INDEKS
Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
WWW.EKSPRESIONLINE.COM
EKSPRESI
MAJALAH HAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Analisis utama (hal.8)
Laporan Khusus(hal.65)
bias pandang parikir Parkir sebagai masalah punya banyak akar penyebab, simpai -simpai masalah, dan ujung-ujung akibat. Menyelami par kir bukan cuma menera regulasi yang buram. Ada kesalah an paradigma fatal soal bagaimana memposisikan yang pri badi dalam ruangan publik dan esensi parkir yang bukan tu kang jaga kendaraan.
A CUP OF JAVA Kopi mula-mula cuma buah merah yang dikunyah daging nya. Lalu ia berkembang menjadi seduhan nikmat, sampai akhirnya menjadi rupa-rupa kuliner yang sedap. Ia telah be gitu lumrah, sampai nyaris terabai bahwa kopi menyimpan duka pribumi Indonesia korban tanam paksa.
DAFTAR ISI
Telusur (hal.48) PETAKA LAPEN Minuman “khas” Yogyakarta ini menimbulkan kegemparan awal tahun ini ketika ia meminta korban nyawa. Semua men dadak pening karena racikan alkohol maut. Inilah kisah yang dimulai oleh para Laki-laki PecintaDosa! rancang sampul : cahyo Waskito P.A
DARI REDAKSI EDITORIAL SURAT PEMBACA PROFIL Ilmu itu harus cair: Mudah Diakses ALMAMATER Prodi Nanggung UNY Aji Mumpung Pendidikan Berkarakter Pasar KOLOM Mesin Jahat Bernama Birokrasi C’KLIK Aksi Fotografer APRESIASI Mafia Berkeley Tukang Ejek WAWANCARA KHUSUS RESENSI Panduan Tepat Hidup di Penjara HIKMAH Televisi dan Geografi Jiwa Kekerasan PENDIDIKAN Antara Kebutuhan dan Sikap Asing Pada Diri Sendiri
4 5 6 34 36 39
40 43
60 62 64 86 84
Redaksi menerima sumbangan tulisan maupun foto(termasuk karikatur) yang berhubungan dengan dunia kemahasiswaan, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, agama, sains, teknologi, olah raga, dan budaya. tulisan diketik rapi spasi rangkap maksimal empat halaman kuarto. Redaksi berhak mengubah tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
3
PENERBIT LEMBAGA PERS MAHASISWA (LPM) EKSPRESI - UNY IJIN TERBIT SK Rektor No. 069/1992 20 April 1992 PELINDUNG Dr. Rochmat Wahab, M.A PENASEHAT Prof. Dr. Herminarto Sofyan PEMBINA Arik Kusmiatun, M.Hum PEMIMPIN UMUM Anna Nurlaila Kurniasari SEKRETARIS Ayu Hening Prameswari BENDAHARA Amanda Liony PEMIMPIN REDAKSI Azwar Anas SEKRETARIS REDAKSI Nisrina Muthahari REDAKTUR PELAKSANA Khairul Anam Prima SW REDAKTUR UTAMA Azwar Anas, Dian Dwi Anisa, Khairul Anam REDAKTUR DAN REPORTER Amanda L, Anna. N. K, Ayu Hening P, Azwar. A, Cahyo W. P. A, Dian D. A, Endarti, D. Fajar W, M. Habib A, Hasti K. D, Jihan R. I, Kartika A. E, Khairul A, Nisrina M, Nor Islafatun, Prima S. W, Rhea Y, Robiatul Adawiyah, Septi U, Swadesta A. W TIM ARTISTIK Cahyo, Fajar, Rhea REDAKTUR FOTO Dwi Fajar Wijayanto REDAKTUR BAHASA Dian Dwi Anisa PEMIMPIN PSDM Rhea Yustitie STAF PSDM Endarti, Nor Islafatun, Nurdini D.E, Swadesta A.W, Robiatul A PEMIMPIN PERUSAHAAN Hasti Kusuma Dewi STAF PERUSAHAAN Arif Rochman, Cahyo Waskito P.A, Kartika A. E, Lina Rohani, Septi Hanis, Septi Utami PEMIMPIN JARINGAN KERJA Moh. Habib Asyhad STAF JARINGAN KERJA Ahmad Nutqi Hikam, M Fawaid, Jihan Riza I, Pamungkas ALAMAT REDAKSI Gedung Student Center Lt.2 Universitas Negeri Yogyakarta 55281 Telp. 0274 586168 ext 258 Fax. 0274 565500 Email: lpm_ekspresi@yahoo.com WEBSITE www.ekspresionline.com
4
|
A
DARI REDAKSI
pa yang anda pegang saat ini bu kanlah sekadar jilidan kertas yang berisi gambar dan tulisan. Di sini ada sejuta kisah tentang jawaban dari pro ses belajar. Sejilid majalah yang kemudian membuat kami sadar bahwa dalam proses penggarapannya tidak semudah mengang gukkan kepala pada saat rapat kerja. Bu tuh waktu yang panjang, melelahkan, dan penuh konflik. Menginjak bulan April, semangat jur nalisme kami mulai tertantang. Gaungan “tepat deadline” pun men jadi cita pertama yang ka mi usung hingga terdengar di setiap sudut dinding ru ang EKSPRESI. Namun apa lacur, apa yang kami ucap ternyata tak sesuai dengan yang kami perbuat. Betapa tidak. Mengin jak proses penulisan Maja lah EKSPRESI Edisi XXIII TH VIII Agustus 2010, ti dak sedikit dari kru redak tur yang kebakaran jenggot alias kebingungan menentukan arah tuli sannya sendiri. Alhasil jurus pamungkas melarikan diri dan kucing-kucingan men jadi alternatif pilihan. Hal inilah yang ke mudian kami sadari, semua itu merupa kan buntut dari ngoyo-nya proses gagas tema, pengadilan tema, hingga ke penda laman tema. Walau demikian adanya, kami tak mau terjebak dalam pemakluman. Berba gai usaha kami tempuh, termasuk peng gantian redaktur yang mendadak “mis terius” dengan orang lain yang lebih pu nya semangat tempur. Sebab kami harus benar-benar mengerahkan kualitas inte lektual kami untuk bersaing dengan me dia lain yang juga sedang menggarap tema serupa. Hingga pada akhirnya kami mam pu mengurai benang kusut sistem perpar kiran dalam rubrik Analisis Utama, un tuk mengawali pembahasan pertama pa da majalah edisi ini. Parkir jenis on street khususnya. Berangkat dari kebiasan pola pikir masyarakat, park ir layaknya sebuah penitipan barang atau kendaraan yang keberadaanya harus ditunggui, sehingga menuntut adanya pembayaran. Dampak nya, parkir menjadi lahan bisnis. Parkir sejatinya bukanlah kebutuhan, melainkan usaha untuk mengatur kebutuhan. Penyediaan on street parking me ngurangi akses bagi pengguna jalan lain nya. Hal ini yang yang menjadi pemicu kemacetan khususnya di Yogyakarta dan
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
Sleman. Namun untuk mengkajinya, per lu melibatkan beberapa aspek, sosial, bu daya dan ekonomi sehingga diperlukan kehati-hatian dalam melakukan reforma si di bidang parkir. Sementara itu kopi dengan kharis ma rasanya, diam-diam telah mencuri dan menelusup ke dalam kehidupan. Da lam rubrik Laporan Khusus ini, kami ti dak hanya akan menyuguhkan secangkir kopi hangat nan nikmat untuk anda. Pe ngaruh dan perjalanan kopi bisa anda si mak, baik manca maupun di Indonesia sendiri. Sehingga jika kita menilik sejarah ko pi, tidak ada salahnya berteri ma kasih kepada penggembala kambing asal Ethiopia, Khaldi. Sebab lewat hewan ternaknya itulah kopi ditemukan. Budaya ngopi yang telah menghegemoni dan mengala mi perluasan makna juga ka mi suguhkan. Jadi tidak perlu heran, jika anda diajak ngopi, belum tentu anda akan me nikmati kopi tapi juga bisa sekadar ngo brol atau berdiskusi. Sebab hal ini ber kaitan dengan budaya Jawa, khususnya Jawa Timur. A Cup of Java, begitu orangorang Kanada menyebut kopi. Anda mau melukis dengan kopi? Bisa! Silakan baca rubrik Laporan Khusus. Yang menjadi bahasan selanjutnya juga tidak jauh-jauh dari jenis minum an. Setelah puas dengan kopi, selanjut nya kami akan menyuguhkan minuman penutup, lapen. “Minuman mematikan” begitu kru redaksi kami menyebutnya. Lapen, sejenis minuman tradisio nal beralkohol tinggi -khas Yogyakartayang akhir-akhir ini menewaskan banyak orang, menjadi sorotan investigasi da lam rubrik Telusur. Ironisnya, aparat ba ru gencar merazia setelah menunggu ba nyak korban berjatuhan. Membaca rubrik Telusur berarti anda telah menyelami beberapa kasus lapen. Mulai dari korban, produsen, serta aparat yang terlibat di dalamnya. "Ya, teman itu kan kalau jaya, kalau lagi susah gini kan nggak teman lagi," sindiran seorang Na rapidana lapen kepada aparat yang per nah melindunginya. Perbedaan pendapat tentunya ada, untuk itu saran dan kritik telah kami se diakan ruang yang istimewa untuk pem baca guna perbaikan ke depan. Akhirnya hasil yang renyah nan empuk berani ka mi sajikan untuk anda. Sekali lagi, inilah buntut kerja keras kami. Monggo! W
EDITORIAL
Menolak Listrik Mahal
M
asih tersisa di ingatan kita, “kebijakan” pemerin tah untuk menaikkan harga BBM di tahun 2004. Alasannya agar subsidi yang ditujukan pada masyarakat miskin ti dak salah sasaran. Keuntungan dari murahnya harga BBM yang disubsidi lebih banyak dinikmati oleh kalangan ekonomi mampu. Janji birokrat ke mudian, alokasi subsidi itu akan dila rikan ke pembangunan sektor riil yang dinikmati bersama, semisal perbaikan pendidikan. Keputusan ini bukannya tanpa pe nolakan. Ini “kebijakan” yang bijak un tuk semakin memiskinkan yang mis kin. Untuk meredam kemarahan kha layak, “kebijakan” baru dirilis: Bantu an Langsung Tunai (BLT). BLT ada lah salah satu wujud dari penguraian alokasi subsidi BBM. Ini adalah kom pensasi untuk masyarakat miskin atas tindakan pemerintah yang memang mengakui secara tidak langsung ka lau “ya, kami memiskinkan kalian”. Tapi tiga ratus ribu ru piah yang turun setiap tiga bulan itu pun ujung-ujungnya masalah juga. Dari soal orang kaya yang mendadak terca tat miskin sampai ketua RT yang punya lahan basah un tuk korupsi. Kini, BLT malah hilang gemanya. Inilah akhir dari “kebijak an” yang memandang orang miskin sebagai kaum papa yang tak punya apa-apa (dari harta hingga intelegensi). BLT itu men didik orang untuk melulu meletakkan tangan di bawah. Pola yang sama berulang, tahun ini. Untuk mengurai sub sidi pada listrik yang ternyata lebih banyak menguntungkan pengusaha, tarif dasar listrik (TDL) pun dinaikkan. Ini ke putusan yang singkat namun berimbas panjang. Masalah nya bukan lagi sekadar membayar tagihan listrik lebih ma hal daripada bulan-bulan lalu. Apa yang luput dari penggunaan listrik zaman sekarang? Rudolf Mrazèk dalam bukunya, Engineers of Happy Land, me nyuratkan “Di mana ada cahaya, terdapat Hindia-Belanda yang modern bagi semua”. Peradaban ada di tempat-tempat yang te rang, itulah zaman modern. Tak ayal, listrik menjadi komodi ti fundamental. Naiknya TDL jelas akan memotivasi kenaikan hal-hal lainnya. Meski kenaikan TDL tak menyentuh pelang gan rumah tangga dengan daya di bawah 1300 Volt Ampere, tapi siapa yang bisa menjamin harga barang kebutuhan pokok tak naik? Para ibu rumah tangga pun kalang kabut. Salah satu pihak yang menjerit paling keras adalah go longan usaha kecil menengah (UKM). Ini adalah golongan yang namanya dicatut untuk menangguk suara saat kam panye jelang pemilu presiden. Selepas pemilu, mereka lang sung dilindas dengan kesepakatan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA). Alhamdulillah, meski sebagian pelanpelan menutup pintu tempat usahanya, masih ada yang ter
sisa untuk bertahan. Naiknya TDL mungkin jadi kisah penutup sejarah UKM di Indonesia. Kelompok dengan pangsa terbatas dan minim resistansi modal, yang mudah sa ja ditelaki dengan satu hantaman lalu gulung tikar. Grafik statistik pengangguran semakin panjang, naik, dan menukik. Ada kesamaan dari alasan pemerintah ke tika menaikkan BBM dan TDL, yaitu untuk mengurai subsidi dari pemerintah agar ma syarakat mampu tidak ikut menikmati subsi di tersebut. Alasan klasik yang selalu menge depankan kesejahteraan rakyat. Kini lihatlah, di bulan kedua sejak kenaikan TDL, harga sembako lepas landas tak turun-turun. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mung kin itu pepatah yang bisa menggambarkan kondisi rakyat Indonesia. Setelah meneri ma keadaan harga-harga barang yang sema kin meroket, kehilangan pekerjaan pula ka rena perusahaan atau industri tempat kerja nya bangkrut. Akan semakin banyak rakyat yang miskin, akan semakin banyak masya ISTIMEWA rakat yang tidak mampu bertahan hidup de ngan himpitan ekonomi, dan semakin banyak pula anak yang akan putus sekolah, karena untuk makan sehari-hari saja su lit apalagi untuk pendidikan. Bangsa ini akan semakin tengge lam dalam kemiskinan dan kebodohan. Apakah ayat pertama dari pasal 34 yang termaktub dalam UUD 1945 sudah jadi sampah undang-undang belaka? Katanya fakir miskin dan anak-anak terlantar akan dipelihara oleh ne gara. Bila memang demikian, rasa-rasanya muskil Eko Prasetyo akan menuliskan seri orang miskinnya. Pengalihan alokasi subsidi, baik dari BBM maupun listrik, menyodorkan macam-macam proyek. Kebetulan, di negeri ini kata proyek sudah bersinonim dengan korupsi. Proyek apa saja, mulai dari pengadaan buku sekolah hingga pembuatan website badan negara. Kalau sudah begini, apakah masih bijak tindakan mengalihkan subsidi yang jelas-jelas membantu rakyat meng hela nafas sejenak? Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J. Supit dalam argumennya menolak kenaikan TDL mengatakan, bah wa “kebijakan” ini menghambat pertumbuhan sektor industri. Besarnya konsumsi listrik dalam negeri sebenarnya bisa ditu tup dengan pasokan gas alam yang masih melimpah. Tapi pe merintah memilih mengekspor gas alam ke Cina. Perlu diadakan peninjauan ulang atas keputusan menaikkan TDL ini, bila pemerintah benar-benar tidak ingin membuat rak yatnya semakin menderita dalam kubangan kemiskinan. Kalau pun “kebijakan” ini tidak dapat ditarik mundur, harus ada jalan lain agar efek dominonya tak mengular. Namun dengan catatan, itu bukan upaya represif tak mendidik seperti BLT. Mungkin pemerintah bisa belajar dari kaidah fikih ini: Daf'ul mafasid muqoddamun ‘alaa jalbil masholih (mengubur keje lekan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan). Opsi yang lebih banyak mudharatnya, eliminasi saja. W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
5
"
SURAT PEMBACA
Sesegera setelah anda mengguyur toilet, anda tepat berada di tengah pusaran ideologi.
"
Slavoj Žižek Filsuf
Jam Malam yang Mengekang Pembangunan sarana besar-besar an diUNYtahun-tahun terakhir ini je las tujuannya: meraih peringkat yang set ingg i- tingg in ya dal am pem er ing katan World Class University. Sema ngat yang bagus tentu. Dari banyak nya bangunan baru yang tumbuh, sa lah satunya adalah GedungStudentand Multicultural Center, ataubiasa disebut Student Center (SC). Sejaktahun 2009, semua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tingkat universitas berkumpul di sini. Semua kegiatannya berkutat di SC. Mulanya, gelangg ang mah as isw a hanya bangunan sederhana dan letak nya berpencar-pencar. Kontras dengan SC yang sekilas tampak mewah. Tapi yang tak dapat dipahami, mahasiswa tak punya otonomi atas kegiatan me reka sendiri lagi. Betapa tidak, SC dia wasi pengelola dan dikenakan jam ma lam. Mahasiswa harus pergi dari waha na penggodokan kreativitas itu selepas pukul 21.00 WIB. Bisaditerjemahkan, tidak boleh ada kegiatan kreatif lagi selepas pukul 21.00 WIBdikampus. Keputusan semacam ini samasekali tidak pernah terbayang se lintas pun oleh para pegiat UKM. Da hulu,kebebasan berekspresi sulit dida pat.Ketika reformasi datang, harapan nya kebijakan birokrasi bisa mendo rong tumbuhnya iklim kebebasan ber kreativitasdan berekspresi. Tapi, kebi jakan diberbagai perguruan tinggi ma
6
|
lah menciptakan kead aan yang seba liknya. Sungguh, logika saya yang pa ling sederhana pun tak mampu mema hami kebijakan ini. Bagaimana mung kin daya kreasimahasiswa dibatasi de ngan jam malam? Bukankah salah satu yang bisa di banggakan dari UNY dibanding kam pus-kampus lain di Yogyakarta adalah iklim kegiatan mahasiswanya yang ba gus dan beragam, semisal kesenian tra disional, teater,olahraga,danmarching band. Bilauntuk akses melakukan kegi atan itupun dibatasi, lalu apa yang hen dak dibanggakan? Bila “kebijakan” tersebut dikeluar kan dengan harapan mahasiswa fokus pada kegiatan akademis. Sore pulang dari kampus dan malam belajar di ru mah, sehingga kuliah lancar, itu terlalu utopis. Kenyataannya, mahasiswa se makin punya banyak waktu untuk ke luar: nongkrong hingga pagi. Apakah ini yang diharapkan? Apakahtidaklebih baik mahasiswa berada di kampus saja? Menurut saya, SCharus mampu menjadi rumah kedua untuk mahasiswa. Sebab di wahana ini, mahasiswa dapat memeroleh "bekal" yang tak mungkin didapat saat kuliah di kelas. Memprihatinkan!W
Isti Mudrikah
Anggota UKM Madawirna
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
Diskriminasi Terhadap Kaum “Agnostik” SAYA terkejut ketika membaca “Ag notisme dan Fundamentalisme Aga ma” di rubrik Hikmah dalam majalah EKSPRESIedisiXXII.Terkejutpadais tilahdancaraberpikirpenulisnya.Arti keltersebut,demimengokohkankeselu ruhanthesis statement-nya,telahmeng gunakan istilah secara sepihak dan se wenang-wenang, danreferensiyang ka bur.Ujung-ujungnya menggiring pem baca pada bias ideologi sebagai wujud diskriminasi terhadap kaum yang tak percaya Tuhan. Kekacauan peristilahan terjadi pa da istilah agnostik. Penulis esai terse but mengambilpengertian agnostik da ri Thomas Aquinas, seorang filsuf ge reja abad pertengahan, bahwa penga nut agnostik adalah mereka yang ”ti dak tahu” atau lebih tepatnya “tidak mau tahu”. Artinya “agama samaseka li tidak menjadi concern mereka,” tu lisDr.Arqom.Tidakdisebutkan kapan Thomas Aquinas menyatakan itu atau dibukuapadiamenulisnya. Selain itu pernyataan, “kalau ate isme (ateis?) pernah berpikir tentang Tuhan, walaupun akhirnya menolak nya,makakaum agnostik, berpikirsaja tidak” sangat tendensius dan tidak be nar. Dr. Arqum Kuswanjono juga me nyatakan “sikap agnostik yang banyak berkembangdi Eropa yaitu ketika aga ma tidak lagi dijadikan sebagai acuan atau pertimbangan untuk memutuskan suatu tindakan”. Oxford Guide to Philosophy, sebu ah kamus tentang istilah-istilah filsa fat, menguraikan agnotisme sebagai, “pendakuanlebihambisius (ketimbang atheisme) bahwa tak seorangpun mes ti memiliki kepercayaan positif men dukung atau menolak eksistensi ilahi ah (the more ambitious claim that no one ought to have a positive belief for or against the divine existence)”(hal.64). Oxford Learner’s Dictionary, yang dia ngg ap seb ag ai KBBI- nya bah as a Inggris, mendefinisikanagnostik seba gai, “believing nothing can be known about God” (hal.8). Jad i agn ot ism e merupakan posisi yang menolak bah wamanusiamemiliki carauntukmem buktikan bahwa ide tentang eksistensi ilahiahatauTuhandapatdiketahui.Ma
SURAT PEMBACA ka, mereka tidak mengambil keputus an menyetujui atau menolak eksisten siTuhan.Merekabukankeduanya.Ag nostiksebenarnyaadalahsikaptentang keberadaan Tuhan, bukan sikap “tidak mautahu” yang “berpikirsajatidak”. Bertrand Russel, seorang filsuf ag nostik Inggris yang fotonya menjadi ilustrasi kaumagnostikdiartikelterse but,telahbenar-benarmemikirkanten tangTuhan hingga dia memutuskanun tuk menjadi agnostik. Dia dahulu seo rangkristen. Bahkan ada satu bukunya berjudul Why I Am Not A Christian khusus membahas kritiknya terhadap agama dan alasannya menjadi agnos tik. Apakah Bertrand Russel yang ag nostik merupakangolonganyang“ber pikirsajatidak”?JelasklaimDr. Arqom Kuswanjono sangatlah tidak tepat. Pe milihandefinisiagnostiksangatlahten densiusdenganmencitrakanorangag nostik malas berpikir. Istilahpasca-atheist lebihtepatdi gunakan untuk mengacu ide yang di maksudDr. Arqom Kuswanjono. Marcel Neusch menulis dalam The Sources of Modern Atheism bahwakitamemasuki era pasca-atheist, “era yang di dalam nya masyarakatnya berhenti pada po sisiketiadaanTuhandanmenatakehi dupanmerekasendiri,untukkebaikan maupun kebatilan (for good and ill), dantanpaacuankeTuhan”(hal. 2).Ma syarakatsepertiinisudahmenganggap ketiadaan Tuhan tidak perlu diperta nyakanlagi.Namun,perludicatatbah wamasyarakatsepertiinitidaklahsela lu berisi keburukan dan amoral.Neusch sud ah mengingatkan den gan men u lis,“for good and ill”. Maka, penulis se harusnya menggunakan istilah post-a theistketimbang agnostik untuk menga cuketidakpedulian akan Tuhan dan ke tiadaan Tuhan sebagai acuan. Kedua permasalahan di atas, ke kacauan peristilahan dan ketidakjelas an referensi, menurut saya menguak diskriminasi dan bias ideologi yang ti dak diakui Dr. Arqom Kuswanjono se laku penulis. Artikel tersebut mengata kan bahwa “agnotisme dan fundamen talisme agama sama-sama bukan pilih an ideal”. Dengan contoh tersebut, dengan ti dak simpatik pembaca diajak menga sosiasikan bahwa kaum agnostik sama bahayanya dengan teroris. Mereka ada lahsejajar; sebagai akibat memilih yang “bukanpilihan yang ideal”. Sikap seper ti ini sama dengan menyatakan bahwa
Meruntuhkan Kemunafikan Feses ADAkenikmatanyanglebih kudus da ripada orgasme. Pernahkahanda me rasakanpergerakanfesesmelaluirec tum yang mengalir keluar di antara anus? Perlahan namun pasti, menga lir mili demi mili, sebelum jatuh dan berlabuhdenganairdalam jamban. Itu kenikmatan syahdu yangsaya rela tu kardengansejuta uangsaat sembelit. Itulah nikmatnya buanghajat. Sensu al, jujur, polos, mistis, dan tanpa ke munafikan. Kita mengeram, menge dan,menahan,danmembuangdalam suasana trance atas kontraksi otot-o tot tubuh. Inilah universalitas orgas me feses. Manusia memiliki estetika kejiji kanterhadapfeses,sebagaisuatuyang hina,menjijikan,tidaksehat,danbau. Apa itu kejijikan? “The most violent affections of the human perceptual system,” kata Winfried Menninghaus dalam Disgust The Theory and History of a Strong Sensation. Sederet kompromi menekuk ba taspemahamanmanusiaataskehina anfeses. Usahakompromiyangdimu syawarahkantigabatasdimensistruk tur: masyarakat, pemerintah dan cen dikiawan. Laludimanaposisi feses? Ia kembalimenjadiobjekkambinghitam, entah karena alasan kesehatan, bau, ataupunsekedarsanitasi. Asketisisme sampahdiri. Dari hal yang sebenarnya privat, ritual buang air besar menjadi rusuh karenabaudanefeknyamemengaruhi lingkungan.Dimanahal ini memaksa pemangku kebijakanuntuk membuat aturan. Serupa dekrit Royal Edict of Villers-Cotteretspad tahun 1539, te man-temanEKSPRESI kaliiniberhasil merekonstruksikebijakankolonialta hun1630,folhans nonas horas, negen uur bloemen. Sebuah kebijakan yang dilakukan Belanda di Indonesia un tukmenekanmasalahfeses-feses yang bertebaran seantero Batavia kala itu. Jujur ini adalah karya cerdas, te tapiadaruangkekecewaanyanghing gap.Merekonstruksiidehumanwaste orang agnostik tidaklah dapat menjadi manusia sepenuhnya dan berbahaya. Mohonmajalah EKSPRESI lebih ha ti-hatidalammemuat artikel yang sen sitifkarena sangat potensial terjadidis kriminasi wacana terhadap minoritas,
as a nation alias Warga Negara Sam pah pada majalah edisi XVIII. Feses bisajadibukanidesegar,iahanyase kedarpenjabaranlebihtajam atas ke takberdayaan pengelolaan sampah di Indonesia. Atau inginberujar, “ngurus tahi sendiri gak mau, eh kok ngurus sampah orang?” Repetisi? Semoga bukan,karenasayaakanberdiripada garda terdepan membela orisinalitas karya ini. Azbabunnuzul-nya? Jik a and a membaca dengan teliti setiap rubri kasi Majalah Ekspresi, mereka mela kukan pembedahan tema tinja secara serius,mulaidarisejarah,filosofi,per debatan ruang publik dan privat, ma najemenlimbah,jaminansosial kese hatan, sistem ekologi, dan diskursus kesadaranakankebersihandiri.Maka sayabersaksi,melaluikaryaini,mere kaberhasilmenghancurkandominasi tema-tema sosialpersmahasiswa.Se caracerdasiakeluardarizonanyaman romantisme98.Menurutpendapatsa ya yang paling jujur, ini mematahkan aturan dan tantangan atas hal yang dianggap lazim dalam wacana Persma yang “layak”. Sesungguhnyakebersihansebagian dariiman.Jikaandapunya,makaseti daknyajangansembaranganbuangha jat.Iabolehjadilimbah,halyanghina, menjijikan,namunbukanmenjadiala san untuk bertindak seenaknya. Olah sampahmelaluiteknologiberkelanju tan, niscaya akan mendapat manfaat. Sekali lagi, para punggawa Ekspresi dalam majalah edisi XXII jauh mem bumikan diakroni feses Dominique Laporte dalamHistory of Shit. Danbu kansekedararkeologiromantismesa nitasibelaka,jauhlebihitu.EKSPRESI denganlugas bersuaramenyindirego manusiamelaluihalesensial dari eks tasikonsumsi, yaitu feses.W
Arman Dhani Bustomi Pemimpin Umum UKPKM Tegalboto Universitas Jember dalam kasus ini kaum agnostik.W
Guruh Riyanto
Mantan Pengurus LPM Natas
Universitas Sanata Dharma
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
7
ANALISIS UTAMA
Bias Pandang Parkir Mengurai persoalan on street tidak sesingkat mendefinisikannya. Tapi, bahkan masyarakat sudah salah sejak dari definisi.
Oleh Azwar Anas
P
arkir badan jalan, parkir tepi ja lan umum, dan parkir ruang mi lik jalan adalah padanan istilah untuk menyebut satu fenomena yakni on street parking. Sedangkan penger tian parkir itu sendiri seperti yang ter tera pada Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab 1 pasal 1 ayat 15 adalah keadaan kenda raan berhenti atau tidak bergerak un tuk beberapa saat dan ditinggalkan pe ngemudinya. Dalam sejarahnya, on street tidak begitu memusingkan. Kalau dulu kita parkir boleh di mana saja asal tidak ter dapat rambu yang melarang. Sedang kan sekarang dibalik, jalan tidak boleh untuk parkir kecuali yang diizinkan. Ini artinya, semakin ke sini on street semakin membludak. Hal ini dimotori dengan terjadinya bias pandang terka it persoalan parkir. On street dianggap sebagai sebuah kebutuhan bukan se bagai usaha mengatur kebutuhan. Ar tinya bahwa setiap lokasi tidak melu lu diperbolehkan untuk parkir. “Bukti nya Jalan Nasional, Jalan Provinsi sa
8
|
ja sekarang banyak yang mempunyai on street area, misalnya Jalan laksda Adi Sucipto, Jalan Kaliurang dan Jalan Magelang,” Jelas Iwan Puja. Sementara itu, pemer int ah ti dak mau dituding semata-mata mele pas tanggung jawabnya. Makanya, ji ka pem er int ah lew at Din as Perh u bungan (Dishub) masing-masing ko ta tidak segera mengatur hal itu, se mua jalan akan jadi lahan parkir. “Da lam undang-undang baru semua jalan tidak saya beri izin untuk parkir,“ ujar Ir. Yudianto Kepala Seksi Perparkiran Dishub Sleman. Akan tetapi, dalam praktiknya ter nyata tidak semulus dengan apa yang dicitakan Dishub. Sejumlah fenomena yang menyimpang dalam pelaksana an parkir kian merebak. Diantaranya ditandai dengan munculnya parkir li ar. Parkir yang tidak mengantongi izin dari pemerintah “Parkir liar itu macammacam (jenisnya), jadi biasanya me reka nggak punya karcis resmi,” Jelas Johny Sunu Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
Akibatnya, kebocoran retribusi ke kas daerah semakin rawan. Meski no minal yang ditargetkan terpenuhi na mun hal ini tidak bisa dikatakan bah wa tidak terjadi kebocoran dalam retri busi. Sementara pemerintah telah puas dengan hasil yang sudah dikantonginya selama ini. Padahal seharusnya peme rintah menarget hasil retribusi parkir sesuai potensi lahan yang digunakan. Tapi, karena adanya parkir liar potensi lahan tersebut tidak terdeteksi. Hal ini, khususnya berlaku pada parkir liar yang modusnya tidak menggunakan karcis dalam teknis pelaksanaannya. Selain itu ada jenis parkir liar yang dalam operasinya juga menerjang ba tas izin dari pemerintah. “Misalnya, izin awal cuma seratus meter, terus karena bertambahnya pengguna parkir, lahan parkir meluas tanpa adanya izin ulang ke Dishub,” tukas Iwan Puja. Setiyono S.Sos, Kepala Subbagian Pengembangan Pajak dan Retribusi di Dinas Perekonomian Pengembangan Pendapatan Asli Daerah (P3ADK) dan kerjasama menjelaskan bahwa target pendapatan retribusi parkir memang
BIAS PANDANG PARKIR diperoleh dari penghitungan potensi parkir. Akan tetapi, P3ADK belum me miliki data potensi parkir itu. “Potensi retribusi parkir sementara masih meng hitung berapa jumlah tukang parkir dan berapa karcis yang dipakai perhari, be lum pernah mengadakan survei lang sung,” jelasnya. Menyikapi hal ini, Pus at Stud i Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM, selaku lembaga yang konsen dalam bidang penelitian transportasi memberi solusi yaitu dengan pemanfa atan peralatan modern dalam pengelo laan parkir. Penggunaan peralatan ter sebut terkait dengan mekanisme pe mungutan retribusi, antara lain pene rapan karcis berlangganan, pengguna an voucher, penggunaan smart card, ataupun penggunaan meteran parkir. Meskipun belum direalisasikan oleh Dishub namun cara ini cukup ampuh untuk meminimalisir kebocoran dana. Sebagai studi kasusnya, adalah sistem regulasi keuangan Transjogja. Di Trans jogja, penumpang tidak secara langsung membayarkan ongkos transportnya, te tapi menggunakan smart card. Dengan begitu, uang tidak secara langsung di terima oleh kondektur melainkan me sin yang bekerja. Kondektur hanya se bagai pengatur atas kerapian penum pang. Sistem ini bisa diterapkan di per parkiran. Dengan sistem ini juru parkir akan berperan sebagai pengatur sema ta, tidak memegang ongkos bayar par kir. Sedangkan juru parkir akan men dapat gaji dari daerah. Beranjak dari permasalahan par kir liar dan kebocoran retribusi, se jumlah masalah lain muncul. Hal ini mer up ak an damp ak glob al dar i on street: kemacetan lalu lintas. Menu rut Ir. Suparwoko, MURP PhD Juru san Arsitektur FTSP Universitas Islam Indonesia, gejala kelumpuhan sudah tampak. Mari tengok beberapa ruas jalan di kawasan perdagangan yang mempunyai sederet lahan on street. Seperti Jalan Solo atau Jalan Laksda Adisucipto, Jenderal Sudirman, Jalan Malioboro, Jalan Kaliurang dan Jalan Gejayan (Jalan Affandi), semua lalu lintas pada jalan tersebut padat, ter utama pada pagi dan sore hari. “Jika ti dak segera ditindaklanjuti maka kawas an perkotaan Yogyakarta akan meng alami kelumpuhan seperti di Jakarta,” tulisnya. Permasalahan ini ternyata tidak da
pat diselesaikan pada tataran rambu. Justru rambu-rambu lalu-lintas yang sudah terdapat di badan jalan tertentu banyak dilanggar. Seperti di pinggir an Pasar Beringharjo, di depan Saphir Square Mall, bahkan di beberapa ruas di Jalan Magelang. Peraturan terkait ram bu sepertinya perlu dipertegas kemba li, pasalnya pelanggaran parkir adalah pelanggaran terhadap aturan lalu lintas yang ditandai dengan rambu larangan parkir, rambu larangan berhenti, serta marka larangan parkir di jalan. Parkir yang memanfaatkan badan jalan sebagai lahan parkir ini muncul juga dipengaruhi akibat tidak seban dingnya jumlah kendaraan pribadi de ngan lokasi perparkiran off street. Se lain itu, Intensitas penggunaan ken daraan pribadi yang cukup tinggi ser ta kurangnya fasilitas layanan angkut an umum menyebabkan tingkat kema cetan bertambah. Apalagi ditambah de ngan adanya penyempitan jalan akibat parkir on street. Sehingga ancaman ke macetan dan gangguan kelancaran lalu lintas pun semakin tinggi. Lain masalah, lain juga yang berbi cara. Kali ini dinas lingkungan hidup ikut unjuk gigi. Dinas ini menyorot te gas terkait dampak yang ditimbulkan dari kemacetan. Pasalnya, kemacetan ternyata membawa dampak yang sig nifikan terhadap kerusakan lingkung an dan gangguan kesehatan. Epiphana Kristiyani, Kepala Kantor Lingkungan Hidup Sleman mengungkapkan, “Emisi gas buangan dari kendaraan bermotor khususnya, di Kota Yogyakarta yang be rupa hidrokarbon sudah melebihi am bang batas baku mutu.” Jika hal ini di biarkan terus-terusan terjadi, gangguan kesehatan manusia dan kerusakan ling kungan yang dipertaruhkan. Kemacetan yang sebagian besar di sebabkan parkir on street dapat menam bah persoalan pada lingkungan. Dam pak yang ditimbulkan untuk lingkung an dalam jangka panjangnya adalah efek rumah kaca dan global warming se hingga menyebabkan perubahan iklim yang tidak menentu. “Selain itu, karbon monoksida yang terhirup dapat mengu rangi jumlah oksigen dalam darah, se hingga dapat menimbulkan gangguan berpikir, penurunan refleks dan ganggu an jantung, bahkan akan menimbulkan kematian,” tambah Ephipana. Sejumlah masalah tersebut cukup membuat kalang kabut pemerintah se
laku otak dari pencetus kebijakan per parkiran. Apalagi, diperkirakan parkir on street tidak dapat dikendalikan ke teraturannya. Langkah prematur yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini adalah dengan mengeluarkan peratur an yang mengacu pada tujuan pengu rangan parkir di badan jalan. Dengan mengeluarkan peraturan tentang kewa jiban sebuah bangunan mempunyai la han parkir pribadi seluas 20% dari luas bangunan tersebut. Peraturan ini ditekankan pada ba ngunan seperti tempat-tempat usaha yang lokasinya berada di pinggir jalan. Sehingga diharapkan mampu mengu rangi kecenderungan untuk parkir di badan jalan dan mengalihkan parkir di luar badan jalan. “Saya sebenarnya nggak senang parkir di pinggir jalan, yang pertama mengurangi lebar jalan, selain itu juga kurang nyaman, jadi se bisa mungkin parkir semuanya akan dialihkan pada tempat-tempat tertentu (off street - red),” ujar Yudianto. Lagilagi, langkah prematur ini kosong, bu kan tanpa hasil melainkan melahirkan sejumlah persoalan baru. Bangunan seperti tempat-tempat usaha yang lokasinya berada di ping gir jalan semata memprotes kebijak an Dishub. Sebab, tidak mungkin pe milik bangunan tersebut membong kar bangunannya untuk menyisakan 20% lahan bebas untuk dijadikan seba gai lahan parkir. Oleh karena itu dalam peraturan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang baru pemerintah mengga lakkan program tersebut. Hal Ini bisa dimaknai bahwa un tuk mengur an gi tingk at kep ad ata n dan gangguan lalu lintas dengan me mindahkan parkir on street ke tempattempat khusus yang tidak mengganggu pergerakan lalu lintas (off street) ser ta mengembalikan fungsi jalan seba gai pergerakan lalu lintas, jadi bukan lagi sebagai lahan parkir. Akan teta pi, apa mau dikata. Rencana tetaplah rencana, sebab mereformasi masalah parkir tidak bisa memandang dari satu sisi saja, transportasi. Melainkan per lu melibatkan dan mengkaji banyak aspek diantaranya sosial, budaya ser ta ekonomi itu sendiri. Dalam bidang ekonomi misalnya, menghilangkan on street, berarti mematikan mata penca harian orang yang terlibat di dalam nya, seperti pengelola parkir dan juru parkirnya.W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
9
ANALISIS UTAMA
Melacak Bias Paradigma Parkir Masyarakat masih belum bisa membedakan antara parkir dan penitipan kendaraan. Tugas keamanan dalam parkir itu nomor sekian. Oleh Azwar Anas
M
enurut UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Parkir ada lah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya. Mengacu pada Undang-undang tersebut telah terjadi bias paradigma penyelenggara an parkir. Parkir khususnya on street, tak ubahnya sebuah penitipan. Seperti yang diungkap oleh Iwan Puja, ST peneliti dari PUSTRAL UGM, “Sepertinya memang perlu dibedakan, pemahaman antara penyelenggaraan parkir dan penyelenggaran penitipan. Penyelenggaraan parkir, hanya sebatas menyediakan ruang untuk kendaraan berhenti, misalnya untuk mobil sebesar 2,5 x 5 msesuai dengan aturan, sedang kan penyelenggaraan penitipan kenda raan selain menyediakan luasan untuk kendaraan juga menjamin keamanan kendaraan yang dititipkan.” Hal ini juga dip erk ua t oleh KUHPerdata Pasal 1694 yang menyata kan bahwa penitipan itu terjadi, apabi la seseorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengem balikannya dalam wujud asalnya. Dalam pelaksanaannya masyara kat mempunyai pandangan yang berbe da. “Kalau parkir ya harus ditunggui tu kang parkirnya, biar aman,” kata Wandri pengguna jasa parkir yang berprofesi sebagai wiraswasta. Sejalan dengan
10
|
PRIMA/EKSPRESI
Wandri, seorang peda gang asli Wirobrajan, Yogyakarta mengungkapkan bahwa ketika parkir, kendara an harus ditunggui oleh juru parkir, “Seharusnya iya, juru parkirnya harus menunggui kendaraan, paling tidak nga wasi lah.” Bias paradigma telah menjadi salah kaprah yang meng akar. Ini bermula dari ketidakta huan masyarakat. “Terkait pola pi kir masyarakat memang belum ba nyak yang tahu, bahwa kita parkir karena menggunakan badan ja lan yang notabene mengurangi ak ses pengguna jalan yang lain. Oleh karena itulah kita bayar,” jelas Ir. Yudianto, Kepala Seksi Perparkiran Dinas Perhubungan Sleman. Yudianto juga menambahkan, fungsi juru parkir ada dua. Pertama, agar bisa mengatur letak kendaraan supaya beraturan, yang kedua, men jaga kendaraan sekiranya ada halhal yang tidak diinginkan. “Jadi isti lahnya bukan titip kepada juru par kir,” jelasnya. “Parkir itu bukan kebutuhan, tapi usaha untuk mengatur kebu tuhan,” ujar Iwan Puja. Hal ini ju ga dinilainya sebagai salah bentuk bias paradigma. Dari sinilah mem bludaknya kebutuhan suplai parkir dimulai. Pemerintah menganggap
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
PUSTRAL. Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada, Instansi yang berkonsentrasi pada penelitian khusunya di bidang transportasi.
BIAS PANDANG PARKIR setiap lokasi harus mempunyai area parkir. Misalnya, pemberian izin par kir di wilayah padat lalu lintas. “Jalan Magelang, itu kan jalan provinsi tapi kenyataannya di sana padat parkir, dan itu diperbolehkan. Ini kan berarti peme rintah masih menganggap kalau parkir itu sebagai kebutuhan bukan memak nai parkir sebagai usaha untuk meng atur kebutuhan,” Jelas Iwan. Terkait masalah ini, Badan Perenca naan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta tidak menga mbil pusing. Pihaknya mengamini terkait di perbolehkannya jalan provinsi dan ja lan nasional untuk parkir. “SK Walikota memang mengatur. Misalnya di seki tar Jalan Solo itu memang diperboleh kan asal tidak mengganggu kepenting an umum,” ujar Hari Setyowacono, Ke pala Bidang Pengendalian Evaluasi dan Laporan Bappeda Kota Yogyakarta. Pengurangan fasilitas park ir di pinggir jalan sebagaimana diamanat kan dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam pasal 43 ayat 3 yang berbunyi Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat dise lenggarakan di tempat tertentu pada ja lan kabupaten, jalan desa, atau jalan ko ta yang harus dinyatakan dengan Ram bu Lalu Lintas, dan atau Marka Jalan. Iwan memberi contoh lain yakni Jalan Kaliurang. “Jalan Kaliurang ini adalah jalan provinsi, tapi di sana ju ga banyak ditemukan deretan tempat parkir di badan jalan. Selain itu, parkir seperti ini secara tidak langsung mereng gut hak pengguna jalan,” tambahnya. Terlanjur Rumit “Awalnya itu kesalahan fatal Pem kot, yang memberikan izin bangunan. Dulu kalau rumah di pinggir jalan be sar, itu harusnya mundur sekian me ter. tapi kalau bangunan itu toko, ma lah boleh maju. Nah yang kebalik dari dulu itu, saya dari jaman nggak enak sudah ngomong: mestinya toko itu punya space parkir. Bukan malah rumah tangga yang punya space parkir. Sekarang permasa lahannya kan, mau disuruh mun dur itu gimana, hayo? Pemerintah mau po memundurkan bangunan (rumah usaha) itu?” ujar Johnny Sunu ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DIY. Pemerintah kota (Pemkot) se mata-mata tidak mau disalahkan. Lew at keb ij aka n mut akhirn ya, Pemda Sleman mempunyai upaya untuk mengurangi parkir on street. “Dari Sleman sendiri sekarang ini menghimbau, agar setiap bangun an baru berupa badan usaha di pinggir jalan, menyediakan lahan 20% dari luas bangunannya, guna sarana parkir,” ujar Sulton Fatoni, ATD. IM. Ec., Kepala Bidang Lalu Lintas Dishubkominfo Sleman. Hal ini juga diikuti oleh Pemkot Yogyakarta. Kustituanto Subroto, S.H, Kepala Bidang Perparkiran Dishub Kota Yogya, menganggap semuanya karena perkembangan zaman. Jadi sudah sepantasnya kalau kebijakan baru pun dikelu arkan. “Justru itu, karena memang perkembangan zaman seperti ini. Setiap ajuan dari IMB (Izin Men dirikan Bangunan – red) itu ha rus ada lahan parkirnya sejatinya kalau itu tempat usaha. Kita akan meminimalisir badan jalan untuk
parkir. Jadi jalan biar khusus untuk jalan,” tegasnya. Hal ini bisa dimaknai bahwa un tuk mengurangi tingkat kepadatan dan gangguan lalu lintas dengan memin dahkan parkir on street ke tempat-tem pat khusus (off street) yang tidak meng ganggu pergerakan lalu lintas, serta me ngembalikan fungsi jalan sebagai perge rakan lalu lintas, jadi bukan lagi sebagai lahan parkir. Akan tetapi, kebijakan yang coba di terapkan oleh Dishub Yogyakarta terse but hanya dinilai sebatas wacana oleh Bappeda. “Baru wacana dan itu pun dalam rencana 20 tahun ke depan di sini kan belum ada ya. Itu hanya wacana saja,” ujar Hari Setyowacono. Hal ini juga disangsikan oleh Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) Universitas Gadjah Mada (UGM). “Hanya saja, pelaksanaannya cukup sulit mengingat parkir tidak ha nya dari aspek transportasi tetapi juga aspek sosial, artinya banyak orang yang terlibat dalam kegiatan penyelengga raan parkir. Misalnya jika on street se mata-mata dihilangkan akan berdam pak signifikan terhadap para juru par kir, banyak juru parkir yang akan kehi langan mata pencahariannya, hal ini bi sa menyebabkan gejolak sosial bagi para juru parkir tersebut,” ujar Iwan Puja. Terkait kesangsian yang disam paikan PUSTRAL, pihak Dishub Kota Yogyakarta punya pertimbangan lain. Dishub, mengaku siap untuk mem perkerjakan juru parkir yang nanti nya akan kehilangan mata pencaha rian, jika mereka benar-benar terdaf tar secara resmi menjadi juru parkir. “Lho, kita akan menjembatani mere ka. Kita sebagai mediator. Kalau nanti jadi parkir off street. Mereka kan ma sih bisa kerja jadi tukang parkir atau kalau tidak jadi keamanannya,” ujar Subroto. Sementara itu juru parkir di Jalan C. Simanjuntak Terban, Subagyo, juga kurang yakin dengan visi Dishub untuk menghilangkan parkir on street. “Ka lau Dishub Yogyakarta, kok saya yakin nggak bakalan bisa, tapi kalau untuk Sleman mungkin masih ada kemung kinan. Karena Sleman itu masih ada banyak lahan kosong dan wilayahnya lebih luas dari pada kota Yogyakarta,” ujar Subagyo.W Laporan oleh Azwar, Cahyo, Islah, Prima, Septi.
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
11
ANALISIS UTAMA
FAJAR /EKSP RESI
Celah Kebocoran Retribusi Parkir “Saya kira, ketika manajemen daerah bagus, terutama terkait dengan kebijakan parkir, maka pendapatan akan berdampak juga,” Ujar Iwan Puja Riyadi, S.T PUSTRAL UGM. Oleh Cahyo Waskito P. A
T
arget pendapatan retribusi parkir Kota Yogyakarta dibuat menga cu pada hasil penghitungan po tensi parkir. Potensi parkir tersebut dibuat dengan cara melakukan survei lapangan. Namun, menurut Setiyono S. Sos, Kasubbag Pengembangan Pa jak dan Retribusi di Dinas Pereko nomian Pengembangan Pendapatan Asli Daerah dan Kerja Sama (P3ADK) Kot a Yogyakarta, hingg a kin i Kot a Yogyakarta belum memiliki data poten si berdasarkan survei tersebut. “Sampai saat ini, potensi retribusi parkir masih menghitung berapa jum lah tukang parkir dan berapa karcis yang dipakai per hari. Padahal potensi parkir seharusnya dihitung dengan melakukan survei langsung lapangan,” jelasnya. Padahal, sudah menjadi rahasia umum kalau sering terjadi kecurang
12
|
an parkir, terutama dalam pemakaian karcis. Hal ini tentu mengurangi poten si parkir yang sebenarnya. Hingga sa at ini Pemerintah Kota Yogyakarta ma sih mengabaikan praktik kecurangan di lapangan. Hal ini dapat dilihat dari be lum adanya data potensi tersebut. “Se mentara ini memang belum ada data me ngenai berapa kerugian dari kecurang an, nanti setelah studi (potensi parkir red), ada gambaran,” ungkap Setiyono. Selain soal karcis, juga berkembang kecurangan parkir lain, yaitu pengge lembungan tarif. Di Sleman, berdasar Pera t ura n Daerah (Perda) nomor 19 tahun 2002 tentang Pajak Parkir, tarif retribusi parkir di Sleman untuk motor sebe sar Rp400,00 dan mobil Rp1000,00. Akan tetapi di sepanjang Jalan Affandi dan Jalan Moses Gatotkaca, sepeda
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
motor malah ditariki Rp1000,00 dan mob il Rp2000,00. Dishub menga ku mengetahui hal ini. “Kita memang pernah mendapatkan pengaduan se jenis, lalu kami beri himbauan,” ujar Ir. Yudianto, Kepala Seksi Perparkir an Dishub Sleman. Retribusi Naik Yudianto juga menjelaskan menge nai pembagian pendapatan retribusi parkir. “Untuk pembagiannya seperti ini: 35% pengelola, 65% untuk peme rintah daerah. Juru parkir sudah ditang gung pengelola. Pengelola biasanya di tunjuk dengan mendaftar ingin mena ngani di wilayah mana,” jelasnya. Sebenarnya ada kontrak mengikat antara pengelola dan Satuan Kerja Pe rangkat Daerah (SKPD) mengenai jum lah setoran yang harus masuk. Jika ti
BIAS PANDANG PARKIR dak memenuhi target, maka pengelola dianggap memiliki hutang. Untuk target tahun 2010, Dishub Sleman menarget kan pendapatan retribusi parkir sebesar 330 juta rupiah. Target ini masih sama dengan tahun sebelumnya. Dishub ti dak berani untuk menaikkan karena saat ini dishub sedang berusaha mengurangi parkir tepi jalan umum (TJU). Berdasarkan Perda Kota Yogyakarta nomor 19 tahun 2009 tentang Retribu si Pelayanan Parkir di TJU, tarif yang berl ak u menga l am i ken aika n. Da lam peraturan lama tarif untuk sepe da motor sebesar Rp500,00 dan mo bil Rp1000,00. Sedangkan Perda no mor 19 tahun 2009, untuk kawasan I tarif untuk sepeda motor Rp1000,00 dan mobil Rp2000,00. Dengan peningkatan tarif ini di har apk an pend ap ata n asli dae r ah (PAD) dari retribusi parkir pun me ningkat dari Rp1,56 miliar menjadi Rp2,1 miliar. Dengan rincian, dari Di nas Perhubungan, Komunikasi, dan In formatika (Depkominfo) sebesar Rp1,2 miliar, UPT (Unit Pelayanan Teknis) Malioboro ± Rp500 juta, dan Dinas Pasar sebanyak ± Rp300 juta. Mengenai kenaikan tarif retribusi parkir tersebut, Setiyono menjelaskan hal ini merupakan hasil musyawarah bersama antara eksekutif dan legisla tif. Retribusi dari parkir akan dialoka sikan untuk urusan transportasi lagi. Ini ditegaskan dalam Perda nomor 19 tahun 2009 bahwa: Prinsip dan sasar an dalam penetapan struktur dan be saran tarif retribusi didasarkan pada (1) Tujuan untuk memperlancar lalu lintas jalan dengan tetap memperhatikan bi aya penyediaan jasa yang bersangkut an, kemampuan masyarakat dan as pek keadilan. (2) Biaya sebagaimana di maksud pada ayat 1, meliputi pengada an marka, pengadaan rambu-rambu, operasional, pemeliharaan, administra si dan biaya transportasi dalam rangka pengawasan dan pengendalian. Kenaikan tarif retribusi parkir ju ga disambut gembira oleh juru parkir. Hal ini dikarenakan Peraturan Waliko ta (Perwal) nomor 112 tahun 2009 me mosisikan juru parkir sebagai peneri ma porsi terbesar. Aturannya, untuk ka wasan I, juru parkir mendapat 75% se dangkan Pemerintah Kota 25%. Untuk kawasan II, juru parkir mendapat 80% dan Pemerintah Kota mendapat 20%. Penghitungan tersebut didasarkan pa da pendapatan dari karcis yang terpa
kai perharinya. Seperti yang dikatakan Hanarto, Sekretaris Forum Komunika si Pekerja Parkir Yogyakarta (FKPPY), “Dengan presentase kerja yang baru ini kan presentasenya jauh lebih mengun tungkan juru parkir.” Pada tahun 2010 ini, Pemerintah Kota Yogyakarta berani menaikkan target hingga Rp2,1 miliar. Ini dilaku kan karena tahun lalu pendapatan me lebihi target. Tahun 2009 pemerintah kota menargetkan Rp1,55 miliar dan terwujudkan sebesar Rp1,56 miliar, atau surplus 1,21%. Realisasi hingga bulan Mei 2010 sudah terwujudkan sebesar Rp800 juta. Jumlah ini setara dengan 46,5% dari target keseluruh an. Pencapaian realisasi tersebut sudah melebihi target tahapan per bulan se hingga kemungkinan akan dirubah tar getnya sehingga dapat maksimal. Alur Setoran Retribusi Parkir Perwal no 112 tahun 2009 meng amanatkan pengelolaan parkir kepada tiga SKPD yaitu, Dishubkominfo, UPT Malioboro, dan Dinas Pasar. Menurut Tri Hariyanto,S.T., M.T., Kepala Seksi Optimalisasi Perparkiran, langkah ini dilakukan agar penanganan di beberapa kawasan cepat tertangani dan tidak ber belit-belit alur koordinasinya. Misalnya Malioboro dan sekitar pasar. Hal ini juga diamini ol eh Purwanto, Kepala UPT Malioboro. “Malioboro ini membutuhkan pena nganan yang cepat. Sehingga dari pemerintah membentuk unit yang dekat dengan Malioboro. Yang ta dinya penanganan Malioboro itu ada enam instansi dinas tingkat kota. Dengan enam instansi kan koordinasinya sulit dan keenamnya tidak ada di kawasan Malioboro.” Tri Hariyanto menilai alur retribusi dari SKPD hingga pem kot sud ah jelas. Hal itu sudah diatur dalam Perda dan Perwal. Juru parkir menyetorkan penda patan retribusi parkir kepada ju ru pungut. Retribusi parkir terse but merupakan pendapatan yang dihitung berdasarkan karcis yang terpakai oleh juru parkir. Kemu dian oleh juru pungut disetor kan ke bendahara penerima di SKPD. Setelah sampai ke ben dahara pen er im a, lalu dik i rimkan pada hari itu juga ke Pe merintah Kota melalui rekening di Bank Pembangunan Daerah
(BPD). Kesemuanya itu dilakukan da lam waktu 1 x 24 jam untuk mencegah penyelewengan. Akan tetapi, di lapangan retribusi ditargetkan, bukannya mengikuti besar kecilnya pendapatan harian. Subagyo, juru parkir di Jalan C. Simanjuntak, mengungkapkan, setoran juru parkir sudah ditentukan dan disepakati ber sama. “Asal setoran penuh yakni, 160 ribu per bulan Dishub sudah mengang gap itu tidak masalah. Kalau ada keku rangan Dishub menghitungnya seba gai hutang,” jelasnya. Hal senada ju ga dikatakan Beni, juru parkir di ka wasan Malioboro. “Perharinya ditarget minimal sebesar 25 ribu,” tambahnya. Pola seperti itu merupakan kesalah an fungsion al. “Ya, nggak bisa seperti itu. Karena Perda dan Perwalnya meng amanatkan bahwa setiap pengguna jasa yang membayar retribusi diberikan tan da terima, berupa karcis. Jadi itu yang akan kita hitung,” ujar Setiyono.W Laporan oleh: Azwar, Dawi, Habib, Hening.,
SI
PRE
/EKS
R FAJA
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
13
ANALISIS UTAMA
Simpang Siur Parkir Liar Parkir liar sebagai salah satu sebab tidak tertibnya perparkiran di kota Yogyakarta belum punya definisi jelas. Padahal ia menyimpan risiko bagi pelanggan maupun pemerintah. Oleh Prima S.W
D
alam Peraturan Daerah (Perda) Kot a Yogyakarta nomor 17 Tahun 2002 tentang Penye lenggaraan Perparkiran, tidak dise butkan definisi yang rigid mengenai parkir liar. Menurut Iwan Puja Riyadi, S.T, peneliti dari Pusat Studi Transpor tasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM, kriteria parkir liar ada dua, yaitu par kir yang tidak ada surat izinnya dan parkir yang bertempat di lokasi be bas parkir. Parkir liar kadang kala sulit dide teksi karena tidak beroperasi sepanjang
14
|
hari. Di sepanjang Jalan Babarsari, par kir liar marak saat menginjak pukul li ma sore. Kebanyakan adalah parkir di depan warung tenda yang memang ba ru mulai berjualan di sore hari. Fian, salah satu juru parkir di Jalan Babarsari, mengak u tidak memiliki su rat tugas. Akan tetapi, ia memiliki rom pi oranye, seragam juru parkir, meski pun tidak dipakai karena malu. Rom pi tersebut ia beli dari temannya yang menjadi juru parkir di Swalayan Mirota Jalan Babarsari. “Rata-rata yang jaga di sana punya dua,” kata Fian. Fian menjadi juru parkir liar se jak Januari 2009. Hingga kini, ia tidak pernah terkena ra zia dari Dinas Per hubungan. “Nggak tah u pros ed urn ya gimana,” jawabnya saat ditanya penye bab tidak mengurus surat izin. Bila dilihat seki las, Fian bisa lang sung dii dent if ik a si sebagai juru par kir lia r. Sel ai n ti dak memakai rom pi oranye, ia juga ti dak memakai kar cis. Untuk kendara an yang parkir, Fian memakai tarif yang paling umum dipa kai para juru parkir, yaitu tarif kawasan I sebesar Rp1000,00 unt uk mot or dan Rp2000,00 untuk mob il. Dar i men jag a park ir sej ak puk ul enam sore hingga sebelas ma
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
lam, sehari rata-rata ia memperoleh Rp30.000,00. Jumlah sekian ia teri ma bersih tanpa harus menyetor ke mana-mana. Lain dengan Fian, agak rumit untuk mengenali parkir liar di sebelah selatan Mirota Batik, Malioboro. Parkir di hala man Gereja Protestan Bethel Indonesia ini sejatinya termasuk parkir off street. Namun, karena sesak, parkir ini meruah ke jalan raya di sampingnya. Termasuk untuk memfasilitasi parkir mobil yang ti dak bisa masuk ke halaman gereja. Karena bermula dari park ir off street, Stefanus, pengelola parkir terse but, mengaku mencetak karcis sendiri. Akan tetapi, parkir yang di badan jalan juga memakai karcis yang sama. Selain itu, petugas parkir yang menangani par kir di badan jalan pun tak berseragam. Menurut Stefanus, parkir di hala man dengan parkir di jalan memang berbeda. Untuk yang di jalan, per bulan nya ia harus menyetor pajak parkir ke Dinas Lalu Lintas Angkutan dan Jalan (DLLAJ) sebesar Rp250.000,00. Pada hal prosedur pembayaran retribusi par kir on street adalah melalui penghitung an karcis yang diambil dari dinas perhu bungan. “Kalau yang di dalam setornya ke pihak gereja,” tambahnya. Dalam sehari, Stefanus bisa meng habiskan dua bendel karcis. Per ben delnya berisi 100 lembar karcis parkir. Dengan tarif sesuai dengan tarif kawa san I, kemudian dipotong bayaran un tuk 10 petugas parkir, bisa diperkirakan besar pendapatan Stefanus. Ditilik dari segi perda, parkir yang di badan jalan itu jelas liar. Namun ka rena Stefanus rutin memberi pajak, sta tusnya jadi membingungkan. Stefanus menceritakan kalau ia sering didatangi orang dari Dinas Perhubungan, namun hanya sekadar menanyakan karcis guna penghitungan potensi parkir. Keberadaan parkir jenis tersebut
FAJAR/EKSPRESI
BIAS PANDANG PARKIR
Juru Parkir. Kedapatan tidak meneganakan seragam juru parkir. di Jalan Malioboro yang
juga diperhatikan oleh juru parkir lain nya di kawasan Malioboro. Hanarto, Sekretaris Forum Komunikasi Pekerja Parkir Yogyakarta (FKPPY) berpen dapat bila parkir tersebut tidak resmi. “Itu dari dulu sudah kami soroti. Di si tu kan dibilang resmi, ya tidak resmi, dibilang tidak resmi, itu yang memili ki oknum aparat. “ Mengenali Regulasi Perparkiran Parkir liar secara umum bisa dika takan sebagai parkir yang tidak meme nuhi syarat perparkiran menurut regu lasi. Namun belum ada definisi utuh ten tang parkir liar, baik dari sisi praktisi, il muwan, maupun regulasi. Selain katego ri yang diajukan oleh Iwan Puja, parkir liar bisa dikenali dengan indikator terpe nuhi atau tidak terpenuhi syarat parkir yang termaktub dalam Perda. Perda Kota Yogyakarta nomor 17 tahun 2002 tentang Penyelenggara an Perparkiran membedakan tempat parkir di Kota Yogyakarta menjadi ti ga jenis: 1. Tempat Parkir di Tepi Ja lan Umum (on street), 2. Tempat Khu sus Parkir, yaitu tempat parkir di luar badan jalan (off street), dan 3. Tempat Parkir Tidak Tetap, yaitu parkir yang dilaksanakan pada tempat dan waktu yang tidak tetap. Penentuan jenis-jenis tempat parkir punya implikasi lebih lanjut. Pembagi an tempat parkir berpengaruh pada pe nentuan siapa yang mengelola perpar kiran dan pengaturan pungutan retri busi dan pajak. Tempat parkir di tepi jalan umum yang berada di bawah yurisdiksi wali kota misalnya. Untuk dapat ditempat kan sebagai pengatur parkir, seseorang harus punya surat tugas dari walikota. Dalam Perda tentang Penyelenggaraan Perparkiran pasal 4 ayat 1 juga ditekan kan bahwa lokasi parkir di tepi jalan umum ditentukan oleh walikota. Sedangkan tempat parkir khusus masih dibedakan lagi menjadi dua jenis yaitu yang dimiliki pemerintah daerah dan yang diselenggarakan oleh pero rangan atau badan. Tempat parkir yang dikelola oleh perseorangan atau badan adalah yang paling sering diakses oleh masyarakat. Seperti tempat parkir di muka toko dan tempat-tempat umum bukan milik pemerintah lainnya. Yang perlu ditekankan adalah, tempat parkir
khusus off street parking. Jen is ket ig a yaitu tempat par kir tidak tetap, se perti tempat par kir khusus, juga dikelola oleh per seo r anga n atau bad an yang se bel umn ya te lah mengajukan izin kep ad a wal ik o ta. Tempat parkir jenis ini jamak di temui ketika ada mom en-momen besar. Sem is al konser musik. Untuk sebut an orang yang di tempatkan di lo kasi parkir pun, meski masyarakat punya sebutan tu kang parkir, perda punya istilah sen diri. Juru parkir adalah orang yang mengelola parkir di tepi jalan umum. Juru parkir bisa di kenali dengan rompi oranye yang bertu liskan “JURU PARKIR” di punggungnya serta mempunyai karcis resmi berholo gram dari Dishub. Sedangkan orang yang dipekerjakan oleh badan ataupun mengelola sendiri tempat parkir khusus disebut petugas parkir. Contohnya adalah orang-orang yang bekerja di tempat parkir khusus di pusat perbelanjaan. Mereka memi liki seragam sendiri (yang ditentukan oleh provider parkir di tempat itu) dan mencetak karcis sendiri. Bahaya Parkir Liar Dari segi konsumen, parkir liar, ka rena tidak memiliki karcis, tidak bisa di tuntut ganti rugi ketika ada kehilangan. Undang-undang nomor 22 Tahun 2009 pasal 287 ayat 1 juga menjanjikan pida na untuk konsumen parkir liar, karena dianggap melanggar ketentuan parkir. Namun risiko ini masih belum disadari masyarakat. Fian mengaku selama ini ia tidak pernah mendapat protes atau pun komplain dari konsumen. Bagi pemerintah kota, parkir liar
jelas mengurangi potensi pendapatan dari retribusi parkir. Parkir liar juga rentan mengganggu arus lalu lintas, karena si juru parkir bisa tidak seme na-mena memilih tempat operasinya. Ketika ditanya, sikap Dishub terha dap parkir liar sendiri jelas. “Ya kita bawa ke pengadilan,” ujar Subroto, Kasubag Perparkiran Dishub Yogyakarta. Akan tetapi, janji ini masih disangsikan oleh Iwan Puja. “Sebenarnya pemerintah ha rus menerapkan pengawasan dan pene gakan aturan. Tapi Dishub Yogyakarta belum bisa menerapkan ini secara mak simal, dan saya belum pernah lihat tin dakan tegas itu,” ujarnya. Sementara itu, Menurut Johnny Sunu Pramantya Ketua Organ is as i Pengusaha Angkutan Darat (Organda), parkir liar adalah bentuk kesalahan struktural dan fungsional. Kemuncul annya dimungkinkan karena regulasi yang kerap berubah dan kontradiktif. “Karena dulu orang parkir bagaima napun itu sah-sah saja. Tapi sekarang aturannya kan baru.”W Laporan oleh Azwar, Dawi, Hening, Nisrina
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
15
ANALISIS UTAMA
Dilema Parkir On Street P
ermasalahan parkir khususnya on street di wilayah perkotaan menjadi pekerjaan rumah tangga yang rumit dan perlu mendapat sorotan dari pemerintah secara kontinu. Kebe radaannya terbilang salah, sebab jalan raya termasuk badan jalan yang secara fungsional bukan sebagai tempat untuk pemberhentian kendaraan. Pemerintah wajib membaharui ke bijakan penataan sistem perparkiran agar tidak semakin runyam. Harapan nya agar apa yang kemudian dicitakan oleh pemerintah pun tercapai yakni parkir sebagai solusi kemacetan bukan sebagai penyebab utama kemacetan. Dalam seminar di PUSTRAL UGM, Iwan Puja Riyadi, S.T selaku peneliti berbicara banyak mengenai problematika kebija kan dan penataan parkir perko taan. Berbekal dari data yang di sampaikan tersebut Wartawan EKSPRESI Azwar Anas mel ak uk an waw anc ar a den gan tem a ser u pa. Berikut petikan wawancaranya.
Apa definisi parkir on street menurut Bapak? On street parking adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak di ruang milik jalan untuk beberapa sa at dan ditinggal pengemudinya. Bagaimana tanggapan Bapak dengan parkir jenis tersebut de ngan kondisi riil yang terjadi sa at ini? Mengingat DISHUB sendi ri pernah menyatakan bahwa par kir on street itu menyalahi atur an. Lalu mengapa parkir jenis ini masih ada bahkan semakin me ningkat? Pada kondisi tertentu on street parking ma sih dapat dilakukan, misalnya, pada jalanjalan dengan volume lalu lintas yang ren dah, hal ini sebe narn ya sud ah dia tur da lam UU 2 2
DOK. PRIBADI
tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam pasal 43 ayat 3 yang menyebutkan bahwa fasilitas par kir di dalam ruang milik jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat ter tentu pada jalan kabupaten, jalan de sa, atau jalan kota yang harus dinyata kan dengan rambu lalu lintas, dan atau marka jalan. Pada kenyataan di lapangan, masih banyak jalan provinsi atau jalan nasio nal yang digunakan untuk parkir. Se bagai contoh hal ini bisa dilihat di Ja lan Kaliurang yang berstatus jalan pro vinsi. Di Jalan Kaliurang, sesuai de ngan UU 22/2009, seharusnya tidak boleh ada lagi on street parking. Untuk meminimalisir pelanggaran parkir pada kawasan yang seharusnya tidak boleh parkir perlu upaya dari pe merintah daerah untuk mensosialisasi aturan penyelenggaraan parkir sesuai dengan UU 22/2009 tersebut. Selain itu, penegakan aturan atau law enforcement harus dilakukan dengan tegas. Dengan kata lain, on street parking bukannya “diharamkan” dalam sistem transportasi, namun pelaksanaannya perlu diatur dengan seksama, karena kalau salah perencanaan dan penera pannya malah menyebabkan kema cetan pada daerah sekitarnya. Apakah peningkatan ini
Iwan Puja Riyadi, S.T Peneliti dari PUSTRAL (Pusat studi Tansportasi dan Logistik) Universitas Gadjah Mada
16
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
BIAS PANDANG PARKIR terkait dengan kurangnya sarana angkutan umum yang disediakan pemerintah sehingga masyara kat lebih memilih kendaraan pri badi untuk menuntut waktu yang serba cepat? Atau memang kare na budaya konsumtif masyarakat Indonesia yang menyebabkan ke pemilikan kendaraan pribadi se makin tinggi sehingga membutuh kan ruang parkir yang luas pula? Iya, kinerja angkutan umum yang belum memuaskan menyebabkan ma syarakat enggan menggunakan ang kutan umum, hal ini ditambah de ngan sangat mudahnya kepemilikan kendaraan bermotor khususnya se peda motor. Per il ak u kons umt if seb en arn ya manusiawi, namun yang lebih penting adalah ada peraturan yang mengatur. Sebagai contoh, saat ini belum banyak parkir di luar badan jalan seperti ge dung parkir atau taman parkir. Sehing ga masyarakat memarkirkan kendara annya di depan pusat kegiatan yang di tuju, hal ini banyak menimbulkan ke macetan terutama pada pusat-pusat kegiatan yang tidak menyediakan lo kasi parkir ataupun ketersediaan lahan parkir yang kurang memadai. Terkait kesalahan paradigma awal tentang parkir, parkir tak ubahnya sebuah penitipan barang. Oleh karena itu menuntut adanya bayar-membayar. Imbasnya par kir menjadi lahan bisnis. Apa pen dapat Bapak terkait pola pikir ma syarakat yang seperti ini? Yang perlu dipahami adalah perbe daan penyelenggaraan parkir dan penye lenggaraan penitipan. Penyelenggaraan parkir adalah menyediakan ruang untuk kendaraan berhenti, misalnya untuk mo bil sebesar 2,5 x 5 meter. Artinya pela yanan dasar parkir adalah menyediakan ruang dengan luasan tertentu. Sedangkan penyelenggaraan peni tipan kendaraan, selain menyediakan luasan untuk kendaraan juga menja min keamanan kendaraan yang dititip kan. Pengertian penitipan dalam Pasal 1694 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penitipan terjadi, apabila sese orang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengemba likannya dalam wujud asalnya. Walaupun dalam perkembangan penyelenggaraan parkir, pengelola par
kir memberikan layanan lebih seperti valet parking (servis parkir antar-jem put, -red) atau pengelola parkir yang memberikan asuransi terhadap ken daraan yang parkir, namun hal terse but sifatnya tidak wajib. Artinya bah wa pengelola parkir tidak harus mem berikan jaminan seperti itu. Yang lebih penting dari penyeleng garaan parkir adalah adanya pergeser an paradigma pengelolaan parkir. Pa radigma lama menganggap bahwa su plai parkir yang berlimpah selalu lebih baik. Hal ini menyebabkan perminta an parkir dan suplai parkir meningkat. Paradigma lama berusaha untuk me maksimalkan suplai dan meminimal kan harga. Paradigma lama juga meng anggap bahwa tempat parkir seharus nya tidak pernah membutuhkan biaya, bahwa biaya fasilitas parkir harus me nyatu dengan biaya bangunan atau di subsidi oleh pemerintah. Paradigma baru berusaha untuk menggunakan fasilitas parkir secara efisien. Paradigma baru menganggap banyak tempat parkir yang penuh da pat diterima, asalkan parkir tambahan tersedia di dekatnya, dan bahwa seti ap masalah spillover (parkir memblu dak) dapat diatasi. Paradigma baru menekankan ber bagi fasilitas parkir untuk berbagai tu juan yang pada praktiknya akan meng ambil bayaran secara langsung ke peng guna fasilitas parkir dan memberikan imbalan finansial kepada orang-orang yang mengurangi permintaan parkir. Apakah sistem perparkiran di perkotaan khususnya di DIY su dah sesuai dengan prinsip-prin sip pengelolaan parkir, termasuk kebijakan-kebijakannya juga? Secara umum sistem perparkir an di DIY sudah mengadopsi prin sip-prinsip pengelolaan parkir, na mun dal am pel aks an aa nn ya bel um optimal. Sebagai contoh, di DIY sudah diba ngun taman parkir di dekat Malioboro (Taman Parkir Abu Bakar Ali dan Ngabean), tetapi di sisi lain masih ba nyak ruas jalan dengan status jalan na sional dan provinsi yang digu-nakan se bagai lokasi parkir, hal ini bertentangan dengan UU 22 Tahun 2009. Disamping itu belum digunakan nya peralatan modern dalam penge lolaan parkir. Penggunaan peralatan parkir modern dapat meminimalkan
kebocoran pendapatan. Bagaimana kelengkapan sarana dan prasarana yang ditawarkan? Secara umum belum cukup mema dai, hal ini bisa terlihat dengan ma sih banyaknya penggunaan on street parking pada ruas jalan yang seharus nya dilarang parkir. Juga belum diapli kasikannya peralatan modern. Dengan mengidentifikasi permasa lahan parkir, akan mudah mengidenti fikasi kebutuhan sarana dan prasarana parkir. Beberapa permasalahan umum parkir antara lain adalah : Pengelolaan parkir di suatu tempat tanggung jawab siapa? Pemerintah atau pemilik lahan. Siapa pemilik la han parkir? Pemerintah atau swasta? Apa ukuran dari keberhasilan suatu pelayanan parkir? Jumlah kendaraan yang parkir, atau kelancaran lalu lin tas di sekitar areal parkir. Apa tanggapan Bapak terha dap wacana parkir sebagai solusi kemacetan? Diakui atau tidak, yang jelas ke beradaan parkir, khususnya parkir on street (parkir di pinggir jalan), telah mempengaruhi kelancaran arus lalu lintas. Ini terjadi karena pemanfaatan jalan sebagai lahan parkir tentu akan mengakibatkan penyempitan badan jalan. Adanya penyempitan jalan pada beberapa ruas jalan ini membuat per gerakan lalu lintas kendaraan tergang gu sehingga terciptalah kemacetan. Untuk itu, salah satu cara yang dapat dipakai dalam mengatasi atau se tidaknya mengurangi tingkat kemacet an tersebut adalah dengan mengemba likan fungsi jalan sebagai pergerakan la lu lintas, jadi bukan lagi sebagai lahan parkir. Hanya saja, pelaksanaannya cukup sulit mengingat parkir tidak ha nya dari aspek transportasi tetapi ju ga aspek sosial, artinya banyak orang yang terlibat dalam kegiatan penye lenggaraan parkir, sehingga diperlu kan kehati-hatian dalam melakukan reformasi di bidang parkir. Sebagai contoh, dengan pengguna an teknologi modern dalam pengelola an parkir akan berdampak sangat sig nifik an terhadap para juru parkir, ba nyak juru parkir yang akan kehilangan mata pencahariannya, hal ini bisa me nyebabkan gejolak sosial bagi para ju ru parkir tersebut. W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
17
ANALISIS UTAMA
Juru Parkir Bicara
Sudah 29 tahun lamanya Subagyo menjadi juru parkir di salah satu lokasi di Jalan C. Simanjuntak, Terban. Darinya,tergambarkan kenyataan perparkiran yang bias dari regulasi. Oleh Moh. Habib Asyhad
S
ekitar pukul satu siang, suasana Jalan C. Simanjuntak, Yogyakarta begitu hiruk dengan pelbagai kendaraan bermotor. Jalan yang diba gi menjadi dua arah itu seakan tidak mampu lagi memuat volume kendara an. Apalagi ditambah dengan banyak nya kendaraan—baik itu yang beroda empat atau roda dua—yang parkir di badan jalan. Jalan semakin sempit. Di tengah bisingnya kendaraan itu nampak dari jauh sosok tua bertopi biru dipadu dengan kaca mata hitam. Meski sudah cukup tua, namun si topi biru itu masih energik. Lari kesana-kemari, dari mobil satu ke mobil yang lain, pun dari motor satu ke motor yang lain. Dalam satu ruas jalan itu sebenarnya tidak hanya si uzur bertopi biru itu saja
18
|
yang terlihat sibuk mengatur jalannya parkir. Ada sekitar enam tukang par kir di sana. Namun konon hanya Amin Subagyo, nama Si Topi Biru itu, yang me ngantongi surat tugas di kawasan Terban ini. “Yang lain secara resmi tidak ada izin khusus, semuanya masih menggunakan nama saya. Karena kebetulan masih sau dara semua,” ujarnya. Tidak berselang beberapa lama, dia mendapati seorang pengguna ja lan yang terlihat mau mencuri kesem patan untuk tidak membayar parkir. Ia menangkap gelagat itu. Subagyo segera menghampiri orang itu dan kemudian terdengar obrolan antara mereka. “Maaf Pak, saya tidak jadi membeli barang di toko tadi, jadi saya tidak harus membayar parkir kendaraan saya ini.”
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
Subagyo terlihat hanya memasang muka pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika mendengar pernyataan itu. “Ya seperti ini Mas, banyak ala sannya. Padahal kalau di Mirota kalau sudah masuk kan harus bayar parkir, meskipun di dalam tidak membeli apaapa,” keluhnya dengan merujuk salah satu supermarket yang berada tidak jauh dari tempat dia bekerja. Ironis nya, kejadian semacam itu tidak seka li dua kali saja. “Hampir tiap hari ada kejadian semacam itu,” ujarnya seraya menghampiri sebuah mobil yang telah menggunakan jasa parkir. Sudah sekian lama Subagyo meng abdikan dirinya sebagai tukang par kir di Terban. Ia harus kesana-kema ri mengambil jatah temannya—sesa
BIAS PANDANG PARKIR rung diam saja meski tahu karcis se ring tak dipakai. “Kita kan ngambilnya kan pakai sistem borongan, jadi ba yar retribusi ke Dishub-nya tiap bulan. Mengenai berapa karcis yang telah di pakai Dishub tidak pernah ambil pu sing. Merek a hamp ir tid ak pernah bertanya tentang yang satu ini. Bagi mereka asalkan setoran bulan itu sudah cukup menutupi pajak yang harus dibayar sesuai dengan perjanjian awal, itu cukup,” Subagyo menceritakan. Karena jumlah setoran sudah ditar get dan baku, jumlah itu harus dipenuhi. “Sedangkan kalau memang bulan ini tidak bisa menutup biaya setoran, berarti itu dihitung hutang dan oleh karenanya
nah ketika parkir masih dipegang oleh Pemda (Pemerintah Daerah - red) se ring terjadi kebocoran, makanya ke mudian dialihkan tugasnya ke Dishub,” ujar Subagyo menambahi. Keluhan lainnya yang Subagyo rasakan selama menjadi juru parkir adalah belum adanya ketegasan dari Dinas Perhubungan terkait ganti ru gi kendaraan bermotor yang hilang sa at diparkir. Selama ini masih simpang siur. “Dulu pernah ada kasus kehilang an mobil di Galeria Mall, tapi sampai sekarang belum jelas juntrungannya. Bahkan sampai dibawa ke pengadilan segala,” ingat Subagyo. Meski sudah diatur dalam peratur
enaknya saja memberi tarif parkir ke pada juru parkir, padahal sudah ada ketentuannya sendiri berapa yang ha rus dibayar, seribu rupiah untuk sepeda motor dan dua ribu rupiah untuk mo bil,” curhat Subagyo. Ironisnya lagi, ke banyakan yang dari mereka yang masih menganggap remeh adalah dari kalang an mahasiswa. “Kebanyakan dari mere ka ya mahasiswa,” tambahnya. Sebagai individu yang sudah berta hun-tahun bergelut menjadi juru par kir, Subagyo melihat bahwa masih ada beberapa peraturan Dishub yang me nurutnya masih sangat lemah, bahkan cenderung longgar. Jadi kesannya tidak tegas sama sekali. Dishub yang seharusnya teg as ikhwal penggunaan karcis ini cende
harus dilunasi bulan berikutnya. Begitu juga seterusnya,” keluhnya. Setali tiga uang dengan kebijakan penggunaan karcis, kwitansi yang seha rusnya menjadi bukti transaksi antara Dishub dengan jukir ketika membayar re tribusi pun diabaikan. Alasannya karena antara juru parkir dan pegawai dishub su dah saling kenal, bahkan berteman. “Seharusnya pas waktu setor ke Dis hub kan harus disertai dengan bukti kwi tansi dan tanda tangan penyetor, tapi ka dang-kadang tidak usah. Alasannya ada lah karena sudah pada kenal antara juru parkir dan pegawai Dishub,” ujarnya. Kebijakan ini sangat longgar, apa lagi ada indikasi penyelewengan dan penyalahgunaan fungsi. “Untuk ajang korupsi misalnya. Dulu soalnya per
an daerah soal ganti rugi, namun pelak sanaannya belum tegas. “Dulu saya de ngar ada peraturan yang mengatakan bahwa tanggungan kehilangan kenda raan 50% dari Dishub dan 50% dilim pahkan ke juru parkir itu sendiri, tapi sekarang kok kayaknya tidak kedengar an lagi,” katanya. Namun menurutnya, porsi 50:50 itu tentunya terlalu berat bagi juru parkir. ”Apa tidak kasihan dengan para juru parkir yang penghasilannya hanya cu kup untuk makan anak-istri di rumah, jika harus mengganti resiko kehilang an sepeda motor, apalagi mobil?” tanya Subagyo. Siapa hendak menjawab? W
HABIB/EKSPRESI
ma tukang parkir—untuk mencukupi target setoran ke Dinas Perhubungan (Dishub). “Teman saya, jatahnya kan di seberang jalan, namun karena shift dia pagi hari sampai siang, maka untuk so renya saya ambil, karena kalau tidak be gini tidak mungkin bisa menutup biaya yang harus disetor ke Dishub.”. Selain itu dia juga masih sering se kali menemukan pengguna jasa parkir yang tidak punya rasa hormat pada pro fesi tukang parkir. Bahkan banyak juga yang mencoba untuk tidak membayar juru parkir. “Banyak yang meremehkan dan ti dak menganggap keberadaan juru par kir. Mereka (pengguna jasa parkir) se
laporan oleh: Azwar.
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
19
ANALISIS UTAMA
Lebih Baik dengan Teknologi Teknologi parkir adalah solusi modern untuk problem perparkiran. Oleh Nor Islafatun
A
a berbagai problematika per d parkiran di Yogyakarta. Mu lai dari parkir liar, kerancu an pengg un aa n karc is, samp ai pa da rendahnya mutu sarana prasara na. “Parkir Yogyakarta itu semrawut,” kata seorang pengguna parkir di Jalan Malioboro, Yogyakarta. “Di samping Pasar Beringharjo itu lho yang pakai karcis bekas, masak karcis kok dipakai lebih dari lima kali,” tambahnya kesal. Sementara itu, dari data polling yang dilakukan oleh EKSPRESI, 286 dari 388 responden di Yogyakarta men jawab pernah mengalami kecurangan karcis parkir. Dari jumlah tersebut, se jumlah 205 responden mengatakan sering mengalami kecurangan. Secara berurutan, kecurangan terbesar yang dialami adalah digunakannya karcis ti dak resmi, tidak diberi karcis, dan dibe ri karcis bekas. Penyelewengan karcis ini akan ber akibat fatal. Besar kesempatan bagi ju ru parkir untuk menyelewengkan se bagian uang yang harus disetorkan pa da pihak terkait. “Tidak semua juru parkir itu menggunakan karcis, maka nya itu sangat riskan untuk diseleweng kan dan disalahgunakan,” kata Hari Setyowacono, Kepala Bidang Pengen dalian Evaluasi dan Laporan, Bappeda Kota Yogyakarta. ISTIMEWA
20
|
Untuk menjawab pertanyaan ini, Iwan Puja, peneliti dari PUSTRAL, me nawarkan solusi praktis yaitu dengan pemanfaatan peralatan modern da lam pengelolaan parkir. “Penggunaan peralatan tersebut terkait dengan me kanisme pemungutan retribusi, anta ra lain penerapan karcis berlanggan an, penggunaan voucher, pengguna an smart card ataupun penggunaan meteran parkir.” Menurutnya, cara ini cukup ampuh untuk meminimalisir kebocoran dana. Sebagai studi kasusnya adalah sistem regulasi keuangan Trans Jogja. Di Trans Jogja, penumpang tidak secara lang sung membayarkan ongkos transport nya tetapi menggunakan smart card. Dengan begitu, uang tidak secara lang sung diterima oleh kondektur melain kan mesin yang bekerja. Kondektur ha nya sebagai pengatur atas kerapian pe numpang. Sistem ini bisa diterapkan di perparkiran. Dengan sistem ini juru parkir akan berperan sebagai pengatur semata, tidak memegang ongkos bayar parkir. Juru parkir akan mendapat ga ji dari daerah. Solusi Macet Untuk mengat asi kemacetan di ja lan yang disebabkan adanya parkir di badan jalan, parkir on street per lu dik ur angi , at au bah kan ditiadakan sama seka li. “On street memang bo leh, asal tidak menggang gu pengg un a jal an lai n,” ucap Pamungkas, Staf Bi dang Pengendalian Evalu asi dan Laporan Bappeda Kota Yogyakarta. Pen yed ia a n ged ung atau taman parkir merupa kan solusi dari pengurang an parkir on street. “Meng in gat ket erb at asa n dan a
maupun lahan milik pemerintah ma ka pemerintah daerah dapat melaksa nakan kerjasama dengan pihak swas ta dalam penyediaan gedung atau ta man parkir tersebut,” kata Iwan Puja. Kebijakan ini telah diterapkan di Jalan Yogyakarta, tepatnya di Taman Parkir Abu Bakar Ali, di Jalan Senopati, di de pan Taman Pintar, dan Ngabean. Selain itu, sistem pembatasan wak tu juga bisa diterapkan untuk meng antisipasi kemacetan. “Untuk menja lankan penyelenggaraan perparkiran yang berkeadilan, maka diperlukan ke bijakan mengenai pembatasan waktu penggunaan ruang parkir,” ujar Iwan Puja. Pelaksanaannya, kendaraan yang telah melampaui ambang batas parkir harus dipindahkan. Sistem ini juga berlaku untuk mo bil yang menaik-turunkan barang yang parkir di daerah on street. “Untuk me ngurangi dampak kemacetan yang di timbulkan oleh aktivitas bongkar mu at barang, perlu diatur mengenai zona atau waktu yang diperuntukkan untuk kegiatan bongkar muat barang. Pro gram zona atau waktu bongkar muat di sesuaik an dengan peruntukkan kawas an yang dimaksud,” jelas Iwan Puja. Setiap lokasi mempunyai potensi parkir yang berbeda, tergantung tinggi rendahnya tingkat pengunjung di seki tar lokasi tersebut. Untuk menyiasati nya bisa diterapkan sistem tarif parkir sesuai dengan zona parkir. Tarif par kir ini dibedakan berdasarkan tingkat kepadatan lalu lintas di zona tersebut. “Zona dengan tingkat kepadatan lalu lintas yang lebih tinggi menggunakan tarif parkir yang lebih mahal diban dingkan zona dengan tingkat kepadat an rendah,” kata Iwan Puja. W Laporan Oleh Azwar, Cahyo, Hening, Septi
Teknologi Parkir. Alat untuk mengoperasikan smart card.
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
BIAS PANDANG PARKIR
Ganti Rugi Beratkan Juru Parkir
MA menetapkan bahwa kehilangan parkir sepenuhnya menjadi tanggung jawab juru atau pengelola parkir. Mereka menuntut pemerintah turut bertanggung jawab. Oleh Cahyo Waskito P. A
K
FAJAR/EKSPRESI
aca mobil pecah dan sebuah laptop di dalamnya hilang keti ka sedang diparkir di area par kir Jogjatronik, Maret lalu. Menurut Sukiratnas Ari, Anggota Lembaga Ban tuan Hukum (LBH) yang mengadvoka si kasus tersebut, sampai saat ini pihak Jogjatronik hanya bersedia mengganti kaca yang pecah. Karena klausul dari pengelola yang berbunyi, "Barang ber harga harap dibawa" sehingga penge lola merasa, kehilangan barang bukan merupakan tanggung jawabnya. Beberapa waktu lalu Mahkamah Agung (MA) menggelar sidang kasasi atas permohonan peninjauan kemba li (PK) perkara yang diajukan oleh PT Securindo Packatama Indonesia. Ha sil persidangan tersebut dimenangkan oleh Anny R. Gultom, korban kehilang an kendaraan, dengan putusan bahwa setiap penyedia layanan parkir wajib mengganti kehilangan secara penuh (100%). Keputusan ini menjadi kepu tusan yurisprudensi yang bisa dicontoh di semua daerah di Indonesia. Di Yogyakarta, soal kehilangan sebelumnya sudah diat ur dalam Peratur an Daerah (Perda) Kota Yogyakarta
nomor 17 tahun 2002. Kehilangan, baik dalam parkir on street maupun off street, akan diganti oleh juru parkir atau penge lola parkir separuhnya (50%). “Sebenar nya di Yogyakarta sudah ada di peratur annya, dengan adanya putusan MA ini bisa menjadi penguat karena sifatnya yang yurisprudensi,” kata Sukiratnas. Akan tetapi, masyarakat sering ter kecoh dengan klausul baku pengalihan tanggung jawab yang berbunyi segala bentuk kehilangan bukan tanggung ja wab pengelola parkir. Sehingga sering kali masyarakat yang kehilangan ken daraan tidak menuntut ganti rugi dan hanya sekadar melaporkannya kepada pihak kepolisian. Tanpa putusan MA soal ganti rugi pun sebenarnya perlindungan hak-hak konsumen atau pengguna jasa par kir sudah diakomodasi oleh undangundang perlindungan konsumen. Me nurut Samsudin Nurseha, pakar hukum dari LBH Yogyakarta, “Putusan MA sudah tepat, dengan mempertimbang kan undang-undang perlindungan kon sumen. Kalaupun ada peraturan kota yang mengatur bahwa setiap masyara kat yang kehilangan di area parkir maka pengelola harus bertanggung jawab.” Lain di Yogyakarta, lain di Sleman. Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupa ten Sleman menyatakan bahwa Perda Kabupaten Sleman Nomor 9 tahun 2002 tentang pajak parkir, belum me masukkan poin ganti rugi. Bahkan da lam karcis parkir yang dikeluarkan Dishub Sleman, masih tertulis, “Sega la bentuk kehilangan bukan tanggung jawab pengelola parkir”. Dalam rancangan pera t ura n parkir yang baru Dishub Sleman memasukkan poin tentang gan ti rugi tersebut. “Untuk off street, dari pengelola 50% dan pem ilik 50%. Sedangkan on street Pemda 50%, jukir 50%. Asal memen uh i syarat,” ujar Ir. Yudianto, Kepala Seksi Perparkiran Dishub Sleman. Forum Komunikasi Pekerja Parkir Yogyakarta (FKPPY) menolak jika pu
tusan MA tersebut diaplikasikan da lam regulasi di Kota Yogyakarta. Ala sannya, selain memberatkan tukang parkir, kasus PT Securindo Packatama Indonesia tersebut terjadi di Tempat Khusus Parkir (TKP). “Jelas kami menolak. Bagaimana bisa hasil kasus TKP diterapkan dalam TJU (Tepi Jalan Umum -red),” ung kap Sigit, Ketua FKPPY. “Untuk per aturan yang sekarang pun, kami juga menolak. Penggantian sebesar 50% sudah cukup berat. Kami sudah mela kukan protes ke pemerintah untuk me nurunkan besarnya biaya penggantian itu,” tambahnya. Hal senada juga diungk ap kan Bagyo, juru parkir di Jalan C. Simanjuntak, "Apa tidak kasihan? Orang pengh as ila nn ya saj a cum a segitu.” Kesejahteraan Juru Parkir Terdapat jarak antara pemerintah kota dan pelaksana parkir di lapangan. Keadaan juru parkir seperti tidak di perhatikan. Seorang juru parkir sekali gus juru pungut, Rohadi, mengeluhkan tentang regulasi yang ada. “Jika semua yang terjadi di lapangan menjadi tang gung jawab juru parkir, pemerintah ka pan turun tangannya,” ujarnya. Pihak nya, menginginkan kesejahteraan yang seperti dulu. “Dulu seragam per orang dua setel. Sekarang harus ganti-ganti an karena satu juru parkir biasanya me miliki lebih dari satu juru parkir pem bantu,” jelasnya. Dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mengelola perparkiran ko ta Yogyakarta juga menginginkan hal serupa. Namun pemerintah juga meli hat ketersediaan dana yang ada. “Un tuk pengadaan seragam itu, Dishub mengeluarkan dana yang tidak sedikit, kira-kira 300 juta. Padahal penerimaan retribusi parkir hanya ditargetkan 1,5 miliar rupiah, belum juga pengeluaran lain dari SKPD,” jelas Tri Haryanto. W Laporan oleh: Azwar, Habib
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
21
ANALISIS UTAMA
Mencari Flâneur di Atas Trotoar Kemacetan dan mobilitas adalah dua hal yang berbeda dan punya solusi berbeda pula (Enrique Peñalosa, Mantan Walikota Bogota) Oleh Prima SW
D
i manakah trotoar berakhir? Di Paris, agak sulit menjawab pertanyaan ini. Trotoar ada se panjang jalan. Nyaris tanpa akhir. Di Yogyakarta, trotoar adanya sepotongsepotong dan berubah-ubah fungsinya. Kadang malah nihil sama sekali. Susu rilah. Jalan Solo, sebuah jalan protokol yang ramai di Kota Yogyakarta. Troto ar berakhir setiap lima meter sekali pa da setiap jalan masuk sebuah bangunan. Bila malam trotoar bersalin rupa menja di lapak warung lesehan, tempat mang kal angkringan, atau arena nongkrong anak muda. Bukan sebagai tempat ba gi pejalan kaki. Macet, Mumet Kemacetan kini bukan kel uha n Jakarta saj a. Kota Yogyakarta dan
PRIMA/EKSPRESI
Sleman, di beberapa titik dan wak tu-waktu tertentu, selalu dilanda ma cet. Semisal perempatan Jalan Solo, tak jauh dari Saphir Square, atau Jalan Diponegoro. Biangnya macet adalah mobilitas yang kian tinggi. Di Indonesia, jumlah kendaraan bermotor pribadi yang ber seliweran di jalan terus bertambah da ri tiap tahun. Ini ditunjukkan dari ke naikan persentase penjualan kendaraan bermotor. Honda misalnya, untuk pen jualan sepeda motor saja, antara kuar tal pertama tahun 2010 dengan kuar tal pertama tahun 2009, terjadi pening katan sebesar 43% (KOMPAS, 13 Juli 2010). Catatan penjualan Honda sela lu menunjukkan kecenderungan naik dari tahun ke tahun. Alhasil, jalan-ja
lan tampak menciut. Kemacetan juga membuat pusing pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Meniru Jakarta, armada Bus Rapid Transportation (BRT) yang dinamai Transjogja diluncurkan pada tahun 2008. Tapi program ini, yang ditujukan untuk mengalihkan masyara kat dari kendaraan pribadi, malah sa lah sasaran. Dari survei yang dilakukan Center of Institution and Management Development (CIMDEV) Universitas Gadjah Mada (UGM), pengguna Trans jogja adalah pengguna angkutan umum, alih-alih yang biasa memakai kendara an pribadi. Ini yang dik rit ik oleh Enrique Peñalosa. Ada kesalahan cara pandang yang menyatukan dua problem yang ber beda: kemacetan dan mobilitas tinggi. Akibatnya, solusi yang dihadirkan pun hanya menjawab salah satunya. Hara pan yang hendak dituntaskan oleh BRT adalah agar mengurangi mobilitas ma syarakat dengan kendaraan pribadinya, sehingga bisa mengurangi jumlah rodaroda yang berputar di atas jalan. Imbas nya jelas: meminimalisir kemacetan. Padahal, kemacetan berakar dari, selain jumlah kendaraan yang berle bih, juga regulasi lalu lintas yang bu ruk. Buk an cum a sek al i wakt u, la lu lintas di depan Ambarrukmo Plaza (Amplaz) terhambat karena jalan ma suk ke mall ini tidak strategis. Parkir di badan jalan juga menyumbang pe ran dalam kemacetan. Jalan di sebelah Mall Galeria di Jalan Prof. Yohannes, sebagian lajur timurnya jadi parkir ba dan jalan (on street) resmi. Di sisi ba rat jalan, parkir merambah ke trotoar, membuat jengah pejalan kaki. Terbuk ti, perencanaan pembangunan gedung
Trotoar di Sagan. Beralih fungsi menjadi area parkir on street.
22
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
BIAS PANDANG PARKIR publik dan fasilitas parkir turut menja di faktor penyebab kemacetan. Mobilitas yang tinggi adalah ciri masyarakat urban yang tergila-gila pa da efektivitas waktu. Sementara itu, se lain tidak nyaman, pelayanan transpor tasi umum dianggap lebih boros dalam hal waktu dan uang. Tak Cukup Transjogja Transjogja sudah memenuhi syarat alat transportasi yang nyaman. Tapi be lum bisa diandalkan dari segi efektivi tas waktu. Dari survei CIMDEV, 25,9% dari 2000 respondennya mengeluhkan keterlambatan armada. Bahkan Trans jogja punya efek ambivalen. Badan bus yang besar hingga memakan separuh badan jalan sendiri, juga punya sum bangsih memadatkan jalanan. Menurut Johnny Sunu, Ketua Or ganisasi Angkutan Darat (ORGANDA) Yogyakarta, salah satu penyebab kega galan birokrat dalam menangani seng karut lalu lintas kota adalah karena pe nanganannya bersifat parsial. Karena cara berpikir yang sekedar satu lang kah ke depan, selama ini solusi yang dilakukan adalah solusi represif yang tidak visioner. Preferensi akut masya rakat pada kendaraan privat dijawab dengan BRT, agar mereka beralih. Ja lanan yang penuh di setiap jam berang kat dan pulang kerja ditanggapi dengan memperlebar badan jalan. Padahal, ma cet punya rantai yang lebih panjang da ri sekedar mobilitas yang tinggi. Ada ru wet parkir, kusutnya tata kota, hingga budaya destruktif. Serba Salah Kendaraan Pribadi Tawaran pembatasan kuota kepe milikan kendaraan pribadi adalah wa cana yang paling gencar disodorkan un tuk menekan mobilitas masyarakat. Ini upaya guna “mengob ati” preferensi ma syarakat agar selalu berkendara bahkan ke tempat-tempat remeh di waktu yang senggang. Tapi, menurut Iwan Puja Riyadi, S.T, peneliti Pusat Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM, ini sama saja dengan melanggar hak orang untuk memiliki barang. Parkir progresif (parkir dengan bi aya disesuaikan dengan durasi parkir) juga diharapkan jadi jawaban agar ber kendara dengan kendaraan privat ha nya dilakukan di momen-momen pen ting saja. Tapi parkir progresif rentan ditolak oleh konsumen. Di Palembang, bahkan walikota sendiri yang menolak
pemberlakuan parkir progresif di mallmall sebelum pengelola membenahi area parkirnya. Selama tempat parkir belum memenuhi kualifikasi, pember lakuan parkir progresif berarti melang gar UU Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999 (Sriwijaya Post, 21 maret 2010). Selain itu, parkir progresif ma sih mustahil diberlakukan pada parkir on street di Indonesia. Trotoar dan Budaya Urban Dari segi efektivitas waktu, pema kai kendaraan bermotor dibagi menjadi dua: yang terdesak dan yang senggang. Mungkin belum ada statistik yang bisa menunjukkan perbandingan jumlah antara keduanya, tapi fakta bahwa tak semua orang berseliweran di jalan un tuk kepentingan yang menyangkut ha jat hidup tak boleh diabaikan. Keperlu an semendesak apa yang membuat ja lanan macet di setiap malam minggu? Transformasi besar-besaran da ri bangsa pejalan kaki menjadi bangsa yang tak lepas dari kendaraan bermo tor baru-baru saja terjadi. Contoh ke cil di Yogyakarta, pembangunan area parkir besar-besaran di kampus be nar-benar terasa dalam 10 tahun tera khir. Tahun 2010 saja, Universitas Ne geri Yogyakarta (UNY) membangun dua area parkir baru. Ini menunjukkan, jum lah mahasiswa yang memiliki kendaraan pribadi melonjak tajam dan drastis. Ini adalah serangkai tanda-tanda bahwa kebiasaan jalan kaki—yang me munculkan idiom cari angin—kini telah terkikis. Istilah cari angin tumbuh dari kebiasaan orang-orang untuk berjalan kaki dengan ataupun tanpa tujuan un tuk mencari hiburan. “Cari angin” mu lai menghilang ketika jalanan tak lagi ramah pada pejalan kaki. Dan karena trotoar tak lagi berfungsi tunggal Di Paris, trotoar ada sepanjang ja lan. Karena keberadaan trotoar itulah, Charles Baudelaire niscaya untuk me nangkap fenomena flânerie. Sebuah fe nomena urban, di mana masyarakatnya punya hobi berjalan-jalan tanpa tuju an untuk mencari kesenangan (Keith Tester, The Flâneur, hal. 1). Berjalan di kota Yogyakarta ten tu tak akan sen yam an di Paris. Di Yogyakarta, flâneur cuma bisa dite mukan di kawasan Malioboro. Situ asi lumayan kondusif di kawasan ter sebut mendukung orang-orang untuk jalan kaki. “Yang menjadikan perbedaan antara
kota yang maju dan kota yang mundur adalah trotoar yang berkualitas. Mereka mempertunjukkan penghormatan pa da harkat kemanusiaan. Di mana orang miskin dan orang kaya adalah sama, ber temu dan berjalan di trotoar yang sama,” kata Enrique Peñalosa dalam wawanca ranya dengan Green Radio. Bayangkan seandainya trotoar di Yogyakarta bukan cuma jejeran sepu luh buah paving yang panjangnya sela lu terputus ketika terbentur jalan ma suk sebuah bangunan. Yang kita bisa dengan nyaman berjalan tanpa tersela gerobak , tenda, atau kaki lima. Mung kin malam minggu jalan-jalan tak akan seramai sekarang. Berjalan-jalan di tro toar menyusuri kota—seperti tingkah para flâneur —akan lebih mengasyik kan. Dan pelan-pelan kita bisa meng ucapkan selamat tinggal pada skuter di rumah. Setidaknya ketika sekedar melakukan hal remeh-temeh macam jalan-jalan. W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
PRIMA/EKSPRESI
|
23
ANALISIS UTAMA
Bisnis di Balik Parkir
Tingginya potensi pendapatan suatu lahan parkir membuat lahan parkir layaknya barang dagangan. Lahan parkir, khususnya parkir jenis on street, ternyata bisa diperjualbelikan. Oleh Nor Islafatun
K
“
emarin lahan parkir saya sudah ditawar sembilan puluh lima juta, tapi nggak ta’ kasih,” ka ta Sulis Prasetyo, salah seorang pemi lik lahan parkir di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Lahan sepanjang 19 meter yang berada tepat di depan Ramayana Departement Store itu dib eli pad a tahun 1980 seharga Rp1.300.000. “Sa yang kalau saya jual, ini buat anak cu cu saya nanti,” tambah Sulis Prasetyo, yang juga menjabat sebagai Komando Ketertiban Parkir Malioboro. Hanarto, Sekretaris Forum Ko munikasi Pekerja Parkir Yogyakarta (FKPPY) juga bersikap serupa. Ia ti dak ak an menj ual lahan parkirnya yang sekarang ditaksir laku antara 30 sampai 50 juta rupiah. Lahan sepan jang 31 meter di kawasan Malioboro itu dulunya dibeli seharga Rp 1.500.000. Lahan parkir pun kian diburu pa ra pemilik modal. Jual beli ini diketa hui oleh Dinas Perhubungan (Dishub), instansi yang ditunjuk oleh negara se bagai pengelola perparkiran. “Wah se karang sudah musimnya, jual beli lahan parkir. Jangan dikira Dishub tidak ta hu akan hal ini, itu sudah biasa,” kata Bagyo, juru parkir di Jl. C. Simanjuntak, Yogyakarta. Padahal, lahan parkir on street, yaitu jalan raya, adalah fasilitas milik umum. Pengelola parkir adalah pihak yang bertugas secara teknis sebagai pengelola perparkiran yang kinerjanya berada di bawah Dishub.
jakan empat orang juru parkir. “Ada empat orang yang kerja di sini, semua nya teman saya,” katanya. Di kawasan jalan Affandi, Sleman, di masing-masing sisi jalan (sisi barat dan timur), dikelola oleh satu orang. “Ini ada yang ngelola, Pak Slamet na manya. Setiap minggu sekali kita setor ‘pajak’ ke dia,” kata Wisnu, juru parkir sisi timur jalan Affandi, Yogyakarta. Besar “pajak” yang disetorkan va riatif tergantung ramai tidaknya lahan yang ditangani. Jatah wisnu adalah se besar Rp 7000 per hari, atau Rp 49.000 per minggu. Selanjutnya, Slamet inilah yang nantinya menyetorkan uang pajak nya ke Badan Pengelola Keuangan dan Kas Daerah (BPKKD) Sleman. Berapa besarnya setoran Slamet ke BPKKD, Wisnu tidak tahu. “Kalau jumlah setor nya Pak Slamet ke BPKKD, saya tidak tahu,” katanya. Terkadang ada kesenjangan yang lebar antara pemilik lahan dan juru parkir. “Kemarin saya lihat ada tukang
parkir yang sampai kapalan tangan nya,” kata seorang pengguna jasa par kir di jalan Malioboro. “Pemilik lahan nya kan enak-enakan, kadang nggak mau tahu risikonya, yang penting da pat setoran,” tambahnya. Jika hal ini terus berulang, dua fungsi lahan parkir tidak akan berja lan secara seimbang. Sistem perparkir an tidak lagi berorientasi untuk mana jemen transportasi tetapi hanya untuk meraih pendapatan semata. “Keduanya memang tidak salah, baik itu parkir sebagai manajemen transportasi atau parkir sebagai pen dapatan daerah. Tapi, yang paling ide al adalah parkir sebagai manajemen transportasi,” ujar Iwan Puja. “Kalau manajemen transportasinya bagus, otomatis pelanggannya kan banyak, maka pendapatan daerah akan me ningkat,” tambahnya.W Laporan oleh Azwar, Habib, Nisrina
Bagi Hasil Dalam catatan Dinas Perh u bungan Kota Madya (Dishub Kodya) Yogyakarta, terdapat sekitar delapan ratus pengelola parkir di Yogyakarta. Luas lahan dan tingginya pengguna ja sa parkir tak jarang membuat pengelo la kewalahan. Pengelola, yang biasanya sekaligus menjadi juru parkir, selan jutnya memperkerjakan orang lain se bagai pembantu parkir. Seperti halnya Hanarto, di lahannya, ia mempeker
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
AZWAR/ EKSPRESI
24
ISTIMEWA
BIAS PANDANG PARKIR
Menilik Strategi On Street di San Fransisco San Fransisco mempunyai luas 121 km² dengan jumlah penduduk mencapai 799.263 jiwa (2000). Meski sangat padat, sistem perparkirannya tertata rapi dan menyeluruh. Oleh Azwar Anas
B
elum ada kota di Indonesia yang bisa dijadikan contoh perparkir an yang bagus. Maka, untuk ki blat penataan parkir, kita masih harus mengambil dari luar negeri. Demikian alasan yang diungkapkan Iwan Puja Riyadi, S.T, peneliti dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) Universitas Gadjah Mada (UGM) saat membuka seminar “Problematika Ke bijakan Penataan Parkir Perkotaan” 24 Mei lalu. Dalam seminarnya, Iwan Puja me ngomparasikan sistem perpakiran di San Fransisco dengan di Indonesia. Mulai dari kebijakan pengelolaan parkir sam pai kondisi pengembangan pengelola an parkir. Menurutnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bisa mengadopsi sis tem perparkiran di sana. “Yang kemungkinan bis a dit i ru, Indonesia khususnya DIY, itu kan menerapkan parkir progresif pada on street, upaya menuju ke sana sih ada, tapi belum maksimal,” ujarnya saat di temui usai seminar tentang kebijakan parkir di Indonesia. Parkir progresif sangat gencar di San Fransisco. Pembatasan waktu par kir berkisar 2 sampai 4 jam pada zona tertentu. Penerapan tarifnya pun ber beda. Artinya setiap area memiliki ni lai tarif tersendiri. Misalnya area ber basis downtown (pusat kota) pada Juli 2009 dikenai tarif $3.00 dengan ba tasan waktu Senin-Sabtu, mulai pukul 7.00-18.00. “Tapi, memang kalau di sa na (San Fransisco, -red) didukung ada nya teknologi yang memonitoring areaarea parkir,” jelas Iwan.
Sementara itu, parkir progresif di Indonesia baru diterapkan di ranah off street. Parkir model ini, dinilai efek tif untuk mengatasi meluapnya ken daraan di badan jalan. Di Jakarta, ka ta Iwan Puja, pernah diberlakukan par kir progresif di beberapa tempat di ba dan jalan. Namun program itu tak ber jalan lama, sebab tarif parkirnya ber sifat fluktuatif dan membutuhkan tek nologi yang modern untuk membantu kinerja pelayanan. “Selain itu, kurang nya dukungan dari tukang parkir itu sendiri juga menyebabkan tidak efek tifnya parkir progresif di Indonesia,” tambahnya. Seperti yang tertera pada The San Fransisco Countywide Transportasion Plan, tarif parkir akan dinaikkan seca ra periodik sesuai dengan tingkat in flasi dan permintaan. Selain itu juga akan selalu diadakan evaluasi layanan untuk mengkaji keuntungan dan keru gian layanan. Yang menarik pada pola pengem banga n pengel ol aa n park ir di San Fransisco adalah penyediaan lahan par kir khusus untuk orang cacat. Ditan dai dengan plakat khusus penyandang cacat. Hak istimewanya berupa parkir gratis selama 72 jam di beberapa area yang telah ditentukan dan jika terjadi penyalahgunaan plakat tetap akan di kenakan denda. Akan tetapi, jangan dikira akan mudah menemui tempat parkir se perti di Indonesia. Di San Fransisco, area parkir memang disediakan namun jumlahnya hanya terbatas di beberapa tempat tertentu. Tarifnya pun terbi
lang mahal sehingga membuat pengen dara harus berputar-putar hanya men cari ruang kosong untuk parkir. Transportasi Massal yang Memadai Sistem transportasi massal yang memadai dinilai mampu mengurangi meluapnya area-area parkir, khusus nya di badan jalan. Hal inilah yang di tonjolkan di San Fransisco. Masalah parkir sejatinya adalah ma salah transportasi. Sistem transportasi di San Fransisco berpihak kepada rak yat banyak. Lebih banyak fasilitas ang kutan umum yang tersedia dan me mudahkan orang untuk bepergian ke mana saja. Menurut Iwan Puja hal ini dilatar belakangi dengan adanya sistem trans portasi yang bisa diandalkan. “Kalau di Indonesia masyarakatnya enggan menggunakan angkutan umum, kare na kinerja angkutan umum yang belum memuaskan. Akibatnya pengguna par kir semakin meluap dan menyebabkan gangguan transportasi seperti kema cetan,” kritik Iwan menyayangkan. Mengacu esensi transportasi kota sendiri bahwa pada intinya pemilih an model transportasi ditentukan de ngan mempertimbangkan pemindah an barang atau manusia dilakukan da lam jumlah yang terbesar dan juga ja rak yang terkecil. Artinya transporta si massal merupakan pilihan yang le bih baik dibandingkan dengan trans portasi individual. W Laporan oleh: Prima
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
25
ANALISIS UTAMA
Rambu, Lambang yang Tersingkir Masyarakat menjadi cuek pada rambu lalu lintas karena merasa aparat pun tak memberi contoh yang baik. Oleh Nisrina Muthahari
J
angan harap akan menemukan tanda larangan parkir yang tidak dilanggar di sini, di selatan Pa sar Beringharjo, pasar terbesar di ko ta Yogyakarta. Beberapa orang tam pak duduk berjejer di bawah jembatan penyeberangan yang menghubungkan Beringharjo dengan ruas jalan bagian selatan, beberapa lainnya menyebar di berbagai tempat dalam satu baris. “Saya tahu ada rambu di situ, ta pi yang lainnya juga pada parkir di sini kok dan nggak diapa-apain, wong pe negak hukumnya saja sering melanggar hukum juga,” ujar Riyanto, salah seo rang warga yang kedapatan parkir di bawah rambu “dilarang parkir” di sela tan Pasar Beringharjo. Setiap kali istri nya belanja di pasar itu, ia selalu parkir FAJAR/ EKSPRESI
26
|
di sana. Tak hanya Riyanto saja yang me nunggu dan memarkir kendaraan di sa na, banyak teman-temannya yang lain. “Sudah kebiasaan nunggu disini, lebih enak,” tambahnya. Pelanggaran parkir adalah pelang garan terhadap aturan lalu-lintas yang ditandai dengan rambu larangan par kir, rambu larangan berhenti, serta marka larangan parkir di jalan. Ter nyata tidak hanya di pinggiran Pasar Beringharjo, di sejumlah tempat seper ti di depan Saphir Square Mall, bahkan di selatan Dinas Perhubungan (Dishub) Yogyakarta sendiri di Jalan Magelang, banyak kendaraan yang berhenti di ba wah rambu larangan parkir. Rambu larangan parkir dipasang un tuk melambangkan bahwa area tersebut tidak boleh digunakan untuk parkir. Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang (UU) nomor 22 Tahun 2009 pasal 287 ayat 3 bahwa setiap orang yang menge mudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Ini merupakan regulasi ba ru yang menggantikan UU sebelumnya, UU nomor 14 tahun 1992. Dishub sebagai lembaga yang meng adakan rambu lalu lintas mengaku tidak bisa menindak para pelanggar ram bu karena tidak memiliki kewenang an. “Kita (Dishub) tidak punya kewe nangan, apalagi di dalam undang-un dang yang baru kita tidak punya kewe nangan”. “Semua pelanggaran kita da ta dan kita laporkan pada instansi yang bersangkutan,” ujar Bambang, Kepala Seksi Rekayasa Lalu Lintas Dinas Per hubungan kota Yogyakarta. Hal ini diamini oleh Joko W, Staf Bidang Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda DIY. Pe nindakan pelanggaran rambu lalu lintas merupakan tugas polisi. “Pelanggaran lalu lintas, kalau ketahuan dengan petu
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
gas kepolisian, ya pasti ditindak semua pelanggaran yang membahayakan lalu lintas, segala penindakan hukumannya diputuskan hakim,” ujarnya. Bambang menegaskan bahwa pene gakan pelanggaran rambu parkir belum lah maksimal. “Kalau sudah maksimal berarti sudah tidak ada lagi pelanggaran. Tidak menutup mata, pelanggaran me mang masih ada dimana-mana. Itu ber arti kan belum maksimal,” ujarnya. Menurut Bambang, Pemda melalui dishub kota bertugas mengatur jalan-ja lan mana yang boleh untuk parkir dan yang tidak boleh. “Kita tidak semba rang menentukan kebijakan mana ja lan yang dipakai parkir dan tidak.” Pa da praktiknya kebijakan tersebut ma sih bias. Di dalam pasal 43 UU LLAJ nomor 22 Tahun 2009, salah satunya dijelaskan bahwa parkir dilarang di se panjang enam meter sebelum dan sesu dah tempat penyebrangan pejalan ka ki atau zebracross atau tempat penye brangan sepeda yang telah ditentukan. Fakta di lapangan, pelanggaran terkait rambu parkir tidak kunjung usai. Sosialisasi tentang pemasangan rambu pada prosedurnya memang harus dilakukan. Bambang menilai bahwa sosialisasi memang seharusnya ada, tapi itu tergantung kebijakan. “Kita mengadakan studi di lapangan dahulu, selama warga tidak komplain ya dianggap warga sudah mengetahui dan ke lengkapan dari legalitas,” ujarnya. Perk ar a men gen ai pel angg ara n rambu parkir seharusnya tidak dike sampingkan keberadaannya. Menu rut Spiro Kostof, Dosen Arsitektur dari University of California, Los Angeles, ketidakacuhan pengguna jalan terha dap rambu parkir kelak akan berinte grasi dengan masalah kemacetan dan keterbatasan lahan. Masalah ini akan berujung pada masalah lain: tumbuh nya kota liar dan tidak terencana. W Laporan oleh: Azwar
BIAS PANDANG PARKIR
Transit Si Kuda
Di sekitar plang biru dengan huruf “P” besar dan tulisan andong di bawahnya, berderet-deret andong berjejer. Selamat datang di parkir andong! Oleh Dwi Fajar Wijayanto
P
ada masa kolonial, kereta kuda yang biasa disebut delman atau andong adalah kendaraan eksklu sif. Andong menjadi penanda status sosi al tertinggi karena posisinya sebagai ba rang mewah. Masa-masa itu, hanya pem besar keraton Yogyakarta yang memiliki andong. Lambat laun keadaan itu berge ser. Kini andong menjadi alat transporta si yang lumrah. Bahkan andong menjadi ikon pariwisata kota gudeg. Salah satu tempat di mana andong ban yak dit em uk an adal ah di Jal an Malioboro. Andong-andong yang tran sit menunggu penumpang menciptakan parkir unik yaitu parkir andong. Yang membuatnya jadi unik adalah kebera daan rambu parkir khusus andong. Un tuk parkir di sana, pengemudi andong tidak dipunguti bayaran.“Gratis parkir nya, tapi kalau andong parkir di daerah lain mbayar,” ujar Pak Tri, salah satu pengemudi andong. Di sisi kanan dan kiri se panjang Jalan Malioboro, terdapat celukan-celukan parkir. Celukan parkir ada lah suatu tambahan ruas dengan panjang terbatas di mana pembatas antara ja lur lambat dan jalur pejalan kaki terputus. Fungsinya untuk keluar masuk kenda raan antara kedua jalur ter sebut.
Sepanjang jal ur lamb at Jal an Malioboro terdapatnya empat belas ce lukan di sebelah timur dan barat jalan. Celukan yang di sisi timur itu khusus parkir kendaraan bermotor seperti mo tor dan mobil serta di bagian sisi barat untuk parkir kendaraan non-kendara an bermotor seperti andong dan becak. Di area parkir andong di Malioboro, hanya andong yang memiliki plat yang boleh parkir. Andong sebagai alat transp or tas i sud ah dia kui leg al it asn ya se jak keluarnya Surat Keputusan (SK) Walikota nomor 1091 tahun 1993 yang dipertegas dalam Peraturan Walikota nomor 84 tahun 1999. Oleh karena itu, andong-andong itu punya plat tersen diri yaitu YA (singkatan dari Yogya Andong). Sekitar 300 andong yang ada di Malioboro telah terdaftar dan memi liki Surat Izin Operasi Kendaraan Tak Bermotor (SIO-KTB) Rambu parkir andong yang notabe ne hanya ada di Yogyakarta muncul ka rena keberadaan andong sebagai ikon Yogyakarta. Rambu parkir andong te lah ada sejak tahun 1998. Bahkan un tuk penentuan lokasi parkir, sudah ada regulasi yang mengatur. “Penetapan tentang lokasi parkir andong memang sudah jelas tertulis di Perda 84 tahun 2001,” ujar Hari Purwanto selaku Ke pala Seksi Anggota Dinas Perhubungan (Dishub) DIY. Perawatan Ala Andong Meski menarik, terutama bagi wisa tawan, tidak dapat di pungk ir i
SPRESI
FAJAR/ EK
bahwa andong–andong yang parkir di se panjang jalan tersebut membawa perma salahan tersendiri bagi lingkungan seki tar. Kotoran maupun urin kuda yang me nyebarkan bau tidak sedap mengganggu para pejalan kaki maupun pencari nafkah lain di Jalan Malioboro. Meskipun sepele namun dampaknya cukup berpengaruh bila tidak segera ditangani. Unit pelaksana teknis (UPT) se bagai perpanjangan tangan dari pe merintah daerah sebagai pengelola Malioboro telah memberikan beberapa solusi. Salah satunya adalah program Sarung Hajat Jaran (Sahaja). Dengan program ini, setiap pemilik kuda akan menggunakan alat kantong kotoran kuda agar tidak jatuh kema na-mana dan mengganggu masyara kat yang lewat karena baunya yang tidak sedap. Sebagai tanda bahwa pro gram tersebut telah dijalankan, me reka memberikan stiker Sahaja un tuk setiap andong. Tahun lalu, pro gram ini masih bersifat himbauan, di tahun ini UPT mewajibkannya untuk semua andong. Selain itu, UPT juga punya stra tegi lain. Heri Sutata selaku Koordi nator Tatib Lantas UPT menuturkan, “Ke depannya kita akan lebih meng himbau tetapi tidak memaksakan un tuk menggunakan kuda betina daripa da kuda jantan”. Hal tersebut dimak sudkan untuk meminimalisir limbah kotoran pada kuda karena anatomi tubuh kuda betina lebih mudah untuk dipasangi kantung kotoran daripada kuda jantan. Tidak hanya itu, perawatan berupa penyeterilan jalan be rupa penyemprotan pun juga dilakukan untuk menjaga ke bersihan Jalan Malioboro, terutama di jalur lambat. Pe nyemprotan tersebut diharap kan bisa membersihkan dan mematikan kuman. UPT juga memberikan pasokan air delapan kali sehari untuk menjaga kebersihan andong sendiri. W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
27
DOK. PRIBADI
ANALISIS UTAMA
Yogyakarta Terancam Lumpuh Oleh Ir. Suparwoko, MURP Ph.D Jurusan Arsitektur FTSP Universitas Islam Indonesia
S
alah satu masalah kemacetan la lu lintas di kawasan perdagangan disebabkan adanya parkir kenda raan di pinggir badan jalan (on street). Sebenarnya parkir on street tidak men jadi masalah jika keberadaannya dise suaikan kebutuhan dan direncanakan dengan baik. Pasalnya, persoalan ke macetan di Jakarta, atau kota-kota be sar di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami peningkatan yang signi fikan, juga di Yogyakarta. Kemacetan lalu lintas menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap pro ses kegiatan sosial ekonomi masyara kat. Apabila dihitung secara ekonomi, menurut Institut for Transportation dan Development Policy, Jakarta kehi langan 48 triliun rupiah per tahun aki bat kemacetan tersebut. Belum terma suk kerugian akibat gangguan keseha tan seperti stres dan penyakit pernapa san (Adronafis, 2009). Hal ini menunjukan bahwa parkir merupakan fasilitas pelayanan umum dan merupakan bagian sistem trans portasi yang penting. Kualitas prasa rana umum merupakan tolok ukur ke berhasilan suatu masyarakat, sehingga keberhasilan pengelolaan parkir di ka wasan perkotaan merupakan cerminan dari keberhasilan masyarakat kota dan pengelola kawasan perkotaan. Namun dalam kenyataannya, di berbagai kawasan perkotaan, teruta ma kawasan perdagangan, dalam ti ga tahun terakhir telah terjadi kema cetan lalu lintas. Apabila masalah ini tidak segera diantisipasi, maka da lam lima tahun mendatang kawasan perkotaan Yogyakarta akan lumpuh seperti di Jakarta. Minimnya Fasilitas Parkir di Per kotaan Parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian kenda
28
|
raan yang tidak bersifat sementara untuk melakukan kegiatan pada sua tu kurun waktu. Pengguna jalan yang jumlahnya terus bertambah tidak di ikuti atau diimbangi dengan ketertib an pengaturan penggunaan lahan dan proses pembangunan kawasan pinggir jalan raya. Misalnya, di Jalan Kaliurang Km. 6 menuju tempat wisata Kaliurang, pembangunan berbagai swalayan besar, swalayan kecil, rumah makan, apotek, dan usaha-usaha begitu cepat pertum buhannya tanpa dipikirkan tempat par kir yang memadai dari masing-masing tempat usaha. Fasilitas parkir bertujuan untuk memberikan tempat istirahat kendaraan dan untuk menunjang kelancaran arus lalu lintas. Jenis fasilitas parkir adalah parkir di badan jalan dan parkir di luar badan jalan. Sehingga keberadaan ke dua jenis tempat parkir perlu disediakan secara proporsional. Namun banyak di kawasan perkotaan di Indonesia bahwa kondisi perparkiran 70% besifat on street parking dan tidak seimbang dengan memanfaatkan badan jalan, sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas, terutama di kawasan perdagangan pada jam puncak kegiatan sosial ekonomi perkotaan (Adronafis, 2009). Parkir pada badan jalan dilakukan dengan cara mengambil tempat di sepanjang badan jalan dengan atau tan pa melebarkan jalan untuk pembatas parkir. Parkir ini baik bagi pengunjung yang ingin dekat dengan tujuannya. Tetapi untuk lokasi dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi, cara ini dapat meng akibatkan berkurangnya kapasitas jalan sehingga mengakibatkan gangguan ter hadap kelancaran lalu lintas. Parkir di luar badan jalan dilakukan dengan cara menempati suatu pela taran tertentu di luar badan jalan, baik di halaman terbuka maupun di da lam bangunan khusus untuk parkir.
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
Parkir model ini memberikan kenya manan dan keamanan kepada pengun jung parkir namun jarak antara tem pat parkir dengan tujuannya lebih ja uh dibandingkan dengan parkir pada badan jalan . Hasil kajian yang dilakukan oleh Widya pada tahun 2008 menunjukkan bahwa pola perilaku pengguna par kir sangat berpengaruh pada pemanfa atan dan penataan ruang parkir. Dari pernyataan tersebut memberi penger tian: 1) tempat parkir perlu direncana kan untuk jangka panjang, 2) tempat parkir bisa menggunakan badan jalan tanpa mengganggu kapasitas lalu lintas kendaraan, 3) perlu adanya tempat par kir di luar jalan ketika perhitungan on street parking tidak memadahi. Hal lain yang perlu dipikirkan da lam penempatan parkir adalah satu an ruang parkir. Satuan ruang parkir (SRP) dapat didefinisikan sebagai suatu ukuran kebutuhan ruang untuk parkir suatu kendaraan dengan aman dan nyaman dengan pemakaian ruang seefi sien mungkin (Alamsyah, 2005). Tempat Parkir di Kawasan Per dagangan Analisis tempat parkir di kawasan perdagangan di Yogyakarta akan meng gunakan metode perbandingan dengan penilaian kualitatif dengan kriteria pe nentuan berbagai jenis tempat parkir yang diambil dari buku Pedoman Tek nis Fasilitas Parkir (Dirjen Perhubung an Darat, Departemen Perhubungan RI, 1996). Pemilihan lokasi perbandingan yaitu kaw asan perd ag anga n Jal an Gejayan, Yogyakarta dan kawasan per dagangan Glenferrie Road, Melbourne. Karakteristik dua kawasan itu hampir sama yaitu kawasan perdagangan de ngan jalan kota menuju hinterland kota yang berdekatan dengan kampus atau perguruan tinggi. (lihat gambar)
BIAS PANDANG PARKIR ISTIMEWA
Dari Gambar 1 kaw as an perd a gangan Gejayan dapat diperoleh infor masi bahwa kepadatan lalu lintas te lah terganggu adanya kendaraan par kir sebagai akibat pelayanan kegiat an perdagangan. Keberadaan kawa san perdagangan di kawasan Gejayan timbul atau muncul karena keberada an kampus UNY dan bukan direnca nakan. Pola tata guna lahan merupa kan salah satu hal yang penting untuk diperh at ik an dal am mer enc an ak an tempat parkir dan menyusun tarif par kir (Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas Angkutan Kota, 1998). Berdasarkan teori pola tata guna lahan tersebut, maka kegiatan parkir di kawasan Gejayan tidak direncanakan dan hanya mengikuti pertumbuhan ke giatan perdagangan. Sebagai akibat nya, kegiatan perdagangan kawasan Gejayan dan pelayanan parkirnya telah mengganggu kelancaran lalu lintas di kawasan Gejayan tersebut. Kawasan perdagangan Gejayan tidak memiliki tataguna lahan yang terencana, dengan
indikasi bahwa kawasan ini tidak memi liki lahan pengembangan parkir di luar badan jalan. Padahal di kawasan perkotaan yang memiliki ketertiban lalu lintas yang baik, model taman parkir atau gedung parkir menjadi andalan uta ma kegiatan parkir perkotaan, teruta ma untuk mendukung pakir kegiat an perdagangan. Sebagai contoh ka wasan perdagangan Glenferrie Road di Melbourne Australia. Dengan luas kawasan perdagangan seperti kawa san Gejayan, kawasan perdagangan Glenferrie memiliki tiga taman parkir (lihat Gambar 2). Hal ini tampak bahwa lokasi dan tata guna lahan kawasan perdagangan perlu direncanakan secara lengkap dengan kebutuhan fasilitas taman parkir atau gedung parkir. Karena fasilitas parkir atau gedung parkir adalah mahal, maka perlu mem pertimbangkan letak lokasi parkir dan harga parkirnya. Semakin mendekati pusat kota maka harga lahan semakin tinggi sehingga fasilitas dan harga parkir
di perkotaan lebih mahal dibanding di pinggiran kota (Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas Angkutan Kota, 1998). Sehingga untuk kawasan perdagang an Gejayan, perlu dilakukan studi kela yakan parkir di luar badan jalan. Namun hambatan yang akan terjadi adalah sulitnya mencari lahan parkir, terutama untuk model “taman parkir.” Alternatif lain yang bisa dibangun adalah model “gedung parkir”. Untuk mengadakan kedua model parkir di lu ar badan jalan tersebut, perlu dibuat fo rum aspirasi antara masyarakat, komu nitas pedagang kawasan Gejayan, pi hak pemerintah, dan investor. Parkir di pinggir jalan merupakan alternatif pen dukung saja dan bukan parkir utama. Jika on street parking diberlakukan di kawasan perdagangan Gejayan, maka perlu diberlakukan tarif parkir progresif (untuk 30 menit pertama, dan 15 menit berikutnya bertambah mahal) supaya tidak terjadi pembeludakan pengguna fasilitas parkir. W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
29
ANALISIS UTAMA
On Street Memicu Kerusakan Lingkungan Kerusakan lingkungan telah menjadi wacana banyak pihak. Salah satu penyebabnya adalah kemacetan di sejumlah ruas jalan yang diakibatkan parkir on street. Oleh Septi Utami
D
emikian yang diujarkan oleh Hari Setyowacono, Kepala BidangPengendalianEvaluasi dan LaporanBadanPerencanaan dan PembangunanDaerah(Bapedda) kota Yogyakarta. Tingginya penggunaan k end ar aa n berm ot or pribadi tid ak diimbangi denganpertumbuhanlahan parkir, terutama yang di luar badan jalan. Akibatnya, parkir meruah ke badan jalan. Padahal, parkir di badan jalan ada lah salah satu sebab terhambatnya arus lalulintas. Tersendatnya gerak kenda raan inilah yang menjadi sumber pen cemaran lingkungan yaitu polusi. D al am Per at ur an Daerah K ota Yogyakartapasal 3 ayat 1 (c) disebutkan bahwapenataan dan kelestarian ling kungan adalah faktor yang turut di perhatikan ketika menetapkan kawa sandan lokasi tempatparkir. Namun, meskisudah diaturdalam regulasi,pa da kenyataannya lokasi parkir masih memicu kemacetan. Pencemaran Lingkungan Asap knalpot, mengeluarkan gas emisi yang mengandung racun. Seperti karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC),partikulat (PM 10), debu timbal (PB),oksida belerang (SO), dan oksida nitrogen (NO). Gas ber ac un d ap at meningkatjika mesin kendaraan tidak terawat baik, dan timbul kemacetan dijalan. MenurutEpiphana Kristiyani,Ke pala Kantor Lingkungan Hidup Sleman, emisigas buangan dari kendaraan
ISTIMEWA
bermotor di Kota Yogyakarta yangbe rupa hidrokarbon sudahmelebihiam bang baku mutu udara. Baku mutu udara ambien adalah u kur an ba tas atau kadar zat, energi, dan atau komponen uns ur p enc em ar yang ditenggang keberadaannyadalamuda ra ambien (udara bebas di permuka an bumi yang dibutuhkan dan mem pengaruhi kesehatan makhluk hidup). Besarnyaambang baku mutu udara di Indonesiasebesar160 mg/m³. Ketika macet, emisi gas buang dari kendaraan bermotor dapat melebihi batas aman untuk dihirup. Jumlah emisiitu akan semakin meningkatbi la di sekitar lokasi kemacetan tidak terdapat pepohonan. “Ruang Terbuka Hijau (RTH) yangcukupdapatmem perkecil gas emisiyangterhirup ke da lam paru-paru,”ungkapKunto Riyadi, Kepala BidangPerencanaan Perkotaan Bapedda Sleman. Kunto Riyadi juga menambahkan bahwa RTH sangat diperlukan untuk menyerap udara kotor yang timbul dari kendaraan.“30% suatu kota ha rus memenuhi RTH. Pemenuhannya 20% RTHpublikdan10%RTHpriba di,” tambahnya. Kemacetan yang sebagianbesardi sebabkan parkir on street dapat me nambah persoalan pada lingkungan. Damp ak yang ditimbulkan u nt uk lingkungandalam jangkapanjangnya adalah efek rumah kaca dan g lobal warming sehingga menyebabkan pe rubahaniklim yang tidak menentu dan banyakmenimbulkan bencana alam. Kab up at en Sleman pad a bul an April 2010 mengadakan uji emisi gas buanguntukkendaraan umum. Hasil rekapitulasi data uji emisi gas buang kendaraan umum menyatakan bahwa dari 788 jumlah kendaraan yangdiuji,hanya 392 (49,7%) ken daraan
y ang lulus uji. Sisanya sebanyak 396 (50,3%),tidak memenuhi syarat baku mutu emisi kendaraan umum. Gangguan Kesehatan Tidakhanya menyebabkankerusa kanlingkungan, efek yang ditimbulkan dari gas emisi juga dapatmengganggu kesehatan manusia. Karbon monok sida yang terhirup dapat mengurangi jumlah oksigen dalamdarah,sehingga dapat menimbulkan gangguan berpi kir, penurunan refleks, dangangguan jantung. Di tingkat akhir,Karbonmo noksida bisa menyebabkankematian. “COyangterhirupakansangatber bahaya, karena dampak kelanjutan nya dapat menimbulkan kematian,” ungkap Epiphana Kristiyani. Sedang kan,Hidrokarbon dapat menyebabkan iritasi mata, batuk, rasa mengantuk, bercak kulit, dan perubahan kode ge netik(mutasi gen). Jumlah itu akansemakin melimpah ketika mesinterus menyalaselama ter jebak macet. Kondisi mesin kendara an yang kurang baik menyebabkan pembakaran Hidrokarbon yang ter kandung dalam bahan bakarmenjadi tidaksempurna.Dari sanalahemisi gas buangtercipta.Emisi gasbuangdapat diatasi dengan merawat mesin yang baik dan memp erbaiki mesin yang rusak.Melakukanpenyetelan karbura tordenganbenardapat mengatasi gas emisiyangkeluar dari kendaraan dan selalu membersihkan filter udara. Sementara itu, penanggulangan untukmengatasi kemacetan yangber ujung pada pencemaran udara yaitu dengan menciptakan jalan alternatif dan mencegahadanyaparkironstreet yangtidak sesuai dengankriteria.“Ma najemen lalu lintas harus baik, me ngurangi jumlah kendaraan di jalan dengan membuka jalan lain, dan me ngurangi parkir on street di jalanyang sempitdan padat,” ucapEpiphana.W Laporan oleh : Cahyo W , Ayu Hening P.
30
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
BIAS PANDANG PARKIR
Dibutuhkan Master Plan Parkir Oleh Nisrina Muthahari
S
ebagai kota tujuan wisata, Yogyakarta harusterusber kacadanberbenahdiri agar tak menjadikotayangdilabelide ngan serapah pengunjung akibat kondisi parkirnyayangburuk.Ke butuhanakan tempat parkiryang nyamandan amanmenjadipeker jaan rumahpemerintah d aerah. Selainitu,fenomena parkirliar pun masih mewarnai wajah Kota Yogyakarta,berpilindengan parkir resmimenjadi permasalahanpar kir yangpelik.Sejauhinipemerin tah melalui Dinas Perhubungan, Dinas Pajak,UPTMalioboro,ser ta dinas pasar yang bertanggung jawab atas pengelolaan parkir di Kota Yogyakarta. Dat a B ad an Pusat Statistik (BPS)menunjukkan, jumlah ken dar aa n berm ot or di Indonesia per 2008sebanyak65juta,yaitugabungan antarakendaraan pribadi danumum. Dari data tahun-tahun sebelumnya yang dilansir oleh BPS, didapat bah wa pertumbuhan kendaraan bermotor setiap tahunnya mencapai sepuluh ju ta kendaraan per tahun. Pertambahan kendaraan setiap ta hun tersebut tidak diimbangi dengan bertambahnya jumlah lahan yang digu nakan untuk parkir. Akibatnya, memar kirkan kendaraan menjadi kegiatan yang tidak menyenangkan. Sebanyak 79,9% responden mengaku pernah mengala mi hal buruk saat parkir. Pengalaman buruk ketika parkir bukan semata-ma ta karena pelayanan si juru parkir, ka rena 46,1% responden beranggapan ka lau pelayanan juru parkir di Yogyakarta sudah cukup. Salah Paradigma Paradigma mengenai park ir di Indonesia masih bias. Berbayarnya parkir di badan jalan sebenarnya me rupakan bentuk ganti rugi pengguna an jalan raya yang merupakan fasili tas umum. Parkir di badan jalan ada lah pemangkasan hak orang lain untuk melaju dengan nyaman di jalan raya. Parkir tidak mengutamakan keamanan
seperti halnya penitipan kendaraan. Berbeda dengan apa yang diketahui responden, 30,9 % responden berpenda pat bahwa membayar parkir fungsinya untuk mengganti jasa keamanan. Kesa lahan pemahaman ini didukung dengan ketidakacuhan masyarakat untuk mem pelajari peraturan perparkiran. Terlebih bagi mereka dengan akses informasi ter batas, peraturan baru menjadi ganjalan karena sosialisasi yang kurang. Misal nya Haryono, seor ang juru parkir di Malioboro. Ia mengaku tidak tahu me ngenai peraturan terbaru bahwa UU no mor 22 tahun 2009 mengatur kalau ke hilangan barang selama parkir harus di tanggung juru parkir. Dalam menyikapi kecurangan par kir, sebagian masyarakat punya kebia saan destruktif. Sebanyak 30,9 % res ponden tetap membayar parkir meski pun telah dicurangi dengan alasan su dah menjadi kebiasaan bahwa parkir harus membayar. Lain halnya dengan 26, 5 % responden yang bersikap masa bodoh meskipun tahu telah dicurangi dengan kecurangan karcis. Perencanaan Matang Menurut Johnny Sunu, Ketua Or ganisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) DIY, akar permasalahan par
kir disebabkan karena space untuk parkir tidak pernah direncanakan. Permasalahan mengenai keruwet an parkir erat hubungannya de ngan master plan yang gagal da lam mengelola sebuah kawasan. Pada akhirnya persoalan tentang keruwetan parkir hanya akan men jadi bom waktu yang sewaktu-wak tu dapat meledak. Sebuah master plan seharusnya bisa memprediksi apa yang bakal terjadi di masa depan, bukan hanya menanggulangi masalah yang ada sekarang. Bambang, Kepala Seksi Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhu bungan Kota Yogyakarta mencon tohkan pembangunan fasilitas par kir untuk Malioboro Mall. Dalam perencanaan pemba ngunannya, halaman Malioboro Mall tidak pernah ditujukan untuk la han parkir, karena parkir bawah ta nah untuk pengunjung sudah disedia kan. Namun perhitungan tersebut ti dak mempertimbangkan keberadaan pengunjung toko sekitarnya yang ikut parkir di kawasan Malioboro Mall. Al hasil, halaman Malioboro Mall tetap jadi area parkir. Karena perencanaan yang tidak visioner, hasilnya pun hanya bisa dinikmati dalam jangka waktu pen dek saja. Parkir sejatinya bisa membe rikan solusi untuk masalah kemacetan kota, namun kini ruwet dan malah me nyebabkan kemacetan itu sendiri. Pertumbuhan kendaraan yang me nyumbang pendapatan bagi pemerin tah dari segi pajak dan retribusi ha rusnya diikuti dengan progres pelaya nan masyarakat. Retribusi dan pajak dijadikan modal pembangunan fasi litas yang nyaman bagi masyarakat. Salah satunya fasilitas parkir yang di dahului dengan perencanaan matang. Perencanaan matang mengenai sebu ah master plan bukan hanya tentang persoalan lahan saja, tapi juga proyeksi kedepannya mengembangkan master plan tersebut agar tertata. W Laporan Oleh Prima SW
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
31
ANALISIS UTAMA
On street Masih Perlu Penanganan Intensif Oleh Robiatul Adawiyah
A
da korelasi yang berbanding lu rus antara pertumbuhan pen duduk dengan kebutuhan alat transportasi pribadi di Yogyakarta. Se bagai contoh, Pusat Studi Transporta si dan Logistik (PUSTRAL) Universi tas Negeri Gadjah Mada (UGM) me laporkan, dalam sehari rata-rata ada 200 kendaraan roda dua yang terjual. Masifnya kebutuhan kendaraan priba di ini menimbulkan problem baru ke tika kendaraan pribadi masuk ke ra nah publik. Diantaranya adalah ma salah parkir. Membawa kendaraan pribadi ke tempat-tempat umum berarti mem butuhkan tempat parkir. Menurut UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lin tas dan Angkutan Jalan, parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan di tinggalkan pengemudinya. Berdasar kan pengelolanya, parkir dapat dibagi menjadi dua yaitu parkir yang dikelo la oleh juru parkir (di badan jalan) dan pengelola parkir yang dapat berupa pe rorangan maupun badan swasta (di lu ar badan jalan). Lalu, bagaimana pengetahuan, si kap, dan tanggapan para pengguna jasa parkir di Yogyakarta terkait perparkir an dan pelayanan para juru parkirnya?
32
|
Subdivisi Litbang LPM EKSPRESI UNY mengadakan polling untuk me ngetahui respon para pengguna jasa parkir di kota Yogyakarta. Polling parkir ini dilakukan dengan metode sampel purposif dengan me nyebarkan angket di beberapa wilayah tertentu yang telah dipilih. Wilayahwilayah tersebut diantaranya adalah area parkir Tepi Jalan Umum (TJU) resmi baik kawasan I maupun kawa san II. Untuk TJU kawasan I, kami me nyebar angket di 15 titik ramai parkir, di antaranya kawasan Malioboro dan 14 jalan-jalan di Yogyakarta yang ra mai parkir. Untuk TJU kawasan II, ka mi hanya menyebar di satu kawasan. Tujuan dari penggunaan metode sam pel purposif adalah untuk mempermu dah kami dalam menyebarkan angket, mengingat kawasan-kawasan terten tu yang kami pilih merupakan kawa san volume lalu lintasnya tinggi dan ramai parkir. Sampel diambil berdasarkan jum lah rata-rata karcis yang terjual setiap harinya dari dinas perhubungan dan UPT Malioboro. Dengan rumus Slo vin dan sampling error 5%, diperoleh sampel sebanyak 388 dari jumlah po pulasi 13.116. Sebanyak 178 angket di sebar di kawasan Malioboro, 198 diba
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
gi di 14 TJU kawasan I, dan 12 dibagi di satu TJU kawasan II. Responden ada lah para pengguna jasa parkir, diam bil secara accidental di tempat-tempat yang telah ditentukan. Polling ini bersifat menjelaskan dengan pengumpulan data melalui angket. Angket terdiri dari beberapa pertanyaan dan pernyataan yang ber sifat tertutup. Kebutuhan parkir yang semakin membengkak dibuktikan oleh penga kuan para responden. Sebagian besar responden yaitu sebanyak 55,6% res ponden mengaku menggunakan jasa parkir lebih dari 3 kali atau sering da lam seminggu. Sementara yang men yatakan belum tentu menggunakan ja sa parkir dalam seminggu tidak lebih dari 5,2% responden. Sisanya, 39,2% responden mengaku pasti mengguna kan jasa parkir kurang atau sama de ngan 3 kali dalam seminggu. Membengkaknya kebutuhan par kir mem ic u beb er ap a tind aka n ti dak terpuji dari para juru parkir pada umumnya dan para oknum tertentu pada khususnya. Parkir dijadikan se bagai lahan bisnis, bukan sebagai pe nataan hak milik privat di ranah pu blik atau penertiban lalu lintas. Hal ini terbukti dari adanya beberapa ke
BIAS PANDANG PARKIR curangan karcis dan hal-hal lain yang menurut para pengguna jasa parkir ti dak menyenangkan. Dari pertanyaan terkait kecurang an karcis, sebanyak 286 (73,7%) res pond en men gak u pern ah menj um pai kecurangan karcis oleh para juru parkirnya. Dari 286 responden yang mengaku pernah menjumpai kecu rangan karcis yang dilakukan para ju ru parkirnya, lebih dari 70% atau 205 responden mengaku tidak hanya satu dua atau tiga kali saja menjumpai ke curangan tersebut, melainkan sering. Terkait kecurangan dalam bentuk apa, sebanyak 23,4% dari 286 responden menjawab kecurangan dalam bentuk tidak diberi karcis oleh juru parkir nya, 21,4% menjawab karcis yang di berikan oleh juru parkir sudah bekas, 26,6% menjawab karcisnya tidak res mi, sisanya menjawab tidak hanya sa tu kecurangan karcis yang pernah me reka jumpai. Selain kecurangan karcis, ada be berapa hal kurang atau tidak menye nangkan lainnya yang pernah diala mi oleh para pengguna jasa parkir. Se banyak 310 dari 388 responden atau 79,9% mengaku pernah mengalami hal yang kurang atau tidak menyenang kan. Dari 310 responden yang menga ku pernah mengalami hal tidak menye nangkan ketika memarkirkan kendara annya, salah satu di antaranya menga ku pernah kehilangan kendaraannya. Beberapa yang lainnya menyebutkan ada hal-hal tidak menyenangkan lain nya yang mereka alami ketika memar kirkan kendaraan mereka. Diantara nya adalah perangkat kendaraan hi lang, kendaraan tergores, tarif parkir terlalu tinggi, dan lain-lain. Tarif parkir terkadang dipungut
terlalu tinggi. Normalnya, untuk mo tor contohnya, sesuai peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemda atau Dis hub tarif kawasan I sebesar Rp 1000,00 dan untuk kawasan II Rp 500. Tetapi dari 310 responden yang mengomen tari tarif parkir motor, masih ada 20, 6% (64) responden yang menjawab ta rif parkir motor dengan harga lebih da ri Rp 1000,00. Sedangkan untuk tarif parkir mo bil, sesuai peraturan daerah adalah Rp 2000,00 untuk kawasan I dan Rp 1500 untuk kawasan II. Tetapi yang terja di, 33,5% (53 responden) dari 158 res ponden yang mengomentari tarif par kir mobil menjawab tarif parkir mobil lebih dari Rp 2000,00. Pandangan responden terkait par kir tidak resmi atau dapat disebut par kir liar. Parkir liar adalah parkir yang tidak memiliki izin resmi. Ciri-cirinya juru parkir tidak memakai seragam, tidak memiliki karcis, atau karcisnya dibuat sendiri (tidak ada hologram Di nas Perhubungan), dan lain-lain. Dari seluruh responden, 72,7% mengetahui keberadaan perparkiran liar, 25,8% ti dak tahu, dan sisanya 1,5% tidak men jawab. Dari pernyataan setujukah anda terhadap keberadaan parkir liar, 85,2% menjawab sangat tidak setuju dan ti dak setuju, 9,8% ragu-ragu, 4,4% tidak menjawab, dan hanya 3,3% yang men jawab setuju dan sangat setuju. Sudah menjadi rahasia umum bah wa salah satu penyebab langgengnya perparkiran liar adalah adanya para ok num yang melindungi. 36,3% respon den menjawab tahu bahwa ada para ok num di balik perparkiran liar. Perparkiran liar yang dilindungi aparat menuai protes dari para respon
den. Sebanyak 82,2% responden me nyatakan sangat tidak setuju dan ti dak setuju, 5,2% tidak menjawab, dan hanya 5,9% yang menyatakan sangat setuju dan setuju. Parkir liar mempu nyai dampak yang buruk. Memang kas pendapatan daerah dari retribu si parkir dan berpeluang menggang gu lalu lintas. Selain langkah preven tif dari masyarakat berupa pengawas an, Pemda punya tanggung jawab un tuk memberi sanksi keras pada siapa pun yang terlibat dalam pengelolaan perparkiran liar. Sebanyak 73,4% responden men dukung dan sangat mendukung pem da untuk memberikan sanksi keras ke pada para pengelola parkir liar, 9,8% ragu-ragu, 4,6% tidak menjawab. Ha nya 12,1% yang keberatan jika Pemda memberikan sanksi keras kepada pa ra pengelola parkir liar. Tanggapan responden terkait per parkiran yang memakan badan jalan antara lain sebanyak 76,6% responden menyatakan tidak setuju dan sangat ti dak setuju dengan keberadaan perpar kiran di badan jalan. Hal ini dikarena kan perparkiran yang memakan badan jalan sangat mengganggu para penggu na jalan. Sebanyak 72,1% responden menyatakan setuju dan sangat setu ju bahwa keberadaan parkir yang me makan badan jalan sangat menggang gu para pengguna jalan. W *Jajak pendapat ini tidak dimak sudkan untuk mewakili pendapat se luruh masyarakat Yogyakarta
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
33
PROFIL
Ilmu itu harus cair: Mudah Diakses Dari pahlawan untuk penerbit kecil sampai rektor Isbuja Oleh : Hasti Kusuma Dewi
34
|
ja minim, bagaimana dengan nasib para pelajarnya?” katanya. Purwadi mempunyai pendapat bah wa ilmu itu harus cair: mudah diakses oleh siapa saja. Karena menurutnya se mua ilmu itu baik. “Kenapa harus diba tasi. Kapital sama dengan bakul,” ujar nya yang menentang penjualan buku mahal. Plagiat Kebiasaannya memberikan naskah kepada kenalannya ini terkadang ma lah dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Kerap sekali Purwadi mendapati naskahnya yang kemudian di terbitkan dalam bentuk buku namun pe ngarangnya bukan atas namanya. Yang membuatnya kaget, nama pengarang bia sanya adalah orang yang dikenalnya. Awal mulanya Purwadi sempat ka get melihat plagiat yang dilakukan be berapa kenalannya yang memang sem pat mendapat naskahnya tersebut, na mun lama-kelamaan hal tersebut men jadi biasa untuknya. Purwadi selalu memegang prinsip bahwa ilmu itu untuk semua orang, tidak akan ada pengaruhnya jika nama penga rangnya saja yang berbeda. Toh, menu rutnya yang terpenting adalah apa yang ingin disampaikannya kepada pembaca dapat tersampaikan dengan baik. Termasuk tentang bukunya yang ba nyak digandakan tanpa sepengetahuan nya. “Saya itu malah tidak melarang ka lau ada yang mau memfotocopy buku sa ya, apalagi yang memang benar-benarti
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
dak punya uang untuk membelinya,” terang pengarang yang telah meng hasilkan lebih dari 200 buku ini. Dosen di jurusan pendidikan bahasa jawa UNY ini telah mem buat buku untuk pendamping ku liah untuk semua mata kuliah yang diajarkannya. Hal tersebut hanya untuk memudahkan mahasiswanya, agar lebih praktis ketika mempelaja ri materi ajar. Cinta Budaya Jawa Se m ua bu k u kary a Purwadi tak jau h da ri segala hal yang ber bau Jawa. S e l a i n k a r e n a
Hasti / ekspresi
T
ahun 2002 lalu, iklim bisnis buku di Yogyakarta sedang buruk. Ba nyak penerbit-penerbit kecil gu lung tikar karena kalah bersaing dalam hal modal dengan penerbit-penerbit be sar. Selain itu, produktivitas penulis ju ga semakin menurun. Melihat kenyataan itu, Purwadi trenyuh. Tapi Cuma trenyuh tak memberi so lus i. Purwadi pun amb il tind ak an.Ia membagi-bagikan naskah-naskah buku karyanya untuk diterbitkan kepada pe nerbit yang sedang krisis. Karena ini wu jud keprihatinan, ia tak meminta royal ti sepeser pun. Ia juga tak diam saja melihat pereda ran buku di Yogya yang karena sedang se ret karena didominasi buku-buku lama. Di tahun yang sama, usai membagi naskah ke penerbit, ia membagikan buku-buku gra tis di shopping salah satu pusat jual beli buku di Yogyakarta. Buku-buku itu ada lah karyanya yang ia cetak dengan dana pribadi. “Yang paling kentara itu bukubuku yang dijual di Shopping itu sema kin sedikit, cuma tinggal buku-buku la ma,” tutur penulis Kamus Bahasa Jawa Populer ini. Usaha-usaha Purwadi yang dipan dang sebag ai “usah a bun uh dir i” ka rena tak menghasilkan keuntungan fi nansial ini berangkat dari keprihatinan. Meski bukan penduduk asli, hidup di Yogyakarta sejak tahun 1990 sudah me nalikan simpul erat antara Purwadi dan Yogyakarta. Ia begitu menghayati katakata bahwa Yogyakarta adalah kota pe lajar. Maka, “Jika buku yang bered ar sa
PROFIL Jawa adalah objek kajian keilmuannya, ju ga karena ia menganggap bahwa “Jawa itu Seksi”. Pulau jawa, sebagai pulau terpadat di dunia, mempunyai daya tarik tersendiri. ”Banyak yang memperebutkan,” canda do sen yang sangat mengagumi Yoso Dipuro (pujangga kraton surakarta) ini. Semasa kuliah strata satu, Purwadi pernah membuat komunitas untuk ber diskusi masalah budaya jawa. Jabatan nya kala itu sebagai ketua Habermas (Himpunan Kebersihan Masjid) di mas jid kampus UGM. Menurutnya, masjid jangan hanya jadi tempat mempelajari agama saja. Maka dimanfaatkanlah mas jid kampus UGM sebagai tempat disku si filsafat dan budaya. Hasilnya, banyak orang yang mengapresiasi diskusidiskusi itu. Set el ah berh as il men dap at gel ar dokt orn ya, Purwadi mendapat per tanyaan telak dari seo rang kaw ann ya. “Ap a yang kamu lakukan se telah ini untuk masyara kat?” Ia tertegun. Sejak itu ia berusaha menja wab pertanyaan itu. T a h u n 2 0 0 2 , Purwadi mulai berpikir untuk mendirikan sebuah institut. Institut yang khu sus mempelajari budaya jawa. Hal tersebut dikarenakan dia tidak mau jauh-jauh dari bahan kajian yang selama ini dipela jarinya. Maka l a
hirlah Isbuja (Institut Budaya Jawa) pa da tahun tersebut. Isbuja merupakan forum diskusi in formal yang dibuat oleh Purwadi untuk mereka yang menyukai filsafat Jawa. Waktu pertama kali membuka forum ini, anggotanya sudah mencapai 300 orang. Purwadi merasa tidak ada kesulitan sa ma sekali kalau hanya mengumpulkan orang sebanyak itu untuk berdiskusi. Pe ngalamannya berorganisasi semasa ku liah dulu membuatnya cukup dikenal di kalangan aktivis kampus. selain itu na manya yang telah sempat menjadi nara sumber tentang kebudayaan jawa di be berapa televisi swasta dan media cetak lainnya juga jadi daya jual. Isbuja memang tidak memiliki ge dung tetap seperti institut pada umum nya. Untuk tempat kuliahnya sendiri bisa dilakukan di mana saja. “Bahkan wak tu pertama kali mau diskusi, saya pinjam gedung DPRD di Malioboro,” kenang le laki yang juga suka mendalang dan men ciptakan lagu Jawa ini. Saat sempat di larang petugas, ia menjawab, “lha untuk demo saja boleh kok, ini yang mau dis kusi masak dilarang.” Mencontek Belanda Isbuja di bangun oleh Purwadi me ngikuti cara kerja orang Belanda. Belanda memiliki peraturan wajib khusus untuk calon-calon pemimpin daerah, yakni pe mahaman terhadap keadaan daerah tem pat yang akan dipimpinnya. Tidak hanya soal jalan rusak dan kekayaan alamnya saja, namun juga soal budaya. Obs es i Purwadi unt uk Indonesia, agar negaranya ini bisa mencontoh cara kerja tersebut. “Jadi kalau di Indonesia ini kacau balau karena banyak pejabat Nama TTL Alamat E-mail Pendidikan Jabatan UNY Organisasi Motto Istri Anak
nya yang kosong (tidak tahu tentang da erahnya, -red),” jelas lelaki yang berkei nginan untuk menjadi presiden ini. Purwadi punya cita-cita yang lebih besar ketimbang hanya soal Isbuja. “Sa ya kepingin nantinya tidak hanya Isbuja saja, tapi juga ada Isbuba untuk Bali, Isbusu untuk Sumatra dan lain-lain.” Pa dahal, Isbuja sendiri belum resmi, alias tak punya badan hukum. “Ini masih ile gal tapi bukan kriminalitas lho,” kela karnya. Sementara ini, Isbuja memang se dang vakum. Purwadi mengaku masih ingin memformat ulang institutnya ini. “Yang pasti saya ingin meresmikannya dulu, takut banyak yang protes lagi,” tu turnya. Kini ia sedang mencari informa si kesana-kemarimengenai cara pelega lan institutitu. “Saya baru cari jalan, so alnya tidak enak berjalan di dunia gelap,” candanya lagi-lagi. Diskusi informal yang dia dirikan ini memang sempat mendapat protes dari berbagai kalangan. Semisal dari rektor- rektor yang di universitas-universitas resmi. Jabatan rektor yang menurut nya hanya candaan teman-temannya di Isbuja ini mendapat sambutan tak me ngenakkan dari kalangan rektor resmi. Hal tersebut juga yang menjadikannya kurang percaya diri untuk terus menja lankan Isbuja. “Wong tidak ada SK dan tempat res minya, berani-beraninya menamakan diri rektor,” tirunya yang disusul de ngan suara tawa. Padahal jabatan terse but hanya sebutan dalam diskusi infor mal yang dia buat ini. “Saya ini bukan ha nya rektor di Isbuja, tapi juga dosen, TU, cleaning service satu-satunya di sana,” terangnya.W
: DR. Purwadi, M.Hum : Grogol, 16 September 1971 : Jalan Kakap Raya 36 Minomartani, Yogayakarta 55581 : hariwijaya04@yahoo.com : S1 Jurusan Sastra Jawa UGM (1990) S2 Jurusan Filsafat UGM (1996-1998) S3 Jurusan Filsafat UGM (2001) : Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, : Pepadi (Persatuan Pedalang Indonesia) Senawangi (Sekretariat Wayang Indonesia) TMII, Jakarta Lembaga Javanologi (Paguyuban Bahasa Jawa) : Yen wania ing gampang, wedia ing angel, sebarang nora tumeka (Kalau beraninya pada yang mudah, takut pada yang susah, maka segala gagasan akan gagal). : Sari Indah Setyani : Adityo Jatmiko (7 Th) Aryo Bimo Setyanto (4 Th) Anindito Prasetyo (1 Th)
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
35
ALMAMATER
Prodi Nanggung UNY Aji Mumpung UNY gencar membentuk program studi (Prodi) baru untuk mendekatkan diri dengan predikat World Class University (WCU). Kini Prodi-Prodi itu sedang tertatih-tatih. Oleh: Rhea Yustitie
K
ini, ada 17 Prodi baru (dengan in dikator belum mempunyai Surat Keputusan—SK), 8 rintisan Prodi bertaraf internasional, dan 6 Prodi ber taraf internasional. Pembukaan jurusanjurusan baru merupakan langkah kon kret dari pembacaan kebutuhan masyara kat. Selain itu, menurut Prof. Dr. Nurfina Aznam SU., Apt, Pembantu Rektor (PR) I, pembukaan kelas internasional itu gu na mewujudkan universitas bersta tus WCU dan menam
pung siswa yang berasal dari SMA berta raf internasional. Salah satu Program studi (Prodi) ba ru adalah Pendidikan IPA. Prodi ini la hir dari keprihatinan tidak adanya tena ga pendidik yang murni lulus dari pro di IPA. Hampir semua tenaga pendidik IPA berasal dari prodi Fisika, Biologi atau Kimia. Oleh karena itulah didirikan prodi IPA di UNY.
rhea/ekspresi
36
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
Kini Pendidikan IPA menginjak ta hun ketiga. “Berlembar-lembar matriks penilaian akreditasi (borang) tengah di siapkan untuk memperoleh akredita si,“ ungkap Kaprodi Pendidikan IPA Dr. Dadan Rosana. Begitu juga dengan Prodi Pendidikan IPS yang kini juga berusia tiga tahun. Bu
ALMAMATER lan Juli 2010, prodi ini mengirimkan bo rang ke Badan Akreditasi Nasional-Per guruan Tinggi (BAN-PT) untuk selan jutnya dapat dinilai, sehingga dalam ku run waktu kurang dari 5 tahun pendidik an IPS sudah memiliki akreditasi,“ jelas Drs. H. Saliman, M.Pd selaku Kaprodi Pendidikan IPS. Ditegaskan oleh Saliman bahwa ter wujudnya jurusan IPS ini karena me mang nomenklatur IPS sudah ada sejak tahun 1975, tetapi sayangnya belum ada lulusan dari prodi IPS itu sendiri. Oleh karena itulah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi (FISE) UNY bersama Himpun an Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) menjadi penggagas dilahirkannya prodi ini. Saliman mengaku prodi ini belum me miliki awak yang tangguh. Jika pendirian prodi mensyaratkan adanya dosen tetap maka prodi baru memiliki empat dosen lulusan S2 dan dua dosen lulusan S1. Pe milihan kaprodi pun dipilih secara musya warah mufakat. Kebetulan Saliman ada lah lulusan S2 jurusan Pendidikan IPS UNY pertama maka dipilihlah Drs. H. Saliman, M. Pd sebagai kaprodi. Namun Saliman menampik jika Prodi IPS diadakan untuk mengejar WCU. Be gitu juga dengan IPA yang rencananya akan dibuka kelas internasional pada ta hun yang akan datang. Apa WCU Itu? Berdasarkan pemeringkatan yang dilakukan Webometrics ta hun 2010, kini UNY berada di ranking 21 di antara perguru an tinggi negeri dan swas ta se-Indonesia, ranking ke-100 se-Asia
Tenggara, dan ranking 3135 se-dunia. Penilaian ini turut menjadi motivasi UNY terus mengejar status WCU. Tapi pemeringkatan yang dilakukan Webometrics tidak bisa semata-mata dijadikan acuan. Menurut Kaprodi Pendidikan IPA, syarat univer sitas merintis WCU tak ha nya berdasar peringkat Webometrics karena hanya menghitung aksesbilitas jejaring universitas terkait. ”Pen il aia n ini pun kadang-kadang ma sih meragukan,” tegas Dadan. Dadan men amb ahk an bahwa ada empat unsur pe nil aia n dal am Webometrics. Pertama adalah penghitungan jumlah external link dalam je jaring tersebut. Kedua, meng hitung jumlah tangkapan mesin pencari seperti google, yahoo!, live search, atau exalead terhadap jejaring terkait. Ketiga, menghitung banyak nya berkas berjenis PDF, Word, PPT atau yang lainnya yang diam bil dari data situs mesin pencari. Terakhir, menghitung jumlah tu lisan-tulisan ilmiah milik dosen dan mahasiswa universitas ber sangkutan yang dipublikasikan di internet dan progresivitas e-learning. Poin-poin lain da
lam WCU antara lain besaran internet bandwith connectivity, jumlah staf ber gelar doktor dan korelasi antara peneli tian mereka dan spesifikasi yang diam bil. Syarat penting lainnya adalah serti fikat ISO. Namun hingga kini, baru Fakultas Teknik yang kese luruhan prodinya su dah tersertifikasi. Go Interna tional! Kini di UNY ada dua mac am jenis prodi dengan predikat internasio nal, yaitu prodi bertaraf internasional tahun 2010 dan prodi rintisan bertaraf internasional tahun 2009. Prodi rintisan bertaraf internasional tahun 2009 meliputi Pendidikan Tek nik Mes in, Pend id ik an Manajemen, Pend i dika n Bah as a dan Sas tra Indonesia, Pend i dika n Bahasa Inggris, Pendidikan Kimia, Pen did ika n Luar Biasa, Pendidikan Bimbingan Konseling, dan Pendidik an Jasmani Kesehatan dan Rekreasi. Sedangkan prodi bertaraf interna sional tahun 2010 meliputi Pendidikan Matematika, Pend id ika n Akunt ans i, Pendidikan Fisika, Pen didikan Kimia, Pendidik an Biologi, dan Pendidik an IPA.
rhea/ ekspresi
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
37
ALMAMATER Rifki Aziz, mahasiswa tahun 2007 kelas internasional Pend i dikan Biologi mengatakan bah wa rintisan kelas interna sional Biologi dimulai se jak tahun 2007. Prosesnya adalah mahasiswa yang lu lus tes TOEFL langsung di tempatkan pada kelas ter pisah den gan kel as pro gram reguler. Di tahun 2010, Pendidikan Biologi naik kelas menjadi prodi bertaraf internasional. Menurut Rifki Aziz, kelas int ern as ion al di prodinya masih terasa di paksakan. Dalam penga lamannya, antara yang in ternasional dengan yang reguler, isi ma teri yang disampaikan sama saja. Hanya penyampaiannya dengan bahasa Inggris. Itupun hanya dua mata kuliah yang diin ternasionalkan dalam satu semester. Sebagai penanda, nantinya di ijazah Rifki akan dilabeli bintang sebagai bukti ia lulusan taraf internasional. Menurut nya, ada hal-hal yang lebih penting selain tanda bintang atau bahasa pengantar, se perti fasilitas laboratorium untuk pene litian. Laboratorium yang dipakai seka rang masih sama saja. Masalah Akreditasi Sampai Ma najerial Dalam jejaring, UNY menuliskan sebagian besar prodi yang ada di UNY memiliki akreditasi A. Padahal di buku Lap oran Dies Natalis 46 Universitas Negeri Yogyakarta Tahun 2010 dilapor kan dari 82 prodi yang ada di UNY hanya 26 yang memiliki akreditasi A. Sisanya, sebanyak 35 prodi terakreditasi B, akre ditasi C sebanyak 4 prodi, dan 17 prodi belum terakreditasi. Tujuh belas prodi yang belum memi liki akreditasi diantaranya adalah Pen didikan IPA, Pendidikan IPS juga Prodi
Kebijakan Pendidikan (KP). Jika Pendi dikan IPA dan IPS sudah memulai pro ses pengajuan akreditasi pada tahun ke tiga prodi tersebut berdiri, Prodi KP ba ru mulai mengajukan di tahun keempat berdirinya. Prodi KP ini mulanya bernama Ana lisis Kebijakan Pendidikan (AKP). Sejak Juni 2010 nama prodi ini kemudian ber ubah menjadi KP. Adanya perubahan ini disebabkan karena adanya penataan prodi. Oleh Direktur Akademik di Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), AKP dipin dah ke pascasarjana. Nama analisis da lam AKP dianggap tidak pada tempatnya. Strata 1 adalah pendidikan yang belum sampai pada tahapan menganalisis. “Ber hubung kita pada posisi mengajukan, jadi kalau berubah ya inilah proses,” jelas Kaprodi KP Joko Sri Sukardi, M. Si. “Proses memperoleh akreditasi itu sangat panjang, setelah ada ijin ope ras ion aln ya mas ih ada syar at-syarat yang harus dipenuhi,” tambah Joko Sri Sukardi. Berbeda dengan Joko, Teguh Maha siswa KP angkatan 2007 mengatakan berdasarkan data tahun 2008, kita (KPred) memang belum ada SK berdiri, se cara perizinan operasional atau akreditasi. D i b a n
dingkan dengan Pendidikan IPA yang baru lahir tahun 2007, bahkan dengan jurusan yang baru lahir tahun 2008, se mua sudah disahkan dengan SK. “Kalau dilihat dari itu, penguatannya cuma surat operasional dari Dikti dan keberanian dosen-dosen aja. Lagipula baru saat ini kita ajukan ke Dikti masalah SK ini. Jangankan ngomong akreditasi, kita ngomong izin operasionalnya di UNY saja kita belum ada,” tambah Teguh. Tapi saat dikonfirmasi, Kaprodi KP menegas kan bahwa prodinya sudah mempunyai izin operasional. zUntuk mendapatkan akreditasi “ba ik”, prodi harus memiliki mahasiswa de ngan masa studi pendek beserta indeks prestasi tinggi. Hingga kini KP sedang mengupayakan ini. Dua mahasiswa KP yang lulus bulan Juni tahun ini, lulusan pertama KP, yaitu Nopita Sitompul dan Riana Nurhayati. “Masing-masing memi liki IP yang tinggi dan prestasi akademik yang membanggakan,” tegas Joko Sri Sukardi. Banyak yang sedang diurus KP tahun ini. Selain sedang dalam proses menda patkan SK prodi, KP juga sedang berusa ha mendapatkan sertifik asi ISO. Di FIP, tinggal tiga prodi yang belum disertifikasi ISO yaitu KP, Pendidikan Luar Biasa, dan Pendidikan Bimbingan Konseling. Laporan oleh: Cahyo, Delvira, Desta, Dinda, Habib, Hasti, Jihan
Borang. salah satu syarat yang harus diisi kelengkapannya sebelum diajukan ke BAN-PT
38
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
ALMAMATER
Pendidikan Berkarakter Pasar
Pembangunan yang dilakukan UNY untuk menuju WCU tak menyentuh esensi “taraf internasional”. Yang paling dikhawatirkan, UNY terjebak dalam pusaran pasar. Oleh: Jihan Riza Islami
U
“
ntuk terus memacu pertumbuhan dan perkembangan UNY, maka pada Dies Natalis ke-46 kali ini UNY menga mb il tema ‘Peranan UNY dalam Pengembangan Pendidikan Karakter Menuju (WCU)’.” Demikian pengantar Rektor UNY, Dr. H. Rochmat Wahab, M.P., MA dalam buku Laporan Dies Natalis ke-46 Universitas Negeri Yogyakarta Tahun 2010. Perkataan ter sebut mengukuhkan ambisi besar UNY untuk meraih WCU. Untuk mengejar predikat prestisius WCU, selain dengan strategi kampanye pendidikan karakter, UNY sedang ber usaha agar mahasiswa memiliki kesem patan ke luar negeri. Ini mengingat bahwa salah satu indikator diakuinya UNY seba gai universitas bertaraf dunia adalah jum lah mahasiswa yang sekolah ke luar negeri serta lulusan yang bekerja di luar negeri. “Agar bisa bersaing di pasar inter nasional, tentu mahasiswa perlu bekal pengetahuan bahasa untuk berkomuni kasi,” tutur Prof. Dr. Herminarto Sofyan, Pembantu Rektor (PR) III UNY. Dalam hal ini, mahasiswa dituntut untuk meng uasai bahasa Inggris sebagai bahasa ko munikasi internasional. Inilah yang men jadi motivasi mengapa penguasaan baha sa Inggris yang paling ditekankan di kelas internasional. Dalam pernyataannya, PR III juga menyampaikan bahwa UNY memang ti dak memiliki target tertentu kapan ha rus sudah menyandang WCU. “Yang ter penting adalah punya rencana ke arah itu dan jalani saja”. Berdasarkan kenyatankenyataan di lapangan, UNY masih per lu kerja keras lebih lama lagi un tuk mengejar WCU.
Mana Esensi Pendidikannya? Ada tuduhan bahwa gerak UNY me nuj u WCU berdasarkan kepentingan ekonomis. Ini karena usaha-usaha yang dilakukan untuk menuju WCU merupa kan hasil pembacaan kebutuhan pasar. Kelas internasional misalnya. Berdasar preseden di sekolah-sekolah yang berla bel internasional. “Sistem yang kita anut saat ini adalah sistem liberal,” kata M. Agung Kurniawan, Mahasiswa Pendidikan Ekonomi 2005. Sistem liberal yang dimaksud adalah sis tem ekonomi yang mengacu pada per saingan pasar. Menurut Agung, ketika seseorang te lah masuk ke dalam sistem yang liberal, orang tersebut harus mau dan mampu ber saing dalam menjual barangnya. Dalam hal ini produk itu adalah mahasiswa dan lulusan UNY. Produk yang kemasannya bagus tentu akan laku keras di pasar. WCU merupakan bentuk pengemasan ter sebut. “Jangan hanya bagus pada kemas annya saja tapi juga isinya,” tegas Agung. Pendidikan Karakter (Islam) Tanggal 21 Mei lalu, Masjid Mujahidin UNY resmi selesai direnovasi. Dalam pi dat o per esm ia nn ya, rekt or mengat a kan bahwa pembangunan Masjid AlMujahidin atau gedung kuliah khusus agama Islam misalnya berdasarkan ke butuhan kurikuler yang sangat mende sak. Kelancaran perkuliahan pendidik an agama Islam sangat membutuhkan ruang khusus yang tidak bisa dipenu hi sepenuhnya oleh ruang-ruang kuliah yang ada. “Perbaikan masjid ini implikasi untuk UNY yang dinyatakan diri sebagai ikon Pendidikan Karakter,“ tegasnya. Pada peresmian itu, rektor juga menjelaskan Gedung Kuliah Khusus (Masjid Mujahidin UNY) dibangun
dengan biaya APBN dan sumbangan dari keluarga besar UNY serta perencana. Pembangunan ini dimulai sejak tahun 2009, meliputi penambahan gedung ku liah khusus seluas 808 m², pemelihara an gedung kuliah khusus seluas 1920 m², serta pembuatan kubah. Pembangunan di tahun 2010 berupa pemeliharaan ge dung kuliah khusus seluas 1920 m² dan pekerjaan taman dengan biaya keseluru han lebih dari tujuh miliar rupiah. Ini un tuk total luas masjid sebesar 1920 m² dan 808 m² bangunan pendukungnya. Sayangnya, pembangunan fasilitas re ligius ini tidak diikuti dengan penambahan fasilitas perkuliahan mata kuliah lainnya. Teguh, Mahasiswa KP 2007 mengaku ka lau fasilitas kuliah di jurusannya tidak memadai. Dibandingnya jurusan lain, AKP tidak punya laboratorium yang baik untuk studi-studi pendidikan. Usaha-usaha menuju WCU itu bila di kaji, masih sekedar menyentuh permuka an saja. Kelas internasional yang diharap kan bisa memberikan pendidikan taraf in ternasional, sampai saat ini hanya berbe da dari segi bahasa pengantar saja dibanding kelas reguler. Pendidikan karakter pun ma lah menjadi pembangunan fisik semata yang malah con dong pada salah satu agama. Pad a akhirn ya, alas an UNY berambisi menjadi uni versitas kelas dunia adalah alasan praktis. “Pemerin tah saat ini kesulitan me nyed iak an lap an gan pe kerjaan makanya kita men coba menembus pasar luar negeri,” kata PR III. Laporan oleh: Rhea Yustitie
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
39
KOLOM DOK. PRIBADI
Mesin Jahat Bernama Birokrasi Oleh: M. Taufiqurrahman Redaktur Harian The Jakarta Post
B
ahkan jika birokrasi di Indonesia—dan dengan kata bi rokrasi ini yang saya bayangkan adalah para pegawai negeri dengan seragamnya itu—tidak korup, sangat su lit mengharapkan mereka untuk bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Seperti halnya birokrasi di bagian bumi mana pun, birokrasi adalah sebuah monster—meminjam kata da ri Thomas Hobbes—leviathan, mesin raksasa berjalan lam bat yang boros “bahan bakar". Sebuah negara di dalam nega ra serta adjektif-adjektif negatif yang lain. Kata bahan bakar yang saya gunakan mengacu pada tri liunan rupiah dana pajak yang harus dibayarkan untuk men jalankan kegiatan mereka. Bahkan jika mereka tidak korupsi, cukup aman untuk mengatakan bahwa 90 persen dari ang garan instansi pemerintah habis untuk membeli mobil dan bensin yang akan digunakan untuk mengantar pegawai-pe gawai negeri ini datang dan pulang dari kantor. Jika anda berpikir bahwa pegawai negeri di Indonesia su dah terlalu banyak, pikir lagi. Setiap tahun Kementerian Apa ratur Negara selalu mengum umkan bahwa rasio pegawai ne geri dengan jumlah penduduk terlalu kecil. Sebagai akibatnya, setiap tahun kita melihat pemerintah kembali melakukan re krutmen pegawai negeri: orang-orang yang hanya akan du duk, datang, nonton televisi, dan gagal menjalankan tugas. Contoh praktis dari kegagalan mereka adalah ketika be berapa waktu yang lalu saya dihubungi oleh sebuah depar temen yang mengurusi diplomasi dan politik luar negeri. Me reka mengirim surat bertanggal 23 Juni, mengundang saya untuk ikut serta dalam perjalanan luar negeri ke negara di Eropa selatan. Surat sampai tanggal 24 Juni. Tanggal 25 Ju ni,hari Jumat, saya mendapat telepon dari staf departemen tersebut agar menyerahkan dokumen pengur usan visa untuk perjalanan tanggal 28 Juni. Anda tahu di mana letak kesa lahannya? Mustahil visa akan dikeluarkan dalam waktu se hari, terutama di akhir pekan. Dan tentu saja saya batal be rangkat. Hal yang sama pasti anda temukan ketika mengurus kartu tanda penduduk, paspor, surat izin mengemudi, lapor an pencurian ke polisi, atau laporan korupsi. Hal ini yang disebut oleh Sosiolog Max Weber sebagai sangkar besi (iron cage) dari birokrasi. Birokrasi modern yang digambarkan oleh Weber sebagai sangkar besi karena upayanya menjadi rasional dan efis ien, namun di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya, birokrasi menjadi tak efis ien dan irasional. Penjelasan dari inefficiency birokrasi misal nya bisa ditemukan dari ketidakcocokan cara pandang du nia (weltanschauung) masyarakat Indonesia yang tradisio nal dengan birokrasi yang diimpor dari barat—namun ini adalah perdebatan untuk tempat lain. Cukup untuk dikata kan bahwa gagal menyelesaikan masalah dan tuntutan ma
40
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
syarakat yang dihadapkan kepada mereka. Tuntutan itu ma suk ke labirin yang mengin gatkan saya kepada nasib K., to koh utama di novel Franz Kafka, The Castle. K. harus meng habiskan sebagian besar waktunya kebingungan mencari ja lan masuk yang berliku penuh belokan dan putaran menuju kastil besar di atas bukit. Bukan kebetulan kalau novel terse but ditulis oleh Kafka untuk menggambarkan kebingungan manusia modern di tengah belenggu birokrasi. Apa yang hendak kita lakukan dengan kondisi yang sangat kelam yang menggenggam birokrasi di negeri kita lantas? Se bagai mantan penganut paham kiri yang kemudian tertarik dengan pemikiran Anarkisme Mikhail Bakunin, saya akan sa ngat bersuka hati jika kita bisa melakukan revolusi dan meng hapus birokrasi, jika bukan negara dan pemerintahnya. Na mun itu adalah pilihan yang tidak rasional dan berbau nihil is. Banyak yang bisa kita lakukan untuk mengur us diri kita sendiri dan masyarakat tanpa harus menunggu peran serta negara. Di Jakarta, seorang tokoh muda mantan pemimpin gerakan mahasiswa kini sedang membangun sebuah gerakan nasional untuk mengirim tenaga guru muda ke daerah-dae rah terpencil yang jauh dari pendidikan bermutu. Daripada frustasi menghadapi kelambanan—untuk tidak mengatakan ketidakmampuan Departemen Pendidikan Nasional—dalam menjalankan dan membenahi kebijakan pendidikan nasional, gerakan ini secara swadaya mengambil prakarsa untuk mem benahi masalah pendidikan di negeri ini. Sekarang kita punya alat yang luar biasa kuat, internet. Anda tahu kenapa pada akhirnya Komisioner Komisi Pem berantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah bisa kembali menjalankan tugasnya setelah menda pat kampanye gelap dari para koruptor. Ya, masyarakat te lah berhasil menggunakan Facebook untuk melakukan gera kan massa melawan kejahatan aparat negara. Banyak yang mengatakan gerakan Facebook mendukung Bibit-Chandra adalah gerakan massa terbesar setelah gerakan mahasiswa dan rakyat 1998 yang berhasil menjatuhkan Soeharto. Kena pa Prita Mulyasari akhirnya bebas? Kita punya teman-teman di Facebook yang bersatu menuntut keadilan buat dia. Saya yakin kita bisa melakukan hal yang sama untuk melawan ke sewenang-wenangan lain seperti kasus lumpur Lapindo. Ki ta tidak selalu berhasil memang. Sri Mulyani pada akhirnya kalah meski dengan dukungan masyarakat dan media mas sa yang cukup kuat. Namun dengan atau tanpa internet, yang paling penting adalah kini saatnya kita mengur us diri kita sendiri, member dayakan masyarakat dari kegagalan negara dan birokrasi. Hi dup kita terlalu berharga untuk diur us oleh birokrat-birokrat inkompeten itu.W
TIM TELUSUR:
Khairul Anam (Koordinator)
Anna Nurlaila Kurniasari, Nor Islafatun, Kartika Amalia Ekayanti
Petaka Lapen
S
ejak Februari 2010 lalu, belasan orang tewas dalam waktu yang berhimpitan karena ke racunan minuman keras oplosan jenis lapen, di Yogyakarta. Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Yogyakarta kebagian tugas menangani ini. Beberapa penjual lapen dijadikan sebagai tersang ka dan rekan para korban ditempatkan sebagai saksi. Baru kali ini, kasus minuman keras da pat dijerat tidak melulu dengan tindak pidana ringan. Keluarga korban berharap-harap agar para penjual itu mendapat ganjaran yang setimpal. Mereka dianggap telah membunuh lewat barang jualannya: lapen. Lapen sudah ada di Yogyakarta sejak puluhan tahun lalu. Merupakan masalah yang ber ulang sejak puluhan tahun lalu pula. Karena menenggak lapen, banyak yang sudah jadi kor ban. Berbagai praduga muncul ketika peredarannya kian lancar dari tahun ke tahun. Salah satunya, kelambanan dan permainan pihak berwenanglah yang menjadi biang utama perse diaan lapen yang tak habis-habis. Minimnya sosialisasi terhadap bahaya lapen juga dituding sebagai pemicu utama semakin banyaknya peminat minuman keras murah meriah ini.
S
etiap kendaraan yang melintas pasti bisa meli hat dengan jelas spanduk kuning yang melin tang penggalan jalan Bhayangkara itu. Tulis an hitam kontras yang tertera di atasnya berbunyi “Ojo ngombe lapen. Akeh sing mati mergo ngom be lapen” (Jangan minum lapen. Banyak yang ma ti karena minum lapen). Di pojok kanan tercantum logo kepolisian. Masih searah dengan Jalan Bhayangkara, terus ke arah utara, tepatnya di Jalan Jogonegaran, ada spanduk serupa. Letaknya pas di tikungan tajam dan memungkinkan semua yang melintas melihat nya. ”Kalau mau gaul, jangan minum lapen dong!” Kali ini ada merek perusahaan obat terkenal dicetak besar-besar di pojok kiri atas spanduk. ”Kami yang menggagas spanduk-spanduk itu,” ujar Akp. Ida Bagus Yudika, Kepala Unit III Reser se dan Kriminal Kepolisian Besar Kota Yogyakarta, di awal bulan Juli 2010. Anjuran tersebut adalah sebagian upaya kepoli sian menyosial isasikan bahaya minuman lapen ke pada masyarakat, karena dapat menyebabkan ke matian. Nur adalah salah satu nama korban meninggal dunia karena lapen. Almarhum seor ang penarik be cak. Sore di tanggal 9 Februari 2010, Nur bersama rekan-rekannya berpesta kecil di salah satu pojok Alun-Alun Utara Yogyakarta saat hiruk-pikuk pera yaan sekaten, dengan beberapa bungkus lapen. La pen yang ia beli dari Pak Sakti di Sayidan itu ternya ta mengantarnya mengakhiri kisah di dunia. Kematian Nur, hanyalah salah satu elegi lapen di Yogyakarta yang sudah berulang-ulang terjadi. Tahun 2003 lalu misalnya, tujuh orang tewas sete lah pesta lapen. Muhammad Eko Afriyanto masih ingat itu. Pesta lapen diadakan bersama beberapa teman karibnya di kawasan Pedukuhan Sagan, de kat kios-kios pigura. “Dulu, tahun 2003 di Sagan kita minum bersa ma empat belas orang, tujuh yang meninggal. Be soknya kami melayat ke salah satu rumah teman yang meninggal, tapi malah yang melayat itu be soknya meninggal, terus sampai tujuh orang. Teta pi untung, saya hanya minum sedikit,” ujarnya sam bil mengelus dada. Muhammad Eko Afriyanto sudah 23 tahun mi num lapen. Ia lebih memilih lapen karena efek la pen lebih “nendang” ketimbang minuman keras la innya. Apalagi harga lapen lebih terjangkau daripa da minuman keras yang berlabel. Lapen sebenarnya bukanlah barang baru ba gi masyarakat Yogyakarta. Badan Pengawasan dan Obat-obatan dan Makanan (BPOM) Yogyakarta, menganggap lapen itu bahasa awam, istilah komu nitas tertentu, atau salah kaprah masyarakat yang mengartikan lapen itu langsung pening. ”Jadi mengkonsumsi lapen bisa langsung pe ning,” ujar Harmoko. Salah satu penyebab mengapa lapen dapat meng akibatkan kematian adalah kandungannya yang sa ngat membahayakan. Kacamata Harmoko melorot
50
|
Ojo Ngombe la pen. Akeh sing ma ti mergo ngombe la pen.
"
POLISI
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
hampir ke ujung hidung ketika ia membaca berkas di tangannya. “Beberapa sampel lapen yang pernah kami te liti memang menunjukkan kadar ethanol dan me thanol cukup tinggi. Kadar ethanol berkisar antara 1,60-16,43% sedangkan methanolnya 1,6-12,64%,” sambungnya. *** Kisah lapen adalah kisah dari dua puluh lima ta hun yang lalu. Minuman keras oplosan lapen ber mula dari sebuah geng. Dekade 80-an, di Yogyakarta ada sebuah geng atau gali (gabungan anak liar) yang bernama Lapendos (Laki-laki pecinta dosa). Lapen dos termasuk salah satu kelompok “terpandang” di Yogyakarta. Mereka sering diasosiasikan sebagai sampah masyarakat karena kerap bikin onar. Kisaran tahun 1985, Lapendos sering mangkal di seputaran Jalan Solo. Lokasi itu sekarang tepat nya berada di seberang kantor LPP. Obrolan dan ak tivitas mereka acap ditemani minuman keras yang dianggap sebagai perekat kekompakan. Sayang, ka rena minuman keras masih menjadi barang mahal ketika itu, tidak setiap hari Lapendos dapat menik matinya. Minuman keras murah meriah yang mu la-mula ramuan coba-coba akhirnya diciptakan gu na memenuhi kebutuhan. Tidak ada nama yang disematkan bagi minuman yang mereka tenggak. Tidak pula ada pakem resep untuk membuatnya. Sejak saat itu, mereka kumpulkumpul sering ditemani dengan minuman oplosan yang sementara tak bernama. Semakin lama keberadaan Lapendos dan mi numan ciptaannya kian akrab di telinga masyarakat. Lambat laun banyak ma syarakat menyebut minuman oplosan itu sebagai lapen, kependekan dari La pendos. Beberapa tahun kemudian me nyusul para penjaja dan warung-wa rung yang menyuguhkan lapen. Teta pi tetap saja, dari sekian produsennya, citarasanya berbeda-beda. Artinya ti dak ada ketentuan lapen itu dibuat da ri apa. Asalkan minuman keras oplos an, sebutannya adalah lapen. Salah satu penjaja lapen yang cu kup kond ang di Yogyakarta adal ah Pak Dok. Ia memproduksi dan menju al lapen di daerah Jambu, Jalan Mas Suharto. Sehingga orang-orang juga mengenalnya dengan Lapen Jambu. Kini Pak Dok sudah pensiun. Tepat di malam pergantian tahun 2010 lalu adalah hari terakhirnya berkutat de ngan lapen. Sudah cukup lama Pak Dok mem produksi lapen. Ia tentu paham bagai mana kemunculan lapen. Seingatnya lapen yang pertama di Jalan Solo itu kemudian tenar dengan sebutan Lapen Santoso. Tapi kini Lapen Santoso di Ja lan Solo itu sudah pindah. KHAIRUL/EKSPRESI
"
TELUSUR
“Kal au mau menc ar in ya, di Jal an Mozes Gatotkaca. Pedagangnya masih kerabat dari penju al yang di Jalan Solo dulu,” jelas Pak Dok. Beruntung Lapen Jambu belum pernah me makan korban sehingga Pak Dok masih aman da ri jerat hukum. Tetapi nasib mujur itu tidak dia lami oleh Lapen Sayidan. Sakti Darminto, pembu atnya, harus menginap beberapa lama di bui polisi sebelum dititipkan ke Wirogunan karena kematian Nur. Ia tengah menghadapi ancaman pidana kare na lapennya membuat seorang penarik becak me regang nyawa. Awalnya Sakti tidak pernah mengira ia akan mengalami nasib nahas ini. Semenjak pertama ka li menjual lapen di tahun 2000, belum pernah sa ma sekali ada korban jiwa sampai meninggal apala gi. Memang sudah berkali-kali ia terjerat razia petu gas kepolisian. Walaupun ia tidak pernah lama-la ma menginap di bui karena hanya dikenakan den da rupiah belaka. Dapat dipastikan petugas telah mengetahui ke beradaan lapen jauh hari sebelum ada korban jiwa. Praduga demikian mengalir lancar bukan tanpa alas an. Sebelum kematian Nur sang penarik becak, ber kali-kali Sakti Darminto terjaring razia petugas. “Berkali-kali Mas, pernah juga masuk tv dulu,” kenang Sakti. Jikalau petugas serius menangani peredaran lapen, tentunya tidak akan ada korban yang tewas. Sakti mestinya tidak akan berani menjajakan lapen. Demikian juga, Nur tidak akan pernah membeli la pen di malam perayaan sekaten itu.
Media Sosialisasi. Dengan selembar kain, Polisi menyadarkan masyarakat akan bahaya lapen.
“Lha wong petugasnya juga ikut minum, sering juga minta (uang) keamanan,” kenang Eko sam bil tertawa. *** Berita-berita di siaran televisi membuat Encek bengong. Ada yang mati setelah pesta minuman ke ras oplosan di Yogyakarta, begitu siaran berita yang sering ia saksikan akhir-akhir ini. Bukankah minum an keras oplosan yang dimaksud itu adalah lapen? Minuman yang sudah sangat akrab baginya dan te man-temannya itu? Bagaimana bisa? Sebelum men dapat jawab yang lebih jelas, Encek keburu takut. Ia berjanji tidak akan menyentuh lapen lagi. “Takut Mas, banyak yang mati katanya,” jelas Encek. Hadi Prayitno atau Encek sapaannya, patut me ngucap syukur. Sejak tahun 1997 ia sudah menci cipi lapen. Tapi beruntung ia tidak senasib dengan Nur, si penarik becak. Encek masih berkesempatan menjagai parkir di salah satu rumah makan seder hana bilangan Terban, Jalan C. Simanjuntak. Wa laupun ia belum bisa menghilangkan kegemaran nya terhadap miras, paling tidak Encek sudah be bas dari jerat lapen. *** Antara produsen, polisi, dan konsumen lapen bukan lagi sekedar membentuk satu rantai ekono mi yang bila ditetak di salah satu matanya bisa me mutus alur setan ini. Ini adalah kaitan rantai-ran tai yang saling silang-kusut. Harus diurai dari ma na? Atau mungkin tepatnya, siapa yang (harus) mengurai? W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
51
TELUSUR
Pemberantasan Setengah Hati
Polisi baru gencar merazia perdagangan lapen setelah serentet kasus dengan korban nyawa. BPOM bahkan belum memasukkan lapen dalam daftar hitam makanan. Kapan ketidakac uhan ini berujung?
Oleh Nor Islafatun
R
52
|
"
atusan orang berjubel di Alun-Alun Utara, Yogyakarta, sore, Minggu, 7 Februari 2010. Kesemuanya berangkat dengan satu niat, hendak merayakan sekaten. Di tengah riuhnya upa cara tahunan itu, Pak Nur mengajak kami berpesta kecil di sudut alun-alun. Pesta minum lapen. Awalnya, Pak Nur meminta kami iuran untuk membeli “anggur”. Saya yang waktu itu berjualan arum manis, memberi sepuluh ribu rupiah. Setelah satu jam pamit mencari “anggur”, Pak Nur kemba li ke alun-alun dengan mengejutkan. Bukan sebo tol “anggur” yang ia bawa, melainkan dua kantong plastik berisi air berwarna merah kecoklatan: lapen. “Duitnya tidak cukup,” katanya. Mulailah pesta kecil itu. Di sana, kami yang ber jumlah tiga orang duduk berhadapan, menuangkan lapen dari bungkusan plastik putih ke dalam gelas beling. Secara bergantian saya dan Pak Nur memi numnya, teguk per teguk, tanpa dioplos dengan apa pun. Saya hanya menghabiskan satu gelas, begitu ju ga dengan Pak Nur. Sedangkan teman saya yang sa tunya, Muhaimin, tidak jadi ikut minum. Selesai minum, saya kembali berjualan dan si sa lapen tadi dibawa pulang oleh Pak Nur. Bebera pa jam setelahnya, saya merasa mual, pusing, ingin muntah, dan dada panas seperti terbakar. Kesakit an itu saya rasakan selama dua hari. Hari Kamis, saya bertemu dengan istri Pak Nur. Ia bilang, Selasa, 9 Februari lalu, Pak Nur mening gal karena keracunan lapen. Begitulah saduran kisah dari Purwanto, yang di tulis ketika memberikan kesaksiannya di persidang an saksi Sakti Darminto, produsen lapen yang di minumnya, di Pengadilan Negeri Yogyakarta, awal Juli lalu. *** Sehari setelah kematian Pak Nur, Sakti Darminto mendapat telepon dari Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Gondomanan, Yogyakarta. Ia yang pa da waktu itu berada di Bantul, diminta untuk sege ra menghadap ke Polsek setempat. Sakti bergegas datang. Setelah sampai, Kapolsek menjelaskan bab pemanggilannya yang berujung pa da penahanannya sekarang. Ia menjadi tersangka yang menyebabkan kematian Pak Nur. Bagi pria lima puluh tiga tahun ini, masa ber jualan lapen adalah masa kejayaan. Banyak teman dan banyak rupiah. Setidaknya, per malam Sakti bisa mengantongi untung sampai empat ratus ri bu rupiah. Kalau malam minggu lebih hebat, bisa
Mau bocorin gimana? Orang setiap hari ada operasi. Kalau bocor hari ini, ki ta ulangi besok.
"
YUDHIKA
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
untung sampai satu juta rupiah. Tapi itu dulu, lima bulan yang lalu. *** Sebelum peristiwa Pak Nur, polisi di Polsek Gondomanan masih seperti saudara sendiri bagi Sakti. Setiap bulan, Sakti rajin menyetor “uang ad ministrasi” pada orang-orang berseragam coklat itu. “Satu bulan rutin pokoke wes. Setiap tanggal satu atau dua, Pak Sakti pasti setor ke Polsek,” Sri Lestari, istri Sakti, mengisahkan. Uang administrasi adalah istilah Polsek Gondomanan untuk menyebut uang setoran dari orang-orang macam Sakti. Besar nya seratus ribu per bulan. Setoran itu jenisnya ada banyak. Selain uang ad ministrasi, Polsek Gondomanan juga punya pungut an untuk sumbangan-sumbangan insidental lainnya. Jika sudah mendapat telepon dari polsek, Sakti se gera bersiap. Mengambil uang, memasukkan ke am plop, lalu berjalan ke polsek yang jaraknya cuma 200 meter dari rumahnya. Di sana, seperti biasa, sebuah peti sudah menganga, siap dimasuki amplop putih. “Amplopnya tinggal ditandai nama Pak Sakti gitu, terus dimasukkan ke peti,” lanjut Sri Lestari. Bukan tanpa alasan Sakti mau menggelontor kan ratusan ribu rupiah per bulannya. Derma Sakti diberikan karena Polsek Gondomanan sudah ba nyak membantu kelancaran penjualannya. Seti ap akan ada razia dari pusat, Polsek Gondomanan berbaik hati memberikan informasi itu pada Sakti. “Pak, nanti jam sembilan ada operasi,” Sri Lestari menirukan isi telepon dari polsek. Begitu informa si itu sampai di telinga Sakti, ia akan menutup wa rungnya pukul 20.30 WIB. Setengah jam sebelum razia digelar. Setiap menjelang momen-momen besar keaga maan, pasti akan dilakukan razia akbar. Ini adalah razia di mana Sakti tak bisa mengelak. Untuk ber kelit, Polsek Gondomanan akan memberi instruksi kepadanya. “Pak Sakti, kami minta lima liter buat barang bukti ya. Nanti diis i air penuh biar jadi sepu luh liter.” Dengan cara ini, lapen buatan Sakti akan lolos dari uji batas kandungan alkohol. Dengan kondisinya sekarang, jangankan men jenguk atau menganggapnya teman, berpapasan dengannya pun polisi-polisi itu enggan. “Kemarin, waktu saya mau dipindah dari Poltabes ke Lemba ga Permasyarakatan, saya mergoki orang-orang nya (oknum Polsek Gondomanan -red). Mereka pa da ngumpet-ngumpet,” ungkapnya sewaktu dite mui di Lembaga Permasyarakatan (LP) Wirogunan,
Yogyakarta. “Ya, teman itu kan kalau jaya, kalau lagi susah gini kan nggak teman lagi,” sambungnya. Di LP Wirogunan, Sakti bert em u den gan Gunawan. Peracik lapen di Jalan Sardjito, yang ter kenal dengan sebutan lapsa: Lapen Sardjito. Kedua nya menempati sel yang sama. Gunawan, seperti hal nya Sakti, menjadi tersangka atas meninggalnya em pat pemuda di awal Februari lalu, akibat minum la pen racikannya. Sel ai n kas us Sakti dan Gunawan, Polt ab es Yogyakarta mencatat, sampai bulan Juni 2010, ada empat kasus serupa yang sampai di tangan penyi dik. Setelah rentetan kasus lapen, kepolisian mu lai gencar merazia. “Operasi itu kita lakukan ham pir rutin, hampir setiap malam,” ujar Akp. Ida Bagus Yudika, Kepala Unit III Reskrim Poltabes Yogyakarta. Lalu bagaimana dengan kemungkinan orang da lam yang membocorkan rencana operasi? Ida Bagus Yudika menanggapi, “Mau bocorin gimana? Orang setiap hari ada operasi. Kalau bocor hari ini, kita ulangi besok.” Andai saja Sakti, yang telah insyaf untuk ti dak menjadi peracik lapen lagi mendengar seca ra langsung jawaban Kepala Unit III Reskrim Pol tabes Yogyakarta tersebut, mungkin ia akan turut senang seraya meminta agar oknum-oknum Pol sek itu diperingatkan. “Saya masih ingat polisi nya, mbak. Kalau misalnya sekarang suruh nun juk yang ma na or angn ya jug a say a be rani,” terang nya kesal mengingat para pol is i Pols ek Gondomanan. S e m e n tara kepolisian gencar mela kuk an ra
zia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Yogyakarta masih jalan di tempat. Sampai sekarang, BPOM sebagai badan pelaksana riset obat dan ma kanan belum punya niat untuk meneliti kandungan lapen. Hal ini dikarenakan lapen sendiri masih men jadi bahasa awam yang tak terdaftar dalam kodeks makanan. “Karena lapen sendiri belum ada defin i sinya dalam kodeks makanan, jadi kita susah mene litinya,” ujar Harmoko, Kepala Seksi Informasi dan Komunikasi BPOM. Biasanya, BPOM baru akan turun tangan keti ka lapen memakan korban jiwa. Seperti pada kasus Sakti. Setelah Pak Nur tewas, BPOM baru meneliti kandungan lapen racikan Sakti. BPOM sejatinya sudah menginsyafi bahaya la pen. Kesakitan seperti yang dialami oleh Purwanto merupakan contoh dampak jangka pendek akibat la pen. “Metanol itu menyerang sistem syaraf. Tinggi nya kadar metanol yang terkandung bisa menyebab kan kelumpuhan dan kebutaan,” terang Harmoko. “Sedangkan kadar etanol yang tinggi dalam lapen bi sa menjadikan hati membengkak yang mengakibat kan penyakit hati atau liver,” tambahnya. Lalu kapan lapen dimasukkan ke kodeks ma kanan dan obat BPOM? Menunggu Pak Nur selan jutnya? W
Barang bukti kejahatan. Alat sederhana pembuatan lapen yang merenggut korban jiwa.
I
ES
PR
KS
U
E L/
KH
R AI
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
53
TELUSUR
Kisah Para Penjaja
Untung menggiurkan dari bisnis minuman keras pada akhirnya tak setara dengan aki batnya. Dikurung terali besi. Oleh Kartika Amalia Ekayanti
L
ESI
A/EKSPR
KARTIK
embaga Pemasyarakatan (LP) Wirogunan di se tiap jadwal berkunjung selalu ramai. Me reka adalah keluarga, kawan, pe nasehat hukum, atau sekedar kenal an yang datang untuk menengok kondisi si tahanan. Satu persatu para pengunjung LP masuk ke dalam pintu besi setinggi 2,5 m yang memiliki lubang persegi kecil di tengahnya. Kebanyak an dari pengunjung memba wa bingkisan berupa makan an, minuman, perlengkapan mandi, baju, dan buah tangan lainnya. Jam besuk yang diberikan pet ug as ant ara pukul 08.00 samp ai 12.30 WIB dan set i ap pengunjung hanya dibe rikan 15 menit waktu ber kunjung. Sebelum me masuki LP, semua ba rang harus disteril
kan dari dunia luar, seperti alat komunikasi serta ba rang-barang lain—selain oleh-oleh—wajib dititipkan ke dalam loker yang telah disiapkan petugas. Pengun jung juga wajib menggunakan kartu pengunjung ber warna hijau yang diberikan petugas sebelum mema suki area LP. “Dikalungkan ya mbak,” pinta petugas. Kartu kunjungan harus dikalungkan supaya da pat dilihat oleh petugas-petugas lain di dalam LP. Ke tentuan ini adalah salah satu prosedur elementer di LP Wirogunan. “Saya Sakti,” ia memperkenalkan diri dengan terse nyum. Sakti adalah salah satu produsen lapen di Yogy akarta. Lapen sentuhan tangan terampil Sakti kon dang dengan sebutan lapen Sayidan. “Saya mulai meramu lapen sendiri sejak tahun 2003 dan mulai buka di Sayidan, tidak ada alasan la in saya berjualan lapen kecuali untuk mencukupi ke butuhan ekonomi. Bahan yang saya butuhkan un tuk membuat lapen berupa alkohol murni ber kadar kira-kira 60%-96%, gula pasir halus, air yang sudah dimasak, esens (perasa) biasanya rasa moka, stroberi, melon, dan mentol. La pen biasanya saya racik pada pagi hari dan kemudian dijual sore harinya, namun le bih sering hasil pembuatan hari ini dijual esok harinya. Untuk 1 liter alkohol biasa nya menghasilkan 5-6 liter lapen,” Sak ti bercerita. Sakti resmi menjadi tahanan di LP Wirogunan set el ah terbukti menjual lapen yang diduga meng ak ib atk an kem a tia n seo r ang tu kang becak berna ma Nur. Pen ar ik becak yang tidak beruntung itu te Sri Lestari. Hanya tersenyum kecut mengingat kelakuan polisi dulu.
54
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
"
was tepat ketika acara Sekaten tahun 2010 sedang berlangsung. “Selama bertahun-tahun jualan, saya merasa ba ru kali ini ada korban dari lapen buatan saya dan sa ya kira itu dicampur sendiri oleh yang minum,” tutur Sakti yang diakhiri helaan nafas panjang. Setiap akan menjual lapen buatannya, Sakti sela lu mencicipi minuman tersebut terlebih dahulu, wa laupun hanya satu gelas. Lapen hanyalah salah satu usa-ha Sakti untuk bertahan hidup. Sri Lestari, istri nya, membuka warung makan lesehan di pinggiran jalan Sayidan. Di warung makan itulah mereka, sela in menyediakan masakan siap saji buatan Sri Lestari, juga menyediakan lapen bagi yang mau membeli. Ha nya pelanggan yang sudah mengenal lapen buatan Sakti yang tahu bahwa selain menyajikan makanan, juga ada minuman. Sri Lestari biasanya menjenguk Sakti dua kali se minggu, setiap hari Senin dan Kamis. Sore itu, dengan mengenakan daster warna merah muda, ia berangkat ke LP Wirogunan dari rumahnya yang sederhana di Sayidan. Meski tidak ikut langsung meracik lapen, ia hafal betul pekerjaan suaminya. Ibu beranak tiga yang juga sudah menjadi nenek tiga cucunya ini mengata kan bahwa sebenarnya bapak—panggilannya untuk sang suami—sudah sempat berhenti berjualan, na mun karena permintaan dan desakan dari langgan annya, bapak akhirnya jualan lagi. “Pak, aku nek ora ngombe lapen nggonmu ra man tep e pak, mbok wes kowe nggawe meneh, ngko sing nu koni mung aku terus (Pak, saya kalau tidak minum la pen buatan Bapak tidak mantap, lebih baik Bapak buat lagi, nanti yang beli saya saja terus),” Sri Lestari meni rukan percapakan Sakti dengan langganannya dulu. Sakti tidak sendirian saja di LP. Masih ada beberapa teman senasib di dalam sana. Ia hanya satu dari bebe rapa produsen lapen yang diajukan ke meja hijau. Me reka semua sama-sama menanti ketuk palu hakim. *** Gunawan Rejomulyo. Perawakannya tinggi besar dan berkumis. Kedua lengannya dipenuhi oleh gores an tinta tato. Sekilas mengamati pria ini, mesti menga sumsikan bahwa ia preman atau minimal orang jalan— begitu biasanya perilaku khalayak. Gunawan menjadi terdakwa atas tewasnya empat orang akibat mengkon sumsi lapen buatannya, yakni Ardiansyah, Ardianto, Joko Purnomo, dan M. Sidik. Dibantu sang istri ber nama Santi, ia memulai usahanya menjadi produsen jamu tradisional di tahun 1990, namun sejak tahun 1995, jamu buatannya ia campur alkohol. “Barulah setelah itu jamu yang saya jual kondang dengan sebutan lapsa (lapen Sardjito),” ungkapnya sambil menyalakan rokok kretek di ruang jenguk taha nan LP Wirogunan, beberapa hari setelah persidang annya berlangsung. Gunawan menduga ia hanyalah menjadi korban konspirasi. Sejak pertama kali membuka usahanya itu, tidak pernah ada sosialisasi apalagi pendekatan dari petugas kepolisian apakah usahanya legal atau tidak. “Baru kali ini saya dirazia dan diancam hukuman pidana. Sebelumnya, tidak pernah pula ada razia dari
Tiap bulan saya bi asa nyetor ke petu gas, rata-rata sera tus ribu.
" SAKTI
petugas baik itu dari kepolisian maup un petugas ke sehatan,” keluhnya. Jika Gunawan selama membuka lapsa tidak pernah digubris oleh petugas, Sakti selalu berurusan dengan petugas. Sakti pernah dirazia pada tahun 2003, bah kan sempat diliput oleh Indosiar. Setelah razia itu ia sempat berhenti berjualan selama dua bulan. “Polisi juga sering meminta jatah, katanya untuk uang administrasi biaya beli kertas. Saya bias a nyetor ke petugas sebesar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per bulan. Bahkan tahun 2009, pernah saya nyetor kepo lisi sebesar Rp 300.000 karena katanya akan ada ra zia dari pusat. Tapi sekarang giliran saya masuk bui, semua petugas angkat tangan tak tahu apa-apa,” ung kap Sakti dengan nada menyindir. Di hari-hari keagamaan seperti bulan Ramadhan menjadi libur panjang Sakti dalam memproduksi la pen. Pada hari-hari biasa keuntungan yang dihasil kan dari berjualan lapen dapat mencapai dua kali li pat dari modal awal. “Pada hari biasa hanya 300 sampai 400 ribu, na mun pada saat libur atau malam minggu bisa menca pai sejuta per malam,” begitu tuturnya. Ternyata semua itu tidak sebanding dengan huku man yang harus mereka terima ketika mereka harus menghabiskan waktu berada dalam jeruji besi yang penuh dengan aturan dan jauh dari kebebasan. Anta ra untung selama ini dengan akumulasi denda yang su dah menunggu, biaya selama persidangan, serta biaya hidup keluarga yang ditinggalkan. Tidak semua produsen lapen di Yogyakarta ter ciduk. Beberapa di antaranya masih jualan dan se bagian lagi sudah keburu tutup sebelum berhasil diringkus. Mereka yang terjerat hukum hanyalah yang menyebabkan kematian. Selagi belum mema kan korban, para produsen masih bebas beropera si. Warung Lapen Santoso di Jalan Moses Gatotkaca misalnya. Di situ, antara jam 7 hingga 11 malam, pe nikmat lapen bisa melepas dahaganya. *** “Sekarang sudah nggak buka, karena sekarang orang-orang yang jual lapen pada ceroboh. Tobatlah intinya. Semua penjual sudah tutup, mengikuti arus air saja. Malam tahun baru 2010 adalah malam tera khir saya berjualan. Saya sangat bersyukur dapat ke luar dari lingkaran setan peredaran lapen,” jawab Pak Dok lemas. Pak Dok, produsen lapen juga, buru-buru menu tup usahanya sebelum terjerat kasus hukum pidana. Lagi pula, ia merasa sudah uzur untuk terus melan jutkan bisnis haram itu. Tubuh ringkihnya mulai se ring sakit-sakitan. Pak Dok boleh mengelus dada karena ia belum sempat menghuni hotel prodeo. Suratan lain menim pa Sakti Darminto. Ia baru menyadari apa yang dia la kukan dulu salah besar. “Saya sangat menyesal. Saya sudah menyewa ke bun dan kelak ketika keluar dari penjara saya akan ber kebun saja. Saya juga berpesan pada yang lain, berhen ti saja menjual lapen dan cari kerjaan lainnya yang le bih baik,” tutur Sakti.W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
55
TELUSUR
Urip Mung Mampir Ngombe Lapen adalah sahabat yang mengancam. Tapi siapa peduli? Oleh Anna Nurlaila Kurniasari
M
"
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
ESI
|
"
CAESAR
/EKSPR
56
Rasane nggak enak tenan, tak akoni, ora njaluk meneh. Wes arep bablas ku wi lho.
tidak kalah nyeri. “Tuh dengerin-dengerin berita di TV.” Maksud ibunya adalah berita tentang korban lapen. Dua bulan setelah kejadi an itu, Caesar melanggar janji kepada diri nya send i ri untuk tak lagi minum lapen. Ujung-ujungnya Caesar kembali merasakan akibat yang sama. Ter nyata penderitaannya selama satu minggu terkapar di pembaringan tak membuatnya jera untuk me nenggak minuman maut ter sebut. *** Malam kian larut, menuju hari Senin, 28 Juni 2010. Lela ki berumur 35 tahun itu masih si buk mengerjakan pesanan sablon an di rumahnya di Jalan Affandi. Di pojok ruangan, terlihat sebuah gelas nyaris kosong. Nyaris, karena masih ada sisa-sisa minuman berwarna ke coklatan dengan endapan hitam halus seperti bubuk kopi. Baunya pun menye ngat. Itu lapen, “teman kerja” Eko—na ma lelaki itu. Teman kerjanya itu tidak selalu ber sahabat dengan Eko. Lelaki yang sudah mengkonsumsi lapen sejak tahun 1987 ini kerap merasakan ada yang tidak be res pada organ tubuhnya. “Setelah saya periksakan, ternyata ka lau orang normal warna limpa itu merah segar, tempat saya sudah hitam-hitam ada bercak-bercaknya,” cerita lelaki yang su dah memiliki dua orang anak ini. Tak hanya itu. Gara-gara lapen, ia per nah sampai berdarah-darah. Ceritanya, ia habis minum lapen ketika tiba-tiba saja da rah segar mengucur dari mulut dan dari hi dung. Eko langsung dibawa ke Rumah Sa kit Hidayatullah. Eko sadar akibat dari mi num lapen, ususnya semakin menipis. Se karang pun tiap Eko minum lapen, akan ada bercak-bercak putih di badannya. Ta pi, ia tetap minum. “Jad i kal au ist il ah ked okt era n nnya, liver saya ini sudah jebol. Ke tika saya minum, alkohol itu lang sung masuk pembuluh darah dan badan saya langsung ber cak-bercak putih,” cerita
Kartika
alam itu, Caesar bersama seorang teman sejawatnya minum lapen hingga pukul dua dini hari. Tidak ada yang istimewa dari ke biasaannya kali ini. Caesar biasanya bangun tidur pukul 06.00 WIB walau semalaman begadang. Ta pi pagi itu, tiba-tiba kepalanya seakan ditindih de ngan batu besar: berat dan sakit. Hingga siang ha ri, pemuda kelahiran tahun 85 ini tidak bisa beran jak dari tempat tidur. Lalu perutnya ikut terasa sa kit. Mungkin cuma masuk angin, pikirnya. Ia la lu minta dikerok. Caesar masih sempat mendengar sayup-sayup suara adzan Magrib, sebelum memu tuskan untuk tidur. Malamnya, bukannya agak mendingan justru sakitnya merambat ke dada. Keringat dingin terus saja keluar dari tubuh kecilnya. Tak ingin menang gung akibat yang lebih buruk, ia memutuskan un tuk pergi ke Rumah Sakit Panti Rapih ditemani sang kakak. Saat itu Caesar sudah menduga ia sakit aki bat lapen yang diminum malam sebelumnya. Malu dengan dokter dan kakaknya, Caesar memilih bi su dan hanya mengeluhkan asma. Setelah menda pat oksigen buatan dan obat asma, ia pun dipersi lahkan pulang. Masih tersimpan dengan jelas di ingatan Caesar, malam sebelum kejadian itu. Lapennya terasa lain, ada aroma wangi yang menguar. “Kok wangi?” ta nyanya ke si penjual. Kata si penjual itu wangi da ri alkoholnya—bahan utama lapen. Caesar perca ya saja. Tanpa rasa curiga ia kembali meminum la pen tersebut. Puncaknya, Caesar merasa kedua matanya buta. Meski ketakutan akan buta selamanya, ia tetap ti dak cerita apapun pada keluarganya. “Waktu itu cu ma bisa bingung, hanya tak pakai buat tidur. “Ta kut, mikirnya aku pasti dimarah-marahin,” ungkap anak bontot dari enam bersaudara ini. Nasib yang masih berpihak pada Caesar membe rinya kesempatan untuk sembuh dan memilih jalan lain untuk meninggalkan lapen. Usai malam panjang dan gelap, tiba-tiba matanya dapat menangkap ada nya cahaya dari celah-celah jendela kamar. “Rasane nggak enak tenan, tak akoni, ora nja luk meneh. Wes arep bablas kuwi lho (rasanya be nar-benar tidak enak, aku akui, tidak mau lagi, su dah hampir bablas itu),” kisah Caesar. Maksudnya “bablas” itu mati. Perlu waktu satu minggu untuk memulihkan kondisi Caesar seperti semula. Walaupun setelah sembuh, Caesar masih sering merasakan akibat da ri minum lapen, kadang-kadang ia harus rela rasa nyeri kembali berkunjung di ginjal. Sindiran ibunya
Eko sambil mengangkat baju memperlihatkan ber cak-bercak putih pada tubuhnya. Karena lapen pula ia sempat buta; hanya bisa menangkap kelebatan cahaya saja. Pengalaman pa hit itu berawal dari lapen serbuk super. Selama ti ga bulan penuh, dia mengkonsum si lapen dengan campuran serb uk sup er “ko rean an”. Kor ea nan adalah istilah jawa yang berarti ala korea, plesetan un tuk Kroya, nama se buah daerah di Cilacap, Jawa Tengah. “Ser anga n per tama yang kena itu mat a rab un. Say a pernah ngalami mi num lapen pake ser buk super, hasilnya pagi malem bruwet kal au nglihat, se perti rabun,” ceri ta Eko. Lap en adal ah minuman yang ke rap menjadi penca but nyaw a bag i pe minumnya. Harga mu rah, rasa enak, dan kan dungan alkohol yang ting gi menj ad ik ann ya pil ih an utama oleh orangorang seperti Caesar, Eko, dan Encek. “ S a y a min um
Caesar. Hampir tewas karena lapen.
lapen karena harganya yang murah dan efeknya langsung terasa. Kalau tidak minum kepala saya bia sanya menjadi agak-agak pusing. Kadar alkoholnya lebih tinggi, kalo Anggur Putih, dua botol tidak ma buk, bahkan masih bisa naik motor. Kalau minum lapen tidak berani (pergi) jauh-jauh,” cerita Encek. Aslinya ia bernama Hadi Prayitno, Encek itu para bannya belaka. Sejak remaja sampai sudah kepala tiga seka rang, memang Encek tidak pernah beranjak dari jalan raya. Mulai dari sekedar nongkrong bersama teman sepermainan hingga menjadi juru parkir. Ini membuktikan asumsi umum bahwa kalang an menengah ke bawah sangat rentan dengan minuman keras oplosan murah meriah seper ti lapen. Lapen bagi Encek dan kawan-kawan nya bagai adalah air putih. “Per malam dapat sepuluh ribu dari kerja jaga parkir, buat minum. Nanti buat makan gampang, yang penting minum dulu.” Itu gambaran bahwa lapen sampai lebih penting daripada nasi. Ada sebuah falsafah Jawa, Urip mung mampir ngombe (hidup cuma mampir minum). Falsafah itu bisa menjadi ilustrasi sekaligus banyolan betapa mi numan keras ini adalah segalanya bagi Encek dan kawan-kawannya. *** Tetap ada lapen di sekitar Encek meski semalam cuma dapat sepuluh ribu. Caesar pun tetap minum lapen dengan teman-temannya kalau malam, mes ki nyaris “bablas”. Gelas lapen juga masih ada di bawah meja kerja Eko, meski liver nya nyaris hancur. Karena, urip mung mampir ngom be.W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
57
TELUSUR
Sampai Jumpa di Wirogunan
Sempat bebas dengan setoran bulanan. Nur sang penarik becak akhirnya mengandas kan petualangan Sakti. Oleh Khairul Anam
C
oba lihat di Wirogunan! Seorang pria paruh baya menunjuk arah selatan dari dalam ru ang kantor pengadilan. Pagi itu empat orang jaksa pengadilan negeri se dang dikumpulkan untuk menjelaskan proses per adilan terdakwa kasus lapen di Yogyakarta. Semu la hanya kepala intel menemui kami, tapi ia berini siatif mengajak semua jaksa yang memegang kasuskasusnya langsung juga hadir. Pert am a kal i mend en gar kat a Wirogunan, kam i memb ay angk an seb ua h kamp ung di Ko ta Yogyakarta, yang bermuasal dari nama pangli ma agung kerajaan Mataram Islam masa Sultan Hanyokrokusumo dulu, Panglima Wiraguna. Tapi rupanya ini sebutan lembaga pemasyarakatan (LP) para tahanan produsen lapen dititipkan. Sejak pertengahan Juni, Sakti Darminto mengi nap di Wirogunan. Ia resmi menjadi terdakwa sete lah menjalani pemeriksaan di Poltabes Yogyakarta. Sakti did akw a tel ah memp rod uks i lap en yang menewaskan Nur sang penarik becak setelah pesta dengan teman-temannya. Sehari sebelum persidangannya tanggal 29 Juni, kami berempat membesuk Sakti. Siang hari yang cu kup terik di Yogyakarta tidak menghalangi para pe nengok menjenguk keluarga atau kenalannya di dalam penjara. Mereka duduk mengantri di kur si panjang yang saling berhadapan tepat di de pan pintu gerbang LP dari besi setinggi tiga me ter itu. Banyak juga yang rela lesehan di pelataran nya karena tidak kebagian duduk dan kami terma suk di dalamnya. “Nor Islafatun!” teriak sipir pen jara.
58
|
Suara kerasnya membuat kami berdiri melang kah masuk ke dalam penjara. Bermodal KTP-nya dan surat ijin besuk dari Pengadilan Negeri Yogyakarta, kami membesuk Sakti. Setiap pembesuk wajib me nyodorkan kartu pengenal dan surat izin jika ingin membesuk tahanan. Sebelum menuju gerbang kedua, segala bawa an harus kami tanggalkan di loker. Persis kami ha nya menyisakan sebungkus rokok kretek dan sebo tol besar air mineral sebagai buah tangan, serta se batang pulpen dan satu buku catatan. Kami masuk ke ruang besuk. Di antara sekian ba nyak tahanan yang tengah menanti pengunjungnya, tampak sesosok pria berkumis dengan raut bingung sedang berdiri bersandar pagar jeruji besi. “Mungkin itu Pak Sakti,” tebak kami. “Mau besuk siapa?” tanya petugas penjara. “Pak Sakti, Mas,” jawab kami. “Itu orang nya,” me n u n j u k pria tebakan kami tadi. I
ES
SPR
/EK khairul
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
LP Wirogunan. Tempat Sakti Darminto meratapi nasibnya.
"
Sebelum hari ini, kami tidak pernah bertemu de ngannya. Mula-mula kami waswas, takut nantinya jika Bapak ini tidak berkenan. Awalnya kami akan berbincang di bilik jenguk tersekat dinding kaca. Ta pi pikir kami lebih baik ngobrol di luar bilik kunjung saja, supaya lebih bebas. “Dua puluh ribu, Mas,” pinta petugas barusan. Menyusul kemudian penjelasannya jika berbin cang dengan tahanan di luar bilik, dikenakan biaya. Buat administrasi katanya. Kami menjulurkan tangan bergantian dengan Sakti sekedar berkenalan. “Kami kenalannya Pak Eko,” membuka obrolan. “Oh…,” jawabnya. Muhammad Eko Afriyanto adalah pelanggan lapennya dulu. Seminggu lalu, kami berkunjung ke rumahnya di Santren, Jalan Affandi. Tengah ma lam itu, seputaran jalan Affandi sudah agak sepi, hanya ada beberapa motor melaju dengan kencang dari arah utara dan selatan, dan beberapa mobil le bih sedikit lewat. Rumahnya berada di lantai dua. Sedangkan rumah yang ada di lantai dasar adalah milik tetangga. Saat malam menginjak pagi itu, Eko dan dua re kan sejawat sedang sibuk tampaknya. Puluhan kaos tersandar di tembok menunggu kering setelah disa blon. Sedangkan satu meter tumpukkan kaos yang belum dicap gradasi warna berada persis di sebe lah pintu kamar. Hanya ada dua kamar tidur di sa na, dengan ruang kosong bentuk “L”, dan keran air tepat di sisi selatan pintu keluar. Rumah yang ber ukuran 5 x 10 meter itu sekaligus menjadi tempat usaha sablonannya. Eko sudah 23 tahun minum lapen. Malam itu, beberapa jam sebelumnya ia habis menenggak la pen. Gelas coklat di atas meja pojok disambar dan ditunjukkan ke kami, sisa-sisa lapen yang seper ti teh itu. “Ini Santoso (lapen Santoso) Mas”, jelasnya. Sudah banyak jenis lapen yang dicicipi Eko. Sa lah satunya lapen Santoso yang berada di salah satu kios pertokoan Jalan Mozes Gatotkaca. Lapen-lapen lain masih banyak lagi yang telah ia coba. Salah satu nya adalah lapen buatan Sakti Darminto di Sayidan. Dulu Eko sering minum lapennya Pak Sakti. Saking seringnya, mereka sudah akrab layaknya saudara. “Sudah ke Pak Sakti?” tanyanya. “Di Wirogunan sekarang Pak,” jawab kami. “Hah?!” kaget dia mendengar jawaban kami. Meskipun sudah puluhan tahun akrab dengan lapen dan sekarang masih relatif sehat, berkali-kali Eko merasakan efek jahat lapen. Pernah tiga bulan penuh dia minum lapen dengan campuran serbuk super koreanan (istilah untuk jamu tradisional dari daerah Kroya, Cilacap). Beruntung, Eko hanya buta selama beberapa hari. Tetapi ia masih tidak percaya mengapa hari-hari ini lapen sampai menyebabkan korban tewas. Eko sangsi, karena sekian lama mi num lapennya Sakti toh dia tidak mati. *** Siang 21 Juni, seminggu sebelum kunjungan ka
Dua puluh ribu mas biaya bicara dengan tahanan di luar bilik kunjung.
"
PETUGAS LP
mi ke Wirogunan, ruas jalan Malioboro padat-padat nya. Hari ini masih liburan sekolah. Praktis, kami hanya mampu memacu motor 30 km/ jam sambil menghindari liukan pengendara motor lain yang sa lip-menyalip dan sedikit-sedikit berhenti menunggu pejalan kaki melintas. Kami akan ke Poltabes. Men cari tahu kasus lapen yang menelan korban jiwa. “Permisi Pak, kami mau bertemu Kasatres krim,” ijin kami. “Ada di lapangan mas. Menyambut RI 2. Tapi co ba langsung ke reskrim aja, mungkin ada yang me wakili,” jawab petugas Provost di meja piket. Benar, kami tidak bertemu Pak Kasat. Ida Bagus Yudhika, Kanit III Reskrim (Kepala Unit III Reser se dan Kriminal) mewakili instansinya menjelaskan kasus lapen kepada kami. Kami mendengarkan pen jelasan Yudhika di meja kerja yang kebetulan ma sih ada satu jerigen besar ukuran tiga puluh liter, te ko ukur, kelapa muda, dan gayung sebagai barang bukti kasus lapen. Penanganan peredaran lapen selama ini masih sebatas tindakan pidana ringan. Para produsen yang kena razia, hanya sekadar membayar denda jika ti dak ingin menginap di sel selama satu hari. Baru se telah awal Februari lalu, ada korban meninggal ga ra-gara minum lapen, produsennya dijerat dengan tindak pidana, termasuk Sakti Darminto yang me newaskan Nur, seorang penarik becak setelah pes ta lapen di alun-alun utara Yogyakarta saat peraya an sekaten. “Karena ada indikasi tindakan pidana, maka ka mi jerat dengan pasal pidana,” jelas Yudhika. Saat itu, tepat di atas meja kerjanya ada KUHP. Yudhika lantas menyuruh kami mengambilnya. “Coba buka ada pasalnya di situ,” menunjuk ki tab bersampul hitam yang sudah kami pegang. Setelah beberapa waktu menjalani pemeriksa an intensif di Poltabes, mereka sudah dilimpahkan ke pengadilan. Mereka sudah naik pangkat menja di terdakwa termasuk Sakti. Ia masuk penanganan Poltabes karena berada di wilayah kota, berasal da ri limpahan Polsek Gondomanan. *** Siang itu ia memakai kaus oblong merah yang di punggungnya tertulis "tahanan". Rokok kretek ba waan kami, disedotnya keras. Sakti geram karena sudah berkali-kali kena razia dan berkali-kali pula nyetor ke Polsek Gondomanan. “Allahuakbar Allahuakbar,” bunyi dari toa mas jid LP. “Waktunya habis!” tegur petugas dari belakang kami. Sejenak kami menengok layar handphone, ter nyata sudah jam dua belas lebih dua puluh menit. Tadi, jam dua belas lebih sedikit kami masuk pen jara. Artinya kami harus angkat kaki karena durasi kunjungan maksimal lima belas menit. Sebelum ka mi beranjak dari penjara, Sakti menggapai tangan salah satu diantara kami. “Besok sidang saya, datang ya,” pintanya.W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
59
APRESIASI
Mafia Berkeley Tukang Ejek UCLA melahirkan ekonom-ekonom orde baru yang kemudian disebut mafia Berkeley. Lulusan UCLA satu ini, meskipun bukan ekonom, adalah mafia Berkeley yang gemar mengejek. Oleh: Amanda Liony
S
ekumpulan orang di Gedung Film Usmar Ismail di Kuningan sedang sibuk. Kala itu kuartal pertama ta hun 1979 dan para panitia Festival Film Indonesia (FFI) semakin berkeri ngat. Mereka tengah berle lah-lelah me n y i a p k a n perhelat an FFI yang se
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
lam judul “Himbauan Nya Abbas Akub: Tepatkah FFI dilangsungkan Di Tengah Su asana Duka Cita?” dengan foto Nya Abbas Akub yang diberi caption “Mbok ada si kap”. “...dalam suratnya tertanggal 1 Ma ret 1979 yang lalu Nya Abbas Akub de ngan nada prihatin menyatakan penda patnya, bahwa sangat ironis bahwa pes ta FFI dilangsungkan di tengah suasana berkabung dan berduka cita,” tulis Vista. Apa yang dikritiknya? Ini diketahui dari potongan suratnya di paragraf selanjut nya dalam artikel itu. “Adalah sangat ironis sekali, bahwa di tengah kegelisahan orang-orang fi lem yang sampai saat ini belum bisa di ramalkan bagaimana akhirnya, pelaksa naan sebuah festival dengan biaya mahal akan berlangsung. Suatu peristiwa yang kontradiktif dengan situasi umum negara kita yang sedang prihatin dan menderi ta.” Kala itu memang suasana bisnis film Indonesia sedang lesu-lesunya. Tak banyak yang mengenal nama Nya Abbas Akub kini. Padahal ia pernah kon dang sebagai spesialis film komedi sosial yang laku di pasar dan sarat kritik. Yang paling fenomenal adalah Inem Pelayan Seksi (1978). Film ini mendapat Piala An temas, penghargaan FFI untuk film ter laris, direproduksi dalam bentuk serial, dan kondang hingga kini. Dil ah irk an pad a 22 April 1932, Akub—marilah kita panggil dia begitu— adalah produk didikan Usmar Ismail, Bapak Film Indonesia. Kecintaannya sendiri pada dunia film tidak da tang beg it u saj a, Ia bahk an masih sempat bersekolah dan menyelesaikan sarja na hukumnya di Universi tas Indonesia. Saat sedang belajar itu, Akub menda pat tawaran belajar penyu tradaraan dari sang guru yang juga pemilik Persatu an Film Nasional Indonesia (PERFINI), sel am a dua ISTIMEWA
60
dianya akan berlangsung di Palembang. Lalu datanglah sebuah surat yang me merahkan kuping di hari pertama bulan Maret. Pengirimnya sutradara paruh ba ya kelahiran Malang berdarah Aceh, Nya Abbas Akub. Surat itu dialamat kan pada organisasi Karyawan Filem dan Tv (KFT). Is in ya krit ik frontal, meski pun selama ini Akub terkenal sebagai tuk ang kritik le wat film y a n g cend e rung la ten. Pe nul isn ya m e n g k r i tik pen ye lenggaraan FFI. Art i kel di ma jalah Vista nomor 454 men ul isk an berita ini d a
APRESIASI
Penuh Kritikan dan Sindiran Akub dijuluki tukang ejek nomor wa hid oleh Salim Said, kritikus film, kare na keberaniannya menyindir pemerin tah. Harun Suwardi mencantumkan na ma Akub beserta seluruh karyanya da lam bukunya Kritik Sosial dalam Film Komedi. Nyinyirnya Akub pada kondi si sosial lewat film bisa dilihat, misal, di Drakula Mantu. Film ini menyodorkan sindiran tajam soal penggusuran tanah yang sering terjadi kala itu, dengan fo kus cerita tentang sebuah rumah tua di Jakarta. Suatu ketika rumah itu akan dibakar oleh penduduk karena dipenuhi hantuhantu. Dengan ekspresinya yang meme las, hantu-hantu berkata, “Ini sukanya kok bakar-bakaran? Kami ini sudah di gusur kemana-mana. Memang pindah nggak pake duit? Asal usir saja.” Di lain scene, percakapan yang mungkin sangat menyindir adalah ketika Pangeran Drakula, yang datang dari Eropa disambut dengan rombongan ansambel, berkata, “Musisinya kurus-kurus ya. Memang di dunia hantu anda, seniman kurang di
hargai?” Akub sengaja memakai simbol makhluk halus sebagai potret warga yang tergusur sehingga kritiknya tersamar dan lolos sensor dari pemerintah Orde Baru yang sangat ketat. Usai horor, Akub menjajal parodi: Koboi Cengeng yang diperankan Bing Slamet. Film ini dianggap sebagai perin tis film parodi di Indonesia. Dengan gaya paradoksal, Akub memutarbalikkan ke laziman. Jika para koboi seharusnya mi num bir atau whisky, maka dalam Koboi Cengeng, koboi justru minum beras ken cur. Koboi Cengeng dianggap tepat un tuk menyindir masyarakat yang terlalu menggandrungi budaya luar. Inem Pelayan Seksi, melengkapi kar
ISTIMEWA
tahun di University of California Los Angeles (UCLA). Sejak inilah Akub me mutuskan teguh pada film. Akub mengawali karir sebagai se orang asisten sutradara (astrada) da lam film Kafedo (1953). Tapi film ini ga gal karena pasar sedang gemar-gemar nya dengan film drama. Di saat yang sa ma, PERFINI juga sedang didera ma salah keuangan karena film-filmnya di anggap tak merakyat sehingga tak laku. Akub, ketimbang membuat film “seri us”, datang menyelamatkan PERFINI dengan mengaransemen film-film ko medi pemancing tawa. Usai jadi astra da di Kafedo dan Harimau Tjampa, di mulailah debut Akub sebagai sutradara dan pembuat skenario film. Heboh ada lah film pertama Akub yang diproduksi tahun 1954 dan sukses secara komersi al, mengisi pundi-pundi uang PERFINI yang melompong. Akub memang tak pernah lepas da ri komedi. Mungkin lebih benar jika di sebut sebagai film banyolan, namun bu kan dalam artian yang jelek atau jus tru melecehkan. Filmnya selalu berhu bungan dengan masalah sosial yang se dang berlangsung. Bahkan banyak kri tikus film yang menilainya sebagai su tradara yang berani membuat film ba nyolan yang terlalu lucu dalam situasi konyol (slapstick).
ya Akub yang sarat akan nilai sosial de ngan kehidupan babu yang jadi sentra cerita. Inem adalah babu cerdas yang namun tetaplah seorang babu. Jadi ba bu adalah setengah manusia, maka sua ranya tak pantas didengar, benar atau salah. Kehidupan baru berub ah setelah Inem dijadikan istri oleh bos besar yang bekas tukang sate. Film Inem Pelayan Seksi mendapat sambutan yang cukup meriah dari banyak kalangan, baik itu kritik maupun pujian, membuat Akub untuk melanjutkan sekuelnya menjadi tiga bagian. Santai dan kocak. Dua hal tersebut merupakan cara Akub dalam menyam paikan pesan-pesan sosialnya. Makanya, filmnya selain “ada isinya”, juga laku di pasar. Inem Pelayan Seksi misalnya, ja di box office, dibuat sekuelnya, dan dire produksi dalam serial. Ini bisa menjadi resep di tengah pragmatisme sineas ma
sa kini yang buat film “asal laku” tanpa peduli akan pertanyaan, “pesan apa yang hendak anda sampaikan?”. Tak Ada Penghargaan “Saya sudah capai membuat film ko medi. Sesudah ini, saya ingin membuat film drama.” Kata singkat itu merupakan ucapan terakhir Akub. Keinginannya berhenti membuat film komedi sebenarnya lebih merupakan suatu keluhan, terlebih kare na tidak ditemukan seorang penulis ske nario yang sesuai dengan gaya khas filmfilmnya sendiri. Jangan kaget jika me ngetahui keseluruhan dari karyanya di kerjakan sendiri. Mulai dari menyusun cerita hingga skenario. Keluhan ini juga dianggap bahwa dalam dunia yang dige lutinya sekian lama itu, ia tidak pernah menemukan rekan yang cocok. Sikap, sifat, dan pikiran Akub sudah tak memiliki jarak dengan film-filmnya. Ini merupakan pencapaian tersendiri, yang tak semua sutradara dapat menca pai tahap tersebut. Walau begitu Akub bukanlah termasuk orang yang hidup berlebihan materi, mengingat rata-rata ia hanya membuat satu film dalam seta hun. Tak terdengar pula mengenai ho norarium yang membuat orang berde cak kagum. Dengan keterampilan sinematik yang luar biasa, Akub telah mengolah media film sebagai sarana curahan ekspresi ke senimanannya. Narasi-narasi yang sela lu dibungkus senda-gurau, dan membu at karyanya akrab dengan berbagai ka langan, terlebih lagi pada kalangan me nengah. Hal ini akan menjadi cerita ter sendiri pada kehidupan sang tukang ejek nomor wahid itu, terlebih lagi di hati pa ra pecinta karyanya. Penghargaan Citra sebagai simbol su premasi perfilman belum pernah Akub dapatkan dalam posisinya sebagai sutra dara yang menghasilkan karya-karya be sar. Seumur hidup baru dua kali ia dapat penghargaan: Piala Antemas untuk Inem Pelayan Sexy dan Piala Bing Slamet un tuk Boneka dari Indiana. Akub adalah sutradara yang “rakus”. Beg it u ban yak sis i-sis i yan g in gin ia serang, ejek, dan cemooh. Atau dalam kalimat Rosihan Anwar: Terlalu banyak ide yang ingin dia tampilkan dalam satu film, yang akhirnya tidak seluruhnya dapat terselesaikan. Itulah Nya Abbas Akub.W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
61
WAWANCARA KHUSUS
Demokrasi ala Web 2.0
K
enal Tumblr, Facebook, Kaskus, Politikana, atau Wikipedia? Minimal kenal salah satunya saja, berarti anda sudah mengenal web 2.0. Inilah adalah prototipe variatif dari web 1.0 yang sudahdikembangkan sejak tahun 2000. Istilah nya web 2.0 sendiri pertama muncul di tahun 2004. Jejaring berbasisweb 2.0 memungkinkan pelanggan berbagi kon ten apapun dengan mudah. Prinsipnya many to many, dari banyak orang ke lebih banyak orang lagi. Web 2.0 di Indonesia menjadi bentukdemokrasi baru. Pelopor web 2.0 di Indonesia salah satunya adalah Dagdigdug.com. Antyo Rentjoko, salah satu pendiri Dagdigdug.com. Reporter EKSPRESI Ayu Hening Prameswari berkesempatan mewa wancarainya. Berikut bincang-bincang dengan Paman Tyo (demikian ia bias a disapa) via Yahoo! Messenger.
Menurut Anda definisi web 2.0 itu apa? Web 2.0 itu interaktif. Pembaca dan pembuat konten bisa berkomunikasi, be gitu juga dengan pembaca lainnya. Di sa na juga ada unsur kolaboratif. Bagaimana awal berkembang nyaweb 2.0? Sederhana sih. Internet itu duniater buka. Mereka yang tidak puasdengan la yanan yang ada akan membuatyang ba ru. Lantas mereka yang suka atau cocok akan bergabung dan menjadi “evangelis”. Misalnya YM, Facebook, Twitter. Kemu dian konsep media dan berita pun beru bah. Bukan melulu apa yang disajikan oleh penerbit media,termasuk penerbit koran online. Lahirlah media sosial. Sejak kapan web 2.0 berkem bangdi Indonesia? Awal 2000, bahkan akhir 90-an su
62
|
dahada wadah interaksi online yang hi dup. Misalnya forum kaskus.us (kasak kusuk). Wikipedia dengan berbagai ba hasa itu juga termasuk. D a l a m p e n g a m a t a n a n d a , bag aim an a perk emb anga nn ya sekarang? Beberapa waktu lalu beberapa kasus menunjukkan bahwa terdapat peluang besar dari perkembangan web 2.0. Di AS, kemenangan Obama tidak bisa dilepas kan dari penggunaansocial networking. Di Indonesia sendiri ada kasus Prita de ngan RS Omni Internasional, kasus kri minalisasi KPK, semuanya melibatkan penggunaan web 2.0. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ini bisa terjadi karena manusia pu nya kehirauan terhadap sesama. Dari hal yang menyenangkan sampai duka. Sela ma ini mereka hanya mendapatkan info itu dari media “arus besar” dan rasan-
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
rasan dalam ke l om p ok. Media sosi al memb er i rua ng yang leb ih bes ar untuk bertu kar info ten tang apa saja yang menurut komu nitas menarik, tanpa me lalui penyunting. Bisakah web 2.0, misalnya jejaring sosial, membentuk opini publik? Pembentukan opini publik tentu bi sa.Contohnya penggalangan solidaritas untuk Prita Mulyasari. Tapi internet ti dak sendirian. Dalam kasusPrita, itu bu kan sekadar opini (sikap) tapi tindakan (gerakan). Adapun opini, misalnyakasus yang aktual ini, tolak anggarandana aspi
WAWANCARA KHUSUS rasi anggota DPR. Tidak mungkin semua orang menyatakannya via surat pemba ca di koran. Opinimenghasilkan gerakan. Dan gerakan akan bergema kalau bersi nergi dengan TV dan media cetak. Jadi bisa dikatakan kalau web 2.0 ini merupakan bentuk demo krasi baru? Ya. Tapi bukan tertumpu pada web 2.0-nya, tapi secara khusus pada media sosialnya. Karena sekarang sudah mengarah ke web 3.0. Inti semuanya adalah membangun interaksi dan membangun pengetahuan. Kebebasan kita berpendapat dan beraspirasi di dunia maya da patjuga menjadi bumerang dengan adanya UU ITE, menurut Anda bagaimana? Prinsipnya begini, tanpa UU ITE pun setiap langkah kita di internet berpeluang tersandung oleh pasal hukum. Misalnya dari KUHP dan UU Hak Cipta. Adapun UU ITE, kita tahu pasal tertentu sangat mudah dimanfaatkan untuk memberangus kebebasan berpendapat. Lihat pasal 27 ayat 3. Soal penghinaan dan pencemaran sudah diatur dalam KUHP. Mulanya rancangan UU ITE untuk transaksi keuangan tapi kemudian melebar ke mana-mana. Bagaimana sebaiknya kita me nyikapi UU ITE tersebut? UU ITE harus direvisi. DPR sudah
ada gelagat ke sana. Tapi di sisi lain orang harus sadar bahwa internet banyak ranjaunya. Kebebasan kita ada batasnya, yaitu secara universal tidak mengganggu kebebasan dan hak orang lain. Maka jika ada rekaman video pribadi sepasang kekasih, lantas video itu beredar di internet dan lainnya, maka yang patut dipersalahkan adalah pengedarnya. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) memiliki web yaitu Persma.com yang jugaberba sis web 2.0, menurut Anda cukup efektifkah untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa? Asp ir as i mah as isw a it u kan lua s. Persma.com hanya salah satu saluran ba gi aktivis pers mahasiswa untuk menyu arakan aspirasinya. Efektif tidaknya ber gantung pada penggunanya. Apa dampak positif dan negatif dari jurnalisme warga ala web 2.0 begini? Semuanya bergantung kearifan kha layak. Jangan langsung percaya, karena skeptisisme itu perlu. Jurnalismewarga memperkaya informasi.Tapijurnalisme yang terlembagakan oleh penerbit media tetap tidak tergantikan.Saya melaporkan apa saja, itu produk personalyang seca ra kaidah jurnalistik—sejak proses sam pai hasil—belum tentu memenuhi syarat. Itu sebabnya ketika ngeblog saya mera sa tidak melakukan pekerjaan jurnalistik. Ketika ada peristiwa besar, maka media
sosial cepat melaporkan, lebih cepat da ripada media terlembagakan. Tapi media sosial akan keteteran soal ini: pengecekan, riset, dan akseske sum ber relevan. Media terlembagakan yang bisa. SPP naik dan beasiswa dihapus, An da bisa langsung nulis di blog, Twitter, dan Facebook. Tapi siapa yang akan me nanyai dekan dan rektor? Anda pribadi pasti tidak, tapi itu dilakukan secara ke lembagaan oleh pers kampus. Bagaimana awal mula Anda ter jun di dunia maya? Nyoba int ern et pert am a sek it ar 1995/96. Ngemail pakai Hotmail. Lalu mencoba berinteraksi untuk pertama kali pada 1997, pakai Microsoft Comic Chat. Waktu itu kebanyakan situs yang ada merupakan situs web 1.0 yang berisi be rita. Bagi saya, Hotmail itu berjasa kare na menjadi free web based email. Dia bi sa menjangkau siapa pun yang bisangak ses internet. Sebelumnya, alamat email hanya di kampus dan perusahaan/LSM. Alamat email hanya dimiliki pelanggan ISP (Internet Service Provider). Bagaimana ceritanya Anda dan teman-teman bisa mendirikan Dagdigdug.com? Sejarahnya ya diajak beberapa te man.Lantas bersama Enda Nasution dan Didi Nugrahadi kami membangundagdigdug. Visinya adalah menjadi salahsatu rumah bagi blogger Indonesia. W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
63
oleh:
Swadesta A W
RESENSI
Panduan Tepat Hidup di Penjara oleh:
Swadesta A W
Ini buku tentang penjara yang ditulis mantan narapidana Judul : PENJARA: The Untold Stories Penulis : Ahmad Taufik, S.H. Penerbit : Ufuk Press, Jakarta Cetakan : April 2010 Tebal : 188 halaman
P
enulis buku ini, Ahmad Taufik, adalah wartawan Majalah Tempo yang pernah ditahan karena keter libatannya dalam buletin Independent bersama Eko Maryadi. Buletin yang ha dir setelah Tempo dibredel pemerin tah orde baru ini adalah sebuah media perjuangan bawah tanah. Independent memuat berita-berita politik dan infor masi yang tidak berani dimuat media- media besar saat itu. Selama tiga ta hun (1996-1999) Ate—panggilan akrab Ahmad Taufik di Tempo—ditahan. Sete lah bebas, ia sempat menuliskan peng alaman dan keadaan di penjara, na mun tidak diteruskan akibat banyak nya data yang hilang akibat pindah ru mah dan banjir. Inspeksi mendadak satuan petugas pemberantasan mafia hukum (10 Ja nuari 2010) yang menemukan perlaku an khusus terhadap Arthalyta Suryani (Ayin), ters angk a pen yua pa n Jaks a Urip, dan temuan tim investigasi Tempo yang mendapati bukti bahwa Ayin me nyuap hampir seluruh pegawai rutan se tiap bulannya, memantik Ate untuk me lanjutkan tulisannya. “Gara-gara Ayin yang diberi keistimewaan pihak rutan, yang ditindaklanjuti inspeksi menda dak tim satuan tugas hukum, aku kem bali tergerak menuntaskan tulisan ini,” tulisnya pada prolog. PENJARA: The Untold Stories ber isi pengal aman, informasi, dan penga matan langsung ketika penulis menjadi narapidana. Membaca buku setebal188 halaman ini, kita akan banyak menda patinformasi mengenai praktik penye lewengan dan kekuas aan penegak hu kum di dalam lembaga pemasyarakat an. Praktik penyelewengan ini ia peta kan menjadi sepuluh modus kejahat
64
|
an, yaitu penyeleweng an penerimaan orang yang menj ad i pen a hanan, penempatan, perpindahan, penge lua ra n tah ana n/na rapidana, pelarian, kurir, pemenuhan biologis, pemberian hak, izin kunjungan, dan pembebasan. Selain itu, kita akan mendapati pula bagaima na pemasyarakatan pada kurun waktu tersebut—bahkan hingga sekarang—ti dak mampu membentuk perilaku nara pidana yang diamanatkan oleh UU Pe masyarakatan. Alih-alih memasyarakatkan, pen jara malah dijadikan lahan bisnis bagi para petugas dan penegak hukum. Se jak berstatus sebagai tahanan (belum vonis) hingga sah menjadi narapidana, mereka diperas oleh petugas dan pene gak hukum agar bisa hidup nyaman da lam penjara. Menurut pengamatan pe nulis, narapidana-narapidana ditem patkan (di sel) sesuai kelas sosial ma sing-masing. Buku ini juga memaparkan bagai mana seorang narapidana bisa mela rikan diri dengan campur tangan pe tugas. Ada sebuah cara ampuh yang hingga kini digunakan sebagai cara jitu dalam melarikan narapidana. Cara ter sebut adalah pembantaran. Pemban taran adalah istilah hukum untuk pe rawatan rumah sakit bagi pelaku tin dak kriminal. Istilah ini sering digu nakan sebagai alasan koruptor macam Syamsur Nursalim, Anggoro Widjaya, dan Hendra Rahardja untuk kabur ke luar negeri. Dalam buku ini, pemban taran pulalah yang menjadi peluang ba gi Edy Tanzil untuk kabur ke luar nege ri. Penulis yang waktu itu baru dipin dahkan ke LP Cipinang mendapatkan informasi dari seorang narapidana dan kemudian melakukan investigasi kebe naran berita ini. “Tak tahan dengan cara petugas dan narapidana, akhirnya Edy Tansil, terpi dana 20 tahun penjara dan denda 500
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
miliar, melarikan diri. Pada komandan jaga yang melarikan diri dengan mini busnya, ia mengiming-imingi Rp 200 juta. Down Payment dua juta saja su dah melenakan keduanya. Skenario di atur, berbekal surat dari dokter rumah sakit lapas—Sabtu, 4 Mei 1996 dua ha ri sebelum dinyatakan hilang—Eddy dirujuk berobat ke rumah sakit di lu ar penjara,” tulis Ahmad Taufik di ha laman 23. Di buku kesembilannya ini, penu lis juga menceritakan mengenai lahan perjudian, narkoba, dan seks yang be bas dilakukan di penjara pada kurun waktu itu. Semuanya diceritakan seca ra gamblang dan apa adanya. Buk u ini buk anl ah sat u-sat unya yang membongkar realitas dalam pen jara. Tahun 2005, Wilson, seorang ta hanan politik, mengeluarkan buku ber tajuk Dunia di Balik Jeruji: Pentingnya Hubungan Kemanusiaan. Namun, real itas yang ditawarkan Ahmad Taufik le bih berbobot ketimbang Wilson, kare na tidak sekedar mengangkat kehidup an narapidana saja. Meski sampul buku yang diterbit kan Ufuk Press ini tidak semenarik isi nya dan banyak kesalahan redaksional, PENJARA:The Untold Stories telah ber hasil menampilkan kebobrokan hukum yang selama ini belum banyak diketa hui masyarakat. Menyadur komentar Adnan Buyung Nasution, buku ini ter bit pada saat yang tepat, ketika peme rintah berupaya memperbaiki sistem peradilan dan masyarakat makin kritis menyikapi penyelewengan hukum. Jika anda tengah berur usan dengan hukum dan sebentar lagi akan menuju ke sana, buku ini akan menjadi “panduan” yang tepat bagi anda.W
A Cup of Java Berbondong–bondongpengunjung World’s Columbian Exhibition,sebuah pesta peringatan 400 tahun penemuan be nua Amerika yang diadakan di Chicago tahun 1893, menuju sebuah stan dari Indonesia. Salah satunya Stan Java Village yang menawarkan kopi jawa. Saat itulah istilah a cup of java mulai didengungkan orang untuk menyebut kopi. Padahal puluhan tahun yang lalu, tempat a cup of java itu tumbuh, puluhan ribu jiwa jadi tumbal. Tersiksa dan terjajah, sebagian lagi bahkan meregang nyawa.
LAPORAN
khusus Berawal dari ketidaksengajaan sekawan kambing hingga jadi komoditi ekspor impor pering kat-2 sedunia, kopi telah meno rehkan sejarahnya. Oleh Dian Dwi Anisa
T
anpa jasa sekawanan kambing, mungkin saat ini tak akan kita tahu apa itu kopi.Tak akan kita tahu rasa seduhan kopi pahit, yang dicampur gula, atau pun rupa-rupa kopiyang lain. Konon kopi ditemukan oleh seorang peng gembala bernama Khaldi dari Abessynia (sekarang Ethiopia).Ia terheran-heran melihat kambing gem balaannya itu tiba-tiba menjadi bersemangat setelah memakan buah merah kehitaman yang bergerombol. Penasaran, Khaldi pun turut mencicipi buah itu. Tak jauh berbeda dengan kambing-kambing tadi, Khaldi juga terlihat lebih bersemangat. Secara tak sengaja, lewatlah seorang pria ter pelajar bernama Aucuba. Ia lalu ikut mencicipi buah itu. Tak lama, Aucuba merasakan apa yang Khaldi dan kambing-kambing itu rasakan. Tena ganya mulai pulih, staminanya tergenjot, kantuk nya pun menghilang. Sebelum melanjutkan perjalanannya, Aucuba menyempatkan membawa tanaman tersebut. Se jak itu, kopi selalu menemani Aucuba saat mengikuti diskusi–diskusi. Berkat Aucuba, kopi mulai dikenal kalangan luas. Penduduk kota mulai mengelu–elukan kopi. Selain itu, kopi juga dikonsumsi oleh kaum Sufi demi tetap terjaga saat beribadah malam. Perjalanan “Si Hitam” Penduduk Ethiopia kemudian menuju Yaman mel al ui Laut Merah. Keb er ad aa n pend ud uk
Kopi pertama kali di temukan oleh bangsa Ethiopia
Kopi masuk dae r ah Timur tengah dan mu laidibudidayakan.
800 SM
1000 SM
Ethiopia di Yaman memberi waktu cukup lama untuk menyebarkan kopi di semenanjung Arab. Lalu pedagang Arab membawa kopi ke be lahan bumi lain. Namun, biji kopi ini selalu di infertilisasi terlebih dahulu agar tidak dapat di tanam, agar tak ada bangsa selain Arab yang bi sa menanam “anggur arab“. Namun pada akhir nya bibit kopi berhasil keluar dari Arab. Konon seorang peziar ah dari India yang berhasil mela kukan itu di tahun 1600-an. Belanda adalah salah satu negara Eropa yang tertarik untuk mencoba peruntungan bisnis ko pi. Maklumlah, saat itu kopi sangatlah eksklusif. Namun, kendala geografis membuat kopi tak bisa ditanam di negeri kincir angin. Sehingga Belanda menanam kopi di daerah jajahannya, Indonesia. Tahun 1699, kopi didatangkan ke Indonesia. Saking menguntungkannya, kopi pun dijadi kan salah satu komoditi andalan tanam paksa. Belanda menangguk untung luar biasa berkat penjualan kopi, terutama setelah defisit pasca Pe rang Diponegoro. Di lain sisi, rakyat Indonesia banyak yang menderita baik secara fisik maupun mental. Tenaga mereka dikuras habis–habisan demi kemakmuran penjajah. Pada masa kolonial, hanya orang-orang ber duit saja yang dapat merasakan kemewahan kopi. Harga kopi yang terlampau tinggi membuat kopi tak bisa dijangkau oleh rakyat bias a. Kopi mulai merakyat setelah diproduksi secara massal. Kini, cukup dengan merogoh kocek lima ratus rupiah, satu gelas kopi pun bisa kita nikmati. Men ur ut Ant ar iks a, pen el it i dar i KUNCI Cultural Studies Center, kopi mulai merakyat saat dimulainya periode politik etis, saat indus trialisasi dimulai. Saat itu, segala hal yang bersi fat eksklusif mulai diproduksi secara massal dan harganya turut turun. Semakin membaurnya kopi dalam kehidup an orang Indonesia, secara mengejutkan sejarah
Dibangun kedai kopi pertama di du nia bertempat di Konstantinopel de ngannama “Kiva Han”
1475
Pendistribusian kopi pertama kalikeJawa oleh Belanda. Na mun hilangkare na tersapu banjir di Batavia
1696
Pendistribu yang kedua Batavia
16
A Cup of Java -sejarahkelam kopi pun tak membekas sama se kali. Tak ada tanda-tandatrauma historis dengan minuman satu ini. Bahkan kopi menjurus men jadi tren baru. Lima tahun belakangan, ada per tumbuhan pesat warung kopi. Dari yang berdin ding gedek (anyaman bambu) sampai yang berAC dan menyediakan wi-fi. Menurut Antariksa, terlupakannya “sejarah kopi” adalah efek dari sistem pendidikan sejarah di Indonesia yang lebih mementingkan peristiwa atau hal yang makro daripada yang mikro. Saat Tak Jadi Primadona Di Chicago saat berlangsungnya perhelatan World’s Columbian Exhebition tahun 1893, ter dapat stan yang menawarkan produk kopi dari Jawa. Tak sedikit orang yang mengunjunginya. Dari sanalah muncul istilah a cup of java un tuk menyebut kopi. Menurut Prof. Dr. Bambang Purwanto, Dosen Sejarah UGM, bahkan orang Kanada selalu menyebut kopi itu dengan istilah a cup of java. Ekspor kopi di Indonesia juga menempa ti urutan ke-4 di dunia. Dibandingkan Vietnam yang berada di posisi ke-3, keberadaan kopi di Indonesia tampak menyedihkan. Di Vietnam pa da masa lalu, kopi dijadikan modal untuk me nyatukan daerah utara dan selatan. Hingga ki ni, kopi masih merupakan komoditi utama un tuk membangun negara. Ini adalah pemanfaat an potensi negara yang sepenuhnya didukung pemerintah. Walaupun kopi hidup sebagai primadona, na mun tak membuat kopi dapat diterima dengan mudah. Kopi juga hidup dengan penuh kontro versi. Belum lama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwaharamkan kopi luwak. Alasan nya? Karena kopi ini dihasilkan lewat proses eks kresi hewan luwak. Hal semacam ini—fatwa haram terhadap
usian kopi a kali ke
699
kopi—ternyata tak hanya terjadi di Indonesia. Di Mekah, kopi sempat diharamkan oleh Khair Beg, Gubernur Kota Mekah tahun 1511. Alasan nya, efek kafein yang membuat tubuh lebih fit di ibaratkan efek alkohol pada minuman keras. Iro nis, melihat kenyataan bahwa kopi banyak ber kembang di Arab dan perdagangan kopi pertama dilakukan oleh pedagang Arab. Ada pula kisah dari Malang. Sebuah pabrik kopi yang menjadi tumpuan warga sekitarnya te lah lama tak diop erasikan lagi. Matinya Pabrik kopi Sumberbeju ini adalah imbas dari penga lihfungsian tanaman kopi. Kopi dipaksa menga lah pada sengon, mindi, dan karet. Membengkak nya biaya produksi, tak ada keuntungan, tak ada dana untuk rekrut pegawai, itulah sederet alasan mengapa PTPN XII sebagai pengelola mendepak kopi jauh-jauh. Kopi dan Warung Kopi Bicara kopi rasanya tak akan lengkap tan pa membicarakan warung kopi. Bahkan sejarah warung kopi nyaris sama tuanya dengan kopi itu sendiri. Semenjak dulu, warung kopi selalu difungsikan sebagai tempat mengobrol, nong krong.Bukan sembarang tempat mengobrol. Di warung kopi, apa pun bisa dibicarakan. Katakan lah, zona bebas. Tempat yang menampung laki –lakiperempuan, tua muda, pejabat berjas dan berdasi hingga mahasiswa. Tak salah jika sejak zaman dulu tempat ngopi selalu dijadikan tempat untuk bertukar informa si. Maka tak heran, banyak mata–matayang turut menyelip di antara pengunjung warung kopi. Tempat itu siap menyambut kita yang te ngah dilanda kecemasan ataupun hanya seke dar ingin mengob rol ngalor–ngidul. Jangan lu pa,sertakan secangkir kopi hitam sebagai peleng kap obrolan. W
Ekspor kopi pertama oleh VOC
VOC memonopo liperdagangan kopi dunia. Indonesia menjadi tempat per kebunan kopi perta madi luar Arabia dan Ethiopia
Kopi menjadi komo diti tanam paksa
Wabah hama karat da un memusnahkankopi arabika yang ditanam di bawah ketinggian 1 km diatas permukaan lau t, dari Sri Lanka hingga Timor.
1711
1725 - 1780
1830
1880
LAPORAN
khusus
Geliat di Warung Kopi “Ayo ngopi!” lontar Sina, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kepada kawannya. Kebiasaannya ngopi sejak kelas 2 Aliyah ternyata terbawa sampai ke Yogyakarta. Oleh : Jihan Riza Islami
C
afé de Procope adalah warung kopi per tam a di Perancis yang did ir ik an oleh Francois Procope. Tempat ngopi ini sering dikunjungi karena letaknya yang strategis serta suas ananya yang menyenangkan. Sejarah menca tat bahwa banyak aktor, musisi, pengarang, serta tokoh-tokoh besar abad ke-18—seperti Napoléon Bonaparte dan Jean Jacques Rousseau, yang da tang ke tempat ini. Mereka menjadikan tempat ini sebagai area publik yang nyaman untuk ber interaksi. Bahkan Napoléon Bonaparte sering
68
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
menghabiskan waktu luangnya untuk bermain catur di sana. Tak jau h berb ed a den gan war ung ko pi di Indonesia. Konteks spasial sempitnya la gi Yogyakarta. Amb il cont oh War ung Kop i Blandongandi daerah Sorowajan. Tiap hari kita bisa menjumpai pengunjung yang asik ngobrol bersama komunitas masing-masing. Ditemani segelas kopi dan rokok perbincangan mereka bi sa mengalir begitu saja. Ada juga beberapa yang menghabiskan waktu untuk bermain kartu.
A Cup of Java “Warung kopi adalah tempat untuk berkenal an, ngrasani (menggosip), dan membangun re lasi bisnis,” celoteh Sina. Pria asli Lamongan ini memang tak bisa terlepas dari kebiasaan nongkrong di warung kopi. Hal yang membuatnya betah selain bisa ngopi, dia juga bisa berkumpul bersama anak-anak dari komunitas Lamongan. Makna warung kopi bagi Sina bukan cuma ge las kopinya saja. Ada simbol-simbol yang men empel, sebagaimana dijelaskan Prof. Dr. Bambang Purwanto Dosen Ilmu Sejarah UGM bah wa warung kopi merupakan simbol kebebasan dari berbagai keterik atan. Hal tersebut dicontohkan olehnya ketika se seorang cekcok dengan ke luarga atau pacar. Wa rung kopi juga dipakai seniman untuk men cari inspirasi. Ada se mangat yang dihadirkan oleh warung kopi. “Bebas kalau di warung kopi, duduk di sana bisa jegang dan lain-la in,“ tambahnya. Warung kopi juga dimanfaatkan sebagai gu dangnya informasi. Saking beragamnya pengun jung, warung kopi sering menjadi sasaran iklan dan berita. “Dari tempat ngopi inilah, berita, ik lan, serta info acara tersebar ke masyarakat,” tutur Pay salah satu pelayan di Warung Kopi di Bilangan Gowok. Warung kopi tentu nihil tanpa minuman ko pi itu sendiri. Embel-embel yang dibawa warung kopi merupakan kelanjutan dari fungsi kopi se bagai minuman yang disukai. “Kopi punya fung si sosial jika dihubungkan dengan macam-ma cam hal. Ini nggak cuma terjadi di Indonesia ta pi seluruh dunia,” jelas Antariksa, peneliti dari KUNCI Cultural Studies Center. Di luar negeri, kopi dan alkohol bahkan mampu menjadi peng hubung dan simbol aktivitas sosial. Kopi dan Gerakan Rakyat “Pada dasarnya semua makanan ada fung si sosial,” tutur Antariksa. Beras misalnya. Pada jaman pemerintahan Suharto beras digunakan untuk membakukan gagasan nasionalisme yang sentralistik. “Bahwa Indonesia adalah beras, be ras adalah Jawa.” Senada dengan penuturan Budiman, ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Yogyakarta. Se cangkir kopi ibarat sebungkus nasi yang bisa di nikmati bersama-sama. “Segelas bisa diminum dua sampai tiga orang.” Budaya kolektivitas dan solidaritas dalam tubuh gerakan memang sudah mengakar sejak dulu. Kopi dan warung kopi ba gi mereka merupakan media yang mampu mem pererat budaya kolektivitas tersebut. Budiman ikut berpendapat bahwa warung ko pi sendiri memiliki keistimewaan sehingga ba nyak orang menjadikannya sebagai tempat untuk
IST
IM
EW A
mengobrol. Harga secangkir kopi yang relatif ter jangkau menjadikan warung kopi, di Yogyakarta khususnya, mampu menarik pengunjung dari berbagai lapisan masyarakat. Di sepanjang Kali Code salah satu contohnya. Selain itu juga didukung oleh suasana yang memang didesain sedemikian rupa agar pengun jung merasa nyaman dengan komunitas mere ka sendiri, warung kopi dianggap sebagai tem pat yang merakyat. “Kadang kami juga manfaatkan warung kopi sebagai ruang aktivitas,” tutur Budiman. Hanya dari nongkrong bareng mereka bisa memuncul kan ide-ide besar. Begitu juga saat mereka ingin mendatangkan pembicara atau narasumber. “Cu kup dengan segelas kopi yang murah saja kita su dah bisa mendatangkan pembicara.” Selain diskusi biasa, warung kopi juga meru pakan tempat paling aman untuk menyusun stra tegi. Selain mudah memperoleh berita, melalui warung kopi mereka juga lebih dekat dengan rak yat. Namun karena merupakan area publik, wa rung kopi cenderung tidak aman. “Ya warung ko pi mudah sekali disusupi,” kata Budiman. Hal tersebut serupa dengan yang dikisahkan oleh Bambang Purwadi pada masa kolonial du lu. Kalau kemudian kita menilik kembali sejarah, maka warung kopi tak bisa lepas dari kepenting an politik. “Dulu waktu zaman kolonial, kalau orang awam mau bicara tentang politik di mana? Ya di warung kopi,” tutur dosen ini enteng. Bah kan anak buah Belanda dapat informasi tentang pemberontakan juga dari warung kopi.W Laporan oleh Hasti Kusuma Dewi, Dian D. Anisa
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
69
LAPORAN
khusus
Menikmati Secangkir Kopi Biji kopi pilihan ciptakan kopi enak. Untuk segala suasana jelas lebih enak. (Bunyi iklan salah satu merk kopi di Indonesia) Oleh : Hasti Kusuma Dewi
M
IST
IM
A EW
asih terekam kuat dalam ingatan Budi betapa mudahnya dia dulu mendapat kan biji kopi. Kehidupan di peterna kan Tanjung Karang, Lampung pada tahun 1983 membuatnya dekat dengan bahan dasar pembu at minuman favoritnya tersebut. Setiap pagi Budi menggoreng lalu menumbuk sendiri biji kopi untuk dikonsumsi. Kopi hasil ra cikannya tersebut berhasil menemani sepanjang kehidupannya diTanjung Karang dulu. Sesaat setelah kepulangannya dari Lampung, Budi meminta temannya yang bekerja di salah sa tu laboratorium di rumah sakit, untuk mengecek kesehatannya. Hal tersebut dikarenakanjantung nya yang berdetak lebih cepat jika mengkonsum si kopi. Hasil tes mengatakan, penyakit jantung siap menggerogoti tubuhnya. Sempat dilarang minum kopi oleh temannya itu, tidak lantas membuat Budi berhenti minum kopi. Walau jantung yang menjadi taruhannya. Lelaki gondrong yang kini bekerja sebagai tu
70
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
kang parkir di salah satu pusat oleh-oleh di Jalan Solo ini hanya mengurangi sedikit dosis kafein yang ada dalam kopinya. Dari kopi hitam murni menjadi kopi instan yang sudah bercampur de ngan susu. Memang tidak senikmat meminum kopi pahit murninya dulu, namun sudah cukup untuk mengobati candunya pada kopi. Ngopi karena Tradisi Muhammad Syifaul Basyar atau biasa disapa Cak Sifak memang tidak pernah meracik sendiri kopi yang diminumnya, apalagi menumbuknya sendiri. Namun, kecintaannya pada kopi tak ka lah dengan Budi. Lelaki yang sedang menyiapkan wisudanya di Universitas Ahmad Dahlan ini me miliki rekor sendiri untuk kopi. Dia sudah per nah mencicipi kopi di seluruh warung kopi di Yogyakarta. Kopi buatan orang Yogayakarta atau kopira cikan orang Jawa Timur sudah fasih di lidahCak Sifak. Kesehariannya yang memang selalu dihabis kannya dari warung kopi satu ke warung kopi lain membuatnya akrab dengan “kopiwarungan”. Ia tidak langsung suka nongkrong di warung kopi. Dulu Cak Sifak yang suka bertamu di ru mah temannya ini lebih menyukai kopi buatan orang rumahan. Kebiasaan ngopi yang sudah dilakoninya se jak usia sekolah menengah pertama ini diaku inya karena tradisi. Setiap kali bertamu ke rumah temannya, ia selalu disuguhi ko pi. Mengopi berubah menjadi kebiasaan yang terasah. Untuksekarang ini, kare na dia merantau, jadi untukmendapat kan kopi dia harus rela berputar-putar mencicipi kopi di warung mana yang co cok dengan lidahnya. Kopi diklaim oleh Badrun, pemilik salah satu warung kopi di Yogyakarta, seb ag ai wedangnya (min umn ya) orang Jawa Timur. Sedangkan untuk minuman lain seperti teh dan air putih hanyadikatakannya sebagai minuman pelengkap saja. “Ya diminum kadangkadang kalau habis makan,” ujarnya. Malah bila di kampung halamannya, setiapRukun Tetangga (RT) memiliki wa rung kopisendiri. “Setiap pojok RT pasti ada warung kopinya,” jelasnya.
A Cup of Java Menurut Badrun melalui pengantarnya dalam sebuah buku berjudul Kitab Kopi dan Rokok men jelaskan kata-kata “ngopi yuk” sering dipakai oleh orang Jawa Timur jika mereka hendak berkum pul. Sedangkan untuk orang Yogyakarta lebih me milih pergi ke angkringan untuk nongkrong. Baru pasca tahun 2000-an mahasiswa Yogyakarta mu lai nongkrong di kafe maupun kedai-kedai kopi. Menjadi hal yang wajar jika warung kopi (di Yogya, -red) bermunculan dimana-mana. “Bak jamur di musim hujan,” tulis Badrun. Minum kopi sudah sedemikian membudaya meski kopi bukan tanaman asli Indonesia. Mi num kopi, menurut penjelasan Prof. Dr. Bambang Purwanto, Dosen Ilmu Sejarah, UniversitasGajah Mada, berasal dari tradisi orang-orang Yaman. Orang lokal cukup intens di beberapa wilayah da lam menanam kopi, namun untuk konsumsinya sendiri memang belum lama. Sumatera Barat adalah salah satu daerah yang pertama-tama minum kopi. Namun sejak kapan tepatnya, Bambang tidak mengetahuinya. Yang bisa dideteksi baru waktu pasti dimulainya ekspor kopi dan revitalisasi warung kopi
ti minuman tersebut. Maka untuk mencitrakan dirinya telah sedewasa ayahnya, sejak kelas 6 sekolah dasar, Indra ikut mencicipi kopi milik Ayahnya. Jadilah kebiasaan itu mengak ar da lam dirinya. Kopi sebagai interaksi sosial pun dirasakan oleh Indra. Lelaki yang siap menunggu kelahir an putra pertamanya ini mengaku, banyak ma salah bisnis yang dirampungkannya dengan di temani kopi. “Biasanya kumpul rapat itu di wa rung kopi, sambil ngopi,” jelasnya sambil meng ambil sekaleng kopi di sampingnya. Menurut Antariksa, kopi merupakan simbol untuk lelaki. Dari sekian banyak warung kopi yang diamatinya, hampir sebagian besar di do minasi oleh kaum adam. “Datang saja ke tempat kopi entah yang level bawah sampai atas. Domi nanlaki-laki,” terangnya. Hal tersebut menurut Antariksa dari KUNCI Cultural Studies Center merupakan masalah pembagian ruang publik. Kopi yang memang dijadikan sebagai simbol sosial ini tidak hanya terjadi di indonesia saja, namun sudah merupa kan kelas dunia.
Kuliner Kopi Indonesia mulai mengekspor kopi di abad 18. Namun, Indonesia tidak langsung menjadi bang sa peminum kopi. Bukan karena rasanya yang pahit, namun lebih pada ketidaktahuan orang Indonesia pada cara pengkonsumsian kopi. Ternyata orang Indonesia patut berterima kasih kepada orang Cina. Pasalnya merekalah yang telah berjasa mengajarkan bagaimana ca ra memasak biji kopi sehingga menjadi minu man yang enak untuk dinikmati. “Kenapa bi ji kopi itu harus di goreng dan lain-lain,” jelas Bambang Purwanto. Kuliner kopi untuk Indonesia sendiri, me nurut Bambang Purwanto, masih sangat sedi kit. Apalagi terkait masalah teknologi pembu atan kopi. Indonesia sendiri tergolong miskin. “Bukan berarti tidak punya, tapi tidak sekaya di timur,” jelasnya. Sebagai konsumen pun orang Indonesia tipi kal yang bisa menerima rasa kopi apa saja. Ber beda dengan orang Eropa yang sangat cermat dalam detail rasa kopi. “Orang Eropa itu cere wet soal rasa kopi,” tambahnya. Ngopi dan Simbol Selain menjadi minuman yang berkhasiat untuk mencegah kantuk dan rasanya yang me mikat sebagian orang, kopi ternyata juga me miliki simbol tersendiri. Indra misalnya, meni lai bahwa kopi itu identik dengan orang dewa sa.“Jadi biar dibilang lebih dewasa ikut minum kopi,” jelas lelaki yang berprofesi sebagai event organizer musik ini. Mel ih at ayahn ya yang suk a min um kop i membuatnya berinisiatif untuk ikut menikma
Karena Butuh Antariksa juga berpendapat bahwa kebias a an orang Indonesia yang selalu bangun pada pu kul 4 atau 5 pagi, entah dengan berbagai alasan nya, menjadi faktor pendukung membudayanya kopi di Indonesia. Udara yang dingin tersebut membuat mereka membutuhkan sesuatu untuk menghangatkan tubuh. Lantas, kebiasaan ini berlanjut pada malamnya. Minum kopi pada malam hari lebih diarahkan oleh Antariksa pada persoalan lain. Yakni kebutuhan untuk tetap terjaga larut malam. Kopi menjadi obat yang membantu untuk mengurangi tidur. Deri Wijayanto punya dua alasan mengapa mengkonsumsi kopi. Pekerjaannya sebagai te naga keamanan di Wisma Ratih milik PT Kere ta Api Indonesia menuntutnya harus terjaga se lama 24 jam. Makanya ia meminum kopi setiap hari. Alasan kedua, karena memang sudah ter biasa minum kopi. “Sudah lama suka ngopi, ru tinitas setiap pagi saja,” jelasnya. Kini tempat kerjanya yang memang berde katan dengan warung kopi cukup memudahkan nya mendapat kopi. Untung Deri pun bukan ti pikal orang yang suka pilih-pilih kopi. Asal na manya kopi pasti dia santap. “Iya...biasa pesen di sebelah,” ujarnya sambil menunjuk ke sebe rang tempat kerjanya. Jika ditilik kopi sebagai obat, Indra pun kini tak perlu pergi ke dokter jika menderita pusing. Ia mengaku, bila dilanda pusing, cukup dengan minum kopi hitam yang kental sudah membuat pusing-pusingnya hilang.W
“
Minum kopi sudah sede mikian membudaya meski kopi buk an tanaman asli Indonesia.
”
laporan oleh: Anna, Dian, Dawi, Rhea.
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
71
LAPORAN
khusus
Koffie Is Gulden* *Kopi itu emas (bld)
Kopi, bersama tebu, menjadi komoditi istimewa pada masa Hindia Belanda. Biji-biji merah kehitam-hitaman dari perkebunan di Jawa itu menjelma menjadi "gunung" gulden. Oleh : Moh. Habib Asyhad
K
“
Namun perkembangan pesat kopi berbanding terbalik dengan keadaan masyarakat Jawa pada umumnya
”
72
|
opi dibawa ke Indonesia oleh Belanda ta hun 1699. Sebelumnya, di tahun 1696 Gu bernur Jenderal Belanda di Malabar te lah mengirimkan bibit kopi ke Indonesia. Na mun, kopi-kopi yang ditanam di sekitar pela buhan Sunda Kelapa itu hanyut terkena banjir. Kali kedua kopi itu dikirimkan, kopi ditanam di daerah yang lebih tinggi, yaitu di Cornelis (se karang Jatinegara), Pondok Kopi, dan Kampung Melayu. Kali ini berhasil tumbuh. “Dari sini ba ru kopi disebarkan ke daerah Priangan, sekitar Sumedang, Garut, dan Bandung,” kata Dr. Surip Mawardi, peneliti kopi dari International Coffee and Cacao Research Institute (ICCRI). Tahun 1711 untuk pertama kalinya Belanda melakukan ekspor kopi. Lelang kopi pertama di duniatercatat terjadi di Amsterdam. Dalam ku runwaktu sepuluh tahun ekspor kopi jawa bah kan mencapai 60 ton per tahun. Menurut Prof. Dr.Bambang Purwanto, Dosen Seja rah UniversitasGadjah Mada, kopi waktu itu juga dikirim ke Amerika dan Kanada. “Bahkan sampai sekarang masih terkenal istilah java coffee,” jelasnya. Kopi jawa memonopoli perdagangan kopi duniadari tahun 1725 sampai 1780. Me lihat perkembangan ini, pemerintah Belanda mencanangkankebijakan baru untuk me nanam kopi di luar Jawa. Tahun 1750, un tuk pertama kalinya kopi ditanam di Sulawesi, diikuti di Sumatera tahun 1888, dan di Aceh tahun 1924. Keb erl angs unga n perk eb una n kop i di Indonesia tentu tak berjalan mulus. Awal tahun 1900-an muncul wabah penyakit yang menga kibatkan kerusakan parah pada tanaman kopi, khususnya pada jenis arabika. Pemerintah sem patmengganti jenis arabika dengan liberika. Na mun ini tidak bertahan lama karena kopi ini pun pada akhirnya terserang hama. Keputusan peme rintah Belanda akhirnya tertuju pada kopi robus ta, kopi yang dianggap cocok untuk mengganti varietas arabika yang habis. Menjadi Perkebunan Istimewa Kopi menjadi tanaman istimewa pada ma sa pemerintahan Belanda dan Inggris. Banyak kebijakan pemerintah yang menguntungkan bagi kelangsungan perkebunan kopi nusanta
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
ra. Berkaca dari kesuksesan di India, Thomas S. Raffles mengintruksikan para kepala desa di Jawa untuk menyewa tanah perkebunan kopi untuk dijaga dan dikembangkan kualitas pro duksinya. Bahkan dia juga menerapkan kontrak antara para tengkulak asing dengan para kepa la desa agar harga kopi terus terjaga. Namun, alih-alih mendapatkan keuntungan besar, usa ha Raffles mengalami kerugian besar. Menurut Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam Se jarah Perkebunan Indonesia, ini sebab Raffles kurang mempertimbangkan aspek struktural dan kultural masyarakat Jawa yang berbeda dengan kondisi masyarakat India. Tidak berbeda dengan Raffles, Van Den Bosch juga mempunyai perhatian yang besar terhadap kelangsungan kopi. Bahkan Bosch mengategori kantanaman kopi sebagai tanaman besar wajib ekspor. Bosch melihat, selain mempunyai pros pek tinggi, kopi juga tidak memerlukan irigasi yang besar. “Pada masa itu (tanam paksa) kopi merupakan tanaman yang paling banyak diusa hakan di beberapa karesidenan di Jawa, karena kopi merupakan jenis tanaman ekspor yang bi saditanam di seluruh daerah karesidenan,“ tulis Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. Namun perkembangan pesat kopi berban ding terbalik dengan keadaan masyarakat Jawa pada umumnya. Hal ini menuai kritik, bahkan dariorang Belanda. Sebagai konsekuensinya, pe merintah Hindia Belanda merubah sistem men jadi sistem yang tidak berat sebelah dan me rugikan petani. Tahun 1870 dimulailah babak baru sejarah perkebunan Indonesia, terutama perkebunan swasta, dengan diberlakukannya Agrarische Wet. Dibukanya campur tangan swasta memper besar kapasitas produksi kopi. Ditambah lagi bermunculannya perkebunan-perkebunan rak yat yang semakin nyata kedudukan dan peran nya. Butir-butir kopi itu menjelma menjadigulden (gulden adalah bahasa Belanda kuno untuk emas). Terhitung sejak tahun 1894 sampai1939 hasil perkebunan kopi meningkat dari 7sampai 39 juta gulden. Itu di Jawa, belum di Sumatera dan Kalimantan. W Laporan oleh Hasti Kusuma Dewi dan Prima SW
A Cup of Java
Mencicipi Buah dalam Kopi Satu lagi modifikasi dari kopi: kopi rasa buah. Ide baru yang patut di coba. Coba cicipi dan coba jadikan pe luang usaha. habib / EKSPRESI
Modifikasi baru dalam menikmati kopi
oleh
: Robiatul Adawiyah
K
buk Lampung terus saya tambahkan bubuk bu ah, ada sedikit gula pasir dan krimer,” kata Sandi. Menurutnaya, kopi buahnya itu tak berbahaya karena bubuk buahnya natural.
Iseng-Iseng Berhadiah “Kita mikir bagaimana caranya kalau lagi nggak musim durian tapi masih tetep bisa me nikmatikopi rasa durian.” Itu pikiran iseng Sandi dan kawannya. “Kebetulan temansaya eksportir kopi. Dia tahu link-link kopiyang bagus dan mu rah. Nah, itu dari iseng-iseng aja,” cerita Sandi. Dari hasil utak-atik, Sandi berhasilmembuat kopi rasa buah. Tapi ia hanya memanfaatkannya untuk diminum sendiri. Lagi-lagiia iseng mena warkan ke teman-temannya untuk mencicipi. Se karang, semua yang berawal iseng-iseng itu jadi usahautamanya. “Ya, namanya saja iseng, jadi cuma buat sam bilan. Kebetulan waktu itu saya juga lagiada usa ha lain. Jadi ya saya buat, terus saya minumsen diri, terus saya coba tawarkan ke teman-teman. Eh, mereka pada tertarik dan padapesan,”lan jut pria asli Lampung itu. Umumnya kopi mempunyai aroma yang ku at. Bila dicampurkan dengan aroma lain seper ti sirup buah, aroma kopi akan lebih dominan dan aroma buah dari sirup akan hilang. Untuk memunculkan rasa buah pada kopi racikannya, Sandi masih mengimpor serbuk buah asli da ri India. Sandi tidak menggunakan perasa bu atan karena menurut pengalamannya rasa bu ahnyahilang ketika dia mencoba menggunakan perasa buatan. “Jadi bahan yang saya gunakan itu kopi bu
Mulai Melanglang Indonesia Rumor bahwa kopi rasa buah hanya sedi kit peminatnya tidak mengurangi keoptimisan Sandi. Seoptimis para penyalurnya yang terse bar di Mataram, Kendari, Banjarmasin, Riau, Aceh, Yogya, Semarang, Malang, dan Bandung. “Namanya orang usaha ya harus optimis, kalau kita nggak optimis ya nggak bakalan bisa ja lan,” kata Dono, salah satu penyalur kopi buah Sandi di Lampung. Usaha Sandi kini sedang dalam menuju pasar internasional.“Sejauh ini kita belum ekspor, ta pi kemarin sudah sempat ada permintaan dari Mesir dan Australia,” tutur Sandi yang semasa SMEAmengambil spesialisasi Akuntansi. Banyak yang bertanya, apa kopi dicampur durian itu tidak berbahaya bagi jantung.“Duri anyang diekstrak ini kan sudah dikeringkan. Al koholnya sudah menguap ketika diekstrak itu ta di,jadi sudah nggak ada alkoholnya,” jelas Sandi. Alkohol inilah yang berpotensi membahayakan. Kopi buah produksi Sandi hingga kiniadalah sa tu-satunya di Indonesia dan sudah mendapat izin dari dinas kesehatan. “Dari pada saya nganggur di kamar men dingan saya tawarkan produk kopi buah ini ke temen-temen, itung-itung buat nambah uang saku,” tutur Anita, salah satu penyalur kopi bu ahSandi di Malang. Anita memasarkan kopi ra sabuah masih sebatas kepada teman-temannya. Berbeda dengan Anita, selain memasarkan kopi buah kepada teman-temannya, Dono juga mema sarkan ke kafe-kafe. “Selain ke teman-teman,sa ya masarinnya ke warung-warung, ke kafe-kafe gitu, yang sekiranya memang mereka sudahpu nya pelanggan,” tutur Dono.W
reasi kopi rasa buah dimulai oleh Sandi, pria berusia dua puluh delapan tahun yang kini tinggal di Lampung. Ketika musim durian, sudah jadi tradisi masyarakat Lampung untuk minumkopi hitam yang dicelu pibuah durian.Inilah awal muncul ide membuat kopirasabuah. Dari coba-coba, ide ini menjadi peluang bisnis. Hasil utak-atik, Sandi tak hanya bisa membuat kopi rasa durian, tapi juga melon, stroberi, leci, blueberry, mangga, dan anggur.
“
Jadi bahan yang saya gunakan itu kopi bubuk Lampung terus saya tambahkan bubuk buah, ada sedikit gula pasir dan krimer Sandi
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
” |
73
LAPORAN
khusus
Habis Manis, Kopi Dibuang Tahun 70-an, Pabrik kopi Sumberbeju ramai oleh derit mesin dan akti vitas pekerja. Kini, cuma gelepar ikan dalam air yang menggema da lam bangunan tua itu. Oleh Dian Dwi Anisa
O
r ang awam yang melihat selintas Pabrik kopi Sumberbeju di Desa Tegalrejo, Ke camatan Sumbermanjing Wetan, Malang, tak akan menyangka bangunan raksasa itu dulu nyapabrik kopi. Ada bagianyang dijadikan kolam ikan dan tempat parkir mobil oleh penduduk di sekitarnya. Selebihnya rongsok. Pabrik Sumberbeju berada di areal Kebun Pancursari, milik PT Perkebunan Nasional (PTPN) XII Pancursari. Dalam lampiran Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan tersebut, kebun itu sejatinya ada ditanami kopi. Tapi kopi sudah digusur sejak tiga belas tahun lalu. Oleh PTPN XII, kebun dia lihfungsikan untuk ditanami sengon, karet, ceng keh, dan mindi. Pengalihfungsian ini salah satu akibatnya membuat Pabrik Sumberbeju dianggur mati. Me nurut Kepala Desa Tegalrejo dua periode terakhir, Mardjoko, pengalihfungsian itu guna memperke cil biaya produksi. “Adapun sengon tidak memer lukan perawatan khusus. Cukup ditanam dan di tunggu hingga siap panen setelah 6 tahun,” kata nya dengan yakin. Penggunaan tenaga kerja bi sa diperkecil jumlahnya setelah alih fungsi ter sebut. Prima / EKSPRESI
PTPN XII. Instansi pengelola Pabrik Kopi Sumberjero
74
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
Sewaktu pengalihfungsian terjadi, Mardjoko dan warga sekitar sempat menanyakan sebab nya. “PTPN sih tidak bilang alasannya kenapa. Sa ya beranggapan seperti ini (takut mengeluarkan banyak biay a untuk merekrut pegawai) ya kare na hanya sedikit orang dari desa sini yang beker ja di perkebunan. (Cuma) sekitar 5% (dari total karyawan pabrik),“ Mardjoko memberi penjela san. “Waktu ditanya, pihak PTPN bilang penga lihan itu adalah instruksi presiden. Mana mung kin presiden ngurusin hal semacam itu?“ Purnomo, Manajer Wilayah Malang PTPN XII, semula menolak menjawab mengapa kebun itu di alihfungsikan. Tapi pada akhirnya ia mengatakan, “Saya punya perkebunan, saya mau mengusaha kan katakan kopi, tapi kopi harganya jatuh, turun terus. Apa ya terus dipelihara kopi ini?” Perubahan komoditas yang ditanam ini dila kukan perlahan. Ingatan Mardjoko beranjak mun dur, mencoba mengingat kapan persisnya penga lihfungsian dilakukan. “Perubahan tidak total ter jadi tahun 1972 saat perkebunan mulai ditanami coklat dan cengkeh, walaupun kopi masih sedikit diproduksi. Yang total itu tahun 1997, hanya se ngon yang ditanam.”
SengkarutHGU Pengalihfungsian itu berbuntut panjang. Lam piran item komoditas yang ditanam dalam HGU bukan sekedar tulisan tanpa arti. Kalau tertulis ko moditi yang ditanam adalah kopi, namun di lapa ngan nihil kopi, itu berarti masalah. Sejak peng alihfungsian, HGU Kebun Pancursari dibatalkan secara parsial. Tanpa HGU, PTPN yang tak boleh memanfaat kan areal itu. Akibatnya, sebagian lereng-lereng di kawasan Kebun Pancursari hanya ditumbuhi ila lang. “Di satu sisi berpeluang menimbulkan erosi,” Kata Ir. Meniel, Kepala Bagian Tanaman Perkebu nan di Dinas Pertanian dan Perkebunan Malang. Dari Ir. Meniel diketahui, HGU Kebun Pancursari adalah untuk kopi, kakao, dan karet. Ir. Meniel termasuk dalam rombongan DPRD Malang yang melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Kebun Pancursari, awal tahun ini. Si dak inilah yang menemukan Pabrik Sumberbeju dalam rupa rongsok raksasa. Padahal, sebagai BUMN, ada prosedur untuk PTPN melaporkan hasil produksinya setiap tahun ke instansi pe
A Cup of Java HGU nya sudah batal sekian tahun itu.“ Sejarah PTPN Pancursari Kebun Pancursari yang saat ini berdiri di atas tanah seluas 4000 hektar punya sejarah dan kenangan sendiri di hati penduduk Kecama tan Sumbermanjing, khususnya Desa Tegalrejo dan Sekarbanyu. Dimulai dari jaman penjajahan Belanda yang menerapkan sistem tanam paksa se jak tahun 1830. Kebun ini hanya mempunyai lu as sekitar 2500 Hektar dengan tanaman kopi dan karet sebagai komoditas utama. Masyarakat seki tar dilibatkan menjadi buruh dengan upah sangat rendah. Setelah pendudukan Jepang dan kekala han Belanda tahun 1942, perkebunan Pancursari beralih tanaman, tentara Jepang memperkerja kan pribumi untuk menanam kapas, rami, dan jarak untuk mendukung Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pa da sekutu, perkebunan mengalami kekosongan kekuasaan dan segera diambil alih oleh warga Tegalrejo dan Sekarbanyu. Kebun ditanami ber bagai tanaman pangan untuk kepentingan peju ang dalam mempertahankan kemerdekaan dan penopang hidup masyarakat setempat. Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1957. Warga hidup cukup sejahtera dan dapat mulai membangun fa silitas umum seperti sekolah, tempat ibadah, lum bung desa dan jalan-jalan desa. Tahun 1958 pemerintah mengeluarkan Un dang-undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang na sionalisasi perusahaan perkebunan eks kolonial Belanda di seluruh Indonesia. Atas dasar undangundang tersebut, maka perkebunan Pancursari mulai dikelola oleh PPN ANTAN XII dan PPN KARET XV dan sebagian tanah tetap dikerjakan oleh warga Tegalrejo dan Sekarbanyu. Sesuai dengan keterangan dari Mardjoko, se kitar tahun 1966 rumah-rumah dan tanah warga mulai digusur agar tanah bisa dijadikan areal per kebunan.“Masyarakat itu punya tanah 10 atau 5 hektar, hanya mendapatkan ganti tanah 500 meter persegi.W
“
Syarat HGU kan ada fungsi sosial terhadap masyara kat sekitar,“ Mardjoko.
”
Laporan oleh Moh. Habib Asyhad dan Prima SW.
Ir. Menial, Kepala Bagian Tanaman Perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan saat ditemui di kantornya,Malang
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
Prima/ ekspresi
merintah terkait. Tiap tiga tahun juga ada agen da pemeriksaan lapangan yang melibatkan Di nas Perkebunan dan Pertanian serta Badan Per tanahan Nasional. Sesuai kesaksian Mardjoko yang juga per nah menjadi pegawai di PTPN, HGU yang per nah diberikan ternyata dibatalkan secara parsi al pada 1996. Jika menilik Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 40 tahun 1966, maka PTPN tidak bisa memperpanjang HGU. Dalam pa sal 9 peraturan tersebut tentang Hak Guna Usa ha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Ta nah menyebutkan bahwa Hak GunaUsaha dapat diperpanjang atas permohonan pemegang hak, jika tanahnya masih diusahakan dengan baik se suai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberi an hak tersebut. HGU Kebun Pancursari akan habis 2014 nan ti, sementara warga Tegalrejo tengah berusaha mendapatkan hak ikut mengelola tanah Kebun Pancursari. Mardjoko dan warganya telah mem bentuk kepanitiaan yang bahkan sudah berkela na hingga Jakarta untuk memperoleh hak terse but. Tapi bagi Purnomo, mengelola tanah kebun Pancursari bukanlah hak warga. “Lho, dasarnya apa masyarakat sini minta me ngelola?“ Kata Purnomo yang kala itu ditemani Budi, Manajer Kebun Pancursari. “Misalkan gi ni, aku punya kamar ini, sampeyan minta ‘Pak, aku numpang tidur’, kalau aku nggak ngizinkan gimana? Nggak tidur, kan? Kan nggak boleh. Lha dia (Mardjoko) minta yang ngelola rakyat sana itu dasare opo? Wong kene sing mau ngelola, da sare opo? (Orang sini minta mengelola itu dasar nya apa?),“ dia berargumen. Tiga puluh kilometer dari Kota Malang, diru mahnya di Tegalrejo yang terpencil dan tanpaas pal, Mardjoko menjawab. Alasan wargameminta hak untuk turut mengelola karenasebagian lahan ditelantarkan PTPN. Sesuai HGU, tanah tersebut harus mempunyai fungsi sosial. “Syarat HGU kan ada fungsi sosial terhadap masyarakat sekitar,“ ja wabnya sambil bersandar pada sofa hijau. Diantara dua pihak berseteru, Dinas Pertani an dan Perkebunan hanya bisa jadi pemberi sa ran. “Memang lahan di sana kurang terpelihara. Meski masih ada tanaman, tapi pemeliharaannya kurang. Sehingga keinginan dari masyarakat un tuk memanfaatkan. Sehingga arahnya adalah ada MoU antara masyarakat dengan PTPN untuk ker ja sama,“ ujar Ir. Meniel. “Di lereng-lereng itu kan memang tidak ada ta naman sama sekali. Di satu sisi kan itu erosi. Nah itulah makanya masyarakat ingin mengelola. Tapi itu kan tidak mudah. Aturan-aturan itu harus di lalui, kemarin kami beserta DPR juga sudah mela kukan survei, termasuk dinas terkait memberikan telaah staf, itu yang menjadi bahan pertimbang an kelengkapan usulan pemanfaatan (lahan) yang
|
75
LAPORAN
khusus
Bersahabat dengan “Si Hitam“
Kopi dikungkungi mitos negatif yang mengakar. Padahal, kopi pu nyaefek positif yang baik bagi tubuh jika dikonsumsi dengan benar. Oleh: Endarti
“
Kalau minum kopi di pagi hari itu jadi terstimulasi untuk bekerja. Dr. Surip mawardi
”
76
|
Yang Baik yang Dipetik Dr. Surip Mawardi, ahli kopi dari Indonesia Coffee and Cacao Research Institute (ICCRI) me nyatakan bahwa masyarakat Indonesia masihba nyakyang salah kaprah ketika menilai kopi. Pa dahal menurutnya sudah ada 19.000 judul riset mengenai kopi yang menyatakanbahwa kopi ba ik untuk kesehatan. “Kalau minum kopi di pagi hari itu jadi tersti mulasi untuk bekerja. Kafein, dalam sistem ker jaotak,merupakan pesaing adenosin. Kalauada adenosin, orang jadi mengantuk, karenaadeno sinmerupakan pecahan Adenosine triphosphate,” terangnya. Tak hanya itu, si hitam ini mampu mengha langi bakteri patogen yang dapat merusak gigi dan memperlancar produksi air liur. “Jika aliran darah lancar, maka produksi air liur, yang ber guna untuk melumaskan makanan dan mem buang sisa makanan, juga lancar,” ujar dr. M. Danu Aryandaru yang bertugas di Puskesmas Delanggu,Klaten. Kopi juga kaya antioksidan. Antara secangkir kopi dan secangkir teh, kopi punya antioksidan empat kali lebih banyak. Selain merupakan sum berantioksidan, kopi juga dapat mengurangi ri siko batu ginjal dan batu empedudan juga dapat menimbulkan efek bagus bagi psikologis. Dokter Yusuf juga menambahkan bahwa ko
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
pidapat memperlancar aliran darah. Menurutnya jika aliran darah lancar, maka sistem kerja organ -organ tubuh juga lancar. Bahkan menurutnya, obat sakit kepala yang mengandung kandungan kafein akan mempunyai dampak yang lebih ce patdalam proses penyembuhan. “Fungsi dari kafein dalam obat sakit kepala adalah mempercepat penyerapan dan efek dari obat itu lantaran aliran darah lebih cepat, jadi ce patmasuk ke daerah target,” paparnya. Kopi ju ga punya pengaruh baik untuk ginjal. Efek me lancarkan darah kopi membuat kerja ginjal se makin lancar. Lampu Kuning untuk Penderita Jantung Namun, penderita penyakit hipertensi, jan tung, dan maag perlu waspada menghadapi ko pi.Takboleh berlebihan. Bagi penderita penyakit jantung dan hipertensi, kafein dapat mengakibat kansesak nafas dan serangan jantung. “Efek kopi yang paling utama kan di jantung, jadi mempercepat kerja jantung. Kemudian teka nan darah naik, dan terjadi penyempitan pem buluh darah koroner. Jika pembuluh darah se makin menyempit, tekanan juga semakin naik. Halini bisa membahayakan bagi para penderita jantung, bisa kena serangan jantung,” papar dr. MuhammadYusuf. Hal senada juga dilontarkan oleh dr. Tini Wijayanti. “Orang yang punya penyakit jantung danhipertensi tidak boleh minum kopi, bisa se saknanti. Minum kopi juga bisa me nimbulkan nyeri bagi orang yang sakit maag.“ Surip Mawardi menyarankan untuk mengonsumsi kopi dalam batas aman. ” Secara umumko piitu baik untuk kesehatan de ngan tingkat konsumsi dua sampai tiga cangkir per ha ri,” ungkapnya. W
Dr. Surip Mawardi, ahli kopi dari ICCRI PRIMA / EKSPRESI
F
ebriani Tri Sulistini sudah minum kopi se jakkelas 1 SMP. Dia yang ketika ditemui se dang lesehandi warung kopi di pinggir Ka li Code, dalam sehari ia bisa menenggak empat hingga sepuluh gelaskopi. Alasannya perempuan bertubuh mungilini, “Saya punya darah rendah. Kalau nggakminumkopi jadinya ngedrop”. Tapi Febriani malah dijerat penyakit lain.Aki batkonsumsi kopi berlebihan, ia sempatopname selama seminggu. Dokter menyarankannyauntuk berhenti, atau minimal mengurangikopinya. Ta pi Febi ngeyel saja. Ia tetap mengonsumsi kopi. Tanpa kopi ia justru merasa sakit yang berlebih danmerasa ada yang kurang. “Kopi itu seperti rokok, dapat merangsang otakuntuk memproduksi endorphin, jadi kitame rasa agak tenang dan nyaman. Zat itu jugayang meringankan rasa sakit yang dirasakan Febi,”dr. Muhammad Yusuf memberikan penjelasan.
A Cup of Java
Imajinasi Secangkir Kopi “Brilliant ideas born in a cup of coffee”
ISTIMEWA
Oleh: Hamdy Salad*
K
alaulah petikan anonim itu benar, bahwa ide-ide besar terlahir dari secangkir ko pi, mungkin orang tak perlu lagi percaya pada sekolah. Pada guru dan lembaga-lembaga formal yang sejak berab ad-abad telah dijadikan tempat untuk belajar berpikir tepat.Lalu orang dicekam khayal, berbondong-bondong pergi ke kedai setiap hari. Menghabiskan waktu berjamjam, baru kemudian pulang kerumah bersama raga dan jiwa yang tenang. Karena merasa hi dup seperti sudah teratasi, dan segala yang ber bau busuk dalam diri telah bercampur dengan keharuman bubuk kopi. Bahkan bisa jadi, khayal itu akan membu bung lebih tinggi dari awan, ketika orang juga percaya pada tokoh-tokoh besar dunia yang me lahirkan pemikiran revolusionernya dari lingkar an meja kursi di kedai kopi. Konon, karena se ringnya nongkrong dan berdebat di kedai kopi, tokoh-tokoh pemikir seperti Pascal, Descartes, Nietzschze, Kierkegard, Heidegger, Foucault dan beberapa nama lain mendapat julukan Filosof Kedai Kopi. Suatu julukan yang terkadang juga digunakan untuk mengejek para pemikir hebat di bidang filsafat namun tidak pernah sekolah di fakultas tersebut. Untuk dicatat dalam buku biografi para filosof, kaum seniman dan cerdik pandai, juga sultan dan raja; tidak sedikit di an tara mereka yang menjadikan bubuk hitam ke coklatan itu serupa candu. Di kalangan seniman, orang pun pernah mendengar jika Camus, Sartre, Picasso, Victor Hugo, Hemmingway dan masih banyak lagi la innya, merupakan tokoh-tokoh yang hampir se tiap hari dating kekedai kopi. Orang juga sela lu ingat jika Sebastian Bach pernah menyusun komposisi berjudul “Coffee Cantate”sebagai pa rody ketakutan para penggemar bir di Leipzig (Jerman) karena maraknya kedai kopi waktu itu. Di negeri ini pun, telinga orang masih ter ngiang dengan berita Mbah Surip, seniman ja lanan itu, meninggal dunia karena kopi. Para
pecinta sinema pasti juga ingatakan kehebatan Teguh Karya dalam film yang di beri judul “Se cangkir Kopi Pahit”. Orang tentu tak menyangka, jika Jamaluddin al-Afghani, dan muridnya Muhammad Abduh (dua tok oh yang memb eri ins pir asi Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah) itu juga pengunjung setia kedai kopi. Hingga keduanya berhasil melahirkan revolusi di Mesir pada ta hun 1919, serta menjadikan Sa’ad Zaghlul, sa habat dari kedua tokoh tersebut, sebagai per dana menteri Mesir yang pertama. Dalam be berapa catatan, Anwar Sadat dan Gamal Abdul Naserdi masukkan juga sebagai pengunjung se tia kedai kopi yang sama. Hampir di setiap kota besar dunia, kedaikedai kopi dibangun dengan tujuan berbedabeda. Namun esensinya tetap sama, memberi ru ang kepada siapa saja untuk saling bertemu dan berbincang tentang segala sesuatu. Didalamnya lahir tafsir tentang hidup dan kematian yang te rus berkembang lebih dari yang diaj arkan aga ma. Lahir pula bentuk-bentuk pemikiran baru yang berbeda, bahkan menyimpang dari logika ilmu sekolahan. Karena itu, kedai kopi dikenal bukan saja di kalangan kaum proletar dan bor juis, tapi juga menjadi lebel kebebasan berpikir bagi kaum intelektualdan pemberontak. Dari bercangkir-cangkir kopi, sebenarnya lebih kekedai kopi sebagai tempat pertemuan, imajinasi berkembang. Imaji khas yang melu as dari obrolan-obrolan, tentu ini tak akan ki ta temui ketika berkurung diri di rumah. Kopi menjadi doping yang memacu kita berkelana di alam pikiran.Merambah dunia konsep, menyen tuh, lalu membentuk ulang atau bahkan meng hancurkannya.W *Penyair, dosen Creative Writing FBS-UNY, aktivis Kedai Kopi Deedonk
“
Didalamnya lahir tafsir ten tang hidup dan kematian yang ter us berk emb ang lebih dari yang diajark an agama
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
”
|
77
Pendobrak Tradisi Ngopi
78
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
A Cup of Java
B
adrun dalam bahasa Arab berarti bulan purnama. Tapi Cak Badrun benar-benar tak identik dengan purnama yang benderang. Pria yang punya nama asli Nahrudin ini berkulit hitam dan berkutat dengan dunia “hitam”. Karena dia adalah peda gang, pembuat, sekaligus penikmatkopi. Cak (panggilan untuk lelaki dewasa di Jawa Timur) satu ini adalah pemilik warung kopi Blandongan, pelopor warung kopi di Yogya. Inilah bincang-bincang “hitam” Reporter EKSPRESI, Anna Nurlaila K. dengan Cak Badrun. Asal kata blandongan itu sendiri apa, Cak? Asal kata blandongan sendiri memiliki ba nyakversi. Di daerah pesisir pantai utara ada ba ngunan kecil semacam balai desa. Bangunanterse but bisa disebut dengan blandongan. Blandongan sendiri difungsikan untuk orang -orangatau para nelayan untuk pertemuan. Nongkrong pada pagi, siang, dan sore. Semacam aulanyapara nelayan. Tapi bukan tempat resmi untukperkantoran, wa laupun kadang dipakai untuk tempat musyawa rah para nelayan. Kenapa Cak Badrun tertarik dengan namaitu? Karena saya adalah anak pantai. Kapan Blandongan mulai dibangun? Blandongan dirintis pada 17 Mei 2000. Awal nyamengontrak kios berukuran 2,5 x 2,5 meter. Sepuluh bulan kemudian pindah, ngontrak di Gaten, Condong Catur. Ukurannya 3 x 4 meter, sampai akhir 2004. Baru tahun 2005 pindah di sini, Sorowajan Baru. Bagaimana perkembangannya sejak berdiri hingga sekarang? Tiga tahun pertama kerja keras menanamkan image bahwa kopi itu menu yang layak dikonsum si. Satu-dua tahun pertama membukawarung, ko pi murni masih (kopi khas Jawa Timur) belum ba nyak didengar di Yogya. Makanyakopi jualan sa ya menjadi sesuatu yang asing.Baru setelah tahun ketiga bisa diterima, dalamartian dikenal. Benarkah Blandongan yang pertama merintis warung kopi di Yogya? Blandongan, kata teman-teman, termasuk pendobrak masyarakat akan minum kopi, me masukkan kebiasaan minum kopi yang waktu itu masih asing. Dari proses perjalanan operasional usaha, saya punya pelanggan-pelanggan. Dari awal kita juga membuat produksi kopi sendiri. Diawali temanteman pelangan juga punya. Kemudian mereka mencari bubuk kopi dan ternyata di Yogya sulit mencari, dari pengolahan maupun alat-alatnya, mereka mengambil alternatif untukmengambil di Blandongan, maka kami pun melayani, lalu lanjut ke orang-orang lain. Penjualanbubuk kopi dimu lai dari tahun 2004.
Menurut Cak Badrun, bagaimana citra warung kopi itu? Warung kopi itu konsepnya tempat tong krongan, ngobrol. Kenapa Cak Badrun suka kopi? Tradisi dari masyarakat di daerah saya, Jawa Timur. Bahwasanya kopi menjadi minuman se hari-hari. Wedangnya orang Jawa Timur. Jarang orang sana nge-teh kecuali setelah makan. Sejak kapan Cak Badrun mulai ngopi? Kalau ditanya kapan, ya sejak di kandungan,ka rena ibu saya juga ngopi. Bahwasanya bayiitu ba gus dikasih minum 1 sendok teh kopi (setelah tidak minum ASI) setiap pagi dan sore,untuk menguat kan jantung. Kopi juga bagusuntuk anak kecil, bisa digunakan sebagai obat.Kalau orang sakit asma bi asanya disuruh menghirup aroma biji kopi goreng, sebagai terapiuntuk memacu detak jantung. Dalam sehari, biasanya berapa kali Cak Badrun bisa minum ngopi? Sehari saya bisa ngopi 2-3 kali. Tetapi saya ju gamengik uti tamu. Kalau tamu banyak, saya mi numnya juga banyak. Kalau ngopi secarapribadi paling cuma satu kali. Enak mana, kopi murni atau yang ada campurannya? Bagi saya kopi itu sama saja. Yang penting me nikmati, yang penting kopi. Sebagian orang yang biasa minum kopi tiap hari mengaku akan pusing kalauseha ri tidak minum kopi. bagaimana dengan Cak Badrun? Karena rumah saya warung kopi sekaligus gu dangnya kopi, saya nggak pernah kekurangankopi. Jadi nggak tahu rasanya kalau tidak minum kopi. Cak Badrun kan punya jargon. Selamat kan Generasi Bangsa dari KekuranganKo pi”, bagaimana ceritanya? Dulu kan selain jual kopi, juga jual minumanminuman sachet. Dalam plastik tempat renteng an sachet itu ada tulisan, “selamatkan anak bang sa dari kekurangan gizi”. Lalu tulisan gizi digan ti kopi. Jadilah jargon “Selamatkan Anak Bangsa dari Kekurangan Kopi”. W
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
79
LAPORAN
khusus
Manisnya Kopi Pahit Bu Lek Muniwer mulanya pelayan di sebuah warung. Kini ia sudah punya warung kopi sendiri, “fans” setia, dan panggilan khas: Bu Lek. Oleh: Endarti
B
erbekal sebuah jaket merah muda, tiga tas belanja, enam lembar uang seratus ribu, dan lima buah kerupuk untuk sarapan, Bu Lek duduk di pelantar warungnya. Sementa ra itu, Pak Lek, suaminya, mengeluarkan motor dari warung. Pagi ini kami hendak membuntuti Bu Lek belanja di Pasar Tanjung, Jember. Wak tu menunjukkan jam setengah tiga pagi. Ini tidak seperti biasanya. “Kecapekan Bu Lek-nya mbak, biasanya Bu Lek beli kopi jam 2,” sahut Pak Lek yang nama aslinya Sutomo. Sambil mengunyah dan membolak-balikkan sarapan paginya, Bu Lek bercerita tentang kopi yang akan dibeli dan harganya. “Bu Lek mau beli kopi GB, kopi nomor satu. Satu kilo sembilan be las ribu.”Ia memakan kerupuknya, lalu melanjut kan “Bu Lek belinya tiga kilo untuk dua hari .” Tak lama kemudian, Pak Lek memberi tanda kepada Bu Lek untuk segera beranjak dari bang kunya. Dengan gigil karena angin subuh datar an tinggi, kami membuntuti motor yang di atas nya Bu Lek sedang memeluk pinggang Pak Lek dengan mesra. Sepuluh menit kemudian, tibalah kami di pasar terbesar di kota Jember. Seperti biasanya, Pak Lek memarkirkan sepeda motor nya gratis. ”Saya itu sudah kenal akrab de ngan tukang parkirnya,” imbuh pria berkulit gelap ini. “Beli kopinya di lantai atas, dik”, lalu kami ber jalan bers isia n den gan Bu Lek. Kenapa pilih kopi GB? Tanya saya pada wa nita yang pernah dua kali menikah ini. “Ya anak-anak
I/ ART END
80
|
SI
PRE
EKS
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
itu mintanya yang enak, karena yang lainnya ndak enak, dik. Pertama buka warung, Bu Lek be li kopiNangka, tapi anak-anak ndak mau. Bu Lek kandulu ndak tahu. Nak Derry bilang sama Ibu suruh ganti kopi, dan jangan beli yang Nangka lagi,” kata Bu Lek sambil mengingat-ingat. Anak-anak yang dimaksud Bu Lek adalah ma hasiswa-mahasiswa Universitas Jember (Unej) yang kerap nyangkruk (nongkrong) di warung kopi Bu Lek. Warung itu letaknya di dekat Fa kultas Pertanian, kompleks Universitas Jember. Makanya, langganan Bu Lek kebanyakan ada lah mahasiswa. terlebih, jualan Bu Lek tak ha nya kopi, juga nasi dan lauk-pauknya, hingga rokok. Selama30 menit,Bu Lek bolak-balikantara lantaisatudan lantai dua pasar itu. Ini cumase bagian dari rutinitasnya. Bekerja dari jam tiga pagisampaijamsembilanmalam,Bu Lek mera sasenang-senangsaja.“Capekyacapek,tapikok Bu Lek-nyaseneng ya.”Naikturuntanggapasar dianggapnya sebagai olahraga pagi saja. “Kalau tidakseringolahraga,nanti sakit. Kalaupunsa kit, Bu Lek sakitnyacumasakitmumet. Satuhari juga sembuh,” tegaswanitayangtidaktahu pas ti berapa umurnyaini. Jarum pendek di jam tangan saya nyaris tepat di angka empat. Setelah menganto ngi satu kilogram wortel, belan jaannyayang terakhir,danga galmenawartujuhikatsawi, Bu Lek dansuaminyaberan jakpulang. KopibuatanBu Lek di sukai karena diolah sen diri.Biji kopi GB tadi di bersihkan dari kulit yang menempel, lalu disang rai. Tiga kilogram biji kopi disangrai selama emp at jam. Set el ah itu biji kopi yang su dah matang dihalus kan. “Ini, Bu Lek baru dapat sembilan kilogram (kopi sangrai), nanti kalau sudah terkumpul dua belas kilogram, Bu Lek selepin (haluskan, -red),” kata Bu
A Cup of Java Lek sambil menunjukkan dua karung kecil kopi bubuk yang dihaluskan dua minggu yang lalu. Pukul sembilan pagi Bu Lek masih sibuk me masak gorengan. Sedang asyik-ayiknya men goreng tempe, terdengar panggilan dari pelang gannya, ”Rokoknya satu bungkus.” “Ya. Apa la gi?” Tanya Bu Lek dengan logat maduranya. “Ce petan mbok, dibuat kopinya,” sahut pelanggan tersebut. Mendengar nada kurang enak dari pe langgannya, Bu Lek yang dikenal karena kese derhanaannya ini hanya tersenyum simpul dan mencoba mengajak bercanda.”Kenapa? Lagi nggak punya uang? Memang tidak enak jadi pe gawai. Beli sawah saja,” kata Bu Lek sambil ter tawa ringan. Awal Mulanya Warung Kopi Itu Sebelum tinggal di Jember dan membuka warung kopi, Bu Lek adalah petani bakau di de sanya, Trancak, Songsongan, Sumenep. Sete lah bercerai dari suaminya, Bu Lek pindah ke Jember untuk menghindari mantan suaminya. Di Jember, wanita yang tidak pernah menge nyam bangku sekolah ini mula-mula berjualan daun pisang dan kelapa di Pasar Tanjung. “Dulu saya tinggal sama bu lek-nya saya di Klungkung. Jualan godhonge pisang sama klopo (jualan da unpisang dan kelapa),” kenang Bu Lek. Tah un 1990, Bu Lek men ik ah den gan Sutomo, duda beranak dua yang pertama kali ditemuinya di Pasar Tanjung. Mereka lalu pin dah ke Surabaya. Karena tidak mampu menyewa rumah, Bu Lek sekeluarga tinggal dalam rumah kardus di bawah jembatan di Surabaya. Untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup seharihari, Bu Lek membantu suaminya yang kala itu menjadi tukang becak, dengan bekerja sebagai pelayan di warung-warung dekat rumahnya. Mereka lalu kembali ke Jember, dan berhasil membangun rumah sederhana. Bu Lek dan sua minya menyewakan sebagian rumahnya untuk kos. Saat itu pun, Bu Lek sempat menjadi buruh cuci bagi anak-anak kosnya, untuk menambahnambah uang belanja. Sekitar tahun 1997, empat mahasiswa Unej yangngekos di tempat Bu Lek memberi modalRp 300.000 kepada Bu Lek untuk membuat warung kopi. ”Dulu itu nak Deri, Didik, Bondan, sama Rotib ngasih modal ke Bu Lek sekitar tiga ratus ribu rupiah. Kata nak Dery, dia kasihan sama Bu Lek yang kerjanya nyuci-nyuci pakaian,” cerita Bu Lek. Untuk mencucikan baju mereka, Bu Lek dibayar sepuluh ribu rupiah per bulan. Dari uang itu, jadilah warung kopi di Jalan Kalimantan nomor 71 itu. Mulanya hanya selu as empat meter persegi dan berdinding gedek (anyaman bambu, -red). Warung kopi yang mu lanya tak bernama, seiring semakin ramai, kemu dian akrab disebut warung kopi Bu Lek. Dulu, se hari berjualan paling banyak dapat Rp 200.000.
Warung Kopi Bu Lek telah berdiri selama sejak 1997.
ENDARTI / EKSPRESI
Kini, dalam sehari Bu Lek rata-rata mendapat Rp 800.000. Bahkan karena terkenalnya, ba nyak sponsor ingin nampang di tempat Bu Lek. Tampak dua merk rokok menghiasi tembok dan kursi-kursi di warung kopi Bu Lek. Komunitas Warung Bu Lek Sekelompok pemuda mengelilingi meja pan jang dari kayu sambil berganti-gantian bercerita. Di meja lain, sekelompok pelanggan asyik berma in kartu. Di sebelah kanan pemain-pemainkar tu itu, dua pemuda sedang bernyanyi dengan gi tar. Ada satu kesamaan di antara mereka: kopi hitam di setiap meja. Para pelanggan ini menyebut diri merekako munitas warung Bu Lek. Komunitas warung Bu Lek tidak hanya mahasiswa Fakultas Pertanian Unej yang kampusnya berdekatan dengan wa rung Bu Lek, tetapi juga dari luar Unej, bahkan hingga orang dari luar Jember. Anggota komu nitas ini punya seragam. Kaos putih bertuliskan Warung Bu Lek. “Bia s an ya anak-anak mem ak ai ser ag am, mbak, tapi akhir-akhir ini memang agak kurang disiplin,” celetuk salah satu pelanggan Bu Lek yang bernama Rino Sebastian. Sambil menikma ti kopi pahitnya, pria yang akrab dipanggil Pai ini bercerita. “Saya setiap hari selalu ke sini. Di antara warung-warung yang lain, ini yang paling enak.” Menurut alumni Unej ini, komunitas warung Bu Lek sudah terbentuk warung Bu Lek ada, tapi ba ru eksis sekitar tahun 2005-2006. “Kalau mau li hat sejarah warung Bu Lek, lihat saja Facebooknya, mbak, Warung Bu Lek Community,” ung kapnya dengan penuh semangat. Bila menilik mundur, Bu Lek yang sekarang bahkan punya “fans club” sendiri, mulanya hanya lah petani bakau di pelosok Madura. Kopi pahit buatan Bu Lek jadi terasa manis di lidah saya. W
“
Kopi buatan Bu Lek disukai karena diolah sendiri.
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
”
|
81
LAPORAN
khusus
Mari Melukis (dengan Kopi) Gairah seni tak hanya teraba di galeri-galeri, gedung-gedung pertunjukan, dan jalanan. Proses kreatif seni juga ada di warung kopi. ISTIMEWA
Oleh: Moh. Habib Asyhad
W
“
“Katanya sih enak. Sambil nongkrong dan ngobrol orang bisa me lukiskan ampas kopi di atas rokok sesuai dengan selera mereka” Doni
82
|
”
arung kopi di pinggir kota Semarang itu bernama Warung Kopi Lelet. Diah ada lahsalah satu pelanggannya. Hampirti ap hari ia bertandang ke sini. Di atas meja yang dikelilingi Diah dan teman-temannya, batangbatang rokok terjajar siap diisap. Kertas pem bungkus tembakaunya tak lagi polos, tapi telah digambari dengan aneka corak. Dari yang sebatas garis lurus hingga motifbatik. Ada pula yang keseluruhan permukaannya tertutupoleh hitamnya ampas kopi. “Ini namanya nglelet, alias melukis rokok dengan ampas kopi yang telah dikeringkan dengan selembar kain tisu,” cerita gadis asli Pati ini. Untuk nglelet, biasanya kopi tidak diminum dari gelas atau cangkirnya. Kopi dituangkan se dikitke ceper baru dihirup. Sisa-sisa di ceper itu laludibiarkan hingga ampas kopinya mengendap. Untuk membuang airnya, sehingga ampas itu bi sadipakai, digunakan tisu. Ampasitulahyang ke mudian menjadi “cat lukis”, setelah sebelumnya dicampur dengan susu kental manis. Susu dipakai agar ampasmerekat pada kertas rokok. Sesuai namanya, yang paling khas di warung kopi ini adalah tradisi ngeleletnya. Ada kenikma tan tersendiri ketika mengisap rokok yang telah dibaluri ampas kopi. “Katanya sih enak. Sambil nongkrong dan ngobrol orang bisa melukiskan ampas kopi di atas rokok sesuai dengan selera me reka,” ujar Doni, sang pemilik warung yang justru tidak merokok dan tidak minum kopi ini. Di daerah asalnya, Rembang, kegiatan melu kis rokok ini disebut nglelet. Doni, yang berasal dari Pati, bersama istrinya yang berasal dari Rembangmemperkenalkan tradisi ini.karena me lihat peluang. “Kami melihat banyak mahasiswa dariRembang yang kuliah di sini, makanyakami berinisiatif membuat warung yang berbeda di Semarang.Kebetulan waktu itu Semarangbanyak didominasi oleh kafe-kafe,” cerita Doni Kopi dan tradisi lelet Rembang juga meram bahke Yogyakarta. Menurut cerita Gugun, seorang pemilik warung kopi di Bantul, orang-orang Rembang yang membawa kebiasaan nglelet ke Yogya. Ketika mereka melakukan kegiatan ngleletdi wa rungkopi, orang-orang yang tak tahu-menahu pe rihal kebiasaan itu jadi penasaran dan mencontoh nya. Dari sanalah kebiasaan nglelet menyebar.
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
Melukis dengan kopi di atas rokok juga ada di warung kopi Blandongan, Yogyakarta. Kalau di Semarang menyebutnya dengan nglelet, orang-orang di Blandongan punya kosakata sendiri: nyete. Jadi kompetisi Karena populer, hampir tiap tahun selalu ada kompetisi nglelet di warung milik Doni. Kompetisimelukis rokok juga menjadi agenda rutin di Blandongan. “Kompetisi nyete biasanya kami laksanakan setiap ulang tahun warung, bahkan kadang sampai dua kali dalam setahun,“ ceritaBadrun. Bagi sang pemenang, Blandongan menjadi semacam galeri pertunjukan. Hasil karyanyaitu akan dipajang di warung selama setahunpenuh. Doni dan warung kopi lelet-nya juga punya ritual yang sama juga dilaksanakan di setiap milad warung kopi. Spesialnya, Doni juga menyediakan hadiah untuk pemenangnya. “Karena ulang tahun warung ini adalah mo menyang spesial, kami mencobauntuk membuat sesuatu yang spesial. Salah satunya dengan mengadakan lomba nglelet rokok, dan hadiahnya pun dijamin menarik,” ujarnya panjang lebar. Warung milik Gugun baru berusia tiga bulan, makanya belum ada kompetisi macam itu di tempatnya. „Cari pelanggan sebanyakbanyaknya duludeh,“ katanya. Selain itu, juga karena ngleletdiwarung tersebut belum begitu terkenal, baru sebatas orang-orang Pati dan Rembang yang bermukim di Yogya. Pelanggan yang banyak pula yang menjadi kunci agar kebiasaan nglelet semakin kondang. “Ya memang untuk sementara masih tebatas orang-orang tertentu saja yang bisa nglelet, na munsemakin banyak yang datang ke warung ini, nglelet akan menular,” ujarnya sambil menyo dorkanselembar tisu dan sekaleng susu kental putihsebagai alat bantu nglelet. Merujuk pada kedatangannya di Yogya, ngleletbisa terhitung seni urban. Seni yang tak cuma dinikmati di galeri-galeri seni dan mampat dalam ruangan. Bukan juga seni jalanan yang tersapu angindan debu. Ini seni yang hidup dan
A Cup of Java
A
ntoine Galland, seor ang arkeolog Prancis, menemukan jika kopi baru mulai diminum pada abad ke-10. Yang mula-mula mene mukan metode penyeduhan kopi adalah kaum Sufi di Yaman, Semenanjung Arab. Kopi menjadi ba gian penting dari ritual sufistik karena membantu mencegah ngantuk ketika berzikir malam. Inilah salah satu penyebab kopi, ketika sampai di Eropa, dilekatkan dengan citra Islam. Jazirah Arab Meskipun Yaman berada tepat di selatan Arab Saudi, bunn (biji kopi, Arab) baru masuk ke Mekah pada akhir abad 14. Di Mekah, bunn juga diseduh oleh orang-orang yang hendak beriba dah malam. Ini menjadi masalah di tahun 1511. Syahdan, Khair Beg, Gubernur Kota Mekah, demi melihat orang-orang berperilaku demikian men jadi marah. Kopi lalu diharamkan karena diang gap setara dengan minuman keras. Tapi fatwa ha ram itu tak lama umurnya. Atas campur tangan Sultan Kairo larangan itu dicabut. Masalah timbul bersamaan dengan muncul nya rumah-rumah minum kopi di Mekah. Buku ‘Umdat Al-Safwa, Argument in Favor of the Legitimate Use of Coffee mencatat bahwa rumah- rumah kopi itu juga mengadakan penyanyi dan penari wanita—hal yang tak bersesuaia n dengan syariat Islam. Meskipun tidak ada larangan resmi untuk mengkonsumsi kopi, tapi kopi sudah me mantik ketidaksukaan sebagian orang. Eropa Kopi tiba di Venesia berkat pedagang mus lim. Gerai kopi (coffee house) pertama dibuka di Venesia pada 1645. Kopi segera bergerak menjadi candu baru di Eropa. Di Jerman, candu kopi yang merajalela digambarkan Johann Sebastian Bach dalam gubahannya “Kaffee Kantate” (1734): Herr Vater, seid doch nicht so scharf! / Wenn ich des tages nicht dreimal / Mein Schälchen Kaffee trinken darf / So werd ich ja zu meiner Qual. (Ayah, jangan tega begitu!/Jika aku tak bo leh minum/Dari mangkuk kopiku tiga kali seha ri/ Ini adalah siksaan bagiku) Larik-larik ini menggambarkan penderitaan seorang wanita yang begitu mencandui kopi, na mun dilarang ayahnya.
TI M
Oleh : Prima S.W.
Islam. Kata ini adalah salah satu dari anak kunci mengapa “anggur dari Arab” ini dibenci penguasa Eropa. Satu abad sebelum Bach meng ungkapkan kekhawatirannya, Paus Clément VIII telah melarang umat Kristen minum kopi. Ala sannya, kopi adalah minuman hitam yang dicip takan setan untuk orang Islam agar mereka tera lihkan dari anggur, minuman suci Kristus. Tapi, sebenarnya kebencian yang bermuara pada ketakutan itu lebih bersifat eko nomis. “Karena wine ditakutkan ter saingi,” kata Dr. Surip Mawardi, peneliti kopi. Wine dan bir di olah dengan bahan dari Eropa, sedangkan kopi mereka harus mengimpor. Pada akhirnya, menurut Phillipe Boé dalam Le magie du café, Paus merevi si pernyataan dogmatisnya setelah mencicipi minuman itu. “Sangat disayangkan kalau hanya umat muslim yang memiliki ekslusivitas itu,” alasannya. Paruh kedua abad 17, biji kopi diimpor ke Inggrisoleh East India Company. Segera saja ge rai kopi menjadi tempat gaul yang paling popu ler di Inggris selama abad 17 hingga 18. Di gerai kopi, orang melakukan berbagai hal, mulai dari berleha-leha hingga debat politik. Pembicaraan-pembicaraan politis ini membuat Raja Charles II mengkhawatirkan adanya penyu sunan rencana kudeta di gerai kopi. Menurut ca tatan J.H. Burn dalam A Descriptive Catalogue of the London Traders, Tavern, and Coffee-house Toke, sebagai bentuk kewaspadaan, tahun 1663 kerajaan mengeluarkan peraturan yang memba tasi aktivitas di gerai kopi. Indonesia Di Indonesia, meskipun kopi sudah masuk hampir 400 tahun lalu, orang Indonesia tidak minum kopi sejak tahun itu karena harganya ma hal. Dalam perjalanan waktu, kopi menjadi bagi an kebiasaan di Indonesia. Medio Juli 2010, Majelis Ulama Indonesia be rencana mengeluarkan fatwa haram atas kopilu wak. Kopi ini dianggap najis karena diambil dari biji kopi yang masih utuh dalam feses yang dike luarkan luwak. Tapi rencana itu digugurkan tak sampai seminggu kemudian. Menurut Drs. H. Ma’mun Muhammad Mura’i Ketua MUI Sleman, kopi luwak tidak haram. “Kopiyang dimakan luwak itu tidak haram. Se lama masih keras dan berbentuk biji. Itu nama nya mutanajis. Kena najis. Jadi bila najisnya di buang, lalu dicuci, halal dimakan.” W
IS
Sejak sejarah kopi sebagai minuman yang diseduh dimulai, kisah kopi sebagai minuman yang “terlarang” pun turut bermula.
EW A
Yang Terlarang,Yang Melanglang
“
Kopi lalu diharamkan kare na dianggap setara dengan minuman keras.
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
83
”
PENDIDIKAN
Antara Kebutuhan dan Sikap Asing Pada Diri Sendiri “Lengkuas itu apa?” Salah seorang anak bertanya pada ka wannya, sore itu. Mereka terdiam. “Kalian ngerti manfaat laos?” Oleh: Hasta Indriyana Suatu sore itu, saya menemani anak-anak seusia SD membaca di sebuah perpus takaan dusun di pelosok Gunungkidul. Beberapa anak membaca dan yang lain nya menggambar. Di tengah keasyikan itu, seorang bertanya ke kawannya soal lengkuas tadi. Karena tak ada yang men jawab, makanya saya menanyakan man faat laos. Saya perhatikan mereka, satudua menggelengkan kepala, yang lain menjawab tidak. Anak yang bertanya tadi tiba-tiba menjelaskan panjang-lebar tentang leng kuas dengan membaca buku yang sedang dipegangnya, buku obat-obatan tradi sional. Sore itu terjadi semacam disku si kecil oleh anak-anak kecil mengenai lengkuas dan jenis tanaman obat-obatan yang lain. Mengapa anak-anak sampai tidak tahu lengkuas. Ini adalah ironi. Mereka hidup di dalam masyarakat rural yang orangtua mereka nyaris setiap hari meng gunakan lengkuas. Ini barangkali masa lah. Saya lantas berencana mengenalkan nya pada anak-anak dengan cara yang menyenangkan bagi mereka. Esoknya, saya bertanya pada anak-
anak, perlukah lengkuas dan sejenisnya diketahui. Ya, tentu saja sangat butuh itu, jawab mereka. Rencana dan persi apan semalaman kemudian saya terap kan. Pertemuan pertama anak-anak sa ya ajak menyusuri jalan kampung sam bil melihat-lihat, di pekarangan siapa saja yang tumbuh tanaman obat-obatan. Sele sai jalan-jalan, saya meminta anak-anak menggambar rute yang telah mereka la lui. Selanjutnya menandai rumah siapa saja yang pekarangannya ditanami tana man obat-obatan. Maka pertemuan per tama jadilah peta obat-obatan tradisio nal di dusun tersebut. Pertemuan kedua, anak-anak saya minta membawa beberapa jenis tana man obat. Satu per satu dimintamenje laskan apa yang dibawanya. Kemudian saya minta menggambarnya utuh: da un, batang, akar. Mereka juga saya minta menggambar detil bagian yang bisa digu nakan sebagai obat. Selesai menggambar, kemudian lukisan sederhana tersebut sa ya minta dipajang di dinding perpustaka an. Jadilah pertemuan kedua: pameran gambar tanaman obat-obatan. Pert em ua n sel anj utn ya, say a dan
Hening / ekspresi
84
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
anak-anak mendiskusikan tentang jenisjenis tanaman obat yang asing bagi mere ka, atau yang jarang mereka temui. Saya mengajak anak-anak untuk mencari in formasi kepada warga, utamanya orang tua yang paham. Kerja-kerja jurnalistik diperlukan dalam hal ini. Maka, selesai pertemuan ini, hasilnya adalah tulisan sederhana mengenai dusun mereka dan obat-obatan yang ada. Tulisan-tulisan tersebut kemudian dimuat di koran du sun yang mereka kelola. Anak-anak se nang karenanya. Pertemuan selanjutnya, saya bersa ma anak-anak membikin video tentang anak-anak dan tanaman tradisional. Je nis filmnya adalah pengenalan tanaman obat dan cara-cara pembuatannya. Un tuk selanjutnya, pada suatu malam ming gu, film tersebut diputar di balai dusun dan ditonton semua warga. Warga ter nyata berkomentar bahwa pengetahu an seperti itu penting dan sangat dibu tuhkan. Yang Tak Didapat di Sekolah Ada banyak hal yang bisa diguna kan ketika belajar bersama. Media, bagi mereka sangat penting, karena sifatnya memudahkan. Pada prinsipnya, hal-hal yang substantif sebisa mungkin gampang diterima. Lebih bagus lagi jika media ter sedia di sekitar mereka. Tujuannya, se lain mereka memahami diri dan lingku ngannya, mereka juga mendapatkan pe lajaran lain. Di balik semua itu, ada hal menyedih kan bagi saya. Ternyata mereka asing pa da sekitar mereka. Pada mulanya sekedar pertanyaan sederhana, tapi jika disimak lebih lanjut, pertanyaan itu menunjukkan siapa dan bagaimana mereka. Lengkuas adalah tanamanyang banyak tumbuh di
PENDIDIKAN dusun tersebut, karena memang diper lukan untuk memasak dan obat. Juga ta naman obat tradisional yang lain, warga pasti sangat mengenalnya. Ketika anakanak tidak mengenal dan memahami halhal yang dekat dengan mereka, bagi saya ini satu masalah. Dan ternyata ketika sa ya bertanya tentang hal lain, banyak yang tidak diketahui, seperti peristiwa, bendabenda, dan tokoh masyarakat yang paling dekat sekalipun. Anak-anak dan remaja lebih fasih ketika menghapal lirik lagu, menceritakan lagi gosip artis di tivi, me nyebut merek produk tertentu, dan gaya hidup yang semuanya seragam dan ber hulu dari kotak televisi. Mereka tampak nya asing dengan sesuatu yang dekat, ta pi seolah akrab dengan hal-hal yang ‘be sar’ dan ‘jauh’ dijangkau. Maka ketika saya bertanya, “Kalau kalian batuk diobati apa?” jawabnya sa lah satu merek obat. Saya lanjutkan lagi, “Kalau nggak ada Komix?” Mereka men jawab merek obat yang lain. Saya pun mengejarnya, “Kalau kalian nggak pu nya duit untuk membeli obat tersebut?” Jawabnya mencuri. Sungguh, bagi saya, ini satu pelajaran berharga. Pendidikan oleh Kantung Budaya Berkaitan dengan “pendidikan” se perti yang saya lakukan di atas, saya me mulainya ketika bergabung dengan Aka demi Kebudayaan Yogyakarta. Akade mi Kebudayaan Yogyakarta adalah sa lah satu kantung budaya di Yogyakarta yang menampung para penulis dan ak tivis. Di dalamnya terjadi peristiwa “se kolah”,sebuah transformasi pengetahu an dan pengalaman. Pertama saya me ngenal “sekolah’ yang sebenarnya juga di sini. Tidak ada istilah guru dan mu
rid, karena siapa saja ada apa saja bisa menjadi guru. Tahun 2005 kawan-kawan Akademi Kebudayaan Yogyakarta keluar lalu mem bentuk Komunitas Tandabaca. Di dalam wadah ini, kawan-kawan ingin memprak tikkan ilmunya di masyarakat. Salah sa tu program yang dilakukan adalah mem bentuk masyarakat dampingan. Jika di Akademi Kebudayaan Yogyakarta banyak bekerja di pendidikan untuk orang de wasa, maka di Komunitas Tandabaca le bih banyak bekerja di pendidikan anak dan remaja. Banyak yang menganggap kantung budaya sebagai “versusnya” lembaga for mal. Saya pribadi malah menganggap nya sebagai kawan-mitra dalam rangka cita-cita turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka jika ditanya lebih lanjut, seberapa efektif program yang selama ini dilakukan jika dibandingkan dengan sekolah formal, jawabnya bergantung tingkat kesadaran masyarakat yang di dapat. Kepuasan muncul setelah masya rakat memiliki kemandirian. Misalnya, di satu dusun dampingan, setelah gem pa sifat gotong-royong malah berkurang. Kami bersama beberapa warga mencoba memberikan penyadaran melalui media teater.Setelah dipentaskan, masyarakat jadi sadar bahwa gotong royong itu sa ngat penting bagi mereka. *** Selama beberapa tahun bergabung den gan dua lemb ag a ters eb ut, tel ah membentuk cara pikir dalam diri. Se lama ini saya dikenal sebagai penulis. Sering diminta mengisi workshop pe nulisan dan pembicara dalam sebuah acara, selalu saya gunakan cara-cara di atas. Apalagi saya menjadi pengasuh
beberapa kantung budaya, saya selalu menyelipkan pentingnya pendidikan kritis dan kemandirian bagi kawankawan. Menulis, bagi saya adalah sebuah kendaraan. Dan kendaraan yang nyaman adalah yang mampu mengantarkan sampai tujuan. Menulis tentu juga bukan satu alat pemecah masalah, karena ia adalah saksi dan pengantar kegelisahan. Ada pengalaman menarik ketika saya menjadi pembicara dalam sebuah acara yang diselenggarakan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di satu daerah di Jawa Tengah. Seusai acara yang bertajuk “Pengajaran Musikalisasi Puisi dan Sastra di Sekolah”, saya dirubung para guru untuk diminta mengajar di sekolah mereka. Setelah saya telisik, ternyata mereka tidak pede mengajarkannya pada siswa-siswa. Lebih lanjut, para guru juga bermaksud ‘membeli’ media pengajaran yang saya miliki. Hal menarik yang bisa saya petik, bukankah guru, dulu pada waktu masih mahasiswa, mendapatkan mata kuliah Media Pengajaran? Saya yang lulusan UNY merasakan betapa bermanfaatnya media pengajaran. Saya selalu ingat ujaran seorang dosen bijak, “Media pengajaran yang baik bukan yang canggih dan mahal, tapi yang mampu membantu siswa didik membuka tabir ketidaktahuannya.” Tambahnya pula, media tidak mesti didapat dengan membeli, jika di lingkungan sekitar tersedia, itu sudah cukup dimanfaatkan. Yang penting, guru tidak malas memikirkan cara yang baik dan nyaman untuk bisa menyampaikan materi ajarnya. W *Pegiat Komunitas Tanda Baca
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010
|
85
HIKMAH
Televisi dan Geografi Jiwa Kekerasan Yusuf Maulana
S
ebagai pemirsa, saya tidak mengerti mengapa televisi karena di balik kekerasan itu ada ‘keindahan’, yakni titik balik begitu antusias memberitakan setiap perkelahian antar modal dari investasi mereka. Sungguh, analisis Novak faktual kita dapati. Saya sering mahasiswa atau demonstrasi mahasiswa yang berujung kericuhan. Kekerasan yang terbuahi dari kedua kejadian itu mendapati aktivis mahasiswa berujar “terpaksa” melakukan seperti sebuah informasi yang niscaya untuk diketahui publik. sedikit trik kekerasan demi diekspos televisi nasional. Atau ba Tidak cukup dengan memberitakan, sebagian stasiun televisi gaimana rakyat yang digusur harus ‘dipaksa” melakukan pem bertindak “kreatif” lebih jauh lagi: menayangkan gambar se bakaran terlebih dulu. Ritual-ritual ini bukan ciri mahasiswa cara detail dan mencekam namun tanpa penjelasan konteks atau rakyat Indonesia. Ini hanya ulah segelintir mereka yang cinta kekuasaan dan gila ekspos pemberitaan. Celakanya, ini danlatar belakang memadai. Sebagai pelaku yang pernah aktif di gerakan mahasiswa, kemudian ditransmisikan di televisi dan kemudian menjadi tentu saja buah jurnalisme televisi seperti itu menyayat-nya sumber referensi para aktivis dan rakyat yang tergusur. Ha yat hati saya. Seolah-olah mahasiswa seperti anak zaman ri ini, geografi jiwa rakyat dan mahasiwa tidak perlu dihe yang tunduk pada keharusan bertindak anarkis dan berotot rankan bila sarat dengan keinginan untuk beranarkis. Pa ria. Sebuah penggambaran yang tanpa disadari menggiring salnya, anarkis menjadi semacam pamer keseksian tubuh tak tampak (amarah) sekaligus menarsiskan harkat yang alam berpikir publik bahwa mahasiswa sekarang ini seolah terenggut. tidak bisa lagi diharapkan membawa perubahan. Pun demikian halnya di aparat kekuasaan. Bagaimana akan mengh as ilk an perbaikan di Dramaturgi penangkapan teroris yang dipuncaki masyarakat tatkala di tubuh mahasiswa sendiri dengan klimaks saat Noordin M. Top diburu mengalami disonansi? Kira-kira seperti itu publik aparat di Jawa Tengah, menjadi contoh be memersepsi para aktivis mahasiswa. tapa kekerasan sudah menjadi komoditas Mahasiswa di era jejaring sosial memang persekongkolan negara dan televisi. Nalar sehat dihadapkan sebuah kenyataan. Musuh perlawanan dan kritis diabaikan. Empati pada pihak yang idealisme dirinya tidak lagi kekuasaan korup belum tentu bersalah dinegasikan. Semua de yang termanifestasi pada penguasa, alat-alat mi gengsi, prestise korps, dan daulat penguasa. penguasa (polisi, jaksa, hakim, tentara, birokrasi) Terorisme, dalam kasus ini, menjadi ajang kekerasan atau parl emen. Namun juga telah hadir sosok yang disalurkan lewattelevisi yang krunya sengaja berwajah ganda yang ac apk ali—tanpa disadari diboncengkan. Geografi jiwapenguasa dalam kasus mahasiswa—menjadi penelikung. Dialah media, ini memang sarat prasangka dan teror—sesuatu yang terkhusus televisi. kontradiksi dengan keinginan memberantas pelaku Persahabatan mahasiswa dengan televisi saat FAJAR / EKSPRESI terorisme itu sendiri. ini perlu dilihat sebagai bagian dari industrialisasi Tayangan-tayangan kekerasan yang berlebihan atau hipermodal. Aksi atau aktivisme mahasiswa bersama komponen masyarakat lainnya dilihat tidak semata sebagai sebuah anarkis, boleh jadi awalnya sebuah ketidaksengajaan. Naluri sumber informasi yang mencerdaskan, namun juga, dan jurnalis televisi mencoba berspekulasi antara mengisi ruang yang utama, sebagai sebuah komoditas. Informasi tidak lagi keingintahuan pemirsa dan sekaligus pula menaikkan rating berdiri sebagai informasi, namun informasi sebagai kapital medianya. Ketika tayangan itu disukai, terlebih di tengah ma syarakat yang mengalami goncangan batin pada kekuasaan atau komoditas. Di saat yang sama, arah kekerasan di masyarakat semakin nankorup, kekerasan awalnya semacam katarsis. Tapi dari si “demokratis dan egaliter”. Siapapun bisa bertindak anarkis dan ni tahap demi setahap kekerasan yang semua menjijikkan dan liar, bersenjata ataupun tidak. Perilaku ini bukan kebetulan mengerikan akhirnya bisa diterima sebagai sebuah hal lumrah dengan makin korupnya pejabat, lemahnya penegakan hu bagi industriawan dan jurnalis televisi. “Televisi membangun kum, dan minimnya tindakan konkret dari penguasa negeri struktur ekspektasi jiwa secara bertahap,” kata Michael Novak ini. Kekerasan di masyarakat dengan demikian tidak bisa di (dalam John Vivian, 2008: 225-226). “Telvisi melakukan hal isolasi dari kekerasan di tingkat kekuasaan. Dan dalam lans itu persis seperti sekolah memberi pelajaran secara bertahap, kap inilah televisi ikut terjerumus sekaligus (sengaja) men selama bertahun-tahun.” Ya, akal, jiwa bahkan mulai dari raga kita dibentuk seta jerumuskan diri demi daulat kapital yang telah mereka in hap demi setahap oleh televisi. Jadi, jelaslah siapa yang me vestasikan. Maka, bila Michael Novak menyatakan bahwa televisi mengaruhi siapa. Lantas, apakah dengan ini rakyat pemirsa adalah pembentuk geografi jiwa, hari ini kita bisa saksamai yang masih bernalar (semacam mahasiswa) harus tunduk pa hasil dari pembagian geografi kejiwaan yang penuh dendam, da rezim pengonstruksi geografi jiwa? ambisi, keserakahan, korupsi, dan meneror itu. Televisi men *) Nara blog, tinggal di Yogyakarta jadi media perantara berjalannya siklus kekerasan itu, hanya
86
|
Ekspresi Edisi XXIII Th XVIII AGUSTUS 2010