7 minute read
Membaca Sahia, Menengok Kembali Realisme Sosialis
from BSE
20
Widyanuari Eko Putra
Advertisement
TIDAK ADA SALAHNYA seorang pengarang menjadikan cerita sebagai “sebuah gagasan tentang”. Lewat karyanya pengarang boleh-boleh saja menyajikan pandangan hidup yang tengah ia yakini betul. Karena sebuah teks pada dasarnya “rupa lain” dari alam pikir penulisnya. Acuan semacam ini perlu sekali kita sadari sejak mula membaca sebuah teks, apalagi berhadapan dengan cerita-cerita Alexandru Sahia yang terhimpun di buku Revolt in the Harbour yang kemudian terbit dalam bahasa Indonesia menjadi Pemberontakan di Pelabuhan (Pataba Press, 2017) atas prakarsa penerjemahan dari Koesalah Soebagyo Toer.
Sebagai seorang jurnalis komunis berkebangsaan Rumania, Sahia lebih banyak memberi perhatian pada kehidupan para buruh tani dan kaum pekerja—setidaknya bertolak dari buku ini. Sebagaimana cerpen realis lainnya, Sahia tak banyak berakrobat dengan teknik dan gaya. Ia bercerita dengan teknik sewajarnya cerita realis. Buku ini pun, seiya penjelasan Soesilo Toer,
MEMBACA SAHIA, MENENGOK KEMBALI REALISME SOSIALIS
“dibiayai secara politik” dan karenanya mengusung semangat realisme sosialis ala Maxim Gorky. Sastra bermahzab realisme sosialis, seturut Pramoedya Ananta Toer (2003:146), menyaran agar karya sastra “setidak-tidaknya memberikan optimisme, kepercayaan bahwa kemenangan hanya bagi mereka yang berjuang di pihak keadilan”.
Itu ditegaskan pula oleh Koesalah dalam pengantarnya: karya-karya Sahia “bergandengan dengan hasrat rakyat yang terbanyak, yang hidupnya dilukiskan juga di dalam cerita-cerita pendeknya.” Pengantar ini mungkin berasal dari buku cetakan pertama. Kita tahu, Koesalah berpulang pada 2016, setahun sebelum versi anyar buku ini cetak ulang. Kehadiran terjemahan buku ini di Indonesia pada tahun 1960an membarengi masa ketika gontok-gontokan ideologis sedang berlangsung sengit, antara penyokong Kiri dengan pembela Kanan. Sahia menulis cerpennya pada kisaran 1930an, saat sebuah karya lebih dipandang dan dimaknai sebagai bagian dari representasi sikap dan pandangan hidup sang pengarang. Cerpen dibayangkan sebagai “cara lain” dari mengungkapkan pilihan politik, keberpihakan, dan acuan ideologi. Apalagi Secara politik Sahia memang bersepakat dengan Partai Komunis Rumania.
Dalam bingkai realisme sosialis, Sahia nyaris menerapkan secara tertib konsep tersebut. Sahia bersandar pada isi: sikap dan pandangannya dalam melihat realitas sosial yang ia temui. Cerpen Hujan Juni, misalnya, menghadirkan kehidupan petani buruh yang, meski telah mati-matian bekerja menggarap sawah, kehidupannya tak pernah membaik. Tanah garapan yang sedikit 21
22
WIDYANUARI EKO PUTRA
dan pajak negara penyebabnya. Buruh tani bernama Petre dan istrinya Anna sehari-hari mati-matian menggarap ladang demi pemenuhan kebutuhan mereka bersama tujuh orang anak. Harihari berladang berpeluh keringat. Anna yang saat itu tengah hamil tua hampir-hampir tak peduli lagi dengan keadaan kandungannya. Tanah ladang mesti terus digarap agar lekas dipanen dan bisa untuk menghidupi anak-anak mereka.
Anna tetap kerja dan kerja, hingga pada suatu siang yang mendung ia melahirkan dua anak kembar, sendirian tanpa bantuan sesiapa, di ladang, di atas tumpukan jerami, di sebuah gerobak. Biarpun sehabis melahirkan, Anna sadar ia tak boleh lama-lama bermanja. Suaminya tak boleh meladang sendiri. “Kemudian, seolah-olah tiada sesuatu yang terjadi, ia mengikatkan sabuk pada pinggangnya, lalu pergi mendapatkan suaminya, untuk bekerja,” tekad Anna. Lewat cerpen ini Sahia menyurungkan personifikasi tokoh yang memiliki semangat hidup tinggi. Namun, di sisi lain ia juga menderita tersebab sistem feodal yang memberatkan hidupnya. Tanah yang ia garap sedemikian sempit luasnya sedangkan jumlah keluarganya begitu banyak.
Sahia tegas menjadikan cerpen-cerpennya terkhusus menyorot keadaan masyarakat yang dirugikan oleh sistem yang menindas. Sistem semacam itu bisa terjadi kepada siapa pun, baik kepada petani maupun para pekerja. Cerpen Pemberontakan di Pelabuhan, misalnya, mengambil satu topik perihal pelarangan bagi para pekerja untuk mengambil izin untuk menghadiri upacara kematian seorang rekan sesama pekerja yang meninggal dunia. Mereka yang tergabung dalam serikat pekerja lantas
MEMBACA SAHIA, MENENGOK KEMBALI REALISME SOSIALIS
bereaksi melawan kebijakan tersebut. Mereka ngotot menghadiri pemakaman meski beroleh tentangan dari polisi pengawal pabrik.
Cerpen ini eksplisit menyerukan semangat pergerakan buruh lewat organisasi. Tokoh kepala serikat pekerja unjuk badan sebagai penyeru agar para pekerja berani melawan kebijakan pabrik yang dianggapnya tak adil itu. Solidaritas adalah mazhab kaum pekerja. Para pekerja itu pun dengan lantangnya memprovokasi rekan-rekannya agar tetap kukuh dan berani melawan seandainya polisi datang membubarkan iring-iringan peti jenazah yang akan dikuburkan. Kata ketua serikat, “aku setuju dengan engkau bahwa hanya suatu gerakan pemberontakan dari kaum buruhlah yang dapat membela nasib proletariat.” Perkataan ini terucap dari bibir ketua serikat pekerja namun pembaca boleh menduga inilah suara pengarang yang ‘masuk’ ke dalam cerita.
Gairah perlawanan kepada pemilik pabrik yang tak adil menemukan puncaknya dalam cerpen Pabrik yang Bernyawa. Bozan adalah pekerja yang sial. Ia mengalami kecelakaan saat bekerja. Akibatnya, sebelah kakinya terluka parah hingga mesti diamputasi. Beberapa bulan lamanya Bozan mesti melewatkan hari-hari di rumah sakit sampai kesehatannya benar-benar membaik. Ia pun kini cacat, dan kekhawatiran segera menyergap. Satu-satunya harapan agar Bozan masih berpeluang bekerja kembali ialah kaki palsu. Ia pun menaruh harap agar pemilik pabrik turut bertanggungjawab dengan memberinya kaki palsu agar ia bisa kembali bekerja.
Sayang seribu sayang, pabrik tak memberikan kompensasi 23
24
WIDYANUARI EKO PUTRA
apa pun terkait kecelakaan itu. Undang-undang perlindungan pekerja hanya tipu-tipu. Bozan tak pernah diberi kaki palsu dan itu artinya ia tak lagi diberi kesempatan untuk bekerja kembali. Masa suram segera menghadang hidup Bozan. Nasib buruk Bozan pun dengan cepat menyebar seperti kilat. Solidaritas di antara mereka menyulut reaksi. “Cara satu-satunya untuk menyelamatkannya adalah dengan mengadakan pemogokan. Majikan kita harus mengerti dengan sebaik-baiknya bahwa tenaga lengan kita mengatasi tenaga sekalian motor yang ada. Kita adalah pabrik yang sebenarnya, kitalah pabrik yang bernyawa,” begitulah para pekerja berseru. Pemogokan terjadi meski tak mengubah nasib Bozan.
Membaca cerpen-cerpen Sahia pada akhirnya adalah membaca rentetan propaganda perlawanan terhadap segala sistem yang bisa merugikan kaum lemah. Terutama sekali kaum pekerja dan petani penggarap. Sahia membabar satu lanskap kondisi sosial masyarakat yang tengah berlangsung di Rumania, tahun 1930an. Kerangka realisme sosialis yang Sahia terapkan di cerpen-cerpennya mulus menunaikan misinya. Ada semangat perlawanan yang hendak disuntikkan kepada tokoh-tokoh rekaannya agar sampai ke pembaca. Ada pesan-pesan agar pembaca berani menghadapi pelbagai sistem yang berpotensi merugikan. Bersamaan dengan itu, pembaca juga diberikan satu gambaran persoalan-persoalan yang hadir dalam suatu masyarakat yang menyenderkan hidupnya pada industri dan pertanian.
Sebagai teks yang dimaksudkan sebagai representasi ideologis atas sikap pengarangnya, apalagi dibarengi konteks yang
MEMBACA SAHIA, MENENGOK KEMBALI REALISME SOSIALIS
sebegitu jelas dan terukur, Sahia tentu pantas dikatakan berhasil. Ia telah menulis karya sastra berhaluan realisme sosialis yang sedemikian jitu. Pertanyaannya kemudian ialah, sejauh mana buku cerita yang ditulis pada tahun 1930an dan memuat sebegitu kental misi ideologis ini menarik minat pembaca muda atau penulis muda yang barangkali tak lagi ambil pusing persoalan benturan antara komunisme dan kapitalisme? Selain misi penerbit yang ingin mendokumentasikan “tulisan-tulisan lama keluarga Toer”, sanggupkah terjemahan karya Sahia dan sejenisnya bisa hadir sebagai teks yang mempersilakan dirinya dicomot ilmu dan keterampilan teknik penceritaannya? Apa pula relevansi membaca teks realisme sosialis dengan kondisi kesusastraan Indonesia kita hari ini?
Secara teknis, cerpen-cerpen Sahia telah berhenti pada satu bentuk ajek yaitu realisme yang sudah selesai. Artinya, teknik bercerita semacam itu sudah begitu banyak ditinggalkan oleh mereka para penulis muda yang kini tengah menekuni menulis prosa. Saya ambil misal, satu hal yang kerap menjadi sorotan ialah cara pengarang di masa lalu membuka tulisan-tulisannya. Di buku ini, Sahia menyorot latar tempat dan suasana sebagai pembuka cerita. Pantau saja: Bulan Juni matahari sedang membakar, dan di sana-sini rumput sudah mulai melayu (Hujan Juni); Di sisi pangkalan kapal-kapal mengaum dan mengerang penuh putus asa diberati oleh muatan (Pemberontakan di Pelabuhan); Di atas tanah di atas batu-batu, di atas ternak dan manusia, panas musim kering yang membakar itu dengan sengitnya menyebar seperti gas beracun (Pabrik yang Bernyawa); Lapisan-lapisan sal25
26
WIDYANUARI EKO PUTRA
ju telah jatuh ke atas atap-atap barak (Matinya Seorang Rekrut). Ini yang saya maksud ajek sebagai khas “realisme yang sudah selesai”—tak ada lagi kejutan.
Lantas, apakah dengan demikian tak ada lagi prosais yang menulis dengan pola realisme? Oh, tentu saja masih ada, dan sangat banyak. Tetapi mereka tak lagi sesederhana seperti yang Sahia dan penulis realis sosialisme sezamannya lakukan. Pengarang sekarang lebih terampil dan sadar betapa teks-teks mereka akan sebegitu ketat bersaing. Apalagi di zaman digital yang memungkinkan pelbagai jenis teks bisa kita baca hanya melalui telepon genggam. Dan yang utama dari semua itu ialah pembaca dan penulis muda Indonesia hari ini punya gairah pada bacaan atau teks-teks yang memiliki semangat dan mencoba keluar dari ‘perangkap’ bentuk dan konsep lama. Imbasnya tentu mereka cenderung memberi perhatian pada teks-teks yang secara bentuk dan isi melakukan terobosan-terobosan. Kemenangan novel Kiat Sukses Hancur Lebur karya kritikus Martin Suryajaya sebagai novel terbaik pilihan Tempo 2016 adalah membukti itu. Masyarakat (pembaca) sastra di Indonesia pada kenyataannya begitu terbuka pada teks-teks dengan komposisi dan bentuk yang berani melakukan lompatan alih-laih terobosan.
Namun, ada satu hal yang agaknya tetap akan menjadikan terjemahan teks-teks sastra berhaluan realisme sosialis mesti terus diterbitkan. Ini semata demi menghadirkan sastra Indonesia menjadi lebih ‘adil’ dan egaliter. Kita tahu, Tragedi 1965 telah berdosa memotong habis satu generasi intelektual Indonesia. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh telah melaku-
MEMBACA SAHIA, MENENGOK KEMBALI REALISME SOSIALIS
kan kudeta pada akhirnya dilenyapkan oleh militer dengan cara paling tidak manusiawi. Banyak intelektual kita yang mati terbunuh. Bahkan setelah tragedi ini berlalu, masih banyak karya dari tokoh-tokoh yang dianggap dekat dengan PKI diberangus dan dilarang terbit dan beredar. Segala yang dianggap buku “kiri” tak boleh ambil bagian dalam kesusastraan Indonesia. Dampak buruknya ialah estetika dan selera kesusastraan Indonesia selama 32 tahun era Presiden Soeharto berkuasa menjadi berat sebelah. Cerita yang berhubungan dengan perlawanan masyarakat selalu dianggap kelas dua dan terlarang. Nah, pada konteks semacam inilah penerbitan buku karya Sahia (realisme sosialis) menempati posisi kuatnya. Mereka harus mendapat tempat dalam peredaran sastra Indonesia mutakhir.[]
Widyanuari Eko Putra, penggiat Kelab Buku Semarang. 27