EXPEDISI EDISI II SEPTEMBER 2016
MEMBANGUN
Nyala Akademik Setelah Petang Ruang kelas yang kurang membuat perkuliahan diterapkan hingga malam hari, dipindah ke kampus wilayah, atau fakultas lain.
B U D AYA
KRITIS
surat pembaca Perpustakaan yang Belum Maksimal Perpustakaan merupakan salah satu sarana yang penting bagi mahasiswa, entah untuk belajar, mengerjakan tugas, skripsi, ataupun hanya sekadar melepas penat. Namun, kondisi ini tidak berlaku untuk perpustakaan di UNY saat ini. Perpustakaan UNY yang hanya menye diakan waktu layanan hari Senin hingga Jumat, khusus hari jum’at hanya mulai pukul 09.00-11.00, sedangkan untuk hari Sabtu dan Minggu tutup. Belum lagi pada hari-hari biasa, jika hari libur nasional terdapat pada hari Jum’at. Selanjutnya, koleksi yang dibeli oleh pengelola perpustakaan sering tidak sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Buku-buku langka yang menjadi bahan rujukan kuliah hanya ada di lantai 2 dan di lantai 3 tidak bisa dipinjam. Semoga hal ini bisa dilakukan perbaikan oleh pengelola perpustakaan. Berharapnya, jika ingin melakukan penambahan koleksi buku dan lainnya bisa berkoordinasi dengan jurusan dan fakultas. Atau bisa membuka usulan buku yang dibutuhkan dari masing-
masing jurusan/prodi agar buku yang dibeli atau yang akan digandakan memberi manfaat bagi masyarakat UNY hingga tidak hanya memenuhi rak dan menjadi mubadzir. Novianto Ari P Ketua DPM FIS 2016
Pembatasan Kegiatan Malam, Pembatasan Kreativitas FBS selalu ramai oleh mahasiswa setiap malamnya. Berbagai kegiatan seni dilakukan di dalam kampus FBS dan lebih ramai lagi di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) FBS. Para mahasiswa merasakan adanya atmosfer yang berbeda jika melakukan kegiatannya di dalam kampus, dengan kata lain mereka akan merasa kesulitan jika melakukan aktivitasnya di luar kampus. Hal tersebut dikarenakan hanya kampus, terutama PKM, adalah tempat paling aman dan nyaman untuk berkegiatan dan menyimpan peralatan yang dibutuhkan. Misal, mahasiswa musik tidak mungkin lati han saksofon di lingkungan kos, mahasiswa bahasa dan sastra tidak mungkin berlatih teater di bundaran UGM. Namun, pihak birokrat FBS mengeluarkan surat edaran yang mengatakan bahwa FBS
editorial
Kerancuan Ruang Kelas yang Tak Memadai Ruang kelas adalah salah satu saranaprasarana terpenting bagi mahasiswa, sebab ruang kelas adalah hal pertama yang akan berhubungan dengan mahasiswa dalam kampus. Keberadaan ruang kelas dan ketersediaan sarana penunjang di dalamnya tentulah vital bagi keberlangsungan pembelajaran bagi mahasiswa. Ketersediaan ruang kelas yang cukup dapat membantu mahasiswa dalam memenuhi haknya sebagai pembelajar di dalam universitas. Hal ini telah tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi pada pasal 21 yang menjelaskan bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi penetapan tempat/kelas untuk pembelajaran, beban kerja dosen, penyiapan sumber belajar dan pengelolaan proses pembelajaran. Banyaknya keluhan dari beberapa jurusan seperti Ilmu Komunikasi dan Pendidikan Administrasi Perkantoran tentang kurangn ya ruang kelas serta prasarana penunjang yang belum memadai menjadi hal yang patut dipertanyakan. Sebab sedari awal masuk universitas, mahasiswa telah dijanjikan sarana dan prasarana yang akan mampu menunjang semua kegiatan mahasiswa. Namun, kenyataan di lapangan sangat jauh dari yang telah dijanjikan. 2
Alhasil, jurusan yang kekurangan ruang kelas harus berpindah tempat ke ruang lain seperti Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMP). Belum lagi keluhan tentang prasarana kelas yang belum bisa disebut baik. Penyelesaian masalah kekurangan kelas ini juga masih jauh dari kata memuaskan. Permasalahan kekurangan kelas ini men jadi sedikit rancu sebab pihak birokrat selalu menginginkan kepada seluruh mahasiswanya agar berprestasi baik akademik maupun nonakademik. Namun, pihak birokrat sendiri tak mampu memberikan hak mahasiswanya mendapat sarana dan prasarana yang memadai. Harusnya pihak birokrat dapat menunaikan kewajibannya dulu sebagai pelayan mahasiswa, baru kemudian menuntut mahasiswanya agar berprestasi. Sebagai universitas yang merintis kampusnya agar menjadi World Class University, UNY wajib menyediakan ruang kelas yang cukup bagi seluruh mahasiswanya, baik kuantitas maupun kualitas penunjang ruang tersebut. Juga diperlukan konsistensi dari pihak birokrat untuk memperbaiki sarana dan prasarana wajib di kampus. Hal ini tentu mutlak diperlukan apabila UNY masih ingin mencetak generasi intelektual bagi bangsa Indonesia. Redaksi
akan diberlakukan pembatasan jam malam seperti fakultas lain. Kekhawatiran saya akan rencana birokrat ini akan mengurangi krea tivitas mahasiswa atau bahkan yang paling buruk menghilangkannya sama sekali. Saya berharap agar pihak kampus me nimbang ulang akan perencanaan pembatasan jam kegiatan mahasiswa FBS. Terutama apakah alasan rencana pelaksanaan aturan baru ini cukup kuat untuk mengesampingkan kreativitas seni mahasiswa FBS. Desvandi Sastra Indonesia 2014
Palang Pintu dan Koneksi Internet Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) merupakan salah satu kampus pen didikan yang saat ini sudah dikenal oleh banyak orang. Hal tersebut bisa dilihat dari jumlah pendaftar pada tiap tahunnya. Namun, menjadi kampus besar bukan berarti tidak banyak permasalahan yang dihadapi oleh birokrasi terhadap manajemen kampus. Fasilitas palang pintu yang terdapat di selatan FMIPA terlihat cukup aneh karena belum berfungsi secara maksimal. Terlebih terkait pemeriksaan STNK secara manual yang dilakukan oleh petugas. Hal sama juga terdapat pada jalan masuk timur FE menuju Taman Pancasila. Fasilitas lain yang belum maksimal adalah mengenai jaringan internet. Pada awal per kuliahan, pihak kampus mengatakan bahwa kecepatan internet di UNY mencapai 350 Mbps. Namun, kecepatan internet untuk ma hasiswa masih rendah. Semoga UNY dapat terus meningkatkan pelayanan akademik di seluruh aspek dan pantas untuk dinobatkan sebagai World Class University. Faizul Ikhsan Pendidikan Mekatronika 2012
sempil + "Ruang kelas di UNY saja masih kekurangan" _ "Menuju World Class University!"
Pimpinan Proyek Wachid As-siddiq | Sekretaris Hanum Tirtaningrum | Bendahara Maria Purbandari | Redaktur Pelaksana Nisa Maulan | Redaktur Danang Suryo, Erya Ananda, Moh. Agung, Nisa MS, Umi Zuhriyah | Reporter Alan, Fahrudin, Hanum, Heni, Meida, Yayan | Redaktur Foto Dwi Putri | Artistik Danang Suryo, Fahrudin, Gigih Nindia | Produksi Heni Wulandari | Iklan Maria Gracia, Meida Rahma, Moh Agung | Tim Polling Umi Zuhriyah, Iwan Dwi, Jimal Arrofiqie | Sirkulasi Erya Ananda| Alamat Gedung Student Center Lt. 2 Karangmalang Yogyakarta 55281 | Email lpm_ekspresi@ yahoo.com | Web Ekspresionline.com | Redaksi menerima artikel, opini dan surat pembaca. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah isi.
edisi II | SEPTEMBER 2016
sentra
Ruang Kelas Kurang, UNY Tunggu Proyek IDB UNY dicanangkan akan menjadi universitas pendidikan kelas dunia pada tahun 2025. Namun, pada kenyataannya masih memiliki permasalahan mengenai kekurangan ruang kelas pada beberapa fakultas. Prof. Edi Purwanta, M.Pd. selaku WR II meminta mahasiswa untuk memaklumi hal tersebut.
SEPTEMBER 2016 | edisi iI
menjelaskan bahwa selain ke kampus wilayah, kelasnya juga dioper ke fakultas lain setiap kali kampus pusat FIP kekurangan ruang kelas. “Untuk mata kuliah Bahasa Inggris bahkan selalu dilangsungkan di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS),” ujarnya, Senin (30/5). Saat ditemui pada Selasa (24/5) di Dekanat FIP, Dr. Cepi Safruddin A. J., M.Pd., WD II FIP, tidak membantah dengan apa yang terjadi di FIP. Ia membenarkan bahwa mahasiswa kampus pusat FIP melangsungkan perkuliahan di kampus wilayah bahkan menumpang di fakultas lain karena kekurangan kelas. Dengan tegas ia mengatakan, “Jangankan ruang kelas yang memenuhi standar, ruang kelas di UNY saja masih kekurangan.” Menurut Cepi, hal lain yang menyebabkan terjadinya kekurangan ruang kelas ialah mengenai sebaran mata kuliah di semester ganjil dan genap. “Misalnya di semester genap mahasiswa mengambil sistem kredit semester (SKS) lebih banyak, sedangkan di semester ganjil dikurangi,” jelas Cepi lebih rinci. Namun, hal tersebut adalah kebijakan dari masing-masing jurusan, tambahnya. Tidak berbeda dengan kondisi FIP dan
FE, salah satu program studi di Fakultas Ilmu Sosial (FIS) yaitu Ilmu Komunikasi juga meresahkan mengenai ruang kelas yang kurang. Ani Very Hepy selaku Sekretaris II Himpunan Mahasiswa (Hima) Ilmu Komunikasi menyatakan kegelisahannya mengingat penerimaan mahasiswa baru semakin dekat dan Ilmu Komunikasi hanya memiliki 2 ruang kelas. ”Mahasiswa baru tahun ajaran 2016 kemungkinan juga sama jumlahnya seperti tahun-tahun sebelumnya dan akan membutuhkan 2 ruang kelas. Nah, apakah nantinya kami akan melangsungkan kuliah sampai malam karena jumlah ruang kelas tetap dan mahasiswa bertambah?” ujar mahasiswa yang akrab disapa Evi itu, Senin (30/5). Selain mengeluhkan kekurangan ruang kelas, hal lain yang dikeluhkan Evi ialah mengenai sarana pendukung pembelajaran yang ada di kelas seperti AC, LCD/proyektor, dan pengeras suara. “LCD dan pengeras suara susah menyambung ke laptop jadi membuang waktu karena kami harus mencocokkan ke laptop mana yang pas dan bisa tersambung,” jelas Evi. Menurutnya, hal tersebut menjadi tidak efektif saat pembelajaran dilangsungkan.
Umi | Expedisi
M
erujuk pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi nomor 44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi pasal 32 ayat 2 maka setiap PTN wajib menjamin terselenggaranya proses pembelajaran dengan menetapkan sarana dan prasarana berdasar rasio penggunaannya sesuai dengan karakteristik metode dan bentuk pembelajaran. Namun, penyediaan ruang kelas di UNY masih kurang dan beberapa kelas bahkan belum memenuhi standar. Hal itulah yang diakui oleh Feryanti, mahasiswa Prodi Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ekonomi (FE), terutama mengenai salah satu kelas yang ditempatinya hanya bersekat tripleks. Menurut Feryanti, keadaan ruang kelas yang seperti itu membuatnya kurang nyaman karena saat pembelajaran berlangsung suara dari kelas lain terdengar. “Seringkali mahasiswa yang melintas mengetuk tripleksnya sehingga mengganggu,” tambahnya lagi, Senin (30/5). Tidak hanya ruang kelas yang tidak nyaman, FE sebagai fakultas baru bahkan mengalami masalah kekurangan ruang. Hal tersebut dibenarkan oleh Drs. Nurhadi, M.M. selaku Wakil Dekan (WD) II FE. “Karena kekurangan ruang, maka diterapkan kuliah hingga malam hari,” jelas Nurhadi, Rabu (25/5). Nurhadi menjelaskan lebih lanjut bahwa seringkali mahasiswa dan dosen mengatakan lebih senang apabila perkuliahan selesai sesuai jam kerja. Sebagai solusi mengenai kekurangan ruang kelas, FE meminjam dua ruang di Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMP) untuk melangsungkan perkuliahan. “Prodi apa pun jika kekurangan ruang memang langsung dialihkan ke LPPMP dan sudah diatur pada jadwal,” terang Nurhadi. Hal serupa juga dialami oleh mahasiswi Prodi Bimbingan Konseling (BK) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP). Mereka harus ke kampus wilayah jika di kampus pusat FIP kekurangan ruang kelas. Findrie Puspa Sugita, salah satu mahasiswa Prodi BK FIP juga
Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd. selaku WR II menjelaskan fasilitas harus dijaga bersama.
3
sentra
4
isi
Umi Zuhriyah Alan, Fahrudin, Hanum, Heni, Meida, Yayan
ed
menegaskan bahwa selaku WR II, ia akan memprioritaskan fasilitas untuk perkuliahan terlebih untuk ruang kelas. Hanya saja, untuk masalah ruang kelas Edi meminta agar dimaklumi terlebih dahulu karena sedang proses pembangunan. “Saya yakin kekurangan ruang perkuliahan itu hanya periode ini, karena akan dipersiapkan untuk pembangunan,” ungkap Edi. Ia juga mengatakan bahwa kemungkinan pada tahun 2017 akan ada 13 gedung baru yang dibangun bersamaan. “Gedung-gedung sudah mulai banyak yang dikosongkan untuk proyek Islamic Development Bank (IDB) karena proyek IDB tidak akan dijalankan apabila masih ada gedung yang belum diratakan,” terang Edi lebih lanjut. Untuk saat ini, proses perkuliahan yang dilangsungkan hingga malam, berada di kampus wilayah, atau bahkan dioper ke fakultas lain dianggap oleh Edi sebagai solusi terdekat untuk mengatasi kekurangan ruang kelas. Menurut Edi, hal tersebut adalah suatu pengorbanan untuk mendapatkan kualitas yang baik.
xp
Dr. Cepi Safruddin A. J., M.Pd.
|E
”
Edi menuturkan bahwa terkait fasilitas kampus, seluruh warga UNY memiliki kewajiban untuk menjaga fasilitas. Cepi juga menegaskan hal serupa, “Setelah kuliah sebaiknya mahasiswa atau dosen mematikan lampu, LCD, dan AC dengan benar.” Akan tetapi, pendapat berbeda datang dari Evi. Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi itu berharap agar UNY terus berusaha memperbaiki keadaan terlebih dahulu. “Seperti halnya membuka jurusan baru, diharapkan perencanaannya juga lebih baik,” tuturnya. Hal serupa juga dikatakan Andi, “Untuk fakultas, diharapkan pada saat tahap perencanaan penerimaan mahasiswa baru, benar-benar mempertimbangkan ruang kelas yang dimiliki.” Menurut Andi, jika UNY belum mampu dan siap menerima lebih banyak mahasiswa seharusnya tidak memaksakan, karena pada akhirnya juga mahasiswa yang terkena dampaknya.
gih
“ Jangankan ruang kelas yang memenuhi standar, ruang kelas di UNY saja masih kekurangan.
Gi
Melihat kondisi tersebut perlu ditanyakan kembali mengenai perencanaan UNY terkait sarana dan prasarana, khususnya perencanaan ruang kelas untuk prodi baru seperti Psikologi FIP dan Ilmu Komunikasi FIS. Keadaan tersebut menjadikan Andi Wijayanto selaku Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FIS mengecam UNY. “Bisa dikatakan, UNY yang terus mengalami kekurangan ruang kelas, terkesan hanya mengejar kuantitas daripada kualitas dari mahasiswa,” tegas Andi. Ia juga mengatakan bahwa lebih baik UNY mengurangi penerimaan mahasiswa baru jika memang dirasa belum mampu menyediakan sarana dan prasarana dengan baik. Pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 73 ayat 4 menjelaskan bahwa dalam penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi perlu menjaga keseimbanganantara jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap program studi dan kapasitas sarana dan prasana, dosen dan tenaga kependidikan serta layanan dan sumber daya kependidikan lainnya. WD II FIS, Lena Satlita, M.Si. menje laskan bahwa dalam rangka tahun ajaran baru, FIS akan kembali melakukan penataan ruang agar kebutuhan ruang kelas terpenuhi. “Perencanaan ada yang jangka panjang dan jangka pendek, selama 30 tahun di UNY, saya rasa UNY sudah semakin bagus dalam penyediaan sarana dan prasarana,” jelas Lena menanggapi perencanaan sarana dan prasarana di UNY, Jumat (24/6). Sedangkan Cepi sendiri menerangkan bahwa perencanaan yang dilakukan seharusnya berdasar pertimbangan antara lain jumlah dosen, ruangan kelas yang tersedia, dan kebutuhan masyarakat. Berbicara terkait permasalahan di beberapa fakultas UNY, sesuai yang ditu turkan oleh Wakil Rektor (WR) II, Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd., pengaturan ruang kelas memang diserahkan pada masingmasing fakultas. “Namun, untuk mengatasi kekurangan ruang kelas tampaknya nanti akan ada kebijakan dari WR I,” ujar Edi. Ia menyetujui kebijakan bahwa Mata Kuliah Universitas (MKU) dan Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MDK) akan diatur oleh pihak universitas. “Jadi, nanti mahasiswa FIP bisa kuliah di FIS,” jelas Edi. Edi menegaskan bahwa dalam perencanaan sudah dipertimbangkan dengan ruang kelas yang tersedia. “Dibukanya prodi baru juga sudah dipertimbangkan konsekuensinya. Seperti pascasarjana yang langsung membangun gedung baru,” tuturnya, Selasa (24/5). Ia juga
edisi iI | SEPTEMBER 2016
polling
Fasilitas dan Ruang Kelas Kurang Apakah fasilitas di dalam kelas nyaman? 57,9% 42,1%
Ya Tidak
Kepuasan terhadap fasilitas dan ruang kelas yang ada. Puas Belum Puas Danang | Expedisi
36,5% 62,5%
M
ahasiswa UNY mengeluh terha dap kekurangan kelas dan fasi litas kelas dalam proses belajar mengajar. Paling tidak, itulah yang tergam bar dalam jajak pendapat yang dilakukan LPM EKSPRESI melalui tim polling buletin EXPEDISI. Metode sampel yang digunakan adalah accidental, yaitu pembagian angket secara langsung kepada responden yang di temui secara acak dan merata. Pengambi lan sampel ditentukan menggunakan rumus slovin dengan sampling error 5% sehingga diperoleh sebanyak 394 sampel untuk mewa kili dari 25.110 mahasiswa S1 UNY dengan mencantumkan enam pertanyaan dan empat pernyataan. Berdasarkan hasil riset dari pengola han data angket yang disebar menunjukkan hasil sebanyak 57,9% mahasiswa menjawab nyaman dan sisanya 42,1% menjawab tidak nyaman untuk pertanyaan terkait fasilitas di dalam kelas. Menanggapi hal ini, sebesar 36,5% responden menjawab puas dengan SEPTEMBER 2016 | edisi iI
ruang dan fasilitas kelas yang sudah ada, sedangkan 62,5% responden menjawab belum puas dengan ruangan dan fasilitas kelas, dan sisanya 1% responden tidak menjawab. Masih adanya fasilitas kelas yang kurang tersebut juga diutarakan Feryanti mahasiswa Administrasi dan Perkantoran (ADP) Fakultas Ekonomi. Ia menjelaskan bahwa fasilitas dalam kelas memang kurang. “AC di bebera pa kelas bahkan ada yang mati,” ungkapnya. Pernyataan mengenai perawatan fasili tas yang dilakukan UNY belum maksimal menghasilkan 12,7% mahasiswa menjawab sangat setuju, 69,3% setuju, 15,2% tidak setuju, 2,8% sangat tidak setuju, dan 0,9% tidak menjawab. Sebanyak 15,7% mahasiswa sangat setuju, sebanyak 35% setuju mengenai jumlah ruang kelas belum memadahi dengan jumlah mahasiswa, dan sisanya menjawab tidak setuju sebesar 38,1% lalu 11,2% sangat tidak setuju. Belum maksimalnya perawatan fasi litas di UNY juga dibenarkan oleh Wakil
Dekan II Fakultas Ekonomi, Drs. Nurhadi, M.M., mengenai kekurangan ruang kelas yang bahkan terkadang meminjam ruangan di LPPM. Pendapat tersebut juga tidak ditampik oleh Wakil Rektor II, Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd., yang menjelaskan bahwa kendala kekurangan ruang kelas tersebut nantinya terpenuhi dengan gedung-gedung baru yang akan dibangun. “Seperti nanti di FIS dapat gedung baru dari IDB. Mungkin di tahun 2017 akan ada 13 gedung baru dibangun secara serentak,” ungkapnya. Tim Polling
5
persepsi
Pendidikan Karakter Komprehensif Semakin Mendesak
A
khir-akhir ini kasus kekerasan se makin marak terjadi di berbagai se kolah, mulai dari bentuk kekerasan verbal, psikologis, hingga kekerasan fisik dan seksual. Bukan hanya perkelahian antarpe lajar atau tawuran, bahkan lebih kejam dari itu. Pemerkosaan ramai-ramai, pembunuhan berencana, dan mutilasi sering diberitakan di berbagai media. Pelaku kekerasan bukan hanya remaja dan orang dewasa, anak usia SD pun telah berani melakukan kekerasan kepada teman sekelasnya yang menyebabkan kematian. Fenomena seperti itu menandakan pendidikan di Indonesia, terutama dalam aspek pendidikan karakter, belum berhasil dilaksanakan secara optimal. Sesungguhnya tujuan pendidikan nasio nal telah mencakup dua aspek penting pengembangan kemam puan manusia, yaitu menjadi peserta didik yang pintar (me miliki ilmu dan keterampilan) se kaligus berkarakter baik (beriman bertakwa, berakhlak mulia). Hanya saja, untuk mewujud kan manusia berkarakter baik bukanlah perkara mu dah. Salah satu sebabnya karena pendidikan karak ter kita hanya dilaksana kan sepotong-sepotong, tidak komprehensif. Seba gaimana dinyatakan oleh Kirschenbaum (1995) bahwa pendidikan karakter harus di laksanakan komprehensif, ar tinya meliputi berbagai aspek dan pihak yang secara sadar dan kontinu bergerak bersama bagi tercapainya masyarakat yang berkarakter mulia. Pen didikan karakter komprehensif harus diupayakan terpadu mencakup nilai-nilai yang akan diinternalisasikan, pendidik, proses (termasuk metode), evaluasi, dan keadaan lingkungan masyarakat yang mendukung. Nilai-nilai yang akan diinternalisasikan telah dipilih dan ditentukan sebagai nilai target yang akan diwujudkan sehingga jelas arahnya. Sebagai contoh, masyarakat Jepang sepakat mendidik anak-anak mereka dengan nilai kejujuran, kebersihan, kerja keras, dan disiplin. Berbagai pihak baik keluarga, seko 6
lah, dan pemerintah Jepang konsisten dengan nilai-nilai target tersebut sehingga lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan fasilitas umum diarahkan kepada perwujudan nilainilai tersebut. Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini pusat-pusat pendidikan di Indonesia seperti keluarga, masyarakat, sekolah, bahkan universitas telah mengalami banyak kehilangan hal-hal penting bagi upaya mewujudkan tujuan pendidikan. Suyata (2012) mengatakan kita telah banyak kehilangan. Identitas bersama (sense of identity), hilangnya rasa kemanusiaan (sense of humanity), hilangnya rasa sebagai satu komunitas (sense of community), hilangnya nilai-nilai luhur/budaya (sense of culture/values), dan
Gigih | Expedisi
hilangnya rasa saling menghargai (sense of respect). Pendidikan selama ini mencerminkan adanya fragmentasi kehidupan, kompetisi individual, berkembangnya materialisme dan konsumerisme, ketidakpedulian pada orang lain, terhambatnya kreativitas, prakarsa, sikap kritis, inovasi, dan kurangnya keberanian untuk mengambil risiko. Selama ini praktik pendidikan Indonesia yang cenderung individualistik, intelektualistik, dan pragmatik
sehingga kurang mengaktualisasikan aspek sosial dan hormat akan martabat manusia. Pendidikan karakter seolah cukup diserahkan kepada keluarga dan sekolah saja. Sementara itu berbagai sistem sosial, politik, dan budaya yang diciptakan tidak mendukung upaya keluarga dan sekolah. Keluarga dan sekolah telah mendidik karakter, tetapi hukum dan politik negara belum mendukung sepenuhnya. Contoh nyata, di tengah silang pendapat mengenai Perpu yang menambah hukuman berat dan kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual, di sisi lain justru Perda tentang pelarangan minuman keras dibatalkan. Bukankah ini ironi? Para pakar telah menganalisis berbagai kasus bahwa terjadinya kejahatan karena pelaku dalam keadaan mabuk sehingga pelaku tidak dapat berpikir sehat dan mudah melakukan perbuatan kriminal. Mengapa mabuk menjadijadi sekarang ini? Karena mudah sekali orang dapat membeli minuman keras, bahkan anak-anak saja sering mengadakan pesta miras. Kalau sudah demikian tentu saja pendidikan karakter tidak akan berhasil membangun generasi muda menjadi insaninsan yang berkarakter. Maka, mendesak kiranya bagi semua pihak secara serius untuk duduk bersama, baik orang tua, tokoh masyarakat, DPR, pendidik, aparat penegak hukum, maupun pemerintah untuk mencanangkan gerakan pendidikan karakter yang komprehensif dan berkelanjutan. Di samping itu, institusi keluarga dan sekolah tetap digalakkan untuk mendidik karakter anak sejak usia dini. Sekolah perlu mengembangkan model pendidikan yang menga malk an nilai-nilai kebaikan dalam kehidupannya (living values education) sehingga anak tidak hanya mengetahui yang baik, tetapi juga yang lebih penting adalah kepekaan nuraninya terasah sehingga cenderung untuk mengamalkan nilai-nilai yang baik itu dalam tingkah lakunya seharihari. Dr. Rukiyati, M.Hum. Dosen Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan FIP
edisi iI | SEPTEMBER 2016
persepsi
Pengalihan Intelektual Mahasiswa
M
ahasiswa merupakan agen suatu pe rubahan atau sering disebut dengan agent of change. Peran mahasiswa saat ini sangat dibutuhkan di dunia kemasya rakatan, khususnya masyarakat yang tertindas. Baik tertindas oleh sistem maupun tertindas karena masyarakatnya yang masih awam. Sehingga mereka dengan mudahnya tertipu dan tidak tau harus berbuat apa. Dengan alasan masih banyak masya rakat yang terjajah oleh sistem dan bahkan dibohongi oleh aturan-aturan yang ditetapkan terhadap mereka, terutama para petani dan buruh. Mereka rata-rata memiliki latar be lakang berkependidikan lulusan SD hingga SMP, bahkan tidak jarang juga ada yang buta huruf. Adapun beberapa dari mereka yang sadar. Namun, mereka tidak punya landa san dasar untuk melakukan perlawanan dan kurangnya wawasan sehingga mereka takut untuk masuk dan memilih jalur hukum. Di sinilah peran generasi muda yang berpendidikan luas dibutuhkan untuk mem beri arahan dan pendidi kan sehingga masyarakat lebih cerdas. Di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), masih banyak mahasiswa yang kurang sadar akan fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini. Mereka masih lebih mementingkan diri nya sendiri ketimbang kepedulian sosial dan pengabdian mereka terhadap masyarakat. Pengabdian yang terjadi di UNY seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) oleh perguruan tinggi hanyalah sebatas formalitas
dengan batasan waktu yang terbilang sebentar. Perhatian mahasiswa kini lebih di alihkan untuk mengejar IPK, lulus cepat, dapat kerja, dan dapat prestasi dimana-mana tanpa pem bekalan pendidikan sosial yang cukup dan secara kontinu. Wajar saja jika mahasiswa saat ini kurang peduli akan kepekaan sosial, karena sebenarnya mahasiswa juga merupa kan korban dari suatu sistem kependidikan. Penetapan pemerintah akan batas kelulusan maksimum 5 tahun menjadikan mahasis wa hanya terfokus bagaimana caranya lulus cepat dan lebih cenderung dituntut dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang tinggi dan disertai prestasi yang mumpuni guna kebutuhan pasar. Ada beberapa alasan kenapa kualitas mahasiswa di UNY saat ini cukup menurun dari setiap tahunnya yaitu dari segi model pembelajaran yang terfokus pada satu misi. Di mana misi tersebut tercantum dalam kompetensi dasar pendidi kan. Bahkan tidak jarang banyak kompetensi yang dilewati karena seringnya dosen yang mangkir dari tugasnya. Akan sangat berbeda jauh jika kita bandingkan dengan negara lain, Jepang contohnya. Di Jepang, mahasiswa akan menuntut dosennya jika
tidak hadir dalam kegiatan belajar mengajar. Berbanding terbalik dengan di Indonesia yang rata-rata mereka merasa senang jika dosennya tidak hadir. Padahal belajar adalah hak mahasiswa bukan kewajiban mahasiswa. Dengan kultur yang seperti ini, mahasiswa di Indonesia cenderung mudah terprofokasi. Tidak hanya itu, kecurangan-kecurangan yang terjadi di dunia perkuliahan kerap terjadi. Seperti manipulasi absen dan pengadaan jam-jam tambahan yang sebenarnya sedikit memberatkan mahasiswa. Manipulasi absen ini biasanya terjadi pada hari terakhir mendekati UAS (Ujian Akhir Semester). Kejadian ini telah dilakukan pihak dosennya sendiri yang sering absen dari jadwal tanpa mengajukan dosen pengganti mata kuliah. Jika kemudian dosen tersebut absen dalam mengajar sebanyak lebih dari 3 kali maka mereka akan mengalami masalah sehingga memutuskan untuk memilih jalan lain seperti mengadakan jam tambahan. Harapannya adalah birokrasi dan mahasiswa mampu bekerja sama demi kemaslahatan suatu bangsa. Tidak ada lagi penekan– penekan yang dilakukan oleh suatu kelembagaan terhadap masyarakat dan mahasiswa. Untuk tercapainya suatu tujuan tersebut perlu adanya pembebasan peran mahasiswa sebagai penggerak roda kemajuan suatu bangsa. Moh. Agung S.
Gigih | Expedisi
Baca EXPEDISI edisi lama secara online di issuu.com/ekspresi SEPTEMBER 2016 | edisi iI
7
tepi
Di Tengah Keterbatasan Dana
F
omuny tetap bisa menjalankan berbagai kegiatannya dengan dana yang belum jelas, terkadang pengurus Fomuny menggunakan dana pribadi meski keuang an mereka terbatas. Begitulah pernyataan Bangun Tri Sudiatno, selaku koordinator Family Of Mahadiksi UNY (Fomuny) 2016. Bangun baru saja mengikuti kegiatan uji coba computer based test (CBT) yang akan digunakan untuk tes SBMPTN tahun ini dan dihadiri oleh para mahasiswa bidikmisi kala ditemui awak EXPEDISI, Kamis (19/5) lalu di sekretariat Fomuny yang terletak di gedung Menwa lantai dua sayap timur. Bangun mem persilahkan duduk untuk menunggu di depan ruang UKM Kewirausahaan yang terletak bersebelahan dengan sekretariat Fomuny terlebih dahulu sebelum berbincang dengan nya. Saat itu Bangun sedang sibuk membaca sebundel kertas. Koordinator Fomuny yang terdaftar se bagai mahasiswa aktif prodi Teknik Otomotif tahun 2014 tersebut lalu menghampiri, ber sebelahan persis dengan sekretariat Fomuny. Bangun kala itu menggunakan batik dan ce lana bahan, sangat sederhana. Dia kemudian mengajak berpindah tempat di depan sekre Fomuny. Di dalam sekre terlihat beberapa pengurus Fomuny sedang mengadakan rapat. Fomuny, menurut Bangun tidak jauh ber beda dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) karena anggotanya berasal dari berbagai fakultas. Bedanya, anggota Fomuny hanya dari mahasiswa bidikmisi. “Fomuny tidak bisa disebut organisasi karena cuma komu nitas,” tambah Bangun. Komunitas yang terbentuk pada 5 Januari 2013 ini berfungsi sebagai penyalur informasi dari birokrasi ke mahasiswa bidikmisi terka it hal yang berhubungan dengan bidikmisi. “Seperti kemarin tentang mahasiswa bidik misi susulan. Fomuny diminta menyalurkan informasi bahwa masih terdapat 200 kuota untuk mahasiswa bidikmisi,” jelas Bangun. Divisi Public Relation dan Media Fomuny yang bertugas mencari informasi perihal bidikmisi atau beasiswa di Dikti dan kema hasiswaan lalu menyebarkan pemberitahuan tersebut melalui grup mahasiswa bidikmisi. “Jadi, ada grup sendiri. Tidak cuma mem beritahukan lewat Facebook saja, karena teman-teman bidikmisi tidak semua selalu membuka Facebook,” katanya. Kepengurusan Fomuny tidak jauh ber
8
pembina Fomuny. Namun, Bangun masih me beda dengan kepengurusan dalam organisasi. “Intinya, Fomuny sebagai pelayan mahasiswa nyangsikan adanya dana tersebut, “Fomuny mau mengkaji lagi, apakah benar seperti itu bidikmisi dan Fomuny juga menyediakan atau tidak,” formulir untuk teman-teman penerima bidik Bangun menceritakan Fomuny sebelum misi menyampaikan keluhannya di website nya mendapat kunjungan dari komunitas Fomuny,” ungkap Bangun. Website yang mahasiswa bidikmisi Universitas Negeri dimaksud adalah bidikmisi.student.uny.ac.id. Semarang (UNNES). Mereka berbicara Selain itu Fomuny juga memiliki agenda kegi banyak hal mengenai bidikmisi. Menurut atan tersendiri seperti kumpul antar pengurus Bangun, pembinaan bidikmisi di UNNES untuk meningkatkan kerjasama, pelatihan bagus sekali terlebih kegiatan mahasiswa bahasa Inggris, English Conversations Course bidikmisi di UNNES bekerja sama dengan dan upgrading. bagian Kemahasiswaan. “Di sana uang bi Pendampingan Fomuny untuk mahasiswa dikmisi sudah ada pemotongan untuk acara bidikmisi saat ini adalah berfokus pada kegi yang berkaitan dengan bidikmisi langsung. atan perlombaan. Namun, tidak melupakan Sehingga kegiatan untuk mahasiswa bidikmisi masalah perihal kerancuan dana bidikmisi UNNES selalu ada. Uangnya bersumber dari yang terdapat pada dana KKL FIS. Bangun sana,” jelasnya. juga menjelaskan, “Pihak Fomuny sudah me nanyakan ke bagian kemahasiswaan, tetapi bagian kemahasiswaan tidak tahu mengenai dana-dana yang keluar untuk bidikmisi.” Menu rut Bangun, Fomuny juga belum mendapatkan kejelasan dana untuk kegiatan-kegiatan lomba. Bangun lalu membandingkan dengan sistem di UKM. “UKM kan sudah jelas mendapatkan dana sekian untuk kegiatan apa, di Fomuny tidak seperti itu. Belum ada dana khusus. Sehingga mem buat pihak Fomuny bingung ketika mau mengadakan kegiatan,” ujar nya. Ketika Fomuny ingin menga dakan kegiatan tetapi tidak men dapatkan dana, Bangun juga sering menanyakan kepada pengurus lain di Fomuny apakah tidak keberatan jika semisal menggunakan dana pribadi untuk mengadakan kegia tan. “Kalau misalkan seperti itu ya mau tidak mau menggunakan dana sendiri meski dari segi finansial mahasiswa bidikmisi juga sangat terbatas,” terang Bangun. Sumber dana Fomuny tahun ini menggunakan kas peninggalan pengurus tahun lalu yang sebe lumnya Fomuny dikoordinatori oleh Teguh Arifin dan diambil juga dari uang pembinaan bidikmisi tahun ini sebesar Rp12.500.000,00 Bangun Tri Sudiatno ketika ditemui di sekretariat Fomuny. untuk berbagai kegiatan menurut
Danang | Expedisi
Tidak adanya dana khusus untuk menjalankan berbagai kegiatan mahasiswa bidikmisi membuat Bangun Tri Sudiatno harus memutar otak.
edisi Ii | SEPTEMBER 2016
tepi
SEPTEMBER 2016 | edisi iI
Gigih | Expedisi
“Kalau di UNY, misal hendak menarik dana dari uang bidikmisi untuk kegiatan khusus mahasiswa bidikmisi takutnya ada yang tidak berkenan,” imbuh Bangun. Bangun mengakui bahwa Fomuny sempat mengusulkan kepada pihak Kemahasiswaan UNY untuk melakukan pemotongan dana bidikmisi seperti di UNNES. Namun, hal tersebut tidak diizinkan. “Tidak tahu ala sannya apa, mungkin karena dari tahun ke tahun tidak pernah dilakukan pemotongan,” kata Bangun menambahkan. Wakil Rektor (WR) III Prof. Dr. Sumaryanto, M.Kes. mengungkapkan pe rihal dana yang ditujukan kepada Fomuny mempunyai jatah tersendiri. “Kalau kurang, nanti akan diambilkan dari luar dana terse but,” tuturnya. Dana yang dimaksud adalah dari manajemen kemahasiswaan, bukan dana ormawa. “Kalau kesulitan keuangan, Fomuny menggunakan dana perjalanan dinas wakaf WR III atau staf ahli,” tambahnya. Sumaryanto menerangkan sumber dana Fomuny diambil dari dana pembinaan maha siswa bidikmisi, bantuan dari kemahasiswaan, iuran anak-anak Fomuny sendiri, dan sponsor ketika ada kegiatan. Kepedulian birokrasi terhadap Fomuny nampak dengan adanya ruangan khusus untuk komunitas tersebut pada tahun 2015. Ke giatan-kegiatan forum mahasiswa bidikmisi juga diikutsertakan dengan mengirim per wakilan dari UNY semisal untuk pertemuan forum mahasiswa bidikmisi se-Indonesia dan membantu lomba yang melibatkan anak-anak Fomuny. Sumaryanto juga menjelaskan bahwa Fomuny tidak ada kaitannya dengan BEM UNY sebagai badan semi otonom di bawah kem ent ria n kes ej aht er aa n mas yar ak at. Sumaryanto menerangkan kedepannya bahwa mahasiswa penerima beasiswa juga akan me miliki koordinator seperti Fomuny. “Untuk semua penerima beasiswa saya fasilitasi harus ada koordinatornya. Untuk beasiswa apa saja, tidak hanya penerima bidikmisi saja,” tandasnya. Bangun sendiri menyayangkan belum adanya koordinasi dari pihak BEM UNY pe rihal penjelasan sistem kerja dalam Fomuny. Hal tersebut juga ditujukan kepada pihak Birokrasi. Keaktifan pihak BEM UNY dalam memberikan informasi terkait mahasiswa bi dikmisi tidak seaktif BEM UNY tahun lalu menurut Bangun. BEM UNY sebagai penampung aspirasi mahasiswa melalui Menteri Kesejahteraan Masyarakat, Muhammad Syaiful Ardans, senada dengan Sumaryanto berkata bahwa Fomuny adalah badan semi otonom bukan bagian dari Kesejahteraan Masyarakat BEM
“
Kalau di UNY, misal hen dak me na rik dana dari uang bidikmisi untuk ke giatan khusus mahasis wa bidikmisi takutnya ada yang tidak berkenan,
”
UNY. Tentang penyebaran informasi bidikmisi tersebut Syaiful menambahkan, “Apabila se cara fungsional Fomuny lebih memiliki hak terkait dengan informasi bidikmisi tetapi, BEM juga memiliki hak untuk menyebarluas kan informasi yang ada di UNY. Dikarenakan hal tersebut merupakan salah satu fungsi dari BEM.” Sebelumnya Syaiful mengungkapkan Fomuny sebagai mitra kerja dan akan saling bersinergis. “Itu pembagiannya sudah tertera dalam surat keputusan (SK) yang dibentuk dan diberikan pada Fomuny”. Terkait dengan kemitraan kerja dengan Fomuny, pihak Kesejahteraan Mahasiswa sudah mengoordinasikan dengan bebera pa pengurus Fomuny. Pihak Kementrian Mahasiswa juga menginginkan agar Fomuny dijadikan lembaga yang resmi sehingga ma hasiswa bidikmisi di UNY bisa diberdayakan dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. “Mahasiswa bidikmisi itu harusnya mahasis wa yang memiliki kemampuan dibandingkan dengan yang lain, karena sudah diberikan tanggungan oleh pemerintah,”. Danang Suryo Fahrudin, Heni, Meida
9
resensi
Tuhan Tidak Makan Ikan, Sebuah Humor Psikologis
D
alam lembar endorsements, Tia Setiadi mengatakan bahwa buku kumcer karya Gunawan Tri Atmodjo ini adalah buku yang cerdas karena Gunawan menyajikan hal berat sekalipun menjadi hal yang bisa ditertawakan. Namun, jika diti lik dengan lebih jeli lagi, penulis menerap kan gejala-gelaja psikologis pada tokohtokohnya. Salah satu teori psikologis yang lebih banyak dipakai oleh Gunawan adalah defence mechanism. Defense Mechanism merupakan teori mempertahankan diri seseorang apabila ke butuhannya tidak terpenuhi yang digaung kan oleh Sigmund Frued. Gejala defense mechanism begitu kentara dalam cerpencerpen di kumcer ini. Terutama pada cerpen yang berjudul Bukan Kawan.
Bukan Kawan menceritakan tentang Ilham Aji yang sedang menunggu antrean untuk wawancara kerja dengan Manajer Per sonalia. Di sana, ia mengira bahwa manajer tersebut adalah teman sekolahnya yang ber nama Didik. Ia merasa iri dengan kenyataan bahwa Didik sekarang sudah menjadi bos karena dulu Didik adalah murid yang miskin bahkan tidak memiliki teman selain dirinya. Hingga kemudian datang gilirannya untuk diwawancara. Merasa kenal dengan manajer yang akan mewawancarainya itu, Ilham me nyapa terlebih dahulu. Namun, tidak disang ka, ia salah orang. Merasa malu, ia langsung keluar dan melewatkan sesi wawancara. Terdapat gejala disosiasi—memutus emo si dengan mengalihkannya ke hal lain—dalam diri Ilham saat itu. Ia yang salah mengira orang lalu kenyataan tentang ia tidak mendapat pekerjaan secara normal seharusnya membuatnya merasakan kesedihan. Namun, Ilham justru ba hagia karena mendapati kenyataan bahwa Manajer Personalia bukanlah Didik, teman SMAnya.Dari 23 cerpen di kumcer ini, Istri Pengarang adalah cerpen yang paling mengandalkan emosi psikologis dalam tokohnya. Bercerita tentang seorang wanita yang di-PHK dari pekerjaannya me lalui sudut pandang orang pertama, Gunawan benar-benar mampu meng gambarkan bagaimana sisi terpuruk dan putus asa seor ang istri yang cem buru pada tokoh perempuan yang di buat suaminya. Bahkan rasa cemburu begitu menguasai dirinya dan tanpa sadar membuat tokoh Istri membu nuh suaminya. Namun, tanpa didu ga, bukannya menyesal, tokoh Istri justru menenangkan dirinya dengan mengatakan bahwa perbuatannya akan membahagiakan suaminya. “Karena dia meninggal saat menulis, hal yang mungkin diidamkan oleh banyak peng arang.” (hal. 57)
Akan tetapi, tidak dimungkiri, kumcer Tuhan Tidak Makan Ikan memang penuh dengan kalimat-kalimat satire yang semu anya bisa ditertawakan. Di kumcer yang banyak menyinggung mengenai kematian ini, mengingatkan pembaca bahwa kematian justru yang ditunggu tapi banyak orang yang menertawakannya. Dalam pembukaan cerpen yang berjudul Cara Mati yang Tak Baik bagi Revolusi, pembaca diajak untuk menertawa kan cara mati yang konyol Kolonel Aduren ka rena terpeleset ingus sendiri di kamar mandi. Namun, seakan tidak ingin menghilangkan diri khasnya memasukkan psikologi sastra, Gunawan juga tak lupa menggambarkan bagaimana kondisi Presiden Segrob yang merasa bahagia hanya karena mimpi di sela kekalutannya menangani pemerintahan yang anggotanya banyak yang dibunuh. Yang paling menarik adalah cerpen yang dijadikan judul kumcer ini. Tuhan Tidak Makan Ikan malah tidak lebih menarik dari cerpen-cerpen lain. Menyindir tentang bagai mana nelayan di pesisir pantai sering dibodohi untuk menyetor tangkapan ikannya bukan untuk dirinya sendiri. Dalam Tuhan Tidak Makan Ikan, mereka dibodohi oleh Kepala Kampung dengan dalih bahwa keadaan laut sedang tidak baik dan bisa kembali normal jika mereka menyerahkan hasil laut mereka untuk dipersembahkan ke Tuhan yang tentu saja itu adalah kebohongan. Diceritakan melalui sudut pandang se orang anak lelaki yang menyingkirkan citacitanya menjadi penjaga perpustakaan karena pernah merasa bersalah setelah mencuri se buah buku, Tuhan Tidak Makan Ikan menjadi jauh lebih menarik. Cerpen ini ditutup secara apik dengan sebuah dialog yang lugu, tapi menyentil. “Apakah Tuhan itu makan ikan, Yah?” “Anak bodoh, tentu saja Tuhan tidak makan ikan!” (125) Nisa MS.
Judul Buku : Tuhan Tidak Makan Ikan dan cerita lainnya. Penulis : Gunawan Tri Atmodjo Penerbit : Divapress Cetakan : I,Juni 2016 Tebal : 244 Halaman
10
edisi Ii | SEPTEMBER 2016
wacana
Simposium ‘65 dan Demokrasi Indonesia
A
c ara Simposium ’65 (18/4) diadakan secara resmi oleh pemerintah RI sebagai bentuk keseriusan peme rintah dalam membentuk rekonsiliasi kor ban peristiwa 30 September 1965. Berbagai kalangan mulai dari pemerintah, praktisi HAM serta eks-tapol (ta hanan politik) yang terlibat dalam peristiwa ‘65 dihadapkan bersa ma guna mendapatkan pandangan yang berbeda tentang peristiwa kelam pasca reformasi tersebut. Simposium yang berlangsung dua hari itu mempertemukan korban, pelaku, akademisi, dan sejarawan terkait peristiwa ‘65. Dikatakan kelam karena dalam peristiwa ‘65 telah banyak terjadi pembantaian antarsesama yang mengganggu keberadaan HAM di Indonesia. Simp os iu m ini mer up a kan langkah pertama pemerin tah dalam melihat peristiwa ‘65 melalui perspektif sejarah agar mendapat gambaran yang tidak sepihak. Acara tersebut berdasar Term Of Reference-nya bukan usa ha pemerintah mencari siapa yang bersalah dan siapa yang benar, tapi merupakan usaha awal menuju rekonsiliasi korban peristiwa ‘65. Terbukti dari lembaga-lembaga yang terlibat dalam acara terse but antara lain: Dewan Pertimba ngan Presiden, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Dewan Pers Indonesia, UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gadjah Mada dan Universitas Udayana, Pusat Kajian Demokrasi dan HAM Universitas Sanata Dharma, Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, Institute for Peace and Democracy, dan Forum Silaturahmi Anak Bangsa. Dari berbagai lembaga tersebut dapat disimpulkan adanya simposium ini tidak hanya akan berguna bagi pegiat HAM yang berusaha mencari keadilan kemanusi aan, tapi juga berguna bagi pengembangan intelektualisme masyarakat Indonesia. Berbagai kalangan menyoroti kebera daan simposium ini dengan berbeda-beda. Sebagai contoh, sebuah lembaga yang mena makan dirinya sebagai Front Anti-Komunis
SEPTEMBER 2016 | edisi iI
Indonesia memandang bahwa acara seperti ini adalah usaha pemerintah untuk menghidupkan lagi PKI di Indonesia. Mereka menganggap adanya simposium hanya akan memperke ruh keamanan Indonesia yang sudah lama
Indonesia yang disebut sebagai negara demokrasi kedua terbesar setelah Amerika di anggap masih terlalu prematur dalam menyi kapi demokrasi di dalam negerinya. Banyak negara menganggap bahwa Indonesia masih kurang dalam mengakomodir su ara rakyatnya yang berasal dari berbagai bangsa dan suku. Pa dahal, kebebasan bersuara pada setiap orang adalah hal mutlak bagi konsep demokrasi bernegara. Kurangnya sikap demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari peristiwa ‘65 yang pada masa Orde Baru PKI dianggap sebagai “sosok jahat” sedang pemerintah sebagai “sosok baik”. Pemikiran tersebut tentu berakibat pada ste reotip bahwa segala yang berbau PKI dan komunis adalah buruk sedang semua yang dari pemerin tah adalah baik. Lalu pemikiran seperti ini terus berlanjut hingga masa pasca Reformasi selanjut nya. Seluruh rakyat diberi peng ertian bahwa hanya pemerintah saja yang sah mengisahkan tragedi tersebut tanpa pernah sekalipun diperbolehkan mendengar dari versi yang berseberangan. Hal inilah yang membuat demokrasi Indonesia patut dipertanyakan. Adanya Simposium ‘65 ini merupakan salah satu kemaju an bagi demokrasi Indonesia. Dengan begitu, fobia-fobia yang berusaha pemerintahan lama ta Gigih | Expedisi namkan pada pikiran rakyat dapat memendam amarah dengan keberadaan PKI. hilang dan berganti dengan pengertian baru Lain halnya dengan para sejarawan yang yang lebih adil. Setelah ini, mungkin akan melihat acara ini sebagai keseriusan pemerin lebih banyak acara-acara sejenis yang be tah yang ingin meluruskan sejarah. Pelurusan rusaha mengambil dua sudut pandang, baik sejarah mereka anggap sangat penting karena yang menuduh maupun yang tertuduh dengan akan mengembalikan banyak hal yang selama tema yang tidak jauh dari kemanusiaan. Juga ini masih ditutup-tutupi seperti pengajaran mungkin masyarakat akan lebih mengerti sejarah tentang tragedi ‘65 yang sangat tim arti dari sebuah dialog sehingga tak perlu pang dalam penyampaiannya. lagi ada pembubaran paksa terhadap dialog Meski begitu, acara semacam Simposium yang diselenggarakan dalam usaha untuk ‘65 kemarin kemungkinan akan memenga meluruskan sejarah. ruhi banyak aspek, baik nasional maupun Wachid As-siddiq regional. Salah satu hal yang sangat mungkin akan terpengaruh adalah masalah demokrasi di Indonesia.
11
eksprespedia
Politik Warna di Indonesia
W
arna memiliki berbagai fungsi dalam kelangsungan partai poli tik, di antaranya adalah lambang pergerakan baru untuk menumbangkan keku asaan yang tengah berkuasa. Selain itu, warna pada lambang politik dapat pula menjadi sarana promosi untuk menarik minat masya rakat yang pada akhirnya akan berpengaruh pada legitimasi politik di Indonesia. Politik warna sendiri adalah sistem politik dimana warna memegang peranan penting dalam sistem perpolitikan. Politik warna di Indonesia dimulai sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI yang mengakibatkan tumbangnya rezim Orde Lama. PKI identik dengan warna merah dan berlambang palu-arit. Pada awalnya, warna dan lambang tersebut adalah sebagai semangat meraih kemerdekaan dan keberpihakan PKI pada rakyat kecil terutama petani. Namun, sejak adanya peristiwa G30S/PKI, warna merah dan palu-arit dilambangkan sebagai pemberontakan dan pertumpa han darah. Tak hanya itu, akibat dari peristiwa tersebut bahkan membuat warna merah seolah dijauhi terlebih jika disangkutpautkan dengan
politik dan gerakan massa. Contoh nyata dari distorsi warna merah ini adalah peristiwa perebutan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Pange ran Diponegoro Jakarta (27/07/1996) dan memunculkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Di Indonesia sendiri, warna merah, biru, kuning, dan hijau adalah warna-warna yang menjadi ciri khas partai politik di Indonesia. Warna merah untuk PDIP, biru untuk Nasdem, PAN, dan Demokrat, putih ciri dari
Gerindra dan Hanura, kuning milik Golkar, dan hijau identik dengan PPP dan PKB. Pada dasarnya para politisi berhak untuk melakukan politik warna, asalkan tidak ber bahaya bagi kelangsungan HAM. Jadi, dapat disimpulkan bahwa warna tak dapat terpi sahkan dari sistem perpolitikan di negeri ini karena warna dan politik laksana dua sisi mata uang. Erya Ananda
Gigih | Expedisi
INGIN PASANG IKLAN DI BULETIN EXPEDISI ? SEGERA HUBUNGI Maria (085-643-296-491) 12
edisi II | SEPTEMBER 2016