Majalah Ekspresi Edisi XXIX - Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya

Page 1



MAJALAH MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

EKSPRESI

I INDEKS DARI REDAKSI

4

EDITORIAL

5

SURAT PEMBACA

6

PROFIL Marsigit

30

ALMAMATER Hibah Dana IDB Bersyarat 32 Tiga Belas Gedung IDB, RTH Berkurang 34 KOLOM Wajah Layar Kaca

36

C’KLIK Menjadi Biduan

39

APRESIASI Carlo Petrini

56

ANALISIS UTAMA

8

IMAM | EKSPRESI

DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA SETIDAKNYA dua per­la­ku­an me­nya­kit­kan harus di­te­ri­ma ke­tu­run­an Tionghoa di Yogyakarta. Per­ta­ma, me­re­ka di­ba­tasi hak atas ta­nah­nya. Kedua, jidat ­me­re­ka dicap non­pri­bu­mi—pre­di­kat re­ka­an pe­me­rin­tah ko­lo­ni­al yang sudah di­ha­pus hukum Indonesia. Sa­yang­nya, lem­ba­ga ne­ga­ra justru lebih tunduk pada swa­pra­ja.

TELUSUR

44

WAWANCARA KHUSUS Bramantyo Prijo Susilo 58 KHUSNUL | EKSPRESI

RESENSI Menulis Itu Indah

60

PENDIDIKAN Sekolah Pasar

76

HIKMAH Delusi Agen Perubahan 78

TERUSIR PROYEK PLTU BATANG ada­lah ka­bu­pa­ten yang pro­duk­si pa­di­nya surplus dan lautnya kaya akan ikan. Sampai ke­mu­di­an, bersama Pemerintah, investor Jepang datang mem­ba­ngun PLTU ter­be­sar se-Asia Tenggara. Per­ta­ni­an dan ke­la­ut­an, mata peng­hi­dup­an kudus di negeri agra­ris, se­ka­li lagi, di­ga­ham proyek am­bi­si­us ka­pi­tal.

LAPORAN KHUSUS

Rancang Sampul: Aziz Dharmawan Redaksi menerima surat pembaca menanggapi hal-hal menyangkut dunia ke­mahasiswa­an, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, agama, sains, teknologi, o ­lahraga, lingkungan, dan budaya, serta tanggapan atas terbitan EKSPRESI sebelumnya. Tulisan maksimal 1000 kata, dikirimkan ke email redaksi@ ekspresionline.om. Redaksi berhak mengubah tulisan sepanjang tidak mengubah i­si dan makna.

61

AZIZ | EKSPRESI

TITIK BALIK RILISAN FISIK PERALIHAN format dari fisik ke di­gi­tal meng­ubah ko­re­nah ma­nu­sia. ­Se­mu­a­nya i­ngin ­lebih ­praktis, ­ter­ma­suk ­dalam ­langgam ­me­­nik­ma­ti ­musik. ­Namun, ­siapa s­angka, ­meski ­bikin ­ribet, ­masih ­­ada ­yang ­me­­man­ja­­kan ­te­li­nga ­dengan ­­­ke­­ma­ pan­­an ­lawas. ­Diam-­diam, ­se­le­ra ­akan ­ri­lis­an ­fisik ­terus ­di­­ra­ya­­kan ­di ­mana-­mana. EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 3


DARI REDAKSI

R

a­si­al­is­me punya porsi yang cukup panjang dalam ben­tang­an se­ja­rah per­adab­an du­ni­a. Se­iring ma­ju­ nya per­adab­an, muncul orang-orang yang akhir­nya mampu mem­ba­wa sua­ra bahwa per­be­da­an etnis mau­pun ras tidak jadi soal dalam ke­hi­dup­an se­ha­ri-hari. Re­vo­lu­si peng­hen­ti­an dis­kri­mi­na­si ra­si­al yang telah pecah di ber­ba­gai tempat akhirnya ber­ujung pada Resolusi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk me­nye­top dis­kri­mi­na­si ini. PBB sampai harus hadir, sebab tidak se­di­kit dis­kri­ mi­na­si ini dilanggengkan oleh tokoh pe­ me­rin­tah bahkan negara. Dis­kri­mi­na­si sudah kadung ter­sis­tem. Di Yogyakarta pun de­mi­ki­an. Se­akan ter­je­bak dalam stigma, pe­me­rin­tah pro­ vin­si ingin me­lin­dungi warga pri­bu­mi dari warga non­pri­bu­mi. Fakta bahwa aset tanah yang ter­se­bar di se­lu­ruh ne­ge­ri ini hanya di­mi­liki oleh se­ge­lin­tir orang me­ mang benar. Namun, pemprov mem­ba­ca akar ke­tim­pang­an ini ber­sum­ber bukan dengan dasar kelas sosial me­la­in­kan et­ nis­itas. Warga yang di­go­long­kan non­pri­ bu­mi tidak boleh me­mpunyai surat hak milik tanah di Yogyakarta. Tidak ada lan­das­an yang jelas ba­ gai­ma­na pemprov men­dik­te yang mana pribumi dan non­pri­bu­mi. Ter­le­bih pe­ me­rin­tah pusat telah me­la­hir­kan beleid yang me­la­rang peng­gu­na­an is­ti­lah pri­bu­mi dan non­pri­bu­mi. Komnas HAM yang sudah hadir sejak 4 tahun lalu, nyatanya tidak mampu mengubah sikap Gubernur DIY. Tema ini­lah yang kami sa­ji­kan di rubrik Analisis Utama. Se­men­ta­ra itu, pe­me­rin­tah pusat tengah me­wa­ca­na­kan pem­bang­kit listrik super besar yang ber­lo­ka­si di Kabupaten Batang. Men­da­pat gan­deng­an in­ves­tor dari Jepang, te­na­ga uap di­pi­lih se­ba­gai tek­no­lo­gi­nya. Sontak, ma­sya­ra­kat pe­si­sir Kabupaten Batang protes. Se­la­in ka­re­na po­lu­si yang akan ber­dam­pak pada sawah dan laut me­re­ka, ruang hidup dan pe­ker­ja­an juga kudu ber­alih. Pada rubrik Telusur, kami coba sa­ji­kan li­put­an ma­sa­lah ini dengan gaya jur­na­lis­me na­ra­tif. Warga jelas tak mau jadi martir atas mimpi pe­me­rin­tah punya PLTU ter­be­sar se-Asia Tenggara. Apa­la­gi efek­nya tak tanggung-tanggung, angka po­lu­si yang di­sum­bang­kan satu PLTU Batang se­ta­ra dengan jumlah total po­lu­si yang di­pu­nya Myanmar dalam se­ta­hun. Para ne­la­yan dan pe­ta­ni Batang

lantas ber­ge­ril­ya men­co­ba meng­ga­gal­kan mega proyek pe­me­ rin­tah ini. Langkah di­plo­ma­tis hingga turun ke jalan hampir jadi ke­se­ha­ri­an. Saat ini sawah para petani sudah di­tu­tupi seng, kapal-kapal besar peng­ang­kut batu bara meng­ancam kapal kecil para nelayan. Di­lan­jut­kan dengan mem­ba­has ke­bang­kit­an ri­lis­an fisik di rubrik Laporan Khusus, kami urai­kan fe­no­me­na-fe­no­me­na yang meng­iring­inya. Anda akan te­mu­kan ba­gai­ma­na efek­ti­vi­ tas dan efi­si­en­si tidak se­la­lu men­ja­di raja. Pa­sal­nya, ke­cang­gih­an dan ke­prak­tis­an musik di­gi­tal tidak oto­ma­tis mem­bu­at ri­lis­an fisik mati. Seabrek alas­an masih di­pu­nyai oleh orang-orang yang tidak mau ber­an­jak dari ri­lis­an fisik. Mulai dari po­ten­si eko­no­mi se­ba­gai bahan ko­lek­si yang nilai ju­al­nya dapat me­ning­kat ber­ka­li lipat. Hingga ke­nik­mat­an ba­ti­ni­ah dalam mendengar musik yang hanya dapat di­ca­pai dengan ri­lis­an fisik dan barang-barang ber­ku­ali­ tas ting­gi. Sampai di sini, pi­ring­an hitam dipuja-puja se­ba­gai me­di­um ri­lis­an fisik peng­ha­sil suara paling bagus. Ko­mu­ni­tas-ko­mu­ni­tas pen­cin­ta ri­lis­ an fisik pun mulai ber­mun­cul­an. Mulai dari se­ka­dar kumpul-kumpul dan tukarme­nu­kar ri­lis­an fisik, hingga pe­ra­ya­an se­ ka­li­ber in­ter­na­si­onal pun di­bi­kin. Me­re­ka di­kum­pul­kan dengan alas­an yang kurang lebih sama: ri­lis­an fisik. Be­gi­tu pula dengan ko­mu­ni­tas lain yang tak pernah ber­kum­pul, bikin pe­ra­ya­an, tapi tak hilang-hilang. Me­re­ka adalah para pen­ja­ja musik ba­jak­an. Bukti paling se­der­ha­na­nya adalah pe­la­pak kaset dan CD ba­jak­an yang sampai se­ka­rang masih punya pangsa pem­be­li. Tak ada alas­an untuk me­nye­but ma­ja­lah ini bagus. Apa­ la­gi de­la­pan bulan adalah waktu yang ter­lam­pau lama. Pro­ kras­ti­na­si yang ber­ujung ke­ti­dak­di­si­plin­an para peng­ga­rap ma­ja­lah men­ja­di alasan yang tak bisa di­mung­ki­ri. Namun, ten­tu­nya butuh kerja keras sampai ma­ja­lah ini sampai ke tangan pem­ba­ca. Mulai dari mem­ba­gi waktu, te­na­ga, dan pi­kir­an sem­ba­ri men­ja­lani proses aka­de­mik. Akan lengkap ra­sa­nya jika kerja keras tadi men­da­pat apresiasi dari para pem­ba­ca be­ru­pa kritik. Pada akhir­nya, kami ucapkan se­la­mat me­nik­ma­ti ma­ja­lah ini. Se­mo­ga mampu mem­ban­tu Anda se­ba­gai refleksi pe­mi­kir­an in­te­lek­tu­al.[]

PENERBIT: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) EKSPRESI Universitas Negeri Yogyakarta IZIN TERBIT: SK Rektor No. 069/1992 20 April 1992 PELINDUNG:­ Prof. Dr. Rochmat Wahab PENASIHAT: Dr. Sumaryanto, M.Kes. PEMBINA: Sigit Nugroho, S.Or., M.Or. PEMIMPIN UMUM: ­Mariyatul Kibtiyah SEKRETARIS: Fara Famular (nonaktif ) BENDAHARA: Devi Ellok PEMIMPIN REDAKSI: Aziz Dharmawan R ­ EDAKTUR ­PELAKSANA MAJALAH: Putra Ramadan REDAKTUR UTAMA: A.S. Rimbawana, Ghozali Saputra, Triyo Handoko­REDAKTUR­ DAN REPORTER:­ Ade, Ahmad, Andhika, Arfrian, Aziz, Bayu, Devi, Ghoza, Imam, Khusnul, Kibti, Prima, Putra, Rimbawana, Triana, Vathir, Vina, Winna ­REDAKTUR ARTISTIK: ­Andhika Widyawan, D ­ inda Sekar (nonaktif ) REDAKTUR­ FOTO:­ Ade Luqman R ­ EDAKTUR PELAKSANA ONLINE: Triyo Handoko R ­ EDAKTUR BAHASA: Ayuningtyas Rachmasari PEMIMPIN PSDM: Winna Wijayanti LITBANG: Ervina Fauzia, ­PERPUSTAKAAN: Fajar Azizi DIKLAT & KADERISASI: Khusnul Khitam DISKUSI: A. S. Rimbawana PEMIMPIN PERUSAHAAN: Triana Yuniasari EVENT ­ORGANIZER: Bayu Hendrawati PRODUKSI: Rohmana Sulik SIRKULASI: Indra Ristianto IKLAN: Ghozali Saputra PEMIMPIN JARINGAN KERJA: Arfrian Rahmanta J­ ARINGAN INTERNAL: Ahmad Wijayanto, Riska Pranandari JARINGAN EKSTERNAL: Andi Vathir NGO & GERAKAN: Prima Abadi ALAMAT REDAKSI: Gedung Student­Center Lt. 2 Universitas Negeri Yogyakarta 55281 SUREL: lpm_ekspresi@ yahoo.com­ SITUS WEB: ­­ekspresionline.com

4 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016


EDITORIAL

Sudahi Kekacauan Tata Ruang

I

ndonesia adalah ne­ge­ri yang subur ta­nah­nya dan kaya akan sumber daya alam. Ung­kap­an ini mungkin ter­de­ngar mewah, tapi ba­ca­lah: ter­ca­ tat, hanya ter­da­pat 25 juta hektare lahan per­ta­ni­an yang ter­se­bar di se­lu­ruh Indonesia. Kini, 71 tahun sudah Indonesia mer­d e­k a. Rakyat meng­i ngin­k an ke­m er­d e­k a­ an dari ke­mis­kin­an, ben­ca­na alam, dan krisis energi. Namun, sampai saat ini, Indonesia be­ lum­l ah se­p e­n uh­n ya mer­d e­ ka—lagi-lagi ung­k ap­a n yang klise. Ke­ge­lisah­an me­nye­rang di mana-mana, ka­re­na peng­gu­ sur­an terus mem­ba­bi buta. Ke­ gun­dah­an kambuh se­ti­ap waktu, sebab ke­dau­lat­an pangan ter­ki­ kis dan ener­gi kri­sis. Per­ma­sa­lah­an itu, salah sa­ tu­nya, ber­pang­kal pada se­ki­tar 3.000 per­atur­an daerah ter­ka­ it tata ruang yang tumpang tindih dengan kebijakan dari pemerintah pusat. Padahal, tata ruang wilayah seharusnya sejalan antara pemerintah daerah, kota, dan pusat. Indonesia tidak punya perencanaan terintegrasi, sehingga berbagai macam persoalan muncul berkaitan dengan pembangunan. Selanjutnya, konsistensi pelaksanaan aturan pun lemah. Seluruh pemerintah, baik pusat dan daerah kelihatannya konsisten jika berhadapan dengan pemodal lemah. Sebaliknya jika berhadapan dengan pemodal besar atau pejabat tinggi, pemerintah yang jadi lemah. Seperti banyak kasus yang terjadi sekarang. Lahan pertanian berubah menjadi mal atau bandara. Selain itu, Pemerintah juga minim kemampuan mengantisipasi persoalan-persoalan di masa mendatang. Padahal, dalam dua atau tiga puluh tahun ke depan, Indonesia memiliki beberapa tantangan. Pertama, sektor penggunaan lahan. Lahan yang awalnya hijau bisa beralih fungsi menjadi perumahan, kawasan perkantoran, dan hotel yang terus menjarah. Kedua, kuantitas ruang. Jumlah penduduk yang semakin padat dapat mengakibatkan ruang gerak menyempit. Ketiga, kesenjangan pembangunan antarwilayah. Tantangantantangan tersebut jika tidak teratasi dapat berdampak pada tata ruang wilayah yang tentu tidak sesuai kebutuhan. Memang, di Indonesia, RTRW diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional. Sasarannya agar tersedia rencana tata ruang wilayah yang konsisten dan efektif. Penyesuaiannya merujuk kaidah penataan ruang, seperti kenyamanan lingkungan, keamanan budaya, serta tertibnya penataan ruang. Agar tepat sasaran, tentu diperlukan usaha yang keras. Dalam mem­bu­at ren­ca­na tata ruang wi­la­yah perlu mem­

per­tim­bang­kan aspek ling­kung­an. Pa­sal­nya, ling­kung­an me­ ru­pa­kan tempat hidup di mana ma­nu­sia me­me­nuhi ke­bu­tu­ han­nya. Jika ren­ca­na tata ruang wi­l a­y ah tidak di­s e­i m­b ang­k an dengan ling­kung­an, di­ta­kut­kan akan me­ru­sak me­nu­run­kan kua­ li­tas ling­kung­an. Pem­ba­bat­an lahan per­ta­ni­an untuk pem­ba­ngun­an pe­ru­mah­ an, hotel, dan tempat per­be­lan­ ja­an me­nye­bab­kan ber­ku­rang­nya lahan hijau. Belum lagi kasus ke­ ru­sak­an hutan yang men­ca­pai 2,8 juta hektare per tahun. Lalu ke­ sa­lah­an dalam tata ruang dapat me­nye­bab­kan drainase yang tidak baik hingga timbul banjir. Pe­ris­ti­ wa-peristiwa ter­se­but me­ru­pa­kan dampak dari ren­ca­na tata ruang wi­la­yah kota yang tidak se­su­ai dengan prinsip ling­kung­an. ARFRIAN | EKSPRESI Iro­nis­nya, per­ma­sa­lah­an tata ruang yang ter­ja­di tidak hanya men­ ye­bab­kan be­be­ra­pa dampak bagi masyarakat saja, melainkan juga lingkungan. Hal tersebut terjadi karena perencanaan tata ruang kota tidak jelas. Pembuat kebijakan tidak konsisten dalam melaksanakan perencanaan pembangunan. Penyusunan RTRW pemerintah kabupaten/kota/provinsi menjadi Perda yang sangat lambat. Tidak adanya kejelasan dan konsistensi dalam penataan ruang. Sebagai contoh yang terjadi di Kabupaten Batang. Agar proyek PLTU terbesar se-Asia Tenggara mendapat legalitas di sana, RTRW Kabupaten Batang dipaksa berubah. Bukan hanya itu saja, bahkan Perda yang mengatur soal wilayah konservasi laut di Batang pun mudah saja digeser. Padahal, proyek tersebut harus memakan korban berupa lahan subur berupa sawah produktif. Atas nama pembangunan seakan semuanya bisa diatur sambil jalan, perencanaan sekalipun. Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Bernardus Djonoputro me­ni­lai, perma­sa­lah­an tata ruang dalam jang­ ka panjang me­nim­bul­kan konflik yang ber­dam­pak pada pembangunan infrastruktur (dalam Kompas.com). Padahal, seharusnya antara rencana tata ruang wilayah kota sejalan dengan pembangunan infrastruktur agar rencana tata ruang wilayah kota dapat sejalan dengan tujuan pembentukannya. Presiden sudah tentu harus meninjau ulang soal visinya dalam membangun infrastruktur sepanjang periode kepemimpinannya. Mustahil untuk menolak pembangunan infrastruktur. Namun, jika pembangunan “memerkosa” perencanaan tata ruang wilayah, tentu lingkungan belumlah jadi orientasi pembangunan di Indonesia. Pemerintah tak boleh lupa bahwa Indonesia adalah negara terakhir dari sedikit negara yang pernah dipercaya menjadi tuan rumah KTT Bumi dan Lingkungan.[] EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 5


SURAT PEMBACA

­ em­be­ri­kan pe­la­yan­an in­for­ma­si ­ke­pa­da m publik dengan ­se­be­nar-­be­nar­nya. Para ­m a­h a­s is­w a dengan de­m i­k i­a n akan ­men­da­pat­kan peng­alam­an lang­sung tentang ba­gai­ma­na meng­elo­la badan publik untuk mem­be­ri­kan in­for­ma­si publik ter­se­but. Peng­alam­an lang­sung me­r u­p a­k an guru ter­b a­i k. De­m i­k ian ­pe­tu­ah bijak para cen­de­kiawan.

“Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta,“

Subkhi Ridho Dosen Ilmu Komunikasi UNY

Thales Filsuf Yunani Kuno

Era Keterbukaan Informasi bagi Universitas SE­TE­LAH satu de­ka­de ­re­for­ma­si ­ber­ja­lan, pada 2008 ­d­i­ke­tok se­bu­ah ­re­gu­la­si yang meng­atur pengelolaan ­­in­for­ma­si publik, yakni ­Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan ada­nya UU ­ter­se­but, ­p e­m e­r in­t ah ­m au­p un badan publik ­la­in­nya harus mem­be­ri­kan ­in­for­ma­si pa­da publik ter­ka­it dengan ­pe­lak­sa­na­an program dan ke­gi­at­an yang telah di­la­ku­ kan. Tak ter­ke­cu­ali universitas sebagai lem­ba­ga pen­di­dik­an. Di­ben­tuk pula Komisi ­Informasi Publik (KIP), se­b u­a h lem­b a­g a ­p­­e­m an­t au­a n dan pengeva­l ua­s i atas ter­lak­sa­na dan ti­dak­nya UU ­ter­se­but. ­S e­j a­l an dengan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik dalam Pasal 37 ayat (1), Komisi Informasi dapat me­la­ku­kan eva­lua­si pe­lak­sa­na­an ­la­yan­an Informasi Publik oleh Badan Publik 1 (satu) kali dalam se­ta­hun; ayat (2) Hasil eva­lua­si se­ba­gai­ma­na di­mak­sud pada ayat (1) di­sam­pai­kan ­pa­da Badan Publik dan di­umum­kan pa­da Publik. T e r­k a­i t e v a­l u a­s i ­m e­n g e­n a i ­ke­ter­bu­ka­an in­for­ma­si publik, KIP sejak 2011 telah ­me­la­ku­kan pe­me­ring­kat­an ­ke­ter­bu­ka­an in­for­ma­si badan publik. Hal ini merupakan bentuk ­pe­man­­tau­an dan ­e va­l ua­s i tentang implementasi ­k e­t er­b u­k a­a n in­f or­m a­s i. Ada­p un ­lem­ba­ga-lem­ba­ga yang ­di­eva­lua­si dan ke­m u­d i­a n muncul pe­r ing­k at yakni: ­ke­men­te­ri­an, Badan Usaha Milik Negara, partai po­li­tik, per­gu­ru­an tinggi ne­ge­ri (PTN), pe­me­rin­tah pro­vin­si (pemprov). PTN yang me­n em­p a­t i sepuluh

6 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

besar tahun 2015 yaitu: 1) Universitas Brawijaya (skor 86, 861), 2) Universitas Gadjah Mada, 3) Universitas Padjajaran, 4) Universitas Indonesia, 5) Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), 6) Universitas Sumatera Utara, 7) Universitas Jambi, 8) Universitas Lambung Mangkurat, 9) Universitas Bengkulu, 10) UIN Sunan Gunung Jati Bandung (skor 31,039), (laporan dari KIP). Pe­ni­lai­an ter­se­but di­la­ku­kan se­ca­ra man­di­ri dan hasil vi­si­ta­si KIP, dengan in­di­ka­tor dan bobot pe­ni­lai­an se­ba­gai ­b e­r i­k ut: Meng­u mum­k an In­f or­m a­s i Publik (bobot nilai 24%), ­Me­nye­dia­kan In­f or­m a­s i Publik (20%), Pe­l a­y an­a n ­In­for­ma­si Publik (25%), ­Pe­nge­lo­la­an dan Pen­do­ku­men­ta­si­an Informasi Publik (30%). Nah, ber­ka­ca dari data KIP di atas, kita bisa me­li­hat bahwa per­gu­ru­an tinggi ne­ge­ri kita saat ini masih jauh di bawah standar dalam pe­nge­lo­la­an ­ke­ter­bu­ka­an in­for­ma­si publik, termasuk Universitas Negeri Yogyakarta. Meng­ingat po­si­si nomor se­pu­luh saja ni­lai­nya 31,039. Hal ini berarti kampus-kampus lain ni­lai­nya di bawah dari posisi ter­se­but. Ini­lah ironi lem­ba­ga ­pen­di­dik­an. ­Ruang ­di ­mana ­sering ­kali digembar-­ gembor­k an ­p erlunya ­k eterbukaan ­infoma­si ­publik ­oleh ­para ­dosen ­mau­pun ­te­na­ga ­peng­ajar ­di ­universitas. ­Namun, ­lem­ba­ga­nya ­sen­di­ri justru belum mampu men­ja­di te­la­dan bagi para ma­ha­sis­wa dan publik ­se­ca­ra luas. Para pe­mim­pin di uni­ver­si­tas dari lingkup ter­ke­cil di tata usaha, jurusan, fakultas, dekanat, rektorat, hingga forum terhormat senat di­tun­tut untuk ­m­­em­be­ri contoh konkret ­ba­gai­ma­na

Pekerjaan Rumah untuk PSSI Baru KONGRES ­L uar ­B iasa ­( KLB) ­P SSI ­yang ­se­ja­ti­nya ­di­se­leng­ga­ra­kan ­pada ­17 ­Oktober ­2016 ­di ­M­akassar ­di­un­dur ­­h ing­g a ­1 0 ­N ovember ­2 016 ­d­a n ­di­lak­sa­na­kan di Jakarta. Jika ­per­so­al­an waktu dan tempat saja jadi ma­sa­lah, sudah pasti ­PSSI ­ini ­adalah ­gudang ma­s a­l ah. Siapa pun yang ­m en­j a­d i ­k e­t ua umum dan ­k o­m i­t e­ ­e k­s e­k u­t if (Exco) akan ­di­ha­dap­kan pada ­se­ge­nap ­per­so­al­an yang tak mudah ­di­se­le­sai­kan. Mulai dari ­per­so­al­an ­ad­mi­nis­tra­tif ­dan badan hukum ­ang­go­ta (klub), per­ba­ik­an ­kom­pe­ti­si, hingga ­pe­nyu­sun­an ­kem­ba­li agen­da ­pem­bi­na­an pe­ma­in ­muda di level lokal mau­pun na­sio­nal. Belum lagi ­per­so­al­an ­pen­di­si­plin­an Asosiasi Provinsi dan Asosiasi Kabupaten/Kota. Exco PSSI sudah me­m u­t us­k an untuk me­m u­l ih­k an kem­b a­l i tujuh klub yang ­s e­l a­m a ini meng­a m­b ang status ­hu­kum­nya. Salah ti­ga­nya ada­lah Persebaya Surabaya, Arema Indonesia, dan Persipasi Bekasi. Ke­tu­juh klub ­ter­se­but, jika nan­ti­nya kom­pe­ti­si ­di­ge­lar kem­ba­li oleh fe­de­ra­si, bisa ber­la­ga lagi di Divisi Utama. Tidak perlu me­la­lui Liga Nusantara. Akan tetapi, ke­pu­tus­an ­ter­ha­dap Persebaya tidak me­m i­l ik­i peng­ aruh apa­p un bagi Surabaya United (Bhayangkara Surabaya United atau kini Bhayangkara Football Club se­te­ lah ­di­akui­si­si oleh Polri). Meng­ingat ­d­­u­lu­nya Surabaya United ber­ki­prah dengan hak yang ­se­mes­ti­nya di­mi­lik­i oleh Persebaya. Arema Indonesia di­pu­lih­kan tapi sudah ada Arema Cronus di level ter­atas ­kom­pe­ti­si ne­ge­ri ini. Persipasi Bekasi sempat merger dengan Bandung Raya lalu di­ju­al dan kini kita me­nge­nal Madura United. Ke­bi­jak­an di­am­bil untuk me­nye­ le­sai­kan suatu ma­sa­lah tapi justru me­


SURAT PEMBACA

nimbulkan adanya masalah ­berikut­nya. ­B isa jadi di masa depan kita akan menemu­kan ­lagi ­ke­m uncul­a n ­Putra ­Samarinda ­yang notabene ­sudah ­di­ju­al ­dan ­men­ja­di ­Bali ­United ­atau ­Persiram ­Raja ­Ampat ­yang ­men­ja­di ­PS ­TNI. Exco PSSI ter­la­lu mudah ­mem­pro­ses jual beli hak ber­la­ga se­ba­gai ­se­bu­ah klub pro­fe­sio­nal. Ini men­ja­di bom waktu di ­k­e­m u­d i­a n hari. Jika klub­ ­t er­l a­l u banyak, bidang kom­pe­ti­si akan ­ke­su­lit­an ­me­nen­tu­kan format liga yang tepat. Tepat dari sisi pem­bi­na­an dan ko­mer­si­al. Oleh ­ka­re­na­nya, perlu ada atur­an yang jelas me­nge­nai ke­be­ra­da­an suatu klub dan proses jual be­li­nya. Agar tak timbul lagi per­so­al­an se­per­ti yang sudah-sudah. ­Kalau se­mua­nya ­di­ma­af­kan, m­enarik untuk ­me­na­ti ­apa­kah ­yang ­akan ­di­te­ri­ma ­oleh ­para ­ter­dak­wa ­sepak bola gajah ­an­ta­ra PSS Sleman vs PSIS Semarang yang ber­lang­s ung pada 27 Oktober 2014. Se­ja­uh ini, tak ada maaf bagi para ­pe­la­ku (peng­urus, pe­la­tih, dan pe­ma­in). Me­re­ka tetap di­hu­kum se­su­ai dengan ­hu­kum­an­nya. Ada yang di­hu­kum satu tahun per­co­ba­an, se­pu­luh tahun, hingga se­umur hidup tidak boleh aktif di sepak bola Indonesia. Total ada 50 orang yang di­vo­nis ber­sa­lah (26 PSS dan 24 PSIS). Per­so­al­an­nya, sepak bola gajah tidak di­usut tuntas. Jika ini ada­lah ­peng­atur­an skor, tak ada in­ves­ti­ga­si ­lan­jut­an ­se­hing­ga sangat rentan ­ke­ja­di­an ini ter­ulang. Mungkin bukan dalam bentuk yang ­se­men­co­lok ini. Namun mafia peng­atur skor yang men­ja­di dalang ber­ba­gai tindak ke­cu­rang­an di sepak bola na­sio­nal tetap le­lua­sa men­ja­lan­kan ope­ra­si ile­gal­nya. PSSI baru harus membuka kasus ini ­kem­ba­li. Meng­hu­kum yang se­ha­rus­nya di­hu­kum dan me­ri­ngan­kan hu­kum­an bagi yang ­se­ja­ti­nya tak punya ini­sia­tif ber­la­ku curang. Se­lan­jut­nya tentu bisa ­mem­bu­ka ja­ring­an peng­atur­an skor yang ­meng­ge­ro­goti sepak bola Indonesia. Peng­urus baru tak perlu ­ber­jan­ji kita akan ke Piala Dunia. Lima tahun ­men­da­tang se­ba­ik­nya di­gu­na­kan untuk mem­per­ba­iki kon­di­si ­in­ter­nal. ­Me­ran­cang tata ke­lo­la sepak bola yang benar dan ­di­pa­tuhi oleh se­lu­ruh stakeholder. Jika itu saja bisa jalan dan se­ti­dak­nya dua ma­sa­lah yang ­d­­­i­se­but­kan dalam tu­lis­an ini bisa ­di­se­le­sai­kan, itu sudah cukup untuk me­nye­but ­ke­peng­urus­an yang baru ber­ha­sil. Sirajudin Hasbi Editor Fandom.id

Membangun Perspektif dalam Studi Air BAGI saya, kesan per­ t a­ m a yang muncul se­s u­d ah mem­b a­c a Majalah EKSPRESI “Memburu Aliran Emas Biru” ­ada­lah, yang di­mak­sud dengan “tema ­p e­n ge­l o­l a­a n air” ia­l ah akses ­ter­ha­dap air minum. Hal ini ter­li­hat dari ber­ba­gai ­tu­lis­an yang ­mem­per­da­lam ­per­ma­sa­lah­an-­per­ma­sa­lah­an se­per­ti air minum dalam ke­mas­an,­ ­per­ma­sa­lah­an konflik di mata air, kor­p o­r at­i sa­s i ­per­usa­ha­an dae­rah air minum, serta na­r a­s i tata ke­p eng­u rus­a n al­t er­n a­t if ­ter­ha­dap sumber air. Se­b a­g ai pem­b a­c a, saya sangat ­m e­n ik­m a­t i sa­j i­a n yang di­t am­p il­k an oleh Majalah EKSPRESI edisi ­ter­se­but. Ter­uta­ma ka­re­na itu mun­cul dalam­ ­ter­bit­an pers ma­ha­sis­wa. Itu ar­ti­nya ­per­ma­sa­lah­an ke­peng­urus­an air sudah mulai men­j a­d i per­b in­c ang­a n dan ­men­da­pat­kan porsi dalam dis­kur­sus yang ber­se­li­wer­an di ber­ba­gai ter­bit­an di ­se­ki­tar kita. Ini men­je­las­kan pula, tema air me­mi­liki modal yang sangat kuat untuk men­ja­di “alat politik” ka­re­na ia adalah ke­hi­dup­an itu sen­di­ri. Dalam ung­kap­an yang lain, saya bisa se­but­kan, krisis air ada­lah krisis ke­hi­dup­an. Akan tetapi, se­pen­dek ­pem­ba­ca­an saya, ter­bit­an EKSPRESI di atas ­be­lum­lah cukup me­na­ut­kan ­p­­er­ma­sa­lah­an krisis air. Maksud saya, ­per­ma­sa­lah­an akses atas air masih lebih di­tin­jau dalam ­p e­n ger­t i­a n­n ya ba­g ai­m a­n a orang ­m en­d a­p at­k an air untuk me­m e­n uhi ­ke­bu­tuh­an se­ha­ri-hari me­re­ka ­se­ba­gai makhluk hidup. Ter­m i­n o­l o­g i akses, mi­sal­nya, be­lum­lah di­ke­rang­kai se­ca­ra teo­ri­tis se­ba­gai bentuk dari ­“ke­kua­sa­an” yang, kalau kita meng­acu ke­pa­da filsuf seperti Michel Foucault, ­me­nye­but­kan bahwa ke­kua­sa­an itu re­la­si­onal dan ada di mana-mana. Faktor “re­la­si­onal dan ada di mana-mana” ini bisa ­men­du­duk­kan per­ma­sa­lah­an akses ter­ha­dap air di tengah-tengah ilmu sosial. Demikian pula konflik air yang ­ter­eks­pre­si dalam ­per­la­wan­an di Umbul Gemulo, Batu, Malang, be­lum­lah se­ca­ra teo­ri­tis ­di­bing­kai dengan meng­gu­na­kan teo­ri so­si­al yang lebih abstrak. Belum pula ber­b i­c a­r a tentang per­l a­w an­a n ­se­per­ti yang sudah banyak di­je­las­kan oleh James Scott (per­la­wan­an kaum yang lemah, po­li­tik infra-merah atau po­li­tik tak tampak mata, dan skrip ter­sembunyi), atau juga di­bing­kai dalam ­re­sis­ten­si ala

gramscian (konter-hegemoni), polanyian (countermovement), atau bahkan marxian (revolusi). Poin saya, tema-tema yang ­di­ang­kat dalam Analisis Utama ter­bit­an EKSPRESI masih bisa di­per­da­lam. Baik itu dalam wi­la­yah te­ori­ti­sa­si pe­nge­ta­hu­an, mau­pun dalam wi­la­yah ba­gai­ma­na se­ha­rus­nya praktik pe­re­but­an akses dan ­mem­ba­ngun per­la­wan­an itu di­ker­ja­kan oleh para ­pe­la­ku­nya. Poin kedua yang mungkin tak kalah me­na­rik adalah me­nge­nai tema air yang di­ang­kat itu sen­di­ri. Bahwa apa yang ­di­mak­sud dengan ­“ke­peng­urus­an air” bisa jauh lebih luas dari se­ka­dar akses ter­ha­dap air minum. ­Ke­peng­urus­an air juga bisa di­mak­nai dengan ­me­le­tak­kan air sebagai “ruang-hidup”. Dengan ­de­mi­ki­an, per­so­al­an-per­so­al­an yang sedang hangat di­b in­c ang­k an publik masa-masa ini di Indonesia bisa masuk dalam per­bin­cang­an ke­peng­urus­an air. Se­per­ti ge­rak­an pe­no­lak­an ­re­kla­ma­si di Teluk Benoa Bali, Teluk Jakarta, dan Makassar. De­m i­ki­an pula isu tanah yang ber­pi­lin dengan isu air ­se­per­ti yang ­d i­s ua­r a­k an ge­r ak­a n pe­t a­n i di Rembang dan Pati, Jawa Tengah. Pada da­sar­nya ma­sa­lah-ma­sa­lah ter­se­but juga ­ba­gi­an dari per­so­al­an-per­so­al­an dalam ­ke­peng­urus­an air. Air ­sebagai ruang hidup yang saya maksud adalah bahwa ­aktivitas ­reklamasi di ber­bagai daerah itu gencar di­to­lak oleh banyak ­kelompok. ­Pe­nolak­an itu ter­lihat, mi­salnya, dari ne­la­yan yang me­ra­sa ­re­kla­ma­si hanya akan me­ru­sak ka­was­ an teluk/laut, tempat me­re­ka ­me­lakukan ak­tiv­itas untuk ke­hi­dup­an me­re­ka se­la­ma ini. Di Rembang dan Pati, salah satu poin yang sering muncul dalam per­nya­ta­an para pe­no­lak tambang dan pabrik semen adalah ­ke­kha­wa­tir­an ­me­re­ka akan krisis momen ekstrem­ ­hi­dro­lo­gi (ke­ke­ring­an dan banjir) yang akan meng­an­cam masa depan dan kelangsungan hidup me­re­ka saat ini. Saya ber­ha­rap ­ter­bit­an EKSPRESI ini da­pat­lah ­ki­ra­nya men­ja­di pe­mi­cu untuk me­lahirkan s­ tudi-studi yang lebih dalam dan luas tentang ke­peng­urus­an air di Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Bosman Batubara Kandidat doktor University of Amsterdan dan UNESCO-IHE

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 7


ANALISIS UTAMA

Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya Oleh A.S. Rimbawana

R

a­sis­me men­ja­di salah satu dasar ko­lo­ni­al­is­me di tanah ja­jah­an Hindia Belanda, dan ra­sis­me ini me­la­hir­kan makh­ luk yang kini ber­na­ma ‘pri­bu­mi’,” tulis Ariel Heryanto dalam esai­nya, “Rasisme Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan RI”. Tanah Hindia Belanda yang se­ka­ rang kita kenal se­ba­gai Indonesia, ce­la­ ka­nya, tulis Ariel, menganggap sumber perbedaan itu adalah ras. Pri­bu­mi se­la­lu baik, se­dang­kan yang buruk pasti dan se­la­lu ada­lah non­pri­bu­mi. Tak pe­du­li apa­kah mem­pu­nyai ja­bat­an atau tidak, me­nin­das rakyat kecil atau tidak, pri­ bu­mi se­la­lu baik. Se­dang­kan non­pri­bu­ mi, se­ka­li­pun ia me­mi­hak rakyat Hindia Belanda, se­mi­sal Eduard Douwes Dekker si pe­nga­rang Max Havelaar, te­tap­lah— bagi se­ba­gi­an besar orang—di­ang­gap bangsa pen­j a­j ah. Be­g i­t u­l ah se­j a­r ah bangsa Indonesia di­li­hat sampai se­ka­ rang. Hitam dan putih. Bahwa, se­ka­li lagi, tak semua yang me­nin­das itu pasti non­pri­bu­mi. De­mi­ki­an pula se­ba­lik­nya, pri­bu­mi itu tak se­la­lu yang di­tin­das.

Tionghoa dalam Lintasan Sejarah

Be­g i­t u juga dengan ke­t u­r un­a n Tionghoa. Me­re­ka, dengan meng­gu­na­kan pre­di­kat non­pri­bu­mi, di­ang­gap ber­be­da dan di­po­jok­kan. Lihat saja dalam lin­tas­an se­ja­rah etnis dan ke­tu­run­an Tionghoa. Etnis Tionghoa, sudah sejak lama men­d a­t angi ke­p u­l au­a n Nusantara. Me­nu­rut Yerri Wirawan, Dosen Ilmu Sejarah Univesrsitas Sanata Dharma, etnis Tionghoa mulai ber­mi­gra­si dengan cukup pesat di ki­sar­an abad ke-16 dan ke-17. “Cara me­re­ka datang ke sini ­se­ per­ti bedol desa, se­per­ti trans­mi­gra­si,” tulis Ong Hok Ham, se­ja­ra­wan ke­tu­run­an Tionghoa, dalam bukunya, Anti-Cina,

8 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

DOK. ISTIMEWA

Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Se­le­pas pe­ris­ti­wa Geger Pecinan 1740, Vereenigde Oost Indische Company (VOC) me­ne­rap­kan dua ke­bi­jak­an ter­ ha­dap warga Tionghoa. Per­ta­ma, orang Tionghoa di­tem­pat­kan di kampung yang ter­pi­sah dari etnis lain, atau di­se­but wijkenstelsel. Kedua, orang Tionghoa harus mem­p u­n yai surat jalan jika hendak be­per­gi­an, atur­an ini di­se­but passenstelsel. Maka dari itu, mun­cul­ lah per­mu­kim­an-per­mu­kim­an Tionghoa, yang kini masih bisa di­te­mui hampir di se­lu­ruh kota di Indonesia. Ke­mu­di­an, demi me­lang­geng­kan ko­lo­ni­al­is­me, VOC mem­bi­kin sistem ber­da­sar ras men­ja­di tiga ba­gi­an, yaitu Belanda/Eropa (totok), Timur Jauh (Tionghoa, Arab, India, Jepang), dan p ­ ri­ bu­mi. Se­te­lah ke­hi­dup­an etnis Tionghoa di­ken­da­li­kan ber­da­sar­kan pem­ba­gi­an ke­lom­pok ber­da­sar­kan ras, warga etnis Tionghoa juga di­ba­tasi ruang ge­rak­nya. Al­ha­sil, se­ma­kin me­ngu­at­lah per­la­ku­ an ra­si­al­is ter­ha­dap etnis Tionghoa di Indonesia. Tihara Seto Sekar, se­o rang ­m a­ ha­sis­wa strata dua Fakultas Hukum UII, dalam te­s is­n ya yang ber­j u­d ul Problematika Surat Instruksi Kepala Daerah No. K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi di Yogyakarta, me­nu­lis­kan, ­se­ te­lah ke­mer­de­ka­an RI, etnis ke­tu­run­an Tionghoa tidak lepas dari atur­an yang me­nyu­dut­kan. “Ter­ca­tat, pada masa ­pe­ me­rin­tah­an Soekarno, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 yang isi­nya me­ne­tap­kan bahwa se­mua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa tidak di­be­ri izin lagi se­te­lah 31

Desember 1959. Per­atur­an ini ter­uta­ma di­tu­ju­kan pada pe­da­gang kecil Tionghoa yang me­ru­pa­kan ba­gi­an ter­be­sar ­orangorang asing yang me­la­ku­kan usa­ha di tingkat desa,” tulis Tihara. Tak hanya itu, se­lan­jut­nya pada masa Orde Baru, terbit Ketetapan MPRS No.III/MPRS/1966. Salah satu ba­gi­an­nya meng­atur tentang asi­mi­la­si se­ba­gai satu-satunya jalan bagi Warga Negara Indonesia ke­tu­run­an Tionghoa agar dapat me­le­bur­kan diri. Pada tahun yang sama, terbit pula Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan. Isinya ­de­ sak­an pada pe­me­rin­tah untuk me­la­rang se­ko­lah asing guna lebih mem­bi­na ­ke­ bu­da­ya­an daerah. Ke­mu­di­an, Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers. Di da­lam­nya ­di­nya­ta­ kan bahwa pe­ner­bit­an pers dalam bahasa Tionghoa me­ru­pa­kan mo­no­po­li ­pe­me­ rin­tah. Yang mana, hal ter­se­but turut me­lang­geng­kan ra­si­al­is­me di Indonesia.

Diskriminasi Pertanahan

Serenteng pe­r is­t i­w a itulah yang me­mung­kin­kan Yogyakarta ­me­la­hir­ kan atur­an berbau ra­si­al­is. Tak bisa ­di­ sang­kal, juga berbau ko­lo­ni­al­is. Atur­an ter­se­but ter­wu­jud dalam Instruksi Kepala Daerah 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi. Atur­an itu bertanda tangan Wakil Kepala Daerah saat itu, Pakualam VIII. Atur­an t­ er­se­ but mem­ba­tasi orang-orang yang di­ang­ gap non­pri­bu­mi—khu­sus­nya ke­tu­run­an Tionghoa—untuk memiliki tanah. ­Ke­ tu­run­an Tiong­hoa di Yogyakarta hanya diberi hak guna bangunan, hak pakai, dan hak guna usaha. Ras, se­per­ti yang ter­can­tum dalam


Instruksi Tak Berlaku

PR

Eko Riyadi, di­rek­tur Pusham UII, me­nga­ta­kan, Instruksi Kepala Daerah 1975 ber­awal ke­ti­ka pada 1975, modalmodal asing meng­him­pit Yogyakarta. Maka ke­mu­di­an di­bu­at­lah atur­an untuk me­lin­dungi warga yang di­ang­gap pri­ bu­mi. “Waktu itu Keraton ber­pi­kir ba­ gai­ma­na me­lin­dungi tanah-tanah, se­ ti­dak­nya dalam level ring satu se­per­ti Malioboro dan se­ki­tar­nya, agar tidak jatuh ke tangan asing ter­ma­suk untuk orang Tionghoa, ka­re­na pada waktu itu eks­pan­si modal orang Tionghoa memang besar-besar­an,” kata Eko yang di­te­mui Jumat, (31/10). Se­m en­t a­r a itu, Ahmad Nashih Luthfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, me­ ni­lai bahwa ins­truk­si itu hanya ber­ s i­ fat tran­s i­s i­o nal. “Kita se­b e­n ar­ nya sudah bisa me­ngam­bil satu p e­m a­h a m­a n bahwa ke­b i­j ak­a n ini si­f at­n ya tran­ si­s i­o nal, si­f at­n ya se­m en­t a­r a. Ka­r e­ na dalam konteks tahun 1970 sampai 1975 itu memang hukum per­ta­nah­an di DIY ini sedang ber­trans­ for­ma­si,” ujarnya. Hal se­na­da di­te­ gas­kan oleh Ni’matul Huda, dosen Hukum dan Tata Negara UII. Ia me­nga­ta­kan bahwa se­mua atur­an per­ta­nah­an DIY se­ be­lum Peraturan Daerah No.3/1984 tentang Pemberlakuan UUPA, tidak ber­la­ku. Tak ter­ke­cu­ ali Instruksi Kepala Daerah 1975. “Sangat jelas bahwa ins­truk­si ter­se­but hanya ber­la­ ku dari 1975 sampai 1984. Se­su­dah itu DIY harus meng­ikuti UUPA, se­hing­ga atur­an dari Rijksblad sampai Instruksi Kepala Daerah 1975 tidak berlaku,” ujar Ni’matul. Se­be­nar­nya, tidak perlu Komnas HAM me­la­yang­kan surat re­ko­men­da­ si se­ba­nyak dua kali. Tak harus ter­ja­ di pula warga Tionghoa me­nyo­ma­si ke­pa­la dae­rah­nya sen­di­ri. Namun, itu

RE

Undang-Undang No.40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras tdan Etnis, adalah go­long­an bangsa ­ber­da­ sar­kan ciri-ciri fisik dan garis ­ke­tu­run­ an. Sedang etnis adalah peng­go­long­an ma­nu­sia ber­da­sar­kan nilai ke­bi­asa­an, adat is­ti­adat, norma, ba­ha­sa, se­ja­rah, geo­gra­fis, dan hu­bung­an ke­ke­ra­bat­an. Di Indonesia, atur­an yang m ­ e­ngan­ dung ra­si­al­is­me sudah di­ha­pus sejak ber­la­ku­nya UU No.40/2008 tentang Penghapusan Diskrimansi Ras dan Etnis. Dalam Pasal 2 ayat 1 di­se­but­kan, “Peng­ha­pus­an dis­kri­mi­na­si ras dan etnis di­lak­sa­na­kan ber­da­sar­kan asas ­per­sa­ma­ an, ke­be­bas­an, ke­adil­an, dan nilai-nilai ke­ma­nu­si­a­an yang uni­ver­sal.” Se­la­in itu, dalam Pasal 3 di­je­las­kan bahwa, “Peng­ ha­pus­an dis­kri­mi­na­si ras dan etnis ber­ tu­ju­an me­wu­jud­kan ke­ke­lu­ar­ga­an, per­ sau­da­ra­an, per­sa­ha­bat­an, per­da­mai­an, ke­se­ra­si­an, ke­aman­an, dan ke­hi­dup­an ber­ma­ta pen­ca­ha­ri­an di an­ta­ra warga yang pada da­sar­nya se­la­lu hidup ber­ dam­ping­an.” Ter­le­bih lagi, dalam spektrum uni­ ver­sal, PBB juga telah meng­ha­pus­kan dis­k ri­m i­n a­s i dalam bentuk apa­p un. Ke­pu­tus­an itu di­mak­lu­mat­kan dalam Resolusi Sidang Umum No. 1904 pada 20 November 1963. Dalam Pasal 2 di­ nya­ta­kan bahwa tidak boleh ada ne­ga­ra, ke­lom­pok, atau in­di­vi­du yang me­la­ku­kan dis­kri­mi­na­si apa­pun dalam HAM dan ke­ mer­de­ka­an asal­nya dengan mem­per­la­ku­ kan per­orang­an, ke­lom­pok, atau lem­ba­ga ber­da­sar­kan ras, warna kulit, atau asal etnik. Peng­ha­pus­an dis­kri­mi­na­si ra­si­al di­te­gas­kan pula Pasal 28H ayat 4 UUD 1945, bahwa se­ti­ap orang berhak mem­ pu­nyai hak milik pri­ba­di dan hak milik ter­se­but tidak boleh di­am­bil alih se­ca­ra se­we­nang-wenang oleh si­apa­pun. Se­men­ta­ra itu, ter­ka­it dengan ­pe­mi­ lik­an tanah, me­ru­juk pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), dalam Pasal 9 ayat 1 UUPA di­se­but­kan, “Hanya warga ne­ ga­ra Indonesia dapat mem­pu­nyai hu­ bung­an yang se­pe­nuh­nya dengan bumi, air, dan ruang angkasa.” Ke­m u­d i­a n ayat 2 ber­bu­nyi, “Tiap-tiap warga ne­ ga­ra Indonesia, baik laki-laki mau­pun wa­ni­ta, mem­pu­nyai ke­sem­pa­tan yang sama untuk mem­per­oleh se­su­atu hak atas tanah serta untuk men­da­pat man­ fa­at dari ha­sil­nya, baik bagi diri sen­di­ri mau­pun ke­lu­ar­ga­nya.”

O. A

ZIZ

| EK

SP

RE

SI

DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA

hanya bisa di­ha­rap­kan jika Pemerintah Daerah Yogyakarta punya political will yang kuat untuk meng­ha­ pus dis­kri­mi­na­si ra­si­al dalam hak atas tanah.[]

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 9


ANALISIS UTAMA

Mengistimewakan Diskriminasi Instruksi Kepala Daerah 1975 masih berlaku hingga kini. Alasan keistimewaan yang dimiliki DIY tidak terlepas dari masih langgengnya kebijakan ini. Oleh Winna Wijayanti

B

IBAD I

10 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

undang. Yang ada hanya WNI dan warga ne­ga­ra asing (WNA),” tu­tur­nya. Me­nu­rut Kus, ke­bi­jak­an ini sudah tidak lagi re­le­van meng­ingat ins­truk­si terbit tahun 1975 di mana DIY waktu itu belum mem­ber­la­ku­kan UUPA se­ca­ ra penuh. Se­ha­rus­nya, kata Kus, ke­ti­ka Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1984 tentang pem­ber­la­ku­an UUPA se­ca­ra penuh di DIY di­te­tap­kan, aturan-aturan yang ber­ten­tang­an oto­ma­tis gugur. “Bisa di­ar­ti­kan bahwa dalam hie­rar­ki hukum saat ini, ins­truk­si kepala daerah itu se­be­nar­nya ber­ke­du­du­kan lebih rendah da­ri­pa­da ke­pu­tus­an pre­si­ den,” terang Kus. Me­n go­m en­ t a r i p e n­d a­p a t Kakanwil BPN yang me­n ga­t a­ kan bahwa

. PR

jelas. Terus yang se­be­lum­nya sudah di­ca­ but, di­ma­suk­kan lagi. Con­toh­nya se­per­ti Perdais Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di DIY itu sudah di­ca­ but, te­ta­pi se­ka­rang di­ber­la­ku­kan lagi,” te­rang­nya. Pe­ri­hal dis­kri­mi­na­si po­si­tif yang di­ung­kap­kan BPN, Luthfi mem­be­nar­ kan bahwa ke­bi­jak­an affirmative action memang bisa di­la­ku­kan. Namun de­mi­ ki­an, ke­bi­jak­an ter­se­but se­ha­rus­nya di­ am­bil untuk mem­be­ri­kan ke­sem­pat­an go­long­an ter­ten­tu agar mampu se­ta­ra dengan go­long­an yang lain. Luthfi me­ ni­lai ke­bi­jak­an ini se­ha­rus­nya di­ba­ca dengan me­li­hat ke­mam­pu­an eko­no­mi, bukan ber­da­sar­kan etnis. “Kita harus mem­ba­ca siapa yang lemah dan siapa yang kuat untuk konteks Yogyakarta. An­ta­ra siapa yang mau me­ngu­asai dan siapa yang mau di­kua­sai,” je­las­nya. Luthfi me­ne­gas­kan kalau dalam urus­a n per­t a­n ah­a n di DIY, ke­ku­at­an itu justru ter­da­pat pada orang Jawa, se­hing­ga tidak tepat kalau yang perlu di­le­mah­kan adalah etnis Tionghoa. Se­n a­d a dengan pen­da­pat Luthfi, Kus Sri Antoro, Sekretaris Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad), me­n i­l ai Instruksi Kepala Daerah 1975 tetap tidak bisa di­ b e­ n a r­k a n k a­r e­n a tidak se­su­ai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Etnis dan Ras. Seperti di­ka­ta­kan, “Surat itu di­tu­ju­kan ke­pa­ da warga ne­ga­ra Indonesia (WNI) non­p ri­b u­m i. Nah, is­ti­lah WNI non­pri­bu­mi itu sudah tidak ada dalam undang-

DOK

er­l a­k u­n ya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di DIY sejak tahun 1984 belum bisa meng­ge­ser Instruksi Kepala Daerah 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada WNI Nonpribumi yang terbit sem­bi­lan tahun se­be­lum­nya. Arie Yuriwin, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BPN DIY, me­nga­ta­kan bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 masih di­ber­la­ku­kan ka­re­ na DIY mem­pu­nyai we­we­nang sen­di­ ri dalam urus­an per­ta­nah­an. “So­al­nya ke­bi­jak­an tanah di sini kan sudah di­ atur Perda Istimewa. Kalau di­li­hat dari sisi dis­kri­mi­na­si, itu dis­kri­mi­na­si yang positif,” katanya. Arie me­ r u­ j uk pada Peraturan Daerah yang me­ru­pa­kan tu­run­an dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam UUK, ca­kup­an ke­is­ti­ me­wa­an yang di­mi­li­ki DIY me­li­pu­ti lima aspek. An­ta­ra lain me­ka­nis­me pengi­si­an ja­bat­an ke­pala da­erah DIY dengan pe­ne­ tap­an di DPRD, ke­lem­ba­ga­an pe­me­rin­tah DIY, bidang per­ta­nah­an, ke­bu­da­ya­an, dan tata ruang. Arie me­nam­bah­kan, BPN DIY se­ be­nar­nya pernah men­da­pat surat dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang ter­ka­it per­ingat­an dis­kri­mi­na­si. Pi­hak­ nya ke­mu­di­an me­nyam­pai­kan surat per­ ingat­an ter­se­but ke­pa­da Sultan. Akan te­ta­pi ka­re­na sudah men­ja­di ke­bi­jak­an pe­me­rin­tah DIY, maka Instruksi Kepala Daerah 1975 tetap di­te­rap­kan. “Selama ini Instruksi Kepala Daerah 1975 masih kita patuhi, sehingga permohonan hak milik dari warga non­pri­bu­mi yang datang ke sini pun tidak kami proses,” je­las­nya. Ahmad Nashih Luthfi, se­orang pe­ ne­li­ti tentang per­ta­nah­an dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) me­ ni­lai Perdais ingin me­le­gi­ti­ma­si ber­ba­gai segi. Di mana atur­an yang pada awal­nya lahir di luar per­un­dang-un­dang­an, di­ ma­suk­kan lagi se­ba­gai ke­ku­at­an hukum. “Yang pada mu­la­nya abu-abu, lalu di­bu­at

Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY, mengatakan Mahkamah Agung menilai Instruksi 1975 tidak salah .


DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA

Instruksi Kepala Daerah 1975 masih ber­l a­ku ka­re­na dalih ke­i s­t i­m e­wa­a n, Kus tidak kaget. Ia ke­mu­di­an ber­ce­ ri­ta pe­ri­hal gu­gat­an Budi Setyagraha, se­orang peng­urus Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang gagal ka­re­na salah sa­tu­nya fak­tor­nya adalah ke­is­ti­me­wa­an Yogyakarta. Pada tahun 2000, Budi meng­gu­gat lan­tar­an tidak men­da­pat surat hak milik (SHM) atas tanah yang ia beli di dae­rah Bantul ka­re­na di­ri­nya di­go­long­kan sebagai non­pri­bu­mi oleh BPN. Gu­gat­an Budi yang kala itu sampai ke Mahkamah Agung harus kandas ­ka­re­na hakim tidak mau me­ne­ri­ma berkas ka­ sa­si­nya. Per­tim­bang­an hakim saat itu salah sa­tu­nya ka­re­na ada­nya Prasasti Ngejaman yang ada di Kasultanan Yogyakarta. Prasasti Ngejaman, oleh

hakim MA saat itu di­ni­lai se­ba­gai bukti bahwa etnis Tionghoa me­min­ta per­lin­ dung­an ke­pa­da Sultan Hamengkubuwono IX. Prasasti Ngejaman ini lantas di­ja­ di­kan alas­an pe­me­rin­tah pro­vin­si DIY se­ba­gai fi­lo­sofi dasar di­ter­bit­kan­nya Instruksi 1975. Pu­tus­an hakim MA itu lantas sering di­se­but oleh pihak BPN DIY se­ba­gai dasar yu­r is­p ru­d en­s i pem­b er­l a­k u­a n Instruksi Kepala Daerah 1975. “Pa­da­ hal lan­das­an me­nge­nai pra­sas­ti itu tidak ada hu­bu­ngan­nya. Bahkan dalam prak­ tik­nya di­gu­na­kan sebagai dalih, di mana telah di­ku­at­kan dengan pu­tus­an MA,” keluh Kus. Se­o rang ma­h a­s is­w a Magister Hukum Tata Negara UII, Tihara Sito Sekar, yang me­l a­k u­k an pe­n e­l i­t i­a n tentang Instruksi Kepala Daerah 1975 se­ba­gai tugas akhir­nya juga RIMBA | EKSPRESI meng­amini per­nya­ta­an Kus. “Saya memang dapat info de­m i­k i­a n. Namun, saat saya cek ke KRT Jatiningrat ter­n ya­t a di pra­s as­t i itu tidak ada yang mem­ba­has tentang hak milik tanah,” ungkap Tihara. Lebih lanjut, Tihara men­je­las­kan bahwa isi pra­sas­ti ter­se­but hanya ucap­an te­ri­ma kasih orangorang Tionghoa yang tinggal di Yogyakarta. Isi ma­te­ri pra­sas­ti tidak ber­hu­bung­ an dengan peng­atur­an surat hak milik. “Itu mem­bu­at saya bingung, kok bisa di­ ja­di­kan dasar per­tim­bang­ an pu­tus­an MA ya?” tanya Tihara keheranan. Dalam urus­an per­ta­ nah­a n, Kus me­n ga­t a­k an be­be­ra­pa ya­yas­an an­ti­dis­ kri­mi­na­si angkat tangan ter­ha­dap kasus yang me­ nyang­kut pe­ngu­asa ke­ra­ ja­an. Mu­sa­bab­nya, ber­ha­ dap­an dengan raja se­ka­li­gus gu­ber­nur bukan per­ka­ra mudah. “Ba­rang­ka­li orang pekewuh. Dan ini bukan soal ke­ta­kut­an, te­ta­pi ya itu, pekewuh. Sungkan. Dia (Sultan, Red.) punya kua­sa yang sanggup meng­he­ge­ mo­ni ke­sa­dar­an ma­sya­ra­ Prasasti Ngejaman yang terletak di Kasultanan Yogyakarta, digunakan oleh Mahkamah Agung sebagai dasar putusan kasus Budi Setyagraha.

kat­nya,” ung­kap­nya. Ber­ka­it­an dengan kasus yang me­ nim­pa warga Tionghoa, Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY, me­nya­ta­ kan, “Kita sudah se­ha­rus­nya meng­har­ gai upaya hukum yang di­la­ku­kan warga (etnis Tionghoa, Red.). Dan ke­nya­ta­an­ nya di MA kan ins­truk­si itu menang, ber­ ar­ti atur­an ter­se­but (Instruksi Kepala Daerah 1975, Red.) tidak salah.” Pada prin­sip­nya, Eko me­nga­ta­kan bahwa Undang-Undang Keistimewaan (UUK) meng­hor­mati Kasultanan dan Kadipaten se­ba­gai ba­gi­an dari NKRI. Sebab, tu­ju­ an­nya adalah untuk me­wu­jud­kan ke­se­ jah­te­ra­an dan ke­ten­te­ram­an bagi ma­ sya­ra­kat DIY. Sejak Juni 2016, Komisi A DPRD DIY mulai meng­ka­ji Perdais per­ta­nah­ an me­nge­nai po­le­mik yang ter­ja­di di ma­sya­ra­kat dengan me­ngem­ba­li­kan ke ranah hukum. Sebab, kata Eko, se­ja­rah per­ta­nah­an Kasultanan dan Pakualaman penting untuk di­pa­hami. Meng­ingat sis­tem per­ta­nah­an yang ber­la­ku di DIY ber­si­fat feodal dan sistem pe­me­rin­tah­ an yang ber­la­ku adalah mo­nar­ki. Se­su­ai Perdais yang me­nya­ta­kan ke­le­lu­asa­an dalam meng­atur we­we­nang atas tanah, maka bentuk mo­nar­ki yang di­anut juga ber­pe­nga­ruh ter­ha­dap pem­bu­at­an ke­ bi­jak­an. Atas per­tim­bang­an wi­la­yah, Arie men­je­las­kan pem­ber­la­ku­an Instruksi Kepala Daerah 1975 sudah pro­por­si­onal ka­re­na Provinsi DIY me­ru­pa­kan pro­vin­si kecil. Se­men­ta­ra, orang yang me­ne­ri­ ak­kan ma­sa­lah dis­kri­mi­na­si dianggap tidak ter­hi­tung banyak. “Berapa sih yang meng­gu­gat ma­sa­lah dis­kri­mi­na­si? Tidak lebih dari lima orang. Me­re­ka (warga Tionghoa, Red.) itu di­be­ri hak guna ba­ ngun­an, bukan hak milik. Ini bukan ber­ ar­ti tidak boleh lho, hanya masih belum boleh,” terangnya. Namun, jelas Arie lagi, belum ter­li­hat ke­mung­kin­an ins­truk­si ter­se­but bakal di­ca­but, ka­re­na ke­bi­jak­an ini sudah men­ja­di ke­te­tap­an Pemda DIY. Ber­da­sar­kan ke­te­tap­an itulah, se­ba­ gai pe­lak­sa­na ke­bi­jak­an, maka dari pihak BPN DIY tetap men­ja­lan­kan Instruksi Kepala Daerah 1975. Se­pan­jang masih men­ja­di ke­we­nang­an gu­ber­nur, pi­hak­nya tetap akan me­ma­tuhi. “Kami hanya se­ba­ gai pe­lak­sa­na ke­bi­jak­an pe­me­rin­tah. Jadi apa­pun kon­di­si­nya, kami tetap meng­ikuti pe­rin­tah yang di­ke­lu­ar­kan gubernur,” jelas Arie.[] Laporan oleh Andhika, Aziz, dan Triyo

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 11


ANALISIS UTAMA

Komnas HAM Tak Punya Hak Eksekusi Rekomendasi Komnas HAM tidak dilaksanakan Pemda DIY. Mereka beralasan, lembaga ini tak punya hak mengatur pemerintah. Oleh Bayu Hendrawati

A

hmad Nashih Luthfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Negara (STPN) Yogyakarta, me­nga­ta­kan bahwa kasus per­ta­nah­an di Yogyakarta sudah me­ma­ suki ranah pe­lang­gar­an HAM. Ia me­nya­ yang­kan re­ko­men­da­si yang di­ke­lu­ar­kan oleh lem­ba­ga pe­ne­gak hak asasi ma­nu­sia di Indonesia ini lemah dan tidak meng­ ikat. “Ma­sa­lah­nya po­si­si Komnas HAM tidak punya ke­ku­at­an ek­se­ku­sio­nal yang meng­ikat. Komnas HAM hanya mem­ be­ri­kan re­ko­men­da­si dan yang men­ja­ lan­kan tetap pe­me­rin­tah,” te­gas­nya saat di­te­mui di kan­tor­nya (15/6). Hal itu ter­cer­min dari sikap Kepala Biro Hukum Sekretaris Daerah DIY, Dewo Isnu Broto, yang me­nga­ta­kan bahwa Pemda DIY me­no­lak re­ko­men­ da­si Komnas HAM. Dewo ber­si­ku­kuh, pi­hak­nya tidak akan me­lak­sa­na­kan surat re­ko­men­da­si Komnas HAM hingga ada ke­pu­tus­an peng­adil­an. Me­nu­rut­nya, Komnas HAM sama se­ka­li tidak me­mi­ liki ke­we­nang­an untuk me­me­rin­tah­kan pen­ca­but­an Instruksi Kepala Daerah 1975 ter­se­but. “Ke­cu­ali kalau pu­tus­an peng­ adil­an saya harus men­ca­but. Pemda tidak akan me­nang­gapi sampai ada ke­pu­tus­an peng­adil­an yang se­sung­guh­nya se­per­ti apa,” tegas Dewo di­lan­sir dari Harian Jogja (16/9). Di­ta­nya ter­ka­it dengan pe­no­lak­an Pemda DIY ter­se­but via te­le­pon, salah satu Komisioner Komnas HAM, Dianto Bachriadi, ­me­nga­ta­kan, Komnas HAM se­ca­ra resmi belum me­n e­r i­m a surat pe­no­lak­an dari Pemda DIY. “Kami Ahmad Nashih Luthfi mengatakan Komnas HAM tidak punya cukup wewenang untuk menuntaskan pelanggaran HAM.

tidak pernah men­da­pat­kan surat yang me­nya­ta­kan bahwa Pemda DIY me­no­lak re­ko­men­da­si kami,” te­gas­nya (12/11). Ka­lau­pun memang iya, kata Dianto, pe­no­lak­an ter­se­but belum di­nya­ta­kan se­ca­ra formal oleh Pemda DIY ke­pa­da Komnas HAM. Mes­ki­pun de­mi­ki­an, Dianto mem­ be­nar­kan bahwa Komnas HAM tak me­ mi­li­ki kuasa apa­pun untuk me­nun­tas­kan se­bu­ah kasus pe­lang­gar­an HAM. “Se­ ba­gai se­bu­ah lembaga, Komnas HAM memang masih sangat lemah,” terang Dianto. Le­mah­nya kuasa Komnas HAM atas se­bu­ah kasus, terang Dianto, mem­ bu­at ke­be­ra­da­an­nya tak lebih dari se­bu­ah lem­ba­ga pe­nga­was­an. Se­be­lum­nya, pada tanggal 11 Agustus 2014, Komnas HAM me­nge­lu­ar­kan surat re­ko­men­da­si ber­no­mor 037/R/Mediasi/ VIII/2014. Surat itu ber­isi im­bau­an agar Gubernur DIY segera me­nya­ta­ kan tidak ber­la­ku lagi atau men­ca­but Instruksi Kepala Daerah 1975. Re­ko­men­ da­si ter­se­but muncul me­nang­gapi surat yang di­ke­lu­ar­kan Sekretarus Daerah DIY ber­no­mor 593/00531/RO.I/2012 yang di­ke­lu­ar­kan tanggal 08 Mei 2014. Dalam surat itu, Pemda DIY me­nya­ta­kan Instruksi Kepala Daerah 1975 masih ber­ la­ku se­ba­gai se­bu­ah affirmative policy guna me­lin­dungi warga pri­bu­mi agar ke­pe­mi­lik­an tanah tidak ber­alih ke­pa­da warga atau pe­mo­dal yang se­ca­ra fi­nan­si­al me­mi­liki ke­mam­pu­an lebih atau kuat. Se­ta­hun ke­mu­di­an, ka­re­na re­ko­ men­da­si ter­se­but di­abai­kan, Komnas HAM kem­ba­li me­ngi­rim re­ko­men­da­si yang kedua ke­pa­da Gubernur DIY. Ken­ da­ti de­mi­ki­an, surat ber­no­mor 069/R/ Mediasi/VIII/2015 itu juga tak kunjung ditin­dak­lan­juti. AZIZ | EKS PRES D i a n t o m e­n a m­b a h­k a n , I Komnas HAM memang tidak me­ mi­liki ka­pa­si­tas lebih dari pem­ be­ri­an re­ko­men­da­si. Me­nu­rut­ nya, jika rekomendasi memang belum direspons, tin­dak­an yang paling mungkin untuk di­la­ku­ kan ada­lah pem­be­ri­an surat re­ko­men­da­si lan­jut­an yang si­

12 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

fat­nya lebih keras, “Ke­we­nang­an Komnas HAM memang hanya se­ba­tas pem­be­ri­an re­ko­men­da­si, tidak lebih.” Ke­luh­an me­nge­nai mi­nim­nya we­ we­nang yang di­mi­liki Komnas HAM se­b e­n ar­n ya sudah di­u ta­r a­k an sejak lama. Saat Peristiwa Lima Belas Januari (Malari), ke­lu­ar­ga korban saat itu me­nya­ yang­kan tidak ada banyak hal yang bisa di­la­ku­kan Komnas HAM untuk meng­ usut tuntas kasus ter­se­but. Ter­ba­tas­nya upaya Komnas HAM di­ka­re­na­kan ke­ we­nang­an pe­nyi­dik­an dan pe­nun­tut­an atas pe­lang­gar­an HAM berat di­la­ku­kan oleh Jaksa Agung. We­we­nang Komnas HAM memang belum bisa se­ba­nyak komisi-komisi lain yang di­ben­tuk pe­me­rin­tah. Tidak seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mempunyai hak untuk melakukan penyidikan higga penetapan tersangka korupsi. We­we­nang ter­se­but di­be­ri­kan pa­da KPK ka­re­na me­nu­rut UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK me­ru­pa­kan ­lem­ba­ga ne­ga­ra yang ber­si­fat in­de­pen­den dan bebas dari peng­aruh ke­ku­asa­an ma­na­ pun. Ber­be­da hal­nya dengan Komnas HAM. Mes­ki­pun se­ca­ra hi­erar­ki Komnas HAM me­mi­li­ki po­si­si se­ja­jar dengan komisi-komisi lain ben­tuk­an negara, tapi dalam pe­lak­sa­na­an fungsi, tugas dan ke­we­nang­an Komnas HAM harus mem­be­ri­kan la­por­an ke­pa­da pre­si­den dan DPR. Tugas dan ke­we­nang­an Komnas HAM diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Pada Pasal 89 di­je­las­kan bahwa we­we­nang Komnas HAM se­ba­tas untuk mem­be­ri­kan re­ ko­men­da­si me­nge­nai pem­ben­tuk­an, per­ubah­an, dan pen­ca­but­an per­atur­an per­undang-undang­an yang ber­ka­it­an dengan hak asasi ma­nu­sia. Re­ko­men­da­si ter­se­but, terang Dianto, sangat mungkin untuk di­te­ri­ma mau­pun di­to­lak. Mes­ ki­pun de­mi­ki­an, Dianto meng­ung­kap­ kan bahwa sikap Pemda DIY yang urung untuk men­ca­but Instruksi Kepala Daerah 1975, sama ar­ti­nya telah me­lang­geng­kan dis­kri­mi­na­si di Yogyakarta.[] Laporan oleh Aziz


AZIZ | EKSPRESI

DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA

Menghitung Kemenangan di Pengadilan

Zealous Siput Lokasari menunjukkan poster pelanggaran konstitusi saat mengirim somasi kedua untuk Gubernur DIY pada Kamis (20/10).

Siput dan Handoko punya strategi berbeda di jalur hukum. Namun, keduanya sama-sama ingin aturan diskriminatif segera dicabut. Oleh Muhammad Aziz Dharmawan

S

e­te­lah hampir se­bu­lan tidak ada tang­gap­an dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Zealous Siput Lokasari me­la­yang­kan so­ma­si ke­dua­nya pada Kamis (20/10). So­ma­si ter­se­but ter­ka­it dengan atur­an warga ne­ga­ra Indonesia (WNI) yang di­ang­gap non­pri­bu­mi tak boleh mem­pu­nyai hak milik tanah di Yogyakarta. Sama dengan isi so­ma­si per­ta­ma, Siput ber­ha­rap Gubernur DIY mau me­lak­sa­na­kan re­ko­men­da­si yang di­ke­lu­ar­kan Komnas HAM. Isi re­ko­men­ da­si ter­se­but untuk me­nya­ta­kan tidak ber­la­ku­nya lagi Instruksi Kepala Daerah 1975. Jika dalam kurun waktu 30 hari so­ma­si lagi-lagi tidak di­tang­ga­pi, Siput me­nga­ta­kan, akan me­ngam­bil langkah hukum di peng­adil­an. Siput datang ke Kantor Gubernur DIY ber­sa­ma Willie Sebastian, Ketua Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad). Me­re­ka ber­dua meng­aku ke­ce­

wa lan­tar­an tidak bisa ber­te­mu lang­sung dengan Sultan. Se­be­lum­nya, saat Siput me­la­yang­kan so­ma­si yang per­ta­ma pada 14 September 2016, dia juga gagal ber­ te­mu dengan gu­ber­nur. Saat itu, Sultan sedang meng­ha­dir­i acara yang di­se­leng­ ga­ra­kan Otoritas Jasa Keuangan di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta. Siput me­nya­yang­kan tidak ada res­ pons dari Gubernur DIY me­nge­nai per­ ma­sa­lah­an ini. Pa­da­hal, Komnas HAM sudah me­nya­ta­kan bahwa ada in­di­ka­si pe­lang­gar­an HAM jika atur­an ini tetap di­ber­la­ku­kan. Pada per­te­ngah­an Agustus 2014, Komnas HAM me­nge­lu­ar­kan surat re­ko­men­da­si ber­no­mor 037/R/Mediasi/ VIII/2014. Surat itu berisi im­bau­an agar Gubernur DIY se­ge­ra mencabut atau me­n ya­ta­kan tidak ber­la­ku lagi Instruksi Kepala Daerah 1975. Se­ta­hun ke­mu­di­an, ka­re­na re­ko­men­da­si ter­se­but tidak mendapat tanggapan yang bagus, Komnas HAM kem­ba­li me­ngi­rim re­ko­

men­da­si yang kedua ke­pa­da Gubernur DIY. Ken­da­ti de­mi­ki­an, surat ber­no­mor 069/R/Mediasi/VIII/2015 itu sam­pai sa­at ini juga tak kun­jung di­tin­dak­lan­juti. “Kami nanti akan la­por­kan me­re­ ka se­ba­gai Pasal Perbuatan Melawan Hukum (PMH),” kata Siput. Me­re­ka yang di­mak­sud adalah Gubernur DIY, Kepala Kantor Wilayah BPN DIY, dan Kepala Kantor BPN di setiap Kabupaten/ Kota yang ada di Yogyakarta. PMH di­atur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH). Pasal ter­se­but ber­bu­nyi, “Se­ti­ap per­bu­at­an me­la­wan hukum yang oleh ka­re­na­nya me­nim­bul­ kan ke­ru­gi­an pada orang lain, ­me­­wa­ jib­kan orang yang ka­re­na ke­sa­lah­an­nya me­nye­bab­kan ke­ru­gi­an itu meng­gan­ti ke­ru­gi­an.” Siput men­je­las­kan, gu­gat­an ini nan­ti­nya akan meng­ha­sil­kan pu­tus­an declaratoir. Pu­tus­an declaratoir ber­si­ fat me­ne­rang­kan dan me­ne­gas­kan suatu kea­da­an hukum se­ma­ta-mata.

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 13


ANALISIS UTAMA

“Kami hanya ingin bilang kalau dia itu me­la­ku­kan per­bu­at­an me­la­wan hukum, sudah lah mbok jangan gitu. Kami denda se­ra­tus ru­pi­ah saja,” kata Siput saat di­te­mui di ru­mah­nya (17/10). Langkah ini di­ran­cang Siput ka­re­na dua kali re­ko­men­da­si Komnas HAM sama se­ka­li tidak mem­pu­nyai ke­ten­tu­an yang meng­ikat. “Orang tidak meng­ikuti re­ ko­men­da­si Komnas HAM tidak ter­ke­ na sanksi apa-apa, tapi aki­bat­nya dia telah me­la­ku­kan pe­lang­gar­an HAM,” kata Siput. Jika memang langkah ter­se­b ut yang nan­ti­nya di­am­bil, Siput akan me­ nam­bah panjang daftar langkah li­ti­ga­ si untuk me­la­wan atur­an dis­kri­mi­na­si ter­se­but. Ter­ca­tat, se­ja­uh ini sudah dua orang yang pernah me­mer­ka­ra­kan kasus dis­kri­mi­na­si ini di ber­ba­gai ting­kat­an lem­ba­ga per­adil­an di Indonesia. Mulai dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga sampai ke Mahkamah Agung (MA). Pada tahun 2000, Budi Setyagraha, yang saat itu masih men­ja­di ang­go­ta DPRD DIY, per­nah meng­gu­gat surat ke­ pu­tus­an BPN Bantul di PTUN Yogyakarta. Gu­gat­an itu Budi la­ku­kan lan­tar­an BPN Bantul enggan mem­be­ri­kan surat sak milik (SHM) atas tanah yang ia beli di daerah Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Alas­an­nya, Budi yang mem­pu­nyai garis ke­tu­run­an Tionghoa oleh BPN Bantul di­go­long­kan se­ba­gai WNI non­pri­bu­ mi. Saat proses balik nama, surat yang di­t e­r i­m a Budi di­t u­r un­k an s t a­t u s­n y a men­j a­d i

Z AZI

| EK

SPR

ESI

Handoko memperlihatkan putusan PTUN yang tidak sesuai dengan putusan MA tentang Instruksi 1975, Rabu (19/10).

hak guna bangunan (HGB). Di PTUN Yogyakarta gu­gat­an Budi di­ka­bul­kan. BPN Bantul di­min­ta men­ca­but surat pe­ne­tap­an HGB ter­se­but. Se­te­lah itu, BPN Bantul meng­aju­kan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Surabaya. Tahun 2001 per­mo­hon­an banding BPN Bantul di­te­ ri­ma dan mem­ba­tal­kan pu­tus­an PTUN Yogyakarta. Me­r a­s a bahwa pu­t us­a n hakim di PT TUN Surabaya belum adil, Budi lantas meng­aju­kan ka­sa­si ke MA. Namun, per­mo­hon­an ka­sa­si tidak di­ te­ri­ma oleh MA lan­tar­an surat ter­se­but bu­kan­lah ke­pu­tus­an tata usaha ne­ga­ra. Lima belas tahun ber­se­lang, tidak ada sa­tu­pun orang yang men­co­ba mem­ ba­wa ma­sa­lah ini ke meja hijau. Hingga akhir­nya Handoko, se­orang mantan peng­aca­ra LBH Se­ma­rang yang kini tinggal di Yogyakarta, men­da­pat in­ for­ma­si me­nge­nai ma­sa­lah ini. Tahun 2014 Handoko meng­aju­kan uji ma­te­ri atas Instruksi Kepala Daerah 1975 ke MA se­te­lah mem­pe­la­jari kasus gu­gat­ an Budi Setyagraha. “Enggak benar ada atur­an se­per­ti ini. Orang kan enggak bisa me­mi­lih lahir mau jadi ke­tu­run­an­nya siapa,” jelas Handoko saat di­te­mui di kan­tor­nya (19/10). Se­te­lah mem­pe­la­jari per­ka­ra Budi Setyagraha, Handoko lantas me­nge­ta­hui alas­an per­ka­ra Budi di­to­lak MA. “Ka­sa­si Pak Budi itu tidak di­te­ri­ma oleh MA ka­re­ na yang ia gugat sejak awal ada­lah surat BPN, bukan ins­truk­si­nya langsung,” kata Handoko. Dalam bahasa hukum, Handoko men­je­las­kan, surat BPN ter­ se­b ut me­r u­p a­k an administratieve beschikking. Se­bu­ah pu­tus­an yang ber­ si­fat in­di­vi­du­al dan me­ru­juk dari se­bu­ah per­atur­an. Sa­yang­nya, uji ma­te­ri yang di­aju­ kan Handoko pun tidak di­te­ri­ma ber­kas­nya. MA me­ni­lai ins­truk­si bukan ter­m a­s uk produk per­u n­ dang-un­dang­an se­per­ti yang telah di­atur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundangundangan. Dalam UU ter­se­but, di­se­ but­kan hi­e­rar­ki paling bawah produk per­un­dang-un­dang­an ada­lah per­atur­an da­e­rah ka­bu­pa­ten/kota. Oleh ka­re­na itu, MA me­nga­ta­kan kalau me­re­ka tidak ber­we­nang untuk meng­uji surat ins­truk­si ter­se­but. “Men­urut saya atur­an ini ada di bawah undang-undang ka­re­na saya mem­pe­la­jari surat edar­an saja bisa

14 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

di­uji di MA,” keluh Handoko. Ia men­ je­las­kan tentang pu­tus­an MA nomor 23/P/HUM/2009 yang menguji materi Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi. Se­la­in itu, Handoko juga men­je­las­kan bahwa ins­ truk­si ini ber­si­fat abstrak-umum dan bukan konkret-individual. Ar­ti­nya, atur­ an ini ber­la­ku se­ca­ra umum di wi­la­yah DIY. Se­bu­ah ciri yang me­nun­juk­kan ins­truk­si ini ber­si­fat la­yak­nya produk per­un­dang-un­dang­an. “Oleh MA kan di­ang­gap bukan per­ atur­an, ber­ar­ti saya anggap ini dis­kre­si,” ungkap Handoko saat ditanya me­nga­ pa akhir­nya me­lan­jut­kan gu­gat­an di PTUN Yogyakarta. Diskresi adalah ke­ bi­jak­an yang di­la­ku­kan oleh orang yang diberi we­we­nang untuk me­nye­le­sai­kan satu per­ma­sa­lah­an. Namun, gu­gat­an Handoko juga tidak diterima karena menurut hakim Instruksi Kepala Daerah 1975 bu­kan­lah se­bu­ah dis­kre­si. Hakim PTUN me­ni­lai, dis­kre­si yang ada dalam tata usaha ne­ga­ra hanya yang ber­si­fat konkret, individual, dan final. “Produk per­u n­d ang-un­d ang­a n bukan, dis­kre­si juga bukan. Lalu, surat sakti jenis apa ins­truk­si ini kok bisa sampai me­nga­lah­kan undang-undang?” sindir Handoko. Men­urut Handoko, ber­ da­sar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah, se­ha­rus­nya ins­truk­si itu ter­ma­suk se­ ba­gai se­bu­ah dis­kre­si. “Tapi en­tah­lah, ini saya lagi banding, se­an­dai­nya kalah lagi saya akan tetap ber­ju­ang. Kalau Pak Siput kan meng­gu­gat ke Pengadilan Negeri, kalau saya ber­ta­hap ke PTUN dulu,” ungkap Handoko. Ia me­ni­lai, ada ke­aneh­an ke­ti­ka MA bilang tidak ber­we­ nang mengadili, tapi di sisi lain PTUN juga bilang tidak ber­we­nang meng­adili. Me­nang­gapi so­ma­si Siput dan ban­ ding Handoko, Dewo Isnu Broto Imam Santoso, Kepala Biro Hukum Setda DIY, me­nga­ta­kan bahwa pe­me­rin­tah pro­vin­si tidak akan men­ca­but ins­truk­si ter­se­but jika tidak ada ke­pu­tus­an peng­adil­an yang meng­ha­rus­kan. “Kami me­nung­gu proses per­adil­an. Instruksi Kepala Daerah 1975 sudah di­gu­gat di PTUN Yogyakarta. Kami me­nang­, tapi peng­gu­gat telah meng­aju­ kan banding,” ka­ta­nya, se­ba­gai­ma­na di­ lan­sir oleh Jakartapost, Jumat (21/10). Jika per­mo­hon­an banding nan­ti­nya di­ te­ri­ma, Biro Hukum Setda juga masih bisa me­nga­ju­kan ka­sa­si ke MA.[] Laporan oleh Rimba


DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA

BPN DIY Salahi Garis Hierarki Lembaga BPN DIY mengikuti Instruksi Kepala Daerah 1975 dalam praktik pelayanannya. Teguran dari BPN RI sejak lima tahun lalu tidak diindahkan. Oleh A. S. Rimbawana

H

K. I ME WA

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 15

STI

ma­sa­lah yang di­adu­kan. “Kami akan me­la­ku­kan te­la­ah do­ku­men. Memang ar­gu­men dari Pemda dan BPN samasama ter­ka­it Instruksi Kepala Daerah 1975. Kami akan meng­ka­ji, apa yang bisa kami la­ku­kan. Tentu kami akan fokus pada pe­la­yan­an publik, ka­re­na itu yang men­ja­di ranah Ombudsman,” katanya, se­per­ti di­lan­sir Rappler. Dalam wa­w an­c a­r a­n ya dengan CNN Indonesia pada Selasa, (08/03), salah satu pimpinan Ombudsman RI, Laode Ida, me­nga­ta­kan, BPN ter­ma­suk salah satu dari tiga badan pe­me­rin­tah­ an dengan ad­mi­nis­tra­si ter­bu­ruk. Hal ini di­se­bab­kan ba­nyak­nya la­por­an dari ma­sya­ra­kat yang me­nge­luh soal pe­ la­yan­an ter­ka­it pem­be­ri­an ser­ti­fi­kat tanah. “Untuk mem­per­oleh ser­ti­fi­kat se­bi­dang tanah, ma­sya­ra­kat di­pu­ngut biaya macam-macam dan urus­an­nya ber­be­lit-belit,” ujar Laode. Dalam kasus di Yogyakarta, Ombudsman Yogyakarta pernah sempat me­mi­nta kla­ri­fi­ka­si. Pada hari Kamis (14/04), Ombudsman Yogyakarta meng­un­dang tiga ins­ tan­s i ter­k a­it, yaitu Biro Hukum DIY, Kanwil BPN DIY, serta BPN Bantul. Namun, waktu itu hanya Biro Hukum DIY yang hadir. Ombudsman pun me­m e­r ik­s a dua pe­ga­wai BPN DIY dan BPN Bantul pada Rabu, (20/04). BPN RI se­ be­n ar­n ya pernah mem­be­ri­kan te­gur­an Ni'matul Huda mengatakan BPN DIY sebenarnya tidak punya kewajiban menaati Instruksi 1975. ke­pa­da BPN DIY. Pada

DO

ie­rar­ki Badan Pertanahan Nasional (BPN) di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, bukan pe­me­ rin­tah dae­rah,” terang Ni’matul Huda, dosen Hukum dan Tata Negara UII, saat di­te­mui di kan­tor­nya, Selasa (31/10). Ni’matul me­nya­yang­kan ki­ner­ja BPN DIY tidak se­su­ai dengan garis ins­truk­ si­nya. Namun de­mi­ki­an, Kepala Kantor Wilayah BPN DIY, Arie Yuriwin, ber­si­ku­ kuh me­ma­tuhi Instruksi Kepala Daerah 1975. “Se­la­ma ini, ins­truk­si kepala daerah masih kami patuhi, se­hing­ga per­mo­hon­ an hak milik dari warga non­pri­bu­mi yang datang ke sini pun tidak kami proses,” terang Arie saat di­te­mui pada Jumat (23/9). Willie Sebastian, Ketua Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) juga meng­amini pen­da­pat Ni’matul me­ nge­nai garis ins­truk­si BPN. Men­urut Willie, tin­dak­an BPN bisa di­ka­te­go­ri­ kan se­ba­gai malaadministrasi ka­re­na tidak me­ma­tuhi atur­an dari ke­men­ te­ri­an dan malah meng­ikuti Instruksi Kepala Daerah 1975. Malaadministrasi adalah kon­di­si di mana pe­nye­leng­ga­ra ne­ga­ra dan pe­me­rin­tah­an meng­abai­kan ke­wa­jib­an hukum dalam pe­nye­leng­ga­ ra­an pe­la­yan­an publik. “Saya sudah me­ la­por ke Ombudsman Republik Indonesia me­nge­nai ada­nya malaadministrasi ini,” ungkap Willie saat di­te­mui di ru­mah­nya pada Kamis (29/6). Se­ja­uh ini sudah ada enam orang yang melapor ke Ombudsman ter­ka­ it dengan ki­ner­ja BPN di Kabupaten Kulon Progo, Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Se­men­ta­ra itu, Dahlena, Asisten Ombudsman Yogyakarta, me­ nga­ta­kan bahwa pi­hak­nya masih men­ca­ri ke­te­rang­an untuk meng­ka­ji ma­sa­lah-

16 November 2011, Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Tanah BPN RI waktu itu, Gede Ariyuda, me­ngi­rim­kan ke­te­tap­an undang-undang yang harus di­pa­tuhi BPN. Surat ter­se­but se­ka­li­gus men­ja­di tang­gap­an atas adu­an yang di­sam­pai­kan Willie Sebastian kepada Presiden RI. Februari 2011, Willie me­ nyam­pai­kan aduan ke­pa­da Presiden me­ nge­nai atur­an pe­nye­ra­gam­an policy yang di­te­rap­kan di DIY. Dalam surat tersebut, BPN RI me­ ne­gas­kan bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ber­l a­k u se­p e­ nuh­nya di Yogyakarta. Hal ini me­ru­ juk pada Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 yang di­ke­lu­ar­kan Sultan Hamengkubuwono IX. Dengan ber­la­ ku­nya UUPA di Yogyakarta, pem­ba­gi­ an subyek hukum yang boleh me­mi­liki tanah tidak di­be­da­kan ber­da­sar­kan etnis atas ras. Surat ter­se­but juga ber­isi bahwa tidak boleh ada atur­an yang ber­ten­tang­ an produk per­un­dang-un­dang­an yang lebih tinggi. Masih dalam surat yang sama, BPN RI juga meng­ingat­kan agar BPN DIY me­n a­a ti Instruksi Presiden RI


ANALISIS UTAMA

nomor 26 tahun 1998. Dalam salah satu isi­n ya di­s e­b ut­k an peng­h en­t i­a n peng­gu­na­an is­ti­lah pri­bu­mi dan non­ pri­bu­mi dalam semua pe­ru­mus­an dan pe­nye­leng­ga­ra­an ke­bi­jak­an, pe­ren­ca­na­an program, atau­pun pe­lak­sa­na­an ke­gi­at­an pe­nye­leng­ga­ra­an pe­me­rin­tah. Di­te­gas­ kan pula, bahwa pe­ja­bat ne­ga­ra harus me­ni­ada­kan pem­be­da­an ben­tuk pe­la­ yan­an dalam se­ga­la bentuk, sifat, serta ting­kat­an ke­pa­da warga ne­ga­ra Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras mau­ pun asal-usul dalam pe­nye­leng­ga­ra­an layanan ter­se­but.

tahu kapan akan di­ca­but,” ungkap Tihara. Affirmative action adalah tin­dak­an pem­ be­ri­an hak is­ti­me­wa ter­ha­dap suatu ke­lom­pok ter­ten­tu yang belum mampu se­ta­ra dengan ke­lom­pok yang lain. Se­la­ in itu, lanjut Tihara, affirmative action baru bisa di­la­ku­kan atas dasar per­atur­an per­un­dang-un­dang­an. “Ini kan enggak jelas, MA bilang ini bukan per­un­dangun­dang­an, tapi PTUN bilang ini bukan ke­bi­jak­an,” ungkap Tihara. Se­na­da dengan Tihara, me­nu­rut Ni’matul, le­gal­itas ins­truk­si ter­se­but se­ba­gai produk hukum yang meng­ikat dan meng­atur memang mem­bi­ngung­kan. Affirmative Action Berjangka Waktu “Jika pe­me­rin­tah memang ingin meng­ Tihara Seto Sekar, ma­h a­s is­w a atur hal ter­se­but (pem­ba­tas­an hak milik Magister Hukum Tata Negara Universitas tanah, Red.) dan me­mi­liki political will, Islam Indonesia, dalam te­sis­nya me­nye­ se­ha­rus­nya se­ge­ra di­ja­di­kan per­atur­an but­kan bahwa ke­bi­jak­an affirmative daerah,” tam­bah­nya. action se­ha­rus­nya di­atur dengan jelas Se­su­ai dengan Ketetapan MPRS. jangka wak­t u­ XX/MPRS/1966 me­n ge­n ai Sumber nya. “Tapi se­ Tertib Hukum Republik Indonesia dan ka­rang kan Tata Urutan Peraturan Perundangan kita enggak Republik Indonesia, ins­truk­si memang masih di­akui se­ba­gai produk per­un­dangun­dang­an yang sah. Namun, Ketetapan MPRS.XX/MPRS/1966 itu sudah di­ca­but oleh UU Tahun 2004 Nomor 10 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Dalam Pasal 7 ayat 2 huruf I b di­s e­ but­kan, ins­truk­si di­nya­ta­kan S PRE EKS sudah tidak lagi diakui. O| Y I TR “Waktu itu, ins­ truk­s i di­m ak­n ai se­ba­gai per­atur­an, tapi kalau se­k a­ rang itu di­mak­nai se­ba­gai per­atur­an maka harus di­na­ik­ kan sta­tus­nya se­ba­ gai per­atur­an daerah,” lanjut Ni’matul. Ken­ da­ti de­mi­ki­an, Ni’matul masih ber­a ng­g ap­a n bahwa ins­truk­si ini se­ be­nar­nya sudah tidak ber­l a­k u lagi sejak tahun 1984. “Sudah jelas bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 hanya ber­l a­k u dari 1975 sampai 1984,” ungkap Ni’matul. Se­su­dah itu, DIY harus meng­ ikuti UUPA. Pada 1984, Presiden Willie Sebastian menunjukkan surat dari BPN DIY terkait masih berlakunya Instruksi 1975. Soeharto me­n ge­

16 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

lu­ar­kan Keppres No.33/1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY. Me­nin­dak­lan­juti Keppres itu, lahir pula Perda No.3/1984 yang berisi peng­ ha­pus­an Rijksblad Nomor 6 tahun 1918 serta se­lu­ruh hukum per­ta­nah­an di DIY se­be­lum tahun 1984. “Jadi sudah enggak ber­la­ku lagi sejak 1984,” lanjut Ni’matul. Se­men­ta­ra itu, DIY mem­ber­la­ku­kan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) yang di­ang­gap lebih tinggi dari UUPA. Padahal, UUK tidak meng­atur tentang per­ta­nah­an se­la­in Sultanaat Ground dan Pakualamanaat Ground. “UUK tidak bisa di­se­but Lex Specialis dengan UUPA, karena UUK itu tidak spe­si­fik per­ta­nah­ an. UUK itu mem­bi­ca­ra­kan per­un­dangundangan daerah, yang salah sa­tu­nya per­ta­nah­an,” ujar Ni’matul. “Status Sultan se­ba­gai penguasa tanah ini juga tidak jelas, dalam undangundang, yang me­mi­liki hak atas tanah yang tidak ter­ba­tas adalah or­ga­ni­sa­ si ke­aga­ma­an, rumah sakit,” terang Ni’matul. Keraton di mata hukum tidak berhak atas pe­ngu­asa­an tanah yang tak ter­ba­tas. Dengan UUK, seakan-akan Kasultanan di­le­gi­ti­ma­si se­ba­gai badan hukum. “Bahkan itu juga tidak di­per­ bo­leh­kan tanpa batas, ma­ka­nya dalam UUK dijelaskan bahwa harus ada in­ven­ ta­ri­sa­si dan kla­si­fi­ka­si oleh Sultan,” jelas Ni’matul. Proses in­ven­ta­ri­sa­si dan kla­si­fi­ka­ si tanah itulah yang nanti jadi tugas Pantikismo. Panitikismo adalah badan yang meng­urusi Sultan Ground dan Sultanaat Ground. Sultan Ground adalah tanah yang di­gu­na­kan masyarakat yang milik sultan. Se­men­ta­ra Sultanaat Ground adalah tanah yang di­gu­na­kan Sultan dan mi­lik­nya sen­di­ri. Se­te­lah di­in­ ven­ta­ri­sa­si dan di­kla­si­fik ­ a­si, tanah-tanah ter­se­but akan di­se­rah­kan pada BPN. “Dari sini tugas BPN sangat strategis,” ujar Ni’matul. Kus Sri Antoro, pe­ne­li­ti agraria yang aktif di Jogja Darurat Agraria (JDA), me­ nga­ta­kan bahwa se­ha­rus­nya hak milik tanah dibatasi ber­da­sar kelas, bukan ras. Ia me­nga­ta­kan, bahwa mem­ber­la­ku­kan UUPA ar­ti­nya me­lin­dungi rakyat kecil. “Bila memang ke­ta­kut­an­nya adalah ke­ta­ kut­an soal rakyat kecil tidak bisa punya tanah, ja­lan­kan saja UUPA pasal 17,” ungkapnya. Pasal 17 UUPA me­nya­ta­ kan tentang pem­ba­tas­an ber­da­sar­kan ke­mam­pu­an pe­mi­lik­an tanah.[] Laporan oleh Aziz dan Putra


DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA

Kebijakan Berjalan Tanpa Dasar

Peraturan pertanahan di DIY tidak punya dasar hukum yang jelas. Kendati demikian, karena alasan sungkan kepada penguasa, peraturan tersebut tetap berjalan. Oleh Triyo Handoko

B

| EK SP RE SI

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 17

IYO

yang Dapat Mem­pu­nyai Hak Milik atas yang sah. Lagi pula, kata Ni’matul, BPN itu garis koor­di­na­si­nya langsung dari Tanah. Se­be­tul­nya, me­nu­rut Ni’matul Huda, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, UUK adalah produk hukum yang ­me­nga­ bukan ke­pa­la daerah. Tidak ada l­ an­da­ tur pemerintahan. ­Se­ san hukum yang mem­be­nar­kan ­tin­da­ men­ta­ra urusan kan BPN. Be­be­ra­pa kasus agraria yang juga per­t a­n a­h an tetap harus ter­ja­di di Yogyakarta ber­sum­ber dari tidak ada­nya lan­da­san hukum ­b e r­l a n ­ d a s­k a n yang jelas. Di Pantai Watu Kodok ­U n d a n g -­ mi­sal­nya, warga yang mem­bu­ka lapak dan ber­co­cok tanam di ­pe­ Undang si­sir sempat diusir pada 2014. Mereka di­pak­sa pergi de­ngan ­da­ lih tanah-tanah ter­se­but me­ru­pa­kan Sultan Ground yang sudah di­se­wa oleh investor. Pa­da­hal, hingga saat ini dasar hukum be­ru­pa Pe­ra­tu­ran Daerah Istimewa mengenai pertanahan yang di­ja­di­kan acuan hi­dup­nya Sultan Ground belum rampung ­di­ ba­has oleh DPRD. Me­l a­l ui ­­U ndang-­ Undang Keistimewaan, Kasultanan men­j a­d i badan hukum khusus se­hing­ga dapat ­me­ mi­li­ki tanah. Badan hukum ini ­b er­n a­ ma Badan Hukum Warisan Budaya dan ber­si­fat swasta. Pa­d a­h al, me­n u­r ut Ni’matul, “Kasultanan dan Pakualaman dalam ­per­undang-­ undangan bukan bagian dari Badan Hukum yang berhak atas tanah.” Ni’matul Huda me­ru­juk pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY mengatakan UUK di­da­sar­kan tentang Pe­nun­ju­kan pada se­ja­rah panjang bergabungnya Kasultanan dengan Indonesia Badan-Badan Hukum dan pengorbanan Sultan Hamengkubuwono IX di da­lam­nya.

TR

anyak kon­flik agra­ria ter­ja­di di Yogyakarta ka­re­na ter­da­pat ke­ran­cu­an hu­kum per­ta­na­han yang di­ikuti. “Di Yogyakarta memang lain, ewuh pekewuh masih kental se­ka­li,” tutur Laksmi A. Savitri, dosen Antropologi Universitas Gadjah Mada. Me­nu­rut Laksmi, hal ter­se­but membuat orang-orang di pemerintahan sungkan me­ne­gur gubernur jika memang terdapat ke­sa­la­han dalam ke­bi­ja­kan maupun pe­ngam­bi­lan ke­pu­tu­san. Hal ini ter­ja­di ka­re­na Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta juga men­ja­bat ­se­ ba­gai pe­mim­pin Kasultanan Yogyakarta. “Jika dengan Suharto yang kita ­ha­da­ pi adalah ke­ta­ku­tan, dengan S ­ ultan yang kita ha­da­pi adalah ke­sung­ka­nan,” ungkap Kus Sri Antoro, Sekretaris Gerakan Anak Negeri Anti D ­ iskriminasi (­ Granad). M ­ e­ nu­rut­nya, Sultan Hamengkubuwono X me­mi­li­ki ke­kuat­an yang mampu ­meng­ he­ge­mo­ni ke­sa­da­ran. “Bukan soal ­takut, tapi pekewuh,” tam­bah­nya. Se­hing­ga, me­n u­r ut­n ya tidak banyak Lembaga Swadaya Masyarakat di Yogyakarta yang be­ra­ni mem­per­juang­kan kasus agraria. Sungkan men­ j a­ d i faktor yang mem­bu­at Badan Pertanahan Nasional DIY mau me­ngi­ku­ti Instruksi Kepala Daerah 1975 tentang Pe­nye­ra­ga­man Policy Pem­be­ri­an Hak atas Tanah k ­ e­ pa­da WNI Nonpribumi. Hal itu di­sam­ pai­kan Ni’matul Huda, dosen Hukum Tata Negara Pascasarjana Universitas Islam Indonesia saat di­ta­nya ter­ka­it ­po­ si­si BPN dalam pelaksanaan Instruksi Kepala Daerah 1975. “Jika BPN m ­ en­ diam­kan saja, itu enggak benar. Jangan sampai BPN ewuh pekewuh,” ungkap Ni’matul saat di­te­mui di kan­tor­nya, Selasa (31/10). BPN DIY tidak wajib me­ngi­ku­ti aturan ter­se­but ka­re­na saat ini instruksi bu­kan­lah produk perundang-undangan


ANALISIS UTAMA

Pokok Agraria. Namun, me­nu­rut Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY yang me­ngu­ru­si tata pemerintahan, UUK di­da­sar­kan pada se­ja­rah panjang bergabungnya Kasultanan dengan Republik Indonesia dan pengorbanan Sultan Hamengkubuwono IX di ­da­lam­ nya. Se­hi­ngga pem­be­ri­an keistimewaan pada Yogyakarta untuk ke­mu­di­an ­me­ ngu­ru­si per­ta­na­han­nya sen­di­ri amat pantas. “Yogyakarta kan lahir se­ba­gai daerah ber­dau­lat se­be­lum Indonesia, se­hing­ga wajar,” tambah Eko. Se­men­ta­ra itu, Granad me­no­lak fakta sejarah ter­se­but. Hal itu ­di­sam­ pai­k an me­la­lui Surat Nomor 004/ GRANAD/XI/2014 perihal Per­mo­ho­nan Pen­ca­bu­tan Perda Istimewa DIY Nomor 1 Tahun 2013. Surat itu di­tu­ju­kan ­ke­ pa­da Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Salah satu alasan p ­ en­ca­bu­ tan­nya adalah fakta se­ja­rah. ­Ber­da­sar­ kan ca­ta­tan sejarah, me­la­lui per­jan­ji­an Giyanti 1755 dan per­jan­jian Paku Alam 1813, Kasultanan dan Pakualaman d ­ i­ja­di­ kan badan hukum swapraja. Ka­sul­ta­nan be­ra­da di bawah ke­dau­la­tan pen­ja­jah dan tidak pernah me­mi­li­ki hak milik atas tanah. Willie me­nam­bah­kan, “Kerajaan Mataram telah di­se­rah­kan pada VOC (Vereenigde Oostindische Company, Red.) sejak 11 Desember 1749 oleh Paku Buwono II. Se­hing­ga ke­ti­ka Belanda ­me­ nye­rah­kan kedaulatan ja­ja­han­nya pada Indonesia, se­ca­ra langsung Yogyakarta se­ba­gai bagian dari Belanda jatuh pada Indonesia,” tuturnya.

Ganjilnya BPN di Yogyakarta

Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pertanahan diatur oleh Pemerintah Daerah. “Namun, UU tersebut telah dicabut oleh Presiden Gus Dur,” kata Ni’matul Huda. Me­nu­rut­nya, alasan pen­ca­butan ter­se­but ka­re­na ­ber­ten­ta­ ngan dengan Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang me­nga­tur bahwa bumi dan kekayaan yang ter­ka­ndu­ng di da­lam­nya dikuasai oleh negara. “Ke­mu­di­an urusan per­ta­na­han di­se­rah­kan pada BPN yang memiliki kantor wilayah di ­masingmasing daerah,” je­las­nya. BPN adalah ba­gi­an dari Kementrian Agraria dan Tata Ruang RI yang b ­ er­ tu­gas se­su­ai undang-undang yang ­ber­ la­ku, salah sa­tu­nya UUPA. “Atas dasar apa ke­mud­ian BPN Kanwil DIY tidak mem­be­ri izin hak milik tanah ke­pa­da

warga ke­tu­ru­nan etnis Tionghoa? Ewuh pekewuh?” tanya Ni’matul Huda. Selain itu, Willie menceritakan, dis­kri­mi­na­si ter­ha­dap etnis ke­tu­ru­ nan Tionghoa sudah ter­ja­di se­be­lum Instruksi Kepala Daerah 1975. “Pasca ­l eng­s er­n ya Sukarno,” tutur Willie, “Sekolah etnis Tionghoa di­se­rang oleh Kesatuan Mahasiswa Indonesia yang ke­mu­di­an sekolah itu ­men­ja­di SMA 1 Bopkri.” ­Se­ hing­ga waktu itu, ia ­ber­ sa­m a teman-temannya ke­tu­ru­nan Tionghoa ke­bi­ ngu­ngan men­ca­ri se­ko­lah peng­gan­ti. I n s t r u k s i K e­p a l a Daerah 1975 adalah alasan BPN tidak mem­be­ri­kan ser­ ti­fi­kat tanah bagi WNI yang ­d i­a ng­g ap non­p ri­b u­ mi. Ter­m a­s uk d i d a­l a m­n y a warga ke­t u­ ru­n an etnis Tionghoa. ­M e­n u ­ rut Kus, status Laksmi A. Savitri, dosen Antropologi UGM mengatakan ewuh pakewuh terjadi karena Gubernur DIY juga men­ja­ bat se­ba­gai pe­mim­pin Kasultanan Yogyakarta.

instruksi se­ba­gai dasar hukum saat ini ti­dak­lah tepat. Instruksi di­ni­lai hanya re­le­van untuk internal lembaga dan tidak me­ngi­kat publik. “Jika instruksi ter­se­but di­go­long­kan se­ba­gai dis­kre­ si, yaitu aturan yang perlu ­ke­mu­di­an belum diatur dalam u ­ ndang-­undang dan memang tidak me­na­brak ­undangundang lain. Maka Instruksi 1975 tidak bisa di­se­but di­kre­si,” ungkapnya. ­Me­nu­ rut­nya, sudah jelas me­la­lui Perda DIY No. 3 Tahun 1984, diatur bahwa per­ta­na­han Yogyakarta me­nga­cu pada UUPA. BPN DIY memang me­n ga­t a­k an Instruksi Kepala Daerah 1975 adalah affirmative action untuk menjaga ­pe­ngu­ asa­an tanah dan me­lin­du­ngi ke­lom­pok ekonomi miskin. Namun, di la­pa­ngan, me­nu­rut Kus, banyak kelas ekonomi miskin di­per­su­lit ke­ti­ka ­meng­gu­na­ kan tanah ne­ga­ra yang diklaim Sultan Ground dan Pakualaman Ground. “Warga Kulonprogo, Parangkusumo, Watu Kodok dan ban­ta­ran Kali Code adalah con­toh­nya,” jelas Kus.

18 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

Ke­t e­t a­p an MPRS Tahun 1966 Nomor 20 tentang Perundang-undangan memang me­nya­ta­kan ins­truk­si se­ba­gai produk hukum yang mengikat. Namun, Ketetapan MPRS Tahun 1966 Nomor 20 ber­la­ku hanya sampai 2004. Sebab, ke­mu­di­an ia digantikan oleh UU No. 10 Tahun 2004 tentang ­Pem­ben­tu­kan Pe­ ra­turan ­Per­undang-­Undangan. Dalam per­gan­ti­an pe­ra­tu­ran ter­s e­b ut, Ni’matul Huda men­j e­l as­k an, “Wajar jika ke­ti­ka di­ter­bit­kan, Instruksi 1975 ini di­ ang­gap ­se­ba­gai produk hukum.” Namun, se­ te­l ah re­f or­m a­s i ke­t i­ ka ­K e­t e­t a­p an MPRS Tahun 1966 No 20 di­ ca­but, instruksi se­ba­gai produk hukum gugur. Dalam UU No. 10 Tahun 2004, lanjut Ni’matul, tidak di­se­but­kan bahwa instruksi adalah produk hukum yang mengikat. TRIYO | EKSPRESI Me­n u­r ut Laksmi A. Savitri, klasifikasi warga negara dengan pribumi dan non­pri­bu­mi sudah tidak re­le­van. “Memang siapa yang bisa me­ni­lai warga itu pribumi dan nonpribumi,” ung­kap­ nya. Ia me­nam­bah­kan, proses akulturasi dan asimilasi yang sudah ter­ja­di berabadabad dalam per­ja­la­nan bangsa men­ja­di­ kan se­se­orang tidak bisa di­ni­lai pribumi atau nonpribumi. “Siapa yang bisa men­ ja­min sil­si­lah se­se­orang? Apa pem­buk­ ti­an yang jelas tentang asal se­se­orang? Bagaimana me­na­rik ­ke­­sim­pu­lan bahwa orang ter­se­but nonpribumi?” ujarnya. Laksmi me­nya­yang­kan masih ­ber­ la­ku­nya Instruksi Ke­pa­la Daerah 1975. Ba­gi­nya pe­ra­tu­ran ter­se­but diskriminatif. Acuan pe­ra­tu­ran ter­se­but juga di­ni­lai tidak re­le­van. “Atas pe­ra­tu­ran yang se­per­ti Instruksi Kepala Daerah 1975, Sultan Ground, dan Pakualaman Ground, pas­ti­lah warga Yogya tahu bahwa itu tidak adil, lihat saja per­ge­ra­kan di Parangkusumo, Kulonprogo dan Watu Kodok,” tam­bah­nya. Ba­gi­nya, contoh ­ter­ se­but me­nun­juk­kan bahwa tidak ­se­la­ma­ nya warga Yogyakarta hanya me­ne­ri­ma ke­ada­an dan patuh pada ra­ja­nya.[] Laporan oleh Aziz dan Rimba


DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA

Masyarakat Belum Paham Instruksi 1975 Oleh Ervina Nur Fauzia orang, sampel di­ten­tu­kan dengan meng­ gu­na­kan rumus slovin dengan tingkat sampling error 10%. Ke­mu­di­an di­ha­sil­ kan­lah sampel se­ba­nyak 100 res­pon­den. Teknik peng­am­bil­an sampel di­la­ku­kan se­ca­ra random atau acak. Ber­da­sar­kan hasil polling, di­ke­ta­ hui ter­da­pat 77% res­pon­den me­ru­pa­kan warga asli Yogyakarta. Se­men­ta­ra 23% res­pon­den bukan asli Yogyakarta tapi sudah lama tinggal di Yogyakarta. Dari hasil ter­se­but, di­ke­ta­hui pula se­ba­nyak 52% res­pon­den me­nga­ta­kan me­mi­liki tanah di Yogyakarta. Se­men­ta­ra yang tidak me­mi­liki tanah se­ba­nyak 42% res­ pon­den, dan 6% res­pon­den si­sa­nya tidak men­ja­wab.

Instruksi Kepala Daerah 1975

Instruksi Kepala Daerah 1975 ber­isi la­rang­an warga non­pri­bu­mi untuk me­mi­ liki tanah. Me­re­ka hanya di­be­ri hak guna ba­ngu­nan (HGB). Atur­an ter­se­but masih ber­la­ku sampai se­ka­rang. Namun, se­ba­ nyak 80% res­pon­den men­ja­wab tidak tahu tentang ada­nya ins­truk­si ter­se­but. Hanya 18% res­pon­den yang meng­aku me­nge­ta­hui ada­nya ins­truk­si ter­se­but, dan 2% sisanya tidak men­ja­wab. Hal ter­se­but me­nun­juk­kan ku­r ang­n ya so­s i­a l­i a­s i yang se­ha­rus­nya d i­l a­k u­k a n

oleh pe­me­rin­tah daerah. Instruksi Kepala Daerah 1975 pada awal­nya di­ran­cang guna me­lin­dungi pe­mi­lik­an tanah warga pri­bu­mi dari warga non­pri­bu­mi. Se­ba­nyak 48% res­ pon­den se­tu­ju bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 telah ber­ha­sil me­lin­dungi warga Yogyakarta, di­tam­bah 30% sangat setuju. Se­men­ta­ra se­ba­nyak 20% res­pon­ den tidak setuju, 1% sangat tidak setuju, dan 1% si­sa­nya tidak men­ja­wab. Tu­ju­ an di­ke­lu­ar­kan­nya Instruksi Kepada Daerah 1975 ada­lah se­per­ti ter­se­but di atas. Namun, men­urut hasil polling, ins­ truk­si ini ru­pa­nya perlu di­tin­jau ulang. Sebab, se­ba­nyak 50% res­pon­den meng­ aku tidak me­ra­sa ter­an­cam apa­bi­la warga ke­tu­run­an Tionghoa mem­pu­nyai tanah di Yogyakarta. Se­men­ta­ra se­ba­nyak 47% res­pon­den meng­aku me­ra­sa ter­an­cam, dan 3% si­sa­nya tidak men­ja­wab. Se­ba­nyak 46% res­pon­ den Kota Yogyakarta se­t u­j u bahwa warga lokal

ANDHIKA| EKSPRESI

U

rus­an per­ta­nah­an men­ja­di salah satu yang penting di Yogyakarta. Ber­d a­s ar­k an Instruksi Kepala Daerah 1975, di­atur bahwa warga ne­ga­ra Indonesia non­p ri­b u­m i—ter­u ta­m a ke­t u­r un­a n Tionghoa—tidak berhak me­mi­liki tanah. Atur­a n ter­s e­b ut ber­b u­n yi, “Apa­b i­l a ada se­orang warga ne­ga­ra Indonesia non­pri­bu­mi mem­be­li tanah hak milik rakyat, hen­dak­nya di­pro­ses­kan se­ba­ gai­ma­na biasa, ialah dengan me­la­lui pe­l e­p as­a n hak, se­h ing­g a ta­n ah­n ya kem­ba­li men­ja­di tanah ne­ga­ra yang di­kua­sai langsung oleh ­Pemerintah ­Daerah ­Istimewa ­Yogyakarta ­DIY dan ke­mu­di­an yang ber­ke­pen­ting­an/me­le­ pas­kan su­pa­ya meng­aju­kan per­mo­hon­ an ke­pa­da Kepala Daerah DIY untuk men­da­pat­kan se­sua­tu hak.” Pemerintah Daerah Yogyakarta me­ ra­sa perlu mem­ba­tasi hak-hak warga ke­ tu­run­an Tionghoa untuk me­mi­liki tanah. Pa­sal­nya, warga ke­tu­run­an Tionghoa di­ang­gap lebih kuat se­ca­ra fi­nan­si­al. Hal itu di­ta­kut­kan men­ja­di­kan me­re­ka me­mo­no­po­li per­ta­nah­an. Namun, ter­ li­hat ku­rang­nya so­si­ali­sa­si dari Pemda DIY pada ma­sya­ra­kat. Oleh ka­re­na itu, untuk me­ma­ham­kan ma­sya­ra­kat akan konteks yang me­la­tar­be­la­kangi, atur­an ter­se­but perlu di­tin­jau kem­ba­li. Se­la­ in tentu untuk meng­ingat­kan bahwa mulai muncul kasus-kasus agra­ria di Yogyakarta be­la­kang­an ini. Ber­k a­i t­a n dengan hal ter­s e­b ut, Litbang LPM EKSPRESI, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), meng­ ada­k an polling untuk me­n ge­t a­h u­i respons ma­sya­ra­kat. Sampel yang di­ am­bil adalah warga di 14 kecamatan di Kota Yogyakarta. Antara lain Umbulharjo, Kraton, Mergangsan, Kotagede, Mantrirejon, Gondokusuman, Danurejan, Pakualaman, Gondomanan, Ngampilan, Wirobrajan, Gedongtengen, Jetis, dan Tegalrejo. Dengan po­pu­la­si Kota Yogyakarta se­b a­n yak 400.467

80% masyarakat kota Yogyakarta mengaku tidak mengetahui adanya Instruksi Kepala Daerah 1975.

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 19


ANALISIS UTAMA

I ES PR

SI

KS

RE

|E

SP

IK A

| EK

DH

IK A

AN

DH

66% masyarakat kota Yogyakarta tidak setuju bila Instruksi Kepala Daerah 1975 dihapuskan.

55% res­pon­den me­ni­lai bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 ber­dam­pak pada pe­ngu­asa­an tanah di Yogyakarta.

AN

me­mi­liki ke­mam­pu­an fi­nan­si­al atau eko­ no­mi yang lebih rendah di­ban­ding­kan warga ke­tu­run­an Tionghoa, di­tam­bah 31% sangat se­tu­ju. Se­men­ta­ra se­ba­ nyak 17% res­pon­den tidak se­tu­ju, 3% sangat tidak se­tu­ju, dan 3% si­sa­nya tidak men­ja­wab. Namun, ma­sya­ra­kat Kota Yogyakarta meng­ang­gap warga ke­tu­run­ an Tionghoa bukan me­ru­pa­kan an­cam­an yang harus di­ta­kuti dalam hal pe­mi­lik­an tanah. Hal ter­se­but di­li­hat dari se­ba­nyak 44% res­pon­den meng­aku tidak se­tu­ju apa­bi­la warga ke­tu­run­an Tionghoa tidak boleh me­mi­liki tanah, 6% sangat tidak se­tu­ju. Se­men­ta­ra se­ba­nyak 33% res­pon­ den se­tu­ju warga Tionghoa tidak boleh me­mi­liki tanah, 15% sangat se­tu­ju, dan 2% si­sa­nya tidak men­ja­wab. Pemerintah Daerah ber­a las­a n Insrtuksi Kepala Daerah 1975 di­ter­bit­ kan untuk me­lin­dungi ma­sya­ra­kat kelas me­ne­ngah ke bawah. Warga ke­tu­run­an Tionghoa di­ang­gap me­mi­liki ke­ku­at­an eko­no­mi yang lebih besar se­hing­ga di­ ta­kut­kan akan me­ngu­asai per­ta­nah­an di Yogyakarta. Namun, dalam per­sep­si ma­ sya­ra­kat Kota Yogyakarta, se­ba­nyak 44% res­pon­den tidak se­tu­ju bahwa warga ke­ tu­run­an Tionghoa tidak ada yang miskin, 14% sangat tidak setuju. Se­dang­kan ma­ sya­ra­kat Kota Yogyakarta yang me­nye­ tu­jui warga ke­tu­run­an Tionghoa tidak ada yang miskin hanya 34%, di­tam­bah 7% sangat setuju, dan 1% si­sa­nya tidak men­ja­wab. Dari per­sen­ta­se ter­se­but ber­ ar­ti ma­sya­ra­kat Kota Yogyakarta masih

me­nya­dari ada warga Tionghoa yang kurang mampu atau miskin. Instruksi Kepala Daerah 1975 yang mem­ba­tasi hak warga ke­tu­run­ an Tionghoa me­mi­liki hak atas tanah di­ang­gap ber­ten­tang­an dengan atur­an Pemerintah Indonesia. Sebab, telah di­ se­but­kan dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, bahwa “Se­ ti­ap warga ne­ga­ra berhak mem­per­oleh per­la­ku­an yang sama untuk men­da­pat­ kan hak-hak sipil, po­li­tik, eko­no­mi, so­si­ al, dan bu­da­ya se­su­ai dengan ke­ten­tu­an per­atur­an per­un­dang-un­dang­an, tanpa pem­be­da­an ras dan etnis.” Se­la­in itu, pe­ me­rin­tah Indonesia juga telah me­nge­lu­ ar­kan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA me­la­rang pem­ be­da­an ber­da­sar­kan suku, etnis, mau­pun gender bagi subyek hukum yang boleh me­mi­liki tanah. Pada da­sar­nya ma­sya­ra­kat se­tu­ ju bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 ber­t en­t ang­a n dengan Pemerintah. Hal ter­se­but di­ tu­njuk­kan oleh se­ba­nyak 40% res­pon­den, di­tam­bah 9% sangat se­tu­ju. Se­men­ta­ra yang tidak se­tu­ju hanya 42% res­pon­den, di­tam­bah 4% sangat tidak se­tu­ju, dan 5% si­sa­nya tidak men­ja­wab. Namun, se­ba­nyak 66% res­ pon­den meng­aku tidak se­tu­ju apa­bi­la ins­truk­si ter­se­but di­ha­pus­kan. Se­men­ ta­ra se­ba­nyak 29% res­pon­den meng­aku setuju, dan 5% sisanya tidak men­ja­wab. Sebab, se­ba­nyak 51% res­pon­den setuju ter­da­pat go­long­an yang ter­lin­dungi oleh ada­nya Instruksi Kepala Daerah 1975, di­tam­bah 31% sangat se­tu­ju. Se­men­ ta­ra se­ba­nyak 17% res­pon­den tidak se­tu­ju, dan 1% sangat tidak se­tu­ju.

20 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

M a­s y a­r a­k a t m a s i h me­m i­l iki ke­t a­k ut­a n jika ke­t u­r un­a n Tionghoa akan me­mo­no­po­li per­ta­nah­an di Yogyakarta. Di­li­hat dari hasil polling, warga ke­tu­run­an Tionghoa akan me­mo­ no­po­li per­ta­nah­an di Yogyakarta apa­bi­la Instruksi Kepala Daerah 1975 tidak ada, se­ba­nyak 48% res­pon­den se­tu­ju, 20% sangat setuju. Se­men­ta­ra se­ba­nyak 27% tidak se­tu­ju, 4% sangat tidak se­tu­ju, dan 1% si­sa­nya tidak men­ja­wab. Ada ang­gap­ an bahwa warga lokal akan kehabisan tanah di Yogyakarta jika Instruksi Kepala Daerah 1975 di­ha­pus­kan, se­ba­nyak 41% res­pon­den se­tu­ju, 21% sangat setuju. Se­ men­ta­ra se­ba­nyak 32% tidak se­tu­ju, 4% sangat tidak se­tu­ju, dan 2% si­sa­nya tidak men­ja­wab. Ma­s ya­r a­k at ber­p en­d a­p at bahwa warga ke­tu­run­an Tionghoa sudah bisa me­n e­r i­m a ada­n ya atur­a n Instruksi Kepala Daerah 1975. Se­ba­nyak 58% res­pon­den se­tu­ju, 3% sangat setuju. Se­men­ta­ra se­ba­nyak 25% tidak se­tu­ju, 3% sangat tidak se­tu­ju, dan 11% si­sa­nya tidak men­ja­wab. Hal ter­se­but di­ka­re­na­ kan ber­da­sar­kan hasil polling, se­ba­nyak 67% res­pon­den tidak me­nge­ta­hui adanya kasus warga ke­tu­run­an Tionghoa yang ke­su­lit­an men­da­pat­kan tanah. Se­men­ ta­ra se­ba­nyak 31% res­pon­den meng­aku me­nge­ta­hui, dan 2% si­sa­nya tidak men­ ja­wab. Bagi ma­sya­ra­kat Kota Yogyakarta, untuk saat ini atur­an Instruksi Kepala Daerah 1975 tidak bisa di­ha­pus­kan. Sabab, se­ba­nyak 55% res­pon­den me­ni­ lai bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 ber­dam­pak pada pe­ngu­asa­an tanah di Yogyakarta. Se­men­ta­ra se­ba­nyak 40% me­ni­lai tidak ber­dam­pak, dan 5% tidak men­ja­wab.[]


DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA

AZIZ | EKSPRESI

Instruksi 1975 Diskriminatif Oleh Mariyatul Kibtiyah

P

ada 1975, terbit se­bu­ah ins­truk­ si tentang pe­tun­juk peng­atur­ an per­ta­nah­an yang di­tan­da­ ta­ngani Wakil Kepala Daerah DIY saat itu, yakni Paku Alam VIII. Warga yang di­go­long­kan—oleh BPN DIY se­ba­gai—non­pri­bu­mi, di­la­rang mem­pu­ nyai hak milik atas tanah di Yogyakarta. Me­re­ka hanya berhak atas hak guna bangunan (HGB) yang di­per­pan­jang 20 tahun sekali. Hal itu, oleh Kakanwil BPN DIY, Arie Yuriwin di­ka­ta­kan se­ba­gai dis­kri­mi­na­si po­si­tif. “Soalnya ke­bi­jak­ an tanah di sini kan sudah di­atur Perda Istimewa. Kalau di­li­hat dari sisi dis­kri­ mi­na­si, itu dis­kri­mi­na­si yang po­si­tif,” ungkap Arie saat di­te­mui di kan­tor­nya. Eni Kusumawati, warga Godean, Yogyakarta, adalah salah satu contoh orang yang di­to­lak peng­urus­an surat hak milik ta­nah­nya. Ala­san­nya, Eni mem­pu­nyai garis ke­tu­run­an Tionghoa yang oleh BPN ke­mu­di­an di­go­long­kan se­ba­gai non­pri­bu­mi. Dalam adu­an­nya ke Ombudsman Republik Indonesia pada 8 Maret 2016, Eni meng­aku hanya di­be­ri pi­lih­an untuk men­da­pat­kan HGB saja. Ombudsman Yogyakarta sudah men­ca­tat ada enam orang yang me­la­por tentang ke­ja­di­an se­ru­pa. Pa­da­hal, dalam UUD 1945 Pasal 28I ayat 2 di­nya­ta­kan bahwa, “Se­ti­ap orang berhak bebas atas per­la­ku­ an yang bersifat dis­kri­mi­na­tif atas dasar apa­pun dan berhak men­da­pat­kan per­lin­ dung­an ter­ha­dap per­la­ku­an yang ber­si­fat dis­kri­mi­na­tif itu.”

Dari jajak pen­da­pat yang di­him­pun oleh sub­di­vi­si Litbang LPM EKSPRESI di kota Yogyakarta, ma­yor­itas ma­sya­ra­kat kota Yogyakarta meng­ang­gap pem­ba­ tas­an hak-hak semua warga ke­tu­run­an Tionghoa di Yogyakarta memang perlu di­la­ku­kan. Se­ba­nyak 43% setuju dan 21% lainnya sangat se­tu­ju jika semua warga ke­tu­run­an Tionghoa harus di­ba­ tasi hak-haknya. Hanya 24% yang tidak se­tu­ju, dan 8% yang sangat tidak se­tu­ju pem­ba­tas­an hak ini. 4% si­sa­nya enggan men­ja­wab. Meskipun de­mi­ki­an, tidak semua responden mengetahui adanya per­be­ da­an per­la­ku­an untuk warga ke­tu­run­an Tionghoa tentang hak ke­pe­mi­lik­an tanah. Per­sen­ta­se ma­sya­ra­kat yang ­ta­hu dan yang tidak tahu ter­nya­ta se­im­bang. Se­ ba­nyak 49% res­pon­den men­ja­wab tahu dan 49% men­jawab tidak, 2% sisanya tidak men­ja­wab. Instruksi Kepala Daerah tahun 1975 menjadi in­di­ka­tor ada­nya per­be­da­an per­la­ku­an ter­ha­dap warga ke­tu­run­an Tionghoa soal pe­ngu­rus­an tanah. Se­ ba­nyak 39% res­pon­den men­ja­wab se­ tu­ju Instruksi 1975 men­dis­kri­mi­na­si warga ke­tu­run­an Tionghoa, se­ba­nyak 11% bahkan sangat se­tu­ju. Namun, 39% res­pon­den tidak se­tu­ju jika ins­truk­ si ter­se­but di­bi­lang dis­kri­mi­na­tif, 8% res­pon­den sangat tidak setuju dan 3% tidak men­ja­wab. Meski hanya ter­pa­ut 3%, ma­sya­ra­kat kota Yogyakarta lebih banyak yang me­ni­lai kalau ins­truk­si ter­

se­but dis­kri­mi­na­tif. Kendati de­mi­ki­an, se­ba­nyak 40% res­pon­den se­tu­ju dan 12% res­pon­den sangat se­tu­ju kalau Yogyakarta, dengan ke­is­ti­me­wa­an­nya, boleh-boleh saja mem­ bu­at atur­an dis­kri­mi­na­tif. Hanya 32% res­pon­den yang tidak se­tu­ju, dan 15% res­pon­den yang sangat tidak se­tu­ju peng­gu­na­an dalih ke­is­ti­me­wa­an untuk mem­bu­at atur­an dis­kri­mi­na­tif. 1% res­ pon­den tidak men­ja­wab ter­ka­it hal ini. Kasus dis­kri­mi­na­si ber­da­sar etnis atau suku di Yogyakarta bukan hanya soal per­ta­nah­an yang ber­sum­ber dari Instruksi 1975. Juli 2016 ke­ma­rin, ter­ ja­di pe­nge­pung­an Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I Jalan Kusumanegara Nomor 119, Kota Yogyakarta se­la­ma tiga hari. Se­la­in akses keluar masuk as­ra­ma di­tu­tup, ter­da­pat peng­ani­aya­an dan pe­ nang­kap­an yang di­la­ku­kan ke­po­li­si­an ke­pa­da be­be­ra­pa ma­ha­sis­wa Papua. Komnas HAM langsung turun tangan me­nye­li­di­ki kasus ini. Dalam dialog ang­go­ta DPR Komisi I dan Pemprov Papua be­be­ra­pa hari se­ te­lah pe­nge­pung­an di­la­ku­kan, me­re­ka me­nya­ta­kan kon­di­si para ma­ha­sis­wa itu sangat rentan. Apa­la­gi, saat itu per­ nya­ta­an Sri Sultan Hamengkubuwono X meng­ang­gap ma­ha­sis­wa Papua adalah se­pa­ra­tis. Se­la­in itu, be­be­ra­pa or­ga­ni­ sa­si ma­sya­ra­kat juga turut me­la­ku­kan pe­nge­pung­an. Ter­ka­it dengan hal ini 34% res­pon­ den se­tu­ju dan 10% sangat se­tu­ju bahwa dis­kri­mi­na­si ras, etnis, ke­su­ku­an masih ter­ja­di di Yogyakarta. Namun, ter­nya­ta lebih banyak yang me­ni­lai kalau sudah tidak ada dis­kri­mi­na­si ras, etnis, atau ke­su­ku­an di Yogyakarta. Sementara 48% res­pon­den men­ja­wab tidak se­tu­ju masih ada dis­kri­mi­na­si, 4% responden bahkan sangat tidak setuju, sedang 4% sisanya tidak menjawab.[]

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 21


ANALISIS UTAMA

Tidak Ada Pribumi dan Nonpribumi

I

nstruksi Kepala Daerah 1975 lahir dengan asas melindungi warga Yogya dari kekuatan ekonomi etnik yang dianggap nonpribumi. Namun, bagaimana aturan ini ditilik dari sudut pandang hak asasi manusia? Berikut petikan wawancara reporter ­EKSPRESI, ­Andhika ­Widyawan ­d an ­A . ­S . ­R imbawana, ­d engan ­na­ra­sumber ­Eko ­Riyadi dari P ­ usat ­Hak ­Asasi ­Manusia ­Universitas ­Islam ­Indonesia, ­di ­kantor ­Pusham ­yang berada di ­Banguntapan, B ­ antul, DIY.

Apa latar belakang lahirnya Instruksi Kepala Daerah 1975?

­S etahu ­s aya ­i tu ­y ang ­m enjadi ­ er­timbang­an­nya ­adalah ­soal ­me­lin­dung­i p “­w arga ­p ribumi ­Y ogya ­a tas ­p otensi ­serbu­an ­modal, ­khususnya ­dari ­kalang­an ­Chinnese. ­Waktu ­itu ­keraton ­ber­pikir ­bagaimana ­me­lindung­i ­­tanah-­tanah, se­ tidak­nya ­dalam ­level ­ring ­satu ­seperti ­Malioboro ­dan ­sekitar­nya­, ­­agar ­tidak ­jatuh ­ke ­tangan ­asing ­termasuk ­untuk ­orang ­Tionghoa, ­karena ­pada ­waktu ­i tu ­e kspansi ­m odal ­o rang ­T ionghoa ­besar-­besar­an.

Masihkah relevan penyebutan pribumi dan nonpribumi?

­S aya ­r asa ­s ekarang ­s udah ­t idak ­r elevan ­b erbicara ­s oal ­p er­b eda­a n k ­ eduanya ­setelah ­Indonesia ­meratifikasi ­k onvensi ­a nti­d iskriminasi ­r asial. ­Kemudian ­di ­UU ­­No. ­62 ­Tahun ­1956 ­tentang ­Ke­warganegara­an ­juga ­sudah ­tidak ­ada ­lagi ­penyebutan ­itu. ­Sekarang ­orang ­untuk ­memperpanjang ­status ­kewarganegaraan ­juga ­lebih ­mudah. ­Jadi ­secara ­teoretis juga sudah tidak relevan.

Dalam konteks itu, masihkah relevan sikap Pemprov DIY?

Perdebatan soal k ­ etentuan itu d ­i ­Y ogya ­sudah ­sangat ­lama, ­d an ­j uga ­tidak ­gampang. ­Jadi ­kalau ­perspektifnya ­d alam ­s udut ­p andang ­d iskriminasi, ­­s ebagaimana ­s udah ­d iatur ­d alam ­undang-­undang ­di ­level ­nasional ­dan

i­ nternasional, ­pembatasan ­kepemilikan tanah di Y ­ ogya memang bermasalah ­dan kontroversial. Hal ini ­di­karenakan p erspektif HAM yang dipakai itu ­ ­universal. Seharusnya dalam satu n ­ egara itu berlaku satu sistem ­hukum. ­Sehingga kalau ada sistem ­h ukum lain yang dibuat khusus untuk etnis tertentu, dari ­perspektif HAM itu tentu ber­masalah. ­T etapi ­d i ­s isi ­l ain, ­­k ondisi ­d i ­Indonesia ­memang ­unik ­yang ­tidak bisa dilihat ­secara satu sudut pandang dalam ­kacamata hukum saja. Berbicara sistem hukum di Indonesia, dalam faktanya t­ idak bisa tunggal, apa yang terjadi di ­Yogya juga terjadi di tempat lain dalam b ­ idang dan wujud yang ­ber­m acam-­macam, karena di beberapa daerah ada sistem lokal yang masih dipegang. Agak sulit memang dalam menjelaskan konstruksi sistem hukum di Indonesia, termasuk soal tanah di Yogya.

Idealnya? Satu atau berapa?

Kalau saya ditanya idealnya, ­ya, satu. Kalau sistem hukumnya banyak kan susah mengaturnya. Tapi di ­Yogya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria itu memang tidak berlaku.

Kalau dikaitkan dengan Perda No. 3 DIY Tahun 1984, bahwa UUPA berlaku sepenuhnya di Yogya? Kecuali terhadap tanah-­ t anah ­keraton.

Mengapa Tionghoa yang jadi sasaran?

Sa­ya kira itu ­lebih ­e rat ­h u­b ung­a n­n ya d e­n g a n ­r a­n a h ­s e­j a­r a h . ­J i k a ­t erkait ­s entimen ­s aya ­r asa ­t idak, ­karena ­hubungan ­a ntar­k edua­n ya ­juga ­normal saja. Itu soal sejarah saja menurut

22 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

saya, karena sejak lama etnis Tionghoa memiliki kekuatan atau kemampuan eko­ nomi yang cukup maju d ­ i­banding­kan yang lain, sehingga ada ­ke­khawatir­an dari pihak ­keraton ­kalau ­di­biar­kan maka ­lahan-­lahan ­strategis akan ­dimiliki ­oleh ­kaum ­Tionghoa. M ­ enurut saya itu t­ idak ­sampai ­pada ­level ­rasialis ­tetapi ­lebih pada ­hitung-­hitung­an ­pragmatis saja.

Seluruh keturunan Tionghoa adalah kalangan ekonomi kuat?

Menurut saya tidak juga, ­kalau itu kita tinggal survei saja. ­Tapi ­bahwa ­dalam ­praktik­nya ­­orang ­Tionghoa ­yang ­ke­susah­an pun banyak. ­Mungkin ­pada saat ­keluar­nya aturan ­tersebut ­konteks­nya di Yogya sedang ­g encar-­gencar­n ya ­investasi dari kelompok itu.

Instruksi Kepala Daerah 1975 adalah sebuah affirmative action?

Affirmative action itu ­sebenarnya adalah diskriminasi positif. ­Namun, ­affirmative action itu harus dibuat dalam sistem hukum. Hal ini u ­ ntuk ­meng­hindari diskriminasi dan ­m e­n anggulangi ­kekuatan golongan yang kuat m ­ enguasai seluruh bagian yang ada.

Harus berjangka waktu?

Teorinya, a ­ ffirmative ­a ction akan d ­ ilakukan sampai ketika sudah ­­dicapai­nya ­kesetaraan yang ­diharapkan. Setelah s­ udah mencapai target k ­ esetaraan yang ­di­harap­kan ­barulah ­affirmative action ­tersebut ­dicabut. ­Kemudian silakan ­untuk b ­ ersaing secara ­sehat. Secara ­sosial, mungkin itu ­bisa disebut affirmative action. Tetapi secara umum ­mungkin agak sulit, karena hukum yang lebih rendah tidak ­b oleh ­b er­t entangan dengan h ­ ukum di a ­ tasnya, itu asas. Secara ­politik, ­a ffirma t iv e action ­m ungkin bisa, tetapi ­secara umum hal itu ti­ dak dapat dijelaskan.[] RIMBA | EKSP

RESI


DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA

AZIZ | EKSPRESI

Sejarah AntiTionghoa

Handoko memperlihatkan putusan PTUN Yogyakarta yang menolak gugatannya terkait pencabutan Instruksi 1975.

Menurut catatan sejarah, arus emigrasi terbesar dari Tiongkok ke Hindia Belanda terjadi pada sekitar abad ke-16 hingga abad ke-17. Oleh Triana Yuniasari

K

e­be­ra­da­an orang Tionghoa di Nusantara se­b e­n ar­ nya sudah cukup panjang. Me­re­ka meng­in­jak tanah Nusantara se­ca­ra ber­ang­sur-angsur sejak abad ke-6 oleh sebab yang be­ra­gam, se­ per­ti pe­pe­rang­an, ke­la­par­an, dan ben­ca­ na alam. Sama hal­nya dengan ma­sya­ra­kat Indonesia, para pe­lan­cong dari ne­ge­ri tirai bambu ini me­ru­pa­kan ma­sya­ra­kat yang sangat ma­je­muk. Me­re­ka ber­asal dari be­be­ra­pa suku dan ke­tu­run­an, sebut sa­ja Hokkian, Canton, Khek, dan se­ba­ gai­nya. Hokkian yang pada waktu itu men­ja­di suku do­mi­nan dalam emi­gra­si. Masing-masing suku me­mi­li­ki ciri khas yang sudah me­le­kat sejak me­re­ka masih tinggal di Tiongkok sampai ke­mu­di­an me­ne­tap di Nusantara. Sem­b a­r i mem­p er­l i­h at­k an peta Tiongkok, Yerry Wirawan, dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, me­ma­par­ kan ber­ba­gai macam suku di Tiongkok yang pada akhir­nya me­mu­tus­kan untuk bedol desa men­ca­ri tempat ber­mu­kim baru. “Kalau kita lihat peta Tiongkok, se­be­nar­nya suku yang paling banyak ber­ mi­gr­asi ke Nusantara adalah dari daerah Suchien, suku Hokkian na­ma­nya. Ada

pula Canton, Khek, dan Tiociu,” ujar­nya. Se­sam­pai­nya di Nusantara, me­re­ka tak me­le­pas­kan iden­ti­tas ke­su­ku­an yang telah me­le­kat. Hal itu meng­aki­bat­kan me­re­ka pada akhir­nya bisa di­iden­ti­fi­ ka­si dari jenis pe­ker­ja­an yang me­re­ka te­ku­ni. Orang Hokkian, me­nu­rut ke­te­ rang­an Yerry, ke­ba­nyak­an dari me­re­ka men­ja­di ne­la­yan atau pe­da­gang; orang Khek menjadi pe­ker­ja tambang; orang Tiociu ahli dalam bisnis ku­li­ner; sedang orang Canton biasa di­te­mui se­ba­gai pe­da­ gang emas dan fur­ni­tur. Maka tak heran jika pe­ker­ja­an-pe­ker­ja­an yang do­mi­nan di sektor per­eko­no­mi­an ini sering di­ jum­pai dengan orang Tionghoa se­ba­gai em­pu­nya. Emi­g ra­s i yang di­l a­k u­k an oleh orang Tiongkok me­mun­cul­kan se­but­ an baru bagi bangsa me­re­ka yang di­po­ pu­ler­kan oleh me­re­ka sen­di­ri: Hoakiau dan Singkek. “Hoakiau adalah orang Tiongkok yang lahir di pe­ran­tau­an,” terang Yerry. Se­men­ta­ra Singkek adalah orang Tiongkok yang baru saja datang di Nusantara, me­re­ka lahir di tanah Tiongkok. Waktu ke­da­tang­an me­re­ka yang tidak ber­sa­ma­an pun turut mem­ be­da­kan Singkek zaman da­hu­lu dengan

Singkek masa kini. “Kalau ada yang baru saja datang ke sini pasti sudah beda dengan orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di sini wa­lau­pun samasama Singkek, konflik yang ter­ja­di pun ber­be­da,” tutur Yerry. Ken­da­ti de­mi­ki­an, ada satu konflik yang ter­j a­d i sejak awal ke­d a­t ang­a n orang Tionghoa di Nusantara hingga kini, yakni dis­kri­mi­na­si ra­si­al. Ma­sya­ ra­kat Tionghoa men­da­pat­kan per­la­ku­an yang ber­be­da dengan ma­sya­ra­kat nonTionghoa, khu­sus­nya ma­sya­ra­kat pri­ bu­mi. Pem­be­da­an per­la­ku­an ter­se­but ber­ang­kat dari per­ma­in­an po­li­tik yang di­la­ku­kan oleh Belanda. “Pe­me­rin­tah Belanda memang me­mi­sah­kan ma­sya­ ra­kat, Tionghoa di­ang­gap Timur Asing ke­mu­di­an orang yang di­ang­gap pri­bu­mi adalah orang Jawa, Sunda, dan se­ba­gai­ nya,” jelas Yerry. Pem­be­da­an ini meng­akar di ma­sya­ ra­kat bahkan sampai se­te­lah ke­mer­de­ ka­an Indonesia. Tionghoa di­ang­gap asing se­men­ta­ra orang Jawa di­ang­gap asli. “Pa­da­hal dalam se­ja­rah kita tidak me­nge­nal yang betul-betul asli, kita semua pen­da­tang, hanya mana yang lebih dulu dan mana yang be­la­kang­an,”

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 23


ANALISIS UTAMA

tegas Yerry. Bahkan dalam buku Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia karya Ong Hok Ham di­se­but­kan bahwa di Kalimantan Barat yang boleh di­ka­ta­kan pri­bu­mi adalah orang-orang Tionghoa. Me­re­ka­lah yang men­ja­di lawan Belanda dalam perang pe­re­but­an wi­la­yah ko­lo­ni, bukan sultan-sultan ataupun suku-suku se­tem­pat. Hal itu di­ka­re­na­kan orang Tionghoa yang ter­ba­gi men­ja­di be­be­ra­pa kongsi tambang ingin mem­per­ta­han­kan dan mem­per­lu­as wi­la­yah tam­bang­nya masing-masing. Se­dang­kan salah satu kongsi telah ber­se­ku­tu dengan Belanda. Tu­ju­an di­la­ku­kan­nya pe­mi­sah­an ter­ se­but, me­nu­rut Yerry, ada­lah untuk me­ mu­dah­kan kontrol yang di­la­ku­kan oleh Belanda agar ma­sya­ra­kat tidak ter­cam­ pur. “Kalau saja Tionghoa kawin dengan orang Jawa, itu akan sangat ber­ba­ha­ya ka­re­na mem­bu­at ke­lom­pok yang di­ja­jah itu men­ja­di ber­sa­tu,” ujarnya. Pe­ngo­takngo­tak­an ter­se­but ter­ja­di pada akhir abad ke-18, orang Tionghoa tak lagi me­nga­ wini orang Jawa. Pa­da­hal se­be­lum­nya, imigran asal Tiongkok yang paling awal harus me­nga­wini pe­rem­pu­an Jawa. Hal itu di­ka­re­na­kan waktu itu tak banyak imi­g ran pe­r em­p u­a n asal Tiongkok. Ko­lo­ni­al­is­me Belanda yang me­nyu­da­hi proses asi­mi­la­si Tionghoa-Jawa me­la­lui sistem per­ka­win­an hingga ke­mu­di­an me­ nye­bab­kan mun­cul­nya mi­no­ri­tas Tionghoa yang di­ang­gap asing.

AHMAD | EKSPRESI

Se­be­nar­nya, baik Tionghoa mau­ pun Belanda pada mu­la­nya me­mi­li­ki tu­ju­an yang sama me­ma­suki wi­la­yah Nusantara, yakni ber­da­gang. Pada masa VOC, orang Tionghoa me­ru­pa­kan mitra dagang bagi Belanda. Peran itu ber­ta­han hingga masa ko­lo­ni­al Belanda. Me­re­ka tidak pernah ke­hi­lang­an po­si­si­nya se­ ba­gai per­an­ta­ra bagi Belanda. Ken­da­ti de­mi­ki­an, hu­bung­an di an­ta­ra ke­dua­nya

bukan ber­ar­ti tanpa ge­sek­an. Ter­buk­ti dengan ter­ja­di­nya pem­bu­nuh­an besarbe­sar­an orang Tionghoa pada 1740 di Batavia yang di­la­ku­kan oleh Belanda. Pe­ris­ti­wa itu ke­mu­di­an lebih dikenal dengan se­but­an Geger Pecinan. Ke­b e­r a­d a­a n orang Tionghoa di Jawa Tengah, Solo, dan Yogyakarta pun di­pe­nga­ruhi oleh pe­ris­ti­wa Geger Pecinan. Orang Tionghoa yang mem­be­ ron­tak di Batavia ke­mu­di­an di­sing­kir­kan dan akhir­nya me­re­ka ter­de­sak ke Jawa Tengah. “Di Jawa, me­re­ka ber­ga­bung dengan be­b e­r a­p a bang­s a­w an untuk me­la­wan,” ungkap Yerry. Sa­yang­nya di sini, me­nu­rut Yerry, muncul konflik yang mem­bu­at orang Tionghoa men­ja­lani ke­hi­dup­an yang cukup kompleks. Pa­da­ hal jika di­ru­nut dari se­ja­rah­nya, me­re­ka memang se­nga­ja di­un­dang oleh Belanda ke Batavia untuk me­no­pang per­eko­no­ mi­an ibu kota VOC ter­se­but se­be­lum akhir­nya di­sing­kir­kan.

Tionghoa Kaya

Orang Tionghoa memang ter­ke­nal dengan stigma se­ba­gai orang kaya. Pe­ nan­da yang paling ter­li­hat ada­lah per­ kem­bang­an toko-toko yang di­mi­li­ki oleh pe­da­gang Tionghoa. Po­si­si me­re­ka yang se­la­lu men­do­mi­na­si di bidang per­eko­no­ mi­an, me­nu­rut Yerry, di­ka­re­na­kan hanya ber­da­gang­lah yang paling me­mung­kin­ kan untuk me­re­ka ker­ja­kan dalam rangka me­me­nuhi ke­bu­tuh­an. Lagi pula pada ke­nya­ta­an­nya, ma­sya­ ra­kat Tionghoa adalah ma­sya­ra­kat yang sama he­te­ro­gen­nya dengan ma­ sya­ra­kat Jawa, ada yang kaya, ada pula yang miskin. Hal itu pun dia­ kui oleh se­ orang Jawa yang tinggal di daerah Pajeksan, Yogyakarta, ber­na­ma Sri Mulatsih. Ia me­li­hat re­ali­tas di se­ki­tar­ nya, me­ngi­ngat Pajeksan adalah daerah yang juga di­hu­ni oleh orang Tionghoa dan ter­le­tak di pusat per­eko­no­mi­an Yogyakarta. Me­nu­rut Sri, tidak se­mua orang Tionghoa adalah orang kaya. “Orang Tionghoa kaya ke­ba­nyak­an hanya yang tinggal di pinggir jalan Malioboro se­dang­kan yang tinggal di ‘dalam’ ya banyak yang tidak punya apa-apa,” ujar Sri. Stigma kaya ter­se­but ter­ben­tuk juga

24 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

tak lepas dari campur tangan Belanda pada zaman da­hu­lu. Me­nu­rut ke­te­rang­ an Yerry, orang Tionghoa di­ang­gap kaya ka­re­na kons­truk­si so­si­al yang tumbuh di ma­sya­ra­kat pribumi sendiri. Namun, pada da­sar­nya stigma-stigma ter­se­but muncul ka­re­na ada­nya ke­cem­bu­ru­an sosial. Dalam per­so­al­an dagang, orang Tionghoa yang banyak me­ra­ih sukses pun pada akhir­nya men­da­pat cap curang dan licik. “Orang Tionghoa ter­li­hat lamalama jadi kaya se­men­ta­ra ma­sya­ra­kat Jawa di se­ki­tar­nya tetap miskin se­hing­ga ma­sya­ra­kat Jawa meng­ang­gap bahwa orang Tionghoa itu curang dan licik,” terang Yerry. Di­t am­b ah pula dengan ada­n ya peng­alam­an ma­sya­ra­kat pri­bu­mi yang ber­sing­gung­an se­ca­ra langsung dengan orang Tionghoa ter­ka­it ma­sa­lah pajak. “Orang Tionghoa pernah cukup lama ber­tu­gas se­ba­gai pe­mu­ngut pajak bagi pe­me­rin­tah Belanda,” tutur Yerry. Orang kulit putih, men­urut ke­te­rang­an Yerry, tidak bisa me­na­gih pajak di kampungkampung. Oleh sebab itu di­bu­tuh­kan pihak ketiga yang bisa me­la­ku­kan­nya, lalu orang Tionghoa yang men­ja­di pe­ mu­ngut pajak. Ru­pa­nya, stigma orang Tionghoa kaya turut me­la­tar­be­la­kangi ter­bit­nya Instruksi Kepala Daerah tahun 1975 di Yogyakarta. Ins­truk­si ini berisi pe­la­rang­ an orang yang di­ang­gap non­pri­bu­mi untuk me­mi­li­ki tanah di Yogyakarta. Tu­ju­an­nya untuk me­lin­dungi pri­bu­mi ter­ka­it ke­pe­mi­lik­an tanah. “Pe­me­rin­ tah daerah me­nga­ta­kan bahwa ins­truk­ si ter­se­but ber­tu­ju­an untuk me­lin­dungi go­long­an yang lemah,” ujar Handoko, orang ke­tu­run­an Tionghoa yang saat ini tengah mem­per­ju­ang­kan hak et­nis­nya atas ke­pe­mi­lik­an tanah di Yogyakarta. “Me­mang­nya orang mata sipit (Tionghoa, Red.) sudah pasti kaya? Tidak,” tegas Handoko. Men­urut Handoko, orang men­ja­di kaya mau­pun miskin bu­kan­ lah di­ten­tu­kan oleh rasnya, me­la­in­kan usa­ha­nya. Handoko se­be­nar­nya tidak me­mi­liki tanah di Yogyakarta, te­ta­pi ia meng­aku akan terus mem­per­ju­ang­kan hak-hak warga ne­ga­ra Indonesia etnis Tionghoa untuk bisa men­da­pat­kan ser­ti­fik ­ at hak milik tanah di Yogyakarta. “Ba­gai­ma­ na­pun, dis­kri­mi­na­si ra­si­al tidak bisa di­ be­nar­kan, apa­la­gi jika pe­me­rin­tah ikut me­lang­geng­kan­nya,” tutur Handoko.[] Laporan oleh Arfrian, Aziz, Rimbawana


DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA

Tionghoa Miskin Kota Stereotip berlimpah harta senantiasa menempel pada orang Tionghoa. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang hidup jauh dari kecukupan di pinggiran kota. Oleh Arfrian Rahmanta

R

IMAM | EKSPRESI

umah se­der­ha­na bercat hijau dengan lantai tanah ber­ukur­ an 6x3 meter per­se­gi itu penuh sesak di­hu­ni oleh ke­lu­ar­ga Heng Ki (84 tahun), orang ke­tu­run­an Tionghoa yang ber­mu­kim di kampung Pajeksan RT 40 RW 11, Sosromenduran, Yogyakarta. Ia tinggal ber­sa­ma anak ke­ dua­nya dan juga cu­cu­nya. Di dalam rumah se­der­ha­na itu tak ada pem­ba­tas ru­ang­an, se­la­in se­he­lai kain tipis. Ada dapur dan kamar mandi di be­la­kang. Ter­da­pat dua kasur tipis tempat me­re­ka tidur. Satu di depan te­le­ vi­si dan yang sa­tu­nya lagi di ruang tamu. Itu­lah pe­ra­bot milik Heng Ki dan anak­ nya, Septi Andajani (43 tahun). Pria yang lahir di Yogyakarta, 31 Desember 1932 itu mem­pu­nyai marga Tan. Nama leng­kap­nya Tan Heng Ki dan kerap disapa Bah Heng Ki. Se­dang­kan nama Indonesianya ialah Suhartono. Septi sen­di­ri me­mi­liki nama Tionghoa, Tan Me Wa. Bah Heng Ki mem­pu­nyai tiga anak hasil dari per­ka­win­an­nya dengan se­orang wanita asal Sleman. Septi, ada­lah anak kedua dari tiga anak pe­rem­pu­an­nya. Bah Heng Ki sen­di­ri lupa pe­ri­hal jumlah cucu yang telah di­mi­liki­nya. “Banyak, lupa saya,” ka­ta­nya ter­ba­ta-bata. Pada ta­hun 2004, istrinya ber­pu­lang ke ha­dap­ an Tuhan. Ke­ti­ka itu Septi me­ngan­dung anak ke­ti­ga­. Bah Heng Ki me­ru­pa­kan salah satu potret dari ra­tus­an warga Tionghoa miskin di ka­was­an per­kam­pung­an padat

Senin (7/11), Bah Heng Ki tengah menunggu kain dagangannya di emperan pasar Beringharjo.

di balik ge­mer­lap­nya Malioboro. Ke­mis­ kin­an, de­ri­ta, dan ke­pa­pa­an ter­gam­bar di daerah se­ki­tar Pajeksan, Ketandan, dan Dagen. Be­ker­ja se­ra­but­an, mulai dari me­ la­ku­kan pe­ker­ja­an kasar hingga men­ja­di pen­ju­al kopi ke­li­ling adalah usaha yang harus me­re­ka ja­lani. Se­gen­dang se­pe­na­ri­an, Joko Lelono (56 tahun), Ketua RW 4 Ketandan juga men­ce­ri­ta­kan ba­gai­ma­na banyak warga ke­tu­run­an Tionghoa di wi­la­yah Ketandan yang ber­ju­al­an intip (kerak nasi) atau­pun bakwan di pinggir jalan. Karena tidak me­mi­li­ki dapur, me­re­ka meng­go­reng intip dan bakwan di ping­gir jalan yang juga men­ja­di tempat ber­ju­al­an.

Pantang Menyerah

Meski didera ke­mis­kin­an, Bah Heng Ki pantang me­nye­rah pada ke­ras­nya ke­

hi­dup­an. Se­ti­ap ha­ri­nya, Bah Heng Ki ber­ang­kat ber­da­gang sejak pukul 7.30 pagi dan pulang pukul 5 sore. Bah Heng Ki sen­di­ri mudah di­te­mu­kan di pintu se­la­tan pasar Beringharjo. “Al­ham­du­ lil­lah, ada yang mau kasih tempat di sini, wa­lau­pun cuma ngemper (teras),” ung­kap­nya. Ada dua macam barang yang Bah Heng Ki per­ju­al­be­li­kan, yakni sarung bantal yang ber­ba­han kain dan tas ber­ba­ han plastik. Sarung bantal ia jual dengan harga Rp20 ribu per sa­tu­an­nya, se­dang­ kan tas plastik di­ju­al dengan harga Rp5 ribu. “Ter­ka­dang, ada yang me­na­war hingga se­te­ngah harga, ya saya lepas, ter­pen­ting bisa makan untuk hari ini,” ka­ta­nya dengan su­ara parau. Barang-barang yang di­ju­al Bah Heng Ki pada awal­nya me­ru­pa­kan ti­tip­an orang

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 25


ANALISIS UTAMA

ADE | EKSPRESI

Potret salah satu gang di Kentandan yang dihuni mayoritas keturunan Tionghoa miskin.

yang ber­ang­sur di­bo­rong oleh Bah Heng Ki dengan sistem men­ci­cil. “Barang da­ gang­an ini ti­tip­an orang, saya enggak me­nger­ti asalnya dari mana,” ujar Bah Heng Ki yang me­nga­ta­kan sudah sejak 1970-an ber­ju­al­an tas karung goni di Pasar Beringharjo. Senin siang (17/10), ter­li­hat da­gang­ an­nya masih sepi pem­be­li. Bah Heng Ki ber­ujar bahwa sudah sejak pagi belum ada satu orang pun yang mampir ke la­ pak­nya. Pe­ri­hal pen­da­pat­an, Bah Heng Ki ter­ka­dang hanya men­da­pat Rp20 ribu sampai Rp50 ribu per ming­gu­nya. Suatu kali, pernah ada yang mem­be­li hingga 100 buah. Banyak pe­ngun­jung Beringharjo yang mem­be­li barang da­ gang­an­nya, maupun se­ka­dar mem­be­ri ban­tu­an be­ru­pa bing­kis­an. “Kalau lagi ra­mai-ra­mai­nya bisa sampai Rp150 ribu per ming­gu­nya,” jelas Bah Heng Ki. Hi­dup­nya pun harus sangat ber­he­ mat. Bah Heng Ki hanya ber­be­kal se­ bung­kus nasi putih dan se­bo­tol air mi­ ne­ral, cukup dua kali makan se­ti­ap hari. Dulu, se­be­lum men­de­ri­ta kanker prostat,

se­ti­ap ha­ri­nya Bah Heng Ki mem­ba­wa 250 buah tas mau­pun sarung bantal. Barang itu di­ba­wa­nya meng­gu­na­kan troli kecil yang di­ta­rik dari ru­mah­nya. Tiap pagi dan sore, suara roda troli kecil se­la­lu ter­de­ngar oleh warga kampung Pajeksan. Salah sa­tu­nya Sri Mulatsih (68 tahun), warga asli Pajeksan. “Dulu itu, kalau ada suara ngrek ngrek me­le­wati rumah saya, pasti itu su­ara tro­li­nya Bah Heng Ki,” katanya ter­ke­keh. Me­nge­nai Bah Heng Ki, Septi ber­ujar bahwa ba­ba­nya memang se­orang sosok pe­ker­ja keras yang rajin, teliti, dan tak bisa ber­di­am diri di rumah. Ke­ti­ka di rumah, ke­si­buk­an Bah Heng Ki ialah ber­ ta­nam di ha­lam­an depan rumah hingga me­nya­pu jalan kampung dari ujung utara hingga ujung se­la­tan yang ber­ja­rak 4 meter. “Bah Hengki itu sregep,” kata Septi tegas. Pas­ca­ope­ra­si kanker prostat, banyak orang yang me­nya­ran­kan­nya ber­hen­ti bekerja. Namun, Bah Heng Ki me­no­lak­ nya dengan keras. “Kalau enggak kerja, bisa sakit dan pi­kir­an malah stres. Ya mau tidak mau harus terus be­ker­ja biar enggak pusing,” kata Bah Heng Ki sambil ter­ke­keh dengan be­be­ra­pa gi­gi­nya yang masih ter­si­sa. Kini tiap hari ia di­an­tar dan di­jem­put oleh Septi. Septi pun tiap hari be­ker­ja keras mem­bi­ayai ke­ti­ga anaknya. Anak­nya pa­ ling tua ber­umur 21 tahun, yang kedua masih SMA ber­usia 16 tahun, dan paling muda 13 tahun. Septi sen­di­ri sudah men­ ja­di tulang punggung ke­lu­ar­ga sejak su­ami­nya me­ning­gal. Men­ja­di tukang masak dan ka­te­ring ma­kan­an adalah pi­lih­an Septi. Di balik ke­mis­kin­an dan ke­pa­pa­an orang Tionghoa, Sri Mulatsih ber­ujar, bahwa etos kerja orang Tionghoa yang perlu di­apre­si­asi dan di­ti­ru. Be­ker­ja keras dan ber­he­mat adalah kunci ke­suk­ses­ an orang Tionghoa ber­da­gang. “Dulu, pernah saya kenal orang Tionghoa yang sangat ber­he­mat dan hidup se­der­ha­na. Se­ha­ri ia makan hanya se­ka­li,” ucapnya.

Imlek dan Diskriminasi Terstruktur

Bah Heng Ki tak pernah meng­ada­kan pe­ra­ya­an Imlek di ru­mah­nya. Sering kali, ia me­nik­ma­ti Imlek dengan ber­kum­pul ke salah satu rumah anak atau ke­lu­ar­ga besar anak ipar­nya. Ja­ngan­kan bi­ca­ra soal pe­ra­ya­an Imlek, dapat me­nyam­bung hidup saja me­ru­pa­kan hal yang me­re­ka syu­kuri.

26 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

Septi meng­ung­kap­kan, su­dah enam tahun ini tak me­ra­ya­kan Imlek. Ter­akhir kali ia me­ra­ya­kan­nya dengan ber­kum­ pul ber­sa­ma ke­lu­ar­ga besar sua­mi­nya. “Sudah lama, ya kumpul-kumpul gitu sama ke­lu­ar­ga besar, bagi-bagi angpau,” je­las­nya ke­ti­ka di­te­mui di ru­mah­nya pada Selasa (18/10). Makna tahun baru se­ja­ti, kata Septi, yakni ri­tu­al dan reu­ni ke­lu­ar­ga. Si­la­tu­ rah­mi, me­ngu­cap se­la­mat tahun baru ke­pa­da orang tua, le­lu­hur, dan sanak ke­ lu­ar­ga yang lebih tua kini hanya tinggal ke­nang­an. Ke­mis­kin­an mem­bu­at Septi tak bisa me­nik­ma­ti tra­di­si le­lu­hur­nya ter­se­but. Me­nu­rut Sri Mulatsih, jika ingin pe­ra­ya­an Imlek yang se­ja­ti, da­tang­lah ke per­mu­kim­an ma­sya­ra­kat Tionghoa miskin. Di sana pe­ra­ya­an Imlek sangat ori­s i­n al serta me­n yen­t uh pe­r a­s a­a n. Dalam ke­se­der­ha­na­an dan ke­mis­kin­an itulah me­re­ka akan “me­nik­ma­ti” malam per­gan­ti­an tahun dalam sistem pe­nang­ gal­an Tionghoa. Abdurrahman Wahid, pre­si­den ke­ em­pat Indonesia, pernah ber­ka­ta bahwa esensi Imlek adalah ke­ber­sa­ma­an se­ba­gai anak bangsa dan pe­me­ra­ta­an dalam ke­se­ jah­te­ra­an. Me­nu­rut Septi, di Yogyakarta belum ada ke­ber­sa­ma­an pe­nga­ku­an se­ ba­gai anak bangsa. Ia ber­alas­an, masih ada dis­kri­mi­na­si yang di­la­ku­kan se­ca­ ra ter­struk­tur dan tersistem bagi orang Tionghoa di Yogyakarta. “Wa­lau­pun di kampung saya ini baik-baik saja, saya men­d e­n gar banyak cerita bahwa di Yogyakarta ini orang Tionghoa tidak bisa beli tanah. Ja­di­nya, me­re­ka pun harus pinjam nama sau­da­ra­nya yang pri­bu­ mi (Jawa, Red.),” jelasnya. Ini lan­tar­an Yogyakarta me­ne­rap­kan pem­ba­tas­an pemilikan tanah bagi warga yang di­ ang­gap non­pri­bu­mi me­la­lui Instruksi Kepala Daerah tahun 1975. Se­b a­g ai ma­s ya­r a­k at biasa, Sri Mulatsih se­be­nar­nya me­ra­sa bahwa ins­truk­s i ter­s e­but awalnya memang ber­tu­ju­an baik, untuk me­nye­la­mat­kan per­eko­no­mi­an warga asli Yogyakarta. “Dulu itu mak­sud­nya baik, tapi se­iring waktu ya sudah ambyar. Tak me­man­ dang ras, hari ini siapa yang per­eko­no­ mi­an­nya kuat malah se­ma­kin kuat, yang per­eko­no­mi­an­nya lemah se­ma­kin lemah. Ke­se­jah­te­ra­an yang me­ra­ta yang harus di­ga­lak­kan oleh pe­me­rin­tah Yogyakarta,” ucap Sri Mulatsih.[] Laporan oleh Ana dan Rimba


DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA

Bias Kelas Aturan Tanah Diskriminasi rasial diminta diganti dengan pembatasan berdasarkan kelas sosial. Namun, siapa sangka, kelas bawah sekalipun terancam pemilikannya. Oleh Putra Ramadan

P

ada 25 April 2015, Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) me­ngi­rim­kan Usulan Masyarakat untuk Perda Istimewa Bidang Pertanahan pada DPRD DIY. Salah satu usul­an ter­se­but me­nya­ta­ kan dis­kri­mi­na­si po­si­tif atau is­ti­lah yang se­mak­na de­ngan­nya agar di­ha­pus­kan dari bunyi pasal Perdais Pertanahan. Dis­kri­mi­na­si po­si­tif ialah is­ti­lah yang me­ru­juk pada Affirmative Policy dalam Instruksi Kepala Daerah 1975. Dis­kri­mi­ na­si po­si­tif di­usul­kan agar di­gan­ti oleh pem­ba­tas­an pe­ngu­asa­an atau pe­mi­lik­an tanah ber­da­sar­kan ke­mam­pu­ an pe­ngu­asa­an tanah. Pada pe­lak­sa­na­an­ nya, kelas so­s i­a l yang kuat se­ca­ra eko­no­mi di­ba­tasi dalam hal pe­mi­lik­ an tanah. Pem­b a­t as­

HI VAT R|E KSP RES I

Arif Noor Hartanto, Wakil Ketua DPRD DIY, me­nga­ta­kan, dalam draf Raperdais Pertahanan yang tengah di­ba­has, per­ma­sa­lah­an dis­kri­mi­na­si tidak ter­ma­suk di da­lam­nya.

an pe­mi­lik­an tanah ber­da­sar­kan kelas me­ru­pa­kan pe­nye­leng­ga­ra­an Pasal 7 dan 17 Undang-Undang No. 5 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Tahun 1960. Pasal ini ber­isi la­rang­an pe­mi­lik­an dan pe­ngu­asa­an tanah yang me­lam­pa­ui batas. Tu­ju­an­nya ialah men­ ce­gah pe­num­puk­an tanah pada go­long­an dan orang ter­ten­tu saja. Kus Sri Antoro, Sekretaris Granad, me­n i­lai, pem­ba­tas­an mo­no­po­li atas sumber daya agra­ria ber­da­sar­kan kelas so­si­al me­ru­pa­kan so­lu­si ter­ba­ik. “Ar­ti­ nya, mi­sal­nya Pak Siput itu Tionghoa, dia tidak boleh di­dis­kri­mi­na­si, tapi se­ ba­gai orang yang sudah ter­la­lu kaya, (pemilikan tanahnya, Red.) di­ba­tasi.” Hal senada di­uta­ra­kan olah Ahmad Nashih Luthfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Me­nu­rut­nya, pem­ba­tas­an ber­ da­sar­kan kelas se­na­pas dengan UUPA 1960. Se­mes­ti­nya, lanjut Luthfi, ke­ bi­jak­an ini di­te­rap­kan untuk konteks Yogyakarta se­ka­rang. “Jangan malah ra­si­alis se­per­ti itu,” te­gas­nya. Se­men­ta­ra itu, Arif Noor Hartanto, Wakil Ketua DPRD DIY, me­nga­ta­kan, dalam draf Raperdais Pertahanan yang tengah di­ba­has, per­ma­sa­lah­an dis­kri­ mi­na­si tidak ter­ma­suk di da­lam­nya. “Kami hanya meng­atur pe­nge­lo­la­an tanah Kasultanan dan Pakualaman, itu saja,” ka­ta­nya. Perdais Pertanahan, tambah Arif, mutlak hanya pada wi­ la­y ah untuk tanah Kasultanan dan Kadipaten. Se­ba­gai­ma­na amanat dari Undang-Undang Keistimewaan, Perdais Pertanahan ber­ada di ranah pe­man­fa­at­ an tanah Kasultanan dan Pakualaman. Namun, me­nu­rut Kus, atur­an per­ta­nah­an Yogyakarta se­ha­rus­nya me­na­ati UUPA 1960. Apa­la­gi, lanjut Kus, hal ini sudah di­te­gas­kan me­la­lui Perda No.3/ 1984,

Kemendagri No.66/1984, dan Keppres No.33/1984 yang meng­ama­nat­kan pem­ ber­la­ku­an se­pe­nuh­nya UUPA 1960 di Yogyakarta. Akan te­ta­pi, kritik juga datang dari dalam tubuh DPRD sen­di­ri. Suharwanto, anggota komisi C, me­ni­lai, Raperdais Pertanahan ingin me­ngem­ba­li­kan pada era Kasultanan dan Pakualaman se­ba­gai daerah swa­pra­ja. Atur­an ter­se­but me­ru­ pa­kan produk hukum se­be­lum Indonesia mer­de­ka. Dasar hukum draf Raperdais me­nu­rut Suharwanto tak men­can­tum­kan ke­ti­ga atur­an yang me­ne­gas­kan ber­la­ ku­nya UUPA di Yogyakarta. “Ke­ti­ga­nya adalah per­atur­an per­un­dang-un­dang­an yang me­mi­liki ke­ter­ka­it­an sangat erat dengan Raperdais yakni meng­atur per­ ta­nah­an di DIY. Kalau ingin mem­ba­has per­ta­nah­an di DIY, tidak mungkin me­ ning­gal­kan atur­an itu,” ujarnya, se­per­ ti di­be­ri­ta­kan oleh Tribun Jogja, Rabu (16/11).

Mengklaim Hak Desa

Tak hanya mem­ba­tasi pe­mi­lik­an tanah ber­da­sar­kan ras, Kus me­nga­ta­ kan, atur­an tanah di DIY juga bias kelas. Sebab, hanya ka­lang­an ningrat yang ke­ mu­di­an bisa me­mi­liki tanah se­lu­as-lu­ as­nya dengan dalih ke­is­ti­me­wa­an. Kus men­je­las­kan, hal ter­s­e­but dapat di­li­hat pada Peraturan Gubernur No.112/2014. Pergub ter­se­but meng­atur tentang in­ven­ ta­ri­sa­si tanah Kasultanan dan Kadipaten. Ter­ma­suk di da­lam­nya adalah in­ven­ta­ ri­sa­si tanah kas desa. Pergub ter­s e­b ut meng­g u­g ur­k an Pergub No.65/2013 yang bu­n yi­n ya sama se­ka­li ber­be­da. Di mana tanah kas desa di­ser­ti­fi­ka­si atas nama Pemerintah Desa. “Pergub No.65/2014 meng­akui­si­ si kem­ba­li, meng­klaim kem­ba­li se­lu­ruh tanah desa di wi­la­yah DIY men­ja­di tanah Kasultanan atau tanah Pakualaman,” terang Kus, yang juga ak­ti­v is Jogja Darurat Agraria. Lebih lanjut, ia juga me­ni­lai ada ke­sa­lah­an fatal dalam Pergub No.112/2012. Pergub ini ber­to­lak be­la­ kang dengan UU RI No.6/2014 tentang Desa. Ber­da­sar­kan per­ja­lan­an se­ja­rah­nya, status tanah kas desa tak bisa lepas dari atur­an per­ta­nah­an Yogyakarta se­be­lum Indonesia mer­de­ka. Pada 1755, ter­ja­ di per­jan­ji­an Giyanti yang mem­be­lah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta. Me­le­wati per­jan­ji­an itu, pada 1918 di­ ter­bit­kan Rijksblad No.16/1918. Hukum

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 27


ANALISIS UTAMA RIMBAWANA | EKSPRESI

wa­ris­an ko­lo­ni­al Hindia Belanda ini meng­atur hak atas tanah di Yogyakarta. Dalam Rijksblad ter­tu­lis, “Semua tanah yang tidak ada tanda bukti ke­pe­mi­lik­an oleh orang lain me­nu­rut hak eigendom (hak milik) men­ja­di milik ke­ra­ja­an­ku, yaitu Kasultanan Yogyakarta.” Tanah itu di­se­but se­ba­gai Sultanaat Gronden (SG) dan Pakualamanaat Gronden (PAG) dan se­ka­rang men­ja­di dasar hukum in­ven­ ta­ri­sa­si. Pada pasal be­ri­kut­nya, di­je­las­kan me­n ge­n ai Tanah Desa. Anggadhuh kini di­ter­je­mah­kan dalam per­ta­nah­an se­ba­gai hak pinjam pakai dan anganggo men­ja­di hak memakai. “Rijksblad ini­ lah yang di­ja­di­kan dasar hukum Pergub No.112/2012,” kata Kus. Di­se­but­kan dalam Pergub itu bahwa Tanah Desa ada­lah tanah yang asal-usulnya dari Kasultanan dan/atau Kadipaten dengan hak anggaduh, yang pe­man­fa­at­an­nya untuk kas desa, bengkok/lungguh, dan pengarem-arem. Ke­mu­di­an, Tanah Kas Desa adalah ba­gi­an dari Tanah Desa yang di­per­gu­na­kan untuk me­nun­jang pe­nye­ leng­ga­ra­an Pemerintahan Desa. Pada 1950, terbit UU No.3/1950 tentang Pembentukan DIY, di da­lam­nya meng­atur pula per­ta­nah­an. Di­se­but­kan bahwa pe­me­rin­tah DIY punya we­we­ nang untuk me­la­ku­kan kon­ver­si tanah. Eigendom men­ja­di hak milik, erfpacht men­ja­di hak guna usaha dan opstal men­ ja­di hak guna ba­ngu­nan. “Me­re­ka punya we­we­nang itu. Ter­ma­suk pe­nge­lo­la­an desa,” ujar Kus. Ke­ti­ka itu, DIY belum punya per­atur­an khusus yang meng­atur per­ta­nah­an se­ca­ra umum. Ba­ru­lah pada 1954 terbit Perda DIY No.5/1954. Hak atas tanah di DIY di­ atur dalam Perda ini. “Itu satu-satunya perundang-undangan sebelum UUPA yang ber­la­ku di DIY,” kata Kus. Dalam Pasal 6 di­se­but­kan bahwa pe­me­rin­tah DIY mem­be­ri­kan hak milik atas tanah pada warga dan desa. Hal ini men­ja­di­ kan tanah desa adalah milik desa se­ba­gai badan hukum. “Ke­pe­mi­lik­an ini tidak ke­mu­di­an men­ja­di hak milik ke­pa­la desa tapi desa se­ba­gai badan hukum itu bisa punya tanah,” ujarnya. Perda No.5/1954 me­n ye­b ut­k an, pe­ngu­asa­an tanah desa me­la­lui ke­pa­ la desa. Desa sebagai badan hukum, diberi hak milik atas tanah pelungguh dan pengarem-pengarem. Apa­bi­la kas desa di­man­fa­at­kan oleh ke­pa­la desa, lanjut Kus, sta­tus­nya men­ja­di hak pakai

Kus Sri Antoro, Sekretaris Granad, me­ni­lai, pem­ba­tas­an mo­no­po­li atas sumber daya agra­ria ber­da­sar­kan kelas so­si­al me­ru­pa­kan so­lu­si ter­ba­ik (15/11).

atau hak guna, sedang ke­pe­mi­lik­an­nya tetap men­ja­di hak milik desa. “Kalau kita lihat UU Desa hari ini, itu sama halnya dengan Perda No.5/1954.” Baru pada 1960 UUPA lahir dan meng­atur lebih rinci lagi tentang hi­lang­nya hak dan we­ we­nang swa­pra­ja atas tanah. Se­men­ta­ra itu, Dyah Ayu Widowati, dosen Fakultas Hukum UGM, me­nga­ta­ kan, dasar pe­ne­rap­an Pergub No.112/214 adalah Undang-Undang Keistimewaan DIY me­nge­nai ada­nya asas peng­aku­an hak asal usul. “Tanah kas desa ber­asal dari tanah hak anggaduh, yaitu hak untuk meng­ga­rap tanah ke­ra­ton, dan itu me­ru­pa­kan tanah Keraton yang di­be­ ri­kan pada desa,” terang Dyah. Se­dang­ kan untuk pe­rang­kat desa, lanjut Dyah, dapat me­min­ta ke­kan­cing­an dari Keraton untuk tetap me­man­fa­atkan tanah kas desa. Per­ma­sa­lah­an­nya, mes­ki­pun tidak me­nying­gung tentang Rijksblad, Pergub No.112/014 me­nye­but­kan, status tanah desa adalah tanah Kasultanan dan Kadipaten. Ar­ti­nya, kata Kus, tanah desa yang me­nu­rut UU Desa men­ja­ di aset desa milik desa, oleh Pergub No.112/2014 dianulir. “Pergub bisa me­ nen­tang undang-undang dan di­bi­ar­kan itu hanya ter­ja­di di DIY,” te­gas­nya. Se­car­a pro­se­dur, ser­ti­fi­ka­si tanah desa di­la­ku­kan oleh ke­pa­la desa dengan meng­aju­kan balik nama men­ja­di atas nama Sultan. Hal ini me­nu­rut Kus me­

28 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

ru­pa­kan cara Sultan agar tak ter­li­hat me­ ram­pas tanah kas desa. “Desa me­la­ku­kan pe­nye­rah­an, tak ada pe­ram­pas­an. Dan tanah yang di-TKD-kan itu sama saja di-SG-kan,” ujar Kus. Se­la­in itu, Kus meng­kha­wa­tir­kan, korban peng­gu­sur­an yang akan di­re­lo­ ka­si ke tanah kas desa. Hal itu ka­re­na sama saja me­re­ka harus mem­ba­yar sewa tanah. “Asal­kan pa­to­kan­nya tanah kas desa tanah pengarem-arem itu sudah pasti SG,” ujar Kus. Oleh ka­re­na itu, Kus sangat ber­ha­ ti-hati meng­ad­vo­ka­si dis­kri­mi­na­si ra­si­al dalam per­ta­nah­an Yogyakarta. “Etnis Tionghoa DIY ter­uta­ma yang kelas me­ ne­ngah itu kan sudah punya tanah di mana-mana, me­re­ka juga me­ngu­asai sektor eko­no­mi, kalau sampai tidak ada pem­ba­tas­an atas tanah itu juga ba­ha­ya,” ujar­nya. Me­nu­rut Kus, dis­kri­mi­na­si yang me­nim­pa etnis Tionghoa di­gan­ti pem­ber­ la­ku­an pem­ba­tas­an pe­ngu­asa­an tanah ber­da­sarkan kelas. Di tengah ber­mun­cul­an­nya konflik agra­ria, Arif me­nga­ta­kan, peran ne­ga­ra justru tidak hadir. “Kalau saja ne­ga­ra me­nga­ta­kan UUPA ber­la­ku se­pe­nuh­nya, UUK tidak akan men­ja­di lex specialis,” ujar­nya. Ia me­nam­bah­kan, ka­lau­pun ke­is­ti­me­wa­an ber­tu­ju­an untuk me­les­ ta­ri­kan bu­da­ya, ma­sya­ra­kat tetap akan meng­hor­ma­ti, se­la­ma pro­se­dur yang di­gu­na­kan­nya jelas.[] Laporan oleh Rimba dan Vathir


DISKRIMINASI RASIAL PERTANAHAN YOGYA

Memelihara Ketakutan Oleh Geger Riyanto (Peneliti sosiologi, bergiat di Koperasi Riset Purusha) DOK. ISTIMEWA

S

aya paham be­ta­pa me­nge­ri­kan­ nya pe­ngu­asa­an tanah satu ne­ ge­ri oleh se­ge­lin­tir orang. Saya paham, tak ada pi­kir­an waras yang dengan sen­di­ri­nya dapat mem­be­ nar­kan angka dari Badan Pertanahan Nasional. 56 persen pro­per­ti, tanah, dan per­ke­bun­an di Indonesia di­kua­sai oleh 0,2 persen pen­du­duk. Akan te­ta­pi, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang risau war­ ga­nya ke­hi­lang­an hak me­re­ka atas la­ han, se­yo­gia­nya pun paham. Apa yang se­ja­ti­nya meng­an­cam para warga bu­kan­ lah ko­mu­ni­tas etnis ter­ten­tu. Apa yang riskan me­me­la­rat­kan bukan hanya warga Yogyakarta me­la­in­kan juga 99,8 persen pen­du­duk Indonesia adalah ke­ring­kih­an sistem yang mem­bu­ka ke­le­lu­asa­an bagi modal-modal besar me­nye­ro­bot sumber peng­hi­dup­an hidup warga se­tem­pat. Tanah, dengan har­ga­nya yang kian men­ju­lang, kian rentan men­ja­di obyek spe­ku­la­si. Belum lagi, dengan hargaharga ko­m o­d i­t as per­k e­b un­a n yang meng­gi­la be­be­ra­pa puluh tahun ter­akhir, in­dus­tri-in­dus­tri besar me­ram­bah­kan ta­ngan­nya untuk mem­per­oleh tanah hingga ke pe­lo­sok-pe­lo­sok yang belum ter­ja­mah se­be­lum­nya. Namun, peng­atur­ an ter­ha­dap pe­mi­lik­an lahan se­ka­li­pun, belum b ­ a­nyak­dae­rah di Indonesia yang mem­pu­nyai­nya. Ken­da­ti de­mi­ki­an, bagi pe­me­rin­tah daerah yang benar-benar hirau dengan ke­mas­la­hat­an war­ga­nya. Ini ar­ti­nya di depan mata me­re­ka ter­se­dia se­ben­tang ruang yang sangat luas untuk ber­krea­si. Me­re­ka dapat me­mu­lai dengan, mi­sal­ nya, ber­pi­kir dua kali pe­ri­hal in­ves­ta­si yang dalam prak­tik­nya belum tentu men­ ja­min ke­mas­la­hat­an war­ga­nya. Me­re­ka dapat mulai dengan me­re­nung­kan bahwa angka per­tum­buh­an eko­no­mi tak se­ca­ra magis meng­isya­rat­kan dae­rah­nya men­ ja­di lebih baik. Ia juga punya se­ren­teng efek samping yang perlu di­per­hi­tung­kan matang-matang.

In­ti­nya, ada pus­pa­ra­gam cara ter­se­ dia untuk meng­ha­dang agar ke­tim­pang­an ke­pe­mi­lik­an lahan yang men­ce­kik tidak ber­la­rut-larut. Dan, in­ti­nya lagi, pe­me­ rin­tah se­mes­ti­nya mem­be­la war­ga­nya dari ke­me­la­rat­an. Apa yang ter­ja­di, pada ke­nya­ta­an­ nya, me­nun­juk­kan, pe­me­rin­tah belum bisa me­lang­kah se­ja­uh itu. Entah ka­re­na lo­gi­ka ke­kua­sa­an ber­be­da dengan lo­gi­ ka ke­ber­pi­hak­an ri­il ke­pa­da war­ga­nya. Entah ka­re­na per­tim­bang­an-per­tim­bang­ an lain yang saat ini tak kasat mata bagi kita. Me­re­ka tahu, me­re­ka se­ti­dak­nya harus tampak mem­be­la war­ga­nya dari ke­me­la­rat­an. Namun, hal ter­se­but di­la­ ku­kan­nya dengan mem­be­la war­ga­nya dari war­ga­nya yang lain. Warga yang di­ ima­ji­na­si­kan se­ca­ra ber­le­bih­an me­mi­li­ki ren­ca­na jahat me­me­la­rat­kan ke­lom­pokke­lom­pok yang lebih lemah. Per­ma­sa­lah­an­nya, tidak ada yang bisa di­be­nar­kan dari ke­nya­ta­an 71 tahun se­le­pas Indonesia mer­de­ka dan me­nan­ das­kan “kea­dil­an so­si­al bagi se­lu­ruh rakyat Indonesia” se­ba­gai dasar ne­ga­ ra­nya. Satu ko­mu­ni­tas yang lahir, be­ker­ ja, dan tidak pernah mem­pu­nyai rumah se­la­in di Indonesia tak bisa mem­pu­nyai tanah se­ba­gai­ma­na warga Indonesia la­ in­nya. Dan per­ka­ra ke­pe­mi­lik­an tanah bah­kan baru satu per­so­al­an. Dalam atur­ an ter­se­but, me­re­ka harus me­nang­gung pang­gil­an non­pri­bu­mi. Kita se­yo­gia­nya ingat, betapa me­nya­kit­kan­nya pre­di­kat ini. Pre­di­kat ini, dalam se­ja­rah­nya, se­ la­lu men­cu­at untuk me­ne­gas­kan bahwa me­re­ka tak sama dan tak layak untuk di­sa­ma­kan dengan orang Indonesia la­in­ nya. Bahwa me­re­ka, sea­kan warga asing yang me­num­pang. Bahwa me­re­ka dapat sewaktu-waktu men­ja­di kambing hitam dari ke­ma­lang­an warga lain yang tidak ada hu­bung­an­nya. Hal yang, memang, pun­cak­nya ter­ja­di pada momen-momen ter­ten­tu se­per­ti 1998 te­ta­pi me­re­ka ra­ sa­kan se­wak­tu-waktu.

Dan kalau kita pernah mem­per­oleh ke­sak­si­an apa yang ter­ja­di pada ko­mu­ ni­tas ini di tahun 1998. Ia ada­lah satu pre­di­kat yang di­pe­kik­kan ke­pa­da me­re­ka se­iring rumah dan toko me­re­ka di­ba­kar serta ang­go­ta ke­lu­ar­ga­nya di­an­cam, di­ per­ko­sa, atau di­bu­nuh. Apa yang di­ha­rap­kan satu pe­me­ rin­tah­an, lantas, dengan mem­per­ta­ han­kan pre­di­kat ini pada satu ko­mu­ni­ tas war­ga­nya dan se­ca­ra samar-samar me­ngam­bing­hi­tam­kan me­re­ka se­ba­gai an­cam­an ter­ha­dap ke­mas­la­hat­an war­ ga­nya? Satu hal yang harus kita pa­hami dari pre­ten­si he­ro­ik se­ma­cam ini ada­lah, be­ta­pa­pun ia ber­fae­dah bagi pen­ci­tra­an pihak yang me­lan­sir­nya, kita tak banyak me­ne­mu­kan tin­dak­an lain yang lebih nista di­ban­ding me­ro­goh ke­un­tung­an dari me­ngo­rek-ngorek trau­ma pihak lain se­ma­cam ini. Me­n ye­d ih­k an­n ya, kita bisa me­ ma­hami me­nga­pa se­ge­lin­tir pihak tak mau ber­an­jak dari pe­ngam­bing­hi­ta­man ko­mu­ni­tas ini. Ia me­ru­­pa­kan re­to­ri­ka yang ter­ja­min ampuh untuk me­nye­dot per­ha­ti­an massa dan me­mo­bi­li­sa­si me­ re­ka. Ia me­ru­pa­kan ma­nu­ver yang paling gampang di­tem­puh untuk me­nga­lih­kan warga ke­ba­nyak­an dari ke­nes­ta­pa­an nyata yang ter­la­lu ruwet untuk di­je­las­ kan. Di masa silam, hal itu­lah yang ter­ja­ di. Di masa kini, itu­lah yang juga ter­ja­di. Saya per­ca­ya, kita me­mi­li­ki pe­me­rin­ tah yang lebih cerdas untuk ber­pi­kir me­ lam­pa­ui pe­la­bel­an serba me­nye­der­ha­na­ kan dan tak ber­tang­gung jawab. Namun, kita tak se­la­lu bisa per­ca­ya me­re­ka mem­ pu­nyai niat untuk me­nem­puh langkahlangkah konkret yang me­re­pot­kan dan panjang untuk men­ja­min ke­pe­mi­lik­an atau akses lahan setiap war­ga­nya. Pa­da­ hal, tempat yang pantas bagi ke­bi­jak­an yang de­mi­ki­an dis­kri­mi­na­tif ha­nya­lah dalam lem­bar­an se­ja­rah. Ber­ge­ming aba­ di ber­sa­ma dengan ke­bi­jak­an-ke­bi­jak­an se­ma­cam dari pe­me­rin­tah ko­lo­ni­al di masa silam.[]

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 29


profil

KIBTI | EKSPRESI

Berfilsafat dengan Matematika “Sebenar-benar filsafat itu di atas ilmu pengetahuan dan matematika, menuju spiritualisasi.” Oleh Devi Ellok Widaningsih

B

agi se­orang do­sen Fa­kul­tas Ma­ wte­­ma­ti­­ka dan Ilmu Pe­nge­ta­ hu­an Alam, Universitas Negeri Yogyakarta, ke­su­ka­an­nya ter­ ha­dap ma­te­ma­ti­ka di­la­tar­be­la­kangi rasa ingin ta­hu­nya yang ting­gi. Ialah Marsigit, dosen pe­ngam­pu ma­ta ku­liah Filsafat Matematika di FMIPA. Ke­mam­pu­an­nya da­lam bi­dang ma­te­ma­ti­ka bu­kan mun­ cul be­gi­tu sa­ja. Se­jak ke­cil ia me­mang me­nyu­kai ma­te­ma­ti­ka. Dulu, ke­ti­ka men­ja­di sis­wa, Marsigit bu­kan anak yang me­mi­li­ki ra­sa per­ca­ ya diri de­ngan ke­mam­pu­an­nya. Hing­ga akhir­nya ra­sa per­ca­ya di­ri itu mun­cul ke­ti­ka ia du­duk di bang­ku se­ko­lah me­ne­ ngah atas. Ia ingin me­nu­lis ja­wab­an pa­da soal ma­te­ma­ti­ka di pa­pan tu­lis. “Ke­ti­ka itu, se­orang gu­ru ha­rus me­ngam­bil­kan kur­si un­tuk sa­ya agar bisa me­nu­lis di pa­ pan tulis.” Ha­ti­nya ter­sen­til oleh mo­men itu. “Sa­ya ha­rus PD,” tu­tur dok­tor fil­sa­fat ma­tema­ti­ka ini, ter­se­nyum. Marsigit lan­ tas men­ja­di siswa yang aktif. Ke­ak­tif­an­ nya ber­lan­jut ke masa kuliah. Ha­sil­nya ia men­ja­di lu­lus­an ter­baik. Marsigit tak per­nah me­nyang­ka men­ja­di do­sen se­per­ti se­ka­rang. Awalnya ke­ti­ka ma­sih ma­ha­sis­wa S1 ia men­ja­di seorang asis­ten dosen. “Saya jadi dosen itu ke­be­tul­an, ke­ti­ka men­ja­di asis­ten Raden Hartono sa­ya di­su­ruh me­ngi­si blang­ko dosen,” ke­nang­nya.

Se­p u­l uh tahun men­j a­d i do­s en, Marsigit me­ra­sa me­nga­la­mi kri­sis spi­ ri­tu­al. “Pada saat itu ha­ti sa­ya mem­bu­ tuh­kan spi­ri­tu­ali­tas. Is­tri sa­ya me­mi­li­ki dua orang anak mem­bu­tuh­kan spi­ri­tua­ li­tas juga,” ujar­nya. Me­nu­rut­nya, bi­dang ma­te­ma­ti­ka yang dige­lu­ti­nya ter­pi­sah de­ngan spi­ri­tua­lis­me. Se­jak ke­cil ia me­ ra­sa ku­rang men­da­pat­kan ilmu aga­ma. Sam­pai ia me­min­ta izin ke­pa­da is­tri­nya untuk pergi ke Pondok Gontor di daerah Ponorogo. Ia ber­niat me­ning­gal­kan bi­ dang yang se­dang di­ge­lu­ti, te­ta­pi is­tri­nya ti­dak me­ngi­zin­kan. “Da­lam ha­ti, sa­ya ha­rus men­cari cara lain un­tuk men­da­ pat­kan spi­ri­tua­lis­me. Sa­ya ber­usa­ha ke­ras ba­gai­ma­na me­ne­mu­kan­nya dari ma­te­­ma­ti­ka.” Saat S2 di Inggris, Marsigit ber­te­ mu de­ngan se­orang do­sen se­nior yang ber­tan­ya me­nge­nai ke­hi­dup­an se­te­lah ke­ma­ti­an. De­ngan po­­los­nya ia men­ja­wab se­suai de­ngan ke­ya­kin­an­nya. Na­mun, ia me­ra­sa dosen ter­se­but ti­dak ter­ta­rik de­ngan ja­wab­an­nya dan ia me­ra­sa ma­ lu sen­di­ri. Ia ber­ta­nya-ta­nya ten­tang si­kap do­sen­nya itu. Sam­pai ke­mu­di­an, ia me­nyim­pul­kan bahwa dirinya ku­rang ko­mu­ni­ka­tif. ”Da­ri si­tu­lah sa­ya ter­do­rong un­tuk be­la­jar fil­sa­fat. Se­la­in itu, pa­da saat S2 ju­ ga ada ma­ta ku­li­ah Filsafat Pendidikan,” tan­das Marsigit. Me­nu­rut­nya, de­ngan

30 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

be­la­jar fil­sa­fat itu­lah ia mem­per­oleh spiritualisme dalam matematika yang di­­cari­nya. Se­le­sai S2, ia mulai me­nga­ jar se­ba­gai dosen Filsafat Matematika di UNY.

Matematika dalam Filsafat

Me­nu­rut Marsigit, da­ri si­si olah pi­ kir, ma­te­ma­ti­ka dan fil­sa­fat itu sa­ma. Be­da­nya, fil­sa­­fat pe­du­li ter­ha­dap ruang dan waktu, se­dang ma­te­ma­tika ti­dak. Mi­sal­nya ma­te­ma­ti­ka mur­ni, ma­te­ma­ ti­ka for­mal, ser­ta ma­te­ma­ti­ka orang de­wa­sa. Ke­ba­­nyak­an orang me­ma­ha­ mi bah­wa ma­te­ma­ti­ka itu ha­nya sa­tu, se­per­ti di­pe­la­ja­ri di se­ko­lah. Pa­da­hal, kata Marsigit, se­be­nar­nya ma­te­ma­ti­ka itu ber­ane­ka ragam. Anak ke­cil mem­pu­ nyai ma­te­ma­ti­ka se­ko­lah yang ber­be­da de­­fi­ni­si de­ngan ma­te­ma­ti­ka mur­ni atau ma­te­ma­ti­ka orang de­wa­sa di ting­kat uni­ ver­si­tas. “Ma­­te­ma­ti­ka mur­ni atau ma­te­ma­ ti­ka orang dewasa yang bi­asa­nya di­pe­ la­ja­ri oleh sivitas aka­de­mik ber­de­fin ­ i­si se­ba­gai ilmu,” kata Marsigit. “Se­dang ma­te­ma­ti­ka anak ke­cil ti­dak ber­kait­an dengan ilmu te­ta­pi le­bih pa­da akti­vi­tas atau ke­giat­an,“ lan­jut­nya. Ba­gi anak kecil, semua pe­nge­ta­hu­an bu­kan­lah ilmu me­ lain­kan ak­ti­vi­tas atau ke­giat­an so­si­al. Marsigit me­ni­lai, di da­lam suatu ke­las, anak kecil be­lum­lah be­la­jar ma­te­ma­ti­ka


profil Nama Pengalaman Prof. Dr. Marsigit, M.A. • Menghasilkan Karya Ilmiah di IST Internasional Forum on Basic Education Development In South and Southeast Asian Contries 18 November 2002 University Tempat dan Tangal Lahir Hali, University of Tsukuba, Japan dengan Judul “Mathematics Program For Kebumen, 19 Juli 1957 International Coorporation In Indonesia”. Alamat Plosokuning II, RT 10 RW 04, Minomartani, Ngaglik, Sleman • Mendapat penghargaan Sartyalancna Karya XX Tahun keputusan Presiden RI Nomor : 014/Tk/Tahun 2009. Yogyakarta Email • Menghasilkan karya ilmiah di Transadion of Mathematical Education for College and University dengan judul "The Effort to Increase the Studen’s Motivation in Marsigitina@yahoo.com Mathematics Learning with Some Theaching Aids in Junior High School 5 Wates Pendidikan Kulon Progo Yogyakarta, Indonesia". S1 Pendidikan Matematika FKIE IKIP Yogyakarta1981 S2 Pendidikan Matematika University of London 1996 • Menghasilkan karya ilmiah di Varidika Kajian Penelitian Pendidikan Vol. 15 No. 1Juni 2003 dengan judul “Constructing Mathematics Activity a Group Discussion S3 Filsafat Matematika UGM 2007 of the 6th Grade Student of Primary Schools” SD Gamiranom, Depok Sleman Jabatan di UNY Yogyakarta. Sekretaris Senat di Universitas Negeri Yogyakarta

ji­ka ti­dak ber­ke­giat­­an. De­fin ­ i­si­nya pun men­ja­di ma­te­ma­ti­ka se­ba­gai ke­giat­an, bu­kan ilmu. Ber­be­da de­ngan ma­te­ma­ti­ka, fil­ sa­fat, bagi Marsigit, amat peduli ter­ha­ dap ruang dan waktu. “Dalam filsafat yang di­mak­sud tem­pat itu se­mua yang ada. Mi­sal­nya ma­te­ma­tika, sis­wa dan semua tempat yang mungkin ada. Suatu hal yang se­dang di­ren­ca­na­kan ataupun yang belum dialami,” tegas Mar­si­git. Itu­ lah se­bab­nya ma­te­ma­ti­ka di­po­si­si­kan di da­lam fil­sa­fat. Bagi Marsigit, fil­sa­fat me­mi­li­ki ba­ nyak de­fi­ni­si ter­gan­tung kon­teks ruang dan wak­tu­nya. Fil­sa­fat bi­na­tang ber­be­ da de­ngan fil­sa­fat benda. Be­gi­tu pun fil­ sa­fat Marsigit ber­be­da de­ngan fil­sa­fat orang lain. “Fi­lsafat yang pa­ling be­nar itu berada di atas ilmu pe­nge­ta­hu­an dan ma­te­ma­tika, me­nu­ju spiri­tua­li­tas,” terang Marsigit. Spi­r i­t ua­l is­m e yang di­m ak­s ud Marsigit itu hidup me­nye­lu­ruh an­ta­ra du­nia dan ak­hi­rat. Ba­gi­nya, fil­sa­fat itu se­ma­kin tu­run me­nu­ju du­nia se­ma­kin ja­mak dan plu­ral. Fil­sa­fat yang se­ma­kin ke atas akan se­ma­kin tung­gal. Dan fil­sa­ fat yang meng­gu­na­kan pi­kir­an ba­tas­nya ada di dalam hati, me­nu­ju spi­ri­tua­lis­me. “Se­he­bat apa­pun se­orang ma­nu­ sia ti­dak akan mam­pu me­mi­kir­kan ruh ha­ti­nya sen­di­ri,” ka­ta­nya. Ma­nu­sia bi­sa tiba-tiba ma­rah, dong­kol, atau mangkel, dan pi­kir­an ti­dak akan mam­pu me­ma­ha­ mi se­mua­nya. Itu­lah se­bab­nya, la­gi-la­gi, di­bu­tuh­kan­lah fil­sa­fat yang me­nu­ju ke spi­ri­tua­lis­me. Me­nu­rut Mar­si­git me­to­de da­ri ma­ te­ma­ti­ka ba­nyak di­adop­si untuk men­ de­skrip­si­kan pe­mi­kir­an fil­sa­fat. Lo­gi­­ka

ma­te­ma­ti­ka ber­pe­ran hi­ngga era fil­sa­fat kon­tem­po­rer ke­ti­ka ba­nyak fil­suf mem­ pe­la­ja­ri lo­gi­ka. “Lo­gi­ka ma­te­ma­ti­ka mem­be­ri ba­ nyak in­spi­ra­si ba­gi pe­mi­kir­an fil­suf, se­ba­ lik­nya para fil­suf ber­usa­ha me­ngem­bang­ kan lo­gi­ka,” ujar Marsigit. Hal ter­se­but ter­buk­ti ke­ti­ka mun­cul lo­gi­ka mo­dal yang ke­mu­di­an di­kem­bang­kan oleh ma­te­ma­ ti­ka­wan. Hal yang ber­ha­sil di­man­faat­kan untuk pe­ngem­bang­an pro­gram kom­pu­ter dan ana­li­sis ba­ha­sa. Da­lam pem­be­la­jar­an ma­te­ma­ti­ka­ nya, Marsigit meng­ga­bung­kan se­tiap un­sur da­lam ke­hi­dup­an. Di­mu­lai dari ting­kat­an pa­ling ba­wah ma­te­rial, ke­ mu­di­an for­mal, nor­ma­tif—yang ber­arti fil­sa­fat—dan yang pa­ling ting­gi spi­ri­tual. Itu­lah me­nga­pa fil­sa­fat yang di­ga­bung­ kan de­ngan spi­ri­tual akan me­nga­rah­ kan pe­nge­ta­hu­an ke arah yang te­pat dan men­ja­di ber­man­faat. Me­nu­rut Marsigit, di si­tu­lah mun­ cul pe­ran fil­sa­fat yang akan mem­be­ri­kan arah yang te­pat ser­ta mem­ban­tu sis­wa me­nye­le­sai­kan per­ma­sa­lah­an da­lam ma­te­ma­ti­ka. Ma­te­ma­ti­ka yang berada di dalam fil­sa­fat juga ber­pe­ran untuk me­ma­ha­mi ba­gai­ma­na pro­ses pem­be­ la­jar­an, ku­ri­ku­lum, pe­ngem­bang­an se­rta psi­ko­lo­gi pen­di­dik­an ma­tematika. Marsigit meng­gu­na­kan me­to­de hi­ dup si­la­tu­rah­mi da­lam pe­nga­jar­an fil­ sa­fat ma­te­ma­ti­ka. Me­to­de hi­dup yang di­m ak­s ud Marsigit me­n er­j e­m ah­k an hal kod­ra­ti de­ngan ca­ra me­li­hat ge­ja­la alam.“Ti­dak ter­ke­cua­li tum­buh­an yang saya tu­tu­pi ca­ha­ya­nya, ia akan men­ca­ri jalan un­tuk men­da­pat­kan ca­ha­ya. Itu­lah pe­ner­je­mah­an. De­mi­ki­an pu­la ter­ja­di pa­da ma­nu­sia,” jelas Marsigit.

Kon­sep pem­be­la­jar­an do­sen FMIPA pe­nga­gum to­koh-to­koh pe­wa­yang­an ini ialah dengan mem­bang­un, bu­kan se­ka­dar meng­ha­fal. Kon­sep mem­ba­ngun­nya ialah ten­tang be­la­jar apa­pun dan di ma­na­pun. Oleh ka­re­na itu, me­nu­rut Marsigit, se­ orang do­sen ha­rus mem­fa­si­li­ta­si ma­ha­ sis­wa su­pa­ya bisa me­ne­rap­kan kon­sep mem­ba­ngun ter­se­but. Ba­nyak ca­ra dan alat yang di­la­ku­ kan Marsigit un­tuk me­ne­rap­kan kon­sep mem­ba­ngun. Mu­lai da­ri yang pa­ling se­ der­ha­na, se­per­ti di­sku­si. Marsigit sa­ngat se­nang ji­ka ma­ha­sis­wa­nya me­nga­jak ber­ di­sku­si. Tak jarang ma­ha­sis­wa da­tang ke ru­mah­nya hanya un­tuk ber­di­sku­si. Se­la­in di­sku­si, ia ju­ga me­man­faat­kan blog, ku­liah da­ring, ser­ta per­ku­liah­an de­ngan ta­tap mu­ka un­tuk me­ne­rap­kan kon­sep mem­bang­un­nya. Marsigit me­ mi­li­ki blog yang ber­isi ba­nyak tu­lis­an un­tuk di­baca oleh ma­ha­sis­wa­nya. Di da­ lam kon­sep mem­bangun itu, ia meng­gu­ na­kan prin­sip “ba­ca dan ker­ja­kan­lah”. “Se­se­orang ti­dak akan mam­pu ber­fil­sa­fat kalau dia ti­dak mam­pu mem­ba­ca ka­re­ na se­be­nar-be­nar fil­sa­fat ada­lah di­ri­mu sen­di­ri,” ujar­nya. Marsigit se­la­lu me­nu­gas­kan ma­ha­ sis­wa­nya untuk mem­ba­ca blog­nya yang te­lah ber­isi se­ki­tar 600 lebih tu­lis­an­nya. Ma­ha­sis­wa yang mem­ba­ca tu­lis­an­nya ha­rus mem­buat ko­men­tar, yang nan­ti­nya ma­suk ke su­rel Marsigit. “Se­hing­ga saya bisa meng­hi­tung se­ti­ap ha­ri, pe­kan, atau bu­lan, be­ra­pa ba­nyak me­re­ka mem­ba­ca dan ba­gai­ma­na ba­ca­an­nya, ber­kua­li­tas atau ti­dak bi­sa di­li­hat dari ko­men­tar­nya,” ka­ta­nya de­ngan puas.[]

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 31


almamater

ADE | EKSPRESI

Penggunaan Laboratorium Musik dan Tari Fakultas Bahasa dan Seni dinilai IDB bertentangan dengan syariat Islam.

Hibah Dana IDB Bersyarat

Dalam menghibahkan dananya, IDB tidak sekadar memberi, tapi terdapat beberapa syarat yang harus dipatuhi oleh UNY. Oleh Ervina Nur Fauzia

S

ej­ak 2006, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ­me­ng­aju­kan per­m o­h on­a n dana hibah pada lem­b a­g a ­k e­u ang­a n Islamic Development Bank (IDB). IDB ­me­ru­pa­kan salah satu ­lem­ba­ga yang me­na­ruh per­ha­ti­an le­bih pada hibah dana untuk pen­di­dik­­an. Slamet Widodo selaku Direktur Eksekutif Project Implementation Unit (PIU) IDB UNY me­nga­ta­kan, to­tal da­na proyek yang ­d i­te­r i­m a oleh UNY sebesar 34 juta dolar AS. Rinciannya, 25 juta dolar AS ­ber­asal dari IDB, se­dan­gkan 9 juta dolar AS me­ru­pak­an dana pen­dam­ping­an dari pe­me­rin­tah.­­ Pada Juli tahun 2013 dana hibah yang di­s e­t u­j ui se­n i­l ai Rp442 miliar ­di­tan­dai dengan nota ke­se­pa­ham­an atau Memorandum of Understanding (MoU) an­ta­ra pe­me­rin­tah dan IDB. ­Me­nu­rut MoU ter­se­b ut, pada Oktober 2013 ­se­ha­rus­nya UNY sudah ­me­nye­le­sai­kan tahap pe­ren­ca­na­an ba­ngun­an dan pe­ le­lang­an kon­trak­tor. Namun, Slamet men­je­las­kan bah­wa sampai Oktober 2016, pro­ses­nya masih dalam pe­le­lang­ an kon­trak­tor. “Gedung UNY ini se­ka­ rang sedang proses lelang kon­trak­tor, tapi sudah se­le­sai tahap pe­ren­ca­na­an,”

jelas ­Slamet, Sabtu (20/7). Pem­ba­ngun­an gedung yang ber­a­sal dari dana hibah IDB di­ren­ca­na­kan di­mu­ lai pada November 2016 se­ca­ra ber­sa­ma­ an dan sudah harus se­le­sai pada tahun 2017. Namun, ada be­be­ra­pa ma­sa­lah se­ per­ti AMDAL yang ter­lam­bat. Se­la­in itu, IDB tidak mau meng­a­kui Laboratorium Musik dan Tari yang be­ra­da di Fakultas Bahasa dan Seni se­ba­gai proyek dana hibah mereka. IDB me­ni­lai peng­gu­na­ an gedung ter­se­but tidak se­su­ai sya­ri­at Islam. Akhir­nya gedung ter­se­but yang se­ha­rus­nya di­da­nai oleh IDB di­a­lih­kan pada dana APBN pe­me­rin­tah. Di­tu­kar dengan salah satu gedung di teknik sipil Fakultas Teknik yang se­be­lum­nya di­da­ nai oleh APBN. “Abdi Abdullahi, per­ wa­ki­lan IDB dari Jeddah, Saudi Arabia yang datang ke Indonesia untuk me­la­ ku­kan mo­ni­to­ring. Ia me­ni­lai Music and Dance Lab (Laboratorium Musik dan Tari) apabila di­li­hat dari sudut Timur Tengah, gedung ter­se­but cen­de­rung di­ko­ no­ta­si­kan se­ba­gai tari perut dan ter­li­hat se­per­ti orang yang ber­se­nang-senang,” jelas Slamet. Total ter­da­pat 14 proyek pem­ba­ ngun­an gedung hasil dana hibah. Satu gedung dari dana hibah pe­me­rin­tah

32 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

dan 13 lain­nya IDB. Gedung yang di­ ba­ngun di­an­ta­ra­nya ada­lah per­pus­ta­ ka­an pusat, Laboraturium Matematika dan Kimia, Health and Sport Center, Training Center, Laboraturium Mesin dan Otomotif. Tidak hanya biaya untuk mem­ba­ngun gedung, IDB juga men­da­nai dalam peng­a­da­an alat atau in­fra­struk­tur untuk masing-masing gedung. Dana itu akan di­da­pat­kan pada enam bulan ter­ akhir dari target se­le­sai pem­ba­ngun­an gedung. Ke­pu­tu­s an UNY dalam me­mi­l ih lem­ba­ga untuk men­da­nai pem­ba­ngun­an tentu bukan tanpa ala­san. Slamet me­nga­ ta­kan, ada ke­le­bih­an yang di­te­ri­ma oleh UNY saat men­da­pat­kan dana hibah dari IDB. Pasal­nya, IDB di­akui dan di­ni­lai lebih Islamis oleh UNY. “Saya se­ba­gai muslim me­li­hat ini lem­ba­ga yang Islamis. Kalau utang ya pilih utang yang jelas se­ ca­ra hukum agama. IDB tidak meng­hi­ tung be­sar­an pin­ja­man dari per­jan­ji­an utang ketika ba­ngun­an­nya sudah jadi. Kalau yang lain se­men­jak tanda tangan kontrak sudah dihitung be­sar­an pin­ja­ man­nya,” tuturnya.

Aliran dana IDB

IDB memang bukan lembaga yang


almamater

dapat mem­be­ri dana se­cara cuma-cuma. Hal itu dapat di­li­hat dari data la­po­ran dari Badan Pe­ren­ca­na­an Pem­ba­ngun­an Nasional (Bappenas) Triwulan II 2014. Bappenas me­rin­ci la­por­an pe­min­ja­man serta hibah luar negeri ter­ha­dap ke­men­ te­ri­an atau lem­ba­ga di Indonesia. Dalam la­por­an­nya, dana hibah ber­sum­ber dari dua lem­ba­ga negara yaitu Lembaga PBB (United Nations Development Programme atau UNDP) dan Pe­me­rin­tah Amerika Serikat (Millenium Challenge Corporation atau MCC). Dalam la­por­an Bappenas pula, IDB di­ke­ta­hui men­ja­di sumber pin­ja­man kre­di­tor mul­ti­la­te­ral yang ang­go­ta­nya dari be­be­ra­pa negara. La­p or­a n Bappenas Triwulan II 2014 me­nya­ta­kan, “Sumber pin­jaman Kreditor Multilateral me­ru­pa­kan lem­ ba­ga ke­uang­an internasional yang be­ rang­go­ta­kan be­be­ra­pa negara, se­per­ti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB), International Fund for Agricultural Development (IFAD), dan Suadi Fund. Sumber pin­ja­man kre­di­tor bi­la­te­ral me­ ru­pa­kan pe­me­rin­tah negara asing atau lem­ba­ga yang di­tun­juk oleh pe­me­rin­tah negara asing atau lem­ba­ga yang ber­tin­ dak untuk pe­me­rin­tah negara asing, se­ per­ti Japan Bank for International Coorperation (JICA), Australia, Jerman, Korea, Prancis, AFD, RR Tiongkok, dan Spanyol.” Sistem pen­ca­ir­an dana an­ta­ra kon­trak­tor dan UNY ber­gan­tung pada per­jan­ji­an kontrak. “Itu ter­gan­tung dari

DOK. EKSPRESI

per­jan­ji­an kon­trak­nya. Jadi kerja dulu, lalu mi­sal­nya dapat 10 persen kami tinjau apa­kah sudah layak atau belum pe­ker­ ja­an­nya,” kata Slamet. Ketika sudah layak, IDB akan meng­u­s ul­kan pada Kemenristek Dikti. Usulan itu ke­mu­ di­an di­ma­suk­kan ke per­wa­kil­an IDB di Jakarta. “Kalau sudah layak lalu di­naik­ kan ke Jeddah untuk per­se­tu­ju­an, baru di­la­ku­kan pen­ca­ir­an dana dan dana yang di­da­pat akan di­ba­yar­kan,” lanjutnya. Se­la­in itu, untuk pe­nge­lo­la­an dana hibah IDB, Slamet me­nga­ta­kan, UNY tidak me­nge­lo­la sen­di­ri me­la­in­kan ada pe­nge­lo­la­nya. UNY ter­ga­bung dalam 7 universitas yang di­da­nai oleh IDB. “Me­ ka­nis­me­nya se­per­ti APBN, jadi kami me­ ngu­sul­kan jumlah dana yang di­bu­tuh­kan ke Kemenristekdikti dan ada pem­ba­ha­ san di sana, me­li­hat ke­giatan­nya apa dan ke­wa­ja­ran harga ke­mu­di­an muncul DIPA yang baru di­be­lan­ja­kan,” katanya.

Syarat Hibah IDB

Dalam pe­lak­sa­na­an­nya, IDB tidak mem­be­ri­kan dana cuma-cuma pada UNY. Ter­da­pat be­be­ra­pa syarat yang harus di­pe­nu­hi. Salah satu­nya ke­ten­tu­an dalam me­ne­ri­ma jumlah ma­ha­sis­wa baru yang boleh di­te­ri­ma oleh UNY. “Ada syarat­nya, jadi kita seolah-olah punya kontrak. Misal­nya ke­ ti­ka IDB mem­be­ri­kan dana hibah­nya, be­ra­pa jumlah Slamet Widodo selaku Direktur Eksekutif Project Implementation Unit (PIU) IDB UNY ketika ditemui di kantornya.

ma­ha­sis­wa yang harus di­te­ri­ma oleh UNY itu sudah di­atur. Jurnal internasional UNY juga harus ada pe­ning­ka­tan dalam publik­asi­nya. Lain­nya yakni ku­a­li­tas dosen,” tutur Slamet. Se­la­in kuota ma­ha­sis­wa baru, IDB juga mem­be­ri syarat untuk dosen. IDB meng­ha­rus­kan dosen untuk lebih ber­ku­ a­li­tas. Oleh ka­re­na itu, IDB juga me­nya­ lur­kan da­na­nya untuk pe­ne­li­ti­an dosen, tidak hanya gedung. Nuning Catur Sri Wilujeng, dosen dari Fakultas Bahasa dan seni (FBS), me­ru­pa­kan salah satu yang men­da­pat dana dari IDB untuk mem­ bu­at pe­nga­jar­an modul di E-Learning. Akan tetapi, Nuning me­nga­ta­kan, IDB hanya men­da­nai proyek pem­be­ la­jar­an E-Learning. Se­men­ta­ra untuk ke­lan­ju­tan pe­ne­li­ti­an­nya, Nuning akan me­min­ta dana dari UNY. “Jadi itu ma­ te­ri pem­be­la­jar­an ma­ha­sis­wa se­mes­ter genap dan di­aplika­si­kan pada ma­ha­sis­wa se­mes­ter genap pula. Se­te­lah­nya, pe­ne­li­ ti­an itu akan di­da­nai oleh UNY sen­di­ri,” jelas­nya. Dana yang di­be­ri­kan oleh IDB untuk proyek ini se­ba­nyak Rp25 juta dan dosen harus cukup dengan dana ter­se­but. Se­per­ti di­tu­tur­kan Nuning, “Ada dana segitu ya harus di­pa­kai. Jika dalam pe­ne­ li­ti­an ter­nya­ta da­na­nya kurang, ya harus tombok (me­nam­bah uang ka­­rena belum cukup).” Ber­be­da dengan Nuning, Handaru Jati, dosen dari Fakultas Teknik, me­ nga­ta­kan, ia men­da­pat dana se­be­sar Rp50 juta untuk pe­ne­li­ti­an Analisis Efisiensif dan Produktivitas LPTK dan PTN di Indonesia. Handaru me­nga­ta­ kan, dana yang di­be­ri­kan ke­pa­da­nya habis untuk pe­ngam­bi­lan data di PTN se­lu­ruh Indonesia guna me­me­nu­hi data pe­ne­li­ti­an­nya. Me­nu­rut Handaru, UNY memang perlu dana untuk pe­ne­li­ti­an dari IDB, “Ya, kita perlu dana untuk pe­ne­li­ ti­an,” tutur­nya. Se­men­ta­ra itu, Slamet me­nga­ta­ kan, mes­ki­pun IDB mem­be­ri­kan dana yang me­li­pu­ti hard component se­per­ti pem­ba­ngun­an gedung dan in­fra­struk­ tur, serta soft component se­per­ti pe­la­ ti­han. Namun, dalam pe­lak­sa­na­an­nya, di­ban­ding­kan dengan men­da­nai pe­­ne­ li­ti­an, IDB lebih meng­u­ta­ma­kan untuk mem­ba­ngun se­bu­ah gedung. “IDB itu lebih suka pem­ba­ngun­an fisik ka­re­na dia men­ca­ri ek­sis­ten­si. Jadi gedung kita yang di­ba­ngun itu be­ra­da di luar semua, agar ter­li­hat dari jalan,” tutur Slamet.[] Laporan oleh Arfrian, Triyo, Ahmad

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 33


almamater

Tiga Belas Gedung Dibangun, RTH Berkurang UNY yang memperoleh hibah Islamic Development Bank akan membangun tiga belas gedung. Dampak terhadap lingkungan perlu dikaji. Oleh Arfrian Rahmanta

P

se­ l a­ k u Direktur Eksekutif Project Implementation Unit (PIU) IDB UNY, men­je­las­kan proses pem­ba­ngun­an tiga belas gedung baru yang me­ru­pa­kan proyek IDB UNY dan ba­gi­an dari proyek 7 in 1 IDB telah di­ran­cang sejak tahun 2010. Proyek 7 in 1 IDB me­ru­pa­kan kerja sama an­ta­ra IDB dan UNY serta enam kampus la­in­nya di Indonesia. Bentuk dari kerja sama IDB dengan UNY ber­ si­fat fisik mau­pun non­fis­ ik. Ke­ti­ga belas ba­ngun­an gedung yang di­bia­yai dengan sumber dana IDB se­ be­sar 34 juta dolar AS, di an­ta­ra­nya Laboratorium Ekonomi dan Bisnis di Fakultas Ekonomi, Laboratorium

34 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

Terpadu Ilmu Sosial di Fakultas Ilmu Sosial, Laboratorium Terpadu Matematika dan IPA di Fakultas Matematika dan IPA (FMIPA), dan lainnya. Se­be­lum­nya, pada tahun 2014 telah di­se­le­sai­kan­ pem­ba­ngun­an satu unit gedung Laboratorium Musik dan Tari di FBS. Gedung itu di­bia­yai oleh dana ru­pi­ah murni pen­dam­ping dan telah di­leng­kapi pula dengan pra­sa­ra­ na pada 2015. Di lain pihak, pem­ba­ngun­an besarbesar­an dari dana hibah IDB ter­se­but, me­nu­rut Edi, dapat me­ning­kat­kan pres­ ta­si ma­ha­sis­wa UNY. Sebab, ke­em­pat belas gedung ter­se­but akan di­pa­kai se­ba­

ARFRIAN | EKSPRESI

em­ba­ngun­an se­ren­tak tiga belas gedung baru dari dana hibah Islamic Development Bank (IDB) akan se­ge­ra di­lak­sa­na­ kan. Pem­ba­ngun­an se­ca­ra besar-besar­an itu ber­dam­pak pada ber­ku­rang­nya ruang ter­bu­ka hijau di UNY kampus pusat. Me­ nge­nai hal ter­se­but, di­te­mui di kan­tor­ nya, Selasa (2/8), Edi Purwanta se­la­ku Wakil Rektor II ber­ujar, “RTH nan­ti­nya me­mang akan ber­ku­rang, tapi kami akan me­nyi­asati agar RTH tetap ada.” D a l a m­ ­D o k u m e n­ ­E v a l u a s i­ ­Lingkungan­ ­Hidup­ (DELH) yang telah di­su­sun oleh pihak UNY per 29 Agustus 2016, ter­tu­lis bahwa RTH di UNY kampus pusat ber­jum­lah 65,44 persen dari luas lahan se­ki­tar 416.406 m². Ar­ti­nya, RTH di UNY kampus pusat masih di atas ratarata dari per­sya­rat­an yang di­ten­tu­kan oleh per­atur­an. “Di lihat dari DELH, RTH UNY sudah me­le­bihi 30 persen. Akan te­ta­pi dengan pem­ba­ngun­an baru, kita juga belum tahu,” ucap Isti Kurniati se­la­ku Kepala Sub Bidang Pelayaan dan Kajian Lingkungan BLH Sleman. Men­urut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, RTH adalah area me­man­jang dan/atau me­nge­lom­ pok. Peng­gu­na­an RTH lebih ber­si­fat ter­bu­ka, tempat tumbuh ta­nam­an, baik yang tumbuh se­ca­ra alam­iah mau­pun yang se­nga­ja di­ta­nam. UU ter­se­but juga men­sya­rat­kan, ruang ter­bu­ka hijau harus ada paling se­di­kit 30 persen dari luas wi­la­yah kota. Dari 30 persen, 20 persen me­ru­pa­kan ruang ter­bu­ka hijau publik dan 10 persen ruang ter­bu­ka hijau privat. Hastuti, Ketua Jurusan Pendidikan Geografi UNY ber­pen­da­pat, ber­ku­rang atau tidaknya RTH harus di­hi­tung se­ca­ra kuan­ti­ta­tif. Begitu pula se­ca­ra kua­li­ta­ tif, ba­gai­ma­na se­bar­an pohon pe­ne­duh, fungsi pohon pe­ne­duh, dan peng­hi­jau­an. Se­b e­l um­n ya, Slamet Widodo

Lampiran siteplan UNY pada Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH).


almamater

Selasa (17/11), Gedung baru Pasca Sarjana UNY yang sedang dalam pengerjaan.

ADE | EKSPRESI

gai la­bo­ra­to­ri­um dan per­pus­ta­ka­an. Edi me­ne­gas­kan per­lu­nya la­bo­ra­to­ri­um bagi mahasiswa untuk ber­eks­pe­ri­men se­be­ lum terjun ke ma­sya­ra­kat. “Empat tahun ke­pe­mim­pin­an saya akan banyak pem­ ba­ngun­an in­fra­struk­tur. Pem­ba­ngun­an se­ba­nyak 14 gedung dan ke de­pan­nya, kami be­ren­ca­na akan mem­ba­ngun pula la­bo­ra­to­ri­um untuk ada­nya UNY TV dan UNY Radio,“ ucapnya.

Agar RTH Tetap Ada

Me­nyi­asati RTH di UNY yang ber­ ku­rang, me­nu­rut Edi, bisa di­la­ku­kan dengan pem­ba­ngun­an gedung se­ca­ra ver­ti­kal. Ber­lan­tai lebih dari empat, par­kir­an bawah tanah, dan me­na­nam ta­nam­an di sela-sela ba­ngun­an. “Se­te­lah pem­ba­ngun­an dari IDB ini, kami akan lebih me­nge­de­pan­kan pem­ba­ngun­an se­ ca­ra ver­ti­kal dan tentu saja men­ja­ga agar udara tetap sejuk,” ucapnya. Cara mem­per­ta­han­kan RTH dengan pem­ba­ngun­an ver­ti­kal dan par­kir­an bawah tanah juga di­ung­kap­kan oleh Hastuti. Ia ber­pen­da­pat bahwa dengan sem­pit­nya lahan, ha­rus­nya UNY sudah tidak bisa lagi mem­ba­ngun gedung se­ ca­ra ho­ri­zon­tal. Hastuti ber­pan­dang­an bahwa konsep pem­ba­ngun­an gedung dengan ada­nya par­kir­an bawah tanah untuk me­nam­bah kantong-kantong parkir di UNY. Luas lahan parkir me­nu­rut Hastuti kurang se­su­ai dengan jum­lah­nya ken­da­ra­an ber­mo­tor yang ada di UNY. Hal itu ber­dam­pak pada se­ma­kin ber­ku­rang­ nya jalur-jalur masuk UNY yang se­ha­ rus­nya di­gu­na­kan pe­ja­lan kaki. “Lihat saja jalan di an­ta­ra Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Sosial yang di­gu­na­

kan se­ba­gai jalan raya dan lahan parkir itu, jelas meng­gang­gu,” tutur Hastuti. Dari Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) UNY, di­ke­ta­hui di­per­lu­ kan luas lahan se­ki­tar 47.864,5 m² untuk me­nam­pung semua unit ken­da­ra­an ber­ mo­tor. Jumlah ken­da­ra­an ber­mo­tor se­ba­nyak 23.485 unit dengan rin­ci­an 22.336 unit se­pe­da motor dan 1.149 unit mobil se­ti­ap ha­ri­nya ter­par­kir di UNY. Di lain pihak, me­nu­rut Isti, kampus masih bisa me­nyi­asati RTH tetap ada. Ca­ra­nya dengan pe­ma­sang­an grass block di sela-sela paving block pada tiap-tiap kantong parkir. “Nah, RTH itu bukan di­asum­si­kan harus taman, tapi ba­gai­ ma­na kantong parkir masih di­ke­li­lingi oleh pohon-pohon pe­ne­duh,” ucap Isti ke­ti­ka di­te­mui di kan­tor­nya pada Kamis, (10/11).

Belum Selesainya AMDAL UNY

Pe­lak­sa­na­an pe­ker­ja­an kons­truk­si ke­ti­ga belas gedung pada ren­ca­na awal di­p er­h i­t ung­k an akan dapat di­m u­l ai pada bulan Oktober 2016. Namun, hal ini ter­ham­bat dalam tahap pem­bu­at­an Analisis Dampak mengenai Lingkungan (AMDAL). “AMDAL sudah di­ker­ja­kan se­su­ai pro­se­dur tapi ter­ham­bat di BLH,” kata Slamet ke­ti­ka di­te­mui di kan­tor­nya, Rabu (20/7). Isti juga mem­b e­n ar­k an pe­r i­h al AMDAL UNY yang belum se­le­sai dan belum di­te­ri­ma­nya. Pe­ri­hal pe­nye­bab­, ia belum me­nge­ta­hui­nya se­ca­ra detail. Dalam pro­ses­nya untuk ke­gi­at­an pem­ba­ ngun­an se­lan­jut­nya, UNY harus mem­pu­ nyai DELH ter­le­bih da­hu­lu se­be­lum me­ ner­bit­kan AMDAL. DELH UNY sen­di­ri telah di­ko­rek­si dan di­sah­kan oleh Kepala

BLH Sleman. “Me­ngu­rus AMDAL sudah cukup lama, UNY baru wajib AMDAL se­te­lah me­nye­le­sai­kan DELH ter­le­bih da­hu­lu,” je­las­nya. Me­nu­rut Isti, AMDAL UNY di­pro­ ses oleh BLH Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebab, BLH Sleman belum mem­p u­n yai pakar ling­k ung­a n yang ber­li­sen­si dalam pe­nyu­sun­an AMDAL. “Dalam pro­ses­nya, se­te­lah UNY se­le­ sai me­nyu­sun AMDAL harus di­la­por­ kan pada BLH Sleman. Lalu Kepala BLH Sleman akan me­nge­lu­ar­kan Surat Kelayakan Lingkungan,” ucapnya. Dalam do­ku­men AMDAL ini­lah, me­nu­rut Sugeng Riyanta se­la­ku Kepala Bidang Pengendalian Lingkungan Hidup BLH, akan ada per­hi­tung­an ko­efi­si­en dasar ba­ngun­an (KDB) yang me­nya­ta­ kan be­ra­pa luas lahan yang boleh di­ba­ ngun. Se­la­in itu, di­hi­tung pula be­ra­pa luas lahan untuk area re­sap­an air atau RTH. “Mi­sal­nya, UNY me­mi­liki lahan 100 m² dengan KDB 70 persen, ar­ti­nya UNY hanya boleh mem­ba­ngun rumah se­lu­as 70 persen dari 100m² itu,” jelas Sugeng mem­be­ri contoh kasus.

Pentingnya Ruang Terbuka Hijau

Di samping RTH ber­gu­na sebagai re­sap­an air ke­ti­ka hujan dan lumbung air ke­ti­ka musim ke­ma­rau. Sugeng ber­ pen­da­pat, ter­da­pat man­fa­at so­si­al serta ke­pen­ting­an pe­me­rin­tah, se­per­ti ke­be­ra­ da­an RTH yang ter­ma­suk unsur pe­ni­lai­an Adipura. “Hutan kota milik Universitas Gadjah Mada kami tunjuk buat pe­ni­lai­an Adipura,” ucapnya. Se­men­ta­ra itu, Hastuti ber­ha­rap lokasi-lokasi yang se­be­lum­nya telah di­man­fa­at­kan se­ba­gai RTH bisa terus di­per­ta­han­kan. Se­per­ti be­be­ra­pa jalan atau wi­la­yah yang se­be­lum­nya telah di­ be­ri nama jenis ta­nam­an ter­ten­tu mau­ pun ling­kung­an di masing-masing blok. Dengan ba­nyak­nya pem­ba­ngun­ an yang akan di­lak­sa­na­kan, Hastuti meng­ingat­kan agar tak sem­ba­rang­an me­ne­bang pohon-pohon rindang yang ber­fung­si se­ba­gai pe­ne­duh. “Ha­rus­nya tebang pilih. Bila memang harus di­te­ bang, ya di­im­bangi dengan pe­na­nam­an pohon baru,” ke­luh­nya ke­ti­ka di­te­mui di Gedung G.04 FIS UNY pada Jumat (4/11).[] Laporan oleh Vina

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 35


kolom

Wajah Buram Layar Kaca Oleh Wisnu Prasetya Peneliti Media Remotivi DOK. ISTIMEWA

T

a­hun 2016 mes­ti­nya men­ja­di momen penting dalam dunia pe­nyi­ar­an di Indonesia. Selain per­gan­ti­an ko­mi­ si­oner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), ada proses per­pan­jang­an Izin Pe­nye­leng­ga­ra­an Pe­nyi­ar­an (IPP). Izin yang di­per­ba­rui se­la­ma se­pu­luh tahun se­ka­li ini mesti di­mi­liki oleh sta­si­un te­le­vi­si ka­re­na me­re­ka me­nyi­ar­kan meng­ gu­na­kan fre­ku­en­si publik. Ar­ti­nya, proses per­pan­jang­an IPP ini akan me­nen­tu­kan se­per­ti apa wajah layar kaca di Indonesia se­la­ma se­pu­luh tahun ke depan. Dalam proses per­pan­jang­an IPP, sta­si­un te­le­vi­si harus men­da­pat­kan re­ko­men­da­si ke­la­yak­an dari KPI se­ba­gai re­gu­ la­tor pe­nyi­ar­an. Pada titik ini, peran KPI dalam mem­be­ri­kan re­ko­men­da­si men­ja­di be­gi­tu penting. Khu­sus­nya dalam me­la­ ku­kan proses eva­lu­asi ter­ka­it per­for­ma sta­si­un te­le­vi­si se­la­ma se­pu­luh tahun be­la­kang­an. Per­for­ma itu tidak ter­ba­tas pada isi si­ar­an te­le­vi­si. Ia juga men­ca­kup in­fra­struk­tur pe­nyi­ar­an sta­si­un te­le­vi­si, juga se­ja­ uh apa ke­ta­at­an me­re­ka dalam men­ja­lan­kan Sistem Siaran Jaringan. Proses per­pan­jang­an IPP bisa di­ka­ta­kan di­mu­lai dengan cukup pro­gresif. KPI mem­bu­ka proses ini pada akhir 2015 lalu dengan me­la­ku­kan uji publik. Ma­sya­ra­kat di­be­ri ke­sem­pat­an untuk me­nyam­pai­kan kritiknya. Proses uji publik me­na­rik ka­re­na ar­ti­nya publik di­be­ri­kan ruang. Iro­nis­nya, pada ba­gi­an yang cukup penting dalam proses uji publik, yaitu Evaluasi Dengar Pendapat (EDP), kita se­ge­ra bisa me­ni­lai bahwa pro­ses per­pan­jang­an IPP tidak le­bih da­ri basa-basi dan for­mal­itas be­la­ka. Banyak kritik yang bisa di­aju­ kan. Hal yang paling men­da­sar, dalam EDP, yang meng­un­dang setiap sta­si­un te­le­vi­si, KPI tidak mem­be­ri­kan eva­lu­asi yang me­ nye­lu­ruh me­nge­nai ke­ta­at­an sta­si­un te­le­vi­si ter­ha­dap re­gu­la­si. Tidak ada­nya data dan eva­lu­asi tentu men­ja­di­kan ti­dak ada­nya ukur­an yang jelas dalam me­nen­tu­kan apa­kah per­for­ ma se­bu­ah sta­si­un te­le­vi­si baik atau buruk. Ba­gai­ma­na bisa mem­be­ri­kan eva­lu­asi jika tidak ada kri­te­ria atau standar yang jelas? Ke­ti­ka Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran me­na­nya­ kan me­nga­pa tidak ada data eva­lu­asi se­pu­luh tahun ter­se­but, KPI meng­aku be­lum se­le­sai mengum­pul­kan da­ta­nya. Hal yang sungguh aneh meng­ingat proses per­pan­jang­an IPP ini mes­ti­ nya bisa di­per­siap­kan jauh-jauh hari. Ironi se­lan­jut­nya, hasil uji publik yang sempat di­bu­at oleh KPI se­be­lum­nya ter­nya­ta hanya men­ja­di sta­tis­tik be­la­ka. Tidak ada proses dialog men­da­lam menge­nai ber­ba­gai kritik dan ma­ suk­an dari ma­sya­ra­kat. Pa­da­hal, se­ba­gai warga ne­ga­ra, ma­sya­ ra­kat berhak untuk di­de­ngar­kan as­pi­ra­si­nya. Apa­la­gi hampir 95 % ma­sya­ra­kat Indonesia me­nyak­si­kan te­le­vi­si (Nielsen, 2016). Me­nu­rut saya, hal ini me­nun­juk­kan bahwa suara publik hanya di­per­lu­kan ke­ti­ka bi­ca­ra soal rating ta­yang­an, te­ta­pi di­abai­kan ke­ti­ka proses penting se­per­ti eva­lu­asi per­izin­an. Dengan proses yang sem­ra­wut, hampir bisa di­pas­ti­kan bahwa se­pu­luh sta­si­un te­le­vi­si swasta akan di­per­pan­jang izin

36 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

si­ar­nya. Pada titik ini sulit untuk tidak ber­si­kap pe­si­mis bahwa wajah layar kaca kita akan buram se­ba­gai­ma­na se­pu­luh tahun be­la­kang­an. Jika kita per­ha­ti­kan, de­ka­de ini stasiun televisi di Indonesia penuh dengan ke­pen­ting­an po­li­tik pe­mi­lik­nya. Ber­ba­gai ta­ yang­an (kam­pa­nye) po­li­tik juga tidak ber­ku­rang in­ten­si­tas­ nya. Justru se­ma­kin vulgar dan sama sekali tidak ada sanksi, atau se­ti­dak­nya te­gur­an, dari KPI se­ba­gai re­gu­la­tor pe­nyi­ar­an. Jumlah ta­yang­an hi­bur­an se­per­ti gosip juga me­ning­kat drastis. Hasil riset Remotivi di tahun 2015 lalu me­nun­juk­kan ba­gai­ma­na pe­ning­kat­an drastis itu ter­li­hat gamblang. Con­toh­ nya, per­sen­ta­se ta­yang­an gosip RCTI pada tahun 1997 hanya se­ki­tar 2% dari ke­se­lu­ruh­an isi siaran. Se­men­ta­ra pada tahun 2014, angka itu me­ning­kat ber­ka­li lipat men­ja­di 16%. Se­men­ta­ra itu, unsur ke­ke­ras­an dalam si­ne­tron juga se­ mak­in banyak. 2014 Remotivi me­ne­li­ti kan­dung­an ke­ke­ras­an di be­be­ra­pa si­ne­tron. Di an­ta­ra­nya dalam si­ne­tron Cakep-Cakep Sakti, di mana per episode rata-rata ber­lang­sung 14 adegan ke­ke­ras­an fisik dan non­fi­sik. Fakta ini tentu mem­be­ri­kan pe­ nga­ruh buruk khu­sus­nya bagi anak-anak dan re­ma­ja. Problem lain dalam si­ar­an te­le­vi­si bisa kita lihat dalam ke­bi­jak­an sensor yang se­ram­pang­an. Mi­sal­nya pem-blur-an be­be­ra­pa ta­yang­an yang sama se­ka­li tidak kon­teks­tu­al. Ini mem­bu­ka per­so­al­an baru ter­ka­it ba­gai­ma­na re­la­si an­ta­ra KPI, Lembaga Sensor Film, dan in­ter­nal sta­si­un te­le­vi­si. Pang­kal­nya, be­be­ra­pa sensor in­ter­nal atau blur ter­se­but bukan di­la­ku­kan oleh LSF me­la­in­kan oleh sta­si­un te­le­vi­si yang di­da­sar­kan pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI. Ini ar­ti­nya rambu-rambu pe­ nyen­sor­an tetap ber­a­sal dari aturan KPI. Ce­la­ka­nya, sta­si­un te­le­vi­si me­ner­je­mah­kan rambu-rambu ter­se­but asal-asal­an ka­re­na takut men­da­pat te­gur­an atau sanksi jika tidak me­la­ ku­kan sensor. Pa­da­hal, sensor dan blur yang se­ram­pang­an hanya akan me­re­duk­si re­ali­tas so­si­al yang kom­pleks. Deret per­so­al­an te­le­vi­si itu bisa di­per­pan­jang lagi. Ke­ha­ dir­an te­le­vi­si swasta di Indonesia sejak awal memang di­ni­at­kan se­ba­gai se­bu­ah ins­ti­tu­si bisnis yang me­na­rik ka­pi­tal. Ini yang mem­bu­at ber­bagai problem di atas akan terus muncul. Di tengah ke­we­nang­an KPI yang ter­ba­tas ter­uta­ma dalam hal per­izin­an, yang bisa di­la­ku­kan pada da­sar­nya ada­lah me­na­gih ke­be­ra­ ni­an ko­mi­si­oner KPI dalam men­ja­lan­kan ma­ndat pu­blik­nya. Dalam isi siaran, KPI mes­ti­nya bisa me­mak­si­mal­kan per­ ang­kat hukum yang ada, se­per­ti P3SPS, se­ba­gai bekal untuk men­ja­ga agar isi si­ar­an tetap ber­pi­hak pada ke­pen­ting­an publik. Ter­ma­suk me­mas­ti­kan agar konten si­ar­an sta­si­un te­le­vi­si tidak par­tisan, tidak penuh ke­ke­ras­an, tidak ada dis­kri­mi­na­si ter­ha­ dap kaum mi­nor­itas, dan ter­uta­ma men­ja­ga fre­kuen­si publik tidak di­gu­na­kan se­ca­ra se­we­nang-we­nang oleh sta­si­un te­le­vi­si. Pertanyaannya, apakah komisioner KPI yang baru terpilih berani melakukan itu?[]




MENJADI BIDUAN BAGI

para biduan, berkeliling dari kampung ke kampung adalah perjalanan mencari nafkah. Bermodal suara dan penampilan, mereka menghibur penonton dari berbagai usia. Meski dandanan di atas panggung terkesan begitu mewah, tak sedikit di antara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Rupa-rupa nama goyangan dicipta untuk meningkatkan citra seorang biduan. Dengan tubuh meliuk-liuk, goyangan berpadu dengan irama berharap disambut datangnya saweran. Tak jarang, aksi para biduan di atas panggung berujung pada penilaian manasuka: “murahan�. Namun, di balik aksi tersebut, sebenarnya mereka dituntut untuk kerja profesional. Mereka melakukannya tentu demi mendapatkan lembaran kertas rupiah untuk bertahan hidup. Foto dan Teks oleh Ade Luqman Hakim dan Ahmad Wijayanto Tata Letak oleh Ade Luqman Hakim


Pamit untuk Goyang Oleh Ahmad Wijayanto

Walau Terik, A Oleh A

Mari Menyawer Oleh Ahmad Wijayanto

Semangat Menyanyi Oleh Ade Luqman Hakim


Goyangan untuk Penonton Oleh Ade Luqman Hakim

Aku Tetap Goyang Ade Luqman Hakim

Dipanggil Menyanyi Oleh Ade Luqman Hakim

Agar Tetap Cantik Oleh Ade Luqman Hakim


oleh Ade Luqman Hakim

Lagi Ngapain Sih Mbak?



Tim Telusur Triyo Handoko (Koordinator), Khusnul Khitam, Prima Abadi Sulistyo, dan Winna Wijayanti


TERUSIR PROYEK

PLTU SEBAGAI

proyek per­ta­ma kerja sama an­ta­ra pe­ me­rin­tah dan swasta untuk mem­ba­ngun Pembangkit Listrik Tenaga Uap, Kabupaten Batang di­ran­cang men­ja­di peng­ha­sil listrik ter­be­sar se-Asia Tenggara. Tidak tang­ gung-tanggung, total daya yang di­pro­duk­si men­ca­pai 2000 Megawatt. Di­pre­dik­si, po­lu­si emi­si karbon bisa men­ca­pai 10,8 juta ton per tahun jika PLTU sudah mulai ber­ope­ra­si. Jumlah ter­se­but se­ta­ra de­ngan total emisi karbon yang di­ha­sil­kan Myanmar—sebuah negara—dalam se­ta­hun. Ka­was­an kon­ser­va­si laut yang se­mes­ti­nya me­li­puti se­pan­jang pantai Ujungnegoro hing­ga Roban pun turut di­ge­ser oleh Pemda. Hal ini dilakukan untuk melegalkan mega proyek lis­trik uap ini. Ke­pen­ting­an umum men­ja­di dalih untuk me­ngu­sir pe­ta­ni dan ne­la­yan dari sawah dan la­ut­nya. Sudah 4 tahun pe­no­lak­an warga ber­ha­sil meng­gang­gu proyek ini. Se­la­ma itu, ne­ga­ra me­ ru­gi sampai 9 tri­li­un ru­pi­ah per ta­hun­nya. Sa­yang­nya tak sampai meng­ga­gal­kan, upa­ya warga hanya mampu me­nun­da proyek ini ber­ja­lan. Kini pagar seng sudah me­nu­tup akses pe­ta­ni dari sa­wah­ nya. Di laut, kapal-kapal besar peng­angkut batu tak segan-segan untuk me­na­brak kapal kecil ne­la­yan jika masih ber­se­li­wer­an. FOTO OLEH KHUSNUL | EKSPRESI


TELUSUR

Laut Panas Nelayan Roban

Aktivitas melaut warga terusik. Berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang dinilai bakal merugikan mata pencaharian nelayan.

Oleh Winna Wijayanti

S

e­ki­ra lima belas meter jarak rumah itu dari ga­lang­an kapal. Se­be­lah kanan ada se­ta­pak kecil me­nu­ju Pantai Ujungnegoro yang bisa di­tem­puh ber­ja­lan kaki se­la­ma lima menit. Se­be­rang­nya lagi ber­di­ri kamar mandi se­ki­tar empat meter ber­dam­ping­an dengan jem­ba­tan bambu yang men­ja­di peng­hu­bung ke tempat singgah pe­ra­hu ne­ la­yan. Pada 21 Juni 2016, tampak lima belas pe­ra­hu ber­san­dar di se­be­lah timur. Rumah yang di­do­mi­na­si warna hijau muda, dan di­leng­kapi biru pada ba­gi­an jen­de­la, me­nyi­ta per­ha­ ti­an tepat di ba­gi­an atas­nya. Ter­le­kat kertas HVS A4 ber­tu­lis­kan: “Tolak PLTU Harga Mati!”. Zaini, be­ gi­tu dia akrab di­sa­pa, sering kali meng­gu­na­kan ru­ mah­nya se­ba­gai tempat mu­sya­wa­rah ber­sa­ma warga ne­la­yan. Ter­uta­ma se­men­jak per­so­al­an PLTU ber­ ga­ung tahun 2011 hingga 2016. “Saya dan be­be­ra­pa orang sering kumpul dan mem­ba­has ma­sa­lah di sini, kadang juga di ru­mah Pak Rokiban,” ujar Zaini saat kami jumpai pagi hari di ke­di­am­an­nya. Dalam per­te­mu­an itu me­re­ ka mem­bin­cang upaya agar PLTU tidak ber­di­ri di Batang. Salah sa­tu­nya adalah mu­sya­wa­rah ter­ka­it masa depan pe­si­sir tempat PLTU ber­di­ri. Ber­awal dari desas-desus yang me­nye­bar di ka­lang­an ne­la­yan, Zaini ber­ce­ri­ta bahwa awal­nya warga tak tahu me­na­hu soal PLTU. Di­per­ki­ra­kan pada 2010 isu me­nge­nai pem­ba­ngun­an mulai ter­ de­ngar. “Dan yang mem­be­ri kabar akan di­ba­ngun PLTU adalah Pak Handoko,” terang le­la­ki yang kini ber­usia 42 tahun. Handoko Wibowo me­ru­pa­kan se­orang peng­ aca­ra, se­ka­li­gus pen­di­ri Omah Tani yang ber­lo­ka­ si di Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang. Se­bu­ ah lem­ba­ga yang di­ke­lo­la­nya untuk mem­ban­tu me­ nye­le­sai­kan kasus-kasus yang ter­ja­di pada pe­ta­ni. Ia di­anu­ge­ra­hi Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 2015, yang se­ca­ra rutin di­be­ri­kan pada sosok yang telah ber­ja­sa dalam pe­ne­gak­an Hak Asa­si Ma­ nu­sia di Indonesia. Saya men­jum­pai di ke­di­am­an­nya, yang juga me­ru­pa­kan kantor Omah Tani. Handoko meng­aku memang men­da­pat kabar akan di­ba­ngun proyek besar PLTU. “Kalau tidak salah tahun 2010-an saat

46 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

belum ada apa-apa. Saya bilang pada warga ne­la­ yan, jangan meng­gam­pang­kan per­so­al­an ini (pem­ ba­ngun­an, Red.),” ujar alum­nus Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). *** Ke­kha­wa­tir­an akan masa depan laut, ter­uta­ ma ter­ka­it mata pen­ca­ha­ri­an, se­la­lu hinggap dalam benak warga Roban. Se­per­ti di­ra­sa­kan Sahadi, ne­ la­yan pen­da­tang dari Demak. Ber­sa­ma ke­lu­ar­ga ia hijrah ke Roban pada 2014 untuk men­ca­ri pen­da­ pat­an yang lebih baik. “Saya sampai cari ikan ke Batang ka­re­na di Jepara susah,” te­rang­nya. Jepara ada­lah salah satu ka­was­an ber­di­ri­nya PLTU pada per­te­ngah­an 1990, te­pat­nya be­ra­da di Semenanjung Muria. “Di Jepara, ne­la­yan juga mulai takut cari ikan, nanti ter­se­dot bisa mati. Lha wong pe­ra­hu ne­la­yan itu lho kecil,” ujar Sahadi. Se­ra­ya meng­acung­kan te­lun­juk­nya ke atas ia ber­ ujar lagi, “Kita di­ja­jah Jepang. Dadi nenek moyang Jepang tinggalane ning Indonesia iso seturutturut (Jadi pe­ning­gal­an nenek moyang Jepang di Indonesia bisa turun-te­mu­run). Di Jepara juga Jepang yang mem­b a­n gun. PLTU yang me­n gu­ asai Jepang. Podo ora mikir tanah e didol nang Jepang (Pada tidak ber­pi­kir kalau ta­nah­nya di­ju­ al ke Jepang).” Per­ten­tang­an yang men­j a­di lan­das­an warga Roban me­no­lak pem­ba­ngun­an PLTU di­ka­re­na­ kan ka­was­an Pantai Ujungnegoro-Roban masuk dalam Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Hal ini sesuai Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.29/ Men/2012. Ada­pun dalam KKLD ter­da­pat lima poin penting. Per­t a­m a, men­j a­m in ke­l es­t a­r i­a n eko­s is­t em laut TRIYO | EKSPRESI


TELUSUR

untuk me­no­pang ke­hi­dup­an ma­sya­ra­kat yang ter­ gan­tung pada sumber daya yang ada. Ke­dua, per­ lin­dung­an ter­ha­dap ke­ane­ka­ra­gam­an ha­ya­ti laut. Ke­ti­ga, pe­man­fa­at­an sumber daya laut yang ber­ke­ lan­jut­an. Ke­em­pat, pe­nge­lo­la­an sumber daya laut dalam skala lokal se­ca­ra efek­tif. Ke­li­ma, peng­atur­ an ak­ti­vi­tas ma­sya­ra­kat dalam ka­was­an pe­nge­lo­la­an. Se­n a­d a dengan pe­n u­t ur­a n Aliman, ne­l a­y an Roban yang juga aktif ber­ju­ang me­la­ku­kan pe­no­ lak­an, “Dinas Provinsi sudah beri ke­pu­tus­an untuk me­les­ta­ri­kan laut di Ujungnegoro. Itu ka­was­an kon­ ser­va­si, banyak te­rum­bu karang.” Se­p er­t i yang di­t u­l is Dinar Bayu, ak­t i­v is Greenpeace Indonesia, dalam ar­t i­kel­n ya ber­ju­ dul “Tolak PLTU Batubara, Energi Kotor Harus Dihentikan”, alas­an pe­me­rin­tah mem­ba­ngun PLTU adalah untuk men­cu­kupi ke­bu­tuh­an listrik ma­sya­ra­ kat. Se­men­ta­ra ber­da­sar­kan data yang di­ke­lu­ar­kan PLN tentang rasio elek­tri­fi­ka­si di Indonesia, di Jawa sudah 90% wi­la­yah­nya ter­aliri listrik. *** Abdul Hakim, ne­l a­y an yang ke­s e­h a­r i­a n­n ya meng­ajar me­nga­ji di Masjid Muhajirin, meng­uta­ ra­kan, “Per­usa­ha­an bilang pem­ba­ngun­an itu untuk rakyat, tapi semua itu tidak benar.” Abdul me­ni­lai tidak ada per­tim­bang­an ter­ha­dap nasib rakyat kecil. Ken­da­ti dalih yang di­gu­na­kan per­usa­ha­an PLTU di­ba­ngun untuk ke­bu­tuh­an listrik ma­sya­ra­kat. “Itu tidak benar,” sergah Abdul. “Listrik di­ba­ngun untuk ke­bu­tuh­an in­dus­tri. Ini urus­an per­usa­ha­an yang me­ me­nang­kan tender pem­ba­ngun­an PLTU Batang,” te­gas­nya. Pro­fe­si ne­la­yan telah mem­be­ri peng­hi­dup­an ma­sya­ra­kat Roban. Abdul, yang juga adik kandung dari Aliman dan Rokiban, me­nga­ta­kan, dari hasil me­nang­kap ikan di laut, ne­la­yan bisa mem­ba­ngun Tempat singgah perahu nelayan Roban (20/6).

rumah dan mem­be­li motor. “Jadi, kalaupun PLTU punya ren­ca­na akan me­na­war­kan la­pang­an kerja ke ma­sya­ra­kat Roban, saya yakin itu bohong,” te­gas­nya. Ia juga me­ya­ki­ni, bahwa nanti, rakyat kecil hanya akan jadi kuli panggul. “Per­usa­ha­an pasti butuh te­ na­ga mi­ni­mal ijazah SMA, bahkan S1,” ujar nelayan yang pernah menjabat sebagai Ketua Paguyuban Nelayan tahun 2001-2011. Dari pe­nu­tur­an Abdul pula, di­ke­ta­hui peng­ha­sil­ an ne­la­yan men­ca­pai Rp400 ribu sampai Rp500 ribu dalam jumlah bersih per hari. Di­po­tong biaya ope­ra­ si­onal se­be­sar Rp200 ribu sampai Rp250 ribu untuk solar dan lain-lain. Se­hing­ga total bisa sampai Rp700 ribu sampai Rp750 ribu dalam hi­tung­an kotor. Se­ ja­uh ini, se­ki­tar 250 pe­ra­hu telah men­ja­lan­kan roda per­eko­no­mi­an warga. Atas dasar ke­s e­j ah­t e­r a­a n itulah ma­s ya­r a­k at Roban terus me­no­lak pem­ba­ngun­an. “Saya tidak te­ ri­ma ter­ha­dap PLTU. Ka­lau­pun nyawa yang jadi ta­ ruh­an, kami warga Roban siap. Kalah atau menang bukan urus­an kami, itu adalah hak Tuhan,” kata Abdul yakin. *** Handoko me­mi­liki pan­dang­an lain ter­ka­it per­ ma­sa­lah­an yang me­lan­da rakyat Batang. “Wajah in­ dus­tri di Indonesia me­mang musuh rakyat,” ujarnya. “Kalau ada pe­lu­ang ya harus cari celah dong. Piye celah e? Itu tugas NGO, tugas kaum ter­pe­la­jar, tugas ka­um in­te­lek. Cari si­asat. Kalau enggak me­nger­ti per­ ju­ang­an, ya demo terus,” jelas pe­nga­ca­ra yang juga di­ke­nal akrab oleh warga Roban. Ter­hi­tung sampai lima pu­luh­an kali warga me­la­ku­kan aksi. Pen­d am­p ing­a n ter­k a­i t kasus pem­b a­n gun­a n PLTU se­la­ma ini di­la­ku­kan oleh LBH Semarang, KIARA, dan Greenpeace Indonesia, dengan fokus yang ber­be­da satu sama lain. Di­du­kung pula oleh se­ni­man dan mu­si­si-mu­si­si yang turut aktif me­ne­ mani aksi me­re­ka, seperti Marjinal, Taring Padi, dan Akar Rumput. Pe­ri­hal si­tu­asi panas yang ter­ja­di di tengah warga ne­la­yan, Handoko sudah me­ren­ca­na­kan stra­te­gi: mem­bu­at tim terdiri dari ne­la­yan, pe­me­rin­tah, dan BPI. Tu­ju­an­nya untuk meng­ada­kan dialog di an­ta­ra ke­ti­ga pihak ter­se­but. “Saya ingin meng­awal, kalau ter­buk­ti BPI salah, bisa di­tun­tut ke peng­adil­an. Te­ ta­pi kalau warga enggak mau, ya sudah,” tu­tur­nya me­nya­yang­kan. Ka­re­na sampai detik ini pun ta­war­ an ter­se­but tak di­gu­bris. Se­men­ta­ra ke­kha­wa­tir­an warga makin me­mun­ cak se­iring ber­di­ri­nya PLTU. Di mana batu bara se­ ba­gai bahan dasar akan mem­bu­ang ju­ta­an air panas langsung ke dalam laut yang ber­dam­pak pada eko­sis­ tem se­ki­tar. Se­per­ti di­tu­lis­kan Dinar, hasil pem­ba­ kar­an me­la­lui ce­ro­bong ter­da­pat kan­dung­an racun yang tinggi. Ikan, udang, cumi-cumi, gu­ri­ta, dan kerang akan mati ka­re­na per­ubah­an kom­po­si­si air laut aki­bat bu­ang­an dari PLTU. Ka­lau­pun hidup, kon­di­si biota laut itu buruk, se­hing­ga tak layak di­ kon­sum­si. EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 47


TELUSUR

*** Pantai Ujungnegoro ber­a da wi­la­y ah Roban, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang. Se­la­in di­ke­ nal kampung ne­la­yan, Roban juga me­mi­liki se­but­an “Roban Siluman” ber­da­sar­kan ce­ri­ta le­lu­hur. “Dulu di Roban pohon masih besar-besar, kata Bapak saya, di sini banyak bangsa si­lu­man. Ma­ka­nya kalau mau tidur tidak be­ra­ni cuci kaki, nanti bisa me­ning­gal,” ujar Bejo Glopot. Bejo adalah kakak ipar Zaini. Ma­ sya­ra­kat me­nge­nal­nya se­ba­gai pen­du­duk yang me­ nger­ti se­ja­rah Roban. “Waktu itu, kalau orang Roban me­na­nak nasi, terus di­ting­g al pergi, pas pulang di­b u­ka isi­n ya darah semua,” kenang Bejo akan cerita al­mar­hum ba­pak­nya. Se­but­an “Roban Siluman” me­ru­pa­kan ke­bang­ga­ an pen­du­duk ne­la­yan. Juga men­ja­di se­ma­ngat iden­ ti­tas me­re­ka me­la­ku­kan per­la­wan­an ter­ha­dap PLTU. Ken­da­ti pun se­ma­ngat me­re­ka ber­ulang kali di­ke­ ce­wa­kan. “Kami sudah ber­upa­ya minta tang­ga­pan ma­sa­lah laut ini, te­ta­pi enggak pernah ada yang me­ res­pons. Saya cemas, ba­gai­ma­na dengan nasib anak dan cucu saya nanti?” kata Bejo me­nge­nang aksi pe­ no­lak­an yang telah ber­ulang kali di­la­ku­kan warga. Pro­fe­si ne­la­yan telah men­ja­min ke­se­jah­te­ra­ an warga Roban. Peng­ha­sil­an dari laut se­la­ma ini mampu me­lang­sung­kan proses peng­hi­dup­an me­ re­ka. Se­men­ta­ra, ber­di­ri­nya PLTU men­cip­ta sua­sa­ na be­ker­ja di­li­puti ke­kha­wa­tir­an. Per­la­han-lahan ke­le­lu­asa­an me­la­ut bisa ter­sing­kir. Warga pe­si­sir, ter­uta­ma para ne­la­yan, akan me­nang­gung dampak pem­ba­ngun­an yang mem­ba­ha­ya­kan. Warga meng­akui dampak PLTU akan me­ru­gi­ kan me­re­ka. Para ne­la­yan yang hijrah me­la­ut dari daerah asal­nya, yang juga di­se­bab­kan PLTU, se­per­ti Cilacap, Jepara, dan Indramayu, me­mi­lih Batang se­ ba­gai tempat per­sing­gah­an dengan hasil tang­kap­an yang ter­ke­nal subur. Se­ja­lan dengan yang di­sam­pai­ kan Sahadi, “Terus sampe mrene, kan usaha supoyo lancar. Lah kok ono ka­ha­nan PLTU di­ba­ngun. Nah terus mlayu ngendi neh? Kan urip wis nyoro, wis sesek reno-reno, nyambut gawe serba ora tenang (Lalu sampai di sini, usa­ha agar lancar. Ter­nya­ta ada pem­ba­ngun­an PLTU. Terus lari ke mana lagi? Hidup sudah ber­usa­ha, sudah sesak macam-macam, Red.)” *** Pada Agustus 2015, Greenpeace Indonesia mengeluarkan data me­nge­nai Ancaman Maut PLTU Batu bara. Di dalamnya dipaparkan ba­ha­ya yang di­ ke­lu­ar­kan PLTU be­ru­pa po­lu­si yang dapat me­ra­cuni udara. Di mana dampaknya me­nye­bab­kan gangguan ke­se­hat­an, serta ke­ru­gi­an pada lahan per­ta­ni­an dan per­ikan­an. Itu­lah yang men­ja­di ke­re­sah­an ma­sya­ra­kat, pem­ba­ngun­an PLTU akan me­reng­gut mata pen­ca­ha­ri­an warga. Wi­la­yah yang men­ja­di tempat pem­ba­ngun­an tepat berada di ka­ was­an kon­ser­va­si. Se­men­ta­ra, wi­la­yah itu me­ru­pa­kan tempat ber­kem­bang­nya ha­

48 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 KHUSNUL | EKSPRESI

Kami sudah ber­upa­ya minta tang­ga­pan ma­ sa­lah laut ini, te­ta­pi enggak pernah ada yang me­res­pons. Saya cemas, ba­gai­ ma­na dengan nasib anak dan cucu saya nanti? Bejo

bi­tat laut yang jadi sumber ke­se­jah­te­ra­an eko­no­ mi ne­la­yan. “PLTU ngadhek iki ne­layan do nangis, sopo sing nu­lungi? Sambat yo arep nyang sopo? Ora ono sing nulungi, demo nyatane ora di­te­mo­ni (PLTU berdiri ini ne­la­yan me­na­ngis, siapa yang mau mem­ban­tu? Me­nge­luh mau sama siapa? Tidak ada yang mem­ ban­tu, aksi nya­ta­nya tidak di­te­mui),” kata Sahadi ber­na­da geram. Ber­ang­sur-angsur me­re­ka mem­per­ ta­nya­kan upaya yang di­la­ko­ni se­la­ma ini. Se­ba­gai rakyat kecil yang ter­ke­na imbas, tak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali menolak dan menolak. Zaini me­nyam­pai­kan posisi di­le­ma­tis per­ju­ang­ an warga. Ia me­ra­sa wa­lau­pun di Roban sering me­ nga­da­kan ke­gi­at­an se­per­ti mu­sya­wa­rah, dan se­se­ka­ li meng­ha­di­ri un­dang­an ter­ka­it ke­se­jah­te­ra­an ne­la­ yan dari LSM, semua itu ter­nya­ta belum men­ja­wab ke­bi­ngung­an yang di­ala­mi­nya se­ka­rang. “Saya se­ba­ gai warga yang kontra, puyeng. Me­li­hat si­tu­asi PLTU sudah ber­di­ri, apa­la­gi. Ne­la­yan pen­da­tang yang men­ca­ri ikan ke sini juga me­nge­luh,” ka­ta­nya saat kem­ba­li saya jumpai se­te­lah le­bar­an, 18 Juli 2016. Ce­ri­ta Zaini me­nge­nai saran Handoko yang pernah di­sam­pai­kan ke­pa­da­nya se­ma­kin mem­bu­ at­nya bingung. “Is­ti­lah­nya, saya itu di­su­ruh pasang kuda-kuda (stra­te­gi, Red.). ‘Enggak se­mua per­ la­wan­an mem­ba­wa se­na­pan kan?’ Pak Handoko nyuruhnya gitu. Kalau saja dia yang turun, PLTU enggak bakal ber­di­ri,” ujar­nya ber­ha­rap, meng­ingat se­ga­la usaha yang telah di­le­wati belum mem­bu­ah­ kan hasil. Se­men­ta­ra, be­la­kang­an PLTU di wi­la­yah Pantai Ujungnegoro kokoh ber­di­ri. Walau be­gi­tu, jargon “Tolak PLTU Harga Mati” yang se­nan­ti­asa me­re­ka ge­ma­kan sudah ko­mit­men dari awal. Sampai titik darah peng­ha­bis­an, ke­ya­ kin­an me­re­ka sama: me­no­lak. Se­per­ti aksi yang di­ la­ku­kan ber­ulang kali untuk men­de­sak agar PLTU tidak di­ba­ngun di Batang. Itu men­ja­di cara riil warga dalam me­nu­tur­kan ke­ke­ce­wa­an pada kor­po­ra­si mau­pun pe­me­rin­tah. Sem­ba­ri meng­ingat mu­sya­wa­rah yang sering di­la­ku­kan oleh warga, dengan nada se­di­kit me­nya­ yang­kan, Zaini meng­aku bahwa memang dalam per­ ju­ang­an ada ke­ka­lah­an. Namun, me­re­ka kem­ba­li­ kan lagi ke­pa­da Yang Maha Kuasa. Ka­re­na warga tetap op­ti­mis dan tidak patah se­ma­ngat. “Sampai se­ka­rang, mau PLTU ber­di­ri atau tidak, kami tidak kendur. Kami tidak pasrah,” ujar­nya dengan nada geram dan ber­se­ma­ngat. Kini sudah lima tahun ber­se­lang. Upaya tak henti di­ke­rah­kan warga me­no­lak pem­ba­ngun­an PLTU yang me­ru­gi­kan laut me­re­ka. Me­wa­kili kampung ne­ la­yan dan wi­la­yah “Roban Siluman”—nama-nama yang meng­ab­di­kan diri dalam pro­fe­si me­la­ut— telah men­ja­di pe­nyam­bung lidah rakyat se­na­ sib se­pe­nang­gung­an. Me­re­ka adalah Zaini, Abdul Hakim, Aliman, Sahadi, Bejo Glopot, dan Rokiban yang teguh men­di­dik pe­ngu­asa dengan me­la­ku­kan per­la­wan­an.[] Zaini saat diwawancara di rumahnya (18/7).


­Orang-­Orang ­yang Diperburuh Lima tahun berjuang mempertahankan sumber penghidupan. Puncaknya, tanah resmi dirampas dengan penetapan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012. Oleh Khusnul Khitam

S

elasa, (20/09), hari masih dini, baru sekitar pukul lima lebih. Sepagi itu, seorang perempuan paruh baya menyusuri rel dari arah barat, menantang matahari. Dari kejauhan, tampak gubuk bambu didominasi warna merah dan kuning. Perempuan itu sempat berhenti di depan gubuk selama beberapa menit. Dari arah rel, Ia melihat lokasi lahan miliknya. Wajahnya cemas. Ia sempatkan diri untuk berdoa. Ialah Daspi—demikian ia biasa disapa— mengeratkan genggaman pada sabit yang sedari tadi di tangannya. Ia bergegas turun ke area persawahan. Beberapa meter di depannya, pagar seng sepanjang lima kilometer menghalangi perjalanan. Daspi membuka satu di antara seng-seng itu. Seng yang memang telah sengaja dirusak warga untuk dijadikan jalan satu-satunya menuju lahan. Kala itu, Daspi harus melangkah, membungkuk melewati celah. Setelah berada di dalam, ia menutup kembali seng itu. Daspi tidak sendiri, setelahnya dua perempuan dari arah yang sama membuka celah. Mereka masuk secara bergantian. Mereka membawa cething kosong dalam gendongan. Mereka datang untuk memanen sisa-sisa padi yang masih bisa dihasilkan oleh sawah mereka masing-masing. Sekitar satu jam kemudian, Temu beserta istrinya datang. Mereka tidak langsung ke sawah. Keduanya duduk di depan gubuk itu. Lama mereka terdiam. Hingga akhirnya sang istri yang memulai percakapan terlebih dahulu. “Ayo pak,” ajak perempuan itu. “Kowe wae. Satpam mesti ora tega karo wong wadon. (Kamu saja. Satpam pasti tidak tega dengan perempuan),” jawab Temu. Sang istri tidak menjawab. Wajahnya nyata menampakkan ketakutan. Beberapa detik itu ia gunakan untuk terus memandang antara lahan dan suaminya. Bagi mereka, sejak 2 bulan lalu memang

TRIYO | EKSPRESI

TELUSUR

Daspi dengan rasa was-was memanen sisa padi yang ia tanam di sawahnya sediri walau sudah dilarang masuk dan sawahnya dipagar seng oleh BPI, (20/6).

tak ada hari yang dilewati tanpa kekhawatiran ketika menuju ke sawah. *** Siangnya, Cahyadi menyusul datang, tapi ia tidak turun ke lahan. Ia masuk dan duduk di gubuk itu. Tidak ada yang ia kerjakan. Capingnya yang bertuliskan “Cahyadi” dengan cat biru, dari kepalanya, ia lepaskan. Capingnya meninggalkan jejak keringat di keningnya. Selang beberapa lama, beberapa warga menghampirinya dengan tergesa-gesa. “Pak Cahyadi, tanahe nyong diuruk. Priwe iki? Tolong! (Pak Cahyadi, tanah saya diuruk. Bagaimana ini? Tolong!)” tutur Wagini. Sekejap itu, Cahyadi tidak bisa berbicara apa-apa. Ia ikut panik. Sementara Wagini terus saja meminta bantuan. Warga mengambil tindakan. Beberapa di antaranya gegas berlari menuju lahan yang sedang dalam pengerukan itu. Wagini yang merasa lahannya sedang terancam, berada paling depan. Ia mengambil langkah berbeda. Di depan pagar itu, ia merangkak masuk. Sementara yang lain menunggu di luar. “Mas, tanah orong didol ka diduruk, Mas! (Mas, tanah belum dijual, kok diuruk, Mas!)” teriak Wagini. Seketika itu, keberaniannya berhasil menghentikan mesin Excavator yang sedang melakukan pengerukan. “Pagar iki kuwi pelanggaran,” ucap Cahyadi seraya menggedor-gedorkan tangannya ke pagar hingga mengeluarkan bunyi yang cukup keras. “Perampasan lahan warga!” Sejak keluarnya surat pemberitahuan dari PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) tertanggal 21 Maret 2016, warga dilarang masuk ke dalam. Pemagaran ini dilakukan tanpa persetujuan warga. Jika ada warga yang ketahuan masuk, akan dikejar dan diintimidasi oleh penjaganya. Padahal, kata Cahyadi, masih ada sekitar 20-an hektar tanah warga ada di dalam pemagaran. Tanah tersebut ditandai dengan plang-plang, walaupun ada juga yang tidak. Ia adalah tanah-tanah yang tidak mau dijual kepada BPI oleh pemiliknya. Termasuk Cahyadi, tanah ini adalah satu-satunya sumber penghasilan baginya. Cahyadi mempertanyakan pemerintah yang katanya akan menyejahterakan warga, “Tidak EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 49


mungkin akan sejahtera, tidak mungkin!” Di sisi lain, menilik sejarahnya, dimulai pada tahun 2011. Sejak pemerintah menunjuk PT BPI untuk melakukan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 2x1000 Megawatt di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pembangunan ini didanai oleh Japan Bank International Cooperation (JBIC) dan dicanangkan akan menjadi proyek terbesar se-Asia Tenggara. Tidak tanggung-tanggung, dana tersebut sebesar Rp56 triliun. Adapun pengadaan lahan yang diperlukan proyek ini 226 hektar. Yaitu lahan persawahan produktif milik warga. Hal ini memunculkan penolakan warga terhadap pembangunan. Lima Desa yang secara terang-terangan menolak adalah Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR). Warga desa-desa inilah pemilik lahan itu. Awal mula pihak BPI memperkenalkan proyek PLTU, sosialisasi pertama rencana pembangunan langsung mendapat penolakan dari warga. Penolakan ditandai dengan aksi-aksi dan warga tidak bersedia menjual tanahnya. Warga juga telah melihat secara langsung dan berkaca pada penderitaan masyarakat Cilacap, Jepara, dan Cirebon. Debu bertebaran ke mana-mana dan mengganggu lahan pertanian di sekitar PLTU yang ada di tiga lokasi itu. Demikian yang ditakutkan warga jika pembangunan PLTU di Batang tetap terlaksana nantinya. Tidak tanggung-tanggung, penolakan yang sudah berjalan 5 tahun ini sempat membuat proyek tertunda selama tiga kali, yaitu tahun 2011, 2013, dan 2014. “Sampai kapanpun tanah tidak akan saya jual. Warisan untuk anak cucu saya,” ungkap Cahyadi. Akan tetapi, masalah lahan yang terus berlarutlarut ini akhirnya kebobolan pada tahun 2015. Proses pembebasan lahan seluas 12,5 hektar—menurut Cahyadi sebenarnya masih 20-an hektar—dilakukan dengan cara penetapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 oleh pemerintah. Undang-undang ini berisikan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. *** Rumah Daspi berdinding bambu. Atapnya terbuat dari daun lontar. Pelataran rumahnya luas, beberapa pohon nangka tumbuh di sana. Gundukan bebatuan berada di salah satu sisi pohon tepat di depan rumah Daspi. Di rumah itu Daspi hanya tinggal berdua dengan anak laki-lakinya. Ayah dan ibunya belum lama itu telah meninggal. Di pelataran itu, Daspi teringat kembali peristiwa ketika Ia harus melawan rasa takut saat menuju lahannya. Sore itu Daspi ditemani Dauni—kakaknya— duduk di bebatuan depan rumahnya. Itu adalah panen terakhir. Sawahnya sudah tidak bisa lagi dikelola dan ditanami. Pagar yang ia masuki dulu, sudah diperbaiki pihak proyek PLTU dan tidak bisa dibuka lagi, katanya. Panen terakhir itu hanya menjadikan beras 30 kg. Karena dipagar seng, padi tidak bisa dirawat. Akhirnya, padi rusak dimakan tikus.

50 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

PRIMA | EKSPRESI

TELUSUR

Temu akan mencangkul sawahnya yang tidak dipagari, (23/7).

Adapun tanah yang dirampas itu seluas 250 m². Ia adalah tanah warisan dari orang tuanya. Surat tanah masih bernama ayahnya. Dan di sanalah Daspi menggantungkan sumber penghidupan. Tanaman padinya, sebelum di pagar, biasa menghasilkan 6 kuintal dan ia gunakan untuk konsumsi sehari-hari. Ia tidak menjualnya. Sekali panen itu bisa memenuhi kebutuhan nasi 2 tahun. Namun, kalau berniat menjual ke juragan, ia bisa mendapatkan Rp5 juta. Di hari yang semakin gelap itu, Daspi bercerita tentang ayahnya. Suatu hari, ayah Daspi mengeluh, dalam sehari rumahnya bisa didatangi lima sampai tujuh orang secara bergantian. Mereka mencoba menemui ayah Daspi dan memaksanya untuk menjual lahan. “Koe da mrene ngapa? Nyong ora pan adol sawah. Men ditanduri anake, men pada panen. Nyong egen doyan mangan, men dipaculi! (Kamu ke sini mau apa? Aku tidak akan jual tanah. Biar tanah ditanami anakku, biar bisa panen. Aku masih mau makan, biar dicangkuli!),” teriaknya pada orangorang itu. Akan tetapi, mereka yang ingin ayah Daspi menjual lahannya, tidak serta-merta langsung menyerah. Esoknya mereka bisa datang lagi, atau bahkan berganti orang ke rumah Daspi, tujuannya sama. Namun, pendirian ayah Daspi tetap: menolak memberikan lahan. “Barang tinggalane wong tua, ora pan tak dol! (Tanah peninggalan orangtua, tidak akan saya jual!)” Melihat kegigihan ayahnya dalam mempertahankan lahan itulah Daspi ikut berjuang. Kini, setelah ayahnya meninggal, orang-orang suruhan proyek sudah tidak pernah lagi datang ke rumahnya. Kabarnya, setelah ditetapkannya UU No 2 Tahun 2012, maka lahan secara hukum resmi milik BPI.


TELUSUR

Warga yang belum menjual lahannya mendapat uang pengganti yang dititipkan ke pengadilan. “Dulu pernah disuruh mendet teng pengadilan, tapi kulo mboten mau,” jawab Daspi. Ketika ditanya lagi mengenai jumlah uang pengganti. Ia cenderung mengatakan tidak tahu. Kini, karena lahannya sudah dirampas oleh pembangunan PLTU, Daspi tidak lagi punya pekerjaan. Ia yang biasanya setiap pagi sudah di sawah, kini waktunya hanya untuk berada di rumah. Dan bukan hanya ia saja yang kehilangan pekerjaan, banyak warga juga menjadi pengangguran oleh disebabkan proyek ini. *** Dalam sebuah pertemuan di rumah Abdul Hakim di Desa Roban, Khumaidi memaparkan tentang keadaan lahan. Katanya, sekarang itu pihak PLTU semakin mempersulit keadaan. Setelah pemagaran yang dilakukan, sampai-sampai surat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tanah yang berada di lingkar proyek, tidak diterima warga tahun ini. Yang ditakutkan, jika surat pajak tidak juga dikeluarkan maka tanah sudah bukan lagi milik mereka, ungkapnya. “Bagaimana ini?” tanyanya dalam forum itu, mungkin lebih kepada diri sendiri. Padahal, Papar Khumaidi, tanah punya arti yang sangat besar untuknya. Ia sedari kecil hingga kini berumur 73 tahun bertani. Hasil pertaniannya untuk menghidupi 11 anak. Semua anaknya Ia sekolahkan, hingga kini mereka sudah ada yang bekerja sebagai pegawai kantoran, pegawai negeri, kantor KUA, tukang batu, dan tiga di antaranya supir angkutan umum. Walaupun semua anaknya telah menikah, tutur Khumaidi, ia tetap memberikan hasil panen berupa beras untuk keseharian anak-anaknya. Sekarang, melihat anak-anaknya sudah dewasa

Kamu ke sini mau apa? Aku tidak akan jual tanah. Biar tanah ditanami anakku, biar bisa panen. Aku masih mau makan, biar dicangkuli! Daspi

dan bisa menghidupi kebutuhannya sendiri, Khumaidi berniat hasil panennya akan ia tabung dan untuk naik haji. Dalam setahun Khumaidi bisa panen tiga kali dan setiap panen bisa mencapai 5 ton. Jika Ia ingin naik haji, katanya lagi, ia hanya perlu menabung dalam dua tahun dari hasil tanahnya. “Saya berpikir saya sudah tua, saya mau naik haji. Jebule trep dari tahun 2011 sampai sekarang,” sesalnya. Harapannya pupus ketika melihat sawahnya sudah tidak bisa dikelola. “Kerugian aku uwis seberapa ya uwis hanyut,” tambahnya. Harapan untuk naik haji sebenarnya sudah pernah ada. Ketika pihak BPI datang untuk membeli tanahnya dengan harga yang tinggi, ia justru dengan tegas menolaknya. “Sudah berulang kali orang BPI itu bilang, kalau bapak ikut, saya kasih bonus 300 juta. Mau bayar sekarang boleh,” cerita Khumaidi. Namun, ia menolaknya secara tegas. Anaknya yang kelima, M. Imron, ketika akan membangun musala juga sempat ditawari uang sejumlah 1 Miliar. Namun, anaknya juga tidak mau mengambil uang itu. “Nek aku melu, mengko masyarakat terpecah belah. Seng jenenge disuap ya mending ora. (Kalau aku bersedia, nanti masyarakat akan terpecah belah. Yang namanya suap, mending tidak).” Kekecewaan juga diterima oleh Cayani. Ia adalah satu-satunya pengepul bunga melati. Sawah Cayani sekitar 1 ha lebih. Tanaman melatinya bisa menghasilkan dua kuintal sekali panen per hari. Biasanya Cayani panen setiap pagi, dan sore akan ia kirimkan ke salah satu perusahaan di Pekalongan. Namun, hal itu sudah tidak pernah dilakukannya lagi. “Sejak bulan tiga (Maret) saya sudah tidak pernah lagi ke sawah,” ucap Cayani. Tanaman melatinya sudah tidak disentuhnya lagi untuk dirawat. Cayani juga tidak memanen. Bahkan Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana keadaan tanamannya sekarang. Padahal Cayani telah memiliki tanaman melati itu sejak 1995. Para pekerjanya berjumlah puluhan orang. Sayangnya, karena proyek PLTU ini mereka harus diberhentikan. “Kita biasanya punya tenaga kerja. Sekarang saya malah jadi tenaga kerja,” ungkapnya. Karena Cayani sudah tidak bisa lagi mengelola sawahnya, ia kini beralih profesi menjadi buruh tani. “Memang keahlian mencangkul ya saya kerja mencangkul. Tidak punya pengalaman lain,” tambahnya. Robiatun, istri Cayani, yang saat itu duduk di sampingnya, mengingat satu janjinya yang ia tujukan kepada anaknya. Ia berjanji akan membelikan anak pertamanya sebuah sepeda motor jika anaknya sudah lulus dari kelas tiga. Kini ketika anaknya menagih janji itu, tak ada yang bisa ia lakukan, kecuali memberikan senyuman pahit. “Opo bisa tuku Scoopy, Bu? (Apa bisa beli Scoopy, Bu?)” sahut anaknya melihat ibunya itu. “Memang di mana-mana keadilan itu susah diperjuangkan. Apalagi yang memperjuangkan itu rakyat biasa, yang tidak punya uang. Di Indonesia seperti itu yang bicara uang,” ucap Robiatun.[] EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 51


TELUSUR

TRIYO | EKSPRESI

Perjuangan yang Tak Termakan Uang

Paguyuban UKPWR mengadakan rapat membahas perkembangan proyek PLTU (19/7).

Kisah perjuangan untuk keadilan ekonomi dan lingkungan. Mereka lebih memilih kelaparan dalam perjuangan daripada menerima uang ratusan juta untuk diam.

Oleh Triyo Handoko

S

ej­ak 2013 si­lam, Roidi, se­orang gu­ru swas­ ta di Ken­dal ha­rus me­la­ku­kan per­ja­lan­an yang me­le­lah­kan. Se­ti­ap ha­ri Roidi ha­rus me­nem­puh ja­rak 138 Ki­lo­me­ter. Dari Ba­ tang ke Semarang di­tem­puh­nya 98 Km, dan si­sa­nya Semarang ke Kendal. Ia la­ku­kan per­ja­lan­an ini de­ngan se­pe­da mo­tor yang se­tia me­ne­ma­ni­nya. Se­be­tul­nya Roidi tidak harus me­nem­puh ja­rak se­jauh itu. Ia bisa ting­gal nya­man di as­ra­ma gu­ru yang di­se­dia­kan se­ko­lah tem­pat­nya me­nga­jar. Be­lum sam­pai se­ta­hun me­nga­jar di sa­na, ia me­ngun­dur­ kan di­ri. Ke­ca­muk pem­ba­ngun­an PLTU yang meng­ gu­sur la­han per­ta­ni­an di de­sa­nya, Karanggeneng, Kandeman, Batang, mem­buat­nya me­mi­lih ber­juang ber­sa­ma war­ga meng­ga­gal­kan proyek ini. Pe­­ker­ja­an ayah­nya se­ba­gai bu­ruh ta­ni yang me­nya­dar­kan Roidi untuk meng­or­ga­ni­sir per­juang­an war­ga. Ia ya­kin, ke­lak se­te­lah ber­ope­ra­si, PLTU ini ha­ nya akan meng­gu­na­kan te­na­ga ahli. “Je­las ini bu­kan in­dus­tri pro­duk­si ma­ka tak me­nye­rap ba­nyak bu­ruh.” La­gi pula, pikir Roidi, ma­yo­ri­tas war­ga de­sa­nya ha­nya ber­pen­di­dikan da­sar dan me­ne­ngah. “War­ga di­pak­sa men­jual sawah sum­ber peng­hi­dup­an­nya, pa­da­hal itu hak­nya. Lan­tas war­ga ber­ta­han hi­dup de­ngan cara apa jika sum­ber peng­hi­dup­an­nya di­ja­rah?” *** Wak­tu itu, se­ki­tar ti­ga bu­lan se­te­lah pe­lan­ti­kan Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah, ber­ sa­ma 15 war­ga Roidi di­un­dang Ganjar untuk au­dien­si pro­yek ter­se­but. Ia ingat waktu itu Ganjar me­ma­kai

52 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

Adanya struktur dengan ketua, sekretaris, bendahara dan bidang-bidang lain, hanya memperlemah gerakan penolakan Roidi

ke­me­ja pu­tih po­los yang khas di­pak­ai se­la­ma kam­ panye. Ganjar, dalam ingatan Roidi, dikenal sebagai calon Gubernur yang da­lam kam­pa­nye­nya ber­pi­hak pa­da pe­ta­ni. Na­mun, “Pro­gram Kar­tu Ta­ni, bi­sa ki­ ta li­hat se­ka­rang ada­lah ke­bo­ho­ng­an, canda gurau politik saja,” ungkap Roidi. Se­ba­gai ju­ru bi­ca­ra saat au­die­nsi ter­sebut, Roidi ingat betul bahwa Ganjar bilang akan meninjau kembali proyek PLTU ini. Namun, nyatanya tidak ada perubahan apapun dan proyek terus berjalan. “Saya sudah terbiasa, itu bahasa politik, berjanji untuk menenangkan saja,” ujarnya dengan geram. Selain menemui Ganjar, bersama warga kampungnya Roidi juga sudah menemui Pemerintah Daerah Batang, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komnas HAM, dan berbagai tokoh nasional sepeti Gus Mus dan Buya Syafi’i. “Hasilnya nol besar,” keluhnya. Selama perjuangannya bersama warga menolak PLTU, laki-laki kurus berumur 31 tahun ini telah puluhan kali mendapat teror. Sering pada malam hari Roidi harus terbangun oleh ketukan pintu rumahnya. Setelah dibuka ia dapati surat kaleng bernada ancaman. Sudah ratusan pesan teror dari nomor telepon yang tak ia ketahui. Teror dan ancaman itu juga tak hanya bersifat privat, sering ia temui selebaran yang ditempel di kampungnya dengan foto dirinya. Isinya hasutan kepada warga untuk menjauhi dan tidak mendengarkan dirinya. Tulisan itu, “Roidi adalah


TELUSUR

provokator!” “Saya juga sering adu fisik dengan pihak proPLTU.” Sambil mengulung kemeja, ia melanjutkan, “Ketika di jalan berpapasan dengan mereka, adu mulut tak bisa dihindarkan.” Dengan nada menyesal, ia berkata, “Sebenarnya mereka warga desa juga.” Sedang yang mengesalkan baginya adalah adanya preman-preman dari luar desa yang mencoba ikut campur dan hanya mengejar uang. “Soal uang, saya sudah biasa ditawari ratusan juta. Berulang kali,” katanya dengan nada meremehkan. Pada musim hujan tahun 2013, tepatnya pada hari-hari terakhir Desember, di sebuah rumah makan di Batang, Roidi memenuhi undangan makan malam seorang teman yang juga vokal menolak PLTU. Namun, bersama teman yang mengundangnya, ada dua orang Jepang yang hadir pada makan malam tersebut. Ia kaget tapi tetap mencoba bersikap tenang. Dua orang Jepang, yang menurutnya sebagai perwakilan dari Japan Bank for International Coorporation (JBIC) yang turut mendanai proyek ini, mengeluarkan amplop cokelat. “Ini ada 50 juta,” kata temannya. “Nanti akan ada tambahantambahan setelah ini diterima,” mencoba menyuap agar Roidi berhenti dalam gerakan penolakan PLTU bersama warga. Ia menampik uang sogokan tersebut. Baginya sekali menolak tetap menolak. Dalam rapat-rapat UKPWR Roidi se­la­lu hadir se­per­ti Minggu malam, 24 Juli 2016, di Tempat Pelelangan Ikan Roban Barat yang berada di pinggir hulu sungai kampung Roban. UKPWR ada­lah pa­gu­yub­ KHU SNU L|E an warga pe­no­lak PLTU Batang KSP RES I dari Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban. Se­ba­gai wadah per­ju­ang­an yang di­him­pun secara in­de­pen­ den dengan semangat gotong royong, Roidi menolak ada­nya struktur UKPWR. Ia ber­bi­ca­ra pada forum yang di­ha­diri se­kit­ar 50 warga. “Adanya struktur dengan ketua, sekretaris, bendahara dan bidang-bidang lain, hanya memperlemah gerakan penolakan,” ungkapnya ketika itu. Hal itu juga diamini mayoritas forum, termasuk Abdul Hakim, nelayan Roban yang vokal dalam gerakan penolakan PLTU. “Tidak ada struktur saja kita sering kebobolan oleh pengkhianat, apalagi ada struktur, pasti gampang dilemahkan,” kata Abdul. Bersama Greenpeace dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Roidi pernah berangkat dua hari ke Jepang. Di sana, ia menyampaikan aspirasi penolakan terhadap PLTU pada pemerintah Jepang, parlemen Jepang, dan JBIC. “Seperti halnya pemerintah di Indonesia, pihak Jepang juga hanya akan meninjau dan meninjau.” Satu tahun kemudian gantian Abdul yang berangkat ke Jepang. Dengan memakai baju batik, Jumat pagi, 26 Juni 2015, ia sampai di Kyoto, Jepang.

Abdul Hakim menunjukan pasport ketika bercerita pengalamanya memperjuangkan penolakan PLTU ke Jepang (19 /7).

Bersama temannya, Cahyadi dan Karomah, Ia mendatangi pemerintah Jepang, parlemen Jepang, dan JBIC. Di Kyoto, Abdul mengadakan seminar yang dihadiri kalangan aktivis lingkungan di Jepang. Ia berbicara tentang keadaan dan ancaman-ancaman atas berdirinya PLTU. Di sana ia jabarkan semua hal dengan dibantu Mitsuo, seorang pemuda Jepang yang juga fasih berbahasa Indonesia. Menurutnya, peserta seminar sangat terpukau dan menghormati perjuangannya. Senin 3 Juli 2015, Abdul kembali ke Indonesia. Seketika sampai di Bandara Soekarno Hatta, Abdul bersama rombongan mengadakan konferensi pers. Ia ceritakan pertemuannya dengan parlemen Jepang. Juga diterimanya dokumen alasan-alasan penolakan berdirinya PLTU setebal 35 halaman. Dan kesanggupan parlemen Jepang untuk meninjau kembali proyek tersebut. Selepas kon­fe­ren­si pers, sekitar pukul 11.00 WIB, Ia di­ja­mu undangan makan siang ber­sa­ma Kementerian Lingkungan Hidup. Namun tak disangka-sangka, ber­sa­ma jajaran ke­men­te­ri­an hadir pula tujuh orang ja­jar­an PLN dan direktur PT Bhimasena Power Indonesia (BPI). Ia marah. Ia me­ra­sa di­je­bak. Baginya, jalan ke­lu­ar semua ma­sa­lah ini adalah PLTU tidak ber­di­ri di Batang. Tidak ada yang lain. Apa­la­gi so­ gok­an untuk me­lu­nak. “Sampai kapan pun dengan san­di­ wa­ra atau per­ma­in­an apapun, kami tetap menolak. Kami sudah nyaman hidup seperti ini,” sambil menggebrak meja Abdul protes. Direktur PT BPI yang hari itu memakai kemeja putih dan berjas hitam tak mengeluarkan sedikit pun kata dalam pertemuan itu. Sekitar pukul 12.30 WIB jamuan selesai dan Ia kembali ke Roban, Batang, sumber penghidupan keluarganya dan ratusan nelayan lain. Selasa pagi, 19 Juli 2016, Abdul menceritakan bahwa warga Roban tetap konsisten menolak PLTU. “Iuran kas perlawanan juga masih diadakan,” katanya. Kas itulah yang menjadi sumber utama pendanaan aksi-aksi penolakan. “Pada prinsipnya, setiap nelayan di sini sepulang melaut akan menyisakan hasil tangkapannya untuk kas perlawanan.” Hasil tangkapan yang disisakan untuk kas perlawanan tersebut kemudian dilelangkan dan uangnya disimpan untuk kegiatan penolakan. Laki-laki berumur 44 tahun dengan dua anak perempuan ini melanjutkan, “Kalaupun nyawa menjadi taruhan, kami siap.” “Dalam memperjuangkan keadilan sebagai hak, kami tetap akan sesuai koridor hukum yang berlaku.” Pemerintah selama ini tidak pernah serius mendengar suara petani dan nelayan yang tercekik mata pencahariannya oleh proyek PLTU. “Ini program pemerintah untuk rakyat. Tapi rakyat mana?,” katanya dengan lantang. “Masyarakat hanya membutuhkan lingkungan yang segar dan bersih."[] EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 53


KHUSNUL | EKSPRESI

TELUSUR

Kerukunan Kami Terpecah

Seorang petugas proyek PLTU melintas di luar pagar seng (20/6).

Pembangunan PLTU Batang memunculkan kubu pro dan kontra. Kehidupan “guyub rukun” antarwarga terpecah karenanya. Oleh Prima Abadi Sulistyo

M

alam telah jatuh. Sayup-sayup ter­de­ ngar lan­tun­an ayat-ayat kitab suci di­ ku­man­dang­kan. Meng­hi­dup­kan salah satu malam Ramadan 2016. Hawa dingin malam itu tak me­nyu­rut­kan para warga untuk datang ke gubuk per­ju­ang­an. Cahaya lampu senter mem­bantu mereka me­nyu­suri jalan di tepi rel. Mereka menuju gubuk di tengah area persawahan. Malam itu, warga berkumpul guna membahas permasalahan salah satu teman seperjuangan mereka. Ramu—begitu ia akrab dipanggil—seorang buruh tani dari Ponowareng, dilaporkan ke pihak kepolisian. Ia didakwa merusak rumah warga yang pro PLTU. Haspi, yang juga seorang buruh tani, menceritakan kronologi kejadian. Katanya, ketika itu, 9 Juni 2016, Ramu dan Haspi serta para kawannya mendatangi rumah pihak pro PLTU. Mereka mendengar akan ada pengumpulan pihak pro yang berencana untuk meminta bantuan mesin jahit ke PT Bhimasena Power Indonesia (BPI). Terdengarnya rencana itu membuat pihak kontra menyesalkan, mengapa harus BPI yang dimintai tolong. “Pada intinya kami mendatangi rumah itu cuma memberikan saran dan melarang meminta mesin jahit ke BPI,” ujar Haspi dengan logat ngapaknya. Ramu pun mengiakan hal tersebut. Saat kejadian Ramu dan Haspi tak sampai berada di dalam rumah pihak pro PLTU. Menurut penuturan Ramu, dirinya tak merasa melakukan perusakan di rumah pihak pro tersebut. “Lha saya itu cuma bengong dan melihat Haspi

54 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

yang bicara, kok saya dituduh melakukan perusakan,” ujar Ramu kalem. “Sebenarnya yang melakukan perusakan itu ya yang punya rumah itu. Dia bukan asli warga Ponowareng sini. Dia di sini tinggal di rumah mertuanya,” kata Haspi menambahkan. Aan, aktivis Greenpeace Indonesia, menjelaskan kasus kriminalisasi terhadap Ramu dan penyelesaian yang harus dilakukannya. “Tidak ada satu pun unsur pidana yang menjadi kewenangan polisi untuk menyidik masalah itu,” kata Aan menjelaskan pada para warga yang kontra. Aan pun menjelaskan hal terkait dengan hukum pidana. Pada intinya, kata Aan, polisi belum menemukan unsur-unsur pidana dalam permasalahan Ramu. Itu alasan polisi mengeluarkan surat klarifikasi. “Padahal,” kata Aan, “Dalam surat dari polisi yang saya lihat, sistem hukum pidana kita tak mengenal adanya surat panggilan permohonan klarifikasi.” “Masalah ini diperpanjang karena terkait nafas dan daya tahan dalam melakukan perlawanan terhadap PLTU. Hal ini wajar dalam konflik-konflik agraria,” kata Aan berusaha menenangkan Ramu. Ramu yang semula bingung, mulai paham dengan kasus yang dilayangkan kepadanya. Mimik wajahnya berubah, ia mulai mengerti. *** Rasmudi Cahyadi adalah seorang ulama. Setiap hari ia menjadi imam di musala dekat rumahnya. Mengajar mengaji jadi rutinitasnya usai beribadah berjemaah. Jarak antara musala dan rumahnya yang


TELUSUR

kira-kira 50 meter, ia tempuh dengan berjalan kaki. Namun, lebih dari guru mengaji, Cahyadi adalah salah satu tokoh yang getol menolak pembangunan PLTU. Malam itu, ia mengisahkan pro-kontra yang terjadi di antara warga. Gubuk perjuangan menjadi pendengar setia kala itu. Ia terdiam sejenak, menghela nafas, diinterupsi batuknya yang kambuh. Ia lantas bercerita. “Sebelum ada konflik seperti ini, kehidupan antara warga rukun, sesama tetangga sangat akur. Bisa dibilang harmonis,” ujar Cahyadi sambil menahan batuknya. Cahyadi berujar, sejak pembangunan PLTU, keharmonisan warga berubah. Terpecah disebabkan perbedaan cara pandang. Tak ayal juga, pada akhirnya, sering terjadi kontak fisik dan cek-cok antarwarga. Ia juga menceritakan, pernah suatu waktu, pembangunan PLTU bikin bapak dan anak bertarung fisik. Bahkan membuat ketidakharmonisan istri dengan suami dalam satu atap. Semenjak adanya pembangunan PLTU, ia juga merasakan ada yang sesuatu yang hilang. Sembari membenarkan sarung dan kopiahnya ia kembali bercerita. “Saya sedih, imbas dari hal ini juga membuat sisi humanis para warga menurun. Nilai agama kena imbasnya juga. Sampai sekarang pun masih terasa,” ungkap Cahyadi. Perlawanan guna membebaskan lahannya juga membuatnya ia dikriminalisasi. Hal yang tak pernah ia lupakan. Saat itu, ada pertemuan dengan kepala desa di balai desa Karanggeneng. Cahyadi dan warga desanya ikut dalam kegiatan tersebut. Secara tiba-tiba warga pro yang berprofesi sebagai preman suruhan BPI menghantamkan batu ke mulutnya. Mulutnya berdarah, salah satu giginya patah terkena hantaman batu. Hal ini sontak membuat seluruh warga di balai desa kaget. Tak terkecuali Cahyadi yang berada di situ. Selang beberapa waktu kemudian, Cahyadi dilaporkan atas tuduhan penganiayaan yang dilakukan di balai desa. Padahal, ketika itu Cahyadi berada jauh sekitar 15 meter dari tempat kejadian. Hal yang berujung dipenjarakannya Cahyadi selama 7 bulan. “Saya dipenjara karena dituduh me­la­ ku­kan penganiayaan terhadap salah satu warga pro di balai desa waktu,” tutur Cahyadi seraya membenarkan jaket hitamnya. “Padahal, yang menuduh saya melakukan penganiayaan dan memenjarakan itu dulu juga murid mengaji saya. Lha wong preman itu dulu mengaji alif, ba, ta sama saya kok,” ulas pria berumur 50 tahun tersebut. *** Terbilang ada lima desa di kecamatan Tulis yang secara terang-terangan melakukan penolakan. Mereka berhimpun dalam kelompok Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban, disingkat UKPWR. Tak hanya warga kontra, di kelima desa tersebut juga ada pihak pro pembangunan PLTU.

Kedua pihak mempunyai alasannya masingmasing. Bagi pihak pro, pembangunan PLTU dianggap dapat memajukan taraf ekonomi. Mereka berharap mendapatkan “remah-remah” pekerjaan dari PLTU. Sementara itu, pihak kontra menyadari pembangunan PLTU akan merenggut lahan mereka dan berdampak pada kerusakan lingkungan. Tak ayal, selisih pendapat bahkan adu fisik sering terjadi antarwarga. Sebelum ada Untung, salah satu pe­mu­da dari Ponowareng konflik seperti ini, pun ber­pen­da­pat­an terkait adanya pro dan kontra kehidupan antara di desanya. “Pro dan kontra yang terjadi itu karena warga rukun, kita bentuk pola pikir seperti itu, dan perjuangan sesama tetangga warga UKPWR terbentuk karena ada kesadaran sangat akur. Bisa dalam dirinya masing-masing untuk memperjuangkan dibilang harmonis tanahnya,” ujar lelaki berumur 27 itu. “Pihak kontra Cahyadi itu tak menyukai keributan. Pihak pro saja yang beranggapan bahwa menjadi pihak kontra itu tidak ada untungnya, malah susah terus nantinya,” lanjut Untung. Di tengah peliknya permasalahan pembangunan PLTU, Yoyok Riyo Sudibyo, Bupati Batang, tak begitu ambil pusing dengan permasalahan pro-kontra yang terjadi di tengah warganya. Secara santai ia beranggapan bahwa adanya perpecahan warga wajar belaka. “Jangankan konflik pembangunan PLTU, lha wong urusan keluarga satu rumah saja bisa bikin cek-cok dan berselisih paham,” ujar purnawirawan TNI angkatan darat itu. Yoyok juga bercerita, ia sudah bosan memperingatkan warganya terkait pembangunan PLTU. Menurutnya, perpecahan di tubuh warga disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya, ia meyakini, ada pihak yang bermain di sana. Sebelum pembangunan, Yoyok tak pernah sekalipun mendengar aksi-aksi penolakan di kawasan PLTU. “Di Cilacap saat ini juga sedang dibangun PLTU, tapi mengapa yang disorot cuma daerah saya?” ujar Yoyok pada EKSPRESI. Pembangunan PLTU, menurut Yoyok, tidak akan KH USN UL | EK menimbulkan masalah yang dikhawatirkan sebagian SPR ESI warganya. Ia juga menampik alasan-alasan kerusakan lingkungan akibat pembangunan PLTU di kawasannya. Hal yang dikhawatirkan oleh warga yang kontra. “Saya meyakini, ada banyak kepentingan yang bermain di Batang saat ini,” ujar Yoyok. *** Malam kian larut. Sesekali kereta api lewat di depan gubuk. Cahyadi masih bercerita Setelah menggarap mengenai kisahnya, seraya mencicil menghabiskan pekaranganya untuk teh di depannya. Katanya, perlawanan akan terus ditanami, Cahyadi dilakukan, hingga pagar pembatas pembangunan menjelaskan proses kriminalisasi yang PLTU dibuka. Pro-kontra yang terjadi tak menghalangi dialaminya di posko niatnya untuk berjuang. Demikian pula dengan Haspi. perjuangan (20/6). “Sekali kontra, sampai mati tetap kontra.” Cahyadi terpaksa menghentikan ceritanya. Hawa dingin membuat batuknya makin menjadi-jadi. Dini hari sekitar pukul 2 ia pamit pulang. “Persiapan sahur untuk puasa esok hari,” katanya.[]

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 55


apresiasi

Carlo Petrini, Sang Revolusioner Lambat Oleh Arfrian Rahmanta DOK. ASIASUR.COM

56 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

B

er­ju­ang me­nge­nal­kan se­bu­ ah pa­ra­dig­ma baru me­nge­nai lo­kal­is­me agar ter­cip­ta dunia tanpa pe­nin­das­an me­ru­pa­kan tu­ju­an dari Carlo Petrini. Pe­mi­kir­an Petrini sen­di­ri banyak ter­tu­ang dalam ge­rak­an, be­be­ra­pa esai, serta buku-bu­ ku­nya. Dalam salah satu bu­ku­nya yang ber­ju­dul Slow Food: The Case for Taste (2003), Petrini mem­ba­ngun ga­gas­an fi­ lo­so­fis­nya. Ter­uta­ma me­nge­nai ga­gas­an kea­dil­an dan ke­be­bas­an. Petrini yakin bahwa kea­dil­an dan ke­be­bas­an dalam me­m i­l ih ma­k an­a n bisa di­t e­g ak­k an dengan lan­das­an ber­pi­kir lo­kal­itas. Lo­kal­is­me men­urut Petrini ialah ke­sa­dar­an akan pen­ting­nya sifat-sifat ke­dae­rah­an bagi ke­hi­dup­an yang sehat dan ke­se­jah­te­ra­an ma­nu­sia. Pada level se­lan­jut­nya, ke­sa­dar­an ini men­cip­ta­kan positive localism (paham lokal yang po­si­ tif) baru yang ber­usa­ha men­ja­ga in­te­gri­ tas lokal. Dalam rangka itu juga, positive localism men­jun­jung tinggi ke­ra­gam­an dan men­du­kung kerja sama in­ter­na­si­onal pada usa­ha­nya untuk me­nye­jah­te­ra­kan ma­nu­sia dan me­lin­dungi bumi ini. Petrini ingin me­la­wan bu­da­ya arus besar yang meng­ang­gap lo­kal­is­me ber­ si­fat ke­dae­rah­an fun­da­men­tal­is, ra­si­al­is, dan tidak se­su­ai dengan ke­ma­ju­an. Ma­ sya­ra­kat modern cen­de­rung me­man­dang produk, nilai, dan bu­da­ya global se­ba­ gai yang “modern” dan me­ning­gal­kan produk lokal yang “tra­di­sio­nal”. Banyak hal yang ber­bau lokal cen­de­rung di­pan­ dang se­ba­gai peng­ham­bat mo­dern­isa­ si, ka­re­na glo­bal­isa­si dan mo­dern­isa­si ada­lah se­bu­ah pro­ses yang ber­ge­rak ke depan. Aki­bat­nya, orang yang mem­per­ ta­han­kan lo­kal­is­me dicap se­ba­gai orang yang tidak mau maju, yang se­la­lu ber­ta­ han dan me­ne­ngok ke be­la­kang. Pan­dang­an negative localism (pa­ ham lo­kal yang ne­ga­tif) ini tak ter­le­pas dari mun­cul­nya glo­bal­is­me. Manfred B. Steger, pro­fe­sor Studi Global Universitas Hawaii me­nye­but­kan bahwa glo­bal­is­ me ada­lah ideo­lo­gi ber­ba­sis ka­pi­tal­is­me pasar bebas. Ideo­lo­gi ini muncul se­ba­gai res­pons atas ide Daniel Bell dalam bu­ ku­nya The End of Ideology (1960) yang me­nye­but­kan ke­run­tuh­an so­si­al­is­me Marxis dan li­be­ral­is­me. Pe­mi­kir­an Petrini me­nge­nai lo­kal­ is­me be­rang­kat dari dampak ne­ga­tif glo­bal­is­me dengan ke­mo­dern­an­nya. Glo­bal­is­me dengan se­ga­la pro­pa­gan­da “per­ubah­an me­nu­ju lebih yang baik”


apresiasi

hanya men­ja­di omong ko­song yang di­ ku­man­dangkan terus-menerus. Dengan keji, kapitalisme meng­han­cur­kan se­lu­ ruh ko­mu­ni­tas dan in­dus­tri. Ke­ajaib­an per­eko­no­mi­an pasar bebas pun se­ma­kin hari se­ma­kin kosong mak­na­nya. Se­ja­ lan dengan ke­sa­dar­an orang akan si­tu­asi se­be­nar­nya—peng­ang­gur­an, se­rang­an ter­ha­dap kua­li­tas hidup, ke­ka­ya­an luar bia­sa yang di­bu­at me­la­lui spe­ku­la­si, ke­ ra­kus­an, dan ko­rup­si. Petrini sadar bahwa glo­bal­is­me yang ber­akar pada ideo­lo­gi ka­pi­tal­is­me pasar bebas telah me­ra­suk me­la­lui ser­bu­an produk kon­sum­si, bu­da­ya, mau­pun jasa. Pasar bebas telah me­mung­kin­kan ma­ suk­nya ber­agam produk asing yang ke­ mu­di­an ber­kem­bang men­ja­di pe­me­gang kua­sa pasar. Produk ma­kan­an, pa­kai­an, elek­tro­nik, hing­ga produk bu­da­ya yang di­ba­wa me­la­lui film dan musik mem­ban­ jiri pasar lokal tanpa ter­hin­dar­kan lagi. Hingga produk lokal ter­gan­ti­kan oleh produk global. Efek yang paling ken­ta­ra ke­ti­ka se­pi­ring ma­kan­an di meja makan tidak lagi di­ang­gap produk bu­da­ya lokal, bukan se­bu­ah iden­ti­tas. Di sini, Petrini ingin me­ngu­kuh­kan bahwa apa yang di­ ma­kan oleh ma­nu­sia me­ru­pa­kan iden­ ti­tas dari ma­nu­sia itu sen­di­ri. Ma­kan­an ada­lah produk bu­da­ya. Sebab itu pula, pada 1986, Petrini dan se­ke­lom­pok te­man­nya me­la­ku­kan aksi protes ter­ha­dap pem­bu­ka­an kedai fast food McDonald per­ta­ma yang ada di Roma. Per­la­wan­an Petrini ini ber­be­kal riset dan pe­ne­li­ti­an ke­ti­ka ia men­ja­di ang­go­ta Arcigola, ge­rak­an non­pro­fit yang be­ker­ja pada ranah pe­ngem­bang­an, riset, dan pe­ne­li­ti­an ter­ha­dap ma­kan­an dan ang­gur di Italia. Se­la­ma tiga da­sa­war­sa ter­akhir, fast food telah me­rem­bes ke se­mua --ceruk ma­sya­ra­kat Amerika dan du­nia. Petrini ber­pen­da­pat, dengan ada­ nya kedai fast food, banyak orang akan lebih mem­be­lan­ja­kan uang­nya untuk fast food ke­tim­bang untuk pen­di­dik­an tinggi, buku baru, atau­pun mobil baru. Terbukti pada tahun 1970, orang Amerika mem­ be­lan­ja­kan se­ki­tar 6 mi­li­ar dolar untuk fast food; tahun 2001, me­re­ka mem­be­ lan­ja­kan lebih dari 110 mi­li­ar dolar. Lahir pada 22 Juni 1949 di Bra, Italia, dalam diri Petrini kecil telah di­ ta­nam­kan minat ter­ha­dap rasa dan se­le­ra produk bu­da­ya asli daerah, salah sa­tu­nya pasta dan anggur Barolo. Petrini ber­ki­ sah, ia di­ajari oleh ne­nek­nya agar men­ cin­tai dan meng­har­gai ma­kan­an.Se­per­ti

hal­nya nya­nyi­an dan ta­ri­an, ma­kan­an masih men­ja­di aspek penting dari pe­ra­ ya­an, ke­ra­mah­an, dan tradisi di Barolo, tempat tinggal Petrini. Dengan sebab itu­ lah, ia tumbuh dan me­nya­dari bahwa bu­da­ya, so­si­al, dan se­ja­rah ma­kan­an mulai ter­an­cam oleh ide palsu ke­mo­ dern­an. “Saya di­be­sar­kan di tempat di mana ke­gi­at­an so­si­al dan waktu luang se­ba­gi­an besar ter­ka­it dengan ma­kan­an,” ka­ta­nya dalam sesi wa­wan­ca­ra dengan Van Gelder, jur­nal­is Majalah Yes! me­ nge­nai alas­an per­la­wan­an­nya. Tiga tahun se­te­lah aksi pro­tes­nya ter­ha­dap pem­bu­ka­an kedai fast food McDonald, Petrini men­di­ri­kan ge­rak­ an Slow Food International. Dalam ma­ ni­fes­to­nya, ter­da­pat be­be­ra­pa hal yang di­ka­wal oleh ge­rak­an ini, an­ta­ra lain: pe­lin­dung­an eko­nomi lokal, pe­les­ta­ri­ an tra­di­si ma­sak­an dan ma­kan­an adat, dan pem­ba­ngu­nan ber­ke­lan­jut­an yang mem­per­tim­bang­kan ling­kung­an se­ki­tar. Dalam ca­kup­an kecil, ge­rak­an ini mem­ ban­tu me­ngem­ba­lik­an resep tra­di­sio­ nal, me­ngem­bang­bi­ak­kan ma­kan­an dan ang­gur lokal Barolo, dan ada­nya aca­ra ke­lu­ar­ga untuk makan ber­sa­ma.

Tuan atas Dirinya Sendiri

Dalam bukunya, Slow Food Revolution (2005), Petrini men­je­las­ kan bahwa pen­cip­ta­an or­ga­ni­sa­si­nya, baik dalam ke­hi­dup­an mau­pun in­te­ lek­tu­al­itas, tak ter­le­pas dari per­so­al­ an-per­so­al­an penting di se­lu­ruh dunia. Slow Food International di­di­ri­kan untuk me­la­wan glo­bal­is­me yang me­nyer­bu me­ la­lui produk—salah sa­tu­nya—ma­kan­an. Petrini yang me­r u­p a­k an ang­g o­ ta Partai Komunis Italia, me­ne­rap­kan pe­mi­kir­an Marx dan Engels dalam re­ vo­lu­si “lambat”-nya ini. Bahwa, pada akhir­nya, per­alih­an dari satu sis­tem so­ si­al ke sistem yang lain di­ten­tu­kan oleh per­kem­bang­an dari ke­ku­at­an pro­duk­tif. Ke­ti­ka sistem so­si­al-eko­no­mi ter­ten­tu tidak lagi sanggup me­ngem­bang­kan ke­ ku­at­an pro­duk­tif, ia akan masuk dalam krisis, me­nyi­ap­kan lahan bagi se­bu­ah pem­ba­lik­an re­vo­lu­sio­ner. Re­vo­lu­si “lambat” yang di­ini­si­asi oleh Petrini dengan ge­rak­an Slow Food International telah mem­pu­nyai lebih dari 100.000 ang­go­ta dari 150 ne­ga­ra. Me­mi­liki cabang di se­lu­ruh dunia, tidak hanya di ne­ga­ra ber­kem­bang te­ta­pi juga di ne­ga­ra asal fast food, Amerika Serikat. Ang­go­ta Slow Food International pun

ber­asal dari ber­ba­gai latar be­la­kang pe­ ker­ja­an se­per­ti artis, koki, pe­la­jar, peng­ ajar, peng­usa­ha, dan ibu rumah tangga. Tiap ta­hun­nya, akan ada acara besar ber­na­ma Terra Madre yang me­ngum­ pul­kan semua ko­mu­ni­tas dan ang­go­ta untuk mem­ba­has isu eko­lo­gi mu­ta­khir. Terra Madre (Ibu Pertiwi) adalah contoh dari in­fra­struk­tur yang di­bu­at Slow Food Internasional. Per­ta­ma, se­ba­ gai pem­ba­ngun­an yang benar-benar ber­ ke­lan­jut­an dengan basis eko­lo­gi. Ke­dua, se­ba­gai contoh bahwa dasar eko­no­mi bu­kan­lah biaya atau modal, tapi ga­gas­an ma­nu­sia. Ke­ti­ga, se­ba­gai contoh ajang untuk pe­ngem­bang­an barang publik. Mem­bu­at ma­nu­sia men­ja­di tuan atas di­ri­nya sen­di­ri, itu­lah tu­ju­an Petrini. Dalam arti de­mo­kra­tis, ma­nu­sia dapat me­mi­lih ma­ka­nan­nya sen­di­ri. Prinsip dasar dari slow food, se­ti­ap orang di bumi ini harus me­mi­liki hak dan akses ke ma­kan­an yang baik, bersih, dan jujur. Baik, ka­re­na ma­kan­an ter­se­but sehat dan lezat. Bersih, ka­re­na di­pro­duk­si dengan ramah ling­kung­an dan dengan me­mi­kir­ kan ke­se­jah­te­ra­an hewan. Jujur, karena meng­hor­ma­ti karya me­re­ka yang mem­ pro­duk­si dan men­dis­tri­bu­si­kan­nya. Dalam pan­dang­an­nya me­nge­nai rantai pe­ma­sar­an, bagi Petrini tak ada yang na­ma­nya kon­su­men, yang ada ha­ nya­lah ko­pro­du­sen. Ko­pro­du­sen me­ru­ pa­kan partner yang men­ja­di ba­gi­an dari proses pro­duk­si. Dan hasil kerja pro­du­ sen dapat ia nik­ma­ti sen­di­ri. Dalam se­bu­ah re­vo­lu­si, orang-orang akan mulai me­li­hat diri me­re­ka sen­di­ri se­ba­gai ma­nu­sia yang sanggup me­ngen­ da­li­kan takdir masing-masing, bukan se­ka­dar “alat yang dapat ber­bi­ca­ra”. Dengan ke­ma­nu­si­a­an yang se­ja­ti, muncul harga diri: satu rasa peng­hor­mat­an ter­ ha­dap diri sen­di­ri dan re­kan­nya yang setia—peng­hor­mat­an ter­ha­dap orang lain. Sama rasa, sama rata. Ber­sa­ma-sama para pe­ta­ni lokal, Petrini mulai me­la­wan dengan ge­rak­ an “lam­bat­nya”. Men­ja­di­kan se­bu­ah produk lokal tetap bisa di­nik­ma­ti oleh warga lokal dan juga warga dunia dengan asas ke­a­dil­an so­si­al. Bukan meng­glo­bal­ kan produk lokal dengan pola pikir eko­ no­mis yang ber­tu­ju­an meng­un­tung­kan salah satu pihak. Dari hal paling kecil tapi punya dampak besar se­per­ti ma­kan­an di meja makan, Petrini terus meng­ajak me­la­ku­kan per­la­wan­an ter­ha­dap ka­pi­ tal­is­me.[]

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 57


WINNA | EKSPRESI

Seorang petugas proyek PLTU melintas di luar pagar seng (20/6).

Janin Mitos dalam Narasi Agama

B

ramantyo Prijo Susilo, se­ni­ man kon­t ro­v er­s i­o nal yang ter­g a­b ung dalam Bengkel Teater Rendra, kerap ter­li­bat dalam banyak seni ke­ja­di­an dan pa­mer­ an. Mulai dari pa­mer­an seni Keringat Rakyat, seni Banyu Wayu, seni ke­ja­ di­an Masturbasi Reformasi, dan seni Membanting Macan Kerah. Paling kon­tro­ver­si­al, mantan war­ta­wan BBC London ini men­cip­ta­kan seni ke­ja­di­an me­nge­nai per­ka­win­an beda alam. Seni ke­ja­di­an yang ber­ki­sah tentang se­orang ma­nu­sia, Kodok Ibnu Sukodok, ber­ke­ ingin­an me­ni­kahi peri, Peri Setyowati. Apa yang ingin Bramantyo sam­pai­kan? Berikut pe­nu­tur­an­nya ke­pa­da re­por­ter EKSPRESI, Andhika Widyawan dan Bayu Hendrawati, dalam wa­wan­ca­ra di Sekaralas, Widodaren, Ngawi.

Apa tu­ju­an uta­ma seni ke­ja­di­an per­ka­win­ an beda alam?

Ce­ri­ta per­ka­win­an beda alam an­tara Mbah Kodok dengan Peri Setyowati di­ bu­at dalam usa­ha mem­bu­at karya yang men­ja­wab per­so­al­an ma­sya­ra­kat. Se­per­ti ma­sa­lah ling­kung­an hidup, ter­uta­ma di ka­was­an Sekaralas. Di sini, ada dua mata air ya­itu Sendang Ngiyom dan Sendang Margo. Du­lu­nya sendang ini me­ru­pa­kan mata air yang cukup besar tapi ke­mu­di­an de­bit­nya me­nge­cil. Per­so­al­an be­ri­kut­nya, kala itu sedang ramai tentang per­ka­win­an se­sa­ma jenis (LGBT). Ce­ri­ta ini se­ba­gai bentuk ko­ men­tar ter­ha­dap wa­ca­na yang sedang ter­ja­di. Kami cuma ingin nyeletuk, bahwa kita se­ca­ra tra­di­si, ja­ngan­kan per­ka­win­ an se­sa­ma jenis atau per­ka­win­an beda aga­ma, per­ka­win­an beda alam saja ada.

58 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

Juga untuk me­les­ta­ri­kan mitos di ma­sya­ ra­kat? Se­be­nar­nya bukan untuk me­les­ta­ ri­kan mitos yang ber­edar, kami justru mem­bu­at mitos baru.

Me­nga­pa harus Mbah Kodok dan Peri Setyawati?

Jadi di­ki­sah­kan, ada se­orang pria ber­na­ma Kodok Ibnu Sukodok yang ber­usia di atas 60 tahun dan ber­sta­tus bu­jang­an, ingin kawin dengan se­orang pe­rem­pu­an gaib, yakni se­orang peri ber­na­ma Setyowati. Di­pi­lih­nya tokoh Peri Setyowati ka­re­na ada ke­de­kat­an dengan ma­sya­ra­kat Ngawi. Dulu di­ki­ sah­kan, bahwa pada zaman Majapahit, Brawijaya Pamungkas ber­sa­ma Sabda Palon dan Naya Genggong me­la­k u­ kan per­ja­lan­an dari Ketonggo me­nu­ju Gunung Lawu. Nah, kami me­la­ku­kan pe­nam­bah­an cerita, yakni Setyowati ini me­ru­pa­kan salah satu pen­de­rek dari Brawijaya Pamungkas hingga akhir­nya Peri Setyowati moksa di Sendang Margo.

Ba­gai­ma­na res­pons ma­sya­ra­kat?

Jadi, kami me­lan­jut­kan upa­ca­ra

ANDHIKA | EKSPRESI

wawancara khusus


wawancara khusus

itu ka­re­na respons ma­sya­ra­kat sangat po­si­tif. Acara yang di­ge­lar me­li­bat­kan banyak orang ka­re­na se­be­tul­nya sangat se­di­kit se­ni­man di ge­ne­ra­si saya yang fokus dengan seni upa­ca­ra. Con­toh­nya Festival 5 Gunung, seni upa­ca­ra te­ta­pi tidak fokus pada dam­pak­nya. Sedang kami ber­usa­ha untuk me­li­hat dam­pak­ nya, salah sa­tu­nya yaitu se­ti­ap se­le­sai acara di­upa­ya­kan agar tidak ada sampah.

Ba­gai­ma­na mem­ba­ngun ke­per­ca­ya­an ma­ sya­ra­kat pada mitos?

Ini kan memang bukan ke­per­ca­ya­ an. Ini adalah bentuk seni. Se­la­yak­nya mitos lain yang ber­edar, se­mua hanya ce­ri­ta. Mung­kin, se­ba­gi­an orang benarbenar me­mer­ca­yai mitos-mitos yang ber­edar. Akan te­ta­pi itu tidak meng­ hi­lang­kan fakta bahwa seni mem­bu­at mitos se­be­tul­nya satu seni tra­di­si­onal yang cukup maju dalam budaya-budaya Nusantara. Banyak bentuk-bentuk seni yang lain, se­per­ti seni mem­bu­at film dan seni mem­bu­at patung. Di ma­sya­ra­kat pula, seni mem­bu­at mitos sudah mulai punah. Jadi, mitos ini se­ba­gai wa­ha­na nilai yang betul-betul di­per­hi­tung­kan. Di­bu­at su­pa­ya mem­ba­wa nilai-nilai yang di­bu­tuh­kan.

Ni­lai apa yang ingin di­sam­pai­kan ke­pa­da ma­sya­ra­kat?

Seni ke­ja­di­an tentang Mbah Kodok rabi peri ini kami buat se­ba­gai seni ke­ ja­di­an ber­dam­pak. Se­ti­ap hari se­la­lu ada ke­gi­at­an di Sendang Ngiyom atau Sendang Margo, baik pe­ra­wat­an mau­ pun pe­na­nam­an ber­ba­gai pohon. Se­ti­ap hari ce­ri­ta ini di­ga­rap su­pa­ya men­ja­di se­ma­cam upa­ca­ra. Upa­ca­ra itu in­ti­nya me­ngum­pul­kan fokus pi­kir­an dan ke­ikh­ las­an dari banyak pihak, itu­lah upa­ca­ra yang benar. Upa­ca­ra yang benar-benar khid­mat dan masih te­ra­sa ma­gis­nya itu kalau se­ mua orang datang dengan ikhlas, dan pada saat meng­ikuti upa­ca­ra me­ma­in­kan pe­ran­nya dengan sungguh-sungguh. Ni­ lai­nya itu ada­lah apa yang di­alami orangorang ke­ti­ka meng­ikuti upa­ca­ra ter­se­but. Ber­ikut­nya, yang ingin di­per­ba­iki dari kon­di­si ma­sya­ra­kat ada­lah ke­bi­asa­an mem­bu­ang sampah sem­ba­rang­an. Se­ per­ti yang bisa kita lihat di TV-TV, se­ usai salat Id, sampah koran ber­se­rak­an di mana-mana. Jadi, da­ri­pa­da se­ka­dar ke­se­ni­an yang ber­mu­at­an pesan-pesan, ra­sa­nya lebih efek­tif untuk mem­bu­at per­

ubah­an nilai-nilai dalam ke­bi­asa­an yang saat ini sering muncul.

Yang di­la­ku­kan agar mitos ini te­tap ber­ ni­lai?

Jadi, se­te­lah per­ka­win­an, Mbah Kodok dan Peri Setyowati ke­mu­di­an me­ mi­liki dua anak yakni Jogo Samudro dan Siti Parwati. Ce­ri­ta­nya, Peri Setyowati ingin di­ba­ngun­kan ke­ra­ton. Ke­ra­ton yang di­ingin­kan wu­jud­nya ada­lah hutan kon­ ser­va­si yang kokoh se­ca­ra eko­lo­gi, se­ca­ra kul­tu­ral, dan se­ca­ra es­te­tis. Se­la­in itu, juga di­la­ku­kan pe­ra­wat­an ber­ka­la serta pe­na­nam­an ane­ka pohon dan ta­nam­an obat.

Me­nu­rut Anda, di mana letak nilai es­te­ti­ka dalam seni ke­ja­di­an Anda?

Salah sa­tu­nya dalam pe­nam­bah­an ce­ri­ta yang di­bu­at.

Bagaimana bentuk pengembangan cerita yang akan Anda lakukan?

Untuk ke de­pan­nya, ka­re­na ce­ri­ ta yang kami bangun me­ru­pa­kan seni ke­ja­di­an ber­dam­pak, maka kami me­ la­ku­kan pe­nam­bah­an ce­ri­ta. Du­lu­nya kan Setyowati ini belum me­ni­kah dan akhir­nya dia ber­di­am di Sendang Ngiyom dan Sendang Margo. Di­ce­ri­ta­kan pula Sabda Palon dan Naya Genggong akan kem­ba­li. Kem­ba­li­nya Sabda Palon dan Naya Genggong akan ter­ja­di bila ma­ sya­ra­kat Jawa sudah kem­ba­li ke agama Budhi. Na­ra­si­nya se­per­ti itu. Nah, kem­ba­li­nya aga­ma Budhi nanti, tolok ukur­nya ada­lah Bengawan Solo bersih. Se­mua anak sungai yang me­nu­ju Bengawan Solo bersih. Itu­lah tan­da­nya agama Budhi sudah tumbuh lagi di Jawa dan Sabda Palon serta Naya Genggong akan datang. Untuk da­tang­nya itu kita tam­ba­hi ce­ri­ta, anak Mbah Kodhok (Jogo Samudro dan Siti Parwati) harus meng­ usa­ha­kan ber­sih­nya Bengawan Solo. Jadi kami buat ke­ja­di­an itu se­ba­gai ke­ja­di­an ber­dam­pak.

Upaya untuk mem­ber­sih­kan Bengawan Solo?

Tin­d ak­a n se­l an­j ut­n ya, di­c e­r i­t a­ kan anak Mbah Kodok (Jogo Samudro dan Siti Parwati) di­pe­rin­tah­kan untuk ngenger (ikut dan belajar) pada Baginda Milir (pe­ngu­asa Bengawan Solo). Jogo Samudro dan Siti Parwati di­ha­rus­kan ngenger untuk be­la­jar ba­gai­ma­na men­ ja­di­kan Bengawan Solo ini kem­ba­li men­

ja­di nadi bu­da­ya, kem­ba­li bersih. Untuk me­nan­dai di­mu­lai­nya ngenger, me­re­ka di­pe­rin­tah­kan untuk mem­bu­at se­bu­ah upa­ca­ra ber­na­ma upa­ca­ra Kebo Ketan yang diikuti dengan pembersihan Sungai Bengawan Solo.

Apa nilai-nilai luhur dalam Upacara Kebo Ketan?

Upacara Kebo Ketan itu adalah pembuatan kerbau dari ketan. Kemudian disembelih lalu dimakan bersama. Pada upacara tersebut akan ada orasi kebudayaan juga. Orasi kebudayaan ini agar seni kejadian ini dijadikan bagian dari peringatan Maulid Nabi. Upacara ini melanjutkan cerita anak Mbah Kodok sekaligus Grebeg Maulid yang dirayakan bersama-sama. Karena Grebeg Maulid yang dari keraton itu seakan sudah kehilangan relevansinya, hanya sebagai pasar malam biasa. Sebagai upacara untuk wahana nilai dan dinamisasi nilai dan struktur itu sudah melempem. Jadi kami akan mengambil alih Grebeg Maulid sekarang agar tidak dilakukan oleh raja, tetapi rakyat biasa.

Upacara itu tidak hanya milik agama tertentu?

Ya, karena upacara itu merupakan satu budaya yang sudah dikembangkan menjadi cukup canggih. Upacara yang masih berjalan di Jawa itu salah satunya adalah bersih desa, tapi itu pun sudah mengalami penyempitan makna. Nilai sakralnya sudah turun dan tujuan untuk mengajak banyak orang sudah makin menghilang. Upacara agama tidak bisa merangkul banyak orang. Sementara upacara seperti bersih desa, dengan banyak proses, sekarang diringkas hanya dengan nanggap wayang.

Per­ka­win­an Mbah Kodok de­ngan Peri Setyowati di­ang­gap pe­nyim­pangan agama. Pen­da­pat Anda? Kalau pem­bu­at­an seni ke­ja­di­an per­ ka­win­an an­ta­ra Mbah Kodok dengan Peri Setyowati di­ang­gap se­ba­gai ba­gi­an dari agama, ya mungkin pe­nyim­pang­ an agama. Akan tetapi, kami kan tidak mem­bu­at agama, kami hanya mem­bu­ at mitos. Ke­ti­ka me­nyang­kut agama, memang men­ja­di se­di­kit sen­si­tif, tapi sebetulnya narasi agama sendiri juga me­ngan­dung mitos. Bukan ber­ar­ti saya me­nge­cil­kan ar­ti­nya dengan me­nga­ta­kan bahwa na­ra­si aga­ma itu mitos.[]

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 59


resensi

Menulis Berarti Mengukir Sejarah Oleh Khusnul Khitam

P

Proses Pencarian Jati Diri

Carlos Fuentes, pada usia 7 tahun sudah mulai me­nu­lis. Ke­ti­ka itu ia bah­ kan tidak tahu apa yang me­na­rik ba­gi­nya untuk ditulis. Ia men­co­rat-coret apapun dan me­ner­bit­kan se­bu­ah ma­ja­lah pri­ba­ di dalam se­bu­lan—di­tu­lis dan di­gam­bar olehnya sen­di­ri. Ia me­le­tak­kan­nya di pintu apartemen tempat ting­gal­nya di Washington DC, me­nyu­ruh se­ti­ap orang me­ngem­ba­li­kan ke­pa­da­nya ke­ti­ka me­

re­ka lewat. Ba­gai­ma­na­pun ia me­nya­da­ ri, tidak ada se­orang­pun yang pernah mem­ba­ca majalahnya itu. Hingga ke­ti­ka ia telah men­ja­di pe­nu­ lis besar. Fuentes tidak me­li­hat di­ri­nya se­ba­gai seorang pe­nu­lis yang nasionalis dan tidak me­mer­ca­yai nasionalisme dalam sastra. Me­nu­rut­nya, sastra adalah se­bu­ah pe­ris­ti­wa internasional. Tu­li­san adalah imajinasi dan tu­li­san itu men­ja­di titik per­ha­ti­an ke­ti­ka mem­ba­ca serta meng­ha­ki­mi seorang pe­nu­lis (hal. 15). Bertrand Russell, pada usia 21 tahun, ia ber­ha­rap gaya tu­li­san­nya bisa se­per­ti John Stuart Mill. Ia me­nyu­kai struktur ka­li­mat dan cara me­ngem­bang­ kan pokok per­ma­sa­la­han filsuf em­pi­ris dari Inggris itu. Dalam proses pen­ca­ri­ an­nya, ia meng­ha­bis­kan waktu berjamjam untuk men­ca­ri cara me­nu­lis ka­li­mat ter­pen­dek untuk me­nga­ta­kan se­sua­tu tanpa ambiguitas. Pada usianya inilah, ia men­da­pat pe­nga­ruh baru dari Logan Pearsall Smith, kakak iparnya. Dengan sangat ber­ha­rap agar ia dapat me­ne­mu­ kan cara untuk me­nu­lis. Hingga, dalam kar­y a­n ya, Free Man’s Worship, Russell me­nyam­pai­ kan pesan-pesan se­per­ti: jangan meng­ gu­na­kan kata yang paling panjang jika kata yang pendek bisa di­gu­na­kan; jika kita ingin mem­bu­at per­ta­nya­an dengan kualifikasi-kualifikasi besar, maka ta­ ruh­lah be­be­ra­pa kua­li­fi­ka­si itu dalam kalimat-kalimat yang ter­pi­sah. Se­na­da de­ngan­nya, Gabriel Garcia Marquez da­l am proses pen­c a­r i­a n­ nya ber­gu­ru dengan dua pe­nga­rang besar: William Faulkner dan Ernest Hemingway. Dua gu­ru­nya me­nga­jar­ kan hal yang ber­be­da satu sama lain. Faulkner lebih me­mun­cul­kan ra­ha­sia dalam kar­ya­nya. Se­hing­ga kita musti mem­bo­lak-balik ha­la­man untuk me­ne­ mu­kan la­pi­san ra­ha­sia itu. Hemingway justru se­b a­l ik­n ya. Ia mem­b i­a r­k an misteri-misteri itu se­pe­nuh­nya di­ke­ta­ hui. Mungkin ka­re­na alasan itu Faulkner lebih me­nja­di pe­nu­lis yang ber­pe­nga­ruh dalam jiwa Marquez. Ada­pun pe­nga­la­man Paulo Coelho yang se­jak kecil se­la­lu ber­mim­pi untuk men­ja­di pe­nu­lis. Akan te­ta­pi ia di­la­rang oleh ibunya dan me­ngi­rim­nya ke sekolah hukum. Coelho ber­hen­ti sekolah hukum

60 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

ADE | EKSPRESI

ada mu­la­n ya adalah kata. Me­nu­lis juga ber­ar­ti meng­ ha­d ir­k an kata. Me­m ang­g il dari sumber pe­mi­ki­ran dan me­le­tak­kan­nya men­ja­di baris-baris ka­ li­mat, ka­li­mat men­ja­di pa­ra­graf, ke­mu­ di­an wa­ca­na. Hingga ia me­nim­bul­kan makna. Kata-kata hadir se­su­ai ke­hen­dak pe­mi­ki­ran penulis. Dunia telah mem­buk­ti­kan, me­nu­lis bu­kan­lah hal yang bisa di­ka­ta­kan ti­dak pen­ting. Ia dapat me­la­ku­kan se­su­a­tu dan dapat di­tem­pat­kan se­ba­gai se­su­a­tu. Me­ nu­lis dapat mem­be­ri­kan pe­la­ja­ran dan ber­ar­ti juga proses me­ngu­kir sejarah. Se­ba­gai­ma­na para pe­mi­kir dunia (Albert Camus, dkk) me­la­lui me­nu­lis, me­re­ka me­la­hir­kan karya yang me­nga­gum­kan dan men­cip­ta­kan sejarah. Buku ini hadir de­ngan judul Me­ nu­lis itu Indah. Ia me­ngu­ak asal mula la­hir­nya pe­nu­lis dunia. Inilah kisah yang men­ca­tat per­ja­la­nan hingga me­re­ka ada, me­ngu­kir se­ja­rah, dicap se­ba­gai ul­tra­ kon­ser­va­tif atau dengan cap stigma lainnya. Dua puluh tiga esai ter­je­ma­han Adhe Ma’ruf ini, men­co­ba me­ma­par­kan proses kerja pen­cip­ta­an karya para pe­ nu­lis dunia. Me­re­ka sama-sama mem­ ba­has tentang hal yang ber­hu­bu­ngan dengan me­nu­lis, per­be­da­an­nya adalah semua me­mi­li­ki pan­da­ngan yang me­ na­rik dan pe­nga­la­man me­nge­nai dunia tulis-menulis. Dapat di­ka­ta­kan bahwa esai-esai ini adalah dialog para pe­nu­lis dunia dengan pem­ba­ca. Me­re­ka se­ca­ra sadar me­nu­lis­ kan­nya sen­di­ri. Bukan ber­ar­ti me­re­ka me­nun­juk­kan bahwa me­re­ka adalah pe­nu­lis yang paling tahu, dan tidak boleh di­lu­pa­kan dalam sejarah. Me­re­ka ten­tu­nya ber­ha­rap bahwa pe­nga­la­man me­re­ka ini bisa men­ja­di pem­be­la­ja­ran.

Menulis Itu Indah: Pengalaman Para Penulis Dunia Pengarang: Albert Camus, et.al Penerjemah: Adhe Ma'aruf Penerbit: Octopus Tebal: 268 Waktu Terbit: Oktober 2016 dan me­ngi­ku­ti mim­pi­nya. Buku nonfiksi kar­ya­nya The Valkyries ber­ha­sil sukses di se­lu­ruh dunia. Pe­nu­lis lain dalam buku ini yaitu Albert Camus, objek pe­nye­li­di­kan­nya soal ke­pas­ti­an sejati dalam proses pe­ nu­li­san. Ke­mu­di­an, George Orwell, ber­ ha­sil me­me­so­na­kan pem­ba­ca­nya lewat Animal Farm. Michel Foucault, filsuf yang ber­bi­ca­ra tentang fungsi pe­nga­ rang. Adapun para pe­nu­lis lain: Jean Paul Sartre, Czeslaw Milosz, Edward Said, Gao Xingjian, dll. Sulit untuk tidak me­nye­but buku ini istimewa. Adhe berhasil me­mu­dah­ kan pem­ba­ca awam me­ma­ha­mi isi dari esai dengan ba­ha­sa yang mudah dan enak di­iku­ti. Buku ini juga men­ja­wab me­nga­pa para pe­mi­kir dunia ini me­­ nu­­lis. Lewat tu­li­san­nya itulah, mereka me­mi­li­ki pe­nga­ruh ter­ha­dap dunia dan pe­ra­da­ban.[]


Laporan Khusus

Titik ­Balik ­Rilisan Fisik

RANDY | EKSPRESI

S

ejak awal kelahirannya, rilisan fisik tetap hidup hingga saat ini. Ia menolak mati. Walau sempat mati suri sekalipun, nyawanya tak pernah mau dicabut dari raga para peminat. Ia semakin sehat lantaran selalu ditimang oleh para penikmat yang sudah terpikat. Ia kembali bangkit dan bertahan. Ada seratus alasan agar ia ditinggalkan, tapi tersimpan seribu lainnya yang bikin rilisan fisik tak tergantikan.


L A PORAN K H U S U S Sempat lemas di tengah hiruk pikuk era digital yang semakin keras, rilisan fisik kini kembali ganas. Oleh Ghozali Saputra

M

e­l a­l ui ­c atat­a n ­p ribadi­n ya ­d i ­d ennysakrie63.­w ordpress.­c om, ­peng­amat ­musik ­Indonesia, ­Denny Sakrie ­(almarhum), ­menutur­kan, se­ ki­tar 1904, ­seorang ­sau­dagar ­per­anak­an Tiong­hoa ber­nama Tio Tek Hong mem­buka bis­nis rek­am­an di Bata­via. Ia men­diri­kan label rekam­an per­tama di Indo­nesia yang di­beri nama Tio Tek Hong Record. Waktu itu, ia meng­g una­k an ­P hono­g raph—­a lat ­pe­re­kam ­suara—­yang ia impor. Se­tahun ke­mudi­an, ia me­rilis pe­lat gramo­fon atau pi­ring­an hitam. ­Ada yang k ­ has dari pi­ring­­an hitam buat­an Tek Hong. Selalu ter­ku­man­dang ­suara: “Ter­bikin oleh Tio Tek Hong, ­Bata­via” di ­awal t­ rack sa­at per­tama di­pu­tar. ­Lagu-­lagu yang Tek ­Hong hasil­kan ­me­liput­i genre Stam­bul, Keron­cong, Gam­bus, Kasi­dah, Musik ­India, Swing hing­ga Irama Me­la­yu. Masya­rakat sa­at ­itu senang men­de­ngar­kan “Tjente Manis”, “Boe­roe­ng Nori”, “Djali Djali”, “Tjerai Kasih”, “Paioeng ­Patah”, “Dajoeng Sampan”, dan ma­sih ba­nyak lagi. Di sam­ ping itu, Tio Tek Hong juga me­rilis sandi­wara N ­ jai ­Dasima yang dik­e­mas dalam ben­tuk boks ber­isi­kan 5 ke­ping piri­ngan hitam. Pada 1905, un­tuk me­ndis­tri­ bu­si­kan piring­an hitam ke se­luruh Hindia Be­landa, Tio Tek Hong Record dan pe­ru­sa­ha­an re­ka­man milik ­kawan-­kawan­nya bekerja sama de­ngan Odeon Record, ke­mu­dian de­ngan Colum­bia Record pada 1911. Se­per­jalan­an waktu, di Indonesia ber­diri Irama Record pada awal 1950-­an yang fokus pada l­ agu-­lagu hibur­an Indonesia. Lalu ada Remaco (Republic Manufactur­ing Company) yang di­dirik­an oleh pasang­ an suami istri Moestari dan Titien Soemarni. Di­susul Lokananta, pabrik piring­an hitam per­tama milik negara yang di­diri­kan oleh Presiden Soekarno pada 1956 di Solo. Lokananta waktu itu banyak meng­ hasil­kan lagu-lagu daerah. Semua per­usaha­an pada awal­nya mem­produksi piring­an hitam. Seiring per­kembang­an zaman, piring­ an hitam mulai ter­singkir oleh Compact Cassette (kaset pita) yang di­temu­kan oleh Philip pada 1962. Di Indonesia, kaset pita ber­kembang pada 1964 hingga 1980-an. Denny Sakrie dalam buku­nya, 100 Tahun Musik Indonesia, meng­ungkap­kan, kaset me­mi­lik­i bentuk pra­ktis dan harga lebih ter­jang­kau. Musik di Indonesia meng­alam­i masa ke­emas­an­ nya pada era kaset pita. Produksi musik meningkat, distribusi lebih luas dan merata. S ­ tudio-studio rekaman mulai banyak berdiri, musisi dari bermacam genre musik bermunculan. Dalam format grup musik ada Koes Plus, Bimbo, hingga Soneta. Sementara untuk penyanyi solo ada Chrisye, Ebiet G. Ade, Iwan Fals, Diana Nasution, Hetty Koes Endang dan

62 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

l­ain-­lain. Me­nurut Denny, saat itu musisi de­ngan pen­jual­an kaset yang ter­bilang suk­ses ia­lah Rinto Harahap, Pance Pondaag, dan Obbie Messakh. Sejalan dengan masa ke­emas­an kaset pita, awal 1970-an hingga ak­hir 1980-an juga men­jadi masa ke­jaya­an Lokananta. Ya, Lokananta akhir­nya mem­ produksi kaset pita. Setiap bulan mereka bisa me­rilis 100 ribu keping kaset pita di pasar­an. Masya­rakat me­nyam­but de­ngan gem­bira ketika itu. Sam­pai pada 1982, pria asal Amerika ber­nama James Russell mem­p er­k enal­k an Compact Disc ­(cakram padat)—­cakram optik digital untuk me­nyim­ pan data. Cakram padat inilah yang akhirnya me­run­ tuh­kan ke­populer­an kaset pita di seluruh negara, ter­masuk Indonesia. Ter­catat dalam Voicemagz.com, pun­cak pen­jual­an cak­ram padat ter­jadi pada akhir 1990-an. Namun, dari segi pen­jual­an me­mang tidak se­hebat wak­tu kaset pita men­jadi prima­dona.

Matinya Rilisan Fisik

Per­kembang­an pesat era digital ber­imbas pada media perekam yang menghasilkan piringan hitam dan kaset pita. Me­nurut buku Rolling Stone Music Biz (2009), kondisi itulah yang mem­buat bang­krut 117 label rekam­an lokal. Di antara­nya Irama Record dan segera jum­lah label rekam­an men­yusut men­jadi 70 saja. Label-­label yang ber­tahan kemu­dian ter­gabung dalam Asiri. Selain itu, toko-toko kaset banyak yang gulung tikar. Bagi se­bagian besar orang, lebih praktis meng­unduh lagu dari internet. Peng­unduh­an lagu di internet tersebut biasa­nya dalam format Mp3. Akan tetapi, teknologi Mp3 ini memudahkan orang untuk me­laku­kan pembajakan. Hal tersebut meng­akibat­kan pen­urun­an pen­dapat­an musisi, grup musik, label, hingga peng­usaha rilisan fisik. Pem­ baja­kan men­jadi momok bagi orang-­orang yang meng­gelut­i indus­tri musik, ter­masuk di Lokananta. Seki­tar 1999 hing­ga 2000 men­jadi titik ter­endah da­lam per­jalan­an Lokananta. Saat itu Lokananta ber­henti produk­si. Selain akibat dari pem­bajak­an, keputus­an peme­rin­tah­an era Abdurrahman Wahid mem­bubar­kan Departemen Penerangan pada 1999 juga men­jadi musa­bab­nya. Aturan dalam UU Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982 yang kemu­dian revisi sam­pai men­jadi UU Nomor 28 Tahun 2014, sama sekali tidak digubris oleh para pem­bajak. Me­nurut data dari Rolling Stone Music Biz, musik bajak­an telah meng­uasai 95,7% pen­jual­an. Semen­tara musik legal pen­jual­an­nya hanya tinggal 4,3% di Indonesia.

Bangkitnya Rilisan Fisik

Kendati demi­kian, adanya pem­bajak­an justru bukti rilisan fisik masih banyak di­minat­i, meski hanya ilegal. Pasal­nya, rilisan fisik bajak­an lebih murah dan mudah untuk di­dapat. Asiri bah­kan me­laku­ kan terobos­an baru yang cukup kontro­versial. Asiri dan Gaperindo (Gabung­an Perusaha­an Rekam­an Indonesia) secara resmi meng­gandeng PIMRI (Per­


T it ik B a l ik Ril is a n F is i k

ANDHIKA| EKSPRESI

Inggris, BPI (British Phonographic Industry), pada 2014, pen­jual­an piring­an hitam ­men­capai tingkat ter­tinggi, yaitu 1,3 juta keping sejak 1995. Di luar itu semua, hal ter­penting tapi acap kali di­lupa­kan adalah pen­dokumen­tasi­an karya. Data apa­pun tidak boleh lenyap begitu saja, ter­masuk data musik. Di Lokananta ada kurang lebih 40.000 kaset pita dan piring­an hitam dari ber­bagai genre. Pen­dokumentasi­an di­laku­kan dengan peng­alih­an format piring­an hitam men­jadi cakram padat. Selain itu, pen­dokumen­tasi­an di­laku­kan pula dalam bentuk digital. Di Lokanantamusik.com kita bisa menikmati lagu-lagu zaman Waldjinah 1959, ter­masuk rekam­an pidato Presiden Soekarno. Bersama ­kawan-­kawan­nya, hal serupa juga di­ laku­kan oleh David Tarigan, pendiri Irama Nusantara. Mereka me­laku­kan pen­data­an dan peng­arsip­an musik Indonesia era 1950-an hingga 1980-an. Temu­an-­temu­ an­nya itu kemu­di­an di­unggah ke dalam basis data Iramanusantara.org. ­Hal-­hal yang mereka laku­kan ter­sebut di­landasi oleh ke­sadar­an akan penting­nya sejarah musik Indonesia. “Kami ber­harap Irama Nusantara dapat men­jadi landas­an dalam meng­ akomo­dasi siapa­pun yang ter­tarik untuk meng­kaji sejarah musik populer Indonesia,” ungkap Tarigan dalam video profil Irama Nusantara.[]

Kronik Rilisan Fisik

kumpulan Industri Media Replika Indonesia) merilis pro­duk ber­nama VCD Karaoke Su­per Eko­no­mis yang di­jual ecer­an se­harga Rp5.000 hingga Rp6.000. Bukti lain yang tak boleh di­pandang se­be­lah mata adalah ber­seliwer­an­nya ­kolektor-­kolektor yang ber­buru rilis­an fisik orisinal. Jangan lupa­kan pula orang-­orang yang khusyuk men­dengar­kan audio dengan kualitas tinggi. Mereka disebut audiophile. Mereka, misalnya, ter­gabung dalam Tjihapit Skool of Rock di Bandung. Fokus mereka adalah rilisan fisik baru dan lawas dari ber­bagai genre musik di kancah internasional. Rilisan fisik tak ha­nya di­koleksi dan di­de­ngar, tet­api juga di­raya­kan. Ada hari-­hari pe­ri­ngat­an musik, seper­ti Record Store Day (RSD) dan Cas­sette Store Day (CSD). Peng­gemar, seni­man, dan ribu­an toko rekam­an indepen­den di seluruh dunia di­per­temu­ kan. Pada 2016, RSD sudah digelar di 20 kota di Indonesia. Semen­tara CSD, yang ter­ilham­i oleh RSD, baru di­gelar di bebe­rapa kota besar di Indonesia. Untuk meng­imbang­i per­kembang­an era digital, toko-­toko rilis­an fisik mulai ber­jual­an secara da­ring. Di antara­nya Tower Records dan Aquarius Mahakam. Tower Records dengan situs web­n ya ber­n ama Towerrecords.com, dan Aquarius Mahakam bisa di­kunjung­i di Aquariusmusiconline.com. Pelbagai terobos­an di­laku­kan untuk men­jaga rilis­an fisik tetap di­minati. Banyak musisi dan grup musik mulai mem­produksi rilis­an fisik dengan kemas­an unik. Dalam bentuk boxset ada Endank Soekamti yang mulai mem­produksi­nya sejak album Angka 8 hingga Soekamti Day. Bahkan, dalam film terbarunya, VLOGFEST 2016, mereka juga m­en­cetak­nya dalam boxtset. Tidak hanya berisi CD ter­baru­nya, grup musik asal Yogyakarta ini men­ yerta­kan DVD film dokumenter pem­buat­an album, t-shirt, aksesori resmi, dan sertifikat. Tak ke­tinggal­ an pula Frau yang me­rilis album Happy Coda ber­bentuk bedak versi vintage. B e b e r­a p a g r u p m u s i k Indonesia juga mulai me­rilis album dalam bentuk piring­a n hitam. Mulai dari Superman Is Dead, White Shoes and The Couples Company, Sore, dan masih banyak lagi. Biasa­n ya mereka merilis dalam jumlah ter­batas, ber­kisar 200 hingga 500 keping piring­an hitam. Tak hanya di dalam negeri, demam piring­an hitam pun terjadi di luar negeri. Pada 2014, pen­jual­an piring­an hitam di Amerika Serikat dan Inggris me­ningkat. Me­nu­rut data asosiasi industri rekam­an di

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 63


L A PORAN K H U S U S

Wajah Pembajakan Rilisan Fisik

Pembajakan rilisan fisik musik bukan lagi sebuah momok. Oleh Ghozali Saputra

M

Indra Menus, bahwa pro­mo­si me­la­lui ri­lis­an fisik ba­jak­an sangat me­ngun­tung­kan bagi grup musik.

alam itu, Minggu (17/6), tim rubrik Laporan Khusus men­da­tangi David Tarigan, se­orang ini­si­a­tor pen­do­ku­ men­ta­si­an lagu Indonesia, di Hotel Andhitama, Prawirotaman II untuk mem­bi­ca­ra­kan soal musik di Tanah Air. Ayah dari se­orang anak pe­rem­pu­an ini me­mu­lai pem­bi­ca­ra­an­nya dengan mem­per­ke­nal­kan diri se­ba­gai salah satu pe­rin­tis per­ pus­ta­ka­an musik Irama Nusantara. Ia meng­aku telah ter­pi­kat dengan dunia musik sejak kecil. Ia paling gemar me­ngum­pul­kan kaset-kaset grup musik fa­vo­ rit­nya dan mem­ba­ca ma­ja­lah yang mem­ba­has soal musik. Bahkan sejak ia masih duduk di bangku kelas V se­ko­lah dasar. Hal itu yang bikin David masih meng­ ge­luti dunia musik sampai se­ka­rang. “Kaset di Indonesia waktu itu murah, so­al­nya ba­jak­an semua, ter­ma­suk kaset Barat,” tutur David sambil meng­ingat masa ke­cil­nya. Namun, David me­ nya­ta­kan bahwa kaset-kaset ba­jak­an itu kini telah hilang dari per­edar­an. “Ma­ka­nya saya ingin tahu lebih banyak.” Ia men­ce­ri­ta­kan, sua­tu hari se­orang pe­nya­nyi ter­ke­nal asal Irlandia ber­na­ma Bob Geldof

64 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

sempat di­bu­at naik pitam oleh oknum-oknum tidak ber­tang­gung jawab di Indonesia. “Itu (kaset-kaset ba­ jak­an yang hilang, Red.) ka­re­na Bob Geldof ngamukngamuk ke Indonesia,” jelas David. David lalu menceritakan awal duduk per­ka­ra pem­ba­jak­an di Indonesia. Pada 13 Juli 1985, Geldof meng­ada­kan per­ge­lar­an musik rock se­ca­ra ko­lo­sal yang ber­ta­juk Live Aid. Per­ge­lar­an itu di­ada­kan guna me­ngum­pul­kan dana pe­nang­gu­lang­an ke­la­par­an di Etiopia. “Yang tampil artis keren-keren, konser itu di­bi­kin untuk mem­ban­tu anak-anak ke­la­par­ an di Afrika.” Konser Live Aid itu di­se­leng­ga­ra­kan se­ren­tak di dua tempat, yaitu sta­di­on Wembley di London, Inggris, dan di sta­di­on John F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat. Si­ar­an lang­sung konser ter­se­but ter­se­bar di 150 ne­ga­ra. Se­te­lah konser di­ge­lar, ber­edar­lah kaset ber­ju­dul Live Aid ber­isi lagu-lagu yang di­nya­nyi­kan dalam konser ter­se­but. Di kaset itu ter­tu­lis Made in Indonesia dan me­ma­kai pita cukai Indonesia. “Gi­la­nya, kaset ba­ja­kan Indonesia yang Barat ada PPN-nya,” ungkap David. Se­la­in itu, ter­can­tum in­for­ma­si bahwa hasil ke­un­tung­an pen­ju­al­an akan di­sum­bang­kan ke Etiopia. “Dulu orang luar ne­ge­ri banyak yang beli, teman Si Queen, John, me­ne­mu­kan kaset Indonesia di Timur Tengah lalu di­ka­sih ke Queen, dan akhir­nya di­te­ri­ma Bob Geldof. Terus dia ngamuk,” tutur David. Geldof dan kawan-ka­wan­nya me­ra­dang. Geram me­li­hat tingkah laku orang Indonesia saat itu. Mereka be­ ra­mai-ramai mem­pro­tes me­la­lui media sosial. “Wah, akhir­nya saya ingat, di Kompas, foto headline-nya Bob Geldof sedang me­na­rik pita kaset.” Saat itu, se­ca­ra hukum pem­ba­jak­an di Indonesia tidak dapat di­tin­dak. Sebab pada 1958, Perdana Menteri R. Djoeanda Kartawidjaja, me­nya­ta­kan bahwa Indonesia ke­lu­ar dari Konvensi Bern. Ar­ti­nya, Indonesia tidak ikut me­nan­da­ta­nga­ni per­jan­ji­an Hak Cipta Internasional. Se­la­in itu, di dalam ne­ge­ri sen­di­ri juga belum di­bu­at undang-undang an­ti­pem­ba­jak­an. Sampai pada 2002, ba­ru­lah di­bu­at Undang-Undang Nomor 19 tentang Hak Cipta. Akan te­ta­pi, se­te­lah di­te­tap­kan­nya UU Hak Cipta ter­se­but, sampai saat ini toko-toko yang men­ju­al ri­ lis­an fisik ba­jak­an masih marak ber­ope­ra­si. Di se­ ki­tar­an jalan Mataram, Yogyakarta, masih banyak di­jum­pai toko pen­ju­al ri­lis­an fisik ba­jak­an dengan


T it ik B a l ik Ril is a n F is i k GHOZA| EKSPRESI

harga murah. Ridho, salah satu kon­su­men toko ri­lis­an fisik ba­jak­an di jalan Mataram, meng­aku bahwa ia memang ber­lang­gan­an di toko ter­se­but. “Ya, lang­ gan­an saya memang di sini,” ujar­nya se­ra­ya me­mi­lih ri­lis­an fisik ke­su­ka­an­nya. Ada­pun harga yang di­ta­war­kan oleh para pen­ju­al ri­lis­an fisik ba­jak­an be­ru­pa-rupa. Harga untuk CD ber­ki­sar dari Rp8 ribu hingga Rp10 ribu. Sedangkan harga untuk VCD Rp15 ribu. Lebih mahal dari CD ka­re­na ter­ma­suk ori­si­nal dengan tanda ho­lo­gram di bungkus VCD tersebut. Se­la­in men­ju­al ri­lis­an fisik musik, para pen­ju­al ri­lis­an fisik ba­jak­an ini juga men­ ju­al ri­lis­an fisik film dalam bentuk DVD. Harga untuk satu DVD yang ber­isi satu sampai de­la­pan judul film hanya di­pa­tok dengan harga Rp8 ribu. Be­be­ra­pa kali tim rubrik Laporan Khusus men­ ca­ri in­for­ma­si dengan men­da­tangi toko-toko ri­lis­an fisik ba­jak­an. Namun, hanya se­di­kit pen­ju­al yang mau di­wa­wan­ca­rai. Salah se­orang pen­ju­al ri­lis­an fisik ba­jak­an di jalan Mataram meng­aku tidak be­ ra­ni me­ma­jang CD musik ba­ja­kan­nya di rak depan ka­re­na masih sering ada razia. CD musik ba­jak­an disimpan di rak ter­sem­bu­nyi dan baru di­ke­lu­ar­kan saat ada yang pe­lang­gan yang ber­ta­nya. “Masih ada razia, tapi bukan po­li­si. Dari dis­tri­bu­tor resmi atau sales CD ori­si­nal­nya,” ung­kap­nya. Lebih lanjut, pen­ju­al ri­lis­an fisik ba­jak­an yang enggan di­se­but­kan na­ma­nya itu pun meng­ung­kap­ kan bentuk ra­zia yang pernah ia alami. “Ra­zia­nya itu cuma di­ta­nya ke­na­pa me­nye­dia­kan CD ba­jak­an.” Jika memang ke­ta­hu­an me­nye­dia­kan ba­jak­an, dis­tri­bu­tor tidak akan mau lagi me­ma­sok ber­ba­gai macam CD ke toko yang ber­sang­ku­tan. Pem­ba­ja­kan musik ter­nya­ta tidak ter­ja­di pada ri­lis­an fisik saja, te­ta­pi sudah me­ram­bah ke ri­lis­an di­gi­tal. Banyak situs web yang me­nye­dia­kan lagu gra­tis untuk di­un­duh. Kua­li­tas lagu yang bisa di­un­ duh pun be­ra­gam. Mulai dari 64 kbps, 128 kbps, 192 kbps, hingga 320 kbps untuk kua­li­tas format Mp3 ter­ba­ik. Lagu ber­ba­ha­sa Indonesia sen­di­ri sangat jarang di­te­mui dengan kua­li­tas ter­ba­ik. Kua­li­tas­nya hanya 128 kbps atau 192 kbps. Se­men­ta­ra itu, lagu de­ngan format Mp3 320 kbps terdiri dari lagu-lagu barat dan K-Pop. Komplet dengan sampul album yang tayang ke­ti­ka lagu ter­se­but di­pu­tar. Data dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri), dalam buku Rolling Stone Music Biz tahun 2009, me­nye­but­kan, musik ba­jak­an telah me­ngu­ asai 95,7% pen­ju­al­an di Indonesia. Se­men­ta­ra musik legal pen­ju­al­an­nya tinggal 4,3%. Saat itu ke­ru­gi­an yang di­alami oleh Indonesia lebih dari 1,122 tri­li­un ru­pi­ah. Jumlah yang se­ha­rus­nya di­pe­ro­leh dari pe­ ne­ri­ma­an pajak. Akan te­ta­pi, dengan ada­nya orang-orang yang masih ber­bu­ru ri­lis­an fisik ba­jak­an, ke­bang­kit­an ri­ lis­an fisik itu sen­di­ri men­ja­di ter­dong­krak. Toko-toko yang men­ju­al ri­lis­an fisik ba­jak­an di jalan Mataram ke­ ba­nyak­an memang di­pa­da­ti oleh kaum muda. Namun, tak jarang anak-anak, ibu-ibu hingga kakek-kakek,

turut meng­ge­mari ri­lis­an fisik fa­vo­rit me­re­ka. Saat tim rubrik Laporan Khusus mengun­jungi salah satu toko ter­se­but, di­da­pati se­orang kakek ke­lu­ar sambil mem­ba­wa be­be­ra­pa keping VCD dangdut. Nya­ta­nya, memang VCD dang­dut­lah yang men­ja­di pri­ma­do­na. Se­la­in murah, kua­li­tas­nya pun cukup baik. Bak ko­lek­tor-ko­lek­tor pro­fe­si­onal me­re­ka ber­bu­ru ri­lis­an fisik untuk di­nik­ma­ti. Be­da­nya, ko­lek­tor-ko­lek­ tor ri­lis­an fisik ori­si­nal “me­ngo­lek­si” ka­re­na me­re­ka ma­ni­ak ter­ha­dap ri­lis­an fisik ori­si­nal. Se­dang­kan kon­su­men ri­lis­an fisik ba­jak­an me­ngo­lek­si se­ka­dar untuk hi­bur­an ka­re­na har­ga­nya yang murah. “Kalau ori­si­nal mahal. Se­li­sih­nya juga lu­ma­yan,” kata Ridho. Toko kaset ba­jak­an yang tak pernah sepi pe­ngun­ jung men­ja­di bukti bahwa ri­lis­an fisik masih banyak pe­mi­nat. Se­la­in itu, pem­ba­jak­an juga dapat di­ja­di­kan se­ba­gai pro­mo­si mu­si­si. Hal itu di­ung­kap­kan oleh Indra Menus, bahwa pro­mo­si me­la­lui ri­lis­an fisik ba­jak­an sangat me­ngun­tung­kan bagi grup musik. “Band itu tidak ke­lu­ar duit. Si pem­ba­jak yang pro­mo­ si­kan dan orang jadi tahu. Biaya pro­mo­si itu mahal, lho,” terang Menus. “Jadi ge­rak­an an­ti­pem­ba­jak­an itu me­nu­rut­ku useless,” lanjut pe­mi­lik Doggy House Record itu. Menus men­con­toh­kan, banyak grup musik ter­ ke­nal ka­re­na pem­ba­jak­an. Ia me­ne­gas­kan bahwa pem­ba­jak­an tidak se­ma­ta-mata buruk. Me­nu­rut­nya, orang-orang tidak cukup hanya se­tu­ju atau tidak ter­ ha­dap pem­ba­jak­an. Namun, me­re­ka harus me­nin­jau dari banyak sisi. “Ada yang eng­gak suka itu (pem­ba­ jak­an, Red.) ka­re­na dia di­ru­gi­kan.” Sedang di sisi lain, pem­ba­jak­an adalah pro­mo­si sen­di­ri bagi si mu­si­si. “Dan enggak cuma musik, hal-hal lain pun pasti be­gi­tu. Tinggal ba­gai­ma­na kita bisa me­man­fa­at­kan pem­ba­jak­an.” Me­nu­rut­nya, lebih baik me­nung­ga­ngi pem­ba­jak­an da­ri­pa­da harus an­ti­pa­ti. Se­la­in Menus, pen­da­pat se­ru­pa juga di­ung­kap­kan oleh David. Ia me­nga­ta­kan, ri­lis­an fisik ba­jak­an tidak harus di­bas­ mi. “Buat apa takut pem­ba­jak­an? Se­ka­rang malah me­nye­nang­kan. Wah, di­ba­jak, gila kita ter­ke­nal. Man­fa­at­kan, dong!” ung­kap­nya.[]

Minggu (17/6), David Tarigan menceritakan kisah Bob Geldof yang marah-marah saat terjadi pembajakan lagunya di Indonesia.

Buat apa takut ­pem­ba­jak­an? ­Se­ka­rang malah ­me­nye­nang­kan. Wah, ­di­ba­jak, gila kita ­ter­ke­nal. ­Man­fa­at­kan, dong! David

Laporan oleh Andhika, Aziz, dan Winna

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 65


L A PORAN K H U S U S

Murah Tapi Tak Meriah Muncul upaya baru mengatasi pembajakan dengan membuat VCD murah secara massal. Namun, kebijakan ini masih menuai pro dan kontra. Oleh Andhika Widyawan

D Cara orang mendengarkan musik sudah bergeser Wowok

AN

D

A HIK

|E

KS

PR

ES

I

i siang yang cukup cerah dan terik pada Jumat (29/07) Woto Wibowo, pendiri netlabel Yes No Wave Music, sedang duduk santai di depan kantornya. Terletak di Mangkuyudan, Yogyakarta, netlabel tersebut menjadi label rekaman pertama di Indonesia yang mendistribusikan musik secara gratis melalui jaringan internet. Sambil sesekali menghisap rokoknya, pria yang akrab disapa Wowok ini bercerita banyak tentang VCD Ekonomis. Dia berpendapat bahwa usaha yang dilakukan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) tersebut merupakan cara yang bagus untuk menyelamatkan bisnis rilisan fisik. Namun demikian, Wowok menilai upaya ter­se­but datang ter­lam­bat. Menurutnya, “Cara orang men­ de­ngarkan musik sudah bergeser.” Dengan adanya du­kung­an internet, musik digital dapat didengarkan di manapun. Hal itu membuat orang-orang saat ini lebih sering mengakses Soundcloud, Spotify, hingga YouTube untuk mendengarkan musik. Hal ini nan­ ti­nya akan menyulitkan penjualan jangka panjang CD Ekonomis. Pada 11 Februari 2016 silam, ASIRI ber­sa­ ma Gabungan Perusahaan Rekaman Indonesia (Gaperindo) me­ne­ken kontrak kerja sama untuk mem­bu­at VCD Ekonomis. Kerja sama ini meng­ha­ sil­kan proyek pro­duk­si ri­lis­an fisik ori­si­nal yang di­ju­al dengan harga murah, Rp5000 per keping. Se­la­in karena meng­ha­sil­kan ri­lis­an ori­si­nal berharga murah, proyek ini ramai di­per­bin­cang­kan ka­re­na pihak yang men­ja­di pe­lak­sa­na proyek adalah Perkumpulan Industri Media Replika Indonesia (PIMRI). PIMRI adalah perkumpulan yang menaungi lima pabrik pencetak CD, VCD, dan DVD bajakan yang selama ini beredar di Indonesia. Dalam wawancaranya dengan Rolling Stone akhir Maret lalu, General Manajer ASIRI, Ventha Lesmana, mengatakan kalau langkah ini terpaksa ditempuh. Hal tersebut lantaran tutupnya salah satu distributor terbesar di industri musik Indonesia Disc Tarra Group pada akhir tahun 2015. “Jalur distribusi musik kami ke masyarakat makin berkurang. Kondisi tersebutlah yang membuat ASIRI harus mencari peluang bisnis lain untuk para anggotanya,” terang Ventha. ASIRI pun yakin jika

Woto Wibowo pendiri netlabel Yes No Wave Music mengatakan VCD Ekonomis adalah cara yang bagus untuk menyelamatkan bisnis rilisan fisik, pada Jumat (29/07)

66 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

proyek ini akan meng­un­tung­kan per­usa­ha­an re­kam­an mau­pun mu­si­si. Meski ke­un­tung­an­nya kecil, namun ke­un­tung­an akan ber­li­pat dengan angka pen­ju­al­an yang tinggi. Apa­la­gi ASIRI yakin, target penjualan 5 juta keping per bulan sudah pasti tercapai. Terlebih langkah ini digadang-gadang mampu menekan angka pembajakan rilisan fisik di Indonesia. Namun demikian, tidak sedikit orang yang sank­ si de­ngan ke­bi­jak­an ini. Saat ditemui pada Sabtu (27/08) Erix Soekamti, vokalis dari grup musik pop punk Endank Soekamti pun berkomentar kalau VCD Ekonomis pada akhirnya berpotensi merugikan musisi yang berada di label mayor. “Kalau musisinya sendiri sebenarnya enggak bisa apa-apa, karena memang itu kontrak yang mengikat dengan labelnya. Itu urusan publishing, player tidak bisa apa-apa,” ungkap Erix. Kendati demikian, karena saat ini Endank Soekamti sudah tidak terikat dengan label mayor manapun, Erix merasa beruntung atas pilihannya keluar dari label mayor pada 2011. “Aku kasihan sama teman-temanku, bukan kasihan sama Endank Soekamti karena kita jauh dari itu. Kita punya pasar sendiri, bikin industri sendiri, bahkan mereka yang bajak mungkin enggak tahu juga kalau ada Endank Soekamti,” ungkapnya sambil tertawa. Sama dengan yang dirasa Wowok. Sebagai orang yang sejak dulu berkecimpung di dunia musik indie, Wowok tidak merasa kebijakan ini dapat berpe­nga­ ruh ke musisi-musisi yang berada di jalur ini. Dalam menyikapi pembajakan sendiri, menurut Wowok, grup musik indie tidak terlalu memikirkan pembajakan. “Pembajak laku berapa sih menjual CD musik indie? Wong pendengarnya enggak banyak,” kata Wowok. Selain itu, banyak dari para musisi indie justru meli­hat pembajakan dari segi positifnya. Pembajakan di satu sisi bisa menjadi media promosi secara murah, bahkan gratis. Dampak juga luas, bisa sampai ke daerah yang mungkin tidak bisa dijamah oleh distributor. Erix Soekamti, dalam menanggapi VCD Ekonomis bahkan sampai membuat satu episode khusus yang membahas kebijakan pemerintah ini di video seri­al YouTube-nya. Erix melakukan wawancara dengan banyak musisi, wartawan, dan pengamat musik mengenai kebijakan ini. Hasilnya pun beragam, dari yang pro hingga kontra. Di video yang berjudul “Bekerja dengan Pembajak” tersebut, salah seorang komentar, “Ini adalah langkah frustrasi pemerintah. Mungkin VCD Ekonomis akan menyelamatkan musik secara bisnis, tapi tidak secara kesenian.”[] Laporan oleh Ghoza dan Putra


T it ik B a l ik Ril is a n F is i k

Melawan Digitalisasi

Untuk memenuhi dahaga kolektor dan penikmat musik berkualitas, tak ada cara selain tetap menjajakan rilisan fisik. Oleh Triana Yuniasari

B

a­gi se­ba­gi­an orang, me­ngo­leks­i ri­lis­an fisik mu­sik bi­sa mem­be­ri­kan ke­un­tung­an in­ves­ ta­si ­dan ni­lai his­to­ris. Na­mun, se­ba­gia­n yang lain meng­ang­gap bah­wa ko­lek­si ri­lis­ an fi­sik me­ru­pa­kan se­bu­ah ke­sia-sia­an. “Ba­gi yang ti­dak pa­ham ri­lis­an fi­sik mu­sik, ko­lek­si ri­lisan fi­sik musik bisa saja di­ang­gap se­ba­gai orang gila, pa­da­hal bisa men­ja­di in­ves­ta­si dan ba­gian dari se­ja­rah mu­ sik Indonesia,” kata Tri Aman se­ba­gai salah se­orang yang ter­hi­dupi dari dunia musik. Ken­da­ti de­mi­ki­an, ge­liat ri­lis­an fi­sik mu­sik yang dulu po­pu­ler sem­pat me­nga­la­mi ma­sa kri­tis se­jak musik me­ram­bah du­nia di­gi­tal. Ba­nyak pi­hak yang ber­ang­gap­an bahwa ri­lis­an fisik musik sudah tidak laku. Tri pun ber­ko­men­tar, “Ba­nyak yang ber­pi­kir be­gi­tu, saya ko­lek­si ka­set dan ba­nyak te­man yang mem­per­ta­nya­kan, ‘me­nga­pa me­mi­lih mem­be­li ka­ set pa­da­hal me­ngun­duh da­ri in­ter­net sa­ja banyak?” Bah­kan se­orang pe­mi­lik toko ri­lis­an fi­sik mu­sik ba­jak­an di Jalan Mataram Yogyakarta sangat ber­ha­ rap agar ri­lis­an fisik tetap ber­ta­han se­hing­ga tidak meng­gang­gu sta­bi­li­tas usa­ha­nya. “Ri­lis­an fisik sangat perlu di­per­ta­han­kan ka­re­na orang se­per­ti saya dan pe­mi­lik toko lain di se­ki­tar si­ni harus mem­bu­ka usaha apa lagi kalau semua musik di­un­duh dari in­ter­net?” ung­kap pe­mi­lik toko yang tidak ber­ke­nan di­se­but­kan na­ma­nya ter­se­but. Nya­ta­nya, su­dah ada toko ri­lis­an fisik yang me­mu­ tus­kan untuk gulung tikar, salah sa­tu­nya toko ri­lis­an fisik ber­na­ma Ngejaman. “Ngejaman adalah toko kaset bekas yang jadi favorit teman-teman untuk ber­bu­ru rilisan. Sa­yang­nya se­ka­rang sudah tidak ada, ter­ak­hir buka lapak pada 2013 karena ber­pi­kir kalau ri­lis­an fisik sudah tidak laku,” ungkap Tri me­nya­yang­kan.

Toko Fisik Rilisan Fisik

tersembunyi di selatan Pendapa Aliyasa JNM dan agak men­jo­rok ke be­la­kang meng­ha­dap ke timur. Tak be­gi­tu ba­nyak pe­lang­gan yang me­nyam­ba­ngi toko ini. Ka­lau­pun ada, itu ka­re­na sudah men­ja­di lang­gan­an tetap yang sudah me­nge­ta­hui pasti lo­ ka­si toko. Mes­ki be­gitu, lang­gan­an te­tap pun tidak selalu mem­be­li ko­lek­si ri­lis­an fisik ka­re­na ala­san hanya meng­ge­ma­ri aliran musik atau mu­si­si ter­ten­tu. “Kita buat sistem per­te­man­an, ba­nyak yang da­tang ke sini hanya me­li­hat-li­hat, enggak pasti beli,” ungkap Tri sambil me­nge­dar­kan pan­dang­an­nya ke se­lu­ruh sudut ruangan. JNM Art Shop bisa di­ka­te­go­ri­kan sebagai salah satu toko rilisan fisik musik di Yogyakarta yang paling komplet. Rak berisi rilisan fisik musik berderet rapi me­menu­hi ruang­an ber­ukur­an 9x6 meter persegi ini. Ber­ba­gai koleksi rilisan fisik, baik yang ber­ben­ tuk kaset pita, compact disk (CD), mau­pun pi­ring­an hitam, ter­ta­ta apik di rak­nya masing-masing. “Pe­na­ta­ an­nya ber­da­sar­kan genre ke­mu­dian di­urut­kan sesuai abjad,” ujar Tri. CD men­da­patkan jatah rak dan tempat paling banyak. Mu­ sa­bab­nya, CD ada­lah ben­tuk rilisan fisik yang paling di­mi­nati saat ini. “Pe­mi­nat CD bisa men­ca­pai 80%, kaset pita 15%, dan pi­ring­an hi­tam hanya 5%,” terang Tri. Ko­lek­si CD ditata di dua rak ber­ war­na terang di tembok se­la­tan, lima rak ber­war­na gelap meng­ gan­tung pada tem­bok se­be­lah barat, serta me­me­nu­hi se­tengah meja ukur­an 4x1 meter per­ se­gi yang ber­ada di depan pintu

Koleksi rilisan fisik musik bisa saja dianggap sebagai orang gila, padahal bisa menjadi investasi dan bagian dari sejarah musik Indonesia Tri

Tri Aman menunjukkan beragam rilisan yang ada di tokonya.

JNM Art Shop adalah salah satu toko rilisan fisik musik di Yogyakarta dengan Tri menjadi satu-satunya pengelola. Toko rilisan fisik musik yang berdiri di Yogyakarta pada 2010 ini pada awalnya bernama Demajors Jogja. Oleh sebab adanya penggabungan tempat usaha dengan JNM Art Shop maka kemudian nama Demajors Jogja pun diubah menjadi JNM Art Shop. Sesuai dengan namanya, toko ini berlokasi di kawasan Jogja National Museum (JNM). Tempatnya lumayan AZIZ | EKSPRESI

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 67


L A PORAN K H U S U S GHOZA| EKSPRESI

Yudha B. Nugraha saat ditemui di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (1/10).

masuk. Se­­d ang­k an kaset pita hanya me­ nem­p a­t i satu rak ukur­a n se­d ang dan satu meja ber­ukur­an 3x1 meter. Ke­mu­di­an pi­r ing­a n hi­t am me­ nem­p a­t i empat rak ukur­an kecil di de­kat meja kasir dan dua rak ukur­an kecil di ba­wah rak CD yang meng­gan­ tung di tem­bok barat. Per­ge­ser­an ting­ kah laku ma­s ya­r a­ kat yang saat ini di­ mu­d ah­k an dengan adanya internet pun membuat JNM Art Shop harus bisa me­ ngi­ku­ti arus per­adab­­ an. Pro­m o­s i luring diim­b a­n gi dengan peng­g u­n a­a n sosial media sejak awal ber­ di­ri­nya. “Sejak kita di sini sudah men­co­ba pro­mosi daring via Twitter tahun 2010,” ungkap Tri.

Berlapak di Internet

Kini, per­kem­bang­an pro­mo­si daring men­ja­di sangat pesat. Banyak toko ri­lis­an fisik musik lebih giat di media daring, cara yang paling me­re­ka an­dal­kan dalam me­ma­sar­kan ri­lis­an fisik. Yogya Music Store adalah salah satu contoh toko ri­lis­an fisik musik yang ber­giat di media daring. “Yogya Music Store sejauh ini giat di daring, ka­lau­pun daring hanya mem­bu­ka lapak se­per­ti ini saja ber­sa­ma ko­mu­ni­tas Jogja Record Store,” ungkap Yudha B. Nugraha, pemilik Yogya Music Store, sem­ ba­ri me­nun­juk kawan-kawan ko­mu­ni­tas­nya. Yogya Music Store ber­sa­ma dengan be­be­ra­pa toko rilisan fisik musik, baik daring maupun luring, ketika itu sedang mem­bu­ka lapak ko­mu­ni­tas Jogja Record Store dalam acara Pasar Yakopan di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (1/10). Sejauh ini, Yogya Music Store sen­di­ri hanya me­man­faat­kan momen mem­bu­ka lapak secara luring ber­sa­ma ko­mu­ni­tas Jogja Record Store di samping benar-benar me­ngan­dal­kan media daring dalam pe­ma­sar­an ri­lis­an fi­sik­nya. Yudha ru­pa­nya juga me­ru­pa­kan seorang ko­lek­tor ri­lis­an fisik mu­sik, dan itulah yang mem­buat­nya tetap mem­per­ta­han­kan Yogya Music Store. “Se­be­nar­nya karena saya ko­lek­tor rilisan fisik musik sejak SMP, jadi sekalian me­ngum­pul­kan ko­lek­si baru. Hobi yang mem­buat saya men­ja­lani usaha ini sam­pai se­ka­rang wa­lau­pun ha­sil­nya tidak se­be­ra­pa,” tutur Yudha sem­ ba­ri me­nun­juk be­be­ra­pa ri­lis­an fisik di la­pak­nya yang di­do­mi­na­si oleh ri­lis­an fisik ber­ben­tuk CD. Ri­lis­an

68 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

fisik musik yang pa­ling ba­nyak di­mi­na­ti oleh kon­ su­men saat ini adalah dalam bentuk CD se­hing­ga foto yang sering di­ung­gah juga di­do­mi­na­si oleh CD. Dengan ken­da­la da­lam pro­mo­si via daring yang di­ala­mi­nya, Yogya Music Store belum ber­pi­kir­an untuk mem­bu­ka toko di dunia nyata. “Belum ter­pi­ kir­kan untuk fokus ber­jual­an luring, ka­re­na masih ma­ha­sis­wa ja­di belum mam­pu mem­be­li atau me­nye­ wa toko. Se­be­nar­nya ingin sekali,” ujar ma­ha­sis­wa AMIKOM ju­rus­an Sistem Informasi angkatan 2010 ini.

Streaming Digital Mulai Mewabah

Strategi pen­jual­an musik tam­pak­nya tak lagi hanya ber­wu­jud toko luring dan daring ri­lis­an fisik, te­ta­pi juga pen­jual­an musik di­gi­tal, yakni musik tanpa ber­ben­tuk fisik. Mu­la­nya mu­sik di­gi­tal mun­cul dalam format MP3. Lalu me­ram­bah in­ter­net se­hin­gga dapat di­nik­ma­ti oleh pen­de­ngar dengan meng­un­duh musik yang di­ingin­kan. Tentu de­ngan me­la­ku­kan pem­ba­ yar­an ter­ten­tu agar dapat meng­un­duh musik. Musik un­duh­an ter­se­but mulai po­pu­ler se­ki­tar tahun 2004 dan ke­mu­di­an ter­lam­paui oleh musik streaming di­ gi­tal yang me­wa­bah se­ki­tar tahun 2015. Se­per­ti di­ lan­sir oleh Metrotvnews.com, Recording Industry Association of America (RIAA) me­ma­par­kan bahwa la­yan­an musik streaming di­gi­tal me­lam­paui total pen­ da­pat­an in­dus­tri musik un­duh­an di­gital di tahun 2015. Spotify, salah satu la­yan­an musik streaming, sampai September 2016 telah me­mi­li­ki empat puluh juta pe­lang­gan ber­ba­yar dan lebih dari se­ra­tus juta peng­gu­na gratis, seperti di­lan­sir oleh Slashgear.com. Lewat Spotify, peng­gu­na da­pat meng­ak­ses dan me­nik­ ma­ti mu­sik ber­da­­sar­kan artis, album, genre, playlist, atau label re­kam­an. “Spotify itu se­per­ti per­pus­ta­ka­an di­gi­tal musik. Saya suka sama kua­li­tas suara­nya, tam­pak­nya mu­sik di Spotify for­mat­nya bukan MP3 me­lain­kan flac, jadi lebih enak,” ungkap Figri Ghozali, salah se­orang pe­ nik­mat musik streaming. Ia mulai me­nge­nal musik di­gi­tal sejak duduk di bangku SMP, sekitar tahun 2005. “Dulu mulai kenal musik di­gi­tal waktu kelas VII SMP, sering meng­un­duh musik, an­da­lan­nya situs Gudanglagu.com.” Bagi Figri, musik streaming lebih simpel di­ban­ding­kan ri­lis­an fisik. “Bisa di­nik­ma­ti di ma­na­pun dan ka­pan­pun. Lagi pula saya enggak punya alat pe­mu­tar kalau mau mem­be­li ri­lis­an fisik dan enggak suka koleksi juga,” ujarnya. Walau de­mi­ki­an, nya­ta­nya po­la kon­sum­si ma­ sya­ra­kat terus ber­ge­ser da­lam me­nik­ma­ti mu­sik. Tak me­nu­tup ke­mung­kin­an pola ter­se­but akan me­nga­la­mi titik balik. Yudha me­ne­gas­kan, “Se­ka­rang kaset pita, CD, dan pi­ring­an hitam musik dari mu­si­si-mu­si­si lama, atau grup musik yang sudah bu­bar pasti akan sangat dicari.” Bah­kan tidak me­­nu­tup ke­mung­kin­an har­ga­nya justru men­ja­di sangat tinggi. “Mi­sal­kan kita punya ri­lis­an fi­sik­nya se­ka­rang, di­jual se­ta­hun ke­mu­di­an pun akan laku dan har­ga­nya se­langit,” tan­das­nya.[] Laporan oleh Aziz dan Ghoza


T it ik B a l ik Ril is a n F is i k

DOK. MOCCA

Bermain Gimmick Album Fisik Lesunya penjualan tidak membuat para musisi menyerah berkarya melalui medium rilisan fisik. Satu demi satu inovasi ditelurkan agar bisnis ini tetap berjalan. Oleh Muhammad Aziz Dharmawan

D

ua tahun lalu, Rabu, grup musik ber­gen­re neo­folk asal Yogyakarta, me­nge­lu­ar­kan album dengan bentuk yang tidak lazim. CD dan lirik di­ta­ta ber­sa­ma kembang se­ta­man dan ke­me­nyan, lalu di­bung­kus rapi dalam se­bu­ah boks anyam­an bambu. “Waktu itu, Rabu ter­de­ngar mistis dan se­di­kit lokal,” jelas Wednes Mandra, per­so­nel Rabu pada akhir Juli lalu. Atas dasar itu, Wednes lantas men­ca­ri konsep yang mampu me­ne­gas­kan kesan ter­se­but. Ide muncul kala me­ne­mu­kan wadah ma­kan­an acara ken­du­ri yang saat itu meng­gu­na­kan besek. Citra yang di­mi­liki besek, men­urut Wednes, mam­pu me­ne­gas­kan kesan yang me­le­kat pada Rabu. Ide itu lantas di­go­dok dari sisi ar­tis­tik hingga pe­ma­sar­an. Ha­sil­nya, ia mem­bu­at 500 ri­lis­an fisik dengan satu ke­ping­nya di­ban­de­rol Rp45.000. Meski jumlah pro­duk­si tidak banyak, album ini me­mi­liki kesan ter­sen­di­ri bagi Wednes. “Ini per­ta­ma ka­li­nya ju­al­an album ha­sil­nya masif.” Tri Aman, pe­nge­lo­la toko kaset Jogja National Museum Art Shop, meng­aku tak heran dengan stra­ te­gi ju­al­an Rabu. Se­la­ma meng­urusi toko kaset yang ber­ada di Jalan Prof. Ki Amri Yahya No. 1 Wirobrajan itu, ia men­da­pati banyak ri­lis­an fisik ber­de­sa­in unik men­ja­di bahan bu­ru­an para ko­lek­tor. “Asal­kan dia bisa bikin art­work me­na­rik, pe­nge­mas­an­nya bagus, pasti banyak yang men­ca­ri,” jelas Tri saat di­te­mui di to­ko­nya (4/7).

Dengan teknologi Augmented Reality Content yang ditanam di album Mocca yang berjudul "Home", sebuah video klip dapat muncul di layar gawai yang tengah menyorot album fisik tersebut.

Se­la­in ka­re­na de­sa­in­nya unik, faktor lain pem­bu­ at ri­lis­an fisik laris ada­lah jum­lah­nya yang ter­ba­tas. Faktor yang juga mem­bu­at harga ri­lis­an fisik cepat me­ro­ket. “Me­re­ka ce­tak­nya se­di­kit, edi­si ter­ba­tas, jadi har­ga­nya oto­ma­tis naik se­te­lah ba­rang­nya eng­ gak ada,” ungkap Tri. Ken­da­ti de­mi­ki­an, meng­hi­as album saja tidak lantas mem­bu­at pen­ju­al­an se­ma­ kin me­ning­kat. “Musik itu sen­di­ri yang uta­ma­nya harus bagus.” Ia mem­be­ber­kan be­be­ra­pa ri­lis­an fisik “unik” yang pernah ia te­mu­kan di to­ko­nya. Frau dalam album Happy Coda men­de­sa­in ri­lis­an fisik ber­ben­tuk tabung pipih la­yak­nya bedak kos­me­tik ber­ga­ya vintage. Se­ dang­kan Mocca dalam album Home mem­bu­at ri­lis­an fisik yang bisa di­ben­tuk men­ja­di rumah-ru­mah­an. Di album yang sama, Mocca juga meng­gu­na­kan tek­no­lo­gi Augmented Reality Content agar bisa me­mun­cul­kan ani­ma­si saat di­so­rot dengan gawai. Grup musik lain yang juga mem­pu­nyai konsep nyen­trik untuk al­bum­nya adalah Zoo. Ber­gen­re Art Rock, Zoo tidak main-main mem­be­ri nama album me­re­ka Prasasti. Se­la­in bentuk dan di­men­si yang me­nye­ru­pai epi­graf, me­re­ka juga mem­bu­at ke­mas­an album ber­ba­han dasar batu asli. Yang tak kalah me­na­rik, men­urut Tri, ada­lah boxset. Kon­sep­nya dengan me­nge­mas CD, vi­deo klip, kaos, atau ak­se­so­ri-ak­se­so­ri la­in­nya dalam satu paket boks eks­klu­sif. Raisa di album ter­ba­ru­nya Homemade, meng­adop­si konsep ter­se­but. Se­la­in Raisa, grup musik Endank Soekamti, baru-baru ini juga me­ri­lis album dengan konsep de­mi­ki­an. Erix Soekamti, vo­kal­is se­ka­li­gus basis Endank Soekamti, dalam salah satu video blog­nya di YouTube be­be­ra­pa waktu lalu, ber­bi­ca­ra soal alas­an pe­mi­lih­an konsep boxset. Saat ini hanya se­di­kit orang yang me­ nik­ma­ti musik dalam bentuk CD atau kaset. Namun, “Me­re­ka masih ingin mem­bu­ru CD kita untuk di­ko­ lek­si, bukan di­de­ngar.” EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 69


L A PORAN K H U S U S

Ini adalah sebuah treatment untuk mengembalikan apresiasi yang telah mereka berikan kepada kita dalam bentuk karya yang eksklusif Erix

Be­rang­kat dari sana, Endank Soekamti me­mi­ kir­kan cara agar mu­si­si dan peng­ge­mar sama-sama men­da­pat ke­un­tung­an dari ada­nya ri­lis­an fisik. “Ini ada­lah se­bu­ah treatment untuk me­ngem­ba­lik­an apre­ si­asi yang telah me­re­ka be­ri­kan ke­pa­da kita dalam bentuk karya yang eks­klu­sif, karya yang pantas untuk me­re­ka,” jelas Erix. Hasilnya, Iwan Pribadi, Manajer Euforia Records, meng­aku puas dengan pen­ju­al­an album fisik Endank Soekamti meski pe­ma­suk­an grup musik tetap lebih besar dari hasil konser. Euforia Records adalah per­ usa­ha­an re­kam­an yang di­bu­at sen­di­ri oleh Endank Soekamti. Saat di­te­mui di markas Endank Soekamti pada Senin (9/9) Iwan me­nye­but­kan, Endank Soekamti sudah mulai pro­duk­si boxset dari album Angka 8 yang muncul 2011 dan di­su­sul dua tahun ke­mu­di­ an album Kolaborasoe. Hasil pen­ju­al­an dua album ter­se­but me­nyum­bang se­ki­tar 10% dari total ke­se­ lu­ruh­an pe­ma­suk­an grup musik. Di album ter­ba­ ru­nya yang ber­ta­juk Soekamti Day, pe­san­an sudah men­ca­pai angka 3000 sejak masa pre­or­der. Ka­re­na per­min­ta­an di pasar masih ter­bi­lang tinggi, Euforia Records sampai harus be­ker­ja sama dengan be­be­ra­pa vendor pro­du­sen boxset se­ka­li­gus untuk meng­im­ bangi per­min­ta­an. Agar ri­lis­an fisik tetap bisa di­se­rap pasar, Iwan ber­ujar bahwa Endank Soekamti tak lupa me­la­ku­kan pem­ba­ca­an de­mo­grafi dan ka­rak­te­ris­tik peng­ge­mar me­re­ka. “Ini enggak me­lu­lu ma­sa­lah profit, tapi kalau kita mau ber­kar­ya, kan kita harus tahu karya itu di­ tu­ju­kan ke­pa­da si­apa. Nanti kita bisa tahu karya itu harus di­bu­at se­per­ti apa,” ungkap Iwan. Di­ta­nya soal dis­tri­bu­si album lewat gerai res­to­ran cepat saji, Iwan meng­ge­leng. “Kalau di res­to­ran itu ya makan, bukan ju­al­an CD,” se­lo­roh­nya. Me­nu­rut­ nya, cara itu memang bagus dan mem­ban­tu banyak mu­si­si untuk tetap dapat men­ju­al album-al­bum­nya. Namun, cara itu di­ang­gap tidak cocok untuk pen­ju­al­an album Endank Soekamti. Sudah banyak mu­si­si yang be­ker­ja sama dengan ja­ring­an per­usa­ha­an wa­ra­la­ba se­ per­ti Kentucky Fried Chicken (KFC) untuk men­dis­tri­bu­si­kan album fi­sik­nya. Salah satu fe­no­me­na me­na­rik ter­ja­di pada per­te­ngah­an tahun 2015 lalu. Kala itu, Lyla ber­ha­sil men­ju­al album me­ re­ka yang ber­ta­juk Ga Romantis se­ba­nyak

lima

Tri Aman, pengelola toko kaset Jogja National Museum Art Shop.

70 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

GHOZA | EKSPRESI

ratus ribu keping hanya dalam waktu enam bulan. Fabian Galael, Direktur Pengelola KFC Indonesia, dalam wa­wan­ca­ra­nya dengan SWA Online, me­nga­ta­ kan, KFC sudah mampu men­ju­al 850 ribu keping CD dalam se­bu­lan sejak tahun 2012. “Angka pen­ju­al­an CD kami se­bu­lan itu lebih banyak da­ri­pa­da angka pen­ju­al­an CD na­sio­nal se­ta­hun (se­be­lum­nya, .Red), lho.” Maklum saja, jurus jitu KFC ber­ba­reng­an dengan le­su­nya pen­ju­al­an CD di se­lu­ruh pen­ju­ru tanah air. Langkah Fabian ini bukan tanpa rin­tang­an. Ia sempat di­ra­gu­kan oleh para pe­mim­pin label besar ke­ti­ka per­ta­ma kali me­mu­lai program jualan CD di res­to­ran­nya. “Kami saja yang sudah pu­luh­an tahun se­ka­rang ke­su­sah­an ber­ju­al­an CD, kamu pen­ju­al ayam kok kamu ju­al­an CD,” ungkap Fabian me­ni­ru­kan omong­an para mitra bis­nis­nya dulu. Soal dis­tri­bu­si album, Endank Soekamti sen­di­ri meng­gu­na­kan fa­si­li­tas jasa pe­me­san­an dan pe­ngi­ rim­an yang ada di Belialbumfisik.com. Se­bu­ah la­ya­ nan jual beli al­bum fisik eks­klu­sif yang juga di­ke­lo­la juga oleh Euforia Records. Dari peng­alam­an Endank Soekamti se­la­ma ini, pen­ju­al­an album fisik dengan pihak ke­ti­ga ter­bi­lang tidak efi­si­en, se­hing­ga pada akhir­nya me­re­ka me­mi­lih untuk ber­ino­va­si dengan cara dis­tri­bu­si me­re­ka sen­di­ri. Meski de­mi­ki­an, Iwan meng­aku tidak se­pe­nuh­nya meng­an­dal­kan ju­al­an daring. Me­re­ka masih be­ker­ ja sama dengan be­be­ra­pa toko dan distro se­ba­gai reseller di ber­ba­gai dae­rah untuk men­ju­al album me­re­ka. Se­la­in itu, “Ju­al­an saat ada konser ha­sil­nya lu­ma­yan juga,” ungkap Iwan. Se­la­in se­ba­gai pen­ju­al­an, medium in­ter­net juga di­man­fa­at­kan Endank Soekamti untuk media pro­mo­si. Grup musik ini ter­bi­lang rajin me­ra­wat akun-akun so­si­al media me­re­ka untuk bisa terus ber­in­te­rak­si dengan peng­ge­mar. Peng­ge­mar bisa terus me­ra­sa dekat dengan in­te­rak­si yang di­ja­lin oleh mu­si­si me­ la­lui me­dia so­si­al. “Se­ka­rang ini cuma hasil dari memaintenance ko­mu­ni­tas peng­ge­mar kita.” Sama hal­nya bagi Wednes, me­di­um in­ter­net juga men­ja­di hal yang pen­ting untuk sa­ra­na pro­mo­si. Di­ ri­nya ber­ang­gap­an bahwa per­kem­bang­an tek­no­lo­gi dapat mem­per­mu­dah ke­hi­dup­an se­hari-hari, ter­ma­ suk musik. “Malah jadi va­ri­atif dan mudah di­ak­ses (la­gu­nya, .Red),” kata Wednes. Me­nu­rut­nya, se­iring per­kem­bang­an zaman, ma­nu­sia akan se­ma­kin me­ ne­mu­kan cara yang lebih mudah dalam meng­ak­ses musik. Wednes juga per­ca­ya kalau album fisik tidak akan lumpuh hanya ka­re­na per­kem­bang­an pe­nye­ dia musik digital. Mes­ki­pun di­akui­nya pen­da­pat­an dari ber­ju­al­an ri­lis­an fisik belum bisa untuk hidup se­ha­ri-hari, ada ke­le­bih­an dari ri­lis­an fisik musik yang tidak dapat di­gan­ti­kan oleh musik di­gi­tal. “Kita bisa main-main gimmick lewat artwork dan per­nakper­nik­nya,” ungkap Wednes. Bagi Wednes, hal itu pula yang akhir­nya mem­bu­at rilisan fisik akan se­la­lu men­ja­di ba­rang yang layak di­ko­lek­si.[] Laporan oleh Triana


T it ik B a l ik Ril is a n F is i k

Mendengarkan Musik Sesungguhnya

Pi­ri­ngan hitam telah ber­kem­bang di Indonesia sejak awal abad ke-20. Mulai 1950-an mulai muncul pabrik re­ka­man. Salah satunya Lokananta. Oleh A.S. Rimbawana

P

i­ri­ngan hitam, atau di­se­but juga vynil, baru di­ke­nal­kan pada masyarakat HindiaBelanda awal tahun 1900. Pi­ri­ngan hitam sen­di­ri ber­kem­bang ke­ti­ka phonograph, alat pe­mu­tar musik untuk pi­ri­ngan hitam, mulai di­da­tang­kan dari Eropa ke Hindia-Belanda. Mu­la­ nya, pe­ru­sa­ha­an re­ka­man asing yang men­do­mi­na­si album re­ka­man yang masuk di Hindia-Belanda kala itu. Seperti Gramaphone Company (Inggris), Beka (Jerman), Parlophone (Inggris), Lyrophon. Baru se­te­lah itu, di per­te­nga­han 1950-an muncul studio pi­ri­ngan hitam Lokananta. Bembi Ananto, seorang staf remastering Lokananta me­nga­ta­kan bahwa se­ti­dak­nya, se­la­ma empat tahun terakhir, peminat rilisan fisik kembali me­nan­jak. Tak ter­ke­cu­ali dengan pi­ri­ngan hitam. Me­nu­rut data Nielsen Soundcan pen­jual­an pi­ri­ngan hitam di Amerika me­nga­la­mi pe­ning­ka­tan 260 persen sejak 2009. Ke­mu­di­an di 2014 pen­ju­al­an­nya me­­ning­­ kat 52 persen. Di tahun 2015, dilansir dari Tirto.id, pen­ju­al­an pi­ri­ngan hitam sudah men­ca­pai 12 juta keping di Amerika. Kini, di Indonesia grup musik atau artis yang men­ce­tak ri­li­san fisik masih banyak. Ter­le­bih untuk ri­li­san fisik ber­ben­tuk pi­ri­ngan hi­tam, wa­lau­pun biaya cetak lebih mahal, tapi se­ban­ding dengan ku­ali­tas. Bembi me­nga­ta­kan, tidak ter­se­dia­nya alat pen­ce­tak pi­ri­ngan hitam yang mem­bu­at biaya cetak makin mahal. “Di luar kan ada alat pressing pi­ri­ngan hitam, ma­sa­lah­nya di Indonesia tak punya. Lokananta punya tapi se­ka­rang rusak,” keluh Bembi. Lokananta, ber­di­ri sejak 20 Oktober 1956, di Solo, Jawa Tengah. Tempat yang du­lu­nya di­se­but se­ba­gai “pabrik pi­ri­ngan hitam” ini se­ka­rang sudah be­ra­lih nama men­ja­di “studio musik” Lokananta. Studio yang ber­tem­pat di Jalan Ahmad Yani nomor 329, Kerten, Solo, Jawa Tengah ini kini memang tak lagi mem­pro­duk­si pi­ri­ngan hitam. Dalam per­ja­la­nan­nya, awalnya Lokananta mem­ pu­nyai dua tugas utama. Per­ta­ma, pro­duk­si dan du­pli­ka­si pi­ri­ngan hitam. Kedua, pro­duk­si dan du­ pli­ka­si kaset audio. Pada tahun 1958, me­la­lui RRI, di­pa­sar­kan­lah pi­ri­ngan hitam ber­la­bel Lokananta. Pada tahun 1961, ka­re­na pe­me­rin­tah me­ngang­gap po­ten­si pen­ju­al­an­nya cukup tinggi, di­bu­at­lah PP

Nomor 215 Tahun 1961. Pe­ra­tu­ran pemerintah itu me­nga­tur tentang ke­lem­ba­ga­an Lokananta se­ba­gai Perum Per­ce­ta­kan Negara Republik Indonesia. Ke­ mu­di­an, di medio 1970-an sampai peng­hu­jung 1980an, Lokananta beralih media dari pro­duk­si pi­ri­ngan hitam men­ja­di pro­duk­si kaset. Kini, walau Lokananta tak lagi mem­pro­duk­si pi­ ri­ngan hitam, namun bukan ber­hen­ti sama sekali. Se­ka­li waktu, bila memang ada grup musik yang pesan re­ka­man pi­ri­ngan hitam, hal itu tetap di­la­ya­ ni. Misal saja, White Shoes Couples Company, yang be­be­ra­pa waktu lalu me­ri­lis albumnya dalam format pi­ri­ngan hitam.

Cetak Piringan Hitam

Pi­ri­ngan hitam mulai di­per­ke­nal­kan di Indonesia mulai tahun 1948. Ada tiga ukuran pi­ri­ngan hitam dalam hi­tu­ngan rpm (rotation per minute) yaitu 78, 45, 33 1/3. Pi­ri­ngan hitam 78 dan 45 untuk plat dengan dia­me­ter 25 cm. Untuk ukuran 33 1/3 untuk plat ber­dia­me­ter 30 cm. Angka-angka ter­se­but adalah ba­nyak­nya pu­ta­ran per me­nit­nya. Se­ma­kin besar ang­ka­nya, se­ma­kin kecil dia­me­ter ukuran jarum pe­ mu­tar­nya. Bembi men­je­las­kan, “Dulu se­be­lum di­ma­suk­kan pi­ri­ngan hitam, se­mua­nya dari master dulu.” Kini, warna pi­ri­ngan hitam juga tak hanya se­ka­dar hitam,

Bembi menunjukkan piringan hitam "Indonesia Raya" yang tersimpan di Lokananta.

GHOZA | EKSPRESI

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 71


L A PORAN K H U S U S

Rilisan fisik itu kelebihannya, bagi saya, suaranya beda, walau gawai kita canggih, secanggih apapun Markus

ada warna pink ada yang pe­la­ngi, kuning, merah. “Jadi pro­ses­nya mungkin rumit, dari master di­ma­ suk­kan mesin,” imbuh Bembi. “Untuk proses cetak, pi­ri­ngan hitam memang cukup rumit,” Bembi men­co­ba men­je­las­kan. Ada ce­ta­kan­nya Side A, Side B, yang ke­dua­nya mem­bu­ tuh­kan ce­ta­kan pita reel. Di­lan­jut­kan proses peng­ go­re­san dan pe­la­pi­san krom dengan nikel di kedua si­si­nya tadi. “Ba­gi­an atas dan bawah, di­ka­sih PVC, di­ka­sih label dulu, di­pa­nas­kan 100 de­ra­jat lebih,” terang Bembi. Jika sudah sampai tahap ini, lanjut Bembi, pi­ri­ngan hitam akan di­di­ngin­kan hingga me­ nge­ras. “Kalau tidak lihat sen­di­ri, memang rumit sih,” terang Bembi. Untuk meng­ge­li­at­kan dunia musik Indonesia, me­nu­rut Bembi, artis-artis yang ingin men­ce­tak karya harus di­fa­si­li­ta­si. Hal itu bisa di­la­kukan dengan meng­hi­dup­kan lagi fa­si­li­tas yang ada di Lokananta. “Jadi bisa, kalau Lokananta di­ka­sih mesin cetak lagi,” harap Bembi.

ANDIKA | EKSPRESI

Di Mata Kolektor

Markus Feriyanto (40), salah seorang ko­lek­ tor musik dari Solo. Ke­d ia­m an­nya di bi­la­ngan Wonosaren, Solo, Jawa Tengah ini, tampak belum ter­la­lu lama di­tem­pa­ti. Ter­li­hat dari tum­­pu­­kan ko­lek­si pi­ri­ngan hitam, kaset, dan CD yang masih be­ra­da dalam kardus-kardus. Ada pula satu le­ma­ri kaca di­pe­nu­hi dengan kaset-kaset yang ia le­tak­kan di ru­ang­an yang ber­be­da. Namun, ko­lek­si­nya yang be­ra­da di ru­ang­an khusus ter­se­but se­mu­anya belum se­le­sai di­ta­ta. Di rumah yang belum genap se­ta­hun ia tem­ pa­ti itu, Markus ber­ce­ri­ta tentang ko­lek­si­nya. Ia me­ngi­sah­kan, mulai punya kaset dari sejak SMP. “Sama orang tua saya, di­be­li­kan radio tape jinjing itu,” kenang Markus. Ber­hu­bung ke­lu­ar­ga­nya tidak ter­la­lu mampu, maka Markus kerap me­min­jam kaset pada te­man­nya. “Majalah Hai juga, nyewa, pinjam teman,” tambah pria yang se­ka­rang men­ja­di konsultan di se­bu­ah pe­ru­sa­ha­an properti itu. Soal piringan hitam, Markus me­nga­ku baru se­pu­luh tahun lalu mulai me­ngum­pul­kan. Pada tahun 1995, Markus me­nga­wa­li ko­lek­si­nya, waktu itu, ia me­nga­ta­kan sudah punya peng­ha­si­lan sen­di­ri. Saat ini ko­lek­si di ru­mah­nya ter­da­pat 3000-an keping pi­ri­ngan hitam, 5000-an kaset, dan 1000-an keping pi­ri­ngan padat. Di antara ri­bu­an ko­ lek­si­nya, Markus me­ni­lai pi­ri­ngan hitam men­ja­di yang paling me­ na­rik. Ala­san­nya se­der­ha­na, pi­ri­ ngan hitam mi­lik­nya banyak yang sudah langka. Dia mem­per­li­hat­kan be­be­ra­pa ko­le­ksi lang­ka­nya ke­pa­da EKSPRESI. Salah sa­tunya ialah re­ka­man “Proklamasi”, yang di buat per­ta­ma kali, di studio musik Lokananta, Solo, Jawa Tengah. Minggu (31/07), Markus sedang menunjukkan salah satu koleksi piringan hitamnya.

72 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

Markus me­nyim­pan ko­lek­si-koleksi mi­lik­nya di se­bu­ah ru­ang­an khusus. Ru­ang­an ber­uku­ran kira-kira 8x4 meter itu di­pe­nu­hi be­ra­gam dus-dus yang be­ri­ si pi­ri­ngan hitam, CD, dan juga kaset pita. Ter­li­hat pula se­pe­rang­kat pe­mu­tar pi­ri­ngan hitam, lengkap dengan pe­mu­tar kaset dan CD. Ru­ang­an itu, me­nu­rut Markus, hanya ala ka­dar­nya. “Kalau orang lain, bagus, din­ding­nya di­ka­sih karpet, suhu stabil,” tan­das­nya. Markus mem­per­li­hat­kan banyak ko­lek­si-ko­lek­ si­nya. Mulai dari album musik barat hingga musik Indonesia, ko­lek­si Markus hampir lengkap. Dia mem­ per­li­hat­kan pi­ri­ngan hitam dari Djanger Bali ,yang me­nu­rut­nya, adalah pi­ri­ngan hitam paling mahal yang ia da­pat­kan. Ia juga mem­per­li­hat­kan album kon­tro­ ver­si­al milik John Lenon dan Yoko Ono. Selain itu, Markus pernah men­da­pat­kan album barat langka, yang har­ga­nya jauh di bawah harga pa­sa­ran, dan itu mem­bu­at­nya ter­ke­san hingga kini. “Pa­da­hal ni­lai­ nya (harga, Red.) bisa ber­ka­li-kali lipat,” te­rang­nya sambil tertawa. Markus men­da­pat­kan ber­ba­gai ri­li­san fisik ter­se­ but tak lekang dengan ak­ti­vi­tas per­bu­ru­an. Dia sering me­ngun­ju­ngi acara-acara se­mi­sal, Record Store Day, me­ngun­ju­ngi Pasar Klithikan Semanggi, dan yang paling sering dan yang paling sering di­da­pat dari pen­ju­al daring. “Se­ka­rang mudah ca­ri­nya, daring sudah banyak. Di Facebook juga banyak,” tam­bah­nya.

Suara Jernih

Ri­li­san fisik memang selalu punya ke­le­bi­han di­ ban­ding­kan dengan di­gi­tal. Salah sa­tu­nya ka­re­na di­ pu­tar dengan mesin pe­mu­tar analog. Selain itu, bagi me­re­ka para pen­cin­ta suara, audiophile, ri­li­san fisik tak hanya urusan suara saja yang di­de­ngar. Namun juga fisik ri­li­san ter­se­but. Bembi me­nga­ta­kan, ri­li­san fisik te­ru­ta­ma pi­ ri­ngan hitam, ke­le­bi­han­nya adalah lebih lebar dan lebih tebal. “Murni, seperti dengar musik beneran,” ujar Bembi. Di­ban­ding­kan jenis ri­li­san fisik lainnya, pi­ri­ngan hitam memang ke­le­bi­han­nya jernih. Pi­ri­ngan hitam ini, me­nu­rut Bembi, aman dari pem­ba­ja­kan. “Kalau tidak punya alat seu­ku­ran ruangan se­be­sar ini mana bisa mem­ba­jak?,” sambil me­nun­juk seisi ruang kerjanya. “Coba kalau CD, Anda (bajak, Red.)pakai komputer ecek-ecek saja bisa,” sambil tertawa kecil. Se­ba­gai seorang ko­lek­tor, Markus me­nga­ta­kan bahwa terdapat keunikan dari ri­li­san fisik ini, te­ru­ ta­ma pi­ri­ngan hitam. “Ri­li­san fisik itu ke­le­bi­han­nya, bagi saya, suaranya beda, wa­lau­pun gawai kita se­ cang­gih apapun, enggak kayak analog pe­mu­tar­nya,” pungkasnya. Salah satu pi­ri­ngan hitam yang ber­ke­san ba­gi­nya adalah album ber­ta­juk Badai Pasti Berlalu. Album ter­se­but be­su­tan Eros Djarot, Jockie Suryoprayogo, dan Chrisye. “Mu­sik­nya bagus, li­rik­nya puitis, mak­ na­nya dalam, di­bu­at pula oleh musisi yang ahli di bi­dang­nya” pungkasnya.[] Laporan oleh Andhika, Aziz, dan Ghoza


T it ik B a l ik Ril is a n F is i k

Penyelamat Arsip Musik Indonesia

D

a­vid Ta­ri­gan ada­lah pen­di­ri Ak­sa­ra Re­ cords, ju­ga sa­lah sa­tu ini­sia­tor pe­ngar­si­pan di­gi­tal ri­lis­an fi­sik pi­ring­an hi­tam Ira­ma Nu­san­ta­ra. Ber­sa­ma ke­li­ma ka­wan­nya, Norman Illyas, Christophorus Priyonugroho, Dian Onno, Alvin Yunata, dan Toma Avianda, ke­mu­­di­an me­ re­ka men­di­ri­kan Iramanusantara.org yang oleh kha­la­yak di­ke­nal per­pus­ta­ka­an mu­sik daring. Ber­ awal dari ke­cin­ta­an­nya ter­ha­dap mu­sik, se­ka­li­gus ho­bi me­ngo­­lek­si pi­ring­an hi­tam da­ri era Or­de La­ ma, men­ja­di­kan se­tiap pro­ses da­lam Ira­ma Nu­san­ ta­ra te­ra­sa me­nye­nang­kan ba­gi David. Wartawan EKSPRESI, Winna Wijayanti, me­ne­mui­nya di Hotel Andhitama, kawasan Prawirotaman II, Yogyakarta. Berikut petikannya.

Ba­gai­mana ce­ri­ta­nya Anda be­rsa­ma kawan-kawan men­ cip­ta­kan Ira­ma Nu­san­ta­ra? Ira­ma Nu­san­ta­ra me­ru­pa­kan ya­ya­san yang ber­ di­ri ta­hun 2013. Te­ta­pi ka­lau mem­buat si­tus web­nya se­jak ta­hun 2011. Em­brio­nya su­dah da­ri 1998-1999 se­wak­tu za­man ku­liah. Ka­mi ke­be­tul­an sama-sama te­man SMA te­rus kuliah di Bandung, nah pas itu kita sem­pat mem­buat­nya. Ma­lah­an bi­sa di­se­but pro­to­ti­ pe­nya ta­hun 1998-1999 itu, ka­re­na ka­mi ju­ga bi­kin si­tus web na­ma­nya Indonesia Jumawa.

Pembagian kerja sewaktu mengolah bagaimana?

Ba­gi enam ini­sia­tor ya apa saja yang bisa di­ker­ ja­kan. Saya ke­pa­la peng­ar­sip­an­nya sama riset, ada yang urus public relation, cuma enggak saklek. Ada lagi kita volunter tiga orang. Satu ber­urus­an sa­ma audio, dan trans­fer. Sa­tu­nya la­gi me­ngu­rus vi­su­al, ko­ver yang ter­la­lu ru­sak di­be­na­hi. La­lu yang sa­tu la­gi ge­ne­ral af­fair. Me­re­ka itu vo­lun­ter uta­ma ki­ta. Se­men­ta­ra ini­sia­tor ju­ga pu­nya ke­si­buk­an lain, ka­ re­na ju­ga pa­da ker­ja.

Apa ada fokus ter­sen­di­ri bu­at me­mi­lih ba­tas­an wak­tu da­lam pe­ngar­sip­an?

Iya fokus ka­mi ta­hun 1960 hingga 1970-an ka­ re­na le­bih mu­dah di­ca­ri dan ke­ter­se­dia­an­nya ju­ga ba­nyak ta­hun itu. Di­ban­ding 1980 hing­ga 1990-an kan men­ding itu dulu. Ur­gen­si­nya, orang ba­nyak yang enggak tahu soal itu, makanya kami mulai dari situ. Kami juga punya gerakan 78, maksudnya 78 rpm (rotation per minute). Dan untuk pen­da­ta­an musik tahun 1920 hingga 1950-an juga ada nan­ti­nya. Mes­ki­pun su­sah, ka­mi me­nger­ja­kan­nya di­du­kung sa­ma Ba­dan Eko­nomi Kreatif (Bekraf) su­pa­ya mu­dah da­pat sum­ber­nya.

GHOZA| EKSPRESI

Selain piringan hitam, apa ada lagi yang diarsipkan terkait dengan musik?

David Tarigan, pendiri Iramanusantra.org.

Li­te­ra­tur seper­ti ma­ja­lah dan ko­ran ju­ga ka­mi ar­sip­kan, cu­ma be­lum di­ba­gi­kan sih. Itu nan­ti ada wak­tu­nya. Soal­nya se­ka­rang se­dang mem­be­nahi si­ tus web mau di­kem­bang­kan de­ngan ar­ti­kel-ar­ti­kel ju­ga. Kan di situ ada nama-nama ar­tis­nya, nan­ti ka­lau di­klik lang­sung ngelink gitu. Ma­ka­nya ka­mi enggak men­can­tum­kan tahun kalau me­mang dari awal enggak ada ta­hun­nya.

Ka­lau pro­ses re­pro­duk­si da­ri ri­li­san fi­sik sam­pai di­gi­tal ba­gai­ma­na ce­ri­ta­nya?

Ada bi­dang-bi­dang khu­sus yang bi­sa sa­ya te­li­ti. Per­ta­ma ada­lah me­ngum­pul­kan da­ta mentah se­ba­ nyak-ba­nyak­nya. Pa­ling gam­pang dan me­na­rik ya me­ngum­pul­kan da­ta dari ri­lis­an fisik. Unsur ri­lis­an fi­sik itu kan ada vi­su­al, audio, dan teks. Itu se­mua data men­tah yang di­kum­pul­kan di Ira­ma Nu­san­ta­ra. Me­la­lui si­tus web, ka­mi ba­gi ke ba­nyak orang. Ini un­tuk ak­ses pen­di­dik­an, bu­kan ko­mer­si­al.

Apa yang se­dang men­ja­di kesibukan Irama Nusantara dalam waktu dekat ini?

Sekarang sedikit demi sedikit saya mengumpulkan wawancara. Nanti dari situ juga membantu orangorang yang ingin ter­hi­bur dan nos­tal­gia. Ju­ga anak mu­da yang ing­in se­sua­tu yang baru, mes­ki su­dah la­­ma. Atau pa­ra pe­ne­li­ti, ki­ta ber­usa­ha me­nga­ko­mo­dir itu. Se­men­ta­ra di wi­la­yah pen­di­dik­an, kita sa­ma-sa­ma tahu ba­nyak yang su­ka mu­sik In­do­ne­sia. Se­hing­ga ka­mi mem­fa­si­li­ta­si me­la­lui da­ta.

Menarik bahwa dalam pengarsipan ini tujuan utamanya adalah untuk pendidikan ya?

Di Indonesia peng­ar­sip­an no­mor se­ki­an. Ki­ta eng­gak pu­nya tra­di­si itu sa­ma se­ka­li. Ar­sip se­ja­rah ge­ne­ral ne­ge­ri ini ka­cau ba­lau. Co­ba da­tang sa­ja ke Ar­sip Na­sio­nal atau ke Per­pus­ta­ka­an Ne­gara kita sen­di­ri, mi­ris. Dan yang gi­la­nya, orang In­do­ne­sia yang tahu lagu-lagu masa lalu cuma 10% dari yang ada. Ini ka­lau ki­ta li­hat, orang gem­bar-gem­bor ka­lau mu­sik In­do­ne­sia ada­lah tuan rumah di ne­ge­ri­nya, te­ta­pi eng­gak ada yang tahu apa yang ter­ja­di de­ngan kon­di­si mu­sik­nya, lucu kan? Ber­ar­ti ha­rus ada se­sua­tu ya­ng di­be­na­hi, mem­ban­tu un­tuk meng­gu­lir­kan bola atau apa­pun is­ti­lah­nya.[] EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 73


L A PORAN K H U S U S

Merayakan Hari Kaset Sedunia Komunitas pencinta rilisan fisik semakin berkembang. Perayaannya pun demikian. Oleh Mariyatul Kibtiyah

S Ko­mu­ni­tas ­se­per­ti itu masih ada, ada se­ka­li ­ma­lah­an. Itu se­su­atu yang enggak bakal mati dalam waktu yang sing­kat Gisa

abtu (22/10) Pukul 19.00 WIB Hardcase Cafe masih sepi. Hanya ada be­be­ra­pa pa­ni­ tia acara Economic Social Band (ESB) yang berjaga di meja re­gis­tra­si. ESB adalah pe­ men­tas­an musik Komunitas Musik Fakultas Ekonomi Bisnis UGM. Malam itu, Gisela Swaragita akan tampil ber­sa­ma grup mu­sik­nya Seahoarse di acara ter­se­but. Se­ki­tar lima menit menit me­nung­gu, pe­rem­pu­an be­ ram­but pendek yang kerap di­sa­pa Gisa itu ke­lu­ar dari cafe dan memulai ­ce­ri­tanya. “Record Store Day (RSD) itu bisa di­adop­si oleh se­mu­a orang kok. Kalau mi­sal­nya kamu punya ko­mu­ ni­tas terus bikin RSD ya bikin saja,” terang Gisa. Hal itu adalah in­for­ma­si yang paling di­ingat Gisa ke­ti­ka per­ta­ma kali di­ta­nya tentang RSD. Saat Record Store Day di­se­leng­ga­ra­kan pada 16 April 2016 di Bentara Budaya Yogyakarta, Gisa datang ber­sa­ma teman-te­ man­nya. Di acara ter­se­but, Gisa me­ne­mu­kan banyak grup musik se­nga­ja me­ri­lis album fi­sik­nya ber­te­pat­an dengan di­se­leng­ga­ra­kan­nya RSD. Pe­nam­pil­an dan dis­ku­si soal musik juga turut meramaikan jalannya aca­ra. Gisa dengan an­tu­si­as­nya me­nga­ta­kan, “Yang paling me­na­rik itu orang-orang ramai datang untuk beli kaset se­ca­ra langsung, pa­da­hal kan bi­asa­nya beli kaset se­ka­rang cuma di Instagram terus cash on de­ li­very.” Ter­ca­tat lebih dari tujuh belas toko kaset dunia maya mau­pun yang ada bentuk toko fi­sik­nya DOK. WE NEED MORE STAGE

Perayaan Record Store Day Yogyakarta diramaikan dengan pelbagai lapak kaset dan pementasan musik.

74 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

ikut me­me­ri­ah­kan RSD tahun ini di Yogyakarta. Di­te­mui ter­pi­sah, Indra Menus se­la­ku ketua RSD 2016 me­nga­ta­kan kalau agen­da-agen­da RSD memang se­ma­kin ber­kem­bang tiap ta­hun­nya. “Awal­nya RSD se­ma­cam ingin me­nge­nal­kan kem­ba­li ri­lis­an fisik itu. Ke­mu­di­an ber­alih ke toko kaset. Me­re­ka datang ke toko musik lalu mereka me­ri­lis­nya untuk me­ra­ya­ kan,” tam­bah­nya. Menus ber­ce­ri­ta RSD per­ta­ma kali di­ini­si­asi di Amerika pada tahun 2007. Se­ta­hun kemudian, RSD di­ra­ya­kan per­ta­ma kali. Di Indonesia sen­di­ri, perayaan RSD per­ta­ma kali di­ada­kan di Jakarta tahun 2012. Tahun se­lan­jut­nya, pe­ra­ya­an RSD me­nye­bar ke Yogya, Bandung, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, hingga hampir se­mua pulau besar. “Akhir­nya pe­ra­ya­an RSD di­ada­kan sen­di­ri-sen­di­ri,” tambah Menus. Se­la­in di Yogyakarta, tahun ini RSD juga di­ada­kan di ber­ba­gai kota lain seperti Jakarta, Semarang, Bali, Surabaya, Batam, Medan, dan Makasar. Di Yogyakarta, men­urut Menus, pe­mi­nat ri­lis­ an fisik ter­bi­lang cukup banyak. Hal itu di­li­hat dari ra­mai­nya pe­ngun­jung yang hadir saat RSD tahun ini. “Pe­ngun­jung RSD ini tidak sepi, ramai banget.” Pa­da­hal, kata Menus, tren musik se­ka­rang memang tengah menuju ke arah di­gi­tal. Menurut Gisa, hal ter­se­but ter­ja­di ka­re­na ri­lis­an fisik saat ini punya fungsi lain se­la­in me­di­um pe­mu­ tar su­ara. “Me­nu­rut­ku orang beli kaset atau­pun CD sudah bukan se­ba­gai pe­mu­tar musik lagi, tapi se­ba­ gai bentuk par­ti­si­pan kita dalam per­pu­tar­an roda eko­no­mi para mu­si­si dan pen­ju­al.” Bi­asa­nya, lanjut Gisa, ada ke­de­kat­an ke­ti­ka me­mo­si­si­kan ri­lis­an fisik se­ba­gai barang ko­lek­si. Tak jauh beda dengan RSD, pe­ra­ya­an lain yang di­lak­sa­na­kan atas dasar ke­su­ka­an ter­ha­dap ri­lis­ an fisik adalah Casette Store Day (CSD). “Be­da­nya itu kalau RSD lebih ke ju­al­an dan pe­ra­ya­an toko fi­ sik­nya, sedang CSD lebih ke kaset mu­sik­nya,” jelas Menus. CSD ter­ins­pi­ra­si dari ramainya perayaan RSD yang sudah ber­ja­lan lima tahun. Pe­ra­ya­an CSD di Yogyakarta tahun ini di­se­leng­ga­ra­kan pada 8 Oktober 2016 di tempat yang sama dengan RSD, Halaman Bentara Budaya. Aca­ra ini juga ramai di­ha­diri para pen­cin­ta ri­lis­an fisik. Ter­da­pat empat puluh dua toko kaset yang ikut nim­brung di acara ini. Bahkan, be­be­ra­pa grup musik luar ne­ge­ri se­per­ti Pas Musique (USA), Numbfoot (Vietnam/USA), dan Emil Palme (Denmark) ikut me­me­ri­ah­kan acara CSD di Yogyakarta. CSD juga di­me­ri­ah­kan dengan Launching zine dan kom­pi­la­si V/A Jogja Records Store Club #3. Gisa yakin, se­iring ber­ja­lan­nya waktu, ko­mu­ni­ tas-ko­mu­ni­tas pe­nyu­ka ri­lis­an fisik akan terus ber­ mun­cul­an. Pun dengan be­ra­gam motif, dari jualan, ko­lek­si, hingga memang untuk meng­apre­si­asi karyakarya mu­si­si. “Ko­mu­ni­tas se­per­ti itu masih ada, ada se­ka­li ma­lah­an. Itu se­su­atu yang enggak bakal mati dalam waktu yang sing­kat,” jelas Gisa.[] Laporan oleh Andika dan Ghoza


T it ik B a l ik Ril is a n F is i k

Mereka yang Menolak Mati Oleh Aunurrahman Wibisono (Jurnalis Tirto.id)

“When you start thinking about what your life was like 10 years ago --and not in general terms, but in highly specific details—it’s disturbing to realize how certain elements of your being are completely dead. They die long before you do.” (Chuck Klosterman dalam Killing Yourself to Live: 85% of a True Story)

S

aya jatuh cinta dengan Chuck berkat esaiesainya—atau bisa dibilang racauan— tentang hair metal. Saya merasa satu frekuensi dengannya: menyukai musik fosil (ciri-cirinya, antara lain, mengandalkan solo gitar panjang dan suara vokalis yang melengking tinggi) di era yang sok serba aneh. Semakin musikmu tak bisa dipahami orang kebanyakan maka itu berarti keren. Membaca kalimat yang saya nukil di atas, ingatan saya mau tak mau lari ke kaset. Saat itu 2006. Saya baru setahun lulus SMA. Masih bermimpi jadi anak band. Masih berkeinginan jadi penulis untuk Rolling Stone. Mendengarkan musik seperti tak ada hari esok. Gairah mengoleksi kaset masih menggebu. Setiap datang ke suatu kota, yang saya tanyakan adalah: di mana saya bisa mencari kaset bekas? Siapa yang menyangka bahwa 10 tahun kemudian, 2016, kaset seperti sudah menjadi diksi sekaligus benda yang nyaris asing bagi saya. Seperti kata Chuck Klosterman, “...tidak pernah terjadi lagi dan tidak pernah melintas di pikiranmu.” Dalam konteks saya, sudah tak ada lagi perburuan kaset. Tak ada lagi memutar pita dengan bolpoin atau menetesi bantalan pita dengan alkohol. Kaset kemudian menjadi catatan kaki: ada, tapi kerap diabaikan. Saya meringis. Betapa sesuatu bisa dirayakan besar-besaran hari ini, lalu dilupakan lima, enam, sepuluh tahun kemudian. Terjadi peralihan format, dari fisik ke digital. Lihatlah penyimpanan dalam format MP3 atau FLAC di ponsel. Atau streaming pada aplikasi musik seperti Spotify, misalkan. Bagi generasi milenial, kaset dan CD adalah bentuk ketidakefektifan umat manusia. Ia memakan banyak tempat. Juga menuntut banyak waktu untuk perawatan. Bagi mereka, musik digital menyediakan jalan efektif. Mereka bisa mendengarkan jutaan lagu yang sama sekali tak memakan ruang penyimpanan. Spotify punya sekitar 30 juta lagu, dan bertambah 20.000 lagu setiap harinya. Dan mereka tak perlu rak besar. Penjualan musik digital pun sekarang melampaui penjualan rilisan fisik. Dari data terbaru International

Federation of the Phonographic Industry (IFPI), sebuah lembaga yang bergerak di bidang industri rekaman dunia, penjualan musik digital mencapai 45 persen dari seluruh pendapatan industri musik. Mengalahkan penjualan fisik yang hanya 39 persen. Rasa-rasanya sudah hukum alam kalau ada sesuatu yang baru, inovatif, maka kemapanan lama akan tersingkir. Piringan hitam digusur kaset. Kaset digusur CD. Dan musik digital menendang semua rilisan fisik. Tapi apa iya manusia semudah itu melupakan rilisan fisik? Ternyata tidak. Manusia adalah mahluk nostalgis. Apa yang mengiringinya tumbuh dewasa akan selalu tetap diingat. Akan selalu menjadi bagian penting. Ada jutaan manusia yang tumbuh besar dengan mendengarkan musik dari rilisan fisik. Entah itu kaset, entah itu CD, atau malah piringan hitam. Kegiatan mendengarkan musik dari rilisan fisik akan tetap terus kita kenang, malah dilestarikan. Setelah musik digital ada, apa kemudian rilisan fisik mati? Rilisan fisik masih dirayakan di manamana, walau mungkin dalam skala yang lebih kecil. Di Amerika Serikat, sejak 2009, ada peningkatan 260 persen penjualan piringan hitam. Pada 2014, ada 9,2 juta piringan hitam yang terjual di negara Paman Sam itu. Setiap tahun ada gelaran Record Store Day yang diadakan di puluhan negara, termasuk di Indonesia. Di satu hari istimewa itu (selalu di Bulan April), para pecinta rilisan fisik tumpek blek. Mereka merayakan keasyikan berburu rilisan fisik. Tak hanya jual atau beli, kadang juga ada barter. Selain itu, masih amat banyak grup musik yang merilis album fisik. Menariknya lagi, banyak grup musik bawah tanah Indonesia merilis album mereka dengan kemasan yang tidak biasa. Sangkakala, grup musik asal Yogyakarta, merilis album penuh pertama mereka dengan kemasan jaket jeans berwarna merah, lengkap dengan berbagai emblem yang terpasang. Zoo, juga asal Yogyakarta, malah merilis album Prasasti dengan kemasan batu granit seberat 1,7 kilogram. Membuat rilisan fisik dengan kemasan unik adalah salah satu jurus supaya rilisan fisik tetap dicari pendengar. Rilisan fisik menolak untuk mati. Rilisan fisik sama seperti hair metal. Keras kepala dan punya banyak nyawa, juga banyak penggemar yang enggan untuk beranjak. Dengan karakteristik seperti ini, mungkin sepuluh tahun lagi, atau bahkan lima puluh tahun lagi, rilisan fisik masih ada dan, mengutip Motley Crue, still kick some ass.[]

DOK. ISTIMEWA

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 75


pendidikan

Sekolah Pasar, Media Pendidikan Pasar Rakyat

DOK. KOMUNITAS SEKOLAH PASAR

Oleh Istianto Ari Wibowo Peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Deputi Pemberdayaan Masyarakat Mubyarto Institute

P

en­d i­d i­k an ada­l ah hak se­m ua orang. Dia ti­dak di­ba­ta­si oleh go­long­an, pe­ker­ja­an, usia, atau pe­nye­kat lain. Ini me­ru­pa­kan pe­rin­tah kon­sti­tu­si yang mau ti­dak mau, suka tidak su­ka, ha­rus di­ker­ja­kan oleh pe­nye­ leng­ga­ra ne­ga­ra. Tiap-tiap war­ga ne­ga­ra ber­hak men­da­pat pe­nga­jar­an, de­mi­kian bu­nyi Pa­sal 31 UUD 1945. Je­las, ring­kas, dan te­gas. Se­ti­ap agenda atau ke­bi­jak­ an yang me­mung­gu­nginya da­pat di­ba­ca se­ba­gai ben­tuk peng­ing­kar­an ter­ha­dap kon­sti­tu­si. Lalu, ba­gai­ma­na ke­bi­jak­an ne­ga­ra untuk men­di­dik ser­ta me­ngem­bang­kan sum­ber daya ma­nu­sia di pasar rakyat? De­ngan 10% da­ri to­tal te­na­ga ker­ja na­sio­nal yang ter­se­rap di sek­tor per­da­ gang­an, mem­bu­at sek­tor ini me­nem­pa­ti pe­ring­kat ke-2 ter­ba­nyak se­te­lah sek­tor per­ta­ni­an. Pa­sar rak­yat men­ja­di in­di­ka­ tor sta­bi­li­tas pa­ngan se­per­ti be­ras, gula, dan ba­rang-ba­rang ke­bu­tuh­an po­kok lain­nya. Pa­sar rak­yat ma­sih men­ja­di wa­dah uta­ma pen­jual­an pro­duk-pro­duk ber­ska­la eko­no­mi rak­yat se­per­ti pe­ta­ni, ne­la­yan, pe­da­gang ke­ra­jin­an tang­an, dan pro­duk in­dus­tri ru­mah tang­ga (in­dus­tri

rak­yat). Pa­sar rak­yat men­ja­di san­dar­an hi­dup ba­gi ba­nyak orang dan se­ka­li­gus me­dia in­te­rak­si so­si­al bu­da­ya yang sa­ ngat ken­tal. Ke­men­te­ri­an Per­da­gang­an RI me­nye­but­kan bah­wa jum­lah pa­sar di In­do­ne­sia le­bih dari 13.450, ya­ng men­ja­di sum­ber peng­hi­dup­an se­ki­tar 12.625.000 pe­da­gang. Kon­di­si ter­se­but me­nun­juk­kan bah­ wa pa­sar rak­yat me­mi­li­ki pe­ran stra­te­gis da­lam ke­hi­dup­an bang­sa. Tak ha­nya da­ri sisi eko­no­mi, te­ta­pi ju­ga so­sial bu­da­ya. Pe­ran stra­te­gis pa­sar rak­yat su­dah se­mes­ ti­nya di­im­bangi ju­ga dengan ke­bijak­an stra­te­gis da­ri ne­ga­ra gu­na te­rus me­ngem­ bang­kan aset stra­te­gis­nya. Pe­me­rin­tah te­lah me­mi­li­ki ber­ba­gai pro­gram untuk me­ngem­bang­kan pa­sar rak­yat. Sa­tu hal ya­ng pa­tut men­da­pat apre­sia­si mes­ki te­tap di­bu­tuh­kan eva­lua­si. Pe­ne­li­ti­an yang di­la­ku­kan oleh Pu­ sat Stu­di Eko­no­mi Ke­rak­yat­an UGM dan Lem­ba­ga Ombudsman Swasta DIY pada 2011 me­nye­but­kan bahwa se­ba­gi­ an besar pe­da­gang pasar ber­pen­di­dik­ an SD sampai SMA. Pe­ne­li­ti­an ter­se­but juga me­nun­juk­kan ting­kat par­ti­si­pa­si pe­da­gang pa­sar dalam ber­orga­ni­sa­si ma­

76 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

sih mi­nim. Se­men­ta­ra pa­da saat yang ber­sa­ma­an, pa­sar rakyat meng­ha­da­pi tan­tang­an yang se­ma­kin be­rat deng­an ma­rak­nya ri­tel modern ber­je­ja­ring. Hasil studi Media Data (2009) me­ nun­juk­kan bah­wa pa­da ting­kat na­si­onal, sa­at ini 28 ri­tel mo­dern uta­ma me­ngu­asai 31% pangsa pa­sar ri­tel dengan total omzet se­ki­tar Rp70,5 triliun. Ini ar­ti­nya sa­tu pe­ru­sa­ha­an rata-rata me­nik­ma­ti om­zet Rp2,5 tri­li­un/ritel/ta­hun atau Rp208,3 mi­li­ar/bu­lan. Hal ini kon­tras deng­an ri­tel tra­di­sion­al yang me­mi­li­ki to­tal omzet se­ be­sar Rp156,9 tri­lun te­ta­pi di­ba­gi ke­pa­da se­ba­nyak 17,1 ju­ta pe­da­gang, yang 70%nya ma­suk ka­te­go­ri infor­mal. De­ngan de­ mi­ki­an, sa­tu usa­ha pe­da­gang tra­di­sio­nal ra­ta-rata ha­nya me­nik­ma­ti omzet se­be­ sar Rp9,1 juta/tahun atau Rp764,6 ribu/ bulan. Kon­di­si ter­se­but se­ira­ma dengan ha­sil pe­ne­li­ti­an AC Nielson (2006) yang me­nya­ta­kan bahwa pa­sar mo­dern tum­ buh se­be­sar 31,4% se­dang­kan pa­sar tra­ di­sio­nal tumbuh ne­ga­tif 8%. Itu­lah wa­jah lain dari pa­sar rak­yat. Aset stra­te­gis bangsa dan ne­ga­ra ini jus­ tru se­ma­kin ter­ping­gir­kan. Te­ro­bos­an ke­bi­jak­an jelas di­bu­tuh­kan untuk me­nye­


pendidikan

la­mat­kan pa­sar rakyat. Ke­bijak­an yang saat ini ter­la­lu be­rat pada pe­ngem­bang­an in­fra­struk­tur fi­sik per­lu se­ge­ra ber­gan­ti arah. Se­bab ma­nu­sia­lah yang akan men­ ja­di kunci ba­gi ke­be­ra­da­an pa­sar rak­yat. Ke­ma­ju­an atau ke­mun­dur­an pa­sar rak­yat di­ten­tu­kan oleh para pe­la­ku di da­lam­nya. Mem­ba­ngun ma­nu­sia di pa­sar rak­yat lewat pen­di­dik­an. Su­dah saat­nya ke­bi­ jak­an ini di­gu­lir­kan untuk me­ngim­ba­ngi pem­ba­ngun­an fisik pa­sar rak­yat.

Ma­nu­sia se­ba­gai Ele­men Uta­ma

in­ter­ak­tif, ob­ser­va­si la­pang­an, si­mu­la­si, tu­to­ri­al dan ber­ba­gai va­ria­si mo­del. Se­ mua itu di­usa­ha­kan agar pe­ser­ta ti­dak me­nga­la­mi ke­bo­san­an. Se­ca­ra um­um, ter­da­pat dua me­to­de da­lam pe­lak­sa­na­an pem­be­la­jar­an, yak­ni ke­las pa­sar dan kli­nik pa­sar. Ke­las Pa­sar ada­lah pro­gram per­te­mu­an yang ber­si­fat kla­si­kal dan dis­ku­si. Kli­nik Pa­sar ada­lah pro­gram pen­dam­ping­an un­tuk pe­da­gang dan ko­pe­ra­si. Se­ko­lah Pa­sar me­la­ku­kan pen­dam­ping­an lang­sung pa­da pe­da­gang dan ko­pe­ra­si untuk ber­sa­ma-sa­ma me­ me­cah­kan per­ma­sa­lah­an yang di­ha­da­pi. Pe­da­gang ti­dak di­tem­pat­kan da­lam po­si­si pa­sif. Me­re­ka di­ajak un­tuk ak­tif ber­in­

Se­k o­l ah Pa­s ar ber­t u­j u­a n un­t uk me­ngem­bang­kan pa­sar rak­yat me­la­lui pe­nguat­an ter­ha­dap modal in­te­lek­tual, modal in­sti­tu­sio­nal, dan mo­dal ma­te­rial pa­sar rakyat. Upaya ini di­mu­lai de­ngan me­la­ku­kan pen­ di­di­kan ke­ pa­da pe­da­gang pa­sar. Se­ti­dak­nya ter­da­pat li­ma hal yang di­bu­tuh­kan agar pen­di­dik­an ter­ se­but da­pat ter­se­leng­ga­ra, yak­ni ma­ta ajar, me­to­de pem­be­la­jar­an, pe­nga­jar, pe­ser­ta, dan lo­ka­si pem­ be­la­jar­an. Ma­ta ajar (ma­te­ri) da­lam pen­ di­dik­an di Se­ko­lah Pa­sar ter­ba­gi da­lam ber­ba­gai ting­kat­an. Ting­ kat­an per­ta­ma berisi ma­te­ri-ma­ te­ri tek­nis per­da­gang­an. Ma­te­ri ini ber­si­fat problem solving ka­ re­na pe­da­gang pa­sar me­nga­la­mi DOK. KOMUNITAS SEKOLAH PASAR per­ma­sa­lah­an ha­ri­an yang mem­ bu­tuh­kan ja­lan ke­luar. Ma­te­ri ini se­­ te­rak­si da­lam pem­be­la­jar­an. Re­la­wan ka­li­gus se­ba­gai ca­ra untuk me­la­ku­kan Se­ko­lah Pa­sar ha­rus me­mi­li­ki ke­mam­ pen­de­kat­an kepada pe­da­gang. Re­la­wan pu­an ter­ka­it ma­te­ri se­ka­li­gus se­ba­gai Se­ko­lah Pa­sar ha­rus me­mi­li­ki ke­mam­ fa­si­li­ta­tor fo­rum. pu­an untuk meng­ha­da­pi pe­da­gang dan De­ngan mo­del pem­be­la­jar­an ter­ ma­sa­lah-ma­sa­lah­nya. Dia di­ha­rap­kan se­but, di­ha­rap­kan pen­di­di­kan di pa­sar da­pat me­nge­nal ke­hi­dup­an pe­da­gang. akan te­tap ber­lang­sung dan ber­ke­lan­ Bu­kan ha­nya ke­hi­dup­an di pa­sar me­ jut­an mes­ki in­ten­si­tas kun­jung­an tim lain­kan ju­ga ke­hi­dup­an di luar pa­sar. da­ri Se­ko­lah Pa­sar se­ma­kin me­nu­run. Pa­da ting­kat­an ke­dua ber­isi ma­te­ Hal ini­lah yang men­ja­di ha­rap­an bagi ri-ma­te­ri ke­lem­ba­ga­­an (peng­or­ga­ni­sa­si­ Se­ko­lah Pasar. Mo­del pem­be­la­jar­an yang an). In­di­ka­tor da­lam ting­kat­an ini ada­lah di­kem­bang­kan ada­lah men­trans­fer alat mun­cul­­ atau ber­kem­bang­nya or­ga­ni­sa­si ana­li­sis bu­kan ha­sil ana­li­sis. Se­ko­­lah Pa­ pe­da­gang. Pa­da ting­kat­an ke­ti­ga ber­isi sar ber­ha­rap agar pa­ra pe­da­gang pa­sar materi-materi tentang pengembangan da­pat me­mi­li­ki ke­mam­pu­an un­tuk me­la­ je­ja­ring. Se­lu­ruh ma­ta ajar ini di­­su­sun ku­kan ana­li­sis se­ca­ra man­di­ri ter­ha­dap ber­sa­ma-sa­ma an­ta­ra Se­ko­lah Pa­sar dan kon­di­­si yang di­ha­da­pi se­ka­li­gus men­ca­ri pe­da­gang deng­an me­to­de par­ti­ci­pa­tory ja­lan ke­luar yang ter­baik. ac­ti­on re­search atau ka­ji tindak. Pe­ser­ta Se­ko­lah Pa­sar ter­bu­ka ba­gi Pem­be­la­jar­an yang di­kem­bang­kan pe­da­gang, pe­ma­sok, pe­nge­cer, kon­su­ da­lam Se­ko­lah Pa­sar ada­lah me­to­de pem­ men, dan si­apa­pun ya­ng ingin ter­li­bat. be­la­jar­an kons­truk­tif ba­gi orang de­wa­sa, Untuk be­la­jar ber­sa­ma, ber­tu­kar pi­kir­an, yang di­ke­mas se­ca­ra po­pu­ler, me­na­rik, ser­ta mem­ba­ngun per­se­mai­an ga­gas­an dan at­rak­tif. Pem­be­la­jar­an di­la­ku­kan ino­va­si dan pe­ma­ju­an pa­sar rak­yat. Se­ dengan kom­bi­na­si mo­del kla­si­kal, dis­ku­si ko­lah Pa­sar ju­ga mem­bu­ka di­ri ba­gi si­

apa­pun yang me­na­ruh ke­pe­du­li­an un­tuk men­ja­di pe­nga­jar. Se­la­ma ini, pe­nga­jar ya­ng tu­rut ber­ba­gi ilmu di pa­sar an­ta­ra lain dosen, pe­ngu­sa­ha, pe­ne­li­ti, maha­ siswa, dan pe­da­gang itu sen­di­ri. La­lu, di ma­na tem­pat pe­nye­leng­ga­ra­ an pen­di­di­kan ter­se­but? Ji­ka ber­kun­jung ke pa­sar dam­ping­an Se­ko­lah Pa­sar, Anda ti­dak akan me­ne­mu­kan ba­ngun­an fi­sik deng­an pa­pan na­ma Se­ko­lah Pa­sar. Tia­da ba­ngun­an khu­sus bagi pe­nye­leng­ga­­ra­an. Se­ko­lah Pa­sar di­se­leng­ga­ra­kan di tem­pat ma­na pun yang bisa di­gu­na­kan. Ru­ang per­te­mu­an pa­sar, ki­os, gang ya­ng ada di se­la-se­la kios, los, atau la­pak. Di tem­ pat-tem­pat ini­lah pen­di­di­kan di­la­ku­kan. Da­ri tem­pat se­ada­nya ini, Se­ ko­lah Pa­sar men­co­ba un­tuk mem­ ba­ngun me­dia rin­tis­an pe­mer­sa­tu eko­no­mi pa­ra pe­la­ku pa­sar rak­yat yang saat ini ma­sih ce­rai-be­rai. Se­bab ha­nya de­ngan ke­ber­sa­tu­ an ini­lah ma­ka me­re­ka sang­gup meng­ha­da­pi se­ti­ap tan­tang­an dan pe­ru­bah­an. Hing­ga saat ini, upa­ya ter­se­ but te­lah di­uji­te­rap­kan di tu­juh pa­sar. Ma­sing-ma­sing pa­sar me­ mi­li­ki per­kem­bang­an yang ber­ be­da-be­da. De­mi­ki­an ju­ga ma­te­ri (ku­ri­ku­lum) yang ada di Se­ko­lah Pa­sar ju­ga se­la­lu me­nga­la­mi pe­ ru­bah­an. Pe­ru­bah­an ini mun­cul se­te­­lah eva­lua­si ter­ha­dap pe­lak­sa­ na­an pa­da ren­tang wak­tu ter­ten­tu. Saat ini Se­ko­lah Pa­sar se­da­ng me­ nyu­s un se­b uah mo­d el pe­n ge­l o­l a­a n pa­sar yang ber­ba­sis­kan pa­da ko­lek­ti­ vi­tas dan ker­ja sa­ma. Ca­ra­nya de­ngan me­nem­pat­kan pe­da­gang pa­sar se­ba­gai sub­yek uta­ma da­lam pe­ngem­bang­an pa­ sar. Mo­del ini ter­di­ri dari ti­ga ele­men, yak­ni pe­ngem­bang­an mo­dal in­te­lek­tu­al (sum­ber da­ya ma­nu­sia), pe­ngem­bang­an mo­dal in­sti­tu­sio­nal (ke­lem­ba­ga­an), dan pe­ngem­bang­an mo­dal ma­te­ri­al (unit usa­ ha). Mo­del ini di­ha­rap­kan da­pat meng­ ha­dir­kan ja­lan yang cukup leng­kap ba­gi pe­ngem­bang­an pa­sar rak­yat se­ca­ra utuh. Dan kun­ci atau awal dari se­mua itu ada­lah pen­di­dik­an atau pe­ngem­bang­an sum­ber da­ya ma­nu­sia. Se­bab ma­nu­sia­lah yang men­ja­di ele­men uta­ma da­lam ke­ giat­an usa­ha. Da­ri ti­tik ini­lah ke­mu­di­an da­pat di­la­ku­kan pe­ngem­bang­an ke­lem­ ba­ga­an dan je­ja­ring dari pe­da­gang pa­sar. Se­ko­lah Pa­sar men­co­ba men­do­rong pe­ lak­sa­na­an pe­rin­tah kon­sti­tu­si khu­sus­nya pa­da pa­sal 27, 28, 31, dan 33.[]

EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 77


hikmah

Delusi Agen Perubahan Windu Jusuf

(Redaktur Indoprogress)

S

aya hanya bisa geleng-geleng ke­pa­la saat men­de­ngar is­ti­lah “hi­po­kri­si ma­ha­sis­wa saat ini.” Se­bab­nya se­ der­ha­na, “Bu­kan­kah ke­sim­pul­an itu se­la­lu di­da­sari pra­sang­ka bahwa ge­ne­ra­si ma­ha­sis­wa hari ini dan yang akan datang se­la­lu saja lebih bodoh, cetek, lembek, tidak pe­du­li ma­sya­ra­kat, dan hanya ke­pi­ngin ber­se­nang-senang?” Kata “lebih” di sini men­ja­di pro­blem­atis. Lebih dari siapa? Jika hanya kita yang di­ja­di­kan ukur­an, ar­ti­nya ma­ha­sis­wa ang­ kat­an 90-an akan meng­ang­gap kita bodoh, cetek, lembek, tidak pe­du­li ma­sya­ra­kat, dan hanya ke­pi­ngin ber­se­nang-senang. Ma­ha­sis­wa ang­kat­an 80-an pun akan meng­ang­gap ma­ha­sis­ wa 90-an de­mi­ki­an, se­te­rus­nya, dan se­te­rus­nya. Ke­a­wur­an se­per­ti itu, pada akar­nya, mungkin lahir ka­re­na tesis ma­ ha­sis­wa se­ba­gai “agen per­ubah­an” tidak kunjung ter­wu­jud. Dengan berat hati saya harus me­nga­ta­kan, “Ang­gap­an bahwa ma­ha­sis­wa se­ca­ra esen­si­al sebagai agent of change adalah murni de­lu­si, orang MelayuMedan bilang “gilba” alias gila ba­ yang­an. Mungkin sua­tu waktu me­re­ka pernah jadi pe­lo­por per­ubah­an, tapi saya ragu se­la­ma­nya ma­ha­sis­wa akan me­nem­pati po­si­si is­ti­me­wa itu.” Memang benar bahwa “bapakbapak pen­diri bangsa” yang ter­ca­tat dalam kanon seja­rah Indonesia pernah makan bangku se­ko­lah tinggi aki­bat ke­bi­jak­an etis ko­lo­ni­al Belanda. Namun per­ta­nya­an­nya, jika benar bahwa ma­ ha­sis­wa dari so­no­nya adalah agent of change, dengan meng­am­bil contoh “bapak-bapak bangsa yang mantan ma­ha­sis­wa itu” (lalu mau di­ke­ma­na­kan Semaun?), apa ri­bu­an cerdas-cen­de­kia itu ber­se­dia me­ning­gal­kan tri­lo­gi buku pesta cinta demi sungguh-sungguh mem­p e­l a­j a­r i kondisi masyarakat jajahan, menuliskannya dalam la­por­an yang baik, dan men­dis­tri­bu­si­kan pe­ nge­ta­hu­an ter­se­but se­lu­as-lu­as­nya? Me­nem­pat­kan me­re­ka dalam po­si­si agent of change ar­ti­nya me­ni­hil­kan pe­ran­an ra­tus­an ribu pe­mu­da lain yang tak pernah men­ja­di ma­ha­ sis­wa tapi siap bentrok, siap di-Digoel-kan, siap tewas untuk meng­ger­ga­ji kaki-kaki ke­kua­sa­an Belanda saat itu. Benar pula ma­ha­sis­wa punya peran his­to­ris pada 1998. Namun glo­ri­fi­ka­si pada “ma­ha­sis­wa yang me­nu­run­kan Soeharto” itu apa na­ma­nya kalau bukan pe­lu­pa­an peran kaum miskin kota (ter­ma­suk Wiji Thukul dan banyak lagi yang tak se­ko­lah)? Memang benar ma­ha­sis­wa turun mem­be­la warga yang digusur pada zaman pem­ba­ngun­an Dam Kedungombo. Namun, tanpa Kedungombo sen­di­ri, dan se­ga­la jenis warga yang mem­per­ta­han­kan hi­dup­nya di sana, tidak akan ada ak­ti­vi­tas ma­ha­sis­wa di sana toh? Asumsi agent of change tam­pak­nya juga muncul ka­re­na

78 EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016

me­re­ka dilatih untuk ber­pi­kir abstrak, me­mi­liki ke­sem­pat­an dan akses ke pe­nge­ta­hu­an global. Apa­la­gi se­ba­gi­an ma­ha­sis­ wa lahir dari go­long­an kelas me­ne­ngah dan pri­ayi. Me­re­ka tak perlu banting tulang untuk cari bia­ya ku­li­ah se­hing­ga di­ber­kahi banyak waktu luang untuk mem­be­la orang kecil dan kaum ter­tin­das. Tentu dalam se­mes­ta pe­mi­kir­an mo­ral­ is ini, hak is­ti­me­wa ter­se­but sulit di­da­pat dari rekan-rekan me­re­ka yang tak makan bangku se­ko­lah tinggi dan akhir­nya ter­pak­sa me­mi­lih jadi buruh ren­dah­an. Ce­la­ka­lah jika asum­si ini di­te­ri­ma. Sebab ak­ti­vis­me maha­ sis­wa ha­nya jadi hobi pa­ruh wak­tu yang tak di­ja­min ber­lan­jut se­te­lah lulus. Namun di luar itu, pan­dang­an yang di­ya­kini banyak orang ini pun sudah tidak adil sejak dalam pi­kir­an. Itu ka­re­na im­pli­ka­si­nya adalah pe­mu­da ma­na­pun yang tidak pernah jadi ma­ha­sis­wa pas­ti­lah bodoh, tidak kos­mo­po­lit, tak punya ins­ting bela rasa, serta tidak bisa mem­be­la diri sen­di­ri di ha­dap­an ke­kua­sa­an po­li­tik dan modal. Mem­b e­n ar­k an pan­d ang­a n ini boleh jadi sama dengan meng­amini ide­olo­gi pem­ba­ngun­an Orde Baru dalam la­pang­an po­li­tik se­ca­ra murni dan kon­se­ku­en. Orde Baru dan ordeorde ker­dil se­te­lah­nya per­ca­ya bahwa agar cita-cita ma­sya­ra­kat makmur, adil, dan se­jah­te­ra ter­wu­jud, ang­go­ta ma­sya­ra­kat yang perlu di­bi­kin gemuk dulu ada­lah kelas me­ne­ngah. Ba­ru­lah se­te­lah itu ke­mak­mur­an me­ne­tes dari atas ke kelas di ba­wah­nya. Ber­ha­sil? Tidak. Sar­ja­na-sar­ja­na li­ber­al pun rata-rata punya pan­dang­an se­ru­pa, “Men­di­dik kelas me­ne­ngah ada­lah jalan surga me­nu­ju de­mo­kra­si.” Ber­ ha­sil? Tidak. Coba lihat, wong as­pi­ ra­si po­li­tik kelas me­ne­ngah ter­di­dik Indonesia tidak pernah jauh-jauh dari REPRO. AZIZ | EKSPRESI pro­pa­gan­da TNI “NKRI Harga Mati”. Ba­r ang­k a­l i be­g i­t u­l ah hakikat manusia—termasuk sistem pendidikan yang membesarkannya—dalam falsafah neoliberalisme. Tentu yang saya maksud di sini neoliberalisme sebagai sebuah weltanschauung. Neoliberalisme di mana tiap orang dan tiap ihwal yang melekat pada dirinya, pada dasarnya, bisa dikomersialisasikan dan menghasilkan profit. Begini. Saya punya mixed-feelings mengenai neoliberalisasi kampus. Pada dasarnya saya tidak sepakat dan mungkin tidak akan pernah sepakat. Namun bukankah neoliberalisasi kampus justru menguak kenyataan pahit bahwa saya, Anda, dan kita semua harus mengeksploitasi diri bahkan sejak dalam kampus supaya bisa kerja-kerja-kerja sampai mampus? Namun itu juga berarti ada banyak hal yang bisa dilawan oleh mahasiswa bersama kaum-kaum lain yang bukan mahasiswa toh?[]




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.