, sangat merugikan mahasiswa yang berada pada kondisi serupa. Kisah Lisa dan kebingungannya terhadap kebijakan denda peminjaman buku selama pandemi hanyalah satu contoh. Nur Suciati Insani, Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional ini mengaku
belum juga mengembalikan buku yang ia pinjam di perpustakaan semenjak Covid-19 mewabah, alasannya karena kekhawatiran mengenai denda. Alasan lainnya, karena kondisi yang masih memaksa untuk tetap berada di kampung halaman sejak diberlakukan sistem kuliah Daring. “Mauka kasi kembali kak, karena takutka nanti tambah lama semakin bertambah juga dendaku,” cemasnya. Kecemasan Lisa dan Nur Suciati Insani menjadi contoh kecil dari mahasiswa yang masih belum mengembalikan buku ke perpustakaan karena alasan serupa. Keresahan terhadap ancaman akumulasi denda yang tentunya berkali-kali lipat, ternyata cukup menghantui mereka. Kami mengunjungi Perpustakaan FUFP yang dikelola oleh Sampeang dan Sulfiani, pada Senin (22/03), menanyakan mengenai denda peminjaman buku selama pandemi. Hari itu, di ruangan sejuk dan tenang, kami hanya bertemu dengan Sampeang. Titik-titik peluh membasahi keningnya, “Bagus sekali seandainya mahasiswa yang merasa dirugikan itu datang bersama kalian, kalau memang benar ada yang memungut denda di sini, saya akan langsung ganti uangnya,” ucapnya dengan tangan sibuk membolak balik buku catatan digenggamannya. Berbagai pertanyaan dilontarkan kepada Sampeang, mulai dari perihal kebenaran laporan mahasiswa yang merasa dirugikan, hingga hal-hal rinci seputar jumlah buku yang belum dikembalikan semasa pandemi. Sampeang menjelaskan, sebelumnya dirinya telah menghubungi pihak UPT Perpustakaan untuk menanyakan, apakah denda peminjaman buku tetap berjalan selama pandemi atau tidak. “Saya sudah menelpon terlebih dahulu ke bagian perpustakaan umum (UPT Perpustakaan), apakah denda tetap berjalan atau tidak? Karena perpus umum melarang, makanya kami tidak memberlakukan denda,” jelasnya. Keesokan harinya, kami menyambangi Ruangan Kepala UPT Perpustakaan Hildawati Almah. Lulusan S1 Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia ini menampik segala isu yang berseliweran tentang pemberlakuan denda peminjaman buku selama pandemi. “Selama pandemi, kami tidak pernah memberlakukan denda terhadap keterlembatan pengembalian buku di Perpustakaan Umum,” tegasnya. Perempuan kelahiran Kabupaten Sinjai ini terkejut mendengar kabar pemberlakuan denda di Perpustakaan FUFP. Ia mengungkapkan, perpustakaan yang berada di tiap fakultas bukan bagian dari tanggungjawabnya, melainkan dari pihak fakultas masing-masing.
“
Selama ini perpustakaan umum memang tidak terintegrasi satu sama lain dengan perpustakaan fakultas. Padahal, jika hal itu mampu diberlakukan akan mempermudah dalam pengelolaan data perpustakaan, termasuk soal kebijakan yang diterapkan secara serentak, seperti tidak diberlakukannya denda selama pandemi. Tapi kalau untuk sekarang, kebijakan Perpustakaan Fakultas berada di bawah otoritas fakultas masing-masing,
Pengelola Perpustakaan Fakultas Sampeang, S.Ag
7
Untuk mengonfirmasi kejadian itu, kami meminta keterangan Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) FUFP Muammar, menanyakan apakah terdapat laporan denda peminjaman buku di masa pandemi, ia mengaku baru mengetahui perihal laporan miring yang dialamatkan kepada fakultas yang memilih warna biru muda sebagai warna kebesarannya. Namun begitu, ia menegaskan Lembaga Kemahasiswaan yang ia pimpin jelas tidak akan menolerir hal-hal demikian. “Kami sebagai Lembaga Kemahasiswaan di Fakultas Ushuluddin tidak menolerir hal tersebut, jika benar demikian terjadi. Secepatnya kami akan komunikasikan dengan birokrasi mengenai hal ini,” tegasnya melalui chat Whatsapp pada 1 April lalu. *** Pagi di 25 Maret 2021, saat jarum jam masih bertengger di angka sembilan lewat 53 menit. Nur Afni Aripin, salah satu rekan kami yang diberi tugas liputan mengenai denda di Perpustkaan FUFP mendapat panggilan seluler dari nomor yang tidak ia kenal. Telepon genggamnya berdering dua kali, dengan memberanikan diri, ia mulai berbicara dan menanyakan siapa yang telah mengganggu sesi rebahannya pagi itu. Afni kaget, panggilan tersebut dari Sampeang, Pegawai Perpusatakaan Fakultas yang ia wawancarai tempo hari. Seketika pertanyaan mengada dalam benaknya “Dia mengambil nomorku darimana? mencurigakan”. Berselang dua menit, percakapan singkat itu selesai, penelpon meminta kepada Afni untuk dimediasi dengan narasumber (Lisa), memohon dengan sangat agar Lisa segera ingin diajak berdamai. Afni seketika panik, pegawai tersebut mengetahui namanya semakin membuatnya merasa ada yang salah. Gelayut kebingungan membuat Afni menelpon Lisa, mengajukan pertanyaan singkat, apakah penelpon itu adalah orang yang tega memungut denda kepadanya di masa pandemi. Lisa dengan gelagapan di ujung pesan suara menjawab tak seperti biasanya, padahal ia selalu berapi-api saat diwawancarai mengenai denda semena-mena yang telah ia alami “Bukan itu kak, Pegawai yang lainji. Laki-laki, agak tua-tuami orangnya, bukan yang itu tadi telponki”. Diketahui sebelumnya, menurut pengakuan Sampeang, hanya ada dua Pegawai Perpustakaan di FUFP. “Di sini hanya ada dua pegawai, saya (Laki-laki) dan seorang Perempan bernama Sulfi”.
*Penulis: Hikma Aulia R. Jushuatul Amriadi (Magang) *Editor: Arya Nur Prianugraha
8
AKADEMIKA
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
Menjemput Tali Persaudaraan
Dok. Pribadi Muhammad Junaedi
M
alam yang sepi; tidak ada bintang dan bulan yang bersinar di atas langit. Hanya ada gelap. Duka datang saat tidak ada bintang, dan bulan bersinar. Kami dapat kabar dari ibu posko, salah satu warga Langkowa meninggal dunia. Hujan turun membasahi atap rumah “Ini tangisan dari orang meninggal”, ucap salah satu teman posko saya. Udara mulai dingin, dan kantuk mulai datang. Suara alam mengantar tidur kami. Esok harinya, saat sarapan, suasana begitu ramai; ada yang tertawa, ada yang lahap makan, dan ada juga yang diam menikmati sarapan pagi itu “Ummi, air dulu eww”, perintah
si Said yang sedang lahap makan. Di tengah ramainya suasana makan pagi, suara Bapak Posko memecah keramaian “Siapa yang mau ikut ke Langkowa melayat?” Ragu ucapkan kata “Iya” dalam diri. Kami saling tatap mata, mengisyaratkan tidak ada yang niat ikut pergi melayat ke Langkowa. Ada teman posko yang mau datang dari Makassar, dan harus dijemput, itu yang menambah keraguan kami. Karena rasa malu ke Bapak Posko, dan rasa ingin tahu suatu tempat yang baru, saya iyakan ajakannya. Ini adalah pengalaman berharga dan seru, “Jam sembilan kita berangkat
yaa” kata bapak. Untuk sampai ke Langkowa, butuh tenaga banyak dari biasanya, melewati jalan yang berlumpur dan tanjakan curam. Setelah hujan reda, kami mempersiapkan diri untuk berangkat; ganti baju dan cuci muka. Sekitar jam 09:00 WITA perjalanan dimulai, dari rumah Bapak Posko. Saya, Bapak Posko, dan tiga warga Bangkeng Batu menapak jalan yang licin menuju Langkowa. Bekas jalur ban motor ikuti garis jalan. Berlobang dan berlumpur adalah pemandangan yang wajar saat menuju Langkowa. Rombongan lainnya telah jalan
lebih dulu. Beberapa jam kemudian, kami bertemu rombongan lain, yang mau melayat. Kami singgah untuk menunggu rombongan lain, dan mengambil nafas sebelum melanjutkan perjalanan. Ada satu rombongan membawa anak kecil usia Sekolah Dasar. Ada warga yang hanya pakai sandal jepit. Ada pula warga lain yang menenteng payung. Terlihat tidak ada persiapan matang. Mereka rela pergi melayat tanpa persiapan matang demi merawat silaturahmi. Setelah melewati hutan Pinus, terlihatlah rumah duka. Jarak rumah berjauhan, dari satu rumah ke rumah yang lain. Kami berhenti sejenak, membersihkan lumpur yang menempel di kaki. Setelah kaki bersih, kami pun naik ke rumah duka. Di atas rumah duka, banyak yang menunggu kami. Ruang tamu penuh dengan pelayat. Mereka duduk melingkari jenasah. Pakaian tebal dan sarung membungkus badan, untuk menghangatkan mereka. Lihat orang-orang di ruang tamu, dengan raut muka sedih, ikut merasakan kehilangan keluarga. Banyak pelajaran yang saya dapat dari perjalanan ini. Silaturahmi adalah kunci memperat tali keluarga. Orang orang di sini rela melewati hutan Pinus yang jalanannya becek dan berlubang. Hujan rintik turun membasahi rumah yang sudah tua. Seseorang yang dinanti-nanti memasuki rumah. Tangannya menenteng beberapa lembar kain. Orang-orang mulai mengubah posisi duduknya. Dia adalah orang yang akan mengkafani jenasah. Hujan rintik turun mewakili perasaan orang orang di Langkowa yang
berkabut. Langit sedih karena kehilangan keluarga, dan senang karena tali persaudaraan masih terawat dengan erat. *** Jalan pulang dari melayat, pikiran berupaya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri “Apakah silaturahmi yang seperti di Bangkeng Batu akan tetap bertahan?” Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, silaturahmi di Bangkeng Batu tidak ada yang berganti, maupun berkurang. Mereka tetap saling berkunjung ke rumah yang lain. Ketika ada pesta keramaian di satu rumah, maka masyarakat Bangkeng Batu akan berduyun-duyun ke rumah itu, untuk membantu meringankan beban yang punya rumah. Jarak dari satu rumah ke rumah yang lain di Bangkeng Batu sekitar 100 meter, bahkan ada yang berkilokilo meter, dari satu bukit ke bukit yang lain. Tapi, mereka tetap berjalan kaki menapaki jalan yang licin untuk berkunjung ke rumah yang lain. Tangan menenteng satu wadah besar, yang isinya beras atau bahan dapur lainnya, mereka bawa ke rumah yang menghelat pesta itu. Saya tambah yakin, silaturahmi ini akan tetap bertahan. Saya sungguh beruntung ber-KKN di Dusun Bangkeng Batu. *Penulis: Muhammad Junaedi *Editor: Ulfa R. Apriliyani
45 Hari Mengabdi di Bangkeng Batu D
i sebuah aula beratap seng dengan luas 6x10 meter, di ruangan terpisah seorang wanita sibuk berkutat dengan laptop di hadapannya.Tepatnya Kamis, 4 Maret 2021, memakai jaket hijau pemberian kampus, 19 orang mahasiswa UIN Alauddin Makassar dari berbagai jurusan berkumpul untuk penerimaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) oleh Aparat Pemerintah, bertempat di Desa Pao, Kecamatan Tombolopao, Kabupaten Gowa. Desa dengan empat dusun diantaranya, dusun Pao, Dusun Lembang, Dusun Bangkeng Batu, dan Dusun Pattalassang ini dipimpin oleh seorang kepala desa bernama Muh. Basri. “Selamat datang di Desa Pao, semoga betah selama 45 hari mengabdi disini,” sambut Pak Desa. Lokasi mengabdi dibagi menjadi dua, satu dusun di pusat perkotaan dan satu dusun di atas gunung. 10 orang mahasiswa di Dusun Lembang dan sembilan orang mahasiswa di Dusun Bangkeng Batu. Perjalanan Kami, sembilan mahasiswa dimulai di sini. Lebih banyak terperangah, tak jarang berdecak kagum. Dijemput sedan putih kami berangkat menuju dusun di atas gunung tersebut, hujan gerimis segera memenuhi jendela mobil. “Licin jalan ini“, kata Pak Desa, ia mulai berhitung tentang jalan yang basah. Kami baru saja melewati jembatan sekaligus pintu gerbang dusun Bangkeng batu.
Namun bukan hanya licin, jalan menanjak, tikungan tajam, sisi kiri jalan jurang dan sisi kanan jalan tebing tinggi pegunungan, begitulah pemandangan yang kami saksikan selama perjalanan. Pak Desa agaknya lupa memberitahu bagian ini. “Mamaaa!” jerit Ayu, mahasiswa asal Lampung ini refleks memanggil ibunya saat melewati jalan menanjak yang berlumpur di persimpangan jalan. Sebenarnya saat pembagian di aula tadi, Ayu yang paling menolak ditempatkan di desa ini, ia sudah tak sanggup tanpa mencoba, maka wajar jika ia memanggil pertolongan ibunya. 30 menit ban beradu dengan jalan akhirnya kami tiba disebuah rumah panggung. Pemiliknya ramah mempersilahkan kami masuk, menyuruh duduk lantas menawari minum. Teh di gelas telah tandas, perkenalan diri pun telan rampung. Salma dan Ridwan nama pemilik rumah yang seterusnya kami panggil Bapak dak Ibu Posko. Tak hanya itu, rumah juga dihuni oleh Kakek Aha’ dan seorang anak empat tahun, dia Arham anak Ibu Posko. Rumah ini memiliki empat kamar, kamar Bapak di belakang, dan berjejer dari ruang tengah hingga ruang tamu ada kamar Kakek, kamar mahasiswa yang perempuan dan kamar mahasiswa laki laki. Hari pertama kami memilih menghabiskan waktu di kamar masing-masing, mengatur
barang dan saling mengakrabkan diri satu sama lain. Esoknya kami sepakat akan ke pasar tradisional di desa sebelah, berbelanja kebutuhan selama seminggu ke depan. Sebelum ke pasar kami berkumpul di beranda rumah, menyuruput teh sambil menghangatkan tubuh yang sejak semalam memberontak kedinginan. Ternyata jaket pemberian kampus yang kami gunakan menunjukkan pesonanya, semua warga yang menuju pasar menyapa kami, menundukkan kepala, dan beberapa lagi keheranan menatap kami, mungkin karna warna jaket yang terlalu terang. Hingga sore tak banyak yang kami lakukan, udara dingin ditambah hujan memaksa kami meringkuk di bawah selimut. Esoknya kami mulai bersosialisasi, observasi untuk menentukan program kerja selama 45 hari. Hari ini warga berkumpul di bahujalan, ini adalah rutinitas setiap hari Sabtu, gotong royong. “Mau naperbaiki jalan lumpur di depan rumah, susah sekalimi lewat motor”, jelas Ibu Posko. Warga bahu membahu menimbun jalan lumpur, ironis memang ketika di perkotaan pemerintah sibuk membangun jalan berususun, disini jangankan bersusun, dasar saja masih tanah yang berlumpur ketika hujan dan berdebu ketika terik. sesekali gotong royong ditemani canda yang membuat riuh
suasana, mereka tak mengeluh apalagi berdemo, warga memilih memperbaiki sendiri dan membiasakan diri, “Ala bisa karna biasa,” pungkas seorang warga saat ditanya tentang kondisi jalan. Kami turut membantu, yang laki-laki ikut memperbaiki jalan dan perempuan bertugas mengabadikan momen. Warga begitu ramah, bertanya tentang asal kami, kemudian takjub saat mendengar Dita yang berasal dari Papua. “Jauhna KKN,” begitu kira kira respon warga. Sekitar Pukul 11:00, kegiatan gotong royong selesai, warga berlalu menuju rumah masing-masing sambil mengingatkan kami untuk mengunjungi rumahnya. Hari terus berlalu, seminar program kerja telah rampung, kami telah fokus menyelesaikan program yang disepakati. Kami sibuk mengajar santri, mengajar Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) di kolong rumah, berkunjung ke rumah warga, ikut posyandu di atas rumah panggung warga, mendaki setiap RT yang terpisah satu gunung, kelelahan menuju posko kembali, menikmati hidangan ibu posko yang nikmat tiada tara, kemudian bermain bersama Arham, kami begitu sibuk selama 45 hari. Kami berkeliling desa menikmati teh Cap Gunung yang masih menggunakan saringan saat diseduh dan melahap manis lengit kue Roko’ Roko’ Cangkuning, kue khas Su-
lawesi yang terdiri dari dua adonan, “Pertama ketan yg diisi campuran kelapa dan gula merah, adonan kedua bubur samsum campuran terigu dan santan kelapa,” jelas Ibu RT saat mengajarkan kami membuat kue ini. Tak lupa teh dan kue ditemani hangat obrolan para warga. 45 hari yang menyenangkan, ramah sapaan warga yang selalu membuat betah, Ayu yang awalnya menolak kini telah menyusun rencana akan kembali berkunjung saat lebaran nanti. Sebuah dusun sederhana dengan pemandangan landscape Bawakareng, dikelilingi oleh deretan gunung, liukan pohon bambu saat kesiur angin, pohon pinus yang menjulang tinggi, ramah para warga, semangat para santri dan senyum anak-anak TK adalah rindu yang berbekas dan tentunya harus dituntaskan. Bangkeng Batu selalu saja menyenangkan dan tak pernah berujung untuk didefinisikan. Kampus dengan segala skenarionya yang mempertemukan kami, lebih banyak bertengkar, saling berteriak, kemudian tertawa dan tertunduk di hari perpisahan. Pada akhirnya, segala tentang Bankeng Batu adalah rindu yang tak jemu berharap segera dituntaskan. *Penulis: Nurul Wahda Marang *Editor: Agil Asrifalgi
9
INSPIRASI
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
Bertahan di Tengah Pandemi
Hasni Daeng Kebo Pemilik Warung “Bunda Adab”
Washilah – Sejak Pandemi Covid-19 merebak, ekonomi menjadi masalah pelik hampir setiap orang. Tidak terkecuali bagi para Pedagang di Kampus II UIN Alauddin. Saat kampus memberlakukan pembatasan aktivitas dan menerapkan kuliah jarak jauh, di saat bersamaan pedagang kehilangan sumber mata pencaharian. unda Adab, begitu orang mengenalnya. Salah satu pedagang yang terpaksa menelan pil pahit atas kondisi ini. Ia merupakan Pedagang Kantin di salah satu Kafetaria yang ada di Kampus Peradaban. “Kaftar depan Perpus”, begitu para mahasiswa menyebut Kafetaria yang
B
berada tepat di depan Perpustakaan Umum. Kafetaria itu terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama, kedua, hingga tiga berjejer beberapa kantin dengan ukuran masing-masing 5x2 meter. Kantin Bunda Adab terletak di lantai satu. Di kantin yang berukuran 5X2 meter inilah Bunda menggantungkan hidupnya. Pada 22 maret 2021, di tempat kerjanya, Bunda Adab menceritakan kisahnya di masa pacelik ini. Nama lengkapnya Hasni Daeng Kebo, panggilan ‘Bunda Adab’ didapat dari pelangggannya yang mayoritas Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH). Kedekatannya dengan Mahasiswa FAH itu menjadi musabab dari papan pengenal kantinnya yang bertuliskan ‘Bunda Adab’. Baginya, antara pelanggan dan dirinya bukan sekadar hubungan penjual dan pembeli, bukan sekadar transaksi uang dan barang. Melebihi dari itu, Ibu dua anak ini menganggap pelanggannya (Mahasiswa) sebagai anak di kampus. “Iya nak, kaya keluargami,” ucapnya. Hidup harus terus berlanjut, sementara kantin sebagai satu-satunya tempat menggantungkan hidup harus ditutup. Mulanya kampus ditutup selama 14 hari, lalu kembali diperpanjang 14 hari, setelah itu tidak ada lagi kepastian kapan akan dibuka. Di masa krisis itu, di tengah ketidakpastian, sebagai orang tua tung-
gal, adalah bunuh diri jika tetap diam dan masih berharap kampus agar segera dibuka. Demi menyambung hidup, Bunda Adab berjualan makanan di Jalan H.M. Yasin Limpo. Jalan Poros Kampus II UIN Alauddin Makassar. “Masih ada itu Warung Bunda Adab, ada di dekat kampus. Apa mau namakan Adekmu kalau saya tidak menjual,” ungkapnya lirih. Wanita kelahiran 1976 ini menggantungkan hidupnya dengan berjualan di Kampus Peradaban sejak tahun 2010. Sudah 10 tahun sebelum Pandemi memaksanya berhenti pada maret 2020 silam. Saat ini, anak pertamanya yang masih berkuliah dengan sistem Dalam Jaringan (Daring) menyempatkan menjaga etalase tempat dagangannya dijajakan, sementara itu ia bekerja sebagai karyawan di salah satu Rumah Makan Sop Saodara yang berada di sekitaran Samata, Gowa. Kehidupan benar-benar berubah saat pandemi melanda dan kampus harus ditutup, berjualan di kantin kampus dan di luar kampus sungguh berbeda. Pendapatan menurun drastis, sementara anak pertamanya yang saat ini duduk di bangku kuliah harus diperhadapkan dengan uang kuliah yang tidak murah. “Aduhhh, Janganmi bilang, dulu itu kalau dibilang uang kuliahnya Adekmu dua juta kayak membalikkan telapak tanganji, tapi sekarang, huhh. Jangankan
dua juta, yang dua ratus ribu saja susah sekali”. Suasana warung cukup ramai. Suara percakapan dari satu meja ke meja yang lain ribut memenuhi ruangan, dengan disoroti lampu yang menggantung di langit-langit warung, ditemani raut wajah yang resah, Bunda menceritakan dua karyawannya semasa ia menjual di Kantin Kampus. Daeng Nurung dan Daeng Ranne, dua karyawan yang menemaninya berjualan di kantin hingga masa ia harus terpaksa berhenti berjualan. Daeng Nurung dan Daeng Ranne bahkan enggan mencari pekerjaan pasca Bunda Adab tidak berjualan lagi di kantin. Alasannya sederhana, karena nyaman. “Terlanjur nasukama,” ujar Bunda Adab. Walau begitu, Bunda Adab yang sadar akan ketidakpastian kapan aktivitas kampus kembali normal menyampaikan kepada dua karyawannya agar tidak usah menunggu. “Tidak bisaka janjikanki kapan buka Kantin Kampus, jadi cari meki dulu kerja lain,” kata Bunda Adab mengulang ucapannya kepada kedua Karyawannya. Sebenarnya, walaupun kampus kembali buka, menurut pengakuannya, Bunda Adab belum tentu akan kembali berjualan di kampus. Hal ini dilatarbelakangi kebijakan Pusat Pengembangan Bisnis (P2B) sebagai pihak berwenang yang membawahi setiap aktivitas bisnis
di UIN Alauddin Makasssar telah menaikkan sewa kantin dari sebelumnya Rp.4.000.000/Rp.6.000.000 menjadi Rp.15.000.000. Hal itu dinilainya tidak masuk akal. “Dibilang kejam corona, lebih kejam lagi P2B. Angkat tanganka kalau 15 Juta sewa kantin, tidak bisaka”. Menurut pengakuan Bunda, pelanggan yang sudah dianggap sebagai keluarga dan anaknya sendiri. Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH). Melalui Askar Nur, Mantan Ketua Dema Universitas Periode 2017, Wawan Harun, Mantan Ketua Dewan Eksektif Mahasiswa (Dema) FAH 2020, dan Uchi Ketua Dema FAH Periode 2021 mengaku siap menalangi sewa kantin jika suatu ketika Bunda Adab akan kembali berjualan di kampus. Di samping hal-hal yang memberatkan untuk menyewa tempat di kantin kampus, Bunda tetap bersyukur walaupun pendapatannya tidak sebanyak dulu dan pembelinya tidak seramai dulu. Bunda berharap, pandemi segera berakhir dan semuanya segera normal kembali. *Penulis : Arya Nur Prianugraha, Lismardiana Reski, Ai Shintya Maulidia (Magang) *Editor : Ulfa Rizkia Apriliani
Syamsul Haq, dari Bulukumba ke Istanbul Washilah - Menjadi Mahasiswa berprestasi, cita-cita seorang anak dan keinginan orangtua yang tiada tara. Tentu bukan hal yang asing didengar, namun bukan hal mudah untuk diwujudkan. Seperti inilah Syamsul Haq, pria asal Bulukumba yang berangkat ke Istanbul, Turki, sebagai delegasi Indonesia pada program Istanbul Youth Summit (IYS). ahasiswa Jurusan Manajemen Dakwah (MD), Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) ini berhasil membawa nama baik UIN Alauddin Makassar ke kancah Internasional. Berawal dari mimpi dan tekad yang kuat untuk berangkat ke luar negeri, akhirnya apa yang ia cita-citakan sejak menyandang status sebagai Mahasiswa Baru (Maba) berhasil terwujud. Ancu, sapaan akrabnya. Pria kelahiran Bulukumba ini menceritakan bagaimana dirinya sebagai orang dae-
M
rah (Kabupaten Bulukumba) bisa ke Istanbul melalui pertukaran pelajar. “September 2020, saya mendaftarkan diri pada Program IYS dengan mengisi biodata dan mengirim essay,” ungkapnya melalui pesan singkat, (05/04/2021). Program IYS yang diinisiasi oleh Youth Break The Boundaries (YBB) ini berlangsung selama lima hari. Mulai tanggal 21 hingga 25 maret 2021 dengan mengusung tema kepemimpinan di era krisis, Ancu mengambil substansi tema sosial yang berkaitan dengan toleransi di Tana Toraja. Sesuai dengan judul skripsinya. Sebenarnya, Ancu tidak begitu optimis akan kelulusannya. Saingan yang banyak dari seluruh Indonesia dengan CV dan track record yang menurutnya lebih mumpuni, merupakan salah satu alasannya. Namun apa yang ia khawatirkan tidak terjadi. Gayung bersambut,
dari hasil observasi kandidat peserta, namanya tertera pada daftar lulus. Bersama dua orang perwakilan dari Universitas Indonesia, dan satu dari Universitas Hasanuddin. Seketika Ancu senang dan merasa bersyukur. “Saat liat namaku ada di daftar lulus. Saya bersyukur dan senang , sampai waktu itu saya sujud syukur. Kebetulan tempatnya waktu itu di Rumah Sakit Wahidin, saat jaga kakek yang sakit. Saya ingat sekali waktu itu,” kisahnya. Di Istanbul, Ancu mengikuti konfrensi tingkat tinggi yang diikuti oleh mahasiswa dan pejabat dari mancanegara. Mahasiswa Semester X ini mengatakan, selain relasi yang luas dengan bertemu banyak orang dengan latarbelakang berbeda, pengalaman menginjakkan kaki di Negara dua benua, Turki adalah kebahagiaan yang tak terperi. “Ada banyak orang den-
gan latar belakang berbeda, seperti peserta dari Pakistan, Turki, Ekuador, Malaysia, selain itu kegiatan lain seperti seminar diisi pemateri oleh staf khusus Presiden, Wakil Ketua DPR, Dubes Indonesia untuk Turki, dan lain lain,” jelasnya. Bukan pertama kalinya, lelaki ini memiliki segudang prestasi yang telah dicapai. Menjadi penerima Beasiswa Yayasan Hadji Kalla untuk tugas akhir, menjadi delegasi Konfrensi Asia-Africa Model United Nation 2021 mewakili Indonesia dan UIN Alauddin Makassar, serta menjadi delegasi IYS 2021 mewakili Indonesia dan UIN Alauddin Makassar. Tak hanya itu, anak dari pasangan M. Hasal dan Jumriati ini telah mencetak prestasi sejak ia mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar (SD) dengan mengikuti lomba Olimpiade Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tingkat Kabupaten, dan Musabaqoh
Tilawatil Quran (MTQ) tingkat kecamatan. Pemuda kelahiran Bulukumba, 10 Mei 1998 ini menekankan, pentingnya pengalaman sebagai guru dalam hidup. Berangkat dari hal itu, ia selalu giat mengikuti berbagai lomba sebagai cara untuk menambah pengalaman yang menurutnya tidak pernah cukup. “Tidak ada kata cukup kalau untuk mencari pengalaman, semakin banyak pengalaman, semakin banyak insight untuk bertemu orangorang hebat,” tegasnya. Banyak proses yang dilewati Ancu, kedua orangtuanya yang berkarakter pantang menyerah. Membuat Ancu terinspirasi dari mereka. “Kalau ditanya tentang inspirasi terbesar, pastinya dari orangtua yang selalu memberikan semangat motivasi untuk terus maju. Beliau selalu mengajarkan optimisme dan suportif dengan apa yang saya impikan,”
Dok. Pribadi Syamsul Haq Syamsul Haq, saat mengikuti pertukaran pelajar Istanbul Youth Summit di Turkey
tutup mahasiswa yang mengidolakan Soe Hok Gie dan Abdurrahman Wahid itu. . *Penulis : Aulya Febrianti, Heni Handayani (Magang) *Editor : Ulfa Rizkia Apriliyani
10
OPINI
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
Peluang dan Tantangan Pendidikan di Masa New Normal
Syamsur Arif Galib
Sekertaris Prodi Studi Agama Agama / Co-Founder Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacy Dok. Pribadi: Syamsur Arif Galib
A
da analogi memprihantinkan yang kadang kali kita dengarkan dalam dunia Pendidikan termasuk dalam dunia kampus. Para mahasiswa adalah botolbotol kosong sedang dosen/ pengajar adalah teko berisi air. Proses pembelajaran di dalam kelas adalah proses mengisi botol-botol tersebut dengan air. Analogi ini sesungguhnya memprihantikan karena menihilkan peran siswa dalam proses pembelajaran. Memaknai pendidikan kita dengan analogi botol kosong yang akan diisi air menjadikan proses pembelajaran hanya terpusat pada guru dan tidak memberikan ruang pada siswa untuk berkreasi dan mengeluarkan gagasannya. Ini karena mereka dianggap tidak memiliki apa-apa. Di era keterbukaan informasi saat ini dan ilmu pengetahuan menjadi sangat terbuka, model analogi ini tidak lagi relevan digunakan. Kalaupun analogi ini masih digunakan, maka siswa bukan lagi botol- botol kosong. Mereka adalah botol yang telah terisi air dengan tingkatan air yang berbeda beda. Proses pengisian botol inipun tidak hanya terfokus pada teko air (baca; guru/dosen) namun juga memungkinkan ada proses saling mengisi dan berbagi air dari sesama botol (baca; siswa) termasuk saat siswa didik membagi airnya (baca;apa yang diketahuinya) ke pada dosen. Dengan kata lain, semua guru adalah murid, semua murid adalah guru. Model pendidikan yang menjadikan guru sebagai sumber kebenaran dan menutup ruang-
ruang berbagi oleh siswa didik disebut oleh Paulo Freire dengan sebutan Pendidikan Gaya Bank. Dalam hal ini, guru menabung dan murid adalah tempat menabung. Dalam konsep pendidikan gaya bank ini, pengetahuan adalah sebuah hadiah yang diberikan oleh mereka yang merasa dirinya berilmu kepada yang tidak berilmu (Pedagogy of the Oppressed; 1970) Lebih lanjut, pakar pendidikan asal Brazil ini mengkritik model pengajaran ini dan menyuarakan pentingnya menemukan solusi dari pembedaan guru dan murid ini. Bagi Paulo Freire, proses pendidikan dan perjumpaan murid dan guru haruslah menjadi proses dialogis. Pendidikan yang bersifat satu arah tidak akan mengantarkan peserta didik pada proses penemuan. Pendidikan di Masa New Normal Istilah New Normal atau kenormalan baru adalah istilah yang muncul untuk menunjukkan kondisi yang menunjukkan sesuatu hal yang dahulu dianggap tidak lazim namun kemudian menjadi sesuatu hal yang umum dilakukan. Istilah ini Kembali booming muncul pasca merebaknya Covid-19 yang menjadi pandemi global. Berbagai upaya dilakukan agar manusia tetap dapat bertahan di tengah pandemi. Termasuk dalam dunia pendidikan. Pandemi Covid-19 secara umum berhasil memporakporandakan sistem yang telah terbangun sejak lama. Bukan hanya di bidang ekonomi namun juga agama hingga pendidikan. Oleh karenanya, dunia pendidikan pun berbenah.
Bagaimanapun juga, dalam kamus dunia pendidikan, tidak ada waktu untuk berhenti belajar. Proses pembelajaran harus tetap berjalan meski pandemi berlangsung. Hal yang paling terlihat jelas adalah kemunculan model perkuliahan online dalam proses pembelajaran. Proses perkuliahan online atau distance learning sesungguhnya bukan hal baru bagi dunia pendidikan. Terutama di Barat. Namun di Indonesia, tidak semua masyarakat familiar dengan model ini. Pandemi Covid-19 menjadikan online learning menjadi keharusan. Masyarakat dunia pendidiikan pada akhirnya “Dipaksa” untuk bermigrasi ke model pemebelajaran online sebagai upaya untuk tetap bertahan di masa pandemi. Proses perkuliahan yang dahulu selalu dalam bentuk tatap muka di dalam kelas, kini pindah di ruang-ruang Zoom, Google Meet, bahkan di media Whatsapp hingga Instagram. Namun tentu ada banyak tantangan dengan model online learning tersebut. Di antaranya adalah, kesiapan kita baik secara mental dan infrastruktur dalam menggunakan model ini. Harus diakui, tidak semua tempat di Indonesia memiliki infrastruktur yang sama. Beberapa mahasiswa tinggal di daerah- daerah yang tidak dijangkau oleh signal. Belum lagi, tidak semua mahasiswa kita memiliki smart phone yang dapat digunakan untuk masuk dalam perkuliahan online. Kalaupun ada smart phone, belum tentu semuanya memiliki kuota internet. Pada sisi ini, kebijaksanaan pendidik menjadi penting. Harus ada cara yang dilakukan agar mereka yang terkendala jaringan dan kuota juga mendapatkan porsi belajar yang sama. Memberikan mereka nilai eror karena ketidak hadiran mereka justru menambah masalah baru. Jika kasusnya seperti ini, jargon orang miskin dilarang sekolah akan kembali ramai disuarakan. Secara mental, baik dosen dan mahasiswa sepenuhnya tidaklah siap. Ada banyak mahasiswa yang mengeluhkan dosen yang dalam proses perkuliahaan tatap muka dipenuhi canda tawa,
senyum dan menjadi dosen favorit, namun kemudian berubah dan seringkali marah di saat perkuliahan online. Tentu harus difahami juga bahwa tidak mudah mengajar dalam model online seperti saat ini. Apalagi saat mengajar mahasiswa yang sepertinya “mempermainkan” proses ini. Rasa jengkel dan marah menjadi wajar saat seorang dosen telah mempersiapakan sebaik mungkin namun para mahasiswa justru seenaknya. Di saat proses perkuliahan online, ada yang kuliah sambil tiduran, ada yang kuliah sambil buka baju, ada yang kuliah yang sambil main game online, ada yang bahkan kuliah dengan hanya mengaktifkan Zoom nya lalu memasukkan smart phone nya ke dalam celana. Ketidaksiapan ini akan semakin diperparah, jika proses model pendidikan gaya bank yang sebelumnya disinggung justru dimasukkan dalam model pembelajaran online. Mahasiswa harus mendengarkan dosennya berjam-jam bercerita dan tidak membuka ruang dialog. Dunia online adalah dunia yang dipenuhi disrupsi. Ada banyak gangguan yang muncul di dunia online. Berharap mahasiswa fokus pada Mata Kuliah dengan koneksi internet yang mereka miliki adalah pekerjaan yang sangat berat. Fokus mereka akan dipengaruhi oleh banyak hal. Apalagi, jika sang mahasiswa memang tidak memiliki kesadaran dan kemandirian belajar. Di dalam kelas tatap muka, mereka dapat dengan mudah ditegur oleh dosen, namun dengan online learning, dosen tidak mungkin tahu jika mahasiswa sedang bermain game ataupun sedang menonton filem saat dirinya sedang belajar. Peluang Pendidikan New Normal Namun di balik banyaknya tantangan yang muncul, peluang pendidikan di masa kenormalan baru pun tidak terbantahkan. Kehadiran webinar yang menjamur saat ini menjadi pintu ke mana saja bagi mahasiswa untuk belajar ke pada para tokoh yang sebelumnya tidak dapat mereka jangkau karena tidak mampu hadir di kelas
dan seminarnya. Kehadiran webinar menjadikan sumber pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru semata. Siswa dapat belajar dari dosen-dosen lain di luar universitasnya. Tentu dengan syarat mereka memiiliki kuota internet atau setidaknya jaringan wifi. Pertanyaannya, apakah keasadaran dan kemandirian belajar itu ada. Model pemebelajaran online bahkan memungkinkan sebuah kelas tidak hanya diisi oleh seorang dosen pengampuh namun juga dapat menghadirkan dosen dari luar universitas yang memiliki kemampuan yang sama. Tentu hal ini hanya dapat terjadi jika kelas dikelola oleh dosen bukan dengan model gaya bank tadi. Seorang dosen harus legowo membuka ruang bagi dosen lain sesuai dengan saran mahasiswa dan jejaring yang dimilikinya untuk ikut berpartsipasi dalam ruang kelas yang ada. Kalaupun sebuah kelas masih dikelola dengan model gaya bank, di masa kernomalan baru ini mahasiswa tetap dimungkinkan untuk membangun ruang-ruang alternatif belajar. Mahasiswa dapat membuat sekolah alternatif dengan tema-tema khusus dengan menghadirkan pembicarapembicarayang berbeda, bukan hanya dari kampusnya namun dari luar bahkan hingga mancanegara. Hal semacam ini dimungkinkan terjadi dan tidak menggunakan cost yang besar dibanding harus mendatangkan langsung pembicara seperti yang biasa dilakukan sebelum masa pandemi. Tapi kembali lagi, salah satu tantangan utama adalah kesadaran dan kemandirian belajar. Mampukah peserta didik/ mahasiswa tetap belajar meski tidak dikawal langsung oleh pendidik. Atau justru sebaliknya, mahasiswa memang senang menempatkan dirinya sebagai botol kosong yang hanya bisa diisi jika sang dosen berada di hadapan mereka. Kuliah online ini adalah sebuah upaya pembuktian bagi mahasiswa, bahwa mereka bukanlah botolbotol kosong yang tidak berisi.
11
LENSA
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
UIN Alauddin Terus Berbenah Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof. Hamdan Juhannis mengeluarkan surat edaran No. B-847/Un.06.I/PP.00.09/03/2020 tentang Tindak Lanjut Kebijakan Upaya Pencegahan Penyebaran Infeksi Covid-19 di Lingkungan UIN Alauddin Makassar, pada Sabtu (27/3/2020). Dalam surat tersebut memuat kegiatan perkuliahan semester genap Tahun Ajaran 2019/2020 dilakukan secara Daring hingga akhir semester. Meski perkuliahan daring menghadirkan berbagai polemik, namun nampaknya memberi angin segar bagi pembangunan fasilitas di UIN Alauddin Makassar, di mana sejak diterapkannya perkuliahan daring, pembangunan infrastruktur di segala sektor terus digalakkan hingga saat ini. Fotografer Washilah berhasil mengumpulkan gambar pembangunan yang sementara dibangun, mulai dari Rumah Sakit Pendidikan (RSP) UIN Alauddin, Mesjid Agung Sultan Alauddin, Gedung Pasca Sarjana dan yang terbaru pembangunan Taman Dharma Wanita. Foto dan Teks: Mutmainnah S. Sabrah dan Andi Fahrul Azis (Magang) Foto RSP: Gedung RSP UIN Alauddin Makassar yang dibangun pada tahun 2011 dan sempat mangkrak, sejak 18 November 2020 memasuki masa pengerjaan dan ditargetkan rampung pada 18 November 2021. Sabtu (17/04/2021).
Foto detail RSP: Seorang pekerja mengecat bagian luar lantai enam gedung Rumah Sakit Pendidikan (RSP) UIN Alauddin Makassar. Sabtu (17/04/2021).
Foto Masjid: Masjid Agung UIN Alauddin Makassar yang sementara dalam tahap pengerjaan. Bangunan ini sempat mangkrak beberapa tahun kemarin dan di awal tahun 2021 telah mulai dibangun kembali. Jumat (15/04/2021).
Foto Gedung Pasca Sarjana: Gedung pasca sarjana yang dibangun pada tahun 2015 lalu dan sempat mangkrak. Saat ini kembali memasuki masa pengerjaan dari total delapan lantai yang direncanakan, saat ini pembangunannya masih tujuh lantai. Selasa (27/04/2021).
Foto Taman Dharma Wanita: Salah satu mahasiswa UIN Alauddin Makassar sedang berjalan menuju Taman Dharma Wanita. Kamis (06/05/2021). Taman ini baru saja dibangun dengan menghabiskan anggaran kurang lebih Rp. 200 juta.
12 Cerpen
SASTRA
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
Menemukan Kehilangan
Ilustrasi: Ardiansyah Safnas
K
au tahu apa yang lebih buruk dari segala hal yang paling buruk di dunia ini? Ketika senja tak lagi merekah seutuhnya, sedang ia masih menggantung sempurna di langitnya. Kau enggan menyapa fajar, bahkan berharap ia tak ada lagi di hari esokmu. Rintik sendu yang dulu merengkuhmu, kini perlahan menghujam sukmamu. Segala hal tentangnya menjadi luka. Tawamu, bahagiamu, hilang bersama derap langkahnya yang kian menjauh. Kau berusaha melupa dengan segala cara, sialnya, semakin berusaha, kenangan tentangnya kian menyapa. Sungguh tidak ada hal yang baik-baik saja dari sebuah perpisahan bukan? Setelah berbagi suka dan duka, ia pergi meninggalkanmu, kau kehilangannya untuk waktu yang lama, teramat lama, bahkan barangkali abadi, sementara ia membawa dirimu separuhnya. Menerima menjadi ambigu, ketika mengiklaskan saja tak mampu, ironisnya, takdir selalu mengambil alih kemudi kehidupanmu, menjadikan perasaanmu sebagai tempat untuk bermain. **** Bulan Maret menjadi awal duka. Kala itu, bersama hujan yang luruh menyapu Bumi, kami menerima kabar buruk yang sukses menghantam dada. Segala
perih, kecewa, melebur bersatu padu. Berkecamuk, mengaung bak petir. Ibu meninggal setelah sebelumnya menghabiskan waktu selama setahun lebih berjuang melawan tumor otak yang terindetifikasi ganas. Kini, Ibu telah berdamai dengan penyakitnya. Seketika ruangan yang awalnya sunyi senyap, kini dipenuhi suara isak tangis pilu, Aku terpaku melihat Ayah yang merengkuh jasad Ibu dengan mata sembab, sedang air mata berlinang bermuara di pipinya. Itu kali kedua aku melihat Ayah menangis setelah air matanya lebih dulu kusaksikan melebur saat Ibu pertama kalinya didiagnosa mengidap tumor otak. Setelah mengantar Ibu ke peristirahatan terakhirnya menuju kehidupan yang abadi, rasanya ada Ruang kosong melompong yang bertahta di hatiku. Rasanya seperti baru kemarin tawa ibu merekah untukku, namun kini tidak ada lagi. Rasanya baru kemarin Ibu bersenda gurau sembari menyaksikan senja, kini tidak ada lagi. Hadirnya kini hanya sekadar bayang semu, segala hal tentangnya kini telah menjadi cerita duka. Ia pergi menuju keabadian bertemu Tuhan, menyisakan ruang pilu tepat di sudut ruang hatiku yang terdalam. Mencetak rindu yang tiap harinya kian bertumpuk nan membuncah. Sayangnya aku masih butuh pe-
luk Ibu dalam segala hal pelik ku. Masih butuh teman cerita ketika semua orang memilih menutup rapat-rapat telinga mereka. Saat semesta sepakat menyerang, Aku butuh kalimat mantra penenang ala beliau, atau bahkan kecupan hangatnya saat kata tak lagi mampu mewakili kekecawaan. Kala itu, aku benar-benar merasakan bagaimana dunia mengajariku artinya kehilangan secara paksa. Rasanya enggan untuk menghadapi hari esok, berantakan. *** Sepuluh hari setelah kematian ibu, bahkan tanah makamnya belum mengering sepenuhnya. Kami menerima kabar duka kembali. Ayah pergi menyusul Ibu. Ada sayatan baru yang tercipta, takdir kembali merebut orang yang kusayangi tanpa permisi sebelumnya. Hari itu, tubuhku benar-benar linglung setelah sebelumnya masih benar-benar merasakan gelombang kehilangan yang teramat dahsyat. Kepergian Ibu kini disusul Ayah, berhasil mengguncangku. Sementara rasa duka kemarin masih mengendap di sudut ruang hatiku, kini ditambah lagi. Kelopak mata yang bahkan belum mengering sepenuhnya, sayatan luka yang belum rapi jahitannya, tubuh yang belum benar-benar merasakan pulih seutuhnya, bahkan sepenuhnya belum iklas, kini
harus merasakan kembali pahitnya kehilangan. Aku bahkan bertaruh, baik takdir maupun semesta sama-sama jahatnya. Benarbenar sepakat untuk menghancurkan hatiku, mengambil alih bahagiaku. *** Setelah rasa duka yang kurasakan kemarin, aku tak tahu harus memilih melanjutkan hidup atau sebaliknya menyusul mereka berdua saja. Bukankah tak ada lagi alasan untuk menetap setelah kau benar-benar merasakan kehilangan? Sesuatu yang sama pentingnya bahkan melebihi dirimu Sendiri? Ketika semangat hidupmu kian redup termakan oleh waktu, kau menjalani hari dengan luka yang bernaung di pundakmu, bak parasit yang siap kapan saja menghancurkanmu. Segala ambisi hidup, kini malah kau tenggelamkan dalam samudera alam bawah sadar terdalammu. Berkali-kali kau berpikir, jika memang harus melewati gerbong kematian untuk ada kata temu, kenapa tidak? Aku sangat siap. “Kau tetap harus melanjutkan hidup Ca,” tutur sahabatku satu waktu, dengan suara teduh sembari menyeduh kopi. Aku memilih bungkam, berkali-kali ia ucapkan kata sabar atau kalimat-kalimat senada yang terbilang menyebalkan. Ahkkk, kala itu aku benar-benar ingin melempar secangkir kopi panas tepat di wajahnya, namun sekonyong-konyong kuurungkan. Aku tahu semua orang memiliki bebannya masing-masing sesuai porsinya. Kau tahu Aku baru saja kehilangan dua orang yang kucintai dalam rentan waktu tak cukup sebulan, memberanikan diri untuk sekadar bercerita bermaksud melepas beban malah seenaknya dikatai “Sabar yah”, atau hanya sekadar membandingkan, “Kau lebih mending, bagaimana dengan mereka yang kehilangan kedua orangtuanya sedari kecil.” Setidaknya jika memang tak tahu perihal memberi nasehat yang baik, bukankah menjadi pendengar yang baik sudah lebih dari cukup. Ini malah mengentengkan, dipotong bahkan seenaknya membandingkan. Manusia memang terkadang lucu untuk ditampol, bahkan kalau perlu dibanting saja saking gemasnya. Terkadang, segala hal tentang kesedihan baiknya disimpan rapi saja pada rak-rak ruang hatimu, itu bahkan lebih baik, toh memang tak ada orang yang benar-benar peduli padamu selain dirimu sendiri. Kau hanya akan lelah untuk sekedar bercerita panjang lebar, sementara mereka tak acuh. Siklus hidup memang sebajingan itu nyatanya. Dengan segala gundah dan resah, kutau hidup akan terus berlanjut. Toh waktu tak akan memutar kemudi untuk kembali ke masa lalu, pun masa lalu tidak akan pernah maju melampaui masa depan. Ia akan tetap pada tempatnya masing-masing, sebagaimana mestinya dan seharusya. Pada akhirnya, satu hal yang kujadikan prinsip, jalani saja ketimbang harus mati sia-sia. Entah bagaimana buruknya, selalu ada pilihan di antara rentetan jalan hidup, bahkan jalan buntu sekalipun. *** Menikmati senja adalah rutinitas wajib akhir-akhir ini. Duduk, sekadar termenung, tidak melakukan apa-apa -Sebenarnya persis orang bego. Nihil, setelah kehilangan mereka, rasanya senja yang dulu merekah bahagia kini berubah menjadi gelap berduka. Memang ada satu bukit di belakang beberapa bangunan kos dekat kampus. Berdiri kokoh dengan jalan yang tak cukup terjal. Kau bisa menikmati senja dengan udara yang cukup bersahabat, suara bising laju kendaraan tak akan kau temui di sana, pun suara jejak langkah manusia hanya beberapa. Akan kau temui kedamaian di sana. “Aca,” suara di belakang sana membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke sang empunya suara. Ia tersenyum melambai berjalan ke arahku. Aku mengerutkan dahi, bertanya dalam hati “Siapa?” Sosok pria dengan tubuh tinggi berkumis tipis, lengkap dengan jaket hood-
ie berwarna army, kini persis duduk di sampingku dengan beralaskan rumput. Dalam keheningan, Aku berusaha memutar otak, mencari tahu, siapa Pria ini? Namun tak kutemukan. Sore itu rasanya benar-benar canggung, Aku mengamatinya diam-diam, dan sesekali mencuri pandang. Ia menoleh dan tanpa sengaja mata kami bertemu. Ia tersenyum kembali. “Kau tambah kurus Ca, matamu juga sembab,” ucapnya menatapku. Aku menunduk, bingung harus mengatakan apa. Samar-samar memori tentangnya berputar dalam kepala. “Jauh-jauh dari bandung aku menemuimu, ternyata kau lupa tentangku,” ucapnya kembali, Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis. “Kenapa?” ujarku ragu sembari menatapnya. “Sekadar menghiburmu”. “Aku tak butuh,” pungkasku dan membuat terdiam. Sepersekian detik, ia menghela napas panjang. “Aku mengerti perasaanmu sekarang,” ucapnya sendu. “Jangan sok tahu,” tukasku. “kau kehilangan orang yang kau cintai bukan? Ayah dan Ibumu,” “Jangan memancingku untuk menghajarmu,” “Tidak, sejak kapan kau sekasar ini hahahhha,” “Sejak aku kehilangan mereka,” Ia terbahak membutku risih, setelahnya ia kembali menatapku, kali ini dengan tatapan serius. “Aca, Aku tak ingin menafikkan sesuatu tentangmu, sadar atau tidak kau tak pernah kehilangan apa-apa yang memang bukan dari dirimu. Kau berdalih kehilangannya untuk menutupi alasan kenapa kau mengubah dirimu bukan? Kau kehilangan dirimu Ca, bodohnya kau tak menyadarinya. Kau terjebak dan seolahnya menyalahkan takdir untuk kepergian Ayah dan Ibumu. Sadarkah kau? Kau tak pernah kehilangan mereka, tapi mereka kembali ke tempat yang seharusnya, sedang dirimu tersesat dalam labirin alam bawah sadarmu, dan tak tahu harus mencari ke mana,” ucapnya. Perkataannya berhasil membuat diriku tersentak, tepatnya logika seolah membenarkan apa yang ia katakan. “Kau tahu apa yang paling buruk dari hal yang paling buruk di dunia ini?” lanjutnya. Aku menggeleng pertanda tak tahu. “Saat kau terjebak mencari sesuatu, sementara kau tak pernah tahu apa yang hilang”. *Penulis : Nur Afni Aripin
Nur Afni Aripin Anggota Magang Washilah Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik Semester VI
WANSUS
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
Menuju Kampus responsif gender
13
Dr. Rosmini, S.Ag., M.Th.I Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Alauddin Makassar
Tempat/Tanggal Lahir : Kampiri, 1975 Riwayat Pendidikan :
S1 UIN Alauddin Makassar tahun 1997 S2 UIN Alauddin Makassar tahun 2003 S3 UIN Alauddin Makassar tahun 2015
Dok. Pribadi Rosmini
Program Studi: Ilmu Komunikasi Jabatan Fungsional: Lektor Kepala Status Ikatan Kerja: Dosen Tetap
Dr Rosmini menyampaikan Draft Peraturan Rektor terkait Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi pada Seminar Nasional yang diadakan PSGA, Kamis (11/2/2021).
Washilah – UIN Alauddin Makassar melalui Lembaga Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) terus berupaya mewujudkan kampus menjadi ruang yang aman dan adil gender. Salah satu langkah taktis akan dideklarasikannya kampus peradaban sebagai kampus responsif gender.
U
paya itu dianggap menjadi pilihan yang tepat untuk mewujudkan ruang pendidikan yang aman dan adil gender di kampus berlabel Islam ini. Namun sayangnya, tidak sedikit sivitas akademika yang tidak tahu mengenai wacana ini. Bacaan dan referensi mengenai apa itu kampus responsif gender juga masih sulit kita temui. Reporter Washilah telah melakukan wawancara khusus secara langsung dengan Ketua PSGA UIN Alauddin Makassar, Dr. Rosmini di ruang kerjanya di Gedung Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M) UIN Alauddin Makassar, Rabu, (23/04). Apa itu kampus responsif gender? Kampus responsif gender itu, kampus yang menjamin kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kemudian kesetaraan dalam hal apa? dalam hal pengelolaan kampus, dalam hal akademik, dan dalam hal administrasi penyelenggaraan kampus. Model penyelenggaraan kampus misalnya dalam hal kepemimpinan yang terdistribusi dengan baik, keseimbangan laki-laki perempuan dalam personal akademik. Contoh kongkritnya, misalnya perolehan beasiswa yang harus memperhatikan perwakilan laki-laki dan perempuan. Apa alasan kongkrit kenapa UIN Alauddin Makassar perlu menjadi kampus responsif gender? Pengarus utamaan gender itu salah satu amanat undang-undang, kalau kampus kita ini tidak responsif gender, katakanlah misal dalam tataran pembelajaran, maka ada salah satu gender diunggulkan yang tidak objektif. Jadi, kenapa perlu kampus responsif gender? Itu untuk mencetak atau menuju perguruan tinggi yang kapabel, perguruan tinggi yang kompetitif di masa yang akan datang. Karena hanya dengan memberikan peluang yang sama kepada orang-orang yang ada di dalamnya, laki-laki dan perempuan, perguruan tinggi ini bisa survive menjadi sebuah perguruan tinggi yang betul-betul perguruan tinggi Islami. Ketika misalnya kampus tidak melakukan mainstreaming pengarus utamaan gender, maka kampus ini tidak bisa menjadi kampus yang responsif gender. Mengapa baru saat ini UIN Alauddin mewacanakan menuju kampus responsif gender? Yah, sebenarnya bukan menuju, inikan sudah berproses, cuma kan begini, kepemimpinan (Rektor) itu dalam empat atau lima tahun diganti lagi, jadi karena itulah kadang-kadang tidak ada kesinambungan kepemimpinan. Visi misinya kadang tidak nyambung. Kadang-kadang juga yang memimpin sebuah lembaga tidak ngerti lembaganya mau dibawa kemana. Jadi itu adalah sebuah fakta-fakta yang tidak bisa kita pungkiri, kemudian bisa menjadi faktor penghambat dalam melakukan mainstreaming gender secara berkesinambungan. Di UIN Alauddin Makassar ini sebenarnya, ka-
lau dilihat dari representasi perempuan, lebih maju sebenarnya dibanding dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang lain. Tentu juga masih banyak di atasnya, kita juga tidak di atas sekali, tidak di bawah sekali, tapi kita di tengah-tengah. Selain itu, sebenarnya mewujudkan kampus responsif gender sudah lama diperjuangkan, tapi kadang-kadang tidak ketemu indikatornya, kemudian tidak ada sistemibilitynya, keberlanjutannya, jadi memang saya rasakan. Ada sembilan indikator menuju kampus responsif gender, jika diperhadapkan dengan kampus UIN Alauddin Makassar sendiri bagaimana kesiapannya? Seingat saya mungkin tinggal satu indikator yang belum terpenuhi, selebihnya sudah ada. UIN Alauddin Makassar itu jadi salah satu dari tiga PTKIN yang punya Surat Keputusan (SK) tentang pengarus utamaan gender di kampus. Hanya tiga PTKI, yaitu UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Alauddin Makassar, dan UIN Walisongo Semarang. Kita menjadi piloting atau rujukan bagi kampus-kampus lain. Selalu ada persiapan dari dulu mewujudkan kampus responsif gender sebenarnya, tapi itu tadi saya bilang, kadang-kadang penempatan orang bukan pada passionnya, ini karena berkelindan dengan persoalan politik, itu yang menjadi hambatan. Selain itu, salah satu indikator yaitu Pendidikan dan pengajaran responsif gender saat ini telah dimaksimalkan. Diupayakan semua jurusan harus ada analisis gendernya. Jadi gender bukan menjadi sebagai konten materi tetapi menjadi analisis. Nah ketika dia menjadi faktor analisis pendekatan maka semua nanti mata kuliah bisa masuk, seperti dikurikulum, itu kan nanti gender bisa menjadi salah satu mata kuliah. Seperti di Fakultas Dakwah itu sudah ada, Jurusan Ilmu politik juga ada, tapi jurusan lain belum tentu mampu. Kalau itu tidak dimampui, dan gender belum bisa menjadi mata kuliah. Kita masukan saja ke topik dalam suatu mata kuliah, jadi misalnya satu mata kuliah normalnya 14 topik, kita masukkan salah satunya studi gender. Standar Operasional Prosedur (SOP) pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual merupakan salah satu indikator kampus responsif gender. Di mana SOP itu bisa diakses? Belum bisa diakses, karena kita maunya nanti SOP itu dikeluarkan setelah final, dan itukan menunggu Rapat Pimpinan (Rapim) dulu. Pak Rektor itu sudah beberapa kali meminta untuk segera disahkan, tetapi itu tidak bisa karena harus masuk di Rapim dulu supaya kuat, jangan kesannya hanya PSGA saja yang tahu dan bertanggungjawab mengenai SOP ini, saya di sini kan belum tentu periode kedepannya masih ada disini. Ketika ini sudah diRapimkan, seluruh pimpinan harus bertanggungjawab ketika SK SOP itu sudah keluar. Salah satu indikator lainnya adalah adanya profil gender perguruan tinggi, apakah itu sudah ada? Iya, sudah ada, nanti saya tunjukkan, jadi selama
ini memang baru punya profil gender itupun waktu itu kita lakukan atas kerjasama UIN, dalam hal ini PSGA dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan, artinya kita didanai oleh mereka, dan kita hanya diberi waktu satu bulan, tapi yah alhamdulillah selesai, itu sudah merangkum sekian persen dari fakta gender yang ada di UIN Alauddin Makassar. Meskipun mungkin di sana sini ada kekurangan, tetapi nanti kami perbaiki. Dari beberapa indikator kampus responsif gender, beberapa poinnya mengarah ke Tridharma Perguruan Tinggi, apakah saat ini sudah mulai berjalan? Sementara running ya. Dalam proses. Misalnya, dalam pengabdian Kuliah Kerja Nyata (KKN), dulu itu kan orang selalu mikirnya KKN itu bagusnya pembimbing laki-laki saja, iya kan dulu-dulu. Tapi ini sudah berlangsung pembimbng perempuan, walaupun itu tidak banyak. Jadi orang sudah tidak lihat lagi gendernya, laki-laki atau perempuan, tapi kompetensinya, kapabilitasnya, dan itu menurut saya sudah sebuah kemajuan. Apa program yang dilakukan saat ini oleh PSGA? Kami di PSGA lagi mendesain sebuah kegiatan desain kurikulum perspektif gender, jadi nanti semua jurusan minimal ketua dan sekretarisnya kita panggil, satu jurusan itu harus ada satu mata kuliah. Kami mau produk Rencana Pembelajaran Semester (RPS) setiap jurusan harus ada yang memang sudah memuat pembelajaran berprespektif gender. Selain itu, dari PSGA kami telah SK-kan setiap fakultas ada dua gender vocal point, dalam hal ini dekannya sendiri sebagai koordinator dan satu anggota. Hanya saja, kami menemukan salah satu kesulitan dalam menunjuk orang untuk menjadi gender vocal point di fakultas, itu karena kita harus menjamin orang itu apakah sensitif gender atau tidak. Jadi setiap fakultas sudah ada vocal point yang ditunjuk dan di SK-kan? Ada, sudah ada SK-nya, baru bulan lalu terbit, cuma saya sendiri belum ketemu dekannya, karena ini juga perlu energi khusus untuk meyakinkan dekan. Berbicara kesiapan menuju kampus responsif gender, Apakah UIN Alauddin Makassar sudah sangat siap? Yah, kita sudah siap, kita sudah siapkan beberapa program termasuk yang ada dalam draft SOP, draft ini kan sudah final, ini juga jurnal yang ada disini dulu kan antara mati dan hidup. Alhamdulillah, nanti buka-buka jurnalnya, jurnal Sipakalebbi namanya. Kalian juga kalau mau nyumbang tulisan kita welcome. Yah penuh perjuangan karena jurnal itu kan menjadi media dapur gagasan, bagaimana kita mengintodusir, mengekspansi kita punya pikiran-pikiran gender mainstreaming, ada di situ. Menuju kampus responsif gender memang butuh waktu yang panjang. Bagaimana peran atau keterlibatan mahasiswa dalam mewujudkan kampus responsif gender? Nanti ketika sosialisasi peraturan rektor dan SOP
pasti kita libatkan karena sangat efektif bila melibatkan mahasiswa, karena yang jadi korban juga mahasiswa, kalian pasti lebih paham medannya. Selanjutnya, PSGA siap dipanggil lembaga mana saja untuk melakukan sosialisasi dalam bentuk apa saja, karena kan nanti itu ada unit layanan terpadu, unit layanan terpadu itu tugasnya pencegahan, pendampingan, dan pemulihan, dipencegahan nanti, mahasiswa pasti lebih bisa mendesain bahan pembicaraanya. Nanti kita libatkan mahasiswa di situ, diharapkan bisa mendesain dan mendiskukusikan, kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk membantu supaya SOP ini bisa tersosialisasi secara massif. Apa hambatan mewujudkan kampus responsif gender? Kita selalu mendapatkan kendala-kendala dari pimpinan, karena menganggap itu tidak penting. Tapi itu sebenarnya tergantung dari kitanya, misalnya saya sebagai PSGA, kemampuan kami meyakinkan pimpinan pentingnya hal ini diwujudkan, agar tidak dijadikan sebagai wacana-wacana pinggiran begitu saja. Hambatannya, pertama masih banyak orang yang belum memahami gender, dan itu tugas kami untuk memberi pemahaman karena harus diakui bahwa dalam beberapa kajian, banyak tema-tema gender seperti yang bertentangan dengan agama, misalnya itu kan teori gender punya varian aliran; ada aliran liberalis, radikal, sosialis, dan lain-lain. Tugas kami memberi pemahaman gender yang tidak bersebrangan dengan Islam. Yang kedua, kendalanya adalah karena ini adalah kampus, dan kadang-kadang gender mainstreaming itu terkendala dalam hal bahwa itu bergesekan dengan kepentingan-kepentingan politik, katakanlah dalam distribusi jabatan yang mestinya distribusinya kalaupun tidak 50:50 (fifty-fitfty) minimal perempuan diberi sekian-sekian, tapi kalau hitungan politik tidak ada yang seperti itu. Apa yang ingin disampaikan kepada seluruh civitas terkait kampus responsif gender ini? Intinya, bahwa ketika semua sivitas paham tentang responsif gender, maka implementasi perguruan tinggi menuju responsif gender itu akan mulus. Jadi yang dilakukan ini bagaimana meyakinkan, memiliki perspektif yang sama tentang gender mainstreaming. Nah, apa yang dilakukan menuju hal itu? kita mau mendesain beberapa programprogram, baik itu program terkait dengan kurikulumnya maupun program-program terkait dengan implementasi kurikulum.
*Penulis: M. Shoalihin , Muhammad Fauzan (Magang), Amelia Magfirah (Magang) *Editor: Ulfa Rizkia Apriliani
14
PERSEPSI
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
Maraknya Kasus Pungli di UIN Alauddin Makassar Setahun terakhir dua kasus pungutan liar (Pungli) terjadi di UIN Alauddin Makassar, kasus pertama terjadi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) dan kasus kedua di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK). Bagaimana pendapat sivitas akademika terhadap maraknya kasus Pungli di UIN Alauddin Makassar? Berikut hasil wawancara reporter Washilah.
Ketua Dewan Mahasiswa Universitas (Dema-U) UIN Alauddin Makassar Isra Abdi
Menurut saya Pungli yang marak terjadi di UIN alauddin hal itu terjadi karena adanya beberapa oknum yang melihat segala sesuatu bisa menjadi keuntungan bagi dirinya, begitulah yang terjadi di FEBI ataupun FKIK yang dimana mahasiswanya diintruksikan untuk membayar dengan dalih memperlancar penyelesain akhir dari mahasiswa. Masalah ini sudah merusak marwah dari UIN Alauddin Makassar sendiri, kami berharap oknum yang melakukan Pungli itu diberi hukuman yang tegas.
Ketua Jurusan Ilmu Falak UIN Alauddin Makassar Dr. Fatmawati, M.Ag
Say No to Pungli dalam bentuk dan dalih apapun. Tidak ada cening-cening ati dalam persoalan Pungli. Karena mahasiswa terjebak dalam tradisi akademik yang tidak membangun. Solusinya yaitu aturan tegas tentang pelarangan membawa parsel dalam bentuk apapun (Diminta atau tidak diminta) dari rektor atau dekan, disertai sanksi kepada mahasiswa dan dosen yang tidak mematuhi.
Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Jurnalistik UIN Alauddin Makassar Alam Kapriadi
Saya sebagai masyarakat UIN Alauddin Makassar yang sehari-harinya belajar di sana merasa agak ragu, karena lingkungan yang harusnya menciptakan kepedulian terhadap moral malah dirusak dengan adanya Pungli, dan saya agak khawatir apalagi yang menjadi oknum itu tenaga pengajar, yang berkewajiban memperlihatkan kita yang mana baik, tapi nyatanya hal-hal yang menjadi larangan diperbuat. Mungkin pihak kampus harus mulai berbenah dan menganggap hal ini serius, dan berhenti membuat pemakluman yang konyol. *Penulis: Ulfa Rizkia Apriliyani dan Andi Arifai (Magang)
Ketua Dewan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (Dema-FSH) UIN Alauddin Makassar Muh. Fikram Syahrir As
Menurut saya hal seperti ini sangat merugikan sivitas akademika, untuk menanggulangi hal seperti ini perlunya pihak birokrasi itu mengeluarkan kebijakan sanksi yang tegas jika hal seperti ini terjadi kalau perlu dikeluarkan dari UIN Alauddin Makassar.
Ketua Dewan Mahasiswa Universitas (Dema-U) Periode 2020 Ahmad Aidil Fahri
Maraknya Pungli yang dilakukan oleh oknum dosen bukan tanpa sebab, melainkan kurangnya pengawasan dan sanksi tegas yang diberikan oleh pimpinan kampus. Selain itu, tidak adanya transparansi mengenai kode etik dosen kepada mahasiswa sehingga para mahasiswa kurang memahami hak dan tanggunggjawab dari tiap-tiap dosen.
Ketua Dewan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (Dema-FEBI) UIN Alauddin Makassar Al Mugni
Selain daripada aturan yang telah mereka langgar bahwa tidak ada pungutan selain Uang Kuliah Tunggal (UKT), tindakan ini sendiri akan mencederai integritas kampus yang ternyata sesuai dengan prestasinya selama ini. Saya menduga pihak kampus tahu persoalan ini tapi mereka tetap memilih diam agar seolah-olah tidak ada hal seperti itu terjadi dalam kampus. Bisa kita lihat pada kasus Pungli yang ada di FEBI, pihak kampus tidak ingin mengeluarkan surat keputusan Sanksi kepada oknum Pungli, bahkan sampai sekarang tidak ada sanksi dalam bentuk apapun kepada pelaku tersebut.
15
SIVITAS
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
Menyoal Jalan Alternatif: Kenyamanan VS Keamanan
Potret gerbang gedung B pasca ditutup dan diberi garis polisi (21/04/2021).
Washilah – Jalan alternatif penghubung antara Kampus II UIN Alauddin dengan Indekost yang berada di belakang kampus menuai polemik pasca ditutup. Pihak kampus mengklaim tindakan penutupan itu sebagai upaya dalam menjaga keamanan. Di sisi lain, tidak sedikit Mahasiswa yang mengeluh. Avira, Mahasiswa Semester VI menceritakan kisahnya. i tengah terik matahari siang itu, Avira (bukan nama sebenarnya) berjalan kaki dari kamar indekost tempat ia bermukim menuju fakultasnya. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Tak lebih dari 50 meter, ia sampai di mulut Gerbang Gedung B, sebuah akses jalan alternatif bagi para mahasiswa yang tinggal di belakang kampus agar bisa masuk ke kampus peradaban. Melalui jalan alternatif yang biasa ia lewati, Avira hanya butuh waktu tidak lebih dari lima menit untuk sampai ke fakultasnya. Jalan alternatif dimaksud merujuk pada sebuah tembok pagar kampus yang telah dilubangi kemudian ditutup dengan pintu yang dibuat dari terali besi. Lokasinya berada tepat di samping gedung B, sebuah gedung perkuliahan tambahan berlantai empat yang berada di pojok belakang area kampus II UIN Alauddin Makassar. Di sekitaran jalan alternatif itulah berdiri deretan indekost, termasuk salah satunya indekost Avira bertempat tinggal. Bukan tanpa alasan, Avira memilih menyewa indekost di sekitar area teresebut,
D
selain karena murah juga karena jarak yang dekat. Sebelumnya, ada tiga titik jalan alternatif. Dua buah tangga yang dipasang untuk melewati pagar kampus. Satu tangga terletak di belakang Fakultas Dakwah dan Komunikasi, satunya lagi berada di belakang Fakultas Adab dan Humaniora (Keduanya telah dibongkar oleh pihak kampus). Yang terakhir, terletak di samping Gedung B. Mahasiswa dan masyarakat sekitar kampus biasa menyebutnya dengan “Gerbang Gedung B”. Gerbang inilah yang kerap dilalui Avira untuk menunjang berbagai aktivitasnya di area kampus. Hari itu Senin (19/4) dari kejauhan Avira melihat beberapa mahasiswa berdiri di depan Gerbang Gedung B. Mereka tak melangkah masuk, hanya bercakap-cakap dengan air muka kebingungan. “Kak, kenapa nda masukki?” tanya Avira dengan sama bingungnya. “Tidak bolehki bede lewat sini, mau ditutup katanya,” jawab salah satu mahasiswi tersebut dengan murung. Akses yang selama ini mempermudah Avira menuju kampus telah ditutup. Terpaksa ia harus mengurungkan niat menuju fakultasnya. Namun begitu, sebenanya masih ada dua pilihan bagi Avira, memesan Ojek Online dengan bayaran yang lumayan, atau berjalan kaki 40 menit dengan rute memutar di tengah matahari yang terik. “Besok atau lusa saja,” pikir Avira sembari membayangan dirinya berjalan
sendiri selama 40 menit dengan keadaan berpuasa. Selasa, 20 April 2021, Avira kembali berjalan menuju jalur alternatif tersebut untuk sekadar mencari tahu apakah ia benar-benar telah dilarang melintas. Musibah tak dapat ia cegah, dari kejauhan, Gerbang telah dikerumuni oleh beberapa orang yang mencoba memasang pelat besi guna menutup Gerbang tersebut. Sejak saat itu, jalur alternatif Gerbang Gedung B kini hanya menjadi sebuah cerita, bahwa jalur itu telah membantu aktivitas penggunanya. Esoknya Reporter Washilah mendatangi Gerbang Gedung B. Plat besi yang sebelumnya berdiri kokoh menutupi Gerbang Gedung B, kini telah roboh. Selain itu, tanda peringatan “Dilarang melintas” milik pihak kepolisian nampak terlihat. Belakangan diketahui, ada oknum dengan sengaja merobohkan plat besi penghalang tersebut. Pihak kampus yang merasa dirugikan, menganggap tindakan itu sebagai perusakan, kemudian melaporan kejadian tersebut ke Polres Gowa. Di lokasi kejadian itu, di depan Gerbang Gedung B. Reporter Washilah bertemu dengan Avira, perempuan itu menyampaikan keluh kesahnya terkait akses jalan alternatif yang telah ditutup. Menurut hematnya, berbagai masalah menimpa dirinya dengan penutupan akses tersebut. “Sekarang, saya sedang sibuk-sibuknya penyelesaian tugas akhir, otomatis haruski selalu sering-sering ke kampus, karena nda ada kendaraanku, berarti haruska jalan kaki memutar, minimal 40 menit kalo jalan kaki, belum lagi takutki untuk lewat jalur memutar karena sepi, sudah banyakmi juga kejadian pelecehan di sana”. Di sisi lain, ia juga menyadari bahwa menggunakan jasa transportasi dalam jaringan (Daring) dapat menjadi sebuah solusi, namun akan membuat pengeluarannya semakin besar. “Sekali jalan itu minimal sepuluh ribu, itu untuk berangkat saja, belum lagi kalo mauki pulang, sama harganya. Berarti setiap hari minimal 20 ribu, kalau sebulan? Bakalan banyak sekali pengeluaran
untuk transportasi saja”. Salah seorang mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) angkatan 2019 yang tidak ingin disebutkan namanya, turut menyampaikan kekecewaan terhadap birokrasi kampus atas penutupan jalur alternatif tersebut. Serupa dengan Avira, ia juga menjadi pengguna setia jalur alternatif tersebut dikarenakan ia hanya butuh berjalan kaki untuk tiba dan beraktivtas di dalam kampus. “Jauh-jauh hari sebelum isu penutupan saya selalu lewat sana, karna dekat, tinggal jalan kaki saja. sekarang harus pinjam motor ke teman baru bisa beraktivitas ke kampus, atau kalau mau ambil uang di Automatic Teller Machine (ATM) kampus,” Ucapnya. Lebih lanjut, ia juga mulai berencana untuk mencari indekost di lokasi yang berbeda sebagai akibat dari penutupan jalan alternatif tersebut, alasan kemudahan akses untuk memilih bermukim disana telah ditiadakan kampus. “Sejak isu-isu penutupan jalan di samping Gedung B itu ditutup sudah banyak orang yang berpikir untuk pindah, apalagi kalo sudah kuliah tatap muka di kampus otomatis saya pindah cari kos baru, bahkan kemarin saya lihat sudah banyak mahasiswa di sekitaran kost saya yang sudah pindah,” tutupnya cemas. Jauh hari sebelumnya, pihak birokrasi UIN Alauddin Makassar memang telah mengagendakan penutupan jalur alternatif yang tersebar di beberapa titik. Pada konferensi pers yang dilakukan oleh Pimpinan Universitas pada (23/9/2020) untuk menanggapi kasus Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) yang menimpa sejumlah mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Kala itu, Kepala Biro Administrasi Umum dan Perencanaan Keuangan (AUPK) Alwan Subhan menjawab pertanyaan dari wartawan yang hadir mengenai alasan dibongkarnya tangga alternatif yang memudahkan para mahasiswa untuk memasuki kampus tanpa melewati gang dengan potensi ancaman pelecehan seksual. “Tangga-tangga di pagar kami
sudah angkat, sisa satu (Gerbang Gedung B), sekarang ini masih complain karena mereka merasa punya hak. Tetapi dalam dekat ini akan kami tutup, kalau kita sudah tutup lalu mereka bongkar lagi, baru kita adakan tindakan hukum,” tegasnya. Demi mengetahui secara pasti kebenaran perihal perusakan pelat besi milik kampus di Gerbang Gedung B, kami mewawancarai Kepala Satuan Pengamanan (Satpam) Kampus II UIN Alauddin Makassar, Syarifuddin. Lelaki bertubuh jangkung yang akrab dipanggil Komandan Syarif ini membenarkan kejadian tersebut. Menurut kesaksiannya, dua orang pelaku melakukan perusakan pada Selasa (20/4). “Jam 10 pagi kami sempat melakukan penutupan, namun jam 7 malam ada dua orang warga melakukan pembongkaran. Kami tidak tau apa motifnya, mungkin karena ditutup akses jalannya, akhirnya kampus membawa kasus ini ke Polres Gowa,” pungkasnya. Komandan Syarif juga menyebutkan bahwa penutupan terhadap gerbang tersebut sudah dilakukan berkali-kali, namun selalu berhasil dibuka kembali. Puncaknya pimpinan memerintahkan agar pelat besi menjadi solusi mutakhir untuk menutup gerbang yang dinilai dapat mengganggu keamanan kampus. “Sebenarnya sudah berkali-kali kami diperintahkan untuk menutup akses jalan tersebut demi keamanan mahasiswa, dan keamanan kampus, sehingga pimpinan meminta kami untuk memasang pelat besi di sana untuk menutup gerbang tersebut,” ungkapanya. *Penulis : Muhammad Wahyu (Magang) *Editor : Agil Asrifalgi
Pensiunan Dosen UIN Alauddin Makassar Meninggal Saat Ceramah Washilah – Sebuah video beredar memperlihatkan detik-detik meninggalnya seorang pria yang diketahui adalah pensiunan Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Ruddin Emang saat memberikan ceramah salat Zuhur di Masjid Baiturrahman Panaikkang Makassar, Senin ( 26/04/2021). eninggalnya Ruddin Emang terekam jelas pada kamera CCTV masjid, dimana vidio tersebut memperlihatkan jatuhnya Almarhum dari atas mimbar saat mengadahkan kedua tangan untuk berdoa disela-sela ceramahnya. Sontak saat itu pula jemaah masjid Baiturrahman kaget dan langsung membompong tubuh Ruddin Emang ke lantai masjid. Sayangnya, nyawa beliau tidak bisa diselamatkan. Sumber Foto Potongan Video CCTV Masjid Baiturrahman Salah satu Mahasiswi FTK Jurusan Detik-detik Dr. Ruddin Emang meninggal dunia saat membawakan ceramah Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Ummu dzuhur di Masjid Baiturrahman Panaikang, Makassar, (26/04/2021) Saadah mengaku kaget atas kabar
M
meninggalnya almarhum dan turut mendoakan. “Innalillahi wainna ilaihi raajiun, turut berbela sungkawa atas wafatnya ayahanda semoga segala amal ibadah beliau diterima disisi Allah SWT, serta keluarga yang ditinggalkan tetap tabah,” tuturnya. Sementara itu Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) FTK UIN Alauddin Makassar, Fajar Muharram mewakili pengurus Dema sejajaran mengungkapkan rasa dukanya secara mendalam atas kepergian Almarhum. “Kami dari Dema turut berduka cita, atas meninggalnya beliau yang notabene merupakan salah satu tokoh fakultas,” tutupnya. *Penulis : Nur Afni Aripin (Magang) *Editor : Agil Asrifalgi
PRESTASI
Edisi 114| Syawal 1442 Hijriyah | Mei 2021 Masehi
16
Mahasiswa Ikom Torehkan Prestasi pada Kegiatan Ana’ Dara Kallolo Bone 2021
Dok. Pribadi M. Rifal Al Khadafi
Washilah – Salah satu mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Alauddin Makassar, M Rifal Al Khadafi berhasil meraih prestasi sebagai Runner Up 1 dalam kegiatan Ana’ Dara Kallolo Bone (AKB) 2021. Sabtu, (20/03/2021). Kegiatan AKB ini bertujuan untuk melahirkan sosok yang mampu memperkenalkan dan mempromosikan potensi kebudayaan dan pariwisata di Kabupaten Bone. Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari mulai dari tahapan interview dan malam bakat. Peserta pada tanggal 17 Maret, dilanjutkan dengan tur wisata pada tanggal 18 Maret, dan terkahir ditutup pada acara malam Grand Final pada tanggal 20 Maret yang bertempat di Gedung Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Bone. Ketua Panitia AKB 21, Andi Jasgunawan mengatakan kegiatan ini diikuti oleh peserta yang berasal berasal dari berbagai utusan dengan jumlah 41 finalis terdaftar. “Pesertanya berasal dari utusan Kecamatan,
Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat, Perguruan Tinggi dan Umum, dimana peserta berjumlah 41 orang yang terdiri dari 27 Ana’Dara dan 14 Kallolo,” ungkapnya. Dari 41 finalis pada kegiatan ini, M Rifal Al Khadafi tercatat sebagai peserta yang berasal dari umum dan merupakan satusatunya mahasiswa yang berasal dari UIN Alauddin Makassar. Mahasiswa semester II ini menyampaikan alasannya mengikuti AKB 21. “Alasan saya mengikuti kegitan ini, karena ingin menjadi pelopor dan menjadi wadah bagi generasi muda dalam mengembalikan semangat dan rasa cinta terhadap budaya budaya yang ada di Kabupaten Bone,” ujarnya. Selanjutnya, ia akan lebih fokus mengembangkan dan memperkenalkan Kabupaten Bone sehingga menjadi kota tujuan wisatawan dunia. “Yang saya lakukan pastinya untuk Bone kedepannya yaitu lebih fokus mengembangkan dan memperkenalkan budaya, tradisi dan tempat wisata yang ada di Kabupaten Bone
yang dapat menjadi kota tujuan wisata bagi seluruh wisatawan dunia,” ungkapnya. Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Dr. Asni Djamereng, M.Si sangat mengapresiasi prestasi yang ditorehkan oleh mahasiswanya. “Adapun prestasi yg diraih oleh mahasiswa kami sudah tentu juga mewakili Prodi Ilmu Komunikasi. Sebagai ketua prodi tentu berbangga hati dan mengapresiasi apa yang ditorehkan,” akunya. Ia juga mengatakan prestasi ini dapat mengangkat citra positif bagi UIN Alauddin Makassar. “Tentunya ini bukan hanya mengangkat nama prodi dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi tetapi lebih dari itu juga mengangkat citra positif bagi institusi UIN Alauddin Makassar,” tutupnya. *Penulis : Muhammad Fauzan (Magang) *Editor : Ulfa Rizkia Apriliyani
Mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika Raih Medali Emas Washilah – Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika UIN Alauddin Makassar berhasil meraih medali emas dalam Event Kompetisi Nasional, Jumat (19/02/2021). Kegiatan ini bernama Kompetisi Sains Indonesia (KSI) yang dibawahi langsung oleh Pelatihan Olimpiade Sains Indonesia (POSI) yang berpusat di Medan. Posi sendiri adalah sebuah lembaga yang bergerak dibidang pendidikan saintifik dan rutin mengadakan event bertarap nasional tiap tahunnya. Event ini dilakukan Secara online melalui website cbt.posi.sch yang melibatkan hampir semua kampus dan diikuti oleh ribuan mahasiswa seluruh Indonesia. Fatiha Rahmasari, Mahasiswi jurusan pendidikan fisika berhasil menorehkan tinta emas dengan meraih medali emas pada ajang KSI 2021. Mahasiswi semester VIII ini mengatakan kegiatan ini ia ikuti berdasarkan informasi dari teman angkatan di jurusan. “Ikut kegiatan ini disaranin sama teman seangkatan sih, untuk persiapan saya cuma latihan ngerjain soal
semacam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN )dan soal olimpiade,” ungkapnya. Ia juga menyarankan agar mahasiswa lain juga mencoba untuk ikut dalam event nasional seperti ini agar mampu mengasah kemampuan atau bahkan dengan ikut dalam berbagai kegiatan positif lainnya. “Saran buat junior atau pun teman teman bisalah coba ikut event nasional seperti ini agar bisa mengasah kemampuan dibidang tersebut atau kalo gak ikut event gituan bisalah cari freelance ngajar di suatu Bimbel yang seperti saya lakukan intinya sih gimana caranya agar kemampuan di bidang fisika ini tidak terkikis,” lanjut mahasiswa peraih medali. Ketua Jurusan Pendidikan Fisika, Rafiqah berharap agar mereka yang meraih medali tidak mudah berpuas diri dan terus meningkatkan prestasinya serta dapat memotivasi mahasiswa yang lain. “Sebagai ketua jurusan, harapan saya agar mereka yang memperoleh medali tidak mudah untuk berpuas diri dan terus berupaya untuk dapat
meningkatkan prestasinya serta dapat juga memotivasi teman-temannya untuk berani berkompetisi,karena yang diharapkan bukan pada perolehan medalinya, tetapi pembelajaran dan pengalaman yang diperoleh dari setiap kompetisi,” ucapnya. Lanjut, ia menambahkan saran agar mahasiswa selalu update informasi dimasa pandemik mengingat banyak sekali event-event yang dilaksanakan secara online. “Saran saya buat mahasiswa agar selalu update informasi apalagi di masa pandemi sekarang banyak sekali event-event yang dilaksanakan secara online sehingga memudahkan mahasiswa untuk dapat mengikutinya. Selain itu juga dapat mengoptimalkan jejaring dalam hal pertukaran informasi mengenai event lokal maupun nasional dengan sesama mahasiswa baik teman sejawat maupun rekan mahasiswa di universitas lain.” tutupnya. *Penulis : Awal Anwar (Magang) *Editor : Agil Asrifalgi