4 minute read

Kisah Para Wanita dalam Sastra yang Sendu

Next Article
Sekapur Sirih

Sekapur Sirih

Aziz Afifi

“GABO BERSANDAR PADA URSULA,” suatu hari Arman Dhani memujinya dalam buku Twitwar Ke Twitwar. Memang dalam Seratus Tahun Kesunyian, Gabo—nama lain penulis Gabriel Garcia Marquez—bersandar pada wanita yang berumur panjang. Dari umur yang panjang itulah Gabo mencoba bercerita tentang kesunyian Amerika Latin. Cerita lain, Gabo seolah tak ingin lari dari kaum perempuan. Melalui cerita Para Pelacurku yang Sendu Gabo bercerita hal serupa, yakni potret Amerika Latin melalui cerita seorang kakek tua yang jatuh cinta pada pelacur saat ulang tahunnya kesembilan puluh. Tapi lagi-lagi Gabo bersandar pada para wanita untuk mengungkapkan semua.

Advertisement

Seperti halnya sesuatu yang unik, kakek tua tokoh rekaan Gabo menemui beberapa penghuni rumah bordil itu berbicara 11

12

AZIZ AFIFI

perihal skandal orang-orang pemerintahan yang berkunjung ke sana. Mereka berbicara perihal pemerintahan yang busuk.

Hal serupa juga dilakukan oleh penulis Memoirs of A Geisha, skandal pangeran kerajaan Jepang terlintas begitu saja dalam narasi si penulis. Narasi yang ada hanya mendapat porsi kecil, mungkin bisa dibilang hanya cuap-cuap. Kedua karya tersebut memang tidak ingin berbicara tentang pemerintahan lewat persenggamaan.

Melompat ke negara sendiri. Ahmad Tohari dalam Bekisar Merah menulis hal serupa. Topik dengan porsi kecil ala Gabo dan Arthur Golden mendapat sorotan lebih banyak. Seperti menghidupkan cerita oral tentang gadis desa terjebak dalam lingkaran prostitusi kemudian dinikahi oleh pejabat sebagai istri kedua. Lewat itulah Tohari berkisah tentang keburukan pemerintah. Apa yang membuat orang buka mulut selain uang dan persenggamaan? Begitu pula cerita ini, pejabat rekaan Tohari sering melantur terkait pemerintah saat melakukannya bersama sang istri muda. Mulai dari lobi politik sampai rencana penggelapan uang negara. Semua dituturkan oleh Tohari melalui sang istri.

Karya lain dari Indonesia yang mewakili adalah Saman karya Ayu Utami. Ayu Utami lebih vokal dalam hal selangkangan. Ia mencoba bercerita soal perkebunan kelapa sawit dan zaman orba melalui narasi ekploitasi tubuh wanita.

Apa yang dilakukan para penulis ini, setidaknya tewakili oleh Cep Subkan dalam epilog salah satu cerpen Puthut EA berjudul Perempuan Tanpa Nama. “Tidaklah ini menyaran pada

KISAH PARA WANITA DALAM SASTRA YANG SENDU

perbedaan pemahaman yang seringkali terjadi antara merekayang-di-atas dengan mereka-yang-di-bawah,” katanya dalam memaparkan hubungan antara narasi pelacur dengan kekuasaan yang ditulis Puthut EA. Pelacur—yang biasanya dianggap sampah dalam masyarakat—berfungsi sebagai alat komunikasi dan pembongkar hipokrisi dalam tatanan kekuasaan.

Atas Nama Tubuh

Melalui tubuh wanita, pandangan sastra dunia ketiga membangun dirinya. Tubuh wanita seolah merupakan komoditas yang terus diproduksi ulang. Tubuh yang dipaparkan beberapa novel tampak terbentur oleh konstruksi patriarki dan faktor ekonomi. Bagaikan gula yang menarik semut, keduanya adalah tema yang empuk untuk digasak oleh para pengarang yang pada akhirnya bermuara pada kritik akan kemunafikan kekuasaan. Namun bukan masalah tema yang empuk, bisa saja tema itu terus bergulir dalam masyarakat kita.

Dalam beberapa novel, konstruksi patriarki membawa wanita harus merumuskan kembali apa makna kecantikan dan apa yang harus dilakukan olehnya. Karena dalam sisi patriarki kecantikan selalu berada dalam sudut pandang lelaki. Fungsi sastra “sebagai institusi” sosial menurut Rene Wellek dan Austin Warren dalam Teori Kesusastraan mampu menyajikan sebagian besar kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini berupa rumusan kecantikan dari sudut pandang laki-laki.

Karya Han Kang, Vegetarian menunjukkan kontruksi tersebut. “Aku menikahi dia karena dia tampak tak memiliki daya pesona atau kekurangan khusus,” begitulah ucapan sang 13

14

AZIZ AFIFI

suami dari tokoh utama. Selain ingin menunjukkan ironi dan rumusan kembali kecantikan di lingkungan Korea Selatan, Han Kang seolah ingin menunjukkan bahwa konstruksi kecantikan selalu dalam sudut para lelaki.

Konstruksi kecantikan semacam ini dipengaruhi oleh ekonomi-politik. Kecantikan di dunia kapitalis merupakan komoditas yang terus dipamerkan. Tubuh sebagai pameran bisa dilihat bagaimana produksi dalam beberapa media, mulai dari televisi, reklame, dan lain sebagainya. Semua menjual eksotisme tubuh.

Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Sadawi secara jelas menerangkan itu. Bagaimana wanita selalu dihadapkan pada penjualan dan ekploitasi tubuh. Perempuan Mesir bernama Firdaus harus menanggung hidup berpindah-pindah untuk bertahan hidup. Ironisnya, latar belakang yang dilekatkan kepada Firdaus adalah kemiskinan. Seolah Nawal ingin mengamini bagaimana sebuah kemiskinan menjadi penjara bagi kaum wanita. Hingga akhirnya pembaca mengetahui, tokoh yang diceritakan oleh Nawal adalah kisah nyata dan tragedi dalam masyarakat Mesir.

Kemiskinan juga menjerat pada kisahnya Gabo. Tokoh dalam cerita Para Pelacurku yang Sendu menempatkan Degaldina selain menjadi pelacur juga bekerja sebagai penata kancing di siang hari untuk memenuhi kebutuhannya. Sisi mengenaskan ditambahkan oleh Gabo pada tokoh pelacurnya adalah seorang imigran. Melalui kelemahan itu perempuan dituntut menjadi seorang yang pasrah akan keadaan. Hingga akhirnya kita memperoleh bahwa tubuh para wanita dipoles dan disajikan se-”ideal”

KISAH PARA WANITA DALAM SASTRA YANG SENDU

mungkin melalui konstruksi lelaki dalam kepasrahan.

Melalui inilah, tubuh wanita menjalin relasi dengan kekuasaan. Gabriella Beni Benedicta mengutip perkataan Foucault bahwa wacana seksualitas tidak mungkin terlepas dari wacana kekuasaan dan pengetahuan. Tidak lain tujuan dari itu semua semata-mata melanggengkan wacana patriarki yang ada. Sehingga kita menemukan pengawasan-pengawasan yang ketat akan setiap individu. Hingga akhirnya kepasrahan bagi wanita dalam dunia patriarki benar-benar terjadi.

Namun dalam relasi kekuasaan bukan berarti wanita dalam karya sastra selalu tampak sendu. Sebaliknya, karya sastra selalu ingin menampilkan kisah wanita bebas dan merdeka dalam dunia patriarki ini. Dalam kajian Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan karya Gabriella Beni Benedicta terdapat konsep pula otonomi tubuh. Melalui itulah wanita dapat menjadi bebas dan merdeka.

Seorang dikatakan mempunyai otonomi tubuh jika ia mendapat kontrol akan tubuhnya. Narasi yang membuktikan ini adalah sikap Degaldina yang diam saja saat melakukan persetubuhan atau pilihan Firdaus menjadi pelacur untuk merdeka. Sehingga keduanya mempunyai peran dalam lingkar kekuasaan serta sistem yang menindas mereka. Selain itu pula wanita dalam karya sastra menjadi pembongkar hipokrisi sebuah tetanan negara dan masyarakat yang ada. [] 15

This article is from: