5 minute read
Kajian Utama I
Kolonialisme Modern; Upaya Baru Barat Mengeksploitasi Pemikiran
“KARENA PADA ABAD INI, BUKAN LAGI PEPERANGAN ANTAR SENJATA YANG DISUGUHKAN, NAMUN LEBIH KOMPLEKS YAKNI PERANG PEMIKIRAN ATAU DALAM KHAZANAH KEISLAMAN DISEBUT “GAZWUL FIKR”.”
Advertisement
Daratan yang mengalami pasang surut kejayaan dengan segala kegigihan hingga darah yang tumpah, pembangunan peradaban dan peperangan agung, pemeliharaan prinsip dan kemunafikan, seakan cukup untuk melukiskan muka Eropa di dalam lembaran kanvas peradaban dunia. Dimulai dari berkuasanya Romawi hingga keruntuhannya, bangkitnya kembali kerajaan-kerajaan katolik di seluruh daratan, sengketa di antara mereka sendiri, hingga sempat merasakan gemerlap cahaya yang meneduhkan dengan Islam sebagai tokoh utamanya dan Andalusia sebagai porosnya, lalu masa perampasan peradaban yang mengakibatkan dikambinghitamkannya cahaya bernama Islam itu. Berlanjut dengan ekspansi yang mengakibatkan kolonialisme di berbagai belahan dunia yang memiliki kekayaan yang tidak dimiliki oleh bangsa kulit putih tersebut. Berawal dari runtuhnya keangkuhan Konstantinopel sebagai kebesaran Kristen Ortodoks, lalu ditutupnya jalur laut oleh pemuda penggenggam nubuat nabi, berakibat berlayarnya bangsa Eropa atas perintah kerajaan katolik Spanyol dan Portugis, akhirnya sampailah mereka di surga rempah-rempah yang sangat memanjakanbagi bangsa eropa.
Waktu berlalu, begitu lama hingga tak terasa kolonialisme yang mereka lancarkan memakan beribu nyawa, menenggelamkan kebahagiaan, menyisakan luka, meninggalkan kesedihan, namun gejolak api perjuangan dari pribumi tak mampu padam. Pribumi menolak penjarahan, meskipun usaha tak menjamin kemenangan. Para Kolonial kembali ke daerah mereka, Eropa yang pernah gelap namun juga terang. Rakyatnya tetiba makmur, kota-kotanya berkilauan cahaya atas perampasan dan perbudakan mereka di berbagai belahan dunia. Mereka asyik khusyuk berdansa sementara negeri terjajah merana ber-
tahun-tahun lamanya.
Kebahagiaan Eropa tak melulu sempurna hingga pada akhirnya tersulut Perang Dunia I. Harta yang mereka miliki dialihfungsikan lebih untuk peperangan antar bangsa mereka sendiri. Raja bersulang anggur, mayor jendral memerintah dari gedung mewah, namun pasukan berperang di arena yang tak memberikan sedikitpun harapan untuk hidup dan rakyat jelata tak berdosa terpaksa menjadi korban.
Hari berganti hari, mentari terbit dan tengggelam sembari melihat perubahan manusia dan zamannya. Hingga sampailah pada detik ini. Eropa semakin menjadi pusat. Bahkan sebuah negeri nun jauh di benua Amerika juga memiliki gaya, budaya, identitas, pola piker, dan pengaruh layaknya negara-negara Eropa. Mereka saling berebut pengaruh. Gencar menyebarkan cara hidup dan pola pikir mereka. Sebuah penjajahan baru. Kolonialisme modern!
Kolonialisme sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. Dalam konteks ini, nampaknya tidak berlebihan melabeli apa yang digencarkan Barat di masa modern ini sebagai kolonialisme. Bukan lagi penjarahan atau penjajahan dengan maksud memperluas wilayah ke negara-negara lemah, namun Barat ingin menanam pengaruh melalui pemikiran-pemikiran, yang hanya masalah waktu, akan menjadi senjata mematikan bagi wilayah “jajahannya”. Jika langsung mengamati apa yang terjadi di Indonesia, di mana akses untuk memperoleh pengetahuan baru amat mudah untuk dijangkau, tentu Indonesia sudah masuk teritorial yang dikuasai Barat. Bisa dilihat dari banyaknya kalangan mulai dari pemuda-pemudi, aktivis, hingga akademisi yang memiliki cara pandang dengan Barat sebagai kiblatnya. Tentu, tidak bisa digeneralisasi bahwa semua pemikiran dan pengetahuan yang lahir dari Barat merupakan pengetahuan yang buruk. Dalam rangka untuk bersaing dan menyesuaikan diri di era modern yang memaksa seluruh bangsa di dunia harus melakukannya, tentu menukil pemikiran dan pengetahuan dari Barat akan membawa angin segar untuk membenahi kekurangan suatu bangsa yang tertinggal. Namun tak dapat disangkal, bahwa ada pula racun yang lolos begitu saja di dalam pemikiran Barat yang berpotensi membawa penerimanya kepada kehancuran.
Di antara hal positif yang dapat diambil dan dikembangkan dalam praktik ke-
hidupan di Indonesia adalah teknologi dan pendidikan bangsa Barat yang begitu pesat kemajuannya. Sementara jika melihat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia yang tergolong rendah, menurut UNESCO Pada 2021 lalu, World Population Review mempublikasikan sebuah data mengenai kualitas pendidikan dari 78 negara, dan Indonesia menempati peringkat ke-54. Tentu, rata-rata negara yang menempati peringkat atas adalah negara-negara Eropa dan Amerika Serikat ditambah beberapa negara Asia lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Namun, tak semua hal yang diperoleh dari Barat membawa maslahat bagi masyarakat Indonesia. Hal-hal seperti budaya bebas dalam memenuhi gaya hidup merupakan racun yang sangat berbahaya jika tak ditemukan cara membasminya. Semenjak gencarnya budaya Barat yang masuk ke Indonesia tanpa penyaringan yang bijak, Indonesia seakan terbuai oleh gemerlap budaya Barat yang imbasnya adalah hilangnya jatidiri anak bangsa. Bukan hanya gaya hidup dan budaya, pemikiran Barat yang mengarah kepada sekularisme dan liberalisme juga menghantui bangsa Indonesia. Indonesia dengan kultur relijius yang sangat kental tentu kurang cocok jika harus mengimplementasikan pemikiran sekuler di tengah masyarakat. Menilik pengertian dari sekularisme sendiri, seperti yang dilansir dari Secularism. org.uk, dari Inggris, bahwa sekularisme dijabarkan menjadi tiga, di antaranya adalah Pertama; Separation, yang berarti pemisahan institusi agama dengan institusi negara dan lingkup publik, meskipun agama masih memiliki ruang partisipasi namun tidak boleh mendominasi. Kedua; Freedom, yakni kebebasan melaksanakan kegiatan agama menurut keyakinan masing-masing individu tanpa adanya pemaksaan. Ketiga; Equality, yakni kesetaraan yang berarti kepercayaan agama tidak boleh memandang rendah satu sama lain.
Poin kedua dan ketiga nampaknya sahsah saja jika dipraktikkan di Indonesia karena tidak terlalu bertentangan dengan identitas masyarakat yang relijius secara majemuk, namun pada poin pertama tentu sangat fatal jika diterapkan di Indonesia. Alasan betapa fatalnya jika poin pertama diterapkan di Indonesia adalah karena pada sila pertama pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” jelas mengindikasikan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara dan pemerintahan sangat menjunjung tinggi nilai agama dan ketuhanan, tentu sangat bertentangan dengan prinsip sekularisme dalam menjalankan aktivitas egara dan pemerintahan.
Jika menilik kembali fakta sejarah, bisa kita temukan sebuah negara yang akhirnya harus merana setelah menerapkan
sistem sekuler dalam tata pemerintahannya. Sebut saja Turki semasa kekuasaan Mustafa Kemal Attaturk yang menjadi presiden pertama Republik Turki (sebelumnya Turki merupakan negara dengan sistem pemerintahan monarki dengan Islam sebagai asas negara). Pada saat Mustafa Kemal berkuasa, ia langsung merombak segala simbol dan sistem Islam yang ada di Turki karena beranggapan Islam terlalu kuno untuk dijadikan dasar negara. Segala atribut Islam dilepas dan berimbas pada dikekangnya hak-hak mengekspresikan agama di ruang publik. Sistem sekuler yang diusung Attaturk sama sekali tidak membawa Turki menjadi negara maju, justru menjadi negara terpuruk berbanding terbalik dengan Turki Utsmani yang sering mencatatkan kegemilangan dalam rekam sejarah Turki. Turki pada masa Attaturk dengan ideologi sekulernya bahkan mendapat julukan “The Sickman in Europe” atau pesakitan Eropa.
Maka, Indonesia setidaknya harus waspada dan bersiap atas segala gempuran pemikiran yang lahir yang dibawa dari Barat. Generasi muda yang sangat mudah mengakses pengetahuan dan informasi harus dibekali dengan nilai-nilai agama beserta norma-norma yang sesuai dan sudah mendarah daging di Indonesia, agar tidak mudah terjerumus dalam pemikiran berbahaya Barat. Karena pada abad ini, bukan lagi peperangan antar senjata yang disuguhkan, namun lebih kompleks yakni perang pemikiran atau dalam khazanah keislaman disebut “Gazwul Fikr”. Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari segala penyimpangan pemikiran.
Penulis Muhammad Hasan Albanna Mahasiswa University of The Holy Quran, Madani