4 minute read

Di Halte Bus

Agung Prayoga

DARI UJUNG JALAN, tepat di arah barat, Fatso muncul dari tikungan. Kepalanya menunduk seolah ada seseorang yang mendudukinya. Anehnya, langkah kakinya mantap menuju halte bus. Ketika itu pula, aku sedang berdiri di ujung halte, bersandar pada penyangga paling barat, dan bus yang baru saja lewat tidak berhenti untukku.

Advertisement

Di barat, awan-awan menggantung menutupi matahari sore yang siap tenggelam. Halte bus yang sedari tadi aku bersandar padanya, mendapat seseorang lagi untuk dinaungi. Aku masih jengkel terhadap bus yang baru saja lewat. Mungkin sang supir tak melihatku. Tapi ia melewati genangan air yang ada tepat di depanku. Celana panjang dan sepatu hitam mengilatku basah. Setelan bagusku jadi tak bagus lagi. Aku tak ingin menunggu sampai hujan kedua agar bisa pulang. Hujan pertama yang baru 45

46

AGUNG PRAYOGA

saja usai sudah cukup untuk menunda kepulangan.

Aku tak tahu harus bagaimana kepada Fatso. Setelah sampai di halte, ia duduk di ujung timur halte. Kepalanya yang berat ia sandarkan pada dinding halte. Sebuah iklan perusahaan asuransi tersemat di sana. Di sana tertulis: untuk kehidupan yang lebih baik. Kalau saja gereja di seberang halte ini punya kuasa meruntuhkan, iklan itu tak akan ada. Fatso duduk persis seperti orang yang sedang duduk di kursi santai. Semua orang tahu bagaimana bentuk halte, dan tempat duduknya tak nyaman untuk duduk santai semacam itu. Ia kelelahan. Dari matanya, aku tahu ia telah mendapat hujan pertama tadi.

Aku tak tahu harus bagaimana kepada Fatso. Orang yang lelah mungkin tidak suka diajak bicara. Ia lebih suka beristirahat. Dengan posisi persis seperti apa yang ia lakukan, namun ditambah secangkir teh hangat. Jika bisa, aku ingin sekali mengatakan padanya agar pergi saja ke aula utama gereja dan duduk di sana. Mungkin pastor akan menawarinya secangkir teh hangat sembari mengobrol tentang betapa bahagianya hidup jika dekat dengan sang kuasa. Bahkan ia bisa berbaring. Aku tak punya secangkir teh bahkan sebotol air. Jika mau, ia bisa mendapat genangan air yang ada di depanku. Namun orang lelah rentan emosinya. Fatso bisa saja mengajakku berkelahi jika aku tawarkan genangan itu. Kami saling diam satu sama lain.

“Mengapa kau lelah?”

“Aku baru saja bekerja seharian. Suatu hal yang biasa.”

Kepalanya menoleh, matanya bersitatap dengan mataku. “Setelan jasmu bagus. Kau dapat dari mana?”

DI HALTE BUS

“Keluargaku memberikannya padaku untuk sebuah acara. Sebuah acara yang hanya ada sekali untuk seumur hidupku.”

“Sekali?”

“Ya. Sepertinya kau juga akan mengatakan hal yang sama jika aku balik bertanya padamu.”

“Mungkin saja. Setelanmu sama dengan milikku. Tapi tidak dengan dasimu.”

“Benar. Mengingat kita dari keluarga yang berbeda. Aku tak beranggapan kita akan memiliki dasi yang sama.”

“Apa kau berharap memiliki setelan yang sama denganku?”

“Entahlah. Mungkin tidak. Kepalaku sakit jika digunakan untuk mengingat-ingat. Istrimu yang memberikan dasi itu?”

“Ya. Dia memberikannya ketika aku pertama kali masuk kerja. Ia tak memiliki selera bagus soal dasi. Kau bisa lihat bukan? Berwarna hitam persis seperti setelan kita.”

“Hitam? Oh, tentu.”

“Lalu bagaimana dengan milikmu? Istrimu yang memberikannya?”

“Seorang teman memberikannya untukku. Aku tak punya istri. Dia seorang teman yang baik. Namun sesuatu yang buruk terjadi hingga kami bertengkar. Setidaknya itu yang aku ingat.”

“Apa yang terjadi?”

Awan-awan masih menggantung menutupi matahari yang hampir tenggelam. Dari barat, sebuah bus mendekat ke halte. Lonceng gereja berdentang tiga kali. Percakapan imajiner itu sirna dan aku tersadar. Lagi-lagi bus lewat dan tidak berhenti untukku. Aku berpikir mengapa ketika pagi tadi aku tak men47

48

AGUNG PRAYOGA

gendarai mobil milikku atau naik taksi. Sepertinya keluar dari jam kerja duabelas jam sehari bukanlah sesuatu yang mungkin. Sama halnya dengan bersantai sejenak sebelum pergi bekerja sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan menyenangkan dalam duabelas jam ke depan. Dan aku berpikir untuk pergi ke aula dan mengobrol dengan pastor bersama teh hangat di sana.

Aku pergi ke sana. Memasuki pintu yang besar dan lebar, lalu berhadapan dengan deretan-deretan bangku panjang. Lilin-lilin yang aku bayangkan menyala di dinding-dinding bergaya pertengahan ini digantikan lampu-lampu yang lebih murah dan efisien. Di paling depan sebuah jendela besar berlukiskan mozaik seorang wanita menggendong seorang bayi laki-laki. Ini adalah tipikal gereja yang biasanya, pikirku.

Seorang berjubah panjang menyambutku, dua gelas teh hangat di atas nampan, segelas ia angsurkan padaku yang telah duduk di bangku paling depan. “Ingin tambah gula?”

Peliturannya terlihat baru di mataku. Aku baru tersadar ada sebuah lampu gantung di tengah atas ruang. Langit-langit gereja yang abu-abu cocok dengannya. Ketika aku selesai mengamati untuk kesekian kali, ia berkata lagi: “Lampu gantung itu baru saja dipasang beberapa bulan lalu.”

Aku meneguk tehku. Terasa sepat. Aku lupa kapan terakhir kali berkunjung ke gereja. Ketika aku bercerita soal kunjungan terakhirku, ia mulai bicara panjang lebar, berceramah soalan yang aku tahu. Ketaatan, dosa, surga, neraka, apa saja. “Sekarang, orang lebih suka membahayakan hidupnya,” ia menyeruput teh. “Kau ingin dengar sebuah cerita?”

DI HALTE BUS

Lalu ia bercerita panjang lebar tanpa persetujuanku. Aku tak betul-betul mendengar karena aku tak peduli. Namun ia bicara soal gerejanya yang setiap minggu, tak lebih dari dua baris kursi yang terisi penuh. Ia mengeluhkan soal derma yang juga menurun. Aku meminta gula untuk tehku.

“Apa kau ingin sedikit berderma?”

Ia beranjak dan mengambil sebuah kotak. “Kau boleh mengisi berapapun. Semakin besar, semakin baik.”

“Aku akan mengisi seratus jika kau membuatkanku secangkir kopi yang enak.” Ketika ia pergi untuk membuatnya, aku pergi untuk mencegat bis terakhir. Aku tak lupa menghabiskan teh sepat itu.

Ketika aku selesai dengan pikiranku, ternyata Fatso sudah tak ada. Hari sudah gelap. Sialnya, hujan kedua sedang turun. Gereja terlihat terang di malam hari. Aku berpikir untuk menginap.

“Sejak pertama kali kau berkunjung, kau selalu bercerita soal halte bus. Kau punya kenangan dengannya.”

“Entah,” jawabku. “Kursi panjang ini membuatku gugup.” 49

Resensi

This article is from: