MAJALAH MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
EKSPRESI
I INDEKS DARI REDAKSI
4
EDITORIAL
5
SURAT PEMBACA
6
PROFIL Marsigit
30
ALMAMATER Hibah Dana IDB Bersyarat 32 Tiga Belas Gedung IDB, RTH Berkurang 34 KOLOM Wajah Layar Kaca
36
C’KLIK Menjadi Biduan
39
APRESIASI Carlo Petrini
56
ANALISIS UTAMA
8
IMAM | EKSPRESI
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA SETIDAKNYA dua perlakuan menyakitkan harus diterima keturunan Tionghoa di Yogyakarta. Pertama, mereka dibatasi hak atas tanahnya. Kedua, jidat mereka dicap nonpribumi—predikat rekaan pemerintah kolonial yang sudah dihapus hukum Indonesia. Sayangnya, lembaga negara justru lebih tunduk pada swapraja.
TELUSUR
44
WAWANCARA KHUSUS Bramantyo Prijo Susilo 58 KHUSNUL | EKSPRESI
RESENSI Menulis Itu Indah
60
PENDIDIKAN Sekolah Pasar
76
HIKMAH Delusi Agen Perubahan 78
TERUSIR PROYEK PLTU BATANG adalah kabupaten yang produksi padinya surplus dan lautnya kaya akan ikan. Sampai kemudian, bersama Pemerintah, investor Jepang datang membangun PLTU terbesar se-Asia Tenggara. Pertanian dan kelautan, mata penghidupan kudus di negeri agraris, sekali lagi, digaham proyek ambisius kapital.
LAPORAN KHUSUS
Rancang Sampul: Aziz Dharmawan Redaksi menerima surat pembaca menanggapi hal-hal menyangkut dunia kemahasiswaan, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, agama, sains, teknologi, o lahraga, lingkungan, dan budaya, serta tanggapan atas terbitan EKSPRESI sebelumnya. Tulisan maksimal 1000 kata, dikirimkan ke email redaksi@ ekspresionline.om. Redaksi berhak mengubah tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna.
61
AZIZ | EKSPRESI
TITIK BALIK RILISAN FISIK PERALIHAN format dari fisik ke digital mengubah korenah manusia. Semuanya ingin lebih praktis, termasuk dalam langgam menikmati musik. Namun, siapa sangka, meski bikin ribet, masih ada yang memanjakan telinga dengan kema panan lawas. Diam-diam, selera akan rilisan fisik terus dirayakan di mana-mana. EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 3
DARI REDAKSI
R
asialisme punya porsi yang cukup panjang dalam bentangan sejarah peradaban dunia. Seiring maju nya peradaban, muncul orang-orang yang akhirnya mampu membawa suara bahwa perbedaan etnis maupun ras tidak jadi soal dalam kehidupan sehari-hari. Revolusi penghentian diskriminasi rasial yang telah pecah di berbagai tempat akhirnya berujung pada Resolusi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk menyetop diskriminasi ini. PBB sampai harus hadir, sebab tidak sedikit diskri minasi ini dilanggengkan oleh tokoh pe merintah bahkan negara. Diskriminasi sudah kadung tersistem. Di Yogyakarta pun demikian. Seakan terjebak dalam stigma, pemerintah pro vinsi ingin melindungi warga pribumi dari warga nonpribumi. Fakta bahwa aset tanah yang tersebar di seluruh negeri ini hanya dimiliki oleh segelintir orang me mang benar. Namun, pemprov membaca akar ketimpangan ini bersumber bukan dengan dasar kelas sosial melainkan et nisitas. Warga yang digolongkan nonpri bumi tidak boleh mempunyai surat hak milik tanah di Yogyakarta. Tidak ada landasan yang jelas ba gaimana pemprov mendikte yang mana pribumi dan nonpribumi. Terlebih pe merintah pusat telah melahirkan beleid yang melarang penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi. Komnas HAM yang sudah hadir sejak 4 tahun lalu, nyatanya tidak mampu mengubah sikap Gubernur DIY. Tema inilah yang kami sajikan di rubrik Analisis Utama. Sementara itu, pemerintah pusat tengah mewacanakan pembangkit listrik super besar yang berlokasi di Kabupaten Batang. Mendapat gandengan investor dari Jepang, tenaga uap dipilih sebagai teknologinya. Sontak, masyarakat pesisir Kabupaten Batang protes. Selain karena polusi yang akan berdampak pada sawah dan laut mereka, ruang hidup dan pekerjaan juga kudu beralih. Pada rubrik Telusur, kami coba sajikan liputan masalah ini dengan gaya jurnalisme naratif. Warga jelas tak mau jadi martir atas mimpi pemerintah punya PLTU terbesar se-Asia Tenggara. Apalagi efeknya tak tanggung-tanggung, angka polusi yang disumbangkan satu PLTU Batang setara dengan jumlah total polusi yang dipunya Myanmar dalam setahun. Para nelayan dan petani Batang
lantas bergerilya mencoba menggagalkan mega proyek peme rintah ini. Langkah diplomatis hingga turun ke jalan hampir jadi keseharian. Saat ini sawah para petani sudah ditutupi seng, kapal-kapal besar pengangkut batu bara mengancam kapal kecil para nelayan. Dilanjutkan dengan membahas kebangkitan rilisan fisik di rubrik Laporan Khusus, kami uraikan fenomena-fenomena yang mengiringinya. Anda akan temukan bagaimana efektivi tas dan efisiensi tidak selalu menjadi raja. Pasalnya, kecanggihan dan kepraktisan musik digital tidak otomatis membuat rilisan fisik mati. Seabrek alasan masih dipunyai oleh orang-orang yang tidak mau beranjak dari rilisan fisik. Mulai dari potensi ekonomi sebagai bahan koleksi yang nilai jualnya dapat meningkat berkali lipat. Hingga kenikmatan batiniah dalam mendengar musik yang hanya dapat dicapai dengan rilisan fisik dan barang-barang berkuali tas tinggi. Sampai di sini, piringan hitam dipuja-puja sebagai medium rilisan fisik penghasil suara paling bagus. Komunitas-komunitas pencinta rilis an fisik pun mulai bermunculan. Mulai dari sekadar kumpul-kumpul dan tukarmenukar rilisan fisik, hingga perayaan se kaliber internasional pun dibikin. Mereka dikumpulkan dengan alasan yang kurang lebih sama: rilisan fisik. Begitu pula dengan komunitas lain yang tak pernah berkumpul, bikin perayaan, tapi tak hilang-hilang. Mereka adalah para penjaja musik bajakan. Bukti paling sederhananya adalah pelapak kaset dan CD bajakan yang sampai sekarang masih punya pangsa pembeli. Tak ada alasan untuk menyebut majalah ini bagus. Apa lagi delapan bulan adalah waktu yang terlampau lama. Pro krastinasi yang berujung ketidakdisiplinan para penggarap majalah menjadi alasan yang tak bisa dimungkiri. Namun, tentunya butuh kerja keras sampai majalah ini sampai ke tangan pembaca. Mulai dari membagi waktu, tenaga, dan pikiran sembari menjalani proses akademik. Akan lengkap rasanya jika kerja keras tadi mendapat apresiasi dari para pembaca berupa kritik. Pada akhirnya, kami ucapkan selamat menikmati majalah ini. Semoga mampu membantu Anda sebagai refleksi pemikiran intelektual.[]
PENERBIT: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) EKSPRESI Universitas Negeri Yogyakarta IZIN TERBIT: SK Rektor No. 069/1992 20 April 1992 PELINDUNG: Prof. Dr. Rochmat Wahab PENASIHAT: Dr. Sumaryanto, M.Kes. PEMBINA: Sigit Nugroho, S.Or., M.Or. PEMIMPIN UMUM: Mariyatul Kibtiyah SEKRETARIS: Fara Famular (nonaktif ) BENDAHARA: Devi Ellok PEMIMPIN REDAKSI: Aziz Dharmawan R EDAKTUR PELAKSANA MAJALAH: Putra Ramadan REDAKTUR UTAMA: A.S. Rimbawana, Ghozali Saputra, Triyo HandokoREDAKTUR DAN REPORTER: Ade, Ahmad, Andhika, Arfrian, Aziz, Bayu, Devi, Ghoza, Imam, Khusnul, Kibti, Prima, Putra, Rimbawana, Triana, Vathir, Vina, Winna REDAKTUR ARTISTIK: Andhika Widyawan, D inda Sekar (nonaktif ) REDAKTUR FOTO: Ade Luqman R EDAKTUR PELAKSANA ONLINE: Triyo Handoko R EDAKTUR BAHASA: Ayuningtyas Rachmasari PEMIMPIN PSDM: Winna Wijayanti LITBANG: Ervina Fauzia, PERPUSTAKAAN: Fajar Azizi DIKLAT & KADERISASI: Khusnul Khitam DISKUSI: A. S. Rimbawana PEMIMPIN PERUSAHAAN: Triana Yuniasari EVENT ORGANIZER: Bayu Hendrawati PRODUKSI: Rohmana Sulik SIRKULASI: Indra Ristianto IKLAN: Ghozali Saputra PEMIMPIN JARINGAN KERJA: Arfrian Rahmanta J ARINGAN INTERNAL: Ahmad Wijayanto, Riska Pranandari JARINGAN EKSTERNAL: Andi Vathir NGO & GERAKAN: Prima Abadi ALAMAT REDAKSI: Gedung StudentCenter Lt. 2 Universitas Negeri Yogyakarta 55281 SUREL: lpm_ekspresi@ yahoo.com SITUS WEB: ekspresionline.com
4 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
EDITORIAL
Sudahi Kekacauan Tata Ruang
I
ndonesia adalah negeri yang subur tanahnya dan kaya akan sumber daya alam. Ungkapan ini mungkin terdengar mewah, tapi bacalah: terca tat, hanya terdapat 25 juta hektare lahan pertanian yang tersebar di seluruh Indonesia. Kini, 71 tahun sudah Indonesia merd ek a. Rakyat mengi ngink an kem erd ek a an dari kemiskinan, bencana alam, dan krisis energi. Namun, sampai saat ini, Indonesia be luml ah sep en uhn ya merd e ka—lagi-lagi ungk apa n yang klise. Kegelisahan menyerang di mana-mana, karena penggu suran terus membabi buta. Ke gundahan kambuh setiap waktu, sebab kedaulatan pangan terki kis dan energi krisis. Permasalahan itu, salah sa tunya, berpangkal pada sekitar 3.000 peraturan daerah terka it tata ruang yang tumpang tindih dengan kebijakan dari pemerintah pusat. Padahal, tata ruang wilayah seharusnya sejalan antara pemerintah daerah, kota, dan pusat. Indonesia tidak punya perencanaan terintegrasi, sehingga berbagai macam persoalan muncul berkaitan dengan pembangunan. Selanjutnya, konsistensi pelaksanaan aturan pun lemah. Seluruh pemerintah, baik pusat dan daerah kelihatannya konsisten jika berhadapan dengan pemodal lemah. Sebaliknya jika berhadapan dengan pemodal besar atau pejabat tinggi, pemerintah yang jadi lemah. Seperti banyak kasus yang terjadi sekarang. Lahan pertanian berubah menjadi mal atau bandara. Selain itu, Pemerintah juga minim kemampuan mengantisipasi persoalan-persoalan di masa mendatang. Padahal, dalam dua atau tiga puluh tahun ke depan, Indonesia memiliki beberapa tantangan. Pertama, sektor penggunaan lahan. Lahan yang awalnya hijau bisa beralih fungsi menjadi perumahan, kawasan perkantoran, dan hotel yang terus menjarah. Kedua, kuantitas ruang. Jumlah penduduk yang semakin padat dapat mengakibatkan ruang gerak menyempit. Ketiga, kesenjangan pembangunan antarwilayah. Tantangantantangan tersebut jika tidak teratasi dapat berdampak pada tata ruang wilayah yang tentu tidak sesuai kebutuhan. Memang, di Indonesia, RTRW diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional. Sasarannya agar tersedia rencana tata ruang wilayah yang konsisten dan efektif. Penyesuaiannya merujuk kaidah penataan ruang, seperti kenyamanan lingkungan, keamanan budaya, serta tertibnya penataan ruang. Agar tepat sasaran, tentu diperlukan usaha yang keras. Dalam membuat rencana tata ruang wilayah perlu mem
pertimbangkan aspek lingkungan. Pasalnya, lingkungan me rupakan tempat hidup di mana manusia memenuhi kebutu hannya. Jika rencana tata ruang wil ay ah tidak dis ei mb angk an dengan lingkungan, ditakutkan akan merusak menurunkan kua litas lingkungan. Pembabatan lahan pertanian untuk pembangunan perumah an, hotel, dan tempat perbelan jaan menyebabkan berkurangnya lahan hijau. Belum lagi kasus ke rusakan hutan yang mencapai 2,8 juta hektare per tahun. Lalu ke salahan dalam tata ruang dapat menyebabkan drainase yang tidak baik hingga timbul banjir. Peristi wa-peristiwa tersebut merupakan dampak dari rencana tata ruang wilayah kota yang tidak sesuai dengan prinsip lingkungan. ARFRIAN | EKSPRESI Ironisnya, permasalahan tata ruang yang terjadi tidak hanya men yebabkan beberapa dampak bagi masyarakat saja, melainkan juga lingkungan. Hal tersebut terjadi karena perencanaan tata ruang kota tidak jelas. Pembuat kebijakan tidak konsisten dalam melaksanakan perencanaan pembangunan. Penyusunan RTRW pemerintah kabupaten/kota/provinsi menjadi Perda yang sangat lambat. Tidak adanya kejelasan dan konsistensi dalam penataan ruang. Sebagai contoh yang terjadi di Kabupaten Batang. Agar proyek PLTU terbesar se-Asia Tenggara mendapat legalitas di sana, RTRW Kabupaten Batang dipaksa berubah. Bukan hanya itu saja, bahkan Perda yang mengatur soal wilayah konservasi laut di Batang pun mudah saja digeser. Padahal, proyek tersebut harus memakan korban berupa lahan subur berupa sawah produktif. Atas nama pembangunan seakan semuanya bisa diatur sambil jalan, perencanaan sekalipun. Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Bernardus Djonoputro menilai, permasalahan tata ruang dalam jang ka panjang menimbulkan konflik yang berdampak pada pembangunan infrastruktur (dalam Kompas.com). Padahal, seharusnya antara rencana tata ruang wilayah kota sejalan dengan pembangunan infrastruktur agar rencana tata ruang wilayah kota dapat sejalan dengan tujuan pembentukannya. Presiden sudah tentu harus meninjau ulang soal visinya dalam membangun infrastruktur sepanjang periode kepemimpinannya. Mustahil untuk menolak pembangunan infrastruktur. Namun, jika pembangunan “memerkosa” perencanaan tata ruang wilayah, tentu lingkungan belumlah jadi orientasi pembangunan di Indonesia. Pemerintah tak boleh lupa bahwa Indonesia adalah negara terakhir dari sedikit negara yang pernah dipercaya menjadi tuan rumah KTT Bumi dan Lingkungan.[] EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 5
SURAT PEMBACA
emberikan pelayanan informasi kepada m publik dengan sebenar-benarnya. Para m ah as isw a dengan dem ik ia n akan mendapatkan pengalaman langsung tentang bagaimana mengelola badan publik untuk memberikan informasi publik tersebut. Pengalaman langsung mer up ak an guru terb ai k. Dem ik ian petuah bijak para cendekiawan.
“Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta,“
Subkhi Ridho Dosen Ilmu Komunikasi UNY
Thales Filsuf Yunani Kuno
Era Keterbukaan Informasi bagi Universitas SETELAH satu dekade reformasi berjalan, pada 2008 diketok sebuah regulasi yang mengatur pengelolaan informasi publik, yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan adanya UU tersebut, p em er int ah m aup un badan publik lainnya harus memberikan informasi pada publik terkait dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang telah dilaku kan. Tak terkecuali universitas sebagai lembaga pendidikan. Dibentuk pula Komisi Informasi Publik (KIP), seb ua h lemb ag a pem ant aua n dan pengeval uas i atas terlaksana dan tidaknya UU tersebut. S ej al an dengan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik dalam Pasal 37 ayat (1), Komisi Informasi dapat melakukan evaluasi pelaksanaan layanan Informasi Publik oleh Badan Publik 1 (satu) kali dalam setahun; ayat (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada Badan Publik dan diumumkan pada Publik. T e rk ai t e v al u as i m en g en a i keterbukaan informasi publik, KIP sejak 2011 telah melakukan pemeringkatan keterbukaan informasi badan publik. Hal ini merupakan bentuk pemantauan dan e val uas i tentang implementasi k et erb uk aa n inf orm as i. Adap un lembaga-lembaga yang dievaluasi dan kem ud ia n muncul per ingk at yakni: kementerian, Badan Usaha Milik Negara, partai politik, perguruan tinggi negeri (PTN), pemerintah provinsi (pemprov). PTN yang men emp at i sepuluh
6 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
besar tahun 2015 yaitu: 1) Universitas Brawijaya (skor 86, 861), 2) Universitas Gadjah Mada, 3) Universitas Padjajaran, 4) Universitas Indonesia, 5) Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), 6) Universitas Sumatera Utara, 7) Universitas Jambi, 8) Universitas Lambung Mangkurat, 9) Universitas Bengkulu, 10) UIN Sunan Gunung Jati Bandung (skor 31,039), (laporan dari KIP). Penilaian tersebut dilakukan secara mandiri dan hasil visitasi KIP, dengan indikator dan bobot penilaian sebagai b er ik ut: Mengu mumk an Inf orm as i Publik (bobot nilai 24%), Menyediakan Inf orm as i Publik (20%), Pel ay ana n Informasi Publik (25%), Pengelolaan dan Pendokumentasian Informasi Publik (30%). Nah, berkaca dari data KIP di atas, kita bisa melihat bahwa perguruan tinggi negeri kita saat ini masih jauh di bawah standar dalam pengelolaan keterbukaan informasi publik, termasuk Universitas Negeri Yogyakarta. Mengingat posisi nomor sepuluh saja nilainya 31,039. Hal ini berarti kampus-kampus lain nilainya di bawah dari posisi tersebut. Inilah ironi lembaga pendidikan. Ruang di mana sering kali digembar- gembork an p erlunya k eterbukaan infomasi publik oleh para dosen maupun tenaga pengajar di universitas. Namun, lembaganya sendiri justru belum mampu menjadi teladan bagi para mahasiswa dan publik secara luas. Para pemimpin di universitas dari lingkup terkecil di tata usaha, jurusan, fakultas, dekanat, rektorat, hingga forum terhormat senat dituntut untuk memberi contoh konkret bagaimana
Pekerjaan Rumah untuk PSSI Baru KONGRES L uar B iasa ( KLB) P SSI yang sejatinya diselenggarakan pada 17 Oktober 2016 di Makassar diundur h ingg a 1 0 N ovember 2 016 da n dilaksanakan di Jakarta. Jika persoalan waktu dan tempat saja jadi masalah, sudah pasti PSSI ini adalah gudang mas al ah. Siapa pun yang m enj ad i k et ua umum dan k om it e e ks ek ut if (Exco) akan dihadapkan pada segenap persoalan yang tak mudah diselesaikan. Mulai dari persoalan administratif dan badan hukum anggota (klub), perbaikan kompetisi, hingga penyusunan kembali agenda pembinaan pemain muda di level lokal maupun nasional. Belum lagi persoalan pendisiplinan Asosiasi Provinsi dan Asosiasi Kabupaten/Kota. Exco PSSI sudah mem ut usk an untuk mem ul ihk an kemb al i tujuh klub yang s el am a ini menga mb ang status hukumnya. Salah tiganya adalah Persebaya Surabaya, Arema Indonesia, dan Persipasi Bekasi. Ketujuh klub tersebut, jika nantinya kompetisi digelar kembali oleh federasi, bisa berlaga lagi di Divisi Utama. Tidak perlu melalui Liga Nusantara. Akan tetapi, keputusan terhadap Persebaya tidak mem il iki peng aruh apap un bagi Surabaya United (Bhayangkara Surabaya United atau kini Bhayangkara Football Club sete lah diakuisisi oleh Polri). Mengingat dulunya Surabaya United berkiprah dengan hak yang semestinya dimiliki oleh Persebaya. Arema Indonesia dipulihkan tapi sudah ada Arema Cronus di level teratas kompetisi negeri ini. Persipasi Bekasi sempat merger dengan Bandung Raya lalu dijual dan kini kita mengenal Madura United. Kebijakan diambil untuk menye lesaikan suatu masalah tapi justru me
SURAT PEMBACA
nimbulkan adanya masalah berikutnya. B isa jadi di masa depan kita akan menemukan lagi kem uncula n Putra Samarinda yang notabene sudah dijual dan menjadi Bali United atau Persiram Raja Ampat yang menjadi PS TNI. Exco PSSI terlalu mudah memproses jual beli hak berlaga sebagai sebuah klub profesional. Ini menjadi bom waktu di kem ud ia n hari. Jika klub t erl al u banyak, bidang kompetisi akan kesulitan menentukan format liga yang tepat. Tepat dari sisi pembinaan dan komersial. Oleh karenanya, perlu ada aturan yang jelas mengenai keberadaan suatu klub dan proses jual belinya. Agar tak timbul lagi persoalan seperti yang sudah-sudah. Kalau semuanya dimaafkan, menarik untuk menati apakah yang akan diterima oleh para terdakwa sepak bola gajah antara PSS Sleman vs PSIS Semarang yang berlangs ung pada 27 Oktober 2014. Sejauh ini, tak ada maaf bagi para pelaku (pengurus, pelatih, dan pemain). Mereka tetap dihukum sesuai dengan hukumannya. Ada yang dihukum satu tahun percobaan, sepuluh tahun, hingga seumur hidup tidak boleh aktif di sepak bola Indonesia. Total ada 50 orang yang divonis bersalah (26 PSS dan 24 PSIS). Persoalannya, sepak bola gajah tidak diusut tuntas. Jika ini adalah pengaturan skor, tak ada investigasi lanjutan sehingga sangat rentan kejadian ini terulang. Mungkin bukan dalam bentuk yang semencolok ini. Namun mafia pengatur skor yang menjadi dalang berbagai tindak kecurangan di sepak bola nasional tetap leluasa menjalankan operasi ilegalnya. PSSI baru harus membuka kasus ini kembali. Menghukum yang seharusnya dihukum dan meringankan hukuman bagi yang sejatinya tak punya inisiatif berlaku curang. Selanjutnya tentu bisa membuka jaringan pengaturan skor yang menggerogoti sepak bola Indonesia. Pengurus baru tak perlu berjanji kita akan ke Piala Dunia. Lima tahun mendatang sebaiknya digunakan untuk memperbaiki kondisi internal. Merancang tata kelola sepak bola yang benar dan dipatuhi oleh seluruh stakeholder. Jika itu saja bisa jalan dan setidaknya dua masalah yang disebutkan dalam tulisan ini bisa diselesaikan, itu sudah cukup untuk menyebut kepengurusan yang baru berhasil. Sirajudin Hasbi Editor Fandom.id
Membangun Perspektif dalam Studi Air BAGI saya, kesan per t a m a yang muncul ses ud ah memb ac a Majalah EKSPRESI “Memburu Aliran Emas Biru” adalah, yang dimaksud dengan “tema p en gel ol aa n air” ial ah akses terhadap air minum. Hal ini terlihat dari berbagai tulisan yang memperdalam permasalahan-permasalahan seperti air minum dalam kemasan, permasalahan konflik di mata air, korp or ati sas i perusahaan daerah air minum, serta nar as i tata kep engu rusa n alt ern at if terhadap sumber air. Seb ag ai pemb ac a, saya sangat m en ikm at i saj ia n yang dit amp ilk an oleh Majalah EKSPRESI edisi tersebut. Terutama karena itu muncul dalam terbitan pers mahasiswa. Itu artinya permasalahan kepengurusan air sudah mulai menj ad i perb inc anga n dan mendapatkan porsi dalam diskursus yang berseliweran di berbagai terbitan di sekitar kita. Ini menjelaskan pula, tema air memiliki modal yang sangat kuat untuk menjadi “alat politik” karena ia adalah kehidupan itu sendiri. Dalam ungkapan yang lain, saya bisa sebutkan, krisis air adalah krisis kehidupan. Akan tetapi, sependek pembacaan saya, terbitan EKSPRESI di atas belumlah cukup menautkan permasalahan krisis air. Maksud saya, permasalahan akses atas air masih lebih ditinjau dalam p en gert ia nn ya bag aim an a orang m end ap atk an air untuk mem en uhi kebutuhan sehari-hari mereka sebagai makhluk hidup. Term in ol og i akses, misalnya, belumlah dikerangkai secara teoritis sebagai bentuk dari “kekuasaan” yang, kalau kita mengacu kepada filsuf seperti Michel Foucault, menyebutkan bahwa kekuasaan itu relasional dan ada di mana-mana. Faktor “relasional dan ada di mana-mana” ini bisa mendudukkan permasalahan akses terhadap air di tengah-tengah ilmu sosial. Demikian pula konflik air yang terekspresi dalam perlawanan di Umbul Gemulo, Batu, Malang, belumlah secara teoritis dibingkai dengan menggunakan teori sosial yang lebih abstrak. Belum pula berb ic ar a tentang perl aw ana n seperti yang sudah banyak dijelaskan oleh James Scott (perlawanan kaum yang lemah, politik infra-merah atau politik tak tampak mata, dan skrip tersembunyi), atau juga dibingkai dalam resistensi ala
gramscian (konter-hegemoni), polanyian (countermovement), atau bahkan marxian (revolusi). Poin saya, tema-tema yang diangkat dalam Analisis Utama terbitan EKSPRESI masih bisa diperdalam. Baik itu dalam wilayah teoritisasi pengetahuan, maupun dalam wilayah bagaimana seharusnya praktik perebutan akses dan membangun perlawanan itu dikerjakan oleh para pelakunya. Poin kedua yang mungkin tak kalah menarik adalah mengenai tema air yang diangkat itu sendiri. Bahwa apa yang dimaksud dengan “kepengurusan air” bisa jauh lebih luas dari sekadar akses terhadap air minum. Kepengurusan air juga bisa dimaknai dengan meletakkan air sebagai “ruang-hidup”. Dengan demikian, persoalan-persoalan yang sedang hangat dib inc angk an publik masa-masa ini di Indonesia bisa masuk dalam perbincangan kepengurusan air. Seperti gerakan penolakan reklamasi di Teluk Benoa Bali, Teluk Jakarta, dan Makassar. Dem ikian pula isu tanah yang berpilin dengan isu air seperti yang d is uar ak an ger aka n pet an i di Rembang dan Pati, Jawa Tengah. Pada dasarnya masalah-masalah tersebut juga bagian dari persoalan-persoalan dalam kepengurusan air. Air sebagai ruang hidup yang saya maksud adalah bahwa aktivitas reklamasi di berbagai daerah itu gencar ditolak oleh banyak kelompok. Penolakan itu terlihat, misalnya, dari nelayan yang merasa reklamasi hanya akan merusak kawas an teluk/laut, tempat mereka melakukan aktivitas untuk kehidupan mereka selama ini. Di Rembang dan Pati, salah satu poin yang sering muncul dalam pernyataan para penolak tambang dan pabrik semen adalah kekhawatiran mereka akan krisis momen ekstrem hidrologi (kekeringan dan banjir) yang akan mengancam masa depan dan kelangsungan hidup mereka saat ini. Saya berharap terbitan EKSPRESI ini dapatlah kiranya menjadi pemicu untuk melahirkan s tudi-studi yang lebih dalam dan luas tentang kepengurusan air di Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Bosman Batubara Kandidat doktor University of Amsterdan dan UNESCO-IHE
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 7
ANALISIS UTAMA
Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya Oleh A.S. Rimbawana
R
asisme menjadi salah satu dasar kolonialisme di tanah jajahan Hindia Belanda, dan rasisme ini melahirkan makh luk yang kini bernama ‘pribumi’,” tulis Ariel Heryanto dalam esainya, “Rasisme Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan RI”. Tanah Hindia Belanda yang seka rang kita kenal sebagai Indonesia, cela kanya, tulis Ariel, menganggap sumber perbedaan itu adalah ras. Pribumi selalu baik, sedangkan yang buruk pasti dan selalu adalah nonpribumi. Tak peduli apakah mempunyai jabatan atau tidak, menindas rakyat kecil atau tidak, pri bumi selalu baik. Sedangkan nonpribu mi, sekalipun ia memihak rakyat Hindia Belanda, semisal Eduard Douwes Dekker si pengarang Max Havelaar, tetaplah— bagi sebagian besar orang—dianggap bangsa penj aj ah. Beg it ul ah sej ar ah bangsa Indonesia dilihat sampai seka rang. Hitam dan putih. Bahwa, sekali lagi, tak semua yang menindas itu pasti nonpribumi. Demikian pula sebaliknya, pribumi itu tak selalu yang ditindas.
Tionghoa dalam Lintasan Sejarah
Beg it u juga dengan ket ur una n Tionghoa. Mereka, dengan menggunakan predikat nonpribumi, dianggap berbeda dan dipojokkan. Lihat saja dalam lintasan sejarah etnis dan keturunan Tionghoa. Etnis Tionghoa, sudah sejak lama mend at angi kep ul aua n Nusantara. Menurut Yerri Wirawan, Dosen Ilmu Sejarah Univesrsitas Sanata Dharma, etnis Tionghoa mulai bermigrasi dengan cukup pesat di kisaran abad ke-16 dan ke-17. “Cara mereka datang ke sini se perti bedol desa, seperti transmigrasi,” tulis Ong Hok Ham, sejarawan keturunan Tionghoa, dalam bukunya, Anti-Cina,
8 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
DOK. ISTIMEWA
Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Selepas peristiwa Geger Pecinan 1740, Vereenigde Oost Indische Company (VOC) menerapkan dua kebijakan ter hadap warga Tionghoa. Pertama, orang Tionghoa ditempatkan di kampung yang terpisah dari etnis lain, atau disebut wijkenstelsel. Kedua, orang Tionghoa harus memp un yai surat jalan jika hendak bepergian, aturan ini disebut passenstelsel. Maka dari itu, muncul lah permukiman-permukiman Tionghoa, yang kini masih bisa ditemui hampir di seluruh kota di Indonesia. Kemudian, demi melanggengkan kolonialisme, VOC membikin sistem berdasar ras menjadi tiga bagian, yaitu Belanda/Eropa (totok), Timur Jauh (Tionghoa, Arab, India, Jepang), dan p ri bumi. Setelah kehidupan etnis Tionghoa dikendalikan berdasarkan pembagian kelompok berdasarkan ras, warga etnis Tionghoa juga dibatasi ruang geraknya. Alhasil, semakin menguatlah perlaku an rasialis terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Tihara Seto Sekar, seo rang m a hasiswa strata dua Fakultas Hukum UII, dalam tes isn ya yang berj ud ul Problematika Surat Instruksi Kepala Daerah No. K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi di Yogyakarta, menuliskan, se telah kemerdekaan RI, etnis keturunan Tionghoa tidak lepas dari aturan yang menyudutkan. “Tercatat, pada masa pe merintahan Soekarno, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 yang isinya menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa tidak diberi izin lagi setelah 31
Desember 1959. Peraturan ini terutama ditujukan pada pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orangorang asing yang melakukan usaha di tingkat desa,” tulis Tihara. Tak hanya itu, selanjutnya pada masa Orde Baru, terbit Ketetapan MPRS No.III/MPRS/1966. Salah satu bagiannya mengatur tentang asimilasi sebagai satu-satunya jalan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa agar dapat meleburkan diri. Pada tahun yang sama, terbit pula Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan. Isinya de sakan pada pemerintah untuk melarang sekolah asing guna lebih membina ke budayaan daerah. Kemudian, Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers. Di dalamnya dinyata kan bahwa penerbitan pers dalam bahasa Tionghoa merupakan monopoli peme rintah. Yang mana, hal tersebut turut melanggengkan rasialisme di Indonesia.
Diskriminasi Pertanahan
Serenteng per ist iw a itulah yang memungkinkan Yogyakarta melahir kan aturan berbau rasialis. Tak bisa di sangkal, juga berbau kolonialis. Aturan tersebut terwujud dalam Instruksi Kepala Daerah 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi. Aturan itu bertanda tangan Wakil Kepala Daerah saat itu, Pakualam VIII. Aturan t erse but membatasi orang-orang yang diang gap nonpribumi—khususnya keturunan Tionghoa—untuk memiliki tanah. Ke turunan Tionghoa di Yogyakarta hanya diberi hak guna bangunan, hak pakai, dan hak guna usaha. Ras, seperti yang tercantum dalam
Instruksi Tak Berlaku
PR
Eko Riyadi, direktur Pusham UII, mengatakan, Instruksi Kepala Daerah 1975 berawal ketika pada 1975, modalmodal asing menghimpit Yogyakarta. Maka kemudian dibuatlah aturan untuk melindungi warga yang dianggap pri bumi. “Waktu itu Keraton berpikir ba gaimana melindungi tanah-tanah, se tidaknya dalam level ring satu seperti Malioboro dan sekitarnya, agar tidak jatuh ke tangan asing termasuk untuk orang Tionghoa, karena pada waktu itu ekspansi modal orang Tionghoa memang besar-besaran,” kata Eko yang ditemui Jumat, (31/10). Sem ent ar a itu, Ahmad Nashih Luthfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, me nilai bahwa instruksi itu hanya ber s i fat trans is io nal. “Kita seb en ar nya sudah bisa mengambil satu p em ah a ma n bahwa keb ij aka n ini sif atn ya tran sis io nal, sif atn ya sem ent ar a. Kar e na dalam konteks tahun 1970 sampai 1975 itu memang hukum pertanahan di DIY ini sedang bertrans formasi,” ujarnya. Hal senada dite gaskan oleh Ni’matul Huda, dosen Hukum dan Tata Negara UII. Ia mengatakan bahwa semua aturan pertanahan DIY se belum Peraturan Daerah No.3/1984 tentang Pemberlakuan UUPA, tidak berlaku. Tak terkecu ali Instruksi Kepala Daerah 1975. “Sangat jelas bahwa instruksi tersebut hanya berla ku dari 1975 sampai 1984. Sesudah itu DIY harus mengikuti UUPA, sehingga aturan dari Rijksblad sampai Instruksi Kepala Daerah 1975 tidak berlaku,” ujar Ni’matul. Sebenarnya, tidak perlu Komnas HAM melayangkan surat rekomenda si sebanyak dua kali. Tak harus terja di pula warga Tionghoa menyomasi kepala daerahnya sendiri. Namun, itu
RE
Undang-Undang No.40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras tdan Etnis, adalah golongan bangsa berda sarkan ciri-ciri fisik dan garis keturun an. Sedang etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan nilai kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan. Di Indonesia, aturan yang m engan dung rasialisme sudah dihapus sejak berlakunya UU No.40/2008 tentang Penghapusan Diskrimansi Ras dan Etnis. Dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan, “Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas persama an, kebebasan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.” Selain itu, dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa, “Peng hapusan diskriminasi ras dan etnis ber tujuan mewujudkan kekeluargaan, per saudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga yang pada dasarnya selalu hidup ber dampingan.” Terlebih lagi, dalam spektrum uni versal, PBB juga telah menghapuskan disk rim in as i dalam bentuk apap un. Keputusan itu dimaklumatkan dalam Resolusi Sidang Umum No. 1904 pada 20 November 1963. Dalam Pasal 2 di nyatakan bahwa tidak boleh ada negara, kelompok, atau individu yang melakukan diskriminasi apapun dalam HAM dan ke merdekaan asalnya dengan memperlaku kan perorangan, kelompok, atau lembaga berdasarkan ras, warna kulit, atau asal etnik. Penghapusan diskriminasi rasial ditegaskan pula Pasal 28H ayat 4 UUD 1945, bahwa setiap orang berhak mem punyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Sementara itu, terkait dengan pemi likan tanah, merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), dalam Pasal 9 ayat 1 UUPA disebutkan, “Hanya warga ne gara Indonesia dapat mempunyai hu bungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa.” Kem ud ia n ayat 2 berbunyi, “Tiap-tiap warga ne gara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat man faat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”
O. A
ZIZ
| EK
SP
RE
SI
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA
hanya bisa diharapkan jika Pemerintah Daerah Yogyakarta punya political will yang kuat untuk mengha pus diskriminasi rasial dalam hak atas tanah.[]
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 9
ANALISIS UTAMA
Mengistimewakan Diskriminasi Instruksi Kepala Daerah 1975 masih berlaku hingga kini. Alasan keistimewaan yang dimiliki DIY tidak terlepas dari masih langgengnya kebijakan ini. Oleh Winna Wijayanti
B
IBAD I
10 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
undang. Yang ada hanya WNI dan warga negara asing (WNA),” tuturnya. Menurut Kus, kebijakan ini sudah tidak lagi relevan mengingat instruksi terbit tahun 1975 di mana DIY waktu itu belum memberlakukan UUPA seca ra penuh. Seharusnya, kata Kus, ketika Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1984 tentang pemberlakuan UUPA secara penuh di DIY ditetapkan, aturan-aturan yang bertentangan otomatis gugur. “Bisa diartikan bahwa dalam hierarki hukum saat ini, instruksi kepala daerah itu sebenarnya berkedudukan lebih rendah daripada keputusan presi den,” terang Kus. Men gom en t a r i p e nd ap a t Kakanwil BPN yang men gat a kan bahwa
. PR
jelas. Terus yang sebelumnya sudah dica but, dimasukkan lagi. Contohnya seperti Perdais Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di DIY itu sudah dica but, tetapi sekarang diberlakukan lagi,” terangnya. Perihal diskriminasi positif yang diungkapkan BPN, Luthfi membenar kan bahwa kebijakan affirmative action memang bisa dilakukan. Namun demi kian, kebijakan tersebut seharusnya di ambil untuk memberikan kesempatan golongan tertentu agar mampu setara dengan golongan yang lain. Luthfi me nilai kebijakan ini seharusnya dibaca dengan melihat kemampuan ekonomi, bukan berdasarkan etnis. “Kita harus membaca siapa yang lemah dan siapa yang kuat untuk konteks Yogyakarta. Antara siapa yang mau menguasai dan siapa yang mau dikuasai,” jelasnya. Luthfi menegaskan kalau dalam urusa n pert an aha n di DIY, kekuatan itu justru terdapat pada orang Jawa, sehingga tidak tepat kalau yang perlu dilemahkan adalah etnis Tionghoa. Sen ad a dengan pendapat Luthfi, Kus Sri Antoro, Sekretaris Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad), men il ai Instruksi Kepala Daerah 1975 tetap tidak bisa di b e n a rk a n k ar en a tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Etnis dan Ras. Seperti dikatakan, “Surat itu ditujukan kepa da warga negara Indonesia (WNI) nonp rib um i. Nah, istilah WNI nonpribumi itu sudah tidak ada dalam undang-
DOK
erl ak un ya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di DIY sejak tahun 1984 belum bisa menggeser Instruksi Kepala Daerah 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada WNI Nonpribumi yang terbit sembilan tahun sebelumnya. Arie Yuriwin, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BPN DIY, mengatakan bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 masih diberlakukan kare na DIY mempunyai wewenang sendi ri dalam urusan pertanahan. “Soalnya kebijakan tanah di sini kan sudah di atur Perda Istimewa. Kalau dilihat dari sisi diskriminasi, itu diskriminasi yang positif,” katanya. Arie me r u j uk pada Peraturan Daerah yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam UUK, cakupan keisti mewaan yang dimiliki DIY meliputi lima aspek. Antara lain mekanisme pengisian jabatan kepala daerah DIY dengan pene tapan di DPRD, kelembagaan pemerintah DIY, bidang pertanahan, kebudayaan, dan tata ruang. Arie menambahkan, BPN DIY se benarnya pernah mendapat surat dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang terkait peringatan diskriminasi. Pihak nya kemudian menyampaikan surat per ingatan tersebut kepada Sultan. Akan tetapi karena sudah menjadi kebijakan pemerintah DIY, maka Instruksi Kepala Daerah 1975 tetap diterapkan. “Selama ini Instruksi Kepala Daerah 1975 masih kita patuhi, sehingga permohonan hak milik dari warga nonpribumi yang datang ke sini pun tidak kami proses,” jelasnya. Ahmad Nashih Luthfi, seorang pe neliti tentang pertanahan dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) me nilai Perdais ingin melegitimasi berbagai segi. Di mana aturan yang pada awalnya lahir di luar perundang-undangan, di masukkan lagi sebagai kekuatan hukum. “Yang pada mulanya abu-abu, lalu dibuat
Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY, mengatakan Mahkamah Agung menilai Instruksi 1975 tidak salah .
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA
Instruksi Kepala Daerah 1975 masih berl aku karena dalih kei st im ewaa n, Kus tidak kaget. Ia kemudian berce rita perihal gugatan Budi Setyagraha, seorang pengurus Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang gagal karena salah satunya faktornya adalah keistimewaan Yogyakarta. Pada tahun 2000, Budi menggugat lantaran tidak mendapat surat hak milik (SHM) atas tanah yang ia beli di daerah Bantul karena dirinya digolongkan sebagai nonpribumi oleh BPN. Gugatan Budi yang kala itu sampai ke Mahkamah Agung harus kandas karena hakim tidak mau menerima berkas ka sasinya. Pertimbangan hakim saat itu salah satunya karena adanya Prasasti Ngejaman yang ada di Kasultanan Yogyakarta. Prasasti Ngejaman, oleh
hakim MA saat itu dinilai sebagai bukti bahwa etnis Tionghoa meminta perlin dungan kepada Sultan Hamengkubuwono IX. Prasasti Ngejaman ini lantas dija dikan alasan pemerintah provinsi DIY sebagai filosofi dasar diterbitkannya Instruksi 1975. Putusan hakim MA itu lantas sering disebut oleh pihak BPN DIY sebagai dasar yur isp rud ens i pemb erl ak ua n Instruksi Kepala Daerah 1975. “Pada hal landasan mengenai prasasti itu tidak ada hubungannya. Bahkan dalam prak tiknya digunakan sebagai dalih, di mana telah dikuatkan dengan putusan MA,” keluh Kus. Seo rang mah as isw a Magister Hukum Tata Negara UII, Tihara Sito Sekar, yang mel ak uk an pen el it ia n tentang Instruksi Kepala Daerah 1975 sebagai tugas akhirnya juga RIMBA | EKSPRESI mengamini pernyataan Kus. “Saya memang dapat info dem ik ia n. Namun, saat saya cek ke KRT Jatiningrat tern yat a di pras ast i itu tidak ada yang membahas tentang hak milik tanah,” ungkap Tihara. Lebih lanjut, Tihara menjelaskan bahwa isi prasasti tersebut hanya ucapan terima kasih orangorang Tionghoa yang tinggal di Yogyakarta. Isi materi prasasti tidak berhubung an dengan pengaturan surat hak milik. “Itu membuat saya bingung, kok bisa di jadikan dasar pertimbang an putusan MA ya?” tanya Tihara keheranan. Dalam urusan perta naha n, Kus men gat ak an beberapa yayasan antidis kriminasi angkat tangan terhadap kasus yang me nyangkut penguasa kera jaan. Musababnya, berha dapan dengan raja sekaligus gubernur bukan perkara mudah. “Barangkali orang pekewuh. Dan ini bukan soal ketakutan, tetapi ya itu, pekewuh. Sungkan. Dia (Sultan, Red.) punya kuasa yang sanggup menghege moni kesadaran masyara Prasasti Ngejaman yang terletak di Kasultanan Yogyakarta, digunakan oleh Mahkamah Agung sebagai dasar putusan kasus Budi Setyagraha.
katnya,” ungkapnya. Berkaitan dengan kasus yang me nimpa warga Tionghoa, Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY, menyata kan, “Kita sudah seharusnya menghar gai upaya hukum yang dilakukan warga (etnis Tionghoa, Red.). Dan kenyataan nya di MA kan instruksi itu menang, ber arti aturan tersebut (Instruksi Kepala Daerah 1975, Red.) tidak salah.” Pada prinsipnya, Eko mengatakan bahwa Undang-Undang Keistimewaan (UUK) menghormati Kasultanan dan Kadipaten sebagai bagian dari NKRI. Sebab, tuju annya adalah untuk mewujudkan kese jahteraan dan ketenteraman bagi ma syarakat DIY. Sejak Juni 2016, Komisi A DPRD DIY mulai mengkaji Perdais pertanah an mengenai polemik yang terjadi di masyarakat dengan mengembalikan ke ranah hukum. Sebab, kata Eko, sejarah pertanahan Kasultanan dan Pakualaman penting untuk dipahami. Mengingat sistem pertanahan yang berlaku di DIY bersifat feodal dan sistem pemerintah an yang berlaku adalah monarki. Sesuai Perdais yang menyatakan keleluasaan dalam mengatur wewenang atas tanah, maka bentuk monarki yang dianut juga berpengaruh terhadap pembuatan ke bijakan. Atas pertimbangan wilayah, Arie menjelaskan pemberlakuan Instruksi Kepala Daerah 1975 sudah proporsional karena Provinsi DIY merupakan provinsi kecil. Sementara, orang yang meneri akkan masalah diskriminasi dianggap tidak terhitung banyak. “Berapa sih yang menggugat masalah diskriminasi? Tidak lebih dari lima orang. Mereka (warga Tionghoa, Red.) itu diberi hak guna ba ngunan, bukan hak milik. Ini bukan ber arti tidak boleh lho, hanya masih belum boleh,” terangnya. Namun, jelas Arie lagi, belum terlihat kemungkinan instruksi tersebut bakal dicabut, karena kebijakan ini sudah menjadi ketetapan Pemda DIY. Berdasarkan ketetapan itulah, seba gai pelaksana kebijakan, maka dari pihak BPN DIY tetap menjalankan Instruksi Kepala Daerah 1975. Sepanjang masih menjadi kewenangan gubernur, pihaknya tetap akan mematuhi. “Kami hanya seba gai pelaksana kebijakan pemerintah. Jadi apapun kondisinya, kami tetap mengikuti perintah yang dikeluarkan gubernur,” jelas Arie.[] Laporan oleh Andhika, Aziz, dan Triyo
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 11
ANALISIS UTAMA
Komnas HAM Tak Punya Hak Eksekusi Rekomendasi Komnas HAM tidak dilaksanakan Pemda DIY. Mereka beralasan, lembaga ini tak punya hak mengatur pemerintah. Oleh Bayu Hendrawati
A
hmad Nashih Luthfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Negara (STPN) Yogyakarta, mengatakan bahwa kasus pertanahan di Yogyakarta sudah mema suki ranah pelanggaran HAM. Ia menya yangkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh lembaga penegak hak asasi manusia di Indonesia ini lemah dan tidak meng ikat. “Masalahnya posisi Komnas HAM tidak punya kekuatan eksekusional yang mengikat. Komnas HAM hanya mem berikan rekomendasi dan yang menja lankan tetap pemerintah,” tegasnya saat ditemui di kantornya (15/6). Hal itu tercermin dari sikap Kepala Biro Hukum Sekretaris Daerah DIY, Dewo Isnu Broto, yang mengatakan bahwa Pemda DIY menolak rekomen dasi Komnas HAM. Dewo bersikukuh, pihaknya tidak akan melaksanakan surat rekomendasi Komnas HAM hingga ada keputusan pengadilan. Menurutnya, Komnas HAM sama sekali tidak memi liki kewenangan untuk memerintahkan pencabutan Instruksi Kepala Daerah 1975 tersebut. “Kecuali kalau putusan peng adilan saya harus mencabut. Pemda tidak akan menanggapi sampai ada keputusan pengadilan yang sesungguhnya seperti apa,” tegas Dewo dilansir dari Harian Jogja (16/9). Ditanya terkait dengan penolakan Pemda DIY tersebut via telepon, salah satu Komisioner Komnas HAM, Dianto Bachriadi, mengatakan, Komnas HAM secara resmi belum men er im a surat penolakan dari Pemda DIY. “Kami Ahmad Nashih Luthfi mengatakan Komnas HAM tidak punya cukup wewenang untuk menuntaskan pelanggaran HAM.
tidak pernah mendapatkan surat yang menyatakan bahwa Pemda DIY menolak rekomendasi kami,” tegasnya (12/11). Kalaupun memang iya, kata Dianto, penolakan tersebut belum dinyatakan secara formal oleh Pemda DIY kepada Komnas HAM. Meskipun demikian, Dianto mem benarkan bahwa Komnas HAM tak me miliki kuasa apapun untuk menuntaskan sebuah kasus pelanggaran HAM. “Se bagai sebuah lembaga, Komnas HAM memang masih sangat lemah,” terang Dianto. Lemahnya kuasa Komnas HAM atas sebuah kasus, terang Dianto, mem buat keberadaannya tak lebih dari sebuah lembaga pengawasan. Sebelumnya, pada tanggal 11 Agustus 2014, Komnas HAM mengeluarkan surat rekomendasi bernomor 037/R/Mediasi/ VIII/2014. Surat itu berisi imbauan agar Gubernur DIY segera menyata kan tidak berlaku lagi atau mencabut Instruksi Kepala Daerah 1975. Rekomen dasi tersebut muncul menanggapi surat yang dikeluarkan Sekretarus Daerah DIY bernomor 593/00531/RO.I/2012 yang dikeluarkan tanggal 08 Mei 2014. Dalam surat itu, Pemda DIY menyatakan Instruksi Kepala Daerah 1975 masih ber laku sebagai sebuah affirmative policy guna melindungi warga pribumi agar kepemilikan tanah tidak beralih kepada warga atau pemodal yang secara finansial memiliki kemampuan lebih atau kuat. Setahun kemudian, karena reko mendasi tersebut diabaikan, Komnas HAM kembali mengirim rekomendasi yang kedua kepada Gubernur DIY. Ken dati demikian, surat bernomor 069/R/ Mediasi/VIII/2015 itu juga tak kunjung ditindaklanjuti. AZIZ | EKS PRES D i a n t o m en a mb a hk a n , I Komnas HAM memang tidak me miliki kapasitas lebih dari pem berian rekomendasi. Menurut nya, jika rekomendasi memang belum direspons, tindakan yang paling mungkin untuk dilaku kan adalah pemberian surat rekomendasi lanjutan yang si
12 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
fatnya lebih keras, “Kewenangan Komnas HAM memang hanya sebatas pemberian rekomendasi, tidak lebih.” Keluhan mengenai minimnya we wenang yang dimiliki Komnas HAM seb en arn ya sudah diu tar ak an sejak lama. Saat Peristiwa Lima Belas Januari (Malari), keluarga korban saat itu menya yangkan tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan Komnas HAM untuk meng usut tuntas kasus tersebut. Terbatasnya upaya Komnas HAM dikarenakan ke wenangan penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Wewenang Komnas HAM memang belum bisa sebanyak komisi-komisi lain yang dibentuk pemerintah. Tidak seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mempunyai hak untuk melakukan penyidikan higga penetapan tersangka korupsi. Wewenang tersebut diberikan pada KPK karena menurut UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Berbeda halnya dengan Komnas HAM. Meskipun secara hierarki Komnas HAM memiliki posisi sejajar dengan komisi-komisi lain bentukan negara, tapi dalam pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan Komnas HAM harus memberikan laporan kepada presiden dan DPR. Tugas dan kewenangan Komnas HAM diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Pada Pasal 89 dijelaskan bahwa wewenang Komnas HAM sebatas untuk memberikan re komendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Rekomendasi tersebut, terang Dianto, sangat mungkin untuk diterima maupun ditolak. Mes kipun demikian, Dianto mengungkap kan bahwa sikap Pemda DIY yang urung untuk mencabut Instruksi Kepala Daerah 1975, sama artinya telah melanggengkan diskriminasi di Yogyakarta.[] Laporan oleh Aziz
AZIZ | EKSPRESI
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA
Menghitung Kemenangan di Pengadilan
Zealous Siput Lokasari menunjukkan poster pelanggaran konstitusi saat mengirim somasi kedua untuk Gubernur DIY pada Kamis (20/10).
Siput dan Handoko punya strategi berbeda di jalur hukum. Namun, keduanya sama-sama ingin aturan diskriminatif segera dicabut. Oleh Muhammad Aziz Dharmawan
S
etelah hampir sebulan tidak ada tanggapan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Zealous Siput Lokasari melayangkan somasi keduanya pada Kamis (20/10). Somasi tersebut terkait dengan aturan warga negara Indonesia (WNI) yang dianggap nonpribumi tak boleh mempunyai hak milik tanah di Yogyakarta. Sama dengan isi somasi pertama, Siput berharap Gubernur DIY mau melaksanakan rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM. Isi rekomen dasi tersebut untuk menyatakan tidak berlakunya lagi Instruksi Kepala Daerah 1975. Jika dalam kurun waktu 30 hari somasi lagi-lagi tidak ditanggapi, Siput mengatakan, akan mengambil langkah hukum di pengadilan. Siput datang ke Kantor Gubernur DIY bersama Willie Sebastian, Ketua Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad). Mereka berdua mengaku kece
wa lantaran tidak bisa bertemu langsung dengan Sultan. Sebelumnya, saat Siput melayangkan somasi yang pertama pada 14 September 2016, dia juga gagal ber temu dengan gubernur. Saat itu, Sultan sedang menghadiri acara yang diseleng garakan Otoritas Jasa Keuangan di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta. Siput menyayangkan tidak ada res pons dari Gubernur DIY mengenai per masalahan ini. Padahal, Komnas HAM sudah menyatakan bahwa ada indikasi pelanggaran HAM jika aturan ini tetap diberlakukan. Pada pertengahan Agustus 2014, Komnas HAM mengeluarkan surat rekomendasi bernomor 037/R/Mediasi/ VIII/2014. Surat itu berisi imbauan agar Gubernur DIY segera mencabut atau men yatakan tidak berlaku lagi Instruksi Kepala Daerah 1975. Setahun kemudian, karena rekomendasi tersebut tidak mendapat tanggapan yang bagus, Komnas HAM kembali mengirim reko
mendasi yang kedua kepada Gubernur DIY. Kendati demikian, surat bernomor 069/R/Mediasi/VIII/2015 itu sampai saat ini juga tak kunjung ditindaklanjuti. “Kami nanti akan laporkan mere ka sebagai Pasal Perbuatan Melawan Hukum (PMH),” kata Siput. Mereka yang dimaksud adalah Gubernur DIY, Kepala Kantor Wilayah BPN DIY, dan Kepala Kantor BPN di setiap Kabupaten/ Kota yang ada di Yogyakarta. PMH diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH). Pasal tersebut berbunyi, “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbul kan kerugian pada orang lain, mewa jibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian.” Siput menjelaskan, gugatan ini nantinya akan menghasilkan putusan declaratoir. Putusan declaratoir bersi fat menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 13
ANALISIS UTAMA
“Kami hanya ingin bilang kalau dia itu melakukan perbuatan melawan hukum, sudah lah mbok jangan gitu. Kami denda seratus rupiah saja,” kata Siput saat ditemui di rumahnya (17/10). Langkah ini dirancang Siput karena dua kali rekomendasi Komnas HAM sama sekali tidak mempunyai ketentuan yang mengikat. “Orang tidak mengikuti re komendasi Komnas HAM tidak terke na sanksi apa-apa, tapi akibatnya dia telah melakukan pelanggaran HAM,” kata Siput. Jika memang langkah terseb ut yang nantinya diambil, Siput akan me nambah panjang daftar langkah litiga si untuk melawan aturan diskriminasi tersebut. Tercatat, sejauh ini sudah dua orang yang pernah memerkarakan kasus diskriminasi ini di berbagai tingkatan lembaga peradilan di Indonesia. Mulai dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga sampai ke Mahkamah Agung (MA). Pada tahun 2000, Budi Setyagraha, yang saat itu masih menjadi anggota DPRD DIY, pernah menggugat surat ke putusan BPN Bantul di PTUN Yogyakarta. Gugatan itu Budi lakukan lantaran BPN Bantul enggan memberikan surat sak milik (SHM) atas tanah yang ia beli di daerah Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Alasannya, Budi yang mempunyai garis keturunan Tionghoa oleh BPN Bantul digolongkan sebagai WNI nonpribu mi. Saat proses balik nama, surat yang dit er im a Budi dit ur unk an s t at u sn y a menj ad i
Z AZI
| EK
SPR
ESI
Handoko memperlihatkan putusan PTUN yang tidak sesuai dengan putusan MA tentang Instruksi 1975, Rabu (19/10).
hak guna bangunan (HGB). Di PTUN Yogyakarta gugatan Budi dikabulkan. BPN Bantul diminta mencabut surat penetapan HGB tersebut. Setelah itu, BPN Bantul mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Surabaya. Tahun 2001 permohonan banding BPN Bantul dite rima dan membatalkan putusan PTUN Yogyakarta. Mer as a bahwa put usa n hakim di PT TUN Surabaya belum adil, Budi lantas mengajukan kasasi ke MA. Namun, permohonan kasasi tidak di terima oleh MA lantaran surat tersebut bukanlah keputusan tata usaha negara. Lima belas tahun berselang, tidak ada satupun orang yang mencoba mem bawa masalah ini ke meja hijau. Hingga akhirnya Handoko, seorang mantan pengacara LBH Semarang yang kini tinggal di Yogyakarta, mendapat in formasi mengenai masalah ini. Tahun 2014 Handoko mengajukan uji materi atas Instruksi Kepala Daerah 1975 ke MA setelah mempelajari kasus gugat an Budi Setyagraha. “Enggak benar ada aturan seperti ini. Orang kan enggak bisa memilih lahir mau jadi keturunannya siapa,” jelas Handoko saat ditemui di kantornya (19/10). Setelah mempelajari perkara Budi Setyagraha, Handoko lantas mengetahui alasan perkara Budi ditolak MA. “Kasasi Pak Budi itu tidak diterima oleh MA kare na yang ia gugat sejak awal adalah surat BPN, bukan instruksinya langsung,” kata Handoko. Dalam bahasa hukum, Handoko menjelaskan, surat BPN ter seb ut mer up ak an administratieve beschikking. Sebuah putusan yang ber sifat individual dan merujuk dari sebuah peraturan. Sayangnya, uji materi yang diaju kan Handoko pun tidak diterima berkasnya. MA menilai instruksi bukan term as uk produk peru n dang-undangan seperti yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundangundangan. Dalam UU tersebut, dise butkan hierarki paling bawah produk perundang-undangan adalah peraturan daerah kabupaten/kota. Oleh karena itu, MA mengatakan kalau mereka tidak berwenang untuk menguji surat instruksi tersebut. “Menurut saya aturan ini ada di bawah undang-undang karena saya mempelajari surat edaran saja bisa
14 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
diuji di MA,” keluh Handoko. Ia men jelaskan tentang putusan MA nomor 23/P/HUM/2009 yang menguji materi Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi. Selain itu, Handoko juga menjelaskan bahwa ins truksi ini bersifat abstrak-umum dan bukan konkret-individual. Artinya, atur an ini berlaku secara umum di wilayah DIY. Sebuah ciri yang menunjukkan instruksi ini bersifat layaknya produk perundang-undangan. “Oleh MA kan dianggap bukan per aturan, berarti saya anggap ini diskresi,” ungkap Handoko saat ditanya menga pa akhirnya melanjutkan gugatan di PTUN Yogyakarta. Diskresi adalah ke bijakan yang dilakukan oleh orang yang diberi wewenang untuk menyelesaikan satu permasalahan. Namun, gugatan Handoko juga tidak diterima karena menurut hakim Instruksi Kepala Daerah 1975 bukanlah sebuah diskresi. Hakim PTUN menilai, diskresi yang ada dalam tata usaha negara hanya yang bersifat konkret, individual, dan final. “Produk peru nd ang-und anga n bukan, diskresi juga bukan. Lalu, surat sakti jenis apa instruksi ini kok bisa sampai mengalahkan undang-undang?” sindir Handoko. Menurut Handoko, ber dasar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah, seharusnya instruksi itu termasuk se bagai sebuah diskresi. “Tapi entahlah, ini saya lagi banding, seandainya kalah lagi saya akan tetap berjuang. Kalau Pak Siput kan menggugat ke Pengadilan Negeri, kalau saya bertahap ke PTUN dulu,” ungkap Handoko. Ia menilai, ada keanehan ketika MA bilang tidak berwe nang mengadili, tapi di sisi lain PTUN juga bilang tidak berwenang mengadili. Menanggapi somasi Siput dan ban ding Handoko, Dewo Isnu Broto Imam Santoso, Kepala Biro Hukum Setda DIY, mengatakan bahwa pemerintah provinsi tidak akan mencabut instruksi tersebut jika tidak ada keputusan pengadilan yang mengharuskan. “Kami menunggu proses peradilan. Instruksi Kepala Daerah 1975 sudah digugat di PTUN Yogyakarta. Kami menang, tapi penggugat telah mengaju kan banding,” katanya, sebagaimana di lansir oleh Jakartapost, Jumat (21/10). Jika permohonan banding nantinya di terima, Biro Hukum Setda juga masih bisa mengajukan kasasi ke MA.[] Laporan oleh Rimba
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA
BPN DIY Salahi Garis Hierarki Lembaga BPN DIY mengikuti Instruksi Kepala Daerah 1975 dalam praktik pelayanannya. Teguran dari BPN RI sejak lima tahun lalu tidak diindahkan. Oleh A. S. Rimbawana
H
K. I ME WA
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 15
STI
masalah yang diadukan. “Kami akan melakukan telaah dokumen. Memang argumen dari Pemda dan BPN samasama terkait Instruksi Kepala Daerah 1975. Kami akan mengkaji, apa yang bisa kami lakukan. Tentu kami akan fokus pada pelayanan publik, karena itu yang menjadi ranah Ombudsman,” katanya, seperti dilansir Rappler. Dalam waw anc ar an ya dengan CNN Indonesia pada Selasa, (08/03), salah satu pimpinan Ombudsman RI, Laode Ida, mengatakan, BPN termasuk salah satu dari tiga badan pemerintah an dengan administrasi terburuk. Hal ini disebabkan banyaknya laporan dari masyarakat yang mengeluh soal pe layanan terkait pemberian sertifikat tanah. “Untuk memperoleh sertifikat sebidang tanah, masyarakat dipungut biaya macam-macam dan urusannya berbelit-belit,” ujar Laode. Dalam kasus di Yogyakarta, Ombudsman Yogyakarta pernah sempat meminta klarifikasi. Pada hari Kamis (14/04), Ombudsman Yogyakarta mengundang tiga ins tans i terk ait, yaitu Biro Hukum DIY, Kanwil BPN DIY, serta BPN Bantul. Namun, waktu itu hanya Biro Hukum DIY yang hadir. Ombudsman pun mem er iks a dua pegawai BPN DIY dan BPN Bantul pada Rabu, (20/04). BPN RI se ben arn ya pernah memberikan teguran Ni'matul Huda mengatakan BPN DIY sebenarnya tidak punya kewajiban menaati Instruksi 1975. kepada BPN DIY. Pada
DO
ierarki Badan Pertanahan Nasional (BPN) di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, bukan peme rintah daerah,” terang Ni’matul Huda, dosen Hukum dan Tata Negara UII, saat ditemui di kantornya, Selasa (31/10). Ni’matul menyayangkan kinerja BPN DIY tidak sesuai dengan garis instruk sinya. Namun demikian, Kepala Kantor Wilayah BPN DIY, Arie Yuriwin, bersiku kuh mematuhi Instruksi Kepala Daerah 1975. “Selama ini, instruksi kepala daerah masih kami patuhi, sehingga permohon an hak milik dari warga nonpribumi yang datang ke sini pun tidak kami proses,” terang Arie saat ditemui pada Jumat (23/9). Willie Sebastian, Ketua Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) juga mengamini pendapat Ni’matul me ngenai garis instruksi BPN. Menurut Willie, tindakan BPN bisa dikategori kan sebagai malaadministrasi karena tidak mematuhi aturan dari kemen terian dan malah mengikuti Instruksi Kepala Daerah 1975. Malaadministrasi adalah kondisi di mana penyelenggara negara dan pemerintahan mengabaikan kewajiban hukum dalam penyelengga raan pelayanan publik. “Saya sudah me lapor ke Ombudsman Republik Indonesia mengenai adanya malaadministrasi ini,” ungkap Willie saat ditemui di rumahnya pada Kamis (29/6). Sejauh ini sudah ada enam orang yang melapor ke Ombudsman terka it dengan kinerja BPN di Kabupaten Kulon Progo, Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Sementara itu, Dahlena, Asisten Ombudsman Yogyakarta, me ngatakan bahwa pihaknya masih mencari keterangan untuk mengkaji masalah-
16 November 2011, Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Tanah BPN RI waktu itu, Gede Ariyuda, mengirimkan ketetapan undang-undang yang harus dipatuhi BPN. Surat tersebut sekaligus menjadi tanggapan atas aduan yang disampaikan Willie Sebastian kepada Presiden RI. Februari 2011, Willie me nyampaikan aduan kepada Presiden me ngenai aturan penyeragaman policy yang diterapkan di DIY. Dalam surat tersebut, BPN RI me negaskan bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berl ak u sep e nuhnya di Yogyakarta. Hal ini meru juk pada Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 yang dikeluarkan Sultan Hamengkubuwono IX. Dengan berla kunya UUPA di Yogyakarta, pembagi an subyek hukum yang boleh memiliki tanah tidak dibedakan berdasarkan etnis atas ras. Surat tersebut juga berisi bahwa tidak boleh ada aturan yang bertentang an produk perundang-undangan yang lebih tinggi. Masih dalam surat yang sama, BPN RI juga mengingatkan agar BPN DIY men aa ti Instruksi Presiden RI
ANALISIS UTAMA
nomor 26 tahun 1998. Dalam salah satu isin ya dis eb utk an pengh ent ia n penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintah. Ditegas kan pula, bahwa pejabat negara harus meniadakan pembedaan bentuk pela yanan dalam segala bentuk, sifat, serta tingkatan kepada warga negara Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras mau pun asal-usul dalam penyelenggaraan layanan tersebut.
tahu kapan akan dicabut,” ungkap Tihara. Affirmative action adalah tindakan pem berian hak istimewa terhadap suatu kelompok tertentu yang belum mampu setara dengan kelompok yang lain. Sela in itu, lanjut Tihara, affirmative action baru bisa dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan. “Ini kan enggak jelas, MA bilang ini bukan perundangundangan, tapi PTUN bilang ini bukan kebijakan,” ungkap Tihara. Senada dengan Tihara, menurut Ni’matul, legalitas instruksi tersebut sebagai produk hukum yang mengikat dan mengatur memang membingungkan. Affirmative Action Berjangka Waktu “Jika pemerintah memang ingin meng Tihara Seto Sekar, mah as isw a atur hal tersebut (pembatasan hak milik Magister Hukum Tata Negara Universitas tanah, Red.) dan memiliki political will, Islam Indonesia, dalam tesisnya menye seharusnya segera dijadikan peraturan butkan bahwa kebijakan affirmative daerah,” tambahnya. action seharusnya diatur dengan jelas Sesuai dengan Ketetapan MPRS. jangka wakt u XX/MPRS/1966 men gen ai Sumber nya. “Tapi se Tertib Hukum Republik Indonesia dan karang kan Tata Urutan Peraturan Perundangan kita enggak Republik Indonesia, instruksi memang masih diakui sebagai produk perundangundangan yang sah. Namun, Ketetapan MPRS.XX/MPRS/1966 itu sudah dicabut oleh UU Tahun 2004 Nomor 10 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Dalam Pasal 7 ayat 2 huruf I b dis e butkan, instruksi dinyatakan S PRE EKS sudah tidak lagi diakui. O| Y I TR “Waktu itu, ins truks i dim akn ai sebagai peraturan, tapi kalau sek a rang itu dimaknai sebagai peraturan maka harus dinaik kan statusnya seba gai peraturan daerah,” lanjut Ni’matul. Ken dati demikian, Ni’matul masih bera ngg apa n bahwa instruksi ini se benarnya sudah tidak berl ak u lagi sejak tahun 1984. “Sudah jelas bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 hanya berl ak u dari 1975 sampai 1984,” ungkap Ni’matul. Sesudah itu, DIY harus meng ikuti UUPA. Pada 1984, Presiden Willie Sebastian menunjukkan surat dari BPN DIY terkait masih berlakunya Instruksi 1975. Soeharto men ge
16 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
luarkan Keppres No.33/1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY. Menindaklanjuti Keppres itu, lahir pula Perda No.3/1984 yang berisi peng hapusan Rijksblad Nomor 6 tahun 1918 serta seluruh hukum pertanahan di DIY sebelum tahun 1984. “Jadi sudah enggak berlaku lagi sejak 1984,” lanjut Ni’matul. Sementara itu, DIY memberlakukan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) yang dianggap lebih tinggi dari UUPA. Padahal, UUK tidak mengatur tentang pertanahan selain Sultanaat Ground dan Pakualamanaat Ground. “UUK tidak bisa disebut Lex Specialis dengan UUPA, karena UUK itu tidak spesifik pertanah an. UUK itu membicarakan perundangundangan daerah, yang salah satunya pertanahan,” ujar Ni’matul. “Status Sultan sebagai penguasa tanah ini juga tidak jelas, dalam undangundang, yang memiliki hak atas tanah yang tidak terbatas adalah organisa si keagamaan, rumah sakit,” terang Ni’matul. Keraton di mata hukum tidak berhak atas penguasaan tanah yang tak terbatas. Dengan UUK, seakan-akan Kasultanan dilegitimasi sebagai badan hukum. “Bahkan itu juga tidak diper bolehkan tanpa batas, makanya dalam UUK dijelaskan bahwa harus ada inven tarisasi dan klasifikasi oleh Sultan,” jelas Ni’matul. Proses inventarisasi dan klasifika si tanah itulah yang nanti jadi tugas Pantikismo. Panitikismo adalah badan yang mengurusi Sultan Ground dan Sultanaat Ground. Sultan Ground adalah tanah yang digunakan masyarakat yang milik sultan. Sementara Sultanaat Ground adalah tanah yang digunakan Sultan dan miliknya sendiri. Setelah diin ventarisasi dan diklasifik asi, tanah-tanah tersebut akan diserahkan pada BPN. “Dari sini tugas BPN sangat strategis,” ujar Ni’matul. Kus Sri Antoro, peneliti agraria yang aktif di Jogja Darurat Agraria (JDA), me ngatakan bahwa seharusnya hak milik tanah dibatasi berdasar kelas, bukan ras. Ia mengatakan, bahwa memberlakukan UUPA artinya melindungi rakyat kecil. “Bila memang ketakutannya adalah keta kutan soal rakyat kecil tidak bisa punya tanah, jalankan saja UUPA pasal 17,” ungkapnya. Pasal 17 UUPA menyata kan tentang pembatasan berdasarkan kemampuan pemilikan tanah.[] Laporan oleh Aziz dan Putra
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA
Kebijakan Berjalan Tanpa Dasar
Peraturan pertanahan di DIY tidak punya dasar hukum yang jelas. Kendati demikian, karena alasan sungkan kepada penguasa, peraturan tersebut tetap berjalan. Oleh Triyo Handoko
B
| EK SP RE SI
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 17
IYO
yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas yang sah. Lagi pula, kata Ni’matul, BPN itu garis koordinasinya langsung dari Tanah. Sebetulnya, menurut Ni’matul Huda, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, UUK adalah produk hukum yang menga bukan kepala daerah. Tidak ada l anda tur pemerintahan. Se san hukum yang membenarkan tinda mentara urusan kan BPN. Beberapa kasus agraria yang juga pert an ah an tetap harus terjadi di Yogyakarta bersumber dari tidak adanya landasan hukum b e rl a n d a sk a n yang jelas. Di Pantai Watu Kodok U n d a n g - misalnya, warga yang membuka lapak dan bercocok tanam di pe Undang sisir sempat diusir pada 2014. Mereka dipaksa pergi dengan da lih tanah-tanah tersebut merupakan Sultan Ground yang sudah disewa oleh investor. Padahal, hingga saat ini dasar hukum berupa Peraturan Daerah Istimewa mengenai pertanahan yang dijadikan acuan hidupnya Sultan Ground belum rampung di bahas oleh DPRD. Mel al ui U ndang- Undang Keistimewaan, Kasultanan menj ad i badan hukum khusus sehingga dapat me miliki tanah. Badan hukum ini b ern a ma Badan Hukum Warisan Budaya dan bersifat swasta. Pad ah al, men ur ut Ni’matul, “Kasultanan dan Pakualaman dalam perundang- undangan bukan bagian dari Badan Hukum yang berhak atas tanah.” Ni’matul Huda merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY mengatakan UUK didasarkan tentang Penunjukan pada sejarah panjang bergabungnya Kasultanan dengan Indonesia Badan-Badan Hukum dan pengorbanan Sultan Hamengkubuwono IX di dalamnya.
TR
anyak konflik agraria terjadi di Yogyakarta karena terdapat kerancuan hukum pertanahan yang diikuti. “Di Yogyakarta memang lain, ewuh pekewuh masih kental sekali,” tutur Laksmi A. Savitri, dosen Antropologi Universitas Gadjah Mada. Menurut Laksmi, hal tersebut membuat orang-orang di pemerintahan sungkan menegur gubernur jika memang terdapat kesalahan dalam kebijakan maupun pengambilan keputusan. Hal ini terjadi karena Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta juga menjabat se bagai pemimpin Kasultanan Yogyakarta. “Jika dengan Suharto yang kita hada pi adalah ketakutan, dengan S ultan yang kita hadapi adalah kesungkanan,” ungkap Kus Sri Antoro, Sekretaris Gerakan Anak Negeri Anti D iskriminasi ( Granad). M e nurutnya, Sultan Hamengkubuwono X memiliki kekuatan yang mampu meng hegemoni kesadaran. “Bukan soal takut, tapi pekewuh,” tambahnya. Sehingga, men ur utn ya tidak banyak Lembaga Swadaya Masyarakat di Yogyakarta yang berani memperjuangkan kasus agraria. Sungkan men j a d i faktor yang membuat Badan Pertanahan Nasional DIY mau mengikuti Instruksi Kepala Daerah 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah k e pada WNI Nonpribumi. Hal itu disam paikan Ni’matul Huda, dosen Hukum Tata Negara Pascasarjana Universitas Islam Indonesia saat ditanya terkait po sisi BPN dalam pelaksanaan Instruksi Kepala Daerah 1975. “Jika BPN m en diamkan saja, itu enggak benar. Jangan sampai BPN ewuh pekewuh,” ungkap Ni’matul saat ditemui di kantornya, Selasa (31/10). BPN DIY tidak wajib mengikuti aturan tersebut karena saat ini instruksi bukanlah produk perundang-undangan
ANALISIS UTAMA
Pokok Agraria. Namun, menurut Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY yang mengurusi tata pemerintahan, UUK didasarkan pada sejarah panjang bergabungnya Kasultanan dengan Republik Indonesia dan pengorbanan Sultan Hamengkubuwono IX di dalam nya. Sehingga pemberian keistimewaan pada Yogyakarta untuk kemudian me ngurusi pertanahannya sendiri amat pantas. “Yogyakarta kan lahir sebagai daerah berdaulat sebelum Indonesia, sehingga wajar,” tambah Eko. Sementara itu, Granad menolak fakta sejarah tersebut. Hal itu disam paik an melalui Surat Nomor 004/ GRANAD/XI/2014 perihal Permohonan Pencabutan Perda Istimewa DIY Nomor 1 Tahun 2013. Surat itu ditujukan ke pada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Salah satu alasan p encabu tannya adalah fakta sejarah. Berdasar kan catatan sejarah, melalui perjanjian Giyanti 1755 dan perjanjian Paku Alam 1813, Kasultanan dan Pakualaman d ijadi kan badan hukum swapraja. Kasultanan berada di bawah kedaulatan penjajah dan tidak pernah memiliki hak milik atas tanah. Willie menambahkan, “Kerajaan Mataram telah diserahkan pada VOC (Vereenigde Oostindische Company, Red.) sejak 11 Desember 1749 oleh Paku Buwono II. Sehingga ketika Belanda me nyerahkan kedaulatan jajahannya pada Indonesia, secara langsung Yogyakarta sebagai bagian dari Belanda jatuh pada Indonesia,” tuturnya.
Ganjilnya BPN di Yogyakarta
Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pertanahan diatur oleh Pemerintah Daerah. “Namun, UU tersebut telah dicabut oleh Presiden Gus Dur,” kata Ni’matul Huda. Menurutnya, alasan pencabutan tersebut karena bertenta ngan dengan Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang mengatur bahwa bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. “Kemudian urusan pertanahan diserahkan pada BPN yang memiliki kantor wilayah di masingmasing daerah,” jelasnya. BPN adalah bagian dari Kementrian Agraria dan Tata Ruang RI yang b er tugas sesuai undang-undang yang ber laku, salah satunya UUPA. “Atas dasar apa kemudian BPN Kanwil DIY tidak memberi izin hak milik tanah kepada
warga keturunan etnis Tionghoa? Ewuh pekewuh?” tanya Ni’matul Huda. Selain itu, Willie menceritakan, diskriminasi terhadap etnis keturu nan Tionghoa sudah terjadi sebelum Instruksi Kepala Daerah 1975. “Pasca l engs ern ya Sukarno,” tutur Willie, “Sekolah etnis Tionghoa diserang oleh Kesatuan Mahasiswa Indonesia yang kemudian sekolah itu menjadi SMA 1 Bopkri.” Se hingga waktu itu, ia ber sam a teman-temannya keturunan Tionghoa kebi ngungan mencari sekolah pengganti. I n s t r u k s i K ep a l a Daerah 1975 adalah alasan BPN tidak memberikan ser tifikat tanah bagi WNI yang d ia ngg ap nonp rib u mi. Term as uk d i d al a mn y a warga ket u run an etnis Tionghoa. M en u rut Kus, status Laksmi A. Savitri, dosen Antropologi UGM mengatakan ewuh pakewuh terjadi karena Gubernur DIY juga menja bat sebagai pemimpin Kasultanan Yogyakarta.
instruksi sebagai dasar hukum saat ini tidaklah tepat. Instruksi dinilai hanya relevan untuk internal lembaga dan tidak mengikat publik. “Jika instruksi tersebut digolongkan sebagai diskre si, yaitu aturan yang perlu kemudian belum diatur dalam u ndang-undang dan memang tidak menabrak undangundang lain. Maka Instruksi 1975 tidak bisa disebut dikresi,” ungkapnya. Menu rutnya, sudah jelas melalui Perda DIY No. 3 Tahun 1984, diatur bahwa pertanahan Yogyakarta mengacu pada UUPA. BPN DIY memang men gat ak an Instruksi Kepala Daerah 1975 adalah affirmative action untuk menjaga pengu asaan tanah dan melindungi kelompok ekonomi miskin. Namun, di lapangan, menurut Kus, banyak kelas ekonomi miskin dipersulit ketika mengguna kan tanah negara yang diklaim Sultan Ground dan Pakualaman Ground. “Warga Kulonprogo, Parangkusumo, Watu Kodok dan bantaran Kali Code adalah contohnya,” jelas Kus.
18 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
Ket et ap an MPRS Tahun 1966 Nomor 20 tentang Perundang-undangan memang menyatakan instruksi sebagai produk hukum yang mengikat. Namun, Ketetapan MPRS Tahun 1966 Nomor 20 berlaku hanya sampai 2004. Sebab, kemudian ia digantikan oleh UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pe raturan Perundang-Undangan. Dalam pergantian peraturan ters eb ut, Ni’matul Huda menj el ask an, “Wajar jika ketika diterbitkan, Instruksi 1975 ini di anggap sebagai produk hukum.” Namun, se tel ah ref orm as i ket i ka K et et ap an MPRS Tahun 1966 No 20 di cabut, instruksi sebagai produk hukum gugur. Dalam UU No. 10 Tahun 2004, lanjut Ni’matul, tidak disebutkan bahwa instruksi adalah produk hukum yang mengikat. TRIYO | EKSPRESI Men ur ut Laksmi A. Savitri, klasifikasi warga negara dengan pribumi dan nonpribumi sudah tidak relevan. “Memang siapa yang bisa menilai warga itu pribumi dan nonpribumi,” ungkap nya. Ia menambahkan, proses akulturasi dan asimilasi yang sudah terjadi berabadabad dalam perjalanan bangsa menjadi kan seseorang tidak bisa dinilai pribumi atau nonpribumi. “Siapa yang bisa men jamin silsilah seseorang? Apa pembuk tian yang jelas tentang asal seseorang? Bagaimana menarik kesimpulan bahwa orang tersebut nonpribumi?” ujarnya. Laksmi menyayangkan masih ber lakunya Instruksi Kepala Daerah 1975. Baginya peraturan tersebut diskriminatif. Acuan peraturan tersebut juga dinilai tidak relevan. “Atas peraturan yang seperti Instruksi Kepala Daerah 1975, Sultan Ground, dan Pakualaman Ground, pastilah warga Yogya tahu bahwa itu tidak adil, lihat saja pergerakan di Parangkusumo, Kulonprogo dan Watu Kodok,” tambahnya. Baginya, contoh ter sebut menunjukkan bahwa tidak selama nya warga Yogyakarta hanya menerima keadaan dan patuh pada rajanya.[] Laporan oleh Aziz dan Rimba
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA
Masyarakat Belum Paham Instruksi 1975 Oleh Ervina Nur Fauzia orang, sampel ditentukan dengan meng gunakan rumus slovin dengan tingkat sampling error 10%. Kemudian dihasil kanlah sampel sebanyak 100 responden. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara random atau acak. Berdasarkan hasil polling, diketa hui terdapat 77% responden merupakan warga asli Yogyakarta. Sementara 23% responden bukan asli Yogyakarta tapi sudah lama tinggal di Yogyakarta. Dari hasil tersebut, diketahui pula sebanyak 52% responden mengatakan memiliki tanah di Yogyakarta. Sementara yang tidak memiliki tanah sebanyak 42% res ponden, dan 6% responden sisanya tidak menjawab.
Instruksi Kepala Daerah 1975
Instruksi Kepala Daerah 1975 berisi larangan warga nonpribumi untuk memi liki tanah. Mereka hanya diberi hak guna bangunan (HGB). Aturan tersebut masih berlaku sampai sekarang. Namun, seba nyak 80% responden menjawab tidak tahu tentang adanya instruksi tersebut. Hanya 18% responden yang mengaku mengetahui adanya instruksi tersebut, dan 2% sisanya tidak menjawab. Hal tersebut menunjukkan kur angn ya sos ia li as i yang seharusnya d il ak uk a n
oleh pemerintah daerah. Instruksi Kepala Daerah 1975 pada awalnya dirancang guna melindungi pemilikan tanah warga pribumi dari warga nonpribumi. Sebanyak 48% res ponden setuju bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 telah berhasil melindungi warga Yogyakarta, ditambah 30% sangat setuju. Sementara sebanyak 20% respon den tidak setuju, 1% sangat tidak setuju, dan 1% sisanya tidak menjawab. Tuju an dikeluarkannya Instruksi Kepada Daerah 1975 adalah seperti tersebut di atas. Namun, menurut hasil polling, ins truksi ini rupanya perlu ditinjau ulang. Sebab, sebanyak 50% responden meng aku tidak merasa terancam apabila warga keturunan Tionghoa mempunyai tanah di Yogyakarta. Sementara sebanyak 47% responden mengaku merasa terancam, dan 3% sisanya tidak menjawab. Sebanyak 46% respon den Kota Yogyakarta set uj u bahwa warga lokal
ANDHIKA| EKSPRESI
U
rusan pertanahan menjadi salah satu yang penting di Yogyakarta. Berd as ark an Instruksi Kepala Daerah 1975, diatur bahwa warga negara Indonesia nonp rib um i—teru tam a ket ur una n Tionghoa—tidak berhak memiliki tanah. Atura n ters eb ut berb un yi, “Apab il a ada seorang warga negara Indonesia nonpribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan seba gaimana biasa, ialah dengan melalui pel ep asa n hak, seh ingg a tan ahn ya kembali menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta DIY dan kemudian yang berkepentingan/mele paskan supaya mengajukan permohon an kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak.” Pemerintah Daerah Yogyakarta me rasa perlu membatasi hak-hak warga ke turunan Tionghoa untuk memiliki tanah. Pasalnya, warga keturunan Tionghoa dianggap lebih kuat secara finansial. Hal itu ditakutkan menjadikan mereka memonopoli pertanahan. Namun, ter lihat kurangnya sosialisasi dari Pemda DIY pada masyarakat. Oleh karena itu, untuk memahamkan masyarakat akan konteks yang melatarbelakangi, aturan tersebut perlu ditinjau kembali. Sela in tentu untuk mengingatkan bahwa mulai muncul kasus-kasus agraria di Yogyakarta belakangan ini. Berk ai ta n dengan hal ters eb ut, Litbang LPM EKSPRESI, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), meng adak an polling untuk men get ah ui respons masyarakat. Sampel yang di ambil adalah warga di 14 kecamatan di Kota Yogyakarta. Antara lain Umbulharjo, Kraton, Mergangsan, Kotagede, Mantrirejon, Gondokusuman, Danurejan, Pakualaman, Gondomanan, Ngampilan, Wirobrajan, Gedongtengen, Jetis, dan Tegalrejo. Dengan populasi Kota Yogyakarta seb an yak 400.467
80% masyarakat kota Yogyakarta mengaku tidak mengetahui adanya Instruksi Kepala Daerah 1975.
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 19
ANALISIS UTAMA
I ES PR
SI
KS
RE
|E
SP
IK A
| EK
DH
IK A
AN
DH
66% masyarakat kota Yogyakarta tidak setuju bila Instruksi Kepala Daerah 1975 dihapuskan.
55% responden menilai bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 berdampak pada penguasaan tanah di Yogyakarta.
AN
memiliki kemampuan finansial atau eko nomi yang lebih rendah dibandingkan warga keturunan Tionghoa, ditambah 31% sangat setuju. Sementara seba nyak 17% responden tidak setuju, 3% sangat tidak setuju, dan 3% sisanya tidak menjawab. Namun, masyarakat Kota Yogyakarta menganggap warga keturun an Tionghoa bukan merupakan ancaman yang harus ditakuti dalam hal pemilikan tanah. Hal tersebut dilihat dari sebanyak 44% responden mengaku tidak setuju apabila warga keturunan Tionghoa tidak boleh memiliki tanah, 6% sangat tidak setuju. Sementara sebanyak 33% respon den setuju warga Tionghoa tidak boleh memiliki tanah, 15% sangat setuju, dan 2% sisanya tidak menjawab. Pemerintah Daerah bera lasa n Insrtuksi Kepala Daerah 1975 diterbit kan untuk melindungi masyarakat kelas menengah ke bawah. Warga keturunan Tionghoa dianggap memiliki kekuatan ekonomi yang lebih besar sehingga di takutkan akan menguasai pertanahan di Yogyakarta. Namun, dalam persepsi ma syarakat Kota Yogyakarta, sebanyak 44% responden tidak setuju bahwa warga ke turunan Tionghoa tidak ada yang miskin, 14% sangat tidak setuju. Sedangkan ma syarakat Kota Yogyakarta yang menye tujui warga keturunan Tionghoa tidak ada yang miskin hanya 34%, ditambah 7% sangat setuju, dan 1% sisanya tidak menjawab. Dari persentase tersebut ber arti masyarakat Kota Yogyakarta masih
menyadari ada warga Tionghoa yang kurang mampu atau miskin. Instruksi Kepala Daerah 1975 yang membatasi hak warga keturun an Tionghoa memiliki hak atas tanah dianggap bertentangan dengan aturan Pemerintah Indonesia. Sebab, telah di sebutkan dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, bahwa “Se tiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapat kan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosi al, dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis.” Selain itu, pe merintah Indonesia juga telah mengelu arkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA melarang pem bedaan berdasarkan suku, etnis, maupun gender bagi subyek hukum yang boleh memiliki tanah. Pada dasarnya masyarakat setu ju bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 bert ent anga n dengan Pemerintah. Hal tersebut di tunjukkan oleh sebanyak 40% responden, ditambah 9% sangat setuju. Sementara yang tidak setuju hanya 42% responden, ditambah 4% sangat tidak setuju, dan 5% sisanya tidak menjawab. Namun, sebanyak 66% res ponden mengaku tidak setuju apabila instruksi tersebut dihapuskan. Semen tara sebanyak 29% responden mengaku setuju, dan 5% sisanya tidak menjawab. Sebab, sebanyak 51% responden setuju terdapat golongan yang terlindungi oleh adanya Instruksi Kepala Daerah 1975, ditambah 31% sangat setuju. Semen tara sebanyak 17% responden tidak setuju, dan 1% sangat tidak setuju.
20 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
M as y ar ak a t m a s i h mem il iki ket ak uta n jika ket ur una n Tionghoa akan memonopoli pertanahan di Yogyakarta. Dilihat dari hasil polling, warga keturunan Tionghoa akan memo nopoli pertanahan di Yogyakarta apabila Instruksi Kepala Daerah 1975 tidak ada, sebanyak 48% responden setuju, 20% sangat setuju. Sementara sebanyak 27% tidak setuju, 4% sangat tidak setuju, dan 1% sisanya tidak menjawab. Ada anggap an bahwa warga lokal akan kehabisan tanah di Yogyakarta jika Instruksi Kepala Daerah 1975 dihapuskan, sebanyak 41% responden setuju, 21% sangat setuju. Se mentara sebanyak 32% tidak setuju, 4% sangat tidak setuju, dan 2% sisanya tidak menjawab. Mas yar ak at berp end ap at bahwa warga keturunan Tionghoa sudah bisa men er im a adan ya atura n Instruksi Kepala Daerah 1975. Sebanyak 58% responden setuju, 3% sangat setuju. Sementara sebanyak 25% tidak setuju, 3% sangat tidak setuju, dan 11% sisanya tidak menjawab. Hal tersebut dikarena kan berdasarkan hasil polling, sebanyak 67% responden tidak mengetahui adanya kasus warga keturunan Tionghoa yang kesulitan mendapatkan tanah. Semen tara sebanyak 31% responden mengaku mengetahui, dan 2% sisanya tidak men jawab. Bagi masyarakat Kota Yogyakarta, untuk saat ini aturan Instruksi Kepala Daerah 1975 tidak bisa dihapuskan. Sabab, sebanyak 55% responden meni lai bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 berdampak pada penguasaan tanah di Yogyakarta. Sementara sebanyak 40% menilai tidak berdampak, dan 5% tidak menjawab.[]
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA
AZIZ | EKSPRESI
Instruksi 1975 Diskriminatif Oleh Mariyatul Kibtiyah
P
ada 1975, terbit sebuah instruk si tentang petunjuk pengatur an pertanahan yang ditanda tangani Wakil Kepala Daerah DIY saat itu, yakni Paku Alam VIII. Warga yang digolongkan—oleh BPN DIY sebagai—nonpribumi, dilarang mempu nyai hak milik atas tanah di Yogyakarta. Mereka hanya berhak atas hak guna bangunan (HGB) yang diperpanjang 20 tahun sekali. Hal itu, oleh Kakanwil BPN DIY, Arie Yuriwin dikatakan sebagai diskriminasi positif. “Soalnya kebijak an tanah di sini kan sudah diatur Perda Istimewa. Kalau dilihat dari sisi diskri minasi, itu diskriminasi yang positif,” ungkap Arie saat ditemui di kantornya. Eni Kusumawati, warga Godean, Yogyakarta, adalah salah satu contoh orang yang ditolak pengurusan surat hak milik tanahnya. Alasannya, Eni mempunyai garis keturunan Tionghoa yang oleh BPN kemudian digolongkan sebagai nonpribumi. Dalam aduannya ke Ombudsman Republik Indonesia pada 8 Maret 2016, Eni mengaku hanya diberi pilihan untuk mendapatkan HGB saja. Ombudsman Yogyakarta sudah mencatat ada enam orang yang melapor tentang kejadian serupa. Padahal, dalam UUD 1945 Pasal 28I ayat 2 dinyatakan bahwa, “Setiap orang berhak bebas atas perlaku an yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlin dungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Dari jajak pendapat yang dihimpun oleh subdivisi Litbang LPM EKSPRESI di kota Yogyakarta, mayoritas masyarakat kota Yogyakarta menganggap pemba tasan hak-hak semua warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta memang perlu dilakukan. Sebanyak 43% setuju dan 21% lainnya sangat setuju jika semua warga keturunan Tionghoa harus diba tasi hak-haknya. Hanya 24% yang tidak setuju, dan 8% yang sangat tidak setuju pembatasan hak ini. 4% sisanya enggan menjawab. Meskipun demikian, tidak semua responden mengetahui adanya perbe daan perlakuan untuk warga keturunan Tionghoa tentang hak kepemilikan tanah. Persentase masyarakat yang tahu dan yang tidak tahu ternyata seimbang. Se banyak 49% responden menjawab tahu dan 49% menjawab tidak, 2% sisanya tidak menjawab. Instruksi Kepala Daerah tahun 1975 menjadi indikator adanya perbedaan perlakuan terhadap warga keturunan Tionghoa soal pengurusan tanah. Se banyak 39% responden menjawab se tuju Instruksi 1975 mendiskriminasi warga keturunan Tionghoa, sebanyak 11% bahkan sangat setuju. Namun, 39% responden tidak setuju jika instruk si tersebut dibilang diskriminatif, 8% responden sangat tidak setuju dan 3% tidak menjawab. Meski hanya terpaut 3%, masyarakat kota Yogyakarta lebih banyak yang menilai kalau instruksi ter
sebut diskriminatif. Kendati demikian, sebanyak 40% responden setuju dan 12% responden sangat setuju kalau Yogyakarta, dengan keistimewaannya, boleh-boleh saja mem buat aturan diskriminatif. Hanya 32% responden yang tidak setuju, dan 15% responden yang sangat tidak setuju penggunaan dalih keistimewaan untuk membuat aturan diskriminatif. 1% res ponden tidak menjawab terkait hal ini. Kasus diskriminasi berdasar etnis atau suku di Yogyakarta bukan hanya soal pertanahan yang bersumber dari Instruksi 1975. Juli 2016 kemarin, ter jadi pengepungan Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I Jalan Kusumanegara Nomor 119, Kota Yogyakarta selama tiga hari. Selain akses keluar masuk asrama ditutup, terdapat penganiayaan dan pe nangkapan yang dilakukan kepolisian kepada beberapa mahasiswa Papua. Komnas HAM langsung turun tangan menyelidiki kasus ini. Dalam dialog anggota DPR Komisi I dan Pemprov Papua beberapa hari se telah pengepungan dilakukan, mereka menyatakan kondisi para mahasiswa itu sangat rentan. Apalagi, saat itu per nyataan Sri Sultan Hamengkubuwono X menganggap mahasiswa Papua adalah separatis. Selain itu, beberapa organi sasi masyarakat juga turut melakukan pengepungan. Terkait dengan hal ini 34% respon den setuju dan 10% sangat setuju bahwa diskriminasi ras, etnis, kesukuan masih terjadi di Yogyakarta. Namun, ternyata lebih banyak yang menilai kalau sudah tidak ada diskriminasi ras, etnis, atau kesukuan di Yogyakarta. Sementara 48% responden menjawab tidak setuju masih ada diskriminasi, 4% responden bahkan sangat tidak setuju, sedang 4% sisanya tidak menjawab.[]
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 21
ANALISIS UTAMA
Tidak Ada Pribumi dan Nonpribumi
I
nstruksi Kepala Daerah 1975 lahir dengan asas melindungi warga Yogya dari kekuatan ekonomi etnik yang dianggap nonpribumi. Namun, bagaimana aturan ini ditilik dari sudut pandang hak asasi manusia? Berikut petikan wawancara reporter EKSPRESI, Andhika Widyawan d an A . S . R imbawana, d engan narasumber Eko Riyadi dari P usat Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, di kantor Pusham yang berada di Banguntapan, B antul, DIY.
Apa latar belakang lahirnya Instruksi Kepala Daerah 1975?
S etahu s aya i tu y ang m enjadi ertimbangannya adalah soal melindungi p “w arga p ribumi Y ogya a tas p otensi serbuan modal, khususnya dari kalangan Chinnese. Waktu itu keraton berpikir bagaimana melindungi tanah-tanah, se tidaknya dalam level ring satu seperti Malioboro dan sekitarnya, agar tidak jatuh ke tangan asing termasuk untuk orang Tionghoa, karena pada waktu i tu e kspansi m odal o rang T ionghoa besar-besaran.
Masihkah relevan penyebutan pribumi dan nonpribumi?
S aya r asa s ekarang s udah t idak r elevan b erbicara s oal p erb edaa n k eduanya setelah Indonesia meratifikasi k onvensi a ntid iskriminasi r asial. Kemudian di UU No. 62 Tahun 1956 tentang Kewarganegaraan juga sudah tidak ada lagi penyebutan itu. Sekarang orang untuk memperpanjang status kewarganegaraan juga lebih mudah. Jadi secara teoretis juga sudah tidak relevan.
Dalam konteks itu, masihkah relevan sikap Pemprov DIY?
Perdebatan soal k etentuan itu d i Y ogya sudah sangat lama, d an j uga tidak gampang. Jadi kalau perspektifnya d alam s udut p andang d iskriminasi, s ebagaimana s udah d iatur d alam undang-undang di level nasional dan
i nternasional, pembatasan kepemilikan tanah di Y ogya memang bermasalah dan kontroversial. Hal ini dikarenakan p erspektif HAM yang dipakai itu universal. Seharusnya dalam satu n egara itu berlaku satu sistem hukum. Sehingga kalau ada sistem h ukum lain yang dibuat khusus untuk etnis tertentu, dari perspektif HAM itu tentu bermasalah. T etapi d i s isi l ain, k ondisi d i Indonesia memang unik yang tidak bisa dilihat secara satu sudut pandang dalam kacamata hukum saja. Berbicara sistem hukum di Indonesia, dalam faktanya t idak bisa tunggal, apa yang terjadi di Yogya juga terjadi di tempat lain dalam b idang dan wujud yang berm acam-macam, karena di beberapa daerah ada sistem lokal yang masih dipegang. Agak sulit memang dalam menjelaskan konstruksi sistem hukum di Indonesia, termasuk soal tanah di Yogya.
Idealnya? Satu atau berapa?
Kalau saya ditanya idealnya, ya, satu. Kalau sistem hukumnya banyak kan susah mengaturnya. Tapi di Yogya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria itu memang tidak berlaku.
Kalau dikaitkan dengan Perda No. 3 DIY Tahun 1984, bahwa UUPA berlaku sepenuhnya di Yogya? Kecuali terhadap tanah- t anah keraton.
Mengapa Tionghoa yang jadi sasaran?
Saya kira itu lebih e rat h ub unga nn ya d en g a n r an a h s ej ar a h . J i k a t erkait s entimen s aya r asa t idak, karena hubungan a ntark eduan ya juga normal saja. Itu soal sejarah saja menurut
22 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
saya, karena sejak lama etnis Tionghoa memiliki kekuatan atau kemampuan eko nomi yang cukup maju d ibandingkan yang lain, sehingga ada kekhawatiran dari pihak keraton kalau dibiarkan maka lahan-lahan strategis akan dimiliki oleh kaum Tionghoa. M enurut saya itu t idak sampai pada level rasialis tetapi lebih pada hitung-hitungan pragmatis saja.
Seluruh keturunan Tionghoa adalah kalangan ekonomi kuat?
Menurut saya tidak juga, kalau itu kita tinggal survei saja. Tapi bahwa dalam praktiknya orang Tionghoa yang kesusahan pun banyak. Mungkin pada saat keluarnya aturan tersebut konteksnya di Yogya sedang g encar-gencarn ya investasi dari kelompok itu.
Instruksi Kepala Daerah 1975 adalah sebuah affirmative action?
Affirmative action itu sebenarnya adalah diskriminasi positif. Namun, affirmative action itu harus dibuat dalam sistem hukum. Hal ini u ntuk menghindari diskriminasi dan m en anggulangi kekuatan golongan yang kuat m enguasai seluruh bagian yang ada.
Harus berjangka waktu?
Teorinya, a ffirmative a ction akan d ilakukan sampai ketika sudah dicapainya kesetaraan yang diharapkan. Setelah s udah mencapai target k esetaraan yang diharapkan barulah affirmative action tersebut dicabut. Kemudian silakan untuk b ersaing secara sehat. Secara sosial, mungkin itu bisa disebut affirmative action. Tetapi secara umum mungkin agak sulit, karena hukum yang lebih rendah tidak b oleh b ert entangan dengan h ukum di a tasnya, itu asas. Secara politik, a ffirma t iv e action m ungkin bisa, tetapi secara umum hal itu ti dak dapat dijelaskan.[] RIMBA | EKSP
RESI
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA
AZIZ | EKSPRESI
Sejarah AntiTionghoa
Handoko memperlihatkan putusan PTUN Yogyakarta yang menolak gugatannya terkait pencabutan Instruksi 1975.
Menurut catatan sejarah, arus emigrasi terbesar dari Tiongkok ke Hindia Belanda terjadi pada sekitar abad ke-16 hingga abad ke-17. Oleh Triana Yuniasari
K
eberadaan orang Tionghoa di Nusantara seb en ar nya sudah cukup panjang. Mereka menginjak tanah Nusantara secara berangsur-angsur sejak abad ke-6 oleh sebab yang beragam, se perti peperangan, kelaparan, dan benca na alam. Sama halnya dengan masyarakat Indonesia, para pelancong dari negeri tirai bambu ini merupakan masyarakat yang sangat majemuk. Mereka berasal dari beberapa suku dan keturunan, sebut saja Hokkian, Canton, Khek, dan seba gainya. Hokkian yang pada waktu itu menjadi suku dominan dalam emigrasi. Masing-masing suku memiliki ciri khas yang sudah melekat sejak mereka masih tinggal di Tiongkok sampai kemudian menetap di Nusantara. Semb ar i memp erl ih atk an peta Tiongkok, Yerry Wirawan, dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, memapar kan berbagai macam suku di Tiongkok yang pada akhirnya memutuskan untuk bedol desa mencari tempat bermukim baru. “Kalau kita lihat peta Tiongkok, sebenarnya suku yang paling banyak ber migrasi ke Nusantara adalah dari daerah Suchien, suku Hokkian namanya. Ada
pula Canton, Khek, dan Tiociu,” ujarnya. Sesampainya di Nusantara, mereka tak melepaskan identitas kesukuan yang telah melekat. Hal itu mengakibatkan mereka pada akhirnya bisa diidentifi kasi dari jenis pekerjaan yang mereka tekuni. Orang Hokkian, menurut kete rangan Yerry, kebanyakan dari mereka menjadi nelayan atau pedagang; orang Khek menjadi pekerja tambang; orang Tiociu ahli dalam bisnis kuliner; sedang orang Canton biasa ditemui sebagai peda gang emas dan furnitur. Maka tak heran jika pekerjaan-pekerjaan yang dominan di sektor perekonomian ini sering di jumpai dengan orang Tionghoa sebagai empunya. Emig ras i yang dil ak uk an oleh orang Tiongkok memunculkan sebut an baru bagi bangsa mereka yang dipo pulerkan oleh mereka sendiri: Hoakiau dan Singkek. “Hoakiau adalah orang Tiongkok yang lahir di perantauan,” terang Yerry. Sementara Singkek adalah orang Tiongkok yang baru saja datang di Nusantara, mereka lahir di tanah Tiongkok. Waktu kedatangan mereka yang tidak bersamaan pun turut mem bedakan Singkek zaman dahulu dengan
Singkek masa kini. “Kalau ada yang baru saja datang ke sini pasti sudah beda dengan orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di sini walaupun samasama Singkek, konflik yang terjadi pun berbeda,” tutur Yerry. Kendati demikian, ada satu konflik yang terj ad i sejak awal ked at anga n orang Tionghoa di Nusantara hingga kini, yakni diskriminasi rasial. Masya rakat Tionghoa mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan masyarakat nonTionghoa, khususnya masyarakat pri bumi. Pembedaan perlakuan tersebut berangkat dari permainan politik yang dilakukan oleh Belanda. “Pemerintah Belanda memang memisahkan masya rakat, Tionghoa dianggap Timur Asing kemudian orang yang dianggap pribumi adalah orang Jawa, Sunda, dan sebagai nya,” jelas Yerry. Pembedaan ini mengakar di masya rakat bahkan sampai setelah kemerde kaan Indonesia. Tionghoa dianggap asing sementara orang Jawa dianggap asli. “Padahal dalam sejarah kita tidak mengenal yang betul-betul asli, kita semua pendatang, hanya mana yang lebih dulu dan mana yang belakangan,”
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 23
ANALISIS UTAMA
tegas Yerry. Bahkan dalam buku Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia karya Ong Hok Ham disebutkan bahwa di Kalimantan Barat yang boleh dikatakan pribumi adalah orang-orang Tionghoa. Merekalah yang menjadi lawan Belanda dalam perang perebutan wilayah koloni, bukan sultan-sultan ataupun suku-suku setempat. Hal itu dikarenakan orang Tionghoa yang terbagi menjadi beberapa kongsi tambang ingin mempertahankan dan memperluas wilayah tambangnya masing-masing. Sedangkan salah satu kongsi telah bersekutu dengan Belanda. Tujuan dilakukannya pemisahan ter sebut, menurut Yerry, adalah untuk me mudahkan kontrol yang dilakukan oleh Belanda agar masyarakat tidak tercam pur. “Kalau saja Tionghoa kawin dengan orang Jawa, itu akan sangat berbahaya karena membuat kelompok yang dijajah itu menjadi bersatu,” ujarnya. Pengotakngotakan tersebut terjadi pada akhir abad ke-18, orang Tionghoa tak lagi menga wini orang Jawa. Padahal sebelumnya, imigran asal Tiongkok yang paling awal harus mengawini perempuan Jawa. Hal itu dikarenakan waktu itu tak banyak imig ran per emp ua n asal Tiongkok. Kolonialisme Belanda yang menyudahi proses asimilasi Tionghoa-Jawa melalui sistem perkawinan hingga kemudian me nyebabkan munculnya minoritas Tionghoa yang dianggap asing.
AHMAD | EKSPRESI
Sebenarnya, baik Tionghoa mau pun Belanda pada mulanya memiliki tujuan yang sama memasuki wilayah Nusantara, yakni berdagang. Pada masa VOC, orang Tionghoa merupakan mitra dagang bagi Belanda. Peran itu bertahan hingga masa kolonial Belanda. Mereka tidak pernah kehilangan posisinya se bagai perantara bagi Belanda. Kendati demikian, hubungan di antara keduanya
bukan berarti tanpa gesekan. Terbukti dengan terjadinya pembunuhan besarbesaran orang Tionghoa pada 1740 di Batavia yang dilakukan oleh Belanda. Peristiwa itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan Geger Pecinan. Keb er ad aa n orang Tionghoa di Jawa Tengah, Solo, dan Yogyakarta pun dipengaruhi oleh peristiwa Geger Pecinan. Orang Tionghoa yang membe rontak di Batavia kemudian disingkirkan dan akhirnya mereka terdesak ke Jawa Tengah. “Di Jawa, mereka bergabung dengan beb er ap a bangs aw an untuk melawan,” ungkap Yerry. Sayangnya di sini, menurut Yerry, muncul konflik yang membuat orang Tionghoa menjalani kehidupan yang cukup kompleks. Pada hal jika dirunut dari sejarahnya, mereka memang sengaja diundang oleh Belanda ke Batavia untuk menopang perekono mian ibu kota VOC tersebut sebelum akhirnya disingkirkan.
Tionghoa Kaya
Orang Tionghoa memang terkenal dengan stigma sebagai orang kaya. Pe nanda yang paling terlihat adalah per kembangan toko-toko yang dimiliki oleh pedagang Tionghoa. Posisi mereka yang selalu mendominasi di bidang perekono mian, menurut Yerry, dikarenakan hanya berdaganglah yang paling memungkin kan untuk mereka kerjakan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Lagi pula pada kenyataannya, masya rakat Tionghoa adalah masyarakat yang sama heterogennya dengan ma syarakat Jawa, ada yang kaya, ada pula yang miskin. Hal itu pun dia kui oleh se orang Jawa yang tinggal di daerah Pajeksan, Yogyakarta, bernama Sri Mulatsih. Ia melihat realitas di sekitar nya, mengingat Pajeksan adalah daerah yang juga dihuni oleh orang Tionghoa dan terletak di pusat perekonomian Yogyakarta. Menurut Sri, tidak semua orang Tionghoa adalah orang kaya. “Orang Tionghoa kaya kebanyakan hanya yang tinggal di pinggir jalan Malioboro sedangkan yang tinggal di ‘dalam’ ya banyak yang tidak punya apa-apa,” ujar Sri. Stigma kaya tersebut terbentuk juga
24 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
tak lepas dari campur tangan Belanda pada zaman dahulu. Menurut keterang an Yerry, orang Tionghoa dianggap kaya karena konstruksi sosial yang tumbuh di masyarakat pribumi sendiri. Namun, pada dasarnya stigma-stigma tersebut muncul karena adanya kecemburuan sosial. Dalam persoalan dagang, orang Tionghoa yang banyak meraih sukses pun pada akhirnya mendapat cap curang dan licik. “Orang Tionghoa terlihat lamalama jadi kaya sementara masyarakat Jawa di sekitarnya tetap miskin sehingga masyarakat Jawa menganggap bahwa orang Tionghoa itu curang dan licik,” terang Yerry. Dit amb ah pula dengan adan ya pengalaman masyarakat pribumi yang bersinggungan secara langsung dengan orang Tionghoa terkait masalah pajak. “Orang Tionghoa pernah cukup lama bertugas sebagai pemungut pajak bagi pemerintah Belanda,” tutur Yerry. Orang kulit putih, menurut keterangan Yerry, tidak bisa menagih pajak di kampungkampung. Oleh sebab itu dibutuhkan pihak ketiga yang bisa melakukannya, lalu orang Tionghoa yang menjadi pe mungut pajak. Rupanya, stigma orang Tionghoa kaya turut melatarbelakangi terbitnya Instruksi Kepala Daerah tahun 1975 di Yogyakarta. Instruksi ini berisi pelarang an orang yang dianggap nonpribumi untuk memiliki tanah di Yogyakarta. Tujuannya untuk melindungi pribumi terkait kepemilikan tanah. “Pemerin tah daerah mengatakan bahwa instruk si tersebut bertujuan untuk melindungi golongan yang lemah,” ujar Handoko, orang keturunan Tionghoa yang saat ini tengah memperjuangkan hak etnisnya atas kepemilikan tanah di Yogyakarta. “Memangnya orang mata sipit (Tionghoa, Red.) sudah pasti kaya? Tidak,” tegas Handoko. Menurut Handoko, orang menjadi kaya maupun miskin bukan lah ditentukan oleh rasnya, melainkan usahanya. Handoko sebenarnya tidak memiliki tanah di Yogyakarta, tetapi ia mengaku akan terus memperjuangkan hak-hak warga negara Indonesia etnis Tionghoa untuk bisa mendapatkan sertifik at hak milik tanah di Yogyakarta. “Bagaima napun, diskriminasi rasial tidak bisa di benarkan, apalagi jika pemerintah ikut melanggengkannya,” tutur Handoko.[] Laporan oleh Arfrian, Aziz, Rimbawana
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA
Tionghoa Miskin Kota Stereotip berlimpah harta senantiasa menempel pada orang Tionghoa. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang hidup jauh dari kecukupan di pinggiran kota. Oleh Arfrian Rahmanta
R
IMAM | EKSPRESI
umah sederhana bercat hijau dengan lantai tanah berukur an 6x3 meter persegi itu penuh sesak dihuni oleh keluarga Heng Ki (84 tahun), orang keturunan Tionghoa yang bermukim di kampung Pajeksan RT 40 RW 11, Sosromenduran, Yogyakarta. Ia tinggal bersama anak ke duanya dan juga cucunya. Di dalam rumah sederhana itu tak ada pembatas ruangan, selain sehelai kain tipis. Ada dapur dan kamar mandi di belakang. Terdapat dua kasur tipis tempat mereka tidur. Satu di depan tele visi dan yang satunya lagi di ruang tamu. Itulah perabot milik Heng Ki dan anak nya, Septi Andajani (43 tahun). Pria yang lahir di Yogyakarta, 31 Desember 1932 itu mempunyai marga Tan. Nama lengkapnya Tan Heng Ki dan kerap disapa Bah Heng Ki. Sedangkan nama Indonesianya ialah Suhartono. Septi sendiri memiliki nama Tionghoa, Tan Me Wa. Bah Heng Ki mempunyai tiga anak hasil dari perkawinannya dengan seorang wanita asal Sleman. Septi, adalah anak kedua dari tiga anak perempuannya. Bah Heng Ki sendiri lupa perihal jumlah cucu yang telah dimilikinya. “Banyak, lupa saya,” katanya terbata-bata. Pada tahun 2004, istrinya berpulang ke hadap an Tuhan. Ketika itu Septi mengandung anak ketiga. Bah Heng Ki merupakan salah satu potret dari ratusan warga Tionghoa miskin di kawasan perkampungan padat
Senin (7/11), Bah Heng Ki tengah menunggu kain dagangannya di emperan pasar Beringharjo.
di balik gemerlapnya Malioboro. Kemis kinan, derita, dan kepapaan tergambar di daerah sekitar Pajeksan, Ketandan, dan Dagen. Bekerja serabutan, mulai dari me lakukan pekerjaan kasar hingga menjadi penjual kopi keliling adalah usaha yang harus mereka jalani. Segendang sepenarian, Joko Lelono (56 tahun), Ketua RW 4 Ketandan juga menceritakan bagaimana banyak warga keturunan Tionghoa di wilayah Ketandan yang berjualan intip (kerak nasi) ataupun bakwan di pinggir jalan. Karena tidak memiliki dapur, mereka menggoreng intip dan bakwan di pinggir jalan yang juga menjadi tempat berjualan.
Pantang Menyerah
Meski didera kemiskinan, Bah Heng Ki pantang menyerah pada kerasnya ke
hidupan. Setiap harinya, Bah Heng Ki berangkat berdagang sejak pukul 7.30 pagi dan pulang pukul 5 sore. Bah Heng Ki sendiri mudah ditemukan di pintu selatan pasar Beringharjo. “Alhamdu lillah, ada yang mau kasih tempat di sini, walaupun cuma ngemper (teras),” ungkapnya. Ada dua macam barang yang Bah Heng Ki perjualbelikan, yakni sarung bantal yang berbahan kain dan tas berba han plastik. Sarung bantal ia jual dengan harga Rp20 ribu per satuannya, sedang kan tas plastik dijual dengan harga Rp5 ribu. “Terkadang, ada yang menawar hingga setengah harga, ya saya lepas, terpenting bisa makan untuk hari ini,” katanya dengan suara parau. Barang-barang yang dijual Bah Heng Ki pada awalnya merupakan titipan orang
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 25
ANALISIS UTAMA
ADE | EKSPRESI
Potret salah satu gang di Kentandan yang dihuni mayoritas keturunan Tionghoa miskin.
yang berangsur diborong oleh Bah Heng Ki dengan sistem mencicil. “Barang da gangan ini titipan orang, saya enggak mengerti asalnya dari mana,” ujar Bah Heng Ki yang mengatakan sudah sejak 1970-an berjualan tas karung goni di Pasar Beringharjo. Senin siang (17/10), terlihat dagang annya masih sepi pembeli. Bah Heng Ki berujar bahwa sudah sejak pagi belum ada satu orang pun yang mampir ke la paknya. Perihal pendapatan, Bah Heng Ki terkadang hanya mendapat Rp20 ribu sampai Rp50 ribu per minggunya. Suatu kali, pernah ada yang membeli hingga 100 buah. Banyak pengunjung Beringharjo yang membeli barang da gangannya, maupun sekadar memberi bantuan berupa bingkisan. “Kalau lagi ramai-ramainya bisa sampai Rp150 ribu per minggunya,” jelas Bah Heng Ki. Hidupnya pun harus sangat berhe mat. Bah Heng Ki hanya berbekal se bungkus nasi putih dan sebotol air mi neral, cukup dua kali makan setiap hari. Dulu, sebelum menderita kanker prostat,
setiap harinya Bah Heng Ki membawa 250 buah tas maupun sarung bantal. Barang itu dibawanya menggunakan troli kecil yang ditarik dari rumahnya. Tiap pagi dan sore, suara roda troli kecil selalu terdengar oleh warga kampung Pajeksan. Salah satunya Sri Mulatsih (68 tahun), warga asli Pajeksan. “Dulu itu, kalau ada suara ngrek ngrek melewati rumah saya, pasti itu suara trolinya Bah Heng Ki,” katanya terkekeh. Mengenai Bah Heng Ki, Septi berujar bahwa babanya memang seorang sosok pekerja keras yang rajin, teliti, dan tak bisa berdiam diri di rumah. Ketika di rumah, kesibukan Bah Heng Ki ialah ber tanam di halaman depan rumah hingga menyapu jalan kampung dari ujung utara hingga ujung selatan yang berjarak 4 meter. “Bah Hengki itu sregep,” kata Septi tegas. Pascaoperasi kanker prostat, banyak orang yang menyarankannya berhenti bekerja. Namun, Bah Heng Ki menolak nya dengan keras. “Kalau enggak kerja, bisa sakit dan pikiran malah stres. Ya mau tidak mau harus terus bekerja biar enggak pusing,” kata Bah Heng Ki sambil terkekeh dengan beberapa giginya yang masih tersisa. Kini tiap hari ia diantar dan dijemput oleh Septi. Septi pun tiap hari bekerja keras membiayai ketiga anaknya. Anaknya pa ling tua berumur 21 tahun, yang kedua masih SMA berusia 16 tahun, dan paling muda 13 tahun. Septi sendiri sudah men jadi tulang punggung keluarga sejak suaminya meninggal. Menjadi tukang masak dan katering makanan adalah pilihan Septi. Di balik kemiskinan dan kepapaan orang Tionghoa, Sri Mulatsih berujar, bahwa etos kerja orang Tionghoa yang perlu diapresiasi dan ditiru. Bekerja keras dan berhemat adalah kunci kesukses an orang Tionghoa berdagang. “Dulu, pernah saya kenal orang Tionghoa yang sangat berhemat dan hidup sederhana. Sehari ia makan hanya sekali,” ucapnya.
Imlek dan Diskriminasi Terstruktur
Bah Heng Ki tak pernah mengadakan perayaan Imlek di rumahnya. Sering kali, ia menikmati Imlek dengan berkumpul ke salah satu rumah anak atau keluarga besar anak iparnya. Jangankan bicara soal perayaan Imlek, dapat menyambung hidup saja merupakan hal yang mereka syukuri.
26 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
Septi mengungkapkan, sudah enam tahun ini tak merayakan Imlek. Terakhir kali ia merayakannya dengan berkum pul bersama keluarga besar suaminya. “Sudah lama, ya kumpul-kumpul gitu sama keluarga besar, bagi-bagi angpau,” jelasnya ketika ditemui di rumahnya pada Selasa (18/10). Makna tahun baru sejati, kata Septi, yakni ritual dan reuni keluarga. Silatu rahmi, mengucap selamat tahun baru kepada orang tua, leluhur, dan sanak ke luarga yang lebih tua kini hanya tinggal kenangan. Kemiskinan membuat Septi tak bisa menikmati tradisi leluhurnya tersebut. Menurut Sri Mulatsih, jika ingin perayaan Imlek yang sejati, datanglah ke permukiman masyarakat Tionghoa miskin. Di sana perayaan Imlek sangat oris in al serta men yent uh per as aa n. Dalam kesederhanaan dan kemiskinan itulah mereka akan “menikmati” malam pergantian tahun dalam sistem penang galan Tionghoa. Abdurrahman Wahid, presiden ke empat Indonesia, pernah berkata bahwa esensi Imlek adalah kebersamaan sebagai anak bangsa dan pemerataan dalam kese jahteraan. Menurut Septi, di Yogyakarta belum ada kebersamaan pengakuan se bagai anak bangsa. Ia beralasan, masih ada diskriminasi yang dilakukan seca ra terstruktur dan tersistem bagi orang Tionghoa di Yogyakarta. “Walaupun di kampung saya ini baik-baik saja, saya mend en gar banyak cerita bahwa di Yogyakarta ini orang Tionghoa tidak bisa beli tanah. Jadinya, mereka pun harus pinjam nama saudaranya yang pribu mi (Jawa, Red.),” jelasnya. Ini lantaran Yogyakarta menerapkan pembatasan pemilikan tanah bagi warga yang di anggap nonpribumi melalui Instruksi Kepala Daerah tahun 1975. Seb ag ai mas yar ak at biasa, Sri Mulatsih sebenarnya merasa bahwa instruks i ters ebut awalnya memang bertujuan baik, untuk menyelamatkan perekonomian warga asli Yogyakarta. “Dulu itu maksudnya baik, tapi seiring waktu ya sudah ambyar. Tak meman dang ras, hari ini siapa yang perekono miannya kuat malah semakin kuat, yang perekonomiannya lemah semakin lemah. Kesejahteraan yang merata yang harus digalakkan oleh pemerintah Yogyakarta,” ucap Sri Mulatsih.[] Laporan oleh Ana dan Rimba
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA
Bias Kelas Aturan Tanah Diskriminasi rasial diminta diganti dengan pembatasan berdasarkan kelas sosial. Namun, siapa sangka, kelas bawah sekalipun terancam pemilikannya. Oleh Putra Ramadan
P
ada 25 April 2015, Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) mengirimkan Usulan Masyarakat untuk Perda Istimewa Bidang Pertanahan pada DPRD DIY. Salah satu usulan tersebut menyata kan diskriminasi positif atau istilah yang semakna dengannya agar dihapuskan dari bunyi pasal Perdais Pertanahan. Diskriminasi positif ialah istilah yang merujuk pada Affirmative Policy dalam Instruksi Kepala Daerah 1975. Diskrimi nasi positif diusulkan agar diganti oleh pembatasan penguasaan atau pemilikan tanah berdasarkan kemampu an penguasaan tanah. Pada pelaksanaan nya, kelas sos ia l yang kuat secara ekonomi dibatasi dalam hal pemilik an tanah. Pemb at as
HI VAT R|E KSP RES I
Arif Noor Hartanto, Wakil Ketua DPRD DIY, mengatakan, dalam draf Raperdais Pertahanan yang tengah dibahas, permasalahan diskriminasi tidak termasuk di dalamnya.
an pemilikan tanah berdasarkan kelas merupakan penyelenggaraan Pasal 7 dan 17 Undang-Undang No. 5 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Tahun 1960. Pasal ini berisi larangan pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas. Tujuannya ialah men cegah penumpukan tanah pada golongan dan orang tertentu saja. Kus Sri Antoro, Sekretaris Granad, men ilai, pembatasan monopoli atas sumber daya agraria berdasarkan kelas sosial merupakan solusi terbaik. “Arti nya, misalnya Pak Siput itu Tionghoa, dia tidak boleh didiskriminasi, tapi se bagai orang yang sudah terlalu kaya, (pemilikan tanahnya, Red.) dibatasi.” Hal senada diutarakan olah Ahmad Nashih Luthfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Menurutnya, pembatasan ber dasarkan kelas senapas dengan UUPA 1960. Semestinya, lanjut Luthfi, ke bijakan ini diterapkan untuk konteks Yogyakarta sekarang. “Jangan malah rasialis seperti itu,” tegasnya. Sementara itu, Arif Noor Hartanto, Wakil Ketua DPRD DIY, mengatakan, dalam draf Raperdais Pertahanan yang tengah dibahas, permasalahan diskri minasi tidak termasuk di dalamnya. “Kami hanya mengatur pengelolaan tanah Kasultanan dan Pakualaman, itu saja,” katanya. Perdais Pertanahan, tambah Arif, mutlak hanya pada wi lay ah untuk tanah Kasultanan dan Kadipaten. Sebagaimana amanat dari Undang-Undang Keistimewaan, Perdais Pertanahan berada di ranah pemanfaat an tanah Kasultanan dan Pakualaman. Namun, menurut Kus, aturan pertanahan Yogyakarta seharusnya menaati UUPA 1960. Apalagi, lanjut Kus, hal ini sudah ditegaskan melalui Perda No.3/ 1984,
Kemendagri No.66/1984, dan Keppres No.33/1984 yang mengamanatkan pem berlakuan sepenuhnya UUPA 1960 di Yogyakarta. Akan tetapi, kritik juga datang dari dalam tubuh DPRD sendiri. Suharwanto, anggota komisi C, menilai, Raperdais Pertanahan ingin mengembalikan pada era Kasultanan dan Pakualaman sebagai daerah swapraja. Aturan tersebut meru pakan produk hukum sebelum Indonesia merdeka. Dasar hukum draf Raperdais menurut Suharwanto tak mencantumkan ketiga aturan yang menegaskan berla kunya UUPA di Yogyakarta. “Ketiganya adalah peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan sangat erat dengan Raperdais yakni mengatur per tanahan di DIY. Kalau ingin membahas pertanahan di DIY, tidak mungkin me ninggalkan aturan itu,” ujarnya, seper ti diberitakan oleh Tribun Jogja, Rabu (16/11).
Mengklaim Hak Desa
Tak hanya membatasi pemilikan tanah berdasarkan ras, Kus mengata kan, aturan tanah di DIY juga bias kelas. Sebab, hanya kalangan ningrat yang ke mudian bisa memiliki tanah seluas-lu asnya dengan dalih keistimewaan. Kus menjelaskan, hal tersebut dapat dilihat pada Peraturan Gubernur No.112/2014. Pergub tersebut mengatur tentang inven tarisasi tanah Kasultanan dan Kadipaten. Termasuk di dalamnya adalah inventa risasi tanah kas desa. Pergub ters eb ut mengg ug urk an Pergub No.65/2013 yang bun yin ya sama sekali berbeda. Di mana tanah kas desa disertifikasi atas nama Pemerintah Desa. “Pergub No.65/2014 mengakuisi si kembali, mengklaim kembali seluruh tanah desa di wilayah DIY menjadi tanah Kasultanan atau tanah Pakualaman,” terang Kus, yang juga aktiv is Jogja Darurat Agraria. Lebih lanjut, ia juga menilai ada kesalahan fatal dalam Pergub No.112/2012. Pergub ini bertolak bela kang dengan UU RI No.6/2014 tentang Desa. Berdasarkan perjalanan sejarahnya, status tanah kas desa tak bisa lepas dari aturan pertanahan Yogyakarta sebelum Indonesia merdeka. Pada 1755, terja di perjanjian Giyanti yang membelah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta. Melewati perjanjian itu, pada 1918 di terbitkan Rijksblad No.16/1918. Hukum
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 27
ANALISIS UTAMA RIMBAWANA | EKSPRESI
warisan kolonial Hindia Belanda ini mengatur hak atas tanah di Yogyakarta. Dalam Rijksblad tertulis, “Semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan oleh orang lain menurut hak eigendom (hak milik) menjadi milik kerajaanku, yaitu Kasultanan Yogyakarta.” Tanah itu disebut sebagai Sultanaat Gronden (SG) dan Pakualamanaat Gronden (PAG) dan sekarang menjadi dasar hukum inven tarisasi. Pada pasal berikutnya, dijelaskan men gen ai Tanah Desa. Anggadhuh kini diterjemahkan dalam pertanahan sebagai hak pinjam pakai dan anganggo menjadi hak memakai. “Rijksblad ini lah yang dijadikan dasar hukum Pergub No.112/2012,” kata Kus. Disebutkan dalam Pergub itu bahwa Tanah Desa adalah tanah yang asal-usulnya dari Kasultanan dan/atau Kadipaten dengan hak anggaduh, yang pemanfaatannya untuk kas desa, bengkok/lungguh, dan pengarem-arem. Kemudian, Tanah Kas Desa adalah bagian dari Tanah Desa yang dipergunakan untuk menunjang penye lenggaraan Pemerintahan Desa. Pada 1950, terbit UU No.3/1950 tentang Pembentukan DIY, di dalamnya mengatur pula pertanahan. Disebutkan bahwa pemerintah DIY punya wewe nang untuk melakukan konversi tanah. Eigendom menjadi hak milik, erfpacht menjadi hak guna usaha dan opstal men jadi hak guna bangunan. “Mereka punya wewenang itu. Termasuk pengelolaan desa,” ujar Kus. Ketika itu, DIY belum punya peraturan khusus yang mengatur pertanahan secara umum. Barulah pada 1954 terbit Perda DIY No.5/1954. Hak atas tanah di DIY di atur dalam Perda ini. “Itu satu-satunya perundang-undangan sebelum UUPA yang berlaku di DIY,” kata Kus. Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa pemerintah DIY memberikan hak milik atas tanah pada warga dan desa. Hal ini menjadi kan tanah desa adalah milik desa sebagai badan hukum. “Kepemilikan ini tidak kemudian menjadi hak milik kepala desa tapi desa sebagai badan hukum itu bisa punya tanah,” ujarnya. Perda No.5/1954 men yeb utk an, penguasaan tanah desa melalui kepa la desa. Desa sebagai badan hukum, diberi hak milik atas tanah pelungguh dan pengarem-pengarem. Apabila kas desa dimanfaatkan oleh kepala desa, lanjut Kus, statusnya menjadi hak pakai
Kus Sri Antoro, Sekretaris Granad, menilai, pembatasan monopoli atas sumber daya agraria berdasarkan kelas sosial merupakan solusi terbaik (15/11).
atau hak guna, sedang kepemilikannya tetap menjadi hak milik desa. “Kalau kita lihat UU Desa hari ini, itu sama halnya dengan Perda No.5/1954.” Baru pada 1960 UUPA lahir dan mengatur lebih rinci lagi tentang hilangnya hak dan we wenang swapraja atas tanah. Sementara itu, Dyah Ayu Widowati, dosen Fakultas Hukum UGM, mengata kan, dasar penerapan Pergub No.112/214 adalah Undang-Undang Keistimewaan DIY mengenai adanya asas pengakuan hak asal usul. “Tanah kas desa berasal dari tanah hak anggaduh, yaitu hak untuk menggarap tanah keraton, dan itu merupakan tanah Keraton yang dibe rikan pada desa,” terang Dyah. Sedang kan untuk perangkat desa, lanjut Dyah, dapat meminta kekancingan dari Keraton untuk tetap memanfaatkan tanah kas desa. Permasalahannya, meskipun tidak menyinggung tentang Rijksblad, Pergub No.112/014 menyebutkan, status tanah desa adalah tanah Kasultanan dan Kadipaten. Artinya, kata Kus, tanah desa yang menurut UU Desa menja di aset desa milik desa, oleh Pergub No.112/2014 dianulir. “Pergub bisa me nentang undang-undang dan dibiarkan itu hanya terjadi di DIY,” tegasnya. Secara prosedur, sertifikasi tanah desa dilakukan oleh kepala desa dengan mengajukan balik nama menjadi atas nama Sultan. Hal ini menurut Kus me
28 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
rupakan cara Sultan agar tak terlihat me rampas tanah kas desa. “Desa melakukan penyerahan, tak ada perampasan. Dan tanah yang di-TKD-kan itu sama saja di-SG-kan,” ujar Kus. Selain itu, Kus mengkhawatirkan, korban penggusuran yang akan direlo kasi ke tanah kas desa. Hal itu karena sama saja mereka harus membayar sewa tanah. “Asalkan patokannya tanah kas desa tanah pengarem-arem itu sudah pasti SG,” ujar Kus. Oleh karena itu, Kus sangat berha ti-hati mengadvokasi diskriminasi rasial dalam pertanahan Yogyakarta. “Etnis Tionghoa DIY terutama yang kelas me nengah itu kan sudah punya tanah di mana-mana, mereka juga menguasai sektor ekonomi, kalau sampai tidak ada pembatasan atas tanah itu juga bahaya,” ujarnya. Menurut Kus, diskriminasi yang menimpa etnis Tionghoa diganti pember lakuan pembatasan penguasaan tanah berdasarkan kelas. Di tengah bermunculannya konflik agraria, Arif mengatakan, peran negara justru tidak hadir. “Kalau saja negara mengatakan UUPA berlaku sepenuhnya, UUK tidak akan menjadi lex specialis,” ujarnya. Ia menambahkan, kalaupun keistimewaan bertujuan untuk meles tarikan budaya, masyarakat tetap akan menghormati, selama prosedur yang digunakannya jelas.[] Laporan oleh Rimba dan Vathir
DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA
Memelihara Ketakutan Oleh Geger Riyanto (Peneliti sosiologi, bergiat di Koperasi Riset Purusha) DOK. ISTIMEWA
S
aya paham betapa mengerikan nya penguasaan tanah satu ne geri oleh segelintir orang. Saya paham, tak ada pikiran waras yang dengan sendirinya dapat membe narkan angka dari Badan Pertanahan Nasional. 56 persen properti, tanah, dan perkebunan di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk. Akan tetapi, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang risau war ganya kehilangan hak mereka atas la han, seyogianya pun paham. Apa yang sejatinya mengancam para warga bukan lah komunitas etnis tertentu. Apa yang riskan memelaratkan bukan hanya warga Yogyakarta melainkan juga 99,8 persen penduduk Indonesia adalah keringkihan sistem yang membuka keleluasaan bagi modal-modal besar menyerobot sumber penghidupan hidup warga setempat. Tanah, dengan harganya yang kian menjulang, kian rentan menjadi obyek spekulasi. Belum lagi, dengan hargaharga kom od it as perk eb una n yang menggila beberapa puluh tahun terakhir, industri-industri besar merambahkan tangannya untuk memperoleh tanah hingga ke pelosok-pelosok yang belum terjamah sebelumnya. Namun, pengatur an terhadap pemilikan lahan sekalipun, belum b anyakdaerah di Indonesia yang mempunyainya. Kendati demikian, bagi pemerintah daerah yang benar-benar hirau dengan kemaslahatan warganya. Ini artinya di depan mata mereka tersedia sebentang ruang yang sangat luas untuk berkreasi. Mereka dapat memulai dengan, misal nya, berpikir dua kali perihal investasi yang dalam praktiknya belum tentu men jamin kemaslahatan warganya. Mereka dapat mulai dengan merenungkan bahwa angka pertumbuhan ekonomi tak secara magis mengisyaratkan daerahnya men jadi lebih baik. Ia juga punya serenteng efek samping yang perlu diperhitungkan matang-matang.
Intinya, ada pusparagam cara terse dia untuk menghadang agar ketimpangan kepemilikan lahan yang mencekik tidak berlarut-larut. Dan, intinya lagi, peme rintah semestinya membela warganya dari kemelaratan. Apa yang terjadi, pada kenyataan nya, menunjukkan, pemerintah belum bisa melangkah sejauh itu. Entah karena logika kekuasaan berbeda dengan logi ka keberpihakan riil kepada warganya. Entah karena pertimbangan-pertimbang an lain yang saat ini tak kasat mata bagi kita. Mereka tahu, mereka setidaknya harus tampak membela warganya dari kemelaratan. Namun, hal tersebut dila kukannya dengan membela warganya dari warganya yang lain. Warga yang di imajinasikan secara berlebihan memiliki rencana jahat memelaratkan kelompokkelompok yang lebih lemah. Permasalahannya, tidak ada yang bisa dibenarkan dari kenyataan 71 tahun selepas Indonesia merdeka dan menan daskan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai dasar nega ranya. Satu komunitas yang lahir, beker ja, dan tidak pernah mempunyai rumah selain di Indonesia tak bisa mempunyai tanah sebagaimana warga Indonesia la innya. Dan perkara kepemilikan tanah bahkan baru satu persoalan. Dalam atur an tersebut, mereka harus menanggung panggilan nonpribumi. Kita seyogianya ingat, betapa menyakitkannya predikat ini. Predikat ini, dalam sejarahnya, se lalu mencuat untuk menegaskan bahwa mereka tak sama dan tak layak untuk disamakan dengan orang Indonesia lain nya. Bahwa mereka, seakan warga asing yang menumpang. Bahwa mereka dapat sewaktu-waktu menjadi kambing hitam dari kemalangan warga lain yang tidak ada hubungannya. Hal yang, memang, puncaknya terjadi pada momen-momen tertentu seperti 1998 tetapi mereka ra sakan sewaktu-waktu.
Dan kalau kita pernah memperoleh kesaksian apa yang terjadi pada komu nitas ini di tahun 1998. Ia adalah satu predikat yang dipekikkan kepada mereka seiring rumah dan toko mereka dibakar serta anggota keluarganya diancam, di perkosa, atau dibunuh. Apa yang diharapkan satu peme rintahan, lantas, dengan memperta hankan predikat ini pada satu komuni tas warganya dan secara samar-samar mengambinghitamkan mereka sebagai ancaman terhadap kemaslahatan war ganya? Satu hal yang harus kita pahami dari pretensi heroik semacam ini adalah, betapapun ia berfaedah bagi pencitraan pihak yang melansirnya, kita tak banyak menemukan tindakan lain yang lebih nista dibanding merogoh keuntungan dari mengorek-ngorek trauma pihak lain semacam ini. Men yed ihk ann ya, kita bisa me mahami mengapa segelintir pihak tak mau beranjak dari pengambinghitaman komunitas ini. Ia merupakan retorika yang terjamin ampuh untuk menyedot perhatian massa dan memobilisasi me reka. Ia merupakan manuver yang paling gampang ditempuh untuk mengalihkan warga kebanyakan dari kenestapaan nyata yang terlalu ruwet untuk dijelas kan. Di masa silam, hal itulah yang terja di. Di masa kini, itulah yang juga terjadi. Saya percaya, kita memiliki pemerin tah yang lebih cerdas untuk berpikir me lampaui pelabelan serba menyederhana kan dan tak bertanggung jawab. Namun, kita tak selalu bisa percaya mereka mem punyai niat untuk menempuh langkahlangkah konkret yang merepotkan dan panjang untuk menjamin kepemilikan atau akses lahan setiap warganya. Pada hal, tempat yang pantas bagi kebijakan yang demikian diskriminatif hanyalah dalam lembaran sejarah. Bergeming aba di bersama dengan kebijakan-kebijakan semacam dari pemerintah kolonial di masa silam.[]
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 29
profil
KIBTI | EKSPRESI
Berfilsafat dengan Matematika “Sebenar-benar filsafat itu di atas ilmu pengetahuan dan matematika, menuju spiritualisasi.” Oleh Devi Ellok Widaningsih
B
agi seorang dosen Fakultas Ma wtematika dan Ilmu Pengeta huan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta, kesukaannya ter hadap matematika dilatarbelakangi rasa ingin tahunya yang tinggi. Ialah Marsigit, dosen pengampu mata kuliah Filsafat Matematika di FMIPA. Kemampuannya dalam bidang matematika bukan mun cul begitu saja. Sejak kecil ia memang menyukai matematika. Dulu, ketika menjadi siswa, Marsigit bukan anak yang memiliki rasa perca ya diri dengan kemampuannya. Hingga akhirnya rasa percaya diri itu muncul ketika ia duduk di bangku sekolah mene ngah atas. Ia ingin menulis jawaban pada soal matematika di papan tulis. “Ketika itu, seorang guru harus mengambilkan kursi untuk saya agar bisa menulis di pa pan tulis.” Hatinya tersentil oleh momen itu. “Saya harus PD,” tutur doktor filsafat matematika ini, tersenyum. Marsigit lan tas menjadi siswa yang aktif. Keaktifan nya berlanjut ke masa kuliah. Hasilnya ia menjadi lulusan terbaik. Marsigit tak pernah menyangka menjadi dosen seperti sekarang. Awalnya ketika masih mahasiswa S1 ia menjadi seorang asisten dosen. “Saya jadi dosen itu kebetulan, ketika menjadi asisten Raden Hartono saya disuruh mengisi blangko dosen,” kenangnya.
Sep ul uh tahun menj ad i dos en, Marsigit merasa mengalami krisis spi ritual. “Pada saat itu hati saya membu tuhkan spiritualitas. Istri saya memiliki dua orang anak membutuhkan spiritua litas juga,” ujarnya. Menurutnya, bidang matematika yang digelutinya terpisah dengan spiritualisme. Sejak kecil ia me rasa kurang mendapatkan ilmu agama. Sampai ia meminta izin kepada istrinya untuk pergi ke Pondok Gontor di daerah Ponorogo. Ia berniat meninggalkan bi dang yang sedang digeluti, tetapi istrinya tidak mengizinkan. “Dalam hati, saya harus mencari cara lain untuk menda patkan spiritualisme. Saya berusaha keras bagaimana menemukannya dari matematika.” Saat S2 di Inggris, Marsigit berte mu dengan seorang dosen senior yang bertanya mengenai kehidupan setelah kematian. Dengan polosnya ia menjawab sesuai dengan keyakinannya. Namun, ia merasa dosen tersebut tidak tertarik dengan jawabannya dan ia merasa ma lu sendiri. Ia bertanya-tanya tentang sikap dosennya itu. Sampai kemudian, ia menyimpulkan bahwa dirinya kurang komunikatif. ”Dari situlah saya terdorong untuk belajar filsafat. Selain itu, pada saat S2 ju ga ada mata kuliah Filsafat Pendidikan,” tandas Marsigit. Menurutnya, dengan
30 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
belajar filsafat itulah ia memperoleh spiritualisme dalam matematika yang dicarinya. Selesai S2, ia mulai menga jar sebagai dosen Filsafat Matematika di UNY.
Matematika dalam Filsafat
Menurut Marsigit, dari sisi olah pi kir, matematika dan filsafat itu sama. Bedanya, filsafat peduli terhadap ruang dan waktu, sedang matematika tidak. Misalnya matematika murni, matema tika formal, serta matematika orang dewasa. Kebanyakan orang memaha mi bahwa matematika itu hanya satu, seperti dipelajari di sekolah. Padahal, kata Marsigit, sebenarnya matematika itu beraneka ragam. Anak kecil mempu nyai matematika sekolah yang berbeda definisi dengan matematika murni atau matematika orang dewasa di tingkat uni versitas. “Matematika murni atau matema tika orang dewasa yang biasanya dipe lajari oleh sivitas akademik berdefin isi sebagai ilmu,” kata Marsigit. “Sedang matematika anak kecil tidak berkaitan dengan ilmu tetapi lebih pada aktivitas atau kegiatan,“ lanjutnya. Bagi anak kecil, semua pengetahuan bukanlah ilmu me lainkan aktivitas atau kegiatan sosial. Marsigit menilai, di dalam suatu kelas, anak kecil belumlah belajar matematika
profil Nama Pengalaman Prof. Dr. Marsigit, M.A. • Menghasilkan Karya Ilmiah di IST Internasional Forum on Basic Education Development In South and Southeast Asian Contries 18 November 2002 University Tempat dan Tangal Lahir Hali, University of Tsukuba, Japan dengan Judul “Mathematics Program For Kebumen, 19 Juli 1957 International Coorporation In Indonesia”. Alamat Plosokuning II, RT 10 RW 04, Minomartani, Ngaglik, Sleman • Mendapat penghargaan Sartyalancna Karya XX Tahun keputusan Presiden RI Nomor : 014/Tk/Tahun 2009. Yogyakarta Email • Menghasilkan karya ilmiah di Transadion of Mathematical Education for College and University dengan judul "The Effort to Increase the Studen’s Motivation in Marsigitina@yahoo.com Mathematics Learning with Some Theaching Aids in Junior High School 5 Wates Pendidikan Kulon Progo Yogyakarta, Indonesia". S1 Pendidikan Matematika FKIE IKIP Yogyakarta1981 S2 Pendidikan Matematika University of London 1996 • Menghasilkan karya ilmiah di Varidika Kajian Penelitian Pendidikan Vol. 15 No. 1Juni 2003 dengan judul “Constructing Mathematics Activity a Group Discussion S3 Filsafat Matematika UGM 2007 of the 6th Grade Student of Primary Schools” SD Gamiranom, Depok Sleman Jabatan di UNY Yogyakarta. Sekretaris Senat di Universitas Negeri Yogyakarta
jika tidak berkegiatan. Defin isinya pun menjadi matematika sebagai kegiatan, bukan ilmu. Berbeda dengan matematika, fil safat, bagi Marsigit, amat peduli terha dap ruang dan waktu. “Dalam filsafat yang dimaksud tempat itu semua yang ada. Misalnya matematika, siswa dan semua tempat yang mungkin ada. Suatu hal yang sedang direncanakan ataupun yang belum dialami,” tegas Marsigit. Itu lah sebabnya matematika diposisikan di dalam filsafat. Bagi Marsigit, filsafat memiliki ba nyak definisi tergantung konteks ruang dan waktunya. Filsafat binatang berbe da dengan filsafat benda. Begitu pun fil safat Marsigit berbeda dengan filsafat orang lain. “Filsafat yang paling benar itu berada di atas ilmu pengetahuan dan matematika, menuju spiritualitas,” terang Marsigit. Spir it ual ism e yang dim aks ud Marsigit itu hidup menyeluruh antara dunia dan akhirat. Baginya, filsafat itu semakin turun menuju dunia semakin jamak dan plural. Filsafat yang semakin ke atas akan semakin tunggal. Dan filsa fat yang menggunakan pikiran batasnya ada di dalam hati, menuju spiritualisme. “Sehebat apapun seorang manu sia tidak akan mampu memikirkan ruh hatinya sendiri,” katanya. Manusia bisa tiba-tiba marah, dongkol, atau mangkel, dan pikiran tidak akan mampu memaha mi semuanya. Itulah sebabnya, lagi-lagi, dibutuhkanlah filsafat yang menuju ke spiritualisme. Menurut Marsigit metode dari ma tematika banyak diadopsi untuk men deskripsikan pemikiran filsafat. Logika
matematika berperan hingga era filsafat kontemporer ketika banyak filsuf mem pelajari logika. “Logika matematika memberi ba nyak inspirasi bagi pemikiran filsuf, seba liknya para filsuf berusaha mengembang kan logika,” ujar Marsigit. Hal tersebut terbukti ketika muncul logika modal yang kemudian dikembangkan oleh matema tikawan. Hal yang berhasil dimanfaatkan untuk pengembangan program komputer dan analisis bahasa. Dalam pembelajaran matematika nya, Marsigit menggabungkan setiap unsur dalam kehidupan. Dimulai dari tingkatan paling bawah material, ke mudian formal, normatif—yang berarti filsafat—dan yang paling tinggi spiritual. Itulah mengapa filsafat yang digabung kan dengan spiritual akan mengarah kan pengetahuan ke arah yang tepat dan menjadi bermanfaat. Menurut Marsigit, di situlah mun cul peran filsafat yang akan memberikan arah yang tepat serta membantu siswa menyelesaikan permasalahan dalam matematika. Matematika yang berada di dalam filsafat juga berperan untuk memahami bagaimana proses pembe lajaran, kurikulum, pengembangan serta psikologi pendidikan matematika. Marsigit menggunakan metode hi dup silaturahmi dalam pengajaran fil safat matematika. Metode hidup yang dim aks ud Marsigit men erj em ahk an hal kodrati dengan cara melihat gejala alam.“Tidak terkecuali tumbuhan yang saya tutupi cahayanya, ia akan mencari jalan untuk mendapatkan cahaya. Itulah penerjemahan. Demikian pula terjadi pada manusia,” jelas Marsigit.
Konsep pembelajaran dosen FMIPA pengagum tokoh-tokoh pewayangan ini ialah dengan membangun, bukan sekadar menghafal. Konsep membangunnya ialah tentang belajar apapun dan di manapun. Oleh karena itu, menurut Marsigit, se orang dosen harus memfasilitasi maha siswa supaya bisa menerapkan konsep membangun tersebut. Banyak cara dan alat yang dilaku kan Marsigit untuk menerapkan konsep membangun. Mulai dari yang paling se derhana, seperti diskusi. Marsigit sangat senang jika mahasiswanya mengajak ber diskusi. Tak jarang mahasiswa datang ke rumahnya hanya untuk berdiskusi. Selain diskusi, ia juga memanfaatkan blog, kuliah daring, serta perkuliahan dengan tatap muka untuk menerapkan konsep membangunnya. Marsigit me miliki blog yang berisi banyak tulisan untuk dibaca oleh mahasiswanya. Di da lam konsep membangun itu, ia menggu nakan prinsip “baca dan kerjakanlah”. “Seseorang tidak akan mampu berfilsafat kalau dia tidak mampu membaca kare na sebenar-benar filsafat adalah dirimu sendiri,” ujarnya. Marsigit selalu menugaskan maha siswanya untuk membaca blognya yang telah berisi sekitar 600 lebih tulisannya. Mahasiswa yang membaca tulisannya harus membuat komentar, yang nantinya masuk ke surel Marsigit. “Sehingga saya bisa menghitung setiap hari, pekan, atau bulan, berapa banyak mereka membaca dan bagaimana bacaannya, berkualitas atau tidak bisa dilihat dari komentarnya,” katanya dengan puas.[]
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 31
almamater
ADE | EKSPRESI
Penggunaan Laboratorium Musik dan Tari Fakultas Bahasa dan Seni dinilai IDB bertentangan dengan syariat Islam.
Hibah Dana IDB Bersyarat
Dalam menghibahkan dananya, IDB tidak sekadar memberi, tapi terdapat beberapa syarat yang harus dipatuhi oleh UNY. Oleh Ervina Nur Fauzia
S
ejak 2006, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengajukan perm oh ona n dana hibah pada lemb ag a k eu anga n Islamic Development Bank (IDB). IDB merupakan salah satu lembaga yang menaruh perhatian lebih pada hibah dana untuk pendidikan. Slamet Widodo selaku Direktur Eksekutif Project Implementation Unit (PIU) IDB UNY mengatakan, total dana proyek yang d iter im a oleh UNY sebesar 34 juta dolar AS. Rinciannya, 25 juta dolar AS berasal dari IDB, sedangkan 9 juta dolar AS merupakan dana pendampingan dari pemerintah. Pada Juli tahun 2013 dana hibah yang dis et uj ui sen il ai Rp442 miliar ditandai dengan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah dan IDB. Menurut MoU terseb ut, pada Oktober 2013 seharusnya UNY sudah menyelesaikan tahap perencanaan bangunan dan pe lelangan kontraktor. Namun, Slamet menjelaskan bahwa sampai Oktober 2016, prosesnya masih dalam pelelang an kontraktor. “Gedung UNY ini seka rang sedang proses lelang kontraktor, tapi sudah selesai tahap perencanaan,”
jelas Slamet, Sabtu (20/7). Pembangunan gedung yang berasal dari dana hibah IDB direncanakan dimu lai pada November 2016 secara bersama an dan sudah harus selesai pada tahun 2017. Namun, ada beberapa masalah se perti AMDAL yang terlambat. Selain itu, IDB tidak mau mengakui Laboratorium Musik dan Tari yang berada di Fakultas Bahasa dan Seni sebagai proyek dana hibah mereka. IDB menilai pengguna an gedung tersebut tidak sesuai syariat Islam. Akhirnya gedung tersebut yang seharusnya didanai oleh IDB dialihkan pada dana APBN pemerintah. Ditukar dengan salah satu gedung di teknik sipil Fakultas Teknik yang sebelumnya dida nai oleh APBN. “Abdi Abdullahi, per wakilan IDB dari Jeddah, Saudi Arabia yang datang ke Indonesia untuk mela kukan monitoring. Ia menilai Music and Dance Lab (Laboratorium Musik dan Tari) apabila dilihat dari sudut Timur Tengah, gedung tersebut cenderung diko notasikan sebagai tari perut dan terlihat seperti orang yang bersenang-senang,” jelas Slamet. Total terdapat 14 proyek pemba ngunan gedung hasil dana hibah. Satu gedung dari dana hibah pemerintah
32 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
dan 13 lainnya IDB. Gedung yang di bangun diantaranya adalah perpusta kaan pusat, Laboraturium Matematika dan Kimia, Health and Sport Center, Training Center, Laboraturium Mesin dan Otomotif. Tidak hanya biaya untuk membangun gedung, IDB juga mendanai dalam pengadaan alat atau infrastruktur untuk masing-masing gedung. Dana itu akan didapatkan pada enam bulan ter akhir dari target selesai pembangunan gedung. Keputus an UNY dalam memil ih lembaga untuk mendanai pembangunan tentu bukan tanpa alasan. Slamet menga takan, ada kelebihan yang diterima oleh UNY saat mendapatkan dana hibah dari IDB. Pasalnya, IDB diakui dan dinilai lebih Islamis oleh UNY. “Saya sebagai muslim melihat ini lembaga yang Islamis. Kalau utang ya pilih utang yang jelas se cara hukum agama. IDB tidak menghi tung besaran pinjaman dari perjanjian utang ketika bangunannya sudah jadi. Kalau yang lain semenjak tanda tangan kontrak sudah dihitung besaran pinja mannya,” tuturnya.
Aliran dana IDB
IDB memang bukan lembaga yang
almamater
dapat memberi dana secara cuma-cuma. Hal itu dapat dilihat dari data laporan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Triwulan II 2014. Bappenas merinci laporan peminjaman serta hibah luar negeri terhadap kemen terian atau lembaga di Indonesia. Dalam laporannya, dana hibah bersumber dari dua lembaga negara yaitu Lembaga PBB (United Nations Development Programme atau UNDP) dan Pemerintah Amerika Serikat (Millenium Challenge Corporation atau MCC). Dalam laporan Bappenas pula, IDB diketahui menjadi sumber pinjaman kreditor multilateral yang anggotanya dari beberapa negara. Lap ora n Bappenas Triwulan II 2014 menyatakan, “Sumber pinjaman Kreditor Multilateral merupakan lem baga keuangan internasional yang be ranggotakan beberapa negara, seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB), International Fund for Agricultural Development (IFAD), dan Suadi Fund. Sumber pinjaman kreditor bilateral me rupakan pemerintah negara asing atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah negara asing atau lembaga yang bertin dak untuk pemerintah negara asing, se perti Japan Bank for International Coorperation (JICA), Australia, Jerman, Korea, Prancis, AFD, RR Tiongkok, dan Spanyol.” Sistem pencairan dana antara kontraktor dan UNY bergantung pada perjanjian kontrak. “Itu tergantung dari
DOK. EKSPRESI
perjanjian kontraknya. Jadi kerja dulu, lalu misalnya dapat 10 persen kami tinjau apakah sudah layak atau belum peker jaannya,” kata Slamet. Ketika sudah layak, IDB akan mengus ulkan pada Kemenristek Dikti. Usulan itu kemu dian dimasukkan ke perwakilan IDB di Jakarta. “Kalau sudah layak lalu dinaik kan ke Jeddah untuk persetujuan, baru dilakukan pencairan dana dan dana yang didapat akan dibayarkan,” lanjutnya. Selain itu, untuk pengelolaan dana hibah IDB, Slamet mengatakan, UNY tidak mengelola sendiri melainkan ada pengelolanya. UNY tergabung dalam 7 universitas yang didanai oleh IDB. “Me kanismenya seperti APBN, jadi kami me ngusulkan jumlah dana yang dibutuhkan ke Kemenristekdikti dan ada pembaha san di sana, melihat kegiatannya apa dan kewajaran harga kemudian muncul DIPA yang baru dibelanjakan,” katanya.
Syarat Hibah IDB
Dalam pelaksanaannya, IDB tidak memberikan dana cuma-cuma pada UNY. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya ketentuan dalam menerima jumlah mahasiswa baru yang boleh diterima oleh UNY. “Ada syaratnya, jadi kita seolah-olah punya kontrak. Misalnya ke tika IDB memberikan dana hibahnya, berapa jumlah Slamet Widodo selaku Direktur Eksekutif Project Implementation Unit (PIU) IDB UNY ketika ditemui di kantornya.
mahasiswa yang harus diterima oleh UNY itu sudah diatur. Jurnal internasional UNY juga harus ada peningkatan dalam publikasinya. Lainnya yakni kualitas dosen,” tutur Slamet. Selain kuota mahasiswa baru, IDB juga memberi syarat untuk dosen. IDB mengharuskan dosen untuk lebih berku alitas. Oleh karena itu, IDB juga menya lurkan dananya untuk penelitian dosen, tidak hanya gedung. Nuning Catur Sri Wilujeng, dosen dari Fakultas Bahasa dan seni (FBS), merupakan salah satu yang mendapat dana dari IDB untuk mem buat pengajaran modul di E-Learning. Akan tetapi, Nuning mengatakan, IDB hanya mendanai proyek pembe lajaran E-Learning. Sementara untuk kelanjutan penelitiannya, Nuning akan meminta dana dari UNY. “Jadi itu ma teri pembelajaran mahasiswa semester genap dan diaplikasikan pada mahasiswa semester genap pula. Setelahnya, peneli tian itu akan didanai oleh UNY sendiri,” jelasnya. Dana yang diberikan oleh IDB untuk proyek ini sebanyak Rp25 juta dan dosen harus cukup dengan dana tersebut. Seperti dituturkan Nuning, “Ada dana segitu ya harus dipakai. Jika dalam pene litian ternyata dananya kurang, ya harus tombok (menambah uang karena belum cukup).” Berbeda dengan Nuning, Handaru Jati, dosen dari Fakultas Teknik, me ngatakan, ia mendapat dana sebesar Rp50 juta untuk penelitian Analisis Efisiensif dan Produktivitas LPTK dan PTN di Indonesia. Handaru mengata kan, dana yang diberikan kepadanya habis untuk pengambilan data di PTN seluruh Indonesia guna memenuhi data penelitiannya. Menurut Handaru, UNY memang perlu dana untuk penelitian dari IDB, “Ya, kita perlu dana untuk peneli tian,” tuturnya. Sementara itu, Slamet mengata kan, meskipun IDB memberikan dana yang meliputi hard component seperti pembangunan gedung dan infrastruk tur, serta soft component seperti pela tihan. Namun, dalam pelaksanaannya, dibandingkan dengan mendanai pene litian, IDB lebih mengutamakan untuk membangun sebuah gedung. “IDB itu lebih suka pembangunan fisik karena dia mencari eksistensi. Jadi gedung kita yang dibangun itu berada di luar semua, agar terlihat dari jalan,” tutur Slamet.[] Laporan oleh Arfrian, Triyo, Ahmad
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 33
almamater
Tiga Belas Gedung Dibangun, RTH Berkurang UNY yang memperoleh hibah Islamic Development Bank akan membangun tiga belas gedung. Dampak terhadap lingkungan perlu dikaji. Oleh Arfrian Rahmanta
P
se l a k u Direktur Eksekutif Project Implementation Unit (PIU) IDB UNY, menjelaskan proses pembangunan tiga belas gedung baru yang merupakan proyek IDB UNY dan bagian dari proyek 7 in 1 IDB telah dirancang sejak tahun 2010. Proyek 7 in 1 IDB merupakan kerja sama antara IDB dan UNY serta enam kampus lainnya di Indonesia. Bentuk dari kerja sama IDB dengan UNY ber sifat fisik maupun nonfis ik. Ketiga belas bangunan gedung yang dibiayai dengan sumber dana IDB se besar 34 juta dolar AS, di antaranya Laboratorium Ekonomi dan Bisnis di Fakultas Ekonomi, Laboratorium
34 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
Terpadu Ilmu Sosial di Fakultas Ilmu Sosial, Laboratorium Terpadu Matematika dan IPA di Fakultas Matematika dan IPA (FMIPA), dan lainnya. Sebelumnya, pada tahun 2014 telah diselesaikan pembangunan satu unit gedung Laboratorium Musik dan Tari di FBS. Gedung itu dibiayai oleh dana rupiah murni pendamping dan telah dilengkapi pula dengan prasara na pada 2015. Di lain pihak, pembangunan besarbesaran dari dana hibah IDB tersebut, menurut Edi, dapat meningkatkan pres tasi mahasiswa UNY. Sebab, keempat belas gedung tersebut akan dipakai seba
ARFRIAN | EKSPRESI
embangunan serentak tiga belas gedung baru dari dana hibah Islamic Development Bank (IDB) akan segera dilaksana kan. Pembangunan secara besar-besaran itu berdampak pada berkurangnya ruang terbuka hijau di UNY kampus pusat. Me ngenai hal tersebut, ditemui di kantor nya, Selasa (2/8), Edi Purwanta selaku Wakil Rektor II berujar, “RTH nantinya memang akan berkurang, tapi kami akan menyiasati agar RTH tetap ada.” D a l a m D o k u m e n E v a l u a s i Lingkungan Hidup (DELH) yang telah disusun oleh pihak UNY per 29 Agustus 2016, tertulis bahwa RTH di UNY kampus pusat berjumlah 65,44 persen dari luas lahan sekitar 416.406 m². Artinya, RTH di UNY kampus pusat masih di atas ratarata dari persyaratan yang ditentukan oleh peraturan. “Di lihat dari DELH, RTH UNY sudah melebihi 30 persen. Akan tetapi dengan pembangunan baru, kita juga belum tahu,” ucap Isti Kurniati selaku Kepala Sub Bidang Pelayaan dan Kajian Lingkungan BLH Sleman. Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, RTH adalah area memanjang dan/atau mengelom pok. Penggunaan RTH lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. UU tersebut juga mensyaratkan, ruang terbuka hijau harus ada paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Dari 30 persen, 20 persen merupakan ruang terbuka hijau publik dan 10 persen ruang terbuka hijau privat. Hastuti, Ketua Jurusan Pendidikan Geografi UNY berpendapat, berkurang atau tidaknya RTH harus dihitung secara kuantitatif. Begitu pula secara kualita tif, bagaimana sebaran pohon peneduh, fungsi pohon peneduh, dan penghijauan. Seb el umn ya, Slamet Widodo
Lampiran siteplan UNY pada Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH).
almamater
Selasa (17/11), Gedung baru Pasca Sarjana UNY yang sedang dalam pengerjaan.
ADE | EKSPRESI
gai laboratorium dan perpustakaan. Edi menegaskan perlunya laboratorium bagi mahasiswa untuk bereksperimen sebe lum terjun ke masyarakat. “Empat tahun kepemimpinan saya akan banyak pem bangunan infrastruktur. Pembangunan sebanyak 14 gedung dan ke depannya, kami berencana akan membangun pula laboratorium untuk adanya UNY TV dan UNY Radio,“ ucapnya.
Agar RTH Tetap Ada
Menyiasati RTH di UNY yang ber kurang, menurut Edi, bisa dilakukan dengan pembangunan gedung secara vertikal. Berlantai lebih dari empat, parkiran bawah tanah, dan menanam tanaman di sela-sela bangunan. “Setelah pembangunan dari IDB ini, kami akan lebih mengedepankan pembangunan se cara vertikal dan tentu saja menjaga agar udara tetap sejuk,” ucapnya. Cara mempertahankan RTH dengan pembangunan vertikal dan parkiran bawah tanah juga diungkapkan oleh Hastuti. Ia berpendapat bahwa dengan sempitnya lahan, harusnya UNY sudah tidak bisa lagi membangun gedung se cara horizontal. Hastuti berpandangan bahwa konsep pembangunan gedung dengan adanya parkiran bawah tanah untuk menambah kantong-kantong parkir di UNY. Luas lahan parkir menurut Hastuti kurang sesuai dengan jumlahnya kendaraan bermotor yang ada di UNY. Hal itu berdampak pada semakin berkurang nya jalur-jalur masuk UNY yang seha rusnya digunakan pejalan kaki. “Lihat saja jalan di antara Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Sosial yang diguna
kan sebagai jalan raya dan lahan parkir itu, jelas mengganggu,” tutur Hastuti. Dari Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) UNY, diketahui diperlu kan luas lahan sekitar 47.864,5 m² untuk menampung semua unit kendaraan ber motor. Jumlah kendaraan bermotor sebanyak 23.485 unit dengan rincian 22.336 unit sepeda motor dan 1.149 unit mobil setiap harinya terparkir di UNY. Di lain pihak, menurut Isti, kampus masih bisa menyiasati RTH tetap ada. Caranya dengan pemasangan grass block di sela-sela paving block pada tiap-tiap kantong parkir. “Nah, RTH itu bukan diasumsikan harus taman, tapi bagai mana kantong parkir masih dikelilingi oleh pohon-pohon peneduh,” ucap Isti ketika ditemui di kantornya pada Kamis, (10/11).
Belum Selesainya AMDAL UNY
Pelaksanaan pekerjaan konstruksi ketiga belas gedung pada rencana awal dip erh it ungk an akan dapat dim ul ai pada bulan Oktober 2016. Namun, hal ini terhambat dalam tahap pembuatan Analisis Dampak mengenai Lingkungan (AMDAL). “AMDAL sudah dikerjakan sesuai prosedur tapi terhambat di BLH,” kata Slamet ketika ditemui di kantornya, Rabu (20/7). Isti juga memb en ark an per ih al AMDAL UNY yang belum selesai dan belum diterimanya. Perihal penyebab, ia belum mengetahuinya secara detail. Dalam prosesnya untuk kegiatan pemba ngunan selanjutnya, UNY harus mempu nyai DELH terlebih dahulu sebelum me nerbitkan AMDAL. DELH UNY sendiri telah dikoreksi dan disahkan oleh Kepala
BLH Sleman. “Mengurus AMDAL sudah cukup lama, UNY baru wajib AMDAL setelah menyelesaikan DELH terlebih dahulu,” jelasnya. Menurut Isti, AMDAL UNY dipro ses oleh BLH Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebab, BLH Sleman belum memp un yai pakar lingk unga n yang berlisensi dalam penyusunan AMDAL. “Dalam prosesnya, setelah UNY sele sai menyusun AMDAL harus dilapor kan pada BLH Sleman. Lalu Kepala BLH Sleman akan mengeluarkan Surat Kelayakan Lingkungan,” ucapnya. Dalam dokumen AMDAL inilah, menurut Sugeng Riyanta selaku Kepala Bidang Pengendalian Lingkungan Hidup BLH, akan ada perhitungan koefisien dasar bangunan (KDB) yang menyata kan berapa luas lahan yang boleh diba ngun. Selain itu, dihitung pula berapa luas lahan untuk area resapan air atau RTH. “Misalnya, UNY memiliki lahan 100 m² dengan KDB 70 persen, artinya UNY hanya boleh membangun rumah seluas 70 persen dari 100m² itu,” jelas Sugeng memberi contoh kasus.
Pentingnya Ruang Terbuka Hijau
Di samping RTH berguna sebagai resapan air ketika hujan dan lumbung air ketika musim kemarau. Sugeng ber pendapat, terdapat manfaat sosial serta kepentingan pemerintah, seperti kebera daan RTH yang termasuk unsur penilaian Adipura. “Hutan kota milik Universitas Gadjah Mada kami tunjuk buat penilaian Adipura,” ucapnya. Sementara itu, Hastuti berharap lokasi-lokasi yang sebelumnya telah dimanfaatkan sebagai RTH bisa terus dipertahankan. Seperti beberapa jalan atau wilayah yang sebelumnya telah di beri nama jenis tanaman tertentu mau pun lingkungan di masing-masing blok. Dengan banyaknya pembangun an yang akan dilaksanakan, Hastuti mengingatkan agar tak sembarangan menebang pohon-pohon rindang yang berfungsi sebagai peneduh. “Harusnya tebang pilih. Bila memang harus dite bang, ya diimbangi dengan penanaman pohon baru,” keluhnya ketika ditemui di Gedung G.04 FIS UNY pada Jumat (4/11).[] Laporan oleh Vina
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 35
kolom
Wajah Buram Layar Kaca Oleh Wisnu Prasetya Peneliti Media Remotivi DOK. ISTIMEWA
T
ahun 2016 mestinya menjadi momen penting dalam dunia penyiaran di Indonesia. Selain pergantian komi sioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), ada proses perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Izin yang diperbarui selama sepuluh tahun sekali ini mesti dimiliki oleh stasiun televisi karena mereka menyiarkan meng gunakan frekuensi publik. Artinya, proses perpanjangan IPP ini akan menentukan seperti apa wajah layar kaca di Indonesia selama sepuluh tahun ke depan. Dalam proses perpanjangan IPP, stasiun televisi harus mendapatkan rekomendasi kelayakan dari KPI sebagai regu lator penyiaran. Pada titik ini, peran KPI dalam memberikan rekomendasi menjadi begitu penting. Khususnya dalam mela kukan proses evaluasi terkait performa stasiun televisi selama sepuluh tahun belakangan. Performa itu tidak terbatas pada isi siaran televisi. Ia juga mencakup infrastruktur penyiaran stasiun televisi, juga seja uh apa ketaatan mereka dalam menjalankan Sistem Siaran Jaringan. Proses perpanjangan IPP bisa dikatakan dimulai dengan cukup progresif. KPI membuka proses ini pada akhir 2015 lalu dengan melakukan uji publik. Masyarakat diberi kesempatan untuk menyampaikan kritiknya. Proses uji publik menarik karena artinya publik diberikan ruang. Ironisnya, pada bagian yang cukup penting dalam proses uji publik, yaitu Evaluasi Dengar Pendapat (EDP), kita segera bisa menilai bahwa proses perpanjangan IPP tidak lebih dari basa-basi dan formalitas belaka. Banyak kritik yang bisa diaju kan. Hal yang paling mendasar, dalam EDP, yang mengundang setiap stasiun televisi, KPI tidak memberikan evaluasi yang me nyeluruh mengenai ketaatan stasiun televisi terhadap regulasi. Tidak adanya data dan evaluasi tentu menjadikan tidak adanya ukuran yang jelas dalam menentukan apakah perfor ma sebuah stasiun televisi baik atau buruk. Bagaimana bisa memberikan evaluasi jika tidak ada kriteria atau standar yang jelas? Ketika Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran menanya kan mengapa tidak ada data evaluasi sepuluh tahun tersebut, KPI mengaku belum selesai mengumpulkan datanya. Hal yang sungguh aneh mengingat proses perpanjangan IPP ini mesti nya bisa dipersiapkan jauh-jauh hari. Ironi selanjutnya, hasil uji publik yang sempat dibuat oleh KPI sebelumnya ternyata hanya menjadi statistik belaka. Tidak ada proses dialog mendalam mengenai berbagai kritik dan ma sukan dari masyarakat. Padahal, sebagai warga negara, masya rakat berhak untuk didengarkan aspirasinya. Apalagi hampir 95 % masyarakat Indonesia menyaksikan televisi (Nielsen, 2016). Menurut saya, hal ini menunjukkan bahwa suara publik hanya diperlukan ketika bicara soal rating tayangan, tetapi diabaikan ketika proses penting seperti evaluasi perizinan. Dengan proses yang semrawut, hampir bisa dipastikan bahwa sepuluh stasiun televisi swasta akan diperpanjang izin
36 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
siarnya. Pada titik ini sulit untuk tidak bersikap pesimis bahwa wajah layar kaca kita akan buram sebagaimana sepuluh tahun belakangan. Jika kita perhatikan, dekade ini stasiun televisi di Indonesia penuh dengan kepentingan politik pemiliknya. Berbagai ta yangan (kampanye) politik juga tidak berkurang intensitas nya. Justru semakin vulgar dan sama sekali tidak ada sanksi, atau setidaknya teguran, dari KPI sebagai regulator penyiaran. Jumlah tayangan hiburan seperti gosip juga meningkat drastis. Hasil riset Remotivi di tahun 2015 lalu menunjukkan bagaimana peningkatan drastis itu terlihat gamblang. Contoh nya, persentase tayangan gosip RCTI pada tahun 1997 hanya sekitar 2% dari keseluruhan isi siaran. Sementara pada tahun 2014, angka itu meningkat berkali lipat menjadi 16%. Sementara itu, unsur kekerasan dalam sinetron juga se makin banyak. 2014 Remotivi meneliti kandungan kekerasan di beberapa sinetron. Di antaranya dalam sinetron Cakep-Cakep Sakti, di mana per episode rata-rata berlangsung 14 adegan kekerasan fisik dan nonfisik. Fakta ini tentu memberikan pe ngaruh buruk khususnya bagi anak-anak dan remaja. Problem lain dalam siaran televisi bisa kita lihat dalam kebijakan sensor yang serampangan. Misalnya pem-blur-an beberapa tayangan yang sama sekali tidak kontekstual. Ini membuka persoalan baru terkait bagaimana relasi antara KPI, Lembaga Sensor Film, dan internal stasiun televisi. Pangkalnya, beberapa sensor internal atau blur tersebut bukan dilakukan oleh LSF melainkan oleh stasiun televisi yang didasarkan pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI. Ini artinya rambu-rambu pe nyensoran tetap berasal dari aturan KPI. Celakanya, stasiun televisi menerjemahkan rambu-rambu tersebut asal-asalan karena takut mendapat teguran atau sanksi jika tidak mela kukan sensor. Padahal, sensor dan blur yang serampangan hanya akan mereduksi realitas sosial yang kompleks. Deret persoalan televisi itu bisa diperpanjang lagi. Keha diran televisi swasta di Indonesia sejak awal memang diniatkan sebagai sebuah institusi bisnis yang menarik kapital. Ini yang membuat berbagai problem di atas akan terus muncul. Di tengah kewenangan KPI yang terbatas terutama dalam hal perizinan, yang bisa dilakukan pada dasarnya adalah menagih kebera nian komisioner KPI dalam menjalankan mandat publiknya. Dalam isi siaran, KPI mestinya bisa memaksimalkan per angkat hukum yang ada, seperti P3SPS, sebagai bekal untuk menjaga agar isi siaran tetap berpihak pada kepentingan publik. Termasuk memastikan agar konten siaran stasiun televisi tidak partisan, tidak penuh kekerasan, tidak ada diskriminasi terha dap kaum minoritas, dan terutama menjaga frekuensi publik tidak digunakan secara sewenang-wenang oleh stasiun televisi. Pertanyaannya, apakah komisioner KPI yang baru terpilih berani melakukan itu?[]
MENJADI BIDUAN BAGI
para biduan, berkeliling dari kampung ke kampung adalah perjalanan mencari nafkah. Bermodal suara dan penampilan, mereka menghibur penonton dari berbagai usia. Meski dandanan di atas panggung terkesan begitu mewah, tak sedikit di antara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Rupa-rupa nama goyangan dicipta untuk meningkatkan citra seorang biduan. Dengan tubuh meliuk-liuk, goyangan berpadu dengan irama berharap disambut datangnya saweran. Tak jarang, aksi para biduan di atas panggung berujung pada penilaian manasuka: “murahan�. Namun, di balik aksi tersebut, sebenarnya mereka dituntut untuk kerja profesional. Mereka melakukannya tentu demi mendapatkan lembaran kertas rupiah untuk bertahan hidup. Foto dan Teks oleh Ade Luqman Hakim dan Ahmad Wijayanto Tata Letak oleh Ade Luqman Hakim
Pamit untuk Goyang Oleh Ahmad Wijayanto
Walau Terik, A Oleh A
Mari Menyawer Oleh Ahmad Wijayanto
Semangat Menyanyi Oleh Ade Luqman Hakim
Goyangan untuk Penonton Oleh Ade Luqman Hakim
Aku Tetap Goyang Ade Luqman Hakim
Dipanggil Menyanyi Oleh Ade Luqman Hakim
Agar Tetap Cantik Oleh Ade Luqman Hakim
oleh Ade Luqman Hakim
Lagi Ngapain Sih Mbak?
Tim Telusur Triyo Handoko (Koordinator), Khusnul Khitam, Prima Abadi Sulistyo, dan Winna Wijayanti
TERUSIR PROYEK
PLTU SEBAGAI
proyek pertama kerja sama antara pe merintah dan swasta untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap, Kabupaten Batang dirancang menjadi penghasil listrik terbesar se-Asia Tenggara. Tidak tang gung-tanggung, total daya yang diproduksi mencapai 2000 Megawatt. Diprediksi, polusi emisi karbon bisa mencapai 10,8 juta ton per tahun jika PLTU sudah mulai beroperasi. Jumlah tersebut setara dengan total emisi karbon yang dihasilkan Myanmar—sebuah negara—dalam setahun. Kawasan konservasi laut yang semestinya meliputi sepanjang pantai Ujungnegoro hingga Roban pun turut digeser oleh Pemda. Hal ini dilakukan untuk melegalkan mega proyek listrik uap ini. Kepentingan umum menjadi dalih untuk mengusir petani dan nelayan dari sawah dan lautnya. Sudah 4 tahun penolakan warga berhasil mengganggu proyek ini. Selama itu, negara me rugi sampai 9 triliun rupiah per tahunnya. Sayangnya tak sampai menggagalkan, upaya warga hanya mampu menunda proyek ini berjalan. Kini pagar seng sudah menutup akses petani dari sawah nya. Di laut, kapal-kapal besar pengangkut batu tak segan-segan untuk menabrak kapal kecil nelayan jika masih berseliweran. FOTO OLEH KHUSNUL | EKSPRESI
TELUSUR
Laut Panas Nelayan Roban
Aktivitas melaut warga terusik. Berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang dinilai bakal merugikan mata pencaharian nelayan.
Oleh Winna Wijayanti
S
ekira lima belas meter jarak rumah itu dari galangan kapal. Sebelah kanan ada setapak kecil menuju Pantai Ujungnegoro yang bisa ditempuh berjalan kaki selama lima menit. Seberangnya lagi berdiri kamar mandi sekitar empat meter berdampingan dengan jembatan bambu yang menjadi penghubung ke tempat singgah perahu ne layan. Pada 21 Juni 2016, tampak lima belas perahu bersandar di sebelah timur. Rumah yang didominasi warna hijau muda, dan dilengkapi biru pada bagian jendela, menyita perha tian tepat di bagian atasnya. Terlekat kertas HVS A4 bertuliskan: “Tolak PLTU Harga Mati!”. Zaini, be gitu dia akrab disapa, sering kali menggunakan ru mahnya sebagai tempat musyawarah bersama warga nelayan. Terutama semenjak persoalan PLTU ber gaung tahun 2011 hingga 2016. “Saya dan beberapa orang sering kumpul dan membahas masalah di sini, kadang juga di rumah Pak Rokiban,” ujar Zaini saat kami jumpai pagi hari di kediamannya. Dalam pertemuan itu mere ka membincang upaya agar PLTU tidak berdiri di Batang. Salah satunya adalah musyawarah terkait masa depan pesisir tempat PLTU berdiri. Berawal dari desas-desus yang menyebar di kalangan nelayan, Zaini bercerita bahwa awalnya warga tak tahu menahu soal PLTU. Diperkirakan pada 2010 isu mengenai pembangunan mulai ter dengar. “Dan yang memberi kabar akan dibangun PLTU adalah Pak Handoko,” terang lelaki yang kini berusia 42 tahun. Handoko Wibowo merupakan seorang peng acara, sekaligus pendiri Omah Tani yang berloka si di Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang. Sebu ah lembaga yang dikelolanya untuk membantu me nyelesaikan kasus-kasus yang terjadi pada petani. Ia dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 2015, yang secara rutin diberikan pada sosok yang telah berjasa dalam penegakan Hak Asasi Ma nusia di Indonesia. Saya menjumpai di kediamannya, yang juga merupakan kantor Omah Tani. Handoko mengaku memang mendapat kabar akan dibangun proyek besar PLTU. “Kalau tidak salah tahun 2010-an saat
46 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
belum ada apa-apa. Saya bilang pada warga nela yan, jangan menggampangkan persoalan ini (pem bangunan, Red.),” ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). *** Kekhawatiran akan masa depan laut, teruta ma terkait mata pencaharian, selalu hinggap dalam benak warga Roban. Seperti dirasakan Sahadi, ne layan pendatang dari Demak. Bersama keluarga ia hijrah ke Roban pada 2014 untuk mencari penda patan yang lebih baik. “Saya sampai cari ikan ke Batang karena di Jepara susah,” terangnya. Jepara adalah salah satu kawasan berdirinya PLTU pada pertengahan 1990, tepatnya berada di Semenanjung Muria. “Di Jepara, nelayan juga mulai takut cari ikan, nanti tersedot bisa mati. Lha wong perahu nelayan itu lho kecil,” ujar Sahadi. Seraya mengacungkan telunjuknya ke atas ia ber ujar lagi, “Kita dijajah Jepang. Dadi nenek moyang Jepang tinggalane ning Indonesia iso seturutturut (Jadi peninggalan nenek moyang Jepang di Indonesia bisa turun-temurun). Di Jepara juga Jepang yang memb an gun. PLTU yang men gu asai Jepang. Podo ora mikir tanah e didol nang Jepang (Pada tidak berpikir kalau tanahnya diju al ke Jepang).” Pertentangan yang menj adi landasan warga Roban menolak pembangunan PLTU dikarena kan kawasan Pantai Ujungnegoro-Roban masuk dalam Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Hal ini sesuai Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.29/ Men/2012. Adapun dalam KKLD terdapat lima poin penting. Pert am a, menj am in kel est ar ia n ekos ist em laut TRIYO | EKSPRESI
TELUSUR
untuk menopang kehidupan masyarakat yang ter gantung pada sumber daya yang ada. Kedua, per lindungan terhadap keanekaragaman hayati laut. Ketiga, pemanfaatan sumber daya laut yang berke lanjutan. Keempat, pengelolaan sumber daya laut dalam skala lokal secara efektif. Kelima, pengatur an aktivitas masyarakat dalam kawasan pengelolaan. Sen ad a dengan pen ut ura n Aliman, nel ay an Roban yang juga aktif berjuang melakukan peno lakan, “Dinas Provinsi sudah beri keputusan untuk melestarikan laut di Ujungnegoro. Itu kawasan kon servasi, banyak terumbu karang.” Sep ert i yang dit ul is Dinar Bayu, akt iv is Greenpeace Indonesia, dalam art ikeln ya berju dul “Tolak PLTU Batubara, Energi Kotor Harus Dihentikan”, alasan pemerintah membangun PLTU adalah untuk mencukupi kebutuhan listrik masyara kat. Sementara berdasarkan data yang dikeluarkan PLN tentang rasio elektrifikasi di Indonesia, di Jawa sudah 90% wilayahnya teraliri listrik. *** Abdul Hakim, nel ay an yang kes eh ar ia nn ya mengajar mengaji di Masjid Muhajirin, menguta rakan, “Perusahaan bilang pembangunan itu untuk rakyat, tapi semua itu tidak benar.” Abdul menilai tidak ada pertimbangan terhadap nasib rakyat kecil. Kendati dalih yang digunakan perusahaan PLTU dibangun untuk kebutuhan listrik masyarakat. “Itu tidak benar,” sergah Abdul. “Listrik dibangun untuk kebutuhan industri. Ini urusan perusahaan yang me menangkan tender pembangunan PLTU Batang,” tegasnya. Profesi nelayan telah memberi penghidupan masyarakat Roban. Abdul, yang juga adik kandung dari Aliman dan Rokiban, mengatakan, dari hasil menangkap ikan di laut, nelayan bisa membangun Tempat singgah perahu nelayan Roban (20/6).
rumah dan membeli motor. “Jadi, kalaupun PLTU punya rencana akan menawarkan lapangan kerja ke masyarakat Roban, saya yakin itu bohong,” tegasnya. Ia juga meyakini, bahwa nanti, rakyat kecil hanya akan jadi kuli panggul. “Perusahaan pasti butuh te naga minimal ijazah SMA, bahkan S1,” ujar nelayan yang pernah menjabat sebagai Ketua Paguyuban Nelayan tahun 2001-2011. Dari penuturan Abdul pula, diketahui penghasil an nelayan mencapai Rp400 ribu sampai Rp500 ribu dalam jumlah bersih per hari. Dipotong biaya opera sional sebesar Rp200 ribu sampai Rp250 ribu untuk solar dan lain-lain. Sehingga total bisa sampai Rp700 ribu sampai Rp750 ribu dalam hitungan kotor. Se jauh ini, sekitar 250 perahu telah menjalankan roda perekonomian warga. Atas dasar kes ej aht er aa n itulah mas yar ak at Roban terus menolak pembangunan. “Saya tidak te rima terhadap PLTU. Kalaupun nyawa yang jadi ta ruhan, kami warga Roban siap. Kalah atau menang bukan urusan kami, itu adalah hak Tuhan,” kata Abdul yakin. *** Handoko memiliki pandangan lain terkait per masalahan yang melanda rakyat Batang. “Wajah in dustri di Indonesia memang musuh rakyat,” ujarnya. “Kalau ada peluang ya harus cari celah dong. Piye celah e? Itu tugas NGO, tugas kaum terpelajar, tugas kaum intelek. Cari siasat. Kalau enggak mengerti per juangan, ya demo terus,” jelas pengacara yang juga dikenal akrab oleh warga Roban. Terhitung sampai lima puluhan kali warga melakukan aksi. Pend amp inga n terk ai t kasus pemb an guna n PLTU selama ini dilakukan oleh LBH Semarang, KIARA, dan Greenpeace Indonesia, dengan fokus yang berbeda satu sama lain. Didukung pula oleh seniman dan musisi-musisi yang turut aktif mene mani aksi mereka, seperti Marjinal, Taring Padi, dan Akar Rumput. Perihal situasi panas yang terjadi di tengah warga nelayan, Handoko sudah merencanakan strategi: membuat tim terdiri dari nelayan, pemerintah, dan BPI. Tujuannya untuk mengadakan dialog di antara ketiga pihak tersebut. “Saya ingin mengawal, kalau terbukti BPI salah, bisa dituntut ke pengadilan. Te tapi kalau warga enggak mau, ya sudah,” tuturnya menyayangkan. Karena sampai detik ini pun tawar an tersebut tak digubris. Sementara kekhawatiran warga makin memun cak seiring berdirinya PLTU. Di mana batu bara se bagai bahan dasar akan membuang jutaan air panas langsung ke dalam laut yang berdampak pada ekosis tem sekitar. Seperti dituliskan Dinar, hasil pemba karan melalui cerobong terdapat kandungan racun yang tinggi. Ikan, udang, cumi-cumi, gurita, dan kerang akan mati karena perubahan komposisi air laut akibat buangan dari PLTU. Kalaupun hidup, kondisi biota laut itu buruk, sehingga tak layak di konsumsi. EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 47
TELUSUR
*** Pantai Ujungnegoro bera da wilay ah Roban, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang. Selain dike nal kampung nelayan, Roban juga memiliki sebutan “Roban Siluman” berdasarkan cerita leluhur. “Dulu di Roban pohon masih besar-besar, kata Bapak saya, di sini banyak bangsa siluman. Makanya kalau mau tidur tidak berani cuci kaki, nanti bisa meninggal,” ujar Bejo Glopot. Bejo adalah kakak ipar Zaini. Ma syarakat mengenalnya sebagai penduduk yang me ngerti sejarah Roban. “Waktu itu, kalau orang Roban menanak nasi, terus ditingg al pergi, pas pulang dib uka isin ya darah semua,” kenang Bejo akan cerita almarhum bapaknya. Sebutan “Roban Siluman” merupakan kebangga an penduduk nelayan. Juga menjadi semangat iden titas mereka melakukan perlawanan terhadap PLTU. Kendati pun semangat mereka berulang kali dike cewakan. “Kami sudah berupaya minta tanggapan masalah laut ini, tetapi enggak pernah ada yang me respons. Saya cemas, bagaimana dengan nasib anak dan cucu saya nanti?” kata Bejo mengenang aksi pe nolakan yang telah berulang kali dilakukan warga. Profesi nelayan telah menjamin kesejahtera an warga Roban. Penghasilan dari laut selama ini mampu melangsungkan proses penghidupan me reka. Sementara, berdirinya PLTU mencipta suasa na bekerja diliputi kekhawatiran. Perlahan-lahan keleluasaan melaut bisa tersingkir. Warga pesisir, terutama para nelayan, akan menanggung dampak pembangunan yang membahayakan. Warga mengakui dampak PLTU akan merugi kan mereka. Para nelayan yang hijrah melaut dari daerah asalnya, yang juga disebabkan PLTU, seperti Cilacap, Jepara, dan Indramayu, memilih Batang se bagai tempat persinggahan dengan hasil tangkapan yang terkenal subur. Sejalan dengan yang disampai kan Sahadi, “Terus sampe mrene, kan usaha supoyo lancar. Lah kok ono kahanan PLTU dibangun. Nah terus mlayu ngendi neh? Kan urip wis nyoro, wis sesek reno-reno, nyambut gawe serba ora tenang (Lalu sampai di sini, usaha agar lancar. Ternyata ada pembangunan PLTU. Terus lari ke mana lagi? Hidup sudah berusaha, sudah sesak macam-macam, Red.)” *** Pada Agustus 2015, Greenpeace Indonesia mengeluarkan data mengenai Ancaman Maut PLTU Batu bara. Di dalamnya dipaparkan bahaya yang di keluarkan PLTU berupa polusi yang dapat meracuni udara. Di mana dampaknya menyebabkan gangguan kesehatan, serta kerugian pada lahan pertanian dan perikanan. Itulah yang menjadi keresahan masyarakat, pembangunan PLTU akan merenggut mata pencaharian warga. Wilayah yang menjadi tempat pembangunan tepat berada di ka wasan konservasi. Sementara, wilayah itu merupakan tempat berkembangnya ha
48 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 KHUSNUL | EKSPRESI
“
Kami sudah berupaya minta tanggapan ma salah laut ini, tetapi enggak pernah ada yang merespons. Saya cemas, bagai mana dengan nasib anak dan cucu saya nanti? Bejo
bitat laut yang jadi sumber kesejahteraan ekono mi nelayan. “PLTU ngadhek iki nelayan do nangis, sopo sing nulungi? Sambat yo arep nyang sopo? Ora ono sing nulungi, demo nyatane ora ditemoni (PLTU berdiri ini nelayan menangis, siapa yang mau membantu? Mengeluh mau sama siapa? Tidak ada yang mem bantu, aksi nyatanya tidak ditemui),” kata Sahadi bernada geram. Berangsur-angsur mereka memper tanyakan upaya yang dilakoni selama ini. Sebagai rakyat kecil yang terkena imbas, tak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali menolak dan menolak. Zaini menyampaikan posisi dilematis perjuang an warga. Ia merasa walaupun di Roban sering me ngadakan kegiatan seperti musyawarah, dan seseka li menghadiri undangan terkait kesejahteraan nela yan dari LSM, semua itu ternyata belum menjawab kebingungan yang dialaminya sekarang. “Saya seba gai warga yang kontra, puyeng. Melihat situasi PLTU sudah berdiri, apalagi. Nelayan pendatang yang mencari ikan ke sini juga mengeluh,” katanya saat kembali saya jumpai setelah lebaran, 18 Juli 2016. Cerita Zaini mengenai saran Handoko yang pernah disampaikan kepadanya semakin membu atnya bingung. “Istilahnya, saya itu disuruh pasang kuda-kuda (strategi, Red.). ‘Enggak semua per lawanan membawa senapan kan?’ Pak Handoko nyuruhnya gitu. Kalau saja dia yang turun, PLTU enggak bakal berdiri,” ujarnya berharap, mengingat segala usaha yang telah dilewati belum membuah kan hasil. Sementara, belakangan PLTU di wilayah Pantai Ujungnegoro kokoh berdiri. Walau begitu, jargon “Tolak PLTU Harga Mati” yang senantiasa mereka gemakan sudah komitmen dari awal. Sampai titik darah penghabisan, keya kinan mereka sama: menolak. Seperti aksi yang di lakukan berulang kali untuk mendesak agar PLTU tidak dibangun di Batang. Itu menjadi cara riil warga dalam menuturkan kekecewaan pada korporasi maupun pemerintah. Sembari mengingat musyawarah yang sering dilakukan oleh warga, dengan nada sedikit menya yangkan, Zaini mengaku bahwa memang dalam per juangan ada kekalahan. Namun, mereka kembali kan lagi kepada Yang Maha Kuasa. Karena warga tetap optimis dan tidak patah semangat. “Sampai sekarang, mau PLTU berdiri atau tidak, kami tidak kendur. Kami tidak pasrah,” ujarnya dengan nada geram dan bersemangat. Kini sudah lima tahun berselang. Upaya tak henti dikerahkan warga menolak pembangunan PLTU yang merugikan laut mereka. Mewakili kampung ne layan dan wilayah “Roban Siluman”—nama-nama yang mengabdikan diri dalam profesi melaut— telah menjadi penyambung lidah rakyat sena sib sepenanggungan. Mereka adalah Zaini, Abdul Hakim, Aliman, Sahadi, Bejo Glopot, dan Rokiban yang teguh mendidik penguasa dengan melakukan perlawanan.[] Zaini saat diwawancara di rumahnya (18/7).
Orang-Orang yang Diperburuh Lima tahun berjuang mempertahankan sumber penghidupan. Puncaknya, tanah resmi dirampas dengan penetapan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012. Oleh Khusnul Khitam
S
elasa, (20/09), hari masih dini, baru sekitar pukul lima lebih. Sepagi itu, seorang perempuan paruh baya menyusuri rel dari arah barat, menantang matahari. Dari kejauhan, tampak gubuk bambu didominasi warna merah dan kuning. Perempuan itu sempat berhenti di depan gubuk selama beberapa menit. Dari arah rel, Ia melihat lokasi lahan miliknya. Wajahnya cemas. Ia sempatkan diri untuk berdoa. Ialah Daspi—demikian ia biasa disapa— mengeratkan genggaman pada sabit yang sedari tadi di tangannya. Ia bergegas turun ke area persawahan. Beberapa meter di depannya, pagar seng sepanjang lima kilometer menghalangi perjalanan. Daspi membuka satu di antara seng-seng itu. Seng yang memang telah sengaja dirusak warga untuk dijadikan jalan satu-satunya menuju lahan. Kala itu, Daspi harus melangkah, membungkuk melewati celah. Setelah berada di dalam, ia menutup kembali seng itu. Daspi tidak sendiri, setelahnya dua perempuan dari arah yang sama membuka celah. Mereka masuk secara bergantian. Mereka membawa cething kosong dalam gendongan. Mereka datang untuk memanen sisa-sisa padi yang masih bisa dihasilkan oleh sawah mereka masing-masing. Sekitar satu jam kemudian, Temu beserta istrinya datang. Mereka tidak langsung ke sawah. Keduanya duduk di depan gubuk itu. Lama mereka terdiam. Hingga akhirnya sang istri yang memulai percakapan terlebih dahulu. “Ayo pak,” ajak perempuan itu. “Kowe wae. Satpam mesti ora tega karo wong wadon. (Kamu saja. Satpam pasti tidak tega dengan perempuan),” jawab Temu. Sang istri tidak menjawab. Wajahnya nyata menampakkan ketakutan. Beberapa detik itu ia gunakan untuk terus memandang antara lahan dan suaminya. Bagi mereka, sejak 2 bulan lalu memang
TRIYO | EKSPRESI
TELUSUR
Daspi dengan rasa was-was memanen sisa padi yang ia tanam di sawahnya sediri walau sudah dilarang masuk dan sawahnya dipagar seng oleh BPI, (20/6).
tak ada hari yang dilewati tanpa kekhawatiran ketika menuju ke sawah. *** Siangnya, Cahyadi menyusul datang, tapi ia tidak turun ke lahan. Ia masuk dan duduk di gubuk itu. Tidak ada yang ia kerjakan. Capingnya yang bertuliskan “Cahyadi” dengan cat biru, dari kepalanya, ia lepaskan. Capingnya meninggalkan jejak keringat di keningnya. Selang beberapa lama, beberapa warga menghampirinya dengan tergesa-gesa. “Pak Cahyadi, tanahe nyong diuruk. Priwe iki? Tolong! (Pak Cahyadi, tanah saya diuruk. Bagaimana ini? Tolong!)” tutur Wagini. Sekejap itu, Cahyadi tidak bisa berbicara apa-apa. Ia ikut panik. Sementara Wagini terus saja meminta bantuan. Warga mengambil tindakan. Beberapa di antaranya gegas berlari menuju lahan yang sedang dalam pengerukan itu. Wagini yang merasa lahannya sedang terancam, berada paling depan. Ia mengambil langkah berbeda. Di depan pagar itu, ia merangkak masuk. Sementara yang lain menunggu di luar. “Mas, tanah orong didol ka diduruk, Mas! (Mas, tanah belum dijual, kok diuruk, Mas!)” teriak Wagini. Seketika itu, keberaniannya berhasil menghentikan mesin Excavator yang sedang melakukan pengerukan. “Pagar iki kuwi pelanggaran,” ucap Cahyadi seraya menggedor-gedorkan tangannya ke pagar hingga mengeluarkan bunyi yang cukup keras. “Perampasan lahan warga!” Sejak keluarnya surat pemberitahuan dari PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) tertanggal 21 Maret 2016, warga dilarang masuk ke dalam. Pemagaran ini dilakukan tanpa persetujuan warga. Jika ada warga yang ketahuan masuk, akan dikejar dan diintimidasi oleh penjaganya. Padahal, kata Cahyadi, masih ada sekitar 20-an hektar tanah warga ada di dalam pemagaran. Tanah tersebut ditandai dengan plang-plang, walaupun ada juga yang tidak. Ia adalah tanah-tanah yang tidak mau dijual kepada BPI oleh pemiliknya. Termasuk Cahyadi, tanah ini adalah satu-satunya sumber penghasilan baginya. Cahyadi mempertanyakan pemerintah yang katanya akan menyejahterakan warga, “Tidak EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 49
mungkin akan sejahtera, tidak mungkin!” Di sisi lain, menilik sejarahnya, dimulai pada tahun 2011. Sejak pemerintah menunjuk PT BPI untuk melakukan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 2x1000 Megawatt di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pembangunan ini didanai oleh Japan Bank International Cooperation (JBIC) dan dicanangkan akan menjadi proyek terbesar se-Asia Tenggara. Tidak tanggung-tanggung, dana tersebut sebesar Rp56 triliun. Adapun pengadaan lahan yang diperlukan proyek ini 226 hektar. Yaitu lahan persawahan produktif milik warga. Hal ini memunculkan penolakan warga terhadap pembangunan. Lima Desa yang secara terang-terangan menolak adalah Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR). Warga desa-desa inilah pemilik lahan itu. Awal mula pihak BPI memperkenalkan proyek PLTU, sosialisasi pertama rencana pembangunan langsung mendapat penolakan dari warga. Penolakan ditandai dengan aksi-aksi dan warga tidak bersedia menjual tanahnya. Warga juga telah melihat secara langsung dan berkaca pada penderitaan masyarakat Cilacap, Jepara, dan Cirebon. Debu bertebaran ke mana-mana dan mengganggu lahan pertanian di sekitar PLTU yang ada di tiga lokasi itu. Demikian yang ditakutkan warga jika pembangunan PLTU di Batang tetap terlaksana nantinya. Tidak tanggung-tanggung, penolakan yang sudah berjalan 5 tahun ini sempat membuat proyek tertunda selama tiga kali, yaitu tahun 2011, 2013, dan 2014. “Sampai kapanpun tanah tidak akan saya jual. Warisan untuk anak cucu saya,” ungkap Cahyadi. Akan tetapi, masalah lahan yang terus berlarutlarut ini akhirnya kebobolan pada tahun 2015. Proses pembebasan lahan seluas 12,5 hektar—menurut Cahyadi sebenarnya masih 20-an hektar—dilakukan dengan cara penetapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 oleh pemerintah. Undang-undang ini berisikan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. *** Rumah Daspi berdinding bambu. Atapnya terbuat dari daun lontar. Pelataran rumahnya luas, beberapa pohon nangka tumbuh di sana. Gundukan bebatuan berada di salah satu sisi pohon tepat di depan rumah Daspi. Di rumah itu Daspi hanya tinggal berdua dengan anak laki-lakinya. Ayah dan ibunya belum lama itu telah meninggal. Di pelataran itu, Daspi teringat kembali peristiwa ketika Ia harus melawan rasa takut saat menuju lahannya. Sore itu Daspi ditemani Dauni—kakaknya— duduk di bebatuan depan rumahnya. Itu adalah panen terakhir. Sawahnya sudah tidak bisa lagi dikelola dan ditanami. Pagar yang ia masuki dulu, sudah diperbaiki pihak proyek PLTU dan tidak bisa dibuka lagi, katanya. Panen terakhir itu hanya menjadikan beras 30 kg. Karena dipagar seng, padi tidak bisa dirawat. Akhirnya, padi rusak dimakan tikus.
50 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
PRIMA | EKSPRESI
TELUSUR
Temu akan mencangkul sawahnya yang tidak dipagari, (23/7).
Adapun tanah yang dirampas itu seluas 250 m². Ia adalah tanah warisan dari orang tuanya. Surat tanah masih bernama ayahnya. Dan di sanalah Daspi menggantungkan sumber penghidupan. Tanaman padinya, sebelum di pagar, biasa menghasilkan 6 kuintal dan ia gunakan untuk konsumsi sehari-hari. Ia tidak menjualnya. Sekali panen itu bisa memenuhi kebutuhan nasi 2 tahun. Namun, kalau berniat menjual ke juragan, ia bisa mendapatkan Rp5 juta. Di hari yang semakin gelap itu, Daspi bercerita tentang ayahnya. Suatu hari, ayah Daspi mengeluh, dalam sehari rumahnya bisa didatangi lima sampai tujuh orang secara bergantian. Mereka mencoba menemui ayah Daspi dan memaksanya untuk menjual lahan. “Koe da mrene ngapa? Nyong ora pan adol sawah. Men ditanduri anake, men pada panen. Nyong egen doyan mangan, men dipaculi! (Kamu ke sini mau apa? Aku tidak akan jual tanah. Biar tanah ditanami anakku, biar bisa panen. Aku masih mau makan, biar dicangkuli!),” teriaknya pada orangorang itu. Akan tetapi, mereka yang ingin ayah Daspi menjual lahannya, tidak serta-merta langsung menyerah. Esoknya mereka bisa datang lagi, atau bahkan berganti orang ke rumah Daspi, tujuannya sama. Namun, pendirian ayah Daspi tetap: menolak memberikan lahan. “Barang tinggalane wong tua, ora pan tak dol! (Tanah peninggalan orangtua, tidak akan saya jual!)” Melihat kegigihan ayahnya dalam mempertahankan lahan itulah Daspi ikut berjuang. Kini, setelah ayahnya meninggal, orang-orang suruhan proyek sudah tidak pernah lagi datang ke rumahnya. Kabarnya, setelah ditetapkannya UU No 2 Tahun 2012, maka lahan secara hukum resmi milik BPI.
TELUSUR
Warga yang belum menjual lahannya mendapat uang pengganti yang dititipkan ke pengadilan. “Dulu pernah disuruh mendet teng pengadilan, tapi kulo mboten mau,” jawab Daspi. Ketika ditanya lagi mengenai jumlah uang pengganti. Ia cenderung mengatakan tidak tahu. Kini, karena lahannya sudah dirampas oleh pembangunan PLTU, Daspi tidak lagi punya pekerjaan. Ia yang biasanya setiap pagi sudah di sawah, kini waktunya hanya untuk berada di rumah. Dan bukan hanya ia saja yang kehilangan pekerjaan, banyak warga juga menjadi pengangguran oleh disebabkan proyek ini. *** Dalam sebuah pertemuan di rumah Abdul Hakim di Desa Roban, Khumaidi memaparkan tentang keadaan lahan. Katanya, sekarang itu pihak PLTU semakin mempersulit keadaan. Setelah pemagaran yang dilakukan, sampai-sampai surat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tanah yang berada di lingkar proyek, tidak diterima warga tahun ini. Yang ditakutkan, jika surat pajak tidak juga dikeluarkan maka tanah sudah bukan lagi milik mereka, ungkapnya. “Bagaimana ini?” tanyanya dalam forum itu, mungkin lebih kepada diri sendiri. Padahal, Papar Khumaidi, tanah punya arti yang sangat besar untuknya. Ia sedari kecil hingga kini berumur 73 tahun bertani. Hasil pertaniannya untuk menghidupi 11 anak. Semua anaknya Ia sekolahkan, hingga kini mereka sudah ada yang bekerja sebagai pegawai kantoran, pegawai negeri, kantor KUA, tukang batu, dan tiga di antaranya supir angkutan umum. Walaupun semua anaknya telah menikah, tutur Khumaidi, ia tetap memberikan hasil panen berupa beras untuk keseharian anak-anaknya. Sekarang, melihat anak-anaknya sudah dewasa
“
Kamu ke sini mau apa? Aku tidak akan jual tanah. Biar tanah ditanami anakku, biar bisa panen. Aku masih mau makan, biar dicangkuli! Daspi
dan bisa menghidupi kebutuhannya sendiri, Khumaidi berniat hasil panennya akan ia tabung dan untuk naik haji. Dalam setahun Khumaidi bisa panen tiga kali dan setiap panen bisa mencapai 5 ton. Jika Ia ingin naik haji, katanya lagi, ia hanya perlu menabung dalam dua tahun dari hasil tanahnya. “Saya berpikir saya sudah tua, saya mau naik haji. Jebule trep dari tahun 2011 sampai sekarang,” sesalnya. Harapannya pupus ketika melihat sawahnya sudah tidak bisa dikelola. “Kerugian aku uwis seberapa ya uwis hanyut,” tambahnya. Harapan untuk naik haji sebenarnya sudah pernah ada. Ketika pihak BPI datang untuk membeli tanahnya dengan harga yang tinggi, ia justru dengan tegas menolaknya. “Sudah berulang kali orang BPI itu bilang, kalau bapak ikut, saya kasih bonus 300 juta. Mau bayar sekarang boleh,” cerita Khumaidi. Namun, ia menolaknya secara tegas. Anaknya yang kelima, M. Imron, ketika akan membangun musala juga sempat ditawari uang sejumlah 1 Miliar. Namun, anaknya juga tidak mau mengambil uang itu. “Nek aku melu, mengko masyarakat terpecah belah. Seng jenenge disuap ya mending ora. (Kalau aku bersedia, nanti masyarakat akan terpecah belah. Yang namanya suap, mending tidak).” Kekecewaan juga diterima oleh Cayani. Ia adalah satu-satunya pengepul bunga melati. Sawah Cayani sekitar 1 ha lebih. Tanaman melatinya bisa menghasilkan dua kuintal sekali panen per hari. Biasanya Cayani panen setiap pagi, dan sore akan ia kirimkan ke salah satu perusahaan di Pekalongan. Namun, hal itu sudah tidak pernah dilakukannya lagi. “Sejak bulan tiga (Maret) saya sudah tidak pernah lagi ke sawah,” ucap Cayani. Tanaman melatinya sudah tidak disentuhnya lagi untuk dirawat. Cayani juga tidak memanen. Bahkan Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana keadaan tanamannya sekarang. Padahal Cayani telah memiliki tanaman melati itu sejak 1995. Para pekerjanya berjumlah puluhan orang. Sayangnya, karena proyek PLTU ini mereka harus diberhentikan. “Kita biasanya punya tenaga kerja. Sekarang saya malah jadi tenaga kerja,” ungkapnya. Karena Cayani sudah tidak bisa lagi mengelola sawahnya, ia kini beralih profesi menjadi buruh tani. “Memang keahlian mencangkul ya saya kerja mencangkul. Tidak punya pengalaman lain,” tambahnya. Robiatun, istri Cayani, yang saat itu duduk di sampingnya, mengingat satu janjinya yang ia tujukan kepada anaknya. Ia berjanji akan membelikan anak pertamanya sebuah sepeda motor jika anaknya sudah lulus dari kelas tiga. Kini ketika anaknya menagih janji itu, tak ada yang bisa ia lakukan, kecuali memberikan senyuman pahit. “Opo bisa tuku Scoopy, Bu? (Apa bisa beli Scoopy, Bu?)” sahut anaknya melihat ibunya itu. “Memang di mana-mana keadilan itu susah diperjuangkan. Apalagi yang memperjuangkan itu rakyat biasa, yang tidak punya uang. Di Indonesia seperti itu yang bicara uang,” ucap Robiatun.[] EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 51
TELUSUR
TRIYO | EKSPRESI
Perjuangan yang Tak Termakan Uang
Paguyuban UKPWR mengadakan rapat membahas perkembangan proyek PLTU (19/7).
Kisah perjuangan untuk keadilan ekonomi dan lingkungan. Mereka lebih memilih kelaparan dalam perjuangan daripada menerima uang ratusan juta untuk diam.
Oleh Triyo Handoko
S
ejak 2013 silam, Roidi, seorang guru swas ta di Kendal harus melakukan perjalanan yang melelahkan. Setiap hari Roidi harus menempuh jarak 138 Kilometer. Dari Ba tang ke Semarang ditempuhnya 98 Km, dan sisanya Semarang ke Kendal. Ia lakukan perjalanan ini dengan sepeda motor yang setia menemaninya. Sebetulnya Roidi tidak harus menempuh jarak sejauh itu. Ia bisa tinggal nyaman di asrama guru yang disediakan sekolah tempatnya mengajar. Belum sampai setahun mengajar di sana, ia mengundur kan diri. Kecamuk pembangunan PLTU yang meng gusur lahan pertanian di desanya, Karanggeneng, Kandeman, Batang, membuatnya memilih berjuang bersama warga menggagalkan proyek ini. Pekerjaan ayahnya sebagai buruh tani yang menyadarkan Roidi untuk mengorganisir perjuangan warga. Ia yakin, kelak setelah beroperasi, PLTU ini ha nya akan menggunakan tenaga ahli. “Jelas ini bukan industri produksi maka tak menyerap banyak buruh.” Lagi pula, pikir Roidi, mayoritas warga desanya hanya berpendidikan dasar dan menengah. “Warga dipaksa menjual sawah sumber penghidupannya, padahal itu haknya. Lantas warga bertahan hidup dengan cara apa jika sumber penghidupannya dijarah?” *** Waktu itu, sekitar tiga bulan setelah pelantikan Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah, ber sama 15 warga Roidi diundang Ganjar untuk audiensi proyek tersebut. Ia ingat waktu itu Ganjar memakai
52 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
“
Adanya struktur dengan ketua, sekretaris, bendahara dan bidang-bidang lain, hanya memperlemah gerakan penolakan Roidi
kemeja putih polos yang khas dipakai selama kam panye. Ganjar, dalam ingatan Roidi, dikenal sebagai calon Gubernur yang dalam kampanyenya berpihak pada petani. Namun, “Program Kartu Tani, bisa ki ta lihat sekarang adalah kebohongan, canda gurau politik saja,” ungkap Roidi. Sebagai juru bicara saat audiensi tersebut, Roidi ingat betul bahwa Ganjar bilang akan meninjau kembali proyek PLTU ini. Namun, nyatanya tidak ada perubahan apapun dan proyek terus berjalan. “Saya sudah terbiasa, itu bahasa politik, berjanji untuk menenangkan saja,” ujarnya dengan geram. Selain menemui Ganjar, bersama warga kampungnya Roidi juga sudah menemui Pemerintah Daerah Batang, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komnas HAM, dan berbagai tokoh nasional sepeti Gus Mus dan Buya Syafi’i. “Hasilnya nol besar,” keluhnya. Selama perjuangannya bersama warga menolak PLTU, laki-laki kurus berumur 31 tahun ini telah puluhan kali mendapat teror. Sering pada malam hari Roidi harus terbangun oleh ketukan pintu rumahnya. Setelah dibuka ia dapati surat kaleng bernada ancaman. Sudah ratusan pesan teror dari nomor telepon yang tak ia ketahui. Teror dan ancaman itu juga tak hanya bersifat privat, sering ia temui selebaran yang ditempel di kampungnya dengan foto dirinya. Isinya hasutan kepada warga untuk menjauhi dan tidak mendengarkan dirinya. Tulisan itu, “Roidi adalah
TELUSUR
provokator!” “Saya juga sering adu fisik dengan pihak proPLTU.” Sambil mengulung kemeja, ia melanjutkan, “Ketika di jalan berpapasan dengan mereka, adu mulut tak bisa dihindarkan.” Dengan nada menyesal, ia berkata, “Sebenarnya mereka warga desa juga.” Sedang yang mengesalkan baginya adalah adanya preman-preman dari luar desa yang mencoba ikut campur dan hanya mengejar uang. “Soal uang, saya sudah biasa ditawari ratusan juta. Berulang kali,” katanya dengan nada meremehkan. Pada musim hujan tahun 2013, tepatnya pada hari-hari terakhir Desember, di sebuah rumah makan di Batang, Roidi memenuhi undangan makan malam seorang teman yang juga vokal menolak PLTU. Namun, bersama teman yang mengundangnya, ada dua orang Jepang yang hadir pada makan malam tersebut. Ia kaget tapi tetap mencoba bersikap tenang. Dua orang Jepang, yang menurutnya sebagai perwakilan dari Japan Bank for International Coorporation (JBIC) yang turut mendanai proyek ini, mengeluarkan amplop cokelat. “Ini ada 50 juta,” kata temannya. “Nanti akan ada tambahantambahan setelah ini diterima,” mencoba menyuap agar Roidi berhenti dalam gerakan penolakan PLTU bersama warga. Ia menampik uang sogokan tersebut. Baginya sekali menolak tetap menolak. Dalam rapat-rapat UKPWR Roidi selalu hadir seperti Minggu malam, 24 Juli 2016, di Tempat Pelelangan Ikan Roban Barat yang berada di pinggir hulu sungai kampung Roban. UKPWR adalah paguyub KHU SNU L|E an warga penolak PLTU Batang KSP RES I dari Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban. Sebagai wadah perjuangan yang dihimpun secara indepen den dengan semangat gotong royong, Roidi menolak adanya struktur UKPWR. Ia berbicara pada forum yang dihadiri sekitar 50 warga. “Adanya struktur dengan ketua, sekretaris, bendahara dan bidang-bidang lain, hanya memperlemah gerakan penolakan,” ungkapnya ketika itu. Hal itu juga diamini mayoritas forum, termasuk Abdul Hakim, nelayan Roban yang vokal dalam gerakan penolakan PLTU. “Tidak ada struktur saja kita sering kebobolan oleh pengkhianat, apalagi ada struktur, pasti gampang dilemahkan,” kata Abdul. Bersama Greenpeace dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Roidi pernah berangkat dua hari ke Jepang. Di sana, ia menyampaikan aspirasi penolakan terhadap PLTU pada pemerintah Jepang, parlemen Jepang, dan JBIC. “Seperti halnya pemerintah di Indonesia, pihak Jepang juga hanya akan meninjau dan meninjau.” Satu tahun kemudian gantian Abdul yang berangkat ke Jepang. Dengan memakai baju batik, Jumat pagi, 26 Juni 2015, ia sampai di Kyoto, Jepang.
Abdul Hakim menunjukan pasport ketika bercerita pengalamanya memperjuangkan penolakan PLTU ke Jepang (19 /7).
Bersama temannya, Cahyadi dan Karomah, Ia mendatangi pemerintah Jepang, parlemen Jepang, dan JBIC. Di Kyoto, Abdul mengadakan seminar yang dihadiri kalangan aktivis lingkungan di Jepang. Ia berbicara tentang keadaan dan ancaman-ancaman atas berdirinya PLTU. Di sana ia jabarkan semua hal dengan dibantu Mitsuo, seorang pemuda Jepang yang juga fasih berbahasa Indonesia. Menurutnya, peserta seminar sangat terpukau dan menghormati perjuangannya. Senin 3 Juli 2015, Abdul kembali ke Indonesia. Seketika sampai di Bandara Soekarno Hatta, Abdul bersama rombongan mengadakan konferensi pers. Ia ceritakan pertemuannya dengan parlemen Jepang. Juga diterimanya dokumen alasan-alasan penolakan berdirinya PLTU setebal 35 halaman. Dan kesanggupan parlemen Jepang untuk meninjau kembali proyek tersebut. Selepas konferensi pers, sekitar pukul 11.00 WIB, Ia dijamu undangan makan siang bersama Kementerian Lingkungan Hidup. Namun tak disangka-sangka, bersama jajaran kementerian hadir pula tujuh orang jajaran PLN dan direktur PT Bhimasena Power Indonesia (BPI). Ia marah. Ia merasa dijebak. Baginya, jalan keluar semua masalah ini adalah PLTU tidak berdiri di Batang. Tidak ada yang lain. Apalagi so gokan untuk melunak. “Sampai kapan pun dengan sandi wara atau permainan apapun, kami tetap menolak. Kami sudah nyaman hidup seperti ini,” sambil menggebrak meja Abdul protes. Direktur PT BPI yang hari itu memakai kemeja putih dan berjas hitam tak mengeluarkan sedikit pun kata dalam pertemuan itu. Sekitar pukul 12.30 WIB jamuan selesai dan Ia kembali ke Roban, Batang, sumber penghidupan keluarganya dan ratusan nelayan lain. Selasa pagi, 19 Juli 2016, Abdul menceritakan bahwa warga Roban tetap konsisten menolak PLTU. “Iuran kas perlawanan juga masih diadakan,” katanya. Kas itulah yang menjadi sumber utama pendanaan aksi-aksi penolakan. “Pada prinsipnya, setiap nelayan di sini sepulang melaut akan menyisakan hasil tangkapannya untuk kas perlawanan.” Hasil tangkapan yang disisakan untuk kas perlawanan tersebut kemudian dilelangkan dan uangnya disimpan untuk kegiatan penolakan. Laki-laki berumur 44 tahun dengan dua anak perempuan ini melanjutkan, “Kalaupun nyawa menjadi taruhan, kami siap.” “Dalam memperjuangkan keadilan sebagai hak, kami tetap akan sesuai koridor hukum yang berlaku.” Pemerintah selama ini tidak pernah serius mendengar suara petani dan nelayan yang tercekik mata pencahariannya oleh proyek PLTU. “Ini program pemerintah untuk rakyat. Tapi rakyat mana?,” katanya dengan lantang. “Masyarakat hanya membutuhkan lingkungan yang segar dan bersih."[] EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 53
KHUSNUL | EKSPRESI
TELUSUR
Kerukunan Kami Terpecah
Seorang petugas proyek PLTU melintas di luar pagar seng (20/6).
Pembangunan PLTU Batang memunculkan kubu pro dan kontra. Kehidupan “guyub rukun” antarwarga terpecah karenanya. Oleh Prima Abadi Sulistyo
M
alam telah jatuh. Sayup-sayup terde ngar lantunan ayat-ayat kitab suci di kumandangkan. Menghidupkan salah satu malam Ramadan 2016. Hawa dingin malam itu tak menyurutkan para warga untuk datang ke gubuk perjuangan. Cahaya lampu senter membantu mereka menyusuri jalan di tepi rel. Mereka menuju gubuk di tengah area persawahan. Malam itu, warga berkumpul guna membahas permasalahan salah satu teman seperjuangan mereka. Ramu—begitu ia akrab dipanggil—seorang buruh tani dari Ponowareng, dilaporkan ke pihak kepolisian. Ia didakwa merusak rumah warga yang pro PLTU. Haspi, yang juga seorang buruh tani, menceritakan kronologi kejadian. Katanya, ketika itu, 9 Juni 2016, Ramu dan Haspi serta para kawannya mendatangi rumah pihak pro PLTU. Mereka mendengar akan ada pengumpulan pihak pro yang berencana untuk meminta bantuan mesin jahit ke PT Bhimasena Power Indonesia (BPI). Terdengarnya rencana itu membuat pihak kontra menyesalkan, mengapa harus BPI yang dimintai tolong. “Pada intinya kami mendatangi rumah itu cuma memberikan saran dan melarang meminta mesin jahit ke BPI,” ujar Haspi dengan logat ngapaknya. Ramu pun mengiakan hal tersebut. Saat kejadian Ramu dan Haspi tak sampai berada di dalam rumah pihak pro PLTU. Menurut penuturan Ramu, dirinya tak merasa melakukan perusakan di rumah pihak pro tersebut. “Lha saya itu cuma bengong dan melihat Haspi
54 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
yang bicara, kok saya dituduh melakukan perusakan,” ujar Ramu kalem. “Sebenarnya yang melakukan perusakan itu ya yang punya rumah itu. Dia bukan asli warga Ponowareng sini. Dia di sini tinggal di rumah mertuanya,” kata Haspi menambahkan. Aan, aktivis Greenpeace Indonesia, menjelaskan kasus kriminalisasi terhadap Ramu dan penyelesaian yang harus dilakukannya. “Tidak ada satu pun unsur pidana yang menjadi kewenangan polisi untuk menyidik masalah itu,” kata Aan menjelaskan pada para warga yang kontra. Aan pun menjelaskan hal terkait dengan hukum pidana. Pada intinya, kata Aan, polisi belum menemukan unsur-unsur pidana dalam permasalahan Ramu. Itu alasan polisi mengeluarkan surat klarifikasi. “Padahal,” kata Aan, “Dalam surat dari polisi yang saya lihat, sistem hukum pidana kita tak mengenal adanya surat panggilan permohonan klarifikasi.” “Masalah ini diperpanjang karena terkait nafas dan daya tahan dalam melakukan perlawanan terhadap PLTU. Hal ini wajar dalam konflik-konflik agraria,” kata Aan berusaha menenangkan Ramu. Ramu yang semula bingung, mulai paham dengan kasus yang dilayangkan kepadanya. Mimik wajahnya berubah, ia mulai mengerti. *** Rasmudi Cahyadi adalah seorang ulama. Setiap hari ia menjadi imam di musala dekat rumahnya. Mengajar mengaji jadi rutinitasnya usai beribadah berjemaah. Jarak antara musala dan rumahnya yang
TELUSUR
kira-kira 50 meter, ia tempuh dengan berjalan kaki. Namun, lebih dari guru mengaji, Cahyadi adalah salah satu tokoh yang getol menolak pembangunan PLTU. Malam itu, ia mengisahkan pro-kontra yang terjadi di antara warga. Gubuk perjuangan menjadi pendengar setia kala itu. Ia terdiam sejenak, menghela nafas, diinterupsi batuknya yang kambuh. Ia lantas bercerita. “Sebelum ada konflik seperti ini, kehidupan antara warga rukun, sesama tetangga sangat akur. Bisa dibilang harmonis,” ujar Cahyadi sambil menahan batuknya. Cahyadi berujar, sejak pembangunan PLTU, keharmonisan warga berubah. Terpecah disebabkan perbedaan cara pandang. Tak ayal juga, pada akhirnya, sering terjadi kontak fisik dan cek-cok antarwarga. Ia juga menceritakan, pernah suatu waktu, pembangunan PLTU bikin bapak dan anak bertarung fisik. Bahkan membuat ketidakharmonisan istri dengan suami dalam satu atap. Semenjak adanya pembangunan PLTU, ia juga merasakan ada yang sesuatu yang hilang. Sembari membenarkan sarung dan kopiahnya ia kembali bercerita. “Saya sedih, imbas dari hal ini juga membuat sisi humanis para warga menurun. Nilai agama kena imbasnya juga. Sampai sekarang pun masih terasa,” ungkap Cahyadi. Perlawanan guna membebaskan lahannya juga membuatnya ia dikriminalisasi. Hal yang tak pernah ia lupakan. Saat itu, ada pertemuan dengan kepala desa di balai desa Karanggeneng. Cahyadi dan warga desanya ikut dalam kegiatan tersebut. Secara tiba-tiba warga pro yang berprofesi sebagai preman suruhan BPI menghantamkan batu ke mulutnya. Mulutnya berdarah, salah satu giginya patah terkena hantaman batu. Hal ini sontak membuat seluruh warga di balai desa kaget. Tak terkecuali Cahyadi yang berada di situ. Selang beberapa waktu kemudian, Cahyadi dilaporkan atas tuduhan penganiayaan yang dilakukan di balai desa. Padahal, ketika itu Cahyadi berada jauh sekitar 15 meter dari tempat kejadian. Hal yang berujung dipenjarakannya Cahyadi selama 7 bulan. “Saya dipenjara karena dituduh mela kukan penganiayaan terhadap salah satu warga pro di balai desa waktu,” tutur Cahyadi seraya membenarkan jaket hitamnya. “Padahal, yang menuduh saya melakukan penganiayaan dan memenjarakan itu dulu juga murid mengaji saya. Lha wong preman itu dulu mengaji alif, ba, ta sama saya kok,” ulas pria berumur 50 tahun tersebut. *** Terbilang ada lima desa di kecamatan Tulis yang secara terang-terangan melakukan penolakan. Mereka berhimpun dalam kelompok Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban, disingkat UKPWR. Tak hanya warga kontra, di kelima desa tersebut juga ada pihak pro pembangunan PLTU.
Kedua pihak mempunyai alasannya masingmasing. Bagi pihak pro, pembangunan PLTU dianggap dapat memajukan taraf ekonomi. Mereka berharap mendapatkan “remah-remah” pekerjaan dari PLTU. Sementara itu, pihak kontra menyadari pembangunan PLTU akan merenggut lahan mereka dan berdampak pada kerusakan lingkungan. Tak ayal, selisih pendapat bahkan adu fisik sering terjadi antarwarga. Sebelum ada Untung, salah satu pemuda dari Ponowareng konflik seperti ini, pun berpendapatan terkait adanya pro dan kontra kehidupan antara di desanya. “Pro dan kontra yang terjadi itu karena warga rukun, kita bentuk pola pikir seperti itu, dan perjuangan sesama tetangga warga UKPWR terbentuk karena ada kesadaran sangat akur. Bisa dalam dirinya masing-masing untuk memperjuangkan dibilang harmonis tanahnya,” ujar lelaki berumur 27 itu. “Pihak kontra Cahyadi itu tak menyukai keributan. Pihak pro saja yang beranggapan bahwa menjadi pihak kontra itu tidak ada untungnya, malah susah terus nantinya,” lanjut Untung. Di tengah peliknya permasalahan pembangunan PLTU, Yoyok Riyo Sudibyo, Bupati Batang, tak begitu ambil pusing dengan permasalahan pro-kontra yang terjadi di tengah warganya. Secara santai ia beranggapan bahwa adanya perpecahan warga wajar belaka. “Jangankan konflik pembangunan PLTU, lha wong urusan keluarga satu rumah saja bisa bikin cek-cok dan berselisih paham,” ujar purnawirawan TNI angkatan darat itu. Yoyok juga bercerita, ia sudah bosan memperingatkan warganya terkait pembangunan PLTU. Menurutnya, perpecahan di tubuh warga disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya, ia meyakini, ada pihak yang bermain di sana. Sebelum pembangunan, Yoyok tak pernah sekalipun mendengar aksi-aksi penolakan di kawasan PLTU. “Di Cilacap saat ini juga sedang dibangun PLTU, tapi mengapa yang disorot cuma daerah saya?” ujar Yoyok pada EKSPRESI. Pembangunan PLTU, menurut Yoyok, tidak akan KH USN UL | EK menimbulkan masalah yang dikhawatirkan sebagian SPR ESI warganya. Ia juga menampik alasan-alasan kerusakan lingkungan akibat pembangunan PLTU di kawasannya. Hal yang dikhawatirkan oleh warga yang kontra. “Saya meyakini, ada banyak kepentingan yang bermain di Batang saat ini,” ujar Yoyok. *** Malam kian larut. Sesekali kereta api lewat di depan gubuk. Cahyadi masih bercerita Setelah menggarap mengenai kisahnya, seraya mencicil menghabiskan pekaranganya untuk teh di depannya. Katanya, perlawanan akan terus ditanami, Cahyadi dilakukan, hingga pagar pembatas pembangunan menjelaskan proses kriminalisasi yang PLTU dibuka. Pro-kontra yang terjadi tak menghalangi dialaminya di posko niatnya untuk berjuang. Demikian pula dengan Haspi. perjuangan (20/6). “Sekali kontra, sampai mati tetap kontra.” Cahyadi terpaksa menghentikan ceritanya. Hawa dingin membuat batuknya makin menjadi-jadi. Dini hari sekitar pukul 2 ia pamit pulang. “Persiapan sahur untuk puasa esok hari,” katanya.[]
“
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 55
apresiasi
Carlo Petrini, Sang Revolusioner Lambat Oleh Arfrian Rahmanta DOK. ASIASUR.COM
56 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
B
erjuang mengenalkan sebu ah paradigma baru mengenai lokalisme agar tercipta dunia tanpa penindasan merupakan tujuan dari Carlo Petrini. Pemikiran Petrini sendiri banyak tertuang dalam gerakan, beberapa esai, serta buku-bu kunya. Dalam salah satu bukunya yang berjudul Slow Food: The Case for Taste (2003), Petrini membangun gagasan fi losofisnya. Terutama mengenai gagasan keadilan dan kebebasan. Petrini yakin bahwa keadilan dan kebebasan dalam mem il ih mak ana n bisa dit eg akk an dengan landasan berpikir lokalitas. Lokalisme menurut Petrini ialah kesadaran akan pentingnya sifat-sifat kedaerahan bagi kehidupan yang sehat dan kesejahteraan manusia. Pada level selanjutnya, kesadaran ini menciptakan positive localism (paham lokal yang posi tif) baru yang berusaha menjaga integri tas lokal. Dalam rangka itu juga, positive localism menjunjung tinggi keragaman dan mendukung kerja sama internasional pada usahanya untuk menyejahterakan manusia dan melindungi bumi ini. Petrini ingin melawan budaya arus besar yang menganggap lokalisme ber sifat kedaerahan fundamentalis, rasialis, dan tidak sesuai dengan kemajuan. Ma syarakat modern cenderung memandang produk, nilai, dan budaya global seba gai yang “modern” dan meninggalkan produk lokal yang “tradisional”. Banyak hal yang berbau lokal cenderung dipan dang sebagai penghambat modernisa si, karena globalisasi dan modernisasi adalah sebuah proses yang bergerak ke depan. Akibatnya, orang yang memper tahankan lokalisme dicap sebagai orang yang tidak mau maju, yang selalu berta han dan menengok ke belakang. Pandangan negative localism (pa ham lokal yang negatif) ini tak terlepas dari munculnya globalisme. Manfred B. Steger, profesor Studi Global Universitas Hawaii menyebutkan bahwa globalis me adalah ideologi berbasis kapitalisme pasar bebas. Ideologi ini muncul sebagai respons atas ide Daniel Bell dalam bu kunya The End of Ideology (1960) yang menyebutkan keruntuhan sosialisme Marxis dan liberalisme. Pemikiran Petrini mengenai lokal isme berangkat dari dampak negatif globalisme dengan kemodernannya. Globalisme dengan segala propaganda “perubahan menuju lebih yang baik”
apresiasi
hanya menjadi omong kosong yang di kumandangkan terus-menerus. Dengan keji, kapitalisme menghancurkan selu ruh komunitas dan industri. Keajaiban perekonomian pasar bebas pun semakin hari semakin kosong maknanya. Seja lan dengan kesadaran orang akan situasi sebenarnya—pengangguran, serangan terhadap kualitas hidup, kekayaan luar biasa yang dibuat melalui spekulasi, ke rakusan, dan korupsi. Petrini sadar bahwa globalisme yang berakar pada ideologi kapitalisme pasar bebas telah merasuk melalui serbuan produk konsumsi, budaya, maupun jasa. Pasar bebas telah memungkinkan ma suknya beragam produk asing yang ke mudian berkembang menjadi pemegang kuasa pasar. Produk makanan, pakaian, elektronik, hingga produk budaya yang dibawa melalui film dan musik memban jiri pasar lokal tanpa terhindarkan lagi. Hingga produk lokal tergantikan oleh produk global. Efek yang paling kentara ketika sepiring makanan di meja makan tidak lagi dianggap produk budaya lokal, bukan sebuah identitas. Di sini, Petrini ingin mengukuhkan bahwa apa yang di makan oleh manusia merupakan iden titas dari manusia itu sendiri. Makanan adalah produk budaya. Sebab itu pula, pada 1986, Petrini dan sekelompok temannya melakukan aksi protes terhadap pembukaan kedai fast food McDonald pertama yang ada di Roma. Perlawanan Petrini ini berbekal riset dan penelitian ketika ia menjadi anggota Arcigola, gerakan nonprofit yang bekerja pada ranah pengembangan, riset, dan penelitian terhadap makanan dan anggur di Italia. Selama tiga dasawarsa terakhir, fast food telah merembes ke semua --ceruk masyarakat Amerika dan dunia. Petrini berpendapat, dengan ada nya kedai fast food, banyak orang akan lebih membelanjakan uangnya untuk fast food ketimbang untuk pendidikan tinggi, buku baru, ataupun mobil baru. Terbukti pada tahun 1970, orang Amerika mem belanjakan sekitar 6 miliar dolar untuk fast food; tahun 2001, mereka membe lanjakan lebih dari 110 miliar dolar. Lahir pada 22 Juni 1949 di Bra, Italia, dalam diri Petrini kecil telah di tanamkan minat terhadap rasa dan selera produk budaya asli daerah, salah satunya pasta dan anggur Barolo. Petrini berki sah, ia diajari oleh neneknya agar men cintai dan menghargai makanan.Seperti
halnya nyanyian dan tarian, makanan masih menjadi aspek penting dari pera yaan, keramahan, dan tradisi di Barolo, tempat tinggal Petrini. Dengan sebab itu lah, ia tumbuh dan menyadari bahwa budaya, sosial, dan sejarah makanan mulai terancam oleh ide palsu kemo dernan. “Saya dibesarkan di tempat di mana kegiatan sosial dan waktu luang sebagian besar terkait dengan makanan,” katanya dalam sesi wawancara dengan Van Gelder, jurnalis Majalah Yes! me ngenai alasan perlawanannya. Tiga tahun setelah aksi protesnya terhadap pembukaan kedai fast food McDonald, Petrini mendirikan gerak an Slow Food International. Dalam ma nifestonya, terdapat beberapa hal yang dikawal oleh gerakan ini, antara lain: pelindungan ekonomi lokal, pelestari an tradisi masakan dan makanan adat, dan pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan lingkungan sekitar. Dalam cakupan kecil, gerakan ini mem bantu mengembalikan resep tradisio nal, mengembangbiakkan makanan dan anggur lokal Barolo, dan adanya acara keluarga untuk makan bersama.
Tuan atas Dirinya Sendiri
Dalam bukunya, Slow Food Revolution (2005), Petrini menjelas kan bahwa penciptaan organisasinya, baik dalam kehidupan maupun inte lektualitas, tak terlepas dari persoal an-persoalan penting di seluruh dunia. Slow Food International didirikan untuk melawan globalisme yang menyerbu me lalui produk—salah satunya—makanan. Petrini yang mer up ak an angg o ta Partai Komunis Italia, menerapkan pemikiran Marx dan Engels dalam re volusi “lambat”-nya ini. Bahwa, pada akhirnya, peralihan dari satu sistem so sial ke sistem yang lain ditentukan oleh perkembangan dari kekuatan produktif. Ketika sistem sosial-ekonomi tertentu tidak lagi sanggup mengembangkan ke kuatan produktif, ia akan masuk dalam krisis, menyiapkan lahan bagi sebuah pembalikan revolusioner. Revolusi “lambat” yang diinisiasi oleh Petrini dengan gerakan Slow Food International telah mempunyai lebih dari 100.000 anggota dari 150 negara. Memiliki cabang di seluruh dunia, tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara asal fast food, Amerika Serikat. Anggota Slow Food International pun
berasal dari berbagai latar belakang pe kerjaan seperti artis, koki, pelajar, peng ajar, pengusaha, dan ibu rumah tangga. Tiap tahunnya, akan ada acara besar bernama Terra Madre yang mengum pulkan semua komunitas dan anggota untuk membahas isu ekologi mutakhir. Terra Madre (Ibu Pertiwi) adalah contoh dari infrastruktur yang dibuat Slow Food Internasional. Pertama, seba gai pembangunan yang benar-benar ber kelanjutan dengan basis ekologi. Kedua, sebagai contoh bahwa dasar ekonomi bukanlah biaya atau modal, tapi gagasan manusia. Ketiga, sebagai contoh ajang untuk pengembangan barang publik. Membuat manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri, itulah tujuan Petrini. Dalam arti demokratis, manusia dapat memilih makanannya sendiri. Prinsip dasar dari slow food, setiap orang di bumi ini harus memiliki hak dan akses ke makanan yang baik, bersih, dan jujur. Baik, karena makanan tersebut sehat dan lezat. Bersih, karena diproduksi dengan ramah lingkungan dan dengan memikir kan kesejahteraan hewan. Jujur, karena menghormati karya mereka yang mem produksi dan mendistribusikannya. Dalam pandangannya mengenai rantai pemasaran, bagi Petrini tak ada yang namanya konsumen, yang ada ha nyalah koprodusen. Koprodusen meru pakan partner yang menjadi bagian dari proses produksi. Dan hasil kerja produ sen dapat ia nikmati sendiri. Dalam sebuah revolusi, orang-orang akan mulai melihat diri mereka sendiri sebagai manusia yang sanggup mengen dalikan takdir masing-masing, bukan sekadar “alat yang dapat berbicara”. Dengan kemanusiaan yang sejati, muncul harga diri: satu rasa penghormatan ter hadap diri sendiri dan rekannya yang setia—penghormatan terhadap orang lain. Sama rasa, sama rata. Bersama-sama para petani lokal, Petrini mulai melawan dengan gerak an “lambatnya”. Menjadikan sebuah produk lokal tetap bisa dinikmati oleh warga lokal dan juga warga dunia dengan asas keadilan sosial. Bukan mengglobal kan produk lokal dengan pola pikir eko nomis yang bertujuan menguntungkan salah satu pihak. Dari hal paling kecil tapi punya dampak besar seperti makanan di meja makan, Petrini terus mengajak melakukan perlawanan terhadap kapi talisme.[]
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 57
WINNA | EKSPRESI
Seorang petugas proyek PLTU melintas di luar pagar seng (20/6).
Janin Mitos dalam Narasi Agama
B
ramantyo Prijo Susilo, seni man kont rov ers io nal yang terg ab ung dalam Bengkel Teater Rendra, kerap terlibat dalam banyak seni kejadian dan pamer an. Mulai dari pameran seni Keringat Rakyat, seni Banyu Wayu, seni keja dian Masturbasi Reformasi, dan seni Membanting Macan Kerah. Paling kontroversial, mantan wartawan BBC London ini menciptakan seni kejadian mengenai perkawinan beda alam. Seni kejadian yang berkisah tentang seorang manusia, Kodok Ibnu Sukodok, berke inginan menikahi peri, Peri Setyowati. Apa yang ingin Bramantyo sampaikan? Berikut penuturannya kepada reporter EKSPRESI, Andhika Widyawan dan Bayu Hendrawati, dalam wawancara di Sekaralas, Widodaren, Ngawi.
Apa tujuan utama seni kejadian perkawin an beda alam?
Cerita perkawinan beda alam antara Mbah Kodok dengan Peri Setyowati di buat dalam usaha membuat karya yang menjawab persoalan masyarakat. Seperti masalah lingkungan hidup, terutama di kawasan Sekaralas. Di sini, ada dua mata air yaitu Sendang Ngiyom dan Sendang Margo. Dulunya sendang ini merupakan mata air yang cukup besar tapi kemudian debitnya mengecil. Persoalan berikutnya, kala itu sedang ramai tentang perkawinan sesama jenis (LGBT). Cerita ini sebagai bentuk ko mentar terhadap wacana yang sedang terjadi. Kami cuma ingin nyeletuk, bahwa kita secara tradisi, jangankan perkawin an sesama jenis atau perkawinan beda agama, perkawinan beda alam saja ada.
58 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
Juga untuk melestarikan mitos di masya rakat? Sebenarnya bukan untuk melesta rikan mitos yang beredar, kami justru membuat mitos baru.
Mengapa harus Mbah Kodok dan Peri Setyawati?
Jadi dikisahkan, ada seorang pria bernama Kodok Ibnu Sukodok yang berusia di atas 60 tahun dan berstatus bujangan, ingin kawin dengan seorang perempuan gaib, yakni seorang peri bernama Setyowati. Dipilihnya tokoh Peri Setyowati karena ada kedekatan dengan masyarakat Ngawi. Dulu diki sahkan, bahwa pada zaman Majapahit, Brawijaya Pamungkas bersama Sabda Palon dan Naya Genggong melak u kan perjalanan dari Ketonggo menuju Gunung Lawu. Nah, kami melakukan penambahan cerita, yakni Setyowati ini merupakan salah satu penderek dari Brawijaya Pamungkas hingga akhirnya Peri Setyowati moksa di Sendang Margo.
Bagaimana respons masyarakat?
Jadi, kami melanjutkan upacara
ANDHIKA | EKSPRESI
wawancara khusus
wawancara khusus
itu karena respons masyarakat sangat positif. Acara yang digelar melibatkan banyak orang karena sebetulnya sangat sedikit seniman di generasi saya yang fokus dengan seni upacara. Contohnya Festival 5 Gunung, seni upacara tetapi tidak fokus pada dampaknya. Sedang kami berusaha untuk melihat dampak nya, salah satunya yaitu setiap selesai acara diupayakan agar tidak ada sampah.
Bagaimana membangun kepercayaan ma syarakat pada mitos?
Ini kan memang bukan kepercaya an. Ini adalah bentuk seni. Selayaknya mitos lain yang beredar, semua hanya cerita. Mungkin, sebagian orang benarbenar memercayai mitos-mitos yang beredar. Akan tetapi itu tidak meng hilangkan fakta bahwa seni membuat mitos sebetulnya satu seni tradisional yang cukup maju dalam budaya-budaya Nusantara. Banyak bentuk-bentuk seni yang lain, seperti seni membuat film dan seni membuat patung. Di masyarakat pula, seni membuat mitos sudah mulai punah. Jadi, mitos ini sebagai wahana nilai yang betul-betul diperhitungkan. Dibuat supaya membawa nilai-nilai yang dibutuhkan.
Nilai apa yang ingin disampaikan kepada masyarakat?
Seni kejadian tentang Mbah Kodok rabi peri ini kami buat sebagai seni ke jadian berdampak. Setiap hari selalu ada kegiatan di Sendang Ngiyom atau Sendang Margo, baik perawatan mau pun penanaman berbagai pohon. Setiap hari cerita ini digarap supaya menjadi semacam upacara. Upacara itu intinya mengumpulkan fokus pikiran dan keikh lasan dari banyak pihak, itulah upacara yang benar. Upacara yang benar-benar khidmat dan masih terasa magisnya itu kalau se mua orang datang dengan ikhlas, dan pada saat mengikuti upacara memainkan perannya dengan sungguh-sungguh. Ni lainya itu adalah apa yang dialami orangorang ketika mengikuti upacara tersebut. Berikutnya, yang ingin diperbaiki dari kondisi masyarakat adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan. Se perti yang bisa kita lihat di TV-TV, se usai salat Id, sampah koran berserakan di mana-mana. Jadi, daripada sekadar kesenian yang bermuatan pesan-pesan, rasanya lebih efektif untuk membuat per
ubahan nilai-nilai dalam kebiasaan yang saat ini sering muncul.
Yang dilakukan agar mitos ini tetap ber nilai?
Jadi, setelah perkawinan, Mbah Kodok dan Peri Setyowati kemudian me miliki dua anak yakni Jogo Samudro dan Siti Parwati. Ceritanya, Peri Setyowati ingin dibangunkan keraton. Keraton yang diinginkan wujudnya adalah hutan kon servasi yang kokoh secara ekologi, secara kultural, dan secara estetis. Selain itu, juga dilakukan perawatan berkala serta penanaman aneka pohon dan tanaman obat.
Menurut Anda, di mana letak nilai estetika dalam seni kejadian Anda?
Salah satunya dalam penambahan cerita yang dibuat.
Bagaimana bentuk pengembangan cerita yang akan Anda lakukan?
Untuk ke depannya, karena ceri ta yang kami bangun merupakan seni kejadian berdampak, maka kami me lakukan penambahan cerita. Dulunya kan Setyowati ini belum menikah dan akhirnya dia berdiam di Sendang Ngiyom dan Sendang Margo. Diceritakan pula Sabda Palon dan Naya Genggong akan kembali. Kembalinya Sabda Palon dan Naya Genggong akan terjadi bila ma syarakat Jawa sudah kembali ke agama Budhi. Narasinya seperti itu. Nah, kembalinya agama Budhi nanti, tolok ukurnya adalah Bengawan Solo bersih. Semua anak sungai yang menuju Bengawan Solo bersih. Itulah tandanya agama Budhi sudah tumbuh lagi di Jawa dan Sabda Palon serta Naya Genggong akan datang. Untuk datangnya itu kita tambahi cerita, anak Mbah Kodhok (Jogo Samudro dan Siti Parwati) harus meng usahakan bersihnya Bengawan Solo. Jadi kami buat kejadian itu sebagai kejadian berdampak.
Upaya untuk membersihkan Bengawan Solo?
Tind aka n sel anj utn ya, dic er it a kan anak Mbah Kodok (Jogo Samudro dan Siti Parwati) diperintahkan untuk ngenger (ikut dan belajar) pada Baginda Milir (penguasa Bengawan Solo). Jogo Samudro dan Siti Parwati diharuskan ngenger untuk belajar bagaimana men jadikan Bengawan Solo ini kembali men
jadi nadi budaya, kembali bersih. Untuk menandai dimulainya ngenger, mereka diperintahkan untuk membuat sebuah upacara bernama upacara Kebo Ketan yang diikuti dengan pembersihan Sungai Bengawan Solo.
Apa nilai-nilai luhur dalam Upacara Kebo Ketan?
Upacara Kebo Ketan itu adalah pembuatan kerbau dari ketan. Kemudian disembelih lalu dimakan bersama. Pada upacara tersebut akan ada orasi kebudayaan juga. Orasi kebudayaan ini agar seni kejadian ini dijadikan bagian dari peringatan Maulid Nabi. Upacara ini melanjutkan cerita anak Mbah Kodok sekaligus Grebeg Maulid yang dirayakan bersama-sama. Karena Grebeg Maulid yang dari keraton itu seakan sudah kehilangan relevansinya, hanya sebagai pasar malam biasa. Sebagai upacara untuk wahana nilai dan dinamisasi nilai dan struktur itu sudah melempem. Jadi kami akan mengambil alih Grebeg Maulid sekarang agar tidak dilakukan oleh raja, tetapi rakyat biasa.
Upacara itu tidak hanya milik agama tertentu?
Ya, karena upacara itu merupakan satu budaya yang sudah dikembangkan menjadi cukup canggih. Upacara yang masih berjalan di Jawa itu salah satunya adalah bersih desa, tapi itu pun sudah mengalami penyempitan makna. Nilai sakralnya sudah turun dan tujuan untuk mengajak banyak orang sudah makin menghilang. Upacara agama tidak bisa merangkul banyak orang. Sementara upacara seperti bersih desa, dengan banyak proses, sekarang diringkas hanya dengan nanggap wayang.
Perkawinan Mbah Kodok dengan Peri Setyowati dianggap penyimpangan agama. Pendapat Anda? Kalau pembuatan seni kejadian per kawinan antara Mbah Kodok dengan Peri Setyowati dianggap sebagai bagian dari agama, ya mungkin penyimpang an agama. Akan tetapi, kami kan tidak membuat agama, kami hanya membu at mitos. Ketika menyangkut agama, memang menjadi sedikit sensitif, tapi sebetulnya narasi agama sendiri juga mengandung mitos. Bukan berarti saya mengecilkan artinya dengan mengatakan bahwa narasi agama itu mitos.[]
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 59
resensi
Menulis Berarti Mengukir Sejarah Oleh Khusnul Khitam
P
Proses Pencarian Jati Diri
Carlos Fuentes, pada usia 7 tahun sudah mulai menulis. Ketika itu ia bah kan tidak tahu apa yang menarik baginya untuk ditulis. Ia mencorat-coret apapun dan menerbitkan sebuah majalah priba di dalam sebulan—ditulis dan digambar olehnya sendiri. Ia meletakkannya di pintu apartemen tempat tinggalnya di Washington DC, menyuruh setiap orang mengembalikan kepadanya ketika me
reka lewat. Bagaimanapun ia menyada ri, tidak ada seorangpun yang pernah membaca majalahnya itu. Hingga ketika ia telah menjadi penu lis besar. Fuentes tidak melihat dirinya sebagai seorang penulis yang nasionalis dan tidak memercayai nasionalisme dalam sastra. Menurutnya, sastra adalah sebuah peristiwa internasional. Tulisan adalah imajinasi dan tulisan itu menjadi titik perhatian ketika membaca serta menghakimi seorang penulis (hal. 15). Bertrand Russell, pada usia 21 tahun, ia berharap gaya tulisannya bisa seperti John Stuart Mill. Ia menyukai struktur kalimat dan cara mengembang kan pokok permasalahan filsuf empiris dari Inggris itu. Dalam proses pencari annya, ia menghabiskan waktu berjamjam untuk mencari cara menulis kalimat terpendek untuk mengatakan sesuatu tanpa ambiguitas. Pada usianya inilah, ia mendapat pengaruh baru dari Logan Pearsall Smith, kakak iparnya. Dengan sangat berharap agar ia dapat menemu kan cara untuk menulis. Hingga, dalam kary an ya, Free Man’s Worship, Russell menyampai kan pesan-pesan seperti: jangan meng gunakan kata yang paling panjang jika kata yang pendek bisa digunakan; jika kita ingin membuat pertanyaan dengan kualifikasi-kualifikasi besar, maka ta ruhlah beberapa kualifikasi itu dalam kalimat-kalimat yang terpisah. Senada dengannya, Gabriel Garcia Marquez dal am proses penc ar ia n nya berguru dengan dua pengarang besar: William Faulkner dan Ernest Hemingway. Dua gurunya mengajar kan hal yang berbeda satu sama lain. Faulkner lebih memunculkan rahasia dalam karyanya. Sehingga kita musti membolak-balik halaman untuk mene mukan lapisan rahasia itu. Hemingway justru seb al ikn ya. Ia memb ia rk an misteri-misteri itu sepenuhnya diketa hui. Mungkin karena alasan itu Faulkner lebih menjadi penulis yang berpengaruh dalam jiwa Marquez. Adapun pengalaman Paulo Coelho yang sejak kecil selalu bermimpi untuk menjadi penulis. Akan tetapi ia dilarang oleh ibunya dan mengirimnya ke sekolah hukum. Coelho berhenti sekolah hukum
60 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
ADE | EKSPRESI
ada mulan ya adalah kata. Menulis juga berarti meng had irk an kata. Mem angg il dari sumber pemikiran dan meletakkannya menjadi baris-baris ka limat, kalimat menjadi paragraf, kemu dian wacana. Hingga ia menimbulkan makna. Kata-kata hadir sesuai kehendak pemikiran penulis. Dunia telah membuktikan, menulis bukanlah hal yang bisa dikatakan tidak penting. Ia dapat melakukan sesuatu dan dapat ditempatkan sebagai sesuatu. Me nulis dapat memberikan pelajaran dan berarti juga proses mengukir sejarah. Sebagaimana para pemikir dunia (Albert Camus, dkk) melalui menulis, mereka melahirkan karya yang mengagumkan dan menciptakan sejarah. Buku ini hadir dengan judul Me nulis itu Indah. Ia menguak asal mula lahirnya penulis dunia. Inilah kisah yang mencatat perjalanan hingga mereka ada, mengukir sejarah, dicap sebagai ultra konservatif atau dengan cap stigma lainnya. Dua puluh tiga esai terjemahan Adhe Ma’ruf ini, mencoba memaparkan proses kerja penciptaan karya para pe nulis dunia. Mereka sama-sama mem bahas tentang hal yang berhubungan dengan menulis, perbedaannya adalah semua memiliki pandangan yang me narik dan pengalaman mengenai dunia tulis-menulis. Dapat dikatakan bahwa esai-esai ini adalah dialog para penulis dunia dengan pembaca. Mereka secara sadar menulis kannya sendiri. Bukan berarti mereka menunjukkan bahwa mereka adalah penulis yang paling tahu, dan tidak boleh dilupakan dalam sejarah. Mereka tentunya berharap bahwa pengalaman mereka ini bisa menjadi pembelajaran.
Menulis Itu Indah: Pengalaman Para Penulis Dunia Pengarang: Albert Camus, et.al Penerjemah: Adhe Ma'aruf Penerbit: Octopus Tebal: 268 Waktu Terbit: Oktober 2016 dan mengikuti mimpinya. Buku nonfiksi karyanya The Valkyries berhasil sukses di seluruh dunia. Penulis lain dalam buku ini yaitu Albert Camus, objek penyelidikannya soal kepastian sejati dalam proses pe nulisan. Kemudian, George Orwell, ber hasil memesonakan pembacanya lewat Animal Farm. Michel Foucault, filsuf yang berbicara tentang fungsi penga rang. Adapun para penulis lain: Jean Paul Sartre, Czeslaw Milosz, Edward Said, Gao Xingjian, dll. Sulit untuk tidak menyebut buku ini istimewa. Adhe berhasil memudah kan pembaca awam memahami isi dari esai dengan bahasa yang mudah dan enak diikuti. Buku ini juga menjawab mengapa para pemikir dunia ini me nulis. Lewat tulisannya itulah, mereka memiliki pengaruh terhadap dunia dan peradaban.[]
Laporan Khusus
Titik ÂBalik ÂRilisan Fisik
RANDY | EKSPRESI
S
ejak awal kelahirannya, rilisan fisik tetap hidup hingga saat ini. Ia menolak mati. Walau sempat mati suri sekalipun, nyawanya tak pernah mau dicabut dari raga para peminat. Ia semakin sehat lantaran selalu ditimang oleh para penikmat yang sudah terpikat. Ia kembali bangkit dan bertahan. Ada seratus alasan agar ia ditinggalkan, tapi tersimpan seribu lainnya yang bikin rilisan fisik tak tergantikan.
L A PORAN K H U S U S Sempat lemas di tengah hiruk pikuk era digital yang semakin keras, rilisan fisik kini kembali ganas. Oleh Ghozali Saputra
M
el al ui c atata n p ribadin ya d i d ennysakrie63.w ordpress.c om, pengamat musik Indonesia, Denny Sakrie (almarhum), menuturkan, se kitar 1904, seorang saudagar peranakan Tionghoa bernama Tio Tek Hong membuka bisnis rekaman di Batavia. Ia mendirikan label rekaman pertama di Indonesia yang diberi nama Tio Tek Hong Record. Waktu itu, ia mengg unak an P honog raph—a lat perekam suara—yang ia impor. Setahun kemudian, ia merilis pelat gramofon atau piringan hitam. Ada yang k has dari piringan hitam buatan Tek Hong. Selalu terkumandang suara: “Terbikin oleh Tio Tek Hong, Batavia” di awal t rack saat pertama diputar. Lagu-lagu yang Tek Hong hasilkan meliputi genre Stambul, Keroncong, Gambus, Kasidah, Musik India, Swing hingga Irama Melayu. Masyarakat saat itu senang mendengarkan “Tjente Manis”, “Boeroeng Nori”, “Djali Djali”, “Tjerai Kasih”, “Paioeng Patah”, “Dajoeng Sampan”, dan masih banyak lagi. Di sam ping itu, Tio Tek Hong juga merilis sandiwara N jai Dasima yang dikemas dalam bentuk boks berisikan 5 keping piringan hitam. Pada 1905, untuk mendistri busikan piringan hitam ke seluruh Hindia Belanda, Tio Tek Hong Record dan perusahaan rekaman milik kawan-kawannya bekerja sama dengan Odeon Record, kemudian dengan Columbia Record pada 1911. Seperjalanan waktu, di Indonesia berdiri Irama Record pada awal 1950-an yang fokus pada l agu-lagu hiburan Indonesia. Lalu ada Remaco (Republic Manufacturing Company) yang didirikan oleh pasang an suami istri Moestari dan Titien Soemarni. Disusul Lokananta, pabrik piringan hitam pertama milik negara yang didirikan oleh Presiden Soekarno pada 1956 di Solo. Lokananta waktu itu banyak meng hasilkan lagu-lagu daerah. Semua perusahaan pada awalnya memproduksi piringan hitam. Seiring perkembangan zaman, piring an hitam mulai tersingkir oleh Compact Cassette (kaset pita) yang ditemukan oleh Philip pada 1962. Di Indonesia, kaset pita berkembang pada 1964 hingga 1980-an. Denny Sakrie dalam bukunya, 100 Tahun Musik Indonesia, mengungkapkan, kaset memiliki bentuk praktis dan harga lebih terjangkau. Musik di Indonesia mengalami masa keemasan nya pada era kaset pita. Produksi musik meningkat, distribusi lebih luas dan merata. S tudio-studio rekaman mulai banyak berdiri, musisi dari bermacam genre musik bermunculan. Dalam format grup musik ada Koes Plus, Bimbo, hingga Soneta. Sementara untuk penyanyi solo ada Chrisye, Ebiet G. Ade, Iwan Fals, Diana Nasution, Hetty Koes Endang dan
62 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
lain-lain. Menurut Denny, saat itu musisi dengan penjualan kaset yang terbilang sukses ialah Rinto Harahap, Pance Pondaag, dan Obbie Messakh. Sejalan dengan masa keemasan kaset pita, awal 1970-an hingga akhir 1980-an juga menjadi masa kejayaan Lokananta. Ya, Lokananta akhirnya mem produksi kaset pita. Setiap bulan mereka bisa merilis 100 ribu keping kaset pita di pasaran. Masyarakat menyambut dengan gembira ketika itu. Sampai pada 1982, pria asal Amerika bernama James Russell memp erk enalk an Compact Disc (cakram padat)—cakram optik digital untuk menyim pan data. Cakram padat inilah yang akhirnya merun tuhkan kepopuleran kaset pita di seluruh negara, termasuk Indonesia. Tercatat dalam Voicemagz.com, puncak penjualan cakram padat terjadi pada akhir 1990-an. Namun, dari segi penjualan memang tidak sehebat waktu kaset pita menjadi primadona.
Matinya Rilisan Fisik
Perkembangan pesat era digital berimbas pada media perekam yang menghasilkan piringan hitam dan kaset pita. Menurut buku Rolling Stone Music Biz (2009), kondisi itulah yang membuat bangkrut 117 label rekaman lokal. Di antaranya Irama Record dan segera jumlah label rekaman menyusut menjadi 70 saja. Label-label yang bertahan kemudian tergabung dalam Asiri. Selain itu, toko-toko kaset banyak yang gulung tikar. Bagi sebagian besar orang, lebih praktis mengunduh lagu dari internet. Pengunduhan lagu di internet tersebut biasanya dalam format Mp3. Akan tetapi, teknologi Mp3 ini memudahkan orang untuk melakukan pembajakan. Hal tersebut mengakibatkan penurunan pendapatan musisi, grup musik, label, hingga pengusaha rilisan fisik. Pem bajakan menjadi momok bagi orang-orang yang menggeluti industri musik, termasuk di Lokananta. Sekitar 1999 hingga 2000 menjadi titik terendah dalam perjalanan Lokananta. Saat itu Lokananta berhenti produksi. Selain akibat dari pembajakan, keputusan pemerintahan era Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan pada 1999 juga menjadi musababnya. Aturan dalam UU Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982 yang kemudian revisi sampai menjadi UU Nomor 28 Tahun 2014, sama sekali tidak digubris oleh para pembajak. Menurut data dari Rolling Stone Music Biz, musik bajakan telah menguasai 95,7% penjualan. Sementara musik legal penjualannya hanya tinggal 4,3% di Indonesia.
Bangkitnya Rilisan Fisik
Kendati demikian, adanya pembajakan justru bukti rilisan fisik masih banyak diminati, meski hanya ilegal. Pasalnya, rilisan fisik bajakan lebih murah dan mudah untuk didapat. Asiri bahkan melaku kan terobosan baru yang cukup kontroversial. Asiri dan Gaperindo (Gabungan Perusahaan Rekaman Indonesia) secara resmi menggandeng PIMRI (Per
T it ik B a l ik Ril is a n F is i k
ANDHIKA| EKSPRESI
Inggris, BPI (British Phonographic Industry), pada 2014, penjualan piringan hitam mencapai tingkat tertinggi, yaitu 1,3 juta keping sejak 1995. Di luar itu semua, hal terpenting tapi acap kali dilupakan adalah pendokumentasian karya. Data apapun tidak boleh lenyap begitu saja, termasuk data musik. Di Lokananta ada kurang lebih 40.000 kaset pita dan piringan hitam dari berbagai genre. Pendokumentasian dilakukan dengan pengalihan format piringan hitam menjadi cakram padat. Selain itu, pendokumentasian dilakukan pula dalam bentuk digital. Di Lokanantamusik.com kita bisa menikmati lagu-lagu zaman Waldjinah 1959, termasuk rekaman pidato Presiden Soekarno. Bersama kawan-kawannya, hal serupa juga di lakukan oleh David Tarigan, pendiri Irama Nusantara. Mereka melakukan pendataan dan pengarsipan musik Indonesia era 1950-an hingga 1980-an. Temuan-temu annya itu kemudian diunggah ke dalam basis data Iramanusantara.org. Hal-hal yang mereka lakukan tersebut dilandasi oleh kesadaran akan pentingnya sejarah musik Indonesia. “Kami berharap Irama Nusantara dapat menjadi landasan dalam meng akomodasi siapapun yang tertarik untuk mengkaji sejarah musik populer Indonesia,” ungkap Tarigan dalam video profil Irama Nusantara.[]
Kronik Rilisan Fisik
kumpulan Industri Media Replika Indonesia) merilis produk bernama VCD Karaoke Super Ekonomis yang dijual eceran seharga Rp5.000 hingga Rp6.000. Bukti lain yang tak boleh dipandang sebelah mata adalah berseliwerannya kolektor-kolektor yang berburu rilisan fisik orisinal. Jangan lupakan pula orang-orang yang khusyuk mendengarkan audio dengan kualitas tinggi. Mereka disebut audiophile. Mereka, misalnya, tergabung dalam Tjihapit Skool of Rock di Bandung. Fokus mereka adalah rilisan fisik baru dan lawas dari berbagai genre musik di kancah internasional. Rilisan fisik tak hanya dikoleksi dan didengar, tetapi juga dirayakan. Ada hari-hari peringatan musik, seperti Record Store Day (RSD) dan Cassette Store Day (CSD). Penggemar, seniman, dan ribuan toko rekaman independen di seluruh dunia dipertemu kan. Pada 2016, RSD sudah digelar di 20 kota di Indonesia. Sementara CSD, yang terilhami oleh RSD, baru digelar di beberapa kota besar di Indonesia. Untuk mengimbangi perkembangan era digital, toko-toko rilisan fisik mulai berjualan secara daring. Di antaranya Tower Records dan Aquarius Mahakam. Tower Records dengan situs webn ya bern ama Towerrecords.com, dan Aquarius Mahakam bisa dikunjungi di Aquariusmusiconline.com. Pelbagai terobosan dilakukan untuk menjaga rilisan fisik tetap diminati. Banyak musisi dan grup musik mulai memproduksi rilisan fisik dengan kemasan unik. Dalam bentuk boxset ada Endank Soekamti yang mulai memproduksinya sejak album Angka 8 hingga Soekamti Day. Bahkan, dalam film terbarunya, VLOGFEST 2016, mereka juga mencetaknya dalam boxtset. Tidak hanya berisi CD terbarunya, grup musik asal Yogyakarta ini men yertakan DVD film dokumenter pembuatan album, t-shirt, aksesori resmi, dan sertifikat. Tak ketinggal an pula Frau yang merilis album Happy Coda berbentuk bedak versi vintage. B e b e ra p a g r u p m u s i k Indonesia juga mulai merilis album dalam bentuk piringa n hitam. Mulai dari Superman Is Dead, White Shoes and The Couples Company, Sore, dan masih banyak lagi. Biasan ya mereka merilis dalam jumlah terbatas, berkisar 200 hingga 500 keping piringan hitam. Tak hanya di dalam negeri, demam piringan hitam pun terjadi di luar negeri. Pada 2014, penjualan piringan hitam di Amerika Serikat dan Inggris meningkat. Menurut data asosiasi industri rekaman di
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 63
L A PORAN K H U S U S
Wajah Pembajakan Rilisan Fisik
Pembajakan rilisan fisik musik bukan lagi sebuah momok. Oleh Ghozali Saputra
M
Indra Menus, bahwa promosi melalui rilisan fisik bajakan sangat menguntungkan bagi grup musik.
alam itu, Minggu (17/6), tim rubrik Laporan Khusus mendatangi David Tarigan, seorang inisiator pendoku mentasian lagu Indonesia, di Hotel Andhitama, Prawirotaman II untuk membicarakan soal musik di Tanah Air. Ayah dari seorang anak perempuan ini memulai pembicaraannya dengan memperkenalkan diri sebagai salah satu perintis per pustakaan musik Irama Nusantara. Ia mengaku telah terpikat dengan dunia musik sejak kecil. Ia paling gemar mengumpulkan kaset-kaset grup musik favo ritnya dan membaca majalah yang membahas soal musik. Bahkan sejak ia masih duduk di bangku kelas V sekolah dasar. Hal itu yang bikin David masih meng geluti dunia musik sampai sekarang. “Kaset di Indonesia waktu itu murah, soalnya bajakan semua, termasuk kaset Barat,” tutur David sambil mengingat masa kecilnya. Namun, David me nyatakan bahwa kaset-kaset bajakan itu kini telah hilang dari peredaran. “Makanya saya ingin tahu lebih banyak.” Ia menceritakan, suatu hari seorang penyanyi terkenal asal Irlandia bernama Bob Geldof
64 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
sempat dibuat naik pitam oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab di Indonesia. “Itu (kaset-kaset ba jakan yang hilang, Red.) karena Bob Geldof ngamukngamuk ke Indonesia,” jelas David. David lalu menceritakan awal duduk perkara pembajakan di Indonesia. Pada 13 Juli 1985, Geldof mengadakan pergelaran musik rock secara kolosal yang bertajuk Live Aid. Pergelaran itu diadakan guna mengumpulkan dana penanggulangan kelaparan di Etiopia. “Yang tampil artis keren-keren, konser itu dibikin untuk membantu anak-anak kelapar an di Afrika.” Konser Live Aid itu diselenggarakan serentak di dua tempat, yaitu stadion Wembley di London, Inggris, dan di stadion John F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat. Siaran langsung konser tersebut tersebar di 150 negara. Setelah konser digelar, beredarlah kaset berjudul Live Aid berisi lagu-lagu yang dinyanyikan dalam konser tersebut. Di kaset itu tertulis Made in Indonesia dan memakai pita cukai Indonesia. “Gilanya, kaset bajakan Indonesia yang Barat ada PPN-nya,” ungkap David. Selain itu, tercantum informasi bahwa hasil keuntungan penjualan akan disumbangkan ke Etiopia. “Dulu orang luar negeri banyak yang beli, teman Si Queen, John, menemukan kaset Indonesia di Timur Tengah lalu dikasih ke Queen, dan akhirnya diterima Bob Geldof. Terus dia ngamuk,” tutur David. Geldof dan kawan-kawannya meradang. Geram melihat tingkah laku orang Indonesia saat itu. Mereka be ramai-ramai memprotes melalui media sosial. “Wah, akhirnya saya ingat, di Kompas, foto headline-nya Bob Geldof sedang menarik pita kaset.” Saat itu, secara hukum pembajakan di Indonesia tidak dapat ditindak. Sebab pada 1958, Perdana Menteri R. Djoeanda Kartawidjaja, menyatakan bahwa Indonesia keluar dari Konvensi Bern. Artinya, Indonesia tidak ikut menandatangani perjanjian Hak Cipta Internasional. Selain itu, di dalam negeri sendiri juga belum dibuat undang-undang antipembajakan. Sampai pada 2002, barulah dibuat Undang-Undang Nomor 19 tentang Hak Cipta. Akan tetapi, setelah ditetapkannya UU Hak Cipta tersebut, sampai saat ini toko-toko yang menjual ri lisan fisik bajakan masih marak beroperasi. Di se kitaran jalan Mataram, Yogyakarta, masih banyak dijumpai toko penjual rilisan fisik bajakan dengan
T it ik B a l ik Ril is a n F is i k GHOZA| EKSPRESI
harga murah. Ridho, salah satu konsumen toko rilisan fisik bajakan di jalan Mataram, mengaku bahwa ia memang berlangganan di toko tersebut. “Ya, lang ganan saya memang di sini,” ujarnya seraya memilih rilisan fisik kesukaannya. Adapun harga yang ditawarkan oleh para penjual rilisan fisik bajakan berupa-rupa. Harga untuk CD berkisar dari Rp8 ribu hingga Rp10 ribu. Sedangkan harga untuk VCD Rp15 ribu. Lebih mahal dari CD karena termasuk orisinal dengan tanda hologram di bungkus VCD tersebut. Selain menjual rilisan fisik musik, para penjual rilisan fisik bajakan ini juga men jual rilisan fisik film dalam bentuk DVD. Harga untuk satu DVD yang berisi satu sampai delapan judul film hanya dipatok dengan harga Rp8 ribu. Beberapa kali tim rubrik Laporan Khusus men cari informasi dengan mendatangi toko-toko rilisan fisik bajakan. Namun, hanya sedikit penjual yang mau diwawancarai. Salah seorang penjual rilisan fisik bajakan di jalan Mataram mengaku tidak be rani memajang CD musik bajakannya di rak depan karena masih sering ada razia. CD musik bajakan disimpan di rak tersembunyi dan baru dikeluarkan saat ada yang pelanggan yang bertanya. “Masih ada razia, tapi bukan polisi. Dari distributor resmi atau sales CD orisinalnya,” ungkapnya. Lebih lanjut, penjual rilisan fisik bajakan yang enggan disebutkan namanya itu pun mengungkap kan bentuk razia yang pernah ia alami. “Razianya itu cuma ditanya kenapa menyediakan CD bajakan.” Jika memang ketahuan menyediakan bajakan, distributor tidak akan mau lagi memasok berbagai macam CD ke toko yang bersangkutan. Pembajakan musik ternyata tidak terjadi pada rilisan fisik saja, tetapi sudah merambah ke rilisan digital. Banyak situs web yang menyediakan lagu gratis untuk diunduh. Kualitas lagu yang bisa diun duh pun beragam. Mulai dari 64 kbps, 128 kbps, 192 kbps, hingga 320 kbps untuk kualitas format Mp3 terbaik. Lagu berbahasa Indonesia sendiri sangat jarang ditemui dengan kualitas terbaik. Kualitasnya hanya 128 kbps atau 192 kbps. Sementara itu, lagu dengan format Mp3 320 kbps terdiri dari lagu-lagu barat dan K-Pop. Komplet dengan sampul album yang tayang ketika lagu tersebut diputar. Data dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri), dalam buku Rolling Stone Music Biz tahun 2009, menyebutkan, musik bajakan telah mengu asai 95,7% penjualan di Indonesia. Sementara musik legal penjualannya tinggal 4,3%. Saat itu kerugian yang dialami oleh Indonesia lebih dari 1,122 triliun rupiah. Jumlah yang seharusnya diperoleh dari pe nerimaan pajak. Akan tetapi, dengan adanya orang-orang yang masih berburu rilisan fisik bajakan, kebangkitan ri lisan fisik itu sendiri menjadi terdongkrak. Toko-toko yang menjual rilisan fisik bajakan di jalan Mataram ke banyakan memang dipadati oleh kaum muda. Namun, tak jarang anak-anak, ibu-ibu hingga kakek-kakek,
turut menggemari rilisan fisik favorit mereka. Saat tim rubrik Laporan Khusus mengunjungi salah satu toko tersebut, didapati seorang kakek keluar sambil membawa beberapa keping VCD dangdut. Nyatanya, memang VCD dangdutlah yang menjadi primadona. Selain murah, kualitasnya pun cukup baik. Bak kolektor-kolektor profesional mereka berburu rilisan fisik untuk dinikmati. Bedanya, kolektor-kolek tor rilisan fisik orisinal “mengoleksi” karena mereka maniak terhadap rilisan fisik orisinal. Sedangkan konsumen rilisan fisik bajakan mengoleksi sekadar untuk hiburan karena harganya yang murah. “Kalau orisinal mahal. Selisihnya juga lumayan,” kata Ridho. Toko kaset bajakan yang tak pernah sepi pengun jung menjadi bukti bahwa rilisan fisik masih banyak peminat. Selain itu, pembajakan juga dapat dijadikan sebagai promosi musisi. Hal itu diungkapkan oleh Indra Menus, bahwa promosi melalui rilisan fisik bajakan sangat menguntungkan bagi grup musik. “Band itu tidak keluar duit. Si pembajak yang promo sikan dan orang jadi tahu. Biaya promosi itu mahal, lho,” terang Menus. “Jadi gerakan antipembajakan itu menurutku useless,” lanjut pemilik Doggy House Record itu. Menus mencontohkan, banyak grup musik ter kenal karena pembajakan. Ia menegaskan bahwa pembajakan tidak semata-mata buruk. Menurutnya, orang-orang tidak cukup hanya setuju atau tidak ter hadap pembajakan. Namun, mereka harus meninjau dari banyak sisi. “Ada yang enggak suka itu (pemba jakan, Red.) karena dia dirugikan.” Sedang di sisi lain, pembajakan adalah promosi sendiri bagi si musisi. “Dan enggak cuma musik, hal-hal lain pun pasti begitu. Tinggal bagaimana kita bisa memanfaatkan pembajakan.” Menurutnya, lebih baik menunggangi pembajakan daripada harus antipati. Selain Menus, pendapat serupa juga diungkapkan oleh David. Ia mengatakan, rilisan fisik bajakan tidak harus dibas mi. “Buat apa takut pembajakan? Sekarang malah menyenangkan. Wah, dibajak, gila kita terkenal. Manfaatkan, dong!” ungkapnya.[]
Minggu (17/6), David Tarigan menceritakan kisah Bob Geldof yang marah-marah saat terjadi pembajakan lagunya di Indonesia.
Buat apa takut pembajakan? Sekarang malah menyenangkan. Wah, dibajak, gila kita terkenal. Manfaatkan, dong! David
Laporan oleh Andhika, Aziz, dan Winna
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 65
L A PORAN K H U S U S
Murah Tapi Tak Meriah Muncul upaya baru mengatasi pembajakan dengan membuat VCD murah secara massal. Namun, kebijakan ini masih menuai pro dan kontra. Oleh Andhika Widyawan
D Cara orang mendengarkan musik sudah bergeser Wowok
AN
D
A HIK
|E
KS
PR
ES
I
i siang yang cukup cerah dan terik pada Jumat (29/07) Woto Wibowo, pendiri netlabel Yes No Wave Music, sedang duduk santai di depan kantornya. Terletak di Mangkuyudan, Yogyakarta, netlabel tersebut menjadi label rekaman pertama di Indonesia yang mendistribusikan musik secara gratis melalui jaringan internet. Sambil sesekali menghisap rokoknya, pria yang akrab disapa Wowok ini bercerita banyak tentang VCD Ekonomis. Dia berpendapat bahwa usaha yang dilakukan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) tersebut merupakan cara yang bagus untuk menyelamatkan bisnis rilisan fisik. Namun demikian, Wowok menilai upaya tersebut datang terlambat. Menurutnya, “Cara orang men dengarkan musik sudah bergeser.” Dengan adanya dukungan internet, musik digital dapat didengarkan di manapun. Hal itu membuat orang-orang saat ini lebih sering mengakses Soundcloud, Spotify, hingga YouTube untuk mendengarkan musik. Hal ini nan tinya akan menyulitkan penjualan jangka panjang CD Ekonomis. Pada 11 Februari 2016 silam, ASIRI bersa ma Gabungan Perusahaan Rekaman Indonesia (Gaperindo) meneken kontrak kerja sama untuk membuat VCD Ekonomis. Kerja sama ini mengha silkan proyek produksi rilisan fisik orisinal yang dijual dengan harga murah, Rp5000 per keping. Selain karena menghasilkan rilisan orisinal berharga murah, proyek ini ramai diperbincangkan karena pihak yang menjadi pelaksana proyek adalah Perkumpulan Industri Media Replika Indonesia (PIMRI). PIMRI adalah perkumpulan yang menaungi lima pabrik pencetak CD, VCD, dan DVD bajakan yang selama ini beredar di Indonesia. Dalam wawancaranya dengan Rolling Stone akhir Maret lalu, General Manajer ASIRI, Ventha Lesmana, mengatakan kalau langkah ini terpaksa ditempuh. Hal tersebut lantaran tutupnya salah satu distributor terbesar di industri musik Indonesia Disc Tarra Group pada akhir tahun 2015. “Jalur distribusi musik kami ke masyarakat makin berkurang. Kondisi tersebutlah yang membuat ASIRI harus mencari peluang bisnis lain untuk para anggotanya,” terang Ventha. ASIRI pun yakin jika
Woto Wibowo pendiri netlabel Yes No Wave Music mengatakan VCD Ekonomis adalah cara yang bagus untuk menyelamatkan bisnis rilisan fisik, pada Jumat (29/07)
66 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
proyek ini akan menguntungkan perusahaan rekaman maupun musisi. Meski keuntungannya kecil, namun keuntungan akan berlipat dengan angka penjualan yang tinggi. Apalagi ASIRI yakin, target penjualan 5 juta keping per bulan sudah pasti tercapai. Terlebih langkah ini digadang-gadang mampu menekan angka pembajakan rilisan fisik di Indonesia. Namun demikian, tidak sedikit orang yang sank si dengan kebijakan ini. Saat ditemui pada Sabtu (27/08) Erix Soekamti, vokalis dari grup musik pop punk Endank Soekamti pun berkomentar kalau VCD Ekonomis pada akhirnya berpotensi merugikan musisi yang berada di label mayor. “Kalau musisinya sendiri sebenarnya enggak bisa apa-apa, karena memang itu kontrak yang mengikat dengan labelnya. Itu urusan publishing, player tidak bisa apa-apa,” ungkap Erix. Kendati demikian, karena saat ini Endank Soekamti sudah tidak terikat dengan label mayor manapun, Erix merasa beruntung atas pilihannya keluar dari label mayor pada 2011. “Aku kasihan sama teman-temanku, bukan kasihan sama Endank Soekamti karena kita jauh dari itu. Kita punya pasar sendiri, bikin industri sendiri, bahkan mereka yang bajak mungkin enggak tahu juga kalau ada Endank Soekamti,” ungkapnya sambil tertawa. Sama dengan yang dirasa Wowok. Sebagai orang yang sejak dulu berkecimpung di dunia musik indie, Wowok tidak merasa kebijakan ini dapat berpenga ruh ke musisi-musisi yang berada di jalur ini. Dalam menyikapi pembajakan sendiri, menurut Wowok, grup musik indie tidak terlalu memikirkan pembajakan. “Pembajak laku berapa sih menjual CD musik indie? Wong pendengarnya enggak banyak,” kata Wowok. Selain itu, banyak dari para musisi indie justru melihat pembajakan dari segi positifnya. Pembajakan di satu sisi bisa menjadi media promosi secara murah, bahkan gratis. Dampak juga luas, bisa sampai ke daerah yang mungkin tidak bisa dijamah oleh distributor. Erix Soekamti, dalam menanggapi VCD Ekonomis bahkan sampai membuat satu episode khusus yang membahas kebijakan pemerintah ini di video serial YouTube-nya. Erix melakukan wawancara dengan banyak musisi, wartawan, dan pengamat musik mengenai kebijakan ini. Hasilnya pun beragam, dari yang pro hingga kontra. Di video yang berjudul “Bekerja dengan Pembajak” tersebut, salah seorang komentar, “Ini adalah langkah frustrasi pemerintah. Mungkin VCD Ekonomis akan menyelamatkan musik secara bisnis, tapi tidak secara kesenian.”[] Laporan oleh Ghoza dan Putra
T it ik B a l ik Ril is a n F is i k
Melawan Digitalisasi
Untuk memenuhi dahaga kolektor dan penikmat musik berkualitas, tak ada cara selain tetap menjajakan rilisan fisik. Oleh Triana Yuniasari
B
agi sebagian orang, mengoleksi rilisan fisik musik bisa memberikan keuntungan inves tasi dan nilai historis. Namun, sebagian yang lain menganggap bahwa koleksi rilis an fisik merupakan sebuah kesia-siaan. “Bagi yang tidak paham rilisan fisik musik, koleksi rilisan fisik musik bisa saja dianggap sebagai orang gila, padahal bisa menjadi investasi dan bagian dari sejarah mu sik Indonesia,” kata Tri Aman sebagai salah seorang yang terhidupi dari dunia musik. Kendati demikian, geliat rilisan fisik musik yang dulu populer sempat mengalami masa kritis sejak musik merambah dunia digital. Banyak pihak yang beranggapan bahwa rilisan fisik musik sudah tidak laku. Tri pun berkomentar, “Banyak yang berpikir begitu, saya koleksi kaset dan banyak teman yang mempertanyakan, ‘mengapa memilih membeli ka set padahal mengunduh dari internet saja banyak?” Bahkan seorang pemilik toko rilisan fisik musik bajakan di Jalan Mataram Yogyakarta sangat berha rap agar rilisan fisik tetap bertahan sehingga tidak mengganggu stabilitas usahanya. “Rilisan fisik sangat perlu dipertahankan karena orang seperti saya dan pemilik toko lain di sekitar sini harus membuka usaha apa lagi kalau semua musik diunduh dari internet?” ungkap pemilik toko yang tidak berkenan disebutkan namanya tersebut. Nyatanya, sudah ada toko rilisan fisik yang memu tuskan untuk gulung tikar, salah satunya toko rilisan fisik bernama Ngejaman. “Ngejaman adalah toko kaset bekas yang jadi favorit teman-teman untuk berburu rilisan. Sayangnya sekarang sudah tidak ada, terakhir buka lapak pada 2013 karena berpikir kalau rilisan fisik sudah tidak laku,” ungkap Tri menyayangkan.
Toko Fisik Rilisan Fisik
tersembunyi di selatan Pendapa Aliyasa JNM dan agak menjorok ke belakang menghadap ke timur. Tak begitu banyak pelanggan yang menyambangi toko ini. Kalaupun ada, itu karena sudah menjadi langganan tetap yang sudah mengetahui pasti lo kasi toko. Meski begitu, langganan tetap pun tidak selalu membeli koleksi rilisan fisik karena alasan hanya menggemari aliran musik atau musisi tertentu. “Kita buat sistem pertemanan, banyak yang datang ke sini hanya melihat-lihat, enggak pasti beli,” ungkap Tri sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. JNM Art Shop bisa dikategorikan sebagai salah satu toko rilisan fisik musik di Yogyakarta yang paling komplet. Rak berisi rilisan fisik musik berderet rapi memenuhi ruangan berukuran 9x6 meter persegi ini. Berbagai koleksi rilisan fisik, baik yang berben tuk kaset pita, compact disk (CD), maupun piringan hitam, tertata apik di raknya masing-masing. “Penata annya berdasarkan genre kemudian diurutkan sesuai abjad,” ujar Tri. CD mendapatkan jatah rak dan tempat paling banyak. Mu sababnya, CD adalah bentuk rilisan fisik yang paling diminati saat ini. “Peminat CD bisa mencapai 80%, kaset pita 15%, dan piringan hitam hanya 5%,” terang Tri. Koleksi CD ditata di dua rak ber warna terang di tembok selatan, lima rak berwarna gelap meng gantung pada tembok sebelah barat, serta memenuhi setengah meja ukuran 4x1 meter per segi yang berada di depan pintu
Koleksi rilisan fisik musik bisa saja dianggap sebagai orang gila, padahal bisa menjadi investasi dan bagian dari sejarah musik Indonesia Tri
Tri Aman menunjukkan beragam rilisan yang ada di tokonya.
JNM Art Shop adalah salah satu toko rilisan fisik musik di Yogyakarta dengan Tri menjadi satu-satunya pengelola. Toko rilisan fisik musik yang berdiri di Yogyakarta pada 2010 ini pada awalnya bernama Demajors Jogja. Oleh sebab adanya penggabungan tempat usaha dengan JNM Art Shop maka kemudian nama Demajors Jogja pun diubah menjadi JNM Art Shop. Sesuai dengan namanya, toko ini berlokasi di kawasan Jogja National Museum (JNM). Tempatnya lumayan AZIZ | EKSPRESI
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 67
L A PORAN K H U S U S GHOZA| EKSPRESI
Yudha B. Nugraha saat ditemui di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (1/10).
masuk. Sed angk an kaset pita hanya me nemp at i satu rak ukura n sed ang dan satu meja berukuran 3x1 meter. Kemudian pir inga n hit am me nemp at i empat rak ukuran kecil di dekat meja kasir dan dua rak ukuran kecil di bawah rak CD yang menggan tung di tembok barat. Pergeseran ting kah laku mas yar a kat yang saat ini di mud ahk an dengan adanya internet pun membuat JNM Art Shop harus bisa me ngikuti arus peradab an. Prom os i luring diimb an gi dengan pengg un aa n sosial media sejak awal ber dirinya. “Sejak kita di sini sudah mencoba promosi daring via Twitter tahun 2010,” ungkap Tri.
Berlapak di Internet
Kini, perkembangan promosi daring menjadi sangat pesat. Banyak toko rilisan fisik musik lebih giat di media daring, cara yang paling mereka andalkan dalam memasarkan rilisan fisik. Yogya Music Store adalah salah satu contoh toko rilisan fisik musik yang bergiat di media daring. “Yogya Music Store sejauh ini giat di daring, kalaupun daring hanya membuka lapak seperti ini saja bersama komunitas Jogja Record Store,” ungkap Yudha B. Nugraha, pemilik Yogya Music Store, sem bari menunjuk kawan-kawan komunitasnya. Yogya Music Store bersama dengan beberapa toko rilisan fisik musik, baik daring maupun luring, ketika itu sedang membuka lapak komunitas Jogja Record Store dalam acara Pasar Yakopan di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (1/10). Sejauh ini, Yogya Music Store sendiri hanya memanfaatkan momen membuka lapak secara luring bersama komunitas Jogja Record Store di samping benar-benar mengandalkan media daring dalam pemasaran rilisan fisiknya. Yudha rupanya juga merupakan seorang kolektor rilisan fisik musik, dan itulah yang membuatnya tetap mempertahankan Yogya Music Store. “Sebenarnya karena saya kolektor rilisan fisik musik sejak SMP, jadi sekalian mengumpulkan koleksi baru. Hobi yang membuat saya menjalani usaha ini sampai sekarang walaupun hasilnya tidak seberapa,” tutur Yudha sem bari menunjuk beberapa rilisan fisik di lapaknya yang didominasi oleh rilisan fisik berbentuk CD. Rilisan
68 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
fisik musik yang paling banyak diminati oleh kon sumen saat ini adalah dalam bentuk CD sehingga foto yang sering diunggah juga didominasi oleh CD. Dengan kendala dalam promosi via daring yang dialaminya, Yogya Music Store belum berpikiran untuk membuka toko di dunia nyata. “Belum terpi kirkan untuk fokus berjualan luring, karena masih mahasiswa jadi belum mampu membeli atau menye wa toko. Sebenarnya ingin sekali,” ujar mahasiswa AMIKOM jurusan Sistem Informasi angkatan 2010 ini.
Streaming Digital Mulai Mewabah
Strategi penjualan musik tampaknya tak lagi hanya berwujud toko luring dan daring rilisan fisik, tetapi juga penjualan musik digital, yakni musik tanpa berbentuk fisik. Mulanya musik digital muncul dalam format MP3. Lalu merambah internet sehingga dapat dinikmati oleh pendengar dengan mengunduh musik yang diinginkan. Tentu dengan melakukan pemba yaran tertentu agar dapat mengunduh musik. Musik unduhan tersebut mulai populer sekitar tahun 2004 dan kemudian terlampaui oleh musik streaming di gital yang mewabah sekitar tahun 2015. Seperti di lansir oleh Metrotvnews.com, Recording Industry Association of America (RIAA) memaparkan bahwa layanan musik streaming digital melampaui total pen dapatan industri musik unduhan digital di tahun 2015. Spotify, salah satu layanan musik streaming, sampai September 2016 telah memiliki empat puluh juta pelanggan berbayar dan lebih dari seratus juta pengguna gratis, seperti dilansir oleh Slashgear.com. Lewat Spotify, pengguna dapat mengakses dan menik mati musik berdasarkan artis, album, genre, playlist, atau label rekaman. “Spotify itu seperti perpustakaan digital musik. Saya suka sama kualitas suaranya, tampaknya musik di Spotify formatnya bukan MP3 melainkan flac, jadi lebih enak,” ungkap Figri Ghozali, salah seorang pe nikmat musik streaming. Ia mulai mengenal musik digital sejak duduk di bangku SMP, sekitar tahun 2005. “Dulu mulai kenal musik digital waktu kelas VII SMP, sering mengunduh musik, andalannya situs Gudanglagu.com.” Bagi Figri, musik streaming lebih simpel dibandingkan rilisan fisik. “Bisa dinikmati di manapun dan kapanpun. Lagi pula saya enggak punya alat pemutar kalau mau membeli rilisan fisik dan enggak suka koleksi juga,” ujarnya. Walau demikian, nyatanya pola konsumsi ma syarakat terus bergeser dalam menikmati musik. Tak menutup kemungkinan pola tersebut akan mengalami titik balik. Yudha menegaskan, “Sekarang kaset pita, CD, dan piringan hitam musik dari musisi-musisi lama, atau grup musik yang sudah bubar pasti akan sangat dicari.” Bahkan tidak menutup kemungkinan harganya justru menjadi sangat tinggi. “Misalkan kita punya rilisan fisiknya sekarang, dijual setahun kemudian pun akan laku dan harganya selangit,” tandasnya.[] Laporan oleh Aziz dan Ghoza
T it ik B a l ik Ril is a n F is i k
DOK. MOCCA
Bermain Gimmick Album Fisik Lesunya penjualan tidak membuat para musisi menyerah berkarya melalui medium rilisan fisik. Satu demi satu inovasi ditelurkan agar bisnis ini tetap berjalan. Oleh Muhammad Aziz Dharmawan
D
ua tahun lalu, Rabu, grup musik bergenre neofolk asal Yogyakarta, mengeluarkan album dengan bentuk yang tidak lazim. CD dan lirik ditata bersama kembang setaman dan kemenyan, lalu dibungkus rapi dalam sebuah boks anyaman bambu. “Waktu itu, Rabu terdengar mistis dan sedikit lokal,” jelas Wednes Mandra, personel Rabu pada akhir Juli lalu. Atas dasar itu, Wednes lantas mencari konsep yang mampu menegaskan kesan tersebut. Ide muncul kala menemukan wadah makanan acara kenduri yang saat itu menggunakan besek. Citra yang dimiliki besek, menurut Wednes, mampu menegaskan kesan yang melekat pada Rabu. Ide itu lantas digodok dari sisi artistik hingga pemasaran. Hasilnya, ia membuat 500 rilisan fisik dengan satu kepingnya dibanderol Rp45.000. Meski jumlah produksi tidak banyak, album ini memiliki kesan tersendiri bagi Wednes. “Ini pertama kalinya jualan album hasilnya masif.” Tri Aman, pengelola toko kaset Jogja National Museum Art Shop, mengaku tak heran dengan stra tegi jualan Rabu. Selama mengurusi toko kaset yang berada di Jalan Prof. Ki Amri Yahya No. 1 Wirobrajan itu, ia mendapati banyak rilisan fisik berdesain unik menjadi bahan buruan para kolektor. “Asalkan dia bisa bikin artwork menarik, pengemasannya bagus, pasti banyak yang mencari,” jelas Tri saat ditemui di tokonya (4/7).
Dengan teknologi Augmented Reality Content yang ditanam di album Mocca yang berjudul "Home", sebuah video klip dapat muncul di layar gawai yang tengah menyorot album fisik tersebut.
Selain karena desainnya unik, faktor lain pembu at rilisan fisik laris adalah jumlahnya yang terbatas. Faktor yang juga membuat harga rilisan fisik cepat meroket. “Mereka cetaknya sedikit, edisi terbatas, jadi harganya otomatis naik setelah barangnya eng gak ada,” ungkap Tri. Kendati demikian, menghias album saja tidak lantas membuat penjualan sema kin meningkat. “Musik itu sendiri yang utamanya harus bagus.” Ia membeberkan beberapa rilisan fisik “unik” yang pernah ia temukan di tokonya. Frau dalam album Happy Coda mendesain rilisan fisik berbentuk tabung pipih layaknya bedak kosmetik bergaya vintage. Se dangkan Mocca dalam album Home membuat rilisan fisik yang bisa dibentuk menjadi rumah-rumahan. Di album yang sama, Mocca juga menggunakan teknologi Augmented Reality Content agar bisa memunculkan animasi saat disorot dengan gawai. Grup musik lain yang juga mempunyai konsep nyentrik untuk albumnya adalah Zoo. Bergenre Art Rock, Zoo tidak main-main memberi nama album mereka Prasasti. Selain bentuk dan dimensi yang menyerupai epigraf, mereka juga membuat kemasan album berbahan dasar batu asli. Yang tak kalah menarik, menurut Tri, adalah boxset. Konsepnya dengan mengemas CD, video klip, kaos, atau aksesori-aksesori lainnya dalam satu paket boks eksklusif. Raisa di album terbarunya Homemade, mengadopsi konsep tersebut. Selain Raisa, grup musik Endank Soekamti, baru-baru ini juga merilis album dengan konsep demikian. Erix Soekamti, vokalis sekaligus basis Endank Soekamti, dalam salah satu video blognya di YouTube beberapa waktu lalu, berbicara soal alasan pemilihan konsep boxset. Saat ini hanya sedikit orang yang me nikmati musik dalam bentuk CD atau kaset. Namun, “Mereka masih ingin memburu CD kita untuk diko leksi, bukan didengar.” EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 69
L A PORAN K H U S U S
Ini adalah sebuah treatment untuk mengembalikan apresiasi yang telah mereka berikan kepada kita dalam bentuk karya yang eksklusif Erix
Berangkat dari sana, Endank Soekamti memi kirkan cara agar musisi dan penggemar sama-sama mendapat keuntungan dari adanya rilisan fisik. “Ini adalah sebuah treatment untuk mengembalikan apre siasi yang telah mereka berikan kepada kita dalam bentuk karya yang eksklusif, karya yang pantas untuk mereka,” jelas Erix. Hasilnya, Iwan Pribadi, Manajer Euforia Records, mengaku puas dengan penjualan album fisik Endank Soekamti meski pemasukan grup musik tetap lebih besar dari hasil konser. Euforia Records adalah per usahaan rekaman yang dibuat sendiri oleh Endank Soekamti. Saat ditemui di markas Endank Soekamti pada Senin (9/9) Iwan menyebutkan, Endank Soekamti sudah mulai produksi boxset dari album Angka 8 yang muncul 2011 dan disusul dua tahun kemudi an album Kolaborasoe. Hasil penjualan dua album tersebut menyumbang sekitar 10% dari total kese luruhan pemasukan grup musik. Di album terba runya yang bertajuk Soekamti Day, pesanan sudah mencapai angka 3000 sejak masa preorder. Karena permintaan di pasar masih terbilang tinggi, Euforia Records sampai harus bekerja sama dengan beberapa vendor produsen boxset sekaligus untuk mengim bangi permintaan. Agar rilisan fisik tetap bisa diserap pasar, Iwan berujar bahwa Endank Soekamti tak lupa melakukan pembacaan demografi dan karakteristik penggemar mereka. “Ini enggak melulu masalah profit, tapi kalau kita mau berkarya, kan kita harus tahu karya itu di tujukan kepada siapa. Nanti kita bisa tahu karya itu harus dibuat seperti apa,” ungkap Iwan. Ditanya soal distribusi album lewat gerai restoran cepat saji, Iwan menggeleng. “Kalau di restoran itu ya makan, bukan jualan CD,” selorohnya. Menurut nya, cara itu memang bagus dan membantu banyak musisi untuk tetap dapat menjual album-albumnya. Namun, cara itu dianggap tidak cocok untuk penjualan album Endank Soekamti. Sudah banyak musisi yang bekerja sama dengan jaringan perusahaan waralaba se perti Kentucky Fried Chicken (KFC) untuk mendistribusikan album fisiknya. Salah satu fenomena menarik terjadi pada pertengahan tahun 2015 lalu. Kala itu, Lyla berhasil menjual album me reka yang bertajuk Ga Romantis sebanyak
lima
Tri Aman, pengelola toko kaset Jogja National Museum Art Shop.
70 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
GHOZA | EKSPRESI
ratus ribu keping hanya dalam waktu enam bulan. Fabian Galael, Direktur Pengelola KFC Indonesia, dalam wawancaranya dengan SWA Online, mengata kan, KFC sudah mampu menjual 850 ribu keping CD dalam sebulan sejak tahun 2012. “Angka penjualan CD kami sebulan itu lebih banyak daripada angka penjualan CD nasional setahun (sebelumnya, .Red), lho.” Maklum saja, jurus jitu KFC berbarengan dengan lesunya penjualan CD di seluruh penjuru tanah air. Langkah Fabian ini bukan tanpa rintangan. Ia sempat diragukan oleh para pemimpin label besar ketika pertama kali memulai program jualan CD di restorannya. “Kami saja yang sudah puluhan tahun sekarang kesusahan berjualan CD, kamu penjual ayam kok kamu jualan CD,” ungkap Fabian menirukan omongan para mitra bisnisnya dulu. Soal distribusi album, Endank Soekamti sendiri menggunakan fasilitas jasa pemesanan dan pengi riman yang ada di Belialbumfisik.com. Sebuah laya nan jual beli album fisik eksklusif yang juga dikelola juga oleh Euforia Records. Dari pengalaman Endank Soekamti selama ini, penjualan album fisik dengan pihak ketiga terbilang tidak efisien, sehingga pada akhirnya mereka memilih untuk berinovasi dengan cara distribusi mereka sendiri. Meski demikian, Iwan mengaku tidak sepenuhnya mengandalkan jualan daring. Mereka masih beker ja sama dengan beberapa toko dan distro sebagai reseller di berbagai daerah untuk menjual album mereka. Selain itu, “Jualan saat ada konser hasilnya lumayan juga,” ungkap Iwan. Selain sebagai penjualan, medium internet juga dimanfaatkan Endank Soekamti untuk media promosi. Grup musik ini terbilang rajin merawat akun-akun sosial media mereka untuk bisa terus berinteraksi dengan penggemar. Penggemar bisa terus merasa dekat dengan interaksi yang dijalin oleh musisi me lalui media sosial. “Sekarang ini cuma hasil dari memaintenance komunitas penggemar kita.” Sama halnya bagi Wednes, medium internet juga menjadi hal yang penting untuk sarana promosi. Di rinya beranggapan bahwa perkembangan teknologi dapat mempermudah kehidupan sehari-hari, terma suk musik. “Malah jadi variatif dan mudah diakses (lagunya, .Red),” kata Wednes. Menurutnya, seiring perkembangan zaman, manusia akan semakin me nemukan cara yang lebih mudah dalam mengakses musik. Wednes juga percaya kalau album fisik tidak akan lumpuh hanya karena perkembangan penye dia musik digital. Meskipun diakuinya pendapatan dari berjualan rilisan fisik belum bisa untuk hidup sehari-hari, ada kelebihan dari rilisan fisik musik yang tidak dapat digantikan oleh musik digital. “Kita bisa main-main gimmick lewat artwork dan pernakperniknya,” ungkap Wednes. Bagi Wednes, hal itu pula yang akhirnya membuat rilisan fisik akan selalu menjadi barang yang layak dikoleksi.[] Laporan oleh Triana
T it ik B a l ik Ril is a n F is i k
Mendengarkan Musik Sesungguhnya
Piringan hitam telah berkembang di Indonesia sejak awal abad ke-20. Mulai 1950-an mulai muncul pabrik rekaman. Salah satunya Lokananta. Oleh A.S. Rimbawana
P
iringan hitam, atau disebut juga vynil, baru dikenalkan pada masyarakat HindiaBelanda awal tahun 1900. Piringan hitam sendiri berkembang ketika phonograph, alat pemutar musik untuk piringan hitam, mulai didatangkan dari Eropa ke Hindia-Belanda. Mula nya, perusahaan rekaman asing yang mendominasi album rekaman yang masuk di Hindia-Belanda kala itu. Seperti Gramaphone Company (Inggris), Beka (Jerman), Parlophone (Inggris), Lyrophon. Baru setelah itu, di pertengahan 1950-an muncul studio piringan hitam Lokananta. Bembi Ananto, seorang staf remastering Lokananta mengatakan bahwa setidaknya, selama empat tahun terakhir, peminat rilisan fisik kembali menanjak. Tak terkecuali dengan piringan hitam. Menurut data Nielsen Soundcan penjualan piringan hitam di Amerika mengalami peningkatan 260 persen sejak 2009. Kemudian di 2014 penjualannya mening kat 52 persen. Di tahun 2015, dilansir dari Tirto.id, penjualan piringan hitam sudah mencapai 12 juta keping di Amerika. Kini, di Indonesia grup musik atau artis yang mencetak rilisan fisik masih banyak. Terlebih untuk rilisan fisik berbentuk piringan hitam, walaupun biaya cetak lebih mahal, tapi sebanding dengan kualitas. Bembi mengatakan, tidak tersedianya alat pencetak piringan hitam yang membuat biaya cetak makin mahal. “Di luar kan ada alat pressing piringan hitam, masalahnya di Indonesia tak punya. Lokananta punya tapi sekarang rusak,” keluh Bembi. Lokananta, berdiri sejak 20 Oktober 1956, di Solo, Jawa Tengah. Tempat yang dulunya disebut sebagai “pabrik piringan hitam” ini sekarang sudah beralih nama menjadi “studio musik” Lokananta. Studio yang bertempat di Jalan Ahmad Yani nomor 329, Kerten, Solo, Jawa Tengah ini kini memang tak lagi memproduksi piringan hitam. Dalam perjalanannya, awalnya Lokananta mem punyai dua tugas utama. Pertama, produksi dan duplikasi piringan hitam. Kedua, produksi dan du plikasi kaset audio. Pada tahun 1958, melalui RRI, dipasarkanlah piringan hitam berlabel Lokananta. Pada tahun 1961, karena pemerintah menganggap potensi penjualannya cukup tinggi, dibuatlah PP
Nomor 215 Tahun 1961. Peraturan pemerintah itu mengatur tentang kelembagaan Lokananta sebagai Perum Percetakan Negara Republik Indonesia. Ke mudian, di medio 1970-an sampai penghujung 1980an, Lokananta beralih media dari produksi piringan hitam menjadi produksi kaset. Kini, walau Lokananta tak lagi memproduksi pi ringan hitam, namun bukan berhenti sama sekali. Sekali waktu, bila memang ada grup musik yang pesan rekaman piringan hitam, hal itu tetap dilaya ni. Misal saja, White Shoes Couples Company, yang beberapa waktu lalu merilis albumnya dalam format piringan hitam.
Cetak Piringan Hitam
Piringan hitam mulai diperkenalkan di Indonesia mulai tahun 1948. Ada tiga ukuran piringan hitam dalam hitungan rpm (rotation per minute) yaitu 78, 45, 33 1/3. Piringan hitam 78 dan 45 untuk plat dengan diameter 25 cm. Untuk ukuran 33 1/3 untuk plat berdiameter 30 cm. Angka-angka tersebut adalah banyaknya putaran per menitnya. Semakin besar angkanya, semakin kecil diameter ukuran jarum pe mutarnya. Bembi menjelaskan, “Dulu sebelum dimasukkan piringan hitam, semuanya dari master dulu.” Kini, warna piringan hitam juga tak hanya sekadar hitam,
Bembi menunjukkan piringan hitam "Indonesia Raya" yang tersimpan di Lokananta.
GHOZA | EKSPRESI
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 71
L A PORAN K H U S U S
Rilisan fisik itu kelebihannya, bagi saya, suaranya beda, walau gawai kita canggih, secanggih apapun Markus
ada warna pink ada yang pelangi, kuning, merah. “Jadi prosesnya mungkin rumit, dari master dima sukkan mesin,” imbuh Bembi. “Untuk proses cetak, piringan hitam memang cukup rumit,” Bembi mencoba menjelaskan. Ada cetakannya Side A, Side B, yang keduanya membu tuhkan cetakan pita reel. Dilanjutkan proses peng goresan dan pelapisan krom dengan nikel di kedua sisinya tadi. “Bagian atas dan bawah, dikasih PVC, dikasih label dulu, dipanaskan 100 derajat lebih,” terang Bembi. Jika sudah sampai tahap ini, lanjut Bembi, piringan hitam akan didinginkan hingga me ngeras. “Kalau tidak lihat sendiri, memang rumit sih,” terang Bembi. Untuk menggeliatkan dunia musik Indonesia, menurut Bembi, artis-artis yang ingin mencetak karya harus difasilitasi. Hal itu bisa dilakukan dengan menghidupkan lagi fasilitas yang ada di Lokananta. “Jadi bisa, kalau Lokananta dikasih mesin cetak lagi,” harap Bembi.
ANDIKA | EKSPRESI
Di Mata Kolektor
Markus Feriyanto (40), salah seorang kolek tor musik dari Solo. Ked iam annya di bilangan Wonosaren, Solo, Jawa Tengah ini, tampak belum terlalu lama ditempati. Terlihat dari tumpukan koleksi piringan hitam, kaset, dan CD yang masih berada dalam kardus-kardus. Ada pula satu lemari kaca dipenuhi dengan kaset-kaset yang ia letakkan di ruangan yang berbeda. Namun, koleksinya yang berada di ruangan khusus tersebut semuanya belum selesai ditata. Di rumah yang belum genap setahun ia tem pati itu, Markus bercerita tentang koleksinya. Ia mengisahkan, mulai punya kaset dari sejak SMP. “Sama orang tua saya, dibelikan radio tape jinjing itu,” kenang Markus. Berhubung keluarganya tidak terlalu mampu, maka Markus kerap meminjam kaset pada temannya. “Majalah Hai juga, nyewa, pinjam teman,” tambah pria yang sekarang menjadi konsultan di sebuah perusahaan properti itu. Soal piringan hitam, Markus mengaku baru sepuluh tahun lalu mulai mengumpulkan. Pada tahun 1995, Markus mengawali koleksinya, waktu itu, ia mengatakan sudah punya penghasilan sendiri. Saat ini koleksi di rumahnya terdapat 3000-an keping piringan hitam, 5000-an kaset, dan 1000-an keping piringan padat. Di antara ribuan ko leksinya, Markus menilai piringan hitam menjadi yang paling me narik. Alasannya sederhana, piri ngan hitam miliknya banyak yang sudah langka. Dia memperlihatkan beberapa koleksi langkanya kepada EKSPRESI. Salah satunya ialah rekaman “Proklamasi”, yang di buat pertama kali, di studio musik Lokananta, Solo, Jawa Tengah. Minggu (31/07), Markus sedang menunjukkan salah satu koleksi piringan hitamnya.
72 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
Markus menyimpan koleksi-koleksi miliknya di sebuah ruangan khusus. Ruangan berukuran kira-kira 8x4 meter itu dipenuhi beragam dus-dus yang beri si piringan hitam, CD, dan juga kaset pita. Terlihat pula seperangkat pemutar piringan hitam, lengkap dengan pemutar kaset dan CD. Ruangan itu, menurut Markus, hanya ala kadarnya. “Kalau orang lain, bagus, dindingnya dikasih karpet, suhu stabil,” tandasnya. Markus memperlihatkan banyak koleksi-kolek sinya. Mulai dari album musik barat hingga musik Indonesia, koleksi Markus hampir lengkap. Dia mem perlihatkan piringan hitam dari Djanger Bali ,yang menurutnya, adalah piringan hitam paling mahal yang ia dapatkan. Ia juga memperlihatkan album kontro versial milik John Lenon dan Yoko Ono. Selain itu, Markus pernah mendapatkan album barat langka, yang harganya jauh di bawah harga pasaran, dan itu membuatnya terkesan hingga kini. “Padahal nilai nya (harga, Red.) bisa berkali-kali lipat,” terangnya sambil tertawa. Markus mendapatkan berbagai rilisan fisik terse but tak lekang dengan aktivitas perburuan. Dia sering mengunjungi acara-acara semisal, Record Store Day, mengunjungi Pasar Klithikan Semanggi, dan yang paling sering dan yang paling sering didapat dari penjual daring. “Sekarang mudah carinya, daring sudah banyak. Di Facebook juga banyak,” tambahnya.
Suara Jernih
Rilisan fisik memang selalu punya kelebihan di bandingkan dengan digital. Salah satunya karena di putar dengan mesin pemutar analog. Selain itu, bagi mereka para pencinta suara, audiophile, rilisan fisik tak hanya urusan suara saja yang didengar. Namun juga fisik rilisan tersebut. Bembi mengatakan, rilisan fisik terutama pi ringan hitam, kelebihannya adalah lebih lebar dan lebih tebal. “Murni, seperti dengar musik beneran,” ujar Bembi. Dibandingkan jenis rilisan fisik lainnya, piringan hitam memang kelebihannya jernih. Piringan hitam ini, menurut Bembi, aman dari pembajakan. “Kalau tidak punya alat seukuran ruangan sebesar ini mana bisa membajak?,” sambil menunjuk seisi ruang kerjanya. “Coba kalau CD, Anda (bajak, Red.)pakai komputer ecek-ecek saja bisa,” sambil tertawa kecil. Sebagai seorang kolektor, Markus mengatakan bahwa terdapat keunikan dari rilisan fisik ini, teru tama piringan hitam. “Rilisan fisik itu kelebihannya, bagi saya, suaranya beda, walaupun gawai kita se canggih apapun, enggak kayak analog pemutarnya,” pungkasnya. Salah satu piringan hitam yang berkesan baginya adalah album bertajuk Badai Pasti Berlalu. Album tersebut besutan Eros Djarot, Jockie Suryoprayogo, dan Chrisye. “Musiknya bagus, liriknya puitis, mak nanya dalam, dibuat pula oleh musisi yang ahli di bidangnya” pungkasnya.[] Laporan oleh Andhika, Aziz, dan Ghoza
T it ik B a l ik Ril is a n F is i k
Penyelamat Arsip Musik Indonesia
D
avid Tarigan adalah pendiri Aksara Re cords, juga salah satu inisiator pengarsipan digital rilisan fisik piringan hitam Irama Nusantara. Bersama kelima kawannya, Norman Illyas, Christophorus Priyonugroho, Dian Onno, Alvin Yunata, dan Toma Avianda, kemudian me reka mendirikan Iramanusantara.org yang oleh khalayak dikenal perpustakaan musik daring. Ber awal dari kecintaannya terhadap musik, sekaligus hobi mengoleksi piringan hitam dari era Orde La ma, menjadikan setiap proses dalam Irama Nusan tara terasa menyenangkan bagi David. Wartawan EKSPRESI, Winna Wijayanti, menemuinya di Hotel Andhitama, kawasan Prawirotaman II, Yogyakarta. Berikut petikannya.
Bagaimana ceritanya Anda bersama kawan-kawan men ciptakan Irama Nusantara? Irama Nusantara merupakan yayasan yang ber diri tahun 2013. Tetapi kalau membuat situs webnya sejak tahun 2011. Embrionya sudah dari 1998-1999 sewaktu zaman kuliah. Kami kebetulan sama-sama teman SMA terus kuliah di Bandung, nah pas itu kita sempat membuatnya. Malahan bisa disebut prototi penya tahun 1998-1999 itu, karena kami juga bikin situs web namanya Indonesia Jumawa.
Pembagian kerja sewaktu mengolah bagaimana?
Bagi enam inisiator ya apa saja yang bisa diker jakan. Saya kepala pengarsipannya sama riset, ada yang urus public relation, cuma enggak saklek. Ada lagi kita volunter tiga orang. Satu berurusan sama audio, dan transfer. Satunya lagi mengurus visual, kover yang terlalu rusak dibenahi. Lalu yang satu lagi general affair. Mereka itu volunter utama kita. Sementara inisiator juga punya kesibukan lain, ka rena juga pada kerja.
Apa ada fokus tersendiri buat memilih batasan waktu dalam pengarsipan?
Iya fokus kami tahun 1960 hingga 1970-an ka rena lebih mudah dicari dan ketersediaannya juga banyak tahun itu. Dibanding 1980 hingga 1990-an kan mending itu dulu. Urgensinya, orang banyak yang enggak tahu soal itu, makanya kami mulai dari situ. Kami juga punya gerakan 78, maksudnya 78 rpm (rotation per minute). Dan untuk pendataan musik tahun 1920 hingga 1950-an juga ada nantinya. Meskipun susah, kami mengerjakannya didukung sama Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) supaya mudah dapat sumbernya.
GHOZA| EKSPRESI
Selain piringan hitam, apa ada lagi yang diarsipkan terkait dengan musik?
David Tarigan, pendiri Iramanusantra.org.
Literatur seperti majalah dan koran juga kami arsipkan, cuma belum dibagikan sih. Itu nanti ada waktunya. Soalnya sekarang sedang membenahi si tus web mau dikembangkan dengan artikel-artikel juga. Kan di situ ada nama-nama artisnya, nanti kalau diklik langsung ngelink gitu. Makanya kami enggak mencantumkan tahun kalau memang dari awal enggak ada tahunnya.
Kalau proses reproduksi dari rilisan fisik sampai digital bagaimana ceritanya?
Ada bidang-bidang khusus yang bisa saya teliti. Pertama adalah mengumpulkan data mentah seba nyak-banyaknya. Paling gampang dan menarik ya mengumpulkan data dari rilisan fisik. Unsur rilisan fisik itu kan ada visual, audio, dan teks. Itu semua data mentah yang dikumpulkan di Irama Nusantara. Melalui situs web, kami bagi ke banyak orang. Ini untuk akses pendidikan, bukan komersial.
Apa yang sedang menjadi kesibukan Irama Nusantara dalam waktu dekat ini?
Sekarang sedikit demi sedikit saya mengumpulkan wawancara. Nanti dari situ juga membantu orangorang yang ingin terhibur dan nostalgia. Juga anak muda yang ingin sesuatu yang baru, meski sudah lama. Atau para peneliti, kita berusaha mengakomodir itu. Sementara di wilayah pendidikan, kita sama-sama tahu banyak yang suka musik Indonesia. Sehingga kami memfasilitasi melalui data.
Menarik bahwa dalam pengarsipan ini tujuan utamanya adalah untuk pendidikan ya?
Di Indonesia pengarsipan nomor sekian. Kita enggak punya tradisi itu sama sekali. Arsip sejarah general negeri ini kacau balau. Coba datang saja ke Arsip Nasional atau ke Perpustakaan Negara kita sendiri, miris. Dan yang gilanya, orang Indonesia yang tahu lagu-lagu masa lalu cuma 10% dari yang ada. Ini kalau kita lihat, orang gembar-gembor kalau musik Indonesia adalah tuan rumah di negerinya, tetapi enggak ada yang tahu apa yang terjadi dengan kondisi musiknya, lucu kan? Berarti harus ada sesuatu yang dibenahi, membantu untuk menggulirkan bola atau apapun istilahnya.[] EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 73
L A PORAN K H U S U S
Merayakan Hari Kaset Sedunia Komunitas pencinta rilisan fisik semakin berkembang. Perayaannya pun demikian. Oleh Mariyatul Kibtiyah
S Komunitas seperti itu masih ada, ada sekali malahan. Itu sesuatu yang enggak bakal mati dalam waktu yang singkat Gisa
abtu (22/10) Pukul 19.00 WIB Hardcase Cafe masih sepi. Hanya ada beberapa pani tia acara Economic Social Band (ESB) yang berjaga di meja registrasi. ESB adalah pe mentasan musik Komunitas Musik Fakultas Ekonomi Bisnis UGM. Malam itu, Gisela Swaragita akan tampil bersama grup musiknya Seahoarse di acara tersebut. Sekitar lima menit menit menunggu, perempuan be rambut pendek yang kerap disapa Gisa itu keluar dari cafe dan memulai ceritanya. “Record Store Day (RSD) itu bisa diadopsi oleh semua orang kok. Kalau misalnya kamu punya komu nitas terus bikin RSD ya bikin saja,” terang Gisa. Hal itu adalah informasi yang paling diingat Gisa ketika pertama kali ditanya tentang RSD. Saat Record Store Day diselenggarakan pada 16 April 2016 di Bentara Budaya Yogyakarta, Gisa datang bersama teman-te mannya. Di acara tersebut, Gisa menemukan banyak grup musik sengaja merilis album fisiknya bertepatan dengan diselenggarakannya RSD. Penampilan dan diskusi soal musik juga turut meramaikan jalannya acara. Gisa dengan antusiasnya mengatakan, “Yang paling menarik itu orang-orang ramai datang untuk beli kaset secara langsung, padahal kan biasanya beli kaset sekarang cuma di Instagram terus cash on de livery.” Tercatat lebih dari tujuh belas toko kaset dunia maya maupun yang ada bentuk toko fisiknya DOK. WE NEED MORE STAGE
Perayaan Record Store Day Yogyakarta diramaikan dengan pelbagai lapak kaset dan pementasan musik.
74 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
ikut memeriahkan RSD tahun ini di Yogyakarta. Ditemui terpisah, Indra Menus selaku ketua RSD 2016 mengatakan kalau agenda-agenda RSD memang semakin berkembang tiap tahunnya. “Awalnya RSD semacam ingin mengenalkan kembali rilisan fisik itu. Kemudian beralih ke toko kaset. Mereka datang ke toko musik lalu mereka merilisnya untuk meraya kan,” tambahnya. Menus bercerita RSD pertama kali diinisiasi di Amerika pada tahun 2007. Setahun kemudian, RSD dirayakan pertama kali. Di Indonesia sendiri, perayaan RSD pertama kali diadakan di Jakarta tahun 2012. Tahun selanjutnya, perayaan RSD menyebar ke Yogya, Bandung, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, hingga hampir semua pulau besar. “Akhirnya perayaan RSD diadakan sendiri-sendiri,” tambah Menus. Selain di Yogyakarta, tahun ini RSD juga diadakan di berbagai kota lain seperti Jakarta, Semarang, Bali, Surabaya, Batam, Medan, dan Makasar. Di Yogyakarta, menurut Menus, peminat rilis an fisik terbilang cukup banyak. Hal itu dilihat dari ramainya pengunjung yang hadir saat RSD tahun ini. “Pengunjung RSD ini tidak sepi, ramai banget.” Padahal, kata Menus, tren musik sekarang memang tengah menuju ke arah digital. Menurut Gisa, hal tersebut terjadi karena rilisan fisik saat ini punya fungsi lain selain medium pemu tar suara. “Menurutku orang beli kaset ataupun CD sudah bukan sebagai pemutar musik lagi, tapi seba gai bentuk partisipan kita dalam perputaran roda ekonomi para musisi dan penjual.” Biasanya, lanjut Gisa, ada kedekatan ketika memosisikan rilisan fisik sebagai barang koleksi. Tak jauh beda dengan RSD, perayaan lain yang dilaksanakan atas dasar kesukaan terhadap rilis an fisik adalah Casette Store Day (CSD). “Bedanya itu kalau RSD lebih ke jualan dan perayaan toko fi siknya, sedang CSD lebih ke kaset musiknya,” jelas Menus. CSD terinspirasi dari ramainya perayaan RSD yang sudah berjalan lima tahun. Perayaan CSD di Yogyakarta tahun ini diselenggarakan pada 8 Oktober 2016 di tempat yang sama dengan RSD, Halaman Bentara Budaya. Acara ini juga ramai dihadiri para pencinta rilisan fisik. Terdapat empat puluh dua toko kaset yang ikut nimbrung di acara ini. Bahkan, beberapa grup musik luar negeri seperti Pas Musique (USA), Numbfoot (Vietnam/USA), dan Emil Palme (Denmark) ikut memeriahkan acara CSD di Yogyakarta. CSD juga dimeriahkan dengan Launching zine dan kompilasi V/A Jogja Records Store Club #3. Gisa yakin, seiring berjalannya waktu, komuni tas-komunitas penyuka rilisan fisik akan terus ber munculan. Pun dengan beragam motif, dari jualan, koleksi, hingga memang untuk mengapresiasi karyakarya musisi. “Komunitas seperti itu masih ada, ada sekali malahan. Itu sesuatu yang enggak bakal mati dalam waktu yang singkat,” jelas Gisa.[] Laporan oleh Andika dan Ghoza
T it ik B a l ik Ril is a n F is i k
Mereka yang Menolak Mati Oleh Aunurrahman Wibisono (Jurnalis Tirto.id)
“When you start thinking about what your life was like 10 years ago --and not in general terms, but in highly specific details—it’s disturbing to realize how certain elements of your being are completely dead. They die long before you do.” (Chuck Klosterman dalam Killing Yourself to Live: 85% of a True Story)
S
aya jatuh cinta dengan Chuck berkat esaiesainya—atau bisa dibilang racauan— tentang hair metal. Saya merasa satu frekuensi dengannya: menyukai musik fosil (ciri-cirinya, antara lain, mengandalkan solo gitar panjang dan suara vokalis yang melengking tinggi) di era yang sok serba aneh. Semakin musikmu tak bisa dipahami orang kebanyakan maka itu berarti keren. Membaca kalimat yang saya nukil di atas, ingatan saya mau tak mau lari ke kaset. Saat itu 2006. Saya baru setahun lulus SMA. Masih bermimpi jadi anak band. Masih berkeinginan jadi penulis untuk Rolling Stone. Mendengarkan musik seperti tak ada hari esok. Gairah mengoleksi kaset masih menggebu. Setiap datang ke suatu kota, yang saya tanyakan adalah: di mana saya bisa mencari kaset bekas? Siapa yang menyangka bahwa 10 tahun kemudian, 2016, kaset seperti sudah menjadi diksi sekaligus benda yang nyaris asing bagi saya. Seperti kata Chuck Klosterman, “...tidak pernah terjadi lagi dan tidak pernah melintas di pikiranmu.” Dalam konteks saya, sudah tak ada lagi perburuan kaset. Tak ada lagi memutar pita dengan bolpoin atau menetesi bantalan pita dengan alkohol. Kaset kemudian menjadi catatan kaki: ada, tapi kerap diabaikan. Saya meringis. Betapa sesuatu bisa dirayakan besar-besaran hari ini, lalu dilupakan lima, enam, sepuluh tahun kemudian. Terjadi peralihan format, dari fisik ke digital. Lihatlah penyimpanan dalam format MP3 atau FLAC di ponsel. Atau streaming pada aplikasi musik seperti Spotify, misalkan. Bagi generasi milenial, kaset dan CD adalah bentuk ketidakefektifan umat manusia. Ia memakan banyak tempat. Juga menuntut banyak waktu untuk perawatan. Bagi mereka, musik digital menyediakan jalan efektif. Mereka bisa mendengarkan jutaan lagu yang sama sekali tak memakan ruang penyimpanan. Spotify punya sekitar 30 juta lagu, dan bertambah 20.000 lagu setiap harinya. Dan mereka tak perlu rak besar. Penjualan musik digital pun sekarang melampaui penjualan rilisan fisik. Dari data terbaru International
Federation of the Phonographic Industry (IFPI), sebuah lembaga yang bergerak di bidang industri rekaman dunia, penjualan musik digital mencapai 45 persen dari seluruh pendapatan industri musik. Mengalahkan penjualan fisik yang hanya 39 persen. Rasa-rasanya sudah hukum alam kalau ada sesuatu yang baru, inovatif, maka kemapanan lama akan tersingkir. Piringan hitam digusur kaset. Kaset digusur CD. Dan musik digital menendang semua rilisan fisik. Tapi apa iya manusia semudah itu melupakan rilisan fisik? Ternyata tidak. Manusia adalah mahluk nostalgis. Apa yang mengiringinya tumbuh dewasa akan selalu tetap diingat. Akan selalu menjadi bagian penting. Ada jutaan manusia yang tumbuh besar dengan mendengarkan musik dari rilisan fisik. Entah itu kaset, entah itu CD, atau malah piringan hitam. Kegiatan mendengarkan musik dari rilisan fisik akan tetap terus kita kenang, malah dilestarikan. Setelah musik digital ada, apa kemudian rilisan fisik mati? Rilisan fisik masih dirayakan di manamana, walau mungkin dalam skala yang lebih kecil. Di Amerika Serikat, sejak 2009, ada peningkatan 260 persen penjualan piringan hitam. Pada 2014, ada 9,2 juta piringan hitam yang terjual di negara Paman Sam itu. Setiap tahun ada gelaran Record Store Day yang diadakan di puluhan negara, termasuk di Indonesia. Di satu hari istimewa itu (selalu di Bulan April), para pecinta rilisan fisik tumpek blek. Mereka merayakan keasyikan berburu rilisan fisik. Tak hanya jual atau beli, kadang juga ada barter. Selain itu, masih amat banyak grup musik yang merilis album fisik. Menariknya lagi, banyak grup musik bawah tanah Indonesia merilis album mereka dengan kemasan yang tidak biasa. Sangkakala, grup musik asal Yogyakarta, merilis album penuh pertama mereka dengan kemasan jaket jeans berwarna merah, lengkap dengan berbagai emblem yang terpasang. Zoo, juga asal Yogyakarta, malah merilis album Prasasti dengan kemasan batu granit seberat 1,7 kilogram. Membuat rilisan fisik dengan kemasan unik adalah salah satu jurus supaya rilisan fisik tetap dicari pendengar. Rilisan fisik menolak untuk mati. Rilisan fisik sama seperti hair metal. Keras kepala dan punya banyak nyawa, juga banyak penggemar yang enggan untuk beranjak. Dengan karakteristik seperti ini, mungkin sepuluh tahun lagi, atau bahkan lima puluh tahun lagi, rilisan fisik masih ada dan, mengutip Motley Crue, still kick some ass.[]
DOK. ISTIMEWA
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 75
pendidikan
Sekolah Pasar, Media Pendidikan Pasar Rakyat
DOK. KOMUNITAS SEKOLAH PASAR
Oleh Istianto Ari Wibowo Peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Deputi Pemberdayaan Masyarakat Mubyarto Institute
P
end id ik an adal ah hak sem ua orang. Dia tidak dibatasi oleh golongan, pekerjaan, usia, atau penyekat lain. Ini merupakan perintah konstitusi yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus dikerjakan oleh penye lenggara negara. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, demikian bunyi Pasal 31 UUD 1945. Jelas, ringkas, dan tegas. Setiap agenda atau kebijak an yang memunggunginya dapat dibaca sebagai bentuk pengingkaran terhadap konstitusi. Lalu, bagaimana kebijakan negara untuk mendidik serta mengembangkan sumber daya manusia di pasar rakyat? Dengan 10% dari total tenaga kerja nasional yang terserap di sektor perda gangan, membuat sektor ini menempati peringkat ke-2 terbanyak setelah sektor pertanian. Pasar rakyat menjadi indika tor stabilitas pangan seperti beras, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Pasar rakyat masih menjadi wadah utama penjualan produk-produk berskala ekonomi rakyat seperti petani, nelayan, pedagang kerajinan tangan, dan produk industri rumah tangga (industri
rakyat). Pasar rakyat menjadi sandaran hidup bagi banyak orang dan sekaligus media interaksi sosial budaya yang sa ngat kental. Kementerian Perdagangan RI menyebutkan bahwa jumlah pasar di Indonesia lebih dari 13.450, yang menjadi sumber penghidupan sekitar 12.625.000 pedagang. Kondisi tersebut menunjukkan bah wa pasar rakyat memiliki peran strategis dalam kehidupan bangsa. Tak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga sosial budaya. Peran strategis pasar rakyat sudah semes tinya diimbangi juga dengan kebijakan strategis dari negara guna terus mengem bangkan aset strategisnya. Pemerintah telah memiliki berbagai program untuk mengembangkan pasar rakyat. Satu hal yang patut mendapat apresiasi meski tetap dibutuhkan evaluasi. Penelitian yang dilakukan oleh Pu sat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Lembaga Ombudsman Swasta DIY pada 2011 menyebutkan bahwa sebagi an besar pedagang pasar berpendidik an SD sampai SMA. Penelitian tersebut juga menunjukkan tingkat partisipasi pedagang pasar dalam berorganisasi ma
76 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
sih minim. Sementara pada saat yang bersamaan, pasar rakyat menghadapi tantangan yang semakin berat dengan maraknya ritel modern berjejaring. Hasil studi Media Data (2009) me nunjukkan bahwa pada tingkat nasional, saat ini 28 ritel modern utama menguasai 31% pangsa pasar ritel dengan total omzet sekitar Rp70,5 triliun. Ini artinya satu perusahaan rata-rata menikmati omzet Rp2,5 triliun/ritel/tahun atau Rp208,3 miliar/bulan. Hal ini kontras dengan ritel tradisional yang memiliki total omzet se besar Rp156,9 trilun tetapi dibagi kepada sebanyak 17,1 juta pedagang, yang 70%nya masuk kategori informal. Dengan de mikian, satu usaha pedagang tradisional rata-rata hanya menikmati omzet sebe sar Rp9,1 juta/tahun atau Rp764,6 ribu/ bulan. Kondisi tersebut seirama dengan hasil penelitian AC Nielson (2006) yang menyatakan bahwa pasar modern tum buh sebesar 31,4% sedangkan pasar tra disional tumbuh negatif 8%. Itulah wajah lain dari pasar rakyat. Aset strategis bangsa dan negara ini jus tru semakin terpinggirkan. Terobosan kebijakan jelas dibutuhkan untuk menye
pendidikan
lamatkan pasar rakyat. Kebijakan yang saat ini terlalu berat pada pengembangan infrastruktur fisik perlu segera berganti arah. Sebab manusialah yang akan men jadi kunci bagi keberadaan pasar rakyat. Kemajuan atau kemunduran pasar rakyat ditentukan oleh para pelaku di dalamnya. Membangun manusia di pasar rakyat lewat pendidikan. Sudah saatnya kebi jakan ini digulirkan untuk mengimbangi pembangunan fisik pasar rakyat.
Manusia sebagai Elemen Utama
interaktif, observasi lapangan, simulasi, tutorial dan berbagai variasi model. Se mua itu diusahakan agar peserta tidak mengalami kebosanan. Secara umum, terdapat dua metode dalam pelaksanaan pembelajaran, yakni kelas pasar dan klinik pasar. Kelas Pasar adalah program pertemuan yang bersifat klasikal dan diskusi. Klinik Pasar adalah program pendampingan untuk pedagang dan koperasi. Sekolah Pasar melakukan pendampingan langsung pada pedagang dan koperasi untuk bersama-sama me mecahkan permasalahan yang dihadapi. Pedagang tidak ditempatkan dalam posisi pasif. Mereka diajak untuk aktif berin
Sek ol ah Pas ar bert uj ua n unt uk mengembangkan pasar rakyat melalui penguatan terhadap modal intelektual, modal institusional, dan modal material pasar rakyat. Upaya ini dimulai dengan melakukan pen didikan ke pada pedagang pasar. Setidaknya terdapat lima hal yang dibutuhkan agar pendidikan ter sebut dapat terselenggara, yakni mata ajar, metode pembelajaran, pengajar, peserta, dan lokasi pem belajaran. Mata ajar (materi) dalam pen didikan di Sekolah Pasar terbagi dalam berbagai tingkatan. Ting katan pertama berisi materi-ma teri teknis perdagangan. Materi ini bersifat problem solving ka rena pedagang pasar mengalami DOK. KOMUNITAS SEKOLAH PASAR permasalahan harian yang mem butuhkan jalan keluar. Materi ini se teraksi dalam pembelajaran. Relawan kaligus sebagai cara untuk melakukan Sekolah Pasar harus memiliki kemam pendekatan kepada pedagang. Relawan puan terkait materi sekaligus sebagai Sekolah Pasar harus memiliki kemam fasilitator forum. puan untuk menghadapi pedagang dan Dengan model pembelajaran ter masalah-masalahnya. Dia diharapkan sebut, diharapkan pendidikan di pasar dapat mengenal kehidupan pedagang. akan tetap berlangsung dan berkelan Bukan hanya kehidupan di pasar me jutan meski intensitas kunjungan tim lainkan juga kehidupan di luar pasar. dari Sekolah Pasar semakin menurun. Pada tingkatan kedua berisi mate Hal inilah yang menjadi harapan bagi ri-materi kelembagaan (pengorganisasi Sekolah Pasar. Model pembelajaran yang an). Indikator dalam tingkatan ini adalah dikembangkan adalah mentransfer alat muncul atau berkembangnya organisasi analisis bukan hasil analisis. Sekolah Pa pedagang. Pada tingkatan ketiga berisi sar berharap agar para pedagang pasar materi-materi tentang pengembangan dapat memiliki kemampuan untuk mela jejaring. Seluruh mata ajar ini disusun kukan analisis secara mandiri terhadap bersama-sama antara Sekolah Pasar dan kondisi yang dihadapi sekaligus mencari pedagang dengan metode participatory jalan keluar yang terbaik. action research atau kaji tindak. Peserta Sekolah Pasar terbuka bagi Pembelajaran yang dikembangkan pedagang, pemasok, pengecer, konsu dalam Sekolah Pasar adalah metode pem men, dan siapapun yang ingin terlibat. belajaran konstruktif bagi orang dewasa, Untuk belajar bersama, bertukar pikiran, yang dikemas secara populer, menarik, serta membangun persemaian gagasan dan atraktif. Pembelajaran dilakukan inovasi dan pemajuan pasar rakyat. Se dengan kombinasi model klasikal, diskusi kolah Pasar juga membuka diri bagi si
apapun yang menaruh kepedulian untuk menjadi pengajar. Selama ini, pengajar yang turut berbagi ilmu di pasar antara lain dosen, pengusaha, peneliti, maha siswa, dan pedagang itu sendiri. Lalu, di mana tempat penyelenggara an pendidikan tersebut? Jika berkunjung ke pasar dampingan Sekolah Pasar, Anda tidak akan menemukan bangunan fisik dengan papan nama Sekolah Pasar. Tiada bangunan khusus bagi penyelenggaraan. Sekolah Pasar diselenggarakan di tempat mana pun yang bisa digunakan. Ruang pertemuan pasar, kios, gang yang ada di sela-sela kios, los, atau lapak. Di tem pat-tempat inilah pendidikan dilakukan. Dari tempat seadanya ini, Se kolah Pasar mencoba untuk mem bangun media rintisan pemersatu ekonomi para pelaku pasar rakyat yang saat ini masih cerai-berai. Sebab hanya dengan kebersatu an inilah maka mereka sanggup menghadapi setiap tantangan dan perubahan. Hingga saat ini, upaya terse but telah diujiterapkan di tujuh pasar. Masing-masing pasar me miliki perkembangan yang ber beda-beda. Demikian juga materi (kurikulum) yang ada di Sekolah Pasar juga selalu mengalami pe rubahan. Perubahan ini muncul setelah evaluasi terhadap pelaksa naan pada rentang waktu tertentu. Saat ini Sekolah Pasar sedang me nyus un seb uah mod el pen gel ol aa n pasar yang berbasiskan pada kolekti vitas dan kerja sama. Caranya dengan menempatkan pedagang pasar sebagai subyek utama dalam pengembangan pa sar. Model ini terdiri dari tiga elemen, yakni pengembangan modal intelektual (sumber daya manusia), pengembangan modal institusional (kelembagaan), dan pengembangan modal material (unit usa ha). Model ini diharapkan dapat meng hadirkan jalan yang cukup lengkap bagi pengembangan pasar rakyat secara utuh. Dan kunci atau awal dari semua itu adalah pendidikan atau pengembangan sumber daya manusia. Sebab manusialah yang menjadi elemen utama dalam ke giatan usaha. Dari titik inilah kemudian dapat dilakukan pengembangan kelem bagaan dan jejaring dari pedagang pasar. Sekolah Pasar mencoba mendorong pe laksanaan perintah konstitusi khususnya pada pasal 27, 28, 31, dan 33.[]
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 77
hikmah
Delusi Agen Perubahan Windu Jusuf
(Redaktur Indoprogress)
S
aya hanya bisa geleng-geleng kepala saat mendengar istilah “hipokrisi mahasiswa saat ini.” Sebabnya se derhana, “Bukankah kesimpulan itu selalu didasari prasangka bahwa generasi mahasiswa hari ini dan yang akan datang selalu saja lebih bodoh, cetek, lembek, tidak peduli masyarakat, dan hanya kepingin bersenang-senang?” Kata “lebih” di sini menjadi problematis. Lebih dari siapa? Jika hanya kita yang dijadikan ukuran, artinya mahasiswa ang katan 90-an akan menganggap kita bodoh, cetek, lembek, tidak peduli masyarakat, dan hanya kepingin bersenang-senang. Mahasiswa angkatan 80-an pun akan menganggap mahasis wa 90-an demikian, seterusnya, dan seterusnya. Keawuran seperti itu, pada akarnya, mungkin lahir karena tesis ma hasiswa sebagai “agen perubahan” tidak kunjung terwujud. Dengan berat hati saya harus mengatakan, “Anggapan bahwa mahasiswa secara esensial sebagai agent of change adalah murni delusi, orang MelayuMedan bilang “gilba” alias gila ba yangan. Mungkin suatu waktu mereka pernah jadi pelopor perubahan, tapi saya ragu selamanya mahasiswa akan menempati posisi istimewa itu.” Memang benar bahwa “bapakbapak pendiri bangsa” yang tercatat dalam kanon sejarah Indonesia pernah makan bangku sekolah tinggi akibat kebijakan etis kolonial Belanda. Namun pertanyaannya, jika benar bahwa ma hasiswa dari sononya adalah agent of change, dengan mengambil contoh “bapak-bapak bangsa yang mantan mahasiswa itu” (lalu mau dikemanakan Semaun?), apa ribuan cerdas-cendekia itu bersedia meninggalkan trilogi buku pesta cinta demi sungguh-sungguh memp el aj ar i kondisi masyarakat jajahan, menuliskannya dalam laporan yang baik, dan mendistribusikan pe ngetahuan tersebut seluas-luasnya? Menempatkan mereka dalam posisi agent of change artinya menihilkan peranan ratusan ribu pemuda lain yang tak pernah menjadi maha siswa tapi siap bentrok, siap di-Digoel-kan, siap tewas untuk menggergaji kaki-kaki kekuasaan Belanda saat itu. Benar pula mahasiswa punya peran historis pada 1998. Namun glorifikasi pada “mahasiswa yang menurunkan Soeharto” itu apa namanya kalau bukan pelupaan peran kaum miskin kota (termasuk Wiji Thukul dan banyak lagi yang tak sekolah)? Memang benar mahasiswa turun membela warga yang digusur pada zaman pembangunan Dam Kedungombo. Namun, tanpa Kedungombo sendiri, dan segala jenis warga yang mempertahankan hidupnya di sana, tidak akan ada aktivitas mahasiswa di sana toh? Asumsi agent of change tampaknya juga muncul karena
78 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016
mereka dilatih untuk berpikir abstrak, memiliki kesempatan dan akses ke pengetahuan global. Apalagi sebagian mahasis wa lahir dari golongan kelas menengah dan priayi. Mereka tak perlu banting tulang untuk cari biaya kuliah sehingga diberkahi banyak waktu luang untuk membela orang kecil dan kaum tertindas. Tentu dalam semesta pemikiran moral is ini, hak istimewa tersebut sulit didapat dari rekan-rekan mereka yang tak makan bangku sekolah tinggi dan akhirnya terpaksa memilih jadi buruh rendahan. Celakalah jika asumsi ini diterima. Sebab aktivisme maha siswa hanya jadi hobi paruh waktu yang tak dijamin berlanjut setelah lulus. Namun di luar itu, pandangan yang diyakini banyak orang ini pun sudah tidak adil sejak dalam pikiran. Itu karena implikasinya adalah pemuda manapun yang tidak pernah jadi mahasiswa pastilah bodoh, tidak kosmopolit, tak punya insting bela rasa, serta tidak bisa membela diri sendiri di hadapan kekuasaan politik dan modal. Memb en ark an pand anga n ini boleh jadi sama dengan mengamini ideologi pembangunan Orde Baru dalam lapangan politik secara murni dan konsekuen. Orde Baru dan ordeorde kerdil setelahnya percaya bahwa agar cita-cita masyarakat makmur, adil, dan sejahtera terwujud, anggota masyarakat yang perlu dibikin gemuk dulu adalah kelas menengah. Barulah setelah itu kemakmuran menetes dari atas ke kelas di bawahnya. Berhasil? Tidak. Sarjana-sarjana liberal pun rata-rata punya pandangan serupa, “Mendidik kelas menengah adalah jalan surga menuju demokrasi.” Ber hasil? Tidak. Coba lihat, wong aspi rasi politik kelas menengah terdidik Indonesia tidak pernah jauh-jauh dari REPRO. AZIZ | EKSPRESI propaganda TNI “NKRI Harga Mati”. Bar angk al i beg it ul ah hakikat manusia—termasuk sistem pendidikan yang membesarkannya—dalam falsafah neoliberalisme. Tentu yang saya maksud di sini neoliberalisme sebagai sebuah weltanschauung. Neoliberalisme di mana tiap orang dan tiap ihwal yang melekat pada dirinya, pada dasarnya, bisa dikomersialisasikan dan menghasilkan profit. Begini. Saya punya mixed-feelings mengenai neoliberalisasi kampus. Pada dasarnya saya tidak sepakat dan mungkin tidak akan pernah sepakat. Namun bukankah neoliberalisasi kampus justru menguak kenyataan pahit bahwa saya, Anda, dan kita semua harus mengeksploitasi diri bahkan sejak dalam kampus supaya bisa kerja-kerja-kerja sampai mampus? Namun itu juga berarti ada banyak hal yang bisa dilawan oleh mahasiswa bersama kaum-kaum lain yang bukan mahasiswa toh?[]