SARGA
Volume XVII Edisi II Bulan Nopember Tahun 2010
Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang
Pola Tata Ruang Desa Adat di Bali ~
Fakultas Teknik UNTAG Semarang
Ir. Anwar, MT.
Bentuk “Atap Rumah� Pada Seni Bangunan Jawa~ Ir. Budi Adi Slamet.
Penerbit : Lembaga Penerbitan Fakultas Teknik UNTAG SEMARANG
Eksotika Arsitektur Vernakuler Cina Lasem ~ Ir. Djoko Dharmawan, M.T.
Penataan Tata Ruang Wilayah Pesisir ~ Ir. Soemarwanto, MT. Memadukan Potensi Kota dan Sejarah Pada Malaka World Herritage ~
Ir. Eko Nursanty, MT.
ISSN : 0853-4748
Proses Perencanaan Desain Taman Kota dan Ruang Publik ~ Ir. Loekman Mohammadi, M.Sc. Pengaruh Rejim Aliran Terhadap Model Koefisien Pindah Massa Pada Proses Ekstraksi Cair-cair dalam Kolom Isian ~ Dr. Ir. Priyono Kusumo, MT.
Rekayasa Proses Pengering Endless Chain Vacuum (ECV) Sebagai Alternatif Peningkatan Senyawa Polifenol Pada Produksi The Hijau Berkatekin Tinggi ~ Ir. Mega Kasmiyatun, MT Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Sumber Energi Alternatif BioEtanol Menggunkana Zeolit Sebagai Molecular Sieve ~ Ir. Retno Ambarwati SL,MT., Santa Monica, Yanastri Putri.D
Foto by, Tim KKL Porsibeta. Lokasi : Forbidden City - BeiJing i
MAJALAH ILMIAH TEKNIK – VOLUME XVII - EDISI 2 - BULAN NOPEMBER 2010
SARGA merupakan Jurnal Teknik yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang, sebagai media publikasi ilmiah. Sajian tulisan dalam Jurnal Teknik ini dimaksudkan agar komunikasi antar pakar ataupun insane akademik selalu terjadi dan terakomodasi, sehingga akan terwujud perkembangan IPTEK sesuai dengan tuntutan pembangunan. Ketentuan penulisan naskah;
1. Tulisan merupakan naskah asli dan belum pernah dimuat atau diterbitkan pada media lain, 2. Naskah ditulis dengan tata bahasa ilmiah menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris, 3. Naskah diketik rapi 1,5 spasi dengan model huruf “Times New Roman 12” atau “Arial 11”, 4. Jumlah halaman naskah minimal 15 halaman termasuk INTISARI atau ABSTRAK sekitar 200 kata, 5. Naskah dilengkapi dengan biodata penulis, yang memuat nama, tempat dan tanggal lahir, pendidikan tertinggi (S1, S2, dan S3) serta pengalaman pekerjaan,
6. Redaksi berhak untuk menolak atau tidak menebitkan naskah yang kurang memenuhi persyaratan sebagai tulisan ilmiah,
7. Redaksi dapat menyesuaikan, mengedit penggunaan istilah atau bahasa sepanjang tidak mengubah isi maupun pengertiannya tanpa memberitahu penulis. Redaksi akan menghubungi penulis jika dipandang perlu mengubah isi naskah.
Redaksi: Pelindung: Dekan Fakultas Teknik UNTAG Semarang; Pembina: Prof.DR. Sarsintorini, SH. Mhum: Penanggungjawab: Pembantu Dekan I FT UNTAG Semarang; Pemimpin Umum: Ir. St. Muryanto, MEng.Sc.Ph.D. Dewan Redaksi: Ir. FM.Roemiyanto.MS; Ir. Darwati, MSi; Ir. Loekman Mohamadi. MSc, Eko Nursanty. ST. MT. Distributor: Novi Hendriyanto, Supardi,SH A l a m a t : Fakultas teknik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang Jl. Pawiyatan Luhur, Bendan Duwur, Telp: 024-8320920 Fax: 024-8310939 Semarang.
Dari Redaksi Pembangunan
IPTEK
diarahkan
agar
pemanfaatan,
pengembangan
dan
penguasaannya dapat mempercepat peningkatan kecerdasan dan kemampuan bangsa, mempercepat proses pembaharuan, meningkatkan kualitas, harkat dan martabat bangsa serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengembangan dan penerapan IPTEK harus didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas melalui pendidikan dan pelatihan, penataan sistim kelembagaan serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Majalah Ilmiah “SARGA” merupakan salah satu sarana yang disediakan bagi para sivitas akademika Fakultas Teknik UNTAG Semarang dalam upaya mengembangkan IPTEK, sehingga Kampus sebagai wahana kehidupan masyarakat ilmiah akan selalu tercipta. Majalah Ilmiah ‘SARGA” terbit dengan menanmpilkan karya-karya ilmiah yang diangkat dari berbagai fenomena, sehingga materi yang disajikan pada terbitan kali ini cukup bermanfaat untuk dibaca dan dijadikan referensi. 1.
Ir. Anwar, MT, “Pola Tata Ruang Desa Adat Di Bali.”
2.
Ir. Budi Adi Slamet, “Bentuk “Atap Rumah “ Pada Seni Bangunan Jawa”
3.
Ir Djoko Darmawan, MT; “Eksotika Arsitektur Vernalular Cina Lasem”.
4.
Ir. Eko Nursanty, MT “Memadukan Potensi Kota Dan Sejarah Pada Malaka World Herritage”.
5.
Ir. Sumarwanto. MT. “Penataan Tata Ruang Wilayah Pesisir”.
6.
Ir. Loekman Mohamadi. MSc. ”Proses Perencanaan Desain Taman Kota Dan Ruang Publik”.
7.
Dr. Ir. Priyono Kusumo, MT. “Pengaruh Rejim Aliran Terhadap Model Koefisien Pindah Massa Pada Proses Ekstraksi Cair-cair dalam Kolom Isian”.
8.
Ir. Mega Kasmiyatun, MT, ”Rekayasa Proses Pengering Endless Chain Vacuum (ECV) Sebagai Alternatif Peningkatan Senyawa Polifenol Pada Produksi The Hijau Berkatekin Tinggi”.
9.
Ir. Retno Ambarwati SL, MT.*, Santa Monica**, dan Yanastri Putri**D, ”Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Sumber Energi Alternatif BioEtanol Menggunkana Zeolit Sebagai Molecular Sieve”.
i
Daftar Isi Dari Redaksi ............................................................................................................................................................... i POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI .......................................................................................... 1 BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA ..................................................... 10 EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM .............................................................. 18 MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE .. 26 PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR ............................................................................... 38 PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK ............................. 44 PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN............................................................. 67 REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI ................................................................................................................................ 81 PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE .. 99
ii
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI Disampaikan Oleh : Ir. Anwar, MT. ABSTRACT
Sejarah perkembangan peradaban manusia telah membuktikan bahwa sejak jaman dahulu manusia telah menyesuaikan diri terhadap alam lingkungannya , yaitu manusia hidup selaras dengan alam , termasuk didalamnya adalah aspek budaya dan tradisi. Bentuk penyesuaian diri berupa respons manusia yang membentuk perilaku yang kemudian membentuk budaya. Menurut Koentjoroningrat (1989:186) menyatakan bahwa wujud kebudayaan terbagi menjadi 3 yaitu berbentuk gagasan, perilaku dan wujud fisik / artefak. Salah satu artefak berupa kawasan permukiman / desa adat, dengan pola tata ruang yang memiliki konsep / filosofi yang berakar pada keyakinan masyarakatnya, sehingga hubungan manusia dengan alam benar benar telah menyatu . Kondisi demikian masih banyak dijumpai didaerah Bali , berupa kompleks permukiman tradisional yang sudah berdiri beberapa abad yang lalu, namun hingga saat ini masih digunakan untuk kehidupan bagi masyarakatnya dengan tanpa merubah pola maupun tata kehidupannya. Salah satu desa adat tersebut adalah desa bayung Gede yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Latar Belakang Sejarah
atau tidak mau bergabung dengan Majapahit yang pada saat itu menjajah tanah Bali. Sedangkan Bali dataran adalah masyarakat asli bali yang bergabung dengan majapahit pada masa pendudukan Majapahit di Bali saat itu, adat istiadat dan budaya yang ada bercampur dengan kebudayaan
Dalam istilah yang sangat umum, Desa di Bali atas 2 type, yaitu Baliage dan Bali Dataran. Kampung Baliage lokasinya didaerah pegunungan atau perbukitan, sedangkan Bali Dataran berada ditanah datar bagian selatan Bali.
jawa. Desa Bayung Gede merupakan salah satu dari type Baliage. Ciri fisik yang paling menonjol dari Baliage adalah ruang terbuka umum bersifat linear, menuju arah kaja kelod.
Jenis Baliage adalah yang paling tua dan kampung yang paling sedikit jumlahnya dibandingkan dengan kampung Bali Dataran. Baliage adalah masyarakat bali asli yang pada jaman dahulu adalah masyarakat pelarian
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
1
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Desa Bayung Gede berdiri sejak zaman pra sejarah, Asal mula desa Bayung Gede berasal dari kata Bayu atau Tenaga . Gede atau Besar. Kemudian dapat diartikan dese Bayung Gede yaitu Dengan kekuatan yang besar bisa merombak hutan. Pada mulanya lokasi desa Bayung Gede ini adalah hutan yang lebat. Kemudian orang orang asli dari
mana yang kaya mana yang miskin karena semua masyarakatnya semua besar wilayahnya merupakan hutan yang dimanfaatkan untuk perkebunan oleh sulit untuk membedakan status penduduk yang rata-rata sama. Jumlah pekarangan yang ada di desa ini mencapai 250 pekarangan rumah. Dalam hal kepemilikan tanah, untuk tanah desa di Bayung Gede tidak
pegunungan yang selanjutnya bersama sama menyusun kekuatan untuk merombak hutan menjadi sebuah perkampungan. Penduduk yang mendiami perkampungan ini kemudian sepakat menamai perkampungan ini menjadi sebuah desa yang dinamakan desa Bayung Gede.
boleh diperjualbelikan kecuali tanah milik yang rata-rata letaknya berada diluar desa baru boleh diperjualbelikan karena tanah pekarangan rumah merupakan milik desa. Pola Pekarangan Desa. Pola pemukiman Desa Bayung Gede terpusat pada poros jalan utama desa yang berada di tengah tengah desa, dimana fungsi jalan ini terlihat jelas sebagai pengikat dari lingkumgan desa. Jalan utama ini berpotongan dengan jalan raya menuju gunung Kintamani. Pada kiri kanan jalan utama terdapat loronglorong yang merupakan jalan lingkungan pemukiman yang sedikit melengkung. Pada sisi jalan ini terdapat pintu pintu masuk menuju halaman rumah penduduk. Orientasi utama lingkungan desa ini adalah puri Puseh dan balai desa yang terletak di kanan dan kiri
Desa Bayung Gede terletak sekitar 30 kilo meter dari kota Denpasar. Termasuk dalam kecamatan Kintamani, dan berkabupaten di Bangli. Bayung Gede termasuk salah satu desa dimana kondisi dan adat istiadatnya masih sangat kuat mempertahankan tata nilai tradisionalnya. Desa Bayung Gede merupakan satu komplek perumahan yang berdiri diatas tanah seluas 1034 ha. Pada mulanya desa ini sebagian kemudian setelah dirombak banyak masyarakatnya. Dalam perkembangannya Bayung Gede
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
2
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
jalan utama menuju perkampungan. Dan tempat ini pula yang menjadi pusat lingkungan seperti pada pusat desa. Dibeberapa bagian lain dari desa ini terdapat sarana seperti pada pusat desa namun tidak seramai
pusat desa. Di Balai Desa ini pun terdapat sebuah kantor kelurahan yang menjadi ternpat pelayanan kependudukan baai masyarakat Bayung Gede.
Gambar 1.: Site pembagian daerah Desa Adat Bayung Gede Sumber : Data KKL „07 Kepala desa Bayung Gede mempunyai sebutan Perbekel atau kepala dusun yang mempunyai tugas mengatur desa dengan peraturan adat yang berlaku pada desa tradisional di Bali.
Fungsi dari pusat lingkungan atau Bale Banjar desa Bayung Gede ini adalah : -
Wadah komunikasi masyarakat
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
3
bagi
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
-
Tempat pertemuan penduduk sekitar pendatang
tanah ini adalah tanah perkebunan jeruk, selain itu kuburan merupakan tanah milik Negara o Pembagian lahan di desa Bayung Gede berdasarkan pada Triangga yaitu falsafah agama Hindu tentang tiga tingkatan kehidupan. Sedangkan pembagianya adalah : 1. Swah loka lahan untuk bangunan pura
antara dengan
-
Sebagai pengikat seluruh warga dalam kehidupan sehari-hari maupun keagamaan. - Sebagai tempat untuk melak sanakan upacara adat yang dilaksanakan setiap 6 bulan sekali. Diatas tanah seluas 1024 ha dan berpenduduk kurang lebih 2000 jiwa ini, mempunyai sistem kepemilikan tanah yang dibedakan menjadi 4 bagian yaitu : o Tanah Labe Pure : yaitu tanah yang tidak dikenai pajak oleh pemerintah dan digunakan untuk bangunan Pure. o Tanah Ayuhan Desa : yaitu tanah yang tidak boleh dijual atau dibagi bagi, karena tanah ini diberikan oleh kelurahan kepada warganya yang sudah menikah. o Tanah milik : tanah milik pribadi warga yang boleh dijual, dan kebanyakan tanah ini terletak diluar wilayah desa. o Tanah Negara : adalah tanah milik Negara yang dipakai untuk
2. Bhur loka lahan untuk kuburan 3. Bwah loka lahan untuk massa atau pemukiman Sedangkan pembagian lahan menurut penggunaanya dibedakan menjadi 5 bagian sbb : a. Area untuk pura, b. 2.Area pemerintahan, c. Fasilitas umum, d. Pemukiman penduduk, e. Area pekuburan. Hal unik selain adat istiadat yang masih kental didesa Bayung Gede ini adalah adanya pekuburan ari-ari yaitu suatu kuburan tempat mengubur ari-ari tetapi hal yang istimewa disini adalah bahwa ari – ari tersebut tidak dikubur di tanah melainkan digantung di pepohonan yang sebelumnya ari- ari tersebut diletakan di tempurung kelapa.
penghijauan dan pengelolaanya dilakukan oleh warga. Kebanyakan
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
4
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
- Pura Pasek Gel - gel Digunakan untuk memperingati Catur Wangsit dan dapat digunakan untuk 4 kasta - Pura Penyimpanan Mempunyai ruang penerima yang Iuas dengan bangunan dikiri kanannya. - Pura Panti Kayu Selem
Gambar . 2 Kuburan Ari – ari Sumber : Data KKL „ 04 Tata Letak Bangunan
Dipakai nggung.
untuk
pacara
Usaba
- Pura Ibu Terdapat sebuah pura Ibu yang merupakan pura pribadi sesepuh desa ini.
Penataan tata letak bangunan desa Bayung Gede ternyata tidak sesuai dengan Nawasanga seperti pada konsep rumah adat di Bali. Perletakan bangunan terbagi dalam 5 bagian atau type bangunan yaitu : 1 . Bangunan Pura 2 . Bangunan Bale 3 . Bangunan Perumahan 4 . Bangunan Umum 5. Area Pekuburan 1.BANGUNAN PURA.
- Pura Tangkas Digunakan untuk upacara adat desa mengangkat kedewasaan anak. - Pura Puseh Pingit Digunakan untuk melakukan upacara pingit terhadap penduduk yang sedang menjalani masa pingitan.
- Pura Bale Agung Digunakan untuk memuja nenek moyang yang mendirikan desa tersebut.
- Pura Pelampuan Digunakan untuk upacara adat desa dalam melakukan persembahan bumi atas berkah yang diberikan kepada
- Pura Puseh Digunakan untuk upacara adat yang diadakan setiap 6 bulan sekali . Juga untuk memuja nenek moyang pendiri desa tersebut dan dewa Wisnu. Pura ini lebih ditinggikan dari kontur tanah sekitar dan mempunyai 9 tingkat meru.
masyarakat desa. - Pure Dalem Pura yang rumah.
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
5
ada
ditiap
tiap
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
- Sekolah 2.
BANGUNAN BALE.
Didesa Bayung Gede terdapat dua bangunan sekolahan yaitu SDN Bayung Gede dan SMUN 1 Kintamani. - Kantor Kelurahan Sebuah bangunan dengan model yang sederhana terletak di ujung desa atau
- Bale Desa Berorientasi kemuka dan membentuk atap limasan ini berfungsi sebagai tempat berkumpulnya warga desa bila sedang mengadakan rapat desa. Juga sebagai tempat menerima tamu dari luar desa untuk urusan
pintu masuk desa. Kepala desa atau lurah desa ini adalah I Wayan Polos.Bangunan ini merupakan pusat pemerintahan dan pelayanan terhadap masyarakat dalam pengurusan surat surat atau KTP. - Puskesmas Puskesmas merupakan tempat
pemerintahan. -
Bale Agung Fungsinya hampir sama dengan bale desa namun bale agung ini cenderung untuk kegiatan adat atau keagamaan. Juga sebagai tempat untuk upacara Sasih Nasa atau upacara penghormatan terhadap hasil pananen.
pelayanan kesehatan dari pemerintah bagi masyarakat desa. - Pemandian
3. BANGUNAN PERUMAHAN. Bangunan perumahan terletak memanjang kearah kangin kauh . Sepanjang lorong sempit ini terletak bangunan perumahan penduduk yang tertata berjajar rapi. Namun lorong jalan ini sedikit melengkung sehingga ujung yang satu dengan
Aliran air melalui pancuran yang terletak di belakang desa dan digunakan oleh masyarakat sekitar. Dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu untuk pria dan wanita. Bagi perumahan yang telah memiliki kamar mandi sendiri pemandian merupakan milik pribadi, biasanya bangunan ini
lainya tidak terlihat. Rumah yang satu dengan yang lain saling bertolak belakang menghadap lorong didepanya .Arah selatan desa lebih padat perumahannya. 4. BANGUNAN UMUM.
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
6
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
telah tersentuh oleh modernisasi. - Kantor BPD Bank Pemerintah Daerah terdapat didesa ini sebagai pelayanan perbankkan bagi masyarakat desa. - Toilet umum -
Hanya terdapat satu toilet umum yang letaknya ditengah tengah desa. Sebagai toilet bersama untuk semua warga.
masyarakat Bayung Gede yang meninggal secara wajar dan telah mencapai kedewasaan sampai yang berusia lanjut dan meninggal secara wajar dan keadaan yang sehat. - Setra Anak – anak Area pekuburan ini khusus bagi anak – anak yang meninggal pada saat usianya
5. AREA PEKUBURAN - Setra Pangerancap Yaitu area pekuburan bagi masyarakat desa yang meninggal secara tidak wajar. Seperti bunuh diri, kecelakaan, meninggal karena sakit dan
-
yang baru dilahirkan. Keistimewaan dari pekuburan ini adalah ari - ari ini tidak dikuburkan melainkan di bungkus dengan tempurung kelapa yang selanjutnya digantung pada dahan pohon Bukak. Setra Ari – ari Adalah area pekuburan bagi
kematian kematian penduduk yang bagi masyarakat sekitar adalah belum saatnya. Setra Ari - ari
masih anak anak. Bisa juga diartikan bahwa area pekuburan ini adalah area pekuburan bagi masyarakat Bayung Gede yang belum dewasa.
Adalah area pekuburan yang paling unik ,karena yang dikubur adalah Ari ari bayi
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
7
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
STRUKTUR BANGUNAN.
liat. Sedangkan bangunan yang telah tersentuh modernisasi menggunakan bahan dari batu bata atau papan kayu
Struktur pada umumnya terbagi atas tiga bagian, yaitu kepala ( atap ) , badan ( dinding ), dan kaki (pondasi dan lantai ).
-
1. BANGUNAN PURA. - Atap : Atap untuk bangunan pura dari bahan ijuk atau dari genteng dan daun kelapa yang dianam lalu di keringkan. - Dinding : Sedangkan untuk dinding menggunakan batu bata , namun hanya sedikit. Pemakaian batu bata lebih banyak untuk pagar karena bangunan pura kebanyakan adalah bangunan bukaan yang tidak memakai dinding. - Lantai : Bahan untuk lantai adalah batu alam atau batu kali demikian pula dengan pondasinya.
Kosali dan Aweg - aweg atau aturan setempat. POLA PERUMAHAN 1. SKALA Secara keseluruhan lingkungan pedesaan cenderung memiliki skala lingkungan yang kecil, intim dan menyesuaikan skala tiap-tiap penghuninya. Lorong-lorong yang sempit, kusen pintu yang rendah menegaskan kesan akrab antara manusia dengan tempat tinggalnya.
2. BANGUNAN PERUMAHAN. -
-
Lantai : Sedangkan untuk pondasi menggunakan bahan dari batu kali yang diikat dengan tanah liat. Lantai pada umumnya masih dari tanah, kecuali untuk bangunan bale lantai dari papan kayu. Bagi rumah modern menggunakan tegel atau keramik rumah berdasarkan konsep Kosale
Atap : Untuk atap perumahan memakai bahan dari ijuk dan bambu yang telah dikeringkan ataupun dari daun kelapa yang telah dikeringkan pula. Sementara untuk bangunan yang telah tersentuh modernisasi memakai genteng dan asbes sebagai atapnya.
2. PROPORSI. Antar bangunan yang satu dengan yang lain terdapat kesatuan yang tidak salaing menonjol, demikian pula dengan pemukiman dan bangunan pura. Bale dan bangunan umum terdapat kesatuan yang erat. 3. KESAN TAMPAK.
Dinding : Untuk dinding bagi rumah yang masih kuno menggunakan bahan dari bambu atau tembok dari tanah
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
8
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Penggunaan bahan bahan alami menunjukan keserasian bangunan dengan alam sekitarnya. Bentuk bentuk POLA PEKARANGAN. 1.PEMBAGIAN HALAMAN. Pembagian halaman dalam satu pekarangan rumah mempunyai nilai sendiri sendiri yaitu : a. Timur laut (pojok) Untuk pamerajan. Sanggah atau sekelompok tempat pemujaan bagi keluarga. b. Timur untuk bale kangin atau tempat persyratan bila ada yang meninggal disimpan terlebih dahulu dibale kangin hingga menunggu datangnya hari baik
bangunan pada umumnya sangat sederhana dengan bentuk dasar segi empat. c. Selatan untuk dapur atau tempat lain seperti gudang peralatan dsb. Dapur juga dipakai untuk upacara adat seperti melahirkan, pernikahan, dan upacara sebelum ngaben. d. Utara untuk bale dafe atau umah meten. Yaitu tempat untuk pemersatuan bila ada upacara adat. e. Barat untuk bale daun atau tempat interaksi sosial seperti menerima tamu tempat istirahat. f. Barat daya untuk bangunan bebas.
untuk upacara pemakaman selanjutnya.
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
9
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA Oleh: Ir. Budiadi Slamet ABSTRAKSI
Bentuk rumah dengan puncak yang rata atau datar banyak sekali macamnya. Misalnya : bentuk joglo, bentuk limasan, bentuk kampung, bentuk panggang pe dan lain-lainnya. Bentuk-bentuk atap yang didasarkan pada puncak yang lancip atau puncak yang rata juga menggambarkan dunianya orang Jawa. Disini yakni dunia batiniah dan dunia badaniah yang dilambangkan pada bentuk atap bangunan.Maka dari itu dengan melihat bentuk atap, kita bisa menyebutkan apa guna dari masing-masing bangunan tersebut.
Bentuk bangunan di tanah jawa, bila diteliti, jelas sekali bedanya antara bangunan yang termasuk Agung dan Suci dengan bangunan yang biasa di pakai untuk kebutuhan sehari-hari. Bagi bangunan yang termasuk Agung dan Suci bentuk atapnya mempunyai bentuk yang puncaknya lancip, disebut bentuk atap “ Tajug “. Sedangkan bangunan yang biasa untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya : rumah, gapura beratap, lumbung ( gudang padi ), kandang hewan dan sebagainya. Atapnya mempunyai bentuk puncak yang datar atau rata. Bentuk rumah dengan puncak yang rata atau datar banyak sekali macamnya. Misalnya : bentuk joglo,
Bentuk-bentuk atap yang didasarkan pada puncak yang lancip atau puncak yang rata juga menggambarkan dunianya orang Jawa. Disini yakni dunia batiniah dan dunia badaniah yang dilambangkan pada bentuk atap bangunan.Maka dari itu dengan melihat bentuk atap, kita bisa menyebutkan apa guna dari masingmasing bangunan tersebut.
bentuk limasan, bentuk kampung, bentuk panggang pe dan lain-lainnya.
siapa saja yang telah meninggal,
Bentuk “ T A J U G “. Bangunan dengan bentuk tajug mempunyai sifat yang khusus. Karena bangunan dengan bentuk tajug digunakan untuk bangunan yang kegiatan di dalamnya berhubungan dengan Yang Maha Agung dalam hal ini Tuhan. Atau
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
10
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
yang dianggap tokoh / pemimpin masyarakat. Oleh karena itu wujud dari bentuk bangunan diusahakan supaya dapat mempunyai sifat yang agung dan suci, demikian pula bahan bangunannya tidak boleh sembarangan. Bentuk atapnya menjulang keatas / seperti kerucut, dan tidak boleh digunakan untuk sembarang bangunan. Dan
juga tata rakitnya / tata letak harus sesuai. Banyak contoh yang bisa di ketengahkan di sini misalnya : bentuk atap dari masjid Demak, masjid Kudus dan masjid-masjid lainnya ataupun langgar. Demikian pula bentuk atap di makam Bung Karno dan Bung Hatta, tempat-tempat pemujaan di Bali. ( lihat gambar. 1. bentuk atap tajug ).
Kalau bentuk tajug di belah menjadi dua sama besar, maka perkembangan bentuknya berubah seperti
gapura yang disebut : “ Candi Bentar “. ( lihat gambar. 2. bentuk candi / gapura bentar ).
Dengan
sendirinya
tetapi dari batu atau dari batu
gapura ini pada umumnya tidak dibangun dari kayu, akan
bata. luar
Mengingat letaknya di dan tidak beratap
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
11
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
sehingga dicarikan bahan yang tahan cuaca. Di sini candi bentar mewujudkan tanda adanya kompleks bangunan suci yang ada di belakangnya.
dari bentuk atap tajug yang di belah dua sama besar, dan kemudian diantara ke dua belah diberi bentuk atap lain yaitu bentuk atap rumah kampung yang tidak begitu panjang. ( lihat gambar. 3. bentuk atap joglo ).
Bentuk “ J O G L O “. Bentuk atap joglo merupakan perkembangan
Sedang kemiringan atap rumah kampung harus sama dengan kemiringan atap bentuk tajug yang di belah dua sama besar. Dari gabungan antara bentuk tajug yang di belah dua sama besar dengan
Bentuk joglo ini kedudukannya di bawah bentuk tajug dan masih termasuk bentuk atap yang mempunyai sifat agung. Terbawa dari sifat yang agung itu maka bentuk joglo tidak
bentuk kampung di tengahnya, terbentuklah apa yang dinamakan atap joglo. Bentuk kampung disini adalah bentuk rumah yang kebanyakan dihuni oleh masyarakat ekonomi rendah.
bisa di terapkan pada sembarang bangunan. Oleh karena itu kebanyakan hanya untuk ruangan pendopo atau bangsal agung di keraton.
Bentuk “ L I M A S A N ”.
dari
Bentuk limasan ini merupakan perkembangan
bentuk atap kampung yang terletak diantara bentuk tajug
bentuk
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
12
joglo,
dimana
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
yang dibelah dua sama besar di perpanjang kurang lebih 3-4 kali dari panjang atap kampung pada bentuk joglo. Dari gabungan antara bentuk tajug yang dibelah dua sama besar dengan bentuk kampung yang puncaknya diperpanjang tadi akan terbentuk bangunan baru yang disebut bentuk bangunan limasan. Bangunan limasan ini tingginya tidak melebihi tinggi atap joglo. Bila melihat dari panjangnya puncak dari bentuk limasan, maka sifatyang suci dan agung
Bentuk atap limasan ini banyak ditemui / di jumpai di rumah-rumah jawa, gunaya untuk atap / ngayomi bagian dalam dari suatu rumah. Misalnya : ruang keluarga, kamar-kamar dan sebagainya. Atau lebih dikenal di masyarakat Jawa dengan istilah : ruang keluarga ( ndalem ), kamar-kamar yaitu : ada sentong kiwa, sentong tengah, sentong tengen. Dilihat dari bentuk, bangunan limasan ini merupakan bangunan yang lebih mahal dari bentuk kampung. Juga bentuk atap
sudah banyak berkurang. Bahkan yang timbul mempunyai sifat yang ayom dan ayem. ( lihat gambar. 4. bentuk atap limasan ).
limasan ini secara tidak langsung dapat dijadikan tanda bahwa yang mempunyai rumah termasuk orang yang mampu / kuat sosial ekonominya.
.
Bentuk “ K A M P U N G A N “. Yang disebut bentuk atap Kampung yaitu : bentuk
atap seperti yang diletakkan di tenga-tengah belahan dari bentuk atap tajug. ( lihat
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
13
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
gambar. 5. bentuk atap kampung ). Kegunaan bentuk kampung ini tidak berbeda dengan bentuk limasan, yaitu
untuk kegiatan badaniah. Bentuk kampung ini tidak mempunyai sifat yang agung dan suci seperti bentuk-bentuk sebelumnya.
Bentuk “ P A N G G A N G P E “. Bentuk yang terakhir yaitu : bentuk panggang pe. Dimana bentuknya hanya berujud separo dari bentuk kampung. ( lihat gambar. 6. bentuk atap panggang pe ). Bentuk-bentuk ini waktu dulu tidak biasa dipakai sebagai atap rumah. Karena
bentuk panggang pe ini hanya sebagai atap bangunan yang tidak mempunyai dinding misalnya : gubug di sawah, kandang hewan dan sebagainya. Karena bentuk ini bisa digunakan untuk menambah ruangan atau emperan, maka sekarang banyak rumah mempunyai bentuk panggang pe.
PRALAMBANGNYA “ BENTUK ATAP “.
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
14
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Membicarakan masalah lambang bentuk, yang bisa mewujudkan manunggalnya kehidupan rohani dan jasmani atau batiniah dan badaniah yang serba selaras, yaitu bentuk joglo dan limasan. Pada bangunan bentuk joglo, bisa dilihat kalau yang ayomi itu lebih banyak yang bersifat hidup batiniah, tanpa meninggalkan sifat hidup badaniah. Adanya pertemuan, rembug desa, perayaan dan pegelaran-pegelaran yang diadakan di pendopo berbentuk
sebagai Pemimpin yang dapat memberi pengayoman dan ketentraman pada para tamu. Pada bangunan limasan sudah bisa ditebak bahwa di sini hiidup badaniah yang lebih besar pengaruhnya. Adanya sentong ( kamar ) untuk dan juga ndalem atau ruang keluarga yang di gunakan untuk tempat pertemuan keluarga setiap harinya. Semua itu tadi mewujudkan dari perilaku hidup badaniah, walaupun hidup bataniahnya tidak di tinggalkan sama sekali. Hal ini bisa dilihat dari adanya sentong tengah ( kamar tengah ), ysng disebut
joglo, memang sudah sesuai. Karena semua tadi bersifat olah rasa, olah keindahan, dan olah kebudayaan. Rembug desa itu merupakan usaha menciptakan hidup bermasyarakat, walaupun ujud kegiatannya bersifat badaniah, tetapi hasilnya menuju kepada ketentraman batiniah. Selain itu kegiatan badaniah yang diadakan di pendopo,mempunyai : suasana yang agung, suasana yang selaras antara hidup batiniah dan badaniah. Suasana yang demikian memang dikehendaki oleh
juga krobongan yang di anggap di hormati, dimana biasanya tempat meletakkan hasil bumi / hasil pertanian. Bentuk limasan tidak menonjol sekali sifatnya yang suci dan agung, tetapi keselarasan hidup badaniah dan batiniah masih tetap nampak atau terwujud di tempat yang di ayominya. Tidak menonjolnya sifat agung dan suci, karena di sini gerak hidup yang bersifat resmi sudah tidak nampak lagi, hanya ada tata krama / susila antara Ayah, Ibu dan Putra-putranya. Suasana yang intim dan
mempunyai rumah karena disini mereka tidak hanya bertindak sebagai Ayah tetapi juga
akrab di bagian badaniah lebih terasa. Sifat yang ayom dan tenteram itu semua di
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
15
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
lambangkan dengan puncak atap bangunan yang rata dan lebih panjang dari puncak atap bentuk joglo. Untuk bentuk Kampung dan Panggang Pe, memang tidak banyak yang dapat di ketengahkan di sini. Kecuali pada bentuk Panggang Pe melambangkan hidup badaniah, dalam hal ini bisa kita lihat dan banyak di lingkungan kita. Sedang bentuk kampung mengandung pra lambang hidup badaniah yang bersifat pribadi keluarga. Semua yang dilambangkan di atas tadi
itu di buat. Atau dalam pengertian lain “ Bentuk mengikuti fungsi “. 2. Adanya perkembangan bentuk atap yang bermacam dan mengandung lambang, terjadilah fungsi / guna dari bangunan. 3. Dalam hal membangun rumah para pendahulu kita / leluhur sudah mempunyai pikiran / angan-angan tentang : cipta, rasa, dan keras. 4. Masing-masing bentuk melambangkan : Tajug Melambangkan hidup
mempunyai tingkatan sendirisendiri, seperti ada bentuk tajug yang paling suci dan agung, bentuk limasan yang lebih melambangkan hidup batiniah dari pada badaniah. Tingkatan ini juga di lambangkan dengan wujud bentuk atap yang di olah dari bentuk poko tadi. ( Tajug, Joglo, Limasan, Kampung, dan Panggang Pe ).
batiniah, bentuknya mengarah ke atas seperti kerucut menuju kepada Sang Pencipta Alam Semesta ( Tuhan Yang Maha Kuasa ). Joglo Banyak melambangkan kehidupan yang bersifat batiniah tanpa meninggalkan kehidupan yang bersifat badaniah. Limasan Melambangkan kehidupan badaniah lebih besar pengaruhnya, walaupun hidup batiniahnya tidak
Kesimpulannya : 1. Pada jaman dahulu para leluhur kita sudah mengenal bentuk bangunan dan menciptakan / membuat bentuk atap untuk suatu bangunan. Semua sudah mengandung makna / faedah, untuk apa bangunan
ditinggalkan sama sekali. Kampung
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
16
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Melambangkan hidup badaniah yang bersifat pribadi keluarga. Panggang Pe Juga melambangkan hidup badaniah.
Kepustakaan : 1. Arya Ronald, Manusia dan Rumah Jawa 2. Galih Widjil Pangarsa, Merah Putih Arsitektur Nusantara 3. Josef Prijotomo, Arsitektur Jawa 4. Suchianto Aly : Ngawangun Ki Nusantara
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
17
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM Oleh : Ir Djoko Darmawan, MT
Abstrak Daerah pantai Utara Jawa Tengah sejak abad VIII telah berperan sebagai bandar perdagangan internasional, oleh karena itu dengan terbentuknya permukiman Pecinan di daerah pesisir utara pulau Jawa maka terjadi pula akulturasi budaya Cina dengan budaya setempat. Demikian pula dengan perkembangan arsitekturnya, yang pada awalnya arsitektur rumah tinggal masyarakat pesisir utara hanya didominasi dengan arsitektur tradisional Jawa, maka dengan terbentuknya permukiman Pecinan tersebut ternyata juga memberi warna pada arsitektur rumah tinggalnya. Kecamatan Lasem adalah salah satu kota tua di pesisir utara pulau Jawa yang dikunjungi bangsa cina pada awal kedatangannya hal ini dapat diketahui dari sejarah kedatangan maupun sejarah pemberontakan masyarakat cina di mana Lasem merupakan benteng pertahanan terakhir dari masyarakat Cina sebelum ditumpas Kumpeni pada tahun 1743. Ramainya perdagangan di Lasem dengan pelabuhan dagangnya pada jaman Kolonial tidak terlepas dari peran masyarakat Cina yang sudah cukup lama bermukim di Lasem.
Sebelah barat
Pendahuluan
: Kecamatan
Rembang
Lasem merupakan salah satu kota kecamatan di Kabupaten Rembang
Sebelah selatan
: Kecamatan Pancur
Jawa Tengah yang terletak antara
Sebelah timur
: Kecamatan Sluke
kota Rembang dan kota Tuban.
Sebelah utara
: Laut Jawa
Menurut
Keadaan
adalah
data salah
penelitian satu
memiliki
potensi
selain
Semarang,
Welahan,
Lasem
Kecamatan
yang
Lasem terdiri atas dataran tinggi,
pecinan
dataran rendah dan wilayah pantai.
Rembang,
Di daerah dataran tinggi dengan
kota
wisata
Tegal,
geografi
wilayah
Pekalongan,
hutan
dan
perkebunan,
Kecamatan
dataran rendah digunakan untuk
Lasem terletak di jalur antara kota
persawahan dan tegalan sedangkan
Tuban dan kota Rembang, dengan
wilayah pantai berupa tambak dan
batas-batas sebagai berikut :
kolam.
Cirebon dan Tuban.
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
18
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Memasuki kota Lasem kita akan disambut oleh bangunan-bangunan tua yang tersembunyi di balik tembok tinggi. Bentuk atap khas arsitektur Cina
terlihat
diantara
ketinggian
dinding pagar bumi tersebut. Memang secara
historis Lasem merupakan
kota tua yang dikunjungi bangsa Cina pada
awal
kedatangannya
dan
lamanya orang Cina bermukim di Lasem. Jadi tidak heran jika di Lasem masih banyak terdapat bangunan dengan arsitektur tradisional Cina.
Gerbang Rumah Tinggal Tradisinal Cina. Sumber : Data lapangan Keindahan arsitektur vernakular Cina
modern bak gadis desa yang lugu,
terlihat
itulah
pada
desain
atap
yang
ungkapan
untuk
Lasem.
melengkung dengan ujung seperti
Sayang pesona klasik ini sekarang
ekor walet. Keindahan lain adalah
sudah mulai memudar karena adanya
bentuk struktur kayu yang diekspose
peristiwa G30SPKI dan penerapan
serta simbolisasi yang tersirat pada
Inpres no 14 tahun 1967. Pada era
ukiran
reformasi
di
bangunan
ibadahnya.
Presiden
Abdurahman
Cantik, klasik dan sederhana serta
Wahid mencabut Inpres no 14 tahun
terjaga dari coreng moreng make-up
1967, walaupun demikian Le Petit
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
19
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Chinois (Cina kecil) ini belum bisa
dibandingkan kelenteng yang ada di
memancarkan
Semarang
dan
sebuah
kelenteng
dahulu kala.
simbol
persahabatan
serta
Bangunan Arsitektur Vernakular Cina
nasionalisme
pesonanya
seperti
dalam
melawan
penjajah Belanda.
Bangunan tradisional Cina yang ada tinggal,
Kelenteng Cu An kiong yang terletak
dan
di jalan Dasun no 19, klenteng ini
makam. Seperti halnya di Semarang,
sudah ada sejak abad 16. Selain
Lasem mempunyai 3 buah kelenteng
kelenteng
yaitu Cu An Kiong, Po An Bio dan Gie
kelenteng ini mempunyai kekayaan
Yong
ukiran
di
Lasem
kelenteng,
Bio
mempunyai
yaitu
rumah
gerbang/Pailous
dimana usia
1
diantaranya lebih
dan
tertua
dinilai
di
Indonesia
terindah
di
Indonesia.
tua
Kelenteng Cu An Kiong. Sumber : Data lapangan Sedangkan kelenteng Po An Bio yang terletak di jalan Karangturi VII/15 Lasem berdiri tahun 1740
(kelenteng tertua Semarang, Sioe Hok Bio th 1753).
Kelenteng Po An Bio. Sumber : Data lapangan EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
20
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Kelenteng
Gie
Yong
Bio
adalah
Lasem
dan
merupakan
simbol
kelenteng termuda di Lasem yang
persahabatan antara raden Margono,
terletak di jalan Babagan no 7 Lasem
Oey Ing Kiat dan Tan kee Wie yang
yaitu berdiri tahun 1780. Kendati
bahu membahu melawan penjajah
demikian
Belanda.
kelenteng
ini
dibangun
untuk menghormati para pahlawan
Sementara
itu
bangunan
rumah
selain tinggal
Kelenteng Gie Yong Bio. Sumber : Data lapangan Architecture, kelenteng Cina
bahwa
bentuk
dasar
di
rumah tinggal arsitektur Cina dapat
Lasem mempunyai ciri khas yang
dibagi menjadi 5 tipe. Ke 5 tipe itu
berbeda dengan bangunan vernakular
adalah bentuk Box, bentuk I horisontal,
Cina dari asalnya. Menurut Ronald G.
bentuk L, bentuk U terbalik dan bentuk
Knapp pada buku China’s Vernacular
I vertikal.
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
21
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Bentuk denah I horisontal Sumber Ronald G. Knapp, 1989
Bentuk denah L Sumber Ronald G. Knapp, 1989
Bentuk denah Box Sumber Ronald G. Knapp, 1989
Bentuk denah I vertikal. Sumber Fletcher Sir, Banister, Knt,1954
Bentuk denah U terbalik Sumber Ronald G. Knapp, 1989 EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
22
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Dari kelima bentuk tersebut bentuk arsitektur rumah tinggal Cina di
Lasem adalah menyerupai bentuk I vertikal. Akan tetapi diduga adanya
lontong
berbentuk
segitiga
yang
disajikan dengan kuah opor dan potongan ayam kampung, selain itu ada
mangut
khas
lasem,
sayur
merica, kue kedumbeg atau sate serepeh yang pasti akan menggugah selera para penikmatnya. Sementara itu kerajinan batik tulis Lasem juga tidak kalah uniknya, dengan warna yang dominan merah yang konon tidak bisa ditiru di daerah lain batik ini adalah sinkronisasi 2 akulturasi tinggal
budaya
masyarakat
antara
rumah
Cina
dengan
unsur budaya Cina dan Jawa. Oleh karena itu tata cara pengerjaan batik Lasem
masyarakat Jawa pesisiran. Hal ini
Solo
geladak yang tidak ada pada kelima
Maka dari itu pecinan di Indonesia yang
maupun
Witjaksono
tipe rumah arsitektur tradisional Cina.
nilai
lebih
rumit
dibandingkan batik-batik dari Jogja,
terlihat dengan adanya pendopo dan
mempunyai
dianggap
berbeda
pemilik
batik
Sigit Sekar
Kencono
sekaligus
salah
satu
sesepuh
masyarakat
Tiong
Hoa
terobosan
baru
Lasem
dengan China Town di negara lain.
Pekalongan.
membuat
dengan membubuhi kata-kata mutiara dengan aksara Tiong Hoa
yang
Makanan dan Kerajinan Khas Lasem
disambut baik oleh pasar. Kata-kata
Untuk
mempunyai
mutiara yang berarti harapan baik
sajian khas lontong tuyuhan yaitu
seperti yang tertulis pada pintu altar
kuliner,
Lasem
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
23
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
rumah
tinggal
ataupun
adalah saudara , Negara kuat rakyat
pada
kelenteng yang artinya antara lain Di
tenteram,
empat
rejeki seluas samudra dan lain lain.
penjuru
samudra,
semua
Nama
setinggi
gunung
Membatik. Sumber : Data lapangan
Penduduk
kepercayaan pokok yang tidak lepas
Masyarakat
Cina
kebanyakan pusat
di
bermukim
di
Lasem
dari
daerah
Konfusianisme,
pemerintahan
perdagangan
seperti
Cina
sendiri
Taoisme
yaitu dan
Budhisme. Ketiga ajaran ini saling
dan di
filsafat
berkaitan erat dan sulit dipisahkan.
desa
Gedungmulyo, Dasun, Dorokandang,
Upaya Pemerintah Setempat
Sodetan, Karangturi dan Ngemplak.
Dalam upaya mencegah perubahan
Dalam
di
fisik bangunan karena perubahan
Kecamatan Lasem terdapat penganut
fungsi, salah satu usahanya dengan
agama resmi yang berbeda-beda,
memberikan
yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen
konservasi bangunan kuno. Langkah
Katolik, Hindu dan Budha. Disamping
ini
itu
penganut
masyarakat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang
pemerintah
Maha Esa atau Tri Dharma.
Rembang
Untuk
kehidupan
juga
beragama,
terdapat
masyarakat
Cina
selain
pengertian
dapat
tentang
disosialisasikan Lasem
atau
pada khususnya
pada instansi
Kabupaten Kecamatan
Lasem.
beragama Protestan maupun Katolik
Dengan adanya otonomi daerah dan
mereka beragama Budha dan aliran
digalakkannya sektor wisata sebagai
kepercayaan “Sam Kouw� yang lebih
PAD (Pendapatan Asli Daerah), maka
dikenal dengan nama Tri Dharma.
kota
Pada masyarakat Cina ini ada tiga
pariwisata yang cukup unik yaitu
Lasem
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
24
mempunyai
potensi
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
wisata religi atau wisata arsitektur.
Amen
Budiman
1978,
Semarang
Selain itu kawasan ini bisa dijadikan
Riwayatmu Dulu, Semarang,
tempat
Tunjungsari.
studi
penelitian
tentang
sejarah, arsitektur dan budaya. .
Bukkyo Dendo Kyokai, 1984, Ajaran Sang Budha, dicetak Kosaido
Yang menjadi pertanyaan bagaimana
Printing Co. Ltd. Tokyo, Japan.
sikap dan langkah apa yang telah Eko
diambil Pemerintah Daerah setempat
Budihardjo,1997,
Arsitektur
dan Dinas Pariwisata Jawa Tengah
Sebagai
Warisan
Budaya,
mengenai potensi wisata pecinan di
Penerbit Djambatan, Jakarta. Fletcher Sir, Banister, Knt,1954, A
Lasem tersebut? Kendala apa saja yang menyebabkan wisata di Lasem
History
belum bisa maju? Apakah mungkin
London, B.T. Batsford LTD
kelompok
masyarakat
Tiong
of
Fung Yu Lan, 1990 Sejarah Ringkas
Hoa
yang telah berhasil dapat sebagai
Filsafat
media untuk mempublikasikan potensi
Yogyakarta Liem
dan prospek wisata pecinan yang eksotis
ini
kekalangan
Architecture,
Thian
Cina,
joe,
1933,
Liberty,
Riwayat
Semarang, Boekhandel Ho Kim
investor?
yoe.
Semoga Siao Chung Kuo (tiongkok kecil) di Jawa Tengah ini dapat
Penjelasan UURI No.4 Th 1992 .
kembali bersinar seperti dahulu kala.
Ronald G. Knapp, 1989, China’s Vernacular
Daftar Pustaka
Architecture,
University Of Hawaii Press. UURI
No
4
Th
1992
tentang
Perumahan dan Pemukiman.
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
25
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE Oleh : Ir. Eko Nursanty, MT
Abstrak : World Herritage City adalah sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO dimana dia berupa tempat (seperti hutan, gunung, danau, gurun, monumen , bangunan , kompleks, atau kota ) yang terdaftar oleh PBB United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) khusus budaya atau fisik penting. Daftar ini dikelola oleh Program Warisan Dunia internasional yang dikelola oleh UNESCO Komite Warisan Dunia , terdiri dari 21 negara yang dipilih oleh Majelis Umum untuk jangka waktu empat- tahun an.
Program katalog, nama, dan melestarikan situs budaya atau alam penting bagi warisan kemanusiaan milik bersama. Dalam kondisi tertentu, situs yang terdaftar dapat memperoleh dana dari Dana Warisan Dunia. Program ini didirikan oleh Convention Concerning the Protection of World Cultural and Natural Heritage, yang diadopsi oleh
Konferensi Umum UNESCO pada 16 November 1972. Sejak itu, pihak 186 negara telah meratifikasi konvensi tersebut. Pada tahun 2010 , 911 situs terdaftar budaya, 180 alami, dan 27 campuran, properti di 151 negara. Italia adalah negara dengan jumlah terbesar dari Situs Warisan Dunia dengan 45 situs tertera pada daftar.
Gambar 1: Tabel tentang rincian situs world herritage Setiap Situs Warisan Dunia adalah milik negara di situs yang wilayahnya
berada, dalam
tetapi dipertimbangkan kepentingan masyarakat
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
26
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
internasional setiap situs.
untuk
melestarikan
Kriteria Seleksi World Herritage Sampai akhir tahun 2004, ada enam kriteria untuk warisan budaya dan empat kriteria untuk warisan alam. Pada tahun 2005, ini dimodifikasi
vi.
sehingga hanya ada satu set kriteria sepuluh. Kriteria Budaya i. Merupakan karya jenius kreatif manusia. ii. Menunjukkan suatu pertukaran penting dari nilainilai kemanusiaan, selama rentang waktu, atau dalam wilayah budaya di dunia, pada perkembangan arsitektur atau teknologi, seni monumental, kota-perencanaan, atau desain lansekap. iii. Detemukan kesaksian unik atau luar biasa untuk sebuah tradisi budaya atau peradaban yang hidup atau yang telah iv.
v.
penggunaan lahan, atau laut digunakan yang mewakili budaya, atau interaksi manusia dengan lingkungan terutama ketika telah menjadi rentan dengan dampak perubahan ireversibel. Secara langsung atau secara nyata dikaitkan dengan peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan ide-ide, atau dengan keyakinan, dengan karya-karya artistik dan sastra signifikansi universal yang beredar.
Gambar 2: Kuliah Kerja Lapangan Prodi Arsitektur UNTAG Semarang, 2009.
Kriteria Alam vii. Berisi fenomena alam superlatif atau daerah yang keindahan alam yang luar biasa dan pentingnya estetika. viii. Merupakan contoh yang sangat mewakili tahapan utama dari sejarah bumi, termasuk catatan kehidupan, signifikan pada
hilang. Adalah sebuah contoh luar biasa dari tipe bangunan ensemble, arsitektur, atau teknologi atau lanskap yang menggambarkan suatu tahap penting dalam sejarah manusia. Adalah sebuah contoh luar biasa dari sebuah pemukiman manusia tradisional,
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
27
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
ix.
proses geologi berlangsung dalam pengembangan bentuklahan, atau fitur geomorfik atau fisiografi signifikan. Merupakan contoh yang sangat mewakili signifikan berlangsung proses ekologi dan biologi dalam evolusi dan pengembangan darat, air tawar, ekosistem pesisir
x.
dan laut, dan komunitas tumbuhan dan hewan. Berisi habitat alam yang paling penting dan signifikan untuk konservasi situs dari keanekaragaman hayati, termasuk spesies-spesies terancam yang mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau konservasi.
Gambar 3 : Daftar Negara yang memiliki lebih dari 10 World Herritage Site
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
28
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Gambar 4 : Penyebaran World herritage Site.
Arsitektur Pariwisata Kebanyakan orang pergi ke sebuah
Jadi,
semata-mata
liburan atau tujuan wisata dalam upaya
studi
suasana baru, mungkin belanja dan
monumen
dan
negara
yang
menakjubkan.
memberikan
Hal
kesempatan
melihat
sejarah
dan
pada
gaya
berbeda
Arsitektur
pariwisata
mempromosikan
bentuk
pariwisata dalam bentuk arsitektur
penting dan bersejarah atau secara visual
untuk
sangat diminati saat ini dan banyak
beberapa
bangunan
yang
arsitektur.
Umumya wisatawan melihat -melihat ke
dilakukan
arsitektur , hal itu disebut wisata
umumnya memiliki waktu yang baik.
pergi
berlibur
monumen-monumen
mencari relaksasi, melihat
termasuk
ketika
khasnya.
ini untuk
melihat dan meneliti bangunan dan karya arsitektur lebih dekat dan memiliki melihat
kesempatan
lebih
baik
bangunan-bangunan
yang
tadinya hanya menatap di majalah dan televisi. Budaya dan sejarah Gambar 5: penunjuk spot arsitektur pariwisata.
suatu tempat yang dikunjungi dapat ditelusuri melalui jenis arsitekturnya.
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
29
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Spot Arsitektur Pariwisata
seperti pergi untuk arsitektur ini pada
Pariwisata merupakan salah satu
perjalanan wisata yang mencakup
sektor yang paling cepat berkembang
monumen bersejarah dan bangunan.
dan arsitektur pariwisata telah benar-
Arsitektur memainkan peran penting
benar hadir dalam beberapa tahun
dalam menarik wisatawan ke lokasi
terakhir.
perjalanan tertentu.
Wisatawan
yang
ingin
mendapatkan nuansa budaya kota,
Malacca city
Meskipun lokasi dari salah satu kesultanan Melayu yang paling awal, monarki dihapuskan ketika Portugis menaklukkan nya pada tahun 1511.
Sejarah Malacca Sebelum Gambar 6 : Peta kota Malaka
pertama,
kedatangan Malaka
Sultan
adalah
sebuah
Malaka ( Melayu : Melaka, dijuluki
desa nelayan sederhana yang dihuni
Negara
Negeri
oleh Melayu lokal. Malaka didirikan
Bersejarah di kalangan penduduk
oleh Parameswara , Raja terakhir
setempat)
bagian
dari Singapura (Singapura hari ini)
terkecil ketiga negara Malaysia ,
setelah Majapahit serangan di 1377.
setelah Perlis dan Penang. Terletak
Ia menemukan jalan ke Malaka c.
di wilayah selatan dari Semenanjung
1400 di mana ia menemukan sebuah
Melayu , di Selat Malaka, berbatasan
pelabuhan yang baik diakses di
dengan Negeri Sembilan di utara dan
semua
negara
selatan.
tersempit terletak strategis dari Selat
Malaka.
Malaka.
Historis
adalah
bagian
Ibukotanya Pusat
kota
adalah
atau
negara
Johor Kota
bersejarah
ini
musim
dan
Karena
pada
lokasinya
titik
yang
strategis, Malaka adalah titik berhenti
telah
terdaftar sebagai UNESCO Situs
penting
bagi
Zheng
He.
Untuk
Warisan Dunia sejak 7 Juli 2008.
meningkatkan hubungan, Hang Li Po , diduga seorang putri dari Ming
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
30
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Kaisar Cina, tiba di Malaka, disertai
petugas
dengan 500 petugas, untuk menikah
setempat
Sultan
besar di Bukit Cina ( Bukit Cina ).
Manshur
Shah
yang
nya
menikah
dan menetap
memerintah dari 1456 sampai 1477.
Gambar 2 : Peta Kota Malaka th. 1630
Gambar 3 : Malaka pada tahun 1726
Gambar 4 : Sungai Malaka kondisi saat ini. MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
31
penduduk sebagian
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Gambar 5 : Peta Arsitektur Pariwisata di Malacca
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
32
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Arsitektur Pariwisata di Malacca Fort A Famosa : Dibuat oleh
Rencana
Portugis
itu
sebagai akibat dari intervensi dari
struktural
Sir Stamford Raffles pada tahun
pada
mengalami
tahun
1511,
kerusakan
oleh
Inggris
menghancurkannya
yang parah selama invasi Belanda.
untuk
dibatalkan
1808.
Gambar 6 : Fort of Famousa
St. John's Fort: direkonstruksi oleh
pada waktu itu, ancaman terhadap
Belanda pada kuartal ketiga abad
Malaka terutama dari pedalaman
ke-18, meriam di benteng ke dalam
laut.
menunjuk ke arah daratan karena
Gambar 7 : St John’s Fort
St. Paul's Church: Dibangun pada
barat arsitektur. St Paul's Church :
tahun 1710 di bawah pemerintahan
Dibuat oleh Portugis kapten , Duarte
Belanda,
Gereja
Coelho, gereja ini dinamakan "Our
Katolik di Malaysia. Fasad dan
Lady of The Hill", tetapi kemudian
hiasan
merupakan
berubah menjadi tanah kuburan
campuran dari kedua timur dan
oleh Belanda untuk mati mulia
gereja
dekoratif
tertua
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
33
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
mereka, dan berganti nama menjadi
Francis Xavier dikebumikan di sini
"Gereja St Paulus". Saat ini gereja
untuk sementara sebelum dibawa
adalah
ke Goa, India.
bagian
Malaccan
dari
Complex.
Museum Tubuh
St
Gambar 8 : St. Paul Church
Christ Church : Dibangun pada
,
1753,
mencerminkan
Alkitab , sebuah batu nisan yang
arsitektur Belanda asli. Bangunan
ditulis dalam bahasa Armenia , dan
rumah
replika dari " The Last Supper ".
struktur
kerajinan
tangan-bangku
sebuah
tembaga
replika
dari
gereja, langit-langit jointless skylight
Gambar 9 : Christ Church
Gereja Fransiskus Xaverius : ini
Fabre, pada tahun 1849, untuk
Gothic
gereja
oleh
memperingati
seorang
Perancis
Rev
yang juga dikenal sebagai "Rasul
dibangun imam
,
St
Francis
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
34
Xavier
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
dari
Timur".
St
dipersiapkan
Francis
untuk
Xavier
Katoliknya dan bekerja di Asia
misionaris
Tenggara
selama
abad
ke-16.
Gambar 10 : Gereja Fransiskus Xaverius
Stadthuys : Dibangun tahun 1650
dan Etnografi ". Museum pameran
sebagai
Gubernur
pernikahan tradisional pakaian dan
struktur
artefak Melaka, datang kembali ke
Belanda
kediaman dan
wakilnya,
mencerminkan arsitektur Belanda.
masa kejayaannya.
Sekarang adalah "Museum Sejarah
Gambar 11 : Foto Stadhuyst
inti dari Malaka Situs Warisan Dunia Cheng
Hoon
Teng
UNESCO.
Temple:
Ini
adalah
candi
berfungsi tertua di Malaysia dan
Terletak di sepanjang Jalan Tokong (sebelumnya Temple Street) di zona
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
35
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
candi
termegah
di
Malaka.
Gambar 12 : Cheng Hoon Teng Temple
Jonker Street (Jalan Hang Jebat): Jalan ini terkenal karena barangbarang antik . Hal ini juga terkenal dengan atmosfer karnaval seperti saat malam akhir pekan.
Gambar 13 : Jonker Street Night Market
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
36
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Portugis Square : Terletak di dalam
adalah puncak dari budaya Portugis
Penyelesaian
dalam kemegahan penuh dan warna.
Portugis,
alun-alun
Gambar 14: Purtugis Square
Tranquerah Masjid : Masjid tertua di Malaka.
Gambar 15 : Tranquerah Masjid - Malaka
Daftar Pustaka World Heritage List, UNESCO World
De Witt, Dennis (2007). History of the
Heritage Sites official sites.
Dutch in Malaysia. Malaysia: Nutmeg
De Witt, Dennis (2010). Melaka from the
Publishing. ISBN 9789834351908.
Top. Malaysia: Nutmeg Publishing.
"Popular History of Thailand" by M.L.
ISBN 9789834351922.
Manich
Jumsai,
C.B.E.,
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
37
M.A
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR Ir. Sumarwanto. MT.
ABSTRAK Tidak beda dengan wilayah daratan, wilayah pesisir pun juga mempunyai berbagai masalah seperti memiliki karakteristik open acces, multi use, dan rentan terhadap kerusakan serta perusakan dimana pengelolaanya mensyaratkan perlunya landasan keterpaduan. Sebagai salah satu unsur pembentuk ruang wilayah, keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir tersebut dapat diselenggarakan dengan memanfaatkan instrument penataan ruang, baik pada tingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten maupun Kota. Adapun tata ruang di wilayah pesisir dimaksudkan untuk memanfaatkan ruang secara harmonis dan optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mensejahterakan rakyat dan melindungi ekosistem laut dan pesisir.
I. PENDAHULUAN 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km² yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 Juta km² dan laut territorial seluas 0,3 juta km². Selain itu Indonesia juga mempunyai
strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi primer mover pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya. 3. Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumber daya pesisir bagi pengembangan wilayah secara
hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km² pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal). 2. Sebagai Negara kepulauan, wilayah pesisir merupakan kawasan
berkelanjutan dan menjamin kepentingan umum secara luas (public interest), yang diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan khusus oleh pemerintah untuk pengelolaan wilayah pesisir. Hal ini seiring
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
38
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
dengan agenda Kabinet Gotong Royong untuk menormalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar bagi kehidupan perekonomian rakyat melalui upaya pembangunan yang didasarkan atas sumber daya setempat (resourcebased development), dimana
sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai menjadi kewenangan provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota. 2. Sebagai wilayah yang merupakan interface antara kawasan laut dan
antara proses-proses yang terjadi di daratan dan di lautan. Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. 3. Definisi wilayah pesisir seperti di atas memberikan suatu pemahaman bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.
darat yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnua, baik secara biogeofisik maupun sosial ekonomi, wilayah pesisir mempunyai kharakteristik yang khusus sebagai akibat interaksi
4. UU 24/1992 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa ruang dipahami sebagai suatu wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udar sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia
sumberdaya pesisir dan lautan saat ini didorong pemanfaatannya, sebagai salah satu andalan bagi pemulihan perekonomian nasional, disamping sumberdaya alam darat. II. PENGERTIAN : Wilayah Pesisir dan Penataan Ruang 1. Secara sederhana, wilayah pesisir (coastal zone) dapat dipahami
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
39
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
dan mahluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Dalam konteks ini, wilayah pesisir dapat dipandang sebagai salah satu unsur pembentuk ruang wilayah. III. ISSUE dan pemasalahan pengelolaan wilayah pesisir 1. Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya seumber daya pesisir yang ada serta karakteristik wilayah pesisir yang “open acces” sehingga mendorong wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatankegiatan beberapa sector pembangunan (multi-use). Dalam hal ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar “users”, yakni sektoral dalam pemerintahan dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga antar penggunaan antara lain (i) perikanan budidaya maupun tangkapan (ii) pariwisata bahari dan pantai (iii) industry maritime seperti perkapalan (iv) pertambangan , sperti minyak, gas, timah dan galian lainnya; (v)
perhubungan laut dan alur pelayaran dan yang paling utama adalah (vi) kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti mangrove, terumbu karang dan biota laut lainnya. 2. Selain itu, terdapat pula potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Kondisi ini muncul sebagi konsekuensi tidak berhimpitnya pembagian kewenangan yang terbagi menurut administrasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan kepentingan wilayah pesisir tersebut yang seringkali lintas wilayah otonom. 3. Sebagai “interface” antara ekosistem darat dan laut, wilayah pesisir (coastal areas) memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua wilayah tersbut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada wilayah pesisir merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di daratan, seperti pertanian,
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
40
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
perkebunan, kehutanan, industri, permukiman dan sebagainya. 4. Lemahnya kerangka hukum dalam hal pengaturan sumber daya pesisir serta perangkat hukum untuk penegakannya menyebabkan masih banyaknya pemanfaatan sumberdaya ini yang tidak terkendali. Juga tidak adanya kekuatan hukum dan pengakuan terhadap system-sistem tradisional serta wilayah laut dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Dalam konteks ini, RTRW dalam berbagai tingkatan yang telah memiliki aspek legal berikut aturanaturan pelaksanaannya seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai “guidance” dalam pengelolaan wilayah pesisir. 5. Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat fenomena “global warming” memberikan dampak yang serius terhadap wilayah pesisir yang perlu diantisipasi penanganannya. Secara umum kenaikan muka air laut akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir,
dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulai kecil. 6. Tingkat kerusakan biofisik lingkungan wilayah pesisir sangat mengkhawatirkan. Adapun faktorfaktor yang turut mempengaruhi kerusakan biofisik wilayah pesisir adalah :
Overeksploitasi sumberdaya hayati laut akibat pengankapan ikan yang melampaui potensi (overfishing), pencemaran dan degradasi fisik hutan mangrove dan terumbu karang sebagai sumber makanan biota laut tropis.
Pencemaran akibat kegiatan industry, rumah tangga dan pertanian di darat (land-based pollution sources) maupun akibat kegiatan dilaut (marinebased pollution sources) termasuk perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak dan kegiatan pertambangan dan energy lepas pantai.
Bencana alam seperti tsunami, banjir erosi dan badai.
Konflik pemanfaatan ruang seperti antara pertanian dan kegiatan di daerah hulu lainnya, aquakultur, perikanan laut, permukiman. Konflik pemanfaatan ruang disebabkan
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
41
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
terutama karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan.
Pada dasarnya kebijakan tersebut ditempuh untuk memenuhi tujuantujuan sebagai berikut :
Kemiskinan masyarakat pesisir yang turut memperberat tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak terkendali.
Salah satunya disebabkan oleh tidak adanya konsep pembangunan masyarakat pesisir sebagai subyek dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. 7. Walaupun telah menjadi common interest, proses pelibatan masyarakat sebagai subyek utama dalam pengelolaan wilayah pesisir masih belum menemukan bentuk terbaiknya. Persepsi yang berbeda mengenai hak dan kewajiban dari masyarakat seringkali menghadirkan konflik antar kepentingan yang sulit dicarikan solusinya, serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosial-budaya setempat (local unique). IV. Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Pesisir
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasaan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
Mengurangi (vulnerability)
pesisir dan para pemukimnya (inhabitans) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai system pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
42
kerentanan dari kawasan
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Adapun sebagai landasan dari kebijakan penataan ruang wilayah pesisir tersebut adalah hasil Rakernas Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) di Surabaya, 13-14 Juli 2003, ditegaskan pula bahwa penataan ruang wilayah pesisir merupakan mikro-operasional.
satu kesatuan ruang yang terintegrasi dalam RTRWN, RTRWP dan RTRW Kabupaten/Kota. Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir dapat menggunakan instrument rencana tata ruang yang ada, baik dalam skala makro-strategis maupun Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir, Jakarta 30-31 Oktober 2002. Biodata Penulis Ir. Sumarwanto, MT, lahir di Semarang tanggal 20 Februari 1952. Pendidikan yang diselesaikannya adalah S.1 di Universitas Diponegoro Semarang, dan S.2 di Universitas Diponegoro Semarang bidang Studi Urban Design. Bekerja sebagi dosen di Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, dengan jabatan akademik Lektor, mengajar pada mata kuliah Perancangan Arsitektur, Tata Ruang Luar dan Kota dan Permukiman.
DAFTAR PUSTAKA BKTRN, Proceeding Seminar Nasional : Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari kenaikan permukaan air laut dan banjir, Jakarta, 30-31 Oktober 2002. Dokumen Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) tentang Rumusan Pokok-Pokok Hasil RAKERNAS-BKTRN, Surabaya, 14 Juli 2003. Dirjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Antisipasi Dampak Pemanasan Global dari Aspek Teknis Penataan Ruang, Makalah pada Seminar Nasional tentang Pengaruh Global Warming, terhadap
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
43
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK Oleh: Ir. Loekman Mohamadi. MSc.
ABSTRAKSI Gambaran umum pentingnya keberadaan Ruang Terbuka Hijau dan Hutan/ Taman Kota bagi perkembangan wilayah perkotaan. Tahapan berikutnya adalah untuk mengetahui pentingnya keberadaan Ruang Terbuka Hijau dan Hutan/ Taman Kota di Kota yang bersangkutan. Analisa yang dilakukan adalah dengan mengkaji perkembangan kota yang bersangkutan yang terjadi saat ini terutama dampak yang ditimbulkan terkait dengan penurunan kualitas lingkungan. Dari tahapan ini dilakukan juga kajian mengenai keberadaan ruang hijau kota saat ini dan arahan kebijakan Tata Ruang terhadap ruang terbuka hijau dikota yang bersangkutan.
ditinjau 1. Pola Pikir
pula
Kebijakan
perundangan lain yang terkait
Proses perencanaan desain Hutan/ Taman Kota dan Ruang Publik ini dilakukan melalui suatu kajian ilmiah, dan dilakukan secara bertahap. Tahap awal dari rangkaian
dengan
kegiatan tersebut adalah mengkaji
gambaran
wilayah pengamatan berdasarkan
keberadaan Ruang Terbuka Hijau
data yang terkumpul. Wilayah
dan Hutan/ Taman Kota bagi
pengamatan
dikaitkan
perkembangan wilayah perkotaan.
dengan kebijakan Tata Ruang
Tahapan berikutnya adalah untuk
yang
mengetahui
ada
tersebut
(RTRW,
RTRKP)
yang
arahan
spatial
terhadap
diantaranya Terbuka
Taman
kebijakan
Hijau
dan
Kota Ruang
kebijakan
Hutan/ Taman Kota. Dari tahapan ini dapat dihasilkan
RTRHK,
umum
pentingnya
pentingnya
arahan
keberadaan Ruang Terbuka Hijau
(keruangan)
dan Hutan/ Taman Kota di Kota
wilayah
yang bersangkutan. Analisa yang
berisi
kondisi
Hutan/
dilakukan
pengamatan. Pada tahapan ini
adalah
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
44
dengan
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
mengkaji
perkembangan
kota
Dari tahapan ini dilakukan juga
yang bersangkutan yang terjadi
kajian
saat ini terutama dampak yang
ruang hijau kota saat ini dan
ditimbulkan
arahan
terkait
penurunan terhadap
dengan
keberadaan
kebijakan Tata
Ruang
kualitas lingkungan. ruang
terbuka
hijau
pembangunannya.
dikota yang bersangkutan. Dari
mengenai
kajian
Untuk
mencapai rumusan fungsi dan
tersebut
dapat
jenis hutan kota serta program
diidentifikasi
beberapa
lokasi
dan pengelolaan Hutan/ Taman
yang
dijadikan
Hutan/
Kota yang berkelanjutan, lokasi
dapat
Taman Kota. Sesuai kriteria yang
tersebut
ada di PP 63 tahun 2002 tentang
analisa SWOT.
Hutan Kota, kemudian dilakukan
Untuk lebih jelasnya Alur Pikir
kajian
penyusunan Studi Pembangunan
sehingga
didapatkan
dikaji
konsep kebutuhan luas Ruang
Hutan/
Terbuka dan Hutan/ Taman Kota
bersangkutan dapat dilihat pada
serta lokasi Hutan/ Taman Kota
diagram
yang
Taman
menggunakan
1.1
diprioritaskan
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
45
Kota
yang
berikut.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Diagram 1. Pola Pikir Proses Perencanaan Desain Hutan/ Taman Kota dan Ruang Publik Perkotaan
CITA CITA
GAMBARAN UMUM PENTINGNYA KEBERADAAN RTH DAN HUTAN KOTA BAGI PERKEMBANGAN KOTA
KAJIAN PENTINGNYA KEBERADAAN RTH DAN HUTAN KOTA
INPUT
PROSES
KONSEP KEBUTUHAN LUAS RTH, HUTAN KOTA DAN LOKASI HUTAN KOTA YANG DIPRIORITASKAN PEMBANGUNANNYA
OUTPUT
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
46
GOAL
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
komponen fisik hutan/ taman
2. Pembangunan Hutan/ taman Kota Beberapa kota besar telah membangun
kota yang hendak dibangun
dan mengembangkan hutan/ taman kota
serta tata letaknya. (3)
untuk mengantisipasi masalah penurunan
Rencana
tahun
pertama
kualitas lingkungan hidup. Adapun Tahapan
kegiatan, meliputi rencana fisik
yang
dan biayanya.
perlu
dilalui
dalam
membangun/mengembangkan
hutan/
2).
taman kota adalah:
1).
dan Organisasi Pelaksanaannya
Tahap Perencanaan Dalam
studi
Tahap Pembentukan Kelembagaan
kajian
perencanaan
Organisasi
pembangunan
dan
aspek yang perlu diteliti meliputi:
pengelolaan hutan/ taman kota sangat
lokasi,
bergantung kepada perangkat yang
fungsi
dan
pemanfaatan,
aspek tehnik silvikultur, arsitektur
ada
lansekap, sarana dan
pengorganisasian
prasarana,
dan
keperluannya. di
suatu
daerah
dengan
daerah
tehnik pengelolaan lingkungan.
mungkin
Bahan informasi yang dibutuhkan
lainnya. Dalam hal ini
dalam
Bupati
studi
tahap
perencanaan
berbeda
sebagai
Sistem
Walikota atau
kepala
wilayah
meliputi :
bertanggung jawab atas pembangunan
a).
dan pengembangan hutan/ taman kota
Data fisik (letak, wilayah, tanah,
di wilayahnya. Bidang perencanaan
iklim dan lain-lain);
b).
Sosial ekonomi (aktivitas di
Keadaan
lingkungan
(lokasi
Rencana
pembangunan
Bahan-bahan
penunjang
studi
berupa
Rencana
Pembangunan Hutan/ taman Kota
Rencana jangka panjang, yang memuat hutan/
gambaran taman
dibangun,
tentang
kota
serta
yang
target
dan
Dinas
Dinas
Pekerjaan
Kesehatan,
Dinas
Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Rencana detail yang memuat desain
fisik
atau
masing- masing kota atau daerah. Untuk pelaksanaannya dapat ditunjuk
Pengelolaan hutan/ taman kota pada areal
yang
dibebani
hak
milik
diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam
pelaksanaannya
harus
memperhatikan petunjuk dari bidang
tahapan pelaksanaannya. (2)
Perkebunan,
dinas-dinas yang berada di wilayahnya.
yang terdiri dari tiga bagian, yakni: (1)
dan
dan yang lainnya menurut kebutuhan
lainnya. Hasil
oleh
oleh tim pembina yang terdiri dari Dinas
Umum,
wilayah (RUTR,RTK,RTH), serta
e).
dipegang
Kehutan/ tamanan, Dinas Pertanian
dan sekitarnya);
d).
pengendalian
Bappeda Kabupaten/Kota yang dibantu
wilayah bersangkutan dan kondisinya);
c).
dan
rancang
bangun untuk masing- masing
perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanaannya kiranya perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
47
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
yang dapat diberikan oleh pemerintah
lingkungan hidup di perkotaan, jenis
kepada yang bersangkutan.
yang
ditanam
pembangunan
3).
dalam dan
program
pengembangan
hutan/ taman kota hendaknya dipilih
Pemilihan Jenis keberhasilan
berdasarkan beberapa pertimbangan
dalam mencapai tujuan pengelolaan
agar tanaman dapat tumbuh baik dan
Guna
mendapatkan
dapat
menanggulangi
masalah
-
lingkungan yang muncul di tempat itu. Beberapa
informasi
yang
Serbuk sarinya tidak bersifat alergis,
perlu
(5)
Persyaratan
untuk
pohon
diperhatikan dan dikumpulkan antara
peneduh jalan:
lain:
- Dahan dan ranting tidak mudah patah,
(1)
(2)
Persyaratan edaphis: pH, jenis
- Pohon tidak mudah tumbang,
tanah, tekstur, altitude, salinitas
- Buah tidak terlalu besar,
dan lain-lain.
- Serasah yang dihasilkan
Persyaratan meteorologis: suhu,
sedikit,
kelembaban
- Tahan terhadap pencemar dari
udara,
kecepatan
angin, radiasi matahari. (3)
Persyaratan
kendaraan bermotor dan industri, silvikultur:
kemudahan
dalam
hal
mudah sembuh,
penyediaan benih dan bibit serta
- Cukup teduh, tetapi tidak terlalu
kemudahan
gelap,
dalam
tingkat
pemeliharaan. (4)
- Luka akibat benturan mobil
Persyaratan
- Kompatibel dengan tanaman umum
tanaman,
lain,
antara lain: - Tahan terhadap hama dan penyakit, - Cepat tumbuh, - Kelengkapan jenis dan penyebaran jenis, -
Mempunyai umur yang panjang,
-
Mempunyai bentuk yang indah,
-
Ketika dewasa sesuai dengan ruang yang ada,
-
Kompatibel dengan tanaman lain,
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
48
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010 Tabel 1: Jenis, Fungsi, dan Tujuan Pembangunan RTH (Purnomohadi, 2001) JENIS RTH TAMAN KOTA (termasuk: Taman Bermain Anak / Balita), Taman Bunga, (Lansia)
FUNGSI LAHAN
TUJUAN
KETERANGAN
Ekologis, Rekreatif, Estetis, Olahraga
Keindahan (tajuk, tegakan pengarah, pengaman, pengisi dan pengalas), kurangi
Mutlak dibutuhkan bagi kota, keserasian, rekreasi aktif dan pasif, nuansa rekreatif,
(terbatas)
cemaran, meredam bising, perbaiki iklim mikro, daerah resapan, penyangga sistem
terjadinya keseimbangan mental (psikologis) dan fisik manusia, habitat,
kehidupan, kenyamanan.
keseimbangan eko-sistem.
JALUR (tepian) SEMPADAN SU-NGAI
Konservasi, Pencegah Erosi,
Perlindungan, mencegah okupansi penduduk, mudah menyebabkan erosi, iklim
Perlindungan total tepi kiri-kanan bantaran sungai (+/- 25-50 meter) rawan
dan PANTAI
Penelitian
mikro, penahan „badai‟.
erosi. Taman Laut.
TAMAN – OLAH RAGA,
Kesehatan, Rekreasi
BERMAIN, RELAKSASI
Kenikmatan, pendidikan, kesenangan,
Rekreasi
kesehatan, interaksi, kenyamanan.
prestasi, menumbuhkan kepercayaan diri.
aktif,
sosialisasi,
mencapai
TAMAN PEMAKAMAN
Pelayanan Publik
Pelindung, pendukung ekosistem makro,
Dibutuhkan seluruh anggota masyarakat,
(UMUM)
(umum), Keindahan
„ventilasi‟ dan „pemersatu‟ ruang kota.
menghilangkan rasa „angker‟.
PERTANIAN KOTA
Produksi, Estetika, Pelayanan Public
Kenyamanan spasial, visual, audial dan
Peningkatan
thermal, ekonomi.
tanaman pertanian.
produktivitas
budidaya
(umum) TAMAN (HUTAN) KOTA/
Konservasi,
Pelayanan masyarakat dan penyangga
Pelestarian,
PERHUTANAN
Pendidikan, Produksi
lingkungan kota, wisata alam, rekreasi,
pemanfaatan
plasma
nutfah,
produksi hasil „hutan‟: iklim mikro, oksigen, ekonomi.
keanekaragaman penelitian.
hayati,
pendidikan
perlindungan,
dan
TAMAN SITU, DANAU,
Konservasi,
Keseimbangan ekosistem, rekreasi
Pelestarian
WADUK, EMPANG
Keamanan
(pemancingan).
(budidaya ikan air tawar).
KEBUN RAYA, KEBUN BINATANG (Nursery)
Konservasi, Pendidikan,
Keseimbangan ekosistem, rekreasi, ekonomi.
Pelestarian plasma nutfah, elemen khusus Kota Besar, Kota Madya.
Reservasi, perlindungan situs, sejarah –
„Bangunan‟ sebagai elemen taman.
SD-air,
flora
&
Penelitian TAMAN PURBAKALA
Konservasi,
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
49
fauna
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
JALUR HIJAU
Preservasi, Rekreasi
national character building.
Keamanan
Penunjang iklim mikro, thermal, estetika.
PENGAMANAN TAMAN RUMAH sekitar bangunan Gedung tingkat „PEKARANGAN‟
Pengaman: Jalur lalu-lintas, Rel KA, jalur listrik tegangan tinggi, kawasan industri, dan „lokasi berbahaya‟ lain.
Keindahan, Produksi
Penunjang iklim mikro, „pertanian
Pemenuhan kebutuhan pribadi (privacy),
subsistem‟: TOGA (tanaman obat keluarga)/Apotik Hidup, Karangkitri (sayur
penyaluran „hobby‟ pada lahan terbatas,
dan buah-buahan).
mampu memenuhi kebutuhan keluarga secara berkala dan „subsistent’‟.
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
50
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
3. Kriteria Perencanaan,
Dalam perancangan kota dikenal adanya tiga kriteria disain, yakni kriteria terukur, kriteria tak terukur, dan kriteria generik. Kriteria terukur adalah kriteria yang secara kuantitatif dapat diukur dan biasanya
2).
berhubungan dengan ketinggian, besar, rasio ukuran luas lantai, setback, building coverage, dan sebagainya. Secara garis besar kriteria terukur dibagi menjadi dua, yaitu 1)kriteria lingkungan alarn, 2)bentuk dan massa bangunan, serta intensitas. Sedangkan kriteria tak terukur lebih menekankan pada aspek kualitatif di lapangan. Antara kriteria terukur dan tak terukur seharusnya dijaga kesimbangannya dan bekerja dalam kerangka kerja dari kriteria generik.
3).
a. Kriteria desain menurut Urban
4).
Design Plan of San Fransisco, ada sepuluh prinsip, yaitu 1). Kenyamanan (amenity comfort) Prinsip kenyamanan (amenity comfort) menekankan pada kualitas lingkungan kota dengan mengakomodasikan pola pedestrian yang dilengkapi
5).
dengan street furniture, tanam-tanaman, disain jalan yang terlindung dari cuaca, menghindari silau, dan sebagainya. Tampak yang menarik (visual interest) Tampak yang menarik (visual interest) menekankan pada kualitas estetis lingkungan, antara lain karakter arsitektur dan lingkungan bangunan yang menyenangkan. Kegiatan (activity) Menekankan pada pentingnya pergerakan dan dimensi kehidupan jalan di lingkungan kota, dengan mempromosikan pedagang kaki lima, arcade, lobby, dan menghindari dindingdinding yang kosong Berta ruang parkir yang terlalu luas. Kejelasan dan kenikmatan (clarity and convenience) Untuk menciptakan faktor kejelasan dan kenikmatan, dapat dilakukan dengan cars meningkatkan kualitas jalur pejalan kaki, yaitu dengan fasilitas pedestrian yang memiliki ciri tertentu. Karakter khusus (character
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
51
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
distinctiveness) Karakter (character distinctiveness)
6).
khusus
menekankan pada identitas individual yang berpengaruh dalam suatu struktur ruang kota. Ketajaman (definition) Prinsip ketajaman (definition) menitikberatkan pada interfacing antara
8).
diarahkan pada susunan bentuk model bangunan yang akan menjadi point of interest di lingkungannya.
bangunan dan ruang terbuka suatu kawasan
7).
dan massa bangunan akan memberikan karakter estetik serta petunjuk pencapaian bagi masyarakat. Variasi/kontras (variely/conlrast) Prinsip variasi/kontras
9).
Harmoni/kecocokan (harmony compatibility) Prinsip harmoni/kecocokan menekankan pada aspek arsitektural dan kecocokan estetika yang berkaitan dengan masalah topograli yang hares diantisipasi dalam perencanannya, baik masalah skala maupun bentuk massanya. 10). Integrasi skala dan bentuk (Scale and pattern integrated) Prinsip integrasi skala dan bentuk ini bertujuan untuk mencapai skala manusia di lingkungan kota, yang menekankan pada ukuran, bestir bangunan dan massa bangunan, demikian pula dimensi
yang dapat memperjelas dan memudahkan persepsi ruang luarnya. Ketajaman ruang ini sangat berkaitan dengan faktor-faktor pemandangan, karakter, serta pencapaiannya. Prinsip-prinsip pemandangan kawasan (the principle of views encompasses) Prinsip – prinsip pemandangan kawasan memperhatikan aspek estetik terhadap vista lingkungan (pleasing vistas), atau persepsi orang pada saat melakukan orientasi terhadap lingkungan kota. Misalnya layout jalan, penempataii bangunan,
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
52
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
(expression of identity) Untuk memberikan ekspresi identitas, status, dan nilai-nilai bagi penghuni dan masyarakat perlu penekanan disain terutama peranan warns,
estetika yang berhubungan dengan kepekaan dan efek tekstur bangunan dengan skala pemandangan dari arch tertentu. b. Sedangkan
konsep
Urban
System Research and Engineering, Inc.(1977) lebih
. material bangunan, dan ekspresi bangunan secara individual. 3). Pencapaian dan orientasi (access and orientation) Faktor penting yang harus
menekankan pada kualitas visual yang dikelompokkan dalam delapan kategori sebagai berikut. 1). Kelayakan hubungan (fit with setting)
diperhatikan adalah kejelasan dan keamanan dari pintu masuk, jalan setapak, dan ke arah lokasi fasilitas penting, sehingga semua orang tabu akan ke amana dan spa yang akan dilakukan. 4). Pendukung aktivitas (activity support)
Kelayakan hubungan. (fit with setting) ini menitikberatkan pada harmoni atau kecocokan rancangan antara perumahan dan kota yang berkaitan dengan faktor lokasi, kepadatan perumahan, warna, bentuk dan material. Di samping itu aspek lain yang hares diperhatikan adalah aspek historis, aspek budaya, komponen yang cocok dengan nilai bangunan, artefak jalan setapak yang unik sehingga dapat mengingatkan kembali bagi setiap orang. 2). Ekspresi dari identitas
5).
Kegiatan masyarakat akan memberi karakter perilaku mereka melalui tanda-tanda yang didisain khusus termasuk elemen fisik, ukuran, dan lokasi dari sebuah fasilitas yang disediakan. Pemandangan (views) Menekankan pada pencapaian bangunanbangunan ke arah ruang-ruang publik
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
53
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
(public spaces). 6). Elemen-elemen alam (natural elements) Menciptakan disain yang memanfaatkan unsurunsur alam yang ads di lokasi tapak, misalnya dengan pemanfaatan
a.
topografi yang terjal, tanaman penutup, pemanfaatan smar matahari, air, dan Tatar belakang pemandangan langit.
b.
7). Tampak
yang (visual comfort)
c.
nyaman
Pada prinsipnya tampak yang nyaman (visual comfort) menghindari gangguan dari silau, asap, debu, traffic light yang membingungkan, pemandangan yang menghalangi kendaraan yang melaju dengan cepat. 8). Kepedulian dan perawatan (care and maintenance) Memperhatikan pemilihan komponen dalam disain yang mudah perawatan dan pengelolaannya.
d.
e.
Vitalitas (vitality), Menitik beratkan pada suatu sistim keamanan, kecocokan ukuran atau kelayakan antara tuntutan manusia dalam hal temperatur, anatomi tubuh, dan fungsi tubuh, Kepekaan (sense), Dimensi kepekaan yang dimaksud disini meliputi bentuk, kualitas, dan identitas lingkungan, Kelayakan (fit), Menitik beratkan pada kelayakan antara ruang dan karakter bentuk yang ada, Pencapaian (access), Memperhatikan kemampuan orang menuju ketempat satu ke yang lain melalui ruang publik ini, Pemeriksaan (control), Diarahkan pada ruang kegiatan, rekreasi.
ruang tempat
4. Teknis Perencanaan
Dalam rencana pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu
c. Selanjutnya
menurut Kevin Lynch (1981), sebuah ruang publik harus mempunyai lima dimensi tampilan (Five performance dimension), yaitu:
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
54
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
a. Luas
e. Action Plan
RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan ditentukan secara komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu: 1) Kapasitas atau daya dukung alami wilayah 2) Kebutuhan per kapita
Pembangunan dan pengelolaan RTH wilayah perkotaan harus menjadi substansi yang terakomodasi secara hierarkial dalam perundangan dan peraturan serta pedoman di tingkat
(kenyamanan, kesehatan, dan bentuk pelayanan lainnya) 3) Arah dan tujuan pembangunan kota. RTH berluas minimum merupakan RTH berfungsi
nasional dan daerah/kota. Untuk tingkat daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota, permasalahan RTH menjadi bagian organik dalam Rencana Tata Ruang
ekologis yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti, yang melingkup RTH publik dan RTH privat. Dalam suatu wilayah perkotaan maka RTH publik harus berukuran sama atau lebih luas dari RTH luas minimal, dan RTH privat merupakan RTH pendukung dan penambah nilai rasio terutama dalam meningkatkan nilai dan kualitas lingkungan dan kultural kota. b. Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH c. Sruktur dan pola RTH yang akan dikembangkan (bentuk, konfigurasi,dan distribusi) d. Seleksi tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota.
Wilayah dan subwilayah yang diperkuat oleh peraturan daerah. Dalam pelaksanaannya, pembangunan dan pengelolaan RTH juga mengikut sertakan masyarakat untuk meningkatkan apresiasi dan kepedulian mereka terhadap, terutama, kualitas lingkungan alami perkotaan, yang cenderung menurun. Beberapa action plan yang dapat dilaksanakan, a.l.: 1). Issues : Suboptimalisasi RTH Action
plan
yang
disarankan: (a) Penyusunan kebutuhan luas minimal/ideal RTH sesuai tipologi kota
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
55
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
(b) Penyusunan indikator dan tolak ukur keberhasilan RTH suatu kota (c) Rekomendasi penggunaan jenis-jenis tanaman dan vegetasi endemik serta jenis-
Action plan yang disarankan: (a)Pencanangan Gerakan Bangun, Pelihara, dan Kelola RTH (contoh Gerakan Sejuta Pohon, Hijau royo-royo, Satu pohon satu jiwa, Rumah
jenis unggulan daerah untuk penciri wilayah dan untuk meningkatkan keaneka ragaman hayati secara nasional 2). Issues : Lemahnya kelembagaan pengelola RTH Action plan yang
dan Pohonku, Sekolah Hijau, Koridor Hijau dan Sehat, dll) (b)Penyuluhan dan pendidikan melalui berbagai media (c)Penegasan model kerjasama antar stake holders (d)Perlombaan antar kota, antar wilayah, antar subwilayah untuk meningkatkan apresiasi, partisipasi, dan responsibility terhadap ketersediaan tanaman dan terhadap kualitas lingkungan kota yang sehat dan indah 4). Issues : Keterbatasan
disarankan: (a) Revisi dan penyusunan payung hukum dan perundangan (UU, PP, dll) (b) Revisi dan penyusunan RDTR, RTRTH, dll (c) Penyusunan Pedoman Umum : Pembangunan RTH, Pengelolaan RTH (d) Penyusunan mekanisme insentif dan disinsentif (e) Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat.
lahan perkotaan untuk peruntukan RTH Action plan yang disarankan: (a) Peningkatan fungsi lahan terbuka kota menjadi RTH (b) Peningkatan luas RTH privat
3). Issues : Lemahnya peran
stake holders
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
56
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
(c) Pilot project RTH fungsional untuk lahanlahan sempit, lahanlahan marjinal, dan lahan-lahan yang diabaikan.
aspek fisik lingkungan dari daerah perencanaan. b). Metode
Pembobotan
(Skoring Likert) Metode ini dimaksudkan untuk menentukan tingkatan dari data yang ada baik data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Metode ini digunakan untuk mengkompilasi data yang berjumlah banyak dan berlainan jenis menjadi data
5. Analisis
Metode yang biasa digunakan dalam proses penyusunan desain ruang terbuka hijau/ hutan/ taman kota adalah metode kuantitatif dan kualitatif yang penggunaannya tergantung pada tujuan dan hasil analisis dan ketersediaan data. Beberapa alternatif penggunaan metode analisis nya adalah sebagai berikut : a). Metode Superimpose (Sleve Map Analysis) Metode ini merupakan pendekatan analisis yang mempergunakan beberapa peta eksisting untuk mendapatkan tingkat kesesuaian lahan yang akan dipergunakan sebagai wilayah perencanaan. Analisis ini digunakan untuk menentukan daerah yang paling baik untuk Lokasi Hutan/ Taman Kota. Faktor penentunya adalah semua
yang terstruktur sehingga memiliki kualifikasi yang dapat digunakan untuk memudahkan proses analisis. Metode pembobotan dilakukan dalam 2 tahapan: 1. Untuk menemukan wilayah wilayah yang potensial untuk lokasi Hutan Kota 2. Untuk menentukan ranking calon Lokasi Hutan Kota yang akan diprioritasklan untuk perencanaan /pembangunan selanjutnya 3. Indikator dalam penentuan wilayah potensial untuk Hutan Kota disesuaikan dengan Ketentuan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
57
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
c). Metode
Analisis
Deskriptif
perencanaan maupun dalam konstalasi regionalnya. Sedangkan terpadu mengindikasikan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan tidak hanya dipecahkan secara sektoral saja, tetapi didasari oleh kerangka perencanaan
Kualitatif Analisis deskriptif kualitatif merupakan pengamatan deskriptif dengan sistem pemikiran interpretasi yang tidak sekedar berdasarkan fenomena saja namun diteliti hubungannya hingga memunculkan hipotesa serta adanya prediksi hingga mendapatkan masalah. Berdasarkan metoda yang digunakan analisis ini
yang terpadu antar sektor, yang dalam implementasinya dapat berujud koordinasi dan sinkronisasi antar sektoral. e). Analisa SWOT
mempunyai subyektivitas tinggi terhadap obyek yang dianalisis. Untuk itu diperlukan brainstorming (diskusi umum dan khusus, rapat koordinasi, dan presentasi).
Metode SWOT merupakan metode yang seringkali dipergunakan dalam suatu perencanaan strategik, dan sangat implikatif di dalam analisisnya. SWOT akan mencari faktor-faktor penghambat dan faktor-faktor peluang yang dihadapi. Sehingga seringkali disebut sebagai metode analisis situasi. Adapun Analisa dan Kajian menyangkut beberapa factor untuk menilai kondisi, kebutuhan, fungsi dan manfaat Hutan Kota secara:  Ekologis Analisis ekologis yang dilakukan mencakup: kualitas air tanah, bencana alam (banjir, tanah
d). Metode
Mixed Scanning Comprehensive Approach Metode ini merupakan pendekatan perencanaan yang menyeluruh dan terpadu serta didasarkan pada potensi dan permasalahan yang ada di wilayah perencanaan. Pendekatan tersebut menyeluruh, dalam arti bahwa peninjauan permasalahan bukan hanya didasarkan pada kepentingan wilayah perencanaan saja, tetapi ditinjau pada kepentingan yang lebih luas, baik antara wilayah
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
58
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
longsor), polusi udara dan suhu udara. Sosial Budaya Analisis sosial budaya mencakup interaksi sosial, sarana rekreasi, dan tetenger (landmark) kota. Arsitektural
Sebagai contoh, hasil penelitian di sebuah kota dengan luas 431 km2, jumlah penduduk 2,6 juta jiwa, jumlah kendaraan bermotor 200.000 bh, maka: Kebutuhan O2 = 5,352
Analisis menyangkut keindahan kenyamanan Ekonomi Analisis
X 10 gram atau setara 5.709 X 10 gram berat kering tanaman, Untuk memproduksi oksigen oleh kelompok tanaman sebesar jumlah
arsitektural nilai dan
ekonomi
menyangkut pemanfaatan lahan kosong menjadi lahan budidaya (urban agricultur) dan kontribusi sarana wisata Hutan Kota Regulasi / Peraturan Analisa regulasi/peraturan untuk mendapatkan hasil rekomendasi Rencana Hutan Kota yang kuat secara yuridis.
f). Analisa
Perhitungan
tersebut perlu dibuat: (5.709 X 10) : 24 = 105.7 km2 atau 24.6% luas kota adalah RTH Dengan catatan asumsi bahwa setiap meter persegi (m2) tanaman menghasilkan 54 gram bahan kering. 2).
Luas
RTH Kota Terdapat beberapa macam cara untuk menetapkan keluasan RTH kota, ditinjau dari berbagai kebutuhan penduduk kota. 1). Pendekatan Gerakis melalui Perhitungan Kebutuhan Oksigen (O2):
Perhitungan Berdasar Kebutuhan Air: Kebutuhan air dalam kota tergantung dari faktor: a. Kebutuhan air bersih per tahun b. Jumlah air yang dapat disediakan oleh PAM c. Potensi air saat ini d. Kemampuan hutan menyimpan air
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
59
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGATURAN PROPORSI RUANG TERBUKA HIJAU PADA WILAYAH KOTA RUANG TERBUKA
RUANG TERBUKA NON HIJAU RUANG TERBUKA NON HIJAU PRIVAT RUANG TERBUKA NON HIJAU PUBLIK
RUANG TERBUKA HIJAU (MIN 30% LUAS KOTA) Ps. 29 ayat (2)
RTH PUBLIK (20% LUAS KOTA)
Ps. 29 ayat (1)
RTH PRIVAT
Ps. 29 ayat (3)
berdasarkan UU Tata Ruang No: 26 tahun 2007.
antara dan di dalam populasi spesies g). Analisa Ekologis 1).
yang sama, atau di antara komunitas
Ekologi dan Ekosistem
populasi
yang
berbeda-beda
dan
Makhluk hidup dalam perkembangan
berbagai faktor non hidup (abiotik)
dan
yang
pertumbuhannya
hidup
sendiri,
tidak
banyak
jumlahnya
yang
memerlukan
merupakan lingkungan yang efektif
makhluk lainnya dalam menjalani
tempat hidup jasad, populasi atau
hidup
Antara
komunitas itu. Lingkungan efektif itu
makhluk yang satu dengan makhluk
mencakup keterkaitan pada interaksi
yang lain selalu berhubungan dan
antara jasad hidup itu sendiri. Kaji
mengadakan
ekologi
dan
selalu
dapat
kehidupannya.
kontak
menguntungkan.
yang
Tetapi
ada
saling juga
itu
memahami
memungkinkan komunitas
itu
kita
secara
sebagian kecil mahkluk hidup yang
keseluruhan (Ewusie, 1990).
selalu
lain,
Adapun ekologi sendiri mencakup
biasanya makhluk ini disebut dengan
suatu keterkaitan antara segenap
parasit.
unsur lingkungan hidup yang saling
Ekologi
merugikan
adalah
makhluk
kajian
mengenai
mempengaruhi, sepeti tumbuhan dan
interaksi timbal-balik jasad individu, di
sinar matahari, tanah dengan air,
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
60
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
yang
pada
umumnya
dikatakan 2).
sebagai hukum alam yang berimbang dan
biasa
disebut
ekosisitem.
Komponen-komponen
Tanam-tanaman
dalam
Lingkungan Kota
dalam
Penghijauan di lingkungan kota dapat
ekosistem telah dikelola oleh alam
meningkatkan
dan mereka saling berinteraksi. Ada
dalam kota, karena manusia dapat
komponen
hidup erat dengan alam (melihat
yang
bekerjasama,
bersifat
netral,
menyesuaikan
bertentangan
tumbuhan
tanaman,
kehidupan
burung
dan
saling
binatang lain serta dapat mengerti
pada
fungsi ekosistem). Kota yang memiliki
akhirnya antara kekuatan-kekuatan
keteduhan dengan banyak pohon
tersebut terjadi keseimbangan (Arief,
besar
1994).
mengurangi
Satu ciri mendasar pada ekosistem
(karena penduduk
adalah bahwa ekosistem itu bukahlah
berjalan kaki, dan berkurang untuk
suatu sistem yang tertutup, tetapi
mencari tempat beristirahat di luar
terbuka dan dari padanya energi dan
kota atau ditempat hiburan besar).
zat
(Heinz Frick, 1998)
menguasai.
bahkan
diri,
kualitas
Akan
tetapi
terus-menerus
digantikan
agar
keluar
sistem
dan
itu
terus
yang lalu
di
dengan struktur, ekosistem secara
produksi
khas
menguntungkan
biologi,
yaitu;
tiga
komponen
produsen
lintas
dapat bermotor
lebih bersedia
Disamping hal tersebut penghijauan
berjalan. Sejauh yang berkenaan
mempunyai
rindang
(jasad
lingkungan
bagi
kota
meningkatkan
oksigen
yang
kehidupan
manusia,
sehat
mengurangi
autotrof) atau tumbuhan hijau yang
pencemaran
mampu menambat energi cahaya;
meningkatkan kualitas iklim mikro.
hewan
atau
Tanam – tanaman menerima air
kosumen makro yang menggunakan
hujan, mengikatnya didalam tanah,
bahan organik; dan pengurai, yang
dan
terdiri
yang
kembali. Dengan demikian tanaman
dan
tersebut ikut dalam pengolahan air
terlarut
hujan dan melindungi tanah lereng
(jasad
heterotrof)
dari
jasad
renik
menguraikan
bahan
organik
membebaskan
zat
hara
(Ewusie, 1990).
udara,
kemudian
dari longsor. PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
61
serta
menguapkannya
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Tabel 1: Tanaman Sebagai Peningkat Kualitas Lingkungan Kota 1 Pohon berumur Âą
Tanam tanaman
100 tahun
seluas 1 Ha
Produksi oksigen (O2)
1,7 kg/jam
600 kg/hari
Penerimaan karbondioksida 2 (CO )
2,35 kg/jam
900 kg/hari
Zat arang yang terikat
6 ton
-
Penyaring debu
-
sampai 85%
Penguapan air
500 liter/hari
-
Penurunan suhu
-
Sampai 4 C
0
Selain tanaman dapat memperbaiki
sumbernya (Living Planet Report,
kualitas
2004, hal 10).
kehidupan,
peningkatan
pendapatan (daun, kayu, akar, buah), penanaman dapat
tanaman
dan
berfungsi
juga
erosi,
mencegah
h). Analisa Teknis
semak sebagai
Sebagaimana yang tertuang
banjir,
dalam pasal 8 PP Nomor 63
menjaga sumber air, sumber bahan
Tahun 2002 Tentang Hutan
bangunan
Kota
penahan
dan
sumber
pangan.
disebutkan luas
bahwa
Disamping itu tanaman juga dapat
besaran
Hutan
Kota
mengurangi pencemaran debu.
dalam satu hamparan yang
3). Penelusuran Jejak Ekologis
kompak paling sedikit 0,25 Ha.
Dalam kaitannya dengan analisa
Persentase luas hutan kota
ekologis
studi
paling sedikit 10% dari wilayah
Kota
perkotaan
penyusunan
Pembangunan Kebumen dengan
Hutan
dilakukan
kajian
menelusuri
jejak
atau
disesuaikan
dengan kondisi setempat. Hutan kota merupakan bagian
ekologis.
dari keseluruhan RTH Kota
Jejak ekologis adalah mengukur
dan RTH merupakan bagian
konsumsi manusia pada sumber-
dari Ruang Terbuka
sumber alam dalam kaitannya
space)
dengan keberlanjutan lingkungan.
Dalam rencana pembangunan
Jejak ini harus dipertimbangkan
dan pengembangan RTH yang
dengan kemampuan alam untuk
fungsional
memperbaharui
perkotaan, ada 4 (empat) hal
sumber
wilayah
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
62
suatu
(open
perkotaan.
wilayah
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
(a)
utama yang harus diperhatikan
RTH luas minimal, dan RTH privat
yaitu:
merupakan
Luas
RTH
minimum
yang
RTH
pendukung
penambah nilai rasio terutama dalam
diperlukan dalam suatu wilayah
meningkatkan
perkotaan
lingkungan dan kultural kota.
ditentukan
secara
komposit oleh tiga komponen
(b)
berikut ini, yaitu: atau
daya
Kebutuhan
lahan
kota
per
dikembangkan
kapita
kualitas
yang
bentuk
(bentuk,
konfigurasi, dan distribusi)
(kenyamanan, kesehatan,
(d) Seleksi
pelayanan
tanaman
sesuai
dan
tujuan
kepentingan
lainnya) 3) Arah
dan
(c) Sruktur dan pola RTH yang akan
dukung alami wilayah
dan
Lokasi
nilai
potensial dan tersedia untuk RTH
1) Kapasitas
2)
dan
pembangunan kota. dan
tujuan
Standart
pembangunan kota
kebutuhan
RTH
diatas
berlaku umum di wilayah perkotaan,
RTH berluas minimum merupakan
dengan luasan RTH minimal yang
RTH
dibutuhkan
berfungsi
ekologis
yang
di
wilayah diatas
perkotaan.
berlokasi, berukuran, dan berbentuk
Perhitungan
pasti, yang melingkup RTH publik
kebutuhan per unit lingkungan dan
dan RTH privat. Dalam suatu wilayah
jenis ruang terbuka yang dibutuhkan
perkotaan maka RTH publik harus
serta lokasinya.
berukuran sama atau lebih luas dari
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
63
berdasarkan
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Tabel 2 STANDART RTH: KRITERIA UNIT UNIT LINGKUNGAN
Tabel 3. KEBUTUHAN AKAN RTH
kualitas i).
Analisa Sosial Budaya
sosial
masyarakat
yang
makin buruk dan tertekan
Tingginya tingkat kriminalitas dan
RTH kota merupakan sub-ordinat
konflik horizontal diantara kelompok
ruang
masyarakat perkotaan secara tidak
konstelasi perencanaan ruang kota
langsung juga dapat disebabkan oleh
secara
keseluruhan.
kurangnya ruang-ruang kota yang
sudut
manusia,
dapat
pengelolaan LH menjadi kompleks. Di
menyalurkan
interaksi
sosial
ketegangan
kebutuhan
untuk
yang
pelepas
dialami
satu
oleh
terbuka
pihak,
pandangan
kualitas lingkungan perumahan dan
contemplation),
penyediaan
ruang
(social
publik,secara
psikologis
dan
latar
berbagai belakang,
berperilaku
(cultural sosial
pertimbangan
(economicconsiderations),
bersikap
politik
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
64
dari
konsepsi
berbudaya
behaviour),
ekonomi
menyebabkan kondisi mental dan
itu
dalam
Ditinjau
maka
dan
manusia
telah
ada
dengan
masyarakat perkotaan. Rendahnya
terbuka
yang
(political
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
attitudes), semua terpadu sebagai
udara, air, tanah dan suara, banjir,
salah satu komponen pendukung
kebakaran, dan krisis air bersih,
pengembangan
berakibat
lingkungan
hidup
penurunan
kualitas
(Haeruman, et.al.1980).
kesehatan, produktivitas, dan kinerja
Manusia akan selalu memandang,
warga kota.
bahwa
sumber
itu
akan
Perencanaan tata ruang kota selalu
dan
jasa
tertinggal dengan laju kebutuhan fisik
berupa materi, informasi, dan energi,
dan psikis penduduk yang semakin
dalam
meningkat,
menghasilkan
daya
barang
siklusnya
masing-masing,
baik
dalam
jumlah
termasuk perhitungan antara daya
maupun kualitas. Ekspansi ruang
dukung atau kemampuan asimilasi
kota
serta dampak negatif lingkungan.
terkendali.
Penanganan
Sekarang, tergantung pada diri kita
lingkungan
hidup
masing-masing,
eksistensi RTH, masih bersifat parsial
bagaimana
menyadari eksistensi sumberdaya itu
ke
segala
penjuru
kota,
tanpa
masalah termasuk
dan temporal.
dan pemanfaatannya, terutama di lingkungan
perkotaan,
j).
sehingga
Analisa Arsitektur
dapat bermanfaat bagi kehidupan
Secara arsitektural RTH dapat
warga kota secara berkelanjutan.
meningkatkan nilai keindahan
Dilihat dari sebuah unit sosial terkecil
dan kenyamanan kota melalui
yaitu keluarga, maka ruang luar yang
keberadaan
ada sebenarnya dapat dimanfaatkan
kota, kebun-kebun bunga, dan
secara optimal, dengan tanaman pot
jalur-jalur
bunga, buah, sayuran, apotik hidup
kota.
minimal untuk kebutuhan keluarga.
Berdasarkan PP Nomor 63
Kota
akan
taman-taman
hijau
dijalan-jalan
selalu
menghadapi
Tahun 2002 Tentang Hutan
akibat
akselerasi
Kota Pasal 14 dan 15 tentang
pembangunan secara menyeluruh,
type dan bentuk hutan kota
sehingga terjadi degradasi kualitas
dengan fungsi yang ditetapkan
fungsi alami lingkungan. Kemacetan
dalam Rencana Tata Ruang
lalu-lintas yang semakin parah di
Wilayah
perobahan
Perkotaan
seluruh bagian kota, pencemaran PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
65
atau
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Rencana Tata Ruang Wilayah
World”, John Wiley & Sons, New
adalah:
York.
Tipe hutan kota antara lain:
Direktorat
Pembinaan
Jalan
“Petunjuk
Kota
Praktis
a. tipe kawasan permukiman;
(1992),
b. tipe kawasan industri;
Penataan
c. tipe rekreasi;
dan Lingkungannya” Direktorat
d. tipe
pelestarian
plasma
Penghijauan
Jalan
Jenderal Bina Marga.
nutfah;
Ir
M.
(1993),
”Urban
Methods
and
Robinson
e. tipe perlindungan; dan
Planning
f. tipe pengamanan.
Techniques”, Human Settlement
Bentuk hutan kota antara lain:
Development, Asian Institute of
a. jalur;
Technology, Bangkok.
b. mengelompok; dan
Melville
c. menyebar.
C.
Branch
”Comprehensive
City
Planning;
and
Introduction
Explanation”,
DAFTAR PUSTAKA
(1985),
The
Planners
Press of The American Planning Anthony J. Catanese, dkk (1989), ”Pengantar
Sejarah
Perencanaan sebuah
Association, Chicago. Menno S. dan Mustamin Alwi (1991), ”Antroplogi
Perkotaan,
kumpulan
(terjemahan)”,
karangan
Rajawali Pers, Jakarta. Paul D. Spreiregen (1981), ”Urban
Intermatra,
Bandung.
Design; The Architecture of Towns and Cities”,Robert E.
Arthur B. Gallion dan Simon Eisener ”Pengantar
Kreiger
Perancangan Kota, Desain dan
Florida.
(1992),
Perencanaan
Publishing
Academy Editions, London.
Jakarta. Diana Conyer and Peter Hills (1984), Introduction
Development
in
the
Company,
Rob Krier (1991), ”Urban Space”,
Kota
(terjemahan)”, Penerbit Erlangga,
”An
Perkotaan”,
to Third
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
66
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN Priyono Kusumo email : priyo330@yahoo.com
Abstrak Ekstraksi cair-cair merupakan salah satu metode pemisahan campuran yang melibatkan proses pemindahan massa solut antara fasa cair yang tidak saling melarut. Dalam proses ekstraksi cair-cair secara kontinyu salah satu cairan didispersikan ke cairan lainnya agar terjadi kontak yang intim antara kedua cairan tersebut. Perpindahan massa solut dari satu fasa cair ke fasa cair lainnya sangat dipengaruhi oleh karakteristik isian, luas permukaan kontak serta diameter gelembung. Untuk keperluan perancangan atau evaluasi unjuk kerja kolom isian, diperlukan informasi besarnya harga koefisien pindah massa baik di fasa dispersi maupun di fasa kontinyu. Saat ini korelasi untuk meramalkan besarnya harga koefisien pindah massa baik di fasa dispersi maupun di fasa kontinyu diturunkan untuk gelembung tunggal baik pada kondisi gelembung bersirkulasi atau tak bersirkulasi. Untuk dapat mengetahui korelasi yang dapat digunakan untuk meramalkan besarnya koefisien pindah massa proses ekstraksi cair-cair dalam kolom isian, dilakukan pengamatan ekstraksi sistem air–MEK–n-heksan. Dalam sistem ini air sebagai fasa kontinyu, MEK sebagai solut, dan n-heksan sebagai fasa dispersi. Pengamatan ekstraksi pada temperatur dan tekanan ruang, dilakukan dalam sebuah kolom berdiameter 5 cm, tinggi 126 cm yang berisi bola kaca. Hasil pengamatan menunjukan bahwa gabungan korelasi model Handloss-Baros (HB) – dan model Garner-Foord-Tayeban (GFT) memberikan hasil yang cukup sesuai pada rentang gelembung bersirkulasi (pada harga Re : 10-200). Berdasarkan model tersebut, penyimpangan terbesar dalam peramalan tinggi isian mencapai harga 1,53 kali dari tinggi sebenarnya. Kata kunci: ekstraksi cair-cair, kolom isian, koefisien pindah massa
Pendahuluan
kecil. Ekstraksi cair-cair saat ini telah
Ekstraksi cair-cair merupakan
digunakan
pada
komersial
salah satu cara pemisahan campuran
misalnya
cair
dimana proses ini dimanfaatkan untuk
yang
pada
kondisi
tertentu
pada
skala
industri petroleum
memiliki beberapa keunggulan bila
penghilangan
dibandingkan dengan menggunakan
aromatik, sulfur, lilin dan resin pada
cara pemisahan lain, seperti distilasi
pembuatan minyak pelumas.
atau adsorpsi. Keunggulan tersebut
senyawa-senyawa
Pemisahan campuran fasa cair
antara lain ialah proses pemisahan
dapat
dapat berjalan pada kondisi ruang
salah satu senyawa dalam campuran
dengan kebutuhan energi yang relatif
ke fasa cair lain yang kontak dengan
terjadi
akibat
perpindahan
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
67
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
campuran cair tersebut. Agar proses
pindah massa yang dinyatakan dalam
pemisahan
besaran
berlangsung
dengan
koefisien
pindah
massa.
cepat dan sempurna, kontak antara
Besaran koefisien
kedua cairan tersebut harus intim
tersebut
yaitu memiliki luas area permukaan
mudah tidaknya senyawa yang akan
kontak sangat luas serta hambatan
diekstraksi (solute) berpindah dari
perpindahan massa antar fasa cair-
salah satu cairan ke cairan yang
cair sangat rendah. Hal ini dapat
lainnya.
dicapai
bila
salah
satu
Cairan
yang
menggambarkan
cairan
terdispersi di dalam cairan yang lainnya.
akan
pindah massa
Tinjauan Pustaka
terdispersi
Ekstraksi
cair-cair
atau
dalam bentuk tetesan disebut fasa
ekstraksi solven adalah ekstraksi dari
terdispersi, sedangkan cairan yang
larutan
lainnya yang mendispersi disebut
menggunakan pelarut fasa cair lain
fasa kontinyu.
sebagai
Dinamika
tetesan
sangat
berpengaruh
besarnya
luas
kontak
serta
fasa
media
cair
pemisah.
dengan
Secara
tersebut
sederhana peristiwa ekstraksi cair-
terhadap
cair dapat digambarkan dalam skema
area
permukaan
besarnya
hambatan
sebagai
Pelarut II
berikut:
Ekstrak
Rafinat
Pelarut I
Zat Terlarut Gambar 1. Skema Proses Ekstraksi Cair-Cair
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
68
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Proses pemisahan zat yang
cair-cair terjadi berdasarkan pindah massa akibat kontak antara larutan yang dialirkan secara kontinyu (fasa kontinyu) dengan pelarut yang dialirkan secara terdispersi (fasa terdispersi). Fasa kontinyu dialirkan dari bagian atas kolom isian yang kemudian mengalir turun. Selama mengalir di sepanjang kolom, cairan mengisi celah-celah kosong dan membentuk lapisan tipis pada permukaan bahan isian. Fasa terdispersi dialirkan dari bagian bawah kolom isian yang selama mengalir di sepanjang kolom dimungkinkan mengalami prosesproses berikut :  Melewati celah-celah kosong  Menembus bahan isian  Mengalami perpecahan menjadi gelembung dengan ukuran yang lebih kecil akibat bertumbukan dengan bahan isian
ada dalam larutan asal ke dalam pelarut merupakan proses pindah massa
yang
memerlukan
luas
permukaan kontak yang besar, oleh sebab itu pelarut didispersikan dalam bentuk tetesan-tetesan kecil ke dalam larutan asal, atau sebaliknya pelarut asal
yang
pelarut.
didispersikan
Dengan
kedalam
demikian
dalam
proses ekstraksi cair-cair dikenal dua fasa
saling
kontak
yaitu
fasa
terdispersi yang merupakan cairan yang didispersikan dan fasa yang merupakan cairan yang bertindak sebagai medium dispersi. Mekanisme pemisahan digambarkan secara sederhana dalam Gambar 2, dengan ekstraksi Larutan/fasa kontinyu
Ekstrak
Pelarut/fasa terdispersi Rafinat Gambar 2. Ekstraksi Cair-Cair dalam Kolom Isian
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
69
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Melalui
berbagai
proses
Laju perpindahan zat terlarut yang
tersebut terjadilah kontak dengan
terjadi antar larutan dibatasi oleh
fasa
adanya tahanan (resistance) yang
kontinyu
kebawah,
yang
kontak
mengalir
yang
terjadi
menghalangi
proses
perpindahan
menyebabkan zat terlarut berpindah
yang terjadi secara molekuler. Proses
dari fasa kontinyu ke fasa terdispersi.
perpindahan zat terlarut antar larutan
Zat terlarut dapat berpindah karena
dapat dirumuskan secara sederhana
adanya driving force antara pelarut
dalam persamaan sebagai berikut :
yang satu dengan pelarut yang lain.
Driving force pada laju perpindahan
driving force (1.) resistance resistance yang menghambat proses
massa zat terlarut adalah perbedaan
perpindahan
konsentrasi antar larutan, sedangkan
difusivitas zat terlarut dalam larutan.
Laju Perpindahan Massa 
adalah
invers
dari
Neraca massa zat terlarut dalam fasa kontinyu Fasa Kontinyu
Uc Ccin
Ud Cdout
Uc Ccout
Ud Cdin
Cdi Cd
Cc
Z Z+? z
Cci
Fasa Terdispersi
Gambar 3. Neraca massa zat terlarut dalam fasa kontinyu
Melalui
3
fasa terdispersi mengalir melintang
terjadinya
kolom pada tiap luas penampang
pindah massa dari fasa kontinyu ke
melintang kolom (m3/jam.m2), Cdout
fasa terdispersi dalam kolom isian.
konsentrasi
Uc adalah kecepatan zat terlarut di
terdispersi. Sedangkan a adalah luas
fasa kontinyu yang mengalir masuk
kontak antar fasa (interfacial area)
dari atas melalui luas penampang
antara fasa terdispersi dan fasa
melintang kolom (m3/jam.m2), Ccin
kontinyu per satuan volum kolom.
konsentrasi zat terlarut. Ud kecepatan
Bila diambil segmen kolom setinggi
diilustrasikan
Gambar proses
zat
terlarut
di
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
70
fasa
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Δz, maka dapat disusun neraca
sebagai berikut:
massa pada segmen volum A.Δz Laju alir masuk – laju alir keluar + laju perpindahan massa = akumulasi
AU cCc z AU cCc
z z
kc a(Cc Cci )dZ Az
Apabila sistem mencapai keadaan tunak maka akumulasi atau diperoleh persamaan (4.)
Perssamaan persamaan
Uc (4)
yang
(2.)
dCc dt
(3.)
dC c 0 , dievaluasi untuk Δz -> 0 dt
dCc kc ai Cc Cci dz
merupakan
dari luas pindah massa (ai) dan
menggambarkan
koefisien pindah massa (kc). Dengan
perubahan konsentrasi zat terlarut di
cara
yang
sama
untuk
fasa kontinyu sepanjang kolom z.
terdispersi dapat dituliskan
fasa
Laju perpindahan massa tergantung
Ud
(5.)
dCd kd ai Cdi Cd dz
Apabila persamaan (5) ini diintegrasikan maka akan dapat diperoleh tinggi kolom Z
U Z d kd ai
(6.)
cdin
C
Cdout
dCd di Cd
Untuk memperoleh tinggi kolom Z,
ai dan koefidien pindah massa fasa
dipengaruhi
terdispersi
oleh
laju
alir
fasa
kd.
Koefisien
pindah
terdispersi Ud, konsentrasi zat terlarut
massa fasa terdispersi kd diperoleh
dalam
korelasinya
fasa
terdispersi
Cd,
luas
terjadinya kontak untuk pindah massa
dari
para
peneliti
terdahulu.
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
71
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Model koefisien pindah massa Model koefisien pindah massa
lebih dari 200
sangat dipengaruhi oleh rejim aliran. Rejim
aliran
dipengaruhi
bilangan
Reynoldnya.
keadaan
bilangan
Di dalam pergerakannya ke
oleh
atas, gelembung mengalami
tiga
kembang kempis.
Ada
Reynold
Bilangan reynold gelembung
yang
Mekanisme
pergerakan
menyebabkan perbedaan rejim aliran
gelembung
khususnya di fasa terdispersi yang
disebabkan
juga
vortex, yaitu ada gerakan ke
mempengaruhi
tetesan
didalam
pergerakan
kolom
1. Gelembung diam
yang
normal
Kecepatan
jatuhnya berosilasi
kecepatan turbulennya.
berdampak
pada
Pergerakan
gelembung
tidak
gelembung
gelembung
tidak
frekuensi
osilasi.
ke
Fasa
dispersi
mempunyai
pengaruh yang kecil terhadap osilasi,
2. Gelembung bersirkulasi
kecuali
jika
viskositasnya sangat tinggi.
Bilangan reynold gelembung
antara 10-200.
Osilasi
oblate-prolate
menyebabkan
Laju pergerakannya di bawah
pecah
kecepatan maksimum
Osilasi
gelembung bergerak di bawah
berotasi maupun berosilasi.
adanya
pecah.
bilangan reynold gelembung
atas diam tidak bergerak baik
oleh
menyebabkan
kurang dari 10
berosilasi
arah .
isian.
Perbedaan itu dinyatakan dengan
yang
gelembung
Gelembung bergerak sambil
tidak
gelembung
ketika
ukuran
di
bawah
maksimum.
berotasi terhadap porosnya
Secara keseluruhan model pindah
3. Gelembung berosilasi
massa
berdasarkan
bilangan
Reynoldnya ditabelkan berikut ini
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
72
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Tabel 1. Model koefisien pindah massa berdasar pada bilangan Reynold Keadaan tetesan
Reynold tetesan
Stagnan (diam)
Re < 10
Model koefisien perpindahan massa fasa terdispersi Treybal
2 2 Dd kd 3d
Rowe
Shc 2,076Re
0,5
Kroning dan Brink (KB)
k d 17,9Dd Sirkulasi
Model koefisien perpindahan massa fasa kontinyu
0, 5
c
Garner Foord Tayeban (GFT)
Shc 0,45 126 1,8Re
0, 5
Handlos dan Baron (HB)
10 < Re < 200
S
S c
0, 5
Higbie
0,00375.U kd d 1 c
4 DcU kc dc
Rose Kintner (RK)
k d 0,45Dd
Garner – Tayeban (GT)
0, 5
Osilasi
Re > 200
penelitian
0, 7
Angelo – Lightfoot
k d
Pada
Shc 50 0,0085Re S c
ini
4Dd 1 0
dipilih
menghitung
tinggi
kolom
koefisien pindah massa gabungan
diperhitungkan
HB-GFT (Handloss-Baros – Garner
pindah massa secara keseluruhan.
Foord Tayeban), difasa terdispersi
Koefisien pindah massa keseluruhan
dan fasa kontinyu. Pemilihan ini atas
(Ko,
dasar
menggabungkan
kenyataan
bahwa
tetesan
over
all)
dengan
Z
koefisien
diperoleh kedua
dengan koefisien
tidaklah stagnant tapi terus bergerak
pindah
sepanjang
Dengan
Koefisien pindah massa keseluruhan
fasa
bisa dinyatakan dengan basis fasa
kolom
memvariasikan terdispersi gabungan
isian.
laju
alir
diharapkan ini
mampu
fasa
tersebut.
maupun
dikedua
basis
fasa.
model
kontinyu
untuk
terdispersi. Untuk basis fasa kontinyu
menghitung koefisien pindah massa dikedua
massa
fasa
dinyatakan dengan persamaan
Untuk 1 1 1 K oc kc mkd
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
73
(7.)
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Sedangkan untuk fasa terdispersi dengan perssamaan
1 1 m K od k d kc (8.) dengan
m
(9.)
Cci Cc * Cdi Cd
Eksperimen
Eksperimen model
yang
untuk
diusulkan,
validasi
fasa
dilakukan
dispersi
kontinyu.
maupun
Dalam
di
eksperimen alir
cairan
fasa ini,
dalam kolom berbentuk silinder yang
divariasikan
laju
diisi dengan bola kaca sebagai bahan
terdispersi
dan
isian. Kolom memiliki sampling port
(pengamatan pada berbagai rejim
pada jarak ketinggian yang pendek,
aliran). Variasi laju alir ditabelkan
sehingga dimungkinkannya diperoleh
berikut ini
fasa
kontinyu
profil konsentrasi zat terlarut baik di
Tabel 2. Variasi laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi No Fc Fd Jenis Packing 3 3 Run (cm /s) (cm /s) 1 1,929 4,545 2 3,858 4,545 3 5,787 4,545 Bola Kaca 4 1,929 9,09 5 3,858 9,09 6 5,787 9,09 7 1,929 13,635 8 3,858 13,635 9 5,787 13,635
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
74
fasa
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Hasil dan pembahasan Koefisien pindah massa fasa kontinyu kc 0.0900
0.0850
0.0800
0.0750
kc cm/s
0.0700
0.0650
0.0600
0.0550
0.0500
0.0450
0.0400 1
2.25
3.5
4.75
6
Fc cm3/s
Fd = 4,54 cm3/s
Fd = 9,09 cm3/s
Fd = 13,63 cm/s
Gambar 4. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah massa fasa kontinyu kc
Koefisien perpindahan massa
kontak yang terjadi. Pengaruh laju alir
fasa kontinyu diambil dari model yang
kedua fasa dalam peristiwa pindah
dikembangkan oleh Garner Foord
massa fasa kontinyu disampaikan
Tayeban dengan penghertian bahwa
dalam Gambar 4.
di dalam kolom isian fasa kontinyu
Koefisien pindah massa fasa
akan mengalir mememenuhi kolom
kontinyu lebih dominan dipengaruhi
beserta
oleh
isiannya
dan
mengalir
laju
kebawah. Selama dalam perjalanan
Perubahan
mengalir
menyebabkan
kebawah
dalam
kolom
alir
fasa
kontinyu.
laju alir kedua fasa perubahan
pada
bertemu dengan fasa terdispersi yang
koefisien
mengalir naik dengan bentuk tetes-
Perubahan yang terjadi senantiasa
tetes
sama
fasa
terdispersi.
Saat
pindah
(berimpit).
massanya.
Keadaan
bertemunya fasa kontinyu dan fasa
disebabkan pada fasa
dispersi perpindahan
terdispersi
disitulah
terjadinya
tidak atau sedikit sekali mengandung
massa.
Perpindahan
sat yang bisa berpindah dari fasa
massa dari fasa terdispersi ke fasa kontinyu
ini
dipengaruhi
oleh
terdispersi ke fasa kontinyu.
waktu
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
75
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Koefisien pindah massa fasa terdispersi 0.0224
0.0222
0.0220
kd cm/s
0.0218
0.0216
0.0214
0.0212
0.0210
0.0208
0.0206 1
2.25
3.5
4.75
6
Fc cm3/s
Fd = 4,54 cm3/s
Fd = 9,09 cm3/s
Fd = 13,63 cm3/s
Gambar 5. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah massa fasa terdispersi kd
Koefisien pindah massa fasa
terdispersi. Koefisien pindah massa
terdispersi diambil dari model yang
fasa terdispersi sangat dipengaruhi
dikembangkan oleh Handlos-Baron
oleh laju alir kedua fasa dalam kolom
dengan asumsi bahwa di dalam tetes
isian. Semakin tinggi laju alir salah
terjadi sirkulasi penuh, yaitu kondisi
satu fasa atau bahkan keduanya
tetes mendekati tetes berosilasi. Oleh
membuat koefisien pindah massanya
karena itu perpindahan massa secara
menurun. Sebab pada laju alir yang
difusi
tinggi terjadi turbulensi pada aliran
jauh
lebih
perpindahan
besar
secara
daripada molekuler.
yang
menyebabkan
memperhitungkan
bilangan
parameter viskositas dan kecepatan
bilangan
tetesan sehingga keberlakuan model
perubahan rejim aliran, perubahan
ini
rejim
Korelasi
lebih
ini
tepat
pada
gelembung
Reynold.
perubahan
Reynold
aliran
Perubahan berarti
menyebabkan
terjadi
model
bersirkulasi dengan rentang bilangan
koefisien perpindahan massa dari
Reynold, Re :10-200.
Handlos-Baron
Pada Gambar 5 menunjukkan perubahan
laju
menyebabkan koefisien
alir
kedua
perubahan
pindah
massa
tidak
akurat
lagi,
sebab model ini hanya bisa akurat
fasa
pada rentang bilangan Reynold 10 â&#x20AC;&#x201C;
pada
200 saja. Laju alir yang lebih lambat
fasa
menyebabkan aliran yang laminer,
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
76
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
aliran laminer bilangan Reynoldnya
perpindahan massa zat terlarut dari
kecil.
fasa kontinyu ke lapisan batas sama dengan
Koefisien
pindah
massa
massa
zat
terlarut dari lapisan batas ke fasa
keseluruhan Kod Koefisien
perpindahan
terdispersi. Keadaan ini bisa diikuti massa
pada Gambar 6 Pada laju alir fasa
keseluruhan dapat dinyatakan dalam
kontinyu yang lebih rendah koefisien
basis fasa kontinyu ataupun fasa
pindah
terdispersi.
Pada
besar, namun pada laju alir yang
dinyatakan
dalam
terdispersi, perpindahan
pindah
penelitian basis
ini fasa
Kod.
Koefisien
massa
keseluruhan
lebih
massa mempunyai nilai
cepat
koefisien
pindah
massanya menurun. Perubahan nilai kosfisien pindah massa
karena
merupakan gabungan model HB-GFT
perubahan laju alir fasa terdispersi
(Handloss Baros â&#x20AC;&#x201C; Garner Foord
hampir
Tayeban). Model ini berlaku akurat
disebabkan
pada rentang bilangan Reynold 10 â&#x20AC;&#x201C;
massa zat terlarut dari fasa kontinyu
200.
ke
Koefisien
keseluruhan
dapat
berdasarkan
teori
pindah
massa
didefinisikan dua
selalu
lapisan
berimpit
karena
batas
hal
ini
perpindahan
sama
dengan
perpindahan massa zat terlarut dari
lapisan.
lapisan batas ke fasa terdispersi
Berdasarkan teori dua lapisan, fluks
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
77
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
0.0250
0.0240
0.0230
0.0220
Kod cm/s
0.0210
0.0200
0.0190
0.0180
0.0170
0.0160 1
2.25
3.5
4.75
6
Fc cm3/s
Fd = 4,5 cm3/s
Fd = 9,09 cm3/s
Fd = 13,63 cm3/s
Gambar 6. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah massa keseluruhan Kod Perhitungan tinggi kolom, Z 4.50 4.00
Zhitung/Znyata
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0
0.02
0.04
0.06
K(od) Re = 35 ; Run 1, 4, 7 Re = 350 ; Run 1, 4, 7 model Re = 175
Re = 70 ; Run 1, 4, 7 model Re = 35 model Re = 350
Re = 175 ; Run 1, 4, 7 model Re = 70
Gambar 7. Tinggi kolom Z pada berbagai bilangan Reynold
Tinggi kolom dihitung dengan
Garner
Foord
Tayeban)
untuk
menggunakan model koefisien pindah
berbagai rejim aliran yang dinyatakan
massa keseluruhan gabungan dari
dengan bilangan Reynold. Gambar 7
model HB-GFT (Handloss-Baros â&#x20AC;&#x201C;
menjelaskan
perihal
perbandingan
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
78
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
tinggi
kolom
perhitungan
menggunakan model koefisien pindah massa gabungan HB-GFT (Handloss–
Baros
Garner
dengan
tinggi
Foord
nyata.
Daftar notasi
Tayeban) Perubahan
d
= diameter tetesan, mm
dvs
= diameter rata-rata tetesan,
bilangan Reynold atau rejim aliran
mm
menyebabkan
pada
Re
= bilangan Reynold.
fasa
Sc
= bilangan Schmidt.
terdispersi dan kontinyu serta koefisien
Sh
= bilangan Sherwood.
pindah massa keseluruhan. Sebagai
U
= laju alir, cm3/dtk
akibatnya
ε
= fraksi kosong packing dalam
koefisien
perubahan
pindah
pada
massa
perhitungan
tinggi
kolom memberikan hasil yang tidak
model angelo-light foot.
akurat.
Pada
kc
berkisar
35
bilangan sampai
Reynold
175
masih
= koefisien pindah masssa fasa
kontinu, cm/dtk
memberikan hasil yang sesuai namun
kd
pada
dispersi, cm/dtk
bilangan
Reynold
375
= koefisien pindah masssa fasa
perhitungan sudah melambung tinggi,
m
ini menunjukkan model gabungan HB-
kesetimbangan.
GFT (Handloss-Baros – Garner Foord
Koc
Tayeban) tidak cocok bila digunakan
keseluruhan basis fasa kontinyu,
pada bilangan Reynold diatas 200.
cm/dtk Kod
Kesimpulan
= koefisien distribusi
= koefisien pindah massa
= koefisien pindah massa
keseluruhan basis fasa terdispersi,
Untuk
meramalkan
atau
cm/dtk
mernghitung tinggi kolom dengan rejim
ω
= kecepatan angular.
aliran
v
= kecepatan fasa kontinu.
yang
relatif
laminer
model
koefisien pindah massa gabungan HB-
cm/dtk
GFT (Handloss-Baros – Garner Foord
ρ
Tayeban)
g/cm3
lebih
cocok
digunakan.
= massa jenis fasa kontinu,
Untuk rejim yang lebih turbulen perlu
μ
= viskositas cairan, cP
model koefisien pindah massa yang
σ
= tegangan antar muka,
lain.
dyne/cm PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
79
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
c
= fasa kontinu.
d
= fasa dispersi.
Z
= tinggi kolom, m
Bn
= konstanta model kronig-brink.
g
= percepatan gravitasi.
Daftar Pustaka Laddha,
G.S.
,
Degaleesan,
T.E.
“Transport Phenomena ini Liquid Extraction”, Mc Graw Hill, New York, 1978. Mansyur,
Y.
dan
Hervianto,
B.C.
“Hidrodinamika Kolom Isian untuk Proses
Ekstraksi
Cair-Cair”,
Thesis ITB, 2004. Putranto,
Aditya,
“Kajian
Hidrodinamika Ekstraksi Cair-Cair pada kolom Isian”, Thesis ITB, 2004. Treyball, “Liquid-liquid Extraction”, Mc Graw Hill, New York, 1950. Treyball, “Mass Transfer Operations”, Mc Graw Hill, New York, 1980
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
80
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI Mega Kasmiyatun Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Untag Semarang Jl. Pawiyatan Luhur, Bendan Dhuwur Semarang, tilp. (024)8310920
ABSTRAK Katekin (C6H6O2) dalam teh adalah komponen utama yang menentukan mutu, baik cita rasa, kenampakan, maupun warna air seduhan. Katekin merupakan kerabat tanin terkondensasi yang sering disebut polifenol, mempunyai manfaat bagi kesehatan manusia. Untuk menghasilkan teh hijau dengan kadar katekin tinggi perlu proses pengeringan pada suhu rendah supaya senyawa polifenol tidah berubah menjadi theaflavin dan isomer-isomernya. Jenis pengering Endless Chain Vacuum (ECV) merupakan alat yang dapat dipakai untuk tujuan ini. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Membuat rancang bangun alat pengering ECV yang dapat mereduksi kandungan air, menginaktivasi enzimatis, dan menghindari peristiwa epimerisasi katekin untuk produksi teh hijau berkatekin tinggi; (2) Uji eksperimetal alat pengering ECV untuk mengkaji pengaruh temperatur, laju alir udara panas, dan waktu tinggal terhadap kandungan air dan katekin dalam teh hijau yang dihasilkan; dan (3) Menyusun model empirik laju pengeringan dari pengering ECV. Langkah penelitian meliputi: Perancangan dan pabrikasi alat pengering ECV; Uji eksperimental alat pengering untuk mengetahui seberapa jauh kinerja pengering EVC melalui pengkajian pengaruh temperatur, laju alir udara panas, dan waktu tinggal terhadap kandungan air dan katekin yang dihasilkan; pemodelan dan uji model. Hasilnya menunjukkan bahwa rancang bangun alat pengering ECV mampu mengeringkan teh hijau dengan kadar katekin 14,57%. Temperatur dan lajualir udara pengering berpengaruh pada kurve laju pengeringan atau waktu pengeringan, sedangkan waktu tinggal berpengaruh pada proses pengeringan ECV dan hasil katekin yang didapat. Disamping itu, dihasilkan model matematis yang menunjukkan hubungan antara berat daun teh sebagai fungsi waktu pengeringan, dimana dari uji validasi model menunjukkan tingkat ketepatan yang cukup baik. Kata kunci : Endless Chain Vacuum, katekin, pengeringan, teh hijau.
I.
PENDAHULUAN
perkebunan besar negara, dan 22% perkebunan besar swasta. Pasar teh
Teh
sebagai
penyegar merupakan
bahan
dan salah
minuman
menyehatkan satu
dunia
dibayangi
gejala
kelebihan
pasokan dan biaya produksi yang
komoditi
cenderung meningkat, mengharuskan
unggulan perkebunan Indonesia. Areal
para produsen teh untuk meningkatkan
teh Indonesia seluas 157.000 ha terdiri
daya saing dan nilai tambah. Akhir-
atas 54% perkebunan rakyat, 24%
akhir ini, aspek kesehatan teh disorot
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
81
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
tajam sejalan dengan kecenderungan
80%
masyarakat mengkonsumsi makanan
sedangkan sisanya diolah menjadi teh
atau
hijau.
minuman
imbangan
substitusi
diet
kaya
sebagai
lemak
dan
diolah
menjadi
Teh
mengandung
teh
hitam,
hitam
lebih
sedikit
katekin
daripada
teh
kolesterol (Yulianto dkk., 2005; Utami
hijau karena dalam proses pengolahan
dkk., 2005).
teh
Senyawa Katekin (C6H6O2) dalam teh
mengalami
merupakan komponen utama dalam
memperbaiki
teh yang mendominasi sekitar 30%
aromanya.
berat
Efek menyehatkan pada teh terletak
kering.
Skobeleva,
(Bokuchava
1969;
Lunder,
dan 1989;
hitam dirancang agar katekin
pada
oksidasi warna,
senyawa
untuk rasa,
dan
katekin
yang
Graham, 1992; Price dan Spitzer,
dikandungnya (Copeland et al., 1998;
1993; Wang dan Helliwell, 2000).
Wanasundara
Katekin
dan
Shahidi,
1998;
kerabat
tanin
Zandi dan Gordon, 1999; Nwuha et al.,
sering
disebut
1999; Wang dan Helliwell, 2000; dan
gugus
Sava et al., 2001). Penelitian dengan
dimilikinya.
teh hijau Jepang menunjukkan bahwa
Katekin merupakan senyawa utama
katekin mempunyai banyak manfaat
yang menentukan mutu, baik cita rasa,
yaitu
kenampakan,
terjangkitnya
adalah
terkondensasi polifenol fungsi
yang
karena hidroksil
banyaknya yang
maupun
warna
air
seduhan (Graham, 1992). Kandungan
katekin
tanaman
teh
varietas
assamica
dibandingkan
kesehatan
pada
(Camellia lebih
varietas
dapat
pucuk
mengurangi kanker,
jantung,
resiko menjaga
bersifat
anti
oksidan, anti mikroba, dan bahkan
sinensis)
mampu
memperpanjang
masa
banyak
menopouse (Oguni, 1993; Bruneman,
sinensis
1991; Chen, 1991; Fujiki, 1991; Fung,
(Yamanashi, 1995). Namun demikian,
1991;
varietas sinensis memiliki aroma yang
Bambang (1995, 1996) kandungan
lebih baik karena memiliki kandungan
katekin pada daun teh Indonesia lebih
asam amino lebih tinggi. Tanaman teh
banyak dibanding katekin daun teh
yang
Jepang,
sehingga
diduga
mempunyai
hampir
dibudidayakan 100%
di
merupakan
Indonesia varietas
assamica. Pucuk teh yang dihasilkan
Hayatsu,
1991).
teh daya
Menurut
Indonesia potensi
menyehatkan lebih tinggi. Keunggulan
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
82
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
ini membuka peluang bagi industri teh
terbatas, tidak cocok untuk bahan
Indonesia
teh
yang mudah menggumpal (lengket),
hijau berkatekin tinggi sebagai bahan
dan produk teh hijau yang dihasilkan
baku preparat katekin dan functional
memiliki kadar air relatif tinggi. Kadar
food
air
untuk
memproduksi
yang
mulai
populer
yang
masih
tinggi
pemakaiannya dewasa ini.
memungkinkan
Pengolahan teh hijau pada prinsipnya
oksidasi
dilakukan
menginaktifkan
mengakibatkan kadar katekin teh hijau
enzim polifenol oksidase, yaitu dengan
yang dihasilkan relatif rendah. Untuk
cara steaming (pemberian uap panas)
itu
dan cara panning (penggarangan).
pengering
Teknologi inaktivasi enzim polifenol
menggunakan Endless Chain Pressure
dengan pemberian uap panas lebih
(ECP) Drier.
banyak
Studi fundamental tentang ECP telah
dengan
memiliki
Meskipun
keunggulan.
demikian,
untuk
terjadinya
ini,
enzimatik
perlu
dilakukan
proses
polifenol,
dicari
alternatif
lain,
yaitu
pada
skala
yang
jenis dengan
laboratorium
menghasilkan teh hijau yang siap
dengan kajian perpindahan panas dan
dikonsumsi
massa.
dengan
kadar
katekin
Hasil telaah menunjukkan
tinggi dan kadar air sekitar 2 â&#x20AC;&#x201C; 3%,
bahwa ECP sangat potensial dalam
masih
menginaktifkan
diperlukan
tahapan
proses
enzim
polifenol
lanjut yaitu pengeringan, di mana
oksidase dan mereduksi kandungan
selain mengurangi kadar air juga untuk
air,
menghentikan
berkatekin tinggi (Utami dkk., 2005;
enzimatik
proses
polifenol
oksidasi
apabila
masih
sehingga
Setiawan
dihasilkan
dkk.,
2007).
teh
hijau
Meskipun
terdapat enzim yang masih aktif (Utami
demikian, ternyata masih ada masalah
dkk., 2005).
yaitu terjadinya peristiwa epimerisasi
Selama ini untuk pengolahan teh hijau,
katekin menjadi isomer-isomer seperti
menggunakan
produk
jenis
pengering
intermediet
theaflavin
dan
fluidized bed drier (FBD). Pengering ini
degradasi termal katekin. Hal ini terjadi
masih bersifat konvensional, karena
karena temperatur pengering yang
memerlukan
udara
relatif tinggi, sehingga menyebabkan
pengering cukup tinggi (0,5 â&#x20AC;&#x201C; 0,75
senyawa-senyawa polifenol berubah
m/s), ukuran dan densitas bahan
menjadi
kecepatan
theaflavin
dan
isomer-
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
83
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
isomernya. Akibatnya, kadar katekin
kondisi proses yang optimum, yaitu:
(senyawa polifenol) teh hijau yang
(1) Membuat rancang bangun alat
dihasilkan relatif berkurang. Atas dasar
pengering ECV ; (2) Uji eksperimetal
itulah proses pengeringan sebaiknya
alat pengering ECV untuk mengkaji
dilakukan pada temperatur yang relatif
pengaruh temperatur, laju alir udara
rendah
panas, dan waktu tinggal terhadap
dengan
cara
pemvakuman
atau merendahkan tekanan
operasi
kandungan air dan katekin dalam teh
alat pengering, sebagaimana yang
hijau yang dihasilkan; (3) Menyusun
bterjadi pada alat pengering jenis ECV.
model empirik laju pengeringan dari
Keunggulan pengering ECV adalah:
pengering ECV.
luas permukaan kontak bahan dengan udara
panas
lebih
besar,
laju
Model
Perpindahan
Panas
dan
perpindahan panas dan massa lebih
Massa pada Pengeringan Daun Teh
besar,
Perpindahan
medium
pengering
besar
panas
dalam
proses
sehingga kapasitas pengeringannya
pengeringan terjadi karena perbedaan
besar,
tekanan uap air dari tempat yang
suhu
seragam
sepanjang
sehingga
hamparan
peristiwa
case
berbeda. Proses tersebut mirip dengan
hardening pada teh jarang terjadi, dan
pindah
gesekan
temperatur
antar
partikel
teh
relatif
panas
akibat
(Hall,
perbedaan
1971).
Hasil
kecil.Selain itu, peristiwa epimerisasi
penelitian pada proses pengeringan
katekin
dalam
dan
degradasi
termal
pengolahan
kemungkinan dapat dihindari (Utami
menunjukkan
dkk., 2005; Setiawan dkk., 2007).
berstruktur
Atas
tembakau, kadar air kritis dimulai pada
dasar
tersebut, pengering
keunggulan-keunggulan
maka ECV
perlu
penelaahan
dalam
seluler
periode laju
mereduksi
cukup
bahwa
tembakau untuk
bahan
seperti
daun
pengeringan
tinggi,
sehingga
seluruh
kandungan air, menginaktivasi enzim
penelitian
polifenol,
peristiwa
hanya dilakukan pada periode laju
epimerisasi katekin serta degradasi
menurun, dengan perpindahan massa
termal, agar diperoleh produk teh hijau
yang dikendalikan oleh mekanisme
berkatekin tinggi. Kajian dititikberatkan
difusi (Legros, et al., 1994). Proses
pada perancangan pengering ECV dan
pengolahan teh hijau menggunakan
dan
mencegah
mengenai
menurun
pengeringan
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
84
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
bahan dasar daun teh yang juga berstruktur
seluler,
diperkirakan
sehingga
fenomena
yang
(2)
akan
Persamaan
2
adalah
persamaan
terjadi pada proses pengeringan teh
diferensial parsial yang memerlukan
hijau
kondisi
juga
akan
didominasi
oleh
mekanisme difusi. Dalam
awal
dan
kondisi
Berdasarkan fenomena yang terjadi,
penelitian
ini,
teh
syarat batas dapat ditetapkan sebagai
diasumsikan berbentuk slab (lempeng
berikut:
dengan panjang tak berhingga) karena
Kondisi awal, M(x, 0) = Mo
tebal
(3)
teh
jauh
diameternya. berbentuk
lebih
kecil
Pengeringan
lempeng
tak
dari bahan
Kondisi batas L M , t 0 2
berhingga
dapat diterangkan dengan persamaan (4)
kontinuitas (1) dari benda berbentuk lempeng
dengan
koefisien
difusivitas
kerapatan yang
M(-x, t) = M(x, t)
dan (5)
konstan
Dengan
(Incropera dan DeWitt, 1990; dan
Mt Me 8 Mo Me 2
(1) Jika bentuk lempeng tak berhingga, hanya
variabel,
metode diperoleh
penyelesaian persamaan difusi:
2M 2M 2M M D 2 x t y 2 z 2
air
menggunakan
pemisahan
Sanjuan et al., 1999).
difusi
batas.
dianggap
kearah sumbu x, berarti
1n1
2n 1
2
n 1
Dt ex p 2n 12 2 2 L
(6)
terjadi
Penyelesaian persamaan (6) dalam
M M 0, y z
bentuk deret dinyatakan oleh Crank,
sehingga Pers.(1) dapat disederhana-
1975; Henderson dan Perry, 1976; Mc-
kan menjadi:
Cabe et al., 1993; Bird et al., 1994 sebagai berikut:
2M M D 2 x t
(2)
2 2 2 Mt Me 8 D L .t 1 9D L .t 1 25D L .t e e .......... e Mo Me 2 9 25
(7) REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
85
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Suku yang dominan dari Pers (7)
Perancangan dan pabrikasi prototipe
adalah suku pertama. Suku-suku lain
pengering ECV.
hanya akan berpengaruh pada nilai t
Uji eksperimental alat pengering ECV
yang sangat kecil, [ 4Dt 2
Pengembangan model empirik dan
L
0,1
]
(Mc-
validasi model
Cabe, et al., 1993). Dengan demikian, hampir seluruh nilai t Persamaan 16 dapat disederhanakan menjadi, Mt Me 8 2 e k .t Mo Me
Perancangan
Pabrikasi
pengering ECV.
(8)
Perancangan
dan
pengering
ECV
Workshop
Teknik
pabrikasi dikerjakan Mesin
alat di
UNDIP
Semarang. (Gambar 1). Rangkaian
(18)
alat pengering yang digunakan untuk
dengan :
proses
k = D(/L)2
inaktivasi
enzim
polifenol
oksidase dan de-epimerisasi katekin.
(9)
Rangkaian
Persamaan (8) diselesaikan dengan
menghitung
nilai
alat
ini
terdiri
dari
pengering dengan pompa vakum, yang
cara numerik dan dapat digunakan untuk
dan
dilengkapi
difusivitas
dengan
termokopel,
manometer yang terhubung dengan
massa D.
komputer dan alat pencatat waktu. II. EKSPERIMENTAL 2.1
Kerangka Penelitian
Penelitian tentang inaktivasi enzim polifenol
oksidase
dan
studi
de-
epimeriasasi katekin melalui proses pengering untuk menghasilkan teh hijau berkatekin tinggi diinvestigasi baik
secara
eksperimen
maupun
pemodelan, meliputi :
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
86
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
pencatat (multipoint recorder) serta alat pencatat waktu.
Gambar
5.
Alat pengering tipe
Endless Chain Vacuum (ECV) n
panas
dan
pengeringan teoritis,
massa
proses
berdasarkan
kajian
studi
fundamental
pada
banyak penelitian sebelumnya, yang dilakukan di Laboratorium Komputasi
Tabel 1. Lubang trays pada pengering
Proses Teknik Kimia Fakultas Teknik
ECV
UNTAG. kemudian
Model
yang
dipostulasi,
diturunkan
LUBANG
untuk
TRAYS
Mesh
(mm)
memperoleh persamaan yang nantinya
ayakan
Tray
Tray
Tray
akan diuji dengan menggunakan data
basah
atas
tenga
bawa
h
h
3,0
2,8
2,2
2.2 Bahan Penelitian
No. 5 dan 2,2
2,0
1,8
Bahan utama untuk penelitian berupa
6
daun teh yang diperoleh dari Kebun
No. 6 dan 2,0
2,0
1,8
Teh
7
yang diperoleh dari eksperimental. No. 4
PT.
Rumpun
Sari
Medini-
Limbangan Kendal. Bahan bakar solar dibeli dari pom bensin di Semarang.
Peralatan
Bahan-bahan kimia untuk keperluan
analisa kadar air adalah oven. Alat
analisa diperoleh dari PT. Bratachem
High
Semarang.
Chromatography
2.3
untuk
Peralatan Penelitian
Peralatan
yang
digunakan
yang
digunakan
Performance
keperluan
untuk
Liquid
(HPLC) digunakan analisa
katekin.
dalam
Higrometer digunakan untuk mengukur
penelitian adalah pengering tipe ECV,
kelembaban sistem. Peralatan lain
yang
pada
yang digunakan adalah cawan kecil,
Tabel 1. Alat ini dilengkapi dengan
erlen meyer, pipet, buret, labu ukur,
termokopel yang dihubungkan dengan
serta timbangan analitis.
karakteristiknya
tersaji
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
87
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
2.4
Variabel Proses
input untuk membangun model dalam
Variabel penelitian yang divariasikan
bentuk persamaan empiris dengan
adalah suhu (80, 85 dan 90oC), laju alir
menggunakan program Matlab.
udara panas (15, 20, dan 30 l/menit). Suhu
divariasikan
tersebut,
karena
pada
rentang
merupakan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
suhu
Pengeringan adalah penurunan kadar
inaktivasi enzim polifenol oksidase.
air
Tekanan ditetapkan, 60 mmHg, karena
sehingga bahan tersebut bebas dari
merupakan
serangan mikrobia, enzim, dan insekta
epimerisasi termal
kondisi katekin
katekin.
tidak dan
terjadi
degradasi
Kecepatan
bahan
yang
belt
sampai
merusak.
pembawa
panas
batas
Sebagai dan
tertentu
media
massa
uap
pengering ECV divariasi antara 4,2
biasanya digunakan udara dengan
sampai 9,2 cm/menit.
entalpi dan tekanan uap tertentu. Udara yang dipanaskan menyediakan
2.5
Prosedur Penelitian
panas untuk memenuhi kebutuhan
Daun teh yang berasal dari proses
panas
steaming
penguapan air dari bahan. Panas yang
serta
penggilingan,
sensibel
dan
panas
latent
dimasukkan kedalam pengering ECV
dibutuhkan
dan dipanaskan dengan udara panas
bertujuan
dalam keadaan vakum dengan tujuan
bahan (panas sensibel) dan untuk
mengurangi kadar air, menginaktifkan
penguapan massa uap air (panas
enzim
de-
latent penguapan). Panas dipasok dari
epimerisasi katekin dan mencegah
udara panas dengan entalpi tertentu,
degradasi
berbagai
dan uap dihantarkan ke udara dengan
pengeringan
tekanan uap parsial tertentu, kemudian
variabel.
polifenol
katekin
oxidase,
pada
Proses
berlangsung selama 20 menit. Sampel
dibawa
tiap interval 2 menit diambil,
konveksi.
diukur
kadar
katekin
serta
dan
dalam untuk
oleh
pengeringan
menaikkan
aliran
udara
suhu
secara
kadar
airnya. Hasil pengukuran digunakan
3.1 Pengaruh Lama Pengeringan
sebagai data untuk memvalidasi model
Gambar 2. menunjukkan hubungan
yang telah disusun. Dari data-data
waktu pengeringan terhadap kadar air
yang telah diukur, digunakan sebagai
teh hijau pada berbagai suhu. Semakin
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
88
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
lama pengeringan, kadar air teh hijau
adalah berat air (kg) yang diuapkan
semakin menurun. Hal ini terjadi,
setiap satuan waktu (jam), setiap
karena
satuan
semakin
pengeringan
lama
menyebabkan
waktu kontak
luas
menunjukkan
(m2).
Gambar
hasil
kurve
3 laju
udara panas dengan teh hijau lebih
pengeringan dari daun teh hijau pada
lama,
perpindahan
suhu 80, 85, dan 90 oC, dengan laju
panas meningkat, akibatnya air yang
alir udara tetap sebesar 15 liter/menit.
berada dalam daun teh relatif banyak
Ketiga kurve tersebut mempunyai pola
yang menguap. Begitu pula dengan
yang sama yaitu mempunyai constant
suhu
drying rate dan falling drying rate
sehingga
laju
pengeringan,
semakin
besar
suhu menyebabkan persentase kadar
periods.
air semakin menurun. Hal ini sesuai
pengeringan, makin besar harga laju
pernyataan Leniger dkk (1975), yang
pengeringan konstan, makin pendek
menyebutkan bahwa laju pengeringan
periodenya, dan makin besar harga
teh dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu
critical moisture content nya. Hal ini
suhu,
dapat dipahami karena makin tinggi
kelembaban
dan
kecepatan
aliran udara.
tinggi
temperatur
suhu media pengering maka lebih kalor
atau
panas
sensibel
yang
dikandungnya, sehingga lebih banyak
60
Kadar air (%)
Makin
80 oC 85 oC
50 40
panas yang dipindahkan ke bahan
90 oC
30
basah
untuk
menguapkan
airnya
20
(sebanyak panas latennya). Akibatnya
10 0 0
10
20
30
40
50
harga laju pengeringannya menjadi
60
Waktu Pengeringan (menit)
besar.
Gambar 2. Grafik perubahan kadar air terhadap waktu pada berbagai suhu
80 oC
85 oC
90 oC
Laju pengeringan (kg/jam.m2)
4
3.2 Kurve Laju Pengeringan Kurve laju pengeringan merupakan hubungan antara laju pengeringan (N)
3 2 1 0 0
dan fraksi moisture (X) dalam bahan
0,1
0,2 0,3 0,4 Kadar moisture (X)
0,5
0,6
(dalam basis kering). Laju pengeringan REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
89
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Gambar 3. Kurve laju pengeringan pada berbagai temperatur (laju alir udara pengering 15 liter/menit)
dikandungnya juga semakin tinggi. Kurve laju pengeringan untuk laju udara 20 liter/menit dan 30 liter/menit
Dari kurve laju pengeringan ini juga
hampir berimpit, sehingga
laju alir
dapat diketahui kadar air pada kondisi
udara 20 liter/menit merupakan laju alir
kesetimbangan (equilibrium moisture
yang optimum.
content) untuk daun teh hijau sebesar 0,02 %, di mana harga ini sama untuk temperatur
Laju pengeringan (kg/jam.m2)
ketiga
15 l/menit
percobaan.
Perbedaan kurve laju pengeringan o
o
untuk suhu 80 C dan 85 C cukup signifikan, sedangkan untuk suhu 85 o
30 l/menit
3 2 1 0 0
0,1
o
C dan 90
20 l/menit
4
C perbedaannya tidak
0,2 0,3 0,4 Kadar moisture (X)
0,5
0,6
begitu nyata. Oleh karena itu suhu 85 Gambar 4. Kurve laju pengeringan pada berbagai laju alir udara pengering (temperatur 85 oC).
oC merupakan suhu yang optimal. Gambar 4 menunjukkan hasil kurve laju pengeringan dari daun teh hijau pada laju alir udara pengering 15, 20, dan 30 liter/menit, dengan suhu tetap
3.3. Kadar Katekin dan Kadar Air
85 oC. Sebagaimana seperti Gambar
Gambar 5 menunjukkan hubungan
5.3, ketiga kurve juga mempunyai pola
antara waktu tinggal bahan di dalam
yang sama yaitu mempunyai constant
pengering ECV terhadap kadar katekin
drying rate dan falling drying rate
dan kadar air teh hijau yang dihasilkan.
periods. Makin tinggi laju alir udara
Kadar katekin terbesar dicapai pada
pengering, makin besar harga laju
waktu tinggal 3000 detik yaitu sebesar
pengeringan konstan, makin pendek
14,6 %. Makin lama waktu tinggal,
periodenya, dan makin besar harga
kadar katekin mengalami kenaikan,
critical moisture content nya. Hal ini
dan
dapat dipahami karena makin tinggi
mencapai harga maksimum dimana
laju alir udara pengering pada suhu
apabila waktu tinggal ditambah maka
yang
kadar katekinnya justru mengalami
sama,
massanya
maka
panas
makin
besar
sensibel
yang
sampai
batas
waktu
tertentu
penurunan.
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
90
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Nilai koefisien pengeringan dan faktor bentuk bahan diperoleh berdasarkan
Kadar (% w/w)
20 KATEKIN H2O
16
nilai kadar air awal bahan (%bk), kadar
12
air keseimbangan bahan (%bk), kadar
8
air bahan selama proses pengeringan
4
(%bk), dan waktu pengeringan (menit)
0 0
1000
2000 3000 Waktu tinggal (detik)
4000
dengan
menggu-nakan
metode
kuadrat terkecil, sehingga model laju pengeringan seperti pada persamaan
Gambar 5. Pengaruh waktu tinggal di pengering ECV terhadap kadar katekin dan moisture pada teh yang dihasilkan.
(8) dapat terbentuk. Nilai
koefisien
pengeringan,
faktor
bentuk bahan, dan model matematis Dengan makin lamanya waktu tinggal
laju pengeringan teh dapat dilihat pada
akan menyebabkan pemanasan lanjut sehingga
sebagian
mengurai.
Namun
tidak
dengan
kadar
airnya,
yang
waktu
tinggal
menunjukkan
kalau
katekin
Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa
akan
model
demikian
matematis
koefisien
memiliki
pengeringan
dan
nilai faktor
bentuk bahan yang berbeda pada masing-masing
diperbesar maka kadar air teh hijau
disebabkan
akan turun.
perlakuan. faktor
kelembaban
Hal
suhu
udara
ini dan
selama
pengeringan sangat berpengaruh pada 3.4 Model Matematis Pengeringan Teh Hijau
Laju
desorpsi
teh
sehingga
terjadi
perbedaan nilai tersebut.
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
91
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Tabel 2. Model matematika laju pengering-an teh hijau dengan pengering ECV
SUHU KOEFISIEN
FAKTOR BENTUK MODEL MATEMATIS
(OC)
PENGERINGAN
BAHAN
80
0,6767
3,6451
Mt Me 3.6451.e 0.6767t Mo Me
85
0,6905
3,8318
Mt Me 3.8318.e 0.6905t Mo Me
90
0,8655
4,6776
Mt Me 4.6776.e 0.8655t Mo Me
Keterangan: *) 0 – 5 = sangat tepat, 5
Pengujian Terhadap Model Pengujian
terhadap
model
– 10 = tepat, 0 = tidak tepat
laju
pengeringan teh, dimaksudkan untuk mengetahui model formula
keabsahan
dalam untuk
Dari hasil pengujian, terlihat bahwa
(kesahihan)
kaitannya
model
sebagai
memprediksi
matematik
yang
diperoleh,
dapat memberi gambaran pengeringan
laju
pengeringan teh pada alat pengering
yang
sesungguhnya
tipe ECP drier Hasil pengujian dapat
pengering
dilihat pada Tabel 4.
digunakan untuk mengevaluasi setiap
ECV,
pada
sehingga
alat dapat
proses pengeringan teh hijau memakai alat pengering yang sejenis.
Tabel 4. Hasil pengujian terhadap model
V. KESIMPULAN Temperatur
R2
dan
lajualir
udara
SUH
MODUL
TINGKAT
U
US
KETEPATA
pengering berpengaruh pada kurve
(OC)
DEVIASI
N *)
laju
90
5,78
Tepat
0,95
pengeringan, sedangkan waktu tinggal
95
4,34
Sangat tepat
0,96
berpengaruh pada proses pengeringan
100
6,12
Tepat
0,94
ECV dan hasil katekin yang didapat.
pengeringan
atau
waktu
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
92
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Secara Matematis laju pengeringan
(Telfairia
teh hijau dengan alat pengering ECV
Journal of Food Processing and
dapat diformulasikan sebagai berikut:
Preservation, 21. 21-32.
Mt Me 3.6451.e 0.6767t Mo Me
F. 2005, Kajian perpindahan panas
Mt Me 3.8318.e 0.6905t ;untuk Mo Me
o
Mt Me 4.6776.e 0.8655t Mo Me
C
leaves.
Ariwibowo, D.,Yulianto, M.E., & Arifan,
untuk suhu 80
o
C
occidentalis)
suhu 85
proses steaming inaktivasi enzim dalam
;untuk suhu 90
pengolahan
teh
hijau.
Majalah Teknik, ke XXVII, ISSN : 0852 – 1697.
o
C
Model matematis ini cukup tepat dalam
Bambang, K., dan T. Suhartika. 1995.
menggambarkan laju pengeringan teh
Potensi teh Indonesia ditinjau dari
hijau dengan ECV dan dapat dipakai
aspek
untuk
Penelitian
mengevaluasi
setiap
proses
kesehatan. dan
Lap.
Hasil
Pengembangan
pengeringan teh hijau memakai alat
Teknik Produksi dan Pasca Panen
pengering sejenis.
Teh dan Kina. TA. 1994/1995. Bambang, K., T. Suhartika., Supria, dan Tanjung, S. 1996. Katekin
UCAPAN TERIMA KASIH Pada
kesempatan
ini
pucuk teh segar dan perubahannya
Penulis
menyampaikan terima kasih kepada
selama
pengolahan.
Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Penelitian
dan
Masyarakat
Teknik Produksi dan Pasca Panen
(DP2M)
Ditjen
Dikti
Hasil
Pengembangan
Teh dan Kina. TA. 1995/1996.
Depdiknas yang telah memberi hibah
Bambang,K., Abas, T., Affandi, A.,
untuk biaya penelitian ini.
Sumantri, S., dan Suryatmo, F. A. 2000. Rancang bangun proses teh
DAFTAR PUSTAKA Anonim.
2001.
Safety
data
hijau
for
berkadar
katekin
tinggi.
catechin.
Laporan Akhir. Proyek Pengkajian
http://phschem.ox.ac.uk./MSDS/.
Teknologi
Ariahu, C. C., Adekunle, D. E., &
Gambung.
degradation
Partisipatif.
Bhirud, P. R., & Sosulski, F. W. 1993.
NKPA, N. N. 1997. Kinetics of heat/enzymic
Pertanian
Thermal
of
inactivation
kinetics
of
ascorbic acid in fluted pumpkin REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
93
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
wheat germ Lipoxygenase. Journal
Daemen,
A.
destruction
of Food Science, 58. 1095-1098.
L.
H.
of
1983.
The
enzymes
and
Bird, R. B., Stewart, W. E., & Lighfoot,
bacteria during spray drying of milk
E. N. 1994. Transport phenomena.
and whey. 3. Analysis of the drying
John Wiley & Sons, Inc., London.
process according to the stages in
Brodkey, R. S., & Hershey, H. C. 1988.
which the destruction occurs. Neth.
Transport phenomena: A unified approach.
Milk Dairy J., 37. 213-28.
McGraw-Hill
Daemen, A. L. H., & van der Stege.
International Editions. New York.
1982. The destruction of enzymes
Bruneman, K. 1991. Teas and tea
and bacteria during spray drying of
components carcinogen
as
inhibibitors
formation
in
of
milk and whey. 2. The effect of the
model
drying conditions . Neth. Milk Dairy
system and man. Symp. Phs. And Pahrm.
Effects
of
J., 36. 211-29. Erkmen, O. 2000. Inactivation kinetics
Camellia
Sinensis. New York 3-5 March
of
Listeria
monocytogenes
in
1991.
Turkish White cheese during the ripening period. Journal of Food
Copeland, E. I., Clifford, M. N., & Williams, C. M. 1998. Preparation
Engineering, 46. 127-131.
of (-)-epigallocatechin gallate from
Ganthavorn, C., Nagel, C. W., &
commercial green tea by caffeine
Powers,
precipitation and solvent partition.
inactivation
of
asparagus
Food Chemistry, 61. 81-87.
lipoxygenase
and
peroxidase.
Crank, J. 1975. The mathematics of
A.
destruction
L. of
H.
R.
1991.
Thermal
Journal of Food Science, 56. 47-49.
diffusion. Clarendon Press. Oxford. Daemen,
J.
Geankoplis, C. J. 1983. Transport
1981.
The
processes: Momentum, heat, and
enzymes
and
mass.
bacteria during spray drying of milk
Allyn
and
Bacon,
Inc.
London.
and whey. 1. The thermoresistance
Graham, H. N. 1992. Green tea
of some enzymes and bacteria in
composition,
consumption,
and
milk and whey with various total
polyphenol chemistry. Preventative
solids contents. Neth. Milk Dairy J.,
Medicine, 21. 334-350.
35. 133-44. REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
94
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Gregory, R., & Bendall, D. 1966. The
Legros, R., Millington, M. A., & Clift, R.
purification and some properties of
1994. Drying of tobacco particles in
polyphenol
a
oxidase
from
tea.
Biochem. J. 101. 569-581.
mobilized
bed.
Drying
Technology, 12(3). 517-544.
Hall, C. W. 1971. Farm drying crops.
Lievense, L. C., Verbeek, M. A. M.,
The Avi Publ. Comp., Inc. Westport.
Taekema, T., Meerdink, G., & Riet,
Connecticut.
K.
V.
1992.
inactivation
Hanna, O. T., dan Sandal, O.C. 1995.
Modelling
of
the
Lactobacillus
Computational methods in chemical
Plantarum during a drying process.
engineering. Prentice Hall. New
Chemical
Jersey.
47(1). 87-97.
Incropera, F. P., & DeWitt, D.I. 1990.
Engineering
Science,
Luyben, K. Ch. A. M., Liou, J. K., &
Fundamentals of heat and mass
Bruin,
transfer. New York. Wiley.
degradation
Kerkhof, P. J. A. M. & Schoeber, W. J.
S.
1982.
Enzyme
during
drying.
Biotechnology and Bioengineering,
A. H. 1974. Theoretical modelling
XXIV. 533-552.
of the drying behaviour of droplets
Martens, M., Scheerlinck, N., Belie, N.
in spray driers. In Advances in
D., & Baerdemaeker, J. D. 2001.
Preconcentration and Dehydration
Numerical model for the combined
of Foods, ed. A. Spicer, Applied
simulation of heat transfer and
Science Publishers. London. 349-
enzyme
97.
cylindrical vegetables. Journal of
Kerkhof, P. J. A. M., & Coumans, W. J.
inactivation
kinetics
in
Food Engineering, 47. 185-193.
1990. Drying of foods: Transferring
McCabe, W. L., Smith, C. S., &
inside insights to outside outlooks.
Harriott, P. 1993. Unit operation of
Paper Prensented at the 7th Int.
chemical engineering. Mc. Graw-
Drying Symp., Praque.
Hill. Int. Book Co.
Kieviet, F. 1997. Modelling quality in spray
drying.
Eindhoven
PhD
Meerdink, G. 1993. Drying of liquid
Thesis.
food droplets: Enzyme inactivation
of
and multicomponent diffusion. PhD
University
Technology. The Netherlands.
Thesis.
Agricultural
University
Wageningen. The Netherlands. REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
95
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
individual flavanol in a range of
Meerdink, G., & Riet, K. V. 1991. Inactivation of a thermostable ď Ą-
green tea. Food Chemistry. 47. Riggs, J. B. 1988. An introduction to
Amylase during drying. Journal of
numerical methods for chemical
Food Engineering, 14. 83-102.
engineers. Texas Tech University
M. J., Sokhansanj, S., & Tutek, Z.
Press. USA.
1992. Determination of heat and mass transfer coefficients in thin
Roberts, E. A. H. 1961. The nature of
layer drying of grain. American
the phenolic oxidation products in
Society of Agricultural Engineers,
manufactured black tea. Tea Quart.
35(6). 1853-1858.
33. 190-200. Ruan,
Nunes, R. V., Swartzel, K. R., & Ollis,
J.
2005.
Quality
D. F. 1993. Thermal evaluation of
constituents
food processes: the role of a
sinensis(L) O. kuantze) as effected
reference temperature. Journal of
by the form and concenttration of
Food Engineering, 20. 1-15.
nitrogen and the supply of chloride.
Saguy,
Heat inactivation of lipase from
fluore-scens
or
ultra-high
(Camellia
1983. in
Computer-aided food
technology.
Marcel Dekker, Inc. New York and
Activation
Basel.
parameters and enzyme stability at low
I.
techniques
Pseudomonas P38:
tea
Disertation.
Owusu, R. K., & Makhzoum, A. 1992.
psychrotrophic
in
related
Sanderson, G. W. 1965a. On the
temperatures.
chemical basis of quality in black
Food Chemistry, 44. 261-268.
tea. Tea Qouart., 36. 172-181.
Popov, V. P. 1956. Oxidation of amino acids in the presence of tannins
Sanderson, G. W. 1965b. On the
and polyphenols of tea. Biokhimiya.
nature of the enzyme catechol
21. 383-387.
oxidase in Tea Plants. UART. 36.
Press.,
W.
H.,
Flannery,
B.
103-111.
P.,
Sanjuan, N., Simal, S., Bon, J., &
Teukolsky, S. A., & Vetterling, W. T. 1989. Numerical recipes in Pascal.
Mulet,
Cambridge Univ. Press.
broccoli stems rehydration process.
in
the
amount
1999.
Modelling
of
Journal of Food Engineering, 42.
Price, W. E., & Spitzer, J. C. 1993. Variations
A.
27-31.
of
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
96
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Verhey,
Sava, V. M., Yang, S. M., Hong, M. Y.,
J.
P.
G.
1973.
Vacoule
Yang, P. C., & Huang, G. S. 2001.
formation in spray powder particles.
Isolation
3. Atomization and droplet drying.
an
characterization
of
melanic pigments derived from tea and
tea
polyphenols.
Neth. Milk Dairy J., 27. 3-18.
Food
Wijlhuizen, A. E., Kerkhof, P. J. A. M. & Bruin, S. 1979. Theoritical study of
Chemistry, 73. 177-184. Senin. Yulianto, M. E. & Ariwibowo, D.
the inactivation of phosphatase
2006. Model Perpindahan Panas
during spray drying of skim milk.
Teknologi
Chemical Engineering Science. 34.
Steaming
Proses
Inaktivasi Enzim Polifenol Oksidase Dalam
Pengolahan
Berkatekin
Teh
Tinggi,
651-60.
Hijau
Yamamoto, S., & Sano, Y. 1992. Drying
Laporan
droplet.
Setiawan, J.D. Yulianto, M.E. & Arifan, F. 2007. Model Perpindahan Panas Massa
Endless
Chain
Pada
enzyme
Chemical
Engineering
Science, 47(1). 177-183.
Pengering
Pressure
enzymes:
retention during drying of a single
Penelitian Fundamental DIKTI.
Dan
of
Yulianto, M.E., Ariwibowo, D., dan
(ECP)
Hartati, I.,2006. Model Perpindahan
Untuk Inaktivasi Enzim Polifenol
Panas dan Massa Pada Pengering
Oksidase,
Endless
Laporan
Sementara
Penelitian Fundamental DIKTI
A.
2000.
Pressure
(ECP)
Untuk Inaktivasi Enzim Polifenol
Sriwatanapongse, A., Balaban, M., & Teixera,
Chain
Oksidase, Majalah Ilmiah Dinamika
Thermal
Sains
Universitas
Pandanaran
inactivation kinetics of bromelain in
Semarang,
pineapple juice. Transaction of the
Agustus 2006, hal 35 -50, ISSN :
ASAE, 43. 1703-1708.
1412-8489.
Trautner, E. M. & Roberts, E. A. H.
Volume
3
No.
5,
Yulianto, M.E., Handayani, D., dan
1950. The chemical mechanism of
Setiawan,
the oxidative deamination of amino
Pengembangan Proses Inaktivasi
acids
Enzim Polifenol Oksidase Melalui
by
catechol
and
polyphenolase. Aust. J. Sci. Res.
Teknologi
Ser. B. 3. 356-380.
Produksi
J.D.,2007.
Steaming Teh
Hijau
Untuk Berkatekin
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
97
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Tinggi. Penelitian
Laporan Terapan
Sementara Ristek.
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
98
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIOETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE * ** Retno Ambarwati SL , Santa Monica , dan Yanastri Putri**D
*) Dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknik **) Mahasiswa Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang; Jl. Pawiyatan Luhur, Bendhan Dhuwur Semarang Telp. (024)8310920, Email retnol@yahoo.com
Abstrak Pada industri Tapioka yang banyak terdapat di daerah Pati Jawa Tengah, selama ini air dari proses pengendapan langsung dialirkan ke selokan yang selanjutnya mengalir ke sungai. Padahal dengan masih adanya kandungan pati yang terdapat di dalam limbah cair tersebut, seharusnya dapat diolah kembali menjadi produk yang lebih bermanfaat , salah satunya adalah Bioetanol, yang mempunyai nilai ekonomis dan juga dapat menjadikannya sebagai salah satu sumber energi alternatif. Pengolahan limbah cair Tapioka menjadi bioetanol dilakukan pada berbagai kadar gula dengan cara memfermentasi limbah yang telah disterilkan dengan bantuan khamir atau yeast di dalam alat fermentor. Hasilfermentasi selanjutnya dipisahkan dari residu dengan cara destilasi I pada suhu 100o C. Bioetanol hasil destilasi ini selanjutnya ditingkatkan kadarnya dengan destilasi menggunakan alat HETP yang berlangsung pada suhu 80o C. Untuk meningkatkan kadar alkohol yang diperoleh selanjutnya dilakukan proses dehidrasi menggunakan zeolit. Dari hasil penelitian pengolahan limbah cair tapioka dari hasil fermentasi dan destilasi I diperoleh bioetanol dengan kadar tertinggi 35 % yang diperoleh dari limbah dengan kadar gula 17 %. Sedangkan dari pemurnian lebih lanjut terhadap bioetanol tersebut dengan destilasi menggunakan alat HETP diperoleh peningkatan bioetanol dari 35% menjadi 93 %. Dengan pemurnian lebih lanjut terhadap bioetanol hasil dengan cara dehidrasi menggunakan zeolit diperoleh bioetanol dengan kadar 97 %. Kata kunci : limbah zeolit,molekuler- sieve
cair
Tapioka.
Latar Belakang
Bioetanol,
sederhana, tapioka
ini
energi
dapat dibuat
alternatif,
diartikan
bahwa
dengan
Tapioka adalah tepung yang dibuat
mengekstrak
dengan
singkong
singkong tersebut kemudian diambil
Secara
patinya sehingga diperoleh tepung
sebagai
menggunakan bahan
baku
.
sebagian
umbi
cara dari
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
99
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
tapioka. Tapioka ini merupakan salah
dikeluhkan keberadaannya antara lain
satu bahan untuk keperluan industri
limbah padat, limbah gas dan limbah
makanan,
cair.
industri farmasi, industri
Limbah
cair
industri
tapioka
tekstil, industri perekat, dan lain-lain.
dihasilkan dari proses pembuatan, baik
Dengan beberapa kegunaan itulah,
dari pencucian bahan baku sampai
peranan
pada
singkong
menjadi
sangat
di
besar
Indonesia baik
pada
proses pemisahan
airnya
atau
proses
pengendapan.
industri skala kecil/ rumah tangga
Penanganan
maupun industri dengan skala besar/
terhadap hasil buangan limbah padat
pabrik.
dan limbah cair akan menghasilkan
Industri tapioka di Indonesia mulai
gas yang dapat mencemari udara.
marak pada tahun 1980-an. Teknologi
Limbah industri tapioka apabila tidak
yang digunakan pada industri tepung
diolah dengan baik dan benar dapat
tapioka, dapat dikelompokkan menjadi
menimbulkan berbagai masalah yaitu :
tiga yaitu
tradisional, semi modern,
timbulnya penyakit gatal-gatal, bau
dan full otomate. Secara tradisional,
yang tidak sedap, dan bila masuk
pengolahan
tambak menyebabkan ikan mati.
tapioka
mengandalkan
yang
pati dari
kurang
tepat
sinar matahari dan produksinya sangat
Pada industri Tapioka yang banyak
tergantung pada musim. Sementara
terdapat di daerah Pati Jawa Tengah,
secara
selama
semi
modern,
di
dalam
ini
air
dari
proses
pengolahannya menggunakan mesin
pengendapan langsung dialirkan ke
pengering (oven) dalam melakukan
selokan yang selanjutnya mengalir ke
proses pengeringan. Sedangkan full
sungai.
otomate
adanya kandungan pati yang terdapat
pengolahannya
menggunakan mesin dari proses awal
di
sampai produk jadi.
seharusnya
Namun
seiring
dengan
masih
limbah
cair
tersebut,
dapat
diolah
kembali
semakin
menjadi produk yang lebih bermanfaat
seperti
, salah satunya adalah Bioetanol, yang
sekarang ini, semakin banyak pula
mempunyai nilai ekonomis dan juga
dikeluhkan
proses
dapat menjadikannya sebagai salah
dari
tapioka.
satu sumber energi alternatif. Dari
yang
sering
hasil pengolahan limbah cair tapioka
pesatnya
produksi
penanganan Beberapa
dengan
dalam
Padahal
tapioka
tentang limbah limbah
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
100
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
menjadi
bioetanol
dimungkinkan
dengan
cara
mekanis, saringan
yaitu
bioetanol yang diperoleh kadarnya
menggunakan
rendah, sehingga belum memenuhi
Saringannya
standart pasar. Untuk itu diperlukan
Diatas saringan bergetar tersebut air
suatu teknologi untuk memperoleh
disemprotkan melalui pipa-pipa kecil.
bioetanol dengan konsentrasi tinggi
Untuk memberikan tekanan yang tinggi
dengan menggunakan penyerap air
digunakan pompa yang digerakkan
berupa zeolit.
dengan mesin diesel.
berupa
bergetar.
kasa
halus.
Pengendapan pati dilakukan di dalam Tapioka
bak-bak
Tapioka
pengendapan.
Bak
adalah tepung yang
pengendapan biasanya terbuat dari
dibuat dengan menggunakan singkong
kayu, pasangan batu bata yang dilapisi
sebagai bahan baku pembuatannya.
porselin, pasangan batu bata biasa
Secara sederhana, dapat diartikan
atau
bahwa tapioka ini dibuat dengan cara
pengendap yang dasarnya diberi alas
mengekstrak
sebagian
dari
kaca atau kayu. Lama pengendapan
singkong
tersebut
kemudian
yang baik adalah empat jam dan
sehingga
pembuangan air tidak boleh lebih dari
memisahkan
umbi
patinya
beton,
bahkan
ada
bak
diperoleh tepung tapioka.
satu jam, karena setelah lima jam
Teknologi pembuatan tapioka pada
sudah mulai terjadi pembusukan.
industri kecil adalah sebagai berikut:
Setelah
Pengupasan
cukup, air yang di atas dibuang
kulit
dengan
tenaga
pengendapan
manusia, dengan menggunakan pisau.
sebagai
limbah
Pencucian
tapioka
basah
dengan
cara
cair
dianggap
dan
diambil.
tepung
Beberapa
menyemprotkan air bersih.
pengrajin menambah bak pengendap
Pemarutan dilakukan secara mekanis
lagi untuk mengendapkan limbah cair
yang digerakkan dengan mesin diesel.
sebelum dibuang. Hasil endapannya
Hasil parutan adalah bubur ketela.
dinamakan lindur atau elot yaitu pati
Pada tahap ini air ditambahkan agar
yang kualitasnya jelek. Cara ini dapat
proses pemarutan lebih lancar.
menekan beban pencemaran.
Pemerasan
penyaringan
Setelah pati diambil, diletakkan pada
dilakukan
tampi-tampi bambu, atau ditaruh di
(pengekstrakan),
dan dapat
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
101
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
atas
lantai
yang
diplester
untuk
dengan beberapa metode diantaranya
dijemur di bawah sinar matahari.
dengan hidrolisis asam dan secara
Pati hasil pengeringan masih kasar,
enzimatis. Metode hidrolisis secara
sehingga perlu digiling dan dilakukan
enzimatis
penngayaan
karena
tapioka
untuk
halus.
menghasilkan
Rendemen
lebih lebih
sering ramah
digunakan lingkungan
pati
dibandingkan dengan katalis asam.
biasanya berkisar antara 19% - 25%.
Glukosa yang diperoleh selanjutnya
(www.bppt.com/pengolahan
dilakukan
tepung
tapioka.htm)
proses
fermentasi
atau
peragian dengan menambahkan yeast atau ragi sehingga diperoleh bioetanol
Selain
menghasilkan
tepung,
sebagai sumber energi.
pengolahan tapioka juga menghasilkan
Bahan baku pembuatan bioetanol ini
limbah, padat maupun limbah cair.
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
Limbah padat seperti kulit singkong
Bahan sukrosa, yaitu bahan - bahan
dapat
pakan
seperti nira, tebu, nira nipati, nira
ternak dan pupuk, sedangkan onggok
sargum manis, nira kelapa, nira aren,
(ampas) yang berkualitas baik selama
dan sari buah mete.
ini diambil oleh industri lain untuk
Bahan berpati, yaitu bahan - bahan
diolah menjadi saos makanan. Limbah
yang
cair
karbohidrat,
antara
tepung
ganyong,
dimanfaatkan
dapat
untuk
dimanfaatkan
untuk
pengairan sawah dan ladang.
mengandung
ubi
pati lain
atau
tepung
sorgum
â&#x20AC;&#x201C; biji,
jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi Bioetanol
jalar, dan lain - lain.
Bioetanol
merupakan
cairan
hasil
Bahan berselulosa (lignoselulosa ),
proses fermentasi gula dari sumber
yaitu
karbohidrat
mengandung selulosa (serat), antara
bantuan
(pati)
menggunakan
mikroorganisme
(Anonim,
bahan
tanaman
yang
lain kayu, jerami, batang pisang, dan
2007) dan dilanjutkan proses distilasi.
lain-lain.
Produksi bioetanol dari tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat,
Proses destilasi dapat menghasilkan
dilakukan
konversi
etanol dengan kadar 95% volume,
karbohidrat menjadi gula (glukosa)
bietanol ini biasa digunakan untuk
melalui
proses
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
102
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
industri. Sedangkan untuk keperluan
fermentasi
menggunakan
sebagai bahan bakar (biofuel) perlu
mikroorganisme
lebih dimurnikan lagi hingga mencapai
2007).
tertentu
(Mursyidin,
99% yang lazim disebut fuel grade ethanol
(FGE).
Proses
pemurnian
Fermentasi
dengan prinsip dehidrasi umumnya
Proses
fermentasi
sering
sebagai
proses
dilakukan dengan metode Molecular
didefinisikan
Sieve, untuk memisahkan air dari
pemecahan
senyawa etanol. Dalam penelitian ini
amino secara aerobik, yaitu tanpa
digunakan zeolit sebagai molecular
memerlukan oksigen. Senyawa yang
sieve. ( Musanif
dapat
digunakan
J). Bioetanol yang
sebagai
mempunyai
bahan
beberapa
bakar
karbohidrat
dipecah
fermentasi
kelebihan,
dan
dalam
asam
proses
terutama
adalah
karbohidrat, sedangkan asam amino
diantaranya lebih ramah lingkungan,
hanya
karena bahan bakar tersebut memiliki
beberapa
jenis
nilai oktan 92 lebih tinggi dari premium
(Fardiaz,
1992).
nilai oktan 88, dan pertamax nilai oktan
fermentasi
94. Hal ini menyebabkan bioetanol
kegiatan
dapat menggantikan fungsi zat aditif
tujuan mengubah sifat bahan agar
yang
untuk
dihasilkan
suatu
memperbesar nilai oktan. Zat aditif
(Widayati
dan
yang banyak digunakan seperti metal
Perubahan
tersier butil eter dan Pb, namun zat
proses
aditif tersebut sangat tidak ramah
diperbanyak
lingkungan dan bisa bersifat toksik.
metabolismenya
Bioetanol
tersebut
sering
ditambahkan
juga
merupakan
bahan
dapat
difermentasi bakteri
mikroba
tertentu
yang
jumlah
dan
Tahap
kompetibel
mengkonversi glukosa
mobil
dalam
digiatkan
batas
karbon dioksida (CO2) dan relatif
1996).
mikroba
didalam
(Santoso, 1989).
mesin
bermanfaat
karena
bakar yang tidak mengakumulasi gas
dengan
dengan
Widalestari,
fermentasi
proses
dasar
mengaktifkan
tersebut
dalam
tertentu
Prinsip
adalah
oleh
fermentasi
bahan tertentu
untuk
(gula) yang
berbahan bakar bensin. Kelebihan lain
terdapat di dalam limbah cair tapioka
dari
cara
tersebut menjadi etanol dan CO2. Pada
pembuatannya yang sederhana yaitu
proses fermentasi ini, khamir yang
bioetanol
ialah
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
103
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
digunakan
adalah
cerevisiae.
Dan
Saccaromyces
pada
proses
disebut sebagai jasad sakarolitik, yaitu
ini,
menggunakan gula sebagai sumber
dilakukan proses pemeraman atau
karbon
penyimpanan selama 3 hari pada suhu
(Alexopoulus
o
o
untuk dan
kamar ± 25 C – 32 C. Sesuai dengan
Saccharomyces
reaksi berikut ini :
menggunakan
Reaksi :
C6H1206
2C2H5OH
+
metabolisme Mims,
1979).
cerevisiae
mampu
sejumlah
gula,
---------
diantaranya
2CO2
fruktosa, galaktosa, mannosa, maltosa
khamir
sukrosa,
glukosa,
dan maltotriosa (Lewis dan Young, 1990).
Saccharomyces
Yeast merupakan fungsi uniseluler
merupakan
yang melakukan reproduksi secara
banyak digunakan pada fermentasi
pertunasan
atau
alkohol
tidak
tinggi, tahan terhadap kadar alkohol
berklorofil, tidak berflagella, berukuran
yang tinggi, tahan terhadap kadar gula
lebih besar dari bakteri, tidak dapat
yang tinggi dan tetap aktif melakukan
membentuk miselium berukuran bulat,
aktivitasnya pada suhu 4 – 32oC
bulat telur, batang, silinder seperti
(Kartika
buah
alkohol dari gula dilakukan oleh khamir
pembelahan
jeruk,
(budding) (fission).
Yeast
kadang-kadang
dapat
mikrobia
cerevisiae
karena
dapat
et.al.,1992).
paling
berproduksi
Pembentukan
mengalami diforfisme, bersifat saprofit,
penghasil
namun ada beberapa yang bersifat
ditambahkan pada sari buah bertujuan
parasit (Van Rij, 1984).
untuk memperoleh kadar alkohol yang
Saccharomyces cerevisiae merupakan
lebih tinggi, tetapi bila kadar gula
yeast yang termasuk dalam kelas
terlalu tinggi aktifitas khamir dapat
Hemiascomycetes,
terhambat. (Galih, 2010)
ordo
Endomycetales,
Gula
yang
famili
Saccharomycetaceae, Saccharoycoideae,
alkohol.
yang
Sub dan
famili
Dehidrasi Air dalam Alkohol
genus
Zeolit adalah senyawa alumino-silikat
Saccharomyces (Frazier dan Westhoff,
hidrat. Secara umum, zeolit memiliki
1978).
cerevisiae
melekular sruktur yang unik, dimana
merupakan organisme uniseluler yang
atom silikon dikelilingi oleh 4 atom
bersifat
oksigen
Saccharomyces
makhluk
mikroskopis
dan
sehingga
membentuk
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
104
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
semacam jaringan dengan pola yang
METODE PENELITIAN
teratur.
Bahan dan Alat Penelitian
Zeolit juga sering disebut sebagai
Bahan :
'molecular sieve'/ 'molecular mesh'
1. Limbah cair tapioka, diambil dari
(saringan
industri Tapioka di daerah Pati Jawa
molekuler)
karena
zeolit
memiliki pori-pori berukuran melekuler
Tengah
sehingga
mampu
2. Ragi/ yeast, dibeli di toko Miskasari
memisahkan/menyaring
molekul
Semarang
dengan
ukuran
tertentu.
Zeolit
3. Glukosa, dibeli di toko Indrasari
mempunyai beberapa sifat antara lain :
Semarang
mudah melepas air akibat pemanasan,
4. Zeolit,
tetapi juga mudah mengikat kembali
Semarang
dibeli di toko Indrasari
molekul air dalam udara lembab. Oleh sebab sifatnya tersebut maka zeolit
Alat :
banyak
Alat Sterilisasi , dari bahan Stainlis Stell
digunakan
sebagai
bahan
pengering. Disamping itu zeolit juga
dengan kapasitas 10 Liter.
mudah melepas kation dan diganti
Alat
dengan kation lainnya, misal zeolit
diameter 3 cm, tinggi 1 m dengan
melepas
natrium
bahan isian
dengan
mengikat
dan
magnesium.
Sifat
menyebabkan
zeolit
digantikan
kalsium ini
Destilasi
dari
bahan
gelas
plastik
atau
Alat Fermentasi , berupa stoples dari
pula
bahan plastik, yang bagian
tutupnya
dimanfaatkan
diberi lubang kecil dan diberi selang
untuk melunakkan air. Zeolit dengan
untuk keluarnya karbondioksida hasil
ukuran rongga tertentu digunakan pula
reaksi fermentasi
sebagai
Alat ukur kadar gula dan alat ukur
katalis
untuk
mengubah
alkohol menjadi hidrokarbon sehingga
kadar alkohol
alkohol
dapat
sebagai
Termometer
bensin.
Zeolit
banyak
Ph meter
digunakan di
alam
ditemukan di India, Siprus, Jerman dan Amerika Serikat.(www.wikipedia.org)
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
105
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Cara Penelitian
berlangsung, kondisi operasi harus
Tahap Awal Proses Penelitian
dijaga sekitar 35o C, dengan pH= 4.5
Memanaskan limbah cair sampai suhu
â&#x20AC;&#x201C; 5.5. Selama 6 â&#x20AC;&#x201C; 24 jam akan muncul
100oC
,
gas CO2 dengan ditandai adanya
pada
gelembung di dalam larutan tersebut,
sambil
diaduk
mempertahankan
suhu
temperatur tersebut selama 60 menit.
ini berarti bahwa proses fermentasi
Kemudian didinginkan larutan hingga
sudah
mencapai suhu 34oC.
gelembung gas CO2 sudah habis atau
Membuat
starter
dari
limbah
cair
larutan
mulai
terjadi.
tersebut
sudah
tidak
berarti
bahwa
tapioka yang telah steril ( 10 % dari
bergelembung,
volume limbah cair yang akan diproses
proses fermentasi telah selesai dan
dengan kadar gula tertentu ditambah
larutan tersebut sudah siap untuk
ragi dengan jumlah tertentu, dicampur
didestilasi.
kemudian didiamkan selama 24 jam
ini
Apabila
Proses ditilasi I:
4. Menghitung jumlah mikrobia
Memasukkan larutan hasil fermentasi
dari starter ( mengatur supaya jumlah
ke dalam evaporator.
mikroorganisme minimal 6 juta/ml)
Memanaskan
evaporator
hingga
mencapai suhu 100oC. Langkah-langkah
proses
Setelah
mencapai
suhu
yang
fermentasi:
diinginkan, maka air dan alkohol akan
Setelah suhu larutan mencapai 34oC,
menguap keatas selanjutnya melewati
memasukkan larutan kedalam tangki
pendingin hingga mengembun dan
fermentor. Melakukan test pH larutan
menetes sebagai destilat.
dan
Dari proses distilasi ini akan diperoleh
pH
larutan
yang
diharapkan
sekitar 4,5 sampai 5.
etanol dengan
Menambahkan larutan ragi ( yang
rendah
memiliki
konsentrasi
106
Mengetes
kadar yang masih
kadar
alkohol
yang
mikroorganisme/ml ) ke dalam tangki
diperolah dengan alat alkoholmeter
fermentor dan diaduk hingga merata.
Dan untuk mendapatkan high purity
Membiarkan
dalam
ethanol product atau Bioetanol, maka
fermentor selama 40-58 jam, agar ragi
kita lakukan proses dehidrasi dengan
bekerja. Selama proses fermentasi
menggunakan zeolit.
larutan
di
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
106
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Proses ditilasi II: 1. Memasukkan larutan hasil destilasi I ke dalam evaporator. Memanaskan
HASIL
evaporator
hingga
DAN
PEMBAHASAN
o
mencapai suhu
100 C, dan suhu
puncak 80 o C. Setelah
PENELITIAN
A. Pengaruh Kadar Gula Air Limbah
mencapai
suhu
yang
terhadap Kadar Alkohol
diinginkan, alkohol menguap keatas
Dari
penelitian
pembuatan
selanjutnya melewati pendingin hingga
bioetanol dari limbah cair Tapioka
mengembun dan menetes sebagai
yang diambil dari pengrajin Tapioka di
destilat, sedangkan air tetap di bawah
daerah
Untuk
selanjutnya
ethanol
mendapatkan product
high
atau
purity
Bioetanol,
Pati
Jawa
Tengah,
diatur
kadar
yang
gulanya
dengan cara menambahkan glukosa
selanjutnya dilakukan proses dehidrasi
anhidrous,
dengan menggunakan zeolit.
fermentasi
Dehidrasi Bioetanol
dengan perbandingan tertentu dan
Bioetanol yang diperoleh dari proses
dilanjutkan pemurnian dengan destilasi
destilasi
I
II
selanjutnya
dengan
alat
dimurnikan
HETP dengan
setelah menggunakan
diperoleh
seperti
dilakukan
hasil
yeast
sebagai
berikut
tabel
1:
pada
dehidrasi menggunakan zeolit. Tabel 1. Kadar Alkohol hasil Fermentasi dan Distilasi I Kadar Gula
Kadar Alkohol
Air Limbah
Hasil Destilasi
%
I %
11
2
14
3
16
15
17
35
18
14
20
4
23
2
KADAR ALKOHOL HASIL DESTILASI I
GRAFIK HASIL FERMENTASI DAN DISTILASI I 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Series1 Series2
1
2
3
4
5
6
7
KADAR GULA AIR LIMBAH
Gambar 1. Grafik Hubungan Kadar Gula dengan Kadar Alkohol
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
107
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Dari tabel 1dan gambar 1,
nampak
pengurai,
sehingga
alkohol
yang
bahwa pada kadar gula 11 % hingga
dihasilkan sedikit. Kadar gula optimal
17 % diperoleh alkohol dengan dengan
dicapai pada 17%, pada saat ini
kadar
ini
diperoleh alkohol dengan kadar 35%
dikarenakan semakin tinggi kadar gula
hal ini dikarenakan pada kondisi ini
dalam
kadar gula air limbah pada kondisi
yang
air
meningkat,
limbah
akan
hal
diperoleh
alkohol yang besar pula. Tetapi dari
optimal untuk proses
peruraian
tabel 1 dan gambar 1 juga nampak
aldehid menjadi keton oleh khamir.
bahwa pada kadar gula air limbah lebih
dari 17
%
B. Kadar Bioetanol setelah Proses Destilasi II
, alkohol yang
dengan HETP
diperoleh kadarnya menurun, hal ini
Bioetanol
yang
dihasilkan
dari
dikarenakan pada air limbah dengan
distilasi I, selanjutnya dimurnikan lagi dengan
kadar
dapat
destilasi II menggunakan alat HETP, dan dari
khamir
penelitian pada berbagai kadar alkohol yang
gula
yang
tinggi
menghambat pertumbuhan
diproses
atau yeast sebagai mikroorganisme
sebagai
Tabel 2. Hasil Destilasi II dengan HETP Kadar Alkohol
Hasil Destilasi Hasil Destilasi II I 3
21
berikut
peningkatan
seperti
pada
alkohol tabel
2.
GRAFIK HASIL DESTILASI II DENGAN HETP KADAR ALKOHOL HASIL DESTILASI II
Kadar Alkohol
diperoleh
100 80 60
Series1
40
Series2
20 0 1
2
3
4
5
KADAR ALKOHOL HASIL DESTILASI I
4
24
14
93
15
93
30
93
Gambar 2
Dari Tabel 2 dan gambar 2, nampak
masuk proses
destilasi tahap 2
bahwa kanikan kadar alkohol yang
dengan alat HETP
menunjukkan
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
108
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
bahwa
kenaikan
memberikan
kadar
hasil
alkohol
output
yang
C. Kadar Bioetanol setelah Proses
eksponensial, yaitu meskipun kadar
Dehidrasi dengan Zeolit
alkohol yang masuk proses destilasi
Bioetanol yang diperoleh dari hasil
HETP semakin tinggi , kadar alkohol
destilasi
output setelah mencapai 93 % akan
selanjutnya
konstan dan tidak naik lagi, hal ini
alkoholnya
dikarenakan kemampuan alat HETP
menggunakan zeolit, dan dari hasil
hanya dapat memprose pemurnian
penelitian dari bioetanol yang memiliki
maksimum sampai memperoleh kadar
kadar 93 % setelah didehidrasi pada
93 %.
berbagai
II
dengan
alat
HETP
ditingkatkan dengan
waktu
cara
kadar dehidrasi
diperoleh
hasil
sebagai berikut seperti pada tabel 3. Tabel 3. Hasil Alkohol setelah Proses Dehidrasi dengan Zeolit Kadar Alkohol
Waktu
Kadar Alkohol
Hasil Destilasi Dehidrasi
Hasil Destilasi
I
menit
II
93
60
95
93
120
95
93
180
96
93
240
97
93
300
97
KADAR ALKOHOL HASIL DESTILASI II
GRAFIK HASIL ALKOHOL SETELAH PROSES DEHIDRASI ZEOLIT 350 300 250 200 150 100 50 0
Series1 Series2
1
2
3
4
5
WAKTU DEHIDRASI MENIT
Gambar 3. Grafik Hasil Alkohol Setelah Proses Dehidrasi dengan Zeolit
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
109
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Dari tabel 3 dan gambar 3, nampak
Konsentrasi maksimal bioetanol yang
bahwa pada dehidrasi pada bioetanol
diperoleh dar pengolahan air limbah
menggunakan zeolit dari kadar alkohol
tanpa dehidrasi adala 35 % dengan
93 % dapat ditingkatkan kadarnya
destilasi I, dan 93 % dengan destilasi II
menjadi 97 %, hal ini menunjukkan
(HETP)
bahwa
Dengan penggunaan zeolit sebagai
proses
peningkatan
kadar
bioetanol diatas 95 % dapat dilakukan
penyerap
hasil
dengan dehidrasi menggunakan zeolit.
meningkatkan
destilasi
konsentrasi
dapat bioetanol
hingga 97 %
KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA Dari pengolahan menjadi
hasil
limbah
Bioetanol
cair yang
penelitian Tapioka
Suprapti,
dilakukan
Tapioka:
M.
Lies,
Pembuatan
dengan fermentasi air limbah yang
Pemanfaatannya.
diatur
Yogyakarta.
kadarnya
dengan
2005.
Tepung dan Kanisius.
menambahkan glukosa kering , dan
www.bppt.com/pengolahan
dlanjutkan proses pemurnian secara
tapioka.htm
destilasi I, destilasi II dengan HETP,
www.bppt.com/Departemen
dan
Lingkungan hidup(limbah tapioka).htm
dehidrasi
menggunakan
zolit
diperoleh hasil sebagai berikut :
Balai
Limbah cair Tapioka dapat diolah
2005. Kelayakan Tekno-Ekonomi Bio-
menjadi Bioetanol
Ethanol Sebagai BahanBakar Alternatif
Semakin tinggi kadar gula pada air
Terbarukan.
limbah, maka semakin tinggi pula
Galih,A.R.,
konsentrasi bioetanol yang dihasilkan,
Penambahan Gula Pasir Terhadap
hingga mencapai kondisi optimum,
Kadar Alkohol Dan Kadar Vitamin C
tetapi
Pada Pembuatan Sari Buah Belimbing
bila
kadar
gula
melebihi
Besar
Teknologi
tepung
2010,
Pati-BPPT,
Pengaruh
Manis (Averrhoa Carambola) Yang
optimum, kadar alkohol kan menurun
Difermentasikan PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
110
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Alexopoulus, C.J and C.W. Mims.
Assegaf F.2009,
1979. Introductory Technology. John
Bioetanol
Wiley and Sons. New York. 632 PP.
(MusaParadisiacal)
Anonim. 2008. Bioetanol Bahan baku
Metode Hidrolisis Asam danEnzimatis,
Singkong.
makalah
The
Largest
Aceh
Prospek Produksi
Bonggol
Lomba
Pisang
Menggunakan
Karya
Tulis.
Community. Aceh.
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
111