Buku semarak final editting 7 juli

Page 1


-Pandangan PakarDalam hal JKN, perlu perbaikan secara mendasar dan sistimatis yang menyangkut: 1. Peran dan tata hubungan antar pemangku kepentingan utama yaitu BPJS, Presiden (Pemerintah/Kemkes), Dewan pengawas, pemberi pelayanan kesehatan (RS, Puskesmas, dokter dll), peserta dan daerah, 2. Kepesertaan terutama sektor informal harus diupayakan dengan pendekatan berbeda, 3. Penyempurnaan cara pembayaran pada fasilitas Kesehatan di sesuaikan dengan harga keekonomian, 4. Perbaikan proses monitoring dan evaluasi yang ketat melibatkan banyak pihak untuk menghindari fraud. 5. Peningkatan sosialisasi dan edukasi yang masif kesemua pihak. Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia Semangat akademik yg pantang menyerah dan berbasiskan pada kebebasan intelektual adalah kunci pembuka innovasi-innovasi baru. Ini akan membuka kemandirian yg sejati dalam swasembada bahan baku obat. Prof. Umar Anggara Jenie, Apt. M.Sc. Ph.D Kepala LIPI (2002-2010), Anggota AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Anggota KIN (Komite Inovasi Nasional) Masalah pemerataan kesehatan saat ini menjadi poin penting dalam pembangunan kesehatan di Indonesia, khususnya dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pencapaian MDG’s. Diperlukan komitmen dan keseriusan pemerintah untuk menciptakan keadilan dan pemerataan kesegatan bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanah Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes Direktur Administrasi dan Keuangan di Gadjah Mada Medical Centre


Goresan Pena yang Kami Persembahkan untuk Indonesia Dari Kampus Kerakyatan



Goresan Pena yang Kami Persembahkan untuk Indonesia Dari Kampus Kerakyatan

Desain cover dan layout: Ahmad Jauhar Hilmy


PENGANTAR

Membaca sepak terjang mahasiswa tentu tak bisa dilepaskan dengan karakter asasi yang mereka miliki. Di belahan daerah Indonesia manapun, mahasiswa tampil memukau sebagai ruh pembaharu dan memainkan narasi istimewa sejarah bangsa dari waktu ke waktu. Ya, mahasiswa Indonesia sejak kemunculannya senantiasa memberi respon terhadap problematika yang hadir di tengah masyarakat. Hal itulah yang kemudian memberangkatkan kami aktivis mahasiswa gadjah mada, untuk bergerak mengawal isu kepemimpinan nasional, khususnya Pemilihan Presiden 2014. Selain sebagai satu upaya untuk memelihara semangat pergerakan mahasiswa di atas, “Buku Emas� karya Serikat Mahasiswa Kerakyatan (Semarak) UGM ini merupakan bentuk komitmen kami mempertahankan tradisi intelektual mahasiswa yang perlahan padam. Sebetulnya hasrat untuk membukukan tulisan aktivis mahasiswa gadjah mada, telah terwujud dalam beberapa kurun belakangan. Namun, hal itu tak menguncupkan semangat kami untuk menyajikan kompilasi gagasan sebab tema “sensitif� tahun ini; Pemilihan Presiden 2014. Agenda besar bangsa ini memang menjadi momen indah untuk menyuarakan dan terlibat ide secara intelektual ala aktivis mahasiswa, terhadap apa yang akan terjadi pada bangsa minimal lima tahun kedepan.

i


Relasi atas banyak hal di atas, buku ini menyajikan karya suntingan dengan beragam tajuk sektoral yang kami pilih dan kumpulkan. Sumber tulisan tak lain dipetik dari hasil tempat kami menyemai dan meninginternalisasi gagasan, baik diskusi publik maupun kajian bidang. Tulisan yang terkumpul merentang dalam waktu singkat, tidak lebih dari dua bulan. Itu yang kemudian membuat kami berkejar dengan waktu pada tahap perampungan-nya. Akhirnya, seiring mobilitas negara yang tengah bersiap menyongsong fase baru melalui presiden baru pasca Pemilu 2014, adalah satu keniscayaan untuk semakin mengokohkan “iklim peduli” kepada masyarakat Indonesia melalui “Prakata” ini. Serta secara sederhana, kami berharap “Buku Emas” Semarak UGM mampu menjadi referensi siapapun presiden terpilih nanti dalam berbagai sektoral dan bidangnya. Dan tentunya menjalankan amanah sebagai “imam” negara sebagaimana solusi yang kami tawarkan dalam buku ini dan banyak pihak.

Yogyakarta, 3 Juli 2014

Serikat Mahasiswa Kerakyatan (Semarak) UGM

ii


DAFTAR ISI

PENGANTAR ........................................................................................i DAFTAR ISI ............................................................................................ii

Kajian Tertulis BEM/DEMA/LM Fakultas

Arah Prioritas Pembangunan Indonesia BEM Fakultas Geografi ....................................................................

1

Menggagas Kedaulatan Nuklir di Indonesia 2014-2019 Kajian Strategis BEM KM Fakultas MIPA ....................................... 18 Koperasi Energi: Menyongsong Optimalisasi Energi Terbarukan Indonesia Berlandaskan Ekonomi Kerakyatan yang Berkedaulatan Kajian Strategis BEM KM UGM ......................................................

31

Suara Teknik Untuk Presiden BEM KM Fakultas Teknik ................................................................

41

Quo Vadis Perjalanan Hukum di Indonesia ? Kajian Strategis Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum ..

67

Korupsi: Permasalahan Klasik yang Menjadi Modern “Quo Vadis Pemberantasan Korupsi Modern ?” Ketua Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum……………...

80

1


Surat Cinta Untuk Presiden BEM Fakultas Ekonomika dan Bisnis ...............................................

88

ASEAN Vision 2020: Bersatu dalam Kepentingan Ketua Bidang Kajian Intelektual & Hubungan Eksternal BEM FEB 93 Problematika Perubahan Kurikulum Pendidikan Indonesia Lembaga Mahasiswa Fakultas Psikologi .........................................

98

JKN Untuk Indonesia Sehat BEM Fakultas Kedokteran ...............................................................

108

Solusi Problema Maldistribusi Tenaga Kesehatan Berkaitan Dengan Globalisasi Sektor Kesehatan: Usulan Langkah Strategis Bagi Pasangan Presiden-Wakil Presiden Terpilih BEM KM Fakultas Kedokteran Gigi ..............................................

118

Pembangunan Negara Melalui Industri Farmasi Terintegrasi dan Swasembada Bahan Baku Obat BEM KM Fakultas Farmasi ...........................................................

136

Melawan Hegemoni (Industri) Rokok: Jalan Terjal Menuju Indonesia Sehat (Analisis Kebijakan Rokok di Indonesia) Mahasiswa Fisipol, Kepala Kastrat & Advokasi 9cm…………...

142

Menggagas Kedaulatan Biodiversitas dan Kearifan Lokal Indonesia Indonesian Movement for Biodiversity (I-Mob), BEM Fakultas Biologi ...................................................................

157

Melawan Asap Riau BEM Fakultas Biologi……………………………………………..

168

Polemik dan Potensi Implementasi Program Swasembada

2


Daging BEM Fakultas Peternakan & BEM Fakultas Teknologi Pertanian ..........................................................................................................

176

Referensi .......................................................................................

184

3


4


Arah Prioritas Pembangunan Indonesia BEM Fakultas Geografi

Pendahuluan Indonesia merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alamnya dan sumber daya manusianya. Kekayaan di Indonesia tersebut meliputi kekayaan hayati dan non hayati. Potensi tambang di Indonesia Indonesia berdasarkan data Indonesian Mining Asosiation menduduki peringkat ke-6 terbesar untuk negara yang kaya akan sumber daya tambang. Cadangan batubara Indonesia hanya 0,5% dari cadangan dunia, namun produksi Indonesia posisi ke-6 sebagai produsen dengan jumlah produksi mencapai 246 juta ton, peringkat 25 sebagai negara dengan potensi minyak terbesar yaitu sebesar 4.3 milyar barrel. cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan emas dunia. Cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan emas dunia. Menduduki peringkat ke-7 yang memiliki potensi emas terbesar didunia. Menduduki peringkat ke-6 dalam produksi emas di dunia sekitar 6,7%. Menduduki peringkat ke-5 untuk cadangan timah terbesar di dunia sebesar 8,1% dari cadangan timah dunia dan juga menduduki peringkat ke-2 dari sisi produksi sebesar 26% dari julah produksi dunia. Peringkat ke-7 untuk cadangan tembaga dunia sekitar 4,1% dan peringkat ke-2 dari sisi produksi sebesar 10,4% dari produksi dunia. Peringkat ke-8 cadangan nikel dunia (cadangan nikel Indonesia sekitar 2,9% dari cadangan nikel dunia), dengan peringkat

5


ke-4 dunia dari sisi produksi sebesar 8,6% (Association Of Indonesian Environmental Observers, 2005). Hanya saja fakta yang ada, Indonesia tidak mampu mengolah sumber daya alam yang ada ini dikarenakan sumber daya manusianya yang kurang mampu. Masalah kependudukan yang berkait dengan kualitas sumberdaya manusia atau SDM bisa ditelaah dari berbagai segi. Dalam hal ini yang akan diuraikan adalah dari sisi indeks pembangunan manusia (IPM), tingkat pendidikan, tingkat kematian bayi, kemiskinan dan pengangguran. Laporan dari United Nations Development Program (2012) menunjukkan IPM Indonesia Indeks Pembangunan Manusia Indonesia sangat rendah. Pada tahun 2011 IPM Indonesia berada di urutan 124 dari 187 negara yang disurvei, dengan skor 0,617. Hal ini cukup menghawatirkan karena urutan ini turun dari peringkat 108 pada tahun 2010. Posisi ini tidak bergeser di kawasan ASEAN. Peringkat pertama IPM adalah Singapura dengan nilai 0,866 dan disusul Brunei dengan nilai IPM 0,838, disusul Malaysia (0,761), Thailand (0,682,) dan Filipina (0,644). Indonesia hanya unggul dari Vietnam yang memiliki nilai IPM 0,593, Laos dengan nilai IPM 0,524, Kamboja dengan nilai IPM 0,523, dan Myanmar dengan nilai IPM 0,483, katanya. Hal yang menarik untuk diungkapkan adalah rendahnya IPM Indonesia ini menunjukkan pengaruh alokasi 20 persen anggaran sektor pendidikan dari APBN belum signifikan. Kondisi gambaran IPM di atas sekaligus menunjukkan kemampuan daya saing SDM Indonesia. Data terakhir

6


menunjukkan peringkat daya saing SDM Indonesia merosot tajam dari 44 pada tahun 2011 menjadi 46 pada tahun 2012 (UNDP dalam Puzzleminds). Melimpahnya kekayaan di Indonesia yang tidak diiringi oleh penngkatan kualitas SDM yang baik, akan menimbulkan ketidak jelasan pangolahan sumber daya alam yang ada. Secara umum, SDA yang ada akan mampu menjadi fasilitator pergerakan masyarakat dalam memajukan bangsa ini. Sudah tercantum jelas pada amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yakni: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara berkembang dan berada pada zaman tinggal landas yang ditandai dengan transisi zaman agraris ke era industri memerlukan kebijakan pengembangan untuk mengiringi perubahan zaman yang ada. Hanya saja, ketidak jelasan kemana bangsa ini muncul mau di bawa kemana bangsa ini, karena tambang tidak jelas majunya, industri juga tidak tau pergerakankan, atau agraris dan maritim yang juga sudah entah kemana. Maka dari itu, perlunya mengkaji permasalahna yang ada dengan kemabali kepada kesadaran geopolitik dan geostrategi bangsa ini dengan menggunaka metode persebaran spasial data permaslahan yang ada untuk membantu perencanaan pembangunan negara. Analisis dan Pandangan

7


Keadaan diatas dapat di uraikan dari beberapa asumsi yang dapat di kaji untuk menemukan strategi penyelsaiannya. Keterkaitan antara SDA, kualitas SDM, kasus korupsi yang ada, serta fakta persebaran derah tertinggal dapat di uraikan secara komprehensif. Secara tidak langsung tetap akan menuju kualitas SDM negara ini dalam pengelolaan melalui kebijakan-kebijakan yang ada. Hanya saja kabijakan saat ini, tidak berpihak untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat akibat dari tidak mampunya SDA dalam menghadapi arus globalisasi. Maka dari itu, untuk mengawali pemerintahan baru ini, perlu adanya pandangan baru mengenai strategi untuk memperkokoh ketahanan negra secara merata pada masyarakatnya dan perangkat pemerintahannya.

Realita dan Arah Prioritas Pembangunan 1. Keterkaiatan potensi sumberdaya dengan data persebaran daerah tertinggal Secara teori, daerah yang memilik SDA tinggi,mampu menjadi daerah yang maju dengan diiringi SDM yang tinggi. Permasalahan di atas juga terkait dengan pembangunan daerah (otonomi daerah). Pengembangan suatu daerah perlu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Hal tersebut melibatkan berbagai potensi sumber daya yang dimiliki dan dapat menjadi sentra yang akan memberikan kontribusi bagi perkembangan daerah-daerah sekitarnya. Potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber pengembangan antara

8


lain: sumber daya alam (natural resources), sumber daya manusia (human resources). Sumber daya alam (SDA). Di samping itu juga perlu memperhatikan keterlibatan pemerintah – masyarakat/lembaga swadaya

masyarakat

–

pihak

swasta

dalam

mendukung

pengimplementasian kebijakan perencanaan pengembangan daerah yang dimaksudkan. Hal ini dilakukan dalam upaya membangun sinergisitas untuk mencapai hasil yang optimal. Potensi sumberdaya manusia adalah potensi yang dimiliki oleh penduduk yang menempati wilayah tertentu. Potensi sumberdaya diambil dari angka ketergantungan tiap wilayah yaitu angka yang diambil dari membandingkan banyaknya usia kerja (15-64 tahun) dengan usia non-kerja (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas). Unit analisis potensi sumberdaya adalah dalam lingkup provinsi yang dalam hal ini Indonesia dibagi menjadi 33 provinsi. Kategori potensi sumberdaya ini dalam kata lain ditentukan dari kuantitasnya karena untuk kualitas mengukurnya cukup sulit dan umumnya bersifat perkiraan.

9


Dari 33 Provinsi yang ada di Indonesia, telah terkategorikan daerah yang memiliki potensi sumberdaya manusia rendah dengan Rasio Ketergantungan lebih tinggi dari 55,95% sebanyak 9 Provinsi yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Maluku Utara. Provinsi yang memiliki potensi sumberdaya manusia sedang dengan Rasio Ketergantungan antara 49,64% hingga 55,95% sebanyak 14 Provinsi yaitu, Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Papua dan Papua Barat. Sedangkan, potensi sumberdaya manusia tinggi dengan Rasio Ketergantungan < dari 49,64% sebanyak 10 Provinsi yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Bangka

10


Belitung, Banten, DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara (BPS, 2010). Beragamnya kondisi yang dialami setiap daerah dalam hal rasio

ketergantungan

tentu

memberikan

dampak

terhadap

kesejahteraan penduduk di daerah tersebut. Kesejahteraan penduduk yang rendah merupakan salah satu indikator dalam menentukan apakah daerah tersebut tergolong sebagai daerah yang maju atau justru tertinggal. Berikut adalah gambaran

spasial terkait maju atau

tertiggalnya kondisi kesejahteraan suatu daerah yang cenderung tersebar pada daerah di luar Jawa.

Idealnya, dengan rasio ketergantungan yang rendah, potensi penduduk untuk melakukan strategi penghidupan akan semakin

11


meningkat bila dibandingkan daerah lain, sehingga kesejahteraan dalam pembangunan pun akan turut terdorong. Namun yang terjadi terdapat Provinsi yang memilki rasio ketergantungan yang tinggi sehingga mengakibatkan pembangunan berlangsung lesu. Provinsi yang tercatat memilki rasio ketergantungan penduduk yang tinggi dan tergolong sebagai daerah tertinggal di antaranya adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara. Mengacu pada data rasio ketergantungan

di atas,

dapat

disimpulkan pada daerah dengan SDM yang rendah selalu diiringi dengan fakta bahwa daerah tersebut merupakan daerah tertinggal. Hal ini menyatakan bahwa peran SDM dalam pembangunan sangatlah penting. Tingginya rasio ketergantungan penduduk perlu diatasi dengan upaya peningkatan produktivitas penduduk sehingga beban penduduk usia produktif untuk mensejahterakan anggota keluarganya dapat diringankan. Upaya peningkatan produktivitas penduduk terjabarkan dalam rangkaian solusi yang kami tawarkan sebagai berikut.

Solusi 1.

Membangun kembali kesadaran geopolitik dan geostrategi Indonesia Hal ini dapat dilakukan dengan pengenalan wilayah dan kekayaan Indonesia kepada masyarakat Indonesia itu sendiri dari

12


berbagai kalangan. Hal ini dapat didukung dengan ilmu geografi lingkungan dan sosial yang di kembangkan sesuai penerapannya. 2.

Mengatur

strategi

meningkatan

kualitas

penduduk

lewat

pendidikan dan kesehatan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengacu pada data persebaran spasial tingkat pendidikan, ratio umur ketergantungan, dan keadaan geografis setiap daerah, terutama di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sualawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara. 3.

Mewujudkan

upaya

peningkatan

produktivitas

penduduk.

Kebijakan ini dapat dilakukukan dengan membuka peluang pekerjaan seluas-luasya maupun dengan mengoptimalkan usaha kecil menengah dari masyarakat. Hal tersebut dinilai cukup ampuh dalam mengurangi jumlah pengangguran dari penduduk usia produktif, sehingga beban ketergantungan dapat berkurang.

2. Keterkaitan antara kekayaan SDA dan peluang korupsi dengan faktor rendahnya kualitas SDM Tindakan korupsi merupakan permasalah yang sudah mengakar di Indonesia. Banyak faktor yang melatar belakangi tindakan ini. Salah satunya adalah kelimpahan sumber daya alam di suatu daerah tidak seimbang dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah tersebut. Data pemetaan persebaran kasus korupsi dan nilai SDA dapat di ketahui fakta yang terjadi diatas. Secara umum, apabila suatu daerah memiliki SDA tinggi, maka suatu daerah

13


tersebut mampu menjadi daerah yang maju dan SDM yang ada semestinya memilki kualitas yang baik. Hanya saja hasil pengolahan SDA yang ada tidak teralokasikan dengan baik untuk pembangunan daerah. Sehingga tidak heran apabila fakta yang terjadi seperti di daerah Papua maupun dimana pada daerah tersebut merupakan daerah tertinggal dengan SDA melimpah. Potensi SDA yang menjadi dasar pemetaan merupakan sumberdaya yang memilki pengaruh besar terhadap pendapatan daerah dan keberlangsungan lingkungakan hidup. Sumberdaya Alam tersebut meliputi luas hutan produktif dan hasil tamabang yang diterima dari setiap provinsi di Indonesia. Berikut adalah peta potensi kekayaan SDA yang dimilki setiap provinsi.

14


Indonesia memang negara yang melimpah SDA-nya. Hanya saja, kelimpahan tersebut tidak memberikan dampak yang seharusnya baik bagi SDM-nya. Pemetaan data SDA dan SDM menunjukkan pada daerah yang memiliki SDA melimpah tidak menunjukkan kualitas SDM yang tinggi. Hal tersebut menjadi salah satu indikasi tersendiri pada kasus korupsi dalam pengelolaan SDA maupun proses pembangunan di daerah tersebut. Misalnya pada Provinsi Papua, secara gamblang, dapat kita ketahui bahwa Papua merupakan daerah dengan sumber daya tambang sangat melimpah dan luas hutan yang begitu besar. Ironisnya, Papua merupakan daerah tertinggal dengan kualitas SDM rendah. Padahal, hasil dari SDA yang ada apabila di kelola dengan baik dan benar akan mampu membiayai pembangunan daerah di segala sektor/bidang dengan baik dan fasilitas infrastruktur yang sangat memadahi. Bukankah sangat disayangkan apabila masyarakat yang memilki SDA tidak dapat menikmati hasilnya secara layak. Memang kondisi riil di lapangan, SDA yang ada belum mampu diurus oleh SDM dalam negri secara optimal. Hanya saja paling tidak dalam pengembalian manfaat SDA layak bagi masyarakat sekitar dan mampu meningkatan kualitas SDM-nya dan menjadikan daerah tersebut sebagai daerah maju.

15


Banyaknya kekayaan alam yang tersedia, mampu menjadi sumber dana dalam pembangunan daerah seluruh negeri. Hanya saja kualitas SDM dalam pengeloaan kekayaan melimpah tersebut juga turut ambil bagian dalam mempertanggung jawabkan wujudnya di lapangan. Sebab sudah terlihat fakta dari data yang di dapat, kasus korupsi di daerah dengan SDA melimpah memiliki intensitas tinggi.

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalah Keterkaitan antara kekayaan SDA dan peluang korupsi dengan faktor rendahnya kualitas SDM, terdapat beberapa solusi yang kami tawarkan:

Solusi 1.

Pembentukan aparatur pemerintahan yang bersih dan ahli di bidangnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan mekanisme pembentukan aparatur yang terbebas dari KKN

16


terutama pada daerah yang jauh dari pengawasan pemerintah pusat dan rentan untuk terjadi tindakan korupsi seperti Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NAD, dan Sumatera Utara. 2.

Penegakan hukum yang tegas pada setiap tindak pidana korupsi. Kebijakan ini diberlakuakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku tanpa pandang bulu kepada setiap pemangku kepentingan yang ada.

3.

Perumusan kebijakan yang mengarah kepada bagi hasil pengelolaan kekayaan SDA yang berkeadilan. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak perlu membatasi dalam mendatangkan para investor asing, namun yang dibutuhkan adalah penegakan hukum sehingga pemerintah tetap dapat melakukan kontrol penuh terhadap setiap hasil dari pengelolaan SDA. Hasil pengelolaan tersebut dapat dijadikan sebagai sumber pembiayaan pembangunan untuk peningkatan kualitas SDM, perbaikan infrastruktur, dan lain sebagaianya.

17


14


15


16


17


Sektor Energi dan Infrastruktur Menggagas Kedaulatan Nuklir di Indonesia 2014-2019 Kastrat BEM KM Fakultas MIPA

Energi Nuklir menjadi Energi yang menjadi perhatian besar bagi dunia dengan efisiensi yang dihasilkan dari Nuklir terhadap supply kebutuhan energi masyarakat. Belgia, Bulgaria, Republik Ceko, Finlandia, Perancis, Hungaria, Jepang, Korea Selatan, Slovakia, Slovenia, Swedia, Swiss dan Ukraina semua mendapatkan 30% atau lebih dari listrik dari reaktor nuklir. Amerika Serikat memiliki lebih dari 100 operasi reaktor, memasok 20% dari listrik. Perancis mendapat tiga perempat dari listrik dari uranium. Lebih dari 14% dari listrik dunia dihasilkan dari uranium dalam reaktor nuklir. Program Nuklir Indonesia merupakan program Indonesia untuk membangun dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir baik di bidang non-energi maupun di bidang energi untuk tujuan damai. Pemanfaatan non-energi di Indonesia sudah berkembang

cukup

maju.

Sedangkan

dalam

bidang

energi

(pembangkitan listrik), hingga tahun 2011 Indonesia masih berupaya mendapatkan dukungan publik, walaupun sudah dianggap kalangan internasional bahwa Indonesia sudah cukup mampu dan sudah saatnya menggunakannya. Indonesia memiliki beberapa alasan untuk membangun reaktor tersebut:

18


1. Konsumsi energi Indonesia yang besar dengan jumlah penduduk 237 juta (sensus 2010). 2. Nuklir akan mengurangi ketergantungan akan petroleum. 3. Jika konsumsi energi dapat disediakan dengan nuklir, Indonesia dapat memproduksi lebih banyak minyak bumi. 4. Memproduksi energi yang dapat diperbaharui lainnya, seperti angin dan tenaga matahari lebih mahal. 5. Jepang, seperti Indonesia, sering terkena gempa bumi, tetapi memiliki reaktor nuklir. 6. Emisi gas dapat dikurangi. Kedaulatan Energi Nuklir di Indonesia seakan menjadi dilema, keresahan akan fenomena yang terjadi di Chernobyl, Ukraina, dan Fukushima, Jepang menjadi hantu yang membuat takut masyarakat Indonesia akan dibangunnya reactor nuklir dan kebijakan pemerintah tentang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir.

Kondisi pembangunan PLTN di Indonesia 1. Rencana Pembangunan PLTN di Bangka Belitung Kepala Bidang Pengkajian Kelayakan Tapak PLTN Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN) BATAN Kurnia Anzhar menyebutkan studi kelayakan calon tapak PLTN di Bangka Barat dan Bangka Selatan telah dilaksanakan selama tiga tahun dan berakhir pada tahun 2013. Studi tersebut meliputi berbagai kajian seperti meteorologi, seismografi, oseanografi, demografi dan kependudukan

19


serta berbagai aspek lainnya yang merupakan syarat layak atau tidaknya suatu lokasi menjadi calon tapak PLTN. Menurutnya hasil resmi studi kelayakan calon tapak akan segera diumumkan dalam waktu dekat. Setelah selesai kegiatan studi calon tapak PLTN ini, seluruh fasilitas akan diserahkan kepada BATAN untuk dikelola dan dilakukan monitoring secara berkala langsung oleh BATAN, seperti halnya lokasi calon tapak sebelumnya di Semenanjung Muria (Pusat Diseminasi IPTEK Nuklir, 2013). Menurut Kepala BATAN, Djarot S. Wisnubroto, kesimpulan sementara studi tapak yang dilakukan BATAN, di Pulau Bangka cukup layak untuk dibangun PLTN. Selain geografis daerah yang cukup stabil, juga mempertimbangkan permintaan

energy

(demand)

di

wilayah

tersebut.

Djarot

menambahkan, masa pembangunan PLTN sekitar 8 hingga 10 tahun Untuk investasi pembangunan PLTN berkapasitas 150 MW mencapai sekitar Rp 10 triliun. Mantan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), As Natio Lasman mengatakan, terkait perizinan PLTN, ada 5 tahap perizinan. Antara lain, site (lokasi/tapak), konstruksi, commissioning (uji coba), operasi dan decommissioning. "Selain dari Bapeten, perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup sebagai syarat utama pembangunan," ujarnya (RR/SK, 2013). Manajer Studi Kelayakan PT. Surveyor Indonesia, Ilman Bustaman, menyatakan bahwa hasil survei menunjukkan kapasitas dari tapak berdasarkan geografi dapat didirikan 10 unit reaktor nuklir, tetapi masih menunggu keputusan dari Bapeten.Daerah yang

20


berpotensi adalah Kab. Bangka Selatan (Basel) dan Kab. Bangka Barat (Babar) layak dibangun PLTN dengan kapasitas 6 unit di Babar dan 4 unit di Basel. Hal tersebut berdasarkan aspek Geografi. Meskipun demikian yang berhak memeberikan izin adalah Bapeten (RL, 2013). masing-masing unit berkapasitas 1.000 MegaWatt sehingga total 10.000 MegaWatt (ea/EA/bd-ant, 2013). Selain studi fisik tapak, setiap tahun pihak BATAN juga melakukan jajak pendapat untuk mengetahui trend penerimaan masyarakat terhadap PLTN sebagai pemasok listrik nasional. Jajak yang dilakukan lembaga survei independen PT Iconesia Solusi Prioritas (ISP) pada akhir 2013 menyimpulkan sebanyak 60,4% masyarakat menyetujui pembangunan PLTN. Suvei ini menurut Direktur PT ISP, Suhermin Ari Pujiati, melibatkan 3000 responden tingkat nasional dan 1000 responden di Jawa, Madura, dan Bali dengan menggunakan metode “Multistage Cluster Random Sampling� (ea/EA/bd-ant, 2013). Gusti Hatta, Menteri Riset dan Teknologi, mengaku bahwa sebelumnya hamper 65 persen warga mendukung pembangunan PLTN, namun karena adanya kejadian PLTN Fukushima Jepang, ternyata berdampak pada menurunnya dukungan warga masyarakat terhadap rencana pendirian PLTN (IDB, 2013). Di sisi lain, Koordinator Laskar Barisan Tolak Nuklir dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (BETON) Bangka, Kurnia Mulya, mengatakan bahwa selama ini banyak warga Bangka menolak pembangunan PLTN di wilayahnya. Penolakan juga datang dari

21


penduduk di Kabupaten Bangka Barat yang menjadi lokasi tapak PLTN tersebut. Bahkan, menurut survei BETON, sekitar 70% penduduk menolak pembangunan PLTN di Bangka. Laskar BETON meminta pemerintah bersama-sama dengan masyarakat Bangka menyelenggarakan

kembali

survei

persetujuan

PLTN

secara

transparan dan terbuka. Hal ini dimaksudkan agar hasil survei dapat benar-benar mencerminkan secara objektif pendapat penduduk Bangka, terutama Kabupaten Bangka Barat. Menurut Kurnia, alasan penolakan pembangunan PLTN di Bangka disebabkan tingginya ancaman dari nuklir. Apalagi lokasi tapak tak terlalu jauh dari permukiman padat penduduk sehingga dapat mengancam kehidupan warga. Hal ini berarti mengancam hak masyarakat untuk hidup bebas dari ancaman (Sarwindaningrum, I., dan Aziz, N., A., 2012).

2. Rencana Pembangunan PLTN di Kalimantan Barat Kartius, Asisten Administrasi dan Umum Sekretaris Daerah Kalbar, menyatakana bahwa seluruh gubernur di Kalimantan telah melakukan

rapat

kordinasi

dengan

Kementerian

Energi

dan

Sumberdaya Mineral (ESDM) di Jakarta pada 2011 yang membahas pentingnya kehadiran PLTN di Kalimantan. Kementerian ESDM kemudian merekomendasikan tahap pertama PLTN akan dibangun di Kalbar, kendati pun tidak ditentukan tahun berapa mulai dibangun.

22


Pemerintah Kalbar telah menetapkan dua lokasi PLTN, yakni di Ngabang, Ibukota Kabupaten Landak, dan di Nanga Pinoh, Ibukota Kabupaten Melawi. Berkaitan dengan persiapan teknis, Pemprov Kalbar telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan BATAN di Jakarta pada 2012. Tindak lanjut dari MoU Pemprov Kalbar-BATAN, kemudian digelar seminar: “Skenario Kebijakan Energi Indonesia Menuju Tahun 2050� di Pontianak, 22 Februari 2013. Seminar digelar Dewan Energi Nasional, bekerjasama dengan Pemprov Kalbar dan BATAN. Menurut Prof. Dr. Ismail Yusuf, Pakar Fisika Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura, pembangunan PLTN di Kalbar mendesak, karena Sungai Kalan, Kecamatan Ellahilir, Kabupaten Melawi, memiliki cadangan uranium yang sangat baik. Cadangan terukur uranium sebagai bahan baku reaktor PLTN di Sungai Kalan mencapai 900 ton, cadangan terindikasi 6.961 ton, cadangan tereka 1.734 ton, sedangkan cadangan hipotetik 14.517 ton dengan total cadangan keseluruhan 24.112 ton (Aju, 2013).

3. Rencana Pembangunan PLTN di Serpong Mentri Riset dan Teknologi, Gusti Muhammad Hatta, mengatakan bahwa akan dibangun PLTN 30 MW di Serpong, Banten pada tahun 2014 yang akan digunakan sebagai pembangkit listrik di wilayah setempat (Maruli, A., 2014).

23


Analisis dan Pandangan Setelah memperoleh informasi mengenai perkembangan pembangunan PLTN di Indonesia saat ini, kami menganalisa bahwa beberapa masalah yang timbul pada rencana pembangunan PLTN di Bangka Belitung diantaranya adalah ketidaksesuaian hasil survei yang dilaksanakan oleh BATAN melalui PT Inconesia Solusi Prioritas (ISP) dengan hasil survei Laskar BETON. Hal ini disebabkan kurang tepatnya survei yang dilakukan oleh Pemerintah melalui PT ISP. Menurut kami yang seharusnya disurvei adalah setuju/tidaknya masyarakat apabila dibangun PLTN di Bangka Belitung, bukan setuju/tidaknya masyarakat apabila dibangun PLTN secara umum. Selain itu, responden yang harus diutamakan adalah masyarakat yang tinggal di daerah Bangka Belitung dan sekitarnya, bukan masyarakat nasional secara umum dan yang tinggal di daerah yang berjauhan dari Bangka Belitung, seperti Jawa, Bali, dan Madura. PLTN yang akan dibangun berlokasi di Bangka Belitung. Mengingat PLTN yang hendak dibangun lokasinya di Bangka Belitung, seharusnya yang diutamakan adalah suara masyarakat Bangka Belitung itu sendiri karena merekalah yang hidup langsung di daerah tersebut. Mereka yang akan merasakan hidup tidak terlalu jauh dengan PLTN. Jika survei dilaksanakan dengan respondennya adalah seluruh masyarakat se-Indonesia namun PLTN yang hendak dibangun adalah di Bangka Belitung, hal itu akan menyebabkan suara yang dihasilkan tidak

24


mewakili suara masyarakat Bangka Belitung yang nantinya akan merasakan hidup tidak jauh dari PLTN. Dukungan masyarakat tentang dibangunnya PLTN akan berbeda-beda tergantung kondisi yang mereka akan alami nantinya. Masyarakat yang berada di Jakarta bisa saja lebih mendukung dibangunnya PLTN di Bangka Belitung karena mereka tidak begitu khawatir akan dampaknya apabila terjadi suatu masalah yang ditimbulkan PLTN Bangka dikarenakan lokasi Jakarta yang cukup jauh dari Bangka Belitung. Oleh karena itu juga, masyarakat Jakarta mungkin akan lebih memperhatikan keunggulan yang akan dihasilkan PLTN Bangka nantinya daripada mengkhawatirkan resikonya. Akan tetapi, beda halnya dengan masyarakat Bangka Belitung. Meskipun sesungguhnya

masyarakat

Bangka

Belitung telah

mengetahui

keunggulan PLTN, mereka pasti akan lebih khawatir dengan pembangunan PLTN di daerahnya karena apabila terjadi masalah yang disebabkan PLTN tersebut, maka mereka akan lebih rawan terkena masalah tersebut dibandingkan masyarakat yang ada di Jakarta. Oleh karena itu dirasa perlu dilakukan survei kembali dengan respondennya adalah hanya masyarakat Bangka Belitung. Untuk dapat membangun PLTN di Indonesia, harus ada keadilan. Kita boleh melihat keunggulan PLTN dibandingkan pembangkit listrik tenaga lain karena memang faktanya PLTN lebih efisien, sedikit emisi, dan berumur panjang. Namun kenyamanan dan ketentraman menjadi alasan untuk belum menerima nuklir. Batas

25


tindakan yang dapat diambil Pemerintah adalah melakukan sosialisasi mengenai kebermanfaatan dan keamanan PLTN. Jika sudah dilakukan sosialisasi namun masyarakat tetap keberatan apabila dibangun PLTN di daerahnya, Pemerintah harus mencari lokasi lain. Jadi, apabila dilakukan survey kembali kepada masyarakat Bangka Belitung dan hasilnya masyarakat Bangka Belitung setuju dengan pembangunan PLTN di Bangka Belitung, barulah BATAN dan jajarannya dapat membangun PLTN dengan tenang tanpa ada kesalahpahaman lagi. Jika ternyata masyarakat Bangka Belitung tidak setuju, BATAN dan jajarannya hendaknya mencari lokasi lain yang dari awalnya masyarakat di daerah tersebut menerima apabila di daerahnya akan dibangun PLTN. Tujuan dibangunnya PLTN adalah untuk menyejahterakan rakyat Indonesia. Namun, hal itu akan percuma apabila kesejahteraan secara nasional meningkat akan tetapi masyarakat di suatu daerah menjadi hidup terancam dan tidak tenang. Kita harus bisa mengambil solusi yang tidak merugikan pihak manapun.

Solusi Dari hasil diskusi dan kajian kami menemukan beberapa Solusi yang dapat dilakukan BATAN ataupun lembaga lainnya yang terlibat dalam pembangunan PLTN di Indonesia untuk mengatasi masalah pembangunan PLTN di Bangka Belitung terutama dalam hal sosialisasi, Lembaga survey yang dipilih Pemerintah bersama dengan

26


Laskar BETON seharusnya melakukan survey bersama mengenai setuju atau tidaknya masyarakat Bangka Belitung apabila akan dibangun PLTN di Bangka Belitung. Respondennya cukup dari masyarakat Bangka Belitung. Jika memang mayoritas masyarakat Bangka Belitung setuju dengan pembangunan PLTN di Bangka Belitung, BATAN dan jajarannya meneruskan pembanguan PLTN di Bangka Belitung. Akan tetapi, apabila mayoritas masyarakat Bangka Belitung tidak setuju dengan pembangunan PLTN di Bangka Belitung, BATAN dan jajarannya hendaknya menghentikan proses pembangunan PLTN di Bangka Belitung dan mencari daerah lain yang dari awalnya masyarakat daerah tersebut telah setuju untuk dibangun PLTN di daerahnya. Solusi yang dapat dilakukan Pemerintah melalui BATAN dan jajarannya untuk melancarkan pembangunan PLTN di Indonesia secara umum adalah : 1. melakukan pendataan terlebih dahulu daerah-daerah mana saja yang menurut analisis secara kasar berpotensi untuk dijadikan lahan PLTN. 2. melakukan

sosialisasi

mengenai

kebermanfaatan

dan

keamanan PLTN khusus kepada masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang berpotensi tersebut. 3. melakukan survei dengan respondennya adalah hanya masyarakat yang tinggal di daerah-daerah berpotensi tersebut

27


mengenai setuju atau tidaknya masyarakat daerah tersebut apabila dibangun PLTN di daerah mereka. 4. melakukan pendataan daerah-daerah berpotensi mana saja yang masyarakatnya setuju apabila dibangun PLTN di daerah tersebut. 5. melakukan pengujian kelayakan secara langsung ke daerahdaerah yang dimaksud pada point keempat di atas. 6. melakukan pembangunan PLTN di daerah-daerah, yang berdasarkan pengujian pada poin kelima di atas, merupakan daerah yang cocok untuk dibangun.

Tawaran Kedaulatan Nuklir untuk Capres-Cawapres 2014-2019 Kami mengajukan permohonan kepada Capres Cawapres Indonesia 2014 apabila terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik

Indonesia

untuk

masa

jabatan

2014-2019

segera

mewujudkan : 1. Survei objektif yang dilaksanakan oleh Lembaga Survey pilihan Pemerintah dan Laskar Barisan Tolak Nuklir dan Pembangkit Tenaga Nuklir (BETON) dengan respondennya adalah hanya masyarakat Bangka Belitung mengenai setuju atau tidaknya masyarakat Bangka Belitung apabila dibangun PLTN di lokasi PLTN Bangka Belitung yang telah ditetapkan.

28


2. Sosialisasi potensi kebermanfaatan dan keamanan PLTN kepada masyarakat yang tinggal di daerah Ngabang, Ibukota Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. 3. Survei objektif yang dilaksanakan oleh Lembaga Survey pilihan Pemerintah dengan respondennya adalah hanya masyarakat yang tinggal di daerah Ngabang, Ibukota Kabupaten Landak, Kalimantan Barat mengenai setuju atau tidaknya masyarakat Ngabang apabila dibangun PLTN di Ngabang. 4. Sosialisasi potensi kebermanfaatan dan keamanan PLTN kepada masyarakat yang tinggal di daerah Nanga Pinoh, Ibukota Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. 5. Survei objektif yang dilaksanakan oleh Lembaga Survey pilihan Pemerintah dengan respondennya adalah hanya masyarakat yang tinggal di daerah Nanga Pinoh, Ibukota Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat mengenai setuju atau tidaknya masyarakat Nanga Pinoh apabila dibangun PLTN di Nanga Pinoh. 6. Sosialisasi potensi kebermanfaatan dan keamanan PLTN kepada masyarakat yang tinggal di daerah Serpong. 7. Survei objektif yang dilaksanakan oleh Lembaga Survey pilihan Pemerintah dengan respondennya adalah hanya masyarakat yang tinggal di daerah Serpong mengenai setuju

29


atau tidaknya masyarakat Serpong apabila dibangun PLTN di Serpong. 8. Sosialisasi potensi kebermanfaatan dan keamanan PLTN kepada masyarakat yang tinggal di daerah yang menurut analisa scara kasar layak untuk dijadikan PLTN 9. Survei objektif yang dilaksanakan oleh Lembaga Survey pilihan Pemerintah dengan respondennya adalah hanya masyarakat yang tinggal di daerah yang dimaksud pada saran nomor 8 di atas mengenai setuju atau tidaknya masyarakat daerah tersebut apabila dibangun PLTN di daerah tersebut.

30


Koperasi Energi: Menyongsong Optimalisasi Energi Terbarukan Indonesia Berlandaskan Ekonomi Kerakyatan yang Berkedaulatan Kastrat BEM KM UGM

Indonesia Menuju Titik Nadir Kedaulatan Energi Perjalanan panjang Indonesia sejak memproklamasikan diri menjadi bangsa yang merdeka sudah mencapai usia 68 tahun. Selama itu

pula

bangsa

Indonesia

jatuh

bangun

mempertahankan

kedaulatannya termasuk dalam hal ini, kedaulatan energi. Barangkali lazim untuk mempertanyakan kembali, apakah Indonesia telah meraih kedaulatan energi-nya? Atau justru semakin menjauh dari kedaulatan? Hal ini merupakan suatu urgensi mengingat salah satu prasyarat kedaulatan bangsa berada ditangan kedaulatan energinya. Segepok data yang kami peroleh, satu per satu mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Dari aspek kebutuhan energi, Outlook Energi Indonesia 2013 memaparkan kebutuhan energi Indonesia dalam rentang 2011-2030 diperkirakan akan meningkat rata-rata sebesar 4,7% per tahun. Hal itu berarti proyeksi kebutuhan energi Indonesia akan mengalami peningkatan 94% sampai tahun 2030. Lalu, sektor dengan laju pertumbuhan konsumsi energi per tahun (20002011) terbesar adalah transportasi 6,47% (26,6% total konsumsi 2011) diikuti komersial 4,32% (3,2% total konsumsi 2011), industri 3.05% (37,2% total konsumsi 2011), rumah tangga 0,7% (30,7% total

31


konsumsi 2011), dan lainnya -1,47% (2,4% total konsumsi 2011). Pemenuhannya masih didominasi oleh bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas, dan batu bara. Kontributor terbesar ialah minyak bumi yang notabene produksi nasional

terus menurun sehingga

Indonesia telah menjadi nett importer sejak tahun 2004. Penyebabnya antara lain peningkatan secara masif kepemilikan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak, dan aspek pengelolaan sumber daya energi yang lemah. Menurut Ketua KPK Abraham Samad, 70% blok migas yang beroperasi di Indonesia dikuasai oleh kepemilikan asing. Selain itu, BBM (Bahan Bakar Minyak) menjadi penyumbang terbesar subsidi

energi

yang

totalnya

20%

dari

APBN

2014

dan

mengakibatkan defisit anggaran. Sedangkan dari aspek ketersediaan, berdasarkan pernyataan sekretaris SKK Migas yaitu Gde Pradnyana, cadangan

minyak bumi

Indonesia sendiri

(tanpa

eksplorasi)

diperkirakan akan habis dalam jangka waktu 12 tahun lagi. Kebutuhan energi akan terus meningkat pesat sedangkan ketergantungan yang masih sangat tinggi terhadap minyak bumi ditambah produksi yang terus menurun dan cadangan yang semakin menipis menjadi ancaman. Kondisi tersebut merupakan sebuah lampu kuning bagi Indonesia agar memperhatikan secara serius solusi pemenuhan energinya. Walaupun pemerintah telah menyetujui RPP Kebijakan Energi Nasional, namun belum terlihat langkah yang jelas untuk mencapai target diversifikasi energi. Jika dibiarkan terus berlarut-larut, dapat diasumsikan Indonesia akan semakin mendekati

32


titik nadir kedaulatan energi. Padahal, Indonesia merupakan negara megabiodiversitas yang secara otomatis memiliki potensi sumber daya energi yang sangat besar, khususnya energi terbarukan.

Energi Terbarukan: Sebuah Harapan Dalam definisi yang terdapat dalam RPP Energi Baru dan Energi Terbarukan, energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber terbarukan mencakup energi terbarukan hayati dan non-hayati. Biomass, bioethanol, biogas, biodiesel, dan biooil termasuk bentuk energi terbarukan hayati. Sedangkan yang termasuk bentuk energi terbarukan non-hayati yaitu panas bumi, angin, energi surya, tenaga air, serta gerakan dan perbedaan suhu air laut. Potensi energi terbarukan di Indonesia dapat dikatakan tidak terbatas dan sangat besar. Berdasarkan data dari Ditjen EBTKE Kementrian ESDM tahun 2013 yang dipresentasikan dalam Indonesia EBTKE CONEX 2013, Indonesia memiliki potensi tenaga air sebesar 75.000 MW sedangkan kapasitas yang terpasang baru mencapai 7.059 MW, mini-mikro hidro memiliki potensi sebesar 769,7 MW sedangkan kapasitas terpasang 512 MW, potensi panas bumi sebesar 16.502 MW kapasitas terpasang baru 1.341 MW, potensi biomassa untuk kelistrikan sebesar 13.662 Mwe kapasitas yang terpasang ke grid baru 75.5 Mwe, begitu pula dengan tenaga surya dan angin yang memiliki potensi cukup tinggi yaitu 4,8 KWh/m2/hari dan kecepatan angin 3-6 m/s sedangkan kapasitas terpasang masing-masing baru

33


42,78 MW dan 1,33 MW. Secara garis besar, potensi energi terbarukan belum dioptimalkan pemanfaatannya. Sebagai negara maritim, potensi energi terbarukan terbesar Indonesia adalah tenaga air yaitu 75 GW tetapi potensi yang dimanfaatkan belum mencapai 10%. Adapun permasalahan lain yang berkaitan yaitu pemenuhan pasokan energi listrik dimana belum terjangkaunya daerah-daerah terpencil oleh jaringan PLN. Statistik PLN 2012 memaparkan rasio elektrifikasi telah mencapai 76% secara nasional tetapi masih terjadi ketimpangan elektrifikasi. Masih terdapat daerah-daerah pedesaan dan pedalaman yang memiliki rasio elektifikasi di bawah 5% bahkan 0%. Kondisi itu menyebabkan pengelolaan sumber daya alam di daerah pedesaan tidak optimal dan menyebabkan penjualan dalam bentuk bahan mentah yang belum memiliki

nilai

tambah.

Hal

ini

menyebabkan

pertumbuhan

perekonomian pedesaan juga tidak optimal. Padahal, daerah pedesaan kaya akan sumber energi terbarukan untuk menghasilkan listrik khususnya tenaga air yang berasal dari sungai-sungai. Plus, potensi energi tersebut belum dioptimalisasikan secara komersil. Ini adalah sebuah harapan dan kesempatan untuk meraih kembali momentum kedaulatan energi dengan mengoptimalkan energi terbarukan yang belum dimanfaatkan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan, seperti koperasi.

34


Koperasi: Secercah Harapan Wacana

menghidupkan

kembali

koperasi

dalam

perekonomian nasional telah mencuat belakangan ini. Hal itu karena sistem ekonomi kapitalisme-liberal yang membumi di Indonesia menyebabkan kesenjangan semakin melebar. Maka dari itu perlu adanya sistem ekonomi kerakyatan yang melindungi pemodalpemodal kecil agar dapat bersaing dengan kapitalis negeri ini. Koperasi sebagai bentuk badan hukum usaha adalah usaha yang disusun bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan. Koperasi merupakan secercah harapan dalam problematika ketimpangan kelas ekonomi dalam masyarakat Indonesia. Salah satu pendiri republik ini, Dr. Drs. H. Mohammad Hatta, telah melihat koperasi menjadi sebuah solusi perekonomian bangsa jauh sebelum kapitalisme menyerang Indonesia. Koperasi merupakan bagian penting dari sistem ekonomi kerakyatan yang sangat membela kepentingan rakyat dan tentu saja hal ini sangat baik dan tepat dikembangkan di Indonesia.

Koperasi Energi: Sebuah Solusi Pengembangan energi terbarukan di Indonesia saat ini masih terhambat dengan beberapa permasalahan seperti kebijakan dari pemerintah dan kurang berminatnya investor untuk mengembangkan energi terbarukan karena masih murahnya bahan bakar fosil di Indonesia sehingga para investor takut untuk mengembangkan EBT (Energi Baru dan Terbarukan) di Indonesia karena takut kalah

35


bersaing oleh bahan bakar fosil. Lebih lagi, optimalisasi sumber daya energi fosil yang telah terjadi di Indonesia tidak mencerminkan manifestasi dari pelaksanaan pasal 33 UUD 1945. Yang terjadi adalah optimalisasinya tidak dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, tidak berdasarkan atas azas kekeluargaan, dan tidak berkedaulatan. Mengikuti pernyataan Abraham Samad, sumbersumber migas di Indonesia 70% telah dikuasai oleh kepemilikan asing. Hal tersebut merupakan bukti bahwa optimalisasi sumber daya energi tidak memperhatikan aspek demokrasi ekonomi dimana ekonomi kerakyatan seharusnya menjadi fondasi keekonomian. Optimalisasi

berdasarkan

sistem

kapitalistik

liberal

terbukti

menggerus kedaulatan energi bangsa Indonesia yang sangat merugikan seluruh rakyat. Oleh karena itu, menghidupkan koperasi sebagai solusi utama pengoptimalisasian basis-basis sumber energi terbarukan yang menjadi harapan pemenuhan kebutuhan energi di masa mendatang adalah suatu hal yang mendesak untuk menyelamatkan kedaulatan energi. Jargon kapitalistik “yang punya modal yang menguasai kapita� sudah saatnya diubah menjadi “yang punya kapita yang menguasai modal� agar kedaulatan energi dan kesejahteraan rakyat terwujud.

Koperasi

energi

harus

segera

diwujudkan

untuk

mengamankan optimalisasi energi terbarukan demi kepentingan masyarakat.

36


Koperasi Energi: Tonggak Optimalisasi Energi Terbarukan yang Berkedaulatan Di beberapa negara, koperasi energi menjadi pilihan untuk mengembangkan energi terbarukan. Di Amerika misalnya, terdapat 900 koperasi yang mengusahakan listrik dan menerangi lebih dari 43 juta penduduk di 49 negara bagian. Sementara di Indonesia koperasi energi masih sulit untuk ditemukan dan pengembanganya masih lambat. Hal ini dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah koperasi yang mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Sejauh ini hanya ada 9 koperasi, terdata pada tabel1 di bawah ini, yang berkecimpung pada pengembangan PLTMH.

1

Diambil dari Website Kementrian KUKM, http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 1425:pembangkit-listrik-tenaga-mikro-hidro-tingkatkan-ekonomimasyarakat&catid=50:bind-berita&Itemid=97, diakses pada 21 Juni 2014

37


Nama

Wilayah

Provinsi

Gempoeng Pucuk

Pidie

Nangroe Aceh Darussalam

Sabana

Sumbawa

NTB

Betteng

Enrakang

Sulawesi Selatan

Liki

Solok

Sumaetra Barat

Napajoring

Tobasa

Sumaetra Utara

Apui

Alor

NTT

Rondowoing

Manggarai

NTT

Marsiurupan Pepana

AngkolaMandailing Mamasa

Sumatera Utara Sulawesi Barat

Perkembangan koperasi dalam pengembangan energi dapat membuat dampak yang baik bagi suatu negara karena koperasi energi lebih banyak mengembangkan energi terbarukan daripada energi fosil. Hal ini disebabkan pengembangan energi terbarukan masih terjangkau oleh biaya dari koperasi, seperti contoh pengembangan PLTMH memakan biaya 20 juta rupiah/KW dengan masa operasi selama 9 tahun. Di beberapa koperasi yang ada di Indonesia seperti pembangunan PLTMH Sabana di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, mampu menerangi sekitar 80 rumah tangga dan pelaku usaha mikro dan kecil tarif per bulan dikenakan sebesar Rp 20.000,- dan bagi rumah tangga yang menggunakan televisi lebih besar, yakni Rp

38


30.000,- sementara di PLTMH Betteng di Enrekang, Sulawesi Selatan berhasil mengaliri sebanyak 115 rumah tangga dengan kapasitas 200 watt, sedangkan tarif yang diberlakukan antara Rp 15.000,- hingga Rp 30.000,-. Hasil produksi di desa Betteng adalah kopi sehingga mampu meningkatkan aktivitas usaha masyarakat UMK (ESDM, 2014). Hal tersebut selain menguntungkan bagi kesejahteraan anggota koperasi juga menguntungkan daerah di sekitar koperasi karena daerah di sekitar koperasi energi menjadi memiliki sumber energi listrik yang dapat didistribusikan ke lingkungan sekitarnya. Koperasi energi diperuntukan untuk memberi manfaat dari listrik bagi daerah yang terisolir

dan

terpencil

serta

membantu

masyarakat

sekitar

menikmatinya dengan tarif yang murah. Pemerintah melalui kerja sama antara Kementrian ESDM dan Kementrian

KUKM

telah

menandatangani

MoU

mengenai

kesepakatan pengembangan energi baru dan terbarukan pada tanggal 17 Juni 2014.

Dengan munculnya kesepakatan ini, pemerintah

berupaya untuk lebih meningkatkan pengembangan EBT di Indonesia sekaligus menggandeng koperasi sebagai mitra pelaksana dan sistem pengembangan. Hal ini tentu saja sangat baik bagi keberlangsungan EBT terutama pengembangan PLTMH di Indonesia dan lebih jauh lagi akan meningkatkan ketahanan energi nasional. Namun hal yang paling penting adalah adanya sosialisasi dari pemerintah melalui kepala daerah masing-masing kepada desa-desa berpotensi agar program ini dapat terlaksana dengan baik.

39


Sosialisasi merupakan hal sangat perlu dilakukan oleh pemerintah, namun apakah kita hanya akan diam saja? Sebagai civitas akademika, pengabdian masyarakat merupakan hal pokok yang harus kita lakukan. Kita tidak boleh hanya menjadi penonton dan pengkritik atas apa yang dilakukan pemerintah. Melalui program yang sangat baik ini, marilah kita semua turut berperan melalui berbagai cara, salah satunya adalah penyebarluasan informasi. Sangat penting bagi kita untuk berpikir, mendampingi, dan mengkritisi program EBT ini, namun hal yang lebih penting adalah apa tindakan yang kita lakukan untuk bersama-sama mengembangkan program ini.

Penutup Peran kerjasama antara pemerintah ,masyarakat,dan mahasiswa sangat diperlukan untuk pengembangan koperasi energi.Mahasiswa dapat menggunakan sarana pembelajaran seperti KKN (Kuliah Kerja Nyata) untuk mengembangkan koperasi energi,masyarakat dapat membantu mensosialisasikan koperasi energi lewat pelatihan atau pengarahan di desa sekitar, dan pemerintah dapat membuat program-program yang dapat menunjang pengadaan koperasi energi. Jadi, kerjasama antara pemerintah,

masyarakat,

dan

mahasiswa

diharapkan

dapat

mewujudkan kedaulatan energi Indonesia melalui pembangunan dan pengembangan EBT melalui koperasi energi.

40


Suara Teknik Untuk Presiden BEM KM Fakultas Teknik

Rangkaian pentas demokrasi Indonesia telah dimulai. Pemilihan umum legislatif telah dilaksanakan 9 April 2014 lalu. Beberapa hari lagi nasib Bangsa Indonesia akan ditentukan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Satu dari dua pasang calon presiden dan wakilnya akan menjadi pemimpin tertinggi di Indonesia. Berbagai strategi, kunjungan, kegiatan, kampanye telah dilancarkan oleh masing-masing kubu untuk mendapatkan suara dari seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, termasuk dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa

adalah

barisan

intelektual

yang

berkedudukan di tengah dan memiliki peran strategis yaitu mampu turun ke bawah mengumpulkan aspirasi yang ada di masyarakat dan bisa menaikkan aspirasi tersebut ke pihak pemerintah. Termasuk juga Mahasiswa Teknik Universitas Gadjah Mada yang memiliki tanggung jawab untuk mengawal jalannya pemilihan presiden 2014. Bentuk dari pengawalan tersebut adalah kajian dan diskusi Mahasiswa Teknik UGM dan selanjutnya dirumuskan suatu harapan dan solusi untuk presiden yang terpilih.

41


Fakultas Teknik UGM sendiri terdiri atas delapan jurusan dengan dua belas program studi yang kemudian dikelompokkan ke dalam tiga klaster yaitu infrastruktur, manufaktur, dan energi. Setiap klaster memiliki permasalahan yang berbeda dengan prioritas yang beragam pula. Berdasarkan hal tersebut, kami menguraikan masalah tersebut dalam rilis kajian umum

keluarga mahasiswa dan atau himpunan

mahasiswa teknik, “Suara Teknik untuk Presiden� Infrastruktur Jika dibuat skala prioritas terhadap masalah yang dihadapi indonesia mendatang dalam kacamata keteknikan, masalah infrastruktur adalah masalah yang paling urgent karena berkaitan dengan pemerataan pembangunan seluruh wilayah NKRI dan keutuhan kedaulatan Negara. Dalam bidang ini ada enam sub pokok permasalahan utama yang kami paparkan yang harus dapat diselesaikan presiden mendatang, yaitu : 1. Batas teritorial Negara harus dipertegas Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan memiliki wilayah lautan yang sering menimbulkan konflik masalah batas wilayah dengan negara tetangga yang mengakibatkan wilayah Indonesia lepas seperti konflik Ambalat, Sipadan, Ligitan, dan

42


sebagainya. Posisi geografisnya yang berdekatan dengan negara lain, Indonesia memiliki klaim maritim yang tumpang tindih dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste (Arsana, 2014). Penyegeraan proses delimitasi atau penetapan batas maritim merupakan salah satu solusi untuk mempertegas batas teritorial negara ini. Tanpa proses delimitasi, maka tidak ada gunanya suatu negara menyerukan sebuah klaim terhadap suatu wilayah maritim. Delimitasi batas maritim dilakukan secara bilateral melalui negosiasi, mediasi, arbitrasi atau melalui pengadilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ) atau International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) (Arsana, 2014). Mengenai

wilayah

Indonesia

memanglah

harus

mendapatkan perhatian pula agar tidak terulang kasus-kasus yang pernah terjadi. Tidak sekedar masalah perebutan wilayah, hal ini dapat juga menjadi celah bagi negara lain untuk memanfaatkan wilayah tersebut baik sumber daya alamnya maupun manusianya bahkan yang lebih buruk lagi bisa-bisa hal tersebut menjadi celah negara lain untuk menyerang Indonesia.

43


2.

Nasionalisasi perusahaan tambang (Renegosiasi Kontrak yang Merugikan Negara)

Indonesia berdasarkan data Indonesia Mining Asosiation (dalam situs www.hpli.org/tambang.php) menduduki peringkat ke-6 terbesar untuk negara yang kaya akan sumber daya tambang. Namun, potensi tambang yang sedemikian besar tersebut 75% dikuasi oleh asing seperti yang diungkapkan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra, dalam seminar Menegakan Kedaulatan Energi Nasional, di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (20/2/2013). (Akhir,2013) “Penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing masih dominan. Dari total 225 blok migas yang di kelola Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, 28 blok dioperasikan perusahaan nasional

serta sekira 77 blok

dioperasikan

perusahaan patungan asing dan nasional.� Selain penguasaan asing terhadap dunia pertambangan Indonesia, kontrak yang mereka lakukan cenderung memberikan keuntungan yang kecil untuk negara, misalnya pada kasus Freeport. Dalam kasus Freeport, akhir Juni lalu pemerintah telah melakukan renegosiasi dan membuat sebuah MoU baru dengan

44


Freeport. Berikut adalah rangkuman isi MoU terbaru pemerintah dengan Freeport dalam bentuk tabel, Hasil Renegosiasi Pemerintah dan Freeport strong>Sebelumnya strong>Kesepakatan Klausul 1. Luas Lahan 212.950 ha 125.000 ha 2. Pembangunan Bersedia bersama Tak bersedia smelter Newmont 3. Divestasi 20 persen 30 persen Saham 4. Perpanjangan 2021 2041 Kontrak 5. Pemenuhan 100 persen 100 persen kandungan lokal 6. Royalti 1 persen 3,75 persen Sumber: Wawancara dan Kementerian ESDM Sumber : tabel “Hasil Renegosiasi Pemerintah dan Freeport� diakses http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/06/0809471/Freeport.Akhir nya.Setuju.Melepas.30.Persen.Saham pada 3 Juli 2014.

Tidak hanya Freeport yang menjadi perusahaan asing penikmat sumber daya alam Indonesia, masih ada banyak lagi perusahaan asing yang bergerak dibidang minyak dan gas yang berada di Indonesia dan bahkan merugikan Indonesia karena menunggak pajak. Berikut 33 perusahaan migas penunggak pajak dan besar utang pajak yang belum dibayar: 1. VICO (US$ 42,9) 2. BP West Java Ltd (US$ 35,12)

45


3. Total E&P Indonesie (US$ 4.245) 4. Star Energy (US$ 17.095) 5. Petrichina International Indonesia Ltd Block Jabung (US$ 62.9) 6. ConocoPhillips South Jambi Ltd US$ (3.45) 7. Chevron Makassar Ltd Blok Makassar Strait.(US$ 16.7) 8. JOB Pertamina-Golden Spike Indonesia Ltd (US$ 11.45) 9. Chevron Pacific Indonesia- Blok MFK (US$ 185.699,97) 10. Exxon Mobil Oil Indonesia Inc. (US$ 41.763) 11. Mobil Exploration Indonesia Inc. Nortg Sumatera Offshore Block. (US$ 59.9) 12. Premier Oil Sea BV (US$ 9.278) 13. CNOOC SES Ltd (US$ 94.23) 14. BOB PT BSP-Pertamina Hulu (US$ 1.523) 15. CPI (Area Rokan) (US$ 4.145) 16. Kondur Petroleum (Area Malacca Strait) (US$ 165.334) 17. Conocophillips (Grissik) Area Corridor-PSC (US$ 84.774) 18. JOB PSC Amerada Hess (area Jambi Merang) (US$ 480.648)

46


19. JOB PSC Golden Spike (Area Raja Pendopo) (US$ 628.162) 20. JOB (PSC) Petrochina Int'l (Area Tuban) (US$ 7.679) 21. JOB (PSC) Talisman-OK (Area Ogan Komering) (US$ 233.425) 22. JOA (PSC) KODECO (Area West Madura) (US$ 6.229) 23. Chevron Ind (Area East Kalimantan) (US$ 8.703) 24. Kalrez Petroleum (Area Bula Seram) (US$ 290.000) 25. Petrochina Int'l Bermuda Ltd (Area Salawati Basin, Papua) (US$ 2.961) 26. JOB PSC Medco E&P Tomori (Area Senoro Toili, Sulawesi) (US$ 1.863) 27. PT Pertamina EP (Area Indonesia) (US$ 16.921) 28. BOB PT BSP Pertamina Hulu (Area CPP) (US$ 1.206) 29. Premier Oil (Area Natuna Sea) (US$ 38.368) 30. Phe Ogan Komering -JOB P TOKL (US$ 2.105) 31. BP Berau Ltd (Area off Berau Kepala Burung Irian Jaya) (US$ 4.619) 32. BP Muturi Ltd (Area Ons Off Murturi, Irian Jaya) (US$ 19.376)

47


33. BP Wiriagar Ltd (Area Wiriagar, Papua) (US$ 501.451) (sumber: ICW mengutip audit BPK dalam Republika Online , 2011) Oleh

karena

itu

negara

seyogyanya

menasionalisasi

perusahaan tersebut untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Proses nasionalisasi tidaklah mudah sehingga kita tidak bisa langsung menguasai seluruh saham perusahaan tersebut, Pemerintah bisa memulainya dengan negosiasi ulang kontrak yang sudah ada untuk memperbaiki

kontrak

tersebut

sehingga

memberikan

banyak

keuntungan bagi Negara Indonesia, lalu adanya ketegasan pemerintah untuk menjalankan undang – undang dan konstitusi yang telah ditetapkan, seperti kasus pada perusahaan Freeport dan Newmount yang hangat sekarang ini. Misalnya menurut Perpres Nomor 24 Tahun 2012 Pasal 97 ayat 1 menyatakan bahwa “Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dimiliki peserta Indonesia.� Ada juga UU dan konstitusi lain yang seharusnya ditaati dalam pembuatan kontrak terhadap perusahaan asing. Sekali lagi kami tidak mengharamkan kerja sama dengan asing, melainkan tidak mengapa bekerja sama dengan asing asalkan tidak merugikan bangsa ini.

48


3.

Ketegasan kepemilikan tanah di Indonesia Masalah ini penting karena banyak kasus dan konflik di

masyarakat yang berkaitan dengan masalah kepemilikan tanah yang berkelanjutan menghambat pembangunan Indonesia seperti masalah jalan layang ring road, Jombor, Yogyakarta yang terhambat karena masalah tanah.

Sumber data: Deputi Sengketa Konflik Perkara - BPN RI (s/d September 2013). Diakses melalui: http://www.bpn.go.id/Publikasi/Data-Pertanahan/Kasus-Pertanahan/Nasional pada 2 Juli 2014

49


Dari tabel tersebut terlihat bahwa kasus yang terselasaikan baru menyentuh sekitar 50% dari kasus yang terjadi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat penyelesaian kasus sengketa ini masih belum optimal. 4.

Kepastian dan Transparansi proyek Pembangunan Program pembanguan jembatan selat Sunda terkesan jalan di

tempat. Diperlukan suatu kepastian tegas dari pemerintah tentang proyek ini. Selain itu, masalah transparansi program pembangunan Jembatan Selat Sunda atau program infrastruktur lainnya juga menjadi poin penting karena akan menjadi kontrol bagi rakyat dan pemerintah mengenai perkembangan dan kendala-kendala yang menyebabkan pembangunan tersebut tidak sesuai rencana. Dalam hal ini, seharusnya birokrasi untuk program pembangunan Infrastruktur jangan berlapis-lapis karena itu akan mempersulit kemajuan-kemajuan program dan memperlama waktu pengerjaan. Pemerintah juga perlu melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala pada pengerjaan proyek-proyek infrastruktur dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran sehingga tidak terjadi tindakan korupsi yang dapat menguntungkan pihak-pihak elite. Adapun contoh kasus korupsi yang berkenaan dengan pembangunan infrastruktur, ACC (Anti Corruption Committee) Sulawesi menyebutkan ada 54 kasus korupsi mandek di Kejaksaan Sulawesi.

50


Press release acara Diskusi Publik USAID-KPPOD-SEADI yang berjudul “Korupsi Menggerus Anggara Belanja Infrastruktur Daerah� (diakses melalui, stranasppk.bappenas.go.id) menyebutkan terdapat temuan pokok yang menyatakan bahwa Peningkatan anggaran daerah tidak mampu meningkatkan kualitas infrastruktur di daerah. Hal tersebut dibuktikan dengan Dalam kurun waktu 2007 dan 2010 anggaran belanja Pemda di kabupaten/kota di Indonesia untuk pembangunan infrastruktur berkisar antara 11% - 13%. Namun ternyata peningkatan pada sisi anggaran tidak secara signifikan menyebabkan peningkatan kualitas infrastruktur (khususnya jalan), bahkan malah semakin tinggi tingkat kerusakannya. Hal tersebut dapat dijadikan indikasi adanya anggaran dana yang tak sampai pada proyek pembangunan yang akan dilaksanakan. Selain masalah

korupsi, pemerataan pembangunan

di

Indonesia juga perlu diperhatikan. Pembangunan di wilayah timur Indonesia sangatlah lambat dikarenakan pembangunan hanya terpusat di kota-kota besar khususnya di pulau Jawa yang hingga mencapai 80%. Seharusnya pemerintah dapat melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana publik yang merata di daerah-daerah dan mengembangkan sektor ekonomi sehingga daerah tersebut dapat mandiri dalam mengembangkan perekonomian daerah mereka melalui prinsip otonomi daerah. 5. Pembangunan

transportasi

untuk

menghubungkan

kepulauan Indonesia diperjelas

51


Pembanguan jembatan yang menghubungkan antar pulau di Indonesia akan memakan biaya yang fantastis yang seyogyanya bisa digunakan untuk memperbaiki sektor lain seperti kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Seperti pembangunan jembatan suramadu yang memakan biaya 4,5 Triliun. Sebaiknya untuk membuat jalur transportasi seluruh wilayah di Indonesia lebih baik dengan menggunakan sistem transportasi udara. Dilihat dari segi biaya, untuk membuat jembatan antar pulau dan apabila

dibandingkan dengan biaya pembuatan transportasi

udara, jelas akan lebih murah menggunakan transportasi udara mengingat wilayah indonesia kepulauan tentu perlu berapa jembatan untuk menghubungkan itu semua. Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut di atas, harus ada suatu skala prioritas yang ditetapkan oleh Pemerintah sehingga rencana pembangunan ini tidak terbentur karena terbatasnya anggaran dana. membentuk

Selain itu pemerintah juga harus tepat dalam

regulasi

dan

mengambil

kebijakan,

sehingga

pembangunan Infrastruktur dan masalah teritorial kedaulatan negara dapat terselesaikan untuk menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia.

Manufaktur Manufaktur di negara Indonesia sebenarnya hanya memiliki satu masalah utama yakni masalah produk lokal dan nasional. Namun masalah pokok tersebut terbagi menjadi dua fokus permasalahan yaitu

52


1. Sistem Distribusi Sistem

distribusi

di

Indonesia

yang

terlalu

panjang

menyebabkan kesenjangan harga antara produsen primer dengan konsumen akhir dimana produsen akan menjual dengan harga rendah dan pembeli akan membeli dengan harga tinggi. Selain itu wilayah geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terkendala dalam hal sarana dan prasarana transportasi juga menyebabkan aksesibilitas suatu daerah sangat minim. Sehingga, karena sulitnya aksesibilitas suatu daerah tersebut menyebabkan biaya transportasi yang tinggi yang akan berdampak langsung pada kenaikan harga barang-barang disana. Contohnya terdapat kesenjangan harga barang-barang kebutuhan pokok di Papua, Sumatera, Sulawesi, dll. Penyebab yang lain adalah karena pemerintah kurang memaksimalkan potensi-potensi daerah untuk memenuhi kebutuhan daerah tersebut. Hal itu disebabkan karena adanya kesenjangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meyatakan bahwa kegiatan ekonomi Indonesia terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera. Wilayah tersebut menyumbang lebih dari 82 persen dalam perekonomian nasional tahun 2010. Tidak hanya itu, dalam distribusi investasi wilayah Jawa-Bali menyumbang 84 persen PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dan 88 persen PMA (Penanaman Modal Asing). Sedangkan berdasarkan data riset Ekonomi Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan data dan Informasi

53


Sekretarian Jenderal DPR RI menyebutkan bahwa pembangunan industri manufaktur yang didirikan di Indonesia lebih dari 80% berlokasi di Jawa, sekitar 12%-13% di Sumatera dan sisanya yang kurang dari 10% berada di wilayah lainnya. Sehingga adanya ketergantungan yang mendasar antara daerah-daerah lain terhadap pasokan dari pulau Jawa yang menyebabkan kesenjangan harga bahan pokok di daerah tersebut menjadi sangat drastis. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah dapat lebih mengembangkan koperasi sebagai kontrol sistem dari pemerintah untuk menjaga harga tetap stabil dan juga sebagai sarana untuk memberikan added-value dari produk yang berasal dari pengusaha kecil. 2. Tahap riset produk 2.1 Pendanaan Riset yang Minim Pendanaan riset untuk mendukung sistem inovasi di Indonesia menjadi salah satu isu yang krusial. Saat ini anggaran belanja litbang terhadap PDB di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan beberapa Negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam yang memiliki dana riset di atas 1% dari PDB. (sumber:

“Pendanaan

Riset

di

Indonesia

Masih

Minim�-

beritasatu.com, Kamis 12 September 2013, diakses pada 2 Juli 2014) Negara Malaysia mengeluarkan anggaran untuk litbang sudah di atas 0.5% yang berbeda kondisinya dengan Indonesia dengan anggaran belanja litbang terhadap PDB berada di angka 0.08%. Hal ini sangat berbeda jauh dari rekomendasi Conference on the

54


Application of Science and Technology for Development of Asia I (CASTASIA I) di New Delhi pada tahun 1968 yang telah merekomendasikan belanja litbang terhadap GDP untuk negara Asia minimal 1%. Perbandingan belanja litbang terhadap PDB di Indonesia dengan negara lainnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 1. Anggaran Belanja Litbang terhadap PDB (Sumber: UNESCO 2012, dalam Jurnal “Kaji Ulang Sistem Pendanaan Riset Pemerintah untuk Mengurai Stagnasi Inovasi di Bidang Kesehatan� oleh Dini Oktaviyanti,dkk dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI, Hal.3)

55


Pada dasarnya anggaran untuk iptek termasuk didalamnya untuk belanja litbang haruslah berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Berikut gambar grafik anggaran belanja litbang pemerintah Indonesia yang dibagi berdasarkan kementerian dari tahun 2006-2009.

Gambar 2. Belanja Litbang Pemerintah Berdasarkan Kementerian (Sumber: Kementerian Keuangan, 2010, dalam Jurnal “Kaji Ulang Sistem Pendanaan Riset Pemerintah untuk Mengurai Stagnasi Inovasi di Bidang Kesehatan� oleh Dini Oktaviyanti,dkk dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI, hal.4) Dapat dilihat bahwa anggaran belanja litbang pemerintah pada LPNK dan Ristek jumlahnya masih sedikit.

56


Pendanaan riset di Indonesia saat ini hampir 80% berasal dari pemerintah, namun jumlahnya hanya 0,08 % dari PDB. Indonesia menargetkan anggaran riset 1% di tahun 2014, namun dikhawatirkan hal itu sulit tercapai. Diperkirakan anggaran di 2014 hanya Rp 4 triliun sampai Rp 5 triliun dari total APBN yang mencapai Rp 1.000 triliun lebih. Di Finlandia, alokasi dana riset mencapai 3,9 persen dari produk doomestik bruto. Sedangkan Australia mencapai dua persen. (Sumber:

“Pendanaan

Riset

di

Indonesia

Masih

Minim�-

beritasatu.com, Kamis 12 September 2013, diakses pada 2 Juli 2014). Menurut Profesor Yudi Pawitan dari Karo-linska Institutet Stock holm Swedia, dalam sebuah sarasehan ilmiah untuk para mahasiswa Indonesia di negeri itu pada akhir 2011, menunjukkan bahwa jumlah anggaran research and development (RnD) sebuah negara berbanding lurus dengan jumlah paten yang dihasilkan. Jepang adalah negara dengan penghasil paten terbanyak pada tahun 2008 dengan lebih dari 500 ribu aplikasi paten. Anggaran RnD yang disediakan negeri itu mencapai sekitar US$ 144 miliar disusul oleh Amerika Serikat dengan jumlah paten lebih dari 400 ribu aplikasi, dan anggaran RnD lebih dari US$ 400 miliar USD. Sedangkan Indonesia hanya memiliki anggaran RnD US$ 0,72 miliar dan hanya menghasilkan aplikasi paten sebanyak 23 buah saja. Jumlah ini jauh tertinggal dibanding dengan negara tetangga

Malaysia yang

menghasilkan 1.312 paten, dengan anggaran RnD US$ 2,3 miliar, ataupun Thailand sebanyak 986 aplikasi paten, dengan anggaran RnD

57


US$ 1,46 miliar. (Sumber : “Riset dan Daya Saing Bangsa”ristek.go.id, Hari Susanto Profesor Riset Ekonomi Regional pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jumat 15 Juni 2012, diakses pada 2 Juli 2014). Pada tahun 2012 dana sebesar Rp 670 miliar diberikan pada LIPI, 40% digunakan untuk kegiatan riset dan teknologi, sementara 60% lainnya untuk anggaran rutin. Ini berarti dana untuk anggaran riset ilmu pengetahun dan teknologi di Indonesia hanya 0,03% dari PDB Indonesia yang mencapai Rp 6.300 triliun, atau terbesar ke 16 di dunia. Dari angka tersebut, Indonesia berada di peringkat bawah dunia dalam hal riset dan teknologi. Padahal, di negara-negara berkembang lainnya, seperti Tiongkok, anggaran riset sudah lebih dari 1% dan menargetkan 2% dari PDB di tahun-tahun mendatang. Anggaran riset Jepang jelas jauh di atas Tiongkok, dan kini menjadi nomor dua di bawah AS. Begitu pula Korea, yang mencapai 3% untuk anggaran riset ilmu pengetahuan dan teknologi dan akan meningkatkan menjadi 4% di tahun mendatang. (Sumber : “Riset dan Daya Saing Bangsa”ristek.go.id, Hari Susanto Profesor Riset Ekonomi Regional pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jumat 15 Juni 2012, diakses pada 2 Juli 2014) 2.2 Proses Pendanaan Riset yang Birokratis Pendanaan riset lembaga riset pemerintah belum terintegrasi dengan baik sehingga banyak potensi yang tidak tergali lebih jauh. Belanja litbang pemerintah adalah realisasi anggaran pemerintah yang

58


dibelanjakan untuk membiayai kegiatan litbang. Berdasarkan laporan survei Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KRT, 2007), pada tahun 2003 total belanja litbang di sektor pemerintah berjumlah Rp. 1.164,2 miliar meningkat menjadi Rp. 1.829,8 miliar pada tahun 2006 (KRT, 2007). Dari total belanja litbang sebanyak ini, sebanyak 76,8% adalah belanja litbang di lembaga penelitian kementerian (LPK) dan sisanya (21%) adalah belanja litbang di lembaga penelitian non kementerian (LPNK), dan belanja litbang di Balitbangda (2,1%). Dilihat dari jenis kegiatannya, pada tahun 2003 litbang sektor pemerintah sebagian besar ditujukan untuk penelitian terapan (67,48%) menurun menjadi 46,03% pada tahun 2005 dan meningkat kembali menjadi 57,41% pada tahun 2006. Penegmabangan eksperimental cenderung naik, pada tahun 2003 berjumlah 20,46% menjadi 43,04% pada tahun 2005 dan 32,93% tahun 2006. Sedangkan untuk penelitian dasar pada tahun 2003 menyerap belanja sebesar 11,2% meningkat menjadi 15,2% tahun 2006 (indikator iptek LIPI, 2011). Dari catatan diatas dapat terlihat bahwa pendanaan masih didominasi oleh pemerintah, namun ketika penelitian di lapangan birokrasi yang ada untuk mendapatkan bantuan dana tersebut sangatlah sulit. Sedangkan pendanaan yang ideal adalah adanya keseimbangan antara proporsi pendanaan dari pihak pemerintah, perguruan tinggi, maupun industri. (Sumber: Jurnal “Kaji Ulang Sistem Pendanaan Riset Pemerintah untuk Mengurai Stagnasi Inovasi

59


di Bidang Kesehatan� oleh Dini Oktaviyanti,dkk dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI, Hal.9) Berikut ini merupakan beberapa masalah yang muncul akibat keterlambatan pendanaan riset karena proses pendanaan yang birokratis: a. ITD UNAIR – Pengembangan Sel Punca (Stem Cell) Pendanaan riset sel punca ini ditujukan untuk melakukan riset mulai tahap clinical trial. Pihak UNAIR bersama-sama dengan mitra internasional

membuat

proposal

bersama

untuk mendapatkan

pendanaan riset, seperti kepada KNAW dan kerajaan/pemerintah Belanda, atau industri. Pendanaan tersebut dipergunakan untuk riset bersama maupun untuk pendidikan. Pendanan yang terkait dengan pemerintah biasanya sulit dan tidak utuh. Seperti misalnya yang terjadi di ITD UNAIR ketika mengajukan pendanaan riset kepada pemerintah birokrasinya dipersulit, dan turunnya dana pun terbagibagi menjadi beberapa tahun dengan persyaratan yang menyukitkan. Ketika mengajukan dana ke Ristek dananya lebih jelas dibandingkan dengan mengajukan pendanaan terhadap Dikti. Keterlambatan pendanaan adalah salah satu implikasi yang kadang terjadi. b. UNHAS – Pencegahan Penyakit Malaria Pendanaan riset ini adalah contoh pendanaan riset pada tahap clinical trial. Pendanaan didapatkan melalui pengajuan proposal kepada beberapa lembaga pendanaan riset, termasuk kepada yayasan Gates disamping pendanaan dari mitra riset yakni Novartis (90%

60


dana). Diharapkan melalui pengajuan pendanaan terhadap sumbersumber dana lainnya ini bisa menambah pembiayaan untuk riset agar lebih dinamis. Kesulitan mendapatkan dana pendamping dari institusi maupun pemerintah mendorong UNHAS mencari dana kepada pihak asing. Mengapa pihak asing? Pihak peneliti melihat bahwa pendanaan yang diberikan oleh pihak asing lebih bersifat fleksibel berupa grant sehingga tidak membutuhkan proses pertanggungjawaban yang berbelit-belit. Berbanding terbalik dengan kondisi pendanaan di Indonesia, sehingga peneliti Unhas merasa tidak fokus dengan penelitian karena disibukkan dengan persyaratan administrasi. c. Biofarma dalam Pengembangan Vaksin Pada dasarnya Biofarma telah menggulirkan konsep tripple helix dalam melakukan riset menuju inovasi. Namun Biofarma menilai beberapa hal tetap harus diperhatikan terutama terkait dengan birokrasi pada level pemerintahan. Dalam hal ini lembaga pemerintah yang

terkait

langsung

adalah

Dikti

dan

Bappenas.

Sistem

penganggaran di Biofarma sangatlah fleksibel, bahkan mereka telah menyediakan dana hingga ratusan milyar untuk menyokong proses inovasi dari hulu hingga ke hilir. Namun hal ini kembali terbentur dengan sistem pendanaan riset di lembaga litbang pemerintah yang tidak dapat bergerak fleksibel sehingga menyulitkan industri untuk bergerak ketika dilakukan kerjasama.

Permasalahan terjadi ketika

mereka ingin menjalin kerjasama dengan pemerintah adalah terbentur dengan sistem penganggaran pemerintah yang sangat birokratis dan

61


tidak fleksibel. Seperti dikatakan sebelumnya, untuk mencapai inovasi dibutuhkan waktu yang sangat panjang, untuk menghasilkan vaksin saja misalnya membutuhkan waktu paling sedikit 12 tahun. (Sumber: Jurnal “Kaji Ulang Sistem Pendanaan Riset Pemerintah untuk Mengurai Stagnasi Inovasi di Bidang Kesehatan� oleh Dini Oktaviyanti,dkk dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI, Hal.8-9). Dari kedua hal diatas dapat diambil poin pentingnya yaitu pemerintah harus melakukan kontrol terhadap stabilitas harga dan mendukung riset-riset yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas produk lokal dan nasional sehingga dapat bersaing dengan produkproduk asing yang mulai menjamur di pasar Indonesia. Selain itu juga harus ada ketegasan dari pemerintah untuk menjaga pasar produk lokal dan nasional sehingga kita tidak terjajah oleh perusahaanperusahaan asing yang memasarkan produk mereka di negara kita.

Energi Dalam bidang energi, banyak sekali masalah pelik yang menjadi tantangan Negara Indonesia karena kekayaan sumber daya alam Indonesia yang menyimpan sumber daya energi yang sangat melimpah. Namun, pengelolaan sumber daya energi tersebut menjadi terhambat karena regulasi dari Pemerintah yang tidak tepat dalam mengelola energi tersebut dan minimnya kualitas sumber daya manusia yang ada. Diantara berbagai masalah tersebut, ada dua

62


masalah yang mendesak yang harus menjadi salah satu fokus bagi Presiden dan kepemrintahan yang akan datang. Diantaranya : 1. Inovasi

energi

terbarukan

yang

belum

dapat

menyelesaikan permasalahan energi tak terbarukan yang stoknya mulai minim Inovasi ini dianggap penting karena sumber-sumber energi tak terbarukan seperti minyak dan gas yang sudah dieksplorasi dan dieksploitasi puluhan tahun sudah barang pasti akan habis jika dieksplorasi terus-menerus dengan jumlah yang meningkat setiap tahunnya. Padahal pembentukan sumber-sumber energi tersebut memerlukan waktu jutaan tahun. Dalam hal ini pemerintah harus mengembangkan energi-energi lain yang dapat dimanfaatkan selain minyak

bumi

dan

gas,

yaitu

dengan

program

“Energy

Diversification�. Energy Diversification atau dalam Bahasa Indonesia Diversifikasi Energi, menurut Perpres Nomor 5 Tahun 2006 Bab I Pasal I Ayat 6, adalah penganekaragaman penyediaan dan pemanfaatan berbagai sumber energi dalam rangka optimasi penyediaan energi. Sumber energi lain di Indonesia ada beberapa macam misalnya nuklir, geothermal dan inovasi energi terbarukan lainnya. Untuk program nuklir sendiri, pemerintah seharusnya tidak menunggu minyak bumi dan gas benar-benar habis untuk memulai pengembangan nuklir. Diversifikasi Energi memberikan peluang kepada Pemerintah untuk mengembangkan nuklir beriringan dengan

63


eksplorasi minyak bumi dan gas sehingga kebutuhan energi nasional dapat terpenuhi dan stok sumber energi dapat terkontrol. Dalam Perpres Nomor 5 tahun 2006 tersebut juga dijelaskan mengenai porsi bauran energi yang harus dicapai pada tahun 2025 sebagai rencana jangka panjang pemerintahan. Berikut adalah porsi bauran energi 2025 yang kami sajikan dalam bentuk tabel, JENIS BAHAN BAKAR Minyak Bumi 1

PORSI DALAM BAURAN ENERGI < 20%

Gas 2 Bumi

> 30%

Batu 3 Bara

> 33%

Biofuel 4

> 5%

Panas 5 Bumi

> 5%

Energi Baru dan Energi 6 Terbarukan Batu 7 Bara yang dicairkan

> 5% > 2%

64


Sumber: Tabel Konsumsi energi final per jenis, Outlook Energi Indonesia 2013, BPPT, H.13

Untuk pengembangan energi terbarukan ini diperlukan riset yang terus berkembang, penelitian lebih lanjut dan komersialisasi hasil riset tersebut. Hal riset inilah yang juga akan menjadi bagian dari permasalahan kedua dalam bidang energi ini. Selain itu diperlukan pula konsistensi pengembangan yang berkelanjutan tiap tahunnya agar pada 2025 nantinya target pemerintah tersebut dapat tercapai dan tidak menjadi sekedar wacana belaka. 2. Perkembangan teknologi dalam ekplorasi minyak bumi dan gas yang masih tertinggal dengan negara-negara lain. Perkembangan teknologi yang dipakai dalam eksplorasi minyak bumi dan gas sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas hasil eksplorasi tersebut. Faktanya, teknologi di Indonesia belum

65


cukup canggih untuk mengelola eksplorasi tersebut. Sehingga pihak swasta dianggap lebih mampu mengelola sumber daya energi tersebut. Di sektor hulu, dari sekitar 137 perusahaan migas di indonesia, perusahan nasional hanya sebanyak 20(14,6%), sisanya perusahaan multinasional. Hal ini merupakan hambatan bagi perusahaan nasional untuk berkontribusi dalam pengelolaan migas nasional. Hal tersebut tidak terlepas dari lemahnya dukungan sektor perbankan nasional terhadap kegatan migas di dalam negeri. Selain terkait pendanaan, perijinan (pembebasan lahan). Itulah yang menjadi alasan mengapa pemerintah harus mendukung penuh riset-riset yang dilakukan oleh kaum cendekia di Indonesia dan memperbaiki sumbr daya manusia melalui program pendidikan yang tepat. sehingga dengan adanya teknologi yang canggih dan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi akan mengurangi

ketergantungan

energi

kita

dengan

perusahaan-

perusahaan swasta asing. Dari kedua masalah diatas, dapat diambil suatu fokus bagi kinerja

pemerintah

yaitu

mensukseskan

program

Energi

Diversification dan pengembangan riset dan teknologi untuk pengelolaan eksplorasi sumber daya energi di Indonesia. Selain mengembangkan, pemerintah juga harus dapat mengoptimalkan program-program tersebut sehingga mencapai pembangunan yang merata dan berkelanjutan.

66


Berdasarkan

uraian

masalah

dari

tiga

klaster

yaitu

infrastruktur, manufaktur, dan energi di atas dapat kita kerucutkan lagi fokus-fokus permasalahan yang harus diselesaikan presiden dan jajaran kabinetnya yaitu : 1. Pengembangan dan realisasi dana riset untuk produk lokal dan teknologi energi, 2. Keseriusan dalam program diversifikasi energi dan pengembangan energi terbarukan, 3. Investasi di bidang energi khususnya eksplorasi migas dan renegosiasi kontrak-kontrak yang merugikan bangsa, 4. Perbaikan

birokrasi

pemerintah

dalam

proyek

pembangunan dan ketegasan dalam pelaksanaan UndangUndang dalam pembentukan kerja sama dengan pihak luar, 5. Ketegasan

pemerintah

dalam

batas

teritorial

dan

kepemilikan tanah, 6. Pemberdayaan koperasi lebih optimal dan merata, 7. Transparansi dana pembangunan, 8. Pemberdayaan sumber daya manusia melalui pendidikan. Muncul sebuah pertanyaan karena beragamnya masalah diatas dan APBN kita yang terbatas, yaitu permasalahan manakah yang harus menjadi prioritas? Jawaban adalah pembangunan infrastruktur. Karena hal itu terkait dengan akses pendidikan, transportasi, pelayanan kesehatan dan pendukung sektor ekonomi dari masing-

67


masing daerah. Dengan infrastruktur yang optimal, kesejahteraan penduduk di daerah-daerah akan juga akan optimal. Hal itulah yang menjadi dasar dari pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Dalam kurun waktu lima tahun mendatang, program-program pembangunan jalan, bandara dan pelabuhan seharusnya dapat diselesaikan. Dengan tetap ada kontrol atas penggunaan APBN untuk pembangunan tersebut sehingga pembangunan dapat sesuai rencana dan uang negara yang digunakan benar-benar tepat sasaran. Kita sebagai mahasiswa juga harus turut andil mendampingi dan membantu pemerintah dalam mewujudkan program-program pembangunan tersebut diatas. Pemerintah diharapkan dapat lebih melibatkan

mahasiswa dalam perumusan-perumusan

kebijakan

sehingga pemerintah dan mahasiswa dapat bergerak secara sinergis untuk mensukseskan program pembangunan. Selain itu mahasiswa diharapkan

juga

berkontribusi

dengan

cara

peka

terhadap

permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah, mencari tahu data yang tepat, menganalisis permasalahan dan memberikan solusi yang tepat bagi kemajuan bangsa dan negara. Karena kita, mahasiswa wajib berkontribusi untuk tanah air kita, untuk Indonesia lebih baik

68


Sektor Hukum Quo Vadis Perjalanan Hukum di Indonesia ? Kastrat Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum Menurut Sajipto Rahardjo dalam teorinya yaitu “Progresivitas Hukum� menyatakan bahwa “hukum harus berkembang mengikuti zaman�, oleh karena hal tersebut kebutuhan akan perubahanperubahan dalam sistem hukum di Indonesia sangat dibutuhkan guna menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin modern seiring perkembangan zaman. Hukum yang selalu berkembang (progresif) dapat membuktikan bahwa hukum tidak selalu tertinggal dengan peristiwanya seperti yang dikatakan ahli-ahli hukum di masa lampau dimana dahulu hukum atau aturan selalu muncul setelah terjadi suatu peristiwa tertentu. Fungsi hukum yang konserfatif sudah seharusnya dirubah, pada masa modern seperti saat ini hukum seharusnya bisa dugunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara demi menjamin kesejahteraan rakyatnya. Melihat betapa pentingnya hukum dalam mewujudkan pemerintahan Indonesia yang lebih baik ke depannya, maka diharap calon Presiden kita ke depan dapat membuat pondasi-pondasi hukum yang progresif guna menjawab tantangan yang dihadapi bangsa ini. Sebuah berita positif dapat kita dengar dimana kedua calon Presiden kita sama-sama memberikan gambaran tentang visi dan misi tentang

69


hukum yang dapat dibilang cukup memberikan angin harapan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik ke depannya. Dalam penyampaian visi misi yang dapat kita akses di website resmi KPU dapat di lihat bahwa ada suatu irisan tentang hal-hal apa yang akan kedua calon Presiden ini lakukan guna memperbaiki masalah di bidang hukum. Terdapat point-point yang hampir serupa dan hanya penjabarannya saja yang sedikit berbeda gaya. Walaupun fokus yang diangkat masih terkesan klasik, namun cukup bisa diacungi jempol bila memang benar dapat diimplementasikan dengan baik. Menurut penulis ada tiga fokus utama yang sama-sama diangkat yaitu perbaikan penegakan, pemberantasan korupsi, dan reformasi birokrasi. Melihat kebutuhan masyarakat tentang hukum yang semakin tinggi, maka apa yang menjadi fokus pembenahan kedua calon presiden ini belumlah cukup untuk menjawab kebutuhan. masih perlu suatu penjabaran-penjabar dan pengkonkritan sehingga fokus-fokus pembenahan tersebut dapat direalisasikan. Dalam hal ini penulis memberikan pandangan bahwa setidaknya ada 5 fokus penting di bidang hukum yang harus dibenahi, yaitu Penegakan hukum dan perlindungan HAM, Reformasi Birokrasi, Modernisasi Pengadilan, Legalisasi peraturan perundang-undangan, efisiensi lembaga-lembaga negara, pemberantasan korupsi.

70


1. Penegakan Hukum dan Perlindungan HAM Sejatinya, dalam konstitusi telah ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang kedaulatannya berada di tangan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar (pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945). Bangsa ini sudah cukup mengalami pasang-surut pemerintahan yang tidak sedikit telah mengambil hak sipil dan hak politik warga negaranya. Bahkan sampai sekarang, masih banyak terjadi diskriminasi terhadap golongan tertentu yang kemudian mengkebiri hak-hak dari orang yang berada dalam golongan tersebut. “Bagai pedang yang ujungnya tumpul�, itulah ungkapan yang sering orang-orang ucapkan ketika menggambarkan bagaimana penegakan hukum di Indonesia saat ini. Ungkapan tersebut ternyata bukan hanya pepesan kosong belaka, hal tersebut telah terjadi nyata dalam beberapa kasus hukum yang terjadi di Indonesia. Ambil saja contoh kasus nenek minah ataupun kasus bocah yang dihukum karena hanya mencuri sandal padahal pejabat kita yang mencuri kekayaan negara dan mencuri hak – hak rakyat justru terkadang dihukum sangat ringan. Banyak yang mengatakan “enak ya jadi gayus� dimana korupsi hingga milyaran namun dihukum ringan bahkan bisa plesiran ke Bali, ditambah hukuman ganti rugi yang tidak sepadan sehingga dimungkinkan setelah bebas nanti tetap bisa menikmati hasil uang korupsinya. Belum lagi jika menengok penegakan hukum di Indonesia yang berkaitan dengan HAM. Banyak kasus pelanggaran yang belum

71


terselesaikan. Oleh karena banyak orang atapun aktivis yang berteriak “menolak lupa�. a. Rekruitmen Tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan penegakan hukum timbul karena para penegak hukum sendirilah yang belum memiliki kesadaran hukum dalam menjalankan tugasnya. SDM aparat penegak hukum sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum. Semakin rendah SDM aparat penegak hukum maka akan semakin rendah nilai mental dan moral yang dimilikinya. Akibatnya aparat penegak hukum kita sering dipertanyakan integritas dan kredibelitasnya. Salah satu upaya dalam meningkatkan SDM aparat penegak hukum kita adalah dengan memperbaiki sistem rekruitmennya. Sistem rekruitmen yang selama ini tertutup dan masalah nepotisme sering kali membuat terjadi kecurangan-kecurangan

dalam

proses

rekruitmennya.

Sistem

rekruitmen harus terbuka dan transparan dimana publik harus tahu bagaimana prosedur pendaftarannya sampai berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk pendaftaran. b. Pendidikan Selain rekruitmen yang dipenuhi praktek kecurangan, sistem pendidikan karir yang dijalani aparat penegak hukum juga bermasalah. Kita lihat saja Akademi Kepolisian (AKPOL), dimana sering kali kita mendengar bahwa untuk bisa menempuh pendidikan di AKPOL haruslah mengeluarkan biaya tinggi dan harus punya orang dalam yang berpangkat tinggi baru bisa masuk dengan mudah. Itulah

72


yang menyebabkan sistem pendidikan calon aparat penegak hukum kita bermasah. Sekali lagi letak permasalahan ada pada rekruitmen, baik rekruitmen ketika menjadi aparat penegak hukum bahkan maupun rekruitmen ketika akan menempuh pendidikan sebagai calon aparat penegak hukum. c. Kesejahteraan Selain

masalah

rekruitmen

dan

pendidikan,

masalah

kesejahteraan aparat penegak hukum juga perlu kita cermati. Salah satu faktor penyebab aparat kita menjadi curang ataupun korupsi adalah karena alasan ekonomi yang klasik, yaitu kesejahteraannya masih kurang. Salah satu cara meningkatkan kesejahteraan adalah dengan mekanisme penggajian yang lebih layak dan memenuhi tunjangan-tunjangan yang diperlukan. Maka apabila kesejahteraan ini dapat dipenuhi maka secara perlahan perilaku curang ataupun korup akan hilang. Pola remunerasi yang selama ini telah diterapkan harus diperbaiki lagi sehingga benar-benar bisa menjadi penunjang bagi pegawai negeri yang memiliki semangat dalam membangun bangsa.

2. Modernisasi Pengadillan Masih berkaitan dengan fokus yang pertama yaitu penegakan hukum, trobosan selanjutnya untuk dapat memperbaiki hukum di Indonesia adalah dengan melakukan Modernisasi Pengadilan. Modernisasi disi adalah melalui penggunaan teknologi terapan dalam proses pengadilan. Dengan sifat peradilan yang sifatnya terbuka oleh

73


umum maka setiap orang harus mengetahui bagaimana proses atau prosedur tata cara berperkara di pengadilan dengan benar secara transparan. Kemudian penggunaan teknologi seperti “onlinenisasi” juga sangat dapat membantu mempercepat proses peradilan sekaligus dapat memberikan kesan bahwa setiap orang dapat mengawasi proses peradilan yang ada. Selama ini proses pengadilan kita terkesan lama karena segala hal diurus secara manual. Walaupun sekarang sudah mulai digunakan alat-alat yang dapat membantu di pengadilan, namun juga harus ditingkatkan. Sehingga pengadilan kita semakin modern dan terhormat. Hal yang paling diharapkan adalah agar proses peradilan kita menjadi cepat. Selama ini proses beracara di pengadilan yang lama dipercaya menimbulkan celah bagi mafia peradilan untuk saling berbuat curang seperti suap-menyuap. Dengan modernisasi yang dapat mempercepat proses peradilan maka asas yang selama ini dipercaya bahwa peradilan kita harus “sederhana, cepat,dan bebiaya murah” dapat benar-benar tercapai. Pengadilan yang modern, transparan, dan proses cepat maka diharap mafia-mafia pengadilan dapat diberantas.

3. Reformasi Birokrasi “Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?”, itulah pameo yang sering diungkapkan orang terhadap birokrasi di Indonesia. Birokrasi yang berbelit-belit dan lama telah mengakar di sistem birokrasi kita. Dengan berbagai alasan seperti demi keteraturan

74


administrasi, laporan pertanggung jawaban, dll membuat seolah birokrasi yang berbelit dan lama mendapat alasan pembenar ataupun pemaaf. Padahal hal sedemikian dapat diatasi dan diobati jika seluruh elemen birokrasi mau berbuat lebih. Sebagai negara yang menjunjung sistem welfare maka seharusnya birokratlah yang harus berbuat dan bekerja keras guna menjamin kenyamanan masyarakatnya bukan justru masyarakatnya yang harus dipersulit. Yang terjadi masyarakat malah dioper kesana-kemari, harus dilempar kesana-kemari guna mengurus birokrasi. Birokrasi yang buruk diduga menjadi alasan mengapa korupsi di Indonesia tumbuh subur bak jamur yang tumbuh di musim penghujan. Indonesia butuh payung hukum yang komprehensif dan berkesinambungan guna melakukan reformasi birokrasi. Perlu usaha yang luar biasa guna memperbaiki sistem birokrasi. Salah satu usaha luar biasa itu adalah dengan melalui modernisasi birokrasi. Dengan sistem yang lebih modern dan transaparan diharap birokrasi menjadi lebih efektif. Dengan modernisasi upaya pemangkasan birokrasi dapat dilakukan. Birokrasi yang lama dapat dipercepat dengan penggunaan database elektronik.

Penggunaan sarana online diyakini dapat

mempermudah masyarakat, selain itu layanan satu atap yang terintegrasi dengan instansi-instansi pemerintah juga diyakini dapat semakin mempermudah masyarakat dalam mengurus birokrasi. Dengan reformasi dan modernisasi birokrasi maka ranta-ranta korupsi dapat diputus.

75


4. Efesiensi lembaga-lembaga negara Berkaitan dengan reformasi birokrasi, yang mengakibatkan kurang efisiennya sistem birokrasi kita adalah banyaknya lembagalembaga negara yang saling bersinggungan dalam menjalankan tugasnya. Salah satu contoh adalah masalah terhadap perokok anak jalanan. Dimana terdapat beberapa instansi yang saling berkaitan, seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial bukannya saling kerjasama yang ada adalah saling lempar tanggung jawab. Begitu pulalah yang terjadi dalam lembaga-lembaga negara kita. Belum lagi kasus cicak vs buaya yang sempat membuat rakyar prihatin. Lembaga-lembaga ini saling berbenturan tugas dan fungsinya tanpa ada aturan hukum yang jelas yang dapat digunakan sebagai separator atau pemisah terhadap tugas pokok dan fungsi masing-masing Tumbuhnya lembaga-lembaga negara baru tidak dibarengi dengan aturan mengenai integrasi dan kerja sama antar lembaga. Yang tejadi adalah tumpang tindih kebijakan dan ketidak efisienan dalam bertugas, belum lagi jika saling lempar tanggung jawab. Semakin banyak lembag negara maka semakin besar pula pengeluaran negara dalam membiayai lembaga –lembaga negara tersebut. Oleh karena itu perlu direncanakan ulang bahkan direformasi lembag-lembaga negara kita agar lebih efisien dalam melayani masyarakat.

76


5. Legalisasi Perundang-Undangan yang Berkualitas Menengok lemahnya produktifitas DPR kita pada tahun ini atapun tahun-tahun sebelumnya, dapat mengisyaratkan bahwa proses legislasi di lembaga legislatif kita yaitu DPR tidak bisa dikatan baikbaik saja. Anggota DPR yang merupakan representatif dari rakyat melalui mekanisme PEMILU seharusnya dapat lebih produktif dalam melakukan legislatif mengingat kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum juga tinggi. Tidak hanya produktifitas saja yang perlu dicermati namun dari kualitas legislasinyalah yang merupakan sasaran utama dari pembenahan. DPR boleh kurang produktif secara kuantitas namun harus mengedepankan kualitas dalam membuat UU. Legislasi atau kita sebut pembuatan UU yang baik haruslah melalui mekanisme yang baikn pula. UU harus dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat dan untuk sebesar-besarnya manfaat bagi rakyat. UU harus bersumber pada nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Pembuatan UU harus dijauhkan dari kepentingan bisnis para kaum kapitalis. Jangan sampai UU kita memberikan legalisasi bagi pihak tertentu untuk melakukan perbuatan yang merugikan negara. Contoh UU yang syarat kepentingan bisnis misalnya UU Minerba, ataupun UU lain yang mengalami berbagai hambatan dalam pengundangannya karena terhambat dela-deal dari pihak lain. Kongkalikong dalam pembuatan UU adalah salah satu jenis kejahatan moral terbear yang dapat mengakibatkan runtuhnya rule of law. UU ataupun pasal-pasal pesanan yang acapkali terselip

77


mengakibatkan kerugian negara namun menguntungkan pihak lain. kualitas legislasi yang buruk mungkin akibat kurang baiknya pendidikan politik kita. Dimana orang-orang berbondong-bondong ingin menjadi anggota DPR dengan hanya mengincar keuntungan materiil saja. Seringkali ketika menjabat mereka lupa dengan tugasnya dan hanya mementingkan kepentingan pribadi saja. Hanya sedikit anggota DPR yang mengerti bagaimana seharusnya hakekat hukum, mereka hanya memikirkan hakekat dan kepentingan politik yang notabene politik itu tidak boleh menciptakan hukum.

6. Pemberantasan korupsi Pemberantasan korupsi adalah menu klasik yang selalu digembor-gemborkan calon pemimpin kita, begitu pula kedua calon presiden kita. Hal yang dibutuhkan untuk pemberantasan korupsi sebenarnya sudah terbahas baik dari poin 1 sampai poin 5 pembahasan diatas. Dimana ketika lima poin tersebut dilaksanakan maka kecil kemungkinan korupsi bisa diloakukan dengan mudah di negara kita. Jika ke 5 poin tersebut terlaksana secara apik dan komprehensif – integral maka pemberantasan korupsi akan semakin mudah dilakukan. Namun demikian ada sebagian hal yang harus dipenuhi agar pemberantasan

korupsi

bisa

berjalan.

Paling penting adalah

optimalisasi lembaga penegak hukum sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. KPK, Polisi dan Kejaksaan adalah lembaga yang harus diperkuat dalam pemberantasan korupsi. Survei Kompas

78


pada tahun 2013 masih menunjukan bahwa Kepolisian dan Kejaksaan masih memiliki tingkat kepercayaan publik yang rendah. KPK tidak bisa optimal dalam melakukan pemberantasan korupsi jika tidak diimbangi dengan lembaga yang lain dalam hal ini adalah Kejaksaan dan Kepolisian karena tidak semua kasus korupsi diselesaikan oleh KPK. Permasalahan korupsi tidak hanya cukup dengan diberantas namun juga dicegah. Dalam konsteks inilah seharusnya KPK memaksimalkan peran pencegahan bagi masyarakat untuk menekan tindak korupsi yang ada di Indonesia. Salah satunya dapat dilakukan dengan cara pendidikan anti korupsi dan integritas diri yang dimasukkan

ke

dalam

kurikulum

pendidikan

dasar

maupun

pendidikan tinggi. Dengan pencegahan dini maka akan berdampak juga pada pemberantasan korupsi.

79


Korupsi: Permasalahan Klasik yang Menjadi Modern “Quo Vadis Pemberantasan Korupsi Modern ?� Yuris Rezha Kurniawan (Ketua Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum UGM) “Sejatinya, dalam konstitusi telah sangat nyata bahwa Indonesia adalah negara hukum yang kedaulatannya berada di tangan rakyat. Tuntutan rakyat pada Reformasi 1998 menyatakan bahwa supremasi hukum harus ditegakkan, penghormatan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi. Namun sejumlah persoalan belum terselesaikan, bahkan si pembuat persoalan baru adalah mereka yang dulu gencar meneriakkan tuntutan. Siapapun pemimpin bangsa ini, pekerjaan rumah yang sangat berat sedang menanti anda!� Permasalahan korupsi adalah permasalahan klasik yang belum terselesaikan. Bahkan korupsi bukan lagi virus yang menggerogoti masalah sektoral namun menjadi virus yang telah merusak tatanan global. Kaum pesimisme akan mengatakan bahwa, tidak ada ladang yang tumbuh tanpa korupsi. Dulu, korupsi banyak diidentikan dengan sistem kekuasaan, otoritarian dan sentralistik. Reformasi kemudian dianggap sebagai antivirus permasalahan korupsi yang banyak terjadi pada masa orde baru. Namun faktanya, pasca reformasi hingga kini ternyata demokrasi belum ampuh melawan korupsi karena yang terjadi adalah metamorfosa dari

80


korupsi sentralistik menjadi korupsi desentralistik, korupsi terangterangan menjadi korupsi tahu sama tahu, korupsi untuk satu golongan menjadi korupsi yang dilakukan oleh golongan-golongan. Apa masalahnya ? Berdasarkan survey Transparency Internasional, pada tahun 2012 Indonesia memiliki skor indeks persepsi korupsi 32 dan berada pada peringkat 118 dari 177 Negara. Jauh dibawah negara tetangga yaitu Singapura (5) dan Malaysia (54). Pada tahun 2013, meskipun naik 4 peringkat namun skor Indonesia masih stagnan dan masih berada dibawah Thailand (102). Temuan Global Corruption Barometer 2013 (GCB 2013) menempatkan parlemen dan partai politik sebagai lembaga yang korup dalam persepsi dan pengalaman masyarakat. Parlemen menduduki peringkat kedua terkorup (setelah Kepolisian) dari 12 lembaga publik yang dinilai. Sementara partai politik berada pada peringkat ke-4 terkorup. Perilaku koruptif, sebagai bibit dari tindakan korupsi semakin mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, karena degradasi nilai-nilai sosial yang menempatkan kepentingan pribadi atau golongan disbanding kepentingan umum. Kedua, sistem yang tidak transparan dan akuntabel senantiasa menggiring manusia untuk masuk dalam kubangan korup. Yakinlah, negara ini tidak akan bertahan lama tanpa revitalisasi dan restrukturisasi lahir maupun batin. Reformasi birokrasi untuk menutup celah korupsi

81


Kita ingat bahwa tahun 1997 Indonesia mengalami krisis yang tidak terelakkan. Dalam waktu sekejap negara ini goyah dan tidak berdaya. Pada dasarnya pada saat seperti inilah sistem birokrasi diuji. Pemenuhan hak masyarakat melalui pelayanan publik yang baik adalah hal utama demi membangkitkan bangsa ini dari reruntuhan perekonomian negara. Harus diakui bahwa peralihan dari sistem otoritarian ke sistem demokratik dewasa ini merupakan periode yang sangat sulit bagi proses reformasi birokrasi. Perpindahan kekuasaan dari sentral menuju ke daerah menyebarkan perilaku korup dan penyalahgunaan wewenang pada birokrasi pemerintahan bahkan hingga ke pelosok. Pemerintah sendiri telah memiliki grand design reformasi birokrasi dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Dari Perpres tersebut terdapat lima agenda besar yang ditargetkan tercapai

pada

tahun

2014.

Lima

agenda

tersebut

adalah,

pemerintahan yang bebas dari KKN, SDM yang berintegritas, mengurangi penyalahgunaan kewenangan dalam pelayanan publik, meningkatkan mutu pelayanan publik dan meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan tugas. Namun, agenda tersebut masih belum mencapai sasaran yang maksimal. Hasil Laporan Akuntabilitas Kinerja Instanti Pemerintah (LAKIP) menunjukan jumlah instansi di Indonesia yang mendapatkan nilai A dan B baru 32,2 persen. Hasil laporan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)

82


tahun 2012, yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian baru 27 persen dari total 415 LKPD yang diaudit. Reformasi birokrasi harus dimulai dari tiga hal yaitu transparansi, profesionalisme dan akuntabilitas. Setiap lembaga pelayanan publik harus memilki tiga poin penting tersebut. Pola rekruitmen yang baik bagi calon pelayan publik menjadi kunci penting. Keboborokan dalam rekruitmen berdampak buruk karena birokrat yang ada adalah hasil dari nepotisme, penyuapan dll. sehingga mereka bukanlah pelayan publik yang bisa diandalkan. Didalam sistem, oknum birokrat dengan rekruitmen jalur belakang akan

cenderung

memikirkan

kepentingan

pribadi

daripada

kepentingan melayani masyarakat. Selain itu, perbaikan dalam pelayanan publik harus ditingkatkan mengingat korupsi dapat semakin berkembang akibat dari sistem birokrasi yang ruwet dan “syarat amplop�. Pemerintah Daerah terutama harus segera dibekali dengan konsep pelayanan publik yang cepat, transparan dan professional seperti misalnya menggunakan pelayanan satu atap atau sistem yang saling terintegrasi. Kemudahan yang diberikan tersebut akan mengurangi potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan Optimalisasi lembaga penegak hukum Penegakkan hukum menjadi upaya represif bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Kepolisian, Kejaksaan dan Kekuasaan Yudikatif atau badan peradilan yang independen merupakan pilar

83


utama penegakan hukum di Indonesia. Sejak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 menambah daya gedor bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh penegak hukum dengan mengintegrasikan kebijakan penindakan, pencegahan dan partisipasi publik. Selain itu integrasi antar lembaga penegak hukum juga diperlukan mengingat fakta yang terjadi saat ini adalah banyaknya kasus penegak hukum yang bermasalah. Padahal sebagai negara hukum, para penegak hukum tidak sekedar menjadi alat pengadil bagi hukum itu sendiri namun juga menciptakan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Tindak pidana korupsi adalah kejahatan teroganisir dan bersifat transnasional. Pelakunya selalu berkembang diikuti dengan pola modus operandinya. Berdasarkan analisis dari Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK RI) pada seminar pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum di Indonesia, setidaknya ada tiga tantangan besar yang dihadapi oleh lembaga penegak hukum. Pertama, perlawanan dari para koruptor sangat besar dengan melibatkan jaringan yang telah meluas. Sehingga tidak jarang aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi tulang punggung utama memberantas koruptor jatuh dalam gelimang suap dan gratifikasi. Kedua, teknologi yang berkembang pesat menjadikan modus operandi yang digunakan semakin canggih. Konsolidasi kejahatan semakin solid dengan menggabungkan uang, kekuasaan dan jaringan

84


sumber daya yang lain. Tanpa disadari, koruptor juga melakukan “pengkaderan�, infiltrasi dan proses hegemoni. Ketiga, politisasi penanganan kasus sering menjadi hambatan bagi penegak hukum untuk bekerja dengan optimal. Kasus yang menyangkut anggota dewan dianggap sebagai upaya “pembusukan� partai tertentu sedangkan penegak hukum selalu ditekan untuk menangani kasus tertentu yang menyangkut kelompok partai tertentu (Survei Kompas 2009-2013) Survei yang dilakukan oleh Kompas selama tahun 20092013 menunjukan pengelolaan opini publik penegak hukum kasus tindak pidana korupsi. Berdasarkan survey tersebut menunjukan bahwa lembaga selain KPK yaitu Kejaksaan, Kepolisian dan Kehakiman masih belum mencapai 50% kepercayaan publik. Dalam pemberantasan korupsi, KPK tidak bisa sendiri. Perlu adanya optimalisasi lembaga lain sehingga pemberantasan korupsi di Indonesia semakin bertaring. Kita tahu bahwa KPK tidak bisa menangani seluruh kasus korupsi di Indonesia, sehingga peran kejaksaan sebagai penyidik kasus korupsi di daerah-daerah menjadi sangat penting. Hakim pengadilan tipikor di setiap provinsi juga harus diperhatikan dengan cara pemantauan yang ketat sehingga menutup celah untuk berbuat korupsi. Upaya pemberantasan korupsi tidak akan selesai hanya dengan menangkap koruptor. Peran pencegahan dan pengawasan kepada masyarakat juga harus dioptimalkan. KPK sebagai lembaga

85


yang memiliki fungsi pencegahan seharusnya lebih bisa menekan lahirnya koruptor baru dari masyarakat. Pendidikan sebagai basis membangun integritas Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif dari Pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah pencegahan perilaku koruptif berkembang dalam masyarakat. Mengingat bahwa aspek pemberantasan korupsi salah satunya terdiri dari partisipasi publik. Pemberantasan korupsi akan berhasil apabila menyentuh akar permasalahannya. Upaya untuk menanamkan nilai-nilai dan budaya integritas kepada masyarakat luas adalah salah satu cara pemberantasan korupsi melalui pencegahan. Ditengah krisis moral yang dialami bangsa ini, pendidikan berbasis integritas menjadi tawaran solutif untuk mengembalikan pendidikan yang bermartabat. Perubahan sosial perlu dicapai oleh segenap bangsa Indonesia. Perubahan sosial tersebut akan mencapai tujuan sebagai berikut pertama, tumbuhnya semangat integirtas pada setiap individu akan mematikan akar dari perilaku korupsi sehingga membentuk budaya dan karakter yang sesuai dengan cita-cita bangsa. Kedua, akan

tumbuh

kesadaran

dalam

masyarakat

bahwa

upaya

pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dilakukan oleh penegak hukum tetapi upaya ini menjadi tanggungjawab bersama sebagai masyarakat bangsa Indonesia.

86


Secara normatif, pendidikan di Indonesia melalui UndangUndang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menegaskan landasan moral pendidikan untuk membangun manusia Indonesia secara utuh baik aspek akademik maupun moral. Namun dilihat dari fakta yang terjadi saat ini, sistem pendidikan masih belum menyentuh ranah moral. Pendidikan hanya dieluelukan

sebagai

penggojlokan

intelektual

akademik

tanpa

memperhatikan pendidikan moral dan nilai. Dengan demikian tak jarang ditemui adalah proses komersialisasi sampai dengan industrialisasi

lembaga

pendidikan

yang

ujungnya

hanya

menghasilkan buruh-buruh yang akan menyokong para elit kapital di bangsa ini. Pakar pendidikan, Mochtar Buchori pendidikan nilai bukan memupuk kemahiran beretorika tentang nilai atau ideologi. Namun yang jauh lebih penting adalah ketaatan terhadap nilai untuk memupuk kemampuan membimbing bangsa ke pembaruan cara hidup sesuai realitas yang ada serta aspirasi tentang masa depan yang masih hidup dalam diri bangsa. Maka dari itu penting adanya penanaman nilai-nilai integritas dalam sistem pendidikan formal di Indonesia. Dengan penanaman nilai tersebut maka manusia akan akan diarahkan untuk kebal terhadap korupsi. Manusia akan sadar betul tentang sanksi sosial karena korupsi adalah proses pemiskinan yang memerosotkan kemanusiaan dan bangsa Indonesia.

87


Sektor Ekonomi Surat Cinta untuk Presiden BEM Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Kepada Bapak Capres dan Bapak Cawapres, Terlintas di pikiran kami bahwa Indonesia masih memiliki berbagai macam permasalahan. Kami pun berkumpul untuk mendiskusikan apa saja yang masih belum sempurna di negara kita tercinta ini. Apa saja yang masih harus dicapai bersama, oleh masyarakat dan pemerintah.

Banyaknya permasalahan yang ada

membuat kami sepakat untuk hanya membahas empat topik untuk kami persembahkan kepada Bapak. Perdagangan, inklusi keuangan, pembangunan manusia, dan APBN pun menjadi hal-hal yang akan kami persembahkan kepada Bapak. Berikutlah sedikit isi hati kami untuk Bapak. Sudah siapkah kita untuk bersaing secara global di pasar bebas ASEAN? Apakah di tahun 2015 nanti kita akan menjadi pemain atau hanya menjadi lahan permainan asing? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul disaat kami memikirkan mengenai ASEAN Economic Community (AEC) tahun depan, terlebih lagi untuk menghadapi ASEAN Vision 2020. Masyarakat banyak yang belum tau apa itu AEC dan ASEAN Vision, tapi mereka harus menghadapi kedua hal tersebut. UMKM, sebagai salah satu pilar perekonomian kita, sudah siapkah mereka? Apakah Bapak mampu mempersiapkan kami, calon

88


rakyatmu, untuk kedua hajatan besar di ASEAN? Butuh daya saing yang tinggi untuk mampu menjadi pemain dalam kedua hajatan besar tersebut. Kualitas produk UMKM butuh untuk distandardisasi agar kualitasnya terjamin, agar masyarakat percaya akan produknya dan mau membeli. Tenaga kerja terlatih juga perlu difasilitasi agar mampu memiliki daya saing yang tinggi. Dan permasalahan-permasalahan perdagangan

Indonesia

dengan

negera

lain:

masalah

impor

holtikultura dengan AS, masalah CPI di Eropa dan Malaysia, masalah pertambangan, dan beberapa masalah penetapan harga komoditas ekspor unggulan, yang kami rasa solusinya tidak hanya pada penyusunan substansi tetapi dapat dicapai dengan maksimal dengan negosiasi. Kami juga mengkhawatirkan mengenai akses masyarakat terhadap lembaga keuangan. Pada survey yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 62% rumah tangga Indonesia tidak memiliki tabungan sama sekali. Pengetahuan masyarakat juga masih minim Pak, menurut survey OJK bulan November lalu, hanya sekitar 21,84 persen penduduk Indonesia yang memiliki pengetahuan tentang lembaga serta produk jasa keuangan. Pemerintah seharusnya lebih mengedukasi masyarakat mengenai lembaga keuangan serta produk jasanya ini. Untuk menjangkau lapisan masyarakat menengah kebawah, diperlukan pula optimalisasi kinerja bank daerah, bank tani, bank pasar, dan koperasi yang lebih dapat menjangkau mereka. Bank kelas menengah kebawah ini akan

89


lebih baik jika dikonsolidasikan ataupun diakuisisi oleh bank besar agar layanannya benar-benar sehat dan terpercaya, sehingga tidak menimbulkan ketakutan masyarakat untuk menggunakan produk jasa keuangan. Selain itu, kami juga mengharapkan akses UMKM menuju kredit usaha dipermudah Pak, agar UMKM mampu berkembang. Namun, Bapak juga membantu bank melalui pengelolaan profil resiko nasabah, sehingga bank pun terhindar dari terjadinya gagal bayar. Hal lain yang kami khawatirkan adalah mengenai pembangunan manusia. Akses terhadap pendidikan di negara kita ini masihlah minim, Pak. Masih banyak pula terjadi diskriminasi di kalangan masyarakat kita. Berdasarkan laporan UNESCO 2011, tingginya putus sekolah

menyebabkan

angka

Indeks

Pembangunan

Manusia

rendah.Faktor utama penyebab putus sekolah adalah tingginya biaya pendidikan.

Pemerintahtelahmemberikan

subsidi

untuk

bidang

pendidikan, namun subsidi tersebut dirasa kurang terdistribusi dengan baik. Anak yang benar-benar tidak mampu tidak mendapatkan keringanan, namun anak yang mampu mendapatkan keringanan. Perlupendataan yang tepat untuk subsidi pendidikan. Selain itu, kurikulum kita yang terus berubah, belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan. Kita terus mencontoh negara asing yang telah sukses dengan kurikulumnya, tapi mengapa tidak berhasil di negara kita? Kami pun berpendapat bahwa bangsa ini memiliki karakter tersendiri. Jadi sesuatu yang baik untuk bangsa lain belum tentu baik untuk kami. Kurikulum yang sesuai dengan karakter kami lah yang kami butuhkan.

90


Seiring dengan perkembangan jaman pula, pendidikan karakter tidak hanya terjadi di rumah, namun di sekolah. Bahkan, untuk mereka yang orang tuanya bekerja, PAUD ataupun TK menjadi sarana paling penting pendidikan karakter. Dibutuhkan pengawasan khusus untuk PAUD dan TK agar mampu memfasilitasi pendidikan karakter. Selain itu, terjadi juga pergeseran peran politeknik dan universitas di negara kita ini, Pak. Universitas yang seharusnya menghasilkan ilmuanilmuan, malah mengambil peran politeknik, yaitu menghasilkan pekerja. Perlunya pendidikan vokasional untuk para calon pekerja ini, membuat Indonesia seharusnya membangun lebih banyak politeknik. Selain dari bidang pendidikan, pembangunan manusia juga dapat dilihat dari gizinya. Penjaminan hasil pangan akan berpengaruh pada tingkat gizi dan kesehatan masyarakat. Dengan teknologi yang berkembang, masyarakat mampu memenuhi kebutuhan nasional dengan mengurangi impor, distribusi pangan yang baik, produksi dan pengolahan di Indonesia akan lebih optimal sehingga dapat mengurangi angka kemisikinan. Hal terakhir yang kami khawatirkan adalah mengenai APBN. APBN negara kita cenderung mengikuti APBN tahun-tahun sebelumnya, ini kami rasa kurang tepat karena kurang sesuai dengan keadaan di tahun tersebut. APBN kita juga masih bersifat teknokratis Pak, belum bersifat ideologis, sehingga pembelanjaan ini tidak memiliki pencapaian jangka panjang yang konkrit. Masa penyusunan APBN yang singkat juga kami anggap tidak cukup untuk mampu

91


mengoreksi ketidaktepatan yang ada. Otorisator dan ortodinator APBN kita juga merupakan badan yang sama, yaitu Kementerian Keuangan. Hal ini tentunya rawan penyelewengan karena satu badan melakukan tugas pengawasan sekaligus pelaksanaan. Masalah lain adalah penerimaan APBN kita yang masih lebih besar bersumber dari pajak dibandingkan dari sumber daya alam. Padahal, pengeluaran untuk membayar bunga utang dan belanja pemerintah lebih besar dibandingkan pembangunan infrastruktur. Menurut INDEF, dengan sistem yang seperti itu, APBN ini masih kurang pro rakyat. Kami mengharapkan APBN kita dapat lebih responsif terhadap trend masalah yang ada di Indonesia, tidak hanya sekedar berkaca dari APBN tahun sebelumnya. Penerimaan pemerintah juga harus lebih digencarkan lagi dari sumber daya alam maupun dari sektor jasa agar tidak membebankan belanja pemerintah kepada masyarakat. Dengan begitu, pajak bukan sumber pendapatan utama kita. Suara kami ini hanya mencakup sedikit dari banyaknya permasalahan di negeri kita tercinta ini Pak. Kami berharap Bapak mampu untuk menyelesaikan satu per satu permasalahan di negeri ini bersama kami, rakyat Bapak kelak. Kami akan selalu ada untuk membantu Bapak mewujudkan Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur, sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Balaslah surat kami ini dengan bukti nyata kinerja Bapak. Terimakasih.

92


ASEAN Vision 2020: Bersatu dalam Kepentingan Putu Yunartha P. P (Ketua Bidang Kajian Intelektual & Hubungan Eksternal BEM FEB) Sepuluh negara ASEAN semakin didekatkan pada pencapaian visi integrasi regional pada tahun 2020. Berlangsungnya ASEAN Economic Community (AEC) 2015 adalah salah satu mid-point dari perjalanan impelementasi ASEAN Vision 2020. Pembangunan ekonomi yang seimbang antar negara dan pengurangan kesenjangan sosial adalah poin visi yang terdapat dalam deklarasi dan rencana aksi yang telah dibuat satu dekade lalu. Arus bebas barang, jasa, dan modal adalah agenda-agenda penting yang merupakan bagian dari visi tersebut. Pasar bebas yang berbasis produksi diharapkan tidak membatasi negara-negara dengan letak geografis berbeda untuk mengoptimalkan potensi dan peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Indonesia yang merupakan negara dengan puluhan ribu pulau dapat memanfaatkan peluang ini dengan menjadi negara yang dilalui oleh arus pasokan dan lalu lintas barang. Tentu saja prinsip efektivitas dan efisiensi adalah kondisi wajib yang harus dipenuhi sebelum mengambil keuntungan dan mengantisipasi ancaman dari diberlakukannya program-program pada visi ASEAN 2020. Integrasi ekonomi adalah salah satu poin penting yang dinyatakan dalam Visi ASEAN 2020. Pembangunan ekonomi, infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia oleh sepuluh

93


negara ASEAN tidak semata-mata dilakukan untuk kepentingan regional, namun juga peningkatan kesejahteraan negara-negara anggota. Pemerintahan baru yang akan terpilih pada tahun 2014 ini harus memperhatikan dan fokus terhadap pembangunan ekonomi yang diikuti dengan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Sektor industri dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) harus mampu bergerak seimbang dan dapat menjadi tonggak perjalanan bangsa yang bermatabat di kancah global. Pertumbuhan industri dan UMKM terdiri dari beberapa sektor yang pertumbuhannya dipantau oleh Pemerintah. Sektor agrikultur, manufaktur, dan pelayanan jasa adalah fondasi-fondasi industri dan usaha yang ikut menopang pendapatan utama masyarakat Indonesia saat ini. Investasi yang dilakukan pelaku usaha baik berupa tenaga kerja dan modal belum berjalan secara optimal. Tenaga kerja yang ada cenderung tidak dibekali dengan pelatihan dan peningkatan skill sehingga efisiensi yang diharapkan pelaku usaha menjadi terhambat. Modal yang digunakan oleh pelaku usaha dan industri juga tidak ditempatkan sesuai potensi perkembangan usaha. Tantangan untuk calon RI 1 5-6 tahun ke depan adalah bagaimana menyeimbangkan pertumbuhan usaha yang berlandaskan efisiensi disaat harga-harga barang komoditas juga dapat terkendalikan. Menyalahkan tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi tidak akan memecahkan masalah disaat peningkatan produksi barang-barang dan jasa berkualitas tidak diupayakan.

94


Produksi barang dan jasa tidak pernah lepas dari kebijakan nasional yang turut mengatur fase-fase yang terjadi sebelum melakukan ekspor dan impor. Kebijakan yang dibuat Pemerintah seharusnya dapat disesuaikan dengan inovasi teknologi yang ikut mendukung pertumbuhan dan penguatan industri dan usaha di sektorsektor penopang devisa nasional. Dukungan atas penemuan dan penelitian teknologi yang bermanfaat sangat dibutuhkan mengingat motivasi inovator dan pengusaha juga dipengaruhi oleh insentif dan penghargaan atas karya-karya anak bangsa. Produksi barang final maupun dalam olahan Indonesia seperti metal goods di industri manufaktur masih jauh tertinggal dari beberapa negara tetangga yang menaruh perhatian khusus pada pengembangan teknologi dan informasi. Jaringan internasional untuk produksi barang dan jasa pada negara berkembang harus bisa seimbang sehingga gap yang ada pada setiap negara bisa berkurang. Pembangunan

suatu

negara

khususnya

yang

sedang

berkembang dan memiliki daya saing menengah hingga tinggi memerlukan aspek medasar yang dijadikan indikator dan arah pencapaiannya. Kelompok-kelompok produksi dalam negeri juga ikut dipengaruhi oleh tenaga kerja yang terampil dalam merancang maupun menciptakan barang dan jasa. 7 tahun sejak ditetapkannya visi ASEAN 2020, tenaga kerja tidak terampil yang bekerja di lingkungan usaha dan industri di Indonesia mencapai angka 50,8% (Un Comtrade Database, diperoleh dari Narjoko, Dionisius, dan

95


Wicaksono, 2009). Global Competitiveness Index (GCI) yang sering dijadikan pedoman setiap negara juga memiliki aspek penilaian terhadap kemajuan sumber daya manusia yang bekerja di setiap sektor. Tingginya jumlah tenaga kerja tidak terampil di negara berkembang yang diikuti demografi penduduk dengan usia produktif tinggi akan menjadi ancaman bagi pemerataan kesejahteraan dalam jangka panjang. Hal inilah yang membutuhkan perencanaan matang dari Pemerintahan yang diberi amanah untuk membuat sebuah grand design pengembangan sumber daya manusia yang berbasis skill. Sumber daya manusia terampil bukanlah sebuah alat standar untuk menentukan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa, melainkan merupakan hak dasar yang harus diperoleh oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini telah tercantum dengan jelas pada amanah UUD 1945 yang harus dijunjung dan dicapai. Sebuah visi integrasi regional seperti dua sisi mata uang. Peluang dan keuntungan bisa saja didapat ketika ancaman mampu diantisipasi dan dicegah dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah yang tepat. Pemerintahan baru 5 tahun ke depan tidak seharusnya melepaskan perencanaan jangka panjang yang telah ditetapkan, namun menyesuaikannya dengan program-program inovatif yang memiliki pengaruh terhadap kemajuan bangsa. Menggambarkan sebuah visi adalah tidak sulit untuk negara-negara region dengan kemiripan di setiap bagian. Hal yang paling sulit adalah pada tataran implementasi,

96


ketika sebuah visi ditetapkan dan tuntutan keberhasilan dibatasi oleh berbagai kepentingan.

97


Sektor Pendidikan Problematika Perubahan Kurikulum Pendidikan Indonesia Lembaga Mahasiswa Fakultas Psikologi

Telah 68 tahun lamanya bangsa yang besar ini telah lepas dari belenggu penjajahan. Sebagai bangsa yang cukup lama merdeka, permasalahan-permasalahan yang mendasar tak kunjung lepas dari kemelut bangsa ini. Permasalahan korupsi, asset negara yang dikuasai asing, banyaknya masyarakat yang masih hidup dibawah garis kemiskinan, degradasi moral, & pendidikan yang belum optimal, menjadi permasalahan yang seakan berlarut-larut tak tertuntaskan. Semua permasalahan ini ketika ditarik benang merah akan terlihat bahwa masalah utamanya adalah bangsa Indonesia mengalami disorientasi. Padahal telah jelas termaktub pada pembukaan UUD 1945 bahwa kesejahteraan, kemerdekaan (dari belenggu asing.red), mencerdaskan kehidupan bangsa, & keadilan sosial, merupakan tujuan dari terbentuknya pemerintahan bangsa Indonesia. Namun pada nyatanya permasalahan yang telah jelas di tuliskan sebelumnya masih juga tak menemui jalan akhir. Permasalahan disorientasi disebabkan karena adanya masalah pada proses orientasi pembentukan bangsa. Proses orientasi yang dimaksud di sini tidak lain tidak bukan yaitu pendidikan bangsa. Pendidikan merupakan proses pembentukan orientasi yang akan menentukan arah pembentukan bangsa pada generasi setelahnya. Apa

98


yang dihasilkan pada masyarakat usia produktif sekarang adalah hasil pendidikan pada masa sebelumnya. Ketika muncul budaya korup, kualitas sumber daya manusia rendah, dan berbagai masalah pada masyarakat usia produktif lainnya , maka itu disebabkan dari hasil pendidikan generasi sebelumnya. Sehingga bisa kita ambil kesimpulan bahwa permasalahan mendasar bangsa Indonesia yang tak kunjung menemui jalan akhir, hal itu disebabkan karena pendidikan yang membentuk orientasi dan kualitas sumber daya manusianya. Dalam pendidikan terdapat beberapa hal yang menjadi komponen, yaitu peserta didik, tenaga pendidik, sarana prasarana pendidik, serta yang paling penting adalah kurikulum. Kurikulum merupakan sebuah perangkat pendidikan yang menjadi pedoman proses untuk mencapai tujuan dari pendidikan. Kurikulum menjadi arah yang menentukan wajah pendidikan bangsa. Ketika sebuah kurikulum tidak dirancang dengan baik dan matang maka akan menyebabkan permasalahan yang global dan sistemik pada sumber daya manusia bangsa Indonesia. Sumber daya manusia yang diharapkan dapat melanjutkan perkembangan pembangunan bangsa, akan

menjadi

tidak

optimal

ketika

salah

dalam penerapan

kurikulumnya. Ketika kurikulum tidak mengedepankan aspek nilai, maka yang didapati adalah sumber daya manusia yang tidak memiliki orientasi yang jelas, tidak berkarakter, dan cenderung pragmatis. Sedangkan ketika kurikulum tidak memperhatikan aspek psikomotor, maka yang terjadi adalah terbentuknya sumber daya manusia yang

99


kurang berkualitas secara teknis, dan tidak dapat bersaing dengan bangsa lain.

Sejarah Perkembangan Kurikulum Pendidikan Indonesia Dalam sejarah perkembangan pendidikan bangsa Indonesia perubahan kurikulum menjadi seperti hal yang lumrah dilakukan. Tercatat sejak kemerdekaan bangsa Indonesia perubahan kurikulum telah mencapai 11 kali, yaitu tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975,1984, 1994, 1999, 2004 , dan 2006, serta terakhir pada tahun 2013. Kurikulum pertama yaitu kurikulum Rancana Pelajaran pada tahun 1947, adalah sistem kurikulum pertama yang digunakan. Pada masa itu belum dikenal istilah kurikulum, sehingga menggunakan kata Rentjana Pelajaran. Kurikulum Rencana Pelajaran mengubah orientasi pendidikan belanda menjadi ke arah kepentingan nasional. Pada kurikulum tersebut masih berfokus pada pembentukan karakter masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan sejajar dengan bangsa lain. Setelah kurikulum Rencana Pelajaran, 5 tahun kemudian, tahun 1952, kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan yang kemudian diberi nama Rentjana Pembelajaran Terurai. Kurikulum ini menekankan pada rencana pelajaran yang memperhatikan isi pelajaran yang dhubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

100


Pada akhir era Soekarno, pemerintah kembali mengubah rencana pendidikan menjadi Rencana Pendidikan 1964. Kurikulum ini menekankan pada konsep pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif, yang membuat anak terampil dalam melakukan pemecahan permasalahan. Kurikulum ini juga menitik beratkan pada pengembangan daya cipta , rasa, karsa, karya, dan moral, yang selanjutnya dikenal dengan Pancawadhana. Empat tahun kemudian, tahun 1968, kurikulum kembali diubah strukturnya dari pendidikan pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 adalah wujud dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945. Disamping itu ternyata perubahan kurikulum kali ini dilandasi latar belakang politik dimana untuk mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan produk orde lama. Setelah memasuki masa Orde Baru , arah gerak kurikulum berubah dari rencana pelajaran menuju kurikulum berbasis pada pencapaian tujuan. Kurikulum 1975 pun kembali dibuat atas dasar berbagai latar belakang seperti lajunya pembangunan nasional pada era Suharto, adanya kebijaksanaan permerintah di bidang pendidikan yang dituangkan dalam GBHN, adanya analisis dari Diknas untuk meninjau ulang pendidikan nasional, serta keluhan dari masyarakat terhadap mutu lulusan pendidikam sebelumnya. Selama hampir sekitar 8 tahun kurikulum 1975 dijalankan, kurikulum ini dianggap tak mampu lagi memenuhi kebutuhan

101


masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini diperkuat dengan sidang umum MPR 1983 yang tertuang dalam GBHN yang menghendaki kurikulum 1975 diubah menjadi kurikulum 1984. Disamping itu secara teknis perubahan kurikulum ini disebabkan oleh beberapa hal seperti, terlalu padatnya isi kurikulum, kesenjangan antara kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah. Kurikulum 1984 menekankan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahun 1994 kurikulum 1984 kembali disempurnakan dalam rangka melaksanakan UU no. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Pada kurikulum 1994 pembagian waktu belajar diubah dari yang awalnya menggunakan sistem semester, kemudian diganti menggunakan sistem catur wulan yang membagi satu tahun menjadi tiga tahap. Evaluasi dari kurikulum 1975-1994 adalah terbentuknya lulusan yang lebih dominan menguasai aspek kognitif dibanding aspek keterampilan. Hal ini menyebabkan banyak lulusan yang tidak memiliki yang bersifat aplikatif. Sehingga sejak saat itulah arah kurikulum diubah menjadi kearahyang holistik. Pada tahun 2004 muncullah kurikulum baru yang popular disebut dengan KBK (kurikulum berbasis kompetensi) yang lahir sebagai respon atas tuntutan reformasi yang tertuang pada UU no 2 tahun 1999, UU no 25 tahun 2000, dan Tap MPR no IV/MPR/1999. KBK berfokus pada sejauh mana peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan.

102


Pada tahun 2003 terbentuk UU no 20 tentang sistem pendidikan

nasional

yang

mengamanatkan

agar

terbentuknya

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang kemudia sering dikenal dengan KTSP. KTSP mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

Permasalahan Jika kita melihat sejarah perubahan kurikulum di atas dapat kita jumpai permasalahan-permasalahan yang mendasar dalam proses perubahannya. Pertama, pemerintah terlalu mudah mengubah sebuah kurikulum yang menyangkut arah pembelajaran ratusan juta peserta didik dan tenaga pendidik di seluruh Indonesia. Perubahan itu sebagian besar disebabkan karena perubahan arus politik dan ideologi yang dituangkan dalam landasan yuridis, serta proses penyempurnaan dan evaluasi dari kurikulum sebelumnya. Dapat kita lihat pada kurikulum 1950, 1975, 1994, 2004 , 2006 lahir dari tuntutan karena perubahan undang-undang atau GBHN. Selain itu juga terdapat perubahan kurikulum dalam rangka penyempurnaan atau penyesuaian seperti pada kurikulum 1958, 1964, 1984. Permasalahan kedua, setiap pergantian tidak berdasarkan pada kepada basis evaluasi dan penelitian yang jelas dan matang. Seperti yang tertulis sebelumnya perubahan kurikulum sebagian besar disebabkan adanya perubahan undang-undang/GBHN dan dalam rangka penyempurnaan. Padahal sebagai kaum terdidik, kita

103


menyadari betapa pentingnya evaluasi yang berbasis penelitian dalam mengambil kebijakan. Ketika pemerintah tidak melakukan penelitian, maka yang terjadi yang dijadikan bahan penelitian adalah peserta didik itu sendiri yang harus merasakan percobaan perubahan kurikulum yang berulang-ulang.

Dampak Pada kesempatan ini juga akan kami sampaikan dampak dari perubaham kurikulum yang terlalu sering dan ditambah rentang waktu yang terlalu dekat. Permasalahan pertama, adalah masalah penyesuaian dan angkatan percobaan. Ketika kurikulum baru diterapkan maka yang terjadi adalah akan ada sebuah angkatan yang menjadi angkatan yang diujikan pertama kali untuk menjalankan kurikulum tersebut. Hal itu menyebabkan

angkatan

tersebut

akan

mendapatkan

kualitas

pengajaran yang tidak optimal, dikarenakan masih dalam proses penyesuaian dari pihak pengajar sendiri. Selain itu akan terdapat kesenjangan dengan angakatan setelahnya yang memakai kurikulum yang sama, karena angkatan selanjutnya tentu telah melakukan evaluasi dan penyesuaian dalam penerapan kurikulum baru tersebut. Hal ini sangatlah merugikan peserta didik pada angkatan percobaan karena dia akan menanggung beban beratnya menyesuaikan kurikulum baru.

104


Permasalahan kedua, adalah beratnya proses penyesuaian tenaga pendidik dan buku terutama pada seluruh wilayah di Indonesia. Mirip halnya dengan masalah yang pertama, namun pada kesempatan kali ini lebih menekankan pada tenaga pendidik dan sarana prasarana. Ketika kurikulum baru diterapkan tentu tidak hanya siswa yang perlu menyesuaikan, melainkan juga yang paling penting adalah guru. Dalam penyesuaiannya tentu guru perlu memahami lebih dalam kurikulum seperti apa yang dibawa, mulai dari tujuan dari kurikulum, hingga materi kurikulum. Sehingga oleh karena itu perlu sosialisasi yang komprehensif agar guru mampu mengajar dengan baik. Kendala selanjutnya adalah memastikan tenaga pendidik di seluruh wilayah mendapatkan hal yang sama . Tentu ketika ini tidak dipenuhi akan terjadi kesenjangan pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia. Permasalahan terakhir yang masi berkaitan adalah, setelah tenaga pendidik tentu sarana prasarana yaitu buku yang sesuai dengan kurikulum. Sering kali ditemukan di beberapa wilayah ada sekolah yang masih menggunakan buku kurikulum lama, padahal kurikulum baru sudah dijalankan. Terakhir secara umum dapat kita simpulkan perubahan kurikulum yang terlalu sering akan membuat masyarakat Indonesia tidak mengetahui tujuan utama dari bangsa Indonesia sendiri. Ketika pada suatu kurikulum menekankan pada aspek moral, lalu pada kurikulum lain diubah kepada aspek kompetensi ilmiah, maka para

105


pelajar akan tidak dapat mengetahui arah tujuan dari pendidikan bangsa yang sebenarnya. Dari berbagai macam permasalahan dan dampak dari perubahan kurikulum diatas, kami menyampaikan tuntutan agar sistem kurikulum di Indonesia diperbaiki berdasarkan : 1. Keajegan kurikulum atau perubahan kurikulum yang tidak signifikan 2. Pengambilan kebijakan pergantian atau penyempurnaan kurikulum berdasarkan penelitian yang valid reliabel, dan representatif 3. Kebijakan penerapan kurikulum yang tepat sasaran dan mampu diimplementasikan di seluruh Indonesia 4. Proses sosialisasi kurikulum yang komprehensif dan merata agar kurikulum dapat dijalankan dengan optimal di seluruh wilayah

Penjelasan: 1. Kami menuntut agar kurikulum dibuat, ajeg dan tidak mudah diubah hanya karena perubahan arus politik atau landasan yuridis.

Jikapun

ada

proses

penyesuaian

ataupun

penyempurnaan maka tidak dilakukan secara signifikan hingga harus mengubah kurikulum secara keseluruhan. 2. Kami menuntut agar pengambilan kebijakan pergantian atau penerapan kurikulum berdasarkan penelitian yang valid, reliabel, dan representatif. Agar kurikulum yang diterapkan benar-benar kurikulum yang terbaik dan memiliki visi jangka

106


panjang. Hal ini berkaitan dengan tuntutan pertama karena agar kurikulum tidak perlu diganti terlalu sering maka solusinya adalah dengan diterapkannya kurikulum yang benar-benar matang, berdasar penelitian, dan memiliki visi jangka panjang. 3. Kami menuntut agar kurikulum yang diterapkan bisa tepat sasaran baik secara jenjang pendidikan dan juga tepat diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia. Sehingga oleh karena itu tentu perlu penelitian yang representatif yang dapat menggambarkan kondisi pendidikan di seluruh wilayah di Indonesia. 4. Kami menuntut kurikulum baru di sosialisasikan secara komprehensif di seluruh wilayah di Indonesia. Sosialisasi merupakan hal yang penting karena hal tersebut akan menentukan apakah tenaga pendidik mampu menjalankan kurikulum sesuai dengan yang diinstruksikan kementerian pendidikan. Ketika sosialisasi tidak dilaksanakan dengan baik ke semua daerah maka yang terjadi adalah akan terdapat daerah-daerah yang belum menjalankan kurikulum baru.

107


Sektor Kesehatan JKN Untuk Indonesia Sehat BEM KM Fakultas Kedokteran

Kesehatan

merupakan

salah

satu

permasalahan

yang

memerlukan perhatian yang lebih dari pemerintah. Di Indonesia kesehatan merupakan salah satu hak yang harus didapatkan oleh setiap Warga Negara Indonesia karena falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Tidak hanya di Indonesia yang menjamin hak kesehatan atas warga negaranya pada tataraan internasional, dalam sidang ke-58 tahun 2005 di Jenewa, World

Health

pengembangan

Assembly

(WHA)

menggarisbawahi

sistem pembiayaan kesehatan

perlunya

yang menjamin

tersedianya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke-58 mengeluarkan resolusi yang menyatakan bahwa

108


pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health Coverage diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. WHA juga menyarankan kepada WHO agar mendorong negara-negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan sistem pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan ketika mereka bergerak menuju Universal Health Coverage. Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, di antaranya melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali. Dalam pelaksanaannya yang sudah berjalan selama enam bulan ini masih banyak sekali bahan evaluasi yang harus diperbaiki untuk ke depannya. JKN merupakan sistem yang bersifat sentralisasi, yang merupakan produk dari Kementerian Kesehatan dan bergerak atas perintah dari pusat. Sementara Indonesia yang dengan sistem

109


desentralisasi,

tidak

bekerja

atas

perintah

pusat.

Sehingga,

pelaksanaan JKN dalam sistem desentralisasi masih banyak mengalami

kendala.

Menurut

Rozuli

(2008)

dalam

konteks

masyarakat, ada beberapa mekanisme sistem pelayanan publik yang perlu diperhatikan dalam era otonomi daerah. yaitu: (i) Perlu standar pelayanan publik. (ii) Sanksi bagi pejabat publik yang tidak mampu memenuhi standar pelayanan. (iii) Peningkatan profesionalisme pejabat publik. (iv) Rakyat berhak mengajukan keluhan atas pelayanan publik yang buruk. (v) Rakyat melakukan kontrol terhadap penyelesaian atas keberatan yang diajukan. (vi) DPRD melakukan pengawasan atas pelayanan publik dan keberatan yang diajukan rakyat. (vii) Rakyat mengajukan keberatan kepada DPRD dan pemerintah daerah atas perbaikan keluhan yang dilakukan pemerintah daerah. Pelaksanaan JKN dalam era otonomi daerah dinilai belum memenuhi mekamisme sistem pelayanan publik dalam masyarakat. Dalam pelaksanaan JKN yang baru berjalan 6 bulan ini, belum terlihat adanya keterlibatan dari dinas kesehatan daerah sebagai pemegang otoritas utama dalam pengaturan pelayanan kesehatan daerah. Sehingga dibutuhkan adanya kerja sama antar pelaksana BPJS-JKN

110


dan Dinkes Daerah dalam regulasi serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan JKN di daerah sehingga sesuai dengan tujuan utama dari desentralisasi kesehatan dan JKN. Selain itu, dalam memajukan kesehatan daerah, perlu adanya kerja sama antara daerah dan pusat dalam pemberian bantuan dana. Daerah tertinggal harus lebih diutamakan daripada kota-kota besar di Indonesia. Dalam hal ini, kami berbicara tentang beberapa daerah dengan fasilitas kesehatan yang minim dan anggaran APBD yang rendah. Untuk mencapai keadilan antar daerah, pemerintah pusat seharusnya ikut membantu dan menyokong daerah-daerah yang tertinggal tersebut agar mampu mengembangkan dan memberdayakan daerahnya. Hal ini dapat dilakukan denga cara sebagai berikut. (i) Pembangunan infrastruktur di daerah – daerah yang terpencil. (ii) Pembangunan rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilias kesehatan yang memadai. (iii) Persebaran tenaga medis yang merata, dan (iv) Jaminan terhadap kesejahteraan tenaga medis yang berada di daerah Indonesia yang masih terpencil agar dapat bekerja secara maksimal aman, nyaman, dan membantu masyarakat sekitar agar tetap sehat, sehingga tercapai kesehatan dan kesejahteraan nasional. Bahan evaluasi lain yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan JKN adalah masalah kepesertaan. Seperti yang ditargetkan oleh pemerintah, pada tahun 2019 diharapkan seluruh

111


Warga Negara Indonesia telah masuk ke dalam sistem ini. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang bingung untuk menjadi peserta JKN, bahkan masih ada sebagian masyarakat yang tidak mengetahui tentang program ini. Sebenarnya pemerintah telah membuat sistem pengurusan data melalui website sehingga masyarakat dapat dengan mudah mendaftar dan membayar iuran melalui bank. Namun umumnya masyarakat Indonesia tidak terbiasa melakukan hal-hal seperti ini akibat keterbatasan akses internet, kemampuan yang tidak dimiliki, dan sebagainya. Selain itu pemahaman atau persepsi masyarakat terhadap manfaat dari sistem JKN ini masih kurang, khususnya masyarakat kalangan menengah ke bawah yang tidak tergolong ke dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan diharuskan untuk membayar iuran. Mereka memilih tidak ingin tergabung dalam sistem JKN karena menurut mereka lebih penting membeli makanan atau kebutuhan pokok lainnya daripada harus membayarkan iuaran untuk JKN. Melihat kondisi di lapangan saat ini, pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara lebih massive. Sosialisasi harus dilakukan hingga ke pelosok – pelosok daerah di seluruh wilayah Indonesia, bila perlu dilakukan sosialisasi dan survei dari rumah ke rumah untuk dapat mengontrol siapa saja yang dapat menjadi peserta PBI ataupun Non-PBI. Sejauh ini, peserta yang telah banyak mendaftar adalah masyarakat golongan swasta, PNS, TNI, POLRI yang sebelumnya telah tergabung dalam jaminan kesehatan

112


seperti ASKES, JAMSOSTEK dan sebagainya serta masyarakat yang dapat mengakses informasi dengan mudah lewat pemberitaan media dan juga dikarenakan faktor sakit. Mayoritas pendaftar ini adalah mereka yang sakit berat. Dalam sistem JKN ini, seluruh fasilitas diberikan selama sebulan. Obat juga diberikan dan bisa diambil di rumah sakit atau pelayanan tingkat primer seperti puskesmas atau dokter keluarga. Peserta dengan penyakit berat kronis yang membutuhkan perawatan dan pengobatan intensif tentunya merasa diuntungkan dengan sistem ini karena mereka hanya membayar sedikit namun mendapatkan fasilitas yang lengkap. Padahal anggaran pemerintah untuk peserta swasta Non-PBI ini hanya sekitar 7 triliun, sedangkan untuk PBI 19 triliun dan PNS, TNI, POLRI sebesar 13 triliun. Jika dilihat dari pembagian alokasi dana tersebut, dapat menjadi sebuah pertanyaan besar melihat fakta di lapangan bahwa penggunaan terbanyak dilakukan untuk pasien dengan subsidi yang kecil yaitu peserta Non-PBI yang memeliki riwayat penyakit berat kronis.

Padahal mereka menghabiskan banyak uang untuk

pembiayaan perawatan dan penyembuhan penyakitnya. Hal ini tentunya harus ditindaklanjuti lebih jauh agar terjadi keadilan sehingga tidak merugikan negara dan masyarakat. Masalah yang pemerintah

maupun

juga perlu mendapatkan perhatian dari pihak

penyelenggara

JKN

atau

Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah penggunaan sistem INA CBG’s (Indonesia Case Based Groups) dalam proses pembayaran

113


JKN. INA CBG’s adalah sistem case mix, yaitu sistem yang mengklasifikasikan pasien-pasien yang mempunyai karakter penyakit yang sama (dan ciri-ciri pribadi yang sama/mirip) dalam satu episode pelayanan kesehatan yang dikaitkan dengan biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Kekurangan dari sistem INA CBG’s sebagai metode pembayaran JKN sendiri cukup banyak dikarenakan oleh beberapa hal, seperti penipuan oleh pihak Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) sendiri dan problematika sistem kapitasi BPJS dimana para tenaga medis merasa tidak diperlakukan dengan adil. Kapitasi adalah metode pembayaran untuk pelayanan kesehatan dimana penyedia layanan dibayar dalam jumlah tetap per pasien tanpa memperhatikan jumlah atau sifat layanan yang sebenarnya diberikan. Tarif kapitasi tersebut dihitung berdasarkan jumlah peserta terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Sistem kapitasi yang diberlakukan untuk dokter layanan primer yang menandatangani kontrak dengan BPJS Kesehatan saat ini membuat pendapatan para dokter tersebut akan bergantung pada sisa biaya kapitasi yang diberikan. Tindakan ini sebenarnya secara tidak langsung, mencoba untuk memberlakukan paradigma sehat dimana tindakan preventif lebih baik dibandingkan tindakan kuratif. Namun Jika jumlah pasien banyak, maka biaya kapitasi tersebut akan banyak digunakan untuk melakukan pengobatan sehingga sisanya yang bisa diberikan untuk jasa medik dokter makin sedikit. Oleh karena itu, diharapkan BPJS dapat memperbaiki sistem agar para tenaga medis

114


mendapatkan pendapatan yang sesuai tanpa mengurangi kualitas layanan kesehatan terhadap pasien. IDI mengusulkan agar pemerintah bisa memberi insentif kepada para tenaga medis tersebut agar menghindari kekhawatiran mereka. Penipuan yang dilakukan oleh PPK diakibatkan kurangnya fungsi badan audit di dalam BPJS. Badan audit tersebut hanya bekerja dengan memantau apakah jumlah paket sebuah PPK pakai sesuai dengan uang yang akan mereka terima dari pemerintah. Tetapi badan tersebut tidak memantau apakah paket yang PPK tersebut pakai sesuai dengan keadaan pasien sesungguhnya atau tidak sehingga pemerintah bisa mengalami kerugian yang besar. Ini dikarenakan badan tersebut belum mempunyai cukup pelatihan, sehingga staf badan tersebut sungkan untuk berhadapan dengan penangungh jawab INA CBG’s RS yang banyak punya latar belakang dokter dan dokter spesialis. Pihak RS dengan mudah dapat mempengaruhi bahwa semua tindakan pada klaim RS adalah sudah benar dan sesuai dengan standar pelayanan medis.

Hal

ini

membuat

badan

audit

BPJS

sulit

untuk

mempertanyakan atau berdebat dengan pihak RS karena pada posisi inferior baik pengetahuan dan skill. Ada beberapa jenis fraud yang dilakukan rumah sakit yang melakukan pelanggaran seperti ini tetapi tujuan tetap satu yaitu dengan mengelabui pemerintah. Sistem INA CBG’s di JKN juga tidak tanpa cela. Menurut para pengamat, INA CBG’s ini hanya mengkategorikan penyakit berdasarkan gejalanya saja. INA CBG’s menyebabkan penanganan

115


pasien didasari oleh penyembuhan abnormalitas yang terdeteksi, bukan bertujuan untuk menyembuhkan penyakit tersebut secara keseluruhan (dari awal sampai sembuh), padahal hal seperti inilah yang kita harapkan. Sistem JKN ini harus lebih dievaluasi lagi untuk perbaikan dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. Dan kami berharap agar calon pemimpin selanjutnya dapat lebih memperhatikan kesehatan masyarakat Indonesia dan segera melakukan tindakan untuk membenahi masalah kesehatan yang ada di Indonesia. Karena ketika sesorang itu sakit seketika itu pula orang akan menjadi miskin, atau dengan kata lain sakit adalah alat yang paling cepat untuk memiskinkan. Sehat adalah kunci pertumbuhan ekonomi bangsa untuk menuju masyarakat yang sejahtera. Masyarakat sangatlah menaruh harapan besar terhadap system ini sehingga meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Harapan yang juga disampaikan oleh Wakil Menteri Kesehatan RI Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D. adalah dalam hal JKN perlu perbaikan secara mendasar dan sistematis yang menyangkut : 1. Peran dan tata hubungan antarpemangku kepentingan utama yaitu

BPJS,

Presiden,

(Pemerintah/Kemenkes),

Dewan

Pengawas, pemberi pelayanan kesehatan (RS, Puskesmas, dokter, dll), peserta dan daerah. 2. Kepesertaan terutama sektor informal harus diupayakan dengan pendekatan berbeda.

116


3. Penyempurnaan cara pembayaran pada fasilitas kesehatan disesuaikan dengan harga keekonomian. 4. Perbaikan proses monitoring dan evaluasi yang ketat serta melibatkan

banyak

pihak

untuk

menghindari

fraud

(kecurangan/penipuan). 5. Peningkatan sosialisasi dan edukasi yang massive kepada semua pihak. Suatu sistem yang baru diterapkan pastilah dibutuhkan adaptasi. Oleh karena itu pembenahan ke arah yang lebih baik harus selalu diupayakan. Semoga Jaminan Kesehatan Nasional ini benar-benar bisa menjamin tersedianya akses masyarakat Indonesia terhadap pelayanan kesehatan dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan.

117


Solusi Problema Maldistribusi Tenaga Kesehatan Berkaitan Dengan Globalisasi Sektor Kesehatan: Usulan Langkah Strategis Bagi Pasangan Presiden-Wakil Presiden Terpilih 2014 BEM KM Fakultas Kedokteran Gigi

Jelang pesta demokrasi terbesar di negara ini, yakni pemilihan umum presiden dan wakil presiden Republik Indonesia 2014, sebagian besar dari masyarakat kita masih dihadapkan pada dilema dalam menentukan pemimpin pilihannya. Di sisi lain, masyarakat juga menaruh harapan besar pada kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden lima tahun ke depan agar dapat menuntaskan krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa ini. Salah satu krisis terjadi pada sektor vital yang sayangnya terkesan masih dianaktirikan yaitu sektor kesehatan. Tak bisa dipungkiri, sektor ini menyimpan banyak problematika yang tak kunjung terselesaikan dan berakibat pada ketertinggalan kualitas kesejahteraan sumber daya manusia jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Apabila kita cermati, visi dan misi yang diusung oleh kedua pasangan calon belum mengakomodir sektor kesehatan sebagai salah satu isu utama yang diangkat sebab sektor ini seolah “hanya� dicantumkan sebagai kata derivasi dalam misi peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sama-sama disusung kedua pasangan calon. Padahal, sebagaimana kita ketahui, kesehatan adalah prasyarat

118


utama bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, disamping pendidikan dan ekonomi. Permasalahan utama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah adanya penyebaran kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan yang tidak merata. Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Kementerian Kesehatan, jumlah SDM kesehatan yang terdata sampai saat ini sebanyak 891.897 orang.(2) Namun sebaran SDM kesehatan per wilayah masih terdapat ketimpangan antar pulau seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut:

Sumber: http://bppsdmk.depkes.go.id/sdmk/ Ditinjau dari asal penyebabnya, permasalahan ini muncul karena pantikan dari dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa minimnya upaya pemerintah dalam menitik beratkan dalam sektor kesehatan, minimnya infrastruktur pelayanan dan pendidikan kesehatan, susahnya akses menuju pelayanan kesehatan, rendahnya jaminan kesejahteraan dari pemerintah bagi tenaga kesehatan di wilayah cilgaltas (terpecil, tertinggal dan

119


perbatasan) serta belum stabilnya JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Faktor internal ini berpotensi menimbulkan keengganan tenaga kesehatan untuk mengabdi di pelosok. Sedangkan faktor eksternal sendiri berangkat dari adanya globalisasi yang menyebabkan tantangan profesionalisme dalam jangka panjang.

FAKTOR INTERNAL Salah satu permasalahan dalam negeri yang menyebabkan terjadinya ketidakmerataan tersebut adalah karena rendahnya upaya pemerintah dalam melakukan pengangkatan dan penempatan tenaga kesehatan. Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi masalah distribusi dokter dan dokter gigi dengan pengangkatan dan penempatan dokter dan dokter gigi. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah dengan mendorong peningkatan jumlah lulusan pendidikan dokter dan dokter gigi serta menetapkan kebijakan Dokter Inpres sejak tahun 1974 sampai dengan 1992 berdasarkan Instruksi Presiden. Pada periode tersebut, sebagian besar lulusan dokter dan dokter gigi diangkat sebagai Dokter Inpres dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan diharuskan bekerja di Puskesmas untuk jangka waktu 3 sampai dengan 5 tahun. Pada

tahun

1992,

pemerintah

mengubah

kebijakan

Pengangkatan Dokter Inpres dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan menggantinya dengan kebijakan pengangkatan dokter dan dokter gigi dengan status Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang ditetapkan

120


berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 37 tahun 1991 tentang Pengangkatan Dokter Sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti.(5) Namun, seiring perkembangan politik, ekonomi, teknologi dan informasi, maka kebijakan pengangkatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) dalam perjalanannya telah banyak mengalami berbagai perubahan pendekatan. Pendekatan kebijakan yang dilakukan adalah pendekatan geografis dan pendekatan motivasional. Pendekatan geografis dilakukan dengan penempatan dokter pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan kriteria terpencil dan sangat terpencil serta penempatan Bidan di desa. Sementara itu, pendekatan motivasional dilakukan dengan menyediakan insentif dan pengurangan lama penugasan. Perubahan kebijakan terakhir tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 683/Menkes/SK/III/2011 tentang Pedoman Pengangkatan

dan

Penempatan

Dokter

Spesialis/Dokter

Gigi

Spesialis/Dokter/Dokter Gigi/Bidan sebagai Pegawai Tidak tetap.(6) Beberapa masalah muncul sehubungan dengan kebijakan ini antara lain kesinambungan pelaksanaan program kesehatan berkaitan dengan penetapan lama penugasan bagi dokter PTT selama 1 tahun di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan kriteria terpencil dan sangat terpencil, belum adanya pedoman terkait seleksi pengangkatan Bidan PTT, beban administrasi, dan efektivitas pelayanan kesehatan di tempat penugasan. Sebagai upaya menyempurnakan hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

121


Indonesia Nomor 7 tahun 2013 tentang Pedoman Pengangkatan dan penempatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak tetap.(12) Dengan regulasi PTT yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini, masih banyak hal yang perlu dievaluasi terutama terkait kesejahteraan para dokter dan dokter gigi yang diangakat sebagai Pegawai Tidak Tetap.(7) Sebagaimana telah menjadi rahasia umum, status sebagai Pegawai Tidak Tetap di daerah terpencil dengan tunjangan yang sedikit, serta fasilitas dan perlindungan keamanan di daerah perifer yang minim, menjadi kondisi dilematis yang harus dijalani para dokter dan dokter gigi muda. Selain itu, tidak sedikit dari dokter dan dokter gigi yang menjalani pengabdian sebagai PTT di daerah mengeluhkan pembayaran tunjangan yang seringkali tidak tepat waktu. Meskipun berstatus sebagai profesi yang bergerak pada bidang pelayanan, para dokter dan dokter gigi tentulah memiliki kebutuhan pribadi yang harus tercukupi. Pemerintah seharusnya bisa memberikan jaminan kesejahteraan kepada dokter dan dokter gigi PTT di daerah. Kedua, terkait infrastruktur pelayanan kesehatan di Indonesia yang masih minimal dan tidak merata. Seperti kita ketahui, jumlah instalasi kesehatan primer terutama di daerah cilgaltas masih sangat minim, rasio perjumlah penduduk maupun perluas area pun mayoritas sangat rendah. Ditambah lagi dengan susahnya akses menuju ke instalasi tersebut dari wilayah tempat tinggal penduduk maupun dari pusat kota. Hal tersebut menyebabkan tenaga kesehatan enggan

122


mengabdi di sana karena susahnya mendapatkan akses ke pusat obat maupun alat-alat yang dibutuhkan. Supplier alat kesehatan indonesia dihrapkan mampu menjadi penopang laju perekonomian di Indonesia. Sayangnya, impor industri alat kesehatan di Indonesia masih cukup tinggi. Sehingga industri alat kesehatan yang diharapkan mendukung terciptanya maksimal.

(1)

banyak

lapangan

pekerjaan

di

Indonesia

kurang

Dalam peningkatan kesehatan Indonesia dipengaruhi juga

kualitas laboratorium (contoh : lab rontgent, cek darah, dll) yang memadai untuk meningkatkan kualitas pelayanan dari seluruh sumber daya yang ada, Oleh karena itu, selayaknya pemerintah memenuhi kewajibannya dalam memberikan hak kesehatan masyarakat dengan memaksimalkan infrastruktur dan mempermudah akses instalasi kesehatan yang ada. Pemerintah pusat sebaiknya berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar mengefektifkan program kesehatan daerahnya dalam segi infrastruktur maupun akses. Ketiga,

jumlah

perguruan

tinggi

dengan

pendidikan

kedokteran di Indonesia yang masih terpusat di pulau Jawa dan Sumatera. Pendidikan kedokteran di wilayah timur masih terhitung rendah dalam segi kuantitas maupun kualitas. Seperti kita ketahui , jumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta di wilayah Indonesia timur masih sangat sedikit dan dengan nilai akreditasi yang belum maksimal . Selain itu , program pendidikan dokter/dokter gigi spesialis di wilayah timur pun masih sangat minim, bahkan tidak ada. Sedangkan banyak mahasiswa dengan domisili Indonesia timur yang

123


menempuh pendidikan kesehatan di Jawa enggan untuk kembali mengabdi ke daerah asalnya karena sudah nyaman dengan lingkungan di

Jawa.

Menanggapi

berkoordinasi

dengan

hal

tersebut,

Kementerian

pemerintah Pendidikan,

seharusnya Kementerian

Kesehatan, Pemerintah Daerah dan organisasi profesi terkait untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas perguruan tinggi dengan fakultas kedokteran/ kedokteran gigi dengan program spesialis. Uji sertifikasi, uji kompetensi, pelatihan, magang, tugas lapangan dan lainnya yang sudah ada dapat digunakan sebagai alat pengukur seberapa jauh kualitas dan kompetensi tenaga kesehatan. Dengan dilaksanakannya hal tersebut, diharapkan makin banyak lulusan tenaga kesehatan terampil dan kompeten serta memiliki dedikasi tinggi pada daerah asalnya. Pemberian beasiswa bagi anak daerah untuk menempuh pendidikan kesehatan-pun sebaiknya disertai dengan persyaratan wajib mengabdi di daerah asal selama jangka waktu tertentu. Keempat, dilema tenaga kesehatan untuk mengabdi di daerah pelosok / perifer kemungkinan besar dapat disebabkan oleh rendahnya jaminan kesejahteran ekonomi maupun sosial dari pemerintah . Kita ambil contoh, seorang dokter pemerintah yang di tempatkan di satu daerah terpencil di daerah Sanggau, Kaimantan Barat. Dimana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri menetapkan gaji pokok yang sama untuk dokter atau dokter gigi yang berstatus PTT yakni Rp 1,752.500 per bulan. Ditambah dengan tunjangan untuk daerah terpencil sebesar Rp 3.250.000 per bulan dan daerah sangat terpencil

124


mencapai Rp 5.800.000, sehingga total penghasilan berkisar antara Rp 5 – 7,5 juta per bulan.(13) Hal ini akan berbeda dengan daerah yang ditempati. Cukup atau tidaknya tergantung dari medan yang ditempuh di masing- masing daerah. Medan di Kalimantan tentu berbeda dengan Papua atau NTT. Jika dengan penghasilan yang sama, seorang tenaga kesehatan di Papua pasti akan merasa sangat kurang tercukupi karena biaya yang harus dikeluarkan untuk transportasi jauh lebih tinggi. Jika dibandingkan dengan tenaga kerja yang bekerja di perusahaanperusahaan besar (contoh : Freeport) di daerah terpencil seperti papua, para pelamar bahkan berlomba-lomba bekerja disana karena gaji yang ditawarkan sangatlah besar ditambah lagi dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan walaupun mereka hanya bekerja sebagai buruh asing. Menanggapi

permasalahan

seharusnya dapat mengutip dari

kesejahteraan,

pemerintah

apa yang dilakukan negara lain

misalnya Australia, mereka membedakan gaji antara dokter yang diperkotaan dengan daerah terpencil. Kebijakan disana, barangsiapa yang mau bekerja di daerah akan diberikan gajinya dua kali lipat dibanding yang bekerja di perkotaan.(12) Sehingga di Australia tidak punya masalah dengan para dokter yang ditempatkan di daerah terpencil. Dengan begitu, diharapkan para tenaga medis tidak khawatir dan mau bekerja di daerah terpencil dan persebaran tenaga kesehatan di Indonesia bisa merata. Kelima, berkaitan dengan sistem Perundang-Undangan yang mengatur persebaran lulusan tenaga kesehatan. Terpusatnya tenaga

125


kesehatan hanya pada Pulau Jawa dan kurangnya jumlah tenaga kesehatan pada daerah perifer sedikit banyak juga turut dipengaruhi oleh ketiadaan Undang-Undang atau peraturan yang mengatur mengenai kewajiban tenaga kesehatan untuk mengabdi pada daerah perifer. Sebelumnya, tenaga kesehatan dibebaskan untuk membuka praktik dimana saja setelah mereka lulus dari institusinya dan mendapatkan STR serta SIP. Hal ini tentu membuat tenaga kesehatan yang baru lulus memilih untuk membuka praktik ditempat yang lebih mudah aksesnya, baik dari sisi transportasi maupun sarana-prasarana lain. Hingga pada tahun 2010, Kementrian Kesehatan menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan No 299 Tahun 2010 yang mengatur mengenai program internship bagi dokter umum yang baru lulus. Undang-Undang ini mewajibkan dokter baru untuk menjalankan program internship selama 1 tahun di puskesmas dan rumah sakit dengan pengawasan dokter pendamping sebagai syarat untuk mendapatkan STR dan SIP. Bila dokter baru tidak menjalankan program internship, maka STR dan SIP nya tidak akan terbit. (15) Pemberlakuan Peraturan Menteri Kesehatan ini kemudian diperbarui dengan disahkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Undang-Undang ini selain bertujuan untuk memperbaiki sistem pendidikan kedokteran dari sisi biaya pendidikan kedokteran dan sarana-prasarana sebagai syarat pengadaan pendidikan, juga mengatur pemerataan persebaran lulusan.(15) Namun efektivitas Undang-Undang ini masih dipertanyakan. Di satu sisi,

126


Undang-Undang ini dipandang mampu mengatasi masalah persebaran lulusan dokter dan dokter gigi dengan diwajibkannya program internship bagi dokter umum dan dokter gigi baru. Hal ini tidak menimbulkan masalah bagi dokter umum baru karena program internship ini sama seperti program internship yang telah mereka jalankan sesuai Permenkes tahun 2010.(4) Namun bagi lulusan pendidikan dokter gigi, dilaksanakannya program internship setelah mahasiswa kedokteran gigi lulus dengan gelar dokter gigi yaitu setelah menempuh pendidikan profesi/co-ass dirasa tidak efektif karena pendidikan profesi dokter gigi telah diberi kewenangan untuk menangani pasien, berbeda dengan pendidikan profesi bagi dokter umum. Keenam, pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional. Sampai saat ini, program JKN yang dijalankan oleh BPJS telah berlangsung selama satu semester namun masih terdapat berbagai kendala dan kekurangan di berbagai sektor. Hal ini bisa dicermati dengan kurang memadainya

infrastruktur

serta

permasalahan

tarif

maupun

pemerintah daerah yang masih belum mampu untuk bergabung. Padahal dengan diberlakukannya skema universal health coverage dalam sistem kesehatan Indonesia yang dijalankan oleh BPJS ini mampu untuk melindungi baik pasien maupun tenaga kesehatan yang mau untuk bekerjasama dalam mengantisipasi arus globalisasi. Hal ini bisa dicermati karena dengan adanya BPJS mampu menjadi barrier karena telah meng-cover seluruh pelayanan kesehatan primer bagi

127


Warga Negara Indonesia, sehingga tentunya masyarakat sudah tidak perlu lagi untuk pergi berobat pada tingkat primer ke klinik individu kecuali menginginkan untuk membayar biaya tambahan secara mandiri. Selain itu, dengan skema rujukan berjenjang mampu melayani kebutuhan pasien secara utuh, meskipun ada beberapa batasan yang tidak dijamin oleh JKN. Bagi tenaga kesehatan, dengan adanya JKN maka akan memberikan keuntungan berupa terhindar dari persaingan bebas dalam memperebutkan pasien, hal ini tentu karena setiap dokter maupun dokter gigi telah memiliki jatah untuk menanggung sejumlah pasien secara langsung dengan dibayar secara kapitasi.(9) Tentu dengan dilangsungkannya JKN ini memberikan beragam keuntungan, namun dalam pelaksanaannya yang terhitung sejak 1 Januari 2014 lalu , masih ada beberapa kendala dan kekurangan sehingga masih belum berjalan optimal. Diantaranya adalah kapitasi bagi dokter gigi yang sampai saat ini baru mencapai Rp 2.000, tentu ini masih beelum ideal. Selain itu, sistem kapitasi juga belum mampu menjamin honor dokter secara tetap untuk setiap bulannya, karena mekanismenya diserahkan pada tingkat utilisasi pasien, sehingga perlu adanya evaluasi dan kontrol ketat terhadap tingkat utilisasi pasien terhadap pelayanan dokter maupun dokter gigi. BPJS juga diharapkan mampu meningkatkan infrastruktur pada Pusat Pelayanan Kesehatan tingkat Pertama, misalnya Puskesmas untuk menjadi lebih baik lagi. Bahkan, Menteri Kesehatan senantiasa mendorong agar Puskesmas ini

128


mampu berkembang menjadi Rumah Sakit Tipe D. Dalam hal distribusi tenaga kesehatan, BPJS diharapkan juga mampu dan memiliki wewenang penuh untuk menempatkan tenaga kesehatan secara merata pada daerah – daerah yang masih kekurangan dan sangat membutuhkan. Sehingga, tentu mendukung dalam upaya pemerataan serta mempermudah akses kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Keenam faktor tersebut merupakan permasalahan membumi yang selayaknya harus segera diformulasi solusinya. Kebijakankebijakan yang riil dan efektif perlu dilaksanakan sebelum permasalahan ketidak merataan kuantitas serta kualitas tenaga kesehatan semakin dihadang dengan permasalahan dari eksternal.

FAKTOR EKSTERNAL Jika ketidakmerataan persebaran kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan dari faktor internal tidak segera dirumuskan dan direalisasikan kebijakannya, dalam jangka panjang dikhawatirkan akan muncul ancaman baru berupa tantangan profesionalisme dalam sektor kesehatan akibat adanya globalisasi. Program globalisasi terdekat adalah ASEAN Community 2015 yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2015. ASEAN Community 2015 akan menjadi sejarah bagi negara-negara ASEAN dengan ‘berbagi halaman’ untuk berbagai sektor yang dicakup dalam tiga pilar utama ASEAN Community 2015, yaitu

Asean

Political-Security

Community,

Asean

Economic

129


Community,

dan

Asean

Socio-Cultural

Community.(3) Setelah

memasuki Asean Community 2015, nantinya batas-batas antarnegara menjadi imajiner sehingga arus yang mengalir di sektor-sektor yang telah disebut diatas akan semakin bebas. Dapat diperkirakan bahwa dengan adanya Asean Community 2015, Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN akan menjadi ‘pasar’ yang sangat menggiurkan bagi para tenaga kesehatan asing untuk kemudian membuka praktik di Indonesia. Dengan penambahan tenaga kesehatan dari luar negeri, rasio tenaga kesehatan per jumlah penduduk dipastikan akan meningkat. Di satu sisi , hal tersebut mestinya dapat menjadi peluang untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain, muncul tantangan lain yang harus segera dirumuskan solusinya , di antaranya adalah : 1. Tenaga

kesehatan

asing

dikhawatirkan

akan

semakin

memperkuat episentrum kesehatan di Pulau Jawa sehingga persebaran tenaga kesehatan di wilayah Indonesia akan semakin tidak merata. 2. Tenaga kesehatan dalam negeri dikhawatirkan kalah dalam persaingan dengan tenaga medis asing dalam bidang pendidikan dan teknologi . Berdasarkan data Centre for Internasional Trade Thailand (2012), kualitas tenaga medis masih Indonesia ditempatkan pada kualitas menengah. Adapun dalam hal teknologi, pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi di

130


Indonesia dapat dikatakan tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Filipina dan Singapura. Yang menjadi kendala adalah dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk meningkatkan teknologi

yang

ada

sementara

pemerintah

hanya

mengalokasikan 2,2 % dari total health expenditure, jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina bahkan Vietnam yang telah mengalokasikan dana sebesar 6,6%.(8) Hal ini menjadi tantangan bagi sektor jasa praktisi medis untuk mengupayakan level kompetensi dokter Indonesia yang setara dengan dokter / dokter gigi / perawat/ perawat gigi dari negara tetangga/ASEAN lainnya. 3. Belum masifnya sosialisasi dari pemerintah (khususnya Indonesia) kepada tenaga medis ( dokter/ dokter gigi / dokter spesialis / dokter gigi spesialis/ perawat / perawat gigi ) dalam negeri mengenai adanya ASEAN Community 2015 . Jika hal ini tidak segera ditangani, dikhawatirkan baik tenaga kesehatan maupun calon tenaga kesehatan akan tertinggal jauh dalam persiapan menghadapi ASEAN Community 2015. Dalam menjawab tantangan diatas, ada beberapa hal yang idealnya dapat dilakukan presiden dan wakil presiden yang terpilih. Pertama, akses masuk untuk tenaga kesehatan asing dalam hal ini dari wilayah Asia Tenggara harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Portal masuk hanya dibuka untuk tenaga kesehatan spesialis (dokter dan dokter gigi spesialis), bukan General Practitioners. Selain itu, tenaga

131


kesehatan asing yang masuk harus dipusatkan di wilayah perifer terutama daerah Indonesia Timur

untuk meningkatkan status

kesehatan masyarakat Indonesia di wilayah perifer ke level yang lebih baik dan untuk melindungi tenaga kesehatan dalam negeri dengan mempertimbangkan stigma bahwa secara hakiki, pelayanan medis bertumpu pada kesehatan pasien. Peningkatan jumlah tenaga kesehatan di daerah perifer secara mutlak perlu disertai dengan peningkatan infrastruktur serta akses pelayanan kesehatan. Pengisian posisi oleh tenaga kesehatan asing-pun seharusnya perlu dilakukan adanya penawaran oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan lokal , apakah mau mengisi posisi tersebut . Jika iya, maka posisi tersebut diutamakan untuk tenaga kesehatan lokal . Jika tidak , posisi tersebut ditawarkan pada tenaga asing. Kedua, maksimalisasi efektivitas pelaksanaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mutlak perlu dilaksanakan . Ketika sistem ini berjalan dengan baik , JKN dapat menjadi suatu selective barrier bagi masuknya tenaga kesehatan asing. Jika sistem ini berjalan maksimal , general practitioner asing yang ingin bekerja di Indonesia dan dijamin pemerintah harus mengikui prosedur registrasi dan sistem pembayaran sesuai dengan tarif yang ditentukan oleh JKN . Sedangkan untuk tenaga kesehatan spesialis , dapat membuka praktik pribadi setelah memenuhi perizinan dan persyaratan dari Konsil serta organisasi profesi terkait .

(5)

Menurut Dr. drg. Julita Hendrartini , M.Kes. , efek

132


jangka panjang yang mungkin akan paling terasa akibat Asean Community 2015 ini adalah meningkatnya persaingan antara tenaga kesehatan spesialis di kota-kota besar . Menanggapi ancaman tersebut , perlu adanya regulasi dan pengawasan yang ketat pada tenaga kesehatan spesialis asing . Hal ini dapat diwujudkan dengan mempertegas dan memperjelas Mutual Recognition Arrangement. MRA masih harus disertai dengan harmonisasi kebijakan antarnegara anggota ASEAN serta transparan memaparkan kualifikasi yang harus dipenuhi. Ketiga, terkait perlunya peningkatan daya saing tenaga medis Indonesia melalui peningkatan standar kompetensi sehingga terlahir tenaga medis yang berkualitas, profesional dan kompetitif. Dalam hal ini,

pasangan

presiden

–

wakil

presiden

terpilih

harus

menginstruksikan adanya koordinasi antara IDI, PDGI, PPGI, Kemenkes, Kemendiknas dan stakeholders lainnya agar terbentuk regulasi yang memadai untuk standar kompetensi tenaga medis Indonesia. Diperlukan sistem kurikulum dengan standar baku secara nasional bagi institusi pendidikan tenaga medis di Indonesia yang mampu menghasilkan lulusan baru dengan kualitas tinggi, profesional dan siap bersaing secara kompetitif di dunia internasional. Keempat, pemberian sosialisasi secara luas dan menyeluruh kepada seluruh tenaga kesehatan dan masyarakat melalui media massa, media sosial maupun secara langsung sebagai langkah awal persiapan dalam menghadapi ASEAN Community 2015 yang sudah

133


semakin dekat pelaksanaanya, tetapi sejauh ini masih belum masif sosialisasinya. Bagaimanapun status kesiapan Indonesia, Asean Community 2015 tetap akan menjadi babak baru yang harus kita masuki dan harus kita hadapi. Keempat tawaran solusi di atas hanyalah tolak awal bagi siapapun pasangan presiden dan wakil presiden terpilih nantinya, untuk memajukan kesehatan Indonesia dalam upaya peningkatan kesejahteraan Indonesia. Usaha perlindungan tenaga kesehatan lokal sebagai salah satu komponen untuk mencapai ratio persebaran yang merata demi terciptanya

keadaan masyarakat Indonesia yang sehat dan merata

wajib terus dilakukan, karena pada dasarnya kesehatan merupakan hak seluruh rakyat. Hal tersebut dengan pasal 5 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa semua orang berhak untuk mendapatkan akses dan pelayanan kesehatan yang aman , bermutu dan terjangkau . Kemudian Pasal 16 menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata.(14) Kami titipkan mandat kami pada calon pasangan presiden-wakil presiden yang selanjutnya akan mengambil peran eksekutif negara . Harapan kami , mungkin dari strategi ini sektor kesehatan tidak akan lagi menjadi bidang yang terkesan di-anaktirikan demi pemerataan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan serta kualitas kesehatan.

134


“Masalah pemerataan kesehatan saat ini menjadi poin penting dalam pembangunan kesehatan di Indonesia , khususnya dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pencapaian MDG’s. Diperlukan komitmen dan keseriusan pemerintah untuk menciptakan keadilan dan pemerataan kesegatan bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanah Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan�

Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes. Dosen bagian Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan dan Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat FKG UGM Direktur Administrasi dan Keuangan di Gadjah Mada Medical Centre

135


Pembangunan Negara Melalui Industri Farmasi Terintegrasi dan Swasembada Bahan Baku Obat BEM KM Fakultas Farmasi Pasal 34 ayat 2 Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan Pasal 34 ayat 3 Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak

Indonesia negara menyimpan ribuan potensi untuk menjadi negara yang maju sepertinya masih harus terseok-seok hingga saat ini. Negara ini bahkan bak singa yang tengah terantai yang bahkan untuk menangkap seekor kelinci pun tak mampu. Negara yang 68 tahun silam harus berjuang menjadikan dirinya sebagai sebuah negara yang berdaulat seperti dihujam oleh berbagai permasalahan lama yang berlarut-larut dan hingga saat ini belum mampu teratasi. Salah satu masalah yang kompleks saat ini adalah masalah kesehatan di negeri ini. Kita ketahui sebuah negara yang berdaulat wajib menjamin kesehatan seluruh rakyatnya, hal tersebut telah tercantum pula dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal bahwa seluruh warga negara Indonesia.

136


Kesehatan yang notabene merupakan hak setiap warga negara memiliki berbagai unsur yang harus dipenuhi untuk menunjangnya, salah satunya adalah obat-obatan. Saat ini obat-obatan yang beredar di pasaran Indonesia kita ketahui 70 sampai 80 % komponen biaya itu digunakan untuk bahan baku, sementara 20 % sisanya untuk biaya manufaktur (tenaga kerja, listrik, bahan bakar, dll). Jadi bahan baku obat sangat menentukan harga suatu obat di pasaran. Namun apakah sahabat semua tahu, bahwa di negeri makmur ini 95 % bahan baku obat diimpor dari negara lain. Hal ini dikarenakan walaupun sebagian besar kebutuhan obat sudah dapat dipenuhi oleh perusahaan yang berada di Indonesia, namun ketergantungan terhadap bahan baku impor masih sangat tinggi sekitar 95%. Penggunaan BBO di Indonesia meningkat sekitar 10-12% pertahunnya. Pasar BBO di Indonesia pada akhir tahun 2012 diperkirakan sebesar 11,4 T (ISFI,2007). Bahan baku yang digunakan tersebut 60% diimpor dari China, 30% dari India dan sisanya dari Eropa. Berarti ada sekitar 90% lebih bahan baku obat yang masih di Import oleh Indonesia (Anonim, 2011). Bahan Baku Obat sebenarnya mampu dibuat oleh Indonesia sendiri, namun produksi BBO harus ditopang oleh industri hulu seperti industri Kimia dasar yang kuat. Namun pada kenyataannya di Indonesia sangat rendah minat investor pada industri kimia yang ada di Indonesia. Rendahnya minat investor dalam menanamkan modal di bidang industri Kimia Hulu Karena tidak terlalu besarnya nilai keuntungan yang ditawarkan pada industri ini, selain itu berbagai

137


macam kendala sering ditemui investor ketika hendak menanamkan modalnya dalam industri kimia hulu. Hal ini semakin sulit ketika harga bahan baku akan berubah akibat kurs mata uang rupiah, sehingga tidak dapat diprediksikan kenaikan maupun penurunan dari bahan baku tersebut. Padahal ketika kita melihat bila kita mampu eksis dalam sistem BBO ini, maka pangsa pasar yang cukup menjanjikan telah menanti di pasar Internasional. Hal ini mengapa demikian, karena saat ini pasar internasional BBO masih didominasi oleh 2 negara yakni india dan Cina. Bahkan hanya BBO dari India saja yang menjadi suplai utama kebutuhan BBO di Eropa dan Amerika. Melihat hal tersebut seharusnya Indonesia tidak hanya berbenah tapi juga harus bersiap-siap menjadi power baru dalam pasar BBO. Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar untuk menjadi the new power dalam pasar BBO, kita lihat saja Indonesia saat ini menduduki posisi kedua keanekaragaman biodiversity setelah Brazil, dan tidak bisa dipungkiri lagi hal tersebut selain itu mulai tumbuhnya industri-indusrti dan cukup stabilnya ekonomi Indonesia yang dilansir oleh world bank dimana tetap terjadi pertumbuhan ekonomi di Indonesia di atas 6% saat Eropa dan Amerika mengalami krisis 2012 (Anonim, 2012). Selain itu munculnya industri-industri baru yang mulai tumbuh merupakan sebuah angin segar di perindustrian Indonesia. Melihat dari aspek tersebut memang Indonesia memiliki potensi besar dalam bersaing di pasar BBO.

138


Angin segar ini seharusnya dibarengi dengan kualitas penelitian dan birokrasi yang baik antara Induri farmasi dan penopangnya, Perguruan Tinggi Farmasi, dan Pemerintah sebagai pengambil kebibjakan. Langkah strategis ini harus kita kita lihat sebagai sebuah momentum kebangkitan industry kefarmasian di Indonesia. Namun menilik dari aspek tersebut masih perlu banyak pembenahan yang harus kita lakukan yakni salah satunya saja tentang masih minimnya penelitian dan jumlah jurnal publish di Indonesia yang hanya mencapai 0,8%. Hal ini perlu kita pandang sebagai masalah bersama mengapa peneliti Indonesia ataupun kaum intelektual kita terlihat sangat lesu dalam mengeksplorasi kekayaan kita. Sistem birokrasi ini seharusnya tidak terlalu rumit, namun tetap transparan karena penelitian tersebut berbeda dengan sebuah kegiatan non penelitian. Penelitian tersebut memiliki kemungkinan yang gagal yang sangat tinggi sehingga bila tidak memiliki modal yang kuat, akan sulit untuk mampu melakukan penelitian baru. Di sinilah letak strategis pemerintah dalam membuat kebijakan yang dapat mengakomodasi kelemahan itu. Sistem yang cepat dan transparan dalam sistem penanganan penelitian dapat didesain oleh pemerintah karena memajukan penelitian merupakan langkah awal dalam menarik minat investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Semakin kuat dukungan research dari pemerintah akan membuat semakin tinggi minat peneliti dalam mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan. Kerja sama ini

139


dapat melibatkan sistem 2 pintu antara perguruan tinggi dalam hal ini APTFI (untuk kefarmasian) dan Pemerintah. Diamana terjadi saling sinergis dan saling memahami keperluan dan kelemahan dari masingmasing pihak. Selain mendesain sebuah sistem yang membangkitkan minat peneliti, di sini akan terbentuk pula calon-calon peneliti baru yang telah di buat oleh sistem pendidikan yang ada. Tentunya hal ini bukan merupakan sebuah hal dengan skala waktu yang singkat, namun butuh kerja yang berkala dan berkelanjutan. Di sini perlu konsistensi kedua belah pihak dalam membangun grand design Industri Farmasi Indonesia (Novian, 2012). Selain melihat dari aspek negara dan Perguruan tinggi, kita sangat membutuhkan andil dari swasta sebagai pembantu modal dan aplikasi desaim yang telah di buat dan digodog oleh pemerintah serta perguruan tinggi. Kerjasama antar tiap sistem ini semakin memperkokoh pondasi swasembada bahan baku obat. Semakin dilibatkannya peneliti dan perguruan tinggi dalam pengambilan kebijakan yang terkait akan mempermudah analisi masalah yang dihadapi oleh sistem penelitian kita. Hal ini akan semakin meningkatkan penelitian yang ada di Indonesia, hal ini juga akan berdampak pada kemampuan Indonesia dalam bersaing di pasar BBO internasional. Hal ini akan menjadi sebuah sistem domino effect dimana ketika kita mampu memegang swasembada obat, maka akan membuat fluktuasi harga obat yang ada di Indonesia hilang, selain itu pengaruh

140


perubahan kurs mata uang dan biaya impor yang dibutuhkan dapat di tekan sehingga harga obat yang stabil akan dapat menopang sistem kesehatan Indonesia. Memang hal ini tidak boleh hanya sekedar wacana saja, hal ini butuh implementasi yang kongkret dan sistem yang kuat. Perlu komitmen dari setiap elemen yang ada agar hal ini dapat terwujud dan tidak hanya idealisme semata. Semakin gencarnya desakan kebutuhan kita akan swasembada BBO akan menyebabkan semakin cepatnya implementasi ini dapat terwujud.

141


Melawan Hegemoni (Industri) Rokok: Jalan Terjal Menuju Indonesia Sehat Analisis Kebijakan Rokok di Indonesia Satria Triputra W. (Mahasiswa Fisipol, Kepala Kastrat & Advokasi 9cm )

Kebijakan mengenai rokok di Indonesia masih menjadi salah satu isu yang dominan diantara masyarakat kesehatan, masyarakat tembakau dan industri rokok. Walaupun titik puncak dominasi isu ini hanya terjadi dalam satu tahun sekali yaitu pada tanggal 31 Mei, Hari Tanpa Tembakau se-dunia, namun dampak dari bahaya rokok ini dirasakan oleh seluruh masyarakat dimanapun berada di setiap hari dalam satu tahun. Ketimpangan puncak dominasi dengan dampak yang dirasakan setiap hari oleh masyarakat ini tidak lain karena adanya kepentingan industri yang dinilai jauh lebih besar dari sekedar inginnya masyarakat mendapatkan udara yang baik. Hal ini terlihat jelas dalam kebijakan yang masih menjadi perdebatan, terutama dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang sudah sah dan masih dalam proses implementasi, serta hadirnya RUU Pertembakuan yang saat ini masuk dalam daftar Prolegnas urutan ke 51. Untuk yang terakhir, dalam proses pengajuannya menjadi sebuah RUU masih memiliki banyak catatan yang dinilai cacat prosedur.

142


Dua produk kebijakan di atas semakin menguatkan adanya penilaian bahwa pemerintah tidak pernah serius dalam mengurusi kebijakan ini. Pertama, peraturan apapun dalam negeri ini baik undang-undang, peraturan pemerintah hingga peraturan daerah senantiasa akan diberlakukan sejak peraturan tersebut diketok palu. Namun PP No 109 Tahun 2012 ini unik, baru diberlakukan dua tahun sejak diputuskannya kebijakan ini. Kedua, sejak tahun 2006 diperjuangkannya RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau oleh aktivis-aktivis kesehatan namun pada tahun 2013 ini dirubah menjadi RUU Pertembakauan oleh industri-industri rokok yang penuh dengan cacat prosedural dalam pengajuannya menjadi RUU, terlepas dari tuduhan yang mengatakan bahwa RUU ini merupakan titipan dari industri rokok. PP No. 109 Tahun 2012 ini memunculkan pro dan kontra. Kelompok yang pro terhadap peraturan ini jelas mengangkat tema mengenai kesehatan warga negara, bagaimana negara harus hadir memastikan kesehatan warga negaranya termasuk dari bahaya asap rokok. Karena dalam PP ini, kelompok yang pro memiliki harapan untuk kebijakan rokok yang lebih baik dan memihak kepada kesehatan masyarakat. Sementara kelompok yang kontra selalu mengambil perspektif ekonomi dan budaya, bagaimana tembakau ini telah menghidupi banyak elemen masyarakat dan rokok telah menjadi budaya bangsa ini, misalkan rokok kretek. Perspektif ekonomi akan selalu memiliki argumen bahwa dalam industri ini telah menghidupi

143


banyak orang dan memberikan pajak yang sangat besar kepada negara, namun perspektif ini akan senantiasa redup jika dibandingkan dengan jumlah pengeluaran negara bagi para korban rokok. Dalam perspektif budaya, kelompok ini mempertahankan rokok dengan argumen

kebudayaan

yang

mengklaim

bahwa

rokok

kretek

merupakan budaya asli Indonesia, namun perspektif inipun akan memicu banyak perdebatan utamanya dalam pendefinisian arti dari kebudayaan. Dalam RUU ini pun ada dugaan dari kelompok kontra bahwa peraturan tersebut merupakan pesanan asing karena regulasi yang ada di dalamnya memang berpotensi membuka impor tembakau seluas-luasnya dan menutup potensi tembakau lokal serapat-rapatnya. Merencanakan Kebijakan Rokok Analisa agenda setting dalam kebijakan ini perlu adanya menggunakan logika politis yang mengimani model analisa tiga arus Kingdon sebagai metode untuk memunculkan isu ini menjadi isu publik yang urgent untuk segera diselesaikan oleh pemerintah. Analisa tiga arus ini terdiri dari arus problematika, arus politik dan arus kebijakan. Dari setiap arus yang ada nantinya akan mengkonfirmasi ciri-ciri dari analisa kebijakan dengan logika politis yang secara konsisten digunakan. Pada aspek pertama yaitu arus problematika, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa merokok merugikan kesehatan seluruh elemen masyarakat dan jelas mengancam kesehatan generasi muda yang notabene menjadi generasi yang memastikan jalannya negara di masa yang akan datang. Tidak perlu memperdebatkan lagi

144


mengenai benda yang mengandung 4000 zat kimia, 69 diantaranya adalah karsinogenik (pencetus kanker) dan beberapa zat berbahaya yang terkandung dalam rokok antara lain tar, sianida, arsen, formalin, karbon monoksida dan nitrosamin (TCSC-IAKMI, 2012), kiranya semua orang telah bersepakat dalam hal ini. Sementara sudah sangat jelas bahwa tugas paling dasar sebuah negara yang dijalankan oleh pemerintah adalah memastikan kesehatan warga negaranya dapat terjaga dengan baik. Pelayanan dasar ini setara dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dan juga keamanan. Tentu masih ingat dalam ingatan ketika Lampung menjadi sorotan dunia, namun yang menjadi keprihatinan dan miris bagi negara ini adalah bukan karena wisata atau sumber daya alamnya, namun karena terdapat perokok paling terkenal di dunia yaitu perokok balita yang sudah sangat fasih menggunakan jari-jemarinya untuk memelintir dan memeragakan berbagai jenis teknik merokok. Menurut pemberitaan yang ada, dalam sehari ia mampu menghabiskan dua pak rokok yang ketika hal itu tidak dapat dipenuhi maka ia akan merengek seharian. Tentu kejadian di atas hanyalah puncak gunung es dari permasalahan rokok yang ada di negara ini. Balita ini hanya delegasi dari permasalahan rokok yang muncul di permukaan, hanya masalah umurnya-lah yang menjadikannya begitu masif menjadi basis perlawanan gerakan anti rokok. Mari argumen ini diturunkan menjadi data-data spesifik, menurut data Riskesdas pada tahun 2007,

145


prevalensi merokok warga negara ini telah mencapai setengah lebih dari jumlah warga laki-laki di negara ini, yaitu 65,6% dan perempuan menyentuh angka 5,2%. Sementara pada penelitian GATS pada tahun 2011 yang meneliti pada kisaran umur 15 tahun ke atas menemukan data yang lebih memprihatinkan bahwa 67% laki-laki merokok dan 2,7% perempuan merokok (TCSC-IAKMI). Selain itu, dampak permasalahan yang jauh lebih serius terletak kepada bagaimana bangsa ini mempersiapkan generasi penerusnya jika 68,8% anak sekolah usia 13-15 tahun terpapar asap rokok di dalam rumah, 78,1% terpapar di luar rumah dan 72,4% mempunyai orang tua yang merokok (GYTS : 2009). Sungguh menjadi hal yang sangat miris ketika generasi penerus ini memiliki masalah

kesehatan

nantinya

di

saat

umur-umur

produktif

berkontribusi bagi bangsa. Tidak hanya sekedar permasalahan kesehatan, berbicara mengenai aksesibilitas, anak-anak usia sekolah 13-15 tahun sangat mudah mendapatkan rokok di toko/warung sebanyak 51,1% dan 59% dapat membeli tanpa penolakan dari penjual (GYTS : 2009). Hal ini semakin memperumit keadaan karena kondisi ini jelas menjadi lingkungan yang tidak baik dengan permisif terhadap hal-hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Data-data di atas setidaknya telah memberi gambaran dan deskripsi singkat bagaimana masalah rokok ini merupakan permasalahan serius yang menguatkan argumen dari advokat-advokat pembela kesehatan.

146


Pada arus politik yang membicarakan permasalahan aktoraktor yang terlibat di dalamnya sebenarnya akan merujuk kepada aktor-aktor pemilik modal industri rokok dengan para pembela generasi masa datang yang senantiasa menyuarakan keberlanjutan dan kesehatan generasi mendatang. Kekuatan industri rokok telah menghegemoni kehidupan dalam masyarakat, bagaimana industri ini telah merasuki ke seluruh elemen masyarakat. Hal ini diperparah dengan regulasi negara ini yang masih sangat permisif dengan iklan rokok, tidak seperti negara tetangga Laos dan Selandia Baru yang sudah melarang segala bentuk rupa iklan rokok. Dengan adanya regulasi yang sangat permisif ini, berbagai bentuk rupa iklan rokok merebak di masyarakat, mulai dari iklan di media elektronik, cetak dan baliho yang memenuhi segala ruang publik yang ada. Bahkan, untuk memperluas jangkauan pengaruh, industri rokok masuk dalam bentuk sponsor berbagai kegiatan masyarakat dan pemerintah. Kegiatan tersebut mulai dari tingkat lokal desa, hiburan rakyat seperti dangdut dan kompetisi sepak bola antar kampung hingga festival prestisius tingkat internasional seperti turnamen bulu tangkis internasional. Pernah seorang dokter yang menuliskan event-event yang disponsori rokok pada tahun 1994 pada bulan November, 1. Lucky Strike International Motocross Championship 1994 di Cibubur, tanggal 12-13 November (Catatan : tanggal 12 November adalah Hari Kesehatan Nasional)

147


2. Bentoel Super Motocross Worldclass Action di Surabaya, tanggal 10-11 November (Catatan : tanggal 10 November adalah Hari Pahlawan) 3. Djarum Kretek Dutch Super Football, TP tiap hari Minggu 4. Marlboro World Championship Bike Contest 1994. TV, 6 dan 20 November 5. Liga Dunhill. Mulai 27 November 6. Alfred Dunhill’s Master Golf Tournament, Bali 7 November 7. Wismilak Ladies Open Tennis Tournament, Surabaya, 6 November 8. Ardath

National

Badminton

Championship

1994,

Denpasar 28 November (Hutapea, 2013) Dari data di atas mencerminkan betapa mengerikannya hegemoni rokok dalam negara ini yang memberikan peluang begitu besar bagi cengkeraman industri yang lebih luas. Tidak hanya berkutat pada aktor yang menghegemoni, namun juga berkutat kepada pertentangan isu dimana isu rokok ini kemudian diperluas dengan isu kebudayaan yang menganggap kretek sebagai budaya. Hal ini tergambar jelas dengan berdirinya Komite Nasional Penyelamat Kretek (KNPK) yang dengan sangat getol mengajukan RUU Pertembakuan (Tempo, 2013). Perdebatan rokok yang pada awalnya berkutat kepada permasalahan ekonomi dan kesehatan,

148


nampaknya industri rokok telah menyadari habisnya argumentasi ekonomi ketika dibenturkan dengan anggaran negara yang begitu besar untuk korban rokok sehingga mengambil perspektif alternatif melalui kebudayaan. Kretek diciptakan oleh H. Djamhari di Kudus pada tahun 1880 yang bereksperimen memberikan cengkih pada lintingan rokoknya ternyata sangat disukai oleh para perokok. Rokok yang dibakar dan berbunyi “kretek.. kretek...� yang kemudian menjadi cikal bakal nama rokok ini memiliki TAR yang sangat tinggi dan sangat berbahaya bagi kesehatan. Jenis rokok inilah yang dianggap oleh KNPK sebagai sebuah kebudayaan bangsa Indonesia. Namun para aktivis anti rokok menentangnya dengan berbagai definisi kebudayaan yang tidak tepat disematkan dalam jenis rokok ini. Sekiranya inilah agenda setting paling besar saat ini yang dimiliki oleh industri rokok. Dua agenda setting besar industri rokok di atas sekiranya dapat diredam dengan arus kebijakan dengan hadirnya dinamika kebijakan yang ada di daerah. Ada harapan bagi penyelesaian permasalahan ini di dalam daerah yang dapat menjadi acuan bagi kebijakan rokok di tingkat nasional. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang mulai masif di Yogyakarta dengan hadirnya Peraturan Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 5 Tahun 2014 tentang Kawasan Anti Rokok ini telah mendapat apresiasi yang luar biasa dari kalangan dalam negeri dan bahkan dunia, seperti dalam pemberitaan terakhir, WHO yang hadir khusus ke Kulonprogo untuk mendukung

149


kebijakan ini (ROL, 2014). Dampak dari hadirnya Perda ini benarbenar dapat dirasakan dengan ditunjuknya Bupati Kulonprogo, Hasto Wardoyo menjadi Ketua Aliansi Bupati dan Walikota untuk mengembangkan Kawasan Tanpa Rokok di seluruh Indonesia. Perda inipun juga mengatur larangan kegiatan apapun yang disponsori oleh industri rokok dan larangan berbagai macam iklan rokok dalam bentuk apapun di Kabupaten Kulonprogo. Selain itu, pada arus kebijakan yang lain, hal yang menjadi dasar bagi pergerakan anti rokok adalah hadirnya Framework Convention of Tobacco Control (FCTC) yang merupakan kerangka kerja bagi negara di seluruh dunia dalam pengendalian tembakau.. Indonesia merupakan negara satu-satunya di kawasan Asia Pasifik yang belum meratifikasi maupun mengaksesi Konvensi ini. Hal ini sekali lagi menunjukkan adanya kelemahan negara dalam berhadapan dengan industri rokok yang seharusnya merupakan kewajiban dasar negara menyediakan ruang yang sehat bagi warganya. Hal ini menjadi konsen di negara-negara tetangga, selain Laos dan Selandia Baru, Australia telah menunjukkan keseriusannya dalam gerakan anti rokok ini dengan mengeluarkan peraturan tampilan bungkus rokok yang harus menampilkan penyakit-penyakit akibat rokok. Agenda setting kebijakan sebenarnya dapat mengikuti agenda FCTC yang berarti telah sepakat dalam meleburkan bersama gerakan anti rokok seluruh dunia. Sehingga akan semakin menguatkan perlawanan terhadap rokok dengan berjejaring seluruh negara yang

150


ada di dunia. Selain itu, kebijakan-kebijakan anti rokok luar negeri seperti di atas dapat menjadi rujukan bagi pertimbangan dalam mengagenda setting-kan kebijakan rokok di Indonesia ini. Rumusan Kebijakan Mencari kebijakan rokok di Indonesia dan dimanapun berada senantiasa berada dalam posisi yang sangat sulit, dihadapkan pada dua kepentingan besar yaitu industri dan kesehatan. Dua kepentingan inilah yang senantiasa ada dan paling berkepentingan dalam isu ini. Formulasi kebijakan yang akan diambil tidak dapat menafikan dua kepentingan tersebut dan senantiasa menyadari dua kekuatan besar yang hadir dalam proses perumusan kebijakan ini. Analisa di atas membantu untuk memetakan dua kutub besar kepentingan yang ada, namun proses perumusan kebijakan tidak mungkin mengadopsi pola pikir rational comprehensive. Hal ini dikarenakan banyaknya kepentingan dan konteks pemahaman besarnya kekuatan ekonomi industri rokok. Sehingga akan menjadi sangat kontekstual ketika proses perumusan dan pengambilan kebijakan ini menggunakan model mixed scanning. Model yang membangun kompromi antara substansi rasional dari proses kebijakan dengan konteks anarkis yang meliputi proses kebijakan ini dipandang sebagai sebuah bingkai untuk mengarahkan proses tawar menawar, adaptasi, akomodasi, yang terjadi secara terusmenerus dalam proses kebijakan (Santoso, 2010:120). Model ini tepat dengan hadirnya dua kepentingan besar yang ada yaitu kesehatan dan

151


industri. Hal pertama yang perlu dipetakan untuk mengambil keputusan ini adalah menemukan substansi rasional dari tiap kepentingan. Kedua, menemukan titik negosiasi dan tawar-menawar. Ketiga, merumuskan kebijakan yang paling tepat bagi kedua kepentingan ini. Substansi rasional dari aspek kesehatan adalah adanya kepastian jaminan kesehatan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Jaminan kesehatan di sini adalah bersifat kontemporer dan futuristik. Kontemporer dalam hal tersedianya udara yang sehat bagi warga negara dan bersifat futuristik adalah dengan terselamatkannya generasi muda dari bahaya merokok. Hal ini diperkuat dengan argumentasi industri rokok yang mengatakan bahwa “remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok karena mayoritas perokok memulai merokok ketika remaja. Pola merokok remaja sangatlah penting bagi Philip Morris� (Morris, 1981). Hal inilah yang dengan sangat jelas ditentang oleh para kelompok pro kesehatan. Sementara substansi rasional dari perspektif industri adalah bagaimana kelompok ini terus berjuang agar industri ini tetap bertahan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Walaupun kepentingan ini selalu bersembunyi dibalik alasan ekonomi berupa tenaga kerja dan sumbangan devisa negara. Titik negosiasi dari kedua argumen ini adalah terletak pada derajat perwujudan dari masing-masing kepentingannya. Untuk saat ini hal itulah yang paling mungkin dapat terwujud, bagaimana

152


hadirnya ruang-ruang yang mampu mengakomodasi dari dua kepentingan tersebut. Ruang yang dapat mewujudkan udara yang baik dengan tanpa ancaman untuk merokok, namun di sisi lain tidak langsung secara radikal membunuh industri rokok. Kebijakan yang dapat diambil adalah dengan jalan mewujudkan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR menurut Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2011 adalah kawasan yang terbebas dari rokok, bebas dari asap rokok, tidak ada penjualan rokok, tidak ada iklan rokok, tidak ada promosi rokok dan tidak ada sponsor rokok. Kawasan ini merupakan kawasan yang steril dari perihal apapun bentuk dari rokok. Tujuan hadirnya dari KTR ini adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat rokok, meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih,bebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula serta mewujudkan generasi muda yang sehat. Dari pengertian KTR di atas telah mampu memenuhi substansi

rasional

dari

kepentingan

kesehatan

yang

bersifat

kontemporer dan futuristik. Hadirnya KTR ini disertai dengan kewajiban pemerintah untuk menyediakan kawasan khusus merokok, menurut PP No. 109 Tahun 2012, kawasan khusus merokok adalah tempat khusus untuk merokok yang merupakan ruang terbuka yang berhubungan langsung dengan udara luar. Di sinilah letak negosiasi itu muncul, bagaimana substansi rasional dari kepentingan industri

153


tetap terakomodasi walaupun dipersempit. Hal ini pula yang meyakinkan kelompok pembela kepentingan kesehatan bahwa optimisme untuk mewujudkan generasi muda yang sehat tanpa asap rokok dapat terwujud dengan cara mempersempit ruang gerak industri rokok. Analisa untuk Kebijakan Selayaknya analysys for policy, analisa ini akan tetap memberikan sebuah usulan kebijakan yang didorong untuk dapat segera diwujudkan. Hadirnya KTR telah mampu mewujudkan optimisme kelompok pro kesehatan untuk membebaskan Indonesia dari asap rokok. Namun hingga saat ini, hanya beberapa daerah yang konsen terhadap perwujudan KTR ini. Sepanjang sepengetahuan penulis, hanya di Yogyakarta yang memiliki semangat untuk segera mewujudkan hadirnya KTR. Penunjukan bupati Kulonprogo sebagai Ketua Aliansi Bupati dan Walikota untuk mengembangkan Kawasan Tanpa Rokok di seluruh Indonesia telah memastikan adanya sekelompok orang yang menjaga dan merawat semangat perlawanan terhadap rokok. Hal yang harus ditindaklanjuti berikutnya adalah perumusan strategi mengembangkan KTR di seluruh Indonesia. Ada banyak sumber daya yang dapat digunakan dalam strategi pengembangan KTR ini. Dalam analisa ini dapat menggunakan metode optimalisasi kekuatan untuk mendapatkan kesempatan atau yang lazim disebut sebagai maximizing gain. Kekuatan yang dimiliki adalah semakin banyaknya aktor yang mulai konsen terhadap isu ini

154


baik aktor swasta maupun masyarakat. Sementara kesempatan yang dimiliki dalam konteks ini adalah munculnya PP No.109 Tahun 2012 yang mewajibkan pemda untuk mewujudkan KTR serta munculnya potensi kerjasama antar daerah. Pada titik inilah maximizing gain itu dapat diwujudkan, daerah-daerah di Yogyakarta menjalin kerjasama untuk mewujudkan KTR secara bersama-sama. Kerjasama dalam pendirian KTR selain untuk mewujudkan kewajiban daerah, di sisi lain mampu melakukan efektivitas dan efisiensi kebijakan dengan adanya role model kebijakan KTR di daerah yang lainnya untuk dapat dipelajari dan diterapkan di daerah satunya. Selain itu, menjalin kerjasama antar pemerintah, pemerintah-swasta, maupun pemerintahmasyarakat dengan persyaratan KTR di dalamnya. Hal ini merupakan strategi

yang efektif dalam pertukaran sumber daya

untuk

mewujudkan kepentingan kesehatan. Pun dalam hal ini dapat meminjam strategi yang lazim dalam militer, yaitu strategi lompat kodok. Strategi yang membayangkan adanya beberapa daerah yang dikuasai untuk mengapit daerah yang belum dikuasai sehingga daerah yang diapit itu dapat dikuasai dengan mudah. Pemda yang telah menerapkan KTR menjalin kerjasama dengan satu atau beberapa daerah disekitarnya untuk mengapit daerah yang sulit mewujudkan KTR, sehingga dengan hal ini daerah tersebut akan mengalami ketertutupan akses kerjasama yang kemudian memaksa daerah tersebut untuk menerapkan KTR demi keberlanjutan kerjasama yang telah dijalin untuk kepentingan daerahnya. Hingga

155


pada akhirnya tetaplah political will dari para pemimpin ini yang akan memegang kunci pembuka bagi hadirnya kebijakan rokok yang berpihak kepada kesehatan masyarakatnya.

156


Sektor Lingkungan Menggagas Kedaulatan Biodiversitas dan Kearifan Lokal Indonesia Indonesian Movement for Biodiversity (I-Mob), BEM Fakultas Biologi

Hingga saat ini, Indonesia masih terkenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa setelah Brazil dan Zaire. Predikat sebagai negara mega biodiversitas yang terletak di zamrud

khatulistiwa

begitu

melekat

pada

bangsa

Indonesia

(Wahyuningsih et al., 2008; Dewi, 2011). Sebagai negara kepulauan, Indonesia menyimpan kekayaan hayati yang melimpah baik di darat maupun di lautnya. Kekayaan tersebut begitu beragam dan tersebar dengan luas dari Sabang sampai Merauke. Tidak berhenti di biodiversitas, negara dengan luas wilayah mencapai 1.904.569 km2 ini juga memiliki kekayaan yang luar biasa berupa kebudayaan masyarakat daerah. Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas yang menjadikannya unik dan berbeda dari sukusuku yang lain. Keunikan tersebut berasal dari pengalaman hidup yang didasarkan dari tempat dimana mereka berada. Itulah yang seringkali kita sebut dengan local wisdom atau kearifan lokal. Kearifan lokal menurut Nurma Ali Ridwan adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat (Suripto, 2010).

157


Baik biodiversitas maupun kearifan lokal yang dimiliki Indonesia merupakan komoditas yang sangat potensial untuk dikembangkan dan dikonservasi. Sesuai dengan amanat konstitusi sebuah negara, bahwa sebagai pemegang status negara mega biodiversitas Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan apa yang ada di tanah nya untuk mensejahterakan negara dan rakyat Indonesia. Mengapa demikian? Saat ini sumber daya hayati memiliki prospek yang sangat tinggi. Keberadaan sumber daya hayati yang dimiliki oleh Indonesia dapat

diolah menjadi berbagai macam produk baik di

bidang pangan, pertanian, farmasi, peternakan, kosmetik dan lain sebagainya. Nilai dari sumber daya hayati Indonesia tersebut bahkan bisa mencapai 3,8 trilliun USD. Nilai tersebut bahkan lebih tinggi dari nilai penjualan minyak bumi yang ada di Indonesia (RAFI/Rural Advancement Foundation International, 2001). Pada dasarnya sejak dulu masyarakat Indonesia telah melakukan eksplorasi terhadap biodiversitas yang ada di sekeliling mereka namun hal tersebut belum tertuliskan sehingga belum banyak yang menyadari bahwa pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan yang sangat mahal harganya. Pada tahun 2000 sebuah perusahaan di Jerman memproduksi obat herbal yang berasal tumbuhan geranium (Pelargonium sidoides) yang memiliki khasiat menyembuhkan bronchitis dan penyakit pernapasan. Obat tersebut mendapat paten dan perusahaan tersebut memperoleh keuntungan yang signifikan dari penjualan obat herbal tersebut. Padahal penduduk lokal di Afrika

158


Selatan sudah menggunakan geranium untuk menyembuhkan penyakit tersebut sejak berabad-abad silam. Namun perusahaan tersebut tidak memberikan pembagian keuntungan pada penduduk lokal di Afrika Selatan tersebut. Pada tahun 2010, paten atas obat herbal tersebut dicabut atas permohonan dari African Centre for Biosafety di Afrika Selatan (Anonim, 2013). Apa kabar biodiversitas dan local wisdom di Indonesia? Pemerintah sepertinya tidak menjadikan sains dan teknologi sebagai fokus utama pembangunan Indonesia. Boleh dibilang di bidang sains kita belum memiliki kedaulatan secara penuh. Hal ini terbukti dari belum terkelolanya semua data penelitian dan penemuan yang ada. Kalaupun data tersebut ada sifatnya masih menyebar dan belum terintegrasi menjadi satu sistem data yang sifatnya terpusat. Selain itu, banyak sekali peneliti asing yang dengan sedikit “modal� dapat melakukan eksplorasi terhadap alam Indonesia dan melakukan serangkaian riset selama puluhan tahun. Tidak sedikit penelitian kolaboratif antara peneliti asing dan peneliti Indonesia yang telah ditelurkan; tetapi dapat dipastikan lebih banyak lagi sampel biodiversitas Indonesia yang telah diambil secara diam-diam oleh peneliti

asing

untuk

dikembangkan

di

negaranya.

Beberapa

“kecolongan� itu mungkin baru terkuak, seperti kasus Prof. Rosichon Ubaidillah mengenai penemuan spesies tawon baru Megalara garuda di Mekongga, Sulawesi Tenggara (JPNN, 2012; Kompas, 2012) ataupun kasus Dr. Siti Fadilah Supari mengenai penemuan vaksin

159


virus flu burung (H5N1) oleh WHO yang sampelnya berasal dari Indonesia tetapi tidak mencantumkan kontribusi Indonesia (Detik, 2008; Kompasiana, 2012). Salah satu penyebab banyaknya penelitian kolaborasi di bidang penelitian biodiversitas, baik secara morfoekologis maupun genetik di Indonesia adalah minimnya perhatian pemerintah untuk menggalakkan penelitian di bidang inventarisasi keanekaragaman hayati atau studi biodiversitas dari berbagai perspektif. Hal ini terbukti dengan “tidak lakunya� proposal-proposal penelitian untuk biodiversitas di ranah hibah penelitian dalam negeri. Kearifan lokal yang tertanam dalam jiwa masyarakat Indonesia sebenarnya memegang peran penting dalam upaya penjagaan dan konservasi sumber daya hayati. Layaknya sebuah konsep Natural Resources Triangle Security (NRTS) peranan masyarakat, pemerintah setempat, dan pemerintah pusat tidak dapat dipisahkan. Ketiganya harus saling bersinergi dan memiliki sistem terintegrasi, yang pada akhirnya mampu menjaga dan mempertahankan kedaulatan hayati negeri ini. Menurut Rahyono (2009), pembelajaran kearifan lokal mempunyai posisi yang strategis. Posisi strategis itu, antara lain (1) kearifan lokal salah satu pembentuk identitas, (2) kearifan lokal bukan merupakan sebuah nilai yang asing bagi pemiliknya, (3) keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat, (4) kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri, dan (5) kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan negara. Jika hal ini diterapkan dalam konservasi, tentu posisi strategis itu tidak hanya

160


berdampak pada masyarakat pemilik budaya tetapi dapat juga berdampak pada pembelajarnya. Banyak masyarakat lokal berinisiatif melindungi komunitas hayati di sekitar mereka baik hutan, sungai dan pantai beserta kehidupan keseharian mereka. Di dalam masyarakat lokal upaya perlindungan lingkungannya adalah dengan dasar agama dan agama. Sedangkan pemerintah dan organisasi konservasi dapat membantu upaya perlindungan sekitar engan memberikan kepemilikan legal terhadap wilayah tersebut, serta memberikan akses penelitian dan bantuan dana untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan. Upaya yang berasal dari masyarakat ini disebut juga sebagai community based intiatives (Indrawan dkk. 2012). Dari hal ini terlihat bahwa konservasi adalah ilmu yang interdisipliner yang membutuhkan pengetahuan dan pergerakan dari berbagai bidang untuk terciptanya lingkungan yang sustainable. Berdasar hasil kajian, diskusi, serta survei yang telah kami lakukan, kami memberikan beberapa rekomendasi kepada Capres dan Cawapres 2014. Berikut rekomendasi dari kami : Perkuat Database dan Penelitian Dalam National Report on the Implementation Convention on Biological

Diversity,

Indonesia

telah

menunjuk

Kementrian

Lingkungan Hidup sebagai National Focal Point keanekaragaman hayati. Dalam implementasinya, NFP kemudian akan bekerjasama dengan institusi utama, yaitu:

161


1.

Kementrian Kehutanan (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan & Konservasi Alam)

2. Kemetrian Pertanian (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Komisi Nasional Sumber Daya Genetik) 3. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) - bertugas untuk mengembangkan database keanekaragaman hayati nasional 4. Universitas – Pendidikan dan Penelitian Dapat kita lihat bahwa pemain utama dalam implementasi Protokol Nagoya adalah institusi pemerintah dan pendidikan. Kedua sektor ini sudah sepantasnya menggaet masyarakat dalam upaya penjagaan biodiversitas dan kearifan lokal Indonesia mengingat biodiversitas dan kearifan lokal di Indonesia sangatlah melimpah dan tersebar dengan luas sedangkan jumlah mahasiswa maupun peneliti sangat terbatas. Database dalam hal ini tidak hanya bicara keanekaragaman hayati dalam lingkup jenis spesies tapi juga bisa terkait database genetik, senyawa bioaktif bahkan pengolahan tradisional dalam kajian etnobotani. Sebagai contoh konkret, kita dapat meniru negara-negara tetangga yang wilayah geografisnya dekat dengan Indonesia. India, Pemerintahnya telah menerbitkan TDKL (Traditional Knowledge Digital Library) sejak tahun 2005 yang dapat diakses langsung dari situsnya di www.tdkl.res.in yang memuat 250.000 juta resep medis tradisional yang terdaftar secara resmi dan terdapat perlindungan hukum

dan

memiliki

hak

paten.

Filipina,

dalam

situs

162


http://www.grain.org/docs/philippines-ipra-1999-en.pdf

merupakan

The Indigenous Peoples’ Rights Act yang bertujuan melindungi kekayaan intelektual penduduk lokal Filipina dan diinjeksi dalam hukum Filipina sejak 1997. Perkuat SDM dan Teknologi Kualitas SDM dan Teknologi perlu ditingkatkan sebagai upaya untuk mengatasi kasus biopiracy. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dicapai dengan pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan peningkatan teknologi dapat dicapai melalui peningkatan dana riset dan penelitian. Selain pemerataan pendidikan bagi masyarakat umum, peningkatan pendidikan juga diberikan kepada para pemegang kekuasaan di Indonesia, seperti Kementrian Kehutanan, Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Pengolahan dan Pemasaran hasil Perikanan (P2HP), serta Badan Standardisasi Nasional (BSN) agar senantiasa mengkawal pelaksanaan UU No 11 tahun 2013 serta meningkatkan penjagaan sumber daya alam di Indonesia. Q: “Bagaimana mungkin kualitas sumber daya manusia Indonesia bisa ditingkatkan jika sekolah pun belum terjamin untuk semua anak Indonesia?” H: “Indonesia kan punya banyak sekali sumber daya alam. Harusnya SDA itu yang dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemajuan otak manusianya”

163


Pada dasarnya segala percepatan harus berjalan secara beriringan, tidak saling tunggu satu sama lain. Sebagai contoh adalah dalam hal teknologi. Sekarang ini ternyata banyak komunitaskomunitas kreatif yang tumbuh di masyarakat namun sayangnya kreatifitas tersebut kurang dilihat oleh pemerintah sebagai inovasi yang sangat potensial untuk dikembangkan. Do-It-Yourself Biology (DIYbio) dan Do-It-With-Others (DIWO) merupakan alternatif pengembangan penelitian yang sangat cocok diterapkan di Indonesia. Keduanya merujuk pada konsep “Open Source�, dimana tiap orang dapat mempelajari dan saling berbagi teknologi secara gratis. Komunitas Hackteria (www.hackteria.org) telah berhasil membuat beberapa produk DIY dengan harga yang sangat murah seperti mikroskop, spektrofotometer, nanodrop, sentrifuge, thermocycler, hingga Laminar Air Flow (LAF) buatan tangan yang dapat dibuat dengan murah dan mudah, dengan seluruh petunjuk tersedia secara Open Source. Hal ini memungkinkan seseorang untuk dapat melakukan riset molekuler di dapur rumah (Kera, 2013; Ledford, 2010). Dengan adanya inovasi ini diharapkan tidak akan ada lagi sumpah serapah teradap mundurnya teknologi dibidang riset di Indonesia.

Teknologi

murah

ini

harus

dikembangkan

untuk

memfasilitasi kebutuhan riset Indonesia dengan tanpa bergantung pada pihak asing yang mungkin saja berkepintingan khusus terhadap sumber daya genetik dan kearifan lokal Indonesia. Perkuat Kelembagaan

164


Kelembagaan menjadi sangat penting, karena kita berdiri di negara hukum sehingga tata kelola sumber daya hayati harus diatur secara hukum. Kelembagaan tersebut harus melibatkan berbagai pihak dari mulai petani, sumber materi genetik, pembentukan koperasi, penanganan hama penyakit, institusi pendidikan dan instansi penelitian serta disokong penuh dari segi dana. Jika kita melihat contoh di negara tetangga seperti Taiwan, Thailand dan Malaysia, mereka dapat menjadi negara yang maju dalam pengelolaan sumber daya hayati, misal: anggrek, karena kelembagaannya sangat terintegrasi antara berbagai pihak sehingga biaya produksi bisa ditekan. Penelitian untuk persilangan baru, peningkatan waktu pertumbuhan dan produksi, penanganan hama penyakit juga terkelola dengan baik oleh instansi penelitian maupun institusi pendidikan, serta pemerintah dan lembaga swasta yang senantiasa mendorong dari segi pendanaan. Perkuat Regulasi dan Tata Kelola Seringkali peneliti Indonesia karena terlalu senangnya dengan tawaran kerjasama penelitian tidak lagi memikirkan perjanjian hitam di atas putih terkait hasil penelitian dan kreditnya. Banyak penelitian kolaboratif yang tidak memiliki Memorandum of Understanding (MoU) atau kontrak mengikat ataupun Material Transfer Agreement (MTA) untuk pengambilan sampel ke luar negeri. Akibatnya saat hak peneliti Indonesia tersebut dirampas, tidak ada bukti otentik yang dapat menguatkan posisi peneliti tersebut.

165


Pernahkah tersiar kabar bahwasanya salah seorang peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) berang dengan IBRC (Indonesian Biodiversity Research Center). Sebuah institusi riset yang dikelola oleh beberapa Universitas di Indonesia dan satu universitas di Amerika serta Smithsonian Museum yang berdomisili di Bali. Konflik tersebut bermula dari sampel spesimen yang dibawa ke luar negeri untuk diteliti material genetiknya, hal ini dikhawatirkan oleh peneliti LIPI tersebut akan berpotensi untuk terjadinya biopiracy. Padahal selama ada material transfer agreement yang dapat diawasi dengan ketat maka kekhawatiran tersebut tidak perlu terjadi. Secara garis besar implementasi UU No.11 tahun 2013 memang belum benarbenar dapat diimplementasikan secara utuh sehingga di lapangan banyak ditemukan misunderstanding, bahkan di tingkatan internal negara sendiri. Di dunia pendidikan kode etik penelitian serta pengetahuan-pengetahuan umum mengenai perlindungan biodiversitas dan kearifan lokal Indonesia pun masih jarang diberikan. Hal ini berpotensi menimbulkan kebodohan dan kesalahan yang sama dengan apa yang sekarang terjadi. Libatkan Masyarakat dan Kenalkan pada Citizen Science Pelajar dan mahasiswa masuk golongan masyarakat yang harus dilibatkan dalam penjagaan biodiversitas dan kearifan lokal Indonesia. Keduanya merupakan SDM yang murah dan berkualitas yang siap menjadi agen penjagaan kedaulatan Indonesia khususnya penjagaan sumber daya hayati dan kearifan lokal Indonesia. Sudah waktunya

166


keduanya dirangkul untuk memasifkan perannya sebagai intelektual muda dengan penelitiannya, sebagai innovator, agen penyebaran virus “self-preventer� kepada masyarakat dan sesama intelek muda, serta yang terakhir bergerak sebagai inspirator bagi masyarakat. Dan kenapa harus citizen science? Indonesia terlalu luas untuk dieksplor dan dikonservasi oleh pelajar dan mahasiswa yang jumlahnya hanya sekitar 2% dari total penduduk Indonesia. Citizen science yang dipadukan dengan fasilitas berupa citizen laboratorium merupakan trobosan yang dinilai mampu mempercepat proses pendataan, pemanfaatan, dan pengkonservasian sumber daya genetik di Indonesia.

“Gagasan

ini

kami

persembahkan

untuk

Kedaulatan

Biodiversitas dan Kearifan Lokal Indonesia�

167


Melawan Asap Riau BEM Fakultas Biologi

Indonesia adalah pemilik hutan hujan tropis terluas ke-3 di dunia, setelah Brasil dan Kongo dengan luas hutan sekitar 115.507 ribu hektar (2012). Tapi dari luasan hutan yang tersisa itu, hampir setengahnya terdegradasi karena sejak tahun 1970 marak terjadi penggundulan hutan di Indonesia. Tahun 1997-2000, laju kehilangan dan kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8 juta hektar/tahun dan tahun 2009 diperkirakan luas hutan alam yang tersisa hanya 28%. Provinsi di Indonesia dengan kebakaran hutan tertinggi adalah Riau. Riau terdiri dari 2 kota dan 11 kabupaten dengan tingkat kebakaran terbesar adalah kabupaten Bengkalis. Bencana asap yang telah terjadi di Riau mengakibatkan banyak aktivitas masyarakat terganggu terutama di bidang pendidikan. Sekolah TK hingga SMA sering diliburkan hingga beberapa minggu karena adanya kebakaran hutan. Bandara di Pekanbaru lumpuh berhari-hari, diikuti dengan provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jambi yang terpapar asap dari Riau. Kualitas udara memburuk di Riau, rata-rata di atas 300 PSI masuk kategori sangat berbahaya, bahkan Riau tidak layak huni lagi. Presiden SBY kemudian memberi ultimatum kepada Pemerintah Provinsi Riau untuk mengatasi darurat kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan ini, dan siap mengambil alih jika daerah tak mampu.

168


Kelompok masyarakat sipil dan warga memberikan tekanan melalui media sosial untuk melindungi jutaan warga di Sumatera. Bulan Februari 2014, dalam catatan koalisi pegiat pemantauan deforestasi di Riau, Eyes on the Forest, ada 6937 titik panas (hotspot) yang terdeteksi dari satelit milik NASA Modis Fires. Akumulasi terus bertambah pada bulan Maret. Selayaknya hutan gambut tidak boleh dibuka, namun izin telah digelontorkan untuk mengkonversi ratusan ribu hektar hutan di Riau baik untuk perkebunan kayu bubur kertas, perkebunan sawit, maupun industri kayu. Riau adalah provinsi di Indonesia dengan lahan gambut tertebal di dunia. Adanya kebakaran hutan di Riau merupakan hal biasa apabila dilihat dari segi manajemen hutan, karena dengan adanya kebakaran hutan akan mendukung suksesi hutan. Namun apabila volume kebakaran berlebih maka akan menimbulkan bahaya bagi aktivitas dan kesehatan manusia. Hutan di Riau diprediksi tersisa sekitar 2 juta hektar, mungkin saja jauh di bawah angka itu. Sisa hutan alam yang tersisa hanya pada kawasan lindung dan konservasi, itupun sudah digerogoti oleh perambahan berkedok masyarakat namun yang memberi modal adalah cukong. Pembuatan surat ijin kepemilikan lahan hanya membutuhkan 3,5 juta/hektar, merupakan nominal yang sangat kecil bagi pengusaha untuk selanjutnya membuka lahan sawit. Peraturan Kementerian yang membatasi kepemilikan lahan hingga 50.000 hektar per grup di setiap provinsi, fakta di lapangan saat ini satu grup saja bisa menguasai 1 juta hektar lahan konsesi dan rata –

169


rata kebun yang dimiliki tiap individu mencapai 50 hektar, jauh lebih besar daripada yang dimiliki oleh petani. Hal ini mengindikasikan bahwa pemilik lahan adalah orang yang bermodal besar. Artinya pembukaan lahan gambut berkontribusi besar bagi kejahatan kabut asap dan pembunuhan masal terhadap anak-anak, orang tua, dan warga di Sumatera umumnya. Sebenarnya kebakaran tidak hanya di Riau namun juga di Sumatra Barat. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau bertahun-tahun dalam sengketa kepentingan, sehingga belum juga bisa dipaduserasikan. Akibatnya, konflik lahan dan tumpang tindih konsesi menjadi cerita lazim di provinsi Riau. Oleh karena itu media lebih banyak memberitakan pembakaran hutan di Riau. WALHI menyatakan bahwa keuntungan pembukaan hutan untuk lahan sawit mencapai 3,3 Trilyun setiap tahunnya. Mirisnya, bencana asap yang terjadi di Riau saat ini ditangani hanya dengan 1, sekian Milyar. Tidak lebih dari 0,1% dari keuntungan yang didapat oleh pemerintah dari lahan sawit tersebut. Penanaman kelapa sawit secara intensif akan menyerap nutrien dari tanah kemudian dijual ke daerah lain dalam bentuk olahannya. Nutrien tanah terus menerus terambil sehingga tanah menjadi tidak subur. Dengan kondisi tanah yang seperti itu akan mendorong penanaman kelapa sawit terus menerus karena tanaman ini dapat tumbuh di tanah yang miskin nutrien. Indonesia tanpa disadari telah menukar nutrien tanah berupa Nitrogen, Phospor, Karbon, dan hara tanah lainnya ke negara lain

170


bernilai trilyunan rupian dengan membuat rakyat Riau mengidap ISPA karena bisnis ini bertahun – tahun. Banyak lahan sawit illegal ditengah Taman Nasional Tesso Nilo

Riau.

Taman

nasional

seharusnya

diperuntukkan

bagi

perlindungan satwa dan flora yang ada di dalamnya. Kebun kelapa sawit di Taman nasional ini dikelola oleh 524 orang yang mendominasi 73% (26.298 Ha) dari total perambahan yang telah dikonversi menjadi lahan sawit, sementara sisanya dikelola oleh 20 kelompok. Dari beberapa provinsi di Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit, Riau merupakan provinsi penyumbang kelapa sawit yang terbanyak. Riau merupakan provinsi sentra penghasil kelapa sawit pada tahun 2012 mencapai 6.421.228 ton per tahun. Riau memiliki lahan gambut terbesar di Indonesia. Gambut merupakan tumpukan dari banyak materi, terdapat jenuh air dibawah gambut tersebut karena proses pendekomposisian di lahan gambut yang lambat, sehingga gambut akan tebal karena tumpukan materi yang sulit terdekomposisi tersebut. Adanya saluran kanal air ditengan hutan yang merupakan lahan gambut akan membuat jenuh air yang terjebak dibawah gambut mengalir di kanal tersebut. Kanal tersebut dialirkan keluar dari hutan. Apabila gambut kehilangan airnya akan kering dan ekosistem gambut yang dibuka untuk konversi semakin mengering dan melepaskan karbon sehingga sangat mudah terbakar. Ground fire, api di atas hutan tampak padam, namun api dibawah masih membakar dikarenakan karakteristik lahan gambut ini. Api

171


yang ada dibawah ini akan membakar akar tumbuhan yang lainnya sehingga hutan akan habis. Kebakaran di lahan gambut ini pasti akan terus terjadi, dengan cuaca kering apalagi disertai minimnya turun hujan, memadamkan api dan asap menjadi sesuatu yang hampir mustahil, kecuali menunggu hujan turun. Indonesia merupakan negara terbesar penghasil kelapa sawit di dunia yaitu mencapai 28%. Malaysia adalah negara kedua dengan 27%. Hanya selisih 1%. Namun pernahkah kita mendengar terjadi kebakaran hutan di Malaysia? Atau luaskah lahan kelapa sawit di Malaysia? Tidak. Malaysia mencapai negara kedua penghasil kelapa sawit terbesar didunia karena bahan baku berasal dari Indonesia yang selanjutnya diolah di negaranya. Bahan baku minyak yang diperoleh dari minyak nabati ada pada minyak kelapa sawit belum dapat tergantikan. Bahan baku minyak dapat diperoleh dari minyak hewani pada hewan – hewan. Tetapi tidak mungkin kita memanfaatkan hewan dalam jumlah yang besar untuk pemenuhan kebutuhan akan minyak. Oleh karena itu minyak kelapa sawit belum dapat digantikan. Produk turunan dari minyak kelapa sawit sangat banyak diantaranya sabun, materian kertas, margarin, minyak dan lain – lain. Namun sebenarnya ada alternatif pengganti yaitu minyak dari kulit pinus dan minyak akasia. Namun

pinus

dan

akasia

merupakan

gymnospermae

yang

mengandung resin, suatu senyawa yang JUGA rawan terbakar.

172


Dunia seakan dibuat bergantung kepada kelapa sawit. Namun yang disayangkan adalah mengapa penanaman kelapa sawit di Indonesia harus di lahan gambut. Lahan gambut merupakan karbon sink yaitu penyimpan karbon. Ini berasal dari hasil fotosintesis tumbuhan yang mengandung karbon didalam prosesnya, selanjutnya tanaman ini akan mati, karena proses dekomposisi sulit maka banyak karbon yang tersimpan. Apabila terjadi kebakaran hutan pada lahan gambut maka banyak sekali karbon yang dilepaskan ke udara. Negara Indonesia, yang telah menyetujui komitmen REDD untuk mengurangi emisi hingga 26%, sementara lahan gambutnya terus dibakar. 74% dari total emisi gas rumah kaca Indonesia (tahun 1994) dihasilkan dari kegiatan penebangan dan kebakaran hutan. Menurut riset pemerintah, lahan gambut tidak masalah apabila ditanami kelapa sawit. Karena setelah 3 tahun emisi yang dihasilkan kelapa sawit akan semakin kecil. Namun data dari WWF, penelitian yang dilakukan goverment scientist bahwa memang penanaman kelapa sawit setelah 3 tahun emisi akan turun, dengan catatan apabila kelapa sawit ditanam di hutan biasa. Apabila kelapa sawit ditanam di lahan gambut, yang terjadi adalah sebaliknya. Laju emisi yang dihasilkan oleh kelapa sawit akan terus meningkat setiap tahunnya. Hai ini karena terjadi oksidasi organik oleh organisme yang menghasilkan CO2. Emisi lahan gambut yang baru akan menambah emisi di lahan gambut yang ada di bawahya. Emisi yang dihasilkan kelapa sawit yang telah mencapai umur lebih dari 25 tahun akan

173


mencapai 10 kali lipat dari emisi sebelum berumur 25 tahun. Apabila emisi ini terjadi terus menerus akibatnya adalah climate change, global warming, hujan di bukan musimnya, kemarau berkepanjangan di beberapa daerah, dan lain – lain. Kelapa sawit memiliki banyak produk turunan yang bermanfaat bagi kehidupan sehari – hari manusia. Namun sangat tidak disarankan ditanam dilahan gambut. Penyebab penanaman di lahan gambut Riau mungkin dikarenakan lahan gambut apabila ditanami tanaman yang lain sulit subur, air yang berasal dari daerah dekat lahan gambut bau dan berwarna kemerahan. Hal itulah yang mungkin menjadi alasan penggunaan lahan gambut untuk menaman kelapa sawit. Seharusnya yang dipikirkan bangsa Indonesia bukan hanya soal profit saat ini untuk memanfaatkan lahan gambut dengan kondisi seperti diatas, namun kebermanfaatan seterusnya bahkan kerugian yang akan ditimbulkan di masa depan. Masalah hutan di Riau tidak hanya masalah pembakaran hutan untuk lahan kelapa sawit, namun juga adanya ilegal logging yang tinggi, tidak berbeda dengan Kalimantan. Ilegal logging sebenarnya juga merupakan sarana untuk pembukaan lahan karena pengusaha tidak mau merugi banyak. Solusi yang dapat dilakukan dalam penganganan kabut asap: 1. Stop perijinan untuk pembukaan lahan sawit baru. 2. Rewatering : pengembalian air di lahan gambut dengan pengaliran air kembali.

174


3. Stop pembuatan kanal air sebagai saluran irigasi. 4. Reboisasi hutan dengan spesies tumbuhan asli hutan – hutan di Riau. 5. Alokasikan dana lebih untuk penanggulangan bencana saat ini. Perlu adanya badan usaha pengolah kelapa sawit milik Indonesia sehingga kita tidak melulu di eksploitasi oleh negara lain. Perbaiki gaya hidup dengan menghemat penggunaan kertas, meminimalisir penggunaan produk kelapa sawit seperti sampo, sabun, dan kosmetik lainnya. Gunakan secara efisien barang – barang yang berbahan pokok dari hutan. Salam, hidup mahasiswa Indonesia ! hidup rakyat Indonesia ! –emil-

175


Sektor Pangan Polemik dan Potensi Implementasi Program Swasembada Daging BEM Fakultas Peternakan dan BEM Fakultas Teknologi Pertanian

Bagi kami, tahun 2014 ini bukan hanya sekadar tahun pemilu. Bahkan mungkin, Pemilu 2014 hanya kami anggap sebagai intermezo pelipur lara. Intermezo untuk sekadar mencoba menstimulus asa, mencari harapan kembali lewat pemimpin baru ditengah semua polemik yang mendera Republik ini. Demokrasi kita adalah lima tahun kedepan. Bukan lima menit ketika kita berada di bilik suara. Pemimpin bangsa kedepan kami yakin akan dihadapkan pada banyak permasalahan. Ini bukan tahun untuk menghabiskan semua konsentrasi untuk ikut mengurusi tetek bengek pemilu. Masih banyak peer yang musti dirampungkan Republik ini untuk sektor pangan, khususnya subsektor peternakan. Lewat tulisan ini kami ingin menyajikan pandangan kami terkait program utama pembangunan peternakan di republik ini Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PPSDSK) 2014.

Pencapaian 14 tahun Program Swasembada Daging Tahun ini hasil rilis pemerintah akan kita simak bersama mengenai capaian Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PPSDSK) 2014. Capaian tentang harapan 90% pemenuhan daging nasional dari dalam negeri. Namun, ada hal yang patut kita simak

176


bersama bahwa kondisi dilapangan saat ini masih jauh dari harapan. Menurut rilis BPS per September 2013, Populasi sapi dan kerbau 2013 sebanyak 14,2 juta ekor, turun dibandingkan dengan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 sebanyak 16,7 juta ekor[3]. Itu artinya tahun ini kita dihadapkan pada ancaman kondisi kegagalan pencapaian program ini (lagi). Sama seperti yang terjadi pada tahun 2005 dan 2009 lalu. Terhitung sejak pertama kali program ini dicanangkan pada tahun 2000. Tahun ini bukan hanya sekadar tahun

politik.

Sisihkanlah

konsentrasi

untuk

ikut

berperan

mengevaluasi dan memberi solusi untuk program ini. Salah satu program penunjang pencapaian PPSDKS 2014 adalah munculnya aturan pelarangan pemotongan sapi betina produktif. Dasar hukum larangan pemotongan sapi betina produktif adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 18ayat (2) bahwa ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan atau untuk keperluan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan[2]. Dalam dokumen Blue Print PSDS 2014 dinyatakan bahwa penyembelihan sapi betina produktif (SBP) di Indonesia mencapai tingkat

yang membahayakan

bagi

telah

keberlangsungan

pengembangan populasi sapi nasional, yaitu sekitar 150-200 ribu ekor/tahun yang terjadi terutama di NTT, NTB, Bali, dan Jawa.

177


Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan RI juga menunjukkan data bahwa penyembelihan SBP pada tahun 2010 telah mencapai 204.196 ekor atau 11,8 % dari jumlah sapi yang disembelih secara nasional[6]. Fakta tersebut seakan membawa kami pada sebuah hipotesa awal. Program ini (pelarangan pemotongan sapi betina produktif) tidak efektif untuk dijalankan kembali untuk kedepannya. Tidak efektif

bukan

dari

segi

cita-citanya

namun

lebih

kepada

pelaksanaannya. Program ini seakan hanya memberikan larangan (punishment), namun tidak memberikan reward yang kongkrit bagi peternak yang tidak melakukan pemotongan sapi betina produktif. Bagaimanapun juga, permintaan daging dipasaran yang selalu meningkat pada akhirnya membawa peternak kita pada pilihan untuk melakukan pemotongan sapi besar-besaran termasuk sapi betina produktif.

Kewenangan impor Polemik swasembada memberi multiplier effect terhadap sektor lain di Republik ini. Mari kita coba simak kembali kasus impor daging sapi yang terjadi beberapa saat lalu. Kasus tersebut disinyalir akibat rendahnya tata kelola koordinasi antar Kementerian. Khususnya antara Kementerian Pertanian pemberi kuota impor dan Kementerian Perdagangan selaku pelaksana impor. Menurut Rilis BPK per April 2013, pada periode sejak Oktober 2011 Menteri Perdagangan telah

178


menerbitkan 2 (dua) Surat Persetujuan Impor (PI) yang melebihi dari rekomendasi Menteri Pertanian, yaitu : 1)

Surat PI No. 04.PI-52.12.0130 a.n. PT. Bina Mentari Tunggal

dengan kuantitas 260 ton padahal. Surat Rekomendasi Persetujuan Impor (RPP) hanya 240 ton sehingga kelebihan sebanyak 20 ton; 2) Surat PI No. 04.PI-52.12.0255 a.n PD. Dharma Jaya dengan kuantitas 369 ton padahal RPP hanya 110 ton sehingga kelebihan 259 ton [1]. Namun pada akhirnya kami tidak ingin memberi kesimpulan apapun terhadap pertanyaan diawal. Kami hanya akan coba memberikan stimulus terhadap isu ini. Agar isu ini tidak hanya menjadi milik orang-orang yang bergerak di sektor peternakan. Harapannya semua orang tahun dan ikut memikirkan gagasan terbaik terhadap isu ini. Kedepan mekanisme koordinasi antar kementerian harus kembali diperbaiki. Pelangsingan kabinet atau menambah unit kementerian baru adalah wewenang penuh presiden kedepan. Namun yang pasti, hal ini harus segera disikapi secara serius.

Polemik dan potensi tata guna lahan peternakan Pengembangan sektor peternakan di Indonesia erat kaitannya dengan masalah ketersediaan lahan yang berorientasi kepada penyediaan hijauan pakan ternak. Belum teraturnya tata ruang maupun tata guna lahan yang terjadi di Indonesia sering kali mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian karena alasan ekonomi jangka pendek.

179


Alih fungsi lahan tersebut lebih menuju kearah pemanfaatan lahan untuk pertambangan, hutan industri, pemukiman atau perkebunan[2]. Pergeseran fungsi lahan dari padang penggembalaan umum dan atau lahan pertanian yang menghasilkan hasil samping atau limbah pakan ternak, pada akhirnya akan berdampak pada masalah menurunnya kapasitas daya tampung ternak dan ketersediaan pakan. Ketersediaan hijauan pakan di Indonesia merupakan tema utama yang menjadi pembatas perkembangan pembibitan sapi, karena hijauan merupakan bahan pakan utama (>80% dari total bahan kering) untuk usaha pembibitan. Perbincangan masalah ketersediaan lahan ini juga pada 2013 lalu direspon oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan dengan sebuah gagasan “kontroversial�, membeli perusahaan dengan 1 juta hektar lahan pertanian di Australia hanya khusus untuk melahirkan atau melakukan pembibitan sapi[9]. Sebuah ironi, melihat luas daratan yang dimiliki oleh Indonesia saat ini seakan masih belum cukup untuk memberikan ketersedian lahan untuk pengembangan peternakan.

Alih fungsi lahan di wilayah kantong ternak Pada dasarnya Indonesia sudah memiliki road-map tata kelola lahan untuk sektor peternakan dengan mencanangkan beberapa daerah sebagai wilayah kantong ternak. Wilayah-wilayah tersebut kemudian diorientasikan untuk pengembangan padang penggembalaan untuk mencukupi ketersediaan lahan ternak. Wilayah kantong ternak ini

180


meliputi antara lain NTB, NTT, dan sebagian wilayah Sulawesi (Sulawesi Selatan). Namun disisi lain, seakan mengingkari harapan, beberapa data menampilkan penurunan fungsi atau alih fungsi lahan yang terjadi di wilayah-wilayah kantong ternak tersebut. Misalnya di Sulawesi Selatan tercatat terjadi penurunan 23,13% selama kurun waktu 10 tahun (1996-2005) dari luas 236.434 ha menjadi hingga 192.008 ha[2]. Selain itu di NTT, luas padang penggembalaan di NTT pada tahunn 1998 tercatat 1,8 juta ha[7]. Namun pada tahun 2002 mencatat luasan 793.000 ha dengan rata-rata kapasitas tampung ternak kurang dari 0,25 – 1,0 ST/ha/tahun[4]. Seakan kembali menambah debu di salah satu bagian kaca yang sudah coba dibersihkan. Kondisi alih fungsi lahan yang seyogyanya sebagai wilayah kantong ternak ini pada akhirnya hal tersebut akan menyebabkan penurunan kapasitas daya tampung populasi ternak dan ketersediaan pakan hijauan.

Integrasi Sapi-Sawit belum optimal Selain potensi wilayah kantong ternak yang terdapat dibeberapa daerah, Industri kelapa sawit di Indonesia juga ikut memberi peluang yang besar bagi pengembangan komoditas peternakan sapi potong. Tahun 2011 luas areal kelapa sawit mencapai 8.908.399 ha, memberikan daya dukung pakan (vegetasi bawah tanaman sawit dan pelepah sawit) sejumlah 9.987.429 ton BKC (bahan kering tercerna)/tahun. Selanjutnya dapat dihitung bahwa daya

181


dukung tersebut dapat memberikan pakan yang cukup bagi 7.823.176 ST (satuan ternak) atau sekitar 11.175.966 ekor sapi dewasa[5]. Namun realitanya tidak demikian, upaya pengembangan di atas dihadapkan pada berbagai masalah sehingga aras idealita tidak sejalan dengan aras realita. Salah satu kendalanya adalah belum cukup terlibatnya masyarakat yang ada di sekitar kebun. Masyarakat ini sebenarnya sudah lama memelihara ternak sapi potong dengan memanfaatkan rumput/tumbuhan alami di bawah pohon kelapa sawit, walaupun belum mendapatkan izin resmi dari pemilik kebun. Umumnya pihak perkebunan kelapa sawit melarang masyarakat sekitar menggembalakan ternak mereka di kebun kelapa sawit dengan alasan sekuritas terhadap kebun sawit[5]. Kembali pada akhirnya membuat sistem integrasi sapi-sawit ini dirasa oleh beberapa pihak belum berjalan maksimal.

Epilog Belum banyak hal yang bisa diuraikan dalam tulisan ini. Namun, paling tidak lewat tulisan ini kami ingin coba menyajikan evaluasi dan hitung-hitungan potensi yang dimiliki oleh Republik ini terkait pengembangan sektor peternakan dari sudut pandang kajian pelaksanaan PPSDSK 2014 dan deret angka potensi lahan peternakan. Banyak yang bilang bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami serangan penyakit. Ibarat manusia, Indonesia mungkin sedang mengalami sejenis penyakit kanker atau jantung yang terkenal

182


mematikan. Semakin lama semakin mengganas. Akibat dari penyakit yang diderita sudah terlanjur kronis, bahkan hanya untuk sekedar membuka mulut menunjukkan taringnya pun bangsa ini tidak mampu. Dampaknya, bangsa ini terkesan lamban untuk bergerak, dan sulit untuk menjadi bangsa yang mandiri. Potensi adalah fitrah yang melekat pada republik ini. Namun, masih banyak hal yang harus kita lakukan bersama untuk sekedar membangun asa untuk Republik ini. Semoga tahun ini bukan seperti anggapan kami sebagai intermezo untuk sekadar mencoba menstimulus asa, mencari harapan kembali lewat pemimpin baru ditengah semua polemik yang mendera Republik ini.

183


REFERENSI

Aju, 2013, Indonesia Jangan Gentar Bangun PLTN. Diakses dari http://sinarharapan.co/index.php/news/read/24134/indonesiajangan-gentarbangun-pltn.html pada 27-5-2014 Akhir, D. J, 2013, 75% Sektor Pertambangan RI Dikuasai Asing. Diakses dari http://economy.okezone.com/read/2013/02/20/19/764574/75-sektor-pertambangan-ri-dikuasai-asing Anonim, 2011, Impor Bahan Obat Tembus Rp 11 T. Diakses dari http://www.kemenperin.go.id/artikel/2808/Impor-Bahan-ObatTembus-Rp-11-T Anonim, 2012, Dari Riset Menghasilkan Inovasi. Diakses dari http://wapresri.go.id /index/preview/berita/2471 Anonim, 2012, Pertumbuhan Ekonomi 2012 Hanya 6.23 Persen. Diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/02/05/12192140/Pertumbuhan.Ekonomi.2012.Hanya6.23Persen Anonim, 2013, Tiga Masalah Penyerap APBN Terbanyak. Diakses dari http://m.liputan6.com/bisnis/read/518416/3-masalahpenyerap-apbn-terbanyak Badan Pemeriksa Keuangan, 2013, Siaran Pers: Hasil Pemeriksaan BPK Semester II Tahun 2012 Atas Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2010 s.d. 2012 ______, 2012, Ikhtisar Hasil Pemerikasaan Semester II Tahun 2011, Jakarta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), 2012, Teknologi Dukung Kemandirian Bahan Baku Obat Antibiotik. Diakses

184


dari http://w1.bppt.go.id/index.php/home/56-bioteknologidan-farmasi/1154-kembangkan-teknologi-ciptakankemandirian-bahan-baku-obat-antibiotik Badan Pusat Statistik, 2010, Dependency Ratio Menurut Provinsi. Diakses dari http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12&notab=13 ______, 2013, Hasil Sensus Pertanian 2013 (Angka Sementara). No. 62/09/ Th. XVI, 2 September 2013 Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, BSNP, Jakarta Bappenas, 2012, Pembangunan Daerah dalam Angka, Jakarta Darjono, 2009, Pengalaman Penegakan Hukum yang Berkaitan dengan Kebakaran di Areal Perkebunan dan HTI Rawa Gambut Dennis, R, 1999, Tinjauan Projects Kebakaran Indonesia. Pusat Penelitian Kehutanan Internasional, Bogor Departemen Kehutanan, 2002, Rekalkulasi Penutupan Lahan Pada Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2003, Undangundang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Depdiknas, Jakarta ______, 2004, Manajemen Berbasis Sekolah Jakarta, Dirjen Dikdasmen, Jakarta

185


Dimyati, V., 2013, Bahan Baku Obat Masih Impor. Jurnal Nasional, 22 Maret 2013 hlm 11. [Internet]. Diakses dari http://www.jurnas.com/halaman/11/2013-03-22/237487 Fischer, R. and Nail E, 2000, Molecular Farming in Pharmaceutical Proteins. Transgenic Research 9: 279–299 Hafil, M dan Arief, J, 2011, Ini Dia 33 Perusahaan Migas Asing Penunggak Pajak, Rugikan Negara Rp 6 Triliun. Diakses http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/07/ 18/loix8j-ini-dia-33-perusahaan-migas-asing-penunggakpajak-rugikan-negara-rp-6-triliun Harefa, M, Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Ekonomi Antarwilayah. Diakses dari http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-16.pdf Hariyanti, D, 2011, Bahan Baku Obat Melimpah, Perusahaan Farmasi Masih Suka Mengimpor. Jurnal Nasional, 30 November 2011, [Internet]. Diakses dari http://www.jurnas.com /news/46539 HPLI, 2005, Indonesian Oil Reserves-Resources. Diakses dari http://www.hpli.org/tambang.php Ibrahim, Tatang M, 2013, Sapi - Sawit: Kok Bisa Lelet Sih?Agroinovasi, Litbang Pertanian. Edisi 21 - 27 Juli 2013 No.3520 Tahun XLIII ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Strategi Pengembangan Bahan Baku Obat Indonesia, Naskah Akademis Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, disampaikan kepada Menteri Negara Hortikultura dan Obat, 2007

186


Kemenegpdt, 2012, Daftar 183 Daerah Tertinggal di Indonesia. Diakses dari http://www.kemenegpdt.go.id/hal/300027/183kab-daerah-tertinggal Kemenhut, 2013, Statistik Kehutanan Indonesia 2012, Kementerian Kehutanan Indonesia, Jakarta Kementerian Pertanian, 2010, Blue Print Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 (Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 19/Permentan/OT.140/2/2010 Tanggal: 5 Pebruari 2010) Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2006, Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Kesehatan dan Obat 2005 -2025, Jakarta _______, 2013, Pedoman Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional (SINas) Tahun 2014, Jakarta Mikail, B., 2012, Kemandirian Bahan Baku Obat Terus Ditingkatkan, Kompas, 4 Mei 2012. [Internet]. Diakses dari http://health.kompas.com/read/2012/05/04/17434182Kemandi rian.Bahan.Baku.Obat.Terus.Ditingkatkan Mulyasa, E, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Suatu Panduan Praktis, PT Remaja Rosdakary, Bandung Nullik, J, dan A. Bamualim, 1998, Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. BPTP, Naibonat dan EIVSP AusAID, Kupang Potter, L. and Lee, J, 1998, Kelapa Sawit di Indonesia: Peranan Konversi dan Kebakaran hutan 1997/1998, Laporan WWFIndonesia, Jakarta

187


Pusat Diseminasi IPTEK Nuklir, 2013, Jurnalis Media Nasional Pelajari Calon Tapak PLTN. http://www.batan.go.id/view_news.php?idx=2434&Jurnalis%20Media%20Nasional% 20Pelajari%20Calon%20Tapak%20PLTN. Diakses pada 275-2014 Rustiarini, Wayan, N, Gama, S, Wahyudi, A., 2012, Modal Intelektual dan Kinerja Perusahaan: Strategi Menghadapi Asean Economic Community. Diakses dari http://eprints.unisbank.ac.id/ Sarwindaningrum, I., dan Aziz, N., A., 2012, Pernyataan Menristek Soal PLTN Dipertanyakan. http://nasional.kompas.com/read/2012/04/24/21332577/Pernyataan.Menristek.soal.PLTN. Dipertanyakan. Diakses pada 27-5-2014 Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia. Diambil dari http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Revisi_Ba han_Ajar_Cetak/BAC_Pengkur_SD/UNIT-4_PERKEMBANGAN_KURIKULUM_.pdf. Diakses pada 30 Juni 2014 Sudjana, N, 1989, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah Kejuruan, PT SInar Baru, Bandung ______, 1989, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, PT Sinar Baru, Bandung Sutrisno, J., 2012, Standardisasi produk usaha mikro kecil dan menengah dalam menghadapi pasar bebas. Infokop Vol. 21 pp. 131—158, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Jakarta

188


Yulianti, Tya Eka – detikfinance, 2013, Ide Dahlan Iskan Beli 1 Juta Hektar Lahan Peternakan di Australia. Diakses dari http://finance.detik.com/read/2013/09/11/123506/2355604 /4/1/ide-dahlan-iskan-beli-1-juta-hektar-lahan-peternakan-diaustralia pada 04 April 2014 Zein, Novian. 2012, Pengembangan Bahan Baku Obat Dan Obat Tradisional Di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional 2012 “Menuju Kemandirian Bangsa Indonesia dalam Bidang Kefarmasian melalui Swasembada Bahan baku Obat� Yogyakarta, 17 November 2012

Lembaran Negara Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Standar Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

189


190



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.