2 minute read

Sekapur Sirih

KAU TAHU, bahwa apa-apa yang kau bawa ketika lahir memberikan kemungkinan terhadap hal-hal yang dalam kehidupan sehari-hari tak mungkin terjadi. Kau menjadi bagian dari dirimu jauh sebelum kau memberi janji. Mengira-ngira dan menyepakati tanggal kematian dengan masa depan. Dan aku, akan menyapu helai-helai rambutmu seperti menyisir riak di kepala sungai sambil menghitung seberapa panjang lagi harus bertahan atau merontokkan diri.

Melalui ucapan hamdalah dan atas kehendak-Nya kami dapat menghadirkan buletin Beranda Sastra Edukasi (BSE); Suburkan Taman Jiwa Edisi XXI dengan penuh rasa bahagia kepada pembaca. Pada penerbitan kali ini redaksi mengusung tema “Perempuan Buana Sastra”.

Advertisement

Sastra selalu menyediakan ruang terbuka pada setiap objek 5

6

yang diperbincangkan. Salah satu objek yang tak pernah habis menjadi sajian adalah perempuan. Keberadaan perempuan sebagai menu hidangan yang tak pernah basi memiliki kedudukan tersendiri dalam banyak karya sastra. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, roman Siti Nurbaya milik Marah Rusli yang terbit pada 1922 merupakan novel pertama yang membuka cakrawala mengenai dunia perempuan. Selanjutnya disusul dengan novel Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), Merantau ke Deli (Hamka, 1939), dan Belenggu (Armijn Pane, 1940). Karya sastra pada masa ini menggambarkan bagaimana citra perempuan dalam teks-teks yang ditulis oleh laki-laki, dan bagaimana konstruksi sosial turut membentuk citra tersebut.

Perempuan dan citra stereotip yang melingkupinya secara tidak langsung memberikan ciri khas bagi perspektif feminis. Pada generasi sastra 2000-an, banyak muncul pengarang wanita yang dengan tajam dan bebas berani menampilkan nuansa-nuansa erotik. Hal-hal yang sensual bahkan seksual yang selama ini tabu untuk diperbincangkan dikemas secara apik. Sebut saja Ayu Utami, perempuan sebagai tokoh yang reaktif dan emosional dikupas dengan intim pada Saman dan Larung. Lalu Djenar Maesa Ayu melalui Mereka Bilang Saya Monyet menggambarkan bagaimana perempuan seringkali menjadi bahan eksploitasi pria.

Para penulis perempuan ini memunculkan perspektif feminis, tapi tidak ditujukan untuk berbicara mengenai moral namun lebih berpijak pada penyuaraan terhadap perempuan. Pemberian ruang untuk mengutarakan keinginan dan kebutuhan sehingga ia mampu menjadi subyek dalam kehidupannya. Berbeda den-

gan teks yang ditulis oleh laki-laki, mereka–seringnya dan hampir selalu–menempatkan perempuan di bawah kaumnya. Mereka cenderung menulis dengan perspektif laki-laki, dan itu membuat mereka melihat masalah perempuan dengan sikap superioritas. Karena itu teks sastra yang ditulis laki-laki dan perempuan akan memiliki perbedaan yang kentara. Para penulis perempuan beranggapan kalau laki-laki tidak dapat mewakili perempuan karena laki-laki bukan perempuan. Hanya perempuan yang paham dunia macam apa yang ada dalam pikiran dan diinginkannya.

Melalui sepenggal pemaparan di atas, BSE berupaya menyuguhkan wacana mengenai bagaimana sastra mengulik perempuan dengan harapan terjadi pertemuan ide dan paham dari redaksi kepada pembaca. Selain esai dan ulasan sastra yang sudah tercuplik pada pembahasan di atas, pula kami hadirkan beberapa cerpen, puisi, serta resensi. Semoga karya-karya yang tersaji mampu menghibur dan menggenapi ketiadaan yang lengang. Sebab begitu banyak ruang kosong di kota ini, seperti juga kepala yang harus diisi. Selamat membaca. Jaya kesusastraan Indonesia. [] 7

Esai

This article is from: